Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 16
- Engkau masih bisa membayar, bukan? gertak Pataliputra.
- Selaksa perak. berarti kau harus membayar seratus ribu. Bagaimana?
Sekalian bandar melemparkan pandang kepada kepala bandar untuk menunggu keputusan. Sebaliknya kepala bandar menoleh kepada dua pemutar dadu andalannya meminta jaminannya. Mereka berdua merasa penasaran. Puluhan tahun lamanya mereka memiliki keahlian menyulap nomor dadu yang menguntungkan pemasang, menjadi nomor yang menguntungkan bandar. Selama itu belum pernah gagal. Karena itu mereka mau memperbaiki kegagalannya. Bertekad demikian, mereka mengangguk hampir berbareng. Dan memperoleh anggukan itu, kepala bandar segera membawa sikapnya. Katanya dengan membusungkan dadanya:
- Jangan takut kami tidak bisa membayar. Jangan lagi hanya satu laksa. Dua laksapun, boleh.
- Bagus! Kalau begitu, semua uangku kupasangkan. Mungkin cukup dua laksa. Tolong, hitung! sahut Pataliputra.
Mendengar pertaruhan raksasa itu, semua penjudi meninggalkan tempatnya. Mereka maju mendesak agar dapat menyaksikan dengan lebih jelas. Juga bandar-bandar lainnya. Tetapi bandar bandar ini ikut berdebaran, karena nasib mereka ikut pula dipertaruhkan. Bila Pataliputra menang, mungkin sekali esok pagi mereka semua bakal kehilangan pekerjaan.
- Tuan! ujar si pemutar dadu dengan tiba-tiba.
Menghitung uang sebanyak itu memerlukan waktu. Bagaimana kalau sementara itu. dadu kita putar? Agar adil. biarlah kita tutup dengan mangkok. Dengan begitu, baik kami maupun tuan sama-sama tidak melihat.
- Itupun boleh.
Pataliputra menyetujui.
Mendengar persetujuan Pataliputra, si pemutar dadu girang. Menegas:
- Jadi tuan tetap memasang nomor kecil?
- Tentu saja. sebab kecil tetap kecil-sahut Pataliputra acuh tak acuh.
- Baik. Nah lihat. Dadu akan kuputar. Dengan disaksikan kepala bandar, Pataliputra dan sekalian orang yang mengerumuni meja judi, dadu diputar kencang. Sewaktu berputarnya mulai lambat, temannya berlagak mendorong mangkok dadu sebagai penutupnya. Gerakan tangannya cekatan, tangkas dan terlatih. Begitu mangkok menyentuh dadu, dadu itu segera berhenti berputar. Dengan sekilas pandang tahulah ia, bahwa nomornya menunjuk angka kecil. Dengan tak kentara ia menyentuh sedikit sambil mendorong, Dadu terbalik dan kini berhenti pada angka besar lalu mangkok ditutupkan cepat seperti sedang menungkrap sesuatu.
- Nah. dadu sudah kami tutup dengan mangkok. Tuan dan sekalian yang melihat sudah menyaksikan. Bagaimana?
- Mengapa bertanya lagi? Apakah yang menghitumg sudah selesai? sahut Pataliputra.
Mereka semua harus menunggu beberapa saat, sampai juru hitungnya berkata:
- Semuanya berjumlah dua laksa kurang dua puluh Perak - Wadoooh . . . masih kurang?
- Kalau tidak percaya. boleh hitung sendiri! sahut yang menghitung.
Pataliputra berlagak kebingungan. Lalu berseru:
- Hai saudara-saudara, siapa yang mau menggenapi?
Ternyata tiada yang menyahut. Jelas sekali, bahwa mereka penuh sangsi. Bahkan banyak yang menganggap Pataliputra kurang waras. Masakan dia tidak dapat membaca wajah bandarnya yang nampak terlalu tenang?
Artinya sang bandar sudah mempunyai pegangan kuat
bahwa Pataliputra bakal kehilangan semua uangnya.
Siapa yang sudi ikut tergaruk uangnya?
Tiba-tiba bandar yang memutar dadu, berkata kepada kepala bandar:
- Karena tamu kita ini tamu istimewa bagaimana kalau jumlah uang taruhannya kita anggap genap dua laksa? Toh hanya kurang duapuluh perak saja.
Ini adalah isyarat yang meyakinkan. Keruan saja, dengan wajah terang kepala bandar menyahut:
- Baik. Hitung saja dua laksa.
- Bagaimana? Apakah tuan puas? bandar menegas kepada Pataliputra.
- Kau hitung dua laksa?
- Ya.
- Jadi. ..aku nanti menarik dua puluh laksa - Benar. Akan kami bayar tunai dua puluh laksa
- Bagus! Sang bandar girang bukan kepalang. Lalu berkata minta persetujuan:
- Kalau begitu. apakah mangkok ini kita buka? - Bukalah!
- Jadi tuan tadi memasang nomor kecil. bukan?
- Mengapa banyak berbicara? Sekali kecil tetap kecil.
- Baik. Sekarang akan kubuka. Hup!
Tetapi begitu mangkok terangkat. kedua pemutar dadu dan kepala bandar berdiri menjublak. Sebab dadu yang tadi berhenti pada angka besar ternyata menunjukkan angka kecil.
- Aaaah . . -seru sekalian yang menyaksikan. Mereka kagum heran dan sesak nafasnya. Sebab sang bandar harus membayar sebesar dua puluh laksa, suatu jumlah yang belum pernah dilihatnya apalagi dimilikinya.
Dengan tertawa terbahak-bahak, Pataliputra meloncat ke atas meja sambil berteriak nyaring:
- Hayo bayar dua puluh laksa! Semuanya akan kubagikan kepada semua orang yang ikut menyaksikan. Terutama orang-orang yang perlu uang belanja rumah tangga
- Horee . . . -sorak seluruh hadirin.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Tatkala sang bandar tadi memutar dadu, ia curiga kepada yang bertugas menungkrap dadu dengan mangkok. Diam-diam ia mengamati gerakan tangannya yang berpura-pura mendorong mangkok. Meskipun tidak dapat melihat angka yang sudah dimanungkrapnya, namun ia berani memastikan, bahwa orang itu sudah memperoleh pegangan. Apalagi wajahnya nampak berseri seri. Tentunya, nomor dadu menunjukkan angka besar. Pikirnya. Memperoleh pikiran demikian, segera ia berlagak ketolol-tololan. Ia perlu memperoleh keyakinan yang lebih mantap lagi. Si pemutar dadu masuk perangkap. Dengan penuh semangat dia mengusulkan agar kepala bandar menghitung uang taruhannya genap dua laksa.
Bagaimana mungkin!
Biasanya, bandar selalu teliti dalam urusan uang dan tidak sudi mengalah. Kalau saja tidak yakin bakal menarik, niscaya tidak sudi mendengarkan usul bawahannya. Tetapi nyatanya, kepala bandar menerima. Hal ini menambah keyakinannya. Terus saja, ia mengetuk bawah meja dengan diam-diam. Angka besar berbalik menjadi angka kecil. Dan menanglah dia.
Muka kepala bandar pucat lesi bagaikan mayat. Tibatiba ia meninju meja dan membentak kedua tukang pukulnya yang tadi datang menggotong daun pintu:
- Hai! Siapa dia? Mengapa kalian tadi sudi menjadi budaknya sampai mau menggotongkan uangnya? - Aku. aku tak tahu.kalau...kalau...jawab tukang pukulnya tergagap-gagap.
- Kalau. kalau apa?
- Kalau dia pandai berjudi.
- Cepat bayar! bentak Pataliputra.
- Dua ratus ribu. rasanya cukup. Aku tidak berjudi lagi. Apakah aku harus menghabiskan harta bandarmu?
- Bangsat! maki kepala bandar sambil menggempur meja.
- Berani benar engkau bermain curang di sini. Kau kira, aku tidak tahu?
- Kau tahu apa?
Pataliputra tertawa.
- Agaknya engkau senang menepuk meja. Jika engkau ingin taruhan menepuk meja. akupun bersedia bertaruh. Setelah berkata demikian, ia menepuk ujung meja.
Krak!
Dan ujung meja itu rompal sebagian. Sekali lagi ia menepuk dan meja somplak lagi seperti meja keropos yang mudah dipatahkan.
Menyaksikan betapa Pataliputra memiliki ilmu sakti yang jauh berada diatasnya, kepala bandar itu tidak berani lagi main garang. Mendadak saja ia memutar tubuhnya dan hendak kabur, sambil memberi aba-aba:
- Rampas uangnya! Rampas uangnya! Mendengar aba-abanya, anak-buahnya segera menyerbu dari berbagai penjuru. Pataliputra tetap bersikap tenang. Dengan sekali gerak ia menyambar sebelah kaki kepala bandar itu. Kemudian seperti menangkap ekor tikus, ia menarik kaki kepala bandar itu. Karena ia berdiri di atas meja, maka kepala bandar itu menungging ke bawah. Sewaktu berusaha melepaskan diri, dengan sekali hempas Pataliputra menunjamkan kepalanya ke alas meja. Meja jebol dan kepalanya tertanam dengan kedua kakinya di atas. Tepat pada saat itu, serbuan anak-buahnya tiba Pataliputra mengelak sehingga mereka menghantam dan mengebuki tubuh kepala bandar yang menungging dengan kepala tertanam di atas meja sebagai sasaran telak. Keruan saja. kepala bandar itu berkaok-kaok kesakitan
mengerang dan memaki-maki kalang-kabut.
Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu, dan mundur dengan serempak. Dan pada saat itu, muncullah seorang pemuda dari pintu tertutup. Seorang pemuda berumur sembilan belas tahun yang mengenakan pakaian mentereng .Dengan tergeser geser ia menyibakkan kerumunan orang Kemudian berkata dengan ramah kepada Pataliputra:
- Sahabat dari mana yang berkenan mengunjungi tempat kami? Maafkan, bila aku terlambat menyambut kedatangan saudara.
Melihat langkah pemuda itu yang gesit ringan dan berwibawa,diam-diam hati Pataliputra tercekat. Beberapa saat lamanya ia mengamat-amati wajahnya yang angker. lalu balik bertanya:
- Bolehkah aku mengetahui namamu?
Pemuda itu membalas dengan senyum. Sahutnya:
- Orang memanggilku Andi. Padahal sebenarnya aku bernama Sadasumapa.
Pataliputra menyapukan pandang matanya. Ruang perjudian yang tadi ingar-bingar, menjadi senyap. Seketika itu juga tahulah dia, bahwa pemuda yang bernama Sadasumapa ini mestinya berpengaruh besar tidak hanya terhadap buruh-buruh rumah perjudian. Karena itu, ia berwaspada. Walaupun demikian, ia merasa tidak perlu merubah lagaknya yang sudah terlanjur menjadi pengacau. Maka katanya ketus:
- Andi Sadasumapa, alangkah bagus nama itu! Sebaliknya. namaku jelek bukan main. Orang sering memanggilku Babi. Karena aku benci pada panggilan itu, maka sengaia aku merubah namaku untuk menuntut dendam. Demikianlah sampai hari ini aku bernama Tukang Potong Babi, alias Waraha Purusa. Jelek, bukan? .Tetapi kenyataannya di mana-mana selalu saja aku berurusan dengan
perkara babi.
- Oh begitu?
wajah Andi Sadasumapa berubah sesaat.
- Lalu aku harus memanggilmu dengan nama apa? - Terserah. Seumpama kau panggil Waraha toh sama saja. Sebab Waraha berarti babi juga.
Pataliputra acuh tak acuh. Beralih:
- Kau kenal orang yang bernama Koloan alias langkasuta? - Dia ayahku.
- Oh, ayahmu?
Pataliputra terbelalak. Kabarnya dia senang memelihara babi. Pantas aku berada disini. Nah . . . benar, bukan? Di mana-mana, selalu saja aku berurusan dengan babi.
Semua orang tahu betapa tajam sindiran Pataliputra terhadap ayah dan dirinya. Namun Andi Sadasumapa tidak marah. Dengan tenang ia berpaling kepada Kepala bandar yang masih saja berkutat dengan kepalanya untuk bisa keluar dari lobang meja. Bentaknya garang:
- Tentu engkau lagi yang membuat gara-gara, sehingga membuat saudara Waraha marah. Hayo cepat keluar dan maaf padanya! .
Setelah membentak demikian, ia menepuk meja yang membelenggu kepala sang Kepala bandar. Meja itu pecah menjadi dua bagian dan Kepala bandar itu jatuh memberosot membentur lantai. Tentunya sakit bukan kepalang. Namun tidak berani ia mengerang atau mengaduh.Sebaliknya cepat-cepat ia tertatih-tatih bangun. Kemudian dengan pandang mata yang masih berputaran ia maju membungkuk hormat sampai dua kali sambil mengucapkan mohon maaf.
- Aku tidak butuh hormatmu. Yang penting, engkau harus membayar dua ratus ribu.
- Tetapi.. .tetapi...tuanmuda..dia...
Kepala bandar berpaling kepada majikan mudanya hendak mengadu
- Diam? bentak Sadasumapa.
- Cepat bayar!
- Tetapi dia curang Kepala bandar melanjutkan aduannya. Setelah mengadu demikian, ia mundur selangkah sambil memelototi Pataliputra. Sebab dengan munculnya majikan mudanya yang berkepandaian tinggi, tidak perlu lagi dia takut menghadapi pemuda yang merecoki dirinya.
- Bohong! bentak Sadasumapa.
- Kau berdusta! Betapa mungkin, tamu kita ini bermain curang. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa. Dan seorang pendekar pasti jauh lebih jujur daripada engkau. Hayo, bayar! Apakah modal yang disediakan kurang cukup? Ambil dari Rumah Gadai! Cepat!
Menyaksikan sikap Sadasumapa yang gagah dan tegas. Pataliputra perlu meningkatkan kewaspadaannya apalagi ia tadi menyaksikan sedikit kepandaiannya. Meskipun dirinya tidak perlu merasa kalah, akan tetapi memecah meja dengan sekali gempur bukan perbuatan yang mudah.
- Aku menjamin, bahwa uang saudara tidak akan kurang sepeserpun. kata Sadasumapa dengan sikap hormat kepada Pataliputra.
- Sebaliknya atas nama ayahku aku minta maaf atas sepak-terjang orang-orang kami yang kurang mengenal betapa luasnya dunia. Dengan semberono. mereka menganggap saudara sebagai tamu lumrah saja. Padahal mereka sedang berhadapan dengan seorang pendekar besar. Kami mohon. saudara jangan berkecil hati. Sudikah saudara singgah di rumahku?
Sadasumapa tahu bahwa nama yang diperkenalkan pada dirinya, bukan nama Pataliputra yang sebenarnya. Dia sudah menerima laporan bahwa pemuda yang mengaku bernama Tukang Potong Babi alias Waraha Purusa. sebenarnya bernama Pataliputra. Sebab nama itu pernah disebutkan kepada dua saudagar langganan rumah makan Tenang Menanti. Tetapi tak peduli dia bernama apa, niscaya Pataliputra seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Sekiranya tidak demikian, mustahil dia berani mengacau. Sebagai seorang pemuda yang berpengetahuan luas, ia harus berani menahan diri.
- Terima kasih. sahut Pataliputra.
- Tetapi di sini banyak berkeliaran babi-babi. Padahal aku paling senang berurusan dengan babi lagipula aku masih ingin mengadu untung di sini. Sebaiknya, panggil saja ayahmu kemari!
Mendengar Pataliputra hendak berjudi lagi, Kepala bandar menggigil. Dengan wajah pucat lesi, ia berteriak gap gap
- Ja...ja...jangaaan...!Sudah waktunya... tu . tu . tutup . . . - Diam! bentak Andi Sadasumapa.
Sambil berputar arah kepada Pataliputra ia berkata ramah:
- Belum pernah sekali jua, ayahku bersikap kurang hormat terhadap sahabat-sahabatnya. Sebenarnya, ayah sudah mendengar kedatangan saudara. Ayah girang bukan main. Tetapi karena masih sibuk berbicara dengan dua orang Utusan Raja, ayah tidak dapat segera menyambut kedatangan saudara. Sekali lagi, kami mohon maaf. -- Mestinya Utusan Raja itu berpangkat perwira, bukan?
- Perwira Menengah.
Sadasumapa memberi keterangan.
- Hm.
Pataliputra mendengus. Kemudian tertawa. Berkata lagi:
- Tahukah engkau gelarku?
Mendengar ucapan Pataliputra, diam-diam Sadasumapa girang. Sudah semenjak tadi, ingin ia mengetahui siapakah gelar pemuda di depannya itu, untuk menentukan sikap.
Sekarang Pataliputra sudi memperkenalkan gelarnya tanpa dimintanya.
Bukankah kebetulan?
Terus saja ia menyahut:
- Belum. Sesungguhnya siapakah gelar saudara? - Tidak hanya Tukang Potong Babi, tetapi bergelar pula Tukang Pencabut jiwa perwira kerajaan. Kalau perlu tukang menggebuki hamba-hamba Kerajaan yang tersohor menindas orang. Pernyataan Pataliputra mengejutkan hati Sadasumapa. Ujarnya:
- Ah, tentunya saudara Waraha hanya main-main saja, bukan? '
Di luar dugaan, tiba-tiba saja tangan Pataliputra menyambar dadanya sambil membentak:
- Kaupun babi kecil. Mengapa engkau berani menelan babiku? Sampai disini, putera langkasuta itu, kehilangan kesabarannya. Tangan kanannya bergerak melepaskan pukulan gertakan, sedang tangan kirinya hendak mencengkeram pergelangan tangan Pataliputra. Tetapi Pataliputra lebih cepat. Pada detik itu pula, ia membalikkan tangannya dan dibuatnya menggampar pipi Sadasumapa.
Plok!
Sedang tangan lainnya mencengkeram tangan kanan lawannya sambil membentak bengis:
- Kembalikan babiku!
Sadasumapa bukan seorang pemuda lemah. Meskipun usianya belum mencapai dua puluh tahun, namun ia terkenal sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Diluar dugaannya. cengkeraman Pataliputra dirasakan sakit sekali seperti jepitan tanggem. Begitu sakitnya sampai menusuk tulang-belulangnya. Ia terkejut. Secepat kilat ia menggeserkan kakinya dan dibuatnya menendang kempungan Pataliputra. Tetapi sebelum kakinya mengenai sasaran, Pataliputra masih sempat menangkis dengan kakinya pula. Dengan begitu. kedua pemuda itu mengadu ketangguhan kakinya.
Bres!
Sadasumapa merasa kakinya seperti terpukul sebuah martil besi.
- Aduh! ia mengaduh kesakitan.
Selagi kesakitan, tangan Pataliputra sudah melayang mengganpar pipi kanannya, sehingga kedua pipinya bengkak matang biru mirip warna hati babi. Sementara itu ia mendengar suara Pataliputra berkata nyaring:
- Saudara, dengarkan! Dari jauh aku datang ke kota Pane untuk membeli sepotong daging babi kepunyaan sahabatku Puge. Tetapi daging babiku engkau makan habis. Bukankah wajar, bila aku harus menggebukmu? Sekarang, orang-orang tahu bahwa pemuda itu sedang membalaskan sakit hati keluarga Puge yang mengalami siksa sewenang-wenang. Sebagian besar pengunjung Rumah Judi itu tahu semua akan peristiwa Puge dan Koloan. Di dalam hati, mereka berpihak kepada Pataliputra. Yang celaka adalah Sadasumapa.
Kena cengkeraman Pataliputra, ia tak dapat bergerak lagi.
Mereka yang menyaksikan peristiwa itu tertegun dan terpaku di tempatnya. Suasana dalam ruang perjudian itu sunyi-senyap. Tiba-tiba muncullah seorang yang mengenakan pakaian biru. Dialah pengurus Rumah Gadai yang sebentar tadi terpaksa menyerahkan uang sebanyak sembilan ribu perak kepada Pataliputra. Setelah mengirimkan orang untuk memberi laporan kepada langkasuta, ia kemudian ikut serta sampai ke Rumah Perjudian agar dapat mengawasi sepak terjang Pataliputra. Melihat Pataliputra melumpuhkan majikan mudanya, dengan memberanikan diri ia maju menghampiri. Katanya sambil tertawa:
- Tuan muda. dia adalah putera tunggal Tuanku langkasuta. Sudah barang tentu majikan kami mencintai puteranya melebihi jiwanya sendiri. Karena itu katakanlah apa
yang tuan kehendaki. Sebutkan jumlah uang yang kau kehendaki asal saja membebaskannya.
- Tutup mulutmu! -bentak Pataliputra.
- Daging babi milik sahabatku Puge adalah daging babi nomor satu di dunia ini. Siapa yang memakannya. mukanya akan berubah menjadi merah membara kebiru biruan dan pada saat itu pula menjadi gemuk. Bukankah muka bocah ini sudah menjadi matang biru dan lebih gemuk daripada tadi? Hm! inilah buktinya, bahwa ia makan daging babiku. Masihkah engkau hendak menyangkal?
- Ah. tuan jangan bersenda-gurau. tegur Pengurus Rumah Gadai dengan hati panas.
Meskipun demikian, tidak berani ia memperlihatkan rasa penasarannya dengan terang-terangan. Dia hanya menggerendeng tak jelas:
- Masakan karena makan daging babi? Kedua pipinya matang biru, karena tuan gampar.
Tetapi Pataliputra tidak menggubrisnya. Dia menebarkan penglihatannya kepada hadirin. Katanya dengan suara nyaring:
- Saudara-saudara. aku ingin mendengarkan pendapat kalian. Apakah bocah ini mencuri daging babiku atau tidak?
Mereka yang berada dalam rumah perjudian itu terdiri dari kaki-tangan Langkasuta,golongan buaya darat, penjudi dan orang-orang miskin yang sudah lama kehilangan keberanian hendak berlawan-lawanan dengan keluarga langkasuta yang bengis, kejam dan pendendam. Itulah sebabnya seperti saling berjanji mereka menjawab dengan serempak:
- Tidak mungkin putera Tuanku Langkasuta mencuri daging babi Tuan.
- Bagus! Jadi kalian hendak membela bocah ini, bukan? Katakan yang jelas! Dia tidak makan daging babiku. bukan? Bagus, bagus! Kalau begitu. aku perlu membuktikan .Biarlah isi perutnya kita periksa bersama.
Ucapan Pataliputra bagaikan halilintar meledak di siang hari. Mereka semua mengetahui peristiwa Ubruk membedah perut anaknya sendiri untuk membuktikan bahwa si kecil Pagu tidak makan babi milik Langkasuta. Rupanya Pataliputra akan berbuat demikian pula demi menuntutkan dendam keluarga Ubruk dan Puge.
Pengurus rumah gadai itu bergemetaran. Sekujur badannya menggigil. Tanpa malu-malu lagi, ia berlutut dan menyembah berulang kali. Ujarnya:
- Sudahlah, sudahlah . . kami memang salah. Majikan muda kami, memang mencuri daging babi tuan. Tuan tidak perlu membuktikan dengan membedah perutnya. Sekarang sebutkan jumlah uang yang tuan kehendaki! Dan kami akan segera memenuhi. - Enak saja engkau menggoyangkan lidahmu. bentak Pataliputra.
- Aku tahu orang-orang di kota ini masih penasaran terhadap perlakuan majikanmu. Karena itu, aku harus membawa bocah ini ke rumah keluarga Page. Hei siapa di antara kalian yang tahu rumah keluarga Page?
Seperti dugaan Pataliputra pasti tiada seorangpun yang berani memenuhi permintaannya. Pemuda itu menjadi kesal. Katanya memutuskan:
- Baiklah. karena tiada yang bersedia biarlah bocah ini kubawa berputar-putar sampai mati kehausan.
Setelah berkata demikian benar-benar ia membuktikan ucapannya. Ia membanting Sadasumapa ke tanah. lalu mencengkeram sebelah kakinya dan diseretnya. Sudasumapa sudah kehilangan tenaganya. Selain tidak bisa bergerak lagi, mulutnya jadi bisu. Dengan begitu, sebentar saja muka dan kepalanya jadi babak belur tanpa dapat mengerang sedikitpun. Sampai di jalan perempatan. baju
bagian punggungnya robek. Mulailah kulit punggungnya pecah berdarah. Orang-orang yang mengikuti hanya dapat menyaksikan saja. Tiada pula seorangpun yang berani ikut campur. Tiba-tiba Pengurus Rumah Gadai berlari lari menghampiri:
- Tuan! Hendak kau bawa ke mana majikan muda kami?
- Ke rumah Puge.
- Tetapi tuan salah mengambil jalan.
- Kau peduli apa? Karena aku belum mengetahui rumahnya, bocah ini akan kubawa berputar-putar ke seluruh penjuru kota. Kalau perlu sampai besok. sahut Pataliputra dengan suara adem ayem.
- Sam . . . sam . . . sampai besok?
Pengurus Rmnah Gadai menggeletar bibirnya.
- Sampai kutemukan rumah Puge. Sampai lusapun jadi. Mengapa engkau usil?
- Oh . . . Pengurus Rumah Gadai menggigit bibirnya yang menggeletar.
- Bi . . . biarlah aku yang menunjukkan. Pataliputra tertawa. Sahutnya:
- Kalau semenjak tadi, majikan mudamu tidak perlu menderita begini. Lalu, aku harus membawanya ke mana?
- Tuan sudah salah mengambil jalan. Terpaksalah tuan balik lagi ke perempatan tadi. lalu ambil jalan ke kanan . . .
- 0 begitu? Baik, aku akan balik kembali.
Dan Pataliputra menyeret Sadasumapa berputar kembali ke arah perempatan. Tak usah diceritakan lagi. betapa menderita anak Langkasuta itu. Kepalanya jadi benjul tak keruan-keruan. Punggungnya terbeset. sehingga bajunya basah oleh keringat dan darah. Kadang-kadang Pataliputra membalikkan tubuhnya sehingga dadanya kini
menggosok jalan berbatu. Akibatnya tidak hanya kedua pipinya yang pecah tetapi hidung dan mulutnya pula. Mukanya yang tadi nampak angker dan cakap, rusak seperti teriris-iris.
Ternyata rumah keluarga Puge berada di belakang pagar dinding gundik Langkasuta. Rumah kecil yang berdiri di atas kebun sayur yang tidak seberapa luasnya. Dan di pinggir kebun sayur yang memipit pagar dinding langkasuta. Pataliputra melihat bekas darah berceceran. Niscaya itulah darah si kecil Pagu yang terbedah perutnya untuk membuktikan bahwa si kecil tidak menganglap daging babi Langkasuta. Dan melihat darah, rasa marah bergolak di dalam hati Pataliputra. Terus saja ia menyeret Sadasumapa dengan bengis ke tempat itu. .
- Saudara-saudara! serunya kepada hadirin yang mengikuti semenjak tadi.
- Sewaktu perut si kecil Pagu dibedah ibunya, dia dalam keadaan mati atau masih hidup? Kalau sudah dalam keadaan mati, biarlah kubunuhnya dahulu bocah ini.
Setelah berkata begitu, ia membanting Sadasumapa di atas bekas darah si Pagu. Selagi hendak menurunkan bungkusan golok yang menggamblok di punggungnya, tiba-tiba suatu kesiur angin menyentuh tubuhnya. Tahulah dia bahwa dirinya sedang diserang dua orang bersenjata dari belakang. Tanpa menoleh ia menundukkan kepala dan meringkaskan badannya. Kedua orang yang menyerangnya, menumbuk angin. Tepat pada saat itu, Pataliputra mendorong pundak mereka.
Duk! Mereka beradu kepala dengan deras. Akibatnya roboh tak sadarkan diri di samping Sadasumapa.
Belum lagi Pataliputra memperbaiki diri. suara bentakan menyusul dengan dahsyat. Mendengar bentakan dan kesiur anginnya, Pataliputra sadar sedang menghadapi lawan
berat. Cepat ia memiringkan tubuhnya dan pada saat itu sebatang golok berkelebat di sampingnya. Ia berputar dan kini berhadapan dengan seorang laki-laki berperawakan sebesar kerbau;
Karena sabetan goloknya tidak mengenai sasaran, orang itu terhuyung ke dapan. Ternyata ia tak dapat mengendalikan diri sehingga goloknya langsung mengancam kepala Sadasumapa. Seketika itu juga begundal-begundal Langkasuta memekik kaget. Syukur, kerbau itu ternyata berkepandaian tinggi juga. Pada saat goloknya akan memotong leher Sadasumapa, ia masih sempat untuk melepaskan genggamannya. Begitu terlepas, buru-buru ia menggamparnya kesamping sehingga menancap di atas tanah.
- Bagus! Pataliputra memujinya. Sambil memuji, ia mendepak orang itu ke samping. lalu menyontek golok yang tertancap dengan kakinya pula. Golok itu terloncat ke atas dan disambutnya dengan gembira. Serunya:
- Ah kebetulan! Aku sedang bingung mencari golok yang sesuai untuk membedah perut bocah ini. Sekarang ada orang yang mengantarkan. Terima kasih . . .
Dengan mata merah si kerbau dogol itu mementangkan sepuluh jarinya yang kaku bagaikan terbuat dari besi tajam lalu menubruk Pataliputra dengan menggerung. Tetapi Pataliputra terlalu cepat baginya. Tahu-tahu sudah berada di belakang punggungnya. Sebelum ia sempat membalikkan badan, tangan kiri Pataliputra sudah mendongkel pantatnya sambil berseru:
- Naik!
Tenaga dongkelan Pataliputra hebat bukan main. Si kerbau dogol terlempar tinggi di udara dan secara kebetulan menyibakkan dahan pohon mangga yang bercabang. Selanjutnya lehernya terjepit dan ia bergelantungan seperti seekor gorilla terjepit perangkap. Semua
hadirin gempar menyaksikan tontonan yang belum pernah dilihatnya.
Si kerbau dogol itu kaget bukan main dan kesakitan luar biasa.
Betapa tidak?
lehernya terjepit kencang sehingga jakunnya terasa nyaris copot. Peristiwa demikian,
belum pernah ia alami selama hidupnya. Sekarang ia bergelantungan terayun ayun diluar kehendaknya sendiri. Akibatnya. kulit lehernya terbeset, Dalam bingungnya. kedua tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Begitu bisa menyambar dahan segera ia membetot kepalanya dari jepitan dahan bercabang. Lalu mengayunkan badannya ke atas dan memeluk dahan yang membal oleh berat badannya. Selamatlah ia kini. Tetapi setelah melihat ke bawah keringat dinginnya membasahi sekujur badannya. Ternyata ia berada di atas ketinggian setinggi sepuluh meter.
Si kerbau dogol itu ternyata menduduki jago ke tiga Langkasuta. Tenaganya kuat luar biasa. Karena itu menjadi tukang pukul yang ditakuti orang. Sebaliknya oleh berat badannya, ia tidak pandai'berenang atau memanjat pohon. Kini ia tersangkut di atas pohon seperti layang layang putus. Mau memanjat, tidak bisa. Mau turun, takut. Akhirnya ia menggamblok pada dahan itu menunggu kesempatan yang memungkinkan. Kesempatan memanggil teman-temannya agar menolongnya turun dari pohon.
Serangan anak-buah Langkasuta itu membangkitkan amarah Pataliputra. Dengan bengis, ia merobek baju Sadasumapa. Nampaklah dada dan perutnya yang putih kekuning kuningan. Dengan mengulum senyum Pataliputra mengusap-usap perutnya seraya mengangkat golok si kerbau dogol. lalu berteriak nyaring:
- Saudara saudara dan sahabat-sahabatku. Bukalah mata kalian selebar-lebarnya. karena aku memerlukan kesaksianmu. Aku akan membedah perutnya untuk mencari bukti apakah daging babi keluarga Page berada dalam ususnya. lihatlah yang jelas! Hai apakah aku berbuat kejam? Bukankah aku hanya meniru perbuatan keluarganya? Coba, seumpama Langkasuta bisa berpikir panjang, bukankah Ubruk tidak perlu membedah perut anaknya? Maka kesalahan ini harus dibayar tunai.
Melihat putera Langkasuta sebentar lagi akan menemui ajalnya, empat orang hartawan memberanikan diri menghampiri Pataliputra. Mereka bermaksud membujuknya agar membatalkan niatnya. Kata mereka:
- Yang membedah perut si Pagu adalah ibunya sendiri. Keluarga Langkasuta hanya menjadi penyebabnya. Nah, sebutkan berapa jumlah dendanya untuk menebus kesalahan keluarga Langkasuta. Kami berempat sanggup menjamin.
- Apa? -bentak Pataliputra.
Ia mendongkol melihat pekerti empat orang hartawan itu. Bentaknya:
- Eh. kalian siapa? Sewaktu Ubruk hendak membedah perut anaknya, mengapa kalian tidak mencoba mencegahnya? Mengapa pula tidak mau menolong kesusahannya? Apakah karena Pagu anak orang miskin? Sekarang, karena melihat bocah ini anak seorang penguasa, lantas saja kalian berkenan mencoba menolongnya. Apakah jiwa anak seorang miskin tak ada harganya? Kalau begitu jiwa bocah ini kalian hargai lebih tinggi daripada jiwa anak kalian. Pulanglah 'dan bawa anak-anak kalian kemari. Masing masing seorang saja. Awas! Jika kalian membangkang. akan kuhabisi seluruh keluarga kalian. Hm, apakah kalian mau mencoba-coba melarikan diri? Kemana? Ke ujung duniapun. akan kucari. Mendengar ancaman itu. semangat mereka berempat kabur ke angkasa. Dengan wajah pucat lesi. mereka memohon ampun dan cepat-cepat mundur menyelinap di antara barisan manusia yang menyaksikan. Pada saat yang hampir bersamaan. terdengar suara kesibukan. Serombongan orang berpakaian seragam dengan dikepalai seorang yang berperawakan tinggi besar mendesak maju. Dengan mengibaskan tangannya, orang tinggi besar itu menyibakkan barisan manusia. Dan kena dorongan tangannya, penonton jatuh terguling.
- Hm.
Pataliputra mendengus. Ia mendongkol menyaksikan lagak orang itu.
- Agaknya dia kepala pengawal sang majikan. Hm. akhirnya keluar juga dari sarangnya. Keparat!
Dengan tajam ia mengamat-amati orang itu mulai dari ujung rambut sampai kaki dan berbalik dari ujung kaki sampai rambutnya. Orang itu berumur lima puluhan tahun. Dandanannya mentereng. Bersikap angkuh dan angker. Orang-orang yang mengiringkan di belakangnya kelihatan bersikap hormat padanya.
- Kalau begitu. pikir Pataliputra,
- mungkin dialah yang disebut Koloan alias Langkasuta. Lagaknya lebih mirip seorang pembesar negeri daripada seorang hartawan.
Memang orang yang berperawakan tinggi besar itu adalah Langkasuta. Dia tidak hanya kaya raya. tetapi berpengaruh besar pula di kalangan pemerintah dan orangorang Pasupata. Pada hari itu, ia sedang sibuk menyambut kedatangan utusan raja. Meskipun sudah menerima laporan berturut-turut tentang sepak-terjang Pataliputra. ia tidak dapat meninggalkan mejanya dengan segera. Utusan raja yang membawa Surat Perintah Boma Printa Narayana dipandangnya jauh lebih berharga daripada mengurusi keributan-keributan kecil. Ia percaya. anak-buahnya niscaya dapat mengatasi seperti biasanya. Alangkah terkejutnya, sewaktu mendengar kabar bahwa anaknya teringkus pula oleh pengacau itu. Kebetulan sekali dua utusan raja itu sudah berkenan mengundurkan diri. Dengan demikian, dapatlah ia mengusut peristiwa itu lebih jelas.
- Sebenarnya siapa dia? tanyanya.
- Seorang pemuda yang mengaku bernama Tukang Potong Babi. anak-buahnya memberi keterangan.
- Namanya! bentaknya. '
- Itulah namanya . . . eh kalau tidak salah dengar, dia menyebut-nyebut nama Waraha Purusa.
langkasuta heran. Tadinya. ia mengira pemuda itu adalah salah seorang musuhnya yang datang untuk menuntut sesuatu. Tetapi nama itu, belum pernah didengarnya. Selagi demikian, utusan Pengurus Rumah Gadai lapor, bahwa sang putra sedang diseret si pengacau itu dan hendak dibedah perutnya, Keruan saja ia kaget sampai berjingkrak.
Gugup ia memerintah jagonya yang nomor tiga untuk cepat-cepat menolong puteranya. Ia sendiri segera mengumpulkan jago-jago lainnya dan menyusul dengan langkah panjang. Begitu melihat puteranya menggeletak dengan berlepotan darah ia menghampiri hendak membangunkan dengan lagak seorang penguasa tunggal.
Melihat gaya dan lagak Langkasuta, Pataliputra mendongkol. Pikirnya di dalam hati:
- Hm, sombong benar orang ini. Sekali-kali harus diberi pelajaran. Memikir demikian ia menghantam pinggangnya.
Memang. langkasuta sengaja jual lagak di depan umum dengan tujuan tertentu tanpa menoleh ia menangkis.
Plak!
Ia terkejut. Sebab tiba tiba saja tubuhnya tergetar dan hampir saja jatuh menelungkupi anaknya. Sadarlah ia kini bahwa pemuda itu tidak dapat dianggap enteng. Cepat ia memutar tubuhnya dan sambil menggerung ia melompat menyerang.
Betapapun juga, Pataliputra heran menyaksikan kegesitannya. Selain bertenaga orang setua itu masih bisa balik menyerang selagi tubuhnya hampir roboh. Pantaslah ia disegani dan ditakuti orang. Dengan masih menggenggam golok, Pataliputra menangkis. Kemudian goloknya dipapaskan mengarah pergelangan tangan. Jika Langkasuta menarik tangannya. golok itu akan membabat anaknya. Sedetik itu ia kebingungan tetapi sedetik itu pula ia memperoleh akal. Secepat kilat ia menghunus tongkat besinya yang selalu diselipkan dipinggangnya dengan tangan kiri. Ia menangkis sambil melompat mundur dengan nafas memburu.
- Bagus!
Pataliputra memuji kecekatannya.
- Rupanya kemana-mana engkau selalu membawa-bawa tongkat penggebah anjing. langkasuta sedang mengatur nafasnya. Gebrakan tadi hanya berjalan beberapa detik saja, namun sudah mengancam jiwa anaknya. Kalau saja ia tadi tidak bertindak cepat, leher anak satu-satunya itu sudah terpotong dari tubuhnya. Memikirkan hal itu, ia menggeridik sendiri.
- Hai, bawa kemari tombakku! ia berseru kepada salah seorang kepercayaannya.
Ia benar-benar menyadari bahwa Pataliputra seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Rasanya tidakkan berhasil melawannya, bila bertangan kosong.
Apa yang disebutnya sebagai tombak, sebenarnya sebatang tongkat panjang terbuat dari emas murni. Tak usah diceritakan lagi, betapa mahal harganya. Bobotnya mungkin mencapai empat puluh kilo. Namun dengan mudah. Langkasuta dapat memutarnya kencang bagaikan kitiran. Dengan lantang ia berkata;
- Selamanya belum pernah aku berurusan denganmu. Apa kesalahanku sehingga engkau mengacau di sini? Siapakah kamu? - Daging babiku dicuri anakmu. Dia tidak mengakui. Maka perlu aku membedah perutnya untuk memperoleh bukti. sahut Pataliputra pendek.
Semenjak mudanya langkasuta malang melintang dengan bersenjata tongkat. Mula-mula tongkat panjang yang terbuat dari tembaga. Setelah kaya, ia membuat sebatang tongkat emas murni yang panjang melebihi tinggi badannya. Dan dengan tongkat itu, tak pernah ia menemukan tandingan yang setimpal. Itulah sebabnya, ia berani mengangkat diri sebagai seorang penguasa yang tidak bermahkota. Artinya dia bukan termasuk seorang pembesar negeri. Akan tetapi mempunyai pengaruh karena harta kekayaan. Diapun pandai melayani kaum Pasupata yang menguasai wilayahnya. Dengan demikian, ia memperoleh dukungan kedua belah pihak. Tidak mengherankan, bahwa ia bisa berbuat sesukanya sendiri yang luput dari tuntutan hukum.
- Anak muda. -ia berkatalagi.
- Kita belum pernah bentrok. Apa gunanya engkau membela orang miskin? Seumpama engkau bisa mengalahkan aku. apakah keluarga itu bisa memberi sesuatu kepadamu? Sekarang, katakanlah terus terang! Engkau mau menjadi kawan atau lawan?
Setelah berkata demikian, ia mengebaskan tongkat emasnya lagi. Karena tongkatnya termasuk senjata berat begitu digerakkan menerbitkan kesiur angin yang terasa menyentuh para penonton. Padahal jarak antara penonton dan dirinya jaraknya cukup jauh. Namun Pataliputra sama sekali tidak gentar. Ia tahu makna ucapan Tuan tanah itu. Dalam kelembekan suaranya mengandung tekanan keras. Maksudnya, dia hendak memaksanya menuruti kehendaknya. Kalau tidak, tahu sendiri.
- Hm, besar sekali kata-katamu. -ia menjawab dengan tertawa.
- Kita memang belum pernah bentrok. Karena
itu begitu engkau sudah membayar daging babiku, segera aku akan meninggalkan wilayahmu. Dan urusan ini kita anggap selesai.
Wajah langkasuta lantas saja berubah menyeramkan. Ujarnya dengan suara lantang:
- Baiklah. Kalau begitu tiada jalan lain. kecuali menyelesaikan dengan senjata. Setelah berkata demikian, ia memutar tongkat emasnya bagaikan kitiran.
Pataliputra menghampiri Sadasumapa yang tergeletak di atas tanah. Dengan sebat ia menancapkan goloknya. Lalu membentak:
- Hai dengarkan! Juga kalian begundal-begundal babi itu. siapa yang berani mencoba melepaskan babi cilik ini, bakal jadi penggantinya. Sebaliknya bila engkau berani melarikan diri, ayahmu akan kubedah perutnya. Kau dengar?
Berbareng dengan ucapannya ia melompat menyambar tongkat emas Langkasuta. Langkasuta terkejut berbareng girang. Tak pernah diduganya, bahwa pemuda itu begitu tinggi hati sampai berani melawannya dengan menggunakan tangan kosong. Sebaliknya, kebetulan malah. Segera ia menyapu gerakan tangan Pataliputra tanpa segan segan lagi. Secepat kilat Pataliputra memutar badannya mengikuti arus sambaran tongkat besi lawan. lalu membalas dengan pukulan dahsyat. .
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penonton yang menyaksikan menahan nafas. Mereka ikut tegang dan berdebar-debar hatinya. Karena sebagian besar penonton terdiri dari kaki-tangan dan langganan Rumah Judi langkasuta, mereka memberi dorongan semangat tempur kepada langkasuta. Sebenarnya ingin saja mereka mengerubut pemuda itu. Akan tetapi tanpa perintah atau perkenan majikannya tidak berani mereka bertindak sembarangan. Bagi mereka kata-kata langkasuta
adalah undang-undang hidup. Siapa yang melanggar akan mengerti akibatnya. Sebaliknya siapa yang patuh akan bisa hidup tenteram di tengah keluarganya.
Langkasuta sendiri, tidak memerlukan bantuan mereka. Ia merasa sanggup mengatasi. Apalagi, pemuda itu tidak bersenjata. Dengan demikian, ia malahan mengharap dapat mempermainkan selama mungkin untuk lebih menanamkan pengaruhnya terhadap - bawahannya. Akan tetapi setelah tujuh gebrakan, hatinya tercekat. Gerakan tangan dan kaki pemuda itu aneh dan mengancam bahaya. Ia berani menangkis sambaran tongkat emasnya dan membalas dari sudut yang tidak memungkinkan.
- Celaka, pikirnya.
- Kalau tidak hati-hati bisa menumbuk batu.
Sekonyong-konyong dari luar gelanggang muncul tiga orang yang berpakaian compang-camping. Seorang laki-laki yang kurus kering. Seorang perempuan yang membiarkan rambutnya terurai awut-awutan. Dan seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun yang berlepotan darah Merekalah Puge, Ubruk dan Page. Ubruk si perempuan gila langsung saja mendekam di atas tanah. lalu berteriak-teriak sambil tertawa panjang menghadap Langkasuta. Serunya pula: .
- Koloan! Koloan! Engkau seorang Tuan Tanah. Seorang maha besar dan maha mulia . . . Dewa-dewa tentunya akan memberkahimu dan akan menambah rejekimu. Kaupun akan berumur panjang sampai rambutmu putih. matamu rabun. mulutmu ompong dan kulit keriput. Di mana sekarang anakku Pagu? Tentunya kini sudah menghadap Dewa Maya untuk menuntut keadilan. Dia akan menunjukkan bukti . . . Perutnya tidak berisi daging babi. Sekeratpun tidak, bukan?
Munculnya tiga orang itu menggoncangkan hati Langkasuta yang sudah merasa kuwalahan menghadapi Pataliputra. Gerakan tongkat emasnya makin kacau. Ia sadar bahwa sebentar lagi pemuda itu akan dapat merobohkan dirinya. Dalam bingungnya timbullah tekadnya. Dengan mengerahkan seluruh kebisaannya, ia menghantam tongkat emasnya ke arah janggut.
Hantamannya dahsyat tak terkatakan. Kesiur anginnya sampai terasa mendorong barisan penonton yang berdiri di tepi arena. Akan tetapi Pataliputra tidak gentar. Ia tidak berusaha mengelakkan atau menangkis. Dengan cekatan, ia mengulurkan tangan dan menangkap tongkat emas itu. .
Langkaauta terkejut. Buru-buru ia menyodokkan tongkat emasnya. Diluar dugaan Pataliputra mundur setengah langkah, memunahkan tenaganya. Kembali lagi ia terkejut. Namun ia tidak kehilangan akal. Sudah tiga puluh tahun lebih ia malang melintang tanpa tandingan. Pengalamannya bertempur tak terhitung lagi. Karena itu. tidak sudi ia menyerah dengan mudah. Dengan menggunakan sisa tenaganya. ia menyontek seraya menarik. Tetapi entah dengan cara bagaimana, Pataliputra tiba-tiba tangannya menyambar.
Bretet!
Baju Langkasuta robek dan celananya melorot. Sedang demikian, Pataliputra lari berputar sambil terus mencengkeram baju yang sudah dirobeknya. Akibatnya, baju yang melekat di tubuh Langkasuta terbeset tak ubah perban yang terurai panjang. Dan nampaklah kulit Langkasuta yang membungkus dagingnya. Kulit kehitam-hitaman. kasar dan berbintik-bintik.
Wajah langkasuta pucat bagaikan mayat. Meskipun hanya kehilangan sebagian bajunya dan celananya hanya melorot sedikit, namun ia merasa diri sudah ditelanjangi di depan umum. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Marah, malu. gusar. mendongkol, penasaran, geram, dengki, benci. dendam dan kecut. Sebaliknya.
Pataliputra tidak menghiraukan perasaan apakah yang berkecamuk di dalam dada si kejam itu. Dengan tertawa terbahak bahak tiba-tiba ia melompat tinggi di udara dan menghantam batang pohon mangga bagian atas.
Krak!
Dan pohon mangga itu patah sepertiga bagian. Sekarang celakalah si kerbau dogol yang masih menggamblok pada salah satu dahannya. Ia ikut roboh terhentak dan jatuh terpelanting menggabruk tanah. ,
Menyaksikan kehebatan pukulan Pataliputra. wajah Langkasuta makin menjadi pucat. Kalau saja pemuda itu menghantam dirinya, sudah dapat dibayangkan betapa akibatnya. Tubuhnya yang terdiri dari darah dan daging ,masakan lebih ulet daripada batang pohon mangga?
- Bagaimana? - gertak Pataliputra.
- Aku benar benar mengampuni jiwamu untuk satu kali saja, bukan? Apakah engkau bertekad hendak melanjutkan mengadu kepandaian?
Para penonton yang memihak kepada Langkasuta terperanjat menyaksikan kehebatan Pataliputra. Apalagi para begundalnya yang sebentar tadi ingin membela majikannya. Mereka jadi maju mundur penuh keraguan. Mereka mengakui, bahwa Pataliputra benar-benar sudah mengampuni jiwa majikannya. Sebaliknya tidak demikianlah halnya langkasuta. Ia merasa dihina dan dijatuhkan namanya di depan umum. Rasanya tidak mungkin lagi ia menanamkan pengaruhnya. Pendek kata, ia merasa tidak berhak hidup lagi di kota Pane. Memikir demikian ia jadi nekad. Daripada menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah. Terus saja. ia menghantamkan tongkat emasnya dengan kalap.
Pataliputra sudah mengambil keputusan hendak menghancurkan kewibawaan hartawan kejam itu. Akan tetapi menghadapi perlawanannya yang kalap. untuk beberapa
saat ia kerepotan juga. Dengan hati-hati ia melayani lambat-laun ia menemukan titik lemahnya. Meskipun tiap pukulan tongkat emasnya membawa kesiur angin, akan tetapi kurang gesit. Dengan demikian, pukulannya yang berat tidak menemukan sasarannya. Memperoleh kesimpulan itu, segera ia melakukan perlawanan dengan mantap. Setelah beberapa gebrakan, Pataliputra sengaja membentangkan kakinya untuk memancing. Benar saja, Langkasuta membabatkan tongkat emasnya.
Pataliputra sudah bersiaga. Bagaikan kilat ia melompat dan menginjak ujung tongkat. Dan dengan berani ia menjejakkan sebelah kakinya. Langkasuta terperanjat. Buruburu ia menarik tongkat emasnya. Sayang sudah kasep. Sebab hampir berbareng dengan gerakan menjejakkan sebelah kakinya, kaki Pataliputra yang menginjak ujung tongkat tiba-tiba terasa berat luar biasa. Tak tahan Langkasuta mempertahankan. Dan tongkat emas kebanggaannya terpaksa dilepaskan. Diluar dugaan ujung tongkat yang terinjak jadi membal dan menghantam kaki majikannya. Dua jari kakinya remuk dan bisa dibayangkan betapa sakitnya.
Langkasuta menggigitkan giginya sekuat mungkin untuk menahan rasa sakit. Justru demikian, sekujur badannya menggigil dengan wajah bagaikan kertas putih. Dengan nafas tersengal-sengal ia berkata:
- Aku mengaku kalah. Sekarang terserah. Kalau mau membunuhku, bunuhlah cepat! Si Ubruk yang semenjak tadi berlutut menghadap padanya, kembali berteriak-teriak nyaring:
- Koloan! Sekarang katakan yang jelas, apakah anakku menggerogoti babimu!
Sampai disini, Pataliputra dapat merasakan betapa menderita hati langkasuta. Hartawan yang kejam itu.
rasanya sudah cukup menerima pelajaran. Akan tetapi begitu mendengar ucapan si Ubruk, kembali lagi hatinya terbakar. Ia yakin, bahwa hartawan yang kejam itu sudah berulang kali menyengsarakan penduduk. Sekiranya tidak demikian, tidaklah mudah ia melenyapkan jiwa seorang anak yang belum pandai beringus. Memperoleh pertimbangan demikian, dengan langkah lebar ia menghampiri Sadasumapa sang anak kesayangan ayahnya. Golok yang ditancapkan di sampingnya, dicabutnya dan berkata bengis kepada Langkasuta:
- Sebenarnya antara kita berdua tiada permusuhan atau dendam apapun. Akan tetapi anakmu ini sudah makan daging babiku. Dan orang-orang kota Pane ini berusaha melindungi. Maka perlu aku membuktikan dengan membedah perutnya. Hai, saudara-saudara! Buka mata kalian lebar-lebar! Aku akan membedah perutnya . . .
Berkata demikian, ia mengguratkan ujung golok si kerbau dogol ke perut Sadasumapa yang tidak dapat berkutik lagi. Seketika itu juga, kulit perutnya yang putih bersih terpercik warna merah darahnya.
Meskipun Langkasuta seorang yang kejam, yang seringkali membunuh manusia tanpa mengedipkan mata, tetapi tatkala melihat puteranya terancam jiwanya bangkitlah jiwa nalurinya. Seketika itu juga, habislah sudah keangkerannya Sebab terhadap Pataliputra, tak dapat lagi ia melakukan sesuatu, kecuali harus mohon belas kasih. Jika memerintahkan orang-orangnya agar menyerbu, Pataliputra pasti akan menikam perut puteranya. Maka dengan suara parau ia berteriak!
- Nanti dulu! Setelah berkata begitu. ia mengambil sebilah golok dari salah seorang pengawalnya. Pataliputra tercengang. Menegas:
- Kau mau bertempur lagi?
- Dengarkan kata-kataku! Siapa yang berbuat, dialah yang harus memikul akibatnya. sahutnya dengan suara pedih.
- Aku sudah melakukan suatu perbuatan yang tidak benar. Kunyatakan disini, bahwa aku tidak berhak hidup lagi. Hanya saja aku minta agar engkau mengampuni jiwa anakku yang tidak berdosa.
Setelah berkata demikian, ia mengangkat golok hendak menggorok lehernya. Tiba-tiba terdengar suara lembut tetapi menusuk pendengaran:
- Langkasuta! Jangan bunuh diri! Semua orang termasuk Pataliputra memalingkan kepalanya ke arah datangnya suara. Seseorang berperawakan ramping berbaju hitam duduk berjuntai di atas pagar dinding yang membatasi kebun sayur keluarga Puge dan gundik Langkasuta. Melihat orang itu, Langkasuta tertawa. Sahutnya: '
- Terima kasih, sahabat. Tetapi aku seorang laki-laki. Demi anakku, aku harus berbuat begini.
Setelah berkata demikian, langkasuta melanjutkan usahanya hendak bunuh diri. Tiba-tiba golok yang berada di tangannya terpental dan jatuh di tanah. Pataliputra melompat maju. Dalam waktu sedetik sebentar tadi ia mengetahui dengan jelas apa yang menyebabkan golok Langkasuta jatuh ke tanah. Orang yang berada di atas pagar dinding, menyambitkan sesuatu dan membentur golok. Dengan hati penasaran, ia mencari benda yang menbentur golok. Ternyata hanya sebuah tusuk konde yang tidak mempunyai daya berat yang berarti. Hati Pataliputra terperanjat. Tusuk konde tidak hanya enteng, tetapi kecil pula. Meskipun demikian dapat mementalkan sebatang golok yang berada dalam genggaman tangan langkasuta yang kuat dan sentausa. Kalau orang itu tidak memiliki kesaktian, mustahil dapat berbuat begitu. Di dalan hati kecilnya. Pataliputra mengakui bahwa kepandaian orang itu mungkin sekali berada di atas kepandaiannya sendiri.
Memperoleh pikiran demikian, hatinya jadi panas. Ia merasa ditantang. Dasar masih muda dan kurang berpenglaman terus saja ia melesat tinggi dan hinggap di atas pagar dinding. Pada saat itu, orang yang memperlihatkan kepandaiannya lari ke arah Utara. Pataliputra mengejarnya. Sebentar saja bayangan kedua orang itu, sudah lenyap dari pengamatan orang. Mereka menghilang dibalik wuwungan perumahan.
*****
SAMPAI DiSlNl Yudapati membawa Diatri meninggalkan tempat. Mereka mengarah ke Utara seakan-akan ingin mengikuti orang berbaju hitam yang sedang dikejar Pataliputra. Diatri sebenarnya masih enggan meninggalkan keramaian itu, karena ibarat pertunjukan drama belum lagi selesai. Beberapa pertanyaan masih perlu memperoleh jawabannya.
Siapakah orang berbaju hitam yang sedang dikejar Pataliputra?
Apa sebab Pataliputra mengejarnya padahal keluarga Puge berada di tengah-tengah begundal-begundal langkasuta tanpa perlindungan?
Benar-benarkah Langkasuta rela melakukan bunuh diri demi anaknya tercinta?
Semuanya masih merupakan teka-teki yang menarik. Sekarang apa pula alasan Yudapati meninggalkan suatu peristiwa yang sedang mencapai puncak penyelesaian?
Tetapi Diatri seorang puteri agung yang mempunyai kesabarannya sendiri. Selain dia lebih sabar daripada Tara Jayawardani. pembawaannya cermat dan biiaksana.
Maka ia membiarkan dirinya dibawa Yudapati tanpa berbicara sepatah katapun, menunggu saatnya yang tepat.
Tidak jauh dari batas kota terdapat sebuah biara yang sudah ditinggalkan penghuninya. Biara itu berada di atas ketinggian. Tata bangunannya rapi. Letaknya terpilih karena dari atas ketinggian seseorang dapat melepaskan pandang matanya ke seluruh penjuru.
Mengapa ditinggalkan penghuninya? '
Yudapati membawa Diatri Kama Ratih beristirahat di pendapa biara itu. Lantainya masih utuh, meskipun kini kotor tak terawat. Juga dindingnya masih kokoh. Dan pertanyaan itu kembali mengusik hatinya.
Mengapa ditinggalkan penghuninya?
- Apa pendapat kakak?
Diatri mencoba memancing pembicaraan.
- Itulah sebabnya, aku membawamu pergi secepat mungkin. Sebab semuanya masih gelap bagiku. Umpamanya perihal Kaum Pasupata. Siapakah mereka? Dimana pula markasnya? Benarkah mereka kaum yang senang main sihir dan meracuni orang? Apakah Langkasuta benarbenar termasuk anggauta Kaum Pasupata seperti yang dikabarkan orang?
- Kurasa bukan. -tungkas Diatri yakin.
- Dia hanya seorang hartawan berkepala dua. Bisa melayani pembesar negeri dan dapat mencarikan upeti bagi Kaum Pasupata.
Yudapati memanggut-manggut membenarkan. Selagi hendak membuka mulutnya, berkatalah Diatri:
- Eh. mengapa kakak tidak berkenan melindungi keluarga Puge? Yudapati menghela nafas. Menjawab:
- Pataliputra terlalu semberono. Aku tahu dia tidak bermaksud hendak membedah anak Koloan. Justru demikiam perhatiannya cepat tergoda oleh tantangan orang
yang mempunyai kepandaian seimbang.
- Perempuan itu? - Kau maksudkan orang yang berbaju hitam?
- Ya. - .
- Yakinkah dia seorang perempuan?
- Karena aku seorang perempuan, tentu saja aku mengenal sifat dan lagak-lagu kaumku.
Diatri tertawa.
- Pataliputra mengejarnya dengan sungguh-sungguh. Tentunya ada alasannya.
- Benar. Tetapi justru demikian, ia membiarkan keluarga Puge bakal mati di tangan Koloan. Sebab Koloan tercoreng mukanya karena gara-garanya. Masakan dia akan membiarkan mereka lolos, selagi pembelanya meninggalkan tempat?
Mendengar ujar Yudapati, Diatri tercengang. Menegas:
- Kakak sudah dapat membaca apa yang bakal menimpa keluarga Puge. Mengapa tidak melindungi mereka? Bukankah sepak-terjang Pataliputra mempunyai tujuan mulia?
Yudapati tidak segera menjawab. Setelah diam menimbang-nimbang, ia berkata:
- Peristiwa ini mengingatkan daku kepada malapetaka yang menimpa keluarga pendekar Goratara. Dan aku khawatir tidak dapat mengendalikan diri, sehingga akan kehilangan tujuan kita yang utama. Ialah mencari Tara Jayawardani. Kemudian ia mengisahkan pengalamannya, sewaktu nyaris terlibat peristiwa keluarga pendekar Goratara. Padahal sudah diperingatkan kakek Mahendra agar jangan ikut menyaksikan.
- Karena itu aku tidak mau mengulangi kesalahan yang serupa. Kita sekarang sudah berada di wilayah Kaum Pasupata. Ibarat menyeberang sungai sudah berada di tengah-tengah arus. Mundur tanggung. Sebaliknya bila maju harus berhati-hati. Padahal
seperti kataku tadi, Kaum Pasupata masih gelap bagi kita. Bukan tidak mungkin pula, bahwa Pataliputra sesungguhnya salah seorang anggauta Kaum Pasupata. Sebab dalam hati kecilku, aku tidak yakin Kaum Pasupata begitu jahat seperti yang dikabarkan orang. Meskipun kabar yang berupa peringatan itupun harus kita perhatikan sungguh-sungguh.
- Sekiranya demikian. perempuan berbaju hitam tadi niscaya orang Pasupata pula. ujar Diatri mengemukakan pendapatnya.
- Itupun bukan mustahil. Yudapati menanggapi.
- Pendek kata semuanya masih gelap bagi kita. Seperti biara ini. Menilik letak dan bangunannya sangat sempurna. Mengapa ditinggalkan penghuninya? Niscaya ada penyebabnya yang terlalu hebat. Sebab, biasanya kaum pendeta berilmu tinggi dan pandai membela diri.
Tertarik oleh kata-kata Yudapati, Diatri mengembarakan pandang matanya. Selagi ia berdiri hendak memeriksa halaman dalam, tiba-tiba ia melihat asap mengepul di bawah sana. ia jadi terheran-heran.
Apakah yang sudah terjadi di dalam kota Pane?
Waktu itu mentari sudah nyaris hilang di balik bukit. Di sebelah barat, angkasa masih nampak cerah. Bahkan sedap dipandang mata, karena sinar yang menyilaukan sudah meredup. Tetapi tidak demikianlah halnya udara yang melingkupi kota Pane. Rembang petang terlalu cepat datangnya. Dari berbagai tempat asap hitam membumbung tinggi di angkasa. Sekarang. hawa panas terasa menyentuh wilayah ketinggian biara.
- Kebakaran! -Diatri berkomat-kamit. Atau . . . sengaja dibakar.
Siapakah yang membakar kota Pane?
Yudapati memperhatikan pula perubahan yang mendadak itu. Dengan berdiri tegak, ia membungkam mulutnya. Sejenak kemudian menghela nafas. Berkata memaklumi:
- Diatri, apakah engkau ingin mengetahui apa yang
sudah terjadi? Diatri tersenyum. Yudapati ternyata pandai membawa hatinya. Belum lagi ia menyahut. Yudapati berkata:
- Berangkatlah! Tetapi jaga dirimu jangan sampai ikut terlibat!
Memperoleh perkenan Yudapati. Diatri segera meninggalkan biara. Dengan berlari-larian kencang ia melintasi jalan besar yang kelihatan senyap. Akan tetapi setelah mendekati kota,ia mengambil jalan simpang. Sebab dengan tiba-tiba ia mendengar suatu kesibukan yang mencekam perasaan. Kentung tanda bahaya mulai ditabuh bertalu-talu. Suara pekik perempuan dan kanak-kanak bercampur dengan suara api yang mematahkan sendi bangunan rumah. Dinding dan atap roboh bergemuruh.
- Dimanakah kiranya Pataliputra, pikir Diatri sambil mempercepat larinya.
Pataliputra memang mengejar orang berbaju hitam itu dengan hati penasaran. Akan tetapi setelah orang itu menghilang di balik atap-atap rumah, ia menghentikan langkahnya.
Dengan berdiri tegak, ia tertegun-tegun keheranan. Pikirnya di dalam hati:
- Aneh! Benarkah penglihatanku'! Bentuk tubuhnya langsing. Apakah di wilayah ini terdapat seorang wanita berkepandaian begitu tinggi?
Khawatir Koloan dan anaknya menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, segera ia balik kembali. Tiba di kebun sayur keluarga Puge, ternyata langkasuta dan Sadasumapa masih saling berpelukan dengan erat sambil menangis. Rupanya. Langkasuta berhasil memulihkan tenaga anaknya sehingga sang anak dapat menangis serta memeluk ayahnya mohon perlindungan. Sebenarnya, menyaksikan peristiwa itu Pataliputra tidak sampai hati untuk beraksi lebih lanjut. Rasanya mereka berdua sudah cukup memperoleh hukumannya, ia berharap semoga mereka berdua menyadari sepak-terjangnya yang sewenang
wenang terhadap orang-orang miskin. Dengan begini, hari depan penduduk menjadi cerah. Pikirnya, toh tiada gunanya lagi aku menuntut jiwa. Si kecil Pagu tidakkan hidup lagi oleh pengorbanan jiwanya. Yang penting, untuk selanjutnya keluarga Koloan akan memperhatikan nasib rakyat yang miskin.
Sebaliknya. Langkasuta sudah biasa melakukan pembunuhan. Ia mengukur semua orang seperti dirinya sendiri. Demikian pulalah terhadap Pataliputra. Melihat pemuda itu balik kembali. segera ia berlutut di hadapannya mohon belas kasih. Katanya dengan suara sedih:
- Jiwaku kini sudah berada dalam genggamanmu. Harapanku, sudilah kiranya engkau mengampuni anakku.
Pataliputra sangsi bukan main.
Apakah yang harus dilakukannya?
Sedang demikian, tiba-tiba Puge menghampiri seraya berkata dengan suara tersekat-sekat:
- Tuan muda, engkau telah menolong jiwa isteri dan anakku Page yang hampir mati diterkam anjing. Budi tuan akan kami bawa sampai ke liang kubur. Setelah berkata demikian, Puge duduk bersimpuh dan menyembah Pataliputra tak ubah seorang raja. Keruan saja, Pataliputra buru-buru mencegahnya. Katanya:
- Jangan! Jangan!
Tetapi Puge tidak menghiraukan. Setelah puas menyembah belasan kali. kemudian ia berputar menghadap Langkasuta. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi bengis. Bentaknya:
- Koloan! Aku ingin mendengarkan pengakuanmu. Benarkah anakku menelan daging babimu? langkasuta meruntuhkan pandang. Sejenak kemudian menjawab dengan suara pelahan:
- Tidak. . . memang akulah yang salah.
- Hm. enak saja engkau membayar jiwa anakku dngan sekedar mengaku salah. Itupun terjadi, setelah kesombonganmu kena dihancurkan tuan muda ini. Hm,engkau sudah memenjarakan aku. Di dalam penjara aku disiksa nyaris mati oleh kaki-tanganmu karena engkau mampu mengobral uang. lalu...dirumah...anakku Pagu kau gencet kedua tangannya sampai pingsan dan kau desak sehingga emaknya terpaksa membedah perutnya demi memuaskan hatimu. Bukankah tujuanmu semata-mata hendak mengangkangi kebun sayurku demi menyenangkan hati gundikmu? '
Langkasuta tidak menjawab. Dan wajah Puge jadi merah padam karena terbakar api kemarahan. Bentaknya:
- Jawab! Benar atau tidak?
Diam-diam Langkasuta mencuri pandang. Ia mendongkol. Orang miskin itu yang biasanya takut kepadanya, mendadak kini jadi garang dan berani melototinya. Tetapi di sampingnya berdiri Pataliputra yang hebat tak terkatakan. Menimbang hal itu, tidak berani ia mengumbar rasa mendongkolnya. Dan kembali lagi ia menundukkan kepalanya.
- Jawab! Benar atau tidak?
Puge membentak untuk yang kedua kalinya.
Khawatir kalau Pataliputra terpaksa mengambil tindakan, dengan hati berat ia mengangguk sambil menjawab tak jelas:
- Benar. . .hal itu terjadi karena. . . ah untuk apa berkepanjangan. Hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa. Nah, bunuhlah aku! Pada saat itu. sekonyong-konyong terdengar suara orang mencaci-maki di tengah jalan:
- Hei pemuda edan! Hei pemuda bangsat yang mengaku bernama Tukang Potong Babi! Apakah engkau berani
mengadu kepandaian dengan kami? Hayo keluar! Mereka yang sedang memusatkan perhatian kepada langkasuta dan Page. menoleh dengan heran.
Siapakah orang itu yang berani menantang Pataliputra yang dapat menjungkalkan langkasuta dengan mudah?
Mereka melihat tiga orang penunggang kuda. Melihat tiga penantangnya. Pataliputra melompat memburu. Akan tetapi dengan cepat pula ketiga orang itu mengaburkan kudanya sambil berteriak:
- Hayo ke luar kota! Kalau tidak berani, engkau kurakura tertungkrap tempurung. '
Pataliputra mendongkol bukan main dikatakan sebagai kura-kura. Kebetulan sekali di antara para penonton ada yang membawa kuda tunggangan. Tanpa permisi terus saja ia melompat ke atas punggung kuda yang tertambat pada sebatang pohon. Sekali mengibaskan tangannya, tali penambatnya putus. Kemudian dengan geram ia mengejar ketiga orang penantangnya.
Mereka bertiga menyeberang jalan dan melarikan kudanya menyusur sungai. Kepandaian mereka menunggang kuda, tidaklah seberapa. Tetapi kuda mereka jauh lebih bagus dari pada kuda rampasannya. Karena itu, kudanya tidak dapat segera mengejarnya. Namun setelah berkejar kejaran dua tiga pal, hampir saja kudanya dapat menyusul. Dengan membungkuk Pataliputra memungut batu sekenanya lalu disambitkan dengan hati penasaran. Akibatnya mereka bertiga kebagian gebuk.
- Addooooo . . . - mereka memekik berbareng.
Dua di antara mereka roboh terjungkal dari kudanya. Yang seorang terseret-seret, karena sebelah kakinya tersangkut pada sanggurdi. Sewaktu kudanya lari memasuki tikungan. ia tidak nampak lagi kecuali suara rintihannya yang terdengar makin lama makin jauh.
Pataliputra melompat ke tanah. Dua orang yang sedang tertatih-tatih bangun itu ditendangnya sehingga jungkir balik empat kali. Mereka mengerang seraya mohon ampun.
- Kalian menantang aku? Hayo bangun! -bentak Pataliputra gemas.
Yang seorang dengan memaksa diri menyahut:
- Kata orang. engkau seorang pendekar jempolan. Mengapa makan minun tidak mau bayar? Mengapa pula berjudi tanpa bertaruh? Apakah itu peradatan seorang laki-laki sejati?
Sedang ia memaki demikian, temannya menerjang. Melihat gerakan kaki dan tangannya, Pataliputra bersenyum geli. Ternyata orang itu sama sekali tidak dapat berkelahi. Dengan sekali tangkis, orang itu kembali lagi roboh terbalik-balik dengan hidung mengucurkan darah. Celakanya ia menindih temannya yang baru saja memaki Pataliputra.
- Aduh! Apakah matamu buta? - .
- Buta apa? bentak yang lagi kesakitan.
- Mengapa aku kau tubruk? Kau bangsat! memaki begitu, tangannya melayang.
Plok!
Hidung yang sudah mengucurkan darah, makin jadi bocor. Keruan saja, dia membalas menggampar. Dan kedua orang itu, lalu saling baku-hantam. Mereka menendang sekenanya dan meninju berserabutan. Akhirnya saling menjambak rambut masing masing.
Menyaksikan peristiwa itu, Pataliputra tertegun sejenak. Kemudian sadarlah ia bahwa dirinya masuk dalam perangkap. Terus saja ia melompat dan mencekuk leher kedua orang itu dan digabrukkan ke tanah.
- Siapa yang menyuruh kalian menantang aku? bentak Pataliputra sambil menggaploki mereka berdua sampai matang biru.
- Ampun...ampun...- Kalian tadi sudah minta ampun.Mengapa berani memaki dan menyerang? Jawab!
Aku bisa membenturkan kepala kalian sampai pecah. Ataukah memang minta dipecah kepala kalian?
- Jangan . . .jangan . .. -mereka merintih dengan berbareng. Merasakan gaplokan dan ketangkasan Pataliputra, mereka ketakutan akan kehilangan kepalanya benar benar.
- Jawab yang jelas!
Pataliputra mulai tak sabar.
Mereka saling pandang. Akhirnya yang seorang menyahut dengan suara menggeletar:
- Kami hanya makan upah. Yang menyuruh kami . . . Pengurus Rumah Gadai. . . Katanya. ..tuan tidak mau membayar taruhannya . . . Lalu kami masing-masing mendapat upah lima perak untuk menagih hutang tuan . . . Kalau berhasil...ah sebenarnya bukan urusan kami. tuan mau membayar atau tidak. Bagi kami yang penting uang lima perak. Nih. uangnya masih utuh dalam kantong celana . . .
- Celaka!
Pataliputra mengeluh
- Mengapa aku begini tolol? Bukankah aku sengaja dipancing agar meninggalkan tempat sejauh mungkin? Ia mendongkol bukan main. Dan dengan geram, ia menyambar leher mereka berdua dan dilemparkan seperti membuang dua gumpal sampah. Setelah itu ia melompat ke atas kudanya dan dikaburkan secepat-cepatnya ke arah kota. Ia tidak mempedulikan lagi kedua orang itu yang mengiang-ngiang kesakitan seperti anjing kena gebuk.
Kuda yang ditunggangi bukan kuda jempolan. Agar mau lari sekencang-kencangnya ia perlu mencambuki kalang-kabut. Pikirnya di dalam hati:
- Koloan pasti sudah membawa anaknya bersembunyi entah dimana.Kota Pane cukup luas dan lebar. Kemana aku harus mencari mereka? Penduduk pasti tidak berani membuka mulutnya. Tetapi bagaimanapun juga, aku harus dapat menangkapnya kembali. Akan kuaduk-aduk semua rumahnya. Akan kubakar rumah gadai dan rumah judinya. Akan kurampas rumah makannya. Akan kutunggu seminggu dua minggu. Kalau perlu sebulan dua bulan. Masakan dia bisa bersembunyi terus menerus?
Sebentar saja ia sudah tiba di kebun sayur keluarga Puge. Tiada lagi terdapat seorangpun. Penduduk kota yang tadi datang menonton,tiada nampak batang hidungnya. Suasananya jadi sunyi mencekam.
- Ah! Benar-benar Koloan sudah kabur. .ia mengeluh seraya melompat turun dari punggung kudanya.
Dengan langkah lebar ia memasuki kebun sayur. Lalu . . . suatu penglihatan menusuk ulu hatinya. Beberapa langkah di depannya terbujur dua sosok mayat. Mayat Ubruk dan Puge. Seluruh tubuhnya bermandikan darah. Mereka mati oleh sabetan berbagai senjata tajam.
- Mana si Page?
Pataliputra berdiri terpaku tak ubah sebuah arca. Darahnya bergolak hebat. Beberapa saat lamanya, ia terbengong. Dengan berkomat-kamit ia berkata seolah-olah kepada dirinya:
- Mana si Page? Ia mengembarakan pandang matanya. Tiba-tiba ia melihat sesosok mayat tergeletak di atas tetanaman. Ia melompat dan memeriksa mayat itu. Itulah mayat Page si kecil berumur dua belas tahun. Perutnya dibedah dan isi perutnya tiada lagi.
- Hoah!
Pataliputra meledakkan rasa amarahnya. Lalu jatuh terduduk dengan kuyu. .- Puge . ..! Ubruk!
Pageee - . . aku tolol! Tolol sekali! Karena ketololanku. kalian masuk keliangkubur...
Oleh rasa menyesal ia menangis menggerung-gerung. Setelah kenyang menangis dan kenyang menyesali ketololannya. ia berdiri tegak. Pelahan-lahan ia menghampiri mayat Ubruk dan Puge dan dipondongnya dengan sekali angkat ke dalam rumahnya. Hati-hati ia meletakkan mayat mereka berdua di atas tempat tidur yang terbuat dari bambu. Setelah itu, ia kembali memasuki kebun sayur dan memandang mayat si kecil Page. lalu diletakkan di antara mayat ayah bundanya. Di atas meja nampak sisa makanan dan sebuah topi kecil terbuat dari anyaman bambu. Lalu beberapa mainan kanak-kanak terbuat dari tanah liat dan lima buah kelereng. Hati Pataliputra jadi sedih dan pedih. Tiba-tiba dadanya serasa akan meledak. lalu dengan suara bergelora ia berteriak:
- Puge! Ubruk! Pageee . . .! Aku bersumpah di depan jasadmu. Aku akan menangkap Koloan dan anaknya. Akan kubunuh mereka dan akan kusajikan kepada arwahmu, agar kalian hidup tenang di alam baka. Kalau gagal, aku akan bunuh diri di tengah kebun sayurmu. Untuk sementara kalian kubiarkan istirahat. Tolong, bimbinglah aku mencari tempat persembunyian kedua bangsat itu!
Dengan wajah kuyu ia menuntun kudanya keluar dari halaman rumah Puge yang berada di atas kebun sayurnya. Tetapi begitu tiba di jalan raya bangkitlah semangat tempurnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi bengis dan sengit. Dengan goloknya yang tetap berada di atas punggung, ia melompat ke atas kuda lalu membiarkan kudanya berjalan menyelusuri jalan raya.
Suasana kota Pane sunyi senyap seperti kota mati. Semua pintu tertutup rapat sedang di jalan tiada terdapat seorangpun. Tatkala melewati Rumah Gadai Kesejahteraan
Rakyat, Rumah Perjudian Kebudayaan Ummat Manusia dan Rumah Makan "Sabar Menanti," Pataliputra turun dari kudanya. Pintu-pintu yang tertutup ditendangnya terbuka, namun tiada nampak seorang manusiapun. Seluruh pengurusnya sudah kabur entah kemana. Yang mengherankan, seluruh ruangnya penuh dengan rumput dan jerami kering.
- Hm,
Pataliputra menggerendeng.
-Koloan mau membakar rumah-rumah perusahaan. Apakah benar begitu? Kurasa, dia mau menjebak aku. Entah jebakan apa yang sedang dilakukan. Yang penting, aku harus hati-hati dan waspada. Kembali lagi ia menyusuri jalan raya. Setelah memasuki tikungan jalan beberapa kali, tibalah ia di rumah Koloan yang berbentuk sebuah gedung besar berhalaman luas. Rumah gedung inipun tertutup rapat. Penghuninya tiada. Tetapi semua jendelanya terbuka lebar.
Apa maksudnya?
Tak peduli macam jebakan apa yang sedang direncanakan, aku tidak takut.
Pataliputra mendongkol.
- Hai Koloan! Akan kubuka! rumahmu. ingin kulihat apakah engkau akan tetap bersembunyi seperti kura-kura . . .
Tetapi baru saja ia mencari kayu bakar, sekonyong konyong nampak asap mengepul tinggi yang datang dari halaman belakang. Pataliputra terkejut. Sekarang dapatlah ia menebak sembilan bagian tindakan Langkasula. Berkata di dalam hati:
- Ah! Tak kukira, bahwa dia termasuk manusia jempolan juga. Ia rela membakar rumahnya sendiri. Kalau begitu ia dan keluarganya pada saat ini sudah kabur meninggalkan kota. Eh. mengapa bisa berjalan begini cepat?
Sekarang ia mengakui, bahwa kaki-tangan Langkasuta teratur dengan baik. Pantas tiada seorangpun yang dapat mengungkit-ungkit semua tindakannya. Justru memperoleh kesimpulan demikian ia jadi terkejut sendiri. Pikirnya di dalam hati:
- ... Ah ya! Kalau begitu. dia bisa mengerahkan semua orang-orangnya untuk mengeroyoku. Memang aku bisa kabur bila kukehendaki, tetapi untuk memenangkan suatu keroyokan masalpun . . . meskipun aku mempunyai sayap dan berkulit baja rasanya tidak mungkin. Mengapa dia tidak berbuat begitu?
Makin dipikirkan makin terasa aneh. Nampaknya ada sesuatu yang bersembunyi di belakang peristiwa itu.
Apakah yang membakar gedungnya bukan ia sendiri?
Selagi memikir demikian. di sebelah selatan mengepul asap tebal lagi. Ia lari ke arah datangnya asap. Ternyata Rumah Gadai dan Rumah Perjudian mulai terbakar hangus. Tidak lama kemudian, kebakaran beralih ke Rumah Makan Sabar Menanti.
- Celaka! Rupanya Langkasuta mau membakar diriku hidup hidup dengan mengorbankan semua rumahnya.
Pataliputra terkejut .Segera ia mencari jalan pintas. Tibatiba ia mendengar suara kentung sambung-menyambung. Tidak lama kemudian, beberapa orang berteriak-teriak. Ada pula yang meratap dan memekik ketakutan. Selang beberapa waktu. terdengar suara gemuruh kaki kuda yang datang dari luar kota.
- Tangkap! Tangkap! Tangkap pembakar rumah! Pada saat itu, Diatri Kama Ratih sudah tiba didalam kota langsung ia menuju ke kebun sayur keluarga Puge. Di sepanjang jalan mulailah ia berpapasan dengan penduduk kota yang lari berserabutan dengan ratap tangis dan pekik ketakutan.
- Hebat pekerti tuan tanah ini. pikir Diatri menbayangkan sepak terjang langkasuta.
- Karena kena dikalahkan Pataliputra, ia tidak mau kehilangan muka terhadap
penduduk. Maka sengaja ia membakar rumah-rumahnya yang menempati penjuru kota. Dengan begitu untuk menunjukkan pada penduduk, bahwa dialah satu-satunya pelindung dan pembangun kota Pane. Siapapun tidak dapat berbuat sesautu untuk mencegah perbuatannya. Tiada pula yang dapat mengumpulkan orang untuk memadamkan api. Penduduk dituntut ikut bertanggung jawab atas kegagalahnnya hendak menguasai kebun sayur keluarga Puge.
Diatri Kama Ratih memang cerdas dan penilaiannya tepat mengenai sasaran. Meskipun demikian, tatkala melihat mayat Puge. Ubruk dan Page, tergetar hatinya. Tak dapat ia menemukan jawaban apa sebab perut Page terbedah dan tiada isinya lagi. Apakah Langkasuta begitu besar dendamnya terhadap perlakuan Pataliputra kepada anak kesayangannya sehingga anak Page yang harus membayar lunas. Rasanya seperti ada kabut rahasia yang bersembunyi di belakangnya. Tetapi apa itu, ia sendiri tidak tahu. Sekonyong-konyong di jalan terdengar suara beberapa orang berteriak-teriak:
- Tangkap. tangkap pembakar rumah! Dia msuk ke kebun sayur . ; .
Diatri teringat akan pesan Yudapati agar tidak melibatkan diri. Maka gesit ia melompat ke luar. Lalu melarikan diri menyusur pagar dinding. Pada saat itu, ia melihat tiga atau empat bola api menimpa atap rumah Puge. Karena atapnya terbuat dari jerami. sebentar saja terjilat api dengan mudahnya. Diatri melompat tinggi dan hinggap di atas pagar dinding gundik langkasuta. Dari ketinggian ia'mencoba melayangkan pandang matanya untuk mencari siapa yang melemparkan bola api ke atap rumah Page. Sayang. kecuali suasana sudah mulai gelap, asap tebal yang menutup seluruh penjuru kota menghalangi penglihatannya.
Yang jelas. pasti bukan perbuatan Pataliputra. Diani berkata kepada dirinya sendiri.
- Ke mana dia? Menimbang bahwa tiada gunanya berlama-lama di tempat itu segera ia balik ke biara untuk melaporkan semua penglihatan dan kesannya kepada Yudapati. Dua kali ia menengok ke belakang. Kota Pane seperti tertutup awan hitam yang tebal pekat. Angin pegunungan mulai meniup. Dan hawa panas membara mulai tertebar ke seluruh penjuru. Tatkala untuk ketiga kalinya Diani menoleh ke arah kota, ia sudah tiba di kaki ketinggian. Dari ketinggian itu, ia memperoleh penglihatan lebih luas lagi. Sayang, petang hari sudah tiba. Tiada nampak sesuatu, kecuali lautan api. Kadang-kadang nampak beberapa bayang-bayang saling melintas. Niscaya penduduk yang berlari-lalian atau petugas hamba negeri yang berusaha menangkap si pembakar rumah.
Anehnya, tiada seorangpun yang berusaha memadamkan api. Masing-masing sibuk dengan masalahnya sendiri. Menyaksikan semuanya itu, Diatri menghela nafas.
Tiba di biara ia melihat suatu pemandangan aneh lagi. Yudapati berdiri tegak mengawaskan arah barat. Sama sekali dia tidak tertarik kepada nyala api yang membakar kota atau hiruk-pikuk penduduk yang lari berserabutan mengungsikan harta dan jiwanya.
Mengapa?
Apa pula yang diperhatikannya?
- Kakak Yudapati! Apakah yang menarik perhatianmu?
Yudapati tidak segera menjawab. Pandangnya tidak beralih. Tertarik akan hal itu, ia ikut mengarahkan pandangnya ke barat. Belasan penduduk kota duduk bersimpuh di bawah sebatang pohon rindang menghadap biara. Di antara mereka terdapat seorang pendeta yang mengenakan jubah kumal.
Darimana datangnya pendeta ini?
Apakah
dia termasuk salah seorang penduduk kota pula?
Tetapi sikapnya seperti tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya.
- Diatri! Pendeta itu sebenarnya sudah berada di bawah pohon itu, sebelum kita datang memasuki biara. ujar Yudapati dengan berbisik.
- Yang lain adalah penduduk kota yang berlarian mengungsikan diri. Anehnya, mengapa mereka tidak memasuki biara ini? Padahal biara ini kosong tiada penghuninya.
- Dan pendeta itu, siapa?
Diatri minta keterangan.
- Sampai sekarang belum jelas. jawab Yudapati dengan sungguh-sungguh.
Diatri mengenal watak Yudapati yang cermat dan berhati-hati. Sekarang dia nampak bersungguh-sungguh. Mestinya ada alasan yang menarik. Tiba-tiba terdengar suara guntur berdentum dari arah timur. Anginpun mulai meniup kencang dan membungkukkan mahkota dedaunan. Hawa dingin basah mulai terasa meraba tubuh.
- Diatri! Apa yang kau lihat di dalam kota? diluar dugaan Yudapati meminta laporannya.
- Tiada yang menarik, kecuali aksi pembakaran kota dan mayat keluarga Puge. sahut Diatri sederhana.
- Keluarga Puge? Kau maksudkan . . .
- Isterinya dan anaknya pula. - - Hih! Yudapati terperanjat seraya menghela nafas.
- Nah. benar dugaanku. bukan?
- Sebagian.
- Sebagian?
Yudapati heran sampai menoleh. Menegas'.
- Maksudmu?
- Baik Page, Ubruk dan si Page terbunuh oleh senjata tajam. Tetapi mengapa perut Page terbedah. sedangkan ayah-bundanya tidak? - Benar begitu?
Diatri mengangguk dan Yudapati tertegun-tegun. Berbagai bayangan berkelehatan di dalam benaknya.
Apa itu?
Ia berbimbang-bimbang. Akhirnya menggelengkan kepalanya. Katanya stengah berbisik:
- Aku tidak percaya. bahwa di dunia terjadi peristiwa itu. ..
- Peristiwa apa?
sekarang Diatri balik bertanya.
Selagi Yudapati hendak menjawab dari arah Selatan datanglah serombongan orang berkuda. Mereka melarikan kudanya sambil tertawa bergegaran. Yang berada di depan mengacung acungkan tangannya sambil berseru:
- Hoee ,.. bukankah ini namanya rejeki mencari orang?
- Betul. Kau dapat apa?
- Sudahlah! Pendek kata, hasil kita harus kita bagi rata seperti biasanya.
- Bagus, bagus! seru yang lain dengan suara gembira. .
Sewaktu tiba di depan biara, orang yang mengacung acungkan tangannya tadi menahan kendali sehingga kudanya berhenti dengan mengangkat kedua kaki depannya. Serunya:
- Hooop! lihat! Bukankah itu rejeki kita lagi?
Rombongannya menghentikan kudanya masing masing .Dengan berbareng mereka memalingkan kepalanya ke arah yang ditunjuk rekannya. Ternyata mereka sedang memperhatikan belasan penduduk yang duduk menggerombol di bawah pohon meratapi nasibnya.
- Ah, perampok! pikir Diani di dalam hati.
- Rupanya mereka menggunakan kesempatan untuk menggaruk harta benda penduduk. Ataukah memang mereka yang membakar kota Pane? Jangan-jangan merekalah tadi yang berteriak teriak hendak menangkap pembakar rumah. --.
Dugaan Diatri tidak salah. Sebab tatkala mereka menghampiri penduduk, salah seorang yang sedang dirundung malang itu mengenalnya. Seru orang itu setengah mengadu:
- Ah,bukankah tuan kepala distrik kita?? celaka. mengapa tuan-tuan belum memadamkan api? Harta benda kita ludes.Sekarang kita hanya.. .
- Hahahaaa . . . orang yang dikenal sebagai Kepala distrik itu tertawa. Dan rombongannya ikut tertawa pula. Apakah kalian tidak sempat membawa harta bendamu?
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Hanya seadanya.
- Ya, kami hanya membawa sepasang gelang. sahut yang lain.
- Kamu masih beruntung. Aku hanya membawa seuntai kalung dan sebungkus pakaian. sambung seorang perempuan yang duduk di sampingnya.
- Bagus, bagus! ujar Kepala Distrik dengan tertawa lebar.
Ia turun dari kudanya yang segera diikuti oleh rombongannya. Dengan langkah lebar ia menghampiri mereka yang sedang mengungsi. Kemudian memberi perintah bawahannya:
- Coba nyalakan obor! Aku ingin menghitung jumlah mereka.
Dua orang pengikutnya segera menyalakan obor. Sekarang tirai kegelapan menjadi cukup cerah. Ternyata rombongan berkuda itu mengenakan pakaian seragam hamba negeri. Masing-masing membawa barang bawaannya. Bahkan ada yang digantungkan pada pelana kuda,
Merasa kurang jelas. Kepala Distrik minta dinyalakan dua obor lagi. Kemudian seraya membawa sebilah obor bambu, ia mulai memeriksa siapa saja yang berada disitu. Sewaktu tiba di depan orang yang mengenakan jubah pendeta, ia berhenti. Menghardik:
- Hai! Kau siapa?
Tetapi pendeta itu tidak menggubrisnya. Masih saja
ia duduk bersila dengan memejamkan kedua matanya. Nampaknya ia sedang bersemadi. Diatri yang ikut memperhatikan lagak-lagu Kepala Distrik itu heran di dalam hati. Plkirnya:
- Dia dikenal orang sebagai Kepala Distrik. Masakan tidak mengenal pendeta itu? Kalau begitu. dia seorang pendeta pengembara.
Memperoleh pikiran demikian, ia menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Pendeta itu benar-benar tidak gentar mendengar gertakan dan hardikan Kepala Distrik yang dibantu oleh rombongannya.
- Baiklah, engkau boleh menikmati duniamu sendiri. Tetapi dunia yang kau injak ini, termasuk duniaku. Jadi, kaupun wajib membayar. akhirnya Kepala Distrik itu memutuskan.
Mendengar ucapan Kepala Distrik yang aneh itu, orang yang mengenalnya minta penjelasan:
- Tuan apakah maksud tuan dengan istilah membayar itu? Kepala Distrik tertawa gelak. Sahutnya:
- Kalianpun harus membayar pula.
- Membayar? - Ya, membayar. Serahkan semua harta bendamu atau jiwamu! -bentak Kepala Distrik.
Sekarang semuanya baru sadar, bahwa mereka sedang menghadapi rombongan pemeras. Yang mengenal Kepala
Distrik memrotes:
- Tetapi tuan . . . bukankah tuan Kepala Distrik kami yang berkewajiban melindungi dan menjaga kesejahteraan kami?
- Jangan rewel! Masakan kalian tidak tahu bahwa kamilah yang membakar kota kalian? - Apa? orang itu tercengang
- Tu tu tuuaaan yang ....
celaka! .
- Mengapa celaka? Kota itu langkasuta yang membangun dan membesarkan. Dia sedang dirundung malang. Mengapa kalian tidak membantunya? Kami diperintahkan membakar rumah-rumahnya. Apa salahnya? Itu rumah rumahnya sendiri. - Tetapi. .apinya menjalar ke. ..ke...kerumah kami. - Kalau begitu. tuntutlah api itu! Mengapa kalian justru lari meninggalkan kota? Dengan begitu api makin mengamuk. Maka kamu sekalian harus kami denda, karena tiada usaha untuk memadamkan demi menjaga tata-tertib'penghidupan. Nah . . . kalian serahkan harta bendamu atau jiwamu? Mereka terdiri dari penduduk yang tidak berdaya sama sekali. Apalagi kini merasa sedang berhadapan dengan rombongan penguasa wilayah kotanya. Dan semenjak dulu, ucapan Kepala Distrik adalah undang-undang yang tidak -bisa diganggu-gugat lagi. Terpaksalah mereka menyerahkan semua harta bendanya. Sekarang tibalah giliran sang pendeta harus menyerahkan harta-bendanya. Tetapi pendeta itu tetap saja terpekur dalam semadinya.
- Hai! Apakah kau tuli? -bentak salah seorang anggauta rombongan.
Pelahan-lahan, pendeta itu menyenakkan matanya. Lalu menjawab pendek:
- Aku tidak mempunyai apa-apa. Setelah menjawab demikian, pendeta ini menutup kedua matanya kembali. Sang pegawai negeri tertusuk kehormatannya. Tatkala mau membentak, Kepala Distrik mencegahnya:
- Sudahlah! Pendeta ini pendeta degil. Lihat saialah jubahnya. Sudah kumal banyak tambalannya pula. Hayo berangkat! Dengan langkah lebar Kepala Diatrik itu mendahului teman-temannya. Tetapi ia tidak menghampiri kudanya melainkan mengarah ke biara. Sewaktu hampir memasuki pendapa biara. Yudapati dan Diatri bersembunyi di balik dinding penyekat. Lalu dengan berjingkit-jingkit mereka ke luar halaman. Pada saat itu, mereka mendengar seorang pengikut Kepala Distrik berkata dengan suara tertahan: - Yang mulia! Mengapa memasuki biara ini?
- Memangnya mengapa?
- Menurut kabar, barang siapa yang berani menginjakkan kakinya di ruang biara ini, akan mati tak berkubur. - Ah! Tempat ini paling aman untuk membagi rejeki. Kau ikut atau tidak, terserah. Tetapi serahkan dulu barang barang bawaanmu! -ancam Kepala Distrik.
Mendengar ancaman kepalanya,yang lain tidak berani membuka suara. Bahkan dengan giat, mereka menurunkan semua barang bawaannya masing masing yang digantungkan pada pelana kudanya. Setelah itu, dengan berlari-larian kecil mereka mengejar Kepala Distrik yang memasuki ruang biara dengan membawa obor di tangannya.
Dalam pada itu, penduduk yang merampas harta bendanya jadi penasaran. Yang menjadi sasaran adalah sang pendeta yang masih saja duduk terpekur. Seru seorang laki-laki setengah umur:
- Sialan! Kaulah pendeta yang tiada gunanya.
- Betul! sambung seorang perempuan di sebelahnya.
- Seorang pendeta biasanya mengutamakan keadilan. Tetapi engkau diam saja. Kami sudah kehilangan, sebaliknya engkau tidak. Apakah itu adil? '
Didamprat demikian, pendeta itu menyenakkan mata
lalu menghela nafas. Berkata sambil berdiri:
- Benar.Aku tidak adil.Kalau begitu,aku harus menegakkan keadilan.
Tanpa menunggu tanggapan penduduk yang malang itu, ia memburu rombongan Kepala Distrik dengan langkah lebar. Waktu itu. rombongan Kepala Distrik sedang sibuk membagi rejeki. Harta-benda rampasannya ternyata aneka warna. Terdiri dari emas, intan berlian, uang perak dan surat-surat tanah. Rupanya sebelum membakar Rumah Gadai ada yang sempat mengambil surat-surat berharga yang masuk gadai.
Sedang demikian, pendeta berjubah kumal itu membungkuk-bungkuk hormat. Kepala Distrik menyiratkan pandang. Membentak:
- Siapa yang mengijinkan engkau masuk kemari?
- Hamba salah Yang Mulia. Hamba salah. Hamba berdosa, semoga Buddha yang agung mengampuni diri hamba. Hamba memang tidak adil. Yang Mulia sudah merampas harta benda penduduk. Penduduk menyerahkan dengan sukarela. Sebaliknya hamba tidak. Ini namanya dosa asal. Dosa turunan. Sekarang, biarlah hamba serahkan semua harta benda hamba. Dengan begitu terjadilah keadilan yang merata.
- Kau mempunyai apa? Cepat keluarkan! gertak Kepala Distrik. '
Kembali lagi pendeta kumal itu membungkuk-bungkuk hormat. Lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan uang empat perak. Katanya: .
- inilah seluruh harta hamba. Eh . . . ataukah Yang Mulia menghendaki tasbih hamba? Nih, hamba serahkan semuanya. Kepala Distrik itu mendongkol. Ia menyangka pendeta itu akan menyerahkan benda yang berharga. Sebab
pada saat kacau-balau. siapapun bisa menemukan barang berharga yang tercecer .Sebenarnya, ingin ia mendampratnya dan sekaligus menolak pemberiannya .Tetapi salah seorang anak-buahnya yang mata duitan dengan sertamerta menyambar uang empat perak itu.
- Bukankah lumayan? Siapa yang mau? Kalau tidak, masuk bagianku. -ia tertawa panjang.
- Hm.
Kepala Distrik mendengus. Kemudian memberi isyarat agar pendeta itu meninggalkan ruang biara. Katanya galak:
- Sudah . . . pergi! Dan jangan coba-coba masuk ruang ini tanpa ijinku! '
Untuk ketiga kalinya, pendeta kumal itu membungkuk bungkuk hormat. Lalu meninggalkan ruang biara sambil berkata tak jelas:
- Nah, aku sudah berlaku adil. Aku sudah menegakkan keadilan. '
Dengan langkah terseok-seok pendeta itu melintasi halaman biara. Yudapati dan Diatri mengawaskan kepergiannya. Tadinya mereka mengira akan balik ke tempatnya semula. Ternyata pendeta itu melanjutkan perjalanannya mengarah Utara. Hanya sekejap saja. bayangannya sudah lenyap dari penglihatan.
- Ilmu kepandaiannya tidak rendah. Bagaimana menurut pendapatanmu?
Yudapati minta pertimbangan Diatri.
- Benar. Kalau saja mau membuat perlawanan, apa sih susahnya menghajar manusia-manusia kantong nasi itu.
Dengan berbareng, mereka kembali mengamat-amati tata-kerja Kepala Distrik dan orang-orangnya. Tiba-tiba suatu pemandangan yang aneh terjadi. Ternyata mereka tidak bersuara lagi. Bahkan bergerakpun, tidak. Dengan sekali lompat. Yudapati menghampiri. Yudapati mendorong dua tiga orang dan mereka roboh tak berkutik.
- Mati? -'
Yudapati teikejut. Segera ia memeriksa Kepala Distrik dan yang lain. Merekapun segera roboh begitu kena sentuh.
Mengapa?
Yudapati heran. Pada detik itu pula, ia melesat mundur sambil menarik lengan Diatri. Berseru:
- Mundur!
Mereka berdua mundur sampai beberapa langkah. Dengan kepala penuh teka-teki mereka mengamati mayat Kepala Distrik dan rombongannya.
Mengapa mereka mati mendadak tanpa sebab?
Tubuh mereka lunglai seperti tiada tulang-belulangnya lagi. '
- Apa pendapatmu?
Yudapati berbimbang-bimbang.
- Tentunya kena racun hebat. Persoalannya sekarang racun dari mana?
Diantri mengemukakan pendapatnya.
- Apakah kita harus percaya, bahwa biara ini menyebarkan hawa beracun atau membawa kutuk yang hebat?
Menurut akal sehat, jawaban Diatri terasa menggelikan. Memang, orang-orang Pasupata yang menguasai wilayah tertentu senang menggunakan racun. Tetapi racun betapa hebatpun akan dapat tercium indria Yudapati yang sudah mencapai Tantra tingkat sebelas.
Apakah di dunia ini terdapat semacam racun yang tidak dapat tertangkap oleh kesaktian Tantra?
- Mari kita periksa dahulu, mereka yang menyerahkan harta-bendanya. Jangan-jangan mereka orang orang Pasupata yang sedang bermain sandiwara. Yudapati memutuskan.
Dengan langkah tergesa-gesa Yudapati dan Diatri ke luar halaman. Seperti berjanji mereka mengarahkan pandang matanya kepada pohon rindang yang berdiri tegak tidak jauh di depan biara. Hati mereka tercekat. Orang-orang tadi saling meratapi nasibnya yang malang tiada nampak batang hidungnya. Penuh penasaran Yudapati menyelidiki dengan berlari-lari ke sekitarnya. Setiap belukar dijenguknya. Lalu mendaki tinggian yang tiada terhalang pagar alam. Dengan mengerahkan Tantra tingkat sepuluh ia menajamkan penglihatannya. Tiada nampak sesosok bayangan manusiapun. Yang terdengar dan terlihat hanyalah kota Pane yang sedang terbakar hebat. Memperoleh kenyataan itu, pikiran Yudapati menjadi kacau.
Apakah mereka benar-benar Kaum Pasupata yang sedang menyamar sebagai penduduk?
Untuk apa dan apa pula tujuannya?
lalu siapakah pendeta yang mereka caci-maki?
Apakah justru pemimpinnya? .
Dengan pikiran kacau-balau itu, Yudapati kembali ke tempatnya. Kepada Diatri ia menceritakan semua penglihatan dan kesannya. lalu berkata:
- Kalau benar dugaanku, maka barang yang diserahkan kepada rombongan Kepala Distrik dilumuri racun tertentu yang mematikan. Mari kita periksa lebih cermat - .
- Tidak perlu. ujar Diatri.
- Tidak perlu?
Yudapati heran.
- Sebab mereka tiada lagi.
- Mereka siapa? -'
- Mereka yang mati.
Diatri memberi keterangan.
- Mereka lenyap dengan membawa barang bawaannya.
- Ah!
Yudapati terkejut. Terus saja ia melompat masuk ke dalam biara. Benar saja. Kepala Distrik dan orang-orangnya tiada bekasnya lagi seperti terhisap bumi. Juga barang-barang bawaan mereka.
Mau tak mau, Yudapati jadi terlongong-longong keheranan. Sekarang timbullah rasa penasarannya. Mulamula ia menumbuki dinding, barangkali terdapat pintu rahasia. lalu memeriksa bekas tapak kaki mereka dengan obor yang ditinggalkan mereka. Beberapa waktu kemudian
ia berhenti sendiri. Ujarnya setengah berseru: .
- Alangkah tolol aku ini. Mereka sengaia meninggalkan sebuah obornya. Bukankah mereka bermaksud menjebak perhatianku?
- Ya.
Diatri tersenyum manis
- Kalau mereka memerlukan penerangan. mustahil mereka meninggalkan sebuah obornya. Dengan meninggalkan sebuah obornya, kita akan mengira keberangkatan mereka dilakukan dengan tergesa-gesa dan ceroboh. Lalu kita akan menggunakan obor yang ditinggalkan untuk memeriksa ruang biara ini. Padahal mereka sudah meninggalkan biara ini jauh jauh. Berarti pula, mereka sudah tahu jalan keluarnya tanpa penerangan apa pun. - .
- Kau yakin mereka meninggalkan biara ini tanpa penerangan?Yudapati menegas.
- Setidak-tidaknya begitu. Sekiranya tidak begitu, mereka melalui jalan bawah tanah yang memerlukan penerangan. Bukankah mereka tadi menyalakan empat obor? Di manakah yang tiga? Bukankah dibawanya untuk penerangan? Atau . . .
- Atau?
- Atau . . . pada saat ini. mereka sedang mengawaskan kita. Mereka bersembunyi di balik gelap malam, sedangkan kita di tempat terang. Bukankah mereka dapat berbuat lebih leluasa?
Diingatkan akan kemungkinan itu, Yudapati segera hendak memadamkan obornya. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Ujarnya setengah berbisik:
- Diatri! Mari kita periksa kuda mereka!
Dengan berdiam diri, Diatri mengikuti Yudapati keluar ruang biara. Guntur yang meledak-ledak tadi sudah mulai menurunkan gerimis.Makin lama makin deras. Namun mereka tidak mempedulikan suasana yang tidak
menguntungkan itu. Mereka sengaja berjalan berdampingan dan mulai memeriksa. Ternyata kuda-kuda mereka pun tiada lagi di tempatnya.
- Diatri! uiar Yudapati dengan tertawa mendongkol.
- Aku mengira diriku sudah cermat. Ternyata ingatanku masih semrawut. Tak dapat aku mengingat-ingat lagi, apakah mereka tadi menambatkan kudanya atau tidak.
- Seumpana ditambatpun, mudah saja jawabannya. kata Diatri dengan suara geli.
- Mereka yang bersandiwara sebagai penduduk kota, bukankah mempunyai peluang untuk membawa kuda-kuda itu meninggalkan tempatnya. selagi perhatian kita terenggut oleh ulah pendeta dengan Kepala Distrik yang sedang membagi barang bawaannya? - Benar. Tata-kerja mereka rapi. Kalau begitu sudah direncanakan sekian jam sebelumnya. Berarti . . . ah Diatri! Barangkali semenjak kita memasuki kota Pane, mereka sudah mengawasi kita. Hai! Apakah kota Pane dengan seluruh penduduknya merupakan masyarakat hantu yang bisa berpindah tempat begitu mudah? Kalau begitu. sia sia sajalah penyamaran kita. Yudapati mendongkol.
- Baiklah, untuk menentukan hal itu, kita masih perlu menyelidiki kota yang sudah terbakar itu. Penduduk merasa kehilangan tempat - tinggal atau mereka ikut mengambil bagian dalam pembakaran kotanya? Sekarang kita menghadapi permainan sandiwara yang hebat. Kita pun bisa berbuat begitu. Mari!
Setelah berkata demikian. Yudapati menancapkan obornya dan dibiarkan menyala terang. Lalu membimbing Diatri berjalan dengan langkah pelahan. Tetapi begitu tiba di tempat gelap. tiba-tiba saja ia membawa Diatri bersembunyi
- Naik! -Bisiknya.
Dengan berbareng mereka melesat tinggi dan hinggap
di atas dahan. Bisik Yudapati lagi:
- Diani. semasa kanak-kanak pernahkah engkau bermain sembunyi-sembunyian? - Tidak. - .
Diatri menggelengkan kepalanya. Selain aku anak tunggal, tidak mempunyai teman bermain.
- Kalau begitu, mari kuajari memenangkan pemain itu.
Yudapati tersenyum lebar.
- Mereka bersembunyi, kita pun harus bersembunyi. Kini tinggal mengadu kesabaran. Barangsiapa yang tidak sabar, dia akan muncul dari persembunyiannya.
Diingatkan tentang masa kanak-kanak, rasa naluri Diatri tiba-tiba menjadi syahdu. Ia merasa lucu, geli tetapi menyenangkan. Tak dikehendaki sendiri ia menjawab dengan berbisik pula:
- Baik, aku akan bersembunyi di sini. Eh, mengapa satu pohon? Apakah tidak baik kita berpencar? -'
- Tak usah. Kita sedang mengintai kawanan yang berhati licik dan licin. Pastilah mereka mengukur kita dengan bajunya sendiri.
Tetapi gerimis yang deras sudah menjadi hujan. Bahkan makin lama makin menjadi-jadi. Nyala api yang memantulkan cahaya terang padam seketika. Sekitar tempat itu jadi hitam lekam.
- Bagaimana? Apakah kita tetap mendekam di sini? Diatri minta pertimbangan.
- Sialan, kalau mereka justru berada dalam biara. Kita jadi seperti tikus masuk dalam pasu air.
- Benar.
Yudapati tertawa geli,
- Baiklah. kali ini kita harus mengakui kalah. Mari kita tunggu mereka di dalam biara. Aku ingin tahu, tipu muslihat macam apa lagi yang akan mereka lakukan.
Sekarang mereka menghampiri biara dari halaman belakang. Setelah melompati pagar dinding, dengan hati
hari mereka menyusur jalan sambung. Selama itu. mereka memasang kuping dan menajamkan pendengaran. Sayang, suara angin dan deras hujan sangat mengganggu.
- Sst! Kita intai mereka dari serambi belakang. -bisik Yudapati.
- Mengapa kita tidak bersembunyi di balik atap?
- Usul bagus. Yudapati bergembira.
Dengan gesit ia mendahului melompat ke langit-langit lalu menggelentung pada salah satu kayu atap. Dengan ilmu Tantra yang tinggi, ia menghancurkan sebuah langit langit selembut tepung dan didorongnya masuk sehingga menjadi beberapa onggok. Dan semuanya itu, dilakukannya tanpa menerbitkan suara sedikitpun. Setelah ia bersembunyi di ruang langit-langit itu, segera ia memberi isyarat kepada Diatri agar menyusul.
Ruang biara bagian belakang tertutup rapat oleh dinding tebal dan pintu palang yang dilapisi baja. Itulah sebabnya suasananya sunyi-senyap, menyeramkan dan gelap pekat. Meskipun demikian, dengan sekali meloncat Diatri dapat menembus lobang langit-langit dan segera mencari tempat persembunyian yang tepat. Sengaja ia memisahkan diri agar memperoleh penglihatan lebih luas. Selain itu untuk menghindarkan intaian lawan yang mungkin sekali menggunakan tepung racun atau jebakan-jebakan tak terduga. .
Mereka membungkam mulut dan mengatur pernafasannya sedemikian rupa, sehingga tiada mungkin menimbulkan rasa curiga siapa pun. Bahkan tikus-tikus yang lari berseliweran pun tidak menduga bahwa dunianya dimasuki dua orang insan. Apalagi di luar, hujan makin lama makin deras. Kadangkala diseling dengan meledaknya guntur serta angin yang melanda puncak pohon-pohonan.
Yudanati dan Diatri mengintip ruang dalam dengan
ber-tengkurap. Kemudian larut malam tiba dengan diam diam. Setelah itu tengah malam menyambung kisahnya. Dan pagi pun akhirnya datang pula. Dalam biara tidak terdapat suatu perubahan apapun.
Yudanati menghela nafas. **** PENCULIKAN ANAK TANGGUNG
PELAHAN-LAHAN ia membalikkan badan, lalu merenungi atap. Ia mencuri pandang kepada Diatri. Puteri yang cantik agung, cerdas dan berkepandaian tinggi itu sama sekali tidak bergerak. Dia pun sudah membalikkan badannya. Entah mulai kapan. Nafasnya terdengar teratur. Tahulah ia, bahwa Diatri sudah berada dalam alam mimpi. Mau tak mau ia tersenyum geli. Dalam hal ini, ia mengaku kalah. Memang, naluri wanita kerapkali lebih tajam daripada laki-laki. Diatri rupanya siang siang sudah dapat menduga, bahwa dalam biara itu pasti tidak akan ditemukan sesuatu. Karena itu, ia menyempatkan diri untuk melepaskan lelah di dalam ruang yang aman dan sunyi-sepi.
- Aku merasa diri sudah mempunyai pengalaman luas. Nyatanya aku masih kalah setingkat. pikir Yudapati di dalam hati.
- Meskipun demikian. ia terhibur seWaktu mendengar kokok ayam di kejauhan. Berarti, jauh di sana terdapat perkampungan. Menilik bunyi kokok
ayam itu berpencar dan sambung menyambung niscaya perkampungan itu merupakan sebuah kota yang luas. Mungkin lebih luas daripada kota Pane. Sekarang ia merasa seimbang kepandaiannya dengan Diatri. Sebab Diatri masih tertidur lelap.
- Sekarang, kiranya aku boleh beristirahat sejenak. -pikirnya di dalam hati.
Tetapi begitu ia memejamkan kedua matanya. sekonyong-konyong ia mendengar suara Diatri seperti sedang mengigau dalam tidurnya.
- Ah . . . mengapa aku hanya memikirkan orang yang dikejar-kejar api . . . Mengapa aku tidak memikirkan ayam ayamnya. Sekarang pastilah terbang entah kemana . . . Kasihan . . . . terpaksa tidur di sembarang tempat. Aku tidak percaya. kalau semua jadi ayam panggang . . .
Mendengar igauan Diatri, Yudapati terkejut.
- Benar! Mengapa dirinya tidak mempunyai pikiran demikian. Bunyi kokok ayam itu berpencaran sambung menyambung. Bukan mustahil adalah ayam-ayam penduduk kota Pane yang kabur dari kandangnya.
- Baiklah, engkau yang menang. Yudapati geli.
- Sekarang aku boleh tidur, bukan?
Tetapi Diatri tidak menjawab. Ia bahkan memiringkan tubuhnya mengungkurkannya Yudapati jadi merasa gemas. Ia,menegangkan badannya. Ia merenungi Diatri yang tidur mengungkurkannya. Dan melihat tubuhnya yang elok, sirnalah rasa gemasnya. Tiba-tiba ia merasa rela tidak tidur sekejap pun, daripada mengganggu Diatri. Anehnya justru memperoleh kata hati demikian. mukanya terasa menjadi panas. Syukur di atas langit-langit masih gelap gulita sehingga kesan wajahnya tiada nampak. Terus saja ia turun ke bawah.
Sekarang, hujan telah reda. Waktu sudah terang tanah. Cahaya matahari samar-samar menguak di lazuardi. Hawa
segar menebar memenuhi persada bumi. Ternyata Serambi kebelakang yang mempunyai jalan penghubung di batasi dengan bekas halaman bunga.
- Apakah biara pada Bhiksuni? Yudapati berteka
teki.
Tnenbullah keinginannya hendak mengenal keadaan biara sejelas jelasnya. Dan mulailah ia mengitari halaman biara yang cukup luas. Di bawah pohon rindang, sengaja ia menggetarkan batangnya. Sisa hujan yang menempel pada mahkota daunnya meluruk ke bawah. Dengan kedua tangannya ia menampung tebaran sisa hujan itu dan dibuatnya membasuh muka, telinga dan rambut merasa kurang cukup ia pindah ke pohon lainnya. Demikianlah dilakukannya sampai tiga empat kali dan seketika itu juga, badannya jadi segar bugar seperti habis mandi. Karena tenaga Tantranya sangat kuat, keseimbangannya tidak terganggu meskipun satu malam penuh tidak memejamkan mata sekejappun. Kini ia mulai menyelidiki bagian atas. Maka dengan gesit ia melompat dari atas ke atap lalu berdiri tegak menebarkan penglihatannya ke segala penjuru. Api yang membakar rumah-rumah penduduk kota Pane sudah padam terguyur hujan semalam. Kesannya sunyi mengharukan. Setelah mengamat-amati sejenak mulailah ia menyelidiki seberang jalan yang berada di depan biara. Di sanalah orang-orang yang kemarin petang menyamar sebagai penduduk yang mengungsi, berkumpul di bawah pohon rindang. Bekas tapak kaki mereka lenyap terendam air. Ia berjalan selintasan dan obornya yang semalam ditancapkan masih berada di tempatnya. Dengan begitu berarti tiada yang mengganggu.
Ia berjalan mengelilingi wilayah itu dengan pikiran penuh sambil menyerap hawa fajar. Ia mencoba memecahkan teka teki itu. Kesimpulannya tidak berubah. Baik yang
menyamar sebagai penduduk, rombongan Kepala Distrik mau pun pendeta berjubah kumal adalah orang-orang Pasupata. Sampai saat itu mereka tidak mengganggunya. Hanya mengesankan semacam suatu intrik yang bisa menciutkan hati. Jelas, mereka tidak menghendaki kehadirannya.
Sewaktu kembali ke biara hari sudah pagi. Tentunya Diatri sudah bangun. pikirnya. Ternyata lebih daripada bangun saja. Dia sudah menunggu di serambi depan biara dalam keadaan bersih dan segar bugar.
- Hai!
Yudapati heran.
- Di mana engkau mandi?
-Dimana lagi kalau bukan disini
- Di sebelah mana?
Diatri tersenyum lebar. Sahutnya:
- Semenjak kanak-kanak aku biasa hidup dalam biara. Jadi untuk mencari kamar mandi bukan suatu masalah. Mengapa?
- Tidak apa-apa. Mari kita mulai bekerja. ujar Yudapati sambil tertawa.
Diatri Kama Ratih bukannya Tara Jayawardani. Melihat Yudapati mengalihkan perhatian. ia tidak mau mempertanyakan apa alasannya. Sebenarnya, begitu Yudapati turun dari langit-langit, dengan diam-diam ia mengintainya. Melihat pemuda itu berputar-putar menyelidiki keadaan biara. segera ia turun mencari kamar mandi. Setelah mandi, ia melompat ke atap biara ingin mengetahui apa yang menjadi perhatian Yudapati. Sebentar ia mengamat-amati kota Pane yang sudah terbakar hangus. Sekonyong-konyong ia melihat sesuatu yang berkelebat di antara reruntuhan gedung. Karena jaraknya terlalu jauh, tak dapat ia memperoleh penglihatan yang tegas. Anehnya. setelah ditunggu sekian lamanya, bayangan yang berkelebat tadi lenyap begitu saja.
- Diatri, bolehkah aku minta pendapatmu? - tiba-tiba Yudapati berkata sambil berjalan menjajari.
- Minta pendapatku? sahut Diatri dengan suara meninggi.
- Dari mana kuperoleh? Pendapat, tidak berbentuk dan tidak bertempat tinggal. Tolong, tunjukkan di mana pendapat itu berada. Segera akan kuambilkan.
Setelah berkata demikian. Diatri tertawa manis. Yudapati tahu. Diatri sedang bergurau. Gurau yang sederhana itu justru menggelitik hatinya. Ia tertawa pula. Tertawa berbahagia;
- Diatri! Akhir-akhir ini engkau pandai menggodaku. --ujarnya.
- Bukankah itu pendapatmu? Katanya.
- kakak mau minta pendapatku. Sebenarnya, kakak mau minta atau memberi pendapat? -sahut Diatri cepat.
- Baiklah, baiklah, aku mengaku kalah. -ujar Yudapati.
Hampir saja ia mencubitnya karena gemas. Untung, masih dapat ia menguasai diri. Tetapi pada detik itu sadarlah ia bahwa Diatri sudah menyalakan lampu hijau baginya. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti dirinya boleh berbuat melampaui batas. Apalagi Diatri adalah seorang puteri bangsawan. Memang Yudapati memiliki pembawaan yang istimewa. Menghadapi orang binal, dia bisa binal. Berlawan-lawanan dengan orang licik dan licin, ia pandai melayani. Sebaliknya berkawan dengan seorang puteri agung dan pendiam. cepat sekali ia dapat menyesuaikan diri. Itulah sebabnya pula, dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia merasakan pulau Suwarnadwipa tak ubah tanah airnya sendiri.
- Sekarang aku boleh minta pendapatmu, bukan? -ujarnya.
- Kita berdua kini sudah terlibat.
- Benar - Kurasa jalan untuk pulangpun. sudah susah.
Diatri memiringkan kepalanya. Lalu menjawab:
- Belum tentu, tetapi memang tidak mudah karena terhalang sungai. Dalam hal ini aku menyetujui jalan pikiran kakak.
- Bagus!
Yudapati setengah bersorak gembira.
- Ibarat orang menyeberang sungai, kita sudah berada di tengah arus. Mundur basah, terus pun basah. Daripada sudah terlanjur basah. kita akan terus. Bagaimana menurut pendapatmu?
- Asal saja . . . sampai di sini Diatri tidak menyelesaikan ucapannya. Sebenarnya ia hendak berkata asal saja kakak tetap berada di sampingku, mati pun rela. Tetapi baru saja mengucapkan dua patah kata permulaan, kedua pipinya sudah memerah. Syukur pada saat itu ia teringat sesuatu yang dapat digunakannya sebagai jalan keluar. Segera berkata memperbaiki:
- Asal saja kita dapat memecahkan teka-teki yang sebentar tadi kulihat. - Engkau melihat apa?
Yudapati terkejut.
- Sesosok bayangan yang berkelebat di antara reruntuhan gedung, lalu menghilang. Diatri memberi keterangan. Setelah menjelaskan kapan dan di mana ia melihat sesosok bayangan yang melintas reruntuhan gedung, ia berkata:
- Dan teka-teki itu, akan selalu menghantui kita. Jika kita tidak dapat memecahkan setiap teka teki mereka hm . . . ruang gerak kita akan semakin sempit.
- Benar. Itulah sebabnya, bantuan pendapatmu akan selalu kudengarkan. ujar Yudapati.
- Sekarang apa yang harus kita lakukan? - Dalam hal ini, kakaklah yang memegang komando. Masakan mengalah terus-terusan?
Diatri tertawa.
Yudapati membalas tertawa. Memutuskan:
- Kita masuki kota Pane dari arah yang bertentangan. Jangan tinggalkan kota sebelum kita bertemu dan bersepakat. Manakala dipaksa untuk meninggalkan kota, kita harus memberi tanda sepanjang jalan. Aku sendiri ingin memperoleh jejaknya Pataliputra. Kalau pemuda itu ikut pula bersekongkol, celakalah kita. lebih baik kita mencari jalan keluar dari wilayah ini.
The Wednesday Letters Karya Jason F.wright Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama