Rose Karya Sinta Yudisia Bagian 1
Sinta Yudisia
R 0 S E/Sinta Yudisia,
Ebook by syauqy_arr
' Ucapan &
Terima Kasih
Tuhanku, setiap detik dan dzarrah hanyalah
karunia-Mu. Muhammad Nabiku, terima kasih
telah meninggalkan jejak yang meski belum dapat
sempurna diikuti, selalu kami mencari kisah
hidupmu kembali, ketika mata mulai rabun buta
dan hati mengeras Ioba.
Abah, Ummi, Mama tercinta: orangtua yang
tiada henti mendoakan kami. Suamiku tersayang,
yang rajin mendampingi malam-malamku di depan
layar dengan segelas coklat hangat atau
membangunkanku, "Katanya mau ngetik, Mi?"
Inayah, terima kasih untuk kritikmu dan
diskusi panas kita. Ayyasy, terima kasih untuk
kelucuanmu. Ahmad, terima kasih untuk tunduk dan
taatmu. Nis, terima kasih untuk surat?surat kecilmu
yang kadang kau selipkan di bawah pintu atau
diletakkan di atas meja.
Semua kru lndiva Media Kreasi: Mbak Afifah Afra, Mbak
Saptorini, Mbak Asri Istiqomah, dan yang lain nya. Untuk para editor
dan endorser.
'l'eman-toman FLP di mana saja.
Teman-teman PELITA.
Teman-toman yang senantiasa mengapresiasi dan mengkritik
karyaku.
Terima kasih semuanya, hanya Allah SWT yang dapat
membalasnya.
Penulis,
% 4, Episode 1
Hujan menderas.
Langit kelam tanpa satu bintang gemintang
mencumbu bulan. Deru angin mengusik atap,
pepohonan, daun, batu, hingga orang panik mencari
tempat berteduh. Banyak yang menggerutu,
sebagian bersuka cita. Hujan menghapus panas
yang membakar sejak siang. Bau segar tanah basah
menyeruak ke rongga dada. Malam Minggu, malam
yang dinanti sekian banyak insan muda. Ada yang
tetap melaju di jalan raya menghabiskan malam
berlalu, berlekat?lekat di atas sadel sepeda motor
sembari bercumbu tanpa hiasan malu. Sebagian
terpekur di emper toko menatap rinai hujan yang
tiada habis, menyumpah dingin, merindukan
semangkok sekoteng dengan taburan kacang.
Becak, lesehan, blangkon, keraton, dan
Malioboro.
Yogyakarta, salah satu tempat dimana masa
lalu yang cemerlang berpadu suasana intelektualitas
10 dan kecepatan teknologi. Masih ditemukan taman sari dan gapura,
masih dapat dinikmati alu n?alun luas dan sepasang pohon beringin,
aroma gudeg di Wijilan, bakpia hangat di ]alan Mataram. Gedung
pusat perbelanjaan atau lembaga pendidikan, silakan pilih. Ramah
masyarakat atau tabu pergaulan; bergulat bersama tradisi yang
dicoba untuk dilestarikan.
Yogyakarta, perpaduan masa lalu dan masa kini. Keraton serta
darah bangsawan menjadi penghormatan tulus para abdi dalem yang
sepenuh hati membaktikan hidup. Simbol?Simbul kerajaan tak akan
pernah lekang dari kehidupan keseharian. Menyusuri jalan?jalan di
wilayah Kotagede, serasa memasuki lorong-lorong Kerajaan Mataram
yang berliku, berlapis labirin, benteng yang menipu para musuh.
Satu rumah kecil dengan halaman cukup luas, terselip di antara
rumah-rumah tua yang dipugar mengikuti era modernisasi. Tak
jauh dari Malioboro, cukup berjalan kaki dari Stasiun Lempuyangan.
berada di tengah-tengah lingkungan santri yang berpadu dengan
kios-kios kecil penjual voucher telepon seluler.
Rumah itu seperti bangunan khas Belanda akhir abad
kedelapanbelas. Separuh dinding batu granit hitam, sebagian besar
dinding dilengkapi jendeIa-jendela besar dengan kotak-komk kaca
dan satu lagi pelapis daun jendela yang terbuat dari jeruji-jeruji
kayu. Saat pagi menjelang, cahaya matahari berlimpah ruah
membasahi lantai-lanrai tua keabuan yang tetap licin cemerlang.
Rumah itu berlangit?langit tinggi. Meski tanpa air conditioner;
nuansa sejuk tetap mengalir meski musim kemarau sekalipun.
Halaman lapang di depan dan samping, tumbuh pohon mangga
dan sepasang pohon alpukat Konon, alpukat tak akan berbuah jika
hanya ditanam sebatang. Meski ulat bulu hitam berambut lebat
menyebalkan menghuni ranting-ranting. buah alpukat yang ranum
legit tetap terpelihara selama belasan tahun.
Dedaunan rimbun bagai payung, menahan laju cahaya
menembus langsung, menciptakan celah berdekorasi yang
meninggalkan jejak siluet di dinding-dinding, lantai, jendela, yang
batas-batas dimensi berada.
Rumah bergaya Belanda itu tak tampak megah, namun tetap
kokoh. Usia tua semakin membuatnya berbeda, menyimpan misteri
sejarah yang bisu, tanpa suara meski dinding-dindingnya mencoba
banyak bercerita.
Tersedia beberapa kamar luas di dalamnya.
Kamar paling mungil dihuni seorang perempuan paruh baya,
Bu Kusuma, yang disebut 'mama' demikian ribut dan silih berganti
oleh keempat putrinya.
Malam, hujan, hawa dingin adalah alasan tepat untuk
mendengkur di bawah selimut Apalagi setelah lelah menyelesaikan
tugas rumah seharian. Mama tak dapat memejamkan mata. Bolak
balik berjalan ke arah jendela, bagai menghitung tiap tetes hujan.
Mama menyingkap sedikit tirai jendela. Menempelkan hidung ke
kaca, mengembuskan napas, mengamati embun yang
membuktikan dirinya masih terjaga. Jendela terpercik siraman
hujan. Hatinya suram.
Sayup, di antara derai hujan yang membentur daun dan atap
rumah, suara tawa ceria memecah di ruang tamu. Gurauan. Cerita.
Sindiran. Lalu, tawa meledak kembali. Kegembiraan yang tak
sepadan dengan nuansa muram malam Minggu. Sesekali Mama
mengerutkan kening, mempertajam telinga, mencoba menangkap
pembicaraan yang berada di balik pintu kamar. Sejurus kemudian,
ia mengabaikan, mencoba berkonsentrasi kembali pada rinai hujan.
Di sisinya, seorang gadis menanti patuh.
"Kenapa, Ma?" tegur Melati lembut. la menangkap helaan napas
panjang. "Khawatir, ya? Paling?paling Mbak Dahlia nunggu hujan
reda di depan toko."
"]am sembilan lebih," Mama mendesah, menggantung suara,
11 12 menandakan kekhawatiran yang sudah mendekati ambang batas.
Entah kali keberapa matanya menyambar detik jam dinding dan arloji.
"Malam Minggu ramai, Ma! Mbak Dahlia pasti bukan satu?
satunya yang terjebak hujan. Tenaaaang. Atau Melati jemput Mbak
Dahlia aja?"
Mama menggeleng. perlahan merebahkan tubuh ke
pembaringan. Bukan hanya hujan deras yang membebani pikiran.
Beliau sungguh berharap malam ini berlalu tanpa keributan apaapa. "Coba kontak ke hape-nya, Mel."
"Nggak aktif, Ma."
"Kenapa, ya?"
"Baterainya habis, mungkin. Atau di-silent tanpa getar."
Mama sudah tahu jawabannya, batin Melati. Hanya butuh
jawaban untuk menguatkan.
"Sini, Melati pijitin kakinya."
Mama memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Pijatan
tangan mungil Melati tak cukup melunakkan otot?otot yang
menggumpal, tapi kulit yang menyentuhnya menghantarkan kasih
sayang yang menghangatkan. Mama tersenyum clikulum. Beberapa
detik berlalu dalam kedamaian, sebelum badai pertengkaran
mengintip di celah waktu.
Braakkkk.
Melati terkesiap. Mama menajamkan mata dan telinga, leher
menegang.
Pintu berdebam. Bukan disebabkan angin, seolah sengaja
dibanting. Selang satu menit, suara yang sama terdengar. Lebih
berirama, lebih menimbulkan efek kejut, lebih menggelegar
tentunya.
Syuuut, braaa kkk!!
Mungkin engselnya bahkan bengkok.
Disusul suara kasar gerakan membongkar buku-buku dan
majalah yang menimbulkan suara kacau berdebum. Tumpukan
CD berdenting ke lantai, tempat pensil jatuh berkelontangan
menghamburkan isinya yang berserakan. Langkah-langkah kaki
diseret kasar. Seraut wajah masam menyembul di pintu.
"Terlalu!" umpat Mawar. "Dari Maghrib nggak pulang?pulang.
Ngomongin apa aja, sih? Kalau hujan begini, tambah malam lagi
pulangnya!"
"Ada masalah 'kali, Mbak, yang harus dibicarakan," Melati
menenangkan.
"langan sok bego, Mol! Masalah apa? Aku nggak ambil pusing
apa kata orang. Yang aku pikirkan perasaan Mbak Dahlia. Gimana
kalau dia pulang capek-capek cari uang, terus lihat adiknya,
cekikikan ketawa ketiwi, hahahihi dikerumuni cowok?cowok?"
Mama clan Melati berpandangan dalam diam.
"Apa, sih, maunya Mbak Cempaka?" Mawar masih mengomel
"Tinggal pilih salah satu, lalu beres. Nggak seperti ini. Malam Minggu
gonta-ganti yang datang, belum yang telepon. Telepon rumah,
telepon hape. Yang sms lebih nggilani, tengah malam juga nggak
berhenti-berhenti!"
"Tapi, nanti jadi ribut kalau caranya begini," Melati berbisik,
mendesiskan 'ssttttt' yang panjang sembari meletakkan telunjuk
di jari.
"Biarin! Biar tahu rasa, tuh, cowok kalau sudah waktunya balik.
Dihalusi nggak bisa, mending kasar aja sekalian. Daripada berteletele malah bikin perasaan jadi nggak karuan, bikin dosa!"
"iya, Mbak ..., Melati juga nggak suka. Tapi coba ...."
13 14 Mawar dan Cempaka, bunga yang sama harumnya di tamantaman kedhaton. Dipelihara, ditanam tepat di bawah jendela para
putri agar tiap kali membuka jendela di pagi hari, menguaplah
aroma surgawi. Wangi itu menenangkan, mengingatkan jati diri
sebagai gadis yang harus menjaga nama sewangi bunga-bunga
sekarkedhaton.
Harapan Mama saat memberi putri?putrinya nama bunga agar
kelak sewangi dan terhormat sebagaimana rupa aslinya. Tak
disangka, nama tak selalu mencerminkan pemiliknya. Tom dan ]eny,
Melati membayangkan kedua kakaknya. Anjing dan kucing,
demikian Dahlia menjuluki dua adiknya.
Pintu kamar Mama terkuak lagi tiba-tiba.
"Ma ' suara Cempaka datar, "Teman-teman mau pulang."
Mama tersenyum, lalu beranjak. Wajah cemas dan sikap
tenangnya tak beriringan. Sekilas, anggukannya terlihat gugup.
Di ruang tamu, menanti Yogi, Ferry, dan Arman yang bersikap
canggung. Tawa renyah mereka berganti rauttegang dan keinginan
untuk melesat pergi.
"Pulang dulu, Tante," ujar Ferry sopan.
"Iya. Maaf kalau keadaan rumah agak mengganggu," sahut
Mama lembut, "Maklum, rata-rata anak Mama berwatak keras.
Keturunan ayahnya barangkali."
Mereka tertawa bersama.
"]angan kapok kemari, ya?" pinta Mama.
"Ooo, nggak, Tante," bertiga menjawab kompak.
Cempaka tersenyum kecut. Tiga pemuda bertubuh tegap dalam
pakaian serasi melaju menembus hujan menuju kendaraan
masing-masing. Cempaka melambaikan tangan dengan perasaan
tak enak. Begitu punggung tetamunya tak tampak, tubuhnya
melesat ke dalam, menuju pembuat onar yang pastilah orang yang
itu-itu juga.
"Norak! Kampungan!" labraknya. "Mau kamu apa, sih? Heh?"
"Yaaah nggak ada apa-apa," sahut Mawar santai. la berbaring
di lantai beralaskan dua lengan.
"Kayak bukan anak sekolahan aja. Nggak etis, ngerti nggak?
Pakai menggebrak-gebrak pintu. Sopan sedikit kenapa?!"
"Lho, yang nggak sopan itu siapa?"
"Kamu! Berlagak lugu lagi."
"Memangnya bertamu nggak tahu waktu itu sopan? Ketawa
ha-ha hi-hi sampai kedengaran ke mana-mana itu baik?"
"ini malam Minggu. Mereka cuma ngobrol biasa dengan aku.
Nggak ada yang berlebihan. Lagian, kenapa kamu yang heboh,
padahal Mama nggak kenapa-kenapa?"
"Nggak berlebihan itu kata Mbak Cempaka. Nyatanya, yang
perasaannya nggak enak bukan cuma aku. lya kan, Ma, Mel?" Mawar
mencari dukungan.
"Nah, betul, kan? ltu cuma kecurigaanmu saja. Apa kamu sedang
kesal karena malam Minggu begini nganggur?"
"Mbak!" Mawar mulai terbakar emosi. "Aku sudah berusaha
sabar dari tadi. [angan mancing-mancing, dong!"
"Sudah ..!" lerai Mama, meletakkan telunjuk di mulut, berbisik,
"Sudah
"iya nih, nggak kasihan Mama, ya?" sambung Melati.
"Diam kamu, anak kecil!" bentak Cempaka. Wajah cantiknya
menyala, tanda tersinggung berat
"Cempaka, Mawar, hentikan! Mama nggak suka lihat kalian
bertengkar tiap hari. Malu sama tetangga. Sudah janda, anaknya
ribut melulu!"
15 16 Semua terdiam dalam posisi siap tempur.
Cempaka berkacak pinggang, Mawar mengepalkan tinju. Melati
merentangkan kedua belah tangan.
"Masuk kamar masing-masing. Mama mau shalat Isya' dulu
biar nggak mendidih isi kepala!"
Mama mengambil langkah lebar menuju kamar mandi.
Cempaka melemparkan pandang kebencian sembari menggebrak
pintu, berusaha menimbulkan suara jauh lebih dahsyat dari apa
yang mampu ditampilkan Mawar. Tanpa mau kalah satu seri pun,
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mawar balik menggebrak pintu. Menendang sandal
Saat Mama tengah menunaikan shalat, pintu pagar berderit.
Di antara derai hujan, terdengar ketukan pintu berulang-ulang dan
suara salam diucapkan. Dahlia muncul dengan rambut basah.
Tubuhnya kuyup, bibirnya membiru kedinginan. Meski demikian,
celotehannya terdengar lega dan penuh semangat Tangannya sibuk
membongkar isi tas kresek yang dijinjingnya saat pulang. la
memanggil seisi rumah dengan suara nyaring.
"Maaa ...! Cempaka, Mawar, Melati, ini ada gorengan. Masih
hangat. Ayo, makan sama-sama sambil nonton televisi!"
Seforum dengan Mawar? Amit?amit, umpat Cempaka dalam
hati.
Kecentilan, kayak yang paling cantik sekampung, omel Mawar.
Juga tak terucapkan.
Rasanya masih enggan. Pertempuran yang baru saja meninggi,
memanas, belum menuju puncak dan berbakti hantam, tiba-tiba
harus mengalami gencatan senjata. Feromon Mawar dan Cempaka
terlaniut di ubun-ubun.
Tapi, mengingat Dahlia telah susah payah membawa oleh?oleh,
tiga adiknya mau juga berkumpul di depan televisi. Hanya Mama
yang masih hanyut dalam khusyuknya shalat Matanya bergenang
air. Hati siapa tak perih menyaksikan putri sulungnya banting tulang
mencari rezeki? Tak semua adiknya punya perasaan peka. Andai
Dahlia pulang lebih cepat, tentu hatinya terluka melihat kondisi
Cempaka melewati malam Minggu penuh keceriaan. Berbeda
dengan dirinya yang harus bekerja hingga larut malam. Mereka
sama-sama gadis dewasa yang mekar dan ranum.
Mama menyusut mata. Harusnya ia saja yang bekerja, bukan
Dahlia. Bukannya perempuan itu tak mencoba, tetapi beberapa
kali tubuhnya jatuh sakit lantaran tak sanggup berjaga malam.
Katering makanan memang menjanjikan untung lumayan. Namun,
tanpa fisik yang tangguh, mustahil usaha itu mampu dijalankan
maksimal. Beberapa kali mengambil orang kepercayaan, tetapi
karena bisnis mereka belum kokoh, uang yang didapat hanya
berputar untuk modal dan gaji pekerja. Untuk sementara waktu,
Mama memutuskan berhenti.
Dahlia lah yang berinisiatif mengambil alih keuangan keluarga.
*** Melati lebih banyak melamun di sekolah. Senin seharusnya hari
yang membuka gerbang semangat, pelajaran menantang dan guruguru cerdas yang mampu mengajar dengan baik. Pelajaran
Matematika Pak Mahmud lewat begitu saja. Rasanya tidak satupun
kalimat atau angka yang tersangkut di kepala. Padahal Pak Mahmud
guru yang galak, tapi disukai lantaran cara menyampaikannya yang
tepat sasaran hingga siswa mudah memahami. Apalagi Bahasa
inggris yang diajarkan Bu Susi. Sampai-sampai sempat terlontar
tanya, '?lreyou here Ms. Melati?"
Saat bel istirahat berbunyi, Erisa menghampiri.
"Kayak orang hilang ingatan begitu, Mel?" tanyanya heran.
"Ah, masa," elak Melati. "Biasa aja, kok."
"Orang juga kelihatan kalau lagi serius, sakit, atau nggak waras."
17 18 "Heh, sembarangan!" sewot suara Melati.
"l lahis kamu sering bertopang dagu dengan mata kosong. Mulut
menganga lagi."
"Eh, masa aku begitu, sih?"
"Memang iya!"
"lh, amit?amit jabang bayi," Melati bergidik sendiri.
Erisa menjejeri duduk di bangku warung Bu Padmo.
"Punya masalah? [angan dipendam sendiri, bisa stres nanti.
Aku, sih, nggak bisa ngasih jalan keluar, tapi bercerita bikin
perasaanmu plong, lho."
Melati diam. Erisa memesan dua piring lotek, makanan khas
Yogya, mirip pecel
"Ayo, dimakan," katanya ketika Bu Padmo telah menghidangkan.
"Aku, kan, nggak pesan."
"Alaaah, sudah. Nanti aku yang bayar."
Melati makan juga sepiring.
"Ada apa, sih, Mel?" Erisa penasaran.
"Anak Kelas Dua SMA, bisa nyambi kerja di mana,ya, Er?" Melati
balik bertanya.
Erisa mengernyitkan dahi. Sedang ada masalah keuangan
rupanya. Setahu dirinya, Melati memang dari kalangan biasa, tidak
kaya tapi juga tidak miskin. Hasramya untuk mencari uang sendiri
membuatnya heran. Bukankah masih ada kakak?kakaknya?
"Tahu enggak?" desak Melati.
"Eeeeh ya lagi mikir, nih."
Mereka terdiam sebentar.
"Memang, kakak?kakakmu kenapa? Ups, nggak keberatan, kan,
aku nanya begitu?"
Melati menghela napas.
"Berapalah pensiunan pegawai Departemen Agama," jelasnya
pelan. "Sejak Ayah meninggal, Mama banting tulang terima pesanan
kue, katering juga. Akhir-akhir ini, katering stop dulu, karena yang
banyak pesan memang anak-anak kos-kosan. Suka nunggak. Mama
menerima pesanan kue brownies, donat. Pokoknya, asal ada
kesempatan pasti diambil. Sampai akhirnya, Mama kena wasir
berat, duburnya sering berdarah. Terus, Mbak Dahlia melarang
Mama cari uang."
"Terus?"
"Yaa Mbak Dahlia berhenti kuliah dari UGM semester lima.
Sekarang kerja di perusahaan elektronik bagian gudang. Gajinya
nggak cukup buat mengatasi semua masalah di keluargaku."
Erisa terdiam cukup lama. Rasanya sedih mendengar kondisi
Melati sekaligus bersyukur atas keadaan dirinya. Sekalipun yatim,
tapi Mamanya pegawai negeri di Rumah Sakit Sardjito. Lagi pula,
ia anak tunggal ]adi secara materi no problem.
"Aku belum bisa kasih saran apa-apa. Coba nanti aku tanya
Mama, bagaimana?"
Melati mengangguksambil tersenyum lemah. Sebenarnya, pada
awalnya ia tak terlalu dekat dengan Erisa. Melati periang dan
cerewet, mungkin karena di keluarganya perempuan semua.
Sementara Erisa pendiam walau kalau sudah bicara bisa kocak juga.
Mereka jadi dekat setelah Ramadhan kemarin, ketika kepala sekolah
memberi hadiah kepada anak-anak yatim di sekolah. Sejak itu,
Melati dan Erisa melihat kesamaan dalam diri mereka: sama-sama
tak punya ayah.
Bel tanda masuk sebentar lagi berbunyi.
"Aku mau ke kamar mandi dulu," bisik Erisa. "Kamu ke kelas
"
aja. 19 20 Melati berjalan ke kelas sendiri. Punggungnya ditepuk orang
tiba-tiba.
"llei, Non, kok, bengong?" Elsa nyengir di sampingnya. "Ada
jumpa fans di Radio Salsa. ikutan nggak?"
"Eh, aku ...."
Elsa nyengir. Melati merasa serbasalah.
"Mmm, tapi
"Gratis, kok! Nggak bayar. Emang khusus buat Salsa club, tapi
it's okay. Kamu nggak bakal diusir, bareng aku aja."
Melati ragu-ragu dan terdiam berpikir.
"Masa nggak apa-apa?"
"lya! Rugi, lho, kalau nggak datang. Next time, belum tentu ada!
Ikut, ya!"
"
"lya, ya
Elsa mengedip menggoda. ia dan Melati satu kelas sejak SMP.
Persahabatan yang cukup lama terbina hingga mereka sama-sama
diterima di SMU Utama. Apalagi hobi mereka banyak yang mirip.
Suka baca, dengar musik, dan jalan-jalan. Elsa mencubit lengan
Melati yang terbengong-bengong.
"Catat, ya! Minggu pagi jam sembilan aku samperin kamu.
Bareng Ratna dan Vera juga."
"iya, deh!" wajah Melati berubah cerah. Sekali-sekali, refreshing
nggak apa-apa, kan?
Tak seperti anak lain yang justru lelah dan mengantuk pada
jam pelajaran terakhir, Melati malah terlihat bersemangat Ajakan
Elsa membuat pikiran sedikit terang. Erisa yang berada tak jauh
dari Melati, mengerutkan kening. Tadi, gadis itu gundah gulana,
tiba?tiba berbalik ceria.
*** Sabtu malam Minggu. Hujan.
llujan menyebalkan bagi mereka yang tertahan tak bisa
melanjutkan perjalanan. Tapi, titik-titik air yang beriak dari
troposfer pun menimbulkan romantisme yang indah. Beberapa
pasang kekasih bahkan nekat menembus basah sembari jemari
saling menggenggam.
Mawar mulai sewot, sejak sore telepon rumah terus berdering
menanyakan Cempaka. Kenapa tidak langsung ke ponselnya
sekalian? Serasa kurang puas jika tak mendapatkan informasi
terkini tentang Cempaka! Malam Minggu pasti segerombolan cowok
bertandang ke rumah. Sejak SMU, Mbaknya memang populer. ]ujur
Mawar mengakui, Cempakalah yang tercantik di antara mereka
berempat Badannya tinggi langsing, sangat proporsional.
Rambutnya hitam lebat dengan potongan yang selalu trendi, pas
sekali membingkai wajah. Sepasang alis indah menaungi mata yang
'damarkanginan', kata orang ]awa. Mata yang redup dan sayu, seperti
lampu minyak saat tertiup angin. Belum lagi senyumnya yang sedap
dipandang, dua lesung pipi muncul tiap kali ia berbicara.
Mawar sendiri bukannya tak cantik. Hanya saja, dulu Ayah
begitu mendamba anak lelaki. Begitu terobsesinya sehingga putri
ketiganya dididik cara laki-laki. Gesit, keras, rasional, dan berpikiran
praktis. Makanya, Mawar tidak suka dengan basa-basi para cowok
yang pinjam ini pinjam itu, organisasi ini organisasi itu, mengurus
ini itu bareng kakaknya, Cempaka. Celakanya, ia lebih nggak suka
lagi sikap Cempaka yang dinilainya plin-plan mengambil keputusan.
Yes or no!
"Memangnya aku kasih harapan apa sama mereka?" kilah
Cempaka tiap kali Mawar protes. "Mereka aja yang kege-eran.
Nggak mungkin aku usir, dong, kalau pada mau main."
Sebaliknya, teman Mawar dapat dihitung dengan jari. Bukan
21 22 pilih-pilih, tapi ia suka orang yang jujur. Yang dapat dipegang
bicaranya. Janji begini memang begini, tidak molor ke sana kemari.
Sabtu ini Mawar masih sendiri.
"Eh, rapi benar. Mau ngapain, Mel?"
"]alan-jalan aja ke Malioboro. Ikut, Mbak." ajak Melati.
"Nggak, deh. Kasihan Mama sendiri. Mbak Cempaka lagi nonton
Film bareng temen-temennya."
"Aku juga pingin nonton. Nonton, yuk, Mbak?"
Mawar menggeleng.
"Lagi nggak punya duit."
Melati menelan ludah.
"Ya, sudah. Benar, nih, nggak ikut?"
"lya, sudah sana. Tapi, jangan malam-malam. Eh, sama siapa
perginya?"
"Sama Ratna. Tuh, anak satu sekolah yang rumahnya di gang
enam."
"Ooo, ya, sudah. Hati-hati, Mel Jangan keganjenan. Ntar dicolakcolek sama cowok iseng. Malioboro malam Minggu begini, kan,
ramai."
"Yo-i. Bye, Mbaak ...."
Melati dan Ratna pergi ke Malioboro naik becak. Sekalipun
Ratna sering mengendarai mobilnya sendiri, bisa stres menghadapi
lalu lintas. Lebih enak dan santai di atas becak, menikmati
pemandangan bule bercampur baur dengan pribumi. Memang
ampun. ]alan macet karena semua orang ingin duluan. Belum lagi
warung?warung lesehan, penjual berbagai kerajinan yang
memenuhi trotoar. Di satu sisi, baju batik melambai, sandal, dompet,
lukisan hingga makanan kecil dengan harga yang kadang membuat
orang mati tercekik jika tak pandai menawar. Anehnya, orang
menikmati kerumunan dengan aroma keringat dan bau mulut
macam begitu. ]ujur, Melati paling malas berhimpit?himpitan, kalau
saja ia punya baju pantas untuk dikenakan di jumpa fans besok.
Kaos-kaosnya sudah usang, tinggal dua yang bagus. itupun terlalu
sering dipakai hingga mulai hilang warna asliya. Di mall Melati
kebingungan mencari baju yang pas dengan ukuran kantongnya.
Rata-rata di atas 200 ribuan semua.
"Gimana, nih, Mel?" Ratna mulai terlihat capek mutar-mutar.
"Mau beli yang mana?"
"Yang mana, ya?" Melati garuk-garuk kepala, ganti bertanya.
Ratna sudah beli satu. Baginya, tiap bulan beli baju tak masalah
karena orang tuanya pegawai bank. Tapi, bagi Melati, ini adalah
masalah besar! Bukan, bukannya ia tak ingat pembicaraannya
dengan Erisa Senin lalu. ia juga tak lupa Dahlia yang banting tulang
cari nafkah. ia juga ingat Mawar yang bengong di rumah sendiri
karena tak punya uang. Pun ia ingat benar, betapa ia ekstra hatihati membelanjakan uang yang diberikan Dahlia. Tapi, bagaimana,
ya? la ingiiin sekali punya satu t-shirt bermerek yang akan
membuat dirinya sedikit pede. Beli, enggak, beli, enggak,beli,
enggak yah, sekali ini saja. Akhirnya lolos juga lima lembar uang
50 ribu dari dompetnya bertukar dengan t?shirt manis bernuansa
lazuardi bercorak garis horisontal warna biru tua dan hitam.
Rasanya bahagia sekali. Minggu ini akan jadi pekan yang istimewa.
Ratna mentraktir bakso dan segelas es teler. Walau gratis, Melati
tak lega berbunga-bunga. Semakin bertumpuk rasa bersalah.
Kadang-kadang, manusia memang tak dapat memikirkan dirinya
begitu saja. Bulatan-bulatan daging meluncur melewati tenggorokan
tanpa rasa lezat Melati mendengarkan seksama bibir Rama yang
berceloteh ke sana kemari. Menceritakan betapa sepi rumah
besarnya yang hanya dihuni lemari-lemari jati eksotis. Dua
23 24 pembantunya lebih suka menonton televisi atau mengobrol
bersama pembantu lain. Papanya menghadiri meeting tingkat
tinggi. Konon kabar burung beredar, banknya akan dimerger. Mama
Rama sama gilanya dalam berbelanja, hingga punya komunitas
shopping sendiri. Meski berusaha menjadi pendengar yang baik,
tak urung ia mengabaikan beberapa bait pembicaraan karena
pikirannya melanglang sendiri. Melati merasakan dadanya
berdenyut sesekali. Ada, ya, orang yang begitu mudah mendapatkan
uang Hari sudah cukup larut ketika Melati pulang. Langit masih
menyisakan mendung.
Pintu pagar rumah berderit seperti biasa ketika Melati
menguak pelan-pelan. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Mbak
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cempaka belum pulang. Melati berjingkat masuk lewat pintu
samping. Berani-beraninya rumah tidak dikunci, gumam hatinya.
Untung, gang rumahnya selalu ramai orang lalu lalang, jadi lekas
ketahuan bila ada yang berniat jahat. Melati meletakkan barang
belanjaannya hati-hati di dalam kamar, lalu mencari penghuni
rumah. Televisi menyala dengan nyaring. Ups, Mawar tertidur
menonton sinema malam Minggu. lbu juga tertidur di mushala,
masih mengenakan mukena. Mbak Dahlia? Melati ke ruang tamu.
Hatinya trenyuh sekali menyaksikan kakaknya tertidur dalam
seragam kerja. Tangannya terkulai, matanya terpejam. Wajahnya
terlihat lelah. Rambutnya tampak lengket tertimpa tetesan hujan.
Tiba-tiba Melati merasa dadanya sesak. Perih.
"Mbak ," panggilnya pelan. Tak ada reaksi. Dahlia masih
terdiam.
"Mbak bangun. Pindah ke dalam. Nanti masuk angin."
Dahlia masih pulas. Melati mengguncang agak keras bahunya.
"Mbaaak ..."
"Eh, apa?" tergagap Dahlia bangun. "Oh kamu, Mel? Udah
pulang? Gimana jalan-jalannya? lh, jahat, ya, nggak ngajak-ngajak."
Melati tersenyum lemah.
"Mbak bawain gorengan, nih. Ada pisang goreng kesukaanmu.
Ayo, dimakan, nanti keburu dingin."
Tenggorokan Melati tersumbat. Sulit sekali berbicara, bahkan
untuk sekadar menelan ludah. Tiba-tiba ia rasakan dadanya
terhimpit lempengan baja yang berat, dingin, menekan.
"Mbak Cempaka mana, Mbak?"
"Belum pulang," Dahlia mengangkat bahu. la menguap.
"Capek, ya?" Melati memaksakan segaris senyum. Dahlia hanya
tertawa pelan.
"l.umayan," sahutnya ringan sambil mencomot gorengan. "Ayo,
dimakan, Me|. Rasanya kalau sudah sampai rumah tenaaang
banget"
Melati mengambil pisang goreng. Ia lalu duduk di samping
Dahlia setelah sebelumnya membuat segelas besar teh tubruk
untuk diminum berdua. Saat yang tepat untuk berbincang-bincang.
"Mbak Dahlia nggak punya pacar?" tanyanya polos.
Dahlia mengernyitkan dahi.
"Kok, nanya gitu, Mel?"
"Yaa, orang-orang, kan, banyak yang punya pacar kalau segede
Mbak Mawar. Rasanya aneh Mbak Dahlia belum punya."
Dahlia mengunyah dalam diam.
"Kadang Mbak sedih kalau ingat masa kuliah dulu," jelasnya,
jawaban yang sekilas tidak sesuai dengan pertanyaan Melati. "Tapi,
tiap kali ingat Mama, perasaan itu pupus. Mbak anak tertua, harus
mampu membantu mengatasi masalah. Toh, kalau aku ikhlas, Allah
pasti kasih ganti, kan?"
25 26 Melati tersenyum.
"Tentang pacar ...," Dahlia terhenti, berpikir sebentar, "Ada, sih,
yang coba-coba mendekati di kantor. Tapi, Mbak nggak ingin
berpikir tentang itu dulu ah Pokoknya kalian sekolah, kebutuhan
hidup terpenuhi. Baru nanti mikir yang lain-lain."
Melati memandang Dahlia.
"Mbak nggak marah sama Mbak Cempaka?"
Melati benar-benar meneliti kira-kira perubahan seperti apa
yang terjadi di wajah kakaknya jika terlontar pertanyaan itu. Tapi,
Dahlia tenang-tenang saja.
"Mungkin dia belum tahu masalah tanggung jawab, ya. Mogamoga suatu saat, Cempaka mau berpikir lebih dewasa."
Bersyukur sekali Melati mendengarnya. Lega bila ada anggota
keluarga yang mau memandang persoalan lebih jernih. Sekalipun
mereka semua secara diam-diam bisa memberi penilaian, tindakan
Cempaka cenderung mengabaikan perasaan orang lain. Tapi, sikap
Dahlia melahirkan situasi yang lebih menenangkan.
Melati ingin banyak berdiskusi. Apa saja. Tapi, malam ini bukan
waktu yang tepat, sepertinya.
*** Menjelang tengah malam, telepon rumah berdering. Semua mata
nyaris terpejam, kesadaran sedikit lagi terbuai di alam mimpi. Dering
telepati seluler menyentak tiba-tiba, diiringi nada getar yang membuat
kucingpun menggeliat, melompat menjauh. Mawar menggerutu. Siapa
lagi cowok kurang ajar yang mengganggu Cempaka? Dahlia meraih
bantal, menutup wajah kuat?kuat. Melati melakukan hal yang sama.
Hanya Mama yang kemudian terbangun duduk, mengernyitkan kening.
Selain terganggu oleh dering mendadak, beliau waspada akan
kemungkinan timbulnya perang susulan.
Beberapa detik merusak selera tidur, Mawar seketika tersadar
suara panggilan itu bukan tertuju pada Cempaka. Dirajamkannya
telinga. Telepon rumah dan telepon selulernya bergantian
bersuara. Siapa pula yang iseng di malam seperti ini'!
Enggan dijawabnya.
Matanya terbelalak, tubuhnya meloncat seketika.
ia yang hanya mengenakan celana pendek segera meraih
sarung, melilitkannya ke bagian bawah tubuh. Langkahnya
bergegas menuju ruang tamu, mengintip keluar jendela,
memastikan siapa orang-orang yang tengah berdiri di sana. Setelah
yakin, Mawar tanpa ragu membuka daun pintu lebar-lebar.
Tiga orang teman lelakinya menampilkan wajah cemas.
"Dityo kecelakaan
"Orang tuanya sedang keluar negeri, kan? Umroh ..."
"Pendarahan. Butuh transfusi."
"War, kamu punya kenalan yang punya darah AB, nggak?"
Kepala Mawar berkunang. Kantuknya menyerang kembali lebih
dahsyat, tetapi bercampur sakit kepala yang menghimpit Ia berharap
mimpi berayun di atas kapal yang berlayar di laut tenang dan dingin,
meredam panas hati setelah bertengkar hebat dengan Cempaka.
Tetapi, sahabat?sahabamya membawa berita mengagetkan yang
membuat urat-uratnya menegang seketika sebelum melemas lunglai.
Dityo? Baru kemarin mereka belajar bersama, mengerjakan tugas
lapangan.
Tanpa perbincangan lebih berteIe-tele, mereka berbagi tugas.
Mendaftar rumah sakit yang kemungkinan menyediakan darah
yang dimaksud, mengontak teman-teman lewat pesan pendek atau
segera mengunggah berita lewat mailing Iist,facebook, jejaring sosial
yang biasa terhubung.
27 28 Mawar bergegas menemui Mama, meminta izin untuk
membantu Dityo. Meski khawatir, Mama hanya mengangguk dan
mencoba tersenyum.
Cempaka berdiri di depan pintu kamarnya.
Menatap Mawar dengan mata menyipit dan senyum lebar.
"Sekarang siapa yang tidak etis?" sindirnya. "Siapa yang
bersikap murahan, keluar sama cowok malam-malam, heh?"
lngin Mawar berbalik mengomeli kakaknya, mengatakan
bahwa nyawa seorang temannya menjadi taruhan bila mereka
tidak bergegas. Tapi percuma. Cempaka telah menutup pintu dan
melontarkan ucapan pedas.
"Omong doaaaaang ..!'
Mama meraih pundak Mawar, mendorong punggungnya
menjauh. Lebih baik Mawar segera pergi atau kalau mungkin lebih
lambat pulang pun tak apa-apa.
Diary Hati Dahlia
Kalau dibilang menyesal, aku menyesal rneninggalkan bangku kuliah.
Tapi, bagaimana lagi? Aku harus realistis. Aku anak pertama. Kalau
memaksakan diri kuliah, bisa saja. Tapi adik?adikku akan terbengkalai.
Dalam hidup ini memang harus ada yang mau berkorban. Kalau
tidak ada yang bersedia berkorban, justru hancur semua.
Lelah, marah, sepi. Aku tak bisa bercerita permasalahan diri dan
pekerjaanku dengan Mama atau adik-adikku. Mama orang baik, tapi
apakah beliau cukup punya kemampuan dan pengetahuan untuk
memahami masalahku? Mama orang tradisional. Ibu yang hebat.
Namun, beliau mungkin tidak paham bagaimana aku difitnah memiliki
affair dengan salah satu divisi HRD, bagaimana peluang?peluang bonusku
diserobot rekan-rekanku. Bagaimana aku harus menyimpan
perselingkuhan rekan sekerjaku dengan sesama temanku pula. Aku masih
sangat muda untuk memahami dunia kerja yang keras!
Harusnya, aku masih di bangku kuliah seperti teman-temanku.
Memupuk idealisme. Mengejar buku dan referensi. Diskusi. Mengejarngejardosen. Berorganisasi. Kadang aku iri dengan Cempaka dan Mawar
yang dilahirkan dengan status di bawahku. Sebagai adik, mereka
memang harus patuh, tetapi tak punya beban lebih di sisi tanggung
jawab.
Akujuga naksir atasanku.
Lelaki pendiam dan pekerja. Aku suka komitmen dan dedikasinya
pada pekerjaan. Lagi pula, ia bukan jenis orang yangjelalatan ke sana
kemari. Kudengar ia juga tengah kuliah 52 di malam hari.
Tapi, harus kubuang jauh?jauh pikiran yang hanya berorientasi
pribadi. Aku harus menolong Mama dan adik?adikku.
Diary Hati Cempaka
Bagiku, Ayah lebih dari sekadar orang tua.
la satu-satunya sosok lelaki di rumah ini, satu?satunya yang kokoh
memayungi kami. Dan, entah mengapa, Ayah seolah memanjakan rasa
feminis kami. Mama sangat bergantung pada Ayah. Apa saja pekerjaan
yang tidak dilakukan Ayah? Mungkin hanya memasak dan sedikit
pekerjaan rumah tangga lainnya.
Ayah bekerja mencari nafkah, tentu.
Di rumah, dengan senang hati, Ayah mengurusi genteng bocor,
setrika rusak, saklar korsleting. Sesuatu yang sesungguhnya bisa
dikerjakan Mama dengan mengundang tukang, misalnya. Tetapi, Ayah
memanjakan kami, terutama Mama, istrinya.
Takjarang, bila Mama sakit?Mama memang memiliki tubuh yang
rapuh?Ayah turun tangan mencuci, belanja, dan memasak.
29 30 Ayah orang rumahan. Lelaki yang memanjakan setiap perempuan
di rumah ini, dan sepertinya Ayah bangga menjadi dewa penolong.
Dari semuanya, akulah yang paling dekat dengan Ayah. Aku merasa
akulah yang paling disayang. Mungkin terlalu berlebihan, tapi biarlah.
Mbak Dahlia anak baik yang diam dan penurut, tapijika sudah punya
mau, bisa membuat perut Ayah dan Mama kaku. Mawar cenderung
seperti anak laki?laki, pembangkang dan pemberontak. Melati, si kecil
yang lekat dengan Ayah dan Mama. Aku? Aku adalah anak manis yang
memang mengagumi dan mencintai Ayah. Dan Ayah pun merasakan
bahwa aku sangat bergantung padanya.
Sakit hatiku, cemas tak berkesudahan, khawatir yang mencekam
saat tahu Ayah terkena komplikasi. Ginjal dan diabetesnya parah.
Setahuku, memang Ayah sangat suka minum teh yang manis, teramat
manis. Kakek dan dua pakde meninggal karena diabetes. Ayah
meninggal di usia yang masih sangat muda, baru memasuki usia 40
tahun lebih sedikit.
Aku terguncang.
Satu-satunya tiang di rumah ini hilang.
Mama tak cukup kuat menggantikan sosoknya. Bukan, bukan hanya
sekadar pencari nafkah yang kami butuhkan, tapi sosok yang mengayomi,
kuat, tangguh, mampu menegakkan kepemimpian, mampu memberi
arah. Ayah sesekali pernah berbuat salah. Tetapi memiliki pemimpin,
jauh lebih baik.
Mama?
Mama terlalu sabar? kalau tak bisa dikatakan lemah. Akhirnya, ya
Mbak Dahlia mengambil alih. Mawar mengambil alih. Mbak Dahlia
pencari nafkah. Mawar sok melindungi. Aku yang lebih tahu, seperti
apa Ayah sebenarnya.
Maka, aku butuh laki?laki dalam hidupku. Kudapatkan kekokohan
itu dalam diri teman-teman cowok. Siapa sangka, mereka malah
menaruh hati padaku. Aku harus bagaimana?
Teman lelakiku mampu memberikan pendapat yang kuat saat aku
punya masalah, sesuatu yang tidak kudapat dari Mama dan usai
kematian Ayah.
Diary Hati Mawar
Ayah menginginkan anak lelaki.
Tanpa menginginkannya pun, aku memang menyukai gaya Iaki?Iaki
menaklukkan masalah. Bosan melihat air mata meleleh di mana-mana.
Sejak kecil, banyak tangisan di rumah. Satu-satunya yang gemar
membujuk hanya Ayah.
Dimusuhi temannya, Mbak Dahlia menangis. Dicubit temannya,
Mbak Cempaka menangis. Kuganggu pun, Melati menangis. Hanya aku
yangjika diganggu teman, akan membalas dengan melempar tempat
pensil atau sepatu.
Kata Mama, ketika lahir Mbak Dahlia dan mbak Cempaka, Ayah
begitu ingin punya anak Iaki-Iaki. Wajar sudah menyiapkan nama berbau
wayang seperti Bima, Kresna, atau Arjuna. Meski pupus, Ayah tetap
menyayangiku.
Sejak dulu, aku suka membela Mbak Dahlia atau Mbak Cempaka
bila diganggu orang. Terlebih, aku suka menolong Melati, si bungsu
cengeng yang rapuh tetapi baik hati.
Ayah meninggal, banyak yang berubah. Terutama Mbak Dahlia dan
Mbak Cempaka. Mbak Dahlia lebih dewasa, lebih sering mengasihani
Mama dibanding ketika Ayah masih hidup. Saat Ayah ada, Mbak Dahlia
seringkali mengambil sikap bertolak belakang dengan Mama. Menurut
di mulut, membangkang di kelakuan. Ya, tapi tak dilakukan. Tidak, tetapi
dikerjakanjuga.
Syukurlah, Mbak Dahlia maju ke depan, menggantikan posisi Ayah.
31 32 Mbak Cempaka yang membuatku khawatir. Kata orang, keluarga
yatim sering bermasalah karena hanya diasuh orang tua tunggal.
Sebetulnya, ditinggal ayah atau ibu selamanya, sama saja buruknya.
Ditinggal ayah kehilangan pegangan, ditinggal ibu kehilangan teladan.
Beberapa teman perempuanku yang tak memiliki ibu, tak punya sense
perempuan. Tidak sensitif, tidak peka. Penampilannya masih feminin,
tapi sifat keperempuanan mereka nyaris hilang.
Kehilangan ayah, juga bagai burung patah satu sayap. Seperti anak
ayam kehilangan induk. Ke sana kemari tak punya martabat. Telingaku
panas ketika orang berbisik "Oh, Bu Kusuma yangjanda? Anaknya
yang yatim?" Ada nada kasihan di sana.]ika kami agak nakal, ucapannya
dapat bernada "Dasar, yatim tak punya bapak!"
Anak yatim memang identik dengan anak nakal.
Bagaimana jika anak nakalnya perempuan?
Lelaki dan perempuan memang berbeda. Lelaki nakal akan dibuang
keluarganya. Anak perempuan yang nakal, membawa aib bersama
keluarganya. Anak lelaki dapat hilang, anak perempuan akan selalu
tertinggal sebagai jantung hati keluarga.
Mbak Cempaka cantik. Sedap dipandang. Kebanggaan kami
sekeluarga. Sekaligus sumber kecemasan. Teman lelakinya banyak,
mengantre.
Bagaimana caraku menghadapi anak perempuan yang nakal?
Diary Hati Melati
Bontot, bungsu, ekor.
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paling belakang. Paling disayang.
Itu kata orang. Memang, aku merasa beruntung punya tiga kakak
perempuan. Setiap kali mereka punya sesuatu, yang pertama kebagian
adalah aku. Mbak Dahlia, Mbak Mawar punya kue atau uang, yang
pertama kali mendapat jatah, aku. Mbak Cempaka dibanjiri hadiah di
hari ulang tahunnya, aku diminta memilih.
Aku ingin memilih blackberry, tapi Mbak Cempaka tidak boleh. Nanti
ditanya sama si pemberi. Aku ingin gaun selutut warna pink, kata Mbak
Cempaka juga tidak boleh. Nanti ditanya pula sama si pemberi. Hm,
lantas aku minta apa?
Cokelat, boneka besar, dan bantal heart.
Sementara Mbak Dahlia dan Mbak Mawar hanya kebagian cokelat.
Entah tak mau menyakiti perasaan Mbak Dahlia dengan memperlihatkan
hadiah yang melimpah, entah ingin membuat Mbak Mawar jengkel
karena sikap Mbak Cempaka berbeda terhadap dua adiknya. Yang pasti,
sebagai anak bungsu, aku selalu mendapat hadiah Iebih. Didahulukan.
Dimanjakan.
Tetapi, juga yang paling tidak didengarkan.
Mama hanya tersenyum mendengar pendapatku. Mbak Dahlia tak
menjadikanku referensi utama. Mbak Mawar atau Mbak Cempaka
apalagi. Aku anak bawang. Padahal, aku ingin berbuat lebih banyak
bagi keluarga ini. Aku tidak suka melihat IVIbak Cempaka dan Mbak
Mawar bertengkar. Jika ada Ayah, tak ada yang berani berkata keras,
apalagi membanting pintu.
Mama didengar dan dipatuhi jika sudah marah. Saat beliau masih
bersabar, Mbak Cempaka dan Mbak Mawar akan menuntaskan
perseteruan. Capekjuga melihat dua kakakku berbeda pendapat.
Jika belum menikah sudah berkelahi begini, bagaimana nanti saat
masing-masing sudah bersuami?
v: 33 Episode 2
Minggu pagi bermandi matahari, waktu
sempurna untuk bersenang-sonang. Tanpa awan,
tanpa mendung, angin semilir berhembus.
Tidur, santai, nonton, dan makan.
Agenda menumpuk lemak ini menjadi pilihan
sebagian besar orang untuk melepaskan penat
setelah berkubang dalam ketegangan berhari?hari.
Kaum wanita biasanya memiliki acara rutin:
merawat tubuh. Lihatlah. Sanggar senam dan rumah
spa dipenuhi kaum perempuan yang ingin melepas
lelah sembari memanjakan tubuh, menyiapkan maniac
Monday dengan tampilan lebih segar bercahaya.
Rumah Bu Kusuma sedari pagi berjejal kegiatan.
Beliau sendiri senang mencuci seprei, handuk,
mukena, juga menjemur kasur dan bantal Dahlia suka
mencoba-coha resep tradisional maupun oriental,
karena hari Minggu jadwal Mama libur memasak.
Cempaka pagi-pagi menghilang menuju klub senam.
Body language, katanya. Biasanya, pulang?pulang
membawa aneka ragam jamu dan lulur yang dibeli di
pasar. jamu kunir asam untuk melangsingkan, jamu brotowali untuk
membersihkan darah dan mencerahkan kulit, jamugalian singset untuk
membentuk tubuh. Mawar tak habis pikir bagaimana Cempaka
demikian terobsesi memiliki tubuh sempurna, padahal kecantikannya
sudah cukup membuat orang terbirit?birit mengejar. Toh, Cempaka
lak berniat menjadi artis yang memang harus merawat seratus persen
mulus tubuhnya dari ujung pelipis hingga ujung tumit
Mawar sendiri lebih suka merawat kebun di depan rumah.
Membungkusi mangga cangkokan dengan kantong bagor agar tak
digigiti kelelawar. Atau memangkas rumpun melati kesayangan
Mama supaya tumbuh subur. Melati seksi bantu-bantu. Membantu
menjemur cucian, belanja ke pasar, bersiap diri disuruh ini-itu.
Pun membantu Cempaka mengoleskan lulur di punggung.
Tapi, Minggu pagi ini ada yang sedikit lain.
"Lho, udah rapi pagi-pagi mau ke mana?" tegur Dahlia.
"Eh anu, mau ke tempat Ratna. Terus ke Vera," Melati agak
gugup jadinya. "janji mau rujakan bareng-bareng anak SMP 5 dulu."
"Rujakan pagi?pagi?" Mama mengernyitkan dahi.
"Eh ya nggak pagi-pagi langsung ngerujak," Melati bingung.
"Pokoknya, intinya ngumpul, ngobrol, melepas kangen."
"Waduh, nggak ada yang bantu nyabut rumput, nih!"
"lya, nggak ada yang banm marutin singkong. Mbak Lia mau
bikin bubur cadil, lho."
"Asyiiiik!" seru Mawar. "Yang banyak, ya, Mbak. Habis ngurus
kebun, biasanya lapaaaar! Aku juga disuruh Mama nguras kamar
mandi, nih."
"Mbak Lia mau masak sayur lodeh sama tempe mendoan.
llmm, plus sambel terasi. Siplah! Pulang cepetan, Mel, kalau nggak
mau tinggal sisa!"
35 36 "l iya, aku usahakan habis Dzuhur sudah sampai rumah."
"Mbak Mawar mau buat jus mangga juga, Me|. Ma ngganya sudah
ada yang matang," Mawar menambahkan, membuat Melati menelan
ludah.
"iya, deh! Pokoknya jangan dihabisin. Pamit dulu, yaaaa!"
Melati melangkah keluar rumah dengan perasaan serbasalah. ia
memang ingin sekali bergabung dengan anak-anak seusianya di acara
jumpa fans Radio Salsa. Seumur?umur, baru kali ini bisa melihat grup
musik terkenal dan personilnya dari dekat Tidak setiap orang dapat
kesempatan seperti ini, bukan? jumpa penggemar dengan kapasitas
terbatas. jadi, bisa lebih leluasa mengamati dan berakrab ria. Kalau
bukan karena Elsa anggota Salsa Club dan juga karibnya, tidak mungkin
Melati ikut Radio Salsa salah satu radio elit di Yogya, clubnya terkenal
bergengsi. Melati senangsekali punya kesempatan seperti ini. Perasaan
serba tak enak yang semula menggelayuti hati, perlahan pupus.
Apalagi, ketika di rumah Ratna berganti kaos yang baru dibelinya
semalam. Perasaan melambung, teraduk antara senang, puas, bangga.
Melati memang menyimpan kaos barunya di dalam ransel, takut
mengenakan dari rumah. ia sendiri enggan mengakui bahwa membeli
kaos seharga ratusan ribu tidak bijak untuk kondisi saat ini. Saat Mama
dan semuanya sedang prihatin.
"Wah, cakep banget, Mel," puji Rama.
"Ah, masa?" Melati tersenyum kecil
"Kamu, tuh, cantik, lho. Sayang ...," Ratna menggantung
ucapannya.
"Sayang kenapa?"
"Nggak suka dandan!"
"Bukannya nggak suka," ralat Melati. "Aku bukan anak orang
kaya yang bisa beli kosmetikini itu. Paling?paling pakai sabun muka,
ya, udah."
"Mau cobain punyaku?" tawar Rama. "Pakai pelembab ini. Biar
kuolesi. Habis itu pakai sunscreen, bedak padat, terus lipstik. Mau
warna mane yang mana? Cokelat, ungu, merah bata, pink?"
"Nggak, nggak usah," tolak Melati sambil mengibaskan tangan.
"Cukup gini aja, deh."
"Nggak pa-pa, kok, Mel Ayolah ..'
"Nggak, deh. Makasih."
"Bener, nih? Nggak pingin pakai make up dikit?"
"Nggak."
Ratna angkat bahu. la salut akan kesederhanaan Melati. Salut
bahwa Melati tidak suka 'menumpang' kekayaan teman. Ratna kesal
pada beberapa teman yang keakrabannya kelewat batas. Pinjam
novel kembali rusak, pinjam VCD tak terdengar kabar beritanya
lagi, minta parfum, minta lipstik. Awalnya tak masalah, hanya butuh
berkorban sedikit. Setelah terlalu sering, risih juga. Mentangmentang orang tuanya kaya! Lama-lama, Ratna malas bergaul
terlalu rapat, takut disalahgunakan.
"Eit, jam sembilan kurang seperempat!" Ratna berseru setelah
melirik jam dindingnya. "Cabut ke rumah Vera! Ntar Elsa nyampe!"
pakai mobilnya."
Melati mengangguk. Sambil menyandang ransel, bergegas ia
keluar mengikuti langkah-langkah Rama.
*** Melati membungkus perasaannya rapat?rapat. ia tidak mau
menyalahkan Elsa, Ratna, Vera, atau siapa-siapa. Apatah lagi
menyalahkan Radio Salsa dan acara jumpa fansnya! la cuma merasa
hanya bisa menjadi makhluk bengong yang terpinggirkan. Turun
dari mobil Elsa, perasaan malu juga rendah diri menyergap.
Bagaimana tidak? Tak satupun gaya casual sederhana, apalagi
37 38 seragam. Kalaupun casual, sepatu dan tas tangan para gadis bukan
yang biasa ia lihat di Pasar Beringharjo! Tampilan mereka berkelas,
berkualitas, elegan. Melati serasa mendengar gesekan kartu kredit
yang biasa ia tangkap saat antre di deret panjang kasir swalayan.
Kartu kredit beradu dengan lipatan uang kertas di dompetnya yang
tak seberapa. Baju mereka dan bajunya seperti membandingkan
sutra dan goni! Baju yang dibelinya susah payah tak berarti banyak
di tengah komunitas macam begini.
"Hei, Mel, kenalkan temanku Dennis," seru Elsa,
memperkenalkan teman-temannya. "Dia baru datang dari Australia.
Dennis, these are myfriends."
Melati tersenyum kecut. Toh, hanya Vera dan Ratna yang
mampu mengimbangi pembicaraan Dennis. Ia tak memiliki barangbarang yang mereka perbincangkan. Ia tak punya benda bermerek
seperti yang mereka banggakan. Ia tak tahu apa isi majalah Seventeen,
Harper's Bazaar; Elle, Vogue. Yang Melati tahu hanya tabloid yang
banyak menyuguhkan kekerasan terhadap wanita dan anak-anak.
Yang sempat Melati baca pagi ini di kios depan rumah hanya koran
lokal yang mengupas tentang melonjaknya harga dan kerusuhan di
mana-mana.
"You look very serious," canda Dennis melihat Melati. la
tersenyum lemah.
"Santai dikit, Mel," sambung Vera. Mungkin wajah Melati terlihat
sangat tidak rileks dengan kondisi sekelilingnya.
"Nggak usah pedulikan pandangan orang," bisik Rama. "Cuek
aja. Mereka kadang?kadang sok kaya dan sok trendi padahal kondisi
keluarga maupun rumahnya bisa dibilang prihatin ."
Duh, Ratna. Kata-katanya yang bermaksud menghibur malah
serasa menampar. Aneh sekali. Semangat yang semula menggebu
unmk datang ke acara ini, kini terbang entah ke mana. Melati malah
sibuk menilai-nilai penampilan, pakaian, sepatu, aksesori, dan
sebagainya. Berapa hargagaun tank top yang dipakai cewek cantik di
ujung depan sana? juga sandalnya?]angan-jangan, setara dengan
pulsanya selama setahun. Cowok cewek yang tampangnya terlihat
terpelajar ini sempat berpikir tentang negerinya, nggak, ya? Melati
menghela napas. Walau matanya menatap personil grup musik di
depan, tapi pikirannya melayang pada Mama. Andai uang yang
dipergunakan untuk membeli kaos ini diserahkan kepada Mama,
apa kira-kira yang akan beliau lakukan? Beli beras, mungkin. Atau
untuk bayar listrik dan air. Sampai akhir acara, tak banyak
kegembiraan yang dapat Melati nikmati. la pulang membawa
perasaan lelah. Di rumah, usai Shalat Dzuhur, matanya tak mampu
menahan kantuk.
Melati berusaha melupakan semua perasaan bersalah atau
kecewa dengan melabuhkan pada mimpi. Kata orang, tidur adalah
salah satu obat penawar hati yang gelisah. Setidaknya, selama
beberapa puluh menit, Melati tak harus disibukkan pikiran tentang
nilai intrinsik uang, nilai nominal uang, nilai kegunaan uang, nilai
bersalah uang.
Melati menyurukkan kepala di bawah bantal kempes yang
dingin. Seprei lama telah terganti seprei baru dan wangi, membawa
pikirannya makin terbenam ke alam tak sadar.
jam kukuk tua warisan Kakek yang masih terpasang kuat di
dinding berdentang lima kali. Melati tersentak tiba-tiba.
Ya Allah, jam lima pagi atau jam lima sore? Beberapa detik
kehilangan kesadaran, bingung menerjemahkan suasana pendar
di depan mata sebagai isyarat matahari terbit atau terbenam
Tak terasa, ia tidur lelap sekali. Melati duduk di tepi tempat
tidur menetralkan kesadaran. Sayup-sayup antara sadar dan tidak,
didengarnya orang bercakap-cakap lirih di ruang tengah.
"Aku nggak punya uang lagi, Mbak. Bener! Aku nggak bohong,"
keluh Mawar, nyaris berputus asa.
39 40 "Uang Mbak tinggal 75 ribu. Ini baru tanggal 20, masih lama
gajian," desah Dahlia.
"Sialan Bulik Endang!" umpat Mawar kesal
"Ssst, nggak baik ngomong begitu," tegur Dahlia.
"Biar! Mama juga tahu kalau utang harus dibayar, tapi bicara
jangan menyakitkan, dong. Pakai ungkit?ungkit pinjaman buat
pengobatan Ayah waktu sakit dulu."
"Yah, sudahlah. Namanya juga orang butuh. Mungkin karena
panik, Bulik Endangjadi outofcontml."
"Terus gimana, Mbak?" desak Mawar. Dahlia terdiam.
"Kalau Cempaka punya tabungan nggak, ya?" tanya Dahlia
ragu-ragu.
"Nggak usah. deh!" potong Mawar ketus. "Nggak usah
melibatkan Mbak Cempaka, dia nggak bakal peduli!"
"Kamu itu, kok, pikirannya negatiiif melulu sama dia, sih?"
"Memang dia pernah peduli sama Mama? Sama Mbak Dahlia?"
tantang Mawar. "Dia, tuh, sibuk ngurusi dirinya sendiri."
"Siapa tahu kalau dengar Mama kesulitan, Cempaka mau bantu."
"Alaaah, cari solusi lain aja, deh," Mawar mengibaskan jemari.
"Kalau Melati punya simpanan, nggak?" tanya Dahlia ingin tahu.
Dari balik kamar, Melati nyaris terjengkang. la menelan ludah.
Kering.
"Eh ...," Mawar menggaruk rambutnya. "Barangkali dia punya,
ya. Coba kutengok ke kamar. Dia, kan, juga belum shalat Ashar."
Melati buru-buru bersiap melarikan diri, seolah tidak tahumenahu tentang pembicaraan-mencuri-dengar itu. Di pintu kamar,
tubuhnya nyaris tertabrak Mawar.
"Eh, Mel kamu
"Aduh, Mbak!" potong Melati. "Aku belum shalat Ashar!"
la berlari ke kamar mandi, mandi sepuasnya, lalu shalat
berlama-lama. Mawar menanti dengan sabar. Usai shalat, ia buruburu mencegat Melati.
"Mel, Mbak mau ngomong sebentar."
|"
"Ya ampun Melati menepuk dahinya. "Aku mau nelpon Rama.
PR Matematikanya halaman berapa? Dan oh, my God! Laporan
praktikum Biologiku! Aduh, apa Fandi sudah buat, ya? Gawat, aku
harus ke rumahnya. Mati aku besok kalau Pak Basuki nanyain
ternyata belum selesai!"
Mawar mendengus kesal. Adik bungsunya berlari ke kamar,
berganti baju, lalu bergegas keluar rumah. Melati baru pulang
selepas Maghrib. la betul-betul bingung. Selama ini, tak pernah
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulutnya berbohong. Kenapa sekarang begitu mudah dusta
meluncur dari bibirnya? Kini, perasaan takut menyerang. Takut
Mama maral1.Takut Dahlia, Mawar, dan Cempaka marah juga. Diamdiam, ia masuk rumah dan menuju kamar. Untung tadi sudah shalat
di rumah Rama ketika bingung mau pulang. Alangkah kagetnya
ketika menjumpai Mawar tengah berbaring di kasurnya.
"Eh Mbak Mawar .., gugup suaranya terdengar.
"Nggak boleh, nih, Mel?" gurau Mawar.
"Bo leh. Yang lain ke mana?"
"Ada, tuh. Kasurnya enak habis dijemur Mama tadi," kata Mawar
mencoba membuka pembicaraan.
Suasana bisu.
Meski tak ada kalimat mengalir, masing-masing dapat meraba
isi kepala lawan bicara di depannya. Beberapa lama waktu berjalan
berdetak, terdiam, membuat Melati makin gelisah. Tak tahan
memendam masalah, Mawar langsung bertanya.
"Mel kamu punya uang, nggak?"
41 42 "Memangnya kenapa, Mbak?"
Mawar menghela napas panjang.
"Tadi siang waktu kamu pergi rujakan, Bulik Endang datang."
"Terus?"
"Ternyata diam-diam, Mama utang sama Bulik. Tiga bulan lalu,
wasir Mama berdarah lagi. Karena nggak mau kita-kita tahu, Mama
pinjam Bulik. Nggak tahunya tadi Bulik datang menagih sambil
ngeluarin kata-kata pedas. lh, Mama sampai nangis sesenggukan."
Melati terpaku. Mawar meneruskan.
"Pinginnya aku ganti ngelabrak Bulik Endang. Tapi karena takut
Mama tambah malu dan sedih, yaa aku nahan diri. Mentangmentang lagi susah, seenaknya aja kita diinjak."
"Sekarang keadaan Mama gimana?" mala Melati memanas.
Siapapun, dicaci maki pastilah sakit. Apalagi oleh saudara dekat.
"Mama mengurung diri di kamar," desah Mawar sedih.
Melati duduk terkulai di samping Mawar. Kasihan Mama. Andai
Ayah masih ada, tentu tidak begini. Bulik Endang memang
temperamental. Meski mudah naik darah, ia sayang semua
keponakannya. Berhubung penyakit darah tingginya kambuh maka
bicaranya tanpa pertimbangan lagi.
"Gimana, Mel?" desak Mawar. "Masih punya uang?"
"Sudah nggak ada," geleng Melati lemah.
"Ooo, ya, sudah," gumam Mawar kecewa.
"Buat beli t?shirt keluarin," tutur Melati polos. Tak sanggup
menyimpan rahasia berlama-lama. Satu kebohongan pasti ditutupi
kebohongan yang lain. Dikejar rasa berdosa. tak enak rasanya. Tidur
tak tenang, makan tak bisa kenyang, bertemu orang tak nyaman.
Biarlah, kena marah sekali waktu tak akan mati.
"jadi ?" air muka Mawar berubah.
Melati merasa serbasalah. Wajahnya memanas, ingin menangis.
Matanya memerah. Selama ini, Mawarlah kakak yang paling dekat
dengan dirinya. Mungkin karena usia mereka yang lebih dekat
dibanding dua kakak sebelumnya. Mawar tahu hampir semua keluh
kesah Melati. ia tahu siapa teman-teman dekat hingga makanan
kesukaannya. Sebaliknya, Melati lebih memahami sifat Mawar yang
baik hati tapi agresif, dibandingkan Dahlia dan Cempaka. Sikap
Melati yang menyembunyikan sesuatu membuat Mawar begitu kesal
Jengkel mencium ketidakjujuran adik bungsunya.
"ltu itu karena aku nggak tahu Mama punya utang," Melati
berkata lirih.
"Kamu juga nggak pergi rujakan hari ini?"
Melati menggeleng. Kejengkelan Mawar berlipat
"Terus ke mana?"
"Ke Salsa Club bareng teman-teman. Ada acara jumpa fans."
Mawar mendengus kesal Melati makin menunduk.
"Tapi t?shirt itu harganya cuma ."
"Aku nggak peduli harganya!" bentak Mawar. "Berapapun
harganya, tetap mahal untuk ukuran kita! Kamu nggak usah ikutikutan Mbak Cempaka, deh!"
"Mbak ...!" Melati mulai menangis.
"Kita ini nggak bisa ikut arus teman-teman yang model begitu,
Mel! Di kampus, Mbak juga harus menahan diri untuk nggak selalu
mengikuti tren. Lagi musim blackberry, beli. Musim android, beli.
Musim tablet, beli. Belum fesyen dan musik. Habis kita kalau begitu!
Sadar dong, kita ini anak yatim dengan penghidupan pas-pasan.
Kasihan Mama!"
Melati makin terisak.
"Target kita sekarang sekolah. Sekolah! Biar besok hidup lebih
layak. Kalau dari sekarang nggak punya planning, suka borosin uang,
43 mengekor gaya hidup orang-orang yang nggak punya tujuan hidup,
bisa hancur masa depan kamu. Mending mereka kaya, kalau kita?
Duit nggak punya, sekolah nggak jadi, bukan anak pejabat!"
Melati makin merapatkan dagu ke dada dengan wajah basah.
"Mbak lahu kamu masih terlalu muda untuk ngerti semua ini.
Dunia kamu penuh warna-warni yang serba menyenangkan! Tapi,
kalau bukan kita yang bantu Mama, bukan kita sendiri yang berjuang
demi keluarga ini, kita mau berharap sama siapa?"
Mawar mengatur napas.
"Toh, nggak ada yang minta kamu cari uang, kan? Atur
pengeluaran, apalagi di saat susah begini. jangan bikin kelakuan
yang bakal bikin susah semua orang!"
Saat Melati mengusap matanya, Dahlia masuk tiba?tiba.
"Ada apa, sih, ribut?ribut?"
Mawar lalu terdiam. Ia beranjak menuju pintu.
"Tanya aja, tuh, sama Melati," katanya ketus sambil membanting
pintu.
Dahlia menggantikan posisi Mawar. Dielusnya rambut Melati yang
hitam dan ikal. Selama ini, ia memang jarang berkomunikasi dengan
adik bungsunya karena terbatasnya waktu. Tangis Melati makin menjadi.
Bertumpuk perasaan memenuhi rongga dada. Kesal pada Bulik Endang
yang seakan menjadi pemicu masalah, nelangsa menjadi anak yatim,
tersinggung pada sikap Mawar yang frontal tapi tak berani dibantahnya
karena ia tahu Mawarlah yang benar. Belum selesai kecewa karena
acara siang tadi tak menghibur sebagaimana harapannya semula,
muncul lagi masalah lain. Sakit hati juga ia disamakan dengan Mbak
Cempaka. Duh, inginnya teriak mebpas beban.
"Maafkan Mbak Mawar, ya, Mel," hibur Dahlia meski ia belum
tahu duduk masalahnya. "Kayak nggak tahu aja kebiasaannya yang
suka blak-blakan."
Melati terisak. Mencoba menenangkan diri dengan
mengalirkan kekesalan pada bulir-bulir airmata.
"lya, Mbak," Melati mulai mampu mengontrol emosi.
"Sebetulnya aku, kok, yang salah."
Sejak kejadian itu, Melati banyak merenung. la ingat lagi
pembicaraannya dengan Erisa. Harus, harus, harus belajar mandiri
cari uang sendiri. Tapi kerja apa, ya? Yah, apa saja yang halal dan
tak mengganggu sekolah. Di zaman sulit seperti sekarang, kasihan
kalau harus mengandalkan orang tua sepenuhnya. Apalagi Mama
dan Mbak Dahlia sudah berusaha keras mencukupi. Nyatanya
belum cukup juga. Hingga larut, Melati belum dapat memejamkan
mata. la sibuk inenimhang-nimbang apa yang akan ia perbuat
untuk menghasilkan uang. Minimal untuk uang sakunya sendiri.
*** Pagi-pagi Melati sudah sampai di SMU Utama. Belum banyak
yang datang. Pak bon saja masih sibuk menyapu halaman. Kalau
datang awal dapat memilih bangku agak belakang dan dekat jendela.
Bila tertidur pun tidak terlihat terlalu mencolok, apalagi Melati suka
mengemut permen untuk melawan kantuk. Erisa juga datang agak
pagi. Ia biasa mencocokkan PR Matematika dengan Melati. Gadis
itu memang jago untuk urusan yang satu ini.
"Er, masih ingat, aku pernah cerita pingin cari uang saku
sendiri?" tanya Melati di sela-sela keseriusan Erisa menekuni
pekerjaan rumahnya. Sejenak, mata Erisa masih terpaku pada soalsoal di depan, lalu tak lama kemudian ia menutup buku.
"Serius?"
"iya. Aku butuh uang buat bantu Mama dan untle keperluanku
sendiri."
"Aku sudah tanya Mama," jelas Erisa. "Di RS Sardjito ada kafe
yang selalu ramai. Bukan cuma paramedis yang makan di situ, tapi
45 46 juga keluarga pasien dan lain-lain. Pokoknya ramai, deh, dan butuh
pegawai banyak. Tapi kamu sanggup?"
Melati menelan ludah. Sanggupkah ia? Teringat kebutuhan
hidup yang sering tambal sulam, utang-utang Mama, sekaligus
terbayang pula jadwal sekolahnya yang lumayan padat, membuat
Melati maju mundur. la mendesah panjang.
"Aku butuh uang cukup, nih '
Erisa menghela napas. Kasihan Melati.
"Maaf, ya, Mel Bukannya aku nggak mau bantu, sementara ini
hanya lowongan itu yang aku tahu. Kalau kamu butuh uang cash,
aku ada simpanan sedikit Mau?"
"Eh, aku nggak minta sumbangan, kok, Er," seloroh Melati. ia
juga tentu tak enak kalau harus pinjam uang dari Erisa. Sekalipun
keadaannya lebih baik dari Melati, tapi bukan berarti kondisinya
serba berlebih. Melati tak ingin merepotkan orang yang sama-sama
prihatin. Saat keduanya terdiam tenggelam dalam pikiran masing?
masing, sesosok gadis berjilbab putih melintas bwat di depan.
*** Diary Hati Mawar
Capek, deh, guel
Orang di rumah nggak ada yang beres semua! Kenapa cuma aku
yang memikirkan jatuh bangunnya keluarga ini? Apa semua nggak bisa
mikir normal?
Bla bla bla
Tralala trilili.
Yah, sebetulnya aku hanya butuh melampiaskan semua ledakan
perasaanku. Daripada meledak keluar, menimpa banyak orang, mending
kutuliskan umpatanku. Hanya pena dan kertas yang tahu, juga tong
sampah. Kalau kata-kataku kemudian kubaca, lalu aku jijik sendiri,
kusobek saja sampaijadi serpihan.
Ada apa dengan Melati?
Biasanya dia manis dan penurut. Sekarang jadi konsumtif begitu.
Apa daya rusak Mbak Cempaka sudah merembes ke dia?
Easy, girl, easy. Calm down.
Baru satu kejadian nggak bisa buat generalisasi. Yang namanya
evaluasi itu setelah beruntut kejadian.
Aku menenangkan diri sendiri. Yah, mau dibilang apa. Melati masih
SMA. Masih senang?senangnya hura-hura. Hidup sepertinya berwarna
pink selalu. Matahari pink. Awan pink. Hari-hari pink. Aku dulu juga
begitu harus mengakui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, kan?
Aku mampu menikmati masa SMA saat Ayah masih ada. Sekalipun
sakit?sakitan, beliau, toh, masih bisa punya kerjaan sampingan seperti
menerjemahkan buku atau dosen terbang di universitas swasta atau
jadi makelartanah atau mobil, keciI-kecilan. Ada saja rezeki meski kalau
sudah dibagi rata dengan keempat anak perempuannya, tak bermewahmewah. Namun, cukuplah untuk bersenang-senang.
Salah Melati lahir paling belakangan.
Pikiran ngawur!
Begitulah aku. Meledak. Suka seenaknya. Kalau sudah error bisa
nggak nyambung, yang penting nyablak aja. Bagaimanapun, Mama
orang Yogya tulen. Katanya, anak perempuan suatu saat akan jadi istri.
Istri harus taat, menjadi penyejuk.
Lho? Apa pula hubungannya dengan persoalan Melati? Adikku itu
harus dikasih pelajaran juga. Memang, hidupnya mungkin jauh lebih tak
enak dibanding kakak?kakaknya, tapi mengeluh tak akan meringankan
beban. Berpikir mencari jalan keluar, itu baru cerdik. Toh, setiap
persoalan hidup jika disikapi dengan bijak akan menjadi pengalaman
yang membuat diri kita kaya di kemudian hari.
47 48 Ckckck aku memang hebat kalau menasihati. Tuntas dan lugas,
terutama mampu melihat kesalahan orang lain. Tapi, apa iya aku punya
kesalahan? Sepertinya, aku berada di jalur yang benar, kok.
Kalau Mama, Mbak Dahlia, dan Melati menegurku perihal Mbak
Cempaka, kuanggap mereka hanya ingin menjaga ketenangan rumah.
Kuhargai itu. Tapi, Mbak Cempaka kalau tidak ditegasi atau dikerasi
sekalian, tidak peka untuk mengerti.
Kapan aku bisa menyadarkan Mbak Cempaka kalau kelakuannya
kelewat batas? So egois, so selfish, so childish. Apa pula yang dilihat
para cowok selain paras ayunya? Andaikan mereka menginap sehari di
rumah, aku jamin, para cowok itu lari sipat kuping menjauhi Mbak
Cempaka: cantik, tapi lelet dan joroknya ampyuuuun! Helai rambut
panjangnya yang rontok, bungkus shampoo sachet, tutup odol, botol?
botol kosmetik kosong di meja rias. Tidak sepadan kecantikannya dengan
kerajinannya.
Beda dengan Mbak Dahlia, kamarnya selalu rapi. Ia rajin mencuci
alat shalat sampai keset kamarnya. Mungkin karena kosmetiknya tak
terlalu banyak, kamarnya juga tak terlalu berantakan.
Melati masih pupuk bawang, kadang rajin kadang malas. Kalau lagi
semangat, kamarnya licin hingga ke sudut?sudut. Jika sedang menjadi
kembarannya Mbak Cempaka, baju kotor bercampur pakaian dalam,
menumpuk di kamar.
Apa yang baik dari Mbak Cempaka?
Hm. Apa, ya?
Kenapa aku tak dapat menemukan celah kebaikan dari kepribadian
kakak nomor duaku itu? Cantik. Egois. Pelit. Tertutup. Mau menang
sendiri. Suka memanfaatkan orang. Suka menindas.
Betulkah tak ada kebaikan sama sekali pada diri Mbak Cempaka?
Semakin memikirkan wajah uniknya yang menawan, semakin takut aku
jadinya. Mengapa matanya yang damar kanginan, bagai lentera yang
redup, hitam jelaga terkadang demikian misterius?
Seingatku, Mbak Cempaka sejak kecil memang pesolek. Jarak usia
yang pendek denganku dibanding dengan Mbak Dahlia dan Melati
menyebabkan kami sering bertengkar. Namun, bila ada anak yang
mengganggunya di waktu SD, serta merta kuhantam dagunya.
Sebaliknya, bila seragam merah putihku rusak, Mbak Cempaka berbaik
hati meminjamkan.
Saat SMP, hubungan kami mulai renggang. Mbak Cempaka lebih
feminin, sementara aku lebih maskulin. Rasanya, semua berjalan baikbaik saja meski selera kami berseberangan. Sempat kurasakan Ayah
berat sebelah, sangat menyayangi Mbak Cempaka. Tetapi, pada akhirnya
aku tahu, Ayah mencintai semua anaknya. Aku, menempati bilik khusus
dalam hati Ayah. Kata Ayah, aku tomboy, pemarah, suka ceplas ceplos
tapi tak suka menyembunyikan sesuatu dalam hati.
Ya ya aku sudah me-Iist keburukan Mbak Cempaka.
Apa aku punya keburukan juga? Mestinya begitu. Kalau
direnungkan, setiap kali timbul permasalahan di rumah, aku selalu
mengaitkannya dengan Mbak Cempaka. Termasuk masalah Melati yang
baru saja terjadi. Padahal, belum tentu pengaruh buruk Mbak Cempaka
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang mengimbas. Boleh jadi, Melati memang punya bakat feminin,
senang berdandan yang sayangnya tidak muncul di saat yang tepat.
Sebelum Melati makin tidak sadar dengan kondisi keluarganya yang
sedang prihatin, aku harus mengambil tindakan tegas memarahinya.
Kurasa tindakanku tepat.
12! 49 50 '?? Episode 3
Bel istirahat pertama berbunyi. Serupa suara
terompet panjang tahun baru yang memekakkan
telinga, membuat terkaget?kaget tetapi dinanti
sepanjang waktu.
Beban anak sekolah di era milenium berbeda
bila disandingkan dengan era zaman kolonial.
Dahulu, orang berpikir bagaimana menjadi pintar,
membela tanah air, bergabung dalam organisasi
kebangsaan. Tampilan sederhana tak masalah, yang
penting bendera merah putih selekasnya berkibar
gagah di kantor?kantor dan sekolah?sekolah.
Puluhan tahun usai kemerdekaan, pikiran semakin
bercabang, berserabut?serabut Bagaimana cara
membeli pulsa. berburu telepon seluler merek
terbaru, kuliah kilat cepat tamat lalu mencetak
banyak uang. Bendera dan martabat kebangsaan
sering lewat begitu saja.
Terlalu banyak yang harus dipelajari, terlalu
banyak yang harus diserap, tapi terlalu lelah untuk
berpikir. Tak berbekas satu lintasan ilmu pengetahuan. Segera setelah
bel menjerit?jerit, anak-anak melepaskan semua beban serentak:
menguap lebar, merentangkan tangan, membuka telepon seluler?
yang sedari tadi memang sudah tersembunyi di laci?bergegas keluar
meninggalkan guru yang masih belum selesai berbenah.
Murid?murid SMA Utama berhamburan keluar kelas. T empat
paling ramai dikunjungi dan paling mengganggu benak sejak 30
menit yang lalu adalah warung Bu Padmo. Lotek dan gorengannya
enak, harga es kelapa mudanya juga masih terjangkau saku anakanak. Mereka rela antre berdesakan menunggu giliran. Tempat yang
jarang diminati adalah perpustakaan dan mushala. Menyedihkan.
Buku-buku, ensiklopedia, juga majalah-majalah sumbangan dari
beragam kedutaan besar dan konsulat jenderal, tak cukup menarik
minat. Mushala menjadi pilihan akhir untuk dikunjungi. Tempat
ini favorit saat bulan puasa atau ketika lari dari satu mata pelajaran.
Nyaman memang, menjulurkan kaki sembari terkantuk-kantuk di
atas karpet hijau yang empuk.
Dari jam pelajaran pertama, Melati merasa gelisah. Sebentarsebentar matanya mencuri pandang ke arah Wardah, cewek
berjilbab yang tekun menyimak guru di bangku depan. Begitu bel
berbunyi, Melati mencari-cari kesempatan untuk bisa
menemuinya.
"Mmm Wardah, mau ke kantin?" tanyanya gugup.
"Ei, Melati," Wardah kaget juga. "Enggak, kok."
"Aku pingin ngomong. Ssebentaaar aja. Bisa?"
Wardah tersenyum. Aneh juga. jarang Melati and the yang
berinteraksi dengannya.
"Boleh," sahutnya. "Di mana? Mushala? Perpustakaan?"
"Tempat yang sepi mana , ya?" Melati balik bertanya.
"Mushala aja, ya," Wardah memutuskan. "Nanti kalau di
perpustakaan, nggak enak kalau harus bisik?bisik."
51 52 Berdua mereka berjalan beriringan menuju mushala. Wardah
berniat menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya sebagai pengurus mushala: menempelkan artikel di
majalah dinding, melipat dan merapikan mukena, memilah alat
shalat yang harus segera dicuci lantaran keringat?keringat yang
menempel sudah membangkitkan bulu roma. Sederet pekerjaan
itu dimndanya demi melihat keseriusan Melati
Bimbang. ]ujur, itu yang dirasakan Melati. Haruskah ia
menceritakan masalahnya yang paling pribadi kepada Wardah?
Bagaimana jika ia tak mampu membantu dan malah berita
kesulitannya tersebar ke mana-mana? Batinnya berbisik: siswa di
kelasnya tahu gadis macam apa Wardah. Melati memang tidak tahu
banyak tentang dirinya. Ada dinding pembatas yang seolah
memisahkan alam berpijak mereka. Tapi, satu yang Melati ketahui.
Wardah gadis sederhana yang tidak suka obral omongan.
Meski tersendat, dibebani rasa malu dan tak enak hati, sedikit
demi sedikit mengalirlah keluh kesah dari bibir Melati. Wardah
mendengarkan penuh perhatian. Sesekali ia menyela jika ada yang
kurang dimengerti.
"So, itulah masalahku," Melati mengakhiri cerita. Wajahnya
terlihat lega.
"Kamu bumh berapa, Mel?" tanya Wardah.
Melati membelalakkan mata, kaget dengan reaksi yang
diterima.
"Eh aku ...."
"Ngomong aja, nggak apa-apa, kok. Kalau jumlahnya aku punya,
insya Allah aku bantu."
"Kamu percaya aku nggak akan menipu?"
Wardah tertawa.
"Kamu itu ada-ada aja! Kelihatan, kok, orang yang bohong atau
sakaw. Aku cukup tahu tentang kamu, lho, Mel Kamunya aja yang
nggak tahu aku. [ya, kan?"
Melati tersenyum malu.
"]adi, berapa?" Wardah bertanya lagi.
"Terserah kamu aja. Seberapa kamu mau pinjamin aku."
"Lho? Nanti utang Mama kamu tidak terlunasi kalau kamu
nggak mau bilang jumlahnya yang pasti."
"Mungkin kakak-kakakku juga sudah usaha. Aku cuma ingin
meringankan beban mereka."
"Oke, deh. Insya Allah besok kubawakan, ya."
"Wardah ...," suara Melati agak tertahan. "Tentang lowongan
pekerjaan yang tadi sempat aku singgung-singgung itu, gimana?"
Wardah tersenyum. Kamu anak baik Melati, bisik hatinya.
"Nanti coba aku carikan info."
Melati mengangguk. Waktu tinggal beberapa saat lagi menuju
mata pelajaran yang keempat Wardah menempel pekerjaannya di
majalah dinding mushala dibantu Melati. Rasanya tenang juga
berlama-Iama di mushala. Tidak hiruk-pikuk seperti di kantin. di
ruang musik, lapangan basket, atau tempat?tempat yang biasa
Melati jadikan tempat bercanda bersama gengnya.
*** Satu senja saat Melati sendirian di rumah.
"Lagi ngapain, Mel?" tanya Cempaka. Dilihatnya adiknya asyik
membolak-balik buku di ruang tamu.
"Oh lagi belajar Fisika. Besok ulangan," sahut Melati. Tumben
Mbak Cempaka perhatian, bisik hatinya heran.
"Mama mana?" tanya Cempaka.
53 "Ke rumah Bu RT. Ada urusan penting, katanya."
"Mawar?" tanyanya lagi.
"Tahu, tuh," Melati angkat bahu. "Sore begini belum pulang.
Kuliah tambahan, 'kali.'"
"Mbak Dahlia baru pulang nanti malam, ya?" gumam Cempaka,
seolah berbisik pada diri sendiri.
"lya. Ada apa, sih, Mbak?"
"Ow, nggak pa-pa," sahut Cempaka.
"Lho, mau ke mana bawa tas gede gim?" tiba-tiba Melati baru
tersadar melihat barang bawaan Cempaka.
"Mbak sudah bilang sama Mama kalau mau kos," jelas Cempaka.
"Kos?" mata Melati terbelalak. "Tapi Mbak, kan, punya rumah
di Yogya sini?"
"Mbak pingin mandiri, Mel," sahut Cempaka. "Bosen berantem
terus sama Mawar. Capek! Mbak kos sekitar kampus, biar hemat
biaya. Eh, nanti bakal sering-sering pulang, kok. Paling juga bakalan
sering nelpon ke rumah, sms kamu sama Mama juga."
Melati tidak tahu harus berkata apa. la bingung. Sedih juga
rasanya kehilangan satu anggota keluarga walaupun hubungan
mereka tak begitu dekat Tapi hati kecilnya dipenuhi beberapa
pertanyaan. Mbak Cempaka kos berarti mengeluarkan biaya.
]arang-jarang ada kos bulanan. Sekarang penyewa lebih senang
mengontrakkan kamarnya dengan sewa per tahun. Kalau ada yang
bulanan, biasanya berharga sangat murah yang dapat dijangkau
tukang bakso dan tukang es, atau malah berharga tinggi.
Uang dari mana? Tahukah Mbak Cempaka bila Mama sedang
kesulitan membayar utang? Apakah Mbak Cempaka sengaja tidak
peduli atau tidak ada yang memberi tahu? Rentetan tanya muncul
segera di benak. Meski Melati ingin bertanya banyak hal, namun
mulumya terkunci. ia hanya bisa berucap 'ya' ketika Cempaka
berpamitan sambil menenteng dua tas besar.
*** Mawar mcngetuk-ngetukkan jari.
Berjam?jam usai mata kuliah terakhir, ia menyendiri di ruang
mahasiswa pecinta alam yang bersebelahan dengan ruang-ruang
unit kemahasiswaan yang lain. Ruang mapala terletak di pojok
gedung, satu lantai dengan resimen mahasiswa dan unit kesenian.
Ruang mapala sebetulnya sebuah ruang luas berukuran empat
kali tujuh meter, bersekat-sekat, dilengkapi sarana yang
memudahkan mahasiswa melakukan pekerjaan administratif.
Bukan hanya surat menyurat seputar dunia pecinta alam yang
dikerjakan di ruang ini, tetapi juga mengetik tugas, skripsi, bahkan
membuat undangan pernikahan indie!
Ruang mapala cukup bermandikan cahaya, baik cahaya alam
dari matahari maupun lampu penerangan. Tapi, anggotanya yang
sebagian besar laki-laki menyebabkan ruang ini tak terawat Mawar
berulang kali membersihkan, tetapi tenaganya tak sebanding dengan
sekian banyak pemuda yang mengumpulkan bekas minuman kaleng,
bungkus makanan hingga puntung rokok. Ia sering senewen sendiri,
sebagai protes jika kejengkelannya memuncak. Semua kotoran sisa
makanan dan minuman dibiarkannya terbengkalai.
Sekarang, Mawar punya teman adik tingkat yang membantunya
berbenah. Eza, gadis kurus langsing yang ukuran tubuhnya tak
sepadan dengan hobi naik gunungnya. Mawar mengagumi keuletan
Eza dan keterampilannya mengelola sanggar mapala mereka. jika
ruang mapala telah tertata apik dan wangi, siapapun betah, bahkan
rela bermalam di dalamnya.
Semula Mawar tak mengerti mengapa Eza begitu rajin
memelihara sanggar. Belakangan Mawar mengerti, Eza sering
menginap di sini, bukan untuk berlaku tak senonoh. Eza hanya
55 56 beberapa kali pernah sekilas berujar bahwa ia sengaja menghindari
ibunya yang single parent dan kemudian menikah dengan seorang
lelaki. Pendek kata, Eza mengaku tak sepaham dengan ayah tirinya.
Meski samar dan tak ingin menduga yang tidak-tidak, Mawar tahu
suatu gejolak batin dahsyat tengah melanda Eza hingga gadis
sepertinya tinggal di sanggar mapala. Semoga, bukan jenis pelecehan
seksual Mawar bergidik membayangkannya.
Hari ini Eza kuliah. Padahal jika ia ada di tempat, Mawar dapat
menikmati minuman hangat bersamanya sembari berbincang.
Beruntung juga gadis manis super langsing itu tak di tempat, Mawar
butuh kesendirian.
Mouse dan cursor beberapa kali melompat?lompat tanpa
meninggalkan bekas tulisan. Layar monitor masih memperlihatkan
warna putih terang, beberapa baris kalimat berupa kop surat, hari
dan tanggal, tulisan 'kepada yth' diikuti titik-titik panjang
menyerupai barisan.
Mata Mawar mengerjap. Radiasi layar membuat matanya letah.
Berkedip, berair, tetapi ia tetap tak beranjak. Berkhayal di depan
komputer jauh lebih aman dibanding tempat mana pun. Orang
akan beranggapan si empunya berpikir dan bekerja, sementara si
pemilik jiwa mengembarakan alam bawah sadarnya menembus
matriks chip silikon.
Suara berdebam mengejutkan. Meski demikian, Mawar hanya
melirik sekilas dengan separuh alis terangkat:
"Beltim selesai juga ...'!" Rasyid terdengar sewot.
Mawar angkat bahu.
"Sini, biar aku yang ketik surat pengantarnya."
Rasyid mcngomel panjang pendek, sementara Mawar
menggeser tempat duduknya menjauh.
"Cuma tinggal buat surat pengantar, aku yang menyusun
proposal, cari tanda tangan, cari stempel, menyusun donatur. Ke
sana kemari," Rasyid berceramah. "Kalau sudah dikasih tanggung
jawab, jalankan, War!"
"Sorry, Bro ...."
Ito dan Ogil bergabung, menggelengkan kepala.
"Payah, nih, cewek," sindir mereka bersamaan.
"lieh, aku, kan, sudah bilang minta maaf! Nggak biasanya juga
aku begini? Biasanya aku terus yang buat proposal, ke sana kemari
cari dana. Ini kalian?dasar cowold?ternyata lebih cerewet dari
perempuan!"
Rasyid berhenti mengetik sebelas jari.
"Sudah, sudah ..," ia memelankan suara, menempelkan jari
telunjuk di bibir. "jangan berantem. Malu didengar tetangga ...!"
"Iya loh, Emak sama Bapak ini nggak pernah akur, makanya
anaknya kurus-kurus, nggak bisa punya anak banyak pula he
Mawar melotot Mengepalkan tinju.
Berkecimpung di ranah pecinta alam, para anggota yang terkenal
semaunya sendiri, umpatan dan ucapan yang kotor, tidak
menyebabkan nyali Mawar mundur. Cukup lama bergabung membuat
Mawar menilai, mereka anak-anak baik yang berjuang memaknai
hidup lewat kacamata diri sendiri. Anak-anak muda yang cukup punya
kesadaran, meski terkadang mulai mengkhawatirkan gelagatnya.
Mawar bersyukur, di mapala alias mahasiswa pecinta alam, ia sama
sekali belum pernah mengalami pelecehan. Pembicaraan mungkin
menyerempet sesuatu yang membuat telinga merah, tetapi lebih dari
itu, tidak. Pembawaan Mawar yang santai dan tegas, juga pakaiannya
yang sopan, membuat para anggota mapala tak punya keberanian
bersikap kurang ajar. Apalagi, Mawar dapat berubah menjadi galak,
sebenar?benar galak, bila ranah perempuan dibicarakan dengan
serampangan.
Rasyid melihat layar monitor.
57 58 "Emak lagi banyak pikiran?" Ito berlagak si anak sulung.
"Bapak lagi galak, ya, Mak? Nggak sayang lagi?" Ogil
menambahkan.
Mawar mendengus.
"Emak lagi nggak punya uang. Anak-anak. Bapak kalian cari
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
uang nggak dapat?dapat."
"Lho, katanya Bapak rajin ke masjid? Kok, duitnya mogok?"
Mawar menatap Rasyid yang masih sibuk berkutat dengan layar
komputer.
"itu yang ingin aku tanyakan," desis Mawar.
"Ile?"
"Aku serius," Mawar duduk merenung, melipat tangan. "Apa
ada orang yang ibadahnya rajin, tetap saja hidup sengsara? Kenapa
ada orang yang jahat, suka menyakiti orang lain, rezekinya
berlimpah?"
Ito dan Ogil bergabung, mendekati Rasyid lto menyodorkan
es teh dalam plastik ke arah Mawar yang ditolak dengan muka jijik.
lh, satu sedotan berdua? Yang benar saja! Bekas begitu.
"Huh, ya sudah! Ngak dapat berkahnya orang salih!"
"Apa? Kamu salih?"
"Lho, di mana-mana itu orang pada nyari berkahnya kiai. Bekas
air wudhunya, bekas minum dan makannya."
"Sorry lah yaaaaw kalau kiainya macam Imam Syafii, ya, aku
mau. Paling tidak macam Ismail Haniyeh," celetuk Mawar.
"Hah? Gubernur mana, tuh?"
"Perdana Menteri Gaza, bego!" Mawar menyumpah. "Biar
kepala masih awut?awutan, rambut masih berkibaran, yang ada di
sini tetap militan, Bro!" Mawar menepuk dadanya keras.
lto dan Ogil manggut tak yakin. Militan? Tak terbayangkan celana
jin beleL sandal jepit yang terkadang berwarna tidak sama, rambut
berkibaran warna merah bukan karena blonde tapi karena
pewarnaan asli radiasi UV matahari?berganti gaun feminin dan
kerudung? Tindik tiga di telinga mau disembunyikan? Wahai,
membayangkan wajah Mawar manis nian dalam bingkai jilbab, tapi
seringainya bagaimana? Gaya galak dan mengamuknya bagaimana?
Sikap cuek, melawan, tak suka hal?hal romantis-melankolis?dramatis
sungguh tak pantas disematkan pada muslimah metal macam dia!
"Rasyid pertanyaanku belum dijawab. Kamu kan pernah
nyantri?"
"Behhh," lto memonyongkan mulut bawah."Masih lebih alim
aku dibanding Rasyid. Ngakunya nyantri, tapi suka nonton bokep
juga ...."
"Hati-hati kalau memfitnah," Rasyid serius berujar." Fitnah
harus diikuti fakta yang jelas dan teruji."
Ogil tertawa meledak.
"lui namanya bukan fitnah, dodol! Kalau timah itu, ya, nggak
pakai fakta!"
"Diam semua! Aku tanya betulan! Kenapa orang baik, rezekinya
seret?"
"Nah, tuh."
"Betul."
Rasyid mengklik save, lalu berpaling pada rekan-rekannya.
"Orang salih memang rezekinya banyak, kok," ia yakin.
"Mana?" Mawar mencibir.
"Karena rezeki, ukurannya bukan hanya duit, Non. Buktinya,
Mama kamu yang baik dan salihah itu punya anak?anak perempuan
yang baik-baik dan cantik-cantik. Sehat walafiat Nggak ada yang
cacat. Coba, kalau kau itu diuangkan, berapa miliar, Mawar?"
*** 60 Meski merasa bahagia berada di sanggar mapala, rumah adalah
tempat paling dinanti bagi Mawar. Apapun keadaan rumah dan
konflik yang menunggu, tak ada yang selezat sambal buatan Mama
dan semua yang berasal dari olahan tangannya.
Mawar melalui sore dengan damai, menikmati pisang goreng
dan menyeruput wedangjahe nikmat Tenggorokan hingga lambung
dan ususnya menggeliat hangat.
Malam hari selepas Isya, Melati menceritakan kepindahan
Cempaka. Aneh, Mawar hanya dingin menanggapi.
"Yaaah memang begitu maunya. Mau apa lagi?" ujarnya
santai.
"Lho, Mama nggak mencegah? Mbak Dahlia dan Mbak Mawar
juga nggak keberatan?" Melati makin penasaran.
"Omongan Mama aja nggak ada yang didengar, apalagi omongan
Mbak Dahlia. Terlebih suaraku, wah, dia keburu tutup kuping."
"Tentang utang Mama pada Bulik Endang yang sebentar lagi
ditagih, apa Mbak Cempaka tahu?"
Mawar angkat bahu sambil merapikan meja belajar. Ia baru
sampai rumah menjelang maghrib. Rasanya capek sekali sesudah
mengikuti kuliah tambahan dan mengerjakan tugas paper,
menyelesaikan beragam pernak?pernik proposal. Sanggar mapala
Mawar akan mengajukan diri sebagai salah satu tenaga bantuan
bagian dari tim SAR yang siap menanggulangi bencana alam.
Pelatihan-pelatihan dibutuhkan sebagai tanggap bencana. Malu dan
gemas tiap kali mendengar berita bencana, korban ditangani sangat
terlambat berikut bantuan yang tak kunjung sampai. Idealisme
Mawar yang tengah niembibit bahagia, pupus oleh berita kacau
yang disampaikan si bungsu.
"]adi, Mbak Cempaka nggak tahu?" mata Melati membelalak. "Kok,
dia nggak diberi tahu? Seharusnya dia dikasih tahu, dong, Mbak."
"Mel, kamu kayak nggak tahu Mbak Cempaka. Kesibukannya di
senat, pecinta alam. music contest sampai organisasi tetek bengek,
udah nggak memungkinkan dia menyimak apa yang terjadi di
keluarga kita. Kalau itu masih aku dukung, deh. Tapi, kedekatannya
sama cowok?cowok bikin aku nggak tahan! Dia kelewat gaul Kelewat
supel Sampai-sampai kadang aku lihat sudah nggak etis lagi."
"Lalu gimana, dong, dia jauh begini?"
"Tahu Fian cowok yang dua minggu ini rajin ngapel?" Mawar
balik bertanya.
Melati menggeleng.
"Dia anak'l'eknik Elektro, setahun di atas Mbak Cempaka. Cakep,
sih, berwajah oriental kayak Kim Nan Gil yang di the Great Queen
Seondeok. Naga-naganya, dia itu cowoknya Mbak Cempaka."
"Ah, masa?" sahut Melati ragu.
"Aku sudah melancarkan perang dingin sejak awal dia ngapel
Mungkin itu yang menyebabkan Mbak Cempaka nekad pindah."
"Terus, dari mana Mbak Cempaka dapat biaya hidup kalau
selama ini masih bergantung dari Mama dan Mbak Dahlia?"
"Lho, kamu nggak tahu kalau Mbak Cempaka jadi penyiar di
Radio Salsa?"
Mata Melati terbuka makin lebar. Pantas mbaknya berani
pindah, rupanya sudah punya job. Diam-diam Melati iri. Asyik juga
punya penghasilan sendiri di samping tetap sekolah. Bisa tambah
wawasan, tambah pengalaman, dan tentu saja tambah uang saku.
Kalau Mbak Cempaka dengan mudah dapat diterima menjadi
penyiar itu karena ia cantik, supel dan suaranya renyah didengar.
Melati kembali menimbang-nimbang, kira?kira ia pantas jadi apa,
ya? jadi pelayan atau juru masak seperti yang Erisa tawarkan?
Ataukah Wardah punya saran lain?
*** 61 62 "Mel, aku ada usul," suatu pagi Wardah mendatangi tempat
duduk Melati. Bel masuk belum berbunyi. Melati sedang duduk di
samping Erisa yang tengah asyik membaca majalah.
"Usul apa?"
"Kenapa nggak coba nitipin kue di Bu Padmo? Oya, kamu
pernah dengar nggak kalau di Masjid Syuhada tiap jum'at dan
Minggu ada pengajian khusus buat remaja? Biasanya di situ dijual
macam-macam dagangan. jilbab, kaset, kue-kue. Nah, kita bisa
nitipin kue sama yang jaga stand. Gimana?"
Melati termenung sejenak. lya, ya? Kenapa tidak terpikir dari
dulu? Ia dapat menitipkan peyek, bolu, donat, atau makanan lain ke
Bu Padmo. Nanti Bu Padmo dibagi keuntungan juga.
"Kalau khawatir nggak sempat masak sendiri, coba cara ini,
nih," Wardah tambah serius. "Dekat rumah kamu, kan, ada pasar,
cari kios yang jual aneka macam makanan, trus kamu beli yang
kira-kira sesuai selera teman-teman sekolah kita."
Wardah berhenti sebentar mengatur napas. Erisa mulai tertarik
dan menutup majalahnya.
"Kalau beli banyak, kan, dapat potongan harga," ia melanjutkan.
"Nah, nanti kamu jual lagi dengan menambah sedikit dari harga
netto."
Melati menggigit bibir bawahnya. ia sedang berpikir keras.
"Kayaknya saran Wardah lebih masuk akal," Erisa menimbrung.
"Dibanding kamu harus jadi pelayan, misalnya. Kalau nitip kue,
waktu kamu bisa lebih fleksibel"
"ltu saran aku yang pertama," kata Wardah.
"Lho, masih ada yang kedua?"
"lya, tapi nanti aja, ya, pas istirahat Sekarang sudah hampir
masuk."
Saat jam istirahat tiba, Wardah mengajak Melati mengunjungi
tempat sakralnya selain kelas: mushala. Erisa ternyata ingin tahu
juga, mengintip apa yang akan dilakukan anak?anak di ruang paling
ujung sekolah mereka. Bertiga mereka berjalan beriringan. Di
mushala, hampir tak terdapat sosok lain kecuali satu cewek berjilbab
anak kelas sebelah yang usai mengerjakan Shalat Dhuha.
"Hai, Ros, habis shalat?" sapa Wardah akrab usai berjabat
tangan.
"lya, mau ulangan Matematika, biar tenang dulu," sahut Rosy.
"Tumben, Melati sama Erisa di sini."
Melati memandang Erisa sambil menyembunyikan senyum.
"Eh, sorry, aku nggak nyindir, lho," ralat Rosy. "Maksudku
kalian, kok, jarang kemari, padahal mushala enak buat tempat
istirahat dan belajar."
Sejenak, mereka berbincang seputar pelajaran dan guru-guru.
Tak lama bergabung Rosy berpamitan ke sanggar Pramuka. Dibanding
Wardah yang tenang, Rosy memang terkesan lebih gesit dan dinamis.
Rosy lebih suka kegiatan yang menantang: Pramuka, PMR, dan beladiri,
identik dengan dirinya. Wardah yang feminin lebih menyukai kegiatan
khas perempuan, seperti membatik dan membordir.
"Tuh, coba, deh, baca majalah dinding," Wardah menunjuk
tempelan warna-warni di dinding mushala. Melati dan Erisa
mendongakkan sedikit kepala.
DICARI GURU TPA PLUS.
"lni buat ngajar ngaji, ya, War." tanya Melati ingin tahu.
"lya. Tempatnya di daerah belakang Malioboro."
"Eh, emangnya aku bisa?" Melati ragu-ragu.
"Kenapa nggak dicoba?" tantang Wardah.
Melati terdiam agak lama sambil mengamati pengumuman
itu. 63 "Awalnya, Ramadhan tahun kemarin, Mbak Aisyah?kakakku?
diminta mengisi TPA anak-anak di sana," jelas Wardah. "Mbak
Aisyah bareng teman-temannya lalu intensif mengajar. Anak?anak
di sana kasihan. Lingkungannya nggak bagus karena banyak
losmen. turis, pedagang di sepanjang Malioboro."
"Trus, Mbak Aisyah masih di sana?" tanya Erisa.
"Nah, masalahnya Mbak Aisyah sekarang sibuk banget kuliah
dan kegiatan kampus. la minta dicarikan orang buat menggantikan
posisinya sebagai guru TPA. Terus, aku tempel pengumuman ini."
Melati masih terdiam.
"Ada uang transportnya, kok, Mel," Wardah tersenyum. "Orang
tua anak?anak itu cukup punya duit. Mereka berterima kasih sekali
ada yang mau ngajari anak-anak mereka cara shalat, cara wudhu,
bercerita tentang nabi-nabi."
"Ayo, Mel, terima aja," bujuk Erisa. "Aku sih, emang nggak
telaten sama anak?anak. Kamu, kan, pintar ngaji. Aku masih ingat
waktu Ramadhan kemarin, kamu baca Qur'an haguuus banget."
Melati menghela napas.
"Gimana, Mel?" tanya Wardah lagi.
"Aku pikir-pikir dulu, ya," sahut Melati akhirnya.
"Waktunya ba'da ashar sampai menjelang maghrib. Tempatnya
nggak begitu jauh dari Bausasran, rumahmu, kan? Ngajarnya juga
cuma empat kali seminggu."
Melati diliputi kebimbangan. Mengajar mengaji? Apa ia
sanggup? Apalagi jilbab belum menjadi bagian kesehariannya. Ah,
tapi nanti, kan, bisa pas ngajar pakai kerudung, bisik hatinya. Yang
penting, sekarang ada kesempatan cari uang sendiri. Hitung-hitung
menambah uang saku sekaligus mengembalikan pinjaman Wardah.
*** Sejak Cempaka tak di rumah, malam Minggu terasa sepi. Mama
mengaku tak mempermasalahkan kepergiannya. Tapi, seisi rumah
tahu, bukan seperti itu isi hati beliau yang sebenarnya. jika harus
bicara jujur, terus terang Mawar merasa bersalah. ibu mana yang
senang melihat anaknya bertengkar hampir setiap hari? Usia taman
kanak-kanak atau sekolah dasar, mungkin masih dianggap lelucon,
bahkan jika berkelahi hingga saling memukul atau menjambak.
Bertengkar di usia dewasa, bukan hal yang pantas ditertawakan lagi.
Mama pasti memendam banyak beban pikiran. Apalagi beliau harus
membesarkan anak sendiri sejak Ayah meninggal bertahun lalu.
Sekarang, tak ada cowok yang sering main ke rumah mencari
Cempaka. Telepon jarang berdering. Aneka ragam ringback tone
atau melodi pesan pendek sunyi. Anehnya, Mawar merasa kesepian.
Ia memang jengkel, selalu berasap dan meledak jika melihat sang
kakak kelewat ramah terhadap lawan jenis. Tapi dengan pindah
begini, malah makin meresahkan. Apa Cempaka baik-baik saja di
sana? Bagaimana teman-teman cowoknya? Bukannya Mawar tak
percaya pada Cempaka. ia hanya khawatir kesupelannya
disalahartikan. Cempaka gadis yang sangat menarik yang tak
diimbangi kemampuan beladiri apapun. ltu pertimbangan Mawar.
Kalau ia akan dengan mudah membanting orang yang bersikap
macam-macam. Maklum, Mawar penyandang ban coklat dan
termasuk salah seorang pelatih di Dojo kampusnya.
Saat malam larut, Mama belum beranjak dari depan televisi.
Gorengan yang dibeli Dahlia tak tersentuh sama sekali. Wedang
sekarang yang dibuatkan Mawar juga hanya diseruput sedikit. Mata
Mama menatap televisi, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
"ingat Cempaka, Ma?" tegur Dahlia lembut. Dipijitnya pelan
bahu tipisnya. Sejak Bulik Endang marah-marah sebulan lalu, berat
badan Mama menyusut drastis. Perempuan paruh baya itu
mengelus tangan Dahlia sambil tertawa pelan.
65 66 "Anak itu kalau di depan mata bikin pusing, tapi kalau jauh
bikin kangen," kata Mama.
"Termasuk Mawar, ya?" Mawar yang sedari tadi diam di kamar
ikut bergabung.
"Kalau Melati selalu baik, kan?" dengan manja Melati
menggelendot di lengan.
"Mama sayang kalian semua," sahut Bu Kusuma. "Hanya kalau
kalian sudah bertengkar, dada ini mau meledak. Sesak. Adaaa saja
yang diributkan. Mulai dari kamar mandi, sabun, handuk, hingga
telepon."
Bagi semua, kepergian Cempaka memang membuat suasana
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi muram. Walau memang sering tak peduli urusan rumah
bukan berarti ia menjadi tak dicintai.
"Mama mau Cempaka dijemput?" Dahlia menawarkan diri.
"Mawar minta maafya, Ma," Mawar duduk di kaki sang Bunda.
"Mawar sering emosi, jadi Mbak Cempaka nekad pindah."
Mama terdiam agak lama. Matanya lalu terlihat berkaca?kaca.
"Sebetulnya, Mama yang mau minta maaf," ujar beliau pelan.
"Tidak bisa membesarkan kalian dengan layak. Dahlia harus kerja.
Sekarang, Cempaka juga. Mama nggak menyalahkan kalau dia
pindah."
Mama menyusut mata.
"Kalau Mama terlihat longgar mengawasinya, itu karena Mama
merasa ia sedang mencari sosok seorang laki-laki yang hilang sejak
Ayah meninggal. Kamupun nggak bisa disalahkan juga, Mawar."
Mawar merasa hatinya pilu.
"Kamulah yang paling mirip Ayah dalam hal sifat," Mama
mengelus rambut cepaknya. "Karena itu, kamu yang sering merasa
harus bertanggung jawab terhadap martabat keluarga ini."
Dahlia merasakan matanya basah.
"Maafkan kalau Dahlia nggak mampu membantu lebih banyak
- "
lagi.
"Kamu sudah sangat berkorban, Lia," Mama tersenyum. "Mogamoga itu akan mengangkat derajatmu kelak karena sudah berkorban
banyak untuk keluarga ini."
Tenggorokan Melati kering. ia melihat wajah itu semakin tua
dan lelah. Mama, Mama, Mama. Apa jadinya bila Mama tiada?
"Ma," Melati akhirnya berkata. "Melati punya sedikit uang, buat
bantu-bantu melunasi utang."
"Eh?" Mama terhenyak kaget. "Uang dari mana?"
"Melati pinjam, tapi nanti diganti. Minggu depan insya Allah
ngajar TPA di dekat Malioboro sana."
"Mawar juga mau nyumbang," Mawar masuk ke kamar
sebentar.
"l.ho, ini uang dari mana?" Mama melongo tak percaya.
"Pokoknya nggak usah khawatir. lni halal," Mawar menegaskan.
"Iya, cuma pingin tahu uang ini dari mana?"
"Mawar jual beberapa celana jeans ke pasar loak," Mawar
meringis, menggigit bibir, tapi juga menahan tawa.
Dahlia pun membuka rahasia.
"Aku nggak menyangka adik-adikku care pada Mama dan
keluarga ini. Aku juga ikutan menyumbang."
Mama semakin terbengong-bengong.
"Yang ini dari mana lagi, Lia?"
"Sementara Dahlia gadaikan dulu anting intan yang pernah
dibelikan Ayah."
67 68 Air mata Mama menetes perlahan. Perasaan sedih bercampur
baur bersama rasa terkejut dan rona bahagia.
"Terima kasih sekali, Nak. Sebetulnya, Mama sudah pinjam
dana PKK dari Bu RT. Tapi, nanti dikembalikan kalau dana dari
kalian sudah mencukupi untuk bayar utang ke Bulik Endang.
Sayang, rasanya masih ada yang kurang."
Mawar tahu apa yang dimaksudkan. Pasti Mama berharap
andai Cempaka ada di situ, tentu kebahagiaannya lengkap. Mawar
sendiri tidak tahu bentuk perasaan yang sebenarnya terhadap
Cempaka. Benci ataukah iri, dengki ataukah cemburu, sayang atau
apalagi yang sejujurnya berkecamuk dalam batin. Hanya tiap kali
namanya disebut, perasaan marah terlebih dulu melumer di ruangruang hatinya.
12! :! 4, Episode 4
Ratu Bak Mandi, kuriang bernyanyi,
Busa putih membumbung tinggi,
Kokoh mencuci, bilas, dan peras,
Percepat pakaian kering;
Segera menuju udara segar bebas berayun,
Di bawah langit cerah.
Aku berharap kita bisa mencuci hati dan jiwa
Dari noda-noda sepekan lalu,
Biarkan air dan udara dengan sihirnya
membuat kita murni seperti diri mereka
Lalu bumi sungguh akan menjadi
Hari Cuci yang Meriah!
Sepanjangjalan kehidupan yang bernilai
Hasrat hati yang pernah mekar;
Pikiran yang sibuk tak punya waktu untuk berpikir
akan kesedihan, kesusahan, atau kemurungan
Dan pikiran cemas mungkin hanyut
Selama kita sibuk menggenggam sapu
69 70 Aku gembira diberikan tugas
untuk bekerja keras hari demi hari;
Hal itu memberikan kesehatan, kekuatan, dan harapan,
Dan aku riang berkata
"Kepala, silakan berpikir; jantung, silakan merasa;
Tapi tangan, kau akan selalu bekerja! "
" Louisa May Alcott
Melati seketika teringat puisi gubahan penulis yang tenar
dengan buku legendaris Little Women. Anak-anak tak pernah merasa
lelah, tak pernah menyimpan keburukan di hati, tak pernah merasa
dieksploitasi
Anak?anak adalah rancangan alami siklus kehidupan. Permata
yang menghiasi rantai kebosanan kehidupan orang-orang dewasa,
zamrud yang memberikan pendar kecantikan. Aroma wangi yang
menyempurnakan bunga tercipta.
Dua bulan mengajar, Melati menimba banyak pengalaman. Di
TPA An-Nuur, ia bekerja sama dengan Mbak Asri dan Mbak Neni,
keduanya pemudi Karang Taruna Bausasran yang selepas SMU
belum punya kegiatan lebih lanjut Awalnya, Melati kegerahan
memakai kerudung. Beltim terbiasa, memang. Tapi, mana mungkin
mengajar mengaji tanpa berjilbab? Anak?anak protes keras! Mereka
saja mencoba berjilbab meski rambut menyembul di sana sini.
"Orang yang berbakti pada orang tua kelak akan masuk surga,"
tutur Melati suatu kali. "Hayono, siapa yang mau masuk surga?
Makan es krim gratis dan cokelat sepuasnya!"
"Cita-cita Lina jadi artis aja, deh," seru gadis mungil di ujung
depan. "Biar masuk televisi."
"Kalau Dessy mau jadi guru," timpal Dessy. "Tapi yang gajinya
besar!"
"Nila mau jadi pedagang, ah!" Nila tak mau kalah. "Kayak Papa
tiap hari ada aja uangnya, buka toko batik di Malioboro."
"Lely cita-citanya masuk surga," si pipi tembem bergumam
kalem. "Di sana banyak es krim, ya, Kak?"
"Venda sama Venty pokoknya besok besar nggak bercita-cita
pakai jilbab," serempak bersuara si kembar dari bangku belakang.
"Lho, kenapa?" Melati penasaran.
"Soalnya tetangga Venda pakai jilbab anaknya banyak."
"lya, Venty dengar Mama di klub senam bilang, anak banyak
bikin badan wanita melar!"
Masya Allah, Melati geleng-geleng kepala. Anak-anak mungil
Malioboro ini mampu berpikir kritis dan cerdas. Daya tangkapnya
cepat, mudah pula terkontaminasi banyak hal. Beberapa masih
memiliki pemahaman jernih, sejernih awan keperakan yang
menggantung di kaki langit senja.
Dewa Arak 69 Peti Bertuah Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama