Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 13

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 13


- Eh, saudara! Kelihatannya, saudara lebih faham daripada rekan Gajayana. Apakah berkenan memperjelas demi menambah pengetahuan kami? '
Yudapati membungkuk hormat. Jawabnya yang membuat hadirin tercengang:
- Saya, aku hanya dapat memperkuat saja keterangan saudara Gajayana. Yang penting, coba kita hitung berapa jumlah permata yang menghiasi kotak itu.
Hadirin yang tadinya kecewa mendengarkan jawaban Yudapati, mendadak tertarik mendengar usul pemuda itu. Segera Gajayana mohon perkenan Ketua Perserikatan yang masih berdiri tegak di atas meja. Bahkan sambil mengangguk,diapun ikut turun kelantai.
Dengan disaksikan oleh Ketua Perserikatan, Gajayana mulai menghitung .Ternyata permata hiasnya berjumlah sembilan puluh enam butir. Sewaktu hadirin mendengar jumlahnya. mereka terlongong-longong. Sebab harganya
bisa puluhan juta mata uang perak. Siapa yang mampu memiliki barang seharga itu. kalau bukan seorang raja yang kaya raya. Tentu saja, baik Sabawa mau pun Girinda yang berhak memperoleh bagian, merah padam wajahnya. Kedua matanya ibarat menjadi hijau. Dengan berbareng mereka mendesak:
- Sekarang, bagaimana keputusan saudara ketua?
Selagi Aditya Putera hendak minta pendapat Yudapati, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang meledak bagaikan guntur.
Sekalian hadirin berpaling ke arah datangnya suara tertawa itu. Dan nampaklah seorang pendeta berjubah kuning menyibakkan hadirin yang menutupi jalan. Pandang matanya tajam berkilat-kilat. Hidungnya bengkung bengkok seperti paruh burung kakatua. Kepalanya tertutup kopiah berwarna kuning pula. Dan melihat orang itu, Yudapati melemparkan pandang kepada Tara Jayawardani yang masih berada di tempatnya.
Siapakah orang itu?
Setiap hadirin saling bertanya, namun tiada seorang pun yang dapat memberi keterangan. Tanapi, salah seorang wakil Aditya Putera yang bertugas sebagai kepala Keamanan, segera menghadang sambil membentak:
- Siapa tuan?
Orang itu tidak menjawab. Ia mengibaskan lengan jubahnya dan sekonyong suatu kesiur angin menyambar dengan kuatnya. Tanapi terkejut. Dikalangannya. ia disegani orang. Sebab, kepandaiannya hanya berada di bawah Aditya Putera. Itulah sebabnya ia terpilih Kepala Keamanan. Begitu merasa diserang, gesit ia mengelak. Lalu membalas dengan serangan telak pula.
Orang itu hanya menggerakkan kedua pundaknya. Kemudian tangan kanannya menyambut gempuran Tanapi.
Bres!
Mereka saling mengadu tenaga. Akibatnya hebat.
Tanapi memekik. Tubuhnya terpelanting tiga langkah lebih. Dan setelah berhasil mementalkan Tanapi, orang itu melesat memasuki kalangan.
Menyaksikan keperkasaannya, Aditya Putera tidak berani gegabah. Dengan hormat, ia menyambut. Katanya:
- Bhiksu, kedatangan tuan bagaikan dewa turun dari khayangan. Kiranya mempunyai suatu maksud yang akan disampaikan kepada kami.
Orang yang berjubah pendeta itu tercenung sejenak mendengar dirinya disebut bhiksu. Itu merupakan suatu penghormatan besar baginya. Terus saja ia tertawa panjang sekali. Lalu menyahut:
- Aditya Putera! Hari sudah mendekati terang tanah. Engkau masih sibuk membicarakan perkara perebutan mustika. Kesana kemari akhirnya tetap saja belum mendapat keputusan. Sudahlah, jangan mau dipusingkan perkara mustika itu. Lebih baik berikan saja padaku. Aku Punda Pramodha.
Mendengar pendeta berjubah kuning itu menyebutkan namanya, tiba-tiba saja semua hadirin berubah wajahnya. Mereka nampak pucat lesi seperti anak-anak melihat momok yang menakutkan. Bonggol Yaksa yang semenjak tadi tidak menampakkan diri. sekonyong-konyong melompat menghadang dengan wajah muram.
- Hm . . . ia mendengus.
- Jadi kedatanganmu kemari untuk mengaduk di air keruh? Punta Pramodha membusungkan dadanya dan tertawa pelahan melalui dadanya. Aneh kesan suara tertawanya. Sama sekali tidak menyedapkan pendengaran. Lalu menyahut:
- Benar. Dugaanmu tepat sekali. Jika kalian masih menaruh hormat sedikit saja kepada guruku. tentunya tidak akan berkeberatan menyerahkan benda maya itu. Hai.
Aditya Putera! Apakah engkau tidak rela menyerahkan benda itu? Aditya Putera tidak segera menjawab. Ia mendekati kotak mustika yang berada di atas meja untuk dilindunginya. Kemudian berkata menegas:
- Punta Pramodha'. Sebenarnya kedatanganmu ini diutus gurumu atau atas kehendakmu sendiri?
Punta Pramodha juga tidak segera menyahut. Seperti sebentar tadi. ia tertawa lagi. Tetapi kali ini tertawa geli. Lalu menjawab:
- Aku? Kau maksudkan atas kehendakku sendiri? Coba. tolong tanggapi peristiwa ini. Kemarin, guruku berkata padaku begini: Pramodha, kaum bhayangkara kini memiliki peta harta kerajaan. Sayang, kotaknya kena direbut seseorang. Tetapi oleh usaha para perwira bhayangkara, kotak itu dapat direbutnya kembali. Sayang, bintara yang diperintahkan untuk mengamankannya, terbunuh orang orang kalangan Arnawa. Sekarang tolong sampaikan kehendakku, agar mempersembahkan kotak pusaka itu kepadaku. Lalu aku datang kemari. Bagaimana menurut pendapat tuan-tuan sekalian?-Aku datang atas kemauanku sendiri atau karena diperintahkan guruku?
Semenjak pendeta berjubah kuning itu muncul di ruang pertemuan kaum Arnawa, berbagai pikiran dan teka-teki merumun dalam benak Yudapati. Sekarang, orang itu menyebutkan namanya. lantas saja ia tahu, bahwa dia salah seorang murid paman gurunya, alias Punta Dewakarma. Segera ia bertindak cepat. Dengan diam-diam ia menghampiri Diatri dan Tara untuk mengatur langkah-langkah selanjutnya.
- Diatri! Sebentar lagi. kalau terpaksa harus bertempur, aku akan menggunakan golok dan pedang. Kau perhatikan gerakan golok dan pedangku! Barangkali dapat menambah
pengetahuanmu. bisiknya.
- Aku tidak bermaksud mengecam ilmu pedang dan golokmu, tetapi aku pernah memahami puncak ilmu golok dan pedang. Untuk sementara, terimalah dahulu kata-kataku ini. Kelak aku akan mengabarkan kisah pengalamanku menemukan warisan para leluhur kita. Diatri Kama Ratih mengangguk. Ia mau mengerti. Sebaliknya, Tara lantas saja menyahut:
- Mengapa kakak tidak menggempurnya dengan sekali jadi saja?
- Ssst. untuk sementara jangan membangunkan harimau tidur. Bahkan aku perlu bantuan tenaga kalian berdua.
- Apa itu?
Tara bergembira karena mendapat kepercayaan. .
- Terus-terang saja, aku menaruh curiga terhadap apa yang terjadi di depan kita. Terlebih-lebih kalau kuhubungkan dengan tutur-kata Diatri. Tara, Punta Pramodha adalah salah seorang yang pernah mewariskan sejurus dua jurus kepadamu, bukan?
- Benar. ,
- Kalau begitu, dia murid paman-guruku Punta Dewakarma yang memiliki angan-angannya sendiri. Agaknya, dia memandang enteng terhadap kaum Arnawa. Dia percaya, dengan mengutus salah seorang muridnya saja, pasti sudah berhasil merampas kotak pusaka itu. Mengapa Punta Dewakarma ingin memiliki kotak pusaka itu? Promadha tadi menyebut-nyebut tentang peta harta kerajaan yang sudah berada di tangan gurunya. Aku menilainya sebagai bualan saja. Dengan demikian, kotak pusaka itu menjadi pusat tujuannya. Padahal, menurut sumber yang dapat kupercaya kena rebut Boma Printa Narayana.
- Aku berpendapat lain. -potong Diatri.
- Peta harta kerajaan itu, memang tersimpan dalam kotak. Balada bukankah hanya berkhabar bahwa peta kena direbut orang lain?
- Dewasana. maksudmu? - Benar. Waktu itu aku sempat mendengar ia menyebutkan nama tersebut. Tetapi Balada sama sekali tidak menyinggung nyinggung tentang kotaknya. Bukan mustahil, kotak itu masih dapat dipertahankan Boma Printa Narayana. - Ah ya. Mengapa aku tidak berpikir sampai di situ? Benar-benar aku sudah linglung.
Yudapati menyesali dirinya sendiri.
- Barangkali karena aku menganggap masalah peta itu sebagai lelucon belaka. Kalau begitu, persoalannya sekarang menjadi lain. Aku dapat menyetujui pendapatmu. Kotak itu niscaya masih berada di tangan Boma. Mengapa sekarang bisa berada di tengah kaum Amawa? A ya . . . niscaya ada tangan-tangan kotor yang sedang memainkan tipu-muslihat yang hebat. Tara, engkau nanti berpura-puralah ikut menggempur Punta Pramodha. supaya mendapat kesempatan lolos dari pengamatan orang. Amat amatilah apa yang terjadi di luar halaman ini. Aku percaya. orang-orang Boma Printa Narayana ikut mengambil bagian dalam masalah ini. - Tetapi apa kepandaianku?
- Jangan berkecil hati. Aku akan memberimu sebagian himpunan tenaga Tantra. Tara kemudian duduk bersila di atas kursi dengan memejamkan matanya. Karena hadirin sedang disibukkan oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam ruang pertemuan itu, tak ada seorang pun yang sempat memperhatikan tetangganya. Dengan demikian, Yudapati dapat menyalurkan tenaga saktinya melalui punggung Tara, tanpa dilihat orang.
Dalam pada itu. Punta Pramodha tetap membawa gaya
congkaknya. Dengan mata berkilat-kilat, ia menatap wajah para pemimpin kelompok seorang demi seorang. Oleh pandang matanya yang berwibawa, mereka yang menatap wajahnya tiba-tiba merasa takut. Sedang demikian.Ia berkata dengan suara mantap:
- Jadi kalian ingin tahu. siapakah guruku? Itulah Punta Dewakarma. Jelas? -.
Dengan suara yang mantap, ia menggertak. Dan begitu ia- menyebutkan nama Punta Dewakarma,semua hadirin termasuk Aditya Putera tidak berkutik lagi. Mereka hanya dapat mendongkol di dalam hati, tetapi kehilangan keberanian untuk bertindak. Memang nama Punta Dewakarma sudah dikenal orang semenjak puluhan tahun yang lalu, sebagai seorang pendekar tiada tandingnya. Siapa yang mencoba-coba mengadu untung, hanya pulang nama saja.
Pada saat demikian, Yudapati berbisik kepada Tara:
- Sekarang sudah tiba saatnya. Seranglah dia. Tetapi jangan mengerahkan tenaga. Dia pasti segera mengerti siapa dirimu. Dan tentunya engkau akan dianggap sebagai pembantunya. Sebaliknya, kaum Arnawa akan menganggap dirimu menjadi teman seperjuangannya. Jangan takut! Aku berada di belakangmu. Apabila aku nanti sedang mengadu tenaga sakti, kau pergunakan kesempatan itu untuk menyelidiki apa yang terjadi di luar halaman ini. -Tara mengangguk,langsung saja ia melompat masuk ke dalam kalangan. Lalu berseru lantang:
- Hai! Seorang pendeta tidak boleh mengacau di sini. Pergi!
Punta Pramodha heran bukan kepalang. Ia mengamat amati Tara mulai dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunnya. Akan tetapi waktu itu. Tara mengenakan pakaian seragam laki-laki, sehingga ia jadi berbimbang-bimbang. Ia merasa seperti pernah mengenal wajahnya.
Tetapi di mana?
- Anak muda. siapa kau sampai berani bersikap kurang ajar terhadapku? Tak tahukah engkau bahwa aku murid Maharesi Punta Dewakarma? - Kalau sudah tahu. lalu bagaimana? Kau mengharapkan aku harus berbuat apa? -sahut Tara dengan berani.
Punta Pramodha tertawa terbahak-bahak. Selagi demikian. Tara menyerang dengan jurus asal jadi saja, tetapi tidak mengerahkan tenaga sakti Tantra pemberian Yudapati. Gerakan tangan dan kakinya. kejam, keji dan ganas. Itulah jurus yang dahulu pernah membunuh Kocak pemimpin keempat bawahan Barabas.
Punta Pramodha benar-benar memperlihatkan wataknya yang takabur. Sama sekali ia tidak berusaha mengelak atau menangkis. Ia hanya mengangkat kedua pundaknya. Pada saat itu Pukulan Tara mendarat dengan telak menghantam dada. Terdengar suara beradunya tenaga pukulan dan tenaga yang menolak. Akibatnya, Taralah yang memekik kesakitan. Dia merasa seperti lagi menghantam dinding baja.
Punta Pramodha tertawa terbahak-bahak. Serunya:
- Sekali pun aku bukan gurumu, aku berhak menghukummu dua puluh rangketan. Entah dia mengenal siapa yang memukul dirinya itu atau memang dia hendak menggunakan kesempatan untuk mengangkat diri, hanya ia sendiri yang tahu. Tangannya melayang dan menyambar ke arah kepala Tara. Maksudnya menghajar sambil hendak membuka penutup kepalanya.
Yudapati segera melompat menghadang dan menangkis. Serunya pula: '
- Tuan pendeta! Janganlah menghukum dia terlalu
berat. Tetapi kedua tangan sudah berbenturan. Terdengar suara gemeretak. Yudapati hanya menggunakan enam bagian tenaga saktinya. Meskipun demikian Punta Pramodha terpental enam langkah. ia kaget dan merasa malu. Kaum Arnawa sudah berada di bawah pengaruhnya. Ibarat pintu terbuka, ia tinggal memungut mustika itu untuk dikantongi. Di luar dugaan ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini tangguh. Seorang pemuda yang tidak terkenal. Tak mengherankan ia menjadi gusar dan penasaran.
- Bagus! -bentaknya.
- Kau berani menantang kehendak guruku. ya?
Hadirin yang menyaksikan adu tenaga sakti tadi, tercengang.
Siapakah pemuda itu yang dapat melawan Punta Pramodha yang terkenal tangguh dan sakti?
Seketika itu, keberanian Yudapati dan Tata menyerang Punta Pramodha 'mengilhami mereka.
Kalau kedua pemuda itu berani melawan, mengapa harus takut kepada murid Punta Dewakarma?
Gajayana yang semenjak tadi penasaran, langsung saja menyahut ucapannya Punta Pramodha. Bentaknya:
- Hm, kau anggap apa kami semua ini? Jangan menjual lagak di sini. Apakah kau kira kami gentar mendengar gertakanmu? Lihat pedangku! '
Punta Pramodha sedang mendongkol, gusar dan penasaran. Ia sambut serangan pedang Gajayana dengan tangan kosong. Lalu menggeser ke samping sambil menyodokkan tangannya. Gajayana terpaksa mundur tiga langkah. Selagi demikian, Punta Pramodha tiba-tiba melepaskan senjata beracunnya berbentuk bor.
- Celaka!
Gajayana memekik terkejut. Dengan terpaksa ia menjatuhkan diri sambil menangkis.
Tetapi Punta Pramodha sedang marah. Dengan sekaligus, ia menyerang Gajayana dengan enam batang bor beracunnya. Tidak peduli Gajayana seorang pendekar yang gesit dan tangkas masih saja gagal menyapu keenam senjata lawan yang menyerang dirinya. Lima batang dapat ditangkisnya tetapi bor yang keenam menancap di paha kirinya. Tak ampun lagi, ia roboh tertelungkup.
Menyaksikan robohnya Gajayana. Aditya Putera tidak dapat lagi menahan dirinya. Ia melompat menghampiri Punta Pramodha sambil berseru nyaring:
- Saudara-saudaraku kaum Arnawa, siapakah yang sudi membekuknya sebelum aku menerjangnya sendiri? Girinda dan Sabawa maju berbareng. Mereka berdualah yang langsung berkepentingan. Kalau mustika sampai terampas pendeta itu. tamatlah sudah angan-angannya ingin hidup makmur. Tak mengherankan, mereka menyerang sehebat hebatnya.
Akan tetapi Punta Pramodha benar-benar tangguh. Pantas ia dipilih gurunya untuk mewakilinya. Kecuali tangguh, ia congkak dan takabur. Diserang dari dua jurusan, ia hanya tertawa melalui hidungnya. Dengan sedikit menggerakkan badannya, ia luput dari serangan rantai dan golok. Kemudian ia membalas serangan itu dengan tangan kosong.
Yudapati berada di luar gelanggang sambil memperhatikan perkelahian mereka. Tetapi pikirannya mengikuti Tara yang tadi sudah menyusup ke luar ruangan. Entah di mana kini dia berada. Mudah-mudahan dugaannya benar.
Pertempuran antara Punta Pramodha melawan dua musuhnya, berjalan dengan seru, sengit dan cepat. Beberapa saat kemudian, terdengar jeritan Girinda dan Sabawa. Mereka berdua terkena pukulan jurus Punta Pramodha yang istimewa. Mereka mundur sempoyongan melontakkan darah segar.
Jurus-jurus Punta Pramodha memang kejam, keji dan ganas. Karena dibentuk oleh jurus-jurus demikian, dia pun jadi kejam pula. Begitu melihat kedua musuhnya melontakkan, ia malahan menyusuli dengan menyambitkan senjata
bor-nya yang beracun. Tak ampun lagi baik Girinda maupun Sabawa roboh tak berkutik.
Kekejaman Punta Pramodha itu membangkitkan kemarahan hadirin. Tiada peduli musuhnya terlalu kuat, mereka berlompatan masuk ke dalam gelanggang ikut menerjang.
Menyaksikan hal itu. Punta Pramodha tidak gentar. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak. Katanya dengan kepala mendongak:
- Bagus. bagus! Hai kaum Arnawa. saksikan kepandaian murid Punta Dewakarma. Hayo kerubutlah aku beramai ramai! Dua puluh orang maju dengan berbareng. Merasa berjumlah banyak, mereka yakin akan dapat menjungkalkan kesombongan Pramodha. Sebaliknya, Pramoda dengan hati besar menghadapi mereka. Dua puluh orang yang mengkerubutnya, baginya tak ubah hanya terdiri dari dua atau tiga orang saja. Segera ia memperlihatkan kegesitan dan kemampuannya. Dengan kedua tangannya ia menyerang. Tangan kiri menangkis atau memukul. Yang kanan dibuatnya untuk menyambitkan senjata bornya.
Celakalah nasib dua puluh orang itu. Sama sekali tak mereka sangka bahwa musuhnya benar-benar tangguh. Dengan cepat saja, mereka roboh atau terbanting mati. Sisanya menderita patah tangan dan kaki. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan kecuali merintih kesakitan. Sedang demikian, mereka dihujani senjata bor beracun dan masing masing kebagian sebuah.
- Hihaha . . . Punta Pramodha tertawa terbahak bahak.
- Tuan-tuan, bagaimana menurut tuan-tuan ilmu kepandaian Maharesi Punta Dewakanna? Hayo, siapa saja yang bosan hidup silakan maju! Menyaksikan apa yang terjadi di depan matanya. Aditya Putera mengeluh di dalam hati. Dengan berbisik ia berkata
kepada Bonggol Yaksa:
- Binatang itu nampaknya tidak bisa kita remehkan.
- Ambil golokku! Biar aku sendiri yang melayani. '
- Nanti dahulu! cegah Bonggol Yaksa. Lalu berkata kepada Dewasrani;
- Dewasrani, mari kita maju bersama! Kau takut atau tidak? Tidak bisa kita membiarkan Ketua Perserikatan melayani bangsat itu!
Dewasrani berdiam sejenak mendengar ajakan Bonggol Yaksa. Lalu menyahut:
- Saudara Bonggol Yaksa. mari Kita layani dia! Kalau memang tidak berhasil, biarlah saudara ketua yang membereskan.
Setelah berkata demikian. Dewasrani menghunus pedangnya. Dewasrani, adalah sahabat Sabawa yang tadi hampir saja menewaskan Girinda, kalau Yudapati tidak ikut turun tangan. Ilmu kepandaiannya tinggi. Tak dapat ia dijajarkan dengan kepandaian Gajayana, Bonggol Yaksa atau Tanapi. Ia memiliki ilmu pedang istimewa yang jauh lebih cepat daripada ilmu pedang Gajayana. Apalagi kini, ia dibantu oleh Bonggol Yaksa yang menerjang dengan senjata golok. Dengan demikian, Punta Pramodha diserang oleh dua macam ilmu kepandaian yang tinggi.
Menghadapi dua orang yang berkepandaian tinggi, Punta Pramodha masih saja bersikap mantap. Dengan caranya yang istimewa, tiba-tiba saja ia menyambar Dewasrani. Kalau saja bukan Dewasrani, diserang dengan cara demikian, akan mati kutu. Tetapi dengan kecepatan yang mengagumkan, Dewsrani dapat mengelakkan, malahan bisa membalas menusukkan pedangnya.
Punta Pramodha heran. Di dalam hati ia memuji kecepatan lawan. Namun bukan berarti ia merasa kalah. Dia pun sempat memukul pedang itu miring dan melompat mundur menghindarkan sabetan golok Bonggol Yaksa.
Sewaktu memukul pedang Dewasrani. Punta Pramodha tidak berani menggunakan kekuatan sepenuh tenaga. Perlunya masih mempunyai sisa tenaga untuk mengelakkan sabetan golok. Ternyata ia berhasil.
Begitu luput dari sabetan golok, berpikirlah Punta Pramodha di dalam hati:
- Aneh orang yang mengaku bernama Dewasrani ini. Pukulanku hanya lima bagian. Meskipun demikian, pedangnya kena kupentalkan. Apakah dia lagi melakukan tipu-muslihat? Ha-haaa . . . engkau mau main gila terhadapku? Kau bakal membentur batu.
Karena itu, ia kini tidak berani merendahkan lawan lagi. Dengan hati-hati dan berwaspada, ia melayani kedua lawannya. Terutama, perhatiannya diarahkan kepada Dewasrani. Meskipun demikian, masih saja ia menggunakan tangan kosong. Dan dengan cepat lima puluh jurus telah lewat.
Yudapati yang berada di luar gelanggang, selalu memperhatikan gerakan tangan dan kaki Punta Pramodha. Menurut pendapatnya kepandaiannya belum sempurna. Barangkali seimbang dengan kepandaian Bonggol Yaksa dan Dewasrani. Hanya saja sambaran tangannya memiliki suatu keistimewaan. Datangnya dengan mendadak, sehingga membuat orang jadi kelabakan seperti seseorang yang lagi tidur pulas terhentak oleh suatu goncangan. Sebaliknya, bila Bonggol Yaksa atau Dewasrani bisa mendahului gerakannya, Punta Pramodha tidak akan dapat berbuat banyak. Sayang kedua orang itu, kepandaiannya terbatas pula.
- Sebenarnya, Tara harus melihat cara bertempur orang yang memberi ajaran jurus sepotong-sepotong.pikirnya. Tetapi suatu pertimbangan lain segera menyusun:
- Ah. kurang tepat! Justru kebetulan malah jika Tara tidak sempat melihat. Dia harus menghapus jurus-jurus yang
difahami itu. Karena terlalu kejam, keji dan ganas.
Selagi pertempuran berlangsung makin lama makin seru. Dewasrani membuat suatu kesalahan. Sebenarnya dia harus menikam akan tetapi membabat seperti gerakan golok. Cepat luar biasa Punta Pramodha membentur-nya sehingga terpental menikam Bonggol Yaksa.
Punta Pramodha sendiri tidak mengira, bahwa benturan tangannya bisa mementalkan serta membelokkan arah babatan pedang Dewasrani yang membalik menikam kawan sendiri. Tetapi ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu. Terus saja ia membarengi dengan menggempurkan tangannya. Dewasrani yang sadar akan kesalahannya itu, dengan tergesa-geaa mengayunkan tangan kirinya untuk menangkis.
Bres!
Kedua tangan beradu sama kuatnya. Masing-masing tergeser mundur tiga langkah.
Yang celaka, ialah Bonggol Yaksa. Tikaman pedang Dewasrani sama sekali tak di duganya. Tiba-tiba saja pinggangnya kena tikaman. Ia mengerang. Pinggangnya mengucurkan darah. Sebenarnya pada detik-detik terakhir, ia melihat berkelebatnya ujung pedang yang akan menikam dirinya. Namun tidak sempat lagi untuk mengelak maupun untuk menangkisnya. Akibatnya ia terluka tidak ringan.
Dalam pada itu, setelah saling beradu tangan, Punta Pramodha tersadar bahwa lawannya itu bertenaga dahsyat pula. Pikirnya di dalam hati: - Ah, ternyata kekuatannya seimbang denganku. Ini baru satu orang saja. Kalau Aditya Putera sampai ikut turun tangan, celakalah aku. Hm. rasanya tak mampu aku merampas mustika itu. Senyampang masih ada kesempatan biarlah aku lari dahulu untuk minta bantuan saudara-saudaraku.
Memikir demikian, segera ia melompat mundur hendak meninggalkan gelanggang. Sekonyong-konyong ia dihadang oleh seorang pemuda berpakaian seragam hitam. Dialah Diatri Kama Ratih yang menyamar sebagai seorang pemuda. Ia menghadang ditengah jalan dengan pedang di tangan kiri dan golok di tangan kanan.
- Kau mau lari ke mana? bentaknya.
Yudapati yang semenjak datang di dalam ruang pertemuan senantiasa memperhatikan sepak-terjang dan lagak lagu Dewasrani seperti terbangun dari mimpinya. Lantas saja berteriak:
- Paman Aditya Putera, tangkap pengkhianat itu! Sambil berteriak demikian, ia melompat dan mencekuk batang leher Dewasrani dengan sekali sambar. Rupanya. Aditya Putera tersadar pula dengan cepat. Dengan gegap gempita ia berseru kepada sekalian bawahannya:
- Tangkap semua bawahan Sabawa!
Setelah berseru demikian, ia menyambar golok raksasanya yang menjadi senjata andalannya. Seketika itu juga, seluruh ruang pertemuan menjadi gempar,
Dewasrani benar-benar seorang pendekar yang licin lagi berpengalaman. Yudapati sendiri tidak menggunakan tenaga Tantranya dengan penuh. Maka ia membiarkan dirinya tercekuk batang lehernya dengan mudah lalu dengan tiba-tiba mengerahkan seluruh tenaganya untuk meletik dan berhasil lolos dari genggaman tangan Yudapati, sambil berseru:
- Saudara ketua, apakah engkau gila?
Tetapi dia hanya dapat kesempatan mengucapkan satu kalimat itu saja. Sebab Yudapati sudah memburunya dan kali ini menginsyafi kesalahannya. Dengan sedikit menaikkan tingkatan Tantranya, Dewasrani roboh tak dapat berkutik lagi. Meskipun kaki dan tangannya mati daya, tetapi otaknya masih dapat bekerja. Mulutnya lantas mengumpat kalang-kabut. Kemudian berkata membentak Yudapati:
- Sebenarnya. engkau siapa?
Yudapati tidak menggubrisnya. Ia menghampiri Bonggol Yaksa untuk membebat lukanya yang tertikam pedang Dewasrani. Keruan saja Dewasrani mendongkol. Menegas kepada Aditya Putera:
- Saudara ketua! Apa salahku? Mengapa anak-buah rekan Sabawa ikut pula ditangkap? Apakah karena engkau hanya mendengar seruan orang yang tak dikenal itu?
Ditegor demikian, Aditya Putera membungkam. Ia sendiri sebenarnya sudah menaruh curiga kepada Dewasrani. Rasa curiganya makin kuat begitu mendengar ucapan Yudapati. Apalagi setelah melihat betapa Bonggol Yaksa sampai terluka oleh gerakan pedang Dewasrani yang aneh.
Masakan seorang pendekar semacam Dewasrani yang sudah berpengalaman bisa salah jurus seperti seorang murid yang baru saja menghafalkan jurus?
Hanya saja alasan yang lebih kuat lagi untuk dapat dibuatnya menjadi pegangan, masih lemah. Ia belum kenal siapakah Yudapati sebenarnya. Ia sendiri merasa pula belum dapat membuktikan rasa curiganya. Akibatnya, kesangsiannya itu pun mempengaruhi daya perintahnya untuk menangkap sekalian anak-buah Sabawa. Anak-buahnya turun tangan dengan setengah-setengah.
Dalam pada itu Punta Pramodha sedang bertempur melawan Diatri. Ia terpaksa melayani, karena ke mana saja dia hendak bergerak. Diatri selalu dapat melihatnya. Tetapi tatkala mendengar suara Aditya Putera berseru memerintahkan menangkap anak-buah Sabawa, kedua duanya berhenti.
Seorang yang mengenakan jubah pendeta pula dan termasuk salah seorang wakil pihak Sabawa, maju ke depan. Berkata kepada Aditya Putera:
- Saudara ketua! Kurasa, engkau memberi aba-aba penangkapan hanya karena mendengarkan sepatah kata
orang itu. Berbicara tentang siapa yang berkhianat mengapa tidak dialamatkan kepadanya? Hai sahabat. sebenarnya siapakah engkau? .
Kata-katanya yang terakhir itu ditujukan kepada Yudapati. Meskipun Yudapati tahu apa yang harus dilakukannya. namun bersikap tidak menanggapi. Ia kenal, siapa dia yang berjubah pendeta itu. Dialah Sumbar yang pernah dilihatnya sewaktu ikut menghadiri undangan Tandun Raja Koneng di Gunung Sibahubahu. Tetapi perhatiannya sedang terpusat kepada keadaan Bonggol Yaksa. Minta keterangan:
- Bagaimana? Apakah terlalu menyakitimu?
- Terima kasih. Kukira lukanya tidak seberapa. sahut Bonggol Yaksa.
- Hanya saja, kalau aku boleh bertanya, siapakah engkau?
- Eh, kau pun ikut-ikutan ingin mengetahui siapa diriku? Yudapati tertawa. Kemudian berkata dengan agak nyaring:
- Sebentar lagi! aku akan menyebutkan siapa diriku. Untuk sementara lupakan dulu! Sebab di sini akan terjadi pertempuran hidup dan mati.
Lalu berseru kepada Diatri:
- Kau tinggalkan lawanmu! Tolong bubuhkan obat kepada orang-orang yang terluka dahulu. Biarlah aku yang melayani lawanmu.
Diatri segera melakukan perintahnya. Dengan cekatan ia menolong mereka yang terkena senjata bor Punta Pramodha. Sebaliknya, Yudapati kemudian melesat menghampiri murid Punta Dewakarma yang nomor empat itu.
Punta Pramodha ternyata tidak bergerak dari tempatnya. Ia bahkan tertawa geli melihat betapa Diatri sibuk mengobati mereka yang terkena senjata beracunnya. Katanya dengan suara tinggi:
- Kurasa tidak mudah engkau menolong mereka yang terkena senjataku.. .hihaha."
Menilik sikapnya. Punta Pramodba tiada niat handak meninggalkan tempat. Maka Yudapati menghampiri Diatri memperhatikan mereka yang terkena senjata bor Punta Pramodha. Mereka rebah tak berkutik dan tidur mendengkur.
- Kalau begitu, apakah bornya mengandung obat bius?
pikirnya.
Ia jadi penasaran. Sebagai seorang perwira, pernah ia menerima ajaran dan latihan untuk menolong 'laskar-laskar yang terluka .Ia menempelkan telinganya ke atas dada para korban. Ternyata jantungnya berdenyut bagus. Tiada tanda-tanda adanya ancaman bahaya. Akan tetapi setelah ia memahami ilmu Tantra sampai tingkat sebelas, pendengarannya tiba-tiba berubah amat peka. Timbullah rasa curiga, karena ia merasa seperti menemukan sesuatu yang selaras dengan inti ajaran ilmu Tantra warisan Resi Brahmantara.
- Pramodha! Tolong jelaskan. karena denyut jantungnya ternyata tak kurang suatu apa. ia minta keterangan kepada Punta Pramodha.
Yudapati sengaja minta keterangan dengan terus terang. Ia percaya, Punta Pramodha akan mau memberi penjelasan, terbawa oleh rasa takaburnya karena percaya ilmu perguruannya adalah yang paling hebat di seluruh dunia. Dugaannya ternyata tepat sekali. Dengan membusungkan dadanya. Punta Pramodha menjawab seraya tertawa girang:
- Bagus! Kau anak muda yang tahu diri. Engkau tidak malu untuk minta keterangan. Bagus, bagus, bagus! Senjata borku itu memang beracun. Barangsiapa terkena senjataku, dia bakal mati dengan pelahan-lahan. Guruku seorang Maharesi yang menjunjung tinggi peradaban dan kemanusiaan. Korban bakal roboh dan jatuh tertidur saja. Selang satu minggu,dia bakal mati dengan mimpi indah. Nah. bukankah tiada menyiksanya? Dan di kolong langit ini
tiada obat pemunahnya, kecuali yang selalu kubawa dalam kantongku.
Mendengar keterangan itu hadirin menjadi gempar. Tetapi Yudapati hanya tertawa saja. Katanya menyanggah:
- Kau berbicara tentang peradaban dan kemanusiaan. Benar-benar engkau seorang penipu dan penjahat yang licin. Mereka kini tertidur nyenyak sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa mati dengan pelahan-lahan?
Disanggah demikian. Punta Pramodha berjingkrak karena marahnya. Membentak:
- Kau kira aku pernah menipu orang? Baik, akan kuberi tahu sebab penyebabnya. Guruku menemukan sejenis baksil yang sifatnya begitu. Baksil itu mengeram dalam urat syaraf dengan melalui aliran darah. Di sanalah baksil-baksil yang manis itu akan bekerja. Tekanan darah si korban makin lama makin rendah. Dan kau tahu, orang yang rendah tekanan darahnya sering bermimpi bertemu dengan roh roh. Nah, pada saat matinya itulah ia merasa dirinya mengikuti roh-roh itu. -ia berhenti mengesankan.
Melanjutkan:
- Memang aku membawa dua jenis senjata bor beracun. Yang kuterangkan tadi, adalah hadiah bagi orang-orang yang tidak begitu besar dosanya. Umpamanya golongan pencuri ayam, itik dan babi atau mereka yang tidak bermusuhan langsung denganku. Sebaliknya terhadap musuh-musuhku aku tidak mengenal ampun lagi. Mereka terpaksa harus kucabut lebih cepat lagi. Dia bakal mati kesakitan dahulu dengan siksa yang tidak dapat kulukiskan lagi. Nah, jelas? Jadi terhadap mereka yang terkena senjata borku, aku sudah berlaku berperikemanusiaan. Sebab aku tidak menganggap mereka sebagai musuh-musuhku. Mereka hanya berani merintangi kehendakku.
Yudapati percaya akan keterangannya. Tak terasa ia memanggut kecil. Dan melihat sikap Yudapati, hadirin jadi
agak lega hatinya. Melihat hal itu. Punta Pramodha mendapat angin. Dengan sukarela ia memberi keterangan lagi:
- Baiklah. biarlah kuterangkan juga akibat orang yang terkena senjataku yang kejam agar kalian memperoleh tambahan pengetahuan sedikit. Yang kukatakan dengan istilah akan menderita kesakitan dan tak terbayangkan itu. begini. Mula-mula. jalan darahnya akan rusak. Dari kedua matanya. hidung. telinga. mulut dan pori-porinya mengeluarkan darah. Dalam waktu dua jam saja. jiwanya akan melayang. Nah. dua macam senjataku sudah kukabarkan kepadamu. Sekarang anak muda, senjata yang mana yang ingin kau rasakan? Yang mati pelahan-lahan atau yang cepat mati'!
Yudapati tertawa lebar. Sahutnya dengan tenang:
- Senjata yang mana pun akhirnya mati juga lebih baik, aku tidak ingin merasakan nikmatnya senjatamu. Kalau boleh, berikan obat penawarnya kepadaku.
Mendengar ucapan Yudapati, Punta Pramodha terbelalak heran. Hampir-hampir saja ia tidak mempercayai pendengaran dan penglihatannya sendiri.
Masakan minta obat penawar kepadanya begitu mudah dan tenang-tenang saja?
Tetapi mengingat Yudapati mempunyai tenaga himpunan yang kuat, ia menahan diri. Dengan mengulum senyum, ia berkata:
- Anak muda! Apakah pantas engkau memintakan obat penawar bagi mereka. Apa sih harga mereka? Tetapi kalau engkau sudi tukar-menukar, rasanya adil juga. Aku akan menyerahkan obat penawar dan engkau menyerahkan kotak mustika itu. Bagaimana?
Yudapati tertawa geli. Kesan wajahnya sama sekali tidak berubah. Menjawab: '
- Punta Pramodha yang terhormat, kau pun tahu sendiri. Mustika itu bukan milikku. Jika engkau menghendaki mustika itu. cobalah bicarakan dengan Ketua Perserikatan. Kalau aku sampai minta obat penawar, sama sekali tak ada hubungannya dengan barang mustika itu. Aku mewakili diriku sendiri. Pendek kata atas namaku sendiri, aku minta obat penawar itu. Mendengar bunyi jawaban Yudapati yang berkesan memandang ringan dirinya,tidak dapat lagi Punta Pramodha bersikap sabar lagi. Ia mengalihkan pandang kepada Aditya Putera. Dengan angkuh ia berkata:
- Aditya Putera! Bagaimana pendapatmu tentang usulku tadi? Kita bisa tukar-menukar atau tidak? Dalam pada itu. Aditya Putera sudah dapat berpikir dengan tenang lagi. Ia percaya kepada maksud baik Yudapati. Dia pun berkepandaian tinggi .Dewasrani dapat dibuatnya tidak berkutik hanya dalam satu gebrakan saja. Dia pulalah yang membangunkan kesadarannya tentang adanya suatu pengkhianatan. Dengan mengandalkan diri kepada Yudapati. Aditya Putera menjawab
- Kotak mustika ini milik Girinda. Tidak dapat aku memberikannya kepadamu. Pendek saja jawaban Aditya Putera. Sama sekali ia tidak menyinggung nama Sabawa dan Dewasrani. Tetapi di balik kata-katanya yang pendek itu mengandung arti. Ia menaruh curiga kepada Sabawa dan Dewasrani. Apalagi sebentar tadi ia sudah menyerukan perintah penangkapan. Punta Pramodha yang berpengalaman tidak memerlukan kejelasan lagi. Segera ia mengerahkan himpunan tenaga saktinya hendak menyerang Aditya Putera. Pada saat itu terdengar suara Yudapati:
- Hai Pramodha! Yang minta obat penawar adalah aku. Bukan Ketua Perserikatan! Mintalah tanggung-jawabku! Punta Pramodha tertegun sejenak. Pikirnya:
- Benar juga. Memang kaulah yang harus kuhajar dahulu. Setelah mulutmu bungkam, baru aku berurusan dengan Aditya Putera.
Dengan pikiran itu, segera ia berputar arah. Pukulan mautnya melanda dengan dahsyat. Akan tetapi dengan mudah saja, Yudapati dapat mengelakkan sambil berkata:
-Hm, jadi engkau benar-benar tidak sudi mendengarkan permintaanku? Kau benar-benar bandel. Patut aku menghajarmu.
Punta Pramodha selalu membawa sikap takaburnya. Mendengar ucapan Yudapati, keruan saja ia berkaok-kaok. Teriaknya:
- Anak edan! Engkaulah yang harus kuhajar tahu peraturan, bukannya aku. Kau pengacau sinting!
Segera ia melepaskan serangan berangkai dengan kedua belah tangannya. Akan tetapi Yudapati tidak mau melayani. Ia hanya mengelak dengan berpindah-pindah tempat. Sama sekali tidak mau membalas, mengingat Punta Pramodha sebenarnya masih termasuk kalangannya sendiri. Taruh kata, Punta Dewakarma berselisih faham dengan gurunya, tetapi ilmu kepandaian yang dimiliki dan diturunkan kepada anak-anak muridnya berasal dari satu sumber.
Itulah ilmu sakti Tantra Resi Gunadewa.
Punta Pramodha terperanjat. Di dalam hati, ia heran dan kagum. Ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya. Maksudnya hendak merobohkan Yudapati dalam beberapa gebrakan saja. Tetapi jangan lagi berhasil, menyentuh bayangannya saja, tidak dapat. Lambat-laun ia jadi penasaran. Ia makin mendesak.
Didesak demikian, Yudapati tidak mau menjatuhkan pamor perguruan paman gurunya sendiri di depan umum. Sekarang ia mau melayani. Namun ilmu yang digunakannya adalah sari-sari ilmu kepandaian kaum Pasupata yang terukir di dinding goa dahulu. Itulah ilmu tata-muslihat yang selalu mendahului lawan. Jika Punta Pramodha mengarah dadanya, ia mendahului dengan menyerang bahunya. Karena serangannya datang lebih cepat terpaksalah Punta Pramodha membatalkan serangannya. Ia berganti arah. Kini menyerang ke pinggang. Dan Yudapati mendahului menyerang lengannya. Kembali lagi ia terpaksa menarik serangannya. Demikianlah hal itu berulang-ulang sampai puluhan kali.
Diatri Kama Ratih yang sebentar tadi sibuk menolong mereka yang terkena senjata bor kini mengalihkan perhatiannya. Teringatlah dia kepada pesan Yudapati. Ia disuruh memperhatikan cara perlawanan Yudapati. Sayang, pemuda itu tidak bersenjata golok atau menggunakan macam senjata apa pun. Tetapi gerakan tangannya, dapat dilihatnya dengan tegas dan jelas. Apakah dia menghendaki agar aku mengkerubutiya, pikirnya.
Diatri Kama Ratih ternyata seorang gadis yang tidak hanya cantik saja, tetapi memiliki kepandaian tinggi berkat ajaran ibunya. Ia sudah mengantongi dua macam ilmu kepandaian yang tinggi. Ilmu golok warisan ayahnya dan ilmu pedang warisan ibunya yang sudah dimanunggalkan berkat ketekunan ibunya. Sekarang ia melihat cara Yudapati melayani Punta Pramodha. Pemuda itu selalu mendahului gerakan lawannya. Itulah suatu ilmu tata muslihat yang tinggi. Seketika itu juga, hatinya girang. Sebab dengan tiba-tiba terbukalah pikirannya. Tangan kiri Yudapati diumpamakannya sebagai tangan kirinya yang membawa pedang. Sedang tangan kanan pemuda itu diumpamakan membawa golok. Gerakan tangan Yudapati seperti saling bertentangan. Tetapi intinya sama. Ialah mendahului gerakan lawan. Diperlakukan demikian, Punta Pramodha kelihatan kesal dan akhirnya berputus asa. Jelas sekali hatinya meringkas. Seluruh tubuhnya sudah bermandikan
keringat. Dengan sendirinya rasa takaburnya lari mengungsi entah ke mana.
Punta Pramodha mulai berpikir:
- Celaka! Tiga puluh pukulan lagi. sudah genap seratus jurus. Jika aku tidak berhasil menyentuh sasaran, bagaimana aku bisa datang menghadap guru? Apa yang harus kukatakan?
Oleh pikiran itu, hatinya cemas. Akibatnya ia jadi gelisah. Lalu teringatlah dia akan senjatanya yang ketiga. Senjata rahasia yang selama ini disembunyikan. Bentuknya seperti piring. Bulat tipis dan tidak menarik. Tetapi sebenarnya mengandung ancaman maut. Sebab di balik alasnya, terdapat belasan jarum beracun yang disembunyikan.
Bentuk senjata Punta Pramodha itu menarik perhatian Yudapati. Ia tidak percaya bahwa senjata yang berbentuk aneh itu tiada mempunyai keistimewaannya. Mengingat lawannya gemar menggunakan senjata beracun, tentunya ini lebih hebat lagi. Ia sendiri pernah berpengalaman terkena senjata racun Pramusinta. Kalau saja secara kebetulan tidak muncul tokoh Brahmantara yang kemudian menjadi gurunya, pada saat itu jiwanya sudah melayang. Sekarang, siapa yang diharapkan akan menjadi bintang penolongnya, kalau bukan dirinya sendiri. Sadar akan hal itu, tak mau lagi ia bermain-main. Ia mengerahkan himpunan tenaga sakti Tantra tingkat delapan. Lalu berkata untuk melengahkan lawan:
- Hai Pramodha! Senjata apa itu? Bentuknya seperti tempat nasi. Apakah engkau hendak mencari sisa-sisa makanan di sini?
Tentu saja, Punta Pramodha merah padam dihina demikian. Dengan serta merta ia mengayunkan senjatanya.
Tetapi aneh!
Sama sekali, ia tidak dapat bergerak. Tahu tahu. jari-jari Yudapati datang menjepitnya sambil berkata:
- Kau lepaskan tidak?
Sudah barang tentu Punta Pramodha tidak mau mengalah. Ia mengerahkan segenap tenaganya. Akibatnya belasan jarum beracun yang bersembunyi dibaliknya. rontok berguguran oleh tenaga getaran Tantra tingkat delapan. Yang hebat lagi, obat penawar yang disimpannya dalam saku jubahnya tersedot keluar, dan dengan tiba-tiba saja sudah berada dalam genggaman tangan Yudapati.
- Bagaimana? Kau rela tidak? Baiklah, senjata yang kau pertahankan. kuberikan kembali. Tetapi aku pinjam obat penawarmu. Setelah berkata demikian, Yudapati mendorongkan tangannya. Wajah Punta Pramodha berubah hebat. Ia merasa seperti dilanda gelombang yang kuat luar biasa. Dengan tidak dikehendaki sendiri, ia terpental mundur dengan senjata istimewanya masih tergenggam kencang di tangannya. Dan pada saat itu, Yudapati berjalan ke luar gelanggang. Dengan tidak menghiraukan betapa reaksi Punta Pramodha. segera ia mengobati orang-orang yang terkena bor beracun.
Hadirin kagum luar biasa sehingga bersorak gemuruh. Tak pernah mereka bayangkan, bahwa Punta Pramodha yang berkepandaian tinggi dan perkasa itu, dapat dipermainkan demikian rupa oleh seorang pemuda yang sama sekali tidak terkenal. Justru demikian, mereka kini sibuk saling mencari keterangan, siapakah sebenarnya pemuda itu.
Punta Pramodha menggerayangi dadanya dengan cermat. Seluruh bidang dadanya terasa panas seperti terpanggang lalu meraba kantong obat penawar yang disimpan dalam saku jubahnya. Ternyata lenyap tiada di tempatnya. Sekarang dengan mata terbelalak ia melihat pemuda itu sedang mengobati mereka yang terluka. Keruan saja. ia kaget, heran dan kagum luar biasa. Kakaknya seperguruan sendiri tidakkan mampu berbuat demikian terhadapnya.
Memperoleh kesan demikian. wajahnya berubah-rubah. Kadang pucat. kadang merah biru. Dan hadirin yang menyaksikan keadaan dirinya menyoraki dan mencacinya.
Disoraki dan dicaci para hadirin. Punta Pramodha mendongkol. Dengan wajah matang biru ia mendamprat:
- Hai! Kalian menyoraki apa?
Tetapi di dalam hati sebenarnya ia merasa bersyukur, bahwa Yudapati masih menaruh belas kasihan kepadanya. Kalau saja pemuda itu menghantam dadanya, jiwanya sudah melayang. Teringat hal itu, bulu tengkuknya meremang. Terus saja ia membalikkan badannya hendak meninggalkan ruang pertemuan.
- Eh, enak saja engkau ngeloyor tanpa pamit. tiba tiba sesosok bayangan menghadang di depannya.
Dialah Diatri Kama Ratih.
- Engkau terpaksa perlu diajar sopan santun sedikit.
- Kau mau apa?
Punta Pramodha mengumbar rasa mendongkolnya. Sekali menggerakkan tangannya, ia menyerang Diatri.
Diluar dugaan, Diatri dapat mengelakkan diri dengan sangat mudah. Menghadapi kenyataan itu, ia mengeluh.
- Celaka!
Ternyata di sini terdapat banyak harimau dan naga.
- Apakah engkau tidak jadi hendak merampas kotak mustika itu? Diatri menggoda.
Punta Pramodha tidak bersemangat lagi untuk melayani. Senyampang masih ada kesempatan, ia harus meninggalkan tempat itu secepat cepatya. Syukur, Diatri tidak menghalangi atau mengejarnya. Dengan begitu. sebentar saja tubuhnya hilang di balik kegelapan malam.
**** Sewaktu Diatri sedang menghadang Punta Pramodha. Yurhpati sibuk menolong Gajayana, Sabawa dan Girinda. Benar-benar istimewa obat penawar Punta Pramodha. Dengan sekejap saja mereka sudah memperoleh kesadarannya kembali. Menyaksikan hal itu. berpikirlah Yudapati di dalam hati:
- Betapa pun juga obat ini adalah ciptaan paman guruku. Apa pun alasannya,tidak boleh aku memiliki. Apalagi. tadi kulakukan dengan paksa. Biarlah kukembalikan saja agar tidak berekor panjang. Tetapi Punta Pramodha sudah menghilang. Mau tak mau Yudapati menghela nafas. Agaknya sudah ditakdirkan, ia akan menghadapi ketangguhan paman-gurunya mengadu kepandaian. Paman gurunya mempunyai kesempatan mendalami ilmu sakti Tantra puluhan tahun yang lalu. Sedang dirinya, belum cukup tiga bulan. Alangkah jauh terpautnya.
Gajayana yang baru saja tersadar, menggaruk-garuk kepalanya. Ia heran melihat pandang hadirin. Teringatlah dia, bahwa dirinya tertancap bor Punta Pramodha. Seketika itu juga. ia minta keterangan:
- Rupanya aku seperti tertidur. Tertidur atau pingsan?
- Tertidur. jawab beberapa hadirin.
- Tertidur? Mengapa tertidur di tengah gelanggang?
Hadirin menganggap ucapan Gajayana menggelikan. Mereka tertawa bergegaran. Tetapi tertawa yang membawa rasa syukur. Dalam pada itu Ketua Perserikatan mengagumi kepandaian Yudapati berdua. Dengan memberi hormat ia berkata kepada mereka berdua:
- Bila aku tidak salah tafsir. pastilah tuan-tuan muda adalah dua orang pendekar yang dilahirkan untuk jaman ini. Sekarang, bolehkah kami mengetahui siapakah nama tuan berdua?
Yudapati datang ke Markas Besar Perserikatan Kaum
Arnawa bukan untuk memperebutkan kotak Mustika. Hatinya pun sedang masygul, karena Punta Pramodha sudah menghilang yng berarti kelak akan menghadapi masalah yang tidak mudah. Karena itu ia menjawab pertanyaan Ketua Perserikatan asal jadi saja. Katanya:
- Namaku Irawadi dan dia Mahakam.
Aditya Putera tidak mengusut lebih lanjut lagi. Ia percaya. kejujuran kedua pemuda itu. Hanya saja, di dalam hati ia belum pernah mendengar dua pendekar muda berkepandaian tinggi yang bernama demikian. Karena itu, tak tahu pula termasuk golongan mana mereka berdua.
Para ketua Kaum Arnawa berkenan bersahabat dengan Yudapati dan Diatri, seperti Aditya Putera. Bahkan Girinda datang menghampiri sambil tertawa ria:
- Tuan Irawadi dan Mahakam, kami amat girang atas kehadiran tuan berdua. Benar-benar merupakan suatu penghormatan besar bagi kami semua. Menilik ragam pakaian yang tuan kenakan. jelas sekali dari golongan kami. Mengapa tuan berdua berkenan menyamar sebagai Kaum Arnawa? Hahaha . . . tak kukira, bahwa tuan bisa bergurau juga.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yudapati tahu, bahwa ucapan Girinda mengandung rasa curiga kepadanya. Karena itu, tak dapat ia berdiam diri saja. Cepat-cepat ia berkata:
- Terus terang saja, aku datang kemari setelah mendengar kabar tentang kotak mustika yang diperebutkan itu. Bukan untuk ikut-ikutan memperebutkan, tetapi semata-mata ingin menyaksikan saja. Kami mohon paman paman sekalian berkenan memaafkan kelancanganku ini.
Tetapi keterangan Yudapati itu, justru membangunkan rasa curiga Aditya Putera. Ia seperti tersadar dari tidurnya. Sahutnya
- Aha, kalau begitu tuan datang kemari dengan tujuan untuk ikut serta mengaduk-aduk air yang sudah keruh.
bukan? Tetapi tuan berdua adalah pendekar-pendekar gagah perkasa pada jaman ini. Kalam memang menghendaki mustika itu,silahkan!
Mendengar ucapan Aditya Putera,hadirin terdiam. Suasana yang tadi membawa rasa syukur. kini jadi tegang. Yudapati sendiri jadi tak enak hati. Ia tahu apa makna kata silakan itu. Selain membawa nada curiga juga berarti menantang mengadu kepandaian. Selagi ia mencari-cari kata jawaban yang tepat, terdengar Dewasrani tertawa panjang. Serunya pula:
- Saudara Ketua! Ucapanmu tadi berlebih lebihan. Bangsat itu memang binatang jahat. Dia datang kemari untuk mengadu domba. Dia mencoba merenggangkan persahabatan kita. Inilah buktinya. Aku dibuatnya tidak dapat bergerak lagi.
Tak usah dijelaskan lagi, bahwa kata-kata Dewasrani mengandung bisa. Seketika itu juga, sebagian besar hadirin mengambil sikap waspada. Hanya Aditya Putera seorang yang masih berbimbang-bimbang. Ia menundukkan kepalanya karena belum memperoleh keputusan yang meyakinkan hatinya sendiri.
Alasan Dewasrani itu memang kuat. Sebaliknya Yudapati merasa tersudut. Ia tidak memiliki keterangan yang dapat meyakinkan hadirin. Kecuali kalau Tara tiba-tiba muncul dengan membawa bukti seperti yang diharapkan. Tetapi Tara tidak muncul juga. Karena itu, hati Yudapati jadi gelisah. Untung di sampingnya masih berdiri Diatri Kama Ratih yang nampak tenang. Dan bila gadis itu bersikap tenang, ia nampak agung. Makin tenang makin agung.
Sementara itu, Aditya Putera agaknya sudah memperoleh keputusan. Ia memberi hormat kepada Yudapati. Lalu berkata:
- Tuan muda,engkau sudah berhasil menyingkirkan
bahaya besar yang mengancam Kaum Arnawa. Untuk ini, kami menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia melompat menghampiri Dewasrani. Hal itu diluar dugaan siapapun. Ternyata ia ingin berlaku adil. Setelah mengaturkan rasa terima kasih kepada Yudapati, sekarang akan membebaskan Dewasrani. Ia seorang pendekar kawakan. Seluruh tubuhnya sudah diliputi himpunan tenaga sakti. Ia yakin, dengan himpunan tenaga saktinya itu akan dapat membebaskan Dewasrani. Tetapi sama sekali ia tak mengira bahwa di dunia ini terdapat himpunan tenaga sakti Tantra yang istimewa. Sewaktu ia menggempur tenaga Tantra yang membelenggu gerakan tangan dan kaki Dewasrani, terjadilah suatu peristiwa yang baru untuk pertama kali dialaminya. Tenaga gempurannya mendadak saja tak ubah palu godam yang justru malahan mengokohkan, seperti memukul sebatang paku yang tertancap tambah dalam. Dewasrani memekik kesakitan dan mulutnya yang terbuka lebar terpantek tak dapat mengatup kembali. Menyaksikan hal itu, Aditya Putera ternganga-nganga heran.
- Ih! ia tersadar.
- Kalau begitu anak muda ini bermaksud jahat.
Memperoleh kesadaran demikian, rasa curiganya terhadap Yudapati dan Diatri jadi bertambah. Dengan sikap tidak bersahabat lagi, ia berkata:
- Tuan pendekar! ia sekarang menggunakan istilah tuan pendekar.
- Kami ini memang termasuk golongan manusia kasar. Meskipun demikian, kami tidak sudi membiarkan diri kami dihina siapa pun. Tolonglah rekan kami itu! Bebaskan dia dari siksaan yang semestinya tidak pantas ia terima. Yudapati tergugu sejenak mendengar tuan rumah memanggilnya dengan sebutan tuan pendekar. Belum lagi ia sempat mendengar, Diatri Kama Ratih menanggapi sikap tuan rumah yang tidak bersahabat lagi. Katanya:
- Ah! pikiranmu benar-benar sedang gelap. Masihkah engkau mengganggap Dewasrani sebagai orangmu? Justru dialah seorang pengkhianat yang akan menikam dirimu dari belakang.
- Kau sendirilah yang akan membuat ricuh di sini. terdengar suara berangasan dari samping.
Dialah Sumbar salah seorang wakil Sabawa.
- Kau rasakan dahulu tongkatku yang istimewa. Seperti diketahui. Sabawa mempunyai beberapa wakil ketua. Di antaranya termasuk Sumbar, Batega dan Coleng. Tetapi ketiga wakilnya itu mempunyai wilayah kekuasaan sendiri. Bahkan sumbar hanya bekerja seorang diri seperti Palata. Dia hidup sebagai pendeta yang tidak mempunyai pantangan apapun. Pada suatu hari, ia diajak Batega. Coleng dan Pasu berangkat membantu Sabawa yang menjadi atasannya. Terhadap perintah Batega, tiada berani ia menolak. Karena ia pernah kalah sewaktu mengadu kepandaian. Ia memiliki senjata andalan yang berwujud tongkat yang disebutnya sebagai tongkat mustika. Tongkatnya terbuat dari emas murni dengan batu-batu baja istimewa sebagai penghiasnya. Di atas panggung Tandun Raja Koneng dahulu ia pernah membuat Gandara kerepotan. Sebab di luar dugaan. ia bisa menggunakan ludahnya sebagai senjata bidik.
Sumbar ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap kaumnya. Sebab ia kaya raya dan dermawan. Begitu ia bersikap menantang kepada Diatri, ratusan hadirin ikut pula memegang senjatanya. Mereka berteriak-teriak memaki Diatri sebagai pengacau dan tukang adu domba. Dan teriakan itu segera menular dari mulut ke mulut.
Menghadapi keadaan yang tidak menguntungkan, Yudapati bertindak cepat. Serunya menggeledek:
- Saudara-saudara sekalian tahan! Dengarkan dahulu kata-kataku'
- Siapa audi mendengarkan ocehanmu? bentak Sumbar.
Dan tongkatnya yang menjadi senjata andalannya dihantamkan dengan sepenuh tenaga. Yudapati tiada gentar menghadapi perlawanannya, akan tetapi ia tidak mau terlibat dalam suatu perkelahian. Karena itu, ia hanya mengelakkan badannya, seraya berseru kepada Aditya Putera'
- Paman Aditya Putera. apakah engkau percaya aku benar-benar seorang pengacau?
Aditya Putera tidak segera menyahut. Ia dalam kebimbangan. Dalam hati kecilnya, masih ia meragukan kehadiran Yudapati berdua. Mungkin, kedua pemuda itu tidak bermaksud mengadu domba pihaknya. Tetapi paling tidak mengincar kotak mustika. Oleh pikiran itu, ia menatap Yudapati sambil memegang golok besarnya erat-erat.
Yudapati mengeluh di dalam hati. Kira-kira lima ratus orang bergerak mengepungnya. Di antara mereka, ia mengenal dua orang berjubah pendeta selain Sumbar. Merekalah Pasu dan Coleng, yang dahulu datang bersama sama Sumbar menghadiri pertemuan di gunung Sibahubahu. Kemudian seorang lagi yang berkumis tebal, berperawakan perkasa. Entah siapa dia. Kelihatannya mempunyai pengaruh. Menghadapi mereka, asal saja ia menggunakan Tantra tingkat delapan atau sembilan sudah dapat dibereskan. Tetapi, hal itu berarti gagal mencapai tujuannya. Karena Kaum Arnawa ini dapat diharapkan menjadi tulang punggung perjuangan melawan bala tentara Raja Bharmaputera.
- Baiklah. akhirnya ia memutuskan.
- Diatri! Kita dipaksa untuk berkelahi. Kalau perlu lukai saja, tetapi jangan sampai terbunuh.
-Baik. sahut Diatri dengan golok dan pedang ditangan. Dia pun tidak gentar menghadapi mereka.
Dua muda-mudi itu kemudian menyerbu maka Siapa saja yang berani mendekati satu langkah saja. pasti rebah terguling. Sebentar saja belasan orang tak dapat berkutik lagi.
- Apakah kalian masih saja memaksa kami berdua untuk melayani? gertak Yudapati.
Orang berperawakan perkasa yang berkumis tebal itu menyahut dengan suara mengguntur:
- Kalian menyerang kami. Bagaimana mungkin kami tidak boleh bertahan sedapat-dapat kami?
Gajayana, Girinda dan lain-lainnya yang merasa berhutang budi terhadap Yudapati, jadi gelisah sendiri. Mereka sebentar tadi diselamatkan jiwanya dari bor beracun Punta Pramodha. Tetapi sebagai anggauta Kaum Arnawa, tidak dapat pula tinggal menjadi penonton. Mau tak mau. mereka harus berdiri di pihaknya. Maka akhirnya mereka ikut menerjang.
Yudapati mendongkol. Terpaksa ia harus melayani serbuan mereka. Kalau tidak, bisa mati konyol sendiri. Susahnya, ia tidak boleh membunuh mereka meski seorang pun. Sebaliknya,kejadian itulah yang diharapkan Sumbar. Terus saja ia berkaok-kaok untuk memberi semangat seluruh hadirin.
- Bagaimana? Apakah kita hanya melukainya saja?
Diatri menegas kepada Yudapati.
Memang bagi Diatri hal itu menjadi masalah. Kalau hanya main melukai saja, lainnya jadi tidak takut. Karena itu mau tak mau Yudapati harus menggunakan Tantra tingkat tinggi juga. Dengan Tantra tingkat tinggi. ia bisa menciptakan jurus-jurus ciptaan. Pada pokoknya berjumlah empat belas jurus. Tetapi dapat dipergunakan pula menjadi jurus gabungan yang tidak terbatas.Jurus-jurus ciptaan itu
membawa daya pembelenggu yang tidak nampak. Berpikirlah Yudapati di dalam hati:
- Dapat aku membelenggu mereka. Akan tetapi apakah tidak terlalu menyolok? Sebaliknya, Diatri bisa kuwalahan menghadapi kerubutan ratusan orang, kecuali kalau pedang dan goloknya bisa bergerak dengan bebas. Menghadapi kenyataan itu, ia merasa disudutkan. Tiada jalan lain, kecuali harus menahan gerakan mereka dengan jurus ciptaan yang tidak perlu melukainya. Terus saja ia mengerahkan himpunan tenaga sakti tingkat sembilan. Teringat akan aksara terukir yang terdapat pada tingkat sebelas,segera ia menahan lajunya penyerbuan hadirin. Suatu keajaiban terjadi. Tiba-tiba saja mereka merasa seperti terkurung tembok tebal yang membuat tangan dan kakinya tidak dapat bergerak lagi. Mereka memekik heran.
Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar seruan melengking tajam yang panjang kemudian nampak sesosok tubuh yang keluar dari balik gerumbul belukar, memasuki gelanggang. Bayangan yang berkelebat itu, lalu berkata dengan suara lantang kepada Aditya Putera:
- Aditya Putera! Telah kutolong engkau membekuk pengkhianat. Apakah engkau masih saja hendak mengerubut kawan-kawanku?
Mendengar suara yang lantang itu, Yudapati girang bukan main. Segera ia menarik jurus ciptaannya. Karena yang datang adalah Tara Jayawardani. Tara Jayawardani datang dengan mengempit dua orang di kedua belah ketiaknya.
- Tara! Mengapa baru sekarang engkau muncul kembali? sambutnya.
Sambil membanting bebannya di atas lantai, Tara tertawa gembira. Sahutnya:
- Apakah begitu mudah seperti mengambil benda
mati? Aku harus berkelahi dahulu sebelum membekuk kedua orang ini. Mereka mengaku bhayangkara kerajaan. Tetapi lihatlah! Apakah wajah dan warna kulitnya mirip dengan kita? Aditya Putera melemparkan pandangnya,mengamati dua orang yang mengenakan pakaian seragam tentara negeri. Pada detik itu juga, ia tersadar dari kekeliruannya. Terus saja ia melepaskan tiga batang anak panah berapi ke udara. Dan sekalian laskarnya berhenti bertempur. Mereka meletakkan senjatanya masing-masing.
- Sekarang, kita periksa dahulu dua binatang itu! serunya dengan suara bengis. .
Mereka semua sudah dapat bergerak lagi. Langsung saja mereka datang mengerumuni dua orang bhayangkara yang tergolek di atas lantai. Dengan serentak mereka mengenal salah seorang tawanan Tara.
- Hai! Bukankah dia Batega cabang timur? Mengapa ditawan? beberapa orang berseru hampir berbareng.
- Bukankah dia pengkhianat? lihat, dia mengenakan pakaian seragam tentara negeri. -sahut seorang.
- Ya benar. Lalu siapa ini? -mereka mengalihkan pandang kepada tawanan yang lain.
- Dia? sahut Tara Jayawardani dengan waiah girang.
- Dia orang asing. Mungkin orang Chaiya.
Keterangan Tara membuat mereka jadi gaduh. Mereka saling pandang dan saling bertanya.
Mengapa orang asing mengenakan pakaian seragam tentara negeri pula?
- Sebenarnya siapa dia ?
orang yang berkumis tebal menegas.
- Kau sendiri siapa?
Tara balik bertanya.
- Aku Tokang pemimpin cabang barat.
- Tokang?
Tara mengerling kepada Yudapati.
- Apanya yang aneh?
Tokang tersinggung. :
- Namaku memang istimewa. Tokang! Terlalu pendek. Bukau?
- Mengapa engkau tidak datang bersama Barabas?
- Oh, itu persoalan pribadi. Habis . . .
Tokang berhenti sejenak. Kemudian kembali kepada pokok persoalan.
- Siapa dia? '
- Kau maksudkan orang Chaiya ini? - Ya.
- Aku sendiri tidak tahu namanya. jawab Tara yang membuat hadirin kecewa.
- Aku hanya melihat dia mondar mandir di bawah bukit. Kemudian seseorang muncul dari balik pepohonan. Itulah dia! Siapa namanya tadi?
- Batega.
- Batega lalu berbicara kasak-kusuk. Apa yang mereka bicara dan tidak jelas. lalu Batega menanggalkan pakaiannya dan mengenakan pakaian seragam tentara negeri. Aku jadi curiga, lalu dengan diam-diam kukuntit mereka. Sebenarnya, keterang Tara cukup jelas. Tetapi orang orang masih menaruh curiga terhadap Yudapati bertiga. Mereka masih perlu kejelasan lagi untuk menghilangkan keragu-raguannya. Sebab Batega dikenal mereka sebagai seorang Tetua yang tangguh dan sedikit banyak pernah berjasa terhadap kaumnya.
- Baiklah. aku berkata lagi yang lebih jelas. ujar Tara.
- Kami bertiga ini sesungguhnya adalah sekawan pengembara Yang tidak mempunyai tempat tinggal. Setelah ikut hadir di sini,kami tertarik kepada kotak mustika itu. Nanti kujelaskan, apa sebabnya. Tadi seWaktu Punta Pramodha mengacau di sini. kakak Yudapati mengkisiki diriku bahwa orang-orang Chaiya dan laskar bhayangkara, tentu berada di wilayah ini. Aku diminta untuk menyelidiki . . .
- Kakak Yudapati'!
Aditya Putera memotong.
- Benar. Itulah dia!
Tara membenarkan seraya menunjuk Yudapati. ..
- Aku selalu mendengarkan setiap patah
kata kakak Yudapati. Sebab bagiku. dia seorang yang cermat dan bijaksana. Aku kenal baik sepak-terjang laskar negeri. Apalagi, mereka yang disebut-sebut sebagai kelompok pasukan bhayangkara. Hm . . . ! Hanya saja masih aku minta keterangan kepada kakak Yudapati, apa sebab tidak segera kita bekuk. Jawabnya: Tara janganlah engkau membuat terkejut ular yang masih melingkar. Dia berani menyelundup kemari tentu ada yang diandalkan. Tentara negeri dan orang-orang Chaiya niscaya berada di sekitar tempat ini. Ingatlah peristiwa Balada Himawat Supaladewa. Kau amat-amati wilayah ini. Sadap kata-katanya. Dan jangan huru-buru turun tangan sebelum . . . .
- Tara? lagi-lagi Aditya Putera memotong.
- Ya, Tara. Tara adalah namaku. Mengapa? sahut Tara yang masih polos.
Aditya Putera bergumam seorang diri:
-Namanya seperti nama seorang perempuan. Jangan-jangan . . . ah aku harus waspada. lagak-lagu mereka bertiga memang aneh '
Tara tidak menghiraukan apa yang berkecamuk dalam pikiran Aditya Putera. Dengan gembira dan bersemangat ia melanjutkan:
- Tetapi akhirnya aku terpaksa berhantam juga. Mengapa aku tidak mentaati perintah kakak Yudapati? Karena hatiku tidak tahan lagi. Mereka membicarakan orang-orang kini berada di antara kita. Mereka seringkali menyebut nyebut nama Dewasrani, Sabawa, Batega dan . . . siapa lagi, aku tidak hafal nama-nama yang disebutkan. Teringatlah aku, bahwa semenjak tadi Dewasrani acapkali memberi tanda-tanda sandi. Hanya . . . Dewasrani yang terbuka mulutnya semenjak tadi,ikut terbuka belenggunya oleh tenaga sakti Tantra yang ditarik kembali. Begitu merasa dapat berbicara, langsung saja ia
berteriak:
- Bangsat binatang, kau harus kubunuh! Kau pengacau! Namun tangan dan kakinya ternyata masih terbelenggu oleh gempuran tangan Aditya Putera. Ia roboh terguling dengan mulut terus berkaok-kaok. Hal itu membuat hadirin jadi berisik kembali.
- Diam! bentak Aditya Putera.
Suara berisik hadirin sirap. Tara Jayawardani kemudian melanjutkan lagi:
- Mereka berdua ini kemudian berpisah begitu menginjak halaman markas ini. Orang Chaiya itu kemudian bersiul panjang. Kalian tentu saja tidak mendengar, karena sedang ribut sendiri. Dua orang berjubah datang menghampiri Batega. Itulah mereka.
- Siapa? Pasu dan Sumbar?
Gajayana menegas.
- Ya. lalu mereka berbicara. Orang Chaiya itu berkata patah-patah. Barangkali dia belum menguasai bahasa kita, sehingga kedua orang itu lalu menegas begini. Tengah malam? .Laskar bhayangkara ikut menyerbu kemari? . . .
Gajayana, Bonggol Yaksa dan Tanapi kaget sampai melompat dari tempatnya berdiri. Menegas dengan berbareng:
- Apa? Betul mereka berkata begitu?
Tara mengembarakan pandang matanya kepada seluruh hadirin. Berkata dengan suara lantang:
- Kalau kalian tidak percaya, tunggu saja sampai waktunya tiba. Laskar bhayangkara dengan dibantu orang-orang Chaiya yang mengenakan seragam tentara negeri, sudah tahu kalian mengadakan rapat di markas ini. Dengan dibantu oleh begundal-begundalnya, mereka bermaksud menjaring kaum Arnawa dengan sekaligus. Bukankah kalian datang dari semua penjuru kecuali anak-buah Barabas?
- Apakah betul?
Aditya Putera menegas.
- Boleh kau periksa sendiri, kecuali si Tokang yang barangkali sedang berselisih dengan Barabas.
- Bagaimana kau tahu hal itu? -suara Aditya Putera meningkat.
Tara tertawa pelahan. Semenjak ia sedikit mempunyai lima kepandaian dan kini dilantik Yudapati sebagai ketua Kaum Arnawa menggantikan Barabas, sifatnya yang asli berkembang dengan baik. Itulah sifat anak seorang pangeran yang angkuh dan tinggi hati. Maka dengan kebiasaannya memerintahkah bawahan ayahnya, ia menjawab pertanyaan Aditya Putera:
- Panjang ceritanya. Ah, Aditya Putera . . . kalau engkau hanya meributkan masalah-masalah yang kecil, kau akan kehilangan persoalan yang pokok. Pada saat ini, masih ada waktu untuk bersiap-siap. Kalau kaummu sampai tersapu habis, percuma engkau menjadi Ketua Perserikatan Kaum Arnawa. Masih sajakah engkau tidak menyadari keadaan dirimu? Engkau sudah dijual orang-orangmu sendiri. Wajah Dewasrani, Sumbar, Pasu dan Coleng pucat lesi. Mereka saling pandang dengan tangan bergemetaran. Tetapi Dewasrani dapat menguatkan diri. Teriaknya mengejek:
- Bagus! Hebat! Justru kamu bertigalah yang menyelundup kemari untuk menghancurkan persatuan kita. Kau berkata kami kelompok pengkhianat? Apa buktinya? Eh. kau anak kemarin sore memang pantas kami hajar sampai mampus.
- Bukti? Kau minta bukti? sahut Tara dengan cepat.
- Sangat banyak. Eh. Aditya Putera! Di depanmu tergolek dua manusia yang msih hidup. Kau tanyalah mereka berdua!
Aditya Putera kemudian menghampiri Batega. Dengan
tenaga himpunannya ia menepuk punggung Bunga. Bawahannya itu pasti tidak berani mungkir. Sebab setiap anggota kaum Arnawa tahu, bahwa Aditya Putera memiliki ilmu yang dapat menyiksa orang. Lagi pula Batega lebih mudah diajak berbicara daripada orang Chaiya itu yang bahasanya tentunya sangat terbatas.
Batega seperti terhentak dari tidurnya. Ia kaget sampai terlompat. Tetapi tiba-tiba roboh kembali tak berkutik. Setelah diperiksa, jiwanya sudah melayang. Keruan saja, hadirin menjadi gempar. Aditya Putera pun terkejut, heran dan kecewa. Segera ia menatap wajah Tara seraya menegas:
- Apakah sudah tuan bunuh?
Ia masih mengira Tara seorang pemuda. Sebaliknya. Tara heran oleh pertanyaan itu. Ia memeriksa tangannya. Rasa terkejut dan girang bercampur aduk menjadi satu.
- Apakah tanganku terlalu kejam? ... katanya terbata.
- Tetapi masih ada seorang saksi. Eh, jangan jangan dia pun sudah mati. Ia mendahului tindakan Aditya Putera. Ia membalikkan tubuh orang Chaiya itu yang tertelungkup. Begitu terbalik. siapa pun segera tahu bahwa orang itu sudah semenjak tadi tidak bernyawa. Sebab kedua matanya melotot seperti orang mati tercekik.
Yudapati yang ikut pula menyaksikan hal itu, mengerutkan dahinya. Segera ia tahu apa penyebabnya. katanya pelahan:
- Sungguh hebat warisan ilmu paman Punta Dewakarma. Batega bukan orang lemah. Kepandaiannya berada di atas Sumbar, Pasu dan Coleng. Masakan tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan pemuda itu. demikianlah pikir Aditya Putera. Sekarang ia sempat mendengar kata-kata Yudapati, meskipun diucapkan dengan pelahan.
Seketika itu juga timbullah rasa curiganya. Katanya di dalam hati:
- Betul-betul lamur mataku. Mereka ini ternyata anak murid Punta Dewakarma. Pantas saja Punta Pramodha dapat dikalahkan dengan mudah. Tak tahunya, mereka telah mengatur permainan sandiwara yang rapih. Dengan pikiran itu, ia menatap Tara tajam-tajam. Kena pandang demikian, Tara merasa tak senang. Bentaknya:
- Mengapa engkau memandangku begitu? Mereka berdua pantas menjadi ayahku. Mereka pun sudah biasa bekerja kasar seperti lain-lainnya. Tentunya sudah belajar ilmu sakti semenjak mudanya. Masakan mereka mati, karena bergebrak melawan diriku hanya dalam satu dua jurus saja? Aditya Putera, mengapa engkau masih saja menatap diriku begitu rupa? Kau tak percaya? Apakah engkau menyesali kematian mereka berdua? Mereka sudah semestinya mati, karena berkhianat terhadapmu. Sebaliknya, seharusnya engkau berterima kasih kepadaku. ..
Kata-kata Tara yang tajam membuat Aditya Putera berbimbang-bimbang lagi. Tetapi kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh Sumbar. Dasar ia seorang berangasan, terus saja ia melompat mendamprat Tara:
- Kau binatang bangsat! Engkau membunuh atasanku. Jika aku tidak dapat menuntut balas, biarlah aku bunuh diri di depanmu. Setelah mendamprat demikian, ia berputar kepada bawahan Batega dan Sabawa. Berteriak kalap:
- Saudara-saudaraku! Pemimpin kalian terbunuh dan dibunuh oleh binatang ini. Apakah ada di antara kalian yang mengenal mereka bertiga? Tidak ada. bukan? Nah, kalau begitu siapa yang menyusup kemari? Mereka bertiga atau kami yang sudah kalian kenal?
Kata-kata Sumbar lebih kuat daripada Yudapati bertiga. Tentu saja berpengaruh besar terhadap hadirin. Seketika itu juga mereka jadi kalap juga. Terdengarlah teriakan mereka sambung-menyambung:
- Benar. Tangkap binatang itu! Tara dan Diatri adalah puteri istana. Selama hidupnya berada di tengah rumpun keluarga yang mengutamakan kesusilaan dan sopan santun. Sekarang mereka dimaki sebagai binatang dan bangsat. Tara jauh lebih muda daripada Diatri, ikut kalap juga. Serunya lantang
- Bagus benar kelakuan kalian. Baiklah, silakan membekuk kami bertiga!
Yudapati terperanjat mendengar tantangan Tara yang belum pandai berpikir panjang. Sebab tantangan itu akan mempunyai akibatnya yang panjang. Benar saja. Sumbar yang sudah kalap lantas saja melompat menerjang. Tara tidak gentar. Hatinya makin panas. Kepercayaannya kepada kemampuan diri sendiri makin bertambah setelah memperoleh tambahan tenaga sakti Yudapati. Tidak mau ia mengelak atau menghindar. Serangan Sumbar disongong dengan jurusnya yang istimewa.
Bres!
Sumbar memekik kesakitan. Hanya dalam satu gebrakan saja, ia melontakkan darah segar.
Yudapati cemas menyaksikan peristiwa itu. Matinya Sumbar, bahkan akan memanaskan suasana. Cepat-cepat ia melesat melindungi Tara. Kemudian dengan Tantra tingkat sebelas, ia membuat semua hadirin tak dapat bergerak dari tempatnya.
- Hai! jurus apa itu? - seru Tara dengan wajah berseri-seri.
- Tak ada samanya. jawab Yudapati.
- Inilah yang dinamakan dengan istilah menanam jurus. Mereka akan terbelenggu oleh nafsunya sendiri. Tetapi yang tiada memusuhi kita dia akan dapat bergerak dengan leluasa.
- Bagus! Bagus! Tara bertepuk-tepuk gembira.
- Kau ajari aku menanam jurus beginian. - Tara. kuminta engkau menghargai ketua-ketua perserikatan. Berilah aku kesempatan untuk berbicara.
Yudapati membujuk lalu berkata menghadapi Aditya Putera:
- Paman Aditya Putera, maafkan kelancanganku dan ijinkan aku berbicara. Pada saat ini, siapa pun yang memusuhi atau mendendam kepada kami, tidak akan dapat bergerak dari tempatnya. Kalau kami bertiga sekawan pengkhianat yang bertujuan membasmi kaum Arnawa, pada saat ini kami dapat membunuh semuanya dengan mudah. lihatlah, kami tidak berbuat demikian.- ia berhenti untuk memberi kesempatan mereka mempertimbangkan. Lalu meneruskan:
- Baiklah. sekarang kami akan memperkenalkan diri. Tahukah saudara-saudara sekalian. siapakah dia ini ia menuding Tara Jayawatdani.
- Dialah puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana. Namanya Tara Jayawardani. Dan ini, puteri Bhiksuni Damayani Tunggadewi. Ayahnya dahulu memerintah wilayah kerajaan Sriwijaya di belahan utara.
Lalu dengan ringkas dan tegas, ia menceritakan kedudukan mereka berdua dan riwayat kotak mustika yang menjadi perebutan itu. Karena Tara menyinggung nama Balada Himawat Supaladewa, terpaksalah ia menerangkan siapakah orang itu dan dimana ia bertemu. Barabas yang berkhianat,sudah terbunuh. Setelah sampai di situ. ia mengakhiri:
- Tuanku puteri Tara Jayawardani kini menjadi ketua kaum Arnawa cabang barat menggantikan kedudukan Barabas. Dengan begitu,dia sesungguhnya termasuk kaummu. Mendengar cerita Yudapati. Aditya Putera mau percaya. Ia menghela nafas dan tiba-tiba dapat bergerak lagi. Menyaksikan hal itu. Tahulah hati Yudapati. Artinya Aditya Putera tidak memusuhinya lagi. Maka segera ia mencabut jurus saktinya yang tertanam secara istimewa.
- Dan tuan sendiri siapa? sapa Aditya Putera.
- Sebenarnya, aku seorang perantau. Aku seorang perwira negeri Tarumanegara yang masuk ke negeri paman untuk membawa pulang Duta negeri kami, Yang Mulia Duta lembu Seta yang terpenjara didalam penjara lamuri. Maka terpaksalah aku memberanikan diri membongkar penjara itu. - Ah! -seru seorang.
Dialah Giriuda.
- Jadi tuanlah yang membongkar penjara lamuri? Peristiwa itu pernah kudengar dan sudah sempat membuat diriku kagum luar biasa. - Terima kasih.
Yudapati membungkuk hormat.
- Tetapi yang penting, inilah kata-kataku. Sebenarnya siapa saja yang akan duduk di atas singgasana Kerajaan Sriwijaya, bukan soal bagiku. Tetapi bagaimana dengan bangsa Chaiya yang ikut-campur dalam masalah perebutan kekuasaan itu? Menilik gelagatnya, agaknya raja sekarang akan membawa rakyat Sriwijaya menghamba kepada Negeri Chaiya, sebagai suatu persembahan bagi leluhurnya. Terserah kepada saudara-saudara sekalian, rela atau tidak.
- Tentu saja tidak! teriak Bonggol Yaksa dengan wajah merah padam.
Dan hadirin segera ikut menyambung kata hatinya:
- Tidak, tidak, tidak!
Selagi demikian, tiba-tiba nampak beberapa cahaya mengejap di angkasa. Cahaya yang membawa aneka warna. Melihat aneka warna cahaya itu, hadirin terkejut.
- Itulah tanda sandi laskar Bhayangkara. -ujar Tara.
- Kalian percaya atau tidak. terserah.
Suara masih saja mengandung rasa hati yang mendongkol. Tetapi Aditya Putera dan para ketua lainnya yang kini merasa salah. tidak menghiraukan lagu suaranya. Mereka kini sadar benar akan ancaman bahaya.
Rasa curiga mereka lenyap terhadap Yudapati bertiga. Apalagi mengingat peristiwa yang baru saja lalu. Kalau saja Yudapati bermaksud jahat, jiwa seluruh kaum Arnawa sudah melayang.
Tepat pada saat itu pula, masuklah dua orang laskar Arnawa menghadap Aditya Putera. Kata mereka hampir berbareng:
- Barisan laskar negeri mengepung bukit kita.
Mendengar laporan itu, merah padam wajah Aditya Putera. Ia makin merasa malu dan salah. Terus saja ia menghampiri Dewasrani dengan membawa goloknya. Membentak dengan suara sengit:
- Sekarang, apa yang bisa kau katakan? Bukti sudah jelas. Dewasrani mati kutu. Namun masih saja ia berusaha membela diri untuk melindungi jiwanya. Karena itu. tak berani lagi ia main lantang. Katanya dengan suara minta pengertian:
- Saudara Aditya Putera yang kuhormati. kita sudah bersahabat semenjak lama. Apa pun yang dituduhkan bocah itu, tidak seluruhnya benar. Aku bermaksud baik. Kau ingat-ingatlah nasib kaum Arnawa pada jaman Raja Dharmajaya. Kita dimusuhi dan dikucilkan. Pada waktu ini, Raja Dharmaputera yang berbudi luhur sudah berhasil menggulingkan kekuasaannya. Aku sengaja datang kemari untuk mengajakmu kembali ke jalan yang lurus. Mari kita menghamba kepada raja baru kita yang berbudi luhur itu. Dia . . . -.
Belum lagi habis kata-katanya, Aditya Putera sudah memenggal kepalanya. Dengan wajah beringas. Ketua Perserikatan itu berseru:
- Tangkap semua kaki tangannya. Bunuh!
Bonggol Yaksa. Gajayana. Tanapi dan Girinda tidak
menunggu lagi perintah untuk yang kedua kalinya. Dengan cekatan mereka mengambil tindakan. Sebentar saja. Sabawa, Pasu, Coleng dan beberapa teman dekatnya dibunuh mati. Hanya Tokang seorang yang masih dibiarkan selamat. Mengingat Tokang adalah Kaum Arnawa cabang barat yang kini berada di bawah pimpinan Tara Jayawardani. Tokang sendiri dapat membawa diri. Terus saja ia membungkuk hormat kepada Tara Jayawardani sambil berkata:
- Tuanku puteri. Barabas pantas menemui ajalnya. Apa yang kukatakan tadi dengan istilah persengketaan pribadi. sebenarnya karena aku mengetahui persekongkolan jahat antara Barabas dan Balada Himawat Supaladewa yang gemar menyematkan nama Punta Dewakarma untuk menanamkan pengaruh. Karena aku tahu benar, bahwa ia bukan Punta Dewakarma, maka aku meninggalkan markas. Selanjutnya, aku hidup menyendiri meniru rekan Palata. Sekarang, terserah kepada keputusan Tuanku puteri. Kalau aku pantas dihukum, dengan rela aku akan menjalankan hukuman apapun yang dijatuhkan kepadaku. Sebaliknya. kalau aku memperoleh pengampunan, semenjak kini akulah orang pertama yang mendaftarkan diri menjadi laskar yang bertempur di garis paling depan. Tara Jayawardani pernah menerima penghormatan tinggi dari kaum Arnawa bekas pemimpin Barabas. Di istananya sendiri bawahan ayahnya berlaku demikian pula terhadapnya. Kini, ia bahkan sudah merasa mempunyai kepandaian lumayan berkat bantuan tenaga sakti Yudapati. Karena itu, di hadapan para sesepuh kaum Arnawa, dapatlah ia menerima penghormatan Tokang dengan wajar. Katanya:
- Menurut tutur kata orang bijaksana. tiada suatu perbuatan yang lebih mulia daripada menyadari kesesatanya dan kemudian berbalik hendak menuju ke jalan yang benar. Orang semacam itu. pasti diberkati. Dan jalan lebar selalu terbuka baginya. Usiaku masih terlalu muda dibandingkan dengan paman Tokang. Maka sudah sepantasnya. aku meniru tindak orang-orang bijaksana pada jaman dahulu itu. Bagaimana? Apakah paman Aditya Putera setuju?
Mendengar ucapan Tara Jayawardani,hadirin tercengang sejenak. tiba tiba dengan serentak mereka bersorak gembira. Ada pula yang bertepuk tangan menyatakan kekagumannya. Yudapati dan Diatri tak terkecuali pula. Mereka saling memandang seolah-olah tidak percaya kepada pendengarannya sendiri, bahwa Tara bisa berbicara sehebat itu. Diatri bahkan lantas memeluknya.
-Adikku. kau hebat! serunya dengan air mata berlinang.
******
PERTEMPURAN SERU
ADITYA PUTERA adalah orang kawakan yang sudah kenyang makan garam dan asamnya penghidupan. Selain sudah puluhan tahun hidup di tengah-tengah gerombolan perompak dan penyamun, ia mengaku sendiri termasuk golongan orang kasar. Tetapi begitu mendengar ucapan Tara yang didukung oleh rasa simpati kaumnya, mendadak saja hatinya jadi terharu. Dengan langkah pelahan, ia menghampiri Tokang dan membawanya berdiri tegak. Katanya:
- Tokang! Engkau telah memperoleh dan menemukan pemimpinmu yang benar. Jangan pandang usianya. Ia pantas menjadi cucu kita. Tetapi ingatlah, dia puteri seorang pangeran. Hatinya adalah seumpama mutiara yang tak ternilai harganya. Barangkali seumur hidupmu. tidak bakal hatimu sampai mencapai pengucapan setinggi itu. Dalam hal ini mulai sekarang dengarlah kata-kata ketuamu yang baru. Dalam darah dagingnya mengalir darah keturunan yang pantas memerintah kita. Aku sendiri tidak malu hidup bernaung padanya. Setelah berkata demikian ia berseru dengan suara bagaikan guntur:
- Saudara-saudaraku bekas bawahan Sabawa. Kalian tahu. pemimpinmu sudah menemui ajalnya di sini. Sebab musababnya sudah kalian ketahui pula. Dia seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan kaki tangan-kaki tangan raja baru hendak menjual negeri kita kepada orang asing. Kalian setuju atau tidak? Kalau setuju, di tempat ini kita mengukur tenaga sendiri. Kalian atau kami yang akan terbasmi. Sebaliknya kalau tidak setuju, marilah kita bersatu padu kembali! Selanjutnya, kita akan bertempur melawan orang-orang asing itu. Bagaimana? Seseorang menyahut dengan suara lantang:
- Saudara Ketua Perserikatan. kami datang kemari atas perintah ketua kami. Apa yang menjadi latar-belakangnya, benar-benar kami tidak mengetahui. Tidak beda seperti saudara Ketua Perserikatan sendiri yang tidak mengetahui siapa sebenarnya tuanku Yudapati bertiga. Ternyata mereka bertiga adalah bintang-bintang penolong kita. Kita sudah biasa hidup merampok, membunuh dan menyamun. Meskipun demikian, kami tidak rela bila negeri tumpah darah akan dijual orang. Karena itu, aku berdiri di belakang saudara Ketua Perserikatan. - Benar, benar, benar! -seru lainnya.
- Setuju. setuju, setujuuuu! Kami sudah kehilangan pemimpin. Kami akan mengabdi kepada Tuanku Puteri Tara Jayawardaniiiii . . .
Aditya Putera girang bukan main. Lantas saja ia membungkuk hormat kepada Tara. Katanya:
- Tuanku puteri, kaum Arnawa bagian Timur ingin menggabungkan diri. Dengan demikian. Tuanku puteri kini sudah menjadi pemimpin kaum Arnawa bagian Barat dan Timur. Aku sendiri. juga ingin bergabung. ..:
- Aku pun juga. -ujar Giriuda dengan suara nyaring,
- Bagus! - seru Aditya Putera.
- Kalau begitu, mulai hari ini Tuanku puteri adalah pucuk pimpinan kami semua. Setelah berkata demikian, ia berseru kepada Girinda. Gajayana, Bonggol Yaksa dan Tanapi:
- Saudara-saudara. mari kita bersama memberi hormat kepada pucuk pimpinan kita yang baru!
Tetapi Diatri Kama Ratih segera mencegah. Katanya:
- Musuh sudah berada di depan kita. Tidak tepat kita sibuk bermain upacara-upacaraan. Mari kita labrak dahulu musuh-musuh kita. Kalau kita beruntung masih mempunyai umur, upacara itu bisa kita lakukan dengan aman.
- Baik. sahut Aditya Putera menyetujui.
- Saudara saudara, mari kita tempur dengan sekuat tenaga! Begitu musuh dapat kita undurkan, kita berpesta-pora! Hidup Kaum Arnawa!
Hadirin menyambut seruannya dengan mengangkat senjatanya masing-masing. Dengan suara gegap gempita mereka berteriak:
- Mari kita gempur orang-orang Chaiya itu!
- Tidak hanya orang-orang Chaiya saja. Tetapi siapa saja yang sudi menjadi kaki tangannya.
Aditya menambahkan.
Mereka segera mengatur barisan. Aditya Putera sendiri dengan cepat memerintahkan bawahannya memimpin laskarnya mengambil senjata. Menyaksikan hal itu, diam diam Yudapati bersyukur dalam hati. Sebaai seorang perwira. ia memuji kesigapan serta semangat tempur mereka. Pikirnya,
- kalau seluruh Kaum Arnawa dapat dipersembahkan kepada Pangeran Sanggrama Jawawardana, Raja Dharmaputera tidak akan dapat mempertahankan singgasananya. Apalagi kalau Kadung dan Tilam bisa membawa perserikatan Tandun Raja Konena bergabung pula. Runtuhnya kekuasaan Raja Dharmaputera sudah benda di ambang pintu.
Dalam pada itu. laporan tentang gerakan laskar kerajaan datang berturut-turut. Menurut pengamatan, jumlah laskar kerajaan lebih dari limaratus orang. Mereka mencoba menerjang hutan belukar yang menutupi sebagian besar bukit Markas Besar Kaum Arnawa. Untung saja, bukit itu memiliki tebing-tebing terjal. Medan demikian. tidak menguntungkan gerakan militer. Mereka senantiasa terhambat oleh pagar-pagar alam yang tidak mudah ditaklukkan.
- Tuanku Yudapati,selanjutnya tuanlah yang memegang pimpinan pertempuran ini. ujar Aditya Putera.
- Aku? Yudapati tertawa.
- Dalam hal ini, aku bersedia membantu saja. - Maksudku, bukan hendak membandingkan tuan dengan Tuanku Puteri. buru-buru Aditya Putera menyusuli ucapannya.
- Kami semua sudah setuju mengangkat dan bernaung di bawah kebijaksanaan Tuanku Puteri Tara Jayawardani. Tetapi, marilah kita membagi tugas. Dalam penglihatanku, tuan memenuhi syarat dalam hal menggalang kekuatan baru. Pada jaman dahulu, seorang calon raja harus memenuhi beberapa syarat. Yang pertama: dia harus sakti melebihi orang lain. Dalam hal ini, tuanku Yudapati sudah memenuhi. Ilmu kepandaian tuan jauh melebihi kita semua. Yang kedua: harus mendapat dukungan dewan raja dan penasehat-penasehat serta sesepuh. Inilah diriku dan para tetua lainnya seperti Girinda, Bonggol Yaksa. Gajayana, Tanapi serta Tokang. Kami semua mendukung Tuanku Puteri. Yang ketiga: calon raja baru itu harus memperoleh dukungan rakyat. Dalam hal ini , segenap Kaum Arnawa sudah berada di belakang Tuanku Puteri. ,ia berhenti sebentar untuk mengesankan.
- Aku tahu, tuan asalnya tidak mempunyai angan-angan hendak menggulingkan kekuasaan Raja Dharmaputera untuk menggantikan kedudukannya sebagai raja. Sebenarnya, tuanku termasuk golongan kami. Itulah sebabnya aku berani memohon kesediaan tuan untuk memimpin kami semua mengusir laskar kerajaan. Sebab selain tuan mempunyai kesaktian melebihi kami semua, tuanpun seorang perwira yang tentunya pandai mengatur siasat. -Kata-kata Aditya Putera membuktikan, bahwa ia seorang yang berpengalaman. Barangkali demikian pulalah, cara dia merebut kedudukan sebagai Ketua Perserikatan. Selain gagah perkasa, niscaya didukung pula oleh para ketua cabang dan tetua lainnya. Sekarang ia baru mengerti, apa sebab Tandun Raja Koneng dahulu mendirikan panggung terbuka untuk memilih seorang pimpinan. Ternyata Kadung yang terpilih atas dukungannya. Teringat akan hal itu, tak terasa ia memanggut. Lalu berkata:
- Asal saja. diriku jangan dipersamakan dengan orang orang Chaiya atau Funan (sekarang Vietnam Selatan). Bila namaku kelak dibuat bola fitnah, bisa-bisa laskar Kerajaan Sriwijaya akan membalas menyerang negeri kami.
Aditya Putera tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya terguncang-goncang saking gembiranya. Katanya kemudian:
- Kalau sampai ada orang yang memfitnah tuan, akulah orang pertama yang akan menentangnya.
- Baik. Tetapi Kerajaan Sriwijaya tidak hanya menguasai daratan saja tetapi hutannya pula. Kulihat Kaum Arnawa sudah pandai menempatkan diri dalam masalah lautan. Aku belum berpengalaman dalam hal lautan. Karena itu, biarlah paman Aditya Putera yang memimpin menghadapi lawan Bama Printa Narayana dengan 21 perwiranya. ujar Yudapati.
Mendengar ujar Yudapati, seluruh laskar Arnawa bersorak-sorai. Girinda, Bonggol Yaksa. Gajayana dan pemimpin pemimpin laskar Arnawa kenal benar akan ketangguhan dua puluh satu perwira Bhayangkara itu. Tetapi mengandal kepada kesaktian Yudapati,mereka tidak gentar.
- Tuanku Yudapati! seru Girinda.
- Apa yang tuan ucapkan adalah benar. Kerajaan Sriwijaya tidak hanya menguasai daratan, tetapi lautan pula. Kedah, Bangka. Kra,Riau, Lingga. Singkep dan Belitung adalah nama pulau pulau kami. Maka selain kita mengawasi daerah pembongkaran muatan kapal yang datang dari seberang lautan, kami pun menguasai sungai-sungai sebagai urat nadi perdagangan. Seperti sungai Tulangbawang, Kampar, Musi, Ogan, Komering dan lain-lainnya. Karena itu, kaum Arnawalah yang sesungguhnya berhak menyematkan nama Sarwajala (kerajaan laut) daripada Sriwijaya. Lika-likunya termasuk akal tipu muslihat yang datang dari mana pun, sudah kami ketahui. Tetapi bahwasanya laskar Bhayangkara dan orang Chaiya bergabung untuk menggempur kami, inilah yang masih gelap bagiku. Apakah alasannya? - Yang pertama-tama kuketahui, mereka hendak merebut kotak mustika itu. sahut Yudapati.
Aditya Putera tersadar, begitu mendengar Yudapati menyebutkan kotak mustika itu. Ia sampai lupa memikirkan kotak yang tak ternilai harganya itu. Lantas saja ia memungut kotak mustika itu. Tetapi mendadak, ia seperti kehilangan akal. Kepada siapa aku menyerahkan kotak mustika ini, pikirnya.
- Kalau kuserahkan kembali kepada Girinda. rasanya kurang tepat. Biarlah aku minta pendapatnya tuanku Yudapati.
Memperoleh pikiran demikian, berkatalah ia:
- Chaiya dan laskar Bhayangkara menghendaki kotak mustika ini. Apakah dasar alasannya? - Bukankah sudah jelas? Orang Chaiya khawatir kalau
rahasianya terbongkar. Demikian pulalah pihak kerajaan Sriwijaya. sahut Yudapati.
- Hanya saja pada akhir akhir ini masyarakat dihebohkan tentang peta harta kerajaan yang palsu Kukira tidak hanya satu atau dua helai saja yang palsu, tetapi semuanya palsu. Kecuali yang berada di tangan Resi Dewasana yang sempat merampas dari tangan Boma Printa Narayana.
- Lalu? -mereka semua tertarik.
Yudapati terpaksa mengulangi riwayat kotak mustika itu. Dan kemudian dikabarkan, bahwa kotak mustika itu sudah berada di tangan Duta Besar Lembu Seta atas kehendak Pangeran Sanggrama Jayawardana sendiri. Tetapi di tengah jalan, para pengawal Duta Besar Lembu Seta dihadang laskar Bhayangkara pimpinan Boma Printa Narayana.
Menurut tutur-kata Balada Himawat Supaladewa, kotak mustika yang sudah berada di tangan Boma Prima Narayana, kena terampas oleh seorang sakti bernama Resi Dewasana. Tetapi terhadap tutur-kata Balada, aku belum yakin benar.
- Apakah tuan pernah bertatap muka dengan Resi Dewasana?

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aditya Putera menyela.
- Belum. Katakan saja, aku hanya mengenal namanya. Sebaliknya dengan Balada, pernah aku berbicara dan bertempur. Kepandaiannya tidak melebihi paman Aditya Putera. Akan tetapi ia licin dan banyak tipu-muslihatnya.
- Jangan jangan berita tentang peta harta karun itu, hanyalah rekaannya sendiri. Pendek kata. aku masih harus menyelidiki dahulu sampai jelas. Menurut pendapatku, jangan sekali-kali kita terjebak oleh kabar berita tentang peta harta itu. " '
Aditya Putera mengerinyitkan dahinya. Lalu berpaling kepada Girinda. Katanya:
- Sabawa sudah menemui ajalnya. Kotak mustika
ini sebenarnya menjadi milikmu. Tetapi menurut riwayatnya lebih dekat berada di tangan Tuanku Puteri Tara Jayawardani. Bagaimana menurut pendapatmu? Apakah engkau setuju bila kupersembahkan kembali kepada Tuanku Puteri? - Mengapa tidak? sahut Girinda dengan cepat.
- Dalam hal ini kedudukanku tidak lebih daripada seseorang yang menemukan barang berharga di tengah jalan. Menurut aturan, aku wajib mengembalikan kepada pemiliknya,lagipula andaikata berada di tanganku, aku akan menjadi sasaran. Sebaliknya bila berada di tangan Tuanku Puteri, kaum Arnawa wajib mempertahankan. Kecuali itu, Tuanku Puteri didampingi oleh tuanku Yudapati. Siapa yang akan berani mengganggu-gugat?
- Bagus! Aditya Putera bergembira. Terus saja ia menyerahkan kotak mustika itu kepada Tara Jayawardani.
- Selanjutnya, terserah kebijaksanaan tuanku puteri.
Tara menerima persembahan itu. Berkata:
- Sebenarnya kakak Diatri berhak pula, karena ibunya dahulu menemani ayah membawa kotak ini pulang. - Tidak! Engkaulah yang berhak menyimpan. Tegasnya,
- kotak mustika ini adalah bagian ayahmu. Bukankah ibu sudah menerima bagiannya? Itulah pedang Sangga Buana yang kubawa-bawa ini. ujar Diatri Kama Ratih.
- Kalau begitu, biarlah kakak Yudapati yang mempersembahkan kotak mustika ini kepada ayah.
Tara memutuskan.
- Bukankah kotak mustika ini pernah beralih kepada junjungannya, Duta Besar Lembu Seta? Tepat sekali bila kotak mustika ini berada dalam pengawasannya. Nah, kakak Yudapati. Engkaulah yang pantas menyimpan dan menyelamatkan kotak pusaka ini sampai kembali berada ditanaan ayahku
Yudapati menerima kotak pusaka itu dengan mengangguk. Pertimbangan Tara memang dapat diterima. Di dalam hati. sebenarnya ia tidak akan membiarkan Tara menjadi korban sasaran Laskar kerajaan. Kalau sampai terjadi sesuatu, rasanya ia ikut bertanggung jawab menjaga keselamatannya.
Sampai disini masalah kotak mustika sudah mendapat penyelesaian. Seluruh anggauta Arnawa menilai penyelesaian itu yang paling tepat. Sekarang mereka mulai memusatkan perhatiannya untuk mempertahankan Markas Besarnya terhadap serbuan laskar kerajaan. Ternyata bukit itu mempunyai dua muka. Selain menghadap ke darat berbatasan pula dengan laut. Puluhan perahu kaum Arnawa bersembunyi di balik bukit yang bertebing terjal. Untuk mencapai perahu-perahu itu, mereka melalui terowongan tertutup yang bercabang belasan buah. Tentara betapa kuatpun, tidak akan dapat mengejarnya. Sebab bila perlu, terowongan tertutup itu dapat diruntuhkan dengan tiba-tiba. Dan pengejarnya akan mati tertimbun tanpa dapat berbuat sesuatu.
Menyaksikan situasi bukit itu, Yudapati kagum bukan main. Goa Tandun Raja Koneng sudah sempat membuatnya heran. Terowongan Kaum Amawa yang berjumlah belasan, lebih-lebih mengherankan lagi.
- Ah siapa mengira, bahwa di bawah hamparan tanah berhutan lebat ini. terdapat terowongan yang merupakan pintu-pintu darurat untuk melarikan diri, pikirnya. Mengingat makna Arnawa adalah lautan niscaya mereka ahli bertempur di tengah lautan daripada di darat.
Dalam pada itu, laskar kerajaan sudah tiba di lembah bukit. Seluruhnya berjumlah lebih daripada limaratus orang. Mereka dipimpin oleh beberapa perwira Bhayangkara Yang berpengalaman. Di antarmya terdapat Upasunda, Bisatanding. Kuturan dan Waranasi. Dan yang menjadi atasan mereka adalah perwira Bhayangkara nomor dua. bemama Siddhi Prasong. Jarang sekali ia meninggalkan Ibukota. Sebab dia termasuk tritunggal Bhayangkara Kerajaan Sriwijaya yang diandalkan raja. Boma Printa Narayana. Sanggadewa dan Siddhi Prasong. Jika sekarang ia memimpin penyerbuan itu, tentunya dianggap sangat penting oleh raja yang sedang memerintah.
Sriwijaya pada waktu itu sudah disebut Sarwajala atau Kerajaan Laut oleh orang-orang luar negeri. Lautan itulah sumber penghasilan pokok bagi keuangan negara dan memakmurkan rakyat. Kalau dibiarkan dihantui kaum Arnawa, kepentingan negara dapat tersumbat. Karena itu bisa dimengerti apa sebab Raja Dharmaputera sampai mengirimkan salah seorang perwira andalannya.
Upasunda, Bisatanding dan Kuturan berada di depan. Tetapi begitu menerjang petak hutan, sekoyong-konyong kehilangan arah. Sebab seluruh penerangan Markas Besar Kaum Arnawa padam dengan serentak. Dengan demikian persada bukit jadi gelap gulita.
- Celaka!
Upasunda mengeluh. Tak dapat lagi kita melihat bayangan seorangpun. Bisa-bisa kita ditikam dari belakang.
Bisatanding yang berada di sampingnya tidak menyahut. Ia mempunyai pendapat sendiri. Terhadap Upasunda, ia kalah pangkat. Akan tetapi, di dalam hal mengatur siasat pertempuran tak mau ia kalah. Kecuali usianya jauh lebih tua, semenjak mudanya dialah yang mengatur tata-tertib perguruannya. Itulah sebabnya, ia memperoleh kepercayaan Siddhi Prasong memimpin barisan penyerbu di garis depan.
Sebaliknya Upasunda tidak senang-Bisatanding menutup mulutnya. Pikirnya:
- Hm, kau merasa lebih unggul
daripadaku'! Apakah engkau mempunyai kepandaian melebihi aku? Hatinya jadi panas. Terus saja ia memerintahkan pasukannya menyalakan obor. Ternyata laporan pengamat kaum Arnawa kurang tepat. Jumlah laskar yang langsung berada di bawah perintah Upasunda, enam ratus orang. Belum lagi laskar Bisatanding. Kuturan dan Waranasi. Paling tidak keseluruhannya tidak kurang dari seribu lima ratus orang.
- Kamu maju berpencaran! ,- perintah Upasunda.
- Bunyikan gembreng tiga kali. kalau bertemu musuh! Sepuluh perwira yang membawahi pasukannya, maju berpencaran. Mereka menerjang hutan belukar,membakar dan merobohkan gerumbul pepohonan. Menyaksikan kesigapan mereka, Upasunda puas. Ia percaya, dirinya pandai mengatur siasat. Ia yakin pula, pasti akan berhasil mencapai tujuan. Karena itu, ia tidak mempedulikan Bisatanding, Kuturan dan Waranasi. Dengan gagah ia mendaki ketinggian. Dari ketinggian itu, ia melihat sinar api berkejap kejap yang datang dari balik sebuah bangunan. Sebentar menyala dan sebentar padam.
- Hahaha . . . -ia tertawa terbahak-bahak.
- Hai kawanan bangsat, hayo serahkan kepala kalian!
Tetapi semannya hanya menggaung saja di tengah alam terbuka. Dan ia paling benci, manakala kata-katanya tidak mendapat tanggapan. Sekali lagi ia berseru. Akhirnya terdengar suara jawaban dari balik bangunan itu.
- Hai gerombolan penjual negeri, silakan kemari! Ambillah kepala kami, kalau mampu.
Nada suara yang menjawab itu, tidak menyedapkan pendengarannya. Apalagi kata-katanya yang sombong disusul dengan suara tertawa melengking tajam.
- Binatang! maki Upasunda.
- Kamu sedang membuat lelucon apa? Di hadapan Upasunda jangan sekali kali berani main gila!
Suara tertawa geli terdengar lagi lalu terdengar orang itu menyahut:
- Baiklah tuan besar. sekarang aku tidak tertawa
lagi. -.
Tetapi ternyata tidak demikian. Tiba-tiba suara ter-tawa yang melengking tadi berubah jadi gemuruh. Telinga seluruh pasukan Upasunda sampai menjadi pengang. Yang tidak mempunyai kepandaian tinggi cepat-cepat menutup telinganya. Keruan saja Upasunda mendongkol. Habislah sudah kesabarannya. Ia memberi aba-aba menyerbu. Empat ratus orang menerjang berbareng memasuki bangunan itu.
Suatu keanehan terjadi. Sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh di belakang punggung mereka. Dengan serentak mereka menoleh. Mereka kaget sampai berjingkrak. Ternyata jalan balik sudah tertutup rapat oleh tumpukan balok dan batu gunung. Keadaan mereka kini tak ubah sekumpulan binatang masuk dalam perangkap. Maka mau tak mau, mereka dipaksa maju.
Tetapi maju ke mana?
Menghadapi kenyataan itu, Upasunda baru menyadari kesemberonoannya. Ia hanya main nekat. Padahal belum memahami keadaan medannya. Tadinya ia mengira kaum Arnawa hanyalah gerombolan orang-orang kasar yang tidak berpengetahuan. Dengan sekali serbu tentu beres.
Sekarang, apa yang harus dilakukan?
- Kurangajar! ia memaki dirinya sendiri.
- Pantas, Bisatanding tidak menanggapi pendapatku. Rupanya dia lebih pengalaman daripadaku. Justru menyadari hal itu hatinya bertambah penasaran. Terus saja ia melesat maju untuk menyelamatkan pasukannya. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis berdiri menghadangnya.
Siapa?
Ia menghentikan langkahnya dan sempat tercengang.
Gadis itu hanya seorang diri saja. Namun oleh pengalamannya sebentar tadi.. ia bersikap hati-hati dan waspada. Ia sama sekali tidak percaya bahwa gadis itulah yang melepaskan suara tertawa melengking tadi. Niscaya orang lain.
Lalu di mana dia bersembunyi?
Prarasanya membisiki, bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi ribuan orang yang bersenjata lengkap. Memperoleh prarasa demikian, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
Gadis yang berdiri dengan gagah itu, sesungguhnya Diatri Kama Ratih. Ia tidak mengenakan penutup kepalanya lagi, meskipun masih berpakaian pria. Dengan golok dan pedang di kedua belah tangannya ia nampak lebih anggun dan agung. Sikapnya yang tenang, menambah perbawanya.
- Kau . . .kau . . . siapa? tegur Upasunda.
Belum lagi gaung suaranya hilang dari pendengaran, tiba-tiba mengejaplah suatu cahaya yang menyilaukan. Hanya sedetik, Upasunda tercengang dan kaget. Kemudian nalurinya mengabarkan tanda bahaya. Terus saja, ia bersiaga. Tetapi baru saja ia hendak bergerak. tahu-tahu kepalanya terhantam benda berat dan ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Upasunda bukan orang lemah. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi,mustahil menjadi perwira Bhayangkara urutan ketiga. Soalnya, hatinya sudah ciut menghadapi kenyataan yang mengejutkan. Hampir seluruh pasukannya terjebak musuh. Lalu melihat munculnya Diatri yang sama sekali diluar dugaan. Betapa mungkin di antara orang orang kasar terdapat seorang puteri yang anggun dan agung. Ia sempat dibuatnya tercengang. Lalu pandang matanya
sekonyong-konyong silau oleh cahaya yang luar biasa terangnya. Belum sempat ia berpikir tiba-tiba benda berat sudah menghantam kepalanya berbareng dengan padamnya cahaya yang menyilaukan.
Empat ratus pasukannya tertegun heran. Beberapa detik kemudian, barulah mereka sadar untuk segera menolong dan melindungi pemimpinnya. Sambil melompat,mereka berteriak. Sama sekali mereka tidak menghiraukan kemungkinannya diserang dengan mendadak dari tempat gelap. Ada pula yang berlarian mencari jalan keluar. Tujuannya ingin kabur secepat-cepatnya. Tetapi ternyata tidak mudah. Jalan balik sudah tertutup rapat.
Diatri tertawa geli menyaksikan sepak-terjang anak anak tangsi itu. Segera ia mengebutkan tangannya. Dan obor mereka padam dengan mendadak. Seketika itu juga, seluruh penglihatan jadi gelap pekat. Mereka berteriak cemas. Yang lari berserabutan saling bertubrukan,juga mereka yang hendak berbalik ke tempatnya semula. Lebih celaka lagi, tiba tiba mereka mendengar suara menggabruk di depannya. Suara menggabruk yang sebenarnya lebih tepat dikatakan suara bergemuruh tak ubah longsornya batu-batu pegunungan. Dengan demikian mereka kini benar-benar terkurung. Maju terhalang, mundur tertutup.
Bisatanding, Kuturan dan Waranasi yang berada di atas tanjakan, mendengar suara bergemuruh dua kali berturut-turut itu. Mereka menduga, pasukan Upasunda terjebak. Bisatanding menghela nafas. Katanya:
- Ilmu kepandaian Upasunda berada di atas kita bentiga. Tetapi ilmu perang berbeda jauh dengan ilmu berkelahi. Medan laga bukan semacam arena pertandingan. Siapa yang terburu nafsu, dia bakal terjebak oleh nafsunya sendiri. Dia hanya membawa lima ratus orang. Belum lagi mengenal medan. sudah berani membagi tenaga.
- Itulah berarti melemahkan kekuatannya sendiri. Sekarang mereka terjebak. Mau apa? Hm. ia kemudian menggerendeng tidak jelas. Berkata lagi:
- Tetapi betapapun juga, dia adalah teman kita. Wajib kita menolongnya. Hayo! Bisatanding mendahului melompat ke depan. Sekonyong-konyong ia mendengar suara jeritan beberapa orang. Itulah suara Hanuraga. Montri, Arakas dan Tunggawarman yang dikenalnya. Celaka, pikirnya.
- Apakah bukit ini penuh dengan jebakan-jebakan?
- Warasnasi. coba lihat apa yang terjadi! perintahnya kepada Waranasi.
Ia sendiri melanjutkan mendaki tanjakan dengan Kuturan. Di tengah jalan ia bertemu dengan Samaratungga, Sasana. Kalaputra dan Osing. Mereka memimpin pasukannya masing-masing. Merekalah perwira-perwira Bhayangkara yang kesebelas, dua belas, tiga belas dan empat belas.
- Kalian melihat apa? -tegurnya.
- Suasana gelap. Yang kami lihat hanya rimba raya. sahut mereka
Belum lagi Bisatanding meninggalkan tanjakan itu, terdengar suara pertempuran seru di sisi kanannya. Belasan obor mencoba menerangi petak hutan. Lalu terdengar suara lari berserabutan. Itulah laskar Chaiya yang kabur dari medan pertempuran. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak minta bantuan.
- Hebat. - hati Bisatanding tergetar.
- Kita datang untuk menumpas penjahat. Justru kitalah yang bakal tertumpas habis.
Dengan terpaksa ia memerintahkan Kuturan untuk menolong laskar Chaiya yang korat-karit. Kemudian ia memaki-maki kalang kabut. Ujarnya:
- Orang-orang Chaiya sama sekali tidak berguna. Bukankah mereka tadi ikut gerakan pasukan Upasunda?
- Inilah akibatnya, bila memecah diri. Musuh bersembunyi di balik medan yang sudah mereka kenal. Sebaliknya yang menyerbu ibarat orang buta meraba-raba jalan. Kalau musuh menghajar kita satu demi satu, bukankah kita akan . ...
- Benar. tiba-tiba terdengar suara membenarkan.
Dialah Siddhi Prasong yang muncul begitu saja dari balik pepohonan.
- Oh, tuanku Siddhi Prasong!
Bisatanding terkejut.
- Maksudku, kita harus cepat cepat menghimpun kekuatan kembali.
Terhadap Siddhi Prasong, Bisatanding merasa takluk sampai ke bulu-bulunya. Sebab selain berkepandaian tinggi, faham ilmu perang. Tetapi Siddhi Prasong tidak menarik panjang ucapannya. Dengan suara tegas ia berkata setengah memerintah:
- Seorang teman dalam bahaya. Tidak cukup hanya menyalahkan atau menggerembenginya. Mari kita tolong dahulu. Setelah itu, kita berunding untuk mencari jalan keluar.
Dengan diiringkan oleh beberapa perwira, Siddhi Prasong tiba di halaman Markas Besar. Di pintu pagar, mereka tak dapat lagi maju selangkah. Pintu pagar tertutup rapat. Suasana di dalamnya gelap gulita.
- Bagaimana?
Bisatanding menunggu perintah.
- Apakah tuanku Siddhi Prasong bermaksud menjebol pintu pagar ini?
Siddhi Prasong tidak menjawab. Ia menghimpun tenaganya dan menghantam pintu pagar yang terbuat dari besi.
Bres!
Pintu pagar yang terganjal batu, terbuka sedikit karena batu pengganjalnya tergeser oleh pukulannya.
- Bagus! Siddhi Prasong, kau hebat! -terdengar seseorang memuji.
Suara itu datang dari arah dalam. Halus, tetapi mendengung tiada hentinya. Siddhi Prasong terperanjat .Tahulah ia. bahwa orang itu niscaya memiliki himpunan tenaga sakti yang sangat tinggi. Pikirnya:
- Benarkah di antara kaum Arnawa terdapat seorang yang memiliki kesaktian begini hebat?
Setelah berpikir demikian dengan menjejak tanah ia melesat naik ke atas genting. Seorang pemuda berberewok tipis menyambut dengan membungkuk hormat.
- Tuanku Siddhi Prasong. Terimalah hormatku. Pernah aku melihat tuanku di istana sepintas lalu, sewaktu aku mengawal Yang Mulia Duta Besar lembu Seta. Waktu itu tidak ada waktu untuk memperkenalkan diri. Akulah Yudapati yang terpaksa menjebol penjara Lamuri demi menyelamatkan junjunganku. Maafkan kelancanganku itu. Siddhi Prasong tertegun. Kumis dan jenggotnya bergetar dan kedua matanya terbelalak. Sama sekali tidak diduganya bahwa ia bakal bertemu dengan salah seorang pengawal Duta Besar Lembu Seta yang pernah menjebol penjara lamuri. Menurut Boma Printa Narayana, kepandaian Yudapati tidak begitu tinggi. Meskipun demikian, ia tidak berani gegabah. Ia berdiam sejenak lalu membalas hormatnya. Sebab pada detik itu teringatlah pula suatu laporan, bahwa beberapa perwiranya tak dapat berbuat banyak terhadap Yudapati sewaktu bertempur mengadu kepandaian di wilayah selatan.
- Orang Tarumanegara silakan! Kau hendak memberi pelajaran apa kepadaku?
Dalam hal pangkat dan kedudukan, ia merasa lebih tinggi daripada Yudapati. Sebaliknya, Yudapati mempunyai rencananya sendiri. Kalau sampai bentrok, ia hanya akan menggunakan himpunan tenaga sakti yang seimbang
saja untuk manancing keberanian lawan.Karenanya,Ia tertawa setengah mengejek. Sahutnya untuk membuat hati lawannya panas:
- Kau jujur sekali. Engkau berani menyebut-nyebut nama negeriku. Aku jadi tidak senang kepadamu. Padahal, aku hanya ingin mengujimu apakah engkau pantas menduduki jabatan setinggi itu. Tetapi sebelum mengujimu, biarlah kuperkenalkan pula seorang pendekar asal negerimu. Inilah dia! Dan di sampingnya muncul seorang dara yang cantik jelita, anggun dan agung. Kata Yudapati lagi:
- Kenalkah engkau siapa dia? Kepadanyalah sebenarnya engkau harus mengabdikan diri. Dia puteri Bhiksuni Damayani Tunggadewi. Namanya, Diatri Kama Ratih. Siddhi Prasong,sebenarnya yang kutunggu-tunggu adalah rekan Boma Printa Narayana. Sayang yang datang adalah engkau. Tak apalah. Ingin aku mencobamu. Hanya saja, kata orang bila dua ekor harimau berkelahi yang seekor pasti celaka. Karena itu, lebih baik kita tidak bertempur saja. Bagaimana menurut pendapatmu? .
Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey Dewa Arak 52 Manusia Kelelawar You Are My Dream World Karya Angchimo

Cari Blog Ini