Ceritasilat Novel Online

Rose 3

Rose Karya Sinta Yudisia Bagian 3


Mama yang belum sembuh betul dari sakitnya, ternyata masih
memiliki sisa tenaga untuk menghalau Melati.
"Biaarr! Biar Mama urus sendiri anak kurang ajar ini ...!"
"]angan, Ma jangan ..!"
"Minggir kamu, Mel! Nggak usah halangi Mama!"
Mawar berdiri di tengah antara Mama yang tegar dengan
amarah dan Cempaka yang bersimpuh dengan wajah kuyu serta
rambut kusut la kerahkan tenaga beladirinya.
"Ma bisa mati Mbak Cempaka kalau Mama nggak menahan
diri ..!'
"Biar! Biaaaar hilang anak satu daripada bikin malu!"
"Maa !"
"Biar saja, War," rintih Cempaka. "Kalau Mama mau pukuli aku
sampai mati, biar saja."
"Apa? Berani kamu melawan Mama!"
"Nggak, Ma," Cempaka menggeleng lunglai. "Hanya Cempaka
pasrah mau Mama apakan."
Napas Mama masih turun naik menderu Kemarahannya mulai
surut, berganti tangis tersedu-sedu yang meluruhkan hati. Tubuh
kurus itu melorot ke lantai, duduk berlutut di hadapan anakanaknya.
Mama mencoba berucap dzikir dengan terbata; bertempur
sendiri dengan kemarahan, rasa pahit, dan keinginan untuk
bersabar. Di antara desah dzikir yang timbul tenggelam dalam
lenguhan napas, samar keluhnya meratap.
"Dosa apa hingga harus menanggung derita seperti ini? Semua
cobaan sanggup hamba tanggung, kecuali yang satu ini," ]irihnya
sembari memejamkan mata. Pipinya yang cekung semakin pucat
dialiri derasnya air mata. Tubuhnya limbung.
"Ma ingat, Ma, ingat ..."
Dahlia ikut bersimpuh memeluk Mamanya. Mawar dan Melati
terduduk mengitari Mama yang terisak lirih. Cempaka bersujud
mencium pangkuannya.
"Maafkan, Ma, maafkan aku. Ampuni aku."
Mama hanya terdiam dalam kepedihan, kasar menarik kakinya
dari ciuman Cempaka.
*** Cukup lama untle bisa bersahabat dengan kabar buruk,
permasalahan, ketidakmampuan manusia menghadapi sekian
banyak persoalan. Mama sempat tidak makan berhari?hari, jatuh
sakit Begitupun Dahlia, Mawar, dan Melati bergantian tak masuk.
Influenza biasa sebetulnya, virus yang menyerang orang-orang
137 138 dengan daya tahan tubuh lemah. Semakin berat beban pikiran,
semakin tubuh tak mampu melawan. Menyalahkan Cempaka,
memojokkannya, mengatainya dengan kata-kata buruk tak
menyelesaikan benang kusut. Mawar lebih dahulu mampu berpikir
realistis, mereka harus mengambil tindakan terkait Cempaka dan
kandungannya. Bukan masalah pengguguran, kata itu tak ada dalam
kamus di kepala Mawar. Ia tak sedang membalas dendam pada
Cempaka dalam bentuk apapun, tak berniat buruk dengan
mempertahankan hasil hubungan haram kakak kandungnya. Pikiran
normal mencoba berbicara: yang bersalah dalam peristiwa hamil di
luar nikah adalah sepasang orang tuanya. Janin tak tahu apa-apa.
Mawar sadar, apapun pilihan mereka, semua memiliki dampak buruk.
Digugurkan berdosa dan tentu saja berbahaya, dipertahankan harus
mampu bertahan dalam rasa malu. Selamanya.
Keadaan Cempaka tak jauh lebih baik. Fisiknya makin jauh dari
kesegaran, jiwanya terlihat tertekan. Dahlia diam seribu bahasa, Mama
pun sama, Melati mencoba ramah dan hanya Mawar yang masih
memperhatikan semua kebutuhan dirinya. Cempaka sempat berpikir
buruk mengakhiri hidup, bayang Fian kekasihnya melintas seketika.
Bukan! Bukan cinta yang membuatnya bertahan. ]ustru perasaan
terhempas bagai orang kalah telak. Ke mana Fian? Apa yang ada dalam
benak ketika menyaksikan berita di koran: gadis bunting mati bunuh
diri? Mengerikan atau terkekeh, sedih dan kehilangan. Apapun yang
dirasakan Fian, tak akan sama dengan apa yang dirasakannya. Fian
masih dapat terus melaju dengan kehidupannya yang seolah tak terjadi
apa-apa, meneruskan kuliah, meraih cita-cita. Tentu saja, Fian lakilaki dan Iaki-laki tidak punya rahim! Seberapapun seringnya pemuda
menghamili seorang gadis, tak akan terlihat muka tercoreng. Seorang
gadis, meski hanya melakukan aib sekali, beban itu menghantui
sepanjang sisa usia. Maka Cempaka pun menyimpan dendam: ia tidak
mau mati sekarang! Ia ingin bangkit, jadi orang, sukses, dan kelak
punya kesempatan menghancurkan Fian.
Kesulitan hidup menghantarkan keluarga Bu Kusuma pada
kebersamaan. Mereka memutuskan membawa Cempaka menjauh
dari hiruk pikuk Yogyakarta. Bukan pengasingan atau pembuangan
atau menyimpan aib agar tak terlihat terang benderang di mata
tetangga. Cempaka harus mendapatkan bantuan terbaik, meski,
diam?diam Mawar mengakui ia butuh menenangkan diri usai
guncangan demi guncangan. Keberadaan Cempaka yang hamil di
tengah keluarga mereka, sungguh menimbulkan kekacauan.
Membawanya ke tempat aman untuk sementara waktu, boleh jadi
baik untuk semua. Mama dan Dahlia dapat mengendurkan urat
saraf, begitupun Melati dan Mawar. Mereka harus berpikir ke
depan: Cempaka pasti butuh banyak biaya saat melahirkan.
Mama, Cempaka, dan Mawar terguncang?guncang di atas bus yang
membawa mereka ke sebuah alam yang lain. Alam yang benar-benar
baru, lingkungan tepi kota yang disarankan Lies tidak hanya untuk
mengasingkan Cempaka. Tapi, untuk memperbaharui jiwa yang telah
rusak akibat tipudaya duniawi. Mawar mengamati jalan raya yang
semakin terlihat sepi dari lalu lalang kendaraan bermotor. Bus tua
berkarat yang mereka tumpangi terbatuk-batuk, terseok
menyelesaikan tugas mengantar penumpang yang tinggal beberapa
gelintir ke tujuan akhir.
Mawar tersadar tiba-tiba. Mama dan Cempaka rupanya
tercerabut pula dari lamunan masing?masing. Ragu ketiganya turun
dari bus, menatap berkeliling.
Udara sejuk menerpa wajah.
Tak ada bangunan tinggi, tak ada parabola, tak ada mal Rumahrumah sederhana dengan pekarangan luas yang dihuni bebek dan
ayam, banyak mereka jumpai sepanjang perjalanan. Tak ada pagar
besi menjulang dengan bilik satpam. Pagar pembatas lebih banyak
rimbun beluntas atau malah tak berpagar sama sekali?begitu
percayanya penduduk pada orang lain, yakin tak ada pihak berniat
merampas isi rumah warga.
139 140 Hijau, udara bersih, suara orang bercakap-cakap dalam
intonasi wajar dan tawa berseling. Tanpa waktu terburu, tanpa
hujatan. Tak perlu menggunakan AC, setiap rumah warga dusun
menyimpan suhu dingin dari pohon-pohon menjulang yang
berkeliling di halaman rumah.
Tidak sia-sia rasanya terpental naik turun di atas jok keras
dangan bau bensin menyengat yang membangkitkan mual.
Beberapa kali Cempaka menahan diri untuk tidak muntah. Sambil
memanggul ransel yang cukup berat, Mawar bertanya pada
beberapa penduduk letak Pesantren Baabullannah berada.
Gunung Merapi, tegak misterius menjulang di kejauhan,
menyimpan seribu kisah para raja dan legendanya.
Masih jauh jalan yang harus ditempuh, sementara angkutan
yang tersedia menyusuri jalan berbatu hanyalah delman. Itupun
tak selalu tersedia setiap saat, tetapi menunggu cukup lama.
Cempaka tampak pasrah tak peduli. Mama lebih banyak terdiam.
Mawar menyeka peluh di dahi.
"Tempatnya memang agak terpencil," jelas Lies. "Tetapi masih
cukup dekat dengan Yogya, jadi bisa dijenguk lebih sering daripada
nyantri di pesantren yang jauh di luar kota."
Mawar hanya membuat perumpamaan kepada Lies: manakah
tempat tepat untuk merawat salah seorang anggota keluarga jika
mengalami depresi atau ketergantungan obat? Mawar sempat
tertegun sendiri. Pemerintah, masyarakat. dan pemuka agama
merintis usaha-usaha pengobatan baik dengan pendekatan medis,
psikologis, maupun religius. Tetapi, hingga di zaman modern ini,
toh, orang tetap malu mengakui salah satu anggota keluarga yang
mengalami 'kecelakaan'.
Mawar tergeragap ketika Mama menepuk punggungnya demi
melihat sebuah delman mendekat Untuk kesekian kali, mereka
kembali terguncang-guncang menuju ke suatu tempat yang asing,
tempat yang belum pernah terimpikan.
PESANTREN BAABULJANNAH. PINTU SURGA.
Langit siang itu tak berawan. Matahari terlihat bagai bola api
raksasa yang memuntahkan ledakan-ledakan helium. Anehnya. aura
yang melingkupi demikian sejuk. Deretan pohon asem dan melinjo
memagari halaman pesantren yang luas. Sebongkah batu kali besar
menyambut kedatangan setiap tamu dengan pahatan ucapan
basmallah. Di bawahnya terukir nama 'Pesantren Baabul ]annah'.
Berjalan menuju ke arah asrama, mereka melewati pendopopendopo yang dibangun terpisah. Beberapa santri putri yang tidak
menunaikan Shalat Dzuhur terlihat asyik membaca-baca buku,
mengangkat jemuran pakaian, membolak-balik jemuran emping
melinjo, atau menyiapkan makan siang.
Mawar menghela napas. Dadanya seakan dibersihkan dari
segala macam kotoran sejak kali pertama menghirup napas di pintu
masuk pesantren ini. Dengungan suara wirid para santri seusai
shalat, membangkitkan getar khusyuk ketakutan yang gaib. Wajahwajah teduh yang menyambut mereka dengan senyuman,
menghilangkan kegelisahan yang sempat tumbuh di awal
keberangkatan. Mawar melirik Mama. Wajah Mama terlihat lelah
dan penuh tanda tanya. Mawar berganti melirik Cempaka. Wajah
itu kosong, tanpa ekspresi.
Mereka bertiga berjalan menuju ke pelataran belakang, tempat
pendopo bersoko guru kayu jati coklat tua. Beratapkan rumbia,
berlantaikan tikar pandan, terlihat para santri khusyuk berdoa.
Seusai mengambil air wudhu, Mama memimpin Shalat Dzuhur
berjamaah antara mereka bertiga. Bu Kusuma menahan dadanya
yang terasa sesak tiba-tiba. Mawar pun demikian. Mereka datang
ke tempat ini tanpa uang sepeser pun, kecuali uang 250 ribu yang
dipinjam Mawar dari Lies.
141 142 "Hanya itu uang yang ada padaku, War," ujar Lies dengan
penyesalan dalam dan penuh simpati, ketika Mawar tanpa tedeng alingaling datang ke rumahnya meminjam uang beberapa waktu lalu.
"Nggak apa-apa," Mawar menebalkan muka.
Ia sudah menggadaikan rasa malunya jauh-jauh. Ia harus
menyelamatkan keluarga, bagaimanapun juga. Pinjam dari Lies
yang belum lama dikenalnya pun terpaksa ditempuh. Syukurlah,
Lies mengerti, tak banyak bertanya. Ia menunjukkan pesantren
Baabuljannah di lereng Merapi yang tak memungut imbalan apapun.
Para santri harus siap hidup sederhana, itu saja.
"Beberapa temanku eks-pecandu narkoba, depresi karena
orang tua atau pacar, seribu masalah lain berguru ke situ, mencari
lingkungan tenang yang mampu mengobati hati. Semoga alternatif
ini jadi pilihan baik bagi kamu, War."
Uang 250 ribu itu dibagi dua antara Melati di rumah dan Mawar
yang berangkat menuju pesantren. Dengan berbekal uang seadanya
dan kenekatan, Mawar berangkat menggandeng Mama yang raguragu dan Cempaka yang apatis. Tapi, ia sudah bulatkan tekad.
Sekarang. Semua haluan harus berubah arah: mereka harus satukan
kiblat untuk menyelesaikan semua masalah. Tak berat hatinya
menuju lereng Merapi. Kali ini bukan menimba ilmu di jalanan atau
gunung, tetapi menimba ilmu langsung dari mata airnya.
Mawar beranggapan, manusia mampu menimba ilmu sendiri
di sepanjang perjalanan kehidupan. Pengalaman adalah guru terbaik,
demikian pepatah lama. Pada suatu masa, ada baiknya tak mencaricari ilmu sendiri, namun dituntun oleh mereka yang memang
memiliki kapasitas, baik kebijaksanaan maupun kadar pengetahuan.
Kiai Ahmad, nama pemilik dan pengasuh Baabuljannah.
Seorang lelaki tua yang kurus tegap. Rambut memutih dengan
jenggot panjang berwarna keperakan. Tatap matanya senantiasa
lurus ke depan. Mawar menahan napas. Lelaki itu buta! Tetapi,
wajahnya senantiasa menyungging senyum yang meneduhkan
hati. Beliau menemani Mama diikuti beberapa santriwati.
"Di sini cuma pesantren sederhana, ya, Bu," ucapnya merendah.
"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Hanya menyediakan sebuah
tempat untuk orang?orang yang mencari ketenangan dan ilmu. Ilmu
yang saya punya juga terbatas. Karena itu, saya dibantu beberapa
orang di sini. Ada Mas Handoko, lulusan agrobisnis yang mengelola
usaha emping melinjo. Ada Mbak Yana, lulusan akademi perawat
yang tahu sedikit mengurusi kesehatan anak-anak. Sekali-sekali,
Mbak Merry yang dokter gigi dan Mas Yeyen yang juga dokter,
meninjau ke sini untuk memeriksa keseluruhan kesehatan
penghuni pesantren."
Mama mengangguk, pelan dan ragu.
"Tidak ada biaya apa?apa di sini," Kiai Ahmad menambahkan.
"llanya para santri harus giat bekerja untuk dapat memenuhi
semua keperluannya. Mungkin akan berat bagi Nak Cempaka kalau
belum terbiasa bekerja keras."
Cempaka menunduk membisu.
"Selanjutnya saya mau permisi dulu," Kiai Ahmad minta diri.
"Saya mau mengajar Al?Qur'an pada anak-anak. Ibu ditemani Mbak
Cici, ya? Cici, tolong, ya, Nduk, diperlihatkan kamar buat Nak
Cempaka ini."
Gadis dalam baju kurung hijau pupus berkerudung putih itu
mengangguk. la tersenyum ke arah Mawar.
"Tidak ada paksaan pakai jilbab di sini, kok, Mbak," ujarnya,
menangkap Mawar yang tersipu saat menyapu pandang ke arah
serombongan santriwati. Bagai setangkai kecambah di tengah
lautan bunga! Berbeda, terlihat mencolok. Rasanya asing di tengah
samudera jilbab.
143 144 "Mawar," Mawar memperkenalkan diri. "lni ibu saya, dan Mbak
Cempaka yang nanti mungkin mau tinggal di sini."
Cici menunjukkan mereka ke arah deretan kamar sederhana,
berdinding dan berlantai kayu jati yang terkesan dingin. Kokoh.
Penuh rahasia, namun tak menakutkan. la menunjuk kamar
terujung.
"Mungkin Mbak Cempaka sekamar dengan Mbak Diana, anak
Teknik Kimia dari Jakarta yang lagi ambil cuti karena ingin
menenangkan diri
Mama dan Cempaka masuk ke kamar. Mawar berdiri di gang
menahan kepergian Cici.
"Mbak Cici penanggung jawab santri putri?"
"Ya, begitulah," ia tersenyum. "Tapi nanti giliran, kok. Yang
bersedia dan dianggap mampu akan dipilih jadi pengurus atau


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendamping, biar masing-masing punya kesadaran dan tanggung
jawab untuk ikut mendukung pesantren ini."
Mereka terdiam sesaat.
"Mbak Cici
"Cici saja, deh. Kayaknya usia kita nggak jauh beda, ya?"
"Masuk sini kenapa?"
"Ngobat Aku ngobat sejak SD di Jakarta sana," akunya. "Orang
tuaku kaya dan supersibuk, aku nyaris mati karena kecanduan. Dua
tahun lalu, aku sudah berobat ke RSKO dan sembuh, lalu balik lagi ke
rumah. Tapi, lingkungan nggak mendukung. Situasi yang panas dan
penuh tekanan membuatku terjerat lagi. Akhirnya aku memutuskan
harus pindah ke lingkungan yang tenang. Ya, alhamdulillah kemari."
"000 ."
"Tentu kamu jangan berharap banyak, Mawar," Cici
mengingatkan. " Nggak ada satu tempat pun di dunia ini yang
mampu mengubah orang bejat menjadi malaikat, didukung orang
sesalih apapun, didukung fasilitas seperti apapun, jika si subjek
sendiri nggak mau berubah."
Mawar tertegun.
"Aku bolak-balik masuk kemari," Cici mengajaknya duduk di
ruang tamu asrama putri. "Balik ke Jakarta, kambuh, masuk sini
lagi. Begitu beberapa kali. Akhirnya, Mamaku mungkin capek
ngurusi. Aku dibiarkan milih mau di mana."
"Kenapa kamu memilih lingkungan begini?" tanya Mawar ingin
tahu.
Cici tercenung.
"Aku pikir," katanya sambil menghela napas, "hasrat mendasar
seorang manusia adalah keinginan untuk hidup tenang dan bahagia.
Segala macam diskotik dan tempat hiburan, sudah kurambah, aku
cuma dapat kelelahan. Akhirnya, aku memilih kemari, tempat yang
semula sangat kubenci."
"Apa?" Mata Mawar terbelalak.
Cici tertawa.
"Aku dipaksa Mama masuk pesantren karena reputasi keluarga
kami hancur gara-gara kelakuanku. Yah, untuk memperbaiki citra
itu, aku harus sembuh, kan? Makanya, segala upaya ditempuh mulai
dari berobat hingga nyantri. Akhirnya terdamparlah aku di sini,
tempat yang jauh dari keramaian dan kebisingan."
Mereka berbincang?bincang sebentar seputar banyak hal
tentang Baabuljunnah.
"Kakakmu itu 'kecelakaan'?"
Pipi Mawar memerah. la membuang muka.
"Nggak usah malu, War," hibur Cici. "Yang penting ada kemauan
untuk mengubah semua masa lalu yang buruk. Beberapa santri
145 146 putri di sini ada yang bernasib sama. Bahkan ada yang anaknya
lahir di sini, lalu dibesarkan di sini juga."
Seorang santriwati masuk, wajahnya demikian belia dengan
raut kekanakan dan suara manja. Usianya paling tidak baru lepas
sekolah dasar.
"Kak Cici tamunya ditawari makan."
"Eh, iya. Makasih, ya, Fit Yuk War, ibu dan Mbak Cempaka tolong
diajak juga."
Makan bersama-sama di ruang makan yang juga berbentuk
pendopo beralaskan tikar pandan terasa luar biasa. Padahal hanya
sayur asem, ikan asin, sambel, dan tempe goreng. Suasana bersahaja
tak mengurangi kenikmatan sedikit pun. Mawar mengedarkan
pandangan. Beberapa tampak seperti santri baru, terlihat dari
dandanannya yang serba wah dan terbuka, gaya bicara yang cekikikan.
Cici dan Fitri yang tadi menawari makan, terlihat santai dan
bersahabat. Selebihnya, Mawar belum mengenal Tiba-tiba pikirannya
melayang kepada Lies. Mereka gadis dengan tipe mirip: sederhana,
rapi, sopan, dan menjaga pandangan. Bobot bicara mereka penuh
makna. Mawar sempat mencuri dengar sekilas pembicaraan.
"Eh, Kakak ikut pelatihan young enterpreneurship, lho! Bagus
banget ]adi pengusaha muda. Ide Kakak untuk bikin sepatu kanvas
dengan lukisan atau hiasan payet sebentar lagi dapat kucuran dana."
"Aku sekarang bekerja di yayasan tuna rungu. Gajinya nggak
seberapa, sih, tapi kita bisa belajar banyak bagaimana mengelola
organisasi nonprofit."
"Aku magang di pengusaha jamu herba. Wah, asyik sekali
melihat bagaimana kunir asem dapat diekstrak!"
Mawar tertegun-tegun. Semula ia menyangka akan berhadapan
dengan Qur'an dan hadits sepanjang hari, Bahasa Arab dan petuahpetiiah. Tak boleh ini tak boleh itu. Di sana neraka, di sini surga. Apa
yang dijumpainya sama sekali berbeda. Qur'an dan hadits tetap
santapan utama, yang menonjol dari pesantren ini adalah pembekalan
keterampilan hingga santri mampu mandiri dalam segala situasi.
Rasanya, Mawar ingin menjadi bagian dari semua ini. 'l'entu,
tanpa harus melalui seperti apa yang dialami Cempaka.
*** Mawar sudah menghubungi Rasyid dan Pepe.
Tetap saia ketakutan merayapi dada hingga memanas. Debt
collector akan datang sore ini! Melati khusyuk memohon seusai
Shalat Asar, sementara Mawar justru dirundung kegelisahan.
"Pasrah, Mbak," ujar Melati menenangkan. "Kita mohon bantuan
Allah."
Tetap saja kata-kata itu tak menumbuhkan ketenteraman.
Tubuhnya terlonjak saat mendengar orang menggedor kasar
berulang-nlang di pintu depan.
"Mana Bu Kusuma?" tegur seorang laki-laki bercambang dan
berperut gendut. Mukanya berminyak dengan bekas sayatan luka
melintang di pipi kanan. Orang dapat menyimpulkan sekilas, ia
pasti jarang membasuh muka, jarang mandi, apalagi berwudhu.
"Saya anaknya," Mawar mencoba tegar. "Mama belum sembuh
dari sakit. Tolong, urusannya sama saya saja."
Lelaki satunya yang lebih pendek dan kurus mendengus.
Bibirnya mengucapkan sumpah serapah yang memerahkan
telinga. Mawar menahan diri untuk tidak marah.
"Mau sakit, mau mampus, mau sekarat, aku nggak peduli. Utang
itu harus tetap dibayar. Apa ibu kamu nggak mau usaha?"
"Mama sudah usaha bikin kue, menjahit, pokoknya semua yang
beliau bisa," bela Mawar sengit "Tapi, lalu jatuh sakit sehingga
semua terhenti dan sakitnya Mama juga butuh biaya."
147 148 "Sudah kubilang aku nggak peduli!" bentak si gendut
Ketakutan Mawar berubah menjadi amarah.
"Sekarang Bapak mau apa?" tantangnya. "Menghajar kami?
Anak?anak perempuan dan seorang ibu yang tak berdaya? Atau
mau membunuh kami sekalian karena nggak sanggup bayar utang?
Orang juga sebetulnya nggak mau utang kalau punya uang."
"Lho, lho, lho kok, jadi kamu yang marah-marah!" si gendut
hitam menggebrak pintu.
Mawar terlonjak dengan jantung berdegup. Melati makin
memperkuat dzikirnya dalam hati di samping kakaknya. Ia belum
mampu berbicara apa-apa, sekalipun lututnya gemetaran, nyaris
terlepas dari engselnya karena takut teramat sangat.
"Kamu jangan ikut campur urusan orang tua, anak ingusan!"
gertak si kerempeng. Matanya merah. Ia mulai mengepalkan
telapak tangan.
"Saya sebetulnya nggak mau ikut?ikutan," Mawar mengatur
napas. "Tapi Bapak datang tanpa basa-basi, menagih utang dari
orang yang tidak mampu ."
"Diam dulu kamu!" bentak si gendut berang. "Apa belum cukup
surat?surat peringatan dari bank untuk segera mencicil bunga atau
mencicil pinjaman, hah? Apa kamu buta huruf nggak bisa baca!"
Mawar mulai mampu menahan getaran kemkutan manakala
lelaki gendut itu mengeluarkan makian segala bentuk binatang yang
menjijikkan.
"Apa kurang cukup waktu untuk mulai usaha lain? jual rumah
ini misalnya?"
Mawar terhenyak. Menjual rumah?
"Pokoknya asal kalian masih mau usaha, uang itu bisa didapat.
Apa saja isi rumah jual atau gadaikan buat cicil utang. ]angan diam
aja berbulan-bulan nunggak nggak tahu diri. Keenakan ibu kamu!"
Mawar terdiam. Pikirannya tiba-tiba teringat Cempaka dan
peristiwa jatuhnya Mama. Tagihan-tagihan dari Bulik Endang, Pak
De Yono, Pak Lik Sumanto. Semua meminta penagihan secepatnya
karena butuh uang juga untuk masuk sekolah, untuk usaha, untuk
pengobatan, dan lain-lain. Tampaknya tak ada orang yang tidak
terjerat kesulitan keuangan saat ini.
"Heh, sekarang mana ibu kamu? Hah!"
Mawar terkesiap. Mama tentu juga sudah mendengar semua
keributan ini dari ruang kamarnya, hanya saja Mawar memang
menahan beliau untuk tidak keluar mengingat kaki Mama belum
sembuh betul Apalagi setelah pulang dari Pesantren Bunbuljunnah,
rasa nyeri itu sering menyerang.
"Apa yang mau Bapak sampaikan, bilang saja. Nanti Mama saya
beri tahu," akhirnya Mawar mencoba mengalah dan bersabar.
Bagaimanapun, posisi mereka memang salah. Bank tak akan mau
tahu kondisi nasabah yang tercekik kesulitan. kecuali jika
nasabahnya seorang konglomerat!
"Yang pertama, tolong diingat," si gendut bersuara lebih pelan
tapi tak mengurangi kekejamannya. "Segera cicil bunga yang sudah
nunggak sepuluh bulan ditambah cicilan pokoknya."
Mawar terdiam. la malas menanggapi.
"Kedua," si gendut menatapnya ingin melumat: "Jangan cobacoba kurang ajar pada Kang Barep, padaku! Jangan coba-coba
melawan dan ingkar janji!"
"Kalau tidak ...,' si kerempeng tersenyum licik.
"Kalau tidak, kamu sekeluarga akan menyesal pernah
berurusan denganku. Tidak menghormat padaku! Kuakui, kalian
cukup berani membentak-bentak, sementara orang menunduk'"
nunduk menyembah memohon belas kasihan padaku
Si gendut kembali menggebrak pintu dengan amarah.
149 150 "Mengerti?!"
Mawar sebetulnya ingin menurunkan pukulan gaya pisau dan
tendangan memutarnya. Tapi, ia benar-benar harus menahan diri.
Kalau masalahnya cuma sekadar perkelahian, ia bisa mengerahkan
kemampuan beladirinya. Tapi, kalau ini menyangkut keselamatan
Mama dan saudaranya yang lain, ia harus berpikir panjang. Maka,
ia biarkan dua orang debt collector itu memaki?maki sepuasnya
sebelum beranjak pergi.
"Ingat! Kalau tak ada usaha, rumah ini akan disita!"
Mawar menatap punggung mereka berdua yang menjauh
dengan penuh kebencian dan perasaan tertekan. Apalagi ketika
mereka melarikan sepeda motor dengan suara meraung, ingin
rasanya sebuah tangan sakti menghentikan sepeda motor itu,
menabrakkannya ke aspal, lalu membiarkan tubuh mereka hancur
berkeping-keping. Keinginan itu lalu mengendap perlahan,
berganti helaan napas sedikit lega.
"Fuihh," Mawar mengempaskan diri ke kursi, diikuti Melati.
"Lega. Pingin kuremukkan tulang hidung orang-omng kurang ajar
itu."
"Alhamdulillah, ya, Mbak," Melati mendesah. "Nggak timbul
kekerasan Hsik."
"Kalau mereka macam-macam mukuli kita, kulayani saja."
"Permasalahannya, kan, nggak selesai sampai di situ, " Melati
merenung. "Kita memang harus menyelesaikan utang piutang ini
secepatnya."
"Iya," suara Mawar meninggi. "Tapi, bagaimana?"
Melati memejamkan mata, merebahkan kepala ke sandaran
kursi. Apa yang tersisa di dalam rumah ini? Motor bebek tahun
sembilan puluhan yang sudah lama, kulkas tua yang pinggiran
pintunya sudah berkarat, televisi 14 inci yang gambarnya sering
menghilang tiba-tiba. Tak ada barang berharga yang tertinggal,
kecuali rumah ini. Ya, rumah ini! Tapi, apa mungkin? Mereka lalu
akan tinggal di mana?
"Sebenarnya ", Mawar memandang langit?langit rumah yang
pojok eternitnya telah lapuk dirembesi bocoran air. "Berapa total
utang Mama kalau kamu tahu,Mel?"
"jumlah tepatnya aku nggak tahu," aku Melati pelan. "Tapi, Mbak
Dahlia pernah memberikan gambaran. Dulu Mama pinjam dari
saudara sana sini untuk pengobatan Ayah. juga untuk penghidupan
kita ketika gaji Ayah tak mencukupi saat sakitnya. Semua itu
bertumpuk hingga Ayah telah lama meninggal. Ketika Mama juga
nggak mampu membayar lunas utang yang mulai ditagih, Mama
mulai menggadaikan barang. Memasukkan SK dan pensiun Ayah
ke bank. Dan terakhir sertifikat rumah ini."
" Terus ...?"
"itu belum cukup melunasi semuanya. Terlebih ketika Mama
juga jatuh sakit dengan wasir beratnya
Mawar menyisir rambut dengan jemarinya. Lelah. Melati
melirik jam.
"Shalat Asar dulu ajak, Mbak," pintanya lirih. "Biar tenang."
Tanpa bersuara, Mawar beranjak ke belakang, melewati kamar
Mama yang setengah terbuka. la menyempatkan diri melongok ke
dalam, mendapati Mama tengah tersungkur dalam sujudnya.
Usai Shalat Asar, Mawar mendapati Melati tengah menemani
Pepe dan Rasyid
"Sorry, War, aku datang telat," sesal Pepe." Sepeda motorku bocor
bannya di jalan Magelang."
"Nggak apa-apa," sahut Mawar murung. "Semua sudah berlalu
untuk sementara ini."
151 152 Rasyid dan Pepe berpandangan.
"Trus, gimana?"
"Idealnya, aku harus punya uang sekian puluh juta, buat bayar
utang dan menyelesaikan semua urusan. Nyatanya, aku nggak
punya."
Rasyid menghela napas panjang.
"Sabar, ya, War."
Mawar mencoba mengangguk sekalipun letih ia mendengar
kata itu.
"Bantu aku mikirin jalan keluarnya, ya?"
"Pihak bank memberi jangka waktu berapa lama?"
Melati menggeleng.
"Entah, Mas," jawab Melati menunduk. "Tapi, memang tanggal
jatuh tempo pengembalian utang sudah lewat lama. Setahun lebih,
sementara kita belum mencicil bunganya sama sekali. Surat
peringatan sudah puluhan kali jatuh ke rumah."
Pepe menekuri lantai. la ingat cerita lto, beberapa pengusaha
kawan papanya yang tersangkut kredit macet miliaran rupiah
dapat tetap melenggang kangkung. jangankan ditekan masalah


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengembalian pinjaman, cicilan bunga terbengkalai pun mereka
tetap adem ayem. Padahal, uang mereka lari ke sana kemari untuk
kemewahan dan penyelewengan. Sementara, banyak nasib orang
kecil yang senantiasa tertindas, terintimidasi.
"Bagaimana kalau kita nulis ke surat pembaca, Syid?" Pepe
mengajukan gagasan. "Sekarang era keterbukaan. Banyak orang
mulai berani mengeluhkan aparat, pelayanan pemerintah yang
tidak adil, dan sebagainya. Bagaimana kalau masalah Mawar dan
keluarganya kita tulis ke surat pembaca di beberapa media massa
agar pihak kreditur mampu bertindak adil?"
"Itu bisa menyelesaikan masalahku?" tanya Mawar sangsi.
"Ya ...," Pepe terdengar ragu." Secara langsung, aku nggak tahu
pasti. Tapi, pokoknya kita bantu segala upaya. Gimana?"
Mawar dan Melati berpandangan dalam diam.
"Terserah," sahut Mawar pasrah. "Aku juga belum menanyakan
pendapat Mama."
Pepe dan Rasyid berpamitan ketika Maghrib hampir menjelang.
Hanya dua gelas air putih yang dapat Melati suguhkan, karena
persediaan gula di rumah memang nyaris tak tersisa.
*** Mama meminta mereka berkumpul seusai Shalat Shubuh.
Dahlia, Mawar, dan Melati terduduk membisu.
"Seandainya rumah peninggalan ini dijual, bagaimana?" tanya
Mama perlahan.
Dahlia mengangkat wajah. Mawar menelan ludah, Melati
membaca istighfar.
"Apa nggak ada jalan lain, Ma?" Dahlia nyaris kehilangan suara.
Mama menahan tangis.
"Apakah kalian punya saran lain?"
"Mawar ditawari Lies bekerja di perusahaan pengrajin perak
milik omnya. Lies juga mengajak Mawar membuka kafe tiap minggu
di bundaran UGM. Mungkin mungkin kita bisa mencicil tanpa
harus menjual rumah."
Mama menggeleng.
"Memang kamu tahu berapa jumlah cicilan bunganya, War?"
Mawar menggeleng. la nyaris kaku mendengar sejumlah uang
disebutkan Mama.
153 154 "Semua ini Mama tutupi ketika kalian masih belum cukup
dewasa. Sekarang, Mama harus menceritakan semua. Maafkan
Mama, nggak mampu menghidupi kalian dengan layak."
Dahlia hampir menangis.
"Mama sudah cukup berusaha," ia mencoba menghibur. "Tapi,
kalau rumah ini dijital, kita mau tinggal di mana?"
Mama pun menahan kesedihan.
"Mama pertimbangkan, rumah kita ini cukup strategis. Tak
terlalu jauh dari jalan raya, tapi juga tak terlalu bising. Kalau laku
dengan harga pantas, kita dapat beli rumah di pinggir kota, lalu
buka usaha. Bagaimana?"
Bertiga mereka berpandangan.
"Kalau dikonn'akkan?" Melati mengajukan usul.
"Paling hanya laku tujuh atau sepuluh juta setahun," Mama
mencoba tersenyum. "Beltim untuk cari kontrakan lain, bayar
cicilan. Tidak akan cukup dan persoalan belum selesai."
Sepahit apapun pertimbangan menjual rumah, tampaknya itu
yang paling realistis.
"Mama minta kalian bantu doa dan pertimbangkan masakmasak. Bila kalian semua setuju, kita mulai putuskan dan bergerak."
Tiba-tiba Mawar teringat sesuatu.
"Mbak Cempaka juga harus dimintai pendapat, kan? Dia juga
ahli waris Ayah."
Mata Mama terbelalak sebentar, seolah baru saja disadarkan.
"Oh ya, telepon dia secepatnya
Mawar menuju ruang tamu, lalu mengangkat gagang telepon.
Tak ada nada panggil. Sedetik kemudian jantungnya terajam dingin
yang nyeri. Mereka tanpa sadar sudah empat bulan tak bayar tagihan.
Berarti telepon telah diputus. Ya ya. Dengan sisa senyuman, Mawar
mencoba menarik ujung bibirnya ke atas, menebar rasa ceria ke
hadapan Mama. Ia menulis pesan singkat ke Cici di layar ponsel
Mengontak Cempaka langsung, belum tentu dibalas.
Matanya tak beranjak dari kedipan lampu di layar, menunggu
(lengan bodoh pesan pendeknya terkirim. Gagal Coba lagi? Mawar
memencet. Gagal.
la mengetik bintang-angka-pagar.
Pulsa Anda tinggal Rp.7,-.
32! 155 156 !? Episode 9
Keputusan menjual rumah adalah pilihan
terbaik di antara pilihan yang buruk.
Melati mendiskusikan masalah itu dengan
Wardah dan Rosy, juga Erisa yang meskipun belum
berjilbab tetap menjadi karibnya. Bukannya Melati
tak mempercayai Elsa, Ratna, dan Vera, gangnya
yang dulu sangat akrab dengan dirinya. Tetapi,
untuk saat?saat genting seperti ini, rasanya perlu
teman yang mampu memberi pandangan yang
menyejukkan. Tidak sekadar menguntungkan.
"Kalau bisa, pilih pembeli yang muslim, Mel,"
saran Wardah. "Meski harganya mungkin sedikit di
bawah tawaran, tetapi kalau rumah itu dipakai
shalat dan ngaji, almarhum Ayahmu dapat pahala
yang terus mengalir."
"Aku coba tawarkan ke Ayahku," Rosy ikut
membantu. "Semoga cepat terjual dengan harga
pantas."
"Ngomong-ngomong, kamu sudah punya
pandangan mau tinggal di mana?" tanya Erisa ingin tahu.
"Kata Mama, daerah Kotagede atau Jalan Kaliurang yang masih
agak pelosok, lumayan murah," jelas Melati.
Mawar pun mendiskusikan masalah itu dengan Lies dan
Hanum. Orang-orang sering bertanya-tanya, kira-kira apa yang
dibicarakan antara dua orang berjilbab dengan seorang cewek
tomboy berambut cepak, beranting-anting berjejer di telinga
kanan, dan sederet cincin perak di jari-jemari.
"Kira?kira, habis jual rumah, kamu ngapain , War?" Lies ingin
tahu.
"Aku mau buat usaha. Tapi, masih bingung usaha apa."
"Kalau rencana Bu Kusuma tinggal di daerah pinggir kota,"
Hanum tampak berpikir, "mungkin dapat tanah agak luas dengan
harga murah. Gimana kalau kamu usaha agrobisnis?"
"Misalnya?" Mawar mengernyitkan dahi.
"Sekarang, orang banyak beralih ke pengobatan alternatif.
Salah satunya obat tradisional Kamu pernah dengar, kan, tanaman
kunyit putih yang efektif membasmi kanker? Mungkin kalau kamu
punya lahan sedikit luas, bisa kamu budidayakan tanaman itu."
"Tapi, tanaman itu asli Belanda, Han," Lies mengingatkan.
"Penanamannya juga nggak boleh sembarangan. Perlu petak-petak
beton, yang modal awalnya mungkin juga cukup besar sekalipun
hasilnya juga menggiurkan."
"Memang, sih," Hanum mengangguk dengan ragu-ragu.
Mereka bertiga terdiam.
"Kalau aku, mau menyarankan hal yang mungkin kedengaran
menggelikan," Lies memiringkan sedikit kepalanya.
"Ngomong aja, Lies. Segala kemungkinan saat ini sedang
kupikirkan," sahut Mawar.
157 158 "Kalau jadi peternak, gimana, War?"
"Peternak?"
"lya. Misalnya ikan lele. Lele itu nggak perlu repot memberi
makan. Cukup buat bak?bak semen diisi air, lalu taruh bibit lele di
situ. Selesai. Kasih makan apa aja. Cakupannya luas, mulai dari
rumah makan, pasar, dan warung tenda."
Mawar tampak merenung.
"Atau ternak ayam. Mau ayam negeri atau ayam kampung,
tergantung kemauan kamu. Telurnya juga bisa dijual, dagingnya
apalagi. Pasarannya juga luas. Sekarang menjamurfried chicken di
pinggir-pinggir jalan."
Mawar menghela napas. Lies tersenyum.
"Mungkin kelihatan berat di awalnya, ya, War," katanya
menghibur. "Tetapi, tetanggaku yang sukses dengan usaha ayam
potong, sekarang sudah hidup makmur. Saranku, mintalah petunjuk
Allah di setiap shalat dan kalau bisa ditambah shalat malam. Pasti
akan diberi ilham, usaha apa yang kira-kira sanggup kamu lakukan
sekeluarga."
Mawar mencoba tersenyum. Ya, semua saran sebaiknya
ditampung dan dicatat, lalu dipertimbangkan untung ruginya. Setelah
itu, buat daftar. Manakah yang membutuhkan pembiayaan paling
sedikit dan mampu menghasilkan paling cepat, mengingat kebutuhan
mereka sekeluarga juga saling berkejaran. Mawar merasa sangat
berterima kasih atas sumbang saran Lies dan Hanum. Di sisi lain, ia
tak sungkan berdiskusi karena perbedaan yang mencolok di antara
mereka tak pernah disinggung, minimal dalam cara berpakaian.
Dalam hati, Mawar pun mulai terbersit keinginan. Apalagi yang
menghalanginya untuk berbusana seperti Melati? Toh, ia juga tak
terlalu peduli pada masalah penampilan di hadapan cowok. Kalau
masalah hobi naik gunungnya, bukankah memang dari sekarang
harus dipertimbangkan lagi mengingat keterbatasan biaya?
Kalaupun sampai kapan pun ia masih mencintai cadas-cadas, gunung,
tebing, dan aroma ketinggian; itu bukan sesuatu yang harus
dibenturkan dengan agama, kan?
*** Mawar sering berjumpa Pepe dan Rasyid maupun lto di Masjid
Syuhada. Kalau kebetulan hari Jum'at tak ada kuliah pagi, biasanya Mawar
membantu Melati dan Mbak Nunu menunggu dagangan kue. Memang,
berjualan itu pada awalnya malu, apalagi bila banyak yang tak laku. Tapi,
lama-lama muka jadi tebal juga. Apalagi jika sudah menghitung
keuntungan yang sekalipun hanya seratus dua ratus rupiah per kue,
tetapi dikalikan sekian. Puas rasanya. Tapi, mengapa orang enggan
menjadi pedagang dan berdesakan mendaftar sebagai pegawai negeri?
"Kabar rumah gimana, War?" tanya Rasyid di suatu pagi sambil
mencomot sisa arem-arem. Pukul delapan kurang sedikit. Pengajian
pagi telah selesai dan mereka siap berbenah.
"Belum, tuh," Mawar angkat bahu. "Ada, sih, yang sudah
menawar, tapi buat ngontrak doang. Kalau ada yang mau beli,
harganya belum sesuai."
"Debt collector itu masih datang?"
"Pernah nelepon, tapi kujelaskan rumah sedang diupayakan
dijual Nggak tahu dia percaya apa enggak."
Pepe dan lto bergabung.
"Lumayan juga jenggotmu, Pe," puji Mawar.
"Hush, lihat?lihat!" tegur Pepe. "Ntar dimarahi Rasyid, lho."
"Tapi, kok, rambutnya masih gondrong?"
Pepe mengelus rambut ikalnya yang hitam dan dikepang ke
belakang.
159 160 "Rasanya, kok, masih sayang, ya, mau dipotong."
Rasyid hanya tersenyum-senyum.
"Kapan naik lagi?" tanya Mawar.
"Tahu, tuh," lto angkat bahu. "Rasyid, sih, ngajakin aku dan
Pepe ikut memantau kegiatan mentoring camp buat anak-anak
tingkat awal"
"Oya? Kapan?" Mawar membelalakkan mata.
"Kapan, Syid?" lto balik bertanya.
Rasyid menelan suapan terakhirnya.
"Dua minggu lagi."
Mawar tampak termenung. Angin dingin, tanjakan setinggi
meja dan lemari, rumput basah, bau tanah lembab, akar-akar pohon
yang kokoh mengusik kerinduan. Ia sudah lama tidak merambah
gunting. Dulu, kalau tidak ingin berpetualang, ia sering
menyempatkan diri memandang Yogya dari puncak Merapi.
"Kenapa? Pingin?" Pepe menggoda. Mawar tersenyum samar.
Melati di sampingnya mendehem.
"Pingin. sih, tapi lagi pailit"
Rasyid terdiam. Mereka juga tahu kondisi Mawar sedang elit
alias ekonomi sulit, tapi Rasyid justru berharap keikutsertaan
Mawar dalam acara ini.
"Sebetulnya, aku juga lagi nyari-nyari kamu, War," aku Rasyid
sambil menenggak air mineral.
"Oya? Mau ngapain?"
"Ngajak kawin kali!" lto angkat suara hingga Rasyid tersedak.
Ia tertawa ngakak.
"Tuh, kan, keselek. Dari dulu, kalian emang kucing?kucingan."
Mawar menimpuknya dengan daun pembungkus arem-arem.
Melati ikut tersenyum.
"Wah, seneng kalau punya abang ipar kayak Mas Rasyid"
Mawar merona.
"Ngapain, sih, kamu, Mel?"
"Cuma seleranya yang belum ketemu, ya, Mas?" Melati
bergurau sambil membereskan sampah-sampah.
"Makanya buruan pakai jilbab,War!"
"Ah, aku malah ogah jadinya kalau begini. Ntar aku pakai
kerudung disangka pingin jadi istrinya si Rasyid lagi!"
Ganti Rasyid yang memerah.
"Udah, ah!" Pepe kasihan juga melihat Rasyid salah tingkah.
"Orang kalem begitu digangguin. Eh, padahal kamu dulu seronok
juga, ya, Syid? Suka nonton film yang pada buka-bukaan nggak pakai
baju "Naudzubillah. lh, aku mah dari dulu juga ogah!" seru Rasyid.
"Lha, itu, Discovery Channel!"
Mawar dan Melati meledak tawa. Mbak Nunu ikut geli. Setelah
reda, Rasyid kembali serius.
"Bagian keputrian minta bantun orang yang jago naik gunung
buat mengawasi. Aku pikir kamu cocok, deh."
Mawar tertegun.
"Bener?"
Tapi, sedetik kemudian ia lesu lagi.
"Tapi, aku lagi bokek. Kalaupun ada uang, sayang kalau dipakai
begitu. Mending buat bantu Mama dulu."
"Insya Allah buat kamu gratis, kok," Rasyid tersenyum. Mawar
mengepalkan tangan.
161 162 "Yesss!"
"Boleh nggak, Mel?" tanya Rasyid pada Melati.


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah ?" Melati agak kaget ditanya persetujuan."Ya, boleh aja
asal izin Mama dulu. Tapi ...."
"Tapi. kenapa?"
"llarus pakai jilbab enggak?"
Sejurus kemudian mereka terdiam. Melati jadi salah tingkah.
Ia tahu watak asli Mawar. Jika kakaknya ingin melakukan sesuatu
lalu dikejar-kejar dan disuruh-suruh, jadinya malah berhenti.
Macet Mawar selalu tak ingin melakukan sesuatu di bawah tekanan,
apalagi dianggap tindakannya karena orang lain, bukan karena
dirinya sendiri. Wuah, bakalan mogok. Tapi, Rasyid tersenyum
bijaksana.
"Enggak, kok, nggak ada paksaan. Yang belum pakai jilbab juga
banyak. Asal jangan pakaiyou can see aja."
Mawar sewot.
"Mana mungkin aku pakai begituan!"
Hari mulai panas. Mereka lalu berpisah dengan urusan masing?
masing.
Di tengah suasana rumah yang penuh kekhawatiran dan
ketidakpastian, ada sedikit gairah. Mawar meminta izin pada Mama
karena ingin juga sekalian menengok Cempaka di kaki Merapi.
Mulanya, Dahlia pun mengernyitkan dahi. Tapi, setelah Melati
menjelaskan bahwa Mawar pun perlu refreshing, apalagi setelah ia
memutuskan untuk cuti kuliah demi mengurusi masalah Mama dan
keluarga, Dahlia pun setuju. Terlebih ketika Mawar sangat ingin
menengok Cempaka. Semenjak telepon terputus, mereka memang
hidup lebih prihatin lagi. Sekali-sekali mereka menelepon Cempaka
dari handphone dengan nomer perdana berganti-ganti yang murah
harganya. Mama belum pernah ke sana lagi sejak kali pertama
mengantar dahulu. Pulsa juga sangat dihemat, hanya pesan pendek
untuk hal yang penting?penting sekali. Mawar termenung. Mama juga.
Seperti apa Cempaka sekarang? Berapa bulan usia kandungannya?
Meski tak ada lagi kemarahan, ada awan kelabu tiap kali mereka
berbicara tentang Cempaka. Mama ingin selekasnya pindah
mengingat tetangga-tetangga mulai bergunjing. Jika mereka pindah
ke daerah baru, setidaknya rahasia itu akan lebih aman.
*** Wajah?wajah lelah dan terbakar matahari terlihat berbaris.
Tidak ada bentakan-bentakan dan senioritas di sini macam ospek.
Justru teguran?teguran ramah dan perhatian dari kakak-kakak
manakala melihat wajah adik almamaternya bersimbah keringat
"Capek, ya, Dik?" tanya Hanum pada seorang mahasiswi
bercelana jeans ketat dan bersweater ketat juga. la terlihat
terengah-engah menyandang ransel. Mawar menggerutu dalam
hati. Lagian, siapa suruh pakai jeans dan pakaian ketat yang
menghambatjalan napas? Mending seperti, seperti Lies dan Hanum.
"Bisa juga kamu loncat?loncat, ya, Han," Mawar terheran-heran.
Hanum tertawa.
"Di Palestina, orang pakai baju kayak gini masih tetep bisa
nembak dan melempar batu. Di sana capaian akademis tinggi,
banyak profesornya, setiap orang tetap bersemangat sekalipun
hidup di bawah tekanan."
Wajah Mawar menyiratkan kengerian. Hanum tersadar tibatiba telah memberikan informasi terlalu tajam tentang agama.
Di tanah lapangr dan datar tak jauh dari pemukiman penduduk,
rombongan berjumlah sekitar 80 orang berhenti, lalu segera
membangun tenda. Usai perjalanan melelahkan yang mengasyikkan,
mereka menghempaskan diri ke rumput Ketua regu dan anggota
mulai sibuk dalam urusan masing?masing. Mempersiapkan air,
163 164 menata tikar, menjemput makanan dari rumah penduduk. Angin
sejuk membelai wajah. Beberapa terkantuk-kantuk di bawah
bayangan kabut. Mawar merapatkan jaket Acara selama tiga hari
dua malam itu diisi banyak kegiatan. Permainan dan hujan doorprize.
juga penyampaian materi.
Mawar tertegun-tegun ketika Rasyid menyampaikan Islam dan
Sunatullah. islam yang selalu beredar di atas Sunatullah?hukum
alam atau lebih tepatnya hukum Allah?membagi secara dua garis
besar hukum alam. Yang mutlak dan tidak mutlak.
"Mutlak," Rasyid menjelaskan di antara peserta yang terduduk
mendongak. "Kebanyakan jika kita berbicara tentang alam. Hukum
gravitasi. Kecepatan cahaya. Ketentuan-ketentuan yang sudah pasti
seperti setiap orang akan tua dan mati."
Mawar pun dibuat tak berkedip. Padahal Lies dan Hanum juga
muslimah lainnya dapat menyimak tanpa harus melotot!
"Yang tidak mutlak tentang Sunatullah adalah bila kita berbicara
tentang usaha," jelas Rasyid dengan intonasi tenang. "Orang sakit
kanker ada yang mati dan ada yang sembuh, tergantung ketepatan
terapi. Tentu tidak mengabaikan bahwa takdir di tangan Allah.
Orang rajin cari uang akan kaya, orang rajin belajar akan pintar,
orang banyak membaca akan banyak terbuka wawasannya."
"Kalau baca Conan, Deathnote, dan Kung Fu Boy?"
Geerrrr. Rasyid tersenyum.
"Boleh. Saya juga suka kecerdikan Conan menyelesaikan
masalah, cuma kadang nggak suka sama rok mininya Ran."
Peserta ribut menanyakan masalah hingga melantur. Yang lagi
tren di kalangan anak muda, apalagi selain masalah pacaran dan
hal-hal berbau mistis.
"Zaman rusuh begini kalau punya ajian kebal boleh nggak,
Mas?" tanya seorang pemuda berambut gondrong.
Rasyid tampak termenung.
"Sebaiknya begini," ia berkata perlahan. "Ketika kita memutuskan
sesuatu, pertimbangkan juga konsekuensinya. Punya ajian kebal,
sekilas memang enak. Sakti. Nggak mempan senjata. Lha kalau
kemudian dia usus buntu dan harus dioperasi? Repot kalaupisau
bedah nggak mempan. Harus pakai gergaji mesin!"
Mawar terbahak.
"Orang yang punya aji?ajian, sakaratul maumya susah karena
jiwanya dikuasai jin. Malah harus pakai tumbal yang kadang harus
mengorbankan orang-orang yang kita cintai. Mau begitu?"
Banyak kepala menggeleng.
"Kalau doa-doa yang diajarkan Rasulullah, ada tuh, untuk
membentengi diri dari orang jahat Malah di Al?Qur'an sendiri
difirmankan. Intinya, orang yang rajin membaca Qur'an akan ada
dinding pembatas yang memisahkan antara dirinya dengan orangorang zalim."
"Berarti kita nggak boleh jadi kebal? Gitu?" si gondrong itu masih
ngotot.
"Ya," akhirnya Rasyid mengangguk tegas. "ltu kerjaan setan.
Awal?awal aja kamu merasa kuasa terhadap kekuatan lawan, lamalama jiwamu akan tertekan oleh perbudakan setan. Coba, deh, baca
tabloid atau majalah yang mengupas masalah klenik. Selalu ada yang
dikorbankan untuk hal?hal yang dijalankan di luar syariat Allah."
Si gondrong terdiam.
"Kalau Dityo bersedia, ada doa?doa khusus buat perlindungan
dari kejahatan. Setuju?"
Dityo gondrong mengangguk cepat. Benak Rasyid sudah
menyiapkan doa-doa ma'tsurat yang nanti akan ia ajarkan.
"Kembali pada masalah Sunatullah," Rasyid mengedarkan
165 166 pandangan. "Tidak berubah nasib suatu kaum hingga dia sendiri
berusaha mengubah. Seperti hidayah, orang juga harus senantisa
mencoba mencarinya."
"Aku nggak jelas, tuh, Mas," seorang mahasiswi manis di deret
depan bertanya. "Berarti, orang nggak tiba-tiba dapat hidayah.
Begitu?"
"Seratus!" Rasyid mengacungkan jempol. "Seorang anak kiai
bisa saja jadi jahat kalau ia nggak pernah usaha cari ilmu tentang
kebenaran dan nggak pernah berusaha berdoa untuk
mempertahankan keimanan. Sebaliknya, orang jahat kalau dia
nggak sengaja terjerumus, lalu terus mencari kebenaran dengan
banyak menimba pengalaman, bertanya, berdoa, ia akan dapat
hidayah dan berubah jadi orang salih."
Mahasiswi itu masih terpekur.
"Ada seorang shahabat bernama Mush'ab bin Umair. Very cooL
handsome, dan tajir. Semua serbaada. Tetapi, kenikmatan duniawi
nggak membutakan matanya sehingga ia malas mencari
kebenaran. ia terus bertanya tentang orang bernama Muhammad
Hingga ia yakin tentang kebenaran yang dibawa. Akhirnya, ia
menjadi pemeluk Islam yang gigih, hidup dalam kesederhanaan,
hingga ajalnya."
Mata?mata memandangnya redup.
"Andai Mush'ab tidak pernah memeluk Islam, namanya tidak
akan pernah tergores tinta emas dalam catatan sejarah. la sama
saja seperti ribuan, jutaan cowok ganteng yang waktunya habis
buat hal?hal lebay. ia tak lebih dari pemuda anak pejabat yang kaya
raya. Hidup enak. Mati. Selesai. Tetapi Mush'ab, perjuangannya
akan terus bergema hingga anak cucu kim."
Mawar menghela napas.
"Apakah kita akan seperti Mush'ab, Umar bin Abdul Aziz yang
merupakan contoh pemuda kaya yang harum namanya dalam
sejarah? Atau pemuda-pemuda macam Elvis Presley yang
mengakhiri hidup dengan bunuh diri? Banyak artis yang tak
sanggup menanggung beban hidup, akhirnya memilih jalan pintas."
Beberapa orang menelan ludah.
"Karena itu, kita jangan berhenti sampai di sini dalam menimba
ilmu. Tetaplah cari ilmu tentang kebenaran hingga kita berpijak di
atasnya dengan teguh. Sampai nanti kita sudah salih pun tetaplah
belajar. Karena hidayah itu secara sunatullah harus dipelajari dan
dipelihara."
Malam telah larut
Rasyid mengakhiri materi. Beberapa masih melancarkan
pertanyaan di luar forum, beberapa merentangkan tangan
meregangkan otot Mawar masih berdiam diri. Ia belum pernah
mendengar Rasyid berbicara panjang lebar sekalipun mereka telah
berteman bertahun-tahun. Waktu Rasyid belum seperti sekarang,
kata-katanya terasa ringan di telinga. Canda dan gurauannya.
Sekarang, terasa ada bobot yang lain. Pantas Pepe dan lto mulai
berubah. Manusia itu memang seharusnya menapaki pergantian
seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Semakin
lama semakin indah, bukannya semakin busuk. Mawar ingat
Cempaka. Ia pun ingat dirinya sendiri.
Matanya selintas melihat Lies dan llanum berbincang?bincang.
Lalu ia melihat Dena, Mira, Usi, adik?adik tingkat satunya yang cantik
dan seksi. la merinding membayangkan kemungkinan akhir masa
muda mereka seperti Cempaka. Bukankah setiap orang memang harus
berusaha berubah ke arah yang lebih baik? Seharusnya, ia juga begitu.
Tidak. Tidak. la tentu belum mampu seperti Lies dan Hanum. Tetapi,
perubahan ke arah yang lebih baik itu suatu kemestian.
*** 167 168 Mawar tidak ikut turun ke Yogya selepas mentoring camp.
Ia memilih pulang sendiri karena ingin menjenguk Cempaka
di Pesantren Baabuljannah. Sekalipun bekal uangnya pas-pasan,
itupun sebagian hasil dari sumbangan Melati dari jualan kue, tetapi
tekadnya sudah bulat Ia ingin mendampingi Cempaka melewati
hari-hari sulit. Mengucilkannya tak akan memperbaiki keadaan.
Kalau ia diasingkan ke pesantren, semata?mata karena Mawar
sekeluarga tidak tahu bagaimana terapi terhadap orang yang
mengalami keadaan seperti Cempaka. lhnu agama mereka masih
sangat kurang. Apalagi pengalaman.
"Perlu ditemani, War?" Lies dan Hanum menawarkan diri.
Mawar menggeleng cepat ia belum siap ada orang lain yang tahu.
"Nggak apa-apa. Aku biasa sendiri, kok."
Lies mengangguk. la paham. Mawar ingin privasi keluarganya
terjaga maka ia tak mendesak lebih jauh.
"Kalau kamu ada kesulitan," Hanum menambahkan, "entah itu
kesulitan keuangan atau apa, jangan sungkan ngomong ke kitakita, ya, War?"
"lya, deh. Tapi kalau aku jadi keenakan, gimana? Pinjam terus?"
"Jangan khawatir," Lies tertawa. Ia mulai hafal gaya Mawar
yang suka menantang. "Kalau orang muslim itu justru harus ditagih
ketika meminjam sesuai perjanjian."
Mawar melangkahkan kaki memisahkan diri dari kelompok. la
menyandang ransel yang mulai ringan di pundak. Tidak ada
perbekalan lagi. jalan masuk pesantren masih cukup jauh dan ia
memutuskan untuk tak naik delman demi menghemat biaya. Ia
menelan ludah. Haus. Untuk beli air mineral, ia pun tak lakukan.
Mawar menyeka keringat di dahi. Rasanya Pesantren Baabuljannah
berjarak ribuan kilometer diukur dari langkah kakinya yang terseok.
Syukurlah, akhirnya ia sampai juga di sana.
"Ei, Mawar!" Cici rupaya masih mengenali. "Tiba-tiba amat"
"Iya," Mawar mengangguk. "Aku kangen sama mbakku. Dia
mana?"
Cici menyuguhkan air putih yang rasanya senikmat meneguk
oase di padang pasir.
"Mbak Cempaka jarang keluar: Paling-paling kalau pas waktu
shalat sama jam makan, sekali-skali ikut kajian agama. Perlu waktu
yang tidak sebentar, memang, untuk beradaptasi."
Mawar terdiam. Tempat seperti ini memang sebelumnya tak
pernah ada dalam kamus hidup Cempaka. Seharusnya ia sadar,
kondisi sekarang jauh berbeda.
"la punya teman yang sering diajak bicara?"
Cici berpikir agak lama, lalu menggeleng.
"Mbak Diana yang sekamar dengannya pun jarang diajak
bicara. Padahal, permasalahan mereka relatif mirip. Mbak Diana
juga ditinggal tunangannya sampai stres, walau memang tidak
terjadi 'kecelakaan'."
Mawar tiba-tiba teringat kandungan Cempaka.
"Kehamilan mbakku bagaimana?"
"Mbak Merry bilang sehat Tetapi Mbak isti, ekssantri sini yang
beberapa waktu lalu berkunjung kemari, sempat titip pesan sama
aku kalau Mbak Cempaka harus sering ditemani. Matanya terlalu
kosong untuk menggambarkan sesuatu. Oya, Mbak isti ini seorang
psikolog lulusan UGM."
Cici hendak beranjak bangkit, tetapi Mawar menarik tangannya.
"Eh kalau aku mau tanya sesuatu, boleh?"
Cici urung berdiri, lalu mengangguk. Mawar ragu-ragu
sebentar. Cici menanti dengan sabar di hadapan.
169 170 "Kalau kalau kelahiran seorang anak di luar nikah itu justru
membuat ibunya tambah parah, bagaimana? Mungkin si ibu jadi
lebih frustrasi, lebih kecewa, dan nggak punya semangat hidup,
karena merasa itu sangat membebani clan memalukan, bagaimana?"
"Maksudmu'!" Cici tak mengerti.
"Apakah apakah menggugurkan kandungan itu cara yang
lebih baik untuk kondisi ini?"


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cici membelalakkan mam. Mawar menelan ludah.
"Jangan menganggapku bejat, Ci. Aku memang benar-benar
tidak tahu benar hukumnya."
Cici menghela napas.
"Aku juga seorang gadis," ia menggigit bibir. "Aku setidaknya
bisa ikut merasakan kepumsasaannya. Tapi yang aku tahu, pada
prinsipnya, sebuah dosa harus diatasi dengan taubat dan amal salih.
Bukan dengan dosa lagi. Mungkin dalam pandangan manusia,
persoalannya selesai dengan menggugurkan kandungan. Tapi,
bagaimana bila tidak?"
"Apa kamu punya contoh yang lebih jelas?"
"Ada santri yang tiga kali bolak balik masuk karena tiga kali
'kecelakaan'. Bayangkan! Tiga kali! Tidakkah seharusnya sekali saja
cukup memalukan? Ternyata, orang tuanya selalu mengambil
langkah pengguguran sehingga cewek itupun merasa aman berbuat
dosa dan dosa lagi."
Mawar lagi?lagi menelan ludah.
"Ada santri yang dulu pernah menggugurkan kandungan. Lalu,
dia hidup wajar, menikah. Bertahun-tahun nggak bisa punya anak
padahal kedua suami istri dinyatakan sehat Santriwati itu pun
menangis di hadapan Kiai Ahmad, apakah ini bentuk hukuman Allah?"
Cici menatap dalam-dalam mata Mawar.
"Aku pun membuat cela bagi keluargaku, War," Cici tersenyum.
"Mbak Cempaka juga. Tapi, semakin kamu mencari jawaban di luar
agama, semakin akan hancur hidup kita. Kita akan semakin
terbentur-bentur pada persoalan yang makin tak terurai karena
kusutnya."
Saat itu, Mawar sangat lelah dan letih karena lapar. Sehabis
tiga hari mentoring camp, ia belum benar?benar beristirahat.
Apalagi benaknya ditimbuni banyak masalah, membuat otaknya
seperti diimpit helm besi. Ia nyaris tak menggubris tawaran makan
Cici. Baru ketika Cici mengulang untuk yang ketiga kali, Mawar
mengangguk pelan. Seperti biasa, makan siang saat itu hanya
sederhana. Nasi hangat, ikan asin, sambal terasi, dan lalapan timun,
juga kacang panjang. Mawar habis dua piring penuh. Nikmat sekali
makan di tempat yang tenang dalam suasana yang penuh berkah.
Usai makan, Mawar masuk ke kamar Cempaka. Diana, teman
sekamarnya sedang asyik di perpustakaan membaca majalahmajalah Islam terbaru. Mawar menutup pintu hampir tanpa suara.
Cempaka tidur dengan posisi miring, napasnya turun naik. Perutnya
mulai kelihatan membuncit. Berapa bulan, ya? Lima, enam, atau
tujuh bulan? Ah, Mawar tak tahu pasti. Ia tak ingin mengganggu
tidur siang Cempaka. Sebaliknya, ia ingin juga sekadar merebahkan
kepala di kursi samping tempat tidur. Angin pegunungan yang
sejuk, suara wirid anak-anak, atau dengungan hafalan Qur'an,
menghantarkan suatu kenyamanan tidur yang luar biasa. Sebentar
kemudian, Mawar terlelap di sandaran.
12! 171 172 l? Episode 10
Mengapa?
Mawar sering tak mengerti, Melati pun
bermnya-tanya pada diri sendiri. Apa yang salah
dengan keluarganya? Seingat mereka, dulu Ayah
rajin ibadah. Shalat lima waktu, terkadang
menambah dengan Shalat Dhuha dan Tahajud.
Sekali-kali puasa sunah Senin dan Kamis. Mama
juga menjaga shalat sekalipun kadar kerajinan
beliau masih kalah dibanding Ayah. Mereka
berempat, putri-putri Pak Hamid, tak pernah
meninggalkan shalat walau terkadang masih suka
mepet ketika mengerjakan. Lalu, mengapa orang
yang lebih bejat masih dapat menikmati hidup lebih
mudah? Tak kekurangan, sehat wal afiat, nyaris
semua keinginan mereka terkabul
Sekalipun Melati mulai banyak berubah, lebih
dewasa dan mawas diri, tidak mengeluh atau
membandingkan dengan orang lain, ada perih
menggores tiap kali melihat Vera dijemput
Papanya naik mobil seri terbaru. Ia pernah
menjumpai Vera sekeluarga menghabiskan malam Minggu di
restoran fast food Amerika. Penuh canda, kehangatan. Hidup
terlihat berjalan demikian mulusnya.
Ratna pun masih sering mengobrol dengan Melati. Melati
sering sedih melihat sahabatnya bolak-balik ganti handphone,
sementara telepon rumahnya sudah dicabut Ia pun jadi tak tahu
banyak kondisi Cempaka yang jauh di sana. Elsa pun masih sering
menyapa dan mengajak pulang bersama naik mobil city car?nya
yang masih mengkilap, gres. Halus Melati menolak. Bukannya
berniat menjauh. la takut hatinya kotor dalam debu iri dengki.
Melati sedang ingin membersihkan jiwa agar memandang persoalan
lebih jernih, tidak dipenuhi umpatan kekecewaan.
"Dulu, aku pun sempat nggak mau terima dengan semua
takdirku, Mel," suatu saat Wardah mengungkapkan hal yang sama.
"Tapi, sekarang aku sangat bersyukur. Andai aku kaya, hidup enak,
belum tentu kejadiannya seperti ini. Mungkin aku nggak berjilbab,
Mbak Aisyah nggak akan berjuang masuk kedokteran. Bukankah
banyak orang kaya malah malas sekolah karena keenakan punya
duit banyak?"
Melati terdiam.
"Saat ini, seberapa uang yang ada pada kami, rasanya nikmat
Aku juga lebih pandai mengelola uang karena sudah pernah
merasakan pahitnya jadi orang miskin. Ternyata, dengan hidup
sederhana pun aku bisa tetap survive, sehingga dengan adanya uang
yang sedikit berlebih nggak membuatku berpikir untuk
membelanjakan lebih banyak."
Memiliki teman semacam Wardah dan Rosy memang berbeda.
Mereka memberi masukan-masukan yang berharga, tidak hanya sisi
kesenangan yang dikejar. Bahkan dalam kesederhanaan mereka,
masih terselip perhatian?perhatian yang mengharukan. Tidak hanya
pada Melati, tapi juga pada Erisa dan lainnya. Pernah Melati
menunggak dua bulan membayar SPP. Tanpa sepengetahuannya,
173 174 Wardah dan Rosy sudah menyelesaikan.
Suatu siang ketika bel istirahat berbunyi.
"Aku kadang cemburu," Erisa manyun. "Kayaknya Wardah lebih
dekat ke kamu daripada ke aku, deh."
"Eh? Kamu, tuh, ngapain lagi pakai cemburu. Mirip orang
pacaran! Kalau Wardah kelihatan lebih dekat ke aku mungkin karena
sekarang persamaan kami sedikit lebih banyak
"Sama-sama pakai jilbab. Gitu?"
"Yaa, Wardah, kan, harus ekstra hati-hati kalau ngomong ke
kamu. Nanti kamu tersinggung, Er, kalau ngomong masalah minyak
wangi atau make up. ]adi, bukannya dia pilih?pilih teman."
"Kamu juga, ya," Erisa setengah merajuk. "Kalau sama dia
ngomong lain, sama aku ngomong lain."
"Bukan begitu," Melati merangkul pundaknya. "Ada hal?hal yang
nggak bisa aku omongin ke kamu. ltulah, takut kamu belum siap
dan malah nggak suka sama kita-kita."
"Contohnya apa, sih?" Erisa penasaran.
"Ya ," Melati berpikir-pikir. "Keputusanku memakai jilbab
mirip-mirip kondisi Wardah. Waktu kami dihimpit banyak masalah,
rasanya nggak tahu lagi bagaimana cara mengatasi. Kecuali
akhirnya bersungguh-sungguh meminta pada-Nya. Dan
permohonan kita akan terkabul kalau kita juga taat pada perintahNya. Dalam segala aspek."
"Termasuk masalah jilbab itu?"
"Oh, ternyata itu masih sebagian kecil bentuk ketaatan kita."
"Ilah? Sebagian kecil?"
"Iya," Melati mengangguk. "Masih banyak sisi hidupku yang
harus diperbaiki."
Mata Erisa terbelalak. Padahal dalam pandangannya, Melati telah
berubah 180 derajat
"Misalnya? Eh, aku, kok, jadi cerewet, sih?"
"Nggak pa-pa," Melati menggelengkan kepala. "Bisa jadi
tambahan pengalaman untuk kamu. Ternyata, sebagai seorang
muslim harus menjaga ukhuwah, itu salah satunya. Harus peduli
sama saudara muslim yang lain, walaupun memikirkan masalah
sendiri sudah ruwet Karena bentuk empati ini akan membuat
Allah makin sayang ke kita."
Erisa menyilangkan kaki dan bertopang dagu.
"Sekalipun aku susah, aku juga nggak boleh melupakan orangorang yang lebih sulit dari aku. Orang miskin masih banyak, yang
tertimpa bencana pun sangat banyak. Aceh, Maluku, Papua, Muslim
Uyghur. Kashmir, Afghanistan, Palestina ."
Erisa tetap memasang telinga.
"Kalau aku nggak bisa ngasih bantuan nyata ke mereka semisal
dana, minimal aku harus mengirim doa. Karena ternyata, kalau
aku perhatian sama saudaraku, malaikat pun mendoakan hal yang
sama."
Erisa menganggguk-angguk.
"ltulah sebagian hal yang sering kubicarakan dengan Wardah
dan Rosy. Takut kalau ngajak kamu, kamunya nggak nyambung."
Erisa mencubit lengannya.
"Aku juga. kan, suka lihat berita. Tahulah aku masalah-masalah
kayak begitu."
"Oya?"
"Aku juga sedih. Tapi, nggak tahu gimana cara ikut berempati."
"Kalau kamu ada rezeki lebih, bisa kamu salurkan ke majalahmajalah Islam. Kalau kamu nggak mampu, ya, itu tadi. Berdoalah."
175 176 Melati dan Erisa berpandangan, lalu tersenyum. Walaupun Erisa
masih belum mau berjilbab, ia tetap akrab dengan Melati. Melati
memang tidak banyak berubah selain gaya penampibnnya. Masih tetap
periang dan banyak omong. Tentu saja sekarang isi pembicaraannya
tak banyak mengguniing. Bel masuk jam mata pelajaran terakhir
berbunyi, menghentikan keasyikan mereka berdiskusi.
*** Mawar cuti kuliah.
Sekarang, ia bekerja di pengrajin perak, di toko salah seorang
kerabat Lies. la sudah minta izin pada dosen, membuat surat
pernyataan cuti dan mereka memahami keputusannya. Mawar
ingin konsentrasi pada salah satu masalah dulu, minimal hingga
rumah laku terjual dan mereka sekeluarga menemukan tempat
yang cocok untuk melanjutkan hidup.
Awalnya. Mawar masih buta tentang seluk-beluk kerajinan
perak. Bagaimana memilih logam perak yang bagus, ditempa pada
suhu berapa derajat celcius, hingga pahatan macam apa yang
tengah digemari orang. Ia hanya tahu memakai sederet di telinga
kanan dan di jari-jemarinya! Untuk sementara waktu, Mawar diberi
tugas mengerjakanfinishing touch seperti memasang batu permata
tiruan di perhiasan, membersihkan dengan kuas dan sikat halus
hasil kerajinan agar bersih dari debu yang tertempel saat dipahat,
menyiapkan kain beludru sebagai background, hingga memasukkan
miniatur-miniatur yang unik itu ke kotak kaca. Becak atau sepeda
yang superkecil itu jauh lebih indah dan mahal dibanding ukuran
aslinya!
Mawar masih belum berjilbab walaupun keinginan itu makin
menguat dalam hati. Sekarang, ia lebih sering memakai celana jeans
longgar dan kemeja kotak?kotak lengan panjang. Deretan anting di
sebelah kanan sudah berkurang kecuali tersisa satu. Shalamya pun
lebih teratur dan khusyuk, tidak lagi seperti kucing dikejar-kejar
anjing.
Suatu pagi, Mama meminta mereka berkumpul seusai Shalat
Subuh.
"Teman Pakde Yono berniat membeli rumah kita dengan harga
cukup pantas. Ia sedang merintis bisnis percetakan yang
memerlukan rumah agak besar di tengah kota, tetapi tidak terlalu
bising karena mau dipakai juga sebagai tempat tinggal," Mama
mengedarkan pandangan. "Kalau kalian setuju. Ini adalah hak waris
kalian."
Dahlia tercenung. Akhirnya, keputusan itu terjadi juga.
Meninggalkan rumah yang telah mereka tinggali sedari kecil.
Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Pohon mangga,
rumpun melati, kebun kecil di depan dan samping yang selalu
Mawar rawat dengan rajin. Kuncup pohon tomat dan cabe sudah
berguguran, menyembul buah-buah kecil yang menggemaskan.
Tiap kali memetik, rasanya begitu puas.
"Bagaimana, Nduk?" Mama menghela napas.
"Berarti kita harus hunting cari rumah di sekitar pinggiran kota,"
Mawar mencoba tegar. "Dengan harga sedemikian, nggak mungkin
kita tinggal di tengah kota, kan, Ma?"
Bu Kusuma mengangguk. Melati menunduk.
"Gimana Dahlia, Melati? Kalian, kok, diam?"
"Nggak apa-apa," Dahlia tersenyum. "Lagi mikir mau minta
teman-teman carikan daerah yang nyaman buat tempat tinggal"
"Melati?"
"Aku aku ingat ayunan dari ban yang dulu dibuatkan Ayah,"
Melati tiba-tiba tersedu. Memerihkan hati yang lain, yang sedang
berusaha juga menahan pedih. "Ingat kesukaan Ayah tidur di dipan
177 178 di teras samping rumah. Cangkokan mangga, rumput jepang,
bunga melati, dan kebiasaan Ayah menanam bumbu dapur. Setiap
pojok rumah ini menyimpan kenangan."
"Melati, sudah ...," Mawar membentaknya, nyaris tanpa suara.
Bukan kemarahan, tapi luapan sesak yang merembes keluar. "Kita
harus realistis. Mau apa lagi?"
"Aku cuma membayangkan bagaimana orang-orang baru
mengisi rumah kita," Melati seolah tak peduli. lsaknya tersendatsendat. "Orang itu mungkin nggak suka tanaman, ia mau
membangun kamar lagi. Tanaman yang puluhan tahun ditanam
Ayah, diratakan dengan tanah, ditimbun semen."
"Melati ..!"
"Biarkan dia bicara, War," Mama menengahi.
"Aku aku bukannya menghalangi, karena aku juga nggak tahu
jalan keluar yang lain. Aku cuma sedang sedih."
Pohon harapan yang selama ini masih bersemayam di hati, kini
tercerabut hingga ke akar-akarnya. Kehilangan rumah adalah batas
pertahanan terakhir mereka untuk hidup layak. Setelah itu, apa lagi?
Mencari rumah kontrakan, merintis usaha yang masih belum teraba
keuntungannya. Gambaran hidup yang teratur seakan lari jauh dari
bayangan. Apakah mereka akan hidup dalam kecemasan tiap
harinya? Ada keterdiaman yang panjang mengisi jeda. Seakan
mereka menikmati saat?saat memiliki yang tak lama lagi.
"]adi kalian setuju?" Mama bertanya perlahan.


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dahlia mengangkat wajah, matanya basah. Mawar mengangguk
sekalipun tenggorokannya serak. Melati mengiyakan tanpa mampu
mengangkat kepala.
"Baiklah," Mama menghela napas. "Mulai sekarang, kita harus
mencari daerah yang baik untuk kita tinggali. Sementara itu, kalian
menyiapkan diri, mengemasi barang. Secepatnya harga dilunasi
bila kita sudah siap pindah."
Mawar berangkat kerja terbengong-bengong. Dahlia juga.
Mereka berboncengan mengendarai sepeda motordengan lesu. Melati
pun tak banyak omong di sekolah. Di mushala, ia menyempatkan
diri Shalat Dhuha tanpa mampu menahan derasnya air mata yang
berloncatan keluar. Wardah yang tengah berada di mushala duduk di
samping Melati, mengelus-elus punggungnya.
"Ada apa, Mel?" tanyanya lembut. "Kalau kamu mau cerita, aku
siap dengerin."
Melati masih menutup wajah dengan telapak tangan. lsaknya
tak terdengar lagi, hanya bahunya masih tersendat naik turuti. Tak
lama kemudian, ia mengangkat mukanya yang sembab.
"Nggak, kok, nggak ada apa-apa," sahutnya pelan. "Cuma sedih
aja akhirnya rumahku mau dijual"
Mata Wardah membelalak.
"Oh? Sudah dapat pembeli? Ya, alhamdulillah. lbumu tentu lebih
tenang karena mudah-mudahan, insya Allah, persoalan utangutangnya segera selesai."
Melati terdiam.
"Aku cuma ingat Ayah," bisiknya. "Dari ketiga kakakku, akulah
yang paling sedikit merasakan kasih sayang beliau. Waktu masih
SD, aku sangat kolokan. Sebesar itu, Ayah masih suka
menggendongku kalau lagi ngambek."
Wardah mendengarkan dengan penuh simpati.
"Apa yang aku minta, Ayah akan mencoba untuk mengabulkan,
sekalipun bukannya manja tanpa usaha. Aku ingat waktu ingin sepeda
mini, Ayah berjanji membelikan. Asal selama sebulan, aku
menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak suka
berantem (lengan kakak?kakak, lebih mandiri, lebih menurut Ayah
dan Mama."
179 180 Melati menyusut hidung.
"Ayah beli sepeda bekas, lalu dicat sendiri sesuai warna
kesukaanku, merah muda. Aku belajar naik sepeda tiap selesai subuh
di gang depan rumah kami. Masih kuingat Ayah mengecat di teras
samping rumah, sepulangnya dari kantor. ltu saat?saat sehat beliau
yang terakhir sebelum jatuh sakit yang makin lama makin parah."
Melati menatap langit?langit mushala.
"Segala sudut rumah itu sekalipun mulai tua, tetap terasa hangat,"
sebutirairiatuh di pipi. "Sekalipun Ayah sudah lama meninggal rasanya
beliau cuma sedang pergi dan lama tidak pulang. Rasanya, kami masih
tetap berenam, sekalipun terkadang ada perasaan kehilangan yang
sangat. Tanaman yang dulu ditanam Ayah, menghubungkan aku
dengannya tiap kali aku menikmati buah karyanya: pohon mangga."
Wardah menggenggam tangannya.
"Sekarang, aku mau pindah ke sebuah rumah yang teramat
asing. Bagaimana wujudnya pun aku belum tahu. Beltim bergerak
pindahpun, perasaan yang sangat kosong dan hampa memenuhi
batinku."
Wardah mencoba tersenyum menghibur.
"Semoga ini langkah awal yang baik," ujarnya. "Siapa tahu
rumah baru nanti akan membawa berkah yang lebih banyak. Kamu
dan kakak-kakakmu lebih tenang, mamamu juga. Dan yang lebih
penting, ada secercah harapan bagi Mbak Mawar untuk kembali
kuliah, mungkin juga Mbak Dahlia. Dan kamu juga. ]adi, kita positive
thinking dulu aja, ya?"
Melati menyelesaikan doanya sebelum mengusap wajah.
Alangkah sulit untuk tetap berkhusnudzan kepada Allah di saat?saat
tertimpa musibah.
*** Menjual rumah sangat sulit di zaman susah begini, apalagi
membeli rumah.
Ada rumah yang tempatnya nyaman, cukup luas, dan bagus,
tapi harganya terlalu tinggi. Ada yang harganya cukup murah,
ternyata sertifikatnya bermasalah. Ada yang harganya cocok,
lingkungannya ternyata buruk. Ada yang luas, bagus, harganya
pantas, tapi tempatnya sangat sulit dijangkau. ]angankan
kendaraan umum, becak atau delman pun enggan masuk!
Hingga akhirnya Rasyid mendatangi Mawar.
"Ada rumah di Kotagede," paparnya. "Cukup luas. Cuma
bangunannya agak rusak karena dulu bekas dikontrakkan untuk
toko mebel, lalu buat bengkel. Kotor. Tapi, posisinya
menguntungkan. Agak di tepi jalan raya. Cocok kalau kamu mau
bisnis sesuatu."
Dahlia dan Mawar meninjau lokasi. Mulanya, Dahlia sudah
mundur lebih dahulu. Rumah itu nyaris rusak. Kusennya lapuk,
lantainya kusam terkena ceceran oli. Beberapa kaca nakonya pecah.
Dindingnya penuh coretan grafiti. Meskipun atapnya masih terlihat
kokoh bekas peninggalan zaman kuno dahulu. Halamannya cukup
luas, di depan, kanan, kiri, maupun belakang. Tetapi, perdu semak
dan rumput tumbuh tak teratur.
"Gila, rumah ini laku kalau jadi setting film horror," gerutu
Dahlia. Tapi, Mawar malah mengernyitkan dahi, berpikir keras.
Ia masuk ke dalam. Ada tiga kamar tidur yang lumayan luas
sekalipun semua dinding sama kusamnya. Dua kamar mandi
berlantai semen kasar, ruang tamu, ruang tengah, dan dapur yang
masih berlantai tanah. Sebetulnya cukup luas dengan harga yang
ditawarkan. Mawar mengedarkan pandang ke sekeliling. Batas
rumah sudah dipagari batako. Ia lebih tertarik pada luas halaman
dan lokasi. Dekat jalan raya yang ramai, tapi sedikit menjorok ke
dalam. Jalan di depan rumah pun sudah beraspal.
181 182 "Bagaimana, Mbak?" tanya Mawar. Dahlia angkat bahu dengan
enggan.
"Serem, War! Rumahnya jorok dan bobrok begini! Hiiiihhhh
"Kalau kita orientasinya cuma tempat tinggal, ya, rumah ini
nggak nyaman. Tapi, kalau usaha," Mawar memandang wajah
kakaknya penuh harap, "ini tempat yang strategis."
"Memangnya kamu punya pandangan bisnis?"
Mawar mengangguk.
"Kita harus dagang, Mbak," Mawar berkata yakin. "Beltim
kutemukan usaha apa yang pasti. Teman-teman menyalahkan ternak
lele atau ayam potong. Daging maupun telurnya laku. ]adi, aku rasanya
setuju dengan rumah ini, walaupun nggak bisa dibilang suka."
Mawar mengangkat kepala dan menjerit ketika seekor labalaba menjatuhi bahunya.
"Oke," Dahlia mengangkat dua tangan. "Kita minta pandangan
Mama."
Beberapa hari berikutnya, Mama dan Melati ikut menengok.
Bu Kusuma pun sempat bergidik pada awalnya. Setelah mendengar
penjelasan Mawar, beliau berpikir dan menimbang.
"Tetangganya banyak, lho, Ma," Mawar seolah membujuk.
"Mama nggak akan kesepian."
"Tapi, kira-kira biaya renovasinya habis berapa, ya?" tanya
Melati.
Mawar terdiam. Dahlia juga mulai luntur keengganannya. Ia
mulai masuk melihat?lihat sambil mencoba membuka daun pintu.
la terpekik, lalu menggerutu ketika seekor tikus wirok menabrak
kakinya.
"Benar-benar rumah yang nggak pernah dirawat!" omelnya.
"Aku belum tahu biaya perbaikan. Coba aku diskusikan sama
Rasyid dan teman-teman yang lain," Mawar akhirnya berkata,
menyetujui pemikiran Melati yang sempat terlewat dari perhitungan.
Rasyid, Pepe, dan lto memenuhi undangan Mama. Merekalah
yang selama ini banyak membantu menghadapi saat?saat genting.
Apalagi mereka laki-laki, tentu lebih tahu urusan bangunan. Suatu
sore, mereka berkumpul di ruang tamu. Rasyid mencoret?coret di
atas kertas, mengkalkulasi biaya. Dibandingkan dengan jumlah uang
yang akan diterima dari menjual rumah.
"Masih ada selisih yang cukup untuk memulai usaha," Rasyid
membuat dua goresan garis di bawah angka sisa perhitungan. "Tapi,
perlu kita cek lagi keabsahan sertifikat, kondisi assainering
pembuangan air, dan hal?hal pokok begitulah. Supaya tidak menyesal"
Mama menemui pemilik rumah yang kebetulan juga seorang
janda. Usianya lebih muda sedikit dibanding dirinya dan berkerudung.
Ia mengaku ingin lekas menjual karena tidak enak tiap bulan tnenagih
uang ke tempat yang komunitasnya kebanyakan laki-laki.
"Nggak enak saja, Bu," akunya. "Takut fitnah. Makanya ingin
selekasnya saya jual. Biar bisa membiayai sekolahnya anak yatim
ini. Kebetulan si Dodi ngaji TPA sama Mas Rasyid. ]adi saya minta,
kalau dapat, pembelinya muslim."
Mama beramah tamah dengan Bu Nena, sang pemilik rumah.
Pertemuan itu tidak cukup sehari karena banyak yang masih harus
diperbincangkan.
"ingat untuk shalat istikharah, Mel," ujar Wardah ketika Melati
menceritakan perkembangan masalahnya. "Mohon dipilihkan Allah
mana rumah yang terbaik bagi kalian."
Lies dan Hamim pun memberikan saran yang sama.
"Banyak berdoa, War," kata mereka. "Shalat istikharah juga.
Supaya keputusan yang diambil berdasar petunjuk Allah agar
nggak menyesal nanti."
183 184 T idak hanya Mawar dan Melati yang mempergencar doa. Mama
dan Dahlia pun melakukan hal yang sama. Sekarang, berempat mereka
bangun malam mengerjakan tahajud, dilanjutkan makan sahur bila
keesokannya hari Senin atau Kamis. Suasana yang prihatin itu terkadang
menjadi syahdu, mengharukan, sekaligus menggembirakan. Dahlia
sering mengomel jika harus membangunkan Mawar. Guncangan
pertama membuat Mawar berguling. Guncangan kedua bantal guling
terlempar, masih tidur dengan posisi telentang. Guncangan ketiga lebih
variatif, terkadang langsung duduk dengan mulut menganga, mata
terpejam atau balik lagi memeluk guling.
"Kamu niat shalat malam nggak, sih, War?" gerutu Dahlia jika
bolak-balik membangunkan. "Nanti kamu marah-marah dibilang
nggak dibangunin!"
Dibanding memasak sahur, membangunkan Mawar jauh lebih
menguras energi. Mama, Dahlia, atau Melati sering melempar
tanggung jawab: siapa kali ini dapat jatah giliran membangunkan?
Mawar masih terpejam.
"Hoaaahmm ...!" dengusnya. "Capek, Mbak! Banyak banget
kerjaan ngurusi perak tadi. Mana harus bawa barang ke Malioboro."
Dahlia balik lagi meneruskan shalat tahajudnya yang terputusputus. Tiap dua rakaat berhenti. membangunkan Mawar. ]ika tidak
berkesinambungan, dapat dipastikan Mawar lolos hingga Subuh.
"Mbaaak! Mbaaak ...!" Melati mengguncang bahunya. "Mau
shalat enggak? Sudah jam empat seperempat! Lumayan dapat witir."
"Sudahlah, Mel," panggil Mama dari arah dapur. "Kali dia
kecapekan."
"Ya, udah. Aku mau sahur, lho, Mbak. Mbak nggak ikut puasa,
ya? Ini, kan, Kamis."
"Haah ..?" Mawar bangkit sambil mengerjapkan mata.
"lya. Sahur. Sahur! Mama lagi bikin mie. Mau ikut nggak? Ntar
marah lagi."
Mawar mengusap-usap mata.
"Ayo buruan. Aku juga mau makan sama minum teh, ntar nggak
kuat seharian puasanya," Dahlia bergegas saat melirik jam.
"]am berapa, sih?" Mawar masih setengah bermimpi.
|? "Empat seperempat Melati berseru agak keras setengah kesal
"Ilah? ]am berapa?"
"Empat seperempat, Neng."
Mawar buru-buru melorot dari tempat tidur.
"Kok, aku nggak dibangunin dari tadi, sih ...?" gerutunya.
"Huuuu ...!" Melati dan Dahlia berseru kesal
Lagu lama. Menyalahkan orang, padahal dirinya sendiri yang
susah kembali ke alam sadar saat berada di bawah sadar!
"Makanya, jangan kemalaman nonton film action," tegur Dahlia.
"Nanti badan kamu rusak lho, War, kalau kurang istirahat"
Mawar lekas ke kamar mandi dan berwudhu. Ngebut shalat
witir lalu bergabung ikut makan sahur. Melati tersenyum. Ia ingat
kata-kata Wardah. Andai tidak mendapat masalah, mana mungkin
keluarganya sekompak ini? Meski masih kurang salah satu.
Cempaka.
Mama ternyata punya pikiran sama.
"Kalau kita punya rezeki, sesudah semuanya beres, kita nengok
Cempaka, ya?"
Semua mengangguk.
Subuh menjelang. Mama menjadi imam shalat dan mereka
kembali hanyut di hadapan Rabb dalam keadaan khusyuk dan
berserah diri.
*** Cempaka berdiri di sana. Di tengah bayangan kabut. la
185 186 melambai-lambaikan tangan seolah memanggil Tangannya sesekali
menyangga pinggang, menahan beban di perut yang makin
membesar. la berjalan tertatih-tatih dengan wajah lelah. Ada orangorang yang berdiri di sekitarnya. Tak jelas mereka siapa. Tapi, langkah
Cempaka tiba-tiba terhuyung. Ia terperosok. Tubuhnya bergulingan
di terjal batu menukik deras menuju jurang!
"Tungguuuuu!" sebuah suara berseru panik. "Pegang
tangankul!"
Mata Cempaka membelalak ketakutan. Wajahnya memohon
dalam harap, tangis, dan putus asa. Tangan-tangan berusaha
menarik tubuhnya yang makin melorot ke arah jurang yang
mengerikan.
"]angan lepas! Pegang! Pegang tanganku ...!"
Tapi, tangan Cempaka licin karena berkeringat. Pegangannya
makin melemah sementara beban berat makin menariknya ke arah
bawah.
"Bertahanlah ., sebuah suara cemas sayup terdengar. "Akan
kucari bantuan
Cempaka menangis. la seperti tak sanggup lagi. Kakinya
menendang-nendang mencari pijakan, membuat tubuh dan
perutnya membentur?bentur dinding terjal Perut itu berdarah!
Lalu, jeritan panjang merobek langit?langit ketakutan, merajam
semua pengharapan.
"Mbaaak!" ada suara keras di telinga. "Bangun! Bangun!
Sempat-sempamya mimpi habis Subuh begini."
Mawar gemetar. Lututnya lemas, tak sanggup menopang
anggota tubuhnya untuk berdiri. Tapi, ternyata ia memang tidak


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau berdiri, ia masih telungkup sujud dengan mukena terpasang.
"Ya ampun, enak, ya, Subuh dingin tidur selimutan mukena
Dahlia tertawa setengah mengejek. "Pamali kata orang Sunda, anak
gadis tidur pagi?pagi. Ntar jauh jodoh, lho!"
Mawar tak sanggup menanggapi gurauan kakaknya. Napasnya
memburu, dahinya berkeringat.
"Emang mimpi apa, sih, Mbak?" Melati ingin tahu sambil
membereskan meja makan. "Sampai melenguh-lenguh begitu."
"Mimpi jatuh ...", Mawar seperti orang linglung. "jatuh dari
jurang."
"Masya Allah," Melati geleng-geleng. "Kangen hiking sampai
sebegitunya. Entar, deh, kalau ada uang, naik lagi. Asal ngajakin
Mas Rasyid!"
Mawar benar-benar hanya mampu terdiam. Apa arti mimpinya?
Apa itu sebuah isyarat atau hanya bunga tidur belaka? Kalau isyarat,
mengapa bukan Melati dan Mama yang lebih baik ibadahnya yang
memperoleh ilham? Mengapa dirinya? Padahal, selama ini Cempaka
dan Mawar berseteru berat. Sekalipun jauh di relung hati, ternyata
Mawar sangat mencintai keluarganya. Ia hanya benci sikap Cempaka
yang terkadang terlihat kelewat batas dan sekarang harus menderita
aib teramat perih. Ia bahkan ingin menanggung sebagian dari derita
Cempaka, andai itu bisa. Tapi, tentu tak mungkin. Ia sering
memikirkan Cempaka. Bahkan pernah berkhayal andai
keponakannya lahir akan dicintai dengan setulus hati, tidak seperti
ibu kandungnya yang justru lak mengharap kehadiran si jabang bayi.
Anak itu tak bersalah, pikirnya. ia ingin merengkuh dalam kasih
sayang dan mendidiknya agar kelak memberi cahaya bagi kedua
orang tuanya yang telah salah melangkah. Mawar si gadis tomboy
metal memiliki jiwa perasa. Apakah karena itu, Cempaka lalu hadir
dalam mimpinya?
"Cepetan mandi, War," tegur Dahlia. "Aku juga mau ke kantor.
Nanti sore kita ke tempat Bu Nena, ya, nemenin Mama. Kita pastikan
lagi masalah pembelian rumahnya."
Mawar mengangguk. Hatinya tiba-tiba terasa dipenuhi
ketakutan.
ti! 187 188 !? Episode 11
Membawa tunas harapan yang masih sedemikian
kuncup, menyeret bongkahan-bongkahan hampa dan
kepedihan, Mama memboyong keluarganya pindah
ke Kotagede. Beberapa tetangga baru yang ramah,
memberikan ucapan selamat?tulus atau sekadar basa
basi?sembari memuji keberhasilan seorang janda
macam Bu Kusuma memelihara harta suami,
memboyong keluarga pindah ke rumah yang meski
tua, lumayan lapang. Di saat orang kesulitan keuangan,
masih ada orang yang mampu membeli tanah dan
rumah. Mama tertawa getir. Berhasil? Orang tidak
mengetahui pahit getir mereka di dalam.
Perbaikan seperlunya dilakukan. Mengganti
kaca nako yang pecah, memutihkan dinding yang
kumuh. Dapur yang semula berlantai tanah, dilapisi
tegel abu-abu, tegel yang sudah tidak lazim dipakai
di rumah masa kini. Mereka membelinya di gudang
barang bangunan bekas yang harganya jauh lebih
murah daripada yang baru. Kusen rusak
diperbaharui. Demi keamanan, pagar dibuat lebih
kokoh dan permanen mengingat anggota keluarga mereka
seluruhnya perempuan. Untung masih ada tetangga di kanan kiri
dan depan belakang. Perlu kerja ekstra yang melelahkan sebelum
rumah itu layak dihuni. Rumput liar setinggi perut dibabat habis,
noda bensin dan oli yang mengendap, berkali-kali disikat
Mawar menyeka keringat. Ini yang ketiga kali ia menyikat lantai
dengan sabun deterjen. Lumayan bersih sekalipun masih jauh dari
mengkilap.
"Beda banget sama rumah kita yang dulu," gumam Melati. Ia
juga kelelahan membantu mengangkat ember-ember air.
"Lantainya tegel putih, jadi gampang ngepel dan bersihinnya."
"Alaah, sudah, deh!" Mawar memotong. "Nggak usah diingatingat lagi! Kita harus terima kenyataan, inilah rumah kita sekarang."
Malam hari di awal?awal kepindahan, rasanya sulit
memicingkan mata. Mereka tidur berimpitan di kamar depan, di
atas satu ranjang hingga berbunyi berderit-derit'. Nyamuk
beterbangan dekat telinga menimbulkan nada mendenging.
Berkali-kali terdengar tepukan tangan mematikan makhluk yang
tengah nikmat mengisap darah.
"Gila!" gerutu Dahlia. "Aku benar-benar nggak bisa tidur!"
"Aku juga!" seru Melati kesal. "Ada obat nyamuk nggak, Ma?"
Mama setengah tertidur dalam luapan kelelahan.
"Ada barangkali," gumamnya. "Tapi, masih di dalam tumpukan
kardus-kardus, belum dibongkar."
Mawar menepuk lengan dengan gemas.
"Heran, Mama, kok, bisa tidur, sih?" lalu ia cekikikan sendiri.
"Kali nyamuknya suka sama yang masih muda dan cakep, ya."
"Hush!" Dahlia menegur. "Mana tahu dia yang muda. Kali aja
Mama sudah kebal saking ngantuknya."
189 190 "Besok dipasangin kawat nyamuk, deh," Melati terdengar
menyerah. Kantuk makin menebal, tapi kelopak mata enggan
merapat Bunyi berdecit?decit di dapur menambah riuh suasana.
"Tikus-tikus itu belum tahu kalau rumah ini sudah banyak
penghuni," Mawar kesal sekali. "Awas, aku racun kalian besok. Atau
kupasang penjepit tikus. Atau lem tikus. Biar mampus!"
"Ini di luar perhitungan kita," keluh Dahlia. Meski sulung, ia
yang paling penakut "Nanti aku dianterin, ya, kalau kebelet pipis.
Ngeri juga kalau pas di kamar mandi ketemu makhluk berbulu
yang melototin kita."
"]angan-jangan, di rumah ini masih banyak penghuni yang lain,"
goda Mawar. "Kalau rumah bersemak, biasanya masih ada ular.
Dinding batako itu, kan, suka ditinggali kalajengking. Apalagi kalau
ada sawang, wah, tahu-tahu kejatuhan laba-laba."
Dahlia mencubit lengannya hingga terdengar suara mengaduh.
"Beltim lagi tokeknya, Mbak! Waaa ...!"
Dahlia menjerit hingga Mama terbangun.
"Kalian ini ngapain, sih?" tegur beliau, berbisik nyaring. "Nggak
enak didengar tetangga. Sudah malam masih berisik!"
Mawar cekikikan. Melati menutup mulut menahan tawa.
"Besok bawa ember sama air ke kamar, biar pipisnya di dalam
:; aja. "Kalau kamu nakut?nakuti terus, kamu juga yang rugi. Soalnya,
kamu yang bakalan tak bangunin buat ngantar ke belakang!"
"Emoh. Ogah," sahut Mawar. "Aku kalau sudah tidur, kan, sulit
bangun"
"Ya, udah. Aku pindah kos aja biar nyaman."
Padahal Dahlia hanya berkata tanpa sengaja punya maksud
sesuatu. Namun, tawa Mawar lalu terdengar memelan. Pindah kos.
Ya. Kata-kata itu selalu tnengingatkan pada peristiwa yang pahit.
"Kita pasang telepon, yuk," ajaknya pelan. "Mumpung tabungan
Mama masih ada."
Dahlia terdiam sebentar.
"Iya, kayaknya kita butuh juga. Biar lebih lancar komunikasi.
Biar sudah pada punya hape, telepon rumah rasanya tetap perlu."
"Kangen juga pingin dengar kabar Mbak Cempaka," timpal Melati.
"Lama, ya, sejak kita ribut ngurusi rumah hampir tak sempat untuk
telepon ke Pesantren Baabul Jannah. Kira-kira, apa tanggapannya
lihat rumah baru kita? Tapi, dulu dia setuju, kan, Mbak?"
Mawar mengangguk dalam keremangan kamar.
"Waktu aku telepon, dia bilang terserah."
Lama mereka terdiam. Hanya dengingan nyamuk dan tepukan
tangan masih berbunyi plak-plak. Tapi, seakan mereka bertiga
sama-sama yakin belum ada yang sanggup memejamkan mata.
"Kira-kira," Melati metnbuka pembicaraan, "Seberapa besar
sekarang kandungan Mbak Cempaka?"
Dahlia menghela napas. Ingatan itu selalu menghadirkan luka.
]uga malu. Hingga sekarang, ia pun belum mampu berbicara banyak
tentang Cempaka.
"Mungkin tujuh bulan," sahut Mawar mengira-ngira. "Nggak
terasa, ya."
"Orang Jawa punya tradisi mitoni. Tujuh bulan," akhirnya
Dahlia mampu mengatasi perasaan. "Biar lahir bayinya lancar."
"Tapi, tradisi itu nggak ada dalam islam," sanggah Melati. "Kalau
mau syukuran, ya, syukuran aja. Ngasih makan anak yatim
misalnya, nggak mesti nunggu tujuh bulan. Malah daripada
dihambur-hamburkan untuk upacara yang tetek bengek, mending
untuk persiapan punya bayi."
191 192 Mawar mengganti posisi tidur.
"Mau nujuh hulani atau tidak, aku nggak terlalu peduli," kata
Mawar. "Tapi, yang pasti ia butuh kita di saat?saat yang makin
menentukan dalam hidupnya."
"Dia nggak memikirkan kita ketika tnelakukan aib itu," desis
Dahlia dengan perih.
"Mbak," Mawar menghela napas. "Akulah yang bersikeras
mempertahankan bayinya, sementara ia selalu minta digugurkan.
Jadi, aku juga punya andil untuk harus ikut bertanggung jawab."
Dahlia terdiam.
"Kenapa dulu nggak digugurkan aja?" tanyanya lirih.
"Astathrullah ...," desis Melati. "ltu dosa besar, kan, Mbak."
"Tapi, kalau kelahiran itu malah membuat sengsara orang,
terutama Mama, bagaimana?"
Mawar ataupun Melati tak punya jawaban yang sanggup
menangkis telak. Atas nama dosa? Orang juga sudah tahu
sebetulnya bahwa hamil di luar nikah atau menggugurkan
kandungan tanpa alasan kesehatan adalah sebuah dosa besar. Tapi
rata-rata orang memilih tak mau menanggung derita
berkepanjangan dengan lahirnya seorang anak yang tak diinginkan.
Malam semakin larut
Setelah nyamuk-nyamuk kekenyangan, mereka undur diri dari
upaya penyerangan. Satu demi satu putri, Bu Kusuma jatuh tertidur.
Terbius keletihan dan bunga mimpi masing-masing.
*** Seperti biasa diadakan pembagian tugas. Melati menuju kantor
Telkom untuk meminta sambungan telepon, sementara Mawar pergi
ke toko buku membolak-balik buku yang mengupas masalah
peternakan. Kadang berjam-jam Mawar berdiri di depan rak mencari
literatur yang dianggapnya sesuai. Tujuan utamanya memang bukan
sekadar membeli, tapi mencari panduan memulai wirausaha. Otaknya
juga berputar mengkalkulasi dana yang masih tersisa di tabungan
Mama. Sebenarnya baik Mama maupun Dahlia bukannya tak cemas
dengan niat usaha Mawar. Ya kalau berhasil Jika tidak?
Mawar mengembalikan satu buku kembali. Ia menghela napas.
Bukannya gadis itu tak takut dengan kegagalan, tapi sekarang realistis
saja. Gaji Dahlia, gajinya, dan usaha Melati menjual kue tak akan cukup
untuk memenuhi standar hidup layak. Mungkin bisa saja mereka
makan sesederhana mungkin. Apa cukup dengan itu? Bagaimana
kuliah Mawar, sekolah Melati? Belum lagi Cempaka yang tengah hamil
besar di Pesantren Baabul ]annah. lya kalau kelahirannya normal
Kalau bermasalah? Mengingat kondisi fisik dan mentalnya yang masih
sangat kacau. Kalau saja Cempaka terpaksa operasi caesar misalnya,
bisa dipastikan tabungan Mama dari sisa menjual rumah akan ludes
habis. Makanya, ia memutar otak sekeras mungkin memikirkan
bagaimana uang sisa itu dapat berputar untuk usaha.
Sesekali, Lies pergi menemani ke toko buku.
"lni lho, War, bagus," Lies mengacungkan sebuah buku
bersampul anak ayam di depan. "Ada panduan beternaknya
sekalian perkiraan biaya. Bisa kamu kira-kira dengan nilai uang
sekarang."
Mawar mengalihkan pandangan dari buku beternak ikan. la
membaca sedikit lebih teliti.
"]adi, nih, aku ternak ayam, bukan ikan?"
"Kalau ternak lele, kamu berani nggak mukul kepalanya yang
punya patil?" tanya Lies.
"Menyembelih ayam pun aku nggak tega," Mawar terdengar
bingung.
193 194 "Tapi, kan, mengambil telurnya kamu masih berani," jelas Lies.
"Yah, paling-paling dipatuk sedikit."
Mereka tertawa tertahan.
"Nanti kamu sewa orang aja buat menyembelih. Tukang becak
misalnya," ujar Lies.
Mawar memutuskan memelihara ayam. Tentu saja setelah
bersungkur sujud di malam hari memohon bantuan Allah dengan
shalat istikharah agar langkahnya tak salah. Bila ini gagal, ke mana
ia harus tnencari uang?
Di halaman belakang yang telah rapi, Mawar memesan kandang
ayam dari bambu. ia membeli 20 anak ayam yang baru menetas
dan 20 ayam muda yang beranjak besar. Kesemuanya ayam negeri.
Ia juga membeli sepuluh ayam kampung. Menurut pertimbangan
Mawar, pasaran jamu di Yogya terbuka lebar. Mereka sering
membutuhkan telur ayam kampung sebagai campuran madu dan
jamu. Sekarang, Mawar masih cuti kuliah. Pagi-pagi ia melepas
ayam kampungnya di halaman untuk makan. Ayam kampung
menurut buku akan lebih baik jika dibiarkan di alam terbuka.
Berbeda dengan ayam negeri.
Mawar juga membeli dua karung dedak yang dipakai untuk
makan ayam negeri setiap hari. Selepas Subuh, ia mencampur dedak
dengan nasi sisa kemarin ?kalau ada?lalu diaduk dengan air
secukupnya. Ia memberi makan ayam sambil bersenandung dan
mengajak mereka bercakap-cakap.
"Ngapain diajak ngomong, War?" Dahlia terheran-heran.
"Pernah lihat timun terbesar yang masuk Guiness Book of
Record nggak, Mbak?" ia balik bertanya.
Dahlia menggeleng.
"Si pemelihara suka mengajak tanamannya bercakap-cakap,
karena konon tumbuhan juga punya nyawa. Hasilnya ajaib!
Timunnya tumbuh segede-gede guling!"
Dahlia terbahak.
Mawar tersenyum memandang ayam-ayamnya.
"Aku juga berharap ayam-ayam ini mengerti yang kumau.
Mereka cepat besar, bertelur, makannya banyak. Kuharap mereka
tahu ini adalah usaha seorang anak yang ingin meringankan beban
ibunya."
Dahlia menatap adiknya haru. Terkadang ia heran; dari luar


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mawar terlihat ketus, kasar, keras kepala. Aneh sekali ia memiliki
hati yang mudah tersentuh.
"Cepetan, War," tegurnya lembut "Kamu juga harus kerja. ]aga
kondisi, jangan lupa minum madu."
Mawar melap kedua tangan ke celana pendeknya. Sedetik
kemudian, Dahlia bergidik.
"Hih, jijai!" sungutnya. "Taruh celanamu di cucian sana! Biar
nanti Mbak yang cuci! Besok lagi pakai celemek jadi kotorannya
nggak ke mana?mana."
"Woooo, Mbak! Peternak itu, ya, harus kotor begini. Yang
penting ...," Mawar meringis sambil menggesekkan ibu jari dan
telunjuknya. Dahlia gemas mengacak rambutnya.
Melati pagi-pagi sudah berangkat. Sekarang ia mengambil kue
dagangan dari Pasar Kotagede. Jarak rumah dan sekolahnya makin
jauh, jadi harus berangkat lebih awal jika tak ingin terlambat
Semua sudah sarapan, kecuali Mawar. Gadis itu menuju meja makan
segera setelah mencuci tangan. Dahlia menahan perih di dada
melihat Mawar begitu lahap menyantap tiga potong tempe goreng
yang tersisa, sepiring nasi hangat, dan sambal terasi. Teringat
rumah makan dan restoran yang dilaluinya sepanjang jalan
sepulang kantor, penuh dengan orang-orang yang bersantap
nikmat Hadir dengan mengendarai kendaraan mewah seri terbaru.
195 196 Tapi, begitulah hidup rupanya. Ada yang senang, ada yang susah.
Dahlia sudah melupakan mimpi hidup enak, ia mulai terbiasa
kenyang dengan rasa lapar dan bahagia dalam tumpahan air mata.
Kadang, Dahlia ingat perselisihannya dengan Mawar.
"Maafkan Mbak, ya, War," Dahlia mencubit pipinya. Maaf, entah
untuk apa. Untuk pertengkaran mereka. Untuk ketidakmampuannya
sebagai kakak pertama menanggung beban keluarga. Untuk perjalanan
hidup keluarga mereka yang tak berjalan seperti orang lain.
Mawar menegakkan kepala, mulutnya masih penuh.
"Udah deh, gak usah mellow," tukasnya tersenyum, tersipu.
*** Rumah di Kotagede itu mulai terasa nyaman.
Mereka mulai mampu melupakan keperihan setiap peristiwa
yang pernah terjadi di rumah yang lalu. Kenangan-kenangan indah
bersama Ayah tentu saja tetap tinggal di benak, namun sekarang
lebih ringan mengingatnya. Melati jarang menangis lagi, hanya
Mama sering bangun tidur dengan mata sembab. Saluran telepon
belum terpasang, mungkin sebentar lagi. Menjelang subuh. ayam?
ayam Mawar berkokok ribut membangunkan. Shalat malam
belakangan menjadi rutinitas keluarga meski terkadang hanya
mampu mengerjakan dua rakaat dan tiga witir.
Mawar menikmati paginya senantiasa. Menghirup hawa yang
bersih. Bercerita kepada ternaknya sambil bersenandung dan
menuangkan dedak-dedak. Ayam-ayamnya terlihat gemuk dan
sehat Tinggal menunggu hasil bertelur atau dipotong.
"Aku suka teringat cerita Cinderella," goda Melati. "Pagi-pagi ia
sudah memberi makan ayam sebelum menyiapkan sarapan untuk
ibu tiri dan dua adiknya."
"Tinggal nunggu pangerannya, ya, Mel," Mawar pun menanggapi.
"Naik kuda, keluarga bangsawan, mewarisi tahta. Apa kayak gitu
idealnya? Ganteng, bawaannya Merci, kaya, keturunannya mantap."
"Wah, belum tentu, Mbak," Melati menggeleng. "Sekarang
banyak pria nggak baik walaupun memenuhi setiap standar yang
Mbak sebutkan tadi."
"Aku mulai memikirkan Mbak Dahlia," Mawar merenung.
"Usianya sudah matang untuk menikah. Tapi, sepertinya dia belum
mikir ke arah situ. Pacar aja nggak punya."
"Yah, nggak mesti punya pacar, kok. Mama yang nyariin atau
kita juga bisa, kan? Mungkin Mbak Dahlia nggak mau melukai
perasaan kita-kita dengan terlalu dini berpikir pernikahan."
"Padahal, teman-teman seusianya sudah mulai pada nikah.
Minggu lalu, Mbak Dahlia menghadiri pernikahan rekan sekerjanya
di Wisma Kagama."
Melati terpekur menatap ayam-ayam. Sungguh kasihan Mbak
Dahlia, pasti benaknya memimpikan hal itu. Perempuan mana
yang tak ingin menikah jika waktunya tiba. Perjalanan hidup yang
asing, unik, panjang, dan tak terduga kadang menyiratkan hal lain.
Melati dan Mawar menyadari, Dahlia tentu punya angan-angan
memiliki pasangan. Kakak sulung mereka hanya tak ingin
mengungkapkan, banyak masalah lain yang harus diselesaikan.
Dahlia berangkat ke kantor hari ini, Melati menuju sekolah seperti
biasa. Mawar libur, kebetulan bahan baku perak belum datang. la asyik
mengurusi rumah membantu Mama. Matahari baru sepenggalah naik
ketika Mama memutuskan pergi ke pasar membeli keperluan dapur,
jadilah Mawar home alone. Baru saja selesai mengepel dan berniat
Shalat Dhuha ketika pintu depan terdengar diketuk. Kunjungan tamu
pertama sejak mereka pindah ke rumah baru!
"Di, Lies!" serunya kaget seusai menjawab salam. "Tumben!
Nggak ada kuliah?"
197 198 "Kok tumben," Lies meralat. "Sebetulnya aku sudah lama pingin
kemari, cuma belutn ketemu waktu yang pas. Aku ada kuliah nanti
jam sepuluh."
Mawar mempersilakan tamunya masuk. Ia senang dengan
kunjungan ini, tapi mendadak hatinya berdebar melihat teman
yang dibawa Lies.
Cici.
Mereka bersalaman, berpelukan, saling mencium pipi. Tanpa
sadar, Mawar tertawa gugup.
"Kenal Cici?" tanya Mawar heran.
"lya dong," Lies tersenyum. "Aku beberapa kali ke Pesantren
Baabuljannah. Ada bakti sosial, acara-acara kampus macam raker
dan rakor yang butuh tempat tenang. Seringkali kami pakai
pesantren atas izin Kiai Ahmad."
"Oooo."
Mawar merasa kunjungan ini tidak sekadar ramah tamah, ia
bersiap?siap diri.
"Ada hal yang penting banget, ya, Lies?"
Lies memandang Cici sebentar seakan meminta pendapat Cici
mengangguk menghela napas.
"Cici sebetulnya sudah lama menghubungi telepon rumahmu
yang lama."
"lya, kami baru pindah, Ci. Ribut berbenah dan berusaha
memasang telepon. Maaf belum SMS juga. Kami nggak ingin Mbak
Cempaka semakin punya beban pikiran saat kehamilannya beranjak
tua. Rencananya, kalau sudah tenang pingin bisa silaturahim ke
Pesantren Baabuljannah."
"Keluarga yang menempati rumah kamu juga nggak terlalu
tahu alamat rumah kamu di Kotagede ini. Makanya, setelah sibuk
memutar otak, akhirnya Cici menghubungi aku. Dia pikir kali aja
Arjuna Kembar Karya Wiroatmodjo Antara Soputan Dan Bunaken Karya Pilemon Gunena Alexs Wish Karya Elcy Anastasia

Cari Blog Ini