Ceritasilat Novel Online

Pendekar Majapahit 3

Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo Bagian 3


petani itu, telah pula siap untuk berangkat kesawah dengan rnembawa makanan dan minuman untuk
merangsum kepadn suaminya atau keluarganya yang sedang mengerjakan sawahnya dengan giat.
Matahari dari timur memancarkan sinarnya dengan teriknya. Anak-anak kecil ber- main-main
dipekarangan dan ditegalan dengan asyiknya.
--- Marilah nakmas, kita berangkai mencari ikan dikali Bengawan, sambiI nanti kuceriterakan rahasia
yang selama ini menjadi tanda tanya bagi nakmas! ? Kyai Tunggul mengajak Indra Sambada.
Dengan membawa jaring dan kantong tempat ikan yang lazim disebut "kenis". Mereka pergi menuju
kekali Bengawan dengan diikuti oleh Sujud.
Bersampan mereka bertiga menuju kehulu sungai dengan pelan. Sebentar-sebentar Kyai Tunggul
melemparkan jaringnya yang mengembang seperti Iingkaran jatuh diair dangkal ditepi, dan kemudian
ditariknya pelan-pelan untuk diangkat. Jaring yang berkembang melingkar dengan pelan menjadi kecil
kembali dan melipat. Ikan-ikan kecil, wader dan sebangsanya berkolejotan didalam jaring, dan Sujud
membantu mengambil ikan-ikan itu untuk kernudian dimasukkan dalam kantong yang dibawanya.
Yaitu kepis yang terbuat dari bambu yang dianyam. Indra Sambada mendayung sampan dengan
pelan-pelan, terus menyusuri tepi Bengawan menuju kehilir.
Kini kantong ikan telah terisi hampir penuh. Tiga per-empat dari kepis itu penuh dengan ikan yang
ber-macam-macam. Setelah mengawasi kekanan kekiri yang ternyata sepi, perahu sampan segera
dibelokkan ketepian, dan Kyai Tunggul segera memulai bicara. ? Nakmas Indra, kurasa sekarang telah
tiba saarnya aku membuka rahasia yang aku pendam, dan juga mengenai kejadian kemarin dulu itu
kepadamu!Indra Sambada membetulkan duduknya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
? Sebetulnya aku telah mengenaI si Kerta Gembong ? Kyai Tunggul melanjutkan kata-katanyanya.?
Kerta Gembong itu dulunya adalah Bupati tamtama juga dari Kerajaan Pajajaran dan bernama Kertanata
Kusumah. Terang bahwa baginya ada maksud-maksud tertentu dibalik memimpin rampok yang
mengganas didaerah ini. Semalam aku mengintai pula dari luar dengan jelas dari celah-celah gebyok
untuk meyakinkan. Ternyata yang telah aku dengar, sejak waktu lama berselang itu benar.?Kyai
Tunggul menghela nafas panjang.? Jika dernikian apa kira-kira maksud yang sebenarnya, pak?? Dan siapakah kakek-kakek itu yang
serba aneh itu?? Indra memotong pembicaraan.
? Sabarlah dahulu.? Kyai Tunggul menjawab. ? Untuk menjawab pertanyaanmu itu, ceritanya
sangat pan yang. Sewindu yang lalu sewaktu perang Bubat yang menyedihkan itu terjadi, hingga
merupakan malapetaka bagi seluruh Narapraja dan tamtama bahkan meliputi pula sebagian besar
rakyat. Banyaklah para perwira tamtama yang meninggalkan Kota Raja dan kini mereka berada didaerah
Sumedang, yang disebut orang Gunung Nyalindung.
Mereka berkumpul disitu untuk menghimpun kembali kekuatan baru yang maksudnya untuk merebut
kembali Kerajaan Pajajaran.
Tetapi ternyata Kerajaan Majapahit telah lebih cepat menggantikan para pimpinan tamtama dan
punggawa narapraja untuk menggagalkan maksud-maksud itu. Punggawa narapraja dari Kerajaan
Majapahit yang memerintah daerah Pajajaran itu, ternyata dari sebagian diantaranya ada yang kejam
dan menindas rakjatnya. Rasa kurang puas dalam hati tiap-tiap para perwira tamtama yang memang
sudah tertanam itu, menjadi lebih melonjak lagi. Namun ada pula diantara para perwira tamtama dan
bekas narapraja Pajajaran yang ingin mengetahui lebih dalam lagi, sebelum menentang kekuasaan yang
menindas daerah Pajajaran itu.
Bahkan ada pula para perwira tamtama yang berpendapat bahwa perang Bubat itu disebabkan
adanya Durno-durno dalam istana Kerajaan Majapahit jadi bukan atas kehendak Baginda Rajasanegara
ataupun Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada.
Kiranya para perwira tamtama masih terus akan melanjutkan usaha-usahanya itu hingga berhasil.
Mereka tidak mau berhenti sebelum mengetahui siapa Durno-durno yang berada di Istana Kerajaan
Majapahit. Dengan semboyan mereka akan menuntut kembalinya daerah Pajajaran. Hal ini dapat
dimengerti dengan adanya tindakan-tindakan dari para punggawa-punggawa yang ditempatkan untuk
memerintah dari Kerajaan Majapahit yang telah memeras dan menindas secara kejam didalam daerah
yang dikuasai.? Kyai Tunggul menceriterakan dengan semangat yang bernyala-nyala dan kelihatanlah
diwajahnya bahwa ia juga turut dendam pada punggawa-punggawa yang menyeleweng itu.
Karena tidak adanya perpaduan pendapat dalam hal pelaksanaan cara menentangnya kebijaksanaan
Kerajaan Majapahit yang semena-mena itu, maka para perwira tamtama yang mempunyai keberanian
dan kecintaan terhadap Tanah Air dan rakyatnya bertindak sendiri-sendiri. Ada yang bermaksud untuk
membalas mengacau didaerah Majapahit dan ada pula yang bermaksud untuk membalas membunuh
pada Durno-durno yang berada di Istana. Namun adapula yang mengambil jalan secara halus dengan
berniat menyampaikan kepada Baginda di Kerajaan Majapahit, keadaan yang sebenarnya demi
kepentingan rakyat banyak. Tetapi maksud yang terakhir ini sukar dicapai, sebelum menyelidiki lebih
dalam lagi tentang kebijaksanaan Kerajaan Ma-japahit yang sesungguhnya, dalam memperlakukan
rakyat daerah bekas Kerajaan Pajajaran. Dan pula tidak mudah untuk menghadap secara langsung
kehadapan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara.
Jika diteliti keadaan dahulu sebelum perang Bubat terjadi, hubungan antara kedua Kerajaan dan
hubungan rakyatnya itu sangat baik sekali, namun sekarang masing-masing terutama dari sebagian
besar rakyat Pajajaran telah menyimpan benih kedendaman yang mendalam terhadap rakyat Kerajaan
Majapahit, yang sukar dipadamkan.
Telah tiba saatnya aku sekarang akan membeberkan semua rahasiaku sendiri kepadamu dengan sejujur-jujurnya. Sampai disini Kyai Tunggul berhenti bicara sejenak dan mengawasi kembali kanan- kiri
sekitarnya, untuk kemudian memandang tajam kepada Indra Sambada.
? Nakmas Indra, sebagai muridku tentunya nakmas tahu apa yang kumaksudsan ? Kyai Tunggulmelanjutkan ceritanya kembali ? Janganlah nakmas melihat dari kacamata sepihak, apabila hendak
bertindak adil dan bijaksana demi kepentingan rakyat banyak. Rakyat tak mungkin mau diajak bertindak
yang bukan-bukan, seperti memberontak atau menuntut yang bukan-bukan apabila mereka
diperlakukan wajar dan bijaksana olch para punggawa yang menguasai.
Dan kurasa dengan jalan yang bijaksana dapat pula Kerajaan Majapahit menaungi Kerajaan Pajajaran,
dengan mengangkat para bekas perwira tamtama dan para punggawa narapraja untuk ditempatkan
dalam kedudukan yang wajar. Tentunya dalam hal ini memerlukan penelitian dan penyaringan lebih
dahulu terhadap kelakuan dan sifat-sifat para perwira tamtama dan punggawa narapraja tadi.
Aku jakin bahwa hubungan baik antara rakyat Pajajaran dan Majapahit akan terjalin pulih baik kembali.
Dan dengan demikian nama keagungan Kerajaan Majapahit akan lebih harum. Rakyat akan dapat
bersatu kembali dalam naungan satu bendera Kerajaan Majapahit seperti dahulu kala.
? Apakah yang bapak maksudkan itu, agar Kerajaan Pajajaran dihidupkan kembali? ? Sela Indra
Sambada.
--- Bukan, bukan dernikian maksudku nakrnas. ? menjawab Kyai Tunggul dengan cepatnya. Jika
pemerintahan diserahkan kepada orang-orang Pajajaran sendiri aku yakin bahwa ketenteraman dan
kesejahteraan rakyat akan lebih dapat dicapai. Hal ini tidak perlu dengan menghidupkan kembali
Kerajaan Pajajaran yang telah musna itu. Dahulu Sri Baginda Raja menyerahkan putrinya untuk
dipersunting oleh Sri Baginda Rajasanegara, adalah dengan maksud mempererat hubungan kedua
Kerajaan yang telah terjalin lama, dan rela pula untuk dinaungi dibawah satu bendera Kerajaan. Tetapi
kiranya ada Durno-durno dalam Istana, sehingga perang Bubat terjadi dan sangat menyedihkan.
Tujuh tahun lebih aku tekun menyelidiki tata Pemerintahan Kerajaan Majapahit, dan sekarang aku
telah mengetahui dengan jelas, bahwa Priyagung-priyagung pimpinan Pernerintahan Kerajaan
Majapahit pada umumnya bersifat ksatrya dan arif bijaksana. Demikian pula sifat Gusti Patih
Mangkubumi Gaja Mada yang lebih mendekati seorang Brahmana. Atas dasar pengetahuanku ini, aku
yakin bahwa apabila salah seorang Priyagung mengetahui keadaan daerah Pajajaran yang sebenarnya
tentu akan sependapat dcngan usulku.
Hanya kepadamulah aku berani bicara terus terang, karena yakin bahwa nakmas yang dapat
menyelesaikan persoalan ini dengan jalan penuh arif dan bijaksana. ? Kyai Tunggul berhenti lagi
berbicara, untuk menunggu kesediaan jawaban Indra Sambada dalam hal ini.
? Pak, kiranya hal ini tidak menyimpang dari tugas saya sebagai tamtama mengingat akan janji pasti
Panca Setia tamtama yang telah menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasku. Saya tidak berjanji
akan berhasilnya ataupun tidaknya dalam menghadapi tugas baru yang dibebankan oleh bapak, tetapi
sudahlah menjadi kewajiban saja uatuk melaksanakannya.
Hanya ada pertanyaan saya yang belum dijawab oleh bapak Kyai Tunggul, siapakah sebenarnya Bapak
Kyai Guruku ini?? Indra menjawab dan mengajukan pertanyaan lagi.? Dan siapakah kakek-kakek
kemarin malam yang aneh itu.?
? Bagiku tak ada alasan lagi untuk seialu menyembunyikan dan membohongi kepadamu. Aku adalah
bekas punggawa narapraja pula dari Kerajaan Pajajaran, Bupati didaerah Indramaju. Dan namaku yang
sebenarnya adalah Wirahadinata. Sejak daerahku diperintah oleh Bupati Tumenggung Praja-ratmaka,
saya lalu meninggalkan Kabupaten Indramayu dan menetap di Ngawi ini, dengan nama samaran Kyai
Tunggul. Dengan bekal keakhlianku dalam ilmu usadha, saya dapat mengenal lebih banyak Priyagungpriyagung dari Kerajaan Majapahit dan telah tujuh tahun lamanya aku dapat bertahan tinggal disini.
Maksud dan tujuanku telah aku utarakan padamu tadi, namun hingga sekarang belum memungkinkan
untuk langsung menghadap berhadapan dengan Baginda Maharaja Rajasa-negara ataupun Gusti PatihMangkubumi Gajah Mada. Sekali lagi hanya nakmas Indralah yang menjadi harapanku dapat
menyelesaikan maksudku, demi kepentingan rakyat banyak, dan demi keharuman nama Kerajaan kita
semua Majapahit.
Tentang kakek-kakek semalam, saya tidak banjak mengetahui. Hanya menurut dugaanku ia adalah
Kyai Pandan Gede, yang telah dijuluki oleh orang-orang dengan "Siluman ambek paraamerta? Dahulu
tempat kediamannya adalah di Gunung Pandan tak jauh dari sini, namun sekarang orang tak tahu akan
tempat tinggalnya yang tetap. Di-mana-dimana diwaktu ada peristiwa-peristiwa yang penting ia selalu
muncull. Maksud dan tujuannyapun tidak banyak saya mengetahuinya. Tetapi selama tujuh tahun aku
berdiam disini tak pernah mendapat gangguan dari Kyai Pandan Gede, bahkan ketemu saja baru
kemarin malam itu. Itupun jika tebakanku benar. Dulu saya kuatirkan bila rahasiaku akan bocor, dan ia
bertindak terhadapku.
Namun kekuatiranku itu kini telah hilang lenyap. Karena orang-orang selalu hanya menceritakan
tentang kebaikannya dari tindakan Kyai Pandan Gede dan kesaktian sebagai siluman yang dimilikinya.
Asya pernah berusaha menemuinja, tetapi sudah dua kali aku mendaki Gunung Pandan, tidak pernah
dapat berhasil menemui. Mungkin jika nakmas dapat menemuinya akan banyak manfaatnya dalam
menunaikan tugasmu itu.
? Kyai Tunggul bcrhenti lagi sejenak. Kiranja panas teriknya matahari yang menyinari langsung dari
atas kepalanya mengganggunya. Sebentar-sebentar ia menyeka peluhnya. Indra Sambada
mendengarkan cerita Kyai Tunggul dengan saksama. Kalimat demi kalimat diperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Sedangkan Sujud lama-lama duduk terkantuk dengan sendirinya,
Setelah puas mereka bercakap cakap dengan tiada gangguan, maka mereka bertiga kembali pulang,
dengan sampannya mengikuti mengalirnya air kali Bengawan. Dalam perjalanan pulang tidak banyak
yang mereka bicarakan, karena masing-masing terbawa dalam alam lamunan mereka sendiri. Hanya
Sujudlah sebentar-sebentar mengajukan pertanyaan yang bukan-bukan kepada Kyai Tunggul.
Karena ia kini tahu pula, bahwa ayah angkatnya sebenarnya adalah seorang bekas Bupati. Diam? iapun
turut mengikuti jalan ceritanya.
* * * Sedang ia duduk bersemadi memuji akan kebesaran Yang Maha Agung serta mohon penerangan dan
kekuatan padaNya, demi untuk mengabdi pada Kerajaan dan rakyat, terdengar suara ketukan pelan tiga
kali dari dinding kayu yang berada dibelakangnya. Indra Sambada setelah mengambil keris pusakanya
yang berada dibawah bantal, segera keluar lewat pintu belakang, untuk tidak mengganggu seisi rumah
yang sedang tidur nyenyak.
Malam itu telah tengah malam. Cuaca gelap, awan hitam menggantung diangkasa. Di-sela-selanya
memancar bintang-bintang dengan sinarnya yang pudar.
Tak kuasa sinarnya menembus tebalnya awan yang menghalang. Angin basah meniup dari selatan,
membuat segarnya badan. Dcngan pelan ia menutup pintu belakang kembali dan berjalan dengan
penuh kewaspadaan menuju kearah suara ketukan yang tadi didengarnya, dengan hati yang ber ?
debar-debar. Tetapi alangkah herannya setelah didatangi, ternyata tidak ada seorang manusia. Keadaan
disekitarnya sunyi sepi. Ia segera bertindak pelan memasuki kandang sapi dan memeriksa dengan teliti
pula, didalam dan dikolong pedati. Namun tidak nampak juga apa yang dicarinya. Kembali ia berdiri ditengah-tengah pekarangan serta mengawasi kearah atas pohon-pohon yang rindang. Tetapi ternyata
dahan serta rantingnya sedikitpun tidak bergerak. Dengan tangkas ia meloncat naik kegenteng dapur,dan berjalan mengikuti membujurnya wuwungan. Pun disitu kelihatan sepi, dan tidak ada bekas tandatanda injakan orang. Ia segera turun kembali dengan rasa penuh keheranan. Suara ketukan tadi
walaupun pelan tapi terdengar jelas olehnya, tidak mungkin ia salah dengar.
Kini ia berdiri seperti patung dikegelapan malam yang sunyi itu. Hanya suara air yang deras mengalir
dari kali Bengawan terdengar semakin jelas seperti tak pernah merasa lelah dan jemu.
Tiba - tiba tergerak rasa hatinya untuk pergi ketanggul tepi kali Bengawan. Kakinya melangkah
mengikuti suara hatinya. Kini ia telah berdiri ditebing kali Bengawan mengawasi kekanan kiri sejauh ia
dapat memandang menembus dikegelapan malam.
Tetap tidak ada tanda-tanda berkelebatnya bayangan manusia. Ia berjalan pelan rnenyusuri tebing
kearah utara. Setelah merasa lelah berjalan menyusuri tebing kali Bengawan, ia du-duk tenang diatas
rumput yang tumbuh lebat diatas tanggul. Ia tengah memikirkan nasib ibunya Martinem, dan nasib
rakyat didaerah Pajajaran yang menurut Wiriahadinata, hidup dalam penderitaan. Sedang ia tenggelam
dalam lamunan disertai dengan khayalan yang melantur. Tiba-tiba terdengar suara orang
memanggilnya: ? Tumenggung Indra, lekas pulang dan berangkatlah segera kelereng Gunung Sumbing
? Begitu suara itu lenyap, bayangan orang bertongkat dise-berang kali Bengawan berkelebat dengan
pesatnya menjauhi kearah barat. Tak mungkin ia mengejar untuk mengetahui lebih jelas, siapa orang itu.
Dan demikian tak ada jalan lain kecuali ia harus mengikuti perintah suara itu. Melihat berkelebatnya
bayangan tadi adalah orang bertongkat, maka tak ada lain rabaannya kecuali Kyai Pandan Gede. Tetapi
apa maksudnya ia harus pergi kelereng Gunung Sumbing, dan pula kesempatan untuk bertanya
menjelaskan tak diberinya. Lereng Gunung sebelah manakah yang dimaksud oleh Kyai Pandan Gede tadi
? Penasaran akan rasa ingin tahu ia cepat berjalan laksana bayangan berkelebat ditengah malam menuju
kerumah. Dengan tangkas ia melompati pagar bambu yang mengelilingi halaman untuk kemudian
menuju kepintu depan dengan langkah yang penuh kewaspadaan, karena mendengar adanya suara
percakapan yang ramai didalam rumah, dengan diselingi suara tangis anak terisak-isak.
Ternyata pintupun tak tertutup rapat, dan lampu minyak didalam rumah menyala terang. Kini rasa
cemasnya hilang seketika setetah melihat Kyai Tunggul bersama Nyai Tunggul sedang duduk
berdampingan, menghadapi seorang perempuan yang dikerumuni oleh Martiman dan Martinem.
Martinem duduk dipangkuan orang itu sedangkan Martiman dalam pelukan menyandarkan badannya
dekat-dekat kedada orang perempuan tadi. Indra Sambada melangkah masuk rumah sambil
membungkukkan badannya tertuju kepada orang perempuan yang tak dikenalnya. Ia segera mengambil
tempat duduk disisi Kyai Tunggul. Dengan datangnya Indra Sambada, percakapan tadi berhenti scbentar,
dan kini Kyai Tunggul bicara tertuju kepada Indra.
? Nakmas Indra, harap kenalkan dahulu pada tamu kita ini, ia adalah Nyai Jayadipa ibunya
Martiman.?
Indra segera membetulkan duduknya, sambil menganggukkan kepalanya. ? Kenalkan mbakyu, saya
Indra Sambada anak kemenakan Kyai Tunggul, kata Indra dengan penuh sopan, yang disambut oleh Nyai
Jayadipa dengan anggukan kepala pula sebagai balasan untuk menghormatnya.
? Menurut katanya, datangma kemari diantarkan oleh seorang kakek-kakek bertongkat?, Kyai
Tunggul melanjutkan bicaranya ! ? Dan nakmas tadi dari mana? Apakah tidak ketemu dengan kakekkakek itu? tanya Kyai Tunggul kepada Indra.
Saya tadi dari tanggul Bengawan situ, pak! Tapi tidak berjumpa dengan siapapun jawab Indra singkat.? Coba nak Jaya, teruskan ceritamu tadi, biarlah nakmas Indra ini turut mendengarkan. Bagairnana
kakek-kakek dapat menolongmu ---. Kyai Tunggul kembali mempersilahkan Kyai Jayadipa untuk
melanjutkan ceritanya yang terhenti.
--- Setelah saya berada dikamar yang pintunya tertutup dari luar, di Kademangan Jlagran, dari sela-sela
papan pintu itu saya melihat banyak sekali orang-orang yang berkumpui disitu, mungkin kira-kira ada
duapuluhan, termasuk yang membawa saya. Menurut percakapan mereka yang dapat saya tangkap,
saya hanya akan dititipkan selama, tiga hari, dan setelah itu entah mau dibawa kemana lagi oleh orang
yang kasar itu. Oleh Demang Jlagran dan istrinya saya diperlakukan baik-baik, tapi selalu saya menangis
bersedih hati, teringat kepada anak-anak saya yang nasib kelanjutannya tak kuketahui.
Tentunya Pak Kyai dan Ibu Nyai ataupun si adi, dapat membayangkan, betapa kesedihan yang sedang
menimpa diriku itu,? Nyai Jayadipa berhenti sebentar sambil mengusap air mata yang mengenang
dipelupuk matanya dengan ujung bajunya. -- Bapaknya anak-anak dibunuh, saya dibawa tak tahu akan
kemana lagi, sedangkan anak-anak saya yang masih kecil ditinggalkan tak ada yang memperdulikan
nasibnya. ? kembali ia berhenti bicara, sambil menahan isaknya.
? Maka saya sangat berterima kasi kepada Kyai, siadi maupun Bu Nyai yang telah dengan susah
payah sudi merawat anak-anak saya. Semoga Dewata Agung melimpahkan karunia yang setimpal akan
jasa Bapak Kyai sekeluarga itu .. Setelah malam ketiga tiba, kawanan rampok datang kembali di
Kademangan Jlagran, dipimpin oleh orang yang sangat kasar itu. Dari percakapan mereka baru saya
dapat mengetahui, bahwa nama orang yang kasar itu adalah Suronggolo. Semakin menggigil seluruh
badanku karena ketakutan. Nama itu telah tersohor di-mana-mana sebagai orang yang sangat kejam.
Suronggolo hanya sebentar singgah di Kadernangan Jlagran, dan katanya mau berangkat lagi menuju
kedesa Trinil.
Pesannya kepada Demang Jlagran dengan jelas dapat kudengarkan.? Nanti malam menjelang pagi
setelah pertemuan dengan Pak Kerta Gembong, saya kemari pagi dan mengambil simpanan saya? Yang
dimaksudkan simpanan, tentulah diriku ini. Hatiku ber-debar-debar, nafasku terasa sesak, setelah
mendengar percakapan itu, namun apa dayaku. Ingin aku membenturkan kepalaku ke-dinding-dinding
kaju jati itu. Tetapi teringat kembali akan anak-anakku yang aku tinggalkan.? sampai disini ia menghela
nafas panjang untuk kemudian melanjutkan ceritanya lagi: ? Semalam suntuk saya tak dapat
memejamkan mataku, tapi merasa heran hingga fajar pagi orang yang kasar itu tidak nampak datang
kembali . Den Demang kelihatan gelisah juga. Wajahnya kelihatan kusut dan pucat. Saya dapat menduga
tentu ada hal-hal yang terjadi atas dirinya para perampok.
Harapanku untuk dapat menyelamatkan diri dari noda timbul kembali. Sungguhpun belum tahu apa
yang telah terjadi. Tiba-tiba datang lima orang langsung masuk kedalam dan kembali pintu kamarku
ditutup rapat-rapat dari luar. Saya hampir jatuh pingsan, karena mengira bahwa Suramenggala dan
kawan-kawannya telah datang kembali. Harapanku kini terbang seketika?
Kyai Tunggul dan Indra Sambada mendengar dengan penuh perhatian dan sebentar-sebentar
menganggu-anggukan kepala mereka. Sedangkan Nyai Tunggul tak henti-hentinya mengeluarkan suara
gersahnya, sambil mengusap air mata. Kembali Nyai Jayadipa melanjutkan ceritanya:
? Tetapi setelah saya dapat menguasai diriku kembali, saya menilingkan dengan seksama akan
percakapan mereka yang setengah berbisik itu. Ternyata tak dapat kudengar banyak, Hanya jelas bahwa
Sura Macan tidak ada diantara lima orang itu. Kudengarkan Den Demang Jlagran mengumpat dan
mengumam pada orang-orang itu.? Jika saya ada, tak mungkin itu terjadi, hanya kata-kata itulah yang
dapat dengan jelas kudengar. Pada hari siangnya pintu kamarku dibukak, dan saya diajak makan
bcrsama Den Demang. tapi isterinya kelihatan tak berada dirumah. Ternyata Den Demang itu juga orangberhidung belang pula. --Sudahlah, dari pada kau diambil Suronggolo, kan lebih senang kalau saya kawin saja? kata dia
kepadaku. Saya tak menjawab hanya terisak-isak menangis ingat anakanakku kembali.
Kiranya ia dingin saja tak memperdulikan kesedihanku. Sudah tak usah nangis dan lekas masuk kamar
kembali, bentaknya kepadaku. Makanan yang disediakan tadi sedikitpun aku tidak menjamahnya. Baru
saja aku bangkit akan masuk kekamar, isterinya Den Demang telah kelihatan datang. Dan dalam hatiku,
saya mengucap syukur kehadlirat Dewata Yang Maha Agung akan kemurahan Nya. Karena dengan
demikian, tak dapat terjadi sesuatu atas diri saya.
Kembali tangisku ter-isak-isak tak dapat kutahan setelah berada didalam kamar. Akh nasib apa yang
sedang kualami ini. Tapi tak lupa aku selalu sembahyang kepada Dewata, semoga saya dan anak-anakku
dilindungi olehNya .. Dan kiranya Dewata mendengarkan tangisku. Jaaaahhh bapak Kyai


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekeluarga yang menjadi perantaraannya. ? Ia terhenti lagi dan menghela napas panjang.
? Lalu bagaimana mbakyu dapat lolos dari Kademangan Jlagran itu? Indra memotong dengan tak
sabar.
? Inilah yang akan aku ceritakan sekarang adi. ? Nyai Jayadipa menjawab. la menidurkan Martinem
yang ternyata telah tidur nyenyak dipangkuannya diatas bale-bale sisinya, sedangkan Martiman juga
telah ber-ulang-ulang menguap karena kantuknya. Martiman segera turut merebahkan dirinya disisi
adiknya dan tak lama kemudian kedua anak tadi tidur dengan nyenyaknya. Nyai Jayadipa melanjutkan
ceritanya. ---- Waktu itu telah tengah malam, sedang Den Demang duduk dipendapa dengan dua orang,
enth peronda entah kebayannya, mendadak ketiga ? tiganya jatuh tersungkur dengan suara jeritan
pendek tertahan. Kemudian pintu kamarku terbuka, dan dihadapan saya berdiri seorang kakek-kake
yang bercelana hitam tak memakai baju atas, dengan tongkatnya, mendekati saya --- Lekas ikut aku
keluar! ? katanya singkat. Dan seperti didorong oleh kekuatan gaib, saya mengikutinya dengan
setengah sadar. ? Diluar rumah Kademangan, orang-orang penjaga Kademangan semua
bergelimpangan ditanah. Mati ataupun pingsan, saya tidak mengetahuinya dengan jelas. Untuk
menanyakan pada kakek-kakek itu, rasanya mulutkupun seperti tersumbat.?Nyai Jayadipa berhenti lagi
dan memejarnkan matanya sesaat, se-olah ada yang di-ingat-ingat kembali.
? Aneh Aneh .... ? Indra Sambada berkata kepada dirinya sendiri. ? Lalu selain kakek itu, apa ada
orang lain yang berada disitu? tanya Indra kemudian.
? Tidak ada. ? jawab Nyai Jayadipa. ? Yang ada ya hanya kakek-kakek itu. Entah kalau orang-orang
yang menghajar Den Demang serta kawan-kawannya tadi sudah pergi terlebih dahulu, saya tidak tahu.
Saya ditarik lari keluar oleh kakek-kakek tadi dalam keadaan setengah sadar. Dan selanjutnya saya tak
ingat lagi. Tahu-tahu saya diturunkan dari gendongan pundaknya didepan pintu ini. Setelah saya sadar
kembali, ia membisikkan ketelingaku, bahwa rumah ini rumahnya Kyai Tunggul yang menolong anakanakku, dan supaya segera aku mengetok pintunya. Baru saja aku mengetok pintu depan itu yang segera
kemudian dibukanya oleh pak Kyai sendiri, ternyata kakek-kakek yang kuduga berada dibelakangku itu
telah menghilang. Maka itu tadi setelah pintu dibuka oleh pak Kyai saya kembali jatuh pingsan karena
ketakutan!?
? Ya, nakmas ! Tadi saya juga terperanjat karena begitu pintu saya buka, ada orang perempuan yang
jatuh tersungkur kedalam. Untunglah Ibumu Nyai cepat menolongku dengan mernbawa air yang
kemudian kuminumkan.? Kyai Tunggul memperkuat cerita Jayadipa.
? Jadi terangnya, yang menolong saya tadi mungkin memang bukan orang, tetapi siluman yang baik
hati, di ---- Nyai Jayadipa menegaskan.
Nyai Jayadipa bertubuh sedang seperti lazimnya wanita-wanita daerah itu, namun potongan badannyaramping gangnya yang ramping pula ? nawon kemit --- dan buah dadanya yang padat. Raut mukanya
bulat telur, dengan sepasang alisnya yang tipis mclengkung. Matanya agak sipit bening berseri-seri.
Rambutnya hitam lebat dan pajang, sungguhpun waktu itu kelihatan kusut tidak disisir. Bicaranya
lantang, tapi sedap didengar memikat hati, dengan mulutnya yang mungil. Kulitnya kuning ke-merahmerahan. Usianya kurang lebih duapuluh dua tahun. Kiranya ia adalah perempuan yang cantik terkenal
menjadi buah bibir selalu disekitar daerah itu.
Diluar dari kejauhan, suara ayam jantan mulai ber-saut-sautan dikandangnya masing-masing yang
kemudian suara itu semakin mendekat, karena sautan ajam jantan yang berada disekitar rumah. Dan
sebentar kemudian disusul suaranya orang-orang yang sedang menimba air dari perigi, dan suara orangorang menyapu pekarangan masing-masing. Hari telah fajar pagi
? Sudahlah nak Jaya. ? Nyai Tunggul turut bicara. ? Tinggallah dipondokku ini dengan anak-anakmu,
sambil menentramkan hatimu yang sedang risau itu, dan biarlah pak Kyai nanti yang menengoknya
rumahmu itu, berkata demikian Nyai Tunggul berpaling kepada Kyai Tunggul untuk menanti usul
pendapatnya.
? Ia, sebaiknya nak Jaya menuruti akan nasehat ibumu Nyai, biarlah nanti aku dan nakmas Indra
menengok di Trinil ? Kyai Tunggul berkata.
Indra Sambada diam tak turut bicara, ia masih mengagumi akan keluhuran budi dan kesaktian Kyai
Pandan Gede. Pun ia masih memikirkan akan keberangkatannya kelereng Gunung Sumbing, mengikuti
perintah Kyai Pandan Gede yang tidak jelas tadi.
* **B A G I A N IIIMATAHARI mulai kelihatan nampak disebelah timur. Sinarnya memancarkan cahaya yang indah,
merah membara, kuning keemas-emasan, namun sayang agak terhalang oleh Gunung Merbabu yang
berdiri megah laksana raksasa yang sedang duduk bersemadi. Langit cerah menambah resapnya
pandangan.
Burung-burung terbang simpang siur diangka,a clengan tak henti-hentinya kearah semua penjuru,
sambiI berkicau. Banyak pula yang hinggap didahan pohon-pohon rindang dengan bersiul-siul nyaring,
merupakan irama alam diwaktu pagi. Se-olah-olah mereka sedang mengucapkan syukur kepada yang
Maha Agung, akan kebesaran Nya.
Hawa pagi terasa segar. Angin meniup pelan, dan daun2-daun kering jatuh bertebaran ditanah. Lamalama sinar cahaja merah kuning keemasan tadi naik diketinggian dan kemudian nampak terang
benderang. Sang Surya menerangi seluruh alam dengan teriknya.
Dua orang muda sedang bertempur dengan serunya melawan tiga orang, yang menilik usianya tak
sebanding. Demikian pula jika dilihat senjata-senjata yang digunakannya. Seorang diantara orang muda
tadi hnya bersenjatakan tongkat penjalin sebesar ibu jari dan sepanjang setengah depa, melawan dua
orang yang bersenjatakan kampak dan sepasang golok pendek. Seorang lagi kelihatan lebih muda
bersenjatakan klewang, melawan orang setengah tua bersenjatakan cemeti ditangan kiri dan keris
ditangan kanan. Namun pertempuran berjalan seru dan seimbang. Ternyata dua orang muda tadi tetap
dapat melayani tiga orang setengah tua dengan tidak terdesak.
Panas teriknya matahari yang sedang memancarkan cahayanya tak mengganggu sama sekali jalanya
pertempuran di-tengah hutan dekat dukuh Kapuan, dilembah sebelah barat Gunung Merbabu. Kira-kira
jarak lima puluh langkah dari tempat pertempuran tadi, duduk seorang gadis tanggung berusia kurang
lebih 15 tahun bersandar dipohon, dan sebentar-sebentar menutup mukanya dengan kedua belah
tangannya, serta mangeluarkan suara jeritan yang nyaring mengikuti jalannya pertempuran.
? Adi Rimang, awas sabetan cemeti! ? Jaka Wulung memperingatkan adiknya. Ternyata dalam
bertempur melayani dua orang, masih sempat juga ia memberikan petunjuk-petunjuk kepada adiknya
Jaka Rimang. Yang diperingatkan segera meloncat dengan tangkas kesamping kiri, dengan diiringi
bacokan klewangnya kearah datangnya cambukan cemeti tadi. Tapi orang setengah tua yang memegang
cemeti ditangan tak kurang tangkasnya Ia segera membatalkan cambukan dan meloncat surut
kebelakang, untuk kemudian mendesak lagi maju dengan serangan-serangan tusukan keris, kearah
lawannya yang berbahaya. Kembali suara Jaka Wulung memperingatkan adiknnya. Awas, susulan
tendangan! ? Pertempuran berlangsung terus dengan serunya. Jaka Wulung berusia kira2 20 tahun,
berbadan kokoh tidak tinggi atau disebutnya sedepah.
Warna kulitnya hitam kemerah-rnerahan. Matanya agak cekung dengan sinar pandangannya yang
tajam. Raut mukanya mendekati bulat, dan bersih berwibawa. Rambutnya hitam lebat sedikit
berombak, dan lepas terurai sampai ditengkuknya.
Pita hitam selebar tiga jari yang melingkari kepalanya, diikat dikepala bagian belakang. Pakaiannya
lurik hitam tenunan sederhana, dengan sarung tenun pula yang dilipat diperutnya untuk tidak
menghalang gerakannya. Lengan-lengannya kokoh berotot namun geraknya sangat tangkas dan ringan,
menunjukkan bahwa ia telah menguasai ilrnu pembelaan diri yang mendekati tingkat kesempurnaan.
Lawannya yang aeorang, bertubuh tinggi besar dengan raut mukanya yang kejam. Kamis jenggot dan
cambang bauknya bertumbuh lebat. Hidungnya melengkung seperti paruh burung hantu. Ikat kepalanya
lebar segitiga diikat kebelakang menutupi rambutnya. Kampak yang besar selebar satu jengkal ditangan
kanannya, ber-tubi-tubi dibacokkan kearah lawan dengan ringannya. Ternyata ia memiliki tenaga yang
kuat, sesuai dengan bentuk tubuhnya. Jubahnya dari sutra berwarna ungu. Sedangkan seorang lagibertubuh kurus tinggi dengan matanya melotot. Raut mukanya panjang, berjenggot pula, tapi tak
berkumis. Rambutnya telah berwarna dua dan bertumbuh jarang botaknya di ? tengah-tengah kepala.
Ia tidak memakai ikat kepala. Baju atasnya warna hitam dengan seret kuning keemasan pada lengan
bajunya dengan memakai celana hitam panjang sampai dibawah lututnya, dan berseret kuning sutra
pula. Kainnya dilipat dan diikatkan kebelakang. Ia bersenjatakan sepasang golok pendek yang
panjangnya masing-masing setengah hasta, ditangan kanan dan kirinya. Dilihat dari pakaiannya tentunya
ia adalah seorang narapraja.
Jaka Rimang memiliki bentuk dan raut muka hampir menyerupai kakaknya, hanya ia lebih langsing
sedikit jika dibanding dengan bentuk tubuh kakaknya. Usianya tak jauh berbeda pula, kira-kira 18
tahunan. Pakaiannya sederhana dari tenun lurik hitam bintik-bintik merah, dan kainnya serupa pula. Ia
tak memakai pita untuk ikat kepalanya, tetapi memakai sisir panjang melengkung diatas kepalanya
terbuat dari tanduk. Kelewang ditangannya menari-nari dengan tangkasnya. Sebentar-sebentar
merupakan serangan tusukan-tusukan, dan kemudian disusul dengan serangan babatan yang berbahaya
ke arah lawan.
Yang sedang dihadapi adalah orang setengah tua dengan punggungnya yang agak bongkok, yang
bersenjatakan cambuk pendek berduri dan sebilah keris ditangan kanannya. Pakaiannya pakaian
seragam menyerupai pakaian tamtama, berseret putih diatas dasar warna merah. Ikat kepalanya seutas
pita selebar dua jari berwarna merah diikatkan erat-erat kebelakang.
Serangan-serangan maut ber-tubi-tubi dilancarkan oleh kedua fihak, karena masing-masing ingin
segera mengakhiri pertempuran dengan kemenangan difihaknya. Pertempuran tadi telah berlangsung
lama melihat pada dahi masing-masing telah basah dengan air peluh.
Serangan-serangan kampak dari orang yang bertubuh tinggi besar selalu diiringi dengan bentakanbentakan memekakkan telinga. Namun ketenangan dan ketangkasan Jaka Wulung membuat kampaknya
selalu jatuh ditempat kosong, demikian pula serangan sepasang golok dari Panewu Gunung Pring raden
Projopangarso.
Panewu Prodiopangarso dan Wongsobojo kini telah mengeluarkan semua kepandaiannya dan
memeras tenaga habis-habisan untuk menghadapi Jaka Wulung yang hanya bersenjatakan tongkat
penjalin itu. Semula mereka berdua memandang ringan kepada Jaka Wulung, karena melihat usianya
yang masih muda itu. Sedangkan Wongsoboyo telah terkenal dengan kampak mautnya disekitar daerah
Gunung Pring. Pun Panewu Projopangarsa adalah orang terpandang didaerahnya. Baik sebagai Panewu
maupun sebagai guru peatiak silat. Ia terkenal juga sebagai Panewu yang berhidung belang, dan selalu
mengganggu ketentraman para gadis didaerahnya
Tapi kiranya orang-orang banyak yang segan dan takut akan akibatnya apabila mereka meughaiangi
kehendaknya. Lebih-lebih muigingat Wongsobojo yang selalu mendampingi Prodjopa-ngarso sebagai
tangan kanannya. Wongsobojo sudah dikenal oleh seluruh penduduk Gunung Pring sebagai seorang
yang kejam tak mengenal prikemanusiaan. Tapi kini mereka kiranya telah ketemu dengan batunya.
Untuk mengelakkan pukulan dan sodokan tongkat penjalinnya Jaka Wulung saja, telah memerlukan
seluruh kepandaiannya dan tenaga yang dimilikinya. Sebentar-sebentar mereka berdua meloncat surut
kebelakang dan berjumpalitan, menghindari Dukulan soddokan tongkat Jaka Wulung yang berbahaja.
Ternyata ia makin lama mereka berdua semakin terdesak kedudukannya.
Kampak dan sepasang golok yang silih berganti menyerang tak pernah mengenai sasarannya. Tetapi
sebaliknya Jaka Wulung sungguhpun dapat mendesak kedudukan lawan, belum juga dapat
menundukkan. Tiap kali tongkatnya akan mengenai sasarannya segera ditarik kembali karena datangnya
serangan senjata lawan yang berganti-ganti itu.Pula ia seialu terganggu akan pemusatan pikirannya, karena terpaksa harus memperhatikan pula
nada adiknya yang selalu terdesak dan mendapat serangan-serangan yang berbahaya, dengan
menyerukan peringatan-peringatan tertuju pada Jaka Rimang.
Kampak berkelebat kearah pelipisnya, sedangkan sepasang golok datang pula menyerang kearah
perutnya. Jaka Wulung tak mau melangkah surut kebelakang tapi ia menjatuhkan dirinya dan berguling
merapat mendekati lawan.
Bersamaan dengan gerakan itu tongkatnja disodokan kearah perut Projopangarso.
Dengan tak kurang tangkasnja Projopangarso menangkis dengan golok berada ditangan kiri dan surut
selangkah kebelakang. Itulah yang dinanti-nantikan Jaka Wulung, ternyata gerakan tipuaanya beehasil.
Cepat ia menarik kembali tongkat penjalinnya untuk kemudian berubah menjadi pukulan kearah
pergelangan tangan kiri Projopangarso yang sedang menyulurkan tangan kirinya bersenjatakan golok
untuk menangkis datangnya sodokan. Pukulan tepat mengenai sasarannya. Golok yang ditangan kiri
terpental jatuh ditanah dengan diiringi jeritan ngeri tulang pergelangan tangan kirinya terasa patah dan
tidak dapat digerakkan kembali. Sambil menjerit Panrwu Projopangarso melompat jauh kesamping
kanan. Secepat itu pula Jaka Wulung meloncat mengejar Projopangarso sambil menghindari datangnya
serangan kampak dari Wongsoboyo.
Tiba-tiba pukulan tongkat kearah Projopangarso yang hampir mengenai sasaranya segera ditarik
kembali oleh Jaka Wulung dan melompat surut jauh kabelakang, karena mendengar suara jeritan
adiknya yang dang bergelimpangan dengan berlumuran darah dipaha kanannya.
Gijanti, anak gadis? tanggung yang bersandarkan pohon tadi, turut menjerit pula dan bangkit
mendekati kakaknya yang sedang luka dan bergelimpangan ditanah. Dengan satu lompacan Jaka
Wtaung telah menggagalkan serangan camhukan dan tusukan yang akan dilancarkan kedua kalinya
kearah Jaka Rimang yang sedang jatuh ditanah.
Bertepatan dengan adegan yang mendebarkan itu, dari balik hatu besar dibelakang pohon climana
Gijanti tadi bersandar, melompat seorang pemuda dengan gayanjya yang sangat indah, langsung berdiri
ditengah antara Jjaka Wulung dan Projopangarso.
? Berhenti dulu ! ? bentak Indra Samhada: ? Apakah yang kalian perebutkan ?- Memang
sebenarnya sudah sejak lama Indra Sambada bersembunyi dibalik batu besar tadi, dan mengikuti
jalannya pertempuran dengan saksamna. Tapi baginya serba ragu-ragu untuk campur tangan dalam
pertempuran itu.
Jika menilik keadaan sewajarnya, ia harus membantu fihak Jaka Wulung dengan adiknya, akan tetapi
jika ditilik bahwa lawan Jaka Wulung adalah petugas Kerajaan, tenturtia ia harus mernbantu menangkap
Jaka Wu-lung dan adiknya.
Karena dalam pertempuran yang seru itu ia tak dapat mengetahui sebab musababnya yang
sebenarnya, maka ia hanya melihat saja. Tetapi kini Jaka Rimang jatuh terluka karena tusukan keris
berbisa dipahanya, sehingga ia tak tega untuk melihat kelanjutan pertempuran yang tidak seimbang itu.
Lagi pula jika Jaka Rimang tak ditolong dengan cepat akan berbahayalah akibatnya.
Tidak seorangpun mau menjawab pertanyaan yang diajukan namun bentakan yang berwibawa
memaksa pertenapuran berhenti sesaat.
? Hai anak muda, bedebah, tak perlu kau turut menghalangi maksudku! Wongsoboyo menyahut
dengan lantangnya. Kini difihaknya mendapat angin baru, setelah Jaka Rimang dapat ditundukkan
temannya. Tentu saja dengan munculnya seorang lagi, mereka merasa sangat dongkol.
Berkata demikian Wongsobojo sambil rnengajunkan kampaknya kearah Indra Sambada yang berdiritegak. Tetapi Indra Sambada telah berpengalaman luas dalam menghadapi serangan yang tiba-tiba.
Dengan perasaan naluri yang telah dimiliki Indra Sambada tidak bergeser sedikitpun. dan hanya dengan
merendahkan badannya kesamping kanan dengan mukanya mendongak, tangannya bergerak cepat
memukul dengan telapak tangan kanannya kearah pundak lawan, yang segera melepaskan pegangan
pada tangkai kampaknya. Wongsoboyo melompat kesamping dan berdiri dengan ternganga, demi kenyataan dalam segebrakan saja kampaknya telah lepas dari genggamannya. Demikian pula
Projopangarso, segera membatalkan niatnya untuk menyerang.
Indra Sambada masih berdiri di-tengah-tengah mereka sebagai pemisah.
? Hentikan dahulu pertempuran ini! ? katanya dengan pcenuh berwibawa. Orang yang berpakaian
seragam yang menyerupai tamtama tidak mau menghiraukan akan kata-kata Indra Sambada tadi. la
segera mengayunkaa cambuknya dan kerisnya yang ditangan kanan, dan mulai bergerak menyerang
pula. Dengan tangkas Indra Sambada mendahului melancarkan serangan tendangan dan disusul pukulan
tindjunya. Cepat penyerang menarik kembali tusukan kerisnya dan meloncat kebelkang, menghindari
datangnya tendangan dan pukulan yang dahsjat itu. Kali ini Indra memang sengaja akan memperlihatkan
simpanan keknatannya, demi memudahkan berhentinya pertempuran.
Kekuatan yang telah terpusat didalam bathinnya disalurkan kearah tangan kanannya, untuk
kemudian mengepal dan melancarkan tinjunya dengan dahsyat kearah pohon jambu sebesar paha lebih,
yang berdiri dibelakang penyerang tadi.
Kiranya memang bukan orang yang bersenjatakan cemeti dan keris yang menjadi sasaran Indra. Tak
ajal lagi pohon jambu sebesar paha lebih segera patah dan tumbang. Ranting dan daun daun keringnya
rnendahului jatuh bertebaran ditanah, menyusul sesaat kemudian tumbangnya pohon dengan suara
berderak. Semua iang menyaksikan berdiri ternganga. Baru kali ini mereka m-nyaksikan keampuhan
tinju dari seorang yang masih semuda itu. Kejadian itu hanya berjalan sebentar, karena dengan tak
diduga duga Panewu Projopangatso meloncat kebelakang untuk kemudian melarikan diri dengan
kencangnya. Wongsoboyo dan seorang temannya lari pula mengikuti tindakan Panewu Prodiopangarso.
Jika dikehendaki, kiranya tidaklah sukar bagi Indra untuk mengejarnya tapi ia segera membalikkan
badannya dan mendekati Jaka Wulung yang sedang mengawasinya dengan cermat.
Sementara itu Djaka Rimang masih berbaring ditanah dengan mengerang kesakitan, dan didekatnya,
Giyanti duduk dengan memegang paha kakaknya yang luka, sambil menangis.
? Adik sekalian itu siapa? ? Indra memulai bertanya kepada Djaka Wulung, dan apa kesalahan kalian
hingga di kejar-kejar oleh petugas Kerajaan?
--- Apakah tuan itu gusti Tumenggung Indra? ? Jaka Wulung berganti tanya dengan tidak menjawab
pertanyaan Indra, sambil masih memandangnya penuh perhatian.
? Darimana kau tahu, bahwa aku adalah Tumenggung Indra ? Indra menjawab dengan pertanyaan
pula.
? Gusti, maafkan terlcbih dahulu, bahwa kami tak segerra memberi hormat sebagaimana lajaknya, ?
berkata demiklan Jaka Wulung segera duduk bersila di tanah dan akan menyembahnya, tetapi Indra
segera memegang kedua belah tangannya dan turut duduk disebelahnya.
? Ach, tidak perlu kau memakai adat yang demikian terhadapku. Seperti kau ketahui, bukankah aku
sengaja menyamar sebagai petani desa saja ? -- Indra Sambada berkata dan mengulangi lagi
pertanyaannya,? dari mana kau tahu bahwa aku ini Indra ? ?
? Guruku pernah bercerita tentang Gusti Indra Sambada ? jawab Jaka Wulung.
? Siapakah gurumu, jika aku boleh mengetahuinya ?? Indra mendesak bertanya lagi.---Guruku adalah Kyai Pandan Gede, dan menurut ceritanya, beliau pernah ketemu dengan Gusti di
Trinil. ? Jaka Wulung rnenjawab. : --- dan yang terluka itu adalah adikku Jaka Rimang, dan Giyanti
adalah adikku yang paling bungsu-? Panggil saja untuk selanjutnya Kakang pada saya. Dengan demikian kalian membantu dalam
penyamaranku. ? Coba kulihat luka adikmu itu. ? berkata demikian Indra segera mendekati Jaka
Rimang yang masih saja mengerang kesakitan. Giyanti tersipu malu menggeser duduknya kebelakang
menjauhi Indra.
? Jangan kau takut dan malu kepadaku di. Anggaplah saya seperti kakakmu sendiri. ? Indra berkata
kepada Giyanti dengan bersenyum.
Indra segera memegang paha kanan Jaka Rimang dan memeriksa lukanya dengan teliti. Sekitar tempat
luka kini telah menjadi bengkak dan berwarna hitam. Terang, bahwa keris yang melukai paha Jaka
Rimang adalah beracun. Indra segera melepaskan gelang akar baharnya yang dipakai di-pergelangan
tangan kiri, untuk kemudian ditempelkan ditempat luka tadi. Ternyata apa yang telah dikatakan oleh
Pendeta Gurunya benar adanya. Gelang akar bahar yang hitam mengkilat, kini menempel erat mcnyedot
racun yang telah masuk melalui pembuluh-pembuluh darah.
Darah hitam bercampur hijau keluar menetes sedikit demi sedikit. Tetapi kiranya pertolongan tadi
telah terlambat datangnya, karena kini ternyata Jaka Rimang tak sadarkan diri dengan muka yang
semakin hitam dan suhu badannya menjadi panas membara. Cepat Indra mengeluarkan sebuah pel
merah yang berada di dalam boneka kecil terbuat dari emas, pel mana dengan tidak ragu-ragu lagi,
dimasukkan kedalam mulut Jaka Rimang, dengan paksa, karena mulut Jaka Rimang mulai terkatub rapat.
Jaka Wulung membantu memegang kepalanya, sedang Giyanti mulai menangis kembali ter-isak-isak
sambil memanggil beruIang ulang nama Jaka Rimang.
? Biarkanlah, baringkan ia disini. ? Indra berkata kepada Jaka Wulung ? dan tolong ambilkan air.?
perintahnya.
? Baik kakang, berkata dernikian Jaka Wulung segera bangkit dan lari menuju kee Desa Kapuan yang
dekat letaknya dari tempat itu. la kembali dengan membawa tempurung yang telah berisikan air dari
perigi, dan diberikan kepada Indra.
Indra menuangkan air itu demi sedikit ke mulut Jaka Rimang, setelah itu, ia menempelkan mulutnya


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri kemulut Jaka Rimang dan meniupnya pelan. Semua pusat tenaga batinnya dicurahkan napasnya
yang kemudian ditiupkan kemulut Diaka Kimaag, untuk membantu geraknya jalan pernapasan dan
jalinan-jalinan syaraf, agar pel penolak racun dapat masuk dalam pencernakannya. Ternyata
pertolongannya berhasil dengan memuaskan.
Pelan-pelan panasnya berkurang, dan pernapasannya ber-angsur-angsur menjadi tenang kernbali.
Indra istirahat sejenak, sambil memperhatikan raut muka Jaka Rimang dengan penuh pengharapan agar
segera sembuh kembaii.
Jaka Wulung dan Gijanti duduk terpaku mengawasi wajah Jaka Rimang dengan hati yang ber-debardebar penuh kekhawatiran akan nasib Jaka Rimang. Tetapi segera timbul harapannya kembali, akan
sembuhnya Jaka Rimang, setelah ia mulai mengigau dan merintih-rintih merasakan sakitnya.
Benar benar ajaib. Akar bakar jatuh terlepas dari lukanya, sedangkan raut muka Jaka Rimang kini ber
angsur-angsur menjadi merah, kembali. Kini ia telah sadarkan diri, dan mengawasi orang yang duduk
disisinya tak dikenal.
? Tenanglah dulu, adi Rimang ! Jangan banyak bergerak.Lukamu sedang diobati oleh kakang Indra,? a,ka Wulung berusaha menenangkan adiknya. ? Aku haus
sekali, kakang Wulung, ? Jaka Rimang mulai berkata pelan. Indra mengambil tempurung yang berisi air
disisinya dan diberikan pada Jaka Rimang, yang segera diminumnya.
? Kini kau harus dapat menahan sakitmu sebentar, adi Rimang.? Indra berkata padanya,? Luka
dipahamu akan kukorek dengan pisau tajiku. ? berkata demikian Indra mengambil sebilah taji yang
berada dikantongan dan memegang paha yang terluka dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan-nya
yang memegang taji segera bekerja dengan tangkasnya. Kembali Jaka Rimang mengerang kesakitan,
tetapi oleh Indra tak didengarkan. Bekal ramuan obat luka luar yang dibawanya, ditempelkan di tempat
luka yang baru dikoreknya tadi, dan selanjutnya dibalut dengan sobekan baju yang diambilkan dari
lengan bajunya sendiri.
? Bagaimana sekarang rasa lukamu?? Indra bertanya.
--- Tinggal rasa pedihnya, tetapi tak mengapa. Kiraku saya telah dapat berjalan sendiri lagi. Tapi
siapakah, kakang itu. Saja belum mengenalkan,? jawab Jaka Rimang sambil pelan-pelan berusaha
duduk. Jaka Wulung menolong adiknya dengan memegang bahunya dan mendudukkan.
? Ja, ini, yang namanya Gusti Indra Sambada. Bagaimana Kyai guru menceritakan ber ulang-ulang
kepada kita dulu,? Jaka Wulung menyahut, menjelaskan pada adiknya. ? Tetapi beliau tak mau
dipanggil Gusti, dan atas perintahnya kita harus memanggilnya dengan kakang Indra saja. Tetapi
mumpung tak ada orang yang melihatnya, lekaslah menyembah dan berterima kasihlah padanya.
Kiranya jika tidak ada pertolongan dari beliau, kati telah tidak dapat ditolong lagi...
Jaka Rimang segera berusaha akan bersila dan me-nyembah, tetapi Indra Sambada cepat memegang
bahunya serta berkata: ? Tak usah kau susah-susah bersila dan menyembahku. Perhatikanlah lukamu
sendiri itu. Dan tidak perlu kau berterima kasih padaku, karena pel obat dan akar bahar yang kugunakan
untuk mengobatimu adalah asal dari pemberian orang pula.
Saya adalah hanya perantara belaka. Berterima kasihlah-Dewata Yang Maha Agung kemurahan Nya.?
? Baiklah kakang Indra tetapi saya tetap merasa berhutang budi se-lama-lamanya. Kiranya jika Kakang
Indra tidak berada disini, saya mungkin sudah tinggal nama saja. Ingin aku memperlihatkan kesetiaanku
mengabdi pada kakang. Jaka Rimang menggagalkan sembahnya serta berkata dengan nada yang
sungguh-sungguh.
? Akh, hal itu jangan dibicarakan sekarang disini dan jangan pula memujiku beriebihan. Yang penting
taatilah apa perintah gurumu, karena gurumu itu terkenal sebagai orang tua yang berambeg paramerta.
Sekarang yang ingin kutanyakan, apa sebabnya tadi, adi-adi berdua bertempur mwlawan punggawa
praja?? Indra melanjutkan dengan pertanyaanya kembali.
? Begini, kakang Indra. Saya bertiga sedang berjalan dicegatnya dipersimpangan jalan diujung desa
Kapuan tadi, dengan ancarnan supaya saya berdua meninggalkan adik saya Giyantiitu. Penghinaan yang
demikian memaksa saya bertindak. Mereka bertiga saya layani sendiri, sedangkan adi Rimang saya suruh
melarikan Gijanti di hutan disini. Tetapi saya tidak dapat lama bertahan, karena seorang diantaranya
mengejar adikku itu. Saya berlari mengikuti, sampai ditempat ini, dan kembali bertempur lagi. Karena
disini banyak pohon-pohon yang rindang, saya merasa lebih aman akan adikku Gijanti.
Segera ia kusuruh jauh-jauh berteduh dipohon besar itu, dan kami berdua dapat menghadapi mereka
bertiga dengan agak tenang. Selanjutnya,kukira kakang Indra melihat dengan mata kepala sendiri dari
balik sebuah batu yang besar itu, dimana kakang tadi bersembunyi? Jaka Wulung mejawab.
? Untunglah, kakang Indra segera keluar dari persembunyian, jika tidak, mungkin saya bertiga ini
telah menjadi korban keganasannya. Memang jika menilik dari pakaiannya dan percakapan mereka,
yang satu orang tadi adalah Panewu Gunung Pring. tetapi saya tak dapat mengerti, mengapa seorangpunggawa praja ,yang seharusnya rnelindungi rakyatnyaa bertindak demikian kejinya. ? Jatka Wulung
menjelaskan.
? O, .. begitu, Indra. Sambada memotong. ? Jika demikian, memang sepantasnyalah mendapat
hajaran dari kita.
Sayang tadi. adi Jaka Wulung tak mau menjelaskan duduk perkaranya padaku. Kiranya kini banyak
punggawa praja yang menyeleweng, menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan memuaskan diri
sendiri. ? Indra Sambada berhenti sebentar untuk memakai gelang akar baharnya kembali setelah
dicucinya, dan kemudian ia melanjutkan bertanya. ? Dan adi bertiga itu tadi dari mana dan akan
kemana??
? Kami berdua akan keSecang perlu mengantarkan adik saya yang bungsu itu, ? menjawab
pertanyaan itu, Jaka Wulung sambil menunjuk kearah Giyanti yang sedang duduk di sisinya Jaka Rimang
dengan muka tertunduk menahan rasa malu. ? maksud kami, ia akan kami titipkan kepada paman agar
mendapat asuhan yang baik. Setelah itu kami akan meneruskan perjalanan menuju ke lereng Gunung
Sumbing memenuhi perintah Kyai Guru. Kami bertiga tinggal didesa Deles dilereng gunung Merbabu.
Sepekan yang lalu Guruku datang dan memberikan perintah itu. ? jawab Jaka Wulung dengan jelas.
? Jika demikian, sebaiknya kita jalan bersama saja, itu kalau adi bertiga tidak berkeberatan. Karena
saya juga akan pergi kelereng gunung Sumbing memenuhi perintah gurumu yang aneh itu. Dan terus
terang aku tak tahu dilereng sebelah mana yang dimaksudkan, dan untuk apa? ? aku harus pergi
kesana, ? Indra berkata mengemukakan usulnya. ?
? Kang Wulung, memang Kyai Guru itu seringkali bertindak aneh. Mungkin yang dimaksud Kyai
Guru juga di Kaliangkrik, sebagaimana beliau memerintahkan kita, ? sahut Jaka Rimang tertuju pada
kakaknya, dan kemudian melanjutkan bicara tertuju pada Indra, ? buat kita bertiga kebetulan sekali,
jika kakang Indra mau jalan bersama-sama kita. Dengan demikian, tak akan lagi kuatir adanya gangguan
ditengah jalan. Bukankah demikian kakang Wulung??
? Jika hanya gangguan ditengah perjalanan saja, kiranya kakakmu Jaka Wulung tentu dapat
mengatasinya, ? lndra Sambada memotong pembicaraan Jaka Rimang.
? Aku telah menyaksikan sendiri akan ketangkasan gerakan tongkatnya yang sukar mendapat
tandingan, ? lndra Sambada berkata memuji kepada Jaka Wulung.
--- Ah, .. Kakang Indra ini pandai juga berkelakar menyindir orang ? Jaka Wulung menyahut dengan
tersenyum.
? Kata-kataku tadi bukan sindiran, tetapi sungguh-sungguh aku mengagumi akan permainan
tongkatmu yang tunggal itu. ? Indra Sambada menjawab dengan kejujurannya.
? Pujian kakang Indra terlalu tinggi. Buktinya, jika tadi tidak dibantu kakang, kami bertiga mungkin
sudah tidak dapat meneruskan perjalanan. Saya masih mengagumi akan kesaktian kakang Indra yang
serba lengkap itu.
Kesaktian bertempurmu mungkin melebihi guruku, masih pula memiliki kesaktian mengobati orang
yang mendekati ajalnya. Kiranya cerita dongengan guruku itu benar-benar merupakan kenyataan. Jaka
Wulung membalas memujinya.
? Tidak akan habis-habisnya jika kita saling merendahkan diri. Mari kita berangkat sekarang, supaya
malam nanti kita telah sampai di desa sebelah utara sana. Kita berjalan pelan-pelana saja?. Indra
berkata sambil bangkit berdiri. Jaka Rimang segera bangkit pula dengan pelan-pelan dan dibantu oleh
Jaka Wulung dan Giyanti. Mereka segera meneruskan perjalanannya dengan berjalan pelan, mengingat
akan luka yang diderita oleh Jaka Rimang.Gijanti berjalan menggandeng tangannya Jaka Rimang didepan, sedangkan Indra Sambada berjalan
berdampingan dengan Jaka Wulung dibelakangnya.
Dalam perjalanan, mereka berampat segera menunjukan keakrabannya, tak ubahnya sebagai empat
bersaudara sekandung. Kiranya Gijanti adalah gadis yang selalu dimanja oleh kakak-kakaknya. Setelah
hilang rasa malunya, ternyata ia pandai bergurau dan pandai pula menggoda kakak-kakaknya dan Indra.
Wajahnya cantik dengan warna kulitnya hitam manis. Bibirnya yang merah mungil selalu dihias dengan
senyum kekanak-kanakan. Matanya redup, dengan kerlingannya yang menggairahkan. Rambutnya yang
hitam panjang digelung dengan tusuk konde terbuat dari tanduk. Subang bermata intan menghiasi daun
telinganya, yang selalu gemerlapan karena gerakan kepalanya. Lengannya berlenggang lemah gemulai
dengan jari-jarinya yang halus meruncing. Potongan badannya ramping dan padat berisi. Bajunya lurik
tenunan desa warna brongsong dengan berkain lurik pula berwarna merah, menambah indahnya. ?
Alangkah bangganya aku jika mempunyai adik yang demikian ini ? kata bathin Indra pada diri sendiri.
Kini ia diam merenung sambil berjalan karena terkenang kembali akan nasibnya. Tak beribu, tak
bersaudara dan jauh dari ayahnya. Hidup sebatangkara terlunta-lunta dengan tidak bertujuan pasti.
Seandainya ia mempunyai saudara sekandung seperti Jaka Wulung ini, tentulah dapat ia mencurahkan
segaIa kesedihannya.
Kini mereka berempat asyik bercerita ber-ganti-ganti sambil berjalan hingga jarak jauh yang telah
ditempuhnya tidak terasa olehnya.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang menjelaskan akan maksud kepergiannya mereka kelereng Gunung
Sumbing didukuh Kaliangkrik. Atas perintah gurunya Kyai Pandan Gede, mereka berdua supaya
menyantrik pada "Wiku Sepuh? dipadepokannya, untuk mencari tambahnya ilmu. Menurut keterangan
Kyai Pandan Gede, Wiku Sepuh adalah kakaknya Kyai Pandan Gede seperguruan. Ia telah lama sekali
berscmbunyi dipadepokan Kaliangkrik, dan tidak pernah mencampuri urusan masyarakat ramai.
Namanya dulu terkenal harum, jauh mengumandang .sampai dikota Raja. Beliau dulu bernama Sidik
Pamungkas dan oleh orang-orang lawannya dijuluki " Yamadipati ,,.
Kesaktiannya jauh diatas Kyai Pandan Gede gurunya. Demikian mereka berdua menceriterakan
dengan semangat yang berjalan nyala. Dalam hati Indra turut mengagumi pula, sungguhpun ia belum
pernah kenal dengan Wiku Sepuh itu.
Akan kesaktian Kyai Pandan Gede Si Siluman aneh itu; ia telah merasa kagum, tetapi kini masih ada
orang yang kesaktiannya jauh melebihi Kyai Pandan Gede. Bagaimana kesaktian Wiku Sepuh ia tidak
dapat membayangkan. Keinginannya untuk turut serta menyantrik padanya kini bertambah besar tetapi,
segera timbul rasa takutnya, jika seandainya ia tidak diterima sebagai muridnya.
Perasaan itu segera terhibur kembali dengan mengenangkan ajaran-ajaran guru Pendetanya. Semua
adalah kehendak Dewata Yang Maha Agung namun manusia harus berikhtiar. Kini semangatnya timbul
kembali, setelah mengenang ajaran-ajaran Guru Pendetanya. Dan bukankan ia mencari ilmu untuk
mengabdi pada Kerajaan dau rakyatnya ?
Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga menjelaskan bahwa menurut kata-katanya Kyai Pandan Gede, kini
dimana mulai timbul kerusuhan-kerusuhan yang bermacam-macam coraknya. Didesa-desa banyak
perampokan-perampokan dan maling, sedangkan dikota kota banyak pembrontakan kecil-kecil,
sehingga kewibawaan Kerajaan mulai menurun karenanya. Para Punggawa Narapraja banyak yang mulai
menyeleweng, bahkan tidak sedikit yang merangkul para perampok, demi keselamatan dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mewah yang berlebih-lebihan untuk kepentingan diri pribadinya.
Memang hal ini telah dirasakan sendiri akan kebenarannya oleh Indra Sambada.
Sejak ia mengembara banyaklah hal-hal yang dialaminya, dan diketahuinya. Bahkan sering pula iaterpaksa turut campur turun tangan memberantas kerusuhan-kerusuhan yang dijumpainya demi
pembelaan terhadap rakyat jelata. Pengalaman-pengalaman ini merupakan tambahan ilmu pula yang
tidak ternilai dalam melanjutkan pengabdiannya.
Setelah bermalam disebuah desa kecil yang dilalui, mereka esok paginya melanjutkan perjalanannya
menuju ke Secang, yang dapat ditempuh selama satu hari berjalan kaki dari desa yang telah dipakai
untuk bermalam.
Pada senja hari mereka berempat telah sampai di Secang. Dengan mudah mereka segera menemukan
tempat kediaman Pamannya. Karena didesa itu Pamannya adalah orang yang terpandang juga. Ia adalah
abdi dalem Punggawa Narapraja merangkap sebagai Lurah didesa Secang. Pangkatnya Bekel dan nama
lengkapnya Raden Bekel Jayengguno. Ia dulu pernah mengabdi di Kepatihan di Kota-Raja sebagai abdi
dalem jajar, dan karena kesetiaannya ia diangkat menjadi Bekel Lural, ditempat asalnya ialah desa
Secang yang kini dibawahkan oleh Bupati Kebanjaran Agung Mataram.
Pak Lurah Bekel Jayengguno usianya telah lanjut, mendekati tujuh puluhan tetapi masih kelihatan
kuat, menilik dari jalannya tidak bertongkat dan tegak. Rambutnya telah putih beruban, dan diikat
kebelakang menyerupai gelung yang kecil. Sedangkan dikepalanya melingkar sebuah sisir lebar yang
lengkung terbuat dari tanduk. Dahinya yang lebar telah pula kelihatan banyak kerutnya. Wajahnya
kuning bersih berkeriput.
Rasa rindu yang telah lama dikandungnya kepada anak-anak kemenakannya, kini dilampiaskan
sepuasnya. Karena sikap Indra Sambada yang selalu dapat menyesuaikan dirinya dimanapun dia berada,
maka Pak Bekel Jayenguno memperlakukan tak ubahnya sebagai anak kemenakannya scndiri. Sampai
jauh malarn mereka bercakap-cakap dan tak henti-hentinya, Pak Bekel Jayengguno menanyakan
keadaan para keluarga yang berada di Deles Merbabu, terutama tentang keadaan ayah dan ibu Jaka
Wulung sendiri. Hanya Jaka Rimanglah yang segera mendahului istirahat sejak sore malam tadi, karena
kakinya yang luka dipahanya dirasakan pegal dan sakit. Giyanti setelah membantu bibinya didapur kini
turut pula mendengarkan percakapan yang mengasikkan itu. Ibu bibinya yang telah lanjut pula usianya,
merasa sangat bahagia dan bangga atas kemenakan-kemenakannya yang setelah dewasa ternyata
kelihatan gagah perkasa itu, dan anak kemenakan putrinya yang cantik. Sebentar-sebentar ia bangkit
dari tempat duduknya, untuk melihat keadaan Jaka Rimang yang sedang berbaring. Sifat-sifat keibuan
yang penuh rasa kasih sayang terhadap kemenakan-kemenakannya, telah melekat padanya.
Pak Jayengguno beserta isteri merasa sangat girang sekali dan mengucapkan syukur kepada Dewata
Yang Maha Agung setelah Jaka Wulung mengatakan, bahwa kedatangannya ialah akan menyerahkan
adiknya yang bungsu Giyanti agar diasuh oleh Pamn dan Bibinya, yang memang tidak mempunyai
keturunan. Dulu pula Giyanti telah pernah dimintanya, tetapi karena Giyanti juga merupakan satusatunya anak perempuan, maka oleh orang tuanya Jaka Wulung dipertahankan.
Tetapi pendirian itu kiranya kini tak dapat dibenarkan, karena apabila Gijanti hanya tinggal didesa
pegunungan tak mungkin la akan mendapat kemajuan pendidikan yang layak bagi umumnya para
wanita sebagai idaman orang tua.
Atas pesan Indra Sambada sewaktu diperjalanan, Jaka Wulung tak mau juga menceritakan tentang
keadaan yang sebenarnya, tentang Siapa Indra Sambada itu kepada Paman dan Ibu bibinya. Ia hanya
mengatakan bahwa Indra Sambada adalah kakak angkatnya.
Sambil menunggu sembuhnya luka Jaka Rimang mereka tinggal dirumah Bekel Jayengguno lima hari
lamanya ..Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada setelah berpamitan kepada Jayengguno dan isterinya
serta memberikan pesan berupa petunjuk-petunjuk seperlunya kepada Giyanti, yang ditinggalkan di
Secang, mereka berangkat meneruskan perjalanan dengan jalan kaki menuju Lereng Gunung Sumbing,
ke Padepokan Wiku Sepuh di Kaliangkrik. Giyanti menangis ter-sedu-sedu dengan air mata bercucuran
sewaktu kedua kakaknya dan Indra Sambada berpamit padanya.
Ber-ulang-ulang Giyanti berpesan pada kakak-kakaknya dan Indra Sambada, agar mereka sering pergi
ke Secang menjenguknya. Demikian pula Ibu bibinya, yang isak tangisnyapun tak dapat ditahan pula.
? Memang didunia itu tak ada yang kekal. ? kata Jayengguno menghibur.
? Ada waktu bertemu, tentu pula ada waktu berpisah. Semua itu adalah kehendak Dewata yang Maha
Agung. Kita semua tak dapat menentang akan kehendak Nya, Maka ingatlah selalu akan kebesaran Nya.
? pesannya ber-ulang-ulang? dan mohonlah selalu penerang dan petunjuk dari Nya.
? Adegan demikian membuat semakin pedih rasa hatinya Indra Sambada. Dan terkenanglah kembali
akan kejadian sewaktu ia meninggalkan rumahnya Kebanjaran Agung Bandawasa, serta semua petuahpetuah ayah serta Guru pendetanya.
Ia terkenang pula akan peristiwa sewaktu ia akan berangkat menunaikan tugas menggempur bajak
laut di Pontianak sebagai Perwira Tamtama. Dibalik kenangan-kenangan yang indah itu, perasaan sedih
yang tak terhingga akan fitnah yang terkutuk, selalu mengejarnya.
Ya!! Kapan dia akan dapat mencuci noda yang telah melekat itu??? Dapatkah kelak ia hidup bahagia,
dengan noda-noda yang masih tetap melekat padanya? Tetapi Dewata Yang Maha Kuasa, adalah Maha
Pengasih. Manusia hanya wajib berikhtiar, namun ketentuan adalah dalam kekuasaanNya Perobahan
raut muka yang memancarkan rasa kesedihan itu selalu menjadi perhatian Jaka Rimang. Maka dalam
perjalanan menuju ke Lereng Gunung Sumbing, Indra Sambada selalu didesaknya untuk menjelaskan.
? Kakang Indra,? Jaka Rimang mulai menghibur sambil menanyakan pada Indra.
? Aku selalu melihat pancaran kesedihan diwajah kakang. Gerangan apakah yang selalu membikin
bangkitnya rasa kesedihan kakang Indra? Sejak semula aku kenal kakang, aku telah berjanji pada diriku
sendiri, bahwa aku akan mengabdi selamanya padamu, kakang lndra! Kesedihanmu aku turut
merasakan pula. Apabila sekiranya tak menyinggung perasaanmu, dan aku dapat membantu
meringankan deritamu itu, sudilah kakang Indra menjelaskan padaku!?
? Adi Wulung dan adi Rimang,? Jawab Indra Sambada ? Sungguhpun adi berdua dalam hatiku telah
kuanggap sebagai adikku sekandung, tetapi mengenai kesedihanku ini sukar untuk kujelaskan padamu.
Penderitaanku adalah hukuman atas akibat perbuatanku sendiri.
--- Tetapi apabila kakang Indra hanya salah dalam perbuatan, apakah tidak dapat segera ditebus
dengan perbuatan pula.? Jaka Rimang mendesak.
? Tidak mungkin karena perbuatanku menyalahi pada janjiku sendiri. Dan bukan terhadap lain orang.
Itulah yang selalu aku merasa menderita,? Indra Sambada menjelaskan. Keterangan Indra Sambada
semakin sukar dimengerti oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
? Tetapi jika tidak berkeberatan, ingin aku mengerti persoalanmu itu, kakang Indra ! ? Jaka Rimang
semakin mendesak: ? Ingatlah kakang, bahwa kakang Indra bukan hanya sebagai kakangku, tetapi juga
sebagai guru dan pepundenku.?
Karena desakan dari Jaka Rimang maka Indra Sambada menceritakan kisah yang dialaminya dari awal
hingga sampai akhir. Jaka Wulung dan Jaka Rimang saling berpandangan, turut merasakan penderitaan
bathin yang dialami oleh Indra Sambada, terutama Jaka Rimang. --- Bagaimana jika kita nanti minta petunjuk-petunjuk dari Paman Guru Wiku Sepuh ?? Jaka Rimang
mengemukakan pendapatnya.? Hal itu memang sudah menjadi tujuanku. ? Indra Sambada menyahut: --- Tetapi apakah Kyai Wiku
Sepuh berkenan menerimaku sebagai muridnya, itulah saya masih meragukan.?
? Aku rasa beliau akan bergirang hati menerimamu sebagai murid, karena beliau menurut Guruku,
adalah seorang yang waskita, artinya dapat melihat jauh akan sifat-sifat ksatrya yang dimiliki oleh
kakang Indra. ? Jaka Wulung berkata.
? Justru karena Paman Gurumu itu waskita, saya malah beranggapan sebaliknya. Dapatkah beliau
menerimaku sebagai murid dengan nodaku yang melekat pada jiwaku ini? ? lndra membuka isi hatinya
dengan kejujuran.
? Kakang Indra terlalu mendalam memikirkan kekeliruan perbuatan yang telah lampau, ? Jaka
Wulung berkata menghibur. ? Bukankah pepatah mengatakan, tak ada orang yang sempurna, ? dan
pula menurut pelajaran guruku, Dewata Yang Maha Agung itu Maha Pengasih sayang terhadap umatNya, apabila umat itu percaya penuh kepadaNya.?
? Ya, katamu memang benar. Tetapi perasaanku belum dapat tenang apabila belum mendapat
petunjuk-petunjuk tentang bagaimana aku harus membersihkan nodaku, walaupun jiwa ragaku kini
kuserahkan untuk mengabdi sebagai tamtama, ? lndra Sambada menjawab. Dalam hati Indra Sambada
berterima kasih akan nasehat-nasehat Jaka Wulung dan Jaka Rimangpun ia memuji pula akan budi luhur
yang oleh dua pemuda itu.
? Sebaiknya kita nanti mengaso dahulu setelah menyebeangi Kali Progo, dan pada hari tengah malam
menjelang fajar kita lanjutkan, supaya dapat sampai di Padepokan pada pagi hari. Dengan demikian
kedatangan kita tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur nyenyak dimalam hari. ? Indra
memberikan saran kepada Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
? Kami sangat menyetujui saran kakang Indra. ? jawab mereka berdua hampir berbareng.? Dan
juga kita akan mempunyai tenaga yang segar, sewaktu menghadap Paman Guru Wiku Sepuh.?
Setelah berjalan setengah harian. mereka kini berjalan lebih cepat lagi sambil asyik ber-cakap-cakap.
Pada waktu senja sampailah mereka bertiga diseberang Kali Progo. Kali Progo, sunggulipun lebar tapi


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

airnya tak begitu deras.
Kali Progo itu bermata air dari lereng-lereng Gunung Bismo kemudian mengitari Gunung Sumbing dan
mengalir ke selatan untuk kemudian bermuara di Laut bebas Nuswantara dipantai selatan daerah
Kabupaten Kebanjaran Agung Mataram.
Sawah-sawah dan tegalan membentang luas sampai gunung Sumbing, dengan tanaman-tanaman
polowijo yang beraneka warna jenisnya dan sayur mayur seperti kobis dan sebagainya. Desa-desanya
terpencar jauh satu sama lain. Ternyata daerah disekitar seberang barat Kali Progo sampai dilerenglereng gunung Sumbing adalah merupakan daerah yang makmur dan sejahtera, berkat dari rakyat desa
disekitar itu yang sangat rajin akan mengolah tanah-tanah dan pemeliharaan ternak hewan-hewannya.
Walaupun letaknya daerah itu agak terpencil dan jauh dari pusat pemerintahn ataupun tempat
Punggawa Narapraja, tetapi selalu aman dan tenteram. Setiap kali para perampok ataupun penjahatpenjahat lainnya mencoba masuk didaerah itu, selalu dapat digagalkan oleh murid-murid Wiku Sepuh
yang bersemayam di Padepokan Kaliangkrik. Setelah mereka beristirahat disebuah gubug ditengah
tegalan ber-sama-sama dengan orang yang menjaga tanaman, maka sebelum fajar tiba, berangkadah
mereka menuju Kaliangkrik, Dan waktu pagi hari mereka telah sampai dipadepokan Wiku Sepuh
Halaman muka Padepokan itu sangat luas dengan tanaman kembang liar pegunungan beraneka warna
dan pohon pohon buah-buahan beraneka macam. Halaman yang luas itu kelihatan bersih, dan tanamtanamannya segar terpelihara. Di-tengah-tengah halaman Padepokan bagian depan yang luas itu, ada
berdiri sebuah pohon beringin yang rindang sebagai lambang pengayoman. Padepokan itu terdiri daritiga bangunan rumah besar dengan pendapa-pendapa.yang luas, berjajar semuanya menghadap
keutara. Semuanya terbuat dari kayu jati yang kokoh kuat dan beratap genting. Namun rumah yang ditengah-tengah semua tiangnya diukir dengan ukir-ukiran berbentuk kembang-kembang dan daun-daun
yang indah sekali. Disebelah kiri dalam Pendapa yang luas itu, kelihatan serakit gamelan terbuat dnri
perunggu yang mengkilap bersih karena selalu terawat dengan baik. Sedangkan disebelah kanan dalam
pendapa terdapat sebarak tempat duduk dari bambu yang sangat lebar hampir selebar seperempat
pendapa, dengan digelari tikar anyaman dari mendong putih, yang umumnya disebut pula tikar pasir
dan kelihatan sangat bersih.
Didalam pendapa-pendapa rumah kanan kiri, terdapat pula bale-bale serupa itu dan digelari dengan
tikar pasir pula.
Sebelum memasuki ruang pendapa rumah tengah, ada sebuah kolam seluas kira-kira sepuluh langkah
persegi, dengan airnya yang jernih sedalam selutut. Kolam itu disediakan untuk mencuci kaki, sedangkan
padasan yang selalu berisi air disamping kolam adalah untuk mencuci tangan dan muka bagi mereka
yang akan memasuki ruang pendapa.
Sungguhpun rumah yang berada disamping kanan kiri kelihatan sederhana dibanding dengan
bangunan rumah ditengah, namun kiranya tidak kalah bersihnya. Taman-taman disekitarnyapun
kelihatan teratur dan terawat baik.
Dibelakang rumah padepokan itu terbentang luas tegalan dengan ber-macam-macam tanaman, dan
sebagian besar ditanami jagung, ketela, polowijo dan sayur-sayuran, sedangkan sebagian kecil lainnya
ditanami rempah-rempah bahan obat-obatan, seperti laos, lempuyang, temulawak, klembak dan daundaun obat-obatan beraneka jenis.
Dikala pagi itu, Kyai Wiku Sepuh sedang duduk dibale-bale diruang pendapa dengan lima orang
muridnya yang telah di-angkatnya sebagai pamong atau pemimpin-pemimpin dari pada murid-murid
lainnya. Muridnya semua ada 40 orang pemuda, dan tiap pagi hari mereka bekerja dalam tugasnya
masing-masing bergiliran. Ada yang sedang berlatih bela diri dihalaman belakang, ada pula yang sedang
bercocok tanam ditegalan dan ada pula yang sedang memasak ataupun mengatur balai rumah.
Wiku Sepuh usianya telah mencapai tujuh puluhan, namun bentuk badan dan wajahnya masih
kelihatan segar, se-olaholah beliau baru berusia sekitar ampat puluh lima . Badannya kokoh kuat dengan
tingginya yang sedang. Rambutnya terurai lepas sampai ditengkuknya.. Beliau tidak memakai ikat
kepala. Pakaiannya seperti pakaian petani biasa dengan celana hitam panjang sampai dibawah lututnya.
Tiga deret kerut keningnya kelihatan jelas. Namun kulit mukanya kuning bersih agak kemerah-merahan
dan tidak berkeriput. Alisnya tebal dan telah putih pula. Sinar matanya tajam dan memancarkan daya
perbawa yang kuat.
Kelima pamong muridnya pakaiannyapun serupa seperti petani biasa, hanya mereka kelima-lima nya
memakai ikat kepala lebar segi tiga dari tenun lurik sederhana, bintik-bintik kuning diatas warna hitam.
Mereka sedang duduk berjajar dihadapan gurunya Wiku Sepuh dengan muka yang tertunduk,
mendengarkan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna baginya. Kelima pamong muridnya oleh Wiku
Sepuh diberi nama masing-masing yang tertua Waspadha Paniling, yang kedua Wasangka Pandulu, yang
ke-tiga Panyuluh, yang keempat Watangan dan yang- kelima Landeyan. Waspadha Paniling berusia kirakira 40 tahun, dan dulunya ia berasal dari Banten. Ia menjadi murid Wiku Sepuh sejak berusia 18 tahun,
dan dulu ia selalu mengikuti pengembaraan Wiku Sepuh tatkala Wiku Sepuh masih hernama Sidik
Pamungkas. Waspadha Paniling adalah murid kesayangan dari Wiku Sepuh, yang kelak diharapkan dapat
menggantikan kedudukan Wiku Sepuh di Padepokan. Nama itu memang sesuai sekali dengan sifat-sifat
yang dimiliknya. Ia memiliki sifat ketenangan dan dalam tindakannya selalu cermat dengan penuhperhitungan. Bentuk tubuhnya tinggi agak kurus. Ia jarang tertawa, dan ketawanyapun hanya
merupakan senyuman saja.
Semua murid-murid selalu taat mematuhi. perintahnya. Wasangka Pandulu adalah tangan kanannya
dalam tugasnya sehari-hari mengasuh para murid atas petunjuk-petunjuk Wiku Sepuh. Wasangka
Pandulu bentuk tubuhnya sedang, tidak tinggi dan kelihatan kokoh kuat dengan urat-urat yang kelihatan
menonjol dilengan-lengannya. lapun mempunyai sifat-sifat yang hampir serupa dengan Waspadha
Paniling, tenang dan cermat dengan perhitungan dalam segala tindakan Ia berusia kurang lebih 35
tahun.
Panyuluh mempunyai sifat-sifat yang lain dari kedua kakak seperguruannya. Ia gemar berbicara dan
bicaranya selalu diiringi dengan ketawa, Ia adalah murid yang cerdas, dan pandai menceritakan kembali
apa yang ia dapat dengar dari gurunya. Bentuk tubuhnya agak kecil dengan wajah yang lucu. Ia berusia
kira-kira tigapuluhan tahun dan dahulunya berasal dari Tuban.
Watangan dan Landejan umurnya sebaya kira-kira duapuluh delapan taltun. Bentuk tubuhnya hampir
sama dan hampir merupakan sepasang kembar. Namun sifat-sifatnya berlainan. Jika watangan
mempunyai sifat tenang dan sabar. Lain halnya Landejan. la sebaliknya mempunyai sifat-sifat yang selalu
tergesa-gesar, dan lekas marah. Kedua-duanya dulu berasal dari daerah Mantaram. Kedua-duanyapun
mempunyai kesaktian dalam ilmu bertempur yang seimbang dan dapat mempergunakan ber-macammacam senjata, tetapi semua murid tak terkecuali para pamong murid, setelah mahir dalam
mempergunakan bermacam-macam senjata tajam, selanjutnya dilarang oleh Wiku Sepuh
mempergunakannya. Mereka hanya diperbolehkan memakai tongkat penjalin sebagai senjata dalam
menghadapi segenap bahaja serangan lawan yang mendatang. Itulah ciri asli dari murid-murid Wiku
Sepuh. Karena bagi orang yang telah mahir dalam ilmu bela diri, tongkat penjalin tak kalah ampuhnya
dibanding dengan senjata-senjata tajam lainnya. Dan dapat digunakan sebagai tongkat biasa yang tidak
mempunyai sifat-sifat pamer.
? Paniling dan adi-adimu semua!? Wiku Sepuh berkata kepada murid-muridnya: -- Harap semua
muridku nanti tidak turut campur tangan apabila aku sedang menyambut datangnya tiga orang tamu
yang masih muda. Cukup kau semua mendengarkan saja dara duduk tenang, sekali apapun yang akan
terjadi. Perlu kau ketahui semua, bahwa dua orang diantaranya tamu tersebut adalah murid Pandan
Gede adikku, yang akan menyantrik disini. Sedangkan seorang lagi adalah priagung dari Kerajaan yang
berpangkat Bupati Manggala Muda Tamtama.
Semua murid dihadapannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan kini kata - kata Gurunya
benar-benar menjadi kenyataan
Tiga orang pemuda berjalan memasuki halaman menuju kerumah Padepokan. Mereka bertiga setelah
mencuci kaki masing-masing dikolam dan mencuci muka serta tangannya dengan air yang telah
memancur dari padasan, segera masuk keruang pendapa. Tak ada satu muridpun yang berani
menyambut kedatangannya tiga orang pemuda itu. Wiku Sepuh masih duduk bersila tenang
ditempatnya, seolah-olah tidak mempedulikan atas kedatangan tiga orang pemuda yang tidak lain
adalah Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada ..
Belum pernah Indra Sambada menghadap seorang dengan rasa ragu seperti sekarang ini. Keraguan
yang diiiputi rasa ketakutan. Kekuatan bathin yang tabah akan memusat, selalu buyar kembali, dan
jantungnya ber-debar-debar penuh rasa kecemasan. Berulang ulang ia berusaha mengurnpulkan tenaga
bathinnya, tetapi selalu gagai dalam samadhinya. Tahulah dia kini, bahwa perbawa Wiku Sepuh yang
sedang dihadapi jauh lebih tinggi dari pada daya perbawanya sendiri. Tak kuat ia menatap pandang
kearah Wiku Sepuh.? Dirgahajulah kau bertiga yang baru datang!? Wiku Sepuh menyambut sujud mereka bertiga
dengan tenang.
Tetapi belum juga ke ? tiga-tiganya dapat sempat menjawab, Wiku Sepuh segera berobah wajahnya
dmgan kemarahan yang bernyala nyala, diiringi kata-kata keras penuh daya perbawa! ? Hai, Banteng
Majapahit. Tumenggung lndra! serunya ? Nodamu tak cukup dicuci dengan air kolam dan padasan.
Apabila kau benar - benar bertobat, mohonlah ampun pada Dewata Yang Maha Agung, dan
berangkatlah sekarang juga ke Candi Arjuna didataran tinggi Dieng. Bersamadilah untuk mencuci
nodamu selama ampatpuluh hari lamanya, dan tanggalkan semua senjata yang meiekat dibadanmu itu.- Mendengar kata-kata Wiku Sepuh yang penuh dengan kemurkaan, India Sambada tak kuasa untuk
bangkit. Un uk menjawab saja rasa tenggorokkannya seperti tersumbat. Mukanya tertunduk lesu, Itulah
daya perbawa aji sakti; Wiku Sepuh yang dinamakan aji sakti ? Panggendaman Rajawana. ? Kini
setelah melihat Indra Sambada te tunduk tak berdaya, Wiku Sepuh melanjutkan kata-katanya dengan
nada kemarahan yang berkurang ? Pesanku dalam perjalanan menuju ke Dieng, kau tak diperkenankan
membunuh binatang-binatang liar, sekalipun mereka akan menerkammu. Serahkanlah akan
keselamatan jiwa ragamu kepada Dewata Yang Maha Agung. Jika mendapat lindungan- Nya, tentu kau
dapat kembali pulang kemari dengan selamat.----- Perintah Bapak Wiku Sepuh, akan saya laksanakan. Hanya doa restu Bapak Wiku Sepuh saya minta
untuk menyertaiku---, Hanya itulah kata-kata Indra Sambada yang dapat diucapkan. Dengan berkata
demikian, ia segera melepaskan keris pusakanya dari pinggang sebelah kiri dan kantong yang berisikan
taji dipinggang sebelah kanan, un tuk kemudian diserahkan kepada Wiku Sepuh. Semua yang
menyaksikan turut terharu. Terutama Jaka Rimang. Ia tak tahan melihat Indra Sambada diperlakukan
secara demikian.
Ingin ia turut berkata untuk membela, namun karena terkena perbawa aji sakti penggendaman
rajawana, tak mampu pula ia bergerak.
Wajah Wiku Sepuh yang memancarkan kemurkaan kini berangsur-angsur berobah menjadi tenang
kembali dan berkata pelan. ? Dari jauh aku akan selalu semadi berdoa untuk keselamatanmu. ? Kini
rasa daya perbawa yang menekan telah lenyap, seakan-akan disapu bersih oleh suara kata-kata yang
penuh ketenangan tadi.
? Jika Kyai Guru Wiku Sepuh memperkenankan saya akan menyertai kakang Indra Sambada dalam
perjalanan. ? Jaka Rimang memotong bicara.
? Itu tidak mungkin, kau tidak kuperkenankan, karena tak ada perintah gurumu Pandan Gede
demikian jawab Wiku Sepuh singkat! ? Kelak apabila Tumenggung Indra kembali dengan selamat, kau
baru dapat rnenyertainya, dalam perjalanan mengemban tugas amanat penderitaan rakjat selaku
pengikut setia dari pada Banteng Ivlajapahit. ?
Setelah meninggalkan keris pusakanya dan semua senjata yang ada padanya. Indra Sambacla segera
sujud kembali, untuk berpamit, dan kemudian bangkit meninggalkan rumah Padepokan, Jaka Wulung
dan Jaka Rimang dengan para pamong murid mengantarkan perginya Indra Sambada sampai dipagar
halaman depan, dengan penuh rasa iba. Sedangkan Wiku Sepuh masih tetap duduk bersila tenang
ditempatnya, dengan berkata pelan pada dirinya sendiri ? Selamat, selamat, selamat.
Candi Arjuna terletak di-tengah-tengah dataran tinggi Dieng, dengan dikelilingi candi-candi lainnya,
seperti candi Bima, candi Dwarawati, candi Gatotkaca dan candi-candi kecil lainnya dan merupakan
kelompok candi-candi yang terpisah - pisah.
Pintu gerbang candi Arjuna bingkainya berupa ukiran lukisan Kalamakara, dan tak seberapa jauh daritempat itu ada sebuah danau dengan airnya yang sangat jernih. Air danau itu mengalir kekali Tulis, yang
kemudian bertemu dengan kali Seraju, dan terus mengalir keselatan bermuara pantai Cilacap. Tidak
sebuah pohonpun dapat bertumbuh didalam dataran Dieng dekat candi-candi itu. Hal itu mungkin
karena tanahnya mengandung uap belirang.
Candi tersebut didirikan oleh Keradjaan Mantaram, dikala Sri Baginda Sanjaya Raka I Bhumi
Mantaram bertakhta pada lebih kurang tahun 700. Beliau beragama Hindu syiwa.
Belum lagi lenyap kenangan pedih yang diderita, ujian berat telah menyusul .. ia harus berpisah
dengan kedua adik angkatnya yang disayang .
Namun . semuanya itu diterima dengan hati tabah, dan tawakkal! Selesai menyepi, bersamadi,
dan mensucikan diri, tugas berat telah menanti , diatas pundak Indra Sambada yang Sakti.
Dan . dalam membasmi Tokoh Sakti golongan Dursila ia tetap pada pegangan yang diajarkan oleh
Ayah, dan ke-empat orang Gurunya yang Sakti : bahwa : SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING,
PANGASTUTI
* ** B A G I A N IV.
KEMBALI LAGI kini Indra Sambada sebatang kara dalam perjalanan, sambil merenungkan dan
memikirkan kepedihan nasib yang sedang dialaminya. Baru saja ia terhibur karena pertemuannya
dengan Jaka Wulung dan Jaka Rimang serta Giyanti, bahkan bersama-sama menempuh perjalanan dari
Kapuan sampai di Secang dan kemudian bersarna sama kedua pemuda itu melanjutkan perjalanan
sampai dilereng Gunung Sumbing sambil bersendau gurau dengan mesranya, kini tiba-tiba sebelum ia
dapat duduk tenang beristirahat, diusir dari Padepokan, supaya berangkat menuju ke Dieng. Badannya
terasa letih lunglai seperti tidak bertulang. Sedangkan kakinya dirasakan berat untuk melangkah
sewaktu ia keluar halaman, ia tak berani memalingkan kepala kebelakang sebentar, untuk menjawab
lambaian tangan dari Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Seruan-seruan perpisahan dari Jaka Wulung dan Jaka Rimang, tak pula ia mendengarkan. Ia berjalan
terus lurus kearah utara melewati pematang-pematang ditengah sawah yang luas membentang, untuk
kemudian tiba didesa berikutnya. Kini ia menempuh jalan-jalan desa, dan sampailah ia disuatu lembah
dengan banyak pohon-pohonnya yang rindang. Indra Sambada berhenti, dan duduk beristirahat
dibawah pohon asam yang rindang.
Dikala itu sang surya telah condong kebarat. Sinar teriknya memancar memenuhi alam. Benda - benda
yang terkena sinarnya sang surya menciptakan bayangan-bayangan hitam ditanah, menyerupai bentuk
wujudnya masing - masing. Sewaktu ia sedang duduk bertopang dagu dan tenggelam dalam
lamunannya, tiba-tiba suara tertawa nyaring terdengar dari belakang dan membuatnya terkejut. Cepat
ia memalingkan kepala kearah datangnya suara tertawa tadi, dan siap sedia menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi Dan ternyata .. Seorang kakek kakek kurus bertongkat telah berdiri
dibelakangnya.
? Tak kusangka orang yang bergelar Banteng Majapahit, semangat juangnya mudah patah. kakekkakek itu berseru menyindir ? Jika Tumenggung Indra masih memiliki aji shakti Bandung Bondowoso,
kejarlah aku ! ! ! ? berkata demikian kakek-kakek bertongkat itu melesat lari kejurusan utara bagaikan
berkelebatnya bayangan. Mendengar kata-kata yang mengejek dirinya itu, Indra Sambada segeraterbangun sadar, dan tahulah ia dengan pasti, bahwa kakek-kakek itu tak lain dari pada Kyai Pandan
Gede adanya. Secepat Pandan Gede melesat lari keutara, Indra Sambada segera mematek aji shak tinya
Bandung Bondowoso memusatkan tenaga bathinnya untuk kemudian menghilangkan rasa berat
badannya, dan secepat kilat itu pula Indra Sambada melesat mengejar larinya Pandan Gede. Dua orang
kejar-kejaran, laksana berkelebatnya bayangan. Ternyata dua orang memiliki kesaktian yang sama
tingkatannya dalam lomba lari, menilik jarak antaranya yang selalu tidak berobah. Sang surya telah
memasuki cakrawala, tetapi samar-samar masih kelihatan dua orang lari ber-kejar-kejaran, menuruni
jurang-jurang yang curam untuk kemudian menaiki tebing yang terjal, dan memasuki lembah hutan
belukar. Waktu itu telah tengah malam. Pandan Gede mengurangi kecepatan larinya yang segera
tersusul oleh Indra San.bada.
? Ha . Ha . ha .. menyerah kalah aku ? Pandan Gede berkata sambil berhenti lari dan duduk
bersandar pada pohon ditengah hutari. Indra Sambada segera mengikuti duduk ditanah ber-hadaphadapan dengan Kyai Pandan Gede. ? Salah .. salah dugaanku tadi. Ternyata gelar Banteng Majapahit
sesuai dengan pemiliknya --- Pandan Gede mulai bicara dengan kata pujian tertuju pada Indra Sambada.
--- Kyai Pandan Gede, sengaja mengalah ? jawab Indra Sambada dengan jujurnya ? Gelar siluman
shakti ambeg paramaarta tepat benar untuk Kyai ? Indra Sambada membalas memuji ? Dan kiranya
saya baru setingkat dengan murid Kyai ? Indra bicara merendah.
? Aneh .. aneh .. selalu merendahkan diri. ? Kyai Pandan Gede berkata dengan tertawa, dan
meneruskan bica-ranya ? Aku menyerah kalah, dan lomba lari selesai sampai disini saja. PesanKu terimalah pengabdian
Jaka Rimang sebagai muridmu. Dan ingatlah, bahwa jeritan rakyat menunggu pertolongan dari Pendekar
Majapahit ? berkata demikian Pandan Gede melesat menghilang dikegelapan malam. Dengan kata-katalomba lari sampai disini saja, tahulah Indra Sambada, bahwa mengejar larinya Kyai Pandan Gede tidak
ada gunanya. Bagaikan seorang yang baru bangun dari tidurnya, kini Indra Sambada semangat juangnya
berkobar kembali menyala. Ia mengenangkan kembali pesan Wiku Sepuh yang terakhir dan pesan
Pandan Gede yang baru saja berselang. Ia telah mendapatkan kebulatan tekad untuk pergi mencuci
nodanya dicandi Arjuna, untuk kemudian melanjutkan pengabdiannya sebagai seorang tamtama, demi
amanat penderitaan rakyat dan demi keagungan nama Kerajaan Majapahit. Ia melanjutkan berjalan
cepat dikegelapan malam melalui lereng-lereng Gunung Sindoro, untuk kemudian mengitari lerenglereng gunung Bismo, dan menaiki tebing-tebing terjal menuju ke-Gunung Dieng, dengan pusat
perhatiannya kearah candi Arjuna. Duabelas hari lamanya ia berjalan melalui jurang-jurang lembahlembah dan tebing yang terjal yang sukar dilalui oleh manusia biasa. Binatang liar yang dijumpai dalam
perjalanan segera menyimpang jauh, tak kuat menatap wajah Indra Samloada yang bersinar yang
dilindungi oleh aji shakti Bandung Bondowoso.
Dengan langkah yang gontai, ia memasuki Candi Arjuna dan bermaksud akan bersemadhi di sudut
ruang sebelah dalam. Akan tetapi tiba-tiba detak jantungnya berdebar-debar, dan sebagai Ksatrya shakti
cepat pula ia dapat menguasai dirinya kembali untuk menenangkan serta menghentikan langkahnya,
sambil mengawasi,sekeliling ruangan dengan penuh waspada.
Sesaat ia menjadi terkesiap, demi dilihatnya dengan jelas, bahwa disudut dalam ruangan yang terang
samar-samar sebelah kanan, nampak adanya seorang berpakaian seragam sebagai Lurah tamtama
Kerajaan, sedang duduk bersila dengan muka tertunduk sambil memegang keris pusaka yang telah
terhunus. Sedang Indra Sambada melangkah mendekat, untuk menegornya, tiba-tiba orang itu
bangkit berdiri dengan masih menggenggam keris pusaka ditangan kanannya.
Indra Sambada melompat surut ke belakang selangkah, untuk ber jaga menghadapi segala
kemungkinan yang akan mendatang. Namun demi diingatnya kembali, akan pesan Wiku Sepuh, bahwa
apapun yang terjadi atas dirinya. ia tak diperkenankan melawan dengan ilmu kanuraganya. Maka cepat
ia menyalurkan segenap tenaga dalamnya yang telah terpusat ke-arah sinar pedang matanya, untuk
kemudian menatap pada muka orang yang kini berada dihadapannya dengan pandang tajam penuh
perbawa.
Orang itu tiba-tiba ter-huyung-huyung kebelakang selangkah, dan keris pusaka ditangan kanannya
berkelebat laksana kilat menembusi dadanya sendiri. Ia roboh terkulai dilantai dengan mandi darah.
Dengan tangkas lndra Sambada meloncat maju selangkah, dan kemudian berjongkok disisih orang
yang kini tengah bergulat dengan maut itu.
Kiranya tak mungkin lagi ia dapat tertolong. Keris pusaka yang tertancap di dada orang itu demikian
dalamnya, hingga hampir tembus sampai di punggungnya.
Sedang Indra Sambada membantu menyilangkan tangan orang itu didadanya tiba-tiba, sambil
membuka matanya sesaat, orang itu berbicara dengan suara yang amat lemah dan hampir tak
kedengaran serta terputus-putus.
? Gus. ti ..In. .dra ..Ampu.. In. do. .sa.. hamba yang.. hina. di.. na. Pun. su.
rat. Itu ham .ba. yang.. membu.. St..
Ia berhenti sesaat sambil berusaba mengerahkan tangannya yang terakhir serta mernbuka lagi
matanya yang kian suram untuk melanjutkan kata-katanya.
Kematian Ki Lurah Somad dan istrinya bukan bunuh diri tapi hambalah yang mernbunuhnya.
Sampai disini suara orang itu terputus. Nafasnya tersengal-sengal... dan kemudian badannya
berkelejetan bergulat melawan maut yang kiranya telah menyengkeramnya semakin kuat.


Pendekar Majapahit Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? Lurah Sampar ! ! ! Sampaaaaarrr ! ! ! ? Seru Indra Sambada sambil meng-goyang-goyangtubuhnya yang ternyata telah mulai rnembeku itu. Namun orang yang dipanggil namanya oleh Indra
Sambada itu, ternyata telah tak bernafas lagi.
Dan suasana kini menjadi sunyi hening kembali.
Ia tak menduga sama sekali, bahwa lurah Tamtama Sampar yang selalu taat dan dipercayai serta
dianggapnya sangat setia itu, ternyata adalah orang yang mengkhianatinya. Orang yang melakukan
perbuatan pengkhianatan yang amat rendah, keji serta terkutuk.
Tetapi semua itu telah terjadi dan segala sesuatu yang telah terjadi tak perlu disesalkan dan diungkap
kembali.
--- Yah, semoga Dewata Yang Maha Agung dapat pula mengampuni dosa-dosamu itu? lndra Sambada
berkata lirih, setelah mana ia mengubur mayat Lurah tamtama Sampar dibelakang candi.
Kegelapan yang selalu rnenyelimuti dirinya kini perlahan-lahan menyingkir bagaikan tertimpa oleh
sinar cahaya nyala-nya pelita.
Kini ia kembali memasuki candi Arjuna lagi dan dengan tenangnya ia mulai duduk bersila disudut ..
Mematikan daya rasa panca indranya. Dan terciptalah ? trimurti jati manunggal ialah . bersatu padunya
cipta, rasa dan karsa, untuk kemudian menyerah dengan tekad yang bulat dan menghadap pada
kekuasaan Dewata Yang Maha Agung dan Maha Pengasih, bagaikan daun-daun kering menyerah pada
hembusan angin yang maniupnya. la duduk bersila dan tenggelam dalam samadhinya laksana patung.
Yang ada padanya hanya, ? mohon ampun, dan mohon petunjuk Nya dalam kelanjutan hidupnya
demi mengabdi padaNya.?
* * * B A G I A N : V.
DIWAKTU SENJA seorang bangsawan dengan pakaian kebesarannya sebagai Senopati Muda
Manggala Tamtama Pengawal Raja bertubuh tinggi besar, bercambang bauk wajahnya, dengan dadanya
yang bidang memasuki halaman Padepokan Kaliangkrik tempat Wiku Sepuh bersemayam. Kedatangan
Gusti Senopati Adityawardhana didampingi oleh Tumenggung Sunata dan diiringkan oleh sepasukan
tamtama sebanyak 30 orang.
Kelima pamong murid sibuk menyambutnya, sedangkan para murid lainnya sibuk menambatkan kudakuda tunggangannya dibelakang Padepokan. Pasukan tamtama pengiring dipersilahkan istirahat diruang
pendapa dirumah sebelah kanan, sedangkan Gusti Senapati Muda dan Tumenggung Sunata langsung
dipersilahkan masuk ke ruang pendapa dirumah tengah.
Wiku Sepuh segera keluar menyambut dengan didampingi oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang,
mempersilahkan Gusti Senapati Muda dan Tumenggung Sunata duduk di-bale-bale yang lebar itu
diruang pendapa. Menyusul kemudian kelima pamong, turut duduk berjajar dibelakang Wiku Sepuh
yang sedang menghadapi tamu agung dari kota Raja.?
? Maafkan jika kami menyambut kedatangan Gusti Senapati serba kurang pantas. Wiku Sepuh
berkata dengan kerendahan hati ?Dan perkenankanlah kami mengucapkan dirgahayu atas kedatangan
Gusti Senapati.?
? Sangat berterima kasih atas kesediaan menerima kedatanganku, Bapak Kyai Wiku Sepuh.? Gusti
Senapati menjawab.?Tak kusangka bahwa padepokan yang terpencil, demikian indahnya.?iamelanjutkan berkata dengan memuji. Tetapi dibalik kata-kata pujian, Gusti Senapati mengerahkan
tenaga dalamnya dengan menatap wajah Kyai Wiku Sepuh. Kyai Wiku Sepuh tak mau menatap wajah
Sang Senapati. Sengaja ia menundukkan mukanya, tetapi dengan pelan ia menghembuskan nafas yang
disertai pemusatan kekuatan bathinnya dengan aji kesaktian panggendaman rajawana. Sang Senapati
segera terperanjat sesaat, setelah merasa bahwa ujung kain bajunya bergetar sebentar. Tahulah
sekarang, bahwa yang di hadapinya ialah Sang Wiku Sepuh yang memiliki kesaktian mendekati
sempurna. Ia segera menundukkan mukanya, menyesal akan kecerobohannya yang telah dilakukan.
? Gustiku Senopati, hendaknya jangan merasa canggung dalam padepokan yang buruk ini. Sudilah
berlapang hati dan menganggap seperti di Istana sendiri, Wiku Sepuh berkata dengan bersenyum. ?
Saya hanya seorang petani biasa, dan tak mampu membangun lebih baik dari pada ini.?
? Kami sangat kagum akaa indahnya pandangan dan segarnya hawa disini, rasanya aku tak ingin
pulang kerumahku sendiri. ? jawab Sang Senopati dengan tak kurang tangkasnya dalam beradu lidah.
Kyai Wiku Sepuh tersenyum simpul, mendengar kata-kata pujian yang tak langsung itu. ? Tak
kusangka, bahwa Gustiku Senopati pandai pula bergurau.? sahut Wiku Sepuh dengan mengalihkan
bicaranya.
Tumenggung Sunata dan kelima pamong murid serta Jaka Wulung dan Jaka Rimang duduk diam,
rnendengarkan kedua tokoh sakti yang sedang ber-cakap-cakap. Dua tokoh sakti, tetapi berlainan
kedudukannya, Kyai Wiku Sepuli sebagai tokoh rakyat yang termasyur, sedangkan Sang Senopati sebagai
Tamtama Kerajaan yang terpandang.
Percakapan berhenti sejenak, karena datangnya para murid yang mengantarkan hidangan makanan
berupa nagasari, wajik, ketan dan minuman teh hangat.
? Silahkan Gusti-gusti, hanya inilah hidangan yang dapat kami sajikan. ? Wiku Sepuh mulai
mempersilahkan untuk menikmati hidangan pada kedua tamunya, yang segera disambutnya dengan
riang dan akrab. Sambil menikmati hidangan yang telah tersedia itu, percakapan masih berlangsung
terus dengan asyiknya.
Murid-murid Kyai Wiku Sepuh disamping mahir dalam ilmu kanuragan, kebathinan, kiranya mahir
pula memasak. ? Sang Senopati Muda birjara sarnbil menikmati hidangan makanan.
? Saya memang melatih murid-murid saya, agar kelak dapat terpakai sebagai juru masak di
Senopaten. ? Kyai Wiku Sepuh menyahut sambil tersenyum riang.
? Sedangkan ajaran-ajaran lain yang dapat kuberikan hanya merupakan pelengkap mengingat
pengetahuanku yang masih sangat dangkal itu. ? Kyai Wiku Sepuh melanjutkan bicaranya dengan
merendah hati, yang sekali gus merupakan sindiran tak langsung. Sungguhpun percakapan itu telah agak
lama berlangsung, tetapi masih tetap berkisar pada pembicaraan yang ringan-ringan saja. Sang Senopati
belum juga memberikan penjelasan maksud kedatangannya, sedangkan Wiku Sepuh belum juga mau
menanyakan maksud kedatangannya.
( Bersambung jilid III )P E N D E K A R M A J A P A H I T
INDRA - SAMBADA
Jilid 3
(TAMAT)
Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO
Gambar : OYI SOEDOMO
Penerbit : SINTA - RISKAN
Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya
Image Source : Awie Dermawan
Convert by : Eddy Z
Jan 2019, Kolektor - EbookPENDEKAR MAJAPAHITPENDEKAR MAJAPAHIT
B A G I A N I
HARI telah malam. Sang bulan telah mulai memakai mahkotanya menggantikan sang surya yang
telah berselang turun dari takhta, laksana permaisuri yang cantik sedang duduk disinggasana. Cahayanja
yang memancar menembus di kegelapan-menerangi ibu pertiwi. Angin pegunungan meniup pelan, dan
terasalah sejuk menjegarkan badan.
Wiku Sepuhpun minta diri untuk bersemadhi sembahyang di candi halaman belakang dengan diikuti
oleh para pamong murid dan para murid-murid semua, tak ketinggalan Jaka Wulung dan Jaka Rimang
mengikuti pula.
Kedua tamu priyagung bangkit dari duduknya dan ber-jalan-jalan mengelilingi halaman sambil
menikmati hawa pegunungan yang sejuk itu. Tak lama kemudian, kembalilah mereka semua diruang
pendapa, dan melanjutkan percakapannya.
Para murid kembali mengganggu percakapan yang sedang berlangsung, dengan mengantarkan
hidangan makan malam, ialah nasi putih dengan lauk pauknya, yang berupa ayam goreng, sayur mayur,
masakan ikan air tawar, dan sebagai buahnya ialah pisang raja sebesar pergelangan tangan.
? Silahkan menikmati hidangan hasil dari parlepokan, Gusti, --- Wiku Sepuh mulai mempersilahkan
untuk menikmati hidangan makan malam. Dengan lahapnya Sang Senapati Muda Gusti Adityawandhana
dan Tumenggung Sunata menikmati makanan yang lezat itu. Kiranya para pasukan tamtama pengiring
yang berada dirumah samping kanan juga sedang berpesta dengan riangnya, bersama-sama para murid
yang sedang tidak bertugas. Gelak tertawa para tamtama pengiring terdengar jelas dari ruang pendapa
rumah tengah. Mereka sangat bersuka ria atas sambutan yang meriah dan akrab itu. Satu sama lain
asyik menceriterakan pengalaman mmasing-masing dengan sebentar-sebentar diselingi suara tertawa
nyaring. Sedang mereka asyik menikmati hidangan yang lezat itu, tiba-tiba datang seorang murid
mengantarkan tamu.
Tamu yang datang itu telah setengah lanjut usianya. la berpakaian seperti petani biasa dengan
kantong kulit besar dipinggangnya, bertubuh kurus tidak tinggi dengan ikat kepala hitam lebar segitiga
yang telah kumal.
Kumis dan jenggotnya putih beruban, panjang tak terawat. Ia membimbing seorang anak lelaki
berbadan gemuk agak pendek, berusia kurang lebih mendekati 13 tahun. Setelah tamu itu memasuki
ruang pendapa tengah, Tumenggung Sunata segera bangkit berdiri dan menyambutnya dengan penuh
hormat. ? Tak kuduga bahwa guruku, Bapak Kyai Tunggul datang pula dipadepokan.? Kata
Tumenggung Sunata dengan perasaan heran kepada tamu yang baru datang itu, yang tidak lain memang
Kyai Tunggul berserta Sujud anak angkatnya adanya. Mendengar ucapan kata-kata sambutan dari
Tumenggung Sunata itu, serentak semua berdiri menyambut kedatangannya, dan mempersilahkan
untuk duduk bersama-sama.
? Kedatangan seorang tabib besar yang termasyur dipadepokan ini adalah suatu kehormatan besar
bagi kami,? Wiku Sepuh mulai bicara. ? Perkenankanlah saya menyambutnya dengan ucapan
dirgahaju pada Kyai Tunggul.?
? Sangat diperbanyak terima kasih atas kesudian menerima kedatangan kami, Kyai Wiku.? Kyai
Tunggul menjawab.
?. Kedatangan Kyai Tunggul sangat menggirangkan hatiku,? Senapati Muda Adityawardhana
mcmotong pembicaraan. ? Namanya telah mengambar harum di Kerajaan, tetapi baru kali ini aku
dapat kesempatan bertemu dengan orangnya,? berkata demikian Sang Senapati MudaPENDEKAR MAJAPAHIT
membungkukkan badannya, sebagai tanda menghormat.
? Terima kasih atas kata pujian Gustiku Senapati, yang berlebih-lebihan itu.? Kyai Tunggul
menjawab.
? Silahkan Kyai Tunggul turut serta menikmati hidangan makan ber-sama-sama,? Wiku Sepuh
mempersilahkan Kyai Tunggul dan Sujud untuk segera menyusul makan bersama.
? Tak kusangka bahwa perjalananku selalu dihadang rejeki. Mari Jud, tak usah kuatir, padepokan ini
makmur sejahtera,? Kyai Tunggul bicara sambil memulai makan dengan lahapnya.
Kedatangan Kyai Tunggul menambah ramainya percakapan. Namun belum juga mereka
membicarakan kepentingan mmasing-masing. Dan Kyai Wiku Sepuh memang sengaja tak mau
menanyakan maksud kedatangannya.
Selesai makan, mereka masih melangsungkan percakapan dengan asYiknya hingga larut malam.
Dengan masih menyimpan persoalan mmasing-masing dalam kalbunya, mereka kemudian beristirahat
merebahkan badan hingga esok pagi.
Pada esok paginya mereka kembali berkumpul diruang pendapa rumah tengah dan melanjutkan
percakapan yang tak ada ujung pangkalnya itu. Tiba-tiba Gusti Adityawardhana memotong pembicaraan
dengan usul acara baru.
--- Jika Kyai Wiku Sepuh mengijinkan, ingin sekali saya melihat para murid Padepokan yang sedang
berlatih kanuragan---- Untuk menghormat Gustiku Senapati, tentu saya tidak berkeberatan, tetapi hendaknya Gusti nanti
jangan mentertawakan permainan para muridku yang sangat dangkal itu.? jawab Kyai Wiku Sepuh
merendah.
--- Dangkal ataupun tidak, saya ingin sekali melihatnya, agar mendapat tambahan pengetahuan, untuk
mengisi ke-kurangan-kurangan. Ilmu yang ada pada para tamtama Kerajaan. Dan aku kira Kyai
Istana Bunga Karya Bung Smas Alf Dan Ara Karya Wulandaryadr Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala

Cari Blog Ini