Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 10
- Sebulan yang lalu terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan. Seperti biasanya, kapal- kapal asing itu sering mendarat di tempat- tempat tertentu untuk merampok. Tetapi kali ini dengan terang- terang. Mereka memasang bendera kebangsaannya. Salah seorang anggauta mereka turun ke darat menemui tuanku Nandan. Dialah seorang pedagang besar di kota kami dan orangnya terkenal dermawan. Sering menolong orang- orang yang kekurangan. Itulah sebabnya, pernah kami minta padanya beramai- ramai agar bersedia menjadi Kepala Kampung. Tetapi dia menolak. Katanya, ia merasa diri tidak berbakat lebih baik bekerja sebagai saudagar sambil beramal. Apakah bedanya, asal saja ikut serta mengambil peranan mengatur tata- tertib dan ketenteraman hidup penduduk. Alasannya kami terima. Apalagi anak isterinya berbudi luhur pula. Dan orang Chaiya yang datang menemuinya,mengaku diri sebagai seorang pedagang
pula yang kebetulan ikut berlayar dengan kapal pemerintah. Dia bergaya royal. Semua barang dagangan tuanku Nandan ditawarnya dengan harga tinggi. Bahkan, kalau tuanku Nandan berkenan bisa diatur dengan cara tukar menukar barang. Pikir tuanku Nandan. bagus sekali aturan itu. Setidak- tidaknya penduduk ikut mengenyam keuntungannya. Maka dengan bersemangat ia mengumpulkan semua hasil bumi penduduk yang akan ditukarkan dengan barang- barang pesanan dagangan orang Chaiya itu. Setelah itu kami menghantarkan barang- barang pesanan itu beramai- ramai ke kapal Chaiya dengan menggunakan beberapa perahu. Karena orang Chaiya itu berkata hendak menyelenggarakan pesta perkenalan, maka tuanku Nandan membawa isteri dan gadisnya serta. Kamipun ikut pula hendak meriahkan pesta itu. Tetapi apa yang terjadi? Orang- orang Chaiya itu ternyata merampas barang- barang dagangan. Bahkan isteri dan gadis tuanku Nandan di tawannya. Sewaktu tuanku Nandan memprotes perlakuan mereka, muncullah laskar Chaiya dengan mengibarkan bendera kebangsaannya. Kata mereka:
"Kalian kaum apa sampai berani memusuhi bangsa kami. Hah?"
Bertepatan dengan ucapan mereka muncul pula laskar Sriwijaya yang tertawa haha hihi. Ternyata mereka laskar Raja Muda kami ikut berperan dalam peristiwa itu. Menghadapi kenyataan itu, tuanku Nanda tidak hanya merasa malu terhadap penduduk yang bakal menderita kerugian, tetapi anak- isterinya akan diperlakukan tak ubah pelacur. Mungkin lebih daripada itu. Bisa dibunuh tanpa urusan seperti budak rampasan perang. Lalu apa arti makna hidupnya. Harta- benda bisa dicari. Tetapi kehormatan sebagai layaknya orang hidup di manakah harus dibelinya. Celakanya, hendak melawanpun tidak bisa. Oleh pepat hati. lantas saja ia terjun ke dalam sungai. Ia mati bunuh diri. Dan
menyaksikan kematian yang mengenaskan itu. kami semua yang mencintai dan menghormati tuanku Nandan maju hendak menuntut bela. Tetapi dengan mengibar- ibarkan bendera kebangsaannya. orang- orang Chaiya maju dengan dilindungi Laskar Sriwijaya. Pada saat itu, tiba- tiba muncullah seorang pemuda di antara kami. Dengan gesit ia melabrak barisan laskar terdepan. Kemudian dengan sekali melompat, ia terbang tinggi di awan dan hinggap di atas tiang bendera. Lalu merobek bendera kebangaan Chaiya sambil berkata lantang:
"Bendera macam begini. mengapa harus kami takuti? Kamu kawanan bangsat hanya pandai menakut- nakuti penduduk yang kalian anggap bodoh tak berotak, dengan berlindung di bawah panji- panji benderamu. Sekarang sudah kurobek bertaburan. Kalian mau apa?"
Dengan berjumpalitan pemuda itu turun dan bergerak ke sana kemari bagaikan bayangan. Ia hanya bersenjata ikat pinggang. Ternyata sebatang pedang tipis sekali dan lemas. Meskipun demikian, dengan mudah dapat mengutungkan semua macam senjata yang merintangi serangannya. Sebentar saja belasan laskar kerajaan dan gerombolan orang- orang Chaiya mati bergelimpangan. Setelah itu ia menolong isteri dan gadis tuanku Nandan. Berkata nyaring kepada kami:
"Tunggu apa lagi? Mereka sudah mendahului merampas. Maka kita ganti merampas barang- barang tukar yang dijanjikan."
Mendengar aba abanya, kami semua mengangkuti barang- barang yang dijanjikan ke dalam perahu- perahu kami. Kaum Chaiya tidak dapat berkutik, karena orang yang mengaku pedagang Sebenarnya junjungan mereka. Kabarnya salah seorang pangeran Chaiya yang berpengaruh dan ia berada di bawah ancaman pemuda itu. Aku sempat menyaksikan bagaimana caranya menawan orang itu. Setelah meraba kesana kemari. sekonyong- konyong ia menerjang dan mencekuk pangeran itu dengan mudah. Pedangnya kemudian diancamkan ke depan tenggorokannya. Akhirnya setelah kami berhasil menguras barang-barang mereka yang bernilai tinggi, pemuda itu membebaskan sang pangeran dengan tertawa menang. Selanjutnya, seperti tadi ia terjun ke dalam sungai dengan arah tujuan yang tidak jelas.
Tilam senang mendengar tutur-kata orang tua itu.
Tetapi hatinya masygul karena kena dikelabui si anak nakal tadi. Meskipun demikian ia terhibur juga. Kecuali berhasil menolong orang tua dan gadisnya, pihak lawan rugi empat orang.
- Tuanku puteri. bisik Tarung.
- Mari kita melalui jalan darat dahulu. Sebentar malam kita lanjutkan perjalanan kita. Tilam mengangguk.
*****
SEMENJAK bertemu dengan Yudapati, hati Isu Wardana seperti memperoleh suatu kedewasaan. Ia jadi kehilangan kegembiraannya. Senang menyendiri dan bermenung menung. Seumpama memiliki sayap sebenarnya ingin ia menyusul kakak- angkatnya yang berberewok itu. Apa sebabnya, ia sendiri tiada kuasa menjawab. Tetapi sebenarnya karena semenjak kanak- kanak ia hidup sebagai anak yatim piatu. Teman pergaulannya hanya dengan kakeknya yang angker, berhati keras dan jarang sekali berbicara berkepanjangan, kecuali apabila sedang memberi penjelasan tentang jurus- jurus ajarannya.
Sebaliknya Yudapati berkesan ramah dan hatinya terbuka. Pendek kata ia jadi rindu kepadanya.
Tentu saja, perubahan sikap Isu Wardana tidak luput dari pengamatan kakek Mahendra. Mahendra sebenarnya bukanlah seorang yang hidup untuk kepentingannya sendiri. Diam- diam ia memikirkan masa depan cucunya. Melihat Isu Wardana kehilangan kegembiraan, ia mencoba mau mengerti. Kebetulan sekali, waktu itu ia sedang mengajarkan ilmu pukulan tangan kosong. Sebagai perumpamaan, ia membicarakan kehebatan pendekar Goratara yang kehilangan seluruh keluarganya.
Secara iseng, ia menyinggung Yudapati yang tidak patuh kepada sarannya. Tiba tiba saja, ia melihat kedua mata cucunya selalu berkilat kilat setiap kali ia menyinggung nama Yudapati.
- Apakah engkau memikirkan dia? ia mencoba bertanya.
- Benar. - sahut Isu Wardana dengan bersemangat.
- Dia berjanji hendak datang menjengukku. Katanya ingin berguru kepada kakek. - Hm. dengus Mahendra.
- Dia sudah melanggar perintahku. Masakan dia bisa menjadi muridku yang baik?
Isu Wardana menundukkan kepalanya. Otaknya bernutar hendak mencari kata- kata pembelaan. Setelah berdiam sekian lamanya. menjawab:
- Sebenarnya, dia mendengarkan saran kakek. Hanya saja, sebagai perajurit yang sedang melakukan tugas, ingin ia memperoleh kesaksian lebih luas. lagipula, pada saat itu dia belum menjadi murid kakek. Sekarangpun. belum. Alasan kakek untuk menolak kehadirannya, terlalu teegesa- gesa. Isu Wardana memang memiliki otak cemerlang. Meskipun masih tergolong usia akil- balig namun cara berpikirnya kerapkali melebihi cara berpikir orang dewasa.
- Hm. kembali lagi Mahendra mendengus.
Dan kakek yang tinggi hati itu tidak lagi menyinggung- nyinggung masalah Yudapati. Namun semenjak hari itu, ia mulai mengamat- amati Isu Wardana. Bocah itu ternyata memikirkan Yudapati. Ia seperti kehilangan semangat hidup. Kira- kira tiga bulan sesudah pembicaraan itu, ia mencoba lagi:
- Isu! Apakah engkau benar- benar menginginkan agar Yudapati berguru kepadaku?
Mendengar pertanyaan itu. Isu Wardana terloncat dari duduknya. Dengan gembira ia menyahut:
- Aki! Aku tahu. aki niscaya berkenan menerima kakak Yudapati sebagai murid, setelah berkata demikian terus saja ia memeluk kakek Mahendra erat- erat.
- Hei, hei nanti dulu! Enak saja engkau berbicara. Sekarang di mana Yudapati berada?
- Aku akan mencarinya dan membawanya kemari.
- Bagaimana mungkin? ?
- Antara kita berdua sudah saling berjanji dan saling memberi tanda. Dengan tanda-tanda yang dibuatnya. aku tentu dapat menemukannya. ujar Isu Wardana
Kakek Mahendra tidak segera menanggapi. Ia berenung- renung sudah menyelesaikan jurusmu yang terakhir.
- Baik. Aku akan belajar dengan sungguh- sungai. - isu Wardana berjanji.
Isu Wardana benar-benar membuktikan janjinya.
Dengan sungguh- sungguh ia menekuni ajaran penghabisan kakeknya. Bahkan tidak mengenal lelah. Dengan demikian, pada waktu dua bulan saja, ia sudah membuat kakeknya puas. Kata orang tua itu pada suatu hari:
- Meskipun engkau baru mewarisi seperlima kepandaianku tetapi dengan modal ilmu yang sudah kau pahami, rasanya cukup sebagai temanmu berjalan. Engkau belum dapat malang- melintang, namun sudah susah dibandingi orang. Asal saja pandai membawa diri, kau takkan kurang suatu apa. Mahendra kemudian memberinya bekal perjalanan jauh. Selain beberapa keping emas. disertakan sebungkus pemunah racun pula. Setelah menciumi cucunya yang tersayang itu. berkatalah ia:
- Terhadap siapapun. janganlah engkau cepat- cepat menaruh percaya. Manusia kerapkali melebihi binatang kejamnya. Mereka bisa main racun. fitnah,perangkap dan berlagak budiman. Menghadapi manusia semacam demikian, prarasamulah yang memegang peranan. Gunakanlah akal dan pikiranmu. Jangan lupa kepada obat pemunah racunmu! Hematlah cara engkau menggunakan uangmu. Tetapi bukan berarti engkau berpakaian usang tak keruan. Kadangkala untuk mengelakkan pengamatan orang, belilah pakaian baru. Paling tidak, engkau masih mempunyai kesempatan untuk bertindak cepat.
Dan nasehat kakek Mahendra itu, diterapkan setelah ia mencebur ke sungai. Ia mencapai tepi sungai dalam keadaan basah kuyup. Setelah memeriksa buntalan dan senjatanya yang selalu dililitkan semacam ikat pinggang,
ia melanjutkan perjalanannya. Di sebuah kota kecil, ia membeli seperangkat pakaian baru. Dengan begitu ia tidak dapat terlacak cepat.
Waktu itu senja hari telah tiba. Bahkan matahari sudah mulai malas memanggang isi alam. Hawa sejuk mulai terasa meraba kulit. Angin datang dan pergi seperti biasanya. Isu Wardana duduk di atas ketinggian yang sebagian tertutup semak belukar. Pandangnya lepas menjangkau jauh di sana. Pengalamannya siang tadi mengacau kapal Chaiya, sungguh menggembirakan hatinya. Entah apa sebabnya. ia merasa berbahagia.
Untuk apa?
Ia sendiri tidak dapat menjawabnya. Tetapi ia jadi masygul, manakala teringat betapa laskar kerajaan ikut serta membantu sepak-terjang kaum Chaiya.
Kalau laskar kerajaan tidak lagi melindungi kepentingan rakyatnya, lalu kemana lagi rakyat hendak berlindung?
Apakah bedanya dengan kaum perompak atau kapal Chaiya yang pekerjaannya menggarong, membunuh dan memperkosa rakyat yang tidak berdaya?
Selagi benaknya disibukkan pikiran demikian, tibatiba ia mendengar seseorang minta pertolongan. Ia mengalihkan pandangnya ke arah kiri dan melihat seorang laskar Sriwijaya berlari-lari ketakutan dengan membawa sebilah golok di tangannya. Cepat ia berdiri untuk memperoleh penglihatan lebih luas lagi. Ternyata tiada sesuatu yang membuat laskar itu lari ketakutan. Seketika itu juga, teringatlah dia kepada kata-kata kakeknya. Ia harus senantiasa berwaspada kepada pekerti manusia yang pandai mereka- reka tipu- muslihat. Diingatkan hal itu, hatinya jadi panas. Terus saja ia berjalan menyongsongnya.
- Hai! Apakah engkau diuber setan? tegurnya.
laskar itu terperanjat ditegur demikian. Tetapi pada detik itu pula, dia nampak bersyukur. Sahutnya:
- Benar, benar. Aku diuber setan. Isu Wardana tertawa mendongkol. Dengan cepat sebelah kakinya bekerja. Dan laskar itu roboh di atas tanah.
- Di tengah belukar ini. kau berani mmyebut myebut tentang setan?
- Nanti dulu tuan muda. Dengarkan dulu kata-kataku! laskar itu ketakutan.
- Memang bukan setan sebenarnya, tetapi tidak berbeda. Dia manusia keparat. Seorang perempuan. Berpakaian pendeta. Tetapi kejam luar biasa. Tangannya gapah. Sedikit- sedikit main bunuh. Apakah dia bukan setan?
- Siapa?
- Namanya sih . . . hebat. - Siapa? bentak Isu Wardana.
- Pramusinta. - Hm. Lalu apa sebab engkau dicari setan itu? - Soalnya panjang, tuan muda. - Lalu, kau mau lari ke mana? - Aku mau lari . . . mencari perahu . . . akan berlayar sejauh mungkin. - Maksudmu, mau menumpang kapal orang Chaiya?
- Hai benar! - laskar itu berseri- seri.
- Bagairnana tuan muda tahu maksud hatiku?
Isu Wardana menatap laskar itu sejenak. Kemudian berkata:
- Aku tahu di mana kapal itu berlabuh. Kau ingin tahu? - Terima kasih. terima kasih. laskar itu membungkuk hormat empat lima kali.
- Mendekatlah! perintah Isu Wardana.
Segera laskar itu melangkah maju. Tiba- tiba
bluk!
Ia jatuh terbanting kena tonjok Isu Wardana. Kali ini tidak mudah ia bangun seperti tadi. Dadanya terlalu sakit
sehingga ia mengerang dan nyaris tak dapat menggerakkan tubuhnya.
- Kau habis merampok. bukan? tuduh Isu Wardana.
- Tidak. tidak. Sungguh mati. tidak. laskar itu membela diri sebisa- bisanya.
- Kalau tidak ,mengapa bisa keluyuran seorang diri sampai di sini? Mana induk pasukanmu?
- Kami beramai- ramai . . . - Beramai- ramai merampok? - Tidak. .
- Tidak bagaimana? bentak Isu Wardana sambil mengangkat sebelah kakinya akan menginjak dada laskar itu.
- Nanti dulu. nanti dulu! Dengarkan dulu kata- kataku. ujar laskar itu beringsut menjauhi.
- Apa yang harus kudengarkan? - Soalnya. kami belum sampai merampok.
Bluk!
Kaki Isu Wardana menendang pangkal pahanya. Laskar itu mengerang kesakitan. Dan mulutnya berkaok kaok dalam usahanya hendak membela diri. Serunya:
- Belum merampok. kan tidak merampok? - Tetapi engkau sudah membuat takut penduduk. bukan?
- Soal itu sih . . . terserah mereka. Mereka takut atau tidak, bukan urusanku.
Dengan geram Isu Wardana menarik tangannya dan digabrukkan ke tanah. Laskar itu berkaok- kaok kesakitan. Ujarnya:
- Tuan muda . . . dengarkan dulu! Jangan main hajar seperti . . . - Seperti setan. bukan? - Oh. tidak. Bukan itu maksudku. Tapi kalau tuan
muda mengira begitu, bukan urusanku.
Mau tak mau geli juga hati Isu Wardana. Tetapi terhadap orang semacam dia. harus bersikap kasar untuk menciutkan hatinya. Bentaknya mengalihkan pembicaraan:
- Kau ini memang pantas dihajar setan.
- Maksud tuan muda setan yang mana?
- Setan yang mana. bukan urusanku.
Isu Wardana menirukan gayanya.
- Ya. betul. Memang soal itu terserah padaku.
- Siapa namamu? - Tobil. - Tobil? - .
- Ya. Tobil.
- Tidak kurang?
- Tidak lebih juga tidak kurang. - Hm.
Isu Wardana mendengus.
- Engkau mempunyai kepandaian apa sampai berani merampok penduduk? - Soal kepandaian sih . . . terserah.
Tobil mencoba merangkak bangun.
- Duduk! - , perintah Isu Wardana lantang.
- Ya, duduk. Tobil jadi latah.
- Kau mempunyai kepandaian apa? Isu Wardana mengulangi pertanyaannya.
- Soal kepandaian sih . . . terserah. kembali lagi Tobil mengulangi jawabannya.
- Apakah karena engkau bersenjata golok?
- Barangkali. - Apakah karena engkau mengandalkan baju seragammu?
- Barangkali.
- Barangkali bagaimana? - Soal itu sih . . . terserah. ..
Plok!
Isu Wardana menggaplok pipinya. Dan untuk
kesekian kalinya. Tobil mengerang kesakitan. Dan tepat pada detik itu pula.
Isu Wardana melesat tinggi di udara dan turun ke tanah dengan berjungkir- balik amat manis. Menyaksikan pertujukan itu. Tobil lupa mengerang. Mulutnya ternganga- nganga.
- Bagaimana? Apakah engkau bersakit hati, karena kugaplok, kutendang dan kutonjok? gertak Isu Wardana.
- Tidak, tidak . sama sekali tidak.Tobil ketakutan
- Tetapi mengapa mengerang kesakitan?
- Soal itu sih...terserah.
- Terserah bagaimana?
- Diam! - bentak Isu Wardana gemas.
- Maksudku, aku tidak percaya kalau engkau habis merampok. - Memang, tidak. Siapa yang berkata, aku merampok. Bukankah tuan muda sendiri yang menuduh begitu? - Kalau tidak merampok, lalu mengapa sampai keluyuran kemari? - Soalnya . . . eh, maksudku, karena aku tunduk pada perintah. Aku di perintahkan untuk mengejar seorang gadis yang mencuri peta kerajaan.
- Peta apa?
- Itu bukan urusanku. ..eh., .maksudku,aku tidak tahu. - Sekarang di manakah gadis itu? - Tadi kita kepung. Entah sekarang.
- lalu apa hubungannya dengan setan perempuan yang kau takuti? - Soalnya . . . eh . . . soalnya . . . eh,'maksudku kabarnya dia murid setan itu. Karena perkara setan perempuan itu sudah kudengar semenjak lama . . . eh maksudku sepak- terjang setan perempuan itu, jadi aku mau cuci tangan.
- Hm.
Isu Wardana berpikir sejenak.
- Kalau begitu, tanggalkan baju seragammu!
- Mengapa?
- Selama engkau mengenakan baju seragam, setan perempuan itu akan dapat mencekukmu. Tobil Lalu memanggut- manggut mengerti. Segera ia menanggalkan baju seragamnya. Kini tinggal mengenakan celana dalamnya saja. Menyaksikan hal itu, dalam hati Isu Wardana tertawa geli. Pikirnya:
- Kau manusia sebangsa kantung nasi. Masih untung, aku tidak membunuhmu. Kau kini kena kutelanjangi. Hatiku puas, sudah.
Setelah berpikir demikian, Isu Wardana kemudian memerintahkan Tobil agar lari secepat- cepatnya. Goloknya harus ditinggal pula. Dengan begitu sang laskar itu kini berlari- larian seperti ayam terondol kehilangan bulunya.
Dengan hati masygul, Isu Wardana mengawaskan Tobil sampai hilang dari peuglihatan. Pikirnya,
- kalau laskar Sriwijaya hanya terdiri dari manusia- manusia seperti dia, apa yang dapat diharapkan kecuali sebagai alat untuk menakut- nakuti penduduk belaka. Pantas, laskar Sriwijaya mudah saja beralih majikan.
Teringat akan cerita Tobil tentang gadis yang sedang dikepung laskar kerajaan, bergegas ia meninggalkan tempat itu. Tidak lama kemudian, ia mendengar suara teriakan dan hentakan- hentakan nyaring. Buru- buru ia menyelinap di balik belukar dan melepaskan pengamatannya.
Seorang gadis berpakaian merah muda mencoba melarikan diri. Tetapi akhirnya tak dapat berbuat banyak karena terkepung belasan laskar kerajaan yang bersenjata lengkap. Menilik gerak- gerik gadis itu, jelas sekali ia tidak dapat berkelahi. Maka diam- diam isu Wardana bersiaga membantu.
- Selamanya hanya gadis- gadis saja yang akan dijadikan korban kebiadaban. ia geram.
Selagi gadis itu mundur dengan pandang putus asa, sekonyong- konyong muncul empat orang dari balik gerumbul. Dengan berteriak tinggi, empat orang itu menghajar belasan laskar kerajaan kalang kabut. Hebat sepak- terjang empat orang itu. Pukulan dan tendangannya ganas. Setiap kali mengenai sasaran, mereka menggeram dan berteriak tak ubah aum singa kelaparan.
Apakah mereka pembantu- pembantu gadis itu?
Isu Wardana berteka- teki.
Sekarang, ia mengamat- amati wajah dan perawakan mereka. Rata- rata mereka berwajah menyeramkan. Yang dua orang tinggi besar. Yang ketiga dan keempat. agak kerempeng dan pendek buntet. Gerakan tangan dan kakinya lincah cekatan. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang. Terdiri dari kulit harimau, beruang. kijang dan lembu. Karena bersikap galak, maka pakaian yang dikenakannya menambah kegarangannya.
Empat laskar yang masih belum tersentak gempuran mereka, mencoba melarikan diri. Tetapi belum tersentak gempuran mereka, mencoba melarikan diri. Tetapi belum sampai mencapai lima langkah, mereka sudah roboh terjengkang kena cengkeraman maut. Setelah itu mereka berempat maju mengepung.
Dihampiri mereka, gadis itu mundur dengan wajah berubah. Menyaksikan hal itu. dengan cepat Isu Wardana dapat menebak kedudukan mereka.
- Celaka! - pikirnya di dalam hati.
- ini yang dinamakan, terlepas dari lilitan naga terperangkap dalam mulut harimau. Kalau begitu tidak boleh aku tinggal diam.
Dalam pada itu terdengar sang gadis menegur mereka
dengan suara lembut:
- Engkau mengharapkan apa daripadaku? Keempat orang itu tertawa bergegaran seperti geli mendengarkan sebuah lelucon. Kata yang berpakaian kulit harimau:
- Nona, kau boleh mengingusi anjing- anjing buduk itu. Tetapi jangan terhadap kami. Bukankah engkau puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana?
- Kalau benar. bagaimana? - Nona. usia manusia tidak dapat dibeli dengan uang atau macam harta benda apapun. Maka lebih baik serahkan kepadaku!
- Apa yang harus kuserahkan?
- Hahaha . . . sudah kuperingatkan tadi. jangan berlagak bodoh atau mencoba mengingusi kami. Kalau kami kehilangan kesabaran, aku tidak hanya akan membunuhmu. tetapi sebelumnya nona bisa kutelanjangi dahulu.
Wajah gadis itu merah padam. Dengan suara gugup ia menyahut:
- Katakanlah yang jelas, apa yang kalian kehendaki!
- Hm . . . bukankah peta itu berada di tanganmu? Kami tahu, peta itu tadinya tersimpan rapat dalam kotak emas yang kena direbut para pahlawan raja. lalu, engkau berhasil mencurinya. bukan? Nah, serahkan peta itu! Sebab harta karun yang tertulis jelas dalam peta itu, sangat penting bagi kami.
Tiba- tiba terdengar suara tajam menusuk telinga:
- Eh, enak saja engkau memutar lidahmu. Manusia semacam kamu masakan pantas menyimpan harta warisan kerajaan? Mendengar suara itu, mereka berempat berpaling ke arah datangnya suara. Tidak terkecuali gadis itu dan Isu Wardana. Dari balik ketinggian, muncullah seorang biarawati setengah umur berwajah cantik. Dialah Pramusinta.
- Siapa kau? bentak keempat- empatnya.
- Bukankah kamu yang mengagungkan diri dengan nama Pramuka, Pradata. Prabanca dan Pradiksa'! Hm. hm . . . hebat sekali bunyi nama kalian. Tetapi kerjanya ternyata hanya pandai menggertak dan merampok orang yang tidak berkepandaian.
- Siapa kau?
- Masakan kalian tidak mengenal siapa diriku? Aku biarawati Pramusinta.
- Heh? mereka mundur selangkah oleh rasa terkejut.
- Mengapa? Takut?
- Hm. orang yang bernama Pramuka mengeram.
Dialah yang mengenakan pakaian kulit harimau.
- Apa yang harus kutakuti? Apakah karena pakaian biarawatimu?
Rupanya mereka berempat belum mengenal siapa Pramusinta sebenarnya. Sekiranya sudah mengenalnya, tentunya sudah melarikan diri. Kecuali apabila yakin kepandaiannya lebih unggul daripada biarawati yang ganas itu.
Pramusinta tertawa panjang sambil menggerak- gerakkan kebutannya. Katanya dengan suara tenang:
- Kalau begitu. kalian perlu kuajar kenal
Belum lagi gaung suaranya habis, Pramusinta sudah melesat menghajar mereka. Menyaksikan kegesitan Pramusinta, diam- diam tercekat hati Isu Wardana. Seketika itu juga, pikirannya bekerja. Cepat luar biasa, ia menarik lengan gadis itu dan dibawanya lari. Ia tidak menghiraukan lagi bagaimana akhir pertempuran itu. Namun ia yakin mereka berempat tentunya akan segera mampus, apabila tidak segera melarikan diri.
- Hai hai ! Aku akan kau bawa kemana?
- Sekarang lari dahulu! Makin jauh makin baik. ujar Isu Wardana.
Dan mereka terus berlari- larian sampai petang hari tiba. Samar- samar Isu Wardana melihat sebuah gubuk berdiri di tengah huma. Tanpa berpikir panjang lagi ia menarik lengan gadis itu dan dibawanya memasuki gubuk.
Begitu tiba di dalam gubuk, mereka menjatuhkan diri dengan nafas terengah- engah. Lama mereka berdiam diri dengan saling memandang. Setelah itu Isu Wardana membuat api pendiangan. Oleh sinar api, ruang itu jadi terang.
- Hai. bukankah sama halnya dengan bunuh diri? - tegur gadis itu.
- Mengapa bunuh diri?
- Api ini akan menuntun biarawati tadi kemari.
- Dia bukan biarawati. Dia seekor iblis.
- iblis? - Ya. iblis. Iblis Pramusinta. - Kau kenal dia?
- Tentu saja, karena aku adalah ayahmu. - sahut Isu Wardana.
Gadis itu memandangnya dengan penuh pertanyaan. Menegas:
- Kau maksudkan ayahku?
- He- e.
- Mengapa? - Karena namaku hampir mirip. Namaku Isu Wardana. Nah. kan tinggal menambah Jaya saja? Mendengar keterangan Isu Wardana. gadis itu tertawa geli. Gadis itu tidak lain adalah Tara Jayawardani yang meninggalkan Yudapati dan Tilam yang rebah kehilangan kesadarannya. Hatinya sedih dan pilu. Bukan karena melihat mereka pingsan, melainkan mengira mereka berdua adalah
sepasang kekasih yang tidak boleh terganggu oleh kehadirannya. Dengan menahan rasa sakit, ia mengaburkan kudanya sejadi jadinya. Tiba- tiba tujuh pendeta berjubah kuning sudah menghadang di depannya.
Entah bagaimana cara mereka menghentikan lari kudanya, tahu-tahu dirinya sudah dikepungnya rapat.
- Hai Pramodha. Ngawen. Pancakara! Bukankah dia mirip kemenakan kita? seru Punta Sardula dengan suara gembira.
- Bukan. bukan! sahut Pramodha.
- Bukan bagaimana? - Tidak tepat. - Yang mana yang tidak tepat?
- Dia memang kemenakan kita. Jadi bukan hanya mirip. Tara Jayawardani tidak diberi kesempatan untuk berbicara atau menerangkan siapa dirinya. Ketujuh pendeta itu sudah memegang kedua lengannya.
- Nah, benar atau tidak? ujar Punta Sardula. Sama sekali dia kosong tak berisi. Kita sedang diuji kesetiaan kita. Semenjak dahulu ayahnya berpesan. bahwa puterinya akan dibiarkan tumbuh sebagai manusia lumrah. Lalu kita bertujuhlah yang harus mengisinya. Kau tahu maksudnya? Ayahnya akan mengukur kesungguhan kita masing- masing. Kalau tidak berharga. kita akan dianggap enteng. - Ya, benar. sahut Pramodha.
Kemudian berkata minta pertimbangan kepada Panangkar.
- Engkau selamanya. tidak banyak berbicara. Bagaimana menurut pendapatmu? Punta Panangkar yang pendiam. menyahut pendek:
- Masing- masing memberi dua jurus.
- Bagus! Dengan begitu. ayahnya akan menghadapi
teka- teki empat belas jurus. Aku ingin tahu apakah dia bisa merangkaikan menjadi satu pengucapan. sambung Punta Garung.
Tentu saja Tara tidak mengetahui ujung- pangkal pembicaraan mereka. Yang diketahuinya pertama-tama. tiba tiba saja ia tidak pandai berbicara. Lalu dibawanya ke sebuah biara. Dan dalam biara itu, ia diwajibkan memahami jurus- jurus yang diajarkan tanpa ada penjelasan maupun hafalan. Mereka bersikap keras dan meniliknya dengan cermat. Dan waktu empat belas jurus sudah dikuasainya. tak terasa sudah memakan waktu tiga bulan lebih. Malam penghabisan itu, ia disuruh mempertontonkan jurus- jurus ajaran guru masing- masing. lalu diperkenankan tidur beristirahat. Sewaktu bangun di pagi hari, mereka tiada nampak lagi batang hidungnya. Ia sendiri sudah dapat berbicara seperti sediakala. Bagi seorang gadis seperti dirinya, itulah suatu pengalaman yang paling hebat dan mengerikan.
Dengan kepala penuh teka-teki ia keluar dari biara. Ternyata kudanya sudah dipersiapkan dengan membawa beban sebungkus pakaian serta makan- minumnya. Ia jadi berpikir- pikir.
- Sesungguhnya ketujuh pendeta itu bermaksud baik atau buruk terhadap dirinya? Mengapa ia disebut- sebut sebagai kemenakannya? .
( BERSAMBUNG JILID 5)
*******
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 5
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang- Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(Team Kolektor E-Book)
*******
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 5
Teka teki itu tidak dapat dipecahkan sampai beberapa hari lamanya. Pada suatu hari, ia berhenti di sebuah kedai. Tujuan perjalanannya kali ini tidak sejelas dahulu. Mengingat nasib orang tuanya, wajahnya kembali nampak murung. Ia jadi menyesali diri sendiri. Ia sudah bertemu dengan Yudapati.
Mengapa ditinggalkannya hanya karena menuruti kata hati belaka?
Sekarang kemana lagi ia hendak mencarinya?
Karena disibukkan oleh masalah itu, teka- teki tujuh pendeta itu mulai sirna dari benaknya. Ia harus mendapatkan suatu ketegasan lagi. Kalau tidak, apa guna- faedahnya berkelana dengan menanggung segala akibatnya.
Selagi bernenung- menung demikian, tiba- tiba ia melihat rombongan laskar Sriwijaya yang dipimpin oleh Samaratungga, Hanuraga dan Bisatanding. Hatinya tercekat dan jantungnya berdebaran.
- Celaka, pikirnya.
Tetapi aneh, mereka yang tentunya sudah mengenal dirinya bersikap
acuh tak acuh. Mereka sedang asyik membicarakan kotak pusaka yang katanya berisikan sehelai peta harta karun kerajaan turun- temurun. Diam- diam ia memasang pendengarannya
- Sst! Benarkah tuanku Boma sudah berhasil merebut kotak pusaka itu?
Samaratungga minta keterangan kepada Hanuraga.
- Apakah engkau tidak dapat menutup mulutmu? bentak Hanuraga.
- Kau sendiri tahu, tuanku Boma lagi mengatur perangkap. Kotak pusaka berada pada beliau. Tetapi peta harta karun kerajaan turun- temurun itu dipercayakan kepada kita.
Samaratungga memanggut. Dan mendengar pembicaraan itu, hati Tara tergoncang hebat. Kalau peta leluhurnya itu benar-benar berada pada mereka, nilainya setara dengan lambang Dapunta Hyang.
Maka diam- diam ia memutar otaknya untuk mencari akal dapat merebutnya.
Tetapi dengan cara apa?
Pada saat itu, teringatlah ia kembali kepada Yudapati dan Tilam. Andaikata mereka berdua berada di sampingnya, tentunya akan dapat direbutnya dengan mudah.
- Hanuraga! ujar Samaratungga dengan berbisik.
- Engkau berkata dipercayakan kepada kita. Tetapi aku sendiri belum pernah melihatnya. Apakah adil?
Hanuraga memberengut. Tetapi kemudian ia merogoh ke dalam bajunya dan mengeluarkan sehelai kertas yang dilipat rapih. Setelah bercelingukan kesana kemari, ia membuka liptannya dan diperlihatkan kepada Samaratungga. Sedang demikian, tiba- tiba seorang laskar lari dengan nafas terengah- engah.
- Tuanku! Tuanku! Tujuh pendeta itu . . .. rupanya mengikuti kita. - Apa? mereka berdiri serentak dengan wajah pucat
Lalu seperti saling berebut mereka lari berserabutan dahulu mendahuluinya. Sebentar saja, bayangan mereka telah hilang dari penglihatan.
Tara berdiri pula dari kursinya.
Apakah yang harus dilakukan?
Menyongsong kedatangan ketujuh pendeta itu atau mengejar rombongan laskar yang membawa peta harta karun kerajaan leluhurnya?
Ia hendak melangkahkan kakinya atau tiba- tiba ia melihat kertas peta itu jatuh tercecer di atas lantai. Memang sepak- terjang tujuh pendeta itu merupakan momok bagi mereka. Seluruh laskarnya mati tercengkeram.
Tara tidak berpikir lebih cermat lagi. Terus saja ia memungut kertas peta itu dan disimpannya di balik bajunya. Lalu ia melompat ke atas kudanya dan mengaburkan sekencang- kencangnya ke arah barat. Diluar dugaan, baru saja ia tiba di luar perkampungan, serombongan laskar kerajaan sudah menghadangnya. Hanuraga yang berada di antara mereka terdengar berteriak nyaring: .
- Benar! Benar dia! Tangkap! Siapa lagi kalau bukan dia. Tangkap Peta itu harus kita rampas kembali. Kalau tidak, kepala kalian taruhannya. Hanuraga tadi melompat begitu saja dari kursinya karena dihentakkan oleh rasa terkejut. Setelah lari selintasan, barulah dia teringat akan petanya. Wajahnya pucat lesi karena peta tiada lagi padanya. Samaratungga tidak membawanya pula. Buru- buru ia kembali ke kedai dan memperoleh keterangan bahwa seorang nona yang duduk di sudut tadi membawa lipatan kertas dan disimpan di balik bajunya. Mendapat keterangan itu. segera ia mengerahkan seluruh laskarnya untuk mengejarnya.
Tara tentu saja tidak sudi menyerah dengan begitu saja. Sebisa- bisanya ia mempertahankan diri. Tetapi ia kalah jumlah. Kudanya terampas dan terpaksa ia berkelahi. Ternyata jurus- juru ajaran tujuh pendeta itu banyak gunanya. Laskar kerajaan tidak berani terlalu mendesaknya. Mereka hanya mengurungnya rapat-rapat. Selanjutnya keadaan jadi berubah dengan datangnya Pramuka. Pradata. Prabanca dan Pradiksa. Dan pengalamannya hari itu, berakhir dengan munculnya Isu Wardana yang membawanya lari bersembunyi di dalam gubuk.
Melihat seorang pemuda yang sebaya dengan dirinya, bersikap sopan dan bermaksud baik, Tara tidak mempunyai alasan untuk berprasangka buruk. Hanya saja pemuda itu berlagak seolah- olah mengetahui segala masalah sehingga berkesan ketus.
- Umurmu berapa sih? - Umurku? Paling tidak di atas umurmu.
- Aku hampir berumur tujuh belas tahun. - Aku hampir delapan belas tahun. Nah. bukankah betul tebakanku? ujar Isu Wardana ketus.
- Apakah aku boleh mengenal namamu? Tara hampir membuka mulutnya. Tiba- tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Sahutnya:
- Hampir sama.
- Hampir sama?
- Hampir sama dengan apa? dengan siapa?
Tara tersenyum. Hatinya terhibur karena melihat Isu Wardana menebak- nebak. Katanya menirukan lagak pemuda itu:
- Hampir sama dengan ayahmu.
- Ayahku?
Isu Wardana terbelalak.
- Ayahku setan.
- Ah masa . . . Masakan setan bisa melahirkan manusia?
- Habis, aku sendiri belum pernah melihat ayahku.
- Kalau begitu, namaku mirip nama ibumu.
- Kalau begitu, namaku mirip nama ibumu. ?,
- Ibu? Ibuku juga setan. - ujar Isu Wardana.
Sekarang ganti Taralah yang agak bingung. Ia jadi menebak- nebak. Katanya mau mengerti:
- Apakah engkau tidak pernah melihat ibumu juga? Isu Wardana mengangguk. Dan tiba- tiba Tara jadi perasa. Sebagai seorang gadis yang berhati polos. berpendidikan dan berbudi halus. tak sampai hati lagi ia menggodanya. Ujarnya dengan suara halus:
- Namaku Tara Jayawardani. Kalau begitu hampir mirip dengan namamu. Isu Wardana terlongong- longong. Sahutnya:
- Wardani? Eh ya . . . mengapa hampir mirip? Kalau begitu, panggil saja aku Isu.
- Baik. Kaupun boleh memanggilku dengan Tara.
- Bagaimana kalau aku memanggilmu dengan Wardani? Tara memiringkan kepalanya. Lalu menyahut:
- Kurasa boleh juga.
Isu Wardana kemudian menutup mulutnya. Ia sibuk mengumpulkan ranting dan jerami kering. Lalu dimasukkannya dalam perapian sehingga api menyala tinggi.
- Hai! - tegur Tara.
- Apakah kau takut bakal dicekik iblis itu? Percayalah, dia tidak akan mengganggu kita di malam hari.
- Kau kenal dia?
- Tentu saja. Bukankah tadi aku berkata begitu? Kakekku seringkali membicarakan orang-orang jahat termasuk iblis perempuan itu. Eh, bagaimana engkau sampai bisa dikejar kejar orang begitu banyak?
Isu Wardana minta keterangan.
Melihat Isu Wardana bersikap acuh terhadap kehadiran Pramusinta, timbullah kepercayaannya. Kemudian
ia menceritakan pengalamannya. Tetapi tidak menyinggung nama Tilam atau Yudapati maupun tujuh pendeta yang menjejalinya empat belas jurus. Yang diceritakan hanya terbatas sewaktu melihat dan mendengar laskar bhayangkara kerajaan membicarakan peta harta karun. Itulah sebabnya ia kini. menjadi sasaran orang- orang jahat. Dan mendengar tutur- katanya, Isu Wardana tertawa geli.
- Mengapa engkau tertawa? Tara memberengut.
- Masakan engkau tidak? - Apakah aku harus tertawa?
- Tentu saja.
- Apa yang harus kutertawakan?
- Yang kau ceritakan itu. - Mana yang menggelikan?
- Masakan tidak tahu? - '
Diputar- putar seperti tembakau terpilin, betapapun juga Tara menjadi tak senang. Secara naluri ia menjadi tersinggung. Katanya dengan suara agak lantang:
- Aku katakan semuanya dengan sungguh- sungguh, tetapi engkau mentertawakan.
- Justru demikian. semuanya jadi menggelikan.
- Baiklah, kalau begitu biarlah aku pergi saja. ujar Tara. Dan gadis itu benar- benar beranjak dari tempatnya.
- Hai, nanti dahulu! '
- Mengapa?
- Apakah engkau tidak minta penjelasanku?
- Apakah engkau mau?
- Tentu saja. Duduklah!
Isu Wardana mempersilakan dengn suara manis.
- Aku memang nakal. Mungkin menyinggung hatimu. Tetapi apa yang kau ceritakan tadi. memang menggelikan. Apa lagi engkau tetap tidak menyadari. Masakan aku tidak boleh tertawa?
- Tidak menyadari dalam hal apa?
- Karena engkau dipermainkan orang. - Kapan? Isu Wardana menatap wajah Tara seakan- akan hendak menembus sampai ke hatinya. Kemudian berkata:
- Peta itu dianggap penting sampai perlu diperebutkan dengan mempertaruhkan jiwa, bukan? Katakan saja termasuk rahasia negara. - Benar.
- Kalau benar demikian, apa sebab diperlihatkan dengan sembarangan di ruang rumah makan yang terbuka? Mungkin pula tidak hanya engkau seorang yang sempat melihat. Bukan mustahil, bahkan diberi kesempatan untuk melihat. Tidakkah engkau dapat berpikir begitu?
- Yang minta agar peta itu diperlihatkan adalah salah seorang perwira mereka. Aku kenal dia. Dia bernama Samaratungga, salah seorang perwira bhayangkara yang berkedudukan tinggi.
Tara membela diri.
- Hm.
Isu Wardana mendengus.
- Hm, bagaimana? Tara mendesak. '
- Bagiku tetap berlaku. Apapun yang dianggap penting dan rahasia, tidakkan diperlihatkan kepada siapapun. Apa lagi di ruang rumah makan.
- Kau bisa memberikan contohnya?
Tara tidak mau kalah.
Isu Wardana tertawa terbahak. Sahutnya:
- Apakah aku harus menjawab?
- Kau menjawab atau tidak adalah hakmu. Tetapi dugaanmu kurang meyakinkan.
- Baiklah, akan kujawab.
Isu Wardana tertawa lebar.
- Kau anggap celana dalammu penting atau tidak? Kalau aku tidak hanya kuanggap penting. tetapi rahasia pula. Karena itu, biar bagaimana dan apapun alasannya. tidak akan kubuka begitu saja di ruang rumah makan. Apalagi
kalau sampai minta dilihat isinya. Entahlah bagimu.
- Iddih! bentak Tara.
Dan tangannya bergerak hendak menggaplok pipi.
- Hai! Apakah aku salah? Aku membicarakan celana dalamku sendiri. Bukan kepunyaanmu. lagipula itu untuk perumpamaan. Apakah salah? isu Wardana membela diri.
Entah apa sebabnya, gerakan tangan Tara terhenti di tengah jalan. Memang ia seorang gadis yang halus budi pekertinya. Hanya karena belum pernah mendengar ucapan yang langsung menusuk nalurinya. tiba- tiba saja secara naluriah pula tangannya bereaksi. Tetapi ia bisa berpikir cepat. Keterangan Isu Wardana yang berbau jorok, memberi kejelasan baginya. Justru demikian. wajahnya merah merata. Ia jadi malu. Malu karena menyadari kebodohannya meskipun sesungguhnya akibat hatinya masih terlalu polos sehingga mengukur pekerti orang lain dengan keadaan hatinya sendiri.
Oleh rasa malu, secara naluriah pula ia membungkam. Ia menundukkan kepalanya. Ia seperti merasa bersalah terhadap pemuda itu. Kini Isu Wardanalah yang jadi perasa. Pemuda itu kemudian menyanyi- nyanyi kecil. Menyanyi yang tidak mempunyai tangga nada tertentu. Melihat Tara masih saja membungkam. berkatalah ia mencoba:
- Mengapa engkau terdiam? Apakah aku memang salah? Baiklah, kalau begitu biarlah aku pergi saja.
ia menirukan pekerti Tara sebentar tadi. Terus saja ia beranjak dari tempatnya! Tara jadi gugup. Serunya tertahan:
- Tunggu! Kau mau ke mana?
- Ke mana saja. Dunia ini cukup luas bagiku. Aku kan tidak mempunyai masalah sampai perlu diuber- uber orang. - - jawab Isu Wardana ketus.
Tara membungkam. Ia merasa ucapan Isu Wardana tak ubah suatu hukuman yang pantas diterimanya. Namun wajahnya jadi nampak resah gelisah. Melihat kesan wajah itu. Isu Wardana tidak sampai hati hendak meninggalkannya benar- benar. Memang tujuan hatinya hanya memancing Tara agar mau membuka mulutnya lagi. Karena itu, ia kembali ke tempatnya dan berkata dengan hati- hati:
- Tara, selama hidupku belum pernah aku melihat wajah ayah maupun ibu. Aku hidup karena asuhan kakekku yang kasar. Kalau kata-kataku sampai menyinggung hatimu, maukah engkau memaafkan?
Mendengar kata- kata Isu Wardana. tersentuhlah hati Tara. Ia membalas dengan senyum. Sahutnya:
- Engkau tidak salah. Justru aku yang kau sadarkan kebodohanku. Ya, mengapa aku tidak dapat berpikir begitu? Kalau begitu, ia sengaja menjatuhkan peta itu agar kuambil. Tetapi mengapa begitu?
- Barangkali karena kehadiranmu dianggap penting oleh mereka. Bukankah engkau puteri seorang pangeran?
Hanya saja aku tidak tahu dengan pasti, apakah kedudukan ayahmu dalam pemerintahan. Atau . . . sampai di mana ayahmu memegang peranan dalam pemerintahan. ujar Isu Wardana.
Tara terbelalak. Di dalam hati, ia kagum akan kecerdasan dan kata- kata Isu Wardana yang tepat. Mojang Yudapati dahulu pernah kagum pula. Tak dikehendaki sendiri, ia sudah merasa kalah. Maka berkatalah ia dengan suara lembut:
- Apakah engkau tidak ingin melihat peta itu? Isu Wardana diam menimbang- nimbang. Sahutnya:
- Sebenarnya aku sudah dapat menebak sembilan bagian. Coba, aku ingin melihatnya. Mungkin pula ada gunanya. Tara kemudian mengeluarkan lipatan kertas dari balik bajunya dan diangsurkannya. Lipatan kertas itu kemudian dibentangkan Isu Wardana di dekat perapian. Dengan teliti ia memperhatikannya. Tiba- tiba ia berkata setengah berseru:
- Ah! Kalau begitu, aku yang salah. Peta ini kelihatannya asli. Tergambar dengan jelas. Mengapa perwira itu begitu semberono? Tara menatap wajah Isu Wardana dengan pandang penuh pertanyaan. Dia tadi berkata setengah mengejek.
Mengapa tiba- tiba jadi berubah seratus delapan puluh derajat?
Tatkala hendak menyahut, tiba- tiba ia mendengar suatu suara yang menggeleser halus di luar gubuk. Pada saat itu, ia melihat Isu Wardana mengedipkan matanya.
- Tentunya ini sebuah sungai. Lalu gunung. Kalau bukan gunung, setidak- tidaknya sebuah ketinggian. Ah, cara menggambarnya masih kuno. ujarnya. Setelah itu menyerahkannya kembali kepada Tara. Berkata lagi:
- Simpanlah serapih mungkin. Anggap saja seperti celana dalam . . . eh . . .
Mendengar kata- kata Isu Wardana yang terakhir itu. kembali lagi hati Tara jadi dengki. Tetapi melihat Isu Wardana mengedipkan matanya untuk yang kedua kalinya, ia percaya niscaya mempunyai alasan. Apalagi sebentar tadi ia mendengar suara halus yang mencurigakan.
Apakah ada yang mengintip?
Isu Wardana tidak berbicara lagi. Tetapi tangannya menggarit di atas tanah membuat sederet kalimat. Gerakan tangannya seakan- akan sedang memain- mainkan sebatang ranting. Mulutnya kemudian mengoceh:
- Orang yang mengerti apa arti peta ini, tentunya sudah sibuk mengintip kita. Mungkin orang bisa menyembunyikan suara langkahnya. Tetapi bagaimana dengan nafasnya? Atau sebaliknya. orang boleh menyimpan suara nafasnya,
tetapi bagaimana dengan suara langkahnya? - ;
Pada saat itu. tiba- tiba terdengar suara setengah makian dikejauhan:
- Bocah! Mata dan kupingmu rupanya perlu kucabut dari mukamu.
Tara terperanjat sampai wajahnya pucat lesi. Suara itu jelas sekali suara seorang perempuan. Ia mau menduga. Tentunya Pramusinta. Siapa lagi kalau bukan dia. Sewaktu hendak minta pembenaran kepada Isu Wardana, pemuda itu berkata:
- Karena kita sudah terjebak, biarlah peta itu aku yang menyimpan. Aku ingin tahu, apakah iblis perempuan itu bisa berbuat banyak terhadapku.
Berkata demikian, rantingnya mengetuk- ngetuk perlahan kepada tulisannya agar dibaca Tara. Bunyinya pendek saja:
"Larilah. apapun yang terjadi. Seumpama kepandaianku sepuluh kali lipat daripada sekarang, aku bukan tandingnya Pramusinta."
Tara mengangguk Kedua matanya berkaca- kaca. Ia tahu, pemuda itu bersedia berkorban baginya. Ia menyerahkan peta itu kembali kepada Isu Wardana. Berkatalah Isu Wardana seperti menghiburnya:
- Tidurlah! Kau perlu beristirahat.
Tara kembali mengangguk. Kemudian mencoba menidurkan diri. Tentu saja, tidak mudah. Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Namun ia sadar apa makna kata- kata Isu Wardana. Ia harus menghimpun tenaga. Mendadak teringatlah dia kepada ajaran tujuh pendeta. Mereka bertujuh pernah mengajarinya cara menghimpun tenaga. Segera ia melakukannya. Mula- mula harus mengosongkan diri dengan mengenyahkan semua pikiran yang mengganggu benaknya. Mengikuti dahulu arusnya, lalu mundur sedikit demi sedikit. Dengan demikian, ketegangannya terasa menjadi kendor. Tetapi tidak berarti kehilangan semangat hidup dan pengamatannya. Sesungguhnya itulah dasar ajaran orang bersemadi. Bila sudah mahir, orang tidak akan mendapat kesukaran. Sebaliknya, kerap kali orang kehilangan pengamatan. Apalagi bagi Tara yang baru belajar pada taraf pemulaan. Tiba- tiba saja ia sudah terseret dan tenggelam dalam dunia lupa. Dan tertidurlah ia dengan tak setahunya sendiri.
Entah sudah berapa lama ia tertidur, tatkala tangannya terguncang halus oleh sentuhan Isu Wardana. Ia terbangun dengan perasaan segar bugar. Pada waktu itu, api perdiangan sudah padam. Tinggal sisa- sisa ranting dan jerami yang membaru.
- Berangkatlah! bisik Isu Wardana.
Tetapi Tara Jayawardani menggelengkan kepalanya. Sahutnya:
- Tidak. :
- Mengapa? Apakah karena peta ini?
- Tidak. Engkau tidak boleh terancam jiwamu, karena diriku.
Isu Wardana tertawa perlahan. Ujarnya:
- Janganlah berbuat bodoh lagi. Engkau jauh lebih berharga daripadaku. Kau puteri seorang pangeran. Ayah ibumu tentunya mencemaskan keselamatanmu. Sebaliknya. aku tidak berayah bunda lagi. Matipun, siapapun tiada yang merasa dirugikan. Lagipula, belum tentu aku mati. Nah, cepatlah berangkat senyampang masih ada kesempatan. Aku akan tetap berada di sini. Pramusinta tidak akan mengejarmu, karena pagi hari belum tiba. Dia tidak akan membunuh orang di malam hari. Percayalah! Dalam hal ini, tutur-kata kakekku dapat dipercayai.
Tetapi Tara tetap tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan bergerakpun tidak. Menyaksikan hal itu, hati Isu Wardana mendongkol. Namun entah apa sebabnya. tiba tiba ia merasakan suatu kenikmatan yang aneh. Kenikmatan syahdu yang mengharukan. Inilah rasa nikmat yang tergetar lembut dalam hatinya untuk yang pertama kalinya. Getaran pancaran rasa seseorang yang merisaukan keselamatan dirinya. Ia jadi bengong terlongong- longong.
Untuk beberapa saat lamanya, ia tak pandai berbicara. Dan apabila sudah dapat menguasai diri, berkatalah ia minta keterangan:
- Mengapa engkau tidak melarikan diri selagi masih ada kesempatan? - '
- Mau lari ke mana?
- Mau ke mana, itu soal nanti. Yang penting, sekarang engkau harus melarikan diri. Terhadap iblis itu, engkau tidak boleh lengah sedikitpun. Kau dengar sendiri, dia tetap berada di luar untuk menjaga kita. Ia tidak akan menerjang ke mari, selama malam hari masih meliputi alam raya. Tetapi begitu matahari esok muncul di udara, semuanya akan jadi lain.
- Apanya yang lain?
Isu Wardana menyenak nafas. Ia merasa sedang berhadapan dengan seorang gadis yang belum pernah keluar dari pagar rumahnya. Atau mungkin gadis yang terlalu tolol. Karena itu ia menjawab dengan agak mendongkol:
- Kita tidak bisa berbicara lagi, karena kita mesti mati. - Masakan harus membunuh kita? Bukankah dia hanya menghendaki peta ini? Nah, kita berikan saja. Bukankah sudah beres?
- Apanya yang beres? Iblis itu tidakkan puas sebelum mencabut jiwa kita. Karena itu, kakek melarang aku bertemu atau berpapasan dengan dia. ujar Isu Wardana mengesankan.
Namun Tara belum juga dapat dibuatnya
menyadari ancaman maut itu.
- Baiklah. - akhirnya ia memutuskan.
- Berikan peta itu kepadaku. Nanti kuajari bagaimana cara melarikan diri.
Dengan pandang penuh pertanyaan, Tara menyerahkan peta kepada Isu Wardana. Sambil menerima peta itu, Isu Wardana berbisik:
- Kau rela, bukan?
Tara mengangguk.
- Bagus.
Isu Wardana gembira. Lalu berkata dengan suara wajar:
- Sekarang lihat yang jelas.
Dengan sekonyong- konyong ia merobek peta itu berkeping- keping dan dimasukkan ke dalam bara api. Seketika itu juga api perdiangan menyala kembali.
- Hai mengapa kau bakar?
Tara terkejut.
- Beres, bukan? Peta sudah menjadi abu. Mari kita berangkat. ujar Isu Wardana dengan suara tenang.
Tanpa menunggu persetujuan Tara. Isu Wardana kemudian melangkahkan kakinya menghampiri ambang pintu. Di luar masih gelap gulita. Di udara tiada sesuatu yang nampak. kecuali bintang- gemintang yang bergetar lembut. Tetapi hawa sudah mulai terasa sejuk.
- Mari! ajaknya.
Tara mengikuti dengan membungkam mulut. Belum lagi sepuluh langkah meninggalkan gubuk itu, terdengar suara tertawa halus. Lalu disusul dengan kata- kata bernada mengancam:
- Enak saja kau melangkahkan kaki. Kau anggap apa aku ini? Baik Isu Wardana maupun Tara tidak menjawab. Tara menirukan sikap Isu Wardana yang nampak tidak menghiraukan. Tak mengherankan, suara ancaman itu berubah menjadi lantang:
- Hai! Masih saja isu Wardana tidak menyahut. Dengan sendirinya. Tara membungkam pula. Mereka berjalan berjajar mengarah ke barat.
- Hai! Apakah kau paksa aku membuka mulutmu? Isu Wardana kemudian berkata kepada Tara:
- Kau tahu siapa yang hai. hai itu? Dialah iblis perempuan nomor satu di dunia. Kabarnya berwajah cantik. Sayang. tiada yang berani melamarnya. Karena itu, kuharap kau kelak jangan menjadi manusia iblis seperti dia.
Mendengar kata- kata Isu Wardana, muka Tara terasa panas. Padahal ia tahu, bahwa kata-katanya ditujukan kepada iblis Pramusinta. Maklum belum biasa ia hidup bergaul bebas di tengah masyarakat. Kata-kata yang menusuk naluri, belum pernah didengarnya di dalam istana.
- Hm, kau boleh mengumbar mulutmu. Sebentar lagi, ingin kutahu apakah engkau masih bisa memiliki lidahmu.
Pramusinta setengah mengutuk.
Pramusinta pernah tertumbuk batu sewaktu menghadapi Yudapati. Seorang pertapa sakti yang membantu Yudapati dengan diam- diam, benar- benar menakutkan hatinya. Itulah sebabnya, begitu memperoleh kesempatan, segera ia melarikan diri. Hatinya senang, karena merasa pasti jarum- jarumnya akan membunuh Yudapati. Hanya saja ia merasa khawatir, jangan- jangan pertapa itu menuntut bela. Karena memperoleh pikiran demikian, ia makin mempercepat larinya. Tak berani ia singgah ke kedai untuk membeli makanan. Pikirannya hanya satu. Secepat mungkin mencapai pemukimannya dengan segala daya upaya. Bila sudah tiba di pemukiman, nah barulah ia berhak mempunyai harapan untuk memperpanjang usia. Sebab pertapa itu memiliki kepandaian yang susah diukur betapa tingginya. Di tengah kediamannya, ia dapat menyerang dan menghilang dengan tiba- tiba. Seperti iblis-iblis yang lain. ia sadar dirinya dibenci hampir sesama makhluk,
Maka kediamannya selain dirahasiakan, diatur sedemikian rupa sehingga tidak mudah dilalui orang.
Hampir dua puluh hari, ia mendekam dalam kediamannya. Ternyata pertapa itu tidak muncul. Maka percayalah ia. bahwa jejaknya tidak diketemukannya. Dengan keyakinan itu, mulailah ia mengembara lagi memikirkan pembalasan dendam bagi suaminya dan kotak pusaka yang berada di tangan Lembu Seta.
Secara kebetulan saja ia ikut serta mendengarkan tutur-kata tentang peta harta karun yang tersembunyi di dalam kotak pusaka. Ternyata kotak pusaka itu sudah kena direbut pasukan Bhayangkara kerajaan. Kini berada di tangan seorang gadis yang belum pandai beringus. Segera ia turun tangan. Setelah dapat menggebah Pramuka dan kawan- kawannya. mulailah ia menguntit Tara dan Isu Wardana yang bersembunyi di dalam sebuah gubuk. Pikirnya dengan hati tertawa:
- Haha . . . masakan dengan aku bemain kotak-kotakan. - '
Tak usah dijelaskan lagi bahwa ia menganggap Isu Wardana dan Tara sepasang manusia yang tak perlu dipandang berat. Sayang. malam hari telah tiba. Seumpamanya tiada mempunyai pantangan segera mereka dapat dibereskannya. Walaupun demikian, hampir semalam suntuk tak berani ia lengah. Sebab setelah mendengarkan pembicaraan mereka selintasan. Ternyata pemuda itu mengenal siapa dirinya. Tentunya kakeknya seorang pendekar besar atau seorang petualang yang banyak melihat negeri orang.
Kalau tidak, betapa mungkin mengetahui pantangannya?
Dugaannya ternyata tepat. Sebelum malam hari membuka tirainya, isu Wardana sudah membawa Tara meninggalkan tempat. Yang mengejutkan hatinya. pemuda itu membakar peta yang diincarnya. Inilah yang membuat
ia mengambil keputusan cepat. Pemuda itu harus dicabut nyawanya juga gadis itu.
- Hai! Kenapa kalian diam saja? ia membentak dengan hati geram.
- Hai. hai siapa? - balas Isu Wardana tak kurang lantang.
- Apakah kau bernama hai pula?
Pramusinta tertawa mendongkol. Sahutnya:
- Kau tadi bukankah sudah menyebut- nyebut namaku? - lalu? - Dengan begitu kau tahu, namaku bukan hai. - Bagus!
Isu Wardana tertawa.
- Kalau tahu namamu bukan hai, mengapa kau mengira namaku hai?
- Aku mengundang engkau hai atau babi, siapa yang melarang? bentak Pramusinta.
Isu Wardana tertawa terbahak- bahak. Sahutnya:
- Benar, benar! Baru sekarang aku sadar, bahwa engkau raja babi. Pantas saja tidak ada yang berani melarangmu. Karena engkau raja babi . . . Jadi kalau engkau menganggap orang sebagai babi, maka sang raja babi . . .
- Tutup mulutmu! - Aku mengoceh atau tidak, siapa yang melarang? Isu Wardana membalas. Melanjutkan:
- Raja babi itu ternyata seorang perempuan yang berjubah seperti pendeta babi. Dia bisa berbicara seperti layaknya manusia, namun karena berotak babi . . . - Kau mau menutup mulutmu atau tidak?
- Kalau mau bagaimana, kalau tidak bagaimana?
- Hm, kau mau mengadu lidah denganku? bentak Pramusinta gemas.
- Apakah bisa? Kalau mau, mari kita coba. - sahut Isu Wardana cepat sambil tertawa.
- Hanya saja semenjak kemarin sore, aku belum makan. Aku takut, lidahku akan
mengotori lidahmu.
- Diam!
Kembali lagi Isu Wardana tertawa. Tara yang semenjak tadi mengikuti pembicaraan, diam- diam tertawa geli pula di dalam hati. Ia mempunyai kesan, temannya berjalan itu rada- rada liar dan nakal. Namun entah apa sebabnya, hatinya makin berkenan.
Dalam pada itu, fajar hari mulai terasa menyingsing. Isu Wardana tahu apa artinya, apabila matahari sebentar lagi muncul di udara. Artinya, maut bisa mengancamnya dengan mendadak. Untuk dirinya, bukan soal.
Tetapi bagaimana dengan Tara yang masih hijau itu?
Demi menyelamatkan gadis itu, ia perlu mendahului Pramusinta hendak memainkan perannya. Berkata dengan suara lantang:
- Hai raja babi! Apakah engkau hendak membunuh kami? - .
- Tentu saja, bila peta itu tidak kau serahkan. - sahut Pramusinta.
Dengan tidak sadar ia mau dirinya disebut dengan raja babi.
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Peta yang mana? Bukankah sudah kubakar menjadi abu? '
- Hm, kalau begitu kawanmu itu yang harus kubunuh dahulu. Baru engkau. - Salah. - Apa yang salah?
- Dia hanya melihat. Kalau kau bunuh, aku pun akan bunuh diri.
- Kau bunuh diri atau tidak, apa perduliku? - Bagus! Nah, bunuhlah dia. Tetapi engkau tidak akan memperoleh peta harta karun itu. Karena di seluruh dunia ini, hanya aku seorang yang sudah menghafalkannya dan memahaminya. ujar Isu Wardana.
Ucapan Isu Wardana tepat mengenai sasaran. Betapa
Pramusinta membawa sikapnya yang tinggi hati, diam diam ia seperti diingatkan. Namun ia tidak sudi kalah gentak. Katanya:
- Kau mau bunuh diri? Apakah bisa? Enak saja engkau menggoyangkan lidahmu.
- Mengapa tidak? Apakah di dunia ini hanya engkau seorang yang memiliki racun dan mengenal racun?
Pramusinta tergugu. Melihat lagak- lagu pemuda itu, agaknya bukan hal yang mustahil bila mengenal racun pula. Bertanya menegas:
- Kau anak siapa sampai mengerti perkara racun? Isu Wardana tertawa. Sahutnya:
- Aku anak babi dan engkau raja babi. Bukankah setali tiga uang?
- Ih! Pramusinta meledak.
Kalau saja tidak ingat akan pantangannya, tentu pemuda itu sudah dibunuhnya pada saat itu juga.
Isu Wardana tentu saja tahu keadaan hati Pramusinta. Maka dengan tertawa menang, ia berkata:
- Sebentar lagi, matahari terbit. Tetapi aku mau makan dan minum dahulu. Kau setuju, tidak?
- Tidak. Kau hanya boleh bergerak atas perintahku.
- Tetapi aku mau masuk kota untuk makan dan minum di sebuah kedai besar.
- Tidak boleh. '
- Mengapa tidak boleh?
- Aku tidak boleh ya tidak boleh.
- Ah ya. Baru aku ingat.
Isu Wardana menggaplok kepalanya.
- Ingat apa?
Pramusinta tertarik.
- Aku ingat ya aku ingat.
- Kau bicaralah! Akulah sekarang yang memiliki dirimu. - Sampai ke ingatanku?
- Justru ingatanmu itulah yang kuperlukan. - Jadi aku harus mengatakan apa yang kuingat tadi?
- Benar.
- Ini perintahmu?
Isu Wardana menegas.
- Perintahku.
Isu Wardana memiringkan kepalanya. Lalu berkata:
- Aku baru teringat. bahwa engkau raja babi. Karena itu tidak perlu makan nasi dan lauk pauk. Sebaliknya, aku kan babi kecil. jadi . . .
- Diam! bentak Pramusinta geram.
- Aku mau berbicara dan akan tetap menyebutmu sebagai raja babi sampai kau mengijinkan aku makan dan minum sesuka hatiku. Nah. bagaimana raja babi? Raja babi mengijinkan atau tidak?
- Kurangajar! maki Pramusinta sambil mengangkat kebutannya. - Kau mau membunuhku. nah bunuhlah!
Pramusinta merasa kuwalahan. Demi kepentingannya sendiri, terpaksalah ia menurunkan kebutannya .Sebaliknya Tara yang berjalan di samping pemuda itu bersikap tak perdulian. Ia seperti tidak mendengar semua percakapan yang sudah terjadi.
Mengapa tidak takut kepadanya?
Ia mengerlingnya sejenak.
Anak dara ini seperti tidak mempunyai kepandaian. Tetapi benarkah demikian? diam- diam Pramusinta berpikir di dalam hati. Biarlah kusabarkan sampai matahari terbit.
Isu Wardana sendiri pada waktu itu sedang mengasah otaknya. Ia tahu, Pramusinta seorang iblis yang tidak boleh dianggap ringan. Kakeknya seringkali membicarakannya. Mungkin dalam hal ilmu tangan kosong. ia dapat melayani.
Tetapi bagaimana dengan jarum- jarumnya yang
beracun?
Waktu itu pernah ia bertanya kepada kakek Mahendra bagaimana cara melawan jarum beracunnya. Menurut kakek Mahendra,mungkin sekali ia masih bisa melarikan diri dengan mengandalkan kegesitannya. Tetapi apabila sampai terkena, satu-satunya jalan hanya dengan Hatta Yoga atau Raja Yoga. Tentang ilmu yoga, pernah ia mempelajarinya sampai pandai berjalan dengan kaki di atas. Dengan membalikkan diri, mungkin sekali masih dapat ia menahan menjalarnya racun.
Sebaliknya bagaimana dengan Tara?
- Hai! Mengapa engkau membungkam? - tegur Pramusinta.
- Kau lagi mencari akal untuk melarikan diri, bukan? Hm, jangan bermimpi!
- Hampir tepat. sahut isu Wardana dengan suara datar.
- Hampir tepat bagaimana?
- Aku ingin tahu, kau bisa apa kalau berada di tempat ramai.
- Hm, apakah aku akan membiarkan dirimu memasuki kota? - Bukankah aku ingin makan dan minum?
Pramusinta terpaksa berpikir keras. Lalu memutuskan didalam hati:
- Tak apalah.Biarlah dia makan dan minum sekenyangnya dahulu. Setelah itu baru mengurus petanya
Justru ia'memutuskan demikian, tiba- tiba Isu Wardana menghentikan langkahnya. Kemudian mengajak Tara duduk'di sampingnya. Pemuda itu memperlihatkan sikap tak perdulian. Tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan dalam hati Pramusinta. Sebagai seorang iblis, otak dan perasaannya selalu bekerja untuk mengintai kelemahan lawan atau menciptakan akal-akal yang bisa menguntungkan dalam setiap perbuatannya. Maka wajar pulalah, bila
ia mengukur keadaan hati orang seperti keadaan hati sendiri. Itulah sebabnya dengan sikap bersiaga ia minta keterangan:
- Mengapa berhenti?
- Mengapa pula harus berjalan?
Isu Wardana membalas pertanyaannya dengan suatu masalah pula.
- Hm. Pramusinta mendengus.
- Hm.
Isu Wardana menirukan.
- Hm bagaimana? Isu Wardana tidak menanggapi. Ia membuang pandang matanya seakan- akan sedang mencari sesuatu. Sesungguhnya dia sudah memperoleh keputusan. Iblis itu tidak akan membunuhnya demi peta. Mengapa tidak mencoba- coba melawannya. Karena itu, ia menunggu sampai pagi hari tiba. Pada saat itu, semuanya akan jadi jelas.
- Hai! Hm bagaimana? desak Pramusinta.
- Dan kau lagi mencari apa?
Sebenarnya Isu Wardana sudah malas menjawab, karena mendongkol. Tetapi justru memperoleh pertanyaan lagi mencari apa, ia seperti memperoleh ilham. Pikirnya di dalam hati:
- Iblis ini agaknya ada yang dikhawatirkan kalau-kalau aku mendapat bantuan. Tentunya bantuan seorang maha sakti yang ditakuti. Oleh pikiran itu ia mencoba:
- Menurut perjanjian, kakekku akan menyusul ke mari. Mengapa? Apakah engkau takut? - Huh. .
Pramusinta mendengus. Tetapi menilik lagu suaranya, hatinya agak tercekat. Isu Wardana yang cerdik dan memiliki pembawaan yang cerdas dapat menangkap kesan itu. Hatinya jadi sedikit lega. Namun karena suasana alam belum cukup cerah,ia masih belum mendapat pegangan yang meyakinkan.
- Bagus! Memang ilmu kepandaianmu sangat tinggi
sehingga tidak gentar menghadapi siapa saja. Isu Wardana berpura pura dungu. Lalu berkata kepada Tara:
- Tolong, patahkan dua atau tiga dahan pada setiap pohon!
- Kau mau apa? - bentak Pramusinta.
- Hai, bukankah engkau tidak gentar menghadapi siapapun?
Pramusinta mendengus lagi. Pada saat itu Tara terus saja berdiri dan melakukan perintah Isu Wardana. Gadis itu percaya, kawannya berjalan itu tentunya mempunyai rencana atau akal tertentu untuk bisa membebaskan diri dari Pramusinta. Dengan berdiam diri. ia mematahkan beberapa cabang pada setiap pohon. Sementara itu Isu Wardana berpikir di dalam hati:
- Mudah- mudahan kakak angkatku Yudapati berada di sekitar tempat ini. Meskipun kepandaiannya rendah, paling tidak bisa kubuat alat untuk menakut- nakuti iblis itu.
- Bagaimana? Apakah engkau takut?
Isu Wardana mencoba menggertak.
- Itulah suatu tanda bagi kakekku. Bila kakek melihat tanda itu, dia akan mencariku. Taruh kata aku sudah kau bunuh, kakekku akan mencarimu biarpun engkau bersembunyi di ujung dunia.
- Apakah kakekmu mempunyai kepandaian setinggi langit sampai mampu mencari diriku ke ujung dunia? - Kau sabarlah sampai matahari terbit. Nanti engkau boleh mencoba kita berdua.
- Apakah temanmu itu mempunyai kepandaian? - Sebentar lagi boleh kau ukur sendiri. Tetapi hendaklah kau ketahui, bahwa kepandaiannya jauh berada di atasku. ujar Isu Wardana.
Tara yang sudah duduk kembali di sampingnya, tercengang mendengar ucapannya. Namun ia menutup mulutnva. Sebenarnya ingin ia minta keterangan tentang maksud pemuda itu memerintahkannya mematahkan dua atau tiga cabang pada pohon- pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu. Tetapi karena keadaan tiada memungkinkannya, ia batal sendiri
Khayal Isu Wardana sebenarnya hampir mendekati kebenarannya. Ia teringat kepada kakak- angkatnya yang dirindukannya. Itulah Yudapati. Sayang ia tidak mengetahui, bahwa kakak- angkatnya itu kini kepandaiannya sekian kali lipat bila dibandingkan dengan Pramusinta. Seumpama mengetahui hal itu, setidak- tidaknya hatinya akan bertambah mantap.
Dalam pada itu. fajar hari benar-benar sudah menyingsing kini. Matahari mulai mengintip di ufuk timur. Terdengar kokok ayam bersahut- sahutan. Kalau begitu tidak jauh dari tempat mereka berada, terdapat sebuah kota. Setidak-tidaknya suatu perkampungan yang berpenduduk agak padat. Dan mendengar bunyi kokok ayam itu. hati isu Wardana agak terhibur. Diam-diam ia mengerling kepada Tara yang duduk dengan pandang kosong. Entah ke mana melayangnya pikiran gadis itu. hanya Sang Hidup yang mengetahui.
- Sst. mengapa melamun? Sebentar lagi kita bakal mati. ujarnya.
- Tetapi jangan takut. Jasad kita bakal ada yang merawat. Kau dengar kokok ayam itu?
Tara memanggut. Sebaliknya, Pramusinta tersenyum lebar mendengar ucapan Isu Wardana. Katanya:
- Kau berbicara perkara mati. Apakah engkau akan mati?
- Ya. Karena aku akan melawanmu. Kau akan kuajak bertempur sampai diriku mati.
- Huh. dengus Pramusinta.
- Apakah engkau sudah berani mulai?
- Mulai ana?
- Membicarakan masalah kita. - Masalah? Aku tidak merasa mempunyai masalah. Barangkali engkaulah yang sudah jadi linglung.
- Baik. Anggap saja aku sudah jadi linglung. Tetapi engkau tidak boleh mati. sebelum membuatkan peta bagiku.
- Mengapa harus aku?
- Bukankah engkau yang membakarnya? - - Jadi berarti aku yang bertanggung jawab? - Tentu saja.
Isu Wardana terdiam. Berkata:
- Baik aku akan menggambar kembali peta itu menurut ingatanku. Bagaimana, kalau aku asal menggambar saja?
- Karena itu. aku akan membawamu serta untuk melacak harta karun itu dengan petamu. Isu Wardana tertawa. Mula- mula tertawa melalui dadanya. Tiba- tiba tertawa terbahak- bahak.
- Hai! Apa yang kau tertawakan? bentak Pramusinta.
- Raja babi.
- Kurangajar! - maki Pramusinta.
Dan iblis itu lantas saja mengangkat kebutannya. Isu Wardana sudah memperhitungkan akibatnya. Tiba- tiba ia meletik bangun dan menghantam. Hantaman itu di luar dugaan Pramusinta. Sama sekali tak terlintas dalam dugaannya,bahwa pemuda itu benar- benar berani melawan dirinya. Terpaksalah ia menangkis. Tetapi hantaman Isu Wardana kini berubah menjadi rentetan serangan bertubi-tubi.
Isu Wardana sudah memperoleh pegangan. Iblis itu tidak akan membunuhnya. Dengan begitu, tidak perlu lagi ia takut kepada jarumnya yang beracun. Kini tinggal melayani kebutannya yang kadang bisa lembut dan kadang bisa kaku tak ubah rambut baja. Asal saja dia dapat
mengatasi kecepatannya, mungkin sekali ada harapan untuk menindihnya.
Sebaliknya Pramusinta adalah seorang iblis Sejati. Kalau perlu, ' mau mengalah atau menelan semua hinaan. Tetapi dalam suatu kesempatan yang berada di luar dugaan lawan dapatlah ia menyerang dengan mendadak. Sekali menyerang,maut akibatnya. Demikianlah kali ini. Menurut ukurannya, ia sudah mau mengalah terlalu banyak terhadap pemuda yang bermulut usil itu. Di luar dugaan, kebaikan hatinya itu dibalas dengan suatu serangan yang cepat dan berbahaya. Untung, kecuali ilmu kepandaiannya memang tinggi ia jauh lebih berpengalaman daripada lawannya yang boleh dikatakan belum pandai beringus. Maka sedikit demi sedikit dapatlah ia mengukur kepandaiannya. Serunya dengan setengah tertawa:
- Hai, anak edan! Kalau tidak cepat- cepat tahu diri, aku bisa membuat dirimu lumpuh. Pada waktu itu, meskipun aku mempunyai obat dewa, tidak akan dapat menyembuhkanmu kembali. - .
Tetapi Isu Wardana tidak menghiraukan. Sahutnya:
- Kau boleh mencabuti semua bulu-buluku. Tetapi jangan harap kau bisa menjadikan diriku anak babi. lihat seranganku!
Ilmu kepandaian Mahendra yang sudah diwarisinya lima bagian, memang hebat tak terkatakan. Sayang, ia bertemu dengan iblis seperti Pramusinta. Sebentar saja, ia merasa kerepotan sendiri. Kemana saja ia menyerang, selalu jatuh ke tempat kosong. Bahkan kebutan Pramusinta sering menyerempet tubuhnya. Terpaksa ia menarik ikat pinggangnya yang istimewa dan berubah menjadi sebatang pedang lemas. Ibarat seekor harimau, Isu Wardana kini bertambah dengan sayap. Terus saja ia merabu dengan. kecepatan yang susah dilukiskan.
Tara yang menyaksikan dari tepian, terbelalak heran menyaksikan kepandaian Isu Wardana bermain pedang. Pernah ia menyaksikan ilmu pedang Tilam dan Yudapati, akan tetapi gerakan pedangnya tidaklah secepat ilmu pedang Isu Wardana. Ia yakin iblis itu sebentar lagi niscaya mati tertembus pedang.
Tetapi Pramusinta bukan iblis yang ditakuti orang, kalau tidak memiliki kepandaian istimewa. Memang, ia terperanjat menyaksikan ilmu pedang Isu Wardana. Pikirnya, tak kukira bahwa ilmu kepandaiannya begini tinggi. Selama hidupku baru kali ini aku melihat ilmu pedang yang begini bagus. cepat dan rapih. Kalau begitu. kakeknya yang dibanggakan tentunya seorang pendekar tua yang susah diukur betapa tinggi kepandaiannya. Aku harus berhati-hati. lantas saja ia mengerahkan semangatnya dan membalas menyerang sehebat- hebatnya. Dalam sekejap saja, empat puluh jurus sudah lewat.
Walaupun ilmu pedang warisan Mahendra bukan main bagusnya, tetapi Isu Wardana kalah pengalaman. Lambatlaun ia jadi terdesak. Meskipun demikian, tidak mudah Pramusinta menjatuhkannya. Mau tak mau iblis itu terpaksa mengakui kepandaiannya. Setelah belasan jurus lagi, Pramusinta mulai menggunakan akalnya. Dengan sengaja ia membuka suatu lowongan, agar Isu Wardana menikamnya. Benar saja Isu Wardana memang belum mempunyai pengalaman banyak. Apalagi bertempur melawan seorang iblis sehebat Pramusinta. Melihat lowongan itu, terus saja ia menikamnya dengan tusukan lurus. Pada saat itu pula, Pramusinta mengelak sedikit saja sambil menendangkan kakinya. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Isu Wardana, sehingga pedangnya terpental dan jatuh di atas tanah. Tetapi berkat ilmu kepandaian yang diwarisinya memang cukup tinggi ditambah memiliki keberanian
naluriah dalam kekalahan ia tidak kehilangan penguasaan diri. Tangan kirinya dibabatkannya miring dengan maksud hendak merampas kebutan Pramusinta.
- Bagus!
Pramusinta memuji
Waktu itu Tara hampir saja bersorak menang,menyaksikan pedang isu Wardana menikam suatu lowongan. Di luar dugaan suatu perubahan terjadi dengan cepat. Tak dapat lagi ia tinggal diam. Ia kini sudah memiliki empat belasjurus warisan tujuh pendeta. Sebenarnya tidak dapat dipergunakan bertempur dalam jarak waktu lama. Sebab hanya terpotong- potong seperti bentuk-bentuk huruf yang tiada kata sambungnya. Hanya terdorong oleh perasaan hendak membela kawannya yang berada dalam bahaya tiba- tiba saja ia melompat dan terus menyerang. Pukulannya hanya bersifat tunggal. Tak dapat diubah pergi datang atau menjadi suatu rangkaian gempuran seperti jurus- jurus ilmu kepandaian lainnya. Meskipun demikian karena masing- masing pendeta menurunkan dua jurusnya yang terbaik maka setiap pukulannya membawa suatu perbawa yang tidak mudah dipunahkan dengan begitu saja.
Begitu berhadapan, Pramusinta segera menghantamkan kebutannya. Tetapi karena Tara selama hidupnya tidak pernah berkelahi jadi tidak mengerti bahwa kehutan itu harus ditangkisnya. Tanpa menghiraukan serangan itu, Tara menyodok dada Pramusinta dengan suatu gerakan yang aneh sekali.
Pramusinta terkejut karena gerakan Tara ternyata membawa kesiur angin.
- ih. celaka!
Ternyata himpunan tenaga saktinya jauh lebih tinggi daripada pemuda itu.
- Ah, benar- benar aku kena dikelabuinya. - ia mengeluh di dalam hati.
Buru- buru ia melompat ke kiri sambil mengebut leher Tara. Pada saat itu Tara teringat pada suatu keharusan melepaskan jurus kedua yang kemudian harus
disambung dengan jurus- jurus lainnya seperti sewaktu ditilik ketujuh pendeta pada malam penghabisan.
Syukur, kelicikan dan kelicinan iblis itu justru menolong jurus sambung Tara yang dilepaskan dengan begitu saja seperti seorang murid lagi menghafal pelajaran sejarah di depan kelas. Seperti diketahui. Pramusinta terkenal sebagai iblis yang licik dan licin. Dengan mengukur baju sendiri. ia mengira jurus kedua Tara yang tidak menghiraukan kebutannya membawa tipu- muslihat. Karena itu, buru-buru ia menarik serangannya kembali yang hampir mengenai sasarannya. Lalu digantinya dengan maksud menggubat pergelangan tangan. Kali ini pun ia terkejut setengah mati. Tara tidak menghiraukan pergelangan tangannya yang terancam kebutan. Tiba- tiba tangan kirinya mencengkeram dada. Pada detik itu pula, Pramusinta melesat mundur dengan jumpalitan dan jatuh tepat di depan Isu Wardana yang sedang memungut pedangnya.
- Mau lari ke mana? bentak Isu Wardana yang lantas saja menusukkan pedangnya.
Tentu saja Pramusinta tidak sudi terancam bahaya dan membiarkan dirinya tertikam pedang. Ia meletik tinggi lagi di udara. Selagi badannya masih mengapung di udara, dengan suatu kecepatan kilat ia mengebutkan kebutannya. Tara yang tidak- mengerti ilmu berkelahi, tidak menghiraukan serangan berbahaya itu. Di dalam ingatannya hanya merasa mempunyai kewajiban tunggal. Ialah menyelesaikan jurus-jurus yang diajarkan ketujuh pendeta sampai habis. Tentu saja hal itu mengejutkan Isu Wardana. Terus saja Isu Wardana maju ke depan sambil menusukkan pedangnya.
Pramusinta tercekat hatinya. Ia masih berada di udara. Di luar dugaan Isu Wardana membantu Tara pada waktunya yang tepat. Ujung pedangnya kini mengancam pinggang. Selain itu. cengkeraman Tara yang disertai dengan kesiur angin tiba pula. Dengan mati-matian ia menghantamkan gagang kebutannya ke ujung pedang. Dan dengan meminjam tenaga pukulan Isu Wardana. ia melesat tinggi menjauhi.
Ia mengawaskan kedua muda- mudi itu dengan pandang terlongong. Ia heran bukan main. Pikirnya di dalam hati:
- Seranganku sebentar tadi mengandung enam puluh tiga macam perubahan. Seorang pendekar kelas utama pun, tidak berani meremehkan. Tetapi mengapa dara itu sama sekali tidak menghiraukan? Kedua tangannya terus bergerak dan hanya dengan satu kali tusukan bantuan pemuda edan itu. sudah dapat memunahkan. Celaka! Kepandaian dara ini benar- benar tak dapat kuukur betapa tingginya. Kurasa jalan satu-satunya hanya menculik pemuda edan itu secepat mungkin.
Tetapi sebenarnya, apabila Pramusinta melawan terus dalam waktu' yang cepat akan dapat mengetahui rahasia jurus- jurus Tara yang terbatas. Tetapi dari peristiwa itu, terbuktilah betapa tinggi ilmu kepandaian tujuh pendeta itu yang dahulu dengan mudah dapat melumpuhkan belasan laskar kerajaan dengan sekali turun tangan.
Karena Pramusinta tidak bergerak lagi, dengan sendirinya Tara menghentikan jurus- jurusnya. Apalagi tujuannya sudah tercapai. Ialah, Isu Wardana sudah tertolong jiwanya. Isu Wardana sendiri, juga tidak berniat bergebrak lebih jauh lagi. Ia tahu, bahwa kemenangan itu terjadi karena kebetulan saja. Tetapi sebagai seorang pemuda yang berotak, ingin ia menggunakan saat itu untuk menggertak Pramusinta. Itulah sebabnya, setelah menyimpan pedangnya kembali sebagai ikat pinggang, segera ia menghampiri Pramusinta dengan tertawa lebar. Katanya:
- Bagaimana? Tentunya engkau sudah dapat mengukur betapa tinggi kepandaian kakekku. Sebentar lagi dia tentu datang. Pada saat itu, meskipun engkau mencium kakinya untuk mohon ampun, belum tentu jiwamu tertolong. Pramusinta mulai memperlihatkan keasliannya. Terus saja ia bermain sandiwara dengan melupakan dahulu kehormatan dirinya. Ia nampak bingung dan resah. Setelah menyenak nafas selintasan, berkatalah ia :
- Apakah benar kakekmu sekejam yang kau katakan? - Kau lihat saja nanti. Aku hanya bermaksud, asal engkau tahu saja.
Isu Wardana menyahut cepat. Diam diam, hatinya girang.
Pramusinta maju dua langkah menghampirinya. Berkata lagi:
- Baik, mari kita berunding.
- Berunding tentang apa? - Peta.
Pramusinta makin mendekat.
- Hai, masih beranikah engkau membicarakan lagi perkara peta? - ejek Isu Wardana.
Isu Wardana boleh cerdas dan cekatan dalam hal mengambil keputusan. Akan tetapi dia bukan seorang pemuda yang licin dan licik. Apalagi belum cukup berpengalaman dalam menghadapi seorang iblis seperti Pramusinta yang bisa merubah sikap seribu macam. Ibarat orang yang pandai menyamar, Pramusinta kini bergaya seperti seseorang yang hatinya lagi kecut dan cemas. Tetapi begitu memperoleh kesempatan, tiba- tiba dengan suatu gerakan kilat, ia menyambar Isu Wardana dan dilontarkan di udara.
- Hai!
Isu Wardana memekik terkejut. Hatinya tercekat karena kedua lengannya terasa jadi kejang dan kaku. Demikian pulalah kedua kakinya. Dan sewaktu tubuhnya turun hampir menyentuh tanah. Pramusinta menyambutnya kembali dan dibawanya lari secepat kilat.
Tara tentu saja tidak mengira akan terjadi suatu peristiwa yang berjalan begitu cepat. Dia bahkan terlongong sejenak. Baru, setelah Isu Wardana dibawa lari oleh Pramusinta, secara naluriah ia mengejarnya sambil berseru:
- lepaskan! Untung Pramusinta agak segan terhadap gadis itu oleh pengalamannya sebentar tadi. Seumpama tahu, bahwa kepandaian Tara terbatas tentu ia akan segera menghentikan langkahnya untuk melumpuhkan perlawanannya terlebih dahulu. Apalagi Isu Wardana sudah dibuatnya tak dapat berkutik lagi. Karena takut menghadapi
jurus jurus Tara yang berbahaya, ia mempercepat larinya dengan sekali-sekali melontarkan Isu Wardana ke udara.
Yang merasa ketakutan adalah Isu Wardana karena baik kedua tangan maupun kakinya tak dapat digerakkan lagi. Sekali iblis itu luput menyambarnya, dia akan terbanting di atas tanah. Bukan mustahil kepalanya bisa pecah terbelah. Tetapi iblis itu ternyata benar-benar luar biasa. Selalu saja dia tepat pada waktunya untuk menyambar dan melontarkannya kembali. Dan setelah diperlakukan belasan kali, lambat-laun hati Isu Wardana jadi mendongkol. Mengapa dirinya perlu disiksa demikian, padahal iblis itu masih memerlukan uluran tangannya masalah peta harta karun. Tetapi dasar berotak cerdas dan cerdik, pada suatu saat tahulah ia apa sebabnya. Iblis itu semata-mata bermaksud meringankan beban. Kecuali itu agar dapat menjauhi Tara secepat dan sejauh mungkin. Memperoleh pikiran demikian. maka setiap kali Pramusinta melontarkannya tinggi di udara, ia berteriak nyaring:
- Tara! Tara! Lihat diriku! Iblis ini melalui jalan ini. Cegat di depan! Tercekat juga hati Pramusinta mendengarkan teriakan isu Wardana. Bentaknya lantang:
- Jahanam! Kau tak bisa menutup mulutmu? - Tidak! Aku akan terus berteriak- teriak. Kulihat dia melambaikan tangannya tanda mengerti. Huh, aku ingin tahu kau mau bersembunyi ke mana. Hooeee . . . Tara! Tengoklah ke belakang! Orang yang ikut lari mengejar adalah kakekku.
Mendengar bunyi teriakan Isu Wardana yang terakhir itu. Hati Pramusinta benar- benar tergetar. Sayang ia tak dapat menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya. Sebaliknya Isu Wardana yang terlontar tinggi di udara, tentu saja dapat memperoleh penglihatan luas. Memikir demikian, perlu ia mencegah secepat mungkin agar tidak jadi berkepanjangan. Begitu tubuh Isu Wardana disambarnya terus saja digendongnya di belakang punggung. Karena kedua tangan'Isu Wardana dipelukkan pada lehernya. maka pemuda itu menggamblok seperti sebuah ransel besar.
Pramusinta sebenarnya adalah seorang iblis yang masih suci bersih. Itulah sebabnya ia mengenakan jubah seorang biarawati. Tentu saja berdasarkan jalan pikirannya sendiri. Adapun Yogabrata yang dikabarkan sebagai suaminya,sebenarnya tidak lebih dan tidak kurang adalah semacam kedoknya belaka. Sama sekali ia tak pernah bersentuh tubuh. Kedudukan Yogabrata adalah semacam pelindungnya di mata pergaulan umum. Sebab mengingat dirinya, tidak memiliki biara sebagai lazimnya seorang biarawati yang mengenakan pakaian pendeta. Itulah pula sebabnya, ia tidak merasa kehilangan sewaktu Yogabrata mati terbunuh oleh pedang Yudapati. '
Sekarang di atas punggungnya menggamblok seorang pemuda yang cukup dewasa. Seorang pemuda yang berparas cakap dan memiliki sifat ugal-ugalan. Isu Wardana rupanya dengan sengaja naik dan turun di atas punggungnya. Bila merasa terperosot, dengan mengerahkan tenaga
tangan dan kedua kakinya ia menggeser naik. Bila terlalu tinggi. ia melorot turun. Dan yang hebat,anunya jadi menggeser- geser turun dan naik di atas punggung. Tentu saja,lama kelamaan Pramusinta jadi risih dan menggeridik sendiri.
Dengan gemas Pramusinta kemudian membanting Isu Wardana di atas tanah.
Isu Wardana meringis kesakitan. Teriaknya marah:
- Hai. apa salahku?
- Mengapa engkau turun naik di atas punggungku? Kau anggap punggungku tempat bermain enjot- enjotan? - bentak Pramusinta dengan suara meledak.
Isu Wardana tertawa sambil setengah mengerang. Sahutnya:
- Itu salahmu sendiri! Habis kalau tidak begitu. bukankah aku tidak dapat menggamblok kencang di atas punggungmu? larimu pesat bukan main seperti panah terlepas dari busur.
Meskipun mendongkol, mendengarkan pujian Isu Wardana, iblis itu terhibur juga hatinya. Menilik bunyi kata-katanya. tiada ia bermaksud buruk. Selagi hendak mendampratnya kembali, berkatalah Isu Wardana:
- Andaikata engkau membiarkan kedua kakiku bisa bergerak. bukankah aku dapat lari di sampingmu? Engkau tinggal menarik lenganku saja. Bukankah itu suatu kerjasama yang pantas?
Di dalam hati, Pramusinta membenarkan saran Isu Wardana. Tak terasa ia memanggut. Kemudian dengan mengebutkan kebutannya kedua kaki Isu Wardana dipukulnya dan terbebaslah pemuda itu dari kekejangannya.
- Aku mau mendaki gunung dengan melewati hutan bambu.
Isu Wardana tidak diberi kesempatan untuk membuka mulutnya. Tangannya disambarnya dan dibawa lari mendaki gunung. Jauh di atas sana. nampak sebuah rumah pertapaan yang tertutup hutan bambu. Tiba- tiba suatu ingatan terlintas dalam benak Isu Wardana:
- Hai raja babi! - serunya.
- Jangan masuki daerah itu! Di sana ada momok. - - ,
- Hm. dengus Pramusinta,
- Dalam hatimu engkau berdoa semoga kakek dan jahanam perempuan itu datang mengembutku. bukan? Asal aku sampai di atas gunung, biarpun kakekmu tiba- tiba mempunyai sayap, tidak akan dapat mengusikku lagi.
- Di sini benar- benar ada momok. Tak boleh engkau sembarangan memasuki wilayahnya. Isu Wardana memberi nasehat. Tetapi tentu saja. Pramusinta tidak menggubrisnya. Tahu-tahu dia sudah menerobos petak hutan bambu dan hampir mendekati rumah pertapaan itu. Tepat pada saat itu. terdengar suara tertawa dingin sekali yang disusuli dengan hentakan:
- Lepaskan tawananmu itu! Bentakan itu terdengar halus. Jelas suara seorang wanita. Namun mempunyai daya perbawa yang aneh. Pramusinta terkejut. Dan dengan tidak dikehendaki sendiri ia melepaskan tangan Isu Wardana karena tiba- tiba ia jadi limbung. Hampir saja ia jatuh terpeleset. Syukur ia seorang iblis yang cekatan dan berkepandaian tinggi. Kebutannya dikebutkan dan ia meletik tinggi dan mendarat dengan tegak di atas batu. Sewaktu berpaling ke arah Isu Wardana,pemuda itu sudah dapat bergerak seperti sediakala. Kedua tangannya bersiaga menghadapi suatu kemungkinan. Tetapi dipersiagakan untuk menghadapinya.
- Celaka! ia mengeluh di dalam hati.
- Orang yang menyerang diriku dan menolong pemuda edan ini, bukan manusia biasa.
Hatinya lebih tercekat lagi karena yang menyerang dirinya hanya menggunakan sehelai daun bambu. Kalau saja tidak memiliki himpunan tenaga sakti yang susah diukur betapa tingginya mustahil bisa memiliki kesaktian demikian. Ia sendiri dapat menaburkan belasan jarum dengan sekali lempar. Akan tetapi sebatang jarum mempunyai berat imbang yang padat. Sebaliknya sehelai daun bambu lain sifatnya. Apalagi sehelai daun bambu kering. Boleh dikatakan hampir tidak memiliki daya berat. Karena itu, tak dapat ia melakukan serangan macam demikian seperti orang ajaib yang belum menampakkan batang hidungnya itu. Meskipun demikian, ia tidak takut. Pikirnya, asal saja berwaspada masakan bisa ia melukai diriku.
- Maaf. Dengan tidak sengaja, aku melalui wilayah tuan. - ujarnya hati- hati.
Isu Wardana yang bermulut usil terus saja menimbrung:
- Jangan percaya! Dia sudah kuperingatkan. Tetapi ia bertekad hendak mencoba- coba kepandaianmu.
- Ngacau! bentak Pramusinta.
Tetapi Isu Wardana merasa memperoleh kesempatan. Ia mengoceh lagi:
- Nama raja babi ini, Pramusinta. Seorang iblis yang berpura- pura menjadi biarawati alim. Terdengar suara tertawa lembut dari balik petak hutan. Kemudian muncullah seorang biarawati pula yang mengenakan jubah pertapa. Jubahnya berwarna abu- abu. Usianya sebaya dengan Pramusinta. Hanya berkesan alim dan agaknya tidak mudah tertawa tanpa alasan demi kepentingan diri sendiri.
- Aku pun mengenakan jubah pertapa. Tetapi aku tidak mempunyai biarawan. 'Apakah aku sama dengan dia?
- 0 tidak. tidak! Jauh bedanya. sahut Isu Wardana
dengan cepat.
- Bibi berkesan agung dan prihatin. Sebaliknya, dia raja babi.
- Raia babi bagaimana?
- Iblis yang tidak mengenal perikemanusiaan. ..
- O, begitu? Aku tidak perduli apakah dia iblis atau bidadari. Siapapun yang berani melalui wilayahku, dia harus memperlihatkan kepandaian dahulu kalau menghendaki kebebasannya. Kau pun begitu juga.
- Aku?
Isu Wardana tercengang.
- Tentu saja.
- Tetapi aku hanya karena ditawannya. Bukan oleh kehendakku sendiri.
- Tetapi kakimu sudah menginjak tanahku. Karena itu engkau sudah membuat tanahku haram.
Isu Wardana tergugu.
- Aneh perempuan ini, pikirnya.
- Menurut tutur-kata orang, makin pandai seseorang makin aneh perilaku dan perangainya. Rupanya bukan tuturkata yang tidak beralasan. Pramusinta sudah termasuk manusia aneh. Pertapa itupun tidak kurang anehnya. Jalan pikirannya tidak mudah dipahami. Perbedaannya tinggal, entah baik entah buruk. Kalau tiada bedanya dengan Pramusinta, dia pun raja babi pula.
Baik Pramusinta maupun pertapa itu sama- sama memiliki hati angkuh. Segera mereka bertempur mengadu kepandaian. Pramusinta seperti biasanya bersenjata kebutannya yang istimewa. Kebutan yang mempunyai sifat lemas dan tiba-tiba bisa menjadi kaku kuat tak ubah baja. Sebaliknya pertapa itu hanya menggunakan ranting bambu yang diambilnya dengan sembarangan saja.
Pramusinta bertempur dengan bernafsu. Dia mendesak tiga kali beruntun. Maksudnya hendak merobohkan pertapa itu secepat- cepatnya. Tetapi pertapa itu ternyata seorang pendekar jempolan. Gerak- geriknya gesit. Untuk mempertahankan diri gerakan bambunya berputar bagaikan cahaya mengurung kebutan Pramusinta. Kemudian dengan merapatkan tubuhnya ia membayangi setiap gerakan kebutan Pramusinta. Tentu saja Pramusinta tidak sudi mengalah. Ia mempercepat gerakan kebutannya dengan serangan lemas dan keras. Namun apapun yang dilakukannya. ia tidak berhasil menghalau pedang bambu pertapa itu. Menyaksikan hal itu, Isu Wardana yang berada di luar gelanggang kagum bukan main. Pikirnya:
- Tak kusangka bahwa ilmu kepandaian iblis itu ternyata bukan main tingginya. Pantas kakek melarang jangan sampai berpapasan dengan dia. Tetapi pertapa itu pun tidak kalah hebatnya. Bahkan kepandaiannya jauh berada di atas si iblis. Sesungguhnya. siapakah dia? Kakek tidak pernah menyinggung namanya. Hanya letak pertapaannya saja. Ah. di dunia ini benar-benar tidak terhitung jumlah orangorang pandai yang berilmu tinggi. Dalam pada itu gerakan pedang bambu pertapa itu masih saja cepat bukan main. Begitu cepatnya. sehingga yang dapat terlihat oleh pandang mata Isu Wardana hanya bayangannya saja. Hebatnya lagi tidak menerbitkan atau membawa suara apapun. Tatkala Isu Wardana menatap wajahnya. ternyata tenang-tenang saja. Berulangkali dia mengejek Pramusinta:
- Kiranya kepandaianmu sangat terbatas. Mengapa engkau bisa ditakuti orang?
Pramusinta adalah seorang iblis yang paling benci bila kepandaiannya tidak dihargai orang. Seketika itu juga ia sudah mengambil keputusan hendak membunuhnya saja. Dengan pikiran itu, ia meletik mundur dan menghamburkan belasan jarum:
- AWas!
Isu Wardana memperingatkan.
- Jarum jarumnya beracun!
Namun akibatnya di luar dugaan siapapun. Pertapa itu hanya meniupkan mulutnya. Dan belasan jarum itu runtuh di atas tanah. Bahkan ada yang meletik kembali menghantam majikannya. Keruan saja Pramusinta terkejut setengah mati. Mimpi pun tidak, bahwa di dunia ini ia bertemu dengan seorang pertapa yang sebaya dengannya, tetapi memiliki ilmu sakti demikian tingginya. Seketika itu juga, ia merasa takluk berbareng iri. Lantas saja ia mundur dengan berjumpalitan sambil berkata:
- Terima kasih atas pelajaranmu. Hari ini aku menyatakan kalah. Akan tetapi aku belum merasa takluk. Berilah aku waktu tiga tahun lagi. Dan aku datang untuk mencobamu kembali. - Pergilah sebelum hatiku sebal melihat tampangmu! ujar pertapa itu.
Pramusinta seorang iblis yang berpengalaman luas menghadapi berbagai macam watak manusia. Ia tahu pertapa itu berwatak mau menang sendiri. Maka ia memilih kata- kata yang bisa menyelamatkan dirinya.Mula- mula menyatakan kalah. setelah itu berjanji akan datang untuk menantangnya kembali. Tentunya orang yang berwatak mau menang sendiri. biasanya memberi waktu untuk membuktikan ucapannya. Ternyata perhitungannya tepat. Karena itu tak perlu ia melarikan diri seperti burung kena gertak. Dengan tenang ia membalikkan diri. lalu berjalan menuruni bukit pertapaan dengan kepala menunduk. Akan tetapi hatinya sesungguhnya amat masygul. Sebab ia terpaksa meninggalkan isu Wardana yang berarti menggagalkan impiannya untuk dapat memperoleh harta karun kerajaan. ' '
- Hai, anak muda! Kau ingin bebas atau tidak? .dalam pada itu sang pertapa menegur Isu Wardana.
Isu Wardana membawa adatnya sendiri. Ia tidak menjawab. Melihat sikapnya. pertapa itu jadi tak senang hati. Tegornya:
- Mengapa engkau tidak menjawab teguranku?
- Hm, aku manusia. Bukan anjing bukan babi. bukan kambing. Aku manusia yang mempunyai nama, mempunyai bapak-ibu, mempunyai kakek . . . manusia yang dilahirkan oleh manusia pula. sahut Isu Wardana dengan wajah memberengut.
Aneh, pertapa itu mendadak saja tertarik hatinya mendengar jawaban Isu Wardana. Mau ia mengalah. Katanya agak ramah:
- Nah. katakan siapa namamu!
- Aku, selamanya manusia yang hidup merdeka. Aku adalah majikan di atas kepalaku sendiri. Karena itu, tak sudi aku membiarkan diriku diperintah orang. Kecuali kalau engkau bertanya maka wajiblah aku menjawab. Karena aku adalah makhluk yang mengerti makna peradaban. - .
Pertapa itu memanggut- manggut heran. Sekarang bertanyalah ia: .
- Baiklah, siapakah namamu? Seketika itu juga, Isu Wardana berdiri tegak dan menghadap pertapa itu dengan hormat. Sahutnya:
- Namaku Isu Wardana.
- Siapakah nama ayah ibumu?
- Sebenarnya aku anak setan.
- Anak setan? pertapa itu tercengang.
- Ya, karena selamanya aku tidak mengenal siapakah ayah dan ibuku. Pertapa itu menundukkan kepala dengan wajah berubah. Beberapa saat lamanya, ia berdiam diri. Sekonyong konyong, wajahnya berubah jadi beringas. Dengan lantang ia membentak:
- Bagus! Kau menyindir aku, bukan? Kalau begitu tidak gampang- gampang engkau bisa turun dari bukitku. Hayo. keluarkan pedangmu itu!
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perubahan sikap pertapa itu. mengherankan Isu Wardana. Mau ia bertanya. apakah penyebabnya. Tetapi sebagai seorang pemuda yang berotak cerdas, ia seperti sudah dapat menebak delapan bagian. Niscaya ucapannya tadi ada yang menyinggung latar belakang sejarah hidupnya.
- Hm. ia mendengus.
- Aku pun tahu, engkau tidak berbeda dengan raja babi tadi. Aku tahu pula, bahwa tidak mudah aku dapat meninggalkan wilayahmu. Nah, bunuhlah aku!
- Selama hidupku, tak pernah aku membunuh orang yang tidak bersenjata. Bukankah ikat pinggangmu itu dapat kau gunakan sebagai pedang? Di dalam hati, Isu Wardana memuji kejelian pertapa itu. Kalau saja bukan seorang pandai yang banyak mempunyai pengalaman, tentunya tidak mudah dapat menebak ikat pinggangnya yang sesungguhnya bisa digunakan sebagai pedang lemas.
- Tepat! Akupun begitu juga. ia berkata.
- Tepat bagaimana? pertapa itu menegas.
- Selama hidupku, tidak pernah bertempur dengan seseorang yang tidak menyebutkan namanya. Pertapa itu mendengus. Bentaknya:
- Jangan mengoceh berkepanjangan! Cepat, keluarkan senjatamu. - Cepat sebutkan namamu!
Isu Wardana membalas.
- Hm, kau berani membandel di depanku? '
- Tidak.
- Kalau tidak. mengapa tidak cepat-cepat melakukan perintahku?
- Karena ,raja babi tadi yang membuat gara-gara.
- Membuat gara- gara apa?
- Ikat pinggangku yang asli, dirampasnya. Maka terpaksalah aku memakai pedang lemasku sebagai ikat pinggang. Kalau bibi memaksa, aku jadi kedodoran. Akibatnya, bibi tahu sendiri. Bibi akan bertempur melawan seorang pemuda yang telanjang. Bibi bukankah akan risih sendiri bila melihat . . . .
- Tutup mulutmu! - potong pertapa itu dengan gemas.
Isu Wardana tertawa lebar. Sahutnya:
- Karena aku tidak berani mendesak bibi agar bibi berkenan menyebutkan nama, biarlah aku melawan bibi dengan menggunakan pedang bambu pula.
- Kau berani?
- Mengapa tidak? - Engkau mempunyai kepandaian apa sampai berani melawanku dengan bersenjata pedang bambu?
Isu Wardana tidak segera menjawab. Setelah berpikir sejenak, berkatalah ia:
- Kakekku memang berpesan, jangan sekali- kali aku menginjak wilayah ini. Raja babi tadi sudah kuperingatkan. Akan tetapi ia tidak menggubris peringatanku. Sayang, mengapa bibi melepaskan raja babi itu. Dia tidak hanya raja babi saja, tetapi iblis pula.
- Sudahlah, aku kenal dia lebih jelas daripada engkau. potong pertapa itu.
- Sekarang sebutkan, siapa nama kakekmu sampai mengenal diriku.
- Kakekku adalah kakekku. '
- Hm, kau berlagak bertekat-teki denganku. Baiklah. engkau boleh menggunakan pedang bambu. Sekarang lawanlah aku! Dan aku akan bisa menebak siapa kakekmu
Isu Wardana merasa terdesak. Tak dapat lagi ia mengarang dongeng yang bukan- bukan. Maka dengan hati
berat ia melesat tinggi di udara dan turun kembali ke tanah dengan sekaligus menyambar sebatang ranting bambu.
- Hm, kepandaianmu agaknya lumayan juga. puji pertapa itu.
- Kau mulailah!
- Maaf. sahut Isu Wardana.
Dan dengan tidak segan segan lagi, segera ia menyerang pertapa itu. Tetapi baru saja bergebrak beberapa jurus, tahulah Isu Wardana bahwa dia bukan tandingnya pertapa itu. Terus saja ia melemparkan pedang bambunya sambil berkata:
- Rupanya sudah ditakdirkan, bahwa aku akan menjadi tawanan bibi. Silahkan.
- Hm. sebenarnya menilik ilmu pedangmu. iblis tadi tidak gampang- gampang bisa menawanmu. Apakah engkau memang sengaja mengalah atau memang di antara kamu berdua sudah bekerja sama untuk mengelabui diriku? - ujar pertapa itu.
- Aku tertawan, karena kena tipu'muslihatnya. Dia berpura- pura mau berdamai. Tiba- tiba ia menyambarku selagi aku lengah.
Isu Wardana memberi keterangan. Kemudian ia mengisahkan terjadinya hal itu. Hanya saja ia tidak menyebut-nyebut Tara sebagai temannya berjalan.
- Kau berbakat. Hanya sayang, himpunan tenaga saktimu masih lemah. Meskipun engkau belajar dua puluh tahun lagi. tidak akan mampu melawan ilmu pedangku.
- Oh. begitu? Kalau begitu, bunuh sajalah diriku! Apa guna faedahnya memperpanjang usia belaka.
- Huh. pertapa itu mendengus.
- Seorang laki- laki masakan tidak mempunyai semangat hidup? Kalau engkau mau menemani aku, asalkan berjanji mau menjadi tanganku untuk mengalahkan dia, mengapa semuanya itu tidak menjadi mungkin? Setelah berkata demikian. pertapa peremnuan itu
membalikkan badannya. Kemudian dengan langkah bergontai ia mendaki ketinggian dan hilang dari pengamatan, Isu Wardana mengikutinya dengan pandang matanya. Ia tertegun heran. Yang pertama, cara dia melangkahkan kakinya. Lambat-lambat seperti layaknya seorang wanita seumur dia namun cepat luar biasa tak ubah bayangan yang dapat berpindah tempat pada sembarang waktu. Yang kedua, susunan kalimat ucapannya yang tidak mudah ditangkap.
Siapakah yang dimaksudkan dengan Dia?
Apapula maksudnya kalimat:
mengapa semuanya itu tidak menjadi mungkin?
Syukur, Isu Wardana ditakdirkan lahir sebagai seorang manusia yang kelak mempunyai sejarah. Otaknya cerdas. encer dan dapat menangkap semua yang masih gelap bagi manusia dengan mudah dan tepat. Seketika itu juga dapatlah ia mengambil suatu keputusan dengan cepat. Terus saja ia mengikuti arah perginya pertapa itu.
Tetapi siapa dia sebenarnya? - ia menduga- duga di dalam hati.
Ah, biarlah berjalan dengan begitu dahulu. Masakan kelak aku tidak akan mengenalnya?
Isu Wardana meskipun memiliki keistimewaan, bukan berarti mengetahui semuanya dengan sendirinya. Ia tak tahu, bahwa pertapa itu sesungguhnya adalah Aruni.
Dialah ibu bhiksuni Sekar Tanjung, isteri Dewasana. Orangnya aneh, namun berkepandaian tinggi. Dia pulalah yang berkenan mengulurkan tangan menolong Mojang Yudapati tatkala terperosok di dalam jurang. Tetapi setelah Mojang Yudapati terangkat ke atas tebing menghilang begitu saja dari tempatnya. Dan pertapa aneh itu, rupanya ditakdirkan oleh sejarah untuk ikut serta membentuk manusia Isu Wardana yang kelak menggoncangkan tahta kerajaan Sriwijaya.
*****
PENDEKAR BERBAJU HITAM
TARA TERKEJUT tatkala melihat Isu Wardana dibawa lari Pramusinta. Untuk sedetik dua detik, tak tahulah ia apa yang harus dilakukan. Tetapi begitu mendengar pekik Isu Wardana, terbangunlah rasa nalurinya.Terus saja ia mengejar sedapat-dapatnya. Tentu saja dibandingkan dengan ilmu lari Pramusinta ia ibarat siput berpacu melawan kancil. Hanya dalam waktu singkat saja, ia sudah kehilangan pengamatan. Meskipun demikian, ia tetap lari. Lari begitu saja dengan menduga-duga ke arah mana larinya Pramusinta.
Menjelang tengah hari, habislah sudah tenaganya. Ia duduk menumprah di atas pengempangan dengan pikiran kosong. Terhadap Isu Wardana ia memperoleh kesan aneka-warna. Dan Kesan yang aneka-warna itu, bercampur aduk saling mengendapkan. Kadang-kadang kenakalan dan kecerdikan Isu Wardana memegang peranan penuh. Kadang pula sepak-terjangnya yang menjengkelkan. Tetapi pada umumnya. kegagahan dan sifat satrianya selalu saja menonjol di lubuk hatinya. Akibatnya. ia merasa kehilangan. Selagi dalam keadaan demikian tiba- tiba ia mendengar suatu tegur sapa yang halus:
- Bukankah engkau adik Tara? Dengan hati tercekat Tara menegakkan pandangnya. Tetapi begitu melihat siapa yang menegurnya, hampir saja ia meloncat kegirangan; Sebab dia adalah pahlawan pujaan hatinya: pendekar Yudapati. Teringat betapa ia meninggalkan pendekar itu, ia jadi malu sendiri. Namun dengan wajah berseri- seri ia menyahut:
- Kakak Yudapati? Bagaimana kakak bisa tiba di tempat ini?
Yudapati bersenyum lebar. Ujarnya membalas:
- Sebaliknya bagaimana adik bisa berada di sini?
Segera Tara hendak menghampiri, akan tetapi Yudapati mendahuluinya. Pendekar berberewok tipis itu kemudian duduk di sampingnya. Kata pendekar itu lagi:
- Adik! Waktu dahulu hatiku terpukul oleh suatu peristiwa wafatnya Yang Mulia Duta Lembu Seta. aku sempat kehilangan kesadaranku. Untuk itu aku mohon maaf karena seolah- olah tidak memperhatikanmu. Aku pun tidak sempat pula untuk menyusulmu atau mencarimu, berhubung aku ingin mengetahui kesaksiannya. Ternyata Yang Mulia benar- benar telah meninggalkan kami berdua. Bahkan jasadnya kini berada di dasar samudera di perairan Gunung Krakatau. Lebih celaka lagi ternyata di tengah perjalanan kami menemukan hal-hal yang membuat kami harus berpisah. Aku dipaksa oleh suatu keadaan, sehingga Tilam melanjutkan perjalanannya seorang diri.
- Kemana ayunda Tilam?
Tara menyela.
- Menurut pesan yang ditinggalkan, dia mendaki
Gunung Sibahubahu. - Untuk apa?
Tara heran.
- Yang kuketahui. tentunya akan menyusul kakaknya seperguruan. jawab Yudapati dengan suara wajar.
Mendengar jawaban itu, hati Tara jadi tak enak sendiri. Wajahnya tiba- tiba terasa panas. Ternyata apa yang diduganya salah sama sekali. Untung yang mengetahui keadaan hatinya hanya dirinya sendiri. Segera ia mendesak:
- Lalu apa yang menyebabkan kakak terpisah dari ayunda Tilam?
- Hm. Yudapati menghela nafas.
- Itulah ulah seorang iblis bernama Pramusinta. - Ah! seru Tara setengah memekik.
- Apakah engkau mengenalnya?
Tara kemudian mengisahkan pengalamannya sendiri, dimulai dari waktu melanjutkan perjalanan seorang diri. bertemu dengan rombongan perwira Bhayangkara Kerajaan sampai bertemu dengan isu Wardana. Begitu menyinggung nama Isu Wardana, kini Yudapatilah yang ganti terperanjat. Dengan wajah berubah ia minta keterangan:
- Isu Wardana? Kau maksudkan Isu Wardana yang dahulu? ' Tara tercengang. Menegas:
- Isu Wardana yang dahulu bagaimana? Dia seorang pemuda. Usianya kira- kira terpaut dua tahun denganku. Selanjutnya, dia belum berkesempatan menerangkan asal usulnya maupun tujuan perjalanannya. - Ah ya. Maaf. Aku yang salah omong. ujar Yudapati.
- Tetapi menilik keteranganmu. tentunya dialah Isu Wardana yang dahulu.
- Apakah kakak kenal dengannya secara kebetulan saja, sehingga kakak perlu menyebutnya dengan kata
kata yang dahulu? - Benar. Tetapi kami berdua sudah mengangkat diri sebagai kakak-beradik.
- Tetapi mengapa dia tidak pernah menyebut'nyebut nama kakak selagi terancam bahaya?
- Siapa yang mengancamnya? - Bukankah tadi sudah kusebutkan? Kakak pun sudah menyebut namanya.
- Pramusinta? - wajah Yudapati berubah.
Sebab teringatlah dia kepada jarum beracunnya.
- Iblis itu jelas ingin merebut peta harta karun kerajaan. Padahal sudah dibakar Isu Wardana. Itulah sebabnya Pramusinta hendak menawannya. Dalam keadaan terancam bahaya,tiba- tiba ia menyuruhku agar mematahkan dua atau tiga batang pada setiap pohon. Katanya. itulah tanda sandi memanggil kakeknya. Yudapati diam termangu-mangu. Teringatlah dia akan perjumpaannya dahulu. Isu Wardana mengesankan sebagai seorang pemuda yang cerdik. tangkas dan berkepandaian. Sebaliknya, dirinya belum mempunyai kepandaian yang berarti. Bahkan dirinyalah yang ditolong pemuda itu. Maka dapat dimengerti apa sebab pemuda itu menyebut tanda sandi sebagai tanda pemanggil kakeknya.
- Kakeknya bernama Mahendra. Seorang pendekar besar yang berkepandaian tinggi, tak terasa Yudapati berkomat- kamit.
Pada detik itu pula. teringatlah dia kembali kepada Pramusinta yang berbahaya. Segera mendesak dengan suara cemas: Lalu . . .
- apakah dia berhasil menggertak iblis itu? - Dia terpaksa bertempur mengadu kepandaian.
Tara menyenak nafas dengan wajah murung.
- Sewaktu pedangnya terpental dari tangannya, secara untung- untungan aku ikut membantu. Entah apa sebabnya. iblis
itu tiba- tiba jadi segan terhadapku. Dia mau berdamai. Tetapi . . . dalam keadaan lengah. Isu Wardana disambarnya dan dibawanya pergi sepesat angin. Aku mencoba mengejarnya dan sampailah aku di sini karena kehabisan tenaga.
Yudapati terbelalak heran. Ia berdiri dan mundur selangkah sambil bertanya kembali seolah- olah tiada percaya kepada pendengarannya sendiri:
- Adik! Pramusinta segan terhadapmu? Kalau begitu. Tilam salah tafsir. Menurut Tilam. engkau sama sekali tidak mempunyai kepandaian.
- Apakah Pramusinta segan terhadap kepandaianku? Tara membalas pertanyaan Yudapati dengan pertanyaan pula.
- Apakah aku mempunyai kepandaian? - Iblis itu selalu menganggap dirinya berkepandaian yang paling tinggi. Mustahil dia membawa sikapnya demikian tanpa alasan.
- Tetapi aku mempunyai kepandaian apa? Ayunda Tilam tidak salah lihat. Sewaktu aku nyaris tertawan para bahayangkara, dialah yang menolongku. ujar Tara.
Tiba-tiba suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Katanya lagi:
- Apakah . . . ah ya, aku dipaksa menghafalkan gerakan- gerakan tangan dan kaki dari tujuh pendeta berjubah kuning yang menyebut diriku sebagai kemenakannya. Setelah berkata demikian, ia mengisahkan peristiwa sewaktu dirinya dibawa tujuh pendeta ke sebuah biara dan dipaksa menghafalkan gerakan tangan dan kaki. Kemudian ia menirukan gerakan-gerakan yang harus dihafalkan itu di hadapan Yudapati.
Melihat hal itu. Yudapati tertegun-teguh. Kesan wajahnya berubah-ubah antara menaruh iba dan mendongkol. Sejenak kemudian berkatalah ia:
- Benar. Gerakan tangan dan kakimu itu namanya jurus. Itulah gaya jurus tujuh pendeta yang pernah kulihat selintasan dahulu. Tetapi . . . jurus- jurus itu tidak sesuai dengan pribadimu. Terus terang, banyak merugikan daripada menguntungkan dirimu. '
- Mengapa merugikan? Siapa yang akan kurugikan? Tara minta keterangan.
Yudapati menghela nafas. Setelah berpikir sejenak, berkatalah ia didalam hati:
- Gadis ini masih terlalu polos. Benar- benar ia tidak pernah mengenal ilmu berkelahi. Jelas sekali. macam jurusnya kejam, ganas dan keji. Padahal hanya bersifat sepotong-sepotong. Siapapun akan segera membalasnya dengan jurus tak mengenal ampun pula, bila dirinya diserang dengan jurus demikian. Lalu apa maksud tujuh pendeta itu? Mereka menyebut Tara sebagai kemenakannya? Benarkah itu? Mustahil mereka tidak tahu akan akibatnya, bila Tara menggunakan jurus-jurus pemberiannya. Apakah mereka sengaja menjadikan Tara sebagai korban tujuan tertentu alias meminjam tangan orang lain untuk membunuhnya? Disini terselip teka- teki yang terselubung tebal.
Sherlock Holmes - Petualangan Biarawan Tak Berkepala Trio Detektif 06 Misteri Pulau Tengkorak The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama