Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 21

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 21


- Kalian tidak akan dapat mengira-ngira dengan tepat sebelum mencicipi dagingnya. Kalau empuk tentunya betina. Kalau keras. tentunya jantan.
- Belum tentu! Belum tentu! lagi-lagi Balitung
mempertahankan pendiriannya.
- Kalau begitu kita periksa paha itu yang belum dikuliti. -ajak Anggira.
Ketiga orang itu kemudian menghampiri paha kuda yang masih berkulit dan berdebat berkepanjangan seperti biasanya. Tepus Rumput rupanya sudah mengenal lagaklagu mereka. Sama sekali ia tidak menghiraukan mereka berebut benar. Ia lebih memusatkan perhatiannya kepada paha kuda yang sedang dipanggangnya.
Aneh. adalah Yudapati. Begitu hidungnya menyerap bau harum. seluruh anggauta badannya terasa lesu lelah. Itulah akibat latihannya yang terus-menerus selama hampir 18 jam lamanya. Tahu-tahu, ia sudah tertidur nyenyak. Ia bangun kembali,tatkala mendengar bunyi pertengkaran ketiga dewa itu yang lantang dan seru. Kata Balitung:
- Aku tak percaya, bahwa bocah ini bisa merobohkan Punta Dewakarma dengan kecapimu.
- Mengapa tidak? Dinding goa retak dibuatnya. Apalagi manusia yang terdiri dari darah daging.
Ganesa mempertahankan diri.
- Apakah dapat menghancurkan kapuk randu, misalnya.
Anggira minta keterangan sambil menggeragoti daging paha yang terbakar nyaman.
- Apalagi kapuk. Yang tidak nampak pun terpukul pula. - jawab Ganesa.
- Bagus! Tetapi bocah ini masih kurang satu halaman. Nampaknya dia menemukan kesukaran. .ujar Balitung.
- Taruh kata begitu,dengan berbekal yang sudah difahami, cukup sudah untuk mengalahkan siapapun termasuk Punta Dewakarma.
- Belum tentu! Belum tentu! -teriak Balitung sambil mengobat-abitkan potongan daging kuda.
- Hei. hei, hei! tegur Tepus Rumput.
- Apakah
kalian bermaksud membangunkan dia. padahal sedang mengembalikan tenaganya?
- Belum tentu! Belum tentu! Belum tentu!
Balitung mengotot.
Tetapi pada saat itu, Yudapati benar-benar sudah bangun. Sambil mengiakan tawaran Tepus Rumput agar makan daging panggangnya, perhatiannya terpancang pada nama Punta Dewakarma.
Bukankah mereka sedang membicarakan paman gurunya?
Apakah hubungannya dengan ilmu Pemutus Jiwa yang sedang dipelajarinya?
Namun ia tidak membuka mulutnya. Sambil mengunyah daging paha kuda yang ternyata lezat, ia memperhatikan wajah ketiga dewa itu. Ia mencoba menyelami makna pembicaraan mereka. Sebab meskipun terdengarnya konyol, namun mengandung pengarahan tertentu.
- Punta Dewakarma. pikir Yudapati di dalam hatinya.
- Memang menurut guru, kesaktian paman Dewakarma melebihi guru sendiri. Karena itu, paman sangat bernafsu ikut serta mencampuri pemerintahan negara.
- Bocah ini menyebalkan. ujar Ganesa.
- Masakan mencari tangga rumpun nada kelima tidak bisa? Karena itu. kutinggal tidur pulas. - Belum tentu! Belum tentu!
Balitung membantah.
- Apanya yang belum tentu? - Buktinya kau bangun lagi begitu mencium bau harum.
Anggira tertawa melalui hidungnya. Berkata:
- Ganesa mau menang-menangan sendiri. Apa sih susahnya mencari rumpun nada tingkat lima.
- Apakah kau bisa?
Ganesa mendengus.
- Mengapa tidak? Lihat. dawainya berjumlah liim. Nah. aku akan menggunakan bulu lima helai pula. Bukankah begitu? "
- Belum tentu, belum tentu! tungkas Balitung
- Apanya yang belum tentu?
- Kalau bulunya sama panjang. kemampuannya terbatas. Kalau dipendekkan, nah barulah sempurna. Karena kau akan bisa mencapai rumpun nada yang melampaui lima. Mungkin sampai sebelas pun. bisa.
- Gila! Apakah kau hendak meruntuhkan langit? bentak Ganesa. Kali ini Balitung tidak bersitegang dengan "belum tentunya". Tetapi ia menjulurkan lidahnya sambil menjilat jilat rasa garam yang terekam dalam daging bakarnya.
Mendengar kata-kata mereka bertiga, Yudapati meloncat hendak menghampiri kecapinya kembali. Akan tetapi pada saat itu, Ganesa mendahului menyambar kecapi. Karena Yudapati tidak bermaksud memperebutkan, ia membiarkan kecapi Pamasih berada di tangan Ganesa.
Bukankah kecapi itu miliknya?
Tetapi di luar dugaan. tiba-tiba Ganesa melepaskan bentuk kecapinya menjadi enam bagian.
Tepus Rumput terperanjat. Setengah meloncat ia berseru:
- Hai! Mengapa kecapimu kau rusak?
- Siapa yang merusak? Ganesa heran.
- Kalau disambung bukankah dapat pulih kembali?
- Nah. sambunglah! -hardik Tepus Rumput.
- Mengapa harus aku? Bukankah kecapi ini sudah jadi miliknya? - Kalau sudah tahu miliknya. mengapa kau rusak? - Lho. kapan aku merusaknya? Lihat. bukankah masih utuh? - Benar. benar . . . masih utuh!
Anggira menimbrung.
- Kalau dipasang. bisa pulih seperti sediakala. Biarlah dia belajar memasangnya kembali.
- Belum tentu.! - sambung Balitung.
- Belum tentu apanya?
- Belum tentu dia mampu memasang kembali.
- Hi. masa tidak bisa?
Anggira menatap wajah Yudapati.
Yudapati tersenyum. ia tahu hatinya sengaja digelitik agar bangkit semangat tempurnya. Akan tetapi yang lebih berkesan dalam dirinya adalah makna yang tersimpan di balik lagak-lagu Ganesa membongkar kecapi. Ia yakin pasti bermaksud baik. Karena itu dengan membungkuk hormat. ia minta agar kecapi diserahkan kembali kepadanya.
- Kau bisa?
Ganesa menegas.
- Akan kucoba.
- Hei. hei! Kau biarkan dia memasang kecapinya kembali?
Balitung protes.
- Ah biarkan dulu! Bukankah engkau tadi menyatakan, dia belum tentu bisa memasang kembali? tungkas Anggira.
Yudapati kemudian menerima kecapinya kembali dari tangan Ganesa yang telah membongkarnya menjadi enam bagian. Setelah diperiksa dengan cermat. ternyata tiada cacatnya sama sekali. Untung ia bekas seorang perwira yang sudah terlatih membongkar dan memasang senjata. Maka soal bongkar pasang baginya bukan merupakan masalah sulit. Hanya saja, ia tidak mempunyai alat perekat (lem) kayu. Tetapi sewaktu ia mencoba merapatkan. tiba tiba terdengar suara klak. Dan kayu yang terpisah,menempel kembali. Tak usah dijelaskan lagi bahwa hal itu terjadi karena terdapat besi berani yang bersembunyi di balik suatu lipatan yang rapih. Dengan begitu kecapi itu kembali dalam waktu yang singkat.
- Bagus! Bagus!
Tepus Rumput bersorak kembali.
Yudapati sendiri tidak berhenti sampai di situ saja,
segera ia duduk bersimpuh hendak mulai berlatih. Tetapi Balitung mendepak kecapi itu ke samping sambil membentak:
- Siapa yang menyuruhmu berlatih? - Hei! -bentak Tepus Rumput.
- Bukankah dia masih harus mencari kuncinya. Mengapa kau larang?
- Apakah dia mau meruntuhkan langit?
- Meruntuhkan langit bagaimana?
Tepus Rumput tidak mengerti.
Anggira yang biasanya ikut menimbrung, kali ini membawa sikap yang mengherankan. Ia jadi penyabar dan dapat berkata dengan tenang. Katanya kepada Yudapati
- Bocah! Engkau tidak perlu mencoba-coba lagi. Kau tadi sudah mendengarkan keterangan kami. bukan? Dengan lima helai bulu ekor kuda yang dipendekkan engkau akan dapat mencapai rumpun tangga nada tertinggi. Dan bila hal itu terjadi. langit ini akan runtuh. Maka lakukanlah hal itu di luar goa agar tidak menerbitkan bencana. Sekarang bongkarlah kecapi itu kembali. Dengan begitu. engkau bisa menyimpannya di balik baju mustika pemberian Pamasih. Bahkan cukup menjadi perisai dada dan punggungmu. Tentang tangga nadanya,hafalkan saja di luar otakmu. Hafalkan pula corat-coretnya. Dan engkau sudah kami nyatakan lulus.
Yudapati menyiratkan pandang kepada Ganesa dan Balitung. Seperti Anggira sikap mereka berubah. Mereka tersenyum dengan wajah cerah. Kesan mereka agung berwibawa.
- Ah. adik! Bongkarlah kecapimu seperti perintahnya. Lalu hafalkan sisa pelajaranmu. Hayo, kita rayakan peristiwa ini dengan sisa paha kuda yang masih belum kupanggang. Tepus Rumput bersorak gembira. Dan dengan cekatan ia menguliti ketiga paha kuda sambil membesarkan
api perdiangan.
Yudapati tahu diri. Segera ia berlutut dan menyembah kepada Ganesa. Anggira dan Balitung. Akan tetapi buruburu ketiga dewa itu mencegahnya. Kata Balitung:
- Mengapa engkau menyembah kami? Kami bukan gurumu. karena engkau bukan murid kami. - Tetapi paman bertiga sudah membimbingku. potong Yudapati.
- Memang aku bukan murid paman bertiga. Meskipun demikian, kami akan mengakui paman bertiga sebagai guruku.
- Sudahlah, anggap saja ucapannya benar.
Anggira menyela.
- Apakah sudah tepat? ujar Balitung.
- Jangan rewel. Dialah yang mengakui. Apakah engkau keberatan?
Balitung menggaruk-garuk kepalanya. Berkomat-kamit lagi:
- Apakah tepat?
- Mengapa tidak? Kita bertiga disebut orang sebagai dewa. Apakah tepat? Kalau tidak. mengapa engkau tidak membantah? Nah. biar saja. Mereka bebas menganggap kita sebagai apa saja. Sekarang bocah ini menganggap kita sebagai gurunya. Apa salahnya?
- Tetapi dia hanya berkepandaian menggesek kecapi. Apakah sudah tepat menyebut kita sebagai gurunya? - Dia tidak menyebut diri sebagai murid kita. Dengan begitu kehadirannya di luar tanggung jawab kita.
- 0 begitu? kembali lagi Balitung menggaruk-garuk kepalanya.
- Kita tiada hubungan apapun dengan dia. bukan? - Tidak. Kita bertiga justru yang harus berterima kasih kepadanya. Mari kita anggap dia sebagai guru! Dengan begitu tiada hutang-piutang lagi. -usul Anggira.
- ya tepat. tepat. . tepat .
Terus saja mereka bertiga berlutut hendak bersembah. Keruan saja, Yudapati buru-buru pula mencegahnya. Serunya gugup:
- Paman sekalian! Tidak berani aku menerima sembah paman bertiga. Silakan berdiri!
- Hei! Hutangmu sudah terbayar lunas. Masakan kalian tidak mau berdiri?
Tepus Rumput membantu menguatkan pernyataan Yudapati.
Mendengar ucapan Tepus Rumput, segera mereka bertiga berdiri tegak. Berbareng mereka berkata:
- Benar. Lebih baik kau dan kami menjadi sahabat seia sekata. Apakah engkau keberatan? - Mengapa keberatan?
Yudapati heran.
- Kami adalah kaum Pasupata. ujar Ganesa.
- Aku sudah tahu. - Tentunya dari muridku, bukan?
- Paman maksudkan Pamasih?
- He-eh. sahut Ganesa.
- Dia muridku pula. Masakan aku tidak kau akui sebagai gurunya pula? Balitung protes.
- Aku pun gurunya.
Anggira menimbrung.
- Baik, baik. baik.
Ganesa kali ini mau mengalah.
- Pamasih adalah murid kami bertiga. Dia sudah melaksanakan pesan kami dengan baik dan tepat. Itulah sebabnya, pamanmu Anggira tahu pula tentang baju mustika pemberian Pamasih. Sekarang. bawalah kecapi itu kemari! Akan kuajari caranya membongkar.
Yudapati memungut kecapi itu dan diangsurkan kepada Ganesa. Akan tetapi Ganesa menolak. Katanya:
- Kau pegang saja! Sekarang. dengarkan keteranganku. Bahan kerangka kecapi itu. terlalu lembek. Katakan saja. mudah patah. Karena itu, engkau tidak boleh menggunakan
tenaga saktimu bila hendak membongkarnya. Sebaliknya, dawainya akan mudah rantas bila dipetik atau digesek dengan tenaga lumrah. Juga akan putus. manakala kena sentuh tenaga sakti yang tanggung. Meskipun demikian. baik kayu maupun dawainya akan aman bila tersimpan atau terbungkus dengan baju mustika pemberian Pamasih. Tetapi bila kau simpan utuh saja. meskipun berukuran kecil akan cepat menimbulkan kecurigaan orang. Bukankah akan nampak menonjol di dadamu? Sebaliknya bila kau bongkar, dan kau simpan di balik baju mustika. akan merupakan perisai yang ampuh. Nah. cobalah!
Yudapati segera menarik kembali seluruh himpunan tenaga saktinya lalu menarik sisi kerangka kecapi.Ternyata mudah lepas. Dengan begitu. membongkarnya tidak usah memerlukan waktu lama. Meskipun demikian,andaikata tanpa petunjuk penciptanya. pasti akan patah menjadi beberapa bagian. Dan di dunia ini tiada lagi penggantinya.
- Bagus! Sekarang simpanlah sepapan demi sepapan di balik baju mustikamu! perintah Ganesa.
Terpaksalah Yudapati meletakkan sarung golok Pataliputra, pedang dan bungkusan perbekalannya di atas tanah. Dan barulah ia menyisipkan papan kerangka kecapi di balik baju mustika. Benar saja. Dadanya kini terlindung rapat. - Tetapi bagaimana bila dadaku tergempur lawan? - ia mencoba minta keterangan.
- Dengan kepandaianmu ini hanya orang-orang sakti yang mungkin sempat menggempur dadamu. Kebetulan. malah, Karena dia tentunya memiliki tenaga sakti. maka himpunan tenaga saktinya akan terhisap oleh manunggalnya sifat bahan kerangka kecapi dan hawa baju mustika yang kau kenakan.
Ganesa memberi keterangan.
- Sekarang giliranku. -potong Balitung bernafsu.
- Masakan mau kau borong semua? Aku akan bercerita tentang kitab petunjuknya. Kitab itu akan segera kumusnahkan. Nah. resapi. fahami dan hatalkan sampai melekat dalam ingatanmu!
- Baik.
Yudapati mengangguk.
- Eh. nanti dulu! Aku pun ingin berbicara kepadamu. -ujar Anggira.
- Berbicara mengenai ramuan obat yang tersimpan dalam botol rampasanmu. Bukankah engkau merampas sebotol ramuan obat?
- Benar. Dari mana paman tahu?
Yudapati tercengang.
- Segala macam ramuan kaum iblis, masakan tidak dapat tercium olehku?
Anggira mendengus.
- Apalagi kini terkena sentuhan hawa baju mustika.
Sekarang, Yudapati benar-benar merasa takluk akan keahlian mereka bertiga. Ramuan obat itu, dirampasnya dari kawan Langkasuta bersama dengan bungkusan perbekalannya. Dengan sekali cium saja. Anggira sudah mengetahui. Tentu saja Balitung dan Ganesa pula.
- Ramuan obat itu menjadi istimewa kini. Kunamakan saja obat perebut jiwa. Karena meskipun seseorang nyaris mati terkena racun betapa jahatpun, akan segera tertolong jiwanya Anggira menerangkan.
Yudapati memanggut-manggut dengan rasa penuh syukur. Ia yakin bahwa obat itu akan besar guna faedahnya di kemudian hari. Selagi demikian. terdengar Tepus Rumput berkata lantang:
- Adik! Aku pun mempunyai pesan pula. Setelah kau berhasil meresapkan isi kitab dan membakarnya. aku akan titip sesuatu. Sekarang. berikan golok Pataliputra itu kepadaku. Sebab esok, ia akan kubawa kemari. Yudapati tertegun sejenak.
Pataliputra akan dibawa
kemari?
Apakah ketiga dewa itu dapat merebut jiwanya kembali?
Kalau benar demikian alangkah ajaibnya!
Sebaliknya kalau Tepus Rumput bermaksud lain. apa sebab menghendaki golok Pataliputra?
Ia percaya akan kejujuran Tepus Rumput. Sebab kalau hanya ingin memiliki sebilah golok mustika, dia pun dapat merampas dari tangan lawan-lawannya. Rata-rata mereka bersenjatakan sebilah senjata mustika.
Dengan pertimbangan itu, ia mengangsurkan golok mustika Pataliputra kepada Tepus Rumput yang segera diterimanya dengan penuh hormat.
Kemudian mulailah ia menyendiri untuk meresapi dan menghafalkan isi kitab petunjuk llmu Pemutus Jiwa. Mula-mula ia menghafalkannya dengan cara menyanyi di dalam hati. Adapun nada 8 dan sembilan. dicatat saja di dalam ingatannya. Setelah itu. ia menguji diri dengan menulisnya kembali di atas lantai goa. Hal itu dilakukannya berulang kali sampai benarbenar terasa lancar. Lalu mulai mengamati garis-garisnya yang malang-melintang. Kelihatannya serabutan tetapi sesungguhnya merupakan kunci petunjuknya. Karena itu ia mengamati titik tolak tiap sudutnya dan titik akhirnya. Ukurannya dan tebal tipisnya. Lalu menulisnya kembali pada lantai goa. Setelah dicocokkan dan tiada salahnya barulah ia merasa puas.
Yudapati memang seorang pemuda yang berpembawaan cermat, saksama. tekun dan sabar. Semangat juangnya tidak pernah kendor. Makin menghadapi suatu kesulitan. makin tegar hatinya untuk berpacu. Sekarang sampailah ia pada tahap terakhir. Duduklah ia bersimpuh seperti hendak memainkan kecapi istimewanya. Kecapi yang harus digesek dengan bulu ekor kuda dan bukan dipetik seperti lazimnya. Ia menghirup udara sedikit lalu memperagakan seakan tangannya seolah-olah sedang menggesek kecapinya
dengan melalui not-notnya. Lima enam kali ia mengulangi. Dan setelah merasa sudah meresap di dalam kalbunya barulah ia memungut kitab itu dan memutarkan tubuhnya hendak menyerahkannya kembali kepada penciptanya.
Dialah Balitung yang menciptakannya. Dan menurut kehendaknya tadi harus dimusnahkan. Hal itu bisa dimengerti karena kalau sampai jatuh di tangan kaum sesat yang mengetahui daya kekuatan yang tersimpan di dalamnya, akan membahayakan ketenteraman hidup.
Tetapi mereka bertiga sudah tidur meringkaskan badannya. Wajah mereka nampak tenang damai dan puas. Yang masih membuka matanya tinggal Tepus Rumput. Orang tua itu ternyata memiliki tenaga istimewa. Tidak peduli ia baru saja berjuang mempertaruhkan nyawa dan memanggul empat paha kuda melalui jurang dan pegunungan namun ketegarannya masih utuh.
- Kakak! Kau masih bangun? -tegur Yudapati dengan terharu.
- Aku sudah kenyang tidur. Hampir sehari penuh. sahut Tepus Rumput.
- Tenagaku sudah pulih kembali.
- Apa? Satu hari penuh? Kalau begitu. apakah sekarang waktu malam?
Yudapati tercengang.
Tepus Rumput mengangguk. Katanya:
- Kau hebat, adikku. Kau sangat tekun dan berjam jam betah mempelajari dan menghafalkan not-not yang memusingkan kepala. Bahkan kulihat engkau merasuk ke dalam dunianya sampai lupa waktu. Apakah engkau sudah hafal? - Rasanya tidak hanya hafal bahkan oleh restu kakak. seperti sudah menjadi bagian hidupku sendiri.
- Bagus! Lalu apa yang hendak kau lakukan?
- Paman Balitung akan memusnahkan kitab ini. Maka .....
- Musnahkan saja
- Bukankah dia yang berhak memusnahkan!
- Sebenarnya dia bermaksud menganjurkan dan memperingatkan padamu. Jadi kau sendirilah yang harus melakukan. Bukankah kitab itu sudah menjadi milikmu? Kau bakar atau dia yang membakarnya. bukankah sama? -ujar Tepus Rumput.
- Jangan berbimbang. Akulah saksinya. Dia pun akan percaya. Sebab seumpama aku ingin memiliki, dia tahu toh tiada gunanya. Yang pertama aku belum memiliki tenaga sakti yang dibutuhkan. Kedua. kecapi Pemutus Jiwa ada padamu.
Alasan Tepus Rumput meyakinkan. namun Yudapati masih perlu menegas:
- Apakah aku harus memusnahkan semuanya menjadi abu?
- Tentu saja. Apakah engkau bermaksud meninggalkan seserpih sisa sebagai tanda bukti? Tepus Rumput tertawa.
- Jangan lagi sesuatu yang nampak pada pandangan mata, taruh kata adik menyembunyikan sesuatu, mereka niscaya mengetahui. Apalagi semacam abu kertas yang tentunya memiliki ciri-ciri khasnya. - Ah, benar -pikir Yudapati.
Segera ia menyulut kitab itu dan dibakarnya di depan hidung Tepus Rumput. Dengan berdiam diri, orang tua itu memperhatikan. Setelah seluruh kitab menjadi abu. berkatalah ia:
- Adik! Sekarang giliranmu engkau harus beristirahat. Tetapi makanlah yang kenyang dulu! Minumlah sepuas puasmu agar kesehatanmu tidak terganggu. Nih. semuanya sudah kusediakan.
- Terima kasih. Dan kakak? - Sebenarnya, aku sudah cukup makan dan minum. Baiklah aku akan menemanimu. -sahut Tepus Rumput.
Dan ia mendahului mengiris sepotong paha kuda panggang
yang nampak licin oleh polesan minyak.
Yudapati tidak segan-segan lagi. Memang ia sudah merasa lapar dan dahaga. Segera ia mengiris paha kuda itu pula dan terus digeragoti lalu meneguk secawan arak sebagai pengiring.
Alangkah nikmat!
- Adik. -kata Tepus Rumput.
- Aku tadi berkata hendak pesan dan titip sesuatu padamu. setelah engkau memusnahkan kitab Pemutus Jiwa. Sekarang dengarkanlah sambil menikmati minuman dan daging kuda.
Yudapati mengangguk. Sahutnya:
- Kakak mempunyai pesan apa? Tepus Rumput berdiri dan memungut sesuatu. Ternyata sebuah bambu berisikan lemak. Berkata:
- Inilah obormu, Dan ini batu api, sepotong baja. dan kawul. Kawul adalah semacam kapuk pohon enau yang mudah terbakar. Dengan menggesekkan baja ini kepada batu api, kawul ini akan terbakar. Tinggal engkau menyulutnya dengan kertas. Setelah menyala dengan sendirinya adik akan dapat menyalakan obor ini yang sudah bersumbu. Kau periksalah!
- Mengapa aku harus menyalakan obor?
Yudapati heran sampai berhenti mengunyah.
- Sebentar . . . atau esok apabila adik bangun. kami akan berangkat menjemput Pataliputra. itu pun kalau mereka mau. Kalau tidak. aku akan berangkat seorang diri. Akan tetapi mereka itu., mempunyai dunianya sendiri sehingga tidak menghiraukan apakah ruang ini menjadi gelap atau tidak. Mereka sudah paham benar keadaan goa. Sebaliknya adik tidak. Tegasnya. adik perlu mempunyai penerangan. Tepus Rumput mengesankan.
- Setelah adik berhasil menyalakan obor ini. pasanglah kecapimu dengan segera. Hal itu untuk menjaga kemungkinan yang tidak kau inginkan.
- Apa itu? ...
- Mungkin mereka akan mencoba membius atau meracunmu. Adik mengenal sendiri betapa watak mereka. bukan? lagak-lagu dan sepak-terjang mereka sukar diduga. Selanjutnya bagaimana caramu melayani,terserah padamu. Pertahankan dirimu sampai aku datang membawa permainan menarik bagi mereka. itulah jenasah Pataliputra. Mereka pasti jadi sibuk sendiri dan tidak menghiraukan apapun lagi.
- Terima kasih atas petunjuk-petunjuk kakak.
- Kau mengerti maksudku. bukan?
Yudapati mengangguk.
- Nah. sekarang aku akan tidur dulu. Pasanglah . . . eh maksudku ikatkan obor ini ke tubuhmu. Simpan batu api. baja penggesek dan kawulnya. Nih. terimalah!
Yudapati memasukkan sisa potongan daging kuda ke dalam mulutnya. Lalu menerima semua pemberian Tepus Rumput dengan kedua tangannya. Setelah memasukkan batu api. baja penggesek dan kawulnya di dalam saku bajunya, mulailah ia mengikatkan obornya di depan dadanya. Sementara itu. Tepus Rumput menolong merapikan pedang dan bungkus perbekalan yang kemudian digamblokkan di belakang punggungnya.
- Kakak! Sebenarnya apa maksud kakak? Mengapa aku seperti perlu berkemas-kemas?
Yudapati minta keterangan.
- Apa salahnya bersiaga dan bersikap waspada? -sahut Tepus Rumput lancar.
- Adik masih ingat. betapa mereka menolakmu sebagai muridnya. kan?
Yudapati mengangguk membenarkan.
- Artinya tiada sesuatu yang mengikat. ujar Tepus Rumput.
- Mungkin pula adik bisa dibuatnya sebagai kelinci percobaan. Baiklah. anggap saja ini suatu kecurigaan
yang bukan-bukan. Akan tetapi dalam keadaan siap begini, adik dapat mengambil keputusan dengan cepat. Bukankah tujuan adik memasuki wilayah ini untuk bisa membebaskan para ketua yang tertawan Mahera dan Nandini?
- Benar.
- Nah, terimalah kertas pembakar ini! kata Tepus Rumput seraya mengangsurkan sehelai kertas bakar.
- Sekarang. ijinkan aku tidur dulu. Adik boleh bergadang. Syukur mampu menghabiskan kedua paha bakar itu! Setelah berkata demikian, benar-benar Tepus Rumput menyisih ke dinding sebelah pintu keluar lalu membaringkan diri sambil menguap panjang. Yudapati mengawaskan sejenak, lalu melanjutkan menikmati hidangan yang istimewa itu seorang diri.
- Aneh, pikirnya.
- Mengapa aku harus dalam keadaan siaga.
Memikir demikian, segera ia menggerayangi pedang pusaka Jagadpati yang masih tertidur rapi dalam sarungnya. Setelah itu ia menuang semangkuk arak dan diminumnya habis sekaligus. Malam itu, dingin hawa terasa menyentuh tubuhnya. Namun segera terusir oleh rasa hangat arak istimewa yang membakar perut dan dadanya. Hatinya terasa-rasa nyaman, syukur, nikmat dan bahagia. Terbayanglah Pamasih yang lemah lembut didalam benaknya. Kalau saja tidak bertemu dengan gadis yang istimewa itu, pastilah tidak bertemu pula dengan Ganesa. Anggira dan Balitung. Sekarang ia merasa sudah mewarisi llmu Pemutus Jiwa yang tiada keduanya di dunia.
Lalu apakah masih perlu bertemu dengan orang yang dikehendaki Tepus Rumput?
Tepus Rumput memang mengakui kedahsyatan kecapi maut. Akan tetapi menghadapi musuh yang licin,ia bisa diserang dengan mendadak sebelum memasang kecapinya. Alasan Tepus Rumput memang masuk akal.
Ia memang bisa mengalami petaka demikian dalam keadaan tidak siap. Umpamanya diserang dengan hawa beracun atau disergap dengan mendadak. Sebab di dalam dunia terdapat bermacam-macam kepandaian yang tak terhitung jumlahnya. Sampai di situ ia terlena tidur. Memang sesungguhnya dalam dua tiga hari ia terlalu memeras pikiran. Meskipun tidak mengeluarkan tenaga akan tetapi rasa lelah terasa menyita seluruh sendi kekuatan tubuhnya tak ubah bunga yang melayu terserap panas matahari.
- Bocah! Kau geseklah kecapimu menurut tebal dan tipis coretan! seru Balitung.
Itulah seruan salah seorang ketiga dewa dalam mimpinya. Dan selanjutnya ia bergumul dalam dunia mimpinya yang indah. Hawa udara, angin, tetumbuhan dan suasana alam terasa nyaman. lalu muncullah Diatri Kama Ratih yang agung berwibawa. Dengan senyum manis, gadis itu menanyakan keadaan dirinya. Dan dengan bersemangat. ia menjawab:
- Semuanya berjalan baik, adikku. - Eh, adikku. Alangkah mesra bunyi jawabannya.
Ia jadi terkejut sendiri. Karena terkejut ia menyenakkan matanya. Dan apa yang terlihat olehnya adalah suasana goa yang gelap pekat. Ia menghela nafas. Kemudian tertidur lagi
******
ENTAH SUDAH berapa lama. Yudapati tertidur dengan sangat nyenyaknya. Sekarang ia terbangun dengan perasaan nyaman. Sisa-sisa lelahnya sirna dari rongga tubuhnya. Justru demikian, goa yang terlalu gelap menarik perhatiannya. Namun yang dilakukannya untuk yang pertama kalinya adalah bersemadi untuk memulihkan diri. Himpunan tenaga saktinya sama sekali tidak terganggu. Bahkan terasa lebih lancar. Mungkin oleh pengaruh nada-nada kecapi maut yang membantu membangkitkan kekuatan yang tersekap di dalam dirinya. Setelah selesai mulailah ia menyiasati lagak-lagu sepak-terjang dan watak Ganesa, Anggira dan Balitung.
Agaknya mereka bertiga mempunyai saham dalam hal menciptakan Ilmu Pemutus Jiwa yang terdiri dari corak nada lagu, ukuran himpunan tenaga sakti yang diperlukan dan kecapi itu sendiri. Entah siapa yang menciptakan lagunya. Mungkin Balitung. Akan tetapi Ganesa
ikut sibuk pula. Juga Anggira.
- Haha . . . lucu dan aneh sepak-terjang mereka. Biarlah nanti kugodanya.
Memikir demikian, ia merasa lucu sendiri. Tiba-tiba teringatlah dia akan kata-kata Tepus Rumput.
- Jangan jangan mereka telah meninggalkan goa ini. pikirnya.
Segera ia meraba obor pemberian Tepus Rumput. Kemudian membuat api dan menyalakannya dengan pertolongan kertas minyak yang mudah terbakar. Dan begitu obor menyala, ia terkejut setengah mati. Sebab ia kini berada di sebuah ruang yang asing.
- Hai! Mengapa aku berada di sini?
Ia meletik bangun dan mengangkat obornya tinggi tinggi. Dengan mengucak-ucak kedua matanya. ia berseru di dalam hati: .
- Mimpikah aku?
Ruang tempatnya berada jelas bukan ruang tempat ia berkumpul dengan Tepus Rumput dan tiga dewa yang mengajarnya menggesek kecapi. Ruang itu mirip sebuah kamar sekapan. Kamar sekapan yang gelap luar biasa dan berdinding tebal. Untung saja di sana terdapat sebuah lorong. Mungkin merupakan jalan keluar. Selagi ia hendak menuju ke lorong itu pandang matanya melihat sehelai kertas yang membungkus obornya yang diangkatnya tinggi. Kertas pembungkus itu terdapat sederet kalimat. Segera ia membacanya:
"Terbius Tiga Dewa. Bagaimana kalau bermaksud jahat?"
Kalau ada orang tersambar geledek, tidaklah sekejut hati Yudapati begitu membaca bunyi tulisan itu. Gugup ia meletakkan obornya bersandar pada dinding.Ia memeriksa pernafasannya dengan buru-buru. Ternyata seperti tadi, tiada terdapat suatu kelainan. Tetapi mengingat dirinya berada di sebuah ruang asing di luar kesadarannya membuktikan bahwa bunyi tulisan itu tidak
berdusta. .
- Ah. benar-benar hebat dan mengerikan!
Yudapati mengeluh. Dibandingkan dengan paman Rajah Kusambi atau kakak Tepus Rumput, aku boleh menyebut diri jauh lebih beruntung. Apalagi kini aku mempunyai Kecapi maut pula. Akan tetapi seumpama aku bermusuhan dengan paman Ganesa bertiga, pada saat ini aku sudah mati.
- Hm, alangkah luas dunia ini. Dunia yang penuh dengan keragaman yang tak terhitung jumlahnya.
Memperoleh pikiran demikian, ia jadi merasa kecil. Pada saat itu,ingatlah dia kepada Tepus Rumput yang hendak mengantarkan dirinya kepada seseorang yang berkepandaian tinggi.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapakah dia?
Niscaya kepandaiannya jauh melebihi dirinya.
- Tetapi mengapa kakak Tepus Rumput membiarkan diriku berada di sini? ia berteka-teki dengan dirinya sendiri. Jangan-jangan, dia pun mengalami seperti diriku. Celakalah, kalau ini perbuatan Mahendra atau Yoni Nandini. Ah, kukira bukan. Niscaya ini perbuatan paman Ganesa bertiga . . . hai belum tentu! Bukan mustahil paman Ganesa bertiga hanya ingin menguji diriku. lalu . . . seseorang membawaku kemari. Hatinya tergetar dan jantungnya berdebar. Seketika itu juga teringatlah ia pula kepada pesan Tepus Rumput agar segera memasang kecapinya setelah menyalakan obor. Oleh ingatan itu, buru-buru ia mengeluarkan kecapinya dan dipasangnya dengan cekatan. Lalu. dengan hati-hati ia membawa obornya mendekati pintu lorongan. Ternyata lorong itu buntu beberapa langkah di depannya. Sekarang ia jadi sibuk. Tak terasa keringat dingin membasahi tubuhnya. Setelah berputar-putar memeriksa dinding, ia memutuskan hendak menggempur penyekat lorong dengan tenaga saktinya. Tetapi tatkala hendak meletakkan
Kecapinya di atas tanah. timbullah pikirannya.
- Kakak Tepus Rumput menyuruhku memasang kecapi. Apakah bukan untuk menggempur dinding lorong itu? Kalau benar begitu, apakah dia tahu bahwa aku akan berada di ruang ini? Mengapa dia tidak berkata terusterang? Ih. lagi-lagi teka-teki . . . Tetapi memang harus ada jawaban yang jelas. siapakah yang membawaku kemari.
Teringat akan pengalamannya yang terus-menerus dihadang suatu teka-teki tiada habisnya, ia jadi uring uringan. Tak berpikir panjang lagi, terus saja ia menggesek dawai kecapinya. lantaran hatinya mendongkol,ia menggesek nada-nada yang belum sempat dilatihnya. Akibatnya luar biasa. Seketika itu juga lorong buntu itu rontok berguguran. Tidak hanya itu saja. Bahkan dinding ruang jadi retak dan ambrol.
Tiba-tiba di jauh sana ia mendengar suara menggema seperti singa meraung:
- Hoeee . . . siapa yang berani mengganggu istanaku?
Suara itu dahsyat luar biasa. Entah apa sebabnya. hati Yudapati berdebar-debar. Ia merasa dirinya seperti tergetar oleh suatu tenaga gaib yang tajam bukan main. Dadanya bergolak dan merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Kepalanya pun terasa pusing pula. Inilah untuk yang pertama kalinya ia mengalami perasaan demikian. Tak dikehendaki sendiri ia menggenggam kecapinya erat erat.
Hati-hati ia maju memasuki lorong terowongan. Karena sudah jelas dari arah mana datangnya suara itu, ia memadamkan obomya dan digenggamnya dengan tangan kanannya. Pikirnya,
- dalam keadaan terdesak obor itu bisa digunakan untuk penangkis sebelum ia merasa perlu menghunus pedang Jagadpati.
Benar aja. Sewaktu ia hendak memasuki tikungan kedua, terlihat sinar cukup terang
di depannya. Agaknya merupakan sebuah ruangan yang dapat tertembus suasana alam di luarnya.
Sekarang ia menyisipkan obornya di pinggang kanan. Sedang pedang Jagadpati digantungkan di pinggang kiri. Ia yakin niscaya akan menghadapi suatu serangan yang mendadak. Sebab suara yang menggetarkan hatinya tadi, bernada marah dan mengandung ancaman. Memang, Yudapati seorang pemuda yang cermat dan berhati-hati. Meskipun kepandaiannya kini jarang yang bisa menandingi, namun masih perlu ia berwaspada. Pengalamannya bergaul dengan Pamasih dan tiga dewa membuat sikap hidupnya makin matang.
- Dia tergempur oleh kecapi maut. Tentunya kecapi ini akan menjadi sasarannya. -pikirnya.
Ia memutuskan untuk melindungi agar dapat digunakan sewaktu-waktu.
Ruang di depannya lebih besar daripada ruang pertemuannya dengan tiga dewa, lebih lebar dan lebih luas. akan tetapi berbentuk semacam lubang sumur. Di atas terdapat mulutnya selebar empat meter, yang menjorok masuk ke dalam. Cahaya matahari masuk dari langit-langit. Semuanya itu mengingatkan Yudapati kepada goa terkuburnya leluhur-leluhur cikal-bakal aliran yang terdapat di bumi Suwarnadwipa. Bedanya, ruang itu lebih terang seolah-olah memiliki beberapa buah jendela terbuka.
Begitu Yudapati menginjakkan kakinya dalam ruang itu. sesosok bayangan berkelebat menyambar.
Karena sudah mengira akan diserang dengan cara demikian,dengan cekatan ia menangkis.
Bres!
Bayangan itu terpental mundur dengan berjumpaiitan untuk memunahkan tenaga sakti Yudapati. Sebaliknya Yudapati terhuyung mundur mmpai menubruk dinding goa.
- Ih!
Yudapati terperanjat. Orang itu mempunyai tenaga sakti yang tidak berada dibawahku. Terus saja ia meletakkan kecapinya di atas tanah dan ia melesat mendahului menyerang. Orang itu dengan buruburu menangkis dengan kedua tangannya. Yudapati merasa menang. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa seakan-akan himpunan tenaga saktinya terhisap. Ia terperanjat. Secepat kilat ia melesat mundur. Dan kena tarikannya. orang itu terhuyung ke depan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Yudapati. Ia melompat dan menendang kepada orang itu dengan sambaran kilat.
- Bagus! orang itu berseru kagum.
Ia bergulungan di atas tanah. Sambil berdiri ia tertawa berkakakan.
Orang itu berberewok awut-awutan. Rambutnya dibiarkan terurai panjang. Jenggotnya tebal luar biasa dan kumisnya hampir menutupi wajahnya. Akan tetapi kedua matanya yang menyala bagaikan bola api nampak dengan jelas. Sudah begitu didukung pula dengan perawakan tubuhnya yang gagah perkasa. Pendek kata. kesannya seperti "Arya Bhimasena dalam cerita Mahabharata. Hanya saja, dia mengenakan celana panjang dan baju berlengan panjang dirangkapi dengan jubah berwarna kelabu, sehingga pantas ia disebut tokoh Bagaspati, raksasa sakti dari pertapaan Hargabelah.
Kesan peribadi orang itu berkenan dalam hati Yudapati. Ia pantas dihormati. Pantas menjadi seorang pemimpin besar. Apalagi memiliki suara bergelora bagaikan guntur meledak di siang hari. Diam-diam ia berpikir.
- siapakah orang itu? Mengapa berada dalam ruang yang tertutup rapat?
Selagi berpikir demikian orang itu membentak:
- Bedebah . . . hm bagus! Kau boleh juga. Siapa? Karena tegur-sapanya pendek sengit, Yudapati perlu mengimbangi. Sahutnya pendek pula:
- Orang Jawa.
- Kau maksudkan orang dari jawadwipa?
orang itu heran.
- Benar.
- Mengapa sampai berada di sini?
- Mencari jalan keluar.
- Oh. -orang itu terhenyak.
Lalu tertawa terbahak bahak sampai tubuhnya terguncang-guncang.
- Sayang. kau bertemu aku. Maka kalahkan aku dulu.
Tanpa menunggu jawaban Yudapati, orang itu menyerang kembali. Kali ini dengan disertai bentakan dahsyat. Yudapati tadi sudah mempunyai pengalaman yang membuat hatinya tercekat. Pukulan orang itu seperti mempunyai daya hisap. Maka ia tidak sudi dirinya dibuat sebagai sasaran serangan. Ia harus memukul pula dan bukan menangkis. Pukulan itupun, harus dilakukan dengan cepat dan pendek. Mungkin pula lebih bagus bila ia memukulnya dari jauh. Dan dengan putusan itu, ia mulai melawan.
Dahsyat dan aneh cara bertempur orang itu. Gerakannya gesit luar biasa. Ia menggempur dan menarik. Bila terkena pukulan, ia mundur berjungkir balik. lalu melesat menyerang dengan meraung-raung. Yudapati tidak berani menangkis. Ia mengelak atau menghindar. sehingga pukulan orang itu menghantam dinding yang segera rontok berguguran.
Yudapati memang sudah memutuskan untuk melawannya dengan hati-hati. Semenjak ia memiliki ilmu Sakti Tantrayana dari warisan Resi Brahmantara, inilah lawannya yang paling berat dan seimbang. Beberapa kali ia menggunakan ilmu sakti tataran tertinggi. namun belum juga dapat menaklukkannya. Bahkan ia merasa udara dalam ruang itu mendadak saja seperti terbaur oleh putaran hawa yang melengket. Pikirnya di dalam hati:
- Celaka! Bukankah lambat-laun. aku tidak dapat bergerak lagi? Apakah dia menggunakan Ilmu Hitam?
Memperoleh pikiran demikian. sebat ia menghunus
pedang Jagadpati. Lalu mendahului menyerang,seperti diketahui, bila sekali bergerak pedang yang berada di tangan Yudapati terus menyerang dengan bertubi-tubi. Dan diserang dengan cara demikian. orang itu mundur berlompatan. Lalu menyambar senjatanya yang disandarkan pada dinding. Sebilah senjata berbentuk gergaji. Inilah yang dinamakan orang pedang bergigi. Pada detik itu pula. teringatlah ia kepada lukisan di goa dulu. Yang menggunakan senjata demikian adalah leluhur aliran Siguntang.
Leluhur itu menyebut dirinya dengan nama: Dasagriwa.
- Hoee siluman! teriak orang itu dengan suara mengguntur.
- Kau menyaksikan sendiri. bahwa ilmu Penghisapku bisa melawan dia. Sekarang ia menggunakan pedangnya. Maka terpaksalah aku menggunakan senjata andalanku pula. Hooee siluman. apakah engkau belum mau mengaku kalah?
Yudapati jadi bingung. Tadinya ia mengira dirinyalah yang disebut sebagai siluman. Tetapi setelah berbicara berkepanjangan ternyata bukan dialamatkan padanya.
Lalu siapakah yang disebut siluman?
Ingin ia menoleh, akan tetapi jangan-jangan kata-katanya itu merupakan jebakan. Menghadapi musuh seimbang adalah soal waktu yang menentukan kalah dan menang,lagipula ia belum tahu pasti. apakah yang disebut siluman itu musuh atau teman orang itu.
Pada saat itu. tiba-tiba terdengar seseorang mendengus:
- Hm, apakah benar-benar engkau dapat mengalahkan? - Anjing! Mengapa tidak?
Yudapati tidak berani memecah perhatian. Namun menilik matanya. niscaya seorang laki-laki yang sudah berumur 100 tahun lebih. Yang mengherankan dirinya,
apa sebab dijadikan pokok masalah. Mereka berdua seolah olah sedang bertaruh. Sayang,masing-masing tidak menyebutkan namnya. sehingga Yudapati merasa seperti meraba raba dalam kegelapan.
Yudapati tidak sempat untuk mencoba memperoleh kejelasan. Karena pada detik itu pula ia sudah terlibat dalam suatu pertarungan mati-matian. Syukur ia sudah memahami ilmu pedang gergaji warisan Dasagriwa. Dengan demikian ia dapat melayani dengan cepat. Sayangnya ia belum pemah menghadapi lawan dari aliran Siguntang. Dengan kata lain inilah untuk yang pertama kalinya ia menghadapi seorang lawan ahli pedang bergigi.
Tetapi setelah bertempur beberapa waktu lamanya. mulailah ia bisa menghayati. Terus saja ia menggunakan tipu-tipu keji yang dulu terlukis pada dinding goa.
- Hai! orang itu memekik terkejut.
- Dari mana dia mengetahui? Segera ia mengubah cara permainannya. Yudapati tidak menghiraukan. Masih saja ia menggunakan jurus-jurus keji dan ganas. Akan tetapi lambat-laun ia mulai merasakan sesuatu yang tidak tepat. Tetapi di mana letak kelemahannya. ia tidak tahu. Karena itu. segera ia menyambung dengan jurus-jurus aliran lain.
- Hahaha . . . lihat! Dia mulai kebingungan. orang itu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.
Mau tak mau. Yudapati jadi berkecil hati. Sebab sekali lagi lawannya menggunakan jurus-jurus yang mematikan. Karena itu, kembali lagi ia menggunakan jurus jurus Sguntang. Sekarang orang itu kembali memekik terkejut. Sayang, jurus-jurus yang difahami ternyata terbatas untuk mengungguli lawannya.
- Ha. bagaimana? Siluman. kau lihat tidak? Apakah ada harapan untuk memenangkan pertempuran ini? - Hm. kalau aku mau mengajari sejurus dua jurus. apa sih arti kepandaianmu? - Baik. Untuk sementara kuampuni. Nah. ajarilah dia. Tiga hari lagi aku datang untuk menguji kepandaiannya.
Setelah berkata demikian orang itu mundur dengan berjungkir balik. lalu membuka dinding dan menghilang di baliknya. Ternyata dinding itu mempunyai pintu rahasia yang dapat didorong dan ditutupnya kembali.
Yudapati mengawaskan pintu rahasia itu lalu menoleh kepada orang yang disebut sebagai siluman. Ternyata tidak jauh dari perkiraannya. Dia seorang laki-laki yang sudah berusia lanjut. Mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu pula. Rambut, misai dan jenggotnya sudah putih semua. Namun pandang wajahnya bersih bercahaya, sehingga tidak tepat bila disebut sebagai siluman.
- Anak! Mengapa tidak engkau pukul dengan kecapimu? -katanya ramah.
Diingatkan tentang kecapinya, Yudapati segera memutar tubuhnya dan mengambil pusaka pemberian Pamasih. Pada detik itu. lapat-lapat ia seperti bisa menangkap makna kisikan Tepus Rumput yang menyuruhnya agar segera memasang kecapinya, manakala sudah menyulut obor pemberiannya. Hanya saja, ia belum mengerti benar apa perlunya melawan orang tadi dengan kecapi maut. Karena itu, sambil menghampiri orang tua itu, ia mencoba minta keterangan:
- Kakek, apa sebab aku harus memukulnya dengan kecapi? - '
- Himpunan tenaga saktimu tidak bekerja dengan sempurna. bukan? Karena dia memiliki Ilmu Penyerap tenaga sakti lawan, itulah yang dinamakan Aji Kemayan. sahut orang tua itu.
- Sesunggunnya siapakah dia? - Ah, masakah engkau belum kenal? -orang tua itu heran.
- Belum.
- Kalau belum. mengapa bisa berada di sini?
orang tua itu makin heran.
- Aku sendiri tidak tahu. ujar Yudapati.
- Ah, panjang ceritanya. - Baiklah, engkau bisa menceritakan padaku dengan pelahan-lahan. orang tua itu mau mengerti.
- Tentang siapa dia . . hm .. . pada saat ini, ia merasa dirinya sebagai orang yang terhebat di dunia.
Tiba-tiba suatu nama berkelebat dalam benak Yudapati. Katanya mencoba:
- Apakah dia Mahera? - Hai. bagaimana kau mengenal namanya? sekarang orang tua itu balik bertanya.
- Kau tadi mengaku belum mengenalnya, tetapi ternyata dapat menyebut namanya dengan tepat.
- Aku hanya menebak saja. Dan secara kebetulan ternyata tepat. -sahut Yudapati seraya menghampiri.
Orang tua itu menghela nafas. Ujarnya seperti kepada dirinya sendiri:
- Di dunia ini memang banyak terdapat peristiwa peristiwa yang ganjil seperti terjadi secara kebetulan. Baiklah. sekarang terangkan padaku, dari siapa engkau memperoleh ajaran menghimpun Ilmu sakti Tantrayana. - Hai, apakah kakek mengenal llmu Tantrayana?
Yudapati heran.
Orang tua itu tersenyum dan mengucapkan sesuatu yang kurang jelas. Yudapati memperhatikan wajahnya. Entah apa sebabnya. semenjak mendengar suara dan melihat wajahnya yang cerah,hatinya seperti terhibur. Segera
ia melompat ke atas dan hinggap di atas tepi lubang,menghadap padanya. Lalu berkata:
- Secara kebetulan aku bertemu dengan guruku dan dibawanya ke pulau Krakatau. Di dalam sebuah goa yang sunyi, aku diajari memahami Tantrayana tingkat sebelas.
- Tingkat sebelas? - orang tua itu menggumam dengan mata terbelalak.
- Benar.
Yudapati meyakinkan.
- Aku sendiri bernama Yudapati, berasal dari negeri Tarumanagara. Sedang guruku bernama Resi Brahmantara. Hanya saja, belum sempat aku mengetahui dari mana asalnya. Beliau ....?
- Apa? Kau menyebut Brahmantara?! - orang tua itu menegas dengan suara agak menggeletar.
- Itulah nama guruku. - Hm. tidak mudah engkau menyebut nama itu. tiba tiba orang tua itu berubah menjadi angkar.
- Coba. berapa lama engkau bergaul dengannya sampai bisa mewarisi llmu Tantrayana setinggi itu?
- Bagaimana aku harus menerangkan dan meyakinkan kakek. Yang kuingat, aku bertempur . . . eh . . . katakan saja, sedang mengejar seorang iblis perempuan bernama Pramusinta. Aku terkena salah satu senjata bidiknya yang sangat beracun. Aku roboh pingsan. Setelah sadar kembali, tahu-tahu aku sudah berada dalam goa. Lalu aku disuruh berlatih. Menurut guru. himpunan tenaga saktiku sudah bisa mencapai tingkat tujuh. Di kemudian hari tahulah aku, bahwa itu semua berkat pengorbanan guru. - Pengorbanan guru bagaimana?
- Beliau memindahkan seluruh himpunan tenaga saktinya ke dalam diriku. Menurut beliau demi mendesak bisa racun yang nyaris merenggut jiwaku.
Orang tua itu terlongong-longong seperti seseorang yang setengah percaya.. setengah tak mengerti. Tiba-tiba bibirnya menggeletar. Lalu menegas dengan suara agak gopoh:
- Dia rela berkorban demikian?
- Benar. -.
- Hanya akibat mengenalmu untuk beberapa hari saja?
- Benar.
- Anak muda. meskipun pergaulanmu dengan gurumu hanya beberapa hari, mustahil bila Ilmu Tantra itu adalah hasil ciptaannya sendiri. Tentunya dia mempunyai guru pula.
- Benar. Kakek guru berasal dari Jawa. Guru menyebut beliau dengan nama Resi Gunadewa, sahut Yudapati dengan cepat.
Begitu Yudapati menyebut nama Resi Gunadewa, orang tua itu mendadak saja tertegun bagaikan patung. Lama ia tidak berbicara. Pandang matanya seolah-olah menembus dinding, menjangkau suatu masa tertentu yang hanya diketahuinya sendiri. Menyaksikan hal itu, hati Yudapati seperti tergelitik hatinya. Dengan memberanikan diri, ia berkata minta keterangan:
- Apakah kakek mengenal guruku? Orang tua itu seperti tersentak dari tidurnya. Menjawab:
- Anak. marilah kita berbicara lebih jauh lagi. Di sini kita bisa berbicara bebas. Coba ceritakan riwayat pertemuanmu dengan gurumu lalu apa saja yang dikatakan kepadamu. Orang tua itu kemudian duduk di atas batu. Dengan sendirinya. Yudapati ikut duduk pula. Katanya:
- Riwayat pertemuanku tidak banyak yang dapat
kukatakan. Sebelum aku diperkenankan berlatih beliau hanya berkata. tiada gunanya membawa llmu Kepandaian puncak kembali ke nirwana. Sebab ilmu kepandaian hanya diperuntukkan di dalam dunia. Di Nirwana,tidak berlaku lagi. Karena itu. beliau rela berkorban demi kebaikanku. Ilmu penghimpun tenaga sakti Tantra yang kau miliki kini adalah murni. kata guru. Sayang. aku hanya mencapai tingkat sembilan. Kau tahu apa sebabnya? Karena Watakku tidak jodoh. Aku terlalu mementingkan diri sendiri. cepat marah. mudah tersinggung. pendendam dan sombong. Kukira adik-seperguruanku demikian pula. Dia bernama Punta Dewakarma. Jurus-jurus pukulannya terlalu kejam. Dalam hal ini, aku menang setingkat. Tetapi di dalam hal mengadu tenaga sakti. aku kalah.
- Hm. orang tua itu termangu-mangu.
- Apakah jurus-jurusmu tadi kau peroleh dari dia?
- Bukan. Jurus-jurus itu kuperoleh secara kebetulan. sahut Yudapati.
Kemudian ia mengisahkan penemuannya yang aneh di dalam goa.
- Oh. orang tua itu seperti mengerti duduk persoalan yang agaknya masih menjadi suatu pertanyaan baginya.
- Lalu . . . apakah gurumu tidak pernah menceritakan masa mudanya? - Hanya sedikit saja. Menurut guru beliau masih mempunyai seorang adik-seperguruan. Namanya Punta Dewakarma. Apakah kakek kenal? Aku diperintahkan untuk mencarinya. Hanya saja paman guru itu terlalu jahat. Dia cepat marah dan mudah tersinggung. Dia pun berangan-anun dalam hal pemerintahan negara. Suatu kali guru pernah bertempur mengadu kepandaian. Dalam hal ragam ilmu kepandaian, guru menang setingkat. Sebaliknya dalam hal mengadu ilmu sakti. guru kalah. Guru lalu bersembunyi di tengah Gunung Krakatau untuk menekuni Ilmu Tantra dan berhasil mencapai tingkat sembilan. Beliau merasa penasaran, karena tidak berhasil mencapai tingkat sebelas. Maka aku diharapkan mewakili menyelesaikan llmu sakti ajaran mendiang kakek guru agar Guru kelak dapat hidup tenteram di nirwana bila sudah tiba waktunya menghadap kakek guru.
- Hai! Apakah gurumu sudah meninggal? Yudapati menundukkan kepalanya. Dengan sedih ia menjawab:
- Apa yang kukabarkan kepada kakek ini. sebenarnya adalah bunyi suratnya. Beliau wafat selagi aku sibuk menekuni llmu Sakti Tantrayana yang tertera pada sehelai kulit.
Mendengar jawaban Yudapati. orang tua itu tiba-tiba menangis. Yudapati menegakkan kepalanya dan memandang orang tua itu dengan tercengang. Pada saat itu, ia merasa yakin bahwa orang tua itu mempunyai hubungan erat dengan gurunya.
Kalau tidak, masakan tiba-tiba menangis tanpa alasan?
Hanya siapa dia sesungguhnya, masih belum jelas.
Yudapati tidak berani mengganggunya. Ia bersikap menunggu dengan menutup mulut. Tiba-tiba berkatalah orang tua itu:
- Anak, hanya satu hal yang masih kurang jelas bagiku. Siapakah yang memberimu kecapi? Apakah ajaran gurumu juga?
- Tidak. Kecapi ini kuperoleh dari seorang murid Ganesa, Anggira dan Balitung. Mereka bertigalah yang mengajarku menggesek kecapi ini. Menurut mereka karena himpunan tenaga saktiku memenuhi syaratnya. Dan lagu yang kugesek bernama llmu Pemutus Jiwa. ,
Yudapati memberi keterangan.
Orang tua itu memanggut-manggut. lalu menghela
nafas seraya berkata pelahan.
- Ya. semuanya itu adalah jodoh. Ilmu ilmu tertinggi di dunia ini seakan-akan harus kau warisi. Anakku, di kemudian hari niscaya engkau dikehendaki Hyang Widdhi melakukan tugas suci. Sekarang dengarkan kata-kataku":
Yudapati menatap wajah orang tua itu dengan sungguh sungguh. Kata orang tua itu dengan pelahan-lahan:
- Gurumu itu sesungguhnya adalah adik-seperguruanku
- Adik seperguruan kakek? Yudapati heran.
- Menurut bunyi tulisan guru, beliau hanya mempunyai seorang adik-seperguruan. - Benar. .
- Benar bagaimana?
Yudapati bingung.
- Karena sesungguhnya, akulah yang bernama Brahmantara. Sedang gurumu itu, Punta Dewakarma.
Mendengar orang tua itu mengaku bernama Brahmantara, Yudapati terkejut sampai tubuhnya bergoyang-goyang.
Seketika itu, ia tidak pandai berbicara. Ribuan butir butir pikiran dan perasaan bercampur aduk dalam rongga dadanya dan benaknya.
- Kau terkejut, bukan?
Resi Brahmantara tersenyum manis.
Yudapati tergugu. Menilik wajah orang tua itu, ia harus percaya.
Namun apa dasarnya ia harus percaya akan pengakuannya?
Masakan gurunya yang justru bernama Punta Dewakarma?
Padahal Punta Dewakarma yang dikiranya sebagai paman-gurunya berwatak jahat, kejam. bengis, cepat marah, cepat tersinggung dan berangan-angan besar.
Rasanya mustahil!
- Anakku. mulai sekarang panggillah aku paman! Kalau engkau tidak menolak. agaknya aku harus mewariskan semua kepandaianku kepadamu. -. ujar orang tua itu
- Aku tahu. hatimu sangsi terhadapku. Tetapi dengan saksi Hyang Widdhi. akulah yang bernama Resi Brahmantara. Aku dan gurumu sebenarnya berasal dari Jawadwipa seperti kakek gurumu. Lalu mengembara ke pulau ini mengadu untung. Semenjak muda. aku dan gurumu selalu bertengkar. Tidak hanya cukup bertengkar mulut saja. kadangkala diseling dengan baku hantam mengadu kepandaian. Hanya saja apa yang dikisahkan gurumu dalam suratnya diputar balik. Ah. bagus! Ia mengutuk Punta Dewakarma. Padahal Punta Dewakarma adalah dirinya. Bukankah berarti pengakuan dosa? Ahai . . . aku benar-benar merasa bersyukur bahwa pada hari-hari tuanya ia memperoleh kesadaran. Dalam hal ini. aku merasa kalah. Benar-benar kalah. Jiwanya ternyata lebih besar daripadaku. Ia tidak hanya berani mengakui kesalahannya,tidak hanya berani menghadapi suatu kenyataan yang pahit. tetapi berbalik menurunkan Tantra yang murni kepadamu. Tahukah engkau. siapakah Mahera itu? Dialah salah seorang muridnya. Dahulu pernah ia membuang Tantrayana. Dia bertekat hendak menciptakan suatu aliran sakti sendiri. Dasar otak dan bakatnya cerdas luar biasa, ia berhasil. Akan tetapi di kemudian hari ia melihat bahwa jerihpayahnya itu ternyata sesat. Ilmu sesat itulah yang kini diwarisi Mahera. Dan apa akibatnya? Ia mewarisi watak dan angan-angan gurunya hendak menguasai seluruh aliran yang hidup di atas bumi Suwarnadwipa ini. Karena macam ilmu kepandaian itu tidak terhitung jumlahnya, ia menemukan kesukaran. Maka ia mencoba meminta petunjukku. Namun kutolak sebab Tantra yang berada di dalam dirinya adalah Tantra yang sesat. Mahera bersitegang bahwa Tantra ajaran gurunya adalah yang benar dan cukup untuk menghisap seluruh sari-sari macam kepandaian di dunia ini. Aku tetap menolak. Dan terjadilah hari ini.
Dinding terowongan ini roboh hancur oleh getaran dawai kecapimu. Segera aku mengenal getarannya. Itulah getaran Tantrayana yang asli. Hal itu kukatakan kepada Mahera agar menyadari bedanya. Rupanya ia tidak mau kalah. Maka ia segera menyerangmu dengan Tantra ajaran gurumu. Dalam hal ini. engkau masih kalah masa latihanmu. Akan tetapi dengan kecapi mautmu, mungkin sekali engkau berhasil membubarkan angan-angannya.
- Tetapi ia pandai menguasai ragam ilmu senjata yang tinggi. - Itulah hasil jerih payahnya menawan ketua-ketua berbagai aliran untuk dihisap semua ilmu kepandaiannya. Dalam dunia ini, memang ia merupakan seorang tokoh yang susah dilawan. Tetapi pemunculanmu, membuat dia heran. Termasuk diriku juga. Ternyata kaupun pandai menguasai berbagai aliran kepandaian tinggi. Maka dirimu dan dia sesungguhnya setali tiga uang. Bedanya engkau menyimpan himpunan tenaga sakti Tantra yang murni. sedang dia tidak. Yang mengherankan mengapa justru gurumu yang berkenan mewariskan llmu Tantra yang murni kepadamu. Mungkin menjelang saat-saat terakhir dalam hidupnya, terbukalah hatinya. Ia tidak hanya rela mengalihkan semua himpunan tenaga saktinya saja kepadamu tetapi pun menyerahkan kunci Tantra mendiang guruku. Itulah yang tertulis pada kulit pemberiannya. - Eyang . . . eh paman . . . apakah hal itu yang menjadi Penyebab guru tidak dapat mencapai Tantra tingkat sebelas?
Yudapati minta keterangan.
- Benar. -.
- Kalau benar demikian, apa sebab aku tidak dapat berbuat banyak menghadapi Mahera?
- Yang pertama. engkau kalah masa latihan. Yang
kedua ilmu pedangmu kurang tepat sebagai penyalur Tantra yang murni. Sebab ilmu kepandaianmu kau peroleh dari berbagai aliran yang termasuk sesat. - Ah! Yudapati terkejut. Beberapa saat lamanya, ia terlongong-longong. Lalu berkata lagi:
- Sebaliknya sesuai dengan Tantra Mahera? - Benar. Seperti kataku tadi. dia menawan semua ketua aliran dan menghisap semua kepandaiannya. Berarti mewarisi seluruh macam ilmu kepandaian yang kau pelajari dengan tak sengaja.
Brahmantara memberi keterangan. Kemudian mengalihkan pembicaraan:
- Sekarang dengarkan! Jelasnya begini. Aku dan gurumu berselisih pada masalah pokok. Kami berdua sama-sama memperoleh Ilmu Tantra. Punta Dewakarma ingin membuktikan pendapatnya. Seperti kataku tadi, dia ingin menciptakan sesuatu yang hebat dengan membuat berbagai percobaan.. Di antaranya adalah Mahera.
- Maksud eyang . . . eh paman . . . Mahera sebagai kelinci percobaan?
- Ya. jawab Brahmantara singkat.
- Rupanya ia menyadari kesesatannya setelah ia mencoba mengadu ilmu kepandaian dengan diriku. Aku berhasil mengalahkan. Namun tetap rugi.
- Rugi bagaimana?
- Waktu itu. aku baru mencapai tataran Tantra tingkat tujuh. Kulit yang memuat ajaran Tantra, dicurinya. Itulah sebabnya, dia berhasil mencapai tingkat sembilan sedangkan aku tidak. - Mengapa paman tidak mengejar guru? Brahmantara menghela nafas panjang. Wajahnya mendadak menjadi muram. Tetapi sebentar kemudian cerah kembali. Ujarnya dengan lancar:
- Kalau dia berani mengakui semua perbuatannya
mengapa aku tidak"! ia berhenti sebentar. Meneruskan. .- Anakku. sebenarnya kami berdua mencuri selembar kulit milik mendiang guru dari pertapaan dan membawanya lari kemari. Kalau gurumu membawanya lari bukankah sudah adil? Sebab aku masih menyimpan sebuah kitab lain. Itulah rahasia inti seluruh ilmu kepandaian yang terdapat di muka bumi. Rupanya Mahera ingin pula memiliki. Dia tidak akan dapat berbuat banyak karena kitab itu sudah kubakar seperti yang kau lakukan terhadap kulit ajaran Tantra pemberian gurumu.
- Menurut berita yang kudengar. Mahera sudah merajalela. Namun belum berani terang-terangan. Agaknya karena masih segan kepada paman.
- Benar. Tetapi usiaku sudah tua. lambat atau cepat, dia pasti akan melaksanakan angan-angannya. Mungkin pula berangan-angan menjadi raja di raja. ujar Brahmantara.
- Tetapi anakku, seumpama orang hutang. gurumu sudah membayar lunas. Dia sudah bisa menghadap guru dengan perasaan damai melalui bakatmu. Kalau dia bisa berbuat demikian. mengapa aku tidak? Maka aku pun akan menurunkan isi Kitab Rahasia Inti Ilmu Kepandaian di muka bumi. Hanya saja engkau membutuhkan waktu agak panjang. Padahal Mahera akan mengganggumu. Kupikir, setiap kali datang usirlah dia dengan Kecapi mautmu. Bilamana kau sudah berhasil mewarisi llmu sakti mendiang guruku, maka engkau tidak perlu takut lagi menghadapi dia. .
Mendengar kata-kata dan keterangan Brahmantara. Yudapati terlongong-longong. Suatu ingatan mendadak memasuki benaknya. Terus saja ia berjongkok dan menyembah Brahmantara sampai tiga kali. Brahmantara tertawa panjang. Tertawa yang terdengar penuh teka teki.
Senang?
Terharu?
Berbahagia atau justru sedang
mentertawakan?
Dan ia membiarkan gaung tertawanya menumbuki dinding sampai berkumandang lama sekali. Manakala sudah sirap barulah ia berkata:
- Kau bersembah padaku. seolah-olah aku sudah menjadi gurumu. Apakah tidak terburu-buru? Sebab belum tentu aku dapat mengajarimu. lagipula semuanya tergantung belaka kepada kecerdasan dan keenceran otakmu. daya ingatmu. bakat. keberuntungan dan jodoh.
- Apakah terlalu sulit? Yah. kalau memang aku tidak pantas mewarisi llmu Sakti kakek guru, tak usah paman bercapai lelah. Tetapi menyembah kepada paman. rasanya sudah menjadi kuwajibanku. Apalagi paman adalah kakak-seperguruan guru. ujar Yudapati dengan sungguh-sungguh.
Dan wajahnya benar-benar tidak menunjukkan rasa kesal dan sesal.
Brahmantara berdiam diri sejenak. Wajahnya berkerut kerut. Akhirnya ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Gumamnya:
- Sulit. sulit . . . terlalu sulit. Tetapi biarlah kita coba. Kulihat tadi engkau sudah pandai melayani Mahera ratusan jurus banyaknya. Sayangnya, engkau belum juga memahami makna jurus. Engkau masih terbelenggu oleh jurus. Padahal jurus adalah mati. Sebaliknya, yang melakukan jurus adalah hidup. Coba, pecahkan makna ucapanku ini.
Yudapati tahu. dirinya sedang diuji. Untung dia dahulu pernah mendapat kesulitan pula sewaktu hendak menyambung jurus-jurus ragam ilmu kepandaian di dinding goa menjadi satu kesatuan. Karena itu dengan cekatan ia menjawab:
- Jurus macam apapun memang mati. Karena itu. tak pernah aku terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan jurus. Selamanya aku bergerak seperti orang kalap. Aku
bergerak berdasarkan ingatan yang datang dan pergi dari benakku. Tujuanku hanya satu. Menghidupkan setiap jurus menjadi satu bentuk kesatuan serangan yang hidup. - Hai! Dari mana kau mengetahui inti dasar ini?
Brahmantara heran.
- Itulah ilham yang datang melalui sebuah mimpi. sahut Yudapati.
Kemudian ia menceritakan pengalamannya sewaktu mempelajari jurus-jurus sakti di dalam goa yang ditemukan secara kebetulan.
- Ah! Kalau begitu . . . ah benar-benar jodoh. Bagus! tiba-tiba Brahmantara berseru girang.
- Kalau begitu, engkau tinggal mengenal rumus-rumusnya belaka. Tetapi apakah engkau benar-benar pintar? Hm . . .sulit rasanya.
Yudapati merasa seperti segulung tembakau kena pilin. Ia sadar, dirinya sedang menghadapi orang yang aneh pula watak dan perangainya. Paling baik, ia harus menutup mulutnya agar dapat menyerap inti kata-katanya dengan cepat. Berkatalah Brahmantara lagi:
- Yang kukatakan dalil-dalil itu pun berbentuk kesatuan jurus pula. Biarlah kuajarkan tiga jurus dulu. Tetapi masing-masing jurus harus kau lalui dengan tertib. Seumpama engkau bisa memahami jurus satu,harus memahami pula jurus dua. Sebab jurus dua bersumber pada jurus satu. Kalau engkau lupa sebaris saja. jangan harap bisa melanjutkan ke jurus tiga. lantaran jurus tiga bersumber pada jurus dua dan ada hubungannya dengan jurus satu. Nah. pusing tidak kepalamu?
Diperlakukan demikian, betapapun menahan diri, hati Yudapati mendongkol juga. Sewaktu hendak menjawab. Brahmantara melanjutkan ucapannya:
- Bagaimana? Kau marah atau mendongkol? Apakah kau kira jawabanmu tadi sudah benar?
- Jawaban yang mana?
- Yang mengoeehkan perkara ilmu kalap, mengocehkan perkara menghidupkan jurus serangan, mengocehkan ingatanmu yang datang dari benakmu.Itu baru benar separoh. Karena itu ,aku hanya berkata bagus. Tetapi bukan betul. Sebab jurus yang betul adalah jurus yang tidak nampak. Sebab kalau masih dapat terlihat lawan artinya masih dapat ditebak. Maka jurus seranganmu jadi mati lagi.
Tak terasa Yudapati memanggut-manggut. Dan tiba-tiba di dalam hati muncul suatu rasa syukur yang belum diketahui dengan jelas apa sebabnya. Maka dengan sungguh-sungguh ia menatap wajah Brahmantara.
- Rumus jurus pertama mengandung 560 gerak perubahan. Dan masing-masing gerakan adalah rumus jurus tertentu. Bila kau lupa satu jurus perubahan saja kau tidak akan dapat menyelami jurus ketiga. Bukankah sudah kukatakan tadi. bahwa jurus ketiga ada hubungannya dengan jurus pertama? Meskipun jurus ketiga bersumber pada jurus kedua. Bagaimana? Mendengar keterangan jumlah rumus gerak perubahan sebanyak itu, Yudapati jadi kelabakan. Akan tetapi dia memiliki pembawaan yang istimewa. Makin menemukan kesulitan, semangat juangnya makin berkobar-kobar. Pada saat itu timbullah tekatnya lebih baik mati daripada gagal mewarisi llmu Sakti mendiang kakek gurunya yang ternyata istimewa. '
Dalam pada itu, Brahmantara sudah berkomat-kamit menyebutkan ratusan istilah-istilah dengan menekuk nekuk jarinya sambil menghitung jumlahnya. Wajahnya tiba-tiba nampak muram dan berkerut-kerut. Rupanya diapun sedang mengerahkan daya ingatannya pula. karena kitab petunjuknya sudah dibakarnya musnah. Maka sesungguhnya kedua-duanya pada saat itu terlibat
dalam suatu masalah yang rumit dan berat
*** ILMU PEDANG GUNADEWA
MANUSIA YANG membuat sejarah hidup atau hidup yang membuat sejarah manusia?
Inilah masalah misteri yang selalu menjadi teka-teki sejarah kemanusiaan. Ternyata hiduplah yang membuat sejarah manusia. Seumpama Yudapati tidak menemukan goa tempat terhimpunnya berbagai ilmu kepandaian, mustahil ia akan sanggup menyelami intisari himpunan rumus yang memiliki 560 gerak perubahan. Waktu itu, ia bergulat mati-matian untuk mencoba menyelami dan menggabungkan. Begitu pulalah kali ini. Entah apa sebabnya. tiba-tiba saja ia seperti sudah dapat memahami dan memiliki. Setiap kali menghafalkan bait-bait kalimat rumusnya, di dalam benaknya terbayang gerakan-gerakannya.
Tentu saja, peristiwa itu tidak pernah terlintas dalam benak Brahmantara bahwa ia akan bertemu dengan seorang pemuda yang seolah-olah sudah dipersiapkan menerima ajarannya. Waktu sudah menyelesaikan kalimatnya
menghayatinya- Mengapa tidak? Bukankah paman akan berkenan menunjukkan?
- Hm.
Brahmantara mendengus.
- Biarlah kucobanya. -kata Yudapati.
Kemudian dengan sekali meloncat ia turun ke bawah dengan membawa pedangnya.
Beberapa saat lamanya, ia mengulangi bunyi kalimat kalimat rumusnya dan mencoba menyelami. Hal itu pernah dilakukan pula tatkala berusaha menyelami rahasia warisan ragam ilmu sakti yang terdapat dalam goa. Setelah merasa yakin, segera ia menggerakkan pedangnya. Seperti yang pernah dilakukan., sekali pedangnya bergerak terus saja bergerak berkesambungan. Bedanya, dulu ia menggunakan rumus gabungan ragam ilmu kepandaian para cikal-bakal. Sekarang ia menggunakan intisari rumus llmu Pedang Gunadewa. Caranya melakukan sama saja. Dulu dia memecahkan makna gambar yang terukir. Sekarang memecahkan makna kalimatnya. Dan menyaksikan hal itu, Brahmantara terlongong-longong dan terpaku tak ubah arca yang tidak pandai berbicara dan berkutik.
Lambat-laun seluruh tubuhnya merasa meremang. Pada jaman itu, orang percaya benar akan masalah penitisan atau reinkarnasi.
- Jangan-jangan Yudapati adalah penjelmaan gurunya sendiri. Sekiranya bukan demikian, betapa mungkin dapat memahami penghayatan rumusnya yang mencakup intisari ilmu pedang yang terdapat di muka bumi ini?
Hatinya berdebar-debar. Perasaan takut menyelimuti seluruh tubuhnya. Teringatlah ia, bahwa gurunya wafat karena sedih memikirkan pekerti kedua muridnya. Punta Dewakarma menggondol kunci rahasia ilmu sakti Tantra, sedang dirinya mencuri rahasia
yang terakhir. berkatalah ia:
- Yudapati! Semasa mudaku. aku membutuhkan waktu satu bulan untuk menghafalkan kalimat-kalimat rumusnya. Setelah itu baru aku menyelaminya penghayatannya yang menyita waktu tiga bulan. Coba apakah engkau dapat menirukan kembali bunyi rumus yang sudah kuucapkan tadi? Di luar dugaan. Yudapati dapat mengulangi dengan lancar dan tepat. Mendengar dan menyaksikan keenceran otak Yudapati, Brahmantara terpaku beberapa waktu lamanya. Lalu berkata setengah berseru:
- Hai! Apakah gurumu pernah mengajarkan himpunan rumus jurus pertama llmu Pedang Gunadewa? - llmu Pedang Gunadewa? Yudapati tercengang .
- Dengan sesungguhnya baru saat ini aku mendengar nama ilmu pedang itu. Apakah . . . apakah . . .
- Ya. inilah rumus-rumus llmu Pedang kakek gurumu yang mencakup seluruh ilmu pedang yang terdapat di muka bumi ini. potong Brahmantara dengan suara menggeletar.
- Mengapa engkau dapat menghafalkan dengan mudah? Yudapati jadi kebingungan sendiri menghadapi pertanyaan itu. Sahutnya asal jadi:
- Aku sendiri tidak tahu. Apakah' karena dulu ingatan dan pikiranku sudah terlanjur dipaksa memecahkan himpunan ragam ilmu sakti di dinding goa seorang diri?
Brahmantara tidak segera menjawab. Ia berbimbang bimbang. lalu menghela nafas. Berkata mau mengerti:
- Baiklah. Mungkin otakmu encer. Di dunia ini, memang banyak orang dilahirkan dengan otak istimewa. Tetapi janganlah engkau tergesa gesa girang. Meskipun engkau hafal kalimat-kalimatnya. belum tentu dapat
ilmu sakti yang tertulis dalam kitab ciptaan gurunya.
- Guru! Ampunilah muridmu yang tidak berbakti ini ia berkomat-kamit.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua kakinya mendadak jadi lemas dan ia jatuh terduduk seperti seseorang yang mohon ampun di depan altar.
Sementara itu, Yudapati sudah menyelesaikan penghayatan himpunan rumus Ilmu Pedang Gunadewa dengan sempurna. Ia menoleh untuk memohon petunjuk petunjuk Brahmantara, karena masih ada sesuatu yang kurang jelas baginya. Tetapi begitu menoleh, ia melihat Brahmantara sedang berbicara berkomat-kamit seorang diri.
Apakah dia sedang menghafalkan kalimat-kalimat rumus selanjutnya?
Tiba-tiba ia jadi mengerti apa sebab ia dapat menghafalkan kalimat-kalimat rumus yang diucapkan orang tua itu. Serunya sambil melompat ke tempat Brahmantara berada: '
- Paman! Sekarang barulah kumengerti apa sebab aku dapat menghafalkan kalimat-kalimat paman dengan cepat. Rupanya rumus-rumus ini sudah mendarah daging di dalam diri paman sehingga paman tidak perlu mengingat;ingatnya lagi. Sekarang paman memaksa diri untuk menyusun rumus-rumus itu kembali. Tentu saja, paman mengucapkannya dengan pelahan-lahan dan hati-hati. Justru pada saat itu, aku mempunyai kesempatan untuk mengulangi setiap kali paman mengucapkan kalimat:kalimat rumusnya.
Brahmantara masih saja tidak bergerak dari tempatnya. Lama sekali ia tertegun-tegun. Manakala Yudapati hendak mengulangi alasannya. berkatalah ia setengah tak percaya:
- Benarkah itu yang menyebabkan engkau dapat menghafal dengan sekali jadi? - Benar.
Yudapati menyahut dengan suara meyakinkan.
- Tetapi mengapa engkau dapat menghayatinya dengan cepat pula? - Barangkali berkat aku dulu belajar memecahkan makna ukiran dan gambar-gambar yang tertera pada dinding goa. Bukankah sama halnya aku berusaha memecahkan arti bentuk gambar untuk bisa menghayatinya? Mendengar keterangan Yudapati, Brahmantara menghela nafas panjang. lalu menangis dengan terharu. Tentu saja Yudapati tidak mengerti apa sebab-musababnya. Ia jadi tidak tahu. apa yang harus diperbuatnya.
- Anakku. Kalau begitu, engkau pantas kusebut sebagai muridku dan aku kau sebut sebagai gurumu. '
- Belum tentu. -ujar Yudapati yang balik membuat Brahmantara berteka-teki.
- Belum tentu bagaimana? - Karena ada satu hal yang masih gelap bagiku. sahut Yudapati sambil duduk bersimpuh menghadap padanya.
- Mengapa jurus-jurusnya hanya menyerang melulu?
Mendengar pertanyaan Yudapati, Brahmantara merasa terhibur benar-benar. Sekarang ia percaya bahwa Yudapati bukan penjelmaan gurunya. Tetapi seorang tokoh lain yang mungkin diperintahkan arwah gurunya sebagai sarana untuk membawanya dirinya pulang ke nirwana dengan tenang. Maka dengan air mata berlinang ia berkata:
- Kalau begitu, panggillah aku guru! - Memang paman adalah guruku. sahut Yudapati dengan setulus hatinya.
- Panggillah aku guru! Brahmantara mengulang permintaannya.
Yudapati tercengang sejenak. Dasar ia seorang pemuda yang pandai membawa diri. segera ia menyahut:
- Guru! Berilah aku petunjuk!
Mendengar Yudapati menyebut dirinya sebagai guru. Brahmantara dengan serta-merta memeluk dan menciumnya. Lalu menjawab:
- Anakku. itulah yang dinamakan jurus tidak nampak. Sebab sifatnya mendahului lawan. Kalau sudah bisa mendahului, apa perlu bertahan lagi? Sekali mendahului. akan menyerang terus-menerus setiap perubahan lawan. - Apakah inti rumusnya bermakna begitu? - Apakah belum jelas? Jurus pertama tadi adalah himpunan rumus-rumus seluruh ilmu pedang yang terdapat di muka bumi. Karena engkau sudah hafal. maka setiap gerakan lawan sudah dapat kau tebak dengan tepat. Karena engkau sudah faham bagaimana kelanjutannya dengan sendirinya gerakan pedangmu akan mendahuluinya. Umpamanya tangan kanan lawan tiba-tiba bergerak miring ke samping. Engkau sudah dapat mendahului kelanjutannya.
- Sebentar. Yudapati memotong.
- Umpamanya saja lawan itu dari aliran Syiwapala. Gerakan pedangnya menusuk dan menarik kembali dengan cepat. untuk kemudian berputar menabas lambung. - Dan sebelum dia sempat menarik dan berputar menahan lambung. bukankah engkau sudah dapat mendahului. karena engkau sudah hafal rumusnya?
- Ah benar!
Yudapati bersorak. Tiba-tiba saja pikirannya jadi terbuka.
- Kalau begitu Ilmu Pedang Gunadewa tidak diperkenankan mendahului menyerang?
- Itulah dasar semangat ajaran Tantra yang murni. Kita tidak boleh mendahului. karena ajaran Tantra adalah ajaran damai. Sebaliknya Tantra berhak mempertahankan haknya, manakala diserang. ialah dengan mendahului. Sebab sebelum lawan sempat berbuat banyak, sudah dapat kita baca dengan jelas rahasia perubahannya. - Lalu di mana letaknya jurus yang tidak nampak itu?
- letaknya pada kecepatan mendahului maksud lawan. Brahmantara menerangkan.
- Kau dapat membaca kelanjutan perubahan gerakannya, sedang dia tidak mengetahui kelanjutan perubahan gerakan pedangmu yang membawa rangkaian bermacam-macam jurus ilmu pedang .Bukankah gerakan perubahan ilmu pedangmu menjadi jurus yang tidak nampak?
Yudapati memanggut membenarkan. Pada saat itu, ia merasa seperti berada dalam sebuah dunia lain yang indah dan menyenangkan. Dunia itu seolah-olah berisi gerakan.gerakan pendahuluan yang mendahului setiap gerakan manusia di bumi. Dengan begitu ia jadi mudah menebak dan pandai membaca setiap gerakan manusia di bumi. Dalam hal ini adalah masalah gerakan ilmu pedang yang terdapat di persada jagat raya. Apa sebab demikian? Karena setiap gerakan dan perubahan seluruh ilmu pedang di dunia, sudah terumuskan dalam jurus pertama Ilmu Pedang Gunadewa.
- Anakku! Bagaimana perasaanmu? tiba-tiba terdengar suara Brahmantara menembus bawah sadarnya.
- Rasanya . . . rasanya . . . eh. rasanya aku seperti terpimpin oleh suatu kekuatan yang tak kumengerti sendiri. -sahut Yudapati agak gopoh.
- Benar. Karena himpunan tenaga saktimu selaras dengan himpunan rumus ilmu pedang. Itulah yang dikatakan orang manunggalnya dalam dan lahir. Berbeda dengan Ilmu pedangmu dulu, bukan?
- Ya.
- Dulu masih terasa pisah, bukan? - Ya.
- Bersyukurlah. anakku. Kalau himpunan Tantra
sampai menyimpang. engkau akan mendapat kesulitan. inilah sebabnya Punta Dewakarma dulu dapat kukalahkan dalam hal mengadu senjata.
Brahmantara berkata dengan suara datar
- Sekarang. engkau akan kubawa maju ke jurus dua dan jurus tiga. Jurus dua merupakan jurus sambung antara jurus pertama dan jurus ketiga. Jurus tiga memuat himpunan rumus ilmu golok. Sekarang dengarkan dulu rumus-rumus yang tersimpan dalam jurus kedua.
Brahmantara kemudian mulai mengucapkan kalimat kalimat rumus yang ratusan macam jumlahnya. Kali ini Brahmantara tidak bersifat menguji, karena sudah percaya akan kepintaran Yudapati. Bahkan di dalam hatinya, masih saja dihantui perasaan bahwa Yudapati sesungguhnya adalah penjelmaan gurunya. Menilik usia Yudapati, pantas dia mempunyai kepercayaan demikian. Sebab gurunya kabarnya wafat lima atau enam puluh tahun yang lalu. Menurut tutur-kata orang-orang pandai, penjelmaan itu berarti mengulang kembali sebagai bayi yang kemudian tumbuh wajar sebagai manusia umumnya. Bedanya, otak dan kedewasaan jiwanya jauh lebih maju daripada manusia lumrah. Itulah sebabnya, tidak berani lagi ia berlagak sebagai orang yang lebih tua. Tetapi menempatkan diri sebagai penunjuk belaka dengan semangat hendak mengembalikan semua ilmu kepandaiannya yang diperolehnya dari mendiang gurunya.
Bagi Yudapati sikap Brahmantara melegakan hatinya. Sebab setiap rumus. Brahmantara berhenti untuk mengupas. membahas dan menerangkan. Ternyata jurus dua memegang kunci penghubung dari himpunan rumus jurus. Ia jadi teringat kepada pengalamannya sendiri, sewaktu dulu mencari jalan penghubung untuk merangkaikan dan Menggabungkan himpunan aliran Syiwala ke himpunan
ilmu kepandaian aliran lain. Sukarnya bukan main, karena ia tidak mengetahui rumus-rumus aliran yang sedang ditekuni. Kalau saja ia berhasil sebenarnya hanya berdasarkan untung-untungan saja dan bernasib baik. Sampai pada hari itu. ia belum pernah bertemu tandingnya. Tetapi apabila terus direcoki Mahera yang juga memiliki himpunan tenaga sakti istimewa, lambat-laun ia akan kehilangan akal.
Syukur kini ia mewarisi suatu himpunan rumus penghubung yang tiada keduanya di dunia. Begitu tiba pada jurus ketiga, ia merasa girang bukan kepalang. Ia bagaikan seorang dusun yang tiba-tiba berada di istana. Berbagai macam barang yang tak ternilai harganya menyilaukan matanya. Lalu jadi mengerti apa namanya dan dayagunanya oleh petunjuk-petunjuk Brahmantara.
Tetapi variasi dan keanekaannya bukan main banyaknya. Barangkali lebih dari seribu macam. Tepatnya berjumlah 1.017 himpunan rumus. Rumus-rumus ini ternyata membicarakan llmu Golok atau senjata lain yang dipergunakan sebagai golok. Karena banyaknya keanekaannya, Yudapati hanya mengandalkan daya ingatannya. Ternyata hal itu, diketahui oleh Brahmantara. Ujar guru besar itu:
- Anakku! Tak terasa fajar hari telah kau masuki. Kini engkau sudah mengantongi tiga jurus. Jurus pertama adalah Kuncinya. .Jurus kedua, penghubungnya. Dan jurus Tiga, keanekaannya. Sekarang beristirahatlah dulu. Makan minum dan tidur! Esok pagi kau pergunakan untuk waktu mendarah dagingkan! Jangan berkecil hati, anakku. Sebab apabila ketiga jurus itu sudah kau fahami lalu meresap menjadi darah dagingmu. jurus keempat sampai kesembilan sudah merupakan jalan yang rata.
Setelah berkata demikian. Brahmantara memasuki lorong dan menghilang di baliknya. Mungkin sekali. Ia perlu beristirahat di dalam tempat yang tidak terganggu.
Yudapati sendiri. segera memeriksa isi bungkus perbekalan pemberian Tepus Rumput. Ternyata isinya makanan kering, daging kuda bakar dan minuman hangat.
Alangkah baik hati kakak-angkatnya itu!
Agaknya, ia sudah tahu dirinya akan bertemu dengan Resi Brahmantara.
Atau mungkin justru dia yang merencanakan semuanya ini?
Namun ia tidak membiarkan dirinya terenggut masalah itu. Ringkasnya, ia tidak berani membagi perhatian, meskipun masih banyak hal-hal yang perlu dipertanyakan. Seperti masalah gurunya, Punta Dewakarma, dan Resi Brahmantara. Sebab-musababnya dia berada dalam ruang itu dan sebagainya dan sebagainya.
Begitulah, setelah kenyang makan dan minum, segera ia merebahkan diri. Beberapa saat kemudian, ia sudah berkelana di dalam dunia mimpi
Brahmantara tidak kurang-kurang pula lelahnya bila dibandingkan dengan keadaan Yudapati. llmu warisan gurunya itu sudah mendarah daging dalam dirinya semenjak puluhan tahun yang lalu. Kini, mendadak harus menjabarkannya kembali. Tentu saja, ia harus menguras seluruh ingatannya. Itulah pula sebabnya, begitu memasuki kamarnya langsung saja ia terlena tidur. Ia terbangun sewaktu pendengarannya menangkap bunyi angin yang menderu-deru. Segera ia keluar dan melihat Yudapati sudah berlatih menghayati jurus pertama, kedua dan ketiga.
Menyaksikan hal itu hatinya terhibur. Yudapati tidak hanya berotak encer saja. akan tetapi tekun dan rajin pula. Penafsiran serta penggarapannya tepat seolah-olah jurus-jurus itu adalah hasil ciptaannya sendiri. Akan tetapi itu baru daya ingatan saja alias hafalan belaka. Meskipun demikian. sudah lebih dari cukup.
- Anak ini paling-paling baru berumur 28 tahun.
Dua puluh tahun lagi. ia niscaya sudah manunggal. senafas dan sejiwa dengan jurus-jurusnya sendiri. berpikir di dalam hati. Ia masih percaya. bahwa Yudapati adalah re-inkarnasi dari gurunya sendiri. Maka ilnm sakti yang sedang dipelajari itu adalah ibarat kerbau pulang kandang.
Melihat sisa makanan Yudapati. tak segan-segan lagi ia menghampiri dan memungut sepotong daging. Sambil mengunyah daging bakar itu lembut-lembut, memperhatikan dan menunggu dengan sabar sampai Yudapati menyelesaikan seluruh jurusnya. Kemudian berseru:
- Anakku! Untuk saat ini. cukuplah sudah. Kau perlu beristirahat dulu untuk menerima petunjuk-petunjukku.
Yudapati memutar badannya. Melihat gurunya yang kedua itu, ia membungkuk hormat dengan wajah berseri-seri. Menyahut -sambil melompat menghampiri:
- Rasanya aku seperti hanya berenang di permukaan airsaja.
- Tepat.
Brahmantara tersenyum membenarkan.
- Engkau harus mengerti letak inti daya-gunanya. Ibarat sebuah lagu, kau harus mengerti iramanya dulu. Setelah itu penjiwaannya. Kelak . . . ah, makanlah dulu! Eh ya. aku mencuri sepotong dagingmu.
- Ah, guru!
Yudapati tertawa geli. Segera ia menuangkan semangkuk minuman hangat pemberian Tepus Rumput untuk gurunya yang nomor dua itu. Karena gurunya sudah berkenan bergurau. berkatalah ia lagi:
- Dalam hatiku. guru yang mewariskan himpunan tenaga sakti Tantra bernama Resi Brahmantara. Kini. aku justru bertemu dan berguru kepada Resi Brahmantara yang asli. Sesungguhnya guruku itu satu orang atau dua orang?
- satu nama.
- Guru maksudkan seseorang yang bernama Resi Brahmantara?
Yudapati bergembira.
- Ya. rasanya cocok dan tepat sekali. - Justru tidak.
- Justru tidak? Yudapati jadi tidak mengerti maksud gurunya itu.
- Ya. justru tidak. ujar Brahmantara.
- Gurumu yang benar hanya satu orang. Dialah Resi Gunadewa. Sebab ilmu kepandaian yang kau miliki kini berasal daripadanya. meskipun terbagi menjadi dua. Yang satu dari Punta Dewakarma. Yang lain, dariku. Padahal yang sedang kau tekuni ini adalah Ilmu Pedang Gunadewa. Bila kelak sudah manunggal dengan dirimu, kaulah sesungguhnya Gunadewa. Paling tidak. engkau adalah penjelmaan Gunadewa. guru kami berdua. - Ah, guru! Yudapati terkejut sampai terloncat dari tempatnya.
- Sudahlah! Untuk saat ini kau tutup saja mulutmu. Kelak engkau akan mengerti apa yang kumaksudkan.
Yudapati benar-benar merasa tidak mengerti. Tetapi melihat wajah gurunya mendadak berubah angkar, tidak berani ia berpikir berkepanjangan. Segera ia mengalihkan pembicaraan:
- Ada satu hal yang masih belum kufahami. Apakah guru berkenan memberi keterangan?
- Katakanlah! - Bagaimana sekiranya aku berhadapan dengan orang kalap yang sama sekali tidak mengenal atau mengerti tentang jurus-jurus? Tegasnya, dia hanya mengamuk secara naluriah saja.
- Begitulah yang tepat.
- Begitulah yang tepat bagaimana?
- Jurus itu maknanya seperti rumus pula. bukan? Umpamanya saja seseorang membawa pedang. Supaya memperoleh daya serangan yang tepat. orang itu kemudian menciptakan suatu gerakan. Gerakan perubahannya umpama saja berjumlah 72 macam. Nah. itulah yang dinamakan rumus pedang ciptaannya. Jumlah ciptaan Ilmu pedang di dunia, ribuan jumlahnya. Masing-masing menamakan diri sebagai aliran-aliran yang tersendiri. Engkau sekarang sedang mempelajari ribuan macam aliran pedang itu yang diringkaskan menjadi 560 gerakan lurus. Itulah yang berada di jurus pertama. Sedangkan jurus-jurus lainnya adalah keanekaan gerak perubahannya yang meliputi ribuan macam jurus. Karena itu, kukatakan jurus pertama adalah kuncinya. Sekarang engkau sedang menghadapi orang kalap yang membawa-bawa pedang dan mengamuk dengan sabetan-sabetan kalang-kabut berdasarkan naluriah saja. Itulah yang tepat. Artinya. dia tidak terbelenggu oleh jurus-jurus tertentu atau rumus-rumus gerakan tertentu. Kau pun kelak harus mencapai tataran demikian pula, di mana gerakan pedangmu menjadi pengucapan naluriahmu. Engkau mengerti yang kumaksudkan ini?
Yudapati mengangguk. Sebab dulu sewaktu bingung mempelajari keragaman ilmu kepandaian di dalam goa, ia bermimpi diserang orang kalap pula dan akhirnya bisa mengatasi dengan cara mengimbangi keadaan lawan. Alias melawan tanpa jurus. Dalam hal ini, kecepatan yang menentukan kalah menangnya.
- Apakah yang guru maksudkan, jurus pertama memuat seluruh rumus-rumus hasil ciptaan orang-orang pandai jaman dulu sampai sekarang? ia menegas.
- Ya. Karena itu tidak mudah. Kalau nasibmu baik, engkau baru menguasai dengan makna sebenarnya dua
puluh tahun lagi. ujar Brahmantara.
- Dua puluh tahun!
Yudapati berkomat-kamit.
- Ah. itu pun tidak terlalu lama. Tetapi bagaimana kalau lawan tidak bersenjata?
- Maksudmu bertangan kosong?
- Ya.
- Hm, bukankah engkau sudah mewarisi himpunan tenaga sakti Tantra dari Punta Dewakarma? Dengan Tantra.kau pun dapat melawannya. Mungkin sekali kau kalah dalam ragam gerakan tangan dan kakinya. Namun tenaga sakti Tantra sudah lebih dari cukup untuk menahannya. Sebab dengan himpunan tenaga sakti. engkau dapat menciptakan jurus tak kelihatan. Itulah yang dinamakan menanam jurus atau jurus tanaman.
- Ya. Tetapi bagaimana kalau orang itu menggunakan senjata tombak. penggada, anak panah. rantai. tongkat
- Ha ha ha ha ha ha . . .
Brahmantara memotong kata-kata Yudapati dengan tertawa terbahak-bahak.
- Kau terlalu bersemangat atau mungkin bernafsu. Sudahlah, kau selami dulu jurus satu sampai tiga ini! Setelah berkata demikian, Brahmantara mulai membahas lagi. Namun kali ini lebih mendalam dan lebih luas lagi. Demikianlah, dua makhluk Tuhan itu saling berhadapan dengan membawa misinya masing-masing. Yang tua bersungguh-sungguh dan yang muda tekun dan rajin. Tak mengherankan, tahu-tahu sore hari telah tiba. Mereka berhenti makan dan minum lagi.
Pada malam harinya, Brahmantara mulai menurunkan jurus keempat. Sifat dan ragamnya lain lagi. Teringat, esok hari Yudapati harus menghadapi Mahera. Brahmantara menyuruh mencatat saja dalam ingatannya. Yang penting untuk sekarang. berlatih lagi mulai jurus satu sampai jurus tiga.
Katanya
- Mahera adalah murid Punta Dewakarma. Ia termasuk angkatan lebih tua daripadamu. ia menambahkan.
- Dalam tata-atur perguruan. engkau harus memanggilnya kakak. Akan tetapi karena engkau muridku pula. sedang Punta Dewakarma adalah adik-seperguruan. maka tingkatanmu sama dengan Mahera. Hendaklah besok kau perlihatkan kepandaianmu. Buatlah dia agar berpikir sungguh-sungguh. - Tetapi bagaimana kalau aku sampai melukainya atau aku terlukai?
Yudapati minta pertimbangan.
- Senjata memang tidak mempunyai perasaan dan penglihatan. Serahkan saja hal itu kepada nasib. Kalau nasibmu baik, engkau akan dapat mengalahkan. Sekiranya kau belum mahir. bukankah engkau masih mempunyai Kecapi maut dan himpunan tenaga sakti Tantra yang tiada bandingnya? jawab Brahmantara dengan suara datar.
- Tetapi sebenarnya. engkau mempunyai kesempatan untuk mematangkan latihanmu. Yudapati merenungkan kata-kata Brahmantara. Sebagai seorang pemuda yang mempunyai pembawaan cermat dan berotak cerdas. ia yakin Brahmantara menyembunyikan maksud hatinya. Pikirnya di dalam hati:
- Agaknya guru tidak senang bila aku mengalahkan atau melawan Mahera dengan menggunakan ilmu sakti ajaran adik-seperguruannya. Mengingat pada masa remajanya mereka sering bertempur dan tentunya lantaran ingin bersaing, rasanya kurang tepat bila aku melawan Mahera dengan ilmu himpunan tenaga sakti Tantra. Di depannya, aku justru harus memperlihatkan jurusjurus sakti yang diajarkannya. Bukankah dengan demikian,aku akan mengesankan kesungguh-sungguhanku terhadapnya?
Memperoleh keputusan demikian. segera ia minta ijin untuk berlatih lagi. Ia memperlihatkan kesungguhannya. Hasilnya sungguh menggembirakan dirinya sendiri. Perasaan nyaman menyelimuti seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja, ia tidak merasa lelah. lapar atau dahaga. Tangan dan kakinya seakan-akan ingin bergerak terus-menerus.
- Bagus! Bagus! Itulah Tantra sejati!
Brahmantara bertepuk tangan.
- Tantra adalah hidup yang selalu bergerak.
- lalu apakah aku harus bergerak terus-menerus?
Yudapati cemas.
- Bukankah engkau tahu sendiri caranya menghentikan?
Waktu itu pagi hari telah tiba. Dengan begitu berarti ia berlatih tidak mengenal lelah semenjak semalam. Sekarang ia menghadapi soal pelik. Sebab Brahmantara mengembalikan permasalahannya balik kepadanya, padahal ia justru mengharapkan petunjuknya. Tetapi tak lama kemudian, ingatlah ia bahwa Brahmantara hanya memiliki Tantra tingkat tujuh. Kalau begitu, kunci penguasaannya tentunya berada pada tingkat-tingkat lebih atas. Karena pengalaman ini untuk yang pertama kalinya, maka tidak tanggung-tanggung lagi ia langsung memasuki tingkat sepuluh dan sebelas.
- Aha . pada tingkat sebelas berkelebatlah huruf ukir ukiran yang dulu tidak pernah dapat dibacanya. Bahkan andaikata gurunya pun masih hidup, tidak akan dapat memberi keterangan. karena gurunya hanya mencapai tingkat sembilan. Seperti yang dilakukan dulu sewaktu meniru gerakan lukisan pada dinding goa. demikian pulalah yang dilakukannya kali ini. Ternyata ukiran-ukiran itu merupakan jalan Tantra atau nama Tantra yang tidak beda jauhnya dengan tangga nada yang terdapat di Kitab Petunjuk llmu Pemutus Jiwa. Begitu menirukan bentuk ukirannya. suatu hawa yang luar biasa nyaman melesat dengan amat cepatnya dan ikut berputar. Seketika itu juga dapatlah ia menguasai diri. Adapun keterangannya sebenarnya sederhana saja. Karena ia menggunakan jalur yang lebih cepat. maka ia dapat melampaui putaran jalur yang kurang atau kalah cepat. Dalam dua tiga kali berputar, sang lambat sudah terpegang sang cepat. Secara wajar yang lambat jadi terbawa oleh sang cepat dalam siklus peredarannya. Dan Yudapati dapat keluar dari perputaran yang lambat tadi dengan mengendarai kereta Tantra tingkat sebelas yang jauh lebih cepat.
Sayang ia tidak mempunyai kesempatan merenungkan pengalamannya tadi. lebih dalam lagi. Sebab pintu dinding tiba-tiba terbuka dan muncullah Mahera dengan semangat tempur yang berkobar-kohar. Dengan penuh selidik ia mengawaskan apa yang sudah terjadi dalam goa itu. Lalu menoleh kepada Brahmantara. Serunya setengah mengancam:
- Jadi engkau benar-benar sudah mau mengajar bocah
- Kau coba sendiri! -jawab Brahmantara pendek.
Namun baik lagu suara maupun pandang matanya berkesan ramah.
Setelah menutup pintu rahasia. Mahera maju selangkah memandang Yudapati. Teriaknya dengan suara bergelora:
- Hai bocah! Sebenarnya siapa namamu? - Kau sendiri siapa?
Yudapati balik bertanya.
- Aku Mahera! Mustahil siluman itu tidak menyebut nyebut namaku. sahutnya setengah membentak.
- Apa perlunya menyebut namamu? Yudapati balik membentak. Ia memang pandai bermulut jahil berkat pengalamannya dahulu mengadu mulut melawan
Palata. Dan berhadapan dengan orang semacam Mahera, ia merasa perlu untuk berbuat demikian. Di luar dugaan. sikapnya mendapat dukungan Brahmantara. Kata orang tua itu bernada gembira:
- Bagus! Cocok dengan watakku.
Dan begitu merasa memperoleh dukungan. kumatlah mulut jahil Yudapati. Terus saja ia menimbrung:
- Nah. kau dengar sendiri kan?
Mahera menggeram. Bentaknya:
- Bocah! Berhadapan denganku jangan berlagak! - Sapa yang berlagak? Bukankah aku sekadar memberi keterangan? .
- Kalau begitu, aku perlu merobek mulutmu dulu.
- Silahkan. Kau atau aku yang menyerang dulu? Dengan sebat. Mahera menghunus senjatanya yang istimewa. langsung saja ia menyerang dengan ganas. Tiga hari yang lalu Yudapati sempat mengenal gaya dan perubahan serangannya. Kini malah jadi bertambah-tambah. Oleh dalil-dalil jurus pertama. dua dan tiga, semuanya seperti nampak jelas apa yang akan dilakukan lawan. Keruan saja, ia mendahului sebelum Mahera sempat menyelesaikan jurus serangannya. Dan begitu pedangnya bergerak, jurus dua yang menjadi penyambungnya lantas saja mendukung setiap perubahannya. Dan baru empat gebrakan saja. senjata Mahera sudah terpental menghantam dinding.
- Bagaimana?
Yudapati menudingkan pedangnya.
- Apakah hanya kebetulan saja? Silakan ambil kembali!
Seketika itu juga. wajah Mahera pucat lesi. Mimpi pun tidak, bahwa Yudapati yang masih dianggapnya sebagai bocah kemarin sore dapat mementalkan senjatanya hanya dalam empat gebrakan saja. Rupanya ia biasa menang sendiri. Begitu mendapat kesempatan untuk dapat
mengambil senjatanya kembali,terus saja ia menggerung bagaikan singa gila. Dengan mengerahkan seluruh himpunan tenaga saktinya. ia melompat menyerang.
Diam-diam Yudapati terkejut. Sebenarnya lebih mudah, bila ia melawannya dengan mengadu tingkatan tenaga sakti. Akan tetapi ia tidak mau membuat hati Brahmantara kecewa. Maka segera ia menggunakan tenaga sakti tingkat sepuluh dan sebelas untuk mendukung gerakan llmu Pedang Gunadewa. Hasilnya hebat luar biasa.
Seketika itu juga, Mahera merasa seakan-akan dadanya tertindih suatu beban yang berat bukan kepalang, sehingga membuat dirinya susah bernafas. Memang tenaga sakti tingkat sepuluh dulu pernah digunakan Yudapati untuk menjebol pintu goa yang berada di lereng Gunung Krakatau. Juga pernah digunakan pula untuk mengangkat sebuah batu raksasa yang dilontarkan sebagai penutup goa kuburan gurunya. Sekarang tenaga sakti itu dibuat menindih ruang gerak Mahera. Tak mengherankan, Mahera merasa seperti tak pandai berkutik. Ke mana saja ia bergerak seperti terhalang oleh sesuatu kekuatan yang luar biasa kuatnya.
Dalam keadaan mempertahankan mati hidup. sekonyong-konyong ia berteriak bagaikan guntur. Atap dan dinding goa tergetar, kemudian rontok berguguran. Gelombang angin berputaran menderu-deru. Itulah suatu tanda, ia sedang melepaskan tenaga himpunannya yang tertinggi untuk melepaskan diri dari suatu himpitan. Lalu mencoba menghisap kekuatan sakti Yudapati. Namun ia kaget bukan kepalang, karena Yudapati sama sekali tidak bergeming. Bahkan ia merasa denyut nadinya terguncang hebat dan ia ikut terbawa berputaran tak ubah layang-layang putus terbawa arus angin puyuh.
Pada suatu saat ia terpental keluar lingkaran dan dengan tidak dikehendaki sendiri, punggungnya menghantam
dinding goa. Tak terkendalikan lagi, ia melontakkan darah segar. Justru demikian kedua matanya menyala. meskipun nafasnya memburu.
- Anakku, biarkan dia pergi! terdengar Bahmantara berkata dengan nada halus.
- Dia terlalu terburu nafsu. maka ia menjadi korban Tantrayana yang asli. Hai Mahera, apakah engkau belum sadar juga? Baiklah kau kuberi waktu dua minggu. Pada saat itu. apabila engkau belum menyadari juga, maka tiada jalan ke luar kecuali mencabut jiwamu. Mahera menggerung dengan pandang penasaran. Namun ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Sekali bergerak, ia berputar arah menuju ke pintu rahasia. Lalu berkata:
- Baik, aku akan datang kembali dua minggu lagi.
Setelah berkata demikian,ia menghilang di balik goa tanpa menutup pintunya. Yudapati tercengang. Minta keterangan kepada Brahmantara:
- Guru! Mengapa guru membiarkan dia pergi dan memberi kesempatan dua minggu lagi untuk datang ke mari?
- Hm . . . karena pada saat itu, kukira engkau sudah selesai mewarisi llmu Pedang Gunadewa. sahut Brahmantara.
- Kau tahu apa artinya dia melontakkan darah? Itulah salah satu tanda ilmu sesatnya. Bila tidak segera kucegah, dia akan . . . menggunakan ilmu sesatnya. Harus kau ketahui anakku, setiap kali dia melontakkan darah tenaganya bertambah dua kali lipat. Bisa kau bayangkan betapa hebatnya, meskipun dia sendiri akan menderita hebat. Yudapati tidak minta penjelasan lagi. Ia percaya,gurunya tentu mempunyai alasan kuat mengapa Mahera dipersilakan pergi. Maka dengan mengunci
mulut, ia memasukkan pedang Jagadpati ke sarungnya.
- Kau naiklah. anakku! ujar Brahmantara.
- Engkau sekarang dapat mempelajari ilmu sakti guruku dengan tenang dan tidak perlu tergesa-gesa.
Brahmantara kemudian mulai mengulangi lagi jurus pertama sampai tiga. Kini, ternyata tidak hanya berintikan ilmu pedang semata tetapi menyangkut pula ilmu golok. Setelah itu meningkat ke rumus-rumus melawan ilmu tombak, tongkat, penggebuk dan senjata-senjata lain yang sejenis. Pada keesokan harinya, meningkat ke himpunan rumus jurus kelima. Itulah rumus-rumus jurus senjata penggada, bindi. cempuling. ruyung atau alat pemukul lainnya yang sejenis. Setiap kali meningkat atau berpindah ke himpunan rumus jurus berikutnya,selalu dimulai dari sebagian rumus-rumus jurus kedua. Maka makin meresaplah di dalam hati Yudapati, bahwa jurus dua mengandung maknaganda.
Makin meningkat. bunyi himpunan rumus makin terdengar sulit dan berbelit. Anehnya, Yudapati tidak merasakan suatu kesulitan. Bahkan dengan lancar ia menelaah semuanya ibarat seseorang menelan ikan tanpa duri. Anehnya lagi, adalah sikap Brahmantara. Orang tua itu sama sekali tidak memujinya, ia menganggap keistimewaan Yudapati wajar saja. Dan berturut-turut ia telah mewariskan rumus jurus tali, cambuk, rantai dan sejenisnya. Dengan demikian, Yudapati sudah mengantongi himpunan rumus jurus-jurus ilmu pedang, penghubung, golok, tombak, penggada dan jurus-jurus lawan yang menggunakan senjata panjang lemas dan keras seperti tali. cambuk dan rantai. Dan barulah ia berkata:
- Anakku! Sampai di sini, apakah yang terasa dalam hatimu?
Yudapati menatap pandang wajah Brahmantara yang cerah. Lalu menjawab
- Meskipun belum berani aku mengatakan sudah menguasai rumus rumus Ilmu Pedang Gunadewa namun aku tidak merasakan suatu kesulitan kecuali harus menghafalkan dan memahami makna penghayatannya - Tahukah engkau apa sebabnya? - Justru hal ini yang hendak kutanyakan kepada guru
Brahmantara tersenyum. Menjawab:
- Sebabnya. karena engkau sudah menguasai rumus jurus pedang. Hendaklah kau ketahui, bahwa ilmu pedang adalah ilmu yang tersulit di antara ilmu-ilmu senjata lainnya. Sapa yang menguasai rumus-rumus jurus pedang, dia akan sanggup menerima pengertian ilmu-ilmu lainnya. Sebab jurus pertama itu adalah kuncinya. Itulah sebabnya. maka himpunan rumus-rumus berbagai senjata yang berjumlah sembilan dinamakan llmu Pedang Gunadewa. Sebab mendiang guruku. menghendaki agar semua ilmu senjata lainnya dikalahkan dengan ilmu pedang. Maka sudah wajar. bila engkau dapat memahami rumus-rumus jurus lainnya meskipun nampak sulit dan berbelit. Tetapi kini engkau akan meningkat ketiga rumus jurus jurus lainnya yang memerlukan peralihan. Sebab cara memahami harus berdasarkan himpunan tenaga saktimu.
Namun mengingat himpunan tenaga saktimu berasal dari sumber yang lurus dan sudah berada pada puncaknya. maka aku percaya akan memudahkan dirimu untuk memahami dan menghayatinya. Dengarkan! Inilah rumus-rumus jurus bila engkau menghadapi lawan yang tidak bersenjata. Lawan yang berkelahi dengan tangan kosong seperti yang pernah kau tanyakan. Brahmantara berhenti sejenak ia mendongakkan kepalanya seperti sedang
mengingat-ingat. Meneruskan:
- lawan yang berkelahi dengan tangan kosong berarti lawan yang berat. Artinya dia sudah tidak perlu menggunakan senjata apapun. Ringkasnya. dia sudah mencapai tataran tertinggi kalau tidak boleh disebutkan sudah mencapai kesempurnaan. Karena itu. ajaran ini jauh lebih sulit daripada rumus rumus jurus llmu Pedang. Pada waktu itu sudah hari yang kedelapan Brahmantara menurunkan rumus-rumus jurus untuk melawan musuh yang bertangan kosong. Memang sulit luar biasa. Yudapati membutuhkan waktu tiga hari untuk dapat memahami dan menghayati. Tetapi dengan demikian, sekarang ia tahu apa sebab Brahmantara menyuruh Mahera meninggalkan tempat. Ternyata dengan diam diam gurunya melindungi dirinya.
- Ah, ternyata jurus jurus ilmu bertangan kosong jauh lebih luas,berbahaya dan tidak terduga.
Keesokan harinya, Bruhmantara mulai mengajari himpunan rumus-rumus untuk melawan musuh yang menggunakan senjata bidik seperti anak-panah, jarum berbisa. gotri, benda timpuk. pisau terbang dan lain lainnya yang sejenis.
Kecuali Yudapati harus belajar menggunakan indera pendengaran untuk bisa mendengar dan membedakan jenisnya,juga harus tahu dengan tepat dari mana asal serangan dan bagaimana cara melawannya. Setelah itu. dirinya pun dituntut pula untuk dapat melakukan berbagai macam dan jenis senjata bidik. Karena di dalam goa itu. tiada terdapat senjata-senjata bidik yang tepat. maka Yudapati hanya diwajibkan memahami seluk-beluknya agar tersimpan dalam ingatannya. Diharapkan dalam waktu-waktu mendatang harus melatihnya dengan tekun.
Sekarang yang terakhir. Itulah ajaran rumus-rumus melawan musuh yang memiliki ilmu sakti seperti ilmu hitam, racun, hawa yang mengandung bisa, tipu-muslihat keji, mengenal perangai manusia. tingkah laku semu dan sebagainya yang ternyata sulit luar biasa. Yudapati hanya pandai mengingat-ingat rumus-rumusnya, akan tetapi selanjutnya harus memiliki pengalaman dan latihan. Itulah sebabnya, tidak mengherankan bila gurunya menyebut-nyebut masa berlatih dan bertekun selama 20 tahun. Bahkan itu pun dengan catatan, bila berjodoh. Kalau tidak,ia hanya akan bisa memahami kulitnya saja. Tetapi jiwanya, belum sama sekali.
Pada hari yang keempat belas, Brahmantara tiba-tiba berkenan membuat pesta kecil-kecilan seperti pesta ucapan syukur kepada Illahi. yang Pemurah. Adil, Besar dan Agung. Sambil menggerumiti sisa-sisa daging pemberian Tepus Rumput, berkatalah Brahmantara dengan wajah berubah-ubah. Kadang memancarkan rasa syukur, kadangkala bermurung-murung dan sedih. Katanya:
- Anakku. hatiku hari ini penuh syukur dan berbahagia. Bahwasanya pada hari usiaku yang hampir mencapai titik penghabisan. sudah diperkenankan mengembalikan semua kepandaian hasil curianku kepada Yang berhak. Memang, dulu aku pernah menerima petunjuk-petunjuk guruku. Akan tetapi otakku dan kemampuanku tidak seperti engkau. Takut kalau guru akan membakar kitab sakti itu aku membawanya lari. Setelah berhasil memahami. baru kubakar. Dengan begitu, aku tidak menyalahi kehendak guruku agar melenyapkannya. Namun dengan catatan setelah aku mewariskan kepada angkatan selanjutnya. Tentu saja pewaris itu, hanya seorang saja. Dan pewaris itu ternyata dirimu. Anakku Yudapati yang berasal dari pulau Jawa. Inilah yang dinamakan kerbau pulang kandang karena mendiang kakek gurumu berasal dari Jawa. Aku
dan Punta Dewakarma pun sebenarnya berasal dan Jawa pula. Tetapi merantau kemari karena terdorong oleh angan-angan dan cita-cita sendiri. Hm . . . sampai di sini orang tua itu nampak sangat sedih. Katanya melanjutkan dengan suara tidak lancar.
- Dua puluh tahun lagi, kuharapkan engkau sudah mendarah dagingkan. Akan tetapi pada saat itu. engkau tidak akan mempunyai lawan lagi. Sebab akan selalu menang. Akhirnya engkau akan jadi kesepian karena kehilangan gairah hidup. Akhirnya menyendiri . . . lalu timbul rasa bosan hidup. Pada saat rasa demikian timbul di dalam hatimu, engkau masih mempunyai tugas dan kuwajiban. Ialah mencari pewarisnya untuk melestarikan jerih payah penciptanya. Kalau hal ini tidak kau lakukan, di alam baka aku akan mengutukmu.
Mendengar kata-kata Brahmantara yang terakhir itu, hati Yudapati tergetar. Cepat-cepat ia menyembah gurunya seraya berkata goroh:
- Guru terlalu cepat menaruh harapan padaku. Meskipun dua puluh tahun adalah masa yang cukup lama namun aku tidak berani mengharapkan dapat mencapai tataran yang guru bayangkan. Aku . . . - Tidak. .- potong Brahmantara dengan sungguh sungguh.
- Dalam hal mewarisi llmu Pedang Gunadewa, engkau bertanda jauh lebih besar daripadaku. Waktu itu, aku baru mencapai Tantra tingkat empat. Meskipun demikian, aku berhasil menyelami dan memanunggalkan Ilmu Pedang Gunadewa dengan perasaanku dalam masa 20 tahun. Karena itu aku percaya. bahwa engkau bahkan jauh lebih cepat. Sebab dalam hal himpunan tenaga sakti Tantra. engkau jauh lebih dahsyat daripadaku. Seperti gurumu aku hanya mencapai tingkat sembilan. Sedangkan engkau sudah mencapai tingkat sebelas. Sewaktu engkau melawan
Mahera dua minggu yang lalu. terbukalah mataku. Sepantasnya. engkaulah yang jadi guruku. Sekarang aku mengerti maksud Punta Dewakarma. apa sebab dia mengaku bernama Brahmantara. Ternyata penglihatannya tentang dirimu lebih tajam daripadaku. Dia merasa tidak pantas mengaku diri sebagai gurumu. Demikian pulalah pendapatku tentang diriku. Sebab aku melihat guruku hidup kembali dalam dirimu.
- Guru! Janganlah guru berkata begitu! Aku tetap murid seorang maha pendekar yang kebetulan bernama Resi Brahmantara. Dan hal itu akan kubawa mati dalam liang kubur. ujar Yudapati dengan suara sungguh-sungguh.
Akan tetapi Brahmantara membuang mukanya. Lama ia berenung-renung, baru ia berkata lagi:
- Dengarkan, anakku. Pada waktu ini. selain engkau sudah mewarisi llmu Pedang Gunadewa, masih mempunyai suatu ilmu kepandaian yang istimewa. Itulah Kecapi mautmu dengan Ilmu Pemutus Jiwa. Jadi engkau melebihi apa yang kumiliki.
- Tidak, guru. tungkas Yudapati.
- Setelah aku memahami llmu Pedang Gunadewa, kecapi ini tiada guna-faedahnya lagi. Himpunan rumus-rumus jurus sembilan, sudah cukup untuk melawannya.
- Salah! -ujar Brahmantara.
- Memang engkau bisa melawan orang-orang sakti. Tetapi bagaimana bila lawanmu menggunakan jaring, umpamanya? Atau sewaktu engkau berada di tengah hutan, musuh membakar hutan itu. Ringkasnya apa yang akan kau lakukan bila engkau tercebur dalam lautan api? Apa yang akan kau lakukan bila engkau terjebak dalam danau berlumpur? Apa yang bisa kau lakukan, bila engkau dikerubut dua puluh ribu orang bagaian? llmu Pedang Gunadewa memang terlalu hebat bila dibawa bertempur melawan seratus dua ratus
orang. Akan tetapi bila menghadapi puluhan ribu orang. lautan api. jaring berlapis-lapis. lautan lumpur. lautan air tak bertepi. gunung meledak dan lain-lain lagi. kukira belum ada jawabannya yang tepat. Barangkali yang dapat menjawab hanyalah kecapimu. Nah. anakku . . . sekian saja. Hari ini adalah hari perjanjian. Mahera selalu menganggap dirinya seorang pendekar besar. Karena itu ia selalu akan memegang janjinya. Tetapi mengapa dia belum muncul muncul juga? Padahal matahari sudah tinggi. Yudapati tertegun.
Matahari sudah tinggi?
Dari mana gurunya mengetahui hal itu?
Goa itu terlalu rapat. Hampir-hampir tiada cahaya yang masuk. Hawanya pun tetap dingin.
- Kau kelak akan dapat merasakan perubahan hawa dan suasana. anakku. -ujar Brahmantara seperti dapat membaca hatinya.
- Belasan tahun aku bermukim di sini. Tak mengherankan aku dapat membedakan waktu. Kau kelak akan mampu berpeka demikian pula. setelah llmu Pedang Gunadewa manunggal dalam kalbumu. Sekarang akan kuantarkan engkau keluar gua ini. Kurasa, Mahera sedang sibuk membuat jebakan untuk mencelakakan dirimu. Sebab dia merasa sudah kalah. Apalagi yang akan diperbuatnya kalau tidak melakukan tipu muslihat keji demi mempertahankan pamornya? Karena itu kecapimu jangan sampai pisah darimu. Begitu tiba di luar, geseklah! Aku percaya. niscaya akan dapat membantu kesukaranmu.
Yudapati tidak diberi kesempatan untuk membuka mulutnya. Dengan isyarat matanya. Yudapati diperintahkan berkemas-kemas. Orang tua itu kemudian mendahului berjalan menghampiri pintu dinding yang terbuka semenjak dua minggu Yang lalu.
Pendekar Kembar Karya Gan K L Trio Detektif 19 Misteri Danau Siluman Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini