Ceritasilat Novel Online

Setan Betina 2

Pendekar Mabuk Setan Betina Bagian 2


Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. la ingat
tentang seorang gadis yang menunggu kedatangannya di
pondok si Kusir Hantu. Gadis itu tentunya si prajurit
peninggalan negeri Hastamanyiana yang bernama Citra Bisu.
Suto memang berjanji akan segera kembali menemuinya di
pondoknya Kusir Hantu setelah ia berhasil mengisi bumbung
tuaknya yang waktu itu kosong. Hati Suto menjadl gelisah,
sebab ia tahu persis bahwa Citra Bisu pasti menunggununggu tuaknya, karena gadis itu dalam keadaan wajahnya
terluka akibat pertarungannya dengan si Bandar Santet.
"Nak.." ujar Kusir Hantu yang selalu memanggil Nak
kepada Suto. "Sekarang ini justru aku kebingungan mencari
Pematang Hati. Dibawa ke mana cucuku itu sebenarnya? Aku
takut terjadi sosuatu pada diri Pematang Hati Sebab ada60
pepatah yang berbunyi: "Air tenang itu menghanyutkan'.
Artinya, siapa tahu cucuku hanyut di sungai bersama si
Mangku Randa. Sebab aku tak tahu apakah Mangku Randa
pandai berenang atau tidak."
Setelah sama-sama saling bungkam sesaat,
Pendekar Mabuk akhirnya perdengarkan suaranya kembali.
"Kalau ternyata kau dan Pematang Hati sudah bebas
dari tawanan orang-orang Tanah Pasung, lantas untuk apa
aku tampil dengan penyamaran seperti ini?"
"Kurasa masih ada gunanya kau menyamar dengan
tampil beda begini, Nak. Sebab kudengar Ratu Sinden dan
orang-orangnya sekarang sedang memburumu."
"Ya, kudengar memang begitu. Ada yang bilang
bahwa satu-satunya orang yang menjadi kunci masuk ke Goa
Kembar adalah diriku. Tapl apakah bukan dirimu yang
mengatakan demikian, Pak Tua? Aku memang mendengar
soseorang berkata begitu kepada Ratu Sinden, tapi
kubiarkan saja. Biar saja mereka kena batunya berhadapan
denganmu, Tapi aku tahu slapa orang yang sengaja mengadu
domba dirimu dengan Ratu Sinden itu."
"Siapa orang itu, Pak Tua?" sergah Suto.
"Siapa lagi kalau bukan si keparat Pendita. Amor
tadi!"
"Ooo..!"Pendekar Mabuk menggumam dan
manggut-manggut. "Rupanya dia penasaran sekali tak bisa
mengalahkan diriku, sehingga berusaha mempengaruhi
orang-orang agar memusuhiku"61
"Padahal dia sendiri tergiur untuk memiliki harta
karun itu. Terbukti secara diam-diam ia memanfaatkan
kekuatan si Berhala Murka yang diangkat menjadi cucunya
dengan alasan agar bisa mendapat warisan ilmu darinya.
Padahal dia hanya ingin memanfaatkan kekuatan Berhala
Murka untuk dapatkan harta karun tersebut. Seperti pepatah
mengatakan: Lempar batu sembunyi muka'."
"Yang benar, lempar batu sembunyi tangan, Pak
Tua".
"Kalau tangannva saja yang bersembunyi, mukanya
bisa ganti kena lempar. Mendingan sembunyi muka, jadi
kalau toh ada yang balas melempar hanya kenai tangan.
Begitulah sifat si pondita keparat itu. Kurasa kelak dia akan
mati dalam keadaan sungsang!"
Suto Sinting sempat bingung menghadapi
masalahnya. Haruskah ia membantu si Kusir Hantu mencari
Pematang Hati dan Mangku Randa? Padahal dia sendiri
sedang sibuk mencari Yunda yang mengejar si pemanah. Ia
juga sedang mencari ke mana hilangnya Dimas Genggong,
sehingga anak panah yang tertinggal itu masih tetap
dibawanya sebagai bukti bahwa ia pernah bertemu Dimas
Genggong.
Sementara itu juga, Suto harus segera menghubungi
gurunya untuk meluruskan masalah bahwa ia belum mati,
dan apakah benar sang guru mempunyai anak yang
ditinggalkan di Pegunungan Gobi? Sedangkan di pondoknya
si Kusir Hantu ia sedang ditunggu-tunggu oleh Citra Bisu.62
Janjinya harus ditepati jika tak ingin prajurit cantik bertubuh
kekar itu menjadi kecewa dan tak simpati lagi padanya.
"Pak Tua... aku sudah cukup lega melihat kau dan
Pematang Hati sudah bebas dari cengkeraman orang-orang
Tanah Pasung. Agaknya kali ini aku tak bisa ikut
membantumu mencari Pematang Hati, sebab aku punya
persoalan tersendiri yang harus segera kuselesaikan.
Persoalan ini berkaitan erat dengan pribadi guruku: Eyang
Gila Tuak."
"Kalau begitu, selesaikanlah dulu persoalanmu itu,
Nak. Aku akan mencari Pematang Hati sendiri. Kurasa aku
perlu mencarinya di kediaman Mangku Randa, di Teluk
Borok. Pesanku, cepatlah kembali ke pondok dan temui si
prajurit cantik itu. Tapi ingat, tetaplah tutup mulut pada
siapa pun tentang siapa sebenarnya prajurit cantik itu. Sebab
kepada Tenda Biru dan yang lainnyapun aku berpesan
demikian. Dia harus tetap dirahasiakan jati dirinya agar tidak
menjadi bahan buruan orang-orang serakah yang Ingin
dapatkan harta karun itu," ujar kusir Hantu dengan berbisik
pada kata-kata terakhirnya.
"Aku akan ikuti pesanmu itu, Pak Tua."
"Ingat, jaga rahasia si prajurit cantlk itu. Pepatah
mengatakan: 'Barang siapa menggali lubang, la akan
terperosok dalam lubang itu sendiri".
"Pasti artinya penggali kubur??!"63
"Tepat sekali. Kalau kau bocorkan rahasia itu, si
prajurit cantik akan mati terkubur oleh tindakan orang-orang
serakah itu, dan kaulah penggalinya."
Mereka pun segera berpisah Kusir Hantu melecutkan
cambuknya. "Ctaar.. Weesss..." Kakinva tak menapak tanah
tapi dapat bergerak cepat seperti naik kereta hantu. la
menuju Teluk Borok, tempat kediaman si Mangku Randa.
Sementara itu, Suto Sinting bergegas ke arah timur, karena
menurutnya langkah yang pal?ng dekat dan sudah pa?ti
berhasil adalah menemui Citra Bisu untuk menyembuhkan
lukanya dengan tuak sakti tersebut.
Tetapi tiba-tiba di perjalanan ia menemukan sesosok
tubuh yang tergeletak dalam keadaan terluka parah.
Pendekar Mabuk pun hentikan langkah dan hampiri orang
yang terluka parah itu, sambil menggumam dalam hatinya.
"Siapa orang itu?1 Sepertinya aku mengenalnya?!"
*** Koleksi Kolektor EBook64
4 SETELAH mengenali seorang perempuan yang
terkapar di rerumputan dalam keadaan penuh luka,
Pendekar Mabuk semakin terkejut. Tanpa sadar mulutnya
sebutkan nama perempuan itu.
"Laras Wulung...?I"
Penglihatan Suto Sinting tak mungkin salah.
Perempuan itu memang Laras Wulung. la terkapar dalam
keadaan penuh luka memar dan hangus di bagian dada. Pipi
kanannya bagaikan dicabik oleh kuku binatang buas. la hanya
mengenakan jubah birunya, tanpa tambahan kain lagi,
sehingga posisi jatuhnya yang telentang membuat kain
jubahnya tersingkap lebar. Mau tak mau 'perabot'-nya
terlihat jelas di mata Suto Sinting. Tap? pada saat itu tak ada
debar-debar nafsu sedikitpun di hat? Pendekar Mabuk. Yang
ada hanya beberapa pertanyaan tentang luka-luka di sekujur
tubuh Laras Wulung itu
"Dia habis lakukan pertarungan. Pedangnya masih di
tangan. Tapi di pedangnya tak ada darah. Berarti dia tak
sempat lukai lawannya!"
Denyut nadi diperiksa, ternyata masih ada walaupun
lemah sekali. Suto buru-buru menutup jubah perempuan itu65
agar tidak tersingkap blak-blakan begitu./Sama sekali tak ada
keusilan atau kenakalan sedikitpun pada diri Suto Sinting.
Rasa heran dan penasaran membuatnya cukup serius
memeriksa keadaan Laras Wulung.
"Sepertinya ia lakukan pertarungan pada malam
hari. Jubahnya masih basah oleh embun. Darahnya dudah
mengental. Kebanyakan yang diderita adalah luka akibat
pukulan tenaga dalam. Pasti lawannya berilmu lebih tinggi
darinya. Hmmm, siapa lawan Laras Wulung ini? Apakah Nyai
Jurik Wetan mengamuk padanya?"
Laras Wulung yang dalam keadaan pingsan berat itu
akhirnya ditolong oleh Pendekar Mabuk. Sekali pun
Pendekar Mabuk mulai kurang simpati kepada Laras Wulung,
sejak perempuan itu menjadi liar terhadap kemesraan lelaki,
tetapi hati nuraninya sebagai manusia tak tega melihat
keadaan Laras Wulung sedemikian parahnya.
"Seandainya ia dalam keadaan sudah tak bernyawa,
bisa kutinggakan begitu saja. Tapi dalam keadaan nyawa
masih tersisa begini, rasa-rasanya tak sampai hati kalau
harus kutinggalkan begitu saja."
Pandangan mata Suto tertuju pada sebuah gubuk
yang letaknya agak jauh dari tempat Laras Wulung terkapar.
Untuk menghindari bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang
di alam terbuka itu, maka Suto pun membawa Laras Wulung
ke bawah pohon, persis samPing rumah gubuk itu.
"Mudah-mudahan rumah itu ada penghuninya.
Sebaiknya ku usahakan dulu agar ia bisa menelan tuakku,66
setelah itu baru kutemui si pemilik gubuk itu untuk minta izin
numpang sebentar."
Setelah berhasil menuang tuak ke mulut Laras
Wulung yang berbibir pecah itu, Suto pun segera bermaksud
menemui penghuni rumah gubuk tersebut. Tapi hatinya
menjadi curiga, karena gubuk itu ternyata dalam keadaan
berantakan. Salah satu sisi dindingnya yang dari bilik bambu
itu jebol, demikian pula atap sebelah kanan dan depan jebol
juga. Pintunya rusak, patah menjadi beberapa bagian.
Sedangkan beberapa pohon di sekitar rumah itu juga tampak
berantakan akibat dilanda pertarungan sengit.
"Rupanya dari sinilah pertarungan itu diawali?"
gumam Suto membatin sambil tetap pandangi keadaan
sekitarnya. la pun segera melangkah masuk ke gubuk itu
dengan penuh waspada.
Melihat kain merah yang biasa dipakai menutup
bagian bawah tubuh Laras Wulung, tergeletak di lantai tanah
bersebelahan dengan sarung pedang yang dikenali sebagai
milik Laras Wulung juga, Suto pun berkesimpulan bahwa
gubuk itu adalah kediaman si mantan istrinya Badra Sanjaya
itu. Keadaan di dalam gubuk itu porak-poranda, seperti habis
dilanda badai besar.
Tetapi alangkah terkejutnya murid si Gila Tuak itu
setelah pandangan matanya tertuju pada busur dan empat
batang anah panah berada di bawah meja yang terjungkir
balik. Anak panah yang masih ada di tempatnya itu
bersebelahan dengan busur hitam. Suto Sinting kenali67
senjata itu millik Dimas Genggong. Wajah pun menjadi
tegang, dahi berkerut penuh rasa heran, terlebih setelah ia
menemukan rompi dari kulit beruang warna hitam.
"Ini barang-barangnya Dimas Genggong?! Oooh..apa
yang terjadi di tempat ini sebenarnya?!"
Suto Sinting buru-buru keluar sambil membawa
rompi, busur dan empat batang anak panah berwarna putih
itu. Laras Wulung segera ditemuinya. Tapi perempuan itu
belum siuman. Hanya saja, luka-lukanya mulai tampak
mengering. Suto terpaksa menunggu beberapa saat sambil
memeriksa sekeliling tempat itu. Ternyata sepi. Tak ada
orang lain yang dijumpainya, tak ada tanda-tanda lain yang
didapatkan. la pun kembali hampiri Laras Wulung yang masih
digeletakkan di rerumputan bawah pohon.
Ketika Suto sampai di tempat itu, Laras Wulung baru
saja siuman. la masih mengerang lirih, belum sadari
keadaannya yang sudah tak separah tadi. Mata perempuan
itu dibuka pelan-pelan. Masih terbengong pandangi langit.
Suto Sinting membiarkannya dulu beberapa helaan napas.
Kejap kemudian Laras Wulung benar-benar sadar
akan dirinya. la tersentak bangun dan duduk dengan kaki
melonjor. Pertama-tama yang dilihat adalah pedangnya.
Pedang itu segera disambar. la pun bergegas bangkit
berdiri.Namun segera terkejut begitu matanya beradu
pandang dengan mata Suto Sinting. Dahi cepat berkerut
pertanda merasa asing terhadap pemuda berpakaian kuning68
kunyit itu. la tak mengenali siapa yang berdiri di depannya
dalam jarak lima langkah itu.
Sebelum ia sempat ajukan tanya, terlebih dulu rasa
heran menyelimuti hatinya. Melihat luka di tubuhnya tinggal
sisa sedikit, merasa badannya lebih segar dan kekuatannya
pulih kembali, Laras Wulung hanya bisa terbengong-bengong
pandangi tubuhnya sendiri. Beberapa luka dirabanya,
ternyata sudah hampir rapat semua. Dadanya sendiri
dipandang jelas-jelas sambil memunggungi Suto sebentar,
ternyata tak ada warna hangus seperti yang diketahuinya
saat ia belum jatuh pingsan.
"Aneh...? " gumamnya pelan sekali sambil
membalikkan badan dan berhadapan dengan Suto Sinting
lagi. "Kaukah yang mengobati lukaku?!" tanyanya dengan
nada curiga.
"Ya, memang aku. Dan aku pula yang membawamu
dari tanah datar di sana sampai kemaril" jawab Suto Sinting
dengan tenang, rasa heran dan penasarannya dipendam
dalam hati.
"Siapa kau sebenarnya?l"
"Aku...." Suto Sinting diam sesaat. Hatinya
mempertimbangkan, perlukah ia mengaku siapa dirinya,
atau tetap dalam penyamaran? Kejap kemudian Suto
menyambung ucapannya ketika merasa jawabannya itu
ditunggu-tunggu oleh Laras Wulung. "Aku seorang
pengembara. Namaku.. Panji Kanda!"69
"Panji Kanda... Aku baru dengar namamu sekarang.
Tapi... tapi wajahmu seperti pernah kulihat. Hmmm.. kau
mirip seseorang yang pernah kukenal. Tapi.. mirip siapa,
ya?!" Laras Wulung seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Tak perlu kau pikirkan kemiripanku dengan
kenalanmu itu. Yang harus kau lakukan adalah menjelaskan
padaku, apakah benar gubuk ini tempat tinggalmu? Jika
benar, mengapa senjata dan rompinya Dimas Genggong ada
di sini?! Jelaskan sekarang juga, Lara Wulung!"
"Oh, rupanya kau juga mengenal namaku?


Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mudah mengenal wanita cantik sepertimu,
Laras Wulungl" puji Suto supaya Laras Wulung segera
menjelaskan pertanyaannya tadi. Perempuan itu tersenyum.
Senyumnya agak nakal. Suto Sinting tak melayani senyuman
nakal itu. la menampakkan sikap serius, sehingga Laras
Wulung pun kembali bersikap serius.
"Kau kenal dengan Dimas Genggong?"
Dia..dia sahabatku" jawab Suto agak ragu, sebab
sebenarnya antara dirinya dan Dimas Genggong belum saling
kenal. Hanya saja, karena Suto tahu bahwa Dimas Genggong
adalah murid dari Dewa Kubur, mau tak mau ia harus
menganggapnya sebagai sahabat.
"Jadi, kau bukan komplotan si wanita jahanam itu?"
"Wanita yang mana?"Suto Sinting clingak-clinguk
sebentar. "Wanita siapa maksudmu?
"Entahlah. Aku tak tahu siapa namanya. Tapi tiba
tiba dia muncul di dalam rumahku ini dan menyerangku".70
"Kau tidak mengenalnya?! Aneh. Jika kalian tidak
saling kenal, lantas mengapa wanita itu menyerangmu?"
"Dia menculik Dimas Genggong."
"Ooh.. benarkah begitu?!" Suto Sinting mendekat
untuk menunjukkan sikap semakin ingin tahu.
"Saat itu, aku dan Dimas Genggong baru saja mau
bermulai menikmati kemesraan."
"Baru mau mulai?!"
"Ya. Tapi, perempuan itu tahu-tahu muncul di depan
kami bagaikan hantu malam. Dimas Genggong buru-buru
mengenakan celananya, tiba-tiba ditotok menjadi tak
berdaya. Perempuan itu menggunakan totokan lewat
pandangan mata. Menurut pengakuannya, ia sudah lama
berada di dalam rumahku Ini. la menonton saat-saat aku dan
Dimas melakukan pemanasan bercumbu. Kurasa ia tergiur
ingin menikmati kehebatan Dimas Genggong. Lalu. dia
membawva lari Dimas. Aku mencoba merebut Dimas dengan
perlawanan mati-matian. Tapi rupanya ilmuku lebih rendah.
Dia bukan tandinganku. Aku selalu terkena pukulan
ganasnya. Sampai ia lari keluar rumah aku masih
mengejarnya. Dan kami bertarung di sana beberapa saat.
Akhirnya ia berhasil melumpuhkan kekuatanku, membuatku
luka parah dan tak sadarkan diri".
Laras Wulung mengajak Suto Sinting masuk ke
rumah gubuknya. Lalu, ia menjelaskan tempat-tempat di
mana mereka berada dan saling baku hantam yang membuat
beberapa dinding serta atap dan pintu menjadi jebol.71
"Nasibku memang sedang jelek. Pria yang kusukai
selalu lepas dari genggaman. Dimas Genggong kudapatkan
saat ia terluka bakar tubuhnya. Aku menotoknya dan
membawanya kemari, eeeh... sekarang ia pun ditotok orang
dan dibawa pergi. Sial!" Laras Wulung seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Oh, jadi kau yang membawa Dimas Genggong dari
tempatnya terluka itu?"
"Apakah waktu itu kau ada di sana?"
"Ya, aku sedang mengejar lawannya Dimas
Genggong".
"Aku sangsi, jangan-jangan kau bukan temannya
Dimas Genggong"
Suto Sinting mengambil sebatang anak panah yang
ditemukan di tempat pertarungan Dimas Genggong dengan
Laksamana Tanduk Naga.
"Ini buktinyal Anak panah ini kutemukan di tempat
kau menotok Dimas dan membawanya lari."
Janda bahenol itu manggut-manggut dengan sikap
percaya. Sementara itu, Suto Sinting segera berkerut dahi
karena rasakan ada sesuatu yang janggal. ia mencium bau
wangi rempah-rempah. Aroma wangi itu sebenarnya sudah
sejak tadi ada di situ, tetapi ketegangan dan keheranan Suto
membuatnya tak menyimak aroma wangi tersebut.
"Sepertinya wewangian ini pernah kucium dari
tubuh... dari tubuh siapa, ya?" Suto bertanya-lanya sendiri
dalam hatinya.72
Kemudian ia ajukan tanya kepada Laras Wulung yang
sedang membenahi barang-barangnya,
"Apakah kau masih ingat ciri-ciri perempuan itu,
Laras?
"Yang kuingat sampai sekarang, dia berwajah cantik
dan mengenakan gaun merah jambu."
"Hanya itu yang kau ingat tentang dia?
"Ya. Hanya itu yang kuingat. Sampai sekarang
wajahnya masih melekat di pelupuk mataku. Ingin rasanya
aku mencincangnya selembut mungkin!" geram Laras
Wulung dengan nada penuh dendam.
"Ke arah mana perempuan itu pergi membawa
Dimas Genggong?"
"Arah timur! Tapi setelah aku tak sadarkan diri, aku
tak tahu apakah ia berbelok arah atau lurus ke timur."
"Kalau begitu, aku akan mengejarnya ke arah timur!"
Suto Sinting bergegas pergi sambil membawa rompi, panah
dan busur milik Dimas Genggong. Tapi baru sampai di pintu
ia sudah berhenti karena seruan Laras Wulung.
"Panji Kanda.. Apakah kau tak ingin beristirahat dulu
di sini barang beberapa saat?"
Suto mengerti arah tawaran itu. Lebih-lebih diikuti
dengan pandangan mata menantang dan langkah mendekat
dari Laras Wulung. Tak salah lagi dugaan Suto, pasti
perempuan itu akan berusaha membujuknya untuk bermain
cinta. Suto tak mau melayaninya, dan ia merasa harus segera73
pergi untuk hindari tantangan-tatangan mesra yang lebih
panas lagi.
"Aku harus selamatkan nyawa sahabatku itu.
Permisi..."
"Tunggu..." sergah Laras Wulung sambil mengejar
Suto sampai di luar rumah. Mereka saling pandang sesaat.
"Boleh kutahu, bagaimana caramu mengobati
lukaku hingga seajaib ini?"
"Hmm, eehh.. hanya dengan sebuah mantera,"
jawab Suto sambil tersenyum kikuk.
"Benda apa yang sedang kau bawa itu?" Laras
Wulung menalap bumbung tuak yang dibungkus gedebong
pisang.
"Ooh, ini tempat madu!"
"Kau gemar minum madu?"
"Ya. Aku suka dengan madu lebah hutan. Kenapa?"
"Kau pasti pria perkasa, Kanda"
"Wah, mulai kacau kalau begini" gumam Suto dalam
hati. Tanpa banyak komentar lagi, Sulo Sinting pun segera
pamit untuk yang kedua kalinya.
"Zlaaap, zlaaap..!"
Laras Wulung tertegun bengong memandangi
kepergian tamunya yang mempunyai kecepatan gerak
seperti kecepatan cahaya itu. Dalam hati perempuan itu
sempat bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya sang tamu
yang bertubuh lebih kekar dan lebih gagah dari Dimas
Genggong itu.74
"Kecepatan geraknya seperti pernah kulihat. Nada
suaranya mirip Pendekar Mabuk?" Laras Wulung sedikit
tersentak kaget.
"Tapi... tapi Pendekar Mabuk selalu membawa
bumbung tuak, sedangkan Panji Kanda membawa tempat
madu lebah hutan?! Ah, tapi bisa saja dia mengaku
membawa madu, tapi sebenarnya benda itu adalah
bumbung tempat tuaknya?! Ooh, yaa... dia berpakaian
kuning kunyit, sedangkan Pendekar Mabuk berpakaian
coklat-putih. Kurasa... kurasa pemuda tadi bukan Pendekar
Mabuk. Setahuku, Pendekar Mabuk tak punya tato di
dadanya. Ya, ampuuun.. baru kusadar kalau Panji Kanda tadi
dadanya bertato gambar seekor kuda. Itu lambang
kejantanan! Gila! Seharusnya tadi aku berusaha
menahannya dan menggoda gairahnya agar ia dapat
kujadikan pengganti Dimas Genggong."
Laras Wulung berkecamuk dalam hati, hanyut dalam
lamunan-lamunan tentang Dimas Genggong dan Panji
Kanda. Tentu saja hal itu tidak akan dipedulikan oleh si
Pendekar Mabuk yang sedang menuju ke timur. Bumbung
tuak itu digantungkan di pundak. Tempat anak panah yang
kini berjumlah lima batang lagi itu disilangkan di punggung
Busur panah yang panjang rentang talinya sekitar satu
lengan itu bisa diselipkan di ikat pinggang belakang, bersama
dengan rompi hitam yang dilipat rapi Dengan begitu. Suto
merasa dapat bergerak dengan leluasa tanpa merasa
terganggu oleh barang-barangnya Dimas Genggong. Tapi75
langkah cepat Suto akhirnya diperlambat. Ada satu
ke?adaran yang membuat ia sedikit ragu.
"Jika aku berjalan lurus ke timur, maka aku akan
sampai ke Pantai Bejat. Lho...kenapa aku harus ke sana lagi?
Bukankah tujuan awalku adalah mengejar Yunda?! Kalau
begini caranya, tujuan awalku tak akan pernah tercapai.
Selalu saja ada masalah baru dan aku membelok ke masalah
baru. Wah, tak ada beresnya kalau begini terus-terusan...".
Ucapan batin terhenti juga. Bukan karena kemunculan
seorang lawan atau kawan, melainkan karena sebuah aroma
tercium oleh hidung bangir si murid sinting Gila Tuak itu. Kali
ini ia bukan mencium bau wangi rempah-rempah atau wangi
bunga yang merangsang gairah cintanya, tapi aroma bau
bangkai mulai menggelitik hidung. Aroma bangkai itu seperti
pupuk penyubur bulu hidung Suto Sinting. Setelah
mendengus hilangkan rasa gatal di dalam hidung, Suto
Sinting bermaksud ingin tidak pedulikan dengan aroma bau
bangkai itu. Tetapi pandangan matanya lebih dulu berhasil
temukan sesosok mayat yang tergeletak di atas gundukan
tanah setinggi gubuknya
Laras Wulung tadi. Hal yang menarik perhatian Suto
adalah sepotong tangan mayat itu tergeletak tak jauh dari
langkah kakinya. Dengan menutup hidung memakai tangan
kirinya, Suto pun sempatkan diri memeriksa mayat itu
sebentar.
"Hmmm... Sudah busuk sekali. Tampaknya orang ini
tewas sehari atau dua hari yang lalu. Tapi keadaannya76
menyedihkan sekali. Tubuhnya terpotong-potong nyaris
hancur. Dan.. oh, dia bersenjata panah?"
Pendekar Mabuk memeriksa anak panah yang
berceceran di sekitar gundukan tanah tersebut. Ternyata
warna dan ukuran anak panah itu sama dengan warna dan
ukuran anak panah yang mengenai lengannya pada saat ia
bercumbu dengan Yunda di penginapan
"Bulu-bulu di pangkal anak panah ini berwwarna
hitam. Kurasa memang anak muda ini yang bermaksud ingin
membunuhku dengan anah panahnya. Tapi aku tak kenal
dengan pemuda ini. Sama sekali tak kenal. Atau... mungkin
dia salah incar?"
Suto memperhatikan mayat itu lebih teliti lagi.
"Hmmm.. . dia mengenakan baju dan celana serba hijau.
Melihat bentuk pakaian dan warnanya, seingatku orangorangnya Bandar Santet juga banyak yang kenakan pakaian
hijau dengan potongan baju berlengan pendek ketat seperti
ini. Ooh, kurasa dia orang utusan si Bandar Santet yang
ditugaskan membunuhku dengan cara apa pun! Tapi... siapa
yang membunuh orang ini?! Apakah si jelita Yunda telah
berhasil membunuh pemanah ini di sini juga?! Berarti sekitar
sehari-dua hari/yang lalu Yunda melewati tempat ini. Lalu...
setelah berhasil membunuh orang ini, ke mana dia?! Apakah
kembali ke penginapannya si Bapak Gemuk itu? Hmmm, tak
ada salahnya kalau kucoba untuk datang ke penginapan itu
dan menanyakannya kepada Pak Gemuk!77
Belum jauh Suto tinggalkan mayat si permanah
malang itu, tiba-tiba ia diserang oleh sebentuk gelombang
hawa padat yang datang dari arah kirinya.
"Wuuuss..." Merasa ada hawa lain menghampirinya
dengan cepat, Suto Sinting pun hentikan langkah, berbalik ke
kiri dan sentakkan kedua tangan ke depan dalam posisi tapak
tangan mengarah ke bawah.
"Wuuut...Biaaaammm...!"
Dentuman besar menggema tapi tak sampai bikin
pohon bertumbangan. Dentuman besar itu terjadi akibat
tenaga dalam Suto diadu dengan hawa padat yang
menghampirinya. Rupanya hawa padat itu lebih
kuat,sehingga tubuh Suto Sinting sempat terpental ke
belakang dan membentur pohon.
"Bruuk..Ouhk..." Suto tersentak ke depan, jatuh
berlutut. Tapi segera bangkit kembali dan memasang
kewaspadaan, Baru saja ia berdiri dan bersiap pasang
kewaspadaan, tiba-tiba sekelebat bayangan telah
menerjangnya dari depan.
"Weess... Prrok...!"
"Adoouw..." pekik Suto tak sadar. la terpental dan
terguling-guling. Bumbung tuaknya terlepas dari pundak.
Pandangan matanya menjadi gelap sesaat. Wajah terasa
panas menyengat. Tapi ia yakin wajahwya tadi terkena
terjangan kaki si bayangan yang datangnya secara
mendadak.78
"Celaka! Di mana bumbung tuakku tadi? geramnya
dengan meraba-raba, karena penglihatannya masih gelap.
Saat ia merangkak dalam keadaan tak melihat apa-apa itu,
sebuah tendangan kuat meluncur ke arah pinggang kirinya.
"Wuuut...!" Tapi gerak nalurinya segera bekerja
dengan peka sekali. Seketika itu pula Suto Sinting berlutut
dan kedua tangannya berkelebat ke samping kiri. Tangan kiri
berhasil menangkap kaki si penyerang. tangan kanan segera
menghantam tulang mata kaki orang tersebut.
"Prook..."
"Oouuuuh..."
Suara orang mengerang kesakitan terdengar
bertepatan dengan pandangan mata yang mulai membayang
samar-samar. Kaki yang habis dihantamnya itu didorong ke
depan dengan kekuatan penuh. Orang tersebut terjungkal
tanpa ampun lagi.
"Gleduk, bruk, bruk,bruuus..!"
Sasaran terakhir orang Itu adalah semak-semak. Dari
dalam semak-semak rupanya la masih perdengarkan suara
kesakitan yang mengerang.


Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar saja pecah mata kaki orang itu!" geram Suto
Sinting sambil mengibaskan kepala, membuang pandangan
kaburnya. Kini pandangannya mulal leblh terang Iagi. la buruburu menyambar bumbung tuaknya dengan berguling di
tanah secara cepat.79
"wuuut!" Bumbung tuak berada di tangannya
kembali. Sebelum tuak ditenggak, pandangan mata sudah
mejadi terang kembali seperti sediakala.
"Keluar kau! Jangan merengek di semak-semak
begitu. Orang sangka ada anak kucing kehilangan induknyal"
seru Suto Sinting dengan nada gusar. Tapi hatinya masih bisa
menahan amarah agar tetap terkendali.
Orang di dalam semak-semak itu pun keiuar dari
kerimbunan semak. Tapi ia bukan sekedar muncul seperti
pemain wayang keluar ke panggung, melainkan dengan
lompatan cepat yang bertujuan menerjang Suto Sinting lagi.
"Bweerrsss...!"
Suto Sinting dalam keadaan benar-benar siap. la
melihat sosok tua bertongkat yang sedang mengayunkan
tongkatnya untuk memukul hancur kepalanya. Maka
bumbung tuak pun segera diadu dengan tongkat itu sobagai
penangkisnya.
"Wuuut, wuuut... Jegaaarrr..!"
Sekali pun bumbung tuak dalam keadaan terbungkus
gedebong pisang kering, tapi kesaktiannya masih bisa dipakai
untuk melawan tenaga dalam yang disalurkan dalam tongkat
tersebut. Akibatnya, terjadilah ledakan keras yang
mempunyai daya sentak cukup besar. Pendekar Mabuk
terpental lagi, orang itu juga terlempar kembali.
"Gabruuk, bruussk.!"
Kini Suto Sinting yang terbanting di semak ilalang. la
mengerang di sana karena tulang lengannya terasa ngilu80
sekali, seakan persendiannya ingin lepas akibat menahan
tenaga dalam lawan dengan bumbung tuaknya. Kejap
berikutnya terdengar suara lawan yang rupanya sudah lebih
dulu berdiri dan bersiaga dengan tongkatnya.
"Keluar kau! Jangan mengerang dalam semak-semak
begitu! Orang sangka ada anak setan kehilangan biangnya!"
"Sial Dia balas mengejekku!" geram Suto Sinting.
"Kalau kuterjang dari sini dengan jurus Gerak Siluman pasti
kenal. Tapi persoalannya tak akan menjadi jelas, apa sebab
ia menyerangku. Hmmm, sebaiknya kutemui dulu dia secara
baik-baik!"
"Cepat keluar!" hardik orang itu dengan suara tua
yang bernada kering.
Kali ini Pendekar Mabuk keluar dari semak-semak
seperti pengantin mau ditemukan dengan pasangannya.
Langkahnya pelan, sikapnya tenang, walau dalam hati ia
masih menggerutu karena rasa ngilu di persendian
lengannya. Mata pemuda itu terkesip kaget saat pandangi
lawannya yang tadi disangka pecah mata kakinya, ternyata
sudah berdiri tegak dalam jarak enam langkah dari semaksemak. Tongkatnya yang berujung trisula itu berdiri tegak
pula digenggam tangan kiri.
Suto Sinting semakin terperangah dan berkesan
bengong ketikw mengetahui lawannya adalah seorang lelaki
beusia sekitar delapan puluh tahun, berbadan gemuk,
mengenakan jubah coklat bintik-bintik putih yang
membungkus baju dan celana hijau. Tokoh gemuk itu81
mempunyai rambut putih pula, tapi hanya di bagian ubunubunya saja yang banyak rambutnya.
Suto Sinting buru-buru maju tiga langkah. Kemudian
mengambil sikap merapatkan kedua kaki, merapatkan
telapak tangan di dada, badan sedikit dibungkukkan. Si lawan
berkerut dahi terheran-heran, sebab ia tahu pemuda itu
sedang memberi hormat padanya.
Tokoh berjenggot pendek warna putih seperti kapuk
nempel di dagu itu justru mundur satu langkah ketika
mendengar suara Suto menyapanya dengan sopan.
"Salam hormatku untukmu, Eyang Dewa Kubur!"
Suto Sinting tegak kembali dan berikan senyum
keramahan kepada lawannya yang mirip Semar itu. Ternyata
orang tersebut adalah si Dewa Kubur yang menolongnya dari
ancaman pedang mendiang Perwira Tombala beberapa hari
yang lalu. Tentu saja Dewa Kubur kaget dan terheran-heran,
sebab ia merasa asing berhadapan dengan penyamaran Suto
Sinting itu.
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa tidak balas
menyerangku lagi, tapi malah menghormat padaku dan tahu
namaku segala?! Siapa kau, Nak?"
"Aku adalah orang yang pernah Eyang selamatkan
dari ancaman maut lawanku. Anehnya, mengapa sekarang
Eyang tiba-tiba menyerangku segalak tadi?!"
"Karena kulihat kau membawa senjata milik muridku
yang bernama Dimas Genggong Kupikir kau merampas82
panah Tulang Keramat itu dengan mencelakai muridku lebih
dulu..?"
Senyum Suto somakin lebar, sikapnya semakin
mengakrab.
"Eyang Dewa Kubur... panah, busur dan rompi ini
memang milik Dimas Genggong," seraya Suto menunjukkan
barang-barang itu.
"Oh, malah ada rompinya Dimas Genggong segala?!
Janhan-jangan muridku telah kau kuliti, ha?!"
Suto tetap kalem dan ramah. "Tidak, Eyang. Justru
aku mencari Dimas Genggong. Dan barang-barangnya ini
kuselamatkan dari sebuah gubuk tempat ia menjadi bahan
rebutan dua perempuan."
"Dua perempuan?! Satu perempuan pun belum
pernah dilayani muridku, apalagi sampai dua
perem..Perempuan!"
"Karena sekarang aku sudah bertemu dengan
Eyang Dewa Kubur sebagai gurunya Dimas
Genggong, maka barang-bararng ini kuserahkan kepada
Eyang, dan nasib Dimas Genggong pun menjadi tanggung
jawab Eyang!"
Dewa Kubur menerima barang-barang itu dengan
dahi masih berkerut kebingungan.
"Perlu Eyang ketahui, Dimas Genggong sempat
bertarung melawan Laksamana Tanduk Naga. Kebetulan saat
itu..."83
"Tunggu dulu, tunggu du...." potong Dewa Kubur
yang sering menggantung kata terakhir dalam tiap
ucapannya. Nada bicaranya selalu seperti seorang guru
sedang menjelaskan sesuatu di depan muridnya. Tak peduli
dia berhadapan dengan yang lebih tua atau yang lebih muda,
gaya bicaranya memang sudah bercii-ciri seperti itu.
"Pertanyaanku tadi belum kau jawab, Anak muda.
Jelaskan dulu siapa dirimu sebenarnya sebelum kau berikan
penjelasan padaku yang lebih memusingkan.. Lagi!"
Dengan tersipu malu, Suto pun akhirnya jelaskan
siapa dirinya. Tentu saja penjelasan itu dengan suara pelan,
karena ia tak ingin ada pihak lain yang ikut mendengarkan
bahwa dirinya adalah Pendekar Mabuk.
"Eyang... sebenarnya aku adalah. Suto Sinting".
"Maksudmu... kau si Pendekar Mabuk?"
"Benar, Eyang."
"Ah, tak mungkin! Penampilan murid si Gila Tuak
tidak begini Bersih, tampan, gagah, tidak bertato, dan
mengenakan celana putih baju coklat. Aku pernah
melihatnya saat Pendekar Mabuk lakukan pertarungan
melawan Hantu Urat Iblis di Bukit Kecu...?"
"Kecubung..." Suto melanjutkan.
"Benar. Di Bukit Kecubung. Dan aku melihat jelas
sosok perawakan si Pendekar Mabuk. Kau jangan mengakuaku sebagal Pendekar Mabuk. Apalagi beberapa hari yang
lalu kulihat sendiri Pendekar Mabuk telah jatuh ke dalam
sumur tanpa da..?"84
"Dapur..!"
"Tanpa dasar!" Dewa Kubur betulkan sendiri
ucapannya,
"Eyang, sejujurnya saja kukatakan, bahwa aku
sedang melakukan penyamaran dengan mengubah
penampilanku seperti ini."
"Penyamaran?! Setahuku, murid si Gila Tuak itu tidak
pernah samar-samar. Kalau ya bilang ya, kalau tidak juga
bilang ti...? "
"Tidak!"
Akhirnya Suto Sinting terpaksa jelaskan awal maksud
penyamarannnya itu. la juga ceritakan tentang peristiwa
yang membuatnya Jatuh ke dalam sumur tua yang tak
diketahul kedalamannya, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode:"Kencan DiLorong Maut).
Sebagai pelengkap penjelasan, Suto pun ceritakan
mula pertama dirinya melihat Dimas Genggong bertarung
dengan Laksamana Tanduk Naga, sampai pada saat ia
mendengar penjelasan darl Laras Wulung tentang
penculikan terhadap diri Dimas Genggong. Tak pelak lagl,
wajah sl tokoh tua sahabat Gila Tuak itu menjadi tegang dan
diliputi kecemasan. Selain ia menjadi percaya bahwa
pemuda yang ada di depannya adalah Pendekar Mabuk yang
ternyata maslh hidup itu, ia juga tampak memendam
kemarahan kepada orang yang membawa lari murid
tunggalnya itu.85
"Kalau begltu, blar kucari sendiri siapa perempuan
yang menculik muidku itu!" tegasnya setelah hembukan
napas sebagai penenang kegundahannya.
"Menurutku, sebaiknya kau lekas temui gurumu dan
jelaskan persoalan sebenarnya, bahwa dirimu masih h?...?"
"Hitam. Eyang?"
"Hidup!" tegas Dewa Kubur. "Aku juga akan
kabarkan kembali kepada para tokoh aliran putih, bahwa
Pendekar Mnbuk ternyata masih hi..?"
"Hidup! Terima kasih atas kesediaan Eyang
membantu mengabarkan tentang nasibku yang sebenarnya.
Tetapi, jangan beberkan dulu penyamaranku ini. Sebab aku
masih mencari seorang perempuan yang datang dari
Pegunungan Gobi. Perempuan itu ternyata adalah anak dari
guruku sendiri, Eyang."
"Anak.?! Anaknya si Gila Tuak?!" Dewa Kubur
bernada terheran-heran.
Suto pun ceritakan secara singkat pertemuannya
dengan si cantik Yunda dari Pegunungan Gobi. Namun
selesai mendengar cerita itu, Dewa Kubur termenung heran
sambil geleng-geleng kepala. la seperti bicara pada dirinya
sendirl.
"Setahuku, Gila Tuak tidak punya anak. Dia pernah
punya istri, tapi istrinya mati ketika mereka masih samasama muda. Dan perkawinannya itu belum sempat
menghasilkan seorang pun ketu...?"
"Ketupat. Eeh, keturunan.."86
"Nah, itu.... setahuku gurumu memang tidak punya
keturunan."
"Jika benar begitu, lalu siapa sebenarmya
perempuan yang mengaku anaknya Kakek Guru itu, Eyang?"
Dewa Kubur hanya angkat pundak tanda tak tahu
jawabannya.
*** Koleksi Kolektor EBook87
5 KETERANGAN Dewa Kubur masih disangsikan Suto
Sinting. Masalahnya, usia Dewa Kubur jauh lebih muda dari
usia si Gila Tuak, juga lebih muda dari usia Bidadari Jalang.
Tentunya tidak seluruh masa mudanya si Gila Tuak diketahui
oleh Dewa Kubur. Apalagi yang bersifat pribadi, sudah pasti
akan dirahasiakan oleh Gila Tuak sendiri. Misalnya tentang
sebuah skandal yang amat dirahasiakan oleh Gila Tuak
selama hidupnya.
Tetapi keterangan Dewa Kubur telah membuat rasa
penasaran Suto semakin tinggi. Akhirnya ia putuskan untuk
pergi ke Jurang Lindu, menemui Gila Tuak sendiri. Jika benar
Yunda adalah anak atau keturunan dari si Gila Tuak, maka
Suto akan memusatkan perhatian dan waktunya untuk
mencari perempuan dari Pegunungan Gobi itu.
"Mengenai urusan Dimas Genggong sudah ditangani
oloh gurunya sendiri. Sebaiknya aku segera temui kakek guru
dan membicarakan tentang kemunculan Yunda," pikir Suto
saat berpisah dengan Dewa Kubur. Namun pada saat
matahari bertengger di atas kepala manusia, dan nyala
sinarnya bagaikan ingin mengeringkan seluruh isi bumi,88
Pendekar Mabuk melihat sekelebat bayangan berlari menuju
ke sebuah lembah berhutan tandus, Pohon-pohon
mempunyai daun yang menguning dan kering. Keadaan itu
membuat hutan tersebut menjadi terang, karena sinar
matahari tak tertutup kerimbunan daun-daun pohon.
Orang yang berlari di sana adalah seorang pemuda
berambut pendek, mengenakan baju biru dan celana merah
gelap. Pemuda bertubuh sedang itu menyandang pedang
putih mengkilat anti karat. Cahaya matahari memantul dari
kemilaunya pedang putih itu.
Melihat kain merah melilit di kepala pemuda itu
menutup kedua matanya, Suto Sinting segera kenali siapa
orang tersebut.
"Tak salah lagi, itu dia si Mangku Randa" ujar Suto
dalam hati. "Tapi mengapa dia sendirian? Ke mana si
Pematang Hati?! Zlaap, zlaap.. !" Suto Sinting berkelebat
menggunakanGerak Siluman agar lekas sampai di jalan
depan.
Mangku Randa. Pemuda dari Teluk Borok yang
bermata buta itu melesat dengan cepat, seakan ia
mempunyai kedua mata yang sehat. Padahal jelas-jelas
kedua matanya ditutup kain merah tebal, sehingga siapa pun
akan tahu bahwa ia bergerak dengan tanpa menggunakan
indera penglihatan.
"Wuuut, jleeg.. !" Pemuda bermata buta itu hentikan
langkah. Rupanya ia tahu ada seseorang yang menghadang
di depan langkahnya. Nalurinya sangat kuat. Mata batinnya89
pun cukup tajam. Hidungnya mendengus dengus sesaat, lalu
suaranya terdengar mengagumkan hati Suto Sinting.
"Kenapa baru muncul sekarang, Pendekar Mabuk?"


Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati Suto berkata, "Edan bocah ini! Hanya dia yang
kenali penyamaranku. Rupanya penyamaran seperti apa pun
tetap tak dapat dipakai menipu indera penciumannya yang
sangat tajam. Tentu saja dia mengenaliku karena dia
mengenali bau tuak yang menyatu dengan tubuhku. Sekali
pun aku mengenakan topeng dan menggunduli rambutku,
dia tetap akan mengenaliku sebagai Pendekar Mabuk. Sial!"
Kemudian Suto Sinting tertawa pelan. "Mangku
Randa, aku mencarimu ke mana-mana, tapi baru sekarang
bisa bertemu denganmu. Hei, di mana Pematang Hati?
Kudengar kau menyelamatkan gadis itu, Mangku Randa !!"
"Pematang Hati kusimpan di Teluk Borok. Dia
sengaja kusimpan di sana agar tak menjadi incaran orangorang Tanah Pasung, Suto!"
"Mengapa tak kau bawa pulang ke pondoknya, di
Lembah Seram?"
"Dia tidak mau. Dia selalu ingin ikut denganku.
Padahal aku ingin bikin perhitungan sendiri dengan si Ratu
Sinden. Aku takut dia cedera jika ikut denganku, maka
kusimpan dulu di sana. Dia dalam keadaan baik-baik, Suto.
Jangan khawatir"
"Kusir Hantu kebingungan mencari cucunya. Dia
sekarang sedang menuju ke Teluk Borok untuk menemuimu"90
"Biar saja. Kebetulan jika Kusir Hantu datang ke sana,
dia dapat mencegah cucunya agar tak menyusul
kepergianku."
"Jadi kau mau kembali ke Pantai Bejat untuk
menyerang Ratu Sinden?"
"Benar, Suto. Aku hanya akan berurusan dengan
Ratu Sinden. Akan kutantang dia dalam pertarungan satu
lawan satu."
"Kurasa dia tak mau layani tantanganmu, Mangku
Randa!"
"Dia harus mau. Akan kudesak dan kupaksa dengan
caraku sendiri agar dia mau melayani tantanganku. Aku
harus bisa mencabut nyawanya sebagai pembalasan atas
tindakan kejinya yang telah menewaskan ibuku, Suto!"
"Sayang sekali aku tak bisa ikut denganmu, karena
ada urusan yang sangat penting. Mangku Randa. Aku harus
selesaikan urusan ini lebih dulu sebab...."
"Ssst..." Mangku Randa mendesis, menyuruh Suto
berhenti bicara. Lalu ia melangkah lebih dekati Suto dan
berkata pelan.
"Ada yang sedang mendekati kita, Suto. Cepat
sembunyi di balik pohon!"
Pendekar Mabuk tidak segera lakukan saran itu. la
justru memandang ke arah sekelilingnya, mencari orang yang
dikatakan Mangku Randa sedang mendekati tempat itu. Tapi
ia tidak temukan siapa siapa di sekitar tempat itu.91
"Mangku Randa, aku tak melihat siapa pun di sekitar
kita!" bisik Pendekar Mabuk dengar mata masih melirik ke
sana-sini.
Mangku Randa menarik tangan Suto. "Merapatlah di
balik pohon. Apakah di sekitar sini ada pohon besar?"
"Ada di belakangmu, Mangku Randa!"
Dengan sedikit memaksa Mangku Randa menarik
Suto Sinting hingga keduanya berada di balik pohon besar
berdaun gersang.
"Aku mendengar suara dengus napas selain milik
kita, Suto," bisik Mangku Randa yang mempunyai ketajaman
tersendiri pada pendengaran dan penciumannya.
"Tapi kulihat tak ada orang selain kita, Mangku
Randa".
"Periksalah lebih teliti lagi!" sambil Mangku Randa
bersiap mencabut pedangnya.
Hati Suto pun menjadi penasaran. Sebab biasanya
jika Mangku Randa berkata begitu, maka di sekitar mereka
pasti ada orang lain yang bersembunyi dengan rapi. Suto
Sinting memeriksa lebih cermat lagi. Tiap tempat yang layak
dipakai bersembunyi diperiksanya dengan pandangan mata
jelinya. Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa di tempattempat yang mencurigakan. Yang dilihatnya hanya seekor
capung merah melintas terbang di depan mereka.
Suto Sinting geli sendiri, lalu berkata, "Hanya seekor
capung merah, Mangku Randa. Mungkin capung merah itu92
habis bercinta hingga napasnya ngos-ngosan dan tertangkap
oleh pendengaranmu."
"Jangan konyol, Suto. Aku bersungguh-sungguh
mendengar napas orang lain."
"Tapi nyatanya tak ada orang lain di sini.
Hmmm,..sebaiknya kuperiksa sebentar tempat ini. Kau
jangan kemana-mana! Zlaap, zlaap, zlaap, zlaaap..."
Pemeriksaan mengelilingi tempat itu dilakukan
dengan gerakan secepat cahaya pindah tempat. Dalam
waktu sangat singkat, Suto Sinting telah memeriksa sekeliling
tempat itu dalam radius antara seratus meter. Setelah yakin
betul tak ada orang bersembunyi di sekitar tempat itu, Suto
Sinting kembali ke tempat persembunyian Mangku Randa.
Namun ia segera terperanjat dan merasa menjadi terheranheran, karena di tempat itu tak ada Mangku Randa. Suto
agak jengkel dan menggerutu dalam hati.
"Ke mana si buta dari Teluk Borok itu?! Sialan!
Disuruh tunggu sebentar malah kabur?!"
Suto pun berseru sambil melangkah ke beberapa
arah. "Mangku Randaaa.. Di mana kau, Randaaa..."
Beberapa tempat diperiksanya lagi. Mangku Randa
tetap tak ada. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tak
beres. Bukan karena Mangku Randa kabur, tapi ada
seseorang yang telah membawa lari atau menyembunyikan
Mangku Randa. Kecurigaan itu membuat Suto Sinting
sentakkan kakinya ke tanah dengan pelan, lalu tubuhnya
melesat cepat naik ke atas.93
"Wuuut.. Jleeg...!"
la tiba di atas pohon, hinggap pada dahan yang besar
dan kokoh.
Pohon berdaun jarang itu tidak membuat Suto
tersembunyi di sana, melainkan justru dapat memandang
bebas ke alam sekitarnya.
"Kalau dia bersembunyi, pasti dapat kulihat dari sini,
sebab hutan ini termasuk hutan gersang yang tidak bisa
dipakai bersembunyi dengan rapi. Hmmm... tapi nyatanya
selembang benang pakaiannya pun tidak kulihat dari sini.
Jika ia pergi pun pasti kulihat dari sini walau sudah berada di
kejauhan sana!"
Dari arah timur, Suto mulai melihat sesuatu yang
bergerak dengan cepat. la memusatkan perhatiannya ke
arah benda yang bergerak dengan cepat itu. Makin
dikecilkan matanya semakin jelas penglihatannya.
"Ada orang berlari menuju kemari! Apakah
kedatangan orang itu yang dimaksud Mangku Randa tadi?!
Hmmm.. tapi kelihatannya dia seorang pemuda yang
bertelanjang dada serta.. serta ... astaga! Bukankah itu si
Dimas Genggong?"
Pendekar Mabuk segera menyongsong kedatangan
Dimas Genggong. Pemuda itu masih bertelanjang dada,
hanya mengenakan celana dari kulit beruang. la tidak
membawa senjata apa pun. Agaknya ia sedang dalam
pelarian dari sebuah tempat, terlihat dari gerak larinya yang
tak menengok ke belakang sedikit pun.94
"Zlaap, zlaap,.. Jleeg..!"
Dimas Genggong hentikan langkah seketika. Kudakudanya dipasang, siap lepaskan pukulan jarak lima langkah.
Seorang berpakaian kuning kunyit dipandanginya dari
tempatnya berdiri dengan kuda-kuda kokoh itu.
"Dimas Genggong.." sapa Suto Sinting dengan kalem.
Dimas Genggong kerutkan dahi sambil mulutnya sedikit
ternganga karena napasnya terengah-engah.
"Tenang, Dimas. Aku bukan lawan, bukan orang
jahat. Aku adalah..."
"Kau... orang yang muncul dalam pertarunganku
dengan Laksamana Tanduk Naga itu?!"
"Benar. Aku adalah murid si Gila Tuak yang..."
"Pendekar Mabuk..?" sergah Dimas Genggong. tapi
suaranya bernada kurang percaya. Bahkan pemuda berkulit
sawo matang itu perhatikan Suto tajam-tajam sambil
bergerak mengelitinginya. Wajah Dimas Genggong tampak
tegang, sehingga Suto Sinting merasa perlu menenangkan si
murid Dewa Kubur itu.
"Setahuku Pendekar Mabuk tidak berpakaian kuning
seperti dirimu, Kang!"
"Dekatlah kemari, akan kubisikkan jawabannya."
"Tidakl Aku tidak mau kau jebak! Kau pasti
pengawalnya perempuan itu!"
"Dimas Genggong, aku adalah Pendekar Mabuk yang
sedang menyamar dengan penampilan lain".95
Akhirnya Suto berusaha jelaskan siapa dirinya dan
apa tingkahnya saat itu. la juga sebutkan tentang
pertemuannya dengan Dewa Kubur dan beberapa hal lain
yang dikatakannya, sehingga Dimas Genggang pun akhirnya
percaya bahwa ia berhadapan dengan Pendekar Mabuk.
Ketegangannya mulai berkurang saat ia menghembuskan
napas panjang-panjang sebagai ungkapan rasa leganya.
"Aku tahu kau dibawa kabur oleh seorang
perempuan dari rumahnya Laras Wulung."
"Ooh...?1 Dari mana kau tahu? Kau pasti mengintip
saat aku diciumi oleh Mbakyu!"
"Mbakyu.. ?1 Mbakyu penjual jamu maksudmu?"
"Mbakyu Laras..."
"Oo, tidak!" Suto Sinting tersenyum geli. "Aku tidak
suka mengintip orang yang sedang bercumbu, kecuali kaiau
sedang iseng."
"Tapi kau sering iseng, bukan?"
"iseng itu sebagian dari penyakitku!" jawab Suto
makin konyol. "Tapi terlepas dari semua itu, Dimas..aku baru
saja kehilangan seorang teman yang berbaju biru dan
bercelana merah. Dia pemuda yang buta kedua matanya dan
menutup matanya memakai kain merah. Apakah kau
melihatnya, Dimas?!"
Dimas Genggong diam sebentar. Berkerut dahi
pertanda sedang memikirkan sesuatu. Suto menambahkan
beberapa keterangan tentang ciri-ciri Mangku Randa.96
Kemudian si murid Dewa Kubur yang polos dan lugu itu
berkata dengan suara berkesan ragu-ragu.
"Kalau tak salah, aku melihat pemuda itu di sebelah
sana," sambil tangannya menunjuk ke arah kedatangannya.
"Di sebelah mana tepatnya?"
"Kau lihat batu besar yang bentuknya seperti pantat
gajah itu? Nah.., di bawah batu itu aku tadi melihat seorang
pemuda berbaju biru terkapar tak bergerak. Tapi aku tak
mau mendekatinya karena takut terkejar oleh perempuan
cantik itu!"
"Maksudmu... maksudmu perempuan siapa? Hmm,
eeh...." Suto agak bingung sebentar. "Benarkah kau melihat
pemuda itu, Dimas?!"
"Cobalah perisa sendiri ke sana, Kang!"
"Kau bisa tunjukkan tempatnya?"
"Tapi.. tap?..." Dimas Genggong tampak cemas.
"Jangan takut, kalau ada apa-apa aku akan
melindungimu!"
"Aku memang tidak takut," ujar Dimas Genggong tak
mau dianggap penakut. Akhirnya ia berjalan lebih dulu
menuju tempat di mana dilihatnya seorang pemuda terkapar
tak bergerak.
"Itukah temanmu, Kang?!"
"Astaga..?! Benar! Memang dia yang kucari.
Tapi...tapi mengapa dia menjadi sehangus itu?!"
Suto Sinting sangat terkejut dan menjadi tegang
melihat keadaan Mangku Randa. Pemuda itu terkapar tak97
bergerak sedikit pun, sekujur tubuhnya menjadi hitam
kebiru-biruan. Sepertinya Mangku Randa habis melakukan
pertarungan. Tapi sejak tadi Suto Sinting tidak mendengar
suara pertarungan sedikit pun.
"Siapa yang melukainya separah ini?! Alangkah cepat
gerakan orang itu. Baru kutinggal memeriksa keadaan
sekeliling, tahu-tahu ia sudah berhasil membawa Mangku
Randa kembali dan menghanguskannya. Ya. ampuun...
malangnya nasibmu, Mangku Randa?!"
"Kurasa dia sudah mati, Kang!" ujar Dimas Genggong
sambil melirik ke sana-sini dengan penuh waspada.
"Tidak. Dia masih punya denyut nadi Ooh,
syukurlah... dla belum kehilangan nyawa!"
Suto Sinting sedikit panik karena rasa iba dan gusar
melihat koadaan Mangku Randa. la menuangkan tuak ke
tempurung yang menjadi tutup bumbung tuaknya selama ini.
"Bantu aku membuka mulutnya, Dimas!"
"Baik. Itu hal mudah, Kang. Aku sudah terbiasa
merenggangkan jepretan tikus"
Dimas Genggong merenggangkan mulut Mangku
Randa dengan kedua tangannya.
"Hei, jangan lebar-lebar nanti mulutnya robekl"
sergah Suto Sinting.
Tuak pun dituangkan ke mulut Mangku Randa. Tuak
itu luber ke sekitar mulut. Tapi sebagian ada yang mengalir
masuk melalui kerongkongan Mangku Randa. Suto Sinting
segera mengangkat tubuh Mangku Randa, mengubah98
posisinya dari terkapar menjadi merebah bersandar batu
besar. Dengan begitu tuak yang diminumkan tadi semakin
masuk dan mengalir ke dalam tubuh Mangku Randa.
"Apakah dia dapat tertolong, Kang?"
"Kita lihat saja hasilnya."
"Kalau tak tertolong, kuburkan saja dia, Kang. Jangan
biarkan mayatnya tergeletak di sini. Nanti bikin kotor
permukaan bumi, Kang."
Suto tak tanggapi kata-kata itu. Sambil menunggu
hasil pengobatan terhadap luka parah Mangku Randa yang
seperti terkena semburan api dahsyat itu, Suto Sinting
membawa Dimas Genggong sedikit jauhi batu besar
tersebut.
"Dimas, tadi kau sebut-sebut tentang perempuan
cantik. ... siapa perempuan itu maksudmu?"


Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak tahu namanya, Kang. Tapi aku dibawa lari
oleh perempuan itu dari rumah Mbakyu Laras."
"Ke mana kau dibawanya?"
"Ke sebuah goa, Kang. Aku disuruh memberi
kenikmatan seperti yang diajarkan Mbakyu Laras padaku."
Suto Sinting paham maksud kata-kata itu. la
menggumam pelan dan manggut-manggut.
"Lalu kau mau melakukannya?"
"Tidak, Kang. Aku bertahan," jawab Dimas Genggong
dengan lugunya.
"Setelah itu bagaimana?"99
"Setelah itu.. aku bertarung melawannya dan aku
pingsan. Kemudian, setelah siuman, aku dipaksa melayani
gairahnya. Aku menolak karena takut diintip guru. Dia
marah, aku mau dipukulnya. Aku menangkis, Kang. Kami
lakukan pertarungan lagi di dalam goa,Kang. Aku berhasil lari
keluar goa. Pintu masuk goa kututup dengan batu besar,
Kang."
"Dengan cara bagaimana kau menutupkan batu itu?"
"Yaah, dengan kekuatan tenaga dalamku, Kang! Dia
tak bisa keluar. Lalu aku melarikan diri sampai kemari. Tapi...
tapi..!"
"Tapi apa lagi, Dimas?"
"Tapi aku ingat dia bisa berubah menjadi seekor
capung merah, Kang."
"Capung merah..?" Suto Sinting terkejut. la ingat
tentang capung merah yang tadi dilihatnya terbang melintas
di depan matanya saat ia bersama Mangku Randa.
"Waktu dibawa lari dari rumah Mbakyu Laras, aku
dalam keadaan terkena totokannya. Ketika aku sadar dari
totokan itu, aku sudah berada di dalam goa. Tak kulihat ada
orang di sana. Tapi aku melihat seekor capung merah
hinggap di atas batu goa. Capung merah itu terbang sebentar
ke arahku, lalu menjelma dalam wujud perempuan cantik,
yang kemudian minta kubuat enak seperti yang kulakukan
dengan Mbakyu Laras itu!"
Suto Snting juga ingat, saat ia dan Mangku Randa
dilumpuhkan oleh sebuah totokan dalam kepungan orang-100
orang Tanah pasung, ia juga melihat seekor capung merah
terbang bagai mengejek kelumpuhannya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Kencan Di Lorong Maut).
Rupanya capung merah itu jelmaan dari salah satu orang
Tanah Pasung. Menurut dugaan Suto, siapa lagi orang
berilmu tinggi di Tanah Pasung selain si Ratu Sinden.
"Kalau begitu kau telah dibawa lari oleh Ratu Sinden,
Dimas."
"Ratu Sinden...? Ooh, mungkin dia menyangkaku
Raja Dalang, ya Kang?"
"Yang jelas.." kata-kata Suto Sinting tak jadi
dilanjutkan. Terhenti mendadak karena seberkas sinar
melesat ke arah punggung Dimas Genggong.
"Slaap...!" Seketika itu juga Dimas Genggong
disambar dengan tendangan kaki Suto Sinting.
"Beet, bruk...!"
Sinar merah seperti meteor itu meluncur cepat ke
dada Suto Sinting setelah tubuh Dimas Genggong jatuh ke
tanah. Suto segera menghadang sinar itu dengan bumbung
tuaknya. Sinar pun menghantam bumbung tuak dengan
tepat.
"Blaaaarrrr...!"
Ledakan keras melemparkan tubuh Suto Sinting
sejauh enam jangkal. Tatapi bumbung tuak itu tetap utuh,
hanya pembungkusnya yang menjadi koyak sehingga warna
bambu bumbung yang sebenarnya mulai kelihatan.101
"Edan! Besar sekali tenaga dalam itu?" gerutu Suto
sambil bergegas bangkit."Pasti dari orang berilmu tinggi. Jika
bukan dari orang berilmu tinggi, sinar itu akan memantul
balik ke arahnya. Uuuh.. Badanku seperti disiram air panas
rasanya. Gila Siapa pemilik sinar merah tadi?!"
Kejap berikutnya Suto mendengar suara Dimas
Genggong berseru sambil menuding ke arah berlawanan
dengan datangnya sinar merah tadi.
"Kang.. Itu dia orangnya. Dia ada di atas batu!"
Sebongkah batu menggunduk setinggi pundak Suto.
Batu itu terletak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat
Suto berdiri. Di atas batu itu tampak seorang perempuan
cantik berdiri dengan jubah ungunya yang melambai-lambai
ditiup angin. Suto Sinting sangat terkejut hingga kedua
matanya melebar dan mulutnya ternganga.
Perempuan berjubah ungu tipis dengan pakaian
dalamnya gaun warna merah jambu berbelahan tengah itu
tak lain adalah perempuan yang mengaku bernama Yunda.
Per?mpuan itulah yang sempat bercumbu dengan Suto di
sebuah penginapan, dan mengaku dari Pegunungan Gobi,
mencari ayahnya yang bernama Gila Tuak.
"Yunda. A... .?!"
Suto menyebut sepotong nama itu dengan suara
mendesah tegang. Dimas Genggong mendekatinya dan
berkata agak berbisik.102
"Perempuan itulah yang membawaku ke goa, Kang.
Dia itulah yang kubilang tadi bisa berubah menjadi seekor
capung merah."
"Kurangajar! Kalau begitu dia telah memperdayaku
saat di penginapan! Rupanya dia adalah si Ratu Sinden?"
geram Suto dalam hati sambil beradu pandang dengan
perempuan itu, Geramnya lagi, "Rupanya dengan alasan
mencari ayahnya, ia berharap dapat bantuan dari siapa pun
untuk menemukan diriku. Dia mencari Pendekar Mabuk
bukan untuk dapatkan keterangan di mana Gila Tuak berada,
tapi untuk memaksa diriku yang dianggap menjadi kunci
rahasia masuk ke Goa Kembar yang penuh harta karun itul
Hmmh... Siasatnya licik sekali"
Dimas Genggong berbisik, "Biar kutangani dulu
perempuan itu, Kang!"
"Jangan! Dia berbahaya sekali!" sergah Pendekar
Mabuk.
Perempuan di atas batu itu berseru dengan senyum
sinisnya. "Rupanya kaulah yang bernama Pendekar
Mabuk,Kanda. Kudengar percakapanmu dengan Dimas
Genggong saat kalian berada di sebelah sana tadi!"
"Kau menyadap percakapanku dengan cara
mengubah diri menjadi seekor capung merah, Yunda?!"
"Benar! Tadi pun kudengar kau bicara dengan
Mangku Randa, tapi aku belum mendengar dirimu dipanggil
sebagai Pendekar Mabuk. Oleh sebab itu, hanya Mangku103
Randa yang kubinasakan, dan aku bermaksud menemuimu,
Kanda"
"Kau memang keparat, Ratu Sinden! zlaaap..
Brruuus..!"
Suto Sinting menerjang Ratu Sinden dengan gerakan
sangat cepat. Tapi terjangannya itu berhasil ditahan dengan
kibasan tangar kiri si Ratu Sinden yang keluarkan tenaga
dalam sekeras baja. Suto Sinting bagaikan menabrak dinding
baja. sehingga perempuan itu tetap berdiri di tempatnya
sedangkan Suto terpental dengan sendirinya.
"Brruk...!"
"Hiik, hiik, hiiik, hiik..."
Ratu Sinden menertawakan Suto yang jatuh
terbanting lalu terguling-guling itu. la melompat turun dari
atas pohon tanpa timbulkan suara.
Sambil menahan rasa sakit akibat seperti
membentur dinding baja tadi, Suto pun cepat bangkit berdiri
dan berhadapan dengan Ratu Sinden dalam jarak sekitar
tujuh langkah. Ratu Sinden tampakkan senyum keangkuhan
yang berkesan meremehkan ilmu lawannya.
"Penyamaranmu telah terbongkar, Pendekar
Mabuk! Sebaiknya kau menyerah dan membawaku ke Goa
Kembar. Aku sangat membutuhkan harta karun itu.
Pendekar Mabuk! Setelah kudapatkan harta itu, kau bisa ikut
denganku dan kita dapat lanjutkan kemesraan kita yang
tertunda saat berada di penginapan tempo hari!"104
"Apa pun yang kau inginkan dariku, kau tak akan
mendapatkannya, Ratu Sinden".
"Bagaimana kalau aku memaksamu?"
'Kau tak akan berhasil"
"Kita lihat saja....Zeedub, duub...!"
"Uuhk..!"
Suto Sinting terbungkuk seketika. Ulu hatinya seperti
diterjang dengan sebatang kayu balok yang menyesakkan
pernapasan. Tulang iganya terasa patah. Padahal Ratu
Sinden tidak bergerak sedikit pun. Rupanya ia melepaskan
kekuatan tenaga dalamnya melalui pandangan mata.
Pandangan matanya itu pula yang bisa dipakai untuk
menotok serta meiumpuhkan lawan dari jarak tertentu. Hal
itu membuat lawan tak akan menyangka kalau akan diserang
oieh si Ratu Sinden.
Pendekar Mabuk segera kerahkan hawa murninya
dari dalam untuk menahan rasa sakit di ulu hatinya. la
menjadi tegak kembali. Tapi ketika badannya yang
membungkuk bergerak tegak, la melepaskan sentilan Jari
Guntur yang tidak diketahul gerakannya oleh Ratu Sinden.
"Tees., tess...!"
"Bruuuk..!" Ratu Sinden jatuh terbanting dalam
sekejap. la juga tidak menyangka kalau akan diserang dengan
kekuatan tenaga dalam tanpa sinar tanpa asap itu.
"Keparat kau, Pendekar Mabuk!" geramnya sambil
bergegas bangkit. la mulai mengangkat kedua tangannya,
yang kanan di atas kepala, yang kiri di depan dada. Posisi105
kedua kakinya merentang rendah, membentuk kuda-kuda
kokoh.
"Kalau kau membangkang perintahku, kau akan
mati, Pendekar Mabuk!"
"Kurasa sebaliknya! balas Suto dengan tenang, la
melangkah ke samping kiri sambil tetap memandahg
lawannya penuh waspada.
"Blaasss..!"
Ratu Sinden bagaikan lenyap. Tahu-tahu sudah
menerjang Suto Sinting dengan kedua kakinya. Terjangan itu
dihadang menggunakan bumbung tuak. Tapi justru bumbung
tuak itu menyodok wajah Suto sendiri, sementara si Ratu
Sinden terpental ke belakang, namun segera dapat bersalto
di udara dan daratkan kakinya ke tanah dengan sigap.
"Prook...!"
"Ouuh...!"
Suto Sinting terjungkir balik ke belakang saat
tersodok bumbung tuaknya sendiri. Wajahnya menjadi
merah karena sodokan itu sangat keras.
"Bangun, Kang! Cepat bangun, dia mau menyerang
lagi!" seru Dimas Genggong yang sengaja naik di atas batu
untuk menyaksikan pertarungan itu. la tak mau ikut campur
dulu sebelum Suto Sinting mencabut larangannya tadi.
Sementara itu, Mangku Randa mulai sadar dan
meraba-raba tubuhnya. Rasa sakit sudah tidak ada lagi. Tapi
kekuatan dan tenaganya masih lemas sekali, sehingga ketika106
ia berdiri, ia sempoyongan mau jatuh. Akhirnya hanya bisa
berdiri sambil bersandar lemas pada batu besar itu.
Pendekar Mabuk segera bangkit begitu mendengar
seruan Dimas Genggong yang kedua. Tapi belum sampa? ia
berdiri tegak, Ratu Sinden lepaskan pukulan dari telapak
tangan kanannya yang disentakkan ke depan
"Wuut, wuuuss..Nyaassss..!"
Hembusan angin kencang keluar dari telapak tangan
perempuan itu. Hembusan angin kencang itu ternyata
mengandung hawa panas cukup tinggi. Pendekar Mabuk
berkelebat hindari angin panas. Tapi ia sedikit terlambat,
sehingga kaki kirinya tersambar angin panas itu.
"Zlaap, wesss..!"
"Ouuhk.. Edan! Panas sekali angin ini?! Rupanya
angin ini yang menghanguskan tubuh Mangku Randa tadi?!"
ujarnya dalam hati sambil menahan napas agar bisa atasi
rasa panas yang amat menyengat itu. Suto Sinting tak
pedulikan kaki kirinya menjadi biru kehitam-hitaman. Luka
bakar itu masih sanggup ditahan, sehingga ia mampu berdiri
dalam kuda-kuda kokoh.
Melihat keadaan Suto masih sehat, Ratu Sinden
segera kelebatkan kedua tangannya seperti menari. Kedua
tangan itu bergerak menyilang sebentar di depan dada,
kemudian berkelebat lagi ke samping bagaikan melepaskan
selendang. Tapi gerakan gemulai cepat itu justru
menyebarkan serbuk putih yang bertebaran ke arah Suto
Sinting.107
Melihat serbuk putih menyerangnya, Suto yakin
dirinya terancan bahaya. Serbuk itu pasti bukan sembarang
serbuk, melainkan tepung yang mengandung racun
berbahaya. Dengan cepat tali bumbung tuak digenggam dan
bumbung tuak diputar di atas kepala.
"Wuuuuuung, wuuuuuung, wuuuuuung,.Weess...!"
Serbuk putih itu tersapu angin putaran bumbung
tuak. Serbuk itu menyebar ke berbagai arah. Beruntung saat
itu Dimas Genggong sudah turun dari atas batu dan ingin
membantu Mangku Randa yang nyaris tumbang lagi karena
tenaganya belum pulih betul itu. Mereka berdua terlindung
batu besar, sehingga tak ada serbuk yang mengenai mereka.
Namun batu tempat berlindung mereka menjadi
retak beberapa tempat, bahkan batu-batu lainnya ada yang
rontok akibat terkena serbuk putih tadi. Beberapa batang
pohon pun menjadi keropos seketika setelah diterjang
serbuk seperti bedak itu.
Ratu Sinden sendiri melompat ke belakang dengan
cepat sambil melepaskan jubahnya. Jubah itu dikibaskan dua
kali, sehingga tak ada serbuk yang mendekatinya. Namun
kibasan jubah yang ketiga itu dilakukan sambil melambung
tinggi dan melayang seperti terbang ke arah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Layang Raga' yang
membuat tubuhnya melesat lurus ke atas, lalu bergerak
turun pelan-pelan sekali sambil menunggu serangan lawan.
Perempuan itu sabetkan jubahnya. Dan Suto Sinting sudah
menangkis dengan bumbung tuakya lagi.108
Wusss.. jedaaar..!".
Sekilas cahaya merah berkerilap akibat jubah


Pendekar Mabuk Setan Betina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyabet bumbung tuak. Ledakan yang timbul tak seberapa
keras. Tapi sisa kain juga yang disabetkan itu ada yang kenai
pelipis dan dahi Pendekar Mabuk. Akibatnya pelipis dan
kening Pendekar Mabuk pun menjadi koyak bagaikan dicakar
binatang buas
"Craass..!"
"Aaaow.. !" Suto Sinting memekik dengan suara
tertahan. Tubuhnya terlempar kebelakang dan jatuh
berdebam ke bumi.
Perempuan itu mengejarnya terus dengan jubah
diputar-putar di atas kepala. Pada saat ia ingin sabetkan
jubah ke punggung Suto yang sedang berusaha bangkit
sambil memunggungi lawannya, tiba-tiba sekilas cahaya biru
melesat dan menghantam jubah ungu itu.
"Claap...Blaaaarrr...!"
Tentu saja tubuh Suto Sinting semakin terlempar dan
terbanting-banting tiga kali bagaikan karet membal di tanah.
Ledakan itu bukan saja melemparkan tubuh Suto, melainkan
juga melemparkan tubuh si Ratu Sinden.
Sinar biru itu datang dari tangan Mangku Randa yang
berlindung di samping batu besar, Pemuda yang menaruh
dendam kepada Ratu Sinden itu akhirnya kerahkan tenaga
walau belum pulih seperti sediakala. la melesat tanpa
hiraukan cegahan Dimas Genggong
"Wuut..Sraang..!"109
Pedangrnya dicabut dan dihujamkan ke tubuh Ratu
Sinden.
"Suuuut..!"
Ratu Sinden yang masih setengah berbaring itu
segera menghindar. Tubuhnya melesat ke samping dengan
tangan menyentak di tanah. Wuuut.. Dari sana ia segera
berdiri dan memutar tubuh sangat cepat.
"Weerss...Blaaab..!"
la lenyap tanpa asap. Mangku Randa berteriak
dengan luapan dendamnya.
"Jangan lari kau, Perempuan laknaaat...! Tampakkan
wujudmu dan hadapi kematianmu sekarang juga! Kau harus
menebus kematian ibuku, Perempuan laknaat...!"
"Randa..." seru Suto Sinting."Awas capung merah
itu! Hindariii...!"
Mangku Randa menengok ke belakang. Seekor
capung merah terbang meluncur cepat ke arahnya. Tapi
karena Mangku Randa tidak tahu tentang bahayanya capung
merah, ia diam saja walau mendengar suara sayap
dikepakkan mendekatinya. Melihat keadaan seperti itu,
Dimas Genggong berkelebat menyambar Mangku Randa.
"Wuuus.. Bruuuk..!"
Tangannya yang ingin mencekal lengan Mangku
Randa meleset, akibatnya rahang Mangku Randa diterjang
lengan Dimas Genggong.
Mangku Randa pun jatuh tersungkur bersama Dimas
Genggong saling tindih. Capung merah meluncut tanpa kenai110
sasaran. Tapi pada saat itu Pendekar Mabuk segera gunakan
kekuatan ilmunya yang bernama 'Sukma Lingga',
"Blaab....!"
la berubah menjadi sinar hijau seperti kunangkunang, kemudian terbang melesat menabrakkan diri
dengan capung merah itu.
"Zlaap..Jegaaaaarrrr...!"
Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi
Capung merah yang penuh dengan kekuatan hawa sakti itu
terlempar sejauh dua puiuh iangkah. Semetara itu sinar hijau
segera menjelma menjadi sosok Pendekar Mabuk lagi.
Tapi keadaan capung merah itu sudah berubah
menjadi sosok Ratu Sinden. Perempuan itu mengerang
sambil bangkit terhuyung-huyung. Selain sekujur tubuhnya
tercabik-cabik, kedua tangannya menjadi buntung akibat
ledakan dahsyat tadi.
"Tunggu pembalasanku, Jahanaaaamm...!" teriak
Ratu Sinden dengan liar dan penuh murka. Kemudian ia
melesat pergi dengan hanya menggunakan kedua kakinya.
"Blaasss..." Dua potongan tangannya ditinggalkan begitu
saja bersama jubah ungunya.
"Jangan lari kau pembunuuuuh..!"
Mangku Randa berteriak keras-keras. Ia tahu si Ratu
Sinden melarikan diri karena aroma bau rempah-rempah
dari perempuan itu terasa makin menjauh. Mangku Randa
bergegas mengejar pembunuh ibunya. Tapi ia jatuh
tersungkur lagi. Rahangnya yang terkena sambaran lengan111
Dimas Genggong telah membuat kepalanya pusing dan uraturat tubuhnya menjadi lemah sekali.
"Tunda dulu dendammul" ujar Suto Sinting. "Saat ini
kekuatanmu tak akan mampu kalahkan dia, Mangku Randa.
Jangan paksakan diri!""
Mangku Randa tak bisa membantah karena
menyadari keadaannya memang tidak memungkinkan untuk
lakukan pertarungan dengan Ratu Sinden. Sementara itu,
Suto Sinting tertegun bengong sambil pandangi arah
kepergian Ratu Sinden.
"Untung segera terbongkar penyamaranku,
sehingga ia segera muncul sebagai Ratu Sinden. Kalau tidak
begitu, aku tak akan tahu bahwa dialah yang bernama
Ayundani alias si Ratu Sinden. Hampir saja kudesak guruku
untuk mengakui perempuan itu sebagai anaknya! Kalau
sampai hal itu terjadi, bisa-bisa aku dihajar habis-habisan
oleh guru!"
Suto Sinting tertawa geli sendiri membayangkan
kebodohannya, sampai ia bisa terkecoh oleh pengakuan
palsu si perempuan cantik yang sejujurnya diakui sangat
menggairahkan itu.
"Sudah dibela-belain menyamar kayak gini, malah
hampir saja terperangkap lawan sendiri. Untung saja ada
pihak lain yang waktu itu memanahku. Kalau tidak,waah. ...
perjakaku bisa dilalap habis oleh si setan betina itu!"
Sejak itu, Suto lebih sering menyebut Ratu Sinden
dengan julukan si Setan Betina setiap ia menceritakan112
peristiwa memalukan dan menggelikan itu kepada para
sahabatnya. Yang jelas, sejak saat itu pula, si Setan Betina
tidak pernah terdengar lagi ulahnya, setidaknya untuk jangka
waktu beberapa saat, sampai kasus harta terpendam itu
dilupakan orang.
Pendekar Mabuk bergegas menuju ke Lembah
Seram, bukan untuk menggali harta karun tersebut, tapi
untuk dapatkan satu harta wasiat yang dititipkan pada Tenda
Biru. Harta wasiat itu adalah si prajurit cantik: Citra Bisu.
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera terbit!
SIASAT BERDARAH
Koleksi Kolektor Ebook113
Embrace The Chord Karya Santhy Agatha Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini