Ceritasilat Novel Online

Rose 4

Rose Karya Sinta Yudisia Bagian 4


aku kenal kamu karena satu kampus. Ya, alhamdulillah. Terang aja
kenal, kita kan satu angkatan. Satu jurusan lagi."
Mawar mengangguk. Lies membasahi bibir.
"Ada berita tentang Mbak Cempaka, ya, Ci?" tebak Mawar.
Mata Cici sedikit melebar, tapi kemudian ia tampak tenang.
"Iya," sahutnya lembut. "Kakak kamu sedang sakit;"
Telinga Mawar berdenging nyaring tiba-tiba. Suara jantungnya
seperti menggedor-gedor dada. Sakit? Tentu bukan sekadar pilek
atau masuk angin hingga Cici menyempatkan diri susah payah
mencarinya.
"Mbak Cempaka ...," Cici tampak ragu sejenak. "la pendarahan."
Selirih apapun suara itu, tetap saja seperti hantaman petir di
gendang telinga.
"Pendarahan ...?" Mawar nyaris tak mampu bernapas. "Sudah
berapa lama? Dia ada di mana?"
"Sudah kami bawa ke klinik terdekat. Tapi, aku sangsi. Siapa
tahu ia butuh penanganan yang lebih serius lagi di rumah sakit
besar. Sardjito misalnya. Mau langsung kami bawa, ingin
mendengar persetujuan pihak keluarga Mbak Cempaka dulu. la
dirawat sejak kemarin."
Mawar lemas. Telapak tangannya mencengkeram pegangan
kursi kuat?kuat
"Aku akan ke sana," ia memutuskan akhirnya. "Tapi, tunggu
Mama pulang. Kamu nunggu di rumah Lies aja, ya, Ci? Aku nggak
ingin melihat Mama panik. Baru aja hidupnya mulai tenang."
Saat Mama tiba, Mawar berpamitan memakai alasan yang
ribuan kali dipakai: pergi ke rumah teman. Sekuat tenaga ditekannya
ketegangan dalam nada suara. Mama hanya mengangguk
199 200 mengiyakan, tak menyadari betapa pucat wajah Mawar. Beliau pikir,
anak gadisnya butuh waktu bersenang-senang. Mawar melarikan
secepat mungkin sepeda motor menuju Pesantren Baabul ]annah.
Di jalan raya, karakter Mawar kembali tampak. Serbacepat,
senang menukik dan tak peduli zona aman. Cici sering terpekik
ngeri di bangku belakang, memegang pinggangnya kuat?kuat.
Tanpa sempat menghitung jam apalagi menit, bagai mimpi
ketika tiba-tiba telah sampai di depan klinik bersalin milik seorang
bidan desa di kaki Gunung Merapi.
Klinik itu cukup rapi dan bersih. Letaknya tak terlampau
terpencil. jalan yang terbentang di depan klinik ramai lalu lalang
orang-orang desa. Naik andong, sepeda, atau pedati yang ditarik
sapi. Sesekali sepeda motor atau mobil juga melintas. Meski cukup
ramai, suasana sejuk dan tenteram tetap menyelimuti. Mawar
mencium wangi karbol yang khas. la menelan ludah. Cici
menghampiri seorang perawat penjaga, terlibat perbincangan
lirih. Mawar menanti dengan pikiran kacau.
"la masih tertidur. Diinfus. Mau lihat?"
Mawar mengangguk. Langkahnya melayang menuju kamar
Cempaka. Matanya mendadak panas. l-lirupan udara di hidung
seakan tersumbat. la berjalan tanpa suara. Sosok berperut buncit
itu terselubung kain bergaris putih hitam. Lengannya yang langsat
tersambung jarum infus. Matanya terpejam. Mawar melangkah
makin mendekat. Tanpa sadar, sebutir air mengalir di pipi. Wajah
itu dulu begitu cantik. Kumbang-kumbang tak lelah berebut
mendekat Masih terpatri dalam ingatan betapa Mawar sering
terheran-heran. Sekadar cemberut atau menyeka keringat, gerakan
Cempaka tetap gemulai mempesona. Renyah suaranya. Wajahnya,
ah, susah digambarkan. Cempaka bukan hanya cantik. la sedap
dipandang. Banyak orang cantik, tapi terasa membosankan bila
dilihat. Tidak demikian dengan Cempaka. Mungkin karena sepasang
lesung di kedua pipi atau alis hitam bak bulan sabit. Disempurnakan
tulang pipi yang menonjol bagus.
Mawar mengelus lembut punggung tangan Cempaka. Ke mana
kecantikan itu hilang? Ia tak lebih sesosok lunglai kini. Bukan hanya
senyutnnya tak tampak, sorot matanya tak lagi menggetarkan. Bagai
bulan kehilangan cahaya tersaput gumpalan mendung.
"Yuk, jangan diganggu, War," ajak Cici lembut "Biarkan dia
istirahat. Selama ini ia sering ngelamun, jarang tidur."
Mawar enggan beranjak. la rindu menatap seseorang yang dulu
sering menjadi lawan bertarungnya di rumah.
"Ada seseorang yang harus kamu temui. Bu Bidan Rohana,"
bisik Cici di telinga. Mawar terkesiap.
Seorang wanita paruh baya yang masih tampak kuat,
menunggu di ruang periksa. la mengenakan rok panjang dan baju
panjang, juga penutup kepala yang khas. Senyumnya terlihat arif.
"Keluarga Mbak Cempaka?"
Mawar mengangguk.
"Mbak Cici membawanya kemarin jam tiga dini hari. Katanya,
Mbak Cempaka jatuh terpeleset tak sadarkan diri di kamar mandi.
Bisa jadi ia pingsan karena benturan atau karena pendarahan."
Mawar menelan ludah berkali-kali, mencoba mengatur
pernapasan seperti dalam latihan-latihan beladiri. Mencoba tetap
tenang, jernih, tanpa emosi. Telinganya menangkap jawabanjawaban Bidan Rohana bagai denging. "Sejauh ini masih sangat
lemah. Bila nanti kondisinya semakin menurun, sebaiknya dibawa
ke Sardjito."
Mawar menelan ludah untuk kesekian kali. Matanya terpejam
sejenak. Ia berusaha menepis bayangan angka-angka yang tibatiba muncul di benak.
201 202 "Kata Cici, ia pendarahan. Apa benar begitu?"
"Placen ta previa ...."
"Pla apa?"
"Istilah untuk ari-ari yang menutupi jalan lahir. Kasus yang
jarangterjadi, tetapi bukan hal yang mustahil ditangani. Seharusnya
dengan kondisi seperti itu, Mbak Cempaka pasti sudah mengalami
pendarahan cukup lama. Heran, ia masih mampu bertahan."
Mawar memaksakan menelan ludah, meski rongga mulutnya
mulai mengering. Matanya terpejam sesaat, mencoba menganalisis.
Pendarahan cukup lama, kata Bidan Rohana. Dan Cempaka tak
pernah cerita apa-apa. Ya Tuhan. Mawar takut membayangkan
bahwa Cempaka masih menyimpan pikiran keji untuk
menggugurkan bayinya
"Ia harus istirahat total. Semakin besar janin, beratnya akan
menekan ke bawah sesuai hukum gravitasi, kan? ltu semakin
membuat ari?arinya terjepit dan inilah yang mengakibatkan
pendarahan."
Mawar menekan punggung ke sandaran kursi.
"Berarti ia
"Harus istirahat total, jika rahimnya belum terjadi pembukaan.
Jika sudah
"Ya?"
"Harus segera dilahirkan."
"Bagaimana Bu?"
"llarus dipercepat kelahirannya. Prematur tak apa-apa. Sudah
tujuh bulan, insya Allah cukup kuat."
Mawar kembali memejamkan mata. Gambaran angka?angka
itu makin terlihat jelas.
"Dan satu lagi ...," Bidan Rohana menatapnya dalam-dalam.
"Harus caesar. Karena tak mungkin melahirkan dengan jalan biasa."
"Oh, ya
Hanya itu yang meluncur dari mulut Mawar, tak sanggup
berkata apa-apa lagi. Semua sudah jelas. Keadaan Cempaka butuh
penanganan yang baik dan tak mungkin di klinik kecil ini.
"Saya saya ingin tahu," Mawar menahan langkah Bu Bidan
yang hendak beranjak. "Berapa kira?kira biaya yang dibutuhkan?"
Mawar hatnpir menangis mendengarnya. Cici mengelus
punggungnya lembut, lalu mengajak keluar.
Melihat Merapi yang tampak dekat dalam kanopi awan-awan
tipis. Angin pegunungan sejuk mengalir. Tawa para petani melewati
jalan, terdengar ringan. Wajah mereka polos dan teduh. Berjalan
tanpa alas kaki, baju sorjan luriknya terbuka tanpa terkancing. Yang
perempuan sama berbaju lurik, berkain batik, dan juga tanpa alas
kaki. Punggung mereka menyangga potongan?potongan kayu dalam
bakul besar atau memanggul jerami. Apa mereka tak pernah sakit?
Tak pernah sedih? Sejak dulu, Mawar senantiasa heran tiap kali
mendaki Merapi menemui penduduk asli yang begitu kuat dan
bersahaja. Pernahkah mereka menghadapi masalah yang pelik
seperti keluarganya?
"Nggak mungkin ada manusia yang tanpa masalah, kan, War,"
Cici seperti membaca alam pikirannya. "Cuma terkadang, kita nggak
tahu permasalahan orang-orang di luar kita."
"Aku nggak bisa bayangkan andai Mama tahu semua ini," desah
Mawar sendu "Mama nggak pernah senang sejak Ayah meninggal
Ada saja persoalan yang terjadi. Puncaknya, ya, masalah Mbak
Cempaka ini. Kupikir, semua bisa berjalan normal kembali.
Nyatanya
203 204 Mawar menatap langit biru. Siang di kaki Merapi tetap sejuk
dalam buaian angin. Cici pun membuang pandangan ke arah yang
sama.
"Ci
"Ya?"
"Apa aku salah dengan keputusanku?"
"Maksudmu?"
"Apa aku salah berusaha mempertahankan kandungan Mbak
Cempaka?" suara Mawar beradu desau angin. "Mungkin ..."
Cici menolehkan kepala hingga menatap siluet wajah Mawar
sejelas-jelasnya, ingin menangkap lebih jelas tanpa prasangka.
"Mungkin jika digugurkan sejak awal, semula nggak akan seperti
ini .," Mawar ragu, dipenuhi rasa bersalah, namun juga merasa
buntu.
"Kamu yakin begitu jalan ceritanya?" Cici memancing.
"Entahlah, aku nggak tahu
"Seandainya kandungan itu digugurkan, lalu semuanya berjalan
lebih baik. Begitu?"
"M ungkin."
Cici menghela napas.
"Apa kamu pernah dengar cerita mengerikan tentang seorang
gadis yang berusaha menggugurkan kandungannya berkali-kali ke
dukun? Dukun itu menggunakan sepasang batang bambu runcing
yang dimasukkan lewat jalan lahirnya. Biasanya, ketika ditarik,
segutnpal daging janin pun ikut terbawa. Tapi, suatu kali nasib
berkata lain. Bambu itu menancap terlalu dalam ke dinding rahim
hingga tak sanggup dikeluarkan si dukun. Gadis itu dilarikan ke rumah
sakit dalam kondisi kritis. Entah bagaimana akhir kisahnya."
Mawar terdiam.
"Andai Mbak Cempaka menggugurkan kandungan dan ia malah
celaka, apakah masih ada kesempatan baik bagi dirinya?"
Mawar menggigit bibir.
"Ini bukan kesalahanmu, War," hibur Cici. "Ini juga bukan
pertanda salah langkah akibat kamu nggak menyetujui permintaan
Mbak Cempaka. Ini pelajaran bagi kita semua. Bagimu. Bagiku."
"Biaya," bisik Mawar seakan tak mempedulikan kata-kata Cici.
"Dari mana aku cari uang untuk menanggulangi semua ini."
Cici tersenyum.
"jangan putus asa. Kalau kamu kuberi saran yang seolah nggak
masuk akal, mau?"
Mawar terdiam.
"Apa?"
"Tanyakan jawabannya di shalat malammu. Begitu banyak orang
yang berubah nasibnya secara mencengangkan setelah ia betul-betul
pasrah bermunajat kepada Rabbnya. Ada jawaban yang nggak masuk
akal, tapi seringkali terjadi. Banyak orang saat terbelit kesulitan
keuangan melakukan hal ini: shalat Dhuha, sedekah, silaturahim.
Nggak sedikit orang yang lepas dari lubang jarum setelah
mengamalkan ibadah-ibadah yang sepertinya nggak mungkin."
Mawar tak mengiyakan, juga tak menyangkal. Sabar. Berdoa.
Shalat. Sedekah. Silamrahim. Tak putus berharap. Itu sudah menjadi
makanan keseharian mereka. Tetap saja, manusia suatu saat merasa
di satu titik: ke mana Tuhan dan bantuan-Nya? Sampai di ujung
mana ujian ini berakhir? Pikiran Mawar kusut luar biasa. la tak mau
segera pulang hingga larut malam. Cici tak dapat menemaninya
berlama-lama, karena kesibukannya sebagai penanggung jawab
kepun'ian di Pesantren Baabuljannah. Mawar duduk bertopang dagu
di samping ranjang Cempaka. Terkadang tampak Cempaka terjaga
dari lelapnya, lalu menganak sungai air di pipi. Tak ada suara. Tak ada
205 206 pembicaraan. Seolah ia lebih memilih tidur daripada bangkit dari
mimpi buruk. Mawar pun lupa pada perutnya yang berteriak minta
diisi. Hari menunjukkan pukul delapan malam lebih ketika Mawar
tersadar ia harus segera pulang.
"Titip Mbak Cempaka, Bu," pintanya pada Bidan Rohana. "Saya
harus mengabari ibu saya. Kebetulan tadi semua pergi waktu Cici
datang ke rumah. Kami belum punya telepon, baru pindah rumah.
]adi, ya Oh ya, ini nomer hape saya. Boleh minta nomer hape
Ibu? Saya lupa bawa handphone
Mawar tidak tahu apakah kalimatnya terdengar beraturan.
Mungkin seperti tnelantur. Ia melarikan sepeda motornya melawan
sembilu angin dingin yang merajam kulit Tiba di Kotagede, jarum
sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Wajah Mama tampak tegang, namun sorot matanya lega. Dahlia
kelihatan siap menembakkan kata-kata paling pedas. Melati
tersenyum samar, berusaha menenteramkan.
"Kamu ke mana aja, heh?" sembur Dahlia. "Main nggak tahu
waktu! Kita semua panik mengira ada musibah. Lain kali, kalau
mau keluyuran, kasih tahu yang jelas ke mana perginya. Mama
sampai nggak tidur-tidur!"
Mawar terduduk di kursi. Tuduhan itu tak menyakitkan hatinya.
Ada yang lebih membuatnya kalut Dipandangnya wajah Mama
yang tersenyum, namun juga menyiratkan sisa kemarahan. la
menggigit bibir. Berusaha mengatasi kekalutan, namun tiba?tiba
disadarinya sendiri, pertahanan dirinya telah runtuh.
va Episode 12
Kandungan Cempaka tak dapat lebih lama
dipertahankan. Rahim sudah mengalami
pembukaan. Meski masih bukaan dua, keputusan
harus segera diambil. la harus dibawa ke Rumah
Sakit Sardjito secepatnya untuk menjalani bedah
caesar. Melahirkan lewat jalan normal akan
membahayakan dirinya karena ari-ari yang
menutupi jalan lahir.
Pagi sebelum kepindahan dari klinik, Mawar
menyempatkan diri menjenguk. Dahlia mengurus


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

administrasi ke rumah sakit, sementara Mama dan
Melati menyiapkan semua keperluan bersalin
hingga memanggil taksi.
Pagi yang sejuk di kaki Merapi.
Rombongan petani berangkat memulai
kegiatan. Mendengar lenguhan sapi dan roda pedati
menelusuri jalan, menggoreskan kenyamanan di
hati akan kehidupan yang begitu sederhana dan
tenteram. Kehidupan yang belum banyak tersentuh
httpzllhqnq-ohi.blogspot.com
207 208 kemajuan, kecanggihan yang seringkali berharga sangat mahal;
harus dibayar dengan tekanan dan ketegangan, terkadang juga
ketidakbahagiaan. Tak heran di Amerika masih terdapat Suku Amish
yang tetap memisahkan diri hingga sekarang, terputus dari dunia
luar yang gegap gempita dalam timbunan masalah.
Cempaka masih pucat, menatap terjaga. Matanya menerawang
kosong. Mawar menyentuh punggung telapak tangannya, lalu
mencium lembut pipinya .
"Hai," bisiknya pelan. "Sudah bangun, Mbak?"
Cempaka menggerakkan kepala. Mengerjapkan mata.
"Aku bawakan agar-agar dan buah."
Mawar mengupas jeruk, lalu menyodorkan ke bibir Cempaka.
"jeruk sunkist. Manis sekali. Coba, deh."
Tak ada reaksi. Mawar menghela napas. Mungkin Cempaka
sudah mulai makan dan perutnya masih kenyang, ia menghibur
diri. Mawar bercerita tentang rumah baru mereka, tentang rencana
memasang telepon, tentang ayam?ayamnya, tentang segala macam
hal yang mampu diingat untuk diceritakan. Cempaka terdiam
mendengarkan tanpa suara. Ia tidak tuli, bisik hati Mawar,
setidaknya pasti ada kata-kata yang sempat didengarkan.
Mungkinkah keputusasaannya sudah menggunung hingga ia
tampak sangat tak peduli pada siapapun? Atau mungkin itukah
gambaran sebuah kebencian? Cempaka bahkan tak mampu
mengambil keputusan yang sangat diinginkan demi dirinya sendiri.
"Sebentar lagi Mama datang," ujar Mawar. "]uga Melati. Mbak
Dahlia ke Rumah Sakit Sardjito."
Mawar membasahi mulut yang kering dengan jeruk yang tadi
dikupasnya sendiri. Matanya tertumbuk ke perut Cempaka, tanpa
sadar jemarinya terulur mengelus perlahan. Cempaka terkejut,
kasar menepiskan tangan hingga Mawar pun terenyak.
"Sakit, Mbak?"
Cempaka menggeleng.
Reaksi pertama yang diterima Mawar.
"Aku sempat beli majalah khusus tentang merawat bayi. Mama
juga mendadak sibuk menyiapkan popok-popok bergambar cantik.
Melati malah sudah mencari-cari nama apa
"la kuat sekali," gumam Cempaka.
"Apa?" Mawar terlonjak, namun tak tnenangkap dengungan
suara kakaknya.
"Ia semakin kuat dari hari ke hari."
Mawar semula tak mengerti apa yang dibicarakan .
"Semula, aku gembira melihat percikan darah di pakaian
dalamku," Cempaka berbicara datar. "Mungkin inilah akhir semua
penderitaan. Aku bisa bebas dan melanjutkan hidupku lagi."
Mawar menghentikan mengunyah jeruk. Telinganya tak mau
kehilangan satu kata pun.
"Setiap hari, kucuci pakaian dalam dengan diam-diam. Kupikir
aku kelelahan, karena darah itu selalu menetes meski sedikit Tapi,
yang kuharapkan sepertinya tidak terjadi. Denyut kehidupan itu
makin menguat dalam perutku, sementara tubuhku makin
melemah. Bayi ini hidup dengan mengambil napasku."
Mawar menelan ludah.
"Hingga aku terjatuh di kamar mandi karena terlalu lemah.
Tapi, bukan ia yang mati. Melainkan gairahku yang makin lama
makin padam. Mengapa bukan ia yang mati dengan semua rasa
sakit ini? Mengapa aku yang harus menyabung nyawa, bukan
makhluk kecil itu yang membayar dengan nyawanya?"
Mawar tak tahu jawabannya.
209 210 "Mungkin mungkin ia terlalu suci untuk dihancurkan."
"Begitu?" Cempaka tertawa pahit. "Dan aku yang lebih pantas
untuk dihancurkan?"
Mawar menggenggam tangannya.
"Kenapa Mbak selalu berpikir kalau kehadiran bayi itu akhir
semuanya? Sesudah Mbak melahirkan, kita rawat bersama bayi itu
dan masing-masing kita tetap melanjutkan hidup. Kuliah, sekolah,
kerja."
"Kamu pikir, aku masih punya kesempatan?"
"Tentu saja. Kenapa nggak? Kesempatan memperbaiki diri
selalu terbuka lebar!"
"Kamu dendam, kan, War?" bisik Cempaka lirih, nyaris tak
terdengar. lntonasi suara setajam sembilu yang siap menghunjam
ke ulu hati.
"A pa kenapa, Mbak?"
"Kamu dendam padaku hingga memutuskan semua ini."
Mawar mengerutkan kening, mencoba merunut adakah yang
salah tangkap dari indra pendengaran atau penglihatannya.
Diingatnya lagi pelanlpelan kalimat Cempaka yang terakhir.
"Dendam," Mawar mengeja, mengulang ragu. la menggelenggelengkan kepala tak mengerti. Napasnya memburu tiba-tiba.
"Dendam bagaimana?"
Cempaka memejamkan mata.
"Karena kita sering tak sependapat untuk banyak hal"
Setahu Mawar, ia sedang belajar konsep sabar. Sabar menurut
Imam Ghazali punya banyak dimensi. Dimensi kecerdasan, dimensi
sosial, dimensi ketahanan jiwa. Mawar mulai memahami apa makna
sabar, meski belum yakin pemahamannya benar, apalagi mampu
menjalankannya. Mencoba paham dan berilmu, menurut Rasyid
adalah fondasi yang sangat penting.
Adakah yang luput dari pembelajaran selama ini?
Adakah hal lain selain sabar, pilar untuk menghadapi musibah?
Oh, ya. Sekali waktu, Kiai Ahmad dan Cici pernah mengulang
suatu kata. Ketika Mawar berjuang bolak-balik sendirian ke Baabul
jannah.
"Sing ikhlas yo, Nduk ..," lembut Kiai Ahmad memberikan
semangat.
Tentulah! Mawar mengakui dirinya tipe gadis asertif,
cenderung eksplosif. Ya jika ya, tidak jika tidak. Lakukan kalau mau,
tinggalkan kalau enggan. ]adi, ikhlas menurutnya, hal yang mudah
dilakukan. Mawar merasa tak pernah memaksakan diri
mengerjakan sesuatu.
Membantu Mama, melindungi keluarga, meninggalkan kuliah,
bekerja mengurus ayam adalah hal?hal yang dipilihnya sendiri. Ia
tak menyesal bersusah payah. Sama sekali tak sempat berpikir
pamrih atau menonjolkan diri di hadapan siapapun untuk
mengatakan: akulah yang paling berkorban untuk keluarga. la
menyayangi semua, termasuk Cempaka. Maka, ketika dendam
dianggap menjadi alasannya selama ini, Mawar tak habis mengetti.
Andai Cempaka sehat, mungkin mereka bisa bertarung, saling
menjambak seperti dulu.
Mawar marah. Tersinggung. Ucapan Kiai Ahmad terngiang.
Aku akan ikhlas, Mawar menguatkan diri. Tapi, apa ia tidak berhak
atas penghargaan dan ucapan terima kasih?
"Nggak ada alasan yang membuatku dendam sama kakakku
sendiri ...," bibir Mawar bergetar. "Kalau aku nggak setuju Mbak
Cempaka menggugurkan kandungan, itu karena aku khawatir Mbak
akan celaka, lalu meninggal dalam keadaan nista!"
211 212 "Keluar."
Mbak?" Mawar tertegun, menatap kakaknya tak percaya
"Keluar!" Cempaka memandangnya berapi. "Aku nggak mau
diganggu siapapun sekarang!"
Bagai boneka wayang yang mematuhi perintah dalang, Mawar
bangkit. Ia tak menyangka kebencian Cempaka sebesar itu. Mawar
menggigit bibir, mengusir nyeri mengingat kata-kata yang terucap
baru saja. Kasih sayangnya berujung kebencian. [angan cengeng!
Bentaknya pada diri sendiri. Tapi, mata Mawar berair membuang
pandang ke puncak Merapi yang bersih dari saputan awan. Langit
biru. Apakah memang seharusnya sejak awal digugurkan?
Mungkinkah ini awal dari petaka berikutnya, karena ia berkeras
memelihara kandungan Cempaka? Mawar memejamkan mata. Katakata Cici terngiang kembali. Dosa tak dapat tertutupi dengan dosa.
Keburukan harus ditebus dengan kebaikan, meski rintangan yang
dihadapi akan semakin besar dan menikam. Mawar menolehkan
kepala ke dalam klinik, ke arah kamar tempat Cempaka berbaring.
Lalu, ia beralih mendengar suara rem taksi berdecit di jalan.
*** Makhluk itu begitu mungil
la tersimpan dalam kotak kaca seperti cerita Snow White yang
dibaringkan para kurcaci setelah mati memakan apel beracun,
menunggu kedatangan seorang pangeran. Tetapi, ia tidak secantik
Snow White. Beratnya tak sampai dua kilogram. Seluruh tubuhnya
dipenuhi bulu-hulu Ianugo, yang belum menghilang seperti bayi
normal lainnya. Warna tubuhnya biru kekuningan, dan keriput,
seperti bayi monyet baru lahir. Badannya tersambung dengan selang?
selang mini. N apasnya turun naik sangat halus, menandakan mahkluk
itu masih hidup. Kepalanya tak lebih besar dari kepalan tangan.
Lampu neon dinyalakan menghangatkan kotak tidurnya.
"Dia ...," Mawar menahan suaranya lirih, memandang takjub
bayi kecil di depannya. "Dia kecil sekali."
"Ya," bisik Melati. "Apa dia mampu bertahan?"
"Pasti," Mawar mengangguk yakin, mengherankan Melati.
Dari semua anggota keluarga, justru Mawar yang paling
antusias merawat bayi itu sejak dalam kandungan hingga lahirnya.
Mawar tahu, ia akan mampu bertahan setelah berhasil melewati
impian keji ibunya sendiri. Walaupun jauh di dalam hati, Mawar
sesungguhnya bertanya-tanya tentang keputusannya sendiri: benar
ataukah salah? Lagi-lagi, kata andaikan mengusik. Andaikan bayi
ini tak ada, digugurkan, apakah keadaan lebih baik? Andaikan bayi
ini tetap hidup, apakah semua berjalan kembali normal? Andaikan
bayi ini tidak pernah ada!
Mawar menggeleng-gelengkan kepala kuat?kuat. Berhenti
berpikiran makhluk ini berdosa! Bentaknya pada diri sendiri dalam
hati. Bayi ini adalah saksi, buah dari keteledoran Cempaka
melindungi kehormatannya sendiri. jika bayi ini adalah perlambang
dosa, semoga sang ibu akan terus mengingat dosa yang pernah
dilakukannya dan terus-menerus berusaha memperbaiki diri.
Andai bayi ini mati digugurkan, sang ibu tak akan pernah tahu
seperti apa buah dosanya bermain cinta.
Cempaka masih tertidur. Mungkin akibat bius yang masih
bekerja dan kelelahan lahir batin yang dialaminya selama ini. Atau
karena memang ia tak mau melihat bayinya hidup, pikir Mawar getir.
la tak habis mengerti bagaimana di balik pesona Cempaka
tersimpan sifat yang tidak pantas bagi seorang wanita: membunuh
darah daging sendiri.
Mawarlah yang rajin berkunjung ke rumah sakit menengok
Cempaka dan bayinya. Tak peduli tatapan mata Cempaka masih
begitu dingin dan membebaninya dengan tuduhan. la masih tak
213 214 acuh menghampiri kakaknya, mencium pipinya, dan berlama-lama
memandangi seorang bayi di dalam inkubator.
"Kita beri nama Yasmin Firdausi aja, Mbak," usul Melati di
rumah tadi.
"Apa artinya?" tanya Dahlia dengan dahi berkerut.
"Melati di taman surga."
"Kok, Melati lagi," sungut Mawar.
"Atau Wardah Firdausi?" Melati tak putus asa. "Artinya mawar
surga."
"Kalau nggak usah pakai nama Arab, kenapa?" Dahlia
mengajukan keberatan. "Masih banyak nama Indonesia yang bagus.
Putri, Dian, lndah, atau apa."
"Nama itu, kan, doa, Mbak," jelas Melati. "Tiap kali
memanggilnya, kita berharap ia akan menjadi seperti namanya.
Semoga kelak dia bisa masuk surga, membawa kedua ibu bapaknya
ikut bersama."
Dahlia dan Mawar terdiam.
"Kalau Cempaka dalam bahasa Arab?" tanya Mawar.
"Wah, itu aku nggak tahu. Lagian, mana ada bunga Cempaka di
gurun pasir?"
Mawar menatap bayi di inkubator. Yasmin Firdausi. Nama yang
indah. Ia tahu, sebetulnya itu bukan propaganda Melati untuk
menyama?nyamakan nama dengan dirinya sendiri. Ia hanya belum
terbiasa dengan nama berbau Arab di tengah keluarga mereka.
Mama orang Yogya tulen yang menjunjung tinggi falsafah ]awa
seutuhnya. Mereka kerap mendengar nasihat?nasihat Ronggowarsito
dengan ramalan-ramalannya dibanding membaca syair Arab. Tapi,
kedengaran cukup bagus sebelum menemukan nama yang lain.
Mawar menemui Cempaka di bangsalnya. la memandang
nampan berisi makanan di samping tempat tidur yang tampaknya
belum tersentuh. Mawar ragu sejenak, lalu mengambil inisiatif
menyuapi walaupun mungkin Cempaka tak akan suka.
"Mbak harus banyak makan supaya cepat sembuh," ia
menyuapkan sesendok bubur. Cempaka hanya diam.
"Mama sudah menyiapkan kamar khusus buat Mbak di rumah,"
Mawar bercerita. "Ada boks bayi dari rotan, kain-kain bedong aneka
warna. Rumah jadi semarak."
Tak ada reaksi selain kunyahan perlahan.
"Melati sudah menyiapkan jamu habis bersalin. Tapi itu harus
dikonsultasikan ke dokter dulu apakah boleh dikonsumsi pasien
yang dibedah caesar."
Suapan demi suapan berlanjut.
"Sudah menyiapkan nama untuk anakmu, Mbak?" Mawar
memancing ingin tahu.
Cempaka tak acuh.
"Melati mengusulkan Yasmin Firdausi, artinya Melati Surga.
Mbak Dahlia juga mengusulkan beberapa nama seperti
"Terserah kamu saja."
Mawar terdiam. Telinganya menangkap tekanan suara pada
kata 'kamu', seolah keputusan akan anak itu berada di pihaknya.
Mawar terbiasa tegak menantang, tak akan undur diri hanya karena
sakit hati atau tersinggung. Andai Dahlia atau Melati yang
menempati posisinya, mereka pasti sudah akan mundur jauh-iauh
hari. Mawar terbiasa dengan segala hentakan, sindiran, hingga
makian yang didapatkan ketika masih suka bergaul dengan anakanak gunung yang temperamental. Seorang perawat masuk


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengecek kondisi Cempaka.
215 216 "Kalau semua lancar, lbu Cempaka boleh pulang beberapa hari
lagi," jelasnya. "Tetapi, bayinya harus tetap tinggal sampai benarbenar normal dan kuat"
Sekilas, Mawar menatap Cempaka yang terlihat tersenyum
samar ke arah perawat; Bukan masalah, pikir Mawar murung.
Cempaka cepat menghabiskan sisa makanannya.
*** Ada yang lain kini di rumah Bu Kusuma.
Tangis bayi yang melengking membelah malam mengoyakkan
impian. Subuh?subuh mereka telah disibukkan oleh kokok ayam
dan panggilan Yasmin. Sejak awal, bayi mungil itu memang tidak
mendapatkan susu ibunya. Mungkin karena beban mental air susu
Cempaka pun nyaris tak keluar. Tiap anggota rumah menjadi sibuk
oleh kehadiran si mungil
Sejak kehadiran kembali Cempaka di rumah. situasi memang
semakin ramai. Ramai dalam artian makin banyak penghuni dan
aktivitas. Perselisihan yang dulu sering muncul antara Cempaka dan
Mawar, tampak kembali sering terjadi. Mama sering menggelenggelengkan kepala sambil menghela napas.
"Heran," keluh Mawar ketus seakan bicara sambil lalu. Tapi
kata-katanya pasti sempat terdengar oleh beberapa orang.
"Binatang saja nggak mau menyerahkan anaknya pada binatang
lain untuk dipelihara."
"Mungkin Mbak Cempaka teringat ayah Yasmin tiap kali
mendekatinya," ujar Melati menenangkan.
"Lagi pula, memang kamu yang ingin merawat bayi itu, kan?"
ingat Dahlia. "]adi, ya, jangan mengeluh."
"Aku bukannya mengeluh," ralat Mawar. "Hanya nggak mengerti.
Naluri wanita biasanya terusik melihat seorang bayi, apalagi
anaknya sendiri. Ini, kok '
"]aga mulut kamu, War," tegur Cempaka kasar yang segera
bergabung dalam pembicaraan mereka. "Kamu nggak tahu betapa
menderitanya aku pada saat hamilnya, pada saat menahan sakit
menjelang dan sesudah melahirkan walau dengan bedah sekalipun."
Mawar terdiam.
"Saat aku mual, nggak ada orang yang dapat kuajak berbagi
untuk mengobati penderitaanku. Pernah kamu bayangkan gimana
rasanya untuk sekadar bangun dan mencium bau wangi sabun,
kita sudah muntah? ltu kualami berbulan-bulan tanpa kalian tahu!
Tanpa hiburan salah seorang pun!"
Mawar membuka mulut untuk protes.
"ltu salahku?" Cempaka menebak. "Oke! Makanya, dari awal,
seharusnya kamu membiarkan aku mengambil keputusan sendiri!"
"Selalu itu senjata yang mau Mbak pakai!" Mawar berkala pedas.
"Andai Mbak menggugurkan dari awal, apa itu sudah pasti
menyelesaikan masalah? Bagaimana kalau bayinya lahir cacat?
Kalau Mbak keburu mati sebelum bertaubat?"
"Aku tahu orang yang tepat untuk menyelesaikan masalahku."
"Kenapa Mbak nggak sadar kalau itu dosa besar? Mbak akan
jadi pezina sekaligus pembunuh!"
"Kurang ajar kamu!" Cempaka berteriak marah penuh
kebencian sambil berniat mengayunkan satu tamparan. Mawar
menangkis telak.
"Sudah berhenti!" bentak Dahlia melerai.
"Oh, aku lupa," ejek Cempaka. "Kamu yang paling berkuasa di
rumah ini. Yang paling mirip laki-laki, yang paling merasa sanggup
menyelesaikan semua masalah. Moga-moga kamu nggak jatuh cinta
pada laki-laki yang salah karena keperkasaanmu."
217 218 Wajah Mawar merah padam. Melati menelan ludah ngeri, takut
akan timbul perang yang lebih besar.
"Mbak nggak pernah berhenti menyakiti hati orang! Nggak
pernah berkaca dari kesalahan Mbak sendiri!"
"Kamu yang nggak ngaca, War," sahut Cempaka dingin. "Masih
mending kalau ajaran kebaikan itu dari Melati yang lebih pantas.
Sebelum ngasih khotbah, kamu perbaiki dulu diri kamu!"
Mama masuk ke tengah?tengah arena.
"Kalian tuli semua nggak dengar Yasmin menangis dari tadi?"
geram beliau marah. "Kalau seisi rumah ini memang nggak ada
yang mau merawatnya, selekasnya Mama taruh ke panti asuhan!"
Cempaka terdiam dengan mulut terkatup rapat. Matanya
beradu pandang dengan Mawar yang tak juga mau melepaskan
tatapannya. Mawar lalu beranjak mengikuti Melati yang bergegas
menuju kamar.
"Kamu nggak pantas menghardik adikmu seperti itu,
Cempaka," tegur Mama.
"Dia yang selalu memulai pertengkaran. Sedari dulu. Apa Mama
nggak lihat?"
"Tapi, dia yang selalu tampil untuk menyelamatkan nyawamu.
Dia sayang kamu dan selalu mendampingimu di saat?saat kritis."
"ltu aku hargai, Ma," Cempaka mengangguk. "Tapi, bukan
berarti dia bebas mengaturku sekehendak hatinya."
Bu Kusuma terdiam.
"Ma," Cempaka berkata lirih. "Aku tahu apa yang kulakukan
salah. Dulu aku khilaf, terlalu percaya Fian. Sekarang, aku sudah
mengambil pelajaran. Sebenarnya, dulu aku ingin menggugurkan
dan bertaubat dengan semua kesalahanku. Tapi, sekarang semua
persoalan jadi makin panjang. Mama ingat, Mawarlah yang merasa
paling benar dengan menyuruhku, menyuruh kita semua
mempertahankan bayi itu. Sekarang, dia menyalahkanku atas
semua akibat yang timbul bukan dari keputusanku! Andai dari awal,
andai saja
"Sudahlah Cempaka, sudah!"
"
"Mama juga nggak mau dengar apa yang kurasakan ..., mata
Cempaka berkaca. Selalu hati Mama luruh jika menghadapi airmata
putri-putrinya, termasuk Cempaka. "Sewaktu Mama hamil, ada Ayah
yang senantiasa menghibur: Membelikan apa saja sebagai pengobat
rasa mual Tetapi, aku berjuang dari awal sampai akhir sendiri.
Berjuang mengatasi malu dan menyabung nyawa sendiri."
Mama menghela napas.
"Sampai kapan pun aku, nggak menginginkannya, Ma. Aku
nggak akan pernah bisa menyayanginya. Maka jangan paksa aku
merawatnya. Biarlah ia tumbuh di panti asuhan kalau penghuni
rumah ini sudah nggak bersedia merawat dia."
Mawar mengganti popok Yasmin yang basah, Melati
membuntuti dari belakang. Mereka berdua mendengar apa yang
terucap dari pembicaraan di ruang tengah. Sebutir air jatuh tiba?
tiba di pipi Melati.
"Kenapa, Mel?" Mawar mencoba bertanya dan tersenyum
sekalipun hatinya juga bergemuruh dalam marah dan kesedihan.
"Yasmin cantik, ya, Mbak," ujar Melati lirih.
"Ya."
"Seperti ibunya."
""Seperti ibunya," Mawar mengikuti.
"Apa dia mau kita titipkan di panti asuhan?"
"Apa dia anak haram, Mel?"
219 220 Melati menggeleng lemah.
"Yang salah, kan, ibu bapaknya."
Yasmin tersenyum dengan mata bercahaya menggenggam
telunjuk Mawar.
"Aku kenal anak?anak jalanan yang tumbuh liar dan beringas
karena mereka nggak mendapatkan curahan kasih sayang. Mungkin
orang tua mereka sibuk dengan segudang masalah. Mencari uang
sangat sulit di zaman sekarang," mata Mawar beradu dengan mata
Yasmin. Bayi itu tertawa. "Tapi, salah siapa anak-anak itu lahir?
Mereka nggak pernah minta dilahirkan. Tahu-tahu lahir dan
mendapatkan perlakuan keji dari semua pihak."
Melati ikut duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Yasmin
mengentak-entakkan kaki.
"Aku tertegun ketika melihat Yasmin lahir," kenang Mawar.
"Ayah dan ibunya sangat membenci kehadirannya, tapi dia tetap
ada. Apakah Yasmin akan dibuang begitu saja dari kehidupan kita?
Semua terlanjur terjadi, memberi pelajaran buat kita semua."
Melati ikut menyelipkan telunjuknya ke tangan mungil itu.
"Mbak mau merawatnya?" tanya Melati ingin tahu.
"Ya."
"Meskipun ibunya nggak peduli?"
'Ya"
"Kenapa, Mbak? Kenapa Mbak bersikeras mempertahankannya?"
"la ...," Mawar tertegun ragu-ragu. "la memberiku firasat aneh.
Berkali-kali Mbak Cempaka berusaha membunuhnya dengan
minum jamu dan segala makanan berbahaya. Ingat waktu kita
menolongnya ketika terjatuh di kos-kosannya dulu?"
Melati mengangguk.
"Hingga Mbak Cempaka mengalami pendarahan. Seakan-akan
Yasmin ditakdirkan dengan kekuatan Allah untuk bertahan
terhadap segala serangan. Anak ini kuat, Mel Semoga kelak ia kuat
menghadapi semua kebusukan hidup."
Melati menatap wajah Mawar dalam-dalam. Rambutnya yang
cepak, sikapnya yang tegas, menyembunyikan kelembutan hatinya.
"Aku bangga padamu, Mbak," pujinya tulus.
Mawar tersenyum.
"Tapi, kata-kata Mbak Cempaka ada benarnya," Melati
mengingatkan.
"Oh, ya? Tentang apa?"
"Mungkin Mbaklah yang akan menjadi seorang ibu
menggantikan Mbak Cempaka. Menjadi ibu itu tidak gampang, kan,
Mbak? Lihatlah Mama dengan segala perjuangan dan
penderitaannya, masih saja mendapat ujian seperti ini."
Mawar terdiam mendengarkan.
"Mbak Mawar harus lebih memperbaiki diri supaya mampu
membimbing Yasmin."
"Kamu punya saran, Mel?
"Coba tanyakan sama Mas Rasyid atau Mbak Lies. Mereka pasti
punya kiat?kiat menjadi seorang muslimah yang tangguh, yang
mampu menghadapi tantangan zaman."
Mawar menatap ke dalam mam Melati. Ada keteduhan di sana,
di mata adik yang masih sangat muda. Melati jauh berubah semenjak
memutuskan berjilbab dan bergabung bersama teman-teman
semacam Wardah dan Rosy. la jauh lebih dewasa, lebih tenang, lebih
jernih memikirkan masalah. Sekalipun terkadang kekolokannya
sebagai anak bungsu muncul juga. Tiba-tiha, Mawar teringat ayamayamnya. Kapan mereka mulai bisa 'dipanen'? la butuh banyak uang.
Untuk mengembalikan pinjaman Lies, mengembalikan uang Rasyid
221 ??? yang sempat dipinjamnya demi membantu Mama membayar semua
biaya rumah sakit, untuk membiayai Yasmin, juga memasukkan
Melati kelak kuliah di tempat yang diinginkannya.
Cempaka pergi kerja.
Mawar justru memutuskan keluar dari pekerjaan di perusahaan
pengrajin perak. Ia tak sanggup membagi waktu antara mengurus
Yasmin dengan bekerja. Mama bukannya tak mau membantu, tetapi
beliau sudah mulai tua. Jika harus lelah mengurusi si kecil, Mawar
khawatir Mama akan ambruk. Tidak mungkin Dahlia yang keluar
dari pekerjaannya saat ini, karena mereka masih membutuhkan
pemasukan yang rutin. Mengharapkan Melati juga tidak bisa, ia masih
sekolah. Satu-satunya yang mampu mengurus Yasmin saat ini adalah
Mawar. Cempaka benar-benar tak merasa bahwa Yasmin adalah
bagian dari dirinya. la memang lebih banyak berdiam diri di rumah
sementara yang lain pun enggan mengusik.
Setelah kondisi Cempaka pulih seperti semula, ia kembali
diterima sebagai penyiar Salsa. Ia kembali seperti Cempaka yang
dulu. Yang cantik dan sedap dipandang. Tetapi, pandangannya lebih
dingin dan tanpa ekspresi, kini sekalipun senyumnya tetap hangat.
Baik Dahlia, Mawar, atau Melati tak mampu memasuki dunia
Cempaka. la begitu penuh rahasia. Apalagi Cempaka menempati
kamar sendiri di rumah, padahal semula diperuntukkan bagi Mama,
juga bagi Yasmin. Mama dan Mawar yang justru sekamar dengan
Yasmin, sementara Dahlia bersama Melati. jadilah dunia Cempaka
makin tak tersentuh siapapun.
Satu yang melegakan Melati bahwa semua kesibukan Mawar
makin membuatnya tampak seperti perempuan. Bahkan Lies dan
Hanum sekali-sekali datang berkunjung meminjamkan buku
Tarbiyatul Awlad kepada Mawar. Rasyid, Pepe, dan lto juga teman?
teman geng-nya masih datang sekali-sekali dan berdecak
menyaksikan Mawar menggendong bayi sambil menyusuinya
dengan botol.
"Kamu pantes banget jadi ibu," lto memuji.
"Kalau mau tidur nyanyi apa, War?" Rasyid ingin tahu.
"Aku nyanyi lagu-lagunya Linkin' Park, Evanescence, atau Bullet
for My Valentine."
"Hahhh?"
"Ngurus anak capek, tahu! Kalau udah capek banget, pingin
tidur, sementara Yasmin belum tidur, aku harus dengerin musik
supaya tetap semangat"
Rasyid menggaruk kepala.
"Maksudku, kalau Yasmin mau bobok, kamu nyanyiin apa?"
"Ya apa yang kubisa. Bring Me to Life ...."
"Kenapa nggak kamu nyanyiin Tombo Ati aja? Biar cepet tidur!"
"liih, suka-suka aku yaw!"
Mereka berbicara seru seputar kehidupan kampus, pendakian
gunung maupun usaha yang dirintis masing-masing.
"llabis ini, mungkin kami nggak bisa sering-sering kemari, ya,
War," Pepe terlihat menyesal "Aku lagi menyelesaikan skripsi. lto
juga. Rasyid malah sudah hampir selesai."
Mawar terdiam.
Skripsi?
la bahkan nyaris lupa bahwa dirinya salah satu mahasiswi. Ya,
Rasyid memang beda tingkat dengannya. juga Pepe dan lto. Rasyid
harusnya lulus tahun kemarin. Karena kesibukan kampus dan
bisnis ia menunda kelulusannya.
Mawar tersenyum getir. Alangkah menyenangkan di kampus,
kuliah, berjuang demi idealisme tertentu, membahas persoalanpersoalan negara. Sekarang, ia tengah berpijak pada kenyataan
hidup yang mau tidak mau harus dijalani.
"Kok, senyummu aneh, War?" lto memperhatikan.
223 224 Rasyid tersenyum.
"Kita akan bertukar kabar lewat sms, telepon, chatting, FB,
apapun, ya kita adalah teman. Selamanya berteman, insya Allah.


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita nggak tahu, siapa tahu kelak salah satu di antara kita jadi orang:
presiden atau walikota
"Amiiiiin ...!"
" ...... saat kita sulit di masa depan, pasti kita butuh dukungan
teman?teman."
"Ingatlah hari ini
Serempak, Mawar, Pepe, dan lto menyanyikan lagu Project Pop
tentang persahabatan.
Ya.Ye friends of my heart,
Erefrom you I depart,
This hope to my breast is most near,
If again we shall meet,
In this rural retreat,
May we meet, as we part, with a Tear.
(Lord Byron)
*** Melati ingin menghibur Mawar, mengajaknya menghirup
udara luar. Hobi naik gunung sepertinya tidak lagi menjadi
perhatian utama. Setumpuk cucian, menyeterika dan mengurus
Yasmin seolah menjadi hiburan tersendiri yang melenakan.
"Kalau hari Minggu, Yasmin kita ajak jalan-jalan yuk, Mbak,"
ajak Melati.
"Hah? ]alan-jalan? Bayi kecil segitu?"
"Iya, nggak apa?apa. Minggu pagi sambil dengerin kuliah subuh
di Masjid Syuhada dekat rumah kita dulu. Sekalian nostalgia lewat
rumah kita di Bausasran. Pulangnya beli lontong sate yang enak itu, di
depan Pasar Lempuyangan, terus beli jenang grendul Wuuui, asyik."
Mawar mengacak rambutnya.
"Ada aja kamu bikin itle. Dah gitu, makaaan melulu! Tapi, nggak
pa-pa aku bawa bayi begini?"
"Nggak pa-pa. Banyak, kok, ibu-ibu muda yang bawa bayi."
"Nggak pakai jilbab nggak pa-pa?"
Melati menggeleng. Tinggal selangkah lagi, bisik hatinya penuh
harap. Mawar akan berubah menjadi muslimah seutuhnya. Dan ia
paham watak kakaknya yang lebih senang merenung sendiri
mengambil pelajaran dan kebenaran daripada harus didoktrin
secara paksa. Melati terkadang bertanya dalam hati seperti apa
nanti akhir kisah Mawar yang begitu rela berkorban demi keluarga?
Ia tak lagi sempat berpikir tentang kuliah selain sibuk mengurusi
ayam?ayamnya. Seperti apa akhir kisah Dahlia, juga dirinya? Dan
seperti apa akhir kisah Cempaka?
jika boleh berharap, Melati ingin sekali menitipkan pada bulan
dan bintang, menitipkan pada malaikat, menitipkan pada angin:
Tuhan, aku tahu surga tempat paling sempurna. Tapi, izinkan Mbak
Mawarmem'kmati kebahagiaanjuga. Sepertinya, Mbak Cempaka hidup
lebih enak, padahal Mbak Mawar yang pontang?panting. MbakMawar
gadis baik. Apakahgadis baik akan hidupsenang dan dapat pangeran
impian, Tuhan?
Doa sederhana. Doa kekanak?kanakan.
Tapi, Melati tak bisa menahan derasnya air mata ketika sujud
shalat malam, mengingat kasih Mawar yang demikian tulus pada
Yasmin berbanding terbalik dengan Cempaka yang membangun
karir kembali. Menikmati usia muda sesuai harapannya.
&!
225 226 % Episode 13
Delapan tahun kemudian.
Waktu adalah abadi di tangan-Mu
Tak satupun menghitung menit-Mu
Siang dan malam berlalu, usia mekar dan luruh
bagai bunga
Kau, paling tahu, bagaimana untuk menunggu
(Rabrindanath Tagore)
Matahari yang memangsa bumi ataukah bumi
yang terlibas matahari. Waktu berjalan tanpa
dipahami, tak dapat pula dihentikan. Waktu seakan
berpihak pada Yasmin yang makin tumbuh mekar,
sehat, dan cerdas. Ada yang kurang dalam dirinya,
tapi tetap saja ia bunga keluarga.
Dahlia melaju dengan hidupnya, menemukan
pendamping hidup yang sederhana dan bertanggung
jawab. Melati cemerlang dalam kuliah, menghabiskan
cukup banyak biaya di kedokteran, tetapi semua
anggota sepakat: setelah tahun?tahun yang sulit
berlalu, saatnya membangun martabat keluarga.
Melati akan menjadi salah satu kebanggaan.
Mawar?
la sibuk menjadi pebisnis, melupakan kuliah ekonomi dan
langsung mengaplikasikan ilmu yang dimiliki. Kehidupan
finansialnya makin berkembang, dunia bisnis seolah sesuai dengan
wataknya yang tahan banting dan berani.
Cempaka bermukim di jakarta, menjadi penyiar televisi swasta
yang sangat berbakat Cempaka juga telah menikah, tak lama
setelah Dahlia berumahtangga. la tetap tertutup, tak mudah
membuka diri, menjaga jarak dengan semua anggota keluarga,
terutama Mawar. Mawar berkali-kali meyakinkan Cempaka, bahwa
jika ia tak ingin mengungkap siapa Yasmin maka seluruh anggota
keluarga akan bungkam.
Dan, Mawar pun bahagia memiliki Yasmin.
Ia adalah gambaran Cempaka yang bersahabat Wajah, senyum,
dan perilakunya demikian mirip sang ibunda. Mawar menyayanginya
tulus, mk menganggap gadis itu penghalang kehidupan pribadinya.
Yasmin adalah sosok pengganti Cempaka, yang tak pernah berhasil
direngkuh Mawar dalam jalinan persaudaraan yang kokoh.
Delapan tahun sudah mereka pindah ke Kotagede, Yasmin lahir,
pertikaian Cempaka dan Mawar mencapai titik puncak: tak perlu
ada pertengkaran. Silakan saja mengambil jalan masing-masing.
Sore itu, rumah Bu Kusuma rapi berbenah. Waktu Asar cukup
lama terlewat. Dapur menguarkan aroma bawang merah goreng, pedas
sambal, dan gurihnya kerupuk udang; ditambah segar legit kolak pisang
bercampur serumn kelapa muda. Alat?alat berkelontangan beradu.
Melati sibuk di ruang tengah menakar nasi putih ke dalam mangkok
kecil, lalu menuang segera ke kardus makanan. Bu Yati dan Mbak
Munah, dua pembantu mereka asyik memasukkan sambal dan krupuk
ke dalam plastik.
"lni buat mana lagi, Tante?" tanya seorang anak kecil ingin tahu.
227 228 "Buat buka puasa orang-orang yang sedang itikaf di masjid,"
sahut Melati menyeka keringat. "Yasmin bantu, ya. Coba hitung
berapa kardus yang sudah rapi terisi."
Mulut mungil Yasmin sibuk menghitung lirih.
"28."
"28?" tanya Melati menegaskan.
"Ya."
"Alhamdulillah, sudah separo jalan."
"Yasmin bisa bantu apa, Tante?"
"Lho, Yasmin nggak ngaji ke TPA?"
"Nggak. Sudah libur. Kan, tiga hari lagi Lebaran."
Melati tersenyum ke arahnya.
"Coba lihat Bunda Mawar di belakang. Barangkali kolaknya
sudah mulai dingin dan bisa dimasukkan plastik. Untuk anak-anak
kecil, m'jilan di mushala An-Nur dekat rumah kita."
Yasmin melesat ke belakang.
"Mbak Yasmin itu cantik banget, ya, Mbak," kara Mbak Munah.
"Matanya itu, lho. Apalagi kalau sudah pakai jilbab, wah, tambah
moncer."
"Mana anaknya penurut banget," timpal Bu Yati. "Sudah tiga
tahun lho, Mun, dia puasa. Masih bolong?bolong, sih. Tapi, tahun ini
sudah hampir penuh. [ya, kan, Mbak Mel?"
Melati tertawa sambil mengangguk.
"Anakku si Bandi itu kalau disuruh puasa minta ampun," keluh
Bu Yati. "Bangunin sahurnya bisa berjam-jam."
Yasmin membantu Mawar mengikat karet di plastik yang sudah
terisi kolak.
"Yasmin pingin apa buat Lebaran nanti?" tanya Mawar.
"Apa, ya?" Yasmin menatap langit?langit dapur yang berasap.
"Baju baru?"
"Baju dua bulan lalu hadiah ulang tahun dari Tante Melati masih
bagus, kok," sahutnya.
"Sepatu? Tas?"
"Enggak. Enggak. Yasmin nggak kepingin."
Mereka terdiam sibuk mengejar waktu membungkus
makanan.
"Kalau teman-teman di sekolah bagaimana? Apa rencana
mereka?"
"Nuha pulang ke rumah kakeknya di Malang, Khalid ke Klaten,
Fida ke jakarta ke tempat nenek umminya."
"Yasmin pingin ke mana?"
"Mmm ke Gembira Loka aja, deh, Bunda. Apa nanti beli buku
cerita? O ya, Yasmin punya tabungan. Ssst, pingin beliin kerudung
Eyang Kusuma, beliin jilbab buat Tante Melati, terus dikirim ke
Palestina, terus beli hadiah untuk anak-anak yatim di Mushala AnNur."
"Memang tabungan Yasmin ada berapa?"
Yasmin menyebutkan sejumlah angka yang membuat Mawar
tertawa. la cemberut.
"Kenapa, Bunda? Sedikit, ya?"
"Enggak, enggak," Mawar buru-buru meminta maaf. "Lebih baik
untuk Palestina saja semua. Eyang sama Tante Melati nggak usah.
Pakaian mereka masih bagus-bagus, sementara saudara-saudara
kita di sana sangat membutuhkan."
229 230 Mawar geli dalam hati, mana cukup 200 ribu untuk semua
keinginannya!
"Mbaaak!" seru Melati dari dalam. "Ada Mas Rasyiiid!"
"Oya? Sama siapa?"
"Sama Mbak Intan, istrinya!"
"Suruh masuk dulu ke ruang tamu," Mawar bergegas mengganti
baju dan mengenakan jilbab. la tertawa memandang Intan yang
tampak menahan mual luar biasa.
"Bau masakan, ya?"
"Tahu, nih," sahut Intan. "Waktu hamil Asaad nggak beginibegini amat."
"Kami mau cepetan aja, War," kata Rasyid. "Mau beli ayam buat
bikin opor Lebaran nanti."
"Waduh, maaf," sahut Mawar menyesal "Ayamnya yang besar
sudah nggak ada. Hanya tinggal yang kecil?kecil. Segitu, mah, nggak
ada dagingnya, tinggal sedikit telur kalau mau."
Rasyid dan Intan berpandangan.
"Telat deh, kita," sesal Intan. "Ya, udah telurnya aja. Buat bikin
kue kering dan bolu."
"Khusus kalian, aku kasih harga sebelum puasa, deh," kata
Mawar.
"Makasih, ya, War."
Mawar menyuruh Mas Bekti yang khusus mengurusi ayam
untuk membungkus lima kilo telur.
"Selamatjadi pengusaha sukses, deh," Rasyid mendoakan. lntan
mengucapkan salam.
"Kasih tahu aku kalau bayinya sudah lahir!" seru Mawar.
Intan melambaikan tangan, meninggalkan Mawar hingga
menghilang di balik bayang senja. Wajahnya merenung. Di mobil,
Intan dan Rasyid membahas pertemuan singkat itu.
"Senang lihat Mawar sukses, ya, Mas," desah Intan.
"Ya," Rasyid menimpali, dulu dia susah banget Untungnya,
dia mengambil jalan yang tepat"
"jalan yang tepat gimana?"
"Mawar orang yang tangguh. Dia pantang menyerah. Sekalipun
saat itu tomboy dan metal, dia bisa menjaga diri."
Intan terdiam. la belum lama mengenal Mawar, tetapi Rasyid
sering menceritakan para sahabat dekatnya, termasuk Mawar.
"Aku nggak ngerti, bagaimana orang seperti Mawar justru tahan
banting terhadap permasalahan."
"Karakter," Rasyid menyimpulkan." Dia punya karakter kuat:"
"Bukan cuma itu kukira," Intan menambahkan. "Dia seorang
pembelajar. lngin mencari tahu jawaban, jalan keluar dari setiap
masalah. Kukira, itu yang membuatnya survive."
Rasyid tersenyum, mengelus kepala lntan cepat sebelum segera
beralih ke kemudi.
*** Malam usai berbuka, semua anggota keluarga bersiap?siap
Shalat Tarawih dan iktikaf di masjid terdekat Mawar sendirian di
rumah, menikmati kesibukan menyiapkan pernak-pernik Lebaran.
la, toh, tak punya beban shalat sebab berhalangan. Saat suara
tadarrus terdengar bersahutan, seseorang mengetuk pintu depan.
Mawar tersenyum lebar. Maghrib tadi, sebuah pesan pendek
masuk. Dahlia dan suaminya?Danu?berniat mampir mengunjungi
Mama.
231 232 "Hei, Mbak Lia!" seru Mawar senang melihat sosok di depannya.
"Tuh, cantik, kan, pakai jilbab? [ya, kan, Mas Danu?"
"lya, jadi tenang kalau melepasnya kerja," sahut seorang lakilaki muda berbaju koko. "Yang lain pada tarawih sekalian iktikaf,
ya?"
"lya. Tapi mungkin Mama dan Yasmin pulang jam sepuluh.
Biasanya, Melati yang kuat sampai menjelang subuh. Pulang dari
masjid bareng anak-anak muslimah sekitar sini, jadi nggak
khawatir. Apalagi, puasa begini menjelang Lebaran, suasana seperti
nggak tidur-tidur."
"Aku sudah mencoba buat brownies kering," Dahlia berucap
bangga. "Buat Mama dan sajian tamu-tamu nanti."
"Lho, buat Mbak sendiri?"
"Sudah, sudah. Buat keluarga Mas Danu juga sudah."
Mereka berbincang banyak hal. Tentang kemungkinan Dahlia
membanting stir menjadi pengusaha kue kering mengingat kue
buatannya lezat dan mulai disukai para tetangga, juga kenalan.
Tentang rumah cicilan Dahlia yang mungil di jalan Kaliurang.
Tentang calon nama bayi dalam kandungan. Tentang impian-impian
besar yang mungkin masih jauh dari capaian: berangkat haji
bersama.
"Aku menawarkan kue-kue ke rekan sekantor, mereka
antusias," mata Dahlia berbinar.
"Bagus, Mbak," puji Mawar tulus. "Bagus untuk persiapan
menjelang si bayi lahir. Kalau sudah punya anak, nggak mungkin
kerja, kan? Kasihan anaknya. Mending buka bisnis di rumah. Kan,
nggak perlu Mbak Dahlia yang menangani sendiri. Cari orang untuk


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantu dan Mbak yang me-manage."
"Aku juga lebih setuju begitu," timpal Mas Danu. Mereka kembali
terlibat pembicaraan hangat sambil menikmati makanan.
"Ada kabar dari Cempaka?" tanya Dahlia.
Mawar menghela napas. Matanya sekilas menatap layar televisi,
biasanya wajah ayu itu muncul di sana.
"Nggak tahu, belum ada berita. Tapi, kayaknya nggak pulang,
sih. Tahun ini dia baru saja mendapat jabatan penting di Menara
Televisi. Mustahil bisa pulang. Kemarin lihat penampilannya, kan,
membawakan acara khusus info Lebaran?"
Dahlia mengangguk.
Waktu adalah kesibukan tanpa jeda. Mereka beranjak dewasa,
meraih impian masing-masing. Cempaka merintis karir sebagai
penyiar radio, lalu salah satu televisi swasta Yogyakarta membuka
lowongan penyiar berita. Dari sekian ribu pelamar, Cempaka
terpilih. Siapa pun pasti terpikat melihat gayanya yang luwes dan
anggun dalam berbicara. Loncatan berikutnya begitu cepat terjadi.
Televisi swasta di Jakarta melihatnya sangat potensial, merekrutnya,
memberikan tawaran yang jauh lebih baik. Jadilah Cempaka melaju
menuju jakarta, membangun apa yang ingin dimiliki. Sesekali ia
menelepon rumah, suaranya seolah berasal dari negeri asing.
Ramadhan dan Lebaran, masa untuk merenungi apa yang
hilang. Kebersamaan, kedekatan. Setiap orang berusaha
memulihkan hubungan.
Malam semakin larut
Melati membatalkan iktikaf hingga subuh. Tiba di rumah, ia
berteriak girang, suasana yang hangat menunggu. Kue-kue kering
dan minuman terhidang, layaknya membuka hari Lebaran.
Semenjak Dahlia menikah dengan rekan sekerjanya di kantor,
waktu mereka berkumpul memang makin berkurang. Dahlia harus
tinggal bersama Mas Danu dan ibunya yang juga janda.
Malam itu, Melati beberapa kali mencuri pandang ke arah
Mawar yang tampak lelah, namun riang. la menghela napas. Ketika
233 234 Dahlia berpamitan pulang usai bertemu Mama, Mawar langsung
menuju kamar dan membanting tubuh ke kasur.
"Mbak, sudah mau tidur?" Melati melongokkan kepala setelah
mengetuk pintu.
Yasmin tertidur di kamar depan bersama Mama.
"Ei, Mel Belum. Cuma lagi mau bersihin muka, selonjor dulu
aaah ..... Rencananya mau menghitung anggaran keuangan berjalan
bersama Mama, tapi Mama kelelahan. Aku juga capek. Mungkin
besok saja."
Melati tersenyum. Wajahnya tampak ragu dan pucat Mawar
dapat merasakan si bungsu sedang menghadapi masalah.
Bertahun-tahun hidup seatap, ia tahu gerakan-gerakan tubuh yang
menandakan Melati gelisah, gembira, atau tersinggung.
"Ada yang mau kamu bicarakan?"
Melati termenung. Mawar sekarang bukan lagi gadis seperti
dulu. la berubah lebih dewasa dan tenang, tidak temperamental.
Kesulitan telah mengubahnya menjadi bijaksana, terlebih ketika
ia semakin memahami tanggung jawab-tanggung jawab besar di
pundaknya. Dahlia mengurus ibu mertua, Cempaka tak ada. Mama
adalah tanggung jawab Mawar seutuhnya sekarang, begitupun
Yasmin. Melatipun, masih masuk dalam hitungan Mawar.
Bukan hanya beban ekonomi, beban pikiran dan perselisihan
pastilah menghampiri. Semua membutuhkan ketahanan jiwa yang
luar biasa untuk dilalui. Mawar menyadari, ia tak dapat bertahan jika
hanya tetap berdiam diri dengan kemampuan dan pemikiran stagnan.
Mawar tulus menerima bantuan dan arahan Melati yang
senantiasa mendorong untuk berubah ke arah lebih baik. la
sekarang muslimah seperti Lies dan Hanum, menjaga diri dengan
hijab dan senantiasa melakukan perbaikan lewat pengajian
seminggu sekali.
"Kok, ragu-ragu, sih, Mel? Kayak nggak kenal aku aja."
Melati tersenyum gugup. Ia tahu Mawar telah berubah, tapi
apakah ia siap menerima berita yang akan disampaikan Melati?
Baik atau buruk berita ini, tergantung sudut pandang. Melati
menunggu Mawar dalam kondisi nyaman. Usai membersihkan
wajah dan menukar pakaian tidur, Mawar lebih konsentrasi
memandang Melati.
"Ada apa, sih?" tegur Mawar lembut
Melati tertunduk, memandang langit kamar, melihat Mawar.
Meremas tangan. mempermainkan rambut. Mawar menguap dan
tertawa.
"Nanti aku ngantuk, ketiduran, lho
Melati membasahi bibir.
"Kalau kalau ada seorang lelaki salih melamar Mbak ...,' suara
Melati menghilang pelan. "Maksudku, melamar kita apa yang
harus kita lakukan?"
Mawar mengerutkan kening.
"Rasul berkata kita harus menerimanya supaya terhindar dari
fitnah, kan?" kata Mawar. "Tentu tanpa mengabaikan usaha-usaha
manusiawi seperti kesiapan keluarga kedua belah pihak, kesiapan
si calon suami menjadi kepala rumah tangga menyangkut hal materi
dan nonmateri."
Melati menggigit bibir. Ia tak tega. Sungguh tak tega.
"Kenapa?" hati Mawar berdesir lembut. "Ada pemuda salih yang
melamar kamu?"
Melati tak sanggup lagi menahan beban di dada. la menangis
di pangkuan Mawar, menumpahkan kegalauan hati. la takut
melukai hati Mawar yang telah berkorban begitu banyak. Tapi, ia
pun takut andai menolak tawaran ustadzahnya, apakah mendapat
235 236 pengganti laki-laki yang lebih baik atau lebih buruk? Mawar
mengelus helai-helai rambut Melati.
"Aku bingung, Mbak. Sungguh," airmata Melati deras mengalir.
"Aku tak pernah berpikir melangkahimu, tapi bunyi hadits itu
pun menghantuiku."
"Kamu sudah dewasa, Mel," hibur Mawar, mencoba menutupi
sisi hatinya yang paling rahasia.
"Aku ingin tahu apa perasaan Mbak saat ini," Melati bangkit
menyusut mata. "Marah? Sedih? Atau apa. Mbak bilang saja. Kalau
Mbak nggak setuju, aku akan punya dalil kuat untuk menolak
tawaran ustadzahku."
"Kamu mau aku jujur, Mel?"
"Ya."
"Aku sedih, itu kuakui," Mawar menatapnya dalam-dalam. "Aku
akan kehilangan seorang adik yang sangat dekat, aku akan sendiri
di rumah ini. juga aku akan merasa kalau kalau aku nggak
sebanding sama kamu."
"Oh, Mbak ..," Melati menggeleng?gelengkan kepala. Wajahnya
segera basah kembali. "Kalau itu perasaanmu, aku akan mantap
menolaknya."
"Nggak, Mel" Mawar menggelengkan kepala. "Bukan hanya itu
perasaanku. Aku juga takut kalau egois maka fitnah itu tidak hanya
menimpa dirimu, tapi juga aku dan kita sekeluarga. Tidakkah bila
aku ikhlas. Allah akan melihat dan membalas dengan yang jauh
lebih baik?"
Melati makin tersedu. Mawar menyentuh bahunya.
"Sudah bilang Mama?"
Melati menggeleng.
"Bagiku, persetujuan itu harus datang dari Mbak dulu."
Mawar menatapnya penuh terima kasih.
"Beri aku waktu, ya, Mel Kebetulan, aku juga lagi nggak shalat,
jadi nggak bisa lstikharah dan Tahajud Nanti kuberi jawaban kalau
aku sudah tenang dengan shalat malamku."
Melati mengangguk.
Sepeninggal Melati, Mawar merebahkan diri. Tubuhnya lelah
sekali mengurusi pembelian ayam-ayam terakhir hari ini, dan masih
ada persediaan telur di gudang yang perlu dicek lagi. Ia pengusaha
ayam yang cukup sukses, jaringannya meliputi counter?counterfried
chicken. Tentu bukan usahanya semata. Karena baik Mama, Dahlia
maupun Melati, mrutandil pula di dalamnya. Namun, tiba-tiba Mawar
teringat kuliahnya yang terbengkalai separuh jalan, Yasmin yang
mulai besar, dan Melati yang telah lulus menjadi seorang dokter. Ya,
dokter. Dan sebentar lagi ia akan dipersunting. Laki?laki mana yang
mau mempersunting seorang pengusaha ayam yang tak lulus kuliah?
Mawar menggigit bibir. Perih yang panas menjalar dari ulu hati,
merembes ke dada hingga naik menuju kerongkongan dan ujung
mata. Dua butir air bergulir. Ia sedang menabung untuk melanjutkan
kuliah. Kalau Melati jadi menikah, uang itu akan terpakai untuk biaya
walimah. Apa? Dilangkahi? Mawar menepis godaan busuk itu. jodoh
di tangan Allah. Dia, Tuhan Yang Maha Melihat, tidak buta dengan
semua pengorbanan. Adakah perbuatan baik yang tidak dibalas?Nya?
Perih itu berganti kelapangan dada. Sebentar kemudian, sembilu itu
merasuk kembali.
Mawar beristighfar. Ia jatuh tertidur kelelahan. Mimpinya
tergambar seakan nyata, hamparan kebun berumput hijau dengan
pohon menaungi. Matahari besar. bersinar terang, tanpa terik. Langit
biru jernih. Bunga-bunga mekar menampilkan ragam bentuk dan
warna memikat, lebah dan kupu-kupu terbang membagi serbuk.
Mawar terjaga sejenak. Tersenyum kemudian. Berterima kasih
kepada Tuhan dan malaikat?Nya yang menitipkan mimpi meski
237 238 sejenak. Selalu, ada keajaiban dan kebahagiaan di dunia ini. Meski
kecil, meski selintas, setiap manusia akan memperoleh apa yang
diusahakannya.
*** Cempaka datang seminggu setelah Lebaran. Wajahnya tampak
lelah, bayang kehitaman melingkar di bawah kelopak kedua mata.
la menghujani setiap anggota keluarga dengan hadiah-hadiah
mahal istimewa, tak terkecuali Yasmin.
"Terima kasih, Tante," Yasmin mengecup kedua pipinya girang.
Cempaka tersenyum samar. la mendapat seperangkat alat sekolah
yang mewah, sepaket mainan masak-masakan. ]uga boneka Barbie
dengan gaun putrinya yang Melati tahu seharga ratusan ribu.
"Kamu nggak perlu menghambur-hamburkan uang begini,
Cempaka," Mama menghela napas. Wajahnya justru menyiratkan
keprihatinan menyentuh kain sutra biru laut yang dihadiahkan
oleh putrinya.
"Nggak, Ma," Cempaka menggeleng sambil tersenyum lemah.
"Aku senang begini. Kesempatan kita berkumpul jarang, aku juga
jarang membelikan sesuatu untuk keluarga ini."
Mawar dan Melati pun mengucapkan terima kasih sambil
mencium pipinya. Dahlia masih belum dapat berkunjung dan
berjanji akan segera berkumpul bersama.
"Melati masakkan air buat mandi, ya, Mbak," Melati
menawarkan diri.
"Sambil menunggu air panas, Mbak mau mencicipi lontong dan
opor Mama?" tanya Mawar.
"Memang masih?"
"Ini, kan, Lebaran kedua sesudah puasa Syawal, jadi orangorang malah lebih ramai mempersiapkan makanan."
Cempaka mengiyakan. Matanya menatap kedua adiknya yang
berbusana muslimah dengan menerawang. Mama diam-diam
memperhatikan wajahnya.
"Gimana kerjaan kamu, Nduk?"
"Oh, baik ...," Cempaka meneguk teh hangatnya. la bercerita
tentang persaingan kerja, tentang kesempatan ke luar negeri,
tentang tokoh-tokoh terkenal yang sempat ia wawancarai. Sejenak
ada binar, lalu pudar kembali.
"Kamu bahagia, kan, Nduk?"
Mata Cempaka membundar. Ada sayu di sana.
"Tentu, Ma. Pekerjaanku menjanjikan hidup layak."
Mama menyeruput tehnya.
"Mas Andi nggak ikut kemari?"
"la Lebaran sebentar di rumah ibunya di Solo, terus harus
segera kembali ke jakarta mengurusi kerjaan. Mas Andi titip salam."
Mama menghela napas panjang. Kunjungan yang tidak lazim,
pikir beliau Berlebaran di rumah masing-masing orang tua. Kenapa
pula Cempaka tidak ke rumah mertuanya terlebih dulu di Solo?
"Cutiku nggak lama," Cempaka meraba pikiran Bu Kusuma.
"Aku cuma tiga hari di sini. Mana cukup beristirahat kalau harus ke
Solo segala? Tapi, mama Mas Andi sudah kutelepon dan beliau nggak
keberatan. Tentu aku nggak lupa mengirimi kartu dan bingkisan
Lebaran."
Mama mengangguk meski belum yakin 100 persen akan
jawaban itu.
"Kamu belum isi?" Mama ingin tahu. Cempaka terenyak
sebentar. "Mbak Dahlia mungkin dua bulan lagi melahirkan."
Cempaka mempermainkan kuku jarinya yang terawat rapi. la
239 ?40 menikah dengan Andi tak berbeda jauh dengan saat Dahlia menikah.
Cempaka dan Andi sama-sama bekerja di Menara Televisi. la sebagai
penyiar, sedang suaminya manager pengelola suatu acara
entertaintment dan news producer. Pernikahan yang sekilas tampak
serasi. Seorang lelaki muda yang matang, tampan, dan berkedudukan
mantap dengan seorang wanita cantik yang karirnya sedang
menanjak. Meski sejak semula, baik Cempaka maupun Andi saling
membuka diri bahwa mereka pernah bersama orang lain sebelum
membina keluarga. Cempaka sejenak membayangkan wajah
suaminya. Tatapannya yang hangat, namun berseberangan dengan
sentuhan dingin mata sang Mama.
"Kamu mau menikah dengan wanita karir lagi, An?" desis Mama.
"Bagaimana kalau dia seperti Sissy, istrimu yang dulu? Sibuk
mengejar karir, lalu menunda-nunda hamil hingga akhirnya ia sulit
hamil karena stres beban kerjanya?"
Andi terdiam.
"Cempaka lain, Ma," belanya sejurus kemudian. "Dia juga
berpikir tentang keluarga. Lagi pula, kultur yang membesarkan
Sissy dan Cempaka berbeda. Sissy besar di Prancis yang sangat
individualis sedang Cempaka orang jawa seperti kita. Lahir dan
besar di jawa membuatnya tetap berpikir bahwa salah satu
pelengkap keluarga adalah hadirnya anak-anak."
"Baiklah," Mama mengangguk. "Mama akan lihat bukti
ucapanmu. Kamu satu-satunya lelaki di keluarga ini. Kamu harus
berpikir ke mana benih keluarga kita tetap lestari."
Cempaka menelan ludah ketika Andi menceritakan sepenggal
percakapan itu. Tuntutan Mama semakin besar saat mereka
merayakan ulang tahunnya yang ke-63.
"Wanita itu tidak sempurna tanpa menjadi seorang istri dan
ibu," ujar Mama tepat ke manik mata. Menyelami samudra perasaan
Cempaka yang paling dalam hingga ia dibuat panik karenanya.
Seorang ibu. Berarti, ia harus secepatnya punya anak. Bukannya
Andi dan Cempaka tak pernah berusaha.


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiap kali mengingat hal itu, perasaan Cempaka sesak. Anak,
anak, anak. Segala pemberiannya tidak berarti: hadiah Lebaran,
hadiah ulang tahun, bantuan untuk keluarga besar saat salah
seorang menikah, wisuda, atau apapun. Saat adik Andi harus keluar
negeri, Cempaka turut mengulurkan tabungan. Saat salah seorang
paman Andi harus menjalani terapi kanker, Cempaka turut
membantu finansial. Saat salah satu anak perusahaan keluarga
collapse dan Cempaka menyuntikkan dana dengan mencari
dukungan teman-tcman, semua tetap tak punya arti. Ia tak akan
pernah dianggap memberi. Kecuali, satu anak saja.
"Kamu nggak apa-apa, Nduk?" Mama menyentuh punggung
tangannya khawatir. Cempaka terkejut.
"Oh, nggak. Aku nggak apa-apa, Ma. Cuma capek barangkali."
Melati menawarkan mandi air hangat bagai spa sempurna:
campuran ramuan sirih, pandan, dan sereh. Sirih sebagai antibiotik
kewanitaan, pandan menimbulkan rasa wangi, dan sereh
menghilangkan kekakuan otot Cempaka berterima kasih, beranjak
meninggalkan tanda tanya di benak Mama dan kedua adiknya.
Malam langit cerah tak berbintang. Bulan menyembul penuh
memamerkan kilau cahaya yang membasuh pelataran rumah. Dahlia
sudah tiba dan mereka mulai berbincang seru. Terus terang, Cempaka
rindu kehangatan keluarga seperti ini. Ia selalu meremehkan peran
semua. Perempuan-perempuan yang tak mampu mengambil
keputusan berarti dalam hidup. Hingga pindah ke jakarta pun,
Cempaka tetap beranggapan sama. Mama lemah, Melati terlalu sakral,
Dahlia tak mampu mengasah kemampuan, dan Mawar mengambil
keputusan bodoh mengorbankan hidup hanya karena ingin tampil
sebagai pahlawan keluarga.
241 242 Pernikahan dengan Andi, membalik paradigma.
Mama, perempuan lemah. Tetapi, Ayah sangat menyayanginya,
Eyang Putri pun demikian. Tentu saja! Mama mampu memberikan
empat anak perempuan cantik, yang tak mampu discrupai oleh
Cempaka. Dahlia sebentar lagi menjadi ibu. Melati si bungsu,
perlahan namun pasti makin mandiri.
Mawar. Selalu saja Cempaka menempatkan penilaian terakhir
padanya. Apa kelebihan Mawar? la tak lulus kuliah, pengusaha
ayam, jadi ibu sebelum menikah. Apa kelebihannya?
Semakin merendahkan Mawar, semakin Cempaka memikirkan
kekuatan kata-kata sang adik.
"Karma! Apa Mbak Cempaka nggak pernah takut kalau masa
depan Mbak nanti akan menanggung hal menyakitkan karena
berniat buruk pada Yasmin, lalu menyia-nyiakannya?"
Karma.
Balasan setimpal.
Segala tuduhan dan ejekannya pada Mawar seolah berbalik
menuding pada dirinya. Mawar memang belum menikah. telah
menjadi bunda Yasmin. Tapi, lihatlah hubungan keduanya.
Cempaka menghirup udara malam.
Halaman rumah Mama ditumbuhi bunga-bunga. jika Ayah suka
menanam buah, Mama suka memelihara dahlia biru dengan
mahkota bertumpuk, melati yang sederhana dan wangi, cempaka
yang mekar seiiring malam menjelang. Mama juga suka mengoleksi
mawar beraneka warna. jika mekar serempak seperti ini, halaman
Mama ibarat toko bunga.
Tenang. Teduh dan damai.
Di jakarm, ia harus berangkat pagi-pagi pukul setengah enam
dan baru tiba di rumah ketika hari telah malam. Beltim lagi bila
lembur. Kerja yang menjanjikan hidup layak ternyata juga
menguras banyak kemanusiaannya. Terkadang ia tak habis pikir
bagaiman rekan-rekannya sanggup beristirahat baik fisik maupun
pikiran hanya selama empat jam di rumah. Selebihnya adalah
kesibukan yang kait?mengait.
Meski Cempaka pernah menggoreskan luka dan hina di tengah
keluarga Bu Kusuma, tetapi kehadirannya tetap dirindu.
Bagaimanapun, mereka tetap sedarah. Yasmin memandang
terkagum-kagum wanita di depannya yang malam itu mengenakan
celana panjang putih dan sweater rajumn berlengan pendek warna
gading. Rambut Cempaka yang sedikit melewati bahu diikat ke
belakang. la memandang dengan takjub ketika Cempaka bercerita.
"Kenapa, Yas?" Melati tersenyum geli. "Sampai nggak kedip
begitu."
"Tante Cempaka cantik, ya," gumamnya tersipu. "Seperti
bintang film."
Semua tertawa hingga memerahkan wajah si gadis kecil Tentu
saja Cempaka makin cantik. Kulit wajahnya licin karena perawatan
spa mahal
"Yasmin juga cantik, kok," Cempaka menatapnya sambil
tersenyum.
Mawar memandang wajah kakaknya. Sampai kapan mereka
akan terus bersandiwara seperti ini di hadapan Yasmin? Berpurapura bahwa Cempaka hanyalah seorang tante. sedang Mawarlah
sang ibunda. Sebagai seorang anak, Yasmin pun pernah
menanyakan ayahnya. Mawar hanya mampu menjawab bahwa ia
pun sedang mencari seorang ayah yang tepat untuk Yasmin.
Malam beranjak semakin larut. Seseru apapun kisah-kisah
mereka, mata tak mau kompromi. Satu demi satu beranjak tidur.
Yasmin tertidur di sofa ketika mereka masih asyik bicara. Mama
243 244 pun tertidur di kursi karena tak ingin meninggalkan mereka. Waktu
telah menunjukkan pukul lewat tengah malam. Mereka berjanji
untuk melanjutkan pembicaraan esok hari. Dahlia dan Melati
beranjak masuk, sedang Mawar membopong Yasmin ke kamar
Mama. Mawar terduduk sejenak di samping Yasmin yang terlelap.
la sangat mirip Cempaka. Apa yang ia rasakan ketika berhadapan
dengan ibu kandungnya sendiri? Pasti getar perasaan itu ada, tak
akan pernah bilang, demikian ajaib jalinannya. Baik Cempaka
maupun Yasmin seringkali saling melempar pandangan aneh.
Mawar hendak masuk ke kamar ketika ia melihat pintu ruang
tamu terbuka. Pasti seseorang masih di luar. Cempaka tampak
duduk merenung di teras memandang bintang-gemintang,
menikmati pekarangan rumah yang menebarkan wewangian.
Sebatang rokok menthol putih terselip di jemarinya dan
perlahan diisap dalam?dalam. Mawar menahan napas.
"Kamu merokok sekarang, Mbak?" tanyanya tak percaya.
Cempaka mengepulkan asap.
"Bukan pecandu, hanya untuk menenangkan pikiran."
Mawar duduk di sampingnya.
"Mau kubuatkan kopi panas ditambah krimer?" tawarnya.
"Boleh," angguknya. Mawar beranjak membuat kopi dan segera
kembali.
"Di sini tenang, ya, War," ujarnya menerawang.
"Dari dulu juga keadaannya seperti ini. Ya, tentu saja kalau
dibanding jakarta, Kotagede ini jauh lebih tenang."
Masing-masing terdiam menatap langit Bulan mulai memucat
Serpihan awan menghalangi cahayanya sampai ke bumi.
"Bagaimana perkembangan Yasmin?"
"Dia pintar," sahut Mawar bangga. "Guru?gurunya juga memuji.
Hafalan surat pendeknya mencengangkan, kosa kata bahasa Inggris
dan Arabnya semakin banyak. la jago renang, melukis, dan bikin
puisi."
"Syukurlah."
Mawar menghela napas.
"Tapi, bukannya tanpa kekurangan," ujarnya pelan. "Gurunya
juga sering bilang begitu."
"Apa itu?"
"la sensitif. Lebih suka menyendiri waktu jam istirahat.
Menghabiskan waktu di perpustakaan daripada bermain. Bila
teman laki?laki atau wanita menyinggung perasaannya walau tidak
sengaja, ia sanggup menangis tersedu-sedu lama."
Cempaka menjentikkan abu rokok.
"la juga tak mudah memaafkan orang yang menyakitinya.
Terkadang, ia sanggup mendiamkan temannya berhari-hari."
Mawar menatap siluet wajah kakaknya dalam keremangan
malam.
"Mbak sendiri sudah pingin punya anak untuk saat ini?"
Cempaka menatapnya sekilas. la mengisap rokoknya dalamdalam sepenuh dada.
"En tahlah."
Dibuangnya puntung rokok yang masih menyala ke lantai.
Diinjaknya. Mati.
"Kita tidur, yuk," ajak Cempaka. "Aku capek banget Besok kita
mau berombongan naik andong ke Gembira Loka, kan?"
Mawar pun beranjak. Ia tak dapat segera memicingkan mata
walau jam telah menunjukkan pukul satu dini hari. Pikirannya
melayang?layang antara Mama, Cempaka, Melati, dan Yasmin. Dahlia
baginya kini bukan masalah. Ia merasa bahagia melihat Mas Danu
245 246 yang tampak sayang dan bertanggung jawab. Mungkin itulah balasan
Allah atas semua perjuangan Dahlia dulu. Mawar justru memikirkan
Andi. la dapat meraba masalah yang timbul. Mustahil tak ada.
Mengapa ia tak kemari dan Cempaka tak ke Solo? Kalau alasan sibuk,
baiklah. Tetapi, sekadar mengangkat telepon? Cempaka tak
mengambil inisiatif menelepon suaminya tentang kedatangannya
dengan selamat di Yogya. Padahal, telepon rumah maupun handphone
tersedia. Mawar merasakan penat di aliran darah kepala, tetapi
matanya tak dapat terpicing. Lima belas menit melamun tak tentu
arah, ia lalu memutuskan ke belakang. Mengambil air wudhu. Shalat.
Meski shalat malam sesudah tidur lebih utama, tapi ia merasa sangat
ingin bercakap-cakap (lengan Rabbnya saat ini.
Kata orang, berdoa adalah katarsis. Mencurahkan semua beban
hingga tanpa sisa kepada pendengar, tanpa interupsi. Siapa lagi
pendengar yang mampu menampung segala tanpa bertanya?
Mawar tahu, doanya lebih kepada keluhan daripada ibadah
penghambaan. Ia sedang butuh sandaran, dan ia tak punya
penopang kokoh selain yang ditemuinya dalam sujud panjang.
Sama saja.
Dulu, tiap kali punya masalah, ia akan mengamati Yogyakarta
dari puncak Garuda, Merapi. Merasa tangan Tuhan dekat dan dunia
ini demikian kecil jika sekecil ini dunia dengan segala permasalahan,
mengapa ia harus bermuram durja? Hadapi, gembira, cari solusi.
Kadang bagai orang kurang akal, Mawar berteriak di ketinggian:
Ayah, bagaimana rasamu meninggalkan beban di dunia? Betapa
tenang tidurmu dan betapa berat perjuangan kami!
Ah, ya. Mawar tak sendiri. lto pun suka berteriak menyapa
Tuhan di ketinggian. Kenapa Tuhan, tak Kau hukum Papaku
sesegera mungkin?
Setelah naik gunung tak memungkinkan, Mawar butuh suatu
tempat tinggi seperti dulu lagi. Ketika ia berada di atas, di bebatuan,
awan berarak di lutut?lututnya. la bisa menyentuh langit dan
bersanding dengan matahari. Saat demikian akrab dengan Tuhan,
ia mampu berbincang. Katarsis itu Mawar temukan kini, ketika
berada di hamparan sajadah.
Di keheningan malam. la ingin bertanya, tentang Yasmin dan
Melati.
ia 247 248 '?? Episode 1.4
Wajah Mama dan Dahlia mengeras. Melati
menundukkan pandangan, sementara kata demi
kata meluncur bagai air mengalir dari bibir Mawar.
"Mama tidak setuju anak gadis Mama
dilangkahi," desis Mama parau.
"Itu, kan, pendapat orang jawa, Ma."
"Tapi kita memang orang ]awa, War," tegas
Dahlia. "Perasaan dan martabat Mama juga harus
dijaga."
"Martabat mana, Mbak?" Mawar tidak
mengerti. "Mama justru akan dimuliakan ketika
anak gadisnya dilamar oleh seorang pemuda baikbaik, kedudukannya mapan, sebentar lagi akan
bersekolah ke luar negeri. Karelia takut berzina
maka ia minta buru-buru menikah."
"Ya, tapi kamu akan dianggap ...."
"Tidak laku. Perawan tua. Begitu?"
justru wajah Dahlia yang jengah.
"Aku nggak merasa seperti itu, Mbak," sahutnya menegaskan.
Melati memandang wajah kakaknya dalam-dalam. Ada
kejujuran di sana.
"Aku tahu kenapa pemuda ini meminta istri seperti Melati. Dia
dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Kakak-kakaknya
bertitel dan ada juga yang dokter. Kalau ia melamarku, baik ia dan
aku akan terseret dalam masalah besar. Ini ikhtiar manusia sebelum
takdir berlaku. Maka ia meminta orang seperti Melati yang minimal
punya pendidikan selevel dengan saudara-saudaranya."
Mama masih membungkam.
"Pikirkan (lengan tenang, Ma, Mbak Lia," pinta Mawar. "Melati
nggak mendesakku, dia malah mau menolak. Tapi, aku berpikir
apakah menantu Mama kelak akan sama seperti yang ini'!"
Mama dan Dahlia berpandangan.
"Aku mengenalnya sedikit," lanjut Mawar. "Dia adik salah
seorang temannya lto. Mama masih ingat dia, kan? Anak borjuis
yang juga sudah berhijrah sepertiku. Calon Melati ini mendirikan
yayasan anak-anak jalanan dan yatim piatu. Ia mendirikan LSM
untuk membantu orang-orang kecil seperti petani, tukang becak,
kuli yang tidak mendapat keadilan. Aku bangga jika punya ipar
seperti itu, seperti juga aku bahagia Mbak Dahlia mendapatkan
Mas Danu."
Wajah Dahlia melunak.
"jangan pernah berpikir aku nggak akan mendapatkan jodoh,"
bibir Mawar bergetar, sementara Melati menahan tangis. "Mungkin
Allah mengabulkan permintaanku untuk ingin merawat Mama
sepanjang keinginanku. juga Yasmin."
Mata Mama berkaca.
"Tapi, kamu jangan lupakan dirimu, Nak."
249 250 "Nggak, Ma," Mawar menggeleng. "Tentu saja tidak."
"Melati siap menolak kalau Mama dan Mbak Dahlia tidak setuju,"
papar Melati tenang. Mawar menatapnya dengan protes. "Aku takut
melangkah menuju pernikahan jika tanpa restu Mama."
Mama tampak merenung lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Mama tidak mampu memutuskan sekarang," ujar beliau
setelah menghela napas panjang. "Beri Mama kesempatan untuk
bepikir dan berdoa."


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam demi malam yang berlalu sering Bu Kusuma isi dengan
munajat kepada-Nya. Dalam kamar masing-masing, baik Mawar
maupun Melati melakukan hal yang sama. Terus terang, jauh di
dasar hati, Bu Kusuma tak ingin semua ini terjadi. lbu mana yang
tega menyaksikan anak gadisnya yang lebih dewasa dilangkahi
pernikahan oleh adiknya? Mama sering menangis. Mawar pasti
kesepian bila pernikahan itu terjadi, Melati tentu punya seseorang
yang menjadi pelipur lara dan tambatan hati. Beliau ingat segala
perjuangan Mawar tanpa mengabaikan bahwa Melati pun anak
yang berbakti. Tetapi pilihan itu demikian sulit.
Dahlia menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan Mama,
ia tak bisa memihak manapun. Sebagai kakak tertua, Dahlia mampu
merasakan beban di dada Mamanya. Sebagai wanita yang telah
menikah, ia sadar betapa beruntungnya punya suami yang baik.
Sering pikirannya melayang ke jakarta, tempat Cempaka berada.
Mas Danu dan Andi tentu saja jauh berbeda dalam standar
kemapanan. Tetapi entah kenapa, Dahlia sering melihat kelebatan
murung di wajah Cempaka. Sejauh ini, Dahlia maupun Danu
merasa bahagia dalam hubungan yang penuh kasih sayang. Oleh
karenanya, ia pun menimbang, andai calon suami ini tepat untuk
Melati alangkah sayang bila dilepaskan.
"Kamu benar-benar nggak apa-apa, War?" tanya Mama hatihati suatu saat ketika mereka hanya berdua saja.
"Masalah Melati?"
Mama mengangguk.
"]ujur, awalnya Mawar pun sempat kaget dan nggak percaya.
Tapi, setelah berpikir jernih, Mawar ikhlas. Kita akan tenang, kan,
Ma, melepas orang yang kita cintai ke tangan laki-laki yang salib
dan bertanggung jawab?"
Bu Kusuma kembali mengangguk.
"Tentu Mama dapat merasakan bagaimana tiap kali kita melihat
Mbak Cempaka dan Mas Andi
"Kamu juga berpikir begitu?" Mama tampak terkejut
Mawar membasahi bibir, menatap dalam-dalam wajah Mama
yang menyimpan risau.
"Mawar nggak meragukan cinta Mas Andi. Hanya saja ya,
seolah hubungan mereka lagi penuh masalah. Bertahun menikah
belum terlihat tanda kehamilan pada Mbak Cempaka. Padahal,
setahu Mawar, usia Mas Andi lewat kepala tiga dan pihak keluarga
di Solo sangat menginginkan keturunan."
Mata Mama terpekur ke lantai. Mereka terdiam lama.
"]adi, bagaimana, Ma?" tanya Mawar lembut "Kita putuskan
setuju saja?"
Mama mengangkat wajah. Matanya berkaca. Beliau merangkul
Mawar dalam pelukan. Mengelus rambutnya yang tak lagi cepak, tetapi
sudah tumbuh memanjang hitam dan ikaL Mawar memejamkan mata.
Membiarkan wajahnya menghangat dalam pelukan dan air mata.
Biarlah ia melepas kepedihan sebentar, mengiringi adik yang sangat
dikasihinya menuju hidup baru. Hidup menyempurnakan setengah
agama. Kelak, ia. toh, akan mendapatkan pangeran yang sama.
Bibirnya menyungging senyum. Ingat peristiwa di suatu pagi di mana
Melati meledeknya seperti Cinderella saat tengah memberi makan
251 252 ayam-ayamnya. Pangerannya pasti akan datang suatu hari nanti.
Membawanya ke sebuah istana bernama Baitijannaa'. Menyematkan
mahkota kemuliaan dan menaiki kereta ketakwaan.
*** Resepsi itu sangat sederhana.
Dilaksanakan di sebuah masjid di wilayah Kotagede. Untunglah
keluarga Haris menerima keinginan Melati dengan alasan ia tak ingin
melukai perasaan Mama dan Mawar bila diadakan bermewahmewah, meski dari para undangan yang hadir terlihat status sosial
mereka. Setelah akad nikah dengan wali Pakde Yono, abang almarhum
Ayah. para undangan menikmati nasi kotak. Walau lauknya terasa
sangat mewah, juga souvenir dan kartu undangan yang lux, Melati
bersyukur acara pernikahannya tidak diadakan di gedung dengan
segala tetek-bengek adat istiadat Haris dan Melati memberi alasan
bahwa mereka masih harus meniti keprihatinan untuk melanjutkan
sekolah ke Inggris, karenanya tak perlu bermegah-megahan dulu.
Syukurlah kedua belah pihak keluarga setuju.
Kamar pengantin Melati didesain oleh Mawar.
Mereka menikmati saat?saat menghabiskan waktu berdua
dengan membahas gaun pengantin, membeli bunga?bunga
pengharum ruangan hingga menghias rumah dan kamar pengantin.
"jangan terlalu mewah, Mbak," Melati tak setuju.
"Nggak, kok, hanya istimewa," Mawar menenangkan. Ia sering
tak melihat angka di tabungannya bila ingin menyenangkan hati
anggota keluarga.
Gaun pengantin Melati berwarna putih gading. Berbentuk
jubah anggun, berenda tiga tumpuk di bawahnya dengan tambahan
sedikit sulaman keemasan sebagai aksen. Dilengkapi rompi dari
kain transparan bermotif timbul bunga-bunga kecil yang dibuat
menjuntai ke bawah, dihiasi manik-manik mutiara imitasi.
]ilbabnya dari kain sama seperti jubah yang juga dihiasi sulaman
keemasan, dipadu dengan jilbab bertumpuk dengan jenis kain
senada rompinya. Make up Melati sederhana. Hanya makin
menegaskan garis-garis wajah dan sedikit polesan warna orange
dan merah bata di bibir.
Kamar pengantin Melati adalah kamar Mama yang telah
didesain sedemikian rupa. Tak ada perabot baru, lemari kayu jati
dan ranjang Mama dinilai masih bagus oleh Melati. Diam-diam,
Mawar menyewa seperangkat bed cover dan tirai yang menutupi
seluruh kamar berwarna putih gading. Sebuah bantal berbentuk
jantung hati menanti di tengah-tcngah pembaringan. Tirai dihiasi
renda-renda keemasan yang sangat memukau, detailnya membuat
Melati menganga. Sekeliling ranjang menjuntai lipatan seprei
berwarna putih satin dan kuning keemasan, dilengkapi alur-alur
bordir keemasan di seluruh sisi.
"Mbak, aku nggak mau ini semua," tegasnya dengan suara lirih.
"Kenapa, Mel? Kamu nggak suka hasil kaiyaku?"
"Bukan begitu ", potong Melati tersendat "Aku aku hanya
merasa makin berdosa berpesta pora di atas penderitaan orang
lain."
"Penderitaan siapa?" Mawar mengernyitkan dahi. "Semua
bahagia dengan pernikahanmu. Bahkan sebenarnya aku ingin
semuanya berjalan lebih sempurna bila mengadakannya di gedung,
dengan perhelatan yang lebih semarak."
Melati menggeleng.
"Nggak, Mbak," ia menolak. "ltu terlalu berlebihan. Aku takut
ada ketimpangan dalam prosesi pernikahanku. Semua yang
awalnya telah dipersiapkan sedemikian islami, lalu menjadi kurang
berkah dengan keinginan sesaat untuk tampil berlebihan. Masih
banyak, kan, orang yang lebih butuh? Biaya pernikahanku nantinya
253 254 pun bukannya gratis. Lebih baik ditabung."
Mawar tersenyum. la bangga. Sebetulnya ada sesuatu yang
membuat hatinya bertanya-tanya jika saat ini banyak muslimah
yang sedemikian mewah menyelenggarakan pernikahan. Meski
tentu saja semua itu disesuaikan dengan latar belakang keluarga
masing-masing.
Sehari sebelum pernikahan berlangsung, Melati yang
seharusnya sudah dipingit, menyempatkan diri keluar bersama
Mawar. Mereka membeli bunga melati, mawar, juga kenanga. Saat
pulang menyempatkan menikmati es teler di Kridosono. Saat?saat
yang mengharukan. Berulangkali Melati mencuri pandang ke arah
wajah kakaknya yang tampak tenang.
Malam hari, Melati minta ditemani Mawar untuk dilulur.
Semakin malam, mata Melati semakin basah. Mawar pun
berulangkali memalingkan wajah untuk menutupi suasana hati.
"Aku nggak salah, kan, Mbak?'
"Nggak, Mel Berhentilah berpikir seperti itu."
"Aku semakin ragu-ragu."
"Katanya, itu godaan setan yang selalu timbul jika seseorang
ingin menikah. Setali selalu mengganggu orang yang ingin
menyucikan diri dari berzina."
"Bukan itu," Melati menggeleng. "Aku ragu apakah langkahku
ini benar untuk menyakitimu."
"Oh, Mel," Mawar menatapnya penuh kasih sayang. "jangan
salah artikan kalau aku menangis malam ini. Besok kamu sudah
bukan milik keluarga ini lagi, ada yang lebih berhak memilikimu.
Saat kebersamaan kita juga akan jauh lebih berkurang. Tapi,
memang ini adalah fase yang selalu dialami setiap perempuan, kan?"
Melati terpejam.
"Aku takut"
"Tentu. Tapi Allah pasti akan menolongmu. Berdoalah selalu.
Calon suamimu belum pernah kamu kenal. Sekalipun kamu sudah
mengenal, menjadi sepasang kekasih dengan suami istri tentu
berbeda. Kamu akan mulai melihat setiap sisi kekurangan yang
harus diterima dengan lapang dada."
"Doakan aku, Mbak."
"Pasti, Met Pasti."
Mereka beradu pandang sejenak.
"Mbak tahu apa yang banyak kupikirkan saat?saat ini'!"
Mawar menggeleng.
"Sejujurnya, hatiku tidak berdebar dalam kebahagiaan. Aku
aku selalu memikirkan Mbak."
Mawar tersenyum.
"Terima kasih, Mel Kamu sudah cukup menjaga perasaanku."
Malam itu, Mawar membiarkan Melati tertidur sendiri dalam
kelelahan. la tak dapat memicingkan mata segera demi melihat
kesibukan orang-orang di rumahnya yang membersihkan sekeliling
halaman dan memasang tenda-tenda. Tamu-tamu dan saudara tentu
banyak yang ingin hadir. Mawar menatap taburan gemintang di langit
lngin ia memetiknya satu. Membawanya ke bumi dan menyelipkan
ke dalam hati. Membuka perasaannya agar lebih lapang menerima
semua yang memang sudah digariskan.
Hari yang bersejarah tiba.
Semua tampak cantik, baik Mama, Dahlia, Mawar, juga Yasmin.
Mereka berdandan kembar memakai seragam brokat berwarna
hijau lembut Cempaka tiba pagi hari sekali. la datang?sekali lagi?
tanpa Mas Andi.
255 256 "Sibuk," ujarnya mencoba tersenyum. "Tapi, ia akan kemari
sore nanti dengan pesawat."
Cempaka segera pula menjadi pusat perhatian di tengah para
undangan di masjid. Sosoknya yang akrab hadir di televisi ingin
dilihat orang dari dekat. Saat?saat ijab qabul dilantunkan adalah
saat?saat yang hening. Penuh makna. Mama tak dapat menahan
sedu sedannya begitu serah terima selesai. Mawar pun menahan
sekuat tenaga air matanya yang ingin tumpah keluar. Dahlia tampak
bersukacita, sementara Cempaka terlihat lebih banyak terpekur.
Haris segera dapat mengambil hati setiap anggota keluarga. la
ramah dan riang walau baik ayah maupun ibunya terlihat sangat
menjaga wibawa.
Haris cepat akrab dengan Mas Danu. Mereka terlihat sempat
berbincang berbisik?bisik yang dilanjutkan tawa renyah. Yasmin
pun terlihat menyukai Haris, beberapa kali Haris mengelus
kepalanya dan Yasmin membalas dengan senyuman lebar. Melati
melihat semua itu melalui ekor mata. Ia sering mencuri pandang.
Tidak. Bukan ke arah Haris. Tetapi ke arah Mawar yang terlihat
riang menerima tamu. Banyak teman lama mereka hadir. Wardah
dan Rosy, juga Vera, Ratna, dan Elsa yang merupakan gengnya
semasa SMU. Rasyid beserta istri, Pepe dan lto juga hadir
menyemarakkan acara.
"Turut bahagia, ya, War," Rasyid dan lntan mengucap selamat
"Terima kasih," Mawar tersenyum lebar.
"Mm apa kau punya waktu?" Rasyid mendekat di tengah
kesibukan Mawar menerima tamu.
"Sekarang?" mata Mawar melebar.
lntan dan Rasyid berpandangan.
"jika kamu nanti ada kesempatan. Mas Rasyid dan teman?
teman kangen," Intan mencoba menjelaskan.
Mawar mengangguk cepat, tak mampu mencerna. Tamu-tamu
berhamburan bak air mengalir. Belum lagi teman-teman Cempaka
yang tidak hanya ingin melihat mempelai, tapi juga berharap
bertemu sang penyiar berita.
Melati menggigit bibir melihat beberapa tamu berbisik-bisik
sembari mencuri pandang ke arah Mawar maupun dirinya. Melati
tahu apa yang mereka bicarakan, Mawar tentu juga. Hatinya
memohon penuh harap agar perasaan Mawar tidak hancur
berkeping-keping.
Mawar sendiri nyaris lupa makan. Lupa di antara sekian banyak
tamu Melati juga terselip teman-temannya jika saja tak melihat
Intan melambaikan tangan ke arahnya.
"Masya Allah," Mawar mengusap peluh. "Kalian sudah makan?"
Semua mengangkat ibu jari.
"Aku tambah berkali-kali es buahnya," Rasyid mengaku jujur.
"Pepe, lto, nggak tambah? Siomay batagor di sana kesukaan
kalian."
Ada tawa yang lepas.
Tamu-tamu mulai berpamitan, menyisakan teman-teman
terdekat yang masih ingin saling berbagi cerita.
"Rasyid, teman-teman Mawar tak enak hati. "Aku nggak bisa
lama-lama nemani kalian. Kami harus menjamu keluarga Haris.
Next time, okay?"
"Sorry, ya, War," Rasyid tahu diri. "Aku dan lntan mungkin bisa
ketemu kamu. Pepe harus selekasnya kembali ke Jakarta, lto ke
Surabaya."
"Oh?"
"Kita cuma ingin memastikan kamu baik?baik saja."
257 258 Mawar tersenyum.
That's whatfriend arefor.
"Aku pasti kangen kalian. Kita saling mengontak, ya?"
Rasanya lega ketika hari itu berlalu. Setelah lelah berfoto-foto,
kerabat kembali ke rumah Bu Kusuma untuk menikmati suasana
dan sajian yang lebih hangat Rumah mereka yang biasanya riuh
dan khas oleh kotoran ayam tampak berbenah rapi. Ayam-ayampun
tak menunjukkan gejala ingin membuat keributan.
Hingga malam mereka berbincang akrab. Suami Cempaka
memang tiba sore hari. Wajahnya tampak lelah sekalipun senyum
senantiasa tersungging. Hangat disalaminya Danu dan Haris, lalu
mengulurkan hadiah berupa kotak kecil ke hadapan Melati. Cempaka
menatapnya seribu satu rasa. la sebetulnya suami yang baik, bisik
hatinya, hanya mengapa begitu tunduk kepada Mama? Tentu saja
anak yang berbakti seperti itu, tetapi apakah pantas kemudian ia


Rose Karya Sinta Yudisia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga mendesaknya seperti Mama? Memberinya beban tanpa mau
memberikan pengertian? Cempaka merasa telah berupaya keras
tetapi Yang di Atas belum mengabulkan apa yang dia inginkan. Yasmin
melintas di depan mereka, bergelayut manja pada lengan Haris dan
Melati. Mawar memanggilnya penuh sayang, menasihati bahwa
Yasmin tak boleh kelokan lagi terhadap tante bungsunya. Cempaka
terpaku menatapnya. Memandang Yasmin. Bukankah ia suatu bukti
bahwa sebetulnya ia tidak mandul? Bahwa ia sehat dan sanggup
menjadi seorang ibu?
Malam merangkak makin menyelubungi.
Mereka memulai awal baru yang sama sekali lain. Masingmasing berusaha berlapang dada, berharap impian setiap di antara
mereka menjadi kenyataan.
*** Hari-hari tanpa Melati awalnya terasa janggal Biasanya, ia sibuk
pagi-pagi membantu mengurusi ayam dan mempersiapkan Yasmin
ke sekolah, lalu iapun akan bergegas menuju kampusnya sendiri.
Entah mengapa Cempaka masih berniat tinggal di rumah. Dahlia
sudah kembali, Melati diboyong ke rumah Haris. Cempaka beralasan
ingin istirahat sejenak dari kesibukan. Apalagi setelah acara
pernikahan, biasanya pihak penyelenggara memang lelah luar biasa.
Mama tentu saja tak keberatan. Sementara Andi harus segera kembali
ke Jakarta menghadapi agenda kerja yang bertumpuk. Diam-diam,
Mawar merasa besyukur, selama ini ia tak punya kesempatan lebih
banyak bersama Cempaka. Sejak remaja hingga Cempaka
menghadapi masalah pelik, selalu ada masalah yang diperselisihkan
hingga menimbulkan pertengkaran sengit Semoga ini adalah saat
yang tepat untuk memperbaiki hubungan.
Pagi-pagi, beberapa tukang ayam antre membeli untuk disetor
ke pasar. Selain pembeli rutin, banyak pembeli dadakan yang ingin
menyelenggarakan pernikahan atau khitanan, pemilik katering kue
dan masakan yang membutuhkan telur hingga tukang jamu yang
memerlukan telur ayam kampung. Terkadang, Mawar malah
menolak permintaan saat persediaan habis.
Pernikahan Melati memberikan beberapa imbas. Mawar yang
semula tak terlalu memusingkan kuliahnya yang terbengkalai karena
asyik menikmati keuntungan berdagang, mulai berpikir lain. Hasrat
ingin melanjutkan kuliah, tiap kali berbenturan dengan kebutuhan
Melati dan Yasmin, ia lalu melupakan. Sekarang, sungguh perlu
memasukkan hal tersebut dalam agenda utama hidupnya. Toh,
kesibukan mengurus ayam sebetulnya sudah cukup berkurang
dengan kehadiran Mas Bekti dan Pak Gimin yang menjadi
pembantunya. Ada Bu Yati dan Mbak Munah yang membantu masalah
rumah tangga hingga mempersiapkan makan untuk semua,
termasuk untuk pembantu-pembantunya.
259 260 Namun, sementara ini ada pula yang mengganggu pikiran
Mawar. Cempaka. Ada apa dengan dirinya?
"Aku memang punya masalah sedikit," akunya sembari
menjentikkan abu rokok. Cempaka berani merokok bila tak ada
Mania di rumah. "Mama di Solo terus mendesakku segera hamil"
"Karir Mbak nggak masalah, kan?" pancing Mawar. Cempaka
menggeleng.
"Siapa yang nggak ingin punya anak. Aku juga usaha. Hanya
saja ", ucapannya menggantung.
"Mas Andi bagaimana?"
"ltulah," Cempaka menggeleng-gelengkan kepala kembali. "Ia
memang tidak menuduhku seperti Mama. Tetapi, kata-katanya
sering berpihak ke sana. 'Barangkali kamu harus cuti kerja dulu'
atau 'Kita cari pengobatan alternatif' padahal kami berdua samasama sehat."
"Apa yang salah dengan permintaannya?" Mawar terheranheran.
"Apa kamu nggak menangkap yang tersirat, War, bahwa akulah
yang salah. AKU. Bukan Mas Andi atau situasinya," papar Cempaka
jengkeL
Mawar menarik napas.
"Bahkan Mama sempat melontarkan kata-kata sengit, kalau saja
pernikahan kami begini terus, segalanya akan menjadi hambar.
Kejadian seperti yang menimpa Sissy akan kembali berulang."
Cempaka menyisir rambutnya dengan gelisah.
"Aku ingin Mas Andi tahu bahwa istrinya tidak mandul. Walau
aku seorang wanita karir, membayangkan perceraian sungguh
mengerikan. Apa yang akan terjadi kemudian? Aku akan menjanda
di usia muda. Mungkin masih ada kesempatan menikah lagi. Tapi,
apa kata orang jika nanti timbul perselisihan kembali? 'Oh, pantas
dulu bercerai ...' wanita selalu jadi objek empuk untuk disalahkan."
Mawar menatap Cempaka dengan pandangan bertanya-tanya.
"Tapi tapi Mbak memang nggak mandul, kan?" ujarnya tanpa
maksud mencela.
"Kami memang dinyatakan sehat oleh dokter. 'l'api, Mas Andi
sangsi. Dulu pun Sissy dinyatakan sehat, tetapi nggak hamil?hamil"
"Mbak, kan, punya bukti yang kuat
"Yasmin maksudmu?" sanggah Cempaka tajam.
Mawar menahan napas.
"Tidak mesti dia. Goresan bekas luka operasi di perut Mbak
cukup memberikan bukti."
"Kukatakan itu bekas operasi usus buntu."
llati Mawar menjerit. Apakah ia sedih? Atau bersorak
kegirangan? Tidak. Tidak. Ia hanya terpana menyaksikan kakaknya
makin jauh tergelincir dalam jurang yang dibuatnya sendiri.
"Mbak
"Kenapa?"
"Aku nggak tahu harus bilang apa."
Cempaka kembali mempermainkan kepulan asap rokok.
"Tapi, posisi Mbak akan semakin sulit jika terus
menyembunyikan yang sebenarnya."
"Benar begitu? Maksudmu, aku harus berterus terang tentang
Yasmin?"
Mawar termenung.
"Bagaimana jika ia marah besar dan malah makin memperuncing
hubungan kami? Tidak. Tolongjangan katakan itu padanya. Biar aku
261 262 yang memutuskan apa langkahku ke depan."
"Terserah Mbak," sahut Mawar akhirnya. Sejurus kemudian, ia
kembali berkata. "Kalau Mbak memutuskan suatu masalah, sering
lstikharah atau tahajud, nggak?"
Cempaka terdongak. Bibirnya sedikit terbuka, lalu menggeleng.
"Apa harus begitu?" tanyanya tanpa ekspresi.
"Kalau Mbak ingin jawaban yang tepat, tentunya. Banyak
masalah di dunia ini yang nggak sanggup kita pecahkan dengan
kemampuan otak dan perhitungan kita sendiri. Kita butuh kekuatan
supranatural yang mampu melihat jauh ke depan. Apa keputusan
yang harus kita ambil tanpa merugikan?"
Cempaka menghabiskan sisa rokok hingga isapan terakhir.
"Apa aku kelihatan seperti orang murtad?"
Mawar menghela napas panjang. Ia belum berubah, pikirnya.
Selalu berpikir negatif tiap kali nasihat baik dilontarkan. Padahal,
semakin panjang hidup kita, seharusnya semakin sadar bahwa
kekuatan manusia tak akan pernah sanggup mengatasi apa yang
terjadi seorang diri.
"Atau mungkin Mbak lebih baik konsultasi ke psikolog tentang
"
"Sudah. jawaban mereka rata-rata sama. Perlu ada pengertian
kedua belah pihak, atau salah seorang harus bersikap lebih
bijaksana jika pernikahan ingin diselamatkan."
Mawar tak mampu memberi masukan lebih lanjut, ia pun tak
lebih tahu dari Cempaka karena belum mengalaminya. Hanya
lirasatnya berkata, semakin Cempaka bersikap menjauhi Yasmin,
semakin kusut masalah yang dihadapi. Hati Mawar sering perih
melihat bagaimana Yasmin tampak begitu sayang kepada 'Tante
Cempaka'?anak itu memang sayang semua tantenya?tetapi tidak
mendapatkan imbalan balik yang sepantasnya. Seharusnya, kasih
sayang Cempaka melebihi seorang tante karena ia memang ibunya.
Namun, Cempaka tampak lebih memikirkan keselamatan dirinya
dibandingkan memikirkan Yasmin.
Seperti kejadian beberapa waktu lalu di saat Lebaran. Mereka
sekeluarga naik andong menuju Gembira Loka. Menikmati
pemandangan aneka satwa, menelusuri gua di perut binatang batu
raksasa, naik sepeda air, lalu menikmati bakso dan es dawet gula merah.
Selama perjalanan. Yasmin tanpa sadar sering bergelayut di lengan
Cempaka. Menelusuri ruang akuarium, jalan di depan binatang buas
seperti singa dan ular, Yasmin kadang terpekik dan meraih tangan
Cempaka. Dengan pelan, Cempaka melepaskan nya. Pemandangan yang
semula menimbulkan kecemburuan di hati Mawar, namun segera
berubah menjadi keprihatinan. Andai ia masih sama seperti bertahuntahun silam, tentu kelakuan Cempaka akan diserang habis?habisan.
Tetapi, Mawar lebih mampu mengendalikan diri sekarang. 'l'iap
Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Wiro Sableng 104 Peri Angsa Putih

Cari Blog Ini