Ceritasilat Novel Online

Masih Ada Kereta 1

Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W Bagian 1


Mira w
MASIH ADA KERETA
YANG AKAN LEWAT
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2009
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
MASIH ADA KERETA YANG AKAN LEWAT
Oleh Mira W.
GM 401 01 09.0027
Foto dan desain sampul: Delia Marsono
(email: design@bubbleish.com.au
website: www. bubbleish.com.au)
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building,
Blok I Lantai 4?5
Jl. Palmerah Barat 29?37,
Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, September 1982
Cetakan kesembilan: September 2009
240 hlm; 18 cm
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 4947 - 7
"Seorang ibu bukan hanya wanita yang
melahirkannya saja. Tapi juga yang merawatnya
ketika dia sakit. Menggendongnya ketika dia
menangis. Menyayanginya ketika dia ketakutan
dalam dunia yang masih asing baginya."
7 ARINI baru saja meletakkan majalahnya ketika
anak muda itu masuk. Dia malah belum sempat
melepaskan kacamata putihnya.
Terus terang Arini agak heran. Tidak biasanya
anak muda seumur dia masuk ke kabin penumpang kelas satu.
Di Jerman, karcis kereta api kelas satu hampir
dua kali lipat harga karcis kelas dua. Dan anakanak muda yang bepergian dengan menggendong
ransel begini biasanya tidak akan membeli karcis
kelas satu.
Memang bukan urusan Arini. Meskipun sudah
hampir tiga tahun bermukim di Jerman, sifat
orang Jerman yang kadang-kadang terlalu hiperkorek itu belum menular kepadanya. Dia masih
tetap Arini yang selalu acuh tak acuh pada urusan orang lain.
1 8 "Selamat siang!" sapa anak muda itu dalam
bahasa Jerman yang djiplaknya mentah-mentah
dari kamus yang dipegangnya. Suaranya ceria.
Nadanya enteng. Seolah-olah dia sedang menegur
teman baiknya. "Bisa bahasa Inggris?"
Terpaksa Arini menoleh. Tidak ada orang lain
di sana. Jadi pertanyaan itu pasti ditujukan kepadanya.
"Ya," sahut Arini datar.
Diperhatikannya anak muda itu sekilas. Dia
pasti bukan orang Eropa biarpun dagunya kelas
dua dan tubuhnya lebih tinggi dari rata-rata
orang Asia. Kulitnya lebih gelap dari kulit Arini.
Rambutnya yang lebat dan tebal berwarna hitam.
Sehitam cambang yang mengotori wajahnya.
Dia mengenakan jaket dan celana jins yang
sudah tidak ketahuan lagi apa warnanya. Entah
sudah berapa lama pakaian itu tidak pernah mencium air. Baunya tidak ketolongan. Mungkin pemiliknya juga jarang mandi.
Baru melihat saja Arini sudah merasa seluruh
tubuhnya mendadak gatal. Dan dia berharap sarang kuman ini cepat-cepat menyingkir.
Tetapi dia tidak pergi. Ranselnya malah diletakkannya di dekat kakinya. Dan dia menatap Arini
dengan tatapan yang membuat orang yang ditatapnya jadi rikuh.
"Mau menolong saya?" sekarang dia bertanya
dalam bahasa Inggris. Cukup lancar. Dan tidak
memakai kamus.
"Apa yang dapat saya bantu?" tanya Arini segan. 9 Sebenarnya dia malas berurusan dengan anakanak muda semacam ini. Biasanya mereka selalu
bikin repot saja.
"Anda turun di mana?"
"Stutgart."
"Jam berapa?"
"Apanya?" dengus Arini jemu.
"Kita sampai di sana."
"Tanya saja kondektur."
"Saya tidak mau bertemu dia."
"Pukul empat lewat tiga menit," sahut Arini
tegas. Datar. Singkat.
Di Jerman ada gunanya menyebutkan yang
tiga menit itu. Karena sembilan dari sepuluh kereta api mereka berangkat dan tiba tepat pada
waktunya.
"Boleh titip ransel?"
"Silakan," dengus Arini tanpa menoleh. Jangan
khawatir! Di sini tidak ada yang tertarik pada
ranselmu!
"Boleh minta tolong lagi?" Ada senyum kurang ajar bermain di bibirnya. Barangkali dia
cuma main-main. Tetapi Arini tidak suka bermain-main dengan anak muda. Apalagi dipermainkan.
"Kalau kondektur sudah ke gerbong sebelah,
tolong ketuk pintu WC di sebelah dua kali panjang sekali pendek, ya?"
Sekarang Arini menatap pemuda itu dengan
tajam.
"Tidak punya karcis?"
10 "Kehabisan duit!" Dia menyeringai tanpa rasa
bersalah sedikit pun.
Ketika dia sedang tersenyum, sekujur wajahnya
yang tampan seperti berbinar. Dan wajah yang
rupawan itu mengingatkan Arini pada seseorang.
Menimbulkan perasaan tidak enak di hatinya.
Seorang lelaki ganteng selalu membuatnya waswas. Curiga. Tidak tenang. Apalagi kalau matanya bersorot jenaka seperti ini. Seperti bibirnya,
mata itu terlalu banyak tersenyum.
"Sejak kereta berangkat, saya kucing-kucingan
terus dengan kondektur."
Apa boleh buat, dengus Arini gemas. Jerman
tidak bakal bangkrut kalau seekor kancil tidak
membayar karcis kereta.
Tetapi entah mengapa begitu kondektur mendorong pintu kaca kabinnya, untuk pertama
kalinya Arini merasa dadanya berdebar-debar.
Padahal kondektur itu amat sopan. Dia hanya
melirik sekali pada ransel yang teronggok di
dekatnya. Barangkali dia tahu itu bukan milik
Arini.
Perempuan seumur dia, berpakaian rapi dan
naik kabin kelas satu, tidak mungkin membawabawa ransel. Tetapi dia tidak berkata apa-apa.
Setelah mengembalikan karcis Arini, dia langsung
pergi.
Arini menunggu sebentar. Menarik napas panjang. Lalu bangkit membuka pintu.
Dia melongok keluar. Sepi. Tidak ada orang di
lorong.
11 Bergegas dia meninggalkan kabinnya. Menoleh
ke kanan dan ke kiri seperti maling. Lalu cepatcepat mengetuk pintu WC. Dua kali panjang. Sekali pendek.
Ketika sedang mengetuk, tiba-tiba saja Arini
merasa jengkel. Mengapa dia jadi ikut terlibat
dalam permainan ini?
Anak muda itu membuka pintu demikian cepatnya sampai Arini mundur dengan terperanjat.
"Terima kasih" Kata-katanya belum selesai
ketika pintu gerbong sebelah terbuka dari dalam. Secepat kilat anak muda itu menarik tubuh
Arini ke dalam pelukannya. Mendekapnya. Dan
mencium bibirnya. Mencegah pekikan kaget yang
meluncur dari bibir wanita itu.
Arini sudah hendak meronta. Sudah hendak
mendorong tubuh anak muda itu dengan kasar.
Dia malah sudah berniat hendak menamparnya
ketika semua tindakannya batal dengan sendirinya. Ekor matanya mengenali seragam kondektur.
Dan seluruh tubuhnya mengejang. Dia malah
lupa hendak berbuat apa saking takutnya.
"Kenapa dia balik lagi?" bisik anak muda itu
tegang.
"Tanya saja sendiri!" Arini balas berbisik dengan gemas.
Sesudah dirasanya kondektur itu cukup jauh,
dia mendorong tubuh anak muda itu dengan
sengit. Dan cepat-cepat kembali ke kabinnya.
12 Arini pura-pura merapikan pakaiannya. Padahal dia sedang memikirkan ciuman di bibirnya.
Sudah berapa lama tidak ada yang menyentuh
bibirnya?
13 SEJAK semula Arini sudah curiga. Sejak pertama
kali Ira memperkenalkan laki-laki itu padanya.
"Pokoknya kamu nggak usah khawatir deh,
Rin," bujuk Ira seperti biasa. Persis seperti dulu.
Kalau dia sedang membujuk Arini kabur dari
sekolah. "Sudah baik. Kaya. Ganteng, lagi."
Kaya. Ganteng. Apa susahnya mencari pacar,
calon ratu kecantikan sekalipun?
Buat apa minta bantuan Ira? Memperkenalkan
dirinya dengan seorang gadis sekelas Arini?
"Sudah kuperlihatkan fotomu. Dia ngajak
kenalan."
Tidak sengaja mata Arini melirik ke cermin
hias di kamar sewaannya. Nanar pandangannya
menjalari seraut wajah sendu di sana. Ada apanya wajah sesederhana ini sampai seorang Romeo
melirikkan mata padanya?
2 14 "Tidak semua lelaki seperti itu, Rin," bujuk Ira
lagi ketika matanya yang sejeli mata burung
elang membaca kekhawatiran Arini. "Jangan berprasangka dulu dong. Lihat dulu deh orangnya.
Baru menilai. Nggak ada salahnya, kan?"
"Dia cacat?" cetus Arini tiba-tiba.
Begitu mendadak sampai Ira tersentak.
"Wah, kalau cacat masa sih kuperkenalkan
padamu?" gurau Ira sambil tersenyum. "Sadis
dong namanya!"
Tapi kalau boleh memilih, lebih baik aku mendapat seorang laki-laki yang cacat isiknya daripada buruk mentalnya, pikir Arini bimbang.
"Pendeknya kamu nggak bakal kecewa deh,
Rin."
Sekarang Ira meletakkan tangannya di lengan
Arini. Dan merasakan kehangatan sentuhan itu,
Arini seperti mendapat jaminan dari seorang
sahabat. Teman yang dikenalnya sejak kecil. Tidak mungkin seorang sahabat yang sudah begitu
lama dikenalnya berniat mencelakakannya!
"Kamu betul-betul mengenalnya?"
"Kalau tidak masa kuperkenalkan padamu?"
"Berapa umurnya?"
"Seumur kita. Dua lima."
"Baru dua lima?" Arini mengangkat alisnya.
"Memang berapa kiramu?" Ira menahan tawa.
"Lima dua? Masa kubawa kakek-kakek padamu
sih?"
"Lelaki ganteng, muda, tidak cacat, menyuruhmu mencari teman gadis?" desak Arini curiga.
15 "Memang sudah pada ke mana gadis-gadis cantik yang punya mata?"
"Helmi pernah dikhianati pacarnya. Sejak itu
dia dingin terhadap wanita. Aku cuma kasihan.
Sekaligus ingin menolongmu, Rin. Kamu kan
juga belum punya pacar. Nah, apa salahnya kupertemukan dua hati yang kesepian?"
Memang tidak ada salahnya. Kecuali Arini merasa tambah bingung.
Helmi Kartanegara persis seperti yang Arini
bayangkan. Malah lebih super lagi.
Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tampan. Dandanannya modis. Dan dia datang dengan mobil
bagus yang Arini tidak tahu apa mereknya.


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ira memperkenalkan mereka. Dan melihat
sikap Ira, diam-diam Arini merasa iri.
Bagaimana Ira dapat bersikap selugas itu di
depan semua orang? Tidak peduli gadis pendiam
yang serbasalah dan selalu tampak rikuh seperti
Arini. Atau pemuda ganteng yang jarang tersenyum dan lebih banyak mendengarkan seperti
Helmi. Semua dapat dilayaninya dengan baik.
Ira selalu bisa membawa diri dengan sempurna. Kecantikan wajahnya yang mencorong,
senyumnya yang marak, tubuhnya yang seksi,
yang selalu dibungkus gaun mahal keluaran
butik terkenal, seperti tahu sekali tidak ada yang
perlu ditakuti. Semua yang berada di sekitarnya
seperti menunduk memberi hormat.
Memang dalam pertemuan selama dua jam
lebih itu, ketika mereka sama-sama menikmati
makan malam yang lezat, hanya Ira yang mampu
1 berkicau. Arini lebih banyak terdiam. Sementara
Helmi lebih sering mendengarkan.
Sikapnya memang sopan. Terutama terhadap
Arini. Dia seperti sengaja menjaga jarak. Tetapi
justru karena sikapnya itu Arini jadi bertambah
rikuh. Dan putus asa.
"Rasanya percuma saja, Ir," keluhnya ketika
mereka sudah berada di dalam kamar sewaaannya lagi setelah diantarkan pulang oleh Helmi.
"Dia tidak berminat."
Arini meletakkan tas tangan yang dipinjamkan
Ira dengan kasar di atas meja. Tas yang harganya
sepuluh kali lipat gajinya sebulan.
"Apa sih yang kamu harapkan? Dicium dalam
pertemuan pertama? Yang benar saja, Rin!"
"Sudahlah, jangan pura-pura!" sergah Arini
ketus. Dilepaskannya sepatunya dengan jengkel.
Sepatu bertumit tinggi milik Ira yang telah menyiksanya selama hampir tiga jam. "Kamu juga
tahu dia tidak menaruh perhatian padaku! Dia
cuma datang untuk melihat seperti apa gadis
yang ditawarkan Ira!"
"Lho, sinis lagi!"
"Dia cuma datang untuk menilai. Kalau berkenan, oke. Kalau tidak, cari yang lain."
"Semua pasangan juga mula-mula begitu, Rin!
Apa kamu mengharapkan kencan buta?"
"Pokoknya aku merasa dia tidak berminat
padaku."
"Kamu bukan tipe gadis yang bisa menarik
minat seorang laki-laki pada pandangan pertama,
17 Rin," gumam Ira lembut. "Tapi itu bukan berarti
tidak ada lelaki yang berminat padamu!"
"Kalau begitu buat apa aku dibawa kepadanya?" Sekilas Arini menatap wajahnya dalam
cermin. Cermin yang setiap hari mengadilinya
dengan kejam. Hari ini memang penampilannya
agak berbeda. Ira sudah bersusah payah mengubah penampilannya. Tetapi rasanya percuma
saja. "Kamu cuma mau bikin malu aku!"
"Aku cuma ingin menolongmu." Ira menghela
napas panjang. "Karena kupikir kamu cocok
untuknya."
"Cocok untuk apanya? Dobel bravonya?"
"Lama-lama Helmi akan sadar, kamu bukan
gadis dari jenis yang dibencinya. Kalian hanya
perlu waktu untuk saling mengenal."
"Aku tidak mau ketemu lagi."
"Kamu betul-betul tidak tertarik pada Helmi?"
"Punya hak apa aku sampai berani tertarik
pada cowok sekeren dia?"
"Kalau Helmi mengajak ketemu lagi?"
"Paling-paling dia cuma ingin melihatmu."
Barangkali Arini cuma kelepasan. Jauh di dalam hatinya dia memang selalu merasa iri kepada
Ira. Dia bukan hanya cantik. Dia selalu dapat
menguasai medan. Dia dapat tampil prima dalam
keadaan apa saja. Menghadapi siapa saja.
Tetapi reaksi Ira benar-benar di luar dugaan.
"Kamu pikir apa sih aku ini?" Belum pernah
Arini melihat kemarahan sehebat itu bersorot di
mata Ira. Biasanya matanya selalu ceria. Selalu
bersorot bersahabat. Sekarang mata itu seperti
18 terbakar dalam api kemarahan yang panas menggelegak. "Kalau cuma mau lihat dia, aku tidak
perlu membawa-bawa kamu!"
Dengan kasar Ira merenggut tasnya dan berjalan pergi. Ketika dia teringat pada tas yang tadi
dipinjam Arini, dia berbalik. Meraih tas itu. Dan
meninggalkan kamar Arini dengan sengit.
Dia baru mencapai ambang pintu ketika suara
Arini menerpa telinganya. Suara itu begitu perlahan. Begitu ragu. Khas Arini.
"Maaf."
Ira sendiri heran bagaimana dia masih bisa
mendengar suara sehalus itu. Tetapi ketika dia
mendengarnya juga, dia berhenti melangkah. Berbalik. Dan tatapannya bertemu dengan tatapan
yang sangat redup.
"Aku hanya merasa minder."
"Itu memang sifatmu!" sergah Ira pedas. "Makanya kamu belum punya pacar sampai sekarang!"
"Bagaimana cewek jelek kayak aku bisa memikat cowok keren seperti Helmi, Ir?"
Kamu memang tidak bisa! Makanya aku memilihmu!
19 HAMPIR terbentur kepala Arini ke pintu kaca
ketika dia terburu-buru masuk ke kabinnya.
Anak muda itu mendahului membukakan pintu
dengan gesit. Dan menyilakan Arini masuk dengan sopan.
Justru karena kesopanannyalah Arini tidak jadi
memaki. Tidak jadi mengomel. Kurang ajar sekali
tindakannya tadi!
"Sori," dia tersenyum seperti memahami kejengkelan Arini. Senyum kebocahan yang polos.
Tulus tanpa dosa. Senyum yang meredakan kemarahan siapa saja yang melihatnya. "Kalau ketahuan tidak punya karcis, saya bisa diturunkan
di sini."
Arini tidak menjawab. Dia duduk dengan gemas. Mengambil majalahnya. Dan berharap agar
kutu busuk ini cepat-cepat pergi. Tetapi dia
3 20 malah duduk di hadapannya.. Arini membeliak
kesal.
"Apa lagi?" dengusnya sengit. "Tidak ada babak kedua!"
Anak muda itu tertawa geli.
"Dari Filipina?" tanyanya ringan. Santai. Seolah-olah mereka dua orang teman lama.
"Bukan!" Apa pedulimu aku dari Jupiter atau
Saturnus?
"Malaysia?"
"Bukan."
"Thai?"
Arini tidak menjawab. Dia menghela napas
jengkel. Dan pura-pura ingin membaca majalahnya. Padahal sudah tidak ada lagi yang dibacanya di sana. Hanya supaya kutu loncat ini cepat
menyingkir.
"Fji?"
"Indonesia!" potong Arini supaya dia tidak semakin jauh bertanya.
"Aaaa Indonesia!" cetus anak muda itu gembira. Begitu riangnya sampai Arini terpaksa mengangkat mukanya lagi. "Bali!"
"Pernah ke sana?"
"Dua kali! Pulau yang indah! Pulau para
dewa!"
Mau tak mau terselip rasa bangga di hati Arini.
Untung Indonesia punya Bali! Di mana-mana
orang mengaguminya!
"Saya dari Filipina."
Siapa yang tanya? Masa bodoh kamu dari
mana!
21 Arini menekuri majalahnya lagi. Mengapa dia
tidak pergi juga? Ranselnya bau sekali. Sebentar
lagi Arini pasti bersin. Hidungnya sudah gatal.
"Saya studi di London. Libur musim panas keliling Eropa."
Baru sampai Jerman sudah kehabisan duit!
Arini menyimpan senyumnya. Dasar anak-anak!
Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya. Arini
sampai mendongak kaget.
"Saya Nick."
"Nyonya Utomo," sahut Arini segan. Menjabat
tangan anak muda itu dengan terpaksa. Hanya
agar tidak dikatakan orang Indonesia tidak berbudaya. Diajak kenalan kok menolak!
Sekejap anak muda itu melirik jarinya. Kosong.
Arini tahu apa yang dicarinya. Tidak sadar
parasnya terasa panas.
"Dari Jakarta?"
"Ya," sahut Arini malas.
Dibetulkannya letak kacamatanya. Pura-pura
bersiap membaca artikel di hadapannya. Padahal
dia sudah bosan. Sudah hafal isinya. Hanya supaya murai ini tidak berkicau lagi.
"Liburan?"
"Hah?" Arini mengangkat kepalanya.
"Sedang berlibur?"
"Studi."
"Stutgart?"
Arini mengangguk segan.
"Kedokteran?"
"Marketing."
22 Sekali lagi Nick tersenyum.
"Soalnya tampang Anda kayak dokter!"
"Tidak keberatan saya membaca?" tanya Arini
jemu.
"Oh, silakan!"
Kalau begitu, tutup mulutmu!
"Kebetulan saya punya teman di asrama mahasiswa"
"Kebetulan saya tidak punya teman di sana,"
potong Arini kesal.
"Tinggal di mana?"
Apa pedulimu?
"Sendirian?"
Sekarang Arini menatapnya dengan tajam.
Tetapi Nick membalas tatapannya dengan
tenang. Tanpa dosa.
"Boleh tahu alamatnya?"
"Buat apa?"
"Sampai di London nanti saya kirimi kartu
ucapan terima kasih."
"Tidak perlu."
"Tapi saya mau!"
"Berikan saja satu Euro kepada pengemis
pertama yang kamu temui."
"Kamu biasa sombong seperti ini?"
Nick mengawasi wanita di hadapannya dengan
kagum. Entah mengapa bertambah sulit didekati,
dia malah bertambah tertantang untuk mengenalnya. Seorang wanita yang menarik. Tidak cantik.
Tapi tampil rapi. Berkelas. Intelek. Dan agak
misterius.
"Kamu biasa naik kereta tanpa beli karcis?"
23 "Kehabisan duit," Nick tersenyum lebar. Tatapannya inosen sekali. "Padahal saya masih ingin
ke Paris sebelum balik ke London."
Paris.
Arini memalingkan wajahnya ke luar jendela.
Kereta sudah memasuki stasiun. Tapi yang dilihatnya di luar bukan peron. Dia melihat Menara
Eifel. Dan wajah laki-laki itu.
Cepat-cepat Arini berdiri. Ingin mengusir
bayangan itu dari kepalanya.
Dia mengulurkan lengannya untuk menurunkan kopernya dari atas rak barang. Tetapi Nick
sudah mendahuluinya.
"Terima kasih," gumam Arini sambil meraih
kopernya.
Tetapi sekali lagi Nick mendahuluinya. Dengan
gesit djinjingnya koper Arini keluar.
"Biar saya bawakan."
"Saya bisa membawanya sendiri!" Bergegas
Arini meraih tas tangannya dan menyusul anak
muda itu. Astaga! Kalau dia menghilang di tengah kerumunan orang
"Jangan khawatir!" sindir Nick jenaka. "Tidak
ada yang tertarik pada kopermu!"


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu tidak perlu repot-repot turun."
"Saya memang harus turun!" Nick menyeringai
pahit. "Saya tidak bisa duduk terus dalam kabin
kelas satu!"
Arini menghela napas panjang. Dia membuka
tasnya. Dan mengeluarkan seratus Euro. Disodorkannya lembaran uang itu ke tangan Nick.
"Belilah karcis," katanya sambil mengambil
24 kopernya. Lalu dia turun bersama penumpang
lain. Dan tidak menoleh lagi.
Nick tertegun menatap lembaran uang di
tangannya. Dan sesuatu yang jatuh tidak jauh
dari kakinya.
Seratus Euro! Dari seorang perempuan yang
tidak dikenalnya! Perempuan yang tampaknya
judes dan tidak bersahabat!
Nick ingin berteriak. Ingin memanggilnya.
Ingin mengucapkan terima kasih. Tetapi Arini
sudah menghilang di antara kerumunan orang.
Arini memang sudah melangkah tergesa-gesa
menuju tangga yang akan membawanya ke pintu
keluar. Tiga tahun di Jerman melatihnya untuk
berjalan cepat meskipun sedang tidak terburuburu. Barangkali cuma kebiasaan. Tahun pertama
di Jerman, dia selalu ketinggalan kereta.
Arini baru mencapai puncak tangga ketika seorang laki-laki muncul begitu saja dari tengah
kerumunan orang.
"Helga!" serunya sambil memburu ke arah
Arini.
"Karl!" Seseorang mendorong Arini dari belakang.
Lekas-lekas Arini menyingkir ke samping.
Hampir menginjak kaki seorang tante gemuk
yang sedang berdiri di depan Information.
Ketika Arini menoleh ke belakang, dia melihat
gadis kulit putih yang tadi mendorongnya menghambur ke arah laki-laki itu. Tanpa menghiraukan
orang lain, mereka berpelukan dengan mesranya. 25 Dan Arini tidak jadi marah. Sepasang kekasih
yang saling merindukan tak dapat disalahkan.
Apa pun yang mereka perbuat.
Lelaki itu mengulurkan seikat bunga kepada
kekasihnya. Membuat hati Arini teriris pedih.
Setiap kali pulang berlibur tak ada seorang
pun yang menjemputnya. Apalagi membawa bunga. Padahal toko kembang di ujung sana penuh
dengan bunga yang bagus-bagus.
Kadang-kadang dia sering mengkhayalkan seorang laki-laki datang membawa bunga untuknya. Wajahnya tampan. Pelukannya hangat. Ciumannya dan Arini marah kepada dirinya
sendiri.
Mengapa dia masih merindukan bedebah itu?
Suatu waktu dalam hidupnya dulu, laki-laki
itu pernah membawa bunga. Tetapi bunga yang
penuh duri!
2 "BAGAIMANA?" tanya Ira manja setelah Helmi
melepaskan bibirnya. Kecupannya terasa hangat
menggoda. Kecupan penuh kerinduan.
"Bagaimana apanya? Ciumanku masih tetap
memabukkan, kan?"
"Maksudku, Arini."
"Membosankan," dengus Helmi tawar.
"Cuma itu komentarmu?" Ira tersenyum lebar.
Senyum kebanggaan seorang wanita karena merasa lebih superior. Ya, mana bisa dia dibandingkan dengan Arini?
"Dingin seperti es. Kaku seperti kanji. Diam
terus seperti patung!"
"Jelek betul penilaianmu!" Ira memjat hidung
Helmi sambil tertawa. Tentu saja. Kalau dia tidak
yakin Helmi tidak bakal tertarik, masa diperkenalkannya kekasihnya kepada Arini? "Mau yang
lebih agresif? Lebih cantik?"
4 27 "Aku cuma mau kamu!" Dengan ganas Helmi
merengkuh Ira ke dalam pelukannya.
Dan Helmi memang tidak berdusta. Sejak
bertemu dengan Ira tiga tahun yang lalu, dia tidak menginginkan perempuan lain. Dia hanya
menginginkan Ira. Tidak peduli dia sudah bersuami. Tidak peduli anaknya sudah dua.
Anaknya yang ketiga lahir pada saat mereka
sedang hangat-hangatnya bercinta. Ira sendiri tidak tahu siapa ayahnya. Tetapi Helmi selalu
menganggap Marga anaknya.
"Dagunya milikku. Hidungnya juga hidungku.
Kalau dia anak suamimu, hidungnya pasti pesek!"
Tetapi hanya Ira yang mendengarkan tuntutannya. Hanya Ira pula yang meragukannya.
Orang lain berpikir saja tidak.
Di mata semua orang, Marga anak Hadi. Bahkan di kepala Hadi sendiri, Marga anak kesayangannya. Bungsu. Satu-satunya perempuan.
Lebih celaka lagi, bagi Marga sendiri, memang
cuma Hadi ayahnya. Ciuman ayahnya lebih dirindukannya daripada kecupan Oom Helmi. Tidak peduli berapa banyak mainan yang dibawanya. Bagi Helmi, kenyataan itu benar-benar suatu
siksaan. Jangankan memiliki ibunya. Memiliki
anaknya sendiri saja dia tidak mampu!
Helmi merasa harga dirinya tersingkir. Lebihlebih jika setiap bulan Ira memberinya uang.
Membelikan hadiah yang mahal-mahal. Bahkan
mobil pada hari ulang tahunnya.
28 Dia sendiri tidak bisa memberikan hadiah apaapa. Hadiah yang sesuai dengan selera Ira yang
tinggi. Memang Ira menghargai tas pemberiannya.
Tas yang tidak berarti apa-apa dibandingkan tas
yang biasa dibelinya dengan uang suaminya. Dia
memakainya. Walaupun cuma sekali. Karena sesudahnya, tas itu hanya menjadi penjaga lemari.
Dan Helmi kapok membelikannya lagi.
"Aku mencintai dirimu," hibur Ira untuk mengobati kekecewaan Helmi. "Bukan uangmu."
Tentu saja. Karena uang Helmi memang tidak
banyak. Gajinya sebagai sales perusahaan farmasi
hanya pas-pasan untuk menghidupi sebuah keluarga.
Tetapi memang bukan itu alasan Ira menolak
ajakan Helmi untuk menikah.
Mereka sudah tiga tahun berkencan. Hidup
seperti layaknya suami-istri. Meskipun hanya di
siang hari.
Bukan karena alasan materi saja Ira menghindari perceraian. Dia lebih memikirkan anakanaknya.
Ira memang bukan istri yang setia. Tapi paling
tidak, dia ibu yang baik. Dia tidak mau perceraian memisahkan dirinya dari anak-anaknya. Karena itu dia selalu menolak ajakan Helmi untuk
menikah.
Ira memilih hidup di dua dunia. Siang bersama kekasihnya. Malam bersama suami dan
anak-anaknya.
Meskipun dalam tiga tahun hubungan mereka,
entah sudah berapa belas kali Helmi mengancam.
29 Mendesaknya untuk memilih. Bercerai. Atau
putus.
Tetapi Ira memang tidak bisa memilih. Dia
menginginkan kedua-duanya. Jadi dia hanya bisa
menangis. Dan setiap kali melihat air matanya,
semangat Helmi runtuh. Kekerasan hatinya
luluh. Tekadnya buyar. Tidak jadi meninggalkan
Ira. Dia benar-benar mencintai perempuan yang
satu ini. Dengan cinta yang paling tulus. Memang
bukan cinta pertama. Tetapi semakin hari Helmi
merasa cintanya terhadap Ira semakin dalam.
Justru karena cinta itu terlarang, dia jadi semakin
kokoh.
Dengan Ira, cintanya terasa berbeda. Lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Tetapi justru
karena pahit, cinta itu jadi terasa lebih indah.
Bagi Ira, Helmi juga terasa istimewa. Berbeda.
Bukan saja karena dia gagah dan tampan. Tetapi
karena dia mampu mempersembahkan melodi
cinta yang sangat indah. Yang jauh berbeda dengan suguhan cinta yang biasa diberikan suaminya. Kehangatan belaian tangan Helmi saja sudah
mampu membangkitkan kerinduan yang tak tertahankan. Mencetuskan keinginan yang menggelora untuk dibelai, dipeluk, dan dicium.
Gairah yang meledak-ledak hampir tak tertahankan di dalam sini seakan-akan baru terpuaskan ketika lengan Helmi yang kuat memeluknya
erat-erat.
Begitu kuatnya dekapan Helmi sampai Ira me30 rasa heran mengapa tidak ada rasa sakit sama
sekali.
Sementara bibir Helmi yang hangat dan kuat
menaklukkan, terasa begitu berbeda dengan bibir
suaminya yang lembek dan lembap. Hadi memang hanya sekali-sekali menciumnya. Ciumannya terasa dingin membosankan. Membuat Ira
merasa enggan dicium.
Sebaliknya, ciuman Helmi membuat Ira ketagihan. Ciuman itu membuat sekujur tubuhnya membara. Bergairah. Meminta lebih.
Helmi memang pandai menciptakan irdaus
sebelum sampai ke kenikmatan yang sesungguhnya. Dia piawai membawa Ira terbang mengawang ke angkasa sebelum meraih cawan kenikmatan itu dan mereguknya bersama-sama.
Dalam rengkuhan lengan-lengan Helmi, Ira
sampai lupa dia sudah memekik atau cuma sekadar merintih, ketika kepuasan itu sudah menjadi miliknya.
31 ARINI membuka pintu apartemennya. Dan seperti biasa, kesepian menyergapnya.
"Tinggal saja beberapa hari lagi," Arini teringat
permintaan temannya tadi pagi. "Liburmu masih
seminggu lagi, kan? Nah, daripada kesepian di
lat, mendingan kamu tinggal di sini!"
Barangkali Brenda benar. Daripada kesepian
seorang diri di latnya, lebih baik Arini menghabiskan waktu di apartemen Brenda. Di sana
dia tidak pernah kesepian. Brenda punya tiga
orang anak. Di tempatnya, tidak ada hari yang
bernama sepi.
Tetapi sejak kepercayaannya kepada seorang
sahabat dikhianati, Arini memang tidak pernah
benar-benar memiliki seorang teman. Dia tidak
pernah lagi memercayai sebuah persahabatan.
Karena itu dia tidak ingin bersahabat terlalu
akrab.
5 32 Dia sering berlibur ke rumah teman-temannya.
Tetapi tidak pernah lebih dari tiga hari. Dia lebih
suka menyendiri di apartemennya daripada menghabiskan waktu dengan mereka. Sadar ataupun
tidak, Arini sendiri yang menciptakan benteng di
sekeliling dirinya.
Memang dia kesepian. Tapi berada seorang
diri selalu memberikan rasa aman.
Adanya seorang teman di sisinya selalu menimbulkan perasaan tidak tenang. Arini tahu
perasaan itu cuma suatu obsesi. Tetapi bagaimanapun, dia tidak pernah bisa mengenyahkan obsesi
itu. "Aku kan teman baikmu, Rin! Kita sahabat
sejak kecil! Masa tidak boleh menolongmu?"
Itu kata-kata paling manis yang pernah didengar Arini dari seorang sahabatnya. Kata-kata
yang kemudian berubah menjadi sembilu yang
paling tajam. Yang membuatnya tidak pernah
lagi memercayai arti sebuah persahabatan.
"Maksudmu, kamu datang jauh-jauh ke tempat
kosku di gang becek ini cuma karena ingin menolongku?" gumam Arini bingung.
Sudah tiga tahun mereka tidak pernah bertemu. Selama itu, jangankan mencarinya. Menelepon saja Ira tidak pernah! Mengapa sekarang
dia tiba-tiba datang?
"Sekalian melihatmu dong! Sudah jadi apa
kamu sekarang!"


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih begini-begini juga. Kamu yang sudah
berubah. Sudah berapa anakmu?"
33 "Tiga."
"Astaga!"
"Makanya! Lekasan nyusul!"
Arini tersenyum pahit. Dan Ira mengerti arti
senyumnya.
"Sudah waktunya kamu menikah, Rin! Masa
kamu mau sendirian terus?"
"Ah, siapalah yang mau sama aku."
"Dari dulu kamu begini-begini juga! Minder!"
"Ah, aku memang jelek kok."
"Kamu nggak jelek. Cuma tidak mau kelihatan
cantik."
"Terima kasih untuk hiburanmu."
"Siapa sih yang bilang kamu jelek?"
"Cermin di kamarku."
"Aku bisa membuatmu cantik hanya dalam
beberapa jam saja."
"Ada apa sih?" cetus Arini curiga. "Kamu punya objek apa?"
"Aku ingin menolongmu, Rin."
"Jangan bilang kamu jauh-jauh datang karena
ingin mencarikan jodoh untukku!"
"Rin, kamu sahabatku."
"Dan kamu ingin menolong mencarikan suami
untuk sahabatmu?"
"Aku punya calon untukmu."
"Sayang sekali. Aku belum ingin kawin."
"Kalau kamu baru ingin kawin setelah gigimu
ompong semua, kamu sudah terlambat, Rin!"
"Aku masih ingin kerja, Ir. Kalau sudah punya
rumah, aku ingin mengajak Ibu tinggal bersamaku."
34 "Kalau kamu punya suami yang baik, kamu
bisa mengajak ibumu pindah lebih cepat."
"Untukku mencari suami saja sudah susah, Ir.
Apalagi ditambah embel-embel mesti bawa
mertua."
"Itu karena sifatmu yang tertutup, Rin. Lelaki
jadi takut mendekatimu."
"Mereka juga tidak perlu mendekatiku selama
masih banyak perempuan yang secantik kamu,
Ir!"
"Minder lagi! Kamu kan nggak cacat, Rin! Kalau cuma soal menarik, aku jamin, aku sanggup
mengubah penampilanmu!"
"Buat apa susah-susah menolongku, Ir?"
"Tentu saja karena kamu sahabatku!"
Dan sahabat itu yang mencelakakannya! Yang
membuat Arini tidak memercayai lagi arti
persahabatan. Yang membuat dia tidak tenang
berada bersama seorang teman!
?? Arini sedang menyiapkan makan malamnya
ketika bel pintunya berdering.
Sekejap dia merasa takut. Siapa yang malammalam begini datang mengunjunginya?
Dia tidak punya teman kencan. Memang salahnya sendiri. Dia selalu menolak ajakan mereka.
Dia tidak percaya lagi pada laki-laki.
Jadi siapa yang datang? Tamunya biasanya
selalu membuat janji dulu melalui telepon.
35 Dia menghampiri monitor interkom. Dan menekan tombolnya.
"Nick!" sergah Arini lega ketika melihat wajah
anak muda itu di layar monitor. "Ada apa?"
"Saya boleh masuk?"
"Bilang dulu mau apa kamu kemari?"
"Cuma mampir."
"Saya tidak menerima tamu malam-malam begini."
"Saya sudah berjalan hampir lima kilometer
kemari. Mendaki delapan puluh anak tangga untuk mencapai latmu. Kecapekan dan kedinginan
di luar."
"Jangan ganggu saya lagi!"
"Anda lebih suka saya tidur semalaman di
luar sini?"
"Bukan urusan saya di mana kamu mau tidur!"
"Juga kalau saya cuma ingin memulangkan
HP-mu?"
HP! Arini tersentak kaget. Kancil itu mencuri
HP-nya?
Arini tidak perlu memeriksa tasnya lagi. Karena Nick sudah menyorongkan ponselnya ke
depan kamera.
Arini menghela napas jengkel. Dia menekan
tombol pembuka pintu dengan kasar.
"Terima kasih!" seru Nick gembira ketika pintu
di depannya terbuka.
Dia melompat masuk dan mendaki dua anak
tangga sekaligus untuk mencapai apartemen
Arini yang berada di lantai satu. Baru saja dia
3 mengetuk dua kali, pintu apartemen telah terbuka.
Arini tegak di ambang pintu dengan marah.
"Mana HP saya?"
Nick menyodorkan ponselnya. Arini merenggutnya dengan sengit. Ketika dia hendak menutup
pintu, Nick menahannya.
"Boleh minta segelas air?" tanyanya sopan. Dalam nada mengiba-iba. Wajahnya ditekuk memancing belas kasihan. Tentu saja Arini tahu dia
sedang menyembunyikan tawanya.
"Masih berani minta minum setelah mencuri
HP saya?" belalaknya tidak percaya. Kancil ini
benar-benar tidak tahu diri!
"Siapa bilang saya mencuri? HP itu jatuh waktu kamu membuka tas memberi saya uang!"
"Dan kamu jauh-jauh kemari untuk mengembalikannya?" sindir Arini ketus.
"Saya harus bagaimana lagi? Kamu sudah
keburu menghilang! Untung alamatmu ada di
sms yang terakhir!"
"Lancang sekali kamu membaca sms orang!"
"Kalau tidak, ke mana saya harus mengembalikan HP ini?"
Arini kehabisan kata-kata. Dia melebarkan
pintu dengan kesal.
"Hanya segelas air," katanya judes. "Kamu
tidak bisa bermalam di sini!"
Bergegas Nick melangkah masuk. Bukan melangkah. Dia melompat. Hampir menubruk Arini
yang belum bergeser terlalu jauh. Tapi marah memang percuma saja. Cuma buang-buang napas.
37 Sejak bertemu kancil ini, entah sudah berapa kali
Arini marah. Kesal. Sengit. Dan tampaknya Nick
tidak peduli Arini marah atau tidak. Tambah
marah malah rasanya dia tambah senang.
"Baunya sedap sekali!" Nick menghirup udara
dengan nikmatnya.
Ketika melihat Arini menoleh dengan sengit,
buru-buru Nick menimpali.
"Maksud saya bau makanan! Bau apa ini?
Bratwurst? Aduh! Saya lapar sekali. Belum makan
sejak pagi."
"Kamu kemanakan uang yang saya berikan
padamu?" gerutu Arini jengkel.
"Saya belikan ini," Nick meletakkan ranselnya
di lantai. Membuka ransel yang baunya hampir
membuat Arini muntah itu. Dan mengeluarkan
sebuah kotak panjang.
Dibukanya tutup kotak itu. Dan diserahkannya
isinya kepada Arini.
"Buat kamu," katanya sambil tersenyum.
Arini sampai tidak mampu berkata apa-apa.
Dia malah tidak tahu bagaimana perasaannya
saat itu.
Seorang laki-laki tegak di hadapannya. Mengulurkan seikat bunga segar yang amat indah.
Persis seperti yang selalu diimpikannya selama
ini. Sekejap Arini tertegun. Menatap bunga itu dengan tatapan nanar.
Ketika Nick menyorongkan bunganya lebih
dekat lagi, Arini baru sadar. Dia seperti baru terjaga dari mimpi. Diulurkannya tangannya dengan
38 kaku. Bunga itu terasa dingin menyentuh tangannya. Tetapi lebih dingin lagi hatinya.
Setelah bunga itu berada dalam genggamannya,
dia malah tidak tahu harus dikemanakan benda
itu. Dia tidak punya jambangan yang cukup besar dan cukup bagus untuk menempatkan bungabunga yang secantik ini. Dan seperti mengerti
kebingungan Arini, Nick mengambil sebuah
bungkusan lagi dari ranselnya.
"Sisa uangnya saya belikan ini," katanya sambil menyodorkan bungkusan itu. "Mudah-mudahan kamu suka."
Sekali lagi Arini terenyak. Nick memberikan
sebuah jambangan!
Memang bukan jambangan kristal. Tapi vas
bunga sebesar dan sebagus itu harganya pasti tidak murah!
"Buat apa membuang-buang uang seperti ini?"
untuk pertama kalinya tidak ada nada kesal dalam suara Arini. Nadanya malah cenderung menyesali keborosan Nick.
"Kalau sehelai kartu pos tidak dapat menyatakan terima kasih saya, mungkin bunga ini bisa."
"Kamu tidak perlu berterima kasih."
"Tukang kembang di stasiun menanyakan buat
siapa bunga sebanyak ini. Ketika saya bilang buat
Mama, dia malah menambahkan beberapa
tangkai lagi."
"Kamu memang pantas jadi anak saya" Dan
tiba-tiba saja Nick melihat wajah Arini berubah
murung. Parasnya seperti mengerut menahan
sakit.
39 "Kamu punya anak?" tanya Nick hati-hati sambil mengawasi wajah Arini dengan cermat.
"Sudah meninggal." Ketika mengucapkan katakata itu, ada kesakitan yang amat sangat di dalam suaranya.
"Maakan saya!" cetus Nick menyesal. Untuk
pertama kalinya dia betul-betul menyesal. Tidak
sengaja menyakiti hati perempuan misterius ini.
"Kamu lapar?" Arini berusaha mengganti
topik. Dia membawa bunga dan jambangan itu
ke dapur.
"Ini sebuah undangan?" Nick melompat gembira. Langsung melupakan penyesalannya. Bergegas dia mengejar Arini ke dapur. Takut undangannya keburu diralat.
"Bisa bikin salad?"
"Yang paling enak di rumah!"
"Memang ada berapa orang yang bisa bikin
salad di rumahmu?"
"Cuma Mama! Tapi saladnya tidak enak!"
"Oke. Coba hidangkan saladmu yang enak itu.
Saya mengatur bunga dan menyiapkan makanan."
"Deal!" seru Nick bersemangat sekali. "Kata
tante tukang kembang, bunga ini bisa dimakan
kalau kita kekurangan salad!"
"Lain kali saja kalau kamu bikin salad di rumahmu."
Nick tertawa geli. Dia gembira melihat perubahan sikap Arini. Memang masih tandus. Tetapi paling tidak, dia sudah tidak kelihatan
kesal.
40 "Nyonya Utomo," cetusnya ketika sedang
mengaduk salad di samping Arini yang sedang
mengeluarkan daging panggang dari dalam oven.
"Di mana Tuan Utomo?"
"Sudah meninggal," sahut Arini singkat.
Gersang.
"Suamimu meninggal juga?" belalak Nick menahan tawa. "Kamu bukan monster, kan?"
"Ayah saya," sahut Arini tanpa menghiraukan
kelakar Nick.
"Di mana suamimu?"
"Saya janda."
"Cerai?"
"Itu bukan urusanmu."
"Kenapa kamu judes sekali?"
"Sudah tahu judes, mengapa kamu kejar-kejar
terus?"
"Karena tambah judes kamu tambah menarik."


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau cuma soal menarik, aku jamin, aku sanggup
mengubah penampilanmu!"
Arini mengatupkan rahangnya menahan marah
ketika kata-kata Ira menerpa telinganya. Katakata beracun yang menghancurkan hidupnya.
Merusak masa depannya.
Melihat wajah Arini berubah merah padam,
Nick jadi bertambah heran. Sekelam apa masa
lalunya sampai dia jadi bersikap seaneh ini?
Karena sejak itu Arini hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia menemani Nick
makan. Tetapi makannya sangat sedikit. Seperti
tidak berselera.
41 "Bagaimana saladku?" desak Nick setelah
bosan ngomong sendiri.
"Bukan yang paling enak," sahut Arini datar.
"Tapi boleh juga."
Nick tertawa lebar.
"Kamu biasa menendang orang sebelum memeluknya?"
"Habiskan saja makananmu. Jangan banyak
tanya lagi."
Tanpa disuruh dua kali Nick menyikat bersih
hidangan di depannya. Makannya begitu lahap
sampai untuk pertama kalinya Arini merasa
betapa senangnya kalau setiap kali masak ada
orang yang menikmati masakannya seperti ini.
"Sudah lama nggak pernah makan seenak ini,"
Nick menyeka mulutnya dengan repot sebelum
menyuap lagi. Heran juga perutnya tidak protes
dibombardir seperti itu.
"Makan hot dog terus?"
"Kadang-kadang malah tidak makan," Nick
menyeringai. "Kehabisan duit."
"Apa enaknya jalan-jalan seperti itu?"
"Cari pengalaman."
"Orangtuamu masih ada?"
"Kalau masih hidup sih iya."
"Kelihatannya kamu tidak menyukai orangtuamu."
"Mereka juga sudah tidak saling menyukai."
"Mereka yang mengirimmu studi di Eropa?"
"Papa ingin saya jadi insinyur."
"Kamu sendiri tidak suka?"
"Saya lebih suka jadi pelaut."
42 "Orangtuamu pasti kaya."
"Saya mau cari duit sendiri."
"Cari duit tidak gampang."
"Gampang kalau ketemu perempuan sebaik
kamu."
"Kamu belum kenal saya."
"Tapi saya mulai menyukaimu."
"Simpan saja rasa sukamu. Tinggalkan lat
saya kalau sudah kenyang. Tidak usah cuci
piring. Biarkan saja."
"Mau ke mana?"
"Tidur. Ke mana lagi orang setua saya malammalan begini?"
"Kamu belum tua. Berapa usiamu?"
"Pasti seumur ibumu. Sudahlah. Saya sudah
capek. Selamat malam."
"Sampai jumpa!"
Siapa yang mengharapkan bertemu lagi dengan kamu, gerutu Arini sambil membuka pintu
kamarnya.
Ketika sedang berbaring di ranjangnya, dia
masih mendengar bunyi piring dan garpu bertarung di dapurnya. Rupanya anak muda itu
benar-benar kelaparan. Dia menyikat semua yang
bisa dimakan. Untung Arini tidak memelihara
ikan. Bisa-bisa ikannya langsung jadi sushi.
Diam-diam Arini tersenyum pahit. Aneh
rasanya membayangkan ada seorang laki-laki di
luar kamarnya di dalam apartemennya!
Ah, bukan laki-laki, bantahnya sendiri. Dia
cuma anak kecil!
Bukan tipe yang berbahaya. Anak Mama yang
43 sedang mencari jati diri. Pembangkang yang
ingin memberontak dari kungkungan orangtua
yang selama ini terlalu membelenggunya dengan
kemanjaan.
Nick bukan Helmi. Bukan musang berbulu
domba. Alim di luar ganas di dalam. Di depan
Arini saja dia kelihatan santun. Di belakang dia
tega menyikat istri orang! Bahkan menipu istri
sendiri!
44 IRA tidak menyangka Helmi sebodoh itu. Mengirim sms ke ponselnya. Mengabarkan dia mendadak dapat tugas kantor. Harus ke Surabaya
tiga malam.
Biasanya, Hadi tidak pernah memeriksa tas
istrinya. Apalagi ponselnya. Tetapi hari itu dia
meminjam ponsel Ira karena ponselnya ketinggalan di kantor. Dia perlu menghubungi sekretarisnya segera. Jadi dia meraih tas Ira. Dan mengambil ponselnya.
Kebetulan Ira meninggalkan tasnya di meja
mereka. Dia sedang mengantarkan anak-anak ke
WC. Sementara Hadi duduk seorang diri menunggu pesanan makanan mereka.
Dan sesudah menelepon sekretarisnya, ada
sms masuk. Acuh tak acuh Hadi membaca nama
pengirimnya. Helmi. Tiba-tiba saja dia merasa
ganjil.
6 45 Mau apa Helmi mengirim sms kepada istrinya? Tentu saja Hadi kenal anak muda yang bernama Helmi itu. Dia sering datang ke rumah.
Hampir setiap hari Minggu. Katanya dia teman
Ira. Tapi Helmi lebih suka bermain dengan anakanaknya. Terutama dengan si kecil Marga.
Baru sekarang Hadi merasa curiga. Mengapa
seorang anak muda seumur Helmi menggunakan
hari Minggunya untuk berkunjung ke rumahnya?
Bermain dengan anak-anaknya? Mengapa dia
tidak pergi dengan pacarnya sendiri?
Apa karena Ira? Karena dia tertarik kepadanya?
Bermain dengan Marga hanya pulasan. Sandiwara. Untuk menutupi kerinduannya menemui
Ira. Coba baca berita yang dikirimnya melalui sms.
Isinya mencurigakan sekali.
"Tgs 3 hr sby.Sori.Ga bs nolak.Cu."
Aneh, kan? Mengapa Helmi harus bilang sori?
Dan mengapa kepada Ira? Memangnya Ira siapa?
Apanya?
Ketika melihat istrinya sedang melangkah mendatangi, tiba-tiba saja Hadi baru menyadari,
betapa masih menariknya istrinya. Dalam usia
dua puluh lima tahun, Ira masih tetap menawan.
Bukan hanya wajahnya saja yang cantik. Tubuhnya pun masih tetap selangsing ketika Hadi
pertama kalinya melihatnya.
Tidak heran. Dia selalu rajin merawat tubuhnya biarpun sudah punya anak tiga. Apalagi tubuh itu selalu dibungkus baju-baju yang mahal.
4 Dan Ira pintar memilih baju yang mampu menonjolkan daya tariknya sebagai wanita. Tidak
heran kalau anak muda macam Helmi masih bisa
terpikat, biarpun Ira sudah jadi istri orang.
"Ada sms untukmu," dengus Hadi tawar sambil setengah melemparkan ponsel istrinya ke atas
meja. "Dari temanmu. Siapa namanya? Helmi?"
Dan melihat pucatnya paras Ira saat itu, Hadi
semakin yakin, dugaannya tidak keliru.
Dia yang bodoh! Bisa saja dikelabui selama
ini! Atau itu karena ketidakacuhannya? Karena
sekarang dia kurang memperhatikan istrinya?
Begitu terburu-burunya Ira mengambil ponselnya sampai Hadi merasa muak. Kalau tidak ada
apa-apa, buat apa Ira segugup itu? Kalau Helmi
cuma teman biasa, mengapa sms darinya begitu
penting?
Ira sampai lupa di mana harus mendudukkan
Marga. Rasanya kalau Hadi tidak keburu menangkapnya, Marga pasti sudah terjerembap ke
lantai. Dan kejadian itu tambah mengobarkan
kemarahan Hadi.
"Kenapa dia harus menulis sms padamu?"
geram Hadi sengit. "Kamu kan bukan pacarnya!
Kenapa harus bilang sori karena dapat tugas
mendadak ke Surabaya? Karena tidak bisa menemuimu tiga hari?"
"Sms ini bukan untukku," bantah Ira gugup.
"Helmi mengirimnya untuk pacarnya!"
"Dan pacarnya tidak punya HP? Tidak punya
telepon di rumah?" sindir Hadi sinis.
47 "Pacarnya tidak punya HP," dalam keadaan
terjepit Ira masih mampu berkelit. "Dan belum
punya rumah sendiri."
"Jadi kamu yang jadi kurirnya?"
"Aku memang yang selalu jadi perantara. Aku
juga yang memperkenalkan mereka. Mas kan
tahu Helmi. Terlalu pendiam. Agak tertutup."
"Seperti apa pacarnya? Bisu?"
"Minggu depan kusuruh Helmi membawanya
ke rumah. Biar Mas lihat sendiri!"
Dan Ira harus mendapatkan gadis itu. Pacar
pulasan untuk Helmi. Demi menutupi kecurigaan
Hadi. Sebab sekali dia sudah curiga, skandal mereka mudah terungkap.
"Aku harus mencari pacar untukmu," kata Ira
pada kesempatan pertama dia bertemu kembali
dengan Helmi. "Mas Hadi membaca sms-mu. Dia
curiga!"
"Pacar untukku? Kamu ngomong apa sih?"
"Kita harus mencari seorang gadis yang bisa
kamu bawa ke rumahku. Biar Mas Hadi tahu,
kamu sudah punya pacar!"
"Kalau kamu sudah bosan, tidak usah carikan
pengganti untukku!" desis Helmi kesal. "Aku
bisa cari sendiri!"
"Justru karena aku ingin menutupi perselingkuhan kita, aku harus mencari seorang gadis
untukmu!" gumam Ira sedih. "Kamu pikir aku
tidak tersiksa melihat kamu pacaran dengan perempuan lain?"
"Kamu lebih takut kehilangan Hadi daripada
aku?"
48 "Aku tidak mau kehilangan anak-anakku!"
"Dan rela kehilangan aku?"
"Kamu tahu bagaimana aku mencintaimu!"
"Tapi kamu tidak mau berkorban sedikit pun!
Kamu tidak mau kehilangan aku. Suamimu.
Anak-anakmu. Hartamu. Status sosialmu sebagai
istri terhormat. Inikah cinta, Ira?"
"Helmi!" Ira merangkul Helmi sambil menahan
tangis. Dibenamkannya tubuhnya dalam dekapan
lelaki yang dicintainya.
Kerinduan yang telah tiga hari terpendam seperti menemukan pelampiasannya. Merasakan
hangatnya tubuh Ira dalam pelukannya, menghirup aroma tubuhnya yang harum menggoda,
membuat Helmi melupakan segala-galanya.
Gairahnya bergejolak tak tertahankan.
Dengan ganas dia memagut bibir Ira. Melumatkannya sampai Ira mengerang nikmat.
Lalu semuanya berlangsung dengan sangat
cepat. Semua masalah seperti lenyap dengan sendirinya. Membubung bagai asap ke angkasa. Berganti dengan siraman cinta yang nikmat memesona.
Baru setelah terkapar dalam sisa-sisa keletihan
di atas tempat tidur di rumah Helmi, persoalan
itu kembali menguak.
"Mas Hadi curiga," keluh Ira cemas. "Dia bisa
menyewa orang untuk membuntutiku. Menyelidikimu,"
"Apa lagi yang harus dipikirkan? Minta cerai.
Kita bisa menikah. Tidak usah main sembunyi49 sembunyian lagi. Aku juga sudah bosan hanya
memiliki tubuhmu! Aku ingin memiliki dirimu
seutuhnya! Dan bukan hanya siang hari!"
"Sayang," Ira membelai dada kekasihnya yang
terbuka. Diciuminya dada yang bidang itu dengan penuh kasih sayang. "Aku mau melakukan
apa saja asal tidak kehilangan dirimu. Bahkan
dengan mengekang rasa cemburu karena melihatmu dengan perempuan lain!"


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mau perempuan lain! Aku cuma
mau kamu!" Dengan kasar Helmi merenggut Ira
ke dalam dekapannya. Dan gairahnya berkobar
lagi.
Dia menyelesaikannya dengan cepat. Dengan
ganas. Dengan liar. Sampai Ira memekik menikmati kepuasan yang tak terlukiskan.
Lama Ira terkulai lemas di tempat tidur. Merasa seolah-olah seluruh tulang belulangnya telah
dicabut dari tubuhnya.
"Adakah lelaki yang pernah memberikan yang
lebih nikmat dari pemberianku, Ira?" Helmi menelungkup di atas tubuh kekasihnya yang terkapar tak berdaya. "Katakan padaku!"
Ira menggeleng sambil memejamkan matanya.
Dua tetes air mata merembes dari celah-celah
bulu matanya.
Mula-mula memang hanya pemberian macam
ini yang melekatkannya kepada Helmi. Karena
hanya dia yang dapat mempersembahkan melodi
seindah ini. Hanya dia yang mampu memberikan
kepuasan sesempurna ini.
Tetapi kini, masalahnya bukan hanya kepuasan
pustaka-indo.blogspot.com
50 seks. Masalahnya sudah merambah ke bentuk
yang lain. Yang lebih kompleks.
Ira sudah jatuh cinta. Dan itu membuat dilema
yang lebih sulit. Ira harus memilih antara dua
pilihan yang sama-sama tidak mungkin dilepaskannya.
"Jadilah istriku, Ira," bisik Helmi lembut di
telinganya.
Ira membuka matanya. Dan menatap kekasihnya dengan sendu.
"Aku mau, Helmi," bisiknya lirih. "Tapi aku
tidak bisa berpisah dengan anak-anakku."
Helmi menggulingkan tubuhnya ke samping
Ira dengan lesu. Lagu lama. Ira masih belum memilih juga.
"Kamu masih tetap Ira yang egois. Ira yang
menginginkan semuanya!"
Sekarang Ira-lah yang menelungkup di atas
tubuh Helmi. Ditatapnya kekasihnya dengan redup. "Tapi kamu datang belakangan, Helmi! Ketika
kamu muncul, aku sudah berkeluarga! Sudah
punya Irwan dan Arman!"
Sekilas mereka bertatapan. Dan dalam tatapan
yang saling terkunci itu, Helmi menemukan sebongkah cinta yang amat besar.
Mereka memang berselingkuh. Tetapi bukan
hanya nafsu yang melatarbelakanginya. Ada cinta
di baliknya. Cinta yang amat tulus. Yang membuat Helmi rela melakukan apa saja. Termasuk
menjadi wayang dalam sandiwara yang didalangi
kekasihnya sendiri.
pustaka-indo.blogspot.com
51 ?? Arini tidak cantik. Terlalu sederhana. Terlalu pendiam. Sering salah tingkah. Rikuh dalam pergaulan.
Jika bukan karena bujukan Ira, jangankan berpura-pura menjadi pacarnya, jadi temannya saja
Helmi segan.
Ada apanya perempuan itu sampai dia rela
jadi pacarnya? Kalau mau, dia bisa mencari sendiri gadis yang sepuluh kali lebih cantik!
Menjatuhkan martabat saja! Masa dia hanya
bisa membawa gadis sekaliber Arini ke depan
suami Ira?
Tetapi justru Ira-lah yang terus mendesaknya.
"Cuma kepadanya aku rela membagi dirimu,
Sayang! Arini sahabatku!"
"Dan kamu tega mengelabui sahabatmu sendiri?"
Tentu saja sering terbit sesal di hati Ira. Kalau
harus menipu, mengapa harus menipu sahabat
sendiri?
Tetapi jika harus memilih antara kehilangan
Helmi dan kehilangan Arini, Ira tidak ragu-ragu
untuk memilih!
Arini muncul begitu saja dalam album foto
lamanya. Mereka bersahabat sejak SD sampai
SMA. Lulus SMA, Ira masuk fakultas ekonomi.
Dia DO karena keburu dilamar Hadi. Pengusaha
kaya yang umurnya dua kali umur Ira.
Arini merantau ke Medan. Belakangan baru
mereka bertemu kembali dalam sebuah reuni
pustaka-indo.blogspot.com
52 tiga tahun yang lalu. Ternyata Arini sudah bekerja sebagai sales sebuah perusahaan besar
farmasi.
Hampir tidak ada yang berubah dalam diri
Arini. Dia masih tetap pendiam. Masih tetap sederhana seperti dulu. Dan masih tetap belum
punya pacar.
Tetapi saat itu tidak terlintas di kepala Ira
untuk mencarikan jodoh bagi sahabatnya. Baru
ketika muncul masalah dalam hubungan gelapnya dengan Helmi, Ira teringat lagi kepada
Arini.
Dan dia merasa, Arini-lah korban yang paling
cocok. Arini sangat memercayai Ira. Dia pasti
tidak menyadari tipuan sahabat karibnya.
Lagi pula Arini tidak cantik. Tidak merangsang. Jauh dari menggoda. Jangan sampai Helmi
nanti malah terpikat pada umpannya sendiri!
Di sisi lain, Arini persis seperti yang diramalkan Ira. Dia polos. Lugu. Tidak berpengalaman.
Mudah djebak.
Mula-mula dia memang curiga. Mengapa pria
setampan Helmi mau saja diperkenalkan Ira
kepadanya? Memang sudah pada ke mana gadis
cantik di dunia ini?
Tetapi bukan Ira jika dia tidak mampu meyakinkan orang. Terutama sahabat yang sepolos
Arini. Yang begitu memercayai sahabatnya sejak
kecil.
Tiba-tiba saja hidup Arini berubah. Hidupnya
yang tandus dan sepi seperti menemukan
siraman air yang menyegarkan.
pustaka-indo.blogspot.com
53 Ira yang mengajarinya memoles wajahnya
dengan make-up. Ira yang meminjamkan tas dan
sepatu yang mahal-mahal. Yang tak mungkin terbeli dengan gaji Arini. Ira pula yang membelikan
baju yang bagus-bagus. Yang membuat penampilan Arini lebih oke.
Ira pula yang membawanya kepada Helmi.
Pria misterius yang punya seraut wajah tampan
dan sesosok tubuh yang menjulang tinggi dan
gagah. Sosok yang bahkan dalam mimpinya pun
tak pernah tampil!
"Helmi ingin bertemu lagi," Ira mengabarkan
berita itu seperti memberitakan Arini terpilih sebagai foto sampul majalah terkenal. "Ternyata
benar dugaanku. Dia menyukaimu!"
Mula-mula tentu saja Arini tidak percaya. Dia
baru percaya ketika keesokan harinya Helmi
datang menjemputnya. Hari itu mereka memang
hanya pergi makan malam berdua. Tetapi itu
bukan hanya kencan sementara. Karena beberapa
hari kemudian, Helmi datang lagi.
"Boleh mengajakmu nonton?" tanyanya sopan.
Agak terlalu santun sampai membuat Arini
rikuh. "Kamu suka ilm apa?"
Ketika Arini menceritakannya kepada Ira,
sahabatnya tertawa terpingkal-pingkal.
"Terlalu sopan maksudmu? Apa aku tidak
salah dengar? Kalau dia terlalu urakan, apa dia
bisa mendapat tempat di hatimu? Jangan-jangan
kamu malah lari ketakutan!"
Tetapi ketika sedang memaki-maki seorang diri
pustaka-indo.blogspot.com
54 di kamar mandi tatkala membayangkan Helmi
yang sedang berkencan dengan Arini, Ira harus
mengakui, pria yang terlalu santun memang
tidak cocok untuk Arini. Karena pria semacam
itu malah membuat dia semakin salah tingkah.
Barangkali pria yang santai dan humoris lebih
sesuai untuk Arini. Supaya dia jangan terlalu
tegang dan rikuh.
Akan kucarikan untukmu, Rin, pikir Ira ketika
dia sedang berendam di dalam bak mandinya.
Kalau jasamu sudah tidak terpakai lagi, aku janji
akan membawa seorang pria yang cocok untukmu! Tetapi Arini bukan Ira. Pacar hanya satu-satunya pria yang diharapkannya akan menjadi
suaminya. Dan pacar hanya datang sekali.
Kalau pria yang singgah dalam kehidupannya
hanya Helmi, cuma Helmi pulalah yang diharapkannya akan menjadi belahan jiwanya untuk
selama-lamanya.
Memang. Mula-mula Arini ragu. Curiga. Tidak
percaya.
Tetapi setelah Helmi beberapa kali datang, bahkan berani mengajaknya ke rumah Ira, kepercayaan Arini mulai timbul. Dia mulai percaya,
Helmi serius. Entah mengapa, apa alasannya, dia
tidak tahu. Pokoknya Helmi bukan bayangbayang lagi. Dia sudah jadi kenyataan. Dan Arini
mulai merasa hidupnya berubah.
Dalam usia dua puluh lima tahun, untuk pertama kalinya dia merasa hidupnya punya arti.
Untuk pertama kalinya pula dia merasakan nikpustaka-indo.blogspot.com
55 matnya debar jantungnya menunggu kedatangan
seseorang.
Hanya seseorang yang pernah jatuh cinta yang
dapat merasakannya. Dan Arini bersyukur akhirnya dia bisa memiliki perasaan itu.
Perasaan resah ketika menunggu lamanya
jarum jam bergeser menuju waktu yang djanjikan. Perasaan gelisah ketika orang yang ditunggu
belum muncul juga. Dan perasaan bahagia ketika
akhirnya orang itu tegak di depan pintu.
Sekarang Arini tidak malu-malu lagi memoles
wajahnya dengan make-up. Tidak segan-segan lagi
pergi ke toko memilih baju baru yang akan dipakainya untuk kencan yang akan datang. Untuk
pertama kalinya dia bersahabat dengan cermin di
kamarnya. Dan untuk pertama kalinya pula dia
merasa menjadi seorang wanita sempurna.
Dan karena menganggap Ira sebagai sahabat,
sponsor sekaligus guru, Arini selalu minta pendapatnya sebelum pergi berkencan.
"Cocok nggak sih baju warna ini dengan kulitku?"
Atau,
"Bagaimana rias wajahku, Ir? Nggak berlepotan, kan?"
Atau,
"Tas ini norak nggak sih di mata Helmi?"
"Lain kamu sekarang!" memang suara Ira seperti bergurau. Arini tidak mengira, ada kecemburuan di balik kelakar sahabatnya.
Arini tidak menjawab. Hanya parasnya yang
memerah. Tetapi melihat sahabatnya sedang terpustaka-indo.blogspot.com
5 sipu-sipu begitu, Ira malah tambah jengkel. Dan
dia melampiaskan kecemburuannya kepada siapa
lagi kalau bukan kepada Helmi.
"Dia betul-betul naksir kamu!" geramnya sengit. "Lagaknya sudah kayak Cinderella ketemu
Pangeran Tampan!"
"Lho, kamu kan sutradaranya!" sahut Helmi
santai.
"Aku yakin Arini sudah betul-betul jatuh cinta
padamu!"
"Itu kan kemauanmu?"
"Jadi kamu juga nggak keberatan?" bentak Ira
sengit.
"Lho, kok kamu jadi nyinyir begini?"
"Aku cemburu!"
"Aku harus bagaimana? Ini kan semua siasatmu!"
"Tapi aku tidak rela kalau kamu benar-benar
mencintai Arini!"
"Berapa kali sih aku harus bilang? Aku hanya
mencintaimu!"
Ira sendiri benci pada kecemburuannya. Sungguh tidak masuk akal! Dia kesal kepada dirinya


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Mengapa dia tidak berhenti juga menuduh Helmi, mencurigainya?
Dia sendiri yang menyalakan sumbunya. Setelah api berkobar, mengapa dia begitu takut
timbul kebakaran?
"Apa aku harus membawa mikrofon di saku
kemejaku supaya kamu bisa nguping obrolan
kami?" gerutu Helmi setiap kali Ira uring-uringan. pustaka-indo.blogspot.com
57 "Tidak usah!" bentak Ira jengkel. "Asal kamu
jujur! Kamu langsung mengantarkan dia pulang
tadi malam?"
"Lho, ke mana dulu kamu pikir? Kalah ibunya,
kalau kamu jadi nyinyir begini!"
"Aku benci harus menonton kalian pacaran!"
"Kamu pikir aku tidak? Kamu kira enak membohongi gadis sepolos Arini?"
Helmi tidak berdusta.
Semakin hari semakin sulit membungkam
suara hatinya sendiri. Mengapa mesti mempermainkan seorang gadis sejujur Arini?
Dia memang tidak mencintai Arini. Tetapi
setelah tiga bulan bergaul, dia tidak dapat mengekang rasa simpati yang mulai timbul di hatinya. Arini memang pendiam. Sulit bergaul. Serba
salah tingkah. Tetapi di balik semua itu, dia gadis yang jujur. Polos. Apa adanya.
Jika sudah mengenal lebih dekat, orang tidak
bisa tidak menyukainya. Justru karena dia polos
dan selalu apa adanya. Terus terang Helmi tidak
menyangka masih bisa menjumpai gadis selugu
Arini di kota metropolitan seperti Jakarta.
Arini tidak pernah minta apa-apa. Tidak pernah mengharapkan lebih. Tidak menuntut lebih
dari apa yang sudah menjadi haknya.
Dia tidak pernah bertanya tentang masa lalu
Helmi. Berapa banyak pacarnya. Mengapa mereka putus. Dan mengapa dia akhirnya memilih
Arini. Meskipun ingin tahu, Arini tidak pernah
bertanya. Bahkan kalau Helmi tidak cerita, tentu
pustaka-indo.blogspot.com
58 saja dia berdusta, Arini tidak tahu sampai sejauh
mana persahabatannya dengan Ira.
Dan karena Arini begitu lugu, akhirnya Helmi
sendiri yang resah.
"Rasanya aku tidak sanggup membohonginya
lagi," keluhnya suatu hari. "Aku tidak sampai
hati."
"Kamu harus terus!" gerutu Ira ketus. "Karena
cuma hubunganmu dengan Arini yang meredakan kecurigaan Mas Hadi!"
Tetapi suatu hari, kecurigaan Hadi meledak
lagi. Dan bukan gara-gara Arini.
pustaka-indo.blogspot.com
59 "AKU kurang apa lagi, Ira?" geram Hadi dengan muka merah padam. "Kalau aku cacat, tua
bangka, impoten, kamu boleh cari kepuasan di
luar! Tapi aku kurang apa lagi? Mungkin aku
tidak setampan anak muda itu. Tapi aku suamimu! Ayah anak-anakmu!"
"Mas ngomong apa sih?" gerutu Ira pura-pura
tidak mengerti.
Padahal dia tahu sekali, Hadi marah karena
memergoki dia pulang sampai larut malam. Berdua saja. Dengan Helmi. Dengan siapa lagi.
Ponselnya dimatikan. Dan anak-anaknya tidak
ada yang tahu ke mana ibu mereka pergi. Terang
saja kemarahan Hadi langsung meledak.
Dia bukan orang bodoh. Pengusaha yang dapat meraih sukses seperti dia pasti bukan manusia yang gampang dibohongi. Pengalamannya
7 pustaka-indo.blogspot.com
0 sudah banyak. Dan Ira kali ini tergelincir. Kurang
hati-hati.
Tadi pagi Hadi menelepon. Katanya malam ini
dia tidak pulang. Ada persoalan mendadak yang
harus diselesaikannya di Palembang. Dia berangkat hari itu juga bersama stafnya. Besok sore
baru pulang.
Ira langsung menelepon Helmi. Dan Helmi
menerima kabar itu seperti mendapat jackpot.
Pulang kerja dia langsung menjemput Ira. Dan
mereka menghabiskan malam itu seperti sepasang pengantin baru. Bagaimanapun, malam
memang berbeda dengan siang. Malam diciptakan untuk bercinta.
Tengah malam baru mereka sampai ke rumah
Ira. Dan menemukan Hadi sudah menunggu di
ruang keluarga.
"Lho, kok sudah pulang, Mas?" Ira berusaha
menutupi rasa kagetnya. Parasnya pasti sudah
putih seperti tembok. "Katanya ke Palembang."
Hadi cuma menggeram. Matanya semerah
mukanya. Dia berusaha tidak menoleh ke arah
Helmi yang mengucapkan selamat malam.
Hadi memang masih dapat menahan diri di
depan Helmi. Tetapi sesudah anak muda itu berlalu, dia langsung mendamprat istrinya.
"Kuberi kamu anak, martabat, kekayaan, apa
lagi yang kurang?" desisnya penasaran. "Kenapa
kamu masih mencari tambahan di luar? Kenapa
kamu hina suamimu di depan lelaki bejat itu?"
"Mas bicara soal apa?" damprat Ira tidak kalah
sengitnya. Tentu saja hanya pura-pura. Dia senpustaka-indo.blogspot.com
1 diri heran bagaimana dia bisa berakting secanggih itu.
Bisa-bisanya dia mendamprat suaminya begitu
galak. Padahal dia yang salah kok! Barangkali
pengaruh alkohol. Kepalanya berdenyut. Tapi
dadanya panas.
"Jangan pura-pura! Aku tahu hubunganmu
dengan playboy itu!"
"Playboy mana? Kapan aku main-main dengan
segala macam playboy?"
"Apa namanya lelaki yang punya afair dengan
istri orang? Barangkali gigolo lebih tepat kalau
kamu membayarnya!"
"Siapa yang Mas maksudkan? Helmi?"
"Siapa yang membawamu mabuk-mabukan
sampai tengah malam begini?"
"Jangan sembarangan menuduh, Mas!"
"Mulutmu bau alkohol! Kamu benar-benar
perempuan hina!"
"Aku memang pergi minum dengan Helmi.
Tapi itu untuk merayakan keputusannya. Dia
akan menikah dengan Arini! Sahabat karibku!"
?? Tidak ada jalan lain. Ira menangis tersedu-sedu
ketika menyampaikan keputusannya kepada
Helmi. Dia sedih. Putus asa. Tapi tidak punya
pilihan lain.
Kalau dia tidak merelakan Helmi, Hadi pasti
menceraikannya. Dan kehilangan Hadi berarti
pustaka-indo.blogspot.com
2 berpisah dengan anak-anaknya. Kalau bukan
salah satunya, mungkin malah semuanya.
Hadi punya uang. Punya pengacara yang pandai. Dan punya alasan yang sangat kuat untuk
menceraikan istrinya dan mengambil anak-anaknya. Istrinya berselingkuh. Alasan apa lagi yang
lebih kuat?
Jadi sekali lagi Ira minta pengorbanan Helmi.
"Kawinlah dengan Arini, Sayang. Demi aku!"
"Bagaimana aku harus kawin dengan perempuan yang tidak kucintai? Kamu egois, Ira! Kamu
cuma memikirkan dirimu sendiri!"
"Aku tidak mau kehilangan kamu!"
"Tapi kamu suruh aku kawin dengan perempuan lain!"
"Kamu pikir aku tidak tersiksa melihatmu
kawin dengan perempuan lain? Tidak menderita
membayangkan kamu menggauli istrimu setiap
malam? Tapi kalau kamu tidak mengawini dia,
tidak ada harapan lagi untuk menemuiku!"
"Ceraikan suamimu, Ira! Kawin dengan aku!
Mari kita rengkuh impian kita! Saling memiliki
tanpa harus sembunyi-sembunyi!"
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak sanggup berpisah dengan anak-anakku!"
"Sudah saatnya kamu harus memilih."
"Jangan sekejam itu, Helmi!"
"Kamu rela aku kawin dengan Arini?"
"Sampai kapan pun kamu tetap milikku!"
"Tapi aku sudah milik perempuan lain!"
"Kamu boleh jadi suaminya. Tapi sampai kapan pun, kamu tetap milikku! Kawinlah dengan
pustaka-indo.blogspot.com
3 dia, Helmi. Tapi kumohon padamu, jangan jatuh
cinta padanya! Jangan pernah menggaulinya!"
?? "Kamu mau kawin dengan dia?" Ira tidak dapat
mengusir nada dingin dalam suaranya. Meskipun
dia sudah berusaha keras menekannya.
"Dengan siapa?" tanya Arini kaget.
Dia sedang membuat kue. Untuk siapa lagi
kalau bukan untuk Helmi. Katanya dia doyan
sekali kue buatan Arini. Tentu saja Arini tidak
tahu ke mana Ira membuangnya.
"Dengan siapa lagi!" sergah Ira separuh membentak. Matanya membeliak jengkel. "Ya dengan
Helmi!"
"Ir, kamu kenapa?" gumam Arini heran.
Kenapa sahabatnya marah-marah begini?
"Kamu tidak fokus sih!"
"Fokus ke mana? Aku sedang membuat kue."
"Tapi aku sedang menanyakan masa depanmu!"
"Masa depanku?"
"Bisa tidak mengulang semua pertanyaanku?"
"Aku tidak mengerti."
Dasar bodoh! Tapi bukankah justru karena
bodohnya dia bisa diakali? Ditipu? Diperdaya?
"Kamu mau kawin dengan Helmi?"
Rona merah menjalari pipi Arini. Membuat Ira
semakin gemas. Kalau sedang tersipu-sipu begitu,
dia boleh juga. Dan dadanya semakin panas.
pustaka-indo.blogspot.com
4 "Kamu tidak keberatan kawin dengan Helmi,
kan?"
"Helmi belum pernah membicarakannya."
Arini menunduk tersipu.
"Tentu saja!" dengus Ira kasar. "Masa baru
pendekatan saja sudah langsung melamar?"
"Kamu pikir Helmi menyukaiku?" desah Arini
ragu.
"Kalau tidak, mau apa dia menemuimu terus?"
"Kadang-kadang aku bingung, Ir."
"Itu memang sifatmu! Selalu bingung! Tidak
PD!"
"Aku tidak mau menyakiti hatinya, Ir. Aku
bukan seperti gadisnya yang dulu. Tapi kadangkadang aku tidak tahu harus ngomong apa. Kalau kelihatannya aku menarik diri, itu bukan karena aku tidak menyukainya."
"Kamu mencintainya, kan?"
Ada seringai yang tidak enak di bibir Ira.
Untung Arini tidak keburu melihat. Dia sudah
keburu menunduk dengan pipi memerah. Lebih
merah dari tadi.
Dan kali ini, kekesalan Ira sampai di puncaknya. Dia hampir tidak mampu meredam gejolak
cemburu yang mendera hatinya. Jantungnya seperti terbakar dalam panasnya kobaran api kebencian terhadap perempuan ini.
Alangkah menyakitkan! Dia harus menyerahkan kekasihnya sendiri kepada sahabat karibnya! Tiga bulan dia harus menahan perasaan
pustaka-indo.blogspot.com
5 melihat Helmi pergi berkencan dengan Arini.
Sekarang dia malah harus melihat kekasihnya
menikah dengan sahabatnya!
"Dia mencintaimu," geram Ira ketika dia bertemu dengan Helmi sore itu. "Kamu boleh melamarnya. Dia pasti menerima lamaranmu sambil
menangis haru!"


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terus terang Helmi benci kepada dirinya sendiri.
Kalau dia tidak bisa mencintai Arini, mengapa
sekejam itu mempermainkannya?
Barangkali Arini tidak berarti apa-apa bagi
Helmi. Tapi bagi Arini, Helmi adalah segala-galanya. Cinta pertamanya. Calon suaminya. Belahan
jiwanya.
Bagi Helmi, perkawinan mereka mungkin
cuma pulasan. Tidak berarti apa-apa. Tetapi buat
Arini, perkawinan adalah peristiwa terpenting
dalam hidupnya setelah kelahiran dan sebelum
kematian.
Jika dia menerima seorang laki-laki sebagai
suaminya, dia menyerahkan segenap dirinya, jiwanya, dan cintanya kepada lelaki itu.
Karena itu biarpun sudah bertekad untuk melamar Arini sore itu, Helmi tidak dapat membuka
mulutnya.
"Cicipi kuenya, Mas," Arini memecahkan kebisuan di antara mereka.
Dia sudah melihat betapa bingungnya Helmi
sore itu. Sejak datang dia diam saja. Hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun kecuali menyapa Arini.
pustaka-indo.blogspot.com
Dengan gugup Helmi meraih kue yang disodorkan kepadanya. Arini mungkin hanya satu dari
segelintir gadis kota metropolitan yang masih
menyuguhi teman prianya dengan kue buatan
tangannya sendiri.
"Enak," cetus Helmi. Sesudah itu dia membisu
lagi.
Arini tersenyum dengan paras kemerah-merahan. Dia merasa bangga. Sekaligus malu.
Dan melihat paras yang kemerah-merahan itu,
sekali lagi Helmi mengutuki dirinya.
Mengapa dia tidak bisa mencintai gadis selugu
ini? "Diminum tehnya, Mas," cetus Arini sekali
lagi.
Ketika Helmi sedang menghirup tehnya, giliran Arini yang mencuri-curi menatapnya dari
samping.
Alangkah tampannya dia! Rasanya seperti
mimpi memperoleh seorang laki-laki yang setampan dia!
Arini tidak dapat menutupi perasaan bangganya kalau berjalan di samping Helmi. Tapi juga
sekaligus perasaan rendah dirinya. Tahukah mereka dia pacar Helmi, bukan babunya?
Memang selama ini Helmi tidak pernah bersikap hangat. Dia seperti menjaga jarak. Juga kalau sedang berkencan.
Kadang-kadang Arini jadi bertanya-tanya
sendiri, sukakah Helmi padanya? Tetapi kalau tidak suka, buat apa dia datang dan datang lagi?
Sore ini sikapnya lebih aneh lagi. Beberapa kali
pustaka-indo.blogspot.com
7 dia seperti ingin mengucapkan sesuatu. Lalu
dibatalkannya kembali. Mukanya murung. Sikapnya gelisah. Arini tidak tahu ada apa. Yang diucapkannya berkali-kali cuma, enak. Enak. Semua
enak. Kue. Teh. Apa saja yang disuguhkan Arini
enak.
Jangan-jangan Helmi ingin mengucapkan salam
perpisahan? Dia tidak mau melanjutkan lagi
hubungan mereka tetapi tidak punya keberanian
untuk mengungkapkannya? Dia ingin berpisah
tapi tidak tega memutuskan hubungan?
Ketika melihat lelaki itu meninggalkan tempat
kosnya, Arini sudah berpikir dia tidak akan pernah melihatnya lagi. Mungkin Helmi tidak sampai hati mengatakannya. Dia memutuskan untuk
menghilang saja.
Arini merasa hatinya sangat sakit. Mungkin
sesakit inilah patah hati. Baru sekarang dia dapat
merasakannya. Karena baru sekarang dia jatuh
cinta.
?? "Aku tidak bisa, Ir," keluh Helmi keesokan harinya. "Tidak bisa bagaimana?" desak Ira bernafsu.
"Melamar Arini."
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak tega."
"Jadi kamu juga sudah jatuh cinta padanya!"
sergah Ira marah.
pustaka-indo.blogspot.com
8 "Ini bukan soal cinta! Tapi soal etika! Moral!"
"Jangan sok moralis! Kamu berselingkuh dengan istri orang!"
"Kita memang sudah rusak," Helmi mengatupkan rahangnya menahan marah. "Tapi Arini
tidak. Dia lugu. Polos. Suci. Aku tidak bisa menodai kepercayaannya kepada lembaga perkawinan!"
"Kamu mau aku yang melamar Arini untukmu?"
"Aku tidak bisa, Ir. Aku tidak tega mengorbankan Arini. Dia tidak bersalah! Mengapa dia yang
harus dikorbankan demi kebahagiaan kita?"
Sebenarnya jauh di dalam hatinya, Ira juga
merasa kasihan. Tetapi mendengar Helmi tidak
tega melukai Arini, kecemburuan Ira jadi semakin
berkobar. Kalau Helmi tidak sampai hati menyakiti Arini, artinya diam-diam dia juga memendam perasaan kepada gadis itu! Dan hati Ira
semakin panas.
"Kamu lebih suka kita berpisah?"
"Aku lebih suka tidak mengorbankan orang
yang tidak bersalah!"
"Meskipun harus berpisah dengan aku?"
"Carilah jalan lain! Kamu biasanya pintar!"
"Mas Hadi sudah mengancam akan bercerai
jika aku masih menemuimu."
"Dia masih curiga?"
"Makin curiga jika kamu tidak jadi mengawini
Arini!"
pustaka-indo.blogspot.com
9 KETIKA bangun keesokan paginya, Arini merasa lesu.
Barangkali itulah sebabnya Arini tidak suka
berlibur lama-lama. Tidak tahu harus mengerjakan apa menimbulkan kelesuan.
Kesibukan membangkitkan semangatnya. Dan
kesibukan cuma ada kalau dia bekerja. Jadi kalau
orang lain senang berlibur, Arini malah sebaliknya. Malas-malasan dia bangkit dari tempat tidurnya. Menyibakkan tirai tebal yang menutupi
jendela kamarnya. Matahari musim panas masih
malu-malu menyorotkan sinarnya.
Di luar masih sepi. Sama sepinya seperti di
dalam apartemennya. Sama sepinya seperti hatinya. Arini membuka jendela. Membiarkan udara
sejuk mengisi paru-parunya.
8 pustaka-indo.blogspot.com
70 Di seberang sana, tukang roti sudah mulai
sibuk memanggang rotinya. Baunya yang harum
merangsang perut Arini. Menimbulkan perasaan
lapar.
Dan ingat makanan, tiba-tiba Arini ingat Nick.
Dia pasti sudah pergi.
Aneh. Ada perasaan kosong menerpa hati
Arini.
Sudah lama dia melupakan dunia remaja. Dunia yang cerah dan penuh tawa.
Nick seperti mengembalikan dunia itu ke
hadapannya. Tawanya yang lepas, ceria, kadangkadang nakal, mengisi kekosongan hidupnya.
Suaranya yang riang seperti masih menempati
ruang kosong di telinganya. Senyumnya masih
terbayang jelas di mata Arini.
Tidak dapat disangkal kehadiran anak muda
itu memberi secuil kesegaran dalam hidupnya
yang tandus. Kata-katanya yang polos. Blakblakan. Kadang-kadang kurang ajar.
Sikapnya yang seenak perutnya sendiri.
Tempo-tempo malah lancang dan Arini mengelus bibirnya dengan tidak sengaja. Teringat
ciuman curian yang memalukan itu! Tetapi mengapa sudah tidak ada rasa marah lagi di hatinya? Kadang-kadang Arini memang tidak bisa memahami dirinya sendiri. Mula-mula kehadiran
anak muda itu terasa menjengkelkan. Dia ingin
Nick lekas-lekas menggelinding pergi. Membawa
ranselnya yang bau itu!
Tetapi sekarang dia malah merasa kesepian.
pustaka-indo.blogspot.com
71 Dia masih membayangkan senyumnya. Mendengar tawanya. Suaranya. Dan rangkaian bunganya.
Arini membuka pintu kamarnya. Dan menatap
lurus ke dapur.
Jambangan itu terletak di tengah meja makan.
Bunga-bunga di atasnya bermekaran dengan
indahnya. Membuat suasana di dalam apartemen
Arini belum pernah sesegar hari ini.
Bukan itu saja. Tidak ada piring kotor di atas
meja. Meja makannya sudah bersih. Semua sudah
rapi. Tidak ada sampah berserakan.
Nick sudah mencuci piring kotor. Dan merapikan semuanya.
Boleh juga, pikir Arini kagum. Kadang-kadang
anak muda memang tidak terduga.
Lebih-lebih jika anak muda itu bernama
Nick.
?? Arini menggendong dua kantong besar belanjaannya keluar dari supermarket. Dia menuju ke
tempat pemberhentian taksi. Tetapi sampai pegal
dia menunggu, tidak ada sebuah taksi pun yang
lewat.
Sialan, gerutunya dalam hati. Pada ke mana
sih sopir-sopir taksi?
Belanjaannya berat sekali. Maklum, dia hanya
belanja seminggu sekali.
Sebuah trem mendatangi dari arah depan.
pustaka-indo.blogspot.com
72 Nomor enam. Berhenti tidak jauh dari apartemennya. Dia hanya perlu menyeberang dan jalan kaki
sedikit. Tetapi membawa belanjaan sebanyak ini?
Nanti dulu!
"Selamat pagi," sapa seseorang di belakangnya.
Dalam bahasa Inggris.
Arini menoleh.
Dan melihat senyum yang dikenalnya itu,
Arini jadi ragu, dia kesal atau malah gembira.
"Boleh saya bantu?"
"Masih di sini?"
"Belum lihat Heidelberg."
"Lalu mau apa kamu nongkrong di sini terus?"
"Kebetulan saya melihatmu."
"Bohong! Kamu pasti menguntit saya!"
Bukannya menjawab, Nick malah tersenyum.
Dan mengulurkan seikat bunga kepada Arini.
Mawar. Semuanya merah. Semerah pipi Arini.
Tahukah anak muda ini apa artinya mawar
merah buat seorang wanita?
Ketika Arini masih tertegun, Nick sudah meraih bungkusan di tangannya dan menukarnya
dengan mawar-mawarnya.
"Kita naik trem saja ya? Dari tadi tidak ada
taksi."
Tanpa menunggu jawaban, Nick langsung melompat ke dalam trem.
"Lekas naik!" teriaknya dari ambang pintu
trem. "Jangan takut! Saya sudah punya karcis!"
Terpaksa Arini ikut naik. Karena sedetik kemudian pintu trem akan tertutup. Dan tidak bapustaka-indo.blogspot.com
73 kal dibuka lagi biarpun masih ada yang ingin
naik.
"Duduklah," Nick menunjuk sebuah tempat
duduk kosong dengan kepalanya. "Biar saya berdiri."
"Taruh saja bungkusannya di sini," Arini masih berusaha meraih bungkusannya dari gendong

Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

an Nick. "Pegangan saja. Nanti jatuh."
Tetapi ketika trem itu berangkat, yang terdorong ke depan dan hampir tersungkur justru
Arini!
Secepat kilat Nick menahan tubuh Arini dengan tubuhnya sendiri. Benturan itu menimbulkan sensasi yang aneh. Tiba-tiba saja Arini merasa jengah.
Nenek kulit putih yang duduk di sebelahnyalah
yang membuyarkan pesona yang membius Arini.
Dia marah-marah karena kakinya terinjak.
Biarpun Arini sudah minta maaf, matanya masih
membeliak marah di balik kacamata putihnya.
Ketika sudah duduk tenang di sebelahnya,
Arini baru melihat bunga yang terlepas dari
tangannya tadi. Buru-buru dia membungkuk hendak meraihnya. Tetapi sekali lagi Nick mendahului memungutnya.
Bungkusannya telah diletakkan di antara kedua kakinya. Dengan sebelah tangan djangkaunya bunga itu. Dan diberikannya kepada
Arini.
Untuk kedua kalinya jari-jemari mereka bersentuhan. Untuk kedua kalinya Arini merasa
jengah. Dan untuk kedua kalinya pula si nenek
pustaka-indo.blogspot.com
74 marah-marah. Payung di pangkuan Arini jatuh
menimpa kakinya.
Tetapi kali ini Arini tidak sempat minta maaf.
Nick menyentuh bahunya dengan sopan.
"Kita turun di sini?"
Arini tersentak. Bukan hanya oleh sentuhan
lembut di bahunya. Tetapi oleh pertanyaan yang
menyeruak ke hatinya.
Ada apa dengan dirinya? Dia malah lupa harus turun di mana!
?? "Kok bisa beli karcis trem?" tanya Arini untuk
menutupi kegelisahannya. Mengapa berjalan di
samping anak muda seumur Nick membuat jantungnya menggelepar resah? Sungguh tidak masuk akal! Memalukan!
"Gampang," Nick masih tetap sesantai biasa.
"Saya pelajari dulu skema yang ada di dekat
kotak karcis. Masukkan uang logam. Karcis dan
kembaliannya akan keluar dengan sendirinya."
"Maksud saya, bagaimana kamu tahu kita
akan naik trem!" potong Arini gemas.
"Membawa belanjaan sebanyak itu mau ke
mana lagi kalau tidak langsung pulang? Kebetulan dari tadi tidak ada taksi."
Kancil ini memang cerdik, pikir Arini antara
kagum dan resah.
"Buat apa kamu menguntit saya terus?"
pustaka-indo.blogspot.com
75 "Ah, saya cuma kebetulan lewat."
"Bohong."
"Tidak percaya ya sudah."
Percuma berdebat lagi. Dia tidak bakal menang.
"Tidur di mana tadi malam?"
"Dekat stasiun."
"Sudah makan?"
Nick menoleh gembira.
"Ini undangan minum kopi?"
"Anggap saja ucapan terima kasih."
"Karena menguntitmu?"
"Karena membawakan belanjaan saya!" sahut
Arini gemas.
Anak muda ini memang konyol. Tetapi justru
karena konyol dia jadi menarik!
Sekarang Arini-lah yang mulai kewalahan
membendung perasaan simpatinya. Dan perasaan
suka yang tidak dikehendaki itu membuatnya
resah!
Ketika sedang membuka pintu apartemennya,
sebuah mobil berhenti di pinggir jalan.
"Dik Rini!" seru pengemudi mobil itu tanpa
turun dari mobilnya. Dia hanya melongokkan
kepalanya dari jendela.
Arini menoleh dan balas menyapa. Dia ingin
menyembunyikan mawar merahnya. Tetapi sudah
terlambat.
"Ada waktu nanti malam?" tanya perempuan
itu dalam bahasa Indonesia.
Hartati berasal dari Surabaya. Apatemen mepustaka-indo.blogspot.com
7 reka berdekatan. Kalau ada acara di Kedutaan,
dia selalu mengajak Arini.
"Nanti malam nggak bisa, Mbak," sahut Arini
gugup.
"Lho, bukannya lagi libur?" Ketika tatapannya
beralih kepada Nick yang tegak di sisinya dengan menggendong dua bungkusan besar, mukanya langsung berubah.
"Oh, ada acara nih?" godanya sambil tersenyum.
"Ah," Arini merasa pipinya panas. "Dia keponakan saya kok! Baru datang dari Jakarta!"
"Oke deh!" Arini melihat senyum Hartati melebar. Dia melambaikan tangannya dengan
ramah. "Nggak saya ganggu lagi ya!"
Lama sesudah duduk di meja makan, Nick
masih senyum-senyum sendiri.
"Ada apa?"
"Orang Indonesia ramah-ramah ya?"
"Saya sudah dua tahun kenal Mbak Hartati.
Dia memang baik. Suka menolong. Kopinya pakai gula?"
"Tentu. Saya suka yang manis-manis."
"Seperti pacarmu?"
"Saya belum punya pacar."
"Bohong lagi. Tampang kayak kamu pasti punya selusin gadis."
"Teman gadis sih banyak. Tapi bukan pacar."
"Mau roti?"
"Apa saja yang bisa dimakan."
"Makanlah yang banyak. Supaya nanti siang
tidak usah makan lagi. Masih punya uang?"
pustaka-indo.blogspot.com
77 "Habis buat beli bunga."
Arini menghela napas.
"Buat apa beli bunga yang mahal-mahal begitu?"
"Saya suka."
"Itu namanya pemborosan."
"Kamu nggak suka?"
"Tentu saja suka."
"Kalau begitu bukan pemborosan namanya,"
sahut Nick seenaknya.
Sekali lagi Arini menghela napas panjang. Bicara dengan anak muda seperti ini memang
perlu kesabaran ekstra.
"Pakailah uang ini untuk membeli makanan,"
Arini mengeluarkan dua lembar uang lima puluhan. "Dan cepat berangkat. Sebelum uangmu habis
lagi. Jangan belikan bunga lagi biarpun ada sederet gadis cantik yang kamu temui di kereta
api."
"Katanya kamu sedang libur?"
"Itu bukan urusanmu."
"Kenapa tidak ikut saya ke Heidelberg?"
"Jangan main-main!"
"Lho, apa salahnya?" Nick menahan tawa. "Bukankah saya keponakanmu?"
Sekarang Arini benar-benar tersentak kaget.
Wajahnya merah padam. Sebaliknya Nick malah
tertawa gelak-gelak.
"Apa kulit saya tidak serupa dengan kulitmu?"
tanyanya dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar. "Saya bisa bahasa Jawa lho!"
pustaka-indo.blogspot.com
78 "Kurang ajar!" geram Arini gemas. "Kamu
mempermainkan saya!"
"Tahu kenapa saya tertarik kepadamu? Karena
kita sama-sama orang Indonesia!" Nick tertawa
terpingkal-pingkal karena merasa bisa memperdayakan Arini. "Mata begini belo kok dibilang
orang Filipin!"
Memang percuma marah kepada anak muda
seperti dia. Karena dimarahi seperti apa pun dia
tetap tertawa. Dan tetap menarik!
Entah apanya yang mulai menarik hati Arini.
Ketampanan wajahnya? Kegagahannya? Sosok
yang selalu mengingatkannya kepada seorang
laki-laki yang pernah dikaguminya dicintainya Tetapi sekaligus perasaan yang membuatnya
gelisah. Cemas.
Karena semakin dekat mereka, semakin tertarik
Arini kepadanya, dia malah menjadi semakin
takut!
"Mau menemani saya ke Heidelberg?"
"Kenapa saya harus menemanimu?"
"Karena kita sama-sama tidak punya teman."
"Dan kamu tidak punya uang!"
"Bahasa Jermanmu bagus. Kamu pasti bisa jadi
guide saya."
"Memang kamu berani bayar berapa?"
"Seikat bunga lagi?"
"Yang kamu beli dengan uang saya?"
"Kamu biasa sesinis ini? Pantas kamu nggak
punya teman!"
"Siapa bilang? Teman saya banyak!"
pustaka-indo.blogspot.com
79 "Saya tidak percaya. Paling-paling temanmu
tante gemuk tadi! Dia mau meminjamkan mobilnya?"
"Untuk apa meminjam mobilnya?"
"Keponakanmu baru datang dari Jakarta,
kan?"
"Kalau kopimu sudah habis, lebih baik kamu
cepat-cepat pergi sebelum diusir."
"Saya ingin mengajakmu ke Heidelberg."
"Untuk apa? Saya sudah tiga kali ke sana."
"Anggap saja menemani keponakanmu."
"Malas."
"Juga kalau ada kemungkinan kita tidak akan
bertemu lagi?"
"Apa ruginya untuk saya?"
"Kamu tidak merasa kehilangan?"
"Haruskah saya merasa kehilangan?"
"Itu yang membuat kamu tidak punya teman!
Kamu sengaja menutup diri. Atau pura-pura tidak membutuhkan orang lain! Pemakamanmu
nanti pasti sepi!"
pustaka-indo.blogspot.com
80 KASTIL HEIDELBERG terletak di lereng bukit
yang indah. Dari sana orang bisa melihat ke
bawah, ke kota Heidelberg yang dibelah oleh
Sungai Neckar.
Arini sudah tiga kali ke sana. Seorang diri.
Dan sudah tidak mau ke sana lagi, kalau bukan
karena Nick.
Kata-katanya yang terakhir mungkin bernada
main-main. Kapan dia pernah tidak bercanda?
Pemakamanmu nanti pasti sepi!
Arini tidak takut kesepian di kuburan. Di
mana-mana kuburan pasti sepi. Mayat tidak perlu
teman lagi.
Tetapi justru kata-kata Nick sebelumnya yang
menusuk hati Arini. Tepat di sasaran.
Kamu sengaja menutup diri. Atau pura-pura tidak
membutuhkan orang lain!
Kehadiran Nick telah membuka mata Arini.
9 pustaka-indo.blogspot.com
81 Dia membutuhkan orang lain. Paling tidak untuk
mengusir kesepian.
Liburannya masih seminggu lagi. Dan dia
sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa selain memborong buku dan melahapnya sampai
habis. Seorang diri. Di apartemennya.
Sekarang dia punya kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. Apa salahnya berjalanjalan dengan seorang pemuda yang pantas jadi
keponakannya?
Nick sudah membuktikan sebenarnya kalau
sudah kenal, dia tidak terlalu konyol lagi. Memang kocak. Selalu bercanda. Tetapi apa salahnya? Itu memang yang dicari orang untuk meng

Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usir kesepian, kan?
Jadi pada saat terakhir Arini memutuskan
untuk ikut. Dan di sinilah mereka sekarang. Di
Kastil Heidelberg.
Nick masih tetap sesantai biasa. Dia tidak canggung membimbing tangan Arini mendaki tujuh
belas anak tangga yang dilatarbelakangi dinding
batu merah dari abad-abad yang telah silam.
"Capek?" Nick tersenyum tipis ketika didengarnya napas Arini telah memburu. "Mau time-out
dulu?"
"Siapa bilang? Kalau cuma soal jalan kaki,
saya tidak takut adu napas dengan anak muda
seumurmu!"
Nick tertawa riang. Ditariknya tangan Arini.
Begitu mendadak sampai Arini yang tidak menduga terhuyung-huyung ke depan.
Tanpa memberikan kesempatan kepadanya
pustaka-indo.blogspot.com
82 untuk menarik napas lagi, Nick menyeretnya setengah berlari melintasi lapangan rumput yang
mengelilingi kastil tua itu.
"Mau ke mana?" desah Arini dengan napas
terengah-engah.
"Menantangmu adu napas!"
"Kamu gila!"
"Menyerah?"
"Kepadamu?" belalak Arini penasaran dengan
dada kembang-kempis.
"Lihat tangga di depan sana?" gurau Nick
gembira. "Masih kuat lari ke atas?"
Tangga itu menuju ke jalanan tempat parkir
mobil. Tanpa menghitung pun Arini sudah tahu,
jumlahnya tidak kurang dari lima puluh!
Dia juga tahu, napasnya tidak akan cukup
untuk sampai ke atas. Sekarang saja dadanya
sudah hampir meledak!
Hidungnya kembang-kempis menghirup udara.
Tetapi paru-parunya masih megap-megap juga.
Umur rupanya tidak bisa dibohongi!
"Istirahat dulu!" pinta Arini sambil menghentikan langkahnya.
"Nyerah?" Nick tertawa-tawa sambil terus berlari.
Tangan Arini masih digenggamnya erat-erat
sehingga mau tak mau Arini terpaksa ikut berlari.
"Berhenti dulu!" teriak Arini kewalahan. Tubuhnya sudah sempoyongan. Langkahnya tidak
seimbang lagi. "Jantungku hampir putus!"
Tawa Nick meledak hebat. Djatuhkannya tupustaka-indo.blogspot.com
83 buhnya ke atas rumput. Begitu mendadak sampai
Arini ikut jatuh terduduk. Untung di sampingnya.
Bukan di atas tubuh Nick.
"Capek?"
"Hampir mati!"
Arini menarik napas dalam-dalam. Mengisi
paru-parunya sepenuh-penuhnya dengan udara.
Dipejamkannya matanya rapat-rapat.
Jantungnya memukul begitu keras. Begitu
cepat. Barangkali sudah lama jantungnya tidak
pernah dipacu seberat ini. Dan sekarang dia
sedang melancarkan protes keras. Mungkin juga
ancaman. Mogok kerja.
Keringat mengalir membasahi wajah dan tubuhnya. Padahal sudah lama Arini tidak pernah
mengeluarkan peluh sebanyak ini. Rasanya
darahnya mengalir lebih cepat. Lebih-lebih tatkala
Nick menyusut keringat di dahinya. Dengan
sehelai tisu. Tanpa permisi.
Arini membuka matanya dan menyingkirkan
tangan Nick. Dia merasa jengah. Sudah berapa
lama tidak ada yang berani menyentuh wajahnya? Sekarang anak muda ini
Tetapi Nick mungkin tidak bermaksud apaapa. Dia hanya ingin berbaik hati. Lihat saja bagaimana cara pemuda itu memandanginya.
Wajahnya begitu dekat. Sampai Arini bisa melihat
langsung ke dalam matanya.
Mata yang selalu tersenyum itu begitu bening.
Sorotnya begitu menyejukkan. Tulus tanpa dosa.
Polos kekanak-kanakan.
Tetapi mengapa ketika tatapan mereka saling
pustaka-indo.blogspot.com
84 bertaut, Arini merasa dadanya berdebar aneh?
Degup jantungnya bukan lagi menyatakan protes.
Jantung itu berdebar mengikuti irama yang lain
yang amat berbeda.
Astaga, pikir Arini resah. Sakit apa aku? Mengapa aku jadi begini?
Dia ingin memalingkan mukanya. Ingin menghindari tatapan yang membuatnya serbasalah itu.
Tetapi mengapa matanya tak mau berpaling
juga?
Bahkan ketika Nick menggenggam tangannya,
ketika perlahan-lahan sorot mata yang selalu tersenyum itu berubah menjadi amat lembut, Arini
tak mampu juga memindahkan tatapannya.
?? Ada apa dengan diriku?
Pikiran itu tak mau hilang juga dari kepala
Arini. Mengapa dia jadi bersikap seperti remaja
lagi?
Hanya sekali dalam hidupnya dia bersikap
seperti ini. Ketika Helmi datang dalam kehidupannya. Ketika dia sedang jatuh cinta!
Tidak mungkin, bantah Arini kaget, ketika kesadaran itu menyentakkannya. Tidak mungkin!
Umur Nick pasti baru dua puluhan! Dia jauh
lebih muda! Dia pantas jadi keponakanku!
Nick sendiri tidak berubah. Dia tetap sesantai
dan sekocak biasa. Dan dia tidak meladeni permintaan Arini untuk pulang.
pustaka-indo.blogspot.com
85 Setelah menikmati makan siang singkat dengan
sepotong hot dog dan sekaleng sot drink, mereka
menuju Wurzburg. Sebuah kota kecil yang tenang
di tepi Sungai Main.
Tidak banyak turis di sana. Padahal Festung
Marienburg, benteng tua yang terletak di atas
bukit di pinggir kota Wurzburg, tampil begitu
antik dan agung.
Lebih-lebih kala senja mulai turun menyelubungi kota. Pemandangan dari tembok benteng
ke panorama yang terhampar jauh di bawah sana
sungguh mencekam.
Sungai Main yang mengalir tenang seperti
mampu meredakan keresahan hati Arini. Setelah
berada di kota tua yang sepi dan damai itu,
Arini malah tidak ingin pulang ke Stutgart. Karena dia takut, berada seorang diri di apartemennya malah membuat pikirannya semakin kalut.
Dia tidak menolak ketika Nick mengajak
berwisata ke istana residen. Tetapi ketika melihat
taman di depan istana itu, ingatannya justru melayang ke sebuah taman di Versailles dan
bayangan yang memuakkan itu kembali tampil
di depan matanya.
"Ada apa?" tanya Nick yang tak pernah lepas
memperhatikannya. Dilihatnya Arini tiba-tiba menekuk parasnya seperti mau muntah. "Hamil,
ya?"
Arini tidak menjawab.
Lengan Nick kini naik melingkari bahunya.
Bukan hanya menggenggam tangannya. Dia membawa Arini menelusuri lorong gelap berpagar
pustaka-indo.blogspot.com
8 dan beratapkan tanaman rimbun yang membuat
jalan setapak itu menjadi semakin romantis.
Dan ketika merasa untuk pertama kalinya
Arini tidak menolak dirangkul, Nick merasa heran sekaligus gembira.
Dia tidak menyangka, Arini bukan sedang menikmati sensasi indah yang dibisikkan oleh
gemeresiknya dedaunan di sekeliling mereka.
Arini justru sedang mengenang sebuah taman
lain di Paris. Ketika tangan lelaki pertama yang
pernah dicintainya merangkul tubuhnya dengan
hangat.
Itulah permulaannya. Karena selama seminggu
setelah menjadi istrinya di Jakarta, Helmi tidak
pernah menyentuhnya. Arini masih tetap perawan seminggu setelah pernikahannya.
Mula-mula dia mengira Helmi sakit. Impoten.
Atau entahlah penyakit kelainan seksual apa lagi.
Pokoknya lelaki yang tidak bisa menggauli perempuan.
Arini tidak berani menanyakannya meskipun
sebenarnya dia berhak. Dia diam saja. Membisu
dalam kekecewaan. Padahal setiap malam sejak
malam pertama, dia resah menunggu sentuhan
suaminya.
Ingin dia bertanya kepada Ira. Tetapi selalu
dibatalkannya kembali. Ditindasnya keinginan
itu. Apa pun yang menimpa Helmi, Arini tidak
mau memberi malu suaminya. Di depan sahabat
karibnya sekalipun.
Mereka boleh teman akrab. Tetapi tidak semua
rahasia perkawinan boleh dibocorkan.
pustaka-indo.blogspot.com
87 Jadi ketika di Paris sikap Helmi mulai berubah,
Arini mulai menaruh harapan. Dan permulaannya
memang di Versailles. Ketika sambil bergandengan tangan, belakangan malah Helmi merangkul
bahunya, mereka menelusuri taman yang indah
itu. Dari sana mereka menikmati makan malam yang
sangat romantis di Lido sambil minum sampanye
dan menikmati show yang menggugah gairah.
Entah karena pengaruh show itu, entah karena
pengaruh alkohol, Helmi tampak sangat terangsang. Tentu saja Arini tidak tahu, sebenarnya
bukan dirinya yang dibayangkan Helmi.
Helmi sedang membayangkan Ira.
Ira-lah yang berada dalam pelukannya ketika
sambil berangkulan mereka menuju ke kamar
mereka di hotel. Ira pula yang berada dalam
benak Helmi ketika dia sedang mendekap perempuan itu dengan hangat dan melucuti pakaiannya dengan ganas.
Arini tidak sempat mengenakan baju tidurnya
yang baru siang tadi dibelinya di Champs?lys?es. Padahal gaun tidur sutra bertali spageti
berwarna hitam itu sangat merangsang. Arini
sudah tergoda untuk membelinya begitu melihatnya. Hanya saja sesudah membeli dia ragu apakah dia berani memakainya, biarpun hanya di
depan suaminya sendiri.
Helmi begitu bergairah memeluknya. Menciumnya. Meremasnya sampai Arini terengah-engah
menahan emosinya. Dia harus menggigit bibirnya
agar tidak mengerang. Bahkan tidak mendesah.
pustaka-indo.blogspot.com
88 Karena Arini takut dicela suaminya. Tentu saja
dia tidak tahu, kadang-kadang dalam suasana
seperti itu, desahan bahkan jeritan kadangkadang malah dibutuhkan.
Seperti harimau yang baru menemukan mangsa setelah seminggu kelaparan, Helmi langsung
merenggut apa yang tersaji di hadapannya.
Tentu saja Arini tidak pernah berpikir, Helmi
memang sudah seminggu tidak melampiaskan
gairahnya pada Ira. Karena di rumahnya sekarang
ada Arini. Dan mereka tidak berani pergi ke
hotel.
Tetapi apa pun yang dilakukan Helmi, bagaimanapun cara melakukannya, malam itu Arini
mendapat pengalaman baru yang sangat indah.
Dia tidak mengira akan memperoleh sajian yang
begitu nikmat dari suaminya. Ternyata suaminya
tidak sakit!
Suaminya yang gagah itu malah tampil sangat
luar biasa. Kuat. Menguasai.
Arini tidak tahu apakah lelaki lain sehebat
suaminya di atas ranjang. Tetapi ini pasti suguhan yang paling hebat dan tak terduga untuk
perempuan lugu seperti Arini. Saking tergugahnya air mata Arini sampai meleleh ketika semuanya sudah selesai. Dan mereka sama-sama
terkapar dalam kepuasan.
Arini sangat mengagumi tubuh suaminya yang
baru pertama kali itu dilihatnya dalam keadaan


Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telanjang. Sebenarnya bukan Arini yang membuka bajunya. Helmi melepaskan sendiri pakaiannya. Arini mana berani!
pustaka-indo.blogspot.com
89 Tetapi ketika tubuh Helmi yang kokoh itu
tergolek di sisinya, terbuka bermandikan keringat, Arini begitu mengaguminya sampai dia
sangat ingin menyentuhnya. Merabanya. Membelainya. Kalau saja dia berani!
Tetapi karena dia tidak berani, dia hanya mampu mencuri-curi lihat dari balik bulu matanya
yang basah berair mata.
Hidup sudah menyajikan berbagai kejutan
yang amat manis belakangan ini. Kejutan yang
beberapa bulan yang lalu tidak pernah dibayangkan Arini.
Mula-mula muncul seorang laki-laki gagah dalam kehidupannya. Pemuda tampan yang dibawa
Ira, sahabatnya sejak kecil.
Hanya tiga bulan berkencan, Helmi melamarnya. Padahal pada pertemuan terakhir, Arini mengira dia tidak akan pernah melihat laki-laki itu
lagi.
Helmi begitu misterius. Agak dingin. Selalu
menjaga jarak. Entah mengapa tiba-tiba dia datang melamar! Helmi memang selalu tak terduga.
Seperti malam ini.
Setelah seminggu seperti tidak berminat menggauli istrinya, malam ini dia tampil ganas tak
tertahankan.
Bukan itu saja.
Lama setelah berbaring bersebelahan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, Helmi meraih
bungkusan rokoknya. Dia mengambil sebatang
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Astrella Oh Yeaah.. Ouwh Yeeeaah.. Karya Belut.gawir

Cari Blog Ini