Ceritasilat Novel Online

Primadona 2

Primadona Karya Abdullah Harahap Bagian 2


berharga daripada tawaran pekerjaan perusahaan manapun
juga.
Keputusan itu, mengenai pernikahannya.
Setelah dipilih waktu yang tepat, ayah pun sedang
rilek pula, maka berlangsunglah peperangan itu!
Bermula dengan obrolan santai kian kemari. Ujungujungnya, Suprihatin berdehem-dehem. Ibu menangkap
makna deheman itu, lantas berpaling pada suaminya.
Dengan ketetapan hati, beliau berkata seolah sambil lalu:
"Pak. Anak kita, Alhamdulillah, telah berhasil
menyelesaikan kuliahnya. Jadi, masa depannya tidak lagi
begitu kita kuatirkan. Yang kini harus kita pikirkan, adalah
usianya. Suprihatin sudah waktunya memulai hidup baru,"
dia berhenti sebentar mencari kata-kata terbaik untuk
diucapkan. Lalu, "Bagaimana menurut pandanganmu, pak.94
Apakah Suprihatin kerja dulu baru menikah, atau menikah
dulu baru bekerja?"
Sepi sejenak. Suprihatin bergidik. Supriyanto dapat
merasakannya. Sang kepala keluarga, menyedot pipa
cangklongnya kuat-kuat. Akhirnya:
"Bagaimana baiknya sajalah," jawab ayah mereka,
datar.
Itu bukan jawaban yang dikehendaki. Namun sang
isteri dapat menahan sabar. Gumamnya: "Maksudmu, pak?"
"Lho. Maksudku jelas. Aku tak berhak menjawab
pertanyaan itu. Yang lebih berhak orangnya."
Sang penengah, berpaling memandangi anak
perempuannya. Meski sudah tahu apa jawabannya, toh ia
bertanya pula: "Bagaimana, nak? Ayahmu memberimu
kebebasan memilih."
Suprihatin merundukkan kepala, menekuri kakinya.
Ia tersipu malu. Tetapi jauh dalam hati sanubarinya, ia
ketakutan setengah mati. Lama, baru ia menyahuti: "Aku
sih... maunya berumah tangga dulu..." ia memperdengarkan
tawa orang sakit gigi. Meneruskan: "Lagi pula soal bekerja,
ada baiknya dimintakan pendapat calon suamiku."
"Pikiran bagus," sela ayah. "Pikiran bagus. Kudengardengar, Praktikto mendambakan seorang isteri tipe ibu
rumah tangga tulen. Ia agak kuno, memang. Tidak mau
punya isteri seorang wanita karier. Alasannya kumengerti.
Karena ia sendiri mempunyai penghasilan lebih dari cukup,
dan dia..."95
Di kamarnya, bolpen di tangan Supriyanto lepas,
menggelinding ke lantai. Di ruang tengah, Suprihatin
bertanya setengah menjerit: "Si... siapa pa?"
"Praktikto. Putera bungsu Hasbullah, Uwamu.
Mereka sudah lama menanti. Tetapi memahami
keinginanmu menyelesaikan kuliah lebih dulu, mereka mau
mengerit. Sekarang... hei, kau sakit, Suprihatin?"
Ibu tidak bertanya apa-apa. Rupanya ibu mendadak
hilang gairah. Suprihatin akhirnya bersuara juga: "Aku tak
apa-apa, papa. Aku hanya..." lalu tiba-tiba saja ia menangis
tersedu-sedu. Sambil menangis, ia mengeluarkan jeritan
hatinya: "Mas Praktikto tidak pantas memperisteri aku,
papa...
"Apa pula maksudmu?" ayah membentak. "Apakah
kau tetap ingin mempersuamikan orang Batak sialan itu?"
Terdengar keluhan berat, keluhan sakit. Keluhan ibu.
Namun sang suami yang egois itu tidak menyadari telah
menyakiti hati isterinya. Ia terus menggebu-gebu: "Si Laung
telah meracunimu, Prihatin. Si Laung telah mendukunimu,
sehingga kau tidak pernah bisa melepaskan diri dari
cengkeramannya!"
"Itu tidak benar, papa!" Suprihatin membela dengan
sengit. "Justru Parlaungan berulang kali menasihati aku agar
melupakannya saja dan mencari jodoh yang papa setujui. Ia
tidak mau hubunganku dengan papa retak, karena dirinya.
Tetapi aku tahu ia sangat mencintaiku, papa. Aku tak pernah
punya niat meninggalkannya!"
"Tidak bisa!" ayah memukul meja begitu kuatnya,
sehingga meja itu berderak. "Tidak bisa. Tak akan96
kuperkenankan kau kawin dengan keturunan orang-orang
yang pernah memperhinakan aku!"
"Papa. Mereka tidak..."
"Mereka menghinaku! Mereka menghancurkan
impianku! Mereka memporak-porandakan kebahagiaanku!"
papa berubah histeri.
"... mereka siapa... papa?" Suprihatin terperanjat.
"Orang-orang Batak itu! Keluarga... tanyakan
sendirilah pada ibumu! Hai, bu, bu... tak usahlah menangis!
Coba ingat, apa kata orang tuamu dulu? Apa ha? Batak
tetaplah Batak, Jawa tetaplah Jawa! Dan hal itu tetap berlaku
sampai detik ini."
"Pak..." suara ibu bagaikan suara orang yang tengah
sekarat. "Semuanya telah lama berlalu.
"Aku juga menganggapnya begitu. Tetapi semua itu
muncul kembali. Setelah anakmu ini... si Suprihatin yang
tidak tahu diri ini, membawa orang sesukumu yang busuk
hati itu ke rumahku. Parlaungan, hah! Andai aku tahu kau
masih berhubungan dengan dia di belakangku, Suprihatin,
dia... dia... awas, akan kucari dia mulai besok. Dia harus
melepaskan anakku, atau..."
"Persoalannya tidak segampang itu, papa," potong
Suprihatin, tenang. Karena kecewa, karena sakit hati
kekasihnya tercinta diumpat dicerca, keberaniannya timbul
kembali, tegak dengan gagahnya. "Papa tak mungkin lagi
memisahkan kami."
"Apa.. apa pula itu, Suprihatin?"
"Minggu lalu aku mengunjungi dokter..."
"Dokter?"97
"Ya. Dokter kandungan. Aku positif sudah
mengandung tiga bulan!"
Sepi menyentak. Sunyi, mencekik. Di ruang tengah,
seakan tak pernah dihuni manusia, seakan dunia sudah lama
mati. Tetapi di kamarnya, Supriyanto mendadak tersenyumsenyum. "Itu kan akal bulus si Handini," ia membatin. "Si Dini
bilang, kita pura-pura mengaku dia sudah bunting." Hem
ilmu Handini ternyata laris juga. Suprihatin kini
memamerkan ilmu Handini yang belum sempat diamalkan
itu. Lamunan Supriyanto buyar, manakala sekonyongkonyong terdengar suara hingar-bingar seperti kursi terbalik
dan meja terlempar, lalu suara nafas ayahnya yang bagaikan
nafas kuda habis berpacu, suara kakaknya yang seakan
tercekik, disusul suara pekik ngeri ibunya: "Ya Allah, pak!
Jangan! Jangan kau bunuh anakmu!"
Bagai disengat kalajengking, Supriyanto terlonjak
dari kursinya. Tadi ia tidak ambil perduli. Toh mereka juga
tidak mau perduli padanya. Terbukti, untuk urusan sebesar
itu ia tidak diajak bermusyawarah. Baru saja Supriyanto
ambil ancang-ancang untuk menyerbu keluar kamarnya,
sudah keburu terdengar keluhan ayah:
"Astagfirulah. Apa yang... kuperbuat."
Suprihatin menimpali, kejam nadanya: "Mengapa
berhenti, papa? Teruslah. Bunuh aku sekalian. Biar
semuanya selesai..."
"Suprihatin. Aduh!" ibu memekik, memperingatkan.
"Toh tadi papa sudah mencekik leherku!" Suprihatin
membalas, tak mau tahu. "Aku tidak tahu dan tidak ikut98
terlibat dalam masa lampau papa. Lalu kenapa pula aku
harus jadi korban masa lampaunya?"
Terdengar suara-suara langkah-langkah kaki berat,
berjalan ke pintu depan. Pintu itu direnggut terbuka,
kemudian dibantingkan dengan keras. Menyusul suara mesin
mobil yang menggeram garang, kemudian menderum ke
jalan raya, suaranya kian lama kian menjauh.
Supriyanto terhenyak lagi di kursinya. Geleng kepala.
"Anak kecil itu minggat sendiri," gerutunya.
Ibunya masih menangis terisak-isak.
Suprihatin tetap tenang. Tetap tabah. Baru setelah
ibu bertanya apakah ia sungguh-sungguh dengan
pengakuannya, bukan hanya pura-pura hamil agar ayah
takluk, yang dijawabnya benar bahwa ia sudah hamil;
Suprihatin terkejut oleh raungan ibunya:
"Dan ayahmu kini pergi, nak. Bagaimana kalau
terjadi apa-apa atas diri ayahmu, lebih-lebih lagi atas diri
calon suamimu?"
"Tuhanku. Jangan!" desis Suprihatin, ngeri.
"Diamlah. Tak usah kau yang pergi. Biar adikmu yang
kusuruh menyusul ayah kalian..." ujar ibunya.
Kemudian pintu kamar Supriyanto digedor kuatkuat. Pintu itu mementang terbuka dengan sendirinya.
Karena memang semenjak tadi sengaja dibiarkan renggang.
Supriyanto terkesima memandangi wajah ibunya yang
seolah kesurupan.
"Mengapa kau diam saja, Yanto. Ayo, lekas susul
ayahmu," ibunya memohon dengan suara panik.
Supriyanto duduk saja. Tenang-tenang.99
"Yanto!" hardik ibunya.
Supriyanto menyahut: "Mengapa pula aku harus ikut
sibuk? Biarkan saja papa minggat. Toh ia tidak memerlukan
bantuanku. Toh sudah lama ia membenciku!"
"Astaga. Apa maksudmu, Supriyanto?"
"Sudah hampir dua tahun aku diperlakukan bagai
orang asing di rumah ini. Papa tak pernah lagi menegur,
marah, membujuk, mengajak. Papa sudah lama tidak ambil
open padaku."
"Tidak benar itu, nak," ibunya gemetar hebat. "Kau
salah sangka. Justru ayahmu sangat menyayangimu,
memanjakanmu, mengasihimu. Tetapi tidak mau
memperlihatkannya terang-terangan. Ia bilang, kau sudah
berangkat dewasa. Kau harus dibiarkan mencoba berpikir
sendiri, memutuskan sendiri, berdiri sendiri. Ia tidak ingin
mengekangmu. Ia justru membiarkan kau berkembang
semakin dewasa, oleh dorongan jiwamu dari dalam. Ia
bilang, kau bukan lagi anak kecil yang harus digiring-giring
menuruti kemauan kami, orang tuamu!"
Supriyanto terperanyak mendengarnya. Namun
belum puas hatinya. Ia menuntut: "Dan mama? Mama juga
menjauhiku!"
"Siapa yang menjauhimu, nak? Oh... oh... aku
mengerti. Ini memang salah ibumu, nak. Selain aku menuruti
nasihat ayahmu, aku... aku sendiri juga, oh!" ibunya terisakisak lagi. "Ini salahku. Aku terlalu larut oleh nasib malangku
sendiri. Ya Allah..."
Tahu-tahu Suprihatin sudah tegak di pintu kamar
adiknya.100
Ia berkata dingin: "Ingin pula menuduhku,
Supriyanto?" karena yang ditanya diam saja, Suprihatin
menjawab sendiri: "Aku pun seperti Mama. Aku juga larut
oleh nasib malangku sendiri. Yang kupikirkan cuma usiaku
yang kian menua, cintaku yang terancam kandas, dan ayah
kita yang berhati sekeras baja. Kalau itulah tuduhanmu atas
diriku, Supriyanto. Aku minta maaf..."
"Kak...," Supriyanto gelagapan.
"Katakan padaku, dik. Apa yang membuatmu
berpikir seburuk itu? Kau tidak punya salah, bukan?"
Supriyanto tiba-tiba terbuka pintu hatinya. Luapan
kebencian akan kelakuan ayahnya, nyatanya ia pendam di
hati. Ia seorang anak yang sudah terbiasa patuh dan hormat
pada orang tua, sehingga ia tidak pernah punya keberanian
menuntut ayahnya. Ia juga tidak punya keberanian menyakiti
hati ibunya. Karena itu, ia kemudian menyimpan rahasia
besar yang berhasil dibongkarnya. Rahasia, yang karena
didikan keras dan disiplin yang ditanamkan di bawah kasih
sayang... membuat ia terpaksa harus menyembunyikan
rapat-rapat dalam dadanya. Ia sendiri yang menjauhi
ayahnya, karena takut ia akhirnya menuntut. Ia sendiri yang
menjauhi ibunya, karena kuatir rahasia itu melukai hati
ibunya. Suprihatin? Ah. Tak perlu ia tahu rahasia Supriyanto.
Karena Suprihatin sudah tenggelam oleh rahasia hatinya
sendiri.
"Katakan Supriyanto. Tidak ada waktu untuk
berahasia-rahasiaan lagi!" Suprihatin mendesak, agaknya
dapat menyelami jalan pikiran adiknya.101
"Tapi, mama..." Supriyanto memandangi ibunya
dengan cemas.
Ibunya sudah berhenti menangis. Ia menganggukkan
kepala, lemah. Berujar, dengan senyuman mendorong,
senyuman dipaksakan: "Katakanlah, anakku. Tak ada lagi
yang ibu takuti saat ini."
Supriyanto menelan ludah.
Kemudian mengatakannya. Pendek saja: "Marni."
Suprihatin mengernyitkan dahi. "Marni? Siapa itu
Marni?"
"Sang Primadona. Ia..."
Terdengar suara keluhan getir, lalu tubuh ibunda
mereka tersayang meliuk limbung, jatuh ke lantai. Tak
sadarkan diri.
*** Tiga belas
Syukurlah, bencana yang ditakutkan itu tidak sampai
terjadi.
Setelah ibunya siuman dan mengatakan ia baik-baik
saja, Supriyanto menyambar Vespa Suprihatin lantas terbang
ke rumah Parlaungan. Tak ada mobil ayahnya di pekarangan
rumah itu. Syukur lagi. Jadi papa belum kemari, pikirnya.
Herannya, di dalam rumah terang benderang. Dan belum102
juga Supriyanto memijit bel, pintu sudah terbuka sendiri.
Sosok tubuh tinggi besar tahu-tahu sudah tegak di depannya.
"Ah, kau Yanto. Masuklah. Dan jangan bilang
kakakmu cidera!" ia setengah berseru, kuatir.
Supriyanto tidak masuk. Ia langsung menceracau,
lebih kuatir lagi: "Kakak sih tak apa-apa. Yang kutakutkan
papa. Menyingkirlah jauh-jauh, bang Laung. Papa akan
membunuhmu!"
"Terima kasih, dik. Tetapi aku tak akan lari. Apa yang
terjadi?"
"Gempar, bang, aduh! Mereka berkelahi. Kakak


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dicekik... ah, ah, maksudku hampir dicekik. Kemudian papa
minggat dari rumah. Katanya ia akan membunuhmu, dan...
ah, jangan-jangan ia sedang dalam perjalanan kemari, bang
Laung. Ayolah, jangan berdiri bengong begitu. Larilah,
lekas...!"
"Sudah kubilang, dik. Aku tak akan kemana-mana..."
Wajah Parlaungan tampak keruh. "Hem, sudah kuduga, ayah
kalian pasti ngamuk. Dan... eh, nanti dulu. Jadi dia minggat
ya? Siapa yang duluan meninggalkan rumah. Kau, atau
ayahmu?"
"Papa."
"Kalau begitu, ia belum kesini, dan kalau memang ia
bermaksud membunuhku, maka ia akan mendahului kau.
Jangan-jangan... he, Yanto. Kau masukkan Vespamu ke
dalam. Kau ikut dengan mobilku saja," Parlaungan
menghambur masuk.
"Kita ke mana?" tanya Supriyanto bingung seraya
memasukkan Vespa ke dalam. Dari kamarnya, terdengar103
jawaban Parlaungan yang panik: "Ayahmu. Justru beliau
yang harus kita kuatirkan!"
Parlaungan selesai bersalin pakaian, mengeluarkan
mobilnya dari garasi, lantas ngebut membelah kegelapan
malam. Wajahnya makin keruh saja, dan beberapa kali ia
memukul-mukul setir sambil mengumpat-ngumpat tak
karuan, jelas sangat menyesali dirinya sendiri. Supriyanto
yang diam saja karena masih bingung, batuk-batuk kecil.
Barulah Parlaungan sadar ia tidak seorang diri, katanya:
"Coba kau ceritakan aku, Yanto. Bagaimana terjadinya..."
Supriyanto menceritakannya. Dan mengakhirinya
dengan perasaan kuatir yang belum juga hilang: "Mestinya
abang lari saja. Abang malah cari penyakit!"
Parlaungan mencoba tersenyum. Bergumam: "Kau
ini perempuan atau laki-laki, dik?"
"Laki-laki dong, bang Laung."
"Nah. Kalau yang seperti ini terjadi pada dirimu
sendiri, apa yang akan kau perbuat?"
Supriyanto tersedak. Seketika ia sadar arah
pertanyaan Parlaungan. Ia menyesal. "Maaf, bang. Tadi
aku..." ia batuk-batuk kecil lagi. "Soalnya kalau sampai terjadi
apa-apa... Ya, ya. Kalau aku sih, tak akan lari, bang!"
"Bagus! Itu namanya laki-laki. Tak percuma aku
punya adik ipar macam kau, dik..." Parlaungan menepuknepuk pundak Supriyanto, membuat yang ditepuk-tepuk
bangga bukan main. Kemudian, "Sekarang, Yanto. Sebagai
seorang calon polisi, coba tebak. Kemana kita harus pergi
mencari ayahmu? Seorang ayah yang sedang marah, putus
asa, kehilangan akal sehat..."104
Semakin lama semakin rendah suara Parlaungan. Ia
menggumamkan kata-kata tak karuan lagi. Lupa Supriyanto
belum menjawab pertanyaannya, ia mendengus:
"Tak kusangka kakakmu senekad itu."
"Nekad bagaimana, bang?"
"Mengatakan ia telah... ah ya, sudahlah, kau toh
sudah dengar sendiri dari mulutnya. Yah, tak kusangka ia
nekad mengatakan pada ayah kalian, kalau ia sudah hamil."
Supriyanto teringat lagi saat ia mendengar hal itu
dari kakaknya. Teringat pula pada tafsirannya sendiri.
Teringat pada Handini. Tiba-tiba muncul keingintahuannya,
"Benarkah begitu, bang?" ia nyelutuk.
"Sebenarnya semua itu kesalahanku juga,"
Parlaungan tidak langsung menjawab. "Telah beberapa kali
terjadi sebelumnya. Namun aku dan kakakmu, mula-mula
masih dapat bertahan. Masih ingat diri. Masih takut pada
dosa. Takut akan segala akibatnya. Tetapi toh, akhirnya tidak
terelakkan juga." Sampai di situ Parlaungan terdiam. Ia
setengah melamun. Supriyanto ingin bertanya: bagaimana
terjadinya? Ah, itu bukan pertanyaan yang sopan. Jadi ia
diam saja. Menunggu.
"Waktu itu kami piknik berdua. Tanpa rencana. Ke
Ciater, Subang. Mandi air panas, kau tahu... Bukan hari libur
waktu itu, dan kami tiba di Ciater sudah agak sore. Jadi sepi.
Kuajak kakakmu berenang di kolam. Tetapi ia memilih
kamar-kamar mandi tertutup. Jadi, kami memilih dua kamar,
bersebelahan. Baru juga aku nyemplung ke bak mandi yang
hangat itu, terdengar pekik tertahan kakakmu. Tak sadar
kalau aku masih bugil, langsung saja aku menghambur ke105
kamar sebelah. Kakakmu sedang berendam di baknya, tetapi
merungkut di pojok. Ia menunjuk ke lantai bak dan aku
melihat sesuatu yang tampaknya seperti ular. Langsung saja
aku terjun, berusaha merenggut apa yang tampaknya ular
itu. Ternyata cuma potongan ranting busuk, yang masuk
lewat saluran air ke dalam bak. Tetapi kakakmu yang sudah
ketakutan, telah memelukku. Tak mau melepaskan aku lagi.
Kau tahu... kami sama-sama tanpa busana, setengah
terbenam dalam air hangat... dalam kamar tertutup... sepi di
sekeliling kami. Dan... astaga! Mestinya itu tidak kami
lakukan!"
".... untung aku tidak," nyelutuk Supriyanto,
setengah melamun.
"Apa?"
"Di kamar mandi juga. Dengan Ossy. Salah seorang
pacarku. Kami juga seperti kalian, tanpa penghalang lagi..."
"Dan?"
"Dia keluar darah..."
"Ha, apa?"
"Dia mens."
Parlaungan melongo sesaat, kemudian tertawa
bergelak. "Lantas, tak jadi?" tanyanya di antara gelak
ketawanya.
Supriyanto manggut. Lalu: "Ah, mestinya tak
kuceritakan pada abang ya? Malu..."
"Tak apa. Kita toh sesama lelaki juga."
"Tetapi bang, wah marahnya dia bukan main..."
"Marah? Karena tak jadi?"106
"Bukan. Dia marah, karena ia menyangka kejadian
itu kusengaja. Dia sangka, aku ingin mencelakakannya.
Untung dapat kami bereskan..."
Lama Parlaungan membisu. Ujarnya: "Sedang aku
dan kakakmu, malah tak beres..."
Suprihatin, katanya bercerita, sudah memberitahu
bahwa malam ini akan meminta ketegasan dari orang
tuanya. Parlaungan menawarkan diri untuk mendampingi,
tetapi ditolak keras oleh Suprihatin. Ia akan menghadapinya
sendiri, katanya, karena pilihannya pun hanya dua: diterima,
atau ditolak mentah-mentah.
"Aku sangat kuatir, ia lepas omong mengenai
kehamilannya... jadi aku tak bisa tidur. Gelisah setengah
mati. Aku takut terjadi apa-apa. Ternyata benar. Itulah
sebabnya begitu kudengar bunyi motormu memasuki
pekarangan, aku langsung membuka pintu. Ahh..."
Mobil terus dikebut sambil mereka terus bertukar
cerita. Mereka singgahi rumah sakit Cikini, Cipto,
Pertamina... mereka keluar masuk kantor-kantor polisi.
Apakah ada laporan kecelakaan lalu lintas baru masuk?
Mobil yang jungkir balik, menabrak pohon, menabrak rumah,
menabrak mobil lainnya... Namanya? Oh ya, Bambang
Prakoso. Merk mobilnya, warnanya? Oh ya, Holden Gemini,
krem... Tidak? Syukurlah. Terima kasih pak, terima kasih,
terima kasih.
"... mungkin dia ngeram di kantor," gumam
Supriyanto setelah mereka ngebut lagi di jalanan yang sunyi
sepi.107
Tetapi penjaga kantor bilang, yang masuk kantor
larut malam begitu pasti cuma hantu yang ingin menelan
arsip.
"Uh, kemana lagi kita harus mencari?" Parlaungan
menepuk jidat.
"... Marni."
"Marni? Siapa itu Marni?"
"Dia... eh. Itu nama kelab malam, bang Laung."
"Mungkin juga. Sayang, aku bukan tukang keluyuran
malam, jadi tak tahu ada kelab bernama seperti itu. Hem.
Apakah kalau sedang amuk-amukan, ayahmu suka
melupakan sakit kepalanya dengan berajojing?"
"Hanya kadang-kadang. Biasanya, ia pergi ke bar."
"Kalau begitu, kita harus menjelajahi setiap pelosok
Jakarta. Kecuali kau tahu ke bar mana biasanya ayahmu
sering menghabiskan waktu."
Supriyanto menyebut beberapa nama bar, sambil
bersyukur Parlaungan tidak lagi menyinggung-nyinggung
soal Marni. Ya ampun, hampir dia lepas omong! Coba tadi
kalau ia tak keburu ingat diri, wah. Runyam dah, berantakan
semua, yang memang sudah mulai berantakan. Coba, siapa
pula yang tak malu punya ayah tukang lacur?
*** Holden Gemini krem itu akhirnya mereka temukan di
parkir di halaman bar ?Exotic? di kawasan Tanah Abang, yang
ternyata tidak begitu jahu letaknya dari rumah tempat
Parlaungan kost. Supriyanto berpikir, mungkin ayahnya telah108
ke rumah Parlaungan tetapi keburu mereka berdua pergi.
Mungkin juga ayahnya bermaksud ke rumah Parlaungan,
namun karena sesuatu hal, dibatalkan sendiri. Kemungkinan
mana pun yang paling benar, persoalannya sama saja. Ayah
yang terhina itu memang berniat mendatangi orang yang
telah menghinanya.
Supriyanto kembali ketakutan. Berharap Holden
Gemini itu bukan punya ayahnya. Tetapi plat nomornya
cocok, juga variasi lampunya. Ia bermaksud turun
mendahului calon abang iparnya, bermaksud menahan lakilaki itu menunggu saja di mobil. Parlaungan memang
bertubuh tinggi besar. Lebih tinggi, lebih besar dari ayahnya.
Tetapi yang dihadapi Parlaungan adalah seorang ayah yang
sedang naik pitam, dan mungkin sudah mabuk. Alangkah
memalukannya!
Parlaungan menyeret Supriyanto masuk lagi ke
mobil. "Kau diam di sini saja!" katanya, tegas. Matanya
memancar lebih tegas lagi, tanpa kompromi. Tulang-tulang
pipi serta dagunya menonjol semakin keras; ciri khas
Bataknya yang pantang menyerah.
"Tapi bang..."
"Kubilang, tunggu di sini. Kalau nanti kupanggil, kau
baru boleh masuk. Mengerti?"
Supriyanto mengalah. "Hati-hati, bang Laung,"
katanya. Ia hanya pura-pura mengalah. Ia tidak mau
Parlaungan cedera, karena ia sayang pada calon abang
iparnya itu. Sebaliknya, ia juga ingin ayahnya baik-baik saja,
karena Supriyanto anaknya. Setelah sebentar bimbang tak
menentu, Supriyanto diam-diam meluncur turun dari mobil.109
Begitu Parlaungan lenyap di dalam bar, Supriyanto lekas
memburu. Ia tidak masuk, hanya berdiri di luar mengawasi
lewat jendela kaca. Bar itu remang-remang, sepi di dalam.
Hanya ada dua tiga orang pengunjung. Satu-satunya tamu di
meja bar, hanya ayahnya seorang. Ayah yang memegang
sloki kristal berkaki tinggi di tangan, isinya setengah kosong,
cairan minuman itu merah saga, seperti juga kulit wajah
ayahnya, memerah saga.
Bambang Prakoso, ayahnya tengah memutar-mutar
sloki minuman di depan matanya, seolah ingin memutarmutar leher orang yang dibencinya. Jantung Supriyanto
berdebar kencang, wajahnya terasa bagai dilapisi es batu. Ia
lihat Parlaungan melangkah tenang-tenang ke arah bar.
Tampak punggungnya yang besar, pundaknya yang lebar,
otot-otot lengannya yang kekar, langkah-langkah kakinya
yang perkasa.
Bambang Prakoso mendengar ada orang
mendekatinya. Ia menoleh.
Parlaungan tertegun, mungkin terperanjat
dipandangi begitu tiba-tiba. Dari balik jendela, Supriyanto
seakan dapat melihat pundak Parlaungan bergetar. Dan dari
balik pintu yang setengah terbuka, ia dengar suara berat dan
sopan: "Boleh saya ikut minum, pak?" yang bicara,
Parlaungan.
Gelas kristal di telapak tangan Bambang Prakoso,
berderak. Kepingan-kepingan gelas itu jatuh ke lantai.
Pelayan bar memandang terkejut, lalu pucat. Wajah-wajah
suram di meja-meja bar, berpaling ingin tahu, namun tak
seorangpun yang tertarik untuk menengahi. Malah wajah-110
wajah yang tadinya suram itu mendadak berubah cerah.
Senang bukan main: ada tontonan gratis!
Supriyanto menggigil. Siap untuk menyerbu ke
dalam. Tetapi persendian lututnya seakan copot. Tak mau
kerja sama. Dan tahu-tahu ayahnya bergerak. Tinjunya
melayang, keras sekali. Mendarat di wajah Parlaungan. Yang
ditinju, tidak mengelak. Parlaungan terdongak, namun
tubuhnya tetap kukuh, tak mundur walau setapak. Bambang
Prakoso memaki-maki: "Ayo berkelahilah kalau kau merasa
dirimu seorang laki-laki!" lalu tinjunya melayang lagi, lagi dan
lagi, mendarat bertubi-tubi di wajah dan perut Parlaungan.
Tubuh tinggi besar itu perlahan-lahan meliuk, limbung, tetapi
tidak sampai terjatuh. Dengan perkasa, Parlaungan sudah
tegak lagi.
"Hayo, kau mahluk pejantan. Lawanlah!" bentak
ayah Supriyanto, bergemuruh. "Atau beranimu cuma
menghamili anak perempuanku, eh?"
"Cukup, pak!" untuk pertama kali, Parlaungan
membentak tajam.
"Cukup nenekmu! Mestinya nenekmu saja yang kau
buntingi dan..." ucapan ayahnya terputus sampai di situ.
Tinju Parlaungan sudah melayang. Tampaknya tidak begitu
keras, namun ayah Supriyanto seketika terhempas
membentur meja bar. Dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai,
Parlaungan sudah menyambarnya. Dengan sebelah tangan ia
merogoh saku, meletakkan beberapa lembar uang ribuan di
meja bar. Dan dengan sebelah tangan lainnya, ia mulai
menyeret ayah Supriyanto ke pintu. Tubuh yang diseret itu
diam saja, juga ketika dengan gerakan ringan Parlaungan111
mengangkatnya ke pundak, dan kemudian mendudukkannya
di jok belakang mobil.
"He, Yanto. Kau kemana?" seru Parlaungan mencaricari.


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Supriyanto tersadar dari kejutnya. Ia lari
menghambur dari beranda bar, masuk ke dalam mobil
dengan cemas. Ayahnya pingsan, namun tidak ada bagian
tubuhnya yang cedera.
Terdengar rungutan Parlaungan: "Ia mabuk."
Dan mobil meluncur ke jalan. Pulang ke rumah.
Barulah setelah ayahnya dibaringkan di kamar tidur
di bawah perawatan ibunya, Supriyanto melihat Parlaungan
tengah dirawat sambil ditangisi Suprihatin. Bibir Parlaungan
pecah, mata kirinya bengkak membiru, perut dan dadanya
memar-memar.
Menjelang pagi, Parlaungan diminta calon ibu
mertuanya masuk ke kamar. Suprihatin dilarang ikut, begitu
pula Supriyanto. Tetapi mana Supriyanto sudi ketinggalan
berita! Jadi ia tempelkan kuping di daun pintu yang tertutup.
Ia dengar desah nafas berat ayahnya. Dan isak tangis ibunya
yang ditahan. Ia juga mendengar suara lirih Parlaungan,
minta maaf atas kejadian di bar tadi.
"Sungguh mati, aku tak berniat melukai Bapak,"
desahnya.
"Kau telah melukai hatiku, bung!" rungut ayah
Supriyanto, hambar. Mabuknya jelas sudah hilang. Tinggal
nafasnya yang berat dan makin berat saja. Lalu keluarlah
ultimatum itu: "Kau bersedia menikahi Suprihatin,
puteriku?"112
"Tentu."
"Yaaah, tentu! Kau toh sudah membuntinginya!"
"Pak!" ibu Supriyanto mengeluh, tajam.
Ayah mendengus, tak perduli: "Orang tuamu di
Siantar sudah kau beritahu?"
"Sudah, pak."
"Mereka setuju?"
"Mereka bahagia, pak."
"Bahagia. Bah!"
Mendengar rungutan ayahnya di dalam, di luar pintu
Supriyanto tidak dapat menahan tertawanya.
"Manusia sialan mana yang ngakak itu, he?"
terdengar ayahnya memekik.
Supriyanto pucat pasi. Ngacir dari pintu. Terbiritbirit.
***113
BAB TIGA ? KERIKIL TAJAM
Empat belas
"Sudah kau catat semua, Yanto?"
"Sudah, mama."
"Berapa jumlah yang diundang?"
"Hampir dua ratus orang, mama. Tetangga-tetangga
sekitar, teman-teman arisan mama, teman-teman sekantor
papa, famili..."
"Tak ada yang terlewat?"
"Rasanya sih tidak, mama..."
"Coba sini, aku lihat."
Supriyanto menyodorkan berlembar-lembar kertas
berisi catatan nama-nama dan alamat-alamat. Ibunya
menyimak sebentar, kemudian dahinya berkerut. Suaranya
terdengar murung ketika ia berkata: "Kau melupakan
mereka, nak."
"Mereka siapa, mama?"
"Familimu."
"Tetapi, mama..."
"Yang kau catat di sini, baru famili dari pihak ayahmu
saja..."
Supriyanto tersentak. "Oh, iya ya..." gumamnya
terbata-bata, dan sangat menyesali kealpaannya manakala ia
lihat wajah ibunya yang sendu. "Kalau diundang, apakah
mereka akan datang mama? Mereka jauh-jauh tinggalnya,
dan selama ini..."114
"Kewajiban tetaplah kewajiban, anakku. Soal datang
atau tidaknya, bukan hak kita lagi. Nah. Catatlah..."
Surat undangan untuk famili dari pihak ibunya itu,
dilampiri pula masing-masing sepucuk surat yang ditulis
tangan oleh ibunya pula. Supriyanto tergerak untuk
membaca isinya, tetapi hati nuraninya menolak. Itu adalah
rahasia orang tua, pikirnya. Adapun ayahnya, bagaimanapun
didesak tetap tidak mau menulis surat. Ketika akhirnya ia
menyerah juga, ayah Supriyanto cuma berkata: "Bilang saja,
bu. Aku kirim salam, begitu."
Surat-surat itu dikirim jauh sebelum waktunya
mengirim surat undangan yang lain. Satu minggu kemudian,
datanglah balasannya. Tidak serempak. Mula-mula yang dari
Banjarmasin, lalu yang dari Medan, terakhir yang dari Irian
Jaya. Setiap menerima surat dari saudaranya itu, ibu
Supriyanto tidak langsung membukanya. Ia menyimpannya
dengan hati-hati, dan berpesan keras agar tidak seorangpun
yang boleh membukanya sebelum diijinkan.
Suprihatin bertanya penasaran: "Yang dari
Banjarmasin serta dari Medan sudah datang. Mengapa
mama harus tunggu yang dari Irian?"
Ibu mereka jelas tegang ketika menjawabnya.
Katanya, ia ingin mebuka setiap surat yang datang seketika
itu juga. Tetapi ia ingin tahu, apakah ketiga orang saudaranya
akan membalasnya semua. Dan kalau sudah, baru ia buka.
Dengan begitu, ia berharap: apabila yang satu mengatakan
tak mau datang, semoga yang lain mengatakan mau datang.
Jadi luka hatinya tidak seberapa.115
"Bagaimana kalau ketiganya tidak datang?" celetuk
Supriyanto.
Sebelum ibunya menjawab, sang ayah sudah
mendahului. Kalimatnya pedas bukan main: "Sudah pasti
mereka tak datang. Sudah pasti, mereka hanya ingin
memperhinakan kita lagi!"
"Jangan memastikan sesuatu yang belum terjadi,
papa. Itu namanya mendahului Tuhan!" Suprihatin
mencerca.
Ketika akhirnya ketiga pucuk surat yang ditunggu
sudah terkumpul, ibu masuk ke kamarnya. Ia tidak ingin
diganggu selama membukai surat-surat itu. Supriyanto dan
Suprihatin saling bertukar pandang. Jelas, keduanya sama
cemas. Sedang ayah mereka, acuh tak acuh saja. Pura-pura
asyik dengan surat kabar di tangannya.
Kemudian terdengar suara dari dalam kamar. Suara
ibu menangis.
Ayah meletakkan surat kabarnya dengan jengkel.
Bersungut lebih jengkel lagi: "Apa kubilang! Percuma saja
menyurati mereka!"
Bergegas Suprihatin berlari ke kamar dan memeluk
ibunya. Ikut menangis. Supriyanto juga berbuat hal yang
sama. Bambang Prakoso, ayah mereka muncul pula, tetapi
hanya untuk menggerutu: "Salah kalian sendiri! Sudah
kubilang..."
Isterinya menatap dengan air mata berlinang. "Pak,
bisiknya dengan tersenyum. "Ketiga-tiganya mereka akan
datang!"116
Bambang Prakoso terkesima, kemudian pergi lagi ke
kursinya. Ia membalik-balik surat kabar, tetapi tak mampu
sedikitpun membacanya. Supriyanto dan kakaknya saling
berebut surat-surat yang dipegang ibu mereka. Berebut pula
membacanya.
Lamat-lamat ibu mereka terdengar bergumam
dengan penuh rasa syukur. "Allah Maha Besar, anak-anakku.
Dia mendengar doa umat-Nya yang tulus," lalu kepada
Suprihatin ia berkata: "Inilah hikmah dari perkawinanmu,
nak!"
*** Dari ketiga pucuk surat itu, yang paling
menggembirakan adalah surat Uwa Syamsiah yang bekerja
sebagai guru SD di Jayapura. Ia menyatakan syukurnya
bahwa Suprihatin sudah ketemu jodoh. "Orang kita lagi,"
katanya. Ia juga menuliskan bagaimana susahnya
penghidupan selama bertahun-tahun lamanya ia tinggal di
Jayapura. Ia tidak menyebut kata ?maaf? atas perlakuannya
selama ini terhadap Rosmalina, ibu Supriyanto. Sebagai
gantinya, ia hanya berkata: "Setelah lama hidup di rantau,
serta pergulatanku semakin luas ? tahulah aku, bahwa antara
satu suku dengan lain suku, punya kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Aku pun menyadari
kekuranganku..."
Dalam suratnya yang panjang lebar itu, Uwa
Syamsiah juga menuliskan apa yang membuat ibu Supriyanto
sangat bersuka cita membacanya. Uwa Syamsiah berkata:117
"Kau tahu bukan Rosma, bagaimana nasib janda di kampung
kita sana. Dicerca, dihina, dibilang tak laku, dibilang tak bisa
menjaga nama keluarga. Padahal, seperti kau pun tahu
sendiri, kesalahan sebenarnya tidak terletak pada diriku,
melainkan pada abangmu si Hasudungan yang suka mabuk
dan berjudi itu. Aku ngeri membayangkan hidup sebagai
janda, tetapi aku lebih ngeri lagi kalau terus dipukuli dan
dipukuli lagi, terutama kalau abangmu lagi kalah judi. Tetapi
lama-lama aku berpikir. Toh aku yang cari makan. Jualan di
pasar, sambil jadi calo ini calo itu... yang hasilnya dirampas
abangmu, dibelikan minuman, dihabiskan di meja judi. Eh,
masih juga aku dihina, dipukulinya. Rupanya ia benar-benar
berpikir, bahwa aku telah dibelinya dari keluarga kita. Itulah
adat bukan, Rosma? Bila kita kawin, kita telah dibeli oleh
suami kita. Jadi sebagaimana halnya barang yang sudah
dibeli, maka barang itu boleh dibagaimanakan saja oleh si
pembeli.
Tetapi aku bukan barang, Rosma. Aku manusia.
Betapapun jelek dan menjijikkannya, aku tetap saja manusia.
Jadi kupilih bercerai saja. Untuk menghindari cemoohan
orang sekampung, yah kuambil ijazahku. Dan begitulah, aku
akhirnya bekerja jadi guru di sini. Mulanya berat, mulanya
aku sangat menyesal, sangat kesepian. Lama-lama aku
terbiasa juga. Dan eh ? janda di sini ternyata laku juga. Aku
bertemu jodoh. Orang rantau juga. Dari Palembang. Ia
karyawan Pemda Kabupaten di sini. Nantilah kuperkenalkan,
kalau sudah tiba saatnya si Suprihatin naik pelaminan. Untuk
sekedar kau tahu, dari abangmu orang Palembang itu, aku
sudah dikaruniai anak dua..."118
Surat dari Uwa Parlindungan juga mengatakan
bahwa setelah lama hidup di rantau, hati dan pikirannya
semakin terbuka. "Selama ini, kami rupanya hidup seperti
tempurung di batok kelapa!" Ungkapan itu paling gampang
diingat Uwa Parlindungan, karena sehari-harinya dia
berurusan dengan kelapa, yakni kelapa sawit. Dia jadi asisten
Kepala Perkebunan di Banjarmasin, dan sebelumnya punya
jabatan setingkat lebih rendah di perkebunan Sawit
Seberang, puluhan kilometer letaknya dari kota Binjai,
Sumatera Utara. Uwa Parlindungan-lah satu-satunya
keturunan dari kakek pihak ibu Supriyanto, yang meneruskan
jejak orang tuanya.
"... di Banjar ini," cerita Uwa Parlindungan, "Keluarga
kami hidup tenteram. Kau tahu sendiri, ketika di Binjai sana.
Beberapa kali rumah tanggaku dan kakakmu sempat
terancam. Di sini, memang sekali dua ada juga kerabat kita
yang datang minta pertolongan dicarikan pekerjaan. Itu
sudah biasa, bukan? Tetapi di sini, mereka tak berani
merongrong aku. Kalau mereka berani bicara soal adat,
kubilang mereka: pulang saja ke Binjai! Yah, begitulah.
Aku dan kakakmu akhirnya dapat menikmati
ketenteraman hidup. Tidak sekucar-kacir ketika kami masih
di Binjai sana. Di sana, cekcok sedikit saja, keluarga gempar.
Apa-apa, keluarga ikut campur. Baru setelah di Banjar ini,
kami benar-benar merasakan hak-hak kami sebagai suami
isteri. Baru sekarang ini kami benar-benar merasa mandiri.
Ponakan-ponakanmu juga hidup senang di sini, biarpun jauh
kemana-mana, harga-harga pun serba selangit pula.119
Oh ya Rosma. Ponakan-ponakanmu itu lucu juga ya.
Setelah mereka baca surat undangan yang kau kirimkan,
tahu apa mereka bilang? ?Oh, jadi bang Parlaungan kawin
sama perempuan Jawa ya?? Rupanya mereka berpikir,
saudara mereka itu adalah Parlaungan. Bukan Suprihatin..."
"Diancuk!" Suprihatin cemberut.
Supriyanto tertawa bergelak-gelak. Malah
menambahkan: "Dipikir-pikir, kok ya nama mereka
kebetulan sama ya? Calon suami kakak, Parlaungan. Uwa,
Parlindungan. Awas kak. Jangan-jangan mereka masih
seketurunan, satu darah!"
"Sanak sih mungkin, Yanto," sela ibunya. "Tetapi
turunan sedarah, jelas tidak. Marga mereka saja jauh
berlainan. Cuma ya, di kampung kakekmu sana nama-nama
itu umum dipakai. Artinya pun hampir sama. Parlindungan
tentu kalian sudah bisa tebak: tempat berlindung.
Parlaungan, artinya tempat bernaung."
"Oh. Jadi itu sebabnya kak Tien mencintai bang
Laung. Supaya ada tempat bernaung. Maklum, Jakarta
panasnya minta ampun. Jadi bang Laung lumayanlah, bisa
dianggap payung!"
"Eee, ikut pula kau menghina!" Suprihatin jadi galak.
Ia mau menjambak rambut adiknya. Tetapi Supriyanto sudah
keburu berlindung di balik punggung ibu mereka...
Surat terakhir, dari Medan, isinya tidak begitu
panjang. Uwa Lukman menyatakan gembira bahwa adiknya,
Rosmalina, akhirnya bakal punya mantu. "Senang aku
mendengar, bahwa calon menantumu itu orang kita!"
tulisnya. "Baiklah. Aku akan berusaha datang. Itu pun, karena120
si Sam dan si Parlin. Mereka menelegramku. Sudah pintar
pula mereka sekarang main ancam. Mereka bilang tak mau
pulang ke Medan, kalau aku tak mau datang memenuhi
undanganmu."
Supriyanto dan Suprihatin sama tercenung setelah
membaca surat itu. Serempak mereka berpaling.
Memperhatikan ibu mereka. Bibir Rosmalina tersenyum.
Tetapi matanya, menyembunyikan tangis.
"Yang penting, dia datang," katanya lirih.
Supriyanto menelan ludah. Bertanya: "Rupanya
pernah terjadi perang besar, ya mama?"
"Kau betul, nak," jawab ibunya. Gemetar.
"Bagaimana terjadinya?"
Lama Rosmalina terdiam. Kemudian: "Kalian tahu,


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa ayah kalian akhirnya menyerah?"
Anak-anaknya sama menggelengkan kepala.
"Sebabnya, anak-anakku sayang. Ayah kalian tidak
ingin sejarah lama terulang kembali...!"
*** Lima belas
Supriyanto tak bisa menahan mulut. Kakaknya
tadinya ingin mencegah. Tetapi karena Suprihatin juga
dilanda ingin tahu, akhirnya ia membiarkan saja.
"Sejarah lama, mama?" bertanya Supriyanto.121
Rosmalina manggut-manggut. "Mengapa aku
perkenankan kalian membacai surat-surat itu? Supaya kalian
tahu, betapa hidup ini sebenarnya tidak gampang. Seperti
juga sejarah lama itu. Biarlah ibu ceritakan saja. Karena kau,
Suprihatin, sudah akan berumah tangga, sudah siap
menempuh penghidupan sendiri. Dan kau, Yanto. Kau,
seperti kata ayahmu, bukan anak-anak lagi. Kau sudah
dewasa sekarang. Jadi kau pun berhak mengetahuinya.
Supaya kelak jadi bekal dalam hidupmu di masa datang..."
"Kuambilkan minuman untuk mama, ya?" Suprihatin
menawarakan.
"Terima kasih, anakku. Air putih saja. Dan eh... coba
lihat-lihat, apakah ayah kalian masih di situ."
Kembali memasuki kamar dengan segelas air putih di
tangannya, Suprihatin berbisik: "Papa tertidur di kursinya.
Perlukah kubangunkan?"
"Tak usah, nak. Biarkan ayahmu beristirahat. Ia
tentunya sangat letih. Letih fisiknya. Lebih letih lagi
jiwanya..."
"Oh."
"Kalian siap mendengarkan?"
*** Mereka bersaudara, ada enam orang. Yang sulung,
namanya Tombuk. Di bawah Tombuk, adalah Delila, Lukman,
Parlindungan, Syamsiah. Mereka berlima lahir di122
Padangsidempuan. Rosmalina adalah anak paling bungsu. Ia
lahir di Sawit Seberang, ketika ayah mereka, Nurdin
namanya, diterima bekerja sebagai mandor di perkebunan
kelapa sawit itu.
Nurdin tekun bekerja, tahu menghargai bawahan
dan ke atas, ia hormat. Dengan cepat ia meningkat jadi
mandor kepala. Oleh direktur, ia dianjurkan sekolah sambil
bekerja. Demikianlah, setelah menamatkan sekolah, Nurdin
meningkat jabatannya. Peristiwa bersejarah itu terjadi
setelah Nurdin memperoleh kedudukan sebagai Asisten
Teknik. Waktu itu Tombuk sudah kawin. Delila sudah
meningkat remaja, begitu pula Lukman dan Parlindungan.
Syamsiah dan Rosmalina baru remaja tanggung, tetapi sudah
dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan kehidupan
keras di sekeliling mereka.
Lalu terjadilah kehendak Tuhan.
Delila jatuh cinta pada teman sekelasnya, Bambang
Prakoso Joyodipuro. Pemuda itu adalah anak sulung dari Pak
Prakoso Joyodipuro, Asisten Kepala di perkebunan kelapa
sawit itu. Jadi jabatannya setingkat di atas jabatan Nurdin,
ayah Delila. Setelah lulus SMA, Bambang Prakoso bermaksud
melanjutkan studi ke ITB di Bandung. Namun sebelumnya, ia
ingin dipertunangkan dengan Delila, yang tentu saja disetujui
Delila dengan sukacita tiada terhingga. Pemuda itu
mengutarakan maksudnya pada orang tuanya, yang ternyata
pula menyetujuinya.
Berkata Prakoso Joyodipuro pada putera
kesayangannya itu: "Bapak kenal baik dengan Nurdin, ayah123
Delila. Ia temanku main catur. Kuharap ia tentunya tidak
keberatan anaknya kita lamar."
Memang benar, Prakoso telah mengenal Nurdin
dengan baik. Cuma sayang, apa yang dikenalnya cuma kulit
luarnya saja. Nurdin yang tekun, berdisiplin, tegas terhadap
bawahan yang melanggar peraturan, berani menegur atasan
yang salah menerapkan peraturan. Prakoso tidak mengenal
kulit dalam Nurdin: lemah, tak berdaya, rapuh. Di kantor,
Nurdin boleh nomor satu. Tetapi di rumah, Nurdin adalah
nomor dua!
Memang benar pula, menurut adat Batak, Nurdin
telah ?membeli? Masdalena, isterinya. Tetapi Nurdin telah
membeli barang yang harganya teramat mahal, yang tidak
sesuai untuk dirinya. Seperti seorang petani di desa, yang
jauh-jauh pergi ke kota untuk membeli sepasang sepatu
model terbaru. Saking terpesona melihat sepatu itu, ia
langsung menyuruh pelayan membungkusnya. Dan setiba di
kampung, baru ia sadari kalau sepatu itu kelewat besar untuk
jadi alas kakinya.
Cobalah kita telusuri asal usul leluhur mereka
berdua, di jaman masih berlangsungnya perang antar suku
marga. Maka akan terlihat, leluhur Masdalena dahulu adalah
suku marga yang melahirkan raja-raja. Nurdin, sebaliknya.
Leluhur Nurdin dahulunya adalah tawanan perang, yang oleh
raja yang menawannya dijadikan hamba sahaya. Kalau
masalahnya hanya sampai di situ, tak apalah. Toh jaman
telah berubah. Namun justru jaman pulalah yang kemudian
membuat situasinya tetap seperti semula. Nurdin diterima
jadi mandor di perkebunan, adalah berkat pengaruh paman124
sepupu Masdalena, seorang pensiunan Kepala PNP. Dalam
permainan catur, Nurdin sudah kena skak. Kemudian, sambil
bekerja ia sekolah. Keluarganya terpaksa harus hidup dari
gaji tok, tanpa bonus, tanpa pemasukan sampingan. Karena
itu diperlukan uluran tangan orang lain. Kali ini, ayah
Masdalena yang turun tangan. Berkat dukungan moriel dan
tunjangan materiil mertuanya, Nurdin berhasil
menyelesaikan sekolah tanpa harus mengganggu kehidupan
ekonomi keluarganya. Dalam permainan catur, Nurdin kini
terkena skak mat, ia mati langkah!
Sehingga, disadari atau tidak darah keturunan
Masdalena pun bangkit ke permukaan; darah penguasa.
Putih katanya, putihlah kata Nurdin. Hitam kata Masdalena,
hitamlah kata Nurdin, meski yang dilihat Nurdin kuning,
sekuning matahari. Sebagai keturunan hamba sahaya,
hendaklah ia tutup matanya apabila sang penguasa
mengharuskannya.
Itulah yang tidak pernah diketahui Prakoso
Joyodipuro. Sayang sekali! Lebih sayang lagi, Prakoso
Joyodipuro sangat mengetahui akan kedudukannya, serta
kedudukan Nurdin. Ia kepala, Nurdin asisten. Memang
kurang pantas mengungkit perbedaan status itu. Tetapi siapa
tahu nanti mungkin diperlukan. Katakanlah misalhnya, untuk
meluweskan adanya perbedaan lain. Perbedaan yang lebih
peka, yakni, perbedaan suku. Prakoso bertepuk tangan. Puas
atas hasil ramalannya. Ia begitu bangga akan kedudukannya.
Lupa, bahwa Masdalena sangat bangga akan kesukuannya!
Demikianlah, suatu malam. Malam yang telah
dihitung harinya, bulan, tanggal, jam sampai ke bunyi desiran125
anginnya. Pokoknya matanglah sudah diperhitungkan.
Rombongan sebanyak lima orang meninggalkan rumah
Prakoso, menuju rumah keluarga Nurdin. Saking bangga
akan hasil ramalan dan kedudukannya, Prakoso tidak merasa
perlu titik selidik lebih dahulu, misalnya dengan menanyakan
pada Delila sendiri apakah niat mereka bakal diterima atau
ditolak. Tetapi yah, waktu sudah mendesak pula. Bambang
harus sudah segera berangkat ke Bandung.
Prakoso yang merasa sudah menang sebelum
bertanding itu, malah menganggap perlu ikut hadir dalam
rombongan kecil itu. Dia berharap, kehadirannya secara
langsung akan dianggap suatu kehormatan besar oleh
Nurdin!
Tentu saja Nurdin tergopoh-gopoh menyongsong
tamunya. Masdalena pun ikut sibuk menyambut. Setelah
semua orang duduk dengan baik pada tempat masingmasing, Masdalena menyuruh anak-anaknya membantu
pelayan mengantarkan hidangan. Kepada tamu-tamunya
yang terhormat, Masdalena, sesuai dengan darah
bangsawan yang mengalir di tubuhnya, berkata dengan
malu-malu: "Maaf, hidangannya cuma begini saja. Maklum,
kami tak menduga bakal kedatangan tamu jauh..."
Nurdin yang lebih bersahaja, tutur katanya pun
bersahaja pula. "Wah, tumben nih pak. Sampai mau malammalam begini melangkahkan kaki ke gubuk kami yang jelek.
Beramai-ramai pula..."
Supangkat menjawab dengan sopan. "Selain cantik,
istana yang kami masuki alangkah teduh udaranya. Hangat
pula api tungkunya." Ia kemudian memperkenalkan dirinya,126
serta tiga orang pendamping lainnya. Rupanya mereka
semua masih ada pertalian keluarga, dan kedudukan mereka
di tengah masyarakat pun terbilang lumayan. Prakoso
Joyodipuro tentu saja tidak usah diperkenalkan lagi, katanya.
"Karena adik saya ini... bukanlah orang asing di mata tuan
rumah kami. Dia pun datang berkunjung, bukan pula sebagai
atasan, eh... maksud saya, teman sejawat..."
Salah ucap itu, tentu saja disengaja adanya.
Kemudian: "Adik saya ini datang sebagai sesama keluarga.
Yang ingin duduk sama rendah, yang ingin duduk sama
tinggi."
Nurdin akan berbicara, tetapi keburu punggungnya
disikut pelan oleh Masdalena. Sang isteri rupanya lebih ahli
dalam soal bertutur kata-kata berkias. "Apalah kami ini," ia
pura-pura merendah. "Burung hinggap, kami tangkap.
Burung lepas, kami lupakan. Tentu saja maksud baik orang,
pantang ditolak..."
"Syukurlah kalau begitu," Supangkat senang sekali.
Prakoso telah mengatakan padanya, mustahil lamaran
mereka akan ditolak. Siapa pula yang tidak mau berbesan
dengan Pak Asisten Kepala, mana putera kebanggaannya
tampa pula? Maka, Supangkat langsung menembak:
"Apakah kiranya kalau air sumur sudah penuh, gayung dapat
bersambut?"
Masdalena menjawab: "Tergantung, siapa yang
menggayung. Dan air sumur siapa yang digayung."
"Ah. Kiranya, tak jauh sangka dari duga," jawab
Supangkat.127
"Nanti dulu!" tangkis Masdalena, yang rupanya
sudah memahami arti kedatangan tamu-tamunya. "Apakah
bapak-bapak, tidak salah menyangka, tidak keliru
menduga?"
Sampai di situ, Supangkat terpojok.
Ia melirik ke para pendampingnya, terakhir ke
Prakoso Joyodipuro. Adiknya itu mengerdipkan mata.
Maksudnya, mengapa harus diperpanjang-panjang lagi. To
the point saja, langsung ke persoalan. Ah, dasar Asisten
Kepala!
Supangkat menarik nafas, baru berkata: "Ada
kumbang di rumah kami, yang rupanya mabuk kepayang.
Mencium bau harum semerbak di rumah ini, yang semoga
sudah siap dipetik."
Nurdin tiba-tiba angkat bicara: "Anak kami Delilakah maksudnya?"
"Benar sekali," jawab Supangkat, gembira. Sebagai
orang Jawa, ia telah memahami dan mencoba menyesuaikan
diri dengan tata tertib yang berlaku di daerah ini. Namun
kalau berpanjang-panjang, kamusnya sangat terbatas. Jadi
begitu mendengar Nurdin berucap langsung, Supangkat
menangkapnya seketika.
"Dan yang bermaksud memetik, Bambang kiranya?"
tanya Nurdin pula.
"Benar. Benar!"
Semua bergembira. Tamu-tamu itulah yang
sebenarnya diluapi perasaan gembira. Nurdin berdiri di
tengah. Maksud baik tamunya, tidak memberati hati Nurdin.128
Tetapi, keputusan ada di tangan isterinya. Dan ia sudah tahu,
apa keputusan itu. Karenanya ia diam, menunggu.
Masdalena mengerti sikap suaminya. Ia berkata:
"Aduh, sayang. Bunga memang sudah siap dipetik. Tetapi
sayang, sudah dimiliki orang."
Prakoso Joyodipuro yang dari tadi diam saja,
mendadak buka mulut. Tercengang, ia berkata: "Bagaimana
mungkin?"
"Lho, bukankah Delila anak kami?" balas Masdalena.
Sebelum sempat dicegah Supangkat, meluncurlah
sudah kalimat yang tidak semestinya diucapkan Prakoso.
Semata-mata karena kebanggaan dirinya di hadapan para
pendampingnya, seolah kena tampar. Sejalan dengan itu,
kebanggaan atas jabatannya di kantor, tampil pula ke
permukaan. Ia memprotes: "Delila tak pernah
mengatakannya pada anak kami. Delila hanya mengatakan,
bahwa selain Bambang, tidak ada lelaki lain di hatinya."
"Oh, begitu!" dengus Masdalena, tajam. "Pantaslah
anak kami itu makin bertingkah sekarang. Kami pun sudah
capek mendengar tentang kelakuannya di luaran. Bikin malu
saja. Mana bapaknya tidak pernah mau menasihati.
Syukurlah, bapak-bapak ini datang. Jadi kami tak perlu lagi
berlama-lama makan hati. Aku sudah tak tahan mendengar
gunjingan di luar, pak!"
Ucapan itu ditujukan pada suaminya. Dadanya turun
naik menahan gejolak perasaan. Perasaan seorang ibu, yang
dalam dirinya mengalir darah seorang penguasa.
"Jadi begini ya..." ia berpaling lagi ke arah tamutamunya. "Tolong kalian sampaikan pada si Bambang itu,129
agar jangan mengganggu anak gadis kami. Soalnya si Del
sudah ada yang punya."
Ditelan oleh perasaan malunya, Nurdin lupa ia bukan
hanya berdua dengan isterinya. Langsung saja ia nyelutuk:
"Memangnya si Del sudah punya? Kok aku tak tahu!"
"Bapak sih! Tahunya cuma kerja, kerja, kerja. Lupa
mengurus anak-anak, tidak memperhatikan mereka sudah
meningkat dewasa. Si Tombuk kawin pun, kau baru tahu di
malam pengantinnya."
"Yang lalu ya sudahlah. Tetapi si Del..."
"Ia sudah kujodohkan dengan si Darwis!"
"Darwis?"
"Eh, kau tak tahu pula siapa Darwis, pak?"
"Tahu sih tahu. Tetapi apakah Delila..."
"Ia harus setuju. Kalaupun ia menolak, itu karena


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bambang selalu mengganggunya. Syukurlah, saya dengar
Bambang akan segera pindah ke Bandung. Jadi anak kita
akan segera melupakannya dan mau dikawinkan dengan si
Darwis..."
Kepada tamu-tamunya, Masdalena tersenyum
penuh arti. "Darwis itu, selain masih keluarga dekat, ia juga
tamatan USU bagian kedokteran lagi. Ayahnya, kalau kalian
ingin tahu, tahun depan akan dicalonkan jadi Bupati. Maka,
aduh. Malunya saya ketika calon besan saya menegur.
Rupanya mereka tidak senang Delila diganggu pemuda
lain..."
"Calon Bupati!" tiba-tiba, Prakoso Joyodipuro
mendengus. Rupanya sudah hilang sabar. "Calon Bupati.
Hem..."130
"Benar. Calon Bupati," sahut Masdalena bangga. Tak
dapat menafsirkan ucapan orang.
"Kukira tadinya calon Gubernur," kata Prakoso
Joyodipuro. Tenang sekali.
Barulah Masdalena menyadari tujuan kata-kata itu.
Ia menjadi berang. Darah tingginya naik entah berapa ratus
derajat. Wajahnya merah padam, urat-urata dahinya sampai
bersembulan.
"Aku tak menerima penghinaan ini!" ia mendesis.
Prakoso Joyodipura akan menjawab, tetapi keburu
dicegah para pendampingnya, yang sambil minta maaf pada
tuan rumah, lantas menyeret orang tua yang terhina itu
meninggalkan tempat duduk. Toh selagi diseret ke pintu,
sempat juga keluar uneg-unegnya yang ditujukan pada tuan
rumah yang lelaki: "Kirim salamku pada calon Gubernur itu,
Nurdin. Tolong sampaikan, kiranya apakah aku yang rendah
ini diperkenankan menghadap..."
Lalu rumah itupun berubah jadi neraka. Nurdin
mencerca isterinya. Masdalena tidak mau terima. Mereka
bertengkar dengan hebatnya. Sampai anak-anak yang semua
berkurung ketakutan dalam kamar, ikut jadi sasaran
kemarahan. Terutama, Delila. Ia habis dicaci maki. Disebut
anak tak tahu diri, tak tahu di untung, tak tahu membalas
guna. Umpat Masdalena: "Eh, sudah tahu Bambang itu orang
jawa, masih juga didekati!"
Nurdin membela anak gadisnya: "Memangnya kalau
Jawa mengapa sih, bu?"
"Eh, kau kemanakan isi kepalamu, pak? Kau pun
sudah kena didukuni mereka ya?" dengus Masdalena. Lalu131
pada anak-anaknya yang terkencing-kencing di kamar, ia
membentak: "Kalian camkan ini! Jawa tetaplah Jawa. Batak
tetaplah Batak. Ingat! Selain orang kita, kuharamkan kalian
mengambil jodoh dari suku lain!"
Semenjak malam itu Delila dipingit. Tak boleh keluar
rumah. Juga tidak ke sekolah. Ia akan dikirimkan pada
neneknya di Sidempuan, sebelum tiba waktunya orang tua
Darwis datang melamar. Tetapi dengan bantuan si bungsu,
Rosmalina, lolos juga sepucuk surat ke tangan Bambang
Prakoso.
"Aku ikut kau ke Bandung. Kita kawin lari!" Delila
menjerit dalam suratnya itu.
Bambang Prakoso menjawab: "Bisa heboh, Delila-ku
sayang!"
Surat kedua: "Kau takut? Berarti kau tak cinta lagi
padaku!"
Balasannya: "Apapun akan kutempuh demi kau,
Delila. Tanpa kau, ITB tak punya arti apa-apa."
Surat ketiga: "Maafkan ibuku. Sebenarnya ia ibu
yang baik. Tetapi darah tingginya..."
Balasannya: "Kuharap saja bukan penyakit turunan.
Kau sudah siap?"
Bencana menimpa. Surat Bambang berisi rencana
pelarian dengan Delila, disimpan Rosmalina dalam salah satu
buku sekolahnya. Pulang ke rumah, ia sakit perut karena
kebanyakan jajan rujak. Tas dilemparkan begitu saja,
langsung menghambur ke jamban. Ibunya memunguti bukubuku Rosmalina yang berserakan. Dan ia menemukan surat
rahasia Bambang Prakoso.132
Rosmalina dicambuk pakai sapu lidi, tak diberi
makan satu hari satu malam, dikunci dalam kamar. Delila
ditelanjangi, rambutnya dipangkas sampai wajahnya tidak
karu-karuan. Semua pakaiannya disandera. Sementara itu,
ayah mereka diperintahkan menemui Prakoso Suryodipuro,
agar asisten kepala itu menghukum anaknya yang
bermaksud menculik anak gadis orang. Kalau tidak, Bambang
Prakoso akan dilaporkan ke polisi.
Nurdin terpaksa menuruti, meskipun ia merasa
segan menyampaikan hal itu kepada Prakoso Joyodipuro,
karena Prakoso adalah atasannya di kantor. Dugaannya tidak
salah. Prakoso menerima kedatangan Nurdin dengan kepala
tegak, dan mata melecehkan. "Anakku Bambang, banyak
yang ingin ngambil mantu!" katanya.
Di kantor, Nurdin adalah Nurdin. Ia langsung
menjawab: "Delila apalagi. Orang saling berebut!"
"Kau mestinya beruntung, anakku mencintai
anakmu!" dengus Prakoso. "Apapun yang dimaui anakmu,
pasti bakal dikabulkan oleh anakku. Apa saja!"
"Dari uangmu? Kau kira aku tidak tahu darimana
hartamu yang banyak itu kau peroleh, Prakoso?"
"Eh. Kau menghina aku, Nurdin!"
"Kau yang lebih dulu menghina!"
"Kau!"
"... kau!"
"Eee!"
"Apa eee!"
Mereka hampir saja berkelahi, kalau tak keburu
dilerai oleh orang sekantor. Persoalan itu akhirnya sampai133
juga ke Direktur. Mereka berdua dipanggil, lalu dinasihati.
Tetapi semenjak itu hubungan mereka menjadi rusak berat,
susah untuk diperbaiki lagi. Untuk menghindari hal-hal yang
tidak dikehendaki, Direktur menarik Nurdin ke staf. Dan tak
lama kemudian, turun surat keputusan yang memutasikan
Prakoso Joyodipuro ke Siantar. Prakoso menolak pemutasian
itu karena ia menganggapnya sebagai suatu penghinaan. Ia
memilih berhenti dari jabatannya, dan membawa semua
anggoa keluarganya pulang ke Jawa.
Bambang Prakoso tidak punya pilihan lain. Ia boleh
saja bersikeras tinggal. Tetapi ayahnya mengancam pertalian
darah mereka putus. Dan kalaupun Bambang bersikeras
tetap tinggal, jaminan keselamatannya bagaikan benang
basah yang coba ditegakkan. Di perkebunanlah namanya.
Seseorang dapat saja hilang, tanpa diketahui ke mana
hilangnya dan mengapa ia sampai hilang. Seorang sahabat
dekatnya menasihati: "Kalau kau mati, berarti kau
membunuh kekasihmu!"
Barulah Bambang Prakoso mau diajak pulang ke
Jawa. Karena putus cinta, ia gagal memasuki ITB di Bandung,
gagal pula dalam testing di perguruan tinggi lainnya. Satu
tahun lamanya ia menganggur, saking hilang semangat. Baru
setelah suatu hari ia menerima surat dari Delila, ia
menemukan semangatnya kembali. Surat itu dikirimkan
Delila beberapa bulan setelah gadis itu dipaksa menikah
dengan Darwis, laki-laki yang seujung rambut pun tidak
disukai Delila, apalagi dicintainya.
Isi surat Delila itu mengatakan, semula ia bermaksud
bunuh diri. Akan tetapi niat itu dibatalkannya. Ia ingin tahu134
lebih dulu, apakah Bambang sudah melupakannya, atau
mencintainya. Kalau sudah dilupakan, barulah ia rela bunuh
diri. "Kuperoleh alamatmu dari sahabatmu, yang katanya
telah menasihatimu untuk jangan membunuh diri pula.
Terima kasihku untuknya, Bambang-ku."
Bambang tidak membalas surat itu. Ia sangat
terpukul mendengar Delila akhirnya jadi menikah. Tetapi
kemudian, datang lagi surat Delila yang kedua. Isi suratnya
pun tidak panjang lebar.
"Aku diperkosa Darwis, kau dengar? Aku
diperkosanya setelah aku menolak ditiduri pada malam
pengantin kami," begitu tulis Delila dalam suratnya, "Aku
ternoda sudah, Bambang. Aku sudah tak pantas lagi untuk
kau cintai. Tetapi aku akan tetap mencintaimu. Mengerikan,
Bambang. Tiap kali ia meniduriku, aku membayangkan
kaulah yang datang merangkulku, menjamah tubuhku,
membisikkan kata-kata mesra di telingaku. Lalu ketika aku
bangun, aku terkejut. Kusadari, orang yang terkulai lelap di
sebelahku bukan kau. Tetapi Darwis. Aku menangis. Dan
terus menangis. Entah sampai kapan, aku akan bisa
menghentikan tangis ini."
Bambang Prakoso membalas surat itu: "Berhentilah
menangis, sayangku. Dan tanamkanlah dalam hatimu, suatu
saat kita akan bertemu. Suatu ketika, entah kapan, kita akan
bercinta lagi. Lebih mesra, lebih syahdu dari yang dulu kita
alami..."
Dan sesungguhnyalah, akhirnya mereka
dipertemukan Tuhan juga.135
Tetapi, alangkah tajam kerikil-kerikil yang harus
mereka langkahi. Alangkah tajam. Menusuk. Mengiris...
*** Enam belas
Peranan seorang Gubernur tidak saja menentukan
maju mundurnya daerah yang dia pimpin. Ia juga sangat
berperan kuat dalam pasang surutnya kehidupan keluarga,
terutama marga. Marganya sendiri, lalu marga-marga lain
yang saling kait mengkait dengan dia punya marga. Ini juga
berlaku di kota medan.
Entah kapan mulai, entah siapa pula yang
memulainya, sudah menjadi rahasia umum di kota ini. Bahwa
apabila seorang Gubernur berasal dari marga anu, maka
marga anu dan anu akan memegang jabatan Bupati, terus ke
bawah sampai ke lurah: atau marga anu akan menjadi Kepala
Kantor Agraria, terus sampai Kepala Koperasi Unit Desa, dan
lain-lain. Benar tidaknya asumsi masyarakat ini, sampai
sekarang masih terus diperdebatkan orang. Yang jelas,
Marasad sudah terkena getahnya.
Marasad seorang Sarjana Hukum, lulusan UI Jakarta.
Pernah beberapa kali jadi Camat, naik jadi Walikota Kota
Administratif, kemudian diangkat jadi Sekda di kantor
Propinsi. Ia tinggal melangkah ke kursi Bupati. Sayang, masa
jabatan Gubernur lama sudah habis. Gubernur yang baru
dilantik ternyata berasal dari suku lain, tak pula ada kaitan136
marga dengan marganya Marasad. Mula-mula tidak terjadi
sesuatu. Gubernur baru rupanya masih perlu mengenal
lapangan, masih harus menyesuaikan diri. Lalu pelan-pelan,
dimulailah perombakan demi perombakan. Memang tidak
kentara. Akan tetapi hidung Marasad yang tajam sudah
dapat mencium bau tak sedap. Bau yang menyengat itu,
melayang-layang ke arahnya.
Benar saja. Jabatan Sekda suatu ketika diganti.
Hanya, Marasad tidak lantas melenggang ke kantor Bupati.
Ia justru dihempaskan ke kantor statistik. Marasad tentu saja
kecewa, namun tidak putus harapan. Ia berpikir, kalaulah pak
Gubernur menilai ia tidak berbakat jadi Bupati, mbok ya
janganlah dikurung di tempat yang ?kering? itu. Kepala kantor
agraria, atau dinas tata kota, bolehlah. Yah, paling miris jadi
pimpinan proyek-lah.
Maka Marasad pun rajin kasak-kusuk. Mulai dari
orang-orang berpengaruh di daerah, sampai ke orang-orang
yang konon punya ?gigi? di Pemerintah Pusat. Untuk
mensukseskan ambisinya yang besar itu, semua keluarga
tentu saja ikut membantu. Termasuk Darwis, anak
sulungnya.
Darwis sempat kecipratan karunia dari ayahnya.
Setamat kuliah di Fakultas Kedokteran USU, tanpa melalui
prosedur resmi Darwis langsung memperoleh kedudukan
jadi Kepala Puskesmas. Ini berkat pengaruh ayahnya yang
ketika itu masih menjabat sebagai Sekda. Tak lama
kemudian, Darwis pun memperoleh surat ijin untuk
membuka praktek umum. Penghasilannya boleh dibilang
lebih dari cukup. Bukan karena ia seorang dokter yang137
?paten?. Tetapi lebih banyak ditunjang oleh ayahnya. Pak
Sekda Marasad, senantiasa ?menganjurkan? sekian ratus
orang pegawai beserta sanak keluarga mereka untuk
berobat pada dokter Darwis. "Selain dokter mujarab,
taripnya pun terkenal ringan," katanya lantas
menambahkan: "Siapa yang berobat ke dokter Darwis, akan
kubantu mempercepat keluarnya surat-surat mengenai
Askes."
Darwis benar-benar merasa berhutang budi pada
ayahnya. Maka tak heran, penghasilannya yang melimpah itu
ia masukkan sebagai dana tambahan untuk menunjang
keberhasilan ambisi Marasad untuk jadi kepala proyek. Toh
Darwis sendiri tidak membutuhkan betul semua uangnya.
Tanggungannya cuma seorang isteri, tanpa anak pula.
Delila memang sangat setia mengikuti program
Keluarga Berencana. Demikian setia dan ketaatannya,
sehingga ia pantas mendapat medali sebagai seorang
akseptor teladan. Kalau Darwis bertanya mengapa ia tidak
mau punya anak, Delila menjawab: "Belum berani, aku
belum berpengalaman!"
Pernah Darwis mendesak. "Bagaimana kau bisa
menarik pengalaman, kalau punya anak saja kau tak
pernah?"
"Kukira... eh. Aku masih terlalu muda untuk
melahirkan, untuk mengurus anak-anak..."
Didesak terus, jawabnya, "Aku masih ingin bebas.
Ingin tetap kelihatan cantik!"
Dibilang begitu, terpaksa suaminya mengalah.
Darwis pikir, memang benar juga ucapan isterinya. Sebagai138
seorang wanita muda yang belum pernah mengandung atau
melahirkan, Delila yang cantik rupawan itu tubuhnya akan
tetap terpelihara. Sintal, kenyal, sesintal dan sekenyal
seorang perawan tulen!
Lantas Darwis pun sibuk dengan urusannya sendiri.
Melayani pasien-pasiennya, dan ikut sibuk mengurus segala
keperluan yang dibutuhkan ayahnya. Pasien-pasiennya
bukan sedikit pula yang cantik-cantik. Kalau ia waspada,
pastilah ia harus mengakui dari sekian orang pasien


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanitanya itu, belum ada seorangpun yang dapat
menandingi kecantikan Delila. Tetapi begitula laki-laki. Bila
sudah berumah tangga, wanita lain akan tampak jauh lebih
cantik ketimbang isteri di rumah, isteri yang sebelum
dinikahinya tampak bagaikan dewi yang baru turun dari
kahyangan.
Darwis pun diam-diam mulai mengkhianati Delila.
Masuk akal juga, memang. Malam pertama mereka saja,
boleh dikatakan mengerikan. Delila tak mau mencopot
pakaian pengantinnya. Ia malah berusaha mengunci pintu
kamar, mencegah Darwis masuk. Sayang ia lupa mengunci
jendela. Setelah dibujuk-bujuk Delila tidak mau juga, Darwis
jadi marah. Ia menampar Delila. Isterinya balas menampar.
Mereka kemudian seolah berkelahi-berbisik, karena
perkelahian itu berlangsung tanpa seorang pun berteriak
marah atau menjerit minta tolong mengingat banyak orang
di rumah mereka. Tetapi suara gedebak-gedebuk di kamar
pengantin, bukannya tidak menarik perhatian orang. Namun
tak lama. Suara itu hilang juga. Rupanya, di kamar Darwis
sebagai laki-laki, telah dapat menaklukkan perempuannya.139
Pakaian keduanya robek-robek, centang perenang. Delila
dalam keadaan setengah pingsan dipukuli, barulah Darwis
dapat melampiaskan nafsu birahinya yang semakin menggila
selama perkelahian itu.
Usai persetubuhan itu, Delila tidak menangis
sebagaimana semula diduga Darwis. Delila hanya menatap
tajam ke mata suaminya, tanpa berkedip. Lalu menggeram:
"Kau memperkosa aku. Terkutuklah kau!"
Darwis tidak mau menerima kutukan itu. Ia melapor
pada keluarganya. Keluarganya kemudian melapor pada
keluarga Delila. Tak terperikan malunya Nurdin. Lebih-lebih
lagi Masdalena.
"Kau rupanya ingin membuat malu semua keluarga
kita ya?" jerit Masdalena pada anaknya. "Itukah yang ingin
kau ajar-ajarkan pada adik-adikmu, si Sam dan si Ros?"
Malam-malam berikutnya, Delila tidak lagi berontak.
Ia dapat melampiaskan hajatnya dengan leluasa.
Karena untuk seterusnya, Delila menyerah. Diam, pasrah, tak
bergerak-gerak. Sedemikian rupa, sehingga suatu ketika
Darwis tak tahan dan berteriak pada ayahnya: "Apa yang
telah kalian berikan untuk kutiduri ini? Batang pisang?"
Kali ini, ayahnya yang menyabarkan: "Sabar, nak.
Jangan menambah cemar nama keluarga kita. Ingatlah. Aku
akan diangkat jadi Pimpinan Proyek, bukan? Jadi bantulah
aku menjaga kehormatan keluarga kita. Lagipula, kau masih
beruntung. Si Delila itu, bukan main cantiknya!"
Delila memang bukan main cantiknya.
Tetapi batang pisang tetaplah batang pisang.
Sementara satu dua pasien yang berhasil dirayunya, bersedia140
menyerahkan batang tubuhnya disertai goyang maut dan
rintihan birahi yang teramat mengasyikkan. Ya. Ya, Delila
memang cantik rupawan, potongan tubuhnya pun sangat
aduhai. Tetapi Delila yang luar biasa itu bukan untuk ditiduri
oleh suaminya. Delila lebih berguna untuk dipajang di etalase
rumah tangganya. Diperkenalkan pada kerabat-kerabat,
dipertontonkan dalam pertemuan-pertemuan resmi. Setelah
semua orang mengaguminya dan menyatakan keiriannya
akan nasib baik Darwis, maka Delila kemudian dibawa pulang
ke rumah. Dimasukkan lagi ke kotak kardus, untuk
dikeluarkan lagi pada waktunya.
Kegilaan Darwis main perempuan karenanya makin
menjadi. Untuk membeli cinta yang satu dua jam itu, ia harus
terus membuka dompetnya. Ayahnya pun, terus pula
menghimbau untuk menambah dana menambah lagi dana
kampanyenya. Begitupun terhadap anak dan menantunya
yang lain. Nyatanya, dari tahun ke tahun, Marasad tetap saja
ditempatkan di kantor statistik. Di rumah, keluarganya
semakin morat-marit. Rumah tangga sekian anak dan
menantunya, bangkrut dan terancam bubar.
Dan tibalah saatnya, tindak-tanduk Darwis maupun
ayahnya membuat banyak orang tidak senang. Ijin praktek
Darwis suatu hari dicabut. Dan kalau ia tidak memperbaiki
konditenya, ijazah kedokterannya pun akan dianggap tidak
pernah berlaku. Sayang, Darwis sudah larut oleh kekecewaan
pada isterinya, pada ayahnya, pada dirinya sendiri. Ia
semakin jatuh terperosok, tak punya uang, dan mulai
dicemoohkan perempuan-perempuan simpanannya. Dan141
ketika ia mabuk berat selagi berjudi, lambungnya ditusuk
lawannya berkelahi. Darwis diangkut ke rumah sakit.
Sebelum ambulans tiba di rumah sakit, Delila sudah resmi
menjadi janda.
"Aku sudah pernah bilang, Darwis bukan suami yang
pantas untuk anak kita," ujar Nurdin setelah anak mereka
kembali pulang ke rumah.
"Bapaknya itu yang kurang ajar!" sungut Masdalena,
sakit hati. "Dulu katanya pasti terpilih jadi Bupati. Ini apa,
cuma kambing congek!"
Dan kepada anaknya, Delila, ia menghibur: "Tak usah
cemas, sayangku. Ibu sudah pilihkan calon suami baru
untukmu. Ia seorang pengusaha kaya. Beruntunglah kau,
anakku. Perempuan lain di kota ini, kalau jadi janda, langsung
dicampakkan orang!"
Delila mengirim surat kepada Prakoso. "Aku sudah
janda sekarang," ia memberitahu. "Kalau kau masih cinta,
segeralah aku kau jemput."
Saat surat itu tiba di rumah mereka, Bambang
Prakoso Joyodipuro tengah menempuh ujian Sarjana Muda
di Universitas Diponegoro, Semarang. Yang menerima surat,
ayahnya. Mengetahui siapa pengirimnya, Prakoso
Joyodipuro lantas merobek-robek tanpa membaca isinya.
Baru dua bulan kemudian, setelah ia lulus ujian Bambang
mendengar tentang surat Delila yang dirobek itu, karena
salah seorang adiknya salah omong.
Bambang segera menulis surat ke Medan. Yang
menerimanya, Rosmalina sendiri. Ia tidak meneruskannya ke
tangan Delila, kakaknya. Delila sudah menikah. Ia mau142
menikah dengan pengusaha, calon ibunya, karena kecewa
tidak menerima surat balasan dari kekasihnya. Saat surat itu
diterima Rosmalina dari pak pos Delila ditemani suaminya
tengah berziarah ke kuburan ayah mereka. Nurdin telah
meninggal dunia sebelum Delila menikah untuk kedua
kalinya. Nurdin meninggal karena serangan TBC. Karena
meninggalnya ayah mereka pulalah, Delila akhirnya bersedia
kawin dengan pengusaha kaya itu.
Karena tiada lagi tempat bergantung keluarganya.
Ibunya janda, tidak punya keahlian untuk mencari uang.
Saudara-saudaranya yang lima orang perlu dibantu.
Mestinya cuma empat saja. Tetapi usaha dagang Tombuk,
saudara tertuanya, terus menerus rugi.
Keluarga mereka terus pula dirundung malang.
Tak lama setelah ayah mereka meninggal, tiba giliran
ibu mereka jatuh sakit. Menurut dokter, Masdalena
menderita komplikasi. Darah tinggi, liver, dan yang paling
parah adalah ginjalnya. Kedua buah ginjal Masdalena sudah
terlambat diobati. Kedua-duanya harus diangkat.
Masdalena punya seorang saudara seibu-seayah,
tetapi telah meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Jadi tak
ada ginjal pengganti untuk dicangkokkan ke tubuh
Masdalena. Ia tidak mau mati. "Aku tak mau! Aku masih ingin
hidup!" jeritnya.
Masdalena terpaksa dikirim ke rumah sakit di
Jakarta, untuk menjalani operasi pembuangan ginjalnya,
yang akan diteruskan dengan cuci darah selama ia ingin
hidup. Untung ada keluarga yang mau menampungnya di
Jakarta. Tetapi hanya untuk pondokan dan makan. Untuk143
biaya cuci darah yang harus dilakukan dua kali dalam
seminggu, semua keluarga ikut membantu. Termasuk suami
Delila, dan keluarga suami Delila. Sementara itu, adik-adik
Delila masih harus ditunjang. Lukman memutuskan berhenti
dan membantu usaha dagang Tombuk yang hidup segan
mati tak mau itu. Parlindungan bersikeras terus kuliah, dan
Syamsiah ingin menamatkan sampai di SPG. Sekolah
Rosmalina tanggung pula. Waktu ibunya masuk rumah sakit,
Rosmalina baru menginjak dua SMP. Tanggung, jadi
diharuskan menamatkan SMP-nya. Habis itu, terserah
Rosmalina apakah akan meneruskan atau memilih bekerja.
"Tidak. Si Ros paling sedikit harus lulus SMA. Baru
setelah itu, ia boleh memilih. Mau kerja, atau meneruskan ke
bangku perguruan tinggi!" Delila memutuskan dengan tegas.
Ia sangat menyayangi si bungsu itu, begitu pula sebaliknya.
Tetapi adik-adiknya itu, dengan sendirinya perlu
biaya.
Keluarga, lama-lama mulai bosan membantu.
Banyak yang jengkel, mengapa Masdalena memaksa untuk
tetap hidup, sehingga untuk menebus keegoisannya itu,
anak-anaknya harus dikorbankan. Kejengkelan itulah yang
menyebabkan sanak famili enggan turun tangan.
Tinggal suami Delila. Karena keluarga suami Delila,
lama-lama merasakan kejengkelan yang sama. Kata mereka:
"Anak-anak kami juga harus diurus!"
Hanya beberapa orang yang tetap sadar, bahwa ajal
ada di tangan Tuhan. Menyuruh Masdalena berhenti
menjalani cuci darah, sama artinya dengan menyuruh ia
mati. "Bukan hak kita mencabut nyawa orang lain," kata144
mereka. Sayang, mereka yang sadar itu, tidak dapat
membantu banyak, kecuali dorongan moriel serta panjatan
doa ke hadirat Allah.
Dan, yang tinggal seorang itu pun akhirnya
menyerah.
"Selain ibumu, adik-adikmu, aku masih harus
menanggung orang tuaku, adik-adikku, dan tiga orang
anakku dari isteriku terdahulu," suami Delila mengeluh
prihatin. Tetapi ia tidak tega pergi begitu saja. "Sebagian
saham-sahamku di perusahaan, boleh kau ambil. Rumah kita
beserta isinya pun boleh kau miliki. Anggaplah, sebagai tanda
aku masih ingin mencintai dan menghormatimu..."
Delila menjadi janda untuk kedua kalinya. Ia tidak
lagi memikirkan laki-laki. Yang ia pikirkan adik-adiknya,
terutama Rosmalina. Ia juga memikirkan ibunya. Ia tak dapat
membenci Masdalena. Karena, betapapun Masdalena
selama ini telah menjerumuskannya ke ambang kehancuran,
perempuan yang sakit itu tetaplah ibu yang melahirkannya.
Setelah saham-saham miliknya terpaksa berpindah tangan
juga, begitu pula rumah peninggalan suaminya, Delila
memutuskan pindah ke Jakarta. Selain untuk mendampingi
ibu mereka, ia akan berusaha mencari tambahan biaya untuk
keperluan berobat ibunya.
Dengan sedikit modal sisa penjualan rumahnya,
Delila melamar pekerjaan di Jakarta. Satu dua kerabat
berusaha membantu. Sayang, ijazahnya cuma SMA. Tetapi ia
punya modal lain. Wajahnya yang masih tetap cantik, dan
tubuhnya yang masih tetap sintal menggoda. Ia diterima jadi
sekretaris di sebuah perusahaan swasta. Gajinya untuk145
dirinya sendiri, tetapi tidak cukup untuk menolong ibunya,
apalagi adik-adiknya. Karena itu, selain bekerja, ia juga jadi
gadis model untuk sampul majalah, kalender. Itu pun
sebentar saja, karena upahnya tidak seberapa. Akhirnya ia
diterima sebagai peragawati, dan kadang-kadang jadi
bintang sambil lewat di layar putih. Ia cantik memang,
tubuhnya menggairahkan memang, tetapi ia tidak punya
bakat untuk berakting di depan kamera.
Lalu, lewat dunia peragawati dan dunia film itulah, ia
melihat kesempatan baik untuk memperoleh uang yang
diinginkannya. Suatu ketika, salah seorang pemilik butik
memperkenalkan Delila pada seorang produser film. "Kau
akan kujadikan bintang utama. Kau punya potensi," kata
produser itu. "Tetapi untuk sampai ke jenjang itu, perlu
pengorbanan tidak sedikit."
Delila lama berpikir, sebelum merelakan
pengorbanannya. Suatu malam, ia dibawa tidur oleh
produser itu. Minggu depannya, ia teken kontrak untuk
membuat film dengan Delila sebagai bintang utama. Delila
menerima uang muka dari kontraknya, tetapi tidak pernah
menerima uang sisanya. Karena film itu tidak pernah jadi
dibuat, dengan berbagai alasan yang tak masuk di akal.
Delila sadar ia telah masuk perangkap. Untuk
mundur, sudah terlambat.
Dari tangan produser itu, Delila pun kemudian
berpindah ke tangan orang berkantong tebal lainnya.
Tanpa setahu ibu dan keluarganya, Delila sudah
menjalani profesi sebagai pelacur.
Bambang Prakoso, mulai dilupakannya.146
*** Tujuh belas
Di Semarang, Bambang Prakoso menamatkan
studinya.
Ia kemudian diterima sebagai pegawai negeri di
sebuah instansi pemerintah. Ia kini sudah bisa berdiri sendiri.
Prakoso Joyodipuro berulang kali mendesak agar anaknya
segera memilih jodoh dan memulai lembaran hidup yang
baru. Sanak keluarga yang lain tak kurang pula membujuk.
Semuanya sia-sia. Dalam jiwa Prakoso, hanya ada satu
perempuan untuk dicintai. Dan perempuan itu, adalah Delila.
Ayahnya yang sudah berangkat tua, tak bisa berbuat
apa-apa. "Penghinaan Nurdin sukar kulupakan, anakku.
Tetapi kalau kehendakmu sudah begitu keras, apa boleh
buat. Kupikir-pikir, salah seorang ayah memang bukanlah
tanggung jawab anaknya."
Cuti pertamanya, ia putuskan untuk pergi ke Medan.
Tombuk sudah meninggal. Usahanya diteruskan oleh
Lukman, yang kemudian memperisteri bekas isteri
abangnya. "Jadi begitulah. Saat aku naik pelaminan, aku
sudah punya anak tiga," kata Lukman ketika mereka
bertemu. Sambutannya atas kedatangan Bambang, tidak
bersahabat. Lukman rupanya mempunyai pendirian,
kesengsaraan yang dialami keluarganya bermula dari
perbuatan Bambang yang telah ?meracuni? jiwa adiknya,
Delila. "Ia sudah pindah ke Jakarta. Tak tahu alamatnya di
mana," kata Lukman menjawab pertanyaan Bambang147
mengenai Delila. "Ia sudah kawin dua kali. Tandanya, ia


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tidak mencintai kau lagi."
Bambang tidak bertemu dengan saudara-saudara
Delila yang lain, karena Lukman tak memberikan alamat
mereka. Ia hanya memberitahu Syamsiah sudah kawin,
Parlindungan masih kuliah di IPB Bogor. Ketika Bambang
yang putus harapan meninggalkan rumah itu, di suatu
persimpangan jalan ia dicegat seorang gadis yang meningkat
remaja.
Gadis itu tersenyum padanya. Manis sekali.
"Hai, bang," sapa si gadis manis.
"Hai. Siapa... eh, kau tentunya Rosmalina!" Bambang
Prakoso terkejut.
"Hem. Kukira abang sudah lupa," jawab gadis itu
dengan wajah bersemu merah. "Abang makin tampan saja
kulihat."
"Kau pun makin cantik, Rosma."
Makin merah wajah itu. "Aku sengaja menyusul
abang," katanya. "Tanpa setahu bang Lukman. Jadi, ayolah
kita pergi dari sini, sebelum ia memergoki kita."
Mereka berbicara di sebuah warung pinggir selokan,
sambil menyantap hidangan kolak es. Rosmalina
menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang kesengsaraan
yang terus menimpa keluarga mereka. Tentang ayahnya
yang sudah meninggal. Tentang ibunya yang harus menjalani
cuci darah sepanjang sisa hidupnya. Tentang Delila yang
terpaksa kawin dua kali, jadi janda dua kali.
"Kak Del kini jadi peragawati terkemuka di Jakarta.
Bayarannya mahal," kata Delila.148
"Dari siapa kau tahu?"
"Kak Del sendiri. Lewat surat-suratnya. Katanya,
sesekali juga ia jadi bintang film, jadi gadis model, dan punya
kerja tetap sebagai sekretaris di sebuah perusahaan..."
"Banyak benar. Sanggup dia?"
"Yah, demi kami. Demi ibu kami yang sakit,"
Rosmalina mengeluh, getir. "Aku kini sudah kelas dua SMA.
Nanti kalau sudah lulus, aku akan cari kerja saja. Kasihan kak
Del, mati-matian memeras keringat untuk kami semua.
Maksudku, kecuali bang Lukman yang sudah punya usaha
sendiri."
"Tak ingin meneruskan ke perguruan tinggi?"
"Ingin sih ingin. Tetapi yah... kasihan kak Del,"
matanya berlinangkan butir-butir air bening. "Aku sering
didatangi mimpi buruk. Tiap kali aku bermimpi, tiap kali
kulihat tangan kak Del menggapai-gapai, seolah minta
tolong. Kalau kudekati, kak Del menghilang. Yang kudengar,
tinggal isak tangisnya, yang kian lama kian menghilang pula."
"Dimana ia tinggal di Jakartanya, Rosma?"
"Akan kukasih tahu alamatnya. Tetapi jangan bilang
bang Lukman, aku yang memberitahumu. Janji ya?"
"Janji, Rosma."
"Sumpah?"
"Sumpah."
"Demi apa abang bersumpah?"
"Maumu?"
Rosmalina berpikir sebentar. Kemudian tersenyum,
"Yah. Cukuplah, demi kak Del!"
Bambang mengucapkan sumpahnya.149
Rosmalina merasa puas, kemudian memberikan
alamat kakaknya di Jakarta, yang katanya tinggal seorang
diri, ditemani seorang pembantunya yang setia. Seorang
perempuan tua, yang merawat Delila sebagaimana
perempuan itu merawat dan menjaga anak kandungnya
sendiri.
Sebelum mereka berpisah, gadis itu bertanya
dengan muka merah: "Boleh aku menciummu, bang. Di pipi
saja..."
Bambang merendahkan wajahnya.
Pipinya dicium Rosmalina. "Kirim salamku untuk kak
Del. Bilang, aku minta maaf karena telah berani mencium
kekasihnya."
Mereka pun berpisah.
Entah mengapa, berat hati Bambang Prakoso
Joyodipuro untuk meninggalkan gadis remaja itu. Ciuman
hangat di pipinya, barangkali akan teramat susah
dilupakannya.
*** Di Jakarta, Bambang disambut kegemparan. Ia
berhasil melacak alamat yang diperolehnya dari Rosmalina.
Delila tidak di rumah. Pembantunya yang setia itu,
memandangi Bambang dengan mata curiga, setelah
tamunya menyebut nama Delila. Setelah didesak, mau juga
ia memberitahu: "Nona Delila barusan ke rumah sakit. Ada
kejadian gawat."
"Kejadian gawat?"150
"Ya. Katanya, ibu non mengalami kritis."
"Rumah sakit mana, bu?"
Bambang segera terbang naik taksi ke rumah sakit
yang alamatnya diberikan oleh pembantu Delila. Setelah
tanya sana tanya sini, ia memasuki zaal di mana Masdalena
dirawat. Ia urung meneruskan langkah, setelah ia mendengar
isak tangis Delila, di antara teriakan amarah Masdalena,
ibunya: "Haram aku hidup dari uang terkutuk! Untunglah ada
yang memberitahuku kemarin sore. Jadi itulah yang kau
kerjakan selama ini, he? Perempuan lacur! Dimakan setanlah
kau hendaknya!"
Orang-orang berkerumun di dalam dan di luar zaal
itu. Bambang Prakoso sebaliknya, melangkah mundur.
Menjauh. Kepalanya pening. Jantungnya bagaikan digerogoti
sesuatu. Nafasnya sesak. Betapa tidak. Masdalena dalam
marahnya tidak menyebut nama. Tetapi isak tangis Delila,
tak punya arti lain kecuali bahwa yang dituduh pelacur itu
Delila sendiri!
Di samping Bambang, seseorang menyelutuk:
"Perempuan tak punya malu!"
Bambang tersentak. Ia renggut kerah baju orang
yang nyelutuk itu, diamang-amangkannya tinjunya. Lantas
menggeram marah: "Ucapkan sekali lagi, kau bangsat
sialan!"
"Maaf bung. Maaf..." bisik orang itu pucat pasi,
sambil mengangkat kedua lengan berusaha melindungi
wajahnya.
Barulah Bambang sadar mengetahui siapa yang jadi
sasaran kepanikannya. Ternyata seorang juru rawat, yang151
segera ia lepaskan. Bambang tidak minta maaf atas
kekasarannya. Ia sedang bingung, setelah mengetahui Delila
bukan lagi gadis yang dulu dikaguminya, yang selalu
didambakannya. Delila boleh kawin, cerai, kawin lagi, cerai
lagi. Tetapi jadi pelacur...
"Menurut Anda," ujarnya dengan suara
direndahkan. "Perempuan mana yang tak bermalu itu?"
"Si sakit."
Bambang, entah mengapa, bernafas lega.
"Mengapa?" tanyanya.
"Mengapa bagaimana lagi? Anaknya yang masih
muda dan cantik itu, rela mengorbankan kehormatannya,
demi membiayai perawatan ibunya. Mestinya si ibu
berterima kasih. Atau, kalau memang ia tak mau menerima
uang anaknya, mestinya ia sudah mati dari dulu-dulu saja!"
Bambang Prakoso tercenung.
Mestinya si ibu berterima kasih, kata juru rawat ini.
Kasihan kak Del mati-matian memeras keringat untuk kami
semua, kata Rosmalina.
"Aku sering bermimpi buruk..." terngiang pula cerita
Rosmalina yang menyedihkan itu. "Kasihan kak Del..."
Air mata Bambang menitik tanpa ia sadari.
"Hei, bung menangis..."
"Ah. Hanya perih saja," sahut Bambang seraya
menyeka pipinya. "Sebenarnya, apa yang telah terjadi?"
"Yah, susah juga memulainya dari mana. Kemarin
malam ada tamu berkunjung, tampaknya ia berbicara serius.
Setelah ia pergi, pasien kami itu minta dipanggilkan dokter.
Katanya, ia ingin menghentikan perawatan atas dirinya. Ia152
tidak sudi lagi menjalani cuci darah lagi. Ia memilih mati saja.
Kami segera menghubungi ke rumah anaknya, per telepon.
Yang ada cuma pembantunya. Pembantu itu tidak tahu
kemana majikannya pergi, kecuali mengatakan ada
pekerjaan. Pagi-pagi kami hubungi lagi. Belum pulang.
Untung, siang ini nona itu datang sendiri. Dan begitulah,
ibunya langsung naik pitam," juru rawat itu geleng kepala.
Tak habis mengerti, rupanya.
Ia melanjutkan: "Kalau aku, akan kutunggu sampai
aku dan anakku hanya berdua saja. Tak didengar orang lain,
kalau aku marah-marah, kalau aku mengungkap rahasia
keluarga. Yang malu, bukan anakku, tetapi aku sebagai orang
tuanya!"
Selagi mereka berbicara, terlihat seseorang berlarilari meninggalkan zaal perawatan. Ternyata Delila, yang
terus kabur tanpa melihat kiri-kanan, sehingga ia juga tidak
melihat kehadiran Bambang Prakoso. Bambang berhasil
menyusul gadis itu ketika akan naik ke dalam mobilnya,
sebuah mobil kecil yang cantik. Bambang memegang lengan
perempuan itu dari belakang, tanpa tahu harus berkata apa.
Delila meronta-ronta, sambil sesenggukan:
"Lepaskan aku. Biarkan aku pergi! Lepaskan kubilang..."
"Tak akan Delila. Tak akan kubiarkan kau pergi
meninggalkan diriku..."
Delila masih meronta-ronta, masih menceracau tak
menentu, sebelum tiba-tiba sekujur tubuhnya menegang
kaku. Ia kini membalik pelan, menatap orang yang berbicara.
Mulutnya kemak-kemik mau mengucapkan sesuatu,
matanya membelalak lebar.153
Kemudian ia jatuh pingsan dalam pelukan
kekasihnya.
*** Delapan belas
Rosmalina menangis.
Supriyanto juga menangis. Kakaknya, apalagi.
Suprihatin bersimpuh di lantai, memeluk paha ibunya, dan
tersedu-sedu di haribaannya. Ketiga anak beranak itu terus
bertangis-tangisan, sampai Bambang Prakoso terbangun dari
tidurnya. Ia merasa lehernya sakit. Bambang segera bangkit
menggerak-gerakkan leher, kemudian berjalan ke kamar
yang pintunya tertutup. Bambang tidak membukanya. Ia
hanya bertanya ingin tahu dari sebelah luar:
"Apakah kalian sedang mengigau? Sudah hampir
pagi, sekarang!"
Dari dalam, tak terdengar jawaban.
"Kalian baik-baik saja, kuharap."
Barulah terdengar suara Supriyanto. "Tak ada apaapa, papa..."
"Lalu mengapa harus menangis?"
"Apa nggak boleh?!" Supriyanto mendengus.
Bambang Prakoso Joyodipuro geleng-geleng kepala,
tersenyum kecut, lalu pergi ke kamar mandi. Setelah langkah154
ayahnya terdengar semakin menjauh, Supriyanto bergumam
pelan: "Apa yang terjadi setelah itu, mama?"
"Mengerikan," jawab ibunya, gemetar.
"Apanya yang mengerikan?"
Dengan suara terputus-putus, Rosmalina kembali
menceritakan apa yang ia ketahui, sambil mengingatkan
sekali lagi, bahwa yang ia ceritakan sebagian ia peroleh dari
suaminya, sebagian dari Delila, sebagian dari orang-orang
lain.
Masdalena yang merasa hidupnya diperpanjang oleh
laknat Tuhan itu, tetap tidak sudi lagi menjalani cuci darah.
Ia minta dipulangkan ke tengah anak-anaknya di Medan.
Karena ia tidak bersedia lagi menerima uang haram dari
Delila, ia menjual satu dua perhiasan yang masih ia pakai,
termasuk cincin kawinnya.
"Sisa biaya rumah sakit, nanti kukirimkan," katanya.
Ia juga minta tolong agar anaknya yang kuliah di IPB Bogor
dihubungi per telepon, supaya ada yang mendampinginya
pulang ke Medan.
Dengan bantuan keluarga mereka di Jakarta,
Masdalena dan Parlindungan dapat diberangkatkan ke
Medan, naik pesawat terbang. Ia mengumpulkan semua
anak-anaknya ? kecuali Delila tentu. Di hadapan mereka
semua, ia ceritakan apa yang telah ia dengar dan kemudian
diakui oleh Delila sendiri.
"Ia telah mencekoki kalian selama ini dengan uang
haram!" Masdalena menderu. "Aku juga. Ia meracuni
hidupku dengan nafas-nafas bejat yang menjijikkan! Mulai155
detik ini, kunyatakan putus hubunganku dengan dirinya. Ia
tak lagi kuakui sebagai anak. Kalian ingat-ingatlah itu!"
Tiga hari kemudian, Masdalena menghembuskan
nafas. Anak-anaknya berusaha mengingatkan ibu mereka
agar membaca dua kalimat syahadat sebelum menemui ajal.
Namun yang keluar dari mulut Masdalena, hanyalah sumpah
serapah: "Delila meracuni kita semua. Delila..." lalu
kepalanyapun tergolek diam.
Lukman menjerit marah. "Semua itu dimulai oleh si
Bambang terkutuk itu! Pastilah mereka telah mendukuni
keluarga kita!"
Setelah upacara penguburan, Parlindungan kembali
ke Bogor. Ia tidak singgah di Jakarta untuk menemui Delila.
Ia meneruskan studinya, dengan bantuan ala kadarnya dari
Lukman dan Syamsiah. Ia berhasil lulus dengan baik.
Kemudian pulang lagi ke Medan, tanpa singgah di Jakarta.
Nama baik ayahnya masih bersisa.
Parlindungan diterima bekerja di perkebunan Sawit
Seberang. Ia juga telah mengharam jadahkan Delila. Rupanya
ia lupa, sebagian dari perjuangannya sehingga berhasil jadi
orang, adalah berkat andil Delila. Syamsiah sendiri, bukannya
tak menghormati pengorbanan Delila. Ia sedang diamuk
kekacauan rumah tangga. Jadi tak pernah punya pikiran
untuk menyurati kakaknya.
Rosmalina diam-diam mengumpulkan uang
tabungannya yang ia simpan sedikit demi sedikit. Kepada
bang Lukman ia bilang ia akan pulang saja ke Sidempuan.
Masih ada nenek di sana, yang pasti senang ditemani. Dan


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek pasti mau pula menyekolahkannya. Lukman yang156
merasa tanggungannya sudah cukup berat karena tidak lagi
dibantu Delila, dengan senang hati menyetujui rencana
adiknya.
Dari Sidempuan, ia berkirim surat ke Jakarta. "Aku
sekarang tinggal bersama nenek, kak Del," katanya. "Nenek
tidak keberatan kita saling berhubungan. Ketahuilah kak Del.
Aku mencintaimu, apa pun yang terjadi."
Menjelang Rosmalina tamat SMA, datang surat
kakaknya dari Jakarta: "Akhirnya aku berhasil membujuk
abangmu, Rosma. Aku tidak saja berdosa padanya. Aku
merasa, aku sudah terlalu kotor untuknya. Aku tak sampai
hati merusak kesucian cintanya. Karena itu kutawarkan
padanya sesuatu, yang kini juga ingin kutawarkan padamu.
Bersediakah kau, Rosmalinaku sayang, menikah dengan
Bambang Prakoso? Hanya melalui jalan itulah, tali cinta kami
tidak akan pernah putus!" itulah isi surat Delila.
Semenjak mereka bertemu setelah berpisah sekian
tahun, di jalan simpang itu ? dan ketika ia mencium pipi
kekasih kakaknya, jauh di sanubarinya Rosmalina sudah
merasakan getaran-getaran aneh yang tidak pernah mau
hilang. Begitu ia baca surat Delila, begitu pula getaran itu
berdentang-denting semakin kuat, seolah tali-tali senar gitar
yang dipetik oleh jari jemari seorang pemusik yang larut
dibawa perasaannya.
Namun Rosmalina ingin lebih yakin. Ia minta nasihat
neneknya.
Lalu neneknya bilang: "Kalau kau mencintainya,
kawinlah dengannya. Tetapi kalau kau mau mengawininya
karena ingin berkorban demi kakakmu, lupakan sajalah..."157
Rosmalina kemudian membalas surat kakaknya:
"Apa jawaban bang Bambang?"
Satu bulan kemudian, baru suratnya dibalas Delila:
"Ia mengerti maksudku. Abangmu, dengan senang hati akan
melamarmu."
"Keluarga di Medan tidak diberitahu."
"Aku yang akan bertanggung jawab," kata nenek
tegas. "Aku sudah tua. Sudah banyak makan asam garam.
Saudara-saudaramu, semuanya hanya menurutkan emosi.
Itu pun bukan salah mereka. Itu adalah berkat didikan ibumu
yang sangat egois. Semoga arwah almarhum ibu kalian
diampuni Tuhan adanya.
Setelah Rosmalina lulus sekolahnya, Bambang
Prakoso datang ke Sidempuan, didampingi oleh dua orang
anggota keluarganya. Ayahnya tidak menyetujui gagasan itu,
tetapi tidak pula menolak. Ia masih sakit hati pada keluarga
Rosmalina. Tetapi sebaliknya, ia sangat mencintai Bambang,
sehingga kemauan anak itu tak dapat ia cegah. Secara resmi,
Bambang Prakoso Joyodipuro melamar Rosmalina pada
nenek gadis itu. Tak ada pesta, tak banyak tamu yang
diundang. Tak pula ada malam pengantin. Bambang
langsung memboyong isterinya ke Semarang. Di sana,
barulah mereka dipestakan. Di sana, barulah mereka nikmati
malam pertama mereka.
***158
"Sebenarnya, hanya aku seorang yang menikmati
malam pengantin itu. Ayah kalian, kurasa tidak," gumam
Rosmalina, getir.
"Mengapa mama berkata begitu?" tanya Suprihatin,
terkejut.
"Itu baru kusadari belakangan. Beberapa kali dalam
tidurnya, ayah kalian mengigau menyebut-nyebut nama
Delila..."
"Mama tidak seharusnya menceritakan itu pada
kami!" protes Suprihatin, tidak senang.
"Apa salahnya?" sahut Rosmalina, sabar.
"Karena itu sangat pribadi sifatnya, mama."
"Selama ini, ya. Tidak setelah Supriyanto
mengetahui tentang Delila," jawab ibu mereka, tenang.
"Delila? Kapan pula saya mengetahuinya?" cetus
Supriyanto, tercengang.
"Kau mengetahuinya, anakku. Delila, adalah nama
sebenarnya. Nama yang diperuntukkan keluarga. Namun
dalam pekerjaannya, Delila meminjam nama pembantunya
yang setia: Marni."
"Astaga! Jadi mama ? setelah kita pindah ke Jakarta
ini, papa kembali hidup serumah dengan Marni ? eh, Uwa
Delila?" Supriyanto makin tercengang.
"Soal hidup serumah sih, aku tak tahu betul. Soal
mengunjunginya, selama kita di Semarang pun ia selalu
mengunjungi Delila. Tentu saja, hanya pada waktu-waktu
tertentu..."
"Dan mama bersedia kita pindah ke Jakarta!" desah
Suprihatin bingung. "Itu namanya, sama dengan159
menyodorkan burung kesayangan kita untuk diterkam
kucing!"
"Ayahmu bukan burung, nak. Uwa Del-mu pun
bukan kucing."
"Buktinya?"
"Kita harus mengikuti ayahmu pindah ke Jakarta ini,
anakku. Karena kantor dinasnya mengharuskan begitu. Dan
kalian sendiri tahu, setelah di Jakarta ini, karir ayah kalian
bertambah maju."
"Dan bertambah inti pulalah ia dengan kekasih
gelapnya!" menggeram Supriyanto.
"Delila itu Uwa-mu, Yanto," ibunya menghardik.
"Jangan pernah kau lupakan itu!"
"Lalu mengapa mama bolehkan mereka terus
berhubungan?"
"Apa yang dapat kuperbuat anakku? Sudah sejak
lama aku sadar. Yang kumiliki dari ayah kalian, hanyalah
raganya. Tetapi cintanya, sudah lama dimiliki Delila."
"Pengorbanan mama berlebihan!"
"Pengorbanan itu tak ada artinya, dibandingkan
dengan pengorbanan yang telah diberikan Delila..."
Rosmalina tersenyum. "Lagipula, aku percaya pada ayah
kalian. Aku juga percaya pada
Uwa kalian."
"Mama percaya? Heran!"
"Karena aku mencintai mereka berdua, Yanto."
"Dan di luar sana, mereka bercinta pula. Pada saat
bersamaan, papa hidup satu rumah, papa bercinta dengan
dua orang perempuan yang lahir dari rahim seorang ibu. Itu160
haram namanya. Itu melanggar peraturan agama! Sungguh
perbuatan zinah yang tidak patut diampuni!"
"Kau benar, nak," jawab ibunya, tetap tenang.
"Tuhan memang melarang manusia berzinah. Tetapi anakku.
Pernah pulakah engkau mendengar, Tuhan melarang
manusia jatuh cinta?"
*** Sembilan Belas
Perdebatan mereka terputus sampai di situ. Karena
Bambang Prakoso telah kembali dari kamar mandi. Sambil
lewat, ia berseru dari luar pintu: "He, sudah pagi. Sudahi
pulalah gunjingan kalian itu!"
Supriyanto beranjak dari tempat duduknya. Ingin
merenggutkan pintu, dan menantang ayahnya supaya buka
kartu. Tetapi Rosmalina keburu mencegah.
"Jangan kau tambah lagi keruwetan, Yanto. Ingat,
beberapa hari lagi kakakmu akan naik pelaminan!"
Terpaksa Supriyanto menyabarkan diri.
Dalam kenyataannya, suasana pada hari-hari
beriwayat yang penuh hikmah itu, lebih mirip suasana
mengantar orang mati ke kuburan ketimbang mengantar
sang pengantin naik ke pelaminan. Ratap tangis meledak,
seakan tak akan pernah putus. Satu hari sebelumnya, sekitar
pukul sembilan pagi, Parlindungan datang didampingi161
isterinya. Yang bertemu setelah lebih dari dua puluh tahun
berpisah, saling berpelukan. Ratap tangis pun memenuhi
seisi rumah.
Pukul empat sore, muncul Syamsiah, juga
didampingi suami. Ratap tangis berlanjut sampai hampir
tengah malam. Hampir semua orang tak bisa memejamkan
mata.
Bukan karena masih terdengar isak tangis, bukan
pula karena cemas memikirkan hari esok; hari Suprihatin
memasuki hidup baru. Mereka tak dapat tidur, karena
tegang. Belum ada kabar berita dari Lukman, apakah ia mau
datang atau tidak.
Pas ketika akad nikah dilangsungkan pagi harinya,
suasana khidmat terganggu kembali oleh hiruk pikuk orang
bertangis-tangisan. Bagaimana tidak. Di tengah keheningan
suasana akad nikah itu, mendadak seorang tamu masuk
tertatih-tatih sambil menjinjing sebuah tas kecil. Pakaiannya
lusuh, dan tubuhnya masih berbau hawa laut. Akad nikah
terpaksa ditunda setengah jam lamanya oleh lebai. Karena
selama itu, Rosmalina tak mau melepaskan pelukannya di
kaki Lukman, si pendatang. Pelukannya baru lepas setelah ia
pingsan, dan segera diangkut ke kamar tidur.
Bambang Prakoso tidak saling berjabat tangan
dengan Lukman. Mereka cuma saling bertukar pandang.
Setelah Lukman menyelinap di ruang dalam untuk
menyembunyikan air matanya, Bambang Prakoso menarik
nafas panjang. Berulang-ulang ia meminta maaf pada hadirin
atas gangguan yang tidak diharapkan itu, dan memohon pak
lebai agar meneruskan tugasnya. Untunglah pihak mempelai162
laki-laki sesama orang Batak. Jadi mereka dapat memahami,
mengapa gangguan itu sampai terjadi. Kalau orang Batak
yang pernah berdosa kemudian bertemu dengan orang yang
didosainya, yang kemudian memaafkannya, maka biar di
sekelilingnya gempa terjadi mereka tidak akan perduli!
Gelak tawa sempat juga bergema pada waktu
undangan resmi berdatangan membawa kado masingmasing, mengucapkan selamat kepada kedua mempelai,
bersantap siang diiringi musik, kemudian pulang ? untuk
mepersilakan tamu-tamu berikutnya duduk lebih leluasa.
Dan begitu pesta usai, suasana haru kembali menyelimuti
rumah itu. Lukman sedikit sekali berbicara selama ia tinggal
di rumah si Bungsu, itu pun tak lebih dari satu hari. Dengan
Supriyanto, ia cuma bergumam: "Jadi kau bercita-cita jadi
polisi ya?" Ia tidak mengomentari lebih dari itu. Tidak
menyatakan perasaannya mengenai cita-cita ponakannya itu
Sorenya ia pamit pada semua orang. Ia memberi
alasan bahwa isterinya sakit sehingga terpaksa cepat pulang.
Parlindungan yang mengantarkannya ke Kemayoran, dan
membelikannya tiket pesawat ke Medan. Syamsiah
menghibur adiknya, Rosmalina yang kebingungan oleh sikap
Lukman.
"Yang penting ia telah memenuhi janjinya untuk
datang. Ia telah pula memaafkanmu. Hanya, untuk
menyembuhkan luka hatinya, masih diperlukan waktu yang
tidak sedikit..."
Dari paman Parlindunganlah, Supriyanto mendapat
penjelasan mengenai ?luka hati? Lukman itu. "Aku, dan
Uwamu Syamsiah ? untuk beberapa waktu lamanya pernah163
merasakan hal yang serupa. Begitu kami dengar si Rosma
kawin, dan ia justru mengawini laki-laki yang... Ah, sudahlah
masa lalu. Yang penting kita kini berkumpul lagi, bukan?"
Tetapi Syamsiah lepas cerita juga: "Kalau tak dicegah
nenek, Lukman sudah mengejar ayah dan ibumu ke
Semarang. Tak dapat kami bayangkan, apa yang bakal
terjadi!"
"Tetapi, mengapa begitu lama kalian mengasingkan
aku?" keluar juga isi hati Rosmalina.
"Yah, Rosma. Segala sesuatu, ada waktu, ada
tempatnya. Kita harus berterima kasih pada Suprihatin.
Berkat dialah..."
"Berkat Tuhan, Bang Parlin. Pada Nya-lah kita harus
bersyukur," tukas Syamsiah, mengingatkan.
"Ah, kau benar Sam. Hanya aku pikir, andil
Suprihatin..."
"Tak usah kita sebut-sebut namanya saat ini. Kuatir,
mengganggu keasyikannya di kamar, bersama suaminya,"
bisik Syamsiah, tersenyum penuh arti.
Dan pembicaraan pun beralih ke soal-soal lain, yang
lebih menggembirakan. Tetapi sampai mereka akhirnya
pulang juga ke kota tempat tinggal masing-masing,
Supriyanto menyadari satu hal: tak seorang pun dari mereka
yang menyinggung-nyinggung nama Delila.
***164
Beberapa hari kemudian, Bambang Prakoso jatuh
sakit.
Ketika Suprihatin datang bersama suaminya, yang
menjaga di samping tempat tidur hanya Supriyanto, karena
ibu mereka sedang pergi belanja ke pasar. Parlaungan
nimbrung bicara sebentar dengan si sakit. Setelah itu
menyingkir ke kamar lain, karena Suprihatin menanyakan
sesuatu pada ayahnya, yang menurut pertimbangan
Parlaungan tidak pantas ia dengar jawabannya.
"Papa sakit karena aku, bukan?" tanya Suprihatin,
sedih. "Papa masih tetap tidak suka bermenantukan orang
Batak."
"Buanglah pikiran jelek itu jauh-jauh, Suprihatin. Aku
sakit bukan dikarenakan itu..."
"Lantas?"
"Aku sudah tua, nak."
"Papa tidak berkata sebenarnya!"
"Haruskah kukatakan yang sebenarnya?"
"Kalau papa tak keberatan."
"Baiklah. Aku memikirkan Delila..."
"Oh. Dia!"
"Kalian sudah dengar tentang dia dari ibu kalian,
bukan? Aku tak bodoh, nak. Jadi aku tahu kalau ibu kalian
sudah menceritakannya. Tahukah kalian apa kemudian yang
terjadi? Karena Delila mendengar kalian sudah tahu siapa
dirinya, ia tiba-tiba menghilang!"
"Maksud papa?"
"Ya, menghilang! Pergi entah kemana. Tak
meninggalkan alamat. Yang tinggal hanya Marni,165
pembantunya yang setia. Marni, yang menangis ketika


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan majikannya tidak akan pernah lagi bertemu
dengan dia. Apa yang dirasakan Marni, kini aku pun
merasakannya pula..."
Suprihatin terdiam. Tak berani bertanya apa-apa
lagi. Ia kemudian pergi menemani suaminya. Tinggal
Supriyanto, yang memandangi wajah ayahnya dengan mata
tidak berkedip.
"Ingin mengatakan sesuatu, nak?" tanya ayahnya.
"... ya."
"Katakanlah."
"Papa masih sakit."
"Apa lagi yang lebih sakit, kecuali ditinggalkan
Delila?"
"Papa seperti anak kecil!"
"Mungkin karena kau sudah tua, nak," ayahnya
menggeliat. "Tolong ambilkan obatku." Setelah menelan
obatnya, dibantu dengan minuman yang disodorkan
anaknya, Bambang Prakoso bergumam: "Yang ingin kau
katakan, bukan soal aku tiba-tiba berubah seperti anak kecil.
Jadi terus teranglah. Aku sudah siap mendengarnya."
"Papa tak akan marah?"
"Tak ada lagi tempat untuk marah di hatiku, nak."
Supriyanto menelan ludah. Lalu mengungkapkan
apa yang selama beberapa hari ini mengganjal hatinya:
"Mengapa papa mengawini mama?"
Sesaat, Bambang Prakoso terkejut. Kemudian, ia
tersenyum. Pahit. Jawabannya terus terang: "Karena didesak
Delila."166
"Papa mau?"
"Demi Delila."
"Jadi papa mengawini mama karena terpaksa!"
"Mulanya, ya."
"Mulanya? Apakah maksud papa, kemudian papa
jatuh cinta juga pada mama?"
"Benar."
"Tetapi papa juga mencintai Delila."
"Ya. Aku mencintai Delila."
"Tidak mungkin. Tak masuk di akalku, papa
mencintai dua orang perempuan sekaligus. Kakak beradik
pula lagi."
"Mungkin saja, nak."
"Baiklah, kalau memang begitu menurut papa.
Lantas mana yang lebih papa cintai. Kakaknya, atau
adiknya?"
"Dua-duanya."
"Masa iya?" Supriyanto tercengang.
"Benar, nak," Bambang Prakoso tersenyum. "Aku tak
bohong."
"Tak masuk akal...!"
"Mengapa tidak, nak?"
"Tetapi, sekaligus dua...
"Apa salahnya? Toh cintaku kepada yang satu,
berbeda dengan kepada yang lain..
"Perbedaannya?"
"Aku mencintai Delila sebagai kekasih. Dan aku
mencintai Rosmalina, sebagai ibu dari anak-anakku!"
Sampai di situ, Supriyanto mati kutu.167
Bambang Prakoso mengerti. Karena itu, ia alihkan
pembicaraan mereka. Ia bertanya, lembut: "Sudah lama aku
tidak melihat Ossy. Apakah ia baik-baik saja?"
Merah muka Supriyanto. "Ia baik-baik saja, papa. Ia
berkirim salam."
"Ia tak datang waktu pernikahan kakakmu?"
"Sibuk papa. Ujian praktikum."
"Hari Minggu? Dan sesibuk-sibuknya pun, mengapa
setelahnya tak datang memberi selamat?"
"Ia mengirim kado, papa."
"Mengapa tak datang sendiri?"
"Ia..."
"Sudahlah. Jangan berbohong lagi, nak. Papa sudah
tahu. Sudah mendengar kabar itu..."
"Kabar apa, papa?" dada Supriyanto menciut.
"Alaa, tak usah berpura-pura lagi kau, Yanto. Apakah
ayahnya bakal lama dipenjara?"
Supriyanto menjilati bibirnya yang kering kerontang.
"Mungkin cuma beberapa bulan, papa. Vonis hakim belum
dijatuhkan." Kemudian ia menambahkan dengan bernafsu:
"Bukan ayah Ossy yang korupsi, papa."
"Ya, ya. Aku tahu. Yang korupsi, pejabat di
Kotamadya itu. Tetapi ayah Ossy ikut terlibat. Dituduh
memberi uang suap kepada pejabat negara. Tak usah kuatir
tentang aku, nak. Yang memberi uang suap itu, ayahnya.
Bukan Ossy. Jadi kalau kau bertemu Ossy lagi, beritahulah
dia, agar tak usah sungkan-sungkan datang ke rumah kita,"
desah Bambang Prakoso, dengan kelopak mata memberat.168
"Terima kasih. Papa baik sekali," bola mata
Supriyanto berkilat-kilat, gembira.
"Itulah keajaiban cinta, anakku..."
Lalu, orang tua itu pun tertidur.
*** Dua puluh
Delila ? atau siapa pun namanya, lambat laun mulai
terlupakan oleh Supriyanto. Ia harus memusatkan perhatian
pada ujian akhir SMA-nya, lalu disibukkan oleh persiapanpersiapan untuk memasuki AKABRI. Kebulatan tekad serta
perjuangannya yang keras tidak sia-sia. Berat hatinya
berpisah dengan keluarga. Tetapi sebagai seorang kadet, ia
harus mematuhi perintah dan kemudian tinggal di asrama
AKABRI kepolisian di Semarang.
Syukur ia tidaklah terlalu kesepian, karena keluarga
dari pihak ayahnya bertaburan di seputar Jawa Tengah,
bahkan salah seorang di antaranya bertugas sebagai
instruktur yang sangat disegani para kadet. Suprihatin rajin
pula berkirim surat. Mengabari perkembangan keluarga
mereka di Jakarta. Misalnya, bahwa ia telah melahirkan
seorang anak laki-laki, yang oleh Suprihatin disebut-sebut:
"sangat dimanjakan neneknya, sementara kakeknya dibuat
murung ? karena harus mengakui kenyataan, bahwa cucunya
orang Batak!"169
Suprihatin juga mengabarkan, papa dan mama tak
perlu dikuatirkan. Suprihatin yang harus ikut suami, dan
Supriyanto yang harus tinggal di asrama. Uwa Syamsiah
merelakan salah seorang anak perempuannya yang masih
duduk di SMP untuk sekolah di Jakarta dan tinggal bersama
orang tua Supriyanto. Menyusul kemudian putera bungsu
Uwa Lukman yang telah lulus testing masuk UI. Suprihatin
mengistilahkan keadaan itu sebagai: "Agaknya, dendam
turun temurun hapus sudah!"
Ossy jarang berkirim surat. Mendadak, gadis itu jadi
pemalu ? tepatnya, berubah rendah diri. "Kau kini bakal jadi
orang," katanya dalam salah satu suratnya. "Sedang aku,
justru siap-siap untuk jadi gelandangan!"
Surat lain, menjelaskan apa sebab Ossy berkata
demikian. Ia menulis: "Banyak biaya yang dikeluarkan untuk
membayar pengacara yang membela papa di pengadilan.
Toh papa masuk penjara juga. Diperlukan pula biaya tak
sedikit, agar sekeluar dari penjara, papa pulang sehat dan
utuh. Ijin usaha papa telah dicabut. Rumah kami disita,
begitu pula mobil dan sejumlah barang berharga lainnya.
Alangkah kontrasnya hidup yang kita hadapi, bang Yanto.
Kau dan keluargamu sedang melangkah ke arah matahari
terbit. Sebaliknya aku dan keluargaku: justru sedang menuju
tenggelamnya matahari senja..."
Supriyanto selalu menekankan dalam surat-surat
balasannya: "Tabahlah, sayangku. Doakan pulalah aku. Dan
camkan dalam hatimu, bahwa kelak suatu ketika kita akan
berbimbingan tangan menuju terbitnya matahari itu..."
Sayang, takdir menghendaki lain.170
Surat Ossy yang memang sudah jarang datang itu,
mendadak putus begitu saja. Itu terjadi ketika Supriyanto
sibuk mengikuti ujian kenaikan tingkat. Lulus ujian ia
memanfaatkan waktu libur untuk pulang ke Jakarta.
Rosmalina melarang anaknya pergi menemui Ossy.
"Lupakan dia, anakku," sang ibu memohon dengan
suara penuh duka.
Ternyata ayah Ossy tidak tahan menanggung
kehancuran keluarganya. Ia gantung diri dalam sel setelah
mendengar kabar bahwa isterinya yang tak kuat menahan
cemoohan orang, suatu malam menelan pil tidur melebihi
dosis. Perempuan itu segera diangkut ke rumah sakit. Dokter
berhasil menyelamatkan nyawanya. Seminggu kemudian,
perempuan itu diperkenankan pulang. Dan tiba di rumah, ia
disambut berita bahwa dua hari sebelumnya, suaminya mati
gantung diri.
"Ibu Ossy kini dirawat di rumah sakit jiwa,"
Rosmalina mengakhiri ceritanya.
Supriyanto terhenyak. Lemas. "Dan... Ossy?"
tanyanya, gemetar.
"Sudahlah, Yanto..."
"Ossy! Apa yang terjadi dengannya?!"
"Lupakan dia, nak."
"Tidak!"
"Jangan keras kepala, Yanto."
"Baiklah. Tetapi lebih dulu, dinginkanlah
kepalamu..."
Kisah yang diceritakan Rosmalina, sebagian ia
dengar dari orang lain. CV. ?Bangunan Maju? bukan171
sepenuhnya milik ayah Ossy. Sebagian dimodali bersama tiga
kerabat dekat, selebihnya, pinjaman bank. Selain dengan
tuduhan menyuap pejabat negara, jaksa kemudian berhasil
membuktikan pula bahwa CV. ?Bangunan Maju? terlibat
perkeliruan dalam sejumlah tender. Keadaan semakin parah,
setelah akuntan yang ditunjuk negara membuktikan pula
bahwa Sarjito, ayah Ossy, membuat pembukuan ganda,
untuk menghindari pembayaran pajak ? dan itu berlangsung
selama bertahun-tahun.
Pengadilan kemudian bertindak. Vonis telah
dijatuhkan atas diri Sarjito, lipat ganda dari yang diperkirakan
semula. Atas dorongan kantor pajak untuk menyelamatkan
devisa milik negara, didukung pula oleh bank yang ingin
menyelamatkan uangnya, pengadilan terpaksa melakukan
sita eksekusi. Setelah semua itu berlalu, yang tersisa untuk
keluarga Sarjito tinggal sedikit saja. Dua orang kerabat yang
memodali CV. ?Bangun Maju? kemudian merelakan nasib.
Yang ketiga, bertahan mati-matian. Ia mengambil kalkulator,
menghitung-hitung, kemudian memaklumkan bahwa yang
tersisa itu, "... tak sampai setengah dari modal yang
kutanamkan, ditambah bunga."
Dengan wajah berduka cita, ia berkata pada Ossy
dan ibunya. "Tidak. Aku tidak mau jadi orang serakah.
Akupun orang berperasaan juga. Kalau sisa yang sedikit itu
kurampas pula, dengan apa kalian harus makan? Bagaimana
pula kalian mengurus ayah atau suami yang harus meringkuk
bertahun-tahun di penjara?" Ia kemudian pulang dengan
wajah penuh belas kasihan. Beberapa hari setelah itu,
muncul lagi dengan wajah cerah. Katanya pada kedua172
perempuan itu: "Isteriku sudah tua. Jangankan untuk
melayani aku. Mengurus anak-anak kami saja, ia sudah
kewalahan setengah mati. Kami berdua lalu berembuk, dan
isteriku akhirnya merelakan aku kawin lagi. Jadi, hari ini aku
datang untuk melamar..."
"Yahudi busuk! Tua bangka tak punya muka!"
Supriyanto menyumpah serapah mendengar penuturan
ibunya. Lalu dengan suara gemetar, ia berbisik: "Tentulah
yang ia lamar, ibu Ossy..."
Rosmalina memandang puteranya dengan iba
kasihan. "Kau lupa, nak," ia bergumam pelan. "Ibu Ossy
masih punya suami."
Supriyanto semakin terhenyak. Pucat. Lama ia
terbadai oleh perasaannya, sampai akhirnya bisa juga
mulutnya terbuka. Ia berbisik, serak: "Ossy pasti menolak
lamaran si haram jadah itu!"
Rosmalina geleng kepala. Mengingatkan: "Bukankah
kau sendiri yang selalu mengatakannya, Yanto? Bahwa Ossy,
meski anak tunggal, ia tidak manja. Tidak kolokan..."
"Dan... ia menerimanya..."
"Benar, nak. Ia terpaksa menerima lamaran orang
itu. Demi cintanya kepada ayah dan ibunya..."
Kelopak mata Supriyanto terpejam. Rapat, sakit.
Cinta kepada ayah ibu, ia membatin, bukan cinta kepada
seorang kekasih. Bambang Prakoso, ayahnya, sudah pernah
mengatakan: Itulah keajaiban cinta! Bambang mencintai
Delila sebagai seorang kekasih. Bambang mencintai
Rosmalina, sebagai ibu dari anak-anaknya. Dan kini, Ossy
berkorban demi cinta kepada ayah dan ibunya, demi173
pengabdian serta terima kasihnya pada orang yang pernah
bersakit-sakit melahirkannya, pernah bersusah payah
membesarkannya. Itulah keajaiban cinta. Dan, itulah
kenyataan, yang harus diterima Supriyanto dengan lapang
dada.Berlapang dada? Tidak! Supriyanto patah hatinya.
Pulang ke Semarang, konsentrasinya buyar. Hasil
ujian semester berikutnya buruk dan ia diperingatkan oleh
instruktur pembimbing agar lebih sungguh-sungguh, kalau
masih tetap ingin jadi polisi. Supriyanto berkurung hampir 40
jam di kamarnya. Tidak minum, tidak makan, tidak tidur
walau sepicing. Ia telah berhasil membujuk Suprihatin untuk
memberitahu alamat terakhir Ossy dengan suaminya. Lalu,
pagi-pagi benar ia menjatuhkan sepucuk surat ke kotak pos
asrama. Dalam surat itu, Supriyanto menulis sebaris kalimat
pendek: "Kuucapkan selamat, dan semoga kau berbahagia.
Tertanda, Yanto."
Surat itu tidak pernah dibalas.
Tetapi perlahan-lahan Supriyanto kembali
menemukan dirinya. Mungkin mendapat kisikan dari
keluarga, instruktur yang juga famili ayahnya itu kemudian
memperkenalkan Supriyanto dengan seorang gadis manis,
masih berdarah keraton. Orangnya luwes, tutur katanya
terjaga, dan ia seorang pendengar yang baik kalau mereka
ngobrol, suatu ciri yang diwarisinya dari neneknya. Bola
matanya bening, cemerlang, betisnya bukan main cantik,


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggang ramping pula. Hanya, ada kekurangannya: gadis itu
berdada kecil, berpinggul pas-pasan. Dengan sendirinya, ia
bukan tipe idaman Supriyanto.174
Raraningrum, gadis itu bukannya tidak menyelami isi
hati Supriyanto. Jadi ia tetap bersikap sebagai seorang teman
kencan yang menyenangkan, sambil terus mendorong
Supriyanto agar lebih tekun mengejar cita-cita. Tetapi
Supriyanto tidak dapat dikibuli. Ia tahu Raraningrum sangat
mencintai dirinya meski tidak pernah mengutarakan. Ia juga
tahu dari seseorang, bahwa dalam setiap kesempatan masuk
ke keraton, Raraningrum selalu minta ijin naik ke puncak
Sanggabuwana, untuk mengungkapkan isi hatinya. "Nyai
Rorokidul, acapkali kudengar dulu kau sering membantu
leluhurku. Kini, lihatlah padaku. Aku mencintai seorang
pemuda. Tetapi di hatinya masih bermukim kasih sayang
seorang perempuan lain. Nyai Rorokidul. Kalau kau memang
mendengar permohonanku, tunjukkanlah cara bagaimana
merebut hati pemuda itu..."
Permohonan terkabul. Nyai Rorokidul menunjukkan
cara menaklukkan hati Supriyanto.
Suatu hari, pemuda itu menerima sepucuk surat,
berkop nama dan alamat sebuah hotel di Jogja. Isinya
permintaan untuk bertemu pada hari dan jam yang
ditentukan oleh si penulis surat. Dengan mengambil resiko
terkena hukuman dan catatan buruk pada kondite-nya,
Supriyanto kemudian menyelinap keluar lewat jalan yang
menjadi rahasia para kadet. Ia pergi ke Jogja, masuk ke hotel
dimaksud, naik ke lantai dua, lalu mengetuk pintu kamar
nomor 205.
Pintu segera terbuka dengan cepatnya.
Dan di hadapan Supriyanto, berdiri dengan wajah
gelisah, Ossy Sarjito!175
*** Mulanya mereka berdua sama gugup. Kemudian
Ossy berbisik, gemetar: "Kau pikir aku berbahagia,
sayangku?"
Lalu keduanya berpelukan, demikian kuatnya, dan
bertukar ciuman begitu dahsyat, seolah mereka belum
pernah melakukannya. Entah siapa yang menyeret siapa,
tahu-tahu mereka berdua sudah ada di atas ranjang. Saat
itulah baru Supriyanto teringat sesuatu.
"Mana suamimu?" ia bertanya.
"Pergi dengan beberapa orang teman usahanya di
kota ini. Bisnis. Mungkin sampai malam..." desah Ossy sambil
meraba kancing kemeja Supriyanto.
"Kau tak diajak?"
"Diajak. Tetapi kubilang aku kurang sehat..." dan
Ossy berhasil melepaskan kancing pertama.
"Kau memang lebih kurus Ossy. Tetapi kau tidak
tampak sakit."
"Aku sakit," Ossy melepaskan kancing yang kedua.
"Kau sehat."
"Aku sakit..." kancing berikutnya menyusul.
"Sakit apa, Ossy?"
"Rindu."
"Oh..."
Dan mereka berciuman lagi.
"Ossy?"
"Mmhh...?" Ossy kini beralih ke tali pinggang
Supriyanto.176
"Kita tidak..."
"Tidak apa, Yanto?" tali pinggang Supriyanto lepas
sudah. Tangan Ossy menyusup lebih dalam.
"Ingat, Ossy..." Supriyanto mengejang.
"Jangan! Jangan mengingatkan aku pada apa pun
juga!" Ossy mengerang, menarik Supriyanto ke atas
tubuhnya.
"Ossy..."
"Mmhh?"
"... ah!"
Dan ketika semuanya berlalu, air mata menggenangi
pipi Ossy Sarjito. Supriyanto memeluk kekasihnya. Berbisik,
cemas: "Apa yang kau tangisi, Ossy?"
"... takdirku."
"Mengapa?"
"Sudah kukorbankan segala-galanya. Tetapi toh
papa dan mama mati juga..." Ossy mencengkeram pundak
Supriyanto dengan kuku-kukunya. "Mengapa!" ia mengisak,
gemetar sekujur tubuhnya. "Mengapa tidak sebelumnya saja
mereka mati?!"
"Kau tidak seharusnya mengucapkan itu, Ossy."
"Aku tak tahan."
"Tabahkan hatimu, Ossy."
"Dengan berpura-pura pasrah dalam gelutan suami
yang lebih tua dari ayahku sendiri?" Ossy merintih, sakit.
"Tinggalkan saja dia."
"Lalu pada siapa aku pergi, Yanto? Aku ini sebatang
kara. Aku juga terikat perjanjian. Kalau permintaan cerai177
datang dari pihakku, maka aku harus pergi dengan hanya
pakaian yang melekat di tubuhku saja."
Bulu roma Supriyanto meremang. Otot-ototnya
menegang. "Akan kubunuh si jahanam itu!" desisnya.
"Kau telah membunuhnya, sayangku. Hari ini!"
"Apa?"
"Sudah lama ia memaksa aku punya anak. Agar aku
semakin terikat padanya. Tetapi dengan berbagai cara, aku
selalu berhasil menghindari keinginannya. Kini ia akan
mendapatkan apa yang ia inginkan. Seorang anak yang sudah
lama ia dambakan. Tanpa ia ketahui, kelak yang akan
kuberikan, bukan anaknya. Bukan darah dagingnya..."
"Ossy!" terperanjat Supriyanto mendengarnya.
"Mengapa? Apakah aku tidak berhak membalaskan
dendam atas kematian papa dan mamaku? Apakah aku tidak
berhak mendapat imbalan atas semua pengorbananku
selama ini? Jawablah, Yanto. Apakah aku tidak berhak?"
Supriyanto terduduk di pinggir ranjang. Lesu. Ia
menggapai pakaiannya yang terlempar di kaki tempat tidur.
Bergumam getir: "Jadi untuk itu kau minta aku datang. Untuk
kau peralat dalam melampiaskan dendammu..."
Ossy tersentak. "Dengar dulu, Yanto..."
"Tidak!" dengus Supriyanto, kecewa. Ia mengenakan
pakaiannya buru-buru. Segenap kenikmatan yang barusan ia
hayati, kenikmatan yang baru pertama kali ia alami semenjak
ia mengenal apa artinya seorang perempuan ? lenyap sudah.
Ia melanjutkan: "Kaulah yang harus mendengarkan aku,
Ossy. Kuberi kau dua pilihan. Lepaskan suamimu. Atau buang178
kembali benih-benih yang terlanjur kutanam dalam
rahimmu!"
Ia kemudian pulang ke Semarang.
Memasuki komplek asrama dimana ia tinggal hampir
dua tahun lamanya, ia merasa seakan memasuki istana
hantu yang sunyi mengerikan, gelap menakutkan. Ia
terkapar, sendirian. Menggapai-gapai dalam mimpinya,
menjerit dalam tidurnya, meronta-ronta dalam setiap
hembusan nafasnya. Besoknya ia disetrap karena hari
sebelumnya tidak mengikuti briefing dan latihan pelacakan.
Ia dijemur di bawah sengatan matahari selama empat jam,
kemudian diperintahkan membersihkan semua kakus para
kadet sampai licin berkilat, dan jatah makannya untuk satu
minggu dikurangi.
Supriyanto menerima hukuman itu dengan tabah.
Ia menganggapnya tidak berarti apa-apa, dibanding
dengan apa yang telah ia perbuat: menzinahi isteri orang
lain!
Tetapi apapun yang terjadi, satu hal sudah jelas. Ossy
Sarjito telah memberikan sebuah pengalaman yang
mengasyikkan dan paling berkesan dalam hidupnya.
Ia tak akan pernah melupakannya.
***179
Dua puluh satu
Raraningrum berkirim surat dari Semarang: "Kau
tidak mengundangku waktu diwisuda. Tidak pula pamit
sewaktu akan meninggalkan Semarang. Namun begitu, Mas
Yanto. Aku tak pernah lupa berdoa, semoga engkau tetap
sukses..."
Supriyanto menyingkirkan berkas-berkas laporan di
mejanya. Ia menulis surat balasan: "Mungkin aku tegang,
Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Balada Si Roy 05 Blue Ransel Karya Gola Gong Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L

Cari Blog Ini