Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 2

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 2


- Tolol! Mengapa engkau tidak mendengarkan kata kata temanmu? Cepat berangkat! Kepala yang kau bawa bawa itu, masakan benar benar kepala Lembu Seta? Dengarkan! Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Biarlah kubakarnya pintu penjara sebelah Selatan . .
Kedua alis Mojang berdiri tegak.
Benarkah kisikan orang itu?
Siapa pula dia?
Pada saat itu ia melihat sudah menerjang dengan goloknya. Terus saja ia menabaskan pedang Jagadpati yang diandalkan. Biasanya musuh segan hendak mencoba-coba mengadu ketangguhan senjatanya sendiri. Tetapi kali ini, Mojang terperanjat. Ternyata Tamasat berani menyongsong tabasan pedangnya. Tahu-tahu pedangnya seperti terlengket suatu tenaga yang menyerap. Kemana saja pedangnya digerakkan, golok itu selalu melengket erat.
- Nah, kau menyerah atau tidak? _
Tamasat tertawa gelak.
Mojang membandel. meskipun pedangnya kini terbawa berputar-putar oleh suatu kekuatan ajaib sehingga pandang matanya jadi berkunang-kunang. Kalau saja Nguyen dan Anuwat datang membantu, tak dapat lagi ia berbuat sesuatu selain memejamkan mata menunggu maut. Untung, Nguyen dan Anuwat tahu diri. Melihat pemimpinnya sudah memasuki gelanggang pertarungan. mereka hanya bersikap menonton. Sebab Tamasat biasanya tidak sudi dibantu agar tidak merosotkan pamornya.
Dengan mati-matian, Mojang melepaskan diri dari libatan itu. Namun betapapun usahanya, tetap saja golok Tamasat menempel bagaikan bayangan pedangnya. Dalam bingungnya, timbullah ketekatannya. Tak perduli apa yang bakal terjadi, ia melompat tinggi dan mencadangkan kedua kakinya.
Tamasat tersenyum. Sebenarnya untuk memunahkan tendangan itu mudah saja baginya. Ia hanya cukup membalikkan sebelah tangannya untuk menangkis dengan dibarengi babatan goloknya ke arah leher. Pada saat itu. Mojang pasti terpenggal kepalanya. Akan tetapi. tak dapat ia berbuat demikian, ia hanya tercengang sejenak menyaksikan kemampuan Mojang yang masih dapat membalas menyerang lalu melompat kesamping mengelakkan tendangannya. '
Apakah Tamasat benar-benar akan mengampuni jiwa Mojang demi rasa hormat terhadap pribadi Panglima Jagadpati?
Tidak.
Sama sekali tidak.
Dia hanya tertarik kepada pedang Jagadpati sehingga memaksanya dirinya memecahkan teka-teki yang masih belum memperoleh jawabannya.
Sebagai bawahan Samrin dan Prem Sikikara, tahulah dia bahwa mereka berdua membawa firman Raja Dharmaputera untuk menemui Jagadpati.
Mengapa pedang panglima Taruma Nagara itu kini berada di tangan Mojang?
Mustahil, bila hanya dipinjamkan tanpa alasan yang berdasar. Sebab bagi seorang perajurit, senjata adalah seumpama jiwanya sendiri.
Apakah Jagadpati mati terbunuh?
Siapa yang membunuhnya?
Bila Samrin dan Prem Sikikara yang membunuhnya, apa sebab tidak cepat-cepat lapor ke duli Sri Baginda?
Teka-teki yang merumun dalam otaknya membuat dia mengambil keputusan hendak menangkap Mojang hidup-hidup demi mengorek keterangan dari mulutnya. '
Tetapi Mojang berkelahi seperti kerbau edan. Melawan seorang musuh yang berkelahi tanpa menghiraukan keselamatan jiwanya, tidak mudah untuk menawannya hidup hidup. Bisa saja dia malahan nekad bunuh diri.
- Biarlah kulukainya sedikit demi sedikit. akhirnya Tamasat mengambil keputusan.
Kemudian dia mendesaknya dengan hati-hati. Beberapa waktu kemudian, berhasillah ia melukai pundak Mojang. Tatkala Mojang terperanjat, buru-buru ia menendang lututnya. Mojang jatuh terjungkal dan berusaha bangkit dengan susah payah.
- Tangkap dia hidun hidup!
Perintah Tamasat dengan
suara menggejek.
Akan tetapi sebelum anak buahnya bergerak. tibatiba penjara sebelah selatan terbakar hebat.
- Kebakaran!
- Kebakaran! terdengar seruan sambung menyambung.
Tanpa menunggu perintah mereka meluruk beramai-ramai.
Tamasat menoleh. Samar-samar ia melihat berkelebatnya bayangan bertopeng berlari-larian di atas genting sambil menebarkan obor menyala ke sana kemari. Menyaksikan hal itu, hati Tamasat tercekat.
- Celaka, pikirnya.
- Kalau terlambat, seluruh penjara bisa terbakar habis. Artinya, ratusan jiwa terancam maut.
Terus saja ia meloncat mengejar sambil membentak:
- Siapa?
Teringat akan Mojang yang tinggal membekuk saja, ia memberi perintah kepada Nguyen dan Anuwat untuk membereskannya. Tetapi Mojang lebih cerdik daripada mereka berdua. Ia tak sudi menyia-nyiakan waktu. Dengan berjumpalitan, ia mundur dan menghilang di balik wuwungan.
- Bagaimana? Apakah kita kejar? _
Anuwat minta pertimbangan.
Nguyen tertegun sejenak. Mojang memang sudah terluka. Meskipun demikian, mengingat masih dapat berjumpalitan di udara tentunya tidak mudah ditangkapnya. Setidak-tidaknya akan membutuhkan waktu. Sementara itu. nyala api akan mengancam bahaya jauh lebih besar. Dengan pertimbangan itu, dia menyahut:
- Biarkan dia lari untuk sementara waktu. lain kali kita masih mempunyai waktu untuk menangkapnya kembali.
- Tetapi, apakah Tamasat mau mengerti?
Kalau kebakaran ini minta korban puluhan jiwa. kita berdua yang dituntut tanggung jawab.
Benar. Dia orang istana. Kita dinas di sini.
Karena keputusan itu. Mojang selamat. Tanpa rintangan suatu apa dapatlah ia mengambil kudanya dengan aman. Segera ia melarikannya secepat kilat ke luar kota. Sepanjang jalan, pikirannya dirumun oleh berbagai pertanyaan yang tidak terjawab.
Siapakah sesungguhnya orang bertopeng itu?
Mengapa menolong dirinya dan mengkisiki perihal kepala lembu Seta yang sudah dapat direbutnya dari tangan musuh?
Tak terasa ia meruntuhkan pandang kepada kepala Lambu Seta yang tadi sempat digantungkan pada pinggangnya. Suatu teka-teki lagi:
benarkah hanya kepala tiruan?
Lalu kepala siapa?
Meskipun hanya sepintas bertemu dengan lembu Seta di dalam kamar yang berpenerangan remang-remang namun ingatannya yang tajam masih dapat mengenalnya dengan baik. Rambut, kumis dan jenggot Lembu Seta sudah memutih. Kepala yang kubawa inipun demikian pula . Masakan bisa salah. pikirnya bolak balik. Biarlah aku menunggu sampai matahari terbit, akhirnya ia memutuskan di dalam hati. Pada waktu itu, barulah bisa dipastikan palsu atau tulen.
Dengan pikiran itu, hatinya tenang kembali. Perhatiannya kini beralih pada pengamanan diri. Tentunya, setelah kebakaran dapat dipadamkan, mereka akan mengadakan usaha pengejaran. Maka perlu ia mengatur siasat penyesatan. Pertama-tama, menghilangkan jejak. lalu lari sejauh-jauhnya dengan menghindarkan lalu lintas umum. Pada waktu itu, rimba raja dan rawa-rawa merupakan medan yang menyita wilayah kekuasaan negara. Medan demikian banyak menolong pelarian-pelarian yang bermusuhan dengan hamba hamba negara.
Mojang menerjang semak belukar dan beberapa kali menyeberangi anak-anak sungai sebelum menambatkan kudanya di bawah ketinggian bukit. Ia sendiri mendaki
ketinggian itu dengan membawa kepala lembu Seta yang hendak diperiksanya sebentar lagi manakala cahaya matahari sudah mengenyahkan kegelapan alam raja. Setelah meletakkan dengan hati-hati diatas batu, ia menjatuhkan diri di atas tanah di tengah alam terbuka luas.
Sekarang barulah terasa kenyerian kakinya. Selain kejang, lukanya mengganggu pula. Tetapi di tengah alam yang masih gelap pekat, tak dapat ia berbuat sesuatu, kecuali beristirahat dahulu melepaskan rasa lelah. Karena hatinya kini sudah merasa lega. tertidurlah dia dengan tak setahunya sendiri.
Ia tersentak bangun, tatkala mukanya tersengat panas matahari. Segera ia bangkit memeriksa lukanya lalu menghampiri kepala Lembu Seta yang diletakkannya di atas batu. Begitu melihat wajah kepala itu. Jantungnya berdegup.
- Masakan bukan wajah tuanku Lembu Seta? ia berkata dengan wajah berkerut-kerut.
Mengapa dikatakan tiruan?
Apanya yang tiruan?
Ia jadi penasaran. Setelah menyembah tiga kali, hatihati ia meraba rambut, misai, jenggot dan kedua belah pipi lembu Seta yang pucat tak berdarah. Kedua ibu jarinya ditekankan. Sekarang hatinya tercekat, karena terasa lembek. Cepat ia menyambar kepala itu dan dibalik. Tatkala itu, barulah ia percaya. Ternyata kepala itu kosong di dalam.
Ah! Bukan kepala orang!
Dengan terlongong-longong ia mengamati kepala Dembu Seta yang ternyata hanya sebuah boneka terbuat dari tanah liat. Hatinya mendongkol dan hampir saja ia mengutuk kalang kabut. tatkala tiba-tiba teringatlah ia akan katakata Lembu Seta:
- Legakan hatimu. jiwaku tentu selamat.
Teringat akan kata-kata itu. hatinya lega luar biasa sampai ia tertawa terbahak-bahak. Kemudian berkomat kamit seperti orang gendeng:
- Ya benar. Pantas aku disebut orang tolol. Memang aku benar benar tolol. Kalau tuanku Lembu Seta sudah menjamin jiwanya sendiri akan selamat, tentunya beralasan. Mengapa aku mempersamakan ucapannya dengan jalan pikiranku sendiri? Sekiranya semalam aku tidak dibantu orang bertopeng itu. bukankah aku kini sudah mati konyol?
Terus saja ia membanting boneka itu sampai hancur berderai. Merasa belum puas, ia menginjak-injak tiap pecahannya sampai lumat serata tanah. Tetapi teringat akan jebakan itu bulu kuduknya berdiri. Alangkah bahaya petualangannya semalam.
*****
MATAHARI sudah sepenggalah tingginya, Tatkala dia sudah siap berangkat. Pakaian malam yang berwarna hitam tidak dikenakan lagi. Kini mengenakan pakaian saudagar. Setelah membiarkan kudanya menggerumiti rumput sepuas-puasnya mulailah ia memikirkan masalah kata Walaing.
Nama kota, nama wilayah atau kata-kata sandi?
- Ah kenapa repot-repot? Bukankah menurut Kadung, puteri Tilam tidakkah membiarkan daku tersesat jalan? Jika aku menyusur jalan lalu lintas tentunya akan berjumpa dengan dia. Untuk mengelabui laskar kerajaan, agaknya aku perlu mencukur berewokku sampai licin dahulu.
Memikir demikian, segera ia mencukur berewoknya sampai licin benar. Sedang kumisnya diberinya bentun yang manis. Sekarang berubahlah kesan wajahnya, menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pada pinggangnya terselip sebilah pedang pendek. Sedang pedang panglima Jagadpati disembunyikan melintang di bawah pelana.
Kudanya termasuk kuda pilihan. Kecuali larinya cepat, tidak mengenal lelah. Itulah kuda yang baru saja dibelinya, setelah menerima uang bekal panglima Jagadpati. Kira-kira tengah hari ia sudah melewati beberapa kota kecil. Tak lupa ia singgah di rumah makan. Kecuali untuk mengisi perut, kudanyapun perlu diperhatikannya pula.
Sampai di kota itu, lalu lintas umum tidak begitu ramai. Maka dapatlah ia mengaburkan kudanya sepuas puasnya tanpa rintangan. Selagi ia menikmati pemandangan, tiba-tiba dirinya merasa diikuti seseorang. Ia berpaling dan memperhatikan dia selintasan. Menilik dandanannya, tentunya seorang saudagar. Kudanya berwarna coklat dan pada pelananya tergantung dua buah kantong kulit berukuran sedang.
- Orang-orang di sini berbakat berniaga. -pikir Mojang di dalam hati.
Tetapi lambat laun ia merasa kurang tepat.
- Hai. jangan-jangan . . .!
Ka tafsirannya hanya berdasarkan pakaian yang dikenakannya apakah dirinya sendiri seorang saudagar?
Sewaktu matahari mulai bersembunyi di balik bukit sampailah ia disebuah kota bernama Paseban. Ia berhenti di depan sebuah penginapan. Si saudagar yang semenjak tadi berada di belakangnya berhenti pula tak jauh daripadanya. Mulailah ia menarik perhatiannya. Kuda si saudagar itu termasuk kuda tak berharga. Katakan saja kuda jembel. Tampangnya mirip seekor keledai.
Akan tetapi apa sebab dapat menyusul lari kudanya yang pesat dan tak tercela?
Karena itu, mulailah dia menaruh curiga dan berwaspada. Tetapi akhirnya ia geli sendiri. Saudagar itu menginap di penginapan lain. Dengan begitu, rasa curiganya tidak beralasan.
Meskipun demikian. Mojang tetap bersikap hati-hati. Memang, dia seorang yang cermat dan berpengalaman. Oleh pengalaman dan sifat cermatnya itu, membuat dirinya selalu bersikap waspada dan hati-hati. Meskipun saudagar itu belum pantas ia curiga benar-benar, tetapi tiada buruknya untuk bersikap hati-hati. Dengan pikiran itu, ia membawa pedang Jagadpati ke kamar dan diletakkan di atas bantalnya. Lalu mengobati lukanya .syukur tidak terlalu parah. Setelah selesai, ia duduk bersemadi seperti biasanya. Kira-kira menjelang tengah malam, tidurlah ia dengan nyenyak sekali.
Keesokan harinya ia bangun sebelum fajar menyingsing. Setelah membayar beaya penginapan, berangkatlah dia mengarah ke timur. Bulan sabit dan beberapa bintang masih nampak bertahta di angkasa. Burung-burung masih tertidur nyenyak di dalam sarangnya. Angin fajar mulai
menghembus menyegarkan pernafasan. Mojang menghirup udara segar itu sepuas-punya. Lalu mengaburkan kudanya makin cepat.
- Sudah sekian hari aku kabur tanpa tujuan. Mengapa Rara Tilam belum juga muncul? Apakah arahku ini benar? pikir Mojang di dalam hati.
Kira-kira tengah hari. ia sudah meninggalkan Paseban enam puluh pal lebih. Ia menahan kendali kudanya hendak berhenti beristirahat. Sewaktu menoleh, ia terkejut. Ternyata saudagar yang menarik perhatiannya itu berada tak jauh di belakangnya.
- Hai! Apakah dia benar-benar mengikuti daku?
Mojang menebak-nebak.
Sekali lagi ia mengamat-amati saudagar itu lebih cermat lagi. Mukanya berminyak. Ia mengenakan topi kulit dan sebuah ransel di punggungnya. Kudanya. kuda buruk. Jelas sekali seorang saudagar yang menjajakan dagangannya dari kota ke kota. Meskipun demikian, entah apa sebabnya, Mojang kini menaruh curiga.
Taruh kata dia seorang saudagar, apa sebab mengikuti dirinya yang mengarah ke timur tanpa tujuan? '
"Siapa dia? kedua alis Mojang berdiri tegak.
Sejenak kemudian memutuskan:
- Coba kuujinya sekali lagi.
Ia mengaburkan kudanya secepat kilat. Sekarang tidak melalui jalan umum, tetapi melintasi ladang dan mendaki ketinggian. Setelah itu menyeberang semak belukar. Menjelang petang sampailah ia di sebuah tikungan dan dikala matahari menghilang di barat. kota Paluhan telah dimasukinya.
Kota Paluhan lebih kecil daripada Paseban. Di kota itu hanya terdapat sebuah penginapan. Setelah memperoleh kamar, segera ia memesan makan malam. Ia merasa pasti. saudagar tadi tidak akan dapat mengikutinya lagi arah
perjalanannya. Tetapi baru saja ia hendak menyuap nasi. di luar penginapan terdengar suara ringkih kuda. Buru buru ia menjengukkan kepalanya dan melihat saudagar tadi sudah berada di depan penginapan sedang berbicara dengan pengurus penginapan
Kali ini Mojang terperanjat setengah mati. Sekarang ia yakin, bahwa saudagar itu memang mengikuti perjalanannya. Cepat ia masuk ke dalam kamar dan mengintip dengan penuh perhatian. Sebelum saudagar itu masuk ke dalam kamarnya dia memesan makanan. Tiada beda dengan pelancong-pelancong lainnya atau dirinya sendiri yang tadi juga memesan makanan. Setelah makan saudagar itu masuk ke dalam kamarnya yang berhadap hadapan.
- Kamar yang dipasannya berada di depan kamarku. Sengaja atau memang tinggal kamar itu yang kosong?
Mojang berteka-teki di dalam hatinya.
Teka-teki itu membuat hatinya tidak tenteram. Terus saja ia bersemadi dengan memegang pedangnya erat-erat. Sekian lamanya ia menunggu. Tetapi kamar saudagar itu sepi-sepi saja. Menjelang tengah malam. berpikirlah ia:
- Sebenarnya siapa dia? Kalau bermaksud buruk tentunya sudah menyerangku di perjalanan. Sebaliknya kalau ingin berteman, mengapa tidak menyapaku? Apakah dia bermaksud membunuhku sewaktu aku terlena tidur?
Mojang tidak berani memejamkan matanya. Justru demikian, karena tadi tidak sempat makan. kini perutnya terasa mulas. Mungkin sekali masuk angin, akibat perjalanan panjang di tengah alam terbuka. Kemudian bermaksudlah ia berhajat besar. Sebelum meninggalkan kamarnya, ia mengingat-ingat dahulu letak bungkusan pakaiannya. Dan kantong uangnya ditaruhnya rapi di bawah bantal. Memang selamanya ia berlaku cermat dan hati-hati. Setelah itu. dengan membawa pedang Jagadpati ia keluar
kamar mencari kamar pembuang hajat yang berada di halaman belakang.
Selagi hendak memasuki kamar pembuang hajat,ia merasa dirinya diikuti seseorang. Cepat ia menoleh. Yang dilihatnya hanya tirai malam menjelang fajar. Setelah menunggu sejenak. barulah ia membuang hajat sambil mengintip dari balik dinding.
- Ah, dirikulah yang menaruh curiga tanpa alasan kuat. akhirnya ia tertawa perlahan melalui hidungnya.
Setelah membersihkan diri, tidak lupa pula ia membasuh mukanya. Begitu selesai merapikan pakaian, sekarang pendengarannya yang tajam benar-benar mendengar suatu gerakan. Cepat ia melompat keluar kamar sambil memegang hulu pedangnya. Masih sempat ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan. Terus saja ia menegur:
- Siapa? Sahabat atau pencoleng?
Karena belum tahu dengan pasti, ia melepaskan genggaman pedangnya. Lalu memungut batu sekenanya dan menimpukkannya. Dengan gerakan yang cepat sekali bayangan itu beralih tempat dan menghilang dengan sekejap mata.
Mojang kini curiga benar-benar. Ia mengejar dan cepat cepat kembali ke kamarnya. Ia membesarkan nyala lampu dan mulai memeriksa. Tiada terjadi suatu perubahan. Tiba tiba ia terkejut. Dilihatnya bungkusan pakaian berubah letak. Meskipun hanya bergeser sedikit, namun jelas sekali tidak berada di tempatnya semula. Buru-buru ia memeriksa kantung uangnya. Jumlahnya tidak kurang. Juga jumlah pakaiannya. Rupanya, sewaktu ia meninggalkan kamar ada seseorang yang menggunakan kesempatan itu untuk memeriksa kamarnya.
- Ah, lebih baik aku tidur di tengah alam saja. Di sinipun aku tidakkan dapat tidur juga. ia memutuskan.
Ditinggalkannya sepotong perak di atas meja lalu meninggalkan penginapan itu dengan mengaburkan kudanya secepat terbang. Kurang lebih satu jam meninggalkan kota kecil Paluhan, di depan matanya menghadang sepetak hutan. Sayup-sayup ia mendengar suara air mendesah.
Apakah wilayah ini sebenarnya berada tak jauh dari pantai?
Atau sungai besar yang berarus deras?
ia membawa kudanya berlari mendaki ketinggian. Tentu saja ia tak melihat sesuatu. karena waktu terang tanahpun belum tiba. Namun suara desahan air itu terdengar lebih jelas. Ia yakin, itulah suara deburan gelombang laut meraba pantai panjang.
Setelah memperoleh keyakinan demikian, ia memasuki petak hutan itu dengan menuntun kudanya. Ia menemukan sebuah lapangan terbuka berumput subur. Dilepaskan kudanya agar menggerumiti padang rumput itu sekenyang kenyangnya. Dia sendiri segera melepaskan lelah dengan berbantal bungkusan pakaiannya: Merasa dirinya aman, dengan cepat ia kehilangan kesadarannya,ia tertidur dengan nyenyak dan pulas.
Di pagi hari, setelah membersihkan badan di anak sungai ia terkejut setengah mati tatkala mendengar suara derap kuda. Ternyata si saudagar semalam sudah nampak kembali di depan hidungnya. Sekarang, tak sudi lagi ia dihantui teka-teki terus menerus. Kali ini, ingin dia menegas. Melihat saudagar itu tidak berkawan, hatinya mantap. Sambil meraba hulu pedang Jagadpati, ia menyapa;
- Kawan! Mengapa engkau mengkuti diriku?
Saudagar itu tidak menjawab. Dia hanya memperdengarkan suara tertawa melalui hidungnya. Kemudian turun dari kudanya dan membiarkan pula binatangnya menggerumiti rumput-rumput muda yang subur. Setelah menjelajahkan matanya. menjawab:
- Saudara! Jalan di bumi jagat raya ini bukan hanya
milikmu seorang. Mengapa saudara menegurku demikian?
Mendengar bunyi jawabannya. jelaslah bahwa saudagar itu seorang perantau yang kaya dengan pengalaman. Kata-katanya pendek, tetapi tepat. Namun Mojang tidak mau kalah gertak. Katanya lagi:
- Aku sendiri berjalan tanpa tujuan. Karena itu sungguh mengherankan bila engkau mengikuti arah tujuan penjalanan seseorang yang lagi sesat jalan.
Saudagar itu tertawa lebar. Sahutnya dengan licin:
- Bila benar-benar lagi sesat jalan. mengapa justru meneruskan perjalanan sebelum matahari terbit. Apakah bukan pula mengherankan?
Mojang adalah seorang satria yang tidak senang berbelit. Terus saja ia membentak:
- Baiklah kita sekarang berbicara dengan terus terang saja. Sebenarnya. saudara ini kawan atau lawan?
Saudara sendiri kawan atau lawan"!
Terus terang saja aku ini seorang buruan.
Saudagar itu tertawa geli. Ujarnya:
- Hai! mengapa bisa kebetulan?
- Kebetulan bagaimana?
- Kalau saudara seorang buruan, justru aku ini seorang pengejar buruan.
"Kalau begitu, kau ini hamba negara. kata Mojang.
Kini, tak sudi lagi dia menggunakan kata penyapa saudara. Dengan didahului tertawa melalui hidung dia meneruskan berkata:
-Jadi engkau hendak menangkapku? Silahkan!
- Engkau yang memerintahkan, bukan aku lho! sahut saudagar itu dengan tertawa.
- Kalau engkau merasa diri seorang buruan, mengapa tidak cepat-cepat kabur?
Mojang tercengang sejenak. Ia menegas dengan meningkatkan suara:
- Sebenarnya siapa engkau?
- Kau sendiri. siapa?
- Bukankah aku sudah memperkenalkan diri?
Jawaban Mojang tentu saja tidak memuaskan saudagar itu. Namun saudagar itu berlagak tetap ramah. Ujarnya"
- Baiklah. Andaikata engkau memperkenalkan namamu. rasanya juga kurang penting. Yang lebih penting, apa sebab engkau menjadi buruan pemerintah?
- Karena aku membongkar penjara.
- Oh.
saudagar itu tertegun sedetik.
- Mengapa engkau membongkar penjara?
- Hm . . . kiranya engkau hanya bertanya terus menerus. Mojang mendongkol.
- Aku sudah berkata terus terang. Sekarang tiba giliranmu. Siapakah engkau sebenarnya?
- Akulah yang mengisikimu agar cepat-cepat meninggalkan penjara. Akulah yang mengabarkan pula kepadamu, bahwa kepala yang kau rebut itu sesungguhnya bukan kepala Lembu Seta. Dan aku pulalah yang membakar penjara, agar engkau mempunyai kesempatan meloloskan diri.
Mojang tercengang.
- Jadi .. . .
Ia berhenti menimbang nimbang. Timbullah kesangsiannya. Sebab dia tadi ingin memperoleh keterangannya, apa sebab dirinya membongkar penjara. Sekarang dia dapat menyebutkan nama Lembu Seta dengan lancar. Tetapi gerak-geriknya dan sikapnya tidak bermaksud hendak menangkapku. pikirnya menebak-nebak di dalam hati
- Nampaknya ia mempunyai kepentingan juga terhadap tuanku Lembu Seta. Kalau tidak, mengapa dia membantuku sehingga memberi kesempatan padaku lolos dari kepungan para penjaga. Sebenarnya siapa dia?
- Apakah engkau masih menyangsikan diriku? Jika aku ingin menangkapmu, apa sebab membiarkan dirimu
kabur berhari-hari. Padahal aku sudah mengikutimu semenjak engkau meninggalkan Lamuri.
- Ha. justru itulah yang kuharapkan memperoleh kejelasan.
- Kejelasan masalah apa?
Mojang tidak menjawab. Ia menghampiri kuda saudagar itu yang sedang menggeremuti rumput.
- Hai! Kau mau apa? saudagar itu menaruh curiga.
- Hanya ingin tahu saja apa sebab kudamu dapat menyusul lari kudaku. sahut Mojang.
Selagi saudagar itu tertawa mau mengerti, Mojang tiba-tiba menyingkap pelana kudanya. Hal itu diluar dugaan. Terus saja saudagar itu membentak tak senang:
- Hai! Apa yang kau cari? Apakah engkau mendakwa aku mencuri barangmu?
Mojang hanya menyingkap pelana kuda saudagar itu selintasan saja. Tetapi pandang matanya yang teliti dan tajam menangkap sesuatu. Terus saja ia tertawa menang. Serunya:
- Sekarang tahulah aku, siapakah dirimu.
- Siapakah diriku? saudagar itu menguji.
- Kau orang istana.
- Bagaimana kau tahu? saudagar itu heran.
- Dibalik pelana kudamu, kulihat sebuah cap tanda Istana Sriwijaya.
- Bagaimana engkau mengenal cap kerajaan itu?
- Sebab?
Mojang hendak memberikan dasar penglihatannya dengan menyebutkan cap kerajaan yang tertera di atas firman raja yang di alamatkan kepada panglima Jagadpati. Oleh suatu ingatan yang lain, cepat ia menutup mulutnya.
Mojang benar-benar teliti dan berpengalaman. Teringatlah dia, bahwa kuda-kuda milik negara biasanya diberi
tanda pengenal. Rupanya hal itu berlaku pula di Kerajaan Sriwijaya. Setelah mengetahui siapa saudagar itu sebenarnya, hulu pedang panglima Jagadpati dihunusnya sejari.
Saudagar itu tak dapat berdusta lagi. Ibarat seorang pencuri, dia sudah dikenal identitasnya. Namun ia nampak tidak gentar atau memperlihatkan rasa takut. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak. Lalu menyahut dengan suara nyaring:
- Saudaraku yang baik dan bermata tajam. Aku senang padamu dan kian tertarik. Pendek kata ada harganya aku berbicara denganmu. Kau sudah mengenal kalangan tempatku mencari makan. Tentunya engkau ingin pula mengenal namaku, bukan? Pernahkah engkau mendengar nama: Boma Printa Narayana? Itulah diriku. Biasanya orang hanya menyebut namaku dengan singkat saja: Boma! Jika kau pernah dengar, nah antarkan aku menghadap lembu Seta. Sebab dia mempunyai perjanjian denganku. Dan engkau akan kuampuni. . . .
Boma! Boma! . . .
Mojang memeras ingatannya. Tibatiba teringatlah dia.
Bukankah Duta Lembu Seta yang menyebut-nyebut nama itu sebagai seorang perwira ahli pedang nomor satu di seluruh Kerajaan Sriwijaya?
Dikatakan pula, bahwa panglima Jagadpati hanya bisa menahan dua sampai tiga ratus jurus saja andaikata sempat bertempur mengadu kepandaian dengannya. Dan oleh alasan itu pulalah, Duta Lembu Seta menolak ajakan puterinya agar melarikan diri dari penjara. Agaknya tidak berlebih-lebihan. Buktinya, sudah sekian hari ia meninggalkan kota Lamuri, namun bisa saja diubarnya. Andaikata Duta Lembu Seta berhasil kabur dari penjara, akan mengalami pengejaran demikian pula.
Teringat kata-kata Duta lembu Seta, hati Mojang tergetar juga. Pada saat itu, ia perlu menggunakan cara
perlawanan yang tepat. Ia memutuskan akan menggunakan tenaga dan akal, keras dan lembek. Maka sambil menghirup nafas sebanyak-banyaknya agar dapat merebut ketenangan hati, ia maju menghampiri. Berkata mau mengerti:
- Baiklah. Akan kuantarkan engkau menghadap beliau.
Pedang Jagadpati yang sudah dihunusnya sejengkal, dirapatkannya kembali. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan menikamkan pedang pendeknya. Gerakan itu dilakukannya dengan mendadak dan berada diluar dugaan siapapun. Jarak sasaran tikamannya dekat pula. Akan tetapi Boma ternyata mempunyai reaksi penanggulangan yang tak kurang cepatnya. Tangannya mengibas dan tepat sekali menangkis ujung pedang.
Ajaib!
Pedang pendek Mojang terpental melenceng.
Mojang tercengang. Memang orang-orang pandai biasanya kebal dari senjata. Tetapi itu terjadi di Jawadwipa. Ternyata orang Sriwijaya demikian pula.
Tenaga apakah yang memukul pedangnya berbalik?
Dia telah menggunakan hampir seluruh tenaganya. Sebaliknya Boma hanya bergerak seenaknya saja. Gerakan tangannya wajar. Namun membawa unsur pertahanan yang kokoh dan tenaga gempuran yang kuat.
Selagi Mojang tercengang sedetik dua detik itu, tangan Boma sudah menggenggam pedang panjang. Kecepatan itu mengagumkan pula. Insyaflah Mojang, bahwa kali ini dia sedang berlawan-lawanan dengan seorang pendekar yang berkepandaian tinggi.
- Kau berpedang panjang? Akupun akan bersenjata pedang panjang pula.
Mojang menggertak. Segera ia menghunus pedang Jagadpati yang sudah menjadi senjata andalannya semenjak membobol penjara Lamuri.
Boma tertawa melalui hidungnya. Sengaja ia memberi kesempatan lawannya untuk menghunus pedangnya. Lalu
menyahut:
- Kabarnya, pedang itu tajam luar biasa. Aku ingin mencobanya. Selanjutnya akan kupinjam untuk selamanya. Boleh, bukan?
Mojang mendongkol. Terus saja ia menabaskan pedang Jagadpati. Sebaliknya dengan mudah saja. Boma dapat mengelakkan tabasannya. Sebelum Mojang sempat memikir apa yang harus dilakukan selanjutnya, pundaknya sudah tergores. Inilah pengalamannya yang pertama kali, bahwa dirinya kena dilukai musuh hanya dengan segebrakan saja. Sebenarnya dia bukan seorang pendekar yang lemah. Kalau lemah tidakkan mungkin mempunyai kedudukan seorang perwira, meskipun baru perwira pertama. Di antara sesamanya, dia termasuk tiga serangkai perwira pertama yang berkepandaian tinggi. Kecuali pandai menggunakan senjata pedang pendek, pandai pula bersenjata pedang panjang. Pukulan-pukulan tangannya mantap. Langkah kakinya tepat dan cermat. Otaknyapun bisa menciptakan akal pendek dan panjang. Namun menghadapi Boma ia merasa diri seolah-olah kepandaiannya. terbang dengan begitu saja. _
Tetapi ia tak berkecil hati, meskipun sadar kepandaiannya berada di bawah lawannya. Tekadnya sudah bulat. Kalau perlu gugur bersama lawan. Maka dengan menggerung kakinya melayang. Tendangan kakinya ini, termashur di Ibu kota' Taruma Nagara. Andaikata Boma dapat mengelak, pedangnya takkan luput dari sasaran yang dikehendakinya. Ternyata Boma benar-benar hebat. Dengan lincah sekali, dapatlah ia mengelakkan kedua serangannya.
- Apakah engkau masih dapat lolos?
Mojang menggertak dengan hati mendongkol. Dan berbareng dengan ucapannYa, ia menerjang dengan pedang pendeknya. Dengan demikian ia kini bersenjatakan dua bilah pedang. Pedang
pendek dan pedang panjang. Kedua kakinyapun mulai bekerja.
Boma mengendapkan kepalanya dan menerobos dari kurungan serangan. Tikaman pedang pendek dan tabasan pedang panjang dapat dielakkannya. Kini tinggal memunahkan gerakan kaki Mojang. Di luar dugaan. serangan kakinya tidak mengarah kepada dirinya. Sebaliknya yang ditendangnya adalah kudanya. Keruan saja kuda Boma melompat tinggi. karena kaget dan kesakitan. Selagi ia tertegun sejenak. Mojang sudah melompat ke atas punggung kudanya.
Boma mendongkol. Mojang sudah melarikan kudanya agak jauh. Tetapi ia tak mau mengalah. Dengan serta merta ia mengejar. Berseru nyaring:
- Saudara! Kau berjanji hendak mengantarkanku menghadap Duta lembu Seta. Hayo. turun!
Tentu saja, Mojang tidak melayani ucapannya. Dengan menggunakan gertakan tipu muslihat ia berteriak nyaring:
- Kawan! Boma berada di sini. Hayo bantulah aku!
- O, jadi engkau mempunyai kawan-kawan pembantu? Suruhlah mereka keluar semua. ujar Boma.
Rupanya ia termakan akal muslihat Mojang. Di luar dugaan, tiba-tiba terdengar ringkik kuda. Mojang heran.
Benarkah ada seorang teman yang datang membantunya?
Siapa?
Pada saat itu terdengar suara Boma mendengus:
- Hm.
Ahli pedang nomor satu dari Kerajaan Sriwijaya ini, mempercepat langkahnya. Ia bermaksud hendak merobohkan Mojang dahulu, sebelum orang berkuda itu memasuki arena pertarungan. Dia percaya, bahwa Mojang benar-benar yang akan membantunya dengan diam-diam.
Melihat Boma mengejar dengan kencang. hati Mojang tercekat. Sebab sebentar lagi dia harus melintasi hutan
belantara. Medan demikian jauh lebih menguntungkan yang mengejar daripada dirinya yang menunggang kuda. Apalagi bila hutan itu dipenuhi dengan semak belukar atau rumput-rumput tinggi. Kudanya akan menghadapi kesukaran untuk menembus pagar alam itu. Memperoleh pikiran demikian. Mojang segera meloncat turun dari kudanya. Kemudian menerjang barisan gerumbul yang menghadangnya. Lari di atas kakinya, jauh lebih lincah dan tangkas. Selain itu, kedua kakinya bergerak seiring dengan kemauan hati.
Dengan lari main petak, membelok-belok, menembus dan menerjang semak belukar, Mojang dapat mengamankan dirinya. Tetapi lawanpun dapat juga berbuat demikian pula. Kadang-kadang dengan potong kompas, dapat dia menghadang Mojang. Dalam keadaan demikian terpaksalah Mojang mempertahankan diri, sebisa-bisanya. Lalu kabur lagi melintasi pagar pepohonan yang rapat. Boma boleh jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya, tetapi untuk dapat menjatuhkan Mojang dengan tiga atau empat jurus, tidak mungkin. Apalagi gerakan pedangnya senantiasa terhalang pagar pohon yang malang melintang.
Boma geram bukan kepalang. Dengan merah padam ia terus mengejar buruannya. Karena kesal, akhirnya ia main timpuk. Alat penimpuknya sekenanya saja. Kadang ranting pohon, kadang batu pegunungan yang dijumpainya. Tetapi Mojang pandai menggunakan medan, tidak kurang akal. Ia berlindung di balik pepohonan, sambil berkali-kali meruntuhkan timpukan Boma dengan pedang pendeknya. Lalu kabur lagi dengan berbelit-belit.
Diperlakukan demikian, dada Boma serasa hendak meledak. Dengan sekali lompatan ia menendang pohon yang segera roboh merintang jalan. Kemudian meraup segenggam kerikil tajam dan ditimpukkan bertebaran.
Mojang terkejut. Mimpipun tidak. bahwa Boma akan menendang sebatang pohon sampai roboh untuk merintangi larinya. Justru pohon yang didepak roboh itu akan dijadikan semacam perisai. Cepat ia meloncat ke samping hendak menghindari. Pada saat ia kerepotan menghindarkan dahan-dahan yang bertangkai kokoh. timpukan Boma mengenai kakinya dengan tepat. Mojang mengerang kesakitan.
- Hayo! Kau mau lari ke mana lagi?
Boma tertawa terbahak-bahak. Mojang memaki kalang-kabut di dalam hatinya. Waktu itu ia sudah berada di tengah hutan. Semak dan belukar sangatlah lebatnya. Bahkan tak jauh di depannya penuh dengan hutan penjalin yang berduri tajam.
Melihat belukar penjalin itu, Mojang memperoleh setitik harapan. Dengan terpincang pincang ia menyusup-nyusup di antara batangnya dengan pedang pendek sebagai pembuka jalan.
Sekali lagi Boma dibuat sulit. Dengan pedangnya ia membabat belukar penjalin. Tetapi batang penjalin sifatnya ulet, sehingga terpaksa ia berkutat dahulu sebelum melangkah maju. Apabila terlalu bernafsu pakaiannya malahan terkait-kait duri. Tak usah dikatakan lagi, betapa hatinya jengkel. Terus saja ia membabat batang-batang penjalin itu dengan kalang-kabut. Sayang, pedangnya tidaklah setajam pedang Mojang. Sekali lagi ia menderita rugi. Rugi tenaga dan rugi waktu pula. Dengan demikian. beradanya Mojang makin lama makin jauh.
- Jahanam! ---ia mengutuk.
Untuk melepaskan kekesalan hati, ia menyalakan api dan menyulut daun-daun kering. Tujuannya hendak membakar semak berduri itu sampai menjadi abu. Tentu saja membakar semak penjalin tidaklah semudah membakar sampah. Sekali lagi ia kehilangan waktu. Setelah rasa
kesalnya reda, barulah ia teringat sesuatu.
Bukankah lebih baik mengambil jalan berputar?
Meskipun jauh, tetapi larinya kencang dan lebih merdeka. Dirinyapun dapat memanjat pohon untuk memperoleh penglihatan luas. Memperoleh ingatan demikian, segera ia mengambil jalan berputar dengan berlari-larian sekencang-kencangnya. Lalu memanjat pohon.
Ah, benar.
Petak belukar penjalin berduri ini kelihatan bergerak-gerak. Tentunya gerakan maju buruannya. Sekarang ia tertawa menang dengan sepuas puasnya. Sebab, manakala Mojang bergerak maju lagi akan tiba pada sebuah lapangan terbuka.
Dalam pada itu, suara derap kuda yang didengarnya tadi makin nyata. Segera ia melompat turun dan menghadang Mojang di lapangan terbuka. Mojang tidak menyadari bahaya itu. Dengan mati-matian, ia menerobos petak belukar itu yang panjangnya kurang lebih tiga mil. Baru saja ia hendak melepaskan kelegaan hatinya, di depan matanya menghadang Boma yang menyambutnya dengan tertawa panjang.
- Hayo! Sekarang kau mau lari kemana?
Semenjak tadi. Boma memandang Mojang sebagai lawannya yang enteng. Ia ingin menangkapnya hidup hidup untuk dijadikan sandera. Begitu Mojang muncul dari balik belukar, ia menimpuknya dengan tiga butir batu.
Mojang dapat memukul dua butir batu jatuh ke tanah dengan pedang pendeknya. Akan tetapi yang sebutir tepat mengenai lutut.
Aneh!
Batu itu benar-benar hanya sebuah batu. Andaikata sebesar tinjupun tidakkan dapat melukai dirinya yang memiliki ilmu kebal sebagai perisai. Tetapi batu batu ang menimpuk lututnya hanya sebesar telur puyuh. Meskipun demikian, memiliki daya tekan sedemikian rupa sehingga dapat menembus kekebalannya. Tiba-tiba
saja tenaganya punah. Dan robohlah dia di atas rerumputan.
Ilmu sakti apakah itu?
Dengan tertawa lebar. Boma menghampiri buruannya,langkahnya pasti dan berwibawa. Selagi demikian, lapangan rumput itu seolah-olah terguncang gempa bumi. Boma memutar tubuhnya. Pada saat itu, ia melihat seorang pemuda mengaburkan kudanya mengarah kepada dirinya. Lari kudanya cepat bukan main. Melompat, menerjang dan menerobos sehingga menarik perhatiannya, ia sendiri pandai menunggang kuda. Bahkan tergolong ahli. Sekiranya tidak demikian, tidakkan mungkin dapat mengikuti Mojang yang sudah jauh mendahuluinya di depan. Sebaliknya memacu kuda di tengah hutan yang penuh dengan semak belukar dan batang pepohonan yang malang melintang seperti yang dilakukan pemuda itu, tidak mudah. Sekali salah jalan, maut tebusannya. Karena itu memerlukan keahlian khusus yang harus dimulai dengan latihan tekun, sabar dan ulet. Tidak mungkin dengan sekali jadi atau hanya berdasarkan mengadu untung belaka._
Dengan pandang ingin tahu, ia mengamat-amati kuda dan penunggangnya. Kuda yang tangkas dan cekatan itu, berwarna hitam lekam. Penunggangnya seorang pemuda tampan berpakaian hijau muda. Di tengah kelebatan hutan raya, nampak serasi benar seolah-olah bagian dari kesejukan hutan raja itu sendiri. Tiba-tiba saja dia melompat tinggi di udara dan mendarat dengan manis di depannya. Hati Boma tercekat.
- Adik manis! Siapa kau? sapanya hati-hati.
Pemuda itu hersenyum. Lalu menyahut:
- Ah, kukira siapa. Kiranya Yang Mulia pendekar besar Boma Printa Narayana. Mengapa tuanku menguber uber dia?
Kembali lagi hati Boma tercekat. Ternyata pemuda itu mengenal dirinya. Sebaliknya, dia tidak.
- Siapa kau? bentaknya.
- Jangan mencampuri persoalan orang lain!
- Kata orang-orang tua dahulu hidup dalam pergaulan ini harus saling menolong atau bergotong royong. Mengapa tuanku lupa?
Boma menajamkan pendengarannya. Suara pemuda itu terlalu lembut.
Apakah dia sesungguhnya seorang gadis yang mengenakan pakaian pria? lalu menyahut:


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Aku dapat membereskan masalahku sendiri. Tiada gunanya engkau mengobral falsafah dihadapanku. Mengapa engkau usil?
- Karena seorang pendekar besar seperti tuanku, tak pantas mengubar-uber seekor kelinci. Apalagi sampai perlu membakar hutan.
Boma mendongkol. Membentak lagi:
- Apa? Seekor kelinci? Hm. dia cukup dewasa dan ahli pedang. Usiamu terpaut jauh dengannya.
- Ah, kalau begitu dia seekor singa bagimu. _ pemuda itu tertawa senang.
Lalu mengalihkan masalah:
- Tuanku dikenal sebagai seorang ahli pedang nomor satu di Kerajaan Sriwijaya. Di luar dugaan, senang menimpuk orang pula seperti perbuatan anak kecil. Hebat! Sungguh hebat!
Muka Roma serasa panas kena ejekan pemuda itu. Memang selama hidupnya belum pernah ia menggunakan senjata timpukan untuk merobohkan lawan. Tetapi kali ini terpaksa dilakukan. karena medan pertarungannya berbeda jauh dengan arena adu laga. Mojang yang pandai menyusup-nyusup susah dihampirinya. Setiap kali selalu berlindung di balik belukar penjalin. Satu-satunya perlawanan yang tepat hanyalah dengan main timpuk. Tetapi hal itu berarti dirinya sudah kalah seurat. Sebab senjata timpukan bagi seorang ahli hanya dapat digunakan mana
kala berada dalam keadaan darurat.
Tetapi di tengah hutan tanpa saksi. tak sudi ia mengakui kekalahan itu hanya di depan hidung seorang pemuda yang belum pandai beringus. Agar kelak tidak terjadi malapetaka, di dalam hati ia memutuskan hendak membereskan mereka berdua. Maka dengan suara garang ia membentak:
- Kau sudah mengenal diriku. Apakah engkau tidak sayang pada jiwamu sendiri?
Pemuda itu tidak segera menyahut. Ia tertawa sambil mengerling kepada Mojang. Kemudian berkata acuh tak acuh:
- Sebenarnya hanya kebetulan saja aku lewat di sini. Tetapi setelah menyaksikan betapa seorang pendekar melukai lawannya yang tak seimbang dengan menggunakan timpukan batu. terpaksa aku campur tangan. Ini semua kulakukan demi menjaga pamor Kerajaan Sriwijaya. Bukankah begitu saudara?
Mojang tahu kata-kata terakhir pemuda itu dialamatkan kepadanya. Waktu itu ia sedang berkutat merebut tenaganya kembali. Sebagai seorang perwira yang kenyang akan pengalaman, tahulah dia apa sebab pemuda itu berbicara berkepanjangan. Maksudnya hendak mengulur waktu agar dirinya berkesempatan memulihkan tenaga. Diapun tahu pula, bahwa pemuda itu sebenarnya seorang gadis. Siapa lagi yang berkenan mencampuri kesulitannya, kalau bukan Rara Tilam puteri Duta Lembu Seta. Kadung dahulu berpesan pula, bahwa Rara '.Tilam tidak akan membiarkan dirinya tersesat jalan.
Dalam pada itu, Boma sudah kehilangann kesabarannya. Dengan pandang mata yang menyala tajam. ia berkata:
- Kalau aku sampai turun tangan kepadamu. apakah berarti pula berlawanan dengan seekor kelinci?
- Hm. pemuda Itu mendengus.
- Ucapanmu benar benar mengecewakan daku. Kukira seorang pendekar besar tidak akan memiliki kata-kata setolol itu. Engkau menyebutku dengan seekor kelinci. Apakah karena usiaku terlalu muda? Marilah kita mencoba-coba. Sebenarnya. kalau saja tuanku bukan seorang pendekar besar. enggan aku mengadu kepandaian.
Mendengar kata-kata pemuda itu jantung Mojang berdebaran. Ia tahu kepandaian Boma susah diukur betapa tingginya. Dia menggenggam ilmu-ilmu sakti yang aneh. Kadang bersifat keras. kadang pula lembek tak ubah kapuk.
Sebaliknya. apakah puteri Duta lembu Seta itu memiliki kepandaian untuk mencoba-coba melawannya?
Menurut Duta Lembu Seta, puterinya diperintahkan cepat-cepat meninggalkan penjara sebelum bertemu dengan Boma. Kecuali kalau mendapat bantuan beberapa orang yang tangguh. Artinya, ayahnya sudah dapat mengukur betapa akibatnya.
- Hayo! Mari kita mencoba-coba kepandaian kita masing-masing! -terdengar Boma membentak garang.
- Silahkan! sahut pemuda itu dengan menghunus pedangnya.
Pedang itu berukuran pendek. Begitu dihunus, pedang itu membersitkan sinar yang menyilaukan sehingga baik Mojang maupun Boma tercekat hatinya. Sebagai ahli pedang, tahulah mereka bahwa pedang pemuda itu adalah sebilah pedang mustika. Meskipun menghadapi pedang mustika, Boma tidak merasa gentar sedikitpun.
Bukankah Mojang tadi membawa bawa pedang mustika panglima Jagadpati?
Asal saja dirinya dapat berbuat cepat, pemuda itu tentu tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan pedang mustikanya dengan baik.
- Hai, anak manis! Benar-benarkah engkau hendak mencampuri urusanku? Pikirkan sekali lagi agar tidak
menyesal di alam baka. Sebab pedang tidak mempunyai mata dan perasaan. Meskipun hatiku berkenan terhadapmu, namun pedangku ini . . .;ujar Boma.
- Jangan mengoceh berkepanjangan! - potong pemuda itu.
- Hayo, seranglah!
- Anak bawang yang baik. Masih kuberi engkau kesempatan bernafas. Pulanglah dengan damai agar dapat menghadap gurumu. Belajarlah sepuluh atau duapuluh tahun lagi. Nah, barulah engkau pantas menantang daku.
- Eh! Masih saja engkau memutar lidahmu? bentak pemuda itu.
- kalau begitu, biarlah aku yang mulai.
- Silahkan. Aku justru ingin melihat jurusmu. Barangkali aku akan segera mengenal siapa gurumu. sahut Boma dengan tertawa merendahkan.
- Baik.
Pedang mustika pemuda itu kemudian menikam. Dengan tenang, Boma menangkis. Caranya hanya mementilkan dua jari tangan kirinya. Tetapi diluar dugaan, tikaman pemuda itu sebenarnya membawa tipu muslihat. Nampaknya hanya merupakan tikaman' sederhana saja. Tiba-tiba berubah aneh sekali. Ditengah jalan, tatkala tangan Boma bergerak hendak menyentil, tikamannya berubah arah. Sekarang tidak menikam tetapi menabas. Hampir saja kedua jari Boma terkutung, sekiranya tidak cepat cepat ditariknya kembali.
Boma benar-benar seorang ahli pedang kenamaan. Pantaslah dia disebut sebagai ahli pedang nomor satu di negerinya. Tatkala kedua jarinya terancam bahaya, masih sempat ia membalikkan tangannya hendak merampas pedang lawan. Perubahan jurusnya mengherankan Mojang yang menonton gebrakan itu di luar gelanggang. Pikirnya,
- kalau pemuda itu benar-benar Rara Tilam, tentunya ayahnya sesunguhnya seorang pendekar yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada almarhum panglima Jagadpati. Atau, apakah Rara Tilam mempunyai seorang guru? ingin ia melihat kesudahannya.
Pada saat itu tebasan pedang mustika nyaris menyentuh daun telinga Boma. Sebaliknya, jangkauan tangan Boma hampir pula menangkap lengan pemuda itu. Menyaksikan kejadian itu. Mojang mengeluh. Memang pertempuran antara jago melawan jago, kalah dan menangnya hanya selisih sehelai rambut saja. Tadi pemuda itu berada di atas angin. Tetapi kini, Bomalah yang menang. Sebab tangannya masih bebas untuk berbuat sesuatu. Dia bisa menabaskan pedangnya atau menusukkannya. Kalau perlu bahkan dapat menyodokkan sikunya pula. Dan sekali sodokannya mengenai sasaran pemuda itu pasti celaka.
- Awas! seru Mojang memperingatkan.
Waktu itu dia sudah memperoleh tujuh bagian tenaganya. Tanpa menghiraukan betapa akibatnya, ia melompat tinggi hendak memasuki gelanggang pertempuran. Maksudnya jelas. Hendak menolong pemuda itu sebisa-bisanya. Tetapi sedang badannya masih terapung di udara, ia mendengar suara Boma memekik kaget. Ternyata pemuda itu menghentikan tabasannya. Lalu dengan gerakan secepat kilat gagang pedangnya dibuatnya menyodok lengan lawan. Jika Boma tidak membatalkan gerakan tangannya, tulang lengannya pasti patah. Buru-buru dia melompat mundur. Tak terkecuali pemuda itu. Dengan demikian, kedu-duanya terlepas dari bahaya. Dan pada saat itu, barulah Mojang hinggap di atas tanah dengan perasaan lega.
- Bagus! Engkau sudah dapat bergerak? pemuda itu menyambut Mojang.
Suaranya bernada senang. Lalu melanjutkan dengan setengah memerintah:
- Jangan perduiikan diriku! lebih baik kau gebah atau kau bunuh saja kuda jahanam itu! Lalu kaburlah
secepat-cepatnya, Aku akan segera menyusul. Percayalah! masih dapat aku melumpuhkan perlawanannya.
- Hm enak saja kau menggoyangkan lidahmu. bentak Boma.
Tangannya bergerak hendak mencegah Mojang bergeser tempat. Tetapi pemuda itu dengan cepat memotong maksudnya dengan menabaskan pedang mustikanya. Dan kesempatan itu dipergunakan Mojang untuk segera meninggalkan gelanggang pertempuran. Sebagai seorang yang pandai menilai situasi dan berakal panjang,segera ia tahu arti saran pemuda itu. Rupanya pemuda itu akan mengundurkan diri pula dari gelanggang.
Jika kuda Boma sudah dibunuhnya mati, bukankah ahli pedang nomor satu itu akan menggigit jari?
Tetapi tentu saja dengan catatan, pemuda itu tidak membiarkan kudanya kena rampas. Memperoleh pikiran demikian. Mojang segera menerjang belukar. Sebentar saja tubuhnya hilang dari penglihatan.
Dalam pada itu, karena masing-masing sudah menggerakkan tangan, mereka berdua bertempur lagi dengan serunya. Masing-masing mempunyai pikiran yang sama. Yaitu, hendak mendahului menyerang lawan. Dalam hal ini. Bomalah yang nampak bernafsu karena dia ingin merampas kuda pemuda itu. Sebaliknya pemuda itu sadar akan arti kudanya. Karena itu, dengan cerdik ia selalu menghadang kiblat yang di kehendaki Boma.
Keruan saja, wajah Boma merah padam. Sekarang ia mulai menggunakan pedangnya. Bagaikan kejapan kilat, ia mengurung bidang gerak lawannya. Tujuannya hendak mengunci rapat-rapat, sehingga memberi kesempatan baginya untuk merampas kudanya. Boma adalah seorang ahli pedang yang luas pengalamannya. Tak mengherankan, ia faham semua rahasia ilmu pedang dari aliran manapun. Setiap pukulan pedangnya tenaga keras dan lembek. Tetapi ilmu pedang pemuda itupun bukan pula ilmu pedang sembarangan. Entah bagaimana caranya memunahkan serangan lawan, tiba-tiba kedua-duanya memekik kaget. Boma mundur dengan sempoyongan. Demikian pulalah pemuda itu, Ternyata lengan pemuda itu terpukul gempuran pedang Roma. Sebaliknya dada Boma terpukul dengan telak juga.
Tak usah dikatakan lagi betapa terguncang hati Boma. Dadanya serasa hendak meledak oleh rasa malu dan marah. Belum pernah sekali juga, ia terpukul lawan dengan telak. Apalagi yang terpukul dadanya, suatu tempat yang selalu dilindungi dengan rapat walaupun kedua tangan dan kakinya sedang menyerang. Lawan yang dihadapinya juga hanya seorang pemuda muda belia yang belum hilang pupuk bawangnya. Segera ia menyadari, bahwa sebab-musababnya dia memandang lawannya dengan enteng. Itulah sebabnya kali ini tak mau lagi ia mengalah. Apalagi pada saat itu ia tahu bahwa kudanya tentu sudah dibunuh si jahanam Mojang. Terus saja pedangnya menyerang dengan jurus berantai yang tiada hentinya.
- Nah! Kalau semenjak tadi engkau menggunakan pedangmu dengan baik, tentunya kau tak perlu kelabakan. --ejek pemuda itu sambil menikam tenggorokan.
Tikaman pemuda itu cepat bagaikan kilat. Namun gerakan pedang Boma tak pula kurang cepat. Dengan sekali saja memiringkan tubuhnya. Boma dapat mengelakkan tikaman lawan lalu membalas menyerang dengan gencar. Dan setelah bergebrak beberapa gurus, Boma menggetarkan pedangnya. Oleh dorongan tenaga sakti, getaran pedangnya menerbitkan suara berdengung. Kemudian mengunci bidang gerak lawan bagian atas, tengah. dan bawah. Di kunci dengan cara demikian siapapun akan mati kutu. Di luar dugaan pemuda itu malahan tertawa perlahan. Berseru memuji:
- Bagus!
Berbareng dengan seruannya, ia maju menikam dada.
Ah benar-benar aneh bin ajaib!
Mengapa dia tidak berusaha mengelak atau mundur?
Gerakan pemuda itu mengherankan Boma. Sebab ajaran dasar ilmu pedang dimanapun, mengharuskan menolong diri apabila terkunci demikian. Sebaliknya pemuda itu, tidak melakukan usaha demikian. Sekarang tahulah ia apa sebab dadanya tadi kena gempur.
Hati Boma tercekat. Gempuran pemuda itu, tidak lagi dilakukan dengan tangan kirinya, tetapi menikamkan pedangnya. Satu-satunya perlawanan yang paling baik hanya dengan mengadu pedang pula. Tiba-tiba teringatlah dia bahwa pedang pemuda itu adalah pedang mustika. Sedang pedangnya sendiri hanya pedang biasa. Kalau sampai terbentur pedang mustika akan berakibat runyam. Meskipun andaikata pedang mustika pemuda itu dapat dipentalkan dengan tenaga saktinya, tetapi pedangnya sendiri akan terkutung menjadi dua bagian.
Namun ingatan demikian, hanya terjadi sedetik saja. Tiada kesempatan lagi untuk memilih jalan lain yang lebih aman. Maka dengan terpaksa ia mengadu pedang.
Trang!
Kedua-duanya meloncat mundur dan terpisah beberapa langkah. Akibatnya seperti apa yang diperkirakan. Meakipun ia masih sempat menempel pedang mustika lawan dengan tenaga lembek, namun pedangnya tetap saja terpapas sedikit. Dengan demikian, pemuda itulah yang layak disebut menang dalam gebrakan sebentar tadi.
Sayang, pemuda itu tidak tahu diri. Barangkali terdorong oleh usia muda, ia mau memperoleh kemenangan gemilang. Sedang sebenarnya, lebih baik ia meninggalkan gelanggang.
Bukankah Mojang pada saat itu sudah berhasil membunuh kuda Boma?
Sekarang ia menerjang lagi dengan maksud mengadu pedangnya yang ternyata sudah membuahkan hasil yang menggembirakan. Tetapi Boma kali ini sudah bersiaga. Ia menggerakkan tangan kirinya. Diam diam ia menyalurkan ilmu saktinya. Itulah sebabnya, tatkala ia terpaksa mengadu pedangnya kembali, hasilnya adalah sebaliknya. Sama sekali tidak terdengar suara beradunya dua logam, sehingga pemuda itu nampak terkejut.
Perlahan-lahan tetapi pasti, pedang mustika pemuda itu kena tenaga hisap Boma. Beberapa kali pemuda itu berusaha melepaskan pedangnya dari hisapan tenaga gaib Boma. Namun tidak pernah berhasil dengan baik.
Apakah inilah yang dikatakan orang tenaga Ilmu hitam Pasupata, pikirnya.
Menurut bunyi berita Huen Tsang di samping agama agama resmi yang diakui pemerintah, terdapat pula agama Pasupata di Kerajaan Sriwijaya. Sebenarnya lebih tepat bila disebut dengan istilah Ilmu hitam. Sebab agama itu, disebut sebagai agama kotor.
Untung, pedang pemuda itu adalah pedang mustika. Menurut perhitungan, pedang mustika itu akan terpental dari genggaman tangan begitu terbentur tenaga gaib. Sayang pula, pedang Roma yang dibuat sarana menyalurkan Ilmu Pasupata bukan termasuk pedang mustika. Bila Boma mengerahkan tenaga keras, akibatnya malah merugikan. Pedang mustika memang dapat dipentalkan dari genggaman, tetapi pedangnya akan patah menjadi dua bagian. Peristiwa inilah yang tidak dikehendakinya semenjak tadi. Karena itu ia hanya bermaksud hendak mengacaukan kepercayaan pemuda itu.
Benar saja. Setelah berkutat beberapa waktu lamanya dahi pemuda itu berkeringat. Tak usah dikatakan lagi, bahwa hatinya gelisah. Melihat hal itu, Boma segera menggertak
- Nah. bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?
Justru oleh ejekan itu, semangat tempur pemuda itu
terbangun lagi. ia tersenyum. Tiba-tiba saja. pedangnya terlepas dari malapetaka. Dan dengan berjungkir balik, ia terbang tinggi di udara dan mendarat di jauh sana.
Boma terbelalak.
Apa yang sudah terjadi?
Pada detik itu. tersadarlah ia. Semuanya itu akibat dari kesalahannya sendiri. Dia tadi berhasil menghisap pedang mustika pemuda itu dengan menggunakan tenaga sakti yang disalurkan melalui pedangnya. Merasa berada di atas angin, berbicaralah ia. Hal itu berarti melepaskan pemusatannya sedetik dua detik. Dan pemuda yang cerdik itu dapat menggunakan kesempatan demikian dengan sebaik-baiknya. Ia meletik tinggi bagaikan ikan terbang menembus permukaan air. Letikan itu membawa tenaga tarik yang tinggi Dan terlepaslah ia dari hisapan Ilmu hitam Pasupata.
- Mau lari ke mana kau? ia mencoba menggertak.
Pemuda itu tertawa. Menyahut sambil menyarungkan pedang mustikanya:
- Selamat tinggal. Sekarang engkau boleh mencoba coba mengejar kami.
Dengan berjumpalitan tinggi di udara, pemuda itu hinggap di atas pelana kudanya. Kemudian dengan sekali menghentakkan kendalinya, kuda hitam yang tangkas dan cekatan itu, kabur melintasi pagar pepohonan dan ladang belukar. Tak jauh dari tempat itu, ia bertemu dengan Mojang yang nampak gelisah. Rupanya Mojang mencemaskan dirinya, sehingga tidak mau kabur untuk menyelamatkan diri sendiri. Begitu melihat dengan tak kurang suatu apa pandang matanya berseri-seri.
- Hai! Kenapa kau masih berputar-putar di sini? _ pemuda itu menegor heran.
Wajah Mojang nampak kian cerah. Sahutnya:
- Bagaimana mungkin aku dapat meninggalkanmu dalam bahaya? Syukur kau tak kurang suatu apa.
- Tetapi Boma akan dapat mengejarmu.
- Tidak mungkin lagi. Kudanya telah kubunuh mati. ujar Mojang dengan suara tenang.
- Sekarang antarkan aku menghadap ayahmu.
- Ayahku? Siapakah ayahku?
- Bukankah Yang Mulia Lembu Seta?
- Hai. bagaimana engkau tahu? pemuda itu terbelalak heran.
- Dan engkau sendiri Rara Tilam, bukan?
-ih. celaka! pemuda itu terkejut.
- Kalau begitu tak ada gunanya aku menyamar lagi. Kukira Boma tahu pula.
- Belum tentu.
- Apa alasanmu?
- Kalau aku mengenalmu, karena kisikan Rakyan Kadung. Dia beri kabar padaku bahwa engkau tidak akan membiarkan diriku tersesat di jalan. Siapa lagi yang berkenan mencampuri dan menolong diriku selain Rara Tilam? Dan setelah engkau berbicara, aku kian yakin. Sebab logat bahasamu adalah logat bahasa kita.
Pemuda itu kemudian tertawa riang. Suaranya merdu dan mengasyikkan. Lalu memutuskan:
- Baiklah. Aku akan tetap mengenakan pakaian pria. Asal saja engkau memanggilku dengan Tilam dan sikapmu wajar terhadapku, tidak akan menimbulkan kecurigaan orang.
- Tilam , ya Tilam! Nama itu bisa juga dikenakan untuk kaum pria.
Mojang berkomat-kamit.
Tilam alias si pemuda itu tersenyum geli. Lalu berkata lagi.
- Mari kita ke Walaing!
- Eh ya . . . di manakah letak Walaing?
Mojang seperti diingatkan.
- Walaing, sesungguhnya nama wilayah seperti Palas Pasemah yang terletak jauh di Selatan. Bila kita tiba di sana dengan selamat. tinggal satu langkah lagi mendaratlah kita di pantai Jawadwipa.
Palas Pasemah sekarang bernama Lampung. Maka kata-kata Tilam memang benar. Dengan perahu layar, dapatlah orang mendarat di pantai Jawa. setelah mengitari Gunung Krakatau. Waktu itu. Krakatau mempunyai tiga kepundan. Puncaknya menjulang angkasa kira-kira setinggi gunung Sumbing. Tanahnya subur sehingga gunung itu nampak berselimut permadani hijau. Tidaklah mengherankan pula bila gunung Krakatau dahulu berpenduduk padat juga. Sebab kecuali mereka dapat hidup bertani, sewaktu-waktu turun ke laut menjala ikan.
Dalam pada itu Tilam dan Mojang melarikan kudanya mengarah ke tenggara. Ternyata kata-kata Walaing lebih bermakna kata-kata sandi. Maksud Duta Lembu Seta, agar pelariannya kelak melalui lautan. Karena itu, dikehendaki para pengikutnya menyusur pantai. Rencana demikian bisa dimengerti.
Bukankah Ibu kota Sriwijaya justru berada di sebelah selatan kota Lamuri?
Meskipun berkepandaian tinggi seumpama dapat terbang mencapai bulan, tidakkan mungkin menghadapi seluruh angkatan perang Sriwijaya seorang diri.
Kira-kira menjelang petanghari, Tilam kendali kudanya. Lalu turun ke tanah sambil berkata:
- Sekarang, barulah kita berhak berkata bahwa Boma tidak akan dapat mengejar lagi. Sampai saat inipun. belum tentu dia memperoleh kuda. Taruh kata dia beruntung memperoleh kuda pinjaman. tentunya seekor kuda lumrah.
Mojang tidak menyahut. Diapun segera turun dari kudanya dan membiarkan kudanya menggerumiti rerumputan yang hidup subur di seberang-menyeberang jalan. Kemudian dengan langkah lebar ia menghampiri Tilam
yang duduk bersandar pada sebatang kayu.
- Tilam! tiba-tiba dia membuka mulutnya.
- Teringatlah aku bahwa Kadung tiba-tiba muncul di atas genting penjara Lamuri. Diapun menyebut namamu dengan lancar. Sebenarnya apa hubunganmu dengan dia?
Tilam tidak segera menjawab. Ia mencabut serumput rumpun dan memilih sebatang yang panjang untuk digigitnya melintang di mulutnya. Lalu dengan menyungging senyum. ia berkata:
- Kau perlihatkan dahulu pedang panjangmu. Setelah itu. barulah kita membicarakan tentang hubunganku dengan Rakyan Kadung. '
- Kau maksudkan pedang panjang yang kubawa-bawa ini? Ini sebilah pedang pusaka. ujar Mojang.
Pada jaman itu, pedang pusaka adalah seumpama jiwanya sendiri yang harus dilindungi dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak mudah untuk diperlihatkan kepada orang lain.
- Apakah engkau tidak percaya?
- Bukan begitu. - sahut Mojang dengan tergesa-gesa.
- Pada saat ini jiwaku adalah milikmu. Sebab tanpa pertolonganmu aku sudah jadi bangkai tak berkubur. Tetapi pedang ini bukan milikku sehingga . . . .
- Justru demikian, ingin aku melihatnya. Bukankah pedang itu pula yang pernah kau perlihatkan kepada ayah?
Mojang mengangguk. Di dalam hati tiada alasan lain untuk menyangsikannya. Maka dengan kedua tangannya ia mengangsurkan pedang Jagadpati kepada Tilam. Tetapi begitu gadis itu melihat bunyi ukiran nama yang tertera di hulu pedang, parasnya berubah. Seperti tersengat lebah ia berkata dengan suara tinggi:
- Paman Jagadpati! Di mana beliau sekarang? Dan apa sebab pedang beliau berada di tanganmu?
Dengan singkat Mojang mewartakan peristiwanya. Gadis itu tiba-tiba terlompat dari tempat duduknya. Dihunusnya pedang pusaka itu, lalu di sabetkan beberapa kali. Ia mendongakkan kepalanya. Kedua matanya berkaca kaca. Serunya:
- Bagus! Bagus, paman! Betapapun juga, gugurmu di perantauan ini tidak sia-sia. Bahkan kegagahan paman akan terukir dalam lubuk seluruh rakyat Taruma Nagara.
Mojang berdiri tegak dengan tak setahunya sendiri. Hatinya terharu bukan main. Dan terloncatlah kata-katanya.
- Sayang sekali. sewaktu mereka mengkerubut tuanku Jagadpati baru saja aku tiba di tempat. Sekiranya tidak demikian, meskipun kepandaianku tidak seberapa, masih sanggup aku mengulurkan tangan untuk membantu beliau.
- Tak apa. -ujar Tilam sambil memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya kembali.
Diluar dugaan Mojang, ia menggantungkan pedang itu pada pinggangnya. Memang dirinyapun tidak berhak membawa-bawa pedang panglimanya. Sebab pedang itu merupakan hadiah raja sebagai pengenal bahwa pemiliknya adalah perwira tinggi Taruma Nagara. Sebaliknya gadis itupun juga tidak berhak untuk merampasnya dengan begitu saja.
- Tilam! Berikan pedang itu kembali kepadaku. ia memohon dengan hati-hati.
- Mengapa?
Mojang menelan ludahnya. Sejenak kemudian menjawab:
- Memang, pedang itu bukan milikku. Juga bukan milikmu. Satu-satunya yang berhak adalah keluarganya. Karena itu akan kukembalikan kepada yang berhak.
- Benar. Kau tahu siapa yang pantas menerima warisan pedang pusaka ini?
- Tentunya salah seorang puteranya.
- Siapa?
- Hal itu, bukan urusanku. Kukira yang berhak menentukan adalah keluarga almarhum panglima Jagadpati.
- Baik. Karena engkau tidak tahu dengan pasti siapa yang berhak menerima warisan pedang pusaka ini, untuk sementara lebih aman bila aku yang menyimpan. ujar Tilam dengan suara tegas.
- Hai!
Mojang terperanjat.
- Apakah di Taruma Nagara terdapat pula seseorang yang berani memalsukan diri sebagai salah seorang keluarga panglima Jagadpati demi memperoleh pedang pusaka itu?
- Mengapa tidak? Di atas lautan pasir, kadangkala seseorang menemukan sebutir emas. Sebaliknya di atas padang rumput seringkali terdapat binatang berbisa. Apakah engkau belum pernah mendengar bunyi pepatah itu?
Mojang tercengang. Meskipun peribahasa itu hampir diketahui oleh seluruh masyarakat yang berpendidikan, tetapi yang pantas mengucapkan adalah mereka yang sudah kenyang makan garam dan asamnya kehidupan. Bukan oleh seorang gadis yang usianya paling tinggi 19 tahun, pikirnya. Tetapi kemudian segera ia mau mengerti. Sebagai puteri seorang duta besar, tentunya Tilam memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Kecuali pergaulan dari kalangan atas, ikut sertanya merantau mengiringkan ayahnya melaksanakan tugas berkeliling untuk menilik negeri orang, akan menambah khasanah pengetahuannya pula. Oleh pertimbangan itu, Mojang bersedia mengalah. Kemudian berkatalah ia dengan menyenak nafas:
- Baiklah, kalau engkau berkenan membawa pedang panglima. Aku sih hanya dari kalangan rendah. Memperoleh kesempatan untuk menggunakannya sudah merupakan suatu karunia sendiri.
Tilam nampak menjadi perasa. Ia diam menimbang nimbang sejenak. Lalu berkata dengan wajah cerah:
- Sebenarnya engkaulah yang tepat membawa pulang pedang ini .Paman Jagadpati tentunya mempunyai dasar alasannya. Walaupun dalam keadaan darurat masih sempat dia berpikir panjang mengenai usaha membawa ayah pulang ke Jawadwipa. Buktinya, dia memberikan pedang pusakanya kepadamu. Kalau tidak, takkan mungkin engkau menerima pesan dan saran-saran ayah. Pendek kata, paman Jagadpati mengharapkan tenagamu untuk menjaga keselamatan jiwa ayah. Itulah sebabnya pula aku mengikuti jejakmu. Soalnya kini, dapatkah engkau menjaga pedang pusaka ini dari incaran lawan?
- Apakah engkau meragukan ketulusan hatiku?
Mojang tersinggung.
Tilam tidak segera menjawab. Lalu mengangsurkan pedang pusaka panglima Jagadpati sambil berkata datar:
- Kau terimalah kembali! Aku ingin mengujimu.
Dengan hati setengah mendongkol, Mojang menerima angsuran pedang itu. Tetapi baru saja ia menggenggamnya erat-erat, dengan suatu kecepatan luar biasa. Tilam mendorongnya mundur setengah langkah. Kakinya tergaet dan tidak ampun lagi, ia jatuh terlentang. Pada detik itu pula, Tilam melompat maju. Dan sebelum punggungnya terbanting di atas tanah ia terdorong lagi. Kali ini, tubuhnya terangkat dengan berputaran beberapa kali sebelum berdiri tegak di tempatnya. Tiba-tiba saja, pedang Jagadpati sudah berada di tangan Tilam.
- Hi!
Mojang terkejut bukan kepalang sampai wajahnya Berubah.
- Itulah pukulan Aji Penggendam. Aji Penggendam paling jitu dibuat menghantam lawan yang sedang lengah. Ujar Tilam dengan tenang.
- Seseorang yang di incar
mungkin bisa bersiaga terus menerus selama satu hari dan satu malam. Tetapi apakah dia bisa berjaga terus menerus tmtuk sepekan? Sebulan? Satu tahun?
- Benar. pikir Mojang.
- Taruh kata dia dapat menjaga pedang pusaka itu selama tiga atau empat kali dari incaran musuh mungkinkah dia dalam keadaan siap siaga untuk selamanya?
Orang perlu makan-minum, mandi buang air dan tidur.
Apakah pedang itu harus ditempelkan lekat pada badannya selama dirinya masih bernafas?
Mustahil!
Sungguh mustahil!
Juga manusia lainnyapun tidak mungkin dapat berjaga selama-lamanya. Suatu kali dia akan lengah juga. Kalau begitu betapa dahsyat Aji Panggendam itu, rasanya susah diukur.
Tetapi di dalam hati kecilnya ia yakin tentu ada cara perlawanannya?
Dengan apa?
Bagaimana?
Nah. itulah soalnya. Justru dia tercenung memikirkan hal itu tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Rakyan Kadung dahulu seringkali membicarakan aji itu. Dia mengaku, dapat pula menggunakannya.
Teringat akan hal itu terus saja dia bertanya:
- Sebenarnya. apa hubunganmu dengan Kadung?
Tilam tertawa merdu. Sahutnya:
- Dialah kakak seperguruanku. itulah sebabnya dia mengenal tanda-tanda perguruan yang kutinggalkan di sepanjang perjalananku. Baiklah hal itu akan kukabarkan dengan perlahan-lahan. Yang penting sekarang, marilah kita mencari rumah makan dahulu untuk mengisi perut.
Sebenarnya Mojang kurang puas memperoleh keterangan sependek itu. Tetapi melihat Tilam bersikap pelit, tak berani ia mendesak. Maka dengan berdiam diri pula ia mengiringkan Tilam mencari rumah makan.
Mereka tiba di sebuah kota kecil yang berpenduduk jarang. Waktu itu matahari sudah menghilang di barat.
Syukur. meskipun kecil, kota itu mempunyai sebuah
penginapan. Rupanya kota kecil itu terletak tak jauh dari pantai. Pedagang-pedagang sering melintasi kota kecil itu. sehingga bisa dimengerti apa sebab memiliki sebuah penginapan. Mereka memesan dua buah kamar. Selagi Mojang hendak memasuki kamarnya. tiba-tiba Tilam mengangsurkan pedang Jagadpati kepadanya.
- Kau bawalah pedang ini. Aku sendiri sudah berpedang pendek. Jika kubawa juga pedangmu rasanya kurang tepat. Aku jadi nampak serakah.
Mojang tersenyum geli mendengar ujar Tilam. Gadis ini mempunyai sifat dan lagak-lagu sendiri yang menarik. Kadang keras. kadang pula lemah lembut, pikirnya. Dengan membawa pedang Jagadpati, ia masuk ke dalam kamarnya dan kemudian merebahkan diri. Sambil merenungi atap rumah terbayanglah semua pengalamannya selama berada di negeri Sriwijaya.
Sudah jelas, ia mengaku sebagai adik seperguruan Rakyan Kadung. Tetapi mengapa dia enggan menerangkan siapa nama gurunya?
Agaknya ia selalu bersikap waspada dan hati-hati. Diapun belum menganggap diriku sebagai teman seperjalanan yang dapat dipercayainya. -Mojang berkata di dalam hati.
Kemudian terbayanglah ia kepada Rakyan 'Kadung. Setelah muncul di atas genting penjara Lamuri. sampai hari itu belum muncul dihadapannya.
Mengapa?
Apakah dia sedang mengawal Duta lembu Seta?
Ke mana?
Sebagai rekan sekerja, tentu saja ia mengenal Kedung. Dia seorang pemuda yang lincah dan banyak akal. Akan tetapi sampai dimana tingkat kepandaiannya, selamanya belum pernah ia menyaksikan. Tetapi bila Tilam mengaku sebagai adik seperguruannya. kepandaiannya tentunya jauh berada di atasnya. Meskipun demikian apa sebab Lembu Seta belum mengijinkan puterinya membawanya
lolos dari penjara?
Masih sajakah Lembu Seta khawatir bahwa kepandaian Kadung belum dapat mengatasi Boma?
Atau setelah puterinya mengabarkan bahwa Kadung menyertainya. duta itu kemudian baru berkenan meloloskan diri dari penjara?
Teka-teki yang merumun dirinya membuat ia lupa makan dan minum. Bahkan mandipun. tidak terpikirkan lagi. Dia tertidur dengan begitu saja oleh rasa lelah luar dan dalam. Hanya kali ini meskipun pikirannya sibuk menebak-nebak namun hatinya lega. Dirinya tidak lagi menjadi semacam binatang buruan Boma. Maka mimpinya jadi nyaman sampai Tilam menggedor-geodr pintu kamarnya. Terkejut ia meletik bangun dari tempat tidurnya. Pada saat itu, terdengar suara Tilam bercampur rasa geli:
- Hai! Kau mandi. tidak?
- Tentu saja. Mengapa? sahut Mojang.
- Hm . . . engkau bisa tidur nyenyak. Sebaliknya, aku tidak.
- Kenapa? Apa yang terjadi?
- Penginapan ini serasa digempur gempa bumi. Rupanya engkau memiliki tenaga dahsyat yang tersekap dalam perutmu.
Mojang tergugu sejenak. Lalu tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya terguncang-gamang. Sahutnya dengan mulut melebar:
- Barangkali aku ini penitisan babi.
Tilam tidak menanggapi. Gadis itu hanya terdengar tertawa ria di dalam kamarnya. Mojang sendiri, kemudian lari ke kamar mandi. Segera ia mengguyuri dirinya dengan air berlimpahan. Karena tersentuh dingin air, rasa lelahnya sirna. Tenaganya terasa pulih kembali. Kemudian dengan bersiul-siul pendek ia kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Satu jam lagi. ia sudah berada di tengah
jalan menyertai Tilam melanjutkan perjalanan.
Beberapa kali mereka berpapasan dengan rombongan pedagang. Mereka saling tidak menegur sapa. Hanya saling mengerlingkan mata. Hal itu membuat Tilam menaruh perhatian.
- Mari. kita kembali! ajaknya.
- Kembali ke mana?
Mojang heran.
- Aku tahu, kota yang baru kita tinggalkan tadi memang merupakan semacam urat nadi lalualintas perdagangan. Tiga kali aku pernah melintasi kota itu.
- Lalu_
- Tetapi jumlah rombongan pedagang yang akan melintasi kotaitu, terlalu banyak jumlahnya.
- Orang-orang sini, memang berbakat berniaga. Apakah yang membuatmu curiga?
- Memang benar. Penduduk Suwarnadwipa, rata-rata
hidup berniaga.
Tilam membenarkan.
- Akan tetapi sikap mereka terlalu angkuh sebagai pedagang.
Mendengar alasan Tilam. Mojang tertawa gelak. Sahutnya:
- Mereka bukan angkuh, tetapi pikirannya penuh dengan rencana-rencana pengelelaannya. Seperti diriku semalam. Aku disibukkan oleh pikiranku sendiri, sehingga lupa makan dan mandi. Siapapun akan mengira diriku sinting.
Tilam membiarkan Mojang mentuntaskan tertawanya. Lalu menyahut:
- Bomapun bisa mengenakan pakaian pedagang. Bukankah begitu? '
Diingatkan tentang Boma. mulut Mojang bungkam.
Jantungnya berdebaran, karena hal itu besar sekali bahayanya. Tak terasa ia menoleh. Rombongan pedagang yang tadi berada di belakangnya sudah memasuki tikungan jalan di depannya.
Apakah mereka anak buah Bama?
- Eh. benar. Nampaknya mereka tergesa-gesa. serunya tertahan.
- Apanya yang benar? Taruh kata Soma seorang saktipun mustahil dapat memecah diri menjadi beberapa orang.
- Bukan itu. maksudku. Mungkin sekali mereka anak buahnya.
Sekarang Tilamlah yang ganti mentertawakan. Katanya kemudian menirukan ucapannya:
- Orang-orang sini, memang berbakat berniaga. Apakah yang membuatmu curiga?
Mojang hendak membuka mulutnya, tetapi batal dengan sendirinya oleh rasa jengah. Pikirnya.
- gadis ini cerdik benar. Mungkin mewarisi bakat ayahnya yang terpilih raja menjadi duta kepercayaannya.
Diam-diam ia berjanji di dalam hati tidakkan lagi mengemukakan suatu pendapat kecuali manakala gadis itu terancam bahaya.
Dengan pikiran itu, ia mengikuti Tilam berputar-putar selama dua hari lamanya. Ia membuat catatan-catatan sendiri di dalam hatinya tentang semua kesan yang dilihatnya. Pada hari ke empat sampailah perjalanan itu di daerah perbukitan.
Waktu itu musim semi. Bunga-bunga alam sedang memperlihatkan kecantikannya. Merekah segar di atas tangkainya. Oleh hembusan angin pegunungan kerapkali berayun memanggut manggut seolah ratusan gadis cantik sedang memberi anggukan simpati kepada pahlawannya yang melintas di hadapannya. Aneka keharumannya menyebar luas menyegarkan dan melegakan pernafasan. Sambil menikmati pemandangan alam yang indah itu diam diam Mojang memperhatikan Tilam. Ingin ia mengetahui apakah sesungguhnya yang merumun dalam benaknya. Sekian
lamanya ia berdiam diri seperti biasanya. Akhirnya berkata minta keterangan:
- Apakah perjalanan ini akan makin mendekati tempat yang dikehendaki Tuanku Lembu Seta? Walaing. Kau masih ingat makna nama itu. bukan? sahut Tilam.
- Ya. Menurut penjelasanmu! Walaing adalah nama
wilayah.
- Benar. Artinya. kita disuruh melihat wilayah yang kita lalui. Sebab makna Walaing berarti pula menilik. Coba dengarkan bunyi lafalnya! Walaing _ . . kuliling . . . keliling. Bukankah makna berkeliling. menilik pula?
Mojang sesungguhnya bukan seorang pemuda yang bodoh. Sekiranya bodoh tidak mungkin ia dapat mencapai pangkat seorang perwira. Hanya saja hatinya lebih sederhana bila dibandingkan dengan Tilam. Dahulupun, pernah ia mengira bahwa kata-kata Walaing itu pasti mengandung makna sandi. Tetapi karena sifatnya aneh maka tak pernah terlintas dalam benaknya akan mempunyai makna demikian.
Mengapa diharuskan berkeliling menilik wilayah?
Mestinya lebih tepat apabila diartikan secepat mungkin meninggalkan wilayah kerajaan Sriwijaya. Sebab kedudukan mereka adalah seumpama terperangkap dalam kandang harimau. Bahaya akan selalu mengancam di mana saja mereka berada. Padahal Suwarnadwipa (Sumatera) tiga kali lipat besarnya dari pada pulau Jawadwipa.
- Tuanku Lembu Seta menerangkan bahwa Walaing berada dekat dengan pantai. Mengapa engkau makin menjauhi? akhirnya ia berkata.
Tilam tersenyum. Sahutnya:
- Di depan kita justru terletak pusat pemerintahan. Mau tak mau kita harus mengambil jalan berputar. Lagipula jumlah orang yang berpapasan dengan kita terlalu
banyak. Mereka nampak sibuk. Wajahnya bersungguh sungguh. Apakah engkau tak tertarik?
- itu bukan urusan kita. Justru itulah kewajiban kita yang utama.
- Kewajiban kita yang utama?
Mojang terbelalak
heran.
Tilam tertawa perlahan. Ia menengadahkan pandangnya sejenak. Lalu berkata seperti seorang guru:
- Barangkali, karena kedudukan kita berbeda. Engkau seorang perwira, sedangkan aku dilahirkan ditengah keluarga seorang duta raja. Pandangan dan sikap hidup kita berlainan. Seorang perajurit pada dasarnya hanya mengenal dua istilah yang berlawanan. Menang atau kalah. Maju atau mundur. Menyerang atau bertahan. Mendahului atau menunggu. Sebaliknya, aku terlatih untuk melihat semuanya dan apa yang terjadi di belakang layar pemerintahan. Kelak harus kukaji untuk kita laporkan kepada atasan. Apalagi pada saat ini, di dalam pemerintahan Raja Dharmajaya sedang terjadi pergolakan. Pergolakan antara sesama keluarga tetapi berbeda rumpunnya. meskipun masing masing mengenakan rumpun nama Dhrma. Tegasnya pada saat itu Raja Dharmaputera sudah mengambil alih kekuasaan. Tentunya tidak terjadi begitu sederhana. Setidak-tidaknya Raja Dharmajaya masih mempunyai pengikut pengikut yang setia. Mereka pasti tidak akan tinggal diam berpangku tangan. Untuk hal ini, kita berdua perlu meniliknya, sebelum bertemu dengan ayah di suatu pantai yang sudah ditentukan.
- Apakah seorang duta harus usilan?
- Usilan?
Tilam mengulang.
- Mungkin saja.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Tetapi semuanya ini kita lakukan demi negeri kita sendiri.
- Apakah Taruma Nagara mempunyai kepentingan?
- Tentu saja.
- Bagaimana pendapatmu. seumpama
raja Sriwijaya yang sekarang berkuasa mempunyai tindak lanjut untuk menyerang negeri tetangga? Tanpa adanya pengamatan yang cermat, negeri kitapun akan kecurian juga.
Mojang memanggut-manggut. Ia mulai mengerti tugas seorang duta keliling. Kecuali bertugas mempererat hubungan persahabatan, harus pula pandai menilik apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar persahabatan. Andaikata Sriwijaya pada saat ini tiba-tiba menyerang, laskar Taruma Nagara masih tertidur nyenyak. Maka makin Sadarlah ia kini betapa pentingnya kedudukan Duta Lembu Seta bagi negerinya. Pantaslah panglima Jagadpati rela pula mengorbankan jiwanya demi usaha membawanya pulang ke negeri. Sebaliknya, bila Sriwijaya benar-benar bermaksud menyerang Taruma Nagara dengan tiba-tiba tentu saja tidak akan membiarkan Duta Lembu Seta meloloskan diri. Memperoleh pikiran itu. tak terasa ia mengertak gigi. Dengan bersemangat ia berkata:
- Terima kasih. Sekarang, semuanya yang masih gelap bagiku, agak jadi jelas. Tetapi kalau kita hanya berjalan seperti sepasang pesiar, kukira tidak akan berhasil mencapai sasaran yang kau kehendaki. Bagaimana kalau kita berpencar sementara untuk bertemu kembali?
-;Bagus! Akupun berpikir begitu juga. sahut Tilam bersemangat pula.
- Sebaliknya, tahukah engkau sasaran apakah yang kukehendaki? , "
- Bukankah orang-orang yang berpakaian pedagang
- Tidak hanya itu. Tetapi mereka semua! Mereka yang melalui jalan umum dan yang mengambil jalan pintas. Siapa mereka sesungguhnya dan ke mana mereka pergi. lalu, apa tujuan mereka.
Menjelang malam tiba semuanya harus jadi jelas sebelum mereka lenyap dari pengamatan
kita. Mari kita berlomba! Siapa yang dapat memberi keterangan dan tiba lebih dahulu dialah yang menang.
- Di mana kita bertemu?
- Di sini.
- Baik. _
Mojang membusungkan dadanya.
- Segera aku akan lapor kepadamu, siapa mereka sesungguhnya.
Mereka saling bertepuk tangan sebagai tanda berpisah. Kemudian berpencar memilih arah yang dikehendaki. Tilam mengarah ke timur, seakan-akan hendak menyusuri pantai. Sedang Mojang ke barat hendak melintasi perkampungan. Waktu itu senja hari hampir terlampaui. Rembang petang akan segera tiba.
*****
3. MENGADU KEPANDAIAN.
SUDAH JELAS bagi Mojang, bahwa perlombaan Itu tidak ada taruhannya. Walaupun demikian tak mau ia mengalah. Entah apa sebabnya, semangatnya berkobar kobar dan bertekad untuk menang. Mungkin sekali hal itu terjadi karena terdorong oleh rasa harga diri. Setelah bergaul dalam beberapa hari,di dalam hati ia mengakui bahwa Tilam memiliki otak encer. Gadis itu tidak hanya pandai berpikir, bahkan ilmu kepandaiannya berada di atasnya. Namun betapapun juga, tidak seharusnya ia harus merasa takluk.
- Jelek-jelek aku laki-laki, pikirnya.
Dan ia akan membuktikan mutu kebisaannya.
Mojang sendiri memiliki sifat cermat, tekun dan pengalaman. Pada saat itu berpikirlah ia, bahwa untuk menyelidiki rombongan pedagang itu kurang tepat apabila hanya mengikutinya. Ia harus mencari keterangan-keteragan di luar pengetahuannya mereka. Satu-satunya cara yang merupakan sumber yang tepat, hanya dari mulut penduduk. Sebab penduduk akan segera tahu siapa mereka sesungguhnya. Rombongan pedagang atau bukan. Mana kala bukan, barulah mencari upaya lain untuk mengetahui dengan pasti kemana dan apa tujuan mereka.
Dengan pikiran itu, ia melarikan kudanya memasuki kampung. Pada dewasa itu, sebuah kampung berpenduduk jarang. lebih tepat, bila disebut suatu perkampungan saja. Sebab jumlah rumahnya paling banyak hanya lima buah letaknya berpencaran pula, sehingga lebih mirip beberapa gubuk penunggu huma.
Sebuah rumah yang terlindung oleh petak rimba, menarik perhatiannya. Rimba itu berada di atas sebuah bukit panjang. Di sisinya, terbentang petak-petak sawah yang sedang menghijau. Kesannya damai menyenangkan. Ia menghampiri rumah itu. Agar tidak mengejutkan penghuninya, ia membawa kudanya menjauhi jalan dan diikatkannya pada sebatang pohon. Kemudian dengan langkah hati-hati ia memasuki pekarangan rumah. Rumah itu bertangga bambu. Rupanya terawat baik. Tetapi belum lagi ia berada di bawah tangga itu, sekonyong-konyong ia mendengar suara tangis seorang wanita. Ia jadi keheranan.
Masakan ditengah kedamaian demikian terdengar suara tangis yang memilukan hatinya?
Ia jadi sibuk menebak nebak.
Apakah pemilik rumah ini sedang dirundung dukacita?
Kalau begitu tidak tepat aku mengharapkan keterangannya, pikirnya. Segera ia memutar tubuhnya hendak meninggalkan rumah itu.
Tetapi yang berada dalam rumah, mendengar gerakan tubuhnya. Dengan suatu hendakan daun pintu terjeblak. Dan muncullah seorang kakek berambut ubanan dengan menggenggam sebatang tongkat besi. Perawakan kakek itu kurus tipis. Punggungnya melengkung kena dimakan usianya yang panjang.. Dia berdiri dengan kaki terbuka
di tengah ambang pintu. Lalu berteriak nyaring:
- Kau bangsat anjing! Kukatakan tadi bahwa baru saja aku kematian isteri. Tubuhnya belum lagi kering. Masihkah engkau sampai hati untuk memaksaku membayar upeti? Kau tahu aku kini tidak mempunyai apapun, kecuali seorang cucu perempuan. Kalau kau mau merampas cucuku sebagai pembayar upeti, cabutlah jiwaku dahulu _
Mojang tercengang. Segera ia tahu. bahwa kakek itu salah duga terhadapnya. Maka cepat-cepat ia membungkuk hormat seraya berkata dengan hati-hati.
- Kakek, aku hanyalah seorang perantau yang kebetulan melalui dusun ini. Wilayah ini masih asing bagiku, sehingga aku bermaksud untuk mohon petunjuk kemari.
Kakek itu memandangnya dengan pandang mata limbung. Ia seperti memperoleh suatu kesan lain setelah mendengar logat bahasanya. Begitu yakin tetamunya bukan manusia yang dibencinya, segera ia meletakkan tongkat besinya. Kemudian membalas hormat dengan takzim.
- Oh, .maafkan aku tuan. Mataku memang sudah lamur. Mulutku tak terkendalikan pula sehingga mengumpat-umpat tak keruan. -ujarnya dengan suara agak bergemetar.
- Sekiranya tuan berkenan singgah di rumah kami, silahkan naik! Hanya saja tak dapat aku menghidangkan sesuatu yang pantas.
Mojang mengucapkan terima kasih. Lalu ia mengangsurkan segenggam uang kepada kakek itu.
- Untuk apa?
- Sekedar sebagai teman berbicara. sahut Mojang dengan sopan. Tatkala hendak memasuki ambang pintu, ia melihat seonggok rumput muda berada di sudut serambi depan.
- Siapakah yang mengumpulkan rumput itu? -tanyanya.
Kakek yang tengah bersyukur karena kejatuhan rejeki tak terduga. segera menjawab dengan gembira:
- Itulah Upik, cucuku perempuan.
- Apakah kakek memelihara hewan ternak?
- Hanya seekor dua ekor.
Mojang tersenyum lebar. Kemudian memasuki ambang pintu. Ternyata rumah itu bersih sekali. Karena itu rasa herannya makin bertambah. Semuanya teratur rapih. Mengapa terjadi suatu tangis yang memilukan, pikirnya menebak nebak. Baru saja ia duduk didengarnya suara langkah ramai. Kakek itu terus saja menyambar tongkat besinya. Menyaksikan kesiagaan itu, terbangun perhatiannya. Ia mengintip dari celah dinding. Mereka yang datang berjumlah empat orang. Semuanya berdandan seperti pedagang yang menjadi teka teki baginya. Pedagang yang berperawakan kekar membentak dengan bengis:
- Hai bangsat! Kau 'dengar tidak, kata-kataku tadi? Majikan kami perlu perbekalan. Kau mempunyai uang atau tidak? Kalau tidak. serahkan saja cucu perempuanmu sebagai tanggungan. Atau agar kami tidak selalu menggerecokimu, biarkanlah cucu perempuanmu menjadi gundik majikan kami. Tawaran bagus, bukan?
Gertakan itu dibarengi dengan melecutkan cemeti besi memukul atap rumah. Kena lecutannya, empat buah genting runtuh dengan suara berisik. Sebaliknya. kakek Upik tidak melayani gertakannya. Dengan berjalan tertatih-latih. ia memasuki kamar. Kemudian terdengarlah suaranya berkata sedih:
- Upik! Larilah engkau melalui pintu belakang! Bersembunyilah di dalam rimba. Ini aku mempunyai uang hadiah dari tetamu kita. Bawalah dan jadikan modal hidup. Aku sendiri sudah malas hidup .
Segera terdengar isak tangis seorang gadis. Dialah si Upik. Sahut gadis itu:
- Kek, mari kita mati bersama. Untuk apa aku memperpanjang umur? Ayah-bundapun sudah tiada lagi.
- Lari! Cepatlah lari! Kau jangan ikut-ikutan kerasukan iblis! hardik kakeknya dengan membanting-bantingkan kakinya.
- Selama matahari masih memancarkan sinarya,harapan harus tetap ada. Nah. larilah! Cepat sebelum terlambat. Ataukah engkau bersedia menjadi gundik kaum perampok?
Upik keluar dari kamarnya. Dia mengenakan pakaian warna hijau. Erat-erat ia menggenggam tangan kakeknya. Mukanya nampak kuyu dan kelopak matanya tergenangi sepercik air mata. Dan melihat gadis itu hati Mojang tergetar. Teringatlah dia kepada adik perempuannya di rumah. Mukanya agak mirip. '
- lepas! Lepas!
Kakek itu mengibas-ibaskan tangannya.
- Biarlah aku yang menghadapi mereka. Sementara aku berkelahi sebisa-bisaku. larilah engkau melalui pintu belakang. Aku akan menantang mereka berkelahi di halaman depan. Kau dengar kata-kataku ini? Nah, larilah cepat!
Tetapi pintu depan telah kena dobrak dari luar. Dan berbareng dengan terbukanya daun pintu keempat pedagang itu masuk hampir berbareng ke ruang dalam. Dengan cepat mereka mengepung Upik dan kakeknya rapat-rapat Yang bertubuh kekar kemudian memukul kakek Upik. Dia menerkam rambut kakek itu dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya memeluk pinggang Upik.
Upik ketakutan. Sekujur badannya menggigil sehingga kehilangan sebagian tenaganya. Ingin ia memekik. agaknya mulutnya seperti terkunci diluar kehendaknya sendiri.
Diam-diam. Mojang mengamat-amati keempat pedagang itu. Pakaian yang dikenakannya tidak seragam. Tetapi warna dasarnya gelap. Ia jadi teringat kepada pandang Tilam yang mencurigai pedagang-pedagang semacam mereka.
Apakah mereka termasuk anak buah Boma yang menyamar sebagai pedagang pula?
Dengan mata berkilat-kilat pedagang kedua memeluk pinggang Upik dari sisi lain. seraya membentak:
- Bangsat! Kau dengarkan sekali lagi kata-kata kami. Cucumu ini akan segera kami bawa. Untuk sementara biarlah dia menjadi gundik majikan. Setelah engkau membayar upeti sebagai penebus, baru kami bebaskan kembali. Tetapi ingat. setiap tiga bulan sekali engkau harus menyediakan upeti seperti biasanya. Apakah engkau menghendaki membayar upeti setiap bulan? Itupun lebih bagus. Tetapi jangan sekali-kali kau ijinkan cucumu kawin.
Dia bisa kami potong-potong menjadi empat bagian. Kau dengar?
Setelah berkata demikian, dengan penuh kemenangan orang itu menarik Upik dari pelukan temannya, kemudian diseretnya keluar. Kakek Upik memekik tinggi. Dengan kalap ia menyambar tongkat besinya yang tadi jatuh ke lantai sewaktu kena pukul pedagang bertubuh kekar. Lalu mengejar dan membabatkan tongkat besinya asal jadi saja.
Orang itu mengelak sambil mencabut penggadanya. Dengan cepat ia memukul tongkat besi kakek Upik. Tentu saja kakek itu tak tahan mengadu tenaga. Dengan suara bergelontangan. tongkat besinya jatuh di atas lantai yang terbuat dari papan. Ia mau menyambar tongkat besinya lagi. Tetapi pedagang yang lain menendang tulang rusaknya, sehingga ia roboh terjengkang.
- Tua bangka, engkau tak tahu diri. Apakah kepalamu ingin kucacah di sini? bentak pedagang itu dengan garang.
Namun kakek Upik benar benar sudah kalap. Lupa pada tenaga sendiri, ia nekad hendak merebut cucunya kembali. Dengan merangkak-rangkak ia memungut tongkat besinya. Maksudnya hendak dibuatnya mengemplang kepala lawannya. Sayang belum sempat tongkat besinya terangkat dari lantai, tangannya sudah terinjak sampai tulangnya berbunyi bergemeretak. Meskipun demikian tak sudi ia mengaduh kesakitan. Bahkan tekadnya semakin bulat. Di luar dugaan siapapun ia menubruk dan menggigit kaki. Keruan saja, yang kena gigit mengiang-iang seperti anjing kena pukul.
Untung kawannya yang berperawakan kekar segera menolong. Dengan tak mengenal kasihan, rahang kakek Upik ditendangnya. Dan kena tendangannya, kakek itu terguling-guling. Mulutnya penuh dengan darah kental. Sebelum sempat bangun, orang yang kena gigit tadi membalas dendam dengan mengemplangi kepalanya berulang kali.
Sampai di sini, habislah sudah kesabaran Mojang. Tak dapat lagi ia menjadi penonton. Apalagi ia sedang menaruh curiga kepada rombongan pedagang dan kini rasa curiganya beralasan.
Benarkah seorang pedagang dapat berkelahi sekejam itu?
Terus saja ia melompat ke gelanggang pertarungan. Kedua kakinya menendang dan memperoleh sasaran empuk. Dua orang yang kena tendangannya terpental menghantam dinding rumah. Karena dinding rumah terbuat dari bambu, tak dapat menahan daya tendangan itu. Kedua orang itu terlempar keluar dan jatuh terbanting dihalaman.
- Siapa kau? -bentak yang berperawakan kekar.
Temannya seorang ikut maju.
Mojang tidak sudi menanggapi. Tangannya bergerak. Dan sekali bergerak, kedua orang itu kena dihantamnya
berjungkir balik. Lalu dengan kakinya ia menendangnya keluar ambang pintu. Waktu itu, mereka yang terbanting di halaman sedang naik tangga hendak menuntut . Tahu-tahu mereka tertubruk kedua temannya yang terpental keluar pintu oleh tendangan Mojang. Mereka saling tubruk dan jatuh bergelimpangan bersusun tindih.
- Sekarang, pergilah kalian! Lebih cepat lebih baik sebelum aku marah benar-benar _ gertak Mojang sambil memperlihatkan hulu pedang pendeknya dari balik bajunya.
Tetapi kakek Upik tidak rela membiarkan mereka pergi dengan damai. Seperti kerasukan setan, ia menuruni tangga dengan membawa tongkat besinya. Kemudian menghantami mereka berserabutan. Tak terbayangkan betapa kesakitan mereka sampai mulutnya berkaok-kaok minta ampun. Dan setiap kali berusaha hendak mengadakan perlawanan, Mojang menendang mereka bergelimpangan. Mereka benar-benar mati kutu. Mau melawan kena tendang. Sebaliknya bila menyerah pada nasib, si kakek mengemplanginya terus menerus.
- Kalian mau pergi atau tidak?
Mojang mencoba menolong menyelamatkan jiwa mereka.
Seperti kawanan anjing kena pukulan, mereka bangun dengan merangkak-rangkak. Lalu melarikan diri seperti Sedang berlomba. Sebentar saja, bayangan mereka hilang ditelan tirai rembang petang.
Melihat mereka kabur dengan merintih-rintih kesakitan, hati sang kakek terhibur. Belum pernah ia merasa puas selama hidupnya seperti petang hari itu. Dirinya sendiri sebenarnya menderita luka tak ringan. Tetapi pada saat itu, rasa sakit itu enyah dari lubuk perasaannya. Dengan haru ia membungkuk hormat kepada Mojang sebagai pernyataan rasa terima kasihnya. Upikpun ikut membongkok hormat hampir serendah tanah.
- Jangan. jangan! Jangan berlebih-lebihan menghormat padaku. cegah Mojang dengan sungguh-sungguh.
- Aku orang asing di sini. Tidak seharusnya aku berani menerima kehormatan begini besar.
Kakek Upik kemudian menggandeng tangan Mojang dan dibawanya duduk disampingnya. Katanya dengan nafas masih terengah-engah:
- Tuan. sebenarnya apa yang tuan kehendaki dariku?
- Siapakah mereka dan apa sebab mereka berlaku kasar terhadap kakek? Apakah kakek berselisih perkara perniagaan?
Dengan mengacung-acungkan tangan menunjuk ke arah lari mereka. kakek Upik menjawab:
- Meskipun mereka mengenakan pakaian pedagang atau rajapun. aku tidak mungkin bisa dikelabui. Mereka sesungguhnya kaum perampok dan perampok.
- Perampok?
Mojang heran.
- Atau yang kakek maksudkan orang-orang perintahan yang sedang menyamar?
- Tidak! Mereka anak buah gembong si Palata jahanam. -kakek itu berteriak nyaring.
- Palata? Siapa dia? ' .
- Dialah yang mereka sebut sebagai majikannya. Orang itu, binatang yang berkepala manusia. Dia mengangkat dirinya sebagai penguasa wilayah ini .Setiap penduduk yang mencari penghidupan di dalam wilayahnya, wajib membayar upeti kepadanya, Bila tidak . . .yah. seperti yang kualami tadi. Untung tuan menolong kami. Kalau tidak, entah bagaimana nasib si Upik. Upik, memang bernasib buruk semenjak hidup dalam kandungan ibunya. Mula-mula ayahnya meninggal. Lalu ibunya pula.
Dia kujaga semenjak belum pandai menetek. Dahulu neneknya masih sempat merawatnya. Tetapi baru saja dia belajar lari, neneknya meninggal. Benar benar malang nasibnya.
Tak terasa Mojang menghela nafas. Sewaktu hendak membuka mulut, Upik datang membawa sebuah niru berisi minuman dan sepiring penganan buatan sendiri. Wajahnya yang sebentar tadi nampak kuyu kini sirna. Pandang matanya cerah, sehingga berkesan manis. Setelah mempersilahkan Mojang minum, ia kemudian kembali ke dapur seraya berkata minta maaf. Ujarnya selintasan.
- Perkenankan aku menyiapkan sekedar makanan untuk tuan. Tetapi kami tidak mempunyai lauk pauk yang pantas. Hanya sayur dan . . .
- Bukankah engkau dapat menangkap ayam barang seekor? kakeknya menungkas.
- Sudahlah, tak usah repot-repot! kata Mojang.
- penganan ini sudah lebih dari cukup. lagipula, segera aku akan melanjutkan perjalanan.
- Memang kami tidak berani menahan tuan beristirahat di sini. karena itu biarlah Upik membuat sekedar masakan sebisanya. sekedar pembalas budi baik tuan. kakek Upik membela cucunya.
Mojang tidak mau mengecewakan Upik. Ia memanggut kecil dan memandang wajah Upik sepintas. Lalu berkata:
- Kurasa, setelah peristiwa tadi, hidup Upik tidak dirundung malang lagi.
- Belum tentu. kakeknya menggelengkan kepala.
- Belum tentu? _
Mojang mengulang.
Sambil menyenak nafas, kakek Upik memberikan alasannya. Katanya:
- Mereka berempat tadi, memang sudah kabur membawa lukanya masing-masing. Untuk sementara mereka merasa jera. Tetapi bagaimana dengan majikannya? Apakah dia akan tinggal diam saja setelah memperoleh laporan? Dia pasti datang dengan diiringkan mereka berempat. Mungkin sekali mereka menunggu sampai tuan tidak berada
ditengah kami. Setelah itu, barulah mereka bertindak. Mula-mula sang majikan berlagak mengusut perkara. Lalu
- Mengusut?
Mojang heran.
- Ya. mengusut. Istilah itu memang terdengar lucu bagi pendengaran tuan. Baiklah, mari kuterangkan lebih jelas lagi.
kakek Upik berhenti menghirup minumannya. Melanjutkan:
- Wilayah kerajaan Sriwijaya ini, diperintah oleh wangsa Dharma. Meskipun sesama wangsa. (keluarga atau marga) kudengar terjadi percekcokan. Biarkan saja! Itu urusan orang-orang atasan, yang berebut kekuasaan. Tetapi benarkah raja yang memerintah menguasai seluruh wilayah kekuasaannya? Kelihatannya begitu, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Mendengar kata-kata kakek itu, hati Mojang kian tertarik. Sekarang makin mengertilah ia akan kata-kata Tilam tentang istilah apa yang terjadi di balik layar pemerintahan. Pengertiannya luas sekali untuk diketahui. Maka dengan cermat ia mengikuti kata-kata kakek itu.
- Di sini, sekitar wilayah ini, terdapat gerombolan perampok, begal dan perampok yang mandiri.
kakek Upik melanjutkan kata-katanya.
- Mereka mengangkat diri sebagai raja-raja tak bermahkota. Kadangkala mereka berebut kekuasaan, sehingga menyusahkan penduduk negeri. Di bagian Utara terdapat gerombolan Coleng. Di sebelah Barat, kawanan Batiga. Di sebelah Timur, kekuasaan Barabas. Di sebelah Selatan, si Palata. Masing-masing memiliki pemerintahan yang baik, karena menampung pelarian-pelarian yang makan uang negara. Karena itu, mereka mampu membayar laskar yang patuh pada perintah perintahnya. Kecuali memperoleh delapan bagian kekayaan orang-orang yang makan uang negara yang kemudian berlindung di bawah kekuasaannya, laskarnya merusak
perkampungan untuk menarik pajak. Bila mereka sedang berebut kekuasaan yang datang menarik pajak. silih berganti. Kita bisa dipaksa membayar dua atau tiga kali lipat. Ini belum dari pihak pemerintah yang resmi. Pendek kata, kami penduduk kampung menjadi hafal siapa-siapa yang datang masuk kampung. Seperti tadi. mereka adalah anak buah Palata. Kemarin begundal-begundal Barabas. Seminggu yang lalu, laskar Batiga. Besok mungkin kawanan Coleng. Bulan depan pihak pemerintah. Ah tuan! pendek kata kami penduduk dusun menjadi sapi perahan mereka.
- Apakah tentara kerajaan tidak bisa menumpas mereka?
- Menumpas? Hm . . . jangan lagi menumpas. Mengatur sepak terjang mereka saja, tidak mampu.
Mojang tertawa geli di dalam hatinya, begitu mendengar istilah mengatur sepak terjang. Tentu saja, tidak mungkin. Namun ia mencoba mencari kejelasan:
- Apakah pemerintah bermaksud bersedia berunding dengan pihak mereka?
- Ya. barangkali itulah satu-satunya jalan yang terbaik. ujar kakek Upik.
- Pada jaman mudaku, pernah aku menjabat sebagai Kepala Kampung. Wilayah pemerintahanku terdiri dari limabelas perkampungan. Karena itu, kasar-kasar aku mengerti sedikit perihal jalannya pemerintahan. Sudah tuan perhatikan letak kampung ini dan berapa jumlah perumahannya?
Mojang mengangguk. Dan sang kakek berkata lagi:
- Perkampungan kami memang berpencaran. Demikian pulalah benteng-benteng kaum perusuh. Selain bersembunyi dibalik pegunungan, dilindungi pula rimba raya yang maha luas. Laskar pemerintah tidakkan mungkin menjangkau kedudukan mereka. Sementara itu, kami penduduk kampung tidak berani mengulurkan tangan
untuk membantu laskar kerajaan. Sebab setelah laskar kerajaan meninggalkan tempat gerombolan itu datang berbondong-bondong mengadakan pembalasan. Dapatkah tuan mencari jalan lain untuk membasmi mereka? Kurasa tuan akan kehabisan nafas sendiri. Demikian pulalah nasib yang akan menimpa keluargaku. Besok atau lusa, setelah tuan pergi meninggalkan kampung, mereka pasti datang membuat perhitungan. Aku sendiri, sudah bersedia mati. Hanya . . aih . , . si Upik! Apakah memang dia bernasib harus mati muda?
Mojang tertegun. Memang dirinya akan meninggalkan perkampungan mereka dengan segera. Bahkan sebelum malam hari tiba.
Lalu bagaimana cara menyelamatkan mereka berdua?
Sekian lamanya ia mencoba mencarikan jalan keluar. namun masih saja buntu. Akhirnya berkatalah ia menyerah:
- Yah, keterlaluan sepak terjang mereka. Mereka seperti majikan-majikan di atas kepalanya sendiri. Tetapi betapapun juga, tidak boleh di biarkan merajalela. Hidup ini sebenarnya harus bermakna tata-tertib. Tanpa tatatertib samalah halnya seperti kehidupan binatang. Sayang, dipusat pemerintahan sedang terjadi pergolakan. Mereka bertengkar dengan sesama wangsa sehingga terjadilah suatu perebutan kekuasaan.
- Hai, bagaimana tuan tahu?
kakek Upik terbelalak heran.
Mojang merasa terlanjur mempercakapkan masalah itu. Cepat ia membohong:
- Secara kebetulan saja aku mendengar kabar itu di tengah perjalananku.
- Sebenarnya. siapakah tuan? Menilik logat bahasa tuan, jelas bukan orang sini. Tetapi pengetahuan tuan melebihi apa yang kuketahui.
- Memang aku bukan orang suwarnadwipa. Aku berasal dari Jawadwipa. Dengan menumpang perahu, aku tiba di daratan pulau ini. Untuk mengisi waktu senggang, aku berkelana mengunjungi wilayah-wilayah kerajaan Sriwijaya sekedar menambah penglihatan.
Kakek Upik memanggut-manggut dengan dahi berkerinyit seperti ada suatu yang dipikirkannya. Kemudian berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri:
- Sekarang, tahulah aku. Sekarang, jelaslah sudah. Pantas mereka datang bergantian memaksa penduduk membayar upeti untuk tiga bulan sekaligus. Ternyata benar kata-kata mereka.
- Kau maksudkan gerombolan-gerombolan petualang itu?
Mojang menegas. .
- Ya, setiap kawanan berkata bahwa mereka mau berkumpul di suatu tempat untuk mengadakan perundingan. Demi terlaksananya hal itu mereka memerlukan beaya. Dengan begitu, lagi-lagi penduduk negeri yang tertimpa malapetaka.
- Berunding di mana?
- Kabarnya di atas Gunung Sibahubahu.
Mojang berkomat-kamit menghafal nama gunung itu. Lalu minta keterangan lagi:
- Siapa yang mempunyai pengaruh begitu besar, sehingga dipatuhi kepala gerombolan?
- Dipatuhinya sih . . . belum tentu.
kakek Upik memiringkan kepalanya. ,.
- Mereka patuh demi kepentingannya sendiri.
- Apakah kepentingan mereka masing-masing?
- Itulah yang masih gelap bagiku.
Mojang hendak membuka mulutnya lagi, tatkala Upik datang kembali dengan membawa hidangan. Ternyata dia sudah mendahului perintah kakeknya menyembelih
ayam. Ayam yang disembelihnya dibiarkannya utuh. Hanya direbus dan diberinya bumbu asam dan garam. Walaupun demikian karena masih setengah panas. uapnya membawa hawa harum juga.
Sambil menikmati hidangan, pikiran Mojang jadi sibuk. Kecuali menduga-duga rencana pertemuan para pembangkang pemerintahan,diapun memikirkan pula keselamatan jiwa keluarga Upik. Tetapi diapun segera teringat akan perjanjiannya dengan Tilam. Itulah sebabnya setelah hidangan diundurkan, ia mohon diri dengan dalih hendak melanjutkan perjalanan.
- Aku akan berusaha melaporkan kesulitan kakek kepada tentara negeri.
Ia masih mencoba menghibur.
- Tidak usah. sahut sang kakek dengan bersenyum pahit.
- sebisa-bisanya, aku akan menjaga Upik agar lolos dari ancaman bahaya. ,
Mojang mengeluarkan beberapa butir emas dan diangsurkan kepada kakek Upik. Katanya:
- Sekiranya kakek mempunyai rencana untuk meninggalkan kampung ini, barangkali butiran emas yang tidak seberapa jumlahnya dariku dapat kakek pergunakan untuk bekal hidup di suatu tempat yang lebih aman.
Kakek Upik menerima hadiah Mojang dengan pandang mata mengandung harapan. Berkah-kali ia menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga. Mojang merasa segan sendiri. Andaikata dirinya tidak terikat oleh suatu tugas yang jauh lebih penting di atas jiwanya sendiri, tentu ia tidak akan membiarkan keluarga Upik terancam bahaya maut. Tetapi kali itu, dia harus menyerah kepada keadaan. Cepat ia menghampiri kudanya dan melarikan ke tempat perjanjian. Waktu itu belum malam benar, sehingga ia mempunyai harapan besar memenangkan perlombaan.
Benar saja. Tatkala tiba di tempat yang sudah dijanjikan. Tilam belum nampak tanda tandanya akan muncul. Dia tertawa lega di dalam hatinya. Dengan santai,ia mengikat kudanya pada batang pohon dan duduk di atas sebongkah batu. Berkatalah ia di dalam hati:
- Nah, jelek jelek aku seorang laki-laki. Betapapun juga akan menang dalam suatu pekerjaan kasar yang memerlukan kecermatan dan pengamatan.
Dengan puas ia mencari tempat bersandar, kemudian memandang bulan yang kini hampir bulat penuh. Jika demikian. perjalanannya memakan waktu hampir setengah bulan lamanya,semenjak meninggalkan kota Lamuri. Andaikata dia bukan seorang yang sedang dikejar-kejar lawan tentunya akan membutuhkan waktu dua kali lipat lamanya sebelum tiba di tempat itu. Sekian lamanya ia menunggu, namun Tilam belum menampakkan batang hidungnya.
Mengapa?
Teringat akan pengalamannya tadi, hatinya sekonyong-konyong resah. Jangan-jangan Tilam terlibat suatu pertarungan sengit dengan gerombolan penyamun atau kawanan perampok. Memperoleh pikiran demikian, ia meloncat bangun dan buru buru menghampiri kudanya. Sewaktu sedang melepaskan tali ikatan oleh penerangan cahaya bulan, ia melihat dua lembar kertas yang terpaku pada batang pohon.
- Hai! Mengapa baru sekarang kulihat? pikirnya.
Teringatlah dia, bahwa sewaktu dirinya tiba di tempat itu,bulan masih bersembunyi di balik awan. Pantas ia tak melihat kertas itu. Cepat ia mengambilnya. Ternyata berisikan sebuah pesan pendek.
"Sibahubahu. Nih. undangannya."
- Ah! Ternyata dia sudah tahu, bahkan lengkap dengan surat undangan pihak penyelenggara. Bagaimana caranya dia memperoleh semuanya itu?
ia mendongkol.
- Ya, mengapa aku tak pernah berfikir tentang undangannya?
Celaka! Kalau begitu dia menghendaki hadir sejak pertama kalinya ia menaruh curiga.
Dugaan Mojang tidak salah sedikitpun.
Sebagai puteri seorang duta. dia terdidik untuk memperoleh penglihatan wawasan yang luas. Akibatnya dia tidak pernah dipuaskan oleh penglihatan lahiriah saja. Begitu ia menaruh curiga terhadap rombongan pedagang yang pandai berjalan cepat dan berperangai kasar, timbullah pikirannya hendak menyelidiki. Sewaktu ia memutar kudanya mengarah ke barat, secara kebetulan berpapasan dengan empat orang yang mengerang kesakitan sambil memaki-maki kalang kabut.
- Sebenarnya siapa dia?
Apakah calon menantu cucunya? -orang yang bertubuh kekar penasaran.
- Sekiranya tahu bangsat itu menyimpan orang yang pandai berkelahi, kita tidak usah balik kembali. Ini namanya ular mencari gebuk. Menilik logat bahasanya, jelas bukan bangsa awak sendiri. sahut temannya sambil menekam mulutnya yang kehilangan gigi beberapa biji.
Tilam pandai berpikir cepat. Segera ia tahu bahwa orang yang dibicarakan tentunya Mojang. Terus saja ia menawan mereka dengan sekali pukul. Dari mulut mereka, ia mengetahui siapakah sebenarnya rombongan pedagang lainnya. Ternyata mereka hendak mendaki Gunung Sibahubahu atas perintah majikannya, yang menerima undangan seorang ketua bernama: Tandun.
- Siapa Tandun itu? bentaknya mengancam.
- Ketua Perserikatan kita.
- Nama orang atau nama sandi? Di dalam saku kami terdapat undangannya. Tuan muda dapat memeriksanya. sendiri.
Tilam menggeledah saku mereka dan menemukan empat kartu undangan. Otaknya yang encer menyuruhnya
merampas dua kartu undangan. Dan dua kartu undangan lainnya dikembalikan kepada pemiliknya.
Pendekar Naga Putih 27 Sengketa Jago Jago Pedang Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila Beauty Affair Karya Abdullah Harahap

Cari Blog Ini