Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 11
Semenjak Yudapati mendarat di kampung nelayan. pikirannya mengawang mengenang semua peristiwa yang pernah dialaminya. Ia merasa seperti berhadapan dengan kubu-kubu rahasia yang masing- masing menyimpan rahasianya. Rahasia pembunuhan kaum nelayan. Gerak-gerik tujuh pendeta yang mencurigakan. lalu teringat kepada Tara, puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana. Semuanya itu terasa melekat dekat dengan lambang Dapunta Hyang yang kini berada pada dirinya. Maka ia memutuskan hendak mencari puteri Tara terlebih dahulu demi lambang kerajaan itu sendiri. Lebih cepat lebih baik. Setelah menyerahkan lambang itu kepada yang berhak menerimanya
barulah ia menyusul Tilam dan Kadung. Lalu secepat cepatnya pulang ke kampung halaman.
Tetapi setelah kini berjumpa dengan Tara secara kebetulan dan kemudian mendengar tentang sepak- terjang tujuh pendeta itu terbangunlah rasa curiganya. Ia bukan seorang yang berwatak usilan. Akan tetapi berpembawaan cermat. Justru demikian, adalah masuk akal bila ia ingin mengetahui semua latar belakangnya lebih jelas dahulu sebelum mengambil keputusan.
- Adik! - akhirnya ia berkata.
- Dari mulut Tilam, aku mendapat keterangan siapakah adik sebenarnya. Sebenarnya, ingin sekali aku cepat- cepat menghadap ayahmu agar masalah yang engkau hadapi cepat selesai pula. Akan tetapi agaknya tidaklah demikian halnya. Terus terang saja Lambang Dapunta Hyang ada padaku.
- Berada di tanganmu? Tara terbelalak heran sampai mulutnya ternganga.
- Ya. Tetapi, kita berhadapan dengan masalah- masalah yang rumit dan gelap. Taruh kata, lambang Dapunta Hyang sudah kupersembahkan kepada ayahandamu, masalahnya tidak begitu saja selesai. Bahkan melahirkan masalah baru yang menentukan. Pada saat ini, keadaan Kerajaan Sriwijaya kacau balau. Aku percaya, meski ayahandamu mempunyai kekuasaan, tidak mengetahui lagi siapa lawan siapa kawan. bahkan bukan suatu hal yang mustahil, bahwa ayahmu akan menjadi sasaran bidikan yang datang dari segala penjuru. Aku sendiri sudah mengambil suatu keputusan. Tetapi apakah keputusan itu kau setujui atau tidak, aku tak tahu. Mendengar kata- kata Yudapati, tiba-tiba Tara bersimpuh dihadapannya. Keruan saja, Yudapati terkejut. Buru buru ia menariknya berdiri sambil berkata:
- Hai apa yang hendak kau lakukan ini?
- Kakak! Pada saat ini. Hyang Widdhi sudah berkenan memberi petunjuk padaku, bahwa mati dan hidupnya keluargaku sesungguhnya berada ditanganmu. Mengapa aku kau halang-halangi bersimpuh kepadamu?
- Adik! Kata-katamu sangat berat bagiku. Tak berani aku menerimanya.
- Tidak! Aku tak salah lagi. Sekarang katakan saja. apa yang sudah menjadi keputusanmu.
Yudapati menghela nafas panjang. Lama ia berdiam diri. Kemudian barulah ia berkata:
- Adik! tiba- tiba saja aku menaruh curiga kepada siapapun. Barangkali terhadap ayahandamu pula. Sebab bukan mustahil. ayahmu kena todong pihak- pihak tertentu. Aku percaya pada suatu saat yang menentukan, ayahandamu dapat menunjukkan keasliannya. Seorang pangeran biasanya berhati jantan. karena sesungguhnya adalah suatu pengejawantahan seorang satria sejati. Tetapi bagaimana. kalau ibundamu yang ditodong orang? Bagaimana pula kalau putera- puterinya ikut terancam punah? Pada saat itu mengambil tindakan bunuh diri pun tidak mencukupi. Karena itu, biarlah hal ini kita lakukan dengan hati-hati dan waspada. Sebab negara adalah taruhannya. Bukan hanya Kerajaan Sriwijaya saja, tetapi kerajaan Tarumanegara pula. Aku bukan seorang ahli tata-negara atau seorang yang tergolong cendekiawan. Akan tetapi rasa-rasanya aku dapat membaca makna yang tersirat pada peristiwa bunuh diri Yang Mulia Duta Lembu Seta. Aku diminta. kalau perlu rela mati demi kelangsungan hidup dua kerajaan besar yang sesungguhnya harus bergandengan tangan. Itulah Kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara. Dan itu pulalah makna Lambang Dapunta Hyang yang kini dipercayakan kepadaku.
Kata- kata Yudapati tentu saja tidak akan terjangkau
oleh pikiran Tara, meskipun gadis itu puteri seorang pangeran yang berkedudukan tinggi dalam tata pemerintahan. Kecuali usianya masih muda niscaya belum mengetahui seluk-beluk tata-pemerintahan. Apalagi menyangkut ketata-negaraan. Kalau saja dia kini berada di luar pagar istananya semata- mata hanya digerakkan oleh nalurinya belaka karena melihat keluarganya terancam bahaya. Menanggapi kata-kata Yudapati. ia hanya berkomat- kamit:
- Kalau begitu tepat dugaan ayah. Lambang Dapunta Hyang berada di tanganmu. Dengan begitu, tidak sia-sia aku menyusul sampai ke wilayah selatan. Kakak, ayah menyebut- nyebut namamu. - Menyebut- nyebut namaku?
Yudapati heran.
- Dari mana ayahandamu mengetahui namaku?
Tara kemudian menceritakan keadaan keluarganya seperti yang pernah dikatakan kepada Tilam. Lalu menegas:
- Lambang Dapunta Hyang kini berada ditanganmu. Menurut ayah, siapa yang memiliki lambang itu. akan terakui sebagai raja Sriwijaya yang syah. Itulah sebabnya raja menekan ayah agar dapat mempersembahkan lambang Dapunta Hyang. Sekarang, apakah rencana kakak?
- Yang jelas, aku tidak pernah berangan-angan menjadi raja. Bahkan siapa yang akan menjadi raja Sriwijaya, juga bukan urusanku. Akan tetapi aku hanya pelaksana amanat Duta Besar Lembu Seta. Jelas sekali beliau tidak rela manakala Kerajaan Sriwijaya kini berada dalam kekuasaan raja yang menyandera ayahandamu. Bagaimana kalau kita sekarang menghimpun kekuatan rakyat untuk membantu ayahandamu agar dapat naik tahta? - Ayah naik tahta?
Tara terperanjat.
- Apakah mungkin? - Mengapa tidak? Asal saja mendapat dukungan rakyat yang sudah menghimpun diri menjadi suatu kekuatan nyata.
- Paling tidak aku mengenal beberapa aliran kekuatan di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Seperti kaum Arnawa, Paramita. Abong-Abong, Gupala Seta. Tanah Putih, Orang-Aring, Siguntang. Syiwapala dan mungkin sekali masih banyak lagi. Seorang bekas kepala berandal bernama Tandun Raja Koneng, kini sedang berusaha menghimpun kekuatan di lembah Gunung Sibahubahu. Tetapi dengan diam-diam pula. tujuh pendeta dan iblis Pramusinta juga mempunyai angan-angannya sendiri. Pendek kata, seperti yang kukatakan tadi, aku menaruh curiga kepada mereka semua. Syukurlah, bila di antara mereka ada yang sudah sadar bernegara. Untuk itu, aku perlu mengadakan pengamatan dan penyelidikan dahulu. Sekarang, pulanglah!
- Pulang? Mengapa pulang? ... tiba- tiba wajah Tara memucat.
- Laporkan pada ayahandamu, bahwa lambang Dapunta Hyang benar-benar berada padaku.
- Tidak. Justru demikian ayah berada dalam bahaya. Bukankah kakak tadi berkata, bahwa ayahpun tidak mengetahui dengan pasti siapa lawan dan siapa pula kawan? Jangan- jangan raja yang memerintah sekarang sebenarnya menghendaki jiwa ayah. '
Yudapati terdiam. Alasan Tara masuk akal. Kata katanya pun berasal dari dia pula. Katanya mencoba:
- Tetapi di luar banyak bahayanya. Aku sendiri tidak menghiraukan mati hidupku. Taruh kata aku mati, ingat ingatlah peaanku ini! Geledahlah seluruh tubuhku. Kalau perlu bedahlah! Dan engkau akan menemukan Lambang Dapunta Hyang yang kusimpan di balik kulitku.
- Tentang lambang itu. apa perlu aku mengusik-usik lagi. lambang itu sudah berada pada diri kakak. Aku yakin, kakak niscaya dapat menolong diri sendiri manakala terancam bahaya. Sebaliknya, bagaimana dengan peta harta karun kerajaan? Apakah kakak rela membiarkan harta itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak? - Apakah engkau percaya masalah peta itu?
- Mengapa tidak? Peta itu, menurut kabar berasal dari kotak pusaka yang dibawa Duta Lembu Seta. Kalau hanya cerita burung. tentunya baik para bhayangkara maupun Pramusinta tidak akan bersungguh- sungguh untuk memperebutkannya. - ujar Tara.
Yudapati sendiri pernah menjadi saksi tentang adanya kotak pusaka itu dari mulut pendekar Sabung tatkala dihadang Pramusinta. Tetapi tentang peta itu sendiri tak pernah disinggung- singgung. Tiba- tiba teringatlah- dia akan kata- kata Tara, bahwa Isu Wardana sudah membakarnya menjadi abu. Tentunya, Pramusinta akan berusaha sekuat-kuatnya untuk memaksa Isu Wardana agar dapat menggambarnya kembali. Dan teringat kepada Isu Wardana, ia menghela nafas. Katanya memutuskan:
- Baiklah, engkau boleh menyertaiku. Tetapi jangan sekali-kali berpisah daripadaku lagi seperti dahulu.
Diingatkan peristiwa dahulu itu, wajah Tara bersemu merah. Tetapi dengan cepat ia menjawab:
- Aku berjanji.
- Bagus! Sekarang marilah kita pikirkan yang mulamula harus kita lakukan. Adik harus mengenakan pakaian pria dan aku menanggalkan pakaian seragamku. Kebetulan aku masih membekal uang. Untuk keperluan ini, kita perlu masuk kota dan mengisi perut. ujar Yudapati.
Mendengar kata-kata Yudapati. Tara tertawa geli. Tadinya ia mengira, Yudapati akan segera mengajaknya bertempur atau melewati lautan api. Tak tahunya hanya
perkara pakaian dan mengisi perut. Karena itu, tanpa menjawab ia mendahului melangkahkan kakinya. Kebetulan sekali tempat mereka berada masih di sekitar sungai Tatang yang sudah semenjak lama menjadi semacam urat nadi perhubungan perdagangan dengan negeri seberang. Karena itu. banyak terdapat kota- kota kecil di sepanjang sungai. Penduduknya hidup berniaga atau mencari tambahan belanja dengan menjual jasa. Tatkala itu, hari hampir memasuki petang. Meskipun demikian. Yudapati dan Tara tidak mendapat kesukaran memperoleh perlengkapan- perlengkapan yang mereka perlukan. Dan setelah mengisi perut. mulailah mereka menunggu saatnya yang tepat. Bukan di penginapan atau beristirahat di dalam kota. Tetapi duduk dengan santai di tepi petak hutan yang lebat.
- Adik. tiba- tiba Yudapati seperti teringat sesuatu.
- Apakah engkau diajarkan pula ilmu menghimpun tenaga oleh tujuh pendeta itu? - ,
- Himpunan tenaga? Tenaga siapakah yang harus kuhimpun?
Tara membalas minta penerangan.
Yudapati bersenyum. Makin jelas baginya, bahwa Tara memang seorang gadis yang benar-benar masih polos dan hijau. Karena itu, tak perlu lagi ia melanjutkan pertanyaannya. Sebaliknya. istilah itu sangat menarik perhatian Tara. Ujarnya:
- Selalu saja kakak memutuskan suatu masalah yang belum jelas. Siang tadi kakak membicarakan ajaran tujuh pendeta itu yang kurang serasi dengan pribadiku. Jurus jurus itu akan merugikan daripada menguntungkan diriku? Mengapa merugikan? Siapa yang akan kurugikan? Kakak tidak membicarakan lebih lanjut. Sekarang tentang himpunan tenaga. Tenaga siapakah yang harus kuhimpun?
Yudapati tertawa lebar. Sahutnya:
- Sebentar malam, aku bermaksud menyelidiki kaum Arnawa.
- Mengapa kaum Arnawa'!
- Bukankah kita sudah bersepakat untuk mencurigai siapa saja? - Ah ya. Lalu apa hubungannya dengan himpunan tenaga tadi?
- Yang berkuasa di sebelah barat . . . eh . . . maksudku, kaum Arnawa mempunyai jangkauan wilayah kekuasaan yang sangat luas. Membentang dari penjuru ke penjuru. Masing- masing penjuru terdapat markas besarnya dan dikepalai oleh seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Wilayah yang kita injak ini. termasuk wilayah kaum Arnawa bagian barat. Yang menjadi kepala markas bernama Barabas.
- Dari siapa kakak mendengar namanya?
Dengan singkat Yudapati menceritakan pengalamannya tatkala dahulu secara tidak sengaja menolong kesulitan keluarga Upik. Dan dari kakek Upik,ia memperoleh penjelasan- penjelasan tentang kegiatan kaum berandal.
- Oh begitu? Tara memanggut mengerti.
- Pantas ayah sering mengeluh tentang perampasan-perampasan uang negara di tengah jalan. - Dalam perjalananku kemari, aku mendapat keterangan bahwa markas Barabas berada di atas sebuah bukit yang menjorok ke lautan. itulah sebabnya, ia 'dapat mengawasi setiap mangsa yang dikehendaki dengan leluasa. Sebaliknya. markasnya tidak mudah didaki tentara negeri. Sebab mereka harus sanggup memanjat tebing bukit yang terjal dan berbahaya. Selain itu, pada setiap waktu anak- buah Barabas rajin sekali melakukan perondaan. Tetapi apabila seseorang memiliki himpunan tenaga, dia akan menjadi sakti dengan sendirinya. Dia akan dapat
memanjat tebing betapa terjalpun seolah-olah seekor cicak merayapi dinding yang tegak lurus. Menghadapi laskar yang sedang beronda tidak merupakan masalah berat lagi baginya. - Ah! Masakan ada orang bisa memiliki ilmu begitu tinggi? ..
Tara tidak percaya.
- Tetapi ketujuh pendeta yang mengajarimu beberapa jurus itu, nyatanya dengan sekali hantam dapat membunuh beberapa laskar kerajaan. Bukankah adik menyaksikan
sendiri? Yudapati mencoba menjelaskan.
- Benar.
- Kalau bukan sakti, lalu apa namanya?
Tara tidak menyahut. Agaknya ia masih saja menyangsikan. Setelah berdiam beberapa saat lamanya, berkata:
- Mungkin sekali, karena mereka orang- orang berperawakan perkasa. Sebaliknya, aku seorang perempuan.
- Itu pun bukan suatu halangan, bila adik kelak mempelajarinya. tukas Yudapati. Kemudian ia mengalihkan pandang kepada sebatang pohon yang berdiri tegak perkasa lima puluh langkah di depannya. Katanya lagi:
- Adik, pohon itu mungkin tidak bergeming walaupun didorong oleh sepuluh tenaga laki-laki perkasa. Tetapi suatu kali pohon itu akan tumbang oleh hempasan angin. Nah, hempasan angin itulah seumpama perwujudan himpunan tenaga sakti. Masih kurang percaya? Lihat yang jelas! .
Yudapati kemudian berdiri tegak dan memukulkan tangannya seolah-olah sedang berlatih melawan udara kosong. Tetapi akibatnya mengejutkan hati Tara. Tiba tiba saja pohon perkasa itu roboh dengan suara gemuruh seperti tertabas suatu benda tajam luar biasa.
Tara termangu- mangu lama sekali. Wajahnya beruba hubah antara rasa ngeri dan bangga. Katanya setengah berbisik:
- Kakak! Barangkali kakak penjelmaan dewa. - Tidak. Aku manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging .Dan ilmu menghimpun tenaga sakti demikian dapat kau pelajari pula. Meskipun semuanya itu tergantung kepada bakat seseorang.
- Ah. mengertilah aku kini. Rupanya Pramusinta dahulu mengira diriku sesakti kakak. Lalu ia melarikan diri. Padahal waktu itu aku hanya bergerak asal bergerak saja menuruti urutan jurus yang harus kulakukan. Tetapi mengapa kakak berkata, bahwa jurusku banyak merugikan daripada menguntungkan diriku?
Yudapati menarik nafas. Ujarnya hati- hati:
- Jurus-jurus yang diajarkan kepadamu bersifat kejam, ganas dan keji. Lagipula hanya sepotong-potong. Andaikata Pramusinta mengetahui hal itu. dia akan menunggu sampai hafalanmu habis. Pada saat itu dia pasti akan membalasmu dengan jurus yang kejam pula. Ah! Pendek kata jurus-jurus ajaran ketujuh pendeta itu tidak sesuai dengan pribadimu. Lupakan saja!
- Tetapi bukankah pukulan kakak tadi dapat menghancurkan tulang belulang puluhan orang?
- Benar. Tetapi pukulan demikian tidak akan kulontarkan setiap waktu. Semuanya dapat diatur oleh keadaan hati. Sebaliknya, jurus-jurus ganas. kejam dan keji yang mula-mula kau hafalkan lambat laun akan meresap dalam darah dagingmu. Tiba- tiba saja. engkau akan berubah menjadi manusia kejam di luar kehendakmu sendiri. Dahulu, peringatan kakek Isu Wardana,belum begitu kumengerti. Syukur, Yang Maha Suci mempertemukan diriku dengan seorang pertapa yang membimbing hati dan penglihatanku. Karena itu. kelak kalau aku bertemu dengan Isu Wardana akan kusuruh dia mengantarkanmu menghadap kakeknya
agar berkenan menerimamu sebagai muridnya.
Diingatkan tentang Isu Wardana tiba- tiba saja hati Tara tergetar lembut. Ia jadi gelisah sendiri. Dibawa ke mana pemuda itu oleh si iblis Pramusinta sahutnya:
- Isu Wardana memang berkepandaian tinggi berkat bimbingan kakeknya. Tetapi nyatanya masih saja ia dikalahkan Pramusinta. - Belum tentu. Kukira, kecuali kalah pengalaman ia terjebak oleh tipu muslihat iblis itu. Yudapati membela.
- Baiklah, taruh kata dia masih kalah dua atau tiga tingkat, namun tidak untuk selamanya. Pada suatu kali. Isu Wardana akan maju ibarat seekor harimau tumbuh sayapnya.
- Masakan seekor harimau mempunyai sayap?
- Maksudku, setelah memperoleh pengalaman dan masa latihan yang cukup. Dia akan menjadi seorang pendekar sakti yang berbudi luhur. Tara menundukkan kepalanya. Wajahnya merah dan terasa panas. Untung, Waktu itu suasana malam sudah mulai meliputi seluruh alam sehingga perubahan wajahnya tidak terlihat. Katanya pelahan:
- Aku tahu, kakak bermaksud baik. Tetapi rasanya aku lebih bersyukur. bila kakak sendiri yang membimbingku.
Yudapati tidak menyahut. Ia teringat akan tugasnya sendiri yang harus dilaksanakan secepat-cepatnya. Namun ia tidak mau mengecewakan hati gadis itu. Katanya:
- Baiklah, asal saja adik tidak pergi tanpa pamit seperti dahulu.
- Tidak. Aku bersumpah. Tara menyahut cepat setengah bersorak.
Yudapati mengangguk. Lalu mengalihkan pembicaraan. Katanya:
- Malam sudah tiba. Mari kita berangkat mengintip sepak-terjang kaum Arnawa.
Markas kaum Arnawa ternyata berada di atas sebuah pulau pantai Kapur. Untuk dapat mendekati markasnya, Yudapati memerlukan sebuah perahu. Dengan sedikit mengeluarkan uang, dapatlah ia menyewa sebuah biduk seorang nelayan. Meskipun sederhana, namun cukup untuk menjadi alat penyeberang. Gelombang laut waktu itu sedang pasang, sehingga biduk yang berlayar sederhana melaju dengan cepat. Tiba- tiba saja,angin kencang meniup dari belakang, sehingga lajunya jadi bertambah. Mendapat dorongan angin itu, Yudapati tertawa gembira. Dengan dua jari tangan kanannya ia memijit pergelangan tangan kirinya.
- Hai, ternyata kakak pun pandai ilmu, pertabiban. - seru Tara kagum. - - Apakah ada yang kurang beres? Yudapati tidak menjawab. Wajahnya nampak bersungguh- sungguh. Beberapa saat kemudian ia melepaskan pijitannya. lalu berkata dengan tertawa riang:
- Kau kira aku sakit? Tidak! Aku menghitung kecepatan angin dan lajunya perahu. Bila angin terus mendorong laju perahu kita ini, sebentar lagi sampailah ke tempat tujuan.
Tara yang selalu menunjukkan sikap ingin tahu, segera minta keterangan:
- Apakah dasar alasan kakak?
- Kau pun bisa menghitung lajunya perahu dari denyut nadi.
Yudapati memberi keterangan. Hitungan denyut nadi tidak pernah salah. Dalam seratus kali pun, tidak pernah gagal sekali jua. Bila adik dapat menggunakannya sebagai alat penghitung,adik akan menjadi seorang ahli pelayaran. Tara tertawa geli. Sahutnya:
- Aku akan menjadi seorang ahli pelayaran? Rupanya kakak sering bepergian dengan perahu. Baiklah, mau aku mempelajari.
Tara ternyata seorang gadis yang cerdas sekali. Dengan cepat ia dapat mempelajari ilmu hitung istimewa itu yang ternyata tidak terlalu sulit baginya. Demikianlah, hanya bergaul selama setengah hari saja ternyata ia sudah memperoleh kemajuan satu langkah. Pikirnya. kalau aku dapat mendampinginya dalam waktu satu bulan saja. barangkali aku sudah pandai berkelahi melawan pendekar-pendekar tangguh.
Tak lama kemudian mereka melihat sebuah pulau terjal yang mendongak di atas lautan. Katakanlah semacam sebuah bukit yang mengambang. Waktu itu, bulan sipit mulai nampak. Samar-samar terlihat pula pantainya yang putih bersih. Tentunya terdiri dari ladang pasir yang lembut dan terpelihara. '
- Apakah kita sudah sampai?
Tara minta keterangan.
Yudapati mengangguk. Dengan hati- hati pemuda itu mulai menebarkan penglihatannya. Ia mencari suatu tempat yang aman. Kecuali yang terlindung, ia mengharapkan memperoleh suatu tempat yang gelap. Selagi demikian dari sebelah tebing yang berbatasan dengan permukaan laut,muncullah sebuah perahu yang bergerak memutar haluan dan menghilang di balik tebing itu pula dengan gerakan cepat sekali. Memperhatikan gerakan perahu itu, Yudapati berbisik kepada Tara:
- Pastilah bukan perahu kaum Arnawa
- lalu siapa?
Yudapati tahu. Tara masih hijau dalam pengalamannya. Tetapi gadis itu memiliki kecermatan dalam mengamati sesuatu. Karena itu ia mencoba mendengar pendapatnya. Ternyata Tara hanya membungkam. Dia hanya mengamati arah tujuan perahu itu dengan pandang matanya. Yudapati sendiri segera menepikan perahunya di antara dua tebing yang menjorok ke laut.
Tak lama kemudian ia melihat melesatnya sesosok bayangan yang mengenakan pakaian hitam. Tak peduli betapa pesat gerakan bayangan itu. masih saja tidak luput dari pengamatannya. Bayangan itu berperawakan langsing. Gerakannya cepat, tangkas dan gesit. Sebentar saja menghilang di balik tebing terjal. Pada saat itu, tangan Tara memegang pundaknya agak kencang tetapi mengendor kembali. Dan gadis itu tidak berkata apapun. Mungkin sekali ia teringat sesuatu, lalu berbimbang-bimbang sendiri sehingga membatalkan niatnya hendak mengucapkan sesuatu.
- Engkau hendak berkata apa?
Yudapati mencoba mendesak.
- Apakah kakak tidak menyusulnya? - .
Tara menjawab dengan berbisik.
- Kukira tidak perlu tergesa- gesa. Tetapi maukah engkau mendengarkan pesanku?
- Pesan apa? Yudapati berdiam sejenak, lalu berkata:
- Adik, sebentar lagi kita akan memasuki sarang harimau. Andaikata kita harus bertempur melawan kaum Arnawa, engkau boleh menyerang mereka dengan jurus jurus yang kau fahami. Meskipun hanya sepotong-potong. kukira cukup untuk kau buat melindungi diri. Aku pun akan dapat membantumu sewaktu- waktu. Tetapi apabila engkau berhadapan dengan seorang pendeta berjubah kuning seperti tujuh pendeta yang memberimu ajaran jurus- jurus keji kepadamu, mundurlah! Sebab pendeta itu adalah guru ketujuh pendeta itu. Dia termasuk paman guruku. Namanya Punta Dewakrama. Tetapi bila engkau tersudut sehingga mau tak mau harus melawannya. ucapkanlah kata- kata ini: Aku cucu Resi Gunadewa. Dengan menyebut nama itu tidak peduli betapa dia jahat pun, tidak akan sampai hati menyerangmu lagi. Mendengar pesan itu. Tara Jayawardani tercengang keheranan. Pikirnya:
- Benarkah kata- kata itu begitu mustajab?
Tujuh pendeta yang memaksa dirinya menghafalkan jurus-jurus ajarannya, memang berjubah kuning. Namun tiada seorangpun menyebutkan namanya. Sekarang, Yudapati berkata bahwa Punta Dewakrama adalah guru mereka. Apakah alasan Yudapati bahwa Punta Dewakrama berada di tengah kaum Arnawa.
Selagi berpikir demikian, berkatalah Yudapati:
- Adik, biarlah aku berkata sebenarnya kepadamu seorang. Guruku kusebut Resi Brahmantara. Dia mempunyai adik seperguruan bernama Punta Dewakarma. Menurut guru, pada dewasa ini tiada orang sakti melebihi kesaktian paman guruku itu. Padahal dia berangan- angan mendirikan suatu kekuasaan di bumi Sriwijaya ini. Apakah makna angan- angan itu, kalau bukan ingin mengangkat diri menjadi Yang dipertuan? Apalagi sekarang inilah saatnya yang tepat, karena negara sedang dalam keadaan kacau-balau. Pada suatu kali aku menyaksikan sendiri, betapa anak-cucu muridnya merajalela sampai membantai seluruh penduduk nelayan yang tidak berdosa. Ketujuh muridnya menjelajah wilayah kerajaan dengan membunuhi para bhayangkara kerajaan. Kau sendiri pernah menyaksikan. Itulah pula sebabnya aku mempunyai alasanku sendiri bahwa bukan hal yang tidak mustahil bila pada saat ini dia berada di sini. Tujuannya cukup jelas. Dia ingin mentaklukkan kaum Arnawa dan merebut markasnya sebagai pusat pergerakannya. Dari pulau ini, dia akan dapat menguasai lautan dan darat. Kau mengerti alasanku ini? .;
Tara Jayawardani mengangguk. Bertanya:
- Kalau dia mempunyai angan-angan begitu besar. apa sebab dia akan mendengarkan kata-kata: Aku cucu Resi Gunadewa?
- Sebab Resi Gunadewa adalah gurunya.
- Tetapi bagaimana kalau dia tidak percaya?
- Tunjuk diriku dan sebutkan namaku! Dengan begitu aku akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan seorang diri tanpa melibatkan dirimu.
Yudapati menjawab dengan suara tegas. Kemudian ia sibuk menyembunyikan perahunya di bawah sebuah tebing yang terjal.
- Sekarang. kita harus memanjat tebing ini. perintah Yudapati.
Tara Jayawardani kemudian melompat ke atas sebuah batu yang mendongak di atas permukaan laut. Selagi matanya berkelana mencari tempat berpijak. tiba- tiba Yudapati menyambar pinggangnya dan dilemparkan tinggi di udara dan mendarat di atas tebingnya. Setelah itu, Yudapati melompat tinggi pula dan mendarat di sampingnya dengan manis sekali. Tangannya menyambar lagi. Tetapi kali ini bukan menyambar pinggang, melainkan lengannya. Gadis itu kemudian dibawanya lari pesat dan sebentar saja markas kaum Arnawa sudah berada di depan hidung.
Tara tahu diri. Meskipun dia tadi terkejut tatkala terlempar tinggi ke udara namun ia menutup mulut sewaktu mendarat di atas tanah. Juga sewaktu dirinya dihawa lari secepat kilat.
Ia mencoba mengimbangi dengan menggerakkan kakinya. Tetapi meskipun sudah berusaha sebaik-baiknya, tetap saja masih terasa terseret. Yang mengherankan, kedua kakinya hampir hampir saja tidak pernah menyentuh tanah. Dengan begitu kedua muda-mudi itu dapat
mendekati markas kaum Arnawa dengan tak kurang suatu apa. Sama sekali mereka tidak menerbitkan suara apapun karena gerakannya tertutup oleh suara desir angin laut. Tetapi baru saja mereka akan menginjak halaman markas, nampaklah serombongan pemuda yang muncul dari tikungan sebelah kiri.
Yudapati tidak mempunyai kesempatan untuk mundur atau mencari tempat persembunyian. Terpaksalah ia mengibaskan tangannya dan tahu-tahu rombongan peronda itu terpental mundur dan tidak bergerak bagaikan sekumpulan patung.
- Aku tidak membunuh mereka. Aku hanya memaksa agar mereka tidak dapat bergerak. bisik Yudapati.
Kesempatan itu digunakan Tara Jayawardani untuk menanyakan sesuatu yang masih mengganjal dalam hatinya. Katanya dengan berbisik pula:
- Kakak! Apakah kakak pernah berjumpa dengan paman guru kakak? - Terus terang saja belum pernah aku melihatnya. sahut Yudapati cepat.
- Tetapi aku yakin. Meskipun usianya kini mungkin melebihi delapan puluh tahun namun berkat ilmunya yang tinggi akan nampak gagah perkasa dan tak terpaut jauh dengan orang yang berusia lima puluhan tahun. - .
Tara Jayawardani mengangguk. Pada waktu itu manusia pada umumnya berusia panjang. Apalagi seseorang yang memiliki ilmu sakti yang tinggi.
Yudapati tidak membiarkan Tara membuka mulutnya lagi. Seperti tadi,ia membawa gadis itu terbang secepat cepatnya. Sebentar saja mereka berdua sudah berada di halaman markas besar. Mereka menghampiri tempat yang memencarkan nyala penerangan. Dengan pengalamannva tadi mereka tahu bahwa penjagaan makin lama makin
ketat. Maka setelah memasuki tikungan. Yudapati membawa Tara melompat ke atas genting. Dan setelah melewati beberapa tangga lantai, tibalah mereka pada tempat yang memancarkan penerangan. Ternyata merupakan sebuah ruangan besar yang memantulkan beberapa bayangan orang. Cepat-cepat Yudapati membawa Tara mendekam di atas genting. Kemudian dengan hati-hati, mereka mengintip.
Ruangan itu agaknya merupakan ruangan pertemuan, karena lebar dan luas. Terdapat sebuah meja perjamuan berukuran panjang. Enam orang sedang duduk bersantap dengan berdiam diri. Yang berada di tengah, seseorang yang berperawakan gempal dengan kepala berbentuk bulat dan bertelinga besar. Melihat kesan wajahnya, dia dalam keadaan tidak senang hati. Mungkin mendongkol atau sedang menyembunyikan api kemarahan. Yang berada di kiri-kanannya, tentunya termasuk anak- buahnya. Pakaian mereka seragam. Dan orang keenam memiliki bentuk wajah yang istimewa. Sedikit memanjang dengan dihiasi kumis dan jenggot yang teratur rapih. Perawakan tubuhnya termasuk tipis,ia mengenakan jubah berwarna kuning. Dan melihat orang itu, hati Yudapati berdenyut. Tangannya menerkam lengan Tara dengan agak bergemetaran.
- Kenapa? bisik Tara minta keterangan.
Teguran Tara menyadarkan Yudapati. Buru- buru ia melepaskan pegangannya sambil menggelengkan kepalanya. Tara menatap wajahnya dengan perasaan heran. Ia adalah seorang gadis yang masih putih bersih. Belum pernah tangan atau lengannya tersentuh tangan laki- laki yang membawa perasaan hatinya. Karena itu, ia memperoleh kesan luar biasa.
Apa sebab tangan Yudapati jadi gemetaran?
Khawatir akan mengecewakan hati pahlawan yang
dipujanya itu. ia menyodorkan tangannya kembali sambil berkata berbisik:
- Mengapa engkau melepaskan tanganku? Peganglah kembali!
Akan tetapi sekali lagi ia mempunyai perasaan aneh. Tiba tiba ia merasa malu. Syukur pada saat itu,Yudapati mengalihkan perhatiannya dengan kesan yang dapat membuyarkan getaran perasaannya.
- Kau amat-amati orang yang berjubah kuning itu! bisik Yudapati dengan suara hati- hati.
- Dialah paman guruku!
Selagi Tara hendak mengintip kembali, tiba- tiba ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang menghilang di ujung genting. Melihat bayangan itu, ia menggeserkan tubuhnya. Rupanya Yudapati melihatnya pula. Dengan cepat Yudapati mencegah:
- Jangan bergerak! - bisiknya.
- Pusatkan perhatianmu kepada mereka. Mereka jauh lebih penting! Yang sedang mendongkol itu. tentunya Barabas.
Memang benar. Dialah Barabas kepala Kaum Arnawa bagian barat. Dengan lesu ia membuka mulutnya. Katanya menggerutu: '
- Barang itu kini telah lenyap . . . Huh! Inilah yang dikatakan orang: Dewa Kuwera sudah membuka pintu,akan tetapi orang lain yang memasuki istananya. Benar benar sial! Bagaimana iblis itu bisa mendahului kita.
Dewa Kuwera adalah dewa kekayaan. Rupanya Berabas mendongkol, karena kehilangan kesempatan memperkaya diri. Entah barang apa yang membuat hatinya mendongkol. Pada saat itu, Punta Dewakarma yang berjubah kuning berkata:
- Jelas sekali, hantu itu menguntitmu semenjak lama. Engkaulah yang tolol. Tetapi lihat! Sebentar lagi aku akan
membunuhnya dan menumpas laskarnya sampai habis. Kalau gagal, aku bukan Punta Dewakarma lagi.
Mendengar orang itu menyebutkan namanya. sekarang Tara ganti bergemetaran. Tak dikehendaki sendiri ia menerkam lengan Yudapati kencang-kencang. Seumpama di siang hari wajahnya akan nampak pucat karena hatinya tergoncang.
Pendeta itu menepukkan tangannya di atas meja dan beberapa buah piring dan mangkok berlompatan kemudian terbalik. Tentu saja isinya tumpah dan membasahi meja perjamuan. Bahkan kuahnya sempat memerciki tubuh kelima- limanya. Tak usah dikatakan lagi, bahwa pendeta itu memiliki himpunan tenaga sakti yang sangat tinggi.
- Tuanku Punta Dewakarma benar. ujar seorang yang duduk di deretan ketiga.
Dialah Caluntang pemimpin kaum Arnawa nomor tiga.
- Sekarang ini. kudengar para perwira bhayangkara datang memasuki wilayah kita. Pemimpinnya bernama: Upasunda. Kabarnya dia sangrat tangguh. Karena itu, perlu kita mengundang beberapa sahabat kita untuk mengepung dan menawannya. Syukur bisa membunuhnya mati. Setidak- tidaknya, dengan ditemani beberapa sahabat, rasanya kita dapat menandingi ketangguhan mereka.
Caluntang ternyata hanya memiliki sebelah lengan. Sedang lengan kirinya yang kutung disembunyikan dibalik bajunya. Wajahnya pucat lesi, suatu tanda bahwa peristiwa terkutungnya lengannya belum lama terjadi. ia berkata lagi:
- Kita akan berusaha merampas peta itu kembali. Peta harta karun kerajaan yang kelak dapat kita buat membeayai perjuangan merebut kekuasaan seperti yang menjadi tujuan tuanku Dewakarma.
Mendengar kata- kata Caluntang. kembali lagi tangan Tara meremas tangan Yudapati. Maksudnya ia hendak meyakinkan pendekar itu bahwa peta yang pernah diperebutkan itu bukan peta khayalan belaka. Peta itu kini sudah dibakar Isu Wardana menjadi abu.
Tetapi apa sebab orang itu berbicara tentang peta harta kerajaan?
Apakah peta yang dibakar Isu Wardanalah yang justru palsu?
Tentu saja, hal itu tak dapat ia menanyakan pendapat Yudapati. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi tegang. Barangkali karena mendapat kejelasan yang lebih tegas tentang tujuan Punta Dewakarma seperti yang diperkirakan.
- Ah! Terhadap orang- orang yang sudi berhamba kepada raja. apa perlu kita takut? Kita berlima sudah cukup. Apalagi ditambah dengan hadirnya tuanku Dewakarma yang mempunyai tujuh murid yang sangat tangguh. Kukira sekelompok bhayangkara tak ubahnya seperti segenggam tembakau yang dapat kita pilin-pilin sesuka hati kita. - sambung seorang yang berperawakan tinggi tipis.
Dialah wakil ketua keempat, bernama:Kocak. Agaknya berwatak berangasan dan takabur.
- Tidak dapat kita berbicara demikian: Aku berpendapat, jangan sekali- kali meremehkan lawan. Upasunda adalah perwira bhayangkara yang ketiga. Kalau tidak mempunyai kepandaian istimewa, tidak mungkin menduduki jabatan setinggi itu. ujar Birawan.
Dialah ketua nomor dua. Orangnya tenang dan berwibawa. Rupanya pengalamannya luas dan pengamatannya cermat.
- Boma Printa Narayana adalah seorang ahli pedang kenamaan. - ia berkata lagi.
- Menurut kabar, ia memiliki semacam kepandaian yang susah diukur betapa tingginya. Aku lebih menyetujui usul Caluntang, agar memanggil beberapa sahabat yang bersedia membantu agar dapat merebut peta itu kembali.
Tetapi Kocak yang takabur memekik tinggi. Ia menolak pendapat Birawan. Seketika itu juga terjadilah suatu perdebatan sengit. Tak lama kemudian yang lain ikut menimbrung. Karena mereka berbicara cepat dan lantang baik Yudapati maupun Tara tidak mendengar ucapan masing- masing dengan jelas.
- Hm. - pikir Yudapati di dalam hati.
- Rupanya mereka berpapasan dengan rombongan Boma Printa Narayana. Mereka mencoba merampasnya kembali. Tetapi mereka kalah. - ,
Yudapati hanya main terka. Walaupun demikian, tidak terlalu salah. Memang, Boma Printa Narayana berhasil merampas kotak pusaka dari tangan pendekar Sabung. Dalam perjalanan pulang, ia dihadang kaum Arnawa yang mempunyai alasannya sendiri. Mereka kalah, bahkan tangan kiri Caluntang tertabas kutung oleh salah seorang perwira bawahan Boma Printa Narayana.
Karena pembicaraan mereka tidak dapat diikuti lagi dengan jelas, Yudapati bermaksud meninggalkan tempatnya. Tiba-tiba pada saat itu, masuklah seorang berpakaian lusuh yang segera berkata dengan lantang:
- Saudaraku sekalian, aku datang membawa berita penting
Mendengar ucapannya yang lantang dan bersungguh sungguh, Barabas segera melerai mereka yang sedang berdebat sengit. Pendatang itu agaknya baru saja melakukan perjalanan yang jauh dan tentunya termasuk salah seorang pemimpin kaum Arnawa. Kalau tidak, mustahil bisa masuk langsung ke dalam ruang pertemuan.
- Hai. kiranya rekan Pohan! sambut Kocak dengan suara tak kalah lantang.
- Engkau membawa berita apa?
- Kalian masih ingat si bangsat Palata? Dia sudah menjadi mayat. Apakah kalian sudah mendengar beritanya"!
- Berita yang mana? teriak Kocak yang beradat berangasan.
- Kabarnya dia berhasil mencuri peta harta karun yang tersimpan dalam kotak pusaka. Rupanya dia terkejar dan mayatnya terbujur di tengah jalan. Semua yang berada di dalam ruang perjamuan itu terbelalak heran. Mereka tahu, bahwa dalam hal ilmu berlari. Palata temasuk seorang ahli nomor satu. Selain itu ahli pula dalam hal ilmu golok.
Masakan begitu mudah terkejar lawan dan mati tiada liang kuburnya?
Yang berada di atas gentingpun terkejut dan heran pula. Dialah Yudapati yang sedang mengintip pembicaraan mereka. Jalan pikirannya sama pula dengan mereka. Palata seorang ahli golok yang sukar dicarikan tandingannya. Ilmu larinya jempolan juga. Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa Palata terkena racun jahat ayah Sekar Tanjung. Diapun berjanji akan memintakan obat penawarnya. Kalau tidak, Palata akan mati dalam waktu satu bulan,
Apakah dia mati karena racun itu?
- Celaka! ia mengeluh di dalam hati.
- Dia seorang penjahat besar. Dia pantas dihukum mati. Tetapi aku sudah berjanji hendak memintakan obat penawarnya. Jika begitu. akulah penyebab matinya dengan tak langsung. Ah. mengapa janji itu tak pernah terpikirkan lagi dalam benakku? '
Dalam pada itu terdengar suara Punta Dewakarma berkata dengan suara berat:
- Apakah engkau tidak salah lihat?
- Panjang ceritanya. jawab Pohan.
- Berceritalah yang jelas! - , bentak Barabas penasaran. - Engkau tidak hanya berhadapan dengan pemimpinmu saja, tetapi tuanku Punta Dewakarma. Kau tahu siapa
beliau?
Pohan terbelalak. Wajahnya berubah hebat. Cepat cepat ia membungkuk hormat kepada Punta Dewakarma. Lalu berkata dengan hati- hati:
- Terdorong oleh berita itu aku ikut mengejar. - Apakah ada yang sudah mendahuluimu?
- Tentunya laskar kerajaan. sahut Pohan.
- Lalu?
- Tatkala aku sedang melacak jejaknya. tiba- tiba dibalik belukar kudengar orang berkata setengah bersorak;
- Ha, dia sudah mampus! Sekarang peta berada di tanganku. Eh. nanti dulu! Jangan-jangan bangsat ini membuat peta tiruan lagi yang disimpannya rapih di balik bajunya. Dan pada saat itu, aku muncul dan membentaknya. Orang itu terkejut lalu melarikan diri . . .
- Siapa dia? potong Barabas berempat dengan berbareng.
- Siapa dia sebenarnya aku kurang jelas. Dia berperawakan langsing. Langkahnya gesit dan cekatan. - .Jawab Pohan.
- Engkau terkenal pandai berlari pula. Mengapa tidak kau tangkap hidup- hidup?
Pohan mendehem. Wajahnya nampak cerah. Lalu menjawab:
- Aku mengejarnya sambil menghardiknya agar menyerahkan peta itu. Sewaktu hampir dapat kutangkap, ia melemparkan peta itu. Bagiku, yang terpenting adalah peta itu. Maka cepat-cepat aku memungut peta itu. Dan pada saat itu. dia sudah menghilang dari pengamatanku.
- Hm . . . bagus juga. ujar Punta Dewakarma dengan mendeham.
- Coba, perlihatkan peta itu kepadaku!
Pohan merogoh saku bajunya. kemudian mengeluarkan sehelai kertas berwarna kuning kumal. Semuanya
itu tidak luput dari pengamatan rekan-rekannya yang melototkan matanya seakan- akan ingin menyambarnya. Tetapi karena segan dan mungkin sekali takut kepada Punta Dewakarma, masing-masing tahu diri. Dengan pandang matanya yang tidak berkedip mereka mengikuti gerakan tangan Pohan tatkala mempersembahkan peta itu kepada Punta Dewakarma.
Punta Dewakarma segera membuka lipatannya dan memeriksanya. Di luar dugaan. ia hanya memeriksa sepintas lalu saja. Berkata menegas kepada Pohan:
- Benarkah orang yang kau kejar itu melemparkan sehelai kertas ini?
- Tidak salah lagi.
- Setelah engkau memungutnya, bagaimana dengan Palata yang kau kabarkan mati di tengah jalan?
Pertanyaan itu, rupanya berada di luar dugaan Pohan. Wajahnya berubah. Kemudian menjawab:
- Dengan terus terang aku tidak menghiraukannya lagi. Bangsat itu sudah sepantasnya mati tak berkubur.
- Kalau begitu, belum tentu Palata yang mati.
- Tidak mungkin. - Apakah alasanmu?
- Jelas sekali. ia kabur dengan membawa peta curiannya. Kemudian ia dikejar laskar kerajaan. Setelah terbunuh, pemuda itulah yang beruntung menemukan peta yang berada dalam sakunya.
Pohan membela diri.
- Apakah engkau menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri?
Pohan tergugu. Selagi hendak membuka mulutnya. Punta Dewakarma mendahului:
- Dahulu aku pernah mendengar kabar bahwa Palata pernah menculik isterimu. Benarkah itu?
- Tidak hanya menculik tetapi membunuhnya pula
- Tetapi rupanya engkau cepat cepat melupakan peristiwa itu sehingga sudah terhibur oleh sehelai kertas kumal ini. Nih, ambillah! - ujar Punta Dewakarma sambil melemparkan peta itu ke atas meja.
Dengan sendirinya. Barabas, Birawan. Caluntang dan Kocak berebutan untuk melihatnya. Sebaliknya Pohan jadi termangu-mangu menyaksikan wajah Punta Dewakarma yang mengulum senyum.
- Tuanku Dewakarma! Apakah aku dikelabui bangsat itu? ia minta penegasan.
- Dendamku terhadap bangsat Palata itu tak terkatakan lagi. Meskipun demikian. kuperlukan dahulu datang kemari untuk mempersembahkan peta itu demi hari depan kita. Setelah itu aku akan meremukkan tulang-belulang bangsat itu dengan kesaksian rekan-rekan seperjuangan demi membalaskan dendam isteriku. Apakah aku salah langkah? - .
Punta Dewakarma tidak melayaninya lagi, ia mengalihkan pandangnya ke langit-langit atap. Tatapan matanya yang tiba-tiba beralih tempat itu. menggetarkan hati Yudapati yang berada di atas genting. Dengan hati-hati. ia membawa Tara bergeser mundur. Lalu berbisik dengan menggunakan tenaga saktinya:
- Mari! - Tara Jayawardani mengangguk. Selagi mereka berdua hendak beralih tempat, sekonyong-konyong nampaklah sesosok bayangan melesat keluar dari persembunyiannya. Dengan sekejap mata saja, bayangan itu lenyap dari penglihatan. Meskipun demikian,perawakan tubuhnya mengingatkan Tara kepada seseorang yang melekat dekat dalam hatinya. Ia terperanjat. Tak terasa ia membuka mulutnya. Tetapi pada detik itu pula. Yudapati membungkamnya dan membawanya melesat mundur dengan tanpa suara.
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu minta keterangan dengan berbisik:
- Siapa?
- Dia..Isu Wardana..sahut Tara dengan berbisik pula.
Yudapati mengingat-ingat perawakan bayangan yang mengenakan pakaian hitam tadi. Kemudian ia mengangguk membenarkan.
- Mengapa ia tiba-tiba berada di sini. pikirnya.
- Apakah dia mempunyai kepentingan pula? Jangan jangan perkara peta harta karun itu pula.
Tetapi gerakan Isu Wardana itu, menutupi suara kisikannya kepada Tara Jayawardani meskipun dilakukan dengan tenaga sakti yang tinggi. Bagi manusia biasa, suara bisikannya tak ubah buaian angin lembut yang tidakkan tertangkap oleh indera sakti Tantra tidak dapat terkecoh. Suara bisikan yang lembut itu disusul dengan suatu gerakan. Hanya saja ia tak mengira, bahwa suara itu beasal dari dua orang. Karena itu ia mengira, bahwa orang yang mengintip di atas genting sudah kabur melarikan diri.
- Kakak! bisik Tara Jayawardani.
- Apakah bukan dia yang diceritakan Pohan tadi? - Mungkin. - sahut Yudapati.
- Mari kita susul!
Dengan bergandengan tangan, Yudapati dan Tara Jayawardani menyusul ke arah larinya bayangan itu. Bayangan itu menoleh sebentar. Lalu mempercepat larinya. Tetapi dia tidak meninggalkan markas kaum Arnawa. Sebaliknya lari berputaran di atas genting dengan ringan sekali.
- Isu Wardana! Coba terka. siapa aku? - sapa Yudapati ramah.
Mendengar tegur sapa Yudapati,bayangan itu memperlambat langkahnya. Rupanya ia tertarik. Ia membiarkan Yudapati dan Tara Jayawardani datang mendekat. Kemudian ia tertawa pelahan dan dengan tiba- tiba melesat kembali secepat kilat. Sebentar saja ia sudah sampai di ujung genting. Yudapati tercengang sejenak. Hampir saja ia merasa tidak akan dapat menyusulnya kembali, karena membawa beban Tara Jayawardani.
Pada detik itu pula terdengarlah suara gembreng tanda bahaya. Yudapati tahu tentunya atas perintah Punta Dewakarma. Dan seluruh penghuni markas kaum Arnawa terbangun dari kelalaiannya. Lantas saja terdengar suara teriakan gemuruh sambung- menyambung:
- Tangkap! Tangkap! Ada penjahat!
Muncullah belasan obor dari tempat ke tempat. Makin lama makin banyak jumlahnya sehingga halaman markas besar itu jadi terang-benderang. Namun Yudapati tidak menghiraukan, karena hatinya jadi penasaran. Terus saja ia menggunakan himpunan tenaga sakti Tantra tingkat enam untuk mengejar bayangan tadi. Sekejap mata saja ia sudah dapat menghampiri. lalu berseru memanggil'.
- Adik, tunggu! Apakah aku menganggumu? Aku minta maaf!
Bayangan itu menoleh dan menyahut sambil tertawa lembut,
- Engkau tidak bersalah apapun. Mengapa minta maaf?
Mendengar suara tertawa dan ucapannya, Yudapati tertegun keheranan. Jelas sekali bukan suara seorang pria. Karena itu. segera ia menegas:
- Ah, kukira engkau adikku Isu Wardana. Kau siapa?
Bayangan itu memperdengarkan suara tertawanya yang lembut. Tiba- tiba melesat ke depan bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya. Yudapati termangu mangu keheranan. Perawakan tubuh bayangan itu mirip sekali dengan Isu Wardana. Tetapi jelas bukan Isu Wardana. Kalau begitu tentunya seorang pendekar berkepandaian tinggi yang mengenakan baju hitam.
Bayangan itu tidak menghiraukan keadaan hati Yudapati. Dengan lincah ia berlari-larian di antara pantulan cahaya belasan obor yang menyala terang benderang. Begitu lincah dan gesit dia, sehingga sedap dipandang mata. Setelah berlari-larian dengan leluasa, sekonyong konyong ia melompat turun ke tanah dan lenyap dari pengamatan.
- Kalau dia bukan Isu Wardana untuk apa kita mengejarnya? - ujar Tara setengah menggerembengi.
- Dia berkepandaian tinggi.
- Lalu? - Dia luar biasa. Ingin aku melihat apa tujuannya datang kemari. sahut Yudapati.
Waktu itu, mereka yang berada dalam ruang perjamuan sudah memburu keluar. Terdengar suara Punta Dewakarma nyaring:
- Sahabat di atas genting, silakan turun!
Barabas segera menimbrung:
- Hai! Sebenarnya siapakah engkau sampai berani bergurau di atas gentingku? Mustahil engkau tidak tahu, bahwa inilah markas besar kaum Arnawa. Lebih baik engkau menyerahkan diri sebelum jiwamu melayang.
Hampir berbareng dengan lenyapnya gaung suara Barabas, muncullah bayangan itu dari sudut samping. Dengan lantang bayangan itu menyahut:
- Siapa di antara kalian yang bernama Punta Dewakarma? Suruhlah menyongsong kedatanganku! Baik kaum Arnawa maupun Yudapati tercengang mendengar bunyi ucapannya.
Dia menantang Punta Dewakarma?
Apakah dia tidak mengenal betapa tinggi ilmu Punta Dewakarma?
Justru demikian dengan seksama
Yudapati mengamat-amati pendekar yang mengenakan baju hitam itu. Oleh cahaya puluhan obor. wajah pendekar itu kelihatan putih bersih. Pandang matanya tajam. Kedua alisnya tebal. Mulutnya mungil dan berhidung mancung. Kesannya mirip wajah Isu Wardana.
Punta Dewakarma tertawa pelahan melalui dadanya. Katanya:
- Budak kecil. siapakah engkau sebenarnya? Disebut sebagai budak kecil. wajah pendekar itu berubah menjadi buram. Jelas sekali. hatinya mendongkol. Tetapi justru demikian, kesan wajahnya tiba-tiba menjadi cantik. Menyaksikan kesan wajah itu, Yudapati tercengang cengang.
- Bukankah engkau yang membunuh ayahku dan menawan pamanku? sahut pendekar berbaju hitam itu.
Punta Dewakarma terbelalak. Menegas:
- Aku membunuh ayahmu dan menawan pamanmu? Siapakah ayah dan pamanmu?
- Ayahku bernama Shri Sangga Rajaguru. Pamanku, Sanggrama Jayawardana. Jelas? ..
Mendengar jawaban pendekar berbaju hitam itu, Punta Dewakarma terbelalak. Demikian pulalah Tara Jayawardani. Kalau pendekar itu menyebut ayahnya sebagai pamannya, tentunya dia saudara sepupunya sendiri. Hanya saja belum pernah ayahnya menyebut-nyebut nama Shri Sangga Rajaguru.
Ataukah belum waktunya. karena usianya sendiri belum cukup dewasa benar?
- Budak kecil! Kau salah sangka. Selama hidupku belum pernah aku berkenalan dengan ayahmu. ujar Punta Dewakarma.
- Baiklah, tetapi bagaimana dengan pamanku? Bukankah engkau yang mempengaruhi raja agar pamanku dibebas tugaskan untuk kemudian ditawan sebagai tahanan rumah?
- Baik. baik . . . tak apalah engkau menuntut dendam padaku. Kau tanggalkan dahulu pakaian samaranmu dan perkenalkan namamu! Kukira masih ada waktu untuk kita berdua mencoba-coba mengadu untung. Pendekar berbaju hitam itu berubah wajahnya. Kelihatan sekali, ia mendongkol. Tetapi ia jujur dan berani. Dengan serta merta ia melepaskan kain penutup kepalanya. Seketika itu juga, rambut yang panjang jatuh terurai ke bawah. Rambut yang berombak dengan warna hitam legam. Sekarang menjadi jelas sekali, bahwa dia seorang gadis elok berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Melihat wajah dan pribadi gadis itu. tiba- tiba hati Yudapati tergetar. ia memperoleh suatu perasaan yang aneh dan syahdu. Perasaan demikian belum pernah ia merasakannya. Ia termasuk seorang pemuda yang berkawan dengan gadis- gadis cantik seperti Tilam, Sekar Tanjung dan Tara Jayawardani. Meskipun ia mengakui ketiga gadis itu bagaikan bidadari tersesat di bumi, namun hatinya tak pernah tergerak seperti sekarang ini begitu melihat pribadi dan keelokan gadis itu. Barangkali inilah yang dikatakan orang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Punta Dewakarma tertawa terbahak-bahak di antara para pemimpin kaum Arnawa yang termangu-mangu. Serunya'.
- Ah kiranya seorang puteri yang belum pandai heringus. Hai Pohan! Apakah gadis ini yang menggerayangi saku Palata? - Bukan. sahut Pohan dengan pasti.
- Hm kalau bukan tentunya dia datang kemari semata-mata untuk mencariku. Siapa namamu?
- Diatri Kama Ratih. jawab gadis itu dengan polos.
- Nama bagus! Nah. katakan yang jelas apa maksud kedatanganmu. Meskipun belum pernah aku bertemu dengan ayahmu, namun engkau boleh menuntut dendam padaku. Sebab memang akulah pembantu Raja Dharmajaya. Aku pulalah yang menawan pamanmu.
- Tuanku Punta Dewakarma! Menyembelih ayam tidak perlu memakai golok. Biarlah aku yang menangkapnya. ujar Pohan.
Sewaktu Pohan tadi datang memasuki ruang perjamuan, sikapnya seperti belum mengenal Punta Dewakarma. Tetapi kini adalah sebaliknya. Dia nampak akrab dan menghormat.
Apakah mereka sedang bermain sandiwara?
Yudapati menaruh curiga. Di dalam hati ia sudah mengambil keputusan. Bila Diatri sampai terdesak, dia akan turun membantunya.
Pada detik itu pula. Pohan sudah melompat menggempur dengan jurus yang keji. Menyaksikan jurus itu. Yudapati segera teringat jurus- jurus yang difahami Tara. Sifatnya sama. Keji. ganas dan kejam. Namun Diatri tidak gentar. Ia tidak menangkisnya. Hanya mengelak sambil tertawa pelahan.
- Kita tidak pernah mempunyai persoalan apapun. Apa sebab engkau ikut-ikutan memusuhiku? katanya.
- Lagipula. jurusmu begini keji dan ganas.
Pohan sebenarnya adalah murid Punta Dewakarma yang diselundupkan ke dalam kaum Arnawa. Karena pandai berkelahi. berani dan tangkas. ia berhasil menduduki kursi pimpinan. Dia sendiri menamakan diri dengan sebutan pendekar Garuda Sakti kaum Amawa. Jarang sekali ia memperoleh tanding sehingga ia jadi besar kepala. Itulah sebabnya ia meremehkan kepandaian Diatri. Pikirnya.
- betapa pandaipun masakan aku kalah melawan seorang perempuan.
Tetapi kali ini. ia salah perhitungan.
Ternyata serangan mautnya gagal. Oleh rasa malu dan terperanjat. timbullah marahnya. Ia berteriak-teriak kalap sambil melepaskan serangannya yang kedua.
Hebat serangannya kali ini. Kalau tadi mengarah kepala, kini membidik dada. Namun Diatri masih saja bersikap tenang. Apabila sasaran lawan hendak membidik dadanya,timbullah rasa mendongkolnya. Dengan suara tetap halus. ia menegor:
- Engkau benar- benar tidak mengenal tata- santun. Siapa namamu? Ditegor demikian, merah padam wajah Pohan. Selain dua kali serangan mautnya gagal, sasaran bidikannya memang tidak senonoh. Dengan serentak ia menghunus pedangnya sambil membentak: .
- Kau ingin tahu siapa diriku? Akulah Pohan Candra Gunawan, Garuda Sakti kaum Arnawa. Agaknya engkau sudah bosan hidup. Maka perlu engkau kurajang-rajang di atas dataran pulau ini.
Setelah membentak demikian, bagaikan seekor harimau ia menubruk dengan sabetan pedangnya. Diatri benar benar seorang pendekar puteri yang berani. Masih saja ia tidak mau membalas. Dengan sebat ia mundur dan mengelak ke samping. Tangannya dikibaskan dan menghantam hulu pedang Pohan sampai terpental.
- Memang hebat ilmu pedang Pohan Candra Gunawan Garuda Sakti kaum Arnawa. ia mengejek.
- Hanya saja tolong terangkan, dimanakah letak kesaktiannya?
Dan selagi pedang Pohan terpental. Diatri kini ganti menyerang. Dengan tangan kosong yang bergerak cepat luar biasa, ia membabat dan memukul. Terdengar kemudian suara plak- plok. Dan muka Pohan jadi matang biru.
Tentu saja. Pohan marah bukan main. Yang terasa dalam hatinya adalah rasa malu daripada rasa sakit. Sama
sekali ia tak mengira bahwa gadis itu berkepandaian tinggi. Terus saja ia menyerang dengan jurus- jurus Sardula. ajaran perguruannya. Jurus-jurus itu pernah diperlihatkan kehebatannya oleh tujuh pendeta berjubah kuning yang menewaskan belasan laskar bhayangkara dengan mudah.
Diatri segera melayaninya dengan sungguh-sungguh pula. Ia menang gesit tetapi kalah tenaga. Apalagi nampaknya ia tidak menguasai ilmu berkelahi dengan tangan kosong. Akhirnya setelah lewat lima puluh jurus, ia mulai terdesak. Agaknya sukar baginya untuk melindungi diri.
Menyaksikan hal itu, tergeraklah hati Yudapati. Sebenarnya ingin ia segera turun dari atas genting untuk terjun langsung ke dalam gelanggang. Suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Ia merasa sedang berhadapan dengan kelompok manusia-manusia licin yang sedang mengenakan kedok. Maka diputuskan hendak membantu Diatri dengan tenaga saktinya saja.
Bukankah Diatri hanya kalah tenaga saja?
Memutuskan demikian, segera ia mengirimkan tenaga sakti Tantra tingkat enam. Dan begitu tenaga sakti Tantra itu menyusup ke dalam tubuh Diatri, gadis itu tiba- tiba berani menyongsong serangan Pohan keras melawan keras.
Bres!
Pohan tergeliat mundur dengan sempoyongan.
Punta Dewakarma heran bukan kepalang.
- Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Sama sekali tak terlintas dalam pikirannya, bahwa tenaga itu datang berkat bantuan Yudapati.
Diatri sendiri sebenarnya heran pula. Ia hanya merasa suatu tenaga tidak nampak membantu dirinya. Seketika itu juga, ia sudah dapat menebak sembilan bagian. Pastilah salah seorang dari mereka yang bersembunyi di atas genting. Ia jadi berbesar hati. Katanya:
- Pohan! Aku hendak berbicara kepadamu.
Pohan sudah terlanjur malu. ibarat seseorang yang basah kuyup karena sudah terlanjur mencebur dalam kolam renang. Dengan nekad, ia hendak membalas dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun pada saat itu, terdengar suara Punta Dewakarma:
- Pohan! Dengarkan dahulu apa yang akan dikatakan!
Terpaksalah Pohan mengendorkan tenaga yang sudah dihimpunkan. Dengan menghempaskan nafasnya ia berkata:
- Kau hendak berkata apa?
- Sebenarnya tidak terlalu penting. sahut Diatri sambil tertawa manis.
- Kalau mengadu pukulan denganku, kau pasti kalah. Kau pungutlah pedangmu! Aku akan melayanimu dengan pedang pula.
Setelah berkata demikian. Diatri mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang kirinya. Begitu tercabut dari sarungnya,semua yang menyaksikan berseru tertahan. Sebab pedang itu memiliki sinar luar biasa. Tidak hanya menyilaukan mata saja tetapi warnanya hijau bercampur putih. Begitu dikibaskan, tiba-tiba membawa kesiur hawa dingin dan langsung menyambar muka Pohan yang sedang membungkuk hendak memungut pedangnya. Ia menggigil kedinginan sampai berseru heran:
- Pedang bagus! - Apakah engkau takut? Biarlah aku memberimu ampun. ujar Diatri dengan suara lembut.
- Apa? Aku takut? Jangan bermimpi! .Pohan merah
padam.
- Kalau begitu, berhati- hatilah! Awas! Entah bagaimana cara Diatri menggerakkan pedangnya. Tiba tiba saja sudah mengancam tenggorokan Pohan. Pohan terkejut setengah mati. Satu-satunya jalan, ia hanya
melompat mundur sambil mengelak ke samping. Lalu membalas dengan jurus-jurusnya yang sifatnya makin kejam.
- Hai! Kaupun bisa mengelak! Bagus!
Diatri memuji. Kemudian ia menangkis serangan Pohan dan langung menyerang. Gerakan pedangnya begitu cepat sehingga tidak terasa belasan jurus telah lewat.
Baik Punta Dewakarma maupun Yudapati kagum bukan main menyaksikan ilmu pedang Diatri. Yudapati yang tadi sudah membantu dengan tenaga Tantra enam, merasa tidak perlu membantunya. Ia kini menjadi penonton untuk dapat menikmati jurus-jurus ilmu pedang Diatri yang bagus dan cepat. Ia sendiri. sebenarnya sudah mengenal bermacam gaya ilmu pedang yang terukir dalam goa. Iapun pandai menggerakkan pedangnya secepat kejapan kilat. Tetapi ilmu pedang Diatri belum pernah dilihatnya. Teringatlah dia pembicaraannya dengan Resi Brahmantara. Dalam ilmu pedang,perebutan waktu menduduki tempat yang penting. Bila kalah cepat. diapun akan dapat dikalahkan. Padahal bila ia membandingkan kecepatannya dahulu dengan kecepatan Diatri. rasanya terpaut tidak terlalu jauh.
Bagaimana dengan gurunya?
Tentu saja. dirinya akan kalah cepat. Syukur kini ia sudah memiliki ilmu sakti Tantra tingkat sebelas. Menurut gurunya pada hakekatnya tiada yang sanggup melawan.
Diatri melayani pedang Pohan dengan tangan kiri saja. Meskipun demikian, setelah tiba pada jurus kedua puluh. Pohan sudah kehilangan pegangan. Dia tidak berdaya lagi. Seluruh tubuhnya sudah terkurung rapat oleh kemilau pedang mustika Diatri.
- Pohan! Sekarang aku tahu siapa engkau sebenarnya. - ujar Diatri dengan suara sungguh sungguh.
- Dengan terpaksa aku harus menyingkirkan dirimu dari pergaulan. Engkau terlalu berbahaya bila dibiarkan hidup.
Diancam demikian. Pohan malahan nekad. Ia menikam. Diatri menyampok pergelangan tangannya dengan tangan kanannya. Pedang Pohan terpental dari genggamannya. Justru pada saat itu, dengan tangan kirinya Diatri menusukkan pedangnya.
Pohan terkejut setengah mati sampai berteriak ketakutan. Tiada yang dapat dilakukan lagi. selain membuang diri dengan bergulung di atas tanah. Hanya dengan cara demikian,ia dapat lolos dari tikaman maut. Tetapi Diatri tidak memberinya kesempatan lagi. Keramahan wajahnya menghilang dari kesan hadirin. Ia melompat menyusul Pohan yang sedang bergulungan di atas tanah. Kembali lagi ia menyerang dengan jurus susulannya.
Pada saat itu, siapapun tahu bahwa jiwa Pohan akan melayang. Tiba- tiba Punta Dewakarma melompat menghadang dengan menggempurkan tangannya. Wajahnya bengis luar biasa.
- Hai bocah! Sebenarnya engkau apanya Bhiksuni Damayani Tunggadewi? Apakah engkau muridnya? - bentaknya.
Kena gempuran tenaga sakti Punta Dewakarma, Diatri terpental mundur dan berjungkir balik di udara untuk memunahkannya. Setelah berdiri tegak kembali, ia tidak menanggapi bentakan Punta Dewakarma. Bahkan dengan berani ia membalas membentak pula:
- Kau mau menyingkir atau tidak? Tentu saja Punta Dewakarma merasa direndahkan mendengar bentakan itu. Sudah semenjak puluhan tahun yang lalu, siapapun tahu bahwa dirinya adalah seorang sakti yang malang melintang tanpa tandingan. Kini dibentak oleh seorang anak kemarin sore. Keruan saja wajahnya bertambah bengis. Sewaktu mulutnya hendak membalas
bentakan itu. Pohan yang mempunyai kesempatan untuk berdiri kembali. mendahului:
- Hai anak haram! Jika aku tidak bisa membunuhmu, aku bukan Garuda Sakti kaum Arnawa. - suaranya lantang. ketus dan takabur.
Ia melompat menerjang seperti kerbau gila. Diatri menangkis serangannya sambil berkata:
- Benar- benar orang tak tahu malu. Semenjak kapan engkau menyematkan sebutan Garuda Sakti segala? Diatri kini bertempur dengan sungguh- sungguh. Tak mau lagi ia menyerang dengan setengah-setengah. Tangan kirinya bergerak cepat bagaikan kejapan kilat. Ia menikam, mengurung. menusuk atau membabat. Menyaksikan gerakan pedangnya yang tegas tetapi indah itu, diam-diam Punta Dewakarma berteka- teki dalam hati:
- Bukankah ini ilmu pedang Bhiksuni Damayani Tunggadewi? Kalau dia bukan muridnya. tentunya anaknya
Teka-tekinya tidak aneh. Sebab ia tahu, bahwa Damayani Tunggadewi menjadi bhiksuni baru belasan tahun yang lalu. Pada jaman mudanya, ia bernama Damayani saja. Tidak lebih tidak kurang. Setelah menjadi bhiksuni disebut dengan nama Bhiksuni Damayani Tunggadewi.
Punta Dewakarma nampak prihatin. Pohan benar benar dikalahkan Diatri. Nafasnya sudah tersengal-sengal. Beberapa jurus lagi, hidupnya pasti sudah tammat. Selagi demikian, masuklah dua orang bersenjata tajam mengkilat ke dalam gelanggang. Merekalah Barabas dan Birawan.
Sebagai tuan rumah, mereka malu karena bawahannya kena dikalahkan seorang gadis kemarin sore. Merekapun malu terhadap Punta Dewakarma yang datang ke markas besarnya sebagai tamu yang dihormati dan disegani. Dan kini direcoki oleh seorang gadis yang masih jauh di bawah
usianya.
- Saudara Pohan. silakan beristirahat dahulu! - ujar Barabas dengan suara setengah memerintah.
- Biarlah aku yang menawan bocah ini untuk kuserahkan padamu. Pohan tahu diri. Memang ia merasa sudah kehabisan nafas. Sekarang bintang penolongnya tiba.
Mengapa kesempatan bagus itu tidak digunakan untuk memulihkan tenaganya?
Maka dengan berjumpalitan ia melesat mundur. Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tahu- tahu ujung pedang Diatri sudah menyentuh pantatnya. Ia jadi tercengang sampai tertegun sejenak.
- Kau hendak lari ke mana? terdengar suara halus tetapi bernada mengancam.
Karena ujung pedang sudah menggarit pantatnya, Pohan tersentak dari tergugunya. Ia melesat mundur lagi dan berjumpalitan memutari gelanggang. Tetapi kemana saja ia berada,ujung pedang Diatri selalu membuntuti. Dan melihat muridnya diperlakukan demikian oleh seorang gadis kemarin sore tak dapat lagi Punta Dewakarma menahan diri. Dengan mengerahkan tenaga saktinya,tangannya mengayun. Dan belasan jarum bertebaran melalui lengan jubahnya.
Yudapati yang berada di atas genting terkejut. Teringatlah dia kepada pengalamannya sendiri tatkala terancam jarum Pramusinta. Waktu itu, ia ditolong Resi Brahmantara. Kali inipun ia hendak menolong ancaman maut itu. Lantas saja ia melepaskan tenaga saktinya tingkat tujuh membelokkan arah tebaran jarum itu. Seketika itu juga terdengarlah jerit menyayatkan hati. Belasan laskar Arnawa yang datang mengepung Diatri mati tersambar tebaran jarum.
Punta Dewakarma terperanjat.
Siapakah yang dapat melawan tenaga saktinya?
Seketika itu juga ia mendongak
mengawaskan genting. Tepat pada detik itu, Yudapati turun ke tanah diikuti Tara Jayawardani.
Menyaksikan mereka berdua, para pemimpin Arnawa terbelalak heran. Tetapi hanya sejenak. Seketika itu juga, Barabas membentak:
- Siapa engkau?
Ia benar-benar merasa terhina, karena markas besarnya terinjak-injak lawan yang luput dari pengamatannya. Wajahnya jadi merah padam bagaikan terbakar api. Sebaliknya Tara Jayawardani tidak menghiraukan bentakannya. Dengan berlarian ia menghampiri Diatri sambil berseru girang:
Ayunda Diatri! Diatri yang tengah terkejut karena menghadapi serangan Punta Dewakarma yang berbahaya tadi, terhenyak heran. Sahutnya tak mengerti:
- Tara! Mengapa engkau berada di sini?
Tara datang hendak memeluk Diatri, tetapi urung karena ia mendengar suara Yudapati sedang beradu mulut melawan Barabas. Terdengar Yudapati berkata dengan suaranya yang tenang:
- Barabas! Pertanyaanmu itu harap kau simpan dahulu.
- Aku yang memiliki markas ini. Akulah tuan rumah, maka sudah sewajarnya aku menegur dirimu. bentak Barabas.
Yudapati tidak menghiraukan. Ia memutar tubuhnya menghadap Punta Dewakarma. Lalu membungkuk hormat sambil berkata:
- Paman, terimalah hormatku. Wajah Punta Dewakarma yang sebentar tadi nampak bengis luar biasa, mengendor dengan sendirinya melihat sikap Yudapati yang menghormatinya. Tanyanya dengan
suara datar:
- Kau siapa?
- Aku Yudapati.
- Siapa kau? - Aku seorang perantau yang kebetulan mengenal nama paman.
- Kau menyebut diriku dengan paman? bentak Punta Dewakarma.
- Engkau sedang main sandiwara apa?
- Karena aku murid Resi Brahmantara.
Mendengar ucapan Yudapati, Punta Dewakarma tertegun keheranan. Kedua matanya berkedip-kedip. Lalu tersenyum lebar. Ujarnya seperti sedang berkata kepada dirinya sendiri:
- Kau murid Resi Brahmantara? - .
- Benar. sahut Yudapati.
Baik suara maupun sikapnya, menghormati Punta Dewakarma sebagai paman- gurunya. Tetapi di dalam hati ia heran, apa sebab pamannya tidak menyebut kakak terhadap gurunya.
Apakah karena permusuhan mereka begitu hebatnya, sehingga masing masing bersikap seperti kepada orang lain?
Dalam hal ini, ia memihak kepada pendirian gurunya. Orang tua itu dalam sisa-sisa hidupnya yang terakhir, tiada lagi disibukkan perkara balas dendam atau perhitungan-perhitungan tertentu yang bersifat memusuhi atau mau menang sendiri.
Perubahan dalam gelanggang pertempuran itu, tentu saja tidak luput dari pengamatan Barabas dan Birawan. Pohan sendiri menggunakan kesempatan itu untuk menata diri. Diam diam ia mencari pedangnya yang tadi terpental dari genggamannya. Setelah berada di tangannya kembali,segera ia mendampingi Barabas dan Birawan. Tiba- tiba terdengar Barabas membentak dengan suara lantang:
- Hai. berilah keterangan yang jelas! Kalian bertiga berani menginjak- injak markas kami. Tentunya tidak secara kebetulan saja. Sebenarnya apa maksud kalian? Apakah perkara peta harta karun? Dengan sengaja Barabas menyebutkan peta harta karun dengan suara lantang. Maksudnya untuk menarik perhatian anak- buahnya yang sudah datang berkerumun. Iapun bermaksud menggugah perhatian Punta Dewakarma yang jadi kendor oleh basa-basi pemuda berberewok itu. Di luar dugaan. Diatri menyahut dengan tak kalah tegas:
- Dua-duanya. - Dua- duanya bagaimana?
- Juga membalas dendam.
Mendengar jawaban Diatri. wajah Barabas kelihatan berseri. Memang itulah yang diharapkan. Sebab Diatri tadi berkata. bahwa kedatangannya hendak menuntut dendam kepada Punta Dewakarma. karena membunuh ayahnya dan menjadi biang keladi sampai pamannya mendapat hukuman tahanan rumah. Kalau Punta Dewakarma ikut maju, semuanya akan jadi beres.
- Tuanku Punta Dewakarma! Tuanku mendengar sendiri maksud kedatangannya. teriaknya nyaring.
- Nah, bagaimana sikap tuanku terhadap mereka?
Hasutan itu ternyata mempan. Sebab dengan tiba-tiba sikapnya yang agak mengendor tadi terbangun kembali. Sebenarnya semenjak tadi,ingin ia menyingkirkan mereka bertiga. begitu mendengar kata-kata Diatri Kama Ratih. Hanya saja. tak dapat ia segera turun tangan karena mengingat kedudukannya lebih tinggi. Sekarang Diatri menaruh perhatian pula terhadap peta harta karun. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman. ia tahu bahwa peta yang dibawa muridnya adalah palsu.
Apakah sesungguhnya sudah berada di pihak kaum Arnawa yang berpura-pura
tolol?
Diam-diam, iapun mencurigai Barabas dan kawan kawannya pula. Segera ia memutar otaknya sejenak. Lalu membentak Diatri:
- Bagus! Engkau ikut pula memperebutkan peta harta kerajaan. Kau boleh menuntut dendammu. Dalam sedetik itu, Punta Dewakarma sudah memutuskan untuk membunuh Diatri terlebih dahulu. Setelah itu dengan pelahan- lahan menghadapi kaum Arnawa yang sudah berada di pihaknya.
Diatri Kama Ratih tidak gentar menghadapi tantangan Punta Dewakarma. Ia melangkah ke depan sambil menyahut:
- Kedatanganku kemari yang terpenting ialah menuntut dendam. Aku sudah mendengar pengakuanmu. Dengan begitu tidak perlu susah-susah menawanmu hidup-hidup untuk memperoleh keteranganmu.
- Apa? Kau bisa menawan Punta Dewakarma hidup hidup? teriak Punta Dewakarma seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Wajahnya berubah menjadi bengis kembali. Bahkan diwarnai dengan wajah merah padam.
Dan berbareng dengan hilangnya gaung suaranya dari pendengaran,tubuhnya melesat dengan tangan menyambar. Menyaksikan serangan yang disertai dengan tenaga dahsyat itu, hati Yudapati tercekat. Buru- buru ia mencegah:
- Paman, nanti dahulu! Yudapati tidak hanya berteriak mencegah. tetapi melompat pula menghadang untuk melindungi Diatri Kama Ratih. Terhadap paman gurunya, semenjak tadi ia sudah memutuskan untuk mengalah. Maka tenaga sakti yang dipergunakannya hanya tingkat enam.
- Apa? Kau berani menghalangiku? - bentak Punta
Dewakarma.
Punta Dewakarma benar-benar merasa tersinggung kehormatannya. Tidak lagi ia mengingat sesama sumber perguruan. Meski dihalangi Yudapati, serangannya tetap dilanjutkan. Bahkan kini beralih sasaran menggempur Yudapati. Sebaliknya, Yudapati tidak berani melanggar tata- tertib perguruan. Karena itu, ia tidak mencoba mengelak atau menangkis. Ia hanya mengerahkan himpunan tenaga sakti Tantra tingkat enam sambil memasang pundaknya. Akibatnya, suatu himpunan tenaga sakti yang luar biasa menghantam pundaknya dengan suara nyaring.
Bres!
Dan ia terhuyung mundur satu langkah, meskipun tidak roboh. Bahkan kedua kakinya tiba-tiba tertancap kian teguh, sehingga pukulan kedua yang menggempurnya tidak dapat menggeser tubuhnya lagi.
Diatri Kama Ratih dan Tara Jayawardani memekik terkejut, tatkala melihat baju Yudapati terobek hancur bertaburan dan bertebaran bagaikan kupu- kupu melayang. Sebaliknya, Yudapati diam- diam heran di dalam hati. Pikirnya:
- Aneh! Mengapa pukulan paman hanya cukup kulawan dengan tingkat enam saja? Apakah sebenarnya, dia hanya berpura-pura marah di depan umum, tetapi sebenarnya tidak bermaksud menggempurku dengan sungguh- sungguh? Yudapati teringat akan cerita gurunya, bahwa gurunya masih kalah setingkat sewaktu mengadu himpunan tenaga sakti. Padahal waktu itu, himpunan tenaga sakti Tantra gurunya sudah mencapai tingkat tujuh. Setelah sekian puluh tahun berlalu, tentunya paman gurunya itu setidak-tidaknya sudah mencapai Tantra tingkat sembilan.
Mengapa kini tidak dapat menggeserkan tubuhnya yang hanya bermuatan Tantra tingkat enam?
Alasan apalagi kalau bukan menyayangi dirinya?
Tetapi sebenarnya tidak demikian halnya. Punta Dewakarma terkejut karena pukulannya tidak dapat merobohkan seorang pemuda kemarin sore. Pikirnya dengan hati kecut:
- Ah. benar-benar ia murid Resi Brahmantara. Barangkali tidak hanya mewarisi kepandaiannya saja. tetapi melebihi. Kalau aku tak tahu diri, aku bisa celaka. Di dalam hati ia berpikir demikian. tetapi wataknya yang mau menang sendiri tidak mengijinkan. Bahkan timbul niatnya hendak mengujinya. Maka dengan diam diam ia melipat gandakan himpunan tenaga saktinya, lalu menghantam lagi.
Yudapati tidak berani lagi membiarkan pukulan dahsyat itu mendarat di tubuhnya. Cepat ia mengelak sambil berseru:
- Paman! Kau dengarkan dahulu kata- kataku! - Hm. siapa sudi mendengarkan ocehanmu. bentak Punta Dewakarma. Sekarang ia tidak hanya menggempur dengan sebelah tangan, tetapi dengan kedua- duanya yang bergerak saling menyusul. Ia sadar, bahwa menghadapi Yudapati harus merebut waktu. Selagi pemuda itu masih belum bersiaga benar.
bukankah merupakan kesempatan yang tidak boleh disia- siakan?
Yudapati masih saja tidak mau melayani. Ia mengelak ke kiri atau ke kanan. Di dalam hati ia berkata:
- Rupanya watak paman guruku ini masih saja mau menang sendiri. Jurus-jurusnya luar biasa kejamnya. Kalau aku tidak menaklukannya, tidak akan mau berhenti. Akan tetapi kalau hal itu sampai terjadi. ekornya akan jadi panjang. Apakah guru mengijinkan aku menurunkan martabat adik-seperguruannya? Apalagi terjadi di depan umum. Sebaliknya apa yang harus kulakukan?
Sambil mengelakkan semua serangan Punta Dewakarma.Yudapati sibuk mencari jalan keluar. Sekonyong
konyong ia merasa seperti mendapat ilham. Katanya sambil terus mengelak:
- Paman. pada jaman dahulu engkau pernah mengalahkan guruku. Itulah permusuhan antara para angkatan tua yang tidak kumengerti. Karena itu. kedatanganku kemari bukan untuk menuntut balas kekalahan guruku. Akan tetapi lainlah halnya dengan kaum Arnawa. Barabas adalah seorang manusia yang tidak mengenal budi dan mudah saja berganti majikan. Aku paling benci terhadap manusia yang hidup demi mengenyangkan perut sendiri. Pada jaman Raja Dharmajaya masih berkuasa di atas tahta kerajaan, dengan setia ia menghambakan diri. Setelah dijatuhkan Raja Dharmaputera cepat-cepat ia merubah haluan untuk menghamba pada majikan baru. Kudengar tadi, dia bersedia menghamba kepada paman sebagai majikannya yang baru. Tetapi manusia macam dia, masakan bisa paman pegang mulutnya Pada suatu saat. manakah keadaan jadi berubah. bukan suatu hal yang mustahil bila dia akan cepat- cepat mencari majikan baru dengan meninggalkan paman.
Yudapati dengan sengaja. tidak menyinggung-nyinggung soal peta kerajaan atau angan-angan paman gurunya yang datang ke markas kaum Arnawa dengan tujuan hendak menjadi majikannya. Ia hanya mengutik- utik soal watak pribadi Barabas.
- Bagaimana pendapat paman? Apakah pendapatku salah? ia menegas.
Sebelum Punta Dewakarma menjawab. Barabas mendahului berteriak nyaring:
- Tuanku Punta Dewakarma, jangan dengarkan ocehan manusia keparat itu! Mari kubantu menyingkirkan manusia-manusia iblis itu.
- Ha engkau bermaksud hendak menyingkirkan diriku? Justru. aku datang kemari hendak menumpasmu. sahut Yudapati dengan suara lantang.
Ia sengaja mengesankan maksud tujuannya sejelas-jelasnya. Agar siasatnya tidak terkacau oleh mulut Barabas. ia berkata lagi: - Barabas! Mulai saat ini, jangan engkau bisa berharap dapat melihat matahari terbit pada esok hari. Setelah berkata demikian, ia melesat menerjang Barabas, sambil menghunus pedang Jagadpati. Karena merasa terdesak, terpaksalah Barabas melayani. Ujarnya garang:
- Bagus! Mari kita bertempur mengadu kepandaian!
Punta Dewakarma membiarkan Yudapati terlepas dari libatannya. Betapapun juga. ia pandai berpikir. Memang Barabas adalah seorang yang tidak bisa dipercaya. Ia sendiri diam-diam bermaksud akan menyingkirkannya kelak bila saatnya tiba. Kalau Yudapati kini ingin menyingkirkannya, kebetulan malah, Inilah yang dikatakan orang meminjam tangan orang lain untuk mengenyahkan seseorang yang tidak dikehendaki.
Menyaksikan pemimpinnya terjun ke gelanggang pertempuran, Birawan, Caluntang dan Kocak tidak tinggal diam. Dengan menghunus senjatanya masing- masing mereka maju serentak.
Punta Dewakarma melompat keluar gelanggang. Ia ingin menyaksikan kepandaian Yudapati. Pikirnya pula:
- Syukur dia bisa membunuh mereka semua. Kalau mereka yang justru dapat membunuhnya, apa pula rugiku?
Melihat paman gurunya berada di luar gelanggang, hati Yudapati lega. Untuk melayani mereka berempat, ia hanya menggunakan kepandaiannya yang asli. Itulah ilmu pedang gabungan yang kini jadi bertenaga oleh himpunan tenaga sakti Tantra, meskipun ia hanya menggunakannya sampai tingkat empat saja.
Mula- mula ia bersikap membela diri untuk mengelabui pengamatan paman gurunya dan mereka berempat. Lalu dengan diam- diam pula mencari titik kelemahannya. Memang dia seorang yang berpembawaan cermat dan seksama. Tidak pernah tergesa- gesa dalam melakukan suatu keputusan. Sebaliknya, diam-diam Barabas bergirang hati. Pikirnya: ' ,
- Ah, kukira ilmu pedangnya sehebat perempuan itu. Ternyata hanya biasa saja.
Tentu saja Barabas belum mengenal kepandaian Yudapati. llmu pedang Yudapati sebenarnya sudah mencapai puncaknya berkat himpunan tenaga sakti Tantra yang sudah mencapai tingkat sebelas. Kalau mau, dengan satu kali tabas mereka berempat tidak akan bernyawa lagi. Tara Jayawardani yang pernah menyaksikan keampuhan pukulannya, tahu akan hal itu. Maka ia menyaksikan pertempuran itu dengan hati adem dan mengulum senyum.
- Birawan. Caluntang, Kocak! Mari kita habisi bocah ini secepat-cepatnya agar tidak mengumbar mulutnya di sini! teriak Barabas dengan bersemangat.
Betapapun juga, Tara Jayawardani adalah seorang gadis yang belum berpengalaman. Belum pandai ia menguasai keadaan hati. Menyaksikan betapa Barabas main keroyok, hatinya jadi panas. Lantas saja ia berteriak:
- Kakang! Mengapa engkau hanya menari- nari saja? Tidak demikianlah halnya dengan Diatri Kama Ratih. Sambil menonton, mulutnya mengulum senyum. Ia sendiri seorang ahli pedang. Karena itu, dapatlah ia mengukur kepandaian Yudapati. Jelas sekali. bahwa pemuda itu sengaja bertempur dengan membawa sikap tololnya.
Tetapi seruan Tara itu, membangunkan perhatian Yudapati. Di antara ke empat lawannya, hanya Barabas yang berarti. Pantas dia menjadi ketuanya. Lalu berkata kepada Tara:
- Adik. benar katamu! Tidak tepat kalau aku menari nari di sini.
Setelah berkata demikian. Yudapati merubah tatacara berkelahinya. Kini, ia mulai menyerang. Tetapi tidak menyerang tubuh lawan. Melainkan senjata mereka. Bahkan tidak hanya mereka berempat temasuk belasan laskar yang datang mengepung gelanggang pertempuran. Seketika itu juga suasana malam yang hening jadi berisik. Dengan mendadak saja, mereka semua tidak bersenjata lagi.
Kocak si takabur yang tadinya bersenjata gembolan yang terbuat dari perunggu, kini tinggal gagangnya saja. Sedang gembolannya jatuh bergemelontangan di atas tanah berlantai. Tombak Birawan terkutung sebagian. Golok bergigi Barabas somplak dan cempuling Caluntang tinggal yang tergenggam dalam tangannya.
- Bagus!
Diatri Kama Ratih bertepuk tangan memuji. Dan yang kegirangan adalah Tara Jayawardani. Dia tidak hanya bertepuk tangan dan memuji saja, tetapi kedua kakinya melompat-lompat bergantian.
Barabas mendongkol bukan main. Ia jadi penasaran. sebab selama hidupnya baru kali ini senjatanya terpapas lawan dengan mudah. Dengan wajah merah padam, ia berteriak nyaring:
- Maju! Maju! Maju semua!
Tetapi Yudapati- menyambut aba- abanya dengan tertawa saja. Ia tidak mundur, bahkan mendahului menyerang. Sekarang mereka berempat benar- benar kehilangan senjatanya. .Juga para laskar yang mencoba hendak ikut ikutan memasuki gelanggang pertempuran. Tatkala tangan kirinya menyambar. tubuh Kocak si takabur sudah kena dicekuknYa. Lalu dilemparkan kepada Tara sambil berseru:
- Adik. sambutlah!
Tara Jayawardani terkejut. Melihat tubuh Kocak terbang ke arahnya. secara naluriah cepat- cepat ia melindungi dirinya. Jurus yang digunakannya adalah salah satu jurus hafalannya.
Hebat akibatnya!
Sebenarnya. Kocak sudah setengah pingsan kena cekuk Yudapati. Begitu terhantam pukulan jurus hafalan Tara yang keji. kejam dan ganas, lantas saja jiwanya melayang dan roboh terbanting di atas tanah.
******
TERBONGKAR
MENYAKSIKAN JURUS Tara Jayawardani, Diatri Kama Ratih mengerutkan keningnya. Dia mengenal Tara semenjak kanak- kanak, karena termasuk salah seorang saudara sepupunya. Selama itu, belum pernah ia mendengar keluarga Sanggrama Jayawardana memiliki ilmu kepandaian berkelahi.
Mengapa Tara kini tiba-tiba memiliki jurus- jurus begitu kejam, ganas dan keji?
Siapa gurunya?
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mustahil sekali, bahwa jurus- jurus demikian menjadi milik keluarga Sanggrama Jayawardana.
Tetapi bila tidak, lalu siapakah yang mengajarinya?
Apakah Yudapati?
Itupun tidak mungkin. Jurus- jurus pedangnya yang berbahaya, bersifat mengalah walaupun mengandung kekejaman pula.
Dalam pada itu, Tara sendiri jadi termangu-mangu. Sama sekali tak diduganya, bahwa jurusnya dapat membunuh orang dengan sekali pukul saja.
- Bagus! Yudapati memuji dengan gembira. Yudapati memang mempunyai rencananya sendiri. Ia sudah
bertekad hendak mengangkat derajat Tara di depan kaum Arnawa. Sebaliknya. Diatri yang tidak mengerti rencana Yudapati yang bersembunyi di belakang ketangguhannya, tercengang mendengar pujiannya. Ia jadi sibuk berteka teki di hatinya mengenai pemuda itu.
Selagi demikian tiba- tiba di dalam gelanggang terjadi suatu perubahan yang cepat sekali. Punta Dewakarma yang sebentar tadi jadi penonton di luar gelanggang, melepaskan senjata rahasia tiga biji. Yang di arah ialah dirinya, Yudapati dan Tara. Ia terperanjat. Cepat ia melompat sambil mengibaskan pedangnya. Senjata Punta Dewakarma dapat ditangkisnya dengan tepat. Tetapi karena bertenaga luar biasa kuatnya. senjata itu terpental meleset mengarah kepada Tara. Sedang demikian, senjata rahasia yang lainnya yang memang dialamatkan kepada Tara hampir mencapai sasarannya. Merasa tidak berdaya untuk mengulurkan tangannya, ia memekik cemas.
Tetapi semuanya itu, tidak luput dari pengamatan Yudapati. Cepat luar biasa ia melemparkan tubuh Caluntang yang bertangan sebelah untuk melindungi Tara. Terdengarlah kemudian jerit yang menyayatkan hati. Sebab sebelah tangan Caluntang terpapas kutung dan mati berlumuran darah dengan tak berlengan lagi. Sedang senjata yang ketika terpental balik menyambar Birawan yang sekaligus terlempar terbang keluar gelanggang.
- Hai anak muda! bentak Punta Dewakarma.
- Apakah kedatanganmu juga bemaksud merebut peta kerajaan? Kalau itu pula tujuanmu, akan sia- sia.
- Mengapa? - Yudapati menegas.
- Karena peta itu sudah kena dirampas seseorang.
- Maksud paman, Boma Printa Narayana, bukan? - Boma mempunyai kepandaian apa sampai bisa merebut peta kerajaan.
Punta Dewakarma mendengus.
Yudapati tercengang. Selagi hendak minta keterangan, Punta Dewakarma berkata:
- Di dunia ini hanya seorang yang mampu merampas peta kerajaan. Dialah Dewasana.
- Dewasana? Yudapati mengulang. Ia jadi teringat kepada peristiwanya sendiri tatkala terperosok di dalam jurang. Penolongnya adalah Dewasana. Dan Dewasana adalah ayah bhiksuni Sekar Tanjung.
Peta harta kerajaan itu, memang mula-mula kena terampas Boma Printa Narayana. Tetapi rupanya kena terebut Resi Dewasana alias si Goplo, Memang kesimpulan-kesimpulan tentang perebutan kotak pusaka yang diterangkan kepada Tara Jayawardani. sebenarnya adalah hasil terkaannya. Meskipun tidak tepat, namun tidak terlalu salah. Tetapi makna tidak terlalu salah. bukan berarti pula benar seratus persen. Buktinya ada kejadian kelanjutannya diluar dugaannya. Teringat pulalah dia kepada Palata. Palata seorang ahli golok yang sukar dicari tandingannya, namun dengan mudah bisa dipaksa menelan racun oleh Dewasana. Kalau Dewasana tidak memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tidak mungkin dapat mempermainkan Palata dengan mudah.
- Oh, jadi begitu? - akhirnya ia berkata setengah berbisik seperti kepada dirinya sendiri.
- Yudapati! Kau takut tidak, berlawan- lawanan dengan diriku? tiba- tiba Punta Dewakarma menegas.
- Karena engkau paman guruku. wajib aku menghormatimu. - Jawab Yudapati.
- Baik. Kalau begitu, marilah kita sekarang bekerjasama untuk merebut peta harta kerajaan itu kembali. Jika usulku ini kau tolak. aku takut malam ini akan terjadi peristiwa yang mengerikan. Sebab engkau tidak akan kuijinkan keluar dari markas Kaum Arnawa. ujar Punta
Dewakarma.
Mengingat gurunya. ia wajib menghormati paman gurunya. walaupun gurunya tidak sefaham dengan watak dan pekerti adik- seperguruannya itu. Akan tetapi andaikata gurunya menyaksikan sepak-terjang adik-seperguruannya itu yang makin jelas hendak menyusun mata rantai kekuatan untuk tujuan merebut kekuasaan negara,
dapatkah gurunya tinggal diam saja?
Lagipula, di dalam hati ia masih belum memperoleh jawaban yang meyakinkan tentang teka- teki pengalamannya sebentar tadi. Yang pertama, paman gurunya ternyata tidak dapat menggempur himpunan tenaga sakti Tantra tingkat enam saja. Sekarang ditambah pula dengan daya tenaga sambaran senjata rahasia yang dilepaskan. Baginya kini. daya tenaganya tidak terlalu sulit untuk dipunahkan.
Mengapa?
Apakah bermaksud memberi tanda- tanda sandi tertentu?
Syukur, dia seorang pemuda berpembawaan cermat. Dengan kecermatannya itu, ia mau mencoba. Katanya:
- Bagaimana kalau aku tetap melawan?
Kedua mata Punta Dewakarma berputar. Wajahnya berubah bengis luar biasa. Tiba-tiba terdengar suara Diatri Kama Ratih yang semenjak tadi menutup mulutnya. Katanya kepada Yudapati:
- Kakang Yudapati, jangan takutl Lawanlah dia! Sebenarnya dia bukan Punta Dewakarma yang kau anggap sebagai paman- gurumu.
- Apa?
Yudapati berjingkrak.
- Kalau dia benar-benar Punta Dewakanna, siang siang aku sudah melarikan diri. Coba katakan padaku, apa sebab aku berani menantangnya? Engkau dapat menebak atau tidak?
Diatri mengesankan sebentar. Meneruskan:
- Karena dia bukan Punta Dewakarma. Tetapi salah seorang begundal pengkhianat kerajaan. Itulah Pangeran
Dharmaputra yang kini bercokol di atas singgasana kerajaan merobohkan Raja Dharmajaya yang ditusuknya dari belakang.
- Siapa dia? Yudapati terperanjat
- Dialah orang Chaiya bernama Balada Himawat Supaladewa. Panjang ceritanya. Sekarang pusatkan perhatianmu kepadanya.
Mendengar kata- kata Diatri Kama Ratih, terjadi suatu kegemparan hebat di antara kaum Arnawa. Mereka saling pandang dan merasa jadi bingung. Tiba-tiba terdengar aba- aba Barabas:
- Kawan- kawan, jangan dengarkan ocehan iblis perempuan itu. Kerubut!
Punta Dewakarma jadi beringas. Wajahnya berubah ubah. Sebentar pucat, sebentar pula menyala bagaikan bara api. Itulah kesan wajah seseorang yang terbongkar rahasia dirinya. Tetapi dia cerdik. Pengalamannya tadi memberi peringatan padanya, bahwa kepandaian Yudapati berada di atas kepandaiannya. Maka dengan menggerung dahsyat ia menyerang Tara. Pikirnya, di antara mereka bertiga, Taralah yang terlemah. Asal bisa menawannya, dapatlah gadis itu dijadikan sandera untuk menjamin keselamatan jiwanya.
Yudapati sendiri tengah kebingungan. Ia baru beberapa jam berkenalan dengan Diatri Kama Ratih. Namun ia memperoleh kesan yang istimewa. Apa yang dikatakannya seperti membuka pikirannya. Teka-teki yang terjadi di dalam hatinya. seolah-olah menemukan jawabannya. Tetapi, karena keterangan Diatri terlalu sederhana, betapapun juga masih membuat hatinya berbimbang. Tiba- tiba semangat tempurnya terbangun. tatkala melihat Tara Jayawardani terancam bahaya. Inilah yang dikatakan orang, kerapkali orang cerdik dimakan oleh kecerdikannya sendiri. Coba andaikan Punta Dewakarma alias Balada Himawat Supaladewa tidak menyerang Tara Jayawardani. Yudapati tentu masih terlibat dalam keragu-raguannya yang belum mendapat pegangan. Sekarang. dia melihat gadis itu dalam bahaya, tiba- tiba saja tangannya mengibas. Dan suatu himpunan tenaga sakti yang kuat luar biasa melanda di depannya. Cepat luar biasa. ia menyambar tubuh Barabas yang berada di sampingnya dan dilemparkannya sebagai perisai. Seketika itu juga, tubuh Barabas melayang tinggi bagaikan layang-layang putus. Dan saat itu dipergunakan Balada Himawat Supaladewa untuk kabur dengan membawa muridnya Pohan Candra Gunawan.
Barabas terbanting di atas tanah dengan tak bernyawa lagi. Peristiwa yang terlalu cepat itu, membuat seluruh laskar Arnawa tertegun-tegun di tempatnya. Lalu terdengar suara Yudapati bagaikan guntur;
- Kuharap semuanya saja berada di tempatnya. Jangan bergerak!
Yudapati merasa sudah kepalang tanggung. Ia sudah terlanjur menggunakan tenaga yang berlebihan. Untuk menaklukkan seluruh laskar Arnawa, perlu ia memperlihatkan perbawanya. Ia melepaskan lagi satu pukulan dahsyat. Tujuannya sebenarnya hendak memukul Balada Himawat Supaladewa dari jauh. Tetapi orang itu, sudah terlanjur jauh kaburnya. Ia dengan membawa muridnya hilang di balik tiang- tiang pendapa yang luas. Karena itu, pukulan yang disertai himpunan tenaga sakti menghantam tiang-tiang pendapa tak ubah pedang tajam membabat pohon pisang. Seketika itu, pendapa runtuh bagaikan tergoncang gempa bumi. Suaranya gemuruh memekakkan telinga. Dan menyaksikan peristiwa itu, seluruh laskar Arnawa terpaku bagaikan ratusan buah arca yang
tidak pandai bergerak.
Yudapati tidak mau menyia nyiakan kesempatan. Senyampang mereka masih tergoncang perasaannya oleh peristiwa runtuhnya atap pendapa, segera ia berkata dengan nyaring:
- Saudara- saudara kaum Arnawa! Semua ketuamu tewas dalam pertempuran singkat ini. Siapa di antara kalian yang masih merasa mampu untuk mengalahkan kami bertiga? Atau kalian hendak maju bersama? Tetapi pada saat itu tak dapat aku membedakan siapa di antara kalian yang harus kuampuni atau kuhukum. Kalian akan roboh seperti runtuhnya atap pendapa itu. Kecuali, apabila di antara kalian ada yang mempunyai kulit baja dan tulang- tulang besi. - .
Hebat perbawa Yudapati. Dia tidak hanya kelihatan gagah perkasa saja. Tetapi suaranya bagaikan guntur meledak di tengah hari terang benderang. Dengan mata kepalanya sendiri, mereka semua menyaksikan betapa mudah pemimpinnya dibinasakan. Barabas. Caluntang dan Kocak. Hanya Birawan seorang yang menghilang entah di mana beradanya. Dengan begitu, mereka tak ubah ular naga tanpa kepala. Beberapa orang di antara mereka ada yang bergerak maju hendak mencoba mengadu untung. Namun urung sendiri, karena sesungguhnya mereka mempunyai pegangan untuk bisa menang. Akhirnya, kembali lagi mereka saling pandang untuk minta pendapat masingmasing.
Setelah berdiam diri beberapa saat lamanya seseorang memberanikan diri membuka mulutnya. Katanya:
- Pemimpin kami sudah mati. Tuanpun seorang gagah perkasa. Kami tidak mempunyai andalan lagi untuk mencoba melawanmu. Sekarang. nasib kami berada di tanganmu.
Yudapati menebarkan penglihatannya. Kemudian berkata kepada dirinya sendiri:
- Aku tahu. bahwa di antara kalian tentu ada yang menentang, setengah menentang dan yang benar- benar menyerah. Yang menentang adalah golongan yang penasaran terhadapku. Tetapi rasa penasaran itu kalian sembunyikan dalam hati, karena takut kepadaku. Dan yang setengah menentang mempunyai harapan, barangkali aku akan merestui hak hidup kalian untuk bisa tetap hidup sebagai perompak yang membuat susah penduduk. Dan yang menyerah adalah golongan yang hanya memikirkan pembagian rejeki. Golongan ini bersedia pulang kampung. Mungkin akan melanjutkan hidup sebagai petani atau pedagang dengan mengharapkan memperoleh bekal. Baiklah, ketiga-tiganya adalah hak asasimu. Bagaimana? Apakah pendapatku- salah?
Mereka terdengar berisik. Dan setelah berlangsung sekian lamanya mereka heran sendiri. Karena penglihatan Yudapati tidak salah. Ternyata mereka benar terbagi tiga golongan.
- Benar penglihatan tuan. akhirnya seseorang berkata mengakui. Kalau tahu begini macam kami, siang siang sudah membagi diri. Karena itu, saudara-saudara marilah kita berdiri dalam golongannya masing- masing.
Benar- benar mereka mengambil tempatnya masing masing. Perbandingan mereka menjadi satu banding dua dan banding tiga. Menyaksikan hal itu, Yudapati tertawa. Katanya:
- Baiklah. Terhadap kalian kami tidak bermaksud menjatuhkan hukuman apapun. Kami bertiga sebenarnya hanya bermusuhan dengan keempat pemimpinmu. Terlebih-lebih terhadap Barabas yang akan menjerumuskan kalian ke dalam suatu masalah yang pelik, rumit dan gawat.
Tahukah kalian. siapa puteri yang berdiri di sampingku ini? Dialah tuanku puteri Tara Jayawardani. puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana berhak naik tahta daripada Dharmaputera. Tetapi Barabas membawa kamu sekalian mengabdi kepada majikan baru yang bukan semestinya. Tentunya dia sudah mendapat upah besar. Adik Diatri, ajaklah beberapa orang di antara mereka yang bersedia menunjukkan di mana Barabas menyimpan harta bendanya. Siapa yang mengetahui, kuharap dengan sukarela maju ke depan.
Mendengar kata- kata Yudapati, Diatri Kama Ratih tertawa pelahan. Sahutnya:
- Mengapa susah-susah! Setelah berkata demikian, ia melesat ke dalam kegelapan. Lalu datang kembali dengan membawa seseorang yang kehabisan tenaga .Ternyata dialah Birawan pemimpin kedua yang menghilang dari gelanggang. Sebenarnya bukan menghilang. Tetapi terkena hendakan tenaga sakti Yudapati, sehingga ia terpental keluar gelanggang.
- Daripada kita main raba- raba, bukankah lebih baik memaksa jahanam ini untuk menunjukkan kamar harta benda Barabas? ujar Diatri dengan suara sengit.
- Kau pulihkan dahulu sebagian tenaganya. Akupun akan memasukkan dahulu sebutir racun jahat. Bila dia berani membohongi kita, biarlah dia mati dengan tersiksa dahulu. Sebab di dunia ini, hanya aku seorang yang memiliki obat pemunahnya. Yudapati tercengang mendengar kata- kata Diatri. Pikirnya, puteri itu bisa jadi tegas bila perlu. Baiklah kulakukan sarannya. Kemudian ia mengembalikan tenaga Birawan sebagian dengan suatu pukulan ringan. Karena kini sudah bertenaga, kedua kaki dan tangannya dapat bergerak lagi. Ia merasa bersyukur dan benar-benar takluk
kepada Yudapati.
- Terima kasih. - katanya dengan hati terharu.
Belum lagi Yudapati sempat menjawab. Diatri sudah mendahului. Kata puteri itu dengan membawa sikapnya yang garang:
- Jangan tergesa-gesa- menghaturkan terima kasih dahulu. Telanlah ini agar kesehatanmu cepat pulih. - Percaya kepada kata-kata Diatri, Birawan segera menelan sebutir racun istimewa yang diangsurkan kepadanya. Setelah tersimpan aman dalam perutnya. barulah Diatri berkata menerangkan:
- Kau tahu, apakah yang telah kau telan tadi? Itulah racun jahat yang bekerja sangat cepat. Dalam waktu tiga hari, perutmu akan meledak dari dalam. Lalu menjalar ke seluruh tubuhmu dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Mula-mula kedua kakimu, lalu kedua tanganmu. leher. kepala dan baru otak. Setelah itu, engkau mampus.
Keruan saja Birawan terkejut sampai berjingkrak dengan wajah pucat lesi.
- Karena itu. janganlah engkau mempermainkan kita. Cepat tunjukkan di mana Barabas menyimpan harta bendanya. Setelah itu, baru engkau kuberi obat pemunahnya. Hendaklah kau ketahui dahulu, bahwa di seluruh dunia ini hanya aku seorang yang memiliki obat pemunahnya. Sekarang terserah kepadamu.
Yudapati tercengang mendengarkan ancaman Diatri. Bahkan ia merasa ngeri dan terlalu kejam. Tetapi menghadapi manusia semacam Barabas dan kawan-kawannya itu, memang harus bersikap demikian. Sebab mereka bisa berbuat licik, licin dan keji.
Dengan wajah lesu dan takut, habislah sudah kecongkakkannya sebagai pemimpin. Apalagi tenaganya kini hanya pulih setengah saja. Terus saja ia mengajak belasan
laskar Arnawa untuk masuk ke dalam lorong- lorong markas yang berbelit-belit. Kira- kira setengah jam lagi. ia datang kembali dengan membawa tujuh peti besi yang diangkat beramai-ramai oleh belasan laskarnya.
- Semua emas, perak dan permata disimpan disini. - katanya dengan suara datar.
- Apakah termasuk upah jasa kaum pengkhianat kerajaan? bentak Yudapati.
- Benar. - ia menjawab singkat. Kemudian beralih kepada Diatri.
- Tuanku puteri. tolong bebaskan aku dari racun maut . . .
Diatri Kama Ratih tertawa manis. Sahutnya:
- Sabarlah, sampai kakakku menyelesaikan masalahnya.'
Tujuh buah peti besi itu, kemudian dibongkar beramai-ramai. Begitu terbongkar, pandang mata setiap orang jadi silau. Emas dan permata yang tak ternilai harganya memantulkan cahayanya oleh sinar obor yang menyala terang-benderang. Dan menyaksikan hal itu, Tara dan Diatri menghela nafas.
- Pantas saja Barabas bersedia menghamba kepada majikan baru. Harta benda sebanyak ini, tidak akan habis dimakan sampai tujuh keturunan. ujar Diatri pelahan. Kemudian menegas kepada Yudapati:
- Kakak Yudapati apa yang akan kau lakukan?
- Terserah adik Tara. Sebab sesungguhnya dialah pemiliknya. jawab Yudapati dengan suara wajar.
Semenjak Yudapati menyebut-nyebut dirinya sebagai puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana yang seolah olah berhak naik tahta, hati Tara Jayawardani merasa tak enak. Pujian itu, terlalu berlebih-lebihan. Pada waktu itu. hampir saja ia memotong ucapan Yudapati. Tetapi sekarang. kembali lagi Yudapati mengesankan kepada hadirin bahawa dialah Yang bahak memiliki harta benda sebanyak itu.
Apakah hubungannya?
Ia masih hijau dalam pengalaman tetapi bukan berarti bodoh. Bahkan ia berWatak cermat dan agak usilan.
Ia berkata kepada Yudapati seakan-akan berhak memerintah:
- Kakak, kau wakili saja diriku.
Yudapati tertawa panjang. Kemudian berkata nyaring kepada hadirin:
- Lihatlah! Kalian menyaksikan sendiri. betapa halus budi bahasanya. Sopan santun dan susila. Padahal kalian sendiri tadi menyaksikan pula, bahwa salah seorang pemimpinmu yang bernama Kocak, mati seketika itu juga hanya dengan satu kali pukul saja. Meskipun demikian. terhadap kalian dia tidak congkak. Apalagi takabur. ia berhenti mengesankan. kemudian kepada Tara Jayawardani:
- Bagaimana kalau harta benda itu kita bagi rata saja kepada mereka?
- Silakan, kalau kakak berpendapat begitu. - jawab Tara dengan wajah bersemu dadu.
Sebab dengan sesungguhnya ia malu mendengar sanjung puji Yudapati.
- Nah. kalian mendengar sendiri. Dengan rela, ia menyetujui agar harta benda itu kubagi rata kepada kalian. Pernahkah kalian'mendengar Barabas berkata demikian kepada kalian? Bahkan aku berani bertaruh, bahWa kalian tidak mengerti di mana harta benda itu disimpannya. Bukankah kalian hanya jadi perkakas saja untuk membantu dirinya memperkaya diri? ,
- Benar! Bendr!"
Mereka menyambut dengan sorak sorai. Sebab mimpipun tak pernah mereka berani mengharap akan memperoleh bagian harta benda kaum Arnawa.
- Sebaliknya. andaikata kalian mempunyai seorang raja yang berpekerti luhur seperti tuanku puteri Tara Jayawardani. bukankah hidup rakyat akan tenteram. makmur, berbahagia? Sebab dia akan selalu memikirkan kesejahteraan hidup rakyatnya. Karena itu, aku mempunyai usul begini. ujar Yudapati dengan bersemangat.
- Tidak usah aku berbicara berkepanjangan, Pada saat ini. raja yang memerintah kerajaan,sebenarnya adalah boneka yang dikendalikan dari seberang hutan. Buktinya. kalian tadi menyaksikan sendiri siapakah sebenarnya pendeta yang menyebut dirinya Punta Dewakarma, Hai, Birawan! Diantara keempat pemimpin. sebenarnya hanya engkaulah yang kunilai mempunyai penglihatan jauh dan luas. Mungkin pula engkau seorang jujur yang terpaksa berbuat jahat oleh tekanan- tekanan para rekanmu yang jauh lebih kuat di atas kepandaianmu. Sekarang jawablah yang jujur! Benarkah ucapan Tuanku puteri Diatri Kama Ratih, bahwa pendeta berjubah kuning tadi bukan Punta Dewakarma? - '
Birawan mengangguk dengan lesu. Menyaksikan hal itu, tiba- tiba Diatri tertawa geli. Katanya dengan suara manis:
- Paman Birawan! Obat yang kau telan tadi. sebenarnya bukan racun jahat.Kau tak perlu takut .Bahkan obat itu akan membantu dirimu melancarkan aliran darahrmu. Coba tariklah nafasmu dan periksalah aliran darahmu.
Mendengar keterangan Diatri. wajah Birawan berubah menjadi cerah. Cepat-cepat ia menarik nafas panjang memeriksa aliran darahnya. Bena.r. Baik pernafasannya maupun aliran darahnya berjalan dengan lancar. Bahkan , ia merasakan suatu rasa hangat dalam pusarnya.Itulah suatu tanda bahwa tenaganya akan bertambah kuat, Keruan saja. wajahnya berseri-seri gembira. Terus saja ia menjatuhkan diri kehadapan Diatri Kama Ratih menyatakan rasa terima kasihnya.
- Tak usah! Yang penting. berbicaralah kini yang benar. Terangkan semua, apa yang kau ketahui. perintah Diatri sambil tertawa.
Semangat hidup timbul kembali dalam diri Birawan. Terus saja ia berdiri tegak menghadap laskarnya. Lalu berkata dengan sungguh- sungguh:
- Kita wajib bersujud untuk menyatakan terima kasih kepada dewa-dewi penolong kita. Memang, pendeta tadi bukan Punta Dewakarma yang disegani dan ditakuti oleh seluruh pendekar di persada bumi ini. Tetapi dialah Balada Himawat Supaladewa, orang Chaiya yang datang menyusup di antara kita untuk menanamkan pengaruhnya. Memang benar, dialah yang mengatur semuanya. Yang menawan raja kita yang lama. Yang menahan Pangeran Sanggrama Jayawardana yang kita hormati. Justru demikian itulah, kami semua jadi takut kepadanya. Kalau raja saja dapat digulingkannya, apakah arti kami baginya. Meskipun demikian aku masih berusaha mengalihkan perhatiannya agar dia memperebutkan peta harta kerajaan. Akan tetapi aku bekerja seorang diri, karena ketiga kawanku benar- benar sudah bersedia berhamba kepadanya. sampai disini ia berhenti. Lalu memutar tubuhnya menghadap Yudapati. Katanya lagi:
- Sekarang semuanya terserah pada tuanku. Kalau kita harus bubar, akan kububarkan malam ini juga. - Tidak. Justru negara sedang membutuhkan tenaga kalian. sahut Yudapati dengan tegas.
- Balada Himawat Supaladewa berhasil kabur. Artinya. bahaya masih mengancam keselamatan kita semua. Karena itu akan kuatur pembagian harta benda menjadi dua. Yang (tiga buah): kita bagi rata. Empat peti sisanya,. simpanlah kembali sebagai bekal penjuangan melawan kaki-tangan negeri seberang.
- Benar! suara sorak-sorai menyambut dengan gembira.
- Nanti dulu! Birawan mengacungkan tangannya lalu menegas kepada Yudapati:
- Apa arti simpanlah kembali? Siapa yang menyimpan?
- Tentu saja. engkau.
- Aku?
Birawan mengulang seakan-akan tidak percaya kepada pendengarannya kembali.
- Meskipun untuk selanjutnya, kaum Arnawa berada di bawah pimpinan Tuanku puteri Tara Jayawardani, namun urusan sehari-harinya kami percayakan kepadamu. Sebab pekerjaan Tuanku puteri Tara Jayawardani tidak hanya mengurusi kaum Arnawa. Kau dapat kami percayai atau tidak?
Tanpa menyahut lagi. Birawan bersimpuh di hadapan Tara Jayawardani yang nampak jadi canggung dan agak bingung. Untung, cahaya yang menerangi halaman markas terdiri dari obor. Dengan begitu, kesan wajahnya tidak nampak terlalu jelas. '
- Hamba akan melaksanakan perintah tuanku puteri. ujar Birawan.
- Berdirilah dan dengarkan kata-kata kakak Yudapati selanjutnya. kata Tara Jayawardani memberanikan
Dengan gagah, Birawan berdiri tegak menghadap Yudapati. Dan berkatalah Yudapati:
- Pimpinan kaum Arnawa selanjutnya terdiri dari sembilan orang, dengan engkau sebagai ketuanya. Masing masing saling periksa dan memiliki suara yang sama. Dalam setiap keputusan harus ditentukan dengan perbandingan suara. Adapun tugas yang utama: menghimpun kekuatan untuk membantu merebut singgasana kembali dari tangan boneka Raja Dharmaputera. Sumber keuangan. harus
kalian peroleh dari penghadangan terhadap kapal- kapal asing yang lalu- lalang melintasi perairan kerajaan Sriwijaya. Yang pandai berdagang dan bertani. berilah modal! Semua hasilnya sebagian besar untuk memperkuat keuangan pusat. Selanjutnya. kita bicarakan nanti hal- hal kecil lainnya.
- Baik. Kalau begitu kawan- kawan seperjuangan. bantulah aku membuat pesta perjamuan sambil memilih delapan orang pemimpin lagi yang kalian anggap dapat mewakili kepentingan kita bersama.
- Nanti dulu! potong Yudapati.
- Siapa yang tidak setuju. bolehlah meninggalkan markas ini dengan membawa bagian harta yang akan kami bagi rata. Aku yang menanggung. kalian dapat meninggalkan markas ini dengan aman. Tetapi untuk selanjutnya, kalian kularang berbuat jahat terhadap siapa saja. Apalagi sampai menjadi pengkhianat! Sembilan pemimpin kalian akan menjatuhkan hukuman yang setimpal.
Tetapi mereka ternyata tidak ada yang meninggalkan tempatnya. Mungkin sekali, karena sudah biasa hidup menjadi perompak. Atau bukan mustahil bisa mengharapkan masa depan yang cerah. karena kebijaksaan pimpinan kaum Arnawa akan berubah menjadi kesatuan tenaga perjuangan merebut kekuasaan negara yang adil dan beradab.
Kesibukan segera terjadi di semua bagian. Terutama bagian dapur. pelaksana perjamuan. tata-pembangunan dan keamanan. Dengan bergotong-royong mereka mengangkat reruntuhan pendapa dan membersihkan lantai. Mereka kelihatan gembira, karena sebentar lagi bakal kebagian rejeki yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Birawan sendiri membawa Yudapati bertiga berkeliling memeriksa liku- liku lorong penghubung antara markas besar dan kubu- kubu pertahanan. Juga kamar-kamar rahasia yang berada di balik dinding- dinding ruang- ruang tertentu. Menyaksikan semuanya itu. diam-diam Yudapati merasa kagum. Pikirnya. pantas kaum Arnawa tidak mudah ditaklukkan tentara negeri semanjak jaman leluhur Raja Dharmajaya. .
Tatkala mereka kembali ke ruang perjamuan matahari sudah mulai memancarkan cahayanya, Sementara itu, hidangan sudah teratur rapih di atas meja perjamuan yang berbentuk memanjang. Juga para juru penghitung jumlah uang dan harta-benda yang akan dibagikan sudah siap menunggu perintah.
Yudapati kemudian memanggil delapan orang yang terpilih menjadi wakil kepentingan kaum Arnawa. Mereka akan menduduki jabatan bagian Keuangan. Pengawas dan Pemeriksa harta-benda. Pelaksana Hukum. Pelatih laskar... Perniagaan. Komandan Operasi dan dua orang Wakil Ketua .Mereka semua di ajak bersantap bersama sambil membicarakan rencana-rencana operasional kaum Arnawa yang akan datang. Dalam pada itu para juru hitung sudah diperkenankan membagi harta- benda. sehingga terjadi suatu kesibukan yang bernada menyenangkan. Semua berjalan lancar sehingga selesai menjelang tengah hari. Setelah itu, Yudapati meminta diri hendak melanjutkan perjalanan yang harus cepat diselesaikan..
Cantika Mandriyani Karya R. T. Eriwanto 14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Panglima Gunung Karya Stefanus Sp
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama