Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat Bagian 9
Tetapi agaknya Adipati Tuban dapat menduga maksud hati agaknya.
"Anakku, engkau harus mengerti akan kedudukanmu dan kedudukanku sebagai seorang raja, sebagai orang yang berkuasa di Tuban. Kehilangan sepuluh ribu perajurit belum tentu membuat kerajaan itu runtuh. Akan tetapi sebaliknya, walaupun pasukan masih amat kuat, apabila raja gugur atau tertawan musuh, berarti kerajaan itu runtuh."
Mendengar keterangan ayahnya itu, baru sadarlah Rogokusumo akan maksud ayahnya. Jadi bukanlah tindakan ayahnya itu bersikap pengecut, melainkan dalam usaha mempertahankan Tuban.
Dengan mengenakan pakaian pelayan yang kotor dan dari cita yang kasar itu, berubah sama sekali keadaan Adipati Tuban dan Rogokusumo. Ayah dan anak ini tak bedanya dengan pelayan yang lain. Hanya kalau pelayan yang sesungguhnya, kulit tangannya kasar, tetapi dua orang ini tidak. Penyamaran ayah dan anak ini benar benar rapi, sehingga para perajurit Tuban sendiripun tidak mengenal lagi. Maka ketika dua orang ini berlarian, sering juga mereka tertabrak oleh perajurit yang gugup akan memberikan perlawanan dan dibentak serta dicacimaki. Tentu saja Rogokusumo yang masih muda, hampir marah terhadap perajurit yang berani membentak dan mencaci maki itu, Akan tetapi Adipati Tuban yang selalu waspada, cepat memberi nasihat,
"Anakku, kalau para perajurit itu membentak dan mencaci-maki, malah amat baik sekali. Berarti penyamaran kita rapi. Jangan lagi musuh dapat mengenal, sedang orang kita sendiripun tidah mengenalnya lagi,"
Terhibur juga hati Rogokusumo oleh kata-kata ayahnya itu. Adipati Tuban dan Rogokusumo juga menyaksikan bergeraknya Patih Mahesa Lawung yang mengejar bayangan lawan. Maka kalau semula tujuan Adipati Tuban ini akan mengajak Patih itu untuk menyelamatkan diri, tujuannya sekarang beralih menuju ke kemah Tumenggung Wirodipo.
Sungguh amat kebetulan bahwa waktu itu Tumenggung Wirodipo masih di 'kemahnya, berkumpul dengan Tumenggung Tawang Alun dan Tumenggung Dipokusumo. Agaknya tiga orang tumenggung ini masih sempat berunding dalam usaha melawan musuh.
Adipati Tuban bersama Rogokusumo segera menerobos masuk dalam kemah.
"Hai! Siapa kau, berani masuk ke mari?" bentak empat orang perajurit bersenjata tombak, yang menjaga di depan pintu.
Tentu saja empat orang perajurit yang berjaga ini curiga, sebab dua orang yang mau masuk hanya mengenakan pakaian kumal sebagai pelayan.
"Sudahlah, jangan kamu mengganggu aku! Cepat. laporkan kepada Wirodipo dan yang lain. Aku ingin ketemu!" Jawab Adipati Tuban yang tak sabar.
"Kurang ajar! Tidak sembarang orang boleh keluar masuk tempat ini!" bentak seorang perajurit.
"Musuh menyerbu, mengapa kamu malah mengganggu kami yang sedang mempersiapkan perlawanan? '
Rogokusumo tak kuasa menahan mulutnya. Bentaknya,
'Hai, perajurit! Apakah matamu sudah buta? Lekas berlutut dan mohon ampun kepada rama."
Tentu saja perajurit yang tak mengenal lagi junjungannya ini menjadi marah.
'Bangsat! Enyahlah dari sini!"
Empat tombak bergerak bersama menyerang Adipati Tuban dan Rogokusumo.
"Prakk..... trang. . aduhh......!"
Tiga batang tombak terpental terbang disusul robohnya tubuh tiga orang perajurit yang memegangnya oleh tangkisan Adipati Tuban yang bertenaga kuat. Sedang sebatang tombak yang lain telah patah dibabat putus oleh pedang Rogokusumo yang marah, disusul pula oleh robohnya perajurit itu sendiri yang mandi darah karena buntung lengan kanannya.
"Huh! Inilah hukumanmu!" hardik Rogokusamo geram.
"Butakah matamu bahwa aku Rogokusumo dan beliau adalah Rama Adipati Tuban ?'
Mendengar kata-kata Rogokusumo itu,prajurit yang tadi berjaga terbelalak kaget. Malah kalau semula perajurit yang kehilangan lengan kanannya merintih kesakitan, mendadak terhenti rintihannya. Sesaat kemudian hampir berbareng empat orang perajurit itu pingsan saking kaget dan takutnya.
'Hai! Mengapa ribut-ribut ?" terdengar bentakan yang nyaring dari dalam kemah.
Disusul munculnya seorang laki-laki bertubuh gemuk pendek yang berpakaian mentereng. Laki-laki ini kaget ketika melihat empat orang perajurit penjaga telah roboh di atas tanah. Lalu ia memandang ke arah dua orang laki-laki yang berdiri didepan pintu dan berpakaian pelayan. Namun orang ini memiliki mata yang jauh lebih tajam daripada para perajurit. Mendadak orang gemuk ini menjatuhkan diri berlutut sambil memberikan sembahnya.
'Gusti.. ohh...... mengapa berpakaian ...."
"Sudahlah," potong Adipati Tuban sambil melangkah maju dan membangunkan orang gemuk itu.
"Dipokusumo! Siapa di dalam?"
Tumenggung Dipokusumo yang masih heran melihat junjungannya mengenakan pakaian pelayan yang kotor itu, tak cepat bisa menjawab. Baru setelah Adipati Tuban mengulang pertanyaannya, tumenggung yang gemuk pendek ini menjawab dengan gugup.
"Ohhh..... ahhh..... ampunilah hamba, Gusti. Ahh.. mari silahkan masuk ke dalam. Hamba bertiga dengan adi Tumenggung Tawang Alun dan Tumenggung Wirodipo sedang berunding mengatur perlawanan."
"Bagus!" puji Adipati Tuban.
"Terima kasih atas kesetiaan kalian terhadap kami."
Begitu masuk ke dalam, Tumenggung Wirodipo, Tumenggung Tawang Alun dan beberapa perwira prajurit yang lain heran melihat munculnya dua orang laki-laki tua dan muda mengenakan pakaian pelayan itu. Namun Tumenggung Dipokusumo segera memberikan aba-aba penghormatan kepada Adipati Tuban.
Mendengar aba-aba Tumenggung Dipokusumo itu. banyak di antara mereka yang memberikan penghormatan dengan ragu-ragu. Namun sesudah mereka dapat meneliti dan benar bahwa Adipati Tuban dan Rogokusumo, mereka menjadi heran.
Guna menghilangkan rasa heran semua hambanya Adipati Tuban cepat memberi penjelasan, mengapa sebabnya ia mengenakan pakaian pinjaman dari pelayan. Kemudian ia memerintahkan kepada tiga orang tumenggung itu, agar cepat mempersiapkan pasukan, untuk mengawalnya menyelamatkan diri. Tidak seorangpun berani membantah maupun bertanya. Sebab merekapun sadar, bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, keselamatan raja lebih penting dari apapun yang lain.
Demikianlah, dengan pasukan yang lebih teratur dan berjumlah besar, Adipati Tuban dan Rogokusumo berusaha menyelamatkan diri keluar dari Wilayah pertahanan Tuban yang diserbu musuh malam ini. Jumlah pasukan ini cukup besar. Terdiri dari tiga satuan komando di bawah pimpinan Tumenggung Wirodipo, Tawang Alun dan Dipokusumo.
Beberapa aaat kemudian terjadilah perang campuh antara pasukan penyerbu dengan pasukan pengawal Adipati Tuban ini. Namun karena jumlahnya jauh lebih sedikit. maka pasukan Mataram yang menyerbu dari arah timur ini terpukul hancur, sisanya melarikan diri. Setelah pasukan ini berhasil keluar dari benteng pertahanan, segera dibagi menjadi tiga kelompok masuk ke dalam hutan dengan tujuan langsung pulang ke Tuban.
Sementara itu, Adipati Mandurorejo dan Adipati Uposonto yang masing-masing dikeroyok dua orang, makin lama makin dapat mendesak lawan. Senjata penggada berduri milik Adipati Uposonto menyambar-nyambar dahsyat menerbitkan angin yang amat kuat. Beberapa kali terdengar benturan senjata yang nyaring, kemudian tombak panjang senjata Tumenggung Kebo Pembayun dan pedang Tumenggung Warihkusumo terpental menyeleweng. Adipati Uposonto mendesak maju, namun dua macam senjata itu kembali menghadapinya dengan kerja sama yang amat rapi dan tangguh. Walaupun Adipati Uposonto di atas angin, namun belum juga ia merobohkan lawan. .
Demikian pula Adipati Mandurorejo, walaupun pedang panjangnya menari-nari dan menyambar dengan dahsyat, masih belum pula dapat merobohkan lawan. Ia baru menang di atas angin, berkat ilmu pedangnya yang hebat. Tumenggung Kebo Bangah yang bersenjata rantai berbola baja dan Tumenggung Wanengyuda yang bersenjata tombak trisula, masih selalu dapat mempertahankan senjata masing-masing, di samping melindungi tubuhnya secara rapat.
Diam-diam masing-masing pihak menjadi penasaran sekali. Kalau dua orang panglima Mataram ini penasaran tidak cepat dapat merobohkan lawan, kemudian selanjutnya akan menghancurkan musuh, penasaran empat orang Bupati Tuban ini adalah lain. Empat orang Tumenggung ini merasa heran, mengapa Tumenggung dan para perwira perajurit yang lain tidak muncul dan membantu?
Padahal apabila datang dua orang lagi kawan membantu. kiranya tak akan menghadapi kesulitan seperti ini.
Ketika Tumenggung Kebo Bangah mencoba untuk melirik ke arah kanan. ia terkejut dan menjadi amat kuatir.Ia melihat bahwa di antara pasukan Mataram yang menyerbu itu, terdapat seorang kakek yang mengamuk hebat sekali. Kakek itu hanya bertangan kosong. Namun setiap kakek itu bergerak dan melancarkan serangan dengan dua belah tangannya, sedikitnya enam tujuh orang segera roboh tak bangun lagi. Amukan kakek ini membuat para perajurit Tuban ketakutan. Tiap perajurit selalu berusaha menghindarkan diri dari kakek sakti itu. Namun justeru keadaan ini menyebabkan perlawanan pasukan Tuban semakin kacau dan makin menderita kerugian.
Empat orang lurah perajurit amat penasaran melihat rusaknya pasukan Tuban, oleh mengamuknya kakek tersebut. Secara berbareng mereka melompat dan menyerbu. Bentak salah seorang,
"Mampuslah kau, kakek biadab!"
Tombaknya meluncur secepat tatit menyerang dada.Sementara itu. seorang kawannya menggunakan pedang menikam dari belakang. Serangan itu masih ditambah oleh dua orang kawannya yang menyerang dari kiri dan kanan. _
Tetapi kakek itu menyambut serangan mereka dengan ketawanya yang mengejek. Seakan hanya menghadapi kanak-kanak yang mengancam dengan tusukan lidi. Kemudian dua belah tangannya bergerak.
"Trang tring ... plak-plak-plak-plak..... aduhh ....."
Tahu-tahu senjata yang menyerang dari depan berbenturan dengan senjata yang menyerang dari kiri. Sedang senjata lurah perajurit yang menyerang dari arah kanan. telah berbenturan dengan senjata yang menyerang dari belakang. Belum juga hilang rasa kejutnya, mereka merasakan kepala mereka seperti disambar halilintar. Hanya sekali mereka memekik ngeri, kemudian mereka roboh tak berkutik.
Kakek yang mengamuk hebat ini bukan lain Reksogati. Entah sudah berapa ratus orang yang harus tewas oleh pukulan tangan dan tendangan kakinya. Dalam penyerbuan ini ia tak pernah berhadapan dengan musuh yang amat alot. Paling-paling dalam dua gebrakan. orang orang Tuban yang mengeroyok telah roboh tak bernyawa. Akibatnya ia menjadi bosan sendiri menghadapi lawan yang terlalu empuk ini. Seakan tidak di dalam perang, melainkan seperti manusia yang menghadapi beberapa ekor tikus. .
Orang yang disebut sebagai orang sakti. banyak di antaranya yang berwatak aneh. Walaupun setiap bertempur selalu berusaha menang, namun kalau menghadapi lawan tidak seimbang, batinnya tidak puas. Tetapi apabila berhadapan dengan lawan yang seimbang. kegembiraannya timbul. Semangatnya berkelahi menyala-nyala.
Reksogati menghentikan gerakannya merobohkan lawan, lalu menebarkan pandang matanya. Diam-diam tokoh pengawal Mataram ini heran. Mengapa selama penyerbuan ini, ia tidak pernah berhadapan dengan orang yang mempunyai kedudukan cukup tinggi?
Sedikitnya berpangkat tumenggung?
Yang dihadapinya sejak tadi, paling tinggi hanyalah berpangkat penewu atau mantri. Apakah memang Tuban tidak memiliki cukup orang sakti dan berpangkat tinggi?
Dalam pada itu, mengapa pula sejak tadi ia tak pernah melihat Adipati Tuban memimpin perlawanan?
Mungkinkah Adipati Tuban telah tewas di tangan kawan lain. pikirnya. Tetapi tiba-tiba ia mempunyai dugaan lain.
Ah, bisa jadi Adipati Tuban secara diam-diam telah lolos.
Menduga demikian, ia cepat melompat lewat di atas kepala beberapa orang perajurit. Gerakannya ringan dan gesit. Kemudian perhatiannya tertarik ketika menyaksikan pertempuran yang berlangsung antara Adipati Mandurorejo dan Adipati Uposonto, yang masing-masing dikeroyok dua orang. Ia mendekati. Tetapi ia menjadi kecewa. Sebab melihat pakaian empat orang itu jelas bahwa mereka hanya berpangkat Tumenggung. Bukan Adipati Tuban. Ia sudah mendengar, bahwa Adipati Tuban adalah seorang sakti mandraguna. Tidak seorangpun di Tuban yang sanggup mengalahkanrya. Malah mendiang Nenek Anjani, Ketua Perguruan Tuban sendiri, dahulu pernah mencobanya. Pertempuran berlangsung sehari suntuk. namun hanya berkesudahan seimbang saja, tiada yang kalah maupun yang menang. Tingkat kesaktian Adipati Tuban hanya selisih sedikit lebih rendah, apabila dibanding kan dengan Adipati Surabaya. Maka manakah mungkin ia dapat percaya, kalau berhadapan dengan Adipati Uposonto maupun Adipati Mandurorejo, harus mengeroyok dan tak Juga dapat merobohkan lawan?
Tetapi mengapa tidak muncul?
Kenyataan ini membuat ia penasaran di samping curiga.
Reksogati kembali bergerak guna mencari di mana Adipati Tuban sekarang .Belum lama ia berlompatan, menerobos ke sana dan ke mari, ia melihat berkelebatnya beberapa orang, lewat pada bagian yang gelap. Walaupun gelap, Reksogati memiliki mata yang awas. Jelaa tadi dilihatnya, bahwa salah seorang dari mereka itu mengenakan pakaian mentereng dan gemerlapan, dilindungi beberapa orang bersenjata. Orang yang memperoleh perlindungan seperti itu, tentu seorang penting. Maka dengan gesitnya Reksogati cepat mengejar.
Dalam waktu singkat, Reksogati telah menghadang rombongan pasukan Tuban itu.
Melihat munculnya orang yang tiba-tiba menghadang di depan mereka, para perajurit itu kaget. Akan tetapi salah seorang dari mereka segera membentak,
"Hai, siapa kau? Hayo cepat minggir! Apakah kan sudah bosan hidup?"
Bentakan itu hanya disambut oleh Reksogati dengan ketawanya. Kemudian balasnya,
"Aku hanya mau minggir, sesudah Adipati Tuban kuserahkan !'
Lurah perajurit yang memimpin pengawalan itu menjadi marah. Dengan pedang terhunus ia melompat maju sambil membentak nyaring,
"Orang gila! Makanlah pedangku ini !"
Sambaran pedang itu cukup kuat dan cepat. Akan tetapi bagi Reksogati, gerakan pedang itu terlalu lambat. Ia tak bergerak dari tempatnya berdiri. Pedang yang menyambar ke arah dadanya, dijepit dengan jari tengah dan telunjuk.
"Uuh uhh. tut-tut!" dalam mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, lurah perajurit itu mengeluarkan suara uh-uh, disusul lubang belakang meledak dua kali, mmyebarkan bau yang tak sedap.
"Kurang ajar! Kentut busuk kaupamerkan di depanku !" bentak Reksogati sambil menggerakkan tenaganya.
"Dukk, Huh..."
Lurah perajurit itu terpental ke belakang lebih satu tombak, kemudian roboh tak berkutik. Hulu pedangnya sendiri memukul dada meremukkan tulang dan isi dada. Maka saat itu juga melayanglah jiwa lurah peraiurit tersebut.
Para perajurit Tuban itu menjadi marah. Lima orang segera melompat maju dan menyerang dengan bermacam senjata. Tetapi serangan itu hanya disambut ejekan.
'Bagus! Majulah lebih banyak lagi. Agar tugasku cepat selesai, untuk membekuk junjunganmu !"
"Wut-wut trang-cring plak-plak-plak-plak-plak !'
Senjata para perajurit itu terpental terbang, disusul tubuh mereka yang terpental, kemudian roboh tak berkutik. Para perajurit yang belum bergerak terbelalak pucat. Manusia ataukah setan yang sedang mereka hadapi sekarang ini?
Tampaknya tak bergerak, namun yang menyerang tentu roboh tak bernyawa lagi.
Namun mereka mempunyai tanggung jawab menyelamatkan junjungan mereka. Maka walaupun telah enam orang roboh, sepuluh orang segera bergerak maju menyerang berbareng.
Bereamaan dengan meloncatnya sepuluh orang yang menyerang itu, maka Adipati Tuban menggunakan kesempatan untuk lari. Tetapi manakah mungkin dapat melepaskan diri dari pengamatan Reksogati?
Kakek ini membentak nyaring. Sepuluh orang perajurit roboh jungkir balik. Kemudian dengan gerakannya yang ringan Reksogati telah menghadang di depan Adipati Tuban. Tetapi kakek ini segera disambut oleh sambaran pedang ke arah dadanya.
Reksogati yang diserang heran. Mengapa sebabnya khabar yang telah didengarnya, jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sekarang ini?
Adipati Tuban dikhabarkan seorang sakti mandraguna tanpa tanding di Tuban. Tetapi mengapa sambaran pedangnya sekarang ini lambat sekali, kurang tenaga. dan masih di bawah setingkat lurah perajurit yang tadi menyerangnya ?
Tanpa bergerak pedang yang menyambar itu diterima dergan sentilan jari tangan.
"Cringg aduhh!" pedang itu terbang lebih dua tombak jauhnya, runtuh ke atas tanah, dan disusul oleh suara pekik tertahan dari mulut Adipati Tuban. Lengan kanannya, terasa lumpuh mendadak. Semangatnya runtuh. kemudian melompat untuk melarikan diri. Tetapi manakah mungkin dapat menghindar dari Reksogati yang sakti?
Sekali bergerak tubuh Adipati Tuban telah diringkus tak dapat berkutik.
Ketika itu pasukan yang tadi mengawal sudah mengurungnya. Reksogati mengancam Adipati' Tuban sambil membentak,
"Jangan bergerak. Siapa berani bergerak, kubunuh junjunganmu!"
Pasukan itu tentu saja tak berani bergerak. Tentu saja mereka tak ingin menyebabkan junjungan mereka celaka. Mereka hanya tetap mengurung, dengan perasaan mereka yang tegang dan khawatir.
"Hayo perintahkan kepada teman hambamu!" hardik Reksogati.
"Perintahkanlah semua perajurit supaya lekas enyah dari sini!"
Akan tetapi jawaban yang terdengar dari mulut Adipati Tuban, jauh meleset dari dugaannya. Bukannya memerintahkan pasukan itu supaya mundur, melainkan malah meratap,
"Aduhh..... ampunilah aku! Aduhhh.... Lepaskan aku. Kau keliru sangka. aku bukan Gusti Adipati Tuban. Aku, hanyalah pelayannya.."
Sudah tentu jawaban yang tak terduga duga itu menyebabkan Reksogati terkejut. Demikian pula pasukan yang tadi mengawal dan melindungi keselamatannya. Memang tidak seorangpun di antara pasukan yang mengawal itu tahu. bahwa yang dikawal dan diselamatkan, bukanlah Adipati Tuban. Maka para perajurit ini menjadi marah dan penasaran. Mereka segera ribut mencaci maki tak keruan. Mereka telah merasa dipermainkan oleh pelayan.
Akan tetapi sesungguhnya yang terjadi di luar kehendak pelayan ini. Tadi ketika pelayan ini sudah menyerahkan dua setel pakaiannya kepada Adipati Tuban, maka pakaian yang indah dari bahan yang mahal itu, ditinggalkan begitu saja. Pada mulanya pelayan ini tidak berani menyentuh dan hanya memandang dengan rasa heran. Mengapa Adipati Tuban membuang pakaian seindah dan semahal itu dan malah memilih pakaiannya yang kotor dan dari bahan yang murah dan kasar?
Tetapi setelah mengamati pakaian indah itu cukup lama, timbullah kemudian seleranya untuk mencoba-coba, mengenakan pakaian itu pada tubuhnya, sambil berpikir.
Ah, betapa gagah apabila aku mengenakan pakaian seperti ini.
Ah, harum wangi!
Tidak seperti pakaianku yang apek.
Mulut pelayan itu tertawa sendiri, setelah selesai mengenakan pakaian kebesaran Adipati Tuban. Dan sungguh kebetulan sekali, bahwa pakaian itu pas dengan tubuhnya. Setelah ia mengenakan pakaian yang berbau harum tersebut, terasalah sayang apabila harus melepasnya lagi. Namun ia segera ingat, apabila kelancangannya ini diketahui Adipati Tuban, nyawanya sendiri bisa melayang. Khawatir akan akibat itu, ia sudah menggerakkan tangan untuk melepas pakaian itu. Tetapi sebelum pelayan itu sempat membuka kancing baju, terdengar langkah beberapa orang masuk ke dalam kemah yang hanya diterangi lampu tidak begitu besar.
Ternyata yang masuk itu beberapa orang perajurit. Mereka segera menjatuhkan diri bersila dan memberikan sembah. salah seorang dari mereka bahkan gugup,
"Gusti, ohhh..... keadaan amat berbahaya, Gusti, selekasnya paduka harus menyelamatkan diri bersama hamba."
Mendengar kata orang itu, mendadak saja timbullah keinginan pelayan tersebut, bagaimanakah rasanya menjadi bangsawan dan dihormati. Ia tak jadi melepaskan pakaian itu, malah kemudian bersikap, berlagak dan bersuara meniru Adipati Tuban. Ia cepat menyetujui, dan jadilah pelayan ini dikawal untuk menyelamatkan diri. Para perajurit itu semua dalam keadaan khawatir dan gelisah maka tak tempat untuk meneliti lebih jauh. Dan dalam pada itu, merekapun berpendapat, taklah mungkin ada orang yang berani memalsu dan menyamar.
Akan tetapi sekarang kepalsuan pelayan ini telah terbongkar. Dan sebagai hadiahnya, pasukan itu ribut mencaci maki kalang kabut.
Reksogati tak membuka mulut, tetapi dalam dadanya bergolak kemarahan yang amat sangat, karena merasa ditipu mentah-mentah oleh seorang pelayan. Tiba tiba tangan Reksogati bergerak dan disusul suara
"prokk!"
Tubuh pelayan itu terkulai roboh, kepalanya pecah dan nyawanya melayang.
"Makanlah!" teriak Reksogati sambil menendang tubuh tak bernyawa itu, ke arah para perajurit.
Para perajurit itu kaget dan cepat menyebar diri. tak sedia di timpa tubuh pelayan yang telah tak bernyawa itu. Namun celakanya Reksogati sudah marah. Walaupun mereka dapat menyelamatkan diri dari sambaran tubuh pelayan itu, tidak urung mereka menjadi korban keganasan tangan dan kaki Reksogati yang menyebar maut. Para prajurit itu berusaha melawan juga dengan senjata masing-masing. Tetapi perlawanan mereka tidak ada artinya sama sekali, Dalam waktu yang singkat, sebanyak lebih kurang limapuluh orang telah roboh semuanya, malang melintang dan tumpang tindih tanpa nyawa lagi.
Pagi sudah hampir tiba ketika Reksogati kembali masuk ke dalam kemah pertahanan Tuban. Mayat bergelimpangan tumpang tindih di sana-sini, sedang kebakaran yang terjadi sudah padam sendiri. Keadaan telah sepi, tidak terjadi pertempuran lagi. Lalu tampak olehnya orang berkumpul pada bagian yang lapang di tengah deretan kemah pertahanan. Di situ, tampak banyak sekali perajurit Tuban yang duduk di atas tanah dengan kepala tunduk, menyerah dijaga oleh para perajurit Mataram. Pada tempat yang tak begitu jauh, tampak berdiri Ratu Wandansari, Pangeran Kajoran, Sawungrana, Adipati Uposonto dan Adipati Mandurorejo. Adipati Uposonto tampak terluka pundaknya dan telah dibalut dengan kain. Kiranya baik Adipati Uposonto maupun Adipati Mandurorejo, telah berhasil merobohkan lawannya. Empat orang Tumenggung Tuban, yaitu Kebo Bangah. Kebo Pembayun, Wanengyudo dan Warihkusumo, semuanya tewas. Memang empat orang Tumenggung itu tak sudi menyerah, dan sebagai orang yang setia kepada Tuban. memilih gugur di medan perang sebagai kesatriya yang gagah perkasa.
Ketika melihat munculnya Reksogati, Ratu Wandansari menggapai dengan tangan kanan. Memberi isyarat supaya pengawal itu datang menghadap,
"Reksogati! Apakah engkau dapat menemukan jejak Adipati Tuban? Telah diadakan penggeledahan di tempat ini, namun tak juga diketemukan!" kata Ratu Wandansari sambil mengamati penuh perhatian. .
Sudah tentu Reksogati tak sedia membeberkan pengalamannya yang memalukan itu. Baginya cukup dengan menjawab tidak tahu, dan tidak menemukan Jejak.
"Gusti, ampunilah hamba. Semalam hamba memang sudah curiga dan berusaha mencari. Namun sampai pagi ini, usaha hamba tak juga terujut."
"Hmm...... mengherankan juga !"
Ratu Wandansari menghela napas.
"Semalam, terjadi sejumlah pasukan Tuban yang berhasil menerobos keluar. Kami bertiga, aku, kangmas Kajoran dan Sawungrana membayangi dan melakukan pengejaran. Namun ternyata, dalam pasukan itu tidak juga terdapat Adipati Tuban."
"Ohhh..... terdapat pasukan yang berhasil menerobos ke luar? Dan sekarang, pasukan itu telah Gusti hancurkan tentunya."
Ratu Wandansari menggeleng.
"Sesungguhnya aku tak menghendaki korban yang terlalu banyak. Kita sendiri akan menderita rugi, apabila dapat mengalahkan Tuban, tetapi penghuninya hampir habis. Maka usaha kita yang penting, penguasaan tertinggi itulah tujuan kita yang terutama."
"Sekarang, apakah dawuh (perintah) Gusti yang harus hamba lakukan?" tanya Reksogati.
Puteri cantik itu tersenyum, kemudian mengerling kepada Pangeran Kajoran. Bangsawan muda ini mengerti maksud adiknya. Jawabnya,
"Kita selesaikan lebih dahulu urusan di sini. Mereka yang tewas cepatlah perintahkan untuk mengubur. Dan mereka yang terluka harus dirawat dan diberi obat. Langkah kita selanjutnya, bisa kita tentukan kemudian."
Ternyatalah bahwa penyamaran Adipati Tuban dan anaknya berhasil baik. Hingga Raja Tuban ini selamat dari maut. Kemudian Adipati Tuban bersama seluruh pasukan yang masih selamat itu. bergegas menuju Tuban.
walaupun harus mundur kembali, tetapi semua orang timbul harapan dan semangat baru. Bahwa dengan bertahan di kandang sendiri, ialah di kota Tuban, memperoleh banyak kemungkinan, dan merasa yakin akan dapat menghalau lawan.
Akan tetapi kelirulah perhitungan Adipati Tuban, kalau Ratu Wandansari dan Pangeran Kajoran puas dengan hasil yang diperoleh semalam. Dua orang bangsawan ini cukup cerdik dan bisa menduga. bahwa selamatnya Adipati Tuban itu, karena melepaskan pakaian kebesarannya dan menyamar. Maka begitu tiba di tempat pertahanan Mataram, Ratu Wandansari segera memerintahkan seluruh pasukan, pagi itu juga bergerak maju menggempur Tuban. Dan guna menghindarkan hal-hal yang merugikan Mataram, diutuslah Reksogati dan Sawungrana mendahului ke Tuban. Mereka bertugas untuk menangkap hidup atau membunuh mati Adipati Tuban. Sedang di samping itu apabila bertemu dengan Hesti Wiro supaya diajak serta memperkuat kedudukan murid murid Perguruan Tuban yang mengusai kota.
Setelah Sawungrana dan Reksogati berangkat, Ratu Wandansari cepat memerintahkan kepada Adipati Uposonto, agar mempersiapkan pasukan berkuda yang gemblengan. Pasukan berkuda yang ditentukan jumlahnya seribu orang itu, tugasnya mendahului gerakan paaukan Tuban yang mundur. Perlunya nanti, akan dapat menggencet Adipati Tuban dan pasukannya.
Biarlah segala sesuatu yang terjadi dalam perang antara Tuban dan Mataram ini kita tinggalkan dahulu.
Marilah kita layangkan sejenak perhatian kita ke kota Tuban yang dikuasai oleh murid-murid Tuban. Kota itu apabila matahari telah terbenam menjadi sepi. Semua penduduk telah menutup pintu rapat-rapat dan tak berani ke luar lagi. Sebab, seperti biasa yang terjadi di dunia ini, apabila terjadi keributan dan peperangan, timbullah manusia-manusia yang menggunakan kesempatan untuk berbuat jahat.
Ya, mahluk manusia yang hidup berkembang biak di dunia ini, memang tak pernah berubah sejak beriburibu tahun yang lalu. Ternyata amat rakus, dikuasai rasa cemburu, rasa iri hati, dendam, benci dan kekhawatiran. Tetapi kadang pula terdapat bintik cahaya gembira dan kasih sayang. Pada kenyataannya memang manusia ini merupakan suatu percampuran yang aneh. Campuran antara kebencian, ketakutan dan kelembutan hati. Justeru oleh karena itu, maka pada umumnya manusia lebih mendekatkan diri dan lebih mengutamakan "aku"nya dari pada yang lain. '
Untung sekali bahwa murid Tuban yang memperoleh kepercayaan berkuasa di Tuban. telah memperoleh bekal gemblengan lahir maupun batin. sejak Nenek Anjani masih hidup. Dalam pada itu, pada umumnya murid-murid Tuban ini terdiri dari anak rakyat Tuban sendiri. Maka walaupun sebagai penguasa baru, tidak menggunakan kesempatan untuk berbuat jahat. Mereka benar benar bertanggung-jawab baik kepada keselamatan jiwa dan harta benda penduduk. Malah pada rumah-rumah bangsawan Tuban yang mempunyai kedudukan penting. maupun rumah kadipaten, selalu dijaga para murid Tuban itu secara bergilir.
Akan tetapi walaupun para murid Tuban sudah berusaha mengamankan keadaan. namun jumlah mereka hanya terbatas. Maka para penjahat yang menggunakan keadaan darurat masih dapat mengganggu keamanan penduduk.
Dan malam itu, baru tabuh delapan. Namun sepinya kota, mirip dengan waktu sudah larut malam. Sesosok bayangan berkelebat gesit dan ringan mendekati tembok pekarangan rumah Tumenggung Kebo Bangah. Kemudian dengan gerakannya yang ringan, bayangan itu telah berhasil melompat tembok yang cukup tinggi. Lalu meniup turun tanpa suara.
Tak lama kemudian, bayangan yang mengenakan pakaian hitam itu, mendekati tempat di mana murid-murid Tuban menjaga. Agaknya lima orang murid Tuban itu tak menduga akan datangnya ancaman bahaya. Mereka asyik bersenda-gurau. Baru kemudian mereka menjadi kaget dan gugup, ketika bayangan itu masuk ke tempat jaga sambil membentak,
'Haiii! Apa saja kerjamu?"
Untuk sesaat mereka terbelalak. Mereka semula mengira, bahwa yang membentak itu Kartono, murid kepala Parguruan Tuban. Akan tetapi setelah dilihatnya bahwa yang membentak itu orang yang belum mereka kenal. Mereka cepat menghunus senjata masing-masing lalu menyebar diri siap siaga.
Melihat sikap lima orang penjaga itu, tamu yang tak diundang ini ketawa terkekeh mengejek. Sikapnya amat merendahkan, dan ia hanya berdiri seenaknya,
"Hai, mau apa kamu menghunus senjata? Kamu mengajak berkelahi?" _
"Bangsat busuk! Siapa kau berani masuk ke mari tanpa ijin ?" bentak salah seorang dari murid Tuban itu.
'Heh-heh, siapa yang bisa melarang aku? Bukan saja aku masuk ke tempat kamu berjaga ini. Malah aku akan masuk ke dalam rumah ini. Aku memang sengaja datang ke mari untuk bertemu dengan raden ayu tumenggung."
Setelah berkata demikian. ia ketawa terkekeh lagi. Lalu ia melangkah seenaknya meninggalkan lima orang murid Tuban yang telah siap dengan senjata masing-masing.
Sungguh sikap orang itu amat merendahkan sekali. Sudah berani masuk seperti maling, .masih berani pula akan masuk rumah. Tentu orang ini hanya ingin mengacau dan mengganggu ketenteraman keluarga Tumenggung Kebo Bangah saja. Mengingat bahaya yang bisa timbul dan mengingat pula tanggung jawab mereka, seperti memperoleh aba, mereka sudah melompat hampir berbareng. Salah seorang dari mereka membentak,
"Hai, berhenti!"
Tetapi orang dengan pakaian hitam singset itu tidak berhenti, dan menolehpun tidak. Dengan langkah seenaknya orang itu sudah hampir mencapai pendapa. Oleh sikap tamu tak diundang itu, lima orang murid Tuban ini menjadi marah dan penasaran. Hampir berbareng mereka sudah menyerang dengan senjata masing-masing
Serangan lima orang murid Tuban ini berbahaya, karena datang dari belakang. Namun anehnya orang berpakaian hitam ini tetap melangkah seenaknya, seakan tidak sadar diserang oleh pedang tajam. Apakah orang yang tak diundang ini memang sengaja mencari mampus?
Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara ketawa terkekeh, dan mendadak tamu yang tak diundang itu hilang dari pandangan mereka. Murid-murid Tuban ini menjadi kaget dan bingung. Apakah orang yang mereka serang tadi bukan manusia?
Kalau manusia mengapa bisa menghilang? _
Namun mereka cepat-cepat memutar tubuh, ketika mendengar suara terkekeh dari belakang mereka. Ternyata benar, orang yang tadi mereka serang malah di belakang mereka
"Apakah kamu masih keras kepala dan mau mengganggu aku?" hardik orang itu.
"Kamu hanyalah tikus tikus tiada harga bagiku. Maka sebelum aku marah, lekaslah kamu enyah dari sini!"
Dengan melihat kenyataan bahwa tamu yang tak diundang ini dapat bergerak ringan seperti itu, mereka memang menyadari bahwa orang ini tentu bukan orang sembarangan. Tetapi sebaliknya para murid Tuban ini bukanlah terdiri dari para pengecut. Mereka malam ini bertanggung jawab mengawal keselamatan isi rumah ini. Maka manakah mungkin mereka bisa digertak seperti itu?
Disamping itu. para murid Tuban ini mempunyai kepercayaan pula, bahwa dengan mengeroyok tentu akan dapat merobohkan tamu tak diundang yang amat kurangajar ini.
"Mampuslah!" teriak salah seorang, kemudian lima batang pedang menyambar secara berbareng.
Gerakan para murid Tuban ini cukup cepat dan berbahaya. Akan tetapi anehnya orang itu tak bergerak dari tempatnya berdiri, malah menyambut serangan tersebut dengan suara tertawanya. Kemudian, entah bagaimana caranya bergerak orang itu. Hanya tahu-tahu lima batang pedang murid Tuban itu telah terbang beberapa meter jauhnya.
Lima orang itu kaget dan terbelalak. Sungguh di luar dugaan mereka, bahwa hanya sekali gebrak pedang mereka sudah terbang dari tangan. Ini memberikan bukti akan kesaktian tamu yang tak diundang ini. Diam-diam mereka menjadi gentar juga. karena mereka sekarang sudah tak bersenjata. Dengan senjata saja, mereka berlima bukan tanding orang ini. Apa pula sekarang, mereka bertangan kosong.
Akan tetapi sebaliknya, mereka bukanlah pengecut pengecut yang lari dari tanggung jawab. Mereka sadar, apabila mereka membiarkan orang ini masuk ke dalam rumah. sulit dibayangkan apa yang akan dilakukan orang ini. Maka bagi mereka, tiada pilihan lain. Lebih baik mati dalam membela tugas, daripada harus hidup terus tetapi menjadi orang ternoda dengan gelaran pengecut. Memperoleh keputusan demikian. salah seorang yang bertugas sebagai pemimpin berteriak,
"Kawan-kawan. jangan takut. Kita bunuh manusia busuk ini! "
Mereka bergerak hampir berbareng menggunakan kepalan tangan dan kaki. Dan tamu yang tidak diundang ini menyambut dengan ketawanya yang mengejek.
"Heh heh-heh, kamu memang memilih mampus! Bukan salahku, tetapi kalian yang kepala batu !"
"Prak-prak-prak-prak-prak!" terdengar suara yang keras berturut-turut lima kali.
Hampir berbareng lima orang murid Tuban itu telah roboh dengan kepala pecah. Ternyata tamu tak diundang ini tanpa ragu-ragu lagi membunuh lima orang murid Tuban.
"Salahmu sendiri, huh!" gumam orang berpakaian hitam ini, kemudian melangkah lebar masuk ke pendapa. membiarkan lima tubuh tak bernyawa itu di tempat mereka roboh. '
Walaupun masih agak sore, pintu tengah yang menghubungkan rumah dengan pendapa itu sudah terkunci rapat. Pintu tengah itu terbuat dari papan jati yang tebal dan kuat dan terkunci pula. Namun tanpa kesulitan, orang ini dapat mendorong roboh. menimbulkan suara gedubrakan mengejutkan.
Ketika itu Raden Ayu Tumenggung Kebo Bangah justru sedang duduk di ruang tengah. dihadapi oleh tiga orang emban, dan seorang gadis cilik yang cantik, kira-kira baru berusia sepuluh tahun. Mereka tadi sedang asyik bicara tentang perang yang terjadi antara Tuban dan Mataram.
Raden Ayu Tumenggung ini merata prihatin dengan jatuhnya kota Tuban di tangan murid-murid Perguruan Tuban. Walaupun pada kenyataannya murid-murid Tuban yang berkuasa itu tak mengganggu, dan malah membantu dengan penjagaan, tetapi diam-diam amat khawatir. Bagaimanakah dengan suaminya yang sedang bertugas menghalau musuh?
Sejak berangkat bersama tumenggung yang lain, ia tak pernah menerima khabar dari suaminya.
Pembicaraan mereka terputus, dan wanita-wanita ini menjerit tertahan, mendengar suara gedubrakan dan robohnya pintu depan. Kemudian mereka terbelalak pucat melihat, munculnya seorang laki laki kurus dengan pakaian serba hitam. Hanya kain panjang yang membelit pada pinggang itu saja, yang mempunyai corak lain.
Tiga orang emban itu ketakutan, tubuhnya gemetar. Hanya gadis cilik itu yang tidak tampak takut, ia hanya terkejut, sekalipun demikian ia memeluk salah seorang emban yang mengasuhnya sejak kecil. _
Raden Ayu Tumenggung Kebo Bangahpun gemetaran tubuhnya. Ia terpaku di tempat duduknya. Sepasang mata yang indah itu terbelalak memandang pendatang tersebut. yang mendekatinya perlahan-lahan.
'Si.... siapa kau..... lancang masuk ke rumah ini...!" akhirnya Raden Ayu Tumenggung dapat membuka mulut, sekalipun tidak lancar.
Tiba-tiba saja tamu tak diundang ini ketawa terkekeh sambil berdiri. dan pandang matanya tak pernah lepas dari wajah ayu Raden Ayu Tumenggung. Setelah ia puas tertawa. barulah orang ini menjawab,
' Heh-heh-heh, lumrah saja sekarang engkau, telah lupa kepadaku. Hemm... ya, Sri Rukmi, engkau telah hidup mulia sebagai isteri seorang Tumenggung. Manakah mungkin ingat kepadaku?'
Raden Ayu Tumenggung Kebo Bangah yang disebut dengan nama kecil Sri Rukmi itu kaget. ia mengerutkan alisnya yang lentik, dan memperhatikan orang tersebut penuh selidik. Rasa-rasanya ia mengenal suara orang ini, tetapi entah siapa. Dan apabila dipikir, bahwa orang ini mengerti namanya, tentunya telah mengenal dirinya baik baik
",,Kau.. kau..... siapa....." tanyanya ragu-ragu.
Orang itu mendengus.
"Hmmm..... kiranya engkau sudah benar-benar lupa kepada seorang lakilaki yang engkau khianati cintanya."
"Aihh..... kau.... kau kakang Sungsang..?" jerit Raden Ayu Tumenggung, dan tiba tiba saja ia roboh pingsan.
Gadis cilik yang cantik itu anaknya. Ia bernama Titisari. Melihat robohnya si ibu, Titisari menjerit dan menubruk ibunya. Tiga orang emban itu kebingungan, mau bergerak takut kepada tamu yang tak diundang itu, tidak bergerak merasa tak tega.
Sebaliknya orang laki-laki kurus yang disebut namanya Sungsang itu, hanya tertawa terkekeh saja sambil berdiri. Namun kemudian Sungsang melangkah ke depan dan tahu-tahu Titisari sudah disambar, dijunjung tinggi di depannya. Didekatkan mukanya untuk meneliti wajah gadis cilik tersebut. Membuat Titisari menjerit-jerit, meronta dan ketakutan.
Tapi Sungsang tak perduli akan jerit dan tangis Titisari yang meronta di tangannya. Ia menoleh kepada salah seorang emban dan bertanya,
"Siapa bocah ini?"
"Ohh..... ahhh..." emban itu gugup dan tak cepat dapat menjawab.
".. dia....dia puteri ndara menggung....."
"Anak Sri Rukmi ?"
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak meraba raba dada Titisari. Ia menyeringai, terdengar gerutunya.
"Ah, sayang..... belum punya ..... hemm, masih amat kecil......"
Titisari yang ketakutan terus meronta-ronta dan menjerit-jerit. Tiga orang emban itu tak berani menolong, ketakutan, tak dapat membuka mulut, hanya memandang dengan mata terbelalak.
Untung pada saat itu Sri Rukmi sudah siuman dari pingsannya.
Ia tadi pingsan saking amat kaget!
Sebab ia tidak pernah menduga, bakal berhadapan dengan Sungsang. Nama Sungsang sudah lebih sepuluh tahun dilupakan setelah ia diambil sebagai isteri Tumenggung Kebo Bangah. Sekarang begitu sadar dan melihat anaknya di dalam jinjingan Sungsang, wajahnya menjadi lebih pucat lagi seperti kapas. . .
"Eh, eh lepaskan anakku.....!" teriak Sri Rukmi sambil bangkit.
Sungsang ketawa terkekeh sambil melepaskan Titisari, diturunkan ke lantai. Kemudian gadis cilik ini menubruk dan memeluk pinggang ibunya, sehingga Sri Rukmi terhuyung-huyung ke belakang hampir roboh.
Sungsang menjelajah isi rumah ini dengan pandang matanya. Kemudian, ia mengalihkan pandang matanya kepada Sri Rukmi. Katanya,
"Hemm rumah ini bagus, perabotnya komplit. Engkau hidup mulia sebagai isteri seorang Tumenggung. Hemm......"
Sri Rukmi menatap wajah Sungsang. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak juga ke luar suaranya. Baru sesudah ia dapat menguasai hati dan perasaannya, itu bertanya.
"Kakang...... kakang Sungsang.... Apakah maksudmu ..... datang ke mari ...?"
Sungsang menatap wajah Sri Rukmi beberapa saat. Kemudian terdengar lagi suara ketawanya yang terkekeh.
"Hemm.... kau bertanya mengapa aku datang ke mari?" sahut Sungsang.
'Hemm. bagus sekali pertanyaanmu itu! Dengarkan baik-baik, Rukmi, aku sengaja datang ke mari, bermaksud menemui seorang perempuan yang ingkar janji. Perempuan cantik tetapi berhati palsu.....'
"Kakang Sungsang....." jerit Sri Rukmi setengah meratap.
"Jangan engkau berkata begitu. Jangan engkau gampang menuduh orang....."
Namun kata-kata ini dihentikan sendiri sebelum selesai, karena ingat kehadiran tiga orang pengasuh (emban) yang seharusnya tak perlu tahu. Maka ia cepat menoleh kepada tiga orang hamba tersebut. Katanya,
"Bawalah Titisari ke belakang!"
(Bersambung Jilid 9)
Kisah Si Pedang Buntung
Lanjutan Ratu Wandansari
Karya : Widi Widayat
Jilid : 9
Pelukis : Janes
Penerbit "GEMA"
Metrokusuman 761 Rt 17
SOLO Ijin Penerbitan
Ijin : No Pol /3/26 aa-54/0-73
Surakarta tanggal 17 januari 1973
Cetakan Pertama 1973
**** Buku koleksi ; Aditya Indra Jaya
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit teks & pdf : Saiful Bahri Situbondo
(KOLEKTOR E-BOOK)
******
TENTU saja Raden Ayu Tumenggung Kebo Bangah yang ketika kecilnya bernama Sri Rukmi ini tak ingin pembicaraannya didengar oleh anaknya maupun tiga orang hamba itu. Karena Sri Rukmi takut, apabila kedatangan Sungsang yang tak diharapkan ini, akhirnya didengar oleh Tumenggung Kebo Bangah. Jika sampai terjadi demikian, akan celakalah dirinya. Ia bisa dituduh sebagai seorang isteri yang tidak setia. Pada saat suaminya sedang bertugas di medan perang, ia menerima tamu laki-laki di waktu malam.
Namun sebelum tiga emban itu bergerak dari tempatnya, Sungsang cepat mencegah,
"Jangan! Biar mereka dan bocah itu mendengar apa yang kita bicarakan. Ini bukan rahasia. Mengapa kau takut didengarkan orang lain ?" '
"Kakang........ ohh... mengapa kau sekejam itu?" ratap Sri Rukmi.
"Siapa yang kejam, heh-heh-heh!" balas Sungsang sambil terkekeh.
"Engkau gampang menuduh orang kejam. Tetapi lupakah engkau akan perbuatanmu sendiri? Engkau kejam Sri Rukmi. Apakah engkau tak merasa ? Hemm... engkau cantik menarik, tetapi ternyata hanya cantik di luar. Namun dalam hatimu......"
"Kakang Sungsang! jangan kau bicara begitu..."
Jerit sri Rukmi, dan dalam dadanya terdengar suara isak tertahan.
"Mengapa tidak. Sri Rukmi! Engkau sanggup mengkhianati cintamu kepadaku. Engkau memberikan janji palsu. Tetapi mana buktinya? Ternyata engkau hanyalah seorang perempuan yang silau oleh kedudukan tinggi dan harta kekayaan. Setelah seorang tumenggung tertarik kepada kecantikanmu, hem, engkau tinggalkan begitu saja laki-laki yang kauberi janji itu. Tahukah engkau Rukmi, bahwa laki-laki yang engkau khianati itu, yang engkau sia-siakan hampir mampus karena menderita."
"Kakang....!. jangan kau begitu......"
"Hemm laki-laki yang engkau sia siakan itu kemudian menderita sakit dan hampir mati....."
"Tidak! Engkau menuduh yang tidak-tidak......" jerit Sri Rukmi
"Kakang, aku bukan wanita seperti yang kau tuduhkan itu..... Tidak! Bukan! Kakang Sungsang....... Ohh..... engkau tidak tahu..... huk huk..."
Sekarang Sri Rukmi tak kuasa menahan tengis yang tadi ditahan-tahannya. Karena ibunya menangis,Titiek Sariningsih menangis pula. Salah seorang emban segera memeluk dan menghibur. Namum emban itu tak berani pergi dari situ, karena di samping takut akan larangan Sungsang, juga diam-diam ia ingin mendengar pula apa saja yang dibicarakan antara Raden Ayu Tumenggung dengan laki laki tak dikenal itu. Melihat keadaan dan mendengar 'apa yang sudah mereka bicarakan, jelas bahwa antara dua orang ini dahulu pernah terjadi hubungan cinta.
"Kakang'Sungsang.... huk-huk-huukkk.... engkau hanya tahu kepala tak tahu buntutnya..... Kakang, kau jangan cari menang' sendiri.... huk-huk.... Kau....kau... sendiri.... lupakan keadaan waktu itu? Aku....aku melawan kehendak orang maka...karena cintaku padamu...... Tetapi kakang... bagaimana mungkin perempuan...... aku dapat menghindarkan diri? Kakang.,....ohh......di samping itu, seharusnya pula engkau... dapat merasakan kesulitan ayah bundaku. Manakah berani menolak pinangan Ndara Menggung Kebo Bangah? Kakang... tentu kau mengerti alasan ini.....sebab jika menolak....tahu akibatnya pula"
"Hemm......ehem......"
Sungsang mendehem, tetapi tidak berkata apa-apa.
Dan sambil menyeka air matanya yang menetes turun dari sudut matanya, yang membasahi pipi kuning yang halus itu, Sri Rukmi meneruskan,
"Kakang......tahukah engkau bahwa ketika itu......aku menangis sepanjang hari ketika hari perkawinan hampir datang? Dan apakah engkau tak mendengar jeritanku...... ketika itu aku selalu memanggil namamu? Hu--hu-huukk... aku menjadi isteri Ndara Menggung Kebo Bangah karena terpaksa......."
Sungsang terkekeh, kemudian mengejek,
"Terpaksa, tetapi setahun kemudian....., punya anak juga,.....?"
"Kakang! mengapa seperti ini engkau sekarang...?" jerit Sri Rukmi di tengah isaknya.
" Bagaimana mungkin.... aku dapat membangkang dan menolak terus......? Kakang... hu-hu-huuukkk, engkau harus mau mengerti kesulitanku... Kau harus mau mengerti.... akan kekuasaan Ndara Menggung Kebo Bangah dan...... kedudukan orang tuaku...... sebagai petinggi (lurah ), Kakang... kalau aku tetap membandel..,... orang tua dan seluruh keluargaku... akan celaka...... Jadi... sebagai anak aku harus sanggup berkorban demi ayah bunda dan keluargaku...... Dan buktinya kakang... ternyata Ndara Menggung amat mencintai...... Dia.... hanya memiliki isteri seorang...... aku melulu..."
'Heh-hah-heh. engkau boleh membela diri. Engkau boleh membantah. Namun tak mungkin berubah pendirianku, engkau seorang perempuan yang silau harta kekayaan."
Akan tetapi sesungguhnya dalam hatinya, Sungsang Pun dapat menerima alasan yang dikemukakan Sri Rukmi itu. Memang siapakah orang tua gadis yang berani menolak pinangan seorang tumenggung?
Akibatnya bisa celaka!
Dan iapun mengerti pula, bahwa ketika itu Sri Rukmi amat sedih, seperti dirinya pula.
Dahulu, begitu putus hubungan cintanya dengan gadis Sri Rukmi. anak petinggi di desanya. Sungsang menJadi amat sedih dan putus harapan, di samping berubah seperti gila. Setiap hari ia hanya merenung menyendiri. dan yang dipilihnya duduk di tempat sepi di pinggir kali yang tak jauh dari desanya. Ia beranggapan bahwa hidupnya tidak mempunyai arti lagi. ingin sesungguhnya untuk membunuh diri akan tetapi ia takut mati.
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lucu juga sesungguhnya, belum pernah mengenal apa yang disebut mati sudah ketakutan sendiri. Apakah yang bakal terjadi sesudah mati, semua orang tidak tahu. Kalau demikian. mengapa takut?
Dahulu ketika dilahirkan dan hidup di dunia ini, bukan kehendak sendiri..
Semua itu sudah ada yang mengatur.
Kalau mengerti ada yang selalu mengatur, mengapa takut dan khawatir?
Pada suatu hari. ketika Sungsang sedang duduk merenungi nasibnya seperti biasa dilakukan, di atas sebuah batu besar di pinggir kali, mendadak muncullah seorang kakek yang sudah duduk di sisinya. Ia benar-benar terkejut. Karena munculnya kakek itu seperti setan, tidak bersuara dan tidak pula diketahui kedatangannya. Karena taget, untuk beberapa lama Sungsang tak dapat membuka mulut, hanya menatap kakek itu dengan mata terbelalak. .
Kakek itu ketawa terkekeh.
"Hai anak. engkau kaget? Atau, engkau takut kepadaku?"
Sungsang menggeleng.
"Tidak! Tetapi kakek, siapakah engkau ini?"
"Heh-heh-heh. engkau ingin juga tahu tentang namaku? Mengapa engkau merepotkan nama segala? Aku melihat engkau sedang menderita. Engkau sedih hati. Bukankan begitu? Apakah yang menyebabkannya?"
Kalau saja yang menanyakan persoalan ini orang tuanya atau sanak sekeluarganya, tentu ia tak mau menjawab. Karena tak berguna, dan hanya akan menambah deritanya . Orang tuanya tak bisa membela, demikian pula yang lain. Akan tetapi bertemu dengan seorang kakek yang munculnya seperti setan ini, ia menduga bahwa kakek ini seorang sakti. Kalau mungkin ia akan minta pertolongan, agar dapat merampas Sri Rukmi dari tangan Tumenggung Kebo Bangah.
Maka diceritakanlah kemudian apa yang diderita sekarang ini. Kemudian ia minta pula, agar kakek ini suka menolong. Kakek ini ketawa terkekeh ketika mendengar ceritanya. Kemudian terdengar katanya.
"Bagus, itulah bagus!"
Sungsang terbelalak.
"Apanya yang bagus?"
"Cintamu yang putus itu."
"Mengapa bagus ?" bantah Sungsang penasaran.
"Aku menderita karena putus cinta. Mengapa kakek malah mentertawakan dan mengejek ?"
Kakek itu masih ketawa terkekeh. Kemudian katanya.
"Hah-heh-heh, aku punya kawan sekarang. Aku punya sahabat yang mempunyai nasib sama. Tahukah engkau... .. bahwa ketika aku muda, akupun menderita karena cinta?"
Sungsang terbelalak dan tertarik. ia merasa terhibur ketika mendengar orang lain juga menderita karena cinta.
Hemm, sungguh aneh manusia di dunia ini, kalau ada orang lain yang menderita sama dengan dirinya, merasa senang, merasa terhibur.
"Hayo, ikutlah aku. Nanti akan aku ceritakan tentang riwayatku ketika muda. Ketika aku disakitkan hatiku oleh perempuan. Karena perempuan 'itu memilih kawin dengan seorang tumenggung yang banyak harta."
"Ahhh..... sama dengan aku, kakek! Perempuan yang membuat aku menderita inipun, karena sekarang diambil sebagai isteri tumenggung."
Sungsang berjingkrak. ,
"Ha-ha-ha..... jodoh. Engkau jodoh. Cocok dengan aku. Hayo kita pergi, dan sejak sekarang kau jadi muridku."
Kakek ini bukan lain adalah Patra Jaya. seorang kakek sakti mandraguna tetapi juga seorang yang gemar kepada perempuan cantik. Ia menjadi seorang pemburu wanita, karena pernah disakitkan hatinya, merasa dikhianati perempuan. Dalam cerita "Ratu Wandansari" sudah anda kenal Patra Jaya ini. Ia seorang kakek sakti pengawal rahasia Ratu Wandansari. Akan tetapi kemudian kakek ini terpaksa melarikan diri oleh fitnah Lawa Ijo, salah seorang tokoh Gagak Rimang. Lawa Ijo menculik salah seorang "garwa selir" Sultan Agung, lalu disembunyikan di dalam kamar Patra Jaya. Maka ketika rahasia itu terbongkar, Patra Jaya tak dapat membela diri, kemudian lari bersama Gupala, adik seperguruannya.
Di bawah asuhan dan gemblengan kakek Patra Jaya yang cabul ini, kemudian Sungsang menjadi seorang pemuda gemblengan dan pilih tanding dalam hal kesaktian. Sayang, wataknya menjadi rusak oleh pimpinan yang salah. Kakek Patra Jaya yang nasibnya sama itu, membawa muridnya supaya berbuat yang sama.
Berburu perempuan cantik.
Kepergian Patra Jaya, menyebabkan pula Sungsang kehilangan naungan. Ia tak kerasan lagi hidup di Karta. Lalu ia berkelana seorang diri, sambil mengumbar nafsu berahinya. Ia merupakan seorang pemuda pilih tanding dalam kesaktian, akan tetapi berbahaya bagi perempuan.
Kemudian teringatlah ia akan sebab dan mula pertama diambil sebagai murid Patra Jaya.
Teringatlah ia kepada Sri Rukmi yang sekarang menjadi isteri Tumenggung Kebo Bangah di Tuban. Ia disakitkan hatinya. Ia telah di khianati cintanya. Maka timbullah hasratnya yang kotor untuk membalas dendam kepada perempuan itu. Baginya sekarang, tidak takut harus berhadapan dengan Tumenggung Kebo Bangah sekalipun. Namun ternyata dalam perjalanan, ia mendengar bahwa Adipati Tuban dan hamba sahayanya sudah bertahan di luar kota, termasuk pula Tumenggung Kebo Bangah. Ia agak kecewa mendengar khabar itu.
Akan tetapi keinginannya bertemu Sri Rukmi amat mendesak. Maka malam ini, datanglah Sungsang ke rumah Tumenggung Kebo Bangah, membunuh lima orang murid Tuban dan sekarang sudah berhadapan dengan perempuan yang dulu diCintainya dan dipujanya sebagai dewi.
Dan karena perasaan kewanitaan Sri Rukmi tersiksa kata-kata tajam Sungsang, maka ia menangis. Menyesal sekali, mengapa sebabnya laki-laki yang dulu dicintai ini tak juga mau mengerti kesulitannya. Tetap beranggapan dan menuduh bahwa dirinya seorang perempuan yang kemaruk harta dan kedudukan.
Untung sekali bahwa ketika itu Titiek Sariningsih sudah tidur dalam pondongan pengasuhnya. Kalau saja gadis cilik ini belum tidur, tentu ikut menangis melihat ibunya. Oleh pengasuhnya, Titiek Sariningsih telah ditidurkan di dalam kamar. Sesudah itu, karena emban tersebut ingin pula mendengar pembicaraan Sri Rukmi dan Sungsang, walaupun takut ia kembali duduk berkumpul dengan emban yang lain.
"Mana suamimu sekarang?" tanya Sungsang, sekalipun ia sudah tahu bahwa Tumenggung Kebo Bangah di medan perang.
Sri Rukmi menghentikan tangisnya. menatap Sungsang.
Tiba-tiba saja, bangkitlah keangkuhan Sri Rukmi sebagai isteri seorang Tumenggung.
"Huh, apakah engkau berani datang kemari, apabila suamiku di rumah ?"
Sungsang terkekeh. Lalu ejeknya,
"Siapa yang tak berani? Kalau dia laki-laki, akupun laki-laki!"
"Kau ingin mengajak berkelahi?" .
"Mengapa tidak? Akan kubunuh dia. Akan kubalas kesewenangannya. Kuhancurkan kepalanya, laki-laki yang dahulu membuat aku menderita."
"Kakang.....ohhh..... mengapa kau berubah seperti ini? Mengapa kau tak mau mendengar kata-kataku?"
"Engkau sendiri yang membuat aku berubah seperti ini. Heh-heh-heh! Engkau harus tahu, Rukmi. Sungsang sekarang bukanlah Sungsang sebelas tahun yang lalu. Sungsang sekarang bukanlah laki-laki lemah seperti dulu. Tahukah engkau bahwa lima orang penjaga di luar sudah kubunuh semuanya?"
"Aihh......!' jerit Sri Rukmi diikuti pula jerit tiga orang emban.
Benar-benar mereka terkejut. Mereka semula hanya merasa heran. mengapa penjaga di luar diam saja dan tidak melarang orang ini masuk ke dalam rumah. Ternyata semua penjaga sudah tewas.
"Kakang......kau sekejam itu?"
Sri Rukmi menatap Sungsang dengan bibir gemetar dan wajah makin pucat,
"Bukan aku yang salah. Mereka melarang aku masuk."
Sungsang membantah.
"Terpaksa aku turun tangan kepada lima orang kepala batu itu."
"Kakang...... setelah engkau bertemu dengan aku, apa saja maksudmu?" tanya Sri Rukmi agak ragu.
"Kakang aku mohon belas kasihanmu. Jangan terlalu lama engkau datang sebagai tamu di rumah ini, di saat suamiku tidak ada."
"Apa sebabnya?
"Kakang...... ohh...... kasihanilah aku," ratap Sri Rukmi.
"Engkau harus mengerti adat dan tata santun masayarakat yang berlaku. Perempuan yang telah...... bersuami. tidak pantas menerima tamu laki-laki pada waktu malam... dan di saat suaminya tak ada. 0rang... biaa menuduh yang tidak-tidak......"
"Mengapa kaurepotkan semua itu? Kau benar. Aku datang kemari memang mengandung sesuatu maksud, Dan apa yang nanti dikatakan orang justeru benar. Bukan tuduhan kosong. Heh-heh-heh......"
Sri Rukmi terbelalak. Dua belah tangannya diangkat lalu dua telapak tangan itu dipergunakan menopang dagu. Agaknya dua telapak tangan itu untuk menolong, agar ia masih dapat mempertahankan kepalanya yang mendadak berdenyut dan pening mendengar kata kata Sungsang itu.
'Kakang......., apa yang akan akulakukan........?"
"Heh-heh-heh...... apa yang akan kaulakukan, mengapa kau masih bertanya? Kalau seorang laki-laki datang ke rumah perempuan, di waktu malam pula, apa maksudnya? Heh-heh-heh......"
"Kakang...... ohh...... demi Tuhan. Jangan! Kakang, engkau jangan merusak hidupku...... ohh...... jangan......!"
Sungsang terkekeh. Katanya,
"Mengapa engkau takut, Rukmi? Bukankah suamimu tiada di rumah ?"
"Kakang...... apakah engkau sudah berubah menjadi manusia biadab? Jika engkau nekad.... aku tentu menjerit!"
"Menjeritlah! Siapa takut? Siapa yang berani mengganggu aku, hemm. tentu kuremukkan kepalanya, seperti ini....... plak-plak-plak...... aihhh......."
Tiga orang emban yang tadi duduk di atas lantai itu telah roboh terlentang di lantai dengan kepala pecah oleh pukulan Sungsang.
Robohnya tiga orang emban itu disusul jerit Sri Rukmi, yang_lalu roboh terguling dan...... . pingsan.
Pada saat Itu telinga Sungsang yang peka menangkap gerakan orang dari arah rumah belakang. Tiba-tiba ia seperti disadarkan, bahwa penghuni rumah Tumenggung Kebo Bangah bukan hanya Sri Rukmi dan tiga orang emban ini. Maka seperti kerasukan iblis, Sungsang sudah melompat dengan ringan sekali. Ketika pintu rumah belakang itu terbuka, tangannya bergerak.
Prak prak!
Dua orang perempuan yang kaget mendengar jerit Sri Rukmi, dan baru saja membuka pintu telah roboh dengan kepala pecah pula, dipukul oleh Sungsang. Sesudah itu Sungsang bergerak cepat menuju ke belakang. Timbullah nafsunya untuk menghabiskan seluruh penghuni rumah ini sebagai pembalasannya terhadap Tumenggung Kebo Bangah.
Beberapa lama kemudian Sungsang telah kembali ke rumah tengah. Ia dapatkan Sri Rukmi masih menggeletak pingsan. Dalam keadaan telentang dan tidak bergerak nu, seakan Sri Rukmi hanya tidur. Bibirnya itu sekalipun agak pucat karena pingsan, namun indah dan menyedapkan sekali dipandang. Malah bagi Sungsang yang sudah memperoleh pendidikan'rusak dari gurunya ini. bibir tersebut menimbulkan gairah dan membuat jantungnya berdebur. Tiba-tiba saja Sri Rukmi yang masih pingsan ini diangkat, lalu dipangku.Dan sesaat kemudian ia sudah menciumi bibir Sri Rukmi penuh nafsu.
Ternyata ciuman maling yang dilakukan Sungsang itu malah membuat Sri Rukmi tersadar dan tersedak. Ketika membuka matanya, perempuan ini kaget melihat raut wajah menyeringai yang amat dekat sekali dengan wajannya. Lalu ia merasa pula dipeluk dengan kuat.
"Lepas! Lepaskan aku!?" jerit Sri Rukmi sambil meronta.
Sambil terkekeh, dilepaskan juga tubuh Sri Rukmi yang padat berisi itu. Sebab ia percaya, bahwa tak mungkin calon korbannya ini akan lolos. Ia akan membalas dendam kepada perempuan ini. Maka ia akan melakukan apa saja yang dapat membuat hatinya puas.
Sri Rukmi cepat bangkit berdiri. Matanya terbelalak, tetapi membayangkan kemarahan yang amat sangat.
"Kakang Sungsang... mengapa engkau berani berbuat ....."
Kata-kata Sri Rukmi yang belum selesai iin, terputus dan tertindih oleh suara ketawa Sungsang yang terkekeh,
"Kau bertanya mengapa aku melakukan perbuatan ini? Hemm, Rukmi! Tanyakan kepada dirimu sendiri, hehheh-heh. Apakah engkau lupa bahwa dahulu aku seorang pemuda desa yang selalu dlpuji orang, sebagai seorang pemuda sopan dan rajin? Nah, tentu engkau ingat. Waktu itu, sekalipun aku dan engkau telah saling berjanji dan mengikat hati dengan cinta. Namun, engkau aku samakan dengan bunga mawar yang indah dan pantas dipuja. Aku sudah puas hanya memandang, menikmati keindahanmu tanpa menyentuh sedikitpun. Heh-hehheh. karena aku berpendapat, bahwa bunga yang telah terjamah manusia itu, akan mempercepat bunga itu layu. Tetapi. huh-huh, bunga yang kupuja dan kusayang itu kemudian dipetik orang. Bukankah ini menyakitkan hatiku?' '
'Tapi kakang...... kau harus tahu batas susila. Aku isteri orang......" .
Kata-kata Sri Rukmi ini terputus lagi oleh suara ketawa Sungsang.
"Heh-heh heh-heh, aku sekarang tak perduli lagi akan semua itu. Engkau isteri orang maupun bukan, aku tak perduli. Engkau harus menyerah, Rukmi! Aku sebagai ganti suamimu.."
"Jangan! Tidak! Jangan, kakang...... demi Tuhan..... jangan kau berbuat terkutuk itu......."
"Mana yang terkutuk? Engkau perempuan dan aku laki-laki. Hayo, kau harus menyerah!" .
Sri Rukmi ketakutan dan bingung. Mendadak ia lari dengan maksud menyembunyikan diri ke dalam kamar. Tetapi tiba-tiba ia sudah menubruk Sungsang yang ketawa terkekeh. Sri Rukmi membalik dan mau lari ke kamar lain. Akan tetapi dengan amat ringannya Sungsang telah melompat dan menghadang lagi di depannya, malah jari tangannya bergerak mengusap pipi yang halus itu. Karena Sri Rukmi berusaha melawan. berusaha lari. malah timbullah kegembiraan Sungsang yang bermaksud membalas dendam ini. Ia akan mempermainkan Sri Rukmi ini seperti seekor tikus berhadapan dengan kucing. Dengan demikian, pembalasan sakit hatinya akan lebih membuat puas.
Inilah nafsu!
Nafsu manusia menjelma dalam berbagai bentuk. Nafsu yang baik, akan membantu manusia melahirkan suatu karya seni yang agung. Akan tetapi nafsu manusia yang timbul oleh dendam dan kebencian, dapat menimbulkan hal-hal yang tak pernah bisa dibayangkan manusia. Sungsang dahulu memuja dan mencintai secara tulus kepada Sri Rukmi. Akan tetapi begitu terdapat luka dan sakit hati. cinta itu berubah menjadi kebencian.
Sri Rukmi membalik lagi dan lari, bermaksud masuk ke rumah belakang. Tetapi tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh. ketika melihat dua sosok mayat dengan kepala pecah melintang di tengah pintu. Ia menabrak lagi Sungsang yang sudah mau bergerak menghadang. Jari tangan Sungsang bergerak lagi, meraba dada. Sri Rukmi menjerit kecil sambil menghindarkan diri, dan menggunakan tangannya yang kecil halus untuk menghalau. Tetapi celakanya sentuhan jari tangan Sungsang tadi berubah menjadi cengkeraman.
Bret!
Baju Sri Rukmi bagian depan telah robek lebar. Sekarang dada Sri Rukmi tinggal tertutup oleh kemben (kain penutup dada),sehingga dada yang kuning itu tampak melela.
Sri Rukmi makin ketakutan dan bingung. Ia kembali akan lari masuk ke dalam kamar anaknya. Akan tetapi lagi-lagi Sungsang sudah menghadang, dan menyambar kain penutup dada.
Bret!
Kain penutup dada itu hancur berkeping-keping, disertai jerit Sri Rukmi sambil berusaha menutup payudaranya dengan telapak tangan. Sungsang terkekeh senang melihat Sri Rukmi kebingungan itu.
"Apakah kau tak mau menyerah. Rukmi!" bujuk Sungsang sambil melahap kulit yang kuning itu.
"Kakang......ampun..... jangan kaulakukan ini....." ratap Sri Rukmi sambil terisak, dan berusaha berlari lagi.
Akan tetapi Sri Rukmi tergesa.
Ia terantuk tempat ludah merah (dubang, ludah orang makan sirih) Terdengar suara gemerontang, ludah merah berhamburan di lantai, dan Sri Rukmi sendiri terguling. Sesungguhnya Sri Rukmi sudah payah. Kalau ia tadi masih nekat berlarian, bukan lain didorong oleh takut dan ingin menyelamatkan diri. Dan karena terguling, telapak tangan yang menutup dada terlepas. Sungsang terkekeh senang melihatnya.
Sri Rukmi cepat bangkit untuk lari lagi, sekalipun kakinya sudah hampir tak sanggup melangkah, dan ia merasa letih yang sangat. Akan tetapi Sungsang tak sedia memberi kesempatan Sri Rukmi lari lagi.
Brett!
Kain panjang yang dicengkeram hancur robek berkeping keping. Disusul jerit Sri Rukmi, dan suara ketawa terkekeh Sungsang yang gembira.
Sri Rukmi makin pucat, tubuhnya gemetaran, lalu menjatuhkan diri dan cepat membungkus diri dengan tikar yang tadi dipergunakan duduk. Namun Sungsang yang sekarang sudah kemasukan setan, tak mau menunda waktu lagi. Tikar dicengkeram dan hancur. Tubuh Sri Rukmi didekap. sehingga tak dapat bergerak lagi.
"Rukmi! Mengapa kau melawan?"
"Ampun...... jangan kau lakukan ini...... Bunuh sajalah aku.,...."
"Bagus! Jika engkau tetap keras kepala, siapa yang sudi memberikan ampun? Huh-huh, tentu engkau akan kubunuh. Tetapi terlalu enak bagimu yang membuat aku sengsara. kalau tak kusiksa setengah mati lebih dulu."
mendadak ia teringat kepada Titiek Sariningsih. Ia kenal kelemahan perempuan sebagai ibu. Apabila anaknya diganggu, demi keselamatan anaknya, tentu sanggup mengorbankan apa saja.
Tiba-tiba ia ketawa terkekeh sambil melepaskan Sri Rukmi.
"Bagus, sekarang biarlah engkau melihat pertunjukan yang menarik. Aku akan memperkosa anakmu yang kecil itu......"
Mendengar itu Sri Rukmi terbelalak kaget. Ketika Sungsang bergerak akan masuk ke kamar, tiba-tiba Sri Rukmi menubruk dan memeluk.
"Jangan! Kakang.....jangan! Ya......aku menyerah apa saja yang akan kaulakukan terhadapku. Tetapi,..... jangan kauganggu Titiek Seriningsih."
Sungsang menyeringai menang. Kemudian bibir yang menggairahkan itu dikecup penuh nafsu.
Cinta memang aneh.
Cinta bisa menimbulkan kemesraan, namun juga bisa menimbulkan balas dendam yang mendirikan bulu roma. Apa yang terjadi di dalam rumah Tumenggung Kebo Bangah sekarang ini, adalah satu bentuk dari akibat cinta. Cinta yang terputus, kemudian datang kebencian dan sakit hati.
Karena semua penghuni rumah itu sudah habis di bunuh oleh Sungsang yang seperti gila dan kemasukan setan, maka apa yang terjadi tidak seorangpun tahu. Apa pula rumah besar itu dibatasi oleh tembok yang tinggi. Dalam keadaan biasa, rumah ini selalu terasing dari pergaulan ramai.
Tetapi pada dinihari, berkelebatlah bayangan tubuh yang kurus tetapi gesit, melompat pagar tembok yang tinggi itu masuk ke dalam. Bayangan ini merasa curiga ketika sayup sayup mendengar suara tangis dari dalam rumah yang terkurung tembok tinggi ini. Mengapa tidak ada seorangpun penghuni rumah ini, yang berusaha menghentikan dan menghibur bocah yang menangis itu?
Tiba-tiba orang ini berseru tertahan saking kaget. melihat lima sosok tubuh menggeletak di depan pendapa. Orang ini menggelengkan kepalanya, ketika melihat tewasnya korban dengan kepala pecah oleh pukulan tangan kosong. Diam diam orang ini dapat menduga, bahwa pembunuh lima orang ini sakti mandraguna. Mengingat kemungkinan ia akan berhadapan dengan lawan tangguh, ia bersikap hati hati. Ia masuk pendapa dengan ringan dan penuh kewaspadaan. ketika melihat pintu tengah terbuka lebar, tetapi daun pintu roboh di atas lantai.
Ketika tiba di depan pintu, ia tak berani lancang masuk. Berbahayalah apabila lawan tangguh itu bersembunyi di balik pintu. Dengan cerdiknya orang kurus ini kembali ke luar pendapa memondong sesosok mayat. kemudian dipergunakan untuk memancing dengan lebih dahulu tangan mayat itu dilonjorkan ke depan. Namun ternyata tiada serangan datang dan tak terdengar suara apa-apa. Yang terdengar hanyalah suara tangis anak itu yang sekarang sudah serak, dan menyentuh perasaannya menimbulkan rasa iba.
Tiba-tiba orang ini menjadi nekad melompat ke dalam, sambil memutarkan senjatanya melindungi tubuh. Tetapi ia menjadi lega, ketika tiada serangan datang. Ia menebarkan pandang matanya, sambil menyimpan senjatanya kambali setelah jelas tiada sesuatu yang menangis itu.
Mendadak ia menghentikan langkahnya. terbelalak dan hampir berseru. Ia melihat tiga orang wanita tewas dengan kepala pecah pula. Dan ketika ia memandang ke arah anak yang menangis itu, ia lebih terkejut lagi. Ternyata anak perempuan itu, sambil menangis, mengguncang-guncang tubuh seorang wanita yang telanjang bulat. menggeletak di atas lantai. Semula orang ini mengira bahwa perempuan yang telanjang bulat itu, sengaja tidur tanpa pakaian di atas lantai. Akan tetapi setelah memandang seksama. jelas bahwa wanita itu telah mati.
Orang ini menghela napas panjang. Sebagai orang yang sudah luas pengalaman, segera dapat menduga bahwa di dalam rumah ini telah terjadi penjagalan manusia secara kejam kepada seluruh penghuni.
Ia melepaskan kain panjangnya sendiri. Kemudian ia mendekati wanita yang telanjang bulat tersebut, dan menutupi tubuh tersebut dengan kain.
"Anak, mengapa kau menangis?" tanya orang itu dengan halus.
Titiek Sariningsih menoleh dan kaget. Sepasang matanya yang merah terbelalak menatap tanpa berkedip. Ia terisak-isak. lalu terdengar jawabannya yang serak.
"Ibu... ibuku ini.... kek.. mengapa diam saja tak mau bangun? Dan dan mengapa telanjang.....?'
Orang ini sudah menduga, bahwa wanita malang yang tewas dengan tubuh telanjang ini, sebelum dibunuh diperkosa lebih dulu. Tadi sepintas kilas ia mengamati tubuh telanjang itu, tetapi tidak tampak bekas luka. Baru sekarang,setelah berada di samping mayat Sri Rukmi, ia mengangguk dan mengerti. Pada leher yang kuning dan jenjang itu, terdapat bekas jari. Jadi jelaslah bahwa tewasnya wanita ini oleh cekikan jari tangan yang kuat.
"Oh, dia ibumu? Biarkan ibumu tidur dulu nak. agaknya ibumu terlalu capai...." hibur orang itu dengan halus dan rasa kagum.
Sungguh merupakan seorang bocah yang berani dan berbakat baik. Bocah biasa. berhadapan dengan seorang yang belum dikenal tentu takut. Hatinya berkenan. Kemudian ia bertanya lagi.
"Rumah siapakah ini. nak?"
"Rumah ayahku."
"Siapakah nama ayahmu?" .
"Tumenggung Kebo Bangah."
"Oh... di manakah ayahmu sekarang?"
Kakek itu sudah bisa menduga, bahwa ayah anak ini tentu ikut ke medan perang. Namun demikian ia masih bertanya juga.
"Ayahku pergi sudah beberapa hari, kek. Tadi tadi eh ...."
Titiek Sariningsih mengingat-ingat. Kemudian lanjutnya,
"Tadi di rumah ini datang seorang tamu ."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki, Tadi eh..... tamu itu bicara dengan ibu. Tapi ..... aku tak tahu lagi karena aku tidur "
Titiek Sariningsih menghentikan kata-katanya. kemudian mengangkat kepala memandang sekaliling. Agaknya dia sedang menCari sesuatu. Kemudian ia bangkit berdiri ketika melihat pengasuhnya terlentang di atas lantai. Tiba tiba Titiek Sariningsih menjerit kecil dan menubruk pengasuhnya itu.
Kakek itu melesat, mengangkat tubuh Titiek Sariningsih sambil menghibur, katanya halus.
"Diamlah, nak, ah..... siapa namamu ..., ?"
"Hi-hik huk-huk-huukkk . embok ..... embok mengapa dia ? Kakek . mengapa kepalanya pecah dan ke luar darah?"
Titiek Sariningsih meratap sambil menyembunyikan mukanya ke dada kakek yang kerempeng itu, tidak menjawab pertanyaan orang.
"Sabar dulu nak. sudahlah......" Kakek itu diam diam sedih dan terbaru, melihat peristiwa menyedihkan ini.
Apa aja kesalahan perempuan-perempuan ini, sehingga menjadi korban kekejaman sedemikian rupa?
Dan siapa pula orang yang sampai hati melakukan pembunuhan seluruh isi rumah ini?
"Tapi kek .. . , ibu . . . . huk-huk-huuukkk.. . . mengapa tidur terus di lantai? Ibuuu...."
Titiek Sariningsih berusaha melepaskan diri dari pangkuan dan pelukan kakek itu. Dan kakek itupun tidak mempertahankan, dibiarkannya Titiek Sariningsih lari lagi kepada ibunya. Gadis cilik ini kemudian berlutut di sisi ibunya sambil masih terisak isak, tangannya mengguncang-gunung tubuh ibunya yang sudah menjadi dingin dan kaku itu.
Siapa kakek kurus yang tiba-tiba muncul di rumah ini dan memperhatikan nasib Titiek Sariningsih yang tinggal di antara mayat-mayat penghuni rumah besar ini?
Kakek ini adalah Sindu.
Ia datang ke kota Tuban ini, bermaksud menemui Reksogati dan Sawungrana. Ia akan bicara terus terang dengan dua orang kakak seperguruannya itu, bahwa mulai sekarang ia minta diri. Ia tak sanggup lagi meneruskan pekerjaannya sebagai pengawal Mataram. Dan ia ingin menjadi manusia bebas, tanpa ikatan suatu pengabdian kepada siapapun. Akan tetapi ternyata, sekalipun Tuban telah dikuasai murid-murid Tuban yang berbalik membantu Mataram. dua orang kakak seperguruannya itu, tak juga bisa diketemukan. Pada akhirnya. ia bermaksud meninggalkan kota Tuban dan tentang maksudnya bertemu dua orang kakak seperguruannya itu akan ditunda dahulu.
Secara kebetulan, Sindu lewat di dekat rumah Tumenggung Kebo Bangah. Ia menjadi curiga ketika mendengar suara tangis anak yang sayup sayup terdengar dari rumah yang dilingkungi tembok tinggi ini. Karena curiga ia menjejak tanah, melompati pagar tembok. Akhirnya Sindu berhadapan dengan lima sosok mayat murid Tuban dan pintu rumah yang terbuka.
Bertemu dengan Titiek Sariningsih yang telah ditinggal mati ibunya sebagai korban pembunuhan sedang di samping itu Tumenggung Kebo Bangah, sendiri belum bisa dijamin keselamatannya. mendadak saja timbul niatnya untuk memungut Titiek Sariningsih sebagai murid. Saat ini, sesudah ia melepaskan diri dari ikatan sebagai pengawal Mataram, terpikir olehnya untuk mempunyai murid guna mewarisi ilmu kesaktiannya, dan diwarisi pula senjata pusaka pedang Jati Sari. Walaupun pedang yang disisipkan di balik bajunya sekarang ini dalam keadaan patah menjadi dua. Akan tetapi ia percaya, bahwa pedang itu bila disambung lagi. Bagi dirinya sendiri, apakah guna pedang pusaka itu?
Tetapi bagi muridnya, pedang pusaka itu amatlah penting.
Karena timbul hasratnya mengambil Titiek Sariningsih sebagai murid ini, maka Sindu cepat menghampiri gadis cilik itu. Ia menyentuh dengan perlahan dan halus. Katanya,
"Biarkan ibumu tidur melepaskan lelah, nak. Mari sekarang kau bicara dengan aku."
Titiek Sariningsih yang belum sadar dan tak mengerti bahwa ibunya sudah mati ini, menurut.
"Kakek mau bicara apa?"
"Siapa namamu ?" '
"Titiek Sariningsih. Dan kakek !"
Titiek Sariningsih menatap Sindu dengan sepasang matanya yang agak membengkak karena terlalu banyak menangis.
"Namaku Sindu. nak! Engkau boleh memanggil aku kakek Sindu."
"Tetapi aku belum pernah bertemu kakek. Dimana rumahmu? Apakah rumah kakek dekat rumahku ini? Dan bagaimana kakek dapat masuk ke mari?"
Sindu tersenyum mendengar pertanyaan Titiek Sariningsih yang bertubi-tubi itu.
"Rumahku jauh, nak. Dan aku masuk ke mari tadi dengan melompati tembok."
"Melompati tembok? Mana mungkin? Apakah kakek punya sayap dan bisa terbang seperti burung?"
Sindu menggeleng
'Tidak, nak. Tetapi melompati tembok bukan pekerjaan yang sulit. Nak! kau tahu, penglari rumah ini cukup tinggi. Tetapi, aku dapat mencapainya tanpa tangga."
"Ah, mana mungkin. kek."
Titiek Sariningsih yang mulai tertarik akan hal-hal yang dianggapnya aneh, terlupa kepada ibu dan pengasuhnya. Ia memandang Sindu dengan mata keheranan, tetapi juga ada perasaan tak percaya.
Sindu tersenyum.
Hatinya gembira, dapat menghibur gadis cilik ini, sejenak melupakan ibunya.
"Nak, cobalah lihat. Kakek mau terbang."
Berbareng dengan ucapannya yang terakhir, tubuh Sindu sudah melesat tinggi di udara. Tangannya mencapai penglari rumah dan kemudian ia menggunakan jari jari kakinya untuk membalik dan bergantungan pada penglari. Kaki diatas, dan kepala di bawah. Dari atas Sindu tersenyum sambil memandang Titiek Sariningsih.
"Lihat nak. kau tertarik tidak?"
'Ahh...."
Seru Titiek Sariningsih tertahan, kagum tetapi juga timbul rasa khawatir kalau kakek yang baik hati itu sampai jatuh.
"Kek....jangan begitu. Nanti kau jatuh."
"Walaupun jatuh tetapi tak apa-apa!" tiba-tiba tubuh Sindu meluncur turun.
Titiek Sariningsih menjerit kecil. Tetapi segera terbelalak heran ketika Sindu dapat berdiri di atas lantai dengan bibir tersenyum, dan tidak apa-apa.
"Ahhhh... . Oohh .. . . kakek tidak apa -apa?"
Titik Seriningsih memandang Sindu dengan kagum.
"Tentu saja tidak apa-apa, nak. Aku sudah biasa berbuat seperti ini."
"Ohh.. kakek biasa berbuat seperti itu? Apakah kakek . eh. seorang pemain sulapan ... .?"
"Bukan. nak. Tetapi engkaupun bisa kalau kau suka."
"Betulkah itu kek? Titiek Sariningsih bisa? Ah, alangkah senangnya aku. dan alangkah bangga ibu dan ayah. Hayo kek. ajarkan padaku. mumpung ibu masih tidur.Nanti apabila ibu bangun. akan aku pamerkan kepada ibu."
Terharu hati Sindu mendengar kata-kata Titiek Sariningsih ini. Makin jelaslah baginya bahwa gadis cilik ini belum tahu ibunya telah mati. Dan agaknya cara berpikir anak ini masih terlalu sederhana. Apa yang telah dilakukan, dianggap seperti orang membikin longsong ketupat dari janur. Dipelajari dalam waktu singkat sudah bisa. Namun ia tak ingin membuat hati bocah ini kecewa. Katanya.
"Benarkah kau ingin bisa seperti aku?"
"Betul, kek. Aku ingin sekali."
"Akan tetapi tidak di sini tempatnya. nak."
"Di mana? Apakah di halaman depan. atau di kebun?'
"Juga tidak!" '
"Lalu ke mana?"
Titiek Sariningsih terbelalak.
"Harus ke rumahku."
"Rumahmu? Lalu bagaimana dengan ibu' dan ayah?"
Ia memalingkan mukanya ke arah ibunya yang masih terlentang di atas lantai tanpa bergerak.
"Aku telah kenal dengan ayah bundamu."
Sindu membohong.
"Biarlah aku yang bicara. ayah bundamu tentu mengijinkan." '
"Tetapi ibu tidur ."
Titiek Sariningsih agak ragu.
"Biarkan ibumu mengaso dan tidur dulu. Esok pagi aku bisa bicara."
Sindu tidak ingin lerlalu lama di rumah ini. Khawatir kalau ada orang yang tahu, dan dirinya malah yang dituduh melakukan kekejaman di rumah ini.
Oleh kepandaian Sindu membujuk dan menghibur, Titiek Sariningsih terlupa kepada ibunya, dan tertarik kepada kepandaian yang telah dipamerkan Sindu. Akhirnya tanpa rewel lagi, Titik Sariningsih sedia mengikuti Sindu pergi. .
Demikianlah, peristiwa yang menyedihkan terjadi di rumah ini, tidak seorangpun tahu kecuali Sindu.
Baru pada keesokan paginya, ketika delapan orang murid Tuban datang ketempat itu untuk menghubungi murid Tuban yang berjaga, terjadilah keributan dan geger. Peristiwa itu cepat tersebar luas, sehingga menjadi pembicaraan tiap mulut.
Subinem sebagai ketua Perguruan Tuban yang segera mendapat laporan, mencak-mencak dan marah-marah. Ia kemudian meninjau sendiri ke tempat peristiwa. Dan guna menjamin keselamatan kota Tuban, Subinem menambah kekuatan penjagaan di setiap rumah para bangSawan di Tuban.
Akan tetapi sekalipun penjagaan sudah diperkuat, pada malam berikutnya terjadi lagi peristiwa yang mengejutkan, dan sekaligus membuat para bangsawan Tuban menjadi Ketakutan dan khawatir kalau malam berikutnya,rumah dan keluarganya yang menerima giliran sebagai korban.
Peristiwa yang terjadi pada malam berikutnya, menimpa rumah dan keluarga Tumenggung Kebo Pamekas. Perlu diketahui, bahwa Tumenggung Kebo Pamekas terkenal di Tuban sebagai tumenggung yang tampan. Tetapi sayangnya, ia merupakan seorang Tumenggung yang gemar mengumpulkan perempuan-perempuan cantik. Maka di samping ia mempunyai empat Isteri, iapun masih memiliki duapuluh orang selir yang muda dan cantik-cantik . Keadaan Tumenggung Kebo Pamekas itu sering sekali menimbulkan iri kepada tumenggung yang lain. Karena di samping mempunyai banyak isteri dan selir, juga terkenal sebagai seorang laki-laki yang amat pandai membuat semua istri dan selirnya rukun, tidak pernah terjadi percekcokan dan persaingan. '
Akan tetapi ternyata pada malam itu rumah yang biasanya diliputi oleh suasana kerukunan, telah tertimpa malapetaka yang mendirikan bulu roma.
Semua istri dan selir Tumenggung Kebo Pamekas itu, pada pagi harinya diketemukan telah mati semuanya, dalam keadaan telanjang bulat. Mereka mati dengan ciri yang sama. Leher dicekik oleh jari tangan yang kuat. Sedang murid Tuban yang bertugas jaga di rumah itu, semuanya mati dengan kepala pecah.
Melihat adanya ciri ciri pembunuhan yang sama dengan apa yang terjadi di rumah Kebo Bangah, maka semua orang menduga bahwa pelaku di rumah ini, sama orangnya dengan yang telah melakukan di rumah Kebo Bangah.
Peristiwa ini benar-benar merupakan pukulan yang hebat bagi Subinem yang memimpin Perguruan Tuban. Kemudian timbullah dugaannya, bahwa pelaku ini tentu salah seorang tokoh Gagak Rimang yang sengaja memburukkan nama Perguruan Tuban di bawah pimpinannya.
Para murid Tuban menjadi lebih hati-hati di samping khawatir kalau menerima giliran menjadi korban pembunuhan. Karena sekarang mereka merasa yakin, bahwa pelakunya adalah seorang tokoh sakti mandraguna.
Untung bagi Subinem, bahwa pada hari itu datanglah tiga orang tokoh pengawal Mataram, yang selama ini diharapkan kehadirannya. Mereka bukan lain Reksogati, Hesti Wiro dan Sawungrana. Apa yang telah terjadi dua malam berturut-turut, segera dilaporkan kepada tokoh-tokoh tersebut. Dan Subinem amat khawatir sekali. apabila gangguan seperti ini terus berlangsung, akan merugikan Mataram. Tentu orang Tuban menganggap, kedatangan orang Mataram hanya membuat Tuban tidak aman.
Mendengar laporan Subinem itu mereka amat marah dan penasaran sekali.
Kemudian mereka berjanji akan meronda mengamankan keadaan.
Mengapa sebabnya tiga orang sakti ini dapat datang bersama-sama di Tuban?
Seperti diketahui Hesti Wiro semula bertugas membayangi gerak mundur pasukan Tuban. Gerak mundur pasukan itu lambat dan membutuhkan waktu. Maka Hesti Wiro harus membayangi dengan hati sabar.
Sebaliknya Sawungrana dan Reksogati, memperoleh tugas menyusul Hesti Wiro, untuk memberitahukan terjadinya perubahan keadaan. Karena Sawungrana dan Reksogati dapat bergerak cepat, maka dalam waktu singkat dapat menyusul Hasti Wiro,
Terjadinya peristiwa yang tak terduga-duga di kota Tuban ini tentu saja membuat mereka kaget. Dan diam diam merekapun khawatir. Sebab kewajiban mereka bertambah berat. Di samping harus mempertahankan kota agar tidak direbut kembali pasukan Tuban yang mundur. juga harus mengatasi gangguan yang timbul
"Hem, benar-benar gangguan yang menjengkelkan!" kata Hesti Wiro dengan nada yang jengkel.
'Pasukan Tuban telah mundur akan masuk kota Tuban kembali. Padahal kita dan seluruh murid Tuban mempunyai tugas mempertahankan kota, di samping memukul pasukan Tuban. Bukankah dengan begini, tugas kita bertumpuk?"
Subinem yang belum diberi tahu tentang mundurnya pasukan Tuban itu kaget.
"Ih..... jadi pasukan Tuban mundur kembali ke kota ?"
Reksogati mengangguk
"Benar! Oleh desakan pasukan Mataram, mereka mundur. Kita harus dapat mempertahankan Tuban ini, di samping dapat memukulnya "
"Ahhh! Murid Tuban jumlahnya amat terbatas."
Subinem gelisah.
"Bagaimana kami dapat membagi-bagi dalam beberapa tugas sekaligus?"
Sawungrana yang sejak tadi hanya berdiam diri, berkata,
"Hemm kakang Reksogati dan kakang Hesti Wiro bicara sepotong-potong, membuat orang yang mendengar jadi kecil hati. Yang benar begini. Baik Gusti Kangjeng Ratu Wandansari maupun Gusti Pangeran Kajoran, sudah memperhitungkan kekuatan Perguruan Tuban. Untuk keperluan itu. di samping kita bertiga ini mendahului datang di sini, beliau sudah mengirimkan pasukan berkuda, guna mendahului gerak mundur pasukan Tuhan. Kita percaya bahwa pasukan tersebut akan datang lebih dahulu, dan dapat memperkuat kedudukan kita. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah gangguan yang ditimbulkan penjahat kejam itu. Setidaknya kita harus bisa mencegah. Syukur bisa menangkap hidup-hidup atau membunuh mampus!"
Mendengar keterangan Sawungrana ini, Subinem gembira. Apakah yang ditakutkan kalau sejumlah pasukan Mataram akan segera tiba membantu memperkuat pertahanan Tuban?
Dalam pada itu ia juga sudah mengenal kesaktian Sawungrana dan Reksogati. Hanya Hesti Wiro yang belum diketahui. Dengan adanya bantuan tiga orang sakti ini, ia percaya akan sanggup mengatasi penjahat kejam yang membuat orang Tuban gelisah itu,
Sejak malam datang, Reksogati. Sawungrana dan Hesti Wiro sudah melesat pergi dari rumah Perguruan Tuban. Mereka kemudian berpencaran. Tetapi apabila keadaan memerlukan dalam waktu tak lama mereka bisa berkumpul menjadi satu, lewat lengking tanda bahaya.
Seperti malam-malam sebelumnya, sejak matahari terbenam, kota Tuban menjadi sebuah kota yang mati.
Sepi !
Tiada orang lalu lalang, dan dari masing-masing rumah tiada suara yang terdengar. Memang penduduk Tuban bertambah gelisah dan khawatir, setelah terjadi dua peristiwa mendirikan bulu roma, yang terjadi di rumah Kebo Bangah dan Kebo Pamekas. Ditambah lagi, malam itu tiada bulan di angkasa. Malam yang gelap menambah seremnya keadaan dan suasana. Setiap suara yang terdengar membuat tengkuk mengkirik. Kelepak sayap kelelawar seakan berubah seperti para penjahat kejam dan cabul yang telah menimbulkan banyak korban. Bunyi burung hantu yang memecah sunyi malam seakan suara iblis dan setan yang mengharap, agar malam ini terjadi pembunuhan yang lebih banyak dan kejam lagi.
Namun suasana yang sepi dan menyeramkan itu. bagi Sawungrana, Hesti Wiro dan Reksogati tidak berpengaruh apa-apa. Sepinya malam malah memberi bantuan dan keuntungan.
Telinga mereka yang peka akan bisa menangkap suara mencurigakan dari tempat jauh. Tiga orang sakti ini bergerak menyusuri malam, seperti berkelebatnya tiga bayangan hantu.
Akan tetapi sungguh aneh dan mengherankan. Sampai jauh malam tiga orang sakti ini berkeliling dan meronda. Namun tiada mereka dengar suara ribut, jerit minta tolong maupun berkelebatnya bayangan yang mencurigakan. Seakan penjahat kejam yang beraksi di kota Tuban itu, telah merasa ada bahaya mengancam. Seakan penjahat itu tidak berani lagi melakukan perbuatannya. Seakan sudah ketakutan setengah mati, dengan hadirnya tiga tokoh sakti Mataram tersebut .
Tidak terjadi sesuatu. Tiga tokoh ini meronda terus sampai fajar menjelang datang. Kemudian mereka kembali ke rumah Perguruan Tuban tanpa bertemu penjahat itu.
"Ahh, tentunya penjahat itu sudah ketakutan. mendengar hadirnya kalian di Tuban."
Sambut Subinem dengan gembira, setelah ia mendengar penuturan tiga orang tersebut.
"Hemm, mugkin tidak!" sahut Hesti Wiro.
"Mungkin malam ini penjahat itu sedang istirahat, tidak mengganggu. Dan bukan oleh pengaruh kedatangan kami."
"Aku sependapat dengan dugaanmu, kakang Hesti Wiro," sambut Reksogati.
"Kita telah mengenal baik bagaimana cara penjahat bekerja. Tiap perbuatan dan tindakannya selalu disertai siasat yang licin, licik dan penuh tipu muslihat."
Akan tetapi ternyata setelah pagi tiba, semua dugaan itu salah belaka.
Ternyata penjahat kejam itu bukannya ketakutan dan istirahat. Kota Tuban terjadi kegegeran lagi. Sebab terjadi lagi peristiwa yang sama mengerikan, seperti yang sudah terjadi di rumah Tumenggung Kebo Bangah dan Kebo Pamekas. Tetapi kali ini yang menjadi korban bukanlah rumah para bangsawan. Kali ini yang menjadi korban keluarga Wirantono. seorang kaya di kota Tuban, yang terkenal mempunyai dua orang anak cantik jelita dan masih perawan. Menurut khabar sebelumnya, kecantikan dua orang gadis anak Wirantono ini telah menarik perhatian Adipati Tuban. Hingga Adipati Tuban pernah bermaksud akan mengambil kakak beradik itu, sebagai tambahan selirnya. Namun maksud tersebut kemudian tertunda. Terdesak oleh keadaan gawat berkenaan dengan penyerbuan pasukan Mataram.
Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu Wandansari Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata bahwa seluruh isi rumah Wirantono samuanya dibunuh mati. Malah agaknya Wirantono dan beberapa orang budaknya, sebelumnya memberi perlawanan. Terbukti disekitar korban, terdapat beberapa macam senjata di atas tanah. Isi rumah itu tanpa kecuali semua dibunuh. Baik laki-laki,perempuan maupun kanak-kanak. Dua orang anak gadis Wirantono yang sudah akan diangkat sebagai selir Adipati Tuban, terdapat mati di atas ranjang. Dan dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali.
Nyatalah bahwa terjadinya pembunuhan kejam di rumah orang kaya Wirantono ini, mempunyai bentuk sama dengan peristiwa dua malam sebelumnya. Penjahat itu bukan mencari dan kemaruk harta benda. Yang penting, mencari wanita cantik dijadikan korban nafsu jahatnya. '
Tentu saja kabar itu mengejutkan Subinem, Hesti Wiro, Reksogati, Sawungrana dan semua murid Perguruan Tuban, di samping membuat penasaran. Terutama tiga orang sakti pengawal Mataram itu. Mereka merasa marah dan penasaran, di samping menyesal pula. Pembunuhan kejam ini berlangsung di depan hidung mereka.
Tetapi mengapa tidak tahu sama sekali?
Pada kenyataannya memang tiga orang sakti ini tidak pernah menyangka terjadinya peristiwa itu. Yang mereka perhatikan semalam adalah rumah para bangsawan. Ternyata mereka telah tertipu, yang diganggu semalam bukan rumah para bangsawan.
"Bedebah busuk, huh! Kubunuh mampus jika jatuh ke tanganku!"
Hesti Wiro geram sekali.
"Peristiwa ini sungguh memalukan dan membuat penasaran. Secepatnya harus dapat kita atasi."
"Hemm, akupun amat menyesal. kakang," sambut Reksogati sambil menghela napas panjang.
"Ternyata jerih payah kita semalam tiada gunanya sama sekali."
"Akupun takkan memberi ampun!" kata Sawungrana.
"Belum puas hatiku. sebelum dapat mencincang penjahat kejam dan cabul itu, huh!"
Tentu saja tiga orang pengawal sakti Mataram ini marah dan penasaran, di samping merasa malu pula. Mereka telah memperoleh kepercayaan Ratu Wandansari. Namun ternyata hanya berhadapan dengan peristiwa macam itu aja tek becus mengatasi.
Berdasar pengalaman semalam, maka pada malam harinya tiga orang tokoh sakti pengawal Ratu Wandansari ini, dalam melakukan perondaan menambah kewaspadaan. Sekarang bukan hanya rumah para bangsawan melulu yang mereka perhatikan. Tetapi juga rumah penduduk yang lain. Ternyata incaran penjahat itu bukan hanya rumah bangsawan, melainkan di mana terdapat wanita cantik.
Mendekati tengah malam. Sawungrana yang sedang berjongkok di atas sebatang pohon tinggi kaget. Ia melihat bayangan berkelebat cepat. Bayangan tersebut dengan amat ringannya melenting ke atas tembok yang cukup tinggi. Sejenak bayangan itu berhenti dan berjongkok di atas tembok. Kemudian melayanglah turun bayangan itu ke dalam. Diam diam Sawungrana kagum juga. Dari gerakan bayangan itu yang gesit, membuktikan orang tersebut memang sakti mandraguna. Tak aneh kiranya, tidak seorangpun murid Tuban kuasa melawan. Dari gerakannya yang gesit itupun ia sudah bisa menduga, mungkin tingkat Subinem sendiri masih di bawah orang itu.
Akan tetapi walaupun sadar berhadapan dengan tokoh sakti. Sawungrana tidak takut. Sekarang ini ia sedang melaksanakan tugas. Melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba Mataram. Sebagai seorang gagah perwira mati dalam tugas amat berharga. Sekarang, menyadari bakal berbadapan dengan seorang sakti, Ia bersiap diri hati-hati dan penuh kewaspadaan.
Ia tak tahu, rumah bangsawan siapakah menjadi incaran penjahat cabul itu. Yang jelas ia harus cepat bertindak sebelum jatuh korban. Maka dengan gerakan indah ia melayang turun dari pohon tinggi itu. Dari atas tubuhnya meluncur turun. Kemudian ia berjungkir-balik tiga kali. Disusul dua tangan dikembangkan. Ibu jari dan jari kaki kanan menjepit kaki kiri di atas tumit. Dengan gerakan ini, luncuran tubuhnya menjadi lambat. Ketika hinggap menginjak tanah tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Dengan gerakan yang gesit ia cepat menuju ke tempat di mana bayangan tadi melompati pagar tembok.
Ketika kakinya hinggap di atas pagar tembok ia kaget. Hampir ia berseru menyaksikan keadaan di dalam. Ternyata kedatangannya sedikit terlambat.
Delapan murid Tuban yang menjaga rumah bangsawan ini semuanya telah roboh dengan kepala pecah.
Penjahat itu ketawa mengejek kepada delapan sosok mayat korbannya. Sesudah itu, orang tersebut mulai melangkah masuk ke pendapa.
"Hai! Berhenti! " teriak Sawungrana sambil memburu datang.
Penjahat yang sudah masuk ke pendapa itu menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya dengan malas. Dalam hatinya timbul rasa heran.
Adakah penjaga yang kelewatan belum dibunuh?
Tetapi ia tadi merasa semuanya sudah mati.
Mengapa sekarang ada yang memanggil menyuruh berhenti? '
Namun setelah dapat mengamati orang yang datang itu, penjahat ini terbelalak kaget.
"Ahhh..... kau..... kau paman Sawungrana?"
Dari ucapan penjahat itu, menandakan penjahat itu ragu-ragu. Sebaliknya Sawungrana kaget mendengar namanya disebut penjahat itu. Dengan begitu berarti penjahat ini telah kenal dengan dirinya. Ia mengamati penjahat tersebut penuh perhatian. Sesaat kemudian kata Sawungrana dengan nada kaget di samping heran,
"Kau.... bukankah kau Sungsang, murid kakang Patra Jaya?"
Penjahat ini memang Sungsang adanya.Setelah ia menghabiskan semua penghuni rumah Tumenggung Kebo Bangah, ia seperti kerasukan iblis. Malam berikutnya ia mengganggu rumah Kebo Pamekas. Yang mendorong ia mengganggu rumah Tumenggung Kebo Pamekas, karena ia mendengar khabar bahwa tumenggung itu terkenal mempunyai banyak isteri dan selir cantik. Ternyata khabar itu bukan isapan jempol. Isteri dan selir Tumenggung Kebo Pamekas benar-benar wanita yang cantik-cantik dan menggiurkan.
Ketika ia masuk ke rumah Tumenggung Kebo Pamekas, ia lewat pintu samping. Kebetulan pintu samping itu yang menghubungkan kamar para selir Tumenggung Kebo Pamekas, Duapuluh orang selir yang semuanya masih muda dan cantik-cantik itu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah terpisah. Mereka mendiami kamar yang berderet-deret, dan di depannya terdapat taman bunga yang menyedapkan dipandang.
Waktu ia masuk ke tempat para selir ini, didengarnya suara perempuan yang bercanda dan tertawa-tawa.
Ternyata suara perempuan yang bercanda itu dari dalam kamar paling ujung selatan. Di luar sepi, tak tampak bayangan orang. Dengan telinganya yang tajam, ia dapat mendengar apa yang mereka tertawakan dan bicarakan. Ternyata lima orang selir yang berkumpul dalam kamar itu sedang asyik membicarakan keadaan masing-masing. Membuka rahasia pada saat masing-masing menerima giliran melayani Tumenggung Kebo Pamekas. Mendengar itu Sungsang tersenyum. Agaknya para selir ini, sama pula dengan para selir Ingkang Sinuhun Sultan Agung. Karena jumlahnya banyak, harus menanti giliran yang ditentukan. Dari pembicaraan mereka, jelas bahwa sesungguhnya para selir ini lebih banyak waktu kesepian. Diam-diam Sungsang gembira sekali, bakal berhadapan dengan para selir yang kesepian itu.
Akan tetapi ia merasa repot. bagaimana ia dapat masuk ke kamar itu tanpa membuat mereka terkejut?
Namun sebagai seorang yang banyak pengalaman sebagai tamu tanpa diundang. kesulitan itu segera dapat diatasi. Ia menjejak tanah dan tubuhnya melesat ke atas genteng tanpa suara. Seperti seekor kucing kecil, perlahan-lahan ia membuka genteng. Lalu menggunakan keringanan tubuhnya, ia menjebol langit-langit dan melayang turun hinggap di atas lantai kamar tanpa suara.
"Aihh....." jerit para perempuan itu dan mata mereka terbelalak.
Mereka benar-benar terkejut melihat munculnya seorang laki-laki dari atas.
"Mengapa kalian menjerit? Takut? Mengapa takut? Aku bukan penjahat. Akan tetapi aku dewa penolong kalian semua. Dewa selalu memperhatikan kesulitan manusia di dunia ini. Maka akulah yang diutus untuk menghibur kalian. Bukankah kalian tadi masing-masing menyatakan hati, merasa kesepian ?" kata Sungsang dengan halus membujuk.
Walaupun mereka merupakan selir tumenggung, tetapi kebanyakan mereka anak rakyat biasa, yang masih tebal kepercayaannya akan takhayul dan tentang dewa dewa. Padahal laki-laki ini meluncur dari atas.
Manakah manusia jatuh dari atas tidak cedera apa-apa?
Di samping itu laki-laki yang muncul inipun berpakaian indah tak bedanya pakaian para bangsawan. Lagi pula wajahnya tampan, tubuhnya tinggi semampai, hanya sayang wajah tampan ini agak pucat. Untuk sejenak mereka saling pandang. Namun kemudian mereka berlutut, lalu mohon ampun atas jeritan mereka tadi. Diam-diam Sungsang geli menyaksikan wanita-wanita ini yang mudah dikelabui.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan nyaring dari luar.
"Hai, ada apa kalian tadi menjerit?"
Para wanita itu mengamati sungsang dengan sinar mata penuh permohonan. Sungsang mengerti. Kemudian tubuhnya melayang seperti terbang. Lalu lenyap di kolong tempat tidur. Melihat gerakan laki-laki itu yang dapat terbang. para selir ini makin tebal rasa percayanya bahwa laki-laki yang datang ini memang dewa dari langit. Mereka saling pandang dan tersenyum. Salah seorang cepat mendekati pintu. Membuka kunci sambil menjawab.
'Ohh tidak ada apa-apa. Kami tadi bergurau. Saking asyik menjadi lupa dan menjerit."
Wanita yang berseru dari luar itu salah seorang selir pula. Ia masih kurang percaya dan menjenguk ke dalam. Ketika melihat banyak selir berkumpul di kamar ini, selir itu tersenyum.
"Jangan kalian ulangi membuat kaget orang. Nanti kalau terdengar Raden Ayu, kita bisa memperoleh marah."
"Maafkanlah, mbakyu, kesalahan kami semua!" sahut selir yang tadi membuka pintu.
Selir tadi puas dan kembali lagi ke kamarnya. Selir yang berkumpul di kamar ini menjadi gembira. _Mereka tadi berharap, agar selir tadi lekas pergi. Maka pintu kamar secepatnya dikunci. Kemudian lima orang selir ini saling pandang dan bertukar senyum. Jari tangan mereka dengan malu-malu menunjuk ke bawah ranjang.
Sungsang yang bersembunyi di bawah ranjang tahu keadaan sudah aman. Akan tetapi ia tak mau keluar dari bawah tempat tidur dengan merangkak. Menggunakan keringanan tubuhnya dan ketinggian ilmunya ia menjejakkan tumit ke lantai. Tubuhnya meluncur ke luar tidak menyentuh lantai, mirip dengan orang yang terbang. Oleh keringanan tubuh dan ketinggian ilmunya, ia bisa mengendalikan diri dan dapat melawan tarikan bumi. Setelah berputaran terbang dua kali dalam kamar itu barulah ia hinggap di lantai tanpa suara. Para selir tersebut melihat dengan kagum dan kembali mereka berlutut. Dan dalam hati mereka bangga dan gembira sekali malam ini mendapat pertolongan "dewa" yang tampan.
Sungsang justeru sudah amat berpengalaman berhadapan dengan perempuan. Maka dengan bujuk rayu dan sikap ramah dan manis, runtuhlah semangat selir selir yang kesepian ini. Kemudian mereka menurut saja segala perintah dan perlakuan Sungsang di dalam kamar tersebut. '
Para selir yang tenggelam dalam bujuk rayu Sungsang ini tidak sadar, bahwa apa yang terjadi diketahui orang.
Hanya Sungsang yang berilmu tinggi' saja, yang telah bisa menangkap gerakan halus di atas genteng itu, Sungsang tahu bahwa tingkat orang itu masih jauh di bawah tingkatnya. Oleh sebab itu sama sekali ia tidak takut. Rasanya sangguplah ia mengatasi lawan yang mengganggu ini. Akan tetapi kamar ini kurang luas jika untuk berkelahi. Di samping itu iapun tak ingin mengecewakan para selir yang telah melayani dengan menyenangkan itu. Maka cepat disambarnya pakaian sambil berkata halus,
"Manis, aku mendengar gerakan orang yang sengaja mengganggu kita. Tunggulah sebentar. akan kutangkap orang itu."
Tanpa menunggu jawaban, tubuh Sungsang sudah melesat dengan ringannya ke atas. Lewat pada langit-langit yang jebol. Para selir yang tak mengenakan pakaian itu terbelalak dan ternganga. Makin tebal kepercayaan mereka bahwa yang mereka layani sekarang ini benar-benar dewa yang turun dari kahyangan.
Kalau bukan dewa manakah mungkin bisa bergerak seperti itu?
Dan dalam mereka melayani tadipun, jauh menyenangkan dibanding Tumenggung Kebo Pamekas. Maka sambil tiduran mereka berbisik-bisik dan tertawa-tawa kecil membicarakan pengalaman mereka yang baru dilewati. Hanya dua orang selir yang tadi belum memperoleh bagian, diam-diam iri kepada tiga orang yang lain.
Sungsang benar-benar bertelinga tajam sekali. Dugaannya ternyata benar. Begitu ia muncul keluar, ia telah disambut serangan pedang. .
"Siuuttt-wuutt.....!"
Sambaran pedang itu cukup kuat. Tetapi oleh kebutan tangan kiri, arah pedang itu menyeleweng, dan ia bisa keluar dan hinggap di atas genteng tanpa halangan. Sungsang yang bermata tajam itu bibirnya tersenyum, ketika tahu yang dihadapi sekarang ini perempuan berwajah cantik. Malah kemudian ia segera mengenal bahwa perempuan yang dihadapi ini, selir yang tadi datang dan menjenguk ke dalam kamar.
Memang tidak salah. Perempuan ini bernama Martini. Bagi semua selir Kebo Pamekas, ia merupakan satu satunya selir yang pernah mempelajari ilmu kesaktian.Sebelum ia diangkat sebagai selir, ia sebagai murid Perguruan Tuban. Kepandaiannya cukup lumayan, dan ilmu pedangnya hebat. Maka bagi sekalian selir, Martini ditakuti oleh selir yang lain. Tadi, begitu menjenguk ke kamar, ia menjadi puas setelah tak terjadi perubahan' Maka Martini segera kembali ke kamarnya. Ia kembali merebahkan diri dengan maksud tidur. Namun matanya tak mau terpejam. Kemudian teringatlah ia akan peristiwa-peristiwa mengerikan yang menimpa keluarga Tumenggung Kebo Bangah. Timbullah kekhawatirannya, di samping kecurigaannya mendengar jerit para selir tadi.
Martini cepat berganti pakaian. Mengenakan pakaian ringkas dan menyambar pedangnya. Dengan hati-hati ia keluar dari kamar. Lalu berjungkit-jungkit ia mendekati kamar paling ujung. Ia mengerutkan alis dan memasang telinga lewat sela-sela jendela. Didengarnya suara laki laki berbareng dengan tawa dan jerit lirih perempuan. Tak salah lagi. pikirnya. Selir-selir terkutuk itu secara rahasia menerima laki-laki lain, di saat Tumenggung Kebo Pamekas tak di rumah. Martini menjadi marah dan penasaran. Hampir saja pintu digedor. Namun sebelum bertindak ia ingat, bahwa Raden Ayu Sepuh sedang sakit. Keributan yang terjadi bisa menimbulkan hal-hal yang kurang baik.
Maka timbullah niatnya menghubungi para murid Tuban yang berjaga di depan.
Tetapi tiba-tiba terpikirlah untuk mengetahui dari manakah laki-laki itu masuk ke kamar. Mendengar jerit tadi yang kaget, jelas bahwa masuknya laki-laki itu tidak wajar. Ia menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang langsing itu melesat ke atas genteng.
Ah. benar, pikirnya. setelah ia melihat genteng terbuka. Ternyata laki-laki itu masuk lewat atas. Martini seorang yang berhati-hati. Ia tak cepat menerobos masuk. Ia masih berpikir, mana yang baik antara bertindak sendiri dan minta bantuan bekas saudara-saudara seperguruannya. Kemudian diputuskan bahwa sebaiknya menghubungi mereka yang berjaga, dengan demikian akan lebih kuat dan mantap. .
Tetapi belum juga ia bergerak dari tempat itu, telinganya menangkap suara geseran halus dari bawah genteng. Ia cepat mempersiapkan pedangnya dan menikam. Di luar dugaannya bahwa serangannya yang mendadak itu menyeleweng oleh kebutan telapak tangan. Diam-diam Martini terkejut. Sambaran angin yang kuat ini membuktikan bahwa laki-laki jahat ini bukan sembarangan. Ia bersikap hati hati. Bentaknya.
"Siapa kau!"
walaupun membentak, tetapi suara itu cukup merdu. Sungsang tersenyum menyeringai.
"Heh-heh. aku laki-laki!"
"Katakan namamu sebelum mampus ditanganku!" bentak Martini sambil mendengus marah.
"Heh-heh, engkau mau membunuh aku? Silahkan !' ejek Sungsang sambil membuka dadanya.
Tentu saja Sungsang berani bersikap merendahkan. karena ia sudah bisa mengukur kekuatan lawan. Sekalipun tadi sambaran pedang itu cepat, namun kurang bertenaga. Berarti perempuan ini hanyalah memiliki kepandaian yang lumayan saja. Bukanlah musuh berbahaya. Ia bisa menduga bahwa paling banter tiga gebrakan akan sudah dapat menangkap hidup-hidup atau mengalahkan.
Sikap Sungsang yang merendahkan itu, cepat membuat Martini amat marah sekali. Tanpa membuka mulut, Martini menggerakkan pedangnya. Sekaligus mengarah tiga bagian tubuh berbahaya. Mata, leher dan ulu hati. Namun seperti yang sudah diduga oleh Sungsang tadi. wanita ini hanya memiliki gerak cepat. tetapi tanpa isi.
Guna memuaskan perempuan ini. ia menggeser kaki dan miringkan tubuh.
"Siut.... wut.... wuuutt...." serangan itu semua luput, dan Sungsang ketawa terkekeh.
Namun Martini segera menyusuli serangan yang lebih berbahaya. Gerakannya cepat seperti burung walet dan pedangnya menyambar-nyambar. Akan tetapi tiba-tiba perempuan ini menjerit tertahan. Pedang yang menikam dada lawan itu tiba-tiba tak dapat ditarik kembali. Terjepit oleh jari tangan Sungsang. Sebelum Martini dapat berbuat sesuatu, pedangnya runtuh dan Martini lemas tubuhnya.
Sungsang menyeringai menatap wajah ayu itu. Tiba tiba Sungsang menunduk dan bibir Martini telah dicium.
Martini kaget!
Tetapi tak dapat menjerit dan meronta. Tubuhnya dirasakan lemas dan mulutnya terkancing.
"Manis, marilah engkau ikut bersenang-senang dalam kamar bersama selir yang lain!" bisik Sungsang sambil kembali mencium bibir yang merah itu.
Selanjutnya ia menerobos ke lubang genteng, meluncur turun ke dalam kamar.
"Aihh......." jerit para selir itu tertahan, ketika mereka melihat Martini sudah dalam pondongan laki-laki tampan itu.
"Kalian mendapat tambahan kawan, heh -heh-heh. Ahhh.....' lebih menyenangkan hatiku." Sungsang berkata sambil meletakkan tubuh Martini keatas ranjang.
"Dia inilah yang tadi sudah mengganggu. Maka untuk hukumannya, biarlah dia aku beri giliran pertama."
Tetapi para selir itu tidak seorangpun membuka mulut menjawab. Malah kalau tadi mereka tersenyum-senyum dan wajah mereka berseri seri, sekarang sebaliknya. Wajah mereka pucat.
Mengapa?
Semua selir ini takut kepada Martini. Mereka sadar akan akibatnya, sesudah "dewa" laki-laki ini meninggalkan mereka. Apabila urusan ini sampai dilaporkan kepada Raden Ayu Tumenggung, tentu mereka akan memperoleh malu. Mereka tentu dihukum. Belum lagi peristiwa ini tentu akan dlaporkan pula kepada Ndara Menggung Kebo Pamekas. Dan mereka bisa membayangkan apa akibatnya kalau Tumenggung Kebo Pamekas marah. Mereka bisa ditelanjangi di depan seluruh bujang laki-laki disuruh menonton. Kemudian mereka akan disiksa dengan cambuk. Tak sampai mati. Tentu akan menderita kesakitan hebat. Baru sesudah disiksa setengah mati dan dipermalukan, mereka akan dikembalikan ke rumah masing-masing. Seperti yang pernah dialami oleh seorang selir, yang ketahuan berjina dengan seorang bujang di rumah ini.
Dan Martini juga cukup galak terhadap selir yang dianggap bersalah. Mereka bisa disakiti pula oleh selir yang amat dipercaya Tumenggung Kebo Pamekas itu.
Sungsang mengerutkan alisnya ketika melihat para selir itu hanya berdiam diri, sedang wajahnya pucat. Tanyanya,
"Hai.... mengapa kalian diam saja dan pucat? Kalian mengapa?"
'Ohhh ahhh uhh...." para selir itu hanya bisa berah-beruh, tidak memberi jawaban.
Sungsang seorang penjahat yang telah berpengalaman. Melihat perubahan para selir dengan hadirnya selir baru ini, tahulah ia sebabnya. Kiranya para selir itu takut kepada wanita ini.
"Kalian takut dia?"
Para selir itu saling pandang sejenak. Lalu mengangguk.
Sungsang mengerutkan alis tidak senang.
"Kalian takut kepada perempuan ini tetapi tidak takut kepadaku ?"
Para selir itu tetap tak membuka mulut. Namun kepala mereka mengangguk juga.
Perubahan ini membuat Sungsang tidak senang dan marah. Lenyap sama sekali senyum dan keramahannya. hilang kemesraannya. Kembali Sungsang kepada sifatnya yang asli. Sebagai penjahat yang kejam dan mengandalkan kepandaian.
"Bagus huh-huh, kau boleh takut kepada perempuan ini, tetapi aku tidak !"
"Brettt..... aihh...."
Terdengar suara pakaian robek dan jerit tertahan para selir tersebut. Aneh juga para selir ini. Mereka sendiri sekarang tidak berpakaian nama sekali. dan mereka hanya menutupi tubuh dengan selimut, ketika melihat Martini dibawa masuk ke kamar. Namun begitu melihat pakaian Martini robek, dan dada ini tak tertutup lagi mereka kaget.
Sungsang menyeringai.
Lalu teringatlah ia akan pengalamannya di rumah Kebo Bangah, Ketika ia berhadapan dengan Sri Rukmi. Ia ingin peristiwa semacam itu terulang, ditonton oleh lima orang selir ini. Namun sebelum berbuat teringatlah ia akan penghuni rumah ini yang lain. Tiba-tiba saja ia membuka pintu kamar. Tubuhnya berkelebat lenyap. Para selir di dalam kamar ini heran dan saling pandang.
Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama