Primadona Karya Abdullah Harahap Bagian 1
12 DISCLAIMER
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi
para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan
dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih
media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan,
usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh
dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra
objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya
dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam
format digital sesua? kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial
dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital
ini. Salam pustaka!
Team Kolektor Ebook34
PRIMADONA
KARYA ABDULLAH HHARAHAP
Penerbit SANJAYA JAKARTA
Sumber Buku AWIE DERMAWAN
Edit OCR BUDI WIBOWO
First in share KOLEKTOR EBOOK5
PRIMADONA
ABDULLAH HARAHAP
PENERBIT SANJAYA JAKARTA
Catatan pengarang:
CERITA INI FIKTIF. PERSAMAAN NAMA, TEMPAT, JABATAN
HARAP DIANGGAP SUATU KEBETULAN BELAKA
BAB SATU ? PINGGIR REL
Satu Sinar kuning kemilau tiba-tiba menyergap, garang.
Hitamnya malam buyar seketika. Bantalan-bantalan rel
berderak kaget. Supriyanto melangkah mundur. Kelopak
matanya terpejam, menahan silau. Angin keras menamparnampar wajahnya. Dingin. Menggigit. Dalam kegelapan
pandang ia dapat merasakan debu menyengat lubang
hidung; disertai bau sampah yang bertaburan di sekitarnya.
Kendang telinganya seakan pecah diledakkan suara hingarbingar yang sangat membisingkan.
Ketika semua prahara itu perlahan-lahan berlalu dan
Supriyanto membuka kelopak matanya kembali, samarsamar masih terlihat lampu belakang gerbong terakhir,
bergoyang lembut seperti penari yang kelelahan. Kian lama
kian menjauh. Tinggal titik kuning lemah yang kemudian6
lenyap ditelan kegelapan malam yang kembali mengelam,
semakin hitam. Namun sayup sampai masih terdengar bunyi
nafas naga besi itu berdesas-desus teratur; seolah-olah sadar
bahwa tempat peraduan yang nyaman tetap menanti
dengan setia. Perjalanan panjang itu akan berakhir di stasiun
Bandung.
Dan di halte Cikudapateuh, perjalanan hidup
segelintir anak manusia justru baru saja dimulai.
Supriyanto menyeberangi rel sambil terbatuk-batuk
karena sisa debu masih menempel di lubang hidung. Ia
memasuki gang sempit yang membelah rumah-rumah liar
sepanjang rel kereta. Rumah-rumah tanpa beranda, tanpa
penerangan listrik ? bahkan mungkin juga tanpa harapan
walau hanya sejumput belaka. Dari balik dinding bilik salah
satu rumah petak yang dilaluinya, terdengar suara cekikik
perempuan; mirip ringkik kuda binal tengah birahi. Dan suara
serak seorang lelaki mengumpatkan ucapan kotor
menyebut-nyebut sesuatu mengenai kemaluan si
perempuan.
Supriyanto bergidik seram. Terus saja melangkahkan
kaki dalam kegelapan malam. Gang yang dilaluinya
membelok tidak karuan. Sekali ia hampir saja menabrak
pintu, tegak bingung lalu kemudian melihat sebuah celah
sempit di sebelah pintu untuk masuk ke gang berikutnya.
Baru dua tiga langkah memasuki celah tadi, Supriyanto
dibuat kaget oleh makian kasar seseorang.
"Haram jadah! Kau babi busuk!"7
Supriyanto tertegun. Lalu terdengar suara lain
menimpali: "Aku tak sengaja kang..."
"Tak sengaja pantatmu. Lihat buku bonku basah
semua."
"Nanti kujemur, kang..."
"Awas kalau rusak! Kau tahu, malam besok yang
keluar pasti nomor 35 atau 53. Lihat! Aku pasang 1000 untuk
35 dan 500 untuk 53. Dan justru kuah sayurmu pas tumpah
di bon bernomor mahal ini. Sialan! Sini, dekatkan lampu biar
kuperiksa, apakah..."
Geleng-geleng kepala Supriyanto mendengar
pertengkaran sengit di balik dinding papan yang dilewatinya.
Teringat, baru tiga hari yang lalu surat kabar di kota ini
menyiarkan ucapan Walikota Bandung bahwa Bandung
sudah bebas dari judi buntut. Itu pun setelah satu bulan
penuh diadakan razia besar-besaran oleh polisi dibantu
Laksusda. Mestinya Supriyanto mendobrak masuk ke rumah
barusan, menyita barang bukti yang ada dan cukup
menangkap para pelaku. Tetapi daerah ini tidak termasuk
wilayah hukum kantor dinasnya. Dan ia hadir di sini bukan
pula sebagai petugas. Melainkan sebagai pribadi. Itupun
dengan tujuan, yang semakin sedikit orang tahu akan
semakin baik.
Akhirnya ia melihat nyala lampu samar-samar di
depannya. Sebuah pintu tampak menganga terbuka.
Seseorang tampak menyelinap dari kegelapan di seberang
pintu. Siap masuk kembali ke dalam rumah. Namun segera
dia menunggu, ketika melihat ada seorang pendatang tak
dikenal.8
"Selamat malam... Neng," sapa Supriyanto setelah
menyimak sebentar orang di depannya.
Perempuan itu berumur sekitar 25-an, agak pendek.
Tetapi dadanya besar, begitu pula pinggulnya. Ia
mengenakan rok terusan warna gelap, dandanannya tidak
teratur. "Malam, Oom," sahutnya seraya menyeringai
memperlihatkan sebaris gigi yang biar rapi toh tampak agak
kekuning-kuningan dalam jilatan lampu. "Cari teman tidur,
ya?"
Mendadak timbul pikiran iseng Supriyanto.
Bagaimanapun ia toh seorang laki-laki, masih muda, dan
bujangan pula. "Lagi kosong?" ia bergumam dengan senyum
kaku.
"Yang di dalam," perempuan itu mengerlingkan
mata lewat pintu yang terbuka. "Ia sudah selesai denganku."
"Aku tak suka bekas orang."
"Jangan kuatir, Oom. Aku barusan kencing. Sekalian
cuci itu-ku..." si perempuan tertawa genit, dibuat-buat.
"Di situ?" tanya Supriyanto sambil menuding ke
saluran air di belakang si perempuan. Saluran itu sebuah got
pembuangan, yang di bawah siraman rembulan kelihatan
airnya kehitam-hitaman. Ada sebuah kakus kecil, mungkin
MCK rumah-rumah sekitar, dan di dekat kakus itu bertumpuk
segala macam sampah yang menimbulkan bau pesing.
Menyadari maksud Supriyanto, perempuan itu
tertawa meringkik. "Aku punya obat pengharum di kamar,"
ujarnya, sambil menggandeng lengan Supriyanto. "Ayolah
kita masuk. Kerbau sialan itu begitu memuntahkan laharnya9
terus saja mendengkur di ranjangku. Kau bantulah aku
mengusirnya ke luar. Baru setelah itu kita..."
"Biarkan saja dia. Kasihan," sahut Supriyanto. Segan
masuk.
"Oh. Jadi Oom lebih suka kita melantai," bisik si
perempuan nakal, sambil mulai menciumi pipi Supriyanto.
Ketika bibir perempuan itu mengarah ke mulutnya,
Supriyanto mengelak dan melepaskan lengannya dari
genggaman si perempuan.
"Aku bukan mau begituan, Neng. Aku cuma
numpang tanya. Boleh?" kata Supriyanto, lembut ? kuatir
penolakannya membuat si perempuan tak senang.
"Nggak masuk dulu?"
"Ah. Di sini saja deh."
"Oom. Di sini, aku paling muda. Paling cakep.
Paling..."
"Aku tahu."
"Jadi?"
"Justru aku mau tanya, orang yang paling tua,
barangkali."
"Eh, kok...?"
"Namanya Marni."
Si perempuan membelalak. "Nenek sihir itu? Hii..!"
ia bergidik seram. "Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek
sihir itu? Astaga! Ia akan mengisap Oom sampai habis!"
matanya kemudian mengawasi Supriyanto lagi. Dari wajah,
turun ke dada, turun lagi ke perut, turun lagi sejengkal ke
bawah ? dan berhenti cukup lama di situ. Mulutnya
menyeringai, genit. Berdesah, "Kalau Oom senang diisap, aku10
? aku juga bisa. Dan tidak seperti nenek sihir itu ? punya Oom
akan kusisakan sedikit untuk isteri Oom di rumah!"
Bergemelutukan gigi Supriyanto mendengarnya.
Mulutnya membuncah. Ingin meludah. Namun sebelum
wajahnya diludahi, perempuan tadi cepat menyingkir ke
pintu gubuknya. Siap untuk membantingkannya di depan
batang hidung Supriyanto.
"Aku mencium bau polisi di tubuhmu," katanya,
cemas.
"Neng..."
"Kau polisi ya?"
"Dengar, Neng. Aku sendirian. Dan kalaupun
misalnya aku polisi, aku tak bawa surat tugas. Tetapi kalau
kau menutup pintu..."
Si perempuan membatalkan niatnya membanting
pintu. Ia malah membukanya semakin lebar. Wajahnya
sebentar pucat, sebentar memerah, pucat lagi. Lalu:
"Langgananku yang di dalam, belum bayar. Aku tak punya
uang. Tetapi kalau kau mau ? dan eh, soal isap-mengisap
kukira menarik juga. Aku belum pernah, tetapi..."
"Persetan kau pernah atau tidak!" kesabaran
Supriyanto mulai hilang. "Aku cuma menginginkan Marni!"
"Pintu ketiga setelah ini. Yang bercat biru!" si
perempuan menjelaskan buru-buru. Buru-buru pula ia
menutupkan pintu. Namun belum juga Supriyanto sempat
menghela nafas, pintu itu sudah terbuka kembali. Sedikit
cuma. Cukup untuk meloloskan sebagian wajah pemiliknya,
yang berkata agak bimbang: "... kusarankan, Oom. Jangan
malam ini. Ia masih sakit."11
"Sakit? Sakit apa?"
"Entah ya. Mungkin darah tingginya kumat lagi.
Sudah sepuluh hari ia tidak mau terima tamu. Kerjanya
berkurung di kamar. Kalaupun kami boleh menengok, ia
marah-marah melulu. Sepertinya... sarap!"
Seolah takut oleh ucapannya sendiri, si perempuan
lekas-lekas menghilang dan kini benar-benar membanting
pintu. Menguncinya sekaligus. Supriyanto termangu.
Bingung, dan mulai gelisah. Jadi ia telah menemui alamat
yang benar. Masalahnya sekarang, apakah ia orangnya
benar? Marni hanyalah sebuah nama. Siapa pun boleh
memakainya.
Main isap?
"Astaga, mustahil dia melakukannya. Ia seorang
Primadona!" Supriyanto menggigil. Keterangan itu terlalu
mengejutkan untuk ia terima begitu saja. Langkahnya
tertegun-tegun. Bimbang. Tetapi toh sampai juga ia di depan
pintu biru itu. Pintu yang letaknya miring, mungkin karena
salah satu engselnya hampir copot, pegangan platinanya
berkarat waktu dijamah Supriyanto. "Jangan-jangan Marni
yang ini, bukan Marni yang pernah kukenal," pikirnya.
Dengan perasaan segan, diketuknya pintu. Selagi
mengetuk, terbayang saat pertama ia pernah bertemu
dengan perempuan itu. Sang Primadona duduk di pojok
sebuah bar di salah satu sudut kota Jakarta. Sesuai dengan
usia remajanya ketika itu, Supriyanto sudah berkali-kali jatuh
cinta. Tiap kali mengencani seorang gadis, ia kemudian
menyadari bahwa masih ada gadis lain yang lebih cantik.
Tetapi ketika melihat perempuan itu, Supriyanto sangat12
terpesona. Kecantikannya demikian luar biasa. Ia berpakaian
gemerlapan, dandanannya bukan main. Tanpa pakaian serta
dandanan yang hebat itu pun, penampilan si perempuan
sudah sangat aduhai. Kalau ada orang berkata bahwa hanya
hasil seni saja yang bisa disebut antik dan artistik, maka
orang itu seharusnya datang untuk menyaksikan si
Primadona.
Saking kagum bahna ta?jub Supriyanto sampai
tertegak diam, lupa tujuan sebenarnya datang ke bar itu. Ia
hanya melongo dengan mata tak pernah berkedip; kuatir
hanya karena satu kerdipan saja, bidadari itu akan sirna dari
depan matanya.
"... mencari siapa, dik?" terngiang kembali suara
perempuan itu. Suara yang begitu lunak, begitu basah, yang
membuat Supriyanto sempat tergetar karena gairah
remajanya mendadak bangkit. Jiwa remajanya
memberontak, mengapa wanita itu bukan miliknya, bukan
kekasih pujaannya... tetapi milik ayahnya!
Ayahnya pulalah yang membebani Supriyanto tugas
teramat berat. Sehingga kini ia merasa kesasar ke daerah ini,
menyelinap di antara rumah-rumah liar sepanjang rel kereta
api, untuk menemukan Marni. "Kudengar, Marni kini berada
di ambang kehancuran," kata ayahnya. Dan setelah
Supriyanto berdiri di depan pintu biru yang miring itu, ia
malah lebih kuatir lagi dari ayahnya.
Pintu ini tak pantas menyembunyikan seorang
Primadona.13
Dan Marni bukan jenisnya orang yang digambarkan
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelacuran murahan tadi. Marni boleh menjadi tua. Tetapi
tukang isap...
Sejenak terlintas pikiran untuk mundur dan
melupakan pintu biru di depan matanya; ini memang Marni,
tetapi bukan Marni yang ia harus cari dan temukan. Tetapi
mengapa pula harus mundur? Kepalang basah, ketuk lagi
pintu itu. Hadapi kenyataan, bagaimanapun pahitnya. Yang
terpenting, ini menyangkut amanat seseorang. Yang bila
tidak dilaksanakan, besar kemungkinan membuat arwah
orang itu akan menggeliat resah di dalam kubur.
Supriyanto menghela nafas panjang. Diketuknya lagi
pintu. Lebih keras.
*** Dua "Siapa?" terdengar suara nyaring di dalam.
Menyentak.
"... aku," sahut Supriyanto. Kecut. Apakah ia akan
terkesima seperti dulu? Diperolok-olok, bahwa ia salah
alamat?
"Aku siapa?"
"Yanto."14
Sepi sejenak. Lalu: "Nama itu tak ada di kampung
ini!"
"Aku dari Jakarta..."
"Jakarta? Kau mau apa?"
"Nanti kujelaskan. Bukalah pintu."
"Buka sendiri!"
Tadi Supriyanto sudah menggerakkan pegangan
pintu. Ia lakukan sekali lagi. "Terkunci," katanya.
"Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!" terdengar
suara memaki, lalu ranjang berderit, sandal yang diseret, lalu
detak anak kunci yang diputar dengan kasar. Pintu berkeriut
terbuka. Perempuan yang membukanya kemudian bergerak
mundur agar tamunya bisa masuk. Di bawah sinar lampu
listrik 25 watt, penampilan perempuan yang ini memang
sangat mirip dengan gambaran pelacur muda yang tadi.
Selain tua, lehernya agak bungkuk. Pipi bergelambir, hidung
menekuk seperti paruh burung, dagunya bergantung rendah
pula. Tampaknya, paling sedikit ia berusia 50 tahun, mungkin
lebih.
Bukan ini orang yang kucari, pikir Supriyanto kecewa.
Mungkin orang ini memang bernama Marni. Mungkin pula ia
ini seorang nenek sihir. Yang pasti, ia tidak punya tampang
seorang primadona, tidak punya penampilan seorang wanita
pujaan yang untuk mencium tangannya saja harus
membayar mahal. Barangkali memang itulah julukan yang
pas untuknya: nenek sihir! Karena matanya yang sesat tadi
suram menakutkan, sekonyong-konyong bersinar
mengerikan. Lantas dari sela-sela bibirnya yang tebal
menggumpal terdengar desahan tajam.15
"Kau..." mulut perempuan itu ternganga. Matanya
seakan mengenali Supriyanto. Namun kalimat berikutnya,
jelas merupakan penolakan pada apa yang ia kira ia sangat
kenal: "Kau bukan dia."
Supriyanto terengah. "Dia siapa, bu?"
"Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang..."
Supriyanto tiba-tiba tersedak. "Memang bukan,"
ujarnya. Ngeri.
"Siapa kau?"
"Anaknya!"
Perempuan itu terdiam. Kemudian, tubuhnya
terguncang hebat. Tak satu pun suara keluar dari mulutnya
yang kering pucat. Pelan-pelan ia mundur, sempoyongan
menuju sebuah kursi plastik, ke benda mana kemudian
tubuhnya jatuh menghempas. Jatuhnya begitu ringan.
Karena perempuan itu selain kurus, juga tampak kering
bagaikan pohon tua yang sudah lapuk ? berkeriput,
kehilangan rupanya yang asli. Sepasang mata tuanya
menatap Supriyanto seperti seorang nenek sihir menatap
orang suruhan yang akan mengikatnya ke tiang gantungan
sebelum tiba waktu pembakaran.
"Boleh aku masuk?" Supriyanto bertanya sesopan
mungkin, setelah ia kini sadar siapa perempuan itu.
Setelah menunggu dan tak juga dipersilahkan, maka
Supriyanto mempersilakan diri sendiri. Kepalanya terantuk
ketika ia melangkah masuk. Rupanya bendul pintu lebih
rendah dari ukuran yang lazim. Sesaat, Supriyanto nanar,
kepalanya agak pening oleh benturan itu. Untuk menutupi
kebodohannya ia kemudian menutup pintu dari dalam.16
Ketika ia berbalik, ia segera berhadapan dengan sebuah
ruangan yang sangat mesum. Ruangan tunggal. Tanpa kamar
tidur karena di pojok ada sebuah dipan dengan kasur tanpa
seprei. Tanpa dapur karena di pojok lainnya ada sebuah
kompor yang tempat minyaknya mungkin bocor, lantai di
bawah kompor itu hitam dikotori minyak.
Kursi plastik yang diduduki perempuan itu jelas
sudah tidak utuh jalinan tali temalinya. Masih ada sebuah
kursi lagi. Tetapi keadaannya demikian meragukan sehingga
Supriyanto enggan mendudukinya. Ada meja kecil, sayang
kakinya tinggal tiga. Kaki satunya lagi pasti pernah patah dan
belum pernah diganti. Meja itu juga tak mungkin diduduki.
Apakah ia harus duduk di dipan? Namun setelah melihat
warna kasurnya yang sudah tidak karuan, Supriyanto
memutuskan untuk tetap berdiri saja.
"... mengapa kau kemari?" bisik perempuan itu.
Parau.
"Aku mengemban amanat," jawab Supriyanto.
"Bambang?"
"Ya."
Memercik sinar aneh di mata perempuan itu.
Sekejap cuma. Sinar itu lantas pudar, sebelum Supriyanto
sempat menangkap maknanya.
"Maafkan sambutanku ini..." ujar si perempuan
lemah. Lemah pula ia bangkit dari duduknya tanpa sempat
dicegah Supriyanto. Terbungkuk-bungkuk ia berjalan ke arah
dipan. Sambil lalu ia sambar sebuah kutang tua yang
tergelimpang di lantai. Kutang itu ia lemparkan seenaknya ke
ujung dipan. Menggelepar sebentar di sana, kemudian jatuh17
menggelinding ke tempat kosong di ujung sana dipan.
Supriyanto kemudian menangkap bayangan setumpuk
pakaian lain yang berserakan di bawah dipan itu, bersama
botol-botol kosong serta berbagai macam rombengan
campur aduk.
"Ibu suka minum bir?" Supriyanto menemukan
percakapan untuk membuang suasana kaku yang
menggantung di antara mereka. "Biar kubelikan untukmu,"
tambahnya, sambil menyesali diri mengapa tidak teringat
membawa oleh-oleh.
"Terima kasih. Aku hanya minum kalau seorang
tamu minta agar aku..." wajah si perempuan memerah
padam seketika. "Ayo, kau duduklah. Jangan berdiri di situ.
Menambah sumpek kamarku saja... Punya rokok?"
Supriyanto memberinya sebatang, sekalian
menyulutnya dengan korek api. Dari tempatnya duduk, ia
kemudian melihat bagaimana si perempuan menikmati
isapan rokok di mulutnya yang kering kerontang. Sekilas,
Supriyanto membayangkan bagaimana kalau yang diisap
perempuan itu bukan sebatang rokok, melainkan...
"Jangan memandangku seperti itu!" rungut si
perempuan menyentak.
Supriyanto terperanjat. "Maaf," desahnya.
"Mereka tentunya sudah bercerita banyak mengenai
aku, ya?"
"Ah..."
"Semua itu benar. Apakah kau merasa jijik?"
"Aku..."18
"Kau jijik. Bahkan ketika kau menyulut rokokku, aku
tahu kau menahan nafas. Aku memang bau sekarang.
Bahkan busuk. Busuk sampai di dalam-dalamnya. Tetapi aku
harus hidup. Aku takut menghadapi kematian. Kecuali
beberapa hari terakhir ini. Betapa inginnya aku dijemput
malaikat maut, betapapun kejam caranya nyawaku
direnggut..."
"Mengapa kau ingin mati?" tanya Supriyanto hanya
sekedar berkata saja. Ia belum tahu bagaimana ia harus
memulai dan bagaimana ia harus mengutarakan maksudnya
datang. Kalaupun akhirnya maksudnya kesampaian, astaga!
Pantaskah perempuan ini masuk ke tengah lingkungan
keluarga mereka?
"Kau tanya mengapa aku ingin mati?" suara
perempuan itu berubah kering, mendengking. Tahu-tahu
saja ia memukuli dadanya. Dada yang sama keringnya.
Rokoknya dibanting ke lantai. Diinjak-injak sampai hancur.
"Hatiku terbelah!" katanya tersengal-sengal. Matanya pun
berubah liar. "Beberapa hari ini aku bermimpi buruk. Kulihat
tangan-tangan jahat menyayat dan merampas sebelah
hatiku. Dan aku tahu apa maksudnya!"
"Apa?"
"Bahwa kekasihku telah mati!" bisik si perempuan.
Matanya semakin liar. Ia kini seakan berbicara pada dirinya
sendiri. "Kekasihku mati. Tanpa memberitahu aku lebih dulu.
Anjing, babi, dedemit haram jadah! Coba kalau aku tahu
bahwa ia tak akan pernah lagi datang menemuiku..."
Supriyanto sebelumnya telah berbicara dengan
ayahnya. Ia kemudian mengetahui lebih banyak lagi dari19
ibunya. Dan ia lalu tahu, siapa yang dimaksud kekasih oleh
perempuan itu. Pengertian itu membuat mata Supriyanto
berlinang. Pundaknya tergetar, ketika ia bergumam getir:
"Ia memang ? tak akan datang lagi. Tak akan pernah
menemuimu kembali."
"Jadi dia..."
"Firasatmu tak salah. Papa sudah mati."
Beberapa detik lamanya, perempuan itu terdiam.
Kemudian, seolah ada tenaga gaib menjelma dalam dirinya ?
ia menerjang meja, melemparkan kursi, membantingbantingkan kaki ke lantai, melolong panjang seraya kukunya
mencakari daun pintu sampai papan pintu itu menggelepar
lalu berderak retak. Sumpah serapah serta segala macam
ungkapan kotor lepas dari mulutnya. Sampai ia akhirnya
kehabisan nafas dan jatuh terjerambab di lantai.
Ketika Supriyanto tersadar dari kejutan mendadak
yang menguasai dirinya, ia segera berlari mendapatkan
perempuan itu.
"Marni ? Marni, bu Marni!" ia memanggil-manggil.
Perempuan itu tetap diam. Rupanya tidak sadarkan
diri lagi.
***20
BAB DUA ? JURANG PEMISAH
Tiga Pertama kali melihat orang pingsan, Supriyanto
panik setengah mati. Konon pula yang pingsan itu ibunya
sendiri. Hari itu, dua jam pelajaran terakhir di sekolah
dibatalkan karena guru matematika sedang mengikuti
penataran P4. Teman-teman Supriyanto pada ribut pergi ke
Parung diajak salah seorang murid yang berulang tahun.
Orang tua yang merayakan ulang tahun itu punya kebun
durian di Parung yang kebetulan sedang panen.
Titik air liur Supriyanto membayangkan betapa
asyiknya ramai-ramai makan durian, ?jatuhan? pula lagi.
Tetapi ia tak mungkin ikut mereka. "Mamaku sakit," katanya.
Ia agak terhibur setelah kawan-kawannya berjanji.
"Jangan kuatir. Akan kami sisakan untuk kau dan ibumu."
Lezatnya durian itu segera dilupakan Supriyanto
setiba di rumah. Ibunya ia temukan merayap di lantai kamar,
mencoba naik ke tempat tidur. Wajah ibunya memuith
seperti kapas. Suaranya hampir-hampir tak terdengar:
"Perutku, nak. Ampun, sakitnya...!" Biji mata ibunya
kemudian terbalik-balik, sebelum mengatup ratap.
Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian diam tak bergerakgerak.
"Mama mati. Mama mati. Mama..." Supriyanto
melemparkan tas sekolahnya, mengguncang-guncang tubuh
ibunya sambil meratap berkepanjangan. Lolongannya21
menggemparkan para tetangga. Mereka datang berlari-lari.
Berusaha menarik-narik Supriyanto yang terus saja
memeluki ibunya seraya menangis histeris. Ia meronta ingin
melepaskan diri. Tetapi mereka terus memeganginya,
membujuknya dengan kata-kata manis menghibur,
sementara yang lain berusaha menyadarkan ibunya.
"Ia cuma pingsan, nak," kata mereka.
Salah seorang tetangga pergi mengambil mobil dari
rumahnya. Ibu Supriyanto seketika itu juga diangkut ke
rumah sakit. Dalam perjalanan, ibunya sempat menggeliat,
membuka mata dengan susah payah, lalu mengeluh:
"Anakku, mana dia?"
Mengetahui ibunya sadar, Supriyanto tidak lagi
menangis. Ia tertawa tanpa malu-malu.
Di rumah sakit, dokter yang memeriksa ibunya
memanggil Supriyanto.
"Nak. Ibumu terpaksa diopname. Mungkin harus
dibedah," dokter itu memberitahu. "Tetapi sebelumnya,
kami harus memperoleh persetujuan keluarga. Dapat kau
hubungi ayahmu sekarang juga, nak?"
Hubungan telepon ke kantor ayahnya sedang sibuk.
Lalu ia putuskan pergi naik taksi saja. Ternyata ayahnya tidak
ada di kantor. Sekretarisnya bilang: "Tadi pergi entah
kemana. Tapi katanya akan kembali." Pegawai yang lain juga
tidak tahu kemana perginya ayah Supriyanto. Ketika turun
lagi ke bawah, kebetulan ia lihat mobil ayahnya memasuki
halaman parkir. Sialnya, yang dicari tak ada di dalam mobil.
Supir bilang satu jam sebelumnya pergi mengantar
majikannya ke Ciputat. "Bapak menyuruhku mengantar22
beberapa pucuk surat. Selesai itu, aku diperintahkan kembali
ke sini..."
"Ia akan lama di sana?"
"Katanya, mungkin sore baru pulang," jawab supir.
Supriyanto tak sabar menunggu selama itu. Supir itu
tampak enggan ketika diharuskan kembali ke Ciputat.
"Macet sekali di jalan," katanya berdalih. Namun setelah ia
dengar penjelasan bahwa isteri majikannya diangkut ke
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah sakit, supir itu lantas tancap gas. Untuk menghindari
kemacetan, supir itu menjauhi jalan-jalan protokol dan
memilih jalan-jalan samping yang lebih sepi. Memang makan
waktu, tetapi lebih cepat tiba di tujuan.
Menjelang pukul dua siang mobil dibelokkan
memasuki halaman sebuah rumah mungil tapi artistik
dengan arsitektur gaya Spanyol. Tampaknya daerah
perumahan yang baru dibuka; suasananya tenang, damai,
jauh dari kebisingan kota. Pintu dibuka oleh seorang
perempuan tengah baya yang menyambut Supriyanto
dengan tatap mata curiga.
Karena pikirannya lagi kacau, Supriyanto lupa
berbasa-basi. Ia langsung saja menyerbu: "Aku mau ketemu
papa."
"Siapa?"
"Papa."
"Kau salah alamat..." dengus perempuan itu sambil
akan menutupkan pintu kembali. Tentu saja Supriyanto tidak
menerima perlakuan meremehkan itu. Ia menahan daun
pintu yang hampir tertutup. Memaksa masuk. Untunglah
Markus, supir ayahnya buru-buru datang menengahi.23
"Maaf, bu," ujar Markus sopan. "Dia ini anak majikan
saya. Orang yang tadi saya antarkan ke rumah ini. Bolehkah
kami bertemu dia sebentar?"
Perempuan itu ragu-ragu sebentar. Lalu: "Barusan
pergi," katanya. "Dengan nyonya."
"Nyonya siapa?" tanya Markus, sementara
Supriyanto agak tersentak mendengar sebutan nyonya itu.
"Majikan saya."
"Ibu tahu mereka pergi kemana?" tanya Markus lagi.
Si perempuan kembali tampak bimbang. Ia
mengawasi kedua orang tamunya silih berganti.
"Istri majikan saya mendadak masuk rumah sakit!"
Markus menerangkan dengan jengkel.
Barulah perempuan itu memberitahu: "Kalau tidak
salah dengar, majikan saya bilang mereka pergi ke Tigapi."
"Tigapi?" Markus kebingungan. "Dimana itu?"
"Di... hm, sebentar ya?" perempuan itu bergumam
seraya menghilang ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul
lagi dengan sebuah buku nota telepon. Ia menunjuk salah
satu halaman, dan Markus membacanya.
"Tiga V ? Vini, Vidi, Vici. Ah, syukur ada nomor
teleponnya... Boleh pinjam telepon sebentar, bu?"
Supriyanto yang dari tadi diam saja, pelan-pelan
buka suara: "Aku tahu tempatnya," lalu ia menyeret Markus
masuk kembali ke dalam mobil.
"Dapat tahu ari mana?" tanya Markus setelah
mereka tancap gas lagi.
Supriyanto dengan senang hati menceritakan salah
satu pengalaman paling menarik dalam hidupnya. Suatu hari24
salah seorang teman gadisnya mengajak Supriyanto minum
di sebuah bar. "Tempatnya bukan main. Eksklusif, mirip
suasana di nite club. Tahu apa yang diminta gadis itu begitu
kami duduk di pojok bertirai?"
"Minta apa dia?"
"Minta cium!"
Markus sempat tercengang, kemudian tertawa
bergelak. "Dan kau masih anak SMP. Kau penuhi
permintaannya?"
"Jelas dong!"
"Lantas?"
"Nggak usah ya. Nanti kau ceritain papa. Bisa
dipotong uang mingguanku. Lagi pula, yang mau kuceritakan
bukan soal pacarku. Tetapi peristiwa lain."
Ceritanya, di balik tirai yang ditempati Supriyanto
dan pacarnya, duduk bercengkrama sepasang sejoli lain.
Mereka kelihatan begitu asyik sambil sesekali ngomong
porno. Di tempat berlawanan, tiga orang lelaki perlente
sedang bersantap siang sambil berbisik-bisik. Supriyanto
tidak tahu apa yang mereka bisikkan. Tetapi karena salah
seorang lelaki perlente itu sesekali melirik ke pacar
Supriyanto yang memang berpakaian serba ketat menyolok,
Supriyanto menduga tingkah lakunya bersama pacarnyalah
yang mereka pergunjingkan. Hal itu membuat Supriyanto
tidak senang.
Ia baru saja mau bangkit karena marah, ketika dua
dari lelaki itu kemudian pergi. Yang tadi meliriki pacar
Supriyanto tetap tinggal. Ia kelihatan sibuk membenahi isi
tasnya, sebuah tas besar yang tak pernah lepas dari25
pangkuannya. Pada saat itulah, kegiatan dua sejoli di sebelah
tirai tadi berhenti mendadak. Yang lelaki bangkit bergegas
meninggalkan pasangannya. Sambil bersiul-siul orang itu
berjalan ke arah kamar kecil. Namun begitu lewat di dekat si
perlente bertas besar, orang itu lantas mengeluarkan
sesuatu dari balik jaketnya seraya membentak tajam.
"Polisi. Jangan bergerak!"
Si perlente terperanjat dan mencoba bangkit,
mungkin untuk melawan atau lari. Gerakannya terhenti
manakala laras sepucuk pestol menempel di jidatnya. Si
perlente yang menyakitkan hati Supriyanto itu terduduk
pucat, lemas. Dalam sekejap tangannya telah diborgol, dan
tasnya dirampas. Teman perempuan polisi itu sudah pula
mendatangi dan segera memeriksa isi tas. Supriyanto tidak
tahu apa isi tas itu. Ia hanya melihat perempuan itu
menganggukkan kepala. Sementara temannya menjaga
tawanan mereka, si polisi wanita mengeluarkan walkie-talkie
dan berbicara melalui pesawat itu. Tak lama kemudian
muncullah dua buah mobil di halaman bar, dari mana
berhamburan sejumlah polisi berseragam.
"... aku begitu terkesan dengan permainan polisi
itu," gumam Supriyanto geleng-geleng kepala. "Bukan
main!"
"Itu sebanya kau pernah bilang, bercita-cita jadi
polisi,"cetus Markus. Supriyanto manggut-manggut. "Dan
bar pencetus cita-citamu itu, adalah Vini Vidi Vici..."
"Persis!"
"Sebuah tempat seronok untuk menemui kencan
rahasia, eh?" desak Markus pula, seakan sambil lalu.26
Supriyanto akan menyahut. Tapi mulutnya segera
terkatup. Ia teringat ayahnya ada di bar itu sekarang. Dengan
seorang ?nyonya.? Nyonya siapa? Mungkinkah nyonya
ayahnya sendiri?
Mendadak, dada Supriyanto penuh sesak...
*** Empat
Apa mau dikata, ledakan kemarahan Supriyanto
mendadak terbang ke awang-awang. Setelah masuk ke bar
3-V dengan petentang petenteng membuat para pelayan
berlaku waspada, bertemulah apa yang dicari. Mula-mula
yang tampak hanya punggung namun ia dapat mengenali
suara ayahnya, tengah mengatakan sesuatu. Lalu ia melihat
perempuan itu.
Merasa ada orang memperhatikan dari balik tirai
manik-manik, si perempuan mengangkat muka.
Supriyanto langsung terpana.
"Amboi, cantiknya!" ia membatin. Kagum.
Herannya, perempuan itu tidak marah karena
diintip. Ia mengawasi Supriyanto dengan wajah tak berubah.
Tetap ceria, cemerlang sinar matanya, renyah senyum
bibirnya sewaktu mendengar ucapan mesra ayah Supriyanto;
ia tetap bersikap sama sewaktu menegur si tukang intip.27
"... mencari siapa, dik?"
Suaranya, wah!
Supriyanto sampai melupakan ibunya yang dalam
keadaan kritis. Ia hanya ternganga-nganga bengong. Tak
tahu akan berkata apa. Saat itulah ayahnya berpaling, dan
tampak sangat terkejut.
"Eh, Yanto ? apa..."
Barulah Supriyanto sadar diri. Ia menelan ludah.
Ditambah satu tarikan nafas panjang. Rugi rasanya ketika ia
diharuskan berpura-pura tidak melihat si perempuan.
Terbata-bata ia berkata: "Mama... sakti, papa."
"Apa?" ayahnya terlonjak bangkit.
"Mama di rumah sakit."
"Tuhanku!" ayahnya tersentak pucat. "Sakit apa?
Kapan? Di rumah sakit mana? Mengapa aku tak segera
diberitahu? Bagaimana keadaannya? Apakah dia ? ," dan
sekeranjang lagi ucapan panik terlontar dari mulut ayahnya
sementara menarik lengan Supriyanto pergi meninggalkan
bar dan masuk ke mobil yang masih menunggu di luar.
Setelah Markus melarikan kendaraan itu, barulah ayahnya
menyadari (atau pura-pura lupa, pikir Supriyanto) bahwa ia
telah melupakan sesuatu.
Ia menyuruh Markus menghentikan mobil
mengambil alih setir, menyuruh Markus keluar dari mobil
sambil memerintah: "Kembalilah ke bar tadi. Katakan pada
Marni aku minta maaf dan isteriku..." Ia membantingkan
tangan ke setir, menyuruh Markus masuk kembali sambil
bersungut-sungut: "Biarlah nanti aku sendiri yang
mengatakan."28
Kemudian, mereka ngebut ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit, ayahnya langsung menyerbu ke
kamar tempat ibunya dirawat. Setelah itu konsultasi dengan
dokter. Supriyanto tak berani masuk. Ia duduk diam-diam di
luar. Kalau ia masuk, ia pasti akan berdusta pada ibunya. Kali
ini, ia tak akan tega. Supriyanto sering membohongi ibunya
mengenai harga buku yang ia beli, atau mengenai PR
kelompok yang katanya harus dikerjakan di rumah teman,
tetapi sebagian waktu itu ia manfaatkan mengajak pacarnya
pergi ke bioskop.
Makin sering Supriyanto berdusta, makin wajar pula
sikapnya. Polos, seakan tak berdosa. Namun tiap kali ia
memulai dusta yang baru, ibunya pasti tahu. Nah, kalau ia
masuk ke kamar tempat ibunya dirawat, pasti muncul
pertanyaan-pertanyaan.
"... di kantor?" ia bayangkan ibunya bertanya penuh
selidik. "Nak, matamu mengatakan kau bertemu papa bukan
di kantor."
"Memang bukan," ia terpaksa harus mengaku. "Papa
kutemui makan siang di restoran."
"Sendirian?"
"Ya."
"Itu bukan kebiasaan papa," ibunya akan menuduh.
"Yah ? ada temannya juga."
"Teman? Siapa?"
Runyam, kalau ditanya sejauh itu. Bisa habis dia!
Di luar kamar perawatan, Supriyanto gelisah alang
kepalang. Ia duduk, berdiri, duduk lagi, berjalan, dan ingin29
merokok tetapi takut dilihat ayahnya. Ia ingat masih punya
sebatang di saku celananya. Maka diam-diam ia menyelinap
cukup jauh dan setelah menemukan tempat sepi serta tidak
ada plakat tanda larangan merokok, isi sakunya dikeluarkan.
Seketika itu juga ia memaki: "Kunyuk sialan!"
Ternyata rokok sebatang itu sudah patah tiga. Uang
bekal telah pula habis dipakai tadi untuk bayar ongkos taksi.
Supriyanto pening bukan main, dan kembali lagi ke tempat
semula. Pas muncul Suprihatin, kakaknya yang telah
dijemput Markus dari konservatori. Suprihatin masih
mengenakan pakaian tari, sehingga meskipun ia menangis,
penampilannya tampak lucu. Namun Supriyanto tidak bisa
tertawa. Malah air matanya ikut keluar waktu mereka
berpelukan.
"Mana mama, Yanto?"
"Di dalam sana. Ranjangnya dekat jendela," ia
menjawab, seraya mengingatkan: "Berhentilah menangis.
Mama belum mati kok..."
Setelah Suprihatin masuk ke dalam, Supriyanto
melihat ayahnya keluar dari ruangan dokter. Wajah ayahnya
tampak murung. Ia gugup ketika melihat Supriyanto. Lantas
mendatangi.
"... bagaimana pa?" tanya Supriyanto, sama
gugupnya.
"Sore dan malam ini ibumu harus puasa. Operasinya
besok... kakakmu sudah datang?"
"Sudah. Ia di dalam dengan mama."
"Kalau begitu, kau pulanglah."30
"Aku tetap di sini, pa."
Ayahnya mencoba tersenyum, seraya menepuknepuk pipi Supriyanto. Lembut. Katanya: "Sementara ini, tak
ada sesuatu yang dapat kita perbuat untuk ibumu, nak."
"Aku akan mendampinginya. Menghiburnya, pa."
"Itu tugasku. Kakakmu pun bersama kami. Jadi kau
pulanglah. Ingat, minggu depan kau harus mengikuti EBTA."
"Tapi pa..."
"Jangan membantah. Pulanglah. Markus akan
kusuruh menemanimu di rumah. Kalaupun kau kesepian, kau
boleh memanggil beberapa temanmu untuk nginap..."
"Boleh aku pamit dulu pada mama?" akhirnya
Supriyanto mengalah.
Ayahnya tersenyum. "Siapa melarangmu?"
Sambil masuk kamar perawatan, Supriyanto
berpikir. Kalimat terakhir ayahnya itu sangat
membingungkan. Apakah ayahnya benar-benar rela, atau
terpaksa?
Ibunya berbaring di ranjang. Lemah dan pucat.
Tetapi sinar kehidupan sudah kembali di matanya. Ia
tersenyum pada anaknya, berusaha tampak gembira ketika
mengatakan, "Aku baik-baik saja, Yanto," senang kedua
pipinya dikecup, sambil menambahkan, "Sebaiknya kau
pulang saja, anakku."
"Kau ambilkan pulalah baju ganti untukku,"
Suprihatin menimpali. "Suruh Markus mengantarkannya
kemari."31
"Mama tak ingin apa-apa?" tanya Supriyanto sedih
karena harus berpisah dengan ibunya, walau sementara.
"Kirimi aku doa, nak."
Sambil bermobil ke rumah, Supriyanto tak hentihentinya memanjatkan doa pada Tuhan demi keselamatan
dan kesehatan ibunya. Di antara doanya, ia sempat
menyelipkan rintihan hati. "Katakan ya Tuhan, apakah papa
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih milik kami?"
Karena mereka secara kebetulan melewati toko
bunga, Supriyanto menyuruh Markus berhenti. Ia kemudian
memesan satu buket anggrek jingga, mencatatkan nama dan
alamat tempat ibunya dirawat. Di kartu pengantar ia tulis:
BUNGA KASIH SAYANG UNTUK MAMA SEORANG. Pada
pemilik toko ia wanti-wanti: "Antarkan sekarang juga ya?"
Baru ketika akan membayar, ia lupa tak punya uang.
Mulanya ia akan meninggalkan arloji sebagai jaminan. Tetapi
pemilik toko dengan ramah menolak.
"Boleh bayar besok saja," katanya.
Supriyanto sangat berterima kasih. Dan
mengingatkan Markus agar besok jangan lupa
memberitahukan kalau ia punya hutang di toko bunga itu.
Pulang ke rumah, ia segera memilih baju yang kira-kira cukup
dan cocok dipakai Suprihatin bermalam di rumah sakit.
Sebelum Markus pergi mengantarkannya, Supriyanto
mengajak supir mereka itu duduk minum sebentar.
Agak lama Supriyanto menimbang-nimbang apakah
yang ada dalam benaknya patut disampaikan pada orang
lain; apakah Markus harus ikut dilibatkan. Tetapi kemudian32
ia berpikir, persoalan itu terlalu berat untuk ia hadapi
sendirian. Mana ia harus bersiap-siap menghadapi ujian
akhir. Wali kelas sudah mengingatkan bahwa Supriyanto
serta teman-temannya, bahwa mereka harus berprestasi
tinggi kalau ingin melanjutkan studi ke SMA. Yang anggap
enteng, atau anggap uang di atas segala-galanya,
kemungkinan besar terpaksa drop out.
"Ingat nyonya itu, bang Markus?"
"Nyonya yang mana?" Markus pura-pura bodoh.
"Jangan berlagak pilon ah!"
"Habis?"
"Yang di Ciputat," rungut Supriyanto, dongkol.
"Agaknya kau ingin melindungi papa, ya?"
"Melindungnya? Aku? Seorang supir?"
Supriyanto mulai kesal. "Mau bantu aku tidak?"
"Dengan senang hati, Yanto," cepat Markus
menjawab, sambil memandangi minuman di tangannya,
untuk menutupi kenyataan bahwa ia sesungguhnya tidak
menyenangi tugas yang dibebankan oleh anak majikannya.
Tugas itu belum disebut-sebut, namun ia sudah dapat
menyelami maksudnya.
"Aku akan mengusulkan agar mama menaikkan gaji
abang mulai bulan depan," Supriyanto membujuk.
"Yang membayar gajiku, ayahmu," Markus
mengingatkan.
"Eh, mau naik gaji tidak?"
"Yah ? siapa pula yang tidak mau?" Markus mencoba
tertawa. Riang. Dibuat-buat. Sambil terus juga memandangi33
isi gelasnya, seolah menunggu sesuatu bakal muncul dari
dalam minuman itu untuk diajaknya berkelahi.
"Bagus!" ucap Supriyanto senang. Dengan suara
sedikit dibuat keren, ia melanjutkan: "Cari tahu siapa
perempuan itu!"
"Kok aku."
"Itu tugasmu."
"Lho. Yang mau jadi polisi ?kan kau, Yanto."
"Hem. Betul juga," Supriyanto berpikir-pikir. Lalu:
"Begini saja. Anggap aku ini Kapten. Dan kau, Sersannya."
"Letnan, kalau boleh nawar!" Markus tersenyum
dikulum.
"Eh. Belum apa-apa sudah minta naik pangkat,"
Supriyanto tertawa. Mendadak ia dirasuki perasaan senang.
Apa pun yang telah terjadi sepanjang hari itu, pikiran untuk
menyelidiki siapa gendak ayahnya benar-benar membuat
Supriyanto keranjingan. Ia dirangsang melakukan sesuatu.
Sambil berharap siapa tahu, pekerjaan itu sebagai tantangan
dalam mencapai cita-citanya kelak di kemudian hari: polisi,
yang menyamar sebagai gelandangan dan akhirnya berhasil
membongkar jaringan sindikat narkotik yang
membahayakan negeri ini.
"Dapat menemukannya untukku?" tanya
Supriyanto, sambil melamunkan ia duduk di belakang meja,
sementara sekian orang anak buahnya siap di depan
mejanya, menunggu perintah.
"Menemukan apa?" Markus melongo.
"Perempuan itu."
"Oh."34
"Dapat nggak?!"
"Yah. Karena aku ini pembantu kepercayaan polisi
tauladan, tentu saja aku dapatkan dia untukmu," berkata
begitu, Markus nyengir kuda. Jelas ia mencemooh, tetapi
anak majikannya yang sedang dirasuk lamunan selangit,
tidak memperhatikan. Ingin berpuas diri, Markus malah
menambahkan: "Kemana nanti ia harus kubawa? Ke hotel?
Atau langsung ke kamarmu?"
"Jadah!" Supriyanto memaki. "Aku tak main-main,
bang!"
Markus menenggak habis minumannya. Lalu
tersedak. "Maaf," katanya, tersendat.
"Nah. Pergilah."
Ketika Markus beranjak ke pintu membawa tas
pakaian Suprihatin, sang anak majikan bertanya: "Perlu
uang?"
"Alaa. Bunga saja dihutang," ledek Markus sambil
berlalu cepat-cepat kuatir yang diledek, naik pitam.
Setelah ia sendirian, Supriyanto duduk tercenung.
Tiba-tiba ia dihinggapi perasaan bersalah. Apa haknya
memata-matai ayahnya? Dan taruhlah perempuan cantik itu
benar gendak ayahnya. Apakah ia harus melapor pada
ibunya? Kemudian, ibu akan meminta tanggung jawab ayah.
Apakah ayahnya bersedia melepaskan perempuan itu?
Misalnya bersedia. Beres untuk ibunya. Tetapi hubungan
Supriyanto dengan ayahnya akan retak.
Andaikata tak bersedia? Gawat: keluarga mereka
akan pecah berantakan. Ibu dan ayahnya bertengkar, lalu35
bercerai. Supriyanto dan Suprihatin kemudian punya ayah
tiri, punya ibu tiri. Lebih gawat lagi: ibunya putus asa, lantas
bunuh diri!
Malam itu, Supriyanto bagai orang kesurupan.
Biasanya, paling ia menghabiskan dua batang rokok sehari.
Malam itu, ia menghabiskan sebelas batang, dan paginya ia
batuk dan muntah-muntah...
*** Lima Hari berikutnya Supriyanto muncul di rumah sakit
sekitar pukul sepuluh pagi. Seketika itu juga ia kalang kabut.
Ibunya tidak ada di kamar yang kemarin. Suprihatin tak
tampak batang hidungnya. Begitu pula ayah mereka. Gugup,
ia mendatangi suster jaga yang kemudian memberitahu
bahwa ibu Supriyanto sudah masuk kamar operasi setengah
jam sebelumnya.
"Tahu tempatnya, dik?" suster itu bertanya.
Supriyanto menggeleng. "Mari saya antarkan," ajak suster.
Di depan kamar operasi, Supriyanto tidak saja
melihat kakak serta ayahnya. Ia juga melihat kehadiran tiga
orang lain yang segera ia kenali sebagai paman serta Oomnya dari pihak ayah. Mereka lantas bergegas menyongsong
Supriyanto, menyalaminya, memeluknya, bahkan
menangisinya sehingga Supriyanto semakin kalang kabut.36
"Mama," ia mengerang ketakutan.
"Ibumu akan segera baik kembali, nak. Sabar dan
tenangkan hatimu," bujuk pamannya. "Kau baru dari sekolah
ya? Kok cepat pulangnya...?"
"Tak ada pelajaran, paman. Dan besok kami libur.
Mana mama? Aku ingin bertemu dengannya."
"Nantilah. Kau sudah makan? Ayo, kutemani ke
kantin. Kau boleh pilih, mau makan apa..."
"Aku tak lapar. Aku mau mama," air mata Supriyanto
berlinang.
Pamannya menyerah. Ia sendiri sudah tidak dapat
menahan air mata. Akhirnya ia biarkan anak itu berlari
mendapatkan kakaknya, dengan siapa Supriyanto saling
rangkulan, sesenggukan. Suprihatin menarik adiknya duduk
di sebuah bangku panjang. Tak jauh dari situ duduk ayah
mereka dengan bahu turun dan kepala menekur sampai
dagunya mencapai dada. Ayahnya bagaikan patung, diam tak
bergerak-gerak, matanya pun hampir tak berkedip.
"Papa mengapa?" bisik Supriyanto, terbata-bata.
Suprihatin menyeka air matanya. Menjawab
terputus-putus: "Rupanya papa ? mengalami pukulan batin
? sangat berat. Sepanjang malam ia tak tidur barang sekejap.
Tak mau diajak ngobrol. Aku kuatir... papa jatuh sakit pula,
Yanto."
Supriyanto terkejut mendengarnya. Pasti ada apaapa. "Mama?" ia mengisak.37
Suprihatin gemetar. Katanya, serak: "Sebelah ginjal
mama terpaksa diangkat..."
"Diangkat?"
Sadar adiknya belum cukup dewasa untuk mengerti,
Suprihatin menjelaskan: "Diangkat oleh dokter. Lalu
dibuang!"
"Segawat itu?" Supriyanto bergidik. Seram.
"Yanto. Rupanya selama ini kau kurang
memperhatikan. Mama suka mengeluh bahwa ia sakit
pinggang."
"Tetapi kemarin, ia bilang... ia sakit perut."
"Untunglah mama mengalami sakit perut. Rupanya
ia menderita radang ulu hati. Masih bisa disembuhkan.
Waktu dironsen, baru ketahuan kalau ginjal mama sudah
busuk sebelah. Andai tak cepat diketahui, ginjal lainnya pasti
terkena pula..."
"Mama ? tak apa-apa kan?"
"Mudah-mudahan."
"Ia akan tetap hidup ya? Ia akan segera pulang ke
rumah? Berkumpul dengan kita lagi?"
"Mari kita do?akan, Yanto."
Dan Supriyanto berdo?a tak putus-putusnya, dengan
perasaan takut yang aneh menghantui pikirannya. Entah
mengapa ia dapat merasakan bahwa ia bukan takut
mengenai ibunya. Ia percaya Ibunya tetap hidup, ibunya
akan sehat kembali. Apa yang ia takutkan, adalah sesuatu
yang lain. Sesuatu, yang dapat ia rasakan, namun tak dapat
ia ketahui maknanya. Entah mengapa pula, secara naluriah ia38
berpaling melihat ayahnya. Pas saat itu, sang ayah
memandangnya pula.
Sinar mata ayahnya, tampak gelap.
*** Manakala ibunya sadar di kamar perawatan, ucapan
pertama yang keluar dari bibir kebiru-biruan itu adalah:
"Mana Yanto?"
Supriyanto menggenggam tangan ibunya. "Ini aku,
mama."
Ibunya tersenyum getir. "Oh. Syukur kepada Tuhan.
Sebelum dibius tadi pagi, aku tak melihatmu anakku."
"Aku sekolah, mama."
"Bagus. Bagaimana pelajaranmu hari ini?"
"Nggak ada yang penting, mama. Hanya pengarahan
dari guru mengenai tata tertib EBTA mendatang. Besok, kami
mulai libur. Dan minggu depan..."
"Aku percaya, sepanjang malam tadi kau
menghapal..."
"... eh, ya. Aku menghapal sampai larut malam."
"Mmmm," ibunya tersenyum. "Matamu merah. Kau
tak tidur tadi malam. Kau juga tidak menghapal pelajaranmu.
Tak apa. Karena aku mengerti, sepanjang malam kau
memikirkan mama. Eh ? coba ke sinikan tanganmu..." ibunya
menarik tangan Supriyanto lebih dekat ke wajahnya.
Hidungnya membaui sesuatu. "Kau tak mandi tadi pagi ya?"
"Lupa, mama," jawab Supriyanto. Malu-malu.
"Bukan lupa. Malas."39
"Ya, mama. Malas."
"Sini, mendekat. Ada yang akan mama bisikkan..."
dan setelah Supriyanto mendekatkan telinga ke bibir ibunya,
ia jadi bermerah muka. Karena ibunya berbisik: "Cepat kau
cuci tanganmu. Jangan sampai papa tahu kau habis
merokok!"
Supriyanto sempat melirikkan ekor mata ke arah
ayahnya, dan berdenyut seketika jantungnya. Untuk tibatiba terdengar rengekan manja kakaknya: "Aku juga ada di
sini, mama."
Senyum ibu merekah melebat. Sesaat berikutnya,
mengernyitkan dahi menahan sakit. Lalu susah payah
mencoba lagi tersenyum. Ujarnya: "Kau ini memang selalu
sirik pada adikmu, Tien."
"Aku ingin cium mama. Boleh kan?" dan tanpa
menunggu persetujuan, Suprihatin lantas sudah
membungkuk dan menciumi ibunya. Meledaklah tangis di
kamar perawatan itu.
Supriyanto menyingkir diam-diam. Lamat-lamat ia
dengar ucapan selamat dan semoga sembuh yang ditujukan
pada ibunya. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu siapa-siapa
saja yang mengucapkannya. Yang ia tahu, ia ingin pergi ke
kamar kecil dan mencuci bersih tangannya. Sekali cuci, masih
tercium bau rokok. Dua kali, masih juga.
Ia mencucinya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Agar lebih
yakin tak ada lagi sisa bau rokok di tangannya, Supriyanto
mencari-cari kalau ada sesuatu yang dapat membantu di
kamar kecil rumah sakit itu. Potongan sabun, pasta gigi, apa
saja. Sayang, ia tak menemukan apa yang ia butuhkan.40
Tapi ia tak habis akal. Ia buka celana. Kemudian,
tangannya dikencingi...
*** Enam Awal bulan berikutnya, Supriyanto berjingkat
memasuki dapur. Ibunya tengah asyik bekerja,
mempersiapkan makan siang. Tanpa bersuara Supriyanto
terus mendekat dari belakang, lantas sekonyong-konyong ia
raba pundak ibunya.
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan itu tentu saja kaget alang kepalang.
"Dedemit! Hantu...!" jeritnya, sambil menjatuhkan katel dari
tangannya. Katel itu menggelinding dari meja dapur ke
lantai, terbuntang-banting menimbulkan suara hingarbingar.
Ibunya lantas membalikkan tubuh yang gemetar. Tampak
wajahnya pucat lesi.
Suprihatin yang tengah menyetrika di ruangan lain,
berlari-larian masuk ke dapur. Sama kaget dan pucatnya.
"Ada apa?" ia berteriak.
Supriyanto jadi kaku seketika. "Maaf, mama. Aku tak
bermaksud mengejutkanmu," katanya, menyesal.
"Kau telah mengejutkannya!" jerit Suprihatin seraya
berkacak pinggang. "Kau mamu mama sakit lagi ya?" Lalu41
tiba-tiba Suprihati teringat sesuatu. Ia mendeliki adiknya,
berkata pedas: "Kau tak pergi ke sekolah ya? Tak pergi ya?"
"Aku baru pulang, kak."
"Pulang dari mana, he? Main, ya? Main?!"
"Ya ? dari sekolah, dong," rungut Supriyanto, keki.
"Lantas?" suara Suprihatin merendah. Tatapan
matanya pun meredup. Was was. Karena Supriyanto diam
saja, kakaknya semakin penasaran. Ia pegangi tangan
adiknya, begitu keras sehingga Supriyanto meringis. "Apakah
kau...
Menahan sakit, Supriyanto mengerang: "Aku lulus,
kak..."
"Puji syukur kepada Tuhan," seketika Suprihatin
memeluknya. "Mengapa tak bilang-bilang dari tadi!" lalu pipi
sang adik habis diciumi. Hal yang sama kemudian diperbuat
pula oleh ibu mereka, sehingga Supriyanto terpaksa harus
meronta-ronta akan melepaskan diri.
"Nafasku sesak," rintihnya. "Lepaskan aku."
"Bagus tidak nilaimu, dik?"
"Jelek!" Supriyanto bersungut-sungut,
menyembunyikan hatinya yang kembali diliputi sukacita.
"Aku cuma rangking keenam di sekolah."
"Rangking enam? Bukan main!" jerit kakaknya,
berjingkrak-jingkrak.
"Alhamdulillah..." gumam ibunya, dengan air mata
berlinang. "Segera beritahu papa mengenai kabar gembira
ini..."
"Aku sudah dengar!" bergaung suara berat dari
ruang depan. Langkah-langkah panjang terdengar mendekat42
ke dapur. Sang ayah tahu-tahu sudah berdiri di depan
mereka. "Aku gelisah saja di kantor. Tak sabar menunggu
kabar apakah si jagoan selama ini cuma omong besar, atau ia
benar-benar anak papa. Maka kuputuskan pulang lebih cepat
dari biasa..."
Mata ayahnya berseri-seri gembira. "Anak papa,"
katanya bangga. Namun toh masih sempat mengomel:
"Mestinya ranking kesatu, nak!"
Diomeli begitu, Supriyanto berubah murung, sedang
ibunya merengut tak senang. Malah Supriyanto sudah siapsiap mencerca ayahnya, manakala orang tua itu tertawa
lebar.
"Nah. Minta apa sebagai hadiah, Yanto?" ia
bertanya, lembut.
Cerah lagi wajah Supriyanto. Kesempatanku tiba
sekarang, katanya. Lalu takut-takut, ia menjawab: "Sudah
lama aku ingin melakukan sesuatu, papa..."
"Melakukan sesuatu. Bukan ingin sesuatu?" ayahnya
sangat tertarik. "Apa itu?"
"Papa tak marah?"
"Asal yang tidak yang bukan-bukan..."
"Kalau begitu, tak jadi deh," Supriyanto merajuk.
"Oke. Oke. Papa menyerah. Bilanglah."
"Benar papa tak marah?" ulang Supriyanto lagi,
harap-harap cemas.
"Ibu dan kakakmu saksiku. Papa tak marah."
Supriyanto tersenyum kecil. Agak gemetar, ia
merogoh saku celana. Dari dalam saku celananya itu ia
keluarkan sebatang rokok yang dengan sigap diselipkan di43
antara kedua bibirnya. Ia busungkan dada, tengadahkan
dagu, benar-benar bergaya. Rokok di bibirnya hampir
terlepas waktu ia coba berbicara sejelas mungkin. "Tolong
dong pa, sulutkan rokok Yanto."
Sesaat wajah ayahnya merah padam. Ibunya
memandang dengan kuatir, sementara Suprihatin
terbungkuk-bungkuk menahan ketawa. Setelah tegang
sejenak, sang ayah akhirnya mengeluarkan mancis dari
sakunya. "Brengsek!" ia menggerutu.
"Lho. Tadi bilang tak akan marah," Suprihatin
mengingatkan.
Barulah ayahnya tersenyum.
"Jadilah!" ia berkata lalu menyulut rokok di bibir
anaknya, yang oleh Supriyanto segera dihisap dalam-dalam,
dinikmati benar-benar. Ketika tegak lagi memperhatikan
gaya anaknya yang berlebihan itu, lelaki yang terpojok itu
akhirnya bergumam ikhlas: "Tahun ini kau sudah duduk di
SMA. Papa dapat menjamin. Jadi, karena kau sudah anak
SMA, bolehlah merokok sesekali. Tetapi ingat. Tidak boleh
lebih dari dua batang sehari."
Lalu sang ayah menyingkir dari dapur seraya gelenggeleng kepala.
"Kelakuanmu sangat tidak pantas, Yanto," sang ibu
mendengus.
"Lho. Kalau papa boleh, mengapa aku tidak, ma?"
"Boleh sih boleh. Cuma belum waktunya. Dan papa
membeli rokok dari hasil jerih payahnya sendiri."
"Aku juga merokok dari hasil jerih payahku,"
Supriyanto tidak mau kalah.44
"Oh ya?"
"Aku disuruh sekolah. Dipaksa harus rajin belajar..."
Supriyanto menerangkan, tenang-tenang. "Untuk
kepatuhanku, maka aku pun diberi uang jajan. Itu juga mata
pencaharian, bukan?"
"Wah, ini anak!" Suprihatin tertawa geli.
Mau tak mau, ibu mereka ikut tersenyum. Namun
tak lupa mengingatkan: "Awas ya; Papa sudah bilang. Tak
lebih dari dua batang sehari."
"Itu kan usul papa. Mama lain dong. Mama tahu
selagi di SMP aku sudah mengisap dua batang sehari. Karena
kelak aku akan naik SMA, jatahku ikut naik juga dong. Lima
batang, cukuplah..."
"Dua!" ibunya bersikeras.
"Lima," Supriyanto bersitegang.
"Tiga..." ibunya menawar.
"Empat," Supriyanto mendesak.
"Jangan memaksa, nak. Kau mau mama sakit karena
memikirkan kenakalanmu?" sang ibu membujuk.
"Iya deh. Tiga!" Supriyanto menyerah.
Dan besok malamnya, mereka undang para tetangga
dan sanak famili dekat untuk makan malam bersama di
rumah mereka. Syukuran karena Supriyanto lulus sekolah.
Dalam acara itu, Supriyanto membaca ayat-ayat suci Al
Qur?an. Sementara di kakus, karena takut ketahuan
ayahnya... diam-diam Supriyanto menikmati rokok ketiga
dan terakhir yang boleh ia isap hari itu.45
Waktu itulah Supriyanto teringat bagaimana ia
terpaksa mengencingi tangannya demi menghilangkan bau
rokok. Ingatan itu berkembang ke asal muasal ia sampai
merokok sedemikian banyak. Apa yang sebelum ini telah ia
lupakan karena terus memikirkan EBTA serta ibunya yang
sakit keras, mendadak tampil lagi ke permukaan.
Usai syukuran, ia mengajak Markus pergi berdua
meninggalkan rumah. "Kutraktir abang makan kambing
guling di Tomang," ujarnya.
Nyatanya, sambil menikmati kambing guling
Supriyanto langsung saja mengemukakan isi hatinya. "Sudah
kau temukan Nyonya itu untukku, bang Markus?"
Markus agak kaget, namun segera menguasai diri.
"Sudah," jawabnya.
"Dan?"
"Ia sudah pindah. Kata mereka, pindahnya terburuburu..."
"Pindah?" ganti Supriyanto yang kaget. "Pindah
kemana?"
"Penghuni baru rumah itu bilang, Marni tidak mau
memberitahu."
"Marni?" Supriyanto tertarik. "Abang maksud,
pelayan judes itu?"
"Aku tak tahu nama pelayan itu. Yang bernama
Marni, majikannya. Sang Nyonya..."
?Oh, oh. Kok jelek amat. Kontra dengan orangnya."
"Apalah artinya nama!" Markus berlagak puitis.
"Yang penting, orangnya."
"Ia punya suami?"46
"Tidak."
"Janda, kalau begitu."
"Juga tidak."
"Gadis?" Supriyanto membelalak. "Ia masih gadis?"
"Aku yakin, tidak."
"Bagaimana abang yakin?"
"Karena aku telah tanya sana tanya sini. Sumbersumberku dapat dipercaya, pak Kapten!" Markus senyumsenyum.
"Oke, Sersan!" Supriyanto balas tersenyum. "Apa
kata sumbermu?"
"Marni kelas atas."
"Apa?"
"Kelas atas. Langganannya pilihan. Taripnya sekali
pakai, di atas seratus ribu..."
"Maksud abang, dia..." Supriyanto tak lagi dapat
menikmati makanannya. Juga tak mampu meneruskan katakatanya.
Markus yang meneruskan: "Marni itu seorang
wanita panggilan. Jelasnya, Marni itu pelacur!"
Supriyanto menenggak minumannya. Berucap:
"Syukur!"
"Lho. Kok malah bersyukur?"
Jawab Supriyanto puas: "Tadinya, kukira ia itu isteri
muda papaku..." Lantas menambahkan: "Aneh ya. Kok dia
buru-buru pindah?"
***47
Tujuh
"Apanya yang aneh?"
Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan, yang
diucapkan acuh tak acuh. Supriyanto berhenti menulis. Diam
mendengarkan. Rupanya televisi telah dimatikan. Dari
arlojinya Supriyanto menyadari malam telah larut.
"Mama tak pernah menaruh curiga ya?" Ia dengar
suara Suprihatin, kakaknya.
Lalu suara ibunya lagi menjawab: "Mengapa pula aku
harus mencurigai ayah kalian, nak?"
"Coba pikir mama. Dulu, semenjak mama keluar dari
rumah sakit. Paling cuma lima bulan papa betah bersama
kita. Sekali sebulan, mengajak kita sekeluarga piknik. Tiap
akhir pekan, membawa mama jalan-jalan atau mengunjungi
sanak famili. Selalu pulang kantor pada waktunya untuk
makan siang di rumah..." Suprihatin menjelaskan panjang
lebar. Lanjutnya: "Lima bulan cuma. Yah, taruhlah tujuh
bulan ? karena dua bulan berikutnya kelakuan papa belum
kita perhatikan benar. Dan setelah itu? Papa kembali dengan
kebiasaannya yang lama."
"Ayahmu seorang kepala bagian di kantornya, nak. Ia
orang sibuk."
"Bagaimana yang lima bulan itu? Kok papa tidak
sibuk?"
"Karena aku belum sembuh benar, nak. Ayahmu
ingin agar aku betul-betul sudah cukup sehat, sehingga ia..."
"Mama membuat kesalahan besar!" potong
Suprihatin pedas.48
"Lho. Kok lantas aku yang disalahkan, Suprihatin?"
"Mama sih. Kurang taktik!"
"Kurang taktik bagaimana?"
"Mestinya mama dapat mempertahankan keadaan
yang menyenangkan itu. Mempertahankan, agar papa betah
di rumah."
"Caranya?"
"Mama pura-pura masih sakit."
Ibu tertawa berderai. Katanya: "Kau ini macammacam saja, nak. Aku ?kan bukan anak kecil. Lagipula ayahmu
tak pantas dibohongi. Dan..."
Supriyanto tercenung, menatap meja belajarnya.
Percakapan kakak dan ibunya di ruang tengah, tidak lagi
menarik perhatiannya. Terngiang ucapan Suprihatin
barusan: pura-pura sakit! Terngiang pula ucapan Handini...
pacarnya yang kedua sejak duduk di bangku kelas satu SMA:
"Bawa aku lari. Sehari dua hari, seminggu, kalau perlu
sebulan. Kemudian kita pulang. Dan berpura-pura, bahwa
aku telah hamil!"
Pura-pura hamil! Alangkah nekadnya Handini.
Rupanya gadis itu tidak tahan, terus dimarahi ayahnya
semenjak menjalin hubungan cinta dengan Supriyanto.
Alasan orang tua itu, karena puterinya dan Supriyanto masih
kelas satu SMA. Belum waktunya menikah. Belum pantas
memikirkan cinta! Tetapi menurut apa yang sempat didengar
Handini dari ibunya, gadis itu sudah dijodohkan dengan
Sofyan, putera kesayangan Uwa perempuan Handini.
Softyan masih melanjutkan studi di Jerman. Tiga tahun49
mendatang, studi Sofyan diharapkan sudah selesai. Ia akan
pulang ke Indonesia. Pekerjaan menarik sudah menantinya
di perusahaan milik keluarga. Handini pun diharapkan sudah
tamat SMA, dan sudah pantas untuk dikawinkan.
Handini belum pernah bertemu muka dengan
Sofyan. Tetapi pemuda itu sering berkirim fotonya, juga
bingkisan hadiah-hadiah menarik dari Jerman. "Aku sedikit
pun tidak tertarik pada Sofyan," kata Handini. "Aku hanya
mencintai kau seorang, Yanto... Apa pun akan kukorbankan,
demi cintaku padamu."
Handini tidak begitu cantik. Tetapi ia punya dada
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar, punya pinggul besar ? tipe kegemaran Supriyanto. Ia
juga bukan sekedar omong di mulut. Pernah mereka berdua
piknik ke Pelabuhan Ratu. Ketika hari sudah sore, Handini
enggan pulang ke Jakarta. Gadis itu mengajak Supriyanto
nginap satu malam di hotel. "Aku yang bayar. Uangku
banyak," kata gadis itu bersemangat.
Mereka kemudian mendaftar di sebuah hotel.
Handini minta satu kamar untuk mereka berdua. Penerima
tamu memandangi mereka sebentar, lalu berbisik-bisik
dengan seorang temannya. Orang kedua itu mendatangi
Supriyanto, menanyakan apakah mereka punya KTP. Tentu
saja mereka tidak punya. Petugas itu kemudian memandangi
pakaian yang dikenakan Supriyanto; astaga, ia masih
mengenakan seragam sekolah. Habis, tak ada rencana
tadinya untuk piknik, apalagi nginap. Ajakan Handini begitu
mendadak. Anehnya, dalam tas sekolah Handini tersedia
pakaian ganti. Rupanya sudah ada rencana sebelumnya.50
"Dik..." kata petugas hotel itu, sopan. "Pulanglah.
Dan jangan biasakan bolos dari sekolah."
Supriyanto malu sekali.
Ia langsung menarik Handini pergi, memaksa gadis
itu pulang saja ke Jakarta. Mulanya Handini menolak. Kita ke
hotel lain saja, katanya marah. Gadis itu malah menuduh
Supriyanto pengecut, mau diperhinakan oleh pelayan hotel.
Supriyanto pun ikut-ikutan marah mendengar ucapan
Handini. Baru setelah menyadari Supriyanto juga marah,
Handini minta maaf dan bersedia pulang ke Jakarta. Air
matanya bahkan berlinang. Hukumlah aku karena aku salah,
kata gadis itu terisak-isak. Supriyanto tersenyum. Air mata
gadis itu seketika mencairkan amarahnya.
Orang tua Handini lah yang marah bukan main.
Menyangka Handini sakit, teman sebangku gadis itu
berkunjung ke rumah Handini sepulang sekolah.
Ketahuanlah bahwa Handini bolos. Lebih parah lagi, Handini
baru pulang lewat pukul sepuluh malam. Gadis itu kena
tampar dan Supriyanto diusir.
"Enyah! Sekali tampangmu kulihat lagi di rumahku,
kepalamu kubikin perkedel!" maki ayah Handini, naik pitam.
Untunglah Supriyanto sabar. Ia sadar ia telah
bersalah. Karena dia, Handini kena tampar. Ia merasa iba
pada pacarnya itu, dan berjanji dalam hati akan meminta
maaf pada Handini dan lain kali akan menjaga agar gadisnya
itu tidak ditampar ayahnya lagi.
Sial, niatnya itu tidak pernah kesampaian. Sejak hari
itu Handini tidak diperkenankan masuk sekolah oleh orang
tuanya. Suatu hari, teman sebangku Handini memberitahu51
bahwa gadis itu akan dikirimkan orang tuanya ke Padang,
meneruskan sekolah di sana di bawah pengawasan
neneknya. Hastuti, teman sebangku Handini itu menyatakan
sebenarnya dia yang bersalah; tidak tanya-tanya dulu
sebelum bertindak sehingga Handini dihukum keluarganya.
Ia telah berkunjung lagi ke rumah Handini. Kebetulan ayah
Handini tidak di rumah dan Hastuti dititipi surat untuk
diteruskan pada Supriyanto.
"... aku tak sudi ditransmigrasi ke Padang," begitu
antara lain isi surat Handini. "Kau pun tak akan
membiarkannya, bukan? Aku cinta padamu, Yanto. Tanpa
kau, hidup ini bagaikan terminal tanpa bis. Bagaikan bis
tanpa penumpang. Kosong melompong. Lama-lama,
karatan. Aku tak mau karatan, Yanto. Lebih baik aku bunuh
diri ketimbang jadi bis reot terdampar di sebuah terminal
tua. Jawablah suratku ini, Yanto, kalau tidak aku benar-benar
akan gantung diri."
Lewat Hastuti, surat itu dijawab Supriyanto. Ia
mengakui terus terang: "Apa yang harus kuperbuat, Dini?"
Tiga hari kemudian, datang balasannya. Surat
Handini itu diantarkan oleh salah seorang pembantu rumah
tangga si gadis. Supriyanto tersentak membaca isi surat
Handini: "Kita harus minggat. Bawa aku lari..." dan
seterusnya.
***52
"Sudah kau periksa pintu dan jendela, Suprihatin?"
terdengar suara ibunya yang tengah berbenah di ruang
tengah.
"Aman, mama."
"Nah, mari kita tidur. Mama sudah ngantuk."
"Lho, tidak menunggu papa pulang?"
"Astaga, apakah aku lupa memberitahu kalian?
Ayahmu lusa baru pulang. Ia ke Palembang. Mewakili
pimpinan untuk menghadiri rapat di kantor cabang..."
"Rapat, mama?"
"Eh! Apa pula maksud ucapanmu yang sinis itu,
Suprihatin?"
"Nggak kok ma..." jawab Suprihatin, terkejut
mendengar hardikan ibunya.
Ketika menuju kamar tidurnya, Suprihatin melewati
kamar Supriyanto. Terdengar ia menggerutu panjangpendek: "Rapat! Rapat! Hem... paling juga ngendon di rumah
bini muda!"
"Tien?"
Langkah Suprihatin tertegun di depan pintu kamar
Supriyanto. "Ya, mama?"
"Coba lihat adikmu. Kalau tidur ia suka buka baju.
Selimuti dia baik-baik..."
Supriyanto terperanjat. Reflek ia melirik ke pintu
kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit. Cepat-cepat ia
padamkan lampu, dan bersijingkat ke tempat tidur.
Suprihatin masuk ke kamarnya. Berbisik pelan: "Sudah tidur,
anak nakal?"
Supriyanto balas berbisik: "Sudah..."53
Suprihatin tertawa kecil. "Lagi mikirin pacar ya?" ia
balik bertanya.
"Nggak!"
"Bohong..."
"Perduli!"
"Pasti barusan kau sedang menulis surat pada
pacarmu!"
"Nggak!"
"Hem. Coba, kuhidupkan lampu..." Suprihatin
mengancam.
"Iya deh. Iya deh. Nulis surat!" cepat Supriyanto
mencegah. "Jangan baca, kak."
"Tak boleh?"
"Tidak."
"Kalau aku memaksa?"
Supriyanto berpikir sejenak. Lalu katanya: "Kukasih
tahu papa, kalau kakak masih suka nyelundup ke rumah bang
Parlaungan!"
Suprihatin terdiam. Lalu menarik nafas panjang.
Terus berjalan keluar, menutup pintu, dan menghilang ke
kamar tidurnya sendiri. Dalam kegelapan kamar, Supriyanto
tiba-tiba menyesal. Tak semestinya ia menyakiti hati
kakaknya. Tentunya Suprihatin saat ini menangis terisakisak. Hatinya perih, teringat ancaman ayah mereka agar
Suprihatin memutuskan segera hubungannya dengan
Parlaungan, apabila Suprihatin masih ingin dianggap anak
papa.
Hei, bukankah itu juga yang kini harus diderita
Handini54
Ia teringat lagi surat gadis itu. Handini bilang, lusa ia
harus sudah naik pesawat ke Padang. Handini katanya
hampir gila memikirkan kekejaman ayahnya. Dalam suratnya
itu Handini menulis rencana yang katanya sudah dipikirkan
matang-matang. Besok, pagi-pagi benar Handini pura-pura
sibuk membantu ibunya masak di dapur. Lebih dulu ia telah
menumpahkan ke kloset semua garam yang ada. Biasanya
Handini yang disuruh ibunya pergi ke warung membeli
persediaan dapur. Kesempatan itu akan dipergunakan
Handini untuk kabur.
"Kutunggu kau di terminal bis Rawamangun," tulis
Handini. "Pukul tujuh, persis di depan jongko sop kaki
kambing pak Jenggot, langganan kita itu. Tolonglah
kekasihmu yang malang ini, Yanto. Kalau pukul tujuh pagi kau
tak muncul, aku akan lari menyongsong bis pertama yang
memasuki termina. Aku takut mati, Yanto-ku. Tetapi lebih
baik mati daripada harus berpisah dengan engkau..."
Lamunan Supriyanto terus menerawang. Sesuai
dengan rencana Handini, dari terminal Rawamangun mereka
akan kabur keluar kota. Mungkin ke Plered, Purwakarta. Di
sana ada seorang bibi Handini yang pasti bersedia menolong.
Mereka dapat juga mengambil bis jurusan Banjar, dari sana
terus ke Pangandaran, kalau perlu ke Cilacap sehingga
mereka akan sulit ditemukan. Bila dicari, mereka lari,
sembunyi, lari, sembunyi lagi. Benar-benar sebuah
petualangan menarik. Rencana Handini itu tampak
sederhana, masuk akal, juga tak sulit melaksanakannya.
Tidak sulit? Tidak, kalau yang mencari hanya
keluarga Handini saja. Tetapi bagaimana kalau mereka lantas55
melapor pada polisi? Dilaporkan, Handini minggat.
Dilaporkan, setelah diselidiki, Handini ternyata dilarikan oleh
Supriyanto. Bunyi laporannya pasti hebat: Handini diculik!
Polisi akan mengerahkan anggota-anggota terlatih dan
terpercaya untuk mencari, menemukan, menangkap
mereka. Teringat kenangan berkesan dulu di bar Vini-VidiVici itu, Supriyanto percaya polisi akhirnya toh akan
menemukan mereka juga. Siapa tahu, seorang pengrajin
keramik di Plered selagi menawarkan kendi, tahu-tahu
mengeluarkan sepucuk pistol. Atau seorang tukang perahu
di perkampungan nelayan Cilacap, mendadak punya borgol...
Astaga! Ia Supriyanto bin Bambang Prakoso, seorang
calon polisi, ditangkap polisi.
Tidak. Hal itu tidak boleh sampai terjadi. Supriyanto
menggeliat di ranjangnya. Gelisah.
*** Delapan
LIMA menit kurang pukul tujuh pagi, Supriyanto
melangkah dengan hati waswas ke jongko Pak Jenggot di
sudut terminal Rawamangun. Ternyata Handini sudah tiba
lebih dulu. Dari jauh tampak gadis itu berlari-lari
menyongsong. Wajahnya pucat, matanya ketakutan,
senyumnya menyedihkan. Dua langkah sebelum lengannya
yang terkembang siap memeluk sang kekasih pujaan,56
Handini tertegun. Lengannya lunglai di sisi tubuhnya yang
seronok bentuknya itu.
Kata-katanya bernada kuatir: "Tak bawa tas?"
Supriyanto berusaha keras agar tetap dapat tenang.
"Cukuplah pakaian yang melekat di badan saja," jawabnya.
Air mata Handini melelehi pipi. Ia sangat kecewa.
Terbukti dari tuduhannya: "Kau tak mau pergi denganku!"
Supriyanto memegang tangan gadis itu. "Mana
tasmu?" ia sendiri mulai ketakutan. Takut gadis itu saking
kecewa lantas menjerit-jerit, lari menghambur ke bis-bis
besar yang memasuki terminal tanpa mengurangi
kecepatan. Tetapi gadis itu terlalu kecewa, terlalu lemah
untuk memberontak. Ia hanya mampu menggerakkan dagu
ke arah jongko. Tanpa melepaskan Handini dari cekalan
tangannya, Supriyanto mengambil tas gadis itu. Tak ada
tanda-tanda Handini baru makan atau minum, jadi tak ada
yang perlu dibayar. Sambil manggut pada si empunya jongko,
Supriyanto kemudian menyeret kekasihnya keluar dari
terminal. "Tak baik kita bicara di sini. Siapa tahu ada yang
melihat..." ujarnya.
Ia merasakan ketegangan lengan Handini dalam
pegangannya. Juga betapa tegangnya suara gadis itu. "Kau
tak cinta lagi padaku. Kau lebih cinta Fitri...!"
"Fitri masih anak-anak. Mata duitan lagi. Untuk kau,
ia telah kulepaskan bukan?"
"Lalu, mengapa..."
Setelah mencari-cari, akhirnya Supriyanto melihat
sebuah warung es tak jauh dari pintu masuk terminal. Tak
ada yang minum es sepagi itu. Sepi di dalam, tertutup lagi.57
Supriyanto menarik gadisnya masuk dan kepada pemilik
warung yang baru saja siap-siap menyusun bakal
dagangannya, Supriyanto minta dibuatkan segelas kopi
untuknya dan coklat susu untuk Handini. Pemilik warung
terheran-heran sebentar, lalu kemudian pergi ke warung
kopi di sebelahnya untuk mengambil pesanan Supriyanto.
"Kau tak mau pergi!" sekujur tubuh Handini
bergetar. Wajahnya semakin pucat saja.
"Aku tak bilang aku tak mau pergi."
"Lantas, mengapa..."
"Kita harus berpikir tenang, Dini. Bukan dengan cara
begini kita meruntuhkan benteng pertahanan keluargamu.
Masih ada..."
"Dalih!" Handini mulai terisak.
"Janganlah menangis. Malu dilihat orang."
"Kau tak cinta lagi padaku, Yanto."
"Aku cinta."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Janganlah sikap
ayahku kau buat alasan..."
"He, pernahkah aku cerita padamu, bahwa kelak aku
ingin jadi polisi?" tanya Supriyanto sambil tersenyum. Karena
Handini tidak menyahut, malah isaknya makin jadi,
Supriyanto meneruskan sendiri: "Kalau aku ingin jadi polisi,
Dini, catatan riwayat hidupku kelak harus bersih. Dan..."
Pemilik warung masuk membawa pesanan tamunya.
Tetapi bukan itu yang menyebabkan Supriyanto
menghentikan pembicaraannya. Lewat pintu masuk warung,
ia melihat sebuah mobil yang akan memasuki terminal,58
berhenti sebentar karena terhalang oleh sebuah bis di
depannya. Mobil itu disupiri oleh ayahnya!
Supriyanto merungkut di tempatnya duduk. Ia
merendahkan kepala, takut terlihat. Kepalanya baru
diangkat setelah mobil itu masuk ke dalam terminal lalu
berhenti di pelataran parkir khusus pegawai. Supriyanto
mendongakkan kepala, mengintip lewat tabir atas jongko
dan melihat seorang perempuan kurus berkebaya turun dari
mobil. Rasanya Supriyanto agak ingat-ingat lupa siapa
perempuan tua itu. Namun ia tak akan pernah melupakan
perempuan lain, yang menyusul turun lalu berjalan dengan
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah gemulai mengiringi si perempuan berkebaya menuju
sebuah bis antar kota. Ia segera mengenali perempuan yang
begitu turun dari mobil begitu jadi pusat perhatian orangorang di sekitar tempat ia lewat. Betapa tidak. Sudah
berwajah cantik, tubuhnya pun berbalut blus ketat sehingga
payudaranya semakin menggembung padat. Jin-nya juga
ketat, memperlihatkan pinggul yang padat berisi dengan
goyangannya yang teramat aduhai.
Demikian kuat daya tarik perempuan itu sehingga
Supriyanto segera melupakan Handini. Tanpa sadar ia
bangkit dan menyelinap ke luar dari warung. Setelah itu
menyelinap pula di antara kerumunan orang yang keluar
masuk terminal, sambil berusaha sejauh mungkin terlindung
dari pandangan ayahnya yang duduk menanti dalam mobil.
Sungguh kebetulan, ayahnya sambil menunggu lantas
membuka surat kabar. Terlindung oleh sebuah mikrolet,
Supriyanto dapat melihat perempuan cantik itu lebih dekat.
Sekarang Supriyanto benar-benar yakin.59
Tak syak lagi. Perempuan itu adalah Marni, yang oleh
Markus disebutkan ?bertarif seratus ribu rupiah sekali pakai,?
seorang pelacur yang tidak sembarangan memilih
langganan. Itu untuk ?sekali pakai?. Kalau ?all-night? tarifnya
bisa lipat ganda dua tiga kali lipat. Melihat penampilan
perempuan itu sedekat sekarang, sempat pula terlintas
dalam benak kelelakian Supriyanto: "Andai aku punya uang,
setengah juga pun aku berani!"
Sebelum perempuan berkebaya yang ternyata
pelayannya naik ke dalam bis, Marni terdengar berpesan:
"Jangan berlama-lama di Tasik bi Ijah. Aku bisa sakit perut
kalau harus masak sendiri."
"Cuma menjenguk orang sakit kok, Non," jawab si
pelayan.
"Cepat kembali ya?"
"Saya, Non," lalu perempuan itu naik ke dalam bis.
Sebentar Marni memperhatikan. Kelihatannya kuatir
pelayannya tidak mendapatkan tempat duduk yang enak,
baru setelah itu melambai dan kembali ke mobil yang masih
menunggu; kembali pula jadi pusat perhatian, bahkan ada
yang bersuit-suit nakal.
Mobil itu kemudian meluncur menuju pintu keluar.
"Supriyanto tidak berpikir panjang lagi. Ia kembali
menyelinap dari belakang, naik ke sebuah taksi yang
kebetulan kosong. Pada supirnya, Supriyanto berkata gugup.
"Ikuti Volvo merah hati yang di depan itu, bang.
Jangan terlalu dekat..."
Haa! Dia benar-benar jadi polisi sekarang. Ia akan
menguntit ayahnya, membuktikan bahwa kecurigaannya60
selama ini benar yakin, ayahnya berbini muda. Markus jelas
keliru mengatakan perempuan itu seorang pelacur. Karena
untuk seorang pelacur, ayahnya tidak perlu memberi dalih
pada ibunya bahwa ia harus pergi beberapa hari ke
Palembang. Ya, ya, Markus pasti keliru. Tetapi Supriyanto
dapat mengerti. Bukankah Markus hanya Sersan-nya, sedang
ia sendiri adalah Kaptennya? Seorang Kapten, harus lebih
tahu, lebih efektif ketimbang anak buahnya. Dan ia akan
membuktikannya sekarang juga...
Ia bayangkan mobil yang dikuntitnya masuk ke
sebuah rumah entah di mana. Ia kemudian akan menelepon
ke rumahnya sendiri, meminta ibunya datang secepat ibunya
bisa, tak peduli ibu sedang berak. Ayahnya akan mati kutu.
Ayahnya tak akan lagi melarang Suprihatin pacaran dengan
Parlaungan. Ayahnya juga tak akan lagi berani ngomong
padanya, begini: "Buang kebiasaanmu gonta-ganti pacar,
Yanto. Selain berbahaya, itu juga bukan perbuatan laki-laki
terhormat."
Supir taksi yang dinaiki Supriyanto, sudah berumur.
Tetapi hal itu tak perlu dikuatirkan. Karena mobil yang
mereka kuntit lajunya pun santai-santai saja. Ayahnya
memang bukan tukang ngebut, lagi pula jalan yang mereka
lalui lumayan macet. Supir taksi kebetulan pula tak banyak
bicara. Agaknya usia tua membuatnya berpikir, diam itu
emas. Jadi Supriyanto dapat berpikir lebih leluasa. Misalnya,
haruskah yang ia telepon ibunya? Bukankah sudah cukup
Suprihatin saja yang ia suruh datang sebagai saksi? Lalu,
perlukah ibu mereka diberitahu kelakuan ayah? Padahal
dokter sudah wanti-wanti: kesehatan ibumu memang sudah61
pulih, tetapi ia tak boleh bekerja berat, tak boleh berpikir
terlalu berat, ia harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat
menyebabkannya jatuh sakit kembali, malah dapat berakibat
fatal...
Hem, mama tak usah tahu, pikir Supriyanto. Kakak
juga. Perempuan mulutnya sukar dipercaya, apalagi kalau
punya sifat suka bergunjing. Apakah Suprihatin suka
bergunjing? Ah, tak usahlah memikirkan hal itu. Pikirkan saja
apa yang kau hadapi sekarang. Pergoki papa, suruh ia
menceraikan bini mudanya, berjanjilah akan tetap pegang
rahasia; dan apa pun yang kau minta, akan selalu dikabulkan
papa! Dugaan Supriyanto ternyata meleset.
Ketika mobil itu berhenti untuk pertama kali,
berhentinya bukan di rumah isteri muda ayahnya.
Melainkan, di depan kantor ayahnya. Sesuai dengan
kebiasaan yang ia baca dalam buku atau yang ia saksikan di
bioskop, maka Supriyanto menyuruh taksi terus saja lewat.
Agak jauh di depan baru berhenti. Supriyanto lalu mengintip
hati-hati lewat kaca belakang taksi. Ia lihat ayahnya baru saja
turun sambil menenteng tas kerja kemudian menghilang di
pintu masuk kantor.
Volvo merah hati itu tidak menunggu. Volvo itu
meneruskan perjalanan. Kini yang duduk di belakang setir
adalah Marni sendiri. Perempuan itu melewati taksi mereka
tanpa curiga. Sesaat sebelum Volvo itu lewat, Supriyanto
membenamkan diri dalam-dalam di jok belakang taksi.
Kemudian menyuruh supir kembali mengikuti Volvo. Supir
menurut patuh. Tak omong sepatah kata pun, benar-benar
ingin lepas tangan kalau terjadi apa-apa. Sekarang, kita62
menuju rumah bini muda papa, pikir Supriyanto bangga.
Setelah itu...Meleset lagi.
Volvo merah hati itu ternyata membelok masuk
halaman sebuah hotel berbintang empat di kawasan Jakarta
Pusat. Kembali Supriyanto memerintah supir menjalankan
mobil sepelan mungkin, lalu berhenti menjelang gerbang
masuk halaman hotel tadi. Ia lihat Marni keluar dari dalam
Volvo. Tempatnya digantikan pelayan hotel yang kemudian
membawa Volvo itu ke pelataran parkir sebelah dalam.
Marni menghilang di balik pintu lobby. Jadi sejak kemarin
papa menginap di hotel ini, masih di Jakarta, bukan di
Palembang... dengus Supriyanto murung karena ingat pada
ibunya yang malang.
Ia segera turun dari taksi. Sebelumnya, ia memang
membawa semua uang sakunya karena mungkin saja
Handini memaksanya ikut minggat. Ia lalu membayar sewa
taksi secukupnya, tak lupa menambahkan dengan penuh
aksi. "Kembaliannya untuk abang!" saat itu pun ia
berpakaian yang terbaik. Tadinya memang siap kalau harus
bepergian. Petugas hotel di depan pintu lobby mengawasi
Supriyanto. Seperti dalam buku, Supriyanto melempar
senyum kaku pada petugas itu. Seperti dalam film, ia
memasuki lobby seraya bersenandung kecil, seakan ia
memang tamu hotel dimaksud.
Tampak Marni baru saja mengobrol dengan petugas
desk. Kemudian menyelinap ke dalam lift. Dari tempatnya,
Supriyanto tak mungkin mengawasi lampu-lampu lift untuk
mengetahui di lantai ke berapa wanita itu turun. Sejenak ia
berpikir, lalu memutuskan berjalan menyeberangi lobby,63
langsung menuju desk. Jantungnya berdebur kencang,
karena ia belum tahu bagaimana caranya ia melacak kamar
tempat perempuan itu menginap, dan apa yang akan ia
lakukan setelah itu.
Tetapi Supriyanto diam-diam memang sudah
menyimpan bakat yang diperlukan oleh seorang polis. Ia
menggangguk pada gadis petugas desk, seorang gadis manis
dengan tatap mata agak sedikit nakal. Melihat pemuda
perlente lagi tampan mendekat, gadis itu langsung
menyambut dengan senyuman berbunga.
"Dapat saya bantu, bung?" sapanya. Enak juga tutur
katanya. Harum bener parfumnya. Jantung Supriyanto
berdetak.
Ia tak boleh ragu-ragu, kalau tak ingin ketahuan.
Maka ia menjawab tuntas: "Saya harus menemui kakak saya.
Segera."
"Namanya?" sambil petugas yang manis itu menarik
buku tamu di hadapannya.
"Marni."
Perempuan itu meneliti buku tamu dengan seksama.
Ada kerutan di dahinya, pertanda ia tidak menemukan apa
yang dicari. Sebelum gadis itu mengatakan sesuatu,
Supriyanto sudah mendahului: "Kakak saya memang bukan
tamu terdaftar. Ia bilang, ia harus menemui seseorang di
hotel ini. Bisnis..." Gadis itu mulai curiga tampaknya.
Supriyanto menambahkan segera: "Ia barusan kulihat masuk
lift. Tadi, yang sempat ngobrol dengan nona. Blus hijau tua,
celana jin coklat tanah..."
***64
Sembilan
Kelopak mata gadis petugas desk itu mengerjap.
Seketika matanya bersinar. Mulutnya pun bergumam. "Oh,
dia..." sambil kembali ia mengawasi pemuda di seberang
mejanya.
"Jadi Primadona itu kakakmu ya? Pantas..."
"Pantas apanya?" Supriyanto tersedak.
"Kakaknya cantik. Adiknya cakep," gadis itu
tersenyum.
Supriyanto mau tak mau ikut tersenyum pula.
Hidungnya mengembang. Namun tidak sampai lupa diri. Ia
melihat kesempatan terbuka untuk mengetahui lebih banyak
mengenai perempuan ?buronan? nya. Lantas dengan lagak
sedikit angkuh, ia mendengus: "Jadi kakakku primadona di
hotel ini ya?"
"Bukan di hotel ini saja," sahut si gadis, gembira
dapat mengetahui suatu rahasia besar. Bagaikan seorang
penggemar yang beruntung banyak tahu mengenai bintang
pujaan semua orang, ia pun lantas bercerita bahwa Marni
juga adalah primadona-nya hotel anu, anu dan anu ? sambil
ia sebut nama beberapa hotel terkemuka. Caranya bercerita
membuat Supriyanto membayangkan bahwa ?kakak? nya itu
bintangnya dunia ?kelas atas? se-Jakarta. Langganan
?kakak?nya sangat pilihan: pengusaha-pengusaha kelas
kakap, pejabat-pejabat penting, tamu-tamu asing dari
kalangan diplomat. Dibayar tidak saja dengan mata uang
rupiah, tetapi juga mata uang asing, seringkali dalam bentuk
cheque.65
"... kami tahu hal itu," celoteh si gadis gembira.
"Karena beberapa kali kakakmu nginap di sini. Ia suka
memberi pelayan tip uang dollar. Aku sendiri pernah
dipanggil ke kamarnya untuk sesuatu urusan. Kemudian aku
dimintai tolong menukarkan selembar cheque, mungkin
baru ia terima dari tamunya. Nilai cheque itu setengah juta
rupiah. Setelah kutukarkan, tahu berapa imbalan yang
kuperoleh? Sepuluh persen, bung! Lima puluh ribu rupiah,
hanya untuk menukarkan cheque itu ke kasir..."
"Bukan main!" Supriyanto membelalak, tetapi
kemudian sadar "siapa" dirinya, dan segera meralat
kecerobohannya dengan kalimat: "Yah kakak orangnya
memang royal..."
"Tetapi ia juga tidak sembarang memberi.
Tergantung..." gadis itu tidak melanjutkan celotehnya. Tiga
orang tamu hotel ? kelihatannya orang-orang Jepang, datang
mendekat ke meja desk. Si gadis melayani mereka dengan
gerak bermalas-malasan. Setelah ketiga tamunya berlalu, ia
bersungut-sungut: "Mahluk-mahluk kikir. Mereka itu,
bung..." lagi-lagi celotehnya terputus. Ketika ia menoleh,
teman bicaranya sudah menghilang.
*** Keluar dari hotel, Supriyanto tidak tahu mau berbuat
apa. Terus ke sekolah tak mungkin. Ia tak bawa buku, juga
tidak memakai seragam. Barulah ia teringat pada Handini.
Buru-buru ia memanggil taksi, pergi ke Rawamangun. Setiap
sudut terminal ia awasi, telinganya pun mendengar-66
dengarkan kalau-kalau sebelumnya ada bis menabrak
seorang gadis, atau gadis itu yang nekad menabrak bis. Siasia pula matanya menjilati landasan terminal. Tak ada bekas
genangan darah. Yang ada cuma debu, kotoran sampah,
bocoran air karburator, serta gumpalan asap knalpot bis-bis
yang menyesakkan nafas. Akhirnya ia pulang ke rumah.
Ibunya tampak lega, menyambut dengan ucapan
cemas. "Dari mana kau, nak? Pagi-pagi, sudah menghilang..."
"Mengantar teman, ma," sahutnya malas. Ia
memang mengantarkan Handini. Tetapi ke mana? Apakah
gadis itu terus minggat, atau pulang kembali ke rumah orang
tuanya? Ia terus ke dapur, membuat segelas kopi. Di pintu
dapur ia berpapasan dengan kakaknya.
"Lho. Bolos?" Suprihatin mendelik.
"Libur sendiri!" jawab Supriyanto seenaknya.
Suprihatin mengomel panjang-pendek, tetapi Supriyanto
acuh tak acuh saja. Setelah membuatkan kopi, ia menyelinap
masuk ke kamarnya. Ranjang tidur di kamarnya
mengingatkan ia pada Marni, sang Primadona. Tentunya
perempuan itu kini tengah ?menggoyang? salah seorang lakilaki langganannya. Selain cantik rupawan, ?goyang? Marni
pasti selangit. Kalau tidak, tak akan ayahnya tergila-gila, terus
mengejar si perempuan, sambil di rumah terus mendustai
keluarga. Berapa banyak sudah yang dihabiskan ayahnya
untuk ditemani tidur oleh Marni? Pasti jumlahnya sudah
jutaan rupiah, hanya untuk ?digoyang? saja. Sedang untuk
Supriyanto, ayahnya hanya memberi nasihat: "Biasakan
untuk hidup prihatin!" Pernah ia ingin membeli sepatu67
Adidas. Apa jawab ayahnya: "Bata juga bagus, Yanto!"
Rokok? Satu hari, cukup dua batang!
Bunyi dering bel mengejutkannya.
Lewat pintu kamarnya yang terbuka, ia lihat
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakaknya berlari-lari ke ruang depan. Pakaian yang
dikenakan Suprihatin gemerlapan, sekilas tampak wajahnya
yang riang gembira. Supriyanto segera tahu siapa yang
membel. Segera ia duduk di kursinya, pura-pura menekuni
buku-buku pelajaran yang sengaja ia serak-serakkan di meja.
Benar saja dugaannya. Tak lama ia dengar langkah
kaki, dan suara berat menyapa: "Hai, kawan!"
Supriyanto mengangkat muka. Sahutnya: "Hai, bang
Laung."
"Lagi asyik belajar ya? Bagus. Calon adikku harus
anak pintar. Supaya kelak, bisa jadi polisi tauladan. Nih.
Kubawakan sesuatu untukmu," dan Parlaungan, kekasih
tetap kakaknya menyodorkan sebuah bingkisan yang
diterima Supriyanto dengan malu-malu. "Nggak usah repotrepot bang," ujarnya berbasa-basi. Dulu, Parlaungan yang
akhirnya membelikan Supriyanto sepasang sepatu Adidas.
Bingkisannya kali ini, satu set pulpen Parker, model terbaru.
"Terima kasih, bang Laung. Aku akan belajar sungguhsungguh," Supriyanto mengikrarkan janji.
Dari belakang punggung Parlaungan yang tinggi
kekar itu, terdengar suara Suprihatin mengoceh: "Apa!
Buktinya, hari ini dia bolos lagi!"
Supriyanto ingin mencakar kakaknya. Untung
Parlaungan menengahi. "Kalau tak pernah bolos sekolah,
bukan laki-laki namanya..." Namun toh Parlaungan tidak68
semurah hati itu. Ia melanjutkan dengan pertanyaan sambil
lalu: "Apa hukumannya kalau mangkir sekolah lebih dari tiga
hari, Yanto?"
"Diberi peringatan oleh wali kelas, bang," jawab
Supriyanto tersipu.
"Kau senang dibikin malu di depan temantemanmu?"
"Tidak dong!"
Parlaungan tertawa lembut, terus berlalu ke
belakang untuk menemui calon mertua perempuannya.
Suprihatin menguntit di belakang kekasihnya, masih terus
mengomel: "Kau terlalu memanjakan adikku, bang Laung.
Kau pula yang dulu mengajarinya merokok..."
Di kamarnya, Supriyanto nyengir kuda. Ia sudah tahu
apa jawaban Parlaungan: laki-laki yang tidak merokok itu,
banci! Supriyanto kemudian teringat, apa nasihat Parlaungan
dulu, yang sampai sekarang dipatuhinya. "Kalau ingin
merokok, Yanto, belilah dari uang sakumu. Jangan dari saku
orang lain."
Setelah kakaknya meninggalkan rumah bersama
Parlaungan, Supriyanto diperingatkan ibunya agar tidak lupa
mandi dan makan pagi. Ia mematuhi perintah itu, kemudian
membantu ibunya menyetrika. Ketika itulah ia lihat air mata
menggenangi pipi ibunya.
"Mama menangis," desah Supriyanto, terkejut.
Cepat-cepat ibunya menyeka air mata, lantas
mencoba tertawa. Jawabnya: "Lihat. Aku tidak menangis lagi
bukan?"69
"Mengapa mama menangis?" Supriyanto mendesak,
dan diam-diam kuatir bahwa ibunya menangis akibat
kelakuan ayahnya. Ayahnya yang mengakus sebagai manusia
terhormat, berlagak suci di rumah, nyatanya di luar sana
mengencani pelacur.
Ibunya membenahi pakaian yang sudah selesai
disetrika, menarik nafas dalam, kemudian: "Kau senang sama
bang Laung, nak?"
"Jelas, dong!"
"Kau suka ia kawin dengan kakakmu?"
"Selalu kudoakan, mama."
"Aku juga," ujar ibunya lirih dan wajahnya kembali
murung. "Sayang, ayah kalian lebih suka kakakmu
dijodohkan dengan orang lain. Bukan dengan Parlaungan..."
"Kenapa sih papa benci bang Laung, mama?"
"Ayahmu tidak membenci orangnya, nak. Ayahmu
membenci lingkungan yang melahirkan Parlaungan."
"Apa kurangnya bang Laung, mama? Ia Insinyur
jebolan ITB. Ia bekerja, punya penghasilan cukup. Ayahnya
Kolonel, punya jabatan terhormat di Kodam. Keluarga
mereka tidak punya cela. Mereka juga setuju dengan calon
isteri pilihan bang Laung. Apa lagi?"
"Kau tak mengerti, nak. Tak mengerti..." dan air mata
ibunya meleleh lagi.
"Maksud mama?
"Eh, aku mencium bau hangus di dapur..."
Ibunya bergegas ke dapur, kemudian terdengar
suaranya yang dikeraskan: "Berapa banyak famili kita yang
kau kenal selama ini, Yanto? Maksudku, famili dekat. Yang70
rajin berkunjung ke rumah kita, atau sebaliknya kita kunjungi
mereka..."
"Yah.. Paman Supangkat, paman Abdullah, Tante
Maryam, Uwa Hasbullah, nenek... Wah, banyak deh ma!"
"Coba ingat. Keluarga pihak mana mereka itu
semua?"
Tiba-tiba Supriyanto memahami maksud ibunya.
Semua yang ia sebutkan adalah keluarga dari pihak ayah. Ia
memang pernah mendengar tentang keluarga mereka dari
pihak ibu. Sebagian terbesar di Medan, yang lain di
Kalimantan, ada pula yang di Irian Jaya. Di Jakarta ini juga ada
dua tiga orang, namun hubungannya selain tidak begitu
dekat, juga jarang saling kunjung-mengunjungi. Sesekali ia
tanyakan juga pada ayah atau ibunya mengapa mereka tidak
begitu akrab dengan keluarga dari pihak ibunya. Biasanya,
jawaban yang ia dengar hanya: mereka orang-orang sibuk,
jauh pula. Mengapa tidak kita kunjungi sesekali? Jawabnya:
nantilah, kalau ongkosnya sudah cukup. Kami pernah
menyurati, tetapi tak pernah dibalas. Jawabnya: mungkin
surat kalian tak sampai. Dan banyak pertanyaan lain, yang
dijawab lain-lain pula. Dan karena hubungan dengan
keluarga pihak ibunya pun begitu renggang sehingga
Supriyanto tidak berminat untuk terus mendesak.
Ingin tahu, Supriyanto mendesah: "Mengapa tibatiba mama ingin menanyakan hal itu?"
Ibunya yang baru keluar dari dapur, menjawab lirih:
"Karena aku kasihan pada bang Laungmu."
"Aneh. Mengapa pula ia harus dikasihani. Kan ia..."
"Bukan dia, nak. Lingkungan, yang melahirkannya!"71
"Lingkungan bagaimana, ma?"
"Daerah asalnya..."
"Batak?"
"Betul."
"Heran. Kok papa tidak menyukai orang Batak.
Tetapi sebaliknya, punya isteri orang Batak!"
"Jodoh, nak. Jodoh manusia ada di tangan Tuhan.
"Aku tak mengerti..."
"Kelak, Yanto. Kelak, kau akan mengerti sendiri..."
ujar ibunya, yang terus memanggil bi Yati pembantu mereka
yang tengah sibuk bekerja di kamar cuci. "Tolong lihat-lihat
masakanku di dapur, bi. Aku mau belanja ke pasar."
"Kutemani ya ma?"
"Tak usah, nak. Mama nanti sekalian pergi arisan."
"Oh!" dan setelah ibunya pergi, Supriyanto sadar
kalau ibunya tidak ingin memperpanjang persoalan.
Sayangnya, ibunya meninggalkan pertanyaan yang sama
panjangnya. Pertanyaan, yang teramat sulit untuk dijawab,
kecuali oleh ayah Supriyanto sendiri...
Satu hal jelas sudah. Setiap kali ayah pergi untuk
waktu yang lama, Suprihatin mempergunakan
kesempatannya. Menyuruh Parlaungan datang, atau ia yang
mendatangi kekasihnya itu. Pernah ia dengar Suprihatin
mendesak kekasihnya dengan penuh emosi; "Kita kawin lari
saja!" Parlaungan menolak. Jawabannya teguh: "Memang
bisa saja. Tetapi aku tak suka efeknya di kemudian hari!"
Kini, Supriyanto mendadak teringat lagi pada
Handini.72
Efek di kemudian hari itulah yang ingin dihindari
Supriyanto. Keluarga yang naik pitam, berurusan dengan
polisi, dan sebagainya. Kalaupun toh percintaan mereka
pada akhirnya disetujui, sisa-sisa keretakan tetap akan
terasa, tetap akan menimbulkan akibat. Mungkin sampai ke
anak cucu.
Dipikir-pikir, ada untungnya Marni muncul di
terminal Rawamangun. Waktu itu Supriyanto belum punya
pendirian tetap. Ia dalam keadaan labil, bingung memikirkan
Handini begitu nekad. Apabila Marni tak muncul dan Handini
memaksa, tentulah ia telah mengikuti Handini minggat entah
kemana. Dan entah bagaimana pula masa depan
Supriyanto...
Akan tetapi, beberapa hari kemudian sempat juga
Supriyanto menyesali telah mengabaikan Handini.
Suatu hari ia menerima sepucuk surat pos kilat
khusus. Tidak ada alamat si pengirim. Dari cap posnya,
Supriyanto tahu bahwa surat itu dikirim dari kantor pos
Padang. Tak syak lagi, pasti Handini yang mengirimnya.
Tulisan Handini sangat jelek. Isinya lebih jelas lagi:
"Kau, haram jadah terkutuk!"
Tak ada nama si penulis, tak ada tanda tangan. Yang
ada, hanya itu: Supriyanto seorang haram jadah, terkutuk
pula!
Ia tak perlu marah. Tak usah kecewa. Ia memang
pantas dicap sebejat itu. Yang penting ia sudah tahu bahwa
Handini masih takut mati. Tanpa Handini, ia tak akan
kesepian. Masih ada Fitri. Juga Nina dan Ossi. Tetapi soal
ukuran payudara, Handini nomor satu. Sayang juga. Padahal73
Handini pernah menawarkan miliknya yang yahud itu untuk
dikunyah oleh Supriyanto seorang. Coba, kalau waktu itu ia
mau diajak Handini nginap satu malam di Pelabuhan Ratu...
*** Sepuluh
Pernah satu ketika, di sekolah. Della, murid teman
sekelas Supriyanto ditempeleng oleh pak Saleh, guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Sewaktu berdeklamasi di depan
kelas, Della dengan semangat tinggi membacakan sebuah
puisi dan merubah sebutan Pancasila menjadi sebuah
ungkapan memalukan, yang dikaitkan dengan salah satu ras.
Seisi kelas terdiam, manakala pak Saleh menegur:
"Pancasila lahir di tengah kancah perjuangan bangsa.
Kamu harus menghormatinya, Della!"
"Itu dulu," jawab Della, berani. Murid perempuan
yang memang terkenal berjiwa pemberontak itu,
melanjutkan dengan semangat meluap-luap: "Apa sekarang?
Coba lihat. Kalau kita dengar ada pejabat yang korup, siapa
orang-orang yang berdiri di belakangnya? Ternyata mereka
itu orang..."
"Della!" hardik pak Saleh. "Kita tidak berbicara
mengenai koruptor. Kita berbicara tentang puisimu. Ada pun
Pancasila..." Beliau belum selesai berbicara, Della menyela
lantang dengan ungkapannya yang memalukan.74
"Eh, ini anak bandel benar!" umpat pak Saleh, lantas
?plak-plak?, pipi Della ditempeleng dua kali. Guru Bahasa
Indonesia itu menambahkan: "Ini sekedar pelajaran
untukmu, supaya tahu menghormati para pahlawan
bangsa..."
Terjadi keributan di dalam kelas. Pas ketika itu
berbunyi lonceng istirahat. Guru meninggalkan kelas, dan
murid-murid ramai mempertengkarkan peristiwa barusan.
Akhirnya lahirlah sebuah petisi. Isinya memohon agar kepala
sekolah memperingatkan, kalau perlu memecat pak Saleh
yang memperhinakan Della di depan semua teman sekelas.
Hanya sebagian kecil yang memihak pak Saleh. Bagian
terbesar, membela Della. Kata mereka: "Seorang
pemberontak, adalah seorang pahlawan!"
Ketika tiba gilirannya menandatangani petisi,
Supriyanto menolak. Ia mengakui memang tak setuju Della
diperlakukan sedemikian rupa. "Tetapi," katanya lagi,
"jangan karena tingkah seorang Della, satu kelas ini
dikenakan skorsing!"
Akibatnya, sampai bubaran sekolah Supriyanto
dikucilkan teman-temannya. Besok juga demikian.
Perdebatan sengit masih terjadi. Yang menandatangani
semakin banyak, tinggal sembilan orang yang abstain,
termasuk Supriyanto. Kesembilan orang itu lantas dimusuhi
dan dicap pengkhianat, tidak punya rasa setia kawan.
Petisi itu jadi disampaikan pada kepala sekolah.
Terjadilah heboh. Satu sekolah gempar. Kepala sekolah
memanggil semua guru untuk mengadakan rapat kilat. Dari
balik pintu tertutup ruang rapat itu, kemudian tercium kabar75
santer. Bahwa ulah Della tidak bisa ditolerir. Sebaliknya,
tindakan pak Saleh dicela, karena menyimpang dari anjuran
Ki Hajar Dewantara. Guru-guru dan semua murid kemudian
diapelkan di lapangan olahraga. Kepala sekolah berbicara
panjang lebar. Antara lain yang dipetuahkannya ialah:
"... memang, dari generasi muda dituntuk
keberanian. Tetapi kebebasan mimbar ada waktunya, ada
tempatnya, ada pula batasnya."
"Kalian semua di sini untuk menuntut ilmu. Orang
tua kalian banting tulang memeras keringat mencari seperak
dua perak, demi kalian. Agar kalian jadi orang!"
Dan banyak lagi. Kemudian ia mendadak bertanya
dengan suara lantang: "Kalau hujan turun dan rumah kalian
bocor, apakah kalian lantas merobohkan seluruh ruman?"
"Tidaaaak...!" terdengar jawaban serempak.
"Bagus! Jadi apa yang harus kalian lakukan?"
Jawaban serempak lagi. "Mengganti atap yang
bocor...!"
"Bagus sekali. Kalian semua memang anak-anak
pintar. Tak percuma kalian jadi murid sekolah yang kita
banggakan ini!"
Guru-guru tersenyum dikulum, murid-murid tertawa
berderai. Setelah keriuhan itu mereda, kepala sekolah
langsung menyuntikkan jarumnya yang tajam menusuk.
"Begitu pulalah Pancasila. Yang salah dan harus dibongkar
sampai ke akar-akarnya, bukan Pancasilanya. Melainkan
orang-orang yang telah salah mengamalkannya, orang-orang
yang menggerogotinya!"76
Tepuk tangan disertai tempik sorai membahana
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seketika, membuat lapangan olahraga seakan bergetar. Apel
dibubarkan. Pelajaran yang tertunda dilanjutkan di kelas
masing-masing. Dan di ruang guru-guru, dipertemukanlah
pak Saleh dengan Della serta semua murid yang telah
menandatangani petisi. Kepala sekolah kembali angkat
bicara. Dengan gayanya yang khas, lemah lembut tetapi
tajam menusuk. Pak Saleh mengkambing hitamkan udara
panas sebagai penyebab ?emosinya tidak terkendali.? Dengan
tulus hati ia bernasihat pula pada Della: "Belajarlah yang
baik. Berjuanglah jadi pemimpin. Kelak, bila semua itu kau
capai, barulah kau sebar-luaskan ide-idemu...!"
Kepala sekolah menambahkan: "Yang salah bukan
pak Saleh, bukan pula Della. Yang salah, keadaan."
Della mengakui: "Saya tidak membenci pak Saleh.
Maafkan akan keteledoran saya."
Kejujurannya mengakui kesalahan dipuji oleh kepala
sekolah. Ancaman terkena skorsing kemudian dibatalkan.
Begitu pula aman hukuman untuk para pendukungnya.
Mereka masih diberi nasihat dan pengarahan. Setelah itu
persoalannya dianggap selesai dan harap dianggap tidak
pernah terjadi. Beres!
Beres untuk mereka.
Belum beres untuk Supriyanto. Setelah gurunya
menempeleng Della dan Supriyanto menolak
menandatangani petisi, pulang ke rumah ia sempat
menceritakan hal itu pada ibunya. Seraya menggenggam
tangan anaknya dengan penuh kasih dan sayang, ibunya
berpesan: "Kalau kau berpegang pada kebenaran, anakku,77
dan orang lain kemudian mengucilkanmu karenanya...
Janganlah membenci mereka. Tetapi berdoalah, semoga
Tuhan mengampuni dan membuka mata mereka akan
kebenaran yang kau pertahankan itu..."
*** Nasihat berharga ibunya itu tak pernah dilupakan
Supriyanto. Tetapi nasihat itulah yang sekarang, justru
membuat jiwa Supriyanto terombang-ambing tidak
menentu. Sepulang ayahnya dari ?rapat dinas di Palembang?,
Supriyanto seolah-olah merasakan terjadi perubahan
suasana di rumah mereka. Ayah membencinya, ibu
menjauhinya, kakak mengacuhkannya. Keadaan itu
berlangsung selama berbulan-bulan. Bahkan ketika ia naik
kelas, Supriyanto menolak dirayakan. Ia merasa, kebaikan
hati mereka itu tidak berdasarkan hati yang ikhlas.
Supriyanto juga tidak menuntut hadiah. Dari hasil menabung
sisa uang sakunya, ia kemudian merayakannya sendiri
bersama beberapa orang teman di luar rumah. Mereka
merokok sebanyak-banyaknya, menenggak minuman keras
sampai ada yang mabuk, dan saling tukar cerita mengenai
pengalaman mereka dengan pacar masing-masing.
Usai perayaan itu, Supriyanto mengajak teman
kencannya Ossy pulang. Kebetulan di rumah si gadis tak ada
orang, kecuali pelayan. Orang tua dan saudara-saudaranya
pergi menghadiri jamuan keluarga. Ossy mengatakan
kepalanya pening dan ia mau muntah.78
"Kau terlalu banyak minum tadi," kata Supriyanto
mencela. "Obatnya, guyur dengan air kemudian tidur."
Ia mengantar Ossy ke kamar mandi. Setelah berada
di dalam, Ossy melarang Supriyanto meninggalkannya.
"Bantulah aku mengguyurku sampai pening-pening ini
hilang..." katanya.
Supriyanto memenuhi permintaan gadis itu. Ossy
menjerit-jerit gembira, kemudian balas mengguyur
Supriyanto. Dalam sekejap, pakaian keduanya sudah basah
kuyup. Ossy nekad menanggalkan pakaiannya. Tinggal celana
dalam saja, karena rupanya ia tidak memakai beha. Melihat
kebugilan gadisnya, darah muda Supriyanto melonjak-lonjak
penuh birahi. Tanpa dapat menahan diri, ia memeluk gadis
itu, menciuminya bertubi-tubi. Ossy mulanya kaget, tetapi
kemudian pasrah. Malah pelan-pelan ia menanggalkan pula
pakaian yang melekat di tubuh Supriyanto. Persentuhan kulit
tubuh mereka seakan bersentuhnya api dengan api.
Ossy mengerang ketika tubuhnya diseret Supriyanto
rebah di lantai kamar mandi. Kecelakaan yang sebelumnya
tidak dikehendaki, sudah membayang di depan mata. Ossy
benar-benar sudah lupa diri. Supriyanto gemetar. Birahinya
kian menjadi. Pelan-pelan ia copot sisa pakaian yang melekat
di bagian bawah tubuh gadisnya. Dan ketika itulah ia melihat
genangan air di lantai kamar mandi telah berubah menjadi
merah.
Supriyanto terlompat kaget.
"Kau terluka, Ossy!" desahnya, ketakutan.
"Apa?" Ossy masih terpejam, menanti. Tetapi jelas
wajahnya kelihatan pucat.79
"Kau berdarah! Lihat! Kau mengeluarkan darah..."
Barulah Ossy membuka matanya, dan melihat ke
lantai di sekitar pahanya. Ossy terkejut, buru-buru bangkit. Ia
menggapai handuk menutupi tubuh telanjangnya sambil
memaki tak tentu alamat: "Sialan. Aku mens lagi!"
Ossy sangat malu akan keadaan dirinya, sehingga ia
tidak keberatan waktu Supriyanto bergegas pamit. Dengan
membawa buntalan plastik berisi pakaian yang basah,
Supriyanto lantas pulang ke rumah.
Hanya Suprihatin seorang yang menyambutnya.
Kakaknya memandangi Supriyanto dari ujung rambut ke
ujung kaki, lantas berseru: "Hei, pakaianmu kebesaran.
Dapat pinjam ya?"
"He eh!" rungut Supriyanto, terus ke belakang dan
memberikan pakaiannya yang basah kepada bi Yati untuk
dicuci. Suprihatin menguntit dengan setia di belakangnya.
Bertanya:
"Punya siapa?"
"Teman," jawab Supriyanto, berjalan ke kamarnya.
"Teman gadis ya?"
Supriyanto membuka lemari pakaian miliknya. "Aku
tak doyan gadis buntet..." sambil ia mengembangngembangkan pinggang baju dan paha celanan yang ia pakai,
sekedar membuktikan kebenaran kata-katanya.
"Barangkali saja, yang kau pinjam itu pakaian
bapaknya," Suprihatin tidak mau kalah.
"Memang!"
Sejenak, Suprihatin melongo. Kemudian memekik:
"Ya Tuhan... kau apakan gadis itu, Yanto? Jangan-jangan..."80
"Jangan kuatir, kak. Aku cuma terpeleset di jamban
mereka. Pakaianku kotor dan baunya bukan main. Maka,
karena gadis itu kebetulan tidak punya saudara laki-laki, aku
lantas dipinjami baju bapaknya. Titik."
"Masih koma!" potong Suprihatin tak puas.
"Bapaknya setuju?"
Supriyanto menangkap arah pertanyaan kakaknya.
Maka dengan lihay ia menjawab: "Gadis itu lari terbirit-birit
manakala aku buka kancing celana!" dan dengan gerakan
menantang dia pun nekad membukai kancing celana di
depan kakaknya.
"Amit-amit!" pekik Suprihatin.
Lantas ia pun minggat dari kamar Supriyanto, lari
terbirit-birit.
*** Sebelas
Affair di kamar mandi itu bukannya tidak
menimbulkan akibat. Si burung dara terus mengeram di
sarangnya. Sulit dipancing keluar. Begitu mengenali suara
Supriyanto di telepon, gadis itu selalu menjawab: "Maaf,
salah sambung!"
Ditunggu sepulang sekolah, si gadis lekas menggaet
satu dua temannya mengajak berkomplot. Kepada ?si
penjaga gerbang yang setia?, mereka berkata: "Kami mau81
membuat paper, atau, "Kami mau pergi praktek ke apotek,"
karena si burung dara memang sekolahnya di SAA. Dikirimi
surat, selalu kembali tanpa dibuka disertai catatan: Pindah
Alamat. Didatangi ke rumahnya, disambut oleh pembantu
yang mengatakan: "Neng Ossy sedang pergi." Kalau
kebetulan kepergok lalu gadis itu lari bersembunyi,
pembantunya berkata begini: "Maaf ya. Neng Ossy katanya
sakit perut...!"
Akan tetapi Supriyanto tidak habis akal. Sebenarnya,
bakat polisinyalah yang muncul tanpa ia sadari.
Dari kejauhan diam-diam ia mengintip kebiasaan
Ossy. Kemudian ia ketahui bahwa setiap Selasa dan Jumat
sore, gadis itu privat les Bahasa Inggris di rumahnya. Pada
waktu bersamaan, ibunya berangkat meninggalkan rumah
untuk les senam. Ayahnya, seorang kontraktor bangunan,
baru pulang malam hari. Puas menyelidiki Ossy, Supriyanto
ganti menyelidiki guru privat itu. Dengan segala kesabaran
dan ketekunan akhirnya ia ketahui alamat serta nama guru
privat Ossy, bahkan juga nama dan pekerjaan suaminya.
Supriyanto lalu menyusun rencana.
Sewaktu Suprihatin lengah, Supriyanto
mempergunakan kesempatannya. Ia mencuri pinjam
sejumlah milik pribadi kakaknya. Blus katun, beha, beberapa
helai saputangan, wig sebatas pundak, kacamata gelap. Ia
juga tak lupa menyambar kotak bedak serta lipstik. Celana, ia
tak usah kuatir. Guru privat Ossy suka pakai celana longgar.
Supriyanto dapat mempergunakan celananya sendiri, tetapi
yang agak sempit. Guru privat itu memang tidak setegap
Supriyanto, namun ukuran tinggi mereka mujur hampir82
sama. Perlengkapan itu dijejalkan Supriyanto ke sebuah tas
tangan kakaknya yang cukup besar untuk memuat semua
benda-benda itu. Suprihatin tidak akan segera mengetahui
perbuatan adiknya. Karena tiap hari Jumat Suprihatin kuliah
siang sampai sore dan biasanya diteruskan kencan dengan
Parlaungan.
Setelah ibunya tidur, Supriyanto menyelinap ke luar
rumah. Ia naik mikrolet ke tempat tujuan. Tidak jauh dari
rumah Ossy, ia turun. Ia masuk ke sebuah restoran. Makan,
sambil menunggu. Setelah waktu yang ia perkirakan tepat, ia
pergi ke telepon umum tidak jauh dari restoran. Uang
recehan ia bawa secukupnya. Pertama-tama ia menelepon
ke kantor ayah si gadis. Dengan suara dibesarkan, ia
mengarang nama dan alamat palsu, menjelaskan bahwa ia
dan ?sejumlah teman? bermaksud membangun sebuah
supermarket. Lalu berkata serius, ".... sebelumnya, kami
ingin konsultasi dulu dengan Pak Suparjan," ia menyebutkan
nama ayah Ossy.
Ia memperoleh jawaban bahwa orang yang ia cari
kebetulan sedang pergi menghadiri undangan makan
seorang pembantu Walikota. Pulangnya mungkin agak
malam dan tidak akan kembali ke kantor.
"Di sini ada wakil beliau. Perlu kami panggilkan?"
ujar orang yang menerima telepon.
"Tak usahlah. Nanti kami telepon lagi!"
Supriyanto meletakkan telepon, memasukkan koin
uang logam lima-puluhan lalu memutar nomor telepon guru
privat Ossy.
"Hallo? Apa saya berbicara dengan zus Lilian?"83
"Benar. Ini dari mana ya?"
Supriyanto sengaja menarik nafas panjang. Purapura bimbang sebentar, baru kemudian: "Ini dari kantor
DLLAJR Pulo Gadung, zus. Saya teman sekerja bung Tarjo,
suami zus. Bagian kir kendaraan..." ia gantung suaranya
sekali lagi.
"Ya, ya. Ada apa? Apa yang terjadi?" guru privat yang
malang itu mendesak tak sabar.
"Ada... eh, kecelakaan kecil. Tak seberapa parah...
Benar, bung Tarjo cedera... Oh, ada pengemudi lalai, dan...
Tidak, ia tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Hanya sedikit
lecet, begitu. Oh... oh, tak usah, zus. Katanya ia dapat pulang
sendiri."
Sesuai dengan harapan Supriyanto, lawan bicaranya
mendengus tak sabar: "Saya akan ke sana segera!" lalu
hubungan pun putus. Perempuan itu sampai lupa
mengucapkan terima kasih. Memang tak perlu, saat ini.
Nanti di Pulo Gadung, boleh saja. Terima kasih untuk Tuhan,
karena suaminya sehat wal?afiat adanya.
Telepon terakhir, langsung ke alamat rumah Ossy.
Ternyata dipakai. Supriyanto menunggu tiga menit,
kemudian menghubungi lagi nomor-nomor yang sama.
Jantung Supriyanto berdegup kencang. Semoga bukan ibu
Ossy yang menerima. Dan memang bukan. Karena ia segera
mengenali suara Ossy: "Halo?"
Supriyanto sesaat gemetar. Sesaat pula, hampir
bergerak memperkenalkan dirinya, menyatakan cinta dan
kerinduannya yang sudah tak tertahankan lagi. Untung ia84
dapat menahan diri. Dengan suara dikecilkan, ia berkata di
telepon: "Halo. Boleh bicara sebentar dengan Tante Sofie?"
"Mama barusan pergi. Ini siapa?"
"Pergi? Ke mana?"
"Biasa, senam. Ini siapa?"
"Temannya. Sudah ya?"
Supriyanto berdesah panjang setelah selesai
menelpon. "Hebat!" setengah berseru, ia memuji diri sendiri.
"Luar biasa!" Kemudian bergegas lagi ia masuk ke restoran.
Pelayan masih mengingatnya sebagai pemuda yang tadi
setelah makan lalu memberi tip besar sebelum pergi.
Mendengar pertanyaan Supriyanto, pelayan itu terkejut:
"Apakah hidangan kami tak cocok dengan perut Tuan
muda?"
"Tidak, tuan muda hanya ingin kencing sebentar."
Dengan senang hati pelayan itu mengantarkan
sampai ke depan pintu kamar kecil.
Tak ada pintu samping dekat kamar kecil. Mungkin
menjaga kemungkinan pengunjung yang nakal tak mau
bayar. Jadi terpaksa harus lewat pintu depan, Supriyanto
mengeluh dalam hati seraya menyelinap ke dalam kamar
kecil. Lima menit kemudian, Supriyanto keluar dari kurungan
berbau amoniak itu. Satu dua orang pengunjung restoran
memperhatikan dengan mata dan senyum genit sementara
Supriyanto melangkah dengan lenggang gemulai ke pintu
depan restoran. Si pelayan, ternganga sejenak, menepuknepuk jidatnya, lantas menggerutu: "Huh! Kalau aku tahu dia
itu wadam...!"85
Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di jalan, Supriyanto melambai Helicak kosong yang
kebetulan lewat. Guru privat Ossy sering datang dengan naik
Vespa, tetapi sesekali juga naik Helicak atau Bajaj. Supriyanto
menyebut kemana supir harus mengantarkannya. Dan pada
supir yang menyeringai melihat penampilannya, Supriyanto
membentak dengan suara berat: "Apa lihat-lihat!"
"Ja-ilee. Galaknya!" sahut supir Helicak seraya
menjalankan kendaraannya. Supir itu masih menyeringai
ketika Supriyanto membayar dan turun di depan rumah
Ossy. Sambil mengebut Helicak-nya, sang supir terdengar
tertawa ngakak, sambil mengejek: "Cakep sih cakep. Tapi
baunya...!"
Terkesiap juga Supriyanto. Ternyata ia lupa memakai
parfum. Tak apalah. Toh nanti pintu yang dia ketuk, tidak
punya hidung. Sekarang, maju, serbu, selagi lawan lengah!
Kuatir penampilannya jauh berbeda dengan sang guru privat,
Supriyanto cepat melenggang memasuki halaman rumah
besar di depannya.
Bel ditekan. Ning-nong...!
Jantung berpacu. Dak-duk-dak-duk!
Lamat-lamat terdengar suara langkah mendekat di
sebelah dalam pintu. Hampir saja Supriyanto
memperlihatkan seringai lewat kaca jendela tembus sebelah,
karena hal itulah yang selalu dilakukan sang guru privat
sebelum pintu dibuka. Ingat diri, Supriyanto memutar tubuh,
pura-pura asyik memperhatikan lalu lintas di jalan raya. Tas
ditekankan ke dada, sambil meraba-raba apakah ?payudara?
nya kiri kanan sama besar, atau letaknya tinggi sebelah.86
Maklum, sapu tangan yang digumpal-gumpalkan di balik
beha, tak dapat dipercaya...
"Selamat sore, Tante Lilian..." Supriyanto pucat pasi
mendengar suara Ossy yang lembut, ramah. "Lagi lihat apa,
Tante?"
Supriyanto meski gugup, masih mampu menguasai
diri. Kepalanya dirundukkan dalam, kemudian menyelinap
masuk dengan langkah bergegas, seperti tikus menyerobot
masuk ke liang karena takut oleh kucing. Ossy yang dilewati
begitu saja, sempat terheran-heran, kemudian terdengar ia
memekik tertahan. Supriyanto masih tegak di tengah ruang
depan itu, membelakangi Ossy. Ia mulai kalang kabut, dan
sempat berpikir, kabur saja sekarang sebelum Ossy berteriak
minta tolong. Sayang, sendi-sendi lututnya sekali ini tidak
mau bekerja sama. Ia hanya berdiri mematung, tak berani
berpaling.
Kemudian, ia mendengar suara Ossy. Bukan suara
jerit ketakutan. Melainkan, suara mengejek: "Sepatunya
cantik, Tante. Dapat beli di mana?"
Tercengang, Supriyanto mengawasi kakinya, dan
ketika melihat sepatunya sadarlah bahwa ia telah melupakan
untuk mencuri pinjam juga sepatu berhak tinggi milik
kakaknya. Ia mengenakan sepatunya sendiri, sepatu laki-laki!
Tak sadar, ia memaki: "Sialan!"
Di belakangnya, terdengar suara tertawa membadai,
disertai ucapan terputus-putus: "Yanto... yang ma... lang, apa
tak gatal... tuh, kepalanya..."
Supriyanto jatuh terhempas di kursi.87
Barulah ia lihat Ossy membungkuk terpingkalpingkal, begitu hebatnya sampai air mata Ossy berleleran.
Tak berapa lama kemudian, tawa Ossy tersentak-sentak, ia
memegangi perutnya, duduk dengan susah payah sambil
mengeluh: "Aduh, perutku."
Tetapi setelah melihat tampang Supriyanto yang
tidak karu-karuan, lebih-lebih wignya yang sangat semrawut,
tawa Ossy meledak lagi.
Bi Asem pembantu rumah mereka berlari-larian dari
dapur karena ingin tahu. Supriyanto berpaling dan mendeliki
perempuan itu, yang seketika berubah pucat. Matanya
ketakutan setengah mati, lantas mundur tak teratur sambil
terengah-engah: "Naudzubillah ? ada dedemit masuk
rumah..." dan berikutnya, terdengar pelayan itu
membanting pintu. Nyumput di kamarnya.
Tawa Ossy kian menjadi-jadi.
Pelan-pelan, Supriyanto akhirnya dapat juga
tertawa. Makin lama, makin berderai-derai. Wignya copot,
terbang ke lantai. Blusnya terguncang-guncang, sehingga
sebelah payudaranya tetap mencuat, sebelah lainnya
bertambah gepeng. Dari bawah bagian dada gepeng itu,
lewat tepi blus yang terbuka, jatuh berhamburan helai demi
helai sapu tangan.
Lima menit berikutnya, Supriyanto dan Ossy saling
tukar pandang. Beha telah ditanggalkan Supriyanto. Blus
kakaknya ternyata serasi juga dengan ketampanan
wajahnya. Rambutnya yang tidak teratur, semakin
menambah kematangan penampilannya. Matanya menatap
lurus ke mata Ossy. Gadis itu membalasnya. Hangat.88
"Mestinya, aku mengusirmu," Ossy berbisik lirih.
"Usirlah."
"Mestinya, aku memakimu."
"Makilah."
"Mestinya aku membencimu."
"Bencilah."
"Tahukah kau, betapa aku merindukanmu?" bisik
Ossy lagi, tergetar.
"Aku juga."
"Aku kehilangan kau."
"Aku juga."
"Kau terlalu!"
"Kau juga."
"Yanto..."
"... Ossy."
Mereka berdua bangkit serempak dari kursi masingmasing, lengan saling mengembang, lalu saling meraih, saling
memagut. Wajah yang satu mendekati wajah yang lain. Dua
pasang bibir, cari-carian celah dengan gelisah. Dan ketika
bertemu, pertemuan itu lama sekali, seakan tak mau
dilepaskan.
Ossy kemudian jatuh bersimpuh di lantai dengan
nafas tersengal.
Supriyanto ikut bersimpuh.
"... mengapa, Ossy?" desah Supriyanto, getir.
"Apanya??
"Kau juga menyingkirkan aku."
"Menyingkirkan kau?"89
"Ya."
Ossy menelan ludah. "Kau tahu?" ia bergumam.
"Apa?"
"Peristiwa di kamar mandi itu..."
Memerah kulit muka Supriyanto. "Ya?" ia mengeluh.
"Kau memanfaatkan keadaanku," suara Ossy tajam
menusuk.
"Keadaanmu?"
"Waktu itu aku masih mabuk."
"Ossy..."
"Benar, bukan?"
"Tidak."
"Bohong!"
"Demi Tuhan!"
"Sungguh?"
"Ya."
"Lalu... mengapa kau tak menyadarkan aku?"
"Gairahku sangat terkutuk, Ossy."
"Siapa yang lebih dulu buka baju?"
"Kau, Ossy."
"Bohong!"
"Demi Tuhan!"
"Untung tak jadi, ya?" Ossy tersenyum.
"Ya. Untung tak jadi..." Supriyanto ikut tersenyum.
"Untung aku mens ya?"
"Ya. Untung kau mens."
"Memalukan bukan?"90
"Ya. Memalukan..." Supriyanto tersentak, lantas
buru-buru memperbaiki: "Maksudku, sikapku waktu itu
sangat memalukan..."
Ossy tertawa. Lunak. "Tak akan lagi bukan?"
bisiknya.
"Apa?"
"Peristiwa memalukan itu."
"Ya. Tak akan lagi, Ossy."
"Kecuali..."
"Kecuali apa, Ossy?"
"Kita menikah."
"Oh!"
"Kok oh, Yanto?"
"Kita masih... masih sekolah, Ossy."
"Ah. Kau benar."
"Kita masih punya waktu."
"Ya. Kita masih punya waktu..."
"Selama tidak ada orang lain di hatimu, Ossy."
"Hanya kau seorang, Yanto."
"..."
"Bagaimana dengan gadis-gadismu yang lain? Fitri.
Nina..."
"Telah kulupakan, Ossy."
"Bohong!"
"Demi Tuhan!"
"Kau bisa?"
"Ya."
"Mengapa?"91
"Setelah peristiwa di kamar mandi itu, Ossy. Aku
merasa sangat bersalah. Aku telah menjamah tubuhmu, di
luar batas."
"Belum terjadi Yanto."
"Hampir Ossy."
"Aku yang salah."
"Bukan kau, Ossy. Aku."
"Aku, Yanto."
"Aku, Ossy."
"Baiklah. Kita berdua sama-sama bersalah."
"Betul juga!"
"Yanto..."
"Hem?"
"Tadi itu..."
"Yang mana?"
"Kau bilang, aku juga menyingkirkanmu. Apa
maksudmu?"
Supriyanto menarik nafas. Katanya, murung: "Aku
dibenci papa. Dijauhi mama. Diacuhi kak Tien!"
"... oh!"
"Sudah lama aku tak betah di rumah. Pergi sekolah
lebih pagi. Pulang lebih sore. Dan makin sering aku nginap di
rumah teman. Dengan alasan, mengerjakan PR."
"Mengapa, Yanto?"
"Entahlah."
"Apa kesalahanmu?"
"Tak tahu."
"Aneh..."
"Mungkin karena rahasia itu, Ossy."92
"Rahasia?"
"Ya, mengenai papa."
Ossy membuka mulut. Ingin bertanya. Tetapi segera
mengatupkan mulutnya kembali. Ibunya selalu bilang:
"Jangan campuri urusan orang lain, kecuali diminta." Ia
menunggu Supriyanto mengajukan permintaan itu. Yang
ditunggunya, tak kunjung tiba. Dari wajah Supriyanto yang
bertambah murung, ia kemudian memahami, bahwa diamdiam Supriyanto menyesal karena terlanjur ngomong.
"Mau minum, Yanto?"
Si pemuda manggut. Lesu.
"Tunggu ya sebentar."
Ossy beranjak ke dapur. Dan selama Ossy di dapur,
Supriyanto berfikir keras. Pikirnya: "Suprihatin tidak lagi
ngomel-ngomel kalau aku pulang terlambat. Mama tidak lagi
menanyakan mengapa aku sering pergi ke sekolah tanpa
lebih dulu makan pagi. Papa tak lagi menegur, mengapa aku
makin sering tidur di rumah orang."
Jiwanya serasa dicabik-cabik. Pundaknya
terguncang.
Tiba-tiba, ia dengar suara lembut Ossy. "Kau
menangis, Yanto." Gadis itu membungkuk, mengambil
tangan Supriyanto, membawanya ke dadanya. Katanya, lebih
lembut lagi: "Aku ingin menangis bersamamu, Yanto. Tetapi
dengan menangis... persoalanmu tidak akan dapat kita
selesaikan."
Namun toh ketika Supriyanto mendekapnya begitu
kuat, terisak-isak di bahunya, merembes juga air mata Ossy...
***93
Dua belas
Lama juga waktu berlalu sebelum akhirnya
Supriyanto menyadari kekeliruannya.
Ia sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, ketika
Suprihatin menyelesaikan studinya di Akademi Bahasa Asing.
Tawaran pekerjaan sudah datang untuknya dari sebuah
perusahaan swasta yang bonafiditasnya tidak pernah
diragukan umum. Sambil menimbang-nimbang apakah
tawaran itu ia terima saja atau lebih baik melamar jadi
pegawai negeri, Suprihatin lebih dulu ingin memperoleh
keputusan dari ayah mereka. Keputusan yang jauh lebih
penting daripada ijazah ABA-nya, keputusan yang jauh lebih
Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu Putri Bong Mini 03 Pedang Teratai Merah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama