Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 20

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 20


Untuk mempertahankan diri, Yudapati terpaksa menjagangkan kakinya. Dan pada saat itu, baju pemberian Pamasih memperlihatkan kesaktiannya. Hawa panas membersit menembus pakaian rangkap dan menjalar ke seluruh tubuh seperti hendak melindungi. Teringatlah Yudapati akan pesan Pamasih, bahwa hal itu terjadi manakala tersentuh bahaya racun yang datang dari luar. Seketika itu juga, Yudapati mengerahkan ilmu sakti Tantrayana dengan tidak segan-segan lagi. Dengan sekali gerak, keempat penyerangnya jatuh tertungkrap mencium tanah dan tidak bergerak lagi. Dan yang hebat lagi, tali yang mengikat erat, rantas hancur tak ubah terbakar dan rontok berguguran menjadi abu.
- Ih. jahat benar manusia- manusia ini.
Yudapati berpikir di dalam hati. Mereka tidak hanya menyerang dengan ganas tetapi menggunakan racun pula. Seumpama seseorang bisa melawan tenaga gabungannya, racun yang menyerang akan melumpuhkan sendi-sendi tulang.
Sebenarnya siapakah mereka?
Dengan hati geram. Yudapati menghampiri mereka dan mendepaknya terbalik. Mereka sudah kehilangan nyawanya dengan wajah tercengang. Barangkali mereka tidak hanya terkejut tetapi heran pula oleh tenaga pukulan balik Yudapati yang dahsyat luar biasa. Yudapati tidak mempedulikan kesan mereka. Yang diperhatikan adalah
warna pakaian seragam hitam. Seragam hitam ini mengingatkannya kepada pembunuh Pataliputra. Bukan mustahil termasuk salah seorang anggauta. Mereka berempat bersiaga oleh tanda panah berapi yang dilepaskan semalam.
Sekarang, teka-teki apa sebab Pataliputra mati sebelum sempat menghunus goloknya, sudah jadi jelas. Dia pun mengalami peristiwa seperti dirinya. Dia dijepit seseorang yang mempunyai ilmu hitam yang bisa mengubah diri menjadi seekor ular, berbareng diserang dengan tali beracun dari empat penjuru. Dan memperoleh kejelasan itu. hati Yudapati bergolak hebat.
- Benar kata Pamasih. Di wilayah ini, tidak boleh aku mengalah atau bekerja dengan setengah- setengah. kata Yudapati kepada dirinya sendiri.
Untuk melampiaskan dendam Pataliputra, sebat ia menghunus goloknya. Dengan sekali tabas ia memotong mereka menjadi beberapa bagian. Lalu merajang- rajang yang bisa menjadi seekor ular raksasa. Setelah merasa puas, ia menyarungkan golok pusaka Pataliputra kembali. Kemudian berputar melanjutkan perjalanannya.
Hanya dalam satu hari satu malam saja, sepak- terjang Yudapati sudah berubah menjadi kejam lantaran sadar akan kekejian dan keganasan lawan yang berada di luar dugaan dan pertimbangan akal yang wajar. Siapa tahu, mereka pandai berpura-pura mati atau menghilang dengan mendadak tak ubah siluman. Kalau ia bersikap belas-kasih seperti yang selalu dilakukan, bisa-bisa malah berbalik menjadi bencana hebat bagi dirinya sendiri. Pokoknya, ia harus bertindak tegas yang dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa lawannya sudah benar-benar mati.
- Pataliputra seorang pemuda yang berbakat. Barangkali kalau aku tidak secara kebetulan menemukan goa tempat berkumpulnya cikal-bakal aliran di pulau ini dan bertemu
dengan Resi Brahmantara. kepandaianku masih kalah jauh dengan Pataliputra. Diapun berbudi luhur pula. Namun akhirnya meninggal sebagai korban kemuliaan hatinya sendiri. Akupun hampir mengalami nasib demikian. kalau saja tidak memiliki baju pelindung istimewa pemberian Pamasih dan Tantrayana sakti.
Yudapati berpikir sambil mempercepat langkahnya.
Baru saja melangkah seratus kaki,pendengarannya yang tajam menangkap bunyi kaki kuda beralih tempat. Cepat ia melesat ke kiri dan bersembunyi di belakang belukar. Merasa tidak memperoleh penglihatan yang lebih lapang, ia melompat tinggi dan hinggap di atas pohon. Dari sana ia mengintai. Tak jauh di depannya, nampak seekor kuda belang ditambatkan pada sebatang pohon.
Yudapati sudah mendapat pengalaman yang aneh- aneh. Ia bersikap hati-hati dan waspada. Beberapa saat lamanya, ia menyelidiki sekitar tempat itu. Tiada tanda- tandanya terdapat seorang pun.
Atau sedang bersembunyi?
Segera ia meningkatkan tenaga sakti Tantrayana. Ia tiada mendengar atau mencium sesuatu kecuali bau kuda dan suara desah angin.
Kalau begitu kuda siapa?
Apakah kuda mereka yang menyerangku tadi?
Mereka berlima, masakan hanya membawa seekor kuda? pikir Yudapati.
- Atau kuda jadi-jadian untuk menjebak diriku lagi? Hm . . .
Teringat jebakan sebentar tadi, hatinya mendongkol berbareng panas. Timbullah niatnya hendak menyakiti kuda itu. Katanya di dalam hati:
- Kebetulan, malah. Aku lagi perlu bulu ekormu. Kalau engkau kuda jadi-jadian, engkau akan menderita. Kalau benar-benar kuda, dia pasti pulang ke rumah majikannya mencari kandangnya. Bukankah menjadi penunjuk yang baik bagiku? Terus saja ia melompat turun dan menghampiri kuda itu dengan menghunus golok Pataliputra. Dengan sekali gerak, ia menabas ekornya. Kuda itu berjingkrak kaget dan kesakitan. Yudapati tidak menghiraukan. Cepat ia memungut ekornya yang runtuh di atas tanah. Serunya girang:
- Eh, kuda betul! Segera ia menabas tali kekangnya yang tertambat pada pohon. Dan kuda itu yang sudah jadi binal dengan serta- merta lari menubras- nubras menerjang semak belukar. Yudapati kemudian mengikuti dengan penuh waspada. Siapa tahu ia bakal terserang dengan mendadak.
Tiba-tiba terdengar suara orang:
- Hai, mengapa dibiarkan lari? Bukankah sayang?
Seorang laki- laki yang berada di atas pohon mengayunkan tangannya. Dan kuda yang lari menubras- nubras
roboh mendekam dengan suara meringik. lalu terguling ke kanan dan tidak bergerak lagi. Itulah pukulan istimewa yang dilontarkan dari jarak jauh.
Yudapati terkesiap. Ia tadi sudah bersikap waspada dan hati-hati. Meskipun demikian,orang itu luput dari pengamatannya. Kalau bukan orang berkepandaian tinggi, tidak mungkin. Tiba- tiba saja orang itu sudah berada di atas pohon. Orangnya berperawakan tinggi kurus dan berusia lebih dari enam puluh tahun. Dengan sekali pukul, ia dapat merobohkan seekor kuda yang sedang binal. Kecuali memiliki pukulan istimewa,sasarannya tepat pula.
Musuh atau kawan?
Orang tua itu tidak menghiraukan apa yang merumun dalam pikiran Yudapati. Gesit ia melompat turun dan menghampiri kuda itu. Dengan sebilah pedang pendek ia menabas kedua pahanya. Setelah menyarungkan pedang pendeknya, dengan bernafsu ia menenteng kedua paha kuda itu ke tepi jurang. Dengan cekatan ia menggantungkannya pada sebatang dahan dan membiarkan darahnya
mengucuri bumi. Lalu membuat api unggun. Wajahnya berseri-seri dan bersemangat
*** KAKEK BERJUBAH PUTIH
KARENA SEMENJAK tadi. orang itu selalu mengungkurkan, Yudapati tiada dapat mengamati wajahnya. Yang jelas dia mengenakan pakaian jubah putih. Perawakannya kurus ramping. Tiba-tiba saja, dia berputar ke arah Yudapati, sewaktu hendak menurunkan paha kuda itu dari atas dahan. Ternyata ia berkumis dan berjanggut lebat. Rambutnya awut-awutan. Boleh dikatakan berwarna putih semua. Maka pantaslah bila dia disebut sebagai seorang kakek.
Beberapa saat kemudian, ia mulai memanggang paha kuda itu yang sudah dikulitinya dengan cepat. Menyaksikan gerak-geriknya yang cekatan dan sama sekali tidak nampak canggung, jelas sekali bahwa dia seorang kakek yang sudah berpengalaman. Paling tidak, seorang kakek yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan.
Selagi demikian. tiba-tiba terdengar suara langkah beramai-ramai. Yudapati merasa sudah terlanjur berdiri di tengah lapangan terbuka. Dengan kepandaiannya, sebenarnya dapatlah ia bersembunyi secepat kilat. Namun ia sedang tertarik perhatiannya kepada si kakek berjubah putih itu. Tak sudi ia melepaskan pengamatannya sebelum jelas. Sebab selama ini, ia merasa sudah dipusingkan oleh belasan teka-teki yang belum terpecahkan.
Apakah kakek itu musuh atau bukan?
Apakah pendeta yang dulu bermain sandiwara di dalam kuil atau yang lain lagi?
Pendek kata. kali ini ia berjanji pada diri sendiri tidak akan melepaskan pengamatannya sebelum jadi jelas. Dan suara langkah beramai-ramai itu iblis atau manusia?
Suara langkah beramai-ramai itu, disusul pula dengan suara derap belasan kuda. Pikir Yudapati:
- Hm, seperti raja sedang berburu. Justru memperoleh pikiran demikian. ia makin tidak mau berkisar tempat. Kalau mereka orang- orang Pasupata. kebetulan malah. Ia akan membunuh mereka semua. Ternyata harapannya hanya separoh yang benar. Sebab di antara mereka yang mengenakan pakaian hitam, terdapat berbagai pendekar yang sudah ia kenal. Mereka terdiri dari golongan Abong-Abong, Orang-Aring dan Tanah Putih.
Yudapati segera mengenal kaum Abong-Abong, karena di antara mereka terdapat Kampa, Dumma dan Daksa yang dulu pernah membantu Pusara menyiksa dirinya. Sedang kaum Orang-Aring dan Tanah Putih dapat dikenalnya dari warna pakaian yang dikenakan.
Bukankah Hari Sadana dan Tarusbawa mengenakan warna pakaian itu pula?
Timbullah berbagai pertanyaan di dalam hatinya,apa sebab mereka berada di sini bergaul pula dengan kaum Pasupata. Padahal mereka justru membenci kaum Pasupata sebagai musuhnya utama. Satu teka-teki lagi yang harus dipecahkan dengan segera.
Mereka semua membekal senjata. Baik yang berjalan
Kaki maupun yang berkuda. Sikapnya garang. Yang menunggang kuda segera berlompatan turun ke tanah. Lalu bersama-sama mengepung kakek berjubah putih. Dengan sendirinya. Yudapati beralih pandang kepada si kakek. Ternyata dia tidak menghiraukan kedatangan mereka. Masih saja dia sibuk memanggang paha kuda.
- Hai! bentak pemimpin rombongan yang tadi berjalan kaki.
- Karena ulahmu. kami terpaksa berlari larian seperti kawanan anjing. Kau memang pantas mampus di sini.
Kakek berjubah putih tidak melayani. Sebagai jawabannya, dia mencium- cium paha kuda yang sudah matang. Bau harum sedap membangunkan rasa laparnya. Tak sabar lagi ia merobek daging paha kuda itu dan dimakannya dengan lahap. Kedua matanya merem-melek oleh rasa nikmat yang diperolehnya.
- Hai! Kau tuli? bentak orang yang menegurnya.
Pemimpin rombongan berkuda kemudian menimbrung:
- Tepus Rumput boleh menepuk dada di luar wilayah ini. Tetapi jangan coba-coba main gila di sini. Kau menyerah atau tidak? Mendengar orang itu menyebut si kakek berjubah putih dengan nama Tepus Rumput. hati Yudapati terkesiap. Kalau begitu dialah salah seorang ketua Kaum Pasupata golongan putih. Terus saja ia melangkah menghampiri. Ia menyibakkan mereka yang sedang bergerak mengepung. Mereka mengira dirinya termasuk salah seorang kawannya sehingga tiada yang merintangi. Mungkin pula semenjak tadi mereka mengira begitu. Hal itu bukan mustahil karena mereka terdiri dari berbagai aliran yang tentunya tidak saling mengenal. Begitu tiba di depan pendekar Tepus Rumput, ia membungkuk homat. Lalu merobek paha kuda yang terpanggang sambil berkata:
- Kakek! Mari kutemani menikmati daging kuda. Eh. sedap juga!
Kakek berjubah putih itu berhenti mengunyah. Ia menyiratkan pandang dengan berdiam diri. Pandang matanya tajam luar biasa. Dengan sedikit mengerutkan dahinya, ia mengamati Yudapati mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Sekarang, dialah yang dihinggapi rasa heran. Siapakah pemuda ini, ia menebak nebak di dalam hatinya.
Yudapati yang sudah menentukan sikap, tidak menghiraukan rasa herannya. Dengan tertawa melalui dadanya, ia menggeragoti paha kuda itu dengan nyamannya. Lalu menurunkan buntalan warisan langkasuta. Sambil membuka ikatannya ia berkata:
- Kakek, aku mempunyai sedikit air minum.
ia mengeluarkan seguci air minum dari dalam buntalan. Setelah membuka penutupnya, ia meneguknya.
- Hai. ternyata berisi arak. Serunya:
- Hai! Ini bisa menambah nafsu makan. Silakan, kek! Tanggung perut kakek akan menjadi hangat nyaman.
- He kau! - bentak pemimpin rombongan yang sedang mengepung.
- Kau siapa?
Setelah membentak demikian, ia berputar arah kepada mereka yang sedang mengepung. Minta keterangan dengan nyaring:
- Apakah dia termasuk salah seorang anggauta kita?
Yang datang mengepung kini berjumlah lebih dari dua ratus orang. Mereka saling pandang. Bahkan ada pula yang sampai memutarkan kepalanya. Lalu membungkam dengan berbimbang-bimbang. Pimpinan rombongan kemudian berseru lagi: '
- Hai Diradasuta kawan dari Orang-Aring! Apakah dia salah seorang anggautamu?
- Rekan Gajala, tenangkan hatimu! Dia bukan termasuk orangku. - sahut pimpinan Kaum Orang-Aring.
- Diradasuta. aku percaya mulutmu.
Gajala mengangguk.
- Rekan Argasoka dari Tanah Putih. apakah dia termasuk orangmu?
- Bukan. .. sahut Argasoka pendek.
- Hm. bagaimana dengan kaum Abong-Abong?
Tatkala Gajala menyebut nama kaum itu. Yudapati memutar tubuhnya sambil menggeragoti daging bakarnya. Dengan begitu. Kampana. Dumma dan Daksa diharapkan tidak mengenal dirinya. Ternyata harapannya tidak sia- sia. Mereka bertiga menyangkal dengan berbareng.
- Bagus! Kalau begitu. tunggu apa lagi? Serbu! Gajala memberi aba aba.
Mendengar aba-aba itu. Tepus Rumput berdiri tegak. Tiba-tiba terdengar suara gemerincing. Yudapati mendongak dan melihat sebelah tangan kakek itu terikat seutas rantai yang terputus. Panjang rantai itu kurang lebih satu meter. Dan melihat rantai itu, tahulah Yudapati apa artinya. Niscaya Tepus Rumput pernah tertawan Kaum Pasupata. Lalu dapat melarikan diri. Dan kini ia sedang diburu lebih dari dua ratus orang. Kalau saja dia bukan seorang sakti atau seorang yang dianggap terlalu berbahaya bagi mereka, masakan sampai dikejar orang sebanyak itu.
- Hai orang Tanah Putih, Orang-Aring dan Abong Abong, dengarkan! serunya dengan tiba- tiba.
- Kalian bukan budak orang Pasupata. Mengapa tunduk kepada perintahnya?
- Hm, kau sendiri siapa? bentak Diradasuta.
- Aku hanya memperingatkan karena kalian tidak akan dapat menangkap kakekku ini. hidup atau mati. Sebaliknya kakekku akan dapat membunuh kalian. Bukankah hidupmu jadi sia-sia?
- Eh. selama hidupku baru kali ini aku mendengar seseorang menghina dan merendahkan kaum Orang Aring.
- Tentunya engkau sakit ingatan. - dan karena amat mendongkolnya. Diradasuta tertawa setengah menangis.
Yudapati mengawaskannya sebentar. Lalu berkata:
- Kau tak percaya? Lihat, aku membekal dua senjata. Sebilah pedang dan sebilah golok. Kau boleh memilih. senjata manakah yang cocok untuk merobohkanmu dalam satu jurus.
- Apa? Satu jurus? Kau bisa merobohkan aku dalam satu jurus? - Diradasuta terlongong-longong dengan wajah merah padam. Ia terheran-heran berbareng mendongkol.
- Baiklah. ujar Yudapati dengan mengulum senyum.
- Karena engkau tidak mau memilih, aku akan melawan kalian dengan tangan kosong.
- Kalian?
Diradasuta makin heran dan makin mendongkol. Itulah suatu hinaan yang melampaui batas.
- Semua siap? Awas! Yudapati memperingatkan.
Sebenarnya, Yudapati bermaksud melindungi anak buah Hari Sadana, Tarusbawa dan Getah Banjaran. Sebagai seorang yang berpembawaan cermat dan cerdas ia yakin bahwa beradanya mereka di tengah wilayah Kaum Pasupata hitam, pasti ada latar belakangnya yang berhubungan dengan ditawannya ketua ketiga aliran itu. Padahal kedatangannya ke wilayah Pasupata, justru bermaksud hendak membebaskan atau mengusut hilangnya Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarusbawa. Ringkasnya, ia memerlukan tenaga mereka. Sebaliknya. Tepus Rumput yang terancam jiwanya tentunya tidak mengenal ampun lagi. Dia tidak hanya berhak menyelamatkan jiwanya sendiri tetapi kebebasannya pula. Karena itu Yudapati bertindak tidak segan segan lagi. Di dalam hati, ia sudah memutuskan hendak menggunakan ilmu saktinya yang tinggi. Pertama untuk menggertak ketiga aliran itu. Kedua untuk mempertunjukkan kepandaiannya kepada Tepus Rumput agar untuk selanjutnya pertimbangan dirinya didengarkan. Terus saja ia melesat bagaikan bayangan. Hanya dengan sekejap mata saja, ia sudah kembali ke tempatnya semula dengan membawa empat batang pedang di tangannya. Itulah pedang Diradasuta. Argasoka. Gajala dan Kampa. lalu berdiri tegak memancarkan pandang maut bagaikan seekor singa mengawaskan mangsanya.
- Bagus! Bagus!
Tepus Rumput bertepuk tangan.
- Mana airmu yang kau tawarkan? Aku mau meneguknya untuk menambah semangat. Diradasuta tertegun tegun seperti orang gendeng. Mimpi pun tak pernah, bahwa di dunia ini terdapat suatu ilmu sakti yang begitu tinggi dan susah dilukiskan. Begitu cepatnya sehingga mereka berempat tidak sempat berbuat sesuatu untuk menangkis maupun membela diri. Mau tak mau,hatinya meringkas dan kegarangannya sirna.
Pada saat itu, terdengar suara nyaring memekakkan telinga:
- Gajala, masakan engkau sampai ikut-ikutan berkecil hati? Jangan takut! Bocah itu hanya pandai ilmu siluman. Saksikan, aku akan merebut pedangmu kembali. Orang yang berbicara itu. berperawakan tipis kering. Usianya sekitar 50 tahun. Menilik tenaga suara dan usianya, kedudukannya tentu berada di atas Gajala yang memimpin pengepungan itu. ia didampingi dua orang yang mengenakan pakaian hijau. sedang dirinya sendiri mengenakan jubah berwarna hitam. Dan belum lenyap gaung suaranya, ia sudah melompat menyerbu.
Tepus Rumput baru saja hendak meneguk minuman yang diangsurkan Yudapati. Tetapi begitu melihat tiga sosok bayangan yang datang menyerang dengan cepat pula ia menyongsong. Ketiga penyerangnya menggunakan senjata berat. Yang berjubah hitam menggunakan senjata aneh.
Setengah tongkat setengah penggada. Sedang dua pendampingnya bersenjata tongkat besi dan perisai. Dengan demikian,mereka berempat perlu menggunakan tenaga raksasa. Rantai Tepus Rumput berkelebat membentur senjata mereka. Terdengarlah suara nyaring memekakkan telinga dan letikan api bagaikan bunga api.
Beberapa kali Tepus Rumput hendak menyelinap di antara dua perisai yang mendesaknya untuk menghantam orang yang bersenjata aneh itu. Akan tetapi orang itu ternyata berkepandaian sangat tingi. Setiap gerakan Tepus Rumput dapat dihadangnya tepat. Tepus Rumput terpaksa berpikir keras. Sebelah tangannya masih terbelenggu rantai. Betapapun gerakan tangannya tidak dapat leluasa. Sedang demikian. Gajala memberi aba- aba dua belas orangnya untuk ikut menyerang. Mereka bersenjata tombak panjang. golok, pedang dan palu godam.
- Terjang! perintahnya.
Justru pada saat itu Tepus Rumput sudah memperoleh jalan keluar. Kini ia menggunakan kedua kakinya yang masih dapat bergerak dengan leluasa. Ia merabu empat orang yang menerjang dari belakang. Namun terpaksa ditarik kembali karena tiga orang lainnya menusukkan pedangnya dari samping.
- Delapan tombak hijau maju! terdengar Gajala memberi aba-aba dari tempatnya berdiri.
Delapan orang berpakaian hijau maju dengan serentak dari empat penjuru. Berbareng mereka menyerang bergantian. Mau tak mau Tepus Rumput merasa kuwalahan juga. Tiba- tiba ia berseru:
- Anak muda. lebih baik kau melarikan diri saja!
Yudapati menoleh. Ia memperhatikan delapan tombak yang menyerang melalui celah- celah temannya yang bersenjata palu godam. Pikirnya.
- celakalah kakek itu.
Namun
pada detik itu pula ia melihat gerakan tangan Tepus Rumput berubah. Kakek itu kini menggunakan rantai pembelenggunya sebagai penangkis. Ia berputar-putar bagaikan gangsing, Ujung tombak- tombak tersambar ke samping akan tetapi yang bersenjata palu godam justru melompat maju sambil mengayunkan tangannya. Seketika itu juga terdengar bunyi gemerantang nyaring.
- Jangan takut! seru yang bersenjata perisai.
Mereka inilah yang selalu mendampingi orang yang bersenjata aneh. Dan dengan senjata perisainya itu, mereka maju selangkah.
Trang. trang!
Di luar dugaan, tenaga Tepus Rumput hebat luar biasa. Begitu terhantam rantai pembelenggu, perisai mereka terpental tinggi. Terpaksalah mereka menggulingkan diri demi menyelamatkan jiwanya.
Merasa berhasil, Tepus Rumput kini tidak menghiraukan lagi aneka macam jurus lawan-lawannya. ia berputar-putar makin lama makin cepat, sehingga barisan tombak tidak dapat mendekati.
Orang yang bersenjata aneh, kemudian berseru:
- Jangan dekati! Serahkan saja kepadaku. Kalian tunggu sampai tenaganya habis!
Barisan tombak kemudian mundur dua langkah sedang barisan palu godam kini berada di sela- selanya. Sekali kali mereka maju menghantam dan cepat-cepat mundur manakala rantai Tepus Rumput akan menyambarnya. Kaum Orang-Aring, Tanah Putih dan Abong-Abong yang menyaksikan pertempuran itu dari luar gelanggang segera tahu, bahwa tenaga Tepus Rumput sebentar lagi bakal habis.
Tiba-tiba pada saat itu mereka mendengar Tepus Rumput tertawa terbahak bahak. Rantai pembelenggunya yang terus berputar bagaikan kitiran menggubat palu godam seorang lawan dan dihentakkan. Pemiliknya ikut terbang ke atas dan sebelah tangan Tepus Rumput menghantam kepalanya.
Krak!
Tanpa ampun lagi orang itu terbanting di atas tanah dengan kepala pecah
Yudapati mengenal nama Tepus Rumput dari pendekar Rajah Kusambi dan Pamasih. Ia temasuk salah seorang pemimpin Kaum Pasupata golongan putih. Ternyata kepandaiannya tinggi pula. Teringat tutur-kata Diatri, bahwa kakek itu dapat mengalahkan barisan siluman yang pandai menghilang, mau tak mau ia menaruh hormat pula.
Dalam pada itu, barisan tombak tidak berani main terjang lagi. Mereka mulai menggunakan siasatnya yang sudah terlatih matang. Tiba-tiba saja mereka menyibak menjadi dua bagian. Dengan didahului barisan palu godam, mereka menyerang dari samping. Tepus Rumput masih sempat menangkis. Tetapi yang datang menyerang dari arah yang bertentangan mencecar dengan enam jurus sekaligus. Pada waktu yang bersamaan,dua tombak mengancam iga- iganya.
- Ih. celaka!ia mengeluh di dalam hati.
Ia memang dapat menangkis dua atau tiga tombak yang sebentar tadi menyerang dengan berbareng.
Akan tetapi bagaimana dengan yang lainnya?
Yudapati tahu. Tepus Rumput dalam bahaya. Terus saja ia berseru:
- Kakek! Melompat! Biar kuhantamnya dari sini.
Saran Yudapati memang cocok dengan kehendak hatinya. Itulah jalan satu-satunya untuk mengelakkan serangan dari samping dan hantaman palu godam. Terus saja ia melompat tinggi dan dengan berjungkir balik ia bermaksud keluar dari kepungan mereka. Tentu saja lawannya tidak membiarkannya dapat bebas turun di atas tanah. Dari berbagai penjuru, mereka memburu. Tetapi pada saat itu, Yudapati menghantamkan pukulan istimewanya.
Blang!
Empat belas orang yang sedang memburu Tepus Rumput mati berhamburan seperti menginjak ranjau.
Menyaksikan peristiwa yang dahsyat itu tidak hanya Gajala saja yang terkejut dengan wajah pucat. Tetapi Tepus Rumput pula. Sama sekali ia tidak mengira bahwa anak muda itu mempunyai kesaktian luar biasa dahsyatnya. Memang Yudapati sudah memutuskan hendak memusnahkan semua anggauta Pasupata yang mengurung Tepus Rumput. Sebaliknya, terhadap kaum Orang-Aring. Tanah Putih dan Abong- Abang. tidak.
Itulah sebabnya. ia berputar arah dan berkata setengah menasehati:
- Saudara sekalian, mundur! Kalian tidak usah ikut campur dengan mereka. Bukankah kaum Pasupata musuh kaum kalian?
Selagi mereka berbimbang-bimbang, terdengar suara lantang dari kejauhan.
- Hm. apakah kalian berani mengkhianati perintah ketua kami? Silakan, kalian mundur seperti kawanan anjing takut gebuk. Tetapi ingat, ketua kalian masih meringkuk dalam tahanan kami. Sewaktu-waktu ketua kalian bisa menjadi mayat mayat hidup untuk kami giring terjun ke dalam jurang.
Mendengar ucapan orang itu, Yudapati menoleh. Orang itu berperawakan kurus kering seperti temannya tadi yang membawa senjata aneh. Samar-samar ia seperti merasa pernah mengenal orang itu.
Akan tetapi di mana dan kapan?
Untuk sesaat ia tidak dapat mengingat ingatnya karena ucapan orang itu membawa kejelasan yang penting baginya. Itulah soal mayat-mayat hidup yang tergiring terjun ke dalam jurang.
- Pantas mayat-mayat hidup yang kulihat semalam mengarah ke jurang. Kiranya mereka diterjunkan ke dalam jurang. pikir Yudapati.
- Alangkah kejam orang-orang Pasupata ini.
Dengan darah mendidih. kembali lagi ia mengawaskan
orang itu yang berjalan menghampiri barisan kaum Orang Aring dan Tanah Putih. Orang itu mengenakan jubah berwarna hijau. Rupanya, dialah pemimpin barisan yang mengenakan pakaian hijau. Gaya jalannya seperti seorang pendeta. Tiba- tiba saja ia jadi teringat.
Bukankah dia seorang pendeta berjubah kumal yang dilihatnya dulu di biara?
- Benar. Ah, benar!
Yudapati yakin. Dia dulu dapat menghilang dengan mendadak. Bukan mustahil dia menguasai ilmu siluman yang dikabarkan Diatri.
Memperoleh pikiran demikian. ia jadi waspada. Tak dikehendaki sendiri ia berpaling kepada Tepus Rumput yang sedang bertempur lagi melawan puluhan orang yang datang mengkerubutinya. Kakek itu kini bertempur dengan lebih mantab. Berkali-kali senjata rantainya meminta korban. Akan tetapi jumlah pengeroyoknya tidak nampak berkurang. Selagi ia mengamati gerak-gerik Tepus Rumput, tiba-tiba ia mendengar suara Kampa:
-:Bhiksu Bakara! Penjahat cabul itu makin tinggi kepandaiannya.
- Penjahat cabul? bhiksu Bakara heran.
- Dia bergaul dengan Palata. Bersahabat pula. Apa namanya kalau bukan penjahat cabul? Palata seorang penjahat cabul. Siapa yang sudi bersahabat dengannya, tentunya berwatak dan berbudi pekerti yang sama pula. - Benar. Kau kenal? - Tentu saja. Waktu itu, dia sedang bermain cinta dengan seorang bhiksuni cantik jelita.
Kampa memberi keterangan.
- Orang ini memang banyak akalnya. Pandai berpura-pura sok pahlawan.
- Apakah benar begitu?
- Benar. Aku pun menyaksikan. sahut seorang lagi yang ternyata si Dumma.
- Dia mengaku bernama Yudapati. Terlalu hebat, bukan?
Mendengar serentetan tanya-jawab itu bulu kuduk Yudapati meremang. Sebenarnya, ia termasuk seorang pemuda yang sabar. Andaikata dia waktu itu dimaki sebagai babipun. masih dapat ia mengendalikan diri. Tetapi istilah penjahat cabul baginya sudah melampaui batas. Apalagi Kampa tadi menyinggung- nyinggung tentang seorang bhiksuni cantik.
Siapa lagi maksudnya. kalau bukan Sri Tanjung?
Seketika itu juga darahnya bergolak hebat. Terhadap bhiksuni suci itu, ia menaruh hormat dan menganggap seperti saudara-kandungnya sendiri. Diapun seagama pula. Karena itu,terus saja ia melesat dan menggampar Kampa dan Dumma dengan sekali tamparan. Hebat gerakannya. Seperti tadi tatkala melesat merampas empat batang pedang. kini pun ia berkelebat bagaikan sesosok bayangan. Dan sebelum Kampa dan Dumma dapat berbuat sesuatu,mereka sudah mati terjengkang dengan wajah penasaran.
Bakara ternyata tidak kalah gesit. Begitu melihat Yudapati bergerak dari tempatnya,dia pun melesat mundur. Dan selamatlah ia dari tamparan tangan Yudapati yang membawa tenaga himpunan sakti. Diam-diam Yudapati memuji di dalam hati. Sambil melesat ke tempatnya kembali, ia berjanji akan meningkatkan kewaspadaannya.
- Hai Daksa! Benarkah aku seorang penjahat cabul? ia membentak dengan suara bergemuruh.
Daksa tidak segera menjawab. Kecuali untuk kesekian kalinya terkejut, ia harus memikirkan untung ruginya. Bila ia membenarkan kedua rekannya yang tadi mati dalam satu gebrakan, ia takut akan membuat marah Yudapati. Sebaliknya bila menyangkal, ancaman pendeta Bakara bukan main-main. Ketuanya akan segera mati sebagai mayat hidup yang akan diterjunkan ke dalam jurang seperti lain- lainnya yang membelot. Tetapi setelah tertegun tegun
sejenak, ia memutuskan'
- Yudapati. biarlah aku mati di tanganmu daripada menjadi mayat hidup. Hayo serbu!
Oleh aba-abanya, seluruh kaum Abong-Abong maju menerjang. Yudapati tahu akan kesulitan Daksa. Ia pun tidak menghendaki kaum Abong-Abang mati di tangannya. Namun serbuan mereka mengandung bahaya juga. Maka terpaksalah ia mengadu kegesitannya. Tak ubah bayangan, ia melesat ke sana ke mari. Terdengar kemudian suara pedang bergemelontangan di tanah setelah terpental tinggi di udara.
Menyaksikan kegesitan Yudapati. orang orang Tanah Putih dan Orang Aring bersorak memuji:
- Hebat, hebat terlalu hebat! Baru kali ini,kita menyaksikan orang bertempur tanpa senjata menghadapi keroyokan puluhan pendekar yang membekal pedang dan golok. - Apakah kalian akan ikut maju pula? - sahut yudapati tersenyum.
Ia memalingkan mukanya dan tertarik kepada tokoh wanita yang berdiri mendampingi pendeta Bakara.
Siapakah dia?
Jangan-jangan wanita yang berbicara semenjak ia memasuki lorong goa semalam.
Wanita itu setengah umur. Ia bersenjata sepasang golok. Ia maju menghampiri Yudapati setelah mendapat perintah pendeta Bakara yang disampaikan dengan suara berbisik. Empat orang di belakangnya tiba-tiba memisahkan diri mengarah ke tempat Tepus Rumput. Rupanya mereka diperintahkan untuk membantu orang orangnya yang berusaha meringkus si kakek tua itu.
Yudapati ingin mengamati empat laki- laki yang hendak mengeroyok Tepus Rumput. Akan tetapi penglihatannya dirintangi oleh gerakan sepasang golok wanita setengah umur itu, yang menyerangnya dengan cepat dan berbahaya.
Terpaksalah ia menumpahkan perhatiannya kepadanya. Cara bertempur wanita itu aneh dan istimewa. Manakala golok sebelah kanan menyerang,yang sebelah kiri bergerak melindungi dadanya. Demikian pulalah sebaliknya. Jelaslah sudah bahwa gerakan serangannya dibarengi dengan suatu penjagaan diri yang rapi dan kuat. Ia jadi tertarik. Ingin ia mencoba keampuhan warisan llmu Golok kaum Orang Aring yang ditemukan secara tidak sengaja di dalam goa. Teringat bahwa anak-keturunan kaum Orang-Aring berada di bawah pengaruhnya kaum Pasupata Hitam., segera ia berseru nyaring:
- Hai rekan Diradasuta dan sekalian kaum Orang Aring. Lihat! Aku akan melawannya dengan ilmu - golok leluhurmu.
Setelah berseru demikian, ia menghunus golok Pataliputra. Tetapi tepat pada saat itu, si wanita menyerang empat kali beruntun. Terpaksalah Yudapati mundur empat langkah. Memang istimewa ilmu goloknya. Biasanya bila orang menyerang, pasti terdapat lubang kelemahannya. Tetapi karena kedua tangannya bergantian menyerang dan menjaga diri, maka gerakan goloknya sangat cepat dan rapat.
Trang, trang. trang, trang!
- Bagus! ia terpaksa memuji.
Lalu ia mulai menggerakkan goloknya. Dan sekali menggerakkan goloknya, jurusnya tidak kenal berhenti seperti tatkala melawan Palata. Dengan cepat pula ia mengimbangi dan berhasil menusuk tangan wanita itu.
Trang!
Golok Yudapati meleset ke samping.
- Hai. mengapa?
Ternyata dia menggunakan sarung tangan terbuat dari baja. Tetapi ia tidak kurang akal. Sekarang ia menusuk lagi dan membiarkan goloknya sampai melengkung. lalu secepat kilat ia berpindah arah dan menusuk tepat pada bahunya
Wanita itu terperanjat sampai memekik. Meskipun
demikian,masih dapat ia membalas menyerang dengan goloknya yang lain. Yudapati mendahului menyerang bahunya yang sebelah. Serangannya tepat dan wanita itu memekik untuk yang kedua kalinya.
- Ilmu siluman! ia memaki.
Dan dengan berbareng ia melemparkan kedua goloknya. Sayang ia sudah kehilangan tenaga sehingga kedua goloknya jatuh ke atas.
Hati Yudapati lega. karena suaranya bukan suara gadis yang didengarnya semalam. Lalu berkata kepada Diradasuta:
- Lihatlah! Meskipun dia mengenakan sarung tangan baja masih dapat kukalahkan dalam segebrakan saja. Ini berkat Ilmu golok leluhurmu. Sekarang dengarkan. hai kaum Tanah Putih. Aku akan menggunakan jurus-jurus ilmu leluhurmu untuk mematahkan orang-orang Pasupata yang bersenjata tombak. palu godam dan tongkat.
Senjata yang digunakan leluhur Kaum Tanah Putih sebenarnya sepasang pedang atau sepasang pisau terbang. Namun Yudapati dapat menggunakan jurusnya dengan sebilah golok. Ia melompat dan menyerang mereka yang membekal senjata palu godam lalu dengan cepat pula berpindah menyerang yang bersenjata tongkat dan tombak. Gerakannya gesit dan tangkas. Jurus jurusnya menggunakan jurus-jurus leluhur Kaum Tanah Putih sehingga membuat anak buah Argasoka mengenalnya dengan segera. Hal itu terjadi, karena anak keturunan kaum Tanah Putih sekarang menggunakan sebilah pedang. Mereka terheran heran, karena dalam beberapa jurus saja. orang-orang Pasupata yang diserangnya sudah kehilangan senjatanya dan masing masing menderita luka parah.
- Bagaimana? Bukankah kalian tidak perlu kalah melawan kaum iblis ini? - ujar Yudapati.
Belum lagi mereka sempat menjawab, ia tertarik kepada
suara angin yang menderu- deru. Ia menoleh dan melihat Tepus Rumput sedang bertempur seru melawan seorang yang bersenjata lemas. Dialah pendeta Bakara yang kini turun ke gelanggang. Selagi demikian dua orang ikut menyerbu pula. Mereka bersenjata ruyung dan melawan rantai besi Tepus Rumput yang diobat-abitkannya. Baru beberapa jurus terdengar Tepus Rumput memaki-maki. Sebaliknya seorang lagi yang bersenjata godam berkata dengan tertawa:
- Maaf. Saat inilah matimu. Yang dua orang tadi sengaja membelitkan ruyungnya dengan rantai Tepus Rumput .Dalam sekejap saja, mereka bertiga sudah saling tarik dengan mengadu tenaga. Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan pendeta Bakara dan pembantunya. Mereka maju menghampiri.
Tepus Rumput sadar akan ancaman bahaya. Dengan sekuat tenaga, ia menarik rantainya. Dua orang yang sengaja membelitkan ruyungnya, kena dibawa berputar. Dan pada saat itu senjata pendeta Bakara dan pembantunya turun deras.
Bres!
Kedua senjata yang dipukulkan dengan mengerahkan tenaga menghantam punggung kedua pembantunya. Pada detik itu pula, mereka memekik tinggi dan roboh terjengkang dengan punggung patah.
- Anak muda! ia berseru.
- Tolong selamatkan paha kudaku, biar aku mempunyai kesempatan menghajar sekumpulan iblis-iblis ini.
Mendengar seruan Tepus Rumput, Yudapati tersenyum geli. Orang tua itu rupanya berwatak angin-anginan. Dalam kesibukannya melayani musuh yang tidak terhitung jumlahnya, masih saja teringat kepada paha kuda yang masih terpanggang di atas perdiangan. Justru demikian, ia jadi teringat kepada ekor kuda miliknya sendiri yang tadi diletakkan di samping tempat duduknya. Cepat ia mendorong mundur mereka yang mengepungnya lalu melompat kembali ke tempatnya. Dengan cekatan ia menyimpan potongan ekor kuda yang terletak di atas tanah di balik bajunya. Setelah itu menyarungkan golok Pataliputra. Sambil menggenggam paha kuda ia berkata setengah berseru:
- Kek! Inipun bisa juga dibuat senjata.
- Haha . . . kau bisa? Hayo enyahkan siluman siluman ini! - sahut Tepus Rumput dengan tertawa sambil menghantamkan rantai pembelenggunya kalang-kabut.
Yudapati melompat maju. Minta keterangan:
- Apakah kita mentaklukkan mereka tanpa membunuh? - Tanpa membunuh? Tak mungkin! Hancurkan! Hancurkan tulang-tulangnya! Kalau hanya kau tusuk mati, masih bisa dipergunakan sebagai mayat- mayat hidup untuk menggoda kita.
- 0, begitu? Bagus! Nah, mundurlah! Mereka semua sudah menyaksikan apa yang terjadi sebentar tadi. Maka begitu mendengar ucapan Yudapati, mereka berlompatan mundur sambil berjaga diri. Justru pada saat itu Tepus Rumput menghantamkan rantai pembelenggu dengan tidak ragu-ragu lagi. Hanya beberapa saat saja, belasan orang mati dengan kepala pecah. Hebat gerakan Tepus Rumput. Cara berkelahinya mantap dan tidak pernah berbimbang sedikitpun jua. Serangannya ganas dan tidak mengenal ampun. Apapun pendapat orang, namun sikapnya yang tegas itu mempunyai daya pengaruh kepada Yudapati. Pamasih sendiri berpesan. menghadapi kaum Pasupata hitam jangan mau mengalah.
Sebaliknya tentu saja pendeta Bakara yang memimpin pertempuran itu, tidak sudi menyerah mentah-mentah. Meskipun pihaknya sudah jatuh korban belasan orang
namun ia yakin akan dapat menjinakkan Tepus Rumput dan kemudian menawannya kembali atau membunuhnya.
- Mustahil dia tidak terkuras tenaganya dalam suatu pertempuran panjang, pikirnya.
Memperoleh keyakinan demikian, segera ia berteriak:
- Mundur! Hujani saja dengan anak panah!
Oleh perintahnya. seluruh kaum Pasupata yang berjumlah ratusan orang, mundur dengan serentak. Barisan panah, segera menempatkan diri. Dan menyaksikan hal itu. Tepus Rumput berteriak pula kepada Yudapati:
- Anak muda, kau berani mati atau tidak? Kalau tidak, cepat lari!
Keangkeran dan kegagahan Tepus Rumput,menarik perhatian Yudapati semenjak tadi. Bahkan sudah mempengaruhi dirinya. Apalagi teka-teki mengenai kakek tua itu, masih belum jelas. Mengenai sepak terjang kakek itu, ia hanya mendengar sedikit dari Rajah Kusambi dan Pamasih. Dia salah seorang ketua kaum Pasupata golongan putih yang sengaja memasuki wilayah kaum Pasupata hitam dengan maksud hendak memusnahkan.
Tetapi masakan hanya seorang diri?
Sekarang dia nampak terbelenggu tangannya.
Mengapa dan di mana ia pernah terpenjarakan?
Semuanya itu harus memperoleh jawabannya. Karena itu, tidak dapat ia membiarkan kakek tua itu mati terbunuh. Terus saja ia menjawab dengan tertawa:
- Kakek, rupanya kita berdua pantas mati di sini. Nah. biarlah aku menemanimu.
Setelah menjawab demikian, Yudapati melesat menghampiri. Berkata lagi:
- Kau gunakanlah senjatamu ini! - Senjata apa?
Tepus Rumput tercengang.
- Paha kuda ini. Bukankah lumayan juga? Setidak tidaknya bisa digunakan sebagai perisai. sahut Yudapati seraya mengangsurkannya.
- Ah!
Tepus Rumput terhenyak sedetik. Lalu ia tertawa terkekeh kekeh. Serunya geli:
- Bagus. bagus! Kau bisa melucu juga. Kau seorang teman yang cocok.
Sedang ia menerima angsuran paha kuda itu,empat batang anak panah menyambar dengan suara berdesing. Tepus Rumput menampakkan rantainya. Tetapi belasan anak panah menyambar lagi dari arah samping. Terpaksa ia menangkisnya dengan senjata paha kuda panggang yang istimewa. Dua batang anak panah sempat menancap sampai menyentuh tulang.
Eh. bagus! - ujar Tepus Rumput setengah bersorak.
- Tetapi kau sendiri bagaimana? Awas! ..
Yudapati sendiri sudah dapat mengambil keputusan. Pokoknya ia tidak boleh mengalah. Segera ia mengerahkan tenaga sakti Tantrayana lalu membombardermen pohon pohon dan batu-batu tempat para pemanah bersembunyi. Hebat akibatnya. Lapangan pertempuran itu tak ubah dilanda gempa bumi. Pohon pohon tumbang. Batu-batu menggelinding hancur dan tanah berhamburan. Barisan pemanah yang bersembunyi di baliknya tergempur dan terbang ke udara. Sebelum tubuhnya jatuh ke atas tanah mereka sudah kehilangan jiwanya.
Tepus Rumput seorang pendekar sakti dan berpengalaman. Meskipun demikian ia ternganga nganga menyaksikan kesaktian Yudapati. Dengan sebelah tangannya yang terbelenggu rantai, ia mengucak-ucak matanya. Demikian pulalah pendekar Bakara. Beberapa saat kemudian mulutnya berkomat kamit dengan rasa tak percaya:
- Apakah di dunia ini ada semacam ilmu yang dapat mengalahkan barisan siluman?
Ucapannya hampir tidak membersitkan suara namun cukup ditangkap pendengaran Tepus Rumput yang tajam.
Setengah berseru ia berkata kepada Yudapati:
- Anak muda, celaka! - Mengapa?
Yudapati heran.
- Dia menyebut nyebut barisan siluman. Hm, barisan siluman sukar dilawan. Apalagi kita berada di tengah-tengah ratusan orang. Senyampang masih ada kesempatan, mari kita lari! ajak Tepus Rumput dan menarik tangan Yudapati.
Yudapati cepat dapat dibuat mengerti. Memang ia bisa membunuh mereka semua. Tetapi berarti termasuk kaum Tanah Putih. Orang-Aring dan Abong- Abong. Padahal, ia tidak menghendaki mereka mati semua. Sebab beradanya mereka di tengah wilayah kaum Pasupata hitam, pasti mempunyai latar belakang yang pelik. Oleh pertimbangan itu, segera ia mengikuti arah larinya Tepus Rumput. Dengan ilmunya yang tinggi,sebentar saja mereka berdua sudah keluar dari kepungan mereka.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berlari kencang mengikuti Tepus Rumput, diam-diam ia berpikir dalam hati:
- Kakek ini seperti sudah faham liku liku wilayah Pasupata. Arah larinya pasti dan makin lama makin cepat. Biarlah kuikuti untuk sementara. Siapa tahu, aku akan mendapat keterangan berharga dari mulutnya. Akan tetapi ia mengarah ke puncak. Apakah bermaksud mendaki ke puncak untuk bersembunyi dibalik gunung? Kira-kira lewat tengah hari. Tepus Rumput memperlambat larinya. Waktu itu, mereka berdua sudah berada di atas gunung yang sangat tinggi. Manusia lumrah, tidak akan sanggup mendaki sampai di tempat itu. Sebab kecuali tiada jalan setapak pun, batu-batu bagaikan dinding licin yang berdiri tegak. Keadaannya sunyi senyap. Tiada setitik air apalagi makanan hidup. Bahkan rumput pun tiada. Tepus Rumput kemudian berkata minta keterangan:
- Anak muda. sebenarnya engkau siapa?
- Namaku Yudapati.
- Kau datang dari mana?
- Dari Jawa. - Apa? - . wajah Tepus Rumput berubah.
Ia menghentikan langkahnya.
- Kalau memang dari Jawa, apa sebab bisa tiba di wilayah ini? - Apakah kakek tidak percaya?
- Kau jawablah pertanyaanku! - Hm. panjang ceritanya. ..
- Hm, kalau begitu kita beristirahat di sini.
Tepus Rumput memutuskan.
- Hayo kita makan sisa paha ini! Perjalanan kita memerlukan tenaga. - Kemana? Yudapati tercengang.
- Kau ceritakan dulu siapa dirimu! Segera aku akan menjelaskan semuanya.
Yudapati kemudian menceritakan apa sebab dirinya sampai berada di wilayah Pasupata Hitam. Tentu saja ia tidak menceritakan betapa ia memperoleh kepandaian tinggi dan siapa pula gurunya. Tentang Diatri Kama Ratih, ia hanya menyinggung bilamana perlu untuk memberi kejelasan. Meskipun demikian, tak terasa sore hari telah tiba. Kabut tebal mulai menutupi alam sekitarnya. Begitu tebal kabut itu. sampai tubuh Tepus Rumput tiada nampak terpandang meskipun saling berhadapan.
- Dunia ini memang aneh! Tepus Rumput tertawa terbahak bahak.
- Hanya lantaran sepotong daging kancil saja, kita bisa saling berkenalan di tempat ini. Bukankah gadis itu yang kau ceritakan menerima pemberianku? Kalau tidak. dia bisa terancam bahaya racun. - Benar.
Yudapati mengangguk.
- Tetapi yang lebih mengesankan ialah, sewaktu Diatri kebingungan menghadapi lawan yang pandai menghilang. - Itulah barisan siluman mereka yang memang susah dilawan. Kalau kita terpengaruh oleh gerakan-gerakan mereka yang aneh, kita jadi bingung. Bila bingung pemusatan kita akan jadi kacau. Padahal detik-detik demikian inilah letak kunci kemenangan mereka.
Tepus Rumput memberi keterangan.
- Karena itu. kita harus tenang. Bahkan lebih baik menutup mata. - Menutup mata?
Yudapati menegas.
- Ya. menutup mata. Kita harus mengandalkan pendengaran. Tetapi bagaimana bila kita 'melawan mereka di tengah suatu pertempuran ramai? Pendengaran kita mungkin dikacaukan oleh suara pertempuran. Lebih susah lagi, bila yang bertugas bertempur sengaja bersorak- sorai. Itulah sebabnya, lebih baik aku membawamu lari keluar dari kepungan mereka sedang mereka masih tertegun dan terpaku menyaksikan kemampuanmu. Alasan Tepus Rumput masuk akal. Memang ia bisa melawan mereka dengan jurus-jurus tanaman,sehingga mereka tidak dapat bergerak. Akan tetapi dalam suatu pertempuran kilat, yang menentukan menang dan kalah adalah detik-detik keputusan yang tepat. Padahal ia tadi belum memperoleh kejelasan kunci perlawanannya. Maka melarikan diri adalah yang paling tepat. lainlah halnya bila ia kini menghadapi serangan barisan siluman, ia akan menghadang perlawanan mereka dengan jurus tanaman dan memukulnya dari jarak jauh.
- Kaum iblis ini memang mempunyai ilmu kesaktian yang melebihi kita. ujar Tepus Rumput.
- Menghadapi mereka kita harus tegas dan cepat. Pendek kata keganasan harus dihadapi dengan keganasan pula. Bila kita berbimbang-bimbang sedetik dua detik, nyawa taruhannya. Getah Banjaran, Hari Sadana dan Tarusbawa boleh mengagulkan diri sebagai ketua-ketua aliran. Tetapi di sini mereka
mati kutu. Mereka pasti akan dipaksa untuk mengajari orang-orang Pasupata dengan ilmu- ilmu simpanan masing masing. Bila menolak akan dijadikan mayat-mayat hidup dan digiring terjun ke dalam jurang. - Apakah tidak ada cara perlawanannya? Yudapati minta keterangan. , '
- Mungkin, mengapa tidak? Hanya saja sampai hari ini aku belum memperoleh jalan keluar. Kecuali . . . - Kecuali? Yudapati mendesak.
- Kecuali jika engkau memiliki ilmu pemutus jiwa.
- Apa itu?
- Hm. kalau aku tahu sudah kubunuh sendiri dengan tanganku. jawab Tepus Rumput setengah uring-uringan.
Yudapati jadi teringat kepada kecapi pemberian Pamasih, ia percaya kepada kecerdasan gadis itu. Hanya saja ia perlu memahami dan berlatih dahulu. Selagi berpikir demikian. Tepus Rumput berkata lagi:
- Kau tahu. apa sebab kaum iblis ini menawan semua ketua-ketua aliran? Seperti kataku tadi, mereka akan dipaksa untuk memperlihatkan kepandaiannya. Dengan begitu kaum iblis ini akan dapat mentaklukkan seluruh aliran yang terdapat di negeri ini. Aku sendiri hampir-hampir saja. Untung, masih dapat aku mematahkan rantai pembelenggu.
- Tetapi mengapa kakek membiarkan rantai itu membelenggu sebelah tangan kakek? potong Yudapati.
- Masakan engkau tidak tahu artinya? Kecuali untuk senjata banyak pula gunanya. Sebentar lagi engkau akan menyaksikan. Aku akan membawamu menghadap seseorang. Tetapi . . .
Belum bagi ia menyelesaikan kata-katanya. tiba-tiba terdengar suara langkah belasan orang. Tahulah Yudapati bahwa mereka yang dapat mendaki sampai ke tempatnya
berada niscaya orang orang berkepandaian tinggi.
- Ah. benar-benar sial!
Tepus Rumput mengutuk.
- Biasanya akulah yang mengejar-ngejar mereka. Akan tetapi kini akulah yang menjadi binatang buruan mereka. Anak muda engkau jangan terlalu jauh dariku. Berdirilah menghadap ke puncak! Dengan begitu aku bisa membedakan lawan dan dirimu. Puncak gunung waktu itu benar-benar berkabut sangat tebal. Untuk memancing lawan. Tepus Rumput sengaja tertawa terbahak bahak. Hebat perbawanya. Oleh tenaga saktinya lamping gunung sampai tergetar dan batu-batu meluruk ke bawah.
- Tepus Rumput! Kau mau lari ke mana? - terdengar seseorang berteriak lantang.
- Anak muda, mari kita lari ke atas serintasan lagi! - , ajak Tepus Rumput.
- Di sana terdapat sebuah pengkolan. Kita bisa main sembunyi dan menghantam musuh dengan mendadak. '
Sebagai seorang pemuda yang cerdas. tahulah Yudapati bahwa Tepus Rumput sudah terlalu memahami lika- liku tebing puncak gunung. Namun masih saja ia minta keterangan:
- Tadi, aku kau suruh berdiri menghadap puncak gunung. Mengapa kini kita harus lari serintasan lagi? - Yang bersuara tadi seorang pendekar berkepandaian sangat tinggi. Mungkin tidak berada di bawahku. Jumlah mereka mungkin sepuluh atau dua puluh orang. Entah dari mana asalnya, aku kurang jelas.
Tepus Rumput memberi penjelasan.
- Menghadapi seorang saja, bukan gampang. Apalagi harus melawan mereka sekaligus. Kalau tidak menggunakan akal, kita sudah mati sebelum sempat melangkahkan kaki. Mari! Tepus Rumput sengaja menggerincingkan rantai pembelenggunya, sehingga mudah diikuti. Suasana alam putih remang-remang. Meskipun demikian, ia dapat lari dengan cepat dan gesit. Jalan yang diambahnya hanya jalan setapak yang licin dan berbahaya. Kiri-kanannya adalah jurang menganga. Salah injak saja pasti akan membawa maut. Untung, Yudapati sudah mencapai Tantrayana tingkat tinggi. Panca inderanya melebihi orang biasa. Dalam keadaan gelap gulita masih dapat ia melihat dengan tegas seratus meter di depannya.
- Cerdik benar kakek ini. - pikirnya.
- Meskipun ratusan orang mengejarnya akan dapat dirobohkan dari balik kegelapan.
Akan tetapi pengejar-pengejarnya ternyata tidak kalah cepat. Bahkan bunyi langkahnya makin lama makin dekat. Jelaslah sudah, bahwa mereka pun orang-orang berkepandaian tinggi. Tiba- tiba Tepus Rumput tidak menggerincingkan rantainya, namun masih saja berlari kencang. Sekarang ia menghilang di pengkolan dan menunggu.
- Ssst! Sekarang jangan bersuara! ia berkata berbisik.
Tepus Rumput membawa Yudapati memepet dinding gunung. Sebentar kemudian terdengar suara langkah kaki yang ragu-ragu. Mereka maju selangkah dengan selangkah. Karena Tepus Rumput tidak menggerincingkan rantainya, mereka mengira Tepus Rumput berhenti tidak jauh di depannya. Maka mulailah mereka melepaskan senjata bidiknya. Tetapi semuanya terpental balik mengenai dinding gunung dan jatuh ke dalam jurang dengan berisik.
- Kurangajar, jahanam itu sengaja menyimpan rantainya dan lari terus. maki seseorang.
- Kejar! Dua orang maju berbareng. Sekarang mereka lari agak kencang. Tahu-tahu, mereka menumbuk Tepus Rumput yang berdiri memepet dinding gunung. Dalam kagetnya
mereka mundur serentak. Maksudnya hendak memutar balik. Tetapi sudah terlambat. Kedua telapak tangan Tepus Rumput sudah memukul ke depan dengan ganas. Kedua orang itu terpental dan jatuh ke dalam jurang tanpa bersuara sedikitpun. Beberapa waktu kemudian, terdengarlah suara "blak- bluk". Itulah suara terbantingnya tubuh mereka ke dasar jurang
- Ha ha . . . Tepus Rumput tertawa mengejek. Biasanya mereka berdua seringkali mengagulkan diri sebagai benteng kaum Syiwapala. Setelah terkena pukulanku, mereka berdua benar-benar dua ekor banteng sedang menumbuk dasar jurang.
Mendengar Tepus Rumput menyebut Syiwapala, hati Yudapati tercekat.
- Ah, tentunya kaum putih yang menjadi sandera kaum Pasupsta Hitam. Mengapa mereka pun bisa tertawan di sini, pikirnya berteka-teki.
- Di luar wilayah kaum Pasupata, pastilah mereka dihormati orang. Setidak tidaknya menjadi tokoh- tokoh penting dalam alirannya. Kini mati tanpa liang kubur di sebuah jurang yang sunyi senyap. lebih menyedihkan lagi, karena mereka tidak sempat melihat dengan jelas. siapa pembunuhnya.
- Kita masih perlu lari lagi sampai ke lapangan terbuka. ujar Tepus Rumput.
- Lalu tiba di tebing jurang. Sampai di sana, kita aman. Mereka tidak akan berani mengejar lagi
Seperti tadi, Tepus Rumput mendahului berlari cepat. Jalan makin tinggi licin dan sempit. Beberapa waktu kemudian tibalah mereka pada suatu tempat yang lapang. Apa yang dikatakan Tepus Rumput sebagai lapangan terbuka, sebenarnya merupakan tanah berbatu yang datar. Di tempat ini siapapun tidak dapat bermain sembunyi lagi.
Dalam pada itu, terdengar langkah belasan orang sedang datang memburu. Tepus Rumput masih berusaha lari
menghampiri tepi daratan itu yang merupakan tebing jurang. Di sini tak dapat lagi ia mencari dinding gunung sebagai tempat bersandar atau memepetkan diri. Terpaksalah ia membalikkan badannya menghadapi lawan lawannya.
Sekonyong- konyong terdengar suara berdesing yang nyaring sekali. Dengan cekatan Tepus Rumput menyambarnya dan menggempur senjata bidik yang menyerangnya.
- Hai keparat orang Siguntang dan Syiwapala! Mengapa kalian ikut ikutan pula mengejarku? - bentaknya menggeledek.
- Kau melarikan diri. Berarti membahayakan jiwa pemimpin kami. Maka siapapun berhak membunuh dirimu. sahut seseorang. .
Sebelum Tepus Rumput membalas memaki lawannya kembali. terdengar suara senjata bidik tujuh kali berturut turut. Kali ini Tepus Rumput bersungguh sungguh. Tidak lagi ia berani memandang ringan lawan lawannya. Dengan memukulkan kedua telapak tangannya ia menangkis berbareng menyambar. Ketujuh senjata bidik itu lenyap tanpa suara. Selagi demikian, terdengar lagi tiga senjata bidik yang terbang dengan suara mendesing luar biasa kuatnya. Jelaslah, bahwa pelemparnya seseorang yang berkepandaian sangat tinggi. Menyaksikan hal itu, Yudapati tidak dapat menjadi penonton belaka. Segera ia melompat dan memukul senjata bidik itu. Semuanya terpukul runtuh di atas batu. Namun pada saat itu terdengar Tepus Rumput mengerang kesakitan. Ia terkejut dan heran.
Mengapa?
Apakah ada senjata bidik lagi yang menyerangnya dengan diam diam?
- Kakek! Kenapa? ia menegas.
- Anak muda . . . sudahlah . . . agaknya memang sudah takdirku . . . aku . . . aku . . . .- sahut Tepus Rumput dengan terengah engah. . . .
- kau lari saja . . . lari . . .!
Dengan hati kebat-kebit, Yudapati menghampiri seraya berkata:
- Tidak! Kau tidak boleh mati. Kita harus tetap bersama dalam keadaan mati atau hidup. Maka terdengarlah suara sorak kemenangan. Tujuh delapan orang berseru gembira:
- Berhasil. berhasil! Iblis itu terkena senjataku! Di tengah keremangan alam. kelihatan belasan orang mendesak maju. Langkahnya seperti sedang berpacu. Makin lama makin mendekat. Tiba-tiba Yudapati mendengar suara angin mendesing lewat di sampingnya. Terdengar kemudian Tepus Rumput tertawa terbahak-bahak. Dan belasan orang yang maju mendesak,roboh terjengkang seperti batang pagar tersapu angin badai. Tipu muslihat yang dilakukan Tepus Rumput benar-benar berada di luar dugaan orang. Bahkan Yudapati sendiri sama sekali tidak mengira. Rupanya dia tadi menangkap belasan senjata bidik lawan dan digenggamnya dalam tangannya menunggu saatnya yang tepat untuk membuat perhitungan. Pantas saja, belasan senjata bidik yang meraung sebentar tadi, lenyap begitu saja tanpa suara. Setelah itu dia berpura pura roboh dan mengerang kesakitan. Hal itu membuat lawan-lawannya lengah. Begitu mereka bersorak gembira dan maju mendekat, Tepus Rumput menghujaninya dengan senjata bidik rampasannya. Inilah yang dinamakan orang. senjata makan tuan.
Sebenarnya mereka yang mengejar Tepus Rumput adalah sekumpulan pendekar yang sudah berpengalaman dan berkepandaian tinggi. Mestinya tidak mudah mereka termakan perangkap Tepus Rumput. Tetapi mereka terlengah dalam tiga hal. Pertama, kabut sangat tebal sehingga penglihatannya terbatas. Kedua, mereka mendengar suara Yudapati yang berseru penuh kecemasan. Mereka yakin, Tepus Rumput benar-benar terluka. Lantaran mereka
sendiri terlalu yakin kepada kemampuan dan kepandaiannya sendiri dalam hal melepaskan senjata bidik. Dan yang ketiga sama sekali mereka tidak mengira bahwa Tepus Rumput pandai menghamburkan senjata bidik. Padahal Tepus Rumput tidak memiliki senjata bidik. Siapapun tidak mengira, bahwa dia merampas senjata bidik mereka dengan diam-diam.
Tepus Rumput sendiri tidak menghiraukan apa yang sudah terjadi. Sebat luar biasa ia menarik lengan Yudapati dan dibawanya lari. Katanya sambil berlari kencang:
- Anak muda kau hebat dan mengagumkan! Sama sekali tak kusangka, bahwa engkau memiliki setia kawan kepadaku. Kalau begitu, jangan panggil aku kakek! Kalau kita bisa mencapai tebing itu,engkau harus mengangkat diriku sebagai saudara. Tanah datar itu sebenarnya merupakan semacam kepundan yang sudah mati. Luasnya beberapa kilometer persegi. Karena itu seseorang akan memerlukan waktu lama untuk mencapai seberang tebing atau batas lingkarannya. Tidak mengherankan. lawan-lawan Tepus Rumput yang penasaran segera dapat memburunya pula.
- Lari di atas tanah berbatu ini, memang tidak mudah. ujar Tepus Rumput setengah menggerendeng.
- Kecuali licin, batu dan tanah yang bercampur aduk ini,tidak boleh dipercayai. Bisa-bisa kita malahan kejeblos masuk ke dalam. Biarlah aku berpura-pura mati sekali lagi.
- Tentunya mereka sudah berwaspada. Masakan bisa masuk ke dalam perangkapmu?
Yudapati menyumbangkan pendapatnya.
- Kita lihat saja. sahut Tepus Rumput.
Sekonyong konyong ia berhenti dan melesat mundur sambil menghentakkan rantai pembelenggunya. Terdengar kemudian suara bergedebukan beberapa kali. Tak lama kemudian
Tepus Rumput balik kembali. Kali ini dengan memanggul seorang musuh.
Kedua tangan orang itu teringkus rantai pembelenggu Tepus Rumput. Dan ia tidak dapat berkutik di atas pundak Tepus Rumput kecuali mulutnya yang masih-dapat berbicara atau memaki dengan bebas. Kata Tepus Rumput kepada Yudapati:
- Larilah mendahului! Aku kini sudah mempunyai perisai.
Mendengar kata-kata Tepus Rumput keruan saja tawanan di atas pundaknya berteriak ketakutan kepada rekan-rekannya:
- Hoeeeee . . . jangan main tembak lagi!
Tentu saja teman-temannya tidak mengerti apa arti seruan itu. Mereka mengira, ia sedang maju mendekati Tepus Rumput. Mungkin lantaran masing-masing ingin memperoleh jasa, maka dengan berbareng mereka melepaskan senjata bidiknya.
Cap, cap. cap!
Semuanya menancap pada punggung, pantat dan lutut perisai istimewa itu.
- Addoooo . . . samber geledek! - ia memaki kalang kabut.
- Kamu anjing! Kamu babi! Addoooo . . . sambar geluduk!
Dengan tertawa pelahan melalui dadanya, Tepus Rumput berlari-larian kecil mengikuti Yudapati yang sudah hampir mencapai tebing. Ia membiarkan perisai istimewanya memaki-maki rekannya sendiri. Hebat hamburan senjata bidik rekan-rekannya. Kadang-kadang terdiri dari paku tajam, panah dan belati terbang. Semuanya menancap pada perisai istimewa itu. Suatu bukti bahwa mereka memang ahli melepaskan senjata bidik. Tetapi sang perisai sendiri lambat-laun kehilangan suaranya. Ia mati dengan penasaran.
- Haha . . . perisai manusia hidup kita kini sudah jadi bangkai. Tepus Rumput tertawa lalu melemparkan
perisai istimewanya itu ke arah lawannya yang buru-buru mundur melindungi diri. Dan kesempatan itu dipergunakan Tepus Rumput untuk lari sepesat angin.
- Adik! Kita sampai. ujarnya setengah bersorak.
Untuk pertama kali itu, ia memanggil Yudapati dengan adik. Kecuali hatinya penuh syukur, terhadap setia kawan Yudapati ia menaruh hormat. Sebaliknya, Yudapati sendiri tidak begitu menghiraukan ucapan Tepus Rumput. Penglihatannya terpancang pada pemandangan yang berada di depannya. Itulah sebuah batu berbalok yang sempit. Balok batu yang menghubungkan tebing ke tebing di antara sebuah jurang yang tak terukur lagi betapa dalamnya.
-Adik! ujar Tepus Rumput.
- Di tengah kabut tebal itu terdapat seutas jalur penghubung terbuat dari besi. Kau berani berjalan di atasnya? Melintasi tali rantai penghubung demikian, bukan merupakan peristiwa yang baru bagi Yudapati. Dia pun pernah melintasi sewaktu hendak memasuki wilayah Pasupata Hitam.
Yang dipikirkan kini apabila melintasinya bukankah berarti keluar dari wilayah Pasupata Hitam?
Padahal tujuannya sama sekali belum terhasil. Berarti pula sia-sia belaka.
Sedang Yudapati sibuk berpikir demikian, Tepus Rumput sudah sibuk bertempur lagi. Kali ini lawannya adalah seorang yang berwatak berangasan berpakaian pendeta. Dengan sebilah golok di tangan, ia menyerang dengan bernafsu. Tepus Rumput menjatuhkan diri. Rantai pembelenggunya menghantam kaki. Maksudnya jelas. Ia hendak menggubat kedua kaki pendeta itu. Tetapi pendeta itu ternyata berkepandaian tinggi. Dengan gesit ia melompat menghindari. Namun tatkala kakinya mendarat. Tepus Rumput tidak memberinya kesempatan untuk berdiri tegak. Pada detik itu pula rantai pembelengaunya menghantam. Dan pendeta itu terpental jatuh ke dalam jurang. Terdengar ia memekik tinggi dengan suara ketakutan dan berputus asa. Beberapa saat lagi, gaung suaranya masih terdengar sayup-sayup. Lalu lenyap ditelan suatu keheningan yang mengerikan.
- Iblis Tepus Rumput! - terdengar suara bentakan menggelegar.
- Kau benar-benar tidak menghargai kami.
- Ah!
Tepus Rumput tertawa geli.
- Kalian ini pandai memutar balik suatu kenyataan. Justru akulah yang harus bertanya, apa sebab kalian memusuhiku. - Kau iblis yang dapat membahayakan ketenteraman hidup. Kau harus mati di tangan kami.
- Hi, semenjak kapan aku menganggu ketenteraman hidup? Tepus Rumput membentak.
- Setelah kalian bergaul dan sudi menghamba kepada kaum iblis. sekarang pandai bermulut siluman.
Empat orang melompat maju. Mereka membekal sebilah pedangnya masing-masing. Menilik warna pakaian yang dikenakan, mereka berasal dari aliran Syiwapala dan Siguntang. Dengan berbareng mereka menyerang. Hebat kerjasama mereka. Mereka menyerang dan bertahan. Tepus Rumput yang hanya bersenjatakan rantai pembelenggu, lambat laun berada di bawah angin. Menyaksikan hal itu, Yudapati tidak dapat tingal diam. Karena tidak bermaksud membunuh mereka, ia menghunus golok Pataliputra. Lalu dengan jurus yang aneh, ia menerjang. Dan dalam satu gebrakan saja, masing-masing sudah kebagian satu kali tusukan.
- Ah! -mereka terkejut.
- Jurus iblis dari mana ini?
Tepus Rumput tertawa terbahak-bahak. Serunya:
- Adik, jangan gubris ocehan mereka! Hayo kita menyeberang!
Berseru demikian. Tepus Rumput menghampiri jembatan penghubung dan menggoyang-goyangkannya. Jelas sekali ia sedang melakukan tipu-muslihat. Tetapi karena tertutup kabut tebal, mereka mengira dia sedang melintasi jembatan penghubung yang terbuat dari seutas tali baja. Segera mereka maju menguber. Tetapi tepat pada saat itu rantai Tepus Rumput menyambar dan menggubat kaki mereka. Sebelum mereka sempat membebaskan diri, Tepus Rumput sudah menghentakkannya. Tak ampun lagi mereka jatuh terjerumus di dalam jurang.
- Adik! Biarlah engkau kugendong. Cepat! bisik Tepus Rumput.
Yudapati tidak mengerti maksudnya. Namun ia percaya akan tipu-muslihatnya yang cekatan dan di luar dugaan orang. Segera ia menyarungkan golok Pataliputra dan menggamblok di punggung kakek itu. Tepus Rumput kemudian menggubatkan rantai pembelenggunya pada jembatan penghubung. Lalu turun ke bawah dan membiarkan dirinya terkatung-katung. Keruan saja yang kebat kebit adalah Yudapati.
- Celaka! Kalau gubatannya terlepas, bukankah aku akan ikut mati terjerumus dalam jurang? pikirnya cemas.
******
PUNTA DEWAKARMA
SETELAH BERAYUN-AYUN dua kali. Tepus Rumput benar-benar melepaskan rantainya yang menggubat pada jembatan penghubung. Seketika itu juga, ia terjun ke bawah dengan membawa Yudapati di punggungnya. Hampir saja Yudapati mengira, ia sengaja dibawa terjun bunuh diri. Namun pada detik itu pula, sebelah tangan Tepus Rumput menikam dan kedua kakinya hinggap pada sebuah batu. Ternyata sebelum menggubatkan rantai pembelenggunya. ia masih sempat merampas pedang salah seorang lawannya yang mati terjebur di dalam jurang. Dan dengan pedang itu, dua tiga kali ia menikam pada dinding jurang untuk menahan lajunya berat badan. sebelum hinggap di atas balok batu.
Belum lagi Yudapati melepaskan nafas lega, kembali lagi Tepus Rumput menerjunkan diri. Kini mulutnya berkomt-kamit seperti lagi menghitung sesuatu. Pada hitungan enam belas, rantainya dihentakkan dan menggubat sebatang pohon yang tumbuh di antara balok-balok batu pada tebing jurang. Lalu turun lagi makin deras. Kali ini baru sampai hitungan tujuh, rantainya melambung dan menggubat sebuah batu yang menonjol. Selagi begitu pedangnya menikam ke kiri. Berbareng dengan dilepaskannya gubatan rantai pembelenggu, ia terbang dan hinggap di atas sebuah batu lagi yang menonjol.
- Adik! sekarang engkau boleh turun. -katanya dengan tertawa lega.
- Aku. percaya, kau pasti dapat berbuat seperti yang kulakukan. Hanya saja, engkau belum memahami arah pendaratannya. - Benar.
Yudapati mengakui.
- Sebentar tadi, aku sengaja menyuruhmu menyeberang melalui penghubung jembatan. Tetapi sebenarnya untuk menyesatkan mereka. Selanjutnya engkau tahu sendiri. Dengan hitungan empat, enam belas, tujuh . . . kita tiba di sini. Sekarang kita aman, adikku. Hanya saja, masih saja aku menyesal. Hari ini, aku hanya berhasil membunuh 34 orang. Engkau 27 orang. Jadi baru enam puluh satu. Padahal jumlah mereka 674 orang. Hm . . . baiklah. Untuk sementara aku titip kepala mereka. Harga pertemuanku denganmu jauh lebih berharga daripada nyawa mereka. Yudapati tergugu. Ia tidak hanya merasa ngeri, tetapi kagum pula. Ternyata Tepus Rumput tidak hanya berkepandaian tinggi. Dia pun cermat, bahkan daya ingatnya jauh melebihi dirinya. Ia yang merasa memiliki pembawaan cermat dalam hal ini harus mengaku kalah.
- Adik, marilah kita mengadakan upacara mengangkat saudara, sebelum melanjutkan perjalanan. -ujar Tepus Rumput.
Dengan menggandeng tangan Yudapati. Ia membawa pemuda itu duduk bersimpuh. Setelah menyembah tiga kali. ia berkata
- Hari ini. aku Tepus Rumput mengangkat Yudapati sebagai adikku. Selanjutnya mati hidup,senang susah , akan kami pikul bersama. Setelah berkata khidmad semacam bunyi ucapan sumpah, ia berputar menghadap Yudapati dan membungkukkan badannya. Yudapati buru-buru membungkuk dengan menundukkan kepalanya nyaris berbenturan. Namun hal itu dilakukannya dengan kepala kosong. Perhatiannya masih terpancang pada bunyi hitungan yang dikabarkan Tepus Rumput serta pengalamannya yang mengerikan. Pikirnya:
- Pantas ia membiarkan sebelah tangannya terbelenggu rantai. Kiranya selain bisa digunakan sebagai senjata dapat pula dipakai untuk alat berayun. Benar-benar hebat dia. Pada hitungan-hitungan tertentu, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Kasep sedikit. bukankah berani mati?
Lagipula bila pohon dan batu yang diincarnya meleset dari bidikan. hm . . . dia mengharapkan apa lagi yang bisa menolongnya? Ah. selain membutuhkan keahlian tersendiri, nampaknya sudah seringkali ia terjun dengan cara demikian. lalu bagaimana cara dia memanjat tebing setinggi ini? Tepus Rumput rupanya seperti dapat membaca pikirannya. Katanya dengan tertawa:
- Adik! Yang penting sekarang. keluarkan minumanmu! Di tempat sedingin ini. kita perlu menghangatkan badan agar memperoleh semangat juang. Setelah itu. barulah kita membicarakan jalan keluarnya. Sayang aku tadi hanya memotong sebelah paha kuda. Ah. mengapa tidak yang sebelahnya pula?
Sambil meletakkan bungkusan warisan langkasuta Yudapati menyahut:
- Aku menyimpan ekornya.
- Hai. bagus! Ekornya pun enakjuga. Mana? Tepus
Rumput bernafsu.
- Sebentar! Kali ini. biarlah aku yang menguliti.
Yudapati kemudian mengambil bulunya. Lalu menguliti kulitnya sehingga bersih. Sementara itu, Tepus Rumput sudah membuat api perdiangan. Menyaksikan betapa ia dengan cekatan mengambil empat batang potongan kayu dari balik batu tahulah Yudapati bahwa tempat pendaratan itu merupakan terminal penghentian perjalanan Tepus Rumput.
- Kakak! Kau tadi belum sempat menyelesaikan katakatamu. Kau masih bersedia melanjutkan. bukan?
Yudapati mencoba.
- Tentu. tentu! Tetapi biarkan aku menikmati minumanmu ini dulu. sahut orang tua itu cepat.
- Di sini kita aman tak terganggu. Engkau boleh bergadang sebentar malam.
Setelah meneguk minuman peninggalan Langkasuta,segera ia memanggang ekor kuda pemberian Yudapati. Lalu mulailah ia berkata:
- Aku akan membawamu menghadap seseorang. Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Mungkin sepuluh kali lipat daripadaku. Bukan mustahil pula seratus kali lipat.
- Siapa dia?
- Dengan sesungguhnya, aku tidak mengenal namanya dengan jelas. Dia manusia aneh yang mengasingkan diri dari pergaulan. Suatu kali aku pernah bertemu dengannya dan mencoba mengadu kepandaian. Tetapi aku roboh dalam beberapa gebrakan saja. Padahal dia sudah berusia lanjut sehingga tidak memiliki tenaga yang berarti. Meskipun demikian, gerakan tangannya luar biasa cepatnya. - Apakah dia bertempur dengan tangan kosong? - Bukan. Dia seorang ahli senjata macam apapun.
- Lalu apa maksud kakak aku harus menghadap
padanya? Yudapati minta keterangan.
Tepus Rumput tidak segera menjawab. Ia menggeragoti daging ekor kuda yang sudah matang terpanggang. Setelah meneguk minumannya. berkata:
- Adik! Aku tadi membicarakan tentang Ilmu Pemutus jiwa untuk mengalahkan barisan siluman. Kulihat kepandaian adik berada di atasku. Apakah adik mempunyai cara untuk mengalahkan barisan siluman?
- Kakak! dengan sesungguhnya aku kagum menyaksikan kepandaian kakak. Mengapa kakak berkata, bahwa kepandaianku berada di atas kakak? sahut Yudapati dengan wajah prihatin.
- Sudahlah. Kau masih mengakui aku sebagai kakak atau tidak?
- Tentu saja. Bukankah baru saja kita mengangkat sumpah? - Kalau begitu antara aku dan dirimu harus berbicara dengan terus-terang. Aku menggempur mereka dengan rantai. Kaupun bisa melakukan. Sebaliknya. aku tidak mampu memukul lawan dari jarak jauh seperti yang kau lakukan. Bukankah ilmu kepandaianku berada di bawahmu? Itulah pula sebabnya, aku tertarik untuk membawamu menghadap orang itu. Bila ilmunya dapat kau warisi dan kemudian kau gabungkan dengan himpunan tenaga saktimu , . . waooo . . . di dunia ini, siapakah dapat melawan dirimu? Mahera dan Yoni Nandini boleh sakti. Tetapi mereka akan mati kutu menghadapimu. Kau mengerti maksudku? Nah. jawablah pertanyaanku tadi. ujar Tepus Rumput dengan wajah merah padam.
Yudapati tidak berani mengingkari kenyataan itu. Sebab selain dirinya sudah mewarisi ilmu sakti Tantrayana dari Resi Brahmaniara, dia pun memiliki gabungan ilmu senjata warisan para leluhur yang diketemukan di dalam
goa. karena itu segera ia menjawab:
- Aku pernah bertempur melawan laskar kerajaan. Karena kalah jumlah. terpaksalah aku menggunakan jurus tanaman atau tanaman jurus. - Apa itu?
Tepus Rumput tertarik.
- Mereka tidak dapat bergerak lagi. - Kau maksudkan mereka terpaku di tempatnya?
- Benar.
- Waoo bagus! Bagus!
Tepus Rumput meletakkan ekor kuda panggang dan kemudian bertepuk tangan gembira. Sejenak kemudian. ia diam berpikir. Minta keterangan:
- Apa sebab mereka terpaku?
- Tegasnya mereka terpaku oleh nafsunya sendiri. Yudapati memberi keterangan.
Tepus Rumput berkomat-kamit:
- Terpaku oleh nafsunya sendiri? Ah . . . jadi tanaman jurus itu berlaku bagi mereka yang mempunyai nafsu hendak melawan?
Yudapati mengangguk.
- Bagaimana kalau seseorang tidak melawanmu?
- Dengan sendirinya tidak berlaku terhadap mereka yang tidak melawan. Apa lagi mereka yang ketakutan. -jawab Yudapati jujur.
- Nah, di sinilah letak kelemahannya. - ujar Tepus Rumput.
Lalu memberi keterangan:
- Adik! Di dunia ini banyak terdapat perilaku yang semu dan berpura-pura. Orang yang mendendam padamu bisa berpura-pura bersikap manis. Bukan mustahil engkau akan diajak makan-minum dengan gembira. Bagaimana kalau tiba-tiba ia menikammu selagi engkau tidak berjaga-jaga? Ini yang pertama. Dan yang kedua. bagaimana kalau dia tiba-tiba meracunmu?
- Benar. potong Yudapati.
- Aku pun pernah kena racun Pamasih.
- Siapakah dia? Oh. ya . . . dia murid Tiga Dewa yang
kau katakan tadi siang, bukan? Benar.
Orang-orang semacam dia, banyak sekali terdapat dalam penghidupan ini. Memang, himpunan tenaga saktimu lambat laun dapat menolong diri. Akan tetapi berarti engkau sudah kalah satu babak. Alangkah jauh bedanya, bilamana engkau seorang ahli senjata. Engkau akan memiliki daya prarasa yang tajam luar biasa. Setiap gerakan orang akan dapat kau baca dengan jelas. Yudapati memanggut membenarkan. Ia jadi tertarik kepada tokoh yang dikabarkan Tepus Rumput. Selagi hendak menegas. Tepus Rumput berkata lagi:
- Karena itu. makanlah dulu yang kenyang! Malam nanti engkau perlu tidur nyenyak. Dan esok pagi, aku akan mengantarkanmu menghadap padanya.
Aneh adalah suasana alam gunung itu. Pada malam hari, udara jadi terang benderang. Tiada lagi kabut tebal. Bahkan di udara bulan sipit mengintip bumi seisinya. Hawa yang memasuki goa peristirahatan terasa segar bugar. Buru-buru Yudapati bersemadi menghimpun tenaga saktinya. Tepus Rumput sendiri sudah terlena tidur. Pengalamannya sehari tadi agaknya terlalu menguras tenaganya. Sekarang dia ingin mengembalikan tenaganya dengan tidur nyenyak.
Yudapati tidak tahu persis, kapan ia terlena tidur. Yang teringat. ia tiba-tiba bertemu dengan seseorang di alam mimpi. Orang itu mengenakan jubah abu-abu. Berjenggot putih, berambut putih dan bermisai putih pula. Wajahnya cerah. meskipun usianya mungkin sudah melebihi seratus tahun. Peribadinya yang anggun dan angker mengingatkannya kepada gurunya: Resi Brahmantara. Tetapi orang itu berkata:
- Aku Punta Dewakarma. Orang
satu-satunya di dunia ini yang dapat mengalahkan engkau.Mendengar ucapan orang itu. ia terkejut sampai tersentak bangun. Dan waktu ia menyenakkan mata. suasana alam sudah berubah lagi. Yang cerah tadi, kini diselimuti kabut tebal. Dalam goa gelap gulita. Syukur, ia pernah hidup hampir satu bulan di tengah kegelapan, sehingga hal itu tidak mempengaruhi dirinya.
Dengan tenang ia mulai bersemadi kembali. Lalu mengamati Tepus Rumput. Orang tua itu sedang bersemadi pula. Dia duduk bersimpuh di atas tanah yang dingin. Nafasnya turun naik dengan teratur. Terlihat asap panas mengepul dari ubun-ubunnya. Maka tahulah Yudapati apa sebab orang tua itu memiliki tenaga luar biasa. Kiranya dia termasuk golongan aliran keras yang mengutamakan kepadatan sebagai pegangannya daripada yang tidak nyata. Sebaliknya, Yudapati dapat menguasai yang padat dan yang kosong. yang nampak dan yang tidak. yang berwujud dan yang tidak berwujud. Itulah berkat kesaktian llmu Tantrayana yang dapat memanunggalkan semua getaran hidup. Maka pernyataan Tepus Rumput bahwa ilmu kepandaiannya berada di bawah Yudapati adalah benar dan jujur.
Sekarang,pagi hari telah datang dengan diam-diam. Seluruh alam diliputi kabut tebal seperti kemarin. Tiada yang nampak di dalam mulut goa itu selain dirinya masing masing. Tepus Rumput yang berpengalaman segera menyalakan perdiangannya kembali.
- Adik. rejekimu besar. Sebenarnya belum pernah aku bermalam di sini. -ujarnya.
- Semalam aku hanya menutupi bara ini. Nyatanya masih menyala. Yudapati tahu, bahwa hal itu terjadi lantaran himpunan pernafasan Tepus Rumput yang bersifat panas. Tentunya dengan diam-diam ia memperhatikan perdiangan yang memang perlu dipertahankannya. Namun ia berpura-pura
tidak mengetahui penyebabnya. Sahutnya menyambut:
- Tentunya kakak mengharapkan sesuatu yang bisa dipanggang, bukan?
Tepus Rumput tergugu sejenak, lalu tertawa terbahak bahak. Ujarnya:
- Otakmu memang cerdas dan cerdik. Engkau bisa menebak tepat. Apakah masih ada sisa makanan?
- Mari kita periksa.
Yudapati mengangsurkan bungkusannya. Segera Tepus Rumput memeriksanya. Ternyata tinggal beberapa potong yang hanya cukup untuk sekali makan. Ia jadi tidak sampai hati untuk memakannya. Katanya:
- Kurasa engkau lebih perlu daripada aku. Hari ini, biarlah aku ke atas lagi untuk membawa seekor kuda. Tolong lepaskan aku dari belenggu terkutuk ini, agar dapat bergerak lebih leluasa.
- Apakah rantai ini tidak kau gunakan lagi untuk . . .
- Bukan begitu. Aku akan bisa mencuri kuda tanpa bersuara. sementara rantai ini kugubatkan pada tubuhku. Pada saatnya nanti akan kugunakan untuk alat menuruni jurang.
Tepus Rumput memberi keterangan.
Belum pernah Yudapati menggunakan tenaga saktinya untuk mematahkan gelang besi. Karena itu ia jadi raguragu.
Akan tetapi mengingat Tepus Rumput dapat memutuskan yang sebelah, mengapa dirinya tidak?
Terus saja ia memegang gelang rantai yang membelenggu pergelangan tangan. Dengan sedikit mengerahkan tenaga sakti tingkat lima saja. gelang besi itu tertarik melengkung dan cukup longgar untuk membebaskan pergelangan tangan Tepus Rumput dari pembelenggunya.
- Waoo bukan main! Tepus Rumput kagum.
- Apanya yang hebat? Bukankah kakak dapat pula memutuskan? - Aku? Kapan?
Tepus Rumput terbengong sejenak. lalu tertawa geli. Katanya lagi:
- Gelang pembelenggu yang sebelah ini hanya tertanam dalam tembok. Maka aku hanya cukup menggempur dindingnya dan bebaslah aku. lainlah halnya dengan tenaga sakti yang kau miliki ini. Kalau begitu . . . ah hebat! Hebat, adikku. Segera aku akan dapat membawamu menghadap padanya. Hanya saja engkau harus dapat melampaui tiga dewa sinting guru Pamasih. .
- Hei, mengapa? - Hm.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tepus Rumput mengerinyitkan dahinya.
- Mereka memang tidak pandai berkelahi, akan tetapi memiliki kepandaian meracun dan mengobati orang. Mereka jauh lebih berbahaya daripada siapapun. Biarlah aku berpikir sebentar. Mana minumanmu?
- Bukankah semalam . . .
- Ah, ya. ?
Tepus Rumput menggaplok pipinya.
- Belum-belum mengapa aku sudah senewen.
Setelah berkata demikian. segera ia menggerayangi poci minuman yang masih tertinggal di tempatnya. Rupanya semenjak semalam ia berpikir keras, sehingga poci itu masih terdapat sisa minuman.
Yudapati pernah merasakan betapa ampuhnya Pamasih. Apalagi dia bakal berhadap-hadapan dengan ketiga gurunya. Karena itu ia bisa mengerti apa sebab Tepus Rumput nampak gelisah. Tak usah dijelaskan lagi bahwa perangai ketiga guru itu tentunya sangat istimewa. Rajah Kusambi dulu pernah berkata demikian.
- Tiga orang sinting itu memang susah didekati. Lainlah halnya bila kita bisa mempersembahkan sesuatu yang menarik perhatiannya. Umpamanya mempersembahkan sesosok mayat yang mati karena keracunan atau disengat serangga berbisa. Mereka bisa berebut untuk salim memperlihatkan kemampuannya menghidupkan mayat itu. ujar Tepus Rumput Setengah menggerendeng lalu meneguk beberapa kali sisa minuman yang kini nyaris ludas.
Mendengar kata-kata Tepus Rumput tiba-tiba Yudapati teringat sesuatu. Katanya setengah berseru:
- Apakah kakak benar-benar hendak ke atas untuk meneliti kuda?
- Benar. Mengapa? - Kalau begitu kakak dapat membawa mayat Pataliputra kemari.
- Siapa dia?
Yudapati kemudian menceritakan nasib Pataliputra yang mati teringkus ular jadi-jadian. Bukankah hal itu akan menarik perhatian ketiga guru Pamasih? Hanya saja hal itu terjadi dua hari yang lalu. - Sebulan dua bulan pun bukan halangan. Sebab hawa di sini terlalu dingin hingga dapat mengawetkan bangkai atau mayat. Baik akan kuambil. Tetapi engkau jadi terlambat satu hari sedang persediaan makan minum sudah habis.
- Aku akan menunggu kakak di sini untuk berlatih. tungkas Yudapati sambil mengeluarkan kecapi pemberian Pamasih.
- Menurut Pamasih. inilah kecapi gurunya. Bila aku dapat melatih nada-nada yang terdapat dalam kitabnya. bukankah akan menarik perhatian beliau bertiga?
- Kecapi apa itu?
Tepus Rumput tercengang. Dan begitu melihat bentuk kecapi itu. ia meloncat menghampiri.
- Biar kulihatnya. Tanpa menunggu persetujuan Yudapati, ia memeriksanya. Dan begitu memeriksanya, tiba-tiba saja ia menandak nandak kegirangan. Serunya dengan suara tinggi:
- Huraaaa . . . adikku! Rejekimu benar-benar besar. Inilah yang kukatakan kemarin. Bukankah aku membicarakan ilmu Pemutus jiwa? Kecapi ini bernama Pemutus Jiwa. Jika engkau dapat memainkannya . . . ah hebat! Adik, aku bersedia berlutut di hadapanmu.
- Sebenarnya dari mana asal kecapi ini? Mengapa kakak mengetahui pula namanya?
- Ah. soal itu masalah mudah. Janganlah adik diributkan oleh hal-hal yang kecil. Apakah kecapi ini berasal dari sorga atau neraka. apakah bedanya? Yang penting, bagaimana kita bisa mendayagunakan kecapi ini untuk ketenteraman hidup ummat manusia.
- Benar. -sahut Yudapati dengan bersemangat. Lalu ia mengeluarkan bulu kuda dan kitab petunjuknya.
- Aha . . . pantas engkau hanya memotong ekornya. Kiranya bulunyalah yang adik kehendaki.
Tepus Rumput tertawa terbahak-bahak.
- Sekarang, hayo bukalah kitab petunjuknya!
- Bukankah kakak dapat ikut serta mempelajari?
- Aku? Betapa mungkin! ujar Tepus Rumput dengan sungguh-sungguh.
- Himpunan tenaga saktiku tidak mencukupi. Seumpama mulai hari ini aku bernafsu untuk menghimpun tenaga sakti yang diperlukan, kurasa sudah kasep juga. Tulang-belulangku sudah keropos.
Lambat-laun Yudapati mulai berkenan terhadap lagaklagu Tepus Rumput yang kasar. Sebab di balik kekasarannya, mencuat rasa kejujuran dan ketulusan hati. Ia jadi terharu dan segera menekuni tiap kalimat yang terdapat dalam kitab petunjuknya. Tetapi ternyata tidak mudah. Tepus Rumput mencoba memecahkan deretan angka yang merupakan teka-teki. Setelah saling berdebat dan bertukar pikiran. akhirnya Yudapati menyetujui pendapat Tepus Rumput untuk memainkannya.
- Dalam hal ilmu musik. aku memang tolol. Memang aku orang kasar. -ujar Tepus Rumput.
- Tetapi bukankah
angka-angka ini adalah tangga nada?
- Kakak benar. Biarlah kucobanya. Akan tetapi kalau aku sudah dapat menguasainya, apakah masih perlu menghadap orang sakti itu? - Tentu saja. sahut Tepus Rumput cepat.
- Ilmu Pemutus Jiwa berguna untuk mempengaruhi daya sakti seseorang. Kesaktiannya makin terasa dalam suatu pertempuran merebut pengaruh. Tetapi bukan dipergunakan untuk mengadu kepandaian asli.
Yudapati memahami maksud Tepus Rumput. Selagi ia menyusun bulu ekor kuda menjadi alat penggesek, Tepus Rumput minta diri. Katanya:
- Kurasa lebih tepat bila kau lakukan sendiri. Sebab setiap orang mempunyai daya penggarapan sendiri. daya tafsir sendiri dan daya cipta sendiri. Keikut-sertaanku bahkan akan mengacaukan penemuanmu. Biarlah aku mencuri daging kuda dulu. Sebab kurasa tidak cukup sehari dua hari untuk memahami rahasianya. - Tunggulah barang sebentar. Biar kugeseknya dulu. Mungkin kakak bisa memberi petunjuk-petunjuk.
Yudapati memohon.
Segera ia mementangkan penggeseknya dengan tenaga sakti tertinggi. Seketika itu juga,benang-benang bulu ekor kuda terpentang kencang bagaikan kawat baja. Lalu hati hati ia meletakkan di atas lima dawainya. Sampai di sini, Yudapati ragu-ragu.Ia takut akan merantaskan dawainya. Pikirnya,
- bulu ekor kuda mudah dicari. tetapi bila dawai kecapi ini yang rantas, di mana aku harus mencari gantinya?
Pada saat itu, tiba-tiba ia mendengar Tepus Rumput membentak:
- Hei adik! Mengapa tanganmu bergemetaran?
- Aku takut merantaskan dawai kecapi. sahut Yudapati dengan peluh dingin. '
- Siapa yang menyuruhmu menggesekkan bulu ekor kuda itu? Aku pun bisa berbuat begitu. Bukankah bulu ekor kuda itu hanya merupakan jembatan penghubung himpunan tenaga saktimu belaka? Bukankah begitu makna tulisan dalam kitab itu?
Mendengar kata-kata Tepus Rumput. pikiran Yudapati seperti terbuka.
- Ah, benar! Kalau begitu. apa yang harus kulakukan?
Selagi berpikir demikian. Tepus Rumput membentak lagi:
- Nyanyilah dalam hatimu! Mustahil engkau tidak dapat membaca tangga nada yang tertulis. Justru Tepus Rumput memberi petunjuk demikian, Yudapati menarik himpunan tenaga saktinya kembali. Menyahut:
- Kalau begitu, aku harus mengenal bunyi nada dawainya yang berjumlah lima.
- Hm.
Tepus Rumput menimbang-nimbang.
-Kurasa tiada salahnya. Coba, aku pun ingin mendengarkan. Dengan mengendorkan rentangan tangannya. ia mulai menggesek. Setelah beberapa kali diulangi, mulailah ia bisa menyanyikan lagunya. Lalu berlatih menyanyi di dalam hati. Merasa dirinya sudah dapat menyanyi di dalam hati, segera ia berkata:
- Kakak, berilah restumu! Aku akan mencoba menyanyi di dalam hati. - Bagus! Mulailah!-- sambut Tepus Rumput gembira.
Yudapati kemudian mengerahkan himpunan tenaga saktinya yang tertinggi. Itulah jurus-jurus berukir yang agaknya cocok untuk disalurkan melalui lika-liku tangga nada. Benar saja. Begitu penggeseknya menyentuh permukaan dawai dengan tangga nada yang sederhana. tiba tiba goa itu terasa terguncang sampai Tepus Rumput mundur dengan wajah berubah.
- Hai! Masakan sedahsyat ini? ia tak percaya.
- Coba berhenti dulu. Kita tunggu beberapa waktu. Mungkin sekali suatu gempa bumi yang datangnya berbareng dengan sentuhan tanganmu. Yudapati mengangguk. Setelah menunggu beberapa waktu lamanya,ia mulai lagi dengan persetujuan Tepus Rumput. Dan begitu penggeseknya menyentuh permukaan dawai. kembali lagi terjadi goncangan.
- Adik. teruskan! Teruskan sampai selesai! -teriak Tepus Rumput dengan bersemangat.
Benar-benar Yudapati meneruskan bunyi lagu yang sederhana itu sampai selesai. Tetapi hebat akibatnya. Sekarang goa tidak hanya terguncang, namun dindingnya merekah dan rontok. Menyaksikan hal itu, betapapun juga timbul rasa takut dalam lubuk hati Tepus Rumput.
- Sudah, sudah! Berhenti! teriaknya.
- Ah, benar benar mempunyai daya sakti yang mempengaruhi kecongkakan hati. Hm. selama hidupku baru kali ini aku merasa takut. Takut apa? Entahlah. Adik, apapun akibatnya, engkau berhasil menyelami maknanya. Yudapati sendiri sebenarnya berdebar-debar pula hatinya. Namun anehnya, ia seperti memperoleh semangat daya juang yang tidak kunjung habis. Rasanya ia ingin memainkan lagi. memainkan lagi, memainkan lagi. Tetapi melihat wajah Tepus Rumput yang menjadi pucat lesi, ia segera menguasai pergolakan hatinya.
Selagi demikian,sekonyong-konyong terdengar langkah kaki dari dalam goa. Goa itu ternyata berbentuk memanjang dan menanjak. Pada waktu itu kabut kebal yang meliputi hilang sirna begitu saja oleh daya nada kecapi Pemutus jiwa. Apa yang berada dalam goa itu nampak dengan jelas. Dan dari tanjakan sana muncullah tiga orang laki
laki berjubah putih. Tiga laki-laki berusia lanjut yang datang dengan langkah tergopoh-gopoh. Berbareng mereka berseru marah:
- Bagaimana mungkin lagu itu kau petik pada waktu sembarangan? Engkau bisa menghancurkan semuanya . . . - Ohoooo . . .
Tepus Rumput tertawa terbahak bahak sambil menuding.
- Kalian hanya pandai mengomel seperti kawanan perempuan bawel. Bukankah kalian sendiri yang menciptakan nada sakti ini? Hai. adik! Berilah hormatmu! Merekalah yang kau sebut-sebut sebagai Tiga Dewa. Merekalah Anggira. Balitung dan Ganesa.
Selamanya Yudapati pandai membawa diri. Begitu mendengar keterangan siapakah mereka. segera ia berdiri tegak. Lalu membungkuk hormat dengan sepenuh hati. Katanya pula:
- Dengan ini aku menghaturkan sembah Pamasih kepada Guru Besar . . .
- Sudahlah. sudahlah! Kau mau ambil hati yang mana? tegor yang berada di depan.
Dialah Ganesa yang diiringkan Anggira dan Balitung.
- Bagaimana pendapatmu? Bocah ini sudah betul atau belum caranya memukul lagu? - Apanya yang betul? sahut Anggira uring-uringan.
- Hei. hei! Tentu saja kepalanya bukan kepalamu. Kau sudah botak, dia belum. Bagaimana bisa sama? Balitung tidak setuju.
Tetapi Ganesa segera menengahi. Katanya:
- Botak atau berambut. bukankah sama isinya?
Ketiga orang itu kemudian berdebat dengan serunya. Masing-masing tidak mau mengalah. Ganesa kemudian mencorat coret angka-angka tertentu di atas tanah yang segera dihapus Anggira dengan kakinya. Sebaliknya Balitung buru-buru meludahi kaki Anggira yang dianggapnya kurang
ajar. Dan menyaksikan lagak-lagu dan tingkah laku mereka bertiga, mau tak mau Yudapati tersenyum di dalam hati. Sebaliknya tidak demikianlah halnya Tepus Rumput. Rupanya dia berkedudukan setingkat dengan mereka bertiga dan sudah lama bergaul. Dengan wajah merah padam. ia memaki:
- Hai babi kurang makan! Kalau kalian mau bertempur. marilah bertempur melawan aku!
- Siapa sudi bertempur melawanmu?
Ganesa tersinggung,
- Kau mempunyai kepandaian apa sih? - Aku pandai memanggang babi.
- Ho...babi yang mana?
- Babi yang kurang makan.
- Hooo . . . -mereka saling pandang.
Tiba-tiba saja air matanya menerocos keluar membasahi kedua belah pipinya masing-masing. Lalu menangis meraung-raung minta dikasihani.
Yudapati jadi kebingungan. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami peristiwa demikian. Memang baik Rajah Kusambi maupun Tepus Rumput sendiri menyebut ketiga dewa itu manusia aneh. Akan tetapi tidak pernah terbayang dalam benaknya, bahwa mereka begitu mudah menangis. Yudapati tidak tahu, bahwa mereka merasa dirinya manusia terpandai di seluruh jagat raya. Sekarang Tepus Rumput mengumpatnya sebagai babi kurang makan.
Bukankah bermaksud mengatakan bahwa ilmu kepandaiannya masih perlu ditingkatkan?
Demikianlah jalan pikiran mereka bertiga.
Sebaliknya wajah Tepus Rumput tidak berubah. Ia masih memperlihatkan rasa marahnya. Berkata setengah membentak lagi:
- Nah. kalau kalian bukan babi kurang makan, bawalah bocah ini serta. Kau ajari dia. agar menjadi babi
gemuk.
- Oh, bagus! Bagus! mereka berseru gembira.
Dan tiba-tiba saja mereka tidak menangis lagi. Bahkan wajahnya nampak berseri-seri gembira. Dengan berbareng ia menyambar lengan Yudapati seraya berkata mengajak:
- Hayo berangkat! Bawalah itu serta. Akan kuajari engkau menyanyikan lagu babi, katak. ular, anjing budak dan itik beringsut. Yang dimaksudkan dengan istilah itu, adalah kecapi dengan penggeseknya. Tepus Rumput segera mengedipkan matanya agar mengikuti Kepada mereka bertiga ia berkata:
- Awas kalau kalian tidak pandai mengajar. Kalian akan pantas menjadi babi panggang. Nah. aku akan datang membawa permainan baru dan daging kuda mentah. Tetapi mereka tidak mengacuhkan lagi ucapan Tepus Rumput. Mereka bertengkar lagi dari tempat ke tempat. Yudapati sendiri, segera mengikuti mereka mendaki tanjakan. Pada belokan yang pertama ia menoleh dan melihat Tepus Rumput melambaikan tangannya dengan tersenyum lebar.
Jalan yang diambah terus menanjak tiada hentinya. Jalannya berbelok-belok pula. Akan tetapi hawanya terasa nyaman dan ringan. Yudapati tidak dapat memperoleh kiblat. Entah menuju ke timur, barat. selatan atau utara. Namun dengan diam-diam ia menirukan cara Tepus Rumput menyimpan sesuatu dalam ingatannya. Ia menghitung setiap belokan dan setiap langkahnya. Setelah tiba pada tujuannya, jumlah belokan 47 kali dan tangga tanjakan berjumlah 672 buah. Menilik bentuknya, meskipun kasar dan tidak terpelihara, namun menunjukkan bahwa tempat niscaya sudah lama dihuni orang. Dan jumlah langkah 1407. Dengan begitu, tiap tanjakan tidak mesti harus dalam dua langkah. Kadangkala memerlukan tiga langkah atau
dua setengah langkah.
Perjalanan berakhir pada sebuah ruang goa yang cukup lebar. Malah terlalu lebar bila hanya dihuni tiga orang. Mungkin dua ratus orang pun dapat tidur dengan leluasa. Di dalam ruang itu terdapat beberapa peralatan. Semuanya terbuat dari tanah liat yang keras. Tentunya merupakan perabot rumah tangga ketiga orang itu. Dan begitu tiba di tempat itu. Anggira. Balitung dan Ganesa berputar berbareng mengamati Yudapati dengan seksama.
- Anak. mengapa engkau bisa membunyikan kecapi kami? tegur sapa Anggira dengan wajah kaku.
Yudapati tadi sempat memperoleh kesan lagak-lagu dan sepak terjang mereka bertiga. Maka segera ia menyesuaikan diri. Jawabnya dengan sikap acuh tak acuh:
- Karena mempunyai dua tangan.
Anggira kemudian menoleh kepada dua rekannya:
- E, betul tidak jawabannya? - Kurang tepat. ujar Balitung.
- Mengapa kurang tepat? - Mestinya karena mempunyai jari-jari tangan. Sebab meskipun mempunyai dua-tangan kalau tidak mempunyai jari-jari,tidak mungkin dapat menggesek kecapi.
Anggira memanggut-manggut mendengarkan alasan Balitung. Di luar dugaan, Ganesa tidak setuju. Katanya:
- Salah. salah.
- Eh, apanya yang salah?
Balitung dan Anggira terkejut.
- Mestinya. karena mempunyai perasaan. Kalau tidak mempunyai perasaan, bagaimana bisa menggesek suatu nada?
- Kalau begitu perlu mempunyai telinga. -ujar Anggira.
- Dan harus dua.
Anggira menimbrung.
- Tetapi tidak boleh tuli. Ganesa membetulkan.
Dan ketiga orang itu jadi berdebat berkepanjangan. Yudapati memperhatikan beberapa saat lamanya. Ternyata debat itu tiada berkeputusan. Mereka selalu saling menambah dan mempertahankan pendapatnya. Pikirnya.
- agaknya tidak boleh aku memberi kesempatan mereka untuk berbicara. Biarlah kugeseknya saja.
Dengan keputusan itu, ia mulai duduk bersila'sambil merentangkan alat penggeseknya yang istimewa. Memang semuanya serba istimewa dan aneh seperti penciptanya ialah mereka bertiga. Kecapi mestinya harus dipetik. Tetapi tata aturnya ternyata tidak demikian. Bila dipetik dengan tenaga sakti pasti akan putus atau tuntas. Bahkan menggesek pun harus berhati-hati pula.
Demikianlah. Yudapati mulai menggesek lagu yang pertama. Akibatnya seperti sebentar tadi. Mereka bertiga terkejut dan buru-buru memaki-maki dan mencela. Tetapi masing-masing mempunyai pendapatnya sendiri. Akibatnya mereka jadi berdebat berkepanjangan tanpa ujung pangkal lagi.
Yudapati tidak menghiraukan keadaan mereka. Ia maju ke lagu yang kedua. Deretan lagunya masih mudah dipahami. Demikian pula, nada yang ketiga dan keempat. Tetapi mulai nada yang kelima, mulailah terdapat tangga nada yang harus digesek berbareng. Mulailah ia mengerti apa makna kawat kecapi itu berjumlah lima. Namun akibatnya bukan main. Sekarang tidak hanya menggempur yang sarwa benda saja. Hawa dan angin berputaran saling mengendapkan. Kadang-kadang terasa panas dan tiba-tiba menjadi dingin. Dan sewaktu meningkat pada lagu yang keenam. kecapinya terlumuri butiran-butiran es. Juga seluruh dinding goa itu dan ketiga penciptanya.
Tentu saja. Yudapati menyadari apa penyebabnya.
Ia jadi makin tertarik menekuni ilmu kecapi yang aneh dan istimewa itu. Kalau saja ia tidak bertemu Pamasih dan mewarisi kecapi itu. tidakkan pernah terlintas dalam benaknya bahwa di dunia ini terdapat suatu rumpunan himpunan tangga nada tertentu 'yang mempunyai daya kekuatan dahsyat semacam tenaga gaib. Goa gunung itu entah berapa meter tebalnya. Akan tetapi terpukul daya tangga nada yang mendaki tinggi, seketika retak-retak bagaikan dinding sebuah rumah kuno yang bisa roboh terbelah pada sembarang waktu.
Tetapi kini ia menghadapi kumpulan nada yang tidak kurang aneh sifatnya. Nada aneh itu terdapat pada lembaran kitab halaman tiga. Yang pertama, tersusun deret tiga. Terdiri dari angka: 4 9-2-. 3-5-7 dan 8-1-6.
Masakan di dunia ini terdapat tangga nada 8 dan 9?
Apakah maksudnya?
Dan yang kedua disusun seperti bentuk salib yang sama tingginya. Dari deret samping terdapat angka: 5-8-6 dan 3 1-4. Yang tersusun vertikal -(dari atas ke baWah) 2-8-1 dan 7. Kemudian terdapat garis-garis yang saling menerjang.
Apakah makna garis-garis ini?
Mengapa saling menerjang?
Dan yang ketiga, adalah susunan garis lima seperti jumlah dawai kecapi. Jumlah angka-angka baik dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah, masing masing beijumlah: 21. Hm, lalu bagaimana cara membunyikannya, pikir Yudapati.
- Padahal mereka bertiga nampaknya tidak dapat diharapkan keterangannya. Karena itu,ia meletakkan alat penggeseknya dan duduk dengan berdiam diri.
- Hai. hai, hai! tegur mereka saling berebut.
- Mengapa berhenti? Mengapa berhenti? mereka menggaruk-garuk kepalanya.
Yudapati tidak menjawab. Ia bahkan memejamkan kedua matanya. Nampak demikian mereka jadi kaget.
Setelah saling pandang, mereka berebutan menghampiri Yudapati memeriksa keadaan tubuh pemuda itu. Ternyata tiada sesuatu yang menyimpang. Itulah sebabnya mereka heran, mengapa Yudapati tidak sudi menjawab tegurannya.
- Hai. anak muda! Mengapa berhenti? mereka menegur lagi.
Yudapati tersenyum berbareng membuka kedua matanya pelahan-lahan. Lalu menunjuk deretan susunan angka yang tidak dimengerti. Tetapi mereka bertiga seolah olah tidak menghiraukan. Setengah memaksa mereka berseru:
- Gesek! Gesek! Gesek!
Yudapati memang mempunyai pembawaan istimewa. Ia dapat membawa diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Jelas bahwa ketiga orang tua itu berwatak angin anginan. Tidak dapat ia mengharapkan petunjuk sesuatu. Segera ia memungut alat geseknya. Lalu menggesek dawai kecapi dengan serabutan dari kiri ke kanan atau sebaliknya.
- Hai, hai, hai! Kau menggesek kecapi atau lagi menggosok sepatu? tegur Ganesa.
- Kalau tidak boleh menggosok, lalu bagaimana?
Anggira membantu kesukaran Yudapati. Rupanya, Ganesalah yang mencipta susunan tangga nada itu.
- Bukankah orang bisa menggesek miring pula? Masakan mesti harus lempeng? '
- Nanti dulu! Balitung menimbrung.
- Berbicara tentang lempeng, garis manakah yang kau maksudkan? Dari mana ke mana?
- Ah, tentunya dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Pokoknya lurus. ujar Anggira.
- Yang perlu dijelaskan, mengapa harus berjumlah lima belas? Empat, sembilan dan dua. bukankah berjumlah lima belas? Tiga, lima. tujuh. bukankah berjumlah lima belas? Delapan, satu dan enam, bukankah berjumlah lima belas?
- Jumlah. jumlah. jumlah! Ini bukan ilmu hitung! Ganesa uring-uringan, Kalau hanya menjumlah. siapapun dapat. Kedua temannya menggaruk-garuk kepalanya. Yudapati mengawaskan mereka,lambat-laun ia mulai memahami lagak-lagu mereka. Mereka saling berdebat dan saling mengecam. Akan tetapi nampaknya bermaksud lain. Secara tidak langsung, mereka memberi petunjuk-petunjuk padanya. Jelas sekali. mereka ikut berkepentingan pula. Buktinya, manakala ia meletakkan penggeseknya, mereka jadi ribut dan gelisah. Memperoleh pengertian demikian. segera ia menggesek diagonal (sudut miring). Akan tetapi, ia terbentur pada kode angka 8 dan sembilan. Padahal tangga nada hanya berjumlah tujuh.
- Mereka berdebat perkara jumlah. Tetapi bukan ilmu hitung. -pikir Yudapati.
- Apakah harus kukurangi dengan jumlah tangga nada?
Dengan demikian angka 8 berarti satu. Angka sembilan berarti nada 2. Segera ia mencoba. Di luar dugaan, mereka bertiga memaki-maki. Ujar Ganesa:
- Orang buta, memang tidak tahu jalan simpang. - E, jangan lagi jalan simpang. Katakan saja, tidak tahu jalan.
Balitung membantu menguatkan.
- Kau maksudkan garis-garis yang malang melintang ini?
Anggira tertawa tanpa alasan.
- Hei, kau mentertawakan ciptaanku?
Ganesa tidak senang.
- Bukan begitu. Garis garis yang malang melintang ini seperti kelelawar mencicit. -.
- Benar. Kelelawar memanggil pacarnya. Balitung menguatkan. Dan dia pun tertawa terbahak-bahak.
- Masakan hanya kelelawar yang bisa pacaran?
Ganesa memberengut.
- Ikan lumba-lumba pun bisa.
Bahkan bisa memanggil sampai sejauh 20 kilometer. Padahal berada di tengah air.
Yudapati memperhatikan intipati perdebatan dan pertengkaran mereka yang terus disambung dengan saling mengecam yang tidak berujung pangkal.
- Mereka membicarakan tentang tingkatan tangga nada kelelawar dan ikan Lumba-lumba. Apakah maksudnya?
Ia mencoba mengingat ingat bunyi cicit kelelawar. lalu menggesek dawai yang berukuran tipis dan pendek. Empat lima kali ia mencoba menyesuaikan. Masih saja terasa kurang tinggi. Sebenarnya itulah yang dinamakan oktaf. Tangga nada dari 1 sampai 7, adalah satu oktaf. Naik lagi dari 1 titik atas sampai 7 titik atas, dinamakan dua oktaf. Dan dalam mencari suara oktaf cicit kelelawar. Yudapati sampai pada tingkat oktaf kelima. Bisa dibayangkan, bahwa kelima dawainya tidak sampai ke oktaf tersebut. Ia berhenti berpikir.
- Bagaimana kalau jumlah bulu kuda dikurangi?
Menilik cara berpikir Yudapati dan tangga nada ciptaan ketiga dewa itu membuktikan bahwa aliran Pythagoras sudah terserap di kawasan Nusantara. Memang Pythagoras hidup kira-kira dalam tahun 580 sebelum Masehi. Dan bukan mustahil setelah melampaui masa ratusan tahun, hadir pula di tengah-tengah masyarakat kerajaan Nusantara. Tentu saja masyarakat yang tergolong cendekiawan. Menurut Pythagoras, hidup di dunia ini adalah persediaan untuk akhirat. Sebab semuanya harus dimulai dari sini untuk hari kemudian di akhirat. Karena itu, berlagu dengan musik adalah juga sebuah jalan untuk membersihkan roh.
Ganesa. Anggira dan Balitung yakin bahwa dengan tingkatan tangga nada-tangga nada tertentu, akan dapat menggempur ilmu hitam betapa kuat pun.
Secara kebetulan. Yudapati seorang pemuda yang berhati lurus dan bersih. Lurus, karena ilmu kepandaian
yang dimiliki bersumber pada Agama yang benar. Bersih, karena dia belum pernah berkenalan dengan dunia cinta asmara. Dengan modal itu, nalurinya seperti terbimbing oleh uluran tangan gaib. Ilham-ilham yang merasuk dalam dirinya selalu berada pada jalan yang benar. Tinggal penelaahannya dan pentafsirannya. Sekarang ia mulai mengurangi jumlah bulu penggeseknya, sedikit demi sedikit. Setiap kali mengurangi jumlah bulu penggeseknya, ia meletakkannya di atas tanah. Entah berapa jam ia berkutat menemukan tangga nada yang dikehendaki. Tahu-tahu dalam ruang goa itu. sunyi-senyap. Ia terhentak oleh suasana sunyi itu. Sewaktu memutarkan pandang matanya, dilihatnya ketiga dewa itu sudah tidur mendengkur saling bersandar.
- Apakah sudah terlalu malam? ia menebak-nebak.
Tiba-tiba ia mendengar suara tegur sapa yang ramah:
- Adik, apakah aku boleh masuk?
Yudapati menoleh dan melihat Tepus Rumput berdiri tak ubah patung di depan mulut goa.
- Hai, mengapa tidak? ia menyambut dengan luapan gembira.
- Silakan! Tunggu apa lagi?
- Tetapi aku tidak dapat masuk. ujar Tepus Rumput.
- Mengapa?
- Apakah . . . apakah . . . ini, yang kau maksudkan dengan istilah jurus tanaman?
Tepus Rumput minta keterangan dengan tergagap-gagap.
- Jurus Tanaman?
Yudapati terperanjat. Ia tidak merasa menanamkan jurus. Menegas:
- Sama sekali aku tidak berbuat demikian.
- Tetapi mengapa aku tidak dapat bergerak? Aku merasa seperti terhalang suatu tembok tebal yang tidak kelihatan. Adik, apakah engkau sudah berhasil? sahut Tepus Rumput dengan wajah berseri-seri.
Ucapan Tepus Rumput menyadarkan Yudapati. Kalau begitu bunyi nada yang dibunyikan tadi membawa jurus tanaman yang tidak kelihatan, pikir Yudapati.
- Ah, hebat! Terlalu hebat. malah. Segera ia duduk kembali dan mencoba membubarkan daya pengaruh yang tidak nampak itu dengan memilih nada-nada yang terdapat garis corat-coret. Mungkin itulah kode penghapus semua daya kekuatan yang berbekal nafsu lahiriah. Benar saja. Tepus Rumput mendadak saja seperti terjungkal masuk di dalam ruang goa dengan membawa beban berat. Dia sendiri memang sedang memanggul empat paha kuda di atas kedua pundaknya. Tak mengherankan. hampir saja ia jatuh menggabruk tanah kalau saja tidak cepat-cepat menahan berat badannya dengan keempat paha di atas pundaknya.
- Adik! Bagus! Aku menyerah. Kesaktian bunyi lagu itu benar-benar berada jauh di atas ilmu kepandaianku. seru Tepus Rumput.
- Berilah aku kesempatan bersemedi untuk menghimpun tenaga saktiku yang mencuat keluar.
Setelah berseru demikian, ia membanting keempat paha kuda di atas lantai. lalu duduk bersemadi beberapa waktu lamanya. Manakala merasa sudah pulih kembali, segera ia meletik bangun sambil berkata kagum:
- Adik, kau pasti sudah berhasil. Sayangnya. aku tidak dapat memenuhi janjimu. Belum dapat aku membawa jenasah Pataliputra kemari.
- Apakah kakak mendapat kesukaran?
Yudapati minta keterangan.
- Kesukaran sih, tidak. Aku sudah tahu tempatnya. Sewaktu-waktu masih dapat kuambil. Pada saat ini kupikir daging kuda inilah yang paling penting. Bukankah engkau perlu makan dan minum. Nah. aku pun membawa pulang empat guci arak pula.
Yudapati tidak perlu menanyakan dari mana dia memperoleh semuanya itu. Bagi dia soal curi-mencuri atau rampas-merampas,bukan merupakan masalah yang perlu dipertimbangkan berkepanjangan. Apalagi kini ia berada di tengah wilayah musuh. Semua sepak-terjang dan pekertinya jadi halal.
- Biarlah aku yang mengatur makan-minummu. Kalau belum lelah, lanjutkan latihanmu. ujar Tepus Rumput.
Orang tua itu tidak menunggu persetujuan Yudapati. Segera ia membuat api perdiangan dan menguliti paha kuda. Kemudian memanggangnya. Kali ini dilumuri dengan minyak kelapa dan lemak, sehingga bau harum menguat memenuhi ruang goa.
- Hai. hai. hai! Bau apa ini? ketiga dewa itu berebutan bangun.
Kemudian dengan berbareng pula, mereka mengerumuni panggang kuda dengan mulut berliur.
- Hai, ini paha kuda perempuan atau laki-laki?
- Aku bilang. pasti paha kuda jantan. ujar Balitung
- Salah-salah. tegur Anggira.
- Mengapa salah?
- Di dunia tidak ada kuda perempuan dan laki-laki. Yang ada betina atau jantan. - Tetapi aku tadi bilang kuda jantan. kan?
Balitung tidak mau mengalah.
- Juga tetap salah.
- Mengapa salah?
- Kuda jantan tidak mempunyai lemak.
- Belum tentu! Belum tentu! -.
Ganesa yang belum memperoleh kesempatan membuka mulutnya, ikut menimbrung:
Fear Street Terperangkap Trapped Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Dating With The Dark Karya Shanty Agatha

Cari Blog Ini