Ceritasilat Novel Online

Kolusi Bursa 2

Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath Bagian 2


juga dapat belajar sesuatu dari investor lain. Selalu
ada gunanya mengumpulkan informasi."
"Baik," ujarku. Gagasan pergi ke Arizona sangat
menarik, walau aku tidak yakin apakah aku akan
tahan mengalami kembali keramahtamahan Cash dan
ceramah Cathy yang berkepanjangan.
78 "Kau juga bisa singgah di New York. Selalu ada
gunanya mengetahui apa yang sedang terjadi di sana."
"Baiklah. Terima kasih banyak."
Aku sudah pernah ke New York sebelumnya, tapi
aku tidak pemah mengunjungi bank investasi di sana.
Ruangan transaksi mereka sudah' menjadi legenda,
pusat pasar uang dunia.
Aku kembali ke mejaku, dan membuka dokumentasi
Tahiti. Aku butuh bantuan dalam hal ini.
"Debbie?"
"Ya?"
"Apakah kau sedang ingin membantu?"
"Tidak." _
"Maukah kau berbaik hati padaku?"
"Tidak."
"Apa pendapatmu tentang ini." Aku memberikan
prospektus Tahiti itu kepadanya. "Aku akan mengurus
perhitungannya, tapi coba kaulihat perjanjiannya."
"Wah, hebat, terima kasih," ujar gadis itu, melambaikan tangannya pada tumpukan prospektus yang
sudah menggunung di sekitarnya. "Aku akan menelitinya- pada waktu tidurku yang hanya setengah jam."
Walau Debbie berkeluh kesah, aku tahu ia akan
melakukan semua permintaanku. Dan walau tidak
akan pernah mengakuinya, ia menerima dokumen Tahiti itu dengan antusias.
"Oh, omong?omong," ujarnya, "Apa kau sudah
lihat harga saham Gypsum of America naik menjadi
tiga belas dolar pagi ini. Tidak jelek, eh?"
"Sama sekali tidak jelek," aku tersenyum.
Paling tidak investasi kecil itu berhasil baik.
79 r AKU sedang dalam perjalanan menuju rumah
keluargaku. Kondisi jalanan jadi semakin liar
saat menuju lembah di mana aku dilahirkan. Tepi
jalan yang landai berubah jadi sisi perbukitan yang
menjulang, dengan petak-petak semak belukar lebat.
Tadi turun hujan, namun kini awan mendung sudah
sima meninggalkan langit yang biru pucat. Hijau
cerah rerumputan berkilauan di bawah sinar mentari;
bahkan dinding?dinding batu yang biasanya tampak
muram kini bersinar keperakan di sepanjang lereng
bukit Perjalanan ke lembah ini selalu berhasil menyegarkanku, betapapun lamanya aku terkurung dalam
mobil.
Akhirnya aku sampai di pertigaan dengan tanda
yang menunjuk lurus ke arah bukit bertuliskan "Barthwaite 3." Aku membelok ke sebuah jalan yang bukan
main curamnya. Dalam lima menit aku sampai di
puncak bukit dan memandang ke bawah, ke arah
lembah kecil di mana desa Barthwaite berada. Aku
berkendara melewati deretan pondok batu kelabu,
81 kotak jendelanya dihiasi bunga?bunga geranium atau
labelia. Aku melambatkan kendaraan ketika melewati
jalan sempit yang mengarah ke sebuah pertanian
besar. Tulisan Appletree Farm tertera jelas pada
gerbang putihnya. Pertanian itu tampak dipelihara
sebaik ketika aku masih tinggal di sana kala anakanak. Memang ada lumbung baru dan beberapa mesin
modem, tapi yang lain masih sama
Aku terus melaju melalui pedesaah itu, menyeberangi sungai kecil dan naik ke sisi lain bukit. Aku
berhenti di muka pondok terakhir, di mana pedesaan
itu berubah menjadi tanah lapang. Aku berjalan melalui kebun kecil?yang dipagari tanaman hollyhock,
lavendel, mawar, gladiol, dan sekumpulan bunga berwama?wami yang tak kuketahui namanya?-dan kemudian mengetuk pintu depan yang dijaga setengah
lusin tumbuhan faxglove.
Sosok kecil ibuku yang selalu tampak sibuk dalam
sekejap sudah berdiri di mnbang pintu.
"Masuk, masuk," ujarnya. "Duduklah. Perjalanannya
lancar? Mau kuambilkan secangkir teh? Kau pasti
lelah."
Aku diantar ke ruang tamu. "?Duduklah di kursi
ayah," ujarnya, seperti yang selalu dikatakannya.
"Enak dan nyaman." Aku membenamkan diri di kursi
kulit tua itu dan dalam sekejap sudah diberi kue
scorte setta selai strawberry, semua buatan sendiri.
Aku mengomentari kebunnya, dan kanti menghabiskan
beberapa menit membicarakan rencana ibu terhadapnya. Kemudian ia menceritakan gosip para tetangga,
mengenai aktivitas skandal terakhir Mrs. Kirby, sang
Pamella Bordes dari Barthwaite. Kemudian ada kisah
82 panjang tentang masalah kakakku, Linda, lalu tentang
upaya lbu mencarikan kain pelapis kursi, dan omelan
rutinnyaltentang kelalaianku menjenguknya.
Ibuku tidak pernah diam sesaat'pun selama perbincangan ini. Ia menggambarkan semua hal dengan
gerakan tangan yang rumit dan setiap kira?kira satu
menit berdiri untuk mengisi ulang cangkirku, merapikan sesuatu di mangan itu, atau pergi ke dapur
untuk mengambil kue scorte lagi. Wajahnya sedikit
memerah ketika ia berbicara penuh semangat. Ia
seorang wanita yang sangat energik, ikut serta dalam
semua kegiatan desa. Semua orang menyukainya Di
samping kecenderungannya menjadi orang yang serba
sibuk, _hampir semua perkataan maupun perbuatan
dimotivasi oleh kebaikan hati atau keinginan tulus
untuk membantu. Dan orang masih merasa kasihan
padanya. Mereka masih" belum melupakan peristiwa
tujuh belas tahun lalu.
Sore berlalu dengan menyenangkan. Lalu setelah
kembali dari dapur dengan tambahan teh lagi, ia
berkata, "Aku sungguh berharap ayahmu mau mengirim surat. Ia sekarang sudah cukup lama berada di
Australia. Seharusnya ia mengirim kabar. Aku yakin
ia sudah mendapat sebuah peternakan domba yang
bagus di sana. Aku lihat satu di televisi minggu lalu,
yang aku yakin cukup bagus buat kita."
"Aku yakin ia akan segera mengirim kabar. Mari
ke luar melihat?lihat kebun," ujarku, berusaha mengubah pembicaraan. Tapi tidak ada gunanya.
"Dia benar-benar kurang perhatian. Yang kuinginkan hanyalah surat pendek saja. Aku tahu untuk
menelepon dari jarak sejauh itu biayanya mahal.
Apakah kau sudah dapat kabar darinya?"
83 ' "Belum, Mom," sahutku.
Dan tidak akan pernah. Ayahku tidak pergi ke
Australia. Atau ke Argentina, atau ke Kanada seperti
yang diduga Ibu selama bertahun?tahun. Ayahku telah
meninggal.
Itu terjadi saat aku baru berusia sebelas tahun,
dan walau tidak melihat semuanya, apa yang kulihat
takkan pernah kulupakan. Ada sesuatu yang tersangkut
dalam mesin pemanen di pertanian kami, dan Ayah
berusaha melepaskannya. Tapi ia lupa mematikan
mesinnya. Aku sedang menendang-nendang bola ke
dinding di sisi lain lumbung. Aku mendengar sebuah
jeritan di antara bisingnya suara mesin, yang kemudian
terhenti mendadak. Aku berlari mengitari lambung
untuk melihat apa yang tersisa dari tubuh ayahku.
Perlahan?lahan aku berhasil mengatasi perasaanku
yang ter-guncang. Namun Ibu tidak pernah mampu. Ia
sangat sayang pada Ayah dan tidak dapat menerima
kepergiannya. lbu menciptakan dunia lain bagi dirinya
sendiri, dunia di mana Ayah masih hidup dan di
mana hati lbu dapat merasa nyaman.
Ayahku adalah penyewa salah satu tanah pertanian
terbesar di sana dan dihormati oleh semua orang di
desa. Hal itu membuat hidup [bu, kakak perempuanku,
dan aku sendiri menjadi lebih mudah. Lord Mablethorpe, pemilik tanah pertanian itu, telah banyak
menghabiskantwaktu di pertanian Ayah, mendiskusikan
cara-cara yang lebih efisien untuk mendapat keuntungan maksimal. Mereka bersahabat akrab. Saat Ayah
meninggal, Lord Mablethorpe memberi kami pondok
untuk ditinggali, yang dijanjikan menjadi milik ibuku
selama hidupnya. Ayah telah mengambil polis asuransi
84 jiwa yang sangat besar, yang memungkinkan kami
dapat bertahan hidup, dan para tetangga semua ber?
sikap baik dan sangat menolong.
Ayah seorang laki?laki yang baik. Aku mengetahuinya karena semua orang selalu berkata begitu. Aku
mengingatnya sebagai seorang pria _besar dan galak,
sangat keras berpegang pada prinsip kebenaran. Aku
selalu berusaha sebaik mungkin membuatnya senang,
dan biasanya aku berhasil. Saat gagal memenuhi
harapannya, aku harus membayar mahal. Di akhir
sebuah semester, aku pulang sekolah membawa laporan
guru yang menyatakan aku bertingkah konyol di kelas.
Ayah menasihatiku tentang betapa pentingnya belajar
di sekolah. Aku jadi juara kelas pada semester berikutnya,
Kematiannya, dan pengaruhnya pada ibuku, seakan
begitu tidak wajar, tidak adil. Aku terpukul oleh
ketidakmampuanku untuk berbuat apa pun. ltu membuatku marah.
Saat itulah aku mulai berlari. Aku berlari bermilmil ke perbukitan, memaksa diri sampai ke batas
ketahanan paru?paru kecilku. Aku berjuang menghadapi
angin dingin dan kelamnya musim dingin Yorkshire,
mencari sedikit hiburan dalam perjuangan seorang
diri melawan padang luas.
Aku juga bekerja keras di sekolah, bertekad men-i
capai apa yang diharapkan Ayah dariku. Aku berjuang
untuk dapat memasuki Cambridge. Meski menghabis?
kan banyak waktu dalam atletik, aku berhasil mendapat nilai kelulusan yang baik. Pada saat aku mulai
berlatih Olimpiade, tekad dan keinginan untuk menang
telah menjadi bagian diriku. Aku tidak memaksa diri
85 meraih ke medali" Olimpiade hanya untuk Ayah. Tapi
diam?diam aku berharap ia melihatku melewati garis
finis dan meraih medali perungguku.
Ibuku tidak pernah setuju dengan ambisiku. Se?
mentara Ayah "pergi", ia ingin kakakku menikah
dengan seorang petani lokal dan aku belajar di institut
pertanian, supaya aku dapat mengurus tanah pertanian
kami. Kakakku menumt pada Ibu, tapi aku tidak.
Setelah kecelakaan itu, aku tidak sanggup berada di
lingkungan pertanian lagi. Tapi, untuk membuat dunianya menyenangkan, Ibu memutuskan untuk menganggapku sedang kuliah di institut pertanian di London.
Pada awalnya aku berusaha membantahnya, tapi ia
tidak mau mendengar, jadi aku angkat tangan. Ia
bangga akan keberhasilanku di lintasan lari, tapi
kuatir kalau?kalau kegiatan itu mengganggu pelajaranku.
"Sore ini indah," kataku berusaha mengganti subyek
pembicaraan. "Mari jalan?jalan."
Kami meninggalkan pondok itu dan berjalan ke
lereng bukit. Ibuku biasa berjalan kaki, dan kami
segera sampai di perbatasan antar lembah. Kami
memandang ke arah Helmby Hall, sebuah puri kokoh
yang dibangun pada permulaan abad kedua puluh
oleh Lord Mablethorpe yang dulu, dengan hasil keuntungan dari bunga pabrik tekstilnya.
Ibu menarik napas dalam?dalam. "Oh, aku belum
memberitahu, ya? Lord Mablethorpe meninggal bulan
lalu. Serangan jantung. Ayahmu akan sedih kalau
mengetahuinya."
"Oh, aku ikut sedih," ujarku.
"Begitu pula aku," ujar Ibu. "Beliau selalu sangat
86 baik kepadaku. Dan juga terhadap banyak orang di
desa."
"Apakah itu berarti anak laki?lakinya yang idiot
telah mengambil alih Helmby Hall?"
"Paul, jangan begitu. Dia tidak tolol. Ia seorang
pemuda yang menawan, dan cerdas. Kurasa ia bekerja
di sebuah bank dagang di London. Kudengar ia akan
banyak menghabiskan waktunya di sana. Ia hanya
datang kemari pada akhir pekan."
"Yah, semakin sedikit ia melibatkan diri dengan
Barthwaite semakin baik," ujarku. "Apakah Mrs.
Kirby sudah bertemu dengannya? Bagaimana ya pendapat Mrs. Kirby tentang dia?" tanyaku polos.
lbu tertawa. "Aku tidak berani mengatakannya,"
Ujarnya.
Kami kembali ke pondok sekitar pukul tujuh, lelah
namun puas dengan kebersamaan kami.
Lalu, tepat saat aku memasuki mobil untuk pulang,
ia berkata, "Nah, sekarang pastikan kau belajar yang
rajin, Sayang. Ayahmu berkata padaku sebelum ia
pergi bahwa ia yakin kau akan menjadi seorang
petani yang baik, dan aku yakin kau akan dapat
membuktikan bahwa ia benar."
Aku pulang dengan perasaan yang sering meliputi
hatiku setiap kali habis menjenguk ibu, sedih dan
marah pada ketidakadilan kehidupan dan kematian.
Aku sedang duduk di mejaku Senin pagi ketika
Rob tiba, dengan seringai lebar di wajahnya. Aku
sudah tahu arti seringai itu. Ia sedang jatuh cinta
lagi, dan semua berjalan baik?
"Oke, apa yang terjadi?"
87 Ia sangat ingin menceritakannya padaku. "Yah,
aku menelepon Cathy kemarin dan membujuknya untuk
pergi denganku. Ia mengajukan berbagai macam
alasan, tapi aku terus mendesak. Akhirnya ia menyerah
dan kanti pergi menonton film yang menurutnya sudah
bertahun?tahun ingin ia lihat. Padahal itu hanya sampah Prancis karya Truffaut. Menurutku film itu bukan
main membosankan dan aku tidak dapat mengikuti
jalan ceritanya, tapi dia terpaku menatap layar. Setelah


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kami makan malam. Kami ngobrol berjam-jam. Ia
benar-benar dapat mengerti diriku dengan cara yang
tidak pernah dilakukan gadis lain."
Paling tidak sejak kau putus dengan Claire bulan
lalu dan dengan Sophie tiga bulan lalu, pikirku sedikit
sinis. Rob bisa lupa diri kalau sedang mencurahkan
isi hatinya pada wanita. Lucunya, para wanita itu
sering lupa diri pula. Tapi aku tidak akan menganggap
Cathy sebagai gadis yang mudah terbujuk teknik
Rob. "Nah, apa yang terjadi?" tanyaku.
"Tidak terjadi apa?apa," Rob tersenyum. "Ia gadis
yang manis. Ia tidak mau melakukan hal semacam itu
pada kencan pertama. Tapi aku akan berkencan lagi
dengannya pada hari Sabtu. Aku akan mengajaknya
berlayar."
"Semoga beruntung," ujarku. lni sepertinya mulai
mirip dengan kisah cinta Rob yang lain. Ia sedang
berada dalam tahap pemujaan, pikirku. Bagaimanapun,
ia. harus diberi kesempatan. la tampaknya mampu
menggoyahkan hati wanita yang paling keras sekalipun.
Lampu teleponku berkedip. Dari Cash.
88 "Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan," katanya. "Pertama, apakah kau akan datang ke konferensi
kami?"
"Ya, dengan senang hati aku akan datang. Terima
kasih banyak," ujarku.
"Bagus," ujar Cash. "Dan aku janji akan mengatur
pertemuanmu dengan Irwin Piper begitu ia ada waktu.
Sekarang, aku punya saran lain. Maukah kau datang
ke Henley sebagai tamu Bloomfield Weiss? Perusahaan
setiap tahun menyediakan tenda, dan kudengar acaranya selalu hebat. Cathy dan aku akan datang ke
sana. Ajak seseorang dari kantor kalau kau mau."
Semangatku hilang. Aku tidak suka acara semacam
itu. Dan aku tidak nenarik pada acara hiburan perusahaan
yang biasa diisi kegiatan minum?minum dengan gerombolan orang yang tidak kukenal dan tidak ingin kukenal.
Satu?satunya yang bagus adalah tidak ada yang akan
memperhatikan acara mendayungnya. Aku ingin berkata '
tidak, tapi sulit mengatakannya kepada Cash.
"Terima kasih banyak Aku harus periksa dulu apa
aku ada kegiatan akhir pekan itu. Kau akan kuberitahu."
"Oke. Telepon aku."
Aku menutup telepon. Orang Amerika yang emosional bertemu orang Inggris yang sopan santun, dan
keduanya tidak menyukai hasil percakapan mereka,
pikirku, merasa sedikit bersalah.
"Ada apa?" tanya Rob.
"Aku diundang ke Henley oleh Bloomfield Weiss,
dan aku merasa tidak enak menolaknya."
Rob bersinar-sinar. "Bloomfield Weiss, eh? Apa
Cathy akan ada di sana?"
89 "Ya," sahutku.
"Yah, menurutku kau harus pergi. Dan kupikir kau
harus membawaku bersamamu."
Aku protes, tapi tidak ada gunanya. Gabungan
kekuatan membujuk Rob dan Cash terlalu kuat bagiku.!
Kutelepon Cash kembali untuk mengatakan aku dengan
senang hati akan datang bersama Rob. Cash terdengar
gembira. _
Aku sedang duduk di mejaku mengawasi bursa
yang tengah berjuang melawan kelesuan musim panas,
dibantu dengan baik oleh Debbie. Aku merasa bosan
dan kesal. Debbie tampaknya cukup gembira dengan
situasi itu. Aku mengawasinya mengisi teka?teki silang
di Financial Times. Aku setengah mati berusaha
mencari kesibuk'an. Aku telah memeriksa portfolio
kami, berharap mendapatkan ide.
Ada satu atau dua obligasi yang bertuliskan NV di
belakang namanya. ltu mengingatkanku.
"Debbie."
"Jangan sekarang, tidakkah kau lihat aku sedang
sibuk," ujarnya. _
"Apa kau sudah memeriksa emisi obligasi Netherlands Antilles itu? Apa kita harus kuatir tentang
perubahan perjanjian pajak itu?"
Debbie menaruh korannya. "Ya, herannya sudah
kuperiksa." la menunjuk setumpukan prospektus. "Aku
sudah mengecek semua portfolio kita, dan semua
beres. Tidak ada obligasi kita yang terpengaruh. Satu?
satunya obligasi Netherlands Antilles yang kita pegang
dijual di bawah seratus, jadi kita akan dapat uang
bila emitennya membayar dengan harga par."
90 "ltu meleg?an. Kerja yang bagus. Terima kasih
untuk semua bantuanmu," ujarku.
"Tunggu sebentar. Mungkin tak ada masalah dalam
soal undang?undang pajak, tapi aku menemukan satu
obligasi yang agak mencurigakan, sangat mencurigakan."
"Ya, teruskan."
"Yang ini."
Ia menaruh sebuah prospektus di mejaku. Aku
mengambil dan memperhatikannya. Tertulis di sampulnya dengan huruf tebal "Tremont Capital NV promes
8 persen jatuh tempo 15 Juni 2001," dan di bawahnya
dengan humf yang sedikit lebih kecil, "dijamin oleh
Honshu Bank Ltd." Berikutnya, "Lead Manager
Bloomfield Weiss."
"Jadi, apa yang salah dengan ini?" tanyaku.
"Sulit dijelaskan, sebenarnya," jawab Debbie. Mendadak ia duduk tegak di kursinya. "Ya Tuhan! Kau
lihat itu?"
"Apa?" tanyaku.
" "Di Reuters." la membaca dari layar di depannya.
Ciypsum Company of America mengumumkan menyetu_|u1 penawaran dari DGB... Siapa itu DGB?"
"Perusahaan semen Jerman, kukira," sahutku. "Kita
benar. Memang ada sesuatu yang terjadi."
Telepon mulai berkedip?kedip. Aku mengangkat
satu. Dari David Ban'att.
"Kau sudah lihat DGB memberikan penawaran
pada Gypsum?"
"Ya," jawabku. "Reuters menduga penawaran itu
berlangsung baik?baik. Ada alasan mengapa penawaran
1tu tidak akan berhasil?"
"Kukira tidak ada," sahut David. "DGB tidak
91 punya operasi di AS, jadi tidak akan; ada problem
antitrust."
"Bagaimana penilaian DGB?" tanyaku. Jika DGB
mempunyai penilaian kuat, maka risiko pada obligas1
Gypsum kami akan jauh berkurang. Harga sahamnya
akan meroket.
"Daubel A minus," sahut David. Ia seperti komputer kalau mengenai perincian perusahaan, bahkan
yang paling tak dikenal sekalipun. "Sebentar, traderku meneriakkan sesuatu." Aku dapat mendengar suarasuara bising di kejauhan. "la bilang DGB membayar
akuisisi itu dengan tunai dan penempatan saham, jadl
tidak akan merusak penilaian." __
"Berapa nilai obligasinya?" tanyaku.
"Sebentar." Suaranya kembali terdengar beberapa
menit kemudian. "la menawar sembilan puluh lima.
Kau mau jual yang dua juta?" _ _
Aku berpikir sesaat; sembilan puluh lima mas1h
terlalu rendah. "Tidak, terima kasih. Seharusnya lebih
tinggi dan' itu. Beritahu aku jika harganya naik." .
Aku menaruh telepon dan berseru pada Debbie.
"Apa yang kaudengar?" _
"Semua orang mencari Gypsum. Bloomfield We1ss
menawar sembilan puluh tujuh. Claire ada di telepon
ini. Ia menawar sembilan puluh tujuh setengah. Apa
akn jual?"
Aku menekan tombol kalkulatorku. Menurut perhitunganku, kami seharusnya dapat mencapai 98 1/4.
"Jangan, bertahan dulu." _
"Ayo, kita ambil saja keuntungannya," ujar Debbre.
"Jangan, barang ini bernilai tiga perempat pom
lagi."
92 "Kau ini rakus sekali," ujar gadis itu.
Kami berbicara kepada tiga salesman lain, tapi
: tak ada yang menawar lebih dari 97 1/2. Aku sudah
hampir menyerah ketika Karen berseru, "Debbie.
Leipziger Bank di line empat!"
"Siapa itu Leipziger Bank?" ujar Debbie. "Katakan
kami sedang sibuk."
Leipziger Bank? Buat apa sebuah bank Jerman tak
dikenal mau berbicara dengan kami, pikirkuheran.
"Aku akan berbicara dengan mereka, Karen," seruku.
"Selamat pagi. Di sini Gunter. Bagaimana kabar
Anda? Di sini udara sangat cerah."
"Selamat pagi," jawabku. Ayo, Gunter, katakan
apa maumu. *
Setelah sedikit basa?basi lagi, Gunter menanyakan
apakah aku pernah mendengar mengenai obligasi Gypsum Company of America.
"Sebenamya aku kebetulan memiliki dua setengah
juta dolar obligasi itu."
"Ah bagus. Trader?ku menawar sembilan puluh
lima. Menurutku ini penawaran yang sangat bagus."
Penawaran yang buruk?paling tidak dua poin di
bawah harga pasar! "Dengar baik?baik, Gunter," ujarku. "Kolegaku sedang di telepon yang lain. hendak
menjual obligasi itu kepada seorang sahabat lama
kami dengan harga sembilan puluh sembilan. Kalau
Anda menawar sembilan puluh sembilan setengah
sekarang juga, maka aku akan menjualnya pada Anda.
Kalau tidak, Anda takkan pernah melihat obligasi ini
lagi."
"Bisakah kuminta satu jam untuk menghitungnya
dulu?" tanya Gunter, terguncang.
93. "Anda hanya punya lima belas detik."
Hening. Aku melihat arlojiku. Setelah tiga belas
detik, suara Gunter kembali terdengar. "Oke, oke,
kami beli dua setengah juta Gypsum of America
sembilan persen tahun 1995 seharga sembilan puluh
sembilan setengah." '
"Jadi," ujarku.
"Terima kasih," ujar Gunter. "Aku berharap bisa
berbisnis lagi dengan Anda di masa datang."
Tak bakal, pikirku, sembari menaruh gagang telepon
kembali. '
"Bagaimana caramu membuatnya membayar sem?
bilan puluh sembilan setengah?" tanya Debbie.
"Kupikir satu?satunya alasan perusahaan seperti
Leipziger Bank mau membeli obligasi itu adalah karena
mereka bank lokal DGB. Kalau DGB mati?matian hendak membeli obligasi Gypsum, maka mereka pasti
mampu membayarnya. Percayakah kau, orang itu menawar hanya sembilan puluh lima padahal ia siap membayar sembilan puluh sembilan setengah? Ingatkan aku
agar jangan berumsan dengan mereka lagi."
"Jadi berapa keuntungan kita?" tanya Debbie.
"Kita beli dua juta pada delapan puluh dua dan
menjualnya untuk keuntungan tujuh belas setengah
poin," ujarku. "Itu berarti keuntungan sebesar tiga
ratus lima puluh ribu dolar! Tidak jelek. Dan kita
berhasil membuang risiko awal sebesar setengah juta.
Berapa ya harga saham kita kalau New York ikut?"
Debbie tampak serius.
"Ada apa?" kataku.
"Pasti ada yang tahu soal pengambilalihan itu,"
ujarnya. "
94 "Tentu saja," sahutku. "Mereka selalu begitu. ltulah
' cara dunia ini bekerja"
"Mungkin seharusnya kita tidak membeli saham
itu," ujar gadis itu.
"Mengapa tidak? Kita tidak tahu akan terjadi pengambilalihan. Kita hanya menduga. Kita tidak melanggar aturan apa pun."
"Tapi ada yang tahu. Apa lagi yang membuat
harga sahamnya meroket?"
"Dengar," ujarku. "Kaulah compliance officer?nya.
Kau tahu aturannya. Apakah ada yang kita langgar?"
Debbie berpikir sejenak. "Secara teknis, aku kira
tidak," ujarnya.
"Bagus. Sekarang beri aku tiket agar bisa mencatat
transaksi ini."
Hari berikutnya, Rabu, merupakan hari yang mengesalkan. Aku seharusnya menyelesaikan sebuah laporan
untuk salah satu klien kami, dan aku mendapat kesulitan besar dalam mencocokkan jumlah perhitungan yang
dibuat bagian administrasi dengan yang kami hasilkan.
Aku menghabiskan waktu dua jam pada sore harinya,
memandangi beberapa kolom angka sebelum akhirnya
kutemukan kesalahannya, yang sejak tadi ada di depanku.
Aku mengumpati kebodohanku, lalu pergi ke bagian
administrasi di atas untuk menunjukkan kesalahannya.
Masih diperlukan waktu lama untuk membereskan masalahnya, dan ditambah interupsi terus?menerus dari para
salesman, aku beruntung kalau dapat menyelesaikannya
sebelum tengah malam. Debbie menawarkan bantuan,
dan aku menerimanya dengan lega. Meski demikian,
kami baru selesai pukul delapan malam.
95 Aku menaruh laporan itu di meja Karen, siap
untuk dikirim esok pagil Debbie dan aku saling
memandang. "Pergi minum?" tanyanya. "
"Aku tahu kau akan menyarankannya," Ujarku.
"Ke mana kita akan pergi?"
"Pernahkah kau naik kapal di Thames? Kau tahu,
yang disebelah stasiun kereta bawah tanah Temple?"
"Buatku boleh?boleh saja," ujarku. "Sebentar, aku
ambil tas dulu." .
"Ah, lupakan tasmu!" ujar Debbie. "Kau hanya
akan membawanya pulang dan membawanya kembali
ke sini tanpa dibuka, ya kan?"
"Um, yah..."
"Ayolah!" . _
Aku melihat ke sekeliling mangan trzmsaksr rtu.
Rob dan Hamilton masih ada di sana. Hamilton


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang sibuk dengan setumpuk berkas, Rob mengotakatik komputernya. Sama sekali tidak mengejutkan
melihat Hamilton pada jam selarut ini, tapi Rob agak
jarang terlihat setelah pukul enam. Hari sudah mulai
gelap, dan sisa sinar matahari yang kemerahan memancar ke dalam ruang transaksi, seberkas lebar
cahaya oranye yang membelah kota dan langit?dua
sosok kelabu dan hitam yang menjulang.
"Akan hujan...," ujarku.
"Oh, ayolah." _
Karni sampai di atas kapal tepat sesaat sebelum
hujan turun. Kami duduk di meja di kabin utama,
memandang ke luar ke arah air kelabu sungai Thames
yang mengalir naik ke Westminster saat arus pasang.
Pusaran arus kuat menderu di sekitar trang yang
ditancapkan di palung sungai di samping kapal. Rasa
96 nya aneh melihat kekuatan yang liar tak terjinakkan
berada di tengah?tengah kota pada akhir abad kedua
puluh. Manusia mungkin dapat membangun tembok
sungai dan penghalang rumit untuk menahan atau
menyalurkan arus, tapi tak ada yang dapat diperbuat
untuk menghentikannya.
Pada saat itulah hujan akhirnya turun, deras menerpa air, sehingga sungai, kota, dan langit menjadi
tersamar dalam kegelapan. Angin makin keras sehingga kapal itu mulai bergoyang maju?mundur per?
lahan, mengeluarkan bunyi menderit.
"Brr." Debbie menggigil. "Kau tidak akan mengira
sekarang musim panas. Tapi di sini cukup nyaman."
Aku melihat ke sekeliling. Interior kayu mengilap
kapal itu diterangi cahaya remang?remang. Ada beberapa kelompok kecil di sepanjang kedua sisi kabin,
dan kelompok besar para peminum di salah satu
pojok. Goyangan dan deritan kapal itu, gumaman
perbincangan santai, dan hawa yang lembap namun
hangat membuat suasana terasa nyaman.
Kami memesan sebotol Sancerre. Pelayan segera
datang dan menuangkan kami masing-masing satu
gelas. Aku mengangkat gelasku ke arah Debbie.
"Cheers," ujarku. "Terima kasih atas bantuanmu sore
tadi. Aku sekarang akan masih ada di sana kalau kau
tidak membantu."
"Tak usah dipikirkan," ujar Debbie, menghirup
anggurnya sedikit. "Kau lihat, aku bukanlah seorang
pemalas ceroboh seperti dikira orang."
"Yah, aku yakin Hamilton juga menyadari hal
itu."
"Oh, persetan dia. Aku melakukannya hanya karena
97 kau kelihatan begitu sengsara sepanjang hari. Umpat?
anmu tadi membuat telingaku merah."
"Yah, bagaimanapun terima kasih banyak," ujarku.
Menurutku, kata?kata apa pun yang kugunakan tidak
mungkin membuat Debbie malu, walau sekarang pipinya yang halus mulai merona dalam ruangan berhawa
alkohol itu.
"Kau telah bekerja luar biasa keras akhir?akhir
ini," ujarku. "Kau yakin baik?baik saja?" Sepanjang
hari Debbie menunduk terus.
"Yah, bukankah kau yang memberiku semua prospektus itu untuk dibaca, terima kasih banyak," gadis itu
mengerutkan keningnya. "Tapi ada beberapa hal yang
agak mengganggu pikiranku. Sangat mengganggu."
Keingintahuanku bangkit. "Misalnya?"
Ia berpikir sesaat, lalu menggelengkan kepalanya.
"Oh, lupakan- sajalah. Hari ini aku sudah menghabiskan banyak waktu mencemaskan prospektus brengsek
itu, jadi hal itu bisa menunggu sampai besok. Kita
akan segera mendapat kesempatan untuk membicarakannya."
Aku bisa merasakan gadis itu mencemaskan sesuatu?pasti sesuatu yang menarik,- karena hal ini
jarang terjadi. Tapi jelas ia tidak ingin membicarakannya sekarang, jadi aku mengubah arah pembicaraan.
"Kau kenal beberapa trader dari Bloomfield Weiss,
kan?" '
"Ya, kenapa?"
"Apakah kau tahu siapa yang memperdagangkan
Gypsum?"
"Ya, Joe Finlay. Ia yang memperdagangkan semua
pembukuan korporasi AS di Bloomfield Weiss. la
98 sangat hebat. Diduga ia trader korporasi terbaik di
Wall Street, mencetak uang terus?menerus. Trader
perusahaan lain berusaha bermanis?manis padanya."
"Mengapa begitu?"
"Ia adalah bajingan besar" Debbie mengucapkannya
dengan keyakinan penuh, sehingga aku menduga ia
punya pengalaman pribadi. Sesuatu dalam nada bicaranya membuatku berhenti meminta penjelasan lebih
lanjut.
"Apakah ia jujur?"
Debbie tertawa. "Trader Bloomtield Weiss? Kukira
itu sangat tidak mungkin, bukan? Kenapa kautanyakan?"
"Aku hanya heran mengapa Bloomfield Weiss menunjukkan minat begitu besar pada obligasi itu tepat
sesaat sebelum pengumuman pengambilalihan."
"Maksudmu kaupikir Joe mungkin sudah tahu tentang itu? Aku takkan heran?"
Aku mengisi kembali gelas?gelas kami. "Akan kau
apakan keuntungan yang kau dapat dari Gypsum?"
tanyanya, sambil lalu.
"Maksudmu saham yang kita beli? Aku belum
tahu. Mungkin akan kusimpan saja."
"Untuk apa? Untuk musim paceklik?" ujar Debbie,
mengangguk ke arah hujan besar di luar.
Aku tersenyum, merasa bodoh. "Yah, apa yang
harus kubeli dengan uang itu. Flatku sudah cukup
sempurna. De Jong memberiku mobil. Aku kelihatan?
nya takkan punya waktu untuk berlibur."
"Yang kauperlukan adalah seorang pacar yang glamor," ujar Debbie. "Seseorang yang dapat kaumanjakan dengan semua keuntungan kotom'ru itu."
99 "Sekarang sama sekali tak ada yang semacam itu."
"Apa, seorang ahli keuangan muda berkualitas seperti dirimu? Aku tidak percaya," ujar Debble p_urapura terkejut. "Tapi wajahmu memang agak kasar,.dan
hidung itu perlu diperbagus. Dan sudah lama kau tidak
gunting rambut, bukan? Aku mengerti masalahmu."
"Terima kasih atas dorongan semangatnya. Aku
tak tahu, kelihatannya aku tidak punya waktu.?
"Terlalu sibuk bekerja?"
"Terlalu sibuk bekerja, terlalu sibuk berlari."
"Khas dirimu. Jadi siapakah kau? Sang pekerja
perjaka?"
"Tidak seburuk itu," ujarku, tersenyum.
"Oh ya? Ceritakan lagi," ujar Debbie, memajukan
duduknya, sangat ingin tahu?.
"Bukan urusanmu," kataku setengah hati.
"Tentu saja bukan," sahut Debbie. "Ceritakan."
Ia menjulurkan kepala, matanya yang cemerlang
menari-nari menatap wajahku, memintaku bercerita.
Meskipun segan, aku tidak dapat mengecewakannya.
"Yah, dulu ada seorang gadis di universitas bemama
Jane," ujarku. "Ia sangat manis. Sangat sabar."
"Sabar?"
"Ya. Aku hampir selalu harus berlatih. Aku dulu
berlari paling tidak empat puluh mil seminggu, dan
itu belum termasuk latihan beban serta sprint. Lalu
aku masih berusaha mendapat nilai yang bagus. Tak
banyak waktu untuk hal?hal yang lain."
"Dan ia tahan dengan semua itu?"
"Untuk beberapa lama. Ia sangat memahamiku. Ia
selalu menontonku berlomba, dan kadang?kadang ia
bahkan menontonku berlatih."
100 "la pasti cukup terpesona padamu," ujar Debbie.
"Mungkin. Tapi pada akhirnya ia tidak tahan lagi.
Aku hams memilih antara lari atau dia. Silakan
tebak mana yang kupilih."
"Kasihan dia."
"Oh. entahlah. Ia jauh lebih baik tanpa aku. Dua
bulan kemudian ia bertemu Martin, dan satu tahun
kemudian mereka menikah. Mungkin sekarang ia sudah
mempunyai dua anak dan sangat bahagia."
"Dan tidak ada gadis lain lagi sejak itu?"
"Satu?dua. Tapi tak ada yang benar?benar serius."
Aku menarik napas. Setiap hubungan yang aku mulai
segera menimbulkan pertentangan antara si wanita
dengan profesi lariku, dan aku tak pernah mau kompromi soal itu. Terkadang aku menyesal, tapi itu harga
yang harus kubayar untuk dapat ke Olimpiade. Pada
akhirnya aku selalu siap untuk membayar harga itu.
"Jadi, apa yang dapat menghentikanmu sekarang?"
tanya Debbie.
"Menghentikan apa?"
"Kau tahu, mendapatkan seorang pacar."
"Yah, kau kan tidak bisa hanya pergi keluar dan
mendapatkan seseorang begitu saja," aku protes.
"Maksudku, kan tidak semudah itu. Tak ada waktu, '
dengan segala pekerjaan dan semuanya."
Debbie tertawa. "Pasti kau dapat menyelipkan waktu di antara pukul sembilan dan sembilan tiga puluh
pada hari Selasa dan Kamis. ltu cukup, kan?"
Aku mengangkat bahu dan tersenyum menyeringai.
"Ya, kau benar. Aku hanya sudah lama tidak mencoba.
Aku akan membenahi masalah ini secepatnya. Minggu
depan aku akan punya tiga cewek untuk kauselidiki."
101 Kami menghabiskan isi botol, membagi dua bonnya,
dan bangkit untuk menghadapi angin dan hujan di
luar. Karni berjalan di sepanjang lorong yang ter.
lindung, berusaha mengelakkan air hujan, dan berdiri
di bawah kerai di atas trotoar
Kami tengah berdiri sambil memandang derai hujan
pada malam yang dingin itu ketika seorang laki?laki
mendesak kami. la berhenti sesaat di hadapan Debbie,
menjulurkan tangannya ke blus gadis itu, dan meremas
dadanya. "Rindu padaku, Sayang?" ujarnya dan tertawa patau pendek. Ia membalik ke arahku sekejap,
menatapku dengan mata biru kosong, ujung mulutnya
menyunggingkan senyum palsu, dan kemudian merunduk pergi di bawah derasnya hujan.
Aku terdiam beberapa saat, terpana, refleksku ditumpulkan oleh anggur yang kuminum. Lalu, ketika
aku hendak berlari dalam hujan untuk mengejarnya,
Debbie mencengkeram lenganku. "Jangan, Paul! Jangan!"
"Tapi kau lihat apa yang ia lakukan," ujarku,
ragu?ragu, sementara Debbie menarik lenganku.
"Kumohon, Paul. Jangan pedulikan, tolong."
Aku memandang ke kegelapan, tapi laki?laki itu
sudah menghilang. Wajah Debbie memohon dengan
sangat dan, unt: sekali ini, tampak amat serius.
Gadis itu tampak ketakutan.
Aku mengangkat bahu dan kembali berlindung di
bawah kerai dengan tubuh basah kuyup.
"Siapa dia?"
"Jangan tanya."
"Tapi dia tidak boleh seenaknya berbuat begitu
padamu."
102 "Dengar, Paul. Kumohon. Lupakan saja. Tolonglah."
"Oke, oke. Ayo cari taksi untukmu."
Tidak mengherankan, saat hujan begini tak ada
taksi yang muncul, dan lima menit kemudian kami
setuju untuk berpisah menuju stasiun kereta bawah
tanah masing?masing. Debbie berlari menuju Northern
Line dari Embankment, sedangkan aku berlari dalam
hujan menuju Temple.
Ketika kereta bawah tanah meluncur ke barat dalam
perjalanan tanpa akhir memutari Circle Line, aku
berpikir tentang laki?laki yang meraba Debbie tadi.
Siapa gerangan dia? Mantan kekasih? Bekas teman
sekerja? Orang yang sama sekali tak dikenal? Seorang
pemabuk? Aku tak tahu. Aku jugb'tak tahu mengapa
Debbie tidak mau memberitahuku. Gadis itu lebih
kelihatan ketakutan daripada terkejut atau tersinggung.
Sangat aneh.
Aku sempat melihat sekilas orang itu saat ia berbalik ke arahku. Pria itu kurus namun kuat, berusia
sekitar tiga puluh lima, dan gaya berpakaiannya biasa
saja. Aku masih dapat mengingat matanya. Biru pucat,
tampak mati, biji matanya setitik saja, hampir tak
kelihatan. Aku merasa ngeri.
Kereta berhenti di Victoria. Sekemmunan orang
bergegas turun, dan satu atau dua orang naik. Saat
kereta mulai kembali bergerak, pikiranku menerawang.
Aku 'berusaha membaca surat kabar orang tua di
seberangku, tapi aku tidak dapat melihat hurufnya.
Pembicaraan dengan Debbie tentang para kawan wanitaku, atau lebih tepat tentang ketiadaan para kawan
wanitaku, membayang kembali dalam pikiranku. Sebabnya karena aku tidak berusaha mencari selama
103 beberapa tahun terakhir ini. Bukan karena aku tidak
suka teman wanita, sama sekali bukan itu, tapi hanya
karena begitu banyak hubungan yang dimulai dengan
harapan tinggi dan berakhir dengan kekecewaan se.
hingga kelihatannya tidak sebanding dengan usahanya.
Yah, mungkin aku harus mengubah hal itu. Debbie
benar: betapapun kerasnya usahaku untuk sukses dalam
karier, harus ada waktu untuk hal?hal lain.
Ingatan pada Debbie membuatku tersenyum. Keceriaannya tak bisa dipudarkan. Kusadari bahwa aku
berharap untuk segera melihat kembali tawanya yang
renyah dan gurauannya yang selalu menyambutku di
kantor setiap hari. Aku telah menjadi sangat suka
kepadanya selama'beberapa bulan terakhir ini.
Tunggu dulu. Apakah ada seseorang di benak
Debbie saat ia menyuruhku mencari pacar? Mungkinkah itu justru sebuah undangan? Kalau benar, betapa
bodohnya aku. Tak mungkin Debbie. Tak mungkin
aku. Namun anehnya, aku menyukai gagasan itu.
104

Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

> > >BAB5 A KU sibuk keesokan paginya. Telepon tidak henti
. _ berdering. Bursa sedang aktif. Manajer investasi
mstrtusi sedang menukar Deutsche mark menjadi dolar
karena mereka menduga Bundesbank akan memotong
tingkat suku bunga. Wall Street sama sekali tidak
srap. Tambahan suplai eurobomz' yang mendahului
emisi Swedia terbaru hampir semua telah habis dibeli,
dan sejumlah broker kehabisan persediaan. Para salesman membujuk kami untuk menjual penempatan kami
pada mereka. Tapi kami bertahan. Biarkan mereka
berkeringat dingin.
Debbie terlambat, sehingga aku harus menjawab
sendiri semua telepon masuk. Benar?benar kerja keras.
Pada pukul sembilan aku menelepon Karen. "Dengar kabar dari Debbie?" Kami tidak minum?minum
terlalu banyak tadi malam, seharusnya ia bisa masuk
kerja.
"Belum."
Pukul 9.30, Hamilton datang ke mejaku. "Ada
kabar dari Debbie?"
105 "Belum."
"Seharusnya paling tidak ia cukup sopan unt'uk
menelepon, memberitahu kalau sedang sakit," ujarnya.
Aku tidak membantah. Jika tidak ada apa?apa,
seharusnya ia memberi kabar. Alasan apa pun lebih
baik daripada tidak ada alasan sama sekali. Debbie
cukup sering tidak masuk kerja karena sakit, tapi
biasanya ia menelepon memberikan alasan.
Pagi terus berjalan. Aku berhasil menahan semua
penempatan obligasi kami, di tengah usaha keras
Cash, Claire, David, dan salesman lain yang membujukku untuk menjualnya.
Konsenn'asiku terpecah oleh suara Karen. Suaranya
terdengar agak kuatir, hampir ketakutan, sehingga
menarik perhatian semua orang dalam ruangan itu.
"Hamilton! Dari kepolisian. Mereka ingin berbicara
dengan seseorang tentang Debbie."
Hamilton mengangkat teleponnya. Kami semua memandangnya. Beberapa detik kemudian keningnya agak
berkemyit. Ia berbicara dengan suara rendah selama
lima menit lebih. Lalu perlahan ia menaruh gagang
telepon. la berdiri dan melangkah ke mejaku, di
samping meja Debbie. Ia memberi tanda pada kami
semua agar berkumpul.
"Ada kabar buruk. Debbie sudah meninggal. Ia
tenggelam kemarin malam." '
Kata?kata itu menampar keras wajahku, menjadikan
telingaku berdenging dan mataku berkunang?kunang.
Aku terjajar di kursiku. Ketika Hamilton berbicara
dengan polisi tadi, rasa takut yang tak terkendali
akan apa yang mungkin terjadi pada Debbie terbayang
dalam pikiranku, tapi aku tidak siap menerima pukulan
106 ini. Aku merasakan kekosongan di meja sebelahku,
yang biasa menjadi pusat gosip dan tawa dan kini
terasa sunyi. Aku hanya samar?samar mendengar katakata Hamilton berikutnya.
yTubuhnya diketemukan pukul enam pagi ini di
sungai Thames dekat Millwall Docks. Pihak kepolisian
akan datang nanti siang untuk berbicara dengan kita.
Mereka memintaku mengecek siapa yang terakhir
melihatnya kemarin malam." _
_ "Aku," kataku lirih, atau setidaknya itulah yang
rngrn kukatakan. Yang keluar dari bibirku hanyalah
lrnhan parau. "Aku," ulangku, kali ini lebih jelas.
Hamilton berbalik ke arahku, wajahnya muram.
"Oke, Paul, mereka mungkin akan meminta pernyataan
darimu."
Semua memandangku, bertanya?tanya. "Terakhir aku
melihatnya sekitar pukul setengah sepuluh tadi malam,"
Ujarku. "Kami baru saja minum?minum. la berjalan
ke arah Embankment. Itu saja yang aku tahu." Walau
hatiku kacau-balau, aku berhasil menguasai Suaraku.
R ;Apakah mereka tahu bagaimana terjadinya?" tanya
o . "Belum," ulang Hamilton. "Menurut polisi mereka
belum bisa menentukan apa?apa."
bagaimana itu sampai terjadi? Ia terjatuh, pasti.
Tap1 bagaimana orang bisa jatuh begitu saja ke
dalam sungai Thames? Pasti sangat sukar, betapapun
kerasnya angin malam itu. Berarti ia meloncat, atau
drdorong. Mata kosong dan wajah kurus laki?laki
yang meraba Debbie sesaat sebelum ia meninggalkan
kapal membayang di benakku. Berani bertaruh orang
itu ada hubungan dengan kejadian ini.
107 Lampu telepon berkedip?kedip marah. Hamilton berkata, "Sebaiknya kita jawab telepon itu." _
Tidak ada yang saling berbicara lagi. Sangat sulit
memikirkan katalkata yang.dapat diucapkan. Kam1
semua terkejut. Karen terisak?isak di balik saputangannya. Rob dan Gordon berdiri termangu, mencarr sesuatu untuk menyibukkan diri.
Aku hanya menatap kosong ke arah meja Debbie.
Sampai tadi malam, aku tidak menyadari betapa
dekat hubungan kami selama beberapa bulan terakhrr.
Aku masih dapat melihat pipinya yang halus merona
dalam sinar temaram kapal, matanya yang penuh
canda tawa. Semua itu hanya beberapa jam yang
lalu, empat belas jam tepatnya. Bagaimana mungkrn
seseorang yang begitu banyak memiliki kehidupan
dalam dirinya, mendadak lenyap? Menghilang begrtu
saja dari kehidupan. Tidak masuk akal. Mataku terasa
pedas. Aku menumpu kepalaku di atas tangan dan
hanya duduk saja di sana. . _ _
Aku tidak tahu berapa lama aku sepertr 1tu sampar
kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku. Kuangkat
wajahku. Hamilton.
"Aku sungguh sedih," ujarnya. "Kalian tim yang
kompak."
Aku memandangnya dan mengangguk.
"Kau ingin pulang?" tanya Hamilton.
Aku menggeleng.
"Boleh aku memberi saran?" ujar Hamilton lagi.
Suaraku bergetar ketika aku bertanya, "Apa?"
"Angkat telepon dan buat dirimu sibuk." _
Ia benar. Aku perlu menyibukkan diri dengan rutrnitas sehari-hari. Harga, gosip, yield, laporan data.
108 Aku tidak mampu bercerita tentang Debbie pada
orang lain. Tapi segera berita itu menyebar ke seantero
bursa. Sisa pagi itu menjadi semakin sulit ketika aku
harus menghabiskan waktu dengan menyetujui pendapat semua orang bahwa Debbie adalah orang yang
menyenangkan serta mudah bergaul, dan bahwa betapa
menyedihkannya kini ia sudah tiada.
Saat jam makan siang polisi datang. Mereka bicara
dengan Hamilton selama setengah jam. Lalu ia memanggilku ke ruang rapat. Dua orang duduk menungguku, yang bertubuh lebih besar memperkenalkan diri
sebagai Inspektur Detektif Powell. Ia seorang lakilaki tegap, berusia pertengahan tiga puluhan, dengan
jas murah tak dikancing dan dasi berwarna mencolok.
Ia bergerak sigap ketika berdiri, kegempalannya karena
otot, bukan lemak. la tampaknya pria yang suka
bertindak, merasa tidak nyaman dengan suasana tenang
dalam ruang rapat De Jong ini. Koleganya, Detektif
Jones, tetap berada di belakang, dengan pensil siap
mencatat.
"Mr. McKenzie berkata Anda adalah orang terakhir
di sini yang melihat Miss Chater dalam keadaan
hidup?" Powell memulai. Ia mempunyai aksen London yang datar dan nada suara yang membuat pertanyaan sederhana terdengar seperti tuduhan. Orang
ini memancarkan ketidaksabaran.
"Benar. Kami pergi minum?minum semalam." Kuceritakan pada mereka semua yang terjadi malam
sebelumnya. Sang detektif banyak sekali mencatat.
Pertanyaan?pertanyaannya makin mendalam ketika aku
sampai pada laki?laki yang mendatangi Debbie dan
menghilang ke kegelapan malam. Di bawah tekanan
109 aku menjawab dengan baik, memberikan keterangan
yang cukup akurat, dan kukatakan aku bersedia bekerja
sama dengan pelukis kepolisian jika perlu. Lalu Powell
mengubah taktik.
"Mr. McKenzie berkata Anda yang paling akrab
dengan Miss Chaterl Apa betul?"
"Ya, kurasa itu benar."
"Apakah menurut Anda Miss Chater sedang dalam
keadaan depresi akhir?akhir ini," tanyanya,
"Tidak, tidak juga."
"Tidak ada masalah dengan kawan pria?"
"Tidak, sepanjang yang ia ceritakan'padaku."
"Ada masalah dalam pekerjaan?"
Aku ragu?ragu. "Tidak, tidak juga."
"Tidak ada sama sekali?" Powell menatapku luruslurus. la merasakan keraguanku.
"Yah, ia sedikit kesal akhir?akhir ini" Kucer'itakan
padanya perselisihan Debbie dengan Hamilton dan
perbincangannya denganku di Finsbury Circus. "Tapi
ia tidak cukup kesal sampai harus bunuh diri," ujarku.
"Sulit membuktikannya, Sir," ujar Powell. "Sering
orang yang diduga stabil menghabisi nyawa mereka
sendiri hanya karena sesuatu yang menurut teman
atau keluarga adalah masalah kecil."
"Tidak, Anda tidak mengerti." ujarku. "Ia tidak
pernah depresi. Bahkan kenyataannya, ia selalu tertawa. la menikmati hidup ini."
Powell tidak memperhatikan katalkataku. la mengangguk ke arah koleganya yang menutup bukunya, dan
lalu inspektur itu berkata, "Terima kasih atas waktu
Anda, Mr. Murray. Anda tentu saja bersedia membantu
jika kami mempunyai pertanyaan lain, bukan?"
110 Aku mengangguk, dan kedua polisi itu pergi.
Entah bagaimana. akhirnya aku berhasil melewati
hari itu. Sekitar pukul enam aku mematikan mesinmesin dan beranjak pulang.
Ketika aku sedang menunggu lift, Hamilton ikut
menunggu di sebelahku. Terasa keheningan yang canggung. Berbincang dengan Hamilton selalu sukar. Apalagi sekarang, aku tidak punya energi untuk memikirkan
sesuatu yang cemerlang atau menarik untuk dikatakan.
Akhirnya pintu lift terbuka, dan kami berdua masuk.
Saat lift turun, Hamilton berujar, "Apa yang sekarang
hendak kaulakukan, Paul?"
"Tidak ada. Pulang," sahutku.
"Mau mampir ke rumahku untuk minum sebelum
pulang?" tanya Hamilton.
Pada awalnya aku tidak menjawab. Aku terkejut
atas undangan itu. Hamilton tak pernah mengundang
siapa pun untuk bersantai. Setengah jam perbincangan
yang sulit dengan Hamilton adalah hal terakhir yang
aku inginkan saat itu, tapi aku tidak dapat menolaknya.
"Anda baik sekali," ujarkul
Hamilton tinggal di salah satu deretan menara
beton kelabu Barbican, yang menjaga pintu gerbang
utara London. Kami hanya perlu lima belas menit
jalan kaki dari kantor, yang kami lalui hampir tanpa
berbicara. Barbican adalah daerah hiruk?pikuk dengan
jalan?jalan dan gedung?gedung yang mengitari temboktembok serta gereja tua kota sekitar 6 meter di atas
permukaan jalan. Daerah itu demikian membingungkan
sehingga terdapat petunjuk arah berupa garis?garis
kuning di jalan sebagai pedoman ke berbagai tempat
111 yang ingin, atau tidak ingin, dikunjungi orang. Tempat
yang tidak ramah. .
Akhirnya kami sampai ke gedung l-lamllton dan
menaiki lift menuju lantai teratas. Apartemennyagkecrl
dan nyaman. Perabotannya mahal tapi terbatas pada
yang umum dipakai. Satu?satunya hrasan adalah lu.
kisan biara di Skotlandia dari abad kesembilan belas:
Dinding memang harus diberi hiasan, tapi sulit mencari
yang lebih muram daripada lukisan ini. Dengan rasa
ingin tahu aku melihat dari pintu yang terbuka sebuah
mangan yang hanya berisi satu meja. '
"ltu ruang kerjaku," ujar Hamilton. "Mari kutunjukkan."
Kami melangkah ke ruangan itu. Memang ada
sebuah meja menghadap ke jendela. Seluruh drndingnya tertutup rak dan lemari kabinet. Ribuan buku
dan berkas tertumpuk di ruang kecil itu, nunp kantor
seorang profesor di universitas, hanya saja yang 1
sangat rapi. Semua berada pada tempatnya. Mejanya
kosong, hanya terisi sebuah komputer. .
Aku melihat?lihat rak buku dengan sambil lalu.
Hampir semua judul buku yang kulihat tidak berhubungan dengan keuangan atau ekonomi. Banyak yang
ditulis pada abad kesembilan belas. Ada satu set rak
yang menarik perhatianku. Berisikan judul?judul seperti
Chaos Theory dari Gleick, The Crowd in History
dari Rude, dan bahkan The Origin of Species karya
Darwin. Ada juga hasil karya bidang psikologi, fisika,
agama, dan linguistik.
Hamilton berdiri di sampingku. "Kau seharusnya
membaca beberapa buku ini, akan membantumu lebih
memahami pekerjaan kita."
112' Aku menatapnya, terheran?heran.
"Bursa adalah tentang pergerakan harga, tentang
sekelompok manusia berinteraksi, tentang kompetisi,
tentang informasi, tentang rasa takut, keserakahan,
keyakinan," lanjutnya. "Semua hal ini dengan rinci
dipelajari oleh serangkaian bidang ilmu, masing?masing
dapat memberimu pengertian mengenai gejolak bursa."
"Oh, begitu," ujarku. Kini aku mengerti. Dalam
dunia Hamilton para cendekiawan besar telah memberikan sumbangan yang besar bagi teori finansial.
Ternyata mereka memang ada gunanya.
Aku mengambil The Prince Xkarya Niccolo
Machiavelli. "Dan ini?" ujarku, menunjukkannya pada
Hamilton.
[a tersenyum. "Oh, Machiavelli mengerti arti ke
. kuasaan. Buku ini mengenai kekuasaan dan cara
menggunakannya. Begitu pula dalam bursa finansial.


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Uang adalah kekuasaan, informasi adalah kekuasaan,
dan kemampuan analisis adalah kekuasaan."
"Tapi bukankah ia menulis bagaimana menjadi
diktator yang kejam?"
"Oh, tidak, itu terlalu disederhanakan. Memang ia
percaya bahwa pencapaian tujuan menghalalkan segala
cara. Tapi walaupun seorang pangeran kaya akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya, ia
akan tetap mempertahankan citra kebajikan. Itu sangat
penting."
Aku tampak bingung.
Hamilton tertawa. "Kalau diterapkan dalam bursa,
berarti kita harus cerdik, penuh imajinasi, namun
tetap menjaga reputasi. lngat itu."
"Akan kuingat," ujarku, menaruh buku itu kembali
ke rak.
113 "Aku menyukai kamar ini," ujar Hamilton, rileks.
"Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di sini.
Lihat pemandangannya." ,,,,
Memang pemandangannya sangat luar biasa, memperlihatkan ke gedung?gedung perkantoran di kota
mulai dari St. Paul sampai East End. Kantor De
Jong tampak jelas dari sana. Sumber inspirasi bagi
l-larnilton saat pikirannya buntu.
Karni kembali ke ruang tamu. "Scotch?" tanyanya.
"Ya, terima kasih."
la mengisi dua gelas sampai hampir penuh dan
menambahkan sedikit air ke dalamnya. Ia memberikan
satu padaku, lalu kami berdua duduk.
Sesaat setelah menikmati minumarmya, Hamilton
bertanya, "Apakah menurutmu ia bunuh diri?" Ia
memandangku lekat?lekat.
Aku menghela napas. "Tidak," ujarku. "Apa pun
yang dikatakan polisi, Debbie takkan melakukan hal
seperti itu."
"Tapi ia memang sedang mencemaskan pekerjaannya, bukan?" ujar Hamilton. "Aku tidak tahu apa
yang diceritakannya padamu, tapi kami memang sedikit
bersitegang waktu membicarakan masa depannya, tidak
lama sebelum ia meninggal."
"Ya, aku tahu," kataku. "la menceritakannya padaku
dan hal itu memang membuatnya agak kesal. Tapi ia
segera melupakannya. Ia tak membiarkan hal?hal kecil,
seperti pekerjaan, menghalanginya menikmati hidup.
Aku yakin bukan itu yang menyebabkan ia mati."
Hamilton tampak rileks. "Tidak, bunuh diri sama
sekali tidak cocok dengan pribadinya," katanya. "Itu
pasti kecelakaan."
114 Sesaat suasana hening.
"Aku tidak begitu yakin," ujarku.
"Apa maksudmu?"
. "Aku melihat seseorang sesaat sebelum ia me
mnggal."
"Melihat seseorang? Siapa?"
"Aku tidak tahu siapa dia. Mungkin seseorang
yang bekerja di kota. Kurus. Pertengahan tiga puluhan.
Sangat tegap. Kelihatan jahat."
"Apa yang ia lakukan? Kau lihat ia melakukan
sesuatu pada Debbie?"
"Waktu itu kami akan pulang. Ia langsung meng- ,
hamprrr Debbie, memegang dadanya, dan menghilang
d1 kegelapan. Beberapa menit kemudian, Debbie juga
pergi."
"Aneh sekali! Kau tidak melakukan apa?apa?"
"Debbie menghentikanku," ujarku. "Dan ia mmpak
ketakutan. Aku tidak menyalahkannya. Ada sesuatu
yang sangat aneh dalam diri laki?laki itu."
::?au sudah menceritakannya pada polisi?"
3."
"Apa kata mereka?"
"Yah, mereka banyak mencatat. Mereka tidak
mengatakan pendapat mereka. Tapi menurutku lakilaki itu mendorong Debbie ke sungai. Bagaimana
menurut Anda?"
Hamilton sesaat diam, perlahan menyentuh dagunya
dalam posisi berpikir seperti kebiasaannya. "Memang
kelrhatannya begitu. Tapi siapa dia? Dan mengapa ia
melakukannya?" Kanti duduk diam beberapa menit
hanyut dalam pikiran masing?masing. Tak diragukari
Hamilton tengah berusaha memahami masalah itu,
115 sedang aku merasa kehilangan Debbie, Hari ini sungguh melelahkan.
Aku menelan sisa minumanku. "Mari kuisi lagi,"
ujar Hamilton.
Dengan tangan menggenggam segelas lagi minuman,
aku mengubah topik pembicaraan. "Sudah berapa
lama Anda tinggal di sini?" tanyaku.
"Oh, sekitar lima tahun," sahut Hamilton. "Sejak
perceraianku. Dekat ke kantor, sangat memudahkanku."
"Aku tidak tahu Anda sudah cerai," Ujarku sambil
lalu. Aku tak yakin seberapa jauh Hamilton mau
membicarakan hal?hal pribadi. Tapi aku ingin tahu.
Tak seorang pun di kantor mengetahui kehidupan
pribadi Hamilton, tapi kami semua menduga?duga.
"Kau tidak tahu? Memang, aku tak banyak mem.
bicarakannya. Tapi aku mempunyai seorang putra,
Alasdair." 1a menunjuk foto anak laki?laki berusia
tujuh atau delapan tahun. sedang tersenyum menendang
bola. Aku tadi tidak melihatnya. Anak itu sangat
mirip Hamilton, kecuali mimiknya yang ceria.
"Anda sering benemu dengannya?" tanyaku.
"Oh ya, dua minggu sekali, pada akhir pekan,
jawabnya. "Aku punya pondok di Penhshire, dekat
tempat tinggal ibunya. Sangat berguna. Dan jauh
lebih baik baginya tinggal di sana daripada di kota
mengerikan ini. Di atas sana sangat indah. Kau bisa
naik ke bukit dan melupakan segalanya," ia menunjuk
ke arah jendela.
Aku menceritakan tentang Barthwaite dan masa
kanak?kanakku di sana, berkelana ke tanah?tanah lapang. Hamilton mendengarkan dengan saksama. Rasanya aneh berbicara dengannya mengenai hal?hal se
"
116 macam itu, tapi ia tampak tertarik, dan aku mulai
merasa rileks. Rasanya menyenangkan bercerita tentang sebuah tempat yang ratusan mil dan sepuluh
tahun jauhnya dari hari ini, di sini.
"Kadang?kadang aku berpikir seandainya aku tetap
tinggal di Edinburgh," ujar Hamilton. "Aku bisa
dengan mudah mendapat pekerjaan bagus di sana,
mengelola uang sebanyak beberapa ratus juta untuk
salah satu perusahaan asuransi."
"Nah, mengapa tidak?" tanyaku.
"Yah, aku pernah mencobanya sebentar, tapi ternyata tidak cocok bagiku," sahutnya. "Lembaga keuangan Skotlandia itu bagus, tapi mereka tidak punya
semangat petualangan. Aku perlu berada di sini. Dalam kancah persaingan ketat." Ia memandang ke
dalam gelas minumannya. "Tentu saja, Moira tidak
suka. Ia tak bisa mengerti waktu yang kuperlukan
untuk bekerja. la pikir aku dapat melakukan tugas
dengan baik antara pukul sembilan hingga pukul lima
dan menghabiskan sisa waktu di rumah. Tapi pekerjaan
ini membutuhkan jauh lebih banyak waktu, dan ia
tidak percaya. Jadi kami berpisah."
"Aku ikut menyesal," ujarku. Dan aku bersungguhsungguh. Ia seorang penyendiri; terpisah dari istri
dan anaknya, pastilah ia semakin kesepian. Tentu
saja itu keputusannya sendiri; ia menempatkan pekerjaannya jauh di atas perkawinannya. Bagaimanapun,
aku merasa bersimpati. Aku dapat melihat diriku
dalam situasi yang sama sepuluh tahun mendatang.
Aku menggigil. Kuingat pembicaraanku dengan
Debbie. Aku mulai berpikir bahwa Debbie benar.
Hamilton mengangkat matanya dan" gelas. "Bagai117 mana menurutmu De Jong. setelah kau bekerja selama
enam bulan? Kau menikmatinya?"
"Ya. Sangat. Aku sangat senang bergabung dengan
perusahaan ini."
"Bagaimana menurutmu dengan transaksi?transaksinya?"
"Aku menyukainya. Aku hanya berharap dapat
lebih baik lagi menanganinya. Kadang?kadang kukira
aku sudah mengerti, tapi temyata'semua salah. Apakah
mungkin semua ini hanya berdasar keberuntungan
semata?"
Hamilton tertawa. "Jangan pernah berpikir begitu,
laddie. Tentu saja, semua itu adalah keberuntungan,
paling tidak setiap transaksi individual. Tapi kalau
kau mendisiplinkan diri hanya bertransaksi bila keadaan memihak padamu, maka dalam jangka panjang
kau akan unggul. Itu adalah statistik dasar."
Hamilton melihat ekspresiku dan kembali tertawa.
'Tidak, kau benar, tidak semudah itu. Kiatnya adalah
bertransaksi saat keadaan memihak padamu, dan itu
membutuhkan pengalaman bertahun? tahun. Tapi Jangan
kuatir. Kau berada di jalur yang benar. Tetaplah
tekun, tetap menyadari apa yang kaulakukan dan
alasannya, belajarlah dari kesalahanmu dan kau akan
berhasil baikv Kita akan menjadi tim yang kompak."
Aku juga berharap demikian. Aku merasakan secercah kegembiraan. Hamilton tidak akan mengatakan
sesuatu semacam itu jika ia tidak sungguh?sungguh.
Aku bertekad untuk tetap berusaha, dan melakukan
semua yang ia katakan.
"Aku ingat waktu kau lomba lari di Olimpiade
dulu," ujar Hamilton.
118 "Oh, aku tidak tahu Anda suka menonton atletik."
"Yah, semua orang suka menonton Olimpiade, bahkan aku. Dan aku memang menyukai atletik. Ada
sesuatu yang menarik dari olahraga itu. Aku beberapa
kali menontonmu, tapi yang benar?benar kuingat adalah
saat final, ketika kau berusaha memimpin. Televisi
meng?close up wajahmu. Penuh keteguhan, dan rasa
sakit. Kukira kau akan memenangkannya, tapi lalu.
pelari Kenya dan Spanyol itu mendahuluimu."
"Irlandia," gumamku.
"Apa?"
"Irlandia. Dia pelari Irlandia, bukan Spanyol." ujarku. "Seorang Irlandia yang sangat cepat."
Hamilton tertawa. "Yah, aku sangat senang kau
sekarang bekerja untukku. Menurutku, bersama?sama
kita dapat meningkatkan De Jong."
"Semoga saja," ujarku. Memang aku sangat mengharapkannya.
Pemakaman Debbie dilangsungkan di halaman gereja yang sunyi di sebuah desa kecil di Kent. Aku
datang mewakili perusahaan. Hari sangat indah,.mataA
han' memancar di atas kepala para pelayat. Aku
merasa kepanasan di dalam jasku, dapat kurasakan
keringat yang mengalir di punggung. Sekawanan gagak
berkaok?kaok pelan di atas gerbang halaman gereja.
Suaranya tidak mengganggu suasana sunyi, malah
membuatnya makin mencekam. Musik pengiring yang
sesuai untuk sebuah pemakaman di pedesaan.
Sang pendeta berusaha sebisa mungkin menghilangkan kesedihan pelayat dengan mengatakan bahwa
Debbie pasti ingin kami tersenyum, dan bahwa kami
119 harus bersyukur atas saat?saat indah ketika dia masih
bersama kami. Atau semacam itu. Aku tidak begitu
mengerti, dan lagipula usaha itu tidak berhasil. Ada
sesuatu yang sangat menyedihkan pada kematian setiap
orang muda; kata?kata apa pun tidak dapat'mengubahnya. Bahwa temyata Debbie yang begitu dini
dipisahkan dari kehidupan yang sangat ia nikmati
malah membuat kami semakin sedih.
Orangtuanya hadir. Ada sesuatu yang mengingatkan
akan Debbie pada masing?masing wajah mereka. Dua
sosok bulat kecil, tenggelam bersama dalam kesedihan.
Ketika kami perlahan melangkah kembali menuju
jalanan, kudapati diriku berjalan di samping seorang
wanita kurus tinggi berambut merah. la mengenakan
sepatu hak tinggi dan salah satunya tersangkut pada
permukaan jalan yang berbatu. Aku berlutut membantu
melepaskan sepatunya.
"Terima kasih," ujarnya. "Aku benci sepatu brengsek ini." Lalu, ia melihat ke sekeliling, "Anda kenal
orang?orang ini?"
"Hanya beberapa," jawabku. "Dan Anda?"
"Satu?dua. Aku berbagi apartemen dengan Debbie,
jadi aku tahu beberapa kawan prianya."
"Beberapa?" tanyaku, terkejut. "Berapa banyak?"
Ia melihat ke sekitarnya. "Hanya ada satu atau
dua yang kukenal. Anda bukan salah satunya, kan?"
tanyanya, matanya menggodaku.
'Tidak," sahutku tajam, sedikit terkejut. "Aku bekerja dengannya."
"Aku tidak bermaksud menyinggung. Biasanya ia
mempunyai selera yang bagus," ujar wanita itu. "Apakah Anda lewat stasiun?"
120 "Ya. Boleh aku tawarkan tumpangan?"
"Anda sangat baik. Namaku Felicity."
"Namaku Paul." Kami berjalan keluar halaman
gereja, menuju jalanan. "Ini dia," Ujarku ketika kami
sampai di Peugeot kecilku.
Kami masuk ke dalam mobil dan menuju stasiun
terdekat, sekitar tiga mil jauhnya.
"Harus kuakui, aku tidak pernah tahu Debbie punya
banyak kawan pria," kataku. "Sepertinya ia wanita
yang menyukai hubungan stabil."
"Ia bukan wanita liar, Tapi ia menikmati dirinya.
Selalu ada pria yang keluar?masuk rumah kami. Kebanyakan pria baik?baik, tapi ada pula yang kurang
baik. Kukira ada satu?dua pria dari kantor."
"Bukan dari jenis yang kurang baik, kuharap?"
Felicity tertawa. "Tidak, kukira tidak begitu. Walau
ada satu yang membuatnya susah baru?baru ini. Menurutku pria itu ada hubungannya dengan kantor."
Aku menduga?duga siapa gerangan itu. Aku tak
dapat menahan rasa ingin tahuku, kutanyakan namanya.
"Aku tidak ingat namanya," ujarnya. "Terakhir
aku melihatnya beberapa tahun yang lalu. Ia benarbenar penyakit."
Aku tak meneruskan pembicaraan itu "Bagaimana
Anda bisa bertemu Debbie?" tanyaku.


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, dulu kami berdua bekerja untuk firma hukum
yang sama, Denny Clark. Aku masih bekerja di sana,
tapi seperti Anda tahu, Debbie mencari hal yang
lebih hebat. Karena sama?sama mencan' akomodasi di
London, wajar kalau kami berbagi apartemen." la
menggigit bibirnya. "Aku akan merindukannya."
121 "Bukan Anda saja," ujarku, ketika kami sampai di
stasiun. Aku berhenti di muka pintu masuk. _
"Terima kasih banyak," katanya sembari keluar
dari mobil. "Kuharap kita dapat berjumpa kembali
dalam situasi yang lebih gembira." Dan ia menghilang
ke dalam stasiun. Dalam perjalanan ke London, aku
berusaha membayangkan gambaran yang diberikan
Felicity tentang Debbie yang tidur dengan berbagai
laki?laki. Hal itu tidak tampak dari karakternya. Tapi,
di pihak lain, mengapa tidak? _ _
Meja Debbie masih seperti biasa, berantakan bensr
tumpukan tugas yang belum selesai. Ada catatancatatan kecil berisi hal?hal yang harus dilakukan dan
orang?orang yang harus ditelepon kembali. Buku petunjuk obligasi AIBD tertelungkup dengan halaman
terbuka, menanti Debbie membaca kembali halaman
yang ia tinggalkan. Aku lebih suka melihatnya dalam
keadaan rapi, sebuah meja dari suatu kehidupan yang
berakhir secara alami, bukan mendadak terputus.
Ia mempunyai diary meja yang besar dan berwarna
hitam, dengan logo Harrison Brothers di atasnya.
Hadiah Natal tahun lalu. Aku membolak-balik halamannya. Tidak ada yang menarik. Catatan perjanjian
untuk minggu depan penuh sesak, lalu menyurut saat
Juli berganti jadi Agustus. September hanyalah kertas
putih kosong.
Sebuah catatan terlihat mataku. Ternyata sebuah
penemuan dengan Mr. De Jong. Direncanakan pada
hari setelah ia meninggal, pukul 10.30. Aneh, Debbie
mempunyai janji dengan orang itu. Kami hampir
tidak pernah berjumpa Mr. De Jong. Walau terkadang
ia sering rapat dengan Hamilton, satu?satunya saat
122 aku berada di kantornya adalah ketika aku pertama
kali masuk kerja. Ia cukup baik, tapi sulit didekati.
Aku?mulai merapikan meja Debbie dengan memasukkan semua benda?benda pribadinya ke dalam
kotak bekas kertas fotokopi. Tak banyak jumlahnya;
tidak ada yang berharga bagi orang lain. Bedak
lama, beberapa stocking, tiga yoghurt dalam kemasan,
seikat sendok plastik, pembuka surat dengan ukiran
nama transaksi yang ia kerjakan ketika masih berkecimpung dalam bidang hukum, beberapa bungkus tisu
dan novel Jilly Cooper yang sudah kusam. Aku
bermaksud membuang semuanya, namun tidak tega.
Kecuali yoghurtnya, yang lain kumasukkan ke dalamkotak. Aku akan membawanya ke apartemen Debbie
untuk dikumpulkan bersama miliknya yang lain.
Lalu aku menyusun semua berkas 'dan Hle?nya.
Kebanyakan kubuang, namun beberapa kutaruhydi
sudut untuk dibawa ke perpustakaan.
Aku sampai pada setumpuk prospektus. Sebagian
besar berhubungan dengan obligasi yang diterbitkan
perusahaan yang diwakili Netherlands Antilles. Di
atas tumpukan itu adalah prospektus Tremont Capital
yang pernah ditaruh Debbie di mejaku. Ia mengatakan
prospektus itu mencu'rigakan. Aku mengambilnya dan
melihat isinya. Menurutku tak ada yang aneh. Ada
satu?dua catatan dengan pensil tipis di pojok berkas.
Tapi tidak ada yang mengejutkan.
Aku memeriksa tumpukan prospektus itu dan segera
menemukan Memo Informasi tentang kasino Tahiti
itu. Pelan kupen'ksa isinya. Debbie menggunakan spidol kuning untuk menandai dua atau tiga kalimat
yang menarik. la telah menandai nama Irwin Piper
123 dan juga referensi ke Komisi Perjudian Nevada. Satu
pernyataan secara khusus digarisbawahi dengan warna
kuning terang:
Minat investor potensial dipusatkan pada ketentuan Komisi Perjudian Nevada untuk tidak memberi
izin bagi setiap orang yang terbukti melakukan
pelanggaran kriminal. Kelakuan baik pelamar merupakan pertimbangan penting dalam pemberian
setiap izin.
Cathy Lasenby sudah merujuk ketentuan ini dalam
rapat sebagai bukti bahwa Piper adalah orang baikbaik. Mungkin keyakinannya salah. Mungkin Debbie
menemukan sesuatu yang tidak beres dalam masalah
im. Mungkin itu sebabnya ia mati.
Aku berdiri dan memandang ke luar jendela, ke
arah London sebelah barat. Aku yakin Debbie tidak
bunuh diri. Mungkin memang kecelakaan, tapi aku
tidak percaya. Seseorang mendorongnya, dan hampir
pasti itu adalah orang yang telah membuat Debbie
sangat ketakutan ketika kami meninggalkan kapal.
Dan kalau ia dibunuh, pasti karena suatu alasan.
Tidak ada alasan yang jelas mengapa ada yang hendak
membunuh Debbie.
Aku kembali duduk dan meneruskan pekerjaan
menyusun berkas-berkas itu. Satu setengah jam kemudian aku baru selesai dan Karen muncul membawa
'sepucuk surat.
"Apa yang harus kulakukan dengan surat?surat
Debbie?" tanyanya.
124 &
Aku bertanya?tanya berapa lama seorang yang sudah meninggal masih terus menerima surat. "Berikan
padakU'saja," jawabku.
Karen menyerahkan sebuah amplop putih dengan
logo Bloomfield Weiss tertera di atasnya. Tertulis,
"Pribadi dan Rahasia: Hanya Boleh Dibuka oleh
Yang Bersangkutan." Tidak mungkin, pikirku, murung.
Aku membukanya.
Yth. Miss. Chater, Terima kasih atas korespondensi Anda mengenai
perdagangan saham Gypsum Company of America. Kami telah memulai penyelidikan kami sendiri tentang ketidakberesan yang mungkin dilakukan oleh pegawai Bloomfield Weiss mengenai
saham yang sama, Aku sarankan kita bertemu
untuk saling bertukar informasi mengenai masalahini. Aku akan menghubungi Anda kembali awal
minggu depan untuk mengatur jadwalnya.
Hormat saya,
Ronald Bowen
Senior Compliance Officer
_Aku merasa aneh. Saham Gypsum jelas?jelas naik
tajam sebelum diumumkannya pengambilalihan oleh
DGB. Surat ini menunjukkan kecurigaan Debbie
ternyata benar. Aku bertanya?tanya siapa yang harus
mengurusnya di De Jong. Aku seharusnya memberikan
surat ini pada Hamilton, karena kini kami tidak lagi
mempunyai compliance Officer yang resmi. Tapi aku
125 curiga. Aku mengurus semua sisa pekerjaan Debbie,
mengapa tidak kuurus juga hal yang satu ini'!
Aku mengangkat telepon, menghubungi Bloomfield
Weiss, dan minta bicara dengan Mr. Bowen.
"Bowen di sini," suaranya tegas dan resmi. Perusahaan besar seperti Bloomfield Weiss menanggapi
tugas seorang compliance officer sebagai sesuatu
yang sangat serius. Sebuah skandal dapat merugikan
mereka, bukan hanya dalam bentuk denda sebesar
beberapa juta, namun juga hilangnya reputasi mereka.
Setelah kejadian Blue Arrow, di mana compliance
officer di County Natwest diabaikan dan dilangkahi,
perusahaan besar kini memastikan compliance omcer
mereka bemyali besar. Mereka adalah orang?orang
yang mengerjakan segala sesuatu berdasarkan aturan,
dan tidak dapat ditakut?takuti.
"Selamat pagi, Mr. Bowen, di sini Paul Murray
dari De Jong and Company," kataku. "Saya menelepon
sehubungan dengan surat Anda kepada Debbie Chater,
compliance officer kami."
"Oh ya."
"Saya harus memberitahu bahwa Debbie telah meninggal baru?baru ini." Kini, beberapa hari kemudian,
aku bisa lebih mudah mengucapkan kalimat itu.
"Saya sungguh menyesal," ujar Bowen, kedengarannya ia sama sekali tidak ambil pusing.
"Apakah saya dapat membantu Anda sehubungan
dengan Gypsum Company of America? Debbie dan
saya bekerja bersama dalam hal itu. Saya _membaca
surat Anda untuknya pagi ini." '
"Mungkin Anda bisa membantu. Sebentar, saya
ambil arsipnya." Gemeresik suara kertas terdengar di
126 telepon. "Ya, salah seorang kolega saya di New York
mengingatkan kami akan adanya pergerakan yang
tidak normal dalam harga saham Gypsum. Penyelidikan kami menghasilkan beberapa fakta yang berguna,
tapi bukan sesuatu yang dapat dijadikan dasar penindakan. Kami sangat tertarik saat menerima surat
Miss Chater yang menjelaskan kecurigaannya. Anda
tentu mengerti bahwa seluruh penyelidikan ini masih
dirahasiakan?"
"Ya, tentu saja." ujarku.
"Bagus. Kami sedang menyelidiki dua pegawai
Bloomfield Weiss dan satu klien perusahaan. Ada
juga seorang lain..." Suaranya terhenti saat kudengar
ia membolak?balik halaman.
, "Anda bilang nama Anda Mr. Murray?" ujar
Bowen, suaranya terdengar sedikit lebih rendah, sedikit
lebih dingin.
"Ya," ujarku. Aku menelan ludah.
"Ah, saya minta maaf, rasanya kami tidak punya
apa?apa lagi dalam arsip ini. Sampai di sini saja, Mr.
Murray."
"Tapi bukankah seharusnya kita bertemu sesuai
saran Anda?" tanyaku.
"Saya kira itu tidak perlu," ujar Bowen tegas.
"Selamat pagi." Ia menutup telepon.
Aku terduduk di kursiku dan berpikir. Aku tidak
suka arah penyelidikan ini.
Samar terbayang pengadilan dan penjara di benakku. Lalu aku menguasai diri kembali. Aku tidak
melakukan kesalahan apa pun. Debbie mengatakannya
demikian, dan ia tahu soal hukum. Aku tidak punya
informasi dari orang dalam. Memang wajar jika di
127 periksa, karena pembelianku, tapi aku tak perlu kuatir
apa?apa. Sama sekali tidak perlu.
Namun tetap saja lebih baik memastikan. Aku
menelepon Bloomfield Weiss kembali. Cathy yang
mengangkat telepon. '
"Bisa bicara dengan Cash?" tanyaku.
"Tidak, ia baru saja pergi mengambil kopi," suara
jernih Cathy menjawab. "Ia akan segera kembali."
"Mungkin kau bisa membantu," ujarku.
"Kalau menurunnu aku bisa," sahut Cathy, suaranya
agak sinis.
Ia mungkin merasa tersinggung karena aku menanyakan Cash, bukan dia, pikirku. Mungkin ia pikir
aku meragukan kemampuannya. Aku memang hendak
meminta maaf, namun kubatalkan. Masa bodohl Memang ada orang yang perasaannya terlalu peka.
"Aku ingin tahu soal obligasi Gypsum yang kaubeli
minggu kemarin," ujarku. "Apakah itu untuk pembukuanmu sendiri?"
"Tidak, itu untuk seorang klien."
"Ia pasti telah berhasil dengan baik," ujarku.
"Memang demikian," sahut Cathy. "Sebenamya..."
Aku mendengar suara keras Cash menyela. "Tunggu
sebentar," ujar wanita itu dan menekan tombol hold
pada pesawat telepon. Sesaat kemudian ia menjawab
kembali, "Maaf, aku harus segera pergi. Aku akan
beri tahu Cash kau mencarinya," dan telepon ditutup.
Rob berjalan melewati mejaku dan melihatku menatap gagang telepon dengan muram. "Ada apa? Lihat
hantu?" senyumnya hanya bertahan sedetik. "Maaf.
Ucapan bodoh."
"Hidup berlanjut terus," ujarku. "Tapi aku akan
kehilangan dia."
128 "Aku juga," ujar Rob.
"la punya banyak kawan pria, kan?"
( "Beberapa, kukira." Rob menangkap lirikan mataku.
Pipinya memerah. "Beberapa," ujarnya lagi, dan berbalik pergi.
Aku mengangkat bahu dan kembali bekerja. Aku
menatap kotak kecil yang berisi barang?barang Debbie
di bawah kakiku. Aku hams membawa kotak itu ke
apartemennya, pikirku. Kuambil buku telepon dan
kuputar nomor Denny Clark, lalu aku minta bicara
dengan Felicity. Hanya ada satu wanita bernama
Felicity yang bekerja di Denny Clark, dan ia ada di
tempat.
"Halo, di sini Paul Murray," kataku. "Kita bertemu
di pemakaman Debbie."
"Oh ya," ujarnya. "Anda salah seorang rekan kerjanya."_
"Benar. Aku mempunyai beberapa barang miliknya.
Tidak banyak dan tak ada yang sangat penting. Bisa
kubawa ke apartemennya?"
"Tentu, kapan Anda mau datang?" tanyanya.
"Bisa malam ini?"
"Baik.,Datanglah pukul tujuh. Alamatnya Cavendish
Road nomor dua puluh lima. Clapham South adalah
tempat pemberhentian kereta terdekat. Sampai ketemu."
129 > > >BAB
6 C AVENDISH ROAD ternyata merupakan bagian South
Circular, salah satu jalan arteri tua London
yang paling macet. Mobil dan truk merayap maju,
lalu, ketika lampu hijau menyala, semua melesat
sekiteu' lima puluh meter lebih sebelum kembali merayap. Udara malam bulan Juli penuh dengan debu
dan asap karbon monoksida serta bergetar oleh bunyi
mesin yang menderu?deru.
Nomor dua puluh lima adalah sebuah rumah berteras kecil mirip rumah lainnya di jalan itu. Ada dua
bel di depan pintu. Aku menekan bel bertuliskan
Chater dan Wilson dalam tinta biru yang luntur.
Pintu ber_derak terbuka mempersilakan aku masuk.


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Debbie dan Felicity menempati apartemen atas.
Perabotannya murah namun menarik, kurang rapi namun tidak berantakan. Felicity mengenakan celana
blue jeans ketat dan T?shirt hitam longgar, rambut
merahnya tergerai kusut di bahu. Ia mempersilakan
aku masuk ke ruang tamu berisi sofa dan sederetan
bantal besar di lantai. Felicity mempersilakan aku
duduk di sofa, sementara ia duduk di bantal.
| 131 "Maaf, tempat ini agak berantakan," ujamya. _
Aku memberinya kotak yang kubawa. "Tenma
kasih," katanya. "Orangtua Debbie akan datang akhir
pekan ini untuk mengumpulkan barang?barangnya.
Anda mau segelas anggur?"
Ia menyelinap ke dapur dan kembali dengan sebotol
Muscadet dan dua gelas. _ '
"Jadi, Anda tinggal di sini bersama Debbie sejak
kalian berdua datang ke London?" _
"Oh tidak," jawab Felicity. "Saat pertama kali
pindah ke London, kami menyewa apartemen dl Earl's
Court. Yah, tak lebih dari satu kamar tidur. Tapi
beberapa tahun yang lalu, kami membeli tempat ini
secara patungan. Memang sedikit berisik, tapi kemudian kami terbiasa."
"Anda dan Debbie pasti sangat dekat," ujarku.
"Kukira begitu," kata Felicity. "Ia remah serumah
yang menyenangkan dan kami banyak mengalami
hal?hal menyegangkan bersama. Tapi ia Juga seorang
penyendiri. Begitu pula aku, kalau dipikir?pikir. Kukira
itulah sebabnya kami cocok. Kami suka hidup bersa;
ma, namun saling menghargai privasi masing?masmg.
"Kuharap Anda tidak keberatan kalau aku bertanya," ujarku. "Rasanya aku bertemu seseorang yang
mungkin pernah menjadi kawan pria Debbie. la kurus,
pertengahan tiga puluhan, mata biru, rambut hitam.
Kau kenal?"
Felicity berpikir sesaat. "Ya, ada satu yang cocok
dengan gambaran itu. Ia pernah berkencan dengannya
tahun lalu, tapi tidak bertahan lama. Aku sama sekali
tidak menyukai laki-laki itu. Aku masih ingat caranya
melihat ke arahku." Ia menggigil.
132 Pasti itu laki?laki yang di kapal. "Siapa namanya?"
tanyaku.
Wajah Felicity berkerut?kerut, berusaha keras mengingatnya. "Aku lupa. Maaf. Yang kutahu Debbie
bertemu dengannya di tempat kerja atau semacam itu.
Ia benar?benar brengsek. Awalnya ia menawan. Tapi
tak lama kemudian ia mulai menyuruh?nyuruh Debbie.
Malu melihatnya saat sarapan. Dan Debbie melakukan
semua yang ia perintahkan! Sangat aneh. Anda tahu
Debbie, ia bukan tipe ibu rumah tangga yang lemah.
Pria itu memang memahcmkan kebengisan. Dan
Debbie tertarik padanya. Menurutku ia _menakutkan.
"Lalu suatu malam aku pulang sekitar pukul sepuluh
dan mendapati Debbie dalam keadaan mengerikan.
Keningnya lebam besar dan matanya bengkak. Ia
terisak-isak perlahan, sepertinya ia telah menangis
cukup lama.
"Aku bertanya apa yang terjadi. Ia bilang?oh,
seandainya aku ingat namanya. Pokoknya, siapa pun
bajingan itu, ia telah memukuli Debbie. Laki?laki itu
ternyata sudah menikah dan ketika Debbie menanyainya, ia memukulnyaldan pergi.
_"Selama beberapa hari berikutnya orang itu berkalikali menelepon" dan datang kemari. Debbie tidak
pemah mau berbicara dengannya atau mempersilakannya masuk. Ia pernah beberapa kali hampir menyerah,
tapi akhirnya pikiran sehatnya bekerja. Kartli berdua
ketakutan. Aku sama sekali tidak mau berurusan
dengan orang itu, dan kami takut kalau?kalau ia
menunggu di luar gedung serta mengikuti kami. _Seingatku ia memang pemah sekali mengikuti Debbie,
tapi Debbie menjerit dan ia kabur. Seminggu kemudian
133 ia tidak lagi menelepon dan kami tidak pernah melihatnya lagi."
Sampai malam itu di kapal, pikirku. Menurutku, makin besar kemungkinan laki?laki ini yang mendorong
Debbie ke dalam sungai. Aku ingin tahu siapa dia.
"Dapatkah Anda mengingat sesuatu tentang dia. Di
mana tinggalnya, apa pekerjaannya, siapa majikannya?"
"Maaf. Itu salah satu hal pribadi yang tak pernah
kucampuri. Kadang aku bertemu pacar?pacar Debbie,
tapi ia jarang berbicara tentang mereka. Dan aku
sebisa mungkin menghindari orang itu."
"Apakah dia orang yang Anda maksud saat di
pemakaman? Yang mengganggu Debbie baru?baru ini."
"Bukan, bukan. Bukan dia. Yang itu tidak terlalu
menakutkan, meski mungkin agak sedikit aneh. Oh,
aku ingat namanya, Rob."
Rob! Tak kusangka! Aku tak pernah menyadari
ada sesuatu antara ia dan Debbie. Mereka kelihatannya saling bersikap wajar. Tapi memang, kalau
dipikir?pikir, hal itu tidak terlalu mengejutkan. Memang
tak terhindarkan, suatu saat Rob pasti merayu Debbie.
Felicity melihat mimik kaget di wajahku. "Tentu
saja, Anda pasti kenal pria itu. Tampaknya Anda
sama sekali tidak tahu."
Aku menggeleng. "Yah, mereka berkencan sesaat setelah Debbie
bergabung dengan De Jong and Company. Hanya
bertahan beberapa bulan saja, lalu Debbie memutuskannya. Ia bilang hubungan ini menjadi agak sulit.
Rob semula agak terguncang, tapi beberapa saat kemudian Debbie berkata bahwa mereka sudah saling bersikap wajar di tempat kerja."
134 Felicity'menghirup anggurnya. "Lalu, sekitar seminggu sebelum Debbie"?ia berhenti?"jatuh ke dalam sungai, laki?laki ini menelepon. Padahal sudah
larut malam, setelah tengah malam, kukira. la bilang
mereka seharusnya bersama lagi. Ia berkata seharusnya
mereka menikah. Debbie memintanya agar jangan
bersikap konyol, tapi ia terus menelepon setiap malam.
Debbie menjadi kesal. la menyuruh laki-laki itu enyah,
tapi kelihatannya tidak mempan."
"Tapi, mengapa mendadak ia memutuskan untuk
menikah dengan Debbie?" tanyaku. "Kedengarannya
sedikit aneh."
"Ya. Seperti kukatakan, orangnya sedikit aneh.
Menurut Debbie memang seperti itulah sifatnya. Benar
begitu?"
Aku mengangguk. Harus kuakui Rob memang seperti itu. "Aku masih tidak mengerti mengapa Rob
menunggu sampai sekarang."
"Ia cemburu. Paling tidak itu yang dikatakan
Debbie."
"Cemburu? Pada siapa?"
"'Aku tidak tahu. Debbie bilang ia tertarik pada
seseorang di kantor, dan Rob tidak menyukainya. Ia
menjadi posesif dan hal itu mengganggu Debbie."
Sesaat aku menduga?duga siapa kiranya yang dibicarakan Debbie. Tapi hanya ada satu kemungkinan.
Aku. Aku merasa sangat bodoh. Arah hubungan kami
pasti sudah jelas bagi Debbie, dan bahkan bagi Rob.
Tapi baru mulai dipahami otakku yang bebal saat
Debbie telah tiada.
Depresi yang menjeratku ke mana pun aku pergi
135 mulai menyelimuti benakku lagi. Bersama Debbie
telah sirna kesempatanku untuk melepaskan diri dan
belenggu hidupku?disiplin diri, kesepian, kerja keras,
dan dedikasi pada suatu tujuan. Gadis itu menawarkan
kebebasan, kegembiraan, persahabatan yang menyenangkan. Dan pada saat berada dalam jangkauan
tanganku, tiba?tiba semua hilang lenyap. Hilang dirampas laki-laki kurus bermata kosong._
Aku menghabiskan minum dan beranjak pulang.
"Terima kasih Anda telah membawa barang?barangnya," ujar Felicity, mengangguk ke arah kotak.
"Aku akan menyerahkannya pada orangtua Debbie."
Kotak itu mengingatkanku pada meja berantakan
Debbie dan prospektus yang berserakan di atasnya.
Aku berhenti di ambang pintu. "Anda pernah mendengar seorang yang bernama Irwin Piper?"
"Ya, kukiraipemah." Felicity berpikir sejenak. "Aku
yakin Denny Clark pernah menjadi tim pembelanya
beberapa tahun yang lalu. Mengapa Anda menanyakannya?"
"Oh, ada sesuatu yang dikerjakan Debbie sebelum
ia meninggal. Aku ingin membereskannya. Anda ingat
kasus itu?" _
"Tidak. Aku tak ikut terlibat. Tapi Debbie mungkin
pernah. Kalau memang penting, aku bisa mencari
tahu siapa yang terlibat dengan kasus itu. Debbie
pasti bekerja dengan salah seorang partner." _ _
"ltu akan 'sangat membantu," ujarku. "Aku ingin
berbicara dengan seseorang tentang hal itu, mungkin
akan menjelaskan beberapa masalah." Aku membuka
pintu "Terima kasih atas anggumya."
"Tidak apa?apa. Menyenangkan kalau ada teman.
Orang bisa kesepian sendiri di apartemen ini."
136 Kuucapkan selamat tinggal dan beranjak pergi.
Aku sampai di rumah dengan pikiran kacau. Sebagian
karena anggur. Sebagian besar karena informasi yang
kuterima dalam beberapa hari terakhir. Hari?han' terakhir
kehidupan Debbie penuh dengan kejadian. Perselisihannya dengan Hamilton, kekuatirannya tentang Piper
serta Tahiti, dan paksaan Rob untuk menikahinya.
Semua bercampur dengan perasaanku sendiri yang
tak menentu kepadanya. Baru setelah kematian Debbie
aku benar?benar mengenalnya. Aku ingin berbicara
dengannya tentang segala yang kutemukan. Banyak
hal yang dapat kami bicarakan. Kalau saja bajingan
itu tidak membunuhnya, Aku semakin yakin kematiannya bukanlah kecelakaan.
Aku mengambil pakaian olahragaku dan berlari
mengelilingi taman. Anggur dalam perutku membuat
tubuhku agak berat, tapi aku tidak peduli. Aku berlari
kencang sampai terasa sakit, kemudian aku berlari
lebih lambat. Aku kembali ke apartemenku dengan
kecapaian, lalu mandi dan tidur.
Ada beberapa hal yang ingin kulakukan di kantor
keesokan harinya, tapi terasa sukar. Dengan kepergian
Debbie aku harus menjawab banyak sekali telepon
masuk. Bursa sedang naik?tumn. Pihak Jepang sedang
menjadi penjual karena dolar melemah terhadap yen,
tapi dalam semalam ada beberapa program pembelian
dan' Amerika Serikat. Situasi bursa seperti ini memberikan banyak kesempatan bagi orang?orang yang
cukup sigap. Aku merasa sulit berkonsentrasi dan
kehilangan semua kesempatan itu.
137 Aku melihat ke arah meja Rob. Ia tengah menatap
layar dan menggigit bibir. Ia mempunyai posisi yang
kurang menguntungkan. Saluran teleponnya berkedipkedip dan tangannya terjulur untuk mengangkat gagang
telepon. la mendengarkan beberapa saat,_ merengut,
dan melemparkan gagang telepon ke mejanya. Rob
sedang tidak gembira pagi ini.
Aku berusaha mengingat sesuatu yang mengungkapkan adanya hubungan antara Rob dan Debbie,_tapi
aku tidak dapat mengingat satu pun. Tidak ada linkan,
tidak ada usaha saling menghindar, tidak ada saling
diam malu-malu. Mereka selalu akrab. Aku juga
tidak pernah mendengar gosip tentang mereka, tapi
Debbie sendirilah sumber segala gosip. Aku berpikir
siapa lagi yang kira?kira tahu. _
Aku berdiri dan berjalan ke mesin kopi. "Mau
secangkir?" tanyaku pada Karen ketika aku melewati
mejanya.
"Oh, ya, tolong. Krim, jangan pakai gula." _
Semenit kemudian aku kembali dengan dua cangkir.
Kuberikan satu pada Karen. Aku duduk di tepi mejanya. Ia kelihatan terkejut: Aku bukan tipe orang yang
suka mampir untuk ngobrol.
"Aku mendengar sesuatu yang sangat aneh kemarin," ujarku perlahan.
"Oh ya?" ujar Karen, minatnya timbul.
"Tentang Debbie. Dan Rob."
Karen mengangkat alisnya "Oh, hanya itu? Kau
belum tahu? Itu sudah lama, sebelum kau bekerja di
sini. Sudah sekitar dua tahun lalu."
"Aku tidak pemah menduganya."
"Yah, itu tidak berlangsung lama. Mereka berusaha
138 merahasiakannya, tapi semua orang tahu. Tapi itu
sudah berita kuno sekarang. Kasihan Rob, ia pasti
sangat sedih atas kejadian itu."
"Ya. Laki?laki malang," ujarku sambil berjalan
kembali ke mejaku. Rob memang patut dikasihani. Ia
sangat bingung.
Aku masih berusaha memusatkan perhatian pada
bursa ketika Felicity menelepon. "Aku tahu siapa
yang menangani kasus Piper," katanya. "Ia adalah
Robert Denny, partner senior kami."
"Oh," ujarku. "Menurut Anda ia ada waktu untuk
bertemu denganku?"
"Jangan kuatir," jawab Felicity. "Ia sangat baik,
sama sekali tidak sok penting. Dan ia suka pada
Debbie. Ia agak kesal saat Debbie berhenti. Aku
sudah bilang bahwa Anda mungkin ingin berbicara
dengannya, dan ia berkata yang hams Anda lakukan
hanyalah mengatur perjanjian dengan sekretarisnya."
Aku berterima kasih padanya dan melakukan apa
yang dikatakan Felicity. Sekretaris Mr. Denny sangat
ramah dan efisien. Kamis pukul tiga siang.
Lalu aku menelepon Cash. Banyak yang ingin
kubicarakan dengannya. Seperti, apa yang ia ketahui
tentang penyelidikan pembelian saham Gypsum of
America? Siapa yang ia wakili dalam penawarannya
terhadap obligasi Gypsum kami? Apakah ia bisa
menjelaskan lebih lanjut tentang latar belakang Irwin
Piper?
"Bloomtield Weiss, penyalur obligasi," jawabnya.
"Halo, ini Paul. Apakah aku bisa menanyakan
beberapa hal pa'darnu?"
"Tentu, silakan."
"Jangan, jangan di telepon. Kukira lebih baik bila
kita bertemu untuk makan siang atau minum, atau
semacam itu."
Cash menangkap nada serius dalam suaraku. Setelah
diam beberapa saat ia berkata, "Aku agak Sibuk
minggu ini. Bisa menunggu sampai kita bertemu di
'Henley pada hari Sabtu?" _ _ _


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Aku ingin bertemu lebih cepat. Hari ini,
atau besok," aku memaksa.
Cash menghela napas. "Oke, oke. Kau akan bertemu Irwin Piper di hotelnya malam ini, kan? Bagaimana kalau sesudah pertemuan itu? Aku akan bergabung denganmu di sana, dan kita bisa pergi minumminum santai setelahnya. Bagaimana?"
"Baik," ujarku. "Sampai ketemu."
Irwin Piper menginap di Stafford, sebuah hotel
kecil namun elegan, tepat setelah St. James._ Rencananya kami bertemu pada pukul tujuh. Aku t1ba lima
menit lebih awal. Aku berjalan menuju bar. Ruangan
itu diterangi cahaya remang dengan dinding berpanel
kayu dan kursi kulit berWarna hijau. Mencrptakan
efek kehangatan, kenyamanan, dan eksklusif. Ruangan
itu hanya berisi pasangan Amerika berusia lanjut
yang duduk menghimp manini di pojok. Aku jadl
ingin memesan segelas Young, tapi tampaknya kurang
cocok di tempat seperti ini, maka aku memesan Wiski
malt saja. Banender menunjukkan daftar menu bensr
berbagai minuman keras berkelas, yang termurah
Glenlivet dan yang ten'nahal Armagnac tahun 1809.
Karena tidak punya 89 pound yang diperlukan untuk
Annagnac, aku cukup puas dengaannockando, dan
140 pelan menghirup cairan berwama keemasan muda itu
sambil menunggu Piper.
Aku tidak melihat laki?laki tinggi berpakaian mahal
yang menghampiriku dan berkata, "Mr. Murray?" Ia
tak bertipe orang yang memiliki kasino. Pakaiannya
gaya Inggris, semua buatan tangan, tak diragukan
lagi, dan mungkin dibeli hanya dalam jarak seperempat
mil dari hotel. Tapi tidak ada orang inggris yang
akan memakainya dengan cara seperti itu. Jas sportif,
sepatu kulit ala Irlandia, dasi hijau dengan gambar
burung, semua tampak baru, memungkiri status "santai"?nya. Tubuh Piper satu atau dua inci lebih tinggi
daripadaku, dengan rambut abu?abu besi, yang dengan
hati?hati disisir ke belakang, dan rahang bintang film.
Aroma ahershave mahal terpancar dari tubuhnya
"Ya, aku Paul Murray." Aku turun dari kursi bar
dan mengulurkan tangan. _
"Selamat malam, Paul. Irwin Piper. Senang bertemu
Anda." Kami saling berjabat tangan. "Mari kita duduk
di sana." Ia mengajakku ke sudut mangan, di seberang
pasangan Amerika itu. Ia memanggil pelayan dan
memesan wiski serta soda.
"Apakah Anda akan lama berada di London?"
tanyaku.
"Hanya seminggu lebih," jawab Piper. "Aku merencanakan untuk datang kembali bulan depan. Aku
akan pergi berburu belibis di Skotlandia."
Pengalamanku berburu belibis di Yorkshire seharga
5 pound dan sebotol bir sehari muncul di benakku,
tapi kukira lebih baik tidak menceritakannya. Masalahku yang mendesak adalah bagaimana cara menanyai
Piper untuk mengetahui pelanggarannya di masa lalu.
141 Kalau ia bersikap mengancam, aku tidak akan kesulitan. Aku terbiasa melawan agresi dengan agresi.
Kesulitannya adalah karena sikapnya merupakan campuran pesona dan otoritas yang membuat pertanyaan
aneh jadi semakin aneh. &
"Terima kasih atas kesediaan Anda menemuiku,"
aku memulai. "Kukira kita dapat mulai dengan latar
belakang Anda dalam bisnis kasino."
Alis Piper berkerua tanda tidak setuju. "Aku sebenarnya tidak bisa dibilang punya latar belakang dalam
bisnis kasino. Memang hotel?hotel yang kubangun
mempunyai kasino di dalamnya, tapi tempat itu hanya
berfungsi sebagai pusat hiburan, bukan perjudian."
Nada suaranya berkelas, menyerupai intonasi gaya
Inggris. Kedengarannya seperti suara pria kaya dalam
film Amerika sebelum perang. Kurasa bagi orang
senegaranya suaranya terdengar dibuat?buat.
"Tapi Anda menghasilkan uang dari perjudian, bukan begitu?"
"Ya, itu benar." Piper menjulurkan tangannya ke
depan dan mengamati manikur kukunya. Ia bermaksud
mengatakan bahwa tangannya bersih. "Tapi aku tidak
banyak terlibat dalam perjudian itu sendiri. Aku adalah
seorang organisator. Aku mempekerjakan yang terbaik."
Ia mulai bersikap lugas, sekarang mulai berbicara
lebih cepat. la menghitung dengan jari?jarinya. "Manajer terbaik dalam industri kasino bekerja untukku, Art
Buxxy. Aku punya seorang Ph.D. matematika dari
Princeton yang memastikan kami tak pernah rugi.
Aku mempekerjakan manajer salah satu hotel top di
Jenewa, dan aku mempunyai jenius software yang
142 x telah menciptakan database informasi pelanggan yang
paling canggih dalam industri ini."
"Jadi apa peran Anda dalam semua ini?" tanyaku.
"Aku yang mengatur mereka semua. Mengatur pendanaannya. Memastikan angka?angka bergerak naik,"
Piper tersenyum. ""Kebanyakan Art?lah yang mengambil keputusan operasional. Dialah yang berada di
garis depan."
"Jadi Anda sendiri sebenarnya tidak berminat pada
kasino Tahiti itu?" tanyaku.
_ "Oh bukan, Anda salah mengerti," ujarnya. "Aku
rngrn membangun hotel terhebat di dunia. Tahiti adalah
hotel yang terhebat di dunia. Mungkin tidak sepenuhnya cocok dengan seleraku," ia melirik ke interior
bar Stafford yang tampaknya sesuai dengan seleranya,
"Tapi orang akan berduyun?duyun datang ke sana,
percayalah padaku."
"Pernahkah Anda berinvestasi dalam bisnis kasino,
maksudku hotel?" tanyaku.
"Ya, beberapa kali."
"Bisakah Anda lebih spesifik?" !
"Kukira tidak. ltu investasi pribadi." Piper melihat
kekuatiranku. "Semua sudah dilaporkan kepada komisi
perjudian, jika itu yang Anda kuatirkan," ujarnya,
kedengaran tersinggung. Ia melihat padaku dengan
pandangan bertanya?tanya.
"Oh tidak, aku yakin tak akan ada masalah,"
ujarku, dan segera setelah mengucapkannya, aku mengumpat diriku sendiri. Piper telah menantangku untuk
mempertanyakan kejujurannya, dan aku mengelak dari
tantangan itu.
Piper bersandar ke kursinya dan tersenyum.
143 "Anda membuat sejumlah investasi yang lebih pasif,
bukan begitu?" tanyaku. "Bukankah Anda yang disebut
sebagai arb?" aku merujuk pada pelaku arbitrase
risiko di Wall Street, yang begitu mendengar selentingan tentang sebuah pengambilalihan akan langsung
menumpuk saham perusahaan target, dengan harapan
mendapat laba besar.
Memang wajar kalau Piper juga tidak menyukai
istilah itu. "Aku punya portfolio yang besar, yang kukelola dengan agresif," ujamya. "Kalau melihat sebuah
nilai strategis yang tidak dilihat bursa, maka aku memang akan membeli sebanyak mungkin sahamnya."
"Apakah strategi itu berhasil?"
"Aku membuat satu?dua kekeliruan, tapi sebagian
besar_berhasi1 dengan baik." ujar Piper.
"Apakah Anda mengalami kesuksesan baru-baru
ini?" tanyaku.
Piper tersenyum meminta maaf. "Rasanya aku tidak
dapat membicarakan masalah investasi individual. Itu
bukan ide yang bagus, karena orang jadi tahu terlalu
banyak akan caraku beroperasi. Seorang pemain poker
tidak pemah menunjukkan kartunya setelah ia kalah."
, Percakapan ini tidak akan menghasilkan apa?apa.
Piper dapat memainkan peran seorang gentleman Amerika yang jujur dan kaya raya sepanjang malam.
Siapa tahu, mungkin ia memang seorang gemleman
Amerika yang kaya dan jujur. Hanya ada satu hal
terakhir yang hendak kucoba.
"Yah, terima kasih atas waktu Anda, Mr. Piper.
Anda sangat membantu," aku berbohong. "Satu penanyaan terakhir sebelum aku pergi. Apakah Anda pernah berurusan dengan Deborah Chater?"
' 144
Piper benar?benar tampak bingung. "Tidak, kukira
tidak pernah."
"Atau Denny Clark?" aku menatap Piper lekatlekat. Ia menyadari tatapanku dan memperlihatkan
mimik marah. ia tidak suka diinterogasi. "Tidak, juga
Denny Clark, siapa pun mereka. Nah, kurasa penemuan kita sudah selesai."
Kami berdua berdiri, dan aku melangkah menuju
pintu bar.
Sebelum aku sampai di sana, sosok tubuh gempal
Cash muncul. Suasana tenang langsung rusak ketika
suara paraunya berseru, "Paul! Kau rupanya! Irwin!
Apa kabar? Kalian sudah selesai?"
Aku tidak berkata apa?apa. Aku hanya berdiri
diam di sana. Seorang pria mengikuti di belakang
Cash. "
Aku mengenali pria itu.
Kali ini aku dapat kesempatan untuk mengamatinya.
Tingginya enam kaki, semampai dengan wajah panjang. Garis?garis dalam membujur dari hidung sampai
sudut mulutnya. Walau tubuhnya kurus, bahunya bidang, dan jasnya seakan- menggantung di tubuhnya
yang atletis. la kelihatan tegap. Dan kuat. Matanya,
biru pucat, menatap kosong. Tanpa ekspresi. Tidak
ada keingintahuan. Bagian matanya yang putih tampak
kekuningan, dan ada beberapa garis nadi tipis melintang. "
Aku pernah melihat mata itu sebelumnya.
"Irwin, Anda kenal Joe," lanjut Cash. "Joe Finlay,
Paul Murray. Kalian belum saling kenal, bukan? Joe
yang memperdagangkan pembukuan korporasi AS
kita."
Aku tidak berkata apa?apa, namun menjabat tangan
Joe yang diulurkannya dengan segan. Joe juga tidak
mengatakan apa?apa. la menatapku, tapr tak terlihat
tanpa?tanda ia mengenalku. Tak terlihat tanda apa
pun. "Bagaimana kalian berdua?" tanya Cash. "Sudah
puas, Paul?"
Aku mengangguk. "Ya, terima kasih. Sangat berguna. Terima kasih atas waktu Anda, Mr. Piper."
Rasa kesal Piper tidak dapat menahan serangan
gencar humor Cash. "Sama?sama. Kuharap Anda me?
ngerti bahwa Tahiti menawarkan kesempatan rnvestasr
san at men untungkan."
ya?"?iienaf" ujargCash. "Dan Paul tidak pernah me_lewatkan kesempatan seperti itu. Ayo, kita pergr.
Malam masih panjang." _
Kami meninggalkan Piper di lobi hotel. Ketika
kami sudah berada di luar, Cash berlari ke tengah
jalan untuk menghentikan taksi. Joe berhenti untuk
menyalakan rokok. Ia memergoki aku tengah menatapnya dan dengan segan menawarkan sebatang k_e?
padaku. Aku menggelengkan. Kami berdua berdrn
diam. Aku merasa tidak nyaman selama satu menrt,
menunggu Cash memanggil taksi. _
"Ke Biarritz," seru Cash kepada sopir taksr.
"Apa itu?" nanyaku pada Cash ketika kami memasuki taksi.
"Sebuah bar champagne," ujamya. "Kau akan
suka. Ada segerombolan trader dari Bloomfield Weiss
di sana. Kesempatan bagus buatmu untuk bertemu
mereka."
"Jangan pernah bertemu trader" adalah salah satu
146 pedoman Hamilton. Biar para salesman yang berurusan dengan mereka. Makin sedikit mereka mengenalmu, makin kurang kesempatan mereka mengambil
keuntungan darimu. Tapi aku bersyukur dapat kesempatan mengetahui sesuatu tentang Joe.
Ketika kami tiba di sebuah lampu merah, sopir
taksi itu berbalik, melihat pada Joe, dan berkata,
"'Apa-kau tidak bisa membaca?"
Ada tanda DILARANG MEROKOK di seluruh
taksi itu. Joe mengisap rokok dalam?dalam dan mengembuskan asapnya, sambil tetap menatap si sopir.
Sopir itu berbadan gemuk besar. Ia marah.
"Apa kau tuli, Mister? Kubilang apa kau tidak
bisa membaca?"
Tak ada perubahan.
"Joe, bagaimana kalau kau matikan saja Pokoknya,
huh?" kata Cash perlahan.
Tidak ada reaksi.
Lampu lalu lintas berubah hijau dan si sopir berbalik untuk menjalankan mobilnya. "Kalau tidak mematikan rokok itu, kau boleh keluar dari taksiku."
Dengan sangat perlahan Joe mengeluarkan rokok
dari mulutnya. Aku dapat merasakan Cash agak tenang
sedikit. Joe memegang rokok itu di depannya, menyunggingkan senyum tipis, dan menjulurkan badan
ke depan untuk menancapkan rokok itu ke belakang
leher gemuk si sopir taksi.
"Bangsat!" sopir itu menjerit sembari membanting
setir ke pinggir.
Dengan sigap Joe membuka pintu taksi dan ke
luar ke trotoar. Hampir dalam satu gerakan ia memanggil taksi lain dan meloncat masuk. Cash dan
147 aku tergesa mengikutinya, sopir taksi kami yang pertama memaki?maki sekuat tenaga dan berjingkrakjingkrak sambil mencengkeram lehernya.
"Kenapa dia?" tanya sopir taksi kami yang kedua.
"Orang gila," sahut Joe, tersenyum pelan pada
dirinya sendiri.
Perjalanan menuju Biam'tz berlangsung dalam kehe?
ningan. Ketika kami tiba, suasana bar itu penuh dan
berasap. Lantainya kotak?kotak hitam putih, dilengkapi
perkakas dari krom, dengan gaya art deca. Cash
mendorong kami menuju meja yang dikelilingi setengah
lusin trader eurobond. Aku langsung tahu mereka
adalah trader eumbond. Mereka terdiri dari berbagai
ukuran, besar dan kecil, tua dan muda. Tapi mereka
semua tampak gelisah. Mata liar memandang ke segala
penjuru, Eesaat tertawa lalu mendadak berhenti. Banyak yang rambutnya beruban prematur. Berwajah
orang muda dengan keriput orang tua.
Sudah ada tiga botol kosong Bollinger di atas
meja. Proses bersantai sudah dimulai. Cash memperkenalkan aku kepada mereka semua. Satu?dua orang
memperlihatkan pandangan curiga. Trader kuatir terhadap "pelanggan" mereka sama seperti para pelanggan kuatir kepada mereka. Tapi semuanya sedang
bersenang?senang dan mereka tidak akan membiarkanku merusak acara. Tepukan punggung Cash disambut
hangat. Joe disapa dengan anggukan.
Untung aku tidak dibiarkan sendirian di tengahtengah kerumunan ini. Cash menempatkan aku di
ujung meja, dan ia sendiri duduk di sampingku. Aku
bersyukur atas perlindungan ini. Sementara para trader
saling berteriak, aku mendekat ke arah Cash.
148 ' _ _;Apa kau sering pergi minum dengan orangorang
ini." '
"Sekali?sekali," jawabnya. "Bermanis?manis dengan
para_ trader sama pentingnya seperti dengan pelanggan. '
Aku menghirup champagne?ku. "Apa yang terjadi
di taksi tadi?" tanyaku.
"Itu,khas Joe," ujar Cash, menenggak minumannya.


Kolusi Bursa Free To Trade Karya Michael Ridpath di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia itu aneh. Sangat aneh. Lebih- baik menghindar
kalau ia mulai bertingkah seperti itu"" '
"Bisa kubayangkan," kataku. "Ia tidak seperti itu
di tempat kerja, kan?"
"Kukira ia belum pernah benar?benar melukai seseorang di tempat kerja," sahut Cash. "Selain dirinya
sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Yah, aku ingat ia pernah kekurangan dua puluh
juta obligasi dengan jatuh tempo sepuluh tahun. Ia
sudah hampir tenggelam, tapi pasar uang tengah menanjak. Satu jam lebih ia menatap layar Telerate,
menunggu pasar mencapai tingkat kepemilikannya sehingga ia bisa keluar impas. Lalu layarnya diam.
Ada masalah dengan sambungan ke terminal. Aku
sedang mengamatinya. Ia tidak berteriak atau memaki
atau apa pun. Sama sekali tidak ada reaksi di wajahnya. Ia berdiri dan menghajar layar dengan kepalan
tangannya. Pergelangan tangannya terluka cukup parah.
Ia hanya mengangkat telepon, menjual penempatan
dengan posisi rugi, dan berjalan ke luar. Darah
mengucur dari tangannya, tapi ia sama sekali tidak
peduli.
"Menurut cerita, ia pernah dinas di ketentaraan.
149 SAS, kata mereka," lanjut Cash. "Lalu suatu hari ia
menembak seorang anak enam belas tahun yang tak
bersenjata di Irlandia Utara. Tidak ada cukup bukti
yang menunjukkan ia mengetahui anak itu tak bersenjata. Tapi setelah itu ia keluar dari dinas ketentaraan."
"Bagaimana dia sampai bisa bekerja di Bloomfield
Weiss?" _ _
"Oh, dia dipekerjakan oleh seorang mantan Marinir
AS yang merasa ia mempunyai semangat yang sama
dengannya. Ia telah bersama kami selama empat atau
lima tahun.".
"Apakah ia pandai?" tanyaku. _
"Oh ya, dia pandai. Sangat pandai. Paling hebat di
Wall Street. Tidak ada yang menyukainya, tapi mereka
terpaksa berhubungan dengannya. Ia mempunyai otak
yang sangat tajam dan penciuman yang bagus terhadap
harga. Tapi aku berusaha menjauhkannya dari pelanggan."
"Jauh dariku?" tanyaku.
"Ya, maafkan "kejadian tadi." Cash menenggak birnya. la menjulurkan tubuh ke depan. "Kaubilang ada
hal penting yang ingin kaubicara denganku. Apa
sebetulnya yang hendak kausamp'aikan?"
Kubeiitahu Cash tentang diskusiku dengan Bowen,
compliance ojicer di Bloomfield Weiss. .
Cash mendengarkan penuh perhatian. Lalu setelah
aku selesai, ia bersiul dari balik giginya. "Sebaiknya
kau hati?hati. Bowen itu bajingan yang suka ikut
campur. ia tidak mudah melupakan sesuatu."
"Apa yang kauketahui tentang semua ini, Cash?"
tanyaku.
150 "Yah, tidak ada," ujarnya, sejujur anak sekolah
yang tertangkap basah dengan sekotak rokok di saku.
"Oh, ayolah, kau pasti tahu sesuatu," aku memaksa.
"Untuk siapa kau beli obligasi itu? Bukan untuk
DGB, kan? Pasti untuk seseorang."
"Paul. Kau tahu aku tidak memberitahumu."
"Omong kosong. Tentu saja kau dapat memberitahu
aku. Ini soal serius. Apa kau tahu siapa yang membeli
saham Gypsum sebelum pengambilalihan itu diumumkan?"
"Wah Paul, aku benar?benar ingin membantumu,"
ujar Cash, masih dengan gaya jujur yang polos, "tapi
kau tahu bagaimana keadaannya. Aku tidak tahu apa
pun tentang harga saham yang akan naik. Aku bahkan
tidak tahu untuk siapa obligasi itu kanti beli. Salesman lain yang berhubungan dengan pihak pembeli."
Aku menyerah. Cash seorang pembohong profesional. Ia berbohong pagi dan malam, dan ia dibayar
tinggi untuk itu. Aku sadar ia tidak akan menyerah.
Aku tidak tahu apakah ia hanya menyembunyikan
identitas pembeli obligasi Gypsum itu atau telah bertindak lebih jauh lagi.
Kami duduk diam, memandang kelompok di sekitar
kami. Orang?orang mulai lebih rileks sekarang. Diskusi
berpindah dari masalah obligasi menjadi soal wanita
dan gosip di kantor.
Joe terhuyung?huyung berdiri, lalu duduk di samping
Cash dan aku. Walau aku ingin bicara dengannya,
kehadirannya di sampingku membuatku gelisah. Ia
tidak dapat diduga dan berbahaya.
"Jadi, apakah kau sedang bersenang?senang?" tanyanya, mata dinginn'ya memandang wajahku. Ia jelas
151 jelas mabuk. Ucapannya tidak kacau, tapi sangat
pelan dan jelas.
"Oh, aku senang bisa langsung bertemu dengan
sainganku," ujarku pelan. _ _
Joe tidak mengalihkan pandangannya dari wajahku
ketika ia meneguk isi gelasnya. Oh Tuhan, pikirku, ia
mengenaliku.
Cash berusaha keras mengurangi ketegangan. "Paul
dulu seorang pelari Olimpiade, kau tahu," ujarnya.
"Kauingat Paul Murray? Pelari delapan ratus meter?
Ia memenangkan medali perunggu beberapa tahun
an lalu."
Y "%)h ya?" ujar Joe, masih menatap tajam ke arahku:
"Sudah kuduga aku kenal wajah ini. Aku sendiri
seorang pelari yang bagus. Apa kau masih sering
latihan?" _ _
"Tidak juga," ujarku. "Aku masih berlari, tapi
lebih untuk rileks daripada kebugaran."
"Kita harus berlomba nanti," ujar Joe tandas.
Aku tidak yakin bagaimana harus menjawabnya.
Mam Joe tidak berpindah dari wajahku sejak 1a
duduk. Betu1?betu1 membuatku tidak enak. Kuduga ia
pasti berkedip, tapi aku tidak melihat ia melakukannya.
Aku menatap ke sekeliling mangan, berusaha mengalihkan pandangannya, tapi tidak berhasil.
"Jadi kau bekerja pada De'Jong?" tanyanya.
"Ya."
"Hamilton McKenzie itu bajingan, kan?" _
Aku tertawa, berusaha tetap tenang. "Ia mungkin
tampak seperti itu, tapi sebenarnya ia bos yang sangat
baik. Dan ia seorang manajer portfolio yang hebat."
"Ah tidak. Dia brengsek. Dan bajingan."
152 Tampaknya tak ada lagi yang dapat kukatakan.
"Debbie si gadis nakal itu pernah bekerja denganmu, bukan begitu?"
Aku tidak berkata apa?apa. Joe meneruskan, "Kudengar ia jatuh ke sungai beberapa waktu yang lalu.
Tragis." Semua ini diucapkan dengan cara perlahan
dan apa adanya, membuat komentar terakhirnya terdengar ironis, tidak enak, dan aku pura?pura tidak
mendengarnya.
_"Ya, memang," ujarku. "Tragedi yang mengerikan."
"Kau pernah ' menidurinya?"
"Tidak, tentu saja tidak." Aku berusaha keras, dan
berhasil menguasai amarahku. Aku membalas tatapan
matanya.
"Tidak? Lucu, semua orang melakukannya," ujar
Joe, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Ia gadis
yang populer, si Debbie itu. Ia selalu mengemis pada
semua pria. Aku sendiri menidurinya beberapa kali.
Pelacur." Ia tersenyum lagi.
Meja itu diselimuti suasana hening. Semua mata
memandang ke arahku. Aku tahu ia sedang mencari
masalah, menantang berkelahi. Dan aku sudah marah.
Perlahan, aku berdiri. Ia terus menatapku, senyum
tipisnya masih tersungging.
Lalu Cash meloncat ke depanku. "Hei, ayo Paul,
kaubilang ingin pulang cepat. Ayo kita cari taksi."
Aku tahu ia benar. Aku biarkan ia mendorongku
keluar bar itu.
"Bung, kuberitahu, jangan sampai kau berkelahi
dengan orang itu," ujar Cash sembari naik ke taksi.
"Lihat sisi baiknya. Ia memancingmu untuk berkelahi,
dan ia tidak berhasil."
153 "Bangsat," ujarku. "Orang itu bangsat." Aku duduk
di dalam taksi dalam keadaan marah, membayangkan
hal?hal yang akan sudah kulakukan padanya di Biamtz
kalau Cash tidak menghentikanku.
Setelah beberapa menit, aku bertanya pada Cash:
"Apa benar yang ia katakan tentang dia 'dan Debbie!
' "Yah, aku tidak tahu. Kukira ia memang pernah
Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam Goosebumps - 31 Boneka Hidup Beraksi 2 Body Mengalahkan Wajah Karya Kaskuser

Cari Blog Ini