Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 12

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 12


Untuk saling berhubungan, mereka bersepakat akan melalui, pospos burung merpati dan kata-kata sandi yang akan dikirimkan melalui penghubung-penghubung rahasia yang sudah mereka fahami.
Sekali lagi Yudapati mengesankan, betapa penting kedudukan kaum Arnawa kini; Mereka merupakan salah satu penunjang perjuangan suci menyelamatkan negara yang sedang terancam bahaya dari luar. Karena itu bukan
mustahil mereka akan terpaksa berkorban jiwa demi mencapai semuanya itu.
Demikianlah. setelah semua berjalan tak kurang suatu apa. Yudapati segera membawa Diatri Kama Ratih dan Tara Jayawardani meninggalkan pulau itu dengan menumpang sebuah perahu yang berbilik. Dengan dikemudikan oleh dua orang dan dikawal oleh enam laskar, mereka dapat beristirahat di dalam bilik yang sudah disediakan.
Tak terasa petang hari sudah tiba dan malam mulai merangkak-rangkak dengan diam-diam. Di angkasa bintang-bintang bergemerlapan lembut. Angin laut meniup tidak terlalu kencang, sehingga perahu melaju hampir tak terguncang oleh ombak.
Bagi Yudapati dan Diatri Kama Ratih pengalamannya semalam dan sehari tadi,tidak terasa menyita tenaganya. Sebaliknya, Tara Jayawardani yang belum memiliki dasar ajaran yang teratur merasa lelah luar biasa. Begitu membaringkan diri langsung saja ia tertidur lelap. Sebab semenjak bertemu dengan Isu Wardana dahulu, sesungguhnya belum memperoleh kesempatan beristirahat dengan perasaan aman.
Yudapati membiarkan perahunya berlayar tanpa tujuan. Hatinya sendiri sedang kacau, tak ubah perahu itu sendiri. Banyak masalah- masalah yang belum diketahuinya dengan jelas. Umpamanya tentang diri Diatri Kama Ratih.
Sebenarnya siapakah dia?
Siapa pula orang tua dan gurunya?
Apa hubungannya dengan Tara Jayawardani. Dan apa alasannya tiba- tiba muncul di markas kaum Arnawa?
Lalu dengan tegas pula membuka kedok Balada Himawat Supaladewa yang mengaku diri bernama Punta Dewakarma. Setelah itu timbul masalah peta harta kerajaan yang nampaknya bukan suatu lelucon belaka. Semuanya itu memerlukan keterangan yang jelas, sehingga ia
dapat memperoleh pegangan.
Ia sendiri merasa terlalu ikut-campur dalam masalah negeri orang. Seumpama tidak mengingat makna perjuangan Sang Nayaka Lembu Seta yang rela bunuh diri tentunya tidak akan jadi berlarut begini. Sebaliknya. andaikata dirinya tidak terlibat di dalamnya. kepandaiannya tidak akan menanjak setinggi sekarang. Ia merasa seperti tidak dapat melepaskan diri. Dan untuk itu ia seperti dilahirkan sebagai manusia baru. Manusia baru yang dipersiapkan oleh Sang Maha Gaib agar dapat berperan pada masalah yang diliputi kabut rahasia. '
Dirumun berbagai pikiran itu, akhirnya ia bangkit dari pembaringannya. Lalu duduk berdiam diri di atas geladak sambil melepaskan pandang matanya. Oleh pantulan cahaya bulan, pantai Suwarnadwipa nampak keputih-putihan. Kemudian bukit barisan yang seolah-olah tiada ujung dan pangkalnya. Seluruh bumi wilayah kerajaan Sriwijaya terselimut rimba raya yang lebat kehitaman. Kesannya aman damai bagaikan raksasa yang sedang tidur nyamannya.
Melihat Yudapati duduk di atas geladak, para awak kapal segera sibuk melayani. Mereka datang membawakan minuman hangat dan penganan yang masih berasap. Jelas sekali, selama itu mereka selalu berjaga. Beberapa orang di antara mereka, ada yang memasak air dan menggoreng atau merebus penganan yang pantas untuk dihidangkan. Namun baik juru mudi maupun awak kapal lainnya. tidak ada yang berani bertanya kepadanya kemana tujuan perjalanannya. Mereka hanya bisa menduga- duga saja. Tentunya dia mempunyai tujuan yang dirahasiakan. Karena mereka kini menganggap Yudapati sebagai pemimpinnya. sikapnya hanya menunggu melaksanakan perintah.
Selagi Yudapati duduk termenung-menung seorang
diri. Diatri muncul dari biliknya .Dengan tertawa manis, ia menghampiri sambil berkata:
- Tentunya engkau sedang memikirkan diriku, bukan?'
Tegur sapanya yang mendadak saja tepat mengenai sasaran, sempat membuat Yudapati tertegun. Sahutnya kemudian:
- Ah, bagaimana aku berani berbuat begitu?
- Soalnya. benar atau tidak!"Semenjak pertemuannya Yang pertama kali. Yudapati sudah tertarik kepada pribadi gadis itu. Setelah mengingatkan kepada kecerdasan dan kepandaian Rara Tilam. dan setengah mengingatkan pula kepada kecantikan serta kelembutan Sekar Tanjung. Kedua gadis ini termasuk Tara yang mirip dengan Sekar Tanjung. menempati di bagian sudut hatinya: Karena itu tiada untungnya bersikap berpura-pura kepadanya. Langsung saja dia menjawab
- Benar. Hanya saja yang kupikirkan apa sebab adik dapat membuka kedok jahanam itu dengan tepat dan cepat. Aku sendiri, bahkan hampir kena dikelabuinya
Diatri Kama Ratih tertawa pelahan. Rambutnya yang dibiarkan terurai semenjak kemarin malam berkibaran lembut, kena hembus angin laut yang terasa segar menyentuh badan ia duduk menjatuhkan diri di dekat Yudapati sambil menyahut '
- Panjang ceritanya
- Semenjak kemarin malam engkau hanya menjawab dengan panjang ceritanya tegur Yudapati dengan tertawa
- Teguran itu membuat Diatri tertawa geli. Alangkah manis dan sedap dipendengaran. Kemudian setelah mereguk air hangat berkatalah ia:
- Kau Jawablah dahulu pertanyaanku.Benarkah: engkau yang membongkar penjara Lamuri? - Sebenarnya tidak hanya aku seorang. Kedua temanku berperanan pula. jawab Yudapati.
- Siapa?
- Rekyan Kadung dan Rara Tilam. - Sekarang di mana mereka berada?
Diatri menaruh perhatian.
- Rekyan Kadung berada di Gunung Sibahubahu untuk menolong Tandun Raja Koneng menyusun kekuatan. Rara Tilam dalam perjalanan menyusulnya. Sebab Kadung adalah kakak-seperguruannya.
- Rara Tilam?
Diatri mengulang.
- Apakah dia . . . - Benar. Dia puteri Yang Mulia Duta Besar Lembu Seta.
- Ah! Diatri nampak terkejut.
- Jadi diapun ikut serta berlawanan-lawanan dengan Boma Printa Narayana? Tentunya dia berkepandaian tinggi seperti kakak Yudapati.
Yudapati menundukkan kepalanya. Katanya dengan suara agak segan:
- Mereka berdualah yang pantas mendapat sebutan orang berkepandaian tinggi. Sebab mereka berasal dari satu perguruan. Sebaliknya diriku hanya secara kebetulan saja terpilih menjadi salah seorang pengawal Panglima Jagadpati yang terpaksa meninggal dengan rasa penasaran.
Diatri terdiam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Sejenak kemudian berkata:
- Baiklah, memang engkau mengaku diri hanja secara kebetulan saja terpilih menjadi salah seorang pengawal panglimamu. Tetapi aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa kepandaianmu berada jauh di atas kepandaian Balada. Mungkin pula dapat menandingi Punta Dewakarma.
- Apakah adik kenal siapa Punta Dewakarma?
Diatri mengangguk. Lalu menyahut:
- Engkau bersikap hormat dan menyebutnya sebagai paman- gurumu. Apakah dia benar benar paman-gurumu?
- Ya.
- Kalau benar. mengapa engkau tidak mengenalnya? - Sebenarnya aku hanya mengenal namanya berkat pemberitahuan guruku. Tetapi selama hidupku belum pernah aku mengenalnya. Apalagi sampai bertatap muka dengannya.
- Pantas. Tetapi dalam hubungan apa .gurumu menyebut- nyebut namanya?
Yudapati kemudian menceritakan riwayat pertemuannya dengan Resi Brahmantara dengan singkat. Tentu saja, ia tidak mengaku sudah mewarisi ilmu kepandaian Tantra tingkat sebelas yang tertulis pada kulit kambing peninggalan gurunya. Ia hanya menceritakan tentang ilmu pedang yang dikuasainya. Ilmu pedang acak-acakan yang dapat dipadukan secara kebetulan saja. Lalu makin hari makin bertambah, berkat pengalamannya mengamati ilmu pedang lawan.
- Tentang pertengkaran antara guru dan paman guruku itu adalah urusan angkatan tua. Tak dapat aku mencampuri. Yudapati mengakhiri ceritanya.
- Tetapi Punta Dewakarma benarbenar manusia biadab, kejam dan jahat. ujar Diatri Kama Ratih dengan suara bengis.
- Demi membalas dendam ayahku, aku berkelana sampai memasuki perairan kaum Arnawa. Sebab kukira, dia benar-benar Punta Dewakarma yang sedang kucari. - Oh. begitu! sambut Yudapati pendek.
Sebenarnya ingin ia mendengarkan sebab-musababnya. Namun kesopanannya tidak mengijinkan dirinya untuk memohon kepada gadis itu agar berkenan menjelaskan latar belakangnya.
Syukur. rupanya Diatri Kama Ratih dapat membaca kata hatinya. Setelah menghirup minumannya kembali. berkatalah ia:
- Asal saja kakak Yudapati sabar mendengarkan, aku akan menceritakan siapa diriku dan apa sebab aku ingin menuntut dendam kepada Punta Dewakarma. Bahkan terhadap Balada pula. - Adik Diatri. aku bersedia mendengarkan.
Yudapati berjanji.
Tiba-tiba muncullah Tara Jayawardani dari bilik. Rupanya diapun telah cukup beristirahat. Melihat Diatri dan Yudapati tiada lagi berada di atas pembaringannya masing-masing, segera ia menyusul ke geladak. Niscaya mereka berada di atas geladak. Dugaannya ternyata benar. Dan begitu mendengar Yudapati memanggil adik terhadap Diatri, langsung saja ia menegur:
- Adik. adik, adik. Mengapa mesti menggunakan tatasantun berlebih- lebihan? Bukankah kita bertiga tak ubah satu kesatuan tubuh? lebih baik panggillah namanya saja dengan langsung. Diatri atau Tara! Kami berduapun akan mengengkau kepada kakak. Dengan begitu. rasanya jauh lebih akrab. Bagaimana?
Yudapati tertawa. Ia memandang Diatri minta pertimbangan. Diatripun tertawa untuk menyatakan persetujuannya. Tara Jayawardani nampak lega. Sekarang ia tidak segan- segan lagi. Terus saja, dia duduk mendampingi Yudapati bertentangan dengan Diatri.
- Yunda tadi hendak mulai berbicara. Teruskan! Akupun akan ikut mendengarkan. Setidak-tidaknya bisa menjadi saksi. ujarnya dengan suara meriah.
- Kau minumlah dahulu sambil memerintahkan mereka menjauhi kita. sahut Diatri Kama Ratih.
Tara Jayawardani segera memanggil kepala pengawal. Dia minta dibawakan minuman hangat dan penganan. Setelah itu memberi perintah:
- Kami akan berbicara. Kularang siapapun ikut mendengarkan. Kau mengerti maksudku?
Rupanya peraturan kaum Arnawa sangat keras. Siapapun yang melanggar perintah dihukum mati. Maka begitu mendengar perintah Tara Jayawardani dengan gugup komandan pengawal menjawab cepat:
- Mengerti. Hamba sendiri nanti yang akan melaksanakan hukumnya bila ada yang berani melanggar perintah tuanku puteri. Setelah menjawab demikian, komandan itu segera meninggalkan tempat dan menyampaikan perintah pemimpinnya. Dengan demikian, Diatri dapat berbicara sebebas-bebasnya karena tiada seorangpun yang akan berani ikut mendengarkan, kecuali Tara Jayawardani seorang.
Berkatalah ia kepada Yudapati:
- Kau tadi heran apa sebab aku dapat membongkar kedok Balada Himawat Supaladewa dengan cepat. bukan?
- Benar. jawab Yudapati.
- Apalagi dia seorang pendeta asing.
- Baik. Sekarang dengarkan dengan santai saja karena ceritanya panjang.
Diatri Kama Ratih mulai.
- Cerita inipun kudengar dari ibuku. Dialah Bhiksuni Damayani Tunggadewi. Dia pulalah yang mengajarkan ilmu pedang padaku. Dan Damayani adalah bibi Tara pula. - Benar.
Tara menguatkan.
- Meskipun bibiku. dia melahirkan seorang puteri jauh lebih cepat daripada ayahku. Eh. maksudku . . . sebelum ibu melahirkan aku. ayunda Diatri sudah berumur tujuh tahun. Bukankah begitu? Terhadap seorang dara yang masih polos itu. Diatri hanya mengangguk. Yudapati sendiri berpura-pura tidak mendengarkan agar tidak tertawa geli. Namun di dalam hati ia berkata:
- Dia sudah menjadi Kepala kaum Arnawa. Namun kata-katanya masih berbau susu ibu. Maksudnya, masih kekanak-kanakan. .
- Waktu itu. ibu masih gadis. Ibu ikut terpilih menjadi anggauta duta raja mendampingi paman Sanggrama dan paman Dharmaputera. Paman Sanggrama adalah ayah Tara. Pada waktu mudanya, paman bernama Sanggrama saja. Ibupun hanya disebut dengan nama Damayani.
Diatri mulai berkisah.
- Paman Dharmaputera. paman Sanggrama dan ibu, mewakili raja untuk mengikat tali persahabatan di negeri seberang. Yang pertama negeri Kamboja. Yang kedua negeri Chaiya. Tugas itu tidak mudah. Sebab antara Kamboja dan Chaiya terjadi perselisihan turun-temurun. Tidak pernah kedua negeri itu hidup berdamai. Selalu saja terjadi peperangan memperebutkan perbatasan negara. Dan kepada kedua negeri itupun dimaksudkan, agar perdagangan antara negara tidak terganggu. Baik negeri Kamboja maupun Chaiya boleh masuk ke wilayah perairan kerajaan Sriwijaya untuk kepentingan tukar-menukar hasil dalam negeri dengan kerajaan kita. Kemudian terjadilah suatu peristiwa diluar dugaan siapapun yang ikut serta menjadi mengiring. Para pengiring terdiri dari beberapa perwira pengawal dan pembesar tata-pemerintahan.
- Paman Dharmaputera memutuskan hendak berkunjung ke negeri Chaiya dahulu, kemudian baru Kamboja. Padahal menurut bunyi perintah raja. harus berkunjung ke Kamboja dahulu. Memang dalam hal mengatur jalannya
pemerintahan dipegang oleh seorang Ketua Nayaka yang kebetulan dijabat paman Dharmaputera. Meskipun Ketua Nayaka bertanggung jawab kepada raja. tetapi tindak pelaksanaannya berada padanya. Sebaliknya paman Sanggrama dan ibu bersitegang memegang bunyi surat perintah raja. Karena itu. terjadi suatu perselisihan. Alasan paman Sanggrama dan ibu. cukup kuat. Menilik bunyi surat raja tentunya kebijaksanaan itu sudah melalui suatu perundingan dahulu.
- Mengapa tiba-tiba berubah?
- Paman Dharmaputera ternyata bijaksana. Dia mau mengalah. Dia hanya minta suatu persetujuan agar berkenan mengirimkan seorang utusan menghadap Raja Chaiya. Alasannya, karena sudah terlanjur mengirimkan surat pemberitahuan. Dan orang kepercayaan itu adalah si Pohan Candra Gunawan.
- Dia tidak bijaksana. Tetapi berpura-pura arif, karena hendak menyembunyikan rencananya yang keji.
Potong Tara dengan suara sengit.
- Hal itu, memang sekarang sudah terbukti. Tetapi pada waktu itu,siapapun tidak pernah mengira, bahwa perubahan tindak bijaksana itu mengandung maksud yang tersembunyi. - Ya. Lalu?'
- Demikianlah setelah menurunkan Pohan ke daratan Chaiya, kapal melanjutkan perjalanannya menuju Kamboja. Disinipun terjadi suatu peristiwa yang berekor panjang.
Diatri Kama Ratih melanjutkan.
- Seperti kita ketahui, antara Kamboja dan Chaiya terjadi musuh bebuyutan. Utusan Raja Sriwijaya disambut dengan gembira. Raja Kamboja menyelenggarakan pesta raya. Dan di dalam pesta itu, raja Kamboja menghadiahkan tiga macam persembahan. Yang pertama berwujud selembar peta yang disimpan dalam sebuah kotak emas. Menurut
keterangan raja, itulah hasil rampasan tentaranya terhadap laskar Chaiya! Ternyata peta itu menggambarkan tempat penyimpanan harta kekayaan Raja Chaiya yang justru berada di dalam wilayah kerajaan Sriwijaya. Kamboja tidak mempunyai kepentingan terhadap negeri kita. Justru memberi saran, agar harta kekayaan itu dipergunakan bagi kesejahteraan negara dan kemakmuran rakyat. Menurut Raja Kamboja, harta sudah menjadi milik Sriwijaya. Sebab berada dalam bumi Sriwijaya. Peta itu dihadiahkan sebagai suatu persembahan dan bukti persahabatan. Tetapi paman Dharmaputera berpendapat lain dalam perjalanan pulang. Paman Dharmaputera menanggapi pernyataan raja Kamboja sebagai suatu fitnah terhadap kerajaan Chaiya. Maklum, kedua negeri itu saling bermusuhan, katanya.
- Hadiah kedua berwujud sebilah pedang pusaka yang jarang terdapat di dunia. Terbuat dari baja dan besi pilihan yang dicampur dengan pecahan batu meteor. Tajam luar biasa dan sangat berguna bagi yang dapat menggunakannya. Itulah pedang Sangga Buana-yang kini berada padaku sebagai hadiah ibu.
- Dan hadiah ketiga bukan berwujud barang. Tetapi seorang pendeta muda berjubah kuning yang berkepandaian tinggi. Dialah Balada Himawat Supaladewa. Berasal dari Chaiya yang kena tawan laskar Kamboja, kemudian diangkat menjadi penasehat raja karena memiliki otak cemerlang. Begitulah keterangan raja Kamboja. Penasehat itu direlakan agar mengabdi kepada raja kita demi bukti mempererat persahabatan.
- Paman Dharmaputera menyambut kebijaksanaan Raja Kamboja dengan gembira. Berulangkali dia menghaturkan terima kasih. Demikian pula paman Sanggrama dan ibu. Tetapi di kemudian hari. ibu menerangkan bahwa baik
ibu dan paman Sanggrama sebenarnya tidak begitu menyukai Balada. Tetapi karena tiada alasan yang mendukungnya, mereka terpaksa berbuat seperti apa yang dilakukan paman Dharmaputera.
- Kemudian datanglah gilirannya menghadap Raja Chaiya. Raja Chaiya tidak kalah ramahnya menerima duta Raja Sriwijaya. Raja menyambut kedatangan ibu bertiga dengan sepasukan laskar bersenjata lengkap. Alasannya. untuk menjaga serangan laskar Kamboja dan para penyamun yang sering mengacau tata-tertib pemerintahan. Jarak antara pelabuhan dan Kota Raja memang cukup jauh. Maka alasan pengawalan itu dapat dimengerti. Demikian pulalah. sewaktu raja mengijinkan utusan Sriwijaya hendak pulang ke negeri.
- Sekarang. terjadilah peristiwa yang dikhawatirkan pihak pemerintah. Tiba-tiba muncullah ratusan penyamun berseragam laskar Kamboja. Pemimpinnya mengenakan topeng. Mereka minta kotak emas yang berisikan peta harta kerajaan Chaiya diserahkan. Tentu saja ditolak oleh paman Dharmaputera,paman Sanggrama dan ibu. Terjadilah pertempuran sengit yang banyak memakan korban. Ibu dilindungi oleh seorang hulubalang bernama Sangga Rajaguru. Itulah nama ayahku pada jaman mudanya. Tetapi karena kalah jumlah, pihak kita kalah. Meskipun demikian ayah berhasil meringkus komandan laskar Kamboja yang bertopeng. Begitu topengnya terbuka. semua orang memekik terkejut. Sebab orang itu. tak lain adalah si Pohan. Sayang, Pohan dapat direbut kembali oleh laskarnya yang berkelahi bagaikan kawanan kerbau gila. Paman Dharmaputera dan paman Sanggrama dapat ditawannya. Pada saat jiwa kedua pamanku terancam maut. muncullah bintang penolong. Dialah Balada Himawat Supaladewa. Dengan ilmu kepandaiannya yang
istimewa, dapatlah ia menghalau sekalian penyamun.
- Tentu saja. kedua pamanku dan ibu merasa berhutang budi padanya. Dia dihormati dan disegani. Dan semenjak itu, ia selalu membawa lagaknya sebagai bintang penolong. Di kerajaan Sriwijaya, ia dapat mondar-mandir sesukanya di kalangan atas. Paman Dharmaputera memperkenalkannya kepada sekalian nayaka sebagai seorang bintang penolong. Lambat laun ia dapat merebut kepercayaan siapapun kecuali raja.
- Pada saatnya para utusan harus menghadap raja untuk menyampaikan persembahan Raja Kamboja. timbullah suatu perselisihan lagi. Paman Dhamaputera tidak setuju, apabila peta harta milik raja Chaiya dipersembahkan kepada raja. Alasannya akan mengganggu tali persahabatan dan bukan mustahil akan menimbulkan masalah-masalah yang tidak mudah untuk diselesaikan. Alasan itu masuk akal. Paman Sanggrama dapat menerimanya. Soalnya kini, kotak emas itu siapakah yang menyimpan atau akan disimpan di mana? Paman Dharmaputera menjawab, lebih baik para utusan raja bersikap tak tahu menahu. Sebab siapa tahu, kalau pada suatu hari tiba-tiba datang utusan dari negeri Chaiya untuk mengusut peta tersebut. Lebih baik. biarlah disimpan Balada Himawat Supaladewa. Selain bintang penolong,diapun berkebangsaan Chaiya. Dia akan menjadi saksi kuat untuk menolong kehormatan kerajaan Sriwijaya bila kena tuduh. Kesaksiannya akan didengarkan oleh Raja Chaiya. Demikianlah. maka kotak emas itu diserahkan kepada Balada, dengan harapan agar dia menjadi saksinya bahwa kotak emas tersebut kena dirampas laskar Kamboja yang menghadang perjalanan utusan raja. Demikianlah. maka kotak emas itu jatuh ke dalam tangan sang pengkhianat.
- Pengkhianat? Tara Jayawardani menegas.
- Benar. Hal itu terjadi secara kebetulan saja. Pada saat kedua pamanku dan ibu bersiap-siap untuk menghadap raja pada keesokan harinya. datanglah calon ayahku membawa berita kepada ibu. Kata ayah. secara kebetulan ayah melihat si Pohan Candra Gunawan berbicara kasak kusuk dengan Balada. ibu terperanjat. Kalau begitu. jangan jangan masalah penghadangan itu sudah ada yang mengatur. Memang, kalau dipikir walaupun Balada berkepandaian setinggi langit, rasanya mustahil dapat menggebah ratusan penyamun begitu mudah. Maka dengan diam diam, ayah dan ibu segera menyelidiki masalah itu. Ringkasnya, ayah dan ibu memperoleh buktinya. Ternyata semuanya itu, sudah diatur rapih oleh paman Dharmaputera jauh-jauh hari sebelumnya. Dialah yang mengajukan permohonan kepada Raja Kamboja agar berkenan menghadiahkan Balada Himawat Supaladewa dengan surat yang sudah dikirimkan dua bulan sebelum utusan raja berangkat. Itupun, setelah memperoleh surat jawaban Raja Kamboja yang mengabulkan permohonan paman Dharmaputera. Adapun alasan paman Dharmaputera yang dikemukakan sangat cerdik. Pertama, Balada Himawat Supaladewa orang Chaiya. Memelihara apalagi menggunakan tenaga lawan sebagai penasehat tak ubah seseorang menyimpan duri di dalam tubuhnya. Mengapa tidak lebih baik disingkirkan? Bila berkenan dibawa ke Sriwijaya, tidak hanya berarti memperkokoh hubungan persahabatan saja, tetapi bisa membuat Sriwijaya meninjau kembali persahabatannya dengan Chaiya. Mengapa? Sebab Raja Sriwijaya sudah menerima budi baik Sri Baginda. Tetapi dengan catatan, jangan sampai Raja Sriwijaya mendapat keterangan bahwa Balada Himawat Supaladewa sesungguhnya berasal dari Chaiya. Tetapi bagaimana kalau sampai ketahuan? Balada Himawat Supaladewa tentu akan di
hukum mati. Bila hal itu terjadi akan menimbulkan ketegangan antara Sriwijaya dan Chaiya. Bukankah suatu tipu-muslihat yang terencana rapih? Padahal paman Dharmaputera adalah anak-keturunan raja Chaiya yang menjadi menantu Raja Dharmajaya. Itulah sebabnya, dia diperkenankan menyematkan nama Dharmaputera. Menurut ibu, pada jaman mudanya bernama Nguyen Sidikara.
Mendengar keterangan Diatri Kama Ratih, sesuatu yang tadinya masih gelap mulai terbuka dalam pikiran Yudapati. Tetapi justru demikian. ia mulai sadar benar benar, bahwa lawan yang dihadapinya seorang yang tidak hanya tangguh, tetapi berakal pula. Ia merasa dalam hal main tipu muslihat, harus mengaku kalah jauh.
- Yunda Diatri! Bukankah isteri paman Dharmaputera, bibi Kumala laksmi Dewi? -!
Tara Jayawardani menegas.
- Benar. Mengapa? - Oh, aku hanya ingin menegas saja. - sahut Tara Jayawardani.
- Teruskan! Ternyata aku termasuk salah seorang yang belum banyak mengetahui latar belakang terjadinya kekacauan ini Lalu apa tindakan bibi dan paman Sangga Rajaguru? - Setelah' mengetahui semua yang terjadi dengan jelas, ibu dan ayah memutuskan hendak merebut kotak pusaka itu dari tangan Balada. Ternyata Balada dapat membaca gelagat itu. lantas saja ia kabur. Namun ayah dan ibu dapat menyusulnya. Mengingat kepandaian Balada, ibu berpikir tidak akan menggunakan kekerasan. Ia mencoba mengorek keterangan yang lebih dalam lagi dari mulut Balada. Ibu mempertaruhkan kecerdikannya. Ia Berpura-pura mengangkat-angkat peristiwa penghadangan dahulu. Kalau saja Balada tidak bertindak cepat. niscaya
jiwanya sudah melayang. Balada kena dilagui dan termakan oleh kecongkakannya sendiri. Tak terasa ia membuka rahasianya. Sesungguhnya semuanya itu sudah diatur paman Dharmaputera. Paman Dharmaputera berniat merebut tahta dengan bantuan negeri leluhurnya. Itulah sebabnya, raja negeri Chaiya berkenan mengirimkan harta-milik kerajaan yang akan dipergunakan sebagai modal perjuangan mencapai tujuan. Apabila paman Dharmaputera berhasil,tidak hanya berarti Raja Chaiya yang akan duduk sebagai majikan besar, tetapi dirinyapun akan diberi jabatan nayaka. Mungkin pula bisa jadi Ketua Nayaka. Mendengar penjelasan itu, ibu tak dapat lagi menguasai diri. Terus saja ia menghunus pedangnya. Ayah menghunus pedangnya pula. Tidak peduli musuhnya amat tangguh dan menjadi tangan kanan paman Dharmaputera yang menduduki Ketua Nayaka Kerajaan Sriwijaya. Satu malam mereka bertempur. Balada Himawat Supaladewa memang seorang pengkhianat yang tangguh. Tetapi baik ibu maupun ayah sudah bertekad hendak merebut kotak pusaka itu dengan mempertaruhkan jiwa raganya. Setelah melalui sekian ratus jurus, akhirnya ibu dapat melukainya. Kotak pusaka dapat dirampas kembali oleh ayah. Dengan kemenangan itu, hati ibu dan ayah makin dekat. Akhirnya ibu berkenan menerima lamaran ayah. Tetapi begitu tiba di Kotaraja terjadi suatu peristiwa yang mengherankan. Ternyata sepak-terjang ayah dan ibu tidak luput dari pengamatan paman Dharmaputera. Mengapa hal itu dapat diketahuinya? Itulah hasil laporan Pohan Candra Gunawan yang ternyata sudah menjadi murid Balada Himawat Supaladewa. - Celaka!
Tara Jayawardani mengeluh.
- Paman berdua bisa dijatuhi hukuman mati.
- Ternyata tidak.
- Ternyata tidak?
Tara Jayawardani terbelalak heran.
- Bahkan sebaliknya.
- Bahkan sebaliknya bagaimana?
- Ayah dan ibu disambut paman Dharmaputera dengan gembira. Paman Dharmaputera mengucapkan selamat. Di dalam ruang, paman Sanggrama sudah menunggu. Menurut tutur-kata ibu paman Dharmaputera memuji tindakan ayah dan ibu. Sebenarnya,diapun bermaksud akan merampasnya kembali dari tangan Balada, katanya. Mengingat Balada berkepandaian tinggi, sengaja paman Dharmaputera bersikap tetap hormat dan mendekati dengan cara yang halus. Sekarang kotak pusaka sudah berada di tangan ayah dan ibu. Artinya kepentingan negara dapat diselamatkan. Maka ia menyarankan, agar kotak pusaka itu dibawa paman Sanggrama. Sedang pedang Sangga Buana biarlah menjadi milik ibu. Dia sendiri, tidak memikirkan untuk minta bagian. Bahkan akan terus mendekati Balada Himawat Supaladewa agar tidak luput dari pengamatannya. Ringkasnya, antara ibu, paman Sanggrama dan paman Dharmaputera sudah terjadi suatu persepakatan untuk tidak melapor,barang-barang bawaan dari Kamboja temasuk Balada Himawat Supaladewa kepada Raja Dharmajaya. Hebat. bukan?
- Apanya yang hebat?
Tara Jayawardani mendongkol
- Coba pikirkan, apa sebab paman Dharmaputera bersikap ramah terhadap ibu dan ayahmu?
Diatri berteka-teki.
Tara Jayawardani meskipun masih hijau dalam pengalaman, namun bukan berarti bodoh. Setelah merenung sejenak, tiba-tiba berkata setengah bersorak:
- Ah, tahulah aku apa sebabnya. - Apa? - Kalau peristiwa itu sampai didengar raja. bukankah berarti akan membuka kedoknya sendiri? Sebab, tentunya akan berekor panjang. Bibi Damayani tidak akan tinggal diam. Bibi akan membongkar rahasia paman Dharmaputera mengincar tahta.
- Bagus!
Diatri memuji Tara Jayawardani dengan tertawa manis.
- Engkau sudah pandai berpikir. - Apakah ayahku tidak mendengar peristiwa perebutan itu? - Tentu saja. Bukankah ayahmu berada dalam ruang itu? Tetapi paman Dharmaputera tidak akan membiarkan ayah dan ibu berbicara berkepanjangan.
- Bukankah pada suatu saat ada kesempatan untuk membongkar rahasia paman Dharmaputera?
- Bagaimana mungkin? Waktu itu sudah menjelang pagi hari. Ibu disibukkan untuk bersiap-siap menghadap raja. Sedang ayah yang hanya berkedudukan sebagai hulubalang raja, tidak berhak ikut menghadap. Ayah hanya berada di pendapa balairung. Duduk sebagai anggauta pengiring duta raja seperti lainnya. Dan di depan raja, paman Dharmaputera memuji-muji ayah sebagai seorang hulubalang yang besar jasanya terhadap negera. Tentu saja ia mengarang peristiwa-peristiwa yang terlalu hebat bagi keuntungan ayah dan ibu. Akhirnya menyarankan, agar ayah dapat diambil sebagai menantu raja. Benarkan itu? raja menegas kepada ibu. Ibu tidak dapat mengelakkan diri. Memang semalam sudah menerima lamaran ayah. Juga tidak dapat berkutik, tatkala paman Dharmaputera mengarang cerita kisah asmara terpendam yang dilihatnya sepanjang perjalanan. Tentu saja, cara paman Dharmaputera mengarang kisah asmara itu, tidak seperti orang orang biasa. Tetapi mengambil jalan yang tertib dengan menggunakan kedudukannya sebagai seorang Ketua Mentri. Kadangkala diseling dengan kesimpulan-kesimpulan yang lucu. sehingga berkenan di hati raja. Dalam hal ini, paman Dharmaputera adalah ahlinya. Ringkasnya, saran paman Dharmaputera diterima raja. Dan semenjak itu. ibu mulai dipingit. Demikian pulalah calon ayahku. Suatu muslihat lagi, bukan? Apakah keputusan raja menyusahkan ayah dan
ibumu? Tara tidak mengerti.
- Tidak. Memang itulah yang diharapkan. Akupun berbangga mempunyai ibu dan ayah demikian.
- Lalu di mana letak muslihat yang ayunda katakan?
- Yang pertama, ibu dan ayah tidak dapat bertemu kembali sebelum diresmikan sebagai suami-isteri. Berarti rahasia yang terbongkar dari mulut Balada tidak akan sampai ke telinga ayahmu. Yang kedua: apabila ayah dan ibu sudah hidup menjadi suami-isteri, kata-katanya tidak dapat lagi didengar sebagai saksi. Dan yang ketiga . . . - Dan yang ketiga?Tara Jayawardani tidak sabar lagi.
- Itu terjadi setelah ayah dan ibu diresmikan sebagai suami isteri. Raja mengangkat ayah sebagai Raja Muda dan semenjak itu diperkenankan menyematkan nama Shri Sangga Rajaguru. Kemudian atas usul paman Dharmaputera sebagai ketua pelaksana tata pemerintahan, ayah ditugaskan jauh di wilayah utara. Wilayah Lamuri bagian utara yang berbatasan dengan laut India. Dengan demikian,putuslah sudah hubungan antara ibu dan paman Sanggrama. Memang sekali waktu, ayah datang menghadap raja untuk memberi laporan. keadaan wilayahnya. Tetapi sudah diatur demikian rupa, sehingga tidak akan pernah bertemu dengan ayahmu. Bukankah ayahmu diangkat sebagai Raja Muda yang menguasai wilayah selatan?
Sampai disini. bulu kuduk Tara Jayawardani meremang dengan sendirinya. Ia merasa seperti lagi diamat amati kekuasaan iblis yang tiada nampak oleh indera mata. Rasanya seperti terpaku tapi tak memiliki daya apapun. Hal itu disebabkan oleh kegoncangan hatinya. karena tidak mengira sama sekali bahwa keluarganya ikut tersangkut di dalam masalahnya.
- Waktu ayunda sering datang mengunjungi ayah, aku hanya mengenal ayunda sebagai puteri bibi. Sama sekali, ayah tidak pernah menyinggung nama paman Shri Sangga Rajaguru. Mengapa? -akhirnya ia berkata setengah bergumam.
- Barangkali demi menjaga perasaanku. jawab Diatri Kama Ratih.
- Menjaga perasaan ayunda? Mengapa?
- Karena waktu itu, ayahanda tiada lagi mendampingi ibu.
Diatri menerangkan dengan suara pelahan.
Kembali lagi Tara tertegun, karena hatinya tiba-tiba tersentuh suatu perasaan yang halus sehingga ia jadi terbaru. Dengan penuh perasaan ia menatap wajah Diatri yang menundukkan kepalanya. Menuruti kata hatinya ingin saja ia memeluknya erat.
Yudapati sendiri waktu itu melepaskan pandang ke arah cakrawala. Samar-samar cahaya pagi mulai meraba persada bumi. Barangkali sebentar lagi, fajar hari akan segera menyingsing. Angin sudah terasa makin sejuk segar. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiran dan hatinya.
- Semenjak ayah menjabat sebagai kepala pemerintahan, jarang sekali ayah memegang pedangnya. Barangkali karena disibukkan oleh tugas pekerjaannya. Atau mungkin sekali-kali berlatih bersama dengan ibu pada malam hari. Sebaliknya, ibu tidak pernah melalaikan latihannya. Ibu sadar bahwa pada suatu saat Balada akan datang untuk menuntut balas. Sebab dia pernah dilukai ibu. Karena itu,
semenjak kanak-kanak aku sudah diajari dasar dasar menghimpun tenaga sakti. Lalu jurus-jurus permulaan yang sederhana. Ibu selalu mengawasi latihanku dengan ketat dan keras. Ibu seperti berharap. mudah-mudahan akulah kelak yang bisa menuntut balas kepada Balada. andaikata baik ibu maupun ayah tidak dapat melawannya lagi. Pada suatu hari ayah pulang dengan tergopoh-gopoh. Waktu itu aku sudah berumur dua belas tahun. Dan diperkenankan ikut hadir pada pembicaraan-pembicaraan tertentu. Sebab ayahpun sering memberi ajaran jurus-jurus ilmu pedangnya kepadaku. Seringkali pula membetulkan langkah kaki dan gerakan tanganku. Sebaliknya. bila pembicaraan itu mengenai jalannya pemerintahan. aku tidak perkenankan ikut mendengarkan. Diatri melanjutkan kisahnya. Mula-mula tersendat-sendat tetapi lambat laun lancar kembali seperti semula. Kini ia menegakkan kepalanya. Dan berkata dengan suara agak panas: .
- Ayah membicarakan tentang seorang pendekar besar yang dihormati dan ditakuti orang. Tetapi ayah menyebutnya sebagai Iblis besar.
- Siapa dia?
Tara tak sabar.
- Dialah Punta Dewakarma yang kabarnya mendirikan sebuah biara pemujaan di atas Gunung Merapi. Dia mempunyai tujuh orang murid yang semuanya mengenakan nama depan Punta. Punta Sardula. Punta Pancakara, Punta Ngawen, Punta Pramodha, Punta Garung. Punta Panangkar dan Punta Nilakantha. Mereka datang ke kediaman paman Dharmaputera, tatkala paman mengadakan panggung pertandingan untuk memilih anggauta pemangku jabatan yang kelak disebut sebagai Bhayangkara kerajaan. Balada Himawat Supaladewa hadir pula dengan membawa muridnya si Pohan Candra Gunawan. Setelah saling adu kekuatan. terpilihlah dua puluh satu orang. Tetapi kedua
puluh satu orang itu dapat dikalahkan oleh tujuh murid Punta Dewakarma. Jelasnya begini.
Diatri Kama Ratih berhenti untuk menghirup minumannya. Kemudian meneruskan:
- Dari segala penjuru datanglah para pendekar yang merasa mempunyai kepandaian. Setelah terpilih dua puluh satu orang, tiba-tiba datanglah ketujuh murid Punta Dewakarma. Mereka tidak dapat dikalahkan. Balada Himawat Supaladewa lalu masuk ke dalam gelanggang. Masing-masing bertaruh yang berbunyi demikian: siapa yang kalah akan menjadi muridnya. Ternyata Balada Himawat Supaladewa tidak mampu mengalahkan mereka. Karena Balada Himawat Supaladewa tidak roboh, meskipun kalah, maka ia hanya menyerahkan Pohan Candra Gunawan yang mewakili dirinya sebagai murid. Kemudian masuklah Boma Printa Narayana. Melawan Boma Printa Narayana hanya berakhir dengan seri alias tidak ada yang kalah dan yang menang. Paman Dharmaputera, segera memisah dan segera ia bermaksud mengangkat ketujuh murid Punta Dewakarma sebagai perwira tinggi bhayangkara yang akan membawahi dua puluh satu perwira lainnya. Tetapi mereka meninggalkan gelanggang dengan tertawa terbahak-bahak. Benar-benar congkak dan sombong mereka. Akan tetapi semenjak itu, hadirin seperti tersentak dari mimpinya yang indah. Ternyata di dunia ini ada seorang Punta Dewakarma yang memiliki kepandaian jauh diatas mereka semua. Berhadapan dengan muridnya saja, tiada seorangpun yang mampu mengalahkan. Maka kepandaian Punta Dewakarma susah diukur betapa tingginya.
Sampai disini Yudapati menghela nafas. Ia jadi teringat kepada tujuh pendeta berjubah kuning yang memusuhi kaum bhayangkara.
- Kalau begitu. kecongkakan dan kesombongannya sengaja diperlihatkan dihadapan hadirin atas perintah gurunya. Dengan kata lain. kalau mau, Punta
Dewakarma bisa merebut kekuasaan Dharmaputera yang kini berada di tangan raja baru itu. Ucapan gurunya, bahwa cita-cita paman gurunya itu hendak menancapkan kekuasaan jadi makin jelas maknanya. Ah. benar-benarkah dia ingin mengangkat diri menjadi raja pula?
Selagi demikian, Yudapati terkejut mendengar pertanyaan Tara Jayawardani yang meletup bagaikan tersengat lebah:
- Bukankah tujuh pendeta yang dahulu membunuh belasan laskar bhayangkara?
- Benar. -jawab Yudapali singkat.
- Mengapa? - Pertanyaanmu sama anehnya, mengapa mereka memaksamu menerima ajaran jurus-jurusnya yang terpotong-potong.
- Apa?
Diatri kini yang ganti terkejut.
- Tara, apakah mereka pernah memaksamu menerima ajaran jurus-jurusnya?
- Benar. Tetapi menurut kakak Yudapati, hanya sepotong-sepotong. sahut Tara Jayawardani.
- Oh, pantas .
Diatri tidak menyelesaikan katakata.
- Pantas keji, kejam dan ganas, bukan?
Kakak Yudapati berkata begitu juga.
Tara menebak kalimat Diatri yang ditelannya kembali.
- Aku sendiri tidak mengerti apa tujuan mereka.
Kemudian dengan singkat ia mengisahkan pertemuannya dengan tujuh pendeta berbaju kuning itu yang tidak dikenalnya siapa nama mereka. Ia baru mengenal namanya setelah mendengar tutur-kata Diatri. Kemudian minta pertimbangan Yudapati:
Kemudian dengan singkat ia mengisahkan pertemuannya dengan tujuh pendeta berbaju kuning itu yang tidak dikenalnya siapa nama mereka. Ia baru mengenal namanya
setelah mendengar tutur-kata Diatri. Kemudian minta pertimbangan Yudapati
- Sebenarnya mereka bermaksud apa terhadapku? Mereka menyebut diriku sebagai kemenakannya. Sama sekali aku tidak diberinya kesempatan untuk menerangkan siapakah sebenarnya diriku. Lalu, aku ditinggalkan begitu saja dengan tertawa lebar. Apakah aku akan dijadikan kelinci percobaan mereka? Terhadap siapa?
- Terus terang saja sampai sekarang aku belum memperoleh jawabannya. -ujar Yudapati.
- lainlah halnya dengan sepak-terjang mereka terhadap laskar bhayangkara. Setelah mendengar kisah Diatri tadi dan teringat akan kata-kata guruku, mereka kini bermaksud terang-terangan unjuk perasaan terhadap raja Sriwijaya Dharmaputera. Setidak-tidaknya. atas perintah gurunya mereka hendak menuntut sesuatu kepada pihak penguasa baru. tak beda dengan kelompok pemegang saham minta bagiannya. Tetapi bagian apa yang mereka harapkan aku belum jelas.
- Baik, biarlah kuselesaikan dahulu kisahku.
Diatri mengalihkan pembicaraan.
- semenjak Pohan Candra Gunawan diserahkan kepada tujuh pendeta itu untuk jadi muridnya. mulailah Balada jarang menampakkan diri di Ibukota. Ia sekarang mempunyai alasan untuk sering datang ke tempat tujuh pendeta itu berada. Tentunya beralasan untuk menilik muridnya. Tetapi ayah mempunyai dugaan lebih jauh lagi, mengingat Balada seorang berkepandaian tinggi yang licin dan banyak tipu-muslihatnya. Sekiranya tidak demikian, mustahil dia bisa mengambil hati Raja Kamboja yang justru menjadi lawan rajanya.
- Apa dugaan paman?
Tara Jayawardani menegas.
- Tentunya berusaha bisa bertatap muka dengan Punta Dewakarma. Setidak-tidaknya bisa memasuki biara
pemujaan Raja Iblis itu.
- Tepat.
Yudapati menguatkan.
- Lalu? sambung Tara Jayawardani.
- Semenjak hari itu, ayah dan ibu nampak prihatin. Di pagi hari ayah mengurusi tugas pekerjaannya. Di malam. Tidak lagi beliau berdua sempat mengawasi latihan-latihanku. Ayah seolah-olah sudah memperoleh prarasa buruk. Bahaya akan datang dengan sewaktu-waktu. Tetapi sampai aku berumur enam belas tahun. keadaan tetap aman. Kemudian datanglah malapetaka yang membuat ibu hidup sebagai bhiksuni. -.
- Apakah penjahat Balada .
Tara Jayawardani memotong dengan bernafsu. .
- Pada suatu hari ayah berangkat ke Ibukota untuk menghadap raja seperti yang dilakukan pada setiap tahunnya.
Diatri Kama Ratih melanjutkan.
- Tetapi kali itu ayah membawa pedangnya. Ayah memelukku dan mencium keningku dengan pesan agar menjaga ibu baik-baik. Rupanya itulah pesan ayah yang penghabisan. Sebab semenjak hari itu, tak pernah lagi aku melihat ayah. Menurut laporan laskar pengiring, ayah bertempur melawan Balada Himawat Supaladewa yang menghadangnya. Meskipun ayah sudah berlatih empat tahun bersama ibu. rupanya ilmu kepandaian Balada naik berlipat ganda oleh petunjuk-petunjuk Punta Dewakarma. Sebab setiap kali melancarkan serangan, selalu menyerukan nama Punta Dewakarma. Ayah tewas dalam pertempuran itu . . .
Diatri Kama Ratih tak sanggup lagi melanjutkan kisahnya, Ia menangis sedih, meskipun berusaha ditahannya sebisa-bisanya. Tara Jayawardani yang semenjak tadi sudah tersentuh perasaannya, lantas saja memeluknya dan ikut menangis. Kini tinggal Yudapati seorang yang tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Mula-mula ia membiarkan mereka menangis sedih. Kemudian dengan tiba-tiba ia bersenandung lirih:
- Di dunia siapa yang tidak pernah mati. Semuanya akan berangkat pulang ke asalnya. Seorang diri atau berbarengan. Bunga apakah yang tidak pernah layu. Semua akan layu, lalu kering dan runtuh di atas tanah. Tetapi mati dan mati adalah lain. Mati yang bermakna dan mati yang tiada maknanya. Sesungguhnya dia sudah mati dahulu, sebelum raganya terbaring di bawah tanah atau hancur menjadi abu oleh nyala api. Diatri. bagiku ayahmu meninggal dengan meninggalkan nama harum. Hidupnya mempunyai makna. Dia berada di jalan yang lurus. Kecuali mengabdi kepada negara dan bangsanya. masih teringat untuk menyingkirkan manusia-manusia yang berhati iblis. Dialah Balada Himawat Supaladewa. Musuhnya, musuh negara dan musuh bangsanya. Bukankah gugur dalam pertempuran demikian adalah suatu kebahagiaan sendiri? Hebat pengaruh kata-kata senandung Yudapati bagi Diatri dan Tara Jayawardani. Tiba-tiba saja, Diatri berhenti menangis. Sambil menyusut airmatanya. berkatalah ia setengah berbisik:
- Terima kasih.
Pendek saja ucapannya. namun bermakna dalam dan jauh. Kemudian ia berusaha mengatasi rasa pedihnya. Berkata melanjutkan kisahnya:
- Semenjak peristiwa itu, ibu hidup sebagai bhiksuni dengan gelar Damayani Tunggadewi. Ibu memilih tempat untuk mendirikan biaranya. Berada di atas pinggang sebuah bukit yang dirahasiakan. Semuanya itu demi menjaga keselamatanku dari pengamatan Balada Himawat Supaladewa. Bahkan ibu menduga bahwa paman Dharmaputera ikut mengambil bagian dalam masalah ini. Karena itu. kita harus tetap waspada terhadap kaki-tangannya yang tentu saja tidak terhitung jumlahnya. Siang malam aku diawasi ibu dengan ketat. Kini, aku tidak hanya berlatih ilmu pedang Damayani saja. tetapi diwajibkan pula memahami ilmu pedang ayah. Agar tidak kacau, ibu mengubah jurus-jurus ilmu pedang menjadi jurus-jurus ilmu golok. Dengan demikian setelah berlatih kurang lebih enam tahun lamanya, aku menguasai kedua macam ilmu kepandaian itu dengan berbareng. Karena golok lebih berat daripada pedang. maka ibu memindahkan ilmu pedangnya dengan tangan kiri. Sedang tangan kananku memegang golok. Setelah ibu melihat, bahwa aku sudah menguasainya, ibu berharap aku segera turun dari biara untuk mencari Balada Himawat Supaladewa yang kabarnya gemar menyebut diri dengan nama Punta Dewakarma. Suatu malam,sebulan sebelum aku turun gunung, aku mendengar ibu berbicara dengan seseorang yang suaranya pernah kukenal pada tahun-tahun sebelumnya. Aku memberanikan diri untuk mengintip. Rupanya ibu mendengar suara nafasku. Dengan tertawa aku dipanggilnya menghadap dan diperkenalkan kepada seorang kakek tua tetapi berperawakan kokoh dan berwibawa. Kakek itu orang India dan menyebut dirinya dengan nama Mahendra.
- Mahendra?
Yudapati terkejut.
- Ya. Mahendra. Pendek saja namanya. dan aku diharuskan menyebutnya dengan kakek.
Yudapati terlongong sejenak. Ia jadi teringat kepada kakek Isu Wardana yang bernama Mahendra. Sayang, ia hanya mengenalnya selintasan saja. Kalau orang yang disebut Diatri dengan kakek Mahendra memang kakek Isu Wardana. alangkah jadi hebat. Pikirannya tiba-tiba jadi penuh berserabutan. Ia seperti melihat sesuatu yang berkelebatan dalam benaknya. Tetapi apa itu. ia sendiri
tidak tahu.
- Apa yang dibicarakan? ia mencoba mengorek keterangan Diatri.
- Dengan kehadiranku. apa yang dibicarakan rasanya tidak sambung lagi. Ibupun tidak pernah menyinggung nyinggung lagi siapa kakek Mahendra. Kecuali. bahwasanya kakek Mahendra adalah seorang bhiksu berasal dari seberangan lautan. Diatri menerangkan.
Oleh keterangan itu, pikiran Yudapati yang bergolak dalam benaknya menemui jalan buntu. Tiada bahan lagi yang dapat dibuatnya memancing. Diatri sendiri, tidak menarik panjang lagi tentang diri kakek Mahendra. ia melanjutkan dengan kisah perjalanannya. Katanya:
- Suatu kali aku mendengar kabar tentang terbongkarnya penjara lamuri. Segera aku melaporkan hal itu kepada ibu. Mendengar kabar itu, ibu kelihatan agak terhibur semenjak kabar berita tentang peralihan kekuasaan menggoncangkan bumi Kerajaan Sriwijaya. Alangkah bersyukurnya ibu, andaikata mendengar kabar pula bahwa aku bertemu dan berbicara pada hari terang tanah ini dengan tokoh yang membongkar penjara Lamuri.
Setelah berkata demikian, Diatri tertawa manis sekali. Pandang wajahnya berseri-seri, sehingga kedua matanya nampak cemerlang. Karena waktu itu matahari sudah mengintip di ufuk timur, kesan itu nampak jelas. Alangkah cantik dia. Tiba-tiba saja kelihatan agung, karena didukung oleh rambutnya yang berkibaran lembut dibuai angin laut. Dan memperoleh kesan demikian, hati Yudapati terpukul. Sebentar ia terlongong, lalu berdiri tegak dan membungkuk hormat.
- Hai! Apa artinya ini?
Diatri tak mengerti. Terus saja ia berdiri pula. Demikian juga Tara Jayawardani.
- Diatri! Tara! Semenjak kanak-kanak,aku dididik
ayah-nunda untuk menghormati orang yang mempunyai tujuan hidup. Karena orang demikian mempunyai makna hidup. Kalian berdua termasuk golongan insan itu. Kalian rela berkorban meninggalkan masa remajamu yang indah. Dengan pedang ditangan kiri dan golok di tangan kanan. kalian bersiaga melintasi lautan api yang bakal menghadang. Bahkan Tara yang tidak berkepandaian apapun, berani meninggalkan kediamannya. Untuk apa? Untuk menuntut dan membangunkan keadilan kembali yang berarti ikut serta memikirkan kesejahteraan hidup bersama. Itulah sebabnya. aku menghormati kalian berdua. Nah, terimalah hormatku lagi! - Jangan! Diatri dan Tara mencegah dengan berbareng.
- Tak berani aku menerima hormatmu.
- Mengapa?
- Kalau engkau pandai menghormati orang yang mempunyai tujuan hidup, tentunya engkau memiliki pula. ujar Diatri.
- Apakah engkau berkeberatan menerangkan tujuan hidupmu kepada kami berdua? Sekiranya tidak memiliki tujuan hidup, tentunya engkau tidak akan berkelana di bumi Suwarnadwipa.
Mendengar ujar Diatri, Yudapati menghela nafas. Pelahan-lahan ia menjatuhkan diri dan duduk di tempatnya semula. Diatri dan Tarapun ikut pula duduk mendampingi. Mereka menatap wajah Yudapati yang berberewok tipis. Sebenarnya, Yudapati tidak termasuk orang yang berwajah cakap. Namun kesan wajahnya memancarkan keagungan, kewibawaan, keangkeran dan kekerasan hati yang tidak mudah takluk terhadap rintangan apapun bentuknya.
*****
MENGGALANG KEKUATAN
LAMA SEKALI, Yudapati berdiam diri. Pandang matanya menjangkau di kejauhan dengan berkilat-kilat. Kedua dara itu tidak mau mengganggunya. Bahkan mereka bersikap seolah-olah takut menarik nafas. Itulah sikap unggulnya seorang puteri. Dia memiliki kesabaran yang melebihi pembawaan seorang laki-laki. Dan sikap sabar mereka berdua membawa hasil. Yudapati mulai mengalihkan pandang. Kemudian berkata dengan wajah yang menyembunyikan rasa malu:
- Sebenarnya diriku tak ubah dengan sebuah boneka yang tidak berjiwa. Sebab aku hanya merupakan seorang bawahan yang tunduk pada perintah atasan saja. Sama sekali aku tidak mempunyai pegangan, selain hanya berkewajiban melaksanakan perintah atasan sebaik mungkin. Kalian tahu, sebenarnya aku seorang perwira rendahan. Secara kebetulan aku dipilih untuk mengiringkan panglimaku yang bernama Jagadpati. Yang seorang lagi
adalah Rekyan Kadung. Aku membongkar penjara dengan tujuan untuk menyelamatkan salah seorang pembesar kami. Dialah Yang Mulia Duta lembu Seta. Semenjak itu aku terperosok dalam suatu masalah yang tak kumengerti sendiri. Apalagi setelah Yang Mulia meninggalkan kami.
- Meninggalkan kami bagaimana? Diatri dan Tara menegas dengan berbareng.
- Beliau melakukan bunuh diri dan meninggalkan kesan dan pesan yang membuat diriku terlibat di dalamnya. Pesan yang harus kulakukan kini. agar aku mempersembahkan Lambang Dapunta Hyang kepada yang berhak menerima. Menurut pesannya, aku harus mencari ayah Tara. Setelah bertemu aku akan mempersembahkan lambang tersebut kepada beliau. Tetapi perkembangan-perkembangan selanjutnya. membuat aku tidak boleh dengan begitu saja menyerahkannya untuk kemudian segera pulang ke kampung halaman. Dan hal itu bertambah jadi ruwet setelah muncul masalah kotak pusaka yang hilang dari tangan Yang Mulia Lembu Seta. Ditambah lagi dengan munculnya cerita-cerita tentang peta harta kerajaan. Mengapa peta harta kerajaan itu tiba-tiba berada di tangan orang banyak? Peristiwa itu memaksa aku untuk berpikir cermat dan waspada. Sebab bila aku salah pilih. negeri Sriwijaya akan jadi kacau. Dan sebentar atau lama akan mengancam Kerajaan Tarumanegara pula. Itulah sebabnya aku mengambil jalan begini. Pertama: untuk sementara tidak boleh Lambang Dapunta Hyang kupersembahkan kepada Pangeran Sanggrama Jayawardana. Sebab justru akan membuat keluarga beliau terancam punah. Tidak hanya keluarganya saja, tetapi negeri ini pula. Bukankah raja yang memerintah sekarang. dapat dengan mudah merampasnva? Kedua: aku akan berusaha sekuat-kuatku
untuk menemukan kotak pusaka kembali yang menyimpan peta harta kerajaan yang aseli. ketiga: Pangeran Sanggrama Jayawardana harus didukung oleh suatu kekuatan yang nyata. Hal itu. sudah terlaksana untuk yang pertama kalinya. Ialah. menaklukkan kaum Arnawa dan kutaruh di bawah kekuasaan Tara. Dengan modal ini, aku akan maju sedikit demi sedikit. Kudengar banyak macam kawanan berandal yang hidup menguasai kehidupan rakyat di wilayah-wilayah tertentu. Bila semuanya itu dapat kupersatukan menjadi suatu kekuatan yang nyata, bukankah Tara akan berhasil memulihkan kekuasaan ayahnya ke tempat semula? Menurut pendapatku hanya beliaulah yang berhak menduduki tahta, manakala Sri Baginda Dharmajaya benar benar telah terbunuh.

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Bagus! -seru Tara setengah bersorak.
- Kalau begitu. marilah kita mulai.
- Sabar dahulu! Sebab tak dapat aku mewujudkan hal itu dengan terang-terangan.
- Mengapa?
Tara heran.
- Tak beda dengan Balada. kedudukanku sebagai orang asing pula. Adik harus ingat, bahwa aku seorang perwira negeri Tarumanegara. Kalau hal itu sampai tersiar di luaran, kalianpun dapat dituduh menggunakan kekuatan dari luar. Akupun akan dipersalahkan rajaku. karena berani mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Dengan demikian, aku harus bekerja di belakang layar. Itulah sebabnya. engkau yang harus menjadi pemimpin. Syukur bila Diatri berkenan pula. Sebab Diatripun kedudukannya tidak beda dengan Tara. Kalian berdua adalah cucu Sri Baginda. "
Tara memanggut-manggut. Sekarang jadi jelas baginya, apa sebab dirinya selalu diunggul-unggulkan Yudapati di depan kaum Arnawa. Alihkan. demikian alasannya.
Tetapi merasa diri tidak becus, rasanya semua rencana itu akan kandas di tengah jalan, manakala tidak didampingi Yudapati. Tiba-tiba terdengar suara Diatri:
- Kakak Yudapati! Andaikata semuanya akan berhasil kita capai. engkau sendiri akan ke mana? - Tentu saja aku akan pulang kampung. Beradaku di sini kelak akan menjadi duri yang merugikan perjuanganmu. -sahut Yudapati dengan suara sungguh-sungguh.
Diani tidak bertanya lagi. Wajahnya berubah sedetik. Karena begitu cepatnya. Yudapati tak dapat menangkap kesan. Sebenarnya perubahan wajahnya itu terjadi, akibat getaran hatinya.
- Diatri! kata Yudapati lagi.
- sebenarnya aku sudah mewarisi kepandaian kakak-seperguruan Punta Dewakarma. Meskipun belum tentu menang melawan Punta Dewakarma, kukira diapun tidak mudah mengalahkanku. Itulah sebabnya, agar hal itu tidak terlihat dengan
jelas, pada setiap pertempuran aku akan menggunakan jurus-jurus pedangku saja. Akupun mengenal sedikit ilmu golok. Pada suatu kesempatan, perlu kita berlatih bersama.
Diatri mengangguk. Dan sampai disini. masing-masing sudah memperoleh pengertian yang memuaskan. Yudapati kini sudah kenal siapa Diatri sebenarnya. Juga riwayat hidup Tara. Sebaliknya, mereka berduapun tahu pula siapa Yudapati dan apa tujuannya berkelana di pulau Suwarnadwipa.
Sementara itu, pagi hari benar-benar sudah tiba. Alam jadi cerah menyegarkan perasaan hati. Tatkala mereka meruntuhkan pandang ke permukaan air, perahu ternyata tidak bergerak. Seperti saling berjanji, mereka mendongakkan kepala. Tiada lagi sehelai layar-pun yang dipasang. Entah semenjak kapan. mereka tidak tahu.
Mengapa awak perahu menurunkan layar dengan tidak sepengetahuan mereka?
Apakah hendak berontak?
- Tara! Coba panggil kepala pengawal dan juru mudi kemari. kata Yudapati menyarankan.
Tara Jayawardani kini sudah menyadari apa kedudukannya. Segera ia memanggil kepala pengawal dan juru mudi agar datang menghadap. Kedua orang datang bergegas. Menilik sikapnya. tiada tanda-tanda akan melawan. Apalagi mempunyai niat hendak berontak.
- Mengapa kalian biarkan perahu kita tidak berlaju lagi?
Tara minta keterangan. '
Kedua orang itu saling pandang. Kemudian berkatalah juru mudi:
- Tuanku puteri, kaum Arnawa terbagi menjadi empat golongan. Bagian Barat. Timur. Selatan dan Utara. Kami termasuk bagian Barat. Dahulu berada di bawah pimpinan Barabas. Yang bagian Selatan dipimpin oleh Aditya Putera. Bagian Utara: Girinda. Dan bagian Timur: Sabawa. -.
- Bukankah bagian selatan. dipimpin oleh Palata?
Yudapati menyela.
-Benar, tetapi itu dahulu.
- Itu dahulu bagaimana?
Tara menegas.
- Dahulu pernah terjadi suatu perundingan. kepala pengawal melanjutkan keterangan juru mudi.
- Seluruh kaum Arnawa setuju, agar kaum Arnawa membuat suatu perserikatan baru yang akan dipimpin oleh seorang Kepala Perserikatan. Dan yang terpilih adalah tuanku Aditya Putera. Palata tidak setuju. Terjadilah suatu bentrokan mengadu senjata: Palata kalah, karena dikerubut ketiga pimpinan lainnya. Lalu hidup menyendiri. Selanjutnya
barangkali tuanku pernah mendengar kabar betapa tingkah laku dan sepak-terjangnya. Dia . . . dia. . . - Ya. aku tahu.
Yudapati menungkas.
- Terima kasih. kepala pengawal membungkuk hormat. Sebab ia merasa segan hendak -mengabarkan sepak-terjang Palata yang gemar menculik gadis-gadis cantik dihadapan Diatri dan Tara. Meneruskan:
- Meskipun sudah berkenan tunduk kepada pimpinan tuanku Aditya Putera, bukan berarti bahwa pemimpin masing-masing wilayah kehilangan kekuasaannya. Masing-masing menghormati batas wilayah yang sudah ditentukan. Barangsiapa yang melanggar akan diajukan di depan sidang pengadilan. Itulah sebabnya kami tidak berani memasang layar lagi. karena di depan kita adalah wilayah tuanku Aditya Putera. Mohon maaf sebesar-besarnya. Akan tetapi karena kaum kita sekarang sudah berada dibawah pimpinan tuanku puteri, selanjutnya kami hanya menunggu perintah.
Tara .Jayawardani berpaling kepada Yudapati untuk minta pertimbangan. Yudapati berpikir sejenak. Lalu berkata:
- Bagaimana menurut pendapatmu?
- Kabarnya, dua tiga hari lagi, mereka akan datang berkumpul di markas tuanku Aditya Putera untuk merundingkan suatu pertikaian. Apa yang dipertengkarkan. kami tidak tahu.
Mendengar keterangan kepala pengawal. Yudapati merasa memperoleh ilham. Katanya memerintah:
- Baiklah. tolong carikan tempat berlabuh yang aman. Kami akan mendarat. Sampaikan kabar kepada Birawan bahwa kami akan datang menghadiri pertemuan itu. Siapa tahu mungkin mereka sedang mempersoalkan masalah kita. Bahasa tolong carikan adalah bahasa yang terlalu indah bagi laskar Amawa. Kepala pengawal itu terlongong sejenak. Lalu dengan pandang berseri-seri ia membawa juru mudi mengundurkan diri.
- Benar-benarkah kakak hendak menghadiri pertemuan mereka?
Tara menegas kepada Yudapati.
- Benar. Inilah yang dikatakan orang. ibarat berlayar mendapat angin. Padahal kita benar-benar sedang berlayar.
Yudapati tertawa.
Perahu dengan cepat menepi mencapai pantai yang terlindung. Diluar dugaan, kepala pengawal dan dua orang juru mudinya datang menghadap mempersembahkan sebuah niru berisikan tiga bungkus kantong tersulam rapih. Kata kepala pengawal mewakili kedua temannya:
- Kami diperintahkan tuanku Birawan untuk mempersembahkan tiga kantong untuk bekal perjalanan tuanku bertiga. - Apa isinya?
Tara minta keterangan.
- Tak ada seorangpun di antara kami yang berani meniliknya. ujar kepala pengawal.
Diatri mengedipkan matanya kepada Tara yang segera mengambil ketiga kantung itu. Yang sebuah untuk Diatri. yang lain untuk Yudapati. Sedang ia sendiri menyimpan kantung yang ketiga.
- Baiklah, kami akan segera mendarat. Laporkan kepada paman Birawan, bahwa kami sampai ke tujuan dengan selamat. -kata Tara. '
Yudapati mendahului mendarat, diikuti Diatri dan Tara. Mereka menunggu sampai perahu meninggalkan tempatnya. Kepala pengawal dan sekalian laskarnya berdiri tegak dl tepi geladak. Lalu berseru dengan berbareng:
- Selamat jalan! Yudapati bertiga melambaikan tangannya dan lambat
tetapi pasti, perahu itu kembali berlayar makin menjauh. Baik Tara maupun Yudapati melepaskan nafas lega. Sedang diam-diam Diatri berkata di dalam hati:
- Sungguh bijaksana tindakan kakak Yudapati. Secara tidak langsung, ia mengajar kaum Arnawa tahu menghormati hukum.
- Kakak Yudapati. bagaimana kita dapat menghadiri pertemuan itu? Kita tidak memiliki surat undangan. katanya.
- Benar. Inilah yang kupikirkan juga semenjak tadi. sahut Yudapati.
- Baiklah untuk sementara kita mencari sebuah rumah makan dahulu. Siapa tahu kita akan mendapat keterangan lebih jelas lagi. Biasanya rumah makan banyak dikunjungi berbagai kalangan.
Mereka berjalan tiga jam lagi sebelum tiba di sebuah kota yang cukup ramai. Di kota itu perdagangan maju pula. Selain terdapat kedai-kedai makanan dan sebuah rumah makan yang bersih, terdapat pula pasar hewan. Segera mereka memilih tiga ekor kuda yang paling bagus, kokoh, kuat dan tegar. Lalu dengan berkuda mereka singgah di sebuah rumah makan yang sudah penuh sesak. Beberapa pelayan sibuk melayani tetamunya yang tak kunjung habis. Serombongan berangkat dan serombongan datang memperebutkan tempat duduknya. Rata-rata mereka mengenakan pakaian seragamnya masing-masing.
- Niscaya mereka termasuk kaum Arnawa dari tiga penjuru. -bisik Yudapati.
- Lalu kita termasuk golongan yang mana?
Tara bertanya dengan berbisik pula.
- Tentu saja termasuk golonganmu. ujar Yudapati dengan tersenyum lebar.
- Dengan pakaian begini?
- Kalau begitu, kita perlu mengenakan pakaian seragam dahulu. - Lalu di mana kita akan mengenakannya?
- Kita cari sebuah penginapan. -.
Dengan keputusan itu, mereka mencari pakaian seragam laki-laki dan penginapan. Pakaian seragam dapat dibelinya dengan mudah, Tetapi di kota itu, ternyata tiada rumah penginapan Sebuahpun. Terpaksalah mereka melarikan kudanya agak ke luar kota. Di sana terdapat banyak belukar lebat. Dan di belakang belukar. mereka menanggalkan pakaiannya dan kemudian mengenakan pakaian seragamnya.
Di antara mereka bertiga, tentu saja Yudapati yang paling leluasa. Dengan cepat pula, ia sudah mengenakan pakaian seragamnya. Tatkala memeriksa kantung pemberian Birawan, tiba-tiba terlihatlah sebuah lencana kaumnya. Dan melihat lencana itu, hatinya lega luar biasa. Sekarang ia tidak usah susah-susah mencari undangan.
Bukankah dengan lencana itu, ia dapat mencampurkan diri di antara para tetamu?
Selagi berpikir demikian terdengar suara Diatri dan Tara hampir berbareng:
- Kakak Yudapati! Lihat, aku menemukan lencana.
Rupanya, merekapun memeriksa kantungnya pula. Dan begitu saling bertemu, masing-masing memperlihatkan lencana di tangannya. Mereka saling pandang, lalu tertawa dengan berbareng.
- Birawan ternyata benar-benar mempunyai penglihatan jauh. Dia sudah dapat menebak tujuan perjalanan kita. - ujar Tara. .
- Ya benar. Memang dialah satu-satunya yang mempunyai pikiran cermat dan berpandangan jauh. sahut Yudapati.
-Bagaimana pendapatmu, Diatri?
Diatri hanya tersenyum saja. Sama sekali ia tidak berkata sepatah katapun. Sewaktu berkenan membuka suaranya, ia mengalihkan pembicaraan:
- Kita kmbali ke rumah makan. Aku percaya niscaya kita akan bisa ikut mendengarkan percakapan mereka.
Syukur, pada saat mereka bertiga tiba di ruang rumah makan, serombongan tetamu-sedang meninggalkan tempatnya. Terus saja Tara berkata kepada seorang pelayan yang sedang membersihkan meja:
- Tempat ini untuk kami bertiga.
- Tetapi tuan muda, meja ini cukup untuk enam orang. -sahut pelayan itu.
- Baik. Hitung saja kami enam orang.
Pelayan itu tercengang. Menegas:
- Maksud tuan muda?
- Sediakan makanan dan minuman untuk enam orang! Pendek kata, kami tidak mau diganggu.
- Baik. baik.
- Mengapa tidak cepat-cepat pergi? Apakah engkau takut tidak kami bayar penuh? bentak Tara.
Dia teringat kepada pengalamannya dahulu tatkala hampir saja tidak dapat membayar sehingga menjadi bahan tertawaan tetamu. Karena itu, terus saja ia mengeluarkan sekeping uang emas dan dilemparkan di atas meja.
- Cukup? - Ah, cukup. cukup. pelayan itu lantas saja berubah sikap.
- Itu boleh kau kantongi saja. Untuk harga makanan dan minuman, akan kubayar lagi.
Menyaksikan sikap royal tetamunya, pelayan itu habis rasa curiganya. Dengan membungkuk-bungkuk rendah. ia meninggalkan meja itu dan memesan enam piring nasi dengan lauk pauknya. Lalu kembali lagi dengan sikap hormat:
- Sudah empat hari ini. kami kebanjiran tetamu. Hampir-hampir saja kami tidak sanggup melayani. Semua
persediaan makanan kami.nyaris ludes.
- Mengapa? Yudapati menegas.
- Tetamu-tetamu seperti tuan. - sahut pelayan itu seraya menunjuk lencana yang terpasang di dadanya.
- Mereka berkasak-kusuk dan saling menegur dengan kata-kata: habis siang berganti malam. Entah apa maksudnya.
Yudapati bergembira mendengar keterangan itu. Dengan demikian, ia sudah mengenal kata-kata sandi mereka. Mereka bertigapun bersikap biasa-biasa saja, sehingga tidak menarik perhatian orang. Hanya Tara yang sudah terlanjur menjadi seorang pemuda yang royal, harus tetap mempertahankan sikapnya itu. Tetapi karena dia tidak dikenal orang. tetamu tetamu yang datang tidak mengacuhkan.
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata agak nyaring.
( BERSAMBUNG JILID 6 )
******
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 6
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
(https://m.facebook.com/gunawan.aj.16)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
JALAN SIMPANG DI ATAS BUKIT
Jilid 6
- HAI kalian sudah faham kata-kata sandinya. bukan? Nah, karena pertemuan itu terjadi nanti malam, kita masih mempunyai waktu untuk mencari iseng.
Kata-katanya disambut dengan suara bergegaran oleh teman-temannya. Tara yang tidak mengerti istilah iseng, bertanya kepada Diatri minta keterangan:
- Iseng. Apakah termasuk kata-kata sandi juga? Diatri melototinya. Berbisik:
- Kalau tidak faham lebih baik diam. Yang jelas, bukan termasuk kata-kata sandi.
Yudapati tertawa lebar, tetapi ia tidak menyambung. Melihat Tara kurang puas, ia berkata menghibur:
- Iseng artinya kambing. Mencari iseng, artinya mencari kambing.
- Mencari kambing? Buat apa?
- Untuk disembelih.
Yudapati menjawab dengan tertawa.
Tara berpikir sejenak. Lalu menebak:
- Ah, tahu aku. Barangkali mereka akan membakar kambing itu di tengah jalan. Kalau begitu, pejalanan ini masih jauh. '
Tara belum tahu, bahwa yang dimaksudkan dengan istilah iseng adalah mencari hiburan. Sebaliknya,Diatri yang lebih dewasa dan lebih banyak berpengalaman merah padam wajahnya.
- Keterlaluan. pikirnya.
- Masakan iseng saja tidak tahu artinya.
Tara memang seorang gadis yang benar-benar masih hijau. Melihat Yudapati dan Diatri berdiam diri saja, ia
mengira tebakannya benar. Sekarang hatinya puas dan segera menikmati makanan dan minuman yang disediakan dengan bernafsu.
Setelah semuanya terbayar lunas seperti yang dijanjikan mereka melanjutkan perjalanannya dengan berkuda. Mereka tidak perlu tergesa-gesa, agaknya rapat itu akan diselenggarakan di atas sebuah bukit yang nampak tegak berdiri tak jauh di depannya. Mereka kemudian mengambil jalan simpang dengan menembus petak hutan. Di bawah kerimbunan petak hutan itu, mereka beristirahat untuk melepaskan lelah berbareng menghimpun tenaga.
Tak terasa siang sudah berganti malam. Bintang-bintang bergetar lembut di angkasa. Mereka memutuskan hendak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja, setelah tiba di kaki bukit. Tidak lama kemudian,nampaklah tiga batang anak panah berapi meluncur di udara. Orang-orang yang sedang berjalan mendaki bukit, buru buru mengarah ke barat laut.
- Rupanya panah tadi adalah penunjuk jalan. Sungguh rapih tata-kerja mereka. Pantaslah tentara negeri tidak dapat berbuat banyak terhadap mereka. ujar Yudapati memuji.
- Lalu apa rencanamu? Diatri minta keterangan.
- Untuk sementara kita harus pandai mencampurkan diri dengan salah satu golongan mereka.
Yudapati tidak menunggu pendapat Diatri. Ia mendahului mereka berdua membaurkan diri dengan serombongan orang. Tiba-tiba orang yang berjalan paling belakang menegurnya:
- Hobis siang!
- Berganti malam. sahut Yudapati.
Selain sudah berpengalaman, Yudapati seorang perwira. Tentang katakata sandi demikian tidak merupakan suatu hal yang asing
baginya.
- Mari kita melahui jalan sebelah barat! orang itu mengajaknya.
- Mari! Yudapati menyahut dengan bersemangat.
Mereka bertiga kemudian berjalan berjajar. Di dalam hati mereka girang. Kalau saja tadi mereka tidak mendengar bual si pelayan,tentunya akan mendapat kesukaran. Mereka tidak takut menghadapi ancaman bahaya, namun kalau sampai bentrok sebelum tiba di tempat tujuan akan berekor panjang.
Markas perserikatan kaum Arnawa ternyata luas sekali. Ruang pendapanya kira-kira berukuran empat kali ruang pendapa kaum Arnawa bagian barat yang digempur runtuh Yudapati. Sekalian tetamunya ditampung menjadi satu. Tidak dipisah-pisahkan untuk memperlihatkan bahwa mereka hidup bersatu dan senasib. Mereka dibiarkan duduk bercampur-baur. Dengan demikian, mereka mempunyai kesan tiada suatu masalah yang perlu dipertengkarkan. Andaikata tetap terjadi pertengkaran hanya akan terjadi dikalangan atas.Sedangkan anak-buah masing-masing tidak akan segera dapat membantu manakala berlanjut dengan suatu keributan.
Karena mereka terpaksa saling berkenalan, maka ruang itu jadi berisik tak ubah suara berisik sebuah pasar besar di pagi hari. Ada yang segera jadi akrab, ada yang saling tegur. dan ada pula yang tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang dibicarakan sehingga menimbulkan suara tertawa demikian.
Tak lama kemudian enam orang datang dengan menggotong sebuah meja panjang. Lalu tiga orang lagi datang dengan membawa sebuah meja bundar. Seorang yang bertubuh besar, berberewok tebal bermuka kemerah merahan dengan pandang mata yang tajam berkilat, berdiri tegak di tengah ruangan.
- Nyalakan api! terdengar suara melengking lantang.
Dari delapan penjuru angin, beberapa orang datang menyulut obor. Seketika itu juga, ruang pertemuan bertambah menjadi terang benderang bagaikan siang hari. Dan orang yang berkesan angker tadi, menjelajahkan pandangnya. Berkata dengan suara menggeledek:
- Aku bemama Bonggol Yaksa. Bonggol artinya umbi. Yaksa berarti raksasa. Jadi. aku ini adalah umbi raksasa. - Horeeeee . . . hadirin menyambut dengan sorak geli.
Di antara mereka ada yang berseru lantang:
- Nama bagus! Nama bagus! - Aku adalah pembantu ketua kita tuanku Aditya Putera.
Bonggol Yaksa melanjutkan. Suaranya yang bergemuruh menindas suara sorak sorai tetamunya.
- Saudara-saudaraku, atas nama tuanku Aditya Putera. perkenankan aku mengucapkan terima kasih atas kedatangan kalian. Atas kedatangan saudara-saudaraku yang datang dari jauh, atas itu pula aku . . .
- Hai! Bicaralah yang lain! Jangan hanya atas atas atas saja . . - terdengar suara menegor.
Agaknya orang itu cepat saja jadi sebal bila mendengar orang berbicara berkepanjangan.
Ditegor demikian Bonggol Yaksa bisa membawa diri. Ia tidak marah atau merasa tersinggung. Bahkan ia membungkuk hormat ke arah datangnya suara. Lalu mulai berkata lagi:
- Tadinya, kaum kita terpecah belah menjadi empat bagian. Masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan. Seringkali timbul perselisihan tentang perbatasan. Tetapi setelah kita berserikat dan berkat kesaktian pemimpin kita, kita bisa hidup damai, tenteram dan nyaman. Banyak hartawan-hartawan yang datang minta perlindungan kita.Bahkan pembesar pembesar negara yang .... menggaruk kekayaan negara tidak segan-segan datang berkunjung untuk membagi rejeki. Dengan begitu baik kaum hartawan maupun para pembesar negeri sudi membayar upeti kepada kita. Ini semua berkat keangkeran nama kita semua. - Horeeee . . . hidup kaum Arnawa! sorak-sorai menyambut dengan gegap gempita.
- Bagaimana dengan tentara negeri?
Bongol Yaksa berkata lagi.
- Apalagi pada saat ini, negeri tengah kacau balau. Tentara negeri tidak mempunyai kesempatan untuk unjuk gigi. Taruhkata mereka berani berbuat begitu, akan kita hajar sampai jera.
Dari empat penjuru kembali lagi terdengar suara sorak gemuruh. Dan menyaksikan hal itu, Yudapati berkata di dalam hati:
- Mereka mempunyai semangat tempur yang tinggi dan bersatu-padu untuk mempertahankan hak hidupnya. Kalau saja mereka mau tunduk di bawah pimpinan Tara atau Diatri, hem . . . Raja Dharmaputera harus berpikir empat kali dahulu sebelum bertindak . .
- Untuk sementara,sekian dahulu. kata Bonggol Yaksa dengan sedikit menundukkan kepalanya.
- Sekarang, silakah saudara saudara bersantap seadanya. Mohon maaf, bila terdapat kekurangan dalam pelayanan kami. Sebentar lagi tuanku Aditya Putera akan hadir. Pada saat itu, pembicaraan yang sungguh-sungguh akan dimulai.
Bonggol Yaksa segera mengundurkan diri dari hadapan hadirin. Sebagai gantinya, muncullah ratusan orang berpakaian putih membawa niru penuh makanan dan minuman. Seketika itu juga, bau sedap menusuk setiap pengunjung. Para tetamunya ternyata tidak segan-segan lagi. Mereka makan minum dengan santai dan gembira. Nampak sekali betapa kokoh persatuan mereka.
- Kakak Yudapati! Kalau berewokmu tebal sedikit lagi. kesannya tentu tidak kalah daripada Bonggol Yaksa tadi. ujar Tara dengan berbisik.
Dan mendengar ujar Tara, Diatri tertawa dengan menutup mulutnya rapat rapat. Kalau tidak, orang yang duduk di sebelahnya atau di belakangnya akan segera mengetahui dirinya seorang perempuan.
- Benar. sahut Yudapati.
- Dia gagah dan angker sekali. Tentunya Aditya Putera lebih hebat lagi. Selang beberapa saat lamanya, terdengarlah suara genderang dipukul bertalu. Dari jauh muncullah seseorang membawa bungkusan segi empat berselimutkan kain kuning muda. Terdengar suara lantang di belakangnya:
- Inilah Ketua Perserikatan kita, tuanku Aditya Putera. Yudapati melongokkan kepalanya. Begitu melihat perawakan tubuh Aditya Putera, ia kecewa bukan main. Sebab tidak cocok sama sekali dengan yang dibayangkan. Aditya Putera ternyata berperawakan pendek kecil. Kulitnya kuning keputih-putihan. Roman wajahnya seperti penjaga toko. Sama sekali tiada wibawanya.
Mengapa orang demikian justru yang terpilih menjadi Ketua Perserikatan?
Apakah dia demikian saktinya sehingga . . . atau bahkan sebaliknya tidak berkepandaian sama sekali agar tidak lebih daripada boneka permainan para ketua cabang lainnya?
Tetapi setelah Yudapati mendengar suaranya kesannya jadi berubah. Suara Aditya Putera ternyata sedap untuk didengarkan. Setiap patah katanya terdengar jelas. Hal itu menandakan, bahwa ia memiliki himpunan tenaga sakti yang istimewa. Mula-mula ia meletakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja panjang dengan pelahan lahan. Kedua tangannya diangkat tinggi sebagai tanda
hormatnya kepada hadirin. Lalu berkata:
- Saudara-saudaraku sekalian! Apapun kata orang, kita ini temasuk golongan manusia kasar. Karena itu, tidak usah dan tidak perlu kita berbasa-basi seperti tatacara orang istana. Langsung saja, aku akan membicarakan masalahnya. Pada waktu ini terbit suatu pertikaian atau kesalah-fahaman antara rekan Girinda dan Sabawa masing masing adalah ketua cabang kita. Sebab musababnya mereka berdua saling memperebutkan sebuah benda mustika yang kini kuletakkan di depanku ini. Bila pertikaian ini kita biarkan berlarut,lambat-laun akan menjadi suatu pertikaian berdarah. Jika hal itu sampai terjadi, akan menyusahkan kita semua. Aku bukan peramal atau pembual besar. akan tetapi aku yakin akan membuat perserikatan kaum Arnawa hancur berantakan. Kalau sampai berantakan, habislah sudah riwayat kita.
Kata-katanya yang diucapkan dengan jelas dan mantap itu, membuat semua hadirin terpaku di tempatnya. Seketika itu juga, ruang pertemuan menjadi sunyi senyap. Berkatalah Aditya Putera lagi:
- Sengaja aku mengundang saudara-saudara sekalian untuk hadir dalam pertemuan ini dengan maksud agar ikut serta menyaksikan dan mencarikan jalan pemecahannya. Mari kita berdoa, agar mereka berdua bisa bersatu kembali. Dengan demikian, tentara negeri tidak menggunakan kesempatan untuk menghancur leburkan kita semua. Selanjutnya bagi mereka berdua, aku berharap agar berkenan saling mengalah dan mencari jalan damai. Pergunakanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya
- Benar kata-kata saudara ketua. -terdengar seorang berseru dengan nyaring.
Dan orang itu kemudian melompat ke dalam kalangan.
- Sekarang aku minta agar rekan Girinda dan rekan Sabawa sudi maju untuk menyampaikan alasan masing masing dan menuturkan peristiwanya dengan jelas. Dengan demikian, kita semua akan dapat ikut mempertimbangkan masalahnya. Orang itu memperkenalkan diri dengan nama: Gajayana salah seorang penasehat cabang Selatan alias temasuk salah seorang pembantu Aditya Putera. Dan usulnya dapat sambutan hangat dari hadirin sambung-menyambung. Dengan demikian,dalam ruang pertemuan itu terdengar berisik. Dan setelah mereda. masuklah seorang laki-laki ke dalam kalangan yang berjalan dengan langkah panjang. Ia membawa-bawa goloknya yang diselipkan pada pinggannya
Inilah macamnya Ketua cabang Timur. Perawakan orangnya gagah perkasa seperti Bhima dalam cerita Mahabrata. Tetapi wataknya agaknya berangasan. Mudah tersinggung dan mau menang sendiri. Yudapati jadi teringat kepada wakilnya yang bernama Sumbar yang dahulu ikut hadir atas undangan Tandun Raja Koneng di gunung Sibahubahu. Meskipun mengenakan jubah pendeta, wataknya mirip dengan ketuanya.
- Biarlah aku ditertawakan orang. Sabawa menyambung ucapannya dengan suara lantang sengit.
- Biarlah aku dikutuk orang. Biarlah aku dikatakan sebagai biang keladi yang merusak persekutuan. Biarlah bawahanku ikut mati musnah. Karena hidup berkepanjangan tiada gunanya daripada membiarkan diri dihina dan direndahkan orang.
- Girinda! Hayo keluar dari tempatmu. Hayo, maju kemari! Mari kita mengambil keputusan hidup atau mati di hadapan sahabat-sahabat kita! Sampai disini, Yudapati,Diatri, Tara dan sebagian besar hadirin belum begitu jelas duduk perkaranya. Tetapi pada saat itu, melompatlah seorang yang berperawakan
gemuk pendek ke dalam kalangan. Begitu kedua kakinya mendarat di atas lantai, terus saja ia memutar senjata rantainya yang berdering memekakkan telinga. Dengan satu gerakan ia menyerang Sabawa sambil membentak:
- Engkau menuduh aku menghinamu? Kapan? Apakah engkau mau menang sendiri, karena memiliki perawakan tubuh yang gagah perkasa? Siapa yang takut kepadamu, heh? Apakah karena mengandalkan sahabatmu Dewasrani?
Dialah Girinda Ketua cabang Utara. Dia termashur dan ditakuti lawan karena macam senjatanya yang istimewa. Selain berwujud rantai besi, bunyinya yang nyaring dapat menyesatkan pemusatan lawan.
Sabawa benar-benar seorang yang berwatak berangasan. Apalagi dia sedang mendongkol. Dengan gagah ia menangkis serangan Girinda dan ganti membalas. Goloknya berkelebat dengan memantulkan cahaya yang menyilaukan.
- Berhenti! Berhenti! seru Gajayana.
- Aku menyuruh kalian berdua untuk berbicara dan bukan untuk mengadu kepandaian! -Tetapi kedua ketua itu sedang sengit-sengitnya saling melabrak. Mereka tidak menghiraukan seruan Gajayana yang bermaksud baik. Gajayana jadi mendongkol. Dengan sekali tarik ia menghunus pedangnya dan melompat di antara mereka dengan melibatkan senjatanya .Dengan tenaganya yang sakti, ia dapat memacetkan gerakan senjata kedua ketua itu.
- Bagaimana? Kalian berhenti atau tetap mengotot? -bentak Gajayana.
- Jika berhenti, akan kutarik tenagaku. Jika tetap mau berkelahi, janganlah kalian menyesali diriku.
Baik Sabawa maupun Girinda merasa mati kutu. Mereka mencoba mengerahkan tenaga untuk membebaskan senjatanya masing-masing. Tetap saja mereka tidak berhasil. Tentu saja mereka merasa malu. Kedua-duanya adalah ketua cabang yang dihormati oleh sekalian bawahannya masing-masing.
Masakan akan membiarkan dirinya runtuh pamornya di depan para anggauta perserikatan yang tak terhitung lagi jumlahnya?
Daripada menanggung malu, lebih baik mati. Seperti berjanji mereka melepaskan senjatanya masing-masing. Lalu menyerang kembali dengan tangan kosong. Setelah baku hantam selintasan, mereka bergumul di atas lantai seperti kanak-kanak belajar berkelahi.
- Saudara-saudara, berhenti! teriak Gajayana dengan muka merah padam.
Belum lagi dengung suaranya hilang dari pendengaran, ia bahkan diserang mereka berdua. Ia jatuh terbanting. Oleh rasa sakit dan malu, ia membalas. Dengan demikian, yang bergumul kini bertambah seorang lagi.
Menyaksikan hal itu, Aditya Putera merah padam wajahnya. Tiba-tiba ia berteriak bagaikan guntur:
- Aku perintahkan kalian berhenti berkelahi. Dengarkan! Aku adalah ketua kalian!
Hebat perbawa suara Aditya Putera yang bertubuh pendek kecil itu. Suaranya menggaung sampai lama sekali dan membuat pendengaran pengang. Tak usah dikatakan lagi, betapa tinggi dan dahsyat tenaga himpunannya.
Ketiga orang yang sedang bergumul itu berdiri dengan serentak. Ribuan mata mengalihkan pandangnya kepada Aditya Putera. Ketua Perserikatan Kaum Arnawa. Selagi suasana jadi sunyi senyap, tiba-tiba muncullah seorang pendeta berambut panjang, menuding-nuding Girinda sambil membentak nyaring:
- Hai Girinda! Kau tadi menyebut nyebut namaku sebagai andalan Sabawa? Apakah arti kata-katamu itu,
- heh?
Orang yang mengenakan jubah pendeta itulah yang bernama Dewasrani yang disebut-sebut Girinda seolah olah menjadi andalan Sabawa. Dia temasuk salah seorang pendeta golongan Pasupata. Ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Barangkali hanya kalah seurat apabila dibandingkan dengan kepandaian Aditya Putera.
Girinda tidak mengacuhkannya. Ia hanya mendengus. Lalu menyahut:
- Kau tanyakan pada dirimu sendiri, apa sebab aku menyebut-nyebut namamu.
- Aku justru hendak minta keteranganmu! -bentak Dewasrani.
- Apakah engkau bermaksud ingin mencoba mengadu kepandaian denganku?
Suasana yang sudah nyaris tenang, menjadi kacau kembali. Ketua Perserikatan mengadakan perjamuan itu untuk mendamaikan suatu masalah. Justru pada saat hampir menguasai yang bersangkutan, Dewasrani malahan mengacau. Keruan saja. dari semua penjuru terdengar teriakan mencela perbuatannya. Namun Dewasrani tidak peduli. Tiba-tiba saja ia melesat sambil mengayunkan sebelah tangannya. Itulah serangan yang berbahaya sekali. Sebab Girinda sama sekali tidak berusaha untuk menangkis, karena patuh himbauan Ketua Perserikatan agar berhenti berkelahi. Hadirin yang menyaksikan serangan keji. memekik terkejut. Merekapun mengetahui bahwa kepandaian Dewasrani berada di atas kepandaian Girinda.
Girinda sendiri baru sadar tatkala melihat berkelebatnya tangan nyaris menghampiri kepalanya. Sekarang, andaikata berusaha akan mengelak atau menangkis sudah kasep. Maka tiada jalan lain, kecuali menunggu maut mencabut jiwanya dengan memejamkan kedua matanya. Pada saat dia menunggu jiwanya tercabut, Dewasrani memekik
kesakitan ia membuka matanya dan melihat kedua tangan Dewasrani turun dengan sendirinya dengan tubuh terhuyung mundur.
Mengapa?
Sabawa melihat juga peristiwa yang aneh itu. Segera ia undur memasang kuda-kuda untuk menghadapi segala kemungkinan. Sebab ia berada dipihak Dewasrani. Tentunya orang yang melumpuhkan kedua tangan sahabatnya itu akan menyerang dirinya
- Pendekar gagah dari mana yang sengaja mempermainkan aku? Dewasrani berteriak lantang sambil memperbaiki kedudukannya
Tetapi di dalam hati, ia heran berbareng terkejut. Teriaknya lagi:
- Seorang pendekar sejati niscaya tidak akan menyerang orang dengan bersembunyi di balik layar Silakan maju memperkenalkan diri.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tiada seorangpun yang menanggapi seruannya. Maka ia mengulangi sampai tiga kali berturut-turut sambil menjelajahkan pandang matanya. Tetap saja tiada yang menanggapi sehingga ia menjadi penasaran.
Tetapi sebenarnya, siapakah yang mengulurkan tangan menolong Girinda. Sebenarnya Yudapati. Melihat serangan Dewasrani begitu keji selagi yang diserang sama sekali tidak bersiaga, tak dapat ia berpeluk tangan. Apapun alasannya. Girinda tidak boleh mati secara mengecewakan .Maka dengan himpunan tenaga sakti tingkat tujuh, ia menyelentikkan jarinya seperti kanak-kanak mengincar sasarannya sewaktu bermain gundu. Hakekatnya tiada bedanya, walaupun ia tidak menggunakan benda penimpuk. Seketika itu juga melesatlah suatu arus tenaga sakti yang menghantam kedua lengan Dewasrani berbareng mendorong mundur sehingga pendekar andalan Sabawa terhuyung-huyung. Ia tidak segera menyahut teriakan Dewasrani karena diam-diam ia mengagumi keperkasaan Dewasrani. Ternyata dia tidak roboh oleh selentikan jari
jarinya. Pantas dia menjadi andalan Sabawa.
Sekarang, setelah sesuatu jadi hening, mulailah terdengar suara berisik diantara hadirin. Masing-masing mengemukakan pendapatnya .Akhirnya menjadi dua golongan kesatuan. Yang memihak Dewasrani dan yang membela Girinda. Golongan yang memihak Dewasrani jadi ikut ikutan meneriakkan seruan menantang terhadap penyerangnya yang tetap bersembunyi.
Aditya Putera mendongkol menyaksikan kekacauan itu. Dengan wajah merah padam, ia melompat tinggi di udara dan mendarat di atas meja. Lalu menghunus pedangnya sambil menantang:
- Siapa yang berlagak ingin berkelahi, hayo silakan merobohkan aku dahulu! Siapa yang ingin merampas kedudukanku, bunuhlah aku dahulu!
Suara yang disertai tenaga saktinya, besar daya perbawanya. Hadirin yang berisik jadi sirap. Keadaan ruang pertemuan menjadi senyap kembali. Tetapi tantangan itu sendiri sebenarnya mempunyai dua arah. Kecuali hendak menggempur kekacauan hadirin, juga ditujukan kepada penyerang gelap yang hampir merobohkan Dewasrani. Ia merasa, penyerangnya tentu ingin merampas kedudukannya dengan memamerkan kepandaiannya yang tinggi.
- Hm. Dewasrani mendengus. Dengusannya itupun mempunyai dua arah pula. Yang pertama kepada penyerangnya yang tidak berani menampakkan batang hidungnya dan ternyata tidak juga melanjutkan serangannya. Yang kedua kepada Ketua Perserikatan yang dinilainya hanya pandai mengumbar suara saja.
- Saudara Sabawa dan Girinda! - terdengar Aditya Putera berkata lagi.
- Kamu berdua sudah sering bertengkar, bertempur mengadu kepandaian. Selama itu tiada yang kalah dan yang menang. Karena itu, kini dengarkan
nasehatku. Cobalah lebih baik kamu berdua berdamai. Atau cobalah kita pecahkan persoalan kalian melalui pendekatan dan pembicaraan. Masing-masing boleh mengadukan pendapatnya. Meskipun keadilan sejati berada di tangan Hyang Widdhi Wisesa, tetapi cahaya pancarannya bersemayam di setiap hati manusia .Apalagi hati para pendekar yang gagah perkasa dan bersih. Di ruang ini berkumpullah para orang gagah yang dapat kita harapkan menyumbangkan pertimbangan hatinya yang adil. Nah, bagaimana?
Setelah Aditya Putera selesai berbicara majulah Gajayana ke depan. Katanya:
- Siapa di antara kalian berdua tidak menghormati
Ketua Perserikatan kita marilah bertempur melawan aku dahulu satu hari satu malam. !
Setelah berkata demikian, pedangnya yang sebentar tadi terpental dari tangannya sudah dipungutnya kembali. Kemudian dengan mengibaskan pedangnya, tubuhnya melesat mendampingi Aditya Putera yang berdiri di atas meja. Menyaksikan kegesitan dan kegagahannya, diam-diam hadirin memujinya di dalam hati. Memang tidak mudah seseorang dapat melesatkan badannya hanya bersandar kepada tenaga kibasan pedangnya. Sebenarnya, kepandaiannya sebanding dengan Dewasrani dan Bonggol Yaksa sehinga mereka sering disebut orang sebagai tiga serangkai dewa perkasa. Mereka bertiga itulah yang sebenarnya menguasai kaum Arnawa yang terbagi di empat penjuru.
- Baik, aku menghormati Ketua Perserikatan. akhirnya Girinda berkata.
- Sekarang tolong berikan petunjuk, siapa di antara kita berdua yang berbicara dahulu. - Bagus! ?
Gajayana menyambut keputusan Girinda. Dan pada saat itu,Dewasrani naik pula keatas meja mendampingi Ketua Perserikatan sambil berkata:
- Aku berada di pihak Ketua Perserikatan. - Bagus!
Aditya Putera berseru lega. Terus saja ia menyimpan pedangnya kembali yang segera diikuti Gajayana.
- Kalau begitu, silakan saudara Sabawa berbicara dahulu! Sabawa kemudian maju ke depan menghadapi meja seperti seorang pesakitan hendak diadili. Hanya saja ketiga hakimnya berdiri tegak di atas meja. Tidak seperti biasanya, duduk di atas kursi di belakang meja pengadilan.
- Usiaku barangkali lebih muda daripada umur saudara ketua, sahabatku Dewasrani dan Gajayana.
Sabawa mulai.
- Sekarang, perkenankan aku mohon pertimbangan hadirin agar mengadili masalah ini. Adapun perkaranya begini
- Hai, sebentar! Biarlah aku yang berbicara lebih dahulu. - potong Girinda sambil maju ke depan pula.
- Apa? bentak Sabawa yang berwatak berangasan.
- Sebab mustika itu akulah yang menemukan. Karena itu, akulah yang berhak berbicara dahulu.
Girinda membela diri.
Aditya Putera khawatir, keduanya akan berbaku hantam kembali. Segera ia menengahi. Katanya:
- Baiklah. Saudara Sabawa kuminta mengalah! Biarkan dia berbicara dahulu.
- Di waktu kita membentuk perserikatan, terdapat belasan tata-tertib yang diatur dengan fatsal-fatsal yang mengikat. Sekarang, ingin aku bertanya kepada saudara ketua, bagaimana bunyi fatsal sepuluh?
- Itulah larangan yang mengatur agar masing masing cabang tidak boleh bekerja dengan memasuki batas wilayah lainnya. -sahut Aditya Putera dengan lancar.
- Benar.
Girinda mengangguk. Kemudian meneruskan dengan menunjuk muka Sabawa:
- Tetapi binatang ini telah melanggar tata-tertib itu. Pada waktu itu kami sedang mengejar seorang bintara Bhayangkara dan berhasil merampas sebuah mustika yang dibawanya. Itulah mustikanya. -ia menunjuk kepada bungkusan segi empat yang dibungkus dengan kain kuning yang berada di atas meja.
Lalu meneruskan:
- Kuminta segenap hadirin memperhatikan bunyi kata-kataku tadi. Kami mengejar seorang bintara Bhayangkara dan berhasil merampas mustika yang dibawanya. Bhayangkara itu berada dalam wilayahku. Tentu saja kami bersyukur dan bergembira sekali. Kami mengadakan perjamuan untuk menghormati sekalian bawahanku yang ikut serta mengejar bintara itu. Tetapi selagi kami makan dan minum, datanglah Sabawa membawa laskarnya melintasi wilayahku dengan membawa senjata lengkap. Mereka datang dengan maksud hendak merampas mustika itu. Saudara-saudara sekalian, andaikata saudara seorang ketua cabang yang bernama Girinda, apakah saudara akan menyerahkan mustika itu kepadanya? Kukira, tidak! Itulah sebabnya pula, kami melawannya dan berhasil memukul mereka mundur. Kukira urusan akan selesai sampai disitu saja. Eh, diluar dugaan tiga hari kemudian mereka datang lagi dengan membawa laskar lebih banyak lagi. Mereka melakukan perampokan dan menyerang. Apakah aku harus berpeluk tangan saja, menghadapi serbuan demikian? Menuruti kata hati, ingin aku membalasnya menyerang dengan memasuki wilayahnya. Namun, masih dapat aku mengendalikan diri. Agar pertikaian itu tidak berlanjut menjadi pertumpahan darah, mustika itu kemudian kutitipkan kepada saudara Ketua Perserikatan agar mengadili peristiwa ini. Salahkah aku'! Sebaliknya. bukankah dia yang melanggar batas wilayah? - Benar. benar. benar! sambut sebagian besar hadirin.
- Nanti dulu! Aku belum berbicara. teriak Sabawa dengan suara bergemuruh.
- Saudara hadirin biarkan dia berbicara dahulu! teriak Gajayana.
Dan oleh teriakan itu, para hadirin membungkam. Suasana sidang pengadilan kembali senyap.
- Saudara ketua.
Sabawa mulai.
- Benar bunyi fatsal sepuluh tadi. Masing-masing cabang tidak boleh bekerja dengan melanggar batas wilayah. Tetapi aku mohon makna bunyi fatsal tersebut. - Bukankah sudah jelas?
Aditya Putera heran.
- Kaum Arnawa terbagi menjadi empat yang menduduki empat penjuru. Masing-masing telah setuju membagi batas wilayah. Kitapun sudah menyetujui pula, bahwa masing masing akan bekerja dalam batas wilayahnya masing-masing. Apapun alasannya, tidak boleh saling melanggar batas wilayah. Contohnya, andaikata kita sedang mengadakan pengejaran terhadap mangsa kita, tetap tidak boleh memasuki wilayah lain. Kita harus berhenti sampai di batas wilayah sendiri. Tidak perduli kita sudah berhasil menyergap mangsa itu atau gagal. Masakan saudara tidak faham dan memahaminya?
- Baik. sahut Sabawa.
Sekarang dengan pandang mata berapi-api, ia berpaling kepada Girinda.
- Girinda, sekarang jawablah pertanyaanku ini dengan jujur! Sewaktu engkau membawa beberapa orangmu mengejar bintara itu, akupun mengetahui pula. Segera aku mengumpulkan laskarku bersiap-siap untuk ikut mengejar pula. Tetapi aku hanya menunggu di luar batas wilayahmu. Benar atau tidak? - Benar. jawab Girinda dengan suara tegas.
- Bintara itu ternyata berhasil kau bunuh. Tetapi dia masih berkesempatan membuang mustika itu masuk ke dalam wilayahku. Barang yang jatuh dalam wilayahku itu Jadi milik siapa? Jawablah yang benar! - Jika demikian halnya. mustika itu menjadi milikmu. Sabawa bersikap tidak segera menerima jawaban Girinda. Ia memutarkan kepalanya kepada hadirin untuk minta kesaksian. Ujarnya:
- Saudara-saudara sekalian, apakah kalian menyetujui jawaban Girinda tadi? .?
Hadirin berkasak-kusuk. Kemudian terdengar seseorang berteriak nyaring:
- Benar!
- Bagus! -seru Sabawa nyaring pula.
- Girinda, apakah engkau masih berharap memperoleh mustika itu kembali?
- Hei, apa artinya ini? seseorang memotong pertanyaan Sabawa, sebelum Girinda sempat membuka mulutnya. .
- Begini. -.
Sabawa bersedia menerangkan.
- Tadi telah kukatakan, bahwa bintara itu masih berkesempatan melemparkan mustika yang dibawanya masuk ke dalam wilayahku. Rupanya dia tidak rela mustikanya terampas anak-buah Girinda.
- Tetapi kami yang membunuhnya. Tegasnya, dia mati terbunuh di dalam wilayahku. Artinya miliknya pada detik itu sudah terampas oleh kami. Hal itu akan lain peristiwanya, bila bintara itu melemparkan barangnya masuk ke dalam wilayahmu selagi masih hidup. Tetapi seluruh tubuhnya sudah kami hujani dengan senjata tajam. Pada saat nafasnya terbang, mustika itu terpental dari tangannya dan menggulir masuk ke dalam wilayahmu. Bukankah sebelum tiba di wilayahmu, dia sudah menghembuskan nafasnya? Mungkin terpaut beberapa detik mendahului, sebelum mustika itu berhenti menggulir di atas tanah wilayahmu.
- Barangkali benar kata-katamu. Tetapi kenyataanya, mustika itu masuk kedalam wilayahku dan berada di wilayahku. Apapun alasanmu mustika itu tetap menjadi milik kami. Tidakkah benar. saudara ketua?
- Sulit juga memutuskan masalah itu.
Aditya Putera terpaksa berpikir keras.
- Bintara itu sudah terbunuh mati di dalam wilayah Girinda. Tetapi miliknya terlempar masuk ke dalam wilayah Sabawa. Sudah selayaknya menjadi milik Sabawa. Akan tetapi sewaktu mustika itu menggulir masuk ke dalam wilayah Sabawa, bintara sudah mati terbunuh oleh anak buah Girinda. Dengan demikian, yang benar-benar berhasil merampas adalah pihak Girinda. Sabawa kedudukannya ibarat orang kejatuhan durian. Pohon durian yang sesungguhnya berdiri di dalam wilayah Girinda. Kalau masalahnya hanya durian saja, Girinda memang berhak menuntutnya. Tetapi kalau Sabawa berbalik mempermasalahkan, bahwa dia ikut membersihkan daun-daunnya yang runtuh mengotori wilayahnya, mendadak berubah menjadi sulit. Paling adil, bila dibagi sama rata.
Karena merasa belum memperoleh jalan keluarnya yang tepat, segera ia mengembalikan persoalannya kepada mereka berdua:
- Bagaimana menurut pendapat kalian?
Seluruh hadirin jadi ikut berpikir pula. Makin dipikirkan, makin terasa sulit. Lambat laun mereka menjadi heran sendiri. Anehnya, manakala dimintakan pertimbangan yang duduk di sebelahnya, pendapatnya jadi berbeda. Ringkasnya, masing-masing mempunyai pendapatnya sendiri, sehinggga sulit untuk memperoleh kesimpulan yang paling benar.
Dewasrani, Bonggol Yaksa, Gajayana dan para sesepuh lainnya. kemudian menyisihkan diri untuk mempertimbangkannya. Merekapun tidak memperoleh suatu kesepakatan. Akhirnya Dewasrani memberanikan diri untuk mengutarakan pendapatnya. Katanya:
- Baiklah marilah kita atur begini saja. Masalahnya memang sulit untuk dipecahkan. Nampaknya memang mudah. Tetapi setelah dipertimbangkan secara seksama malahan berbalik membingungkan diri kita sendiri. Terus terang saja aku tidak dapat memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Kalau begitu, kita pecahkan dengan cara adat istiadat kita turun-temurun. - Apa itu? para hadirin minta penjelasan
Mereka menduga. keputusan yang paling mudah adalah melalui kekerasan. Jadi mereka berdua akan diadu di depan hadirin sampai salah seorang ada yang kalah atau mati.
Tetapi bagaimana dengan anak buah mereka masing-masing?
Apakah mereka akan bersikap diam saja?
Tentunya masing masing akan menuntut bela.
Selagi mereka disibukkan oleh dugaan-dugaan demikian, berkatalah Dewasrani lagi:
- Girinda! Bagaimana kalau aku memutuskan mustika itu menjadi milik Sabawa?
Semua orang tahu, bahwa semenjak tadi ia memihak kepada Sabawa. Sebaliknya Girinda yang lebih dapat berpikir berada dalam kesulitan. Bila menolak. niscaya akan timbul pertumpahan darah. Pihaknya terpaksa harus mengangkat senjata. Akan tetapi, ia merasa dirinya tidak sanggup melawan Dewasrani yang berkepandaian tinggi. Sebaliknya bila mengalah, pamornya akan jatuh di depan umum. Maka dengan terpaksa ia menjawab:
- Aku menolak.
Diluar dugaan. Dewasrani bersikap sabar. Wajahnya sama sekali tidak berubah. Katanya menegas:
- Kau sebutkan syaratmu atau landasan alasanmu yang
kuat!
Aditya Putera jadi gelisah. Bila kedua belah pihak sampai bertempur perserikatan kaum Arnawa akan porak poranda. Hal itulah yang tidak dikehendakinya. Segera ia berkata keras: .
- Dengar dulu pendapatku! Bukankah aku ketua kalian? Kupikir kedua belah pihak sudah cukup bertengkar. Juga kita semua sudah ikut berpikir dengan susah payah. Cara pemecahannya ada dua jalan. Yang pertama, buanglah mustika itu yang menjadi pangkal perpecahan. Dengan begitu. kedua belah pihak berarti tidak berhak memiliki. Bagaimana? Setuju? '
Sabawa dan Girinda menjawab dengan berbareng:
- Tidak.
Suara penolakan mereka berdua, dibantu pula oleh sebagian besar hadirin. Mereka yang membantu menguatkan suara, tentunya anak-buahnya masing-masing pihak.
- Kalau begitu, kita tempuh jalan yang kedua. kata Aditya Putera.
- Mustika itu kita pecah menjadi dua bagian. Jelasnya, dibagi rata. Masing-masing mendapat separoh. Apakah kurang adil? Hadirin mulai berpikir kembali dan menanyakan pendapat yang duduk berdekatan dengannya. Disampingnya, di depannya atau yang berada di belakangnya. Mereka bertukar pikiran dan mendebatkannya. Akhirnya, usul Ketua perserikatan itulah yang merupakan jalan keluar satu-satunya. Terus saja mereka berteriak bersambung sambung:
- Setujuuuu . . .!
- Setuju?
Aditya Putera menegas.
- Setujuuuu . , .!
- Tidak ada yang menentang?
- Tidaaaaak . . .
- Bagus! Bagaimana menurut saudara Sabawa dan Girinda?
Aditya Putera mengalihkan pandangan.
Sabawa dan Girinda saling memandang. Menyaksikan sendiri, bahwa hadirin menyetujui usul Ketua Perserikatan, mereka membungkam mulut. Menyaksikan hal itu. Aditya Putera bersyukur dalam hati. Selagi demikian tiba-tiba Dewasrani turun dari atas meja dan berteriak nyaring:
- Aku tidak setuju. Berubahlah wajah Aditya Putera mendengar ucapan Dewasrani. Kekacauan sudah hampir dikuasainya. Tetapi ibarat api nyaris padam, dinyalakan kembali oleh Dewasrani.
- Apakah engkau bermaksud menjatuhkan namaku? -bentaknya.
- 0 tidak. Sama sekali, tidak. sahutnya.
Lalu tertawa melalui hidungnya.
Karena Dewasrani menyatakan tidak setuju, Sabawa yang bersahabat dengannya kemudian berteriak tidak setuju pula. Pernyataannya diikuti oleh sekalian anak-buahnya yang duduk di antara hadirin.
Hal itu mengacaukan hadirin yang sebentar tadi sudah menyetujui usul Ketua Perserikatan. Mereka jadi tegang sendiri. Sebab apabila jalan kedua itu ditolak, berarti harus menempuh jalan yang ketiga. Itulah mengangkat senjata dan bertempur sampai salah satu fihak tertumpas habis.
Mereka jadi gelisah. Ada yang kasak-kusuk. ada pula yang berdiam diri menunggu perkembangan selanjutnya. Sekonyong-konyong, nampaklah seorang yang mengenakan seragam baru membuka jalan untuk masuk ke dalam kalangan. Sambil tertawa pelahan, orang itu berteriak dengan suara tegas:
- Masih ada jalan lain. Itulah jalan ketiga.
Dialah Yudapati yang muncul di hadapan hadirin, setelah membisikkan sesuatu kepada Diatri dan Tara yang duduk mendampingi semenjak datang menghadiri pertemuan itu. Setelah tiba di depan Aditya Putera, ia membungkuk hormat.
- Siapa engkau. tuan?
Aditya Putera minta ketarangan.
Yudapati tidak menanggapi pertanyaan Aditya Putera. Ia hanya membungkuk hormat untuk yang kedua kalinya. Sikapnya tenang, lalu menjawab:
- Saudara Ketua! Usulmu yang pertama tadi berbunyi agar membuang saja mustika itu yang menjadi pangkal perpecahan. Sebagian besar hadirin tidak setuju. Hal itu layak dan wajar. Usul yang kedua kurasa yang paling adil. Sebagian besar hadirin setuju, kecuali dua orang itu! ia berhenti menunjuk Dewasrani dan Sabawa.
Meneruskan:
- Hanya saja, semenjak tadi kita belum melihat mustika yang diperebutkan. Benda apa itu? Baja? Besi atau batu? Menurut pendapatku, hendaknya diperlihatkan dahulu kepada hadirin. Setelah itu, baru kita membicarakannya kembali bagaimana cara membaginya secara adil. Usul Yudapati ternyata mendapat persetujuan serempak dari hampir seluruh hadirin. Meskipun mereka belum kenal siapakah pemuda itu yang belum menyebutkan nama dan asal-usulnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa mereka menghendaki agar masalah itu diselesaikan secara damai. Hanya Dewasrani seorang yang mengamat-amati Yudapati mulai dari rambut sampai ke ujung kakinya. Lalu berkata dengan suara datar:
- Sebenarnya. siapakah engkau? Belum pernah aku mengenalmu.
Yudapati tertawa. Ia tidak menjawab. Sebaliknya Aditya Putera lebih mengutamakan pemasalahannya, daripada asal-usun Yudapati. ia berharap agar kaum Arnawa
kembali bersatu padu seperti semula. Tentang siapa diri Yudapati rasanya kurang penting. Bahkan bisa-bisa jadi ibarat kerikil kecil yang akan menjadi penyebab malapetaka. Itulah sebabnya ia tidak menghiraukan pertanyaan Dewasrani pula. Segera ia membuka kain pelipat bungkusan di atas meja. Lalu bungkusan diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil berseru nyaring:
- Saudara-saudaraku. lihat! Inilah mustika yang diperebutkan.
Dengan sekejap saja, ruang pertemuan jadi sunyi-senyap. Setiap orang memusatkan perhatiannya kepada benda mustika yang akan diperlihatkan. Aditya Putera memerintahkan empat orang membawa obor menghampirinya. Kemudian dengan hati-hati ia membuka bungkusannya. Dan dengan dibarengi oleh cahaya kemilau yang berkejap-kejap,muncullah benda mustika itu dihadapan hadirin. Benda mustika itu berbentuk segi empat, berhiaskan puluhan berlian sebesar ibu jari. Tak mengherankan kena cahaya obor segera memantulkan sinar berkejapan.
-Saudara saudaraku. kata Aditya Putera lagi.
- inilah benda mustika. Disebut mustika, karena jarang terdapat di dunia. Harganya tidak ternilai. Lihatlah yang jelas, ukuran setiap permata yang menghiasnya. Entah siapa yang dahulu memiliki benda ini. Tetapi, karena sesungguhnya adalah sebuah kotak, maka mustahil bila dipecah menjadi dua bagian, Sebab terpaksa akan memecah bagian permata-permata yang tidak imbang. Seumpama dapat dipotong dengan lurus, tiap permata yang dilalui, tidak tepat membelah setengahnya. Ada yang terpotong sepertiga, ada yang seperlimanya. dan ini mungkin sekali dua perdelapannya. Dengan begitu. maka terjadi ketidak imbangan mengenai nilai harga. ia berhenti sambil meletakkan kotak mustika itu di atas meja.
Lalu menoleh kepada Yudapati.
Berkata minta pendapatnya:
- Saudara muda! Kau tadi menyebutkan jalan ketiga. Apakah itu? Coba utarakan!
Yudapati sebenarnya lagi tertegun begitu melihat munculnya kotak itu.
Bukankah itu yang disebut kotak pusaka?
Menurut Balada Himawat Supaladewa, sudah kena rebut Resi Dewasana, ayah Sekar Tanjung.
Mengapa kini berada di sini?
Katanya,setelah Girinda membunuh seorang bintara bhayangkara. Teringat akan cerita Diatri tentang terlibatnya Balada dalam peristiwa perebutan kekuasaan, ia jadi curiga. Hanya saja rasa kecurigaannya itu, perlu terbukti dengan jelas dahulu. Dan pada saat itulah, ia mendengar Aditya Putera memanggilnya untuk mengutarakan jalan ketiga. Ia terkejut dan sempat terbengong sedetik dua detik.
Mendadak saja. sebelum ia sempat berbicara, Dewasrani yang semenjak tadi menaruh curiga padanya mendahuluinya. Serunya dengan suara lantang:
- Hai, saudara-saudara! Mustika itu jelas tidak dapat dibagi menjadi dua. Mengapa masih dipertanyakan jalan ketiga? Lebih baik, kita putuskan menurut adat-istiadat kita saja. Tanggung beres!
Belum lagi hilang gaung suara Dewasrani,seseorang maju ke depan. Minta keterangan kepada Aditya Putera:
- Sebenarnya benda mustika apakah itu? Dapatkah saudara ketua menjelaskan kepada kami semua? Aditya Putera menganggap permintaan itu pantas untuk ditanggapi. Hanya celakanya, ia sendiri tidak mengerti. Terpaksalah ia berkata:
- Aku mengaku, diriku orang kasar saja. Tidak berpendidikan tinggi dan pengalamanku kurang luas. Barangkali ada di antara saudara-saudara yang dapat memberi penjelasan. silahkan maju! ,
Gajayana yang selama itu masih bercokol di atas meja
segera turun ke lantai. Dia membungkuk hormat kepada Ketua Perserikatan, kemudian menghadap hadirin. Berkata dengan hati-hati:
- Kalau tidak salah penglihatanku, benda ini niscaya milik seorang raja yang kaya raya. Sebab selain terbuat dari emas berhiaskan puluhan permata yang tidak ternilai harganya. Hanya saja tak dapat aku menjawab bila ada yang menanyakan untuk penyimpan apa? Tentu barang yang tersimpan di dalamnya nilainya jauh lebih tinggi daripada kotak emas ini. Sekian keteranganku.
- Memang benar. Terima kasih atas keteranganmu. - tiba-tiba Yudapali menyambung.
Ia sekarang sudah mendapat pegangan lebih jelas. Tidak diragukan lagi, itulah kotak pusaka yang dahulu pernah dibawa-bawa almarhum Duta Besar Lembu Seta. Kalau memang ada isinya, apa lagi selain peta harta kerajaan yang pernah dikisahkan Diatri.
Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Lima Sekawan 7 Memburu Kereta Api Hantu Rahasia Benteng Kuno Thian Ge Tjiat Kiam Karya Chin Yung

Cari Blog Ini