Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 17

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 17


Diatri mengangguk menyetujui. Mereka berdua lalu berpencar. Diatri langsung menuju ke arah reruntuhan gedung. Bayangan yang sebentar tadi dilihatnya berada di situ. Ia yakin pasti dapat menemukan jejaknya. Dengan penuh waspada ia memperhatikan reruntuhan-reruntuhan dinding. Kota Pane benar-benar terbakar habis. Apalagi rumah-rumah penduduk. Tiada lagi yang tersisa atau yang ketinggalan. Semuanya hangus menjadi abu dimakan api.
- Hebat! Sungguh hebat sepak terjang kaum Pasupata. pikir Diatri di dalam hati.
- Mereka tidak hanya berani mengorbankan harta-benda, kesejahteraan hidupnya dan masa depannya saja, tetapi kalau perlu jiwa raganya pula. Tetapi benarkah mereka semua adalah kaum Pasupata? Aku tidak yakin sebelum memperoleh buktinya. Jangan jangan mereka terpaksa melakukan sesuatu karena harus melakukannya. Lalu siapakah yang mereka takutkan? Tentunya seseorang atau suatu kelompok yang berkuasa atas mati hidup mereka.
Dugaan Diatri diperkuat setelah ia melihat suatu perkampungan yang hampir utuh. Perkampungan yang terdiri dari delapan rumah gedung berdinding tinggi, yang berada di seberang menyeberang sebuah lorong. Lorong itu terlindung pula oleh sebuah pagar dinding tinggi berbentuk persegi empat. Kesannya seperti sebuah biara angker yang jarang dijenguk orang.
Bangunan apakah ini?
Atau rumah-rumah kaum hartawan?
Atau perumahan kaum penguasa?
Selagi mengamat-amati bentuk rumah dan model perkampungannya, tiba-tiba Diatri mendengar tangis seorang anak kecil. Dan mendengar tangis seorang anak di tengah kesunyian yang menyeramkan. bulu kuduk Diatri meremang dengan tak dikehendaki sendiri. Dengan berjingkit jingkit ia menghampiri. Dilepaskan seluruh daya inderanya. Pendengaran, penglihatan, penciuman dan rasa nalurinya, untuk mengamati dengan seksama. Siapa tahu dirinya kena jebak lawan yang sedang bersembunyi.
Sewaktu mendongakkan kepala, ia melihat seorang anak berumur sebelas tahun tertelingkung di atas atap sebuah rumah yang berdinding tinggi. Anak itu rupanya sudah menangis semenjak lama. Tangan dan kedua kakinya mencoba mendapat kebebasannya. Meronta-ronta dan berkutat dengan sisa tenaganya. Tetapi tali yang mengikatnya terlalu kuat baginya.
Anak siapa?
Dan siapa pula yang menelingkungnya?
Mengapa dan untuk apa?
Rasa curiga Diatri makin menjadi-jadi.
- Aneh!
Diatri berseru heran di dalam hatinya.
- Penduduk kabur, karena kota terbakar. Tetapi benarkah di antara mereka masih ada yang sempat mengikat seorang anak dan ditaruhkm di atas atap? Mustahil anak itu sudah berada disitu sebelum terjadi kebakaran. Dengan sekali melompat, Diatri hinggap di atas pagar dinding. Kemudian menjelajahkan pandang matanya. Dengan cermat ia menyelidiki sekitar tempat itu. Suasananya sunyi senyap dan tiada sesuatu yang bergerak. Karena tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, ia turun kembali dan mulai mengamati si anak yang masih saja menangis dengan suara ketakutan.
- Hm . . . masa bodoh perangkap atau tidak, tetapi anak itu harus kutolong. Diatri mengambil keputusan.
Ia menjejak tanah dan terbang tinggi di udara. Pada saat itu ia merasa terbentur suatu kekuatan. Secara otomatis ia mengayunkan tangannya.
Plak!
Yang membentur dan dibentur jatuh kembali ke atas tanah. Ternyata dia Yudapati.
- Cepat kemari seru pemuda itu dengan berbisik.
Lalu membawa Diatri bersembunyi di belakang dinding. Tatkala Diatri hendak berbicara untuk minta keterangan, pemuda itu pun cepat-cepat membungkam mulutnya. Kemudian dengan isyarat mata, ia mengajak Diatri melompat ke atas. Mereka hinggap di atas atap tanpa suara dan segera bersembunyi di balik wung-wungan.
- Mengapa?
Diatri minta keterangan dengan suara berbisik.
- Kali ini, engkau kuajak bermain sembunyi-sembunyian dengan sungguh-sungguh. '
- Tetapi apa hubungannya dengan bocah itu? - Kita lihat saja apa yang bakal terjadi. Kuminta jangan sekali-kali kita ketahuan.
- Kau maksudkan aku harus bersembunyi?
- Ya. - Terhadap siapa?
- Mereka yang akan mengambil bocah itu.
- Mereka?
Diatri terbelalak heran.
- Kalau mereka, tentunya seseorang. Tetapi orang itu harus memiliki kepandaian tinggi. Setidak-tidaknya berani mengadu untung. Diatri berpikir beberapa saat lamanya. Lalu berkata:
- Kurasa tidak akan berani bertindak di siang hari. Apakah kita akan membiarkan diri kita kepanasan di atas atap ini? '
- Kau benar. sahut Yudapati setelah menimbang nimbang sedetik dua detik. Kitapun akan kelaparan dan kehausan. Mari kita mencari tempat berlindung yang lebih bagus. senyampang masih ada waktu. Setelah itu aku akan mencari makanan dan minuman. Dengan hati-hati, mereka berpindah tempat. Mereka memperoleh tempat berlindung. sebuah wung-wungan yang menjorok ke dalam. Tetapi tempat itu agak jauh dari si bocah yang terikat erat di atas atap sebuah rumah gedung yang berada di seberang lorong jalan.
- Kakak Yudapati! Engkau nampak sangat berhati hati. Apakah kita sedang menunggu hantu?
Diatri minta penjelasan.
Yudapati bercelingukan dulu sebelum menanggapi pertanyaan Diatri. Dengan mengerahkan Ilmu saktinya yang tertinggi, ia mengamati dan menyelidiki sekitar tempatnya bersembunyi. Lalu berkata:
- Untuk sementara kita aman. Tetapi kita harus waspada. Sebentar lagi kita akan memperoleh pengalaman yang baru. Sebab tadinya hanya kukira sebuah dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak nakal. Diatri tersenyum lebar. Ujarnya:
- Berkatalah yang jelas agar tidak berkepanjangan.
Yudapati berbimbang-bimbang. Memutuskan:
- Kita lihat saja apa yang bakal terjadi. Tetapi kita jangan ceroboh. Sebab apabila benar dugaanku, maka dia tentunya memiliki daya panca indera yang melebihi manusia biasa. Kalau hanya terdiri dari dua atau tiga orang. kita akan dapat merobohkannya dengan mudah. Tetapi kalau sampai belasan orang . . . hm . . . rasanya akan terlalu hebat. - Apakah engkau takut?
Diatri tertawa bercampur heran.
- Takut sih, tidak. Tetapi apa jeleknya kita berhati hati. Bukankah kita pernah menghadapi teka-teki yang belum terpecahkan sampai pagi ini?
Diatri memanggut. Ia harus mengakui kenyataan itu.
- Maka bersikap hati-hati dan berwaspada sangat diperlukan.
Selagi iba hendak menanyakan kepada Yudapati apakah jadi mencari makanan dan minuman. tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang datang dari balik gemmbul belukar. Mereka berdua berada di atas atap sebuah bangunan tinggi. Dan bangunan itu terletak di tengah puing-puing reruntuhan kota semacam suatu ketinggian yang berada di tengah dataran. Baik penglihatan maupun pendengaran sama sekali tidak terhalang. Apalagi suasananya sunyi senyap. Suara apa pun yang terjadi di atas tanah, terdengar jelas bagi mereka berdua yang sudah memiliki kepandaian tinggi.
Lima orang muncul dari balik gerumbul belukar. Dua orang berjalan di depan. Dua orang di tengah dengan memikul sebuah peti tertutup. Dan yang seorang berada di belakang seperti sedang mengawal. Tetapi mereka semua tidak bersenjata. Pakaiannya pun bukan pakaian seragam. Dilihat dari gerak-gerik dan tampangnya, mereka adalah penduduk biasa. Entah penduduk dari mana.
Dengan berdiam diri, mereka memasuki bekas jalan kota dan mengarah ke lorong tempat bangunan tinggi itu berada. Sementara itu, bocah yang terikat di atas atap makin nyaring suara tangisnya. Mendengar tangis si bocah, mereka berlima mempercepat langkahnya. Lalu berhenti tepat di bawah atap rumah itu.
Dua orang yang berada di depan, kemudian berputar menghadap orang yang tadi berjalan di belakang. Setelah melihat orang itu mengangguk, mereka berdua kemudian memanjat atas rumah dengan membawa seutas tali. Sekarang makin jelas, bahwa mereka tidak memiliki kepandaian. Meskipun demikian, baik Yudapati maupun Diatri tetap saja berwaspada. Sebab mereka semalam kena dikelabui orang-orang yang berlagak sebagai penduduk yang sedang mengungsi.
Penuh perhatian, Yudapati dan Diatri mengamati .Wajah mereka berdua yang sedang merangkaki atas menghampiri si bocah. Sama sekali raut wajahnya tidak berubah. Tiada rasa iba, terharu atau perasa. Dengan wajah dingin, mereka mengangkat bocah itu yang menangis sedu sedan. Suatu hal yang menarik perhatian adalah kesan bocah itu. Dia jadi ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil. Tetapi karena terikat erat, tiada dapat ia berdaya apapun kecuali berusaha menaikkan tangisnya. Justru demikian, suaranya menjadi parau.
Kedua orang itu kemudian menurunkan bocah itu dengan seutas tali. Dua orang temannya yang berada di bawah segera menerimanya lalu memasukkan bocah itu ke dalam peti yang sudah dibuka oleh sang pangawal. Mereka bertiga kemudian menunggu sampai kedua temannya turun ke tanah. Setelah itu dengan sekonyong-konyong ia memukul gembreng bertalu-talu.
- Breng! Breng Breng!
Beberapa saat kemudian, dari balik petak hutan terdengar suara sorak-sorai gemuruh. Ratusan orang muncul dari delapan penjuru angin. Mereka adalah penduduk kota Pane yang datang berlarian seperti sedang berlomba. Seketika itu juga wilayah perkotaan jadi hiruk-pikuk. Mereka menuju ke arah bekas rumahnya masing-masing. Menyaksikan semuanya itu, Yudapati dan Diatri tercengang-cengang tak mengerti.
Mengapa peristiwa itu terjadi setelah penduduk mendengar suara gembreng?
Apa hubungannya dengan sibocah yang terikat di atas atap?
- Bagaimana pendapatmu? -kali ini Diatri yang minta pendapat Yudapati.
Oleh pertanyaan itu, secara otomatis Yudapati berpaling ke arah lima orang yang menurunkan dan membawa si bocah. Tetapi-lima orang itu, tiada lagi di tempatnya.
- Hm.kemana mereka?
Yudapati terkejut.
- Hm. selamanya aku tidak pernah percaya bahwa mereka adalah penjelmaan setan atau iblis atau siluman. Mari kita cari jejaknya. Tentunya belum jauh. Lihat! Bukankah itu mereka yang membawa bocah tadi?
Di antara kerumun orang yang berlari-larian,nampaklah lima orang yang sedang berjalan memikul peti tertutup. Mereka berjalan menentang arus. Karena itu, kerapkali mereka terdorong-dorong oleh desakan penduduk yang sedang berlari-larian memasuki perkotaan.
Diatri mendahului turun dari atas yang segera diikuti Yudapati. Agar tidak menarik perhatian orang, mereka berjalan seperti manusia lumrah. Namun setelah berada di antara penduduk yang datang berlarian, penglihatannya terhalang. Bahkan untuk dapat melanjutkan perjalanan, harus menyibakkan diri dahulu. Dengan demikian, langkah kaki mereka jadi terendat-rendat, ibarat selangkah maju dua langkah terdorong mundur.
Tatkala tiba di dekat petak hutan, mereka berpapasan dengan seorang nenek yang sedang berjalan tertatih-latih di samping seorang bocah berumur delapan atau sembilan tahun. Dengan suara ber-gemetar nenek itu berkata kepada bocah itu:
- Cucuku . . .! Seperti kataku tadi, engkau harus berterima kasih kepada Hyang Widdhi. Coba kalau engkau yang dijadikan korbannya . . . aku lantas bagaimana? Ternyata bocah yang berjalan membimbing tangannya adalah cucunya. Sang cucu hanya mendengarkan kata-kata neneknya. Akan tetapi rupanya tidak mengerti maksudnya. Apalagi dia, Yudapati dan Diatri yang sempat menangkap bunyi ucapannya, tidak mengerti pula. Justru demikian, mereka berdua jadi tertarik. Setelah saling pandang, mereka menghampiri nenek itu. Berkatalah Diatri:
- Nek, apakah ini cucumu? Mana ayah-ibunya? -- Mana ayah ibunya . . . mana ayah ibunya . . . masakan tidak tahu? Rasakan sendiri kalau nanti datang giliran kalian? nenek itu menggerendeng.
Tiba-tiba wajahnya berubah setelah menoleh kepada Diatri dan Yudapati. Melihat mereka berdua membawa-bawa pedang, nenek itu berdiri tertegun. Berkata dengan suara ketakutan:
- Cucuku ini baru berumur sembilan tahun ... . Sungguh mati! Badannya memang besar, tetapi umurnya baru sembilan. Sungguh mati! . . . Aku tahu . . . semuanya ini garagara keluarga Puge. Aku tidak menyalahkan tuan-tuan sampai terpaksa membakar kota. Penduduk biar mengerti . . biar kita tahu kewajiban. Tapi sungguh mati! Cucuku hanya seorang ini. Umurnya belum cukup sebelas tahun. Apakah paduka tuan masih belum percaya sampai perlu membawa ayah ibunya? Tuan. . .
- Nek!
Diatri memotong.
- Aku bukan orang sini. Lihat! Diatri kemudian mengeluarkan Lencana Kaum Arnawa dari dalam sakunya dan diperlihatkan kepada si nenek sambil berkata menjelaskan: ,
- Ini lencana Kaun Armawa. Itulah aku.
Tetapi si nenek tidak mau mengerti atau memang tidak boleh cepat percaya. Menimbang hal itu, Diatri merogoh beberapa keping uang emas. Itulah sebagian bekal yang diperolehnya dari Adityaputera. Dan melihat uang emas itu, padangan mata si nenek bersinar sekejap.
- Tuan mau apa? ia berkata hati-hati dengan suara bergemetar.
- Ambillah!
Diatri menyahut dengan tersenyum manis.
- Hanya saja sudilah nenek memberi keterangan kepada kami tentang cucu nenek. Nanti dulu, dengarkan perkataanku! Maksudku. nenek tadi menyinggung nyinggung perkara korban perkara keluarga Puge. perkara umur sebelas - . . Dengan penuh curiga nenek itu menatap wajah Diatri dan Yudapati bergantian. Setelah itu, pandangnya runtuh kepada uang emas yang berada di tangan Diatri.
- Apakah tuan bermaksud membeli matiku? ia menegas.
- Bukan, bukan. Ini, untuk nenek dan cucumu. Bukankah rumah nenek ikut terbakar? - Benar . . . tetapi kalau aku mempunyai uang sebanyak itu,aku...aku...akan dicurigai.
- Dicurigai siapa?
- Yang selalu minta bocah berumur sebelas tahun setiap bulannya. Yang diminta selalu kepada kami orang orang tak punya. - Mengapa begitu?
- Sebab yang punya uang bisa menyuap.
- Siapa yang disuap? - Orang-orang yang mengambil.
- Siapa yang menyuruh?
Nenek itu bercelingukan. Pandang matanya gelisah. Tiba-tiba saja ia menyambar uang emas yang berada di tangan Diatri. Diatri tidak mengelakkan. Bahkan ia sengaja mengangsurkannya. Dengan pandang berseri-seri ia mengawaskan nenek itu menghitung jumlah uang emas. Semuanya ada enam keping. Nenek itu kemudian menghela nafas lega. '
- Baiklah . . . akhirnya ia berkata setengah menggerendeng.
- Yang satu ini cukup untuk menghidupi kami beberapa tahun lagi. Berarti cucuku sudah lebih dari sebelas tahun. Kalau mereka datang, biarlah sisa uang ini kuserahkan. Ya . . . dengan begitu, aku bebas. ia berhenti ,berkomat kamit. Meneruskan:
- Sebenarnya tiga sudah
cukup
. Tetapi karena yang datang itu terdiri dari dua pihak, maka yang. .Ah apakah aku bisa mendapat tambahan sekeping lagi? '
- Boleh, boleh . . .
Yudapati menimbrung. Segera ia mengangsurkan dua keping uang emasnya.
Tak dapat terbayangkan betapa bahagia hati nenek itu. Dengan pandang tak percaya dan penuh haru, ia menerima uang pemberian Yudapati.Kedua tangannya menggigil oleh goncangan hatinya. Sebab memimpikan bakal mempunyai sekeping uang emas pada suatu hari,tidak berani. Kini mendadak sontak menerima delapan keping emas. Rasanya seperti mimpi dalam impian mimpi indah yang mustahil.
- Sebenarnya tuan siapa? ia mencoba menegas.
- Siapa kami. tidak penting. - sahut Yudapati.
- Yang penting justru kami ingin mendengar rencana nenek bagaimana cara membagi uang itu. - Uang ini? -. nenek itu berkomat-kamit.
- Cucuku baru berumur sembilan tahun. Setiap tahun mereka akan datang untuk menanyakan umurnya. Maka setiap tahun, aku akan menyerahkan dua keping uang emas. Aku akan kehilangan empat keping. Dan yang dua untuk yang kusebut paduka tuan. Masing-masing satu. Dengan begitu, sekarang aku mempunyai dua. Ini cukup untuk bekal membesarkan cucuku .Kuharapkan dia jadi pedagang kaya raya. Dengan begitu, tidak perlu mengulangi nasib bapak-ibunya. - Jadi ada dua pihak. - Benar. Yang satu hanya perlu darah bocah berumur sebelas tahun. Yang lain perlu isi perutnya. Memang menyusahkan. Tetapi bagaimana pun juga. kami perlu hidup. Jadi . . . eh siapa nama tuan? Aku perlu nama tuan. Kalau ditanya dari mana aku mendapat uang sebanyak ini, maka
aku bisa menyebut nama tuan.
Tatkala nenek itu menyebut-nyebut tentang darah dan isi perut itu. tiba-tiba saja darah Yudapati mendidih. Sekarang nenek itu ingin mengenal siapa dirinya, Sebagai seorang satria tulen berpikirlah ia di dalam hati:
- Sebentar atau lusa aku harus membrantas iblis ini. Biarlah kusebutkan siapa namaku. Setelah berpikir demikian, ia menjawab:
- Yudapati.
- Yudapati? -nenek itu menegas.
- Bagus nama itu. Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia menyambar tangan Cucunya dan dibawanya berjalan dengan tergesa-gesa.
- Hei nek! Engkau belum menyebutkan siapa mereka itu. -seru Yudapati.
Tetapi si nenek tidak menyahut. Dengan usia tuanya ia mencoba mengerahkan segala daya-upayanya untuk bisa berjalan secepat-cepatnya. Sebenarnya dengan sekali meloncat, baik Yudapati maupun Diatri dapat menyusulnya. Tetapi mereka berdua tidak berbuat demikian.
- Diatri! Meskipun hanya sekilas, rasanya aku sudah mendapat penerangan yang cukup jelas. Kalau begitu, apa yang kuduga adalah benar.
Yudapati menghela nafas.
- Apakah di dunia ini ada semacam orang atau semacam ilmu yang memerlukan darah atau isi perut seorang anak berumur sebelas tahun? - Yang kudengar dari aliran Durga dan Kala. itupun hanya untuk sarana upacara-upacara magis tertentu. jawab Yudapati sambil melangkahkan kakinya.
- Kalau perorangan, mungkin orang itu memiliki Ilmu Sesat atau Ilmu Hitam. Menurut kabar dia akan sakti melebihi manusia lumrah. Bahkan pendengaran dan penciumannya tajam melebihi naluri binatang. Secara naluriah pula aku merasakan hal itu. Maka tadi aku memberi peringatan kepadamu tentang kemungkinan demikian. Pendek kata. mulai saat ini kita harus hati-hati dan berwaspada. - Jadi kakak percaya ada orang pemakan isi perut anak kecil? Diatri bersenyum.
- Apakah engkau mempunyai pendapat lain?
- Untuk sementara, belum. jawab Diatri setelah berdiam sejenak.
- Bagaimana kalau kita ikuti jejak mereka yang membawa bocah tadi?
- Bagus.
Yudapati segera menyetujui.
- Memang kita perlu bukti dulu.
Dengan langkah panjang mereka memasuki petak hutan. Tiba di tempat itu, mereka melanjutkan penyelidikannya dengan berlari cepat. Mereka berdua adalah sepasang pendekar yang berkepandaian tinggi. Sebentar saja, bayangannya berkelebatan dari pohon ke pohon. Karena semalam hujan, bekas tapak kaki berlima orang tadi mudah diikuti. Tapak kaki itu menuju ke sebuah belukar lebat. Hati-hati, mereka menghampiri. Yudapati membiarkan Diatri berada di depan agar mudah mengawasi dan melindungi bila terjadi sesuatu yang mendadak. Tiba-tiba terdengar Diatri memekik pelahan.
- Lihat! - '
Dengan sekali loncat. Yudapati menghampiri dan melihat suatu pemandangan yang mengharukan. Empat orang mati terbujur di atas tanah dengan mata terbeliak.
- Mereka mati tercekik. gumam Yudapati.
- Ternyata mereka ini penduduk biasa yang makan upah atau Sedang diperintahkan untuk mengambil bocah yang disajikan di atas atap. Sedang yang memukul gembreng adalah anggauta kaum terkutuk. Diatri, apakah engkau masih sangsi?
Dengan berdiam diri, Diatri mengelanakan pandang matanya. Penuh selidik ia mengamati pohon-pohon yang
menjadi saksi bisu. Lalu menyelidiki tapak-tapak kaki sekitar tempat itu.
- kakak, rasanya kita perlu berpencar. Kita berhadapan dengan suatu kelompok. kawanan atau gerombolan yang berakal. Mungkin sekali, tapak-tapak kaki ini bisa menyesatkan kita.
- Benar. Mereka membunuh empat orang ini dengan tangan kosong. Maksudnya jelas. Kecuali untuk menghilangkan jejak tidak ingin diketahui orang lain. Engkau masih menyimpan tanda sandi Kaum Arnawa bukan?
--Maksud kakak panah kecil ini?
- Ya. Kecuali dapat mengeluarkan cahaya di malam hari. berbunyi pula. Engkau masih ingat, sewaktu paman Adityaputera melepaskan panah tanda bahaya, bukan? ,.
Diatri mengangguk.
- Sekarang, dengarkan pendapatku. ujar Yudapati.
- Semalam hujan tiada hentinya. Penduduk sebanyak tadi, masakan bermalam dalam hutan ini? Kurasa sekitar hutan ini terdapat perkampungan. Kalau kaum sesat dapat menguasai kota Pane, masakan perkampungan sekitar Pane, tidak? Kurasa mereka tidak berada dalam perkampungan itu. Maka yang penting adalah mengikuti jejak mereka. Siapa yang perlu bantuan, lepaskan panah tanda sandi!
Dengan mengikuti bekas tapak-tapak kaki, mereka melanjutkan penyelidikannya. Benar saja, beberapa saat kemudian tapak-tapak kaki terpecah menjadi empat jurusan. Di sini mereka berhenti. Setelah berpikir sejenak. berkatalah Yudapati:
- Mereka mau cerdik, akan tetapi kurang cerdik. Sebab meskipun terpecah menjadi enam belas jurusan, akhirnya mereka toh bertemu pada suatu tempat. Tempat pertemuan itulah yang harus kita temukan. Diatri mengangguk membenarkan. Kemudian ia memilih ke Jurusan kanan. sedangkan Yudapati ke arah simpang kiri. Waktu itu siang hari telah tiba. Meskipun hutan itu cukup rapat tetapi cahaya matahari masih cukup terang. Teringatlah Yudapati akan pengalamannya dahulu. Pengalaman yang memilukan namun berakhir dengan baik. Kalau saja dahulu tidak menyeberangi hutan, niscaya dirinya tidak memiliki Ilmu Kepandaian yang berarti. Di dalam hutan pula ia berkenalan dengan Bhiksuni Sekar Tanjung dan Palata. Dan teringat Sekar Tanjung. teringat pulalah ia kepada ayah-bundanya. Pada saat ini Tara JayaWardani berada di tangan Resi Dewasana. ayah Sekar Tanjung.
Entah bagaimana nasibnya. Mudah-mudahan berakhir dengan baik pula. Dengan kepercayaan itu, hatinya teraba rasa tegar. Tetapi rasa tegar itu tidak berjalan lama. Perjalanannya terhalang oleh sebuah sungai.
- Celaka! Kalau Diatri terhalang sungai pula. sia-sialah ia mencari jejak mereka. -pikirnya setengah mengeluh di dalam hati.
- Pastilah mereka melanjutkan perjalanannya melalui sungai. Kalau tidak ke hilir tentunya ke hulu.
Mau tak mau ia harus mengakui, bahwa kawanan itu dikendalikan oleh seorang yang cerdik. Setiap gerak-geriknya diperhitungkan dengan cermat dulu. Mula-mula empat orang disuruhnya mengambil korban dari atap rumah. Setelah itu. gembreng dipukulnya. Di tengah kesibukan penduduk yang berlarian mencari bekas perumahannya mereka melarikan diri. Kemudian yang membawa korban dibunuhnya mati dengan mencekiknya. Niscaya yang melakukan empat orang pula. Lalu mereka berpencaran ke empat penjuru, dan diselamatkan oleh sebuah sungai.
Tetapi Yudapati mempunyai pembawaan yang istimewa. Kecuali cermat. ulet pula. Menghadapi persoalan yang rumit makin tergugah hatinya untuk menyelidiki sampai tuntas
Apa pun akibatnya adalah soal nanti. Terus saja ia meloncat tinggi dan hinggap di puncak pohon yang tinggi. Karena sudah memiliki llmu Sakti Tantra tingkat sebelas dapatlah ia mengendalikan berat badannya dengan sesuka hatinya. Tangkai dan ranting dahan sama sekali tidak bergerak kena injakan kakinya. Dengan berdiri tegak ia memperoleh penglihatan leluasa yang tidak terhalang. Dan dari atas ketinggian itu, ia melihat sebuah bukit yang bersembunyi di balik rumpun petak hutan. Ternyata petak hutan yang sedang dilaluinya itu makin lama makin melebar, sehingga lebih tepat bila disebut sebagai rimba raya tanpa tepi. Melihat kenyataan itu, ia jadi berbimbang-bimbang. Katanya kepada dirinya sendiri:
- Hm,dari mana aku harus mulai?
Ia tidak mau membiarkan dirinya terlibat rasa bimbang tak menentu terus menerus. Sebagaimanapun juga, ia harus mulai. Segera ia turun ke tanah, kemudian melompati sungai dengan sekali terbang. Dengan berlari larian ia menyusuri tebing sungai sampai sejauh sepuluh kilometer. Lalu balik kembali ke tempatnya semula. Sama sekali tidak terdapat bekas tapak kaki. Ia tidak putus asa. Sekarang ia menyelidiki ke arah yang bertentangan. Kira-kira enam kilometer jauhnya, ia menemukan batang belukar yang patah. Dengan matanya yang tajam ia menemukan daun-daun yang ditebarkan ke kiri dan ke kanan.
- Ah, tahulah aku sekarang, rupanya mereka meletakkan sehelai daun dahulu sebelum melangkahkan kaki. Kemudian orang yang terakhir berkewajiban membuang daun bekas injakan kaki ke kiri atau ke kanan. pikir Yudapati di dalam hati.
Memperoleh pikiran itu, timbullah semangat Yudapati. Dengan cepat ia menjejaknya. Dan tatkala tiba di batas petak hutan yang melindungi bukit. senja hari telah tiba.
Di sini bekas tapak-tapak kaki bertebaran lagi. Tetapi Yudapati mengambil jalan pintas. Terus saja ia mendaki bukit. Dan nampaklah sebuah kota berada di balik bukit itu.
Wilayah kota itu jauh lebih luas dibandingkan dengn kota Pane. lebih semarak dan menyenangkan. Dan melihat kota itu. berpikirlah Yudapati:
- Tujuanku kemari adalah untuk mencari jejak Tara. Maka tak boleh aku terkecoh oleh hal-hal yang dapat memperlambat perjalananku. Kaum sesat itu. niscaya tidak bertempat tinggal dalam kota. Untuk semantara, biarlah mereka bernafas lebih panjang dulu. Yang penting. aku harus menemukan mereka yang menawan Tarusbawa, Hari Sadana dan Getah Banjaran.
Karena berpikir demikian, ia mengabaikan pelacakan itu. Segera ia berlari-larian menuju ke kota itu. Tetapi tatkala tiba di perbatasan kota, buru-buru ia mengatur diri. Pertama-tama ia harus pandai berlagak sebagai seorang pesiar biasa. Kemudian harus pandai menimbang-nimbang dahulu sebelum bertindak. Dan dengan berbekal sikap berhati-hati itu. ia duduk di atas ketinggian berlindung di bawah sebatang pohon.
Selagi demikian, sekonyong-konyong terdengarlah derap kaki kuda yang datang dari jurusan barat laut hendak memasuki kota. Muncullah dua orang penunggang kuda berpakaian seragam kerajaan.
Hati Yudapati berdebar-debar. Teringatlah ia kepada perkataan langkasuta bahwa dia sedang menerima kunjungan dua orang perwira utusan Raja. Terus saja ia memperhatikan mereka. Dua penunggang kuda itu seolah-olah sedang berpacu. Mereka tidak langsung masuk ke kota akan tetapi mengambil jalan berputar. Kebetulan sekali akan melintas di depannya.
- Biar kucobanya, apakah mereka memiliki kepandaian. pikir Yudapati.
Buru-buru ia memungut sebutir kerikil tajam. lalu diiimpukkan. Batu kerikil itu tepat mengenai lutut belakang salah seekor kuda yang roboh seketika itu juga dengan tulang patah. Ternyata penunggangnya berkepandaian tinggi. Dengan mengenjotkan kakinya ia meloncat ke udara dan hinggap dengan selamat di tepi jalan. Sebaliknya kudanya meringkik-ringkik kesakitan.
- Ah, celaka! orang itu mengeluh seraya menghela nafas.
Dari tempatnya berlindung, Yudapati memperhatikan rambutnya yang sudah setengah beruban. Pandang wajahnya seperti pernah dikenalnya.
Tetapi di mana dan kapan?
Kawannya segera menahan kendali kudanya dan membelokkannya sambil bertanya minta keterangan:
- Mengapa?
- Kudaku terpeleset dan agaknya lututnya patah. -jawabnya.
- Woah . . . jelas tak dapat ditunggangi lagi.
Begitu mendengar suaranya, Yudapati segera teringat siapa dia. Orang itu bukan lain adalah Samaratungga. Dan temannya berjalan tentunya perwira Hanuraga. Kedua perwira itu selalu muncul di mana-mana. Dulu pernah mengembara ke wilayah Selatan lalu ikut menyerbu ke Markas Kaum Arnawa. Sekarang mendadak berada di wilayah ini pula. Rupanya, kecuali bertugas sebagai penyelidik. mata-mata, pandu perjalanan, merangkap pula sebagai utusan.
Mengapa mereka diutus kemari?
Kembali lagi Yudapati menghadapi teka-teki yang menarik.
- Paling baik, kita kembali ke Pane. ujar Hanuraga.
- Kembali ke Pane? Mencari apa? Kecuali langkasuta tiada lagi di tempatnya, kota Pane sudah terbakar pula.
Samaratungga menggerendeng. lebih baik kita masuki kota Baturaja ini! Masakan kita tidak bisa memperoleh ganti seekor kuda yang lebih bagus?
Setelah berkata demikian, dengan sebat Samaratungga mencabut pisau badiknya. Lalu menikam kudanya sampai mati agar tidak menderita berkepanjangan. Sementara itu berkatalah Hanuraga: .
- Baiklah. engkau duduk di belakangku. Kita masuki kota Baturaja dengan santai saja. Samaratungga, bagaimana pendapatmu? Apakah langkasuta yang membakar kotanya sendiri? Sambil melompat dan duduk di belakang rekannya, Samaratungga menjawab:
- Hm . . . kali ini perjalanan kita sial benar. Kita belum berhasil memperoleh jawaban langkasuta yang tegas. Dan kita sudah kehilangan seekor kuda istana yang bagus. Hanuraga menyemplak kudanya sambil berkata:
- Ah, belum tentu kita tak berhasil. Pendek kata tuanku Boma Printa Narayana sudah memutuskan hendak menghimpun seluruh ketua perserikatan pendekar yang berada di wilayah kerajaan untuk menghadapi olah Tandun Raja Kopeng. Hm, berani benar bangsat itu melawan kita. Apa andalannya? Apakah dia sudah berhasil menemukan harta karun kerajaan? Mendenper kata-kata mereka, hati Yudapati mendadak saja seperti terhibur.
Apa sebabnya, ia sendiri tidak tahu. Tetapi yang terasa, rasa girang membersit dari lubuk hatinya. Mungkin sekali hal itu terjadi karena semenjak semalam ia dipusingkan oleh beberapa teka-teki berturut-turut yang belum terpecahkan. Samar-samar ia merasa seperti memperoleh suatu penerangan. Pembakaran kota Pane dan penculikan anak, agaknya mempunyai sangkut paut dengan rencana Boma Printa Narayana. Hanya saja ia belum bisa membaca jelas, rencana apa yang sedang dikerjakan Boma Printa Narayana.
Dengan pikiran itu ia mengikuti Samantungga dan
Hanuraga yang membiarkan kudanya berjalan santai. Waktu itu petang hari mulai tiba. Suasana alam menjadi agak muram. Tanah perkotaan. ternyata berbeda dengn kota Pane. Warnanya merah seperti mengandung racun. Andaikata benar benar beracun, ia pun tidak takut. Ilmu saktinya cukup leluasa untuk menolak macam racun apa pun.
Tatkala hampir memasuki kota tiba-tiba ia mendengar derap kuda yang dilarikan sangat cepat. Kuda itu berwarna hitam dan datang dari arah timur. Penunggangnya mengenakan pakaian hitam. Karena suasana alam sudah meremang, tak dapat ia melihat wajah orang itu dengan jelas. Apalagi kudanya dikaburkan seperti kerbau gila. Sebentar saja sudah lenyap di telan dinding-dinding rumah yang berdiri di tepi jalan besar.
Siapa dia?
Yudapati menebak-nebak.
Tadi ia berjanji akan berlagak sebagai seorang pesiar yang tidak mempunyai kepandaian. Tetapi melihat kuda yang kabur bagaikan kerbau gila, entah apa sebabnya tiba tiba hatinya tertarik. Terus saja ia mempercepat langkahnya. Dan dengan tak terasa ia berlari-larian.
- Ih! Tak boleh aku berlari-larian di jalan-jalan kota. ia sadar. lalu memperlambat langkahnya. Kini berjalanlah ia seperti benar benar seorang pesiar yang sedang menikmati keindahan kota. .
Baturaja ternyata sebuah kota yang cukup luas dan menarik. Rata-rata rumah penduduk berdinding batu. Di dalam kota terdapat tiga buah rumah makan dan beberapa losmen. Pikirnya. kalau begitu merupakan kota lalulintas yang ramai. Melihat rumah makan, ia girang bukan main. Barulah teringat kini, bahwa perutnya belum terisi apa pun semenjak semalam. Dengan langkah panjang, langsung saja ia memasuki rumah makan besar dan segera memesan makanan dan minuman.
Ia duduk menghadap pintu keluar. Di dalam hatinya ia mengharapkan penunggang kuda tadi singgah di rumah makan itu pula. Ia mereka-reka dalam benaknya bagaimana nanti untuk berkenalan. Kata-kata yang diucapkan harus bersih dari prasangka. Pendek kata, jangan sampai mengundang rasa curiga. Siapa tahu, orang itu akan menjadi penunjuk jalan yang berharga. Tentunya, dia harus ditraktirnya agar senang. Memikir demikian, ia meraba saku bajunya. Ia terkejut bukan main karena seluruh mata uangnya hilang.
- Celaka! ia mengeluh.
- Apakah jatuh? Ah, tak mungkin! Apakah . . . apakah ikut disambar si nenek? Mustahil! . . .
Dengan penasaran, ia menggerayangi saku celananya. Tangannya menyentuh beberapa keping logam. Hatinya bersyukur bukan main. Tetapi semua gerak-geriknya tidak luput dari pengamatan pelayan rumah makan. Khawatir makanan dan minuman yang disediakan tidak terbayar. segera ia menghampiri.
- Maaf, apakah tuan membawa uang? tanyanya.
- Apakah takut tidak kubayar?
Yudapati mendongkol
- Eh, Bukan begitu. Soalnya harga makanan di rumah makan ini yang termahal.
- Apakah sampai menghabiskan sekeping emas? - 0 tidak, tidak . . . tidak sampai semahal itu.-pelayan itu haha-hihi.
- Hanya saja. di sini banyak sekali orang-orang yang berlagak hartawan. Nyatanya sering tidak bisa membayar harga makanan yang dipesannya. Maka tolong perlihatkan berapa jumlah uang yang tuan bawa. Jadi sama-sama enak . . .
Bukan main mendongkol hati Yudapati. Selama hidupnya baru kali itu ia dicurigai oleh pelayan rumah makan. Tetapi di dalam hati kecilnya. memang ia kebat-kebit. Di dalam saku celananya.. tangannya memang menyentuh beberapa keping logam Entah perak, entah tembaga. Kalau ternyata hanya uang tembaga, dia bakal terkena urusan. Selagi ia dicemaskan soal itu, pendengarannya menangkap suara langkah kaki kuda. Sayang, pandang matanya terhalang tubuh pelayan yang menutupi ambang pintu. Meskipun demikian, masih sempat ia mengenal siapa penunggangnya. Dialah orang yang diharap-harapkan singgah ke rumah makan itu pula. Tetapi setelah dirinya tidak mempunyai uang lagi, ia malahan berharap jangan singgah.
- Bagaimana tuan? desak si pelayan itu.
Dengan berdoa cepat di dalam hati, Yudapati terpaksa memperlihatkan jumlah uangnya. Uang itu digenggamnya rapat dan dibukanya. Ternyata di antara kepingan uang logam. terdapat sekeping uang perak dan sekeping uang emas. Hatinya lega luar biasa.
- Cukup? ia menggertak.
Paras muka pelayan itu lantas saja berubah. Ia bersikap manis. Sahutnya sambil tertawa memohon maaf:
- Ah, kalau begitu mataku yang lamur. Soalnya, kami sering mengalami peristiwa kenakalan remaja.
- Hm.
Yudapati menggerutu. Tiba-tiba saja ingatannya kembali kepada penunggang kuda hitam yang baru saja lalu.
- Hai! Apakah engkau kenal siapa penunggang kuda tadi?
- Penunggang kuda yang mana? sahut pelayan itu sambil memutar tubuhnya menghadap jalan.
- Ah, barangkali seperti yang lain.
- Seperti yang lain bagaimana?
Yudapati tak senang.
- Oh, kalau begitu tuan bukan orang sini. ujar pelayan itu sambil berputar kembali menghadap Yudapati.
- Padahal peristiwa ini tidak bakal terjadi seratus tahun lagi. Tuan pun sebaiknya pergi saja ke sana seperti lain lainnya. Kurasa. penungpng kuda tadi juga mau ke sana. - Ke mana? Pelayan itu mendadak saja bersikap jual mahal. Karena Yudapati sedang disibukkan teka-teki beruntun, ia jadi tidak sabar lagi. Meskipun demikian, tak mau ia kalah perbawa. Segera ia meletakkan semua uangnya di atas meja, sambil berkata:
- Uang ini ambil semua! Tak apalah, jika engkau tidak mau menerangkan. - Oh bukan begitu! Bukan begitu!
Pelayan itu menjadi gugup setelah melihat kemilaunya uang emas dan perak.
- Baiklah. kuterangkan sejelas-jelasnya.
- Perkara apa?
Yudapati merasa menang.
- Perkara ke sana tadi. -jawab pelayan itu sambil meraup uang emas dan uang perak Yudapati.
- Hendaklah tuan ketahui, bahwa kota Baturaja ini aman sentausa dan sejahtera berkat perlindungan pendekar besar kami yang bernama: Rajah Nandi. Namanya harum semerbak bagaikan mekarnya bunga dewata. Beliau disegani. dihormati dan dijunjung tinggi oleh sekalian pendekar di seluruh wilayah ini. Karena itu, dari berbagai penjuru sahabat-sahabatnya datang untuk menjenguk jenasahnya.
- Apakah dia sudah meninggal?
- Ya, sebulan yang lalu. - ujar pelayan itu.
- Dan menurut adat kami, setelah menginap satu bulan akan segera dibakar dengan upacara besar-besaran. Nah. datanglah tuan ke sana untuk ikut menyatakan belasungkawa. Tentunya tuan akan disambut dengan tangan terbuka oleh sekalian murid-muridnya.
- Mengapa bukan keluarganya?
- Selama hidupnya. beliau tidak beristeri. Itulah sebabnya beliau memiliki ilmu sakti tiada bandingnya. Puluhan tahun beliau malang-melintang mengadu kepandaian. Selama itu, tiada seorangpun yang dapat mengalahkannya. Di hari tuanya. beliau kemudian mendirikan semacam perkumpulan. Atau katakan saja sebuah perguruan yang dinamakan Mantrayana. Nama perguruannya menjulang tinggi ke seluruh penjuru dunia. Pendek kata, tuan akan bisa membuktikan kemurahan hati beliau Sebab siapa pun yang sudi menengok jenasahnya akan mendapat hadiah.
Mendengar pelayan itu menyebutkan istilah Mantrayana. tahulah Yudapati bahwa pendekar yang wafat itu niscaya seorang pemeluk Agama Buddha. Hatinya berkenan, karena dia pun memeluk agama itu pula. Meskipun waktu itu, Agama Buddha sudah bersatu dengan Agama Hindu di Jawadwipa sehingga disebut sebagai Agama SyiwaBuddha, namun ajaran Tantrayana yang dimiliki sekarang adalah ilmu sakti milik Agama Buddha. Dengan demikian dalam diri Yudapati mengalir faham agama itu.
- Mengapa perguruan Mantrayana bersikap manis terhadap semua tetamunya? ia mencoba mengorek keterangan lebih lanjut.
- Di seluruh wilayah ini. siapakah yang tidak kenal nama beliau. Semua pendekar dan semua orang gagah pasti mengenalnya. Kecuali yang tidak mempunyai ilmu kepandaian apapun seperti tuan. Maka bila tuan sudi berkunjung ke sana, paling tidak akan menerima berkahnya.
Yudapati merasa perutnya menjadi panas mendengar kata-kata si pelayan yang lagi tegar hatinya karena memperoleh upah begitu besar. Walaupun demikian, ia tertawa juga untuk menyenangkan hatinya. Katanya sambil berdiri: - Baiklah, aku akan ke sana agar mendapat berkahnya.
- Apakah semua sahabat pendekar Rajah Nandi sudah berkumpul di kediamannya? - Berapa jumlah sahabat-sahabat mendiang tuanku Rajah Nandi. aku sendiri tidak tahu. Tetapi tuan akan dapat membuktikan sendiri berapa jumlahnya. Nah, berjalanlah tuan kearah utara! Kira-kira tiga pal dari sini.Tuan akan tiba di sebuah rumah besar yang berdiri diatas halaman yang luas sekali .Rumah besar itu berdiri tegak bagaikan bukit. Dikelilingi ratusan pepohonan bunga cempaka. Itulah rumah kediaman mendiang tuanku Rajah Nandi.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Tuan tidak perlu takut-takut. Masuk saja! Tanggung tidak ada yang mengganggu tuan.
(BERSAMBUNG Jilid 8)
*****
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 8
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
(https://m.facebook.com/gunawan.aj.16)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
JALAN SIMPANG DI ATAS BUKIT
Jilid 8
Dengan hati geli. Yudapati meninggalkan rumah makan itu. Hampir saja ia mendapat malu. Teringat akan hal itu, ia berkeringat sendiri.
Tetapi sebenarnya mulai kapan ia kehilangan uangnya?
Untung di dalam saku celananya masih terselip beberapa keping uang.
Sesuai dengan petunjuk pelayan tadi, ia berjalan kaki menyusuri jalan kota yang cukup ramai. Belum lagi genap tiga pal, tibalah ia di depan sebuah rumah gedung berhalaman luas. Pohon-pohon yang bermahkota rimbun berdiri tegak mengitari rumah itu. Dari dalam rumah terpantul sinar lampu yang terang benderang. Mungkin datang dari ruang sembahyangan.
Segera ia memasuki halaman itu. Di ambang pintu ia disambut oleh tiga orang yang membungkuk hormat kepadanya. Dua di antara mereka berdandan kasar dan yang seorang lagi berperawakan kecil. Wajah mereka bertiga berlainan kesannya. Yang berperawakan besar berwajah
seram. Yang sedang, berwajah ayu. Yang berperawakan kecil berwajah merah. Pikir Yudapati. menurut tutur kata pelayan tadi pendekar Rajah Nandi tidak beristeri.
Lalu siapakah mereka bertiga ini?
Apakah kepala muridnya?
Dalam ruang tengah yang luas terdapat banyak tamu. Sebagian besar penduduk kota Baturaja. Yang lainnya terdiri dari orang orang gagah. Mestinya mereka adalah pendekar-pendekar wilayah Baturaja. Sedang yang duduk di sebelah kiri dan kanan terdiri dari muda-mudi yang mengenakan pakaian seragam putih dan hitam. Tetapi orang yang menunggang kuda hitam tadi, tidak kelihatan hadir.
Apakah dia yang salah melihat?
Tidak lama kemudian, sekalian hadirin dipersilakan makan dan minum. Kira-kira tujuh puluh meja diatur rapi di ruangan tengah. timur dan barat. Setelah mengambil makanan dan minuman, Yudapati duduk di sudut. Ia berpura-pura makan dengan lahap, padahal perutnya masih kenyang. Dengan demikian, tidak mengundang perhatian orang.
Sekarang, ia mulai memperhatikan sekalian hadirin. Orang-orang yang berusia lanjut nampak berduka. Sebaliknya yang muda remaja bercakap-cakap dengan gembira. Tetapi sekali lagi, ia tidak menemukan si penunggang kuda hitam yang dicarinya. Meskipun hanya sekelebatan namun ia tidak akan lupa. Sebab bentuk badan dan lagak-lagunya mempunyai keistimewaan yang khas.
Tiba-tiba ia melihat Samaratungga dan Hanuraga berada di antara para tamu. Mereka berdua duduk menghadap meja yang berada dekat dengan peti jenasah. Mereka dilayani dengan sangat hormat oleh beberapa pelayan khusus. Tiga orang yang mengenakan pakaian seragam preman. duduk menemaninya. Lalu terlibat dalam satu pembicaraan yang agaknya sangat menarik.
Sebenarnya Yudapati ingin mendengarkan percakapan mereka. Tiba-tiba hatinya tertarik kepada pembicaraan dua orang yang duduk satu meja dengannya. Yang berada di sebelah kirinya seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan. Yang berada di sebelah kanannya berusia lebih tua lagi. Berkatalah laki-laki yang berusia empat puluh tahun:
- Mudah-mudahan daging yang kita makan ini bukan daging anjing.
- Memangnya mengapa? yang berusia lebih tua menegas.
- Kabarnya ada seorang majikan yang gemar memberi daging anak manusia kepada anjing-anjing piaraannya. Pada hari tertentu anjing yang sudah makan daging anak itu dipotongnya. Lalu dimasak dengan bumbu-bumbu tertentu menjadi masakan sangat lezat.
- Ah bisa saja. orang yang berusia lebih tua membantah.
- Lagi pula. taruh kata kabar berita itu benar ,tidak sesuai dengan budi-pekerti mendiang Rajah Nandi yang dermawan.
Yang berusia empat puluh tahun memanggut-manggut seraya tertawa manyetujui. Dan kedua orang itu kemudian terlibat oleh rasa nikmat masakan yang sedang dikunyahnya. Mereka tidak melanjutkan kata-katanya sehingga menggelitik hati Yudapati.
Benarkah di dunia ini ada orang yang gemar makan daging anjing yang dipiara dengan cara begitu?
ia mencoba memperoleh keterangan lebih lanjut.
Pertanyaan Yudapati itu membuat mereka berdua berhenti mengunyah. lalu saling memandang minta persetujuan. Yang tua kemudian berkata menjawab:
- Ah, maksud pembicaraan kita adalah kurang cocok bila dibandingkan dengan budi-pekerti mendiang Rajah
Nandi. Rupanya anda bukan orang sini atau belum mengenal siapa almarhum.
- Benar. Yudapati mengangguk.
- Bagus! orang itu memujinya.
- Anda sudi datang untuk menengok jenasah seseorang yang belum anda kenal adalah suatu perbuatan yang patut dipuji. Tetapi agar terasa lebih akrab. biarlah kujelaskan siapa dia. Rupanya anda seperti dia pula yang belum mengenal masa hidupnya pendekar Rajah Nandi.
laki-laki yang berumur empat puluh tahun itu mengangguk membenarkan seraya tertawa lebar. Yudapati jadi perasa. Pikirnya dengan geli:
- Ah! Kalau begitu di antara tetamu terdapat orang-orang luar. Bukan mustahil terdapat kaum sesat pula. Aku harus menjaga pembicaraanku. - Rajah Nandi adalah seorang pendekar terkenal -orang tua itu mulai menjelaskan.
- Selain terkenal budi bahasanya yang halus. dia pun kaya raya. Selama hidupnya ia berbuat baik terhadap siapa saja yang memerlukan bantuannya. Pendek kata dia seorang dermawan bagaikan Dewa Dharma. Hanya sayang, dia tidak beristeri sehingga tidak mempunyai keturunan. Ia mempunyai tiga orang murid. Yang berbadan kecil itu adalah yang tertua. Namanya Adicara. Yang berbadan kekar bernama Anurada. Dan yang berwajah ayu itu bernama Barukaca. Masing-masing memiliki kepandaian istimewa yang berbeda. Mungkin sekali dimaksudkan untuk saling menjaga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi . . . yah namanya manusia. Gurunya berbudi-pekerti luhur. tetapi murid-muridnya kasar dan mau menang sendiri. Lihatlah! Sebenarnya mereka harus melayani tetamu-tetamunya dengan baik, tetapi malah saling berebut hendak duduk lebih dekat di samping kedua perwira itu. Artinya, bukankah mereka membedakan tingkatan tetamunya?
Tak terasa Yudapati menoleh memperhatikan mereka bertiga. Memang semenjak tadi. ingin ia mendengarkan percakapan mereka. Meskipun jaraknya jauh, bagi Yudapati tiada kesukarannya bila ingin menyadap pembicaraan mereka. Tiba-tiba ia mendengar suatu keributan. Ketiga murid Rajah Nandi saling melotot. Jelas sekali. mereka sedang bertengkar. Asal mula pertengkaran itu terjadi oleh kata-kata Samaratungga. Kata perwira itu:
- Sebenarnya kedatangan kami kemari semata-mata untuk menyerahkan surat panggilan raja. Raja Dharmaputera yang agung dan mulia berkenan mengundang pendekar Rajah Nandi agar menghadiri perhimpunan kaum pendekar yang harum namanya. Sayang, beliau sudah meninggal. Hm . . .
Hanuraga yang ikut mendengarkan kata-kata rekannya. kemudian menimpali dengan suara bergelora:
- Meskipun pendekar Rajah Nandi wafat, bukan berarti Mantrayana ikut terbakar habis menjadi abu. Mantrayana adalah suatu kaum tertentu yang mempunyai jumlah pengikut tak terhitung. Tentu saja. Mantrayana akan segera memilih siapakah pengganti mendiang pendekar Rajah Nandi. Alangkah bagus, bila kami berdua ikut menyaksikan siapakah yang akan mewarisi kedudukan mendiang pendekar Rajah Nandi. Dengan begitu, surat Raja berhak diterimanya. Adicara, Anurada dan Barukaca saling memandang. Barukaca yang berwajah ayu kemudian menyahut:
- Guru meninggal dunia karena masuk angin. Beliau pingsan begitu terserang penyakit itu. Dan meninggal dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak sempat meninggalkan pesan. - Benar. Bahkan kami belum sempat menyebarkan warta dukacita ini kepada sekalian paman-paman guru
yang bertempat tinggal berpencaran.
Anurada menguatkan
- 0' begtu? ujar Samaratungga dengan suara meninggi.
- Menurut adat-istiadat. pewarisnya akan jatuh kepada salah seorang muridnya yang berbudi-pekerti paling bagus, paling setia dan paling pandai. Biasanya jatuh kepada murid tertua. Jadi dalam hal ini, tentunya saudara Adicara yang menjadi pewarisnya.
Kata-kata Samaratungga itu mengandung bisa. Benar saja. wajah Adicara nampak berseri-seri. Dengan tertawa lebar ia memanggut-manggut membenarkan. Seketika itu juga terjadilah suatu keributan di antara para murid asuhan mereka bertiga. Terdengar suara lantang:
- Memang benar . . . pewarisnya akan jatuh kepada murid tertua. Tetapi kita harus memecahkan dulu makna tertua itu. Bukankah perkara usia? Dalam hal ini tuanku Anurada yang lebih berhak. Benar, tuanku Anurada adalah murid nomor dua. tetapi usia beliau lebih tua daripada tuanku Adicara atau Barukaca. Tuanku Adicara tidak hanya berkepandaian tinggi saja tetapi bijaksana pula. Bila beliau yang menggantikan kedudukan mendiang pendekar besar Rajah Nandi, akan membawa kaum Mantrayana mencapai puncaknya. Dengan begitu. di alam baka arwah Rajah Nandi akan tenteram dan terhibur.
Mendengar ucapan muridnya itu. Adicara menyusut kelopak matanya seperti sedang sedih, pedih, dan pilu karena ditinggalkan guru yang dicintai dan dihormati untuk selama-lamanya. Tetapi belum lagi gaung suara murid Adicara hilang dari pendengaran, Samaratungga berkata nyaring:
- Kurang tepat! Kurang tepat! Dalam keadaan biasa, memang aku dapat menyetujui. Tetapi sekarang ini, persoalannya lain. Dalam musyawarah besar yang akan diadakan di Kotaraja berbagai Ketua Aliran akan datang berbondong-bondong. Masing-masing akan mempertunjukkan kepandaiannya yang istimewa. Jika Mantrayana tidak dapat bersaing dengan mereka, nama Mantrayana yang sudah terkenal semenjak beberapa puluh tahun akan runtuh pada saat itu juga. Itulah sebabnya aku berpendapat bahwa pengganti mendiang pendekar besar Rajah Nandi harus salah seorang anggautanya yang berkepandaian tinggi. Maka perlu diadakan suatu pertandingan dulu yang jujur dan disaksikan oleh kita semua.
Beberapa orang nampak memanggut-manggutkan kepalanya tanda setuju. Merasa mendapat angin. Samaratungga berkata lagi:
- Aku percaya. bahwa ketiga murid pendekar besar Rajah Nandi niscaya mewarisi kepandaiannya yang istimewa. Bagaimana menurut pendapat kalian?
Salah seorang murid asuhan Anurada menyahut cepat:
- Benar. Akan tetapi jika dibandingkan dengan cermat, tuanku Anurada yang pantas menduduki jabatan itu. Beliaulah yang berkepandaian paling tinggi. - Hm. belum tentu! bantah seorang murid asuhan Barukaca.
- Memang dalam hal adu tenaga. guru kalian yang nomor satu. Akan tetapi seorang ketua tidak hanya mengandal kepada tenaga jasmani saja. Dia perlu memiliki otak yang encer dan cemerlang. Menurut hematku hanya tuanku Barukaca yang layak menjadi pewaris almarhum.
- Aku tidak setuju! -seorang murid asuhan Adicara menolak dengan suara tegas.
- Dalam menghadapi lawan tangguh, seorang pendekar tidak hanya harus memiliki tenaga dan otak saja. Tetapi kecerdikan pula. Dalam hal tipu-muslihat, tuanku Adicaralah yang memiliki. Maka yang pantas menjadi pewaris kaum Mantrayana adalah tuanku Adicara. Demikianlah ketiga murid itu saling berbantah dan saling berebut suara. Mula-mula mereka agak segan-segan kena pandang sejumlah tetamu yang memenuhi ruangan. Lambat-laun menjadi panas. Lantas saja mereka membentak-bentak dan saling memaki. Para tetamu meletakkan piring dan cawannya di atas meja. Kini, mereka mengikuti bunyi pertengkaran mereka.
Jumlah murid ketiga pewaris pendekar Rajah Nandi kurang lebih dua ratus orang. Masing-masing menyampaikan pendapatnya dengan berbisik-bisik. lambat-laun berubah menjadi suatu percekcokan yang sengit dan seru.
Beberapa orang mencoba melerai dan meredakan suasana. Usaha mereka sia-sia belaka. Bahkan ibarat api mereka memperoleh angin. Yang berdarah panas lantas saja menepuk nepuk meja dan memaki-maki. Mereka tidak ingat lagi bahwa jenasah pendekar Rajah Nandi belum lagi kering akan tetapi murid dan cucu-muridnya sudah bersiaga saling baku hantam. Baik Samaratungga maupun Hanuraga tidak berbicara lagi. Dengan bersenyum mereka menatap peti jenasah Rajah Nandi. Tetapi manakala percekcokan itu akan berubah menjadi suatu pertempuran, Samaratungga bangkit dari kursinya seraya berkata nyaring:
- Saudara-saudara, dengarkan dulu kata-kataku! Samaratungga adalah jago Bhayangkara kerajaan. llmu kepandaiannya jauh di atas mereka semua. Karena itu, suaranya dapat menindih suara keributan mereka. Kecuali itu ia mengenakan pakaian seragam perwira kerajaan. Ini pun menambah kewibawaannya. Seketika itu juga suasana jadi sirap. Masing-masing memasang telinganya.
- Nah apa kataku tadi? teriak Samaratungga.
- Akhirnya kalian menyetujui pendapatku. bahwa pewaris Mantrayana harus seorang yang berkepandaian tinggi.
- Tentu saja seorang yang termasuk kaum Mantrayana. Bagaimana? Setuju, bukan? Baik para murid maupun sebagian besar hadirin menyetujui pendapatnya. Karena itu, ia berkata melanjutkan:
- Dalam hal menentukan tinggi rendahnya suatu ilmu kepandaian,tidak cukup diputuskan dengan omong-omong saja. Tiada jalan lain kecuali mengadu kepandaian. Maka rekan Adicara. Anurada dan Barukaca harus memenuhi syarat ini. Syukurlah. kalian bertiga adalah sesama seperguruan. Dengan begitu, menang atau kalah tidak memsak nama Mantrayana. Toh jatuh di tangan salah seorang muridnya. Kalian pun juga tidak akan saling mendendam. Menurut pendapatku. mula-mula kalian bertiga harus mengadu kepandaian jasmani. Siapa yang tersakti dan yang terpandai adalah pewaris Mantrayana yang syah. Di mana kalian harus mengadu kepandaian? Tiada tempat yang tepat selain di depan jenasah mendiang gurumu. Dengan begitu, baik arwah gurumu dan kita semua dapat menyaksikan. Sebab siapa yang curang akan segera ketahuan. - Benar. benar. benar. hadirin membenarkan. Kemudian para anak murid bersorak menyetujui pula. Dan memperoleh persetujuan sekalian hadirin. wajah Samaratungga berseri-seri. Katanya lagi:
- Adu kepandaian di antara sesama seperguruan adalah suatu kejadian yang tidak terlalu istimewa. Lumrah saja. Tetapi sebelum dimulai, ingin aku mengajukan suatu saran.
Di antara ketiga murid Rajah Nandi. sebenarnya Barukaca yang berwajah ayu itulah yang paling cerdik. Segera ia menyahut:
- Silakan! Kami bertiga pasti mengijinkan.
- Begini. Sekarang ditetapkan dulu. Siapa di antara
kalian bertiga yang paling tinggi kepandaiannya, dialah
yang menjadi Ketua Mantrayana. Berarti yang lain harus tunduk kepada semua perintahnya. Tidak ada lagi satu pertengkaran atau perselisihan. Pendek kata tidak boleh dipersoalkan lagi. Setuju?
Barukaca segera mengangguk mendahului kedua kakaknya seperguruan. Samaratungga kemudian berkata dngan hati lega:
- Kalau begitu, mari kita atur dulu untuk arena pertandingan. Saudara-saudara sekalian. terpaksalah kami mengganggu meja dan kursi kalian. Harap dibawa mundur!
Kesibukan segera terjadi. Para tetamu yang duduk di depan, segera mengundurkan kursinya. Pelayan-pelayan mengangkat meja perjamuan. Dan beberapa saat, arena pertandingan sudah cukup luas dan lebar. Yudapati sendiri sebenarnya tidak tertarik kepada peristiwa adu kepandaian itu. Hatinya sedang gelisah memikirkan Diatri.
Di mana dia kini berada?
Apakah dia berhasil melacak jejak kawanan penculik anak?
Kalau saja ia tidak tertarik kepada ucapan tetangganya yang menyinggung-nyinggung tentang orang yang gemar makan daging anjing yang diberi makan daging anak manusia, sudah semenjak tadi ia keluar dari ruang pertemuan itu. Sayang, orang itu tidak melanjutkan kata-katanya. karena didahului keterangan si tua. Untuk bisa mengorek keterangannya. ia harus berani bersabar menunggu waktu yang tepat. Selain dia, munculnya Sanaratungga dan Hanuraga dalam ruang itu, menarik perhatianya juga. Pastilah ada latar belakangnya yang perlu disingkap.
Dan Rajah Nandi sendiri termasuk orang lurus atau bukan?
Jangan-jangan peti mati yang diwartakan berisikan jenasah Rajah Nandi. sebenarnya kosong. Ah. kaku benar demikian.
sungguh hebat!
Semenjak Yudapati memasuki wilayah Pasupata, peristiwa-peristiwa yang mengandung teka-teki tenis-menerus menghantui. Maka tidaklah terlalu salah. bila sikap hatinya menaruh curiga terhadap apapun yang sedang terjadi di depan penglihatannya.
- Biarlah aku mengikuti arus dulu. Ingin kutahu. apa yang bakal terjadi. Siapa tahu. justru aku akan memperoleh keterangan apa yang kucari. ia memutuskan.
Arena pertandingan itu benar-benar berada di depan peti jenasah. Orang-orang tua yang hadir pada upacara sembahyangan bagi arwah Rajah Nandi. kehilangan semangatnya untuk menikmati hidangan yang disuguhkan. Mereka nampak prihatin. Sementara itu. terdengarlah suara Samaratungga:
- Siapa yang maju lebih dulu? Rekan Adicara atau Barukaca?
Belum lagi kedua orang itu menjawab. Anurada yang berangasan lantas saja menyahut: .
- Biarlah aku dulu.
Dengan sebat ia menyambar sebatang golok dari tangan muridnya. Setelah membungkuk hormat kepada peti jenasah gurunya, berkatalah ia menghadap kakaknya seperguruan:
- Kakak Adicara. mari!
Adicara ternyata lebih cerdik dan banyak tipu-muslihatnya dibandingkan dengan kedua adik-seperguruannya. Jika ia menerima tantangan Anurada, berarti harus menghadapi Barukaca pula. ia yakin. meskipun tidak mudah. Anurada akan dapat dikalahkan. Tetapi hal itu berarti pula menguras tenaganya. Padahal ia tahu. Barukaca mempunyai otak. Banyak akalnya dan banyak pula tipu muslihatnya. Memperoleh pertimbangan demikian segera ia menjawab:
- Ilmuku tidak dapat mengimbangi kepandaianmu. Juga tidak dapat mengalahkan ilmu kepandaian Barukaca. Terus terang saja. sebenarnya tidak berani aku ikut-ikutan
bertanding memperebutkan kursi ketua. Akan tetapi demi memenuhi tata-tertib yang sudah kalian setujui. biarlah nanti aku melayani kalian sekedarnya saja. Sekarang, lebih baik engkau bertanding dulu melawan Barukaca. Kemudian baru aku.
Anurada yang berangasan sudah tidak dapat bersabar lagi. Ia berteriak kepada Barukaca:
- Adik, hayo! Didesak demikian, Barukaca yang dikabarkan berotak encer tidak dapat berbuat banyak lagi. Dengan terpaksa ia menyambar golok muridnya, kemudian masuk ke gelanggang. Setelah membungkuk hormat kepada peti jenasah gurunya, segera ia memasang kuda-kudanya. Goloknya dilintangkan di atas pundak kiri, sedang tangan kirinya ditekuk semacam penggaet. Kaki kanan berdiri tegak dan kaki kirinya maju sedikit ke depan.
Si tua yang duduk semeja dengan Yudapati rupanya ingin memperlihatkan pengetahuannya. Berkatalah ia menguliahi Yudapati:
- Anakku! Dalam llmu Golok orang harus selalu ingat tritunggal. Semangat.hawa dan jiwa. Mata harus bersatu dengan hati. Hati harus bersatu dengan hawa. Dan hawa harus bersatu dengan badan. Kemudian badan harus sejiwa dengan tangan. Tangan harus sejiwa dengan kaki. Dan kaki harus sejiwa dengan selangkangan. Dengan begitu seluruh anggauta tubuh luar dan dalam. harus merupakan suatu kesatuan yang berpadu. Inilah yang dinamakan sejiwa atau manunggal. Benar atau tidak?
Yudapati memanggut membenarkan. Memperoleh persetujuan. si tua kian bersemangat. Katanya lagi:
- Kalau kita hendak menilai kepandaian Seseorang. perhatikan tangannya bila dia bersenjata golok. Perhatikan kakinya bila dia menggunakan dua golok. Seseorang yang
menggunakan sebatang golok dengan tangan kanan. dia akan membiarkan tangan kirinya kosong. Dengan memperhatikan gerakan pukulan tangan kirinya. segera kita dapat menilai llmu Goloknya. Sekarang perhatikan tangan kiri Barukaca! Sikapnya membela diri. Pembelaan dirinya mengandung unsur persiapan menyerang balik. Sungguh hebat himpunan tenaganya.
Mendengar keterangannya. kembali lagi Yudapati memanggut-manggut sambil memperhatikan orang sebelahnya yang berumur empat puluh tahun. Dialah tadi yang menyinggung-nyinggung soal orang yang gemar makan daging anjing istimewa. Pada saat itu ia bersikap acuh tak acuh. Dengan nyaman ia sedang menggeragoti daging rebus sambil memperhatikan arena pertandingan.
Anurada dan Barukaca mulai bergebrak. Pukulan dibalas dengan serangan, golok beradu dengan golok. Setelah mengamati beberapa saat. si tua berkata lagi:
- Hm! Mereka menggunakan makna enam unsur alam. Tanah. kayu. logam. api, air dan hawa. Gerakan mereka tepat sekali.
- Apakah artinya? yang berumur empat puluh tahun akhirnya membuka mulutnya.
- Mata pedang menghadap keluar. Pratala. si tua menerangkan.
- Bila menghadap ke dalam dinamakan Wreksa. Membelokkan gerakan golok. dinamakan gerakan Santanu. Membabat ke atas. bernama Agni. Menabas ke bawah. dibarengi dengan sodokan tangan kirinya. bemama Tirta. Sedangkan memapas ke arah pinggang dinamakan gerakan Antariksa.
Laki-laki itu rupanya tidak mengenal llmu Golok atau berlagak tidak mengerti. Ia hanya memanggut asal jadi saja. sedang pandang matanya terpancang ke arena. Sebaliknya meskipun Yudapati mahir dalam Ilmu Golok,
akan tetapi dia hanya memahami dengan menirukan gerakan yang terukir di dulang goa. Keterangan-keterangan yang terperinci belum diketahuinya. Maka keterangan si tua menambah pengetahuannya juga.
Dalam pada itu. sang kakak dan sang adik-seperguruan terus berhantam makin seru. Anurada menang tenaga. tetapi Barukaca menang lincah. Dengan begitu, mereka jadi seimbang. Tiada yang menang dan kalah. Selagi sekalian hadirin memusatkan perhatiannya kepada mereka berdua, sekonyong-konyong terdengar suara lantang nyaring:
- Mengapa llmu Golok Mantrayana kalian pertunjukkan begitu tolol? Berhenti! Kalian memalukan mendiang gurumu . . .
Dengan terkejut Anurada dan Barukaca melompat mundur hampir berbareng. Tetapi yang terkejut tidak hanya mereka berdua saja. Yudapati pun begitu juga. Sebab yang datang dengan suara lantang dan nyaring adalah Diatri Kama Ratih. Kini, ia tidak mengenakan pakaian samarannya lagi. Sebaliknya berdandan sebagai seorang gadis yang bersolek rapi. Pakaian yang dikenakan berwarna lembayung, sehingga sedap dipandang mata. Keagungannya lantas saja nampak menonjol sekali.
- Eh, baru kali ini aku mendengar kata-katanya yang lantang dan nyaring. Sandiwara apa yang sedang dimainkannya?
Yudapati berteka-teki di dalam hati.
Meskipun belum cukup enam bulan bergaul dengan Diatri,tetapi ia mengenal sifat, perangai dan lagak-lagunya. Dia tidak hanya berotak cerdas, tetapi ilmu kepandaiannya tinggi pula. Setiap tindakannya, selalu diperhitungkan dulu masak-masak. Dia kini berlagak sebagai seorang gadis yang galak. Tentunya ada alasannya. Sebaliknya, tidak demikianlah halnya Anurada dan Barukaca. Tadinya mereka mengira kena tegor seorang yang sudah berusia lanjut. Bahkan seorang gadis cantik yang masih pantas menjadi adiknya. Keruan saja mereka mendongkol. Namun tatkala hendak membuka mulut. Diatri mendampratnya:
- Dalam menggunakan makna enam unsur alam bukan berarti memukul dengan serabutan. Kalian harus memperhatikan pula empat anasir. Waktu. ruang. suasana dan keadaan. Apakah gurumu belum pernah mengajarkan? Mustahil!
Jika yang menegor seorang laki-laki. Anurada dan Barukaca tentu sudah berebut turun tangan untuk menghajarnya. Tetapi mereka sedang menghadapi seorang gadis yang termasuk makhluk yang harus dilindungi. Mau tak mau mereka harus sanggup menelan rasa mendongkolnya. Hanya saja ada satu hal yang mereka tidak mengerti.
Mengapa gadis itu mengetahui tentang rahasia Ilmu Golok Mantrayana yang mengutamakan makna enam unsur dan empat anasir alam? '
Sementara itu. Adicara yang merasa diri sebagai murid tertua,maju menghampiri dan membungkuk hormat kepada Diatri. Minta keterangan:
- Sebenarnya siapakah nona? Diatri tidak menjawab. Dia hanya mendengus.
- Hari ini. di depan peti jenasah mendiang guru, kami akan memilih seorang Ketua yang kelak akan memimpin kesejahteraan Kaum Mantrayana.
Adicara berkata lagi. - Manakala nona berkenan. silakan duduk untuk menyaksikan. Dengan sikap hormat. Adicara mempersilakan Diatri mengambil tempat duduk. Akan tetapi Diatri tidak bergerak dari tempatnya. Kedua alisnya berdiri tegak. Lalu menyahut:
- Kaum Mantrayana adalah suatu aliran yang termashur dan terkenal di tengah percaturan hidup. Memilih seorang
ketua di antara kalian bertiga yang tidak becus memperlihatkan ilmu warisan almarhum samalah halnya dengn menjatuhkan martabat Kaum Mantrayana. Mendengar ucapan Diatri, para pendekar angkatan tua terkejut. Mereka semua kenal benar siapakah Rajah Nandi. Dia termasuk seorang pendekar kelas satu. Mustahil tidak becus mewariskan ilmunya kepada penerusnya. Tetapi Adicara ternyata seorang murid yang dapat berpikir panjang. Ia menduga, tentunya ada seorang maha pandai yang memerintahkan gadis itu untuk datang mengacau pertemuan. Maka dengan hati-hati ia minta keterangan:
- Sebenarnya siapakah yang memerintahkan nona datang kemari? Mungkin beliau berkenan menyampaikan pesan melalui nona demi kesejahteraan kaum kami. Silakan!
Menuruti kata hati, sebenarnya Anurada yang berangasan ingin saja melabraknya. Tetapi Barukaca yang pandai berpikir bisa menyetujui sikap Adicara. Sebab gadis itu seperti memahami rahasia llmu Mantrayana benar-benar.
- Selamanya. aku hidup bebas. ujar Diatri.
- Aku datang dan pergi sesuka hatiku. Tiada yang memerintahku atau menjadi majikanku. Mengapa? Kalian harus tahu bahwa Mantrayana ada sangkut-pautnya denganku. Karena akan terjadi kekacauan, maka tak dapat aku tinggal berpeluk tangan. --.
Sampai di sini Anurada yang berangasan tidak dapat lagi menguasai diri. Dengan merah padam ia membentak:
- Hai! Kau siapa sampai mengaku mempunyai sangkutpaut dengan Mantrayana? Kami sedang sibuk mengurus tata-tertib perguruan. Tak ada waktu untuk bersendagurau. Nah, pergi!
Setelah membentak demikian. ia berpaling kepada Barukaca. Katanya:
- Adik. mari kita lanjutkan!
Terus saja ia menggeserkan kaki kirinya ke depan. Goloknya dilintangkan di atas pinggang dan segera ia hendak menyerang
- Itulah jurus Mengalihkan pikiran menabas pinggang. Tetapi langkahmu terbalik. Injakan kakimu terlalu berat padahal harus ringan. Sedangkan langkah yang harus berat kurang teguh. Pandang matamu mengapa mengerling padaku, padahal harus menatap lawan? Semuanya salah! Salah!
Tiga murid Mantrayana tercengang mendengar ucapan Diatri. Kata-katanya tidak berbeda dengan mendiang gurunya bila sedang menerangkan kunci jurus itu. Apakah gadis itu benar-benar memahami Ilmu Mantrayana. pikir mereka berteka-teki.
Selagi Diatri berbicara dengan Adicara, Hanuraga yang mendampingi Samaratungga menutup mulutnya. Tetapi mendengar Diatri memahami llmu Mantrayana, tak dapat lagi ia menahan diri. Serunya:
-:Nona! Sebenarnya apa maksudmu datang kemari? Siapakah gurumu? Diatri tidak menanggapi. Ia bahkan balik bertanya:
- Bukankah Kaum Mantrayana kini sedang sibuk memilih ketua pengganti?
- Benar.
Hanuraga mengangguk,
- Asalkan satu aliran. siapa pun boleh memperebutkan kedudukan itu. bukan?
- Tak salah.
- Bagus!
Diatri setengah bersorak.
- Aku datang kemari dengan maksud ikut serta memperebutkan kedudukan kursi ketua.
Melihat wajah Diatri bersungguh-sungguh. hadirin terkejut. Sebaliknya melihat kecantikan dan keagungan pribadinya. Hanuraga merasa sayang. Sebab memperebutkan
kedudukan seorang ketua. kerapkali mempertaruhkan jiwa. Setidak-tidaknya bisa terluka parah. Maka dengan ucapan seorang ayah. ia berkata:
- Bila engkau mengenal ilmu kepandaian, biarlah nanti kami beri waktu untuk mempertunjukkan dihadapan hadirin. Tetapi saat ini, biarlah mereka bertiga menguji ilmu kepandaiannya dulu. Setuju?
Diatri mendengus. Sahutnya ketus:
- Tak usah mereka bertempur lagi. Biarlah mereka melawan aku satu per satu.
Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada deretan anak-murid yang duduk di luar arena. Berkata setengah memerintah.
- Coba aku meminjam golokmu.
Di antara hadirin, tentu saja hanya Yudapati seorang yang mengenai siapa gadis itu. Wajahnya cantik, pakaian yang dikenakan anggun, sehingga pribadinya berkesan agung berwibawa. Kesan pribadi dan kata-katanya mempunyai daya pengaruh istimewa, sehingga anak-murid yang kena pandangnya segera berdiri mengangsurkan goloknya. Hanya saja ia tidak mengangsurkan tangkainya. Sebaliknya mata ujung goloknya setengah ditusukkan. Tetapi dengan gerakan yang manis dan cepat luar biasa, dua jari Diatri dipentangkan dan menjepit ujung goloknya. Dan golok itu tiba-tiba saja sudah tergenggam di tangannya. Entah kapan ia membalikkannya.
- Satu demi satu atau dua orang sekaligus? Kalau perlu, tiga-tiganya boleh maju berbareng! -tantangnya.
Anurada selain berangasan adalah orang kasar yang memandang rendah kaum wanita. ia menganggap dirinya tidak layak bertempur melawan seorang perempuan. Lebih lebih setelah melihat lagak Diatri yang dianggap otak otakan. Ia merasa diri lebih baik tidak melayani saja. Terus saja ia mengundurkan diri dari gelanggang sambil menenteng
goloknya. Kepada Barukaca ia berkata menganjurkan:
- Adik. kau sajalah yang melayani.
- Hei .tidak...tidak. ..! -sahut Barukaca. iapun bersangsi. Selagi demikian. Diatri sudah mulai menyerang seraya berseru:
- Awas! inilah jurus angin badai menampar permukaan air. Tangan kirinya ditekuknya sebagai gaetan melindungi pergelangan tangan kanannya. Goloknya menyontek ke atas. sedang tubuhnya mendoyong ke belakang. Itulah satu pukulan aliran Mantrayana yang hebat. Barukaca terkejut bukan kepalang. Tak pernah diduganya. bahwa gadis itu benar-benar dapat menguasai pukulan demikian. Bahkan lebih cepat dan lebih mahir. Akan tetapi dirinya sudah berlatih dua puluh tahun lamanya, memahami semua jurus lbnu Golok aliran Mantrayana. Dengan mudah. dapatlah ia memunahkannya dengan tangkisan jurus Kunci Nirwana runtuh di atas tanah.
- Kau menolak? Bagus! Kupersembahkan Kunci Sorgaloka. seru Diatri dengan tertawa. Dengan cepat ia membalikkan goloknya. Kini mengacung ke atas. Biasanya, tidak mungkin seseorang memukul dari bawah ke atas sebab sebentar tadi goloknya sudah menyontek ke atas. Akan tetapi Diatri dapat berbuat begitu. Ia memiringkan badannya dan tiba-tiba saja goloknya menabas ke atas menyambar kepala. Keruan saja. Barukaca terkejut setengah mati. Buru-buru ia mengendapkan kepalanya dengan hati terkesiap.
- Burung Garuda Pulang Ke Sarang! -seru Diatri lagi, ini pun termasuk salah satu jurus istimewa aliran llmu Golok Mantrayana. Tangan kirinya menyambar dan menghantam pergelangan lawan sedang goloknya menabas dari atas ke bawah.
- Trang!
Golok Barukaca terpental jatuh kelantai. Sedang golok Diatri menyambar lehernya yang tidak terjaga lagi. Beberapa penonton berteriak tertahan. Beberapa detik lagi, kepala Barukaca akan menggelundung di lantai karena golok Diatri menyambar secepat kilat. Diluar dugaan, pada detik yang menentukan. golok itu hanya menempel saja pada leher Barukaca.
Diatri dapat menahan kecepatan goloknya pada waktunya yang tepat.
Yudapati puas berbareng kagum. Merobohkan Barukaca dalam tiga jurus bukan pekerjaan sukar. Akan tetapi menahan gerakan golok yang sedang menabas bagaikan kilat. apalagi menahan pada saat yang tepat, bukanlah kepandaian yang mudah. Dengan memanggut-manggut ia berkata di dalam hati:
- Aku hanya memberi contoh sepintas saja. Tetapi hasilnya diluar dugaan. Mungkin aku sendiri tidak dapat berbuat begitu.
Seperti diketahui. Ilmu Golok Yudapati adalah hasil menirukan lukisan gambar yang tertera di dinding goa. Itu pun jurus-jurus yang ganas dan mematikan. Karena itu. tiada jurus yang bersifat mengampuni. Sebaliknya, Diatri memiliki pengetahuan dasar yang diwarisi dari ibu dan ayahnya.
Sementara itu. Barukaca benar-benar merasa takluk. Dengan rela ia membungkuk hampir serendah lantai. Tetapi golok Diatri tetap saja menempel di batang lehernya, sehingga seumpama dia memiliki kepandaian tiga kali lipat pun tidak akan dapat membebaskan diri.
Diatri kemudian menarik goloknya sambil berkata:
- Apakah engkau pernah mempelajari jurus Burung Garuda Pulang Ke Sarang? - Sudah. jawab Barukaca dengan tetap menundukkan kepalanya. Jurus itu dipelajari ribuan kali. Tetapi
tak pemah diduganya bahwa jurus demikian dapat dipergunakan luar biasa indah dan cepat. Dengan perasaan bingung dan berbimbang-bimbang, ia berjalan keluar gelanggang dengan menenteng goloknya.
Melihat adik-seperguruannya dapat dirobohkan dengan mudah. Anurada yang berangasan jadi penasaran. Pikirnya:
- Aku tidak percaya bahwa Barukaca merasa takluk begitu mudah. Jangan-jangan ada permainan di balik batu. Sebenarnya. ingin ia merebut kursi ketua. Tetapi bekerjasama demikian rupa dengan perempuan itu. Hm. otakmu memang encer. Akan tetapi jangan coba coba mengelabui diriku.
Dengan pikiran itu. ia menegor Barukaca:
- Adik! Heran sekali! Sungguh mengherankan! Masakan engkau takluk hanya dalam tiga jurus? Apakah arti perbuatanmu itu? Apakah engkau tidak menghiraukan lagi kehormatan Kaum Mantrayana?
Pertanyaan Anurada itu justru menambah rasa bingungnya. Ia sendiri tidak percaya, mengapa bisa dirobohkan dalam tiga jurus saja. Tetapi kenyataannya demikian. Benar-benar tidak dimengertinya sendiri. Karena itu dengan suara terputus-putus. ia menjawab:
- Aku...aku...
- Aku mengapa? bentak Anurada dengan wajah merah padam.
Dengan goloknya ia menuding Barukaca:
- Kau . . .
Baru saja sepatah katanya meletup dari mulutnya, suatu sinar putih berkelebat. Golok Diatri sudah menyambar dari bawah ke atas. Gerakan yang luar biasa cepatnya, hampir saja menerbangkan semangat Anurada karena terkejut setengah mati. Ia tahu. itulah jurus Burung Belibis Melesat Ke Udara. Dengan tak kalah cepatnya, segera ia menangkis dengan jurus Hujan Gerimis Di Pagi Hari.
Itulah jurus yang sudah difahami semenjak belasan tahun yang lalu. Tetapi aneh goloknya tidak dapat membentur golok Diatri. Keruan saja untuk yang kedua kalinya. ia terkejut setengah mati. Sementara itu golok Diatri menyambar ke atas dengan gerakan miring. Tanpa merasa Anurada berteriak heran:
- Garuda Pulang Ke Sarang!
Hampir berbareng dengan teriakannya. tangannya sudah kesemutan. Dan goloknya jatuh ke lantai dengan suara gemelontang. Celakanya, golok Diatri sudah menempel di batang lehernya. Dengan demikian, Diatri berhasil lagi merobohkan lawannya hanya dengan tiga pukulan. Bedanya kali ini dilakukan jauh lebih cepat.
- Bagaimana? Menyerah atau tidak? hardik Diatri dengan suara dingin
- Tidak! -sahut Anurada dengan suara penasaran.
Diatri menekankan goloknya, namun Anurada tetap membandel. Katanya:
- Kau tabas sajalah leherku. Aku tidak akan menyerah.
Benar-benar ia tidak sudi menundukkan kepalanya seperti yang dilakukan Barukaca. Ia bahkan menegakkan lehernya menantang maut. Diatri yang memang tidak bermaksud membunuhnya jadi kuwalahan juga. Akhirnya ia mengangkat goloknya, seraya menegas:
- Lalu dengan cara apa engkau baru mau menyerah kalah?
- Hm . . . engkau menggunakan ilmu siluman. Dalam mengadu Ilmu Golok yang murni, tidak mungkin aku kau kalahkan. ia berkata di dalam hati. Kemudian menyahut:
- Jika engkau benar-benar mempunyai kepandaian yang berarti, hayo kita bertempur dengan menggunakan tombak. Yudapati tahu. bahwa Diatri tidak dapat menggunakan
tombak. Atau yang tepat, selama itu belum pernah ia melihat Diatri menggunakan tombak. Sebaliknya. dia mahir dalam hal ilmu pedang dan golok. Bahkan dapat digunakan dengan berbareng.
- Kali ini, dia akan menghadapi kesukaran. pikirnya.
- Tetapi diluar dugaan. dengan tenang Diatri mengangguk seraya berkata:
- Baiklah. memang aku ingin menyaksikan apakah engkau sudah benar-benar memahami Ilmu Tombak Kalakarma.
Yudapati terperanjat mendengar Diatri menyebut Ilmu tombak itu. Kalakarma adalah cikal-bakal kaum Pasupata. Dia mati di dalam goa entah berapa puluh tahun yang lalu. Dirinya telah mewarisi jurus jurusnya yang sakti berbahaya dan ganas.
Apakah Diatri benar-benar dapat menguasai?
Tatkala itu, ia mendengar Anurada berteriak kalap kepada muridnya:
- Ambil tombak! Cepat!
Salah seorang muridnya segera lari ke gudang persenjataan yang berada di belakang ruang pertemuan itu. Sekejap saja, dia datang kembali dengan membawa sebatang tombak. Anurada adalah seorang pendekar yang berangasan. Melihat muridnya hanya membawa sebatang tombak, langsung saja ia menggamparya. Membentak:
- Perempuan itu hendak bertempur dengan menggunakan tombak! Kau dengar atau tidak? Mengapa hanya mengambil sebatang tombak? Pandang mata murid yang kena gampar itu berkunang kunang. Kepalanya pusing pula. Tetapi oleh rasa takut, ia memaksa diri melangkahkan kakinya sepanjang mungkin. Akibatnya ia berjalan terhuyung-huyung. Khawatir kalau sang guru akan menggamparnya lagi, seorang temannya buru-buru mewakili mengambilkan sebatang tombak seraya berkata:
- Guru, biar aku yang mengambil. Dengan berlari larian ia mengambil sebatang tombak dan diangsurkan kepada Diatri. Begitu tombak berada digenggamannya. Diatri terus saja menikam Anurada sambil berkata memperingatkan :
- Jagalah dirimu! Pukulan yang digunakan sederhana saja. Itulah salah satu jurus dari dua puluh empat macam jurus ilmu tombak yang dikenal hampir setiap pendekar. Karena itu. dengan mudah Anurada dapat memukulnya dan bahkan balik menyerangnya.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu kepandaian Yudapati sudah mencapai puncaknya. Dengan bersandar kepada Tantra tingkat sebelas. ia dapat menggunakan macam senjata apa pun. Itu berkat penemuannya yang istimewa. Akan tetapi mengenai Istilah-istilahnya, ia sama sekali buta. Maka ia mengerlingkan matanya kepada si tua yang gemar memberi kuliah.
Ilmu kepandaian si tua itu, sebenarnya biasa-biasa saja. Hanya saja berkat pergaulannya yang luas ia mengenal berapa jurus macam senjata temasuk ilmu tombak. Ia dapat menebak pandang mata Yudapati. Maka mulailah ia memberi kuliah: .
- Kalakarma adalah Raja Ilmu Tombak yang sudah hidup ratusan tahun yang lalu. Pedomannya sederhana saja. Tinggi. rendah, jauh. dekat. lempeng atau miring, bukan jadi soal. Pergi bagaikan anak panah dan datangnya bagaikan jalur benang. Lihatlah cara Anurada menangkis serangan gadis itu! ltulah pukulan Menaklukkan Naga Di Kutub Selatan. Sebaliknya, pukulan gadis tadi sangat sederhana. Siapa pun akan dapat menangkisnya dengan mudah. Hm. mungkin sekali tak dapat ia menandingi Anurada. .
Tepat pada saat itu, tiba-tiba Diatri berjongkok dan ujung tombaknya berhasil menindih tombak Anurada.
Pukulannya sebenarnya pukulan yang kosong. Tetapi mendadak saja bisa berubah menjadi pukulan yang berat. Itulah suatu peristiwa yang jarang terjadi. Dengan demikian kembali lagi Anurada dapat dikalahkan dalam tiga jurus.
Anurada penasaran. Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan tombaknya dari tindihan tombak Diatri. Setelah berkutat sekian lamanya. tiba-tiba Diatri menyontekkan tombaknya.
Tak! Kepala tombak Anurada patah dan jatuh di lantai. Dan bagaikan kilat tombak Diatri berkelebat menuding lambung Anurada. Seketika itu juga, paras Anurada menjadi pucat lesi.
- Bagaimana?
Diatri menegas dengan suara lembut.
- Habislah sudah . . . habislah sudah . . .
Anurada mengeluh sambil membanting sisa tombaknya ke lantai. Kemudian dengan langkah lebar ia keluar dari gelanggang pertarungan.
- Guru. guru! murid yang habis digampar tadi memburu. Sang murid itu hendak mengambil hati gurunya. Maksudnya hendak menghiburnya. Tiba-tiba Anurada memutar tubuhnya dan menendangnya.
- Del!
Murid yang lagi sial itu terpental dan jatuh terjungkal di lantai dengan nafas kempas-kempis. Anurada sendiri tidak menghiraukan. Dengan langkah makin lebar, ia meninggalkan ruang pertemuan.
Para hadirin terkejut dan kagum luar biasa. Ilmu golok yang digunakan gadis itu adalah benar-benar llmu Tombak Kalakarma yang murni. Baik Barukaca mau pun Anurada terkenal sebagai jago andalan kaum Mantrayana. Tetapi mereka berdua dapat dirobohkan dalam tiga jurus saja.
- Ah. benar-benar aneh dan mengherankan!
Sekarang tibalah giliran Adicara. Mau tak mau ia harus main ke depan. Ia memanggut sedikit saja sebagai perbuatan
salam hormat.
Kemudian berkata:
- llmu kepandaian nona luar biasa tingginya. Aku sadar, diriku bukan tandingmu. Meskipun demikian . . . ..
Diatri tersenyum. Sahutnya menggurui:
- Di dalam arena pertandingan, tidak boleh engkau berkata demikian. Apalagi engkau ketua murid almarhum. Kata-katamu yang kau anggap sopan malahan merendahkan derajat mendiang gurumu. Hayo. berkatalah yang jujur! Engkau menyerah atau tidak? Sebab ucapan di mulut, kata-kata di hati pula. Nah, katakan yang lantang dan nyaring bahwa engkau menyokong diriku untuk menduduki kursi pewaris mendiang gurumu. Sebaliknya jika penasaran, mari kita bertempur. Merah padam wajah Adicara mendengar ucapan Diatri. Pikirnya di dalam hati:
- Perempuan ini tidak hanya pandai berkelahi, tetapi mulutnya tajam pula. Anurada dan Barukaca dapat dirobohkan dengan mudah. Apa yang harus kulakukan?
Ia tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari jalan yang lebih sempurna. Dengan terpaksa ia menjaWab:
- Hm, jelek-jelek aku seorang laki-laki. Engkau sudah dapat merobohkan kedua adik-seperguruanku. Tetapi jangan buru-buru berbesar hati. Aku akan mengiringkan kehendakmu.
- Baik. Senjata apa yang akan kau gunakan?
Diatri tidak sabar lagi.
- Semenjak dahulu. Mantrayana terkenal dengan llmu Golok, llmu Tombak dan Ilmu bertempur dengan tangan kosong. Aku akan menguji diri dengan tangan kosong.
Diatri segera melemparkan tombaknya. Lalu menantang:
- Engkau akan bertempur dengan tangan kosong? Baik.
- Kita tak usah mencoba bertanding dengan ilmu Mantrayana yang murni. -ujar Adicara.
- Pasti aku tak dapat mengalahkanmu. Aku memohon padamu agar menggunakan ilmu warisan Dasagriwa.
- Eh. engkau pandai memahami ilmu aliran Siguntang? Bagus! Apakah engkau berani berlagak sebagai pendekar Goratara? '
Mendengar Diatri menyebutkan nama pendekar Goratara, hati Yudapati tergetar. Dulu ia pernah menceritakan sepintas lalu tentang pertemuannya dengan pendekar Goratara. Itu pun hanya dapat disaksikan dari jarak jauh.
- Ah. ternyata Diatri lebih mengenal pendekar besar itu daripada dirinya. Tidak disangsikan lagi. bahwa pengetahuan itu pasti diperolehnya dari ayah-ibunya. Sebab nama Goratara terkenal sebagai seorang pendekar besar yang menggetarkan seluruh wilayah kerajaan Sriwijaya. Niscaya pula sudah menjadi pembicaraan umum. Bahkan Isu Wardana sendiri bisa menyebut-nyebut dari tutur kata kakeknya Mahendra. Teringat hal itu, ia jadi merasa malu sendiri. Pikirnya:
- Selama ini Diatri selalu bersikap diam. Rupanya pengetahuannya jauh lebih luas daripada diriku sendiri.
Tetapi yang dimaksudkan Adicara bukan ilmu geledek milik pendekar Goratara. Goratara dahulu memang murid aliran Siguntang. Sedangkan Dasagriwa adalah Ketua aliran tersebut. Namun bukan ilmunya yang akan diadu. Sebaliknya nama Dasagriwa itu sendiri. Dasagriwa adalah nama cerita pewayangan. Seorang tokoh setengah kera setengah raksasa. Tokoh penjelmaan Raja Sugriwa dalam cerita Ramayana. Ilmu itu mengutamakan gerak menangkap. mengunci. membanting dan melemparkan (semacam .Jujitsu Jepang).
Pikirnya, dengan menggunakan ilmu tersebut Diatri yang lemah lembut pasti tidak dapat berbuat banyak.
Apalagi dia tadi sudah menyebut-nyebut nama aliran Siguntang Artinya sudah salah tebak. Karena itu, segera ia mulai menyerang dengan gaya langkah seekor kera.
Diatri ternyata dapat membaca pikiran Adicara. Begitu Adicara bergerak. ia mendahului dengan menabaskan telapak tangannya. Adicara menangkis dengan tangan kirinya. Ia bermaksud hendak meneruskan dengan cengkeraman. Diluar dugaan. Diatri tidak membiarkan tabasan tangannya kena dibentur tangkisan Adicara. Secepat kilat ia membalikkan telapak tangannya dan jarinya mengarah ke kiri menusuk urat lengan.
Adicara girang bukan main memperoleh kesempatan itu. Ia mencoba menangkapnya dengan tangan kanan dan tangan kirinya siap memeluk pinggang. Sekali lagi. gerakan Diatri yang aneh tak dapat ditebaknya. Tiba-tiba saja, Diatri menendangkan kakinya. Adicara yang sedang memusatkan perhatiannya untuk menangkap tangan dan memeluk pinggang. terperanjat setengah mati. Tahu-tahu tubuhnya terpental dan ia terbanting ke lantai. Seketika itu juga. dagunya berlumuran darah. Itulah salah satu tipu-muslihat Diatri yang tidak difahaminya. Dan di antara kedua adikseperguruannya dialah yang paling menderita. Kecuali tidak dapat menyentuh tangan lawan, dirinya menderita luka tidak enteng. Seluruh sendi tulangnya terasa nyeri, sedang mukanya kini berlumuran darah.
Menyaksikan kepandaian Diatri menjatuhkan lawan. Samaratungga dan Hanuraga kagum bukan main. Mereka bertepuk tangan menyatakan rasa gembira dan bersyukur. Samaratungga kemudian mengangkat cawan minumannya tinggi-tinggi sambil berseru nyaring:
- Selamat! Selamat! llmu kepandaian nona benarbenar hebat! Rajah Nandi sendiri semasa hidupnya belum tentu dapat berbuat begitu. Sekarang dia menemukan ahli
warisnya yang tepat. Saudara-saudara hadirin. mari kita mengangkat cawan untuk menghormati Ketua Mantrayana yang baru! Selagi hadirin hendak berdiri dari tempat duduknya. sekonyong-konyong terdengar suara aneh yang datangnya dari sudut ruangan.
- Nona! Apakah engkau benar-benar anggauta Mantrayana? Kurasa bukan. kata suara itu.
Diatri menyiratkan pandang ke seluruh ruang pertemuan. Namun orang yang menegurnya tadi, tak dapat diketemukan. Karena itu dengan tenang ia menyahut:
- Siapakah yang penasaran? Silakan maju! '
Yang bersikap menegor tidak berbicara lagi begitu mendengar tantangan Diatri. Seketika itu juga, dalam ruang itu sunyi-senyap. Samaratungga dan Hanuraga saling pandang. Setelah itu, Samaratungga berkata nyaring seperti sedang menyerukan pengumuman pemerintah:
- Saudara hadirin. sudah menjadi ketetapan dalam pemilihan Ketua ini, bahwa siapa yang menang dialah yang berhak menduduki kursi pimpinan. Semua telah menyaksikan, bahwa nona ini mempunyai kepandaian tinggi dan menguasai Ilmu Kepandaian aliran Mantrayana yang tulen. Baik dalam ilmu golok, ilmu tombak maupun ilmu tangan kosong. Pendek kata semua jurus dan pukulannya adalah Ilmu Mantrayana asli. Menurut pendapatku, kehadirannya tidak dapat kita sangsikan lagi. Andaikata di antara anggauta Mantrayana ada yang masih penasaran. boleh maju untuk mencoba kepandaian. -ia berhenti sebentar untuk mengesankan. Melanjutkan:
- Atas perintah Paduka Yang Mulia Sri Baginda Dharmaputera. kami diutus untuk menghimpun seluruh ketua-ketua aliran yang bermukim di dalam wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Maka kami berdua datang kemari. Kami diberi tugas untuk menilai dan untuk
memilih siapa yang pantas diundang Sri Baginda Raja. Semakin pandai kepandaian seseorang semakin diharapkan. Kami berdua niscaya akan mendapat kepercayaan Raja untuk selanjutnya bekerja demi memakmurkan rakyat dan negara. Dalam hal ini, kami tidak pilih kasih. Nah, silakan yang akan mencoba-coba kepandaian nona ini yang kami nilai sudah pantas datang menghadap Sri Baginda untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya. -setelah berkata demikian. ia tertawa terbahak-bahak dengan wajah cerah.
Yudapati mengerutkan dahi. Pikirnya di dalam hati:
- Apakah tindakan ini terjadi setelah mengalami kekalahan di Markas Besar Kaum Arnawa? Ih, sungguh berbahaya. Kalau begitu aku harus berlomba dengan mereka.
Dalam pada itu Samaratungga berkata lagi:
- Jika tiada lagi yang berani mengadu untung, maka kedudukan pimpinan Kaum Mantrayana jatuh di tangan nona ini. Seumurku ini, aku mempunyai pengalaman puluhan tahun lamanya. Banyak sekali sahabat-sahabatku yang temasuk pendekar-pendekar besar yang menduduki kursi pimpinan kaumnya masing-masing. Belum pernah aku menyaksikan seorang ketua semuda nona ini dan secantik . . . hahahaha . . . hehehehe . . . nona ini. Memang seorang pendekar besar kerapkali muncul dari kalangan muda. Orang yang berkepandaian tinggi tidak harus seorang lakilaki yang berusia lanjut. Nah, setelah berbicara panjang lebar. sekarang perkenankan kami berdua mengenal nama nona yang terhormat . . .
Dengan ucapannya itu, Yudapati tahu bahwa Samaratungga belum mengenal Diatri. Memang mereka berdua belum pernah bertempur secara berhadap-hadapan.
Tatkala Samaratungga menyerbu ke Markas Besar Kaum Arnawa. ia datang di malam hari gelap-gulita dengan membawa laskar kerajaan. Tetapi apabila Diatri sampai menyebutkan namanya. pasti dia akan terbangun ingatannya. Sebab sebagai seorang perwira kerajaan tentunya sudah mengetahui tokoh-tokoh siapa saja yang bertempur di pihak Arnawa.
- Benar saja.
Diatri hanya memanggutkan kepalanya. Ia nampak berbimbang-bimbang sejenak. Lalu menjawab:
- Namaku sederhana saja.
- Siapa?
Samaratungga mendesak. Dan Hanuraga yang duduk di sampingnya menatap wajah Diatri dengan sungguh-sungguh.
- Raga Suari.
- Ah! Nama bagus! Samaratungga memuji dengan hati tulus.
Yudapati heran,dari mana Diatri memperoleh nama samaran sebagus itu. Tiba-tiba teringatlah dia bahwa ayahnya bernama Shri Sangga Rajaguru. Kalau ia kini mengaku bemama Raga Suari. rasanya serasi juga.
- Dan engkau puteri siapa? Samaratungga mencoba.
Diatri tidak menjawab. Dan Samaratungga yang berpengalaman tidak mendesak lagi. Katanya mengalihkan pembicaraan:
- Nanda Raga Suari. mari duduk di sini. Meja utama ini harus kami serahkan kepadamu.
Samaratungga adalah salah seorang perwira Bhayangkara. Tidak mudah seorang perwira memperoleh kedudukan sebagai perwira Bhayangkara Raja. kalau saja tidak memiliki kepandaian yang istimewa. Sebab suaranya akan didengar para panglima seolah-olah mewakili Raja sendiri. Kecuali itu, baik Samaratungga maupun Hanuraga merupakan tamu Kaum Mantrayana yang terhormat. Sekarang dia mengundang Diatri duduk di meja utama. Undangannya tak ubah keputusan Raja sendiri.
Diatri sendiri menganggap undangan itu tidak terlalu istimewa. Ayahnya berkedudukan sebagai Raja Muda. ibunya salah seorang puteri Raja. Ia sendiri semenjak kanakkanak biasa hidup dalam kalangan Istana.
Itulah sebabnya dengan wajar saja segera ia duduk di belakang meja utama sebagai Ketua Kaum Mantrayana.
Sekonyong-konyong terdengar suara orang menangis sedih. Kata orang itu pula di antara suara tangisnya:
- Mantrayana pernah menjagoi seluruh penjuru dunia. Mengapa kewibawaannya kini hancur oleh sepak-terjang seorang perempuan yang benar-benar merosotkan pamornya? Ah, kaum Mantrayana terhina serendah-rendahnya. Padahal perempuan itu masih termasuk bocah kemarin sore. Bocah yang belum hilang pupuk kepalanya. Hai, sungguh-sungguh menyedihkan! Sungguh merawankan! hu hu hu hu . . . .
Tangis itu bukan membersit dari hati untuk mengejeknya atau berpura-pura. Tetapi benar-benar keluar dari lubuk hati yang sedih merana. Tak usah dijelaskan lagi, bahwa tangis itu bisa membuat pilu siapa saja yang mendengarkan.
- Hei! Siapakah engkau? tegur Diatri dengan suara halus namun lantang.
- Engkau berani berkata, bahwa pupuk kepalaku belum hilang? Silakan! Mari kita lihat, siapakah yang lebih unggul! Engkau atau aku? - ,
Sekarang Diatri mengetahui siapa yang menangis itu. Dia seorang laki-laki berumur enam puluh tahun lebih. Badannya kurus kering. Kepalanya tertutup kopiah kecil. Rambut, kumis dan jenggotnya hampir putih semua. Ia duduk menelungkupi alas meja dan tangisnya yang sedih terdengar memilukan. Ucapnya seperti menyesali dunia:
- Ah. Rajah Nandi! Kau sudah mati dan tidak akan dapat hidup kembali. Dengan begitu. tak dapat lagi engkau menandingi seorang gadis muda belia. Benar-benar namamu tiada harganya lagi bagi kaum muda. Oh Rajah Nandi . . . kasihan engkau.
Semua hadirin tahu belaka bahwa ucapan orang tua itu dialamatkan kepada Samaratungga dan Hanuraga. Keruan saja. hadirin tertawa terbahak-bahak. Dalam pada itu, di antara sedu-sedannya orang tua itu berkata melanjutkan:
- Selama hidup enam puluh lima tahun. aku berkesempatan berkenalan dengan orang-orang gagah di seluruh penjuru tanah air. Orang gagah dari pelbagai aliran. Akan tetapi belum pernah aku bertatap muka dengan dua orang paduka pembesar negeri yang bertindak dengan seenaknya sendiri. Sungguh memalukan!
Mendengar ucapan orang tua itu, keruan saja Samaratungga dan Hanuraga mendidih darahnya. Dengan serentak mereka berdiri dari kursinya. Dan terdengarlah suara Samaratungga menggelegar bagaikan guntur:
- Hai tua bangka! Jika engkau mempunyai keberanian, hayo keluar! Jangan bersembunyi seperti kura-kura! Tetapi orang tua itu, tidak menggubrisnya. Masih saja ia meletupkan isi hatinya. Katanya lagi:
- Bagaimana aku tidak menangis sedih? Sebab pada hari ini, terpaksa aku membunuh dua orang perwira kerajaan. Makin tinggi pangkatnya, makin dibenarkan.
Yudapati terkejut mendengar pernyataannya. Akan tetapi di dalam hati ia bersyukur. Ia jadi bersimpati kepadanya. Sebaliknya, Samaratungga dengan geram melompat menubruknya. Sebagai seorang perwira Bhayangkara. ia berkepandaian tinggi. Setelah mengirimkan beberapa pukulan, dengan mudah ia dapat mencekik leher orang tua itu yang sama sekali tak melawannya. Dengan tangan kanannya ia mencengkeramnya dan dibawanya keluar dari deret kursi hadirin. Orang tua itu makin nyaring tangisnya. Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan. Sesosok bayangan berkelebat di udara dan jatuh bergedubrakan di tengah arena. Dialah Samaratungga yang tadi sedang mencengkeram leher orang tua itu. Semua hadirin terkejut. Sebab orang tua yang tercengkeram tadi, malahan berdiri tegak bagaikan arca. Kalau begitu, dialah yang melontarkan Samaratungga.
Kapan?
Tiada yang dapat melihat gerakannya selain Yudapati.
Pikirnya,
- orang tua itu ternyata jempolan. Baik semangat hidupnya maupun ketangkasannya. Dia tidak rela Mantrayana akan dijadikan salah satu kaki-tangan pemerintah.
Hanuraga terperanjat menyaksikan Samaratungga dapat terlempar dengan mudahnya. Ia mengenal kepandaian Samaratungga. Di dalam kalangan Bhayangkara ia menduduki urutan yang ke sebelas. sedangkan dirinya nomor tujuh. Untuk merobohkan dia dalam satu gebrakan, tidak mudah. Tetapi kenyataan itu tidak dapat dibantahnya. Maka ia tidak berani memandang enteng lawannya. Terus saja ia menghunus goloknya dan menerjang orang tua itu.
Ruang pertemuan itu jadi kacau balau. Hanuraga adalah seorang perwira Bhayangkara yang menduduki deretan nomor tujuh di antara dua puluh satu jago Bhayangkara. Kepandaiannya jauh di atas Samaratungga. Meskipun demikian, ia roboh juga. Tubuhnya terbanting dan ia terkapar di atas lantai tanpa golok lagi. Seketika itu juga,hadirin jadi gempar.
Siapakah orang tua itu? '
Yudapati yang bersimpati kepada orang tua itu, mengikuti gerak-geriknya. Ternyata dia menggunakan llmu Dasagriwa pula untuk mencengkeram Hanuraga. Hanya saja kepandaiannya sepuluh kali lipat daripada Adicara yang sebentar tadi menantang Diatri dengan menggunakan ilmu Dasagriwa. Tak usah dijelaskan lagi bahwa orang tua itu niscaya termasuk anggauta Kaum Mantrayana.
Yudapati yang sudah terlanjur bermusuhan dengan laskar kerajaan tentu saja merasa puas menyaksikan dua jago Bhayangkara roboh di tangan seorang pendekar tua. Tetapi bagaimana
dengan Diatri. Mau tak mau dia harus menghadapi orang tua itu.
Diatri mengetahui bahwa ia akan menghadapi lawan berat. Namun ia tidak gentar. Segera ia bangkit dari tempat duduknya. Lalu menegur dengan suara tenang:
- Katakan terus terang kepadaku! Apakah engkau hendak menguji diriku pula? Pelahan-lahan orang tua itu menghampiri. Ternyata tubuhnya tidak hanya kurus kering saja. tetapi kulitnya sudah kisut dan kedua tulang pipinya menonjol ke atas. Kesannya seperti seorang yang menderita penyakit paruparu. Akan tetapi di antara tubuhnya yang sudah reot itu, terdapat sepasang mata yang bersinar tajam luar biasa. Jelas sekali, bahwa di dalam dirinya bersembunyi suatu kepandaian tinggi yang susah ditebak.
- Nona! sahut orang tua itu.
- Aku tahu. engkau pasti bukan anggauta Mantrayana. Denganmu kaum Mantrayana tidak mempunyai permusuhan apapun. Mengapa engkau justru menjahili kami?
- Apakah engkau sendiri orang Mantrayana? Coba ingin aku mendengar namamu.
- Namaku jelek. Kusambi. Semenjak dulu aku bernama Kusambi. jawab orang tua itu.
- Tetapi pernahkah engkau mendengar nama julukan Rajah Kusambi? Jika aku bukan adik seperguruan pendekar Rajah Nandi. mustahil aku disebut orang dengan nama julukan Rajah Kusambi. Mustahil pula aku diberi gelar Sepasang Rajah Mantrayana .
Setelah orang tua itu memperkenalkan diri, hadirin menjadi gempar. Teringatlah mereka, bahwa semenjak empat puluh tahun yang lalu. pernah muncul sepasang pendekar yang menamakan diri Sepasang Rajah Mantrayana.
Selama itu belum pernah terdengar dikalahkan orang. Hadirin lantas saja memperhatikan orang tua itu dan berbicara kasak-kusuk antara teman-temannya.
Jadi dialah adik-seperguruan pendekar Rajah Nandi yang disegani pendekar-pendekar di empat penjuru dunia?
mereka tercengang.
Sebaliknya, Diatri tentu saja belum dilahirkan sewaktu Sepasang Rajah Mantrayana merajalela mengangkat nama. Seperti sedang menggerutu, ia berkata:
- Hm. sepasang Rajah Mantrayana? Aku belum pernah mendengar. Apakah engkau hendak ikut pula memperebutkan kursi ketua? - Tidak! Sekali-kali tidak! sahut Rajah Kusambi cepat.
- Kuharap engkau jangan mengulangi kata-kata: itu! Aku adalah adik-seperguruan almarhum. Jika mau, sudah semenjak dulu aku bisa menduduki kursi ketua ini. Sebab kakakku lebih percaya padaku daripada sekalian murid-muridnya yang memalukan itu.
- Kalau begitu. mengapa engkau mengacaukan keputusan yang sudah disetujui? - Keputusan?
Rajah Kusambi tercengang.
- Siapakah yang memutuskan? Siapakah yang membuat ketetapan begitu? Bukankah dua begundal itu yang kemaruk pangkat dan derajat? Apakah engkau tidak dapat melihat udang di balik batu? Biarlah kusingkirkan dulu manusia yang tidak mempunyai kehormatan diri itu!
Berkata demikian ia menendang Samaratungga dan Hanuraga bergantian. Dan kedua perwira Bhayangkara itu terbang terpental menumbuk tiang pintu serambi depan. Mereka berdua tadi sudah terbanting di lantai. Sekarang ditendang dan jatuh menubruk tiang pintu. Keruan saja kepala mereka benjut sebesar bola genggam. Dengan tertatih-tatih. mereka merayap bangun. Lalu berdiri sebisa bisanva dengan memegang daun pintu.
- Hai! Masih saja kalian berdiri di situ? Pergi sebelum pikiranku berubah! bentak Rajah Kusambi.
Dibentak demikian, dengan memaksa diri Samaratungga dan Hanuraga cepat-cepat meninggalkan kediaman Rajah Nandi.
Hadirin juga kagum luar biasa, tertawa terbahak bahak. Agaknya, sebagian besar hadirin tidak begitu akrab bergaul dengan laskar pemerintah.
- Nah. mari kita bicarakan urusan ini.
Rajah Kusambi mulai menerangkan maksudnya.
- Terus-terang saja kukatakan, bahwa Mantrayana mempunyai sangkut-paut dengan diriku. Aku adik-seperguruan almarhum. Karena itu sudah sepantasnya aku berhak membuat suatu ketetapan. Semuanya terdiri dari tiga syarat.
- Katakanlah! - Yang pertama, kedudukan kursi ketua hanya diperboleh diperebutkan oleh anggauta Mantrayana yang tulen. Kedua, tidak peduli siapa yang berhasil menduduki kursi ketua. tidak boleh menerima undangan Raja pemberontak yang menyebut diri Raja Dharmaputera. Kita ini adalah golongan kasar. Tidak sesuai bergaul dengan orang-orang mahal. Bukankah pembesar-pembesar negeri merasa dirinya berharga mahal daripada orang-orang semacam kita ini'! ia berhenti sebentar memandang para hadirin. Melanjutkan:
- Dan yang ketiga, peraturan merebut ketua Mantrayana yang ditetapkan oleh mereka berdua tadi. sama sekali tidak berlaku bagiku. Menurut pendapatku, memilih seorang ketua tidak hanya mengutamakan ketrampilan jasmaniah saja. Tetapi otaknya pun menjadi syarat yang menentukan. Apakah jadinya, kalau Ketua Mantrayana jatuh kepada seorang yang tidak mempunyai otak? Apalagi kalau sampai tidak mengenal budi-pekerti. Hai, saudara-saudaraku! Apakah kalian bisa menerima seorang ketua yang watak dan budi-pekertinya rendah?
Hadirin tidak menyahut akan tetapi mereka memanggut-manggut menyetujui kata-kata Rajah Kusambi. Memang lagak-lagu dan sifat orang tua itu agak aneh. Akan tetapi kata-katanya tepat mengenai sasaran.
Diatri tertawa lebar. Berkata dengan suara tenang:
- Syaratmu memang masuk akal. Kurasa, aku sudah memenuhi. Apakah engkau mempunyai alasan lain?
- Ada. sahut Rajah Kusambi.
- Engkau terlalu merendahkan ilmu Mantrayana. Maka engkau masih harus melalui ujianku.
Di antara hadirin tiada seorang pun yang kuasa mencegah pertempuran mereka. Yudapati jadi gelisah sendiri. Ia tahu. kedua-duanya bermusuhan dengan laskar kerajaan.
Mengapa Diatri harus melayani Rajah Kusambi?
Mengapa tidak segera mengemukakan alasannya apa sebab dia ikut merebut kedudukan kursi pimpinan?
Tetapi justru berpikir demikian, ia jadi tidak mengerti mengapa Diatri berbuat begitu.
- Engkau mau bertempur dengan tangan kosong atau menggunakan senjata? Diatri menegas.
- Karena engkau mengaku sebagai murid Mantrayana, marilah kita mencoba-coba ilmu mustika Mantrayana. sahut Rajah Kusambi.
- Ilmu Mustika?
Diatri nampak heran.
- Berbicaralah langsung kepada masalahnya. Aku tidak senang mendengarkan cakap orang yang berbelit-belit.
Rajah Kusambi tertawa geli. Sahutnya:
- Nah. nah, nah . .. kau mengaku sebagai murid Mantrayana, tetapi belum mengetahui ilmu mustika Mantrayana. Bagaimana engkau memberanikan diri merebut kursi ketua? Beberapa detik Diatri nampak tersudut. Tetapi pada detik berikutnya, wajahnya tenang kembali. Ujarnya;
- Ilmu Mantrayana begitu dalam dan luas sehinga susah untuk dijajaki. Setelah mencapai tataran tertinggi seseorang bisa menggunakan pukulan yang paling sederhana. Namun sudah cukup malang-melintang tanpa tandingan. Karena itu. bagian apa pun dari ilmu Mantrayana dapat disebut sebagai mustika.
Rajah Kusambi tertegun sejenak. Pikirnya, gadis ini benar-benar cerdik dan cerdas. Dalam hal ini. aku harus mengaku kalah. Padahal ia tidak mengetahui apa sebenarnya yang disebut ilmu mustika Mantrayana. Namun berkat kecerdasannya, ia dapat menolong diri dalam keadaan tersudut.
Memikir demikian, mau tak mau ia memanggut-manggut membenarkan. Lalu berkata:
- Meskipun demikian, aku masih perlu memberi keterangan padamu. Yang disebut ilmu mustika kaum Mantrayana adalah bertempur di atas pelatuk bunga. Tegasnya bertempur di atas tangkai berbentuk bunga. Barangsiapa yang merontokkan bunga. apalagi sampai mematahkan baik dahan maupun rantingnya dianggap kalah. Kalau sampai jatuh ke tanah. dia harus mengulangi belajar tiga tahun lagi. Apakah engkau sanggup? Sayang, dalam ruang ini tiada terdapat bunga.
- Hm. Diatri mendengus.
- Itu bukan suatu pertempuran sejati. Paling-paling hanya mengadu keringanan dan kelincahan tubuh. Bukankah begitu? Kau kira aku tidak berani melayanimu? Perintahkan saja cucu-muridmu untuk menancapkan dahan bunga di atas lantai itu. Atau kita harus ke luar halanan?
- Tidak usah. sahut Rajah Kusambi.
Setelah berkata demikian, ia berseru kepada anak-murid Adicara. Anurada dan Barukaea:
- Pinjamkan 36 mangkok padaku!
Bergegas anak-murid Mantrayana berebutan mengumpulkan 36 mangkok dan diletakkan diatas meja.
Rajah Kusambi menghampiri dan melemparkan ketiga puluh enam mangkok itu ke lantai.
Sungguh mengherankan!
Mangkok-mangkok itu terbuat dari porselin. Namun tidak pecah sewaktu jatuh di atas lantai. Yang mengherankan lagi, jatuhnya tengkurap dan sama sekali tidak tergeser dari tempat yang dikehendaki .Menyaksikan hal itu. . hadirin terbelalak heran. Beberapa saat kemudian. mereka bertepuk gemuruh sebagai pernyataan rasa kagumnya.
Diatri tahu, Rajah Kusambi benar-benar seorang pendekar jempolan. Kalau saja tidak memiliki himpunan tenaga sakti yang terlatih mahir tidak mungkin dapat berbuat begitu. Namun ia tidak gentar. Ia menjejakkan kakinya. Dan seperti seekor burung ia hinggap di atas dua buah mangkok. Lalu menunggu.
Rajah Kusambi memperlihatkan kepandaiannya pula. Ia terbang dan hinggap di atas dua mangkok yang tengkurap itu. Dan tiba-tiba saja sudah memukulkan tinjunya dengan kecepatan yang hampir luput dari pengamatan mata orang. Diatri cukup waspada. Dengan sekali melihat tahulah ia, bahwa tinju Rajah Kusambi tidak mengepal bulat. Nampak empat jari-jari tangannya tidak rata. Tak usah dijelaskan lagi. bahwa Rajah Kusambi dapat menggunakan jari-jarinya sebagai senjata tajam. Buru-buru ia melompat mundur dan kemudian melayani dengan tangan kosong pula. Bedanya, ia tidak mengepalkan tangan. Melainkan menabaskan telapak tangan bagaikan golok dan pedang. Itulah kepandaiannya yang asli. Namun jurus-jurus yang digunakan adalah jurus-jurus Mantrayana.
Dewi Ular 63 Dendam Dukun Jalang Wiro Sableng 037 Maut Bermata Satu Wiro Sableng 082 Dewi Ular

Cari Blog Ini