Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 19

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 19


Yudapati adalah seorang pemuda yang cermat. Kecuali itu. setelah memperoleh ilmu kepandaian tinggi, otaknya jadi cerdas luar biasa. Seketika itu,tahulah ia bahwa gadis itu adalah gadis yang memberi bunga Diatri. Buru-buru ia menjawab dengan sikap hormat:
- Berkat perlindungan nona, dia selamat tak kurang suatu apa. Kami berdua sungguh merasa malu. karena . . . Belum lagi Yudapat menyelesaikan kata-katanya. gadis itu meninggalkan tempat. Sebentar kemudian muncul kembali dengan membawa minuman dan diletakkan di atas meja.
- Tentunya tuan sekalian lapar pula. Tunggu sebentar. katanya dan menghilang lagi di balik penyekat ruang.
Diam-diam Rajah Kusambi mengerling mengamati air minum yang disuguhkan. Warnanya bersemu kehijau-hijauan. Bulu kuduknya menggeridik. Pada saat itu. gadis tadi datang kembali dengan membawa niru panjang. Buru buru Yudapati merebut niru itu dan diletakkan di atas meja. Niru itu berisi sebakul nasi, semangkok sayuran dan dua piring terbuat dari tanah liat.
- Di tengah kampung yang miskin ini, tak dapat aku menghidangkan santapan yang pantas! Hanya nasi dan sayuran. ujar gadis itu.
- Ah. terima kasih. Kami berdua bahkan merasa malu, karena mengganggu nona pada malam hari begini.
Gadis itu bersenyum seraya menyahut:
- Duduklah! Yudapati berpaling kepada Rajah Kusambi dan memberi isyarat agar meluluskan kehendak tuan rumah. Sehari tadi mereka belum sempat makan atau minum. Kecuali lelah mereka lapar juga.
- Terima kasih. sahut Yudapati dan duduk dengan tidak ragu-ragu.
- Silakan! gadis itu mempersilakan. '
- Tanpa ragu-ragu lagi, Yudapati segera menyambar bakul nasi dan setengah disontakkan di atas piringnya. Kemudian mangkok sayur pun setengah disontakkan pula. Kemudian melahapnya seperti orang sedang kelaparan. Memang Yudapati paling pandai membuat senang orang dan dengan cepat bisa menyesuaikan diri seperti tatkala melayani Palata dan Sri Tajung. Atau meladeni gadis galak seperti Tara Jayawardani. Tak mengherankan, melihat tetamunya begitu lahap. gadis itu berseri-seri matanya. Ujarnya dengan setengah tertawa:
- Jangan khawatir. Aku masih mempunyai semangkuk sayur lagi.
Setelah berkata demikian, ia mengambil mangkok sayurnya. Diluar dugaan, Yudapati yang bersandiwara jadi orang serakah,merebut mangkok itu dan menyontakkan isinya di piringnya. Gadis itu kini benar-benar tertawa senang dan setengah geli. Dan mendengar suara tertawanya. hati Yudapati kian tertarik
Begitu gadis itu menghilang di balik penyekat ruang dengan membawa mangkok sayurnya, Rajah Kusambi berbisik kepada Yudapati:
- Tuanku, aku berani bertaruh. Dia adalah si nenek
tua di atas bukit tadi. Dia seorang diri dalam rumah ini. Mengapa menanak nasi begini banyak dan membuat sayur cukup untuk tujuh orang? Niscaya dia tahu dengan pasti. bahwa kita akan singgah di rumahnya. Bagaimana kalau berisikan racun? Lihatlah warna air minum yang dihidangkan! Daripada mati keracunan,bukankah lebih baik menahan lapar? Kita pun membawa makanan kering. Sayang berada di atas punggung kuda.
- Paman. aku berpendapat lain. sahut Yudapati dengan berbisik pula.
- Kalau dia bermaksud tidak baik. kita berdua sudah mati semenjak bertemu di atas bukit. Gadis ini . . . Ia tidak menyelesaikan kata-katanya. karena mendengar langkah gadis itu dari balik penyekat ruang. Beberapa saat kemudian, ia muncul dengan membawa semangkuk sayur.
- Terima kasih. sambut Yudapati dengan gembira.
- Celakalah nona malam ini, karena mendapat tamu seserakah diriku. setelah berkata demikian. dengan sekali teguk ia menghabiskan air minum kehijau-hijauan yang disuguhkan. '
Yudapati benar-benar pandai membuat senang tuan rumah. Begitu mangkok sayur ditaruh di atas meja, segera ia menyenduk nasi sepenuh piringnya dan menyontakkan sayur setengah mangkok. Lalu melahapnya dengan bernafsu. Masakan itu memang sangat sederhana. Akan tetapi rasanya lezat sekali. Entah apa sebabnya.
Rajah Kusambi menghela nafas. Katanya di dalam hati:
- llmu saktimu memang tinggi. Tetapi apakah dapat mendorong racunnya keluar tubuh selagi makan dan minum? Tetapi aku'sudah memperingatkan. Engkau nekad maka aku tak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi daripada aku pun akan keracunan, lebih baik salah seorang. Tetapi melihat gadis itu memandangnya dengan bersenyum, ia
jadi tak enak hati juga. Buru-buru ia berkata:
- Nona. maafkan. Aku terlalu lelah. Karena usiaku sudah tua bila terlalu lelah hilanglah nafsu makan minumku.
- Kalau begitu, minumlah air teh saja. ujar gadis itu sambil menuangkan air teh di mangkok ketiga.
Rupanya mangkok itu diperuntukkan baginya. Akan tetapi mengingat tamunya. ia bersedia mengalah.
Terpaksa Rajah Kusambi menerima angsuran mangkok yang sudah berisi air teh, ia sempat mengerlingkan matanya dan melihat air teh itu berwarna merah darah. Seluruh bulu kuduknya meremang dan meletakkan mangkok di tangannya di atas meja.
Gadis itu bersikap tenang-tenang saja. Sama sekali tiada nampak perubahan pada wajahnya. Sebaliknya melihat Yudapati masih saja makan dan minum dengan lahap, ia senang sekali. Melihat isi mangkok air minum habis ludas. segera ia menuangkan air tehnya yang berwarna merah darah. Yudapati kali ini pun bersikap masa bodoh seperti semula. Terus saja ia mengeringkan isi mangkok yang berisikan air teh merah darah.
Yudapati sebenarnya bukan masa bodoh benar-benar. Dia seorang pemuda yang cermat dan cerdas luar biasa. Menurut pendapatnya, seumpama apa yang dimakan dan diminum mengandung racun, makan sedikit atau minum sedikit tiada bedanya dengan makan banyak dan minum banyak. Dengan keputusan itu. ia makan dan minum demikian bernafsu. Dan setelah selesai. gadis itu segera mengambil piring dan mangkoknya yang kosong. Buruburu ia ikut membantu dan membawanya dengan niru ke belakang. Dengan demikian, ia kini dapat melihat sepuas puasnya apa yang berada di belakang penyekat ruang.
Ternyata kosong tiada isinya. Sewaktu gadis itu masuk
ke dapur, ia pun segera mengikuti. Lalu membantu gadis itu mencuci piring dan mangkok yang kotor. Kemudian ditata pada tempat penyimpanannya di dalam sebuah almari sederhana terbuat dari bambu.
- Terima kasih. -ujar gadis itu dengan tertawa senang.
- Lainnya. biarlah aku yang membereskan. Yudapati kemudian kembali ke ruang tamu dan melihat Rajah Kusambi tidur nyenyak mendekam di atas meja. Sewaktu akan dihampiri,gadis itu menyusul di belakangnya seraya berkata:
- Mohon maaf sebesar-besarnya. Dalam rumah ini hanya terdapat satu bangku panjang. Ketiga kursi itu, bisa juga diatur menjadi semacam bangku panjang. bila dijajarkan. Maafkan.
- Ah, justru kami berdua yang merasa berhutang budi telah membuat susah nona. Kami mohon maaf sebesar-besarnya. .,
Gadis itu, tidak menyahut. Ia kembali ke belakang dan memadamkan pelita yang berada di dapur. Kemudian terdengar suara bergeritnya daun pintu kamar. Setelah itu, sunyi-senyap tiada suara apa pun. Diam-diam Yudapati memikirkannya. Dia seorang gadis, dan nampaknya hidup seorang diri di tengah kesunyian alam. Meskipun demikian. berani menerima dua orang tamu laki-laki yang belum dikenalnya.
Apakah andalannya?
Pelahan-lahan ia menghampiri Rajah Kusambi yang tertidur nyenyak menelungkupi alas meja. Ia mendorong pundaknya sambil berkata berbisik:
- Paman! Pindahlah di atas bangku panjang! Aku tidur di atas kursi.
Diluar dugaan, dorongannya selembut itu membuat tubuh Rajah Kusambi miring dan terguling ke atas tanah. Yudanati terperanjat. Gugup ia membangunkannya. Ternyata wajah Rajah Kusambi terasa panas seperti terpanggang api.
- Hei! Mengapa?
Buru-buru ia mengmbil pelita yang masih menyala di atas meja dan memeriksa keadaan Rajah Kusambi. Mukanya kelihatan merah membara seperti seseorang yang mabuk keras. Dari mulutnya membersit hawa berbau minuman keras.
- Eh. dari mana ia memperoleh minuman keras?
Pintu rumah masih terkunci rapat. Yudapati menjadi bingung.
- Baik air minum atau pun air tehnya tidak diteguknya sedikit pun jua. Aneh! Tetapi Yudapati seorang pemuda yang cerdas. Segera dapatlah ia menebak, bahwa semua itu adalah hasil perbuatan gadis tadi. Dia sakit hati, karena Rajah Kusambi tadi menolak tawaran minumannya dan makan yang disuguhkan.
Tetapi dengan cara apa gadis itu merobohkan seorang pendekar kawakan seperti Rajah Kusambi yang sudah kenyang makan garam?
Ia cemas bercampur heran.
Apakah yang harus dilakukan?
Membangunkan gadis tadi untuk minta pertolongan, rasanya kurang sopan dan tidak tepat. Sebaliknya, dia sendiri merasa tidak mampu untuk menyadarkannya. Pada saat itu. teringatlah dia kepada tiga tangkai bunga pemberian Diatri. Ketiga tangkai bunga itu sudah diminta kembali oleh pemiliknya.
Paman Rajah Kusambi tidak mungkin mabuk sewajarnya. Akan tetapi terkena hawa beracun seperti kudanya.
Memperoleh pikiran demikian, ia makin sibuk.
Apa boleh buat!
Ia harus menolongnya. senyampang masih hidup. Pernafasan Rajah Kosambi berjalan teratur. Sama sekali tak terganggu. Dengan pertolongan tenaga saktinya, pasti dapat pulih kembali.
selagi hendak melakukan pertolongan itu, sekonyong konyong ia mendengar kawanan anjing hutan menyalak nyalak di kejauhan. Salak kawanan anjing itu dibarengi suara jeritan yang memilukan. Di tengah kesunyian malam. Kesannya luar biasa menyeramkan.
Didengar dari bunyi salaknya. pasti kawanan srigala yang sedang mengejar mangsa beramai-ramai. Tetapi seingatnya tadi, sekitar rumah itu adalah tanah gundul polos. Petak hutan berada cukup jauh.
Dari mana datangnya kawanan srigala itu?
Taruh kata kawanan srigala yang datang dari hutan seberang menyeberang, tentunya akan segera mati begitu menginjak tanah gundul yang berhawa racun seperti kudanya.
Dengan hati berdebar-debar Yudapati menunggu perkembangannya. Tiba-tiba saja ia memperoleh firasat yang mengerikan. Kawanan srigala itu agaknya menuju rumah yang sedang diinapi. Salak kawanan srigala itu makin dekat dan makin menjadi-jadi. Cepat ia memadamkan lentera yang ditaruhnya di atas tanah. Seketika itu juga, seluruh ruang jadi gelap gulita.
- Ah! Yudapati terkejut.
- Pedangku masih tergantung di pelana kuda. Celaka! Sementara itu kawanan srigala menyalak makin dekat. Sekarang tidak terdengar lagi jeritan yang memilukan hati.
Sementara itu kawanan srigala menyalak makin dekat. Sekarang tidak terdengar lagi jeritan yang memilukan hati. Sebagai gantinya, ia mendengar suara derap kuda. Selagi ia meraba-raba lentera 'yang berada di atas tanah untuk diletakkan di atas meja, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar bergerit. Kemudian celah cahaya itu datang menerangi ruang tamu. Dialah gadis pemilik rumah.
- Itulah kawanan srigala liar. katanya dengan suara tenang .
Yudapati mengangguk sambil berdiri dan meletakkan lentera di atas meja. Dengan hati-hati ia mengamati gadis itu. lalu menuding Rajah Kusambi yang rebah di atas tanah. Berkata:
- Nona . . .
Gadis itu hanya memanggut kecil dengan pandang tak acuh. Dalam pada itu. kawanan srigala jelas sudah berada di depan pagar pepohonan yang berdaun merah. Yudapati benar-benar berada dalam kebimbangan. Di luar ada kawanan srigala liar yang agaknya mengancam seluruh isi rumah. Rajah Kusambi dalam keadaan tak sadarkan diri, sedang gadis itu masih merupakan teka-teki. Ia berada di pihaknya atau malahan bersekongkol dengan si pendatang. Sebab pada saat itu,derap kuda makin terdengar nyata. Rupanya penunggangnya mengaburkan kudanya dengan suatu kecepatan luar biasa. Buru-buru Yudapati memapah Rajah Kusambi dan ditidurkan di atas bangku panjang. Diam-diam ia menggerayangi tubuhnya,barangkali dapat diketemukan sebilah belati atau golok. Orang tua itu pun tidak membawa senjata sama sekali. kecuali terdapat segenggam uang kepingan.
- Biarlah aku mencari pisau di dapur. pikirnya.
Dengan pikiran itu, ia berjalan menuju ke dapur. Pada Saat itu. ia mendengar gadis itu membentak di belakang ambang pintu:
- Apakah engkau temasuk begundal Mahera? Apa perlu datang kemari? Mendengar bentakan gadis itu. hati Yudapati terhibur.
Sekarang ia tahu, bahwa si pendatang itu justru lawannya. Dengan cepat ia membuka pintu dapur dan menerobos pekarangan belakang. Tiba di luar ia kaget sendiri. Katanya menyesali diri sendiri:
- Ah. mengapa aku jadi linglung? Aku mau mencari pisau di dapur. Justru aku menerobos
ke luar.
Untuk balik kembali,agaknya tidak sempat lagi. Teringat akan uang kepingan Rajah Kusambi. segera ia merogoh sakunya. Syukur dia pun membekal beberapa uang kepingan. Dan dengan bersenjata itu, ia lari mengendap-endap ke depan dan melompat ke atas pohon yang tumbuh di samping rumah.
Malam itu hanya ditaburi jutaan bintang gemintang di udara. Meskipun demikian bagi Yudapati tidak merupapakan halangan yang berarti. Masih saja ia dapat melihat jarak jauh dengan jelas. Dari arah barat, datanglah suara derap kuda yang dilarikan dengan cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam lekam sehingga wajahnya tidak nampak jelas. Dengan golok terhunus dia membabati pagar pepohonan berdaun merah. Sebat dan cekatan cara dia menabas pepohonan itu. Dia pun pandai menunggang kuda. Di belakangnya terseret sebuah boneka sebesar bocah. Dan belasan kawanan srigala liar memburu dengan menyalak-nyalak ganas. Yudapati mencoba menghitung. Jumlahnya empat puluh tujuh ekor. Dengan semrawut kawanan srigala sebanyak itu mencoba memburu dan menerkam boneka yang terseret di belakang kuda. Namun betapa usahanya tetap saja luput. Hal itu membuktikan betapa pandai pemuda itu menunggang kuda. Tatkala melintas bolak-balik di depan pintu. ia berteriak lantang:
- Kalau engkau tetap membandel tidak mau menyerahkan ramuan obat, nasibmu seperti bocah ini. Mendengar bunyi ancaman itu, tiba-tiba kepala Yudapati seperti tersambar halilintar. Teringatlah dia kepada penculikan kanak-kanak berumur sebelas tahun. Teringat pulalah dia akan tutur-kata Diatri tatkala menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang nenek yang kehilangan cucunya karena dirampas belasan pemburu. Seketika itu juga darahnya mendidih. Terus saja ia melompat ke atas atap daun dan menyambitkan sekeping uangnya.
- Aduh! -penunggang kuda itu memekik lalu dengan membungkuk dia melarikan kudanya dengan meninggalkan umpannya.
- Jahanam! maki Yudapai! di dalam hati.
- Kukira tadi, dia sengaja membawa umpan untuk berburu serigala. Ah, ternyata seorang bocah. Pantas aku tadi mendengar suara jerit yang memilukan. Sekarang, tentunya dia sudah mati. -'
Memikir demikian,pandangnya mengarah kepada kawanan srigala yang berebutan menerkam mangsanya. Sebentar saja, si bocah yang menjadi korban, tersobek sobek kulit dagingnya. Yudapati marah bukan main. Dengan segenggam uang kepingan, ia membidik belasan kawanan srigala yang merubung mangsanya dengan suara menggeram dan salaknya. Seketika itu juga, mereka mengiang-iang kesakitan dan roboh di atas tanah. Namun masih ada enam atau tujuh ekor yang masih sempat membawa sisa mangsanya. Yudapati tidak sudi memberinya ampun lagi. Cepat ia melompat dan mengejar. Ternyata kawanan srigala itu kuat luar biasa. Mereka bisa membawa manganya dengan cepat dan sebat seolah-olah tiada merupakan beban. Karena jaraknya makin 'menjauh, Yudapati memukulkan tangan saktinya. Pada saat itu pula mereka mati berkeping-keping bertebaran di atas tanah.
Beberapa saat lamanya. Yudapati berdiri tertegun-tegun. Pelahan-lahan ia memutar tubuhnya. Kemudian menghampiri kudanya yang mati. Ia mengambil pedang pusaka Jagadpati dan digantungkan pada pinggangnya. Pada saat itu, ia mendengar pintu rumah terbuka dan muncullah gadis pemilik rumah dengan lentera di tangan.
- Sungguh sayang! Pohon-pohonmu rusak. ujar Yudapati menghampiri.
- Terima kasih. Untung saja perutmu kenyang makan dan minum sehingga dapat dengan leluasa membunuh srigala-srigala liar. Namun tanpa pertolonganmu, sebenarnya akan mati juga, termasuk orang yang berlagak menjadi pahlawan tadi. - Mengapa?
- Seperti kudamu,semuanya sudah berada di tengah udara yang beracun.
- Lalu mengapa aku tidak? Sambil menuding ke arah pagar pohon yang roboh berserakan. dia menjawab:
- Di siang hari, siapa pun yang berada sekitar seratus langkah di depan pohon itu. akan mati seketika. Sebab racunnya sangat jahat oleh sinar matahari. Di malam hari. kekuatan daya racunnya berkurang. Tetapi bila batangnya terpotong. mendadak saja menjadi ramuan racun yang ganas.
- Lalu mengapa aku tidak? Yudapati mengulangi pertanyaannya dengan tak sabar.
- Yang pertama, kakak Yudapati datang dengan membawa bunga pemberianku. sahut gadis itu.
Hati Yudapati tercekat, karena baru untuk pertama kali itu. si gadis memanggil namanya. Rupanya ingatannya cerdas sekali sehingga dapat mengingat satu kali ucapan Rajah Kusambi sewaktu memperkenalkan namanya. Berkatalah gadis itu melanjutkan keterangannya:
- Tetapi bunga yang kakak bawa sangat jahat bila berada dalam suatu ruangan yang tertutup. Itulah sebabnya aku menyita kembang itu darimu dan kubuang di pekarangan belakang. - Ah! Begitu? Yudapati bergeridik.
- Tetapi aku kini berada di tengah pohon-pohon beracun dan sama sekali tidak membawa bunga pemberianmu. Mengapa aku tidak mati?
- Bukankah sudah kukatakan tadi? Karena engkau sudah makan dan minum. Tahukah kakak bahwa makanan dan minuman yang disuguhkan tadi mengandung ramuan daya pemunah racun pepohonan ini dan yang berada di dalam ruang tamu?
- Di dalam ruang tamu?
Yudapati tercengang.
- Bukankah kakak melihat bunga berwarna biru di atas jembangan bunga yang terletak di sudut meja? Itulah sebabnya, pamanmu yang berlagak berhati-hati justru terkena akibatnya. Seumpama dia berkenan meneguk air minum yang kusuguhkan tentunya tidak perlu mabuk. Akan tetapi kakak tidak perlu cemas. Dia hanya mabok saja. Esok pagi, dia akan sadar kembali.
- Oh, terima kasih. sahut Yudapati dengan gemetaran.
- Nona sudah berkenan melindungi jiwaku dan jiwa pamanku. Akan tetapi aku belum mengenal nama nona. Bolehkah aku mengenal namamu?
Gadis itu tersenyum manis. Sahutnya pendek:
- Panggil saja aku Pamasih!
- Pamasih? Yudapati berkomat-kamit seperti seorang murid sedang menghafalkan sejarah.
- Alangkah indah nama itu.
- Mari. kita masuk! ajak Pamasih dengan suara kering.
Mendengar lagu suaranya dan sepak-terjangnya serta senyumnya yang khas diam-diam Yudapati bergidik dengan sendirinya. Ia merasa diri sudah memiliki otak dan ilmu kepandaian tinggi namun bila dibandingkan dengan gadis itu masih kalah jauh. Dengan mudah dan tak terduga. Pamasih bisa membunuh orang yang tidak disukai. Dia bisa membuat seorang pendekar berkepandaian tinggi seperti Rajah Kusambi kehilangan kesadarannya tanpa menyentuhnya. Siapa pun tidak mengira bahwa bunga
hias itu sesungguhnya menebarkan racun tertentu yang dapat merobohkan seorang pendekar kawakan seperti Rajah Kusumbi.
- Kakak Yudapati! Silakan duduk! - kata Pamasih dengan suara lembut.
Yudapati duduk di atas kursinya kembali. Sewaktu Pamasih meletakkan lenteranya di atas meja, ia menyempatkan diri untuk mengerling kepada bunga hias yang masih saja berada di sudut meja. Kemudian ia menoleh kepada Rajah Kusambi yang tidur nyenyak tak ubah orang mati.
- Sebenarnya, apakah maksud kakak datang ke wilayah ini?
Pamasih membuka kata.
- Tujuanku yang utama adalah hendak membebaskan tiga ketua aliran yang tertawan oleh segerombolan orang berseragam hitam. Menurut keterangan, mereka termasuk kaum Pasupata golongan hitam. - Benar. Lalu?
- Kabarnya mereka sangat ganas dan biadab. Mereka tidak hanya membunuh, membakar kota. merampok. merampas, memperkosa dan meracun saja. tetapi menculik anak-anak untuk memperoleh daya kekuatan Ilmu Hitam. Oleh pertimbangan itu, paman Rajah Kusambi mengajakku memasuki wilayah ini dengan maksud menghadap tiga sahabatnya yang bergelar Tiga dewa. Menurut paman Rajah Kusambi, beliau bertiga bernama Anggita, Balitung dan Ganesa. Setelah aku bertemu dengan beliau dan bila diperkenankan, aku akan melanjutkan perjalananku mencari tiga ketua aliran yang tertawan kaum Pasupata golongan hitam. Sedang paman Rajah Kusambi harus segera pulang ke Baturaja untuk mengurus rumah tangga Kaum Mantrayana. Pamasih tidak menunjukkan kesan apa pun. Tiba-tiba ia berdiri dan meninggalkan Yudapati. Beberapa waktu
Lemudian ia balik kembali dengan mengenakan pakaian putih. Pakaian warna putih itu adalah pakaian yang mirip jubah seorang tabib. Dan melihat Pamasih berdandan demikian, Yudapati bertanya:
- Pamasih! Apakah engkau hendak bepergian?
- Benar. sahutnya pendek. - Di malam hari gelap pekat?
Pamasih mengangguk.
- Ke mana?
Yudapati menegas.
- Kakak ikut atau tidak? - Ikut. -langsung saja Yudapati menyatakan diri.
- Kalau begitu. kita segera berangkat. Hanya saja, kularang engkau menanyakan sesuatu. Engkau hanya boleh mendengarkan keteranganku saja. Kau berjanji?
- Aku akan membisu. - Membisu sih, tidak perlu. kata Pamasih.
- Nah. bawalah pedang dan bungkusanmu! Aku pun perlu berkemas.
Yudapati segera ke luar rumah dan mengambil bungkusan pakaiannya yang masih berada di balik pelana kudanya. Setelah itu ia kembali masuk rumah dengan bungkusan pakaiannya menggamblok di pundaknya. Pada saat itu Pamasih pun sudah siap berangkat. Mula-mula yang dilakukan adalah memadamkan lentera lalu menurunkan pintu istimewanya dan dikuncinya dengan alat tertentu. Setelah itu. ia mendahului berjalan di depan.
Karena sudah berjanji. Yudapati mengikutinya dengan menutup mulut. Ternyata langkah Pamasih ringan cekatan dan tidak berbunyi. Akan tetapi bukan langkah Mantrayana atau Tantrayana. Dan sambil memperhatikan. Yudapati teringat pula akan tata-bahasanya yang khas. Kadangkala dia memanggil dirinya dengan sebut kakak tetapi sering pula meng-engkau. Mungkin sekali dimaksudkan untuk meresapkan suatu makna yang ditekankan. Pendek kata. terhadap gadis yang aneh ini, ia harus menurut saja.
Ajaibnya. Iapun rela berlaku demikian.
********
PERKAMPUNGAN HANTU
SAMPAI SEJAUH itu, Yudapati merasa belum memperoleh kejelasan tentang mereka yang disebut-sebut sebagai tiga dewa. Pamasih sendiri nampaknya kurang menaruh perhatian.
Apakah justru perjalanan ini sedang menuju ke tempat mereka berada?
Tetapi Pamasih membisu terus semenjak tadi. Dua jam sudah, ia mengikuti gadis itu dari jarak tiga langkah. Suasana malam makin terasa pekat, karena perjalanan yang ditempuh melintasi hutan raya dan menerobos semak belukar.
- Hm, pikir Yudapati di dalam hati.
- Kalau aku disuruh balik kerumahnya, mungkin sekali tersesat.
Selagi ia berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar suara Pamasih untuk yang pertama kalinya.
- Nah, kakak sekarang boleh berbicara.
- Sekarang ini?
Yudapati menegas.
- Ya. - Apakah karena tadi kita melalui perkampungan hantu? ..
Yudapati hendak melucu.
Pamasih tidak menanggapi. Ia berdiam kembali sekian lamanya. Yudapati menyesali dirinya, mengapa berkata begitu.
- Hehe. mengapa kakak tidak berbicara lagi? tiba tiba Pamasih menegurnya.
- Bukankah aku harus mendengarkan saja? Pamasih tertawa lembut. Katanya:
- Kalau tadi membuka mulut. kita pasti mati Sebab baru saja kita melintasi tanah percobaan.
- Tanah percobaan?
Yudapati tak mengerti.
- Tanah percobaan tiga dewa. Masing-masing menanamkan kepandaiannya sehingga akibatnya susah diduga.
- O, maksudmu tanah tadi mengandung hawa beracun? Yudapati terkejut, karena sama sekali ia tidak merasakan suatu kelainan.
- Engkau pun kini sudah terkena racun, karena terlalu dekat di belakangku.
- Apa? Yudapati berjingkrak karena terkejut untuk sekian kali.
- Jadi . . . jadi engkau membawa diriku kemari untuk kau racun? - Siapa yang bermaksud begitu? tegur Pamasih dengan lagu suara tidak senang.
- Kalau aku bermaksud meracunmu, aku tidak perlu melarang kakak agar menutup mulut. Selain hutan yang kita lintasi tadi membawa hawa beracun, juga pakaian yang kukenakan ini. Pakaian yang kukenakan ini memiliki kadar racun yang istimewa bila tersentuh hawa beracun dalam hutan tadi. Engkau tidak percaya? Lihat!
Berkata begitu,ia berdiri di bawah sebatang pohon rimbun. Sengaja ia menyentuhkan baju rangkapnya pada batangnya. Akibatnya luar biasa mengerikan. Dalam waktu
beberapa detik saja. seluruh mahkota daunnya rontok berguguran. Dan tak lama kemudian. terdengar suara gemeretak. Itulah suara rontoknya ranting-ranting pohon. Sedang dahannya jadi layu kering seperti terbakar.
Menyaksikan peristiwa itu. hati Yudapati berdebar debar. Tiba-tiba ia merasa takut kepada Pamasih. Pikirnya.
- gadis ini benar-benar luar biasa. Siapa pun takkan mengira bahwa pakaian rangkap yang dikenakan memiliki kadar racun yang tak terlihat dan tak tercium.
- Menyaksikan, bukan? Pamasih tertawa pelahan.
- Itulah salah satu ilmu kepandaian tiga dewa.
- Tiga dewa?
Yudapati tercengang.
- Maksudmu . . . eh . . . apakah engkau sesungguhnya yang disebut . . .
- Mari kita duduk di atas gundukan batu itu! - potong Pamasih.
- engkau boleh duduk di sampingku, asal saja tidak menyentuh pakaian rangkapku. Memang tidak akan mematikan dirimu. Tetapi setidak-tidaknya engkau akan menderita sakit. Dengan langkah tenang, Pamasih menghampiri sebuah batu pegunungan yang berada dua puluh langkah di depannya. Letaknya di luar garis petak hutan. Nampak mengkilap dan bersih sehingga pantas untuk dipilih sebagai tempat duduk.
Pamasih mempersilakan Yudapati duduk di sampingnya. Kemudian berkata seperti gaya seorang guru hendak berkisah di depan muridnya
- Terus-terang saja, aku mulai bergembira setelah menyaksikan betapa cara kakak membunuh kawanan srigala liar yang berjumlah empat puluh tujuh ekor. Belum pernah aku bertemu melihat atau mendengar seseorang yang memiliki ilmu sakti setinggi itu. Maka apa yang kuharapkan akan segera menjadi kenyataan.
- Harapan ana? Yudapati memotong.
- Hei bukankan engkau harus mendengarkan saja kata-kataku?
Pamasih menggerembengi.
- Oh. jadi masih berlaku?
- Tentu saja ,sampai aku menyatakan bebas. ujar Pamasih dengan wajah bersungut-sungut.
Yudapati tersenyum. Segera ia mengangguk. Memang ia pandai melayani orang. Apalagi terhadap seorang gadis yang berkenan di hatinya.
- Teruskan, teruskan! katanya.
- Masakan aku harus kau perintah? lagi-lagi Pamasih menggerembengi.
- Bukan begitu,-bukan begitu. Tapi . . . tapi . . . Ya sudah. buru-buru Yudapati memperbaiki kesalahannya.
Lalu menapuk mulutnya sambil menyesali:
- Mengapa sih. kau ngomong saja. Betapa pun juga. umur Pamasih belum cukup dua puluh tahun. Sifat kanak-kanaknya masih melekat pada dirinya. Melihat Yudapati menyesali mulutnya sendiri, lantas saja ia tertawa geli. Katanya kemudian:
- Kakak tentunya ingin bertanya, mengapa aku dapat menghitung jumlah kawanan srigala dari balik dinding rumah, bukan? Karena hal ini bersangkut-paut dengan apa yang akan kukatakan padamu. Yudapati mengangguk seraya membekap mulutnya. Dan dengan mata berseri-seri, Pamasih melanjutkan kata katanya: .
- Tetapi melihat pukulan kakak terbagi tiga macam. aku perlu meyakinkan diri dulu. Yang pertama, kakak merobohkan kaki-tangan Mahera dengan suatu sambitan. Yang kedua. kakak merobohkan empat puluh kawanan srigala dengan seraup uang kepingan. Dan yang ketiga, kakak menghancurkan sisa srigala justru dari jarak jauh. Tujuh ekor srigala itu hancur bertebaran. Tentunya engkau
khawatir bangkainya akan mengotori tanah pemukimanku. Kakak tak usah resah. Semua bangkai termasuk kedua ekor kudamu, esok pagi akan lenyap merasuk ke bumi. Dalam hal ini. cerah matahari akan membantu getah racun bunga dan daun dewata, melumerkan bangkai-bangkai itu.
Yudapati mendengarkan kata-kata Pamasih dengan terlongong-longong. Kecuali kagum akan kecermatannya, macam racun yang dikabarkan benar-benar menakutkan sekali. Sebenarnya ingin ia minta keterangan apa yang disebutnya sebagai bunga dan daun dewata itu. Tetapi takut akan memotong ceritanya yang makin menarik, ia menahan diri. '
- Maka aku perlu menguji sekali lagi. Pamasih melanjutkan.
- Sengaja aku mengenakan pakaian Pasupata yang dapat digunakan sebagai perisai. Inilah pakaian rangkap berwarna putih. Pakaian rangkap ini mengandung racun berbahaya yang tidak berbentuk, tidak berwujud dan tidak tercium. Dalam keadaan terjepit, siapa pun yang berani menyentuh diriku akan segera roboh terbakar. Sebaliknya bila seseorang berani mendekati diriku dalam hutan yang kita lintasi tadi, akan mengalami nasib yang sama seperti bangkai kawanan srigala. Jangan lagi mencoba memusuhi, sedangkan berani membuka mulutnya saja akan menerima akibatnya. Himpunan tenaga saktinya akan musnah. ia berhenti mengesankan. Meneruskan:
- Syukur, kakak tidak berbicara. Meskipun demikian, tatkala kakak kuajak berbicara, daya tanaman yang terdapat dalam hutan tadi. Sebenarnya masih mempunyai pengaruhnya. Itulah sebabnya aku berkata, bahwa engkau sudah terkena racun.
- Kalau begitu, aku akan segera mati. ujar Yudapati.
- Menurut pendapatmu. aku harus mati di mana?
- Tidak lucu. ah! Pamasih memberengut.
- Bukankah orang pada suatu kali akan mati? Di mana
letak lucunya?
Yudapati bersikap membandel.
- Karena aku tidak mau melihat kakak mati keracunan. ujar Pamasih dengan suara lembut.
Dan mendengar ucapannya yang disertai suara lembut itu, hati Yudapati tiba-tiba jadi berdebar-debar. Tak setahunya sendiri, ia merasa sayang pula kepada gadis itu.
- Tetapi kalau aku boleh bertanya. mengapa engkau perlu menguji diriku? --Yudapati mencoba.
- Itulah karena salahmu sendiri. sahut Pamasih cepat
- Salahku sendiri?
Yudapati tercengang.
- Ya. karena kakak bermaksud hendak memasuki perkampungan Kaum Pasupata hitam untuk menolong membebaskan tiga ketua aliran yang ditawannya. Pamasih memberi keterangan.
- Kakak. rencana perjalananmu itu sungguh berbahaya. Mereka tidak hanya pandai menggunakan racun dan ilmu hitam saja, tetapi tangguh pula. Dalam hal ini, menurut penilaianku kakak lulus.
- Lulus? Bukankah aku akan segera mati?
- Sst. dengarkan! -bisik Pamasih seperti setengah membujuk setengah minta maaf.
-Justru kakak bisa menolong diri.
- Menolong diri?
Yudapati tak mengerti.
- Berkat himpunan tenaga sakti kakak yang sangat tinggi, semua racun jahat dapat tertolak dengan sendirinya.
Pamasih memberi keterangan.
- Tetapi hal itu terjadi lantaran kakak selalu berwaspada. Bagaimana bilamana kakak tidak berwaspada? Inilah suatu kelemahan yang harus kakak sadari. Masih ada lagi. Bila terlalu tegang, akan mengalami seperti paman Rajah Kusambi. Sebab rasa tegang itu dikendalikan pertimbangan lahiriah semata. Umpamanya orang menjadi tegang karena melihat sesuatu atau mendengar sesuatu yang menakutkan atau menyeramkan. Dibandingkan dengan tata-kerja orang berwaspada. bedanya. sangat jauh. Seseorang yang berwaspada lebih mendengarkan suara naluriahnya. Kesimpulannya di sini. pribadilah yang menentukan. Maka kecermatan. kecerdasan: dan naluri ikut mengambil bagian. Dengan pertimbangan itulah. aku menyatakan kakak lulus ujian. Bukan main kagum Yudapati mendengar ceramah Pamasih si gadis dusun yang tinggal seorang diri di tengah rimba raya yang penuh ancaman bahaya dalam berbagai bentuk dan wujudnya.
Dari siapa dia memperoleh pengetahuan setinggi itu?
- Kakak, aku termasuk pula kaum Pasupata. Kecewakah kakak mendengar pernyataanku ini? Pamasih berkata lagi.
- Kecewa? Mengapa aku kecewa? Semenjak tadi engkau secara tidak langsung mengabarkan, bahwa di dalam tubuh Kaum Pasupata terdapat golongan putih dan golongan hitam. Pastilah engkau golongan Kaum Pasupata putih. sahut Yudapati dengan bersemangat.
- Tidak! Aku tidak kecewa. Engkau justru seorang gadis yang jujur dan berani. Pamasih tertawa dengan pandang mata berseri-seri. Katanya:
- Kalau begitu, kini mulailah engkau mendengarkan saja agar aku dapat mengejar waktu.
Yudapati mengangguk.
- Golongan putih dan golongan hitam selalu mengenakan pakaian seragamnya dengan terus-terang. ...
Pamasih melanjutkan.
- Bila pakaian seragamku mengandung ramuan racun tertentu, masakan golongan hitam tidak demikian pula? Tetapi kakak tak usah khawatir. Dalam hal mengadu ilmu racun. ilmu ketabiban dan rahasia ilmu hitam, golongan kami menang setingkat. Itulah berkat jasa
Tiga dewa yang kakak sebutkan. Sebaliknya dalam hal ketangguhan. tiga dewa itu harus belajar dan berguru kepada kakak.
- Sebenarnya siapakah beliau bertiga itu?


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Musuh tiga dewa berjumlah dua orang. Seorang lakilaki dan seorang perempuan. Yang laki-laki dianggap sebagai lambang penjelmaan Kala. Yang perempuan dianggap sebagai lambang penjelmaan Durga. Masing-masing mempunyai kelompok demi melestarikan ajarannya. Mereka bernama Mahera dan Yoni Nandini. Tidak mudah orang dapat bertatap muka dengan kedua iblis itu. Tetapi mereka berdualah yang justru kelak akan mencari kakak. Alasannya, karena kakak akan dipandang sebagai bibit bencana.
- Sebab?
- Tenaga sakti yang manunggal dalam diri kakak inilah yang diperlukan tiga dewa demi mengalahkan kedua iblis itu. jawab Pamasih.
Tiba-tiba ia mengeluarkan kotak sepanjang empat puluh senti dari balik jubahnya. Lalu dibukanya dan diperlihatkan kepada Yudapati. Ternyata berisikan sebuah kecapi terbuat dari perunggu kuno. Kata Pamasih:
- Panjang kecapi tiga puluh senti. Lebarnya 7.6 dan melebar sampai 21,8 sentimeter. Dawainya berjumlah lima. Terimalah!
- Untukku?
Yudapati tercengang.
Pamasih mengangguk sambil mengangsurkan kecapi istimewanya. Menerangkan:
- Dengan kecapi ini, kakak akan dapat menaklukkan ilmu hitam mereka berdua. Karena kakak memiliki himpunan tenaga sakti yang diperlukan.
- Dari siapa engkau memperoleh kecapi ini?
Yudapati menegas sambil menerima kecapi itu.
- Dari guruku. - Gurumu? Siapa?
- Yang kakak sebut tiga dewa. jawab Pamasih.
- Ah!
Yudapati tertegun.
- Aku tidak berayah-bunda semenjak berumur tiga tahun. Untung guruku Ganesa. berkenan membesarkan diriku. Menjelang usia remaja, aku diperkenalkan dengan kedua guruku yang lain.
- Paman Anggira dan paman Balitung, bukan? - Benar.
- Kalau begitu. benarlah tutur-kata paman Rajah Kusambi. Tetapi apakah benar beliau bertiga berkenan mengambilmu sebagai murid? Kudengar antara mereka bertiga saling bersaing dalam hal ilmu pengetahuan, ketabiban dan racun.
- Benar. Hal itu terjadi atas kehendak alam. - sahut Pamasih.
- Pada suatu hari beliau bertiga berkumpul dan membicarakan sepak-terjang Mahera dan Nandini. Ringkasnya, beliau bertiga harus menghadapi kedua iblis tujuh tahun lagi. Beliau bertiga merasa kalah dalam hal ketangguhan jasmani. Tegasnya, guruku bertiga tidak pandai berkelahi. Maka beliau bertiga bersepakat hendak mewariskan semua ilmunya kepada seorang saja dengan harapan agar aku melestarikannya. Mungkin sekali hal itu terjadi lantaran tiada waktu lagi. Pendek kata ketiga guruku merasa dikejar-kejar oleh waktu. Demikianlah aku digembleng dan dilatih agar dapat mewarisi semua ilmu beliau. Karena tidak mudah, maka aku diwajibkan menguasai yang pokok pokok saja. Semuanya berjumlah 13 ribu macam. Yang lainnya dapat kupelajari di kemudian hari karena tertulis dalam sebuah kitab. Menurut perhitungan guru andaikata kitab itu hilang atau dirampas lawan, semua inti pokoknya sudah kukuasai.
- Tiga belas ribu macam?
Yudapati hampir berseru.
- Dan yang merupakan sempalannya. berapa jumlahnya?
- Tidak terlalu banyak dan tidak terlalu penting. Semuanya 5.600 macam. - lima ribu enam ratus macam. kau sebutkan tidak terlalu banyak? ,ujar Yudapati.
- Setelah aku dinyatakan lulus. mulailah guru memberi pesan-pesan tertentu demi melestarikan ajarannya dan demi menjaga rumah tangga Kaum Pasupata. Di antaranya yang telah kuujikan kepadamu. Pamasih meneruskan.
- Pasupata adalah nama Agama kita yang asli. Inti ajarannya menyembah dan bersujud kepada HIDUP. - Hidup? Mengapa hidup? :
Yudapati tak mengerti.
- Sebab HIDUP tidak mempunyai sebaliknya. Umpamanya baik mempunyai kata sebaliknya buruk. Kiri. sebaliknya kanan. Tinggi, sebaliknya rendah. Suci. sebaliknya kotor. '
- Tidak hidup, bukankah sebaliknya hidup? bantah Yudapati.
Pamasih bersenyum. Sahutnya:
- Yang kau maksudkan tidak hidup berarti mati. bukan? Padahal sebaliknya mati adalah lahir atau ada. Karena ada menjadi tidak ada. Tetapi HIDUP tidak mempunyai sebaliknya, karena HIUDP mengandung makna ada dan tidak ada. Itulah sebabnya. maka HIDUP bersifat abadi. Tiada akan berubah. Tiada akan musnah, berkurang atau berlebih. - Hidup adalah ada dan tidak ada.
Yudapati berkomat kamit.
- Ya, pikirnya.
- Hidup memang tidak berbentuk dan tidak berwujud. Namun terasa adanya dan terasa kehadirannya.
Memperoleh pengertian demikian, tak disadarinya sendiri ia memanggut-manggut.
- Karena hidup tidak tersentuh dan tidak tergerayangi. maka sifatnya suci.
Pamasih melanjutkan lagi.
- Maka pemeluk Kaum Pasupata diwajibkan bertindak suci. berbicara suci, berpikir suci, berangan-angan suci. berpencaharian yang benar, bersembah yang benar dan bersemadi yang benar pula. Berdarma atau menolong sesama hidup merupakan kuwajiban yang utama pula. Tetapi Kaum Pasupata menyadari bahwa di dalam diri manusia bersinggasana dua unsur yang bertentangan. Yang putih dan Yang hitam. Yang Dewa dan Yang Iblis. Bila sang Dewa yang menguasai isi kalbu manusia, di dunia ini tiada makhluk yang melebihi kemuliaan hati manusia. Sebaliknya bila Sang lblis yang sedang berkuasa, maka manusia malahan melebihi keganasan binatang. - Benar. sahut Yudapati menguatkan.
- Sejalan dengan perkembangan jaman. ternyata Yang Hitam yang mempunyai tempat lebih luas dalam masyarakat. Bisa dimengerti, karena kemuliaan. kehormatan. kenikmatan hidup, kekuasaan dan kemashuran menjadi tujuan golongan hitam yang utama. Sebagian besar masyarakat di dunia ini, siapakah yang tidak cepat tertarik kepada masalah duniawi yang menggiurkan dan menggoyahkan iman. Hanya saja, demi tujuan itu mereka menghalalkan segala cara. Tidak segan-segan mereka melakukan pembunuhan. pemerkosaan. perampasan, guna-guna dan fitnah. Inilah yang kita tentang dan kita lawan.
- Bagus! Dalam hal ini aku berada di pihakmu.
Yudapati menyambut dengan bersemangat.
- Terdorong oleh nafsu ingin menduduki puncak tangga kemashuran. maka Mahera dan Yoni Nandini mempunyai caranya sendiri. Menurut kabar, mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno yang memuat semacam ilmu hitam yang ganas. Terdiri dari 47 jurus terpisah yang memerlukan obor ramuan masing-masing. Obat ramuan itu harus merasuk ke dalam darah seekor anjing yang doyan daging bocah berumur sebelas tahun. Anjing apa lagi namanya yang doyan daging manusia. kalau bukan jenis srigala liar? Mereka bisa menangkap masing-masing 47 ekor srigala liar. Mungkin pula sudah berhasil mencekoki kawanan srigala itu dengan darah atau daging anak manusia. Akan tetapi ramuan yang diperlukan berada dalam genggaman ketiga guruku. itulah sebabnya, mereka berdua mengancam ketiga guruku agar menyerahkan rahasia ramuan obat yang dikehendaki. Bila menolak jiwa taruhannya. Karena ketiga guruku tidak pandai berkelahi. beliau kemudian bersembunyi di dalam hutan. Hutan yang merupakan pelindung jiwa beliau, segera ditanami berbagai racun demi mencegah penyerbuan kakitangan Mahera dan Yoni Nandi. Selanjutnya, sudah kukatakan tadi, demi melestarikan ilmu pengetahuan, beliau bertiga memilih diriku sebagai pewaris tunggal. Sebab menurut pengalaman. akan susah menghadapi mereka, manakala lebih dari seorang. Bukankah suatu kali mereka berhasil menangkap hidup atau mati salah seorangnya? - Lalu
- Setelah beliau bertiga meninggalkan pesan-pesan agar mencari seseorang yang dapat melawan kebiadaban kaum Kala dan Durga, tiada kabar-beritanya lagi. Mungkin . . . mungkin . . . -tiba-tiba Pamasih terisak-isak.
- Sudahlah, jangan kau lanjutkan. hibur Yudapati.
- Kalau saja aku berkenan memenuhi syaratnya, aku akan melaksanakan harapan beliau bertiga.
Mendengar kata-kata Yudapati yang terakhir itu, isak Pamasih berhenti seketika. ia mengeluarkan sejilid kitab tipis dan diangsurkan kepada Yudapati. Katanya:
- Mereka memang tidak mudah dapat menemukan rahasia ramuan obat yang dikehendaki. Akan tetapi mereka bukan manusia bodoh. Siapa tahu, pada suatu kali mereka menemukan jalan lain. Bilamana mereka berdua dapat mengusai ke 47 jurus itu, menurut guru tiada lagi tandingnya. Maka pelajarilah isi kitab tipis ini. Di dalamnya memuat petunjuk-petunjuk cara menghancurkan daya sakti kaum sesat yang akan menimbulkan kesengsaraan tak terlukiskan lagi. Terimalah!
Dengan berdiam diri, Yudapati menerima kitab itu. Tatkala ia berdiri hendak menyatakan rasa hormatnya kepada pencipta isi kitab itu. Pamasih berkata:
- Urungkan dulu maksud baikmu ini! Sebab masih ada dua lagi yang harus kusampaikan kepada kakak.
- Apa itu? Pamasih tidak segera menjawab. Ia menatap wajah Yudapati dengan rasa khawatir. Sejenak kemudian ia berkata hati-hati:
- Kakak Yudapati! Memasuki perkampungan Kaum Pasupata Hitam samalah halnya menyerahkan jiwa. Aku tidak menghendaki, kakak akan mengalami nasib demikian. Sebab kecuali demi keselamatan diri sendiri, kini kakak sudah memikul suatu tanggung jawab yang besar. Suatu tanggung jawab, demi kebajikan umat manusia dan kelestarian hidup tenteram, aman, damai. - Aku mengerti. sahut Yudapati dengan suara tegas.
- Matiku berarti matinya harapan gurumu bertiga dan hancurnya peradaban manusia. Bukankah begitu? - Karena itu. sudikah kakak mengenakan perisai? Itulah jubah putih Kaum Pasupata. Beberapa saat Yudapati tegak berdiri bagaikan patung. Berbagai pertimbangan merumun dalam otaknya. Pikirnya, mengenakan jubah putih berarti aku menyatakan terang terangan terhadap siapapun. bahwa aku adalah anggauta Pasupata Putih. Padahal baik Kaum Pasupata Putih apalagi Hitam, sudah terlanjur dibenci masyarakat. Hal itu pernah kusaksikan sendiri menimpa keluarga pendekar Goratan. Sama sekali pendekar Goratara tidak diberi kesempatan
untuk membersihkan diri. Padahal dia hanya salah seorang sahabat Kudawani tokoh Pasupata Putih. Tetapi aku melihat suatu tindak sewenang-wenang. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa mereka yang datang mengeroyok keluarga pendekar Goratara adalah justru Kaum Pasupata golengan Hitam. Mengapa aku tidak berani melawan kebiadaban itu? Lagipula, Pamasih bermaksud baik terhadapku demi melindungi dari suatu bencana yang tidak terduga. Biarlah kukenakan jubah putih ini. Rasanya belum terlambat juga, bilamana aku ingin membuangnya. Bukankah aku harus pulang ke Tarumanegara. setelah menyelesaikan perintah Yang Mulia Lembu Seta?
Memperoleh pertimbangan demikian, terus saja ia menerima jubah Pasupata itu dengan tersenyum lebar. Katanya:
- Pamasih. aku terima pemberianmu dan akan kubawa pulang kepadamu dalam keadaan utuh. - O, terima kasih! -tiba-tiba gadis itu melompat dengan gembira.
Dan setelah jubah putih itu beralih ke tangan Yudapati, ia berkata:
- Sekarang tinggal sebuah benda.
- Apa itu?
- Sebulah peluit yang terbuat dari batu antariksa. - Untuk apa?
Yudapati heran.
- Golongan Hitam terbagi menjadi dua bagian. Bagian luar dan bagian dalam. Bagian dalam terdiri dari para pemimpin inti. Bagian luar adalah para kaki-tangannya. Untuk dapat memasuki golongan dalam. hanya ada sebuah jalan.
- Itu!
Pamasih menunjuk ke arah ketinggian di sebelah timur.
Yudapati melemparkan pandang mengikuti arah telunjuk Pamasih. Waktu itu kira-kira pukul tiga pagi. Meskipun demikian, suasana alam masih gelap pekat. Kecuali tiada cerah bulan berada di tengah hutan raya. Itulah sebabnya,
Yudapati hanya melihat suatu bentuk gelap yang menutupi udara.
- Itulah puncak gunung yang senantiasa diselimuti kabut. Pamasih memberi keterangan.
- Usahakan agar kakak berada di bawahnya sebelum menjelang pagi hari. Perjalanan kakak akan terhalang oleh sebuah jurang yang sangat curam. Berapa dalamnya tak terukur lagi. Tunggulah sampai sinar matahari bercahaya untuk yang pertama kali. Lalu tiuplah peluit ini! Dan kakak akan ditolong orang lain ,pergunakan semua kepandaian kakak. Jangan mau mengalah sedikit pun. Setelah sampai di seberang. selanjutnya kuserahkan semuanya kepadamu dan kepada perlindungan Sang HIDUP. Bukankah kakak berjanji akan membawa peluit ini pulang dalam keadaan utuh? Juga jubah pemberianku itu? Nah. kutunggu. Sekarang apa pesanmu?
Yudapati merenung puncak gunung yang tidak nampak jelas jauh di depan. Kemudian menghela nafas. Berkata:
- Ada tiga hal. Maukah engkau mendengarkan? - Mengapa tidak? Katakan! sahut Pamasih dengan cepat dan angker.
- Yang pertama. apakah aku harus mengenakan jubah putih ini sekarang juga? - Pakailah sebagai pakaian dalam! Cobalah periksa! Yang engkau sebutkan jubah, sebenarnya bukan jubah sesungguhnya. Segera Yudapati membuka jubah pemberian Pamasih. Ternyata terbuat dari bahan tipis sekali. Potongannya seperti celana bersambung dengan kemeja berlengan pendek. Kalau begitu, memang bisa dikenakan sebagai pakaian dalam, lagipula ukurannya belum tentu pas.
- Ah. pikir Yudapati.
- Prasangkaku terlalu besar. Jubah ini bisa kukenakan kapan saja dan di mana saja. Siapa pun takkan melihat karena akan tertutup pakaian luar.
-Apakah jubah ini beracun seperti yang kaukenakan? ia minta keterangan.
- Mengandung ramuan tertentu. Akan tetapi sifatnya berbeda. Jubah ini harus melekat pada kulit. Bilamana kakak melintasi suatu wilayah yang mengandung hawa atau jebakan lain yang beracun, akan segera memberikan reaksi. Kulit kakak akan terasa terselomot hawa panas. Dan jubah ini akan memiliki daya guna ampuh bila kakak mengerahkan tenaga sakti.
- Terima kasih. Yang kedua, kenalkah engkau dengan seorang tokoh Pasupata yang bernama Tepus Rumput? - Tentu saja.
- Di manakah dia kini berada?
Yudapati bergembira.
- Terus-terang saja, aku hanya mendengar namanya dari keterangan ketiga guruku. Karena dia mempunyai tugasnya sendiri, kukira kakak akan bisa bertemu di atas puncak gunung itu pula. Sebab tugasnya, ikut membantu melabrak Mahera dan Yoni Nandini.
- Sekarang yang terakhir. Ini merupakan sebuah pesan. Apakah engkau mau membantu menghimpun seluruh ketua aliran lurus demi berhasilnya perjuangan semesta? setelah berkata demikian, dengan cepat dan jelas ia mengabarkan rencana dan tujuan perjalanannya
- Baik. Aku akan berusaha sedapat-dapatku.
Pamasih menyanggupi.
- Tetapi waktumu tinggal sedikit. Berangkatlah! Sebab hal ini tidak dapat tertunda lagi. Bukankah kaki-tangan Mahera semalam kau biarkan kabur? Meskipun mati juga, tetapi matinya mengundang perhatian kawan-kawannya.
- Lalu?
Yudapati cemas.
- Aku bisa menolong diri lagipula pamanmu Rajah Kusambi masih berada di sampingku. Bila aku menyampaikan pesan-pesan kakak, bukankah dia akan berkenan membantu kesulitanku? Yudapati mengangguk. Setelah melihat arah gunung, segera ia berangkat meninggalkan Pamasih yang berdiri tegak di atas batu. Wajahnya berkesan kering. Sama sekali tidak memperlihatkan keadaan hatinya,
- Ah, aku sendiri yang perasa. pikir Yudapati di dalam hati.
- Dia sudah biasa hidup seorang diri. Hidup di tengah ancaman bahaya. Mengapa aku mesti memikirkannya yang bukan-bukan? Dia bukan Diatri atau Tara yang tentu saja akan jadi terharu, manakala kutinggal dengan sekonyong-konyong.
Dengan pikiran itu, hatinya jadi mantap. Setelah Pamasih hilang dari penglihatannya, segera ia menanggalkan pakaian luarnya, Jubah istimewa pemberian Pamasih dicobanya untuk dikenakan. Ternyata ukurannya terlalu kecil. Bagian atas menekan rapat pada dadanya yang bidang, sedang bagian bawahnya hanya sampai setinggi lutut. Kebetulan, malah. Jubah istimewa itu tepat sekali menjadi pakaian dalam. Setelah mengenakan pakaian luarnya, ternyata tidak terasa mengganggu karena terbuat dari bahan yang sangat tipis.
Sekarang ia mulai memusatkan seluruh perhatiannya kepada tujuan perjalanan. Untuk mengejar waktu, dia harus lari secepat-cepatnya. Tetapi suasana alam gelap pekat.
Apakah pandang matanya dapat menembus tirai alam?
- Jangan mau mengalah sedikit pun! suara Pamasih mengiang di dalam pendengarannya.
Seketika itu juga,terbangunlah semangat tempurnya. Segera ia mengerahkan tenaga sakti Tantrayana tingkat sepuluh. Tataran ini pernah digunakan satu kali, tatkala harus mengangkat batu penutup goa gurunya. Sekarang daya saktinya mulai memperlihatkan kehebatannya. Tiba-tiba saja. alam sekitarnya menjadi cerah, secerah alam menjelang petang hari. Semuanya terlihat dengan nyata dan tegas. Terus saja ia melompat tinggi dan berlari cepat bagaikan kilat melalui puncak pepohonan. Sebentar saja. petak hutan telah dilampaui. Kini harus beberapa kali melompati jurang dan ketinggian.
Jubah istimewa pemberian Pamasih memperlihatkan kesaktiannya pula. Terkena dorongan daya sakti Tantrayana sekujur tubuh Yudapati mendadak saja menjadi hangat nyaman. Sama sekali ia merasa tidak letih. Bahkan sekujur pembuluh darahnya seperti terbuka dan dimasuki semacam hawa segar. Memperoleh kenyataan itu. hati Yudapati makin menjadi tegar. Rasanya ia tidak gentar menghadapi apa pun di dunia ini. Pendek kata, rasa takutnya seakan-akan sirna begitu saja.
Perhitungan Pamasih ternyata tepat sekali. Sebelum fajar menyingsing, Yudapati sudah tiba di tepi tebing jurang yang berada di bawah puncak gunung. Jurang itu sangat lebar dan dalamnya tak terukur lagi. Seluruh penglihatan di sekitar jurang, suram berkabut dan menyeramkan. Berpikirlah Yudapati: - Menurut Pamasih, inilah jalan satu-satunya untuk mencapai perkampungan kaum hitam. Berarti perkampungan itu berada di seberang. Lalu dengan cara apa penduduknya mencapai perkampungannya? Mustahil mereka bisa melompati jurang selebar ini. Lagipula tertutup kabut tebal tak ubah asap lautan api. Pastilah terdapat sebuah jalan rahasia sebagai penghubungnya.
Yudapati kemudian memeriksa tebing jurang dengan berlari-larian lagi. Tetapi setelah ubek-ubekan sekian lamanya, tebing jurang itu tetap saja menganga. Sama sekali tidak terdapat alat penghubungnya untuk mencapai seberang. Mau tak mau, ia jadi sibuk sendiri.
- Apakah penduduknya bersayap? Ah, mustahil!
Dengan hati kesal ia menjatuhkan diri di atas batu yang
mencangak panjang seolah-olah menjenguk kedalaman jurang. Hawa sekitar tempat itu. tentunya dingin luar biasa. Akan tetapi berkat perlindungan baju rangkap istimewa pemberian Pamasih, sekujur badannya bahkan merasa diselimuti rasa hangat yang nyaman.
- Ah, biarlah aku menunggu sampai matahari menebarkan cahayanya untuk yang pertama kali. Bukankah begitu pesan Pamasih? ia berkata kepada diri sendiri.
Dan teringat akan Pamasih, ia jadi berpikir lagi. Gadis itu sudah menyatakan siapakah dirinya. Akan tetapi masih saja tetap merupakan tokoh teka-teki yang belum jelas benar. Usianya belum mencapai dua puluh tahun, namun sudah menguasai llmu Ketabiban dan Ilmu racun sekian ribu macam banyaknya. Selain itu mengetahui pula rahasia Ilmu Hitam.
Benarkah itu?
Tetapi nyatanya demikian. Otaknya cerdas luar biasa. Semua tindakannya sudah diperhitungkan masak-masak. Tidak pernah salah dan selalu tepat tiada bedanya dengan seorang tabib yang dapat menebak dan menentukan penyembuh dan penyebabnya suatu penyakit. Benar-benar luar biasa. Kalau saja tidak bertemu sendiri, sukar Yudapati menerima kenyataan itu.
Karena masih mempunyai waktu, secara iseng ia mengeIuarkan kitab petunjuk memetik kecapi istimewa pemberian Pamasih. Begitu dibukanya. ia terkejut dan tercengang. Sebab ia membaca suatu kalimat permulaan yang aneh. Begini bunyinya:
1 siapa yang memetik dawainya akan rantas
2 bulu ekor kuda berbunyi lebih halus
3. yang perempuan jadi laki-laki
yang laki-laki jadi perempuan
- Apa yang dimaksudkan?
Yudapati terlongong longong.
- Siapa disebut perempuan dan laki-laki? Jenis kuda atau istilah jenis nada? Yudapati mempunyai pembawaan istimewa. Makin menghadapi kesulitan. semangat tempurnya makin tinggi. Selamanya, ia pantang menyerah. Selain itu, ia cermat dan sabar. Suatu perpaduan yang imbang dan jarang dimiliki Pribadi seseorang. Apalagi otaknya kini cerdas luar biasa. Terus saja hati dan pikirannya bekerja dengan sendirinya.
- Pamasih mengharapkan aku memetik kecapi pemberiannya dengan menggunakan himpunan tenaga sakti yang tinggi. -pikirya di dalam hati.
- Peringatan dalam kitab ini, benar. Kalau kupetik dengan cara begitu. dawainya tidak hanya akan rantas tetapi jelas akan hancur. Lalu, bulu ekor kuda berbunyi lebih halus. Hm, rupanya bukan harus kupetik. Tetapi kugesek dengan bulu ekor kuda. Kalau bukan dengan cara menggesek, bagaimana bisa berbunyi? Lalu apa makna kata-kata: lebih halus? Ah, biarlah begitu dulu. Yang perlu kuingat-ingat, harus mencari bulu ekor kuda dulu. Bulu di sini, mungkin dimaksudkan rambut ekor kuda yang panjang. Yang perempuan jadi laki-laki. Yang laki-laki jadi . . . Ah, biarlah dulu. Kemudian ia mulai memeriksa lembaran-lembaran berikutnya. Semuanya berjumlah empat lembar. Lembar kedua sampai keempat hanya berisi deret angka-angka yang dirangkaikan, dipisah atau disusun. Yudapati hanya bisa menebak, angka-angka itu pasti mewakili tangga nada.
Anehnya, mengapa ada yang disusun pula?
Selama aku belum membekal bulu ekor kuda. bagaimana aku bisa mengerti maknanya. Biarlah pelahan-lahan kupelajari, ia memutuskan. Dan segera ia menyimpan kitab itu di balik bajunya.
Sekarang, kembali lagi ia mengamati lereng puncak yang makin menjadi jelas. Kabut masih saja menutupi penglihatan. Selagi ia berenung-renung memeriksa kabut yang selalu bergerak itu. sekonyong-konyong ia seperti melihat beberapa bayangan menari-nari.
- Hei. apa itu? ia heran.
Ia mempertajam penglihatannya. Dengan berbekal inti tenaga sakti Tantrayana tingkat sepuluh, pandang matanya dapat menembus tebal kabut. Dan benar-benar ia melihat beberapa bayangan bergerak melintasi sesuatu, lalu lenyap.
- Eh!
Yudapati mengucak-ucak kedua matanya.
- Apakah di dunia ini benar-benar ada hantu?
Selagi hatinya menduga-duga, muncul lagi dua bayangan. Kali ini melintasi tebing jurang dan menghilang di seberang sana. Yudapati menoleh ke tempat hilangnya bayangan itu, ia menunggu. barangkali dari sana muncul pula sosok bayangan. Terkaannya benar. Dari balik ketinggian tiba-tiba saja muncul tiga bayangan yang melayang dengan cepat melintasi jurang yang berkabut.
- Ah. benar-benar hantu! sekarang Yudapati yakin.
Sebab kalau bukan hantu, betapa mungkin dapat melayang di atas kabut dan menyeberangi jurang selebar itu. Dan memperoleh keyakinan demikian, justru bulu kuduknya meremang dengan tak dikehendaki sendiri.
Ia jadi gelisah sendiri. Hantu, iblis, setan atau roh jahat pernah didengarnya melalui cerita masa kanak-kanak. Selama ini belum pernah ia melihat dengan saksi mata kepalanya sendiri. Kalau toh ia bertemu dan bertatap muka dengan yang disebut iblis atau setan adalah pekerti manusia-manusia biadab. Bukan dalam arti memiliki bentuk jasmaniah.
Tetapi Pamasih berkata bahwa perkampungan golongan hitam berada di seberang. Mustahil dia berdusta. Sebab dalam hal ini dia ikut bersaham.
Lalu apa artinya sosok bayangan itu? Oleh rasa penasaran, tak terasa ia berdiri tegak dan mengawaskan arah lalu-lintas dengan tegang. Ia ingin membuktikan sekali lagi. Kalau perlu akan dipukulnya dari jauh. Kalau benar-benar hantu seperti dongeng kanak- kanak, pasti lenyap tak terbekas. Akan tetapi sekian lamanya dia menunggu, bayangan-bayangan itu tidak muncul lagi. Kembali lagi dia jadi sibuk. Pikirnya di dalam hati:
- Pamasih berpesan agar menunggu sampai cahaya matahari bersinar untuk yang pertama kali. Bukankah bermaksud agar aku tidak berpapasan dengan beberapa bayangan tadi? Apakah hantu-hantu itu menampakkan diri pada waktu yang sudah tertentu? Tetapi kalau bayangan tadi adalah hantu, apa sebab Pamasih tidak mengabarkan? Ataukah karena merasa dikejar waktu. sehingga tidak sempat mengabarkan hal itu? Tetapi Pamasih seorang gadis yang cermat dan cerdas. Tiap patah katanya dan setiap langkahnya diperhitungkan dulu dengan masak-masak dan cermat. Mustahil beberapa bayangan itu luput dari pengamatannya.
Karena berpikir dengan seorang diri, maka teka-teki itu tiada yang menjawab. Mau tak mau ia harus membuktikan sendiri. Dan satu-satunya jalan, hanya menunggu saatnya.
Sebenarnya, waktu itu sudah mendekati pukul lima pagi hari. Paling lama setengah jam lagi. cahaya matahari akan tertangkap dari suatu ketinggian gunung meskipun tertutup kabut. Tetapi karena hatinya gelisah, waktu sependek itu dirasakan berjalan amat lambat.
Akhirnya apa yang ditunggu-tunggu, tiba. Udara di ufuk timur mulai membersitkan cahaya samar-samar.
- Itulah barangkali yang dimaksudkan Pamasih cahaya sinar matahari yang pertama. Segera ia mengambil peluitnya dan ditiupnya pelahan. Meskipun pelahan, karena tertiup
oleh tenaga himpunan sakti tataran sepuluh, akibatnya terlalu dahsyat. Kabut tebal yang menutupi mulut jurang tidak hanya tersibak akan tetapi di seberang terdengar suatu suara gemuruh. Rupanya lereng gunung tergetar oleh daya saktinya dan runtuh berguguran meluruk ke jurang.
- Ah. aku terlalu semberono!
Yudapati menyesali diri sendiri!
- Mudah-mudahan saja, lereng gunung sering terjadi tanah longsor sehingga tidak mengundang perhatian. Ia menyimpan peluitnya kembali dan menunggu. Beberapa saat kemudian muncul nyala api samar-samar di kejauhan. Jelas sekali, itu sebuah obor menyala. Dan obor itu lalu terbang ke udara mencapai tepi tebing. Begitu tertancap, nyala apinya masih saja menyala terang.
Yudapati terkejut. Pembidiknya atau pelontarnya bukan orang sembarangan. Tempat jatuhnya seperti sudah diukur dan ditentukan. Memperoleh pikiran demikian. ia segera lari menghampiri. Dengan sisa penerangan obor yang hampir padam itu, ia sempat melihat melintangnya seutas tali terbuat dari logam.
Pada detik itu juga. apa yang masih gelap baginya menjadi jelas. Lalu-lintas dari seberang ke seberang ternyata hanya melalui seutas tali terbuat dari logam. Kalau begitu. sosok bayangan tadi bukan hantu juga bukan setan. Tetapi manusia yang berkepandaian tinggi. Sebab untuk melintasi jurang selebar itu melalui seutas tali memerlukan kepandaian istimewa. Apalagi dalam suasana berkabut.
Meskipun Yudapati belum pernah main akrobat tetapi berjalan di atas tali bukan merupakan hal yang sulit baginya berkat ilmu saktinya yang tinggi. Ia bahkan sanggup lari kencang tanpa membuat tali itu bergerak meskipun andaikata dilanda angin dengan tiba-tiba. Apalagi terbuat
dari logam. Sedangkan berjalan di atas ranting mahkota pepohonan dapat dilakukannya seperti seorang berlari larian di atas jalan yang rata. Soalnya kini dia belum tahu pasti, di mana akhir tali itu.
- Apakah obor ini untuk kugunakan sebagai pandu perjalanan? -pikirnya.
Ia memungut obor yang sudah padam. Setelah dikocak kocak ternyata tiada sisa minyaknya. Ia mencoba menyalakan dengan hembusan hawa sakti. Sumbu obor malahan hancur berderai. Tatkala berpaling ke arah lintang tali, samar-samar ia melihat setangkai obor tertancap di seberang. Selagi mengamati,obor itu tiba-tiba terpelanting jatuh masuk ke jurang.
Yudapati yang cerdas luar biasa dengan cepat dapat membaca apa yang terjadi di seberang sana. Pikirnya,
- jelas sekali aku tidak boleh menggunakan obor ini. Yang menolong diriku sudah memberi petunjuk akhir penyeberangan. Tetapi rupanya, ada yang merintangi. Obor tadi seperti tertendang dan jatuh terpelanting masuk ke dalam jurang.
- Bagus! - ia berseru di dalam hati sambil membuang obor yang tidak bersumbu lagi.
Seketika itu juga, tahulah ia akan makna kata-kata Pamasih:
- Jangan mau mengalah! Kalau begitu, mungkin sekali aku akan menghadapi serangan gelap.
Semangat tempurnya bergolak hebat. Karena sudah tahu arah dan akhir lintasan tali itu, hilanglah rasa keragu raguannya. Terus saja ia melesat di atas tali yang terpancang kuat dan lari bagaikan sesosok bayangan hantu pula.
- Bukankah aku jadi hantu pula, kalau dilihat dari kejauhan? -pikirnya.
- Kalau begitu. tentunya tadi bayangan manusia juga yang sewaktu-waktu bisa menyerang diriku. Maka aku harus waspada. Benar saja. Baru saja ia melintasi sepertiga bagian.
sekonyong-konyong indranya yang tajam menangkap suatu gerakan serangan dari jauh. Suatu gumpalan angin datang menyambar dengan kuat. Untung ia sudah bersiaga. Tanpa ragu-ragu lagi ia menangkis sambil melompat maju. Gumpalan angin buyar bahkan terdorong mundur menghantam tebing seberang.
Brak!
Terdengar segumpal tanah longsor berguguran dan meluruk memasuki jurang.
- Hai! Bangsat ini hebat juga! terdengar suatu suara diseberang.
Yudapati menajamkan penglihatan. Sesosok bayangan datang dengan cepat. Bayangan itu, jelas membawa senjata. Yudapati tidak membiarkan penyerang itu menghampiri. Terus saja ia mendahului menghantam. Dan dengan jeritan memilukan hati, bayangan itu terpental jatuh masuk ke dalam jurang.
Pada detik itu, ia jadi mengerti akan makna ucapan Rajah Kusambi. Bila seseorang dihadapkan pada masalah hidup atau mati, tiada jalan lain kecuali membunuh atau dibunuh. Inilah untuk yang pertamakalinya, Yudapati melakukan pembunuhan begitu merasa diserang. Hal itu terjadi, karena dirinya berada di atas seutas tali yang membentang di tengah jurang yang mempunyai kedalaman tak terukur lagi.
Ia menduga, bahwa penyerangnya tidak hanya terdiri seorang dua orang. Paling sedikit adalah mereka yang tadi menampakkan bayangannya. Karena itu. Ia harus secepat mungkin melintasi tali penghubung.
Benar saja. Begitu kakinya tiba pada jarak kurang sepertiga perjalanan, pendengarannya yang tajam luar biasa, menangkap bunyi kesibukan di seberang tebing, ia tidak mau kehilangan tempo. Bukan mustahil mereka akan memotong ujung tali. Terus saja ia meloncat tinggi dan terbang bagaikan burung bersayap sambil melepaskan pukulan Tantrayana
tingkat sembilan.
Bres!
Itulah suatu gempuran yang luar biasa dahsyatnya. Begitu mendapat di tepi tebing, penglihatan pertama yang menyongsongnya adalah tujuh orang mati berserakan. Segera ia bertindak cepat. Untuk menghilangkan jejak, ia menendang ke tujuh mayat itu masuk ke dalam jurang. Dan barulah ia melepas nafas lega. Sebab di atas darat ia merasa bisa bergerak lebih leluasa.
Tetapi kini, ia menghadapi masalah lain. Seberang tebing ternyata tertutup oleh dinding gunung. Di tengahnya terdapat lorong semacam goa panjang. Kiri dan sebelah kanan. dinding gunung pula. Kalau begitu, mereka yang menyerang tadi muncul dari lorong itu. ia jadi ragu-ragu.
Memasuki lorong satu-satunya itu atau. tidak?
Kalau tidak,
ke mana?
Sebaliknya bila masuk,samalah halnya memasuki kerangkeng harimau. Tiba-tiba terdengar suara berbisik:
- Masuk cepat!
Teringatlah dia kepada dua obor yang memberinya petunjuk sebentar tadi. Dan tapa ragu-ragu lagi ia memasuki lorong itu yang gelap luar biasa. Ia yakin bahwa yang berbisik tadi niscaya orang yang memberinya petunjuk. Hanya saja tidak mau memperlihatkan diri terang-terangan.
Yudapati pernah mendekam dalam goa yang gelap pekat. Selain itu ilmu saktinya kini pada hakekatnya tak terlawan oleh siapa pun. itulah sebabnya. tidak mengherankan bahwa dalam sekejap saja pandang matanya sudah bisa menyesuaikan diri. Maka dapatlah ia berjalan dengan cepat.
- Jangan terus! Belok kiri! terdengar lagi suara berbisik.
Ia membelok ke kiri dan terus berjalan kira-kira satu jam lamanya. Tiba-tiba ia melihat suatu cahaya di kejauhan. Tentunya itulah mulut lorong yang merupakan jalan
keluar. Terus saja ia melesat lari dan dapat mencapai mulut lorong itu dalam beberapa detik saia. Sampai di situ,ia jadi heran sendiri.
Di manakah tempat beradanya penolongnya?
Bila mendahului keluar mulut lorong goa. ia tentu dapat melihatnya karena cahaya matahari masuk dari luar ke dalam. Tetapi semenjak tadi, ia tidak melihat sosok bayangan pun.
- Jangan-jangan dia menguasai ilmu menghilang seperti pengalaman Diatri. pikirnya menebak-nebak.
Tetapi ia tidak mau dipengaruhi pikiran yang bukan bukan, selama belum membuktikan sendiri. Pelahan-lahan ia melongokkan kepala ke luar mulut lorong goa. Sinar yang luar biasa cerahnya mengejutkan pandang matanya. Buru-buru ia surut mundur. Sebenarnya itulah cahaya matahari yang nampak sudah sepenggalah tingginya dari tempatnya berada. Karena semenjak semalam pandang matanya menyesuaikan alam yang gelap, tidak mengherankan menjadi silau begitu terkena cahaya matahari dengan mendadak.
Tatkala hendak mengulangi lagi, terdengar suara memperingatkan:
- Apakah kau mau mati?
Yudapati mengurungkan niatnya. Sebab itulah suara yang semenjak tadi mengikutinya.
- Masuk! perintah suara itu lagi.
Sekarang, Yudapati dapat mengenal tangga nada suara itu. Niscaya seorang gadis. Ia berpaling dan melihat dinding lorong goa terbuka seperti daun pintu. Terus saja ia melompat masuk. Ia percaya, bahwa suara yang melarangnya tadi pasti mempunyai maksud baik.
Begitu tiba di dalam, dinding goa tertutup kembali dan ia merasa seperti terkurung di dalam suatu ruang yang gelap gulita. Meskipun demikian. ia tetap tenang. Kecuali percaya bahwa gadis yang mengisiki dirinya bermaksud
baik, bila perlu masih sanggup ia menjebol dinding yang tertutup. Hati hati ia mulai berjalan menyusur dinding sambil meraba-raba. Siapa tahu ia menemukan tombol rahasia yang akan membawanya ke jalan tembus. Namun sekian lamanya ia berputar-putar. dinding seberang-menyeberang tidak terdapat pintu rahasia lagi. Selagi ia mau balik ke tempatnya semula, dilihatnya sepercik cahaya yang berada jauh di sebelah dalam. Bergegas ia menuju ke arah cahaya. Ternyata cahaya itu datang dari dinding sebelah kanan. mirip sebuah pintu angin. Segera ia mengintip ke luar. Apa yang dilihatnya sungguh mengherankan hatinya. Ternyata di seberang tempatnya berada adalah hutan belukar yang padat. Pikirnya,
- bagaimana mungkin? Kalau begitu. ini bukan puncak gunung.
Ia mulai menduga-duga peringatan suara gadis sebentar tadi. Pikirnya di dalam hati:
- Apakah hutan belukar itu amat berbahaya sehingga aku tidak diperkenankan melongok dari mulut lorong goa?
Percaya akan peringatan itu, ia memutuskan perlu beristirahat dulu. Segera ia kembali ke tempatnya semula dan duduk bersemadi untuk mengembalikan semangatnya. Sebentar saja, ia sudah tenggelam dalam semadinya. Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam semadinya, tatkala menyenakkan mata ia berpaling ke arah pintu angin. Tiada lagi nampak cahaya yang cerah. Cepat ia berdiri dan mengintip. Di luar suasana alam sudah suram oleh kabut yang mulai menebal.
- Sekarang sudah waktunya aku harus bekerja. ia memutuskan.
Dengan putusan itu, ia menghampiri dinding goa yang tadi merupakan pintu masuk. Ia mengerahkan tenaga Tantrayana yang tinggi dengan maksud menjebolnya.
Alangkah herannya sebab tatkala tangannya baru menyentuh dinding. pintu sudah terbuka dengan sendirinya. Cepat ia keluar. Dan begitu keluar. ia merapatkan dinding seperti semula. ia mencoba mendorong untuk menguji kekokohannya. Ternyata kokoh tak bergeming. Tahulah ia bahwa dinding itu mudah terbuka dari dalam tetapi jangan mencoba-coba membukanya dari luar.
- Kalau begitu, suara gadis yang memperingatkannya berada di belakang pintu dinding rahasia. lalu cepat-cepat menghilang di ruang dalam. Niscaya ruang di dalam mempunyai pintu tembusan, pikir Yudapati.
Sayang ia tidak memeriksanya lebih saksama. Tetapi seumpama menemukan, rasanya belum tentu dapat membukanya dengan mudah. Ia yakin, pintu tembus mempunyai konstruksi yang sama dengan dinding lorong goa. Dari dalam mudah dibuka. Dari luar tidak bergeming. Agaknya, sebelum membuka pintu dinding lorong, gadis tadi membiarkan pintu dinding tembus terbuka. Setelah Yudapati melangkahkan kaki menghampiri dinding hendak masuk, buru-buru ia memasuki pintu tembus sebelah dalam dan menutupnya rapat dari dalam. Hanya satu hal yang tidak dimengertinya. apa maksud gadis tadi (kalau memang suara perempuan tadi seorang gadis) menggiringnya masuk.
Yudapati tidak mau kehilangan waktu. Ia tidak mau pikirannya menebak-nebak teka-teki itu. Cepat ia menghampiri mulut lorong goa. Di luar, alam makin kelihatan suram. Ia menunggu, barangkali ada suara peringatan. Setelah menunggu beberapa waktu lamanya dan tiada suara peringatan, ia melompat ke luar dan berdiri tegak di sisi dinding yang merupakan tebing gunung berbatu. Sejenak ia melepaskan padang dan lari melesat menghampiri hutan belukar. Hutan itu penuh dengan belukar rotan dan gelagah. Kalau ingin melintasi harus sanggup menyibakkan dulu. Yudapati menimbang-nimbang sejenak. Membabatnya dengan pedang atau menyibakkan dengan kekuatan tangan. Rasanya dua-duanya tidak tepat. Bila menggunakan pedang akan menerbitkan suara. Sebaliknya bila dengan tangan akan menghabiskan tenaga.
Mengapa aku tidak berjalan saja di atasnya?
Dengan sigap ia mengikat pedang pusaka Jagadpati pada bungkusan pakaiannya dan digamblokkan di belakang punggung. lalu melompat gesit dan lari melintasi puncak belukar rotan tiada beda yang dilakukan semalam. Bahkan kali ini lebih mudah. Rotan jauh lebih kuat daripada ranting pohon. Kecuali itu di antara semak rotan dan gelagah terdapat pagar pohon hutan. Sekali-kali ia melesat menyambar dahan pohon untuk dibuatnya sandaran mengayunkan tubuhnya jauh ke depan. Dengan demikian. ia nampak melesat dari tempat ke tempat bagaikan sesosok bayangan iblis yang terbang secepat kilat.
Hampir satu jam ia berlari-larian demikian. Suatu kali ia melesat tinggi dan hinggap di atas pohon. Maksudnya hendak mengamati medan. Tiba-tiba matanya yang tajam menangkap bayangan sebuah patung berdiri tegak di antara rimbun semak belukar. Patung itu berdiri dalam sikap kaki berjagang lebar. Seluruh badannya dilingkari ular raksasa, sehingga hanya kedua ujung kakinya saja yang kelihatan menancap kuat di atas tanah. Bahkan sebatas mata kalinya terbenam dalam tanah.
- Eh patung apa itu, pikir Yudapati.
Dengan hati-hati ia maju menghampiri. Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Ular raksasa yang melingkari patung itu jelas-jelas bergerak pelahan makin lama makin menghimpit. Tanpa berpikir panjang lagi. Yudapati melesat dan menghantam kepala ular raksasa itu. Ular sebesar itu, tentu memiliki tenaga paling tidak lima puluh kali tenaga manusia. Sebaliknya hantaman Yudapati dilepaskan dengan himpunan
tenaga sakti Tantrayana yang istimewa.
Bres!
Seketika itu juga. kepala ular raksasa hancur terajang. Meskipun demikian dalam detik-detik sisa hidupnya, secara naluriah ekornya mengibas berputaran. Yang terpukul adalah batang batang pohon segera patah retak atau tumbang bergemuruh.
Yudapati hanya cukup melesat mundur. Sikapnya menunggu. Ia tahu, sebentar lagi binatang raksasa itu akan mati tak bergerak lagi. Sementara itu ia mengawaskan patung yang berdiri tegak. Kini terlepaslah sudah dari lingkaran himpitan ular. Ternyata bukan patung, melainkan manusia yang terdiri dari darah dan daging.
Yudapati sudah tahu, bahwa patung tadi adalah manusia. Itulah sebabnya, ia segera menyerang ular raksasa itu dengan maksud memberi pertolongan. Hanya saja, kini ia jadi terlongong-longong heran.
Siapakah dia?
Tentunya dia manusia luar biasa yang memiliki kekuatan istimewa, hingga bisa mempertahankan diri dari himpitan ular sebesar itu.
Dengan penuh waspada ia menghampiri. Begitu ia berhadapan, ia terkejut sampai memekik:
- Hai, Pataliputra!
Terhadap pemuda itu, ia berkesan baik. Terus saja ia maju untuk memeluknya. Mendadak saja begitu tersentuh tangannya, tubuhnya terdengklak ke belakang dengan kedua kakinya tetap tertancap kokoh di dalam tanah. Pada detik itu pula tahulah Yudapati, bahwa tulang-belulang Pataliputra sudah hancur retak.
- Ah, Pataliputra!
Yudapati memekik tertahan.
Dengan hati-hati ia mengangkat tubuhnya. Ia berhasil mengangkat pula kedua kakinya melesak sedalam batas mata kaki di dalam tanah dan ditidurkan di atas rerumputan belukar. Tak usah dijelaskan lagi, bahwa pemuda itu sudah tidak bernyawa lagi.
Terlongong-longong Yudapati menatap wajahnya. Teringatlah dia, betapa gagah berani pemuda itu. Dengan seorang diri dia berani mengobrak-abrik seluruh kota demi ingin menuntut keadilan pihak yang lemah. Tak terasa Yudapati meneteskan air matanya.
- Aku tidak malu menyebut dirimu sebagai adikku. Yudapati berkomat-kamit.
Tetapi mengapa engkau mati di tengah rimba raya ini?
Bungkusan yang berisikan pedang pusakanya, masih menggamblok di belakang punggungnya. Dengan begitu, pemuda itu tidak berkesempatan menggunakan goloknya.
Inilah aneh!
Biasanya ular raksasa berada di atas pepohonan. Manakala hendak memangsa mangsanya, dia menyambar kepalanya dulu. Ia merasa yakin, Pataliputra pasti dapat mengelakkan dan bisa membalas dengan menggunakan goloknya.
Mengapa tidak demikian?
Taruh kata ular raksasa itu tidak berada di atas pohon. Dia mengintai dan menyambar Pataliputra. Lalu menggubatnya. Itu pun tidak dapat dilakukan secepat kilat. Andaikata ular itu termasuk jenis ular istimewa yang dapat bergerak cepat, Pataliputra bukan seorang pemuda lemah. Dulu dia pernah menjebol daun pintu baja dengan mudah. Berarti dia pun memiliki kekuatan istimewa pula. Lagipula, siapa pun yang memasuki daerah yang berkesan angkar dan suram, secara naluriah akan selalu berwaspada. Pendek kata, pada saat itu Pataliputra masih sempat dan sanggup mempertahankan diri.
- Adikku, sayang aku terlambat datang. Engkau seorang pemuda gagah perkasa. Mengapa engkau harus mati kecewa? darah Yudapati mendidih.
Secara naluriah ia merasakan sesuatu yang tidak wajar. Hanya apa itu, ia tak pandai menjawab.
Apakah terkena racun jahat sehingga kedua tangannya tidak dapat bergerak?
Entahlah!
Dengan dugaan itu, ia memeriksa wajah Pataliputra. Wajahnya nampak kehitam-hitaman. Itulah akibat pengerahan tenaga yang berlebih lebihan. Tetapi wajah yang kehitam-hitaman itu menyembunyikan rasa penasaran.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa tidak takut atau rasa sakit?
Artinya pada saatsaat terakhir ia merasa diri masih mampu melawan. hanya dikecewakan oleh sesuatu.
Apa itu?
Pada saat demikian mendadak saja Yudapati teringat kepada Pamasih. Gadis itu pasti dapat memecahkan teka-teki yang terselubung betapa rumitpun. Ia percaya meskipun baru berkenalan setengah malam saja. namun sepak terjang, lagak-lagu dan cara berpikirnya membuat dirinya merasa takluk.
Yudapati kemudian mencoba memeriksa kedua lengan Pataliputra. Ia menemukan bekas jalur-jalur panjang seperti lengan seseorang yang kena cambuk atau terikat erat.
Lalu di mana talinya, seumpama dia terikat erat?
Ia memeriksa sekeliling tempat itu dengan pandang matanya. Sayang, saat itu suasana alam makin buram. Meskipun inderanya melebihi manusia biasa, betapa pun tidak sanggup menembus keburaman kabut tebal lebih dari dua puluh lima meter. Apalagi terhalang oleh belukar rotan, gelagah dan pohon-pohon yang rapat.
- Baiklah, anggap saja dugaanku salah. Mungkin ini bekas lilitan ular terkutuk ini. Tetapi demi Maha Buddha. aku tidak percaya bahwa dia dapat dikalahkan binatang ini tanpa daya apa pun. Yudapati mendongkol.
Sekonyong-konyong berkelebatlah bayangan langkasuta alias Koloan. Beradanya Pataliputra di wilayah kaum Pasupata niscaya ada sangkut-pautnya dengan manusia jahat itu.
Bukankah langkasuta termasuk salah seorang kaki-tangan Kaum Pasupata golongan hitam?
Sekiranya bukan kaki-tangan, tentunya salah seorang hamba sahaya yang harus patuh pada majikannya. Setelah membakar kotanya sendiri, penjahat itu menghilang dengan anak-isterinya.
Menurut Diatri masih sempat dia menyuruh anakbuahnya membunuh suami-isteri Puge dan membedah perut anaknya. Takut kepada pembalasan Pataliputra,tentunya dia memasuki wilayah majikannya. Dengan membawa isi perut si anak, dimaksudkan untuk mengambil hati majikannya.
Lalu apa yang dilakukan Pataliputra?
Sebagai seorang laki-laki sejati, niscaya ia berusaha melacaknya. Dan sampailah ia di tengah hutan ini.
Lalu bagaimana?
Itulah masalahnya. Semuanya masih gelap bagi Yudapati. Dengan penuh hormat. Yudapati mengambil bungkusan berisikan sebilah golok pusaka Pataliputra yang pernah dilihatnya di rumah makan. Hati-hati ia menghunusnya dari sarungnya. Golok mustika itu kemudian memperlihatkan keistimewaannya. Belasan berlian hiasnya tiba-tiba dapat mengeluarkan percikan cahaya meskipun berada di tengah kabut. Yudapati kagum bukan main. Dan setelah diamat-amati, ternyata belum pernah dipergunakan untuk membunuh orang.
Dahulu tatkala Pataliputra memperlihatkan golok mustikanya di restoran pernah berkata bahwa ia sering memotong orang. Ternyata hanya dimaksudkan untuk menggertak orang. Dia garang, galak dan berkesan ganas. Tetapi sesungguhnya berperasaan halus penuh kemanusiaan .Buktinya selama berada di kota Pane belum pernah sekali juga menggunakan goloknya. Padahal dia dikerubut hampir penduduk seluruh kota. Setidak-tidaknya kakitangan Langkasuta yang berjumlah lebih dari seratus atau dua ratus orang. Rupanya sampai pada saat kematian, ia tidak menghunus pedang mustikanya. Memperoleh kesimpulan itu. Yudapati menghela nafas. Katanya setengah berbisik:
- Adik. biarlah aku mewakili dirimu untuk menuntut dendammu. Aku bersumpah,mulai saat ini aku tidak akan menggunakan pedangku sendiri. Selanjutnya aku bersenjata golok mustikamu. Karena tidak tahu namanya. biarlah kusebut Golok Pataliputra.
Ia membuktikan ucapannya. Dengan darah mendidih ia merajang ular raksasa itu seperti seseorang merajang sayur mayur. Tiba-tiba ia seperti diilhami peristiwa Pataliputra yang menyedihkan itu. Katanya kepada diri sendiri:
- Benarlah ucapan Pamasih. Terhadap orang-orang Pasupata golongan hitam, tak boleh aku mengalah. Aku harus tegas seperti pendirian paman Rajah Kusambi. Membunuh atau dibunuh.
Selagi demikian, telinganya yang tajam mendengar bunyi berisik. Sebat ia melompat tinggi dan hinggap di atas dahan. Kemudian tanpa meninggalkan suara ia berusaha mencari arah suara yang didengarnya.
( BERSAMBUNG Jilid 9 )
******
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 9
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
(https://m.facebook.com/gunawan.aj.16)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 9
Tetapi ia tidak mau dipengaruhi pikiran yang bukan bukan selama belum membuktikan sendiri. Pelahan- lahan ia melongokkan kepala ke luar mulut lorong. Sinar yang luar biasa cerahnya mengejutkan pandang matanya. Buru buru ia surut mundur. Sebenarnya itulah cahaya matahari yang bersinar tanpa penghalang. Karena semenjak semalam pandang matanya menyesuaikan alam yang gelap, tidak mengherankan menjadi silau begitu terkena cerah matahari.
Tatkala hendak mengulangi lagi melongok ke luar mulut lorong, terdengar suara memperingatkan:
- Apakah kau mau mati?
Yudapati mengurungkan niatnya. Sebab itulah suara yang diikutinya semenjak tadi sebagai pandu- pandu.
- Masuk! perintah suara itu lagi.
Sekarang Yudapati tidak ragu- ragu lagi. Itulah suara seorang gadis. Tidak bisa salah lagi. Ia berpaling dan melihat dinding goa terbuka seperti daun pintu. Terus saja ia
melompat msuk. Ia percaya bahwa suara yang melarangnya tadi pasti mempunyai maksud tertentu.
Begitu tiba di dalam,dinding goa yang terbuka menutup kembali dan ia seperti terkurung dalam suatu ruang yang gelap gulita. Meskipun demikian ia tetap tenang. Kecuali percaya bahwa gadis yang mengisiki dirinya bermaksud baik, bila perlu masih sanggup ia menjebol dinding goa yang tertutup. Hati-hati ia mulai berjalan merapat dinding sambil meraba- raba. Siapa tahu ia menemukan tombol rahasia yang akan membawanya ke jalan tembus. Namun sekian lamanya ia berputar- putar,dinding seberang menyeberang tidak terdapat pintu rahasia. Selagi ia mau balik ke dinding yang terbuka dan menutup kembali tadi, dilihatnya sepercik cahaya jauh di sebelah dalam. Bergegas ia menuju ke arah cahaya. Ternyata cahaya itu datang dari dinding sebelah kanan, mirip pintu angin. ia hendak melongok dari celah pintu angin, sewaktu matanya menangkap sehelai kertas menempel di sisinya. Segera ia membacanya:
"Kalau mau melihat dari sini. Sesudah itu tidur."
Ia mendongkol berbareng geli membaca tulisan itu. Terang sekali bahwa itu pesan si gadis yang bersuara beberapa kali. Apa boleh buat. Ia harus taat. Segera ia mengintip dari belakang pintu angin. Begitu melihat pemandangan di depannya, ia heran bukan main. Sebab apa yang dilihatnya sangat indah. Alangkah jauh bedanya daripada alam sekitar tempat kediaman Pamasih. Melihat keadaan alamnya, jelas bukan berada di atas puncak gunung. Mungkin berada di atas bukit menghadap dinding puncak gunung. Atau bukan mustahil,sesungguhnya masih bisa disebut sebuah lereng gunung yang sangat tinggi.
Jauh di sana terdapat sawah dan ladang lalu perkampungan penduduk yang teratur rapi.
Apakah perkampungan
Kaum Pasupata yang disebut kaum sesat?
Ia jadi bimbang sendiri. Atau dirinya yang salah mereka- reka bagaimana bentuk perkampungan kaum sesat. Karena pengalamannya yang begitu menyeramkan semenjak kemarin,perkampungan Kaum Sesat tentunya jauh lebih seram dan angker.
Setelah terlongong- longong beberapa waktu lamanya,ia kembali ke tempatnya semula dan duduk bersemadi. Menurut bunyi surat, dia diharapkan tidur.
Sekarang ia mendengar pembicaraan orang. Di antara pembicara ia seperti pernah mengenalnya. Terdengar suara orang yang berkata dengan nada tinggi:
- Perlu apa? Pada saat ini, musuhmu sudah mati terlilit ular piaraan kami.
Orang yang disesali tertawa panjang. sahutnya:
- Kau lupa goloknya. pemuda yang pernah mengacau kedudukan dan kotaku itu, memiliki sebilah golok mustika. Bukankah sayang kalau tidak kita rampas? Mendengar bunyi ucapannya, tahulah Yudapati siapa dia. Pastilah si jahanam Langkasuta alias Koloan. Kebetulan malah. Jahanam itu tidak akan diampuni lagi agar arwah Pataliputra tidak penasaran.
- Apakah engkau bisa menggunakan? dengus temannya.
- Baiklah, itu urusanmu. Tetapi janganlah engkau banyak bertingkah di sini. Macam senjata seperti itu, tiada gunanya bagi kami.
- Terima kasih atas peringatanmu. tungkas Koloan.
- Aku pun masih membawa uang emas yang cukup. Semuanya boleh kau ambil demi golok itu. Memang aku tidak bermaksud untuk menggunakannya. Hanya untuk barang kenang- kenangan, bahwa jahanam itu akhirnya mati di sini berkat bantuan rekan- rekan. Sebenarnya apa sebab jahanam itu mati begitu saja tanpa dapat mempertahankan diri?
- Kau pun akan mengalami nasib yang sama pula, bila berlagak seperti dia. Kalau saja kami mau membantumu adalah karena engkau pandai mengambil hati tuanku puteri. Isi perut bocah itu tepat sekali usianya.
- Karena itu katakan padaku, apa sebab jahanam itu tidak dapat mempertahankan diri? - Menurut pendapatmu bagaimana?
- ... Apakah karena dia makan sesuatu? Karena itu aku membekal makan minumku sendiri. Lihat punggungku! Aku hanya makan dan minum dari apa yang kusimpan dalam bungkusanku.
- Sebenarnya tidak perlu engkau berbuat begitu, asal engkau minum obat pemunahnya setiap kali akan makan atau minum sesuatu di wilayah ini.
- Obat pemunah? suara Langkasuta terdengar terkejut.
- Asal saja engkau cepat menyerahkan uang emasmu, sekarang pun dapat kau peroleh. Sebab aku menyimpan sebotol di balik bajuku.
- Bagus!
Langkasuta gembira.
- Begitu aku memperoleh golok itu,segera kuserahkan uang emasku.
- Apakah kau kira bocah itu masih hidup? Huh!
- Aku percaya. Hanya saja engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Benarkah seperti dugaanku? - Masih kurang tepat. - ,
- Dan yang tepat? - Itulah rahasia kami.
Agaknya langkasuta alias Koloan tidak berani mendesak lagi. Sebaliknya tidak demikianlah halnya Yudapati. Terus saja ia melompat turun dari atas pohon dan menghadang mereka berdua dengan golok Pataliputra di tangannya.
- Tetapi aku perlu keteranganmu. bentaknya.
- Siapa kau? - bentak orang itu.
- Kau mau menerangkan atau tidak?
Orang itu agaknya sudah termasuk pendekar kawakan. Lantas saja ia menyerang .Yudapati sudah mengambil keputusan hendak menuntutkan dendam Pataliputra. Terhadap orang itu tidak ada gunanya untuk berbicara banyak. Langkasuta yang mencoba membujuknya saja gagal. Apalagi kalau dipaksa. Memperoleh keputusan demikian. golok Pataliputra berkelebat. Dan orang itu terpotong menjadi dua bagian dalam satu gebrakan saja.
Menyaksikan ketangguhan Yudapati. Langkasuta mundur beberapa langkah. Yudapati mendekati sambil membolang- balingkan golok Pataliputra. Katanya dengan suara menggeledek:
- Kau ingin merampas golok ini. bukan? Inilah golok Pataliputra. Ambillah!
Betapa pun juga Langkasuta jelek-jelek termasuk seorang pendekar juga. Dulu dalam keadaan terjepit ia berani melawan Pataliputra. Malahan nekad hendak bunuh diri. Sekarang pun ia merasa terpojok. Mau lari pun tiada gunanya. Setelah rasa kagetnya reda. sebat ia menarik pedangnya dan terus menyerang sambil berseru:
- Seorang laki-laki berani berbuat berani menanggung akibatnya.
- Bagus! Kau dulu berkata begitu juga di depan Pataliputra. Apakah kau mengharap ditolong perempuan berpakaian hitam? Siapa dia'! - Eh, kau tahu juga?
Langkasuta tercengang sehingga mengurungkan serangannya. Kemudian seperti tersadar. Katanya melanjutkan:
- Kalau sudah tahu, menyerahlah! Inilah wilayahnya. - Hm. Nandini bukan? ujar Yudapati mencoba.
Diluar dugaan, tebakannya asal jadi itu justru tepat mengenai sasaran. Langkasuta berubah waiahnya. Dengan
suara agak menggeletar ia membentak:
- Kau berani menyebut nama itu?
Dalam detik itu pula,apakah yang masih gelap bagi Yudapati sekaligus tersingkap dengan jelas. Ternyata Nandinilah yang memegang peranan dalam pembakaran kota Pane. Tatkala Nandini menolong Langkasuta melakukan bunuh diri, Pataliputra seperti penasaran. Dia mengejarnya, akan tetapi kehilangan jejak. Mungkin sekali, ia sengaja dipancing memasuki wilayahnya. Seketika itu, darah Yudapati kembali mendidih. Sambil menyimpan goloknya dia berkata:
- Baiklah,karena engkau sudah berterus terang, tidak usah aku membunuhmu. Kau boleh bunuh diri.
- Apakah kau kira aku tidak berani?
Langkasuta mendengus.
- Hanya saja aku masih penasaran, siapakah engkau sebenarnya? - Akulah kakaknya. jawab Yudapati dengan suara tegas.
- Sewaktu Pataliputra mengobrak- abrik kotamu, aku berada di sana juga. Sewaktu engkau membunuh suami- isteri Puge, aku pun menyaksikan. Juga tatkala engkau menyuruh anak buahmu membedah perut anaknya. - Ah!
Langkasuta bergemetaran dengan wajah pucat.
- Jadi...jadi...- Engkau bunuh diri atau minta kucincang tubuhmu? bentak Yudapati dengan suara meledek.
Langkasuta merasa tidak akan menang melawan Yudapati, mengingat temannya yang sakti mati terpotong dalam satu gebrakan. Satu- satunya yang paling baik dilakukan hanyalah melakukan bunuh diri. Siapa tahu, Nandini akan menolongnya seperti yang pernah dialami di kotanya. Tetapi kali ini, tidak. Begitu pedangnya menggorok lehernya,tiada yang mengulurkan tangan. Karena menggoroknya
dengan setengah- setengah, dia justru menderita.
Yudapati merasa kasihan. Ia menolong menyempurnakan dengan pukulan dari jarak jauh. Pada detik itu,langkasuta roboh dengan mata melotot. Yudapati melompat menyambar bungkusannya.
- Kau ingin merampas milik Pataliputra. Justru aku kini merampas bungkusan yang kuperlukan. ujar Yudapati dengan mengeraskan hatinya.
Setelah merampas bungkusan Langkasuta yang ternyata berisi uang emas dan makanan kering, ia pun menggerayangi baju orang Pasupata. Dari balik bajunya yang berlumuran darah, ia menemukan botol yang dikatakan berisikan obat penawar racun. Entah benar entah tidak, itu soal nanti. Sekarang ia melompat ke atas dahan memeriksa makanan kering Langkasuta. Diketemukan beberapa puluh potong daging kering, masing- masing sebesar tinju bayi. Lalu beberapa potong paha ayam, hati dan sepuluh bungkus usus kering. Roti tahan lama semacam empek- empek. Daging cacah goreng semacam abon dan dua botol minuman segar. Belum lagi yang berisikan ramuan lauk. Penemuan itu menimbulkan selera makan Yudapati karena semenjak pagi tadi perutnya tidak kemasukan apapun.
Ia menjumput sepotong daging dan dimakannya. Dengan mengerahkan tenaga saktinya, ia mencoba memeriksanya. Ternyata benar-benar tiada mengandung racun. Juga paha ayam, hati, usus dan lain- lainnya. Seperti pengemis kejatuhan rejeki, ia makan dan minum dengan bernafsu. Setelah cukup kenyang, ia menyimpannya kembali dalam bungkusannya dan diikatkan pada ikat pinggang.
- Siapa pun tidak akan percaya bahwa penjahat itu bisa menolong menyambung umurku. ia tertawa di dalam hati.
- Kalau tidak menemukan perbekalannya. ke mana lagi aku harus mencari isi perut di dalam wilayah lawan
yang pandai menggunakan racun dan tipu muslihat. langkasuta sendiri perlu berwaspada. Apalagi diriku.
Yudapati bisa berpikir praktis,berkat pandai mengikuti arus. Dalam hal menilai orang. seringkali banyak pertimbangannya. Sebab ia tidak mudah menerima pendapat orang dengan mentah- mentah. Ia baru membenarkan manakala dirinya sudah mengalami atau membuktikan sendiri. Itulah sebabnya ia bisa merasa takluk terhadap saram-saran Pamasih dalam hal menghadapi Kaum Pasupata golongan hitam. Karena meskipun hanya setengah malam ia mengenal gadis itu namun Pamasih pandai memberi pelajaran dan pengalaman istimewa kepadanya. Pelajaran dan pengalaman yang berada jauh di luar batas kecermatannya. Seumpama Pamasih berniat jahat,ia sudah mati beberapa kali. Mula mula tatkala Pamasih menyamar sebagai nenek- nenek bopeng. Lalu sewaktu ia memasuki wilayah pekarangan rumahnya. Kalau saja ia tidak mengantongi bunga istimewa pemberiannya melalui Diatri, ia sudah mati terjengkang. Lalu istimewanya bunga hias dalam ruang tamu. Macam makan-minum yang disediakan. Sifat pohon dan tanaman yang dipeliharanya. Hutan belantara yang dilaluinya dan pakaian yang dikenakan. Barangkali masih terdapat puluhan jebakan keji lagi yang belum sempat diuraikan. Padahal Kaum Pasupata golongan hitam, pandai pula berbuat demikian. Ringkasnya, menghadapi kaum yang pandai menggunakan racun, ia harus dapat bertindak dengan tepat, tegas dan cepat. Berbimbang- bimbang sedikit saja dalam hal memutuskan suatu tindakan akan dipergunakan lawan untuk menyerang balik. Pendek kata, tidak boleh mengalah atau memberi kelonggaran. Racun harus dibalas dengan racun.
langkasuta manusia jahat dan keji. Maka dia harus diperlakukan demikian pula. Kalau tidak,akan mengalami
nasib seperti Pataliputra. Pemuda itu belum pernah menggunakan golok mustikanya oleh pertimbangan kemanusiaan.
Apa akibatnya?
Ia mati penasaran dengan seorang diri di tengah hutan raya tanpa kubur.
- Langkasuta! Engkau harus menemani dia. Aku pun tidak lupa mengucapkan terima kasih atas bungkusan perbekalan makan minummu. Uang emasmu kurampas pula. Kaupun harus rela! Sebab uangmu pasti hasil dari tindakanmu yang tidak halal. ujarnya di dalam hati.
Terhadap orang satunya yang terpaksa kehilangan sebotol obat penawar. sama sekali ia tidak perlu mengucapkan terima kasih. Sebab ia belum membuktikan daya gunanya. Segera ia memperbaiki letak pakaiannya dan meneruskan perjalanannya. Kali ini ia berjalan melalui pohon. Dari pohon ke pohon ia meloncat tiada bedanya seperti seekor kera yang tangkas dan tidak pernah tergelincir. Ia mengarah ke arah datangnya Langkasuta. Kira-kira baru saja mencapai dua ratus meter, ia melihat jalan setapak. Tiba-tiba dari kejauhan, ia melihat nyala obor di antara tirai kabut tebal. Ia berhenti dan bersembunyi di balik gerombol daun.
Dengan cermat ia menghitungnya. Semuanya berjumlah tujuh buah. Terdengar kemudian suara orang berdoa dengan suara tinggi. Sekali-kali diseling dengan suara cambuk seperti seorang penggembala sedang menggiring binatang piaraannya.
- Apakah di sini terdapat perkampungan yang memelihara ternak? pikirnya.
Ia berdiri melongokkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia melihat suatu keanehan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ia melihat belasan orang berpakaian hitam lekam bergerak maju dalam satu lajur. Cara bergeraknya meloncat- loncat seperti barisan katak. Hanya caranya meloncat
kaku dan hanya sekali kali. Setiap kali habis meloncat, lalu berdiri tegak. Enam orang yang mengenakan pakaian hitam pula, berdoa dengan nada tinggi sekali seperti segerombolan orang sedang memekik- mekik.
- Hai! Benarkah penglihatanku ini?
Yudapati mengucak- ucak matanya.
- Apakah ini yang dinamakan barisan mayat hidup? '
Semasa masih dinas dalam ketentaraan, ia pernah mendengar dan membaca semacam laporan yang mengabarkan bahwa di beberapa pulau di kawasan nusantara ini terdapat sejenis Ilmu Hitam yang dapat memerintahkan mayat berjalan ke tempat makamnya. Waktu itu, ia menganggapnya sebagai dongeng saja. Tetapi kini, ia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, Sayang, ia tidak mempunyai saksi sehingga kelak pengalamannya ini akan dianggap dongeng pula oleh pendengarnya.
Mayat hidup itu berjumlah enam belas. Mereka meloncat bergantian. Tidak seirama dan bergerak seperti kena tenaga hentakan atau dorongan.
Apakah akibat doa yang dibunyikan enam orang di belakangnya?
Kalau benar demikian, doa itu tentunya sebuah mantra tertentu. Dan orang yang ketujuh selalu membunyikan cambuk di udara. Begitu cambuk berbunyi, mayat yang berada di depan meloncat yang segera disusul lainnya.
Perjalanan mayat hidup itu tentu saja amat lambat. Yudapati menunggu sampai ia yakin benar- benar. Ternyata barisan mayat hidup itu menuju ke jurusan Langkasuta dan temannya mati terkapar di tanah. Karena itu, ia kini dapat mengamat- amati lebih jelas lagi.
- Ah. benar- benar mayat! seru Yudapati di dalam hatinya.
Berbagai perasaan dan kesan berkecamuk hebat dalam dirinya. Lalu mengambil keputusan cepat. Sekiranya. enam belas mayat hidup itu mendadak menyerangnya
maka ia harus menghantam tujuh orang yang membawa obor itu. Dan setelah mengambil keputusan demikian,hatinya tenang kembali.
Syukur, mereka berjalan tanpa mengusik dirinya. Mungkin tidak melihat tempat persembunyiannya. Atau karena hutan itu tidak pernah dilintasi orang luar selain anggauta kaumnya tertentu. Maka dengan aman. Yudapati mengikuti tontonan yang menggeridikkan bulu roma itu dari atas pohon. Makin lama mereka makin jauh. Sewaktu tiba di tempat terkaparnya Langkasuta dan temannya terdengar suara ribut. Obor-obor bergerak membuat pemeriksaan. Agaknya mereka menemukan mayat temannya dan Pataliputra serta bangkai ular. Mereka berbicara ribut. Mungkin sedang berunding. Salah seorang lalu melepaskan panah api di udara. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menggiring enam belas mayat hidup kembali. Entah akan dibawanya ke mana.
Menuruti kata hati. Sebenarnya Yudapati ingin mengikuti. Tetapi mengingat panah api yang sudah terlepas di udara tadi, ia sadar akan bahaya. Terus saja ia meninggalkan tempatnya dan mengikuti jalan setapak dari atas pepohonan.
Sekarang tibalah ia di suatu lapangan terbuka. Sayang, ia tidak dapat melihat sesuatu selain tirai kabut tebal. Namun keadaannya jauh lebih terang daripada suasana di dalam hutan raya. Meskipun demikian, ia tidak berani bertindak semberono. Ia berhenti sejenak untuk mengambil keputusan.
- Rasanya tak dapat aku melanjutkan perjalanan dalam suasana begini. Aku seperti orang buta meraba- raba dalam kegelapan. sebaliknya mereka berada dalam terang. Biarlah aku bersabar sampai matahari terbit. ia memutuskan.
Memperoleh keputusan demikian, ia mencari sebatang
pohon yang paling aman. Pohon itu harus memiliki dahan bercabang yang kuat dan terlindung. Ia tidak memperoleh kesukaran. Bahkan pohon semacam itu lebih dari satu. Kemudian mulailah ia duduk bersamadi menghimpun semangat untuk melawan hawa dingin. Suasana sekitar hutan itu, sunyi senyap sehingga memudahkan orang bersamadi. Sebentar saja. ia sudah tenggelam dalam jurus- jurus Tantrayana yang dikuasainya dengan baik. Sekujur badannya terasa menjadi hangat nyaman. Rasa segar membangunkan dirinya. Dan hawa malam hari berganti dengan hawa fajar. Meskipun kadar dinginnya sama akan tetapi hawa yang dibawanya meresap dalam rasa naluriah terasa lain. Lebih segar. Lebih menggairahkan serta menolong membangunkan rasa insani.
Pelahan- lahan Yudapati menyenakkan matanya. Kabut makin tebal saja. Kabut basah itu segera meleleh mencair begitu tersentuh tubuh. Suasana alam tidak berubah. Muram buram dan sunyi senyap. Ia menunggu satu dua jam lagi. Tetap saja sunyi senyap. Tiada terdengar burung berkicau atau suara margasatwa lainnya. Tiba- tiba suatu ingatan mengejutkan hati Yudapati. Katanya di dalam hati:
- Burung saja nampaknya tidak hidup di sini. Apa sebab terdapat ular sebesar itu berkeliaran di tengah hutan? Kalau memang bisa hidup, mestinya akan terdapat lainnya. Akan tetapi sampai kini, belum pernah kutemukan seekor margasatwa apa pun.
Teka-teki itu mencoba dipecahkannya sambil menunggu matahari terbit. Namun teka-teki itu tak terjawab juga. Waktu itu matahari sepenggalah tingginya. suasana alam masih saja muram. Meskipun demikian lebih lumayan bila dibandingkan dengan semalam dan fajar sebentar tadi. Kini pandang matanya tidak begitu terhalang lagi. Segera ia memanjat puncak pohon hendak menjangkau penglihatan sejauh mungkin. Tetapi ia kecewa, karena letak wilayah yang ajaib. Setiap petak nampaknya selalu dilindungi oleh petak- petak pohon dan gelagah yang cukup lebat. Menghadapi kenyataan itu. ia melompat turun ke tanah dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Untuk bisa menolong memecahkan teka-teki tentang ular besar yang melilit Pataliputra, dari tempat ke tempat ia memeriksa tanah. Benar- benar tiada seekor binatang pun yang dapat ditemukan. Bahkan semut pun tiada. Dengan begitu. jawabannya tinggal dua. Kalau bukan ular peliharaan, tentunya ular jadi-jadian. Menurut nalar, ular peliharaan yang benar. Akan tetapi, karena Kaum Pasupata Hitam memiliki Ilmu Hitam yang aneh, tidak menutup kemungkinan adanya ular jadi-jadian. Menghadapi kedua duanya itu. Yudapati perlu berwaspada.
Perjalanan itu tiba di tepi kali. Arus airnya deras dan bening. Di seberang kali adalah ladang alang-alang liar, rotan dan semak belukar. Yudapati segera menyeberangnya lalu membiakkan ladang alang alang. Bila menghadapi belukar rotan, ia melintas melalui puncaknya. Dan demikianlah perjalanan itu dilaluinya dengan menyeberang sungai sampai tiga kali. Untung saja, sungai di atas pegunungan tidak dalam. Tetapi dari pengalamannya itu, di dalam hati Yudapati memuji kecerdikan Kaum Pasupata Hitam. Tentunya sungai itu dimaksudkan sebagai penghapus jejak apabila dikejar musuh.
Selagi ia berjalan di atas lapangan terbuka, tiba- tiba terdengarlah suara anak menangis. Ia menghentikan langkahnya.
Benar-benar anak menangis atau jebakan?
Suatu bayangan berkelebat dalam ingatannya. Terus saja ia menghampiri.
Lapangan terbuka itu penuh dengan batu-batuan pegunungan. Pohon dan belukar jarang sekali. Dengan begitu
keadaannya lapang dan cerah. Sinar matahari tidak terhalang. Itulah sebabnya kabut yang semenjak semalam menutupi seluruh alam, buyar pudar tiada bekasnya.
Suara tangis itu datang dari balik batu. Rupanya sudah lama ia menangis sampai suaranya agak parau. Kadang- kadang berhenti beberapa saat. Lalu menangis pendek mengabarkan keadaan hatinya yang sedih dan takut. Tanpa suara Yudapati menjengukkan kepalanya dari balik batu. Ia melihat seorang anak berumur sepuluh atau sebelas tahun. Kepalanya setengah gundul. Pakaian yang dikenakan lusuh. Wajahnya kuyu. Begitu melihat dirinya, anak itu beringsut mundur hendak bersembunyi.
- Sst, jangan takut! Mana rumahmu?
Yudapati mencoba membujuk.
- Kau anak sini? Anak itu menggelengkan kepalanya dengan pandang ketakutan.
- Kalau bukan anak sini, mengapa berada di sini?
Yudapati menegas.
Tiba-tiba saja, anak itu menangis nyaring dengan suara pilu, takut dan mohon dikasihani. Pada saat itu, suatu ingatan menusuk dalam benak Yudapati.
Apakah anak ini,termasuk anak-anak yang ikut terculik dan kebetulan bisa melarikan diri? '
- Pulang . . .! Pulang! pekik anak itu dengan suara tertahan.
Mendengar bunyi permintaannya. Yudapati tidak ragu- ragu lagi. Dialah salah seorang anak yang ikut terculik. Terus saja ia menghampiri seraya berkata membujuk:
- Baiklah. aku akan membawamu pulang. Hayo ikut!
Anak itu menggelengkan kepalanya.
- Nah, katamu ingin pulang. Mengapa bergeleng kepala?
- Gendong! sahut anak itu dengan suara bergemetar.
Yudapati menimbang- nimbang sejenak. Lalu memutuskan:
- Baik. hayo kugendong.
Tetapi sewaktu hendak digendong di depan dada. anak itu menolak. Ia minta menggamblok di atas punggung. Pikir Yudapati.
- mungkin dia ketakutan akan ketahuan.
Maka segera ia meluluskan. Dengan sekali gerak, anak itu digeserkan ke belakang dan menggamblok di atas punggung. Kemudian Yudapati melangkah hendak melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba suatu kejadian, membuat hatinya tercekat.
Kedua kaki anak itu menjepit perutnya terlalu kencang, sedang kedua tangannya memeluk lehernya terlalu erat. Sudah begitu, sikunya seolah-olah hendak menghunjam punggung. Anehnya, meskipun kedua kaki dan tangannya kecil, namun dapat menyakiti dirinya.
- Hei! Jangan terlalu kencang!
Yudapati memperingatkan.
Anak itu tidak menguraikan tangan dan kakinya, bahkan sebaliknya malahan makin menjepit. Yudapati meruntuhkan pandangnya ke bawah.
- Hai.
apa yang dilihatnya? Ia seperti melihat ujung ekor ular sebesar paha melilit dirinya. Pada detik itu pula sadarlah ia.
Bukankah begitu juga yang dialami Pataliputra?
Teringat nasib Pataliputra menggeridiklah seluruh bulu roma tubuhnya. Secara otomatis Tantrayana bekerja. Dan tiba-tiba saja, bocah itu jatuh di atas tanah dengan berkelojotan.
Sekarang ia melihat suatu pemandangan ajaib. Ia tidak melihat bocah lagi. Akan tetapi seekor ular sebesar pahanya yang mati seperti kena racun. Kedua matanya melotot lalu bersuara tak jelas:
- Kau pakai baju apa?
Dan setelah berkata demikian nafasnya lenyap.
Yudapati tertegun sejenak. Namun hanya beberapa detik saja karena suatu serangan datang dari empat penjuru. Itulah serangan kilat yang datang dari atas pohon. Delapan utas tali dengan gaetan di ujungnya menyambar kedua tangan dan kakinya. Seketika itu juga Yudapati terjerat erat. karena penyerangnya turun dari pohon dan lari berputaran dengan silang. Yang sebelah kanan lari ke kiri dan yang datang dari kiri lari ke kanan.
Pendekar Slebor 58 Rahasia Di Balik Abu Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang

Cari Blog Ini