Ceritasilat Novel Online

Pendekar Majapahit 1

Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo Bagian 1


Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para
pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media
diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari
kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesuai kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari
buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor E-BookP E N D E K A R M A J A P A H I T
INDRA - SAMBADA
Jilid 1
Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO
Gambar : OYI SOEDOMO
Penerbit : SINTA - RISKAN
Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya
Image Source : Awie Dermawan
Convert by : Eddy Z
Jan 2019, Kolektor - Ebook
U N T U K K U S E N D I R I
Ku tulis apa yang dapat ku khayalkan,
Ku susun apa yang dapat ku rangkaikan,
Namun kemampuanku terbatas,
Kadang ? kadang tanganku berhenti,
Tak mau mengikuti kata hati.
Kini aku menyerah,
hanya inilah yang dapat kupersembahkan,
sekalipun hanya merupakan sejimpit garam,
yang segera larut di Samora tak berbekas.
Untukku, anak isteriku tersayang,
dan untukmu, yang selau rindu akan hiburan.
B A G I A N
I Dialun-alun Kepatihan di Kota Raja nampak banyak Tamtama hilir mudik menunjukkan kesibukan
yang lain dari pada hari biasanya. Kereta-kereta para senopati Manggala Tamtama kelihatan berhenti
berderet-deret didepan samping Istana. Para Tamtama pengawal penjaga keamanan Istana Kepatihan,
semua siap siaga, berdiri tegak berjajar rapat merupakan barisan penghormatan didepan pura Pintu
gerbang lstana Kepatihan. Pada hari itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan mengadakan
pasewakan paripurna di Istana Kepatihan, yang dihadiri oleh Sang Senopati Manggala Yudha, lengkap
beserta Catur Tunggal. Senopati Muda Manggala Tam tama Samudra, Senopati Muda Manggala
Tamtam, Darat, Se-nopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja dan tidak ketinggalan Senopati
Muda Manggala Narapraja Gusti Pangeran Pekik.
Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama pengawal Raja hadir pula untuk mendampingi Sang
Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana. Gus ti Adityawardhana adalah
berasal dari tanah Melayu, tetapi sejak usia belasan tahun beliau telah mengabdi dikerajaan Majapahit.
Beliau saudara sepupu dengan Pangeran Adityawarman, ialah konon dalam ceritera sejarah
Pangeran Adityawarman, adalah sahabat karib daripada Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada. Pangeran
Adityawarman juga memegang jabatan tinggi di Majapahit hingga berusia 46 tahun. Baginda Maharaja
Majapahit berkenan mengangkat Pangeran Adityawarman sebagai wakil berkuasa penuh ditanah
Melaju, dan kemudian beliau bergelar Raja. Semula beliau hanya menguasai Jambi, kemudian meluas
dan pusat kekuasaannya berpindah dekat Pagaruyung di Minangkabau. Pada akhir abad ke XIV beliau
bersama-sama dengan pasukan Majapahit berhasil menghancurkan keradjaan Sriwidjaja. Kemudian
tanah Melayu menjadi Negeri sejajar dengan Negeri-negeri sahabat yang lazim disebut "Mitreka Satata",
walaupun merupakan daerah Nuswantara yang di naungi atau discbut Kabaca.
Dalam Pasewakan paripurna itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan memberikan keterangan
tentang adanya gerombolan besar bajak laut yang terdiri dari bangsa Cina dan kini mengganas
melakukan pcmbajakan-pembajakan disepanjang selat Karimata hingga disepanjang laut Jawa. Bukan
hanya perahu-perahu nelayan dan perahu perahu dagang yang dirampoknya, bahkan perahu-perahu
dari kerajaan Kota Waringin yang memuat barang-barang antaran bulubhakti untuk Sri Baginda
Maharaja dibajaknya pula. Dari hasil karya Tamtama Nara Sandi. yang dipimpin oleh Tumenggung
Cakrawirya mendapat penjelasan, bahwa gerombolan bajak laut itu barsarang di Pontianak, sebuah kota
dipantai Pulau Tanjung puri bagian Selatan, pantai sebelah utara selat Karimata.
Orang-orang pribumi daerah itu dirampok harta kekayayaannya, dan kemudian diusir dari daerah itu.
Kalimantan Barat kekuatan gerombolan bajak laut diperkirakan kurang lebih 1000 orang jumlahnya
belum terbitung jumlah anggauta keluarganya. Mereka adalah terdiri daripada bekas Tamtama
samudera Kerajaan Cina yang memberontak dan kemudian melarikan diri dari Kerajaan Cina. Karena
tidak berani kembali kenegeri asalnya, mereka bergabung menjadi satu merupakan gerombolan besar
dan membajak dilautan. Dengan mengarungi laut Cina Sclatan mereka menyusuri pantai Malaka menuju
bandar Singgapura dari kerajaan Sembilan Negeri, dan kemudian menyeberangi laut Cina Selatan,melintasi selat Karimata untuk kemudian tiba dan menetap di Pontianak. Hingga kini mereka
mempertahankan diri bersarang tetap dan menguasai daerah Pontianak dan sekitarnya.
Telah dua kali Kerajaan Kota Waringin mengadakan serangan langsung ke Pontianak tapi tak berhasil
menun dukkan.
Oleh Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada dijelaskan pula, bahwa kegagalan serangan dari Kerajaan
7 Kota Waringin dikarenakan kurang telitinya memperhitungkan kekuatan lawan. Serta siasat-siasat
penyerangan yang kurang sempurna.
Disamping memperhitungkan jumlah kekuatan lawan, seharusnya diperhitungkan pula daja kekuatan
dalam krida yudha perseorangan dari fihak lawan, jang ternyata mereka adalah sebahagian besar terdiri
dari bekas Tamtama pula. Pun tempat kedudukan dari fihak lawan harus mendapat perhatian, dalam
waktu mengadakan serangan.
Selesai Sang Patih Mangkubumi Gadjah Mada memberikan keterangan yang panjang lebar, mengenai
gerombolan bajak laut yang bersarang di Pontianak itu. Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra
segera membeberkan peta bumi dari daerah yang menjadi tujuan sasaran akan penyerangan.
Beliau memberikan penjelasan-penjelasan mengenai tempa pertahanan lawan serta keadaan alam
dari daerah sekitarnya. Untuk tidak mengalami kegagalan, maka oleh Sang Senopati Manggala Yuda
Gusti Harja Banendra diputuskan, penyerangan dilakukan dari pantai dan daratan pedalaman.
Tamtama Samudra sebagai penyerang dari pantai di pimpin oleh Sang Senopati Muda Manggala
Tamtama Samudra Gusti Baratarajasa, Scdangkan penyerang dari daratan pedalaman dilakukan oleh
Tamtama darat terpilih sebanyak 1000 orang dipimpin oleh Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja,
Tumenggung Indra Sambada, dengan dibantu oleh Tumenggung Cakrawirya dari tamtama Nara Sandi,
yang telah mengetahui dan menguasai keadaan daerah lawan.
Disamping itu diharapkan pula datangnya bala bantuan Tamtama beserta tambahan perbekalan dari
Kerajaan Kota Waringin yang akan langsung menggabung pada saat dan tempat yang ditentukan. Hari
penyerangan penumpasan geromlolan bajak laut telah pula ditentukan, ialah pada malam pertama,
bulan purnama, duapuluh hari lagi. Setelah perintah-perintah dengan penjelasannya diterima oleh para
Manggala dengan saksama, maka pasewakan paripurna segera dibubarkan.
Dalam berjalan berdampingan, Sang Senopati Mucla Manggala Tamtama pengawal Radja menepuk
bahu Tumenggung Indra Sambada, seraya berkata : ? Dimas Tumenggung Indra ! Tunjukkan sekali lagi
akan kemampuanmu menjunjung titah Gusti Patih dalam menunaikan tugasmu, dan pertahankanlah
nama gelarmu. "Banteng Majapahit". Aku percaya penuh akan berhasilnya dengan gemilang.------ Kesempatan untuk menunjukkan dharmabakti hamba ini, tak akan hamba sia-siakan. Hanya doa
restu Gusti Senopati supaya menyertai hamba. ? Indra Sambada menjawab dengan singkat.
Kini masing-masing diliputi oleh kesibukan kearah persiapan untuk melaksanakan tugas. Dalam
kesibukan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya itu. Indra Sambada
terkenang kembali akan riwayat dirinya.*
* * B A G I A N : II
M A T A H A R I telah condong kearah Barat, mendekati Cakrawala. Cahaja kemerah-merahan dan
cemerlang cerah menyinari buana, menandakan bahwa hari telah hampir senja, yang sebentar lagi akan
berganti dengan sang malam.
Seorang pemuda berwajah tampan, berbadan tegap dan berpakaian sebagai seorang saudagar kaya,
sedang menuntun kudanya, memasuki halaman sebuah rumah makan yang besar, didekat bandar
pelabuhan Surabaja. Ia bercelana sutra biru de gan kain sarung sulaman beraneka warna yang dilipat
setinggi lututnya, sedangkan sehelai sutra kuning melintasi pundak dan menutup dadanya yang bidang,
sebagai bajunya. Rambutnya berombak, terurai sampai dipundaknya, dan didahinya melingkar pita
berwarna merah tua, selebar tiga jari, sebagai ikat kepalanya.
Dipinggang kiri, tergantung sebuah keris berwarangka emas murni dengan bertakhtakan berlian,
sedangkan dipinggang sebelah kanan tergantung sebuah kantong, yang terbuat dari kulit sampi yang
halus, selebar kira-kira satu jengkal. Dipergelangan tangan kirinya yang kekar, terlihat memakai sebuah
gelang akar bahar hitam mengkilat.
Setelah menambatkan kudanya yang kelihatan letih sekali, dan memperbaiki letak bajunya jang kusut,
dengan tenang ia melangkahkan kakinya menuju langsung memasuki ruangan makan jang lebar itu. Ia
menganggukkan kepalanya, sebagai tanda memberi hormat kepada para tamu lainnya yang sedang
makan, dan mengambil tempat kosong disuatu ruang makan tersebut. Dengan tenang ia menarik kursi,
dan segera duduk menghadap meja didepannya.
Pelayan rumah makan segera mengantarkan dengan hormat dan sopan, makanan dan minuman yang
telah dipesannya. Tangp menghiraukan sekitarnya, ia mula makan hidangan yang disajikan didepannya
dengan lahap sekali, seolah - olah telah lama ia menahan lapar.
Sedang ia asyik makan, tiba-tiba seorang tamu yang duduk jauh disudut depannya, berteriak
mengaduh dan jatuh tersungkur dilantai dengan berlumuran darah.
Sebatang belati menancap dibahu kiri sebelah belakang orang itu.
-- Indra Sambada terpaksa berhenti makan, dan dengan matanya yang tajam ia mengikuti kejadian
yang tiba tiba itu. Keributan segera terjadi diruang rumah makan tersebut. Seorang tamu berpakaian
sebagai orang bangsawan, bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih 40 tahun, menyerang dengan
tinjunya, kearah scorang tamu lain, yang ternyata adalah orang yang melemparkan pisau belati tadi.
Melihat pakaian dan roman mukanya orang yang diserang oleh bangsawan itu adalah orang asing.
Matanya sipit, warna kulitnya kuning ke-merah-merahan, kepalanya gundul.
Ia berkumis panjang, tetapi tipis dan jarang. Bentuk badannya gemuk pendek. Dari pakaiannya yang
menyelubungi badannya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pelaut Cina. Ia adalah scorang Cina
yang datang dengan kapal, dibandar Surabaya.
? Serangan tinju dari seorang bangsawan yang tiba-tiba dapat dielakkan oleh si orang Cina tadi,
dengan tangkas dan mengagumkan. Ia mengelakkan pukulan tinju yang berbahaja, hanya denganmemiringkan badan dan menundukan kepalanya, dengan masih tetap dalam sikap duduk, tidak bergeser
sedikitpun.
Pada saat tinju sibargsawan jatuh pada sasaran kosong, tangan kiri si Cina secepat kilat menjulur,
untuk menangkap pergelangan tangan lawan.
Si bangsawan yang mempunyai kemahiran dan pengalaman luas dalam ilmu perkelahian, segera
menarik tinjunya dengan cepat, dan membuka kepalan tangannya, untuk kemudian dirobah menjadi
gaya tebangan, tertuju kearah tengkuknya si orang Cina tadi.
Perobahan serangan itu sangat cepat hingga tidak mungkin dapat dielakkan untuk kedua kalinya.
Karena lawan yang dihadapinya, berada dalam posisi duduk dikursi. Tetapi sebelum pukulan tebangan sampai pada sasarannya,
bangsawan tadi tclah jatuh berguling dilantai, dengan tangan kanan erat menekan pada perutnya sendiri
sebelah kiri, menahan rasa sakitnya karena terkena tendangan kaki yang dilancarkan oleh si-Cina.
Para tamu tain yang tidak mau terlibat dalam perkelahian, segera meninggalkan rumah makan itu,
sedangkan pemilik rumah makan berteriak minta tolong pada orang-orang yang berada dijalan besar
dengan maksud untuk menghentikan perkelahian tadi. Tetapi kiranya teriakan tadi sia-sia belaka, piringpring, gelas dan lain-lain yang masih berisikan hidangan makanan, yang berada diatas meja dihadapan
orang Cina, jatuh berantakan pecah dilantai.lndra Sambada masih tetap berada dikursinya, mengawasi jalannya perkelahian dengan seksarna.
Tetapi ia belum berani untuk campur tangan. Dalam otaknya berkecamuk ber-tubi-tubi pertanyaan.
Apakah sebenarnya latar belakarg dari perkelahian itu?. Semuanya tidak mampu ia menjawabnya. Sebab
musabab dari perkelahian itupun ia tidak mengetahuinya.
Kini ia bernafsu besar ingin mengetahui peristiwa kejadian yang berada di hadapannya itu. Pada saat
lndra Sambada masih terbenam dalam angan-angan yang penuh dengan pertanyaan, si orang
bangsawan yang jatuh berguling dilantai, telah bangkit kembali, dengan menggenggam keris terhunus
ditangannya. la bangkit berdiri dengan berteriak lantang:
- - Bangsat bajak laut Cina! serahkan dirimu, bila kau masih ingm hidup! ? Siorang Cina menjawab
dengan nada teriakan pula, tetapi dalam bahasanya sendiri, yang tidak dapat dimengerti oleh Indra
Sembada. Tetapi jelas menunjukkan gerakan untuk melawan, karena ternyata tangan kanannya cepat
menghunus pisau belati yang panjangnya kurang lebih dua jengkal dan berdiri tegak, siap menghadapi
segala kemungkinan serangan-serangan yang datang dari lawannya.
Pada waktu yang bersamaan itu, orang yang jatuh tersungkur dengan berlumuran darah telah bangkit
pula. Dengan tangan kanannya mendekap bahu kiri yang terluka tadi, ia lari menuju ke-pintu, yang
merupakan satu-satunya jalan keluar dari rumah makan itu. Ia berdiri di-tengah-tengah pintu dengan
maksud untuk hadang siorang Cina.
? Tuanku Tumenggung Cakrawirya ! Bangsat Cina itu jangan diberi kesempatan untuk meloloskan
diri!, demikian ia berkata tertuju kepada si bangsawan tadi. ? Kita tidak perlu mendengarkan katakatanya yang kita tidak tahu artinya itu. Tetapi terang sudah, bangsat itu, adalah pengawal pribadi dari
pemimpin bajak laut yang merampas barang-barang antaran dari Kota Waringin untuk Gusti Sri
Baginda.?
? Durpada ! Jaga pintu keluar l?sahut bangsawan tadi dengan kata memerintah kepada orang yang
terluka pada bahu kirinya. Belum sempat Durpada menjawab si Cina menerjang kearah Durpada dengan
maksud hendak lari keluar. Tetapi dengan langkah yang tidak kurang cepatnya, Bupati Tamtama
Cakrawirya menyerang kearah punggung si Cina dengan keris yang terhunus. Dengan tangkas orang Cina
tadi membalikkan badannya, untuk menghadapi menyambut serangan yang datang dari belakang,
dengan sabetan pisau belatinya yang tepat mengenai ibu jari tangan kanan Bupati Cakrawirya. Sabetan
pisau belati yang tepat pada sasarannya, masih disusul pula dengan serangan tendangan kaki kearah
perut Cakrawirya. Keris terpental lepas dari tangan Bupati Cakrawirya dan terlempar dua langkah lebih,
jatuh dilantai. Bupati Cakrawirya terperanjat dan segera meloncat kebelakang dua langkah, untuk
menghindari serangan tendangan yang dilancarkan oleh si Cina.
Tetapi apa daya. Si Cina menerjang maju dan melancarkan serangan dengan pisau belatinya ber-tubitubi. Ia merangsang maju terus kedepan menerjang lawannya. Gaya tusukan dalam sekejap mata
berrobah-robah menjadi sabetan tebangan kearah pinggang kanan kiri dan kembali lagi merupakan
gerak tusukan kearah ulu hati. Kini Cakrawirya kelihatan terdesak dan tidak berdaya. Hanya kelincahan
geraknya yang dapat menolong jiwanya. la menghindari serangan dengan meloncat kesamping kanan
dan kekiri, serta surut ke belakang. Tiba-tiba kaki si Cina melontarkan tendangan-tendangan berangkai
kearah lambung Cakrawirya.
Kaki si Cina tadi se-olah-olah merupakan baling-baling, silih berganti melontarkan serangan
tendangan yang berbahaja. Serangan tendangan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak diduga oleh
Cakrawirya. Sungguhpun Cakrawirya adalah seorang Tarntama yang berpangkat Bupati dengan sebutanTumenggung Tamtama dari Pasakan Nara Sandi yang mempunyai pengalaman luas pula dalam pelbagai
macam pertempuran, tetapi setelah keris pusakanya lepas terlempar dari genggamannya bahkan ibu jari
tangan kanannya putus terbabat, ia kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan demikian dalam
menghadapi lawan yang tangguh itu, kini ia tidak berdaya sama sekali. Senjata lain ia tidak
membawanya. Satu-satunya harapan, ialah bantuan dari Lurah Tamtama Durpada, tetapi ini tidak
mungkin membawa perobahan yang menguntungkan baginya, karena disamping Durpada terluka pada
bahunya, pun diketahui, bahwa ia tidak membawa senjata apapun. Dengan demikian harapan satusatunya ini pun telah lenyap dari angan-angannya. Tidak heranlah, apabila ia terdesak dalam keadaan
yang membahayakan jiwanya.
Kursi-kursi dan meja-meja telah terserak berak karena keterjang, baik oleh Cakrawirya maupun oleh
siorang Cina tadi. Jarak antara tempat perkelahian dengan tempat duduknya Indra Sambada, kini tinggal
lima langkah lagi. Indra Sambada melihat jelas, bahwa wajah Cakrawirya pucat pasi, menunjukkan rasa
putus harapan. Setelah Indra Sambada mengetahui sepintas lalu persoalan perkelahian, walaupun
belum jelas keseluruhannya, ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Cakrawirya dan Durpada adalah
hamba petugas kerajaan, sedangkan Cina itu adalah salah satu anggauta bajak laut yang sedang di intai
oleh hamba petugas Tamtama nara sandi kerajaan.
Orang Cina yang sedang melancarkan serangan tendangan yang hampir mengenai tepat pada
sasarannya, tiba-tiba berteriak kesakitan dan jatuh duduk, untuk tidak dapat berdiri lagi. Tepat dibawah
kedua lututnya tertancap masing-masing sebuah pisau kecil yang lazimnya disebut taji. Tusukan kedua
buah taji tadi tepat mengenai urat besar yang menggunakan telapak kakinya. Tidak heran, apabila
siorang cina segera jatuh dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Melihat, bahwa orang cina jatuh duduk
dilantai dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Durpada segera menutup pintu dan menguncinya dari
dalam. Dengan mudah si cina diringkus dan diikat kedua belah tangannya kebelakang.
Cakrawirya masih juga ternganga, melihat jatuhnya si orang cina tadi. la hampir tidak percaya pada
apa yang dilihatnya sendiri. Pertolongan yang tiba-tiba dari seorang saudagar yang duduk disudut, dapat
dikatakan, mengembalikan jiwanya yang hampir melayang menuju ke alam Baka. Lernparan tajinya beruntun yang sekaligus ke dua-dua2nya
tepat pada sasarannya yang dituju, adalah merupakan kejadian yang ia tidak pernah menyaksikan
sebelumnya, dengan mata kepalanya sendiri. Baru sekaranglah ia percaya, bahwa orang yang demikian
mahirnya dalam ilmu pelemparan taji itu, sebenarnya ada. Bahkan menolong jiwanya pada saat ia
hampir menyerahkannya. Dan kini orang itu berdiri dihadapannya.
? Saudara saudagar penolong! ? tanyanya Cakrawirya kepada Indra Sambada. ? Siapakah nama
dan gelar saudara? Kami berdua sebagai hamba petugas kerajaan, menyampaikan terima kasih kita yang
tidak terhingga. Demikianlah Cakrawirya mulai berkata.
Dengan tenang Indra Sambada mendekati Cakrawirya, serta menjawab dengan sopan dan sikap
merendah. -- Perkenankanlah saya berkenalan dengan tuan ? sambil membungkukkan badannya - dan
tempat tinggal saya adalah dikota Kebanjaran Agung Bondowoso. Maafkan atas kelancangan saya, akan
keberanian turut campur tangan dalarn urusan tuan. ---Ah, bukan pada tempatnya saudara minta maaf kepada saya. Bahkan pertolongan saudara ini akan
saya laporkan kepada atasan saya, agar saudara mendapat hadiah yang setimpal ? jawab Cakrawirya
dengan mengulurkan tangan, yang disambutnya oleh Indra Sambada.
? Silahkan duduk untuk bercakap-cakap, agar kita saling lebih mengenal.
Mereka berdua segera mengambil tempat dan duduk berhadap-hadapan, sedangkan Durpada
menyusul kemudian, dan mengambil tempat duduk disebelah Cakrawirya.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? Kenalkan dulu disebelah ini, adalah anak buahku, bernama Durpada lurah Tamtama ? Cakrawirya
berkata. Indra Sambada menganggukkan kepalanya tertuju kepada Durpada yang disambutnya dengan
anggukan kepala pula, sambil bersenyum. ? kemahiran saudara, melempar taji, sangat mengagumkan
kami. Siapakah gelar saudara sebenarnya ? ? tanya Cakrawirya.
--Pujian tuan berlebih-lebih. Sesungguhnya, ketepatan lemparan taji saya tadi, hanya suatu kebetulan
saja.
Dan pula saya hanya seorang hamba biasa, yang tidak mempunyai gelar ataupun pangkat apa-apa.?
Indra Sambada menjawab menjelaskan ? Jika sekiranya tidak mau dipuji, baiklah, akan kita kenang
nama saudara selamanya. ? Tumenggung Cakrawirya melanjutkan bicara.
? Kami berdua, sesungguhnya telah ber-bulanbulan ditugaskan di Surabaya, untuk menangkap salah
satu anggota bajak laut yang berkeliaran di bandar Surabaya. Mereka menurut hasil penyelidikan,
bersarang di daerah Kerajaan Kota-waringin, dan orang Cina itu, adalah salah satu anggotanya yang kami
pernah jumpai pada setengah tahun berselang di bandar Tuban ? sambil menunjuk dengan jari
telunjuknya kepada si orang Cina, yang telah diikat dan duduk dilantai.
? Maka dengan demikian, bantuan saudara bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tetapi besar
artinya pula bagi Kerajaan. Hal ini akan kita haturkan langsung kehadapan Gusti Mangkubumi Sang Patih
Gajah Mada di Majapahit, dan sebaiknya kita berangkat bersama-sama malam ini juga, deagan
membawa tawanan Cina itu.
? Kata permintaan Cakrawirya tertuju kepada Indra Sambada itu, diucapkan dengan kesungguhan
hati, bahkan dengan penuh pengharapan, bahwa permintaan pergi bersama menghadap Sang
Mangkubumi Patih Gajah Mada, tentu akan disambutnya dengan girang. Percakapan terhenti sejenak,
karena pemilik rumah makan dan pelajannya yang sedang sibuk menyiapkan air panas di pinggang dan
kain pembalut luka, atas perintah Lurah Durpada, telah datang untuk mengantarkannya.
Luka-luka Durpada dan luka-luka ibu jari Cakrawirya segera di obati dan dibalutnya.
? Maafkan, tuanku Tumenggung Cakrawirya, ? tiba2 Indra Sambada memecah kesunyian, ?
Bantuan saya yang tidak berarti ini, saya tidak berani mengharapkan hadiah sesuatu. Lagi pula, jika
seandainya saya tidak berkepentingan lain, permintaan tuan untuk bersama sama menghadap Gusti
Tuanku Mangkubumi Sang Patih Gajah Mada sangat mengembirakan. Dan kesempatan yang demikian
ini, bagi saya merupakan hadiah yang besar sekali.
Akan tetapi sungguh menyesal sekali, bahwa saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan tuan
dalam waktu sekarang, karena saya masih harus menyelesaikan sesuatu.Jika diijinkan, perkenankanlah saya minta tempo selama sepekan lagi.? Demikian Indra Sambada
menjawab dengan kerendahan hatinya. Jawaban Indra Sambada itu didasarkan atas dua pertimbangan.
Pertama, ia harus menyerahkan surat dari ayahnya terlebih dahulu yang tertuju kepada Manggala
Yudha Senopati Perang Majapahit, Gusti Harya Banendra yang bergelar " Alap-Alap Ing Ayudha" di
istananya di Mcjoagung. Scclangkan yang kedua, mematuhi pesan ayahnya dan guru pendetanya,
supaya pada waktu menyerahkan surat itu, dapat menghadap seorang diri.
Maka ia perhitungkan sepekan lamanya, baru dapat memenuhi permintaan Cakrawirya untuk pergi
ke Kota Raja. Sesungguhnya, waktu sepekan adalah amat luas bagi Indra Sambada, karena jarak antara
Surabaja dengan Mejoagung dapat ditempuhnya daiam waktu satu hari berkuda. Sedangkan dari
Mojoagung ke Kota Raja dapat ditempuhnya kurang dari setengah hari berkuda.
Setelah Cakrawirya mendengar jawaban Indra Sambada yang wajar, dari jawaban mana dapat ditarik
kesimpulan, bahwa bantuan yang diberikan padanya tidak bermaksud mengharap sesuatu hadiah,
cialatn hatinya ia sa-ngat memuji akan ketinggian budinya.
? Baiklah, jika demikian,? Cakrawirya menyahut ? Tetapi, saya harus berangkat waktu tengah malam
nanti, untuk menyelesaikan tugas kita ini. ?
Sepekan lagi waktu tengah hari, saya akan menjemput kedatangan saudara didepan pintu gerbang pura
Istana Kepatihan di Kota Raja. Hanya sayang terpaksa saya tidak dapat menemani saudara dalam
menyelesaikan urusan saudara itu. Apabila saudara memerlukan sesuatu bantuan berupa ap,pun,
saudara dapat langsung kegedung Kebanjaran Agung Surabaya.
Dengan tidak menunggu jawaban dari Indra Sambada, Cakrawirya memalingkan kepalanya kepada
Lurah Durpada, dan berkata dengan nada memerintah seorang bawahan ? Durpada! kau lekas pergi
sekarang juga menuju kegedung Ke-banjaran Agung, dan sampaikan surat ini. Isinya ialah, minta
bantuan pengawalan secukupnya untuk membawa tawanan ke Kota Raja malam ini juga. Dan yang
kedua, supaya saudara Indra Sambada selama di Surabaya, diperlakukan sebagai tamu punggawa
Narapaja.
Berkata demikian ia sambil menyerahkan sepucuk surat yang baru saja ditulisnya, kepada Durpada
yang berada disampingnya. Setelah ia menerima surat dan memberikan tanda hormat dengan
membungkukkan badannya, maka cepat Lurah Durpada melangkah keluar dari rumah makan itu.
Tidak lama kemudian, delapan punggawa praja berkuda dan bersenjatakan pedang serta panah telah
datang bersama Lurah Durpada. Setelah menyiapkan segala sesuatunya dan ta-wanan Cina yang telah
diikat tangannya dinaikkan kekuda, untuk kemudian diikat erat lagi dengan pelana kuda tadi, maka
segera berangkatlah rombongan berserta tawanan dengan dipimpin oleh Bupati Tamtama Nara Sandi
Cakrawirya dan di-dampingi Lurah Tamtama Durpada.
Dikala itu, telah menjelang tengah malam. Oleh pemilik rumah makan, Indra Sambada dipersilahkan
bermalam dirumahnya, dan disambutnya dengan ramah sekali. Hal ini dikarenakan setelah pemilik
rumah makan mengetahui, bahwa bangsawan yang membikin ribut tadi, adalah seorang Bupati
Tamtama. Lagi pula semua kerugian yang dideritanya telah dibayar, bahkan lebih dari jumlah kerugian
yang semestinya, oleh Bupati Tamtama Cakrawirya tadi.Setelah Indra Sambada berkemas dan masuk kekamar tidur, yang telah diatur sangat rapih, maka
segera ia merebahkan badannya. Kini ia baru merasakan lelahnya. Tetapi meskipun badan merasa
sangat lelah, tidak dapat ia segera tidur. Berulang-ulang ia mencoba memejamkan matanya, tapi
kembali peristiwa yang baru saja terjadi, mengganggu ketenangan perasaannya. Waktu dini hari telah
tiba, belum juga ia dapat memejamkan matanya.
Indra Sambada bangkit dan duduk bersemadi. Selesai bersemadi, kembali ia merebahkan badannya,
dan segera dapat tidur dengan pulas. Waktu ia bangun dan membuka jendela, ia terperanjat karena
waktu telah esok pagi-pagi. Sinar matahari memancar cerah menyilaukan pandangan matanya. Segera ia
bangkit dan keluar menuju kekamar mandi.
Setelah berkemas dan bersemadi sembahyang sebentar, ia keluar untuk melihat kudanya yang
kemarin malam telah di lupakan karena kesibukan yang dihadapi. Tetapi ternyata, kudanyapun telah
mendapat perawatan yang baik oleh rumah makan itu.
Untuk menyingkat waktu, serta untuk menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dikehendaki, maka sengaja ia tidak singgah digedung Kebanjaran Agung Surabaya. Ia langsung berkuda,
menyusuri tebing kearah hulu sungai Brantas menuju ke Mojoagung, setelah mana ia minta diri pada
pemilik rumah makan.
* * * B A G I A N : III
MOJOAGUNG adalah kota yang indah, terkenaI akan kebersihannya dan kemegahan candi-candinya.
Jalan-jalan yang lebar dihiasi dengan pohon rindang dikanan kirinya, melintasi kota silang-menyilang.
Kiranya tepat pula dinamakan Mojoagung, karena kota itu memang kota Tamtama yang indah.
Disepanjang jalan yang dilalui Indra Sambada, selalu ia berjumpa dengan para Tamtama yang sedang
berjalan-jalan secara berkelompok, ataupun secara sendiri-sendiri. Mereka pada umumnya masih muda
remaja.
Pakaian seragam yang serba merah dengan berseret pita putih dilengan dan dicelana sebelah kanan
kirinya, membuat resab dipandangnya. Ada pula yang berpakaian seragam hijau dengan berseret putih,
dan dipinggangnya tergantung sebuah pedang. Ikat kepalanya pita dari sutra putih selebar tiga jari.
Sungguh membanggakan bagi yang melihatnya. Dalam hatinya Indra Sambada memuiji akan kegagahan
para Tamtama Kerajaan itu.
Andaikan kelak ia dapat memimpin Tamtama yang sedemikian perkasanya, alangkah bahagianya --demikian suara bathinnya.
Setelah Indra Sambada tiba di alun-alun, ia langsung menuju ketempat penambatan kuda, untuk
kemudian berjalan kaki kearah Istana Senopaten. Kini ia telah sampai didepan pura pintu gerbang yang
sangat megah.
Didepan pura kanan kiri, berdiri tegak bagaikan patung. Dua Tamtama dengan pedang terhunus,
digenggam erat-erat lurus kemuka, melekat pada badan dengan mata tajamnya kemuka. Dari jauhterlihat diatas pura pintu gerbang, patung burung ?alap-alap" yang sedang mementangkan sayapnya,
sebagai lambang keagungan gelar ,,Alap-alap ing ayudha".
Setelah Indra Sambada memberi hormat kepada Tamtama pengawal ia memasuki pintu gerbang tadi
dan menuju balai pengawalan. Dua orang Tamtama pengawal bangkit berdiri, dan menyambut
kedatangan seorang tamu yang masih asing baginya. Mereka mempersilahkan Indra Sambada masuk
kedalam balai pengawalan, dan dengan wajah yang ber-sungguh-sungguh menanyakan maksud
kedatangannya.
Keris pusaka Indra Sambada tidak ketinggalan dalam pengawasan pengawal pula. Untuk memenuhi
peraturan yang berlaku bagai seorang tamu yang tidak dikenalnya, maka keris pusaka dimintanya pula
untuk ditinggalkan dibalai pengawalan, pada waktu Indra Sambada akan menghadap Sang Senopati.
Setelah diterangkan bahwa kedatangan Indra Sambada adalah sebagai utusan dari Bupati Karya Laga,
Empu Istana merangkap punggawa Natapraja di Kebanjaran Agung Bondowoso, dan akan menghaturkan
surat kehadapan pribadi Gusti Harja Banendra Manggala Yudha, dengan disertai bukti menunjukkan
suratnya, maka seorang pengawal segera meninggalkan balai pengawalan untuk menghadap pada Sang
Senopati.
Tidak lama kemudian, tamtama kembali, dan mempersilahkan Indra Sambada menghadap kehadapan
Sang Senopati Perang, ,yang sedang duduk diruuang pendapa tempat penerimaan tamu. Beliau duduk
diatas permadani yang sangat indah, dengan didampingi oleh pembantu pribadinya Bupati Anom
Tumenggung tamtama Sunata. Dengan jalan berjongkok, Indra Sambada memasuki ruang pendapa yang
lebar itu. Setelah mengambil tempat dan memberikan sembah, ia menghadap dan berkata pelan ?
Hamba Indra Sambada dari Kebanjaran Agung Bondowoso, menghadap Tuanku Gusti Manggala Yudha,
untuk menghaturkan sepucuk surat dari ayah hamba yang rendah ? Selesai kata-katanya, ia segera
menyerahkan surat ayahnya yang diterima sendiri oleh beliau.
Dengan tidak berkata sepatahpun Sang Senopati memandang kearah Indra Sambada dengan sinar
matanya yang tajam sambil menerima surat dengan tangan kanannya. Kembali Indra Sambada
menundukkan kepalanya, sebagai seorang murid dari Guru Pendeta Badung dan dari Karya Laga
ayahnya, ia cepat bersemadi untuk mengumpulkan cipta, rasa dan karsa kembali yang kemudian
disalurkan melalui sinar wajahnya untuk menolak daya kekualan pandangan sang Senopati, yang segera
pula dirasakan oleh beliau, bahwa daya kekuatan pandangannya memantul kembali.
Sebagai seorang yang telah memiliki ilmu kebathinan yang tinggi, beliau menyambut kembalinya tenaga
bathinnya dengan bersenyum. Dalam hatinya beliau memuji akan daya kekuatan tenaga bathin yang
dimiliki oleh Indra Sambada. Segera beliau memejamkan matanya sesaat, untuk dapat mengenang
kembali, orang yang duduk dihadapanya, pada masa yang lampau.
Ternyata gelar beliau sebagai "Alap-alap ing ayudha", bukan gelar yang tidak ada artinya. Beliau
bcrbadan tinggi besar. Sinar matanya tajam ditambah sepasang alisnya yang tebal menunjukkan wajah
yang angker berwibawa. Diatas kepalanya, mclingkar sisir emas, sedangkan rambutnya yang hitam
berombak, diikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita kuning sutra keemasan.
Bajunya hitam berseretkan kuning, tersulam dari benang emas, menutupi dadanya yang bidang
Dipergelangan tangannya, melingkar gelang emas, selebar dua jari, diukir gambar alap-alap yang sedang
membentangkan sayapnya dengan permata batu mi-rah sebesar kedelai. Beliau memakai cincinbermata batu jamrut dijari manis tangan kirinya, sedangkan dijari manis tangan kanannya memakai
cincin tanda jabatan dan gelarnya, terbuat dari emas murni.
Celananya bludru hitam berseret kuning pula dengan memakai kain sarung dilipat berkampuh panjang
disibakkan kesamping, bercorak aneka warna dengan sulaman-sulaman benang emas dan perak.
Senyuman yang sering menghiasi bibirnya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang bermurah
hati. Beliau ber-usia kurang lebih 50 tahun.
? Tidak kuduga, bahwa kau setelah dewasa menjadi pemuda demikian gagah dan perkasa demtiian
beliau mulai berkata. ? Adakah ayahmu Tumenggung Karya Laga sehat wal afiat tanya beliau kemudian.
? Restu Tuanku Gusti Senopati, ayahanda dalam keadaan sehat. Hamba sebagai utusan beliau
menyampaikan sembah jawab Indra Satabada dengan hormatnya.
23 --- Indra Sambada ! Janganlah kau menghormatku berlebihan. Ketahuilah, bahwa kau sebenarnya masih
darah dagingku sendiri. Mendiang ibumu adalah saudara sepupu. Cukuplah kiranya apabila kau
menyebutku paman saja---, Sang Senopati meneruskan kata-katanya dengan diiringi senyuman mesra.
Beliau diam sejenak, untuk membaca isi surat dari Karya Laga, sambil berulang kali menganggukkan
kepalanya.
Kini tahulah sudah beliau akan isi surat dari Karya Laga, bahwa ia Karya Laga hendak mengabdikan
anak tunggalnya Indra Sambada kehadapan Sri Baginda Maharaja, sebagai Tamtama dibawah asuhan
Sang Senopati Gusti Harya Banendra.
Dahulu dikala Indra masih berusia 5 tahun, pernah pula Sang Senopati memintanya, agak kelak
setelah Indra Sambada dewasa dapat diasuhnya, karena Sang Senopati tidak mempunyai keturunan.
Dengan tersenyum puas Sang Senopati berkata : -- Jika memang demikian kehendakmu, aku turut
menyatakan syukur dan terima kasih kepada Dewata yang Maha Agung. Maka mulai hari ini kau telah
menjadi tanggunganku, dan kuangkat sebagai Tamtama Kerajaan. Mudah-mudahan kau tidak akan
mengecewakan ayahmu. Karena tercapainya cita-citamu yang tinggi itu, tergantung pada semangat dan
tingkah lakumu sendiri.----- Tumenggung Sunata ! ? perintah beliau kepada Bupati Anom Sunata.
--- Antarkan Indra Sambada kepondok Lurah Somad, untuk diberikan tempat sementara yang baik,
serta segala sesuatu perlengkapan, pakaian dan lain-lain untuk calon Bupati Tamtama Indra Sambada
ini. Dan terangkan, bahwa jabatan calon Tumenggung Indra Sambada adalah sementara sebagai
pembantu pribadiku. Besok pagi, saya akan berkenan memeriksa sendiri. O, ya, kuharap kau berdua
menjadi sepasang pembantuku yang baik! --. Demikian ucapan kata-kata Sang Senopati yang tegas dan
jelas kepada Tumenggung Sunata.
--- Baik Tuanku Gusti Senopati. Segera akan hamba laksanakan sebaik-baiknya semua titah Gusti
Senopati---, jawab Sunanta pendek.
Namun demikian, ia sebagai Bupati Anon Tamtama, merasa tidak puas akan keputusan pengangkatan
Indra Sambada itu. 24 Ia tidak dapat mengerti, mengapa Indra Sambada yang baru saja datang
menghadap lalu diangkatnya menjadi calon Bupati Tamtama, sedangkan ia sendiri untuk mencapaipangkat Bupati Anom Tamtama saja harus ditempuhnya bertahun-tahun dengan jerih payah dan
pelbagai macam ujian. Sungguh kebijaksanaan demikian adalah tidak adil, pikir Sunata. Dan pula, tiga
tahun ia telah menjadi pembantu pribadi Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Tetapi
baru sekarang inilah ia menghadapi suatu peristiwa yang demikian janggal. Adakah Indra Sambada
mempunyai kepandaian ilmu krida yudha yang tinggi ? Jika hanya didasarkan karena Indra Sambada
adalah masih mempunyai darah bangsawan yang berhubungan erat sebagai keluarga dengan Sang
Senopati saja, hal ini tidak dapat dibenarkan. Bukankah ia Sunata juga mempunjai darah bangsawan dari
keturunan Singosari ?
Apabila didasarkan keakhlian dalam ilmu krida yudha, mengapa tidak diuji terlebih dahulu, untuk
membuktikannya?
Tumenggung Raden Sunata, Bupati Anom Tamtama ini, mempunyai wajah yang tampan. Ia berusia
kurang lebih 20 tahun. Dari sikapnya kelihatan bahwa ia adalah seorang yang tangkas. Perawakan
tubuhnya tinggi, langsing berisi. Ia memakai pakaian seragam Tamtama, lengkap dengan tanda
pangkatnya, sebagai Bupati Anom Tamtama. Pakaiannya berseret kuning emas, diatas dasar warna
merah. Ikat kepalanyapun kuning sutra keemasan. Dalam berpakaian, ia sangat rapih sekali.
Setelah menghaturkan sembahnya, ia segera mengundurkan diri dengan mempersilahkan Indra
Sambada untuk mengikutinja. Senyum mengejek menyertai ajakanya, Indra Sambada segera
menghaturkan sembah sebagai tanda hormat, untuk mohon diri kepada Sang Senopati.
--- Indra Sambada! hari ini sebaiknya kau beristirahat dulu, dan besok pagi datanglah menghadap
kepadaku bersama Tumenggung Sunata. Ketahuilah, bahwa seratus hari lagi saya akan mengadakan
perlombaan kemahiran dalam krida yudha dikalangan seluruh Tamiama, atas perintah Tuanku Gusti
Mangkubumi Sang Patih Gajahmada. Pada kesempatan ini, hendaknya jangan nanti kau sia-siakan? -- Titah Gusti Pamanku akan kami junjung tinggi ?
Berdua mereka berjalan menuju kepintu gerbang keluar, setelah mana Indra Sambada mengambil
keris pusaka dahulu dibalai pengawalan.
Mereka masing-masing berkuda berdampingan menuju tempat Lurah Somad, yang tidak berapa jauh
letaknya dari Istana Senopaten.
Somad adalah Lurah Tamtama yang diserahi tugas untuk mengurus segala sesuatu perlengkapan
Tamtama, termasuk pakaian, makanan, perumahan, dan lain sebagainya. Ia dahulu adalah Lurah
Demang desa biasa dari sebuah desa di Ponorogo. Pada waktu Sang Senopati bersama pasukannya yang
berjumlah lebih dari 1000 orang pulang dari Sembilan Negeri Kerajaan Malaka kembali melalui bandar
Pacitan, dan kehabisan perbekalan. Demang Lurah Somad menyerahkan semua milik padinya dan lainlain hasil bumi, bahkan rumah-rumah miliknya diserahkan pula, guna keperluan para Tamtama untuk
berkemah. Rakyat desanya dikerahkan untuk membantu memasak, agar dapat menghidangkan
makanan lezat guna menyambut kembalinya para Tamtama Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Senopati
sendiri. Atas jasa-jasa itu, Pak Lurah Somad diangkat menjadi Lurah Tamtama, dengan tugas mengurus
semua perlengkapan Tamtama, sebagai kepala rtunah tangga.
Ia dahulu kaya raya, bukan karena hanya menjadi Lurah Desa saja, tetapi sesungguhnya ia menjadi
kepala rampok di daerah Ponorogo, yang disegani dan ditakuti oleh rakyat sekitarnya. Setelah ia merasa
telah lanjut usianya, maka ia insyaf dan menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan TamtamaKerajaan, dengan pengharapan secara tidak langsung ia akan mendapatkan perlindungan untuk
selanjutnya. Lurah Somad, sebenarnya buta huruf. Untuk mendampingi pekerjaannya, selain orangorang pegawai bawahannya, adalah isterinya sendiri yang masih sangat muda belia dan cantik pula
parasnya. Isterinya ki Lurah Somad pandai pula dalam surat menyurat.
Tumenggung Raden Sunata yang selalu diliputi perasaan-perasaan kecewa akan tindak kebijaksanaan
Sang Senopati, kini timbul pikiran keangkuhannya, untuk menguji sendiri akan kesaktian Indra
Sambrada.
? Hai, Tumenggung Indra, katanya dengan memalingkan kepala kearah Indra Sambada, disertai
ketawa ejekannya.
---- Hadiah pangkat calon Bupati Tamtama yang baru kau terima kurasa tidak sesuai dengan corak
wajahmu yang kelihatan seperti pemuda desa itu. Jika aku yang menjadi engkau, lebih baik kutolak dan
kuserahkan kembali, agar nama kebesaran dari Gusti Senopati kita tidak suram karenanya. Kini kurasa
belum terlambat untuk kau menolaknya. Dari pada kau akan mengalami kegagalan nanti yang
memalukan
?Indra Sambada yang mendengarkan kata-kata Sunata dengan penuh penghinaan tadi, untuk sesaat
tidak dapat menahan amarahnya, yang segera meluap. Akan tetapi ia selalu ingat kembali kepada
petuah dan pesan pesan ayah serta Guru Pendetanya, bahwa harus selalu bersikap merendahkan diri.
Dengan menahan kemarahan, ia menjawab sambil bersenyum yang dipaksakan. ? Kukira, hal itu adalah
urusan saya pribadi, dan bukan pada tempatnya saudara Tumenggung Sunata mempersoalkan pula akan
kebijaksanaan keputusan Tuanku Gusti Senopati ?
Jawaban yang wajar itu diterima oleh Sunata sebagai tantangan, sungguhpun Indra Sambada tidak
bermaksud sama sekali untuk menyakitkan hatinya.
Dengan nada penuh kemarahan yang disertai hinaan Sunata ber kata ?Indra! tutup mulutmu, jika
kau tidak mau mendengarkan nasehatku. Aku Sunata mempunyai pangkat Bupati Anom Tamtama
dengan sebutan Tumenggung, bukan karena diberi belas kasihan, tetapi karena kesanggupanku untuk
menaklukkan siapa saja yang kuanggap lawan. Orang berpangkat sejajarku, apa lagi bawahanku, belum
pernah berani melawan kata-kataku. Kau masih seorang calon, yang dimataku belum mempunyai hak
akan perintah atas diriku, kini ternyata sudah ber lagak congkak. Jika kau memang seorang laki-laki
jantan, marilah kita menguji dahulu akan kekuatan kita. Jika kau takut dan jerih melihatku, sekalipun
kelak pangkatmu sebagai Bupati, tidak aku dibawah perintah seorang desa pengecut
-- Kata-kata yang penuh penghinaan ini, tidak dapat ditekan demikian saja oleh Indra Sambada.
Sebagai seorang yang masih muda usianya, rasa kemarahan yang ditahan-tahan saja akan meledak


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar pula. Tetapi Indra Sambada masih sempat pula memikirkan dengan sadar, perlu atau tidaknya
tantangan ini dilayani.? Tumenggung Sunata ! terserahlah, bagaimana kehendakmu, aku akan melayani sekedar untuk
memuaskan hatimu. ? sahut Indra Sambada dengan tenang.
? Hai orang desa dungu ! ikutilah aku segera! ? perintah Sunata kepadanya dengan disertai
cambukan ketubuh kudanya untuk mempercepat larinya, yang kemudian disusul oleh Indra Sambada.
Mereka berkuda menuju kelapangan luas dibelakang asrama Tamtama. Dikala itu, hari telah buta ajarn.
Matahari baru saja lenyap dari Cakrawala. Jalan yang menuju kearah lapangan dibelakang tembok
asrama sangat sunyi. Setelah sampai dilapangan tadi, Sunata segera meloncat turun dari kudanya, dan
langsung berjalan menuju ketengah-tengah lapangan. Indra Sambada mengikuti apa yang diperbuatnya.
Mereka kini sudah ber-hadap-hadapan, di-tengah-tengah lapangan yang luas itu.
? Indra ! ? bentak Sunata. ? Kau boleh memilih sekehendak hatimu, apakah kau ingin
bersenjatakan pedangku ini, ataukah kau bersenjatakan kerismu itu. Bagi saya, senjata apapun tidak
akan menjadi soal. Lekas, kau ambil keputusan! Aku ingin depat menghajar kesombonganmu itu. Baru
nanti, kau ketahui siapa Sunata. ? Bentakan katanya tajam sekali.
?Sabarlah dahulu, saudara. Tumenggung Sunata,! Hendaknya kita cari pula manfaat dari perkelahian
ini, untuk kepenting in bersama. Saya mempunyai suatu syarat. Apabila kau menyetujui-nya. Seandainya
nanti saya menang, maukah kau menjadi sahabat karibku dengan kemurnian hatimu ? ? Indra Sambada
menjawab tantangan tadi dengan tenang sekali, bahkan penuh penghargaan, supaya kata-katanya itu
dapat menginsyafkan Sunata. Ia tetap pada pendiriannya bahwa tidak menghendaki akan terjadinya
permusuhan, tetapi sebaliknya, ia menginginkan persahabatan dengan Sunata.
Tetapi karena Sunata telah sampai pada puncak kemarahannya, ia menyahut dengan suara yang
lantang.
? Masih berani juga kau menunjukkan kesombonganmu heh ! Ketahuilah, bahwa aku tidak hanya
menerima syarat yang kau ajukan, tapi aku akan berguru kepadamu, apabila aku kalah! --- demikian
Sunata menjawab dengan penuh keyakinan, bahwa ia dalam waktu singkat tentu dapat mengalahkan
Indra Sambada.
? Tapi jangan jika kau nanti tidak kuat menerima pukulanku, kau akan kukubur, supaya hilang
jejakmu semua?. Kata-kata Sunata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dan penuh rasa kebencian.
Ia kini bukan hanya bermaksud untuk menundukkan Indra Sarnbada saja, tetapi bermaksud pula untuk
membunuh benar-benar, karena rasa kebenciannya telah meluap.
Dengan tidak memberi tahukan lebih dahulu, ia telah melancarkan serangannya dengan tinju yang
ber-tubi-tubi. Serangan yang tiba-tiba itu, telah diduga oleh Indra Sambada lebilt duhulu. Dengan diam
diri ia telah pula memusatkan kekuatan bathinnya untuk disalurkan keseluruh tubuhnya. Ia tidak mau
menyalurkan pemusatan kekuatan ketangan kanannya untuk menyambut serangan tinjunya Sunata,
karena ia masih ingin mengukur kekuatan lawannya lebih dahulu. Ternyata Sunata hanya mengandalkan
akan ketangkasannya dan gerakan kekuatan yang wajar belaka. Dengan tangkas Indra Sambada
membalik kesamping untuk mengelakkan serangan tinju lawannya. Tinju pertama Sunata yang tidak
mengenai sasarannya, disusul dengan tendangan kaki kiri kearah lambung Indra dengan ke uatan penuh,
bermaksud untuk segera mengakhiri perkelahian, dengan keyakinan kemenangan difihaknya Tetapi
perhitungan inipun ternyata dengan hasil yang sebaliknya. Kaki kiri Sunata yang sedang melancarkan
tendangan dahsyatnya dielakkan dengan menggeserkan langkah kekanan, dan secepat kilat tangankanan Indra menebang dengan telapak tangan kanannya, kebetis kaki kiri Sunata yang sedang menjulur
kearahnya. Tidak ayal lagi Sunata segera jatuh terguling kesamping kanan, mencium tanah. Sebagai
seorang perwira Tarntama yang mudah naik darah, Sunata secepat kilat bangkit kembali dengan
menghunus pedang tamtamanya yang tergantung dipinggang.
? Hai, bangsat dusun! jika kau berjiwa jantan, cabutlah kerismu ! ? bentak Sunata ? Jika sekarang
lehermu tidak putus karena pedangku ini, benar-benar aku akan berguru kepadamu! ?
--- Jangan terlalu pagi kau berjanji akan mengangkatku sebagai gurumu, cukup bila kau mengakui aku
sebagai sahabat karibmu. Aku akan tetap melayanimu dengan tidak bersenjata. Dan saksikanlah, apabila
dalam sepengunyah sirih, pedangmu tidak dapat kurampas, aku menyerah kalah kepadamu. ? katakatanya Indra tetap menunjukkan ketenangan, dan gertakannya penuh berarti.
Kata-kata Indra Sambada yang disertai pemusatan tenaga terdengar jelas dan berwibawa. Tetapi
Sunata sebagai seorang Bupati Anom Tamtama, yang banyak mempunyai pengalaman dalam
pertempuran, tidak dapat mudah percaya demikian saja sebelum ia membuktikan sendiri. Sungguhpun
dalam hatinya ia heran akan keberanian Indra Sambada untuk menyambut senjata pedang hanya
dengan bertangan kosong.
Kini Sunata mulai menyerang dengan tusukan2 pedangnya yang sangat berbahaya. Tusukan-tusakan
dan babatan pedang yang dilancarkan dengan ketangkasan sebagai Tamtama merupakan sinar putih
yang berkilauan, ber-gulung-gulung menyelubungi badan lawannya. Sesaat merupakan baling-baling
yang berputar menyilaukan mata, sesaat kemudian merupakan rangkaian tusukan bertubi-tubi, yang
sulit diduga arah sasarannya, ditambah pula susulan bacokan tebangan kekanan dan kekiri kearah leher,
pinggang, dan kaki Indra.
Ternyata dalam mempergunakan senjata pedang, Sunata mempunyai kemahiran yang cukup sempurna,
sebagai seorang perwira Tamtama. Indra Sambada sibuk menghadapi serangan-serangan maut yang
dilancarkan oleh Sunata. Akan tetapi Indra Sambada telah mempelajari tigabelas tahun lamanya ilmu
mempergunakan pelbagai macam senjata, dan ditambah dengan ilmu kekuatan bathin yang segera ia
dapat mengukur kemahiran ilmu pedang yang dimiliki olch Sunata serta cepat pula mengetahui segi-segi
kelemahan dari permainan pedang lawan.
Dengan demikian, ia bertekat akan melayani Sunata hanya dengan kekuatan dan ketangkasannya yang
wajar. Tiba-tiba ia meloncat tinggi berpusing, menghindari tebangan arah kakinya, dan jatuh berdiri
tepat Sunata. Kesempatan itu tidak di-sia-siakan lagi. Tangan kiri Indra segera memegang lengan tangan
Sunata dengan cengkeraman jari-jarinya, menekan pada jalinan syaraf, sedangkan tangan kanannya
memukul pergelangan tangan Sunata yang memegang pedang, dengan disertai bentakan yang
memekakkan telinga? Lepas pcdangmu! ? teriaknya.
Gerakan serangan tadi hanya berjalan sekejap mata saja. Sebelum Sunata sempat untuk manghindari
pegangan tangan Indra pada lengannya, pergelangan tangan kanannya telah terasa sakit karena pukulan
lndra. Jari-jari tangannya terbuka se-olah-olah dirasakan kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Senjata
pedang ditangan Sunata terlepas, dan jatuh ditanah yang secepat kilat pula dipungut oleh Indra dengan
gerakan meloncat kesamping, sehingga mereka kembali ber-hadap-hadapan.
Sunata berdiri ternganga, dengan penuh rasa keheranan. Kini ia sadar bahwa kepandaian krida
yudhanya masih jauh dibawah Indra Sambada. Segera ia mendekati Indra Sambada dan mengulurkantangannya untuk minta berjabatan, sambil berkata! ? Saya menyerah kalah, dan semua janjiku akan
kutepati. Sungguhpun Dimas Tumenggung Indra lebih muda dalam usianya, tetapi saya masih harus
banyak belajar darimu. Terimalah kesediaan saya ini atas kesudian dimas Indra Sambada menerima saya
sebagai sababat baik dan murid, sungguh menunjukkan budi luhur yang dimiliki oleh dimas Tumenegung
India.
? Kata-kata itu dikeuarkan dengan raut muka penuh rasa penyesalan, akan tindakan-tindakan yang
telah diperbuatnya.
? Maka sudilah dimas memaafkan akan semua pertubatanku tadi. Saya tidak menduga, bahwa dirrias
semuda itu telah mempunyai kesaktian yang tinggi dalam krida yudha. ? Demikian Sunata meneruskan
bicaranya.
? Janganlah kangmnas Tumenggung Sunata memuji berIebih-lebihan. Bahwa sekarang kangmas
Sunata menerima tawaran saya untuk menjadi sahabat karibku, sudah cukup membanggakan diriku.
Lagi pula ini memenuhi titah tuanku Gusti Sepopati, agar kita dapat merupakan sepasang pembantu
beliau yang baik. Marilah kangmas kita cepat menuju kerumah ki Lurah Somad. Dan lupakanlah segala
yang telah terjadi.?Dengan sungguh akrab, mereka berdua kembali berkuda berdampingan, dan langsung menuju
kerumah ki Lurah Tamtama Somad yang tidak jauh letaknya.
Kedatangan mereka berdua pada hari hampir malam sungguh mengejutkan ki Lurah Somad berserta
isterinya. Suami istri dengan tergopoh-gopoh menyambut kedua tamunya tadi dan mempersilahkan
masuk keruang tempat tamu didalam rumahnya.Ki Somad orangnya kurus, tingginya sedang dan usianya telah lanjut mendekati enampuluhan.
Isterinya masih sangat muda dan genit serta pandai bersolek. Bagi orang yang tidak tahu akan mengira,
bahwa Nyi Lurah Somad adalah anaknya Ki Lurah Somad.
Raut mukanya bulat telor dengan sepajang alisnya yang hitam tipis melengkung. Matanya redup
dengan kerlingan yang kocak serta menggairahkan. Warna kulitnya kuning langsap. Daun telinganya
dihiasi dengan subang bentuk tabuh gender dan bermatakan berlian, menambah kecantikan parasnya.
Bicaranya lantang dan selalu diiringi dengan senyum dikulum. Perawakan tubuhnya ramping berisi,
dengan dadanya yang padat. Tak mengherankan bahwa banyak para Tamtama yang masih muda tergilagila kepadanya.
---- Kedatangan Gustiku Tumenggung yang sudah malam ini membuat kami terkejut,? Ki Lurah Somad
mulai membuka pembicaraan, dan melanjutkan bertanya ?Apakah Gusti Tumenggung membawa titah
dari Gusti Senopati yang penting bagi diri saya ?
? Belum juga Tumenggung Sunata dan Indra Sambada rnenjawab, Ny Lurah Somad memotong
mempersilahkan tamunya. ? Silahkan, duduk dahulu Gusti, dan saya mohon diri sebentar untuk
menyiapkan air minum. ? Berkata demikian ia sambil mengerlingkan matanya kearah Indra Sambada
yang tampan itu, dan segera pergi kebelakang.
? Memang datangku ini atas perintah Gustiku Senopati Harya Banendra, Ki Somad, ? Tumenggung
Sunata menjelaskan! ? Yang datang bersamaku ini adalah tumenggung calon Bupati Indra Sambada. ?
berkata demikian Tumenggung Sunata sambil memalingkan muka kearah Indra Sambada.?
Dimas Tumenggung Indra Sambada ini, adalah putra kemenakan Gustiku Senopati, ? Sunata
melanjutkan bicaranya.
? Sembah hamba untuk Gustiku Tumenggung Indra, ? Ki Lurah Somad memotong bicara
Tumenggung Sunata, dan segera membetulkan duduk bersilanya sambil menyembah tertuju kepada
Indra Sambada ? Maafkan atas kekhilapan hamba, karena hamba memang baru kali ini mengenal
Gustiku.?
? Tak usahlah Ki Somad memakai adat yang berlebih-lebihan terhadapku. Memang baru kali ini aku
datang di Senopaten, dan mudah-mudahan pengabdianku dapat berlangsung ? jawab Indra Sambada
dengan kejujurannya.
? Begini Ki Lurah Somad! ? Sunata melanjutkan bicaranya. Atas titah Gustiku Senopati, Ki Lurah
supaya segera menyiapkan tempat perumahan dengan perlengkapannya serta pakaian-pakaian dan alatalat keperluan lainnya!?
Belum juga Ki Lurah Somad menjawab pertanyaan itu, Nyi Somad telah datang dengan membawa
minuman dan kuwe-kuwe, serta mempersilahkan tamu-tamunya untuk mulai mencicipi apa yang
dihidangkan.
? Sebaiknya, biarlah Gusti Tumenggung Indra untuk sementara waktu tinggal dikamar gandok
samping itu, sambil menunggu selesainya bangunan rumah untuknya.
?Kata Nyi Somad kepada Ki Lurah Somad.? Kiranya, pada waktu percakapan terakhir tadi, Nyi Lu-rah Somad mendengarkan dari balik pintu: ?
Nanti akan segera saya siapkan. Ini jika Gustiku Tumenggung sudi tinggal bersama kami dipondok yang
jelek ini,--- Ah untukku rumah ini terlalu bagus. ? Indra Sambada menyahut ? Tetapi apakah kiranya tidak
membuat repotmu sekalian? ?
? Soal merepotkan, memang sudah tugas kami, Gusti. Buat kami adalah suatu kehormatan yang
besar sekali, apabila Gustiku Tumenggung Indra sudi tinggal sementara disini?Ki Lurah Somad
menyahut dengan hormatnya.
? Saya turut bergirang hati apabila Dimas Tumenggung Indra sudi tinggal disini, sebelum
mendapatkan perumahan yang lajak.? berkata demikian Sunata mengerling kearah Nyi Lurah Somad
sambil bersenyum kecil.
? Dan kurasa Dimas Indra akan tetap tinggal disini, karena Nyi Lurah memang pandai memasak dan
mengatur isi rumah, hingga selalu sedap dipandang mata. Hawanyapun sejuk pula disini,? Sunata
berkelakar menyindir.
? Ah, ada, ada saja, Gusti Tumenggung Sunata ini,? Nyi Lurah Somad memotong bicara sambil
tersipu-sipu.
Ki Lurah Somad tidak mendapat kesempatan untuk turut berbicara. Setelah Nyi Somad turut dalam
percakapan itu.
? Sudahlah. Diajeng, sebaiktnya kau lekas memanggil pembantu-pembantumu untuk segera
membereskan kamar digandok samping, yang akan dipakai Gusti Tumenggung Indra ini.?
Ki Lurah Somad berkata kepada isterinya, dan isterinya segera meninggalkan ruang tamu lagi dan
dengan dibantu oleh dua orang inangnya ia membereskan ruang gandok samping.
Tak lama kemudian Nyi Somad telah masuk kembali diruang tamu dan mcmpersilahkan Indra
Sambada dan Sunata untuk memeriksanya terlebih dahulu. Ki Lurah Somad turut juga mempersilahkan,
katanya;
? Silahkan, Gustiku sekalian supaya memeriksa kamar yang telah kami persiapkan itu. Jika sekiranya
kurang memuaskan, biarlah Gustiku memakai rumah besar ini, dan kami yang berada digandok ?
Berampat mereka segera pergi kegandok samping, dan memeriksa dengan telitinya. Ternyata rumah
gandok itu cukup Iuas. Ruangan tengahnya luas pula dan teratur rapih dengan hiasan-hiasan dinding
yang serba indah. Tikar permadani digelar di ruang tamu sebagai tempat duduk. Kamar tidurnyapun
cukup luas, bahkan terlalu luas untuk hanya dipakai satu orang. Kasurnya digelari dengan tilam sutra,
demikianpun dengan sarung bantalnya dari sutera pula, yang disulam dengan gambar bunga. Baunya
harum semerbak menyegarkan. Kiranya tidak lupa pula diberi wewangian hingga memenuhi seluruh
ruangan. Dibelakang kamar tidur terdapat kamar mandi tersendiri. Pintu kamar tidurnya ada dua, satu
menghubungkan dlengan rumah besar, dan satu lagi menuju keruang tamu didepan, Setelah mereka
puas dalam meneliti ruang gandok, segera mereka kembali menuju keruang tamu untuk melanjutkan
percakapan sambil bersendau gurau. Nyi Lurah Somad kelihatan sangat girang, setelah Indra menerima
tawarannya untuk tinggal digandoknya. Ki Lurah Sornad merasa girang, karena dengan demikianpengabdiannya akan lebih mendapat perhatian dari Gusti Senapati, lagi pula akan merasa tentram jika
rumah ditinggalkan berkenaan dengan tugas-tugasnya.
? Kini kiranya telah larut malam kata Tumenggung Sunata ! ? Besok saya pagi-pagi saya akan datang
kemari menjemput Dimas Tumenggung Indra, untuk ber-sama-sama menghadap Gusti Senopati Sunata
melanjutkan bicaranya ! ? O, ya Ki Lurah, mungkin besok siang-siangan Gustiku Senopati akan berkenan
berkunjung kemari untuk memeriksanya sendiri Sunata berkata kepada Ki Lurah Somad.
? Akan hamba junjung segala titah Gusti Tumenggung ? jawab Ki Lurah Somad singkat.
Tumenggung Sunata setelah pamit, segera bangkit dan keluar menghampiri kudanya. Ki Lurah dan
isterinya mengantarkan sampai didepan pintu, bersama Indra Sambada tak ketinggalan pula.
Tak lama kemudian Tumenggung Sunata memacukan kudanya, dan hilang dikegelapan malam. Derap
langkah kudanyapun terdengar makin lirih, untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan. ?
.* ** ? Tumenggung Indra ! Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra bersabda kepada Indra
Sambada.
? Menjunjung titah Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kau diperintahkan menghadap
kehadapannya pada hari ini di Istana Kepatihan. Tumenggung Sunata akan kuperintahkan menyertaimu
Beliau diam sejenak dan mengambil sepucuk surat yang telah dimasukkan didalam sampul dengan
tertutup rapat, untuk kcmudian diberikan Indra Sambada, sambil melanjutkan sabdanya ! ? Terimalah
surat ini dan haturkan kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada ----.
Indra Sambada menyembah, untuk kemudian menerima surat yang diberikan oleh Gusti Harja
Banendra. Setelah diterimanya segera dimasukkan kcdalam baju didadanya, dan berkata . ?
Menjunjung titah Tuanku Gusti Senopati, hamba akan segera rnelaksanakan titah Tuanku Gusti --- Katakata itu ditutup dengan menyembah.
? Tumenggung Sunata !? Sang Senopati Gusti Harya Banendra bersabda kepada Sunata ? Antarkan
Tumenggung Indra Sambada menghadap Gustiku Patih Mangkubumi GaJah Mada di Istana Kepatihan
hari ini, dan jangan lupa sampaikan sembah sujudku kehadapannya ?.
Mereka berdua segera mohon diri dengan menyembah terlebih dahulu, dan keluar menuju ketempat
penambatan kuda. Kedua Perwira Tamtama tadi, masing-masing telah duduk diatas kuda untuk
kemudian memacu kudanya dan berjalan berjajar menuju kekota Raja di Istana Kepatihan.
? Apakah dimas Tumenggung Indra pernah menghadap Gusti Patih Mangkubumi di Istana Kepatihan
? Sunata bertanya memecah kesunyian dalam perjalanan.
? Belum pernah Kangmas Tumenggung ---. Indra menjawab ? Istana Kepatihan saja aku belum
pernah melihatnya, apalagi menghadap --Tetapi mengapa tadi Gusti Senopati mengatakan bahwa Dimas diperintahkan menghadap atas titah
Gusti Patih Mangkubumi ? Darimana beliau tahu bahwa Dimas Tumenggung Indra sekarang berada di
Senopaten ? ? Tumenggung Sunata melanjutkan percakapannya.? Saja juga tidak tahu, Kangmas jawab Indra Sambada dengan kejujurannya: ? Mungkin Gusti
Senopati telah berkenan menghaturkan periksa kehadapannya pada hari-hari kemarin. Bukankah
demikian kiranya Kangmas Tumenggung ? , Kata Indra Sambada dengan menduga - duga.
? Ah, .. tidak mungkin ! ? Sunata menyahut secara cepat ! ? Biasanya, jika, beliau menghadap
ke Istana Kepatihan aku harus mengawainya, dan jika dengan surat aku pula yang menghaturkannya.
Apa lagi ini soal penting mengenat Dimas Tumenggung Indra ? bantah Sunata.
? Entahlah, Kangmas kita saksikan saja nanti, ? Indra memotong dan melanjutkan kata-katanya ?
Mudah-mudah an saja saya tidak menerima kemurkaan dari Gustiku Patih
--- Itu juga tidak mungkin, karena Dimas belum pernah menghadap berarti belum pernah berbuat
salah kehadapan beliau. Aku harapkan saja Dimas akan menerima hadiah karena jasa-jasa ayahmu. ?
Mereka berdua kini kelihatan lebih akrab lagi dari pada waktu-waktu yang lalu. Mcreka berkuda
berdampingan dengan asyik ber-cakap-cakap diselingi dengan ketawa riang. Kiranya Tumenggung
Sunata senang pula bersenda gurau sambil menggoda Tumenggung Indra Sambada.
? Dimas Tumenggung Indra itu memang sedang memangku wahyu.--- katanya berkelakar menggoda.
-? Bangun pagi saja dibangunkan oleh wanita cantik. Makan pun dilayaninya sendiri. Dan kini diperintah
menghadap untuk menerima hadiah. Saya yang ber-tahun-tahun mengabdi di Senopaten dan sering
berjumpa belum pernah duduk ber-cakap-cakap sendiri dengan sidia ? Yang dimaksud sidia adalah. Nyi
Lurah Somad. Berkata demikian Sunata sambil ketawa nyaring. Indra Sambada merasa malu, terlihat
mukanya yang merah padam. Tetapi Sunata semakin senang menggodanya ? Sudahlah, saya mau juga
tukar tambah dengan tempatmu, Dimas Tumenggung Indra. ? Sunata melanyutkan sindirannya.
?Ach, .. Kangmas memang senang menggodaku,? Indra agak bingung untuk membantahnya. ?
Seperti benar-benar terjadi Kangmas. Pada hal saya kan tidak pernah diperlakukan sedemikian oleh Nyi
Somad. ?
Dengan tidak terasa mereka berdua kini telah sampai di alun-alun Kepatihan dan langsung menuju
tempat tambatan kuda. Dua Tamtama segera menyambut kedatangan mereka dengan memberi hormat
terlebih dahulu untuk kemudian menambatkan dua ekor kuda yang tclah diterimanya itu.
Kedua perwira Tamtama tadi berjalan menuju kepura pintu gerbang Kepatihan. Patung berbentuk
gajah setinggi dua orang susun bcrdiri, terbuat dari batu yang di pahat halus, berdiri megah di-tengahtengah sepasang pintu gerbang. Belalainya berada diatas kepala yang sedang memegang cis. Itulah
lambang kebesaran Gusti Patih Mangku-bumi Gajah Mada yang terkenal akan keagungannya.
Pintu gerbang dikanan kirinya berbingkai ukir-ukiran pahatan berlukiskan sepasang raksasa dikanan kiri.
Dan seluruhnya terbuat dari batu hitam alam. Pintu gerbang itu sangat lebar, sehingga kereta-kereta
para Senopati dapat masuk tanpa kesulitan. Halaman Istana Kepatihan didalam pura pintu gerbang
sangat luas, kira-kira seluas setengah alun alun. Dua orang Tamtama pengawal yang sedang berdiri
tegak didepan pintu gerbang segera memberi hormat kepada kedua perwira Tamtama yang berjalan
memasuki pura pintu gerbang itu. Baru saja mereka berdua meninggalkan Balai Pengawalan, tiba- tiba
mendengar suara teguran. ? Dimas Tumenggung Indra! ? Indra segera menyahut dengan mendekati
Perwira Tamtarna yang menegurnya.? Kangmas Tumenggung Cakrawirya! Aku telah menepati janjiku untuk menemui Kangmas di istana
Kepatihan ini!?
Tumenggung Cakrawirya, segera datang mendekat dan menjabat tangannya dengan sangat akrab.
? Saya telah sedari pagi menunggu kedatangan Dimas Tumenggung Indra. Bukankah hari ini hari yang
telah Dimas janjikan pada waktu kita berpisah di Surabaya? ? Tumenggung Cakrawirya melanjutkan
tegurannya.
Tumenggung Sunata berdiri dengan penuh keheranan. Tadi menurut keterangan yang diberikan oleh


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indra Sambada, ia belum pernah menghadap di Istana Kepatihan, tetapi ternyata telah mengenal
dengan akrab pula dengan Tumenggung Cakrawirya --- ia meraba-raba dalam hatinya.
? Ini semua sayalah yang telah mengaturnya, Dimas Tumenggung Indra! ? Cakrawirya melanjutkan
bicaranya ? Maafkan Dimas Tumenggung Sunata, kiranya sampai lupa untuk menegur Dimas karena
rasa rinduku dengan Dimas Indra. --Ah, ? silahkan Kangmas Tumenggung Cakrawirya,? jawab Sunata.
? Saya malah tidak mengira bahwa, Kangmas Tumenggung Cakrawirya telah mengenal Dimas
Turnenggung Indra sejak lama. ----- Memang benar katamu, Dimas, ? Cakrawirya menjelaskan. Perkenalanku dulupun serba kebetulan.
Jika waktu itu aku tidak berternu dengan Dimas Indra, tentunya aku tidakberada disini lagi. Dialah
penyambung hidupku. Dan itu semua telah kuhaturkan kehadapan Gustiku Patih Mangkubumi. Lalu
pada tiga hari berselang aku diutus menghadap Gusti Senopati Harya Banendra di Mojoagung,
menyerahkan surat. Isi surat itu Gustiku Patih Mangkubumi berkenan memanggil Dimas Indra. Tetapi
alangkah kebetulan ternyata Dimas Indra memang telah menghadap Gusti Senopati pada waktu sehari
sebelum aku menghadap beliau. Kiranya oleh Gusti Senopati, Dimas Tumenggung Indrapun telah
diterima pengabdiannya sebagai calon Tamtama seperti sekarang ini. Hal ini Gustiku Patih Mangkubumi
sangat berkenan sekali.?
Kini Indra Sambada dan Sunata mengerti dengan jelas akan duduk perkaranya dan isi maksud
panggilan menghadap itu.
? Terima kasih, atas jasa-jasa Kangmas Cakrawirya. --Indra memotong.
? Ah, saya tidak berjasa apa-apa dalam hal ini. Karena apa yang saya haturkan kepada Gustiku itu
memang sewajarnya. ? jawab Tumenggung Cakrawirya.
? Marilah kita bertiga bersama-sama segera menghadap. ? Tumenggung Cakrawirya
mempersilahkan Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata.
Bertiga mereka segera menghadap kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada diruang tamu
pendapa. Setelah mereka bertiga ber-sama-sama menyembah kehadapannya, Indra segera
menyerahkan suratnya kehadapan beliau. Surat diterima dan setelah ditelaah sejenak semua isi
maksudnya, beliau segera menulis surat sebagai balasan kepada Sang Senopati Manggala Yudha yang
kemudian diserahkan kepada Indra Sambada. Dalam surat itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada
menyatakan persetujuannya akan pengangkatan Indra Sambada menjadi Bupati Tamtama, mengingatakan jasanya dalam menangkap orang Cina di Surabaya dan pula mengingat akan jasa-jasa orang tuanya
Indra Sambada Tumenggung Karya Laga.
Beliau berpesan pula kepada Indra, agar nanti dalam lomba krida yudha yang akan diadakan untuk
menyambut hari ulang tahun ke X atas bertahtanya Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, dapat tarnpil
dengan hasil yang tidak mengngecewakan. Dalam sampul itu pula dimasukkan sebuah bintang anugerah
"Lencana Satya Tamtama" yang mana Sang Menggala Yudha supaya menyematkan pada Indra Sambada.
Selesai menghadap, mereka bertiga segera menyembah lagi dengan khidmadnya untuk mohon diri
dan meninggalkan pendapa agung Kepatihan. Kini mereka bertiga berkuda berdampingan pulang
kembali menuju Mojoagung.
? Biarlah aku akan singgah semalam dipondoknya Dimas Tumenggung Indra. Tentunya tidak
berkeberatan, bukan ? Cakrawirya mulai bicara! ? Saya masih belum puas akan perternuan kita yang
sesingkat ini. ----- Tapi sebaiknya Kangmas Cakra bermalam dipondokku saja, ? Sunata menyahut dan melanyutkan
bicaranya ? Karena Dimas Indra mungkin tidak mau terganggu, ? berkata demikian dengan ketawa
nyaring menggoda.
? Kangmas Sunata ini tak habis-habisnya menggoda aku, ? Indra mengelak godaan dan kemudian
berkata kepada Cakrawirya. ? Saya akan lebih senang jika Kangmas Tumenggung Cakra sudi menemani
tidur dipondokku. ?
Apa sekiranya ada udang dibalik batu Dimas ? ? Cakrawirya bertanya untuk mendapat penjelasan.?
? Saya tak dapat menangkap isi percakapan Dimas sekalian. ?
? Apakah Kangmas Cakra sudah tahu, dimana Dimas Tumenggung Indra sekarang memilih tempat
pondoknya ? ? Sunata menyahut dengan pertanyaan sindiran. pertanyaan belum sampai ada yang
menjawabnya, Sunata melanjutkan menjawab pertanyaan sendiri dengan senyum menggoda. ? Dimas
Tumenggung Indra sekarang tinggal serumah dengan Ki Lurah Somad! Cakrawirya segera menyambut
kata-kata Sunata tadi dengan gelak tertawa yang nyaring disusul kemudian dengan suara ketawanya
Sunata yang tak kalah nyaringnya.
Indra Sambada bersenyum ter sipu-sipu, dengan wajah merah padam. Kini ia tak dapat berkutik akan
godaan yang dilancarkan oleh dua perwira tamtama tadi. Dengan ramainya mereka bertiga bersendau
gurau sambil berkuda berdampingan. Sampai di Istana Senopaten, mereka bertiga langsung menghadap
Sang Sencpati yang sedang berada diruang tamu dalam. Surat segera diserahkan kepada beliau dan
ternyata beliau sangat pula berkenan dengan isi surat tadi. Oleh beliau sendiri bintang anugerah lencana
satya tamtama segera disematkan dibaju dada disebelah kiri.
Sang Senopati Manggala Yudha kemudian berkenan pula menjamu tiga perwira tamtama itu di
Istananya sampai jauh malam, dengan dihadiri oleh para perwira-perwira tamtama lainnya.?
* ** B A G I A N IV.DIKALA ITU, hari Respati Manis. ? Sepanjang jalan jalan di Kota Raja Majapahit dihias dengan janur
kuning, kembang-kembang, dan diselang-seling dengan pita sutra panjang ber-aneka warna dengan
sangat indahnya. Bendera Keagungan Dwi warna Gula Kelapa dan umbul umbul panji-anji ber-deretderet disepanjang jalan berkibar dengan megahnya.
Rumah-rumah yang dipinggir jalan sampai di plosok-plosok tidak ketinggalan pula dihias dengan
beraneka ragam dan warna, menambah semaraknya pandangan. Candi-candi penuh pula dengan
sesajian yang warna-warni. Sejak hari kemarin orang-orang mudik disepanjang jalan dengan tak hentihentinya. Dari segala penjuru kini orang-orang datang di Kota Raja dengan pakaian-pakaian yang serba
baru dan indah. Anak-anak kecil turut pula bersuka ria dengan pakaiannya yang serba baru, bermainmain berkelompok, ataupun mengikuti kesibukan orang-orang tua. Sejak fajar menyingsing mereka turut
orang-orang tua bersembahyang di-candi-candi dengan membawa sesajian.
Kini, jauh diufuk-timur Sang Surya mulai memancarkan sinar cahaya yang terang benderang
memadangi seluruh alam buana, menunjukkan bahwa hari telah mulai pagi. Orang-orang ber-bondongbondong menuju ke alun-alun lstana Kerajaan untuk menyaksikan dari dekat "lomba kridha yudha? yang
diselenggarakan pada hari itu, demi menyambut hari ulang tahun ke sepuluh, atas dinobatkannya Sri
Baginda Maharaja Hayam-wuruk bergelar Rajasanegara, sebagai raja di Majapahit.
Hari itu adalah hari kesempatan pula bagi para tamtama untuk menunjukkan ketangkasannya dalam
Kridha Yudha. Pura pintu masuk yang menuju ke alun-alun dari empat penjuru, dihas pula dengan
sangat Ditiap-tiap penjuru disebelah pintu gerbang itu, dibangun sebuah balai untuk penempatan
serakit gamelan, lengkap dengan para pemukulnya yang berpakaian seragam indah pula.
Pohon jambe atau disebutnya pohon pucang yang telah ditebang bagian atasnya, ber-deret-deret
ditanam merupakan lingkaran yang luas di alun-alun. Jarak antara masing-masing pohon pucang tadi
kira-kira dua langkah, sedangkan tingginya tak kurang dari dua galah panjang. Di tengah-tengah
lingkaran yang sangat luas, hampir seluas duapertiga alun-alun, berdiri sebatang pohon pucang yang
tingginya lebih dari tiga galah panjang, hingga kelihatan menonjol di ketinggian. Dan dipucuk atasnya
berkibar Sang Saka Dwiwarna Gula Klapa dengan megahnya.
Didepan pintu gerbang yang menuju masuk ke Istana Raja, berdiri sebuah mimbar dengan tenda
berwarna hijau berseretkan pita kuning ke-emas-emasan dari sutra, mengelilingi luasnya tenda selebar
dua jengkal. Mimbar itu dihias dengan pita sutra berwarna merah dan putih diselang-seling, menambah
indahnya pandangan. Tiang-tiang mimbar dibungkus dengan daun-daun beringin dan kemuning, serta
kembang-kembang beraneka warna.
Mimbar itu tingginya kurang lebih segalah panjang. Ditengah tengah mimbar duduk Sri Baginda
Maharaja Hajam Wuruk dengan didampingi Sri Baginda Permaisyuri diatas singgasana tiruan berukir
dengan warna keemasan, menyerupai singgasana aslinya. Dibelakang dan samping kanan kirinya duduk
para nyai inang yang membawa peralatan beraneka warna.
Didepan sebelah kirinya duduk Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada diatas permadani yang indah
berserta Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Sedangkan didepan sebelah kanan
duduk para pendeta Istana diatas permadani pula.Dibawah depan mimbar berdiri tegak berjajar rapat, para Tamtama Pengawal Raja dengan pakaian
seragam warna merah berseretkan kuning mas, dengan pedang terhunus ditangan kanan, lurus keatas
melekat dengan dadanya, dengan mata tajamnya kedepan. Disebelah kiri mimbar itu, masih ada sebuah
mimbar lagi yang dihias indah pula, dengan digelari permadani, untuk para Raja ataupun para utusan
yang Negerinya dinaungi oleh Majapahit, dan untuk para Raja , dan utusan-utusan dari Negeri-negeri
sahabat.
Rakyat berjejal-jejal mengitari alun-alun dengan tak sabar menunggu dimulainya lomba krida yudha
itu. Para tantama siap siaga berjajar. Gamelan-gamelan dari empat penjuru telah mulai dibunyikan pula
oleh para pemukulnya. Suasana segera menjadi riuh ramai berkumandang diangkasa.
Kini sebuah gong besar yang berada di depan mimbar dipukul oleh seorang perwira tantama Pengawal
Raja. Suaranya mengaung jauh terdengar dan mengumandang disemua penjuru . Segera suasana sunyi
hening seketika
? Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra turun dan berdiri tegak didepan mimbar
dengan menghaturkan sembah pada Sri Baginda Rajasanegara. Sri Baginda Rajasanegara menyambutnya
dengan berdiri pula diatas mimbar. Dan terdengarlah suara Sang Senopati Manggala Yudha.
? Hamba, Senopati Manggala Yudha menjunjung titah Gusti Sri Baginda Maharaja Majapahit, untuk
melaksana kan lomba krida Yudha.?
Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, melambaikan tangan kanannya, sebagai isyarat, bahwa lomba
krida Yudha dapat dimulai.Seorang Perwira tamtama berpakaian hijau seragam berseret kuning dengan pita kuning emas pula
sebagai ikat kepalanya, maju kedepan dan menyerahkan sebuah tombak panjang sedepa dengan
tangkainya dibungkus sutra putih. Mata tombak itu tajam berkilau dan panjangnya kira-kira dua. jengkal.
Diujung tangkainja disambung dengan sepuluh utas pita sutra merah.
Tombak diterimanya dengan tangan kanan, dan beliau segera membalikkan badannya memandang
sesaat pada pohon pucang yang tinggi berdiri didepannja dengan jarak antara kurang lebih seratus
langkah. Setelah beliau memusatkan tenaga bathinnja, segera beliau melangkah satu tindak dan
melontarkan tombak yang berada ditangan kanannya ke arah pohon pucang tepat pada sasarannya.
Pohon pucang bergetar dan Sang Saka Dwiwarna Gula Kelapa yang berada di puncaknya turut berkibar
menggetar. Mata tombak menancap seluruhnya, dan tangkainya turut pula bergetar. Lemparan tombak
oleh Sang Senopati Menggala Yudha tadi merupakan isyarat bagi semua yang menyaksikan, bahwa
lomba kridayttdha sudah dibuka.
Beliau segera mengundurkan diri dan disambut oleh dua pembantu pribadi beliau ialah Tumenggung
Indra Sambada dan Tumenggung Sunata, yang kedua-duanya berpakaian seragam sebagai perwira
Tamtama, hijau dengan berseretkan kuning ke-emasan dengan seutas pita ke emasan pula selebar dua
jari melingkar di kepalanya. Di-pinggang sebelah kiri masing-masing tergantung pedang tamtamanya.
? Beliau berjalan tegap dengan diapit-apit oleh kedua perwira tamtama, menuju kederetan keretakereta yang verada di alun alun sebelah timur. Kini beliau telah duduk didalam kereta kebesaran yang
terbuka dengan di-apit-apit oleh kedua perwira tamtama tadi, kereta mana ditarik oleh dua pasang kuda
yang tinggi-tinggi. Diatas kereta berkibar dengan megahnya duaja kebesaran berlukiskan burung alapalap yang sedang membentangkan sayapnya berwarna merah, diatas dasar kuning emas. Itulah lambang
keagungan "Alap-alaping Ayudha" Kereta bergerak dan berjalan laju mengitari alun-alun. Dibelakangnya
berjalan berturut-Eurut mengikuti, kereta-kereta kebesaran dengan panji du-aja kebesaran berlukiskan
senjata cakra warna kuning emas diatas gambar perisai berwarna, merah dengan warna dasar hijau.?
Didalam kereta itu, duduk Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti
AdityaWardhana, dengan malambai-lambaikan tangannya kearah rakyat yang ber-jejal-jejal, Beliau
bertubuh tinggi besar, warna kulitnya merah kehitam-hitaman. Mukanya bercambang bauk deugan
sepasang alisnya yang tebal. Matanya agak cekung dan bersinar tajam. Didaun telinganya sebelah kanan
memakai anting - anting bentuk gelang. Rambutnya hitam di-ikat kebelakang diatas tengkuknya dengan
pita merah. Dari dahi melintang sampai di ujung daun telinga aras sebelah kiri, terdapat tanda bekas
luka, lengannya berbulu subur, beliau berusia 45 tahun. Pakaiannya seragam merah dengan berseretkan
kuning mas. Sebilah keris pusaka dengan wrangka mas murni tergantung dipinggang kiri.
Dengan riuh ramai yang menggema, rakyat menyambut lambaian tangannya .. Menyusul
dibelakangnya adalah kerwta kebesaran dengan duaja berkibar, berlukiskan pedang silang sepasang,
dengan bintang ditengah atasnya, diatas gambar perisai pula, berwarna hitam dan merah Sang Senopati
Muda Manggala Tamtama Kerajaan (darat) Gusti Surwendar duduk didalam kereta dengan tenangnya.
Beliau berusia limapuluh lima tahun dan bergelar ? Surya Laga --Raut mukanya bulat telur dan bersih. Pandangan matanya tajam berwibawa. Beliau adalah seorang
pendiam. Pakaian yang dikenakan, pakaian seragam hijau dengan berseretkan kuning mas. Ikat
kepalanya lebar segi tiga, diikat kebelakang menutupi rambutnya, berlukiskan matahari warna putih
diatas dasar kuning sutra.?Menyusul lagi kereta kebesaran terbuka yang megah pula. dengan duaja kebesarannya berlukiskan
naga ber-mahkota warna merah, diatas dasar biru laut, Gusti Bharatarajasa Senopati Muda Manggala
Tamtama Samodra duduk dalam kereta itu. dengan selalu mengangguk - anggukkan kepalanya kepada
rakyat dengan diiringi senyuman. Sambutan rakyat riuh gegap gempita.
Beliau mengenakan pakaian seragam biru laut dengan berseretkan kuning mas pula. Bentuk
tubuhnya, agak pendek kokoh perkasa. Wajahnya bersinar, menunjukkan kebangsawanannya.
Kini menyusul lagi kereta terakhir, ialah kereta kebesaran Nara Praja, dengan duajanya sebagai
lambang kebesarannya, berlukiskan bintang dikelilingi dua untai padi warna kuning mas, diatas dasar
putih sutra. Sebagai Senopati Muda Manggala Nara Praja, ialah Gusti Pangeran Pekik. Beliau berusia
kira-kira 50 tahun. Berpakaian seragam putih dengan berseret kuningmas mengenakan pula kain
panjang yang dilipat dan berkampuh panjang disebakkan kebelakang. Kebangsawanannya terlihat jelas
dari pancaran wajahnya. ?
Dibelakang kereta-kereta kebesaran para Senopati, kini menyusul barisan para Tamtama berkuda
dengan pakaian seragamnya menurut angkatannya masing-masing sebanyak duaratus Tamtama tia-tiap
angkatan. Dan terakhir para Tamtama yang berjalan dengan langkahnya yang tegap membawa
genderang suling serta bende, yang dibunyikan selama berjalan dengan irama menurut gerak
langkahnya. ? Gamelan-gamelan dari empat penjuru menyusul berbunyi mengikuti iramanya. ?
Kembali sorak sorai menggema di angkasa. Pawai Agung yang berjalan berkeliling memutari alun-alun
itu semuanya memberikan hormat, sewaktu melewati mimbar agung. Sri Baginda Maharaja Rajasanegara berdiri menyambut dengan melambai-lambaikan tangannya. Kiranya beliau merasa bangga akan
keagungan Tamtamanya.
Setelah pawai selesai, lomba krida yudha segera dimulai, dengan acara pertama, memamerkan
ketangkasan menggunakan pedang, oleh para perwira Tamtama tidak termasuk para Senopati. ?
Para perwira Tamtama sebanyak seratus orang, berkuda dengan pedang terhunus menuju pohonpohon pucang yang ber-diri ber-deret-deret itu, dan membabatnya sambil memacu kudanya. Diantara
para perwira ada pula yang dapat menebas sekali tumbang.
Tetapi banyak pula yang tak dapat menumbangkan dengan sekali tebasan. Gerakan cara menebasnya,
ber-macam-macam gayanya. Ada yang sejak mulai bergerak telah mengayun-ayunkan pedangnya, dan
ada pula yang lurus memacu kudanya dengan pedang terhunus diam ditangan kanan, dan baru
membabatnya setelah sempat pada sasarannya. Lain lagi, ada yang memutarkan pedangnya sambil
memacu kudanya laksana baling-baling, untuk kemudian dibabatkan kearah sasaran yang dituju. Namun
dari sekian banyaknya perwira, tak ada yang dapat menyamai Indra Sambada yang sekali tebang dapat
merobohkan tumbang dua pohon pucang. Sorak sorai para Tamtama dan rakyat yang menyaksikan
gemuruh, setelah mereka melihat gaya Indra Sambada yang indah dan berhasil dengan memuaskan.
Selesai para perwira Tamtama, kini menyusul para Tamtama rendahan dengan berkuda ataupun
dengan lari cepat menebas pohon-pohon pucang tadi dengan klewangnya masing-masing.
? Diantara para Tamtama rendahan ada pula yang ketangkasannya melebihi para perwira tadi, namun
belum ada juga yang dapat mengimbangi Indra Sambada. Para Senopati kagum akan ketangkasan yang
dimiliki oleh Indra Sambada.Hasil lomba krida yudha yang pertama segera diteliti dan dicatat oleh para petugas.
Selesai acara yang pertama, kini menyusul acara yang kedua. Ialah ketangkasan memanah. Para
Senopati Muda turut pula dalam lomba ketangkasan memanah ini, karena banyak digemari oleh
segenap Tamtama. Diantara pohon-pohon pucang yang berdiri, tergantung deretan boneka boneka
dengan jarak antaranya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari papah daun kelapa. Tinggi
antara tanah dengan boneka-boneka yang terpancang itu kira-kira segalah. Kini Para Senopati Muda
telah siap dengan busur dan tiga buah anak panah ditangan masing-masing. Jarak antaranya dengan
sasaran boneka-boneka itu adalah kira-kira 100 langkah. Gusti Surwendar mulai dengan bidikannya.
Busurnya telah dipentang dan sebatang anak panah lepas seperti kilat tepat mengenai sasaran. Anak
panah kedua dan menyusul anak panah ketiga dilepaskan dari busurnya. Satu persatu semua tepat
mengenai sasarannya. Semua kagum demi menyaksikan ketangkasan beliau.
Kini menyusul Gusti Senopati Muda Bharatarajasa mulai membidik. Anak panah satu persatu
dilepaskan hingga tiga kali. Ternyata satu diantaranya tidak mengenai sasarannya. Demikian pula Gusti
Pangeran Pekik. Beliau juga hanya berhasil dengan dua batang anak panah yang tepat dapat mengenai
sasarannya.
Gusti Adityawardhana segera mulai mementang busurnya. Sebuah anak panah terlepas dan tepat
mengenai sasaran yang dimaksud. Kini beliau memusatkan kekuatan bathinnya kembali. Dua batang
anak panah dilepaskan sekali pentang. dan kedua-duanya tepat mengenai sebuah boneka yang tadi
telah dipanahnya. Tiga batang anak panah kini berkumpul jadi satu tertancap di sebuah boneka papah
kelapa tadi. Semua yang melihat kagum akan ketangkasan yang luar biasa itu.
Tidak sedikit prijagung-prijagung turut geleng-geleng kepala serta memuji akan ketangkasan Gusti
Adityawardhana dalam hal memanah. Indra Sambada kini dapat gilirannya. Dengan tenang ia mulai
mementang busurnya. Sebatang anak panah segera dilepaskan dan tepat mengenai sasarannya. Kiranya
ia ingin pula memamerkan kepandaian panahan. Dua batang anak panah sisanya digenggam erat, untuk
kemudian ditaruh ditali busurnya.
Busur dipentang dengan pelan-pelan, sambil memusatkan tenaga batinnya, untuk kemudian disalurkan
dalam rasa pandangannya agar dapat mengemudikan lepasnya anak panah. Setelah bulat-bulat tenaga
bathin terkumpul, dua batang anak panah tadi dilepas sekali pentang.
Dan dua batang anak panah bersama-sama terlepas untuk kemudian bersimpang arah. Dua buah
boneka dikanan dan kiri boneka yang tadi terkena oleh panahnya yang pertama , tertancap masingmasing sebatang panah dalam saat yang bersamaan. Para Senopati berdiri ternganga dengan penuh rasa
heran. Kiranya bukan hanya para Senopati saja yang kagum akan kemahiran memanah Indra Simbada.
Sri Baginda Maharaja dan Gusti Patih Mangkubumi bersama-sama para tamu Kerajaan berkenaan
menaruh perhatian pula.
Telah dua kali Indra Sambada membuat kagumnya para pengunjung yang menyaksikan ketangkasannya
dalam lomba krida yudha.
Setelah semua tamtama mendapat giliran, dan hasil lomba tadi telah dicatat semua, maka sekarang
menyusul acara lomba krida yudha yang terakhir.
Lomba krida yudha yang ketiga atau terakhir ini diikuti oleh semua tamtama beserta para Senopati
Muda, Acaranya ialah lomba "sodoran", atau disebutnya pula "watangan". Perlombaan ini adalah
kegemaran para tamtama, baik yang turut berlomba maupun yang melihatnya.Gusti Adityawardhana dengan Gusti Bharatarajasa dibantu oleh Tumenggung Sunata memimpin
pasukan berkuda sebanyak 500 tamtama. Semuanya bersenjatakan tongkat sepanjang tangkai tombak,
yang tumpul diujung pangkalnya, dan mengambil tempat di-alun-alun sebelah barat. Gusti Surwendar
dan Pangeran Pekik dibantu oleh Tumenggung Indra Sambada memimpin pula pasukan tamtama
berkuda sebanyak 500 orang dan bersenjatakan tongkat sebagaimana senjata lawannya, mengambil
tempat kedudukan disebelah timur. Demikian para perwira-perwiranyapun dibagi dua dan dimasukkan
dalam klompok pasukan tadi.
Gong besar segera ditabuh oleh tamtama yang bertugas atas perintah Sang Senopati Manggala Yudha,
sebagai isyarat bahwa lomba "sodoran" dimulai.
Dengan riuh ramai pasukan menyerbu ditengah alun-alun untuk saling menjatuhkan lawannya dengan
tongkatnya. Para tamtama yang telah jatuh dari kudanya segera lari keluar dari tempat pertempuran itu
dan tidak diperkenankan turut lagi.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu sama lain pukul memukul, sodok-menyodok, dan ada pula yang memutar-mutarkan tongkatnya
untuk menjatuhkan lawan sebanyak-banyaknya dan dalam waktu se-singkat-singkatnya. Mereka yang
lepas akan genggaman tongkatnya segera merangkul lawan untuk menjatuhkan dengan bergulat diatas
pelana kuda.
Sebentar saja telah ratusan bergelimpangan ditanah. Mereka yang telah jatuh, segera bangkit dan
meninggalkan tempat pertempuran, karena takut terinjak injak kuda ataupun terpukul oleh temannya
yang sedang bertempur.
Para petugas mengawasi jalannya pertempuran dengan cermat, menjaga jika ada yang terluka daktm
lomba "Sodoran" itu.
Sorak sorai dari penonton memekakkan telinga, setelah melihat Gusti Bhamtarajasa jatuh
bergelimpangan ditanah terkena sodornya Gusti Surwendar. Pertempuran menjadi lebih seru lagi,
karena Gusti Adityawardhana memperlihatkan ketangkasannya, membalas menebus kekalahan yang
baru saja dideritanya. Gusti Surwendar digempurnya dengan sodokan sodor oleh Gusti Adityawardhana.
Segera terjadi pertarungan sengit.
Masing-masing memperlihatkan ketangkasannya. Tumenggung Sunata cepat membantu menjatuhkan
lawannya dari samping dengan pukulan sodornya. Tak ayal lagi , Gusti Surwendar segera jatuh terguling
ditanah. Dua orang tamtama petugas segera menjemputnya dan meneliti akan luka yang diderita.
Namun ternyata sedikitpun tak terluka. Beliau mengumpat?umpat sambil ketawa lebar, Indra Sambada
segera tampil menggantikan kedudukan Gusti Surwendar.
Dengan sodor ditangan kanannya Indra Sambada mengamuk menggempur siapa saja yang berada di
sekelilingnya. Dalam waktu singkat lawannya telah banyak yang bergelimpangan jatuh ditanah.
Tumenggung Sunata tak mampu pula menghadapi Indra Sambada, dan jatuh terguling untuk kemudian
meninggalkan gelanggang. Kini Senopati pasukan sodoran tinggal dua orang, ialah Indra Sambada
melawan Gusti Adityawardhana. Pasukan para tamtama yang masih bertempur seluruhnya tinggal
limapuluhan.
Indra Sambada langsung memacukan kudanya kearah Gusti Adityawardhana, namun lawannya tidak
kalah tangkasnya.Secepat kilat beliau menarik lisnya, sehingga kudanya terperanjat berdiri diatas kedua kakinya dengan
meringkik. Indra Sambada menubruk tempat kosong dengan tangkasnya ia segera membalikkan
kudanya dan memacunya kearah lawan. Kini ia telah berhadapan kembali dengan Gusti Adityawardhana
yang masih tegap duduk diatas pelana.
Beliau segera menyerang lebih dahulu dengan sabetan tongkatnya kearah lambung Indra Sambada,
yang segera ditangkis dengan tangkasnya memakai tongkatnya pula. Tongkat sama tongkat beradu
dengan dahsjatnya. Ternyata sewaktu memukul tadi Gusti Adityawardhana menggunakan kekuatan
bathinnya untuk mengukur kekuatan Indra Sambada. Namun siang-siang Indra Sambada telah
mengetahui, bahwa pukulan tongkat tadi berisikan pemusatan kekuatan bathin. Karena keinginan untuk
mengukur kekuatan lawan, maka pukulan disambutnya dengan tangkisan yang tak kalah dahsyatnya.
Telapak tangannya bergetar dan terasa pedih namun tongkat masih dapat ia menggenggam erat dengan
tangannya. Gusti Adityawardhana memandang dengan penuh rasa heran, karena ternyata tangannya
terasa pedih pula, bahkan hampir-hampir tongkatnya jatuh terlepas dari genggaman.
? Tumenggung Indra! ? seru beliau sambil bertempur. ? lekas selesaikan pertempuran ini. Pukullah
aku dengan ketangkasanmu. Aku akan memberi kesempatan, demi melihat dan menyaksikan sendiri
kesaktianmu. Kau adalah pemuda harapan. Cepat! ? beliau berseru lebih keras. Dan Indra, Sambada
segera tahu akan maksudnya. Dengan ketangkasan yang mengagumkan ia memutar tongkatnya diatas
kepala sebagai tangkisan terhadap semua pukulan yang dilancarkan oleh para lawan dan secepat kilat
putaran tongkat berobah menjadi pukulan yang dahsyat mengenai lengan Gusti Adityawardhana.
Terkena serangan lengannya oleh Indra Sambada beliau segera menjatuhkan diri bergulingan ditanah.
Kiranya Indra Sambada tak mau pula menerima pujian yang tidak wajar itu. Segera ia menyusul, jatuh
bergulingan ditanah pula. Namun para petugas telah memutuskan Indra Sambada sebagai pemenang.
Kembali sorak sorai gemuruh menggelegar diangkasa memekakkan telinga.--Gong besar segera dipukul lagi, sebagai tanda, bahwa lomba krida yudha telah selesai seluruhnya.
Tiba-tiba empat Tamtama pengawal Raja berjalan cepat rnenuju kearah Indra, dan segera berhenti
dihadapan Indra Sambada.
? Atas titah Tuan hamba Gusti Sri Baginda Maharaja, Gustiku Tumenggung, diperintah menghadap di
depan mimbar. ? berkata seorang diantara empat Tamtama pengawal Raja tadi.
Indra Sambada segera mengikuti mereka berjalan menuju ke depan mimbar dan berhenti berdiri
tegak, serta rnenghaturkan sembah kehadapan Sri Baginda Maharaja.
? Tumenggung Indra! ? Sribaginda Maharaja menyambut sembah Indra dengan berdiri serta
bersabda,?aku ingin melihat ketangkasanmu sekali lagi. Jika kau bersedia, banteng piaraanku akan
kuperintahkan untuk dilepas. Jika berhasil menundukkan dengan keris pusakamu itu, gelar "Banteng
Majapahit" ku berikan kepadamu, dan sekaligus ku angkat kau sebagai Manggala Muda Tamtama
Pengawal Raja. Bagaimana? sanggupkah engkau??
? Hamba selalu akan menunjukkan dharma bakti hamba kehadapan Gusti hamba Sri Baginda
Maharaja. Semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja kami junjung tinggi demi kejayaan Kerajaan.
? Indra menjawab dengan tidak ragu-ragu, dan menutup kata jawabannya dengan sembah.?Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera turun dari mimbar dan mendekati Indra
Sambada, seraya menepuk nepuk bahunya
? Kau putraku, harus dapat membuktikan kesanggupanmu. Aku akan membantumu dengan doa pada
Dewata Yang Maha Agung, ? beliau berkata lirih kepadanya.?
? Doa restu Gusti Pamanku semoga selalu menyertai hamba. ? Jawab Indra singkat.
Empat orang Tamtama segera diperintahkan untuk melepaskan seekor banteng piaraan yang
kandangnya berada di alun-alun sebelah timur Semua Tamtama segera menghunus pedang masingmasing dan berdiri dengan pedang terhunus berjajar rapat menyerupai pagar kokoh laksana benteng,
merupakan bentuk lingkaran yang luas didepan mimbar. Pagar yang dari para Tamtama itu berlapis
ampat. Yang berada didepan sendiri semua duduk bersila, dilapis kedua duduk berjongkok, sedangkan
lapis ketiga dan ke empat berdiri. Semua tak terkecuali, bersenjatakan pedang terhunus ditangannya.
Duapuluh Tamtama Pengawal Raja duduk bersila dimimbar siap siaga dengan busur dan anak panah
ditangannya, menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
Setelah Banteng dihalau dan masuk didalam gelanggang yang dipagari rapat oleh para Tamtama, Sang
Banteng segera berusaha untuk keluar dari gelanggang. Namun tiap-tiap kali ia mendekati para
Tamtama yang berjaga sabagai pagar tadi, berpuluh-puluh senjata segera diacungkan kearahnya. Sang
Banteng mendengus dengus dan kembali menggagalkan niatnya. Sorak ramainya para Tamtama yang
menghalau sang banteng untuk selalu berusaha agar banteng berada di-tengah-tengah lapangan,
menggema jauh diudara. Rakyat banyak pula yang memanjat pohon, agar dapat melihat lebih jelas
pertunjukkan yang mendebarkan penonton itu.
Banteng Istana itu adalah banteng jantan yang telah cukup usianya. Satu-satunya banteng yang
terpilih diantara berpuluh-puluh banteng lain yang telah tertangkap pada waktu berburu sebulan yang
lalu.
Dapat dibayangkan, bahwa banteng itu masih sangat liar dan lebih besar dibandingkan dengan
banteng-banteng Istana yang lain. Indra Sambada setelah mohon doa restu para Senopati dan sekali lagi
menyembah kehadapan Sri Baginda Maharaja segera melangkah maju menuju ke medan gelanggang.
Sambil berjalan ia mulai dengan semadhinya, mengumpulkan daja kekuatan bathin, untuk kemudian
dipusatkan, dan disalurkan melalui pancaran sinar matanya.
Indra Sambada kini memasuki gelanggang dan dengan tenang menghadapi banteng yang sedang
mendengus-dengus dcngan matanya yang telah merah. Dan air liur membuih keluar dari mulutnya. Kaki
depannya berganti ganti men-cakur-cakur tanah, dengan kepala menunduk sampai mulutnya menjamah
tanah. Indra Sambada dengan tak berkedip menatap mata banteng dengan sinar pancaran yang tajam
mengandung daya kesaktian. Kiranya banteng tak tahan menatap sinar pandangan Indra Sa mbada.
Kepalanya menunduk dengan membuang pandangan kebawah sesaat. Dan kini sang banteng dengan
tanduknya telah mulai menerjang kearah Indra Sambada.
Dengan tenang Indra mengelak terjangan banteng yang dahsyat itu, dengan hanya melangkah setindak
surut kesamping. Sang banteng yang menerjang sasaran kosong, kini membalik kan badannya dan
mengulangi kembali menerjang lawannya.Namun Indra dengan tangkas mengelak menghindari terjangan yang ketiga kalinya dengan gaya yang
sama. Kembali tampik sorak menggema berkumandang memekakkan telinga. Tetapi sesaat kemudian
segera sunyi kembali, karena semua menahan nafas dengan penuh kecemasan.
Setelah berulang-ulang dapat mempermainkan sang banteng Indra Sambada kini ingin segera
mengalhiri pertarungan yang sengit itu. la berdiri mendekati dengan kuda - kudanya yang kokok kuat
didepan banteng yang sedang mengamuk laksma banteng terluka, dengan matanya yang merah
menyala. Kepalanya ditundukkan dengan tanduknya hampir mengenai tanah.
Liurnya tambah membuih-buih dan mendengus-dengus menakutkan. Semua penonton menahan nafas
dengan hati yang ber-debar-debar karena tidak tahu akan kelanjutan cara Indra bertarung melawan
banteng itu. Semua penonton terpaku seperti patung, penuh rasa keheranan.
? Mengapa hingga detik ini Indra tak mencabut kerisnya, dan masih tetap bertangan kosong. Sri
Baginda Permaisuri dan para selir menutup matanya dengan kedua belah targannya. Sri Baginda
Maharaja sendiri menanti berakhirnya pertarungan dengan penuh kecemasan hampir-hampir beliau
menghentikan pertarungan itu, tetapi sang Senopati segera mencegah akan kehendak beliau.
Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang memiliki ilmu tenaga bathin yang telah mendekati
kearah sempurna, beliau segera tahu, bahwa lndra Sambada sedang metakaji kesaktiannya. Ingin pula
beliau turut menyaksikan aji kesaktian yang dimiliki oleh Indra Sambada.
Kini Indra Sambada mengerahkan pemusatan tenaga dalam untuk menghadapi benturan dengan
tenaga kekuatan lahir. Sebagian disalurkan kearah tangannya untuk menciptakan kekuatan genggaman,
sedangkan keseluruhan kekuatan yang telah memusat itu dimasukan dalam berat badannya sendiri.
Banteng menerjang lagi, tapi kini Indra Sambada tidik mengelak, bahkan menerima benturan kepala
banteng, dengan ketangkasan yang menakjubkan. Kedua belah tangannya memegang pada tanduk
banteng. Kekuatan yang menciptakan daya sakti itu adalah perpaduan ilmu dari ayahnya dan ilmu guru
Pendetanya dari Badung. Olehnya dan selanjutnya dinamakan aji sakti Badung Bandawasa. Banteng
dengan sekuat tenaga mencoba akan mengangkat badan Indra Sambada, namun Indra Samhada yang
sudah dilindungi oleh aji sakti Badung Bandawasa kini berat badannya menjadi sepuluh kali lipat.
Tak mampu banteng mengangkatnya. Banteng mendengus lagi degan mengeluarkan suara desisan
yang cukup mengerikan. Tetapi kembali sang banteng tak mampu mengangkatnya. Para penonton
seolah-olah berhenti detakan jantungnya demi menyaksikan suatu adegan pertempuran kedua kekuatan
yang dahsyat itu.
Setelah kekuatan banteng berkurang, maka Indra Sambada dengan kedua belah tangannya yang
berpegangan pada kedua tanduknya, segera mengkilirkan dengan pelan kepala sang banteng, hingga
sesaat kemudian banteng roboh ditanah dengan sepasang tanduknya masih dalam genggaman tangan
Indra Sambada. Kaki ke-empat-empatnya berkelejetan untuk berusaha berdiri, tetapi kini ia telah tak
berdaya. Sri Baginda Maharaja segera memberi isyarat untuk membunuh banteng itu dengan keris
pusakanya yang terselip dipinggangnya sebelah kiti. Tetapi Indra Sambada tak mau menodai keris
pusakanya dengan darah banteng.
Kekuatan yang telah terpusat dan mengalir keseluruh badannya, cepat dikumpulkan kembali dan
disalurkan ditelapak tangan kanannya. Kini pegangan pada sepasang tanduk banteng dilepaskan dan
dengan cepat tangan kanan Indra yang telah diisi dengan aji sakti Badung Bandawasa dikepalkanmenjadi tinju, untuk kemudian dipukulkan kearah kepala Banteng yang berada dihadapannya. Pukulan
yang dahsyat kini bersarang dikepalanya. Dan tak ayal lagi kepala banteng pecah seketika dengan
menyemburkan darah merah bercampur dengan otak yang pecah berantakan.
Tepuk tangan dan sorak sorai gemuruh memenuhi seluruh alun-alun dan berkumandang diangkasa
laksana merobohkan benteng baja .
Gong besar dipukul tiga kali dan dari keempat penjuru semua gamelan berbunyi lagi dengan lagunya
kebugiro.Semua penonton bersorak puas dan kagum akan kesaktian Indra Sambada yang masih semuda itu.
Delapan Tamtama datang menyambut Indra Sambada dan dipanggulnya ganti berganti sampai didepan
mimbar agung. Semua Senopati mengucapkan selamat serta menjabat tangannya.
Dan pada waktu itulah Sri Baginda Maharaja berkenan melantik Tumenggung Indra Sambada sebagai
Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, mewakili Gusti Senopati Adityawardhana dengan anugerah
gelar ? Pendekar Majapahit?.
Waktu pelantikan Indra Sambada, memenuhi adat upacara, mengucapkan janji pasti Panca Setya
Tamtama yang dipimpin oleh Pendeta Istana.
Demi Dewata Yang Malia Agung dan disaksikan oleh Alam Semesta, hamba berjanji:
1. Setia patuh dan taat akan semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan semua
perintah Pri-jagung yang menjabat lebih tinggi dari pada jabatan hamba.
2. Bersedia membela dan mempertahankan takhta Kerajaan Agung Majapahit hingga hembusan nafas
yang penghabisan
3. Bersedia membela dan mempertahankan keagungan nama Gusti hamha Sri Baginda Maharaja
Rajasenegara, dan bertanggung jawab akan keselamatan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja beserta Sri
Baginda Permaisuri dan keluarga Istana Kerajaan hingga hembusan nafas yang terakhir.
4. Bersedia membela dan menegakkan keadilan demi kesejahteraan Negara dan rakyatny.
5. Bersedia menjadi suri tauladan bagi seluruh Tamtama Kerajaan Majapahit dan segenap rakyat.
Perempuan Paris Karya Motinggo Busye Tugas Rahasia Karya Gan K H Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri

Cari Blog Ini