Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 18

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 18


Menyaksikan hal itu, diam-diam Rajah Kusambi heran. Gerakan kaki dan tangan lawannya sama sekali tidak menyalahi aturan-aturan ilmu Mantrayana.
Sebenarnya siapa dia?
Apakah dia benar-benar murid kaum Mantrayana?
Siapakah gurunya?
Dengan berbagai pertanyaan itu. ia mencoba mendesak. Namun Diatri tetap saja dapat melayani dengan sempurna. Demikianlah, kedua orang itu saling menyerang dan saling bertahan. Masing-masing menggunakan juru-jurus ajaran ilmu Mantrayana asli yang terdiri dari dua puluh empat jurus pokok.
Bertempur di atas pelatuk, tujuan masing-masing pihak adalah menduduki titik pusat. Artinya pelatok-pelatok tengah dengan maksud mendesak lawan ke pinggir. Tetapi pertempuran antara Diatri dan Rajah Kusambi berada di atas mangkok-mangkok yang ditengkurapkan. Kesulitan mereka berdua sekian kali lipat. Sebab bila salah injak atau salah mengukur berat dan ringannya badan, mangkok yang terbuat dari poselin itu akan hancur. Bila hal itu terjadi berarti sudah kalah.
Puluhan tahun lamanya Rajah Kosambi berlatih di atas pelatok-pelatok yang biasanya terbuat dari potongan bambu atau kayu. Maka tidak mengherankan. bila ia menguasai medannya. Apa yang dinamakan dengan istilah meringankan berat badan, sesungguhnya adalah berkat mantra sakti yang harus dirasukkan dalam dirinya melalui masa bertapa cukup lama. Dibandingkan dengan Diatri, terpautnya dalam hal masa bertapa sangat jauh. Meskipun demikian, ia tidak berani memandang enteng. Ia sadar, bahwa Diatri memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Ceroboh sedikit saja. bisa berakibat jauh.
Sebaliknya, Diatri berhati-hati pula, ia tahu dalam hal penguasaan mantra sakti. kalah jauh bila dibandingkan dengan lawannya. Syukur berkat ajaran pernafasan yang dikuasainya. untuk sementara bisa menolong dirinya. Juga tutur kata Yudapati sewaktu menghayati ilmu di dalam gua memberi ilham kepadanya. Pada waktu senggang. diam-diam ia mencoba menghayati apa yang pernah dihayati Yudapati.
Ternyata kepandaiannya maju jauh dengan tak setahunya sendiri. Selain itu. ia memiliki suatu kecerdasan yang kadangkala berada di atas Yudapati sendiri. Dengan demikian, karena memiliki jenjang kecerdasan dan tata-pemafasan yang melebihi Rajah Kusambi dapatlah ia mengimbangi kepandaian lawannya.
Akan tetapi sewaktu melihat Rajah Kusambi sudah menduduki titik pusat, ia tergetar juga hatinya. Pikirnya di dalam hati:
- Garis pembelaannya kuat. Kalau mengadu tenaga. jelas aku akan kalah. Satu-satunya jalan. hanyalah mengadu kelincahan. Sebab betapa gagah pun, usianya pasti tidak mengijinkan untuk bisa bergerak selincah masa mudanya. Kalau terpaksa, aku harus menggunakan akal pula. Dengan pikiran itu, segera ia menghimpun semangat tempurnya. Kemudian menyerang Rajah Kusambi dengan lari berputaran. Orang tua itu tetap bertahan dengan pukulan-pukulannya yang mantap dan kuat. Bahkan makin lama makin kuat. Mau tak mau. Diatri jadi berkecil hati juga.
Hal itu ada sebabnya. Yang mengatur letak mangkok tadi adalah Rajah Kusambi. Dilihat sepintas lalu seperti kacau balau. Bentuknya semacam rekaan bunga Teratai. Tiada yang faham kunci penguasaannya, selain Rajah Kusambi seorang. Karena sudah berlatih puluhan tahun lamanya. ia dapat meloncat-loncat atau beralih tempat semaunya dengan mata tertutup. Sebaliknya tidak demikianlah halnya dengan Diatri. Setiap kali hendak meletakkan kakinya, ia harus melihat dulu. Selain itu harus mengatur berat badannya demikian rupa agar tidak memecahkan mangkok. Maka tidak mengherankan, setelah mengadu kecepatan beberapa waktu lamanya, ia jatuh di bawah angin.
Yudapati yang menyaksikan kerepotan Diatri jadi prihatin. Di antara mereka berdua tidak dapat ia menjatuhkan pilihan. Terhadap Rajah Kusambi ia bersimpati. Sebaliknya. dia pun tidak mengharapkan Diatri kalah.
Dalam pada itu, hati Rajah Kusambi mulai girang. Terus saja ia mengirimkan serangan berantai dengan menambah tenaga. Dalam sekejap saja, Diatri terdesak mundur. Sekonyong-konyong Diatri mengubah cara bertempurnya. Tidak lagi ia menggunakan ketentuan-ketentuan jurus Mantrayana. Akan tetapi menggunakan kepandaian aslinya. Kedua tangannya berubah menjadi sepasang golok dan pedang. Rajah Kusambi terperanjat. Buru-buru ia meloncat minggir.
Diluar dugaan Diatri memburu dengan menabaskan tangannya. Itulah tabasan llmu Golok Damayanti yang sudah terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu.
Rajah Kusambi jadi kalut. Sedikit pun ia tidak mengira, bahwa dalam waktu sekejap mata saja. Diatri sudah dapat menyerang balik dengan tabasan kedua tangan seolah sebilah pedang dan sebilah golok. Karena diserang dengan suatu jurus yang belum dikenalnya untuk sesaat ia bingung. Justru pada saat itu, tabasan Diatri menghantam pundaknya. Syukur, masih dapat ia menahan diri. Sedetik berikutnya, gerakan tangan Diatri berubah lagi. Kali ini menggunakan llmu Golok aliran Mantrayana. Tetapi tangannya yang lain menikam seolah sebatang pedang.
Rajah Kusambi tiada waktu lagi untuk mengelak. Dengan mengumpulkan segenap himpunan tenaga saktinya ia melindungi bidang dadanya.
Duk! Badannya bergoyang
Pertempuran yang menentukan itu. tidak luput dad pengamatan Yudapati. Melihat Rajah Kusambi akan terpukul roboh, ia merasa sayang. Sebab di dalam hati, ia tidak mengharapkan orang tua itu roboh, ia merasa sayang. Sebab di dalam hati. ia tidak mengharapkan orang tua
itu roboh dengan cara yang mengecewakan. Demikian pulalah sebaliknya. Pada saat kedua kaki Rajah Kusambi akan menyentuh lantai dengan cepat ia menyambar dua mangkok dan dilemparkan. llmu sakti Tantrayana yang sudah dikuasai Yudapati sudah mencapai puncaknya. Ia dapat mengatur tenaga sesuka hatinya. Begitulah tatkala kedua mangkok itu menggelinding, berhenti dengan tepat di bawah kaki Rajah Kusambi yang nyaris menyentuh lantai.
Rajah Kusambi terkesiap hatinya. Tahulah ia bahwa seorang yang berilmu tinggi telah menolongnya .Tetapi para hadirin tidak mengetahui gerak cepat Yudapati. Apalagi mereka tidak mengetahui letak mangkok-mangkok itu, sehingga berkurang atau bertambah jumlah akan luput dari ingatannya. Selain demikian, perhatian mereka sedang terpusat pada pertempuran yang menentukan itu. Baik Diatri maupun Rajah Kusambi mempunyai kelebihannya masing-masing.
Diatri memang cerdik. Benar ia tetap menggunakan langkah aliran Mantrayana, akan tetapi jurus yang dipergunakan adalah ajaran ayah-bundanya. Jurus demikian belum pernah diajarkan kaum Mantrayana. Melihat saja, baru kali itu. Sebab kaum Mantrayana tidak pernah bermusuhan dengan ayah atau ibu Diatri.
Berbagai pertanyaan berkelebat dalam benak Rajah Kusambi. Tetapi sebagai seorang satria, ia harus berani mengakui kenyataannya. Segera ia membungkuk hormat dan berkata kepada Diatri:
- Kepandaian nona yang begitu tinggi. belum pernah kulihat. Bolehkah aku mengetahui. siapakah sebenarnya guru nona dan temasuk aliran mana?
- Ih, masih saja engkau belum percaya padaku?
Diatri menggerutu.
- Aku benar-benar murid Mantrayana. Bukankah di dalam Agama Buddha terdapat dua aliran yang bernama Tantrayana dan Mantrayana? Baiklah! Bagaimana kalau aku menggunakan Ilmu Golok ajaran almarhum untuk mengalahkanmu?
- Bagus! seru Rajah Kusambi gembira.
Memang itulah yang diharapkan. Segera ia membungkuk lagi seraya berkata:
- Jika nona dapat merobohkan aku dengan llmu Golok ajaran kakakku seperguruan. benar-benar merupakan peristiwa yang menggembirakan bagi kesejahteraan Kaum Mantrayana. Silakan!
Setelah berkata demikian, Rajah Kusambi membungkuk hormat ke arah Yudapati. Serunya:
- ijinkan aku untuk memamerkan kebodohanku.
Meskipun tidak melihat orangnya. akan tetapi ia tahu dari mana datangnya bantuan tadi. Merasa berhutang budi, wajib ia menyatakan hormatnya dengan terus-terang.
Diatri sendiri bersikap tak menghiraukan. Diam-diam ia sedang mencari akal. Ia seorang gadis yang tidak hanya kelihatan agung saja, tetapi memiliki kecerdasan otak yang cemerlang. Selagi Rajah Kusambi membungkuk hormat kepada Yudapati, ia sudah menemukan akal bagus.
Seketika itu juga, wajahnya nampak tenang luar biasa. Dan sebentar kemudian pertempuran segera terjadi kembali. Tetapi baru beberapa gebrakan saja. ia merasa sudah kalah.
Sebagai adik-seperguruan Rajah Nandi, tentu saja Rajah Kusambi faham benar akan llmu Golok almarhum. Apalagi ia pernah bekerja sama mendampingi kakaknya seperguruan mencari nama. Itulah sebabnya, ia dapat melayani kegesitan Diatri jauh lebih baik. Meskipun demikian. tetap saja ia berhati-hati. Pengalamannya yang pahit tadi memberi ajaran padanya, bahwa gadis yang menjadi lawannya itu memiliki berbagai jurus yang aneh-aneh. Maka ia harus berwaspada dan berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinannya.
Tetapi setelah cara bertempur Diatri tidak berubah sekian lamanya hatinya mulai lega. Terus saja ia mulai menyerang.
Sekonyong-konyong Diatri melepaskan pukulan dari depan. Kemudian meloncat-loncat berkeliling dengan amat lincahnya.
- Aha, dia mau mengeluarkan pukulan macam apa lagi. pikir Rajah Kusambi.
Tatkala ia mau beralih tempat, barulah ia merasa terkejut. Ternyata ibu jarinya menyentuh sesuatu aneh. Buru-buru ia mengerling. Dan apa yang dilihatnya membuat hatinya kian terkejut. Ternyata mangkok-mangkok yang bertebaran di sekelilingnya tidak tengkurap lagi. Melainkan telentang. Syukur ia tadi hanya menyentuhkan ujung jarinya. Seumpana menapakkan kakinya, mangkok pasti terbalik. Dan akibatnya akan pecah berantakan. Cepat sekali ia meloncat mundur.
Terbaliknya mangkok itu akibat perbuatan Diatri. Tatkala ia lari berputaran, dengan kepandaiannya yang tinggi ia berbareng membalikkannya setiap kali kakinya habis menginjak mangkok. Karena larinya cepat bagaikan bayangan, tahu-tahu 34 mangkok terbalik semua. Yang masih tengkurap tinggal empat. Yang dua mangkok untuk tempat berpijak Rajah Kusambi. Yang dua adalah mangkok tambahan dari Yudapati yang kini dipergunakan sebagai tempat Diatri menaruhkan kedua kakinya. Sedangkan hadirin yang terpusat pada cara berkelahi Diatri dan Rajah Kusambi sama sekali tidak mengetahui perubahan letak mangkok-mangkok.
Sekarang Rajah Kosambi sadar, bahwa dirinya tidakkan menang melawan Diatri. Apalagi setelah melihat Diatti membalikkan kedua mangkoknya pula dan dapat berdiri dengan anteng di atas dua mangkok yang telentang. Itulah suatu kepandaian yang belum pernah dilatihnya. Sebab hal
itu belum pernah terlintas dalam pikirannya.
Beberapa saat lamanya ia berdiri tegak bagaikan patung. Kemudian berkata dengan suara ikhlas:
- Nona. engkaulah yang menang. - Jika begitu, kini aku berhak duduk di atas kursi pimpinan, bukan? -ujar Diatri.
Rajah Kusambi memanggut. Lalu turun ke lantai dan berjalan menghampiri. Peristiwa itu membuat seluruh hadirin sunyi-senyap. Selagi demikian, tiba-tiba terdengarlah suara derap kuda. Karena suasana ruang itu sunyi senyap maka suara langkah kuda itu terdengar sangat jelas. Diatri terperanjat. Dengan wajah berubah, ia berseru:
- Hei! Siapa yang mencuri kudaku?
Setelah berseru demikian, dengan cepat ia memburu. Rajah Kusambi jadi serba salah. Serunya pula
- Nona! Tunggu dulu! kemudian kepada sekalian hadirin:
- Kuminta semuanya jangan meninggalkan tempat sebelum aku datang kembali. Setelah berseru demikian, ia pun ikut lari ke luar ruang pertemuan.
Sementara itu, Diatri sudah tiba di luar ruang dukacita. Kudanya sudah berada di tengah jalan. Secepat kilat ia mengejar. Setelah mengejar beberapa waktu lamanya. yang menunggang kuda menahan kendalinya. lalu turun dan duduk di tepi jalan.
- Ah, kakak Yudapati! seru Diatri setengah bergembira setengah jengkel.
- Mengapa kakak berbuat begini? Yudapati menunggu sampai Diatri menghampirinya. Lalu balik bertanya:
- Mengapa engkau mengacau urusan rumah tangga Kaum Mantrayana?
- Itulah karena gara-gara kakak.
- Gara-garaku? Yudapati tak mengerti.
Selagi Diatri hendak menjawab. Rajah Kusambi sudah
tiba di tempat mereka berada. Orang tua itu membungkuk hormat. Ia yakin, bahwa sang penolongnya tadi pastilah pemuda yang berberewok tipis itu. Dengan takzim ia membungkuk hormat. Katanya:
- Benarlah kata pepatah: pohon pisang rela mati setelah tumbuh tunasnya. Demikian pulalah yang terjadi dalam kalangan Mantrayana. Sekarang semuanya jadi jelas apa sebab kakak seperguruan rela meninggalkan darmanya. Tak tahunya akan muncul seorang muda yang berkepandaian tinggi di atas kepandaian orang yang sudah mulai keropos tulang-belulangnya. Aku percaya, pada saat ini arwah almarhum tersenyum bahagia dan berkenan memberi restu. Maafkan mataku yang lamur. Rajah Kusambi tidak berarti lagi menanyakan nama dan asal-usul Diatri, mengingat sikapnya yang angkuh. Diluar dugaan Diatri menjawab dengan manis sekali:
- Paman! Aku sudah cukup membuat paman jengkel, mendongkol, geram dan gemas. Terus-terang saja, karena aku menaruh curiga kepada hadirin. Inilah gara-gara kakakku ini.
- Hei. aku lagi?
Yudapati terperanjat.
Rajah Kusambi tertawa seraya menyahut:
- Sudahlah, kukira tidak perlu ditarik panjang lagi. - Tidak! Justru sekarang aku akan memberi penjelasan siapa diriku. potong Diatri cepat.
- Dengan sebenarnya. aku masih termasuk keluarga Kaum Mantrayana. Paman adalah adik-seperguruan paman Rajah Nandi. Jika demikian, tentunya mengenal pula nama ayahku. - Siapa?
Rajah Kusambi mendesak.
- Sangga Rajaguru.
- Nona maksudkan Shri Sangga Rajaguru suami tuanku puteri Damayanti?
- Benar. Damayanti adalah nama ibuku.
- Ah! ..;
Rajah Kusambi terkejut seperti tersambar geledek. Lalu dengan suara bergemetaran ia melanjutkan;
- Sekarang...sekarang...bagaimana keadaan.,.
- Sepeninggal ayahku. ibu masuk dalam biara.
Sahut Diatri dengan menundukkan kepala.
- Ya, ya. ya . . . aku tahu hal itu. Yang kumaksudkan
- Ibu tiada kurang suatu apa.
- Syukur! Itulah yang kumaksudkan. Rajah Kusambi melepaskan nafas lega.
- Kalau begitu, mataku yang lamur. Sekiranya semenjak tadi, tuanku puteri berkenan memperkenalkan diri, tentu saja aku tidak rewel-rewel lagi. Sebab kehadiran tuanku puteri ibarat kerbau pulang ke kandang.
- Kerbau pulang ke kandang? Apa itu?
Rajah Kusambi menghela nafas. Setelah berdiam sejenak, pelahan-pelahan ia berkata:
- Inilah cerita jaman muda. Ibu tuanku puteri adalah murid ke tiga atau murid terakhir. Meskipun demikian, di antara kita bertiga ibu tuanku puteri yang terpandai. Dia pula yang mewarisi seluruh ilmu kepandaian guru. Itulah sebabnya, guru menghendaki ibu tuanku puteri yang menggantikan kedudukan sebagai Ketua Mantrayana. Te. tapi . . . dia bertemu dengan ayahanda tuanku puteri. Maka dengan berat hati. kanda Rajah Nandi yang menggantikan. Sebab ibu tuanku puteri harus hidup di istana. Merasa diri kurang yakin, kanda Rajah Nandi memintaku agar mendampingi. Dan semenjak itu. kami berdua dijuluki orang Sepasang Rajah Mantrayana. ia berhenti sebentar menelan ludah. lalu beberapa saat lamanya ia mendongak ke angkasa. Meneruskan seperti setengah berdoa:
- Hyang Widdhi Yang Maha Murah. Damayanti akhirnya mempunyai keturunannya. Itulah engkau. tuanku puteri.
- Hei. maafkan daku. Aku dulu memanggil ibu tuanku puteri langsung menyebut namanya. Maafkan . . . - Paman tak usah kokoh memegang tata susila terhadapku. Kalau dulu memang biasa memanggil begitu panggil saia demikian. -tungkas Diatri.
Raiah Kusambi mengucak-ucak matanya. Kembali lagi ia berdiam diri untuk menguasai perasaannya. Setelah itu berkata dengan suara terharu:
- Aku tadi berkata, bahwa Damayanti adalah pewaris seluruh kepandaian guru. Sekarang terbukti sudah. Tuanku puteri dapat mengalahkan daku. Terus-terang saja. mula mula aku merasa terpukul. Tetapi kini, setelah mengetahui siapakah tuanku puteri sebenarnya mati pun aku rela. Kaum Mantrayana bakal makin kuat. Apakah tuanku puteri mewarisi ilmu pedang ayahanda?
- Melalui ibu.
- Bagus. bagus, bagus,
Rajah Kusambi memanggut manggut.
- Dengan begitu makin sempurnalah! Hanya saja, satu hal yang masih kusesalkan. Sebenarnya . . .
- Sebenarnya?
Diatri mendesak.
- Sebenarnya terkandung maksudku hendak mempersembahkan anak-murid Mantrayana kepada ibu tuanku puteri. Dengan datangnya tuanku puteri. maksudku sudah terkabul. Hanya saja . . . mengapa aku tidak dapat menuntut dendam ayahanda tuanku puteri. Inilah yang kusesalkan. Barangkali rasa sesal ini akan kubawa mati.
- Belum tentu.
Diatri menghibur.
Rajah Kusambi menghela nafas. Lalu mengalihkan pembicaraan:
- Bolehkah kini aku mengenal nama tuanku puteri?
- Diatri Kama Ratih. - Jadi bukan Raga Suari?
Rajah Kusambi tertawa.
- Bukan. sahut Diatri dengan tertawa pula.
- Itulan gara-gara dia.
- Dia siapa?
- Kakakku Yudapati.
- Tuan muda ini?
- Ya. Karena perintahnya aku melacak jejak. Secara kebetulan . . . eh. apakah paman mengetahui peristiwa penculikan anak?
Rajah Kusambi menatap wajah Diatri beberapa saat lamanya. Kemudian beralih kepada Yudapati. Setelah itu berkata:
- Kukira hal ini dapat kita bicarakan pelahan-lahan. Sekarang perkenankan aku memohon tuanku puteri agar kembali dahulu ke ruang duka-cita. Berita gembira ini harus segera kukabarkan. Sebab aku sudah terlanjur menahan mereka agar jangan meninggalkan ruang pertemuan sebelum aku datang kembali.
Diatri berpaling kepada Yudapati minta pertimbangannya.
Yudapati mengangguk. Rajah Kusambi gembira bukan main. Setelah meloncat ia menyambar kendali kuda dan dengan menuntun kuda Diatri ia mendahului mereka yang berjalan berendeng.
- Diatri. apakah simpang jalan di atas bukit memang sampai ke kota ini?
Yudapati minta keterangan.
- Hm, pendek harinya akan tetapi panjang ceritanya. sahut Diatri dengan tertawa pelahan.
- Hampir saja aku kembali nama.
- Apa?
Yudapati terkejut berbareng menyesal.
- Mengapa engkau tidak memberi tanda bahaya?
- Apakah sudah perlu begitu?
Diatri memiringkan kepalanya.
Yudapati tercengang. Diam-diam ia merasa heran. Biasanya Diatri lemah-lembut. Tetapi kali ini menyembunyikan sesuatu yang tidak berkenan di lubuk hatinya.
- Mengapa?
Apakah karena dirinya terlalu perasa?
*******
DIATRI merasa pasti, bahwa segera ia akan dapat mengejar gerombolan penculik anak. Tetapi setelah berlari larian menerjang hutan, tibalah ia di sebuah lapangan terbuka.
- Aneh, pikirnya.
- Mengapa tiada sebatang pohon pun tumbuh di situ. Teringatlah dia kepada peringatan ibunya. Manakala bertemu dengan suasana alam yang mencurigakan, ia harus waspada. Mungkin sekali terdapat binatang yang berbisa atau racun jahat yang sengaja ditebarkan seseorang dengan maksud tertentu.
Setelah berjalan dengan hati-hati dan memasuki beberapa tikungan, tiba-tiba ia melihat sebidang taman bunga yang terpisah. Di tengah ladang ia melihat seorang gadis dusun mengenakan pakaian hijau dan sedang merawat tanaman bunga sambil membungkuk. Diatri mengembarakan pandang matanya dan melihat tiga buah rumah beratap daun enau bercampur ijuk. Sekitarnya tempat itu, tiada terdapat rumah lagi.
Ia maju menghampiri dan berkata dengan hati hati:
- Adik. bolehkah aku numpang bertanya. Nama dusun ini "
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap wajah Diatri beberapa saat lamanya. Diatri terkesiap. karena pandang mata gadis itu amat tajam seakan-akan dapat menembus isi hatinya.
- Ah. mengapa sinar matanya begitu luar biasa?
ia menebak-nebak di dalam hatinya.
Diatri mengamati gadis itu. Ternyata dia seorang gadis dusun yang tidak cantik.
Kulitnya kuning kering dan parasnya pucat seperti kekurangan makan. Rambutnya kekuning-kuningan pula. Tidak lebat bahkan boleh dikatakan tidak subur. Pundaknya tinggi dan badannya kurus. Pastilah dia seorang gadis dusun yang miskin. Usianya tidak akan lebih delapan belas tahun.
Mengapa dia menanam bunga di tengah ladang terbuka ini?
Apakah satu-satunya mata pencarian hidupnya?
- Adik, apakah jalan yang kuambah ini buntu?
Diatri minta keterangan.
- Tak tahu. -jawab gadis itu singkat dan ia kembali menundukkan kepalanya.
Menuruti kata hati. Diatri mendongkol. Akan tetapi mengingat tempat itu masih asing dan mengandung bahaya. ia harus berani bersabar hati. Sedapat mungkin ia menahan rasa mendongkolnya. Dengan bersenyum ia minta keterangan lagi:
- Apakah adik tadi melihat beberapa orang melintas di sekitar sini? - Tidak tahu.
- Ah ya. Mungkin adik tenggelam dalam pekerjaan menanam bunga. Apakah ayah ibumu berada dalam rumah? Mungkin aku dapat minta keterangan kepada beliau.
Kali ini. gadis itu malahan tidak mau menyahut. Dengan
tekun, ia mengamat-amati barisan bunga yang teratur rapi. Melihat ketekunannya Diatri tertarik. Sebagai sesama wanita dapat ia merasakan keadaan hatinya. Ia ikut memperhatikan bunga tanamannya .Lambat-laun ia mulai tertarik. Ujarnya dengan hati tulus:
- Indah benar. bunga ini. Apakah engkau tanam sendiri?
Gadis itu mengangguk.
- Kalau aku boleh bertanya. bunga apa namanya?
Gadis itu menegakkan badannya dan kembali menatap Diatri dengan pandang aneh. Katanya:
- Apakah engkau gemar menanam bunga?
- Menanam sendiri sih, tidak. Tetapi aku senang memetik dan memelihara bunga. Apalagi kalau sudah dirangkaikan. jawab Diatri dengan bersenyum manis.
- Kalau senang, nanti kuberi. Tetapi engkau harus membayar.
- Membayar? Maksudmu dengan uang? Berapa harganya?
- Siapakah yang mau menjual bunga kepadamu? - tegur gadis itu dengan suara kaku.
- Lalu apa maksudmu dengan membayar?
Diatri tidak mengerti.
- Di sebelah sana terdapat sumur. Ambilkan aku segayung air dan siramkan pada bunga yang kau gemari.
Diatri tertegun sejenak.
Pikirnya.
- aku sudah terlanjur: bersabar. Maka aku harus bersabar sampai dia puas. Memikir demikian, segera ia mencari sumur itu. Ia mendapatkan sebuah timba yang terbuat dari daun nyiur. Dengan cekatan ia mengambil air dan dibawanya menghampiri gadis itu. Tetapi gadis itu tidak memperhatikannya lagi. Syukur. Diatri seorang gadis yang cerdas. Segera teringatlah ia, bahwa dirinya harus menyiram bunga yang digemari
Terus saja ia menyiramkan. Sewaktu hendak mengembalikan timba di tempatnya. gadis itu berkata:
- Taruh saja di situ. Setelah berkata begitu. ia memetik tiga tangkai bunga dan diberikan kepada Diatri. Katanya kemudian:
- Berjalanlah terus ke utara! Setelah tiba pada suatu lapangan yang tandus. ciumlah bunga itu. Dan engkau akan segera menemukan jejaknya.
Dengan tercengang Diatri menerima pemberian itu. Melihat gadis itu kembali membungkukkan badannya, ia tidak berkata lagi untuk minta kejelasan. Dengan berdiam diri ia melanjutkan perjalanan mengarah utara. Waktu itu siang hari telah tiba. Terik matahari mulai terasa menyengat tubuhnya. Namun ia tidak menghiraukan. Juga perutnya yang sudah mulai menuntut isi. Pikirannya sedang disibukkan oleh sikap gadis yang aneh tadi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pikirnya di dalam hati:
- Ah pantas dia bersikap kaku terhadapku. Bukankah aku mengenakan pakaian pria? Memperoleh ingatan demikian. ia jadi tertawa sendiri. Tetapi justru demikian. timbullah rasa curiganya. Teringatlah dia akan pandang mata gadis tadi yang aneh. Rupanya dia mengetahui siapa dirinya. Tetapi berpura-pura tidak mengetahui penyamarannya. Kalau begitu, gadis tadi niscaya bukan gadis dusun benar-benar.
- Hai Diatri! Kali ini engkau harus benar-benar berwaspada. -ia berkata menyesali dirinya sendiri.
Tak lama kemudian tanah yang diambah mulai terasa gersang. Pohon dan rerumputan mulai berkurang. Akhirnya tibalah ia di suatu tempat yang gundul sama sekali. Jantung Diatri memukul.Hatinya berdebar-debar. Ia mencoba mengamati tanah. Ternyata bukan tanah pasir.
Mengapa tiada sesuatu yang dapat tumbuh di 'atasnya? Sekonyong
konyong ia merasa pusing. Seketika itu juga teringatlah dia kepada pesan gadis tadi. Cepat ia mengeluarkan tiga tangkai bunganya dan diciumnya bergantian.
Heran!
Pada saat itu pula rasa pusingnya hilang.
- Hai! Kalau begitu gadis tadi bemaksud baik. Sayang, dia tidak mau menyebutkan namanya. ia berseru di dalam hati.
- Sekarang apa yang harus kulakukan? Apa maksudnya aku akan segera menemukan jejaknya?
Tak terasa ia meraba pedangnya yang selalu berada di pinggangnya. Itulah pedang pusaka Sangga Bhuana pemberian ibunya. Setelah menyelidiki sekitar tempat itu dengan cermat ia melanjutkan perjalanannya. Tidak jauh di depannya. jalan mulai agak menyempit. Seberang kanan adalah jurang curam dan seberang kiri ketinggian berbatu. Sewaktu memasuki jalan itu, Diatri merasa sedang diikuti seseorang. Cepat ia menoleh namun tiada sesuatu yang nampak.
- Ah, mungkin aku yang terlalu menaruh euriga. pikirnya.
Jalan di atas tanah gundul, tidak menguntungkan bagi orang yang mengikuti diriku. Tiada belukar sedikitpun untuk tempat bersembunyi. Sekiranya melompat tinggi harus dapat melalui tinggi tebing. Atau akan terjun ke dalam jurang? Itu pun mustahil. Memperoleh pertimbangan demikian, ia tersenyum sendiri. Maka ia melanjutkan jalannya. Akan tetapi pendengarannya yang tajam benar-benar menangkap suara langkah. Cepat ia berputar. Sesosok bayangan apapun tiada nampak.
Apakah hantu?
Masakan ada hantu kelayapan di tengah hari bolong?
Sekarang ia jadi penasaran. Ia mempercepat langkahnya, kemudian berlari-lari kecil. Didengarnya, langkah yang mengikuti makin cepat pula. Kini bahkan terdengar suara nafasnya. Secepat kilat ia berputar. Ia melihat sesuatu yang berkelebat. Namun kurang dari
satu detik. Aneh! Benar-benar aneh! Sekitar dirinya tiada sesuatu yang layak untuk tempat bersembunyi. Kemana perginya.
Orang ini nampaknya tidak bermaksud jahat. Dia gemar bergurau. Msakan aku tidak dapat?
Sekarang ia melangkah dengan gaya tidak mengacuhkan. Sewaktu mendengarkan suara tapak kaki, dengan cepat ia membungkukkan badannya dan melihat ke belakang melalui selangkangnya. Suatu sosok bayangan berkelebat ke udara, Cepat ia menjatuhkan diri, sambil mengawaskan arah udara. Tepat saja pandang matanya tiada dapat menangkap sesuatu.
Aneh! Sungguh aneh!
Diatri heran luar biasa.
Tahulah dia, bahwa orang yang berkepandaian sangat tinggi sedang mengikutinya. Pada saat itu, tiba-tiba teringatlah dia kepada Yudapati. Untuk mencari orang yang bersembunyi, dia pun harus bersembunyi. Memperoleh ingatan itu. segera ia duduk berdiam diri di bawah tebing. Ia menunggu beberapa waktu lamanya hingga matahari condong ke barat. Dan orang yang diharapkan muncul, tiada menampakkan batang hidungnya.Sebagai gantinya. ia mencium suatu bau yang sedap luarbiasa. Seketika itu juga, perutnya yang sudah lapar semenjak tadi jadi keroncongan. Mau tak mau ia merasa kalah. Dengan memaksa diri ia mencari arah datangnya bau sedap. Dan dilihatnya ada seorang tua sedang berjongkok membakar seekor kancil.
- Hai nona! Tentunya kau lapar. Mari! tegur sapa orang tua itu.
Diatri tertegun heran.
Bagaimana orang tua itu dengan sekali pandang dapat menebak tepat bahwa dirinya seorang gadis?
Kalau saja tidak berkepandaian tinggi mustahil dapat berbuat begitu. Dengan cermat ia mengamati perawakannya. Tinggi kurus dan membiarkan rambutnya terurai awut-awutan. Dia mengenakan jubah mirip pendeta yang dahulu berada di depan biara. Bedanya, pendeta dulu itu gundul polos dan jubahnya usang. Orang tua ini tidak demikian. walaupun jubah yang dikenakan tidak baru.
- Apakah tuan seorang bhiksu?
Diatri minta keterangan dengan hati-hati.
- Aku pendeta? Bukan! Aku orang edan.
- Oh.
Diatri terhenyak sedetik. Lalu menuruti arus:
- Kalau orang gila tentunya tidak mempunyai nama.
- Tepat.
- Tetapi mengapa bisa menebak diriku?
Diatri menghampiri.
- Apa susahnya? orang tua itu mengangkat pundaknya.
- Kalau kau mau makan ambillah! Kancil yang sedang dibakarnya itu entah diberi bumbu apa. Namun bau yang teruar bukan main sedapnya. Ia bisa menahan diri. Tetapi melihat sikap orang tua itu tulus, tak mau ia mengecewakan hatinya.
- Eh, jangan-jangan mengandung racun. Ah, kalau mengandung racun mengapa dia makan dengan lahap? Lagipula aku membawa bunga ajaib yang tidak perlu takut bertemu racun, pikirnya.
Tetapi pikiran ini sebenarnya terlalu sederhana. Kalau daging kancil itu benar-benar beracun, belum tentu bunga pemberian gadis dusun tadi dapat menolaknya.
Pelahan-iahan ia menghampiri daging kancil yang masih terpanggang hangat di atas bara. Pikirannya menebak-nebak.
Apakah orang tua ini yang sesungguhnya menggodanya tadi?
Kelihatannya, tidak. Sebab dia nampak sederhana dan jujur. Dengan berdiam diri ia menggerumiti daging kancil yang ternyata lezat luar biasa. Namun pikirannya tidak dapat lepas dari teka-teki orang tua itu. Setelah menunggu beberapa saat kemudian dan tiada lagi yang bisa dibicarakan, ia berdiri
- Terima kasih. Aku akan melanjutkan perjalanan.
Ia berkata mencoba.
Orang tua itu tiada menunjukkan reaksi apapun seperti seorang tuli. Bahkan sikapnya acuh tak acuh. Karena tiada memperoleh tanggapan, Diatri mengangguk sebagai tanda minta diri. Kemudian memutar tubuhnya. Kira-kira berjalan sepuluh langkah diluar dugaan orang itu berkata setengah menganjurkan:
- Kalau masih perlu makan dan minum jangan sekalikali melalui dataran ini. Lebih baik kau ke Baturaja! Di sana engkau akan menemukan beberapa rumah makan. Diatri hendak minta penjelasan, akan tetapi orang tua itu kembali bersikap acuh. Dengan menghela nafas, Diatri melanjutkan perjalanan. Dataran gundul, kini sudah dilalui.
Tibalah ia di suatu perkampungan yang berdiri terpencil di tepi hutan. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tangis yang memilukan. Teringat akan pengalamannya dulu, ia bersikap waspada. Ternyata yang menangis seorang nenek kira-kira berumur tujuh puluh tahun. Ia menangis di tengah kerumun empat orang yang berpakaian hitam. Melihat warna hitam itu, Diatri teringat kembali kepada orang orang yang dulu menculik Hari Sadana. Tarusbawa dan Getah Banjaran. Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pohon.
- Pasti kalian yang membawa cucuku. Kembalikan cucuku! Kembalikan cucuku! tangis nenek itu.
- Hai! Cucu yang mana?
- Cucuku yang kalian bawa. - Kami membawa cucumu? Buat apa? -bentak seorang dari mereka.
- Lihat! Periksalah, apakah kami membawa cucumu. Uuuuh dasar nenek pikun!
Setelah membentak demikian, mereka meninggalkan nenek itu yang menangis makin sedih. Diatri menunggu beberapa saat lamanya sampai orang-orang yang mengenakan pakaian hitam hilang dari penglihatan. Sewaktu hendak menghampiri nenek itu. suatu ingatan menusuk benaknya.
Apa bedanya dengan gerombolan perampok yang berpura pura merampas harta penduduk dulu?
Mereka semua ternyata merupakan satu komplotan termasuk si pendeta yang berjubah kumal. Jangan-jangan nenek ini pun sedang menjebakku. pikirnya.
Meskipun mempunyai ingatan demikian, tetapi perasaan seorang wanita yang halus mengalahkan pertimbangan akalnya. Hati-hati ia menghampiri dan berkata terharu:
- Nek, siapakah yang membawa cucumu?
- Tentu saja bukan kaum Mantrayana. - sahut nenek itu di antara sedu sedannya.
- Ooo . . . tuanku Rajah Nandi. mengapa engkau cepat mati? Semenjak kau tinggal pergi, kami tidak bisa hidup tenteram lagi.
- Kaum Tantrayana?
Diatri terkejut. Sebab tiba-tiba teringatlah dia kepada tutur-kata ibunya. Sewaktu gadis remaja, ibunya termasuk salah seorang murid Mantrayana. Ia jadi tertarik. Apalagi nenek itu menyebut nama seseorang yang sudah meninggal.
- Apakah tuanku Rajah Nandi Ketua Mantrayana?
- Siapa lagi kalau bukan beliau. - Lalu siapa penggantinya? Tangis nenek itu makin seru. Lalu menjawab bercampur rasa marah:
- Tentunya orang yang tidak becus. Buktinya kita dibiarkan hidup jadi sapi perahan orang lain.
Melihat nenek itu menangis makin menjadi-jadi. Diatri merasa tiada untungnya untuk diajak berbicara berkepanjangan. lalu mengalihkan pembicaraan:
- Ke mana larinya mereka?
- Kau maksudkan orang-orang yang membawa cucuku!
- Ke sana! Mungkin ke Baturaja . . .
Dengan berbagai pikiran. Diatri mengarah kebarat. Sekarang ia mengumpulkan semua penglihatan dan kesannya. Mula mula dari pengalamannya yang ajaib di biara. Setelah itu anak yang diculik. lalu bertemu dengan seorang nenek yang membawa cucunya. Nenek itu berkata, bila dapat menyuap gerombolan yang mencari anak berumur 11 tahun hidupnya selamat.
Atas nama siapakah gerombolan ini bekerja mencari anak-anak berumur ll tahun?


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu ia bertemu dengan seorang gadis dusun yang aneh. Gadis itu berkata. bila dirinya berjalan ke Utara akan segera menemukan jejaknya. Sekarang dua kali berturut turut ia bertemu dengan seorang tua. Yang pertama seorang kakek yang memberinya daging kancil. Yang kedua adalah seorang nenek yang menangis dan mengadu tentang cucunya dan kaum Mantrayana.
Benarkah mereka semua manusia wajar yang tidak bermain sandiwara?
Tak terasa ia tiba pada suatu jalan yang agak jarang ditumbuhi pepohonan. Sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki berpakaian hitam dari seberang jalan. Dengan mengulum senyum ia sengaja menghadang. Menegur:
- 0, jadi engkau yang berlagak sok pahlawan?
Diatri mengamat-amati orang itu. Menilik ucapannya, dia justru sudah mengintai dirinya semenjak lama. Atau paling tidak. dia sudah menerima laporan dari kaki-tangannya. Kebetulan malah. Menghadapi orang semacam dia, rasanya tidak perlu berselisih kata lagi. Terus saja ia menghunus pedang pusakanya Sangga Bhuana.
- Kau mau apa? orang itu membentak.
- Hm. Diatri mendengus.
- Justru engkaulah yang harun memberi keterangan apa sebab engkau menghadang diriku.
- Selamanya aku benci terhadap orang usilan. Maka
engkau harus mati.
Setelah berkata begitu. orang itu meloncat menyerang. Dia pun bersenjata pedang panjang pula. Gesit luar biasa dia. Namun Diatri tidak gentar. Dengan sekali menebaskan pedangnya. orang itu kena ditabasnya kutung. Akan tetapi yang terkutung adalah lengan bajunya. Sedang orangnya lenyap seperti tertelan bumi.
- Hai! Menghilang? Diatri terperanjat.
- Manusia atau hantu? Selagi berpikir demikian, ia mendengar suatu kesiur angin menyambar padanya dari belakang. Cepat ia berputar dan pedang pusakanya menyambar. Suatu bentrokan senjata tidak dapat terhindar lagi.
Trang!
Jelas sekali pedang lawan dapat dikutungkan akan tetapi pemiliknya lenyap pula. Menghadapi keanehan itu, Diatri terhenyak sejenak. Akan tetapi lawan tidak memberinya waktu untuk berpikir lebih lama lagi. Kali ini lawan datang dari depan. Kini Diatri mulai memperhatikan. Yang menyerang berpakaian hitam tetapi wajahnya lain.
- Ah. kalau begitu aku dikerubut dua orang? - pikirnya.
Ia jadi penasaran. Tak segan-segan lagi ia menggerakkan pedangnya. Kali ini dia bertempur beberapa gebrakan. Suatu kali pedangnya berhasil menikam dada dengan telak. Tetapi yang tertinggal adalah baju luarnya. Orangnya lenyap pula.
Sekarang datang lagi suatu serangan baru dari tiga arah. Dengan demikian Diatri dikerubut tiga orang yang berseragam hitam. Syukur ia gesit. Pedangnya berkelebatan. Dan setiap kali berhasil menabas lawan, orangnya lenyap begitu saja. Sebagai gantinya ia diserang dari atas pohon. Jadi semuanya berjumlah empat orang.
- Hai, Ilmu apa ini?
Ia menebak-nebak di dalam hati.
Dua jam lamanya ia bertempur. Dalam hal mengadu ilmu kepandaian, ia merasa menang. Tetapi untuk dapat melukainya, apalagi membunuhnya jangan harap. ia merasa bertempur melawan empat sosok bayangan yang terdiri dari awan. Suatu kali ia bahkan kena tendang lawannya sehingga mundur terhuyung. Tepat pada saat itu, tiga orang datang menyerang dengan berbareng. Syukur, pedang pusakanya tajam luar biasa. Dengan mengandalkan pedangnya, ia menangkis. Lalu meletik tinggi di udara dan mehyambar dari atas. Tiga lawannya terbabat lehernya. Namun lagi-lagi lawannya lenyap dengan begitu saja. Sekarang barulah ia teringat akan prasangka Yudapati terhadap kaum Pasupata. Juga teringat betapa tukang perahu dulu takut setengah mati begitu memasuki wilayah Pasupata. Menilik pengalamannya sendiri tadi. tanah yang dilaluinya penuh racun yang bisa merenggut jiwa orang. Dengan begitu benarlah kabar orang bahwa kaum Pasupata gemar meracun orang. Kalau begitu, baik si gadis dusun maupun si kakek niscaya termasuk kaum Pasupata.
Tetapi mengapa mereka berdua, justru berkenan menolongnya?
Si gadis memberi bunga anti racun. Dan si kakek memberi segumpal daging kancil yang sedap. Bahkan mengingatkan padanya agar jangan makan atau minum sembarangan di wilayah yang sedang dilalui itu. Lebih baik cepat-cepat sampai di kota Baturaja karena akan memperoleh rumah makan. kata si kakek.
- Apakah . . . apakah . . . di antara kaum Pasupata terdapat pertentangan? Atau tidak semua kaum Pasupata buruk?
Tentu saja ia tidak mungkin mendapat kesimpulannya. Empat lawannya terus-menerus menyerangnya. Sekonyong konyong berkelebatlah sesosok bayangan yang langsung memasuki arena pertempuran. Diam-diam Diatri mengeluh.
Diluar dugaan sungguh mengherankan! Yang tiba memasuki
arena pertempuran adalah si kakek yang memberinya segumpal daging kancil bakar sebentar tadi. Dengan pedang pendek, ia menghantam empat orang itu dengan sekali tabur. Mereka lenyap. Si kakek meloncat ke arah sebatang pohon dan menikamnya. Dan pohon itu mengucurkan darah. Dua detik kemudian seseorang yang mengenakan pakaian hitam roboh terguling di atas tanah.
Diatri tertegun keheranan. Jelas sekali, bahwa orang itu adalah salah seorang lawannya. Yang mengherankan adalah cara si kakek membunuh lawannya. Sewaktu empat lawannya lenyap dengan tangkas pula ia terbang ke pohon itu.
Mengapa justru pohon itu yang menjadi sasarannya?
Sekarang suatu keanehan terjadi lagi. Tiga orang muncul seperti iblis dan menyerang dengan berbareng. Si kakek menangkis serangannya. Mereka bertiga lenyap dengan berbareng. Kali ini, si kakek tidak melesat ke pohon yang berdiri tegak seberang menyeberang. Akan tetapi berlari larian sambil menggarit tanah. Tak lama kemudian, darah menyembur dari dalam tanah.
- Hei! Kalian masih bandel? Kamu sudah cukup mengacau. Pergi! -bentaknya.
Dua orang muncul dihadapannya dengan siap tempur. Yang seorang menyerang dan melenyapkan diri. Si kakek tidak sudi melayani. Sebaliknya ia menyerang yang lain.
Bres!
Orang itu terjungkal mati. Dan orang yang melenyapkan diri tadi sudah berada dua puluh langkah di depannya.
- Bagus perbuatanmu! Ingat-ingatlah, seumpana kami kambing adalah yang menggembala. Kau berani membunuh kambingnya. Berarti engkau berani menantang majikan kami. Tunggu hari pembalasannya.
- Baik. Katakan kepada majikanmu, kapan saja aku menunggu pembalasannya. Nanti malam, boleh. Besok. boleh. Lusa. boleh. Setengah tahun? Satu tahun? Sepuluh
tahun? Selamanya aku datang dan pergi selalu memperlihatkan dadaku.
- Siapa kau? - Majikanmu tentu tahu. -,
Orang itu mendengus, lalu lenyap seperti awan tersapu angin kencang. Dan menyaksikan peristiwa itu, Diatri benar-benar ternganga-nganga. Selama hidupnya. baru kali itu ia menyaksikan suatu ragam ilmu sakti yang tidak masuk akal.
Benarkah orang yang terdiri dari darah dan daging bisa melenyapkan diri tak ubah iblis?
- Nona! Melihat pedangmu. tentunya engkau temasuk orang Mantrayana. Apakah pemilik pedang itu. ibumu?
Diatri mengangguk.
- Kalau begitu. malam ini datanglah ke kediaman Rajah Nandi. Rebutlah kursi pimpinan. Aku percaya. mereka tidak akan dapat menandingi kepandaianmu.
- Aki! Diatri membungkuk hormat.
- Bolehkah aku mengenal nama aki? Aki telah memberi segumpal daging padaku, selagi aku merasa lapar. Kini menolong jiwaku pula.
- Jangan rewel! orang tua itu setengah membentak.
Diatri adalah seorang gadis yang berpembawaan pandai mengikuti arus. Segera ia mengangguk seraya berkata:
- Baiklah. Tetapi apa sebab aku harus merebut kedudukan kursi pimpinan Kaum Mantrayana? - Apakah engkau rela kaum Mantrayana direbut orang orang semacam tadi'! Apakah engkau rela pula direbut orang-orang yang menghamba pada raja baru?
- Hei! Apakah aki tahu bahwa raja yang sekarang bertahta . . .
- Jangan rewel! Baturaja masih jauh! Kau perlu menunggang kuda. Hayo cepat pergi!
- Dan aki? -Aku kenapa? Apakah engkau mengharap bisa bertemu diriku? Kepandaianmu belum cukup. Di dunia ini hanya beberapa orang saja yang bisa mencari dan bertemu denganku. Kecuali bila aku sendiri yang mau bertemu. - Oh maaf. Kalau begini. aku mohon diri.
Diatri menyarungkan pedangnya dan segera berputar mengarah ke Barat Laut. Ia tidak berani menoleh,sewaktu mulai melangkahkan kakinya. Orang tua itu berwatak aneh dan susah diduga apa yang akan dilakukan. Meskipun masih banyak teka-teki mengenai dirinya, tetapi yang pasti dia sudah sudi mengulurkan tangan menolong jiwanya.
Menjelang sore hari, ia tiba di sebuah dusun. Di dusun itu, ia membeli seekor kuda hitam mulus. Dan dengan kuda itu ia melanjutkan perjalanan secepat mungkin untuk mengejar waktu.
- Rasanya tidak perlu lagi aku menyamar. Kalau orang orang Pasupata berada pula di kediaman pendekar Rajah Nandi, penyamaranku sia-sia saja. Mereka pasti mengetahui. -suatu pikiran menusuk benaknya
Memperoleh pikiran demikian, ia menghentikan lari kudanya. Setelah ditambatkan pada sebatang pohon, ia menurunkan bungkusan pakaiannya. Kemudian memilih pakaian wanita yang paling bagus. Setelah mengenakannya, teringatlah dia akan sepak-terjang keempat lawannya tadi yang mengenakan pakaian seragam hitam.
Hei. mengapa aku tidak menirunya?
Memikir demikian segera ia mengeluarkan pakaian hitamnya yang dulu pernah dikenakan tatkala mengintai Markas Kaum Arnawa. Pakaian itu kemudian dikenakannya pula sebagai pakaian rangkap. Dan dengan pakaian seragam itu. ia melanjutkan perjalanannya memasuki kota Baturaja. Tetapi tatkala tiba di kediaman pendekar Rajah Nandi ia menyimpan pakaian prianya. Dan muncullah ia di arena pertandingan dengan mengenakan pakaian puteri berwarna lembayung.
******
TIGA DEWA
DUA HARI lamanya, Yudapati dan Diatri menginap di kediaman pendekar Rajah Nandi. Selama itu pikiran Yudapati disibukkan oleh teka-teki orang-orang yang bisa melenyapkan diri, si kakek dan gadis dusun yang memberi Diatri bunga penawar racun. Hebat pekerti empat lawan Diatri yang memiliki ilmu melenyapkan diri.
Apakah ilmu tersebut termasuk Ilmu sakti Pasupata?
Andaikata dirinya menghadapi mereka, apa yang akan diperbuatnya?
Si kakek jelas sekali memahami ilmu mereka, karena itu dapat mengalahkannya. Dan si kakek itu sendiri, rupanya memiliki llmu Kepandaian yang susah diukur betapa tingginya.
Ia tidak dapat membicarakan hal itu kepada Rajah Kusambi, karena pendekar itu sedang sibuk mengatur tatatertib rumah tangga. Sekarang tidak diragukan lagi, bahwa Diatri sudah disyahkan sebagai pengganti almarhum pendekar Rajah Nandi. Dan sekalian anak-murid termasuk
Adicara. Anurada dan Barukaca menerima kehadiran Diatri dengan rela, penuh hormat dan rasa syukur. Hal itu terjadi berkat keterangan Rajah Kusambi yang mendudukkan permasalahannya dengan jelas. Mereka sekarang bahkan sudah menentukan sikap. Mereka bersedia menyumbangkan jiwa raganya bertempur di pihak ketuanya untuk merobohkan kekuasaan Raja Dharmaputera.
- Diatri! Orang-orang yang pandai melenyapkan diri masih dapat dikalahkan oleh orang tua itu. Artinya. masih dapat dilawan. Sebenarnya, suatu kali aku ingin bertemu dengan mereka.
- Aku pun berpendapat demikian. Apalagi setelah melihat kakek itu menggaritkan pedangnya ke tanah. Diatri menyetujui pendapat Yudapati.
- Apakah bukan karena kakek itu merasakan getaran tanah atau menangkap suatu suara? - Ah ya! -tak terasa Yudapati memukul meja.
- Mengapa aku tidak dapat berpikir demikian? Sekiranya engkau dulu berdiam diri di tempat sambil memasang pendengaran. kukira akan lain jadinya.
Memperoleh keyakinan begitu hati Yudapati tegar kembali. Sekarang tinggal memecahkan lagak-lagu si kakek yang aneh itu. Hal ini akan segera dapat diketahui manakala mengenal namanya. Ia merasa pasti, bahwa Rajah Kusambi mengenal siapa dia.
Pada hari ketiga, Rajah Kusambi sudah menyelesaikan tugasnya. Kini dapatlah ia menemani Yudapati dan Diatri. Dengan wajah cerah ia berkata:
- Maafkan. urusan keuangan nampaknya perlu dirapikan dulu. Apakah tuanku puteri sudah bersedia memeriksa? - Biarlah hal itu kuserahkan kepada kebijaksanaan paman saia. jawab Diatri.
- Kami berdua sedang disibukkan oleh beberapa hal yang masih merupakan teka-teki yang belum terpecahkan.
- Apa itu?
Diatri kemudian mengisahkan pengalaman perjalanannya sebelum ikut bertanding memperebutkan kursi pimpinan. Yang dipertanyakan kini,
siapakah gadis dusun yang memberinya bunga pemunah racun?.
Yang kedua. siapakah kakek yang menolong jiwanya dan menganjurkan agar ikut memperebutkan kursi pimpinan Kaum Mantrayana. Dan yang ketiga adalah gerombolan penculik kanak kanak yang pandai menghilang.
Mendengar kisah Diatri. Rajah Kusambi terlongong longong sejenak. Setelah mengerutkan dahi, ia berkata pelahan:
- Tuanku puteri! Sudikah tuanku puteri mengulangi ucapan orang tua itu sewaktu menganjurkan tuanku puteri ikut memperebutkan kursi pimpinan Kaum Mantrayana? Diatri kemudian mengulangi ucapan orang tua itu. Katanya:
- Nona, melihat pedangmu tentunya engkau termasuk orang Mantrayana. Apakah pemilik pedang itu, ibumu?
Rajah Kusambi berpikir keras. lalu memanggut-manggut. Tiba-tiba memukul meja. Katanya menegas
- Ah! Apakah umurnya sebaya dengan diriku? - Mungkin enam atau tujuh tahun lebih tua. Entahlah kalau aku salah taksir.
- Tepat. - Tepat bagaimana?
- Memang dia beberapa tahun lebih tua daripadaku.
- Apakah paman kenal dia?
- lagak-lagu dan perangainya mengingatkan daku kepada seorang sahabat yang sudah lama mengasingkan diri. Siapa lagi kalau bukan dia?
- Siapa? Diatri tertarik.
- Tepus Rumput. - Tepus Rumput? - Ya. dia salah seorang sahabat kami termasuk ibu tuanku puteri. jawab Rajah Kusambi.
- Pada suatu hari kami berdua, aku dan kakak Rajah Nandi menemani seorang sahabat. Melihat pedang ibu tuanku puteri terus saja kami terlibat untuk membicarakan. Pendekar Tepus Rumput begitu tertarik kepada pedang Sangga Bhuana sampai membuang pedangnya sendiri. Katanya, semenjak kini aku hanya bersenjata pedang pendek. - Hei. mengapa?
Diatri heran.
- Menurut katanya, di seluruh dunia tiada terdapat lagi keduanya. Karena itu orang yang membawa pedang panjang sebagai senjata andalannya. samalah halnya mengolok-olok dirinya sendiri.
- 0. begitu? Diatri berenung-renung.
- Tetapi ucapannya kurasa kurang tepat. Meskipun seseorang membawa pedang buruk, akan tetapi berkepandaian tinggi, pasti dapat mengalahkan lawannya yang berkepandaian rendah. Walaupun memiliki pedang dewa.
- Benar. sahut Rajah Kusambi cepat.
- Hanya saja tuanku puteri lupa. Bagi seorang ahli pedang seperti dia pedang yang bagus dianggapnya melebihi jiwanya sendiri. Bukan suatu hal yang mustahil, bahwa pedang bagus bagi dia melebihi harga sebuah kota. Mungkin pula jadi tujuan hidupnya pula. Seumpama tidak menghargai dan menjunjung tinggi ikatan persahabatan. tentunya dia tidak segan-segan berdaya upaya untuk memilikinya.
Diatri tertawa. Lalu mengalihkan pembicaraan:
- Dia seorang pendekar berkepandaian tinggi. Mengapa mengasingkan diri?
-Tentang hal itu? .. .eh . . . hal itu . ..eh -tiba-tiba Rajah Kusambi seperti orang kehilangan akal. lalu berusaha memperbaiki:
- Tetapi ini hanya dugaanku semata. Menduga-duga perihal hati kecil. Tetapi . . pasti aku yang salah duga. Pendek kata . . . - Diatri adalah seorang gadis yang cerdas. Langsung saja ia menebak:
- Apakah paman hendak menceritakan kisah remaja ibuku? Silakan . . .!
- Bukan! Bukan begitu! Bagaimana mungkin aku berani membicarakan hal itu. Hanya saja, sahabatku itu mengasingkan diri setelah ibu tuanku puteri bertemu dengan ayahanda tuanku puteri. Memang rejeki, jodoh dan maut kata orang berada di tangan Hyang Widdhi. Ayahanda tuanku puteri jauh lebih jujur dan tulus daripada Tepus Rumput. Tepus Rumput ada sangkut-pautnya dengan pedang Sangga Bhuana. sedangkan cinta kasih ayahanda tuanku puteri adalah cinta-kasih yang murni suci. Eh . . . maksudku . . . Tepus Rumput terlalu berani untuk . . . Tetapi barangkali sewaktu melihat tuanku puteri melintas di- depan penglihatannya. teringatlah dia kepada seorang puteri yang dikaguminya pada jaman remajanya. Maka ia menggoda tuanku puteri. Tetapi perihal itu . . . eh . . . mungkin . . .
- Sudahlah, sudahlah.
Diatri tertawa. Di dalam hati. ia geli melihat ulah Rajah Kusambi yang disibukkan oleh keadaan hatinya sendiri.
- Apakah paman Tepus Rumput memang bertempat tinggal di wilayah itu?
Rajah Kusambi tidak segera menjawab. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat lamanya, berkatalah ia:
- Tahukah tuanku puteri, bahwa letak Markas Kaum Mantrayana berada di antara wilayah kekuasaan Kaum Pasupata? - Ya, begitulah yang kudengar sepanjang jalan. Tetapi apa hubungannya dengan paman Tepus Rumput? - Dia anggauta Kaum Pasupata. - Apa?
Diatri terkejut. Dan berpaling kepada Yudapati yang agak berubah pula kesan wajahnya.
Dahulu, nama Pasupata tidak berpengaruh apa pun terhadap diri mereka. Apalagi sampai menyentuh perasaannya. Bahkan manakala mendengar seseorang membicarakan kaum Pasupata seolah-olah iblis gentayangan, Yudapati pernah meledak rasa marahnya. Tetapi setelah kini memperoleh pengalaman-pengalaman yang aneh,dengan tak setahunya sendiri. ia merasa perlu ikut berwaspada. Diatri pun demikian pula. Yang tercetak dalam benaknya adalah tentang penculikan anak yang disambung dengan tutur kata Yudapati mengenai tindak ilmu sesat yang biadab.
- Dia anggauta Pasupata.
Rajah Kusambi mengulang keterangannya. lalu menghela nafas.
- Pada saat ini. Kaum Mantrayana berduka karena kehilangan kakak Rajah Nandi. Syukur, tuanku puteri dikirimkan Hyang Widdhi kemari untuk dapat melestarikan. Sebaliknya. tidak demikianlah halnya yang menimpa kaum Pasupata. Sudah semenjak puluhan tahun yang lalu, kaum Pasupata dibenci dan dimusuhi orang. Itulah ulah orang-orang tertentu yang bersembunyi di balik selimut Pasupata. - .
- Maksud paman tidak semua anggauta Pasupata sejahat tuduhan orang? Diatri menegas.
- Pasupata memang termasuk aliran keras. -jawab Rajah Kusambi dengan suara berat.
- Menurut bunyi sejarahnya, dahulu didirikan oleh sekumpulan pendeta yang hidup sebagai wanaprastha. Mereka bertapa hampir sepanjang hidupnya. Tidak makan makhluk berjiwa. Tidak makan buah-buahan yang berlemak seperti kacang. Yang dimakan hanya sayur-mayur. Minumannya air tawar. Tidak mengenakan pakaian lengkap. Tujuan hidupnya hanya untuk mempertahankan kepercayaan leluhur. Akan tetapi lambat
laun jadi berubah. Sebab dengan masa bertapanya itu. seseorang tiba-tiba bisa memiliki suatu kepandaian yang istimewa. Bisa melihat melampaui jamannya. Bisa jadi kebal dan pandai menghilang. Bisa menghidupkan orang mati, memperpanjang umur dan mengobati berbagai penyakit. Bisa menenung dan masih banyak lagi yang dapat kusebutkan. Dengan demikian. maka mulailah kepandaian masing masing dihimpun menjadi suatu kitab pedoman. Karena sama sekali tiada pernah menyentuh hal-hal yang bernafas keagamaan. bisalah segera dimengerti apa sebab mereka dijauhi dan dibenci oleh kaum agama atau yang sadar akan makna peradaban. Sebab seperti kataku tadi tujuannya hanya untuk mempertahankan dan melestarikan. Karena makna mempertahankan dan melestarikan itu berhubungan erat dengan masalah kehidupan dan penghidupan anggautanya makin lama makin banyak jumlahnya. Menurut catatan, pernah menjadi agama resmi di bumi kita ini. Tentu saja agama yang bernafaskan perjuangan hidup. Bukan agama yang seperti kita kenal sekarang. Karena agama Pasupata berisikan macam ragam kesaktian, maka tiada seorang pun yang dapat menguasainya secara menyeluruh. Maka mulailah terjadi perpecahan dan perpisahan. Katakan saja bahwa agama Pasupata semenjak itu terdiri dari beberapa sekte. Masing-masing sekte memiliki kehebatannya sendiri. Selanjutnya, adalah wajar bahwa masing masing ingin berpengaruh. Nah terjadilah suatu perebutan pengaruh dan kekuasaan. Syukur. meskipun bersifat keras. betapa pun juga mengandung ajaran nilai-nilai budi-pekerti. Golongan inilah yang sebenarnya pantas memasang bendera Pasupata. Sebaliknya. mereka yang mengabaikan hal itu makin lama makin terjerumus dalam kesesatan. Terjadilah kemudian ilmu-ilmu hitam demi memperebutkan hak hidup. - - Tegasnya, antara sesama kaum terjadi suatu persaingan? Diatri menegas.
- Tidak hanya bersaingan saja akan tetapi pertumpahan darah. sahut Rajah Kusambi.
- Mereka yang tersesat tidak segan-segan mencari daya upaya untuk menang. Mereka menggunakan racun. tenung dan ilmu hitam lainnya. - . .
- Hm. lalu di manakah letak perbedaannya yang masih menjunjung nilai-nilai budi-pekerti?
- Sepak terjangnya, jelas. Mereka melindungi rakyat yang tidak berdaya. Dan tidak segan-segan memusuhi laskar negeri yang membuat susah penduduk. Ada pun tentang Ilmu Kepandaiannya, dicapai dengan bertapa atau berlatih tekun. Mereka beranjak dari kodrat manusia seutuhnya. Tidak menggunakan tambahan dari luar atau rangsangan dari mana pun datangnya. Sebaliknya yang sesat, sering memerlukan obat perangsang dari luar. Kecuali mengebalkan diri dari segala racun, mereka gemar membuat racun. Mereka menculik anak-anak'dengan usia tertentu.
- Sebelas tahun? potong Diatri.
- Belum tentu. Bisa juga bayi. Tidak mustahil pula yang bahkan belum lahir. - Yang belum" lahir? Untuk apa?
Rajah Kusambi tertawa pelahan. Sahutnya:
- Ini cerita perkara kepercayaan tuanku puteri. Buat kita tentu saja tidak masuk akal. Akan tetapi mereka percaya, bahwa air ketuban. ari-ari. otak. darah, daging dan sumsum bocah memiliki kekuatan gaib. - Ah! wajah Diatri merah padam.
- Apakah orang orang gagah membiarkan mereka bisa berbuat begitu? - Tentu Saja tidak. Akan tetapi mereka susah dilawan. Buktinya. sampai kini pun hal-hal demikian masih berlaku. Untung saja. mereka tidak pernah memasuki wilayah
Mantrayana-.
- Inilah berkat ketegasan almarhum Rajah Nandi. Karena almarhum bersahabat erat dengan kaum Pasupata golongan bersih yang diketuai oleh tujuh orang. Di antaranya Tapaksila. Tepus Rumput, Kalakarma, Kudawani dan . . .
- Kudawani? tiba-tiba Yudapati menyela.
- Hei! Apakah kakak kenal dia?
Diatri heran.
- Kenal sih tidak. Hanya secara kebetulan saja aku mendengar namanya sehubungan dengan peristiwa pendekar Goratara.
- Benar. Rajah Kusambi membenarkan.
- Kabarnya Kalakarma sudah wafat.Namun ilmu kepandaiannya masih dapat kita warisi. Bukankah tuanku puteri dapat pula menggunakan llmu Tombak Kalakarma? Diatri mengangguk. Berkata:
- Rupanya pernah terjadi saling tukar ilmu kepandaian demi persahabatan antara Kaum Mantrayana dan Pasupata.
- Benar. - Dan yang tiga orang lagi? desak Diatri.
Rajah Kusambi mengelus-elus jenggotnya. lalu menjawab:
- Itulah yang kita kenal dengan gelar: Tiga Dewa, karena mereka bertiga memiliki kepandaian tak ubah dewa. Mereka tidak hanya ahli racun, tetapi pandai mengobati pula. Katakan saja. mereka adalah tiga tabib sakti. Kukira gadis dusun yang mempersembahkan tiga tangkai bunga kepada tuanku puteri, pasti ada sangkut-pautnya dengan mereka bertiga. - Apakah paman kenal nama beliau? Diatri minta keterangan dengan hati-hati. Sebab ia melihat Rajah Kusambi menaruh hormat kepada mereka bertiga.
- Mereka menyebut diri dengan nama Anggira, Balitung dan Ganesa.
Rajah Kusambi memberi keterangan. ..
- Tunku puteri kini adalah Ketua Mantrayana. Kurasa tuanku puteri perlu memperkenalkan diri kepada mereka bertiga. Mungkin sekali banyak faedahnya.
- Kalau paman Rajah Nandi berkenan bersahabat dengan beliau bertiga, mengapa aku tidak?
Diatri bersenyum. Di dalam hati, Diatri mulai tertarik kepada sepakterjang kaum Pasupata. Lalu berkata melanjutkan:
- Sekarang. apakah hubungannya semuanya itu dengan tindakan paman Tepus Rumput mengasingkan diri?
Selagi Rajah Kusambi hendak menjawab, masuklah empat anak-murid membawa hidangan dan minuman. Setelah mereka mengundurkan diri. berkatalah Rajah Kusambi dengan sungguh sungguh:
- Seperti kataku tadi. dia adalah salah seorang pemimpin Kaum Pasupata aliran lurus. Nampaknya terdapat suatu kesepakatan di antara mereka bertujuh untuk menegakkan panji-panji Pasupata kembali sesuai dengan jiwanya yang murni. Tepus Rumput adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. Dia bertekad hendak menaklukkan jurus-jurus ganas ajaran kaum sesat. Kita dulu pernah kerepotan menghadapi perlawanan kawanan yang pandai menghilang. Kakak Rajah Nandi tidak mau percaya, bahwa orang yang terdiri dari darah daging bisa menghilang selamanya seperti iblis. Tentunya hanya suatu kecepatan yang luar biasa, yang bisa luput dari pengamatan indera mata. Maka beliau melawan mereka dengan mmemasang pendengaran dan naluri. - Berhasil. bukan? ..
Yudapati terus saja memotong. Sebab dia pun berpendapat demikian.
- Kami berhasil membunuh empat orang di antara mereka. Tetapi bagaimana kalau dihadapkan kepada suatu kelompok Yang terdiri dari belasan orang? Kita pasti akan
menghadapi masalah lain. Setidak-tidaknya kita sukar meloloskan diri .Hal itu terbukti pada suatu hari sewaktu kami berdua dikepung empat belas orang. Syukur Tepus Rumput datang membantu. Meskipun kami bertiga dapat mengusir mereka akan tetapi Tepus Rumput sempat menderita luka. Semenjak itu ia bersumpah akan mempelajari kuncinya. Aku bergembira setelah mendengar kisah pengalaman tuanku puteri. Kukira pada saat ini Tepus Rumput sudah memperoleh kuncinya. Soalnya kini darimana dia memperolehnya, hanya dia seorang yang dapat menjelaskan. Selain ia menaruh dendam kepada kawanan kaum sesat, dia pun terperanjat sewaktu mendengar berita wafatnya , . . maafkan tuanku puteri . . . wafatnya Sri Paduka Sangga Rajaguru . . . eh ayahanda tuanku puteri. Mungkin sekali Tepus Rumput memikirkan penderitaan Damayanti. Eh . . . maksudku ibu tuanku puteri. Pembunuh itu mengaku bernama Punta Dewakarma. Dan ia bersumpah akan mengadu jiwa dengannya. Entah kini sudah berhasil atau belum, perlu kita buktikan atau tanyakan kepadanya.
Mendengar nama dan peristiwa ayahnya disebut-sebut. hati Diatri tersentuh pilu. Tak dikehendaki sendiri, kedua matanya berkaca-kaca. Tetapi di dalam hati ia merasa berterima kasih kepada Tepus Rumput. Dengan menundukkan kepalanya ia berkata: '
- Kalau tahu begitu,mengapa aku tidak menemani dia saja mengembara dalam hutan belantara?
- Tuanku puteri dianjurkan merebut kursi pimpinan kaum Mantrayana. Aku percaya, dia pasti mempunyai perhitungannya yang menjangkau masa depan yang jauh.Rajah Kusambi menghibur.
Yudapati pun diam-diam jadi perasa juga. Nasib Diatri memang mengharukan. Justru demikian, terbangunlah semangat tempurnya. Di dalam hati ia bersumpah akan
menemani puteri itu sampai dia dapat merebut kembali martabatnya. Tetapi yang tidak mengenakkan hati, ayahnya justru terbunuh oleh paman gurunya sendiri.
- Menurut ibu. pembunuhnya adalah Balada Himawat Supaladewa. Memang Punta Dewakarma ikut bertanggung jawab. Sebab oleh petunjuk-petunjuknya ayah kena dikalahkan. -tiba-tiba Diatri berkata seolah-olah bermaksud meluruskan peristiwanya yang benar.
- 0 begitu?
Rajah Kusambi tercengang. Tetapi menurut kabar yang kuterima, Punta Dewakarma berada di tempat itu dan sempat menepuk dada.
- Mungkin itulah yang benar. Atau kalau memang begitulah peristiwanya. maka ibu bermaksud melupakan nama Punta Dewakarma. Apakah orang yang bernama Punta Dewakarma mempunyai ilmu kepandaian yang susah diukur betapa tingginya sampai ibu bersedia mengalah?
Rajah Kusambi berbimbang-bimbang. Sahutnya dengan wajah berubah-ubah:
- Dengan sesungguhnya, aku hanya mendengar namanya saja. Tetapi'ibu tuanku puteri adalah seorang insan yang cermat, pandai dan bijaksana. Aku percaya akan kata kata beliau. Sampai di sini, Diatri tidak berbicara lagi. Hatinya tersentuh oleh ingatan masa lampau. Terbayanglah semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Karena peristiwa itu adalah akibat dari ulah Raja Dharmaputera yang mengerahkan semua kaki-tangannya demi mencapai tujuannya, maka dialah sesungguhnya musuhnya yang utama.
Rajah Kusambi orang yang berpengalaman dan tahu diri. Segera ia mohon diri untuk melanjutkan tugas pekerjaannya. Yudapati kemudian mencoba menghibur Diatri yang tenggelam dalam lautan lubuk hatinya. Katanya:
- Diatri! Tara sudah merebut Kaum Arnawa. Dan engkau sudah memiliki Kaum Mantrayana. Seumpama orang berangkat berjudi. kita sudah mempunyai modal untuk mengadu untung. Aku sendiri akan berusaha menolong Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarusbawa. Bila aku dapat mengikat tali persahabatan dengan mereka, berarti kita sudah memperoleh dukungan tiga kekuatan nyata. Kaum Abong-Abong. Kaum Orang-Aring dan Kaum Tanah Putih. Kalau digabungkan dengan kekuatan nyata yang sedang dihimpun paman Tandun di atas Gunung Sibahubahu, rasanya kita mulai berani menyerbu ibukota kerajaan.
- Benar. -tiba-tiba Diatri menyahut dengan wajah cerah.
Dan melihat kecerahan wajah Diatri, Yudapati gembira bukan main. Itulah tanda semangat hidup. Semangat hidup yang mencanangkan lonceng perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan negara dan rakyatnya.
- Malam nanti aku akan membicarakan sesuatu dengan paman Rajah Kusambi. Ujarnya.
- Membicarakan apa? '
- Sebentar malam kukabari. Yudapati tersenyum.
- Pendek kata. aku ingin segera mewujudkan tujuan kita. Siapa tahu, paman bisa memberi petunjuk tentang beradanya Resi Dewasana. - Ya. seumpama adik Tara kini berada di antara kita, alangkah senang. -sahut Diatri.
Yudapati harus menunggu beberapa waktu lamanya untuk memperoleh kesempatan berbicara dengan Rajah Kusambi. Pendekar tua itu selain mempunyai pengaruh besar dalam organisasi Mantrayana, memang disibukkan oleh tugas-tugasnya yang baru. Semasa mudanya, ia seringkali berkelana. Barangkali jarang sekali pulang ke markas.
Akan tetapi setelah kakaknya seperguruan meninggal dan kini memperoleh penggantinya yang berkenan di hatinya, ia kelihatan bersemangat hendak memulihkan kewibawaan Kaum Mantrayana. Syukur ia dibantu oleh Adicara. Anurada dan Barukaca. sehingga pekerjaan yang harus dibereskan cepat selesai.
Menjelang petang hari. barulah Yudapati dapat berbicara dengan Rajah Kusambi. Kata-katanya singkat saja:
- Paman. maukah paman mengantarkan aku ke luar kota? Aku ingin berbicara dengan paman. Terhadap Yudapati, Rajah Kusambi hanya menghargai sebagai teman ketuanya yang baru. Selama berada dalam markas, belum pernah ia melayaninya secara khusus. Sekarang pemuda itu ingin berbicara dengannya.
- Soal apa? Mengapa tidak dilakukan di sini saja, pikirnya.
Tetapi menduga bahwa pemuda itu mungkin membawa pesan ketuanya, terpaksalah ia mengangguk.
Mereka berangkat dengan berkuda mengarah ke utara. Waktu itu, matahari masuk cukup cerah. Sepanjang. jalan, Rajah Kusambi bersikap membisu saja. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya setengah berseru:
- Ah ya! Waktu aku bertanding melawan tuanku puteri. apakah tuan hadir pula? Eh, maksudku apakah tuan mengetahui siapa yang membantu diriku dengan diamdiam?
Yudapati tidak menjawab. Ia hanya bersenyum. Dan Rajah Kusambi yang berpengalaman lantas saja dapat menebak sembilan bagian. Terus saja ia berkata lagi:
- Kalau begitu. biarlah aku sekarang menghaturkan rasa terima kasihku.
- Ah, waktu itu hanya secara kebetulan saja. Diatri agak keterlaluan, sehingga hampir saja paman menanggung malu dihadapan umum. Hati Rajah Kusambi tergerak. Pikirnya. pemuda ini pandai merendah hati.
Sesungguhnya. siapa dia?
Kalau dia menjadi pilihan hati tuanku puteri, rasanya tepat sekali. Dia berkepandaian tinggi meskipun aku tidak perlu kalah. Namun dengan bantuannya. Kaum Mantrayana akan dapat menegakkan diri dalam percaturan hidup.
- Sudah semestinya tuanku puteri mengalahkan aku. Aku tidak usah malu karena dikalahkan puteri adik seperguruanku yang kusayangi. kata Rajah Kusambi seraya menyenak nafas.
- Tuanku puteri seorang yang cerdas, banyak akalnya dan bijaksana. Dia pantas menduduki kursi Ketua Mantrayana. Kalau bukan dia. siapa lagi yang berhak? Aku sendiri sudah tua. Tulang-belulangku mulai keropos.
- Ah. paman merendahkan diri. Ilmu kepandaian paman berada di atas Diatri. Kalau sampai kalah. sebenarnya karena kecerdikan Diatri saja. sahut Yudapati dengan tertawa.
Rajah Kusambi tertawa pula. Betapapun juga. dalam hati kecilnya ia senang mendapat penghargaan. Ia jadi merasa terhibur. Dengan bersemangat, lantas saja ia berkata:
- Sebenarnya apa maksud tuan membawa aku kemari?
- Mari kita percepat! sahut Yudapati.
Dan tanpa menunggu persetujuan Rajah Kusambi ia membedalkan kudanya ke arah Barat Laut. Sebentar saja ia sudah berada di tepi hutan lalu turun ke tanah dan menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Setelah itu ia berjalan memasuki lapangan terbuka dan berdiri tegak bagaikan patung.
Rajah Kusambi yang mengikuti dengan hati berteka teki segera menghampiri. Sewaktu hendak minta keterangan, Yudapati sudah mendahului berkata:
- Paman! Dua hari dua malam aku disibukkan oleh kisah pengalaman Diatri sewaktu melalui wilayah Pasupata. Terutama tentang kawanan yang pandai menghilang. Aku agak terhibur. sewaktu paman menceritakan pengalaman almarhum paman Rajah Nandi melawan mereka dengan mengandalkan ketajaman pendengaran dan naluri. Akan tetapi aku jadi berkecil hati lagi. mendengar cara perlawanan pendekar Tepus Rumput yang sudah memahami kuncinya. Kunilai dia lebih sempurna. Meskipun demikian, masih saja belum berhasil menguasai mereka. Karena itu, sudilah paman memberi petunjuk kepadaku.
Kata-kata Yudapati itu, diluar dugaan Rajah Kusambi, sehingga orang tua itu tertegun beberapa saat lamanya dengan pandang tak mengerti. Sahutnya minta penjelasan:
- Sebenarnya tuan menghendaki petunjuk apa?
- Begini. Terus-terang saja. Sebenarnya aku bukan orang sini. Aku berasal dari Jawadwipa. Aku datang kemari dengan sedikit membawa beberapa ilmu kepandaian cakar ayam. Berilah aku petunjuk!
Setelah berkata demikian, tangan Yudapati bergerak. Ia sengaja memukul pohon-pohon hutan dengan kekuatan Tantrayana yang berbeda. Yang satu tidak bersuara dan yang kedua dengan kekuatan dahsyat. Seketika itu juga, belasan pohon roboh bergemuruh memekakkan telinga. Sedang belasan pohon lainnya yang bergempur oleh Tantrayana tingkat sepuluh, rontok berguguran menjadi taburan abu.
Menyaksikan demonstrasi itu, Rajah Kusambi terlongong-longong sampai ia mengucak-ucak kedua matanya.
Benarkah ia menyaksikan suatu keajaiban ataukah hanya sebuah mimpi yang dahsyat?
- Tu . . . tu . . . tuan. ..ia berkomat-kamit dengan suara memueletar.
- Apakah tuan sebenarnya bermaksud
menghukum kelancanganku karena berani melawan tuanku puteri? - Menghukum paman? Yudapati tercengang.
- Bukankah aku mohon petunjuk-petunjuk paman? ..
- Petunjuk? Petunjukku? Petunjuk apa?
- Paman dengarkan kisahku. - ujar Yudapati dengan sungguh-sungguh.
Kemudian ia menceritakan kisah perjalanannya mulai dari mengawal Duta Besar lembu Seta sampai bertemu dengan Diatri. Tentu saja, ia tidak menceritakan pengalamannya menemukan jurus-jurus sakti dalam goa atau sewaktu mewarisi ilmu kepandaian dengan sesungguhnya tak pernah ia memperoleh petunjuk-petunjuk dari seorang ahli atau guru. Kalau saja ia kini memiliki kekuatan sedahsyat itu, semata-mata berkat ilmu sakti Tantayana tingkat sebelas yang sudah mendarah daging dalam dirinya.
Sementara itu, Rajah Kusambi yang mendengarkan kisah perjalanan Yudapati jadi makin tak mengerti. Ia tidak hanya kagum, heran, tercengang dan terperanjat saja, namun di dalam hati dan benaknya terumun berbagai kesan kesan yang dahsyat luar biasa. Tak terasa ia berkata:
- Tuan! Demi Hyang Widdhi dan demi apa saja, selama hidupku baru kali ini aku menyaksikan suatu ilmu kepandaian yang dimiliki oleh seorang manusia yang terdiri dari darah daging. Seumpama aku tidak menyaksikan sendiri, aku tidakkan percaya bahwa di dunia ini ada seorang insan yang memiliki ilmu sakti begitu tinggi dan dahsyat. Tuan . . . perkenankan aku bersembah padamu. Sebab sepuluh kali penitisan lagi, belum tentu aku bisa mencapai tataran kesaktian sehebat tuan. Dan setelah berkata demikian, benar-benar ia menjatuhkan diri di atas tanah membuat sembah.
Keruan saja. Yudapati terkejut. Cepat cepat ia membangunkan orang tua itu sambil berkata dengan sungguh sungguh:
- Paman! Apakah paman mengira bahwa aku sengaja hendak memamerkan sedikit kepandaianku ini? Paman, dengarkan! Aku benar-benar perlu petunjukmu.
Dan setelah berkata demikian, ia menjelaskan rencana kerjanya dengan maksud hendak ikut merebut kedudukan Diatri yang telah terampas Raja Dharmaputera. Terus-terang saja. ia menyatakan ikut terlibat. Katanya dengan suara ditekan-tekan:


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Ibarat orang sudah terlanjur berada di tengah sungai. aku harus berdaya upaya mencapai seberang tebing. Kecuali aku harus bisa membawa Diatri merebut kembali apa yang menjadi haknya, aku pun memikul tugas Yang Mulia Duta Lembu Seta yang memperoleh kepercayaan Raja yang kini entah tersekap di mana. Pendek kata, Raja Dharmajaya harus kembali duduk di atas singgasananya kembali. Tetapi untuk mencapai hal itu, rasanya seperti si pungguk merindukan bulan. Meskipun demikian, aku masih memiliki sepercik harapan, apabila aku bisa menundukkan kaum Pasupata yang berjalan di atas jalan yang salah. Mereka menawan tiga ketua aliran. Dan aku ingin membebaskan demi mengikat suatu persahabatan. Dengan bantuan mereka, rasanya akan meratakan jalan bagi Diatri dan kaum pejuang lainnya untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan negaranya kembali. - Bagus! seru Rajah Kusambi dengan suara terharu. Tiba-tiba saja ia menangis menggerung-gerung oleh rasa terharu yang tak terucapkan lagi oleh perbendaharaan bahasanya.
Yudapati membiarkan Rajah Kusambi memuaskan diri. Tiba-tiba terdengar Rajah Kusambi berkata lagi:
- Tuan! Apakah bunyi petunjuk orang-orang yang pernah melihat kehebatan tuan?
- Orang-orang? Maksud paman yang pernah menyaksikan peristiwa seperti petang hari ini?
Yudapati heran.
- Benar.
- Baru dua orang. Yang pertama. pernah kuperlihatkan kepada adikku Tara Jayawardani. Dan yang kedua pada malam petang hari ini. Itulah sebabnya benar-benar aku mohon petunjuk paman. - Tuan. tolong berikan alasan tuan apa sebab percaya kepadaku. - Mengapa aku percaya?
Yudapati tertegun sejenak.
- Usia, laki-laki, perempuan. pendeta, serdadu, satria. nayaka, rakyat jelata . . . ya . . . ringkasnya memang kita susah untuk menetapkan siapa di antara mereka yang pantas kita percaya. Sebab bisa dipercaya atau tidak, tergantung kepada keadaan hati masing-masing. Baik yang dipercaya maupun yang sedang menaruhkan kepercayaan. Indria lahiriah tidak dapat menembus pengucapan hati. Akan tetapi, rasa naluriahku yang membimbing hatiku untuk percaya kepada paman. Barangkali oleh kesan-kesan hatiku, entahlah . - .
- Terima kasih. Rajah Kusambi memotong.
- Meskipun demikian. masih saja aku tidak mengerti dalam hal apa tuan berkenan minta petunjukku. Sebab tanpa bantuan apapun, gempuran tuan akan dapat menggugurkan gunung dan meratakan hutan. - Justru demikian, aku mohon petunjuk paman. tungkas Yudapati.
- Seperti kataku tadi. aku bukan orang sini. Dan aku datang kemari bukan untuk membunuh atau menjadi pembunuh. Akan tetapi mendengar tutur-kata paman tentang sepak-terjang serta lagak-lagu kaum Pasupata dan aku sendiri pernah menyaksikan betapa mereka menculik dan memperlakukan anak-anak dengan membedah perut dan mengambil isinya. terus-terang saja aku belum memperoleh sikap yang tegas manakala bertemu dengan
mereka. ..
- Di mana? Rajah Kusambi tercengang.
- Dikota Pane. Tiba-tiba saja. Rajah Kusambi membungkuk hormat dua kali berturut-turut seraya berkata:
- Aku membungkuk hormat karena tuan begitu percaya padaku. Dan aku membungkuk hormat lagi. karena tuan ternyata seorang pendekar besar luar dalam. Benar benar aku kagum dan merasa takluk. Sebab dengan kepandaian setinggi itu. seseorang bisa merebut seluruh aliran atau seluruh golongan yang terdapat di muka bumi semudah membalikkan tangannya sendiri. Ia berhenti mengesankan. lalu minta keterangan:
- Sewaktu tuan berhadapan dengan kaum Arnawa dan kemudian bertempur melawan laskar kerajaan, apakah tuan tidak menggunakan kemampuan tuan tadi?
- Tidak. Menghadapi laskar kerajaan, aku hanya menggunakan ilmu ketentaraan yang pernah kuperoleh. Sedangkan sewaktu menghadapi kaum Arnawa, daku bertempur seperti sewajarnya saja. Artinya aku tidak menggunakan himpunan tenaga sakti. Kecuali tatkala aku terpaksa harus menahan lajunya keroyokan mereka dengan jurus tanaman. -- Apa itu?
Yudapati kemudian menceritakan pengalamannya seWaktu bertempur melawan Kaum Arnawa. Rajah Kusambi mendengarkan dengan penuh perhatian. Kemudian berkata seraya menghela nafas:
- Tuan. menurut pendapatku kurang tepat. Apalagi, kalau tuan sedang berhadapan dengan kaum Pasupata yang pandai meracun dan main tipu-muslihat. Tuan akan berada di pihak yang rugi. Memang bertempur dengan mempertimbangkan arus lawan adalah pantas dipuji. Namun
hal itu hanya berlaku bagi orang yang mengadu kepandaian perorangan. Bahkan belas kasih sangat diutamakan. Sebaliknya bagaimana halnya bila kita menghadapi masalah hidup dan mati? Apalagi bila kehormatan negara dan bangsa dipertaruhkan? Tiada pilihan lain. kecuali membunuh atau dibunuh. Sebab dalam hal ini, kekuatan yang nyata yang menentukan. Dengan kekuatan yang nyata itu, Dapunta Hyang dapat mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Dan dengan kekuatan yang nyata pula, Raja Dharmaputera dapat menumbangkan kekuasaan Raja Dharmajaya dan kini duduk di atas singgasana. Seperti kata tuan tadi, tuan merencanakan hendak mengikat persahabatan dengan segenap aliran dan golongan di bumi Suwamadwipa ini. Apa namanya, kalau bukan sedang menghimpun kekuatan yang nyata? - terima kasih, paman. Mari kita bicarakan hal ini dengan Diatri. ujar Yudapati.
- Aku menghendaki paman selalu mengawal Diatri kemana perginya. Bukankah paman mempunyai hubungan baik dengan ketua-ketua aliran?
- Setidak-tidaknya berkat jasa almarhum Rajah Nandi, sampai sekarang aku belum pernah berselisih dengan tujuh aliran yang kukenal.
- Bagus! Dengan dalih untuk memperkenalkan Ketua Mantrayana yang baru, paman bisa mengundang mereka.
- Asal saja bukan kaum Pasupata. Sebab kaum Pasupata terlanjur dibenci mereka.
- Akulah yang akan membawa kaum Pasupata datang berhimpun. - Jika demikian. tuan perlu bertemu dulu dengan Tiga Dewa itu. Dengan petunjuk-petunjuk mereka, tuan akan dapat melawan racun kaum sesat yang keji luar biasa.
Rajah Kusambi menyarankan.
Mereka segera pulang kembali Ke markas. Sepanjang jalan, Yudapati tidak berbicara lagi. Sebaliknya Rajah Kusambi disibukkan oleh hati dan pikirannya.
Sungguh!
Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan seseorang yang memiliki himpunan tenaga sakti demikian tinggi. Terbayanglah ia semasa mudanya. Dibandingkan dengan Yudapati, alangkah jauh. Baik dalam hal sikap batin. kejantanan. kecerdasannya maupun akhlaknya. Kalau Yudapati benar-benar menjadi pemuda pilihan ketuanya yang baru, masa depan Kaum Mantrayana akan sangat cerah. Diatri menjadi ketua Mantrayana dan Yudapati menjadi pemimpin besar seluruh aliran di pelosok tanah air.
Bukankah sama halnya dengan kewibawaan seorang raja?
- Dalam usia tuaku akan mendekati liang kubur, aku dipertemukan dengan sepasang muda-mudi yang memiliki keistimewaannya sendiri. Bukankah tidak sia-sia hidupku? Kepada merekalah aku harus mengabdikan diriku sampai maut datang menyongsongku. -pikirnya di dalam hati.
Tak mengherankan, begitu tiba di markas segera ia memanggil sekalian ketua-ketua bagian. Ia mengadakan rapat kilat. Dan dengan suara bersemangat, ia membicarakan masa depan kaum Mantrayana. Yudapati sendiri tidak menghadiri rapat itu. Ia menemui Diatri dan menepati janjinya hendak mengabarkan apa sebab ia membawa Rajah Kusambil meninggalkan markas.
- Selanjutnya, dengarkan kata-kata paman Rajah Kusambi. -ia mengakhiri ucapannya.
- Maksudmu? -.
Diatri menegas.
- Besok aku dan paman Rajah Kusambi akan berangkat menemui tiga dewa itu untuk mohon petunjuk-petunjuknya. Setelah bertemu, segera paman kukirimkan kembali untuk mendampingimu. Yudapati memberi keterangan.
- Aku meminta pertolongannya. agar dia berkenan menggunakan pengaruhnya mengundang para Ketua selurun aliran yang dapat kita persatukan untuk melawan laskar kerajaan.
- Alasannya?
- Untuk memperkenalkan Ketua Mantrayana yang baru. Itulah dirimu. Terus-terang saja, ada maksudku mengapa aku menunjukkan sedikit kepandaianku kepadanya. Selain memang aku memerlukan petunjuk-petunjuknya. aku pun ingin menanamkan suatu pengaruh dalam dirinya. Sebagai seorang pendekar kawakan. tentunya tidak mudah ia benar-benar takluk sampai ke dasar hatinya. Kalau saja ia bersedia takluk padamu adalah mengingat sejarah lama. Sejarah antara ibumu dan dirinya. Setidak-tidaknya ibumu dan dia adalah saudara-seperguruan. Daripada kursi pimpinan jatuh kepada orang-orang yang tidak becus, bukankah lebih baik berada di tanganmu? Lainlah halnya,seumpama aku yang ikut memperebutkan kursi pimpinan. Agar menghilangkan rasa curiga kepadaku, maka dengan sengaja aku memperlihatkan Tantrayana tingkat delapan dan sembilan. Berkat doamu. dia sekarang benar-benar merasa takluk. Paling tidak, dia akan mempunyai kesan, bahwa Kaum Mantrayana kini berada di tangan orang-orang yang layak menjadi pemimpinnya.
Diatri mengangguk mengerti. Kemudian ia merogoh sakunya dan mengeluarkan tiga tangkai bunga yang masih saja nampak segar.
- Aneh sifat bunga ini. Lihat! bukankah masih kelihatan segar? ujarnya.
- Mungkin bunga ini perlu menyertaimu. ' '
Yudapati tidak menolak. Segera ia memasukkan ke dalam suku bajunya. Sedang demikian, daun pintu terketuk. dan muncullah Rajah Kusambi dengan wajah berseriseri.
- Tuanku puteri! Apakah tuanku puteri tidak merasa perlu memberi amanat kepada anak-anak murid kita?
- Mengapa?
Diatri heran.
Rajah Kusambi berpaling kepada Yudapati dengan wajah berteka-teki. Sahutnya berbimbang-bimbang:
- Bukankah esok kita. . .
- Diatri tetap berada di markas. Hanya kita berdua yang berangkat. potong Yudapati.
- Oh . . Rajah Kusambi tertegun sejenak.
- Kalau begitu. rasanya akan menggembirakan bila tuan berkenan memberi amanat yang berguna bagi anak-anak murid kita.
Setelah menimbang sebentar. Yudapati mengangguk. Kemudian dengan didampingi Diatri dan Rajah Kusambi, ia memasuki gedung pertemuan. Ternyata gedung pertemuan itu berada di halaman belakang. Ruangnya luas dan tempatnya teratur rapi. Pada dindingnya terdapat berbagai macam senjata. Rupanya dulu dipergunakan untuk tempat berlatih pula. Dan melihat berbagai macan senjata itu. Yudapati memperoleh ilham.
- Paman, ijinkan aku berbicara kepada anak-anak murid kita. ia berkata kepada Rajah Kusambi.
- Silakan! sahut pendekar tua itu. Lalu berbicara lantang dan nyaring kepada sekalian anak-murid Mantrayana:
- Hai dengarkan! Sebentar lagi. tuan muda ini akan berkenan memberikan amanat kepada kita sekalian. Beliau bernama Yudapati, salah seorang perwira Negeri Tarumanegara. Kelak aku akan membicarakan hal ini lebih jelas lagi. Yang penting. beliau sempat menyaksikan kepandaian yang kalian saksikan sewaktu tuanku puteri berkenan datang kemari. Mungkin sekali beliau berkenan memberi petunjuk-petunjuk yang berharga demi kemajuan kaum kita.
Pidato pembukaan Rajah Kusambi disambut dengan sorak gembira oleh sekalian anak-anak murid Mantrayana. Memang, sewaktu sebentar tadi dia mengadakan rapat kilat. ia sempat membicarakan kepandaian Yudapati yang mengagumkan. Hanya saja apa yang mengagumkan dirinya belum dimengerti dengan jelas oleh anak muridnya. Itulah sebabnya, ia datang ke kamar Diatri dengan maksud untuk membuat puas para anggauta Mantrayana. Bagi Yudapati. kebetulan malah. Terus saja ia menyambung:
- Kita sekarang sudah menjadi satu kaum. Tentang siapa diriku dan dari mana asalku. kurasa kurang penting. Tetapi aku mempunyai pengalaman yang barangkali berguna bagi kita semua. Pada suatu hari secara kebetulan aku menemukan sejilid kitab tua yang menceritakan riwayat semua aliran yang terdapat di Kerajaan Sriwijaya. ia berhenti sejenak. Sebab apa yang dikatakan sebagai kitab tua itu sebenarnya adalah lukisan-lukisan jurus sakti yang terdapat dalam goa. Ia merasa berbohong. Melanjutkan:
- Ternyata senjata-senjata andalannya kini bukanlah senjata andalan kaumnya yang asli. Misalnya, kaum AbongAbong dahulu menggunakan senjata kapak dan bukan tombak seperti sekarang. Kaum Arnawa di jaman Catur Rudra menggunakan senjata Palu Godam, dan bukan pedang atau golok seperti sekarang ini. Demikian pulalah yang lain-lain. Sekarang bagaimana dengan kaum Mantrayana? Kulihat kalian mempelajari ilmu tombak. pedang dan golok di samping ilmu tangan kosong. Aku berpendapat. kalian akan maju pesat bila belajar dengan sungguh-sungguh. Persoalannya sekarang, bagaimana andaikata kalian bertemu dengan aliran-aliran lain yang menggunakan jurus-jurus mematikan yang ganas dan keji? Untuk membuktikan keampuhan jurus mereka. marilah kita coba. Kita tidak usah bertempur dengan sungguh-sungguh. Aku berada di sini dan kalian
mengambil jarak tujuh atau delapan langkah. Aku berjanji akan melakukan jurus-jurusnya dengan wajar. Adicara, Anurada dan Barukaca berpaling kepada Diatri. kemudian kepada Rajah Kusambi. Rajah Kusambi mengangguk menyetujui dan mereka bertiga lalu turun ke arena latihan.
- Bawalah senjata kalian! Tombak. golok dan pedang! ujar Yudapati.
Di dalam hati, ia memang ingin menaklukkan ketiga murid itu yang dulu pernah dirobohkan Diatri dalam tiga jurus.
Dengan berdiam diri. Adicara,- Anurada dan Barukaca membawa senjata andalannya masing-masing dan menempati kedudukannya. Yudapati membawa sebatang tombak. Lalu berkata:
- Kalian tidak usah bergerak. Tetapi bayangkan dalam benakmu dengan jurus apa engkau menyerangku. Dan aku segera menyerang pula.
Ketiga orang itu kemudian bersiaga penuh seolah-olah sedang bertempur. Yudapati kemudian memberi aba-aba dan ia bergerak pula dalam satu jurus. Setelah itu berkata:
- Bagaimana? Dapatkah jurusku tadi kalian tangkis?
Mereka bertiga berbimbang-bimbang. Akan tetapi wajah mereka berubah-ubah. Mula-mula merah, tetapi sedetik kemudian menjadi pucat. Namun di dalam hati mereka berkata:
- Benarkah aku roboh dalam satu gerakan saja?
Yudapati seperti dapat membaca hati mereka. Ujarnya dengan mengulum senyum: .
- Kalian tidak percaya, bahwa aku dapat merobohkan kalian hanya dengan satu geberakan? Baiklah. Kalian boleh menyerangku dengan sungguh-sungguh dan aku akan membuktikan.
Setelah berkata demikian, ia minta sebatang tongkat
yang dicelupkan dalam tinta merah pada ujungnya. seorang anak-murid segera melaksanakan perintahnya dan menyerahkan tongkat itu.
- Mari. kita mulai! -perintahnya.
- Berbareng saja!
Betapapun juga. mereka termasuk tokoh Mantrayana yang sudah berani mengangkat diri sebagai guru. Dulu mereka pernah dirobohkan Diatri hanya dalam tiga gebrakan saja. Masing-masing merasa malu. Sekarang, Yudapati justru lebih merendahkan kebiasaannya. Karena mereka dikehendaki maju dengan berbareng dan akan dirobohkan dalam satu gebrakan. Tentu saja. sebisa-bisanya mereka akan mengangkat pamornya kembali. Apalagi pamannya yang mereka segani hadir pula.
Sebentar tadi, mereka masih ingat gerakan tombak Yudapati. Memang aneh dan mengejutkan.
Tetapi masakan tidak bisa dilawan?
Karena itu, setelah saling mengedipkan mata, mereka menyerang dahsyat seraya berteriak nyaring. Mereka hanya melihat berkelebatnya tubuh Yudapati dan sama sekali tidak dapat menyentuh tongkat. Akibatnya sungguh mengherankan. Masing-masing baju mereka kena bentong merah pada tempat yang sama. Keruan saja mereka kaget dan wajahnya benar-benar menjadi pucat.
- Tuan Yudapati! tiba-tiba Rajah Kusambi berseru heran dari tempat duduknya.
- Jurus dari mana yang tuan perlihatkan tadi? . . '
- Itulah salah satu jurus tombak Kaum Pasupata pada jaman Kalakarma, sahut Yudapati.
- Benar . . . memang gerakannya kukenal. Akan tetapi jurus itu, mengapa belum pernah kulihat? Padahal kaum kita pun mempelajarinya. - Karena jurus yang kuperlihatkan tadi adalah jurus jurus simpanan kaumnya yang sampai sekarang tiada ahli warisnya.
- Ah! Rajah Kusambi terperanjat.
Dengan termangu-mangu ia bermenang-menung. Wajahnya sebentar pucat. sebentar kehitam-hitaman. Akhirnya menghela nafas. Lalu berkata kepada ketiga orang anak muridnya:
- Kalian tidak usah malu. aku pun akan roboh. Dalam beberapa gebarakan saja. Karena itu. selanjutnya patuhlah dan tunduklah pada petunjuk-petunjuk beliau. - Kurang tepat. tungkas Yudapati.
- Sebab ketua kalian yang baru sudah menguasai jurus-jurus tadi. Itulah sebabnya, dia dapat merobohkan Adicara, Anurada dan Barukaca dalam tiga gebrakan. Padahal sebenarnya dia dapat merobohkan kalian dalam satu gebrakan pula.
Mendengar pernyataan Rajah Kusambi dan keterangan Yudapati, Adicara bertiga merasa terhibur. Mereka tidak usah merasa malu. Maka dengan penuh hormat mereka kembali ke tempatnya masing-masing. Selanjutnya pertemuan itu ditutup dengan warta rencana perjalanan Rajah Kusambi dan Yudapati dan dilanjutkan dengan pesta sederhana namun cukup meriah.
- Di bawah pengawasan Ketua kita. kalian harus berlatih dengan sungguh-sungguh. -kata Rajah Kusambi dengan sungguh-sungguh.
- Sebab sekembaliku dari perjalanan. kita bermaksud mengundang seluruh aliran ke markas kita demi memperkenalkan Ketua kita yang baru. Keesokan harinya di pagi hari. Yudapati dan Rajah Kusambi berangkat meninggalkan kota Baturaja dengan berkuda. Hati Yudapati makin mantap meninggalkan Diatri seorang diri. Apa yang dilakukan semalam, pasti meninggalkan kesan yang diharapkan. Sengaja ia mengatakan, bahwa Diatri sudah dapat menguasai jurus-jurus yang diperlihatkan. Bagi Adicara bertiga, hati mereka pasti makin kuncup. Lagipula mereka mengetahui, bahwa
Diatri memang berhak menduduki kursi ketua. karena ia termasuk anggauta Mantrayana. Mereka pun pernah merasakan kehebatan ketuanya. Kalau saja tidak mengutamakan belas kasih dan sesama kaum, tentunya mereka akan roboh dalam satu jurus saja. Barangkali pula akan menderita luka hebat.
Yudapati tidak hanya cermat, akan tetapi pandai pula membaca hati orang. Ia tahu, bahwa jurusnya yang diperlihatkan semalam membuat hati Rajah Kusambi gelisah dan penasaran. Karena itu, setelah tiba di luar kota. ia mulai menceritakan rahasia jurus-jurus itu. Tentu saja, ia tidak menyinggung-nyinggung soal goa. Ia masih perlu berbohong. Dengan demikian, di kemudian hari masih dapat digunakan untuk menanamkan pengaruhnya.
Benar saja. Rajah Kusambi nampak bersemangat. Dengan dahi berkerut-kerut ia memperhatikan tiap patah kata Yudapati. Yudapati sendiri tidak perlu rugi. Tanah kata orang tua itu dapat menghafalkan tiap patah kata yang diucapkan, dia tidakkan dapat sampai pada inti pemasalahannya, seperti yang pernah dilakukan dulu di dalam goa. Seumpama tidak memperoleh bimbingan mimpi ajaib, ia hanya akan dapat menguasai kulitnya saja.
- Sebenarnya kitab apa yang memuat sejarah aliran aliran ilmu kepandaian di atas bumi kita ini?
Rajah Kusambi minta penjelasan.
- Apa namanya yang tepat, aku tidak tahu. -sahut Yudapati.
Tetapi di dalamnya, terdapat nama Dapunta Hyang. Mereka menyatakan diri musuh Dapunta Hyang. Namun nasib mereka malang. Mereka terkurung, lalu bersatu-padu menulis ilmu kepandaian masing-masing yang tertinggi untuk diwariskan kepada kaumnya. Itulah sebabnya aku menghendaki seluruh aliran yang terdapat di bumi Suwarnadwipa, paman undang dengan dalih untuk memperkenalkan Ketua Mantrayana yang baru. Tetapi maksud hatiku. sesungguhnya hendak menyampaikan atau mengembalikan semua rahasia puncak ilmu kepandaian yang kuketahui itu kepada yang berhak mewarisi. Bila hal itu terlaksana, legalah hatiku. Dan aku akan bisa pulang ke Tarumanegara tanpa beban lagi. Ucapan Yudapati itu mengagetkan Rajah Kusambi. Orang tua itu meloncat turun dari kudanya dan membungkuk hormat kepada Yudapati sambil berkata:
- Tuanku! Terimalah hormatku atas nama semua rekan dari seluruh pelosok Kerajaan Sriwijaya. Sudah kukatakan semenjak kemarin malam, bahwa tuan benar-benar seorang gagah lahir batin.
- Sudahlah, mari kita lupakan dulu masalah itu. Sekarang kita pusatkan perhatian kita kepada perjalanan ini. sahut Yudapati sambil menarik Rajah Kusambi ke atas kudanya.
Menjelang tengah hari mereka tiba di sebuah ketinggian. Di atas ketinggian itu terdapat sebuah lepau istimewa. Sebab lepau itu tidak berdinding. Hanya beratap daun enau kering dan yang dijualnya hanya air minum.
- Mari kita singgah. Kita memesan minuman, tetapi jangan kita minum. bisik Rajah Kusambi.
Memang Yudapati menaruh curiga juga.
Masakan di atas ketinggian yang terpencil dari pergaulan terdapat sebuah lepau?
Siapa yang diharapkan sebagai pembelinya?
Maka dengan berdiam diri, ia mengikuti Rajah Kusambi yang segera memesan dua mangkok air minum.
Penjualnya seorang perempuan tua. Mukanya bopeng, penuh kutil-kutil berwarna merah seperti orang menderita penyakit lepra. Sikapnya membisu dan pandang matanya mencurigakan.
- Nek! tegur Rajah Kusambi.
- Aku temasuk sahabat tuanku Anggira. Apakah nenek tahu rumah beliau"!
- Lebih baik mengambil arah timur laut. sahutnya pendek.
Jawaban itu kurang memuaskan Yudapati. Pikir pemuda itu di dalam hati:
- Jika rumah Anggira berada di sebelah timur laut. apa sebab menggunakan kata lebih baik?
Rajah Kusambi mengedipi Yudapati, kemudian membuang air minum yang disediakan dengan diam-diam. Yudapati percaya, Rajah Kusambi seorang pendekar berpengalaman dan tentunya mengenal lagak-lagu kaum Pasupata. Niscaya dia mempunyai alasannya sendiri apa sebab ia membuang air minum yang disediakan nenek itu. Tetapi perasaannya yang halus tidak mengijinkan dirinya berbuat demikian. Ia meminumnya dengan sekali teguk. Dan melihat pekertinya. Rajah Kusambi terkejut.
- Mari kita berangkat! bisiknya sambil meletakkan uang di atas meja.
Di tengah jalan, ia menegur. Yudapati. Katanya:
- Tuanku! Apakah airminum itu tidak . . .
- Salah satu ajaran yang pernah kuperoleh dalam ketentaraan mengenai air yang mengandung racun adalah bayangan tangan. Bila bayangan tangan tidak nampak pada permukaan air minum, kita harus waspada. - Hanya itu saja? - Mungkin tidak tepat. Tetapi taruh kata air minum tadi beracun, aku pun sudah bersiaga. Yudapati menghibur Rajah Kusambi. Dan ia memperlihatkan pori-pori lengannya yang lembab oleh air yang keluar melalui pori pori. . .
- Bagus! Rajah Kusambi memuji dengan tertawa.
- Kelihatannya air tawar. Tetapi bukankah tiada buruknya kita berhati-hati?
- Tentu saja. sahut Yudapati.
- Hei, mengapa paman
mengarah ke barat laut?
- Terus-terang saja aku tidak percaya kepada nenek itu. Dia menyuruh kita ke timur laut. Nah kita ke arah barat laut. Kita akan menguji apakah dia dapat dipercaya mulutnya.
Tatkala matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah tikungan jalan yang terhadang oleh sebuah telaga sangat luas. Jalan satu-satunya hanyalah sebuah jalan setapak menuju ke barat. '
- Apa pendapat tuanku?
Rajah Kusambi mendongkol.
- Perempuan reot tadi dapat dipercaya atau tidak? - Justru aku ingin bertanya kepada paman. -sahut Yudapati dengan tertawa geli.
- Sebab bila aku yang menjadi nenek tadi akan berbuat begitu juga. - Berbuat bagaimana?
- Paman mengaku termasuk sahabat Anggira. Mengapa bertanya padanya di mana rumahnya berada?
Rajah Kusambi menyenak nafas. Menyahut:
- Memang paling sulit melayani orang Pasupata. Kalau aku berlagak tahu rumahnya dengan pasti, barangkali kita sudah diracunnya mati. Hal itu bisa dimengerti, karena mereka sadar dimusuhi seluruh manusia di bumi Suwarnadwipa. - Apakah nenek tadi salah seorang anggauta Pasupata?
- Kedua matanya terlalu bersemangat dan bersinar luar biasa. Bukan mustahil, dia justru salah seorang tokoh yang sedang kita cari.
Mendengar keterangan Rajah Kusambi, Yudapati terkejut. Menegas:
- Maksud paman salah seorang dari tiga dewa? - Benar. sahut Rajah Kusambi.
- Mereka tidak bisa berkelahi. Akan tetapi ahli dalam masalah penyamaran.
- Itulah salah satu keistimewaan mereka. Karena itu mereka disebut dewa. Sebab selain pandai dalam hal ilmu racun dan ketabiban, bisa merubah diri seperti dewa.
Yudapati memanggut manggut. Bertanya:
- Kalau begitu. dengan meneguk air minum yang disuguhkan, aku telah melakukan kesalahan.
- Itu pun belum tentu salah. -jawab Rajah Kusambi.
- Memang dengan membuang air minum yang disuguhkan kadangkala bisa diartikan sebagai salam persahabatan. Akan tetapi juga berarti sebaliknya. Pendek kata, orang Pasupata susah ditebak keadaan hatinya. Taruh kata andaikata nenek tua tadi bukan salah seorang dari tiga dewa, tentunya termasuk mata-mata kaum Pasupata. Hanya saja aku sendiri belum dapat memastikan,entah dia temasuk kaum Pasupata hitam atau putih. Itulah sebabnya aku mencoba menguji petunjuknya. Agaknya, dia berkata dengan sebenarnya. Mari kita balik mengarah ke timur laut.
Rajah Kusambi tidak menunggu tanggapan Yudapati. Ia memutar kudanya dan melarikan kudanya balik ke arah timur laut. Yudapati segera mengaburkan kudanya pula. Tatkala tiba di wilayah ketinggian tadi, si nenek dan lepaunya tiada lagi. Karena sudah menduga demikian,mereka tidak merasukkannya ke dalam hatinya.
Sekarang, matahari mulai turun di balik bukit. Suasana petang hari mulai menyelimuti alam. Tentang makan dan minum, tidak menjadi masalah bagi mereka berdua. Masing masing sudah membekal makanan kering dan seguci air bersih. Sebaliknya pergantian suasana alam itulah yang membuat hati mereka kebat-kebit.
- Tuanku, hati-hati! Jalan mulai terasa licin!
Rajah Kusambi memperingatkan.
Yudapati menahan kendalinya dan mulai memperhatikan keadaan tanah. Alam yang menghadang di depannya
mulai berubah. Pohon-pohon dan rerumputan makin berkurang. Akhirnya tiba di suatu tempat yang gundul polos.
- Paman! lihatlah, tiada sehelai rumput pun yang tumbuh. Benar-benar mengherankan! -seru Yudapati.
- Benar. sahut Rajah Kusambi dengan nafas memburu.
- Andaikata hal itu disebabkan dibabat manusia, setidak-tidaknya nampak bekasnya. Aku khawatir . . . ia berhenti dan mengembarakan pandang matanya. . . . .
- mereka bertiga justru sedang berada di sekitar daerah ini.
Mendengar lagu suara Rajah Kusambi yang aneh itu. Yudapati menghentikan kudanya. Kemudian minta penjelasan:
- Sebenarnya bagaimana sepak-terjang mereka bertiga itu?
Rajah Kusambi menghentikan kudanya pula. Kemudian menjawab:
- Sebenarnya, aku hanya pernah satu kali saja bertatap muka dengan mereka bertiga. Itupun terjadi pada jaman mudaku. Selanjutnya, aku hanya mendengar tuturkata orang tentang lagak-lagu dan sepak-terjang mereka yang aneh. Kata orang, sesekali mereka saling mengunjungi atau bertemu pada suatu tempat untuk menguji kepandaian mereka masing-masing. Yang paling berbahaya adalah bila mereka saling mengunjungi. Inilah yang kukhawatirkan. Lihatlah warna tanahnya! Hari sudah petang. Meskipun demikian. warna tanahnya mengkilat dan berwarna. Apakah tidak mungkin akibat racun tertentu untuk berjaga-jaga terhadap lawannya?
- Siapakah lawannya? - Di antara mereka bertiga sendiri. Bukankah yang datang bermaksud menguji yang dikunjungi atau sebaliknya? - .
Yudanati memikir sejenak. Tiba-tiba saja ia melompat
turun. Ia membuka bungkusan kainnya dan mengeluarkan sehelai selimut dan ditutupkan ke mulut kudanya.
Rajah Kusambi memuji sikap hati-hati Yudapati. Pikirnya.
- ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Meskipun demikian masih berlaku hati-hati dan waspada. Benar-benar pantas dicontoh.
Dengan pikiran itu, segera ia turun pula dari kudanya dan membebat mulut binatang itu dengan sehelai kain. Memang dengan cara begitu. binatang itu tidak akan dapat menggerumit rerumputan atau mencium asap racun secara langsung.
Dengan waspada mereka melanjutkan perjalanan. Hari sudah gelap pekat. Walaupun demikian,masih saja mereka dapat melihat dengan jelas semua yang berada sekitar seratus meter sekeliling dirinya berkat ilmunya yang tinggi. Tatkala berada di atas suatu ketinggian. samar-samar mereka melihat sebuah bangunan.
Yudapati mengamat-amali bentuk bangunan itu. Tiada sesuatu yang aneh,kecuali letaknya dan bentuknya. Rupanya sebuah rumah tanpa jendela dan pintu. Berada di tengah suatu pelataran luas yang dipagari rumpun pohon berdaun merah.
- Paman! Benarkah daun-daun itu berwarna merah?
- Benar. sahut Rajah Kusambi.
- Suasana gelap pekat. Namun daun itu masih bisa memperlihatkan warnanya dengan jelas. Daun apakah itu?
- Kalau saja aku tahu. Tentunya daun yang mengandung racun atau bisa berbahaya.
Yudapati kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan tiga tangkai bunga pemberian Diatri. Ia memetik setangkai dan diberikan kepada Rajah Kusambi seraya berkata berbisik:
- Aku percaya, tenaga sakti paman menolak semua macam racun. Akan tetapi menurut peringatan orang bijaksana yang perlu kita hindari adalah racun berhawa yang membuat kita terbius. - .
- Tepat. Sebab bila sampai terbius, tenaga himpunan betapa tinggi pun tiada gunanya. Bukankah kita tidak dapat mengerahkan semangat? tungkas Rajah Kusambi sambil menerima bunga pemberian itu.
Bunga itu mendadak saja mengeluarkan bau harum yang menyegarkan pernafasan dan melonggarkan dada. Tahulah mereka, bahwa sekitar dirinya pasti terdapat semacam racun yang tiada nampak oleh penglihatan dan luput dari indra penciuman.
- Sekarang. apa yang harus kita lakukan? Yudapati minta pertimbangan.
- Kita bawa kuda kita sampai ke seberang pelatarannya. Kemudian kita mendahului mengedut kendali kudanya.
Mereka menuruni ketinggian dan menerobos rimbun belukar. Tatkala tiba di depan pohon-pohon berdaun mereka turun dan sambil memegang kendali. Rajah Kusambi berteriak:
- Kami Rajah Kusambi dan tuanku Yudapati hendak bertemu dengan yang mulia dan dengan ini menyampaikan rasa hormat.
Rajah Kusambi adalah seorang pendekar berkepandaian tinggi. Selain itu, sudah kenyang mengalami berbagai peristiwa yang menyeramkan dalam hidupnya. Meskipun demikian, terpengaruh kesenyapan alam sekitarnya,hatinya meringkas juga. Dengan jantung berdegupan ia menunggu jawaban beberapa saat lamanya. Tatkala hendak mengulangi ucapannya. tiba-tiba terdengar suara menyambut:
- Sahabat dari mana?
Hati Rajah Kusambi terkesiap. Sebab itulah suara seorang perempuan yang pernah didengarnya. Tetapi di mana,ia tak ingat lagi. Tak terasa ia menoleh kepada Yudapati
minta pertimbangan. Ternyata Yudapati bersikap diam. Maka dengan terpaksa ia menjawab:
- Kami dari Mantrayana.
Suara dari dalam rumah yang menyeramkan itu. tidak menyahut. Tetapi selang beberapa waktu, terdengar suara sebentar tadi:
- Kalau memang sahabat, masuklah! - .
Rajah Kusambi menoleh kembali kepada Yudapati. Minta pertimbangan:
- Bagaimana? Dia jelas bukan salah seorang dari tiga dewa yang kusebutkan. .. '
- Dalam hal ini aku patuh kepada keputusan paman. jawab Yudapati.
Rajah Kusambi berbimbang-bimbang sejenak. lalu memutuskan:
- Mari! Kita tambatkan dulu kuda kita.
Mereka menambatkan kuda masing-masing pada sebatang pohon yang tiada berumput. Mulut kedua binatang itu masih saja terhebat kain. Dengan begitu, tidakkan dapat makan sesuatu.
Rajah Kusambi berjalan di depan dan Yudapati mengiringkan. Mereka maju dengan hati-hati dan waspada. Sekarang nampak dengan jelas keadaan rumah itu. Bentuknya memang aneh, akan tetapi ternyata mempunyai pintu. Hanya saja pintu itu terbuka dari bawah ke atas. Dengan begitu, daunnya hanya sebuah. Dinding rumah terbuat dari susunan batu yang dilapis lumpur padas, dan dicat dengan warna hitam. Itulah sebabnya berkesan menyeramkan.
Selagi mereka tiba di pelataran hendak menghampiri arah pintu, sekonyong-konyong terdengar suara gedebuk. Dengan berbareng mereka menoleh. Mereka terperanjat. Ternyata suara gedebuk tadi berasal dari kedua kuda mereka yang roboh terguling ke kanan. Itulah tanda, bahwa kedua
binatang tersebut mati seketika tanpa sebab musabab.
Pada saat itu, muncullah nyala api dari sebuah lentera dari dalam rumah. Segera mereka berdua memeriksa diri. Pernafasan mereka berjalan lancar tak kurang suatu apa berkat bau harum bunga pemberian Diatri. Pikir Yudapati,
- kalau tahu begitu setangkai bunganya bisa ditaruh di depan hidung kudanya. Dengan demikian tidak usah kehilangan semua kudanya.
Dengan penuh ingatan,mereka memasuki ambang pintu. Tepat pada saat itu, daun pintu turun. Kini mereka berada di dalam ruang yang tertutup sama sekali. Seorang gadis muda belia mengucapkan selamat datang dengan suaranya yang khas.
- Sekarang, berikan bunga itu kepadaku! katanya.
Yudapati mempunyai kesan baik terhadap gadis itu. Dia berperawakan semampai. Paras wajahnya kalah jauh bila dibandingkan dengan Diatri atau Tara Jayawardani. Akan tetapi suara dan senyumnya sekilas mempunyai daya tarik sendiri. Oleh kesan itu, tanpa ragu-ragu ia menyerahkan bunga pemberian Diatri. Rajah Kusambi bersikap menurut pula. Ia menyerahkan bunganya, karena melihat Yudapati berbuat begitu.
- Dan yang satu? ujar gadis itu dengan senyum sekilas.
Yudapati terkesiap. Pikirnya.
- eh penciuman gadis ini luar biasa sampai bisa mengetahui setangkai bunga yang masih kusimpan di dalam saku.
Memikir begitu,ia menyerahkan bunga itu pula. Dan dengan membawa ketiga tangkai bunga itu, sang gadis menghilang di balik penyekat ruang. Kesempatan itu. dipergunakan Yudapati untuk mengamati ruang. isinya hanya sebuah bangku panjang, sebuah meja kasar dan tiga kursi. Di sudut sebelah barat terdapat jembangan dengan bunga berwarna biru. Kesannya mengibakan tetapi berbareng menyeramkan pula. Karena itu, baik Yudapati maupun Rajah Kusambi tidak berani semberono. Mereka menunggu sampai tuan rumah keluar.
Tak lama kemudian,mereka berdua mendengar suara langkah dari balik penyekat ruang. Mereka mengira,tentunya tuan rumah. Kalau bukan Anggira. niscaya Balitung. Atau Ganesa. Tetapi diluar dugaan yang muncul gadis tadi juga.
- Kalau begitu pemilik bunga tadi sampai di tempat dengan selamat. ujarnya.
Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Masalah Di Teluk Pollensa Problem At Pollensa Bay Karya Agatha Christie Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye

Cari Blog Ini