Rose Karya Sinta Yudisia Bagian 2
"Magda pernah ikut pengajian Mbah Putri di kampung. Katanya,
kalau sudah besar nggak pakai jilbab berdosa, ya, Kak? jangankan
masuk surga, mencium baunya saja tidak."
Nah lo! Melati mati kutu
"] iya. Katanya, sih, begitu," Melati tersendat menjawab. ]adi
malu sendiri. Buru-buru ia mengalihkan perhatian dengan
berpindah ke cerita nabi. Mbak Asri dan Mbak Neni cekikikan
melihat wajah Melati yang merah padam. Meski masih suka
bercelana panjang, tapi keduanya sudah cukup rapi menutup aurat
dari yang nonmahram.
Dua bulan terakhir, Mawar sesekali menjemput Melati saat
sore menjelang maghrib. Sepeda motor yang dulu sering dipakai
Cempaka, untuk sementara berganti pemilik. Dulu, kendaraan ini
kerap kali menjadi barang rebutan. Tanpa Cempaka, Mawar merasa
71 72 serbasalah. Agar tidak dituduh menjadi monopolinya seorang diri,
dengan rela hati Mawar menjemput Dahlia, Melati, dan mengantar
Mama pergi bila ada keperluan.
"Yema, lyus, Rubi, Nita, sekarang saling memaafkan sebelum
pulang," Melati mengakhiri pelajarannya sore ini. "Nggak boleh
berantem lagi. Nanti Allah nggak sayang kalau kita tidak mau saling
mengasihi. Hayo, salaman dan jangan diulangi lagi berantemnya."
Mawar tersenyum di atas sadel sepeda motor. Si bungsu bisa
juga bersikap dewasa. Di rumah sering manja dan kelokan, apaapa maunya tunggu komando dulu baru mau jalan.
"Mbak, aku mau ke tempat Mbak Cempaka." Melati
menghampiri Mawar yang sudah bersiap menstarter sepeda motor.
"Tadi aku disuruh Mama ngirim kolak pisang sama peyek kacang
buat Mbak Cempaka. Anterin, yuk'!"
"Waduh, aku mau ke Monjali, Mel," Mawar menggelengkan
kepala, menepuk dahi kemudian. "Mau ngerjain tugas paper, soalnya
cuma Ningsih yang punya data-data valid di kelompokku."
"Ya, udah. Eh, Melati ikut sampai bunderan UGM aja, deh. Apa
sampai perempatan jalan Kaliurang sekalian, ya?"
Mawar mengangguk. Melati melambaikan tangan pada anakanak, juga pada Mbak Asri dan Mbak Neni. l'lati Mawar serasa
diaduk-aduk. Apa, sih, susahnya mengantar Melati sampai ke
Pogung? Toh, tidak terlalu jauh dari perempatan jalan Kaliurang.
Lagipula, Ningsih tidak akan mempermasalahkan ia datang sedikit
terlambat dari waktu perjanjian. Yang penting, tugas dari Pak Yahya
selesai minggu ini.
"Bener, nih, nggak mau ke tempat Mbak Cempaka?" tanya Melati
memastikan sesampai di perempatan jalan.
"iya! Bilangin sorry, ya. Aku harus buru-buru ke rumah Ningsih.
Lain kali aja, deh, aku ke sana kalau agak longgar waktunya."
"iya, deh," sahut Melati. la melambaikan tangan ke arah Mawar
yang mulai melaju. Hati kecilnya berbisik, Mawar memang sengaja
banyak menghindar dari Cempaka. Kalau Cempaka menelepon ke
rumahpun ia jarang bicara. Entah mengapa.
*** Hampir setiap Minggu pagi, Melati menghilang. Gadis manis
itu mencoba berwiraswasta di Masjid Asy-Syuhada, menjaga stand
makanan ditemani Mbak Nunu, anak Karang Taruna Bausasran.
Melati membawa emping goreng, arem-arem, pro] tape, bolu
pandan, atau berbagai makanan yang ia variasikan sendiri. Tinggal
beli di pasar, lalu dijual dengan harga lebih. Dagangannya laris manis
karena ia pintar bergonta ganti menu. Sambil menunggu dagangan,
ada juga sentilan-sentilan dari penceramah yang memerahkan
telinga. Mengenai ajaran Islam, hampir setiap orang muslim
mengakui kebenarannya. Tapi, giliran pelaksanaan, wah, pikirpikir dulu. Pakai tawar-menawar lagi, begitu yang sempat
didengarnya. Melati mulai menimbang-nimbang diri. ia teringat
Ayah yang telah lama tiada. Bahagiakah Ayah melihat kondisi anakanaknya yang seperti sekarang? Beberapa hari belakangan, Melati
sering merenung.
jauh dari arah pandang Melati, rumahnya diwarnai berbagai
kesibukan pula.
Minggu pagi ini, Bu Kusuma berdandan rapi.
"Lho, mau kemana, Ma?" tegur Dahlia.
"Pingin nengok Cempaka. Biasanya cuma nitip aja sama
adikmu Melati. [ni, kok, pingin ke sana sendiri."
"Dahlia antar, ya, tapi naik bus aja. Lia masih takut boncengin
orang sejak diserempet bus dulu."
"Nggak usah. Kan kamu biasanya tugas masak. Kalau Mawar
mau ngantar nggak, ya?"
73 74 Mawar yang mendengar pembicaraan pura-pura tertidur pulas
di kamar, menyusupkan kepala di bawah bantal Bukan menghindar,
apalagi mencoba bohong. Beberapa hari belakangan harus pulang
menembus hujan deras. Meski dibalut jas hujan tebal, cuaca dingin
menembus kerongkongan hingga tulang-belulang. Tugas kuliah dan
organisasi sambung-menyambung, dengan kuantitas tidur yang
sedikit, lambat laun tubuh perkasa Mawar mulai memperlihatkan
kerapuhannya. Sedikit demam bercampur pening, suara sorak dan
hidung yang memperdengarkan gaung ibarat lorong panjang goronggarong di bawah tanah: mampet Tubuhnya serasa remuk redam.
Tulang nyeri. Hanya tidur, makan, tidur lagi yang ingin dilakukan
Mawar. Sebetulnya, dengan sedikit tekad baja, bisa saja ia
mengantarkan Mama menemui Cempaka. Tapi, bukan itu
kemauannya saat ini. Kepalanya pening bukan kepalang, dibawa
tidurpun tak lekas hilang.
"Nggak tahu tuh, Ma. Tadi malam, Mawar minum jamu tolak
angin, kayaknya masuk angin. Lia tanyain dia dulu, yah?" Dahlia
menawarkan diri.
"Sudah, nggak usah," Mama menepiskan tangan sambil
menggeleng. "Naik becak aja. Kamu jaga rumah sama masak ya,
Nduk?"
"Tenang Mama sanmi-sanmi sambil jalan-jalan, nggih
Dahlia memanggil tukang becak langganan, seorang lelaki tua
sebamngkara yang sering mengantarkan Mama berbelanja atau
keperluan lain. Tempat duduk di samping Mama dipenuhi aneka
ragam makanan: gudeg, emping kesukaan Cempaka, juga kue kering
olahan sendiri. Dahlia tersenyum lebar, turut merasakan keceriaan
Mama yang sejak pagi bersenandung.
Ilanya berdua bersama Mawar, rumah terasa sepi. Apalagi,
Mawar yang biasa berceloteh, meringkuk bisu di kamar. Dahlia
menyetel televisi, sekadar menimbulkan suara-suara ribut demi
mengisi kekosongan hati. ia menuju dapur dan memulai aktivitas
kegemarannya: memasak. Menu hari ini sayur bobor, peyek kacang,
tempe goreng dilengkapi sambal terasi ulek. Wuah, sedap!
Membayangkannya sudah menerbitkan air liur.
Sayup di ruang tengah terdengar channel televisi berganti.
Dahlia melongok sejenak, Mawar terduduk lunglai di depan televisi.
Biasanya, gadis itu menghabiskan waktu seharian menikmati film
kartun. Tampaknya, ia tak bersemangat menikmati acara televisi.
Saluran berganti acara seputar dunia memasak.
Hati Mawar kesal ingin melampiaskan amarah, entah harus
bagaimana. Perutnya masih menyisakan rasa mual. Angin betah
berpumr-pumr dalam kantong lambungnya. Ia berharap Mama
membuatkan segelas teh manis hangat sambil mengeroki
punggungnya, memanjakan dengan membuat agar-agar atau bubur
sumsum. Jangankan masak, menengok ke kamar saja tidak. Hanya
menanyakan apakah Mawar sudah meminum obat, itu saja.
Yang ditengok malah anaknya yang jauh di Pogung, Mawar
menggerutu dalam hati. ia melangkah gontai ke dapur.
"Eh, sudah bangun?" tegur Dahlia. "Masih pusing?"
Mawar diam saja di depan meja makan. la rebahkan kepala di
lengannya sendiri yang terlipat di atas meja.
"Kalau masih pusing, bobok aja sana."
"Mama mana?"
"Nengok Cempaka. Kangen barangkali."
"Aah, Mama!" Mawar menggerutu, tak mampu
menyembunyikan kekesalan. "Yang dekat sakit nggak dilihat?Iihat
Yang jauh sehat malah ditengokin."
"Paling cuma sebentar. Sebelum dzuhur juga pulang. Manja
amat," Dahlia mencibir.
75 76 "Orang minggat, kok, dikasih hati," umpat Mawar.
"Mawar!" tegur Dahlia tajam. Suaranya terdengar tak suka.
"Kamu kalau lagi marah sering nggak bisa jaga mulut Ngomong
apaan, sih?"
"Kenapa, sih, Mama bela-bolain nengok Mbak Cempaka?
Padahal dia pernah kasih perhatian apa sama ibu kita. Dia lebih
perhatian sama cowok-cowoknya. Lihat kalau pas mereka main
kemari. Sibuk buatin teh, beliin kacang apa gorengan. Apa sama
Mama pernah begitu? Apa kalau Mama sakit, Mbak Cempaka mau
kerokin, beliin obat atau jamu, ngantar ke dokter? Nggak, kan?"
Dahlia mencoba bersabar dalam diam sembari menyiangi
sayuran. Yang dikatakan Mawar tak salah. Cempaka memang
perhatian terhadap teman-toman, tetapi enggan berbagi dengan
saudara sendiri. Terhadap Mama pun, seringkali ia tak peduli. Tapi
bukan hal bijak pula andai Mama mengabaikannya, seperti usulan
Mawar. Mawar bila sedang marah bisa jadi amat galak. Agresif. Salah
satu pihak harus bertahan, tidak terpicu kemarahan, jika ingin keadaan
tidak meledak tak terkendali. Dahlia mencoba berkonsentrasi pada
kesibukan memasak, menarik napas dalam-dalam. Sabar, sabar, sabar.
la mengaiirmasi diri sendiri. Kata pepatah, yang waras mengalah.
"Apa karena Mbak Cempaka paling cantik, jadi paling disayang?
Seolah dia nggak pernah salah walau kelakuannya kelewatan.
Kenapa Mama lebih sayang ke dia, sih? Kenapa Mama pilih kasih
dengan lainnya?"
|"
"Mawar Dahlia menekan suara, menekan kemarahan sekuat
mungkin. ]emarinya kaku, menegang. Tarikan napasnya tak
seteratur tadi. Fokusnya tak lagi ke sayur mayur. terlalu kalau
kamu menganggap Mama begitu."
"Lihat pembagian tugas rumah! Mbak Cempaka sering lupa, trus
Mama yang menangani. Maaf, maaf, katanya. Santai banget! Mama
nggak marah. Tapi, kalau aku yang lupa nggak jemput Melati
hmmhhh!" Mawar menampilkan ekspresi tak suka saat menyebut
sikap Mama. "Sekarang Mbak Cempaka pergi tanpa tahu permasalahan
rumah, Mama pun nggak ngasih komentar. Kalau aku yang begitu, apa
akan sama keadaannya? Mama nggak adil. Berat sebelah!"
"Mawar!" bentak Dahlia. la betul?betul berhenti mengurus
sayuran, lalu meletakkan pisau. Matanya menatap tajam.
"Apa? Mawar salah lagi? Bagi Mbak Dahlia, posisi Mbak
Cempaka saat ini benar? Nggak peduli Mama dan saudarasaudaranya prihatin, yang penting dia senang di sana. Senang, asyik
pacaran sepuasnya! Begitu?"
Mata Dahlia dan Mawar beradu dalam gejolak api. Sekuat
apapun Dahlia menahan diri, perlahan suhu badannya meningkat
seiring kemarahan Mawar yang tak terkendali.
"Apa Mama nggak takut membiarkan anak gadisnya sendirian
di sana berarti seperti bakalan merusak pagar ayu? Tanpa
pengawasan begini, bebas merdeka, bisa jadi tiba-tiba Mama sudah
punya cucu!!"
"Mawaar!"
Plaaak!
Dahlia tertegun. la terkejut sendiri tangannya begitu ringan
melayang. Namun, Mawar lebih terhenyak, ia terbiasa merasakan
kejamnya alam di mcdan-medan pendakian gunting. la terbiasa
menerima perlakuan keras simpai di Dojo Kempo. Tapi, tidak di rumah
ini. Rumah yang seharusnya senantiasa menawarkan keteduhan dan
perlindungan. Kalau Mawar mau, Dahlia bukan orang yang tangguh
untuk diajak adu kekerasan. Kakaknya tak pernah berlatih beladiri
seperti dirinya. Tentu, ia tak ingin membalas tamparan Dahlia. Bukan
wajahnya yang meradang luka, namun di suatu tempat, nun jauh di
relung hati. Mawar bangkit tegak. Tak ada air mata yang harus tumpah.
Buat apa menangis? Masalah tidak akan selesai. Sekarang, ia perlu
77 78 tempat untuk menenangkan diri. Melupakan tubuh demamnya yang
seketika berubah berkeringat. Peningnya masih tersisa, namun tak
cukup kuat untuk beradu dengan kemarahan. Mawar masuk kamar,
mengemasi ransel membawa beberapa potong baju, sarung, senter,
dan uang secukupnya.
"Bilang sama Mama, Mbak," ujarnya lugas, sarat luka, tanpa
ingin berbantahan. "Aku pergi."
Dahlia menarik napas panjang, menyeka keringat di dahi. Rasa
bersalah menimbun hati, tapi tak semudah itu meluncurkannya
lewat lisan.
"Ke mana?" Dahlia bertanya dingin.
"Merapi."
Punggung Mawar menghilang di balik pintu.
Dahlia terkulai duduk. Berkurang lagi satu orang penghuni
rumah. Apa kata Mama bila pulang nanti? Melati, cukup dcwasakah
ia untuk diajak bertukar pikiran? Dahlia merasakan dadanya
dipenuhi kecamuk perasaan yang tumpang tindih. Duh Gusti, masih
kurangkah pengorbanannya demi mempertahankan keutuhan
keluarga? Setelah berhenti kuliah di tengah jalan, banting tulang
mencari uang, adakah lagi yang dapat dilakukan agar adik-adiknya
tetap rukun dan saling menjaga perasaan?
*** Melati duduk di teras rumah Wardah, di bawah rerimbunan
daun mangga. Matanya menjelajah seisi rumah. Sebuah toko
kelontong yang mungil dan lengkap, dibangun di depan. Siang hari,
Bu Banon, ibu Wardah, membuka kios makanan dan minuman.
Lotek dan es dawetnya dikenal enak. Aisyah clan Wardah
bergantian mengurus toko, begitupun Pak Ali, suami Bu Banon.
"Buatin lotek sama es dawet, Dek, buat Melati," pinta Aisyah
pada Wardah.
"Eh, nggak usah repot-repot, Mbak. Tapi, kalau nggak repot ya
nggak apa-apa," sahut Melati, menyeringai senang.
"Capek ya, dari sekolah langsung kemari?"
"Ah, biasa aja, kok, Mbak. Lagian memang Melati mau laporan
masalah perkembangan anak?anak An-Nuur."
Bertiga mereka membahas masalah seputar TPA, berbincang
sambil menikmati makanan di bawah pohon mangga. Sesekali
Aisyah melayani pembeli di toko kelontong.
"Keluarga kamu kayaknya running well, ya?" cetus Melati.
"Ya, alhamdulillah," Wardah tersenyum. "Warung ini jadi
masukan utama bagi keluarga kami."
"Dulu kami susah banget, Mel," kenang Aisyah. "Bapak jadi
sopir taksi. Ibu jualan lotek dan gaclo-gado. Yah, yang namanya sopir,
hidupnya di jalanan. Teman?teman Bapak nggak shalat, Bapak
keikut. Boro-boro shalat lima waktu, shalat ]um'at aja nggak."
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"lya, Mbak?" mata Melati terbelalak.
Wardah mengangguk. "Lalu, Bapak kena musibah. Taksinya
tabrakan, kakinya diamputasi. Harta kami habis-habisan untuk
membayar taksi dan pengobatan. Tapi, di situlah titik baliknya."
"Mbak Aisyah masih SMP dan Wardah SD," lanjut Aisyah.
"Kekurangan uang membuat kami utang sana-sini, dimaki sanasini. Hanya Allah tempat mengadu. Mbak masih ingat, waktu SMP
dulu sudah rajin shalat malam sambil menangis tersedu-sedu,
minta tolong dikeluarkan dari masalah. Rasanya hati ini sakiiit
banget kalau menerima perlakuan dan perkataan pedas. Tapi, mau
gimana lagi. mau minta tolong pada siapa lagi?"
"Terus, kita dapat pinjaman dari BMT Syari'ah, ya, Mbak?" lanjut
Wardah. "Buka toko kelontong kecil?kecilan. Bapak jualan bensin
literan di pinggir jalan. Subhanallah, alhamdulillah. Utang terbayar,
hidup mulai lancar."
79 80 "Begitulah, Mel," Aisyah menyeruput es teh. "Akhirnya timbul
keyakinan. Makin kita (lekat kepada Allah, makin mudah mengatasi
masalah. Makin taat kepada Allah, makin besar keyakinan akan
datangnya pertolongan."
Melati menyimpan baik?baik cerita itu dalam memorinya. Sejak
Ayah meninggal, keluarganya tambal sulam memenuhi kebutuhan
hidup. Pensiun peninggalan Pak Hamid, ayahnya, tak cukup untuk
mereka berlima. Apalagi setelah mereka beranjak semakin besar.
Mama terpaksa utang sana-sini agar kakak-kakaknya tetap kuliah.
'l'etapi, demi dilihatnya keluarga Wardah, Melati kembali bertanya?
tanya. Pola hidup keluarga Pak Ali sangat bersahaja. Mbak Aisyah
dan Wardah begitu sederhana dalam penampilan dan gaya hidup.
Di rumah, sebagai pencari nafkah, Dahlia senantiasa berusaha
hidup berhemat; Mama juga jauh dari kemewahan. Namun,
dibanding keluarga Wardah, masih ada yang terasa kurang di
tengah keluarga Melati.
llanya Mama yang rajin shalat tepat waktu, ditambah amalan
sunah. Melati malu mengakui, ia masih sering terlambat Subuh.
Shalat menjelang akhir waktu. Ketiga kakaknya pun demikian.
Meski masih mengaji Al-Qur'an, intensitasnya jauh dari apa yang
dilakukan keluarga Wardah.
Mbak Aisyah lebih lanjut menjelaskan, bukan berarti ketika
seseorang giat beribadah dan dekat kepada Tuhan, hidupnya mulus
tanpa ujian. Beriman tidak beriman, beramal tidak beramal,
manusia selalu menemui masalah. Bedanya, mana yang mampu
berpikir jernih dan mencari jalan keluar; mana yang segera putus
asa. Kalaupun menemukan jalan keluar, semakin berbelit rumit
dalam kesulitan yang tiada akhir.
Melati merenung. Keempat putri Mama baik?baik saja. Meski
memang, ada sesuatu yang terlihat mulai menyimpang. Dahlia
workacholic, menenggelamkan diri dalam pekerjaan jika suntuk
memikirkan sesuatu. Cempaka sibuk dengan dunianya, berteman
dan menerima kebaikan teman cowok tanpa batas-batas etis, tak
peduli apa konsekuensinya. Mawar melarikan diri ke gunting tiap
kali menghadapi problema yang tak terpecahkan. Melati sendiri?
Melamun, bermalas?malasan, tak cepat tanggap.
"He, ngelamun?" Aisyah menepuk tangannya.
Melati tergeragap, tertawa menyembunyikan rasa malu.
"Kabar ibu sekeluarga bagaimana, Mel?" tanya Aisyah.
"Mama baik. Mbak Dahlia baik. Aku juga baik-baik saja. Mbak
Cempaka dan Mbak Mawar nggak tahu."
Aisyah dan Wardah berpandangan dalam diam.
"Yah, aku juga lagi pusing, Mbak, lihat kemelut di keluargaku,"
keluh Melati. "Mungkin karena sudah besar-besar, masing?masing
nggak mau ngalah, yakin dengan jalannya sendiri-sendiri. Akhirnya
ya bentrok. Kasihan Mama."
"Kalau kamu sendiri, bagaimana?" pancing Wardah.
"Aku pingin konsentrasi ngumpulin uang," jujur Melati berkata.
"Biarbisa bantu Mama sedikit?sedikitdan aku punya uang pegangan
sendiri. Oya, makasih, ya, War, kamu banyak membantuku
mengatasi masalah keuangan."
"No problem," Wardah tersenyum tulus.
"Sabar, ya. Mel," hibur Aisyah. "Manusia harus segera punya
pegangan saat menghadapi masalah. Terserah mau bersandar pada
siapapun. Tapi, pengalaman kami pribadi, bersandar pada manusia
menumbuhkan kehinaan. Bersandar pada Tuhan, menemukan
jalan keluar."
Usai menemukan titik tenang, Melati berpamitan. Airmata
seakan berniat meloncat keluar saat menemui Pak Ali, walau sekuat
tenaga tersembunyi. Lelaki paruh baya dengan sebelah kaki dan
wajah teduh bijaksana. Sosok lelaki yang telah lama hilang dalam
81 82 keluarganya. Sosok yang mampu menjadi pengayom. Andai Ayah
ada, semuanya pasti berjalan sebagaimana kehidupan normal yang
seharusnya. Tanpa kesulitan ekonomi, tanpa perkelahian. Wajah
Melati pucat dan lelah. Wardah menangkap kepedihan itu.
"Sering?sering main, Mel," ajaknya.
Melati mengangguk.
Berbagai pertanyaan silih berganti menembak isi kepala
Melati. Apa yang akan terjadi esok hari? Apa yang harus dilakukan?
Pada akhirnya, ketika ia harus berpamitan pulang, ada rasa enggan
yang muncul Enggan meninggalkan ketenangan yang ada di rumah
itu. "Sering main kemari, Nak," ucapan Pak Ali terngiang-ngiang.
"Wardah sering cerita tentang kamu."
Melati tercekat. Kerinduan akan seorang Ayah mencekik
seketika.
"lya, anggap aja ini rumah kedua kamu," Wardah menyambung,
merasakan keharuan yang sama demi dilihatnya mata Melati
berkaca.
Termenung, Melati berjalan langkah demi langkah menuju ke
perhentian bus. Rumah yang sepi dan asing telah menunggu.
*** Kabut dingin turun menyelimuti Kaliurang.
Orang-orang merapatkan sweater atau jumper ke tubuh mereka
atau malah melilitkan sarung di kepala dan menyisakan sedikit
lubang untuk mata?mirip ninja. Anehnya, penduduk asli banya
berpakaian ala kadarnya. Kaum perempuan memakai kain batik
dan kebaya warna gelap. Kaum lelaki mengenakan sorjan dan
blangkon, semua berjalan tanpa alas kaki. Mereka tekun dan sabar
melayani pembeli yang antre membeli tempe bacem atau jadah?
panganan terbuat dari ketan.
Mawar mengganjal perut dengan segelas kopi panas.
Dicomotnya sebutir cabe untuk menemani sepotong tempe bacem.
"Jangan lupa istirahat yang cukup," pesan lto. "Kita naik ke
puncak tengah malam."
"Kamu nggak pa-pa, War?" tegur Rasyid
Mawar tersenyum samar.
"I'm]ine. I'm okay."
Malam hari dimulai pendakian ke puncak Merapi. Sebenarnya,
acara hiking bukan hanya dilakukan kelompok Mawar. Bersama
mereka, ikut pula puluhan pendaki lain dari beragam kesatuan
mahasiswa. Medan terjal, hawa dingin, bebatuan tajam. tanjakan
curam tak menghalangi Mawar. Ia ingin lupakan semua kemarahan
dan kebencian yang tak jelas tertuju pada siapa. Pada Mama yang
dianggapnya pilih kasih? Pada Dahlia yang seolah membela
Cempaka? Pada Melati yang tak tahu apa-apa? Atau pada dirinya
sendiri?
Pagi masih berbalut fajar merah saat Mawar menginjakkan
kaki di puncak Merapi.
"Kita Shubuhan dulu," ajak Rasyid Ito melengak, tetapi Mawar
mengangguk.
"Tinggal selangkah lagi ke Puncak Garuda!" seru lto di tengah
deru angin yang menghempas di ketinggian Merapi.
"Pokoknya aku mau shalat dulu!" Rasyid bersikukuh.
Mawar mengambil air wudlu dari sisa air mineral Ia mencoba
khusyuk di tengah alam yang tak bersahabat. Samar didengarnya
Rasyid membaca surat yang ia tak tahu apa artinya, telinganya
hanya menangkap ucapan seperti 'Fajar'. Mungkin Rasyid membaca
ayat yang berhubungan dengan saat ini, bisik hati Mawar. Hatinya
83 menggigil mendengar lantunan Rasyid bercampur parau dan isak
samar.
Ito menggerutu pada awalnya, menghempaskan tubuh di
samping mereka berdua. Saat rekaat pertama cukup panjang
dilantunkan Rasyid, ogah-ogahan ia membersihkan tubuh dan
menjadi makmum shalat. Lambat laun, dalam keheningan suara
manusia dan deru angin yang berpusar menghantam dinding?
dinding tebing, keangkuhan hati luluh.
Siapa kita, sebutir noktah di antara pasak-pasak gunung?
%! 4,7. Episode 5
Silence is golden. Diam adalah emas.
Barangkali benar bila kita 'diam' di tengahtengah komunitas yang omong seenak perutnya
sendiri. Diam lebih baik daripada kita ikut?ikutan
bicara yang tidak ada manfaatnya. Konon, diam lebih
terpuji dibanding teriak?teriak ketika sedang
marah. Diam juga salah satu bentuk tirakatnya
orang Jawa ketika ingin meningkatkan ketajaman
mata batin. Tapi, diamnya Melati saat ini lain.
Nelangsa. Mulutnya terkadang terasa pahit karena
hampir tak pernah bicara ketika di rumah. Dahlia
pulang malam. Ibu lebih banyak tak bersuara.
Mawar sementara entah di mana meski kalau
benar-benar dilacak di kampus, pasti akan ketemu
juga. Cempaka sesekali menelepon dari Pogung.
Kalau Melati kangen, malam-malam ia memutar
Radio Salsa FM. Cempaka mengudara di acara
'Night Memories' membawakan tembang?tembang
kenangan.
E-Book by :yquqy_qrr
85 86 Suatu malam.
"Untuk Sari di Kaliurang, Ayu Diah di Pengok, Maretti di
Gejayan. Selamat malam semua. Selamat malam Yogya. Selamat
menikmati lagu lama yang merupakan salah satu tembang favorit
saya?
Do you know where you're going to
Do you like the things the life they showing you
Where are you going to
Do you know?
Do you care what they're hopingfor
When you look behind and there's no open door
Where are you going to
Do you know?
Melati merasa pedih.
Lagu itu mengiris perasaannya. Kisah seorang gadis yang tak
tahu harus pergi ke mana dan apa yang harus dilakukan ketika
hidup telah memperlihatkan pilihan-pilihan baginya. Pilihan yang
harus diambil walau setengah mati dibenci. Bagi anak mana pun,
hidup tanpa ayah adalah pengalaman pahit Tentu bagi Cempaka
juga. la harus mencari-cari perlindungan dengan cara yang salah.
Sekian banyak teman lelaki merupakan tumpahan dari kekosongan
jiwanya. Cempaka tak banyak punya teman wanita karena ratarata gadis di kampus menganggapnya rival
When there's no 9an door. Where areyou going to?
Tiba-tiba, Melati merasakan betapa kesepiannya Cempaka
selama ini. Sama seperti dirinya, Mama, Dahlia, dan Mawar. Masingmasing terkotak dalam dunianya sendiri hingga kepedihan dan
kesepian itu makin sempurna.
Tanpa sadar, Melati memencet nomor telepon.
"Halo?" Melati menyapa.
"Halo? lni siapa?" terdengar ramah suara seorang cowok.
Melati ragu-ragu sejenak.
"Halo? Mau bicara dengan siapa?" tanya suara itu lagi di
seberang.
"Eh aku ...."
"Mau pesan lagu atau kirim salam sama someone special? Sama
teman-teman?"
"Bukan bukan," Melati buru-buru menyangkal "Aku mau
ngomong sama Mbak Cempaka. lni adiknya."
"Ooh, adiknya yang cantik dan tomboy itu? Yang jago beladiri?"
Melati terdiam. Ada rasa haru menyelip mengetahui Cempaka
membanggakan adik-adik di hadapan teman-temannya.
"Halo?" suara Cempaka menggantikan si cowok.
"Mbak, ini aku. Melati."
"Oh, kamu, Mel Ada apa? Tumben malam-malam telepon."
"Enggak ada apa-apa. Cuma kangen. Tadi aku iseng dengerin
Salsa sambil belajar, kok, jadinya pingin telepon."
Mereka berbincang-bincang sejenak selama lagu ! Can Wait
Forever-nya Air Supply diputar. Melati bercerita singkat tentang
Mama, Dahlia, Mawar, dan juga sekilas dirinya.
"Mel kamu masih jualan kue?"
"Masih. Kenapa, Mbak?"
"Dihentikan aja. Biar Mbak yang tanggung uang jajan kamu."
"Oh, nggak usah, Mbak. Nggak ngganggu pelajaran, kok. Lagian,
aku suka punya uang hasil keringatku sendiri."
Tak lama Melati pamit.
"Udah, ya, Mbak. Hati-hati, jaga kondisi."
"lya, salam buat semua, ya, Me|."
"Iya. Bye..."
"Eh, Mel! Mel!" teriak Cempaka. "Tunggu dulu!"
"Ada apa?"
"Makasih banyak atas teleponnya."
Melati mengangguk meski tak terlihat Cempaka. Benar pepatah
orang Jawa kuno. Saudara bila jauh bau bunga, dekat bau bangkai.
Berpisah terasa rindu, berkumpul sering bertikai.
"Untuk yang barusan telepon," sapa Cempaka di Salsa FM. "Ada
lagu khusus buat kamu. Lagu khusus buat rekan-rekan di
everywhere, everyplace yang punya problem. Tembang lawas Nicky
Astria yang perlu kita simak bareng-bareng. Yuk, dengerin."
Misteri kehidupan di dunia
Yang semakin tak tentu arahnya
Dihempas badai bencan a, direnggut malapetaka
Dilingkar kekerasan, dikalut penderitaan
Lalu manusia hampir tak bermakna
Menggapai mencari pegangan
Di ketidakberdayaan, dijerat kenikmatan
Di batas tanpa harapan di titik keraguan,
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya satu jawaban, yang dapat menjawab semua tantangan
Kembalilah pada jalan Tuhan
Yang pasti memberi kedamaian, memberi kebenaran
Memberi segala kepastian
Melati menangis mendengarnya. Memang hanya ada satu jalan.
Ia lalu pergi ke belakang, mengambil air wudlu untuk shalat lsya'.
*** Semenjak mengenal Wardah, Melati mulai memandang hidup
88 dari sisi yang lain. Dulu ia sering merasa begitu lara dengan nasibnya
sebagai anak yatim. Sama seperti Erisa. Alangkah beruntungnya
Elsa, Ratna, Vera, dan lain-lainnya. Orang tua mereka lengkap, hidup
serbacukup. Sekolah oke-oke saja, kegiatan lainpun banyak. Punya
banyak teman, juga pacar. Masa remaja mereka seakan cerita indah
yang tak akan habis manisnya.
Ternyata manusia pasti punya ujian masing?masing. Betapa
cantiknya Marilyn Monroe, tapi ia tak punya anak dan suami yang
tulus mencintainya. Betapa terkenalnya Michael Jackson, tapi ia
sangat takut kuman hingga membuat bunker khusus. Sekalipun
Ratna berkecukupan, tapi Melati pernah mendengarnya berkeluh
kesah. Papa Mamanya sering ribut dan saling memaki. Seingatnya,
Ayah dulu tak pernah bemikap kasar pada Mama. Elsa diam?diam
menyimpan duka. Papinya sering ringan tangan menampar
wajahnya. Mungkin karena Maminya yang berperan sebagai
pencari nafkah utama sehingga posisi Papi Elsa terancam
kewibawaan. Jadilah Elsa tumpuan kemarahan. Verapun tak luput
masalah. Seorang abangnya drug abuse, kakaknya yang lain MBA.
Married by accident.
Melati kini tersadar tak perlu lagi iri dan mencari pelampiasan
kekesalan dengan hiburan yang tak tentu arah. Hiburan yang makin
melelahkan kondisi jiwanya yang memang telah letih. Lebih baik
menata hidup. Belajar giat, cari uang halal, menabung, kuliah, lalu
sukses. Saat itu, tentu hidupnya akan lebih baik.
Suatu malam, Melati menanti kepulangan Dahlia. Setelah shalat,
berbenah, dan beranjak tidur, ia perlahan menghampiri.
"Mbak Dahlia," Melati duduk di tepi tempat tidur. "Aku pingin
pakai jilbab."
Dahlia berhenti sebentar dari menyisir rambut.
" Ke napa?"
89 90 "Kenapa?" Melati berbalik heran. "Yaa, pingin aja. Kayaknya
tenang, gitu. Lagi pula sebenarnya itu, kan, wajib bagi muslimah.
Ada, kok, dalilnya dalam Al?Qur'an."
Melati berhenti sebentar menanti reaksi.
" Mbak Lia nggk pa-pa, kan, aku pakai jilbab?" pancingnya.
Dahlia meletakkan sisir. Tangannya meraih sebotol susu
pembersih dan kapas.
"Setiap tindakan mesti ada konsekuensinya, Mel Yang Mbak
sarankan jangan buru-buru ambil keputusan. Banyak orang ketika
terbentur masalah, menjadikan agama sebagai pelarian. Mereka
jadi ekstrem. Setelah masalahnya selesai, kendor lagi."
"Maksud Mbak?" Melati tampak tak mengerti.
"Mbak dulu punya teman-teman kampus yang awal tingkat
satu berubah drastis. ]ilbabnya rapat dari atas hingga ke bawah.
Setelah kini masuk dunia kerja, banyak yang berubah. Ada yang
mulai pakai celana panjang, sweater semi ketat, berlipstik. Bahkan
ada yang langsung buka."
Melati terdiam. Hati manusia memang mudah terbolak balik.
Tapi, karena alasan itukah orang lantas tidak mau berjilbab? Takut
tidak istiqomah?
"Tapi. Melati pingin pakai!" ujarnya tegas.
"Melati, sudah, deh!" potong Dahlia. "Sementara ini jangan
nambah masalah lagi."
"Lho, nambah masalah gimana?" Melati agak tersinggung.
"Kamu jangan ikut?ikulan Cempaka dan Mawar yang suka ambil
keputusan tanpa mempertimbangkan orang lain."
"Kok, Melati jadi nggak ngerti, sih?"
"Beli jilbab dan lain-lain itu apa nggak nambah biaya?
Sementara ini, Mbak bersyukur kamu bisa cari uang saku sendiri.
Mbak sedang konsentrasi membayar ang-utang Mama ke Bulik
Endang, Pak De Yono, saudara-saudara yang lain, ke bank-bank
perkreditan, juga pegadaian."
"Memangnya memangnya utang kim berapa, Mbak?"
"Banyak," Dahlia mendesah panjang.
Melati terpekur. Bapak dulu memang menderita gagal ginjal
cukup parah hingga harus menjalani hemodialisa. Cuci darah butuh
biaya besar. Bertahun lalu, saudara-saudara mereka rela
membantu. Seiring meningkatnya kebutuhan, wajar bila sekarang
saudara-saudara mulai menagih. Melati ikut mendesah.
"Bulan ini beberapa perhiasan Mama jatuh tempo di
pegadaian," ujar Dahlia. "Mbak tahu, Mama sudah tak ambil pusing
andai perhiasan itu dilelang amu dijual sekalian. Tapi, perhiasan
itu kenang-kenangan Ayah. Kalau bisa tetap disimpan, hingga saat
kelak bila benar-benar membutuhkan."
Melati mengangkat wajah. Mata Dahlia menerawang ke cermin
di depan.
"Dan perlu kamu tahu, Mel," lanjutnya. "Sebenarnya, sertifikat
rumah ini sudah diagunkan ke bank. Dalam waktu dekat jika nggak
dilunasi, bakal disita."
Melati ternganga. Sejurus kemudian, ia menutup wajah dengan
dua telapak tangan. Disita? Diambil paksa? Lalu, mereka akan
tinggal di mana? lkut saudara? ltu lebih menyakitkan daripada saat
ini. Dulunya sering berutang, sekarang hidup menumpang! Mata
Melati sembab demikian cepat. Tangan Dahlia merengkuhnya
dalam haru.
"Kasihan kamu, Mel," bisiknya. "Paling keciL paling bungsu, tapi
paling banyak tahu masalah. Mbak mhu kamu pingin jadi gadis
yang baik. Tunda dulu keinginanmu, ya?"
Tanpa sadar, Melati menganggukkan kepala.
*** 91 92 Wardah dan Rosy menanti-nanti kapan Melati memakai jilbab.
Tambah satu lagi muslimah yang berbusana takwa, tentu SMU mereka
makin berkah dan bertambah semarak. Tapi yang diharap tak
kunjung terwujud Terutama Wardah yang bertanya-tanya dalam hati.
Ada apa? Minggu lalu, Melati sangat bersemangat ingin membeli
jilbab dan rok panjang. Selain karena sering merasa tersindir dengan
murid?murid TPA-nya, Melati merasakan nuansa lain ketika
berkerudung. Seolah ribuan malaikat mengiringi dalam keteduhan.
Dan jilbab bukan penghalang aktivitas sepanjang kegiatan itu
bermanfaat Lihatlah Rosy. Dengan jilbab, ransel, dan ketsnya ia aktif
ke sana kemari. Mengumpulkan pengamen di Malioboro untuk
diberikan pelajaran membaca gratis. buka perpustakaan berjalan,
aktif di PMR hingga terampil mendekorasi background bermacammacam acara: dari seminar hingga acara tujuh belasan. Wardah diamdiam menangkap ada kesan menghindar dari diri Melati.
"Mel, kalau kamu ada masalah, kan, kamu masih punya teman,"
pancingnya.
"Enggak, kok!" elak Melati.
"Ke mushala, yuk," ajak Wardah. "Aku nggak akan maksa kamu
pakai jilbab. Tapi, aku senang kalau kamu mau cerita kondisi
keluargamu. "
Melati mengikuti langkah Wardah ke mushala dengan enggan.
Saat duduk berdua, Melati pun tak langsung menyampaikan
permasalahan. Wardah melihat gelagat bahwa Melati tak ingin
dirinya diusik saat ini.
"Aku ke kantin dulu, ya," Wardah meninggalkan sebentar.
Melati menyandarkan kepala ke dinding. Pikirannya berputar?
putar menelusuri masalah demi masalah. Seandainya boleh memilih,
ia ingin memakai jilbab. Batinnya tak tenang setelah mengetahui
betapa kewajiban itu tak seharusnya ditunda lebih lama. Tapi, apa
yang dikatakan Mbak Dahlia bila direnungkan juga ada benarnya.
Pasti ia butuh banyak baju baru dan jilbab baru. Kaos-kaos lengan
pendeknya, rok jeans spannya, celana jeansnya, tentu sudah tak layak
pakai lagi. ]uga mengenai seragam. Akan ada pengeluaran yang
banyak sekali, padahal keluarganya sedang kesulitan keuangan. Mana
yang harus dilakukan lebih dulu? Terus memakai jilbab atau
membantu Mbak Dahlia memikirkan masalah utang-utang keluarga
mereka? Melati bingung menentukan. Wardah muncul membawa
dua bungkus plastik es teh dan gorengan pisang.
"Yuk, dimakan dulu, Mel."
Melati makan dengan diam. Pagi tadi hanya sempat sarapan
segelas teh hangat, sepiring kecil nasi dengan kecap, dan krupuk.
Dari luar, orang tak akan menyangka keluarganya kekurangan.
Rumah mereka besar, padahal itu peninggalan Mbah Kakung dulu.
Ada telepon dan televisi di rumah. Ketika Melati masih kecil, Mama
menerima beberapa anak kos. ]adi, dua sarana itu tentu penting
diadakan. Ada kulkas usang yang dulu dibeli Ayah untuk keperluan
membuat es batu dan es lilin.
"Heh, kok, ngelamun?"
Melati tersenmk. Wardah tersenyum menatapnya.
"Kamu ada masalah berat, ya, Mel?" tebaknya hati-hati.
"Masalah keuangan?"
Melati masih membisu.
"Sorry, aku sama sekali nggak niat mencampuri urusan keluarga
kamu. Aku cuma sedih akhir-akhir ini kamu kelihatan kuyu.
Wajahmu sembah. Pak Mahmud sampai bertanya, kenapa ulangan
Matematikamu anjlok, padahal dulu kamulah pemegang rekor."
Melati menyeruput es teh.
"Kalau itu memang masalah keuangan," Wardah menarik napas,
"Aku akan usahakan bantu."
Melati menggeleng.
"Jumlahnya terlalu besar," keluar juga suaranya.
"Berapa? Sejuta? Dua juta?" Wardah tanpa sadar bertanya. "Aku
bisa mengerahkan teman-teman untuk menggalang dana."
"lauh lebih besar daripada itu."
Wardah menahan napas.
"Makanya aku tunda pakai jilbab, karena harus konsentrasi
gimana cara ngumpulin uang sebanyak-banyaknya buat bayar
umng-uumg kami."
"Tapi tapi sebenarnya kamu tetap mau pakai jilbab, kan,
Mel?"
"Ya, tapi mungkin nggak sekarang. Aku nggak punya duit '
"Ya Allah, Mel," seru Wardah. "Kalau memang bener-bener
nggak ada uang buat beli jilbab dan baju muslimah, aku bisa
usahakan sama Rosy. Insya Allah, deh!"
Melati terdiam, lalu menggeleng. Wardah menggenggam
tangannya.
"]angan sungkan sama aku, Mel Aku pernah dalam posisi kayak
kamu. Keluargaku nyaris nggak punya apa-apa saat Ayah tertimpa
musibah. Tapi percayalah, Mel. Kalau kita sungguh taat sama Allah,
kesulitan itu akan mudah diatasi."
Melati menunduk menahan tangis. Benarkah? Benarkah ia akan
terlepas dari kesusahan jika memakai jilbab dan berusaha berada
di atas jalan-Nya? Tidakkah ia harus berpikir yang masuk akal dulu?
"Percayalah, MeL Percayalah pada Allah. Kalau bukan Dia yang
menolong kita, terus siapa?"
Shalat Dhuha di mushala saat itu benar-benar mengguncang
batin Melati. la menangis, khusyuk berdoa. Semoga Allah
mempermudah jalan baginya untuk taat. Semoga Allah membukakan
pintu-pintu rezeki agar utang-utang keluarganya lunas. Agar
rumahnya tidak disita. Agar perhiasan Mama kembali. Agar Mama
tak sakit hati lagi ditagih utang oleh saudara-saudaranya. Melati
mengusap wajah dengan dua telapak tangan.
*** Melati mendapat hadiah jilbab putih dari Wardah dan Rosy.
Mbak Aisyah masih menyimpan rok panjang putih dan abu-abu.
Syukurlah, Melati dapat menghemat dana. Ketika Mama dan Dahlia
diberi tahu, mereka terdiam. Memang, untuk sementara tak perlu
beli baju dan kerudung. Tapi, apa semua selesai sampai di situ? Begitu
pikir mereka.
Sebenarnya Melati sedih. Sekalipun tidak ada halangan atau
reaksi, ada ungkapan ketidaksetujuan yang terpancar dari mata
Mama dan Dahlia.
Suatu sore saat Melati tengah melipat mukena seusai Shalat
Asar, terdengar suara terjerembab (lekat kamar mandi.
"Melati aduuuh!" seru Mama kesakitan. "Tolong, Naak!"
Melati merasakan lututnya gemetar.
"Masya Allah! Mamaaaa! Ada apa?" suaranya nyaris tak keluar
melihat Mamanya terduduk di tempat cuci pakaian.
"Mama kepeleset bantu berdiri ..!"
Melati mengulurkan tangah hendak memapah.
"Ampun Gustiiii Mama mengerang hingga berurai air mata.
"Sakit sekali kakiku
"Sabar, ya Ma ." Melati tak tega. "Ke tempat tidur dulu. ntar
Melati cari tukang urut"
Perlahan, tertatih, dan saling berangkulan, mereka menuju
kamar tidur. Melati gugup mengenakan pakaian dan juga jilbab.
95 98 Hanya saja, kalau orang tergesa-gesa malah serbasalah. Berulangkali
Melati nyaris terbentur atau terpeleset ketika hendak berangkat.
"Cepat, Mel!" teriak Mama dari dalam kamar. "Mbah Sonem
keburu pergi mandiin bayi kalau kelewat sore."
|"
"I iya, Ma
Melati tak menemukan Mbah Sonem di rumahnya. la kebingungan
mencari tukang urut lain karena Mbah Sonem sudah keburu berangkat
meruwat ibu-ibu yang baru melahirkan beserta bayi mereka. Putri
Mbah Sonem menunjukkan seseorang di ujung gang.
"Buat urut keseleo, Mbok Mi juga bisa," jelasnya. "Kalau urut
bayi dan perut memang harus ahlinya seperti Mbah Sonem."
Melati meminta Mbok Mi datang ke rumah untuk mengurut
Mama. Aneh, dua hari kemudian, kaki Mama tambah membengkak.
Tubuhnya pun demam tinggi. Dahlia dan Melati makin dihantui rasa
khawatir. Berkecamuk satu demi satu bayangan buruk di benak, apa
yang selanjutnya terjadi. Pilihan terakhir: bawa beliau ke dokter.
Analisis sungguh mengejutkan. Kemungkinan kaki Mama bukan
terkilir, tetapi retak! Untuk orang seusia Mama, harus berhati-hati
menyikapi bila terjatuh. Keputusan mengurut adalah hal yang keliru.
Dokter menyarankan rontgen untuk selanjutnya digips dan diterapi
orthopedic. Dahlia tercenung mendengarnya. Berapa banyak biaya
lagi? Gajinya nyaris habis bulan ini untuk mencicil perhiasan Mama
di pegadaian, perhiasan mahar dari almarhum Ayah. Sayang jika
kenang-kenangan yang pastinya demikian berharga bagi Mama,
barus dilelang. Perkiraan semua biaya pengobatan habis jutaan
rupiah. Menggunakan asuransi kesehatan memang bisa terpotong
banyak, tetapi biaya transportasi dan lain-lainnya yang berkenaan
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan terapi pastilah membengkak tanpa dapat diperkirakan.
"Kita gadaikan aja radio tape dan blender, juga karpet tebal di
ruang tamu, Mbak. Pokok11ya,apa saja yang bisa dicairkan jadi duit."
saran Melati. Ia juga sudah tak punya uang. Gaji dari TPA sudah
dialokasikan untuk bayar listrik dan air. Sepertinya, tak ada pilihan
lain sehingga Dahlia pun setuju. Urusan hiburan itu masalah nanti,
yang penting Mama sembuh.
Segera setelah barang-barang tersebut diuangkan, Dahlia dan
Melati mengantar Mama rontgen. Dari pergelangan kaki hingga lutut
digips, dan Mama harus berbaring satu bulan ke depan.
Menjadi ibu rumah tangga ternyata sulit Pagi-pagi sehabis
shubuh, Dahlia mencuci baju. Melati belanja ke warung dan
menanak nasi. Siang hari, Dahlia menyempatkan diri pulang
memasak, lalu berangkat kerja lagi. Sekarang, ia mau tak mau harus
berani naik sepeda motor untuk menghemat biaya.
"Sebenarnya Mbak mau tanya," suatu saat Dahlia berkata.
"Waktu Mama jatuh itu, kamu di mana, Mel? Hari mendung mau
hujan, Mama buru?buru ambil jemuran."
"Aku sedang shalat, Mbak."
"Kata Mama, kamu shalat dan wirid lama banget, jadi Mama
nggak enak mau mengganggu."
"Ah, perasaan nggak lama kok, Mbak
"ltulah, Mel!" sanggah Dahlia tajam. "Kegandrungan pada
agama secara nggak proporsional malah suka mengabaikan
kepentingan orang lain. Waktu Mama minta cari Mbah Sonem, kamu
malah ribut cari jilbab, akhirnya malah dapat Mbok Mi yang nggak
pengalaman begitu!"
"Mbak! lni masalahnya, kan, bukan di jilbab, tapi memang
kesalahan teknis."
"Nah! Apa kamu sempat memikirkan akibat dari kelalaianmu?
Mbak akhirnya harus pontang-panting ke sana kemari?"
Melati terdiam. Hatinya pun sangat iba melihat Dahlia makin
terbebani. Tapi ketika masalah jilbab disinggung, ia tentu meradang.
97 98 "Inilah yang dulu Mbak khawatirkan," lanjut Mbak Dahlia pedas.
"Kalau agama jadi pelarian, akhirnya malah nggak seimbang. Mbak
perhatikan kamu lama banget kalau ibadah sekarang. Apa kamu
nggak mikir Mama dan Mbak Dahlia punya segudang tugas lain?
Seharusnya kita bisa bagi-bagi kerjaan."
Melati mau menangis. Belum pernah Mbak Dahlia marah
seperti itu.
"Kalau seperti ini, Mbak malah nggak respek sama kamu,
teman-temanmu seperti Wardah dan yang lainnya!"
Tanpa disadari, sesosok tubuh berdiri mematung cukup lama
mengamati pembicaraan. Bayangnya dalam diam masuk lewat
pintu ruang tamu, melangkah ringan menuju ruang makan. la
menelaah tiap kata yang terlontar dari dua gadis di depannya.
"Orang di rumah ini cenderung menyalahkan pihak yang nggak
salah dan membela yang nggak benar."
Serentak Dahlia dan Melati menoleh.
"Mbak Mawar!"
"Mawar!"
Menyeruak di tengah pertengkaran, kehadiran Mawar cukup
mengejutkan. Melati tentu lega mendengar sekilas pembelaannya,
sebaliknya Dahlia merasa tertantang meski juga bersyukur melihat
adik tomboynya kembali datan] keadaan sehat Kembalinya Mawar
berarti tambahan satu tenaga pembantu.
"Selamat datang," sindir Dahlia dingin.
Tanpa menggubris, Mawar masuk menuju kamar, meletakkan
barang. la segera bergabung kembali.
"Melati nggak salah, Mbak. Nggak perlu cari-cari kesalahan
ketika musibah terjadi."
"Tambah bijaksana, heh?" Dahlia masih tajam berkata.
Mawar menghela napas.
"Aku minta maaf... aku salah nggak ada di tempat saat kejadian.
Tapi, ayolah berhenti saling menyalahkan."
"Setahuku, kamu pergi dengan mencaci maki Mama dan nyalahnyalahin Cempaka."
"Karena memang Mbak Cempaka salah! Lihat, apa dia ada saat
kita kena musibah seperti ini? Apa dia mau datang kalau kita kasih
tahu Mama sakit? Paling dia tanya: maaf, aku titip uang ya belum
bisa pulang."
"Nggak perlu cari-cari kesalahan, katamu barusan ...," Dahlia
sekadar mengingatkan.
Melati memijit kedua belah pelipis.
Saat bertengkar, kakak-kakaknya bisa berputar-putar kalimat,
saling menghujat, memakai bahasa lawan untuk memutarbalikkan
posisi. Tak ada yang mau memilih mundur demi ketenteraman. Meski
sama-sama duduk tanpa benturan fisik, muka Dahlia dan Mawar
bermusuhan. Berkerut bersitegang. Puncak pertengkaran dapat
diramalkan: salah satu beranjak sembari membanting barang.
"Maaf... Melati memang salah, Mbak Dahlia yang benar," Melati
mencoba mendinginkan situasi. Mengaku salah semoga bisa
membuat salah satu berhenti menghujat. "Kadang aku lama-lama
shalat sunah padahal Mama sibuk di belakang. Melati janji mau
lebih realistis. Sekarang mau nengokin Mama, barangkali Mama
butuh sesuatu."
Melati beranjak.
Meninggalkan Dahlia dan Mawar yang serentak terdiam,
merasa tak enak hati.
12! 99 X( 100 '?? Episode 6
Mawar lebih akrab dengan dunia laki-laki
bukannya tanpa sebab. Setelah mempunyai putri
Dahlia dan Cempaka, Pak Hamid sangat mendamba
memiliki seorang putra. Takdir berkata lain. Meski
belum terkabul, Pak Hamid tidak lantas membenci
Mawar. Tetapi, dambaan seorang Ayah diungkapkan
dengan cara mendidik Mawar lebih keras daripada
yang lain. Rambut cepak, hobi beladiri, tak begitu
suka dandan, dan senang berpetualang. Bagai
bertaut, Mawar memiliki karakter berbeda dari
saudara perempuannya yang lain. Ia lebih santai,
acuh, terbuka, dan riang gembira.
Mawar akrab dengan geng pecinta alam dan
sebagian mereka preman jalanan. Syukurlah, Ayah
membekali ilmu agama sedari kecil, minimal shalat
lima waktu jangan tertinggal. Prinsip sederhana
mereka: orang yang menjaga shalat akan mampu
berpikir jernih, mampu mencari jalan keluar terbaik
walau terbentur bagaimanapun kerasnya.
Saat Mawar merasa terpojok dengan Mama, Dahlia, dan Cempaka,
ia lari dari rumah. Menginap di tempat kos lma, temannya yang juga
memiliki karakter sama. Menghabiskan waktu naik ke Merapi, Lawu,
Sumbing, Sindoro. Mawar memiliki prinsip tak ingin ikut arus yang
menjerumuskan. la justru ingin mengambil pelajaran dari
pengalaman orang?orang 'hitam' yang tak akan mungkin dialami
oleh orang baik-baik.
"Bagus kamu masih jaga shalat, War," puji [to beberapa waktu
lalu dalam perjalanan ke Merapi. "Orang yang rajin shalat dan
mengindahkan sopan santun, biasanya terhindar dari bahaya di
pendakian."
"Lho, kok, kamu masih malaS?" tegur Rasyid, teman
seperjalanan mereka. Ito tertawa ngakak.
"Jangan dikira aku nggak takut dosa. Nggak takut mati. Tapi
aku sedang mencari, Syid. Di pendakian ini, aku melihat kebesaranNya. Batinku berbicara pada Tuhan. Tuhan, kenapa Kau berikan
padaku seorang bapak yang suka korupsi, doyan perempuan, dan
suka memukuli istri dan anak-anaknya?"
Rasyid terdiam. Mawar menghela napas.
"Kenapa ibuku terlalu lemah dan hanya mampu menangis?
Bapakku itu butuh ditampar sekali-sekali dan bukannya ditangisi."
"Hush! Ngawur kamu bicara begitu tentang orang tua!"
sanggah Mawar.
"Percuma aku dimasukkan ke pesantren kalau uang untuk
membayar administrasinya dari cara nggak halal! Aku nggak bakal
bisa saliiiiih!"
lto melesat mendaki meninggalkan mereka.
"Gimana, Syid?" tanya Mawar ke arah Rasyid
"Gimana apanya?"
101 102 "Sekarang kamu, kan, yang paling alim di antara kita. Aku sering
melihatmu di masjid kampus. Tuh, dagumu juga berjenggot."
Rasyid tertawa sambil mengelus dagunya.
"lni buat ciri khas," sahut Rasyid "Membedakan mana yang
asli mana yang palsu. Mana yang cute, mana yang bad."
Cuiih. Mawar meludah kosong, mengejek.
"Tentang pertanyaanku tadi, gimana jika ada orang protes
kepada Tuhan karena kondisinya terhimpit sehingga dia harus jadi
orang jahat."
"Kalau menurut kamu gimana, War?" tanya Rasyid kembali.
"Aku ingin nimbrung," Pepe menjejeri langkah mereka. "Aku punya
banyak teman di Pasar Kembang. Ups, jangan melotot begitu, War.
Oke, sebut saja mereka kupu-kupu malam. Pekerjaan haram, kotor.
Mereka sampah masyarakat. Calon penghuni neraka. Begitu, Syid?"
"Eh, aku nggak berani menghakimi begitu," timpal Rasyid.
"Tapi, apa kalian tahu ada di antara mereka yang berprofesi
seperti itu untuk membiayai adik-adiknya sekolah, menanggung
biaya perawatan ibunya yang kanker ganas, menjadi pengganti
pelunasan bagi ayahnya yang terjerat rentenir? Mereka juga
banyak berasal dari desa yang tertipu mucikari yang menjanjikan
pekerjaan dengan gaji besar di kota."
"Sorry, Pe," sela Ogil. "Kalau kubilang mereka keenakan dengan
penghasilan yang besar, bagaimana?"
"Bagi perempuan, impian terindah adalah punya suami baikbaik, sayang istri, hidup damai membina keluarga. lya kan, War?"
"Aku belum mikir ke situ lagi!" Mawar melempar sebungkus
kecil permen.
"Banyak mereka yang nangis ketika awalnya terpaksa
menyerahkan kehormatan. Ada yang muntah-muntah. Tapi, ancaman
germo apa bisa dianggap enteng? Pernah seorang wanita P nekat
kabur, ia dihajar habis-habisan hingga retak tulang iganya."
"Masya Allah." Rasyid dan Mawar serentak bergumam.
"Kita nggak bisa menghakimi seseorang cuma dari luarnya
saja. Yang hitam pasti neraka. Yang putih pasti surga. Kalau yang
putih itu nggak mau peduli dan hanya sibuk shalat dan mengaji,
gimana?"
Rasyid menelan ludah.
"Kayaknya aku dihakimi, nih," keluhnya.
"Nggak segitunya, lagi!" Ogil merangkul pundaknya. "Aku senang
kamu masih mau gaul sama kite-kite yang kotor ini. Yang malas
shalat, malas ngaji
"Pertanyaanku belum terjawab, deh Mawar mengingatkan.
"Menurutku, kita nggak bisa menyalahkan takdir," Ogil mencoba
berfaLsafah. "Belum tentu anak kiai masuk surga, belum tentu anak
garong masuk neraka. Seperti teman-temanmu yang kupu-kupu
malam itu, Pe, siapa tahu suatu saat mereka insaf dan jadi orang
baik-baik."
"Yang sering membuatku terharu,' Pepe menerawang, "temantemanku yang debt collectoz; kupu-kupu malam, dan sederet predikat seram
lainnya berangan ingin jadi orang baik-baik seperti kita. Kita malah
menghujat mereka dengan sumpah serapah. Boro-boro perhatian dan
uluran tangan, doa pun enggan kita kirimkan untuk mereka."
Rasyid tercenung. Mawar pun terdiam.
"Kamu kenal Sonya?" tanya Pepe.
"Ya, Sonya the chicken?" sahut Mawar.
"Hampir nggak ada yang tahu kalau ia harus menanggung
pengobatan Thalassemia adiknya yang harus cuci darah tiap bulan."
103 104 "Oya?"
"la pernah cerita alangkah menyenangkan melihat gadis-gadis
berjilbab di kampus. lntelek, charming, sophisticated. Masa muda
mereka begitu indah dalam nuansa warna yang tiada habisnya.
Kelak, seorang laki-laki baik akan menyunting. Sonya berkata, ia
tak akan punya kesempatan seperti itu."
"Tuh, War, dengerin," timpal Ogil "Masa kamu nggak punya
pandangan seperti Sonya, sih?"
Mawar melengos.
"Menurutku, sih, pendapat Pepe dan Ogil ada benarnya," Rasyid
menambahkan. "Pernah dengar kisah dialog perampok dan ulama
dengan Tuhan?"
Mereka menggelengkan kepala.
"Dalam suatu kesempatan, sang orang salib bertanya pada
Tuhan. 'Tuhan, di surga manakah saya akan ditempatkan?'
Sementara si perampok bertanya 'Tuhan, di neraka manakah saya
akan ditempatkan?'
Rasyid terdiam sebentar membiarkan teman-temannya
menelaah.
"Terus?"
"Ternyata, Tuhan lebih menyukai sikap perampok yang
senantiasa merasa bersalah dan pantas masuk neraka. Daripada si
orang salib yang merasa sudah aman dengan ibadahnya sehingga
merasa pantas meminta surga."
Angin gunung yang tajam berembus menyisakan dingin yang
perih di kulit wajah. Sebentar lagi mereka akan melintasi "pasar
setan'. Daerah dataran terbuka dengan pusaran angin yang
berembus kencang. Konon, bila malam tiba, terdengar suara ribut
mirip pasar seperti suara orang-orang berkumpul dan melakukan
kegiatan berdagang. Atau itu hanya ilusi yang timbul di benak. Suara
angin yang menderu-deru dan mendesis sepintas memang mirip
keributan di pasar malam.
"Berarti, Tuhan sayang kita-kita jika tetap ingat mati, ingat
alam kubur juga neraka?" tanya Ogil
"Iya, dong. Tuhan tentu sayang semua makhluk-Nya. Kita
jangan beranggapan Dia hanya sayang orang yang salih saja. justru
Dia lebih menyukai orang yang senantiasa mencari kebenaran."
"Asal jangan nyari doang," timpal Mawar. "Udah ketemu di
depan mata, masih nyariiii terus."
"Lha, terus kamu kapan pakai jilbabnya?" tanya Ogil
"Kamu dulu. dong, kapan shalatnya."
"Nah, itu mirip politisi lndonesia. jago kalau nyalahin orang,"
kata Pepe. "Nyari salahnya sendiri kagak bisa."
Mereka tertawa bersama.
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekelumit kisah perjalanan pendakian yang masih melekat di
benak Mawar. Manusia harus berjalan, mencari, berusaha
menemukan kebenaran. Jika bertemu, sebisa mungkin segera dipakai.
Malangnya, Sonya dan sederet kupu-kupu malam di Pasar Kembang,
terjebak kehidupan yang tak pernah diimpikan wanita mana pun.
Bagus teman-teman Pepe masih mencari Tuhan. Bagaimana dengan
dirinya? Pengalaman batinnya yang terakhir ini menjadikan Mawar
ingin merambah rumah. Rindu Mama, Dahlia, Melati, dan anehnya,
juga Cempaka. Sesampainya di rumah, betapa terkejut!
*** Mama terkejut melihat Mawar tiba-tiba muncul Selepas asar
usai istirahat siang, Mawar melongok ke kamar. Mata sang Bunda
berkaca-kaca.
105 106 "Ke mana saja kamu, Nduk?" tangannya mengelus rambut
Mawar. Gadis itu memejamkan mata. Sebutir air jatuh di pipi.
"Cari ilmu di jalanan, Ma."
"Kamu itu perempuan lho, War."
"Iya, Ma, aku tahu. Tapi, justru teman-teman metalku banyak
ngasih masukan. Mereka aja yang jarang shalat begitu cinta dan
hormat pada orang tua. Bahkan ada seorang preman kenamaan
yang bilang ia tak takut siapapun, kecuali sama ibunya. Seharusnya
aku juga begitu, ya?"
Mama menepuk-nepuk pundaknya.
"Mawar minta maaf," bisiknya. "Mawar janji mau jadi lebih baik
mulai sekarang."
Malam hari, ketiga putri Bu Kusuma kembali bertatap muka.
Mawar belum mengetahui secara utuh kejadian terakhir.
"Begitulah," Dahlia mengakhiri kisah, versinya.
"jadi, Mbak Lia menyalahkan Melati?" Mawar terbelalak. "Garagara Melati kelamaan cari jilbab, trus salah panggil tukang urut?"
"Memang urutan kejadiannya begitu."
"Kalau dibalik gimana?" tantang Mawar. "ltu peringatan Allah
karena Mama melarang Melati pakai jilbab!"
"Mawar!" Dahlia berteriak marah. "Sekian lama ngeluyur, kamu
belum juga bisa jaga mulut?"
"Sudah sudah!" Melati melerai. "Apa kita nggak kasihan Mama,
sih?"
"Kamu memang pintar mendebat! Oke, barangkali aku dosa
melarang Melati pakai jilbab. Barangkali Mama juga. Tapi, apa
pantas kamu menuduh begitu? Kamu sendiri ke mana selama ini,
heh? Menghamburkan uang naik gunung, sementara kami di rumah
kepayahan dengan seribu macam persoalan?"
Mawar terdiam. Matanya menekuri meja makan di depannya.
"Sekarang, tujuan kamu pulang apa, Mawar? Mau ngototngototan unjuk kekuasaan dan keperkasaan? Kamu yang paling
benar? Yang paling hebat? Yang pendapatnya paling bagus untuk
diikuti? Aku juga nggak yakin kamu belain Melati benar-benar
karena kamu simpati dan setuju sama dia, tapi cuma sekadar ingin
cari bahan berantem sama aku!"
"Mbaak!" Mawar menjerit tertahan.
"Sudah, dong, Mbak," Melati hampir menangis. "Mama lagi
istirahat jangan sampai beliau dengar kita ribut begini."
"Biar Mbak selesai, Mel," Dahlia menahan gemuruh di dada.
"Kalau memang kamu masih peduli Mama dan keluarga ini, ayo
tunjukkan! Mbak capek harus terus berjuang sendirian supaya kita
tetap utuh, sementara kalian lebih mementingkan diri sendiri.
Cempaka sibuk sama urusannya, kamu juga, War. Melati juga mulai
asyik dengan dunianya yang makin lama makin nggak kumengerti."
Dahlia beranjak dari ruang makan menuju kamar, lalu menutup
pintu dengan suara sedikit berdebam. Airmata Melati menggenang.
Mawar menyisir rambut dengan jemari. Meski ingin meledak
dengan semua tuduhan Dahlia, tak urung hatinya melunak melihat
wajah si bungsu.
"Ada yang mau kamu omongin, Mel?"
Melati terisak sesaat. la menghela napas, berusaha
menenangkan diri.
"Kali ini Mbak Dahlia mungkin benar aku memang sering
lama-lama kalau shalat, baca Qur'an, dzikir. Maksudku biar doaku
lebih didengar Tuhan."
"Lho, itu baik, kan?"
"Tapi, apa yang Mbak Dahlia bilang mungkin juga betul, aku
107 108 suka nggak peduli. Kubiarkan Mama masak di dapur, sementara
aku sibuk baca Qur'an. Kubiarkan Mama beres-beres rumah,
sementara aku shalat sunah. Lebih wajib bantu Mama, ya?"
Mawar menepuk-nepuk punggung tangan Melati.
"Semua harus proporsional. Ibadah juga gitu. Yang lebih tepat
Mama yang harusnya lebih banyak beribadah, sementara kita
anak?anaknya melayani kebutuhannya. Toh, Mama sudah banyak
berkorban dan kita mulai dewasa. Setuju?"
Melati perlahan mengangguk.
"Aku juga salah, kok, Mel meski jujur kukatakan dan itu
terkesan membela diri, kalau lagi suntuk berat, aku harus ke
gunung. Kalau nggak gitu, aku nggak dapat hiburan."
Melati menyusut mata, mencoba tersenyum.
"Aku mau buat kue dadar buat teman bikin tugas," Mawar
mencoba memeriahkan suasana pekat dan mendung."Yang
gampang aja, pakai terigu sama telur dan santan instan. Nanti kita
suguhkan buat Mbak Dahlia dan Mama, yah! Nah gitu give me
smile, biar hatiku nggak tambah sedih."
Melati tertawa pelan.
Ia tahu Mawar merasa bersalah dan mencoba menebus. Dahlia,
tak akan lama berkubang marah. Kakak sulungnya punya hati
lapang dan pemaaf. Kue dadar dan karamel buatan Mawar, meski
rasanya tak seenak buatan Mama atau Dahlia, akan mampu
meluluhkan kekakuan di rumah ini.
*** Mawar absen dua minggu dari kampus. Ia harus mengejar
catatan ke sana kemari, meng?copy materi perkuliahan. Untungnya,
selama dua minggu bolos, tak ada quiz mendadak. Pinjam catatan
dari teman-teman metalnya memang payah. Mereka berbaik hati,
bermuka manis meminjamkan, tapi tulisannya tak bisa dibaca.
Bagai anak playgroup sedang belajar menggores. jangankan orang
lain, si empu tulisan lupa arti tulisan tangannya sendiri! Mau
difotokopi percuma, disalin malah bikin sakit mata. Mawar melirik
gadis-gadis rajin yang tekun mengikuti kuliah.
"Lies, boleh pinjam Intermediate Accounting?" pelan didekatinya
sosok berjilbab biru muda.
"Eh oh anu dipinjam Intan. Ya ampun! Kamu, Mawar!
Kirain cowok siapa."
"llush, ngeres!"
"Bukan begitu," pipi Lies memerah. "Soalnya potongan kamu
yang tiba-tiba nongol mirip Kustri atau Danang."
"Ah, masa, sih?"
"Ya, tentu aja lebih cantik kamu."
"Kalau Akuntansi Biaya, Lies?" Mawar memohon.
"Juga dipinjam. Tapi, hari ini dibalikin. Mau pinjam?"
Mawar mengangguk.
"Kamu ke mana aja, War? Kuliah sepi nggak ada kamu yang
ceplas ceplos dan bikin geerr."
"Cari ilmu," jawab Mawar singkat.
"Weleeeeh, kayak pesilat aja. Sudah dapat ilmunya?" tanya Lies.
"Yaa tunggu aja. Geger nanti dunia kang-ouw."
"Bisa aja kamu pinjam istilahnya Ko Ping Hoo."
"Lho?" mata Mawar membundar. "Kamu tahu cerita silatjuga'!"
Lies tertawa.
"Dulu waktu SMP, aku hobi banget koleksi karyanya. Kalau
nggak punya, pinjam ke persewaan buku."
109 110 "Waah, bisa pinjam, dong, aku."
"Boleh boleh. Datang aja ke rumah. Aku dan masku memang
suka koleksi buku. Novel thriller macam The PelicantBriejS The Client
-nya John Grisham aku juga punya. Michael Crichton dengan
Airframe dan Congo aku juga ada. Malah seri Hercule Poirot-nya
Agatha Christie aku hampir punya semua."
Mawar terpekik. Lies tersenyum.
Tak sampai sepekan kemudian, Mawar muncul di depan rumah
Lies.
Lies kaget setengah mati, tak menyangka secepat itu dikunjungi.
Setelah berbasa-basi dengan bapak ibu di depan, Lies mengajak
Mawar ke perpustakaan pribadinya. Ibu Lies sempat mengernyitkan
dahi, tidak biasanya putrinya punya teman tomboy. Mas Budi, abang
kesayangan Lies juga ternganga sebentar, sebelum kemudian
mengangguk mengerti menangkap kerlingan mata adiknya.
"Silakan, deh, dilihat?lihat dulu. Pilih mana yang kamu suka."
Lies beranjak menyiapkan minum. Mawar terbengongbengong menatap susunan buku yang ditata rapi. Buku-buku
agama, novel?novel, kamus, ensiklopedi, tersusun rapi sistematis.
Tak seperti kamarnya yang mirip gua zaman neolithicum, bau dan
banyak menyimpan artefak! Tujuan Mawar bukan hanya sekadar
mengagumi kerapian rumah Lies.
"Lies," Mawar ragu?ragu memulai. Gadis di depannya
mempersilakan minum segelas es teh. "Ada yang mau kuomongin
ke kamu."
Lies memasang tampang serius.
"Aku mau cari kerjaan," agak lama Mawar baru buka mulut
"Apa? Kerjaan?"
"lya," Mawar menegaskan. Lies memeluk dua lututnya.
"Buat apa, War?"
"Belakangan ini, keluargaku kena masalah keuangan. Aku harus
ikut bantu. Kalau enggak ", Mawar menggantung ucapan.
"Kalau nggak kenapa?" Lies ingin tahu.
"Sertifikat rumah kami sudah diagunkan ke bank."
"Ooooh ...'
Mawar yakin Lies sudah dapat menyimpulkan isi ceritanya.
"Aku sudah coba cari ke beberapa tempat. Ada, sih, tapi nggak
sesuai dengan harapanku."
"Misalnya?"
"Beberapa hari lalu, aku melamar perusahaan Tours and Travel
]adi guide ke Borobudur dan ke Kaliurang. Tapi, aku nggak tahan
suasana pelecehannya. Guide ya guide, aku maunya begitu. Bukan
wanita penghibur."
Lies menahan napas.
"Kaget, kan, Lies? Gini-gini aku masih tahu dosa, lho. Lalu, aku
cari?cari lowongan di koran daerah. Sudah kuhubungi via telepon.
Ada yang disuruh nunggu panggilan, ada yang mensyaratkan
penampilan menarik dengan tinggi dan berat badan ideal. Wah,
kalau itu, aku sudah ogah duluan. Malah ada yang minta ukuran
vital seperti dada dan panggul segala hrrhh kerja apaan?"
Lies mencubit?cubit bibir bawahnya, tanda berpikir keras.
Zaman sekarang, tiap orang butuh uang. Butuh pekerjaan. Cari
pekerjaan yang sesuai keinginan dengan gaji memadai, sangat
jarang. Orang juga tahu keadan ekonomi semakin sulit Lulusan
sarjana berceceran. Bekerja tidak sesuai ilmu di kampus tidak apa?
apa. Yang penting kerja. Ada sarjana menjaga warnet dengan gaji
300 ribu sebulan. Sangat tidak seimbang dengan pengorbanan
waktu, tenaga , pikiran, juga dana yang dikeluarkan semasa kuliah.
111 112 "Piye, Lies?"
Lies tersentak tiba-tiba.
"Ups, sorry Sista, bukannya nggak nyimak. Aku lagi sibuk
ngingat?ingat siapaaa yang bisa ngasih kamu kerjaan."
"Tawaran dari diskotik juga ada buat jadi bartender atau
pramusaji."
"Duh, jangan diterima ya, War," pinta Lies.
"Ya iyalaaah," Mawar tersenyum samar. "Aku tolak. Doakan aku
kuat, ya, Lies. Makanya, aku harus cepat dapat penghasilan supaya
keyakinanku nggak keburu goyah."
Saat Mawar berpamitan pulang, Lies menatap kepergiannya
hingga menghilang di balik tikungan. Cemas juga hatinya
membayangkan andai Mawar tak mendapatkan apa yang
diharapkan. Sekalipun tomboy, Mawar gadis yang menarik. Jika ia
bekerja di diskotik, bukan tidak mungkin tuntutan bosnya akan
'melebar'. Berapa banyak gadis bekerja di dunia remang-remang,
awalnya betul-betul mencari uang, lalu terjerumus? Pergaulan,
kesempatan, ketiadaan kontrol orang yang memiliki otoritas seperti
orangtua, juga rasa sepi akibat hantaman bertubi menyebabkan
orang menerima begitu saja uluran cinta kasih dari siapapun.
Makhluk sejenis, om berduit, atau lelaki yang hanya ingin mencicipi
Virginitas. Lies bergidik berkali-kali membayangkan sosok Mawar
terjerumus. Oh, jangan. Mawar sosok gadis yang berbeda. Maskulin
memang, tapi ia bukan haluan kiri yang menghalalkan segala. Saat
senggang dari kesibukan naik gunung, gadis itu tak keberatan
berkeliling membagi bunga dalam perayaan women's day atau Hari
Kartini.
Begitupun, Mawar mencoba tegar melangkah menjauhi rumah
Lies. Betapa sempurna! Gadis cantik, bersih, IP cemerlang, berharta,
kakak lelaki yang mengasihi, orang tua yang lengkap. Ia sadar
sesadar-sadarnya Lies bukan makhluk Tuhan paling sexy yang
sombong. la ramah dan penolong, tak membatasi pergaulan.
Namun, melihatnya demikian anggun turun dari mobil, menenteng
netbook, menggenggam tablet dan telepon seluler canggih; ada yang
meleleh di hati. Apakah sedikit keberuntungan tak bersisa bagi
keluarganya?
Mawar, Mawar. Hiburnya pada diri sendiri.
Tak semua gadis seberuntung Lies yang menawan, salihah,
kaya, incaran banyak pemuda semacam Rasyid, bahkan lto. Ada
juga muslimah lain seperti Kinan dan Nana, ke mana-mana jalan
kaki dengan telepon seluler keluaran zaman orde baru.
Di dunia ini banyak jenis konstelasi. Banyak variasi. Banyak
kemungkinan. Sepanjang perjalanan pulang, Mawar bernyanyinyanyi, sekali lagi demi menghibur diri.
Tell everybody I'm on my way
newfriends and new place is to see
with the blue sky ahead, yes, I'm on my way
And! love everystep I take
(by ...... )
*** ]ika manusia terhimpit masalah, lazimnya mencari suatu
kekuatan supranatural yang dianggapnya memiliki kekuatan jauh
melampaui. Tuhan adalah tempat pelarian yang wajar. Fir'aun pun
demikian saat sakaratul maut. Lihat para artis yang rajin berumroh
setelah tubuh mereka mengalami sakit parah atau pernikahannya
dilanda badai.
Melati sering terjaga ketika ayam ribut berkokok. Subuh belum
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba. Mungkin hewan-hewan melihat malaikat turun dari langit di
113 114 sepertiga malam terakhir. Biasanya, Melati kebelet pipis, ke kamar
mandi membuang hajat, lalu segera meringkuk di bawah selimut
dengan nyaman. Meninggalkan udara dingin di luar dan bersahabat
dengan kasur. Sekarang, ada dorongan kuat untuk menahan kantuk.
Ia ingin Allah mengeluarkan mereka dari kesulitan. Saat?saat seperti
sekarang, hatinya tenang bermunajat. Sebelum shalat, Melati sering
menengok kamar Mama terlebih dahulu. Wajah Mama terlihat lelah
dalam tidurnya. Dahlia juga. Mawar sering tertidur di atas lembaran
koran yang memuat iklan lowongan pekerjaan.
"Kapan aku keluar dari kesulitan, ya?" keluhnya pada Wardah
suatu saat "Kadang-kadang, rasanya mau putus asa."
"Sabar, ya, Mel."
Melati tersenyum getir.
"Aku tahu, Mel, kata 'sabar' kedengaran klise. Tapi, nggak ada
jakun lain kecuali sabar, kan? Percaya, Mel, percayaaa aja Kalau
kamu tawakkal sama Allah di samping usaha pasti ketemu jalan
keluar. Jangan lupa berdoa. Aku bantu selalu dengan doa setiap shalat
malam."
Melati menangis dalam sujud?sujud malamnya. Apa iya nanti
ia tidak punya rumah? Bisakah ia kuliah nanti? Bagaimana rasanya
hidup tidak punya apa-apa? Melati pernah mendengar kisah para
shahabat Rasul yang begitu zuhud tak memiliki sesuatupun.
Sanggupkah seperti mereka?
"Ya, Tuhan," pintanya jujur. "Aku nggak pintar bersajak dalam
berdoa. Aku belum mau mati, belum bisa berdoa buat alam kubur
atau alam akhirat Aku minta uang ...."
Kadang terselip perasaan geli usai memohon. Seperti rengek
anak kecil, sangat tidak mirip dengan doa di panduan shalat atau di
buku?buku agama di sekolah. Biarlah. Kepada siapa lagi ia
meminta?
Sekarang, suasana Subuh sedikit ramai. Mawar yang biasanya
kesiangan, lebih tertib bangun ketika adzan tiba. Dahlia juga lebih
khusyuk berdoa, tidak terburu-buru lagi mengejar pekerjaan rumah
atau kantor. Terkadang, mereka shalat berjamaah. Mama masih shalat
sambil tiduran, karena saran dokter selama dua bulan tidak boleh
bergerak. Tulang Mama mulai tua, tidak mudah merekat kembali.
Pagi?pagi, telepon berdering.
"Halo." suara di seberang menyapa. "Bisa bicara dengan
Cempaka?"
"Lho, dia, kan, nggak ada di sini . Di Pogung, kan?" Mawar
terheran-heran.
"iya, saya tahu. Agak lama dia nggak masuk di Salsa. Kirain
pulang atau bagaimana. Ya udah, nanti kalau ketemu, suruh masuk
buat siaran lagi, ya."
Jantung Mawar membeku. Tubuhnya serasa dijejalkan ke
freezer. Telapak tangannya berkeringat.
"Dari siapa, War?" Dahlia tiba-tiba nongol
"Eh itu, teman," Mawar gugup. Ia tak boleh menyebarkan
kecemasan lagi. Cukup banyak masalah bertumpuk di rumah.
Pagi?pagi, Dahlia berpamitan, ada pekerjaan lembur yang harus
segera diselesaikan. Mawar berpesan agar kakaknya tak usah
khawatir dan pulang siang. Ia akan ganti mengurusi dapur. Dahlia
tersenyum. llatinya terharu sekaligus geli melihat Mawar masuk
ke dunia 'perempuan': dunia masak-memasak. Setelah Dahlia pergi,
Mawar merasakan kehampaan dan cemas bertumpang tindih. Apa
yang sebenarnya terjadi dengan Cempaka?
14! 115 116 '?? Episode 7
Yogyakarta cerah.
Emas, perak, dan satir dalam dalam rengkuhan
alam. Biru langit bersih bagai safir, sapuan awan
keperakan menggantung tipis-tipis?tanpa siratan
mendung sama sekali. Matahari menyepuh dalam
perjalanan kembali ke arah barat, bersiap
menyimpan tenaga demi rute yang berikut.
Dilengkapi angin berembus perlahan; suasana
senja memikat untuk menghirup udara kebebasan
sembari bercengkerama.
Daerah bundaran UGM ramai mahasiswa.
Sebagian sedang melaksanakan kegiatan tertentu,
yang lain sekadar duduk-duduk cuci mata. Anak?anak
muda dalam kelompok masing-masing: pengajian,
pecinta alam, musik, peneliti ilmiah; energi tiada
habis bagi masa penuh dinamika dan idealisme yang
sarat Wajah-wajah penuh semangat, tawa lepas.
Melihat mereka setidaknya memberikan sedikit
harapan, bangsa ini masih punya masa depan.
Keunikan bundaran UGM tak singgah sedikitpun di dada Mawar.
Biasanya. ia senang bermain tebak?tebakan bersama Rasyid atau Ito.
"ltu anak mana, coba tebak?"
"Teknik," Rasyid menggagas. "Jeans belel, kaos metal"
"Kenapa bukan Sastra?"
"Kalau Sastra lebih nyentrik, mereka seniman. Biasanya,
berambut gondrong."
"Lho, anak Teknik banyak juga yang gondrong."
"Kalau begitu, mereka dari [urusan Teknik Sastra," lto
menimpali.
Mawar terkekeh. Mata mereka segera beralih ke segerombolan
gadis dengan beragam penampilan. Harajuku, dengan warna-warni
pelangi. Rambut bukan blonde, namun pink atau ungu, suatu warna
yang belum pernah dijumpai dalam peradaban manusia. Selama
ini, sejarah bercerita tentang rambut hitam wanita Asia, rambut
pirang wanita Eropa, rambut merah Mary Jane, atau rambut cokelat
orang Amerika. Pink, ungu, atau hijau tampaknya pilihan para gadis
untuk mewarnai rambut sesuai suasana hati.
"itu pasti anak Psikologi." lto merumuskan. "Pakai rok panjang,
feminin, dan rapi."
"Kenapa bukan Kedokteran atau Farmasi?"
"Wajah mereka lebih ramah. Kalau Kedokteran atau Farmasi,
lebih serius, cenderung galak."
Pembicaraan lepas macam itu hinggap sejenak di pikiran
Mawar, sekadar memberi ruang hiburan bagi hatinya yang pepat
Tapi, kerisauan tak dapat menguap begitu saja.
Batinnya berdegup makin keras saat melewati bundaran UGM
menuju Pogung, tempat Cempaka kos. Sesampai di rumah asri bercat
hijau muda, Mawar langsung memutar ke belakang, tempat empat
117 118 deret kamar kos berada. Kamar Cempaka terletak paling ujung kanan.
la menelan ludah. Mbak Cempaka, kamu kenapa? Bisik hatinya galau.
Sore hari, kos Cempaka sepi, penghuninya menikmati suasana senja
dengan melakukan beragam kegiatan. Di depan kamar Cempaka, lutut
Mawar terasa lemas. Ia tidak pernah merasa takut menerjang alam
pendakian, namun menghadapi situasi tanpa gambaran, mau tidak
mau instink perempuannya lebih dahulu bekerja. Takut Cemas.
Terdengar suara dari balik pintu. Suara aneh yang seolah belum
pernah didengarnya selama hidup. Suara melepas dahak, bergelegak,
muntah-muntah.
Ragu, Mawar mengetuk pintu, mengucap salam. la menyapa
pelan. Tak ada reaksi. Detik demi detik berlalu menggelisahkan.
"Assalamu'alaikum! Soreee! Ada oraaaang??" sapa Mawar lagi
lebih keras, berulang-ulang. Tangannya mengetuk-ngetuk pintu.
"Mbak! Ini aku, Mawar!"
Mawar memasang telinga baik?baik. Dari balik pintu, lagi?lagi
terdengar gelegak muntah. Lama tak terdengar jawaban. Ketika
tangan Mawar terangkat hendak mengetuk kembali, tertangkap
samar derit tempat tidur. Langkah pelan membuka pintu. Sesaat
kemudian, Mawar terpana.
"Mbaaak kamu kenapa?" serunya tak percaya. "Pucat pasi
begini. Sakit? Kenapa nggak kasih kabar ke rumah?"
Cempaka tersenyum getir. Bibirnya kering. la merapatkan
sweater rajutan sambil bersedekap tangan.
"Aku memang sakit. Beberapa hari ini nggak bisa makan."
"Sudah ke dokter? Sini, aku kerokin sama pijitin."
Cempaka menepis tangan Mawar yang terulur ke arah
bahunya. Tiba-tiba, Mawar tersadar: tirus benar pipi kakaknya!
Mata cekung. Wajah yang dahulu begitu ranum dan segar, mendadak
layu menua.
"N ggak usah, War."
"Aku khawatir ketika seseorang dari Radio Salsa menelepon ke
rumah mencari Mbak. Kupikir ada kecelakaan atau apa," suara
Mawar terdengar sedikit lega.
Cempaka menutup mulutnya tiba-tiba. Matanya merah berair.
Ia seperti menahan sesuatu.
"Aku paling benci bau wangi gini! Kamu pakai deodoran merek
laki?laki itu, ya?"
Mawar tertegun. Sesuatu menyentak dada, bak palu godam
berton-ton menghantam bilik jantung. Matanya beradu pandang
dengan Cempaka. Ada keputusasaan di sana berbaur antara
kemarahan dan kebencian.
"Mbak a apa? A da apa, sih, sama kamu?" suara Mawar
tertahan, campur aduk pikiran buruk dan rasa takut.
Cempaka terduduk di tepi pembaringan. Matanya
menerawang, Mawar perlahan mendekat lalu berlutut di depannya.
"Mbak
Sebutir air bergulir di pipi Cempaka. Mawar menelan ludah.
ltukah jawabannya? Ia tak ingin percaya, tapi sedu Cempaka seolah
menceritakan sesuatu yang begitu mengerikan. Bencana,
malapetaka besar yang paling ditakuti seorang gadis telah terjadi?
Mawar memeluk Cempaka. 'l'angisnya meledak. Keterdiaman
Cempaka makin meyakinkan bahwa anggapan Mawar adalah benar.
Sebuah gunting kemarahan yang membara, tiba?tiba menghimpit
dada Mawar hingga ia merasa sesak untuk bernapas. Dadanya
bergemuruh. Nadinya berdenyut puluhan kali lebih cepat. la
mendengus. lalu menggeram.
"Siapa jahanam itu, Mbak?" kemarahannya sudah mendidihkan
kepala. Butiran-butiran air makin deras mengalir di pipi Cempaka.
119 120 "Siapa, Mbak? Biar aku hajaaarrr sampai patah sendisendinyall"
Cempaka menggeleng.
"Percuma, War. Nggak ada gunanya "
"Kenapa?" seru Mawar berang. "Laki-laki itu harus tanggung
jawab! Kalau Mbak tahu orangnya, katakanil Jangan khawatir! Akan
kubuat dia menyesal telah merusakmu seperti ini!!"
"Kau mau menghakiminya atas tuntutan apa? Perkosaan?"
Mawar terpana. Menelan ludah. Duri-duri menancap serempak
ke rongga dada. Tiba?tiba, ia merasa tak punya muka untuk berjalan
di depan rumah, ke warung, ke kampus, bertemu saudara, atau
bertemu lto sekalipun. Apa kata orang nanti? Meski hamil di luar
nikah belakangan menjadi suatu kelaziman, ia yakin seyakinyakinnya, tak satu keluargapun mampu mengaku dengan dagu
tegak kepala membusung! Anak gadisku sudah hamil, tapi belum
nikah. Mama, Mama! Bagaimana shock?nya beliau nanti?
Olala, apa kata Cempaka: ini bukan perkosaan! Jadi, semua ini
terjadi atas dasar suka sama suka? la menggeleng-gelengkan kepala
dengan geram. Mengapa? Mengapa kenistaan ini terjadi di saat
keluarganya sedang terhimpit masalah begitu banyak? Mawar
kasar melepas pelukan. la bangkit menuju pintu, lalu menendang
tempat sampah sekuat tenaga. Cempaka tersedu-sedu. Dua telapak
tangannya menutup wajah yang telah basah oleh air mata.
"Mawar please! Jangan pergi dulu ...." tangis Cempaka.
Mawar membalikkan tubuh. la jijik. Benci. Malu. Ia tidak tahu
lagi bagaimana harus mengungkapkan perasaannya yang
menggelegak. Demi dilihatnya Cempaka memohon kehadirannya,
perlahan kemarahan meleleh oleh rasa iba. Cempaka tentu tak
punya siapa-siapa lagi sekarang. Teman-teman, apalagi cowokcowok pemujanya terlebih si biadab Fian, tentu menjauh.
"Mawar aku takut," lirih suara Cempaka dalam
ketidakberdayaan. "Aku aku nggak sengaja berbuat khilaf. Aku
takut masa depanku nanti. Aku takut Mama dan Mbak Dahlia marah.
Bagaimana caraku menghadapi kenyataan pahit ini? Aku mau mati
saja, aku putus asa '
Mawar diam seribu bahasa.
"ini paksaan atau bukan, bukan itu masalahnya sekarang. Aku
sudah minta Fian bertanggung jawab, tapi ia mengelak. Kalaupun
ia mau menikahi, aku nggak bakal jadi istri yang berbahagia.
Kejadian ini akan selalu jadi kunci mati buat menyudutkanku."
Cempaka menyusut mata.
"Sempat terpikir untuk menggugurkannya. Fian bersedia
menanggung biaya jika sudah kutemukan tempat yang cocok. Tapi
"
Mawar memalingkan muka. Mual. Peristiwa yang sering
dibacanya di media massa, sekarang terjadi di depan mata!
"Tapi, aku benar-benar takut. Bingung. Kacau! Dengan cara
apapun, kemungkinannya sangat berbahaya. Kondisi seperti ini
pasti harus dilakukan ilegal karena paramedis baik?baik nggak akan
mau melakukannya."
Cempaka mengatur emosi.
"Aku takut pendarahan," matanya terpejam. "Aku masih takut
mati. Tempatku di mana nanti ...."
Hati Mawar sakit mendengar kata kematian. Ayah? Bagaimana
Ayah di sana, di alam baka? Malukah beliau anaknya tercebur dalam
aib seperti ini? Lalu Mama? Apa yang akan dilakukannya bila tahu
Cempaka sedang mengandung anak di luar nikah? Mawar tak
mampu mengurai kekusutan pikirannya saat ini.
*** 121 122 "Mbak, cepat pulang!" suara Melati terdengar khawatir di ujung
sana.
"Ya, ya. Ada apa, Mel?"
"Ada telepon ancaman. Kalau nggak besok, lusa, pokoknya dalam
jangka waktu dekat, debt collector mau datang. Kita sudah lama nggak
mencicil bunga bank."
Mawar memutuskan sambungan dengan lunglai. Dalam
perjalanan pulang, ia meminggirkan sepeda motor, menyempatkan
menelepon untuk mengetahui kondisi mmah. Rumah pun menyimpan
katalog masalah yang belum terselesaikan. Siapakah yang harus
dilindungi: Mama atau Cempaka? Mawar ingin menyimpan rahasia
ini sendiri agar Mama tidak tahu. Sakit beliau bisa tak sembuh-sembuh.
Tapi, tampaknya tak mungkin, karena Mawar berencana membawa
Cempaka pulang. Membiarkan ia sendiri di Pogung berbahaya. Bila
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pikirannya di puncak kalut, kemungkinan buruk dapat terjadi. Commit
suicide alias melakukan bunuh diri! Sementara, debt collector yang
bengis itu juga harus dihadapi.
Mawar ingin teriak. Menangis. Marah entah pada apa. Berang
pada keterbatasan kemampuannya mengatasi semua. Dalam
keadaan kalut dan bingung, ia membelokkan sepeda motor ke arah
kompleks Masjid Syuhada.
Maghrib datang menjelang.
Mawar membasuh kepala dengan air banyak?banyak, bagai
keramas. Seolah berharap gelegak di otaknya mereda dingin. la
bersegera mengambil tempat di antara para jamaah, menempati
baris terdepan kalangan perempuan. Tak ada rasa malu di sini, di
hadapan-Nya. Bahwa sebagai seorang hamba memang fakir tiada
tara. Lemah tiada daya. Mawar tersedu-sedu. Belum pernah rasanya
selemah ini. Andai semua berjalan lebih baik. Ayah ada, hidup cukup.
Mbak Dahlia kuliah, semua sekolah. Tidak akan ada ang-utang
menumpuk, tidak akan ada cacian dari saudara maupun debt collector.
Tidak akan ada anak di luar nikah!
Mata Mawar bengkak karena menangis. la betul-betul bingung.
Manakah yang harus ditanganinya terlebih dahulu? Untuk pertama
kali dalam hidup, di antara sujud?sujudnya ia merintih di hadapan
Allah. Memohon sangat. Apa yang harus dilakukan di antara
tumpukan kesulitan yang saling berkait?
Mawar ingin berlama-Iama, tapi tentu saja tak bisa. Rumah
juga butuh dirinya. Saat ia tengah tertegun-tegun mengikat tali
sepatu kets di tangga Masjid Syuhada, seseorang menghampiri.
"Dari tadi dipanggil?panggil diem aja, War," tegur sebuah suara.
Mawar masih terpekur dengan sepatunya.
"Hei! Ngelamun maghrib?maghrib begini. Mawar! Kenapa, sih,
lu!"
Mawar terlonjak.
"Eh ya ampun kamu, Pe," sahutnya terhenyak. "Lagi
ngapain di sini?"
"Aku juga punya pertanyaan sama. Lagi apa kamu, War?"
"Ya, lagi Shalat Maghrib. Kamu sama siapa, Pe?"
"Sama Ito. Tuh, orangnya. To, sini! Ada Mawar, nih!"
""Bisa-bisanya kamu shalat, To?" tanya Mawar heran.
"Sembarangan! Aku, kan, orang Islam juga. Sekali waktu kalau
kepepet, aku tentu ingat Yang Mahakuasa."
Mawar merasa tersodok.
"Memang kepepet apaan?"
"Tempo hari habis bantuin tim SAR ke Gunung Halimun," papar
Pepe. "Aku kesasar sama lto, padahal masih banyak macan
kumbang di sana. Niatnya mau nolongin orang, eh, habis evakuasi
malah kami berdua terpisah dengan anggota rombongan yang lain."
123 124 Mawar tersenyum. Meski hanya terhibur sedetik, bertemu
dengan teman-teman pendaki gunung selalu membuat hatinya
lebih riang.
"Malam-malam kami nyaris gila saking tegangnya," kenang lto.
"Lalu aku bernadzar
"Nadzar?"
"lya. ]anji pada Allah kalau permohonan kita terkabul. Ah, ginigini, aku, kan, pernah nyantri juga."
"Memang kamu nadzar apaan?"
"]anji akan lebih memperbaiki diri kalau keluar selamat dari
llalimun tanpa dimangsa macan kumbang."
Pepe terkekeh.
"Tapi, janjinya sudah nggak berlaku begitu dia selamat sampai
logiaf'
"Ngawur!" lto sewot. "Orang berubah, kan, butuh waktu.
Buktinya kamu lihat aku sudah mau Shalat Maghrib."
Mawar tersenyum lemah. Wajahnya terlihat murung sehingga
Pepe bertanya?tanya.
"Kamu suntuk banget?" tanyanya. "Ada masalah? Bilang aia.
Kalau mampu, nanti kubantu."
Mawar tertegun. Tiba-tiha, ia teringat pembicaraan terakhir
mereka saat mendaki ke puncak Merapi. Ingatan sebagian temanteman Pepe yang preman jalanan menguat
"Aku butuh bantuan, Pe," kata Mawar. "Rasyid mana? Biasanya
kalian selalu bareng dia."
"Ada, barangkali masih di dalam. Ngapain nanya-nanya?"
"Nggak apa-apa. Rasanya tenang aja kalau ada dia diajak
diskusi."
"Weee, naksir, ya? Kok kecenderungan cewek sekarang maunya
sama tipe-tipe yang kayak Rasyid, sih?" gerutu lto.
"Ada juga, kok, yang naksir kamu. To." hibur Pepe. "Tuh, yang
suka jojing di diskotik."
lto manyun. Mawar tak mampu menikmati gurauan mereka.
"Keluargaku mau ditagih debt collector, Pe," kata Mawar pelan.
"Kalau kami nggak mampu melunasi utang atau mencicil bunganya
yang sudah nunggak lama, rumah dan isinya mau disita."
Pepe tertegun. lto juga.
"Kamu, kan, biasa menghadapi preman jalanan? Bagaimana
kalau pas mereka datang nanti, kamu bantu aku menghadapi
mereka. Kami bukannya nggak mau bayar, tapi kemampuan itu
belum ada."
Mereka terdiam agak lama. Rasyid belum muncul juga.
Biasanya ia shalat sunah atau bertemu seorang teman lalu
berdiskusi.
"Ya udah, aku nggak bisa lama?lama. Salam buat Rasyid dan
tolong bantu pikir masalahku, ya."
Pepe mengangguk. lto menghela napas. Sedih juga mendengar
masalah Mawar, sementara Papanya yang hidup dari hasil korupsi
dan menipu bank, tak pernah ditagih sana sini.
*** Mawar khusyuk menyelesaikan Shalat Subuh.
"Kok aku nggak dibangunin shalat malam, Mel?" tegurnya pada
Melati yang sibuk menanak nasi.
"Oh, aku kira Mbak Mawar memang nggak kepingin bangun,"
mata Melati setengah terbelalak. Surprise. Rasanya sejuk mendengar
Mawar ingin qiyamul lail. Mulut Mawat meruncing.
125 126 "Ya udah. Udah terlanjur," gumam Mawar menyesal. "Tapi,
besok bangunin, ya?"
Melati mengangguk. Mama dan Mbak Dahlia juga sudah
terbangun dan segera menunaikan shalat. Hati Mawar tersentuh
melihat Mama yang bersusah payah menuju ruang tengah untuk
menonton kuliah Subuh. Sekarang, sebuah buku tulis dan pulpen
senantiasa dibawa bila dirasa perlu mencatat hal?hal penting yang
disampaikan penceramah. Bahkan tiap kali membaca Qur'an dan
terjemahannya, Mama suka menggaris bawahi apa-apa yang
dianggapnya patut diingat Tidak seperti dulu yang sering menjadi
angin lalu setiap nasihat baik. Walau shalat lima waktu Mama
terjaga, tetapi masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Mawar mendesah. lronis sekali. Di saat Mama mulai berubah
ke arah yang lebih baik, sebuah malapetaka yang mengancam
kehormatan keluarga tengah menanti.
"Kasihan sekali kaum muslimin di Palestina," komentar beliau
suatu ketika. "Andai punya uang banyak, ingin rasanya mendirikan
panti asuhan untuk merawat anak-anak korban peperangan."
Wajah Mama menampakkan mimik ngeri dan geram melihat
kebiadaban Yahudi mengeksekusi warga Palestina. Mata Mama
menyiratkan keterpesonaan melihat para pemuda yang
berdemonstrasi di berbagai pelosok dunia Islam, membela
saudaranya di Palestina. Termasuk demonstrasi di Indonesia.
"Aduh. gagah dan salihnya mereka itu. Mana kelihatan pinter?
pinter lagi. Moga-moga menantu Mama besok orang yang salih dan
pinter begitu."
Hati Mawar tercabik.
Hanya ia yang tahu apa yang menjadi harapan Mama telah
hancur oleh perbuatan Cempaka. lngin menjerit, ingin menceritakan
beban yang nyaris tak mampu disimpannya sendiri. Tetapi, tak ada
suara yang keluar. Kecuali kalimat demi kalimat pembicaraan yang
terasa hampa ia ucapkan menimpali celotehan Dahlia dan Melati.
"Yuk, sarapan," aiaknya lemah. "Aku ada kuliah pagi. Kok,
rasanya lapar banget"
"Aku puasa, Mbak," kata Melati.
"Mama juga," Bu Kusuma menambahkan. Mawar hampir
menangis mendengarnya.
"Kok, aku nggak diajak-ajak, sih?" keluhnya.
Mama tersenyum.
"Lain kali kita puasa bareng-bareng, ya," ujarnya lembut;
"Senang melihat kalian rajin ibadah begini."
Mama memang tidak terlalu mempermasalahkan lagi jilbab
Melati. Meski beliau tidak setuju pada awalnya, tapi melihat
kegigihan dan kesabarannya, lama-lama Mama enggan mengusik.
Malah sekarang beliau ikut rajin mengerjakan amalan sunah yang
dipelopori Melati.
Di kampus, Mawar tak seceria biasanya. Seberat apapun
masalah, ia masih sanggup berceloteh riang. Tapi, untuk yang satu
ini membuat semangat hidupnya terbang entah ke mana.
Sebenarnya ingin sekali berkeluh kesah kepada Lies, tapi ada
keraguan yang membenteng. Aib ini harus dijaga agar tak tersebar
ke mana-mana. Meskipun ia juga sadar, gadis semacam Lies tidak
mungkin 'ember bocor'. Seusai kuliah yang terjadwal hanya sampai
selepas dzuhur, Mawar mengendarai sepeda motornya ke arah SMU
Utama. ia perlu menunggu beberapa saat sebelum melihat
rombongan demi rombongan remaja keluar sekolah. Matanya
tertumbuk pada sekelompok siswi berjilbab putih yang tengah duduk
di bawah pohon beringin. Satu wajah manis yang sangat dikenalnya
tengah memasang mimik serius sebelum mata gadis itu tiba-tiba
menyadari ada seseorang yang sedang memperhatikan. Mawar
127 128 melempar senyum. Melati membalasnya sambil memberi isyarat
untuk menunggu.
"Tumben, Mbak. Aku baru mau pulang," sambut Melati. Mawar
hanya terdiam sambil menstarter sepeda motor. Arah mereka tidak
langsung menuju rumah, tapi berkeliling-keliling yang membuat
Melati penasaran kebingungan. Mawar menghentikan laju sepeda
motor di halaman Masjid Syuhada.
"Kita Shalat Dzuhur aja dulu, Mel," ajak Mawar.
Melati mengangguk, merasakan kebahagiaan tersendiri
melihat mbak metalnya memenuhi panggilan Ilahi. Seusai shalat,
Mawar membeli segelas es cincau dan memakannya di bawah
rerimbunan pohon. Lidah Mawar kelu ingin bercerita. Tapi harus.
Tak ada orang di rumah yang lebih pantas untuk diajak sharing saat
ini kecuali Melati. la perlu dukungan untuk mengatasi masalah ini.
Tak mungkin diselesaikan tanpa bantuan. Perlahan, dengan intonasi
suara yang terdengar hampa dan asing, Mawar mengurutkan
kejadian demi kejadian. Ia bahkan tak berani menatap mata adiknya
sendiri saat mengakhiri cerita.
"Astughfirullahal 'adzim ...," bibir Melati bergetar. Berulang
mengucapkan dzikir, apapun yang teringat, untuk menenangkan
badai di hati.
Mawar mendengar helaan napas yang tertahan seakan
berusaha mematikan tangis yang ingin keluar. Selanjutnya mereka
hanya terdiam, mencoba mendustai kenyataan bahwa semua akan
berlalu baik-baik saja. Gemerisik angin mempermainkan daundaun lembut mengalun, menghantarkan kantuk bagi orang-orang
yang berteduh di kubah masjid
"Kita harus ngapain, Mbak ...?" suara Melati terdengar pasrah,
nyaris tanpa harapan.
"Aku mau bawa Mbak Cempaka pulang. Gimana menurutmu?"
"Aku nggak tau, deh," Melati melayangkan pandangan jauh
ke cakrawala.
"Ayolah, Mel," pinta Mawar memohon. "Bantu aku berpikir."
Melati memejamkan mata. Pikirannya terlalu penat, batinnya
pepat untuk diajak menimbang.
"Terus terang, aku belum tahu mana keputusan terbaik,"
ujarnya lemah. "Bagaimana reaksi Mama? Bagaimana keselamatan
Mbak Cempaka? Aku mau bermunajat dulu dalam qiyamul lail biar
dapat petunjuk, Mbak. [angan sampai kita salah melangkah."
Mawar tak mendesak lebih lanjut Kedengarannya, saran itu
lebih masuk akal. Tak ada yang lebih tahu mana langkah terbaik
kecuali Yang di Atas, karena ia pun sebenarnya bingung harus
bagaimana. Tak lama kemudian seusai Mawar menghabiskan
minumannya, mereka pulang.
"Satu yang aku minta, Mel," pesan Mawar. "Bersikaplah tetap
tenang seburuk apapun kemungkinan yang akan timbul nanti."
Melati mencoba mengangguk. Meski ia tak yakin akan punya
cukup kekuatan untuk mengatasi semua.
*** "Ya, Allah, Mawar, Melati," Mama menyambut mereka dengan
tangis di depan pintu. Mawar memarkir motor dengan panik. Melati
berlari memburu.
"Ada apa, sih, Ma?"
"Mbakmu mbakmu Cempaka ...."
Dada Melati bagai dibelah gergaji mesin.
"[ iya. Tenang dulu, Ma bicara pelan-pelan
"Temannya di kos barusan telepon," tangis Mama dalam
kengerian dan kegelisahan. "Mbakmu ditemukan pingsan di kamar
mandi!"
129 130 Mawar menatap Melati, merasakan wajah mereka sama-sama
seputih mayat.
"Katanya, mbakmu sakit," lanjut Mama terbata. "Apa iya, War?"
Ada tatap menuduh di mata Mama. Mawar menelan ludah. Ah,
Mama. Selalu cintanya tersedia begitu besar untuk Cempaka.
"Kamu, kan, habis ke sana beberapa hari lalu? Kenapa nggak
cerita-cerita tentang sakitnya Cempaka? Apa kamu masih marah
sama dia, Nduk?"
Mawar tak sanggup menjelaskan. Perasaannya sakit oleh
tuduhan itu, sekaligus sakit membayangkan apa yang sebenarnya
tengah terjadi.
"Sudah deh, Ma," Melati menengahi. "Biar Melati dan Mbak
Mawar segera ke sana. Sekalian menjemput pulang agar kita kumpul
lagi. Kalau Mbak Cempaka memang sakit, kita rawat sama-sama.
Oya, apa perlu Mbak Dahlia ditelepon supaya cepetan pulang?"
Mama menggeleng. Sesaat berikut berujar lemah, "Terserah
kalian."
Mawar melarikan sepeda motor sekencangnya ke arah Pogung,
membiarkan Melati terpejam-pejam ngeri di bangku belakang.
Mereka berangkulan rapat di atas sepeda motor, membungkukkan
tubuh, membentuk anak panah menukik agar kecepatan maksimal
menembus lalu lintas.
Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cempaka terbaring di tempat tidur.
Beberapa teman kos menunggu sambil berbisik-bisik. Usai
memberikan kronologis peristiwa jatuhnya Cempaka, mereka
menyingkir. Mawar meneliti meja di samping tempat tidur. Segelas
teh, beberapa potong nanas dan tape, lalu gelas yang masih
berampas jamu. Dengan kasar, ditelitinya bagian perabot yang lain.
Ditariknya laci meja. ]amu urus-urus, melancarkan datang bulan,
dan segepok jamu dengan peringamn senada di bawahnya: dilarang
diminum oleh ibu hamil dan menyusui! la membuangnya ke
tempat sampah dengan penuh amarah.
"Panggil becak, Mel, kita bawa pulang!"
"Tapi, Mbak, apa nggak sebaiknya dia diperiksa dulu ...."
"Aah, sudah!" bentak Mawar geram. "Pokoknya kita bawa
pulang! Memangnya kita punya uang buat periksa ke dokter?"
"Mbaak jangan gitu! Yang penting keselamatannya, biaya itu
urusan nanti."
Mawar terdiam seketika. Batinnya tertoreh menerima tatapan
melecehkan dari beberapa teman Cempaka sehingga kemarahan
mematikan nalarnya. la menatap wajah Cempaka yang pucat pasi.
Lalu dengan lembut, diurutnya telapak kaki, membalur tengkuk
hingga punggung dengan minyak kayu putih. Menit demi menit
berlalu, waktu merambat berabad?abad. Mungkin seperti inilah
padang mahsyar, menanti dalam ketakutan menunggu kepastian.
Mawar dan Melati bergantian Shalat Asar, shalat yang dilakukan
antara khusyuk dan cemas. Saat Melati baru menyelesaikan salam
terakhir, terdengar suara merintih.
"Mbak ", Mawar menggenggam tangan Cempaka. Melati
mengelus wajah cantik yang sayu
Cempaka mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menganak sungai
air di pipi.
"Kita pulang," ajak Mawar setelah kesadaran Cempaka pulih
sedikit detni sedikit.
Tak ada luka parah, kecuali sedikit memar di pelipis kanan.
Bertiga mereka berbenah, lalu Melati naik ke becak menemani
Cempaka, diiringi Mawar naik sepeda motor. Penghuni kos yang
lain hanya mengintip lewat jendela kamar masing-masing. Mawar
tak menggubris tatap ejekan, dienyahkan rasa malu yang mulai
sering menyergap tiap kali ia berurusan dengan masalah Cempaka
131 132 yang satu ini. Satu pikiran berat menghimpit: sanggupkah ia
menenangkan ledakan di rumah nanti?
*** Seminggu sudah Cempaka di rumah.
Sejauh ini, Mama dan Dahlia belum tahu kondisi sebenarnya.
Mereka berdua justru lega Cempaka kembali untuk berkumpul
Mama malah mengira Cempaka terkena tipus atau penyakit
sejenisnya mengingat kondisinya yang lemah, diikuti demam naik
turun. Mawar dan Melati memang masih menyimpan rapat?rapat
rahasia itu.
"Kamu gila, Mbak," lugas Mawar menegur suatu ketika. Mereka
hanya berdua saat itu. Mama ke pasar, Dahlia kerja, sedang Melati
sekolah. "]adi, Mbak minum sembarang jamu, nanas, tape, untuk
menggugurkan kandungan?"
Cempaka terdiam.
"Untung saja kandunganmu baik-baik saja sampai saat ini.
Jangan bertindak sembrono lagi."
"War," sahut Cempaka dingin. "Kamu mudah bilang begitu
karena bukan kamu yang ngalami. Aku yakin kamu bakal melakukan
hal yang sama kalau tercebur masalah seperti ini."
"Naudzubillahi min dzalik Mawar menggeleng-gelengkan
kepala. "lya kalau anak itu mati. Kalau lahir cacat? Apa nggak
semakin nambah kesusahan Mbak Cempaka?"
"Kesusahan kita," ralat Cempaka. "Kalau anak ini lahir, kita
semua yang susah. Anak haram!"
Mawar betul-betul buntu menghadapi Cempaka. Sejauh ini,
yang timbul dalam dirinya hanya kebencian dan dendam. Malah
tak tampak tanda-tanda taubat ataupun penyesalan.
"Apa kamu nggak mau taubat, Mbak?"
"Aku mau taubat kalau anak ini mati sekarang juga," gumamnya
penuh kebencian. "Hidupku akan lebih lapang. Aku mau menjalani
hidup lebih baik."
Mawar menatap dalam-dalam wajah Cempaka. Betapa ia adalah
kembang di keluarga ini. Cantik, luwes, segala yang dilakukannya
begitu indah. Caranya berbicara, tertawa, atau sekadar
membelalakkan mata. Tapi, sebentar lagi ia akan menodai Mama
dengan lumpur teramat busuk. Hingga saat inipun, Mawar masih
mencoba memperbaiki diri, memperbaiki shalat dan ibadah sunah
lainnya. ia memang belum memutuskan berjilbab seperti Melati.
Namun, benaknya berkhayal, andaikan Cempaka sejak semula
menjaga diri sepeti Lies, Hanum, lleni, dan muslimah lainnya di
kampus yang sempat ia kenal, tentu kejadian seperti ini tak akan
pernah terjadi.
"Mbak, aku juga nggak tahu apa langkah terbaik bagi
penyelesaian masalahmu," Mawar menghela napas. "Akhir-akhir
ini aku dan Melati memperbanyak doa di shalat?shalat kami. Mohon
supaya Allah ngasih jalan keluar bagi semua masalah kita, termasuk
masalahmu. Tidakkah Mbak mau melakukan hal yang sama?"
Cempaka terdiam. Matanya kosong menatap layar televisi yang
menyiarkan sinetron berisi sumpah serapah.
"Cobalah untuk banyak beribadah "
"Makasih banyak buat saranmu!" potong Cempaka dingin dan
ketus. "Jangan kamu ngerasa tahu banyak tentang masalah ini.
Kamu nggak ngalami! Tapi aku! A-k-u! Mudah orang ngomong,
beranggapan kata-katanya barang bertuah yang bisa
menyelamatkan masa depanku. Tapi, coba pikir sekali lagi. Apa
kesempatan yang aku punya kalau anak ini sampai lahir?"
Mawar menghela napas pedih.
133 134 ia melihat bayangan sosok teramat asing menjulang di depan.
Mama, Dahlia, Melati, juga dirinya yang metal, Pepe, lto, toh akhirnya
mengakui bahwa jalan keluar masalah ada di tangan-Nya. Mengapa?
Mengapa Cempaka malah membenci tiap kali ada nasihat kebaikan
yang terucap dan seolah malah tak peduli pada uluran tangan-Nya?
12! 4,1 Episode 8
Serapat apapun bangkai dibungkus, bau
busuknya suatu saat pasti tersebar.
Sepandai-pandai Mawar dan Melati menyimpan
rahasia, tetap saja akan ketahuan. Walaupun mereka
tutup mulut, perut Cempaka mulai menebal,
membesar. Belum lagi kebiasaannya yang berubah
lain dari biasa. Suka muntah-muntah dan selalu ingin
makan rujak, asinan, atau pecel Malapetaka dahsyat
itu akhirnya meledak. Mulut Dahlia terkatup rapat.
Dahinya menitikkan keringat menahan luapan
amarah. Mama hingga bergetar menahan kemurkaan
yang seolah akan merobohkan dinding-dinding
rumah.
Plak! Plaaak!!!
"Kamu benar-benar anak durhaka, Cempaka!
Anak yang nggak tahu malu, nggak tahu disayang!
Tega-teganya kamu melempar muka Mama dengan
aib macam begini! Di saat kita lagi susah. Lagi
prihatiiiin!"
135 136 Plak!
"Apa kamu nggak mikir Ayahmu yang sudah meninggal? Nggak
mikir Mama yang sakit berat sampai harus ngutang sana-sini?
Nggak mikir kakak dan adik?adikmu??!!"
Mama mengambil napas. Matanya berapi.
"Bagaimana masa depan kamu? Bagaimana Mama
menanggung malu?"
Plak. Plaaakkl!
Entah kali keberapa tangan Mama yang kurus menampar pipi
Cempaka hingga merah lebam. Cempaka hanya menerima dengan
mata terpejam penuh tangis.
"Ma ., Melati merangkak memeluk lutut Bu Kusuma. Matanya
merapat berharap, pipinya sudah basah sedari tadi. "Tahan, Ma! Tahan!
Jangan pukuli Mbak Cempaka terus. Ingat, ia anak Mama juga
Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap Gerbang Nasib Postern Of Fate Karya Agatha Christie Padang Bulan Karya Andrea Hirata
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama