Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 14

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 14


Menuruti kata hati. Siddhi Prasong ingin memaki maki. Tetapi mengingat kedudukannya, tidak boleh ia mengumbar mulutnya. Ia termasuk salah seorang jenderal kepercayaan raja.
Masakan akan menjatuhkan keagungan dan martabatnya semata-mata penasaran terhadap seorang perwira rendahan?
Siddhi Prasong dapat mengendalikan kata hatinya. Sebaliknya, Bisatanding tidak demikian. Dahulu pernah ia mengadu kepandaian melawan Yudapati. Sayang, pertempuran itu diganggu oleh datangnya tujuh pendeta murid Punta Dewakarma. Terhadap mereka, tidak boleh ia melayani. Sekarang ia bertemu kembali dengan Yudapati. Terus saja ia memaki:
- Eh bangsat kecil! Kita telah bertemu kembali di sini. Tidak ada jalan lain, kecuali engkau harus mati.
- Ah saudara Bisatanding. Wajahmu masih saja kelilntan buruk. Bukankah engkau dahulu pernah berbedak lumpur?
Yudapati tertawa.
- Kau memang bandel. Apakah karena engkau kini sudah mempunyai dua pedang lagi?
Wajah Bisatanding merah padam. Ia khawatir kekalahannya dahulu akan terbongkar di depan Siddhi Prasong. Kalau sampai begitu, pamornya bakal luntur: Bisa-bisa Siddhi Prasong tidak menaruh kepercayaan lagi terhadapnya. Karena itu cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan:
- Kalau aku dahulu sampai jatuh menggabruk tanah adalah lumrah, seperti engkau melukai tuanku Upasunda. Tetapi jangan buru-buru engkau membusungkan dada merasa menang. - 0 begitu? -lagi-lagi Yudapati tertawa.
Kemudian berkata kepada Diatri:
- Apa kabar tuanku Upasunda?
- Kau maksudkan perwira tolol yang bersenjata bandul besi?
Diatri menegas.
- Ya. Tetapi kepandaiannya jauh di atas saudara Bisatanding yang dahulu pernah menggabruk lumpur.
- Tetapi masakan di depan Jenderal Siddhi Prasong?
- Dia jauh lebih jujur daripada Bisatanding. Dia berani menghadapi kenyataan. Karena itu, jangan bandingkan dia dengan Bisatanding yang berhati kecil. - Berhati kecil? Diatri berpura-pura heran.
- Ya, lihatlah yang jelas! Dia sedang kelabakan, karena takut kerunyamannya terbongkar di depan pemimpinnya.
- Oh. begitu? Tentang perwira tolol Upasunda itu . . .
Belum lagi Diatri menyelesaikan kata-katanya, Bisatanding memaki-maki kalang-kabut.
- Diam! bentak Siddhi Prasong.
- Nah, silakan nona berbicara. ,
- Agaknya. bawahanmu yang berberewok tebal itu perlu menambah pengalaman beberapa tahun lagi. Karena terburu nafsu, dengan mudah ia kami jebak. Dan untuk sementara waktu hampir seluruh laskarnya kami kurung rapat. Maju kita gempur, mundur mereka hancur. kata Diatri dengan suara tenang.
- Dan bagaimana dengan laskar-laskarmu lainnya? Sebagian masuk perangkap di tengah lautan, dan sebagian akan mati terbakar di tengah hutan. Lihat! Bisatanding dan perwira-perwira lainnya segera menoleh ke belakang. Sekitar kaki bukit nampak api menyala. Lalu terdengar teriakan melengking nyaring minta tolong. Sebaliknya Siddhi Prasong tidak berani mengalihkan pandang. Ia kenal benar kepandaian Upasunda. Kalau sampai kena terjebak. niscaya karena musuh terlalu pandai. Menyadari hal itu, pandang matanya tetap diarahkan ke wajah Yudapati. Tetapi mendengar pekik terkejut pasukannya, terpaksalah ia minta keterangan:
- Apa yang terjadi?
- Biarlah aku yang menolong memberi keterangan, agar tuan tidak perlu tegang berlebih-lebihan. ujar Yudapati mendahului laporan anak buah Siddhi Prasong.
- Semuanya, terus terang saja aku yang mengatur.
- Hm.
Siddhi Prasong mendengus di dalam hati.
- Engkau seorang perwira dari Tarumanagara. Mustahil engkau mengenal tempat ini dengan baik. Bukankah engkau hanya bermaksud hendak membuat hatiku panas? Hm. kau terlalu licin, bocah!
- Tuan Siddhi Prasong, kami terpaksa mengecewakan hati tuan. Seperti tuan ketahui sendiri, dalam medan perang terjadi hukum yang harus berlaku. Dibunuh atau membunuh. Karena itu, jika tuan tidak segera menyerah
seluruh laskarmu akan mati terbunuh. Mereka tidak dapat bergerak lagi. Maka kami akan membunuhnya tak ubah membabat rumpun rerumputan. - Bisatanding! Apakah yang sudah terjadi?
Siddhi Prasong menanya sekali lagi.
- Binatang itu memang tidak membual kosong. Laskar kita rusak berantakan. Apalagi laskar Chaiya yang belum mengenal medan negeri kita. sahut Bisatanding yang masih berdiri di bawah atap.
Siddhi Prasong menyenak nafas. Berkata kepada Yudapati:
- Baiklah, anak muda. Kau menang. Sampai bertemu kembali . . . setelah berkata demikian, ia memutar badannya.
- Hai!
Yudapati tertawa.
- Apakah engkau hendak melarikan diri? Tunggu dulu!
Yudapati sudah memutuskan hendak melihat Siddhi Prasong, agar pasukannya tidak dapat memberi bantuan laskar yang terkurung. Terus saja ia melompat memukulkan tangannya. Siddi Prasong tahu, dirinya diserang dari belakang. Segera ia mengayunkan tangannya untuk menangkis dengan tenaga penuh.
Bres!
Mereka beradu tenaga. Akibatnya. kedua-duanya mundur beberapa langkah.
Siddhi Prasong terperanjat. Pada saat itu sadarlah ia, bahwa orang orangnya tidak akan dapat meninggalkan tempat sebelum Yudapati ditaklukkan. Maka ia kini ganti menyerang dengan pukulan dahsyat. Yudapati tahu akan tugasnya Segera ia melayani jago pasukan Bhayangkara nomor dua itu.
Diatri Kama Ratih yang tadi mendampingi Yudapati melompat ke bawah sambil tertawa manis sekali. Kemudian berkata kepada Biastanding dan Kuturan, jago perwira Bhayangkara yang keempat dan kelima:
- Waktu aku masih kanak-kanak. sering ibu bercerita tentang dua dewa yang bertempur mengadu kepandaian dua ribu tahun lamanya. Mereka sedang memperebutkan buah Dewaratna untuk menambah kesaktiannya. Kalian tahu siapakah dua dewa itu? Yang bertubuh raksasa bernama Satrutapa. Dialah kuumpamakan Siddhi Prasong yang tidak malu menjual negerinya kepada orang asing. Dan lainnya Bathara Wisnu. Itulah kakakku Yudapati yang melayani lawannya hanya dengan mengelak saja. Sebab bila dia membalas, Satrutapa akan Segera mati. Maka diam diam Satrutapa menyembunyikan dua kawannya. Dua iblis yang mengenakan pakaian dewa. ltulah kalian berdua. Nah, mengapa kalian tidak segera menolong majikanmu?
Jelas sekali maksud Diatri mengarang dongeng itu. Ia sengaja membuat Bisatanding dan Kuturan mendongkol. Dongengnya ternyata tepat mengenai sasaran. Dengan berteriak kalap, Bisatanding berkata:
- Kurangajar! Akan kami buat engkau mati tidak, hiduppun tidak.
Dengan berbareng mereka menyerang. Masing-masing membawa senjata andalannya. Bisatanding bersenjata dua pedang, sedang Kuturan bersenjata dua batang tombak pendek. Luar biasa gesit mereka. Maka pantaslah mereka menduduki tempat keempat dan kelima dalam urutan perwira-perwira sakti Bhayangkara Raja. Sebaliknya. Diatri sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu golok ayah-bundanya. Dengan berbareng ia menghunus dua senjata warisan ayah-bundanya. Sebatang pedang dan sebatang golok. Golok digunakannya untuk melawan pedang Bisatanding. Dan pedang Sangga Buana untuk menghalau serangan tombak Kuturan.
Di dalam hal ilmu golok dan ilmu pedang. Diatri lebih memahami dari pada Yudapati. Puteri Bhiksuni Damayani
itu hanya kalah dalam hal himpunan tenaga sakti. Karena itu, untuk menghadapi Bisatanding dan Kuturan masih saja ia menang setingkat. Baru beberapa gebrakan saja. Bisatanding dan Kuturan mati kutu. Kemana saja mereka menyerang, kedua senjata Diatri selalu dapat mengimbangi.
- Jangan terburu nafsu!
Diatri tertawa.
-:Simpanlah tenaga kalian! Aku menghendaki kalian bertempur di sini sampai terang tanah. Nah, pada saat itulah aku akan mengambil keputusan.
Bisatanding dan Kuturan gelisah bukan main.
Bukankah laskarnya tidak akan dapat berbuat banyak tanpa pimpinan?
Waranasi dan lain-lainnya hanya pandai bertempur perorangan. Untuk dapat memimpin pasukan tempur, jangan harap. '
Siddhi Prasongpun setali tiga uang, ia tahu, orangorang Chaiya sudah bubar berserabutan. Dari balik bukit ia melihat cahaya api. Tentunya kaum Arnawa sudah berhasil membakar perahu-perahu balabantuan laskar Chaiya. Dari bawah bukit terdengar pula teriakan kalap suatu pertempuran mati-matian. Iapun teringat akan nasib Upasunda yang terkurung dengan sebagian besar laskarnya.
Aditya Putera memang siap tempur benar-benar. Ia tidak hanya mengerahkan anak-buahnya bertempur di darat saja,tetapi mengatur penyergapan di lautan. Bertempur di tengah laut adalah keahlian kaum Arnawa semenjak jaman dahulu. Sebab lautan itulah tempat mereka mempertahankan hak hidupnya. Karena itu, begitu melihat kapal-kapal asing berada di wilayah perairan mereka, terus saja ia memerintahkan untuk menyergapnya. laskar Arnawa yang pandai berenang menyerang dari dalam permukaan air. Mereka melubangi dan membakar kapal kapal Chaiya. Sebentar saja api berkobar-kober bagaikan membakar udara.
- Apa yang harus kulakukan? itulah pikiran yang berkecamuk dalam benak Siddhi Prasong.
Ia merasa tidak berdaya menghadapi Yudapati. Semua kepandaiannya dikeluarkan. Namun Yudapati hanya main mengelak saja. Dia tidak membalas menyerang. Kalau terpaksa hanya menangkis atau sekali-kali menggempur dengan memperlihatkan himpunan tenaga saktinya yang dapat dikendalikan sesuka hatinya.
Tetapi Siddhi Prasong seorang pendekar yang banyak pengalamannya. ia tahu, menghadapi Yudapati tidak boleh lengah sedikitpun atau menuruti kata-hati yang gemas. Ia harus berani bersabar menunggu saatnya yang tepat. Justru demikian. berarti ia kehilangan waktu.
Bagaimana kalau terlibat sampai pagihari tiba?
Pada waktu itu sebagian besar tentaranya tentu sudah musnah.
Di dalam hati, Yudapati memuji kewaspadaan musuhnya. Pikirnya:
- Pantas dia menjadi seorang jenderal. Tentunya dia lagi memikirkan nasib pembantu-pembantunya. Hanuraga. Montri dan Anakas tidak mudah mengalahkan Tara dan Bonggo Yaksa. Samaratungga dan lain lainnya, akan kerepotan juga menghadapi tipu-muslihat paman Aditya Putera. Gajayana, Tanapi dan Tokang. Kalau aku bisa menahan Siddhi Prasong di sini, sebentar lagi tentaranya akan dapat disapu bersih oleh laskar kaum Arnawa.
Yudapati pernah bertempur melawan Bisatanding, Waranasi, Montri dan Samaratungga. Sekarang ia mengenal pula yang bernama Siddhi Prasong dan Anakas. Sedang terhadap Sasana, Kalaputera dan Osing, belum pernah mengukur sampai dimana kepandaiannya. Tetapi tentunya, tidak akan melebihi Jenderal Siddhi Prasong. Karena itu bila dirinya dapat menahan Siddhi Prasong, lainnya tidak banyak artinya.
Dengan pikiran itu, ia menurunkan kedua tangannya .Sekarang ia berdiri tegak bagaikan patung. Pandang matanya menatap tajam lalu membuat jurus Tantra tingkat delapan yang diciptakan sebagai pagar lingkaran. Itulah jurus sakti yang tidak nampak oleh indera mata.
Siddhi Prasong mendengus. Diapun segera berdiam diri Kedua matanya memandang tajam ke depan. Ia tahu akan ancaman bahaya. Tetapi mimpipun tak pernah bahwa di dunia ini terdapat ilmu sakti yang bernama menanam jurus tidak nampak, ia hanya mengira, bahwa Yudapati akan menyerang dengan mendadak. Karena itu, ia bersiaga penuh dan tidak berani lalai sekejappun.
Menyaksikan cara berkelahi demikian. Diatri heran. Tetapi dia seorang gadis yang tajam pikirannya. Segera ia dapat menduga apa yang terjadi. Niscaya mereka berdua sedang mengadu kepandaian tingkat tinggi. Karena itu, ia tidak berani membuat suara berisik. Jangan-jangan akan mengganggu pemusatan pikiran Yudapati. Terus saja ia merangsak kedua lawannya. Baik golok maupun pedangnya tidak dibiarkan sampai beradu dengan senjata lawan. Sebagai gantinya. ia bergerak luar biasa cepatnya sehingga tubuhnya berkelebatan bagaikan bayangan. Menghadapi gerakan yang gesit luar biasa itu. Bisatanding dan Kuturan tidak dapat berbuat banyak. Mereka terdesak mundur dari tempat ke tempat. Sebenarnya ingin mereka melarikan diri.
Namun aneh!
Kesempatan demikian tiada sama sekali.
Selagi mereka bertempur mengadu kepandaian di halaman markas besar ditempat lain terjadi pertempuran yang seru pula. Pertempuran antara laskar Arnawa melawan laskar kerajaan yang dibantu oleh laskar Chaiya. Dari suara pertempuran dan pekik kehirukan, Bisatanding dan Kuturan tahu bahwa pihaknya kalah habis-habisan. Di dalam hati, mereka mengeluh panjang dan pendek.
Sekonyong-konyong terdengar suara nyaring lantang- Munduuuuurrrr .
Seruan ini lebih membuktikan bahwa seluruh laskar kerajaan dan Chaiya tiada harapan lagi untuk unggul. Dan yang berseru tadi adalah Samaratungga. Jago kesebelas perwira Bhayangkara Raja.
Samaratungga, Sasanan. Kalaputera dan Osing sebentar tadi memimpin laskarnya masing-masing mengambil jalan lain. Mereka tiba di sebuah rimba yang setengah gelap oleh penerangan puluhan obor yang tidak mencukupi. Di tengah rimba itu. laskar Chaiya dibantai kaum Arnawa yang muncul dari persembunyiannya tak ubah kawanan siluman.
Kaum Arnawa mempunyai caranya sendiri menghadapi lawan. Mereka mengenakan pakaian warna gelap. Senjata mereka beraneka macam. Selain bersenjata tajam banyak pula yang membawa tali. Tali itu dipasang demikian rupa. sehingga banyak laskar Chaiya terjerat mati atau jatuh tersungkur. Karena penerangan yang dibawanya tidak mencukupi, tahu-tahu kepala mereka sudah pisah dari tubuhnya.
Ada pula kelompok kawanan yang berada di atas pohon. Begitu laskar Chaiya lewat di bawahnya. mereka turun berloncatan sambil membabatkan pedang, kelewang atau goloknya. Tak usah diceritakan lagi betapa akibatnya. Kaum Arnawa mengenal tanahnya sendiri. Sebaliknya laskar penyerbu berada di tengah medan yang-masih asing baginya.
Menyaksikan hal itu. hati Samaratungga dan teman temannya panas dan penasaran. Terus saja mereka menyerbu ingin membantu. Tetapi masing-masing bertemu dengan lawannya yang seimbang. Samaratungga dihadang Aditya Putera. Ia menerjang dengan pedangnya. Baru saja pedangnya bergerak terdengar suara kesiur angin menyambar
batang lehernya,cepat ia menangkiskan pedangnya. Kedua senjata itu bentrok dengan suara nyaring. Kedua duanya terpukul mundur beberapa langkah.
- Bangsat penjual negara. kau tidak bakal bisa bertemu anak-isterimu lagi. bentak Aditya Putera.
Samaratungga jago kesebelas perwira Bhayangkara Raja. Berarti seorang perwira yang berkepandaian tinggi pula. Terus saja ia membalas menyerang. Kedua-duanya tidak sudi mengalah. Sebentar saja mereka sudah bertempur tiga puluh jurus lebih.
Diam-diam Aditya Putera memuji ketangguhan lawan.. Kalau terlibat terus-menerus, tak dapat lagi ia mengawasi gerakan laskarnya yang lain. Syukur pada saat itu muncullah Gajayana yang segera mengerubut Samaratungga. Dikerubut dua orang, Samaratungga mulai berada di bawah angin. Selagi berusaha untuk mengatasi lawan, muncul lagi seorang berperawakan gendut pendek. Dialah Girinda yang bersenjata rantai istimewa. Setiap gerakan tangannya, membuat rantai itu bergerincing nyaring. Melihat munculnya Girinda. Samaratungga jadi kecil hati. Terus saja ia memutar tubuhnya melarikan diri.Untung saja Aditya Putera bertiga tidak mengejarnya. Sebab mereka sedang memimpin pertempuran semesta (frontaal).
Di sebelah kanan rimba itu, tentara Chaiya sedang tergencet. Perwira Sasana, Kalaputera dan Osing yang datang membantu dihadang Gajayana, Tanapi dan Tokang. Aditya Puterapun segera datang pula. Dengan demikian, perwira perwira Bhayangkara itu tidak dapat berbuat banyak.
- Jangan biarkan mereka melarikan diri. Tumpas habis! teriak Aditya Putera memberi aba-aba.
- Pasang jembatan sambung! Robohkan benteng balok! Gunturkan timbunan batu! -.
Tetapi merobohkan perwira-perwira Bhayangkara tidak mudah. Hanya orang-orang Chaiya yang banyak menjadi korban. Mereka kebingungan. Kemana saja mereka melarikan diri kena hadang laskar Arnawa yang berperang seperti siluman. Lalu terdengar suara gelegar timbunan batu yang meluruk ke bawah dan dinding-dinding balok yang menggelinding mengejar laskar yang lari berserakan. Akhirnya mereka menjadi korban jebakan itu. Jumlahnya tidak terhitung lagi.
Dalam pada itu perwira Sasana. Kalaputera dan Osing mengeluh di dalam hati. Jelaslah sudah, bahwa tentaranya hancur tak tertolong lagi. Osing yang beradat panas melompat menerjang. Inilah kesalahannya. Belum lagi ia dapat berbuat yang berarti sudah kena hajar Gajayana. Sedang demikian, Aditya Putera membabatkan goloknya yang tak mengenal ampun. Ia melompat sebisa-bisanya. Walaupun demikian masih saja kakinya terserempet. Seketika itu juga. darah segar membasahi celananya.
Gajayana tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan. Pedangnya menikam. Dan untuk yang kedua kalinya. Osing terluka. Girinda ingin memperoleh bagiannya pula. Senjata rantainya yang istimewa mendering melibat kaki.
- Hoeeit!
Osing terkejut. Tak ampun lagi ia jatuh terbanting di atas tanah. Buru-buru ia meletik bangun. sayang, masih saja kalah cepat daripada sambaran golok Aditya Putera.
Crat!
Dan dadanya tertembus golok maut. Ia menjerit memekakkan telinga. Beberapa detik kemudian jiwanya melayang.
Sasana dan Kalaputera terkejut setengah mati. Tak dapat mereka mengulurkan tangannya. Dari kiri dan kanan menyerang puluhan laskar Arnawa, sedangkan sebagian besar obor penerangan sudah padam.
- Mumpung masih kesempatan. lari! seru Kalaputera.
Sasana memutar tubuhnya dan lari sejadi jadinya. Karena berkepandaian tinggi. dapatlah ia menyibakkan laskar yang menghadangnya. Kalaputerapun demikian pula. Ia lari ke arah bertentangan untuk memecah perhatian lawan. Tetapi lari di tengah rimba pada gelap malam tidaklah semudah orang melarikan diri di tengah lapangan terbuka. Entah sudah berapa kali ia menubruk pohon dan jatuh terjerembab mencium tanah. Setelah berhasil melintasi rimba mukanya babak belur tak keruan keruan. Mungkin sekali anak-isterinya tidak segera mengenal lagi.
- Sayang, mereka terlepas.
Gajayana masygul.
- Tak apa. Mari kita melihat apa yang terjadi di halaman depan markas kita! ajak Aditya Putera.
Dengan diiringkan Gajayana dan Girinda. Aditya Putera berlari-larian mendaki tanjakan. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya tiga bayangan seolah-olah menghampirinya. Merekalah Siddhi Prasong. Bisatanding dan Kuturan.
Mengapa mereka bisa lolos dari libatan Yudapati dan Diatrg?
Tatkala Siddhi Prasong terkurung jurus tanaman Yudapati. ia merasa tak berdaya. Jangan lagi berusaha maju menerjang ataupun mengundurkan diri, bergerakpun tak mampu. la terperanjat, heran dan akhirnya cemas. Pikirnya.
- apakah bocah ini mempunyai ilmu siluman?
Diam diam ia berusaha mencari jalan keluarnya. Sekian lamanya Ia memeras otaknya, tetap tertumbuk jalan buntu. Padahal waktu itu ia melihat Yudapati mulai maju sedikit demi sedikit. Syukur pada saat, jiwanya akan terancam mendadak terjadi suatu perubahan diluar dugaan.
Diatri yang melibat kedua lawannya terus-menerus, bermaksud jangan mengganggu pemusatan pikiran Yudapati. Karena itu, tidak berani ia mengadu senjata. Ia memdesak kedua musuhnya agar menjauhi arena adu kepandaian itu. Tetapi Bisatanding dan Kuturan diam-diam sempat melirik ke arah Siddhi Prasong. Melihat Siddhi Prasong diam tidak bergerak tak ubah patung, mereka mencemaskan keselamatannya. Maka seperti berjanji mereka mundur berputaran menghampiri tempat Siddhi Prasong berdiri. Maksudnya. tentu saja hendak menolongnya.
Diatri tahu akan maksud mereka. Ia melompat mendahului hendak menghadangnya. Justru demikian, hampir saja ia menyentuh jurus sakti tanaman Yudapati. Yudapati terkejut. Bila Diatri sampai menyentuhnya, ia akan kehilangan seluruh tenaganya.. Kalau sampai terjadi demikian. Bisatanding dan Kuturan akan dapat menghabisi jiwanya dengan mudah. Karena itu, buru-buru ia berseru memperingatkan:
- Diatri, awas! Mundur!
Inilah pantangan besar bagi jurus saktinya yang sesungguhnya tertanam oleh hentakan nafas. Bila dia berbicara wajar. jurus sakti itu tidak akan tergeser meskipun sepuluh tahun lagi. Sebaliknya, karena berseru, secara otomatis ia menggunakan tenaga hentakan suara. Artinya ia menghentakkan atau mengusir jurus sakti tanamannya sendiri.
Siddhi Prasong adalah seorang pendekar yang berpengalaman luas. Pada detik itu, ia merasa terbebas. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Selagi Yudapati belum sempat menanamkan jurus sakti lagi. cepat ia melesat keluar arena. Karena merasa tertolong oleh kedua orang pembantunya itu dengan sekali sambar ia membawa mereka melarikan diri secepat angin. Tiba-tiba ia dihadang oleh Aditya Putera yang menggertaknya:
- Binatang. engkau hendak lari kemana? Sambil menggertak Aditya Putera mengangkat golok raksasanya dan segera akan dibabarkan. Yudapati dan Diatri yang mengejar dari belakang. buru-buru memberi peringatan;
- Paman Aditya Putera, hati-hati! Siddhi Prasong memang pantas menjadi perwira tinggi pilihan. Melihat berkelebatnya golok Aditya Putera, dengan mendengus ia mengelakkan tubuhnya sambil menyambar gagang golok. Lalu dengan sekali hentak, Aditya Putera terseret. Dan pada detik itu pula, tangan kanan Siddhi Prasong melayang mengancam kepala.
Aditya Putera tengah terkejut. Sama sekali tak diduganya, bahwa Siddhi Prasong dapat mengelakkan babatan goloknya dengan mudah sambil menggempur kuda-kudanya sampai mampu menyeretnya. Karena itu tidak sempat lagi ia berusaha menangkis atau mengelakkan sambaran tangan musuhnya yang bertenaga luar biasa.
Tetapi pada detik berbahaya itu, suatu benturan keras terjadi. Akibatnya tubuh Siddhi Prasong terpental beberapa langkah, kemudian melarikan diri sambil berseru:
- Bocah, kau hebat! Lain kali kita bertemu lagi.
Setelah berkata demikian, ia lari luar biasa kencang dengan diikuti Bisatanding dan Kuturan. Sebentar saja bayangannya lenyap dari penglihatan. Lalu terdengar Yudapati tertawa panjang sambil menyahut:
- Jangan lupa namaku! Aku Yudapati! Yang menolong jiwa Aditya Putera sebentar tadi memang Yudapati. Melihat ancaman maut itu, Yudapati melejit dengan menggunakan Tantra tingkat sembilan sambil membenturkan tangannya. Jiwa Aditya Putera tertolong, karena Siddhi Prasong terpental beberapa langkah. Sebaliknya Yudapati tidak kurang suatu apa. bahkan memperdengarkan suaranya yang mengalun tinggi.
Aditya Putera n. Selama hidupnya, baru kali itu ia mengalami ancaman bahaya yang benar benar mengejutkan hatinya. Iapun kagum dan merasa kecil menyaksikan kedahsyatan tenaga Yudapati. Terus saja ia membungkuk hormat sambil berkata:
- Tuanku. engkaulah yang menyelamatkan jiwaku. Semenjak saat ini, jiwaku adalah milik tuanku.
- Sebenarnya, dia jauh lebih hebat daripadaku. ujar Yudapati merendahkan diri.
- Rupanya dia masih ingin menguji diriku. Hm, aku harus berhati-hati. Seorang Siddhi Prasong sudah begini hebat. Belum lagi Boma Printa Narayana yang menjadi pucuk pimpinannya. Kabarnya, masih ada seorang lagi yang bernama Sanggadewa Ah, aku akan menghadapi lawan yang sulit untuk bisa kurobohkan. Sebenarnya siapakah Siddhi Prasong itu?
- Jelas seorang perwira tinggi berasal dari Chaiya. -sahut Diatri Kama Ratih.
- Benar.
Aditya Putera menguatkan. Tetapi menurut hematku, dia boleh belajar sepuluh tahun lagi. sebelum mencoba-coba mengadu kepandaian dengan tuanku.
Yudapati hendak menyahut tatkala Diatri memotongnya:
- Kakak Yudapati. mari kita kejar dia!
Tetapi Yudapati tidak bergerak dari tempatnya. Katanya pelahan seperti kepada dirinya sendiri:
- Aku tidak hanya kagum kepada kesaktiannya, tapipun kecerdasan otaknya. Dengan tepat dan cepat sekali, ia dapat menggunakan kesempatan yang hanya berlaku sedetik dua detik. Itulah saat aku berseru memperingatkan engkau. Dia tidak hanya dapat menolong dirinya sendiri saja. tetapi juga menyelamatkan Bisatanding dan Kuturan yang hampir pula menyentuh jurusku. Ah, hebat!
*****
KEHILANGAN JEJAK
DIATRI KAMA RATIH masygul bukan main, karena Yudapati menolak ajakannya mengejar Siddhi Prasong. ia tahu, Siddhi Prasong memang seorang jenderal berkepandaian tinggi. Justru demikian. ibarat kuman yang berbahaya, dia harus disingkirkan dahulu. Rasanya ia masih sanggup untuk merobohkan orang Chaiya itu yang sudah beberapa tahun lamanya terpilih menjadi perwira tinggi Bhayangkara Raja nomor dua setelah Sanggadewa.
- Biarlah dia hidup untuk sementara waktu.
Yudapati membesarkan hati Diatri.
- Kelak masih ada kesempatan untuk merobohkannya. - Tetapi kakak sudah menyebutkan nama sendiri. Artinya semenjak kini kakak akan menjadi incaran mereka. - Memang itulah maksudku. Dengan begitu, dia tidak akan membuat susah dirimu dan Tara. Diatri terdiam. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya terkejut seperti terseingat lebah:
- Ah ya Tara! Dimana dia sekarang berada? Kalau arah larinya Siddhi Prasong justru bertemu dengan Tara, bukankah berbahaya?
- Benar. Yudapati terkejut pula. Tara memang bisa terancam jiwanya bila sampai berpapasan dengan Siddhi Prasong. Segera ia minta diri dari Aditya Putera untuk mencari Tara. Lalu menarik tangan Diatri sambil berkata mengajak:
- Mari! Kedua muda-mudi itu mempunyai keistimewaannya masing-masing. Yudapati sudah menguasai Tantra tingkat sebelas. Kecuali bertenaga luar biasa kuatnya, gerakan tubuhnya bagaikan bayangan yang mampu berpindah tempat dalam sedetik dua detik. Sebaliknya Diatri sudah mewarisi ilmu ayah-bundanya. Dalam hal berlari kencang, ia menguasai sepenuhnya. Karena ia dapat mengimbangi kecepatan lari Yudapati. Sebentar saja. bayangan tubuh mereka lenyap dari penglihatan. Dan menyaksikan hal itu, Aditya Putera dan ketua-ketua lainnya, kagum bukan main. Mereka saling pandang seolah-olah tidak mempercayai penglihatannya masing-masing.
*** - Dia tadi didampingi Bonggol Yaksa. ujar Yudapati sambil berlari kencang.
- Andaikata menghadapi bahaya, masih ada kesempatan untuk mengulur waktu.
Diatri hanya menyahut dengan menganggukkan kepalanya. Ia menyaksikan korban-korban pertempuran seru yang menggeletak di kiri-kanannya. Tentunya berkat pimpinan Tara dan Bonggol Yaksa yang berhasil memorakporandakan laskar penyerbu. Senjata tentara kerajaan berceceran sepanjang jalan. Kadang-kadang ia mendengar suara erang kesakitan di balik kegelapan malam.
Sekonyong-konyong dari arah kiri muncul satu regu tentara kerajaan yang sedang mengundurkan diri. Melihat
mereka berdua, komandannya menegur dengan suara garang:
- Siapa? Baik Yudapati maupun Diatri tidak menjawab. Mereka justru membelok menghampirinya. Samar-samar Yudapati melihat warna dan potongan seragam laskar itu. Ternyata mereka mengenakan pakaian seragam laskar Chaiya kecuali komandannya. Agaknya, karena tidak mengenal medan maka tiap-tiap regu dipimpin oleh seorang bintara tentara kerajaan. Teguran bintara tadi harus dijawab dengan kata-kata sandi yang sudah ditentukan. Karena Yudapati dan Diatri tidak bisa menjawab, bintara itu kemudian memberi aba-aba: '
- Panah! '
Tetapi sebelum mereka berhasil melepaskan panahnya, Diatri sudah mendahului. Dengan sekali loncat, ia menerkam seorang perajurit yang tengah memasang panahnya dan dilontarkan ke arah teman-temannya. Dan seperti terhantam oleh sebuah benda berat, mereka roboh terguling dan mencoba bangun merayap-rayap.
Bintara yang memimpin mereka terlongong-longong menyaksikan kegagahan Diatri. Tatkala Diatri hendak melepaskan senjata bidiknya yang berupa butiran-butiran terbuat dari baja, Yudapati mencegahnya.
- Sudahlah. jangan pedulikan mereka lagi. Kita bisa kehilangan waktu. Paling penting menolong Tara dahulu.
Diatri menurut. Segera ia melesat mengikuti arah lari Yudapati. Tetapi baru serintasan mereka bertemu dengan sepasukan laskar. Kali ini, Yudapati yang menghalau mereka. Dengan mengibaskan tangannya, tenaga saktinya mendengung melontarkan mereka bagaikan angin puyuh melanda pagar rumah.
- Bagus!
Diatri memuji dengan gembira. Setelah mendampingi Yudapati beberapa kali melawan musuh musuhnya. Diatri makin yakin betapa dahsyat himpunan tenaga sakti pemuda itu.
Sekarang di depan mereka terjadi suatu pertempuran berat sebelah. Kurang lebih seratus laskar Chaiya dan tentara kerajaan, mengepung seregu laskar Arnawa yang dipimpin Bonggol Yaksa.
- Mari kita bantu dahulu! ajak Yudapati.
Pemuda itu kemudian melesat ke depan bagaikan bayangan. Diatri tidak mau kalah pula. Dengan ringan,ia melompat ke udara dan mendarat tepat di belakang satuan laskar yang sedang mengerubut Bonggol Yaksa.
Tanpa memberi peringatan apapun, Yudapati dan Diani mulai bekerja. Seperti saling berlomba, mereka menerjang memukul dan melemparkan satuan laskar pengepung hingga jadi korat-karit. Sebentar saja, empat puluh orang sudah tak dapat berkutik lagi. Dan lainnya, segera melarikan diri dengan terbirit-birit.
- Paman Bonggol Yaksa." seru Yudapati.
- Apakah engkau melihat Tara? '
Bonggol Yaksa melepaskan nafas lega, karena terhindar dari marabahaya. Segera ia menjawab
- Tuanku Puteri dengan ditemani Tokang menyerbu perkemahan mereka. Kabarnya. tentara kerajaan dipimpin Jenderal Siddhi Prasong. Dan laskar Chaiya dipimpin Jenderal Tamawat. Mereka bermarkas di sebuah perkemahan. 'Itu . . . itulah perkemahan mereka yang dikelilingi pohon-pohon tinggi. - Diatri, mari! -ujar Yudapati.
Yudapati menarik lengan Diatri dan dibawanya lari pesat. Di tengah jalan, kedua muda-mudi itu dihadang beberapa regu pengawal bersenjata tombak panjang. Tetapi dengan sekali hantam, Yudapati dapat menyingkirkan mereka .Diatri mengerti maksud Yudapati, apa sebab pemuda itu bertindak terlalu cepat. Hambatan mereka dapat membahayakan keadaan Tara. Karena itu. diapun tidak mau kalah cepat. Ia menghujani regu-regu penghadang dengan peluru besinya. Siapa yang terkena sasaran, roboh seketika itu juga. Dengan demikian, muda-mudiitu dapat melewati barisan pengawal dengan selamat.
Kira-kira dua ratus langkah di depan kaki bukit. laskar Arnawa bertempur seru. Seorang berperawakan gagah perkasa dengan kumis tebal berkelahi seperti kerbau gila. Yudapati dan Diatri segera mengenalnya. Dialah Tokang yang berjanji hendak bertempur di garis depan. Sekarang ia membuktikan ucapannya.
- Tuanku Yudapati! serunya.
- Kebetulan tuanku datang...
- Apakah melihat Tara? - sahut Yudapati dengan suatu pertanyaan. .
- Tuanku puteri? Beliau hendak menangkap Jenderal Tamawat.
- Apa? Yudapati terkejut. Ia tahu, Tara Jayawardani seorang gadis yang masih terlalu polos sehingga tidak dapat melihat bahaya yang mungkin mengancamnya .Dia bakal bertemu dengan Siddhi Prasong.
Betapa mungkin dia dapat melawannya?
- Tokang. kau tahu di mana letak tenda Jenderal Tamawat?
- Mari kuantarkan. sahut Tokang.
Watak dan gerak-gerik Tokang sesuai dengan perawakan tubuhnya yang gagah perkasa. Sikapnya tegas dan pendiriannya teguh. Dia seorang pemberani pula. Menilik pribadinya, bukan mustahil ia bertentangan dengan Barabas. Sebentar tadi dibuktikannya, betapa ia membenci laskar kerajaan,lebih-lebih terhadap laskar asing yang hendak menyerbu Markas Besar Kaum Arnawa.
- Nah. itu dia! seru Tokang sambil menuding
jari telunjuknya.
Kira kira dua ratus meter di depannya, nampak beberapa tenda yang berada di atas ketinggian tertutup beberapa batang pohon. Waktu itu terang tanah hampir tiba. Bagi Yudapati dan Diatri yang berilmu tinggi, semua penglihatan nampak cukup jelas. Keadaan tenda itu sunyi.
Mengapa?
Mereka jadi curiga.
Sekonyong-konyong terdengar suara seorang perempuan:
- Kau ingin menangkapku? Jangan harap!
Kemudian terdengar suara gelak tertawa yang disusul dengan suara tertawa beramai-ramai. Rupanya seluruh penghuni tenda perkemahan berkumpul disuatu tempat seperti sedang melihat pertunjukan yang lucu namun menarik hati.
Yudapati menghentikan langkahnya. Hati-hati ia menyelusuri tenda-tenda perkemahan. Ia mengenal yang berseru lantang tadi. ltulah suara Tara Jayawardani. Niscaya dia berada dalam ancaman musuh. Mengingat kepandaian Siddhi Prasong, ia harus waspada. Ia percaya, dalam tenda tenda yang merupakan markas komando darurat terdapat banyak jago-jago setaraf Siddhi Prasong. Kepada Tokang dia berbisik:
- Jangan semberono!
- Kalau begitu, biarlah aku membawa pasukan kemari.
Tokang minta pertimbangan.
- Baik, tetapi jangan sampai mengejutkan ular sedang tidur. Tokang mengangguk. Sebagai seorang kawakan, tahulah dia apa makna peringatan Yudapati. Terus saja ia memutar tubuhnya dan lari sepesat angin meninggalkan markas komando darurat laskar kerajaan.
Yudapati dan Diatri kemudian menghampiri kerumunan laskar yang berdiri membuat semacam lingkaran.Mereka sedang mendongakkan kepala menatap puncak pohon. Di atas pohon nampak Tara Jayawardani sedang berdiri tegak pada sebatang dahan. Dan di tengah gelanggang berdiri seorang pemuda sebaya usianya dengan Yudapati. Perawakannya ramping dan berwajah cakap sekali. Dengan tertawa pemuda itu berkata sabar:
- Nona! Inilah penutup kepalamu. Tunggu, aku akan mengembalikan.
Setelah berkata demikian, dengan sekali menjejakkan kakinya ia melesat tinggi dan hinggap di atas dahan. Dan menyaksikan caranya melesat itu, Yudapati memujinya. Orang yang dapat melakukan gerakan demikian, pasti mempunyai himpunan tenaga sakti tinggi
Siapakah dia?
Tara Jayawardani tidak sudi didekati. Diapun melompat ke pohon lainnya. Gerakannya gesit pula, sehingga orang-orang yang berkerumun di bawahnya bertepuk tangan memujinya. Pikir Yudapati di dalam hati:
- Bagus! Dalam waktu setengah malam saja, kepandaiannya maju pesat. - Hai budak kurangajar! bentak Tara dengan suara gemas.
- Engkau tentunya berkedudukan tinggi. Mengapa merampas penutup kepalaku? Apakah engkau tidak malu?
Tara yang mengenakan pakaian pria, kini tidak mengenakan penutup kepala lagi sehingga rambutnya terurai berkibaran tertiup angin. Sebaliknya pemuda yang dimakinya,tidak bersakit hati. Dia malahan tertawa geli. Sahutnya:
- Baiklah, aku mohon maaf. Sekarang aku akan mengembalikan. Turunlah! Lalu kita pulang ke kotaraja. Bagaimana? Setuju? Waktu itu malam hari sudah merangkak rangkak mendekati fajar hari. Cerah cahaya matahari mulai nampak di ufuk timur. Justru demikian. Yudapati kini dapat melihat ketampanan pemuda itu.
- Apakah engkau kenal dia? ia minta keterangan kepada Diatri dengan berbisik.
Belum lagi Diatri sempat menjawab, di atas pohon terjadi suatu perubahan. Pemuda itu memperlihatkan kepandaiannya. Penutup kepala Tara yang berada di tangannya dilemparkan dan tepat jatuh di atas kepala Tara. Ah. benar-benar sempurna himpunan tenaga saktinya. Dia masih tergolong seorang pemuda. Bila berlatih dua puluh tahun lagi. sukar dicarikan tandingnya.
Siapakah gurunya?
Dua kali sudah hati Yudapati bertanya-tanya. Dan dua-duanya belum memberi jawaban. Karena itu, ia mulai menaruh perhatian. Seperti diketahui, Yudapati mempunyai pembawaan cermat dan hati-hati. Sekarang ia mengamat-amati gerak-gerik pemuda itu dengan seksama.
Lain halnya yang berkecamuk dalam hati Diatri Kama Ratih. Menyaksikan pemuda itu seperti mempermainkan Tara, ia mendongkol. Sebagai sesama wanita ia merasakan perlakuan pemuda itu tidak pantas. Segera ia minta pendapat Yudapati:
- Apakah kakak kenal dia? - Belum. -jawab Yudapati yang kedengarannya aneh.
- Maksudku, sampai saat ini belum mengenalnya. Mungkin besok atau kelak. Sebaliknya, apakah engkau mengenalnya?
Diatri menggelengkan kepalanya dengan hati panas.
- Kukira dia bukan Jenderal Tamawat yang dicari Tara. Apakah dia putera salah seorang nayaka kerajaan?
- Barangkali begitu. Melihat perawakan tubuhnya, dia bukan seorang militer. Hebat himpunan tenaga saktinya. Kita harus berhati-hati. Kalau terburu nafsu. kita yang bakal rugi.
Kata kata Yudapati menyadarkan Diatri. Dia tidak boleh menuruti kata hatinya saja. Meskipun demikian, tak boleh ia membiarkan Tara terancam bahaya. Karena itu, ia bersiaga penuh.
Tara memisahkan diri dari laskar Bonggol Yaksa setelah mendengar kabar tentang adanya perkemahan darurat kaum penyerbu. Dengan diam-diam ia mengirimkan beberapa orang untuk menyelidiki. Beberapa jam kemudian, salah seorang dari mereka memberi keterangan, bahwa Jenderal Tamawat yang memimpin penyerbuan bermarkas dalam salah satu tenda perkemahan. Memperoleh laporan,segera ia berangkat seorang diri dengan maksud hendak menangkap jenderal itu. Kepada Bonggol Yaksa ia berkata, seorang jenderal hanya pandai mengatur ilmu perang. Tetapi belum tentu dia berkepandaian tinggi. Kalau jenderal itu dapat ditangkapnya bisa dibuat sandera, untuk mengundurkan tentara kerajaan. Diluar dugaan, ia bertemu pemuda itu yang rupanya bertugas menjaga keselamatan Jenderal Tamawat. Setelah bergebrak beberapa jurus, penutup kepalanya kena terampas.
- Hai nona! Mengapa rambutmu kau biarkan berkibaran? tegur pemuda itu dengan tertawa.
Tara merenggut penutup kepala yang jatuh di atas kepalanya dan dicampakkan ke bawah. Dampratnya:
- Tak sudi lagi aku mengenakan penutup kepala yang sudah kau jamah.
- Ah, mengapa engkau begini galak? pemuda itu tertawa.
- Sebentar tadi, secara kebetulan tanganku menyentuh tubuhmu. Apakah engkau hendak mencampakkan dirimu pula?
Mendengar ucapan pemuda itu. Diatri tidak dapat menguasai hatinya lagi. Ia bergerak hendak menyusul pemuda itu. Buru-buru Yudapati mencegahnya. Katanya dengan berbisik sambil menarik lengan bajunya:
- Sabar! Kita masih belum tahu siapa dia sebenarnya
- Habis! Apakah kita hanya diam saja?
- Jangan khawatir! Tara tidak akan terancam jiwanya. Sebab kalau pemuda itu bermaksud mengarah jiwanya. Tara sudah roboh semenjak tadi.
Diatri mau mengerti. Sebab alasan Yudapati masuk akal. Pemuda itu berkepandaian tinggi. Sekarang, membiarkan Tara sampai memanjat pohon. Tentunya pemuda itu memberi sedikit kelonggaran. Diam-diam, ia mulai mengamati pemuda itu. Sebuah bungkusan berwarna hijau muda menggamblok di atas punggungnya. Dia seperti sedang merencanakan sesuatu.
Apakah bermaksud menungkrap Tara dengan bungkusan itu? -pikir Diatri dengan hati cemas.
- Nona yang baik hati. sebenarnya engkau hendak turun atau tidak? ujar pemuda itu dengan lagu suara menggoda.
- Tidak. - jawab Tara dengan lantang.
- Kalau begitu, pakailah mantel ini! Di atas pohon, angin meniup keras. Tetapi dengan mengenakan mantel ini, nona akan kelihatan seperti seorang bhiksuni. ujar pemuda itu sambil tertawa.
Orang-orang Chaiya dan belasan laskar pengawal yang berada di bawah terpukau menyaksikan unjuk kepandaian itu, sampai lupa mereka berada di medan pertempuran. Mereka bertepuk tangan dan bersorak memuji. Pada waktu itu. Tara melompat-lompat dari dahan ke dahan seperti sedang bermain di atas tanah. Sang pemuda tidak mau kalah pula. Dengan tertawa ia mengejarnya dengan cekatan.
Tiba tiba terdengar suara parau menegor pemuda itu:
- Tuanku Sanggadewa! Kita kehilangan waktu. Kita harus mundur secepat-cepatnya. .
Mendengar suara teguran, semua orang terkejut termasuk Yudapati dan Diatri. Bagi orang-orang Chaiya, itulah suara teguran Jenderal Tamawat. Sebaliknya Yudapati dan Diatri terkejut setelah mendengar Jenderal Tamawat memanggil nama pemuda itu.
Jadi dialah Sanggadewa jago nomor satu setelah Boma Printa Narayana? Pantas ilmu kepandaiannya tinggi.
Sanggadewa alias pemuda itu, tidak menghiraukan teguran Jenderal Tamawat. Jika demikian, niscaya baik pangkat maupun kedudukannya setidak-tidaknya sejajar dengan Jenderal Tamawat. Masih saja ia berkata manis kepada Tara:
- Nona yang baik, kalau begitu aku datang padamu. Setelah berkata demikian, ia melompat dari dahan ke dahan bagaikan mempunyai sayap. Tiba-tiba saja ia sudah berada di dahan tempat Tara memijakkan kakinya. Kegesitan Sanggadewa pantaslah disebut sebagai tontonan akrobatik yang menarik. Semua yang menyaksikan, mau tak mau bertepuk tangan memujinya.
Tara sendiri, tidak sudi dihampiri Sanggadewa. Dengan berjumpalitan ia turun ke bawah dan hinggap di ujung sebatang dahan. Jelas sekali, maksudnya hendak melarikan diri. Tetapi Sanggadewa dapat menebak maksudnya. Serunya:
- Ah, apakah masih ada jalan keluar bagimu? dan tangannya diulurkan hendak menangkap buruannya.
Tentu saja, Tara tidak sudi kena tangkap. Masih saja ia berusaha menjauhi. Begitu Sanggadewa memijak dahan tempatnya berada. ia meletik tinggi dan hinggap di puncak. Sanggadewa memperlihatkan pula kepandaiannya.
Iapun melesat tinggi. Selagi tubuhnya masih berada di udara, Tara meloncat ke bawah. Demikianlah manakala Sanggadewa mengikuti gerakannya, buru buru ia meletik atau melesat turun. Dengan begitu, mereka kembali lagi tak ubah sedang bermain petak. Di antara cahaya fajar yang remang-remang. gerak-gerik mereka menarik hati untuk dilihat.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian, Sanggadewa membuat gerakan demikian rupa, sehingga Tara berada dijalan buntu. Tak dapat lagi ia turun atau naik. Sanggadewa yang merasa menang kemudian berkata di antara tertawanya:
- Hayoo . . . sekarang engkau hendak ke mana? Dan dengan kedua tangannya ia menghadang daerah gerakan Tara dengan melencangkan kedua lengannya. Tara merasa mati kutu. Tak dapat lagi ia berkisar dari tempatnya. Tetapi dia dapat berpikir cepat. Dengan nekat ia melompat meninggalkan pohon, sambil mengejek:
- Hm, apakah engkau bisa menyentuhku lagi?
Semua orang berseru kaget. Tara bisa terbanting di atas tanah. Padahal ia meloncat dari ketinggian lebih daripada lima belas meter. Baik Yudapati maupun Diatri sudah siap untuk melompat menyambutnya. Tetapi diluar dugaan, Sanggadewa memperlihatkan kepandaiannya. Tiba-tiba saja sebelah kakinya menggait batang pohon dan'lainnya menekan batangnya. Dengan titik tolak itu, ia merebahkan badannya lempeng ke samping tak ubah sebatang paku panjang menancap pada batang pohon. Kemudian kedua tangannya menyambar.
- Kau harus mengenakan mantel ini dulu, sebelum turun ke tanah. ia memaksa. Dan ucapannya dibuktikan benar. Sebab pada saat tangannya menyambar, ia membuat Tara tak dapat bergerak lagi. lalu ia mengambil bungkusannya yang ternyata sebuah mantel lipat untuk
dikenakan ke tubuh Tara. seketika itu juga. Tara berubah seperti seorang bbiksuni mengenakan jubah hijau muda sedang terkait di atas pohon.
- Bagus!
Jenderal Tamawat memuji.
Memang kepandaian Sanggadewa benar-benar pantas dipuji. Bahkan oleh rasa kagum, semua penonton tidak bersuara. Barangkali pula tercekam oleh rasa tegang. Betapa tidak. Bertiduran lempeng dengan menancapkan kedua kakinya pada sebatang pohon, sudah merupakan suatu keistimewaan. Kalau saja tidak memiliki tenaga kuat, mustahil dapat melakukan begitu. Sekarang bahkan dibebani berat badan Tara dan pantulan gaya berat waktu meloncat dari puncak pohon. Masih sempat pula membuat Tara tidak dapat berkutik. Lalu memaksanya mengenakan mantel pemberiannya seperti seorang ibu menolong si kecil mengenakan pakaian baru.
Sebaliknya, tidak demikianlah halnya dengan Diatri Kama Ratih. Sebagai seorang gadis, tahulah ia betapa perasaan Tara diperlakukan demikian oleh lawannya di depan umum. Rasanya lebih baik mati daripada dipermainkan tak ubah boneka. Selagi ia siap hendak menolong, tiba-tiba terjadi suatu perubahan yang hebat.
- Jangan ganggu anakku! itulah suara seseorang yang-mula ia dengar.
Sesoaok bayangan berjubah kelabu melesat tinggi di udara dan menyambar tubuh Tara. Lalu dengan berjumpalitan, orang itu melayang jauh ke luar gelanggang. Begitu mendarat di atas tanah, dengan mengempit Tara ia lari sepesat angin. Dengan sekejap mata saja, bayangannya hilang dari pengamatan.
Perubahan itu terjadi sangat cepat, sehingga siapapun tertegun dan terpaku di tempatnya. Kalau saja tidak disaksikan beramai-ramai. niscaya orang berjubah kelabu tadi
pantas disebut siluman. Datang dan perginya hanya pantas terjadi di alam mimpi. Tetapi masih ada seorang yang dapat melihat gerakan orang berjubah kelabu tadi dengan jelas. Dialah Yudapati.
Yudapati kini sudah menguasai Ilmu sakti Tantra tingkat sebelas. Di dunia ini pada hakekatnya tiada suatu yang luput dari pengamatannya, dalam radius dua ratus meter. Tatkala semua orang terpusat perhatiannya menyaksikan kepandaian Sanggadewa, mendadak inderanya yang sudah jadi tajam luar biasa, menangkap bunyi nafas yang aneh. Sedetik itu ia berpaling ke arah datangnya suara nafas. Pada detik berikutnya, ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan berjubah kelabu melesat tinggi di udara. Sebelum tiba pada sasarannya, ia melepaskan pukulan pendek kepada Sanggadewa. Yang diarah adalah tempat berbahaya. Sanggadewa terkejut bukan main melihat datangnya serangan itu. Tak sempat lagi ia membagi perhatian. Ia perlu menolong dirinya sendiri dan melepaskan Tara. Barangkali itulah yang dimaksudkan si penyerang. Dengan cekatan. ia menarik pukulannya dan ganti menyambar tubuh Tara yang melayang ke bawah. Kemudian dengan berjungkir balik di udara. ia melesat ke luar gelanggang. Setelah itu melarikan diri secepat kilat.
- Awas Bahaya! Sanggadewa berteriak nyaring.
Teriakan Sanggadewa itu, menyadarkan berbareng membingungkan yang mendengar.
Peringatan atau pemberitahuan?
Tepat pada saat itu terdengar suara gembreng bertalu-talu. Itulah tanda penyerbuan laskar Arnawa yang muncul bagaikan barisan iblis dari empat penjuru.
Sekarang laskar kerajaan dan Chaiya baru menyadari kelalaiannya. Tetapi Jenderal Tamawat memperlihatkan kwalitasnya sebagai seorang perwira tinggi. Dengan cepat, ia dapat mengambil keputusan. Perintahnya
- Bongkar tenda! Mundur!
Sebagai seorang perwira pula. Yudapati mengerti dengan cepat apa makna perintah itu. Pos Komando sudah diketahui musuh. Selain seluruh laskarnya sudah cerai-berai dan dikalahkan lawan, orang-orang misteri sudah memasuki perkemahannya tanpa dapat dihalangi. Daripada mempertahankan tanah, lebih baik menyelamatkan jiwa laskarnya yang dapat ditata kembali pada suatu tempat. itulah tindakan bijaksana dan berani menghadapi kenyataan. Tetapi Yudapati tidak membiarkan laskar Jenderal Tamawat mundur dengan aman. Segera ia menerjang sambil berseru kepada Diatri:
- Diatri, jagalah dirimu jangan sampai bentrok dengan Siddhi Prasong atau Sanggadewa! Diatri sudah cukup lama menyabarkan diri. Sekarang ia mendapat restu Yudapati. Lantas saja ia merabu laskar pengawal Pos Komando dengan bersemangat. Hebat sepakterjangnya. Sebentar saja, ia dapat merobohkan lima orang.
Yudapati sendiri menyongsong datangnya Sanggadewa yang melompat dari ketinggian. Kali ini, ia benar-benar menggunakan tenaganya .Tidak lagi ia menunggu sampai Sanggadewa turun ke tanah. Sewaktu tubuhnya masih melayang di udara, dengan Tantra tingkat sembilan ia menggempur. Hebat akibatnya. Sanggadewa terpental balik dan jatuh menggabruk tenda perkemahan.
Siddhi Pmsong yang muncul dari tenda di sebelahnya,segera mengenal siapa dirinya. Segera ia berseru kepada perwira-perwira lainnya:
- Jangan biarkan dirimu terlibat! Mundur!
Dalam pada itu, Tokang datang menyerbu dengan membawa empat ratus laskar. Laskar Arnawa sudah mendapat hati. Di mana-mana mereka memperoleh kemenangan. laskar yang mempunyai semangat tempur yang tinggi itu,
laakar kerajaan yang sudah korat-karit makin menderita. Syukur, di antara mereka masih terdapat perwira-perwira bhayangkara yang tangguh. seperti Siddhi Prasong, Kuturan. Bisatanding, Hanuraga, Kalaputera, Waranasi. Samaratungga dan Sasana.
Sanggadewa seperti tersentak dari mimpinya yang indah, setelah kena gempuran Yudapati. Ia terpental dan roboh menggabruk tenda. Syukur, kepandaiannya tinggi. Begitu tubuhnya memperoleh sandaran, ia meletik bangun sehingga tidak perlu sampai mencium tanah. Walaupun demikian, masih saia ia terhuyung beberapa langkah. Kepalanya pusing dan penglihatannya berputaran. Sadarlah ia, bahwa dirinya bertemu dengan lawan tangguh melebihi dirinya. Cepat-cepat, ia mengatur pernafasannya. Sedang demikian, Siddhi Prasong menghampirinya dan langung membawanya kabur
- Bangsat itu mudah diurus. Sekarang. yang penting kita lari dulu! ujar Siddhi Prasong setengah mendongkol.
Yudapati sendiri tidak ingin mengejar mereka. Bahkan ia menarik lengan Diatri sambil berkata:
- Laskar Tokang kurasa cukup untuk mengusir mereka mengundurkan diri. Kita kembali ke markas. - Hai! Lalu bagaimana dengan Tara?
Diatri heran.
- Kurasa, Tara akan selamat.
Diatri tercengang. Kemudian menanggapi dengan setengah tertawa:
- Kakak sedang senang menggunakan istilah kurasa. Apakah kakak kenal, siapa yang membawa kabur Tara?
Di luar dugaan Yudapati mengangguk.
- Kenal?
Diatri menegas.
- Siapa? - Kurasa Resi Dewasana. jawab Yudapati yang lagi lagi menggunakan kata-kata kurasa.
- Mengapa sih. kakak selalu memakai kata-kata kurasa
- Sebab, aku belum pernah bertatap muka dengannya. Hanya saja aku mengenal suaranya. - Kau yakin?
- Selama hidupku, aku takkan lupa. Sebab saat itu, aku mempunyai waktu lama untuk mengenal suaranya. Dia sedang berbantah dengan istrinya. Biarlah nanti kuceritakan dengan pelahan-lahan. Sekarang kita perlu kembali dulu ke markas. Siapa tahu ada perubahan mendadak. Bukankah kita belum mendengar kabar beritanya Upasunda yang terjebak? Kalau dia bisa membebaskan diri, akan merupakan ancaman besar bagi Kaum Arnawa.
Diingatkan tentang laskar Upasunda yang terjebak, Diatri tidak berkepanjangan lagi. Segera ia mendahului melesat meninggalkan perkemahan laskar kerajaan yang sudah jadi korat-karit. Yudapati dengan mudah dapat menjajari sehingga muda-mudi itu nampak bagaikan sepasang burung merpati yang terbang melintas dari tempat ketempat.
Aditya Putera yang berpengalaman, ternyata dapat mengambil tindakan cepat. Begitu melihat Upasunda dan dua pertiga pasukannya terjebak dalam perangkap, ia memerintahkan membasmi mereka. Dan gugurlah Upasunda, perwira bhayangkara urutan ketiga.
Dengan kemenangan itu, Aditya Putera menyambut Yudapati dan Diatri dengan gembira. Di depan para ketua, ia menyatakan rasa kagumnya terhadap kedua muda-mudi itu. Tanpa bantuan mereka, laskar kerajaan dan tentara Chaiya akan dapat menghancurkan Kaum Arnawa. Tanpa pertolongannya pula, persekutuan Kaum Arnawa akan hancur dari dalam oleh pengkhianat-pengkhianat yang dahulu merupakan tokoh-tokoh persekutuan. Setelah itu. ia memerintahkan menyelenggarakan pesta kemenangan
yang segera disambut gembira oleh sekalian pengikutnya.
Tempat perjamuan itu mengambil ruang perangkap yang telah berhasil mengurung Upasunda dengan seluruh pasukannya. Dengan cepat, ruang itu sudah dibersihkan. Tiada lagi noda darah yang tertinggal. Bahkan sudah diguyur pula dengan air bunga, sehingga menebarkan bau harum mewangi. Di sini. kembali lagi Aditya Putera memuji-muji Yudapati sebagai seorang pahlawan dan bintang penolong yang pantas dihormati. Katanya:
- Taruh kata kita tidak mempunyai masalah Dewasrani, Sabawa, Batega dan kawan-kawannya, kita pun akan dihancurkan Laskar Chaiya dan tentara negeri. Tanpa bantuan tuanku Yudapati dan tuanku puteri Diatri. susah kita memperoleh kemenangan. Maka itu, kami persilahkan tuanku berdua membuka pesta kemenangan ini dengan menerima suguhan arak Kaum Arnawa. Pada jaman itu, pesta perjamuan dimulai dengan meneguk minuman keras sebagai suatu kehormatan. Biasanya orang yang dianggap paling penting, dipersilahkan membuka pesta perjamuan dengan mendahului meneguk minuman keras yang dihidangkan. Diatri Kama Ratih, sebenarnya tidak biasa meneguk minuman keras. Apalagi, dia hidup di dalam biara dengan ibunya. Akan tetapi, ia memaksa diri untuk meneguk minuman keras yang disuguhkan, mengiringkan Yudapati menghabiskan isi cawannya. Begitu meletakkan cawannya kembali di atas meja, dunia sekelilingnya jadi berombak-ombak.
- Paman Aditya Putera, sekalian yang hadir di sini adalah para pendekar yang sudah semenjak lama menguasai lautan Sriwijaya. kata Yudapati merendahkan diri.
- Yang kukagumi dan kuhormati adalah semangat sekalian hadirin mencintai dan membela negara, sehingga rela berkorban jiwa demi tegaknya keadilan. Untuk itu. perkenankan saya mengutarakan pendapat. Pada pagi hari ini. sudah jelas laskar Chaiya dan tentara negeri kita kalahkan. Akan tetapi, niscaya Jenderal Tamawat dan Siddhi Prasong, tidak akan tinggal diam. Mereka berdua akan datang kembali setelah menata pasukannya. Karena itu, paman sekalian perlu berjaga-jaga diri dan waspada.
- Itu benar! sambut Girinda.
Kemudian ia tidak menggunakan istilah saya, tetapi aku. Katanya melanjutkan:
- Bukan maksudku mengecilkan makna kehadiran tuanku Yudapati. akan tetapi apabila kita tidak dikhianati orangorang semacam Dewasrani, Sabawa, Batega dan begundal begundalnya, aku berani bertaruh bahwa laskar Chaiya maupun tentara negeri tidak akan gegabah memasuki wilayah Kaum Arnawa. Bukankah laskar Chaiya, belum mengenal medan wilayah kita? Mengapa sampai berani menyusup kemari, kalau bukan mengandalkan atas petunjuk-petunjuk pengkhianat-pengkhianat itu? Huh! Mendengar Girinda menyebut Dewasrani dan Sabawa sebagai pengkhianat, bangkitlah ingatan Gajayana. Serunya dengan lantang kepada Girinda:
- Kau sekarang bisa menyebut-nyebut istilah pengkhianat. Tetapi sewaktu aku mencoba menjernihkan suasana, engkau malah ikut-ikutan menyusahkan diriku. Berarti engkau kena diperalat mereka untuk mengeruhkan suasana perjamuan. Mengapa?
Girinda merah wajahnya ditegur demikian. Dengan suara terpatah-patah ia mencoba mempertahankan diri. Sahutnya:
- Sebenarnya, panjang ceritanya. Pada waktu itu . . .
- Sudahlah! -potong Aditya Putera.
Ia tidak menghendaki masalah itu timbul kembali. Sebab akan jadi berkepanjangan. Akibatnya akan mengganggu rasa persatuan. Menurut para bijaksana, benar dan salah sukar dibuktikan. Tetapi mana yang tulen dan palsu akan segera ketahuan. Hal itu sudah terbukti. Karena itu, aku melarang siapapun membicarakan msalah kotak pusaka. Kita anggap saja sudah selesai. Lagipula apa sih guna faedahnya kotak pusaka itu bagi Kaum Arnawa? Yang penting, marilah kita memikirkan hari depan Kaum Arnawa. Baik laskar Chaiya maupun tentara negeri sudah terang-terangan memusuhi kita. Mendengar Aditya Putera menyinggung-nyinggung soal kotak pusaka, Yudapati seperti diingatkan. Segera ia meraba kotak pusaka yang disimpannya rapih dalam sakunya. Dan begitu meraba kotak pusaka itu, ia teringat kepada Tara Jayawardani. Ia berpaling kepada Diatri. Wajah gadis itu semenjak tadi, nampak selalu gelisah. Tentunya memikirkan pula keadaan Tara.
- Diatri! bisiknya.
- Bagaimana menurut pendapatmu? Apakah kita harus meninggalkan pesta perjamuan ini secepatnya?
- Hai, bukankah aku hanya mendengarkan keputusanmu?
Diatri heran.
Memperoleh jawaban demikian, Yudapati merasa tak enak sendiri. Segera ingin ia mengutarakan perihal Tara Jayawardani kepada hadirin. Tiba-tiba terdengarlah suatu kesibukan. Tokang datang dengan membawa semua laskarnya. Orang itu kemudian mengabarkan berita yang menggembirakan. Laskar Chaiya dan tentara negeri sudah meninggalkan wilayah Kaum Arnawa. Berita itu disambut dengan sorak sukacita. Bahkan Aditya Putera menyuguhkan secawan arak kepadanya sebagai tanda kehormatan. Dengan suara ramah, ia mempersilakan seluruh pasukan Tokang untuk memeriahkan pesta kemenangan. Karena kesibukan itu, Yudapati terpaksa menahan diri.
- Tokang! terdengar suara Aditya Putera beberapa saat kemudian.
- Kau berada di garis depan dengan tuanku
puteri Tara Jayawardani. Di mana sekarang tuanku puteri berada?
Pertanyaan Aditya Putera membantu Yudapati untuk memperoleh kesempatan berbicara. Pada saat itu, kebetulan pula Tokang menoleh kepadanya seraya menyahut:
- Tuanku puteri berhadapan langsung dengan komandan laskar Chaiya. dan berada dalam pengawasan tuanku Yudapati.
Mendengar bunyi jawaban Tokang,hadirin berpaling kepada Yudapati .Teringat Yudapati tidak menyinggungnyinggung keadaan Tara Jayawardani semenjak tadi. Aditya Putera menatap wajah Yudapati dengan pandang tegang. Mau dia minta keterangan apa sebabnya. tetapi Yudapati sudah keburu berkata. Kata Yudapati dengan suara tenang:
- lawan Tara adalah jago bhayangkara nomor dua. Atau katakan saja, urutan pertama setelah Boma Printa Narayana. Dialah Sanggadewa yang memiliki kepandaian tinggi. Syukur, Resi Dewasana datang menolongnya. - Resi Dewasana? hadirin terkejut.
- Benar.
- Apakah tuanku kenal Resi Dewasana? Aditya Putera menegas. '
- Bertatap muka, belum. Tetapi aku mengenal suaranya. -sahut Yudapati.
Kemudian ia mengisahkan pengalamannya dengan singkat. Dan mendengar kisahnya. hadirin mulai mengemukakan pendapatnya masing-masing Agaknya bagi mereka, nama Dewasana tidak asing lagi. Ratarata, mereka memperlihatkan wajah cemas
- Dewasana seorang sakti yang aneh. Kadang berhati baik tetapi tidak jarang pula berhati jahat. Kadang-kadang ia melakukan pembunuhan tanpa sebab. Wataknya uring uringan, yang tidak kita ketahui apa sebabnya. ujar Aditya Putera yang disetujui sebagian besar hadirin.
- Mengapa tuanku membiarkan dia lolos? - Pada saat itu aku berpikir. markas kita sedang terancam penyerbuan yang berbahaya. Kalau aku sampai masuk perangkap lawan akibatnya akan berkepanjangan. Aku pun tak tahu dengan pasti, kedudukan Resi Dewasana. Bagaimana kalau hal itu memang sudah direncanakan musuh untuk memecah perhatian kita? Kulihat hadirin semua bersedia mengorbankan jiwa demi negara dan cita-cita. Masakan aku tidak dapat berkorban demikian? sahut Yudapati. .
Aditya Putera menghela nafas. Ujarnya:
- Alasan tuanku Yudapati masuk akal. Hanya saja, semenjak semalam tuanku puteri sudah kita setujui bersama menduduki Pucuk Pimpinan Kaum Arnawa. Harganya huh lebih tinggi daripada . . .
- Baiklah. Yudapati memotong.
- Tanggung jawab itu, berada padaku. Paman-paman sekalian, terutama paman Aditya Putera, kuminta jangan merisaukan masalah tersebut. Tara sudah kita setujui bersama untuk menjadi pucuk pimpinan Kaum Arnawa, di samping Diatri. Tetapi Ketua Harian tetap berada di tangan paman Aditya Putera. Hari ini perkenankan aku dan Diatri mencari Tara sampai dapat. Selanjutnya, aku hanya minta pertolongan paman sekalian perihal kejelasan pos-pos perhubungan dan katakata sandinya.
- Hal itu mudah diatur. tungkas Aditya Putera.
- Yang perlu tuanku perhatikan adalah gerak-genk penganut kepercayaan Pasupata.
- Apakah berbahaya?
- Tidak hanya berbahaya, tetapi usilan pula. sahut Gajayana.
- Pasupata pada jaman purba memang adalah agama leluhur kita. Tetapi kemudian terjadi penyelewengan penyelewengan yang buruk. Pada masa kakek kita, sudah
berubah bentuknya menjadi sumber pengetahuan Ilmu hitam. Karena itu, kaum Pasupata dimusuhi orang termasuk kita sendiri. Sepak terjang mereka, sukar diduga .Tidak segan-segan, mereka melakukan kekejian di luar batas kemanusiaan. Umpamanya saja. mereka menculik kanak-kanak usia belasan tahun untuk dikorbankan kepada roh-roh kepercayaannya. Tidak jarang pula menculik seorang gadis untuk dihisap darahnya, karena percaya akan memperpanjang usia. - Baiklah taruh kata kesalahan itu berada pada kanak kanak karena tidak becus menjaga diri, tetapi bagaimana kalau kesialan itu menimpa orang tua? tukas Girinda.
- Apa yang kau maksudkan? Gajayana minta penjelasan.
- Marilah kita berbicara terus-terang saja, bila membicarakan sepak terjang kaum Pasupata yang susah kita duga. sahut Girinda.
- Entah sudah berapa kali orang orang kita mati tak berkubur, karena kena racunnya, biusnya. perangkapnya, umpannya . . . entah apa lagi namanya. Karena itu peringatan ketua kita sangat tepat bagi tuanku Yudapati berdua.
- Saudara Girinda! Engkau mau membicarakan sepakterjang mereka dengan terang-terangan. Mengapa melupakan masalah tenung dan guna-guna mereka? sambung seorang ketua dari wilayah selatan.
- Itu pun belum lengkap! teriak yang berada di sebelah barat.
- Apakah kita lupa akan laporan Saguta? Dengan mata kepalanya sendiri, Saguta melihat mereka mencuri mayat-mayat. Dan entah dengan kekuatan apa, mereka bisa menyuruh mayat-mayat itu berjalan.
- Benar. benar! sahut yang lain.
Dan hadirin jadi bergemuruh membicarakan sepak-terjang kaum Pasupata yang keji dan mengerikan. Masing-masing mengemukakan
pendapatnya. Tentu saja tidak luput dari bumbu-bumbu rekaannya masing-masing. Dan mendengar semuanya itu. Yudapati jadi termangu-mangu. Teringatlah dia kepada peristiwa pendekar Goratara yang kena kerubut karena dituduh bersekongkol dengan kaum Pasupata. Tetapi menurut keterangan kakek Mahendra melalui mulut Isu Wardana,tidak semua anggota Pasupata jahat dan keji.
- Kakak Yudapati! tiba-tiba Diatri berbisik.
- Sepak terjang kaum Pasupata memang sudah menjadi pembicaraan umum. Walaupun aku sendiri belum pernah berurusan dengan mereka, namun ibu segan membicarakan. Agaknya, ibu susah membantah pembicaraan umum itu. Kalau saja kita tidak berurusan dengan mereka, masakan akan menjadi penghalang? -'
- Benar.
Yudapati seperti tersadar. Lalu berkata kepada Aditya Putera:
- Terima kasih atas peringatan paman. Tetapi apakah alasan paman perlu memberi peringatan padaku?
- Soalnya kedudukan Resi Dewasana belum jelas bagi kami
Aditya Putera mengemukakan alasannya.
- Memang benar dia menyandang gelar Resi. Tetapi siapapun yang merasa mempunyai kepandaian sedikit, bisa saja menyematkan gelar resi atau bhiksu dengan maksud-maksud tertentu. Umpama saja, Sumbar, Pasu atau Palata gemar mengenakan pakaian jubah untuk menutupi kepalsuan hatinya. Kalau Sumbar, Pasu dan Palata bisa berpakaian jubah, masakan kaum Pasupata tidak dapat berbuat begitu? Inilah alasanku yang pertama. Yang kedua. tuanku Yudapati niscaya belum kenal benar akan liku-liku kehidupan orang-orang kasar. Mereka selalu mengincar kesempatan kesempatan yang memberi peluang baginya untuk mengeruk keuntungan. - Apakah ada hubungannya dengan Tara?
- Benar. sahut Aditya Putera.
- Pada saat ini, tuanku puteri sudah menjadi pucuk pimpinan Kaum Arnawa. Esok atau lusa, pasti sudah tersiar luas. Dan semenjak itu, tuanku puteri tidak hanya akan berhadapan dengan laskar Chaiya dan tentara kerajaan saja tetapi kaum Pasupata. Tombak di depan, mudah dielakkan. Tetapi anak panah di belakang punggung, susah ditangkis.
Tak terasa Yudapaii menghela nafas. Lalu memutuskan:
- Baiklah begini saja. Setelah aku menerima petunjuk petunjuk dari paman, aku segera berangkat mencari Tara. Apabila aku memerlukan bantuan, segera aku memberi kabar. '
- Sst, kakak Yudapati! bisik Diatri.
- Mereka memperingatkan sepak-terjang kaum Pasupata kepada kita. Apakah bukan karena kakak Yudapati menyimpan kotak pusaka?
- Ah, ya! Mengapa aku tidak dapat berpikir demikian?
wajah Yudapati berubah. Kotak pusaka itu dipersembahkan oleh Kaum Arnawa kepadanya.
- Dalam hal ini, aku hanya bertugas menyimpan dan melindungi. Kalau sekarang kubawa terus-menerus seperti milikku sendiri, bukankah berarti aku merampas dari tangan Tara?
Pada detik itu pula teringatlah dia. bahwa perihal Resi Dewasana sudah pernah dikabarkan kepada Aditya Putera. Waktu itu, Aditya Putera bertanya apakah dirinya pernah bertatap muka dengan Resi Dewasana, ia menjawab hanya mengenal suaranya. Sekarang, Aditya Putera mengulangi pertanyaannya yang sama bunyinya. Dan ia pun menjawab sama pula seperti yang pernah dikatakan. Bedanya hanya diberi keterangan latar belakangnya
- Hai! Bukankah di belakang pertanyaannya itu. bersembunyi suatu keinginan yang halus? Kalau tidak, mustahil mereka membicarakan sepak-terjang kaum Pasupata sambung-menyambung.
Oleh pikiran itu, segera ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak pusaka. Kemudian diletakkannya di atas meja sambil berkata:
- Paman Aditya Putera dan paman-paman sekalian! Hampir saja aku melupakan suatu hal yang penting. Kotak pusaka ini adalah milik Tara yang kini sudah paman akui sebagai Pucuk Pimpinan Kaum Arnawa. Berarti pula. kotak pusaka ini adalah milik Kaum Arnawa. Demi keamanannya, maka Tara mempercayakan kotak pusaka ini untuk kulindungi dari tangan-tangan kotor Laskar Chaiya dan tentara negeri yang ingin merampasnya. Sekarang. baik Laskar Chaiya maupun tentara negeri sudah terusir pergi. Sudah sewajarnya, kotak pusaka ini kukembalikan lagi kepada Tara. Karena Tara berhalangan sudah semestinya harus kukembalikan kepada paman Aditya Putera yang berhak melindungi. Kurasa lebih aman berada di bawah perlindungan paman, daripada diriku yang akan merantau untuk mencari jejak Resi Dewasana.
Mendengar kata-kata Yudapati, Aditya Putera dan sekalian ketua Kaum Arnawa tercengang sejenak.Setelah itu, saling pandang. Kemudian tertawa hampir bersamaan dengan wajah berseri-seri. Selagi demikian, Yudapati datang meletakkan kotak pusaka di atas meja Aditya Putera. Dan suara tertawa mereka bertambah ramai.
- Tuanku Yudapati! kata Aditya Putera sambil menunjuk kotak pusaka yang berada di depannya.
- Di sini membuktikan, bahwa tuan seorang yang jujur dan berjuang bukan untuk kepentingan diri sendiri. Sebab andaikata tuan menghendaki, kotak pusaka ini akan dapat tuan pertahankan. Jangan lagi berhadapan dengan tuan. sedangkan direcoki Punta Pramodha saja, kami semua sudah merasa repot. Untuk ini, kami semua menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga Setelah berkata demikian. Aditya Putera bertepuk tangan empat kali. Dua orang pelayan segera menghampiri. Setelah menerima perintahnya dengan berbisik. mereka berdua bergegas masuk ke dalam gedung Markas Besar. Sebentar kemudian mereka datang kembali dengan membawa sebuah kotak kayu dan diletakkan di atas meja.
- Tuanku Yudapati. -kata Aditya Putera lagi.
- Tentang sepak-terjang kaum Pasupata. kami bukan omong kosong belaka. Karena itu semenjak dahulu, kami menyimpan obat-obat pemunah racun beserta pemunahnya. Aditya Putera kemudian membuka penutup kotak kayu dan mengeluarkan dua botol kecil berwarna biru dan merah. Berkata lagi:
- Botol biru ini berisi obat pemunah racun. Dan botol merah ini berisikan adukan ramuan minyak. Bila tuan menghadapi pekerti orang Pasupata yang aneh-aneh itu. poleskan minyak ini pada kedua tangan dan mulut. Dengan dorongan tenaga sakti, minyak ini akan menyala dan kuasa membakar tubuh orang yang memiliki ilmu hitam. Kurasa harga kedua botol mustika ini, cukup memadai dengan nilai kotak pusaka. Sebab dalam perjalanan. kedua botol ini lebih banyak menolong daripada menyusahkan. Sebaliknya, bila tuan membawa-bawa kotak pusaka ini, kami takut tuan akan mengundang bahaya.
- Ah, pikir Yudapati di dalam hati.
- Tepat sekali dugaan Diatri. Benar-benar pembicaraan mereka tentang sepak-terjang kaum Pasupata ada hubungannya dengan kotak pusaka.
Setelah berpikir demikian, dengan terharu Yudapati menjawab:
- Ramuan obat kedua botol ini, niscaya hasil jerih payah leluhur Kaum Arnawa untuk melawan kekejian kaum
pasupata. Benar benar merupakan mustika yang tak ternilai harganya. Aku sendiri pernah mengalami terkena jarum beracun. Seumpa tiada yang berkenan mengulurkan tangan. pada saat ini aku tidak berkesempatan berkenalan dengan paman -paman sekalian. Karena itu perkenankan aku membungkuk hormat atas keluhuran budi paman sekalian.
Dan benar-benar Yudapati membungkuk hormat kepada hadirin. Menyaksikan sopan-santun Yudapati, Aditya Putera mengurut-urut jenggotnya dengan perasaan puas.
Pesta perjamuan dilanjutkan kembali dengan gembira dan bememangat. Pada tengah hari, Yudapati mulai mempelajari organisasi. taktik dan siasat Kaum Arnawa mempertahankan hak hidupnya. Setelah itu, kata-kata dan tanda-tanda sandi yang hanya diketahui oleh para tetua. Kemudian cara minta bala-bantuan dan sandi perhubungan. Ternyata setiap gerakan Kaum Arnawa selalu memperoleh dukungan laskar sebagai penyangga. Dan pada setiap wilayah terdapat benteng-benteng pelindung serta jalan-jalan simpang untuk menjebak lawan atau menghilangkan jejak.
Benar-benar rapih dan sulit diduga. Yudapati memuji di dalam hati. Pantas tentara negeri tidak dapat berbuat banyak menghadapi Kaum Arnawa.
Tatkala ia dengan Diatri kembali ke perjamuan, pesta masih saja berlangsung dengan meriah. Kemudian tiba waktunya ia bermohon diri. Begitu ia selesai mengucapkan kata-kata perpisahan, tiba-tiba berkatalah Aditya Putera di luar dugaannya:
- Tuanku Yudapati! Tuan masih melupakan satu hal.
- Apa itu? -Yudapat heran.
- Kotak pusaka ini. - sahut Aditya Putera seraya mengangkat kotak pusaka yang berhiaskan sembilan puluh enam berlian.
- Setelah kami rundingkan bersama, benarlah keputusan Tuanku puteri Tara Jayawardani mempercayakan kotak pusaka ini dalam penjagaan tuanku. Maka sudilah tuanku menerimanya kembali. .
- Kuterima kembali untuk kusimpan?
Yudapati menegas.
- Benar. Dan kami harap. janganlah tuanku menolak permohonan kami semua.
Aditya Putera nampak bersungguh-sungguh. Demikian pulalah para ketua lainnya. Karena itu, tak enak hati Yudapati manakala menolaknya. Maka dengan hati berat, terpaksalah ia menerima kepercayaan itu. Dan hadirin bertepuk tangan gemuruh sebagai pernyataan penghomatan dan rasa syukur.
Di tengah jalan, Yudapati minta pendapat Diatri tentang keputusan Aditya Putera yang aneh itu. Ia merasakan terjadi sesuatu yang tidak beres. Tetapi apa itu, ia kurang jelas.
- Apakah kakak Yudapati mengenal benar kotak pusaka itu?
Diatri minta keterangan.
- Maksudmu? - Umpamanya bentuknya. ukurannya atau berapa jumlah berlian penghiasnya. Diingatkan demikian, dengan tertawa Yudapati mengeluarkan kotak pusaka untuk diperiksanya. Dengan sesungguhnya baru kali itu ia berkesempatan mengamat amati. Bentuknya sedang-sedang saja. Terbuat dari emas murni dengan hiasan 96 berlian.
- Bagaimana?
Diatri menegas.
- Sekarang tidakkan lagi terhapus dari ingatan.
Yudapati tertawa merasa.
- Terbuat dari? - Emas murni.
- ada emas yang tidak murni?
- Maksudku tidak campuran.
- Ada berapa butir jumlah berliannya? - Sembilan puluh enam butir. - Murni atau tidak? Sekarang ganti Yudapati yang balik bertanya:
- Apakah ada berlian yang tidak murni? - Tentu saja. Seorang ahli akan dapat membuat berlian tiruan. Mungkin terbuat dari kaca atau batu tertentu.
Mendengar jawaban Diatri. hati Yudapati tercekat. Katanya mendesak:
- Coba lihat. apakah berlian-berlian ini palsu? Dengan berdiam diri, Diatri menerima kotak pusaka itu. Kemudian menghunus pedang Sangga Buana. Setelah digoreskan, ternyata dua buah berlian berubah bentuknya.
- Palsu. Langsung saja Diatri menyatakan pendapatnya.
Keterangan Diatri mengagetkan hati Yudapati sampai pemuda itu menghentikan langkahnya. Kesan wajahnya berubah-ubah. Sebentar tercengang,sebentar penasaran. Tetapi beberapa saat kemudian, ia tertawa geli. Serunya:
- Ah. benar-benar jauh penglihatan paman Aditya Putera. Di depan para hadirin, ia menyerahkan kotak ini kepadaku. Kau mengerti maksudnya?
- Tentu saja. -sahut Diatri cepat.
- Sengaja ia mengelabui hadirin. Dengan demikian, berarti dia wajib berwaspada terhadap yang hadir. Semalam ia sudah mempunyai pengalaman pahit dengan hadirnya Dewasrani. Sabawa dan kawan-kawannya? Bukankah masih terdapat bekas anak-buah mereka di antara hadirin? Dengan menyerahkan kotak itu terang-terangan di hadapan hadirin berarti mengalihkan perhatian orang kepada kita berdua. Inilah yang disebut Ibu sebagai siasat penyesatan. Hanya saja.
kemampuannya meniru dengan cepat dan rapih dalam waktu beberapa jam. benar-benar sangat mengagumkan. Yudapati memanggut menyetujui. Kalau begitu aku harus menjaganya seperti kotak pusaka yang asli, katanya.
- Diatri. bagaimana kalau kita melalui sungai saja? - Mengapa harus minta pendapatku? Dalam hal ini. engkau yang menjadi pandu perjalanan. Yudapati kemudian menyewa sebuah perahu yang mempunyai kamar peristirahatan. Tentu saja tidaklah semewah kapal-kapal orang kaya, pedagang besar atau kaum bangsawan. Namun cukup menyenangkan. Dindingnya terbuat dari papan. Demikian pula atapnya. Ukuran kamarnya dua kali tiga meter. Di atas lantainya yang terbuat dari papan pula, tergelar sebuah kasur jerami yang cukup empuk. Pemiliknya seorang laki-laki setengah baya, kira-kira berumur tiga puluh lima tahun. Namanya, Kusen. Cekatan, ramah dan sopan.
Tiga hari lamanya, perahu itu menyusur sungai. Karena ke arah mudik, lajunya pelahan-lahan. Pada suatu hari tiba di sebuah kota kecil. Waktu itu malam hari berkabut tebal. Jelas sekali, tidak dapat melanjutkan pelayaran mereka. Maka Yudapati menyetujui saran Kusen agar berlabuh saja.
- Kakak Yudapati, mari kita mendarat! ajak Diatri.
Rupanya hatinya pepat. karena sudah tiga hari terkurung dalam kamar perahu.
- Untuk apa?
- Siapa tahu, kita bisa membeli makanan dan minuman '
Yudapati tiada begitu bersemangat. Ia sedang memikirkan rencana perjalanannya hendak mencari pertapaan Resi Dewasana yang sesungguhnya tidak jelas baginya.
Apakah harus melalui perjalanannya dahulu tatkala terperosok dalam jurang?
Atau harus mencari sekar Tanjung?
Karena belum memperoleh keputusan rasanya lebih baik memikirkan upaya itu daripada berpesiar mencari makan minum dalam malam yang berkabut.
- Bagaimana kalau engkau saja yang berangkat? -.
- Jadi. tidak ikut?
Diatri menegas.
- Biarlah aku menunggumu di sini. Kuharap, jangan terlalu malam!
Diatri berpikir sejenak. Akhirnya, memanggut. Ia memang seorang gadis yang berbudi halus. Tak enak ia main paksa. Apalagi, tentunya Yudapati mempunyai alasannya sendiri, apa sebab enggan menyertainya. Itulah sebabnya, segera ia mengenakan pakaian pria dan mendarat dengan cekatan.
Setelah Diatri meninggalkan perahu, Yudapati merebahkan diri di atas geladak. Tiba-tiba saja ia jadi memikirkan Diatri. Gadis itu pendiam, tetapi cerdas dan berkesan agung. Ia cantik jelita pula. Selain itu puteri seorang bangsawan yang berkepandaian tinggi. Memikirkan sampai di situ, wajahnya terasa panas.
Hai, apa sebab dirinya dihinggapi pikiran demikian?
Sekar Tanjung pun seorang dara yang cantik jelita dan halus budi-pekertinya. Juga Tara Jayawardani yang agak galak, namun lagak-lagunya cepat menambat perhatian orang. Namun terhadap mereka berdua, ia menganggapnya tak lebih daripada seorang adik.
Apakah karena usia mereka berdua terpaut jauh daripadanya?
Tak tahulah. Tetapi pribadi Diatri Kama Ratih, baginya terasa lebih hangat dan istimewa.
Tak terasa ia menghela nafas. Untuk pertama kali itulah, ia memikirkan tentang seorang gadis. Ia jadi tertegun-tegun. Selagi demikian, ia terkejut mendengar suara benturan keras sehingga perahunya bergoyang.
Siapakah yang menabrak?
Ia meletik bangun dan melongok dari gubuknya. Ia melihat Kusen berdiri tegak sambil membentak:
- Hoeiii! Apakah matamu buto? Kau tidak bisa menepikan perahumu? Hm. lagakmu seperti juru mudi sebuah kapal besar. Ternyata goncangan itu, akibat benturan sebuah kapal niaga yang hendak berlabuh. Kapal niaga itu pun dikemudikan oleh seorang yang mengenakan pakaian resmi seorang juru mudi. Dibentak Kusen, ia jadi gusar. Sahutnya lantang:
- Eh monyet! Apakah kau anggap sungai ini milik kakekmu? Memang akulah yang menabrak perahumu. Kau mau apa? Mau menelan aku?
Tentu saja, Kusen makin menjadi gusar. Dengan sertamerta ia menyambar galahnya. Juru mudi yang menabrak perahu Kusen berbuat begitu juga. ia menyambar galahnya dan bahkan hendak mendahului menyerang.
- Sudahlah! cegah Yudapati melerai.
Kepada juru mudi, ia berkata dengan ramah:
- Ini urusan kecil. Tidak perlu sampai berkelahi . . .
Juru mudi itu berperawakan tegap tinggi. Kedua alisnya tebal dan berkumis lebat. Mungkin berasal dari Nusantara bagian Timur. Dengan suara berat ia menyahut:
- Tuan muda, kami biasa berlayar dari pulau ke pulau. Aku orang Maluku. Kalau aku tidak menggunakan suara keras, akibatnya akan berkepanjangan. Aku bakal dihina dan tidak dipandang mata.
Kusen tidak sudi mengalah. Dengan garang ia membentak:
- Bagus! Siapa yang tidak mempunyai kepandaian, jangan coba coba mencari penghidupan dengan jalan berlayar. Kau sudah menabrak perahu orang. Boro-boro minta maaf. malahan mendamprat orang. Kau setan alas! Kalau berani. mari kita mengadu kepandaian.
Kusen mendahului melompat ke darat. Dia sudah memutuskan hendak mengadu tenaga. Sebaliknya. juru mudi dari Maluku itu, tidak takut. Sahutnya:
- Kau kira aku takut gertakanmu? Kau mempunyai kepandaian apa? Dia pun segera melompat ke darat. Melihat gerakan tubuhnya, Yudapati tahu orang itu mengerti ilmu berkelahi. Pikirnya di dalam hati:
- Dia mengaku seorang juru mudi. Tetapi menguasai ilmu berkelahi. Rasanya aneh! Karena memperoleh pikiran demikian, ia membiarkan mereka akan berkelahi.
Kusen berkelahi dengan semangat. Meskipun juru mudi itu bertenaga kuat, namun pukulannya selalu luput. Sebaliknya, berkali kali Kusen berhasil menggebuknya. Yudapati bersenyum. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dari gubuk perahu. Laki-laki itu berdandan sebagai seorang saudagar kaya. Ia berpaling kepada Yudapati. Lalu tertawa sambil berseru:
- Hai sahabat! Apakah engkau gemar menonton orang berkelahi?
- Aneh bunyi pertanyaannya, pikir Yudapati.
Menjawab dengan memberi hormat:
- Oh, tidak. Mengapa?
- Kalau begitu, lerailah orangmu! Dan aku akan melerai pula orangku. - Baik. sahut Yudapati setelah menimbang-nimbang sejenak.
Ia melemparkan pandang kepada mereka yang sedang baku hantam. Karena menang tenaga, lambat laun juru mudi saudagar itu berada di atas angin. Memang, mula mula pukulannya selalu luput. Sekarang, setelah dapat menguasai diri dua tiga kali pukulannya mengenai sasaran yang dikehendaki. Meskipun demikian, Kusen tidak tahu diri. Ia jatuh bangun mempertahankan diri.
Tepat pada saat Yudapati hendak melerai, juru mudi sedang melepaskan pukulannya ke arah dada. Bila serangan itu mengenai sasarannya. Kusen pasti akan melontakkan darah. Maka buru-buru, ia hendak mencegah. Tetapi, tiba tiba suatu pikiran berkelebat di dalam benaknya.
- Jangan jangan saudagar itu bermaksud menyelidiki siapa diriku. Pikirnya.
- Dia menyarankan agar aku melerai Kusen. Mengapa dia sendiri tidak turun ke darat melerai orangnya? Oleh pikiran itu, ia jadi curiga. Mungkin pula dia seorang perompak atau perampok. Tetapi melihat ancaman bahaya itu, mau tak mau ia harus menolong Kusen, secepat-cepatnya. Terpaksa ia menggerakkan dua jarinya seperti kanak kanak bermain kelereng. Dengan demikian, tak perlu ia menggerakkan tangan atau bahunya. Tetapi ilmu sakti Tantra yang istimewa sudah dapat menahan pukulan juru mudi itu. Tiba-tiba saja, juru mudi itu tak pandai bergerak lagi. Ia berdiri bagaikan patung tak bernyawa. Sebaliknya, Kusen mempunyai kesempatan untuk mengelak dan memandang juru mudi dengan tercengang. Saudagar itu kemudian tertawa pelahan di atas geladak kapalnya. Ujarnya dengan sabar kepada juru mudinya:
- Taihitu, sudahlah! Jangan. berbaku hantam lagi.
Juru mudi itu menoleh dengan wajar. Tenaganya pulih kembali. Ia jadi tidak mengerti, apa sebab sedetik tadi anggauta tubuh macet dengan mendadak. Karena majikannya memberi perintah demikian, dengan hati mendongkol ia melompat ke atas perahunya lagi. Padahal, dia merasa akan dapat merobohkan lawannya dengan cepat.
Saudagar itu pun tidak berkata-kata lagi. Ia membungkuk hormat kepada Yudapati. Lalu memasuki gubuknya yang tertutup dengan tirai. Ia tidak muncul lagi. entah apa yang sedang dikerjakan.
Yudapati heran. Perlahan-lahan ia kembali ke geladak perahunya. Berkata kepada Kusen:
- Orang itu aneh tingkah-lakunya. Engkau jangan gegabah!
- Tetapi orang Maluku amat sombong. sahut Kusen dengan suara masih mengandung rasa penasaran.
- Bagaimana kalau dia memang sengaja memancingmu dengan sikapnya yang sombong? Lebih baik. mulai sekarang engkau bersikap waspada saja. Jangan cepat-cepat mengambil tindakan.
- Hm. Kusen menggeram, akan tetapi ia mengangguk.
Dan baru saja ia hendak melangkahkan kakinya, perahunya tergoncang lagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat sebuah perahu datang mendesaknya, sehingga perahunya kini tergencet di tengah-tengah.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Hai! Apa artinya ini? ia berteriak.
Yudapati ikut heran pula. Perahu yang ditumpanginya kini berada di antara kedua perahu. Perahu si saudagar tadi dan perahu yang baru saja datang.
- Tuan! -ujar Kusen.
- Perahu ini tidak hanya bermaksud berlabuh. Tetapi bermaksud menggencet kita. lihatlah. bukankah masih ada tempat untuk berlabuh dengan leluasa?
Yudapati menyetujui pendapat Kusen. Ia mulai mengamat-amati kedua perahu yang menggencet perahunya. Pikimya:
- Hm, apakah ada hubungannya dengan kotak pusaka yang kubawa?
Ia kembali masuk ke dalam gubuknya. Lalu merebahkan diri dengan memusatkan perhatian. Suasana luar sunyi sepi. Sekonyong-konyong ia mendengar suatu gerakan pelahan sekali. Rupanya, suara jendela gubuk perahu yang dibuka pelahan-lahan. Andaikata Yudapati tidak menaruh curiga kepada perahu yang baru tiba tadi, tentunya tidak akan mendengar suara jendela terbuka dengan hati-hati. Gubuknya sendiri. tidak mempunyai jendela. Terpaksalah ia mengintip dari celah celah papan.
Sebelah kanan perahunya adalah perahu si saudagar. Tirai penutup gubuknya terbuka. Muncullah kepala si saudagar dengan pandang mata berkilat-kilat. Dia bercelingukan mengamat-amati suasana sekitarnya. Jelas sekali, dia sedang menyembunyikan suatu maksud tertentu.
- Rupanya dia sedang mengawasi perahu yang baru tiba. pikir Yudapati di dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara pelahan dari perahu sebelah kiri. Sepercik cahaya keluar dari dalam gubuk. Dan saudagar itu buru-buru menarik diri dan menghilang dalam gubuknya kembali. Juga orang yang baru muncul dari gubuk perahunya.
- Aneh!
Apakah mereka saling curiga mencurigai?
Meskipun gerakan orang yang baru muncul tadi sangat cepat, namun Yudapati masih sempat juga mengenal wajahnya. Orang itu berwajah pucat seperti orang yang terserang penyakit kuning.
Apakah dia seorang Cina yang mempunyai penyakit kuning? -Hm. Yudapati mendengus di dalam hati.
- Bagus, kalian berdua sedang bermain sandiwara. Kalian berdua berpura-pura saling curiga, akan tetapi sesungguhnya masing-masing sedang memberi tanda sandi. Ha. rupanya kalian sedang mengincar diriku.
Beberapa waktu kemudian, terdengar langkah Diatri yang datang dengan menggendong sebungkus makanan dan dua guci minuman segar. Begitu tiba di atas geladak. Diatri berkata setengah menggerembeng:
- Kulihat sendiri, ukuran pasarnya cukup besar. Kabarnya, di waktu pagi hari penuh sesak. Tetapi di malam hari. sepinya tak ubah kuburan. Untung aku menemukan sebuah kedai yang menjual daging ayam dan minuman.
- Arak?
Yudapati menegur.
- Kopi dan masakan air kelapa. Diatri memberi keterangan.
Yudapati menunggu sampai Diatri selesai meletakkan barang bawaannya. Kemudian ia mengkisiki tentang kedua perahu tetangga yang mencurigakan. Diatri heran. Menegas:
- Kedua-duanya sengaja menabrak perahu kita? - Sst!
Yudapati memperingatkan.
- Niscaya mereka sedang menguping pembicaraan kita.
- Kebetulan malah. Kita berbicara saja sekenanya sambil melihat apa yang bakal terjadi.
- Benar.
Yudapati menyetujui.
Yudapati tidak hanya cermat, tetapi pandai berpikir pula. Tiba-tiba timbullah pikirannya hendak menjebak mereka. Ia mengeluarkan kotak emasnya dan diletakkan di atas meja duduk. Lalu memasang pelita yang menyala terang. Sambil menggerumiti paha ayam. ia berkata berbisik kepada Diatri:
- Kita hanya perlu berwaspada terhadap racunnya. Kalau perlu, ambillah sebutir pemunah racun Kaum Arnawa.
- Aku sendiri sudah membawa. Obat pemunah buatan Ibu sendiri. sahut Diatri.
- Syukur.
Yudapati bergembira. Terus saja ia berbicara nyaring dengan gembira.
Ruang gubuk itu bertambah terang oleh pantulan cahaya sembilan puluh enam butir berlian. Kusen yang berada di luar gubuk terbuka mulutnya melihat gemerlapnya puluhan berlian yang menyala bagaikan pijar cahaya. Selama hidupnya baru kali itu ia menyaksikan penglihatan demikian.
Beberapa Waktu kemudian. Yudapati merasakan perahunya goyang seperti terinjak berat badan. Segera ia mengetahui apa sebabnya. Bisiknya kepada Diatri:
- Sst, dia datang Diatri tersenyum. Sekarang tahulah ia,apa sebab Yudapati meletakkan kotak emas itu di atas meja. Sengaja dia hendak memancing perhatian tetangga sebelah. Terdengar kemudian orang berbatuk-batuk kecil yang disusul dengan suara minta permisi:
- Saudara, apakah aku diperkenankan ikut bergembira? - Oh, silahkan. silahkan! Yudapati mempersilahkan.
Sesosok tubuh muncul dari balik kegelapan malam. Dialah saudagar yang memiliki perahu sebelah kanan.Karena gerakan kakinya, perahu Yudapati jadi oleng.
- Saudara, aku sedang berlayar tanpa tujuan. -katanya.
- Tujuanku hanya untuk menambah penglihatan dan pengalaman. Tetapi kini aku merasa kesepian. Sebenarnya tidak sopan aku mengganggu kegembiraan saudara.
- Di waktu kesepian dalam perantauan, paling tepat kalau kita bertemu dengan seorang teman yang dapat diajak berbicara. -sahut Yudapati dengan tertawa.
- Saudara, silahkan!
Orang itu tidak segan-segan lagi. Terus saja ia duduk bersila menjajari Yudapati dan Diatri yang duduk bersila pula di atas geladak gubuk. Orang itu membawa wajah riang gembira dan ramah. Ujarnya:
- Saudara bolehkah aku mengenal namamu dan nama saudara ini'! Yudapati menyebutkan nama karangan asal jadi saja. Lalu balik bertanya siapa namanya. Sahut orang itu
- Kita bertemu secara kebetulan saja. Sebenarnya tidak perlu saling memperkenalkan nama. Esok pagi kita toh akan berpisah. Akhirnya tiada kesempatan lagi untuk mengingat-ingat nama perkenalan. Ini tadi hanya sekedar memenuhi adat-istiadat kita saja. Kita wajib saling tegur sapa. Tetapi kalau saudara ingin mendengar namaku hanya pendek saja. Namaku Tolo . . .
Yudapati dan Diatri tertawa, karena nama itu selain pendek kedengarannya lucu. Di dalam hati mereka tahu, bahwa orang itu pun hanya menyebut nama sekenanya saja.
Tolo tentu saja melihat kotak emas bermata berlian yang terletak di atas meja. Akan tetapi ia bersikap seolah olah tak sudi mengawaskan. Malahan tidak menaruh minat. Ia asyik membicarakan pengalamannya berlayar dari pulau ke pulau yang dibumbui dengan tertawa lebar dan gembira.
- Saudagar, engkau memiliki ilmu kepandaian. -berkatalah ia kemudian kepada Yudapati.
- Agaknya engkau bukan orang sini. Logat bahasamu menyatakan engkau datang dari pulau Jawadwipa. Apakah engkau sedang berdagang atau sedang menjenguk sanak-saudaramu yang hidup di pulau Suwarnadwipa?
Di dalam hati, Yudapati memuji kejelian penglihatan Tolo. Tatkala ia melerai juru mudi tadi, tenaga sakti yang digerakkan hanya melalui gerakan dua jari. Meskipun demikian, masih belum dapat mengelabui matanya. Maka ia perlu berwaspada. Sebab kalau tidak berilmu kepandaian tinggi pula, gerakan demikian sukar dilihat.
- Kedua-duanya, bukan. sahutnya.
- Aku datang kemari semata-mata untuk merampas sebuah benda yang berharga. Itulah barang yang . . .
Jawaban Yudapati yang terus-terang itu di luar dugaan Tolo. Setengah gugup ia menegas:
- merampas benda berharga? Kau maksudkan itu? . . . Hai. aku tidak mengerti. mengapa hal itu saudara katakan kepadaku. Yudapati tidak segera menyahut. Ia tertawa selintasan. Kemudian berkata:
- Kurasa terhadap saudara tiada halangannya. Bukankah saudara berasal dari nusantara timur? Besok pagi, kita bukankah akan berpisahan? - Eh . . . ya. Benar . . . sebenarnya aku berasal dari pulau Halmahera. Saudara benar-benar bermata tajam. Bagaimana saudara dapat menebak asal negeriku dengan tepat? - Bukankah mudah? Juru mudimu tadi menyebut asal negerinya. Dia mengaku berasal dari kepulauan Maluku. Kalau begitu, majikannya niscaya berasal dari suatu kepulauan yang tidak jauh. Tentunya pula seorang bangsawan. Sebab orang Maluku tidak gampang-gampang takluk kepada suku lain, kalau belum memperoleh pegangan yang berdasar.
Tolo terperanjat. Di dalam hati ia berkata:
- Pemuda ini berpengetahuan luas. Aku harus berhati-hati.
Ia tak tahu, bahwa Yudapati seorang perwira Laskar Tarumanagara yang sering merantau ke luar wilayah. Sebagai seorang perwira, ia mendapat bekal pengetahuan yang cukup mengenai sejarah dan Ilmu Bumi.
- Saudara, akhirnya ia berkata. Terus terang saja. aku mendapat pengetahuan dan pengalaman luas di sini. Kerajaan Sriwijaya menyimpan orang-orang pandai. Di sini pun terdapat berbagai aliran seperti Syiwa pala. Gupala Seta, Paramita dan lain-lainnya. Hanya saja,aku lebih tertarik kepada aliran Pasupata. Mengapa aliran ini dimusuhi oleh sekalian orang-orang suci? Padahal Pasupata mempunyai hak hidupnya pula. Bukankah begitu?
Di dalam hati, Yudapati dan Diatri tercekat. Seperti saling berjanji mereka harus berwaspada menghadapi Tolo. Siapa tahu mungkin Tolo salah seorang anggauta Pasupata. Karena itu, mereka bersiaga.
- Sayang, aku tidak begitu tertarik pada masalah itu. Yudapati menghindar.
Tolo berdehem. Menyahut:
- Yang kuherankan pula tujuanku kemari sama dengan tujuan saudara. Akupun datang ke pulau ini dengan maksud merampas sebuah benda. - Oh, begitu?
Yudapati tercengang.
- Tentunya benda itu sangat berharga.
Tolo tertawa gelak. Sahutnya:
- Saudara! Secara kebetulan kita bertemu dan berkenalan. Secara kebetulan pula, tujuan kita sama. Karena itu, perlu kita membuat suatu kenang-kenangan. Besok pagi kita akan saling berpisah. Malam ini biarlah aku menyuguhkan suatu minuman istimewa buatan asal negeriku. Setelah berkata demikian, Tolo bersiul tajam. Beberapa saat kemudian, juru mudi berasal dari kepulauan Maluku datang dengan membawa seguci minuman dan tiga cawan.
Diatri mengerlingkan matanya kepada Yudapati. Berkata di dalam hati:
- Kakak, awas isi botolnya. Bisa-bisa mengandung racun yang berbahaya.
Tolo segera meletakkan tiga buah cawan di atas meja, lalu diisi dengan minuman istimewa asal negerinya. Katanya mempersilakan.
- Mari! Silahkan minum!
ia sendiri mendahului meneguk minumannya. Sekarang tahulah Yudapati, bahwa Tolo bukan orang sembarangan. Dia memiliki otak licin. licik dan berbahaya. Masih ia mencoba:
- Tahukah saudara benda apakah yang hendak rampas? Itulah sehelai peta harta kerajaan yang kabarnya berada di tangan Punta Dewakarma. - Ya, siapapun tahu.
Tolo menjawab dengan adem saja.
- Aku pun bermaksud merampasnya. Syukur kita bisa bekerja sama. Kalau tidak, aku sendiri dapat membereskan.
- Dia memandang enteng paman Punta Dewakarma. pikir Yudapati.
- Tentunya sudah mempunyai pegangan teguh. Kalau bukan karena memiliki kepandaian tinggi niscaya mempunyai racun istimewa.
Selagi berpikir demikian, kembali lagi Tolo mempersilakan dirinya meneguk minuman yang disuguhkan.
- Mari, silahkan minum!
Yudapati mengangkat cawannya. Baru saja menempel pada bibirnya, segera ia merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun ia tahu, bahwa minuman itu pasti mengandung racun, namun hatinya terkejut juga. Terkejut karena menyaksikan kelicinan tetamunya. Dia tadi sudah meneguk dua tiga kali dengan tak kurang suatu apa. Niscaya sudah mengumur obat pemunahnya, atau setidak-tidaknya cawannya sudah dilapisi dengan obat penawarnya.
- Hm, untung aku sudah bersiaga. ia berkata di dalam hati.
Pada detik itu, ia bermaksud hendak menyemprotkan mimnanan itu kepada Tolo. Tetapi suatu pertimbangan lain datang dengan cepat.
- Biarlah kuminumnya habis. Ingin kuketahui, apa yang hendak dilakukannya selanjutnya . . . ia memutuskan.
Dengan mengerahkan himpunan tenaga sakti tingkat delapan, ia meneguk minumannya. Dengan cepat racun menyerang dirinya, akan tetapi didesak dengan tenaga sakti tingkat delapan sehingga merembes keluar menjadi keringat yang keluar dari pori-porinya.
menyaksikan Yudapati meneguk minumannya sampai habis. diam-diam Tolo girang. Dengan tersenyum lebar ia mengalihkan pandang kepada Diatri yang mengenakan pakaian pria. Katanya dengan ramah
- Bagaimana dengan adik muda ini? Sudikah adik ikut meneguk minuman buatan negeriku?
Diatri menolak. Tolo tidak menarik panjang lagi. Ia melihat, pemuda itu lemah dan nampaknya tidak memiliki kepandaian. Maka tak perlu ia mendesaknya untuk mengamini kehendaknya.
- Apakah saudara muda tidak biasa minum minuman keras?
Diatri menggelengkan kepalanya. Sengaja ia tidak menyahut untuk menyembunyikan suaranya. Pada saat itu, Yudapati berkata kepada Tolo:
- Saudara! Mengapa engkau tidak menghabiskan minumanmu?
- Ah ya. sahut Tolo dengan suara merasa bersalah.
- Aku keringkan cawanku demi persahabatan kita.
Dan benar-benar ia mengeringkan cawannya.
- Mengeringkan cawan dengan sekali teguk, rasanya kurang nikmat. ujar Yudapati.
- Mari kita isi lagi dan meneguknya sedikit demi sedikit. - Bagus! -seru Tolo gembira.
Tetapi di dalam hati ia berkata:
- Hm. seteguk saja sudah cukup untuk membuatmu lupa daratan. Kau bakal tertidur nyenyak selama tiga hari tiga malam . . .
Yudapati meneguk araknya seteguk demi seteguk. Ia nampak sedang menikmati minuman buatan asal negeri Tolo. Tetapi setiap meneguk, ia mengalihkan ke ujung jarinya sebelah kiri. Dan racun yang terkandung dalam minuman itu mengucur deras melalui jari kelingkingnya yang disembunyikan di bawah meja duduk. Yudapati tahu
bahwa minuman itu mengandung obat bius. Setelah berpikir sejenak ia berseru berpura-pura dungu:
- Arak jempolan! Arak bagus! Bolehkah aku mohon satu cawan lagi?
Tetapi belum lagi Tolo sempat menjawab, ia sudah jatuh tersungkur tak sadarkan diri lagi. Tolo tertawa terbahak bahak. Kepada Diatri dia berkata:
- Kawanmu ini mempunyai Ilmu Kepandaian. Sayang dalam hal minum arak ia kurang pengalaman. Baru dua cawan sudah mabuk. Hahaha . . .
Ia meraba badan Yudapati dan menggoncang-goncangkannya. Benar-benar Yudapati sudah kehilangan kesadarannya. Sebaliknya Diatri tahu permainan sandiwara Yudapati. Meskipun Yudapati tadi tidak menelan obat pemunah atau penawarnya, ia percaya tentunya sudah berjaga diri dengan cara lain.
- Kawanku ini memang tidak kuat minum. -ia berkata dengan menekan nada suaranya serendah mungkin.
- Mestinya, arak ini amat keras. Bukankah begitu?
- Benar. sahut Tolo dengan tertawa.
- Inilah arak istimewa dari Bere-bete, dekat Tanjung Sopi. Apakah saudara ingin mencicipi? Diatri tersenyum. Sahutnya:
- Daripada minum arak, bukankah lebih baik menjaga barang itu?
Setelah berkata demikian, ia menuding kotak emas bermata berlian yang berada di atas meja. Tolo mengerlingkan matanya. Ujarnya:
- Kurasa, lebih baik engkau menjaga temanmu ini. - Yang tengah mabuk, biarlah mabuk. Yang sinting, biarlah sinting. -sahut Diatri.
Tolo tertawa haha-hihi. Berkata setengah berseru:
- Bagus! lebih baik mabuk oleh minuman keras dari
pada mabuk oleh godaan iblis. kata orang-orang tua jaman dahulu. Dalam hidup ini, siapakah yang tidak pernah mabuk? Mabuk kecantikan wajah. mabuk pangkat dan martabat. mabuk cinta. mabuk harta benda, bahkan ada pula yang mabuk llmu Nirwana dan agama . . . - Benar. -ujar Diatri menyenangkan hatinya.
- Akan tetapi ada juga peringatan leluhur kita. Ada orang yang mabuk dua tiga kali kemudian sadar. Sebaliknya ada yang mabuk selama hidupnya.
- Apa itu?
Tolo tercengang.
- Orang palsu. jawab Diatri dengan suara kering.
- Oh.
Tolo terkejut.
- Saudara yakin, kawanku benar-benar mabuk? Bagaimana cara saudara membuktikan? kata Diatri.
Tolo tergugu. Pertanyaan ini di luar dugaannya. Tak terasa ia mengerlingkan matanya kepada Yudapati .Yudapati sendiri pada saat itu sedang mendengarkan pembicaraan mereka. Mendengar kata-kata Diatri yang menyindir tajam kepada Tolo, ia tertawa di dalam hati. Agar ia dapat menyaksikan akhir perbuatan Tolo, ia berpura-pura mendengkur keras sampai kedua lobang hidungnya bergetar.
Diatri bersikap seolah-olah tidak menghiraukan keadaan Yudapati. Dengan wajah berseri-seri ia mengambil kotak emas dan ditimang-timangnya seperti kanak-kanak bemain bola. Tolo menoleh kepadanya dan mengawasi lagak-lagunya dengan tertawa. Katanya minta keterangan:
- Saudara, sebenarnya kotak apakah itu? Bolehkah aku ikut memegangnya?
- Mengapa tidak? Terimalah! .. sahut Diatri.
Tetapi di dalam hati ia berkata:
- Hm, engkau berani menerima barang ini? Sekali kau pegang berarti hidupmu tidak panjang lagi. .
Lalu ia mengangsurkan kotak emas itu seraya berkata ramah:
- Kata orang, ini kotak pusaka. Kabarnya dahulu tempat penyimpan peta harta kerajaan. Entah benar entah tidak. Siapapun berkata, harganya sangat mahal. Bibir Tolo basah oleh liur. Dengan mata berkilat-kilat ia meraba penutupnya. Tak terasa ia menghela nafas. Serunya kagum:
- Tak salah! Memang ini barang yang sangat berharga meskipun sebenarnya hanya termasuk benda kuno. Aku termasuk salah seorang penggemar mengumpulkan benda benda sejarah. Apakah aku boleh membelinya? - Apakah engkau membawa uang?
- Tentu saja. Aku seorang perantau. Uangku selalu kusimpan di dalam perahu. Biarlah kuambilnya dahulu.
- Tetapi . . .
Diatri berbimbang-bimbang.
- Temanku itu, belum tentu setuju. Bagaimana?
- Ah dia baru bangun tiga hari lagi. Waktu itu, engkau sudah bisa kabur ratusan pal jauhnya.
- Benar.
Diatri berkomat-kamit.
Tolo bergembira. Dengan bersemangat, ia memasukkan kotak emas itu ke dalam sakunya. Selagi hendak memutar tubuhnya, sekonyong-konyong ujung perahu bergoyang. Terdengar kemudian suara tertawa yang disusul dengan kata-kata mengejek:
- Haha . . . uang belum diambil. tetapi barang sudah masuk kantong. Masakan aku tidak mendapat bagian?
Di atas geladak berdiri seorang laki-laki berperawakan gagah perkasa dengan berewok tebal. Kemudian dengan sekali meloncat ia sudah menghadang di depan pintu gubuk. Hampir pada waktu yang bersamaan, berdiri pula seorang laki-laki kurus kering dengan wajah pucat kekuning kuningan. Dialah pemilik perahu yang berada di sebelah kiri perahu Yudapati.
Melihat kedatangan mereka berdua, wajah Tolo bermuram durja .perlahan lahan ia melindungi dadanya dengan kedua tangannya. Jelas sekali ia bermaksud mempertahankan dan melindungi kotak mustika yang sudah disimpannya dalam kantung celananya. Berkata dengan suara dingin:
- Ah tak tahunya rekan Getah Banjaran! Apa perlu datang kemari pula? Apakah hendak ikut-ikutan mengadu untung?
Mendengar pertanyaan Tolo, Getah Banjaran tertawa tergelak-gelak sampai tubuhnya tergoncang-goncang. Sahutnya:
- Kau ini pandai main sandiwara sampai berani menghapus nama sendiri. Apa sih keuntungannya memakai nama Tolo? Sebutkan namamu yang benar: Aku Hari Sadana, pemimpin aliran Orang-Aring. Dengan begitu, kalau mati orang akan mudah menulis namamu.
- Hm, kau pun berani mengaku sebagai pemimpin Kaum Abong-Abong?
- Mengapa tidak? Aku memang orang Abong-Abong. Dan tahukah engkau, siapa yang berdiri di sampingku ini? - Bukankah dia saudara Tarusbawa Ketua aliran Tanah Putih? sahut Hari Sadana alias Tolo.
Tarusbawa ternyata seorang pendiam sesuai dengan wajahnya yang pucat kuning. Tubuhnya kurus kering seakan-akan tidak bertenaga. Akan tetapi dia tadi dapat berada di samping Getah Banjaran dengan tiba-tiba saja. Suatu bukti bahwa ia dapat bergerak cepat bagaikan bayangan yang tidak bersuara.
- Hari Seadanya! ujar Getah Banjaran.
- Kau berada di atas sebuah sungai yang berarus besar. Kecuali lebar, banyak pula penghuninya. Sebaliknya di atas kepalamu bersinar cahaya bulan. Pemandangan begini tidak selaras dengan angan-anganmu.
Hari Sadana alias Tolo dapat menangkap makna ucapan Getah Banjaran. Artinya. dirinya tidak cocok untuk bawa-bawa kotak mustika yang menjadi benda perebutan orang. Karena itu ia membalas ucapan Getah Banjaran dengan tertawa melalui hidungnya. Lalu menjawab:
- Saudara Getah Banjaran yang baik hati. Engkau tadi belum menjawab pertanyaanku. Apakah engkau hendak ikut-ikutan memperebutkan benda mustika ini? Jawablah dengan terus-terang!
Getah Banjaran melemparkan pandangnya kepada Yudapati yang masih saja tertidur pulas. Kemudian beralih kepada Diatri yang bersikap acuh tak acuh. Ia bersenyum puas. Berkata dengan tegas:
- Benar. Aku datang kemari untuk mengadu untung. Hanya saja masih ada sebuah masalah yang perlu kupertanyakan kepadamu. Entah engkau sudi mendengarkan atau tidak . . .
Hari Sadana tercenung. Dengan mata terbelalak, ia menyahut:
- Silahkan! '
-Pada malam hari ini kecuali diriku datang pula saudara kita Tarusbawa. Apakah engkau sudah memperhitungkan? lalu beralih kepada Tarusbawa:
- Bagaimana menurut pendapatmu?
- Sembelih saja bocah itu. jawab Tarusbawa dengan pendek.
Hari Sadana tertawa gelak. Berkata:
- Apakah semudah itu?
- Hm.
Tarusbawa mendengus.
- Engkau hanya memiliki dua tinju. Sedangkan kami berdua, empat. Kalau kami bermaksud hendak menyembelihmu, mudahnya seperti membalik tangan sendiri. Tetapi aku seorang pemeluk Agama Buddha, sedang saudara Getah Banjaran
pengikut Agama Hindu. Kami tidak boleh sembarangan mencabut jiwa orang. Rasa cinta-kasih kepada sesama hidup, menjadi tujuan hidup kami. Maka letakkan saja kotak mustika itu di atas meja! Dan kami akan membiarkan engkau berlalu dengan aman sentausa.
- Apakah aku harus percaya akan kata-katamu?
- Kau harus percaya.
Merah padam wajah Hari Sadana. Sebentar merah menyala dan sebentar lagi pucat lesi. Jelas sekali, bahwa seluruh tubuhnya dibakar rasa marah tak terhingga. Akan tetapi,ia tidak berani gegabah. Mereka berdua Ketua aliran, mestinya memiliki kepandaian yang sebanding dengan dirinya. Kalau sampai dikerubut, celakalah dia. Karena itu, ia mengasah otaknya untuk mencari jalan keluar. Justru demikian, mulutnya jadi bungkam.
Yudapati yang berpura-pura tertidur pulas, mendengar pembicaraan mereka dengan tegas. Teringatlah dia kepada nasib pendekar Goratara yang mati mengenaskan, karena dikerubut orang-orang yang mengaku diri sebaggai utusan aliran Abong-Abong, Orang-Aring dan Tanah Putih. Juga dirinya nyaris mati pula oleh anak-buah Getah Banjaran. Karena itu ia berkata di dalam hati:
- Hyang Widdhi maha adil. Hanya kupancing dengan kotak palsu, mereka bertiga datang. Rupanya roh isteri Goratara menolongku, hingga aku dapat menuntutkan dendamnya . . .
Ia sudah memutuskan untuk membalas dendam. Namun masih saja ia berpura-pura terbius. Masih ia menunggu saatnya yang tepat. Memang, ketiga orang itulah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan anak-anak muridnya. Seumpama anak-anak muridnya itu bekerja atas kemauannya sendiri, tetap saja mereka bertiga harus bertanggung jawab. Sebab mustahil sekali, bila mereka tidak mengetahui apa yang sudah dilakukan anak-anam muridnya.
-:Baiklah, akhirnya Hari Sadana berkata.
- Marilah kita membuka pintu untuk memandang gunung. Bukankah kalian berdua datang untuk mengkerubut diriku? Dahulu, kita pernah bersumpah. Suka dan duka kita pikul bersama. Rupanya kalian berdua sudah melupakan bunyi ikrar itu. Tarusbawa tertawa pelahan. Sahutnya:
- Hari Sadana! Kalau engkau masih ingat bunyi ikrar itu, apa sebab engkau bekerja seorang diri tanpa memberi kabar pada kami? Engkau bahkan menyamar sebagai saudagar dari Halmahera dan menyewa seorang bangsat yang kau poles tubuhnya menjadi orang Maluku. Hebat! Bukankah engkau sudah mengkhianati kami berdua? Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Pendekar Pulau Neraka 40 Irama Pencabut Nyawa

Cari Blog Ini