Ceritasilat Novel Online

Pendekar Majapahit 2

Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo Bagian 2


Demikianlah hamba mengucapkan janji pasti hamba de ngan penuh kesadaran akan hukuman dan
kutukan yang dilimpahkan oleh Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan Dewata Yang Maha
Agung. Apabila hamba tidak memenuhi janji pasti hamba.
Sampai disinilah Sambada sadar bahwa tugaslah sebagai rangkaian ucapan janjinya .. dan ia sadar
dari lamunannya.
* ** B A G I A N V
IRINGAN - IRINGAN perahu Iayar yang merupakan suatu armada besar, bergerak kearah barat dengan
susunan bentuk ?Anggang-anggang Samudra" atau serangga laut.
Sebagai pimpinan armada, ialah Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Bharatarajasa
sendiri. Beliau berada diinduk perahu armada yang berada di-tengah-tengah. Sedangkan tujuh belas
perahu layar yang mengangkut tamtama darat berada dibelakang induk armada. Delapan perahu layar
mendahuIui berlayar didepan samping Iimbung kanan dan kiri dari induk armada, sebagai kaki serangga
depan, sedangkan delapan perahu lajar lainnya, berada dibelakang buritan samping kanan kiri,
merupakan kaki serangga belakang. Iringan iringan armada perahu layar seluruhnya berjumlah 36 buah
perahu layar.Pada tiang, menara masing-masing berkibar Sang Saka Gula Kelapa dengan megahnya. Sedangkan
pada perahu induk armada disamping Sang Saka Dwi warna, berkibar megah bendera juaja kebesaran
tamtama Samudra berlukiskan naga bermakhkota warna metah diatas biru laut.
Dikala itu, musim barat daya.
Angin meniup dengan kencangnya. Layar-layar mengembang penuh, mempercepat lajunya perahuperahu yang sedang mengarungi samudra kearah barat.
Langit cerah. Sang Surya bersinar dengan teriknya.
Gelombang ringan ber-gulung-gulung dengan tiada hentinya. Terasalah goncangan-goncangan dalam
perahu, yang dindingnya selalu digempurnya oleh ombak yang ber-gulung-gulung itu.
Sejak meninggalkan bandar Gresik armada perah-perahu lajar telah lima hari lima malam mengarungi
samudra laut Jawa.
Kini iringan-iringan perahu-perahu layar merobah susunan bentuknya menjadi ?Naga Sungsang",
karena akan merobah haluan, memotong kearah utara untuk menuju ke Teluk Kumai.
Perahu-perahu melepaskan jangkarnya dan berlabuh tenang di Teluk itu, menunggu utusan dari
Kerajaan Kota Waringin.
Selama berlaiar hingga di Teluk Kumai sedikitpun tidak mendapat gangguan dari para bajak laut.
Ternyata perhitungan-perhitungan waktu, yang diberikan oleh Sang Senopati Manggala Yudha Gusti
Harya Banendra sedikitpun tidak menyimpang dari pada kenyataan kenyataan yang dialami. Menurut
perhitungan Sang Senopati Manggala Yudha, dalam musim Barat Daya, para bajak laut tidak akan dapat
leluasa mengganas disepanjang laut Jawa. Tetapi kemungkinan mereka merobah daerah
pembajakannya disepanjang pantai utara Kalimantan, di laut Cina Selatan. Mereka kemungkinan akan
berpangkal dipulau Serasan dengan menyeberangi Selat Api dari Muara Sambas. Didaerah itu, mereka
dapat merampok perahu-perahu dagang yang berlayar hendak menuju kekota-kota disepanjang pantai
Kalimantan, ataupun yang akan menuju Pilipina dari bandar Singgapura Sembilan Negeri.
Kiranya utusan dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului menunggu pula dipantai Teluk Kumai.
Dari para utusan mendapat berita bahwa pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin telah
mendahului berlajar menuju keteluk Sukadang dengan berkekuatan lima ratus Tamtama terpilih, dengan
lima ratus ekor kuda, serta lengkap dengan membawa perbekalan-perbekalan Tamtama untuk
cadangan.
Mereka selanjutnya akan menunggu didaratan sebelah Timur Utara Sukadana, antara sungai
Semandang dan sungai Matan, ditengah-tengah hutan belantara yang tidak pernah dilalui manusia.
Pasukan Tamtama Kerajaan Kota Waringin itu, telah meninggalkan Teluk Kumai pada dua hari yang lalu.
Tujuh belas perahu layar yang mengangkut pasukan Tamtama darat dibawah pimpinan Tumenggung
Indra Sambada dan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya segera diperintahkan oleh Sang Senopati
Muda Bharatarajasa, untuk mendahului berlajar menuju keteluk Sukadana, untuk kemudian
menggabung menjadi satu dengan pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin. Sedangkan armada
perahu perahu layar yang dipimpinnya, akan berangkat kemudian, setelah berlabuh di teluk Kumai
selama 3 hari, dengan tujuan langsung kebandar Pontianak dan pantai Singkawang.Dengan mengarungi Selat Karimata iringan perahu layar yang mengangkut Tamtama darat Kerajaan
Majapahit menepi kemuara sungai Pawan, menyusuri pantai Ketapang untuk kemudian tiba diteluk
Sukadana.
Indra, Sambada berserta seluruh pasukan segera mendarat dipantai Sukadana.
Lima orang tamtama penghubung dari pasukan Kerajaan Kota Waringin yang telah mendahului tiba
ditempat itu, menyambut kedatangan Indra berserta pasukan, dan kemudian menjadi penunjuk jalan
untuk menuju ketempat dimana pasukan dari Kerajaan Kota Waringin telah menunggu ber-kemah.
Kini pasukan dipimpin oleh Indra Sambada bergerak menuju kehulu sungai Semandang melalui hutan
belantara, mengikuti para tamtama penunjuk jalan. Sungguhpun dalam perjalanan darat tidak
mengalami rintangan-tintangan yang berarti, tetapi keadaan alam, membuat jalannya pasukan pasukan
sangat lambat. Sebentar-sebentar pasukan terpaksa berjalan mengitari daerah rawa rawa yang kiranya
tidak dapat diseberangi.
Satu hari semalam penuh dengan tidak berhenti sejenak pun, pasukan kini baru tiba dipersimpangan
sungai Semandang dan sungai Matan.
Hari telah berganti dengan malam. Para penunjuk jalan berhenti sesaat dan memekikkan suara
burung hantu tiga kali.
Suaranya terdengar melengking menggema dihutan belantara yang gelap gulita. Segera sunyi kembali
suara ditelan oleh sang gelap malam
Sesaat kemudian terdengarlah suara burung hantu yang sama, menyahut dari arah utara dalam rimba
yang gelap itu. Pasukan bergerak lagi kearah utara, mengikuti para penunjuk jalan. Tak lama berselang,
setelah menyusupi hutan belantara mereka tiba di daratan terbuka yang luas sekali. Dari jarak jauh,
telah kelihatan samar-samar kubu-kubu darurat, sebagai tempat berteduh untuk para tamtama pasukan
dari Kerajaan Kota Waringin, yang menunggu datangnya pasukan dari Kerajaan Majapahit itu.
Dengan penghormatan yang sederhana serta singkat, pimpnan tamtama pasukan dari Kerajaan Kota
Waringin menyambut kedatangan Indra Sambada berserta pasukan-pasukannya.
Seluruh pasukan, terkecuali yang bertugas bergilir sebagai pengawal, diperkenankan untuk segera
beristirahat dikubu-kubu darurat yang telah disiapkan itu.
Bertindak sebagai pimpinan pasukan tamtama Kerajaan Kota Waringin, adalah Senopati Manggala
Yudha Pangeran Pati Andrian. Beliau adalah putra yang tertua, calon pengganti Raja Kota Waringin,
apabila ayahnya kelak turun takhta. Beliau bertubuh kecil padat, dengan otot-otot yang kokoh kuat,
serta tangkas. Sikapnya ramah tamah, dan gemar bergurau. Wajahnya memancarkan sinar
kebangsawanannya.
Beliau berusia tidak lebih dari 35 tahun.
Pada esok paginya para pimpinan tamtama dibawah Indra Sambada merundingkan tentang siasat
penyerangan yang akan dilakukan pada malam pertama bulan purnama yalah tiga hari lagi.
Malam hari telah telah tiba, kini seluruh pasukan telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan
menunggu perintah dari para pimpinan.Sepertiga dari jumlah kekuatan seluruhnya, sebanyak 500 tamtama yang tangguh dalam ilmu yudha,
dipimpin oleh Indra Sambada bergerak dengan berkuda kearah barat daya, dengan tujuan : diluar
daerah kota Pontiauak sebelum menyeberang sungai Kapuas.
Dua pertiga dari jumlah kekuatan sisanya, bergerak kearah Timur jauh dengan tujuan desa Tayan,
sebuah desa dipinggir hulu sungai Kapuas dibawah pimpinan Sang Senopati Pangeran Pati Andrian
dengan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya.
Tempat dimana para pasukan tamtama barpisah itu, kini telah menjadi sebuah kota yang dinamakan
kota ,,Simpang". Karena dari tempat itulah mereka bersimpang jalan.
Setelah pasukan yang dipimpin oleh Indra Sambada tiba ditempat yang dituju, segera mereka
membuat kubu-kubu darurat ditengah-tengah disebuah desa, sambil menunggu saat yang ditentukan
untuk melakukan serangan. Desa itu kini menjadi sebuah Kota pula, yang lazim disebut orang Kota Kubu.
Penduduk desa sekitarnya, berduyun-duyun datang untuk memberikan bantuan berupa makanan dan
lain-lain hingga perbekalan pasukan menjadi ber-limpah-limpah. Para pemuda-pemuda tak ketinggalan
datang berduyun-dujun, untuk menyerahkan jiwa raganya, agar dapat diterima sebagai pembantu
pasukan atau merupakan pasukan cadangan. Mereka ingin menunjukkan dharma bhaktinya untuk tanah
tumpah dara nya.
Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pribumi asal dari daerah kota Pontianak, yang telah
diusir oleh para bajak laut Cina yang sekarang berkuasa didaerah Pontianak itu.
Oleh Indra Sambala para pemuda desa itu dibagi dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok
dipimpin oleh tamtama kerajaan yang telah mahir.
Satu kelompok ditugaskan sebagai pengawal dan penunjuk jalan. Satu kelompok lagi diserahi tugas
membawa perbekalan makanan dan senjata-senjata cadangan, sedangkan kelompok ketiga yang terdiri
dari pemuda pemuda yang terpilih itu, dijadikan pasukan-pasukan cadangan dengan tugas turut
menyerbu dan membumi hanguskan kubu-kubu bangunan-bangunan dari fihak lawan. Kelompok
pemuda ketiga-tiganya diberi latihan singkat serta petunjuk-petunjuk yang jelas oleh para pimpinan
masing-masing.
Hari yang clinanti-nantikan telah tiba. Pada senja malam pasukan menyeberangi sungai Kapuas
dengan perahu - perahu sampan. Tak seorangpun berani mengeluarkan suara, sewaktu menyeberang.
Mereka melakukan semua perintah dengan patuh taat dan seksama.
Setelah seluruh pasukan dengan perbekalannya berada di-seberang utara sungai Kapuas, mereka
berjongkok tidak bergerak dalam susunan bentuk bulan sabit, disepanjang tebing sungai Kapuas. Indra
Sambada berjongkok didepan pasukannya sebagai bintang di-tengah-tengah bulan sabit.
Didepan mereka kini terbentang dataran yang luas sejauh mata memandang
Diatas dataran yang luas itu, berdiri berserakan kelompok-- kelompok bangunan rumah-rumah
sebagai tempat tinggal para bajak laut dengan keluarganya. Sinar lampu lampu minyak dalam
perumahan serta halaman-halaman, dari jauh kelihatan gemerlapan menunjukkan suatu kota yang
indah.Telah lama kebesaran sang surya hilang ditelan oleh kegelapan malam, dan kini terbitlah bulan
purnama menerangi seluruh alam.
Pontianak adalah sebuah kota ditepi pantai laut selat Karimata dan merupakan bandar pelabuhan
yang cukup besar. Dengan memasuki muara sungai Kapuas perahu-perahu layar dapat berlabuh menepi
daratan dikotanya.
Sejak kota itu digunakan sebagai sarang bajak laut, tidak ada lagi perahu dagang yang berlabuh
dibandar itu, terkecuali perahu-perahu layar milik para bajak laut sendiri. Kotanya adalah suatu dataran
yang berada ditengah-tengah antara muara sungai Kapuas dan sungai Landak. Sebagian dataran dekat
muara sungai Landak merupakan tanah rawa. Dataran itu membentang luas ketimur jauh sampai di desa
Sasak. Setelah itu merupakan hutan be!ukar dan rawa-rawa yang tidak pernah dilalui manusia.
Dengan pelan sang bulan melintasi menembus awan putih yang mengurungnya, naik keketinggian,
mengikuti perintah alam gaib.
Indra Sambada bersemadi untuk mengumpulkan kekuatan bathinnya.
Panah api dilepaskan dari busurnya, jauh diketinggian. Sesaat kemudian dari dua jurusan barat dan
timur terlihat pula lintasannya panah api.
Segera Indra Sambada mernberikan isyarat merubah susunan bentuk pasukannya bergerak cepat,
menjadi ?burung gelatik neba", menyerbu kearah kubu-kubu para bajak laut. Limaratus Tamtama
berkuda menyerbu dengan suara riuh ramai, sedangkan para pemuda-pemuda desa mengikuti
dibelakangnya dengan berlari-larian.
Pada saat yang sama diatas pantai Pontianak mendadak kelihatan awan gelap bergulung-gulung
membubung tinggi dan kemudian sinar merah membara menjulang keangkasa. Ternyata pasukan
Tamtama samudra sedang membakar seluruh perahu-perahu layar milik para bajak laut yang sedang
berlabuh serta bangunan-bangunan yang berada didekat pantai. Suasana yang tadinya sunyi tenang kini
berubah menjadi kacau balau. Suara jeritan perempuan-perempuan dan tangis anak-anak kecil
bercampur aduk dengan dampratan serta beradunya senjata senjata yang sedang bertempur dan derap
larinya kuda yang tak tentu arahnya. Bangunan bangunan rumah yang berkelompok disana-sini, kini
menyusul menjadi lautan api pula. Ini adalah karya para pemuda desa yang diserahi tugas untuk
membumi hanguskan. Semakin lama semakin gaduh dan kacau balau.
Para bajak laut Cina dengan gigih mcngadakan perlawanannya. Ratusan manusia menjadi korban
dalam pertempuran yang dahsyat itu. Indra Sambada dengan pedang terhunus ditangannya mengamuk
laksana banteng. Setiap lawan yang dihadapi, tidak diberi ketika pula untuk hidup. Pedang ditangannya
telah basah berleprotan darah. Dalam pertempuran yang dahsjat, masih pula ia ingat memberi perintah
dengan suara lantang dan nyaring agar para pemuda menyelamatkan orang orang perempuan dan anakanak.
Pasukan Tamtama samudra mengurung pula kedudukan lawan, sehingga para bajak laut yang akan
melarikan diri kearah pantai menemukan ajalnya.
? Buang senjata, jika mau menyerah!? bentak Indra Sambada dengan suara lantang dan parau.
Suaranya jelas dan berwibawa.Karena mellat kenyataan, para bajak laut telah terkurung rapat dan jumlah pasukannya kini jauh
tidak seimbang, maka separo bahagian dari sisa yang mnasih hidup segera membuang senjatanya dan
menyerahkau diri, dengan kedua belah tangannya diangkat tinggi diatas kepalanya. Yang menyerah
segera memisahkan diri, dan dijaga kuat oleh para Tamtama samudra. Sedangkan yang belum mau
menyerah masih sibuk bertempur melawan maut.
Jumlah korban bajak laut kini stmakin bertambah. Dengan tiba-tiba kira-kira seratus orang bajak laut
yang berkuda lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju kearah timur. Indra Sambada beserta
para Tarntarna segera memacukan kudanya, mengejar lawan yang sedang melarikan diri itu. Tidak
terduga-duga, para bajak laut telah masuk dalam perangkap.
Mereka terkurung rapat oleh pasukan Tamtama yang dipimpin oleh Sang Senopati Pangeran Andrian,
yang bergerak dari Timur dengan bentuk susunan garuda melayang. Sayap kiri pasukan menutup sampai
tebing sungai Kapuas, sedangkan sayap kanan yang dipimpin oleh Turnenggung Tjakrawirya menutup
melintang sampai di tebing sungai Landak.
Karena tiada harapan untuk meloloskan diri melewati arah timur, maka mereka melarikan kudanya
kearah utara namun disitu, pasukan dibawah Tumenggung Cakrawirya bergerak dengan tangkasnya.
Para bajak laut segera kembali terkurung rapat, dan kini seluruh pasukan merobah susunan bentuknya
menjadi ?sapit udang" untuk mengunci semua jalan. Pertempuran kembali dahsyat.
Para bajak laut gigih tidak mau menyerah. Mereka menggunakan keakhliannya dalam melemparkan
kampak sebagai senjata terakhir. Tiap kampak berkelebat berarti satu dua Tamtama direnggut jiwanya.
Tumenggung Indra Sambada segera memacu kudanya masuk dalam kancah pertempuran.
Demikianpun Tumenggung Cakrawirya segera mengikuti masuk dalam gelanggang. Dengan tombak
ditangan kanannya dan perisai ditangan kiri, Tumenggung Cakrawirya menerjang maju dalam
pertempuran. Tiap-tiap lawan yang tidak mampu menghindari gerakan tombaknya segera jatuh terkulai
menjadi mayat. Dengan tidak terduga-duga, sebuah kampak meluncur kearah kepalanya Tumenggung
Cakrawirya dari belakang. Tetapi sebelum kampak jatuh pada sasarannya, pedang Indra Sambada
berkelebat menyambutnya dengan teriakan nyaring
? Kargmas Tumenggung Cakra! Awas kampak dari belakang! ?
? Trimakasih,? jawabnya singkat. Dan dengan demikian Tumenggung Cakrawirya terhindar dari
bahaya maut. Desa di tempat pertempuran ditepi sungai Landak itu kemudian dinamakan desa
Karangabang dan kini menjadi sebuah kota yaing disebut orang dengan singkatan Ngabang.
Setelah jumlah bajak laut Cina itu tinggal kira - kira tigapuluh orang lagi, dan mereka menyadari,
bahwa tidak mungkin melarikan diri, karena terkurung rapat, maka salah satu orang diantaranya, yang
berbadan tinggi besar dengan kumis dan jenggotnya yang tebal segera melemparkan senjatanya dan
mengangkat kedua belah tangan, tanda menyerah. Tindakan orang cina itu segera diikuti oleh para bajak
laut lainnya. Ternyata orang Cina yang tinggi besar itu adalah pemimpin dari gerombolan bajak laut,
bernama Tjek Sin Tju.
Semua para bajak laut yang menyerah segera dikumpulkan dan dikawal menuju kekota kembali.
Pertempuran itu berlangsung sampai pagi hari.Jumlah korban pada kedua belah fihak tidak sedikit. Dari para bajak laut terhitung lebih dari tigaratus
orang meninggal dan tidak kurang dari duaratus luka-luka, sedangkan dari para Tamtama penyerang
terhitung kira-kira seratus tigapuluh orang meninggal dan lebih dari seratus limapuluh orang luka-luka
parah dan ringan.
Pasukan dengan dibantu oleh para pemuda desa dengan cepat mendirikan bangunan - bangunan
darurat, disamping membikin betul bangunan - bangunan yang belum musnah termakan api. Para
tawanan bajak laut dikumpulkan jadi satu dalam bangunan darurat yang besar dan dijaga kuat oleh para
Tamtama. Sedangkan yang luka-luka segera diberi pera watan pengobatan seperlunya.
Dihadapan Indra Sambada, Tjek Sin Tju pemimpin bajak laut tadi menyatakan penyesalannya atas
perbuatan-perbuatan yang telah dan berjanji akan selalu patuh, taat dan setia kepaa Kerajaan Majapahit
dan Kerajaan Kota Waringin. Ia berjanji pula bahwa selanjutnya akan bertanggung jawab penuh atas
para anggota beserta keluarganya yang dibawah pimpinannya untuk menempuh penghidupan baru
secara bertani atau berdagang yang wajar.
Ia mohon diberi ampunan dan mohon pula diijinkan menetap didaerah Pontianak, karena bagi mereka
tidak ada kemungkinan untuk kembali ke negeri asalnya.
Mengingat akan kejujuran hati dari orang - orang Cina itu maka Indra Sambada mengambil keputusan
yang sangat bijaksana. Seratus orang Cina dengan keluarganya diperkenankan menetap di Pontianak
dan menjadi orang pribumi ditempat itu, sedangkan lainnya diperintahkan menetap didaerah desa
Singkawang karena disana tanah yang subur untuk bertani masih sangat luas.
Orang pribumi Pontianak asli yang mengungsi, segera diperintahkan kembali. Scdangkan rumahrumah dan ladang-ladang serta harta bendanya yang masih ada, dikembalikan kepada pemiliknya
masing-masing.
Sebagai tanda terima kasih atas kemurahan hati yang diberikan oleh Indra Sambada, para cina itu
segera membagi-bagikan harta kekayaannya yang masih ada kepada para orang-orang pribumi asli yang
kembali.
Tiga malam berturut-turut diadakan pesta kemenangan. Rakyat dari desa sekitarnya turut serta
merayakan pesta kemenangan itu. Kini para bekas bajak laut yang menyerah beserta keluarganya, tidak
lagi diperlakukan sebagai tawanan. Mereka diperkenankan ikut pula meramaikan perayaan yang
dilangsungkan itu.
Sang Senonati Muda Manggala Tamtama samudra Gusti Bharatarajasa, tidak henti-hentinya
memberikan pujian atas ketangkasan dan kebijaksanaan lndra Sambada. Beliau selanjutnya
menyerahkan kuasa penuh kepada lndra Sambada dalam memimpin seluruh pasukan, serta me-ngatur
daerah yang bru saja dibebaskan dari cengkeraman bajak laut itu ..
Kira-kira ampat bulan lagi musim barat daya akan bertukar dengan pasat tintur laut. Sambil
menunggu datangnya pasat timur laut, untuk memudahkan dalam perjalanan pulang ke Majapahit, para
tamtama bersama para rakyat diperintahkan oleh Indra Sambada mendirikan bangunan rumah-rumah
baru serta jalan-jalan ke desa-desa sekitarnya secara gotong-royong.
Dengan demikian Pontianak menjadi kota ,yang indah kembali, bahkan lebih indah dari sebelumnya.
Sampan - sampan dan perahu - perahu layar yang telah dibakar ataupun dirusak segera diperbakikembali secara gotong royong pula. Tambak-tambak sungai diperbaiki dan diperkokoh uutuk mencegah
banjir dalam musim hujan yang akan datang. Rakyat sangat menghormati dan menghargai akan
keluhuran budi para Tam-tama Kerajaan Majapahit itu.
Demikian pula Tjek Sin Tju berserta para Cina yang berada dibawah pimpinannya. Sebagai tanda bukti
kesetiaannya penghargaan yang tinggi terhadap Indra Sambada, Tjek Sin Tju memberikan sebuah
boneka emas murni sebesar ibu jari kaki buatan negeri asalnya, yang didalamnya berisi dua butir pil obat
pemunah segala macam racun.
Menurut keterangan Tjek Sin Tju sebutir pil apabila diminum, maka selama waktu lima tahun akan kebal
terhadap serangan racun, baik yang meliwati peredaran darah karena luka, maupun yang melalui
pencernakan.
Kini hujan mulai jatuh, pasat timur laut talah tiba. Pohon-pohonpun mulai bertukar daun. Seluruh
pasukan tamtama kerajaan meninggalkan bandar Pontianak. Armada bergerak mengarungi samudra


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju kebandar Gresik untuk kemudian kembali kekota Kerajaan.
Setelah tiba di Kota Kerajaan Majapahit, Sri Baginda Mahara ja berkenan mengadakan pasewakan
agung untuk menyambut kedatangan para tamtama berserta pimpinannya. Dalam pasewakan agung itu
Gusti Bharatarajasa dan Indra Sambada menghaturkan laporan mengenai titah yang telah dijunjung
tinggi dan dilaksanakan dengan sempurna.
* ** B A G I A N V I
MENJUNJUNG TITAH Gusti hamba Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, hamba berdua
diperin.tahkan rnenjemput Gusti Tumenggung Manggala Indra, untuk menghadap segera kehadapan
Gusti Senopati di Istana Senopaten ? Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang diantara yang dua
Tamtama pengawal Senopaten, yang, baru saja tiba, setelah turun dari kudanya asing-masing dan
dengan langkah tegap menemui Indra, Sambada dipendapa tempat kediamannya.
Kata demi kata diucapkan dengan jelas dan ditutup dengan sembah sebagai penghormatan. Dengan
sikap _tegap kedua Tamtama menunggu jawaban dari Indra Sambada.
Sesaat Indra Sambada diam sebagai patung, penuh diliputi pertanyaan dalam kalbunya, akan isi
maksud dari panggilan yang tidak diduga terlebih dahulu.
Tetapi ia sebagai seorang satrya yang terlatih sempurna segera dapat menguasai dirinya.
? Tunggulah diluar ! saya akan berkemas dan segera ber-samamu menghadap Gusti Senopati. ?
Jawaban itu diucapkan singkat dan tegas, setelah mana Indra masuk kedalam untuk ganti dengan
pakaian kcbesaran sebagai Manggala Muda Tamtama.
Kereta berkuda empat dengan kusirnya telah siap pula dihalaman depan, menanti perintah
selanjutnya. Tidak lama kcmudian Indra Sambada langsung naik dalam kereta. Kusir segeramenggerakkan cambuknya,dan terdengarlah suara cambukan mengampar diudara sabagai tanda abaaba kepada dua pasang kuda yang menarik Kereta
? Cepat ! -- perintah Indra kepada kusir. Kereta berjalan dengan laju, melalui jalan besar yang menuju
ke Mojo-Agung, dengan didampingi oleh dua tamtama pengawal Senopaten, berkuda disamping kanan
kiri.
Waktu itu menjelang tengah malam. Awan tebal menggantung diangkasa. Bintang satupun tidak
nampak kelihatan, namun hujan tidak turun juga.
Sebentar-sebentar terdengar guntur menggelegar diangkasa dan mengumandang jauh. Suasana
disekelilingnya sunyi dan gelap gulita. Tetapi sang kusir kiranya telah faham sekali akan liku-likunya jalan
yang harus dilalui.
Tiada seorangpun yang berbicara diperjalanan. Indra Sambada diam dalam kereta dengan rasa penuh
kecemasan. Gerangan apakah yang menjadi sebab, hingga ia dipanggil untuk menghadap Sang Senopati
pada tengah malam ini? pertanyaan itu selalu mengiang dalam angan-angannya. Tetapi tetap
merupakan pertanyaan yang tidak dapat diljawab olehnya sendiri.
Dalam pasewakan agung siang tadi, ia baru saja berjumpa pula dengan Gusti Harya Banendra. Bahkan
ia berkenan menerima pujian dan tanda jasa atas hasil yang gemilang dalam menunaikan tugasnya ialah
menundukkan geromblan besar bajak laut Cina di Pontianak itu.
Setelah mendapat ketenangan sejenak ia mengatur pernapaan dan segera bersemadi untuk
mendapatkan kekuatan bathin serta sinar penerang dari Yang Maha Agung. Sesaat dalam semadinya ia
melihat Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra sedang duduk bersila dengan wajah yang
muram dalam lamunannya. Kini ia tahu bahwa ada persoalan yang sangat rumit didepannya, tetapi soal
apa, tetap ia belum dapat menebaknya.
Ia berusaha selalu untuk menenangkan dirinya dengan berulang-ulang bersemadi. Entah berapa lama
sudah perjalanan yang telah ditempuhnya. Dengan keadaan dibawah sadar karena lamuaan, kini kereta
telah memasuki Istana Senopaten alap-alaping ayudha.
Suara aba-aba dari Tamtama Istana yang memberi penghormatan padanya membuat ia terbangun
dari lamunannya dan menyadarkan dirinya kembali. Pintu kereta dibuka oleh Tamtama pengawal
dengan penghormatan yang layak, dan Indra Sambada segera bangkit dari tempat duduk untuk
kemudian turun dari keretanya. Ia menyambut penghormatan Tamtama pengawal, dengan anggukan
acuh tak acuh. Dan dengan langkah yang lebar ia memasuki pendapa agung dan langsung menuju
keruangan tamu dalam Istana.
Gusti Harya Banendra kiranya telah duduk bersila menantikan kedatangannya. Setelah Indra Samhada
menghaturkan sembahnya dengan penuh hormat, segera ia mengambil tempat duduk dihadapan beliau,
dengan muka tertunduk.
? Hamba Indra Sambada memenuhi titah Gusti Hamba, telah menghadap. ? Itulah kata-kata yang
dapat diucapkan oleh lndra Sambada, dan kembaIi ia menundukkan mukanya.
Suasana sunyi sesaat, Sang Senopati tidak segera menjawab. Beliau memandang kearah Indra
Sambada dengan sinar mata yang tajam.Terasalah oleh Indra Sambada suatu kekuatan perbawa yang disalurkan melalui sinar pandangan,
sebagai tajamnya pisau yang menyayat menembus keulu hatinya. Cepat Indra Sambada bersemadi
untuk memantulkan kembali kekuatan sinar pandangan yang diterimanya, dan tidak lama kemudian
Indra mendengar helaan nafas panjang dari Gusti Harya Banendra.
? Indra Sambada, ? pelan tapi cukup jelas Gusti Harya Banendra mulai bicara dengan nada yang
berat
? Panggilan ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugasmu, tetapi semata mata sebagai ajah
yang ingin mengetahui isi hati dari seorang putranya. ? Beliau diam lagi sejenak dan kembali menghela
napas yang dalam.
Kini Indra Sambada semakin tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh beliau. Ia mencoba merabaraba isi maksud kata-kata Sang Senopati, tapi tetap tidak dapat menjawabnya.
? Ketahuilah, wahai Indra, ? demikian beliau melanjutkan kata-katanya, ? sejak kau pada waktu
pertama kali menghadap, aku telah menjelaskan padamu, bahwa dalam hatiku kau kuanggap sebagai
puteraku sendiri, dan kiranya memang harus demikian karena mengingat hubungan kekeluargaan
mcndiang almarhumah Ibumu. Maka adalah seharusnya
73 kau berterus terang padaku dengan tidak usah menyembunyikan sesuatu rahasia, rasa malu atau segan
terhadapku. Scbagai ayah, aku selalu berusaha untuk membimbing kau agar kelak menjadi seorang
ksatrya yang dapat menjadi suri tauladan bagi lain-lainnya. Tetapi kiranya harapanku ini, kau tidak
memperdulikan. ? Kembali beliau diam scjenak dan menghela napas.
Kata-kata terakhir dirasakan oleh Indra Sambada sebagai petir yang menyambar kepalanya. Hampirhampir ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kini dirasakan semakin tambah gelap dan pekak,
karena sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan beliau.
? Ramanda, Gusti hamba.? Indra memotong kata beliau dengan menyembah. ? Hamba belum juga
dapat menangkap isi maksud titah Gusti. Apabila hamba ba.buat sesu .tu kesalah-an, yang kiranya tidak
hamba sadari, dan dapat diampuni, hamba bersedia untuk menerima pidana dari Gusti Hamba dengan
tulus iklas. Tetapi agar hamba tidak merasa penasaran, kiranya perkenankanlah hamba molion
penjelasan tentang kesalahan yang hamba telah perbuat itu.? Ia kembali menundukkan mukanya,
dengan hati yang berdedar-debar menunggu jawaban Sang Senopati.
Sungguh aneh, apabila kau tidak tahu kesalahanmu. - Sang Senopati melanjutkan bicaranya dengan
nada penuh marahan. ? Sungguhpun perbuatanmu itu tiada pidana yang menghukummu, namun
perbuatanmu adalah suatu perbuatan yang terkutuk. Ketahuilah, bahwa siksaan bathin akan
merupakan nestapa yang lebih berat dari pada pidana lahir yang di-terima hanya memenuhi hukum
praja.?
?Secepat beliia melontarkan , kemarahannya, secepat itu pula beliau berubah tenang kembali dan
melanjutkan kata-katanya dengan nada yang berat, penuh rasa penyesalan. - Yah, . mungkin juga
kau tidak sadar akan perbuatanmu itu.Sang Senopati segera menceritakan riwayat mala petaka yang menimpa keluarga ki Lurah Somad.
Tiga bulan yang telah, ki Lurah Somad meninggal dunia karena bunuh diri.74
dengan keris pusakanya, dan satu bulan kemudian Nyi Lurah Somad menyusul suaminya bunuh diri pula
dengan djalan minum racun.
Anak yang baru lahir ditinggalkan dengan sepucuk surat tertuju pada Indra Sambada yang isinya
menyerahkan anak itu kepada Indra Sambada sebagai ayahnya yang sesungguhnya- Suatu fitnah yang
amat keji dan sangat kejam terhadap dirinya. Dan . suatu fitnah yang amat sukar untuk disanggahnya.
Sama sekali ia tak menduga, bahwa Sawitri yang ia anggap dengan tulus ikhlas seperti ibunya sendiri
dapat berbuat sekejam itu.
Ia lebih rela untuk menerima tikaman tajamnya ujung pedang yang bersarang di uluhatinya, ataupun
tertancapnya seribu anak panah di sekujur badannya dalam medan Yudha dari pada terkena fitnah yang
demikian. Akan tetapi, apa daya. Dengan kata-kata saja tak mungkin ia dapat membantah tuduhan
yang amat keji terhadapnya ..
Bahwa ia mencintai Sawitri Nyi Lurah Somad, memang benar. Dan ini diakuinya, akan tetapi, cinta
sebagai anak terhadap ibunya, untuk berbuat yang demikian jauh sebagaimana dituduhkan padanya, ia
tak mungkin sampai hati.
Budi baik dari Ki Lurah Somad dan kasih sayang dari Sawitri, melebihi dari segala-galanya. Semua itu
selalu terngiang-ngiang.
Hatinya bergolak, namun tenggorokannya terasa kering dan tersumbat. Pandangan matanya menjadi
kabur berunang kunang. Hampir indra Sambada jatuh pingsan .. tidak sadarkan diri setelah
mendengar dengan jelas apa yang telah terjadi atas keluarga Ki Lurah Somad. Dirasakannya kepala
sangat pening, badan melajang ringan. Ia tak mampu menahan terkulainya badan. Sebagai seorang
Senopati Manggala Yudha yang berilmu tinggi, beliau segera dapat membaca isi hati Indra Sambada.
Dengan kekuatan bathin yang disalurkan melalui getaran suara beliau segera dapat menyadarkan Indra
Sambada. Kini beliau berbicara dengan penuh rasa haru ? Indra putraku segala sesuatu telah terjadi.
Menyesal dikemudian tak ada artinya. Yang penting adalah pemikiran untuk selanjutnya, dan akibat
kesalahan yang kau perbuat hendaknya menjadi cambuk untukmu dalam menunaikan tugasmu sebagai
seorang ksatrya. Ketahuilah, bahwa rahasia ini sesungguhnya hanya aku dan Tumenggung Sunata yang
tahu. Kepada Sunata telah kuperintahkan untuk menutup rapat akan rahasia ini, demi menjaga nama
baikmu, karena noda yang kau miliki adalah nodaku pula.
---Gusti hamba yang pantas hamba junjung ? Indra Sambada berkata dengan mata berlinang
menahan keluarnya air mata, ? Hamba menyerahkan diri, dan pidana apapun yang akan dilimpahkan
akan hamba jalani dengan tulus iklas. Hamba tidak akan dapat tenang, sebelum menerima pidana dari
Gusti hamba. ? Ia tak dapat berkata lain daripada itu.
Sedikitpun ia tak akan membantah fitnah yang amat keji, sebelum ia dapat membuktikan kebersihannya
dengan menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya. Ia telah bertekad untuk menelan mentah-menta semua tuduhan keji, demi menguji ketabahan diri, serta untuk menebus noda-noda yang
mengotori dirinya.
? Cukup, cukup ! ? Sang Senopati memotong pembicaraan Indra Sambacla. ? Kini aku tahu bahwa
kau telah mengakui kesalahanmu dengan ketulusan hatimu dan penuh penyesalan. Sedikitpun aku tidak
ada niat untuk menjatuhkan pidana kepadamu. Hanya permintaanku, ke3alahan yang telah kau lakukan
tak terulang lagi.
Dengan menyembah dan mencium lututnya Sang Senopati, Indra Sambada berkata ? Budi kebaikan
Gusti hamba yang tak ternilai, hamba tidak akan mampu membalasnya. Kini perkenankan hamba
mengundurkan diri serta sembah hamba mohon disampaikan Gusti Ayu. ?
Indra Sambada segera bangkit dan meninggalkan Istana Senopaten.
Dikala itu telah menjelang fajar. Awan gelap yang menggantung diangkasa kini telah tak nampak lagi,
kiranya angin menyapu bersih, hingga langit kelihatan biru cerah penuh dengan bintang-bintang yang
bergemerlapan.
Sampai dirumah Indra scgera masuk dikamar tidurnya. la merebahkan diri, tetapi sedikitpun rasa
kantuknya tidak ada. Ia duduk kembali untuk kemudian bersemadi, mobon ampun kepada Sang Maha
Agung.
Tetapi wajah Nyi Lurah Somad masih selalu nampak mengganggunya dalam ia bersemadi. Terkenanglah
ia kembali akan ketulusan budi Nyi Lurah Somad pada waktu yang lampau. Ber-ulang-ulang surat wasiat
itu dibacanya ..
Yaa . akupun sesungguhnya menghormati kau. Akan tetapi, mengapa kau demikian kejam
terhadapku - bisik suara hatinya.
Akan tetapi, . untuk menghilangkan rasa kebaikan budinya, ternyata tak mudah sebagaimana ia
kehendaki.
? Andaikan aku tak menetap dirumah Ki Lurah Somad malapetaka ini tentu tak akan terjadipikirannya. Dan kemudian dengan pelan ia mengucapkan doa untuknya: ? Semoga Dewata Yang Maha
Agung Mengampuni dosa dan kesesatanmu! ? Pada dirinya sendiri ia berjanji, bahwa ia akan menutup
rapat rahasia ini, walaupun ia harus mengorbankan nama baiknya. Dan iapun harus pula dapat
menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya.
Akan tetapi bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengiasyafkan serta membimbingnya
ke arah yang benar, demi kelangsungan hidup dan nasib anak malang yang kini dituduhkan sebagai
anaknya sendiri itu.
Suara ayam jantan sajup-sajup terdengar saut menyaut dari jauh yang kemudian lebih jelas terdengar
karena diikuti oleh suara Ayam-ayam jantan yang berada disekitar kediamannya, suatu tanda bahwa
sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Hari berganti siang, dan siang telah berganti malam. Indra Sambada masih saja tenggelam dalam
lamunannya. Satu hari tadi hidangan makanan yang disediakan untuknya, sedikitpun tidak dijamah.
Pesan ayah dan Guru Pendetanya kini mengumandang kembali dalam lamunannya-wahai lndrakeluhuran manusia ditentukan oleh budi pekerti dan perbuatannya, bukan karena daerah keturunan
ataupun pangkat yang dipangkunya.
Sungguhpun perbuatan manusia selalu ada_khilafnya kare na memang tidak ada manusia yang
sempurna, tetapi tiap-kekilafan hendaknya cepat disadari dan segera diimbangi dengan perbuatan perbuatan amal kebajikan, sebagai mana kau pelajari dalam kitab Niti.?
Getaran suara dalam lamunan itu merupakan pelita dalam kegelapan. Segera Indra Sambada sadar
kembali.
Dengan ketetapan hati ia berniat akan meninggalkan sementara, segala kemewahan dan kenikmatan
hidupnya untuk mengembara menyebar amal kebajikan serta mencari tambahan ilmu. Serta untuk
mencari jejak siapa pembunuh keluarga Ki Lurah Somad dan yang telah menfitnahnya.
Dengan tidak ragu-ragu lagi ia menulis sepucuk surat tertuju kepada sang Senopati Gusti Harya
Banendra, yang isinya, ia mohon untuk diperkenankan menanggalkan pangkat Tamtamanya, dan akan
mengembara selama 3 tahun sebagai penebus dosa yang telah diperbuatnya, pula untuk rnencari ilmu
yang 1lebih mendalam.
Sebagai penutup kata ia mo'non doa restu dari beliau dan segenap priyagung Kerajaan, dengan
berjanji akan tetap menjunjung tinggi janji pastinya ? panca setia Tamtama ? sebagai seorang
Tamtama Kerajaaan. Kelak apabila diijinkan ia akan kembali dalam pangkat dan kedudukannya. Surat
yang telah ditutup rapat segera diberikan pada Lurah Tamtama Sampar, seorang kepala penjaga
Senopaten kediamannya, yang menjadi kepercayaannya, dengan pesan agar besok setelah fajar
merekah disampaikan pada alamatnya?
Lurah Tamtama Sampar berbadan tegap serta berwajah tampan. Ia adalah seorang pendiam dan amat
rajin dalam melakukan tugasnya.
Karena jasa-jasanya dan selalu menunjukkan kesetiaannya, ia diangkat sebagai Kepala pengawal
Senopaten serta merangkap sebagai pembantu pribadi Indra Sambada, dengan pangkat Lurah Tamtama.
Untuk tidak mencurigakan ia meninggalkan tempat kediamannya pada malam itu dengan berkuda. Ia
berpakaian ringkas sederhana dengan membawa uang mas dinar dan berlian milik seniiri sekantong
penuh, untuk akan dibagikan kepada rakyat miskin yang dijumpainya dalam pengembaraan. Keris
pusakanya tidak ketinggalan pula diselipkan dipinggang kiri.
Ditimur sejauh mata memandang, matahari mulai terbit mernancarkan sinar emasnya dengan warna
ke merah-merahan. Tanda fajar pagi telah menyingsing. Suara burung-burung berkicau didahan pohon
yang rindang terdengar sebagai irama alam. Angin basah meniup pelan, membuat hawa sejuk segar.
Pepatah mengatakan, seribu pujangga tak akan mampu melukiskan dengan sempurna keindahan alam
diwaktu fajar. Pada hal ini hanya merupakan debu percikan dari pada Kebesaran Tuhan yang Maha Esa.
Indra Sambada turun dari kudanya dan menambatkan kudanya dipohon yang berada ditepi jalan. Ia
duduk ditanah rumput dan bersandar pada pohun munggur yang rindang, untuk melepaskan lelahnya.Semalam suntuk ia berkuda mengikuti lereng-lereng pegunungan Kendeng, dan kini ia telah sampai
dikaki Gunung Pandan, diujung desa Rengga. Tidak ingat lagi berapa desa ia telah melaluinya.
Belum juga ia sempat mengatur nafas untuk bersemadi, tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar
suara orang bersenandung merdu sekali. Sungguhpun suara hanya terdengar samar-samar, namun kata
demi kata dalam rangkaian tembang itu terdengar jelas sekali. Dapat diperkirakan bahwa orang
bersenandung itu tentu mempunyai kesaktian ilmu yang tinggi dalam mengirimkan suara dari jarak jauh.
Semakin lama suara itu terdengar semakin mendekat, dan lebih jelas lagi. Lelahnya lenyap seketika,
karena pusat perhatian Indra kini diarahkan kesuara lagu tembang mijil, yalah lagu nyanyian rakyat
jelata yang datang dari kejauhan tadi. Dengan jelas ia mendengar bahwa rangkaien kata-kata sederhana
dalam tembang mijil itu, merupakan sindiran langsung baginya. Peristiwa yang sedang dialaminya,
diuraikan lewat dendang yang merdu itu. Pada lagu bait ketiga, baru ia mengetahui bahwa asal suara
adalah dari orang yang berada didalam gerobag pedati, yang kini sulang berjalan pelan menuju
kearahnya.
Ditengah-tengah suara orang yang sedang bersenandung, terdengar pula suara anak kecil yang
sedang mengemudikan sepasang sapi yang menarik pedati itu.
Ja .. jak jak her!
Ayoooooooooohh..!t dan sebentar-sebentar diselingi suara cambuk yang diayunkan dengan
tangkasnya. ?Tar,tar!?
Gerobag pedati berjalan terus menuju kearahnya, dan kini jarak dari padanya tinggal kurang lebilt
limapuluh indak lagi. Suara orang yang bersenandung masih tetap mengalun dan kini tiba pada bait
keempat.
Tergeraklah hatinya ia ingin tahu orang yang sedang ber-dendang dalam gerobag pedati itu, Indra
Sambada segera bangkit berdiri untuk memperhentikan jalannya gerobag pedati.
? Bapak yang berada didalam gerobag! Sudilah kiranya memberhentikan gerobagmu sebentar! Saya
ingin turut menumpang dalam gerobagmu!?
? Silahkan jika mau. Saya tidak berkeberatan, ? demikian jawaban orang dari dalam pedati dengan
singkatnya.
? Tolonglah tunggu sebentar pak! saya akan melepaskan tambatan kudaku lebih dahulu.?
Gerobag pedati berhenti, dan Indra segera melepaskan tambatan kudanya. Ia menuntun kudanya dan
untuk kemudian mengikatnya dengan tali lis dibelakang gerobag itu. Dengan satu lompatan Indra
Sambada telah berada didalam gerobag pedati, dan segera mengambil tempat duduk diatas jerami
kering yang berserakan berada didalam gerobag itu.
--- Maafkan, siapakah nama Bapak jika saya diperkenankan bertanya??
Dengan penuh kesopanan Indra Sambada mulai bicara.
? 0... Raden, nama saya sebenarnya tidak ada artinya, tapi orang-orang yang mengenalku
rnenamakan diriku Kyai Tunggul Jawab Kyai Tunggul dengan tenangnya.? Bapak Kyai Tunggul! Indra mengulangi kata-kata itu: ? Maafkan saja yang sangat bocloh itu, pak
Kyai. Nama bapak Kyai telah teiah terkenal luas, dan saya telah pernah pula medengar nama kebesaran
bapak Kyai dari kangmas Sunata , tetapi karena belum pernah berjumpa sendiri, maka maafkan lah atas
kekilafan saya ini.? indra Sambada berkata sambil menundukkan mukanya sebagaimana lazimnya
seorang muda menghormati orang tua.
? Ah, Raden tidak perlu menghormat saya secara demikian. Bahkan seharusnya sayalah yang harus
menghormati Raden, karena berpangkat tinggi. Sebutlah saja untuk seterusnya Bapak saja, tak usah
memakai sebutan-sebutan lain? Kiai Tunggul memotong.
? Jika demikian sebaiknya bapak memanggil saja cukup dengan nak Indra saja, agar sayapun tidak
merasa canggung karenanya. Tadi jika saya tidak salah dengan bapak bersenandung tembang mijil, yang
isinya adalah merupakan sindiran langsung bagi diri saya. Dari manakah bapak mengetahui akan kisah
saya yang memilukan itu ??.
? Oh, itu. Maafkan terlebih dahulu anakmas, apabila nakmas merasa tersinggung akan uran-uran
saya tadi. Sebenarnya saya melihat nakmas dari jauh sebagai orang yang sedang sedih dirundung


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malang, lalu saya melagukan mijil dengan khajalan yang tidak menentu arah dan artinya....
? Akan tetapi itu semua bukan kajal pak! dari bait pertama sampai terakhir adalah sungguh-sungguh
terjadi pada diriku?, Indra Sambada tak sabar menunggu pembicaraan Kjai Tung-gul yang belum selesai
itu dan segera memotongnya.
? Ah . janganlah soal itu dipersoalkan nakmas, orang hidup sebaiknya memikirkan
kelancljutannya, dan bukan hal-hal yang telah terjadi:.?
Kjai Tunggul usianya mendekati enampuluh tahun. Orangnya kurus dan tingginya sedang. Karena tidak
memakai baju atas, maka kelihatan tulang-tulang iganya menonjol. Ia memakai celana hitam panjang
sampai dibawah lututnya. Kain Sarung yang dilipatkan diperutnya telah kumal pula Ikat kepalanya hitam.
Kumis dan jenggotnya putih beruban dan tumbuh jarang-jarang sekali, panjang tudak terumat sinar
matanya bersih dan tajam. Kyai Tunggul terkenal sebagai dukun akhli mengobati ber macam - macam
penyakit.
Namanya telah tersiar luas hingga dikota Kerajaan. Sering pula ia didatangkan oleh para bangsawan
yang berpangkat tinggi di Kerajaan untuk mengobati dan pada umumnya ia selalu berhasil dalam
menunaikan amalnya.
Tapi ia mempunyai sifat-sifat yang sukar dimengerti. Para bangsawan yang memberi upah padanya,
banyak pula yang ditolak, tapi ada pula, yang diterima dengan riang hati.
BERSAMBUNG JILID II
( III JILID TAMAT )P E N D E K A R M A J A P A H I T
INDRA - SAMBADA
Jilid 2
Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO
Gambar : OYI SOEDOMO
Penerbit : SINTA - RISKAN
Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya
Image Source : Awie Dermawan
Convert by : Eddy Z
Jan 2019, Kolektor - EbookB A G I A N I
OLEH Gusti Harya Banendra , Kyai Tunggul pernah pula akan diberi pangkat dan kedudukan sebagai
dukun di Senopaten, akan tetapi ia tidak mau menerimanya, dengan alasan ingin hidup bebas. Upahupah yang diterimanya dari pada para bangsawan sebagian besar dibagi-bagikan pada rakyat yang hidup
dalam kemiskinan. Ia tinggal bersama Nyai Tunggul dan anak angkatnya bernama Sujud yang selalu
mengikuti dalam perjalanan itu, didesa Ngawi ditepi kali bengawan.
? Jud, tamu kita ini mempunyai pangkat tinggi sekali di Kerajaan, maka kau harus segera memberi
sembah kepadanya ? Kata Kyai Tunggul kepada anaknya angkat. Sujud yang sedari tadi mengamatamati Indra Sambada segera membetulkan duduk bersilanya dan menyembah dengan rasa penuh
hormat. Tapi Indra Sambada segera mendekati dan memegang kedua belah tangan Sujud serta berkata.
? Adikku manis, jangan kau menyembah kepadakui Anggaplah aku sebagai kakakmu sendiri dan
selanjutnya panggillah aku dengan kangmas atau kakang saja, ? Sujud segera menggagalkan sembah
sujudnya dan duduk dengan mulut ternganga, karena tidak tahu apa yang harus ia diperbuat. Ayahnya
memerintahkan menyembah tapi tamunya menolak untuk diberi sembah sebagai penghormatan.
Kepalanya yang dicukur gundul dengan kuncung didepan dipegangnya oleh Indra Sambada dengan
belaian mesra. Anak itu usianya kira-kira 11 tahun, badannya kokoh kuat. Ia bertubuh pendek agak
gemuk, dan mukanya bulat dengan wajah yang masih kekanak-kanakan. Dilengan kirinya nampak jelas
sebuah tailalat, berbentuk bundar sebesar ibu jari kaki, berwarba merah kehitam-hitaman.
-- Ya, baiklah panggil saja kangmas kepada tamu kita itu, Jud! Kiranya tamu kita ini baik sekali dan
tidak mau memakai adat kebangsawanannya.?
Kyai Tunggul berkata kepada anaknya.
Sebentar saja Indra Sambada telah bergaul bebas dengan kyai Tunggul dan Sujud anaknya. Dengan tidak
ada rasa canggung lagi Kyai Tunggul memperlakukan Indra sebagai keluarga.
Demikianpun Sujud melancarkan pertanyaan yang lucu ber-tubi-tubi kepada Indra yang selalu dijawab
oleh Indra dengan riang hati.
? Sebaiknya nakmas nanti singgah dipondok saya barang sepekan atau lebih untuk mengenal desa
kita. Nyai tentu sangat bergirang hati, apabila nakmas sudi singgah dipondok kita. ? Demikian usul kyai
Tunggul pada Indra Sambada.
?Saya mengucapkan banyak terima kasih, akan kebaikan budi Bapak Kyai jawab Indra Sambada.:?
Sesungguhnya sayapun memang akan bermaksud demikian, kiranya bapak Kyai selalu dapat menebak
tepat isi hatiku.----- Ah, nakmas itu selalu memberikan pujian terlalu tinggi.? Kyai Tunggul menjawab dengan rendah
hati.? Jud, sebaiknya kau keluarkan sekarang saja bekal makanan kita, perutku telah terasa Iapar sekali.
Mari Nakmas kita dahar pagi bertiga. ?
Mereka bertiga segera makan dengan lahapnya. Nasi pondoh atau nasi jagung dibungkus dengan
daun jati dan lauknya tempe bacem. Dalam sekejap saja, enam bungkus nasi pondoh telah lenyap,
tinggal daun bungkusnya. Indra Sambada yang sudah dua hari tidak mau makan, kini merasakan akan
lesatnya makanan sederhana yang dihidangkan itu.
? Nakmas kelihatan sangat letih, ? Kyai Tunggul mulai membuka pembicaraan kembali. ?
--- Tebakan bapak sangat tepat karena saya telah dua malam tidak dapat tidur sejenakpun.- jawab
Indra Sambada.Janganlah sungkan-sungkan, sebaiknya nakmas mengaso saja dengan merebahkan badan. Ambilah
tikar pandan yang itu dan silahkan beristirahat, agar badan nanti terasa segar kcmbali, berkata demikian
Kyai Tunggul sambil menunjuk tikar yang dilipat terselip dipajon gerobagnya
--- Nanti setelah sampai dirumah kita dapat melanjutkan percakapan sepuas hari.? ia melanjutkan
kata-katanya. Dengan tidak diulangi Indra Sambada segera mengambil tikar pandan yang dimaksud
untuk kemudian merebahkan diri. Kiranya, setelah perut merasa kenyang, kantuknya kini tak dapat
ditahan lagi. Ia segera dapat tidur dengan pulasnya.
Sepasang sampi yang menarik pedati seakan-akan telah tahu jalan yang harus ditempuhnya. Pelanpelan, dengan tidak menghiraukan segala yang dijumpainya mereka berjalan terus laju.
Dengan tidak terasa kini matahari telah condong kebarat. Dengan pelan sang Surya berangsur turun
dan hampir masuk kedalam cakrawala. Kesaktian umat yang bagaimanapun tak nanti dapat menahan
turunnya sang Surya.
Mega merah membara, mulai membentang diafas cakrawala, dan bayangannya tampak mengindahkan
wajah dataran.
Indra Sambada segera terbangun dari tidurnya, dan duduk terpaku melihat keindahan alam
didepannya sejauh mata memandang.
? Desa depan disebelah selatan yang kelihatan itu, adalah tempat pondokku.? Kyai Tunggul dengan
memalingkan kepalanya kearah Indra sambil tersenyum. Indra tersentak dari lamunannya dan
menjawabnya dengan anggukan kepala.
? Wah, kiranya saya tadi dapat tidur nyenyak sekali, pak. Badanku kini terasa segar kembali.? ia
melanjutkan jawabannya.
Gerobag pedati berjalan pelan dan kini memasuki sebuah desa yang dituju. Tidak jauh dari ujung desa
itu kelihatan tanggul tebing kali Bengawan. Dari desa Ngawi itu, terdengar jelas air bengawan mengalir
dengan derasnya.
Desa Ngawi adalah sebuah desa kecil, yang menilik dari rumah bangunan yang berada disitu,
penduduknya tidak akan lebih dari duapuluh kepala somah.
Pekarangannya pada umumnya luas, hingga jarak rumah-rumah bangunan berjauhan satu sama lainnya.
Tanahnya subur, terlihat dari segarnya tanam-tanaman yang berada dipekarangan. Ini mungkin
dikarenakan dekat letaknya dari kali Bengawan yang selalu tak pernah kekurangan air.
Rumah tempat tinggal Kyai Tunggul adalah merupakan rumah bilik atau disebutnya rumah gebyok,
terbuat dari kaju dengan ruang pendapa yang sedang luasnya. Pekarang yang mengitari rumah itu
dipagari keliling dengan Lambu yang rapih sekali. Tanam-tanaman bunga liar beraneka dan pohonpohon buah-buahan dipekarangan kelihatan segar terawat bersih.
Tiga orang pemuda tanggung segera menyambutnya atas kedatangan Kyai Tunggul, menyusul
kemudian Nyai Tunggul menyambut didepan rumah.
? Nyai ! Kali ini aku datang membawa tamu dari jauh yang akan tinggal sementara disini, hendaknya
Nyai segera menyiapkan tempat ia bermalam dan lain-lainnya.? Kyai Tunggul berseru kepada
isterinya.? Dan anggaplah tamu ini sebagai keluarga sendiri. ? Sambil menunjuk kepada Indra
Sambada-- Mari nakmas Indra, ini adalah Ibumu Nyai yang selalu setia ? ia berkata kepada Indra. Indra segera
membungkukkan badannya dengan berkata :--- Maafkan Ibu Nyai, bahwa saya datang hanya membikin
repotnya Ibu Nyai saja.
? Ah, tak mengapa nakmas. Silahkan masuk dan berlakulah seperti dirumah sendiri. ? demikian Nyai
Tunggul menjawab dengan ramahnya.
Sungguhpun Nyai Tunggul telah lanjut usianya dengan rambutnya telah ubanan, dan berpakaian sebagai
wanita petani desa biasa, namun jelas nampak diwajahnya, bahwa ia dahulu pada waktu masih muda
memiliki wajah yang cantik Dari pandangan sinar matanya yang memancar jernih, jelas menunjukan
bahwa Nyai Tunggul bukan berasal dari petani biasa, Apa lagi jika menilik dari tindak tanduknya yang
selalu halus dan sopan, sekalipun, ia sangat ramah tamah.
Pedati dengan sepasang sampi serta kuda Indra Sambada yang menguntit dibelakang pedati tadi,
segera dirawatnya oleh tiga orang pemuda tanggung yang tadi menyambutnya. Sujud lari kedalam
memapag Nyai Tunggul. Kelakuan Sujud tak ubahnya seperti lazim seorang anak yang selalu dimanja
oleh Ibunya. Mereka semua segera memasuki didalam rumah dan duduk asyik ber-cakap-cakap, diatas
balai-balai bambu yang lebar dengan tikar pandan. Dalam hati, Indra Sambada iri akan kebahagiaan
keluarga Kyai Tunggul yang sangat sederhana itu. Sadarlah ia kini, bahwa kebahagiaan seseorang tidak t
ergan-tung dari pada pangkat kedudukan ataupun harta-benda.
Sang Bulan telah lama menggantikan takhta, menelan terangnya siang. Sinarnya remang-remang
menyelubungi seluruh alam semesta.
Tiba saatnya Indra Sambada ingin menggunakan kesempatan, untuk mencurahkan isi hatinya yang
penuh dengan pertanyaan, selama ia berkenalan dengan Kyai Tunggul.
? Apakah bapak itu berasal pula dari desa ini ?. ? Indra Sambada membuka percakapan. ? menurut
dugaan saya tentunya bapak Kyai dan Ibu, bukan berasal dari desa ini. --- Kyai Tunggul menghela nafas
panjang dan menjawab ! ? heh, ada-ada saja, pertanyaan nakmas Indra itu. Tak kukira, bahwa
penglihatanmu sangat tajam. Untuk menjawab pertanyaan nakmas itu adalah merupakan suatu kisah
yang sangat panjang dan berbelit-belit.
Tetapi jika tidak kujawab tentunya nakmas akan selalu merasa penasaran. Lagi pula saya telah banyak
mengetahui tentang dirinya nakmas. Tidak adilah jika sebaliknya tidak mengenal diriku yang sebenarnya.
Ia berhenti sejenak dan melanjutkan berkata : ? Akan tetapi karena kisahku yang lampau itu erat
hubungannya dengan kepentingan rakyat banyak, serta merupakan beban tugas bagimu untuk
penyelesaiannya maka kuharap nakmas untuk bersabar hati sampai pada suatu kesempatan yang baik.
Kukuatirkan akan dinding-dinding bertelinga disini.
Sebaliknya hal itu janganlah nakmas singgung pada waktu sekarang. Lebih baik kini kita bercerita lain
mengenai hal-hal yang ringan yang langsung ada hubungannya dengan nakmas sendiri. ?
Percakapan tadi walaupun diseling dengan suara tertawa tapi bagi Indra cukup menjadi perhatian
yang menegangkan syaraf angan-angannya.
Sebagai seorang ksatrya yang terlatih cepat ia mengusai kembali akan ketenangan dan menekan rasa
sifat ingin tahu dalam bathinnya. Ia sempat pula turut bersenyum dan rnengalihkan pembicaraan.
? Aku masih ingat pada uran-uran mijil bapak tadi pagi. Dan hingga sekarang belum menerima
jawaban yang tepat. Yang kuherankan, dari manakah bapak tahu tentang nasib yang sedang kualami ini
?? Tanya Indra Sambada.Kyai Tunggul tertawa nyaring ? O, itukah yang nakmas tanyakan. Baiklah akan kujelaskan padamu
secara jujur.? Kyai Tunggul melanjutkan ceritanya. ?Pada waktu almarhum - Lurah Somad mendekati
ajalnya, sayalah orangnya yang dipanggil untuk memberikan pertolongan oleh Tumenggung Sunata
karena kebetulan saya berada di rumahnya. Tetapi segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Yang Maha
Agung. Luka yang dideritanya terlalu dalam, lagi pula keris yang digunakan untuk bunuh diri itu adalah
keris pusaka yang ampuh. Maka tak mungkinlah kudapat menolongnya.
Sukmanya telah kembali keasalnya menghadap Dewata Yang Agung. Hanya kata-kata terakhir yang
dapat diucapkan kepadaku jelas terdengar ? ia berhenti sesaat sambil meng-ingat-ingat, dan kemudian
ia melanjutkan: -- Sampaikan baktiku ini kepada Gusti Indra, dan semoga ia hidup bahagia. Hanya itulah
yang dapat dikatakan, untuk kemudian menutup mata se-lama-lamanya. Sejak peristiwa yang
menyedihkan itu terjadi, Nyi Lurah Somad jatuh sakit, dan saya pulalah yang diperintah oleh
Tumenggung Sunata untuk mengobatinya. Kepadaku dan kepada Tumenggung Sunata Nyi Lurah Somad
menceriterakan semua kisah dan perbuatannya, akan tetapi ia menyatakan tidak menyesal karena ia
memang menyintai nakmas lndra.
Berulang kali Tumenggung Sunata memperingatkan kepadaku agar rahasia ini jangan sampai bocor.
Bahkan beliau berpesan bahwa kelak beliau seudirilah yang akan memberi tahukan semua kejadian ini
kepada nakmas indra. Tetapi selanjutnya dengan tidak terduga - duga setelah melahirkan puteranya, Nyi
Somad mengambil jalan yang sesat membunuh diri, dengan minum racun. Sampai disinilah saya
mengetahui peristiwa itu, yang menyangkut dirinya nakmas. Sejak itu saja selalu dekat dengan
Tumenggung Sunata karena beliau berhasrat untuk belajar dariku dalam ilmu usadha.
Dari beliau pulalah saya banyak mengetahui akan kesaktian dan sifat-sifat kesatryaan nakmas lnclra.
? Maafkan, jika sekiranya ceriteraku ini menyinggung perasaan nakmas Indra. ? Kyai Tunggul
berhenti bicara dan memperhatikan sikap Indra.
? Ah sama sekali saya tidak merasa tersinggung pak Kyai,? jawab Indra ? bahkan saya merasa
berhutang budi pada bapak Kyai. Menghadapi peristiwa yang telah terjadi ini saya ingin minta petunjukpetunjuk dari bapak, serta jika diperkenankan saja ingin menjadi murid Bapak, untuk mempelajari ilmu
usadha, guna menambah pengetahuanku yang sangat dangkal.?
-- Jika nakmas sudi menerima nasehatku hendaknya nak mas jangan tenggelarn dalam rasa kesedihan
dan kecemasan akan noda yang telah diperbuatnya, karena hal itu tidak akan membawa manfaat bagi
nakmas sendiri, maupun nama Kebesaran Kerajaan. Ingatlah bahwa hanya seorang yang seperti nakmas
itu, yang mampu untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan yang besar. Maka pelita semangat
berjuang hendaknya jangan dipadamkan, hanya karena sedih. Kesedihan itu bahkan harus menjadi obor
untuk menyalakan semangat berjuangmu.
Beban yang masih dihadapi sedang menunggu, dan membentang dihadapan nakmas Indra. Saya
sebagai seorang yang telah lanjut usia, hanya dapat memberikan petunjuk-petunjuk saya.
Kembalikanlah kepercayaan pada dirimu sendiri, dengan bekal aji kesaktianmu Bandung Bandawasa
yang telah kamu miliki itu dan binalah terus hingga mencapai kesempurnaan. Tentang hal nakmas ingin
mempelajari ilmu usadha yang kumiliki saya, sangat bergirang hati dan bersedia untuk mewariskan
kepandaianku yang tidak berarti ini kepada nakmas Indra. Hanya saya nakmas harus menerima
petunjuk-petunjuk saya tadi. Sampai disini Kyai Tunggul berhenti sejenak dan meneguk air teh yang
berada dihadapannya.
? Aduh, kini benar-benar saya menjumpai seorang tua, tak ubahnya seperti orang tuaku sendiri yang
dapat meringankan kesedihanku.? dengan nada terharu Indra melanjutkan bicara: ? Nasehat bapak
semoga menjadi pedoman hidupku kemudian, dan kesediaan bapak menerima sebagai murid, sayamerasa berhutang budi yang sukar untuk membalasnya. ---- Ah . tak usah nakmas merendah diri dan banyak memuji kepadaku. Baiklah hari besok kita
lanjutkan. Karena kini telah larut malam, sebaiknya kita beristirahat dahulu agar besok pulih kembali
tenaga kita ! ? Kyai Tunggul memotong kata-kata Indra.
Sebentar kemudian suasana telah sunyi senyap, hanya suara air mengalir deras dari kali Bengawan
yang masih tetap terdengar semakin jelas.
* ? * ?
B A G I A N II
RASANYA INDRA SAMBADA semakin lama semakin betah tinggal didesa Ngawi itu. Semula yang
sedianya hanya akan tinggal kira-kira sepekan, tapi kini telah setengah bulan lamanya ia masih tetap
tinggal di pondok Kyai Tunggul.
Pada hari siang, tiap-tiap harinya Indra selalu mengikuti Kyai Tunggul bersama Sujud menjelajah
desa-desa dan kota-kota untuk memberikan pertolongan mengobati orang orang yang sedang
menderita sakit atau membagi-bagikan harta ataupun makanan kepada orang-orang yang sangat miskin
yang dijumpainya sedangkan pada malam hari ia tekun mempelajari ilmu usadha dari gurunya, ialah Kyai
Tunggul sendiri.
Pada dasarnya, ilmu usadha mempunyai tiga pokok pelajaran, yalah pertama mengobati dengan
ramuan-ramuan jampi- jampi yang terdiri daun-daun-an, akar-akar serta bermacam-macam bisa dari
binatang-binatang, dan bahan-bahan lain. Dalam hal ini ia harus rajin menghafal dari kitab usadha
sastra.
Bagian kedua ialah pelajaran "sangkal putung" yaitu cara-cara menyambung tulang-tulang patah
ataupun membetulkan sambungan tulang-tulang yang terkikir. Sedangkan bagian pokok yang terakhir
atau yang ketiga ialah mengobati dengan kekuatan bathin disalurkan ujung jari-jari untuk mengurut
sipenderita, agar jalinan syaraf-syaraf yang lemah dan tidak mau bekerja sebagaimana mestinya dapat
digerakkan dan dikembalikan pada tempat jalinan yang benar.
Pun kekuatan bathin itu dapat pula disalurkan liwat pernafasan dan dikeluarkan dengan tiupan pelan
kedalam mulut sipenderita untuk membantu pernafasan si penderita dan menggerakkan jalan-jalan
darah ataupun jalinan-jalinan syaraf yang lemah.
Dengan bekal kecerdasan otaknya serta ketekunan, ditambah karena gemar alan mempelajari ilmu
usadha itu, Indra Sambada dalam waktu yang singkat segera dapat menguasai pelajaran-pelajaran yang
diterimanya. Dalam menghimpun kekuatan bathin ia tidak perlu mempelajari pelajaran dasar, karena
telah dapat dikatakan mahir mendekati kesempurnaan. Ternyata dalam ilmu menghimpun tenaga
bathin tidak ada bedanya dengan pelajaran-pelajaran yang telah dimiliki, ialah merupakan sebagian dari
pada ajiannya Bandung Bondowoso. Hanya penggunaannya yang berlainan. Waktu setengah tahun telah
dilaluinya, namun Indra Sambada ternyata semakin betah tinggal dirumah Kyai Tunggul. semakin lama
Nyai Tunggul semakin menyayangi Indra Sambada, tak ubahnya sebagai seorang ibu yang menyayangi
putranya sendiri. Demikian pula Sujud telah menganggapnya lndra Sambada sebagai kakaknya. Diwaktuterluang Indra Sambada tidak lupa pula memberikan latihan pelajaran dasar bela diri dengan tangan
kosong ataupun dengan senjata tajam kepada Sujud. Karena memang anak itu mempunyai bakat, maka
cepat pula Sujud dapat menangkap semua pelajaran-pelajaran yang diterimanya. Dengan rajin ia selalu
mengulang latihan-latihan yang telah diberikannya.
Kini Indra Sambada telah menguasai dua pertiga bagian dari seluruh ilmu usadha yang dimiliki oleh
Kyai Tunggul dengan saksama, hanya saja masih memerlukan pengalaman-pengalaman untuk
memahirkan. Satu tahun penuh ia kini telah menjadi murid Kyai Tunggul
Sebagaimana biasa ia bersama Sujud mengikuti Kyai Tunggul menjelajah sekitar daerah itu pada
tiap-tiap hari. Kali ini Kyai Tunggul dengan diikuti oleh Indra Sambada sendiri memakai sampan
menyeberangi kali Bengawan mengikuti arus kehilir. Dengan tangkasnya Kyai Tunggul mendayung
sampannya ketepi dan menambatkannya pada patok yang berada dipinggir kali Bengawan, dibawah
pohon gayam.
Berdua mereka berjalan kaki menuju kesebelah desa yang tidak jauh dari kali Bengawan itu. Tetapi
setelah mereka memasuki desa Trinil, ialah nama desa yang dituju, mereka sangat terperanjat melihat
keadaan disekitar itu.
Rumah-rumah banyak yang menjadi puing, bekas kemakan api sedang penduduknya satu orangpun
ridak menampakan diri. Kyai Tunggul mendahului memasuki sebuah rumah yang kelihatan masih utuh
dengan diikuti Indra Sambada. Pintu yang kunci dibukanya dengan paksa dan mereka segera masuk
kedalam. Tetapi alangkah tercengangnya karena ternyata tidak ada penghuninya. Mereka berdua
terperanjat setelah sesaat kemudian melihat dua anak setengah telanjang, merangkak keluar dari
kolong balai-balai dengan membawa bangkai seekor ayam.
Dengan lemah-lembut Kyai Tunggul dan Indra membujuk agar kedua anak itu mau diajaknya bicara.
Satu diantara anak itu ternyata anak lelaki berusia kurang lebih 6 tahun, sedangkan yang satu lainnya
adalah anak perempuan berusia tiga atau empat tahun. Nasi pondoh untuk bekal dalam perjalanan oleh
Kyai Tunggul diberikan kepada dua anak tadi dan bangkai ajam yang dipegangnya diminta oleh Kyai


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggul untuk kemudian dilempar jauh keluar rumah. Anak laki-laki itu memandang kepada Kyai
Tunggul dengan penuh rasa heran, sedangkan yang lebih kecil menangis me-rengek-rengek meminta
kembalinya bangkai ayam yang telah dilempar tadi. Tetapi segera mereka berdua duduk berdekatan dan
membuka bungkusan nasi pondoh yang tadi diterimanya dari Kyai Tunggul. Mereka lalu makan dengan
lahapnya, saolaholah apa yang baru saja terjadi telah dilupakan.
Indra Sambada pergi kebelakang untuk menimba air dari perigi yang berada dibelakang rumah serta
membawanya untuk kemudian dikasihkan kepada anak tadi sebagai air minum.
? Kemana bapak ibumu pergi nak ? ? Tanya Kyai Tunggul dengan lemah lembut kepada dua anak
tadi, setelah mereka selesai makan. Lama mereka tidak menjawab: ? Kemarin bapak dikubur. ? jawab
kemudian anak lelaki itu dengan singkat.
? Dikubur? Apakah ada yang membunuhnya? ? Kyai Tunggul bertanya lagi. Anak lelaki itu
memandang Kyai Tunggul dan Indra Sambada ber-ganti-ganti dan kelihatan mulai menggigil ketakutan.
Ia hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya sambil memandang keluar.
? Jangan takut nak. --- Indra berkata mendekati anak perempuan yang kecil dengan membelai
kepalanya yang berambut panjang.
? Tahukah kau nak? Siapa yang membunuh orang tuamu? Jangan takut-takut kepadaku, aku ini
datang untuk menolong kau berdua.? Kyai Tunggul melanjutkan bertanya dengan lemah lembut.
? Orang banyak berkuda datang kemari, membakari rumaah dan membunuh bapak. Ibu kami
dibawanya lari,. ?Mendengar jawaban anak laki-laki itu Indra Sambada sangat terharu. Ia memeras otaknya untuk ingin
mengetahui, gerangan siapakah yang sedemikian kejamnya, membabi buta membunuh sesama manusia
dan membakar rumah-rumah. Tetapi sulit baginya untuk mendapat jawabannia, karena tak ada orang
lain yang dapat menerangkan dengan jelas. Indra memegang lengan anak perempuan yang kecil tadi
serta memondongnya melangkah keluar rumah. Kyai Tunggul dengan menggandeng anak lelaki
mengikuti pula keluar rumah dan kini mereka ber-cakap-cakap dihalaman depan.
? Siapa namamu, anak manis?? tanya Indra Sambada kepada anak yang dipondongnya. Lama anak
itu tak mau menjawab tapi setelah pertanyaan itu diulang lagi oleh Indra dengan lemah- lembut hingga
dua kali, barulah anak itu menjawab pelan dengan logat ke kanak-kanakan: ? Atinem. ? jawabnya
singkat. Anak lelaki yang digandeng Kyai Tunggul menyaut membetulkan ucapan adiknya.
-- Martinem. Ia adikku.
--O, Martinem,? Indra mengulang kata, yang diucapkan oleh anak lelaki itu.
? Dan kau, siapa namamu??
-- Saja Martiman. anak lelaki itu menjawab dengan jelas.
Sedang mereka ber-cakap-cakap dihalaman, tiba-tiba seorang kakek-kakek dengan bertongkat keluar
dari rumah yang telah hangus sebagian dan hampir roboh itu, dari seberang jalan desa yang membujur
didepannya, tidak jauh dari tempat mereka ber-cakap-cakap. Kakek-kakek itu mengawasi kanan kiri
sejenak dengan bas-was dan kemudian jalan sempoyongan mendekati mereka berempat yang sedang
bercakap-cakap dihalaman tadi. Setelah agak dekat, Indra sambil memondong Martinem segera
bertanya.
? .Mbah Kakek! Ada kejadian apa disini??
? Den bei sekalian itu dari mana?? kakek-kakek itu tidak menghiraukan pertanyaan Indra, tetapi
bahkan menjawab dengan pertanyaan pula.
Kyai Tunggul memotong: Silahkan bapak dekat kemari.? Kakek itu menurut apa katanya Kyai Tunggul
dan segera datang lebih dekat lagi.
Jangan panggil kami den bei pak. Kami adalah orang tani biasa yang tinggal diseberang Bengawan
didesa Ngawi sana. ? kata Kyai Tunggul sambil menunjuk kearah utara.
--- Dan coba tolonglah ceriterakan, ada kejadian apa sebenarnya didesa ini pak??
? Kemarin dulu malam desa ini kedatangan rampok, yang dikepalai sendiri oleh Kerta Gembong.
Mereka datang ber-kuda lebih dari 15 orang. Semua isi rumah-rumah diangkut, sedangkan yang
melawan dibunuh secara kejam sekali. Kiranya tidak hanya sampai disitu saja kekejamannya, mereka
lalu membakari rumah-rumah itu semua. ? kakek tadi bicara sambil menunjuk kearah puing-puing
rumah bekas hangus terbakar disekitarnya. Orang-orang yang masih hidup melarikan diri mencari
keselamatan asing-masing. Lima enam penduduk yang ditangkap dipesan supaya menyampaikan kepada
yang lain agar penduduk disini mengungsi jauh-jauh, karena tiga hari lagi mereka akan menetap didesa
Trinil ini.? Kakek itu berhenti berbicara sebentar dan kemudian melanjutkan Iagi. ? Hanya saya
sendirilah yang ketinggalan disini, karena tidak tahu akan mengungsi kemana. Dan saya juga tidak tahu
bahwa anaknya Jayadipa itu, masih juga ketinggalan disini. ? berkata demikian kakek-kakek itu
memandang kedua anak tadi.
? Lalu pak Jayadipa sendiri sekarang berada dimana pak? ? tanya Kyai Tunggul.
? Begini nak, Jayadipa itulah yang menyebabkan adanya banyak korban. Ia sedianya menolong
tetangganya dengan mengadakan perlawan., mungkin karena tidak tahu bahwa rampoknya banyak
jumlahnya. Ia dibunuh dengan kejam sekali oleh para rampok tadi dan istrinya dibawa lari .?
Kyai Tunggul dan Indra Sambada saling berpandang-pandangan, setelah mendengarkan cerita kakek-kakek tadi.
? Mbah, siapakah sebenarnya Kerta Gembong itu? Dan orangnya bagaimana? ? lndra bertanya lagi.
? Apakah belum pernah mendengar nama Kerta Gembong. ? kakek-kakek menjawab.
? Wah, dia itu namanya telah tersohor sebagai kepala rampok yang menakutkan, jangankan
penduduk desa, sedangkan den Demang Jlagran yang sakti saja takut mendengar nama Kerta Gembong.
Ia kabarnya orang kebal, tidak mempan dibacok dengan klewang, dan yang lebih menakutkan lagi ia
seperti dapat menghilang seperti siluman.? Indra Sambada semakin bingung mendengar jawaban tadi.
Nama Kerta Gembong ia belum pernah mengenalnya.
Kini ditambah dengan nama yang baru lagi baginya seorang sakti yang bernama den Demang Jlagran.
? Lalu simbah tidak mengungsi, apakah tidak takut?
--- Saya ini sudah tua, berjalan kaki terlalu jauhpun tidak mampu, jadi menyerah pada nasib, nak.?
berkata demi kian kakek itu sambil menundukkan kepalanya, ia melanjutkan:
? Sebaiknya anak berdua besuk jangan berada disini, karena mereka besuk, siang entah malam hari
tentu datang kemari.? Bagaimana pendapat bapak ? ? tanya Indra kepada Kyai Tunggul.
? Sebaiknya kita pulang saja dengan membawa dua anak ini. Biarlah mereka nanti dirawat oleh
ibumu. ? jawab Kyai Tunggul dengan tegas. : ? Marilah kita pulang sekarang. ? sambil berkata
demikian Kyai Tunggul memberi isyarat kepada Indra untuk segera meninggalkan tempat itu.
Mereka berdua dengan memondong dua anak tadi segera berpamitan kepada kakek-kakek itu untuk
meninggalkan desa Trinil. Kakek-kakek itu mengawasi Kyai Tunggul dan Indra sebentar, kemudian
menganggukkan kepalanya sambil berkata : ? Hati-hati diperjalanan nak, dan semoga Dewata
mclindungi kita semua.
Dengan kata-kata terakhir dari kakek tadi sebenarnya Kyai Tunggul agak merasa heran. Bukankah
kakek, sendiri yang berada dalam bahaja, dan harus ber-hati-hati, tapi mengapa justru ia dengan Indra
yang dikuatirkan dengan pesan yang hati-hati, diperjalanan? Rasa heran tadi disimpan didalam hatinya.
Kyai Tunggul dengan menggandeng Martinem berjalan, diikuti oleh Indra dengan memondong
Martinem meninggalkan desa Trinil, menuju ketebing kali Bengawan dimana sampannya ditambatkan.
Mereka berjalan dengan tidak berbicara sepatah katapun. Kini Martinem ternyata tidur nyenyak dalam
pondongan Indra. Terasalah teriknya matahari, karena tak ada pohon yang dijumpainya dalam
perjalanan setelah meninggalkan desa Trinil. Yang ada hanya tegalan luas dcngan tanam-tanaman
palawija yang kelihatan baru saja ditanamnya.
Mereka menuruni tebing kali Bengawan untuk kemudian tiba dipohon gayam tadi.
Tiba-tiba ada orang berkelebat meloncat kebawah dari atas pohon, langsung menyerang Kyai Tunggul
yang sedang menggandeng Martiman dengan bacokan klewang. Sekalipun serangan tadi dilakukan
secara tiba-tiba, tetapi ternyata Kyai Tunggul dengan mudah dapat menghindari. Tangan kirinya
mendorong Martiman kesamping sedang ia sendiri menjatuhkan diri berjumpalitan kemuka.
Setelah penyerang gelap tadi rnenemui sasaran kosong, dengan cepatnya bangkit, dan menerjang
kembali dengan bacokan klewangnya kearah Kyai Tunggul yang sedang berjumpalitan menjatuhkan
dirinya. Namun kembali Kyai Tunggul menyambut serangan tadi dengan tendangan kaki kanannya
kearah lambung lawannya, yang tepat mengenai sasarannya. Penyerang gelap segera jatuh terduduk
kebelakang, tetapi segera bangkit dan melompat kesamping kiri untuk menghindari datangnya pukulan
Kyai Tunggul yang menyusul itu. Indra Sambada masih memegang erat-erat pada Martinem yang
dipondongnya itu, dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya siap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan yang akan datang.Kiranya Martiman yang didorong dengan tangan kiri oleh Kyai Tunggul tadi jatuh terperosok
kesamping, sehingga mukanya berlepotan tanah. Martiman lari kebelakang mendekati Indra Sambada
dengan badannya menggigil karena takutnya.
Bersamaan dengan meloncatnya penyerang gelap kesamping kiri, menyusul penyerang gelap kedua
meloncat dari balik pohon gayam. langsung menyerang pada Indra Sambada dari arah belakang.
Martiman berteriak terkejut. Tetapi Indra Sambada adalah perwira tamtama yang mendapat gelar
"Banteng Majapahit.
Sejak penyerang pertama tadi menyerang Kyai Tunggul, ia telah bersiap siaga Secepat kilat Indra
Sambada membalikkan badannya, dengan sikap merendahkan badannya. Tangan kanannya menjulur,
menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang sedang mengayunkan klewang kearah kepalanya, lalu
ditariknya kuat-kuat disusul dengan kaki kirinya bergerak melancarkan tendangan yang tepat mengenai
perut orang yang menyerang itu. Tak ayal Iagi, si penyerang jatuh terkulai ditanah dan jatuh tiada
sadarkan diri, dengan hanya satu gebrakan saja. Tak kuat ia menerima tendangan yang disertai tenaga
dahsyat, padahal Indra Sambada justru sengaja hanya meng-kira-kira separo dari tenaganya.
Melihat lawannya yang jatuh tak sadarkan diri itu, segera Indra Sambada memalingkan kepalanya untuk
mengikuti jalannya perkelahian antara Kyai Tunggul dengan penyerang yang pertama tadi. Tetapi
ternyata aneh sekali. Penyerang gelap pertama setelah melihat kawannya jatuh dan tidak sadarkan diri
cepat meloncat meninggalkan gelanggang dan lari untuk kemudian terjun dikali Bengawan yang airnya
deras mengalir. Ternyata penyerang pertama mempunyai kemahiran berenang. Ia menampakkan
dirinya diatas permukaan air, setelah jauh mengikuti derasnya arus air yang membawanya.
Kyai Tunggul segera mendekati Indra Sambada yang sedang berjongkok memegang pergelangan tangan
penyerang yang pingsan tadi, dengan Martinem yang telah terbangun menangis meronta-ronta dalam
pondongannya. Berdua mereka menyeret orang yang tak sadarkan diri tadi mendekati perahu
sampannya, dan Martiman mengikuti dibelakangnya. Dengan tali pengikat perahu sampan tadi, orang
yang tak sadarkan diri itu segera diikat kedua tangannya kebelakang dan dinaikkan dalam perahu.
Setelah semua berada diatas perahu sampan, Kyai Tunggul mengambil air kali dengan kedua tangannya
dan disiramkan kearah mukanya orang tersebut, yang sesaat kemudian terbangun kembali sadar. Ia
bangkit per-lahan-lahan dan berusaha duduk dengan kedua tangannya yang masih terikat erat
kebelakang.
? Jangan kau berusaha melarikan diri, bila kau masih ingin hidup. ? dan ikuti semua perintahku. ?
bentak lndra Sambada kepada orang yang terikat itu.
? Ampun den, saya hanya disuruh, dan tidak tahu apa-apa. ? jawab orang itu dengan menggigil
ketakutan, dan kemudian diam dengan menundukkan wajahnya.
? Untunglah nakmas Indra Sambada ada disampingku, jika tidak tentu namakulah yang kembali dan
tidak dapat bergurau lagi dengan Nyai. ? Kyai Tunggul memecah kesunyian dengan tersenyum lebar.
? Akh tidak kusangka, bahwa Bapak Kyai dapat mengelabuhi mata saya. Satu tahun aku menjadi
raurid bapak, masih juga tidak tahu, bahwa bapak Kyai mahir pula dalam ilmu krida yudha. Baru kali
inilah saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan kini tentunya bapak tidak akan dapat
menyembunyikan rahasia lagi.? Indra menyahut dengan tersenyum pula.
? Itukan hanya suatu kebetulan saja. ? Kyai Tunggul membantah ? Orang yang menyerangku tadi
kebetu.lan orang yang hanya pandai melarikan diri, dan terbukti dalam perlombaan lari tadi , aku kalah
pula dengannya.?
? Tetapi bapak tadi memang sengaja tidak mengejar. Dan aku yakin bahwa bapak dapat
menangkapnya apabila hal itu dikehendaki. ? sahut Indra mendesak.? Bukan demikian maksudku, justeru aku tidak mau mengejar karena tidak mungkin aku dapat
menangkapnya, mengingat daya kemampuanku yang tak berarti ini. ? masih juga Kyai Tunggul
mengelak ? Sudahlah, jangan kita persoalkan lagi, yang terang aku harus berterima kasih pada nakmas
Indra ? berkata demikian Kyai Tunggul sambil mendayung sampannya menepi dipinggiran.
? Anak2 manis, mari kita turun! Tidak jauh dari kita sudah sampai dirumah ? Kyai Tunggul berkata
sambil menggendong Martiman. Martinem yang masih ter-isak-isak me-nangis didalam pondongan
tangan kiri Indra Sambada, sedangkan tangan kanan Indra memegang tali pengikat orang itu dan
memerintah ? Ayo lekas jalan kedepanku,? bentaknya.
Orang-orang tetangga yang melihat pulangnya Kyai Tunggul dengan Indra Sambada membawa dua
anak kecil serta seorang yang dibelenggu tangannya, segera datang dan berkumpul masuk dipendapa
rumah Kyai Tunggul dan menanyakan tentang peristiwa kejadiannya.
Untuk tidak memperpanjang pertanyaan-pertanyaan, oleh Tunggul diterangkan dengan singkat,
bahwa orang yang diikat ini adalah begal yang mau menganiaya kedua anak itu, dan kemudian dapat
diringkus oleh Indra Sambada. Tapi masih ada pula diantara orang-orang itu yang kurang puas dengan
keterangan yang diberikan oleh Kyai Tunggul, bahkan ada pula yang segera melontarkan rasa
kemarahannya pada orang yang diikat tadi dengan memberikan tinju kearah muka orang itu.
? Bunuh saja, orang yang macam begini ini! ? teriaknya. Indra segera menyapih orang-orang yang
sedang marah tadi dengan berkata ? Sudahlah kisanak, jangan turut campur dalam urusan ini. Orang ini
akan aku serahkan kepada punggawa praja yang berwenang dikota nanti malam.?
Orang-orang tetangga segera pulang kerumah masing-masing dengan menahan perasaan yang
kurang puas.
Nyai Tunggul turut sibuk pula mengurus dua anak tadi. Martinem masih juga menangis dan selalu
menanyakan ibunya. Kakaknya Martiman dengan kata-kata membujuk menghibur adiknya. Sambil
menyuapkan nasi kepada Martinem Nyai Tanggul sebentar-sebentar mengusap matanya dengan ujung
bajunya karena selalu mengembeng air mata. Nyai Tunggul tak tega melihat kepada kedua anak
tersebut yang tertimpa kemalangan sedemikian rupa.
--- Diam ya manis, jangan menangis lagi.? kata Nyai Tunggul menghibur.
Saya inilah gantinya ibumu selama ibumu belum pulang. Tak lama lagi ibumu pasti menyusul
kemari.?
? Diamlah Nem, kakaknya turut menghibur: ? Besok ibu tentu datang kemari !? Setelah dua anak
tadi makan kenyang dan diberi pakaian sekedar menutupi badannya, rnereka segera merebahkan
badannya diatas bale-bale dengan ber-himpit-himpitan, dan tak lama kemudian tidur dengan
nyenyaknya.
Nyai Tunggul masih tetap duduk menunggu disisinya, sambil mendengarkan percakapan Kyai Tunggul
dengan Indra Sambada yang duduk tidak seberapa jauh dibale-bake sebelahnya. Sujud menguntit terus
dibelakang Kyai Tunggul dan memasang telinganya lebar-lebar untuk mengikuti percakapan bapaknya?
? ? Bagaimana menurut pendapat bapak, akan tindakan kita selanjutnya? ? Indra bertanya.
? Hal itu memang sangat sulit sekali, untuk memecahkannya. ? Kyai Tunggul menjawab dengan
memejamkan matanya sesaat, seolah-olah sedang ada yang dipikirkan berat. Kemudian ia melanjutkan.
? Segala sesuatu harus dipikirkan masak-masak nakmas, tak boleh kita asal bertindak.?
? Akan tetapi jangan sampai kita terlambat, pak! ? desak Indra Sambada.
? Ya, tentunya demikian. Kukira dalam hal ini nakmas mempunyai kelebihan daripada saya. Berlainan
halnya apabila menolong seseorang yang sedang sakit .?? Akh ., lagi-lagi bapak masih juga merendahkan diri, ? Indra Sambada menyahut sambil
bergumam.
? Hasratku untuk menumpas perampok itu memang besar, tetapi apa daya, kemampuanku tidak
memungkinkan untuk mendapat hasil yang baik, bahkan mungkin akan terjadi sebaliknya. Maka saya
menyerahkan akan kebijaksanaan nakmas Indra Sambada saja, bagaimana sebaiknya, ? Kyai Tunggul
menjawab.
Mendengar jawaban Kyai Tunggul itu, Indra sebenarnya timbul rasa kecewanya. Namun demi untuk
menghormat orang tua itu sebagai gurunya ia melanjutkan bicaranya dengan merendah. - Baiklah, saya
akan mengemukakan pendapat saya, setelah saya memeriksa tawanan itu. ? Berkata demikian Indra
Sambada bangkit dan berdiri dimuka orang yang duduk dilantai sebagai tawanannya itu.
Ternyata setelah mengadakan tanya jawab dengan orang yang diikat tangannya itu Indra Sambada
tidak dapat menghasilkan jawaban yang diharapkan. Rupa-rupnyanya orang itu hanya seorang bawahan
biasa yang disuruh untuk mengadakan pengawasan didesa Trinil tadi, berkenaan dengan akan
datangnya para perampok pada besok petang harinya.
Tiga orang pemuda desa yang berada dipondok Kiai Tunggul segera dipanggil dan diperintah uutuk
menjaga tawanan itu bergiliran. Kini orang tahanan tndi dibawa kebelakang di-kandang pedati dan
dijaga oleh tiga orang pemuda tadi secara bergilir.
? Bagaimana halnya jika orang tadi besok pagi-pagi lepaskan, pak.? Indra Sambada bertanya
kembali kepada Kyai Tunggul, setelah orang tahanan tadi dipindahkan kebelakang.
? Jangan, jangan nakmas! ? jawab Kyai Tunggul dengan sungguh-sungguh.
? Walaupun orang itu tidak ada artinya bagi kita, tapi jangan sampai dilepaskan besok pagi, itu dapat
menggagalkan siasat kita!.
? Dalam hati Indra Sambada merasa geli juga. Kini setelah dia mengusulkan supaya dilepaskan
tahanan tadi. Kyai Tunggul mencegah karena takut akan kegagalan siasatnya, sedangkan sebelumnya ia
menyerahkan akan kebijaksanaannya. Indra Sambada sama sekali tidak memperlihatkan rasa gelinya ia
tetap bicara dengan wajar. ? Lalu mau kita apakan tahanan itu, pak? --- Indra Sambada melanjutkan
kata-katanya.
--- Kita lepaskan juga, akan tetapi setelah nakmas Indra berhasil menumpas Kerta Gembong dengan
gerombolannya.?
Jawab Kyai Tunggul. Usul ini sebenarnya sependapat pula dengan fikiran Indra Sambada, namun ia
hanya berpura-pura saja, untuk mengetahui siasat Kyai Tunggul.
? Mengapa justru saya sendiri yang harus menumpasnya, bukankah kita berdua bersama Bapak Kyai?
Karena saya sendiri belum tahu akan kesaktian yang dimiliki oleh Kerta Gembong. Kenal namanya saja
baru sekarang.? Kembali Indra Sambada mendesak Kyai Tunggul.
? Bagaimanapun kesaktian Kerta Gembong, aku percaya bahwa nakmas pasti dapat
menundukkannya. Saya akan mengawasi dari kejauhan, karena jika saya turut serta, nanti bahkan akan
mengacaukan gerakan nakmas Indra. Saya hanya bermaksud untuk menolong kakek tadi keluar dari
desa Trinil?
Kini Indra menaruh curiga pada Kyai Tunggul. Sewaktu Kyai Tunggul diserang deagan tiba-tiba Indra
melihat dengan jelas, bahwa gerakan cara mengelakkan serangan-serangan tadi adalah mentakjubkan.
Kiranya jarang yang memilikinya. Tetapi sekarang kelihatannya Kyai Tunggul takut menghadapi Kerta
Gembong dengan gerombolannya. Apakah ini hanya merupakan sandiwara saja dari Kyai Tunggul, Indra
Sambada tidak da-pat menebaknya. -Biarlah, besok toh akan terbongkar juga rahasianya - pikir Indra*
** Bayangan hitam berkelebat bergerak pesat dikegelapan malam, memasuki suatu pekarangan didesa
Trinil. Dengan tangkasnya bagaikan seekor kuciing ia memanjat pohon nangka dan melompat mlembar
kewuwungan sebuah rumah Genteng. Gerakan itu dilakukan dengan ketangkasan yang luar
biasa,menilik tidak adanya suara bergoyangnya dahan ataupun suaranya genteng pecah. Cepat
bayangan hitam itu mengguling ke bawah dan untuk kemudian menjatuhkan diri ditalang antara
bangunan dapur dan rumah besar, dengan tidak mengeluarkan suara sedikitpun, se-olah-olah seperti
daun kering saja jatuhnya. Sungguhpun langit cerah, dan bintang-bintang bergemerlapan diangkasa,
namun cahaya bulan sedikitpun tiada nampak. Bulan purnama telah berselang beberapa waktu yang
lalu.
Indra Sambada dengan pakaian ringkasnya yang serba hitam dengan keris pusakanya dipinggang dan
kantong berisi taji disebelah kanan, sedang melihat melalui celah-celah genteng keruangan dalam
rumah yang terang benderang mendapat sinarnya cahaya lampu minyak yang tergantung di tengahtengah ruangan. Lima orang sedang duduk di bale-bale dengan bercakap-cakap keras, yang diselingi
dengan gelak ketawa. Satu diantara lima orang itu adalah Kerta Gembong sendiri. Ia memakai baju
hitam dengan disulam benang emas berbentuk kepala harimau didadanya. Sedang golok panjang
hamper menyerupai klewang dengan tangkainya dari gading terselip dipinggang menonjol kedepan.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Celananya hitam panjang sampai dibawah lutut, dengan sarung warna dasar merah yang dilipat
menyelubungi perutnya. Orangnya bertubuh tinggi besar, mukanya bersih berseri-seri dengan matanya
yang agak cekung dan bersinar tajam. Rambutnya panjang terurai sampai dipundaknya dan kelihatan
telah berwarna dua. Ikat kepalanya lebar segitiga diikat kebelakang berwarna merah. Sungguhpun ia
dalam percakapan tadi lancer menggunakan Bahasa daerah Jawa namun logatnya menunjukkan bahwa
ia bukan berasal dari daerah sekitar Kota Raja ataupun dari daerah Martapura. Ketiga orang yang berada
dihadapannya semua berpakaian serba hitam pula, dengan bersenjatakan klewang, sedangkan seorang
yang duduk disamping kiri Kerta Gembong, pakaiannya menyerupai Kerta Gembong. Hanya sulamannya
dengan benang perak didadanya, berbentuk kepala harimau pula.
Orang yang berkumis tebal tidak berjenggot dan alisnya tebal berbentuk sepasang golok. Mukanya
kasar dan bopeng, dengan sinar pandang matanya yang bengis. Menunjukkan bahwa ia adalah seorang
yang kejam yang tidak berkeperikemanusiaan. Dihalaman luar kelihatan adanya empat ekor kuda yang
ditambatkan pada pohon dadap, dan ringkikannya terdengar jelas.
Dari percakapan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Kerta Gembong akan menyerahkan pimpinannya
kepada orang yang berada disampingnya. Dan dari pembicaraan itu dapat diketahui pula bahwa orang
itu bernama Suronggolo, atau digelari oleh anak buahnya Suro Macan.
Sedangkan orang-orang banyak yang mengenalnya, menamakan dia sebagai Surodaksiyo, dengan
melihat kekejaman yang telah dilakukan.
? Adi Suro, saya akan pergi jauh selama kurang lebih satu tahun, maka desa Trinil ini supaya kau jaga
dan pertahankan sebagai tempat kita menetap untuk melebarkan sayap kita kearah timur hingga sampai
di Kota Raja. Kelak apabila saya kembali akan langsung datang didesa ini. Panggilah besok pagi-pagi Den
Demang Jlagran itu, dan angkatlah dia sebagai wakilmu. Dengan dia berarti kita mempunyai tambahan
anak buah yang tidak sedikit jumlahnya. Lagi pula ia adalah punggawa narapraja, yang mempunyaipengaruh luas didaerah ini.?Kerta Gembong berhenti sejenak dan mulai lagi menghisap pipanya dalamdalam dan menghembuskan asap tembakaunya keluar dari mulutnya.
Kakang Kerta.? orang disamping yang diajak bicara menjawab dengan suara parau ? Perintahmu
akan saya taati semua, tapi sebelum kau berangkat hendaknya simpanan harta benda kita, kita bagibagikan lebih dahulu.
? O, soal itu tak usah kau khawatirkan, semua harta akan aku serahkan semua padamu, sedangkan
aku hanya akan membawa bekal secukupnya saja untuk keperluanku diperjalanan. ? sahut Kerta
Gembong.
Salah satu dari ketiga orang yang berada dihadapannya memotong bicara:? Percaya saja kepada Pak
Gem- bong, kang Suro. Sedari dahulu Pak Gembong tidak pernah rakus dalam pembagian harta. Bahkan
sebagian besar selalu diberikan kepada anak-anak buah seperti kita-kita ini.?
Belum juga Suronggolo menjawab, tiba-tiba genteng diatasnya jatuh pecah berantakan dilantai, dan
bersamaan dengan itu meloncat jatuh tegak berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba hitam
didepan mereka, dengan tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan tangan kanannya menuding sambil
berkata Menyerah semua!Dengan tidak menjawab akan seruan itu Suronggolo dengan suatu gerakan meloncat langsung
menyerang dengan babatan klewangnya kearah pinggang Indra Sambada. Dengan tangkasnya Indra
Sambada memiringkan badannya dan surut setindak untuk mengelakkan serangan tadi.
Dengan satu loncatan kesamping kiri Indra Sambada langsung memukul lampu yang tergantung dengan
telapak tangannya. Lampu padam dan kini ruangan menjadi gelap gulita. Segera suara gaduh terdengar.
Lima orang serentak maju dengan senjata masing-masing ditangan menerjang Indra Sambada. Tetapi
kiranya tidak mudah menyerang dalam kegelapan, dimana semua kebetulan memakai pakaian serba
hitam. Satu sama lain bertubrukan, bahkan ada yang terkena bacokan klewang kawannya sendiri.
Kerta Gembong bersiul panjang dan nyaring, serta menerjang keluar dengan pukulan yang dahsyat
ditujukan kearah pintu. Pintu kaju jati yang kokoh segera hancur berantakan dan terbuka lebar. Semua
itu hanya terjadi dalam sekejap mata saja. Semua segera mengikuti gerakan Kerta Gembong ketuar
rumah. Namun dua diantara orang-orang tadi yang segera jatuh tersungkur didepan pintu dengan tidak
bernafas lagi. Dua buah taji yang dilemparkan Indra Sambada tepat mengenai kepala bagian belakang
dari kedua orang tadi.
Melesatnya Kerta Gembong seperti bayangan dalam kegelapan malam, diikuti oleh Suronggolo
menuju ketegalan pinggiran desa Trinil. Sesaat ketnudian menusul Indra Sambada dengan tidak kalah
gesitnya. Kiranya untuk tanya jawab sudah tidak ada kesempatan lagi. Kerta Gembong segera
membalikkan badannya dengan golok terhunus langsung menyerang Indra Sambada yang baru saja. tiba
mengejar. Demikian pula Suranggala membantu menyerang Indra dengan klewangnya. Pertarungan
sangit terjadi, Indra Sambada sangat sibuk melayani dua musuhnya yang tangguh dan bersenjata.
Dengan suara teriakan nyaring Indra Sambada meloncat tinggi untuk menghindari dua senjata yang
menyerang dari arah yang berlawanan, untuk kemudian jatuh disamping. Dengan demikian kini ia dapat
melayani serangan-seranga hanya dari depan dan samping.
Tapi Kerta Gembong rupanya telah menduga akan maksud yang akan dilakukan oleh Indra Sambada.
Dengan tidak kalah tangkasnya pula ia meloncat tinggi dengan goloknya membabat kearah kepala Indra.
Kembali Indra Sambada menjadi sibuk, dan segera ia merendahkan diri untuk menghindari serangan
yang dilancarkan mengarah kekepalanya. Dengan demikian kedudukan Indra Sambada kembali seperti
semula, yang mana ia harus melayani serangan-serangan msuhnya dari arah yang berlawanan lagi yaitu
dari arah muka dan belakang.Kedudukan yang demikian itu kurang menguntungkan bagi kedudukan Indra Sambada. Namun ia
tetap masih dapat melayani dengan tangan kosong. Untuk mencabut keris pusakanya dirasakan belum
pada saatnya. Ia menyesal mengapa ia tadi tidak membawa klewang ataupun tongkat. Kesempatan
untuk menggunakan lemparan tajinya tidak ada, karena datangnya serangan dari arah yang berlawanan
itu sangat bertubi-tubi, ditambah jarak antara keduanya sangat terlalu dekat. Benar-benar Kerta
Gembong memiliki kemahiran dalam menggerakkan goloknya. Gerakannya menyamai gerakan seorang
perwira tamtama yang tangguh. Kini ia tahu sudah akan segi kekuatan dan kelemahan lawan Indra
Sambada berniat menggempur Suronggolo terlebih dahulu, yang tidak begitu mahir dan tangkas
dibandingkan dengan Kerta Gembong.
Suronggolo hanya mengandalkan pada kekuatan dalam gerakan menggunakan klewang untuk
membabat serta memutarkannya sebagat perisai, apabila diserang.
Dalam pertempuran ia banyak mengeluarkan tenaga, tidak seperti halnya dengan Kerta Gembong
yang selalu menyerangnya dengan perhitungan-perhitungan yang cermat serta berbahaya. Seringkali
gerakan golok Kerta Gembong hanya merupakan pancingan saja, yang kemudian disusul dengan
tendangan-tendangan yang dahsyat atau pukulan tebangan dengan tangan kirinya disertai loncatan
yang indah.
Pertempuran berjalan dengan serunya, Kerta Gembong bersiul nyaring lagi mengulangi panggilan
kepada bawahannya dengan melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Namun agaknya ia
menjadi heran, setelah sesaat mengawasi kanan kiri tidak ada anak buahnya yang datang.
Ternyata niat Indra Sambada untuk lebih dahulu menggempur Suronggolo tidak mendapat
kesempatan, dan tidak mudah pelaksanaannya, sebagaimana ia perkirakan lebih dahulu. Tiap kali ia
akan menerjang Suronggolo, golok Kerta Gembong selalu berkelebat menyerangnya dari arah yang tidak
diduga.
Tusukan golok Kerta Gembong kembali datang dari arah belakang, yang cepat dielakkan oleh Indra
Sambada dengan merendahkan badannya, tetapi segera disusul lagi dengan tendangan yang dahsyat.
Ternyata tusukan goloknya hanya merupakan tipu belaka. Serangan semacam itu sudah dapat diduga
dan mendapat perhatian lndra akan datangnya tendangan yang beruntun.
Namun sekarang kiranya sukar untuk dielakkan. Kerta Gembong tertawa nyaring demi melihat serangan
tendangan kakinya mengenai sasarannya dan bersarang dilambung Indra Sambada. Dengan jatuh berguling-guling Indra bangkit merapat dengan badannya Suronggolo yang sedang mengayunkan
klewangnya kearah kepala lawannya.
Kesempatan demikian tidak di-sia-siakan oleh Indra Sambada. Dengan pukulan pada pergelangan
tangan kanan Suronggolo, klewang yang dipegang dengan eratnya telah terpental jatuh sejauh dua
langkah dari tempat itu. Bersamaan dengan terpentalnya klewang, bayangan hitam berkelebat
mendatangi dan langsung memukul Suronggolo dengan pukulan tongkat yang tepat mengenai
kepalanya, hingga Suronggolo jatuh terlentang untuk tidak berkutik lagi. Dalam saat yang sama Kerta
Gembong meloncat surut kebelakang dan lari terus meninggalkan gelanggang pertempuran. Kerta
Gembong sadar bahwa tendangan yang diperkirakan dapat mematikan ternyata memang sengaja
diterimanya dengan kekuatan dalam yang luar biasa sebagai gerak tipuan. Gerak tipu Indra Sambada
ternyata hanya setengah berlindung karena gerak tipunya cepat dapat diketahui oleh lawannya. Pada
waktu tendangan dari Kerta Gembong diterimanya, Indra Sambada memang sudah mematek aji
kesaktiannya Bandung Bondowoso yang disalurkan keseluruh badannya untuk membuat dirinya kebal
terhadap serangan pukulan-pukulan dan tendangan yang sudah diduga terlebih dahulu datangnya.
Indra Sambada segera meloncat mengejar larinya Kerta Gembong. Tetapi Kyai Tunggul dengantangkasnya melemparkan tongkat penjalinnya menghadang didepan Indra Sambada. Ternyata tongkat
yang dilemparkan tadi tepat beradu dengan sebatang golok pendek yang meluncur dengan pesatnya
kearah Indra.
Kiranya sambil berlari cepat Kerta Gembong melemparkan golok pendeknya kearah Indra Sambada
untuk mencegah pengejaran. Indra Sambada terpaksa berhenti sejenak untuk mengelak kesamping.
Dalam hati ia memuji ketangkasan Kyai Tunggul dalam melepaskan tongkat penjalinnya. Dengan
demikian terang sndah bahwa Kyai Tunggul memiliki pula suatu ilmu yang tinggi. Dengan melihat
jatuhnya dua benda yang berbenuran diudara tadi, Indra Sambadadapat mengukur pula akan kekuatan Kyai Tunggul dan Kerta Gcmbong adalah seimbang.
Kini jarak antara Indra Sambada, dan Kerta Gembong telah lebih dari lima puluh langkah, maka Indra
Sambada segera melemparkan tajinya kearah Kerta Gembong dengan kekuatan bathin yang telahdisalurkan lewat tangannya.
Taji meluncur cepat, berkelebat sepintas dalam kegelapan. Namun kiranya Kerta Gembong telah
waspada akan datangnya bahaja dari belakang. Golok panjang disabetkan dengan berpusingan sambil
terus lari dengan membongkok. Suara beradunya taji dan golok yang tepat berpapasan terdengar
nyaring.
Kyai Tunggul maju mendekati Indra Sambada dan mengambil tongkatnya yang jatuh ditanah. Ia
memegang lengan Indra dan tangan kanannya menunjuk kearah larinya Kerta Gembong dalam
kegelapan.- Lihatlah, nakmas. Ada bayangan baru yang muncul mengejar Kerta Gembong
? Siapakah dia, pak ??Indra menyahut dan bertanya. Bukankah kita hanya berdua ,saja?-. Tapi jarak
dua bayangan yang sedang kejar mengejar itu agak jauh, sung guhpun jarak antara keduanya terlihat
makin dekat. Tiba-tiba sampai diujung desa Kerta Gembong meloncat tinggi, dan kemudian .. ternyata
ia telah menaiki kudanya yang ditambatkan dikegelapan diujung desa tadi.
Ia memacu kudanya dengan berteriak lantang:? Tunggulah setahun lagi aku pasti datang kembali
disini!. ? Suaranya jelas terdengar sebagai ancaman. Hanya tertuju kepada siapa, Indra Sambada tidak
tahu.
Kyai Tunggul dan Indra Sambada masih mengikuti larinya bajangan yang kedua sampai diujung desa
pula, tetapi bayangan tadi kini hilang di kegelapan dan tidak meninggalkan bekas. Kyai Tunggul
membisikan kata-kata ketelinga Indra Sambada dengan pelan, kemudian mereka berdua segera masuk
kembali didesa Trinil dan memasuki rumah rusak yang ditempati oleh kakek-kakek waktu kemarin.
Berdua mereka menjumpai kakek-kakek itu. yang sedang duduk bertopang dagu dengan tongkatnya
ditangan, serta menggigil ketakutan.
? Mbah, apakah tadi tidak ada orang masuk kemari?? Indra Sambada menegur.
? Tidak nak!? yang saya dengar ialah keributan diluar sana, tapi saya takut untuk melihatnya,?
djawab kakek-kakek dengan kata-kata terputus, karena ketakutan- Kyai Tunggul dengan Indra Sambada
segera keluar lagi menudju kerumah bekas tempat pertempuran tadi. Pun disitu sunyi sepi tak ada suara
orang ataupun ringkikan kuda. Mereka segera memasuki halaman. Dan alangkah terkejutnya setelah
melihat empat orang bergelimpangan menjadi mayat, demikian pula ke-empat-empat kuda mengalami
nasib yang sama. Seingat Indra, dalarn pertempuran tadi hanya dua oranglah yang menjadi korban
lemparan taji-nya. Indra Sambada memandang kepada Kyai Tunggu dengan penuh curiga, namun Kyai
Tunggul tiba-tiba menegur Indra; ? aach, kuda-kuda itu sebenarnya tak perlu dibunuh, nakmas! Tetapi
sudah terlanjur!? gumamnya.
? Bukankah ini semua bapak yang melakukannya? ? Indra Sambada bertanya dengan rasa curiga!
--- Ha? Tak mungkin saya sekejam ini!? jawabnya tegas:? Mari kita kembali ketempat kakekkakek tadi!?
Mereka segera keluar halaman menyeberangi jalan desa menuju ketempat kakek-kakek tadi yang
sedang duduk menggigil ketakutan. Tetapi keduanya lebih lagi terperanjat, penuh dengan keheranan.
Setelah mencarinya didalam kegalapan dimana kakek-kakek tadi telah tidak berada dirumah itu.
Mereka segera keluar rumah yang sudah tinggal separo itu, menuju kehalaman belakang. Dan
terdengarlah suara rintihan orang. Setelah didekati ternyata ada lima orang yang diikat kakinya dan
tangannya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hanya seorang diantara mereka telah kembali sadar dan
merintih kesakitan. Kyai Tunggul segera menyiramnya dengan air yang ditimbanya dari perigi yang
berada dlalaman. Setelah keempat lainnya sadar kembali, mereka mulai mengerang kesakitan daa
menggigil ketakutan minta diampuni.
Kelima orang tadi setelah berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatannya menjadi perampok, segeradilepaskan dari ikatannya dan disuruh pergi dari desa Trinil, dengan membawa mayat-mayat kawankawannya serta mengubur kuda-kuda yang telah mati. Dari keterangan yang diperoleh dari kelima orang
anggota perampok itu bahwa isteri Jajadipa kini berada dirumahnya Demang Jlagran.
? Mari kita pulang dahulu, nakmas, nanti setelah kita beristirahat sejenak, akan saya ceriterakan
dengan jelas persoalan yang rumit ini! ? Kyai Tunggul berkata. Waktu itu telah hampir fajar.
Dengan janji Kyai Tunggul itu, Indra Sambada agak merasa lapang hatinya. Ia percaya bahwa teka teki
yang selarna ini terkandung dalam hatinya akan dapat segera dipecah oleh keterangan Kyai Tunggul itu.
Sampai dirumah keduanya segera duduk berjajar ber sama-sama mengatur pernafasannya, untuk
kemudian bersemedi. Lama mereka tenggelam dalam semedinya.
Terebih dahulu Kyai Tunggul dan Indra Sambada melakukan sembahyang kepada Dewata Yang Maha
Agung yang telah memberikan akan segala kemurahanNya, dan kemudian memulihkan tenaganya
kembali. Mereka lalu merebahkan badannya untuk membiarkan syaraf-syarafnya dan jalan darah
kembali tenang dan berjalan seperti keadaan sebagaimana mestinya.
Memang bagi orang yang telah tinggi ilmu bathinnya, jika dikehendaki, ia tidak memerlukan waktu
terlalu lama untuk istirahat dan memulihkan tenaganya walaupun telah lebih kurang sehari semalam tak
mengaso. Waktu itu waktu telah pagi. Orang-orang petani telah berada disawah untuk mengerjakan
tanahnya, sedangkan orang yang pergi ke-pasarpasar desa telah pulang pula. Para wanita dari petani Trio Detektif 40 Misteri Reuni Berandal Cilik Jaka Sembung 5 Air Mata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang

Cari Blog Ini