Ceritasilat Novel Online

Primadona 3

Primadona Karya Abdullah Harahap Bagian 3


tetapi maafkanlah kealpaanku Ningrum. Terus terang harus
kuakui bahwa kau punya andil besar dalam menggolkan citacitaku. Budi baikmu akan senantiasa kukenang, dan entah
bagaimana aku harus membalasnya. Aku pun berdoa
semoga ada seorang pria yang lebih baik dari aku, muncul
dalam kehidupanmu..."
Surat balasan itu kejam, memang.
Tetapi memberi Raraningrum harapan kosong, jauh
lebih kejam lagi.
Doanya yang tulus ikhlas, ternyata pula dikabulkan
Tuhan. Masih dalam tahun pertama ia menjalani tugas
sebagai penyidik di resort kepolisian Ciamis, Supriyanto
menerima sepucuk kartu undangan. Raraningrung akhirnya
menemukan jodohnya: seorang pria yang masih ada
pertalian keluarga, dan berpangkat Mayor ? tiga tingkat lebih
tinggi dari pangkat yang saat itu tercantum dalam daftar gaji
Supriyanto.
Sayang sekali, Supriyanto terpaksa harus
mengecewakan Raraningrum sekali lagi. Disertai permintaan
maaf, ia menitipkan bingkisan kado lewat seorang kerabat di180
Semarang. Karena pada hari pernikahan gadis itu, Supriyanto
ditugaskan pergi membantu komandan sektor kepolisian
Pangandaran untuk menyelidiki sebuah kasus pembunuhan.
Supriyanto berhasil melacak pelakunya, dan
kemudian meringkus si pembunuh di salah satu penginapan
pinggir pantai. Setelah orang itu diborgol dan dinaikkan ke
mobil tertutup oleh rekan-rekannya, Supriyanto mengawasi
perempuan tua yang memiliki penginapan dimaksud, dan
juga dua penginapan lainnya di sepanjang pantai
Pangandaran.
Dipandangi berlama-lama, dengan sorot mata tajam
pula oleh seorang polisi bertampang keren, perempuan tua
itu gemetar pucat. "Apakah aku ikut ditangkap?" ia bertanya
ketakutan.
"Ibu bersih," jawab Supriyanto, tidak melepaskan
matanya dari perempuan itu. "Apakah kita pernah
bertemu?"
"Maksud pak Letnan?" perempuan itu makin cemas.
"Suatu ketika. Di suatu tempat, rasanya saya pernah
melihat ibu... entah kapan, entah di mana?"
"Tetapi, pak Letnan. Saya belum pernah terlibat
kejahatan. Penginapan ini saya beli beberapa tahun yang lalu
dengan uang halal. Saya pun menjalankannya tanpa pernah
melanggar peraturan. Saya..."
"Boleh saya tahu nama ibu?"
"Marni."
"Marni?"
"Ya. Marni. Lengkapnya, Marni binti Haji Asyikin.
Saya lahir di daerah ini. Begitu pula anak-anak saya, cucu-181
cucu saya. Saya memang pernah meninggalkan daerah ini
selama beberapa tahun, untuk melupakan kesedihan setelah
saya ditinggal mati suami dan dua orang anak-anak saya..."
Pulang ke Ciamis, Supriyanto tak dapat membuang
perempuan tua itu dari pikirannya. Ini adalah tugas
pertamanya di Pangandaran. Perempuan itu bilang, ia lahir
di daerah itu, melahirkan anak-anaknya di situ,
menguburkan suaminya dan dua di antara sekian orang
anaknya di daerah itu pula. Jadi mereka, kalau pernah
bertemu, bukan di Pangandaran. Perempuan itu pernah
beberapa tahun pergi merantau. Mungkinkah dalam
perantauannya itu, mereka pernah bertemu? Tetapi di
mana? Dalam kaitan apa? Lalu, namanya. Marni. Ia yakin
benar, pernah mendengar nama itu. Marni! Siapa itu
Marni?"
Keajaiban terjadi.
Besok harinya, di atas mejanya terletak sepucuk
surat. Pengirimnya adalah Suprihatin, mengabarkan bahwa
ayah mereka jatuh sakit lagi. Antara lain, Suprihatin menulis:
"Dua bulan yang lalu, papa rupanya mendengar sesuatu
tentang Uwa Del. Ia kemudian sering meninggalkan rumah.
Berusaha mencari alamat bekas kekasihnya itu, tetapi tidak
pernah bertemu. Rupanya alamat yang diperoleh papa
kurang jelas. Mungkin juga, karena Uwa Del sengaja
menghindar..."
Uwa Del. Delila!
Begitu ia punya waktu luang, Supriyanto segera
bergegas pergi ke Pangandaran. Ia diterima oleh pemilik
penginapan itu dengan pandangan curiga. Ah! Mata yang182
selalu menatap curiga itu! Mata yang sama, yang pernah
menatap dirinya ketika suatu hari ia ditemani Markus pergi
mencari ayahnya ke Ciputat, di Jakarta.
"Jadi nama ibu, Marni," ujar Supriyanto, penuh
harap.
"Benar, pak."
"Dan ibu pernah meninggalkan daerah ini untuk
beberapa tahun lamanya..."
"Benar, pak."
"Kemana ibu pergi?"
"Jakarta, pak. Tetapi... apakah ada sesuatu yang..."
Supriyanto memotong tak sabar: "Dengan siapa ibu
pergi?"
"Pak Letnan..."
"Tenanglah, bu Marni. Kedatanganku menemui ibu,
tidak ada sangkut pautnya dengan tugasku sebagai polisi,"
Supriyanto menghibur perempuan itu. "Aku datang untuk
urusan pribadi."
"Oh, syukurlah," perempuan itu menarik nafas lega.
"Ceritakanlah. Dengan siapa ibu pergi ke Jakarta?"
"Yah... seorang nyonya muda. Nyonya yang bukan
main cantik dan mempesona. Ia dibawa oleh seorang tuan
menginap di salah satu bungalow di sini untuk beberapa hari.
Waktu itu, saya hanya orang miskin, dan bekerja sebagai
pelayan di bungalow. Nyonya muda itu baik sekali. Ia sering
mengajak saya ngobrol. Ia bilang, masakan saya enak sekali.
Lalu ia bilang, ia perlu seorang teman untuk
mendampinginya di Jakarta. Kau dengar, pak Letnan? Ia
bilang, seorang teman. Ia tidak menyebut kata pelayan, atau183
babu! Dan demikianlah yang terjadi. Selama saya ikut
dengannya di Jakarta, ia tidak memperlakukan saya sebagai
babunya. Ia memerlukan saya sebagai temannya,
saudaranya, bahkan seringkali seperti ibunya sendiri. Ia..."
"Namanya?" bulu punduk Supriyanto meremang.
"Delila."
*** Pulang lagi ke Ciamis, Supriyanto tidak berhasil
mendapatkan alamat yang jelas dari Delila. Ibu Marni hanya
mengatakan, setahunya ia dengar Delila pindah ke Bandung.
Ia menjual semua barang miliknya, menyerahkan sebagian
kecil untuk Marni yang dengan setia telah mendampinginya
selama sekian tahun.
"Sebagian kecil itu istilah untuk majikan saya,"
demikian cerita ibu Marni. "Tetapi untuk saya, wah. Pulang
lagi ke Pangandaran, mendadak saya dan anak-anak saya
bisa hidup serba berkecukupan!"
"Mengapa tak ikut dengan dia lagi?"
"Saya ingin, pak. Tetapi non Del menolak. Bukan tak
sayang pada saya, katanya. Tetapi ia bilang, ia ingin
sendirian. Ia ingin menyepi, begitulah kira-kira yang
kutafsirkan."
"Apa sebabnya ia ingin menyepi?"
"Salah seorang langganannya -. Ah, apakah perlu
saya terangkan apa pekerjaan majikan saya?"
"Tidak. Tidak usah. Siapa nama langganannya itu?"184
"Pak Bambang. Ia satu-satunya lelaki, yang selalu
diterima oleh majikan saya dengan hati terbuka. Satusatunya lelaki yang tidak pernah mau ia terima uangnya, atau
hadiah-hadiahnya... meskipun lelaki itu ingin dan selalu
memaksa untuk memberikan. Hal itu pernah kusinggung
pada majikan saya. Non Del bilang, kehadiran lelaki itu secara
rutin di rumah kami, sudah lebih dari cukup. Para tetangga
tidak lagi bicara macam-macam. Orang lantas percaya. Kalau
lelaki itu benar-benar suaminya..."
"Maksud ibu, mereka tidak menikah?" gumam
Supriyanto, bernafsu.
"Menikah? Mana mungkin? Pak Bambang sudah
punya isteri dan anak."
"Ah, hal itu tak jadi halangan bukan?"
"Memang tidak, kalau isteri pak Bambang adalah
orang lain. Bukan adik kandung non Del sendiri."
"Kok ibu tahu?"
"Bukankah tadi saya bilang, saya selalu diperlakukan
sebagai saudara sendiri, bahkan seperti ibunya sendiri? Jadi,
antara kami berdua tak ada rahasia. Saya merupakan
tempatnya mengadu, tempatnya meminta nasihat-nasihat,
terutama kalau non Del sudah tak sanggup mengatasinya
sendiri."
"Jadi, mereka tidak menikah..." Supriyanto berpikir
sejenak. Lalu: "Tetapi ibu bilang, lelaki itu selalu datang
padanya, selalu ia terima dengan tangan terbuka. Apakah...
diterima sebagai seorang saudara, katakanlah, abang ipar?"
"Lebih dari itu."
"Sebagai suami isteri?"185
"Sepintas lalu, kelihatannya begitu."
"Kenyataannya?"
"Mereka hidup sebagai sepasang kekasih. Kekasih
yang saling mencinta, kekasih yang tidak mau terpisahkan
satu sama lain..." Perempuan tua itu agak melamun,
kemudian wajahnya berubah tak senang. "Aduh!" ia
mengeluh. "Sungguh tak pantas rahasia non Del yang sudah
begitu baiknya padaku, kuceritakan pada orang lain."
"Aku mengerti, bu Marni. Yang tidak kumengerti,
mengapa mereka tidak menikah saja? Mereka toh hidup
serumah, tidur di bawah satu atap..."
"Hanya sesekali mereka tidur bersama. Maksud saya
pak Letnan, tidur di bawah atap yang sama..."
"Aneh!"
"Tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Kenyataan
yang tak akan kupercayai, kalau tidak kulihat dengan mata
kepalaku sendiri. Mereka selalu tidur berpisah kamar. Atau
jelasnya, sementara non Del tidur nyenyak di kamarnya,
maka Pak Bambang sibuk mengerjakan urusan-urusan
kantor yang sengaja ia bawa pulang. Lembur, begitulah..."
"Tetapi ibu bilang... mereka hidup sebagai sepasang
kekasih!" Supriyanto terus mengejar, dengan pikiran yang
kacau balau. "Tentunya, mereka juga bercumbu, sebagai
kekasih-kekasih lain saling bercumbu..."
"Kalau ngobrol sambil berpegangan tangan, makan
sambil menggoda, jalan-jalan sambil tertawa... kalau itu
disebut bercumbu, ya, memang benar mereka bercumbu."
"Cuma itu?" Supriyanto tercengang.186
"Cuma itu. Ah ya, sesekali mereka memang
berciuman. Bukan di bibir, tetapi di pipi. Kalaupun di bibir,
hanya kecupan sekilas. Katakanlah, kecupan selamat datang,
kemudian kecupan selamat berpisah."
"Bukan main. Mereka tahan?"
"Mereka tahan!"
"Tak pernah ? keseleo?"
"Maksud pak Letnan, lupa diri?"
Supriyanto manggut-manggut.
"Oh, kalau itu sih pak ? pernah. Tetapi selama
beberapa tahun saya mengikuti non Del, kalau tak salah tiga
atau empat belas tahun ? boleh dihitung dengan tangan,
berapa kalilah hal itu terjadi. Namun selalu, sebelum segala
sesuatunya terlambat, salah seorang dari mereka keburu
sadarkan diri. Non Del misalnya, akan menangis, dan berkata
ia tidak ingin mengotori kesucian pak Bambang. Atau
sebaliknya, pak Bambang yang mengingatkan, ia tidak ingin
mengkhianati anak isterinya di rumah. Biasanya, kalau
mereka hampir terlanjur tetapi kemudian menyadarinya,
mereka lalu berpisah. Tak pernah bertemu untuk selama
beberapa hari, kadang-kadang sampai berminggu-minggu.
Kalau bertemu lagi, mereka tetap mesra, tetap intim, tetapi
menjaga agar tidak terbawa arus seperti yang terjadi
sebelumnya. Beberapa kali pula mereka bertengkar, tetapi
segera berbaik kembali. Buat saya, pak Letnan. Mereka
berdua sungguh sepasang kekasih yang menakjubkan.
Sepasang kekasih yang langka kita temukan di dunia yang
fana, dunia yang kotor, dunia yang kadang-kadang sangat
menjijikkan, seperti... seperti..."187
"Seperti apa?"
"Saya tak sampai hati menceritakannya."
"Ibu sudah bercerita cukup banyak..."
"Saya menyesal."
"Sudah terlanjur!"
"Yah, saya sudah terlanjur."
"Jadi?" Supriyanto mencoba tersenyum. "Apanya
yang menjijikkanmu?"
"Pekerjaan majikan saya," jawab perempuan itu
setelah lama termenung. "Ia... seorang wanita panggilan.
Seorang wanita kelas atas. Mereka menyebut dia, seorang
Primadona..."
Perempuan itu menarik nafas panjang. "Tetapi,
seperti sering diakui non Del sendiri, siapa pun juga
langganannya, apapun juga orang menyebutnya, ia tetap
saja seorang perempuan lacur. Ia sendiri yang mengatakan
hidupnya menjijikkan. Dan ia tidak ingin membagi kejijikan
itu dengan kekasihnya, pak Bambang."
Supriyanto termenung. Kemudian, masih tak puas, ia
memancing: "Mungkin mereka pernah juga melakukannya,
tanpa ibu ketahui. Di luar rumah, barangkali..."
"Saya tak percaya! Saya tak terima tuduhan kotor itu
ditujukan pada diri majikan saya!" ibu Marni menjawab
lantang, tak senang.
"Alasan ibu?"
"Karena saya tahu siapa non Del. Jauh lebih tahu
ketimbang mengetahui siapa anak saya sendiri!"
"Coba ibu terangkan."188
Sekilas wajah perempuan tua itu membayangkan
keangkuhan, seolah yang ia bela memang anak kandungnya


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. "Begini..." ia menjelaskan dengan nada bangga. "...
dari sikap, dari omongan, atau igauannya kalau ia sakit... saya
tahu non Del hampir gila karena terpaksa menekan
hasratnya untuk disetubuhi pak Bambang. Itu masih
lumayan. Justru kalau perbuatan kotor itu mereka lakukan
juga, ia takut bisa jadi gila benaran!
Selama saya mendampinginya, mengurus segala
keperluannya, merawatnya... saya berkesimpulan betapa ia
sangat mencintai adik perempuannya. Katanya, selain pak
Bambang, maka adik bungsu bernama Rosmalina itu jugalah
yang membuat ia tabah menahan segala penderitaan. Lewat
mereka berdua, ia sadar bahwa masih ada orang yang
sungguh-sungguh menyayanginya, sungguh-sungguh
mencintainya, dan tidak pernah memperhinakannya.
Mulanya non Rosma sering mengunjungi non Del. Akan
tetapi setelah anak-anak non Rosma semakin besar maka
non Del menasihati non Rosma. "Bebanmu sudah cukup
berat, Rosma. Jangan kau tambahi lagi beban itu dengan
memikirkan kakakmu yang malang ini. Kau relakan suamimu
untuk mendampingiku sewaktu-waktu, bagiku sudah
merupakan karunia Tuhan yang paling besar. Pulanglah. Dan
mulailah pikirkan masa depan anak-anakmu. Mereka harus
tetap bersih, tak ternoda. Jangan sampai orang lain tahu,
kalau kita ini saudara kandung ? sehingga anak-anakmu kelak
dicela orang karena punya uwa seorang pelacur!" Syukurlah
non Rosma mematuhi perintah kakaknya. Dan begitulah189
mulianya hati non Del, menjaga nama baik orang-orang yang
dicintainya ? meski hanya ia cintai dari kejauhan saja..."
Bu Marni menarik nafas. Tampak nyata betapa ia
sangat menyayangi bekas majikannya.
"Saya dapat memberikan satu contoh bagaimana
hati-hatinya non Del menjaga nama baik ponakan-ponakan
yang dicintainya itu..." ujarnya pula, dengan mata bersinarsinar. "Suatu hari, non Del katanya dipergoki oleh
ponakannya yang lelaki sedang berduaan dengan pak
Bambang, ayah ponakannya itu. Non Del lantas bergegas
pulang ke rumah. Ia begitu ketakutan. Takut anak itu
mengetahui non Del menyuruh saya berkemas. Rumah
kontrakan yang kami tempati, lekas-lekas kami tinggalkan.
Pindah ke rumah kontrakan yang lain, sebelum anak itu ?
siapa tahu, diam-diam datang menyelidiki siapa itu non
Del..."
Supriyanto terenyuh.
Memang ia telah menyuruh Markus menyelidiki
siapa Primadona yang menggoda ayahnya, dan Markus
bilang sang Primadona sudah pindah. Pindahnya buru-buru
pula. Dan kini, Supriyanto tahu apa sebabnya.
Ia semakin terenyuh.
"Jadi kalian sering pindah-pindah tempat?" ia
bergumam, tak menentu.
"Iya dong. Soalnya non Del sering digunjingi para
tetangga. Kalau tak simpanan atau semacamnyalah. Kadangkadang, non Del juga diresolusi warga setempat. Mereka
bilang, daerah mereka tak pantas dikotori oleh non Del.
Umumnya itu terjadi karena ada orang syirik, atau isteri-isteri190
pencemburu. Yang lucu, acapkali terjadi, penandatangan
resolusi, justru suami-suami mereka yang pernah tidur
dengan non Del..."
Supriyanto memaksakan senyum di bibir, pura-pura
ikut merasakan lelucon yang tak lucu itu. Kemudian, dengan
hati-hati ia sampai pada tujuannya: "Ibu tahu kemana non
Del pindah terakhir kalinya?"
"Tidak. Kenapa bapak tanyakan hal itu?"
"Ah. Cuma sekedar ingin tahu saja. Agak heran,
mengapa ibu tak lagi ikut pindah dengannya..."
"Ooo. Kalau itu sih, sebabnya lain."
"Lain bagaimana?"
"Empat atau lima tahun yang lalu, kalau tak salah ?
ponakan non Del yang perempuan, Suprihatin namanya,
menikah. Pak Bambang yang memberitahukannya pada non
Del. Non Del dengan bahagia memberitahukannya pula pada
saya. Tadinya ia berniat ikut hadir dalam pernikahan
ponakannya. Tapi urung. Kuatir di antara tamu-tamu yang
hadir, ada yang mengetahui siapa itu non Del. Lagipula saya
sempat ingatkan non Del, bahwa ponakannya yang lelaki kan
sudah pernah melihat non Del. Lalu saya sarankan kirim kado
saja. Ia senang mendengarnya, namun segera berubah
murung. Ia bilang, dengan apa ia akan beli kado? Dengan
uang hasil menjajakan itunya? Tidak, ia tak ingin memberi
ponakannya sesuatu yang dibeli dari uang haram. Hal itu
sudah dijaganya semenjak anak-anak itu lahir, meski betapa
inginnya ia membelikan ponakan-ponakannya itu sesetel
perlengkapan bayi, misalnya..."191
"Cerita ibu menyimpang," sela Supriyanto. Sabar dan
sopan.
"Oh ya. Maaf saya melantur. Nah, demikianlah.
Untung non Del tidak jadi menghadiri pernikahan
ponakannya. Kalau jad, wah. Bisa gawat!"
"Gawat bagaimana?"
"Kami juga baru tahu belakangan. Kata non Del, ia
ditelepon adiknya, non Rosma. Habis menerima telepon, non
Del menangis. Ia tampak sangat terpukul, tampak sangat
putus asa. Saya berusaha menghiburnya. Lalu non Del bilang
pada saya, bahwa permusuhan antara non Rosma dengan
keluarga mereka, sudah berakhir. Saya bilang, lha itu bagus,
lalu mengapa non Del justru sedih? Jawabannya, mau tak
mau membuat saya ikut prihatin. Non Del bilang: bi, sudah
sering bukan kuceritakan padamu tentang Lukman, Parlin,
Syamsiah? Nah, jauh-jauh mereka datang ke Jakarta.
Mereka tahu non Del tinggal di Jakarta pula. Jadi non Rosma
iseng-iseng tanya, apakah mereka tak ingin mengunjungi non
Del. Reaksinya berbeda, tetapi buat non Del sama saja. Den
Lukman konon naik pitam dan langsung memaksa pulang ke
Medan. Den Parlin dan Non Sam tidak sekasar itu. Mereka
cuma diam. Tapi sampai mereka pulang ke kota masingmasing, konon tak sehuruf pun mereka mau berbicara
tentang non Del.
Luka hati non Del yang sudah lama terlupakan,
terbuka lagi. "Sudah sama tua bangka begini, mereka masih
begitu-begitu juga," keluhnya, sakit. Saya hibur lagi dia. Saya
bilang: "Suatu masa, mereka akan terbuka juga hatinya, non.
Sekarang, lupakan sajalah. Non istirahat dulu!"192
Maksud saya menyuruh non Del istirahat, rilek, tidur,
atau apa sajalah yang dapat ia lakukan untuk melupakan
kegundahan hatinya itu. Tetapi di luar dugaan saya, ternyata
non Del menerima saran saya itu namun dengan tafsiran
yang salah. "Kau benar, bi," katanya. "Memang sudah
sebaiknya saya istirahat. Saya pikir, saya memang sudah
terlalu tua untuk terus-terusan hidup semacam ini..."
Tanpa dapat saya cegah, non Del menarik sebagian
uangnya dari bank. Diberikannya pada saya. Masih ditambah
sejumlah perhiasan-perhiasan berharga, dan barang-barang
kesayangannya yang lain, yang semuanya buat saya teramat
mahal nilainya. Ia menyuruh saya pulang ke Pangandaran ini.
Dan agar saya memanfaatkan pemberiannya itu sebagai
modal membuka usaha.
Saya terkejut bukan main. Saya menolak. Saya
menentang. Tetapi non Del teguh dengan pendiriannya. Ia
bilang: "Suatu saat, bi. Semua ini toh akan berakhir juga. Aku
bukan saja makin tua. Aku juga makin bobrok. Makin busuk.
Dan bila tiba masa yang mengerikan itu, aku tidak ingin kau
ikut menderita. Jadi selagi segala sesuatu masih dapat
diperbuat, janganlah kita lewatkan kesempatan yang
mungkin lain kali tak akan kita peroleh lagi." Saya menangis.
Saya peluk kedua kakinya. Saya curahkan air mata saya di
haribaannya. Namun tetap saja ia ? ia tak mau dibantah."
Pipi bu Marni dilelehi air mata.
Ia mengisak. Terputus-putus: "Kami kemudian
berpisah. Non Del ? tidak mau mengatakan ? kemana ia akan
pergi. Ia hanya bilang ? ia ingin menyendiri. Ingin menyepi.
Tanpa diganggu oleh siapapun juga. Oleh orang-orang yang193
selama ini silih berganti datang dalam pelukannya. Oleh saya.
Bahkan juga tidak oleh pak Bambang. Kepergiannya, tidak
mau ia beritahukan pada kekasihnya yang tercinta itu..."
Bu Marni sesenggukan.
Dan ia tak sendirian.
Ketika ia mendengar suara isakan lain, perempuan
tua itu mengangkat mukanya. Ia lantas terbelalak takjub.
Desahnya, "Pak Letnan ? menangis...!"
Cepat Supriyanto berpaling untuk menyembunyikan
perasaannya. Lama ia berdiam diri. Begitu pula bu Marni.
Setelah kesepian di antara mereka terasa kian mencekik,
Supriyanto membuka mulut.
"Jadi ibu tak takhu di mana ia tinggal sekarang?"
"Sungguh mati, tidak pak..."
"Aku percaya. Tetapi maukah ibu membantu aku?"
"Dengan senang hati. Tetapi apa kiranya yang dapat
saya bantu?"
"Memberitahu aku, kalau-kalau ibu suatu ketika
mendengar atau mengetahui alamat Uwa Del..."
"Uuu-waaa...!" perempuan tua itu membelalak,
terperanjat. "Sekarang saya mengerti."
"Syukurlah," Supriyanto akhirnya dapat tersenyum.
"Jadi pak Letnan ini..."
"Aku Yanto. Supriyanto. Aku adalah..."
Supriyanto tidak meneruskan omongannya, karena
perempuan itu tiba-tiba sudah jatuh bersimpuh, kemudian
mencium punggung tangan tamunya, sebelum Supriyanto
sadar apa yang terjadi.194
"Saya sudah tahu," ujar si perempuan dengan
pundak terguncang menahan keharuannya. "Bapak ini
adalah keponakan non Del... dan bapak, dari apa yang saya
lihat ternyata tidak membenci non Del."
"Pernah aku membencinya setengah mati," jawab
Supriyanto terus terang. "Yakni, setelah pertama kali ia
kupergoki bersama papa, dan kemudian aku tahu apa
pekerjaannya. Belakangan, aku mengetahui lebih banyak
tentang dirinya. Kukira, aku mulai menyesal. Kukira, aku juga
mulai menyayanginya. Dan... setelah apa yang barusan ibu
ceritakan padaku, kukira... kukira, aku juga mencintainya."
Perempuan itu kembali menciumi punggung tangan
Supriyanto. "Alangkah bahagianya, kalau non Del
mengetahui hal ini," katanya, bergetar penuh haru. Lalu ia
mengucapkan janji yang tidak diduga oleh Supriyanto. "Saya
bersumpah, pak Letnan. Apa pun akan kukorbankan demi
kebahagiaan non Del. Dan saya akan mati penasaran, kalau
tidak berhasil menemukan non Del untukmu!"
Supriyanto memeluk perempuan tua itu, sebagai
tanda terima kasihnya.
***195
Dua puluh dua
Supriyanto sendiri, bukannya tidak berusaha. Ia
seorang polisi. Jiwa dan bakatnya telah mengarah ke situ,
semenjak ia masih menginjak usia remaja.
Dan seorang polisi ? polisi tulen, tidak mengenal apa
itu istirahat, hari libur, bahkan cuti sekalipun. Selalu ada saja
yang harus dikerjakan. Kalau tidak sedang bertugas, selalu
pula ada yang harus dipikirkan; kasus-kasus yang belum
tuntas, atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya
? yang tidak membiarkannya diam berpangku tangan.
Kasus Delila, buat Supriyanto sudah menjadi
semacam hobi, semacam histeria, semacam penyakit.
Penyakit yang harus dibongkar sampai tuntas. Seperti halnya
borok yang selalu akan membuat si penderita tersiksa
sebelum borok itu diberantas habis.
Tetapi, hambatannya pun bukannya tidak ada.
Supriyanto petugas resmi Satuan Reserse Kepolisian Resort
Ciamis. Ia boleh saja menjungkirbalikkan seisi kota Ciamis.
Boleh saja menggedor pintu demi pintu ? tetapi hanya
sebatas wilayah hukum polisi Ciamis saja. Memang ia dapat
pula meminta bantuan rekan-rekan sekitar kota Ciamis:
Garut, Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon, Indramayu, Cilacap.
Itu pun, kalau memang Delila bersembunyi di salah satu kota
tersebut. Sedang seorang perempuan yang ingin menyendiri,
dapat bersembunyi di mana saja. Ke arah Timur, Delila
misalnya bisa pergi ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali ?
kecuali Irian Jaya, karena di sana ada Syamsiah. Ke arah Barat196
dan Utara ia juga bisa. Misalnya, Sumatera Selatan. Ada pun
Sumatera Tengah, bukan persembunyian yang baik untuk
seorang pelacur atau bekas pelacur. Sumatera Utara apa lagi
Medan, berarti keluarga! Keluarga yang begitu mengetahui
akan langsung menendang Delila keluar dari tempat
persembunyiannya. Kalimantan juga bukan tempat
persembunyian yang baik, apalagi kalau Delila coba-coba
mendekati Banjarmasin ? di sana, ada Parlindungan.
Sulawesi? Wah, cocok sekali untuk bersembunyi. Perempuan
macam Delila akan diterima dengan tangan terbuka di Ujung
Pandang misalnya, atau juga di Manado.
"... atau ia bersembunyi ke luar negeri, nak Yanto!"
bu Marni menambahkan. Mereka berdua sudah semakin
akrab setelah semakin sering bertemu, untuk tujuan yang
sama pula: mencari Delila. Katanya lagi: "Berpandangan luas
itu baik, nak. Tetapi terlalu luas, wah. Kalau tak keburu edan,
maka sebelum usia tiga puluh, nak Yanto pasti sudah
ubanan!"
Ia kemudian memberi saran agar memusatkan
perhatian ke kota-kota terdekat sekitar Jakarta saja. "Saya
mengenal non Del," ujarnya. "Sangat kenal dia, luar dalam.
Jauh lebih kenal dari kau, bahkan juga dari saudara-saudara
kandungnya sendiri ? biar itu pak Bambang sekalipun. Nah...!
Non Del, seperti kita berdua sudah sama tahu, tidak mau
dipisahkan dari Bambang Prakoso. Kalaupun terpaksa
berpisah, ia tidak ingin berpisah terlalu jauh dari kekasihnya
itu. Sejauh manapun non Del pergi, dia ingin berada cukup
dekat untuk mendengar, kalau mungkin melihat kekasihnya.
Katanya pada saya, ia selalu punya naluri yang mengatakan197
bahwa apabila kematian datang menjelang ? kalau tidak mati
bersama, maka matinya salah seorang dari mereka berdua,
akan segera disusul oleh yang lainnya. Kalau yang duluan
mati adalah non Del sendiri, katanya tidak ada persoalan.


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang ia kuatirkan adalah, kalau kekasihnya yang lebih dulu
pergi ? tanpa non Del ikut mengantarkan kepergiannya!"
Demikianlah, lokasi penyelidikan mereka bisa
dipersempit.
Kesulitan lain adalah mengenai identitas. Nama, tak
usah dipikirkan betul. Karena bu Marni berpendapat, kalau
bukan memakai nama sendiri tentulah Delila memakai nama
Marni saja.
"Nama saya ia pakai, karena itu nama yang gampang
untuk diingat. Saya sih tak pernah keberatan, karena bukan
saya seorang yang punya nama Marni. Non Del juga selalu
bilang, kalau toh ia terpaksa mengganti nama Delila, maka
nama Marni yang tetap akan dipergunakan. Kata non Del,
untuk selalu mengingatkan dia pada orang yang pernah
mendampinginya dengan setia dan penuh kasih sayang."
Tak ada nada menyombong dalam suara bu Marni.
Seperti juga, tak pernah ada nada terhina karena namanya
dipakai oleh Delila untuk tujuan melacur; suatu pekerjaan
yang sangat hina, pekerjaan yang sangat memalukan kaum
wanita. Katanya lagi: "Ayahmu tentunya tidak punya fotofoto non Del. Sebab ia ingin tetap menjaga kerahasiaan non
Del dari keluarga, terutama dari anak-anaknya. Saya punya
sejumlah album kenangan non Del yang ia hadiahkan padaku
sebagai tanda mata sebelum kami berpisah. Foto-fotonya198
dibuat selama sekian belas tahun saya terus
mendampinginya. Sebentar, saya ambilkan..."
Supriyanto meminjam seperangkat foto Delila.
Semuanya dibawa ke rumah untuk dipelajari dan
diperbanyak di luar waktu dinasnya. Semakin ia teliti foto
demi foto, semakin ia sadari suatu hal. Dari tahun ke tahun,
tampak terjadi perubahan pada wajah Delila. Entah mengapa
Supriyanto yakin bahwa perubahan itu selain karena
pengaruh usia tua, juga karena sesuatu yang lain.
Seorang sahabat Supriyanto yang berdinas di rumah
sakit sebagai ahli bedah serta autopsi mayat, memberi
gambaran sebagai berikut: "Aku percaya, perempuan ini
semasa mudanya melakukan sesuatu untuk mempercantik
diri maupun menjaga kesegaran tubuh. Tidak, tidak... aku
tidak percaya ini pekerjaan dukun, atau berkat kekuatan ilmu
hitam, misalnya susuk. Hal-hal semacam itu hanya dapat
mengelabui pandangan mata biasa. Tidak dapat mengelabui
lensa kamera, teleskop, atau mata seorang dokter ahli.
Perubahan-perubahan ini, aku percaya, terutama
dikarenakan obat."
"Pemakaian obat semacam ini, belasan tahun yang
lalu dianggap liar, tidak syah. Jadi dipergunakan secara gelapgelapan. Kini sudah diterima sebagai pengobatan yang syah
dan diperbolehkan oleh Pemerintah. Dapat kupastikan,
perempuan yang fotonya kau tunjukkan ini pernah menjalani
perawatan kecantikan melalui suntikan silikon. Bukan silikon
padat. Silikon padat mempergunakan alat-alat yang sifatnya
tetap. Perempuan ini disuntik dengan pemakaian silikon cair199
yang umum dipergunakan dalam metode bedah kecantikan
atau apa yang disebut Aesthetic Surgery."
"Apa efek sampingannya?" Supriyanto tertarik.
Sebagai seorang polisi, ia selalu tertarik untuk mengetahui
hal-hal yang baru ? ada atau tidak hubungan dengan
pekerjaannya.
Dokter bedah itu menyeringai. "Perempuan ini
tentulah seorang pelacur. Bukan kelas pinggiran, aku yakin!"
katanya.
Supriyanto memaksakan senyum di bibir.
"Memang!" jawabnya datar, sambil berpura-pura sibuk
menyulut sebatang rokok. Ia tidak mau orang lain tahu, siapa
dan apa hubungan Delila dengan dirinya. Dalam hati, ia kini
memahami semua sikap ayahnya maupun sikap Delila yang
begitu teguh menjaga kerahasiaan hubungan mereka satu
sama lain. Delila tidak mau karena dia keponakankeponakannya menjadi malu.
Dan saat dokter yang sahabatnya itu menyeringai
seraya menyebut apa pekerjaan Delila, sebenarnyalah:
Supriyanto merasa sangat malu!
Wajah dokter bedah kembali bersungguh-sungguh.
"Akan kuberikan gambaran kasar padamu," katanya.
"Suntikan silikon diperlukan untuk menambah bagian-bagian
yang kurang pada wajah seseorang. Misalnya dagu, pipi,
hidung, kening, bibir. Juga buah dada yang kekecilan, atau
pantat agar lebih besar, lebih sexy. Konon, perempuan
berpantat sexy begitu ? goyangnya minta ampun!"
Dokter tertawa ngakak, membuat perasaan malu
Supriyanto sedikit terhibur. Supriyanto sudah membuktikan200
sendiri kebenaran kata-kata si dokter. Dulu, pertama kali ia
melihat Delila, sang Primadona. Ia begitu tergetar
menyaksikan penampilan Delila. Sampai waktu itu, dalam
hati ia tega mencemburui ayahnya!
"Dibandingkan dengan cara pembedahan biasa,"
dokter melanjutkan. "Maka cara suntikan silikon ini selain
lebih murah, juga lebih praktis. Orang yang menjalani
pembedahan biasa atau bedah plastik, untuk jangka waktu
tertentu harus menutup diri, harus menjauhi sengatan
matahari. Lamanya, sekitar tiga atau empat bulan. Paling
sedikit, dua tiga minggu. Tergantung metode pembedahan,
dokter ahli yang melakukannya, serta kekuatan kondisi
tubuh sang pasien ? dan juga kondisi kejiwaan pasien itu
sendiri. Andaikan dia menjalani pembedahan total. Selama
waktu-waktu tersebut, pasien akan mengalami
pembengkakan pada bagian-bagian yang dibedah. Makin
lama pembengkakan itu akan makin menyusut. Lepas waktu
tiga atau empat bulan, nah! Pasien boleh keluar rumah, dan
orang akan tercengang melihat ia telah jauh berubah, jauh
lebih cantik dari sebelumnya. Efeknya hampir tak ada.
Kalaupun ada, hanya dalam pengurusan surat-surat
misalnya, atau bagaimana kau harus memperkenalkan
dirimu dengan wajah barumu pada orang lain. Tentu saja:
kau tidak lagi memakai wajahmu yang asli!
Sekarang, suntikan silikon, khususnya silikon cair.
Sesudah disuntik, wajah akan berubah rupa dalam tempo
paling lama satu minggu. Bagian-bagian yang kurang sudah
bertambah. Yang kau anggap jelek, sudah berubah cantik.
Pasien bisa menjalani perawatan demikian sambil jalan-201
jalan, tak usah kuatir akan sengatan matahari. Persoalannya
adalah, perawatan jenis begini tidak atau belum menjamin
bentuk kecantikan yang sempurna, atau katakanlah, tidak
menjamin wajah kita akan berubah rupa menjadi wajah yang
sebagaimana kita inginkan! Suntikan silikon hanya
menambah yang kurang. Belum tentu bisa membuat bentuk
yang harmonis. Belum tentu menghasilkan bentuk yang
serasi, yang sesuai dengan pola dasar yang sudah diberikan
dan diciptakan Tuhan..."
"Tetapi toh tetap tambah cantik?" sela Supriyanto.
"Mungkin. Tergantung, pandangan dan perasaan
pasien sendiri. Kemungkinan lain, tergantung dari bentuk asli
wajah pasien. Kalau sebelumnya memang sudah ada tandatanda ia cantik ? apalagi kalau pola dasar wajahnya memang
cocok, maka ia memang akan kelihatan jauh lebih cantik..."
"Dan efeknya? Itu yang kutanyakan tadi!"
"Ah. Sungguh tak sabaran kau ini!" rungut dokter
bedah itu, seraya menyimak lagi foto demi foto, dan
menuding bagian-bagian yang berubah, bagian-bagian yang
mereka persoalkan. "Coba perhatikan dengan lebih seksama.
Dagu yang ini.. dan ini. Kukira ada selisih waktu yang cukup
lama waktu foto ini dibuat. Kau lihat bedanya?"
"Ya," jawab Supriyanto pelan, setelah mengamatamati foto yang diperlihatkan sahabatnya. "Makin lama,
dagunya makin menggantung. Seperti sarang lebah!"
"Sekarang, hidung. Bandingkan hidung wanita itu di
foto yang ini ? dan ini..."
"Uh! Anda benar. Tampaknya, setelah sekian tahun
berlalu ? hidungnya makin bungkuk - ."202
"Persis. Tambahkan beberapa tahun lagi, maka
wanita ini akan punya hidung seperti paruh burung betet!"
Supriyanto terdiam. Akan begitu parahkah
perubahan wajah Delila? Dan masihkah Delila pantas disebut
seorang Primadona? Dengan perasaan cemas, ia bertanya
lagi: "Okelah. Tambahkan sekian tahun. Wajah macam apa
yang akan kita lihat?"
"Mengenai itu, kau punya seorang ahli di kantormu,"
jawab dokter, seakan berlepas tangan. "Sebagai dokter,
tugasku hanya untuk mengemukakan apa yang diperlihatkan
padaku, dan apa yang harus kuperiksa di depan meja. Lebih
jauh dari itu, mungkin aku dapat memberikan. Tetapi sekali
lagi, kalian punya orangnya yang lebih berhak, lebih ahli..."
Dan orang itu, yang beberapa hari kemudian punya
waktu luang untuk membicarakan persoalan yang dihadapi
Supriyanto, adalah rekan dari seksi identifikasi yang punya
bakat sebagai pelukis.
"... aku pengagum Rembrandt," ujarnya, sambil
mengamat-amati foto Delila satu persatu. "Kalau pelukis
dalam negeri, yang kusenangi adalah Basuki Abdullah. Waktu
sekolah, raportku dalam mata pelajaran menggambar, tak
pernah kurang nilainya dari sembilan. Eh, tak tahunya aku
gagal jadi pelukis sebagaimana pernah kudambakan. Kau
tahu apa sebabnya?"
"Tidak," jawab Supriyanto pendek, karena mengenai
yang satu itu ia kurang tertarik. Ia ingin cepat tahu mengenai
Delila. Entah dalam kesempatan lain... Rekannya tidak
memperhatikan nada suara Supriyanto. Rekannya itu ditelan
masa lalunya. Ia menjawab sendiri pertanyaannya:203
"Pacarku, atau kini isteriku," katanya lirih. "Ayahnya
seorang pengusaha kaya. Suatu hari, ayahnya itu bilang: nak,
kalau kau ingin mengambil puteriku, yakinkan dulu dirimu ?
apakah kau akan dapat menghidupinya, sebagaimana aku
pernah menghidupinya!"
"Lantas?" mau tak mau Supriyanto tertarik juga. Tak
dapat menahan senyumnya.
"Yah, lantas bagaimana lagi?" sang rekan
melebarkan tangan, angkat bahu, seolah putus asa. "Waktu
itu aku belum punya nama. Waktu itu, aku cuma sekedar
pelukis musiman, pelukis kampunganlah! Jadi bakatku yang
besar..." Ia tertawa kecut. "... terpaksa kusembunyikan di
kolong tempat tidur. Takdir menghendaki, aku kemudian jadi
polisi."
"Lalu sebagai polisi, apakah kau sudah dapat
menghidupi isterimu sebagaimana yang dikehendaki
mertuamu?"
"Seksi identifikasi?" sang rekan menyeringai kuda.
"Kau punya rokok?"
"Apa?"
"Kau punya rokok?"
"Kalau cuma rokok sih, ada."
"Berikan aku sebatang."
Supriyanto memberikannya. Sang rekan menyedot
rokoknya dengan nikmat. "Kau lihat," katanya. "Merokok
saja, aku harus minta. Untung mertuaku bukan orang pelit.
Akhirnya ia relakan juga anaknya kuperisteri. Hanya ia punya
nasihat untukku. Katanya: sebelum memikirkan kebutuhan
yang tidak perlu, pikirkan dulu dapur isterimu di rumah... Gila204
nggak?" ia tertawa sumbang. "Masa iya, seorang polisi,
seorang laki-laki yang menyandang pistol di pinggangnya,
harus ikut berkubang di dapur rumahnya!"
"Yang penting, kau toh berhasil mempersunting
pacarmu. Juga, bisa kau hidupi atau tidak, nyatanya
mertuamu sudah kau hadiahi empat orang cucu!" Supriyanto
tersenyum. "Tetapi lupakanlah dulu tentang mertuamu yang
hebat itu. Aku datang ke kantormu kan bukan untuk
bertanya tentang dia."
"Bangsat!" sang rekan tertawa bergelak. "Iya deh,
iya deh. Tetapi itu tuh. Bungkus rokokmu masih padat isinya.
Janganlah kau kantongi lagi..."
"Yang kau isap pun akan kuminta kembali, kalau kau
tak juga membuat gambaran orang yang kukehendaki,"
ancam Supriyanto.
"Sialan!" sang rekan menggerutu. Dan ia masih terus
menggerutu sewaktu mengerjakan apa yang diminta
Supriyanto. "Perubahan wajah perempuan ini, tidak biasa
kuperiksa," sungutnya. "Tetapi demi asap yang akan
mengepul dari lubang hidungku ? bukan dari cerobong dapur
isteriku, tak apalah. Berikan aku tempo."
"Lima menit cukup?"
"Lima menit pantatmu! Untuk melukis dirinya
sendiri pun, Basuki perlu waktu berminggu-minggu..."
"Begitu lama?"
"Lha. Apa lantas kau pikir Basuki Abdullah seorang..."
"Aku tak tanya Basuki-mu. Aku tanya, hasil kerjamu
mengenai perempuan ini...!"205
"Enyah kau dari depanku, Letnan Dua Supriyanto!
Dan simpan kembali rokokmu yang busuk ini. Aku bisa kanker
karenanya!"
"Kau sudah lama menderita kanker, kawan. Kantong
kering!" dan Supriyanto berlalu sambil tertawa membahak.
Dan hasil kerja petugas dari seksi identifikasi itu,
benar-benar sangat mengejutkan Supriyanto. Lukisan sket
wajah Delila yang diantar sendiri oleh pembuatnya, mulamula membuat Supriyanto tersedak. Meskipun Delila itu
masih ada pertalian Uwa dengannya, mau tak mau kelelakian
Supriyanto tergugah juga. Persis seperti pertama kali ia
mengenal Delila, dengan nama Marni.
"Ini bidadari!" rekannya bergumam, kagum.
"Bidadari yang sudah siap menerima dewa cinta yang
tampan, naik ke atas ranjangnya."
"Merangsang!" itulah komentar Supriyanto. Dia
amat-amatilah wajah dalam lukisan sket itu beberapa saat,
sambil berusaha menekan godaan birahi pada kelelakiannya.
"Bagaimana kau sampai berpikir, ia kembali jadi muda belia
seperti yang terlihat pada sket ini?"
Sang rekan merampas sket dari tangan Supriyanto.
"Ini kubuat untuk diriku sendiri. Akan kutempel di meja
kerjaku. Dibawa ke rumah, bisa kualat!" katanya sambil
mendecap-decapkan bibir, kagum akan hasil karyanya yang
luar biasa itu. Ia buka mapnya, memasukkan sket itu ke


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalamnya. Kemudian dari map yang sama, ia keluarkan
sebuah sket yang lain, seraya tak lupa mengomentari dengan
suara risih: "Yang ini, baru untuk kau. Karena kalau kusimpan206
di mejaku, bukan lagi kualat namanya. Aku malah bisa
semaput!"
Sebagaimana permintaan Supriyanto, sket itu dibuat
dengan perbandingan jarak tujuh sampai sepuluh tahun dari
foto terakhir Delila. Itu adalah sekitar jarak antara setelah
Delila berpisah dengan pelayannya yang setia, kemudian
pergi menghilang.
"Ia menghilang sekitar lima tahun yang lalu,"
demikian Supriyanto pernah menjelaskan pada rekan dari
seksi identifikasi itu. "Mencari orang ini mungkin perlu
tempo. Tambahkanlah misalnya tiga sampai lima tahun
mendatang."
Supriyanto berani menambah waktu selama itu,
bukan karena ia putus harapan dapat menemukan Delila
dalam waktu singkat. Ia hanya berpikir, Delila menghilang
karena kekecewaan, dan tentunya Delila sangat menderita.
Kekecewaan dan penderitaan itu akan membuat Delila lebih
cepat tua.
Supriyanto menerima sket yang diulurkan
sahabatnya itu. Selintas saja, ia sudah memaki: "Jadah! Kau
sentimen padaku ya?"
"Terserah. Pokoknya, aku sudah berusaha,"
rekannya angkat bahu. Merasa tak berdosa.
"Ini sih bukan Delila!" gumam Supriyanto, seraya
membasahi kerongkongannya yang kering kerontang secara
mendadak.
"Oh. Jadi nama perempuan itu Delila," rekannya
tersenyum. "Legenda mengenai Samson dan Delila memang
pernah kudengar. Delila dalam legenda itu juga konon207
seorang pelacur, seperti halnya Delila-mu. Kuharap itu bukan
nama asli. Karena nama itu terlalu indah buat seorang
pelacur!"
"Dan lebih tidak sesuai lagi nama itu, dengan wajah
yang tertera pada sketmu ini," rungut Supriyanto,
menyetujui. "Ini bukan seorang Primadona. Ini lebih pas
untuk wajah seorang pelaku kriminal, atau misalnya, seorang
Germo."
Rekannya geleng kepala. Lalu mengusulkan: "Kuberi
kau julukan yang lebih pas, Yanto."
"Apa?" desah Supriyanto, lirih.
"Lebih pas, kalau kita sebut saja wanita itu seorang...
nenek sihir!"
*** Dua puluh tiga
Meski sungkan, jadi juga Supriyanto melampirkan
sket yang mengerikan itu untuk melengkapi foto-foto asli
Delila yang terakhir. Kalau ingin sukses, orang tak boleh kerja
tanggung-tanggung. Demikianlah sket dan foto yang sudah
diperbanyak itu ia sebarkan pada siapa saja orang yang ia
perkirakan dapat membantu. Rekan sesama polisi, sahabatsahabat pribadi, sanak famili yang dapat dipercaya. Bahkan
juga orang-orang dekat Delila ? termasuk satu dua lelaki yang
pernah jadi langganan tetapnya, yang nama serta alamatnya
diperoleh Supriyanto dari bu Marni.208
Kepalang basah ia juga berterus terang pada
komandannya di kantor mengenai siapa itu Delila serta apa
pertalian dengan dirinya. Hanya dengan cara itu pak
Komandan bersedia menandatangani rekomendasi untuk
meminta bantuan teman-teman sejawat di kota-kota lain.
Tentu saja dengan syarat, urusan pribadi jangan sampai
menyisihkan urusan dinas. Supriyanto berjanji akan
berpegang teguh pada syarat itu. Namun komandannya
tersenyum. Berkata: "Tak usahlah berjanji macam itu. Aku
tahu siapa kau. Dan secara jujur harus kuakui bahwa
prestasimu selama ini cukup pantas untuk menggantikan
kedudukanku."
Rekomendasi beserta foto, sket dan identitas pribadi
Delila itu kemudian disebarkan secara resmi. Alasan ?dicari?
memang benar: "wanita ini dilaporkan hilang." Pada lajur
pekerjaan dalam identitas Delila, juga hanya ditulis
keterangan pendek: "Tidak jelas," ditambah sedikit
penjelasan yang agak sopan: "diketahui pernah terlibat
dalam bisnis seks." Lewat surat kabar atau majalah
sebenarnya lebih memudahkan pencarian. Tetapi Supriyanto
menjauhi wartawan atau mass-media, sebab ia sadar sekali
Delila tahu ia dicari, maka ia akan lari semakin jauh, akan
bersembunyi semakin dalam. Kecuali, alasan ia dicari juga
dijelaskan. Dan itu, tentu saja tidak mungkin!
Bambang Prakoso ikut pula menyebarkan foto-foto
pada orang-orang kepercayaannya. Sket, tidak pernah
diberikan oleh Supriyanto. Ia tak ingin ayahnya mengetahui
bagaimana wajah sang Primadona di kemudian harinya
setelah mereka berpisah terakhir kali. Ia ingin ayahnya tetap209
memandang Delila sebagai seorang kekasih yang tidak saja
setia, penuh rasa cinta, tetapi juga tetap cantik jelita. Ibunya
juga tak boleh melihat sket itu. Supriyanto ingin ibunya tetap
memandang Delila sebagai kakaknya yang begitu cantik
sehingga di masa remaja, kakaknya itu jadi rebutan orang
seperti anjing memperebutkan tulang.
Supriyanto sempat juga jengkel pada ayahnya. Dari
ibunya, Supriyanto mendengar bahwa ayahnya beberapa kali
Bambang Prakoso yang sudah tua dan sakit-sakitan itu pergi
meninggalkan rumah untuk beberapa hari hanya karena
ingin menemukan sendiri sang kekasih yang hilang tak tentu
rimbanya. Maka begitu ada kesempatan bertemu langsung
Supriyanto mencerca:
"Tahu diri dong, pa! Papa ini kan sudah tua bangka.
Biarkan kami yang muda-muda ini mencari Delila untuk
papa!"
Dan ketika ayahnya membangkang juga, Supriyanto
meledak! "Oke! Silakan papa menyiksa diri sendiri! Dan
akibat perbuatan papa lantas papa mati sengsara, jangan
harap kami mau mengurus jenazah papa. Karena papa mati
untuk Delila, bukan untuk mama, bukan untuk kami anakanak papa!"
Barulah ayahnya menyerah. Itu pun disertai keluhan.
"Aku tak tahan, nak. Seorang kenalanku pernah bertemu
sambil lalu dengan Delila. Dari cerita kenalanku itu, aku
kuatir bahwa Delila saat ini ada di ambang kehancuran.
Mengetahui itu, nak ? rasanya aku sudah hancur lebih dulu."
"Siapa nama teman papa itu? Di mana tinggalnya?"210
Bambang Prakoso menyebutkan apa yang
dikehendaki anaknya. Dan menambahkan dengan putus
harapan: "Percuma, nak. Mereka bertemu tak sampai tiga
menit. Kebetulan mereka sama-sama singgah dalam
perjalanan dengan taksi. Berhenti makan di Cipanas,
Puncak." Bambang Prakoso batuk-batuk. Batuk keras.
Katanya lagi: "Sayang sekali, obrolan mereka cuma sedikit.
Kenalanku bilang, Delila selalu berusaha menghindar kalau
ditanya tentang dirinya."
"Ia tahu Delila waktu itu naik taksi apa?"
"4848," jawab ayahnya.
"Nomor plat taksinya?"
"Wah! Mana ia ingat mencatatnya!"
"Delila dari mana, mau kemana?"
"Waktu mereka ngobrol, Delila bilang mau ke
Jakarta. Tetapi kebetulan taksi Delila berangkat duluan
meninggalkan rumah makan. Kenalanku melihatnya, dan
mengetahui taksi yang ditumpangi Delila justru menuju
Bandung."
"Kapan itu?"
"Ah ? kalau tak salah, sekitar bulan Nopember yang
lalu," sahut ayahnya lesu.
"Nopember tahun lalu. Dan sekarang, sudah bulan
Agustus pula," Supriyanto terduduk. Ikut lesu seperti
ayahnya. Kemudian: "Tetapi, yah. Setidak-tidaknya kita
sekarang mengetahui bahwa tahun yang lalu Delila pernah
ke Jakarta dan pernah terlihat menuju Bandung. Meski
samar-samar kesimpulannya dimana ia tinggal, apa211
urusannya di dua kota itu ? lumayanlah. Bisa kujadikan
petunjuk."
Pulang ke Ciamis, bu Marni datang ke rumah
Supriyanto. Perempuan tua itu memberi petunjuk
tambahan. "Ada beberapa kawan dan keluarga saya
mengakui pernah bertemu non Del. Yang seorang bertemu
non Del sedang belanja keperluan sehari-hari di pasar
Kosambi. Yang satu lagi, bertemu non Del juga di pasar
sedang membeli perabotan dapur." Sayang sekali orangorang yang disebut bu Marni baru tahu belakangan bahwa
bu Marni sudah lama berpisah dengan non Del. Jadi mereka
tak bertanya lebih jauh lagi untuk mengetahui di mana Delila
tinggal. Namun dari petunjuk yang sedikit itu, Supriyanto
dapat mengambil kesimpulan bahwa Delila mungkin kini
menetap di Bandung.
"Bagaimana tampangnya ketika mereka bertemu?"
tanya Supriyanto ingin tahu.
"Yah. Hampir mirip dengan sket yang pernah nak
Yanto tunjukkan kepada saya. Kata mereka, non Del sangat
jauh berubah. Tetapi mereka pernah mengunjungi saya
ketika masih tinggal bersama non Del. Jadi ada beberapa ciri
non Del yang tak mudah mereka lupakan. Misanya, suaranya.
Suaranya begitu lunak, renyah, enak didengar."
Kerja keras polisi tidak pula sia-sia. Ke meja
komandan, suatu hari disampaikan sebuah laporan. Isinya,
bahwa orang yang dicari menurut berkas laporan nomor
sekian-sekian, pernah terdaftar di kantor polisi setempat.
"Orang dimaksud jejaring oleh Unit Susila bersama tim Dinas212
Sosial Kotamadya, dalam suatu razia serempak di Pagarsih,
tetapi kemudian dilepas dengan jaminan."
Laporan itu dikirimkan rekan sejawat dari kepolisian
kota besar Bandung. Lagi-lagi, Bandung!
Setelah laporan itu diserahkan untuk dibaca
Supriyanto, komandan bertanya tenang: "Kini, apa?"
Supriyanto mengatakan laporan itu akan
dipelajarinya. "Tetapi itu nanti. Saat ini saya harus
mempelajari sejumlah berkas lain, sehubungan dengan
kasus perampokan berdarah di..."
"Aku tahu. Oke, kerjakan itu dulu, Letnan."
"Siap, Kapten!"
Minggu berikutnya Supriyanto dipanggil menghadap
komandan. Sebuah map dibuka. "Laporan terbaru dari
Bandung," ujar Komandan, santai dan menyenangkan.
Agaknya ia gembira dapat membantu salah seorang anak
buah kesayangannya. Isi laporan yang baru datang itu ringkas
saja: "Penjamin sudah dilacak. Agar tidak terjadi kekeliruan,
diharapkan ada anggota yang dapat membantu kami
mengidentifikasi sasaran. Anggota dimaksud kami tunggu
kedatangannya di Bandung, setiap waktu."
Sesuai kebiasaannya, komandan bertanya, "Kini,
apa?"
"Saya mohon ijin untuk ikut mengidentifikasi
sasaran, Kapten!"
"Oke. Tentukan waktunya."
Supriyanto menyelesaikan dulu satu lagi perkara
yang tidak berani ia limpahkan ke petugas lain. Baru
kemudian ia bersiap-siap untuk minta ijin komandan akan213
berangkat ke Bandung. Tetapi sebelum hal itu sempat ia
kemukakan, telah datang interlokal dari Jakarta.
Di telepon, Suprihatin berbicara dengan panik. "Papa
di rumah sakit. Harap datang segera!"
Bambang Prakoso ternyata menderita komplikasi.
Maaf, paru-paru basah, liver, kencing manis, dan yang sangat
parah adalah pankreas, atau kantung kelenjar air ludahnya
pecah. Sebelum dibius total, Bambang Prakoso masih
sempat berpesan: "Kalian harus mencari Delila sampai
ketemu. Aku sangat berdosa. Tak dapat membantunya di
saat-saat ia sangat membutuhkannya." Ia masih
menyampaikan sejumlah pesan lain untuk isteri dan anakanaknya, sehingga Suprihatin sempat meratap: "Jangan
berpikir yang bukan-bukan, papa. Kau akan segera sembuh,
percayalah!"
Berbotol-botol cairan infus dan berbotol-botol lagi
darah telah ditransfusikan ke tubuh orang tua yang
menderita amat sangat itu. Tetapi ia sudah begitu lemahnya.
Dokter mengeluh karena pasien tidak mau bekerja sama
dengan membantu dari dalam diri sendiri untuk bisa
sembuh. "Hanya keajaiban yang dapat menolong dia," ujar
dokter prihatin, setelah didesak oleh Supriyanto. Semuanya
kemudian memanjatkan doa ke hadirat Illahi. Namun Tuhan
Maha Berkehendak. Diiringi jerit tangis isteri serta anakanaknya, Bambang Prakoso Joyodipuro akhirnya
menghembuskan nafas terakhir tanpa sekalipun sadar dari
pengaruh bius.
Ia pergi menghadap Tuhan-Nya. Membawa serta
cintanya kepada Delila. Cinta yang penuh kesengsaraan,214
tetapi juga cinta yang teramat manis, teramat aneh ? atau
seperti diucapkan bu Marni: cinta yang langka terjadi.
Duka cita melanda keluarganya.
Setelah mendengar bisikan mengenai pesan terakhir
almarhum, Pak Komandan yang sengaja datang ke Jakarta
dan ikut mengantar jenazah ke tempat peristirahatannya
yang terakhir; mendekati anak buah kesayangannya yang
sedang bermuram durja. Beliau tahu siapa dan bagaimana
Supriyanto kalau berbicara soal tugas. Maka di telinga
Supriyanto, beliau berbisik dengan nada lembut tapi
berwibawa: "Lupakan dulu urusan kantor, Letnan. Lebih dulu
selesaikan urusan keluarga. Ini perintah, Letnan!"
Supriyanto terpekur, memandangi kuburan
ayahnya. Ia berjanji dalam hati: "Ia akan kutemukan
untukmu, papa."
Lalu air matanya pun menetes.
*** Masa berkabung juga ada hikmahnya. Orang-orang
yang dahulu pernah membenci Bambang Prakoso setengah
mati, berdatangan dengan wajah muram dan kata-kata
penuh simpati. Parlindungan mengatakan ia turut berdosa
atas duka cita yang terpaksa harus dialami Rosmalina.


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Syamsiah berdebat keras dengan Lukman, yang kali ini
tinggal lebih lama. Akhirnya Lukman menyerah: "Semoga
almarhum mengampuni dosa-dosaku..." Dan kepada
Supriyanto, ia berpesan: "Aku tak dapat lama-lama
meninggalkan pekerjaanku, nak. Jadi maafkanlah, aku215
terpaksa tak bisa menunggu. Tetapi, andaikata akhirnya kau
bertemu dengan Delila, katakanlah padanya: aku
memaafkannya!"
Sebelum usai masa berkabung, Supriyanto sudah
terbang dari Jakarta. Lebih dulu ia sempatkan ke Ciamis.
Melapor ke komandan bahwa ia telah pulang dari Jakarta,
dan terpaksa harus pamit beberapa hari lagi. Setelah itu,
barulah ia putar balik lagi ke Bandung. Setelah mendaftarkan
diri di sebuah hotel, ia memulai tugasnya. Tugas yang
membuat jantungnya berdebar: Primadona, ini aku datang!
Di kantor Sat Serse Unit Susila ia serahkan Surat
Perintah Jalan yang dibuatkan oleh Komandan-nya sebelum
meninggalkan Ciamis. "Supaya kau lebih leluasa bergerak,"
demikian Komandan memaksa. Tetapi setiba di Bandung,
Supriyanto melaporkan apa yang sebelumnya ia juga
laporkan pada Komandan-nya: "Terima kasih untuk bantuan
yang diberikan pada saya. Dan maaf. Selanjutnya, saya ingin
bergerak sendirian..." dan ia memberikan alasan yang tepat:
"Saya tak mau sasaran kita terkejut."
Rasa malu itu lagi: ia tak mau orang lain tahu siapa
itu Delila.
Ia mengantongi catatan mengenai nama dan alamat
si penjamin, sewaktu Delila ? dengan nama Marni ? pernah
dijaring oleh polisi. Peristiwa memalukan itu terjadi dua
tahun sebelumnya. Tetapi rekan-rekan sejawat menegaskan
bahwa penjamin sudah dilacak dan bisa dimintai petunjuk.
Supriyanto juga diberitahukan bahwa si penjamin itu pernah
jadi tentara dengan pangkat terakhir Sersan Mayor, sebelum
dipecat tidak hormat karena ketahuan membackingi sindikat216
perjudian. Meski sudah dipecat, ia masih punya ?gigi? yakni
pejabat berpengaruh di salah satu instansi. ?Gigi? itu ternyata
ada gunanya. Misalnya membuat para petugas yang
mengurus kasus Marni tak berdaya. Si penjamin mengaku
sebagai saudara sepupu Marni, dan para petugas tahu betul
berapa puluh orang pelacur yang diakuinya sebagai ?saudara
sepupu.? Pemberi informasi pada Supriyanto sampai
menggerutu: "Orang ini benar-benar saudara sepupu yang
bertanggung jawab, tetapi juga benar-benar tak tahu malu!
Sorenya, Supriyanto berhadapan dengan orang yang
punya puluhan saudara sepupu itu. Umurnya sekitar 40-an,
bertubuh tinggi besar dengan lengan bertattoo. Ia juga
punya sebuah rumah gedung yang besar dan indah. Punya
dua mobil mewah, tiga orang isteri ? dua di antaranya konon
bekas pelacur, dan lebih dari selusin anak. Semua isteri dan
anak-anaknya diharuskan tinggal satu rumah ? kecuali anakanak yang sudah menikah. "Dengan cara ini, aku dapat
mengontrol mereka ? tanpa aku kuatir kecolongan," katanya
dalam pembicaraan singkat dengan Supriyanto.
"Jadi kau ingin mencari seseorang, ya. Boleh aku
tahu siapa namanya?" pokok persoalan ia kemukakan
sendiri.
"Delila..."
"Laila, maksudmu?"
"Delila!"
"Sebentar ya, kuingat-ingat dulu. Delila ? hem, rasarasanya aku tidak pernah ? maklum, aku harus mengingat
sekian ratus nama. Banyak dari mereka kemudian ganti-ganti
nama pula, sehingga..."217
Supriyanto terjengah. Ia segera menyela: "Delila itu
nama keluarga. Di luar, ia pakai nama Marni."
"Marni? Oh ya. Ya, Marni. Marni..." lalu si penjamin
yang bertampang keren itu menyebut sejumlah gadis yang
katanya ?anak asuhan? dan tinggal di beberapa tempat.
"Marni yang mana yang kau ingin? Yang pantatnya besar?
Yang dadanya bagaikan dua bukit kembar yang baru jadi?
Atau ? ah, Marni mana pun yang kau pilih, aku dapat
menjamin. Begitu ia buka pakaian, kau akan gemetar
seketika..."
Untung mereka itu berbicara di sebuah warung, tak
jauh dari rumahnya. Coba, kalau isteri dan anak-anaknya
dengar... atau yah, isteri serta anak-anaknya sudah tahu, dan
menganggapnya lumrah barangkali. Bukankah dua dari
isterinya itu juga bekas pelacur? Supriyanto sampai geleng
kepala memikirkannya. Untuk membuatnya tidak semakin
pusing, pada orang itu ia ceritakan mengenai Marni mana
yang ia cari, dan kapan terakhir kalinya diketahui orang itu
berhubungan dengan Marni.
Wajah si ?saudara sepupu? segera berubah muak.
"Jadi, si perempuan haram jadah itu!" ia memaki. "Sialan
betul! Padahal, aku rela melepaskan isteriku yang lain,
apabila dia, si Marni yang congkak itu, mau kukawini.
Brengsek, perempuan tak tahu diuntung!"
Supriyanto mengepalkan tinju di bawah meja.
Tangan lain mengangkat gelas kopi lalu mencicipinya: kopi
itu serasa air comberan. Dengan sabar, ia bertanya: "Apa
yang terjadi?"218
"Uaaah! Dia sombongnya bukan main," si penjamin
merah padam wajahnya. "Ia bilang, ia hanya pernah jatuh
cinta pada seorang laki-laki. Ia bilang lagi, laki-laki itu tidak
saja tampan, tidak saja gagah, tetapi laki-laki itu juga seorang
terhormat. Katanya, jauh lebih terhormat. Haram jadah, tahu
apa yang disebut betina busuk itu mengenai aku? Ia bilang,
dibanding kekasihnya aku ini cuma kepinding!"
"Cocok!" hampir saja Supriyanto bersorak. Untung
dapat menahan diri. Ujarnya, menyabarkan: "Wanita
memang aneh-aneh kelakuannya. Dan tentang Marni yang
kita persoalkan, apakah masih termasuk daftar asuhan
Anda?"
"Anjing buduk! Ia sudah kutendang sejak lama!"
"Kapan itu?"
"Tak lama setelah ia kutolong lolos dari sel tahanan
polisi. Uh, uh! Mestinya ia kubiarkan saja membusuk di
sana!"
"Bagaimana Anda sampai kenal padanya?"
"Hem, sebentar kuingat dulu...," ia kunyah tempe
goreng di tangannya dengan rakus. Mulutnya berkecipak,
menyebalkan. "Hem... rasanya dulu kami bertemu di salah
satu hotel, lupa namanya, tetapi kalau tak salah letaknya di
Kebonjati. Waktu itu aku mengantarkan salah seorang
gadisku yang tercantik menemui seorang langganan. Dari
sebuah kamar, terdengar suara orang menangis terisak-isak.
Tentu saja timbul keributan. Apalagi setelah kamar itu dibuka
dan perempuan yang ada di dalamnya mengeluh, bahwa ia
baru saja dirampok orang!"
"Dirampok?" Supriyanto terperanjat.219
"Itu laporan resminya. Yang sebenarnya, ia dikibuli.
Seorang laki-laki tak dikenal membawanya tidur di kamar
hotel itu. Setelah disetubuhi, ia lalu dipukuli. Dan di bawah
ancaman pisau, ia terpaksa menyerahkan perhiasan dan
semua uang yang dipunyainya. Laki-laki itu tak pernah
ditemukan sampai sekarang. Tetapi dari perempuan yang
mengaku bernama Marni itu, aku menemukan
kesenanganku. Aku dapat mencicipi kecantikannya,
mencicipi kesegaran tubuhnya ?ajaib, padahal menurutku ia
sudah agak tua waktu itu. Dan yah, aku pun mendapatkan
cukup banyak uang dengan mengurusnya. Katanya, itulah
pertama kali ia punya germo, semenjak ia hidup jadi pelacur.
Sayang, ia tak mau kuperisteri..."
Darah sudah naik ke ubun-ubun. Tetapi Supriyanto
masih bisa menahan sabar. Mengapa pula ia harus naik
pitam? Toh, Delila cuma seorang pelacur! Ia mengeluh:
"Anda bilang, Anda kemudian mendepaknya..."
"Oh ya, aku lupa, melantur kemana-mana. Yah ?
setelah kubebaskan ia dengan jaminan diriku, ia beberapa
waktu lamanya masih bisa dipakai. Tetapi kemudian ia mulai
bertingkah. Ia sering mengomeli tamu-tamu yang
membayarnya, mengatakan mereka semua cuma babi-babi
busuk yang menjijikkan. Mengatakan mereka itu sinting,
buta matanya, karena tidak memperlakukan dirinya sebagai
seorang Primadona..."
"Primadona!" Supriyanto berdesah.220
"Yeah, dulunya mungkin saja ia primadona. Tetapi di
tanganku, ia cuma seekor anjing sakit yang mengharapkan
tulang sisa..." si penjamin menyeringai senang. Tak
mendengar gigi teman bicaranya bergemelutukan. "Marni
itu sungguh tak tahu diri. Lupa kalau ia sudah semakin tua,
tubuhnya semakin peot, wajahnya semakin buruk..."
"Karena itu ia kau lepaskan?"
"Ia sendiri yang mundur."
"Oh ya?"
"Dia bilang, tanpa aku dia bisa hidup. Uh! Apa
nyatanya. Kudengar belakangan, ia makin jatuh. Ia dapat
melakukan hal-hal, yang aku sendiri ngeri
mendengarkannya. Aku memang kotor. Tetapi yang
diperbuatnya itu lebih kotor lagi.."
"Tahu alamatnya yang terakhir?"
"Kudengar, sekitar Kosambi. Tepatnya sepanjang rel
kereta api Cikudapateuh... yah, salah satu gubuk liar dan
kotor di sepanjang rel itulah yang akhirnya ia tinggali sebagai
istana, di mana ia dapat bermimpi tentang masa lalunya."
Supriyanto mengucapkan terima kasih, meski tak
senang melakukannya. Sebelum ia pamit, lelaki itu
mendengus: "He, bung. Kalau kau ketemu anjing kotor itu,
katakan padanya supaya sesekali ia mau menemuiku. Ingin
pula aku punya dijilatnya!" sambil si lelaki menuding
selangkangannya.
Maksud Supriyanto berpisah secara baik-baik,
lenyap sudah. Ia berkata dingin: "Aku tahu apa jawab Marni."
"Oh ya? Kira-kira apa?"221
"Ini...," Supriyanto melayangkan kakinya yang
bersepatu, dan dengan keras mendarat di selangkangan
lelaki itu. Sementara yang jadi korban tendangan karatenya
meliuk ke lantai warung, Supriyanto menambahkan: "Enak
ya, punyamu dijilat sepatu?"
Malam sudah jatuh ketika Supriyanto tiba di
Cikudapateuh.
Ia berkeliaran tak menentu, masuk gang keluar gang,
bertanya sana bertanya sini dengan hati-hati ? sangat
memalukan kalau orang tahu ia mencari seorang pelacur,
kelas pinggiran lagi: kelas pinggiran kereta api! Gagal
mencari, ia pulang ke hotel. Mandi. Setelah itu, kembali lagi
ke Cikudapateuh, hampir saja tertabrak kereta api malam,
dan akhirnya bertemu seorang pelacur muda. Pelacur itu
habis kencing di selokan. Pelacur itu berkata sesuatu tentang
laki-laki di tempat tidurnya yang ia sebut kerbau, baru saja
memuntahkan ?lahar?nya kemudian tidur mendengkur.
Supriyanto diajak masuk. Ia menolak, dan menyebutkan
bahwa ia mencari seseorang perempuan tua bernama Marni.
"Nenek sihir itu?" si pelacur muda bergidik seram.
"Jadi Oom lebih suka ditemani tidur nenek sihir itu? Astaga!
Ia akan menghisap Oom sampai habis!"
Tetapi mau juga ia menunjukkan gubuk Marni.
"Anjing! Orang lagi enak-enak mimpi!" itulah makian
Marni yang ia dengar ketika Supriyanto minta dibukai pintu.
Dan di bawah sorotan lampu listrik 25 watt, Supriyanto
dengan hati yang hancur luluh melihat bukti nyata dari
lukisan sket rekan sejawatnya, bukti yang juga diucapkan si
pelacur muda tadi. Yang berdiri setengah membungkuk di222
hadapan Supriyanto bukan seorang Primadona. Melainkan,
seorang nenek sihir!
"Kau...," mulut nenek sihir itu ternganga. "Kau bukan
dia..."
Supriyanto paham maksud si perempuan. Wajahnya
memang mirip dengan wajah Bambang Prakoso, ayahnya.
Namun ia bertanya juga untuk meyakinkan: "Dia siapa, bu?"
Supriyanto menyebut ?ibu? karena pengaruh dari penampilan
bekas Primadona itu.
"Bambang. Tidak. Kau bukan Bambang..."
"Memang bukan!" jawab Bambang, tersedak.
"Siapa kau?"
"Anaknya!"
Perempuan itu kelihatannya shock seketika. Apalagi
setelah dijelaskan oleh Supriyanto, bahwa kekasih tercinta
Marni yakni Bambang Prakoso, telah meninggal dunia. Luar
biasa reaksi Marni. Tiba-tiba ia mengamuk. Tiba-tiba
tubuhnya yang tampak lemah, mampu menjungkir balikkan
kursi dan meja, bahkan mammpu merobek-robek daun
pintu. Habis mengamuk, Marni jatuh pingsan.
"Marni... Marni, bu Marni!" Supriyanto
menghambur menolong perempuan itu naik ke dipan
berkasur tak tentu warna, berbau apek menyesakkan rongga
hidung. Tetangga sekitar berdatangan dengan ribut. Cukup
lama waktu berlalu sebelum bekas Primadona itu siuman
dari pingsannya. Mulanya, ia masih meronta-ronta histeri.
Rontaannya baru terhenti, setelah Supriyanto
berbisik di telinganya: "Tenanglah Delila. Aku akan
membawamu pulang, Delila."223
Mendengar namanya yang asli disebut sedemikian
lembut dan intim, perempuan tua itu langsung memeluk
Supriyanto dan meratap setengah sadar: "Bambang-ku, oh
Bambang kekasihku!"
Ketika mata semua yang hadir memandanginya
dengan heran, Supriyanto tersenyum.
Aneh. Ia tidak lagi merasa malu!
***224
BAB EMPAT ? AKHIR PERJALANAN
Dua puluh empat
Delila terus saja bergayut di lengan Supriyanto
sampai mereka berdua tiba di hotel. Mulutnya tak pula
berhenti berkicau. Ia menyebut-nyebut Supriyanto
kekasihnya tercinta, pujaan hatinya tersayang, buah hatinya
seorang. Lain saat ia bilang Supriyanto sebagai Bambangnya
yang malang, Bambangnya yang patut dikasihani.
Bambangnya yang harus dimaafkan.
Sekali ia menceracau: "Kau terlalu setia pada


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isterimu. Terlalu manja pada anak-anakmu. Ayo, kita lupakan
mereka sesekali. Kita bercumbu. Kita lepaskan rindu yang
sudah lama kita pendam. Kita nikmati berahi yang sudah
lama kita hindari. Ayo ? kita buang kepura-puraan tolol
selama ini. Kau mengingini aku, bukan? Aku, lebih-lebih lagi.
Kuingin keperkasaan tubuhmu menghancurkan aku sampai
tak bersisa. Dan kau, akan kubuat lupa pada alam
sekelilingmu. Kau akan..."
Ia juga mengingatkan percintaan mereka yang
sangat mengasyikkan dulu, di antara pepohonan sawit, di
sela-sela rerumputan ilalang. "Alangkah tolol, kita tidak
melakukannya sejak dulu-dulu..." celotehnya.
Turun dari becak, perubahan suasana dari gubuknya
yang gelap dan mesum di Cikudapateuh dengan suasana
hotel yang cemerlang dan romantis, membuat igauannya
kian menggila. "Aku tahu, Bambang. Aku tahu. Kau bawa aku225
ke tempat ini, karena kau pun akhirnya tak tahan lagi ingin
segera menggumuliku..."
Masuk ke kamar yang sudah dipesan Supriyanto
siang harinya, Delila berjingkrak, menari-nari gembira seperti
gadis remaja yang baru pertama kali menerima surat cinta.
"Aku siap, sayangku!" ia setengah menjerit histeri.
"Tunggulah, aku mandi dulu sebentar. Akan kurias wajahku
lebih cantik. Dan kau, siramilah ranjang pengantin kita itu
dengan parfummu yang terharum. Tralala-trilili..." dan Delila
benar-benar menyelinap ke kamar mandi.
Sejenak Supriyanto kebingungan. Kemudian
membatin: "Biarkanlah dia dengan impian-impiannya yang
memabukkan." Lalu ia meraih telepon, menghubungi bagian
pelayanan hotel, minta dipanggilkan dokter. Untung hotel itu
punya dokter sendiri, dan rumahnya pun cuma 50 meter
jaraknya dari hotel. Meski sudah dini hari, dokter bergegas
datang memenuhi panggilan. Ia telah muncul di pintu kamar
Supriyanto, sebelum keluar dari kamar mandi.
"Mana pasiennya?" ia bertanya setelah dibukakan
pintu.
Supriyanto menggerakkan dagunya ke arah kamar
mandi. Dari balik pintu kamar mandi, terdengar nyanyian
sendu seorang perempuan tua: "Kalau kau tahu ... isi hatiku,
air matamu ... jadi penawar rindu... Belai daku, semesra
dulu... cumbulah aku sepuas hatimu..."
Dokter mendengarkan sejenak, kemudian berujar
segan: "Maaf. Kukira aku salah masuk kamar," lalu berputar
mau berlalu.226
"Jangan pergi, dokter," Supriyanto menahannya. Ia
lalu menceritakan persoalan yang dihadapinya secara
ringkas. "Bantuan dokter sungguh-sungguh sangat
dibutuhkan," katanya.
Dokter mulanya ragu-ragu. Namun keraguannya
segera lenyap setelah Delila keluar dari kamar mandi. Tubuh
kurusnya hanya berlapis sehelai handuk saja. Delila tak malumalu akan keadaan dirinya, dan dengan riang berkata pada
Supriyanto: "Oh, sayangku. Rupanya kita kedatangan tamu
ya?"
Supriyanto membimbing Delila ke tempat tidur.
Menyuruh perempuan tua itu berbaring. Sambil lalu ia
menerangkan: "Tamu kita ini seorang dokter, Delila. Ia ingin
meyakinkan apakah kau sehat-sehat saja."
"Oh begitu? Aku bersih, Bambangku sayang. Untuk
kau seorang, aku selalu berusaha agar bersih sampai ke yang
paling dalam..." ia tertawa meringkik, tetapi mau juga
mematuhi permintaan Supriyanto, yang segera mengerling
pada dokter.
Dokter itu segera mendekati tempat tidur. Ia
membuka tas, mengeluarkan peralatan untuk memeriksa
denyut jantung dan dada Delila. Ia juga kemudian memeriksa
mata serta rongga mulut. Lalu dari tasnya ia keluarkan alat
suntik serta ampul berisi cairan bening. "Disuntik ya?"
katanya lembut sopan. "Biar Anda rilek..."
"Bagus. Bagus!" Delila mendesak senang. "Untuk
bercinta dengan seorang kekasih, kita memang harus rilek..."
ia masih memuntahkan serentet kalimat yang memerahkan
telinga, sementara dokter menyuntiknya.227
"Nah. Selesai sudah. Tak terasa sakit, bukan?"
"Oleh suntikan itu? Ah, tak ada artinya dokter. Nanti
aku akan disuntik Bambang-ku pula. Alat suntiknya, pasti
akan membuat dokter cemburu... Hai dokter. Awas ya.
Jangan ngintip. Mendengar dari balik pintu, boleh-boleh saja.
Kalau birahi dokter naik sampai ke ubun-ubun, tinggal bilang
? dan aku... aku akan mencoba... mencoba...," suara Delila
makin lemah, makin sayup. Kemudian ia jatuh tertidur.
Dokter sekali lagi melakukan pemeriksaan ulang.
Ujarnya lirih, "Ia sudah tenang sekarang."
"Keterangan lain?" tanya Supriyanto cemas.
"Ia mengalami kejutan mental. Tetapi begitu ia
bangun, kejutan itu akan hilang dengan sendirinya."
"Kapan kira-kira ia akan bangun?"
"Paling cepat besok siang. Mungkin sore, mungkin
pula malamnya. Tergantung pada kondisi fisiknya..."
"Apakah ia cukup kuat menempuh perjalanan jauh?"
"Sambil tidur?"
"Ya."
"Tak dapat kupastikan. Sejauh mana?"
"Jakarta."
"Kalau sejauh Jakarta saja, kukira ia akan kuat.
Kusarankan, agar ia diselimuti tebal-tebal. Jangan singgahsinggah di jalan. Jangan pula dia sampai terguncangguncang."
"Terima kasih, dokter."
"Memang aku yakin, ia baru sadar besok siang.
Namun untuk berjaga-jaga, Anda akan kubekali beberapa
butir pil...," kata dokter seraya mengeluarkan dari tasnya228
botol kecil berisi pil-pil yang ia maksudkan, sambil
menerangkan penggunaan dan manfaatnya.
"Terima kasih sekali lagi, dokter," Supriyanto
menerima botol berisi pil itu. Dari saku celananya ia
keluarkan dompet untuk mengambil uang.
Segera dokter mencegah. "Pasienku yang satu ini,"
katanya, "... kelihatannya dia telah menempuh perjalanan
menyedihkan hampir sepanjang hidupnya. Aku sebenarnya
ingin membantu lebih banyak. Tetapi Anda rupanya
bergegas..." Ia memandangi tubuh memelas di tempat tidur.
Menyambung: "Aku sarankan, pergunakanlah setiap sen
yang Anda punya untuk membahagiakan dia selama sisa-sisa
akhir hayatnya... Kukira, waktunya tak lama lagi!"
Supriyanto terdiam mendengar kalimat terakhir
dokter itu. Pikirannya melayang jauh. Teringat penyesalan
ayahnya: "Delila di ambang kehancuran... aku sangat
berdosa. Tak dapat menolong dia di saat-saat ia
membutuhkannya!" Terngiang pula cerita bu Marni: "... non
Del tak mau berpisah terlalu jauh dari kekasihnya ? ia punya
naluri bahwa apabila kematian datang menjelang ? kalau
tidak mati bersama, maka matinya salah seorang akan segera
disusul yang lainnya..."
"Maha Besar Engkau ya Allah... Ampunilah dosadosa kami!" ia bergumam, getir. Dan ketika ia berpaling,
dokter sudah menghilang dari kamar. Dengan sekujur tubuh
bahkan jiwanya terasa amat letih, ia meraih telepon sekali
lagi untuk memesan taksi.
Sambil berkemas-kemas ia memandangi Delila di
tempat tidur.229
Perempuan itu sudah diselimuti baik-baik. Ia
kenakan pula pakaian Delila yang oleh seseorang di
Cikudapateuh sempat dikumpulkan dan dijejalkan dalam
sebuah kantong plastik.
Delila terlelap. Pulas.
Bibir tuanya yang berkeriput, mengulas senyum.
"Tentulah ia bermimpi ketemu dengan kekasihnya,"
pikir Supriyanto, terharu.
Pintu kamar kemudian diketuk. Pelayan
memberitahu bahwa taksi sudah menunggu di bawah.
*** Dua puluh lima
Meski masih lemah, Delila benar-benar sudah sadar
kalau ia kini ada di rumah Rosmalina, si bungsu. Sebaliknya,
diperlukan waktu tidak sedikit untuk menyadarkan
Rosmalina, bahwa perempuan kurus kering berwajah tak
sedap dipandang itu, sebenarnyalah kakak kandungnya
sendiri. Si bungsu mekar indah di perkebunan Sawit
Seberang, si Primadona mempesona yang meratui hotelhotel terkemuka di Jakarta. Ketika menangis kakaknya
tercinta yang kini rusak poranda itu, Rosmalina sempat
pingsan. Syamsiah tak henti-hentinya meratap menyesali
diri. Sedang Parlindungan, setelah tiga jam lebih duduk
seperti orang hilang ingatan, segera berangkat ke kantor pos230
untuk mengetok telegram ke Medan: "Delila sudah
ditemukan!"
Suasana berkabung setelah ditinggal mati Bambang
Prakoso, justru terasa semakin panjang dengan kehadiran
Delila yang sedemikian rupa menyedihkan. Ia menolak
dibawa ke rumah sakit. "Dalam tidurku, kulihat Bambang
melambai dari balik kabut. Ia menungguku!" katanya.
Ada baiknya Syamsiah dan Parlindungan tidak segera
pulang setelah Bambang Prakoso dimakamkan. Tahu bahwa
mereka sengaja tinggal lebih lama karena penasaran ingin
bertemu muka dengan si anak hilang yang dulu terkutuk,
ternyata banyak membantu. Delila terdorong untuk jangan
terlalu pasrah menghadapi kematian.
"Ajal memang tak dapat ditolak," Parlindungan
bernasihat. "Tetapi kalaupun ajal itu akhirnya datang,
sambutlah dengan jiwa yang tenteram, dengan hati yang
damai..."
Ketika diberitahu bahwa Lukman sudah
memaafkannya, Delila tertawa getir. "Aku atau dia yang
harus dimaafkan?" Kegetirannya baru lenyap setelah ia lihat
perut Suprihatin yang membesar. "Jadi kau akan
memberikan seorang cucu untuk aku ya?" desahnya.
Suprihatin tertawa gembira. Ia lalu memberikan
surprisenya. "Ini bakal cucumu yang ketiga, Uwa Del. Dua
yang lain, nantilah kuperkenalkan..."
"Yang ketiga? Astaga! Rasanya baru kemarin siang
kau kudengar kawin! Kok menggebu-gebu begitu? Apa tidak
ikut KB?"231
"Dua yang terdahulu semua perempuan, Uwa Del.
Jadi bapaknya anak-anak, membuntingi aku lagi. Ia ingin
punya anak laki-laki. Dia bilang, bukan seorang ayah
namanya kalau tidak punya anak laki-laki. Tak mau dia
marganya tak bisa diturunkan!"
"Begitu ya? Ayo. Panggil dia kemari. Biar kujewer
teliganya! Apa anak perempuan tak berhak diakui, he?!"
Tentu saja Parlaungan buru-buru datang, buru-buru
pula meminta maaf. Ia berusaha membela diri. Katanya:
"Kita kan orang Batak. Jadi tanpa anak perempuan..."
"Lalu, siapa yang melahirkan kau Laung?"
"Yaa... ibuku, dong."
"Apakah ibumu itu laki-laki?"
"Yaa... perempuan dong."
"Dan meski ia perempuan, ia tetap saja orang Batak,
bukan? Tetap saja ia anak nenekmu, bukan anak nenekku!"
"Aduh!" Parlaungan jadi salah tingkah.
Setelah dokter menjamin bahwa Delila lumayan
sehat, Parlindungan pamit untuk pulang ke Banjarmasin.
Begitu pula Syamsiah. Seolah punya naluri, dari Medan
datang telegram balasan. Lukman mengatakan dalam
telegramnya: "Maafkan adikmu yang bodoh ini. Kudoakan
segera sembuh."
"Nah, itu baru saudara namanya," ujar Delila senang.
Kesehatannya pun dari hari ke hari semakin pulih. Ia
sangat senang ketika bu Marni datang tergopoh-gopoh dari
Pangandaran, menangis tersedu-sedu sambil menciumi
tangan majikannya, dan berkata memohon: "Perkenankan
aku terus mengabi padamu, non Del."232
"Terima kasih, Marni. Mestinya permintaan
semacam itu datangnya justru dari pihakku. Bagaimana
perkembangan usahamu? Apa kabar anak-anak serta cucucucumu?" Lalu setelah Marni menceritakan serba sedikit,
Delila mengeluh: "Aku pun sudah punya banyak cucu
sekarang. Sialan benar, mereka menyuruh aku supaya jadi
nenek-nenek!"
Ia kemudian mulai mau diajak berjalan-jalan keluar
rumah. Tak keberatan mengujungi sanak keluarga terutama
dari pihak Bambang Prakoso. Tetapi ia menolak diajak terlalu
dekat dengan hotel-hotel tertentu, tak mau pula diajak
minum di bar, atau nonton di bioskop. Melewati nite-club,
wajahnya akan berubah muak.
Ia paling rajin ziarah ke makam Bambang Prakoso.
Tiap kali tak pernah ia lupa membawa setangkai mawar
putih. "Terimalah lambang cinta suci kita, sayangku,"
bisiknya setiap meletakkan bunga mawar putih itu di depan
batu nisan kekasihnya.
Ia juga senang mengobrol dengan Suprihatin. Dan
selalu berlari-lari menyongsong kalau melihat Supriyanto
datang berkunjung dari Ciamis. "Mengapa tidak pindah saja
ke Jakarta, Yanto?" ia mengeluh.
Ponakannya menjawab: "Ingin sih ingin, Uwa Del.
Tetapi kan ada aturan permainannya."
"Hem. Kau benar. Coba, kalau aku masih seperti
dulu. Masih Primadona. Relasiku banyak, bukan orang
sembarangan. Aku tinggal angkat telunjuk, dan mereka akan
segera lari kucar-kacir untuk memenuhi permintaanku.233
Hem... barangkali saja masih ada seorang dua di antara
mereka yang bisa kumintai tolong."
"Sudahlah, Uwa Del. Kau sekarang kan sudah neneknenek!" Supriyanto mengingatkan.
"Ya. Betul juga kau," wajah Delila berubah murung.
Sebentar kemudian cerah lagi. Ia bertanya: "Kau kapan pula
memberikan seorang cucu untuk aku?"
"Tak tahulah, Uwa Del."
"Belum berpikir untuk mengambil seorang isteri?"
"Tak ada yang mau."


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dusta besar! Kau kira Bambang Prakoso tidak
pernah mengomel padaku mengenai kelakuanmu ya?
Jangan-jangan, anakmu sudah berceceran dimana-mana.
Hayo, ngaku!"
"Sungguh, Uwa Del."
"Hem. Kau patah hati ya?" karena Supriyanto
sempat terbungkam, Delila lantas menegur. "Kau bukan lakilaki, kalau perempuan membuatmu patah hati. Oh ya, sambil
lalu, siapa kiranya gadismu yang telah berlaku kejam itu?"
Mulanya Supriyanto tidak mau mengaku. Tetapi
dalam kunjungan berikutnya, ia terpojok oleh ucapan Delila.
"Aku sudah ngobrol dengan ibumu. Ossy-kah orangnya?"
"Dia tidak..."
"Dia sudah! Sudah berhasil menjatuhkanmu. Apa
yang terjadi nak?"
Pancingan Delila mengena. Suara Delila yang lembut,
dan tatap matanya yang bersinar penuh kasih, membuat
Supriyanto mati kuti. Untuk pertama kali ia membuka
rahasianya pada orang lain. Itupun setelah lebih dulu ia234
celingak sana celinguk sini untuk meyakinkan tak ada pihak
ketiga yang berlaku curang: nguping diam-diam.
"Aku dulu memang suka gonta-ganti pacar. Tetapi
gadis pertama yang pernah kujamah tubuhnya, baru Ossy..."
"Kau apakan dia?"
"Tak kuapa-apakan, Uwa Del. Ia keburu mens!"
"Astaga. Lalu?"
"Suatu hari, waktu aku masih kadet polisi di
Semarang, kami bertemu lagi. Kali ini, kami berbuat lebih
jauh...," dan setelah bercerita pada Delila, Supriyanto
bukannya menyesal atau malu hati. Malah dadanya yang
selama ini sumpek, mendadak terasa lapang. Ganjalan yang
menakutkan itu sirna begitu saja.
"Jadi kau memberi dia dua pilihan," Delila
bergumam, setelah lama termenung untuk mencerna
pengakuan ponakannya. "Lalu pilihan mana yang diambil
Ossy?"
"Wah. Mana pula aku tahu, Uwa Del. Tak pernah lagi
kudengar tentang dia," jawab Supriyanto, rikuh.
"Kau sih. Setelah kau cicipi kesegaran tubuhnya,
lantas kau lupakan. Dasar laki-laki."
"Nanti dulu, Uwa Del. Aku..."
"Buktinya, kau tak pernah berusaha mencari dia.
Paling sedikit, mencari keterangan mengenai apa
pilihannya!"
"Iya ya..."
"Nah. Mau mencarinya kelak?"
"Wah, bagaimana ya? Ia sudah punya suami..."
"Kalau itu pilihannya!"235
"Maksud Uwa, Ossy telah minta cerai?"
"Itu pilihan kedua!"
"Tetapi..."
"Percuma berdebat. Yang penting, cari dan temukan.
Kau akan melaksanakan pekerjaan itu dengan mudah. Jauh
lebih mudah ketimbang waktu kau mengemban amanat
ayahmu: cari dan temukan Delila. Wahai. Tak percuma aku
punya ponakan macam kau. Dan tak sia-sia aku dan ayahmu
selama ini menjaga kesucian hubungan kami..."
Lantas ia bercerita tentang apa yang sebelumnya
sudah didengar Supriyanto dari bu Marni. Hanya kisah yang
diutarakan Delila lebih mendetil. Misalnya, ia menjelaskan
keanehan hubungan cinta mereka. "Kami juga manusia
biasa, Yanto. Manusia dengan segala kelemahannya.
Manusia yang suatu saat bisa lupa diri, bisa tergoda. Ciuman
bibir, contohnya. Betapa pun kuatnya iman seseorang,
ciuman di bibir apalagi di bibir sang kekasih, pasti
menimbulkan getaran-getaran. Awalnya sih cuma getaran
kasih sayang, getaran bahagia, getaran suka cita. Namun bila
dilakukan semakin lama, semakin berubah getaran itu.
Timbullah birahi. Lalu sekali getaran birahi itu mulai
menggoda, setan pun akan menari-nari di kepala. Dan apalah
daya seorang manusia, manakala setan jahanam sudah
merajalela...!"
Kemudian ia juga menjelaskan mengenai sikap
Bambang Prakoso mengenai hubungan cinta antara
Suprihatin dengan Parlaungan. "Itu juga pengaruh setan,"
katanya. "Setan yang menciptakan kebencian teramat
sangat dalam jiwa ayahmu kepada orang-orang sedaerah236
kami; orang Batak. Sebenarnya kalau kita tilik dalam-dalam,
ayahmu tidak membenci Batak-nya. Yang ia benci hanya
nenekmu perempuan, yakni ibuku. Hanya suatu kebetulan
saja, nenekmu itu orang Batak
Nenekmu, juga belum tentu bersalah. Yang salah
adalah lingkungan di mana nenekmu lahir. Lingkungan
dimana nenekmu hidup dan menghidupinya. Lingkungan itu
kita sebut tradisi, atau adat istiadat. Kita memang dapat
merubah kebiasaan orang seorang hari ini atau besok lusa.
Tetapi merombak suatu tradisi apalagi yang sudah mendarah
daging, bukan saja diperlukan tempo. Juga sangat diperlukan
ketabahan, keberanian, mungkin juga ? kekuasaan!"
"Kekuasaan? Kekuasaan macam apa?" tanya
Supriyanto berminat.
"Orang-orang berpengaruh, nak. Orang-orang
berpendidikan, banyak makan asam garam dunia. Dan
orang-orang itu, baik ia sudah tua maupun masih semuda
engkau, haruslah berani mengakui kesalahan, haruslah jujur
terhadap dirinya sendiri. Bisa juga, kekuasaan lewat
pengaruh agama. Nyatanya, sudah tak aneh lagi kita
mendengar. Bukan saja di Batak, tetapi juga di daerahdaerah lain. Mereka konon fanatik dalam soal agama, tahu
setiap huruf isi Kitab Suci. Tetapi sebagian mereka yang
katanya fanatik agama itu, kalau sudah berhadapan dengan
adat, maka agama ditempatkan di urutan kedua..."
"Tuhan kan di atas segala-galanya, Uwa Del?"
"Benar, nak. Tetapi namanya juga manusia. Kau
misalnya. Apakah ketika pertama kali kau menjamah tubuh237
Ossy yang sudah bugil total, kau teringat Tuhan? Lalu kau
batalkan niat jahatmu?"
Supriyanto dengan malu mengakui: "Peristiwa itu
tak terjadi, karena ia keburu mengeluarkan darah."
"Bagaimana yang kedua kali? Kau tahu ia punya
suami. Tetapi kau lakukan juga, meski aku percaya kau
senantiasa melakukan sholat lima waktu sehari semalam..."
Melihat Supriyanto sesak nafas karena tak mampu
lagi membantah, Delila cepat menimpali lagi: "Orang berTuhankah engkau, Yanto, ketika kau berikan dia dua pilihan
namun tak kau periksa pilihan mana yang diambil Ossy?"
"Aku bersalah," gumam Supriyanto, menyerah.
"Kupikir, ia tentunya akan memilih suaminya. Hal itu pun
tidaklah terlalu kusalahkan. Waktu aku akan
meninggalkannya, kukira aku telah menghina dia dengan
membuat pilihan berbahaya itu."
"Berbahaya, nak?" Delila geleng kepala. "Kalau
begitu, kau memang belum tahu apa itu cinta murni, cinta
sejati. Kau lebih tak tahu lagi, apa yang dapat diperbuat
orang. Seorang wanita yang dilanda cinta murni dan sejati
itu. Wanita yang dalam keadaan seperti itu, dapat berbuat
hal-hal yang akan membuat kalian kaum lelaki, tercengang
setengah mati..."
Delila menarik nafas panjang. Lanjutnya getir: "Dan
itulah yang kuperbuat, ketika ayahmu muncul lagi dalam
kehidupanku setelah aku jadi pelacur, setelah aku dikucilkan,
dibenci, dikutuk habis-habisan oleh keluargaku. Aku
kemudian teringat suratnya yang kuterima ketika aku masih238
punya suami. Ayahmu bilang: suatu saat kita akan bertemu,
akan bercinta lebih mesra, lebih syahdu!
Dan itulah yang kami perbuat.
Kami bercinta lebih mesra. Lebih syahdu dari yang
kami alami selagi masih remaja. Semacam cinta yang tidak
dikotori oleh naluri seksuil. Kecuali ayahmu punya isteri, dan
isteri ayahmu justru adik kandungku sendiri. Kuakui,
terkadang kami ingin melakukannya. Tetapi waktu itu hampir
terjadi, kami berdua sudah lebih dewasa, sudah lebih matang
dan sudah lebih tahan menghadapi penderitaan. Lalu kami
berpikir, apakah hanya karena kenikmatan seksuil satu dua
jam, harus porak poranda cinta suci yang kami bina sekian
belas tahun?"
"Itu sebabnya Uwa Del menyuruh papa menikahi
mama?"
"Itu lain lagi nak. Sudah kubilang, aku ini pelacur. Aku
ini dengan sendirinya sudah bergelimang dosa, bergelimang
kotoran, bergelimang kenistaan. Sedang ayahmu waktu itu,
masih suci bersih, polos tanpa noda. Tidak. Ia tidak boleh
kecipratan dosa-dosaku, kotoranku, kenistaanku. Karena itu
ia kusarankan untuk memilih jodoh yang lebih sesuai dengan
dirinya. Tetapi ia bilang, ia hanya mencintai aku seorang. Ia
bilang, ia tidak ingin dipisahkan dari aku oleh hadirnya pihak
ketiga. Lantas kubilang, mengapa tidak kau ambil Rosmalina?
Rosmalina suci bersih, polos, tak ternoda seperti aku. Dan
dengan menikahi Rosmalina, kau tetap tidak terpisahkan dari
aku. Kau tetap bisa mencintaiku... karena aku tahu, siapa itu
Rosmalina, si bungsu kesayanganku dan sangat
menyayangiku."239
"Lalu mengapa kau tidak lantas menghentikan saja
pekerjaanmu yang... yang lain itu, Uwa Del?"
"Yang menjijikkan, maksudmu," Delila tersenyum pahit.
"Begini nak. Sekali kau menjalani suatu kehidupan, dan kau
sadar kehidupan itu telah mengusaimu, tak mau
melepaskanmu lagi ? apa yang kau perbuat? Kemudian, kau
juga sadar bahwa kau sudah hancur, sudah bobrok, sudah
busuk sebusuk-busuknya? Kemudian lagi; kau coba
melarikan diri, tetapi di tempat pelarianmu kau tak mampu
berbuat apa-apa. Karena di tempat itu, kau tidak punya
keahlian lain, tidak punya pengetahuan untuk dapat
menolong agar kau tetap hidup?!"
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan,
Supriyanto perlu waktu untuk memikirkan jawabannya.
Delila menambahkan pula: "Jadilah aku terpaku di tempatku
berdiri. Dan di situ, aku dapat tetap hidup, dapat
bergemilang kemewahan. Memang, cuma itu yang boleh
kumiliki. Seperti tadi kukatakan, di dalam aku ini hancur,
bobrok, busuk. Namun setidak-tidaknya aku masih dapat
bernafas. Aku masih berhak pula menikmati cinta kasih dan
belaian sayang seseorang. Bambang Prakoso, ayahmu."
Supriyanto termenung. Lama berpikir. Lantas:
"Bukankah Uwa Del pernah lari? Yakni, setelah Uwa Del
mendengar bahwa aku tahu siapa itu Marni, siapa itu Uwa
Del?"
"Aku sangat ketakutan, nak. Takut kau membenci
dan mengutuk aku pula, seperti keluargaku pernah
membenci dan mengutuk aku. Juga aku takut, karena aku
masa depanmu terancam hancur ? ah, ah, ya. Kini baru aku240
tahu, pikiranku itu ternyata keliru. Tetapi yah, waktu itu
maklumlah. Aku begitu panik. Lalu aku mencoba lari. Lari dari
kehidupanku sebelumnya. Tetapi kemudian di tempat
pelarianku, aku terbentur pada dinding tebal yang tak
mampu kurobohkan. Aku bisa lari dari seseorang. Tetapi aku
tak akan pernah bisa lari dari kenyataan!"
"Lalu Uwa Del terjerumus lagi."
"Aku kehabisan uang. Itu mulanya. Kemudian,
pengaruh suntikan silikon yang pernah kujalani, makin terasa
akibatnya. Suntikan itu... Eh, apakah kau tahu apa yang
kumaksud?"
"Tahu sedikit. Dari seorang sahabat di rumah sakit
Ciamis," lalu Supriyanto menceritakan secara ringkas
pembicaraannya dengan dokter bedah yang ia maksud.
"Apakah papa juga mengetahuinya?"
"Tidak, nak. Suntikan itu kujalani, memang setelah
aku bertemu lagi dengan ayahmu. Begitu aku dikucilkan dan
dikutuk habis keluarga ? aku jatuh sakit cukup lama, cukup
parah. Dengan bantuan beberapa teman, aku dapat sembuh
kembali. Tetapi setelah itu, aku mulai lupa menjaga diri,
menjaga kondisi ? karena aku sudah hilang harapan. Dengan
cepat, tubuhku yang kurus kering karena sakit, berubah jadi
gemuk menyebalkan. Wajahku pun tampak semakin jelek.
Laki-laki yang sebelumnya bersedia mencium telapak kakiku
untuk kuhadiahi kenikmatan jasmani, pelan-pelan berpaling
pada perempuan lain. Keuanganku dengan sendirinya
terancam. Dan sebelum aku habis betul, kuturuti anjuran
seorang teman untuk menjalani suntikan silikon itu. Pada241
saat itu, belum dikenal adanya silikon padat, apalagi
pembedahan plastik.
Dokter yang merawatku dengan tarif sangat mahal
berkata kalau aku beruntung punya pola dasar wajah yang
dari sananya sudah cantik. Ia mengusulkan pembuangan
lemak. Aku menolak. Karena dengan suntikan silikon aku
dapat merubah bentuk-bentuk tertentu di wajahku. Aku
ingin tampi sebagai seorang yang baru!
Waktu aku masih sakit, aku bersembunyi dari
ayahmu. Tak ingin aku menyusahkannya. Setelah aku
sembuh, tiba-tiba aku dijangkiti suatu keinginan yang luar
biasa. Suatu hasrat yang tak bisa kukendalikan. Aku jelek dan
menyebalkan lelaki. Lalu aku kuatir, ayahmu akan bersikap
serupa. Maka dalam persembunyianku, suntikan silikon
itupun kujalani. Dengan harapan, ayahmu ? seperti juga
banyak lelaki lainnya, akan tetap mengagumiku, tetap
mengejar aku, tak akan pernah meninggalkan aku lagi. Tahu
apa yang terjadi, setelah kami bertemu kemudian?"
Supriyanto menggelengkan kepala.
Delila tidak melihat gelengan kepala ponakannya. Ia
tengah ditelan lamunannya. Katanya: "Ayahmu sempat
jengkel. Dia bilang... ia lebih menyukai wajahku yang lama.
Mengapa kau jadi macam ini, Del? Kau apakan wajahmu,
Del? Aku tetap merahasiakannya. Karena toh pada akhirnya,
ia juga menyukai penampilanku yang berbeda. Tepatnya,
bagaimanapun juga penampilanku... hati ayahmu
terhadapku. Tak pernah berubah."
Delila lagi-lagi menarik nafas panjang. Katanya:
"Kembali pada pertanyaanmu semula. Aku kehabisan uang,242
sedang pengaruh suntikan silikon itu kian terasa. Bukan saja
menimbulkan perasaan sakit. Tetapi wajahku juga semakin


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembem, hampir-hampir mirip monster..."
"Mirip nenek sihir!" Supriyanto nyelutuk, syukur
cuma di hati.
"Maka dengan sisa uang yang masih kumiliki," lanjut
Delila kembali. "Aku kemudian pulang lagi ke Jakarta. Aku
pergi ke sebuah klinik di kawasan Pluit. Dokter di klinik itu
memeriksa wajahku, meneliti perkembangan tubuhku.
Kemudian ia bilang, cairan silikon itu telah menyatu, telah
bersenyawa dengan daging, otot, sel-sel darah, urat-urat
saraf. Memang masih dapat dibedah plastik, tetapi hasilnya
tidak dapat ia jamin. Selain itu, tarifnya sungguh membuat
aku sakit jantung. Maka aku kembali lagi ke Bandung.
Berusaha keras mengumpulkan uang untuk dapat menjalani
bedah plastik. Tetapi aku kemudian dirampok orang. Aku
jatuh ke tangan seorang germo, yang memaksaku kawin
dengannya tetapi kutolak mentah-mentah. Dia menghinaku
pula, jadi aku lekas-lekas menyingkir. Semenjak itu, aku
semakin jatuh, semakin terperosok... Dan aku sudah hampir
tidak mengenal lagi siapa diriku sebenarnya, ketika kau
datang ke gubukku yang mesum di pinggir rel kereta api
itu..."
Supriyanto tidak menceritakan bahwa ia telah
membalaskan sakit hati Delila pada sang germo. Ia cuma
berkata: "Aku gembira dapat menemukanmu."
"Betapa besar terima kasihku padamu, Supriyanto.
Dan ketahuilah, meski kekasihku sudah mati, aku masih243
dapat menikmati kebahagiaan dengan adanya kau, kakakmu,
dan ibumu... Rosmalinaku sayang, Rosmalinaku malang."
Namun Delila sendiri sudah mengaku. Di dalam ia
hancur, bobrok, busuk. Kenyataan itu tak dapat ia bantah.
Kebahagiaan yang dinikmati Delila tanpa kehadiran
kekasihnya, cuma ia nikmati sekitar setengah tahun. Suatu
malam, tanpa ada pertanyaan sebelumnya, Delila meninggal
dunia di tempat tidurnya. Dan ia meninggal jelas penuh
dengan siksaan azab sengsara. Rupanya malam itu seisi
rumah sudah tidur. Dari sejumlah petunjuk yang dipelajari
Supriyanto setelah diberitahu mengenai kematian Delila,
dapat diambil gambaran peristiwanya sebagai berikut: Delila
mengambil air minum ke dapur untuk melancarkan pil-pil
yang harus ia telan. Di dapur, ia merasakan sakit pada bagian
dalam tubuhnya. Gelas berisi air masih sempat ia letakkan di
meja dapur. Gelas itu terguling, isinya tumpah. Kemudian ia
merayap ke kamar tidurnya. Ia melewati kamar tidur
Rosmalina, namun entah mengapa tak mau minta tolong
pada adiknya itu. Ia merayap terus ke kamar tidurnya sendiri.
Sempat menjangkau ples berisi pil namun terjatuh dari
tangannya. Tubuhnya lalu mengejang dengan hebatnya. Ia
mati dengan sebelah tangan mencengkeram kaki tempat
tidur. Sebelah lagi masih berusaha menggapai pil-pil yang
berserakan. Matanya melotot hampir keluar dari rongganya.
Mulut menyeringai seram, pertanda betapa mengerikan
azab yang harus ditanggungnya.
Dokter yang memeriksa jenazahnya kemudian
menjelaskan: "Dia rupanya ingin meninggal tanpa
menyusahkan orang lain."244
Sungguh suatu keajaiban. Rosmalina tidak histeri
karenanya. Ia pandangi jenazah kakaknya, lantas berkata
pada anak-anaknya: "Delila kini sudah bertemu dengan
kekasihnya."
Setelah mengucapkan pernyataan yang lugu itu,
barulah Rosmalina meneteskan air mata.
*** Dua puluh enam
Delila tidak pergi begitu saja. Ia sangat berterima
kasih pada ponakannya, dan ingin membalasnya. Delila
diam-diam mengerjakan sesuatu menjelang akhir hayatnya.
Sesuatu yang mestinya semenjak dulu-dulu dikerjakan
sendiri oleh ponakannya, Supriyanto.
Di rumah ada telepon. Jadi Delila bebas
berhubungan ke luar. Saking seringnya, Rosmalina pernah
menyindir: "Asyik benar. Dengan siapa nih? Pacar ya?"
Jawab Delila pendek saja: "Teman lama."
Rosmalina beberapa kali menerima telepon yang
aneh. Ia mengatakan pada kakaknya: "Tadi ada yang
menelepon. Setelah kubilang kakak masih tidur, telepon
lantas diputuskan. Dia bilang, namanya si Perkutut. Siapa
sih?"
Jawabannya sama: "Teman lama."
Uang, juga tidak jadi persoalan buat Delila meski ia
tidak lagi menjalani bisnis seksnya. Rosmalina tak pernah245
lupa memberi. Mulanya ditolak oleh Delila. Tetapi Rosmalina
selalu ngomel: "Habis? Dibelikan kebaya, maunya rok
terusan. Dibelikan sandal kulit, maunya sandal jepit.
Dibelikan makanan enak-enak, maunya yang dibuatkan
Marni. Sudah, terima saja uang ini. Beli sendiri deh
keperluanmu biar cespleng!"
Suprihatin pun tak lalai memberikan uang. Kalau
ditolak, Suprihatin marah-marah. "Uwa Del ini bagaimana
sih? Baiklah. Uwa Del menolak uangku. Jadi lain kali, jangan
harap Uwa Del kuperkenankan bermain-main dengan
cucumu!"
Yah, mau apalagi? Delila sebenarnya tidak
membutuhkan uang setelah ia tinggal menetap dengan
Rosmalina. Namun begitu ia teringat untuk membalas budi
baik ponakannya, tiba-tiba ia menjadi boros dengan
uangnya.
Hanya Marni seorang yang tahu untuk apa uang itu
dipergunakan majikannya. Pelayan yang setia itu menutup
mulutnya rapat-rapat kalau ditanya. Sehingga Markus
misalnya, seringkali dibuat tak habis mengerti. Mengapa
Marni bertengkar hebat dengan seorang lelaki tua bangka
tetapi perlente dan bertampang pengusaha. Atau pada siapa
Marni berkunjung, dan mengapa setiap kali habis berkunjung
Marni memperlihatkan wajah atau sikap yang teramat
serius. Markus hanya tahu bahwa ia beberapa kali dipanggil
Delila. "Nih, uang untuk beli bensin, beli rokok. Tapi tolong
ya antarkan Marni ke suatu tempat." Dan ketika suatu hari
Markus penasaran menguntit Marni masuk ke sebuah gang
sempit berliku-liku, dengan maksud ingin menemani ? eh,246
malah ia dimarahi habis-habisan oleh pelayan itu. Di
belakang hari, barulah Markus diberitahu Marni: "Non Del
lebih dulu ingin memastikan dugaannya tidak meleset.
Setelah semua jelas, nanti baru aku boleh buka rahasia..."
Mengenai laki-laki tua bangka yang naik pitam itu, Marni di
belakang hari menjelaskan: "Ya, siapa pula yang tidak naik
pitam kalau ditanya: Benarkah aku sudah dicerai oleh bini
mudamu yang cantik itu?!"
Setelah terbukti dugaannya tidak meleset, Delila
gembiranya bukan main. Ia menginterlokal ke Ciamis:
"Supriyanto. Maukah kau kuajak bertemu dengan
seseorang?"
"Siapa, Uwa Del?"
"Wah. Kalau kuberitahu sekarang, nggak rame dong.
Pokoknya kalau mau, datanglah ke Jakarta."
"Bilangin dong!"
"Nggak usah ya!"
"Uwa Del kok gitu ya?"
"Habis? Kau sih. Jual mahal. Mau nggak?"
"Kalau Uwa Del memaksa..."
"Tak ada paksaan, nak. Aku juga cuma ngajak kok."
"Iya deh. Tetapi mungkin aku baru bisa ke Jakarta
akhir bulan depan. Nggak apa-apa kan?"
"Kutunggu, Supriyanto!"
Tetapi macam-macam penyakit yang sudah
membusuk dalam tubuh Delila tidak mau menunggu. Ia
keburu meninggal sebelum sempat Supriyanto memenuhi
ajakannya. Namun ia tidak mati sia-sia. Diam-diam ia247
mengerjakan sesuatu, ingin membuat keponakannya
tersayang itu surprise.
Memang surprise!
Sepulang dari pemakaman Delila, Supriyanto melihat
seseorang keluar dari kamar tidur dan ketika mata mereka
bertemu, Supriyanto merasa seakan tengah bermimpi.
Mulutnya terbuka, menyebut sebuah nama yang sering ia
panggil dalam mimpinya. Namun yang keluar dari mulutnya
hanya desahan nafas yang hampir tidak terdengar.
Orang yang berdiri di hadapannya, berkata lebih
dulu: "Maaf. Aku terlambat mengetahui Uwa Delila sudah
tiada. Aku baru datang, dan..."
Antara sadar dan tidak, Supriyanto bergumam:
"Pilihan mana yang kau ambil, Ossy?"
Yang ditanya, menjawab lirih: "Benih-benihmu.
Benih yang kau tanamkan di rahimku!"
Supriyanto menjilat bibir. Terbata-bata, ia bertanya:
"Laki-laki... atau perempuan, Ossy?"
"Laki-laki."
Supriyanto mendadak tersenyum. Katanya, bangga:
"Suprihatin pasti cemburu. Anaknya yang ketiga, lagi-lagi
perempuan!" Ia kemudian menyadari sesuatu, dan bertanya
dengan suara gemetar: "Mana dia, Ossy?"
"Siapa?" Ossy balas bertanya. Takut mendengar apa
jawaban Supriyanto. Ketakutannya lenyap seketika
manakala Supriyanto menjawab:
"Anakku. Mana dia?"
"Barusan kutidurkan di kamar," jawab Ossy, lembut.248
Supriyanto langsung menghambur ke kamar,
melewati Ossy yang mengawasi tingkah Supriyanto dengan
air mata berlinang. Demikianlah caranya mereka bertemu
kembali. Tidak ada ucapan-ucapan mesra, tidak ada
rengekan cengeng, tidak ada ucapan cinta. Ossy dan
Supriyanto bukan lagi Ossy dan Supriyanto yang dulu. Kini
mereka sudah lebih dewasa. Mereka juga sudah memasuki
lembaran hidup baru yang lebih matang. Ossy sebagai ibu,
Supriyanto sebagai ayah.
Itu terjadi, berkat Delila.
Dugaan bekas Primadona itu memang tidak meleset.
Lewat bantuan bekas teman-teman lama Delila memperoleh
alamat suami Ossy. Setelah itu, Marni yang mengerjakan.
Dengan menempuh resiko dipermalukan orang Marni
berhasil membuktikan bahwa sepulang dari Jogja dulu, Ossy
langsung tidak mau disetubuhi suaminya. Ossy sengaja
membuat macam-macam kegaduhan sehingga sang suami
akhirnya terpaksa menceraikannya.
Sesuai perjanjian mereka sebelum menikah, Ossy
meninggalkan rumah sang suami tua bangka tetapi kaya raya
itu, dengan hanya membawa pakaian miliknya beberapa
lembar, sedikit uang tabungan hasil menyisihkan uang
belanja dapur, dan beberapa gram perhiasan peninggalan
ibunya ? yang kemudian meninggal selagi menjalani
perawatan di rumah sakit jiwa. Berkat bantuan salah seorang
bekas teman arisan ibunya, Ossy diterima bekerja sebagai
pelayan toko. Gajinya tidak seberapa, tetapi cukuplah untuk
menghidupi diri sendiri. Ketika Marni berhasil melacaknya,249
Ossy masih bekerja di toko yang sama tetapi dengan gaji
yang lebih memadai.
Marni tidak langsung memperkenalkan diri pada
Ossy. Marni justru mendekati pelayan lain di toko itu. Setelah
dua tiga kali berbelanja ? apa saja, asal belanja ? Marni
menjadi akrab dengan si pelayan dan berhasil memancing
keterangan dari mulutnya. Oh dia? Kudengar sih sudah
janda. Apa, kawin lagi? Rasanya mustahil! Dilirik laki-laki pun
ia tak sudi...
Alamat rumah Ossy pun berhasil didapatkan Marni.
Ossy menyewa kamar di sebuah rumah petak setengah
tembok dan suasana sekelilingnya serba hiruk pikuk. Gang
masuknya sempit, berliku-liku pula. Sekali kita kurang teliti,
tahu-tahu sudah terjebak masuk dapur rumah orang. Pemilik
rumah percaya bahwa Marni ?ingin mencari kamar untuk
seorang cucu yang suka hemat?; tetapi sayang semua kamar
sudah terisi, entah lain kali. Oh, yang kamarnya resik itu?
Yang menempatinya bernama Ossy. Oh dia memang sudah
janda, kok tahu? Tidak-tidak, ia bukan perempuan semacam
itu. Biar sudah janda, masih muda, cantik pula lagi ? wah ia
akan berubah galak bukan main kalau ada laki-laki yang cobacoba mengganggu!
Setelah lengkap sudah keterangan yang
diperolehnya dan yakin semua keterangan itu benar, barulah
Delila sendiri yang turun tangan. Ia mendatangi Ossy secara
pribadi, memperkenalkan siapa dirinya, dan bertanya
apakah Ossy masih mencintai Supriyanto.
Jawab Ossy: "Kalau tak cinta, benih-benih yang ia
tanam di rahimku tak akan kubiarkan hidup."250
"Kau bersedia kawin dengan dia, Ossy?"
Ossy mengeluh: "Pertanyaan itu bukan untukku.
Pertanyaan itu lebih pantas diajukan pada ponakan ibu!"
"Aku dapat menjamin dia," sahut Delila tegas.
"Tinggal jawaban dari engkau yang menentukan."
"Mana mungkin aku kawin dengan dia? Aku janda.
Aku miskin. Ibuku pernah masuk rumah sakit jiwa!"
"Kau janda atau kau miskin, bukan persoalan. Karena
kalian sudah terikat pertalian bathin dengan lahirnya anak
itu. Soal ibumu pernah masuk rumah sakit jiwa, memang
agak rumit. Tetapi kupikir, orang yang sakit jiwa, jauh lebih
terhormat dari seorang pelacur!"
"Pelacur? Siapa yang melacur?"
"Aku. Uwanya Supriyanto!" Delila menahan nafas.
"Kalau keterusteranganku ini membuat kedudukan
ponakanku jatuh di matamu, silahkan. Lupakan sajalah
Supriyanto..."
"Hal itu tak merubah apa-apa," jawab Ossy, tegas.
"Kau yakin?"
"Yakin."
"Kau siap menerima Supriyanto?"
"... aku siap menerima ayah dari anakku."
"Terima kasih, Ossy."
"Akulah yang berterima kasih."
"Bukan kau. Tetapi aku. Sebelum aku meninggal ?
dan aku yakin hal itu tak akan lama lagi ? aku ingin melakukan
sesuatu untuk ponakanku. Selamat tinggal, Ossy."
"Selamat jalan, Uwa Delila."251


Primadona Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka saling melambai. Lalu berpisah. Untuk
selama-lamanya!
*** Ketika menziarahi makam Delila, Ossy menangis dan
berkata tersendat pada Supriyanto: "Aku baru sekali
mengenalnya. Itu pun cuma sebentar. Tetapi harus kuakui,
aku sangat berterima kasih dan sayang padanya."
Supriyanto tersenyum. Katanya: "Itulah buktinya,
Ossy. Bukti, bahwa seorang Primadona!"
Mereka kemudian berlalu. Berlalu bersama
datangnya angin senja yang sepoi-sepoi basah. Angin senja
itu membelai lembut dua batu nisan yang letaknya
berdampingan. Di batu nisan yang satu, tertulis nama
Bambang Prakoso Joyodipuro. Di batu nisan sebelahnya
tertulis nama, yang akan membuat orang harus berpaling
sekali lagi untuk kembali membacanya: Delila, Primadona
Tersayang.
Seorang Primadona memang harus dilihat sekali lagi.
Lagi.
Dan lagi.
*** TAMAT
Koleksi Kolektor EBook252
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu Padang Bulan Karya Andrea Hirata Perangkap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini