Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Pedang Buntung 8

Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 8


Ia kembali menghela napas panjang. lalu melangkah cepat meninggalkan desa itu. Ia tak sanggup terlalu lama menyaksikan kebiadaban berlangsung di depan matanya. Ia tak sanggup pula untuk melakukan pembunuhan terhadap bekas anak buahnya sendiri. Akan tetapi justeru terjadinya malapetaka yang menimpa desa Jatisulur, makin menambah kemantapannya dan keputusannya, untuk menjauhkan diri dan melepaskan kedudukannya pula sebagai salah seorang "Jago" Mataram.
Kepalanya dirasakan pening. Namun kecepatannya bergerak tidak berkurang. Gerakan Sindu ini semacam gerakan hantu sedang berkeliaran. Melangkah tanpa tujuan ini kemudian membawa Sindu ke dalam sebuah hutan yang lebat. Saking lebatnya, walaupun ia seorang yang tajam penglihatannya dan telah terlatih, beberapa kali terdengar suara "brett......" pakaiannya robek.
"Hemm.... hanya manusia yang tamak dan tak tahu diri saja, menganggap dirinya paling hebat dan paling kuasa," gumam Sindu perlahan.
"Kehebatan dan kekuasaan manusia serba terbatas. Hanya setitik air dalam lautan, dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan Seru Sekalian Alam. Huh. manusia Baru melawan kegelapan hutan yang diciptakan Tuhan seperti ini saja. aku tak dapat berbuat apa-apa. Sindu, sadarlah engkau! "
Sindu menjadi makin sadar akan hidupnya, berhadapan dengan gelapnya hutan dan kekuasaan Tuhan. Ia melangkah perlahan dan amat hati-hati. Tak lama kemudian dilihatnya cahaya penerangan. Diam-diam ia menjadi heran di samping curiga. Siapakah yang membuat api penerangan di tengah hutan yang lebat ini?
Setelah menjadi dekat, ia makin kaget berhareng heran. Ternyata penerangan yang tampak itu dari api unggun. Di dekat api unggun tersebut, tampaklah dua orang perempuan yang duduk berdampingan. Dengan amat hati-hati ia mendekati sambil bertanya dalam hati,
"Dua orang perempuan, berada dalam hutan selebat ini. Apakah yang sedang mereka lakukan? Tetapi dengan keberaniannya di dalam hutan yang luas dan api ini, _jelas bukanlah perempuan sembarangan."
Kenyataannya memang demikian. Perempuan biasa, selalu takut kepada alam gelap. Jangankan di dalam hutan seperti ini. baru ke luar dari rumah saja, biasanya sudah takut. '
Dan dua orang perempuan ini memang bukan dua orang perempuan biasa. Mereka bukan lain Kedasih dan Minah, dua orang murid Tuban yang pergi melarikan pedang Jati Sari yang telah menjadi dua. Tingkat dua orang perempuan ini sudah lumayan. Mereka hanya sedikit saja selisihnya apabila dibanding dengan Telasih dan Sami. Jika dibanding dengan Mirah yang sekarang menjadi kepercayaan Subinem, malah sedikit lebih tinggi. Itulah sebabnya walaupun perempuan, mereka tidak takut mengaso dalam hutan.
Seperti diketahui, Kedasih dan Minah lari dari Tuban,dalam usahanya menyelamatkan pedang Jati Sari. Walaupun pedang itu sudah patah menjadi dua. namun mereka tak rela kalau harus jatuh ke dalam tangan Subinem. Dan karena mereka menduga Rara Inten yang akan diserahi pedang itu, tentu bersembunyi dan mengasingkan diri ditempat terasing dan nepi, maka dua perempuan ini menjauhi desa, dan menjelajah hutan belantara serta bukit-bukit.
Dan malam ini, mereka kemalaman di hutan ini. Mereka tak menyadari ada orang yang sedang mendekati. Mereka asyik bicara, membicarakan kebutuhan yang sedang dihadapi.
"Hem . . . . di mana dan kapankah kita bisa bertemu dengan adi Inten?" kata Kedasih setengah mengeluh.
"Tidak ada petunjuk tentang dia. Sungguh tugas yang kita hadapi dan lakukan sekarang ini. bukanlah tugas ringan."
Minah menatap kawannya yang sudah mulai luntur semangatnya ini, sekalipun baru seminggu berkelana mencari Rara Inten yang tidak diketahui tempat tinggalnya secara jelas. Sahutnya menghibur.
'Adi Kedasih benar. Tetapi sekalipun berat, tugas ini merupakan tugas mulia. Dan tugas ini merupakan semacam ujian bagi kita."
"Ujian apa maksudmu?" Kedasih heran.
"Ujian kesetiaan bagi setiap murid Tuban," sahut Minah bersemangat.
"Perguruan kita telah dikhianati oleh muridnya sendiri yang bernama Subinem. Pengkhianatan yang tak tanggung-tanggung, justeru Subinem minta bantuan jago-jago Wandansari. Huh-huh. dia kerjasama dengan Mataram. Maka kita harus cepat bisa bertemu dengan adi Rara Inten. Kita laporkan semua yang telah terjadi. Agar adi Rara Inten bisa menyelamatkan Tuban dari kehancuran."
Mendengar itu, Sindu yang mengintip kaget. Kalau saja Sindu masih seperti seminggu yang lalu, masih belum memperoleh kesadaran hidup, kiranya Sindu sudah melompat keluar dan merobohkan dua orang murid Tuban ini. Sebab dua orang murid Tuban ini merupakan bahaya bagi kelangsungan Subinem berkuasa dalam Perguruan Tuban. Akan tetapi sekarang ini. Sindu menjadi dingin. Ia tidak lagi mau perduli kepada urusan Kerajaan Mataram maupun Perguruan Tuban. Ia ingin hidup bebas bagai burung. Ia akan menggunakan hidupnya ini guna mencapai cita -citanya sendiri. Karena itu Sindu hanya tersenyum saja dan terus mendengarkan pembicaraan mereka. _
"Tetapi kita tak tahu di mana adi Rara Inten." Kedasih tetap mengeluh.
"Dunia ini amat luas. Sedang di samping itu. orang yang ilmunya setinggi adi Rara Intan sukar sekali diikuti 'jejaknya."
"Apakah engkau menyesal?" pancing Minah.
"Tidak. Hanya aku merasa kecil hati. Aku merasa khawatir. terlalu lama Subinem berkuasa. Subinem seperti kuda betina tanpa kendali. Pada hal kita secepatnya harus bertemu dengan dia, dan membeberkan semua yang telah terjadi." Kedasih menatap kawannya, sesaat kemudian meneruskan,
' Dan yang lebih memberatkan hatiku, adalah tentang pedang Jati Sari......."
"Sst...... adi!" hardik Minah perlahan.
"Jangan sembarangan engkau bicara tentang itu. Kita mempunyai tanggung-jawab besar. Pusaka itu tak boleh jatuh ke tangan orang yang tak berhak."
Mendengar peringatan Minah itu, Kedasih cepat menjadi sadar, bahwa urusan pedang pusaka Jati Sari itu amat penting. Akan tetapi saat ini mereka sedang di tengah hutan belantara yang lebat. Maka Kedasih berpendapat, sekalipun membicarakan pedang itu tiada halangan, karena tak mungkin didengar orang lain. Katanya,
"Tetapi kita sekarang ini di tengah hutan lebat. Sekitar kita hanyalah pohon, binatang dan batu. Tiada seorangpun akan mendengarnya, sekalipun kita membicarakan pedang pusaka Jati Sari."
"Adi!" Minah mendelik.
"Pendapatmu itu amat berbahaya. Kita harus mencurigai segala tempat dan keadaan. Kitalah yang bertanggungjawab atas keselamatan pedang itu. Sudahlah, jangan kita membicarakan soal itu. Sebaiknya kita mencari daya, ke mana dan bagaimana dalam waktu singkat kita bertemu adi Rara Inten."
Tetapi, walaupun Minah mencegah agar tidak lagi membicarakan pedang pusaka Jati Sari, persoalan itu sudah terlanjur didengar Sindu. Untuk sesaat Sindu heran mendengar itu. Tetapi kemudian orang kurus ini mengangguk anggukkan kepalanya. Ia dapat menduga bahwa dua orang perempuan murid Tuban ini melarikan diri setelah Subinem berkuasa, sambil melarikan pedang Jati Sari.
Tentang sampai di mana ketajaman pedang Jati Sari itu, setiap hidung sudah mengenal. Itulah sebabnya sejak lama pedang ini merupakan pedang mustika yang sangat terkenal. Mengingat tajamnya pedang tersebut, tentu saja orang yang mengerti kegunaannya, selalu mengincar dan menginginkannya. Dan Sindu inipun, begitu mendengar bahwa pedang itu dikuasai dua orang murid Tuban ini,. segera pula bangkit keinginannya memiliki. Biarpun pedang itu sekarang sudah patah menjadi dua, tentu masih mempunyai kegunaan yang amat besar.
Sindu sudah menggeser kaki, dengan maksud untuk mengalahkan dua orang murid Tuban ini, dan merebut pedang Jati Sari. Akan tetapi Sindu membatalkan niatnya, merapatkan dirinya pada batang pohon, sambil mempertajam pendengarannya. _ '
Gerakan dan suara yang halus sekalipun, sulit bisa lolos dari telinga Sindu yang peka, Ia memang mendengar langkah yang tak lancar, di samping suara orang bercakap. Walaupun belum tampak, Sindu dapat menduga bahwa orang yang datang itu sedikitnya empat orang atau lima orang. Agaknya orang-orang itu seperti dirinya. Tertarik melihat Cahaya penerangan didalam hutan. Ketika ia menatap ke arah Minah dan kedasih, ia melihat bahwa dua orang murid Tuban itu masih asyik bicara. Agaknya mereka belum menangkap gerakan dan suara orang.
Sindu berdiam diri dan mempertajam pendengarannya. Suara langkah orang itu sekarang menghilang. Agak nya orang-orang itu berhenti melangkah. Namun walaupun samar-samar, ia mendengar wara percakapan mereka yang perlahan, suara laki-laki.
"Ah......sungguh beruntung kita malam ini. kawan!" terdengar suara orang perlahan. dengan nada yang amat gembira.
"Di dekat api unggun itu, terdapat dua orang perempuan......"
"Apa?" potong teman-temannya.
"Cantik dan masih mudakah?'
"Cantik-cantik, sekalipun aku menduga usianya tidak kurang tigapuluh tahun," orang pertama menerangkan.
"Tetapi...... hemmm. di tempat terasing seperti ini, mengapa kalian masih mempersoalkan kecantikan dan usia muda? Huh-huh, jangan berlagak alim. Kalau tak ada yang lain. bagaimana bisa memilih ?"
"Tetapi.,...... nanti dulu," terdengar seorang seperti memperingatkan,
"ingatlah bahwa kita sekarang ini di dalam hutan. Apakah kalian tidak jadi curiga dan menjadi heran. melihat dua 'orang perempuan membuat api unggun? Hhh.....jangan-jangan bukan manusia......"
Kata-kata orang yang terakhir ini agaknya mempengaruhi perasaan mereka. Untuk sesaat tidak terdengar lagi suara mereka. Memang bagi mereka, apa yang disebut dengan nama peri. wewe dan kuntilanak sudah mendarah daging. Memang orang percaya, bahwa makhluk halus tersebut sering menjelma seperti manusia dan menggoda. _
"Hemm... janganlah kita menduga-duga dahulu, sebelum meneliti !" orang pertama berkata, memecah kesepian.
"Manusia dan bukan, kita akan bisa membedakan. Menurut cerita orang tua orang tua kita, makhluk halus itu sekalipun menjelma presis manusia, tetapi tidak bertumit. Malah yang disebut peri itu, walaupun kecantikannya luar biasa, telapak kakinya 'berbentuk seperti kuda. Dan kalau "sundel bolong", kecantikannya luar biasa. baunya semerbak harum, tetapi rambutnya tak pernah disanggul. Rambutnya terurai lepas dan rambut itu guna menutup bagian punggung yang berlubang, kawan. kita cepat ke sana menyelidik. Tetapi kawan,apabila benar mereka perempuan, kita harus tetap mempertahankan kerukunan.' Janganlah kita yang malang malah berantakan dan cekcok sendiri, hanya karena berebut perempuan. Masing-masing harus berlaku adil. jujur dan setia kawan. Dua orang perempuan itu, menjadi milik kita semua. Menjadi milik kita berenam. Setuju?!"
"Setuju! Akur!" sambut yang lain.
"Bagus, kita justeru senasib sependeritaan. Kita sekarang menjadi manusia bebas. Manusia yang tak terikat tugas dan kewajiban! Namun celakanya kita tidak berani pulang ke rumah dan bertemu keluarga setelah terjadi peristiwa itu. Sebab kita bisa dihukum mati oleh Kangjeng Gusti Adipati. Bisa dituduh sebagai perajurit yang melarikan diri dari tugas."
"Hiiiii...... aku masih ngeri jika ingat peristiwa itu. Mayat yang hampir dikubur tiba-tiba hidup dan mengamuk." , '
Mendengar pembicaraan mereka itu, Sindu mengangguk anggukkan kepala dan tersenyum. Tahulah ia sekarang bahwa mereka yang bicara itu. adalah sisa perajurit Tuban yang melarikan diri, ketika dirinya dibungkus kain kafan seperti mayat. Ia menjadi geli tetapi juga merasa kasihan. Ternyata. perajurit-perajurit Tuban itu menganggap bahwa dirinya benar-benar mayat yang hidup kembali.
Namun diam-diam ia mengkhawatirkan pula keselamatan dua orang murid Tuban itu. Mungkinkah mereka yang hanya dua orang itu sanggup menghadapi enam perajurit Tuban?
Ia akan melihat keadaan. Apabila diperlukan akan melindungi keselamatan murid Tuban itu.Ia takkan membiarkan orang berbuat biadab di depan hidungnya.
Ia mengamati dua orang murid Tuban yang duduk di dekat api unggun tersebut. Melihat sikap mereka. tahulah ia bahwa dua orang perempuan itu tidak tahu sedang diincar bahaya. Mereka terus asyik bicara.
"Pendeknya, adi Kedasih. Kita harus berusaha terus, sampai akhirnya bisa bertemu dengan adi Inten." Minah mengemukakan pendiriannya.
"Aku percaya, bahwa setiap manuSia yang berusaha dan ikhtiar, mantap dan percaya akan kekuasaan Tuhan, akhirnya akan memperoleh pertolonganNya ! " .
"Kalau mbakyu berpendapat demikian, 'tentu saja aku pun sependapat. Dalam menunaikan tugas luhur ini, sekalipun harus mati, aku rela dan puas." Kata-kata Kedasih yang belum selesai itu mendadak terputus oleh suara ketawa orang.
"Ha-ha-ha...... bukan siluman. Haha-ha... ternyata benar-benar hmmm......"
Lalu berlompatanlah enam orang laki-laki gagah yang cepat mengurung Minah dan Kedasih. Pandang mata enam orang ini liar, memperhatikan dada yang tampak menonjol dan membusung. Sedang mulut mereka masih tetap tertawa, menandakan dalam keadaan gembira.
Minah dan Kedasih yang amat terkejut sudah meloncat berdiri, lalu beradu punggung siap sedia menghadapi kemungkinan. Sikap mereka ini justeru merupakan partahanan yang kuat, dalam menghadapi keroyokan lawan yang jumlahnya lebih banyak. Akan tetapi, begitu melihat pakaian enam orang yang mengurung tersebut, Minah heran. Lalu katanya halus,
'0hh.... kalian membikin kami kaget saja. Sangkaku kalian ini perampok, ternyata kalian perajurit-perajurit Tuban, mengapa kalian di sini. dan apa pula maksud kalian mengganggu kami...... ?"
Mendengar itu, mereka saling pandang. Dalam hati mereka bertanya, siapakah dua orang perempuan ini yang telah dapat mengenalnya?
Namun orang yang tubuhnya kurus tinggi, dan kumisnya tipis seperti buntut tikus sudah menjadi bangga dan senang. Ia menduga bahwa mereka termasuk orang yang terkenal, sehingga setiap orang telah mengenalnya. Katanya sambil tertawa halus, guna memikat perhatian.
' Ha-ha-ha -ha bagus, engkau telah mengenal kami. Sekarang, marilah kita duduk yang enak, kita bicara baik-baik. kemudian layanilah kami dengan gembira malam ini dan...... seterusnya. heh heh-heh-heh. Kami enam orang, dan kau dua orang. Namun jangan khawatir manis, kami akan berlaku adil."
"Tutup mulutmu!" bentak Kedasih marah dan mendelik.
'Buka matamu lebar lebar. kamu berhadapan dengan siapa? Mbakyu menghargai kamu, karena kamu perajurit perajurit Tuban. Tetapi apabila kalian kurangajar dan bermulut kotor, murid-murid perempuan Tuban sanggup menanggalkan semua gigimu!"
Terkejut juga mereka mendengar bentakan perempuan itu, yang mengaku sebagai murid _murid Tuban. Bagi setiap perajurit Tuban, tahu belaka sampai di mana ketangguhan murid-murid Tuban. Di samping itu, mengingat diperlukannya Perguruan Tuban oleh junjungan mereka, maka setiap perajunt dilarang bentrok dengan murid Perguruan Tuban. Dan barang aiapa yang berani melanggar, salah atau benar tentu mendapat hukuman, setelah dihadapkan di depan pengadilan.
Dalam keadaan biasa, perajurit Tuban tentu akan bersikap mengalah. Akan tetapi keadaannya sekarang sudah lain. Walaupun enam orang ini masih mengenakan pakaian perajurit Tuban, akan tetapi mereka sekarang sudah menjadi pelarian. Mereka tidak berani pulang ke rumah masing-masing dan melaporkan diri. Mereka sekarang menjadi orang bebas. Maka ikatan peraturan itu sudah tidak berlaku lagi. Oleh sebab itu, perajurit yang gemuk tetapi wajahnya pucat, ketawa terkekeh dan menyahut,
"Heh hehheh, dalam keadaan biasa, karena peraturan kami selalu bersikap mengalah kepada murid murid Perguruan Tuban. Tetapi ha-ha-ha....... ketahuilah dan dengarlah secara jelas. Kami bukan perajurit Tuban lagi, Kami orang bebas. yang bisa berbuat sesuka hati kami sendiri. Kami butuh kalian, dan sebaliknya kalianpun membutuhkan kami. Heh-heh-heh, bukankah sudah cocok?"
"Setan alas!" bentak Minah.
"Apakah kamu tidak takut menghadapi hukuman Gusti Adipati?"
"Heh-heh-heh, siapa takut?" sahut perajurit yang kulitnya hitam legam sambil terkekeh mengejek.
"Kami semua orang yang sudah lari dari pasukan. Siapa yang akan bisa menghukum? Sekarang kami hidup mengandalkan ini!"
Ia menggenggam jari tangannya. kemudian memamerkan tinjunya yang besar dan kuat.
Minah dan Kedasih heran. Apa sebabnya enam orang perajurit ini melarikan diri dari pasukan?
Dan di saat Tuban sedang terancam musuh pula?
"Hah-heh-heh," si kumis tikus tertawa terkekeh.
"Jangan rewel dan jual mahal. Hayo. kalian harus menjadi isteri kami berenam!"
'Bangsat! Mampuslah!" bentuk Kedasih yang kurang sabar itu sambil menggerakkan pedangnya menikam. Hati wanitanya tersinggung dan marah. Maka gerakan pedangnya itu cepat seperti kilat menyambar ke tenggorokan si kumis tikus.
"Trangg.......aihh....!" Dan si kumis tikus terhuyung tiga langkah ke belakang. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Tentu saja Ia tadi terlalu menganggap ringan kepada wanita murid Tuban ini. Tetapi begitu pedangnya berbenturan, si kumis tikus kaget setengah mati. Lengannya tergetar hebat sekali dan telapak tangannya terasa panas sekali sepcrti dibakar oleh api. Kalau ia berhadapan seorang lawan seorang, kiranya nyawanya sudah melayang. Untung sekali dirinya bertiga sehingga ia memperoleh perlindungan kawannya.
"Manis, mengapa engkau marah? Sayang apabila lecet kulitmu. Kita sama-sama kesepian, bukan? Dengan bersahabat, kita akan lebih kuat!" bujuk si kulit hitam sambil tersenyum-senyum berusaha memikat.
Akan tetapi senyum si hitam ini, malah membuat Kedasih muak. Kemarahannya makin memuncak. Pedangnya diputarkan amat cepat sekali, menyerang secara dahsyat.
"Trang-trang-trang.....!" terjadi berturut-turut benturan senjata. Bukan hanya senjata Kedasih dengan lawannya yang berbenturan. Tetapi juga senjata Minah dan tiga orang lawannya. Dua orang murid Tuban ini benarbenar sudah meledak kemarahannya, oleh kata-kata dan Sikap enam orang bekas prajurit Tuban ini. Soalnya walaupun usia mereka sudah sekitar tigapuluh tahun, mereka masih tetap merupakan gadis-gadis suci yang pantang berhubungan dengan pria. Mudah dimengerti, bila Kenasih dan Minah lebih gampang tersinggung dan marah.
Akan tetapi setelah dua orang murid Tuban ini bertempur dan dikeroyok oleh enam orang perajurit itu yang terlatih itu. makin lama menjadi makin sibuk. Gerakan senjata perajurit itu teratur dan bisa bekerja sama amat baik sekali.
"Kawan, usahakan jangan melukai. Runtuhkan senjata dan tangkap hidup-hidup. Kemudian nanti kita menyelenggarakan pesta bersama semalam suntuk. heh-heh heh!" Si kumis tikus menganjurkan kawan kawannya.
"Bagus! Nanti akulah yang paling dulu!" sambut si hitam legam.
"Kurang ajar !" hardik kawannya.
"Semuanya harus kita tentukan secara adil. Kita undi secara jujur, siapa yang memperoleh undian pertama, itulah yang berhak,"
"Betul. Akur !" sambut kawannya yang lain.
Mendengar kata-kata pengeroyok demikian ini, makin meledak kemarahan Kedasih dan Minah. Gerakan pedangnya makin ganas menyambar, dalam usaha mereka merobohkan lawan. Akan tetapi justeru kemarahannya ini merugikan diri sendiri. Dalam setiap perkelahian, merupakan pantangan terpancing kemarahan. Bagaimanapun pula orang yang marah tentu kurang pengamatan diri.
Dan sekarang. Kedasih dan Minah ini terpancing kata-kata lawan yang sengaja membakar kemarahannya. Kalau saja mereka tidak terpancing, walaupun sulit untuk bisa menang. tetapi akan bisa bertahan cukup lama.
Dari tempatnya bersembunyi, Sindu menonton dengan tenang. Ia tak mempunyai urusan apa-apa dengan dua belah pihak. Namun ia juga tidak akan membiarkan begitu saja dua perempuan murid Tuban itu dihina dan di jadikan permainan laki-laki yang tak bertanggung jawab. Lebih-lebih, dua orang murid Tuban ini merupakan pihak yang tahu soal pedang Jati Sari. Ia harus dapat merampas pedang itu. Ia harus menekan dua orang perempuan ini, agar mau mengaku di mana pedang itu di sembunyikan.
Tiba-tiba Sindu terkesiap kaget, dan hampir saja tangan kanannya bergerak, menyambitkan kerikil yang sejak tadi telah dipersiapkan. Namun gerakannya itu tertahan dan ia sendiri terbelalak heran.
Tadi ia melihat jelas sekali, bahwa tombak seorang perajurit, yang ditangkis oleh padang Kedasih. gerakannya diteruskan untuk menikam pinggang. Perajurit yang lain sudah kaget, khawatir kalau Kedasih tertikam mati. Sebaliknya Kedasih sendiri sudah pucat, karena tikaman itu tak terduga-duga dan tak mungkin ditangkis. Terdengar suara
"crakk......." dan yang terjadi membuat perajurit-perajurit itu terbelalak kaget. Tombak tersebut tak kuasa melukai pinggang Kedasih, malah ujung mata tombaknya menjadi patah.
Menyaksikan itu, Sindu heran dan bertanya-tanya. Namun hanya sesaat saja orang Sakti ini dibikin bingung. Kemudian ia bisa menduga, bahwa disitulah kiranya pedang pusaka Jati Sari disembunyikan.
Kenyataannya memang demikian. Kedasih menyembunyikan sepotong pedang Jati Sari di pinggangnya, seperti yang dilakukan oleh Minah. Di luar tahu Kedalih, potongan pedang itu telah dapat menyelamatkan nyawanya di saat terancam bahaya.
Pertempuran yang tak seimbang itu, makin lama. menjadi makin seru dan sengit. Untung bahwa para perajurit itu ingin dapat menangkap hidup-hidup. Kalau saja mereka bertempur benar-benar, tentu baik Kedasih maupun Minah sudah roboh tak bernyawa.
Mendadak terdengar si kumis tikus berteriak,
"Gunakan siasat hujan turun!"
Siasat yang disebut "hujan turun" ini, adalah siasat dalam perang. Maksudnya penyerangan keroyokan ini harus dibagi, menyerang bagian atas dan bawah. Mereka yang kebagian menyerang bagian atas melulu menyerang bagian atas, sedang yang menyerang bagian bawah melulu bagian bawah pula.
Dan sekarang, siasat itu segera dilakukan. Dua orang menyerang bagian atas, sedang yang seorang memusatkan serangan pada kaki. Kebetulan enam orang penjurit ini, yang dua orang bersenjata tombak dan yang empat orang bersenjata pedang. Yang bersenjata tombak mempunyai kewajiban menyarampangkan tombaknya ke kaki lawan agar tersapu roboh.
Dan ternyata perubahan siasat pengeroyokan yang demikian ini membuat Kedasih maupun Minah menjadi makin kerepotan. Walaupun mereka dapat bergerak ringan, namun mereka tidak bersayap. Apa pula potongan pedang Jati Sen itu berat, dan mengganggu keringanan gerakannya.
"Trang-trang...... plak....aihhh......!" Kedasih menjerit nyaring, kemudian roboh terguling. Namun sebagai seorang berilmu, begitu terguling ia cepat melompat berdiri. Akan tetapi ia segera mengeluh dan terhuyung huyung, karena kakinya dirasakan amat sakit ,belum Juga dapat berbuat apa-apa, sodokan ujung tangkai tombak pada ulu-hatinya, membuat Kedasih roboh dengan napas sesak. Sebelum dia bergerak, dua orang perajurit sudah menutuk.
Minah kaget dan berusaha menolong dengan menyabetkan pedangnya, untuk membunuh perajurit yang menubruk Kedasih. Tetapi perempuan ini lupa, bahwa perbuatannya itu justeru membahayakan diri sendiri.
"Trang-trang-trang...... plakk..... aduh......!' pedang Minah yang menyambar itu, ditangkis berturut turut 0leh tiga batang pedang. Dan hampir berbareng dengan tangkisan tersebut, perajurit yang bertugas menyerampang kaki menggunakan kesempatan sebaik-baiknya. Minah yang lupa tersapu tulang keringnya, terguling roboh, tetapi pedangnya masih tergenggam di tangan. Ia cepat melompat lagi sambil meringis menahan kakinya yang sakit. Tetapi dengan luka pada kakinya ini, gerakannya tidak segesit tadi. Hanya terjadi beberapa gebrakan lagi, pedang Minah telah terbang, dan selanjutnya roboh pula tak berkutik seperti Kedasih.
Kaki dan tangan dua orang perempuan ini telah terikat erat erat, menggunakan tali dari otot kerbau. Tali tersebut kuat sekali, dan walaupun mereka berusaha memberontak tak juga berhasil. Karena tak dapat berontak lagi yang dapat mereka lakukan tinggal mencaci maki kalang-kabut, minta dibunuh.
"Bangsat! Biadab! Jangan kau hina seperti ini. Bunuhlah!" teriak Kedasih dengan sepasang matanya yang merah saking ngeri.
Tetapi cacimaki Kedasih itu hanya disambut oleh ketawa mereka yang mengejek. Mata mereka yang liar kemudian menjelajah gunung kembar dan bibir yang tampak gemetaran tetapi malah menimbulkan gairah. Mendadak seperti memperoleh aba. tiga orang itu menggerakkan tangan dan berebut dahulu, menjamah dada yang membusung itu, sambil tertawa-tawa senang. Ketika tangan tiga orang perajurit itu saling tabrak. mereka tidak menjadi marah. Ketawa mereka malah meledak, saling pandang dan penuh maklum.
Kedasih yang ngeri bukan main kembali mencacimaki,
"Biadab! Bangsat busuk. jahanam, keparat! Bunuhlah saja jangan ..hauupp......"
Kedasih tak dapat meneruskan caciannya. karena mendadak mulutnya tertutup sesuatu, dan Kedasih hampir tidak dapat bernapas. Namun benda yang menutup mulutnya itu, sesaat seperti disentakkan dan lepas.
"Tak boleh curang mendahului kawan," cela orang yang tadi menyentakkan.
"Kalau harus adil, kita baru boleh berbuat apapun sesudah diadakan undian."
Kedasih terbelalak dan untuk beberapa saat tak dapat bicara. Sekarang ia baru tahu, bahwa benda yang tadi menyumbat mulutnya dan membuat hampir tak dapat bernapas, adalah mulut si kulit hitam legam tadi yang begitu saja menciumnya. Bergidik ngeri Kedasih saat ini, akan tetapi tak bisa berdaya lagi. Maka yang bisa dilakukan hanyalah mencaci-maki kalang kabut.
Minah pun tidak lebih baik nasibnya. Tiga orang perajurit itupun tangannya gerayangan secara liar tanpa kenal sopan lagi. Minah juga mencaci-maki kalang kabut, mengeluh dan minta dibunuh. Akan tetapi caci-maki itu tidak menolong. Malah makin membuat tiga orang perajurit ini gemas. _
"Kawan. berhenti semua!" Tiba-tiba terdengar suara si kumis tikus mengatasi caci-maki Minah dan Kedasih. Dan agaknya si kumis tikus ini kedudukannya lebih tinggi dari pada yang lain. dan masih mempunyai wibawa pula. Terbukti katanya didengar semua orang, dan mereka menghentikan gerakan tangan yang liar itu. Setelah si kumis tikus ini mengamati kawan-kawannya beberapa saat, ia meneruskan.
"Janganlah kerukunan kita menjadi retak oleh soal perempuan. Dua perempuan ini memang amat kita butuhkan. Tetapi harus dapat membatasi diri masing-masing." ,
Mereka semua mengerti alasan si kumis tikus. Si Hitam legam segera bertanya,
"Lalu, bagaimanakah sekarang? Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita sekarang berunding menentukan undian secara adil, berikut waktu yang ditetapkan." Si kumis tikus bicara tegas.
"Dan setelah kita membuat keputusan, keputusan itu mengikat. Artinya kita semua harus tunduk. Siapa yang melanggar harus dihukum. Berat dan ringan nya hukuman, harus sesuai dengan pelanggaran yang di lakukan."
"Ah, mengapa harus pakai hukuman segala?" bantah ai hitam legam.
"Hukuman itu hanya akan meringkihkan kerukunan kita, karena bisa menimbulkan rasa dendam."
Sl kumis tikus tertawa. Kemudian katanya,
"Tentu saja bukan hukuman siksa, ataupun hukuman badan yang lain. Karena soal hukuman ini hanya khusus berlaku dalam soal perempuan ini, maka hukuman itu hanya terbatas pula." '
"Bagaimanakah bentuk hukuman itu ?" perajurit yang tubuhnya gemuk mendesak.
"Misalnya, kawan yang melanggar dihukum waktu. Selama semalam, dua malam atau seterusnya, tidak boleh menyentuh perampuan milik kita bersama ini." Si kumis tikus memberi penjelasan.
"Bagus, akur."
"Setuju!" _
Kawan-kawannya segera memberi persetujuannya. Mereka menganggap hukuman semacam itu perlu diadakan. Si kumis tikus tertawa senang. Kemudian katanya lagi,
"Sekarang, semua kawan berkumpullah ke mari."
"mengapa harus berkumpul di situ? Di sini toh lebih menyenangkan," bantah si hitam legam ,sambil mencubit pipi Kedasih. Perempuan itu menjerit dan mencaci maki. Tetapi si hitam legam tidak mundur, malah nekad.
"Jangan mencari enak sendiri, kawan. Aku bermaksud mempertahankan kerukunan dan keadilan." Si kumis tikus memandang si hitam legam dengan sinar mata tidak senang.
"Dengan menjauhi perempuan itu. berarti mencegah perbuatan kalian, sebelum undian selesai dilakukan. Keadilan dan kejujuran harus kita jaga."
Alasan si kumis tikus itu cukup beralasan, maka kemudian semua menurut. dan mendekati si kumis tikus. Kemudian mereka berenam asyik berunding menentukan segala sesuatu yang diperlukan. Untuk beberapa saat mereka saling berbantah dan mempertahankan pendapat masing-masing. Tetapi kemudian dengan penuh kebijaksanaan si kumis tikuslah yang mengatasi. Agaknya di samping berpengaruh. si kumis tikus ini cerdik juga, sehingga pikirannya bisa diterima oleh yang lain.
Tak lama kemudian, selesailah mereka berunding dan mengadakan undian. Ternyata yang memperoleh undian pertama, perajurit yang gemuk dan yang bertubuh tinggi besar. Dua orang ini tertawa gembira sekali, tetapi yang lain tidak menjadi iri. Bergegas dua orang ini bangkit menghampiri Minah dan Kedasih yang tadi dibelenggu dan tak berdaya. Namun dua orang ini terbelalak, lalu menebarkan pandang matanya mencari-cari.
"Heee, kawan, jangan kau main curang!" teriak si tinggi besar.
"Aku memperoleh undian pertama. Tetapi, mengapa perempuan itu kalian sembunyikan?"
Si gemukpun berteriak lantang dengan suaranya yang parau.
"Bagaimana ini? Undian pertama kuperoleh. Tetapi untuk apa? Huh-kemana perempuan itu!"
"Apa?" yang lain kaget. Mereka cepat berlompatan menuju ke tempat di mana tadi Kedasih dan Minah terlentang tak berdaya. Ternyata dua orang perempuan tadi sudah lenyap. tak meninggalkan bekas. Mereka kemudian saling pandang. Masing-masing timbul kecurigaannya kepada yang lain. Tetapi seaaat kemudian, seperti memperolah aba, lima orang telah menodong si kumis tikus dengan senjatanya.
Tentu saja si kumis tikus kaget setengah mati. Wajahnya pucat. kemudian bertanya dengan gugup.
"Apa"?! Apa maksud kalian mengancam aku.._...Kawan, janganlah kalian gampang. dibakar keadaan....."
"Engkau tadi yang menganjurkan kami untuk berkumpul! " bentak si tinggi besar yang penasaran, karena sudah memperoleh undian pertama tetapi gagal.
"Huhhuh, sekarang aku tahu maksudmu yang sebenarnya. Eng kau tadi sengaja mengumpulkan kami dengan maksud curang. Dengan kami tinggalkan, engkau memperoleh kesempatan orang suruhanmu menyembunyikan perempuan itu!"
"Karang ajar! Jangan sembarangan engkau menuduh!" si kumis tikuspun menjadi marah dan mendelik.
"Kalian tahu, bahwa selama ini aku tak pernah terpisah dengan kalian. Bagaimanakah aku bisa memperoleh pembantu untuk menyembunyikan perempuan itu? Hemm.....sabarlah kawan, marilah kita cari bersama-sama. Aku menduga tentu ada pihak ketiga yang mengacau urutan kita ini."
"Mana aku percaya omonganmu ?" si gemuk melotot marah.
"Pendeknya engkau mengaku atau tidak? Engkau tentu tahu di mana perempuan tadi disembunyikan!"
"Betul ! Jangan kau plintat-plintut. Hayo katakan cepat, dimana perempuan itu sekarang ?" sambung yang lain dengan marah.
Menghadapi kecurigaan dan kemarahan kawan-kawannya itu, si kumis tikus sadar bahwa dirinya berhadapan dengan bahaya. Dan ia tahu pulu mengapa kawan-kawannya ini begini saja menuduh dirinya curang, karena dirinya yang tadi minta supaya meninggalkan perempuan itu. Namun agaknya di dalam hutan ini terdapat pihak lain, yang sengaja mempergunakan kesempatan untuk merebut. _
Ia sadar pula, bahwa berhadapan dengan kawan-kawannya ini, tak mungkin menang. Namun sebelum maut merenggut. ia harus mencari daya. Mencari jalan selamat, sesuai dengan kenyataan bahwa dirinya tidak berbuat curang.
"Kawan, sabarlah! Aku berani bersumpah, semoga aku dikutuk Tuhan. semoga yang mbahureksa hutan ini menumpas seluruh keluargaku dan semoga aku disambar geledek, kalau berbohong dan melakukan kecurangan ini."
Untuk sesaat mereka berpandangan mendengar sumpah si kumis tikus yang hebat ini. Akan tetapi sumpah itu hanya sesaat saja dapat mempengaruhi hati dan perasaan kawan-kawannya. Tiba-tiba si hitam legam membentak,
"Aku tak mau percaya kepada sumpahmu. Mudah saja orang mengucapkan sumpah guna menghindarkan diri dari tanggungjawab. Huh huh, pengecut! Berani berbuat tak berani bertanggungjawab!"
"Apa? Siapa yang pengecut? Aku bukan pengecut tetapi aku berkata sebenarnya" si kumis tikus membela diri.
"Sudahlah. tak perlu kita banyak membuka mulut dan berbantahan. tiada gunanya!" kata perajurit yang mempunyai tahi lalat besar di ujung hidung.
"Pendeknya yang penting, kita sekarang ini harus meringkus jahanam ini dan dipaksa supaya mengaku, di mana perempuan itu disembunyikan pembantunya."
"Bangsat, tutup mulutmu!" Si kumis tikus sudah menggerakkan pedang untuk menikam si tahi lalat.
Trang trang..... pedang si kumis tikus ini ditangkis oleh senjata tiga orang yang lain. Dan berbareng itu, dari arah belakang menyambar angin senjata yang menyerang punggung. Si kumis tikus memekik nyaring dan memutarkan tangan kirinya untuk menangkis senjata dari belakang. Akan tetapi pada saat itu, menyambar pula senjata dari arah lain. Si kumis tikus menjadi sibuk. Hatinya marah bukan main, bahwa kawan-kawannya ini memusuhinya. Untuk membela diri dengan kata-kata, sekarang tidak ada kesempatan lagi. Maka ia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Akan tetapi bagaimanapun pula, tingkat si kumis tikus ini tak banyak selisihnya dari yang lain. Kalau bertempur seorang demi seorang, memang tidak ada yang dapat menang melawan dirinya. Akan tetapi kalau keroyokan seperti sekarang ini, benar-benar ia kerepotan setengah mati.
Ketika sepuluh jurus lewat. tiba-tiba terdengar pekik si kumis tikus yang nyaring, karena kesakitan. Pahanya telah terluka dan mengucurkan darah oleh tikaman tombak. Tetapi dengan luka yang diderita ini, si kumis tikus menjadi amat marah. Ia tidak mengharapkan hidup lagi akan tetapi sedikitnya ia harus bisa merobohkan seorang lawan dan bekas kawan ini. Ia menggerung keras sekali dan tubuhnya melambung agak tinggi. Dari udara ia melancarkan serangannya yang amat dahsyat. Gerakan yang menyerang dari atas inilah, salah satu keistimewaan a
si kumis tikus yang ditakuti lawan.
Trang -trang-trang.. terdengar beberapa kali benturan senjata yang nyaring.Dan sesaat kemudian disusul jeritan ngeri. Ternyata serangan si kumis tikus ini memperoleh hasil. Seorang lawan telah roboh mandi darah. pundaknya somplak, dan tubuhnya berkelojotan hampir mati. Tetapi sebaliknya si kumis tikus inipun menderita kerugian. Ia memperoleh tambahan luka pada pantatnya. Walaupun tak begitu parah, tetapi sakitnya bukan main. Dan celakanya pula, dua buah luka itu membuat gerakannya terganggu. Sebab setiap ia bergerak. darah mengucur lebih banyak dan sakitnya bertambah.
Beberapa saat kemudian, karena darah yang banyak mengucur, tenaganya makin berkurang. Ketika seorang lawan menyerampang dengan tombak, gerakannya terlambat. Ia terjungkal! Sebelum ia sempat bangkit kembali, sebatang pedang telah menghunjam punggung dan tembus sampai dada. Ia mandi darah, dan sesaat kemudian setelah berkelojotan, nyawanya melayang pergi.
Demikianlah akhirnya, enam orang perajurit pelarian Tuban yang semula rukun itu, berkelahi sendiri dan dua orang melayang nyawanya. Contoh yang demikian ini banyak sekali terjadi di dunia ramai ini. Kawan bisa berubah menjadi lawan, setiap perpecahan terjadi. Jasa mereka yang dibuat, hancur berantakan dalam waktu yang amat singkat. Dan semua ini terjadi, bukan lain sebagai akibat orang selalu menonjolkan "aku" nya dalam segala hal, segala bentuk dan segala persoalan. Masing-masing berebut kebenaran. Kita telah diberi tahu bahwa semua jalan menuju kebenaran. Dan masing-masing sudah mempunyai lorong sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kepercayaan dan keyakinan yang menuju pintu yang sama. Tetapi apakah sudah betul menuju kebenaran seperti itu?
Kalau kita mau mengamati secara seksama, akan jelas kemustahilannya. Sebab kebenaran itu tak berlorong. Tidak mempunyai lorong yang telah ditentukan. Dan yang tak berlororg itulah keindahan dan kebenaran yang nyata, dan ia sesuatu yang hidup. Bargerak, tidak mempunyai tempat tinggal tetap .Dan kemudian kita akan melihat kenyataan yang sebenarnya. Kemarahan. keganasan, kekerasan, kesengaraan, duka nestapa, semuanya adalah kebenaran dalam hidup. Dan kita akan tahu, asal saja kita mengerti bagaimana cara memandang segala sesuatu ini di dalam hidup.
Apa yang terjadi dan membuat mereka ini bercekcok dan saling hantam sendiri?
Tadi, ketika mereka berkumpul dan berunding, Sindu segera bertindak capat. Dengan gerakannya yang seperti kilat cepatnya dan tak terdengar suaranya, Sindu telah menyambar Minah dan Kedasih yang tak berdaya. Dua orang perempuan murid Perguruan Tuban ini, dikempit pada tangan kanan dan kiri, dilarikan cepat sekali.
( Bersambung Jilid 8)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 8
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
MINAH dan Kedatih amat kaget sekali. Untuk beberapa saat mereka tak dapat membuka mulut, heran merasakan tubuh mereka mendadak terbang. Akan tetapi kemudian Minah dan Kedasih merasakan gerakan orang yang ringan dan cepat bukan main. Tahulah sekarang mereka bahwa mereka dalam kempitan orang. Mereka bersyukur bahwa dalam saat berbahaya, datang orang sakti yang memberi pertolongan.
Namun kemudian dua orang murid Tuban ini merasa malu sekali. Mereka adalah gadis-gadis suci yang belum pernah dijamah laki-laki. Padahal sekarang mereka di peluk dan dikempit laki-laki.
"Lepaskan, lepaskan aku!" teriak Minah sambil berusaha meronta. Ia lupa bahwa baik kaki maupun tangannya masih terikat kuat-kuat.
"Sabarlah! Sesudah jaraknya cukup jauh dan aman, kalian tentu kulepaskan," sahut Sindu dengan halus.
Dari nada suara jawaban itu, Minah dan Kedasih dapat menangkap, bahwa si penolong ini tidak bermaksud jahat seperti enam orang perajurit tadi. Hatinya menjadi agak tenteram sedikit. Namun bagaimanapun pula, lengan yang kuat dan melingkar di pinggang itu, membuat Kedasih dan Minah agak gemetaran. Dalam pada itu diam-diam dalam hati dua perempuan ini kagum.
Mereka melihat berkelebatnya bayangan pohon di sisi mereka yang cepat sekali. Makin lama kepala dirasakan pusing. Maka baik Minah maupun Kedasih kemudian memejamkan matanya, untuk mengurangi rasa pening.
Sudah cukup lama memejamkan matanya, akhirnya Kedasih dan Minah merasa bahwa gerakan orang itu makin menjadi berkurang cepatnya. Ketika mereka membuka mata ternyata cuaca sudah agak terang, penanda pagi sudah tiba. Namun melihat keadaan di sekitarnya, jelas bahwa tempat ini masih di dalam hutan pula. Dan tak lama kemudian, mereka diturunkan ke atas rumput dengan gerakan perlahan, didudukkan dengan bersandar pada batang pohon. Sesudah itu Kedasih dan Minah mendengar suara,
"Maafkan aku telah memondong kalian hampir separo malam. Dan maafkan pula aku menyentuh tubuhmu, untuk membebaskan ikatan ini."
Jari tangan Sindu bergerak memijat tali yang mengikat tangan dan kaki. Mereka tidak tahu apa yang dilakukan "penolong" nya.
Tahu-tahu Kedasih dan Minah merasakan kaki tangannya sudah bebas dan bisa digerakkan lagi. Akan tetapi karena cukup lama kaki dan tangan itu diikat kuat-kuat, maka untuk beberapa saat kaki dan tangan itu terasa kaku.
Sindu berdiri dengan berdiam diri di depan mereka. Dan Kedasih dan Minah merasa berterima kasih sekali atas pertolongan orang yang menyelamatkan diri dari bahaya mengerikan bagi wanita baik-baik. Namun mereka belum berani memandang penolongnya. Kata Minah.
"Terima kasih atau pertolongan tuan, Tak mungkin kami dapat membalas kebaikan tuan ini."
'Sudahlah, jangan kalian pikirkan apa yang baru terjadi. Budi tak dapat diperhutangken. Dan apa yang aku lakukan, merupakan perbuatan wajar guna menyelamatkan manusia lain dari bahaya." sahut Sindu.
Mendengar jawaban itu, Kedasih dan Minah saling lirik merasa heran. Baru sekali ini sajalah ia mendengar jawaban "si penolong". yang sederhana dan tidak menunjukkan rasa bangganya telah memberi pertolongan. Hampir berbareng mereka mengangkat muka memandang.
Dan....... dua orang murid Tuban Ini terbelalak kaget.
"Kau.........?!" seru mereka hampir berbareng sambil melompat berdiri.
Tangan kanan masing masing cepat meraba pinggang, untuk mencabut pedang.
Tetapi ah..... tinggal sarung saja. Tadi malam ketika bertempur dan dikeroyok, pedang itu lepas dari tangan.
Melihat gerakan mereka itu, Sindu tertawa lirih. Katanya kemudian,
"Ya aku! Mengapa?"
'Kau.. jangan main tolong! Huh-huh.... sangkamu, aku sudah lupa padamu ?" bentak Minah sambil mendelik.
"Engkaulah salah seorang yang membantu Subinem mengacau Tuban. Tetapi sekarang engkau berpura-pura baik, dengan menolong kami!"
Sindu tertawa lagi. Sahutnya,
"Hemm.. engkau benar. Aku memang sudah membantu perempuan itu. merebut kedudukan ketua Perguruan Tuban. Tetapi apa yang aku lakukan sekarang, tiada hubungannya dengan perebutan kekuasaan di Perguruan Tuban. Aku bertindak, terdorong rasa tak sampai hati, melihat kalian akan dihinakan laki-laki tak bertanggungjawab itu."
"Huh-huh, apa maksudmu yang sebenarnya ?"
Kedasih menyelidik,
"Ahhh.... tentu. Tentu engkau sendirilah yang sudah mendalangi enam orang laki-laki jahanam itu. Engkau bersandiwara, agar orang memperoleh kesan bahwa engkau orang baik-baik."
"Ha-ha-ha, memang manusia hidup di dunia ini pihak lainlah yang bisa menilai dan menaksir," sahut Sindu datar.
"Baik dan buruk, jahat dan mulia, semua itu aku sendiri tak dapat menilai. Apabila aku sendiri menilai diri sendiri, tentu tidak jujur. Tentu sepihak. Baik dan buruk, orang lainlah yang menilai."
Kedasih dan Minah yang semula sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan itu melongo heran. Baru sekarang ini bertemu dengan seorang yang blak blakan. Tidak marah dikatakan sebagai seorang jahat. Padahal lumrah manusia, akan membela mati-matian apabila disebut jahat. Orang tentu menganggap dirinya paling baik sekalipun sebenarnya orang paling jahat. Akan tetapi keheranan itu hanya sesaat saja mengurangi kemarahannya. Kemudian kembali Minah membentak,
"Bagus, engkau sudah mengakui kejahatanmu. Engkau sekarang berpura-pura bersikap baik, dengan maksud apa?"
"Nanti dulu. Siapa yang mengaku bahwa aku jahat? Aku hanya mengatakan, bahwa penilaian terserah kepada orang lain. Akan tetapi aku tidak merasa melakukan perbuatan jahat. apalagi bersekutu dengan enam orang perajurit Tuban itu. Jadi antara aku dan enam orang perajurit itu tiada hubungan dan tidak saling kenal."
Sindu membantah dan sekaligus menerangkan.
"Namun memang benar dugaanmu, aku mempunyai maksud apa? Tak perlu aku sembunyikan maksud yang terkandung dalam hatiku. Aku menghendaki pedang pusaka Jati Sari yang telah patah menjadi dua itu." _
Minah tertawa terkekeh mengejek.
"Heh-heh-heh...... hi-hi-hik, sekalipun engkau berputar-putar tak keruan, tidak urung tampak juga macam warnamu. Ternyata engkau seperti yang lain, mengincar benda bukan miliknya.
Tetapi mengapa engkau bicara tentang pedang itu dengan kami? Mengapa engkau tak bicara dengan Subinem ?"
Sindu tersenyum.
"Sudahlah, jangan engkau menyangkutkan orang lain. Pedang Jati Sari itu kalian sembunyikan di balik baju. Hayo, serahkan kepadaku!"
Kaget juga Minah dan Kedasih mendengar tepatnya orang ini menebak. Mereka lupa. bahwa tadi malam telah membuka rahasia itu secara tidak sadar. Dan Kedasih juga lupa, bahwa selamatnya dari tikaman tombak perajurit Tuban, berkat perlindungan pedang Jati Sari di balik, bajunya. '
Mereka juga sadar bahwa tak mungkin dapet membela diri dan mempertahankan pedang Jati Sari ini. Di samping tidak bersenjata lagi, tak mungkin mampu menandingi tokoh Mataram yang sakti ini. Namun walaupun sadar akan keadaan, dua orang ini adalah murid yang amat setia kepada perguruannya. Mereka tak takut mengorbankan nyawa sendiri guna mempertahankan pedang itu. Kedasih dan Minah lalu saling melirik. Sesaat kemudian, dengan melengking nyaring, hampir berbareng dua orang perempuan itu sudah menerjang melancarkan serangannya, menggunakan tinju dan tendangan.
Akan tetapi apakah arti tinju dan tendangan dua orang perempuan ini bagi Sindu?
Bekas pengawal rahasia Mataram ini tidak terhenyak dari tempatnya berdiri dan tidak menghindar. Pukulan dan tendangan Kedasih dan Minah ini, diterima dengan dadanya.
Bluk. bluk!
Dua buah tinju bersarang di dadanya. Sedang tendangan mereka diterima dengan perut. Tetapi sebagai akibat dua pukulan dan dua tendangan itu. bukan Sindu yang kesakitan. Melainkan Minah dan Kedasih itu sendiri yang meringis kesakitan sambil terhuyung mundur.
Minah lupa, bahwa sekalipun sudah buntung, pedang pusaka Jati Sari itu masih bisa digunakan dan merupakan senjata ampuh. Dan Sindupun tidak akan berani sembarangan menghadapi. Namun perempuan ini tak ingat menggunakan pedang yang sudah buntung itu. Dan walaupun jari tangannya sudah membengkak, ia kembali menerjang maju memukul. diikuti pula oleh Kedasih.
"Dess.. aihh....!"
Pukulan yang kedua ini di arahkan ke perut lawan. Dan pukulan itu seperti tadi, diterima oleh Sindu. Namun betapa kaget dua perempuan ini ketika tinjunya melekat ke perut lawan, dan tak bisa ditarik lagi.
Mereka berkutetan, mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tangan yang melekat itu. Namun walaupun mereka mengerahkan tenaga, tinju itu tetap melekat pada perut lawan, tak bisa ditarik.
Sebagai perempuan, tentu saja Minah dan Kedasih menjadi amat malu sekali, wajahnya berubah pucat dan tubuhnya menggigil. Tetapi tangan kiri masing-masing masih bebas. Maka hampir berbareng dua tinju melayang memukul dada Sindu.
"Buk.....buk..... aduhhh....."
Tak tertahan lagi dua orang perempuan ini menjerit nyaring. ketika tinjunya menyentuh dada. Mereka seperti bukan memukul tubuh manusia, tetapi seperti memukul baja. Saat itu juga tangan mereka membengkak dan amat sakit. terpukul oleh tenaga mereka sendiri yang membalik.
Sekalipun demikian, sambil menahan sakit, Kedasih dan Minah tak juga mau menyerah. Mereka kembali melayangkan tinju yang membengkak itu ke perut Sindu.
"Cap, cap.... aihh.....!"
Kembali Kedasih dan Minah memekik. Sebab dua tinjunya itu sekarang melekat keperut Sindu tak bisa ditarik lagi. Wajah dua orang perempuan ini makin menjadi pucat saking malu. Sebab sikap mereka sekarang ini, seperti dua orang perempuan yang sedang saling memperebutkan seorang pria untuk ditarik.
Untung juga peristiwa ini tidak diketahui orang lain.
Di saat dua belah tangan tak bisa digerakkan ini. tangan Sindu bergerak meraba pinggang. Kedasih dan Minah kaget bukan main. Dua perempuan ini mengira bahwa Sindupun seperti enam orang perajurit semalam, mau berbuat tak senonoh.
"Bangsat busuk! Jangan sentuh tubuhku!"
Minah cepat mencaci maki, dan ditiru pula oleh Kedalih.
"Jahanam keparat! Ternyata engkaupun manusia laki-laki busuk yang tak tahu sopan! Huh-huh. bunuh sajalah....!"
Sindu tak menyahut dan meneruskan gerakan tangannya, menyelundup ke balik baju Minah dan Kedasih. Sesaat kemudian tangan Sindu telah keluar dari balik baju, dan masing-masing sudah memegang sepotong pedang puaaka Jati Sari.


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Sindu ketawa terkekeh dan Kedasih maupun Minah merasa didorong oleh tenaga yang kuat sekali tak terlawan. Mereka terhuyung mundur, kemudian jatuh terduduk dengan napas terengah. Dan ketika mereka mengamati ke arah Sindu, wajah mereka makin pucat lagi, sedang tubuh mereka gemetaran.
"Kau.. kau......!"
Minah tak dapat mengeluarkan kata-kata jelas, saking tak kuasa menahan perasaannya.
"Ya, aku memang membutuhkan pedang ini!" sahut Sindu.
Sesaat kemudian dua potong pedang Jati Sari itu telah lenyap di balik bajunya.
Setelah menatap dua orang perempuan itu beberapa saat, Siudu berkata,
"Selamat tinggal! "
Sebelum Kedasih dan Minah sempat membuka mulut mencegah, Sindu sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi.
Minah dan Kedasih hanya dapat menghela napas sedih. Berpayah-payah mereka menyelamatkan pedang pusaka Jati Sari itu dari tangan Subinem, ternyata sekarang malah dirampas oleh kaki tangan Mataram. Saking menyesal dan sedih, kemudian mereka saling tubruk, saling rangkul, lalu mereka bertangis-tangisan.
"Huk-huk-huk-huuukk..... apa yang harus kita lakukan sekarang...... mbakyu......."
Kedasih sesambat di tengah tangisnya.
"Kita belum bertemu adi Rara Inten. pedang itu......sudah dirampas orang"
"Akupun jadi bingung...... hu-hu-huuukkk......' sahut Minah tak lancar, dan tidak kalah pula kesedihannya.
"Kita sekarang tidak bersenjata lagi..... dan kita juga tak mungkin...... pulang kembali ke Tuban ."
Kedasih mengeluh.
Untung Minah cepat sadar akan keadaannya. Walaupun menyesal yang bagaimanapun, tiada gunanya lagi. Semangatnya segera bangkit, lalu menghibur.
"Adi ... kita tak cukup dengan menangis dan menyesal. Kita harus dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa sekalipun perempuan, tak cepat menyerah akan nasib. Hayolah kita cepat pergi dari tempat ini dan mencari desa. Hidup harus berusaha. Kebutuhan senjata, kita bisa memesan kepada pandai besi. Dan selanjutnya, kita berkelana dan mencari adi Rara lnten. Aku tak menyesal sekalipun harus mengorbankan nyawaku yang selembar ini, untuk membela perguruan."
Ternyata kata-kara Minah itu dapat membangkitkan semangat Kedasih. Tiba-tiba perempuan ini berhenti menangis. Bengkak pada lengan tidak dirasakan. Dengan penuh semangat ia menyahut,
"Mbakyu benar! Tiada gunanya kita menyesal dan membuang air mata. Mari kita pergi. Kita harus mencari adi Inten sampai ketemu. Dan kalau toh tak Juga dapat ketemu, biarlah aku mati dalam perjalanan."
Minah menjadi bangga oleh Semangat adik perguruannya ini. Untuk beberapa saat lamanya mereka berpelukan, kemudian mereka meninggalkan tempat itu dengan semangat baru yang menyala-nyala.
Agaknya memang sudah sesuai dengan garis Yang Maha Tinggi, bahwa Pasukan Mataram yang menyerbu Tuban ini harus selalu di pihak yang unggul. Hal ini terbukti dengan hancurnya Tuban di bawah pimpinan Tumenggung Kebo Panengah, oleh pasukan Tumenggung Jayeng logo yang jumlahnya jauh lebih kecil. Nasib buruk pasukan itu ternyata dialami pula pasukan yang dipimpin Tumenggung Kebo Pamekas,yang bergerak dari arah barat. Pasukan inipun tak kuasa menghadapi pasukan Mataram yang dipimpin Sawungrana, yang jumlahnya hanya dua ratus orang.
Dan kalau Tumenggung Kebo Panengah yang gagah itu mengorbankan nyawanya di medan pertempuran, Tumenggung Kebo Pamekaspun tak kalah gagahnya. Orang inipun gugur di medan perang setelah bertempur melawan Sawungrana. Dengan gugurnya panglima itu, pasukan Tuban kehilangan pimpinan dan berantakan. Lebih separo tewas, dan menderita luka. Sisanya melarikan diri dan atau menyerah.
Akan tetapi pihak Matarampun harus kehilangan perajurit pilihan itu, sebanyak duapuluh tujuh orang gugur. Yang menderita luka berat dan ringan sebanyak sebelas orang. Sebab pasukan di bawah pimpinan Sawungrana ini menghadapi pasukan Tuban dengan pertempuran yang sebenarnya. tidak seperti yang dilakukan oleh Sindu.
Dalam pada itu tawanan yang menyerah kepada pasukan Ini nasibnya lebih baik. Mereka diperlakukan sewajarnya manusia tidak dibunuh seperti yang dilakukan Tumenggung Jayenglogo.
Dua kelompok pasukan yang menang perang ini, menggabungkan diri ke pasukan induk hampir bersamaan waktunya. Tentu saja kemenangan pasukan Mataram yang jumlahnya kecil itu, disambut gembira oleh Pangeran Kajoran dan Ratu Wandansari. Hanya tentang lenyapnya Sindu secara aneh itu, membuat Ratu Wandansari heran dan menyesal. Akan tetapi diam diam puteri yang cerdik ini menduga duga, mungkin ada sebab-sebab yang mendorong Sindu lenyap secara rahasia. Namun ia sudah mengenal watak Sindu. Maka ia percaya bahwa Sindu tak mungkin sanggup berkhianat kepada Mataram.
Hancurnya pasukan Tuban yang dikirim Adipati Tuban untuk menggunting musuh itu, mempercepat keruntuhan Kadipaten Tuban. Meskipun jumlah pasukan Mataram yang menyerbu lebih kecil dibanding dengan kekuatan Tuban. tetapi tak banyak berarti. Pertama, dalam pasukan Mataram terdapat sejumlah jago-jago sakti mandraguna. Kedua, Ratu Wandansari merupakan otak gerakan pasukan yang perhitungannya selalu jitu. Dan yang ketiga, Perguruan Tuban yang mestinya diharapkan dapat memberi bantuan itu. setelah diketuai oleh Subinem menjadi pengkhianat Tuban. Atas perintah Ratu Wandansari yang dibantu murid-murid Tuban, Reksogati dan Sawungrana menyerbu rumah kadipaten secara rahasia dan diam-diam.
Penyerbuan yang tak terduga-duga itu, tentu saja menimbulkan geger. Pengawal dan perajurit yang tidak seberapa banyaknya itu, memberikan perlawanan tak berarti. Hanya dalam waktu yang singkat rumah kadipaten bisa diduduki dan seluruh keluarga Adipati Tuban ditawan.
Tetapi ada pula salah seorang putera Adipati Tuban yang sengaja dibiarkan lolos. Maksudnya bukan lain agar putera tersebut dapat memberi laporan kepada Adipati Tuban, bahwa rumah kadipaten telah diduduki lawan. Dengan siasat ini dapat dipastikan, Adipati Tuban yang memimpin sendiri pasukannya itu akan menjadi bingung dan gampang dipukul.
Raden Mas Rogokusuma, putera Adipati Tuban yang dibiarkan lolos itu membalapkan kudanya dengan wajah pucat dan hati tak keruan. Hatinya sungguh amat sedih karena didudukinya rumah kadipaten ini diluar dugaan dan perhitungan. Dan sungguh membuat hati penasaran sekali, bahwa ternyata Perguruan Tuban yang diharapkan bantuannya itu malah membantu musuh. Diam diam Raden Mas Rogokusumo heran sekali.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan menduga-duga sebabnya Perguruan Tuban membantu musuh. Ia harus secepatnya dapat mengabarkan peristiwa itu kepada ayahandanya. Agar ayahnya sudi mengurangi kekuatan pasukan guna merebut kembali rumah kadipaten. Sedang di samping itu, iapun ketakutan setengah mati. karena ia selalu dibayangi oleh Reksogati.
Memang sengaja Reksogati membayangi Raden Mas Rogokusumo. Bukan untuk mencelakakan atau membunuh. Reksogati mencegah agar putera Adipati Tuban ini tidak sesat jalan dan dapat mencapai tujuannya dalam waktu cepat.
Sungguh kasihan putera Adipati Tuban ini. Ia seorang putera adipati yang selalu hidup bergelimang kemewahan dan kemuliaan. Ia tak pernah memeras tenaga. sekalipun sejak kecil telah ahli menunggang kuda, dan memiliki kepandaian ilmu tata kelahi yang lumayan. Sekarang dipaksa membalapkan kudanya dan terus-menerus dibayangi musuh sakti mandraguna, ia kelabakan setengah mati dan mengeluh. Dia merasa amat lelah, letih. lapar dan haus. Namun dia tidak pernah memperoleh kesempatan untuk mengaso, karena sedikit saja kuda itu lambat, ia akan segera diserang oleh musuh.
**** Udara amat terik dan sinar matahari yang sudah bergeser ke barat itu, masih juga terasa panas sekali. Kuda yang dipaksa membalap terus itu mandi peluh, dari mulutnya keluar busa, dan tampak amat lelah. Tetapi karena dipaksa lari terus-menerus, tentu saja makin lama tenaganya makin berkurang. Sebenarnya Raden Mas Rogokusumo amat kasihan sekali.
Tetapi apakah daya?
Dirinya sendiripun oleh serangan hawa yang panas sudah setengah mati. Apabila tidak terpaksa, tak mungkin sanggup bertahan.
Akan tetapi bagaimanapun, tenaga kuda itu terbatas juga. Ketika menjelang senja dan jaraknya dengan tempat pertahanan pasukan Tuban tak Jauh lagi. tiba tiba kuda itu terguling roboh. Untung Raden Mas Rogokusumo dapat melompat. Kalau tidak dirinya sendiri akan celaka. Ketika ia melihat kuda kesayangannya itu berkelojotan dengan napas hampir putus, ia menjadi tidak tega. Ia tahu bahwa kuda yang kehabisan napas itu, mungkin bisa hidup lagi. Guna mengurangi derita kuda yang sudah banyak jasanya itu, ia mencabut pedangnya ditikamkan ke arah dada dan tepat mengenakan jantung. Hingga kuda itu mati tanpa mengalami derita panjang.
Sambil menyarungkan pedangnya, ia menghela napas. Gumamnya,
"Kudaku.. ah, engkau bernasib malang.Hmm... selamat tinggal......"
Ia cepat meninggalkan kudanya yang menggeletak tidak bernyawa. Namun kemudian segera terasa sekali kelelahan, lapar dan kehausannya. Kalau saja tadi ia sempat membawa bekal, tidak akan repot. Tetapi sekarang ia menjadi bingung. Ia tak dapat bergerak cepat. Dia tak ingin kehabisan tenaga dan napas seperti kudanya. Maka ketika ia melihat sebuah warung sederhana di sebuah desa, ia memberanikan diri berhenti dan masuk ke dalam warung itu.
Pendeknya, kalau toh musuh yang membayangi itu akan membunuh, sebelum mati ia akan memberi perlawanan.
Sebagai seorang putera adipati, tentu saja ia tidak pernah masuk ke dalam warung desa yang kotor itu. Namun karena perut lapar dan haus ia tak perduli lagi. Ia duduk seperti orang yang lain, minta minum dan hanyalah air teh yang bening dan tidak manis. Namun saking kehausan, air teh yang tak manis itu, sekali minum sudah habis dan ia minta tambah lagi. Kemudian ketika oleh pemilik warung disodori nasi lodeh yang ditempatkan pada pincuk (tempat nasi terbikin dari daun pisang). dan dengan sendok robekan daun pisang pula, untuk beberapa saat lamanya nasi itu hanya dipandang dan tak cepat dimakan. Sebab nasi itu tidak putih, sedang sayur lodeh itupun hanya berisi potongan nangka muda, dua potong tempe sebesar jari. Makanan seperti ini pantasnya hanya diberikan kepada tawanan yang tak berharga. Bukan makanan yang layak bagi seorang putera adipati.
Akan tetapi saat ini perutnya amat lapar dan minta isi. Perut ini tak mungkin berhenti merengek sebelum diisi. Dia menebarkan matanya mencari-cari, barangkali pada warung ini tersedia lauk ikan atau telor. Tetapi ia tidak melihat sepotongpun ikan dan sebutirpun telor.
Maka dengan nekad dan setengah memejamkan mata, ia mulai menyenduk nasi lodeh tersebut dimasukkan ke dalam mulut. Perlahan ia mulai mengunyah.
Dan ahh..
Ia terkejut sendiri ketika mulai mengunyah, dan terasa nasi lodeh itu enak sekali. Rasanya dia belum pernah makan senikmat ini, sekalipun biasanya pada meja tersedia macam-macam lauk yang enak dan ditangani oleh koki paling pandai di seluruh Tuban. Dalam waktu tak lama nasi itu habis dan minta lagi. Begitu perutnya tak lapar lagi, air teh yang tak manis itu diminum habis.
Raden Mas Rogokusumo keluar dari warung itu dengan rasa yang heran tak mengerti. Mengapa makan yang sederhana seperti itu, terasa amat nikmat?
Sekarang ia merasa tenaganya pulih kembali. Maka setelah keluar dari desa, ia segera berlarian cepat sekali.
Apabila putera Adipati Tuban ini merasakan kenikmatan makan nasi lodeh dan air teh tak manis itu, tidaklah mengherankan. Dia amat lapar. Perutnya minta isi. Orang berkata, bahwa orang_bisa makan nikmat, kalau perutnya lapar. Tentu saja selera makannya jauh lebih besar dibanding kalau makan di rumahnya.
Benarkah perut lapar itu yang membuat orang bisa merasakan kenikmatan makan sesuatu?
Benar, tetapi kurang tepat. Yang benar, apabila manusia yang hidup di dunia ini bisa menerima hidupnya secara wajar, apa adanya, tentu akan merasakan kenikmatan hidup yang sebenarnya. Hatinya akan selalu tenteram, dan hidup ini dirasakan amat menyenangkan. Demikian pula dalam hal mulut dan perut yang menerima makanan itu. Kalau dalam saat makan ini menerima secara wajar, apa adanya. makanan yang tak enakpun akan masuk dalam perut. Katakan saja, orang minum jamu daun pepaya, rasanya pahit dan tidak enak. Akan tetapi karena masuknya jamu ke dalam mulut itu diterima secara wajar, maka rasa yang tak enak itu tidak dirasakan lagi. Dan sesungguhnya, makanan yang enak maupun tidak itu. hanya terbatas oleh pengaruh lidah yang suka membedakan rasa enak dan tidak. Maka andaikata lidah itu tidak rewel, tentu saja semua makanan akan terasa nikmat tiada bedanya lagi.
Nah, inilah kenyataan dari hidup ini.
Maka bahagialah manusia yang dapat menerima hidup ini dengan wajar apa adanya, tetapi percaya bahwa manusia yang hidup ini ada yang Memberi Hidup.
Raden Mas Rogokusumo yang memperoleh kekuatan baru itu, berlarian cepat sekali dengan harapan lekas bila bertemu dan melaporkan peristiwa menyedihkan itu kepada ayahnya. Harapan itu. sebelum tengah malam terkabul juga. Dengan tergesa ia masuk ke dalam kemah. Tetapi mendadak ia terkejut dan menghentikan langkahnya dengan mata terbelalak. Tahu-tahu ia telah ditodong beberapa batang tombak oleh perajurit penjaga, dan dibentak,
"Hai... barhenti! Siapa kau..?"
Raden Mas Rogokusumo menjadi marah. Balasnya.
"Kurang ajar! Buka matamu lebar-lebar. Siapa aku? Apakah engkau bukan kawula Tuban, sehingga tidak mengenal Rogokusumo ?"
"Ohhh..... ahhhh..." auwww....." terdengar seruan terkejut dari empat orang perajurit itu dan serta merta mereka menjatuhkan diri duduk bersila.
Salah seorang memberanikan diri mewakili teman-temannya, berkata dengan suara yang menggeletar.
"Gusti.... ohh, ampunkanlah hamba.... Malam telah larut. Gusti. dan hamba bertanggung-jawab tentang keamanan. Maka.."
"Sudahlah....." potong Raden Mas Rogokusnmo yang sadar akan keadaan.
"Aku memang bersalah. Berdirilah. Mari, cepatlah antar aku kepada ayahanda."
Ketika itu Adipati Tuban belum tidur. Ia masih duduk bersama Tumenggung Kebo Pembayun, Tumenggung Kebo Bangah, Tumenggung Surengrono, Tumenggung Wanengyudo dan beberapa perwira perajurit yang lain. Ketika itu mereka sedang berunding, mengatur siasat guna menghadapi lawan. Adipati Tuban menyatakan sesal dan kesedihannya. bahwa baik pasukan Kebo Panengah maupun Kebo Pamekas telah dihancurkan musuh, dan dua orang Tumenggung itupun gugur di medan perang. Untuk itu, maka Adipati Tuban mengharapkan agar dalam menghadapi lawan yang kuat dan besar ini, tidak sampai gagal lagi. Pertahanan ini merupakan pertahanan terakhir. Jika pasukan ini kalah, keruntuhan Tuban di depan mata.
Mendadak Adipati Tuban kaget mendengar laporan tentang datangnya puteranya, Raden Mas Rogokusumo. Tentu saja Adipati Tuban terkejut sekali, di samping heran pula. Kehadiran puteranya ini di malam larut, sungguh mencurigakan dan mustahil. Apa pula sebelum meninggalkan kadipaten, putera inilah yang diserahi tugas menjaga keselamatan rumah kadipaten dan seluruh keluarga.
"Cepat, panggillah masuk ke dalam," perintah Adipati Tuban.
Begitu masuk ke dalam kemah, Raden Mas Rogokusumo menjatuhkan diri berlutut, mencium kaki ayahandanya. Adipati Tuban cepat membangunkannya, dan puteranya itu disuruh duduk.
"Rogokusumo! Kehadiranmu sungguh membuat aku heran dan kaget. Mengapa engkau datang malam begini, tampak lelah dan pakaianmu kotor! Bukankah aku sudah memerintahkan padamu. memimpin penjagaan di rumah? Apa saja kerjamu hingga menyusul ke mari? Atau... engkau memang seorang anak yang tak mau mengindahkan ayahmu sendiri. dan menurutkan kehendakmu sendiri?" '
Melihat sinar mata ayahnya yang berapi pertanda marah itu, Raden Mas Rogokusumo agak gugup.
"Rama..... perkenankanlah hamba memberi keterangan. Hamba memberi laporan, rumah kadipaten telah diduduki musuh !'
"Apa ?"
Adipati Tuban terbelalak kaget dan wajahnya mendadak pucat. Demikian pula semua Tumenggungg yang hadir, berjingkrak dari tempat duduknya. Kemudian mereka menjadi ribut dan bingung, khawatir akan keselamatan keluarganya.
"Rogokusumo!' kata Adipati Tuban.
"Apakah engkau masih waras? Jangan sembarangan engkau bicara di depan ayahmu! Mengerti? Tak mungkin musuh dapat menduduki ibu kota "
"Rama...,.. perkenankanlah hamba memberi laporan sejelas jelasnya."
Raden Mas Rogokusumo tak berani menatap wajah ayahnya. Sedang semua yang hadir di situ memasang telinga, agar dapat menangkap laporan Raden Maa Rogokusumo dari awal sampai akhir.
Lalu dilaporkanlah apa yang telah terjadi di ibukota. Terjadinya penyerbuan, yang dilakukan oleh murid-murid Perguruan Tuban, dipimpin oleh dua orang kakek sakti mandraguna. Prajurit penjaga tak kuasa bertahan, sehingga rumah kadipaten diduduki musuh. Kota Tuban dikuasai murid-murid Perguruan Tuban, dan semua penghuni rumah kadipaten ditawan.
Adipati Tuban memukulkan tinju kanannya ke telapak tangan kiri, saking gemas dan penasaran mendengar laporan itu. Demikian pula semua yang hadir di situ, tak terasa mambantingkan kakinya. Keadaan negera menjadi berisik sekali. Para Tumenggung ini saling bicara sendiri, semua'penasaran dan marah. ingin kembali ke ibukota untuk melabrak murid murid Tuban yang berkhianat itu.
Adipati Tuhan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua berhenti bicara sendiri. Setelah keadaan tenang kembali, dengan wajah merah dan mata berapi ia menebarkan pandang matanya kepada semua orang yang hadir. Katanya,
"Huh-huh. murid-murid Perguruan Tuban benar-benar kurang ajar dan menghina aku! Menghina kadipaten dan seluruh kawula Tuban. Sungguh tidak pernah aku duga. bahwa sesudah Anjani meninggal, Perguruan Tuban yang dahulu kala didirikan oleh Eyang Adipati Ronggolawe, akan memusuhi Tuban sendiri. Jahanam! Sepatutnya pula apabila aku menghukum tumpas kepada semua yang berbau Perguruan Tuban!"
Di antara para Tumenggung yang hadir di situ. ialah Tumenggung Surengrono dan Raden Mas Rogokusuma sendiri pernah menerima gemblengan di Perguruan Tuban. Mendengar itu, dua orang ini menjadi pucat wajahnya. Mereka tidak setuju dengan pendapat Adipati Tuban ini. Bukankah dengan demikian, Adipati Tuban menjadi gelap mata dan membabi buta?
Orang yang bersalah memang sepantasnya dihukum. Akan tetapi bagi mereka yang karena "paksaan" dan "terpaksa" mengapa harus pula dilibatkan?
Akan tetapi baik Raden Mas Rogokusumo maupun Tumenggung Surengrono tidak berani membuka mulut. Dua orang ini hanya melirik kepada Patih Mahesa Lawung. Tetapi jelas bahwa dari lirikan dua orang ini tampak minta perlindungan pengaruh dan kewibawaan patih Tuban itu.
Patih Tuban yang bernama Mahesa Lawung ini, justeru terkenal sebagai seorang bijaksana, tegas, jujur dan berani jika merasa benar. Oleh sebab itu, di samping kedudukannya sebagai patih, iapun merupakan penasihat Adipati Tuban. '
Sebagai seorang kakek yang telah berusia sekitar enam puluh tahun, tentu saja ia luas pengalaman. Sekalipun Raden Mas Rogokusumo dan Tumenggung Surengrono hanya melirik, ia sudah bisa menangkap kekhawatiran dua orang tersebut. Maka sesudah mendekam lirih satu kali, ia mengatur duduknya. memberikan sembah kepada junjungannya, lalu berkata,
"Gusti...... hamba mohon perkenan paduka guna memberikan pendapat hamba."
Adipati Tuban menatap patih dan penasihatnya itu sesaat dengan sinar mata yang bertanya. Kemudian ia mengangguk.
"Engkau akan bicara tentang apa? Kalau akan bicara tentang Perguruan Tuban yang berkhianat itu, hemm.... sudah tak perlu lagi. Bukankah sudah jelas bahwa perguruan itu berkhianat dan memberontak? Manusia macam itu, yang diberi air susu membalas air tuba, adalah bukan manusia lagi, tetapi binatang liar!"
"Gusti......ampunilah hamba yang telah tua ini, apa bila mohon perkenan paduka untuk bicara." kata Patih Mahesa Lawung lamban. tetapi setiap kata-katanya mengandung ketegasan sikapnya.
"Gusti, bukannya hamba akan membantah titah dan keputusan paduka. Tidak! Hanya bermaksud meluruskan yang bengkok, agar tidak meleset dari kebenaran."
"Apakah maksudmu? Engkau ingin membela Perguruan Tuban yang terang memberontak dan berkhianat itu?"
Adipati Tuban menatap Mahesa Lawung dengan sinar mata penuh penasaran.
"Gusti, ampunilah hamba. Tidak! Hamba tidak akan membela siapapun, kecuali membela apa yang hamba rasa benar," sahut Mahesa Lawung mantap.
"Gusti, apa bila hamba diperkenankan untuk meneliti apa yang telah dilaporkan putera paduka. Hamba menjadi curiga."
"Siapa yang kaucurigai?"
"Keadaan dan peristiwa yang terjadi. Gusti, kalau benar penyerbuan itu dipimpin oleh dua orang kakek sakti mandraguna. Hamba menduga, bahwa kakek itu tentu jago Mataram yang sengaja dikirim untuk mengacau dan meretakkan kerukunan kawula Tuban, kawula paduka. Guna melepaskan maksud tersebut, agaknya lebih dahulu Perguruan Tuban diserbu dan ditundukkan. Gusti. apa bila pemimpin telah berhasil ditundukkan, kiranya mudah untuk memaksa melakukan sesuatu sesuai dengan kebendak pihak yang menundukkan itu. Dan karena mereka takut dibunuh, walaupun bertentangan dengan hati nuraninya, terpaksa melakukannya juga."
Adipati Tuban mengerutkan alisnya sesaat, tetapi kemudian menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Ya, memang bisa terjadi."
"Nah, Gusti. apabila paduka sependapat dengan hamba, terjadinya peristiwa yang menyangkut Perguruan Tuban itu. oleh keadaan di luar kuasa pimpinan Perguruan Tuban itu sendiri. Hamba menduga bahwa baik Telasih maupun' Sarni. tentu telah terbunuh mati dalam membela Perguruan dan Kadipaten Tuban."
Mendengar pendapat patih itu, Adipati Tuban menghela napas panjang. Berkuranglah penasaran dan kemarahannya, kemudian minta nasihat,
"Lalu. bagaimanakah pendapatmu?"
'Apabila dugaan hamba ini benar, berarti para murid Tuban itu bertindak karena terpaksa keadaan. Mereka belum tersesat, dan tiada kesulitan mengembalikan mereka sebagai kawula Tuban yang setia. Satu-satunya jalan ialah mereka yang menguasai itu harus kita hancurkan."
Adipati Tuban mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba berkatalah Tumenggung Surengrono.
'Gusti . ampunilah hamba yang lancang. Hamba mohon perkenan paduka, malam ini juga hamba pergi ke ibukota guna membunuh musuh itu. Gusti, sebagai seorang yang pernah memperoleh gemblengan guru Anjani, kiranya hamba masih mempunyai pengaruh terhadap mereka. untuk mengembalikan ke jalan yang benar."
Sebelum Adipati Tuban sempat membuka mulut, Patih Mahesa Lawung mendahului.
'Tidak! Kalau para pimpinan Perguruan Tuban dengan mudah dikalahkan, membuktikan bahwa dua orang kakek itu benar benar berbahaya dan tidak gampang dilawan." .
"Tetapi Surengrono tak takut mati membela Tuban."
"Aku mengerti," sahut Adipati Tuban.
"Tetapi benar pendapat Mahesa Lawung, itu amat berbahaya. Betapa akan menyedihkan hatiku, apabila engkau menjadi korban mereka itu."
'Gusti, apa yang kita hedapi sekarang ini justeru perkembangannya tak sesuai dengan rencana."
Mahesa Lawung mengemukakan pendapatnya,
"Gerakan pasukan yang paduka maksudkan untuk memotong dan memukul musuh dari belakang, ternyata telah hancur. Hal ini sungguh merupakan pukulan hebat dan amat menyedihkan."
Patih Mahesa Lawung berhenti, mencari kesan. Ketika melihat Adipati Tuban berdiam diri, Patih Tuban ini melanjutkan,
"Gusti, rencana kita sudah tidak sesuai dengan keadaan dan kenyataan. Bukan saja kita telah kehilangan ribuan perajurit, tetapi ibukota diduduki musuh. Oleh sebab itu apabila paduka berkenan. hamba berpendapat bahwa seyogyanya kita mundur dan bertahan sampai titik darah penghabisan di ibukota."
"Aih mengapa engkau mengusulkan begitu?"
Adipati Tuban kaget.
"Gusti, hamba merasa kurang yakin. dengan mengirimkan sebagian kekuatan untuk merebut kembali ibukota dari tangan musuh. Dalam pada itu, dengan dikuranginya kekuatan di sini, dan kita harus membagi perhatian di dua tempat, hal ini sungguh amat berbahaya. Agaknya memang telah menjadi perhitungan musuh, uuntuk membuat paduka salah hitung dengan membagi pasukan di dua tempat."
"Benar!"
Adipati Tuban memukul pahanya sendiri dengan telapak tangan kanan.
"Ah......memang hampir saja aku terperangkap oleh siasat lawan. Ya. dengan membagi perhatian, kita akan menderita kerugian. Dan sekarang, baiklah! Kita selekasnya harus mempersiapkan diri untuk bergerak mundur, merebut kembali ibukota. Aturlah sebaik-baiknya, agar segala rencana kita ini tidak diketahui lawan."
Patih Mahesa Lawung menyanggupkan diri. Pertemuan itu selesai, kemudian Adipati Tuban membimbing puteranya. diajak menyingkir ke dalam kamar. Agaknya Adipati Tuban ingin mendengar laporan anaknya ini sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya berhubung dengan penyerbuan musuh dan telah menduduki rumah kadipaten.
Tentu saja Adipati Tuban amat mengkhawatirkan keselamatan keluarganya.
Sementara itu Patih Mahesa Lawung segera mengadakan persiapan guna menarik mundur kekuatan pertahanan ini secara rahasia. Agar musuh masih tetap mengira bahwa pasukan Tuban tetap memperkuat pertahanan di tempat ini. Oleh karena itu, gerakan mundur pasukan ini tidak sekaligus. Tetapi sekelompok demi sekelompok, bergerak di waktu malam tanpa penerangan, sehingga tidak akan diketahui musuh.
Kelompok pertama, di pimpin oleh Tumenggung Surengrono. Kelompok itu sebanyak seribu orang. Kemudian kelompok ini masih dibagi menjadi sepuluh kelompok kecil agar tidak menarik perhatian musuh. Malam ini juga kelompok pertama itu bergerak. Akan tetapi guna mencegah gangguan musuh, di tempat-tempat yang telah ditentukan, kelompok kecil yang terdepan harus menunggu menyusulnya kelompok yang lain, sehingga seluruh kelompok itu hadir semuanya. Barulah kemudian, meneruskan perjalanan lagi.
Demikianlah, Patih Mahesa Lawung mengatur gerakan pengunduran ini secara cermat dan teliti. Guna mengelabuhi lawan, kesibukan pada pertahanan itu masih tetap seperti sedia kala.
Akan tetapi benarkah pihak Mataram tidak tahu semua gerak-gerik pasukan Tuhan itu?
Keceliklah mereka apabila menganggap sepele kecerdikan Ratu Wandansari. Sebab bukan saja puteri ini menugaskan secara khusus Hesti Wiro membayangi gerak-gerik Tuban, tetapi juga telah menyebar mata-matanya. Maka tak aneh pula, begitu kelompok pertama pasukan Tuban ini bergerak, kelompok itu tidak luput dari pengamatan Hesti Wiro.
Kalau saja semula Hesti Wiro tidak mendapat pesan khusus dari Ratu Wandansari agar tidak bertindak apapun, pasukan yang kecil itu tentu telah dihancurkan pengawal sakti ini. Oleh larangan itu. maka ia hanya membayangi saja guna mendengar apa yang mereka percakapkan. Oleh kesaktiannya dan ketajaman telinganya. Hesti Wiro dapat mendengar pembicaraan para perajurit itu dari jarak yang tak begitu dekat. Tetapi yang ia dengar tidak begitu jelas. Ia hanya mendengar kasak-kusuk beberapa orang perajurit, yang sesungguhnya sudah rindu sekali kepada keluarga. Maka apabila diperoleh ijin setiba di Ibu kota Tuban, akan melepaskan rindu tersebut kepada keluarganya.
"Manakah mungkin ndara menggung sedia memberi ijin? Ibu kota Tuban telah diduduki musuh. Kita harus langsung bertempur melawan musuh!" sahut seorang perajurit.
"Tetapi aku percaya, kita bisa mengusir musuh itu dalam waktu singkat." sahut perajurit lain dengan mantap.
"Ya. akupun percaya. Sebab menurut keterangan Raden Mas Rogokusumo, ibu kota hanya dipertahankan oleh murid-murid Tuban yang jumlahnya terbatas!" sambung perajurit lainnya lagi.
Tetapi walaupun pembicaraan mereka itu tidak begitu jelas, Hesti Wiro sudah bisa menduga maksudnya. Jelas bahwa kelompok perajurit itu ditarik mundur guna merebut kembali ibukota Tuban.
Sementera tokoh sakti Mataram yang bernama Hesti Wiro itu membayangi gerak mundur pasukan Tuban, dalam kemah pertahanan Mataram terjadilah kesibukan. Bersama Adipati Mandurorejo, Adipati Uposonto dan Pangeran Kajoran, maka Ratu Wandansari berunding dan menentukan siasat. Akhirnya diputuskan, malam ini juga pasukan pilihan Mataram harus bergerak, memukul pertahanan Tuban. Pasukan itu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, pasukan penggempur dipimpin oleh Adipati Mandurorejo, Adipati Uposonto, dibantu oleh Reksogati, dengan kekuatan kira-kira limaratus orang. Kemudian pasukan kedua, dipimpin oleh Sawungrana, dengan kekuatan kira-kira limaratus orang pula. Kalau pasukan yang dipimpin oleh Adipati Mandurorejo dan Adipati Upusonto langsung menggempur lawan, sebaliknya pasukan Sawungrana tidak. Sebab pasukan ini tugasnya lebih banyak menimbulkan keributan, dengan membakar, merusak dan menghadang mereka yang lari untuk dimusnahkan.
Pada jaman itu, sebenarnya perang hanya biasa terjadi pada siang hari. Apabila matahari terbenam. masing masing pasukan mundur ke tempat pertahanan masing'masing. Dengan demikian. waktu malam dipergunakan beristirahat. Akan tetapi kebiasan itu bukanlah merupakan suatu peraturan yang mengikat. Apabila dilanggar oleh salah satu pihak, pihak lain tak dapat berbuat apa-apa.
Padahal setiap panglima perang selalu berusaha memperoleh kemenangan. Berusaha untuk menghancurkan lawan. Itulah sebabnya, sekalipun Mataram menggerakkan pasukan, tiada pihak yang dapat mencela dan menuntut. Kemudian pasukan ini setelah selesai mempersiapkan diri, bergerak secara rahasia, untuk mengadakan serangan secara mendadak.
Malam yang gelap membantu gerakan pasukan Mataram mendekati pertahanan Tuban. Tentu saja keadaan menjadi berbalik. Kalau semula Tuban ingin menggunakan siasat bergerak mundur di luar tahu Mataram, sekarang pihak Tuban tidak menyangka sedikitpun, diserbu lawan secara gerilya. Di antara pasukan Tuban sudah banyak yang tidur mendengkur. Hanya anggauta pasukan yang telah diperintahkan mundur, terjadi kesibukan secara diam-diam. Sedang Adipati Tuban dan puteranya, karena telah merasa amat lelah sudah masuk ke tempat peraduannya.
Tiba-tiba terjadilah hiruk-pikuk pada kandang kuda. Disusul terjadinya keributan di sana sini, terjadi kebakaran. Hal itu tentu saja membuat semua pimpinan pasukan Tuban kaget. Tak terkecuali Adipati Tuban sendiri. Patih Mahesa Lawung yang ketika itu belum tidur, masih sibuk mengatur segala sesuatunya. segera melompat keluar. Tetapi dengan kaget dan gerakannya yang gesit ia sudah melenting tinggi. Kalau tidak, dirinya tentu sudah ketabrak seekor kuda yang membedal tanpa arah.
Kuda tersebut melompat ke dalam kemah. Menabrak apa saja, dan kemudian ketika seorang perajurit berusaha menangkap, kuda yang ketakutan itu melompat ke kiri dan menabrak seorang perajurit yang tidur, dan selanjutnya menabrak lampu. Celakanya api lampu itu berkobar. dan menimbulkan kebakaran pula. Keadaan itu menambah keributan dan kegegeran di tempat itu.
Sementara itu Patih Mahesa Lawung yang hampir ketabrak kuda liar itu, menjadi kaget lagi ketika melihat berkelebatnya bayangan yang cepat membawa obor menyala. Yang membuat kaget tokoh Tuban ini, bukan hanya gerakan yang cepat itu. Anak panah berhamburan yang dilepaskan oleh para parajurit Tuban, seperti menyerang bayangan letan. Kalau anak panah itu tidak dikebut runtuh, tentu disambar dengan gampang sekali. dikumpulkan, kemudian ditambahkan pada kayu obor, sehingga membuat obor tersebut bertambah besar. Obor kayu itu kemudian sebagian dilemparkan ke arah kemah yang belum terbakar. Dan sesaat kemudan terjadilah kebakaran lagi yang lebih besar. Di sana-sini timbul kebakaran dan kuda beringas berserabutan ketakutan, menabrak sana menabrak sini.
Bayangan yang berkelebat cepat dan membakar kemah pertahanan Tuban ini, di samping melepaskan kuda kuda perang itu, bukan lain Sawungrana. Ia yang bertugas memimpin pasukan perusak, telah memelopori gerakan itu. Sedang anggota pasukannya, membantu membakar gudang makanan dan pengrusakan yang lain.
Gegerlah keadaan dalam pertahanan Tuban ini. Mereka ribut dan saling tabrak dalam kebingungan. Pada mulanya mereka memang berusaha menangkap kuda-kuda yang berlarian liar itu, di samping berusaha memadamkan kebakaran. Tetapi mendadak terdengar sorak yang membelah angkasa. Dan berbareng itu, berkelebatan banyak bayangan yang merobohkan tiap perajurit Tuban itu. kemudian membuat mereka sadar telah diserbu musuh. Dengan gugup mereka saling berteriak. Menyambar senjata masing-masing untuk memberi perlawanan. Namun, mereka baru saja bangun tidur dan tidak siaga. Perlawanan mereka tak berarti.
Dalam waktu tak lama, telah tak terhitung jumlahnya manusia gugur dalam penyerbuan ini.
Patih Mahesa Lawung amat marah sekali menyaksikan semua itu, di samping keheranannya terjadinya penyerbuan mendadak ini. Dengan melengking nyaring tangan kiri menghunus keris. Tangan kanan menghunus pedang. Kakinya menjejak tanah, tubuhnya melesat ringan sekali seperti tumbuh sayap. kemudian mengejar ke arah bayangan yang membawa obor.
"Berhenti !" teriak Patih Mahesa Lawung mengatasi semua hiruk-pikuk.
"Jangan lari!" sawungrana mengerti bahwa orang yang memburunya sekarang ini, bukanlah orang sembarangan.
Gerakan orang itu cepat dan ringan sekali. Di samping itu. teriakannya yang tajam dan nyaring membuktikan bahwa pengejarnya itu seorang yang sudah sangat tinggi tenaga saktinya.
Namun Sawungrana tidak jeri dan tidak takut. Mati dalam tugas membela Mataram, merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Kalau sekarang ia masih tetap berlarian. bukan ingin menghindarkan diri. Akan tetapi ia sengaja memancing lawan untuk keluar dari kemah pertahanan. Ia ingin bertanding dengan tokoh Tuban yang mengejarnya itu. Itulah sebabnya ia tak juga membuang obornya, sekalipun dikejar orang.
Ketika telah tiba di tempat lapang di luar kemah pertahanan Tuban, tiba-tiba Sawungrana membalikkan diri dan melemparkan obor kayu itu ke arah Patih Mahesa Lawung. Obor kayu yang menyala itu, melesat seperti peluru api menyambar Patih Mahesa Lawung. Tokoh Tuban ini kaget, tetapi tidak gugup. Ia menghindarkan diri ke kanan sambil menyahut obor kayu dengan pedang.
Prak!
Obor kayu berantakan kemudian padam.
Kalau saja Sawungrana hanya ingin mencari keuntungan sendiri. ia dapat menggunakan kesempatan yang baik sekali. Ia bisa melancarkan serangan pada saat lawan menghindari serangan obor. Tetapi tokoh Mataram ini tidak berbuat, dan hanya berdiri bertolak pinggang sambil ketawa terkekeh.
"Heh-heh-heh, bagus juga caramu menghindar. Siapakah engkau, berani mengejar aku?"
"Bangsat busuk yang curang, jangan engkau sombong di depanku!" bentak Patih Mahela Lawung sambil tetap siaga.
Keris pada tangan kiri, dan pedang pada tangan kanan.
"Buka matamu dan telingamu lebar-lebar. Engkau berhadapan dengan Mahesa Lawung, Patih Tuban.'
Jawaban Itu mengejutkan, tetapi justru membuat tokoh Mataram itu amat gembira. Amat kebetulan sekali ia dapat berhadapan dengan orang ke dua Kadipaten Tuban.
"Bagus, ha-ha-ha, kebetulan sekali aku berhadapan dengan Patih Tuban. Sungguh amat menggembirakan sekali!"
"Jangan engkau menyembunyikan nama sebelum mampus!" bentak Patih Mahesa Lawung lagi.
"Hayo lekaslah mengaku, siapa engkau dan bukankah engkau bangsat Mataram ?"
Sawungrana masih ketawa terkekeh.
'Heh-heh-heh, siapa yang engkau sebut itu ?"
"Kau!" bentak Patih Mahesa Lawung mendelik.
'Kau? Bagus sekali! Engkau sendiri yang mengaku sebagai bangsat." Sawungrana mengembalikan makian lawan itu secara cerdik dan tepat.
Tentu saja Patih Mahesa Lawung menjadi amat marah dan membanting-bantingkan kakinya.
"Kurang ajar!"
Patih Mahesa Lawung tak berani memaki lagi, khawatir makian itu dikembalikan ke alamatnya sendiri.
"Lekas katakan siapa engkau sebelum mampus!"
'Uah-uah..... sombongnya !'
Sawungrana mengejek.
"Dengarkan baik-baik, jangan keliru.Inilah orang ke dua Kadipaten Tuban, yang terkenal dengan sebutan bangsat Patih Mahesa La. aiih.... galaknya."
Sawungrana masih sambil ketawa terkekeh, meloncat ke kiri menghindarkan serangan Patih Mahesa Lawung. Serangan itu kuat dan berbahaya. karena dua macam senjata tersebut mengarah tempat-tempat berbahaya. Patih Mahesa Lawung memang tak kuasa lagi menahan kemarahannya. Ia seorang patih yang kedudukannya amat tinggi bagi orang Tuban. Selama ini, ia selalu dihormati oleh semua orang. Semua orang selalu bersikap halus, menjilat -jilat, selalu berusaha membuat hatinya senang. Akan tetapi mendadak sontak malam ini. ia dipermainkan orang, malah dicaci maki sebagai bangsat. Manakah orang yang tiap harinya selalu dihormati itu dapat menahan kemarahannya ?
Mungkin bukan Patih Mahesa Lawung seorang yang menjadi marah. Orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi yang lainpun, akan cepat menjadi tersinggung dan marah jika orang yang dihadapinya kurang menghormat. Tetapi sebaliknya akan menjadi bangga dan tenang, apa bila orang selalu bersikap menghormat, selalu menurut, tak berani membantah, dan selalu membebek. Padahal apabila dipikir, apakah bedanya bagi yang berkedudukan sebagai raja, sebagai patih, sebagai tumenggung dan yang hidup menderita sebagai kere?
Tiada sedikitpun perbedaan. Semua hanyalah manusia biasa. Manusia yang terdiri dari kumpulan tulang dan daging. Sikap manusia yang demikian jelas tidak wajar.
Sikap yang palsu!
Sikap yang beginilah sesungguhnya yang menyebabkan manusia ini terpecah pecah bergolong-golong. Ada golongan pemimpin, golongan bawah. Menyebabkan manusia tidak pernah bisa rukun. Selalu terjadi percekcokan, saling benci dan mendendam. Karena mereka itu didorong dan dipengaruhi oleh si "aku' yang melekat dalam sanubari dan jiwanya. Si aku inilah yang menyebabkan manusia tidak hidup secara wajar, dan mendekatkan diri dengan ke "palsuan". di samping pula mendekatkan dengan bahaya.
Karena ke "aku" an Patih Mahesa Lawung inipun dirinya mendekatkan dengan bahaya. Sawungrana memang sengaja mengejek. merendahkan dan menghina Patih Mahesa Lawung supaya menjadi marah. Padahal rasa marah ini merupakan pantangan bagi seaeorang yang berhadapan dengan lawan. Sebab akan membuat kurang cermat dan kurang hati-hati.
Serangan yang pertama luput, cepat disusuli dengan serangan berantai yang lebih dahsyat lagi. Dengan pedang di tangan kanan, ia menyerang mata, leher, uluhati dan pusar. Sedang keris di tangan kiri. di samping untuk menjaga diri. juga dipergunakan menyerang dari jarak dekat. Gerakan orang kedua Tuban ini, di samping amat cepat seperti kilat menyambar, juga menerbitkan angin serangan yang kuat sekali.
Sawungrana menyadari bahwa tak boleh sembrono menghadapi tokoh Tuban ini. Sebagai orang kedua di Tuban, tentu saja Mahesa Lawung ini merupakan orang kuat dan sakti mandraguna. Hal itu bisa dirasakan pula oleh Sawungrana dari sambaran angin senjata yang dahsyat. Maka tokoh pengawal Mataram ini, menggunakan kelincahan dan keringanan tubuhnya, guna menghindarkan diri ke sana ke mari. Sambil meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri ini, diam diam Sawungrana heran berbareng kagum. Ilmu pedang lawan ini, bukan saja gerakannya cepat dan berbahaya, tetapi juga aneh dan dahsyat. Tetapi yang membuat dirinya heran, mengapa belum pernah mengenal ilmu pedang lawan ini?
Padahal, dalam beberapa tahun ini, sebagai hasil Ratu Wandansari yang menawan beberapa orang tokoh sakti dari Perguruan Kemuning, Semeru dan yang lain, ia memperoleh keuntungan, dapat mengenal dan mempelajari ilmu-Ilmu dari beberapa perguruan. Tetapi mengapa gerak ilmu pedang lawan ini jauh berlainan?
Taklah mengherankan apabila ilmu pedang Mahesa Lawung ini berbeda dengan ilmu pedang yang sudah ia kenal.
Sebab ilmu kesaktian yang dipelajari,dilatih dengan tekun oleh Mahesa Lawung, adalah yang khusus merupakan ilmu yang turun-menurun, hanya dikenal oleh keluarga saja. Patih Mahesa Lawung ini adalah keturunan dari Sora. teman seperjuangan Ronggolawe ketika masih hidup di jaman Majapahit. Seperti diketahui, bahwa di dalam sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, nama Ronggolawe, Sora dan Nambi, merupakan tiga orang yang besar jasanya bagi Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara Singasari. Ketika terjadi penyerbuan Jayakatwang (Kediri), dan berhasil membunuh Raja Kertanegara dan mengalahkan Singasari, terpaksa Raden Wijaya harus melarikan diri. Pada akhirnya Raden Wijaya mengungsi ke Madura, di tempat Wiraraja, ayah Nambi.
Berkat bantuan siasat dan daya upaya Wiraraja, pada akhirnya Raden Wijaya dibantu oleh Ronggolawe, Sora dan Nambi, berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit setelah mengalahkan Jayakatwang. dengan bantuan pasukan.
Namun kemudian setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, terjadilah pemberontakan Ronggolawe. Pemberontakan itu terjadi karena dikecewakan oleh raja, disamping hatinya kesal. Tetapi Ronggolewe akhirnya gugur di tangan Kebo Anabrang. Dan kemudian, Kebo Anabrang harus pula gugur di tangan Sora yang membela Ronggolawe.
Sora dan Ronggolawe merupakan kawan seperjuangan. Maka taklah mengherankan pula, sebagai keturunan Sora Mahera Lawung ini diangkat sebagai Patih Tuban.
Demikianlah. karena Sawungrana tak juga dapat mengenal ilmu pedang lawan, ia tak berani main-main dan menghadapi lawan dengan tangan kosong. Tahu-tahu, pada tangan kanannya telah tergenggam senjata yang bentuknya aneh dan menyeramkan. Senjata rantai baja sebesar ibu jari tangan yang pada ujungnya terdapat bola baja sebesar kepalan anak dan berduri tajam pula. Inilah "bandul eri", senjata andalan Sawungrana dan yang telah membantu Sawungrana ke puncak kemasyhurannya. Entah sudah berapa saja nyawa manusia yang melayang termakan "bandil eri" ini.
"Trang. trang..... cring.....!" terdengar suara nyaring benturan senjata dan dua orang itu terhuyung mundur dua langkah ke belakang.
Patih Mahesa Lawung dengan mata terbelalak memandang ke arah keris yang dipegang tangan kiri. Ternyata keris itu sedikit ujungnya telah patah. Hanya pedangnya di tangan kanan yang tidak menderita kerugian. Kemudian sepasang mata Mahesa Lawung berubah berapi-api, melihat sikap dan mendengar ketawa lawan yang terkekeh mengejek.
Tadi Sawungrana memang sengaja mencoba dan mengukur kekuatan lawan, dengan membenturkan senjatanya. Tetapi sekarang ia telah memperoleh bukti, bahwa sekalipun ilmu pedang lawan amat aneh dan cepat taklah perlu menimbulkan kekhawatiran. Ternyata tingkat kesaktian lawan masih di bawah tingkatnya.
"Heh-heh-heh, lebih baik engkau menyerah saja, sahabat. Jangan khawatir. Aku yang akan menanggung keselamatanmu jika engkau sedia menyerah. Paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung raja yang bijaksana. Gusti Kangjeng Ratu Wandansari dan Gusti Pangeran Kajoran, dua orang saudara muda raja yang baik hati. Hm... ., siapa tahu, dengan kalahnya Tuban. engkau malah diangkat sebagai Bupati Tuban? ' bujuk Sawungrana.
"Bedebah buruk, engkau terlalu sombong!" lengking Patih Mahesa Lawung marah sekali.
"Siapa yang sudi menjadi budak raja yang tidak sah itu? Huh huh, Tuban baru bisa kamu injak, setelah melangkahi mayat Mahesa Lawung!"
Berbareng dengan ucapannya yang terakhir, Mahesa Lawung telah melompat maju sambil membabatkan pedangnya ke arah leher dan diteruskan ke bawah membabat lambung. Tetapi dengan terkekeh mengejek, serangan Mahesa Lawang itu dihindari dengan mudah. Kemudian bandil eri senjata Sawungrana menyambar dahsyat, sehingga terpaksa Mahesa Lawung menghindari dengan bergulingan di atas tanah.
"He-heh-heh, apa kerjamu?" ejek Sawungrana.
"Adakah benda atau uang yang runtuh?"
Mahesa Lawung tidak membuka mulut menjawab. Hanya dengan gerakannya yang gesit. kembali menyerang lawan. Namun, di samping tingkatnya kalah tinggi, senjatanyapun kalah panjang. Hal ini menimbulkan kesulitan Patih Mahesa Lawung. Padahal untuk mengadu senjata, Mahesa Lawang harus mempertimbangkan lebih dahulu. Tadi telah terbukti, benturan senjata yang terjadi, menyebabkan ujung keris patah. .
Akan tetapi, apapun yang terjadi dan apapun yang dihadapi. taklah mungkin ia mundur selangkahpun. Bagi dirinya tiada pilihan lain, lebih baik berkalang tanah dari pada bercermin bangkai. Lebih suka tewas di medan perang daripada harus hidup menyerah dan mengakui kedaulatan Mataram. Keputusannya ini membuat ia semakin mantap. Pedang dan kerisnya menyambar-nyambar lebih dahsyat, disertai bentakan-bentakan nyaring.
"Trang-trang . trakk......!" kembali terdengar suara benturan senjata yang nyaring.
Disusul suara ketawa Sawungrana yang terkekeh. Sedang Mahesa Lawung terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang, lalu terbelalak dan wajahnya pucat. Ia tadi merasakan lengan kirinya tergetar hebat sekali, dan hampir saja ia tak kuasa mempertahankan kerisnya. Ternyata sekarang keris pusaka yang setiap malam Jum'at selalu diasapi dupa wangi dan dikalungi bunga dan dihormatinya itu, sekarang telah bengkok. Ujung keris itu sekarang menghadap ke belakang.
'Dengarlah nasihatku. Lebih baik engkau menyerah dari pada nekad melawan." bujuk Sawungrana dengan nada yang halus.
Tetapi justeru bujukan Sawungrana ini bagi Mahesa Lawung merupakan ajakan yang menyakitkan hati. Saking marah, tokoh Tuban ini tak kuasa membuka mulut. Ia hanya menggeram keras sambil melompat maju dan menyambitkan keris pusaka yang melengkung itu.
Kaget juga Sawungrana oleh serangan pedang dan sambitan keris itu. Namun ia adalah seorang tokoh besar dan jago Mataram pula. Untuk menghindari sambitan itu, ia menggeser kaki ke kiri sambil miringkan tubuh. Keris itu meluncur lewat di sisi pinggangnya. Kemudian sambaran pedang lawan yang amat dahsyat itu, ia sambut dengan putaran bandul eri. Mahesa Lawung terpaksa menarik kembali pedangnya, namun secepat tatit ia meneruskan serangan pada bagian bawah tubuh lawan. Menghadapi serangan lawan yang nekad ini Sawungrana terkekeh mengejek.
Entah bagaimana Sawungrana melakukannya, terjadinya terlalu cepat. Mahesa Lawung sendiri yang memegang pedang itu, tahu-tahu merasa pedangnya tak dapat ditarik. Ternyata pedang itu telah diinjak lawan di samping dirinya sekarang telah terancam oleh dua serangan maut. Tangan kiri Sawungrana telah siap untuk memukul ubun-nbun, sedang tangan kanan telah mempersiapkan senjata yang mengerikan itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Mahesa Lawung mangerahkan tenaga menarik pedangnya. Namun ternyata pedang itu tidak bergerak. seakan sudah tumbuh akar di dalam tanah. Pada saat itu, Sawungrana kembali menawarkan jasa baiknya,
'Jangan engkau kepala batu. lepas pedangmu dan menyerahlah!"
Kalau saja perkelahian ini terjadi pada waktu siang, akan tampaklah bagaimana wajah Patih Tuban ini. Wajah tersebut sebentar merah dan sebentar pucat saking penasaran dan marahnya. Apa yang terjadi sekarang ini, benar-benar merupakan sebuah pengalaman baru yang menghancurkan hatinya. Ternyata sebagai orang ke dua Tuban. hanya berhadapan dengan seorang "budak" Mataram yang tak terkenal saja, tidak kuasa berbuat apa apa. Dalam keadaan setengah putus asa ini, mendadak saja timbulah kenekadannya. Ia melepaskan pedangnya. Tetapi tidak untuk menyerah dan berlutut mohon ampun. Melainkan melancarkan serangannya yang terakhir secara untung-untungan. Begitu pedangnya lepas, ia purapura menjatuhkan diri. Namun ia meneruskan gerakan tersebut, menggunakan dua belah tangannya menghantam lawan, mengarah bawah pusar,
Sawungrana tak pernah menduga sama sekali, apabila lawan menggunakan serangan yang senekad itu. Tadi begitu lawan melepaskan pedang dan bersikap seperti orang berlutut. Sawungrana menarik kembali tangan kirinya yang semula mengancam ubun-ubun lawan. Namun ketika melihat gerakan lawan dan merasakan sambaran angin pukulan. Sawungrana menjadi kaget.
Hampir saja terlambat dan ia bisa mengalami luka parah, apabila serargan itu berhasil. Sebab jaraknya terlalu dekat dan tak terduga-duga.
Sawungrana cepat menjejak tanah melenting. Gerakannya sungguh cepat di samping amat ringan. Walaupun gerakannya cukup cepat, kaki kanan masih terserempet pukulan. Walaupun pukulan tersebut 'tak menyebabkan kakinya terluka, namun menyebabkan sakit sekali. Rasa sakit ini menyebabkan Sawungrana marah. Sambil menggeram ia menggerakkan senjata bandil erinya. Mahesa Lawung yang baru saja meloncat bangun 'sesudah serangannya tak membawa hasil, kaget sekali, Cepat cepat ia menggulingkan tubuh dalam usahanya menyelamatkan nyawa.
Akan tetapi celakanya, Sawungrana sudah marah. Bandil erinya menyambar-nyambar dahsyat. Tiga kali Mahesa Lawung berhasil menghindarkan sambaran senjata lawan. Tetapi pada empat kalinya, terdengar suaranya
"prakk! ' Ahh.... " sambaran bola berduri itu telah membuat kepala Patih Tuban pecah berantakan. Nyawanya melayang entah ke mana.
"Huh-huh.. engkau mencari mampus sendiri. Hampir aku mampus oleh kecuranganmu!" gerutu Sawungrana seorang diri sambil menyimpan senjatanya.
Tetapi ketika ia hendak bergerak pergi, telinganya yang peka mendengar gerakan orang yang halus. Ia cepat membalikkan tubuh. Namun kemudian ia segera menjatuhkan diri sambil memberikan sembahnya sebagai penghormatan, sesudah melihat bahwa yang datang itu Pangeran Kajoran bersama Ratu Wandansari.
"Siapa dia '!" tanya Pangeran Kajoran, ketika melihat mayat Mahesa Lawung dengan kepala pecah.
"Dia Patih Tuban, Gusti" sahut Sawungrana sambil meloncat berdiri.
"Sesungguhnya hamba tadi telah membujuk agar sedia takluk. Tetapi dia kepala batu!"
"Hem...... sudahlah. Apa mau dikata kalau orang memang tak mau ?" kata Pangeran Kajoran.
"Sawungrana! Dari jauh aku telah melihat kebakaran besar yang terjadi di kemah pertahanan Tuban. Bagaimanakah hasilnya?"
"Tadi setelah hamba melakukan pembakaran. hamba sengaja lari sambil memancing Patih Tuban itu. Jadi hamba belum tahu akan hasil keseluruhannya."
'Marilah kita tinjau!"
Tiga orang itu kemudian berlarian mendekati kemah pertahanan Tuban. Ketika mereka tiba di tempat, ternyata masih terjadi pertempuran yang hebat tetapi kacau tak keruan. Apa yang terjadi bukan perang yang sesungguhnya. Melainkan penjagalan manusia yang dilakukan oleh pasukan pilihan Mataram terhadap pasukan Tuban. Sebab perlawanan Tuban malam ini tanpa pimpinan. Mereka melawan hanyalah dalam usaha mereka membela diri. Maka akibatnya korban pihak Tuban yang tewas tak terhitung jumlahnya. Tumpang tindih dan darah membanjir di sana-sini.
Sementara pasukan Mataram dan Tuban itu perang campuh secara tak seimbang, tampak Adipati Mandurorejo dan Adipati Uposonto sibuk bertempur dikeroyok dua orang. Adipati Mandurorejo dikeroyok oleh orang tinggi besar yang bersenjata rantai dengan ujung bola baja dan orang kurus bersenjata tombak trisula. Pengeroyok tersebut adalah Tumenggung Kebo Bangah dan Tumenggung Wanengyudo. Sedang di pihak lain, Adipati Uposonto dikeroyok oleh seorang yang bersenjata tombak panjang dan senjata pedang. Orang yang bersenjata tombak panjang itu Tumenggung Kebo Pembayun, sedang yang bersenjata pedang Tumenggung Warihkusumo. Akan tetapi walaupun harus menghadapi keroyokan. baik Adipati Uposonto maupun Adipati Mandurorejo tidak dalam kesulitan. Malah dua orang panglima Mataram itu, dengan garang dapat melayani baik sekali, mendesak lawan.
Melihat keadaan itu, Pangeran Kajoran dan Ratu Wandansari tersenyum. Mereka tak ingin mengganggu dua orang panglima Mataram itu. Biarlah mereka puas menghajar lawan tanpa bantuan siapapun.
Ratu Wandansari memalingkan mukanya ke arah Sawungrana. Kemudian bertanya,
"Sawungrana, sudahkah terpikir olehmu menangkap Adipati Tuban?"
Pertanyaan yang tak terduga-duga itu membuat Sawungrana tak cepat bisa menjawab.
"Ahh, Gusti, ampunilah hamba, yang teledor melakukan tugas. Hamba tadi setelah melakukan pembakaran, belum sempat mengadakan penyelidikan. Akan tetapi, mungkinkah hamba dapat menangkap Adipati Tuban yang belum pernah hamba kenal wajah dan bentuk tubuhnya?"
"Hmm..... sekarang sudah terlambat. Mestinya sebelum kau melakukan yang lain, dialah yang engkau perhatikan."
"Mengapa terlambat, Gusti?" Sawungrana membantah.
"Pasukan kita sejak tadi mengepung pertahanan Tuban ini secara ketat. Kiranya orang yang Gusti maksud mestilah di tempat ini juga."
"Engkau benar, tetapi mungkin juga salah." kata Ratu Wandansari sambil tersenyum.
"Ketahuilah bahwa sebagai seorang adipati, tentu dia bukan orang bodoh. Dia mengenal gelagat, dan guna menghilangkan jejak, dilepaskan pakaian kebesarannya, menyamar sebagai perajurit biasa."
"Ahhh......" Sawungrana kaget di samping menyesal.
"Sungguh hamba amat menyesal, oleh kebodohan hamba sendiri. Seharusnya hamba lebih dahulu menangkap Adipati Tuban......"
'Sudahlah....... tak perlu kausesalkan." Ratu Wandansari memberi nasihat.
'Bagaimanapun pula, kita memperoleh keuntungan besar sekali, dengan penyerbuan malam ini. Sekarang, bantulah mereka agar pertempuran Ini selesai Sebelum fajar tiba."
Sawungrana menyanggupkan diri dan memberikan sembahnya. Kemudian berkelebat pergi, dan dalam waktu singkat telah tak tampak bayangannya lagi.
"Sungguh beruntung kita mempunyai tokoh-tokoh sakti yang setia seperti mereka," kata Pangeran Kajoran.
"Hemm. tetapi menghadapi mereka tidaklah mudah kangmas. Orang-orang sakti biasanya berwatak aneh. Karena itu harus pandai mengambil hati mereka. Sudahlah kangmas, marilah kita meninjau keadaan di tempat lain." Ajak Ratu Wandansari.
Kemudian kakak beradik ini bergerak cepat meninggalkan tempat itu.
Apa yang diduga Ratu Wandansari memang tepat dan benar. Begitu melihat penyerbuan musuh, guguplah Adipati Tuban dan Raden Mas Rogokusumo. Ayah dan anak ini sadar terancam oleh bahaya. Raden Maa Rogokusumo yang berusia muda dan berdarah panas itu, cepat menyambar senjata dan melompat ke luar kamar. Tetapi cepat dicegah oleh ayahnya,
"Jangan!"
"Mengapa, ayah?"
Raden Mas Rogokusumo heran.
"Engkau anakku. Engkau merupakan orang penting, di samping aku. Jika kau atau aku sampai tertawan musuh. akan menimbulkan hal-hal yang lebih parah. Cepat lepas pakaianmu!"
Sambil memerintah ini, Adipati Tuban sendiri sudah mulai melepaskan pakaian kebesarannya. Raden Mas Rogokusumo cepat dapat menangkap maksud ayahnya. Iapun negera melepaskan pakaiannya. Dengan hanya mengenakan pakaian dalam, ayah dan anak ini ke luar dari kamar. Di luar mereka melihat seorang pelayan laki-laki yang sedang kebingungan.
"Wiro!" panggil Adipati Tuban.
Pelayan itu pada mulanya kaget mendengar panggilan itu, dan heran pula menyaksikan dua orang yang hanya mengenakan pakaian dalam saja. Namun sesaat kemudian pelayan yang bernama Wiro itu menjatuhkan diri duduk bersila dan memberikan sembahnya, sesudah ia datang menghampiri.
"Gusti.... mengapa paduka berpakaian seperti ini ?" tanya Wiro agak takut-takut.
"Jangan gugup! Yang penting sekarang, berilah aku dua setel pakaianmu. Cepat, aku dan Rogokusumo membutuhkan pakaianmu!" _
"Tetapi, Gusti ....."


Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah!" potong Adipati Tuban.
'Jangan membantah. Ambillah dua setel pakaianmu yang kotor dan jelek. Sesudah aku kembali ke Tuban, atas jasamu ini akan kuberikan anugerah yang amat besar."
Pelayan itu memberikan sembahnya dan minta diri, walaupun merasa ragu, di samping heran. Apa saja maksud junjungannya itu, menghendaki pakaiannya yang jelek dan kotor?
Bukankah junjungannya itu pakaiannya amat banyak dan bagus bagua?
Apakah Sang Adipati dan puteranya itu tidak akan muntah kalau mencium bau yang apak dan tidak enak dari pakaiannya yang berbau keringat?
Namun ia telah mendapat perintah itu. Ia tak dapat berpikir lebih jauh, dan harus secepatnya memberikan dua setel pakaian tersebut. Entah untuk apa, pelayan ini tidak dapat menduganya,
Bagi pelayan wiro ini, selama bertugas sebagai pelayan dalam pertahanan, kurang dapat mengurus kebersihan pakaiannya. Malah baju, kain panjang maupun celananya yang sobekpun, dibiarkan menganga tanpa dijahit. Sebab ketika masih di Tuban, semua pakaian itu diurus oleh isterinya. Dan kalau terdapat yang robek, tanpa diperintah isterinya sudah menjahitnya.
Tak lama kemudian Wiro telah kembali dengan membawa dua setel pakaiannya yang tidak utuh lagi. Sembahnya,
'Gusti.... ohh, ampunilah hamba yang sudah tua ini. Hamba telah memilih pakaian, akan tetapi tidak satu setelpun yang patut. Semuanya sudah jelek dan kotor. "
"Aku justeru menghendaki pakaianmu yang paling jelek dan paling kotor," kata Adipati Tuban sambil menerima dua setel pakaian pelayan itu.
Adipati Tuban cepat mengenakan pakaian pelayan tersebut tanpa ragu-ragu lagi, sekalipun pakaian tersebut berbau tidak enak. Tetapi Raden Mas Rogokusumo agak ragu-ragu, karena pakaian itu baunya memang tidak sedap. Melihat keraguan anaknya itu. kata Adipati Tuban,
"Jangan memikirkan hal-hal lain dalam menghadapi bahaya sekarang ini. Kita telah diserbu. Pasukan kita tidak dalam keadaan siaga. Maka walaupun jumlah pasukan kita besar. yang terpenting kita harus menyelamatkan diri lebih dulu." ,
Sesungguhnya Raden Mas Rogokusumo heran menyaksikan sikap ayahnya yang demikian. Mengapa tidak memimpin perlawanan. malah menyamar sebagai pelayan untuk menyelamatkan diri?
Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica Jangan Percaya Pada Orang Mati Never Trust A Dead Man Karya Vivian Vande Velde Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May

Cari Blog Ini