Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 22

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 22


*******
KECAPI MAUT
APA YANG DIBAWA Yudapati sekarang seperti waktu semula ia mendarat di wilayah Pasupata Hitam. Bahkan masih dikurangi satu. Ialah golok Pataliputra yang kini berada pada Tepus Rumput. Sisa makanan, tiada lagi. Tinggal sebungkus pakaian. pedang Jagadpati dan kecapi pemberian Pamasih. Sedangkan botol pemunah racun rampasannya berada di balik bajunya.
Sambil berjalan mengikuti Brahmantara, Yudapati merasa tidak pandai berbicara lagi. karena terlalu banyaknya bermacam-macam pertanyaan yang merumun di dalam otaknya. Seperti, Brahmantara dan Punta Dewakarma berasal dari pulau Jawa.
Pulau Jawa wilayah mana?
Dalam hal ini, Brahmantara agaknya tidak bersedia menerangkan, Juga pemukiman mendiang Resi Gunadewa, tidak disebutkan pula. Mereka berdua mengaku mencuri kitab-kitab sakti gurunya. Mungkin benar. Namun latar belakangnya. kurang jelas. Brahmantara enggan disebut
Sebagai guru. Alasannya kurang meyakinkan. Sekarang orang tua itu yakin bahwa Mahera sedang memasang perangkap. Perangkap macam apa,tidak dijelaskan. Sebaliknya hendak minta kejelasannya. Yudapati merasa enggan. Siapa tahu justru akan menyinggung perasaannya. Sebab seorang pendekar berkepandaian tinggi memiliki cara berpikir sendiri. Bagi manusia lumrah. terasa aneh dan membingungkan. Oleh pertimbangan itu. Yudapati kini mengalihkan perhatiannya kepada pintu goa.
Pintu goa itu ternyata mengantarkan mereka berdua untuk memasuki sebuah lorong panjang yang merupakan jalan tembus. Makin lama makin lebar dan akhirnya cahaya gemilang nampak dari jauh. Itulah mulut lorong yang mungkin berada pada suatu tempat yang lapang. Kalau tidak demikian. mustahil cahaya itu kelihatan utuh. Dan cahaya itu mengabarkan, bahwa matahari sudah berada tinggi di udara.
- Anakku! tiba-tiba Brahmantara berkata.
- Sebentar lagi, engkau sudah berada di dunia luar. Pesanku, latihlah ilmu kecapimu dengan sungguh-sungguh! Sebab seperti kataku tadi, kecapi itu akan menjawab semua kesukaranmu yang berada di luar rumus-rumus Ilmu Pedang Gunadewa. Yudapati tercengang. Sahutnya:
- llmu menggesek kecapi hanya selintasan saja kuperdengarkan di depan guru. Tetapi bagaimana guru bisa tahu dengan pasti, bahwa aku belum menguasai seluruh ilmunya? Brahmantara tersenyum dengan pandang mata berseri-seri. Ujarnya:
- Bukankah pada himpunan rumus jurus terakhir terdapat ajaran cara mengenal manusia? Bila kelak sudah mendalami. pasti akan dapat membaca keadaan orang lain.
Mendengar keterangan gurunya. terbukalah pikiran Yudapati. Setengah berseru ia menyahut:
- Ah tahulah aku. Kalau begitu, inti ajaran llnu Pedang Gunadewa adalah dapat menebak atau menafsir atau membaca keadaan lawan dengan tepat?- Benar. kata Brahmantara dengan gembira.
- Kau cerdas. anakku. Cocok dan sesuai sekali dengan tuntutan ilmu yang kau warisi sekarang ini. Dengan bisa menebak. menafsir dan membaca isi hati lawan, bukankah engkau akan selalu dapat mendahului tindakannya? Yudapati memanggut-manggut. Dan pada saat itu, terdengar gurunya berkata lagi:
- Itulah sebabnya pula aku bisa berkata, bahwa pada saat ini Mahera sedang mengatur atau mempersiapkan perangkap untuk mengalahkanmu. Dalam hal ini, kau tak usah cemas. Mungkin sekali, engkau masih kalah licik, licin dan ganas. Akan tetapi engkau masih memiliki llmu Pemutus Jiwa.- Apakah guru dapat pula menebak perangkap apa yang sedang dipersiapkan?
Yudapati menegas
- Dalam hal ini, engkau harus berhadapan dahulu dengan dunia luar. Pergunakan ketajaman inderamu, ketajaman nalurimu dan kecapimu. Pada saat itu, engkau akan tahu perangkap macam apa yang sedang dipersiapkan. Bila setiap kali engkau harus minta penjelasan gurumu, bukankah justru sudah terbelenggu? Padahal inti ajaran llmu Pedang Gunadewa. justru terletak pada kebebasannya menentukan sikap dan keputusan. Memang, mula-mula engkau harus menghafal, memahami. menyelami. mendalami dan menghayati rumus-rumus jurusnya. Setelah itu. engkau harus melupakannya agar engkau dapat bebas bergerak menurut nalurimu. Mengertikah engkau apa
yang kumaksudkan ini? -,
Yudapati mengangguk. Memang dalam hal bebas bergerak untuk mengimbangi lawan sudah dihayatinya semenjak ia mendalami ukiran-ukiran jurus orang-orang sakti pada dinding goa. Karena itu. ia benar-benar mengerti dalam arti sebennarnya.
Lima puluh lima langkah kemudian. Brahmantara telah tiba di ambang mulut lorong goa. Ia mempersilakan Yudapati keluar goa dan menghirup udara segar. Benar benar matahari sudah menjulang tinggi. Hawa udara terasa berbeda pula. Selagi merenungi udara yang sama sekali tidak tertutup awan. terdengar Brahmantara berkata:
- Keadaan alam di sini berbeda jauh dengan alam yang berada di bawah sana. Lihat! Seluruh persada bumi tertutup kabut tebal. Yudapati mengangguk sambil melayangkan pandang matanya. Tiada sesuatu yang nampak, kecuali kabut dan kabut. Jangan lagi bumi, bahkan pohon-pohon pun tidak numpak. Anehnya. justru di sekitar tempatnya berada sesekali terdengar kicau burung. Mungkin burung piaraan. Kalau begitu. tentunya terdapat penduduknya.
- Bukan! Bukan burung piaraan. Tetapi burung yang benar-benar bebas datang dan pergi. - ujar Brahmantarb.
Yudapati kini tak usah heran lagi apa sebab gurunya dapat membaca hatinya. Bukankah dia sudah menguasai himpunan rumus jurus seolah pengucapan dirinya sendiri.Dengan begitu, sebenarnya tidak berkelebihan bila gurunya disebut sebagai pertapa yang sudah memilki indera keenam. Atau pandai menangkap getaran hati atau getaran perasaan seseorang. Karena itu seakan akan sedang bercakap-cakap membicarakan semata yang wajar ga minta kejelasan:
- Apakah burung bisa hidup di sini?
- Mengapa tidak? sahut gurunya cepat.
- Gunung ini mempunyai empat kepundan yang sudah mati. Di atas kepundan itu. Mahera dan Yoni Nandini membangun istananya.
- Guru kenal nama iblis perempuan itu?
Yudapati tercengang.
- Dia pun sering mengunjungi daku. jawab gurunya dengan sederhana.
- Dan anak buah mereka bertempat tinggal di atas kepundan yang sudah mati itu. Keadaannya dan tata-aturnya tak ubah sebuah kota yang mentereng. Nah, berangkatlah engkau ke sana. Berhati-hatilah dan berwaspadalah. Bila sudah berhasil, kunjungi atau tengoklah aku. Maukah engkau melakukan pesanku? - He, mengapa tidak?
Yudapati berseru spontan.
- Di dunia ini hanya guru yang pantas kusembah. Sebab oleh petunjuk-petunjuk guru, terbukalah duniaku. Aku seolah-olah seorang buta yang tiba-tiba bisa melihat jelas. Mengapa aku akan melalaikan perintah guru? Seumpama llmu Pedang Gunadewa guru minta kembalipun, aku wajib menyerahkan kembali. Pendek kata . . .
- Hai. hai! Sudah, sudah. Hatiku sudah cukup bersyukur, mendengarkan janjimu akan berkenan menengokku. Sekarang, berangkatlah! Yudapati tidak berani membantah perintah gurunya, walaupun masih ingin berbicara berkepanjangan lagi. Segera ia menyembah tiga kali untuk mohon restunya. Lalu berjalan dengan membusungkan dadanya demi melegakan hati gurunya. Sebab di depan gurunya,ia wajib memperlihatkan semangatnya yang utuh. tegar, segar dan penuh gairah hidup. Tiba di belokan ia memutar tubuhnya untuk melihat gurunya. Brahmantara melambaikan tangannya dengan wajah berseri-seri. Segera membalas dengan membungkuk hormat. lalu melangkah memasuki belokan. Sekali lagi ia berbalik menengok gurunya. Tetapi kali ini, bayangan gurunya tiada nampak lagi.
Tiba-tiba saja hatinya tergetar. Ia seakan-akan memperoleh firasat tidak akan dapat melihat gurunya lagi. Seketika itu juga, hatinya jadi terharu. Seperti orang kalap ia balik berlari sambil berteriak:
- Guru! Guru!Pada detik itu pula. suatu ingatan menusuk dirinya.
- Hai. mengapa jadi cengeng? Di depan gurunya. tidak boleh ia menunjukkan sifat demikian. llmu Pedang Gunadewa menuntut pewarisnya memiliki watak yang kuat, tabah, bergembira, bersemangat utuh dan segar tegar. Oleh ingatan itu ia menghentikan langkahnya. Lalu berpikir:
- Aku mempunyai firasat tidak akan melihat beliau lagi. Jangan-jangan justru akulah yang tidak mampu melihatnya kembali Benar! Guru tadi bukankah menekankan kata-kata pesannya agar aku mau menengoknya? Apa maknanya. kalau bukan aku diharapkan untuk berhati-hati? Ya . . . itulah maknanya. Kalau begitu, siapakah sebenarnya Mahera dan Yoni Nandini sampai aku dipesan guru begitu sungguh-sungguh?
Teringat akan musuhnya. semangat tempurnya berkobar-kohar dalam dadanya. Terus saja ia berputar melanjutkan perjalanannya. Dan ia memasuki belokan jalan dengan hati mantap. Sekarang seluruh alam nampak tergelar jelas di depan matanya. Di bagian jurang masih tertutup kabut tebal semacam uap air yang terus-menerus membubung tinggi mencari kelepasan. Seberang menyeberang adalah dinding bukit yang menyembunyikan rahasianya masing-masing. Berkesan sunyi menyeramkan lantaran terlalu hening. Dan pelahan lahan ia menuruni ketinggian yang tersekat-sekat pagar alam. Teringat pesan gurunya. segera ia memasang kecapinya dan digantungkan pada tali pinggangnya. Alat penggeseknya dipersiapkannya pula. Dengan demikian, ia ibarat seorang panglima yang siaga bertempur sewaktu-waktu, di mana dan kapan saja.
Tiba di tepi jurang ia berhenti sejenak. Seutas tali terbuat dari besi tipis menggelantung mencapai tepi seberang. Akan tetapi kabut tebal menutupi penglihatan .Segera ia mengerahkan Tantra tingkat tinggi untuk mencoba menembus dinding kabut. Samar-samar ia melihat berkelebatnya beberapa bayangan yang menghilang di balik ketinggian.
Bayangan siapa?
Secara otomatis rumus-rumus jurus sembilan mewartakan tanda bahaya. Segera ia duduk meletakkan kecapinya di atas tanah. Kemudian mencoba mengusir kabut tebal dengan lagu keempat.
Hanya beberapa saat saja dinding-dinding bukit tergetar seolah-olah tersentuh gempa bumi. Dan kabut tebal yang menutupi penglihatan seperti terhembus oleh suatu tenaga gaib. Mundur bergulungan, berputaran. lalu lari melejit mendaki awan. Seketika itu juga, segala jadi nampak terang-benderang. Tetapi justru pada saat itu, terdengar suara beberapa orang jatuh terjerumus dalam jurang.
- Ah! Apakah kaki-tangan Mahera yang diperintahkan untuk menghadang perjalananku? pikir Yudapati.
Ia mengangkat alat penggeseknya. Kemudian menarik narik tali penghubung. Yakin bahwa tetap kokoh seperti sediakala, segera ia menyeberang dengan gesit. Hanya sekejap mata saja ia sudah berhasil menyeberangi jurang
yang curam luar biasa dengan selamat tak kurang suatu apa. Tetapi segera ia melihat beberapa sosok manusia mati berserakan.
Mengapa? ia heran.
Hati-hati ia menghampiri. Setelah memeriksa sekitar tempat itu, ia berjongkok memeriksanya. Tubuh mereka ternyata masih terasa hangat, suatu tanda bahwa mereka baru saja kehilangan nyawanya. Waktu mendongak ke atas, beberapa kaki bergantungan keluar dari tepi tebing. Gesit ia melompat ke atas. Di sini pun ia melihat beberapa orang mati tertindih batu yang tergeser dari tempatnya.
- Ah. benar-benar mereka menerima perintah Mahera untuk menghadang perjalananku. Yang di bawah, tentunya ditugaskan untuk memotong rantai penghubung. Bila aku toh selamat, mereka ini diperintahkan untuk mendorong batu-batu itu ke bawah. Bukankah aku akan terdorong mundur dan terjerumus dalam jurang?
Ih, keji benar.
( BERSAMBUNG Jilid 10)
********
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 10
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
(https://m.facebook.com/gunawan.aj.16)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 10
Hati Yudapati jadi panas. Kebetulan, malah. Ia belum lagi melatih lagu-lagu yang dianggap berbahaya bila berada di dalam goa. Sekarang aku berada di alam terbuka.
Bukankah tiada halangannya?
Memikir demikian, segera ia duduk dan meletakkan kecapi mautnya. lalu ia menggeseknya dari lagu keempat sampai ketujuh. Akibatnya dahsyat luar biasa. Seketika itu juga, tebing gunung berguguran. Batu-batu raksasa pecah berantakan dan menggelinding bagaikan tersapu banjir bandang. Menyaksikan kedahsyatan itu, Yudapati berhenti menggesek. Rasa takut menyelimuti dirinya.
Mimpikah ia?
Sebab yang mampu berbuat demikian hanya para dewa yang bertahta di Kahyangan.
Betapa tidak?
Batu-batu gunung dapat digeser dari tempatnya. Tebing-tebing gunung runtuh berguguran. Dan kabut tebal tersapu bersih bagaikan abu sirna dari kaca yang jadi mengkilap.
- Pantas, bila Ganesa, Anggira dan Balitung disebut orang sebagai tiga dewa. Bahkan bila mereka bertiga menyebut sebagai dewa pun, rasanya masih dapat kuterima. ia berpikir di dalam hati.
Sebenarnya, tidaklah demikian halnya. Memang harus diakui, bahwa penciptaan lagu Ilmu Pemutus Jiwa itu merupakan budi-daya manusia yang ajaib. Namun hal itu bukan berarti, bahwa penciptanya mampu melakukan. Bahkan baik Brahmantara maupun Punta Dewakarma pun, tidak. Sebab mereka berdua baru mencapai tataran Tantra tingkat sembilan. Mungkin sekali, hanya seorang yang mampu melakukan. Dialah mendiang Resi Gunadewa. Begitu pulalah Yudapati. Pemuda ini memenuhi syaratnya. Kecuali memiliki himpunan tenaga sakti Tantra tingkat sebelas, dia kini sudah mengantongi llmu Pedang Gunadewa yang menggenggam rahasia rumus jurus-jurus semua ilmu kepandaian di dunia. Dengan demikian. seumpama sebuah bendungan air, tenaga Tantra yang terhimpun dalam dirinya, menemukan salurannya yang tepat. Dan saluran tenaga Tantra itu kemudian dialirkan melalui alat penggeseknya yang istimewa .
Hasilnya. dengan mudah saja ia dapat melagukan llmu Pemutus Jiwa yang sempurna. Hal itu, sebenarnya sudah diketahui Brahmantara. Itulah sebabnya, Brahmantara malu mengaku diri sebagai gurunya. Kalau saja. dia berkenan menurunkan semua ilmu warisan mendiang gurunya, karena percaya bahwa Yudapati adalah penjelmaan gurunya, yang datang untuk meminta kembali haknya.
Dengan begitu.. kemampuannya berbuat setaraf dengan Resi Gunadewa. Bedanya, pada jaman hidupnya, Resi Gunadewa tidak sempat bertemu dengan Ganesa bertiga. Mungkin tiga manusia aneh itu belum dilahirkan
atau sedang dipersiapkan untuk dilahirkan. Sebaliknya, semua puncak ilmu kepandaian manusia itu mendadak saja dapat diwarisi, berkumpul dan manunggal dalam diri seorang pemuda yang kebetulan bernama Yudapati. Seorang pemuda yang berangkat dari pulau Jawa ke Kerajaan Sriwijaya semata-mata mengemban tugas negara yang hanya berbekal ilmu kepandaian tak berarti, kecuali ketulusan hatinya, kesungguhannya. kerajinannya, kecermatannya dan kecerdasan otaknya. Maka terasalah dalam hati manusia, bahwa bukan orang yang membuat sejarah tetapi justru sebaliknya, sejarah yang membuat manusia bersejarah. Maka ilmu 'sedahsyat itu, sesungguhnya adalah milik Sang Sejarah. Itulah Tuhan seru sekalian alam untuk memperlihatkan sebagian kecil kekuasaannya.
Demikianlah, selagi pemuda itu dicekam perasaan takut, ngeri, heran dan bingung, tiba-tiba tersentak kaget karena mendengar suara pertempuran. Kini seluruh panca-inderanya sudah jadi tajam sekian kali lipat. Kemampuannya mendengar dan membedakan tidak diragukan lagi. Pelahan-lahan ia berdiri menyimpan kecapinya. Lalu lari melesat bagaikan terbang. Dalam beberapa saat saja, ia tiba di sebuah belokan. Sekonyong konyong terdengar hentakan orang:
- Bangsat! Siapa berani menginjak-injak wilayah kami?
Sesosok bayangan berkelebat menghantamkan penggadanya. Secara otomatis, Yudapati menangkis. Ia tidak bermaksud membunuh. akan tetapi orang itu terpental tinggi dengan menjerit kesakitan. Yudapati terkejut. Segera ia menghentikan larinya dan melihat seorang berjubah hitam mati menghantam dinding gunung dengan tubuh hancur remuk. Dengan perasaan
pilu, Yudapati menghampiri.
- Maaf tak sengaja. Mengapa engkau...
ia tidak menyelesaikan ucapannya, karena orang itu sudah tidak bernafas lagi. Ia mencoba mengamati wajahnya. Ia merasa belum pernah bertemu apalagi sampai berkenalan.
Mengapa dirinya tiba'tiba diserangnya?
- Ah, pastilah sudah terjadi pertempuran antara hidup dan mati. Pertempuran antara siapa dan siapa? Ia melanjutkan perjalanannya dan tiba di sebuah ketinggian. Dari ketinggian itu, ia memperoleh penglihatan yang tidak terhalang. Di atas sebuah lapangan luas, berdiri beberapa kelompok manusia yang mengenakan pakaian seragamnya masing-masing. Dengan sekali melihat, Yudapati dapat mengenal siapa mereka. Kaum Orang-Aring, Gupala Seta, Abong-Abong dan Tanah Putih. Dan lainnya tentunya kaum Siguntang, Syiwapala dan Paramita. Sebab yang terakhir ini terdiri dari kaum wanita yang mengenakan jubah bhiksuni. Dan pada saat itu juga, ia jadi teringat kepada Bhiksuni Sekar Tanjung. .
- Mengapa mereka berada di sini? ... ia heran.
Kalau Getah Banjaran, 'Hari Sadana, Tarusbawa dan lain-lainnya bisa dimengerti.
Tetapi mengapa Mahera perlu menawan kaum bhiksuni?
Meskipun tujuannya ingin mencuri ilmu kepandaiannya, .namun hal itu masih perlu dipertanyakan.
Ia tidak sempat berpikir lagi, karena pada saat itu tiba-tiba ia melihat Mahera mengangkat kedua tangannya. Dan pertempuran mengadu senjata berhenti dengan cepat. Mereka yang mengenakan jubah hitam mundur dan berdiri bersiaga di belakang Mahera. Sedangkan lawan-lawan mereka kembali ke kaumnya masing-masing.
Yudapati segera memasang pendengarannya. Dan
terdengar Mahera tertawa terbahak-bahak. Serunya:
- Kawan-kawan silakan beristirahat dulu!
- Sapa yang sudi berkawan dengan monyongmu. bentak seorang pendekar yang berperawakan tinggi besar.
Dialah Getah Banjaran yang beradat berangasan.
- Maafkan, karena aku telah membuat kalian menderita.
- Cuh!
Getah Banjaran meludah ke tanah.
- Maafkan pula karena aku berkesan memperkosa kalian. Tetapi lihatlah, pada hari ini aku sudah menghapus kesalahanku. Kuijinkan bawahan kalian menyusul kemari. Sekarang mari kita berhadap-hadapan dengan cara terbuka. Terus terang saja, aku ingin mencoba-coba kepandaian kalian. Seorang demi seorang saja, agar cukup jelas untuk disaksikan. Dengan begitu, aku berlaku adil. Kalau aku dapat mengungguli kalian berarti kalian harus mengakui kebisaanku. - Tentu saja, setelah engkau puas mencuri ilmu kepandaian kami. -bentak Getah Banjaran.
- Hm. kapan?
- Bukankah setelah gagal memaksa kami, engkau sengaja memanggil kaum kita untuk kau ancam dan kau tipu? Tentu saja mereka merupakan makanan empuk bagimu. Dengan mencoba kepandaian mereka bukankah berarti engkau sudah berhasil mencuri sebagian kepandaian kami? - Hohohoooo . . . aku mencuri dari kaki-tanganmu yang sama sekali tidak berharga bagiku?
Mahera mendongkol.
- Kalau begitu. biarlah engkau dulu yang mencoba betapa tinggi kepandaianku. Kau nanti bisa merasakan sendiri, apakah aku perlu mencuri ilmu saktimu dari begundal-begundalmu. Kau berani? - Mengana tidak?
Getah Banjaran memang berwatak berangasan. Tanpa memandang betapa tingginya gunung, terus saja ia menghunus pedang dan tongkatnya sekaligus.
Mahera tertawa geli. Ujarnya:
- Kau hendak menggunakan tongkat atau pedang? Mustahil kau dapat menggunakan kedua senjatamu dengan berbareng.
Getah Banjaran seperti tersadar dari sifat semberononya. Cepat-cepat ia melemparkan pedangnya kepada salah seorang muridnya, lalu maju dengan membawa tongkat andalannya. Selagi ia hendak mulai bertempur, tiba-tiba majulah seorang pendeta yang nampak alim. Kata pendeta itu: ' .
- Rekan Getah Branjaran, kau perlu beristirahat dulu, karena sudah cukup lama engkau menderita dalam sekapan. Biarlah aku yang melayani iblis ini.
Getah Banjaran menoleh. Agaknya terhadap pendeta itu,ia menaruh hormat. Ujarnya:
- Bhiksu, berhati-hatilah! Iblis itu selain berkepandaian tinggi mempunyai akal bulus. Kalau tidak, masakan kita sampai dikumpulkan di sini.
Setelah berkata demikian, ia mengundurkan diri. Sementara itu Mahera tertawa lagi. Katanya dengan suara menggelegar:
- Kalau tidak salah, Tuan Bhiksu Dewayana, bukan? Terdorong oleh keinginanku hendak berkenalan dengan tuan, terpaksalah aku memerintahkan anak-buahku membius tuan. Maaf, maaf . . . sekali lagi maaf. - Hm, tak apalah bila hanya aku seorang. Tetapi mengapa murid-muridku berada pula di sini? - Sengaja mereka kupanggil untuk menjemput tuan.
- Kau maksudkan menjemput mayatku, bukan?
- Haha . . . tuan sendiri yang berkata. Bukan aku,kan?
Mahera tertawa.
- Bila benar murid-muridku datang kemari atas panggilanmu, mengapa mereka perlu kau korbankan sebagai mayat mayat hidup? Tentang kejadian itu. hanya kumaksudkan sebagai suatu pelajaran saja. Lain tidak.
- Lain tidak bagaimana?
- Maksudku tiada tujuan lain, kecuali hanya memberi pengajaran saja. Sebab mereka terlalu berani menganggap dirinya pendekar-pendekar yang ulung. - Baiklah, anggap saja alasanmu benar. Apakah kau berkenan mengembalikan?
- Ah, mudah saja. Sebentar lagi. tuan akan segera berjumpa. Sekarang silakan! Tuan hendak memberi pelajaran apa kepadaku'!
Betapa sabar Bhiksu Dewayana, lambat-laun merasa muak menyaksikan perangai Mahera yang mau menang sendiri. Dengan serentak ia menghunus pedangnya. Berkata:
- Hampir seperempat abad aku tak pernah aku menghunus pedangku. Sekarang terpaksalah aku memperlihatkan ketidak becusanku. Silakan.
Yudapati yang berada di atas ketinggian ikut prihatin. Meskipun belum pernah ia menyaksikan kepandaian kaum Syiwapala, akan tetapi ia sudah dapat memahami letak kelemahannya berkat lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding goa dulu. Melihat betapa alim Bhiksu Dewayana, ia jadi merasa tak tega bila dikalahkan Mahera. Ia yakin, bahwa Mahera akan dapat mengalahkannya dengan mudah. Ia sendiri sudah pernah mencoba kehebatannya sewaktu belum memperoleh llmu Pedang Gunadewa. Hampir semua tipu muslihat kaum cerdik pandai dapat dilawan Mahera dengan baik. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk
benaknya:
-Jangan-jangan Mahera mempunyai maksud tersembunyi .Ia pernah melawan aku. Dan waktu itu. aku mengeluarkan hampir semua jurus-jurus berbagai aliran yang berkumpul di sini. Ternyata dia dapat mempertahankan diri. Maka apa perlu menawan mereka lama lama? Mereka toh tiada gunanya lagi? Sebab tipu-muslihat jurusnya masing-masing sudah diketahuinya melalui diriku. Kalau benar begitu, sungguh berbahaya. Mereka semua bakal mati. Bhiksu Dewayana bersenjata sebilah pedang. Dengan cepat ia menyerang. Mahera mula-mula melawannya dengan tangan kosong. Merasa terdesak segera ia mundur jumpalitan dan kembali dengan membawa sebatang tombak. Menyaksikan hal itu, YUdaPati mengeluh:
- Celaka! Itulah senjata yang paling tepat untuk melawan jurus pedang Syiwapala. Kalau begitu . . . Mahera benar-benar berotak cerdas. Dengan cepat ia dapat menangkap intisari jurus-jurus ganas yang kuperlihatkan dulu. Ah! Manusia ini sungguh-sungguh berbahaya! Pantas, guru tidak sudi melayani. Mungkin iblis ini berkali-kali menantang guru. Tetapi guru tentunya selalu menolak. Sebab sekali bertempur, guru harus membunuhnya. Kalau tidak, Mahera segera akan dapat mengingat rumus-rumus jurusnya berkat otaknya yang cemerlang. Sebaliknya, guru akan merasa tidak pantas untuk membunuhnya mengingat Mahera adalah murid adik-seperguruannya. Apa yang diduga Yudapati mendekati kebenarannya. Paling tidak, delapan bagian. Dengan begitu. secara tidak sadar dirinya sudah memahami makna intisari ajaran rumus rumus jurus sembilan. Seolah dapat membaca hati orang berdasarkan tingkah-laku. lagak-lagu dan perangainya.
Tombak adalah senjata andalan kaum Pasunata pada
jaman permulaan. Jaman pendekar Kalakarna membangun aliran kaum Pasupata. Beberapa angkatan sesudahnya, kaum Pasupata masih menggunakan tombak sebagai senjata andalan. Tetapi pada angkatan ketujuh sudah berubah. Kaum Pasupata mengutamakan himpunan tenaga sakti sehingga dapat menggunakan bermacam senjata sesuka hatinya. Di hadapan para pendekar, rupanya Mahera ingin meyakinkan mereka dengan menggunakan senjata andalan leluhurnya. Karena itu, mereka percaya delapan bagian ucapannya. Sebab dengan tangkas dan tepat ia dapat melawan jurus-jurus pedang Syiwapala yang cepat dan berbahaya.
- Ah, benar. Mahera memang licin dan cerdik. pikir Yudapati di dalam hati.
- Kalau saja Bhiksu Dewayana mengenal jurus ciptaan leluhurnya di dinding goa, niscaya akan lain cara menghadapi Mahera. Kalau begitu, kelak aku harus menunjukkan goa itu kepadanya. Mudah-mudahan dia selamat dalam pertempuran ini.
Mereka bertempur sampai tiga puluh jurus. Semuanya dilakukan dengan cepat dan berbahaya. Menyaksikan ilmu pedang Bhiksu Dewayana, diam-diam hadirin memuji di dalam hati. Pada saat itu terdengar suara seorang wanita:
- Coba. engkau perhatikan gerakan perubahan ilmu pedang pamanmu. Cepat, bagus dan tepat. bukan?
- Benar. Apakah kelak aku harus bisa memahami pula llmu pedang kaum syiwapala? -sahut seorang gadis.
Darah Yudapati tersirap. Itulah lagu suara yang amat dikenalnya. lagu suara Sekar Tanjung yang lembut dan memilukan. Terdengar kemudian suara orang pertama:
- Aku hanya menyuruhmu memperhatikan. Kita mempunyai aliran ilmu pedang sendiri.
Mahera tertawa terbahak-bahak. Serunva'.
- ah Bhiksuni Aditi! Jangan cepat-cepat memuji Ilmu pedangnya. Kalau aku mau. semenjak tadi sudah kuruntuhkan.
Hebat iblis itu!
Dia berani membagi perhatian, padahal sedang bertempur melawan seorang ketua aliran. Menyaksikan hal itu. Getah Banjaran yang berangasan segera menyahut:
- Kau mempunyai kepandaian apa sampai mulutmu berkeok-keok menyemprotkan bau busuk?
Betapapun juga, dia seorang ketua aliran pula. Dia sengaja berkata demikian. untuk memanaskan hati iblis. Bila berhasil membakar hatinya, niscaya perlawanan iblis itu akan jadi kalut.
- Monyet! maki Mahera.
- Ilmu tongkatmu masakan bisa melawan tombakku dua gebrakan saja?
Dasar beradat berangasan, kini malah dirinya yang kena terbakar hatinya. Tadi dia cukup menggunakan kecerdikannya. Tetapi Mahera ternyata jauh lebih cerdik. Ia mengenal watak Getah Banjaran yang gampang berang. Maka sengaja ia membandingkan ilmu tongkatnya dengan ilmu pedang aliran Syiwapala. Inilah yang dinamakan orang taktik adu domba. Sayang, Getah Banjaran tidak pandai melihat permainan Mahera yang licin. Dengan serta merta ia membentak-bentak asal jadi:
- Anjing! Babi! Kerbau eh kucing! Tombakmu mirip penggebuk orang . . . eh maksudku penggebuk anjing. Bagaimana mungkin bisa merobohkan tongkat mustikaku? Mustahil! Tidak bisa! Tongkatku sangat istimewa. Dulu pernah kubuat menggebah burung - . . eh maksudku perampok. Mustahil bisa menang. - Ha ha hahaaaa . .. memang betul. Bagaimana mungkin tongkatmu bisa memenangkan tombakku? - Eh maksudku . .. . tombakmu yang kalah. Kalau
tongkatku menangan . . - Diam! bentak Hari Sadana Ketua Aliran OrangAring.
- Kau mengacaukan pemusatan pikiran Bhiksu Dewayana. - Tapi bukan begitu maksudku. Aku justru ingin . ..
- Kau bisa menutup mulutmu atau tidak?
- Bisa.
- Nah, tutuplah mulutmu!
- Baik. Segera akan kututup. Getah Banjaran berjanji
Sepuluh jurus lagi sudah berlangsung dengan cepatnya. Pada suatu saat Mahera berhasil menggempur pedang Bhiksu Dewayana miring ke kiri. Mestinya tombaknya segera akan memakan iga-iganya. Akan tetapi dia hanya menghantamkan tangannya dan Bhiksu Dewayana terpental beberapa langkah. Pada detik itu pula Mahera mundur berjumpalitan dengan tertawa terbahak-bahak. Serunya:
- Dewayana! Semenjak kini, kau harus mendengarkan setiap patah kataku. Sebab racunku sudah teranjur merasuk dalam tubuhmu. Dan di dunia ini, hanya aku seorang yang mempunyai obat pemunahnya.
Ucapannya disambut dengan tepuk tangan gembira oleh anak laskarnya. Mereka mengucapkan kata-kata pujian bagi pemimpin agungnya. Sebaliknya, tidak demikian yang terjadi dalam kalangan Syiwapala. Anak murid Bhiksu Dewayana dengan serentak maju mengerumuni pemimpinnya. Dua orang di antaranya lantas melompat dengan menghunus pedangnya.
- Kamu mau apa? bentak Mahera
- Serahkan obat pemunahmu! - Masakan semudah itu? - Apakah engkau ingin kehilangan kepalamu?
Mahera tercengang sejenak lalu tertawa geli. Ujarnya kepada salah seorang muridnya:
- Borah! Kau singkirkan dua anjing ini!
Orang yang bernama Borah itu, berperawakan gagah perkasa. Dengan gesit ia menghadang kedua murid Syiwapala. Sekali bergerak ia sudah membawa sebatang penggada berwarna hitam. Sambil melilin kumisnya yang tebal ia membentak:
- Kalian memang tidak mempunyai biji mata. Ketuamu sendiri hampir mati di tangan guruku. Masakan kalian berani menantangnya? Enyah, sebelum aku meremukkan kepala kalian. .Tentu saja, mereka berdua tidak menggubris ucapan Borah. Dengan berbareng mereka menyerang dan sambil meludah ke tanah Borah menggerakkan penggadanya. Hebat perbawanya. Angin bergulung-gulung membawa suara bergemuruh. Dan belum lagi cukup sepuluh jurus, ia sudah berhasil menghantam kedua lawannya pulang balik. '
- Berhenti! bentak Hari Sadana.
- Hai Mahera apakah engkau hendak mengadu anak muridmu?
- Bukan aku yang mulai. sahut Mahera dengan suara datar.
- Bukankah mereka sendiri yang mulai? Kalau kalian ingin mengadu kekuatan, lihat yang jelas! Seluruh lapangan ini, sudah dikepung rapat oleh anak-laskarku. Hooeee . . . perlihatkan kepala kamu! Hari Sadana dan para pendekar memutar arah kepalanya. Dan dari balik dinding kepundan muncul ribuan manusia berseragam hitam. Mereka bersenjata lengkap untuk siap tempur. Dengan begitu jelaslah, bahwa semuanya itu sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. ,
- Bagaimana? gertak Mahera.
- Kalian mau
mengatur sendiri atau mau mendengarkan kata-kataku?
- Kata-kata bagaimana? .
Hari Sadana tidak sudi kena gertak.
- Bukankah lebih baik kita mencoba-coba ilmu kepandaian masing masing. Kalau kalian kalah, aku siap mengampuni. Sebaliknya kalau aku kalah, boleh kalian sembelih. boleh kalian potong, boleh kalian rajang-rajang. Nah. bukankah cukup adil?
- Huh.
Hari Sadana mendengus. Pada saat itu Getah Banjaran tampil ke depan. Katanya:
- Sadana! Menghadapi iblis itu. kita tidak perlu segan. Mari kita labrak saja!
- Baik. Kalian berdua boleh merubut aku. tantang Mahera.
Ini adalah suatu tantangan yang memalukan. Buruk buruk, masing-masing adalah ketua aliran. Maka berkatalah Hari Sadana dengan wajah merah padam:
- Getah Banjaran! Kau atau aku yang maju? - Mundur! Biar aku yang mencincangnya. ujar si berangasan.
Mahera tertawa panjang. Sahutnya'.
- Rupanya kalian semua terlalu bersemangat untuk menjadi bintang lapangan. Biarlah kita atur begini saja. Kalian kini tinggal lima orang. Tarus Bawa. Hari Sadana, Getah Banjaran. Undagada dan Aditi. Kalian boleh maju berbareng, aku pun akan maju dengan lima orang pula.
- Enam orang. kata seseorang.
Dialah Bhiksu Dewayana yang masih dipepayang beberapa anak muridnya.
- Enam orang? Sapa yang seorang? ...
Mahera heran.
- Aku. - Kau?
Mahera tertegun. lalu tertawa bergelora.
Ujarnya:
- Kau bisa apa lagi? Kalau kau sampai berani mengerahkan tenaga, terpaksalah engkau jadi mayat hidup. Karena orang-orang yang tidak terpakai, lebih baik kujadikan mayat hidup untuk kubuang dalam jurang, Mendengar keterangan Mahera seolah-olah sedang berbicara dengan keluarganya sendiri.. Para pendekar menggeram marah. Seorang laki-laki berkulit hitam dan berperawakan tinggi besar membentak:
- Hm, kau anggap apa kami ini? ,
- Hai! Bukankah engkau Undagada Ketua aliran Gupala Seta? - Kalau benar bagaimana, kalau tidak bagaimana ? sahut Undagada dengan sengit.
- Hohooo . . . galak benar kau ini. Sabar, kau pun akan mendapat giliran pula. -- Bagaimana? Aku masuk hitungan atau tidak? tegur Bhiksu Dewayana.
- Kalau mau cepat mati, silakan! sahut Mahera. lalu berteriak memanggil murid-murid kepercayaannya
- Borah! Bakara! Balata! Bajra! Balu! Maju . . .!
Enam orang berseragam jubah hitam masuk ke gelanggang dengan membawa senjata andalan masing masing. Perawakan mereka bermacam-macam. Ada yang tinggi besar. gagah perkasa, tipis, ramping dan pendek buntet. Di antara mereka Yudapati hanya mengenal seorang. Dialah Bakara pendeta 'gadungan yang berpura pura alim dan kemudian memimpin pengejaran terhadap Tepus Rumput.
- Mana yang seorang lagi? ujar Dewayana yang tidak menggubris peringatan Mahera.
- Oh, jadi engkau nekat akan jadi mayat hidup? Baiklah. dengan senang hati aku akan mengabulkan
permohonanmu. ejek Mahera.
- Karen engkau terkena racunku akan kupilihkan kawan yang cocok.
Setelah berkata demikian ia menyerukan sebuah nama:
- Suwita!
Dan yang datang masuk ke gelanggang adalah seorang wanita mirip seorang bhiksuni, lantaran ia mengenakan jubah. Dialah yang bernama Suwita. Dan menyaksikan hal itu. Bhiksu Dewayana melontakkan darah karena merasa terhina.
- Lho. mengapa?


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahera berpura-pura heran.
- Masakan racunku secepat itu kerjanya?
Mulut Bhiksu Dewayana tidak pandai berbicara lagi karena tersumbat gumpalan darah. Justru demikian nafasnya memburu dan mukanya merah padam. Siapapun dapat merasakan betapa mendongkol dia.
- Bhiksu Dewayana. biarlah salah seorang muridku menggantikan kedudukanmu. terdengar suara seorang wanita membujuk.
Dialah Bhiksuni Aditi Ketua Aliran Paramita .
- Bila iblis itu mengajukan jago seorang wanita. kitapun memiliki pendekar semacam dia. Saraswati. sudikah engkau mewakili pamanmu? Seorang bhiksuni yang berperawakan tinggi semampai tampil ke depan. Dialah Saraswati, kakak-seperguruan Sekar Tanjung. Wajah dan perawakannya membawa kesan agung dan anggun.
Bhiksu Dewayana menggerak-gerakkan tangan kanannya. Setelah menguasai pernafasannya. barulah ia dapat berbicara pelahan:
- Jangan! Aku pantas menjadi mayat hidup di sini. Biar aku sendiri yang maju.
- Bhiksu Dewayana!
Undagada ikut menimbrung.
- Aku tahu. engkau seorang pendekar sejati yang rela berkorban diri daripada mengorbankan orang lain. Tetapi
menghadapi kenyataan ini, kukira engkau tidak boleh terlalu berkepala batu. - Sudahlah. sudahlah! Sapa yang sudi mendengar ocehan kalian. Pendek kata kalian mau takluk atau menjadi barisan mayat hidup? bentak Mahera tak sabar.
- Bila kalian takut menghadapi ketangguhanku. biarlah aku diwakili salah seorang muridku. Borah, Bakara. Bajra, Balata, Balu. serang! Kelima jago andalan Mahera dengan serentak menerjang berbareng. Bahkan Suwitapun ikut menyerang. Mau tak mau Undagada dan teman-temannya terpaksa melayani mereka. Undagada bertempur melawan Borah. Kedua-duanya bersenjata gada dan segera terlibat dalam pertempuran. Sedang Bakara si pendeta gombalan mengukur kepandaiannya melawan Bhiksuni Aditi. Seperti tatkala bertempur melawan Tepus Rumput, kali ini pun Bakara bersenjata setengah tongkat setengah penggada. Gerakan tubuhnya gesit luar biasa sehingga dalam waktu tidak begitu lama Aditi sudah jatuh di bawah angin.
Yudapati mengenal ketangguhan Bakara. Karena itu ia mengkhawatirkan keadaan Aditi. Mungkin hal itu terjadi mengingat Aditi adalah guru Sekar Tanjung. Selagi ia mencari batu-batu kecil untuk dibuatnya alat penolong, sekonyong-konyong terdengar suara nyaringnya senjata berbenturan. Itulah suara pedang Saraswati yang menangkis gempuran pedang Suwita. Nampaknya, Suwita menang pengalaman daripada Saraswati. Ia sengaja mengadu tenaga. Memperoleh kenyataan bahwa ia merasa menang tenaga, segera ia mendesak. Namun Saraswati tidak sudi mengalah. Dengan lincah Ia menghindari setiap gempuran. Tubuhnya selalu bergerak dan mencoba menyerang dengan bertubi-tubi.
Cepat gerakannya, akan tetapi apakah tidak berarti menghambur hamburkan tenaga?
Sebaliknya bila tidak berbuat demikian, dia akan terus terdesak mundur. Maka untuk sementara kedua pendekar wanita yang sama-sama mengenakan jubah pendeta, nampak seimbang.
lainlah halnya kedudukan Getah Banjaran, Hari Sadana. dan Tarus Bawa. Ternyata mereka bertiga tidak dapat mengimbangi lawannya masing-masing yang bertenaga besar. Meskipun demikian, mereka tidak sudi mengalah. Dengan mati-matian mereka mengerahkan segenap tenaganya. Senjata mereka masing-masing berkelebatan bagaikan menyambarnya petir. Seperti biasanya Getah Banjaran bersenjata tongkat baja. Ia mengamuk bagaikan kerbau edan lawannya adalah Bajra yang berperawakan pendek buntet. Meskipun demikian, gerakannya gesit dan mantap. Dia bersenjata cempuling terbuat dari baja pilihan. Kena didesak Getah Banjaran, ia menangkis sambil membalas menyerang.
Brang! Brang!
- Sambar geledek tujuh kali! maki Getah Banjaran penasaran.
- Tenagamu seperti kerbau gila. Barangkali engkau pemakan daging manusia.
- Tepat. sahut Bajra pendek.
- Mungkin menghirup darahnya juga.
- Asal tahu saja.
- Aha . . . pantas banyak anak-anak berumur sebelas tahun terculik dari rumahnya. Rupanya engkau salah seorangnya yang menggeragoti daging dan menghirup darahnya. Ilmu apa itu? - Seperti yang kau lihat sekarang ini. Nah, kau bisa apa? Bajra tertawa berkakakan.
Mendengar percakapan mereka berdua, tengkuk Yudapati meremang. Melihat jawaban Bajra bernada sungguh-sungguh,sekarang teka-teki itu sudah terjawab.
- Ah benar benar perkampungan iblis. menggerendeng. Dan tiba tiba darahnya bergolak. Pada saat itu teringatlah dia kepada seorang anak yang terculik dari atap rumah. Sampai sekarang, dia belum menemukan jejaknya. Alihkan semua anak-anak berumur sebelas tahun itu dikirimkan ke perkampungan Makera.
- Hih! Mengapa guru mempunyai murid begini sesat?
Yang dimaksudkan adalah gurunya yang pertama alias Punta Dewakarma. Menurut Brahmantara, Mahera termasuk salah seorang muridnya yang menganut ilmu sesatnya. Syukur menjelang akhir hayatnya, Punta Dewakarma sadar dan justru mewariskan Tantra yang suci bersih kepada Yudapati. .
Pada saat itu, ia mendengar suara bergemerisik. Ternyata suara gerakan maju laskar Mahera yang bersembunyi di balik tebing kepundan. Syukur, ia tadi berada di balik sebuah batu besar yang menutupi dirinya. Kecuali itu. seluruh laskar sedang memusatkan perhatiannya kepada mereka yang sedang mengadu kepandaian. Dengan begitu. untuk sementara ia aman. Akan tetapi di dalam hati ia yakin akan ketahuan juga. Karena itu, ia sudah mengambil keputusan. Kalau mungkin, ia akan mencekuk Mahera seorang saja. Bila sampai menggunakan Ilmu Pemutus Jiwa, akibatnya terlalu hebat. Kecuali para laskar Mahera juga sekalian anak-murid para pendekar yang sedang mati-matian merebut kemenangan.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara pekik kesakitan. Bhiksuni Aditi menderita luka. Anehnya, hampir berbareng pula Saraswati tertusuk pedang Suwita. Seorang bhiksuni yang belum cukup berumur 18 tahun lari memasuki gelanggang hendak membantu gurunya.
- Sekar Tanjung, mundur! .. perintah gurunya.
- Gurumu belum kalah.
Sekar Tanjung mundur dengan hati bingung. Takut kalau dirinya bahkan akan membuat gurunya terpecah perhatiannya, segen ia lari menghampiri kakak-seperguruannya yang menderita luka pula.
- Kakak. jangan takut! Aku akan membantumu. - Adik. jangan ikut-ikut! Kalau semua mati di tangan iblis ini, siapakah kelak yang akan menjadi angkatan penerus?
Sambil berbicara, pedangnya bergerak terus.
- Hm masakan masih ada waktu lagi? ujar Suwita yang semenjak tadi mengunci mulutnya.
- Sehabis memenggal kepalamu, dia pun harus mati.
Sekar Taniung adalah seorang dara yang lemah lembut dan suci bersih. Mendengar ucapan Suwita yang garang itu, sama sekali wajahnya tidak berubah. Sambil menurunkan pedangnya, ia menyahut:
- Jangan kau sakiti kakakku! Kalau engkau harus membunuh. bunuhlah aku!
- Adik! Mundur! -teriak Saraswati dengan suara menggeletar.
Ia memang kenal watak adik seperguruan itu. Terhadapnya, sang adik itu menaruh hormat dan sangat berbakti. Karena itu, ia pun mencintai dan menyayanginya tak ubah adik-kandungnya. Sekarang ia melihat betapa adik-seperguruannya itu berani mengorbankan diri demi keselamatannya. Keruan saja hati nuraninya tersentuh. Dan dengan tak dikehendakinya sendiri, suaranya menggeletar halus.
-Ha ha ha ha ha..,hai Suwita! Dara itu jangan kau sentuh! Berikan padaku!
Itulah suara Mahera yang tiba-tiba melesat turun memasuki gelanggang. Tak usah dijelaskan lagi, jiwa Sekar
Tanjung terancam bahaya. Pada detik itu. baik Aditi maupun Saraswati berusaha melepaskan diri dari libatan lawannya.
Akan tetapi betapa mungkin?
Justru melihat mahagurunya turun ke gelanggang serta menghendaki Sekar Tanjung. segera Bakara dan Suwita berusaha meratakan jalannya dengan menghalangi gerakan Aditi dan Saraswati.
Syahdan -manakala melihat Sekar tanjung berada dalam bahaya, Yudapati tidak dapat menahan dirinya lagi. Segera ia menyambitkan batu-batu kecil bagaikan peluru senapan mesin menghujani medan laga yang terbuka lebar. Segera ia berdiri tegak dan siap menjejakkan kakinya untuk menjangkau sasaran. Dengan dibarengi melepaskan pukulan dari jauh, ia yakin akan dapat mencegah Mahera mendekati Sekar Tanjung.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba terjadi suatu perubahan. Kecuali mereka yang bertempur terkejut mendengar suara mendesingnya batu-batu Yudapati, di medan pertempuran bertambah jumlah orangnya. Empat orang yang mengenakan jubah putih, berdiri dengan gagahnya menghadang Mahera. Dan di antara mereka berempat terdapat Tes.us Rumput. Melihat munculnya Tepus Rumput, hampir saja Yudapati memekik girang. lalu membatalkan niatnya hendak melihat perkembangannya.
- Mahera! Perbuatanmu sudah keterlaluan. Karena itu, kami terpaksa datang untuk menghukummu.
- Siapa kau? bentak Mahera dengan mata terbeliak.
- Masakan matamu sudah buta sehingga tidak mengenal siapa aku? - Di wilayahku janganlah engkau berlagak menjual teka-teki. Apakah kau tidak tahu. sekitar tempat ini sudah terkepung rapat?
Mendengar ucapan Mahera. orang itu tertawa gelak dan disusul oleh ketiga temannya. Dan di antara mereka berempat, suara tertawa Tepus Rumput yang terdengar paling nyaring. Masih ia berkata geli:
- Mahera! Siapa diriku, tak usah aku memperkenalkan namaku. Kau tahu sendiri, laskarmu kubunuh mati dengan rantai pembelenggumu. Aku memang Tepus Rumput, musuhmu tujuh turunan. Kalau kau belum kenal siapa beliau, biarlah aku yang memperkenalkan. Beliau inilah Tuanku Tapaksila Ketua Pasupata Putih. Dan ini rekan Kudawani serta pengikut aliran kami yang baru, rekan Goratara. Nah, jelas? Engkau menggertak dengan jumlah laskarmu. Apakah kamipun tidak membawa laskar? Lihat, siapa mereka!
Dengan bersungut-sungut, Mahera memalingkan mukanya. Dan tiba-tiba saja berubahlah wajahnya. Sebab di antara laskarnya yang berseragam hitam, muncul ratusan orang berseragam putih. Mereka membekal senjata dan siap untuk menikam laskarnya dari belakang.
Munculnya laskar berseragam putih dan Tapaksila berempat, mengejutkan para ketua aliran pula. Goratara yang merasa dirinya dibenci oleh segenap aliran segera memutar tubuhnya. Lalu membungkuk hormat terhadap mereka semua. Berkata dengan rendah hati:
- Tuan-tuan sekalian dan yang terhormat Bhiksuni Aditi. Di sini berdiri Goratara. Goratara sadar, bahwa tuan-tuan sekalian menyatakan permusuhan terhadap diriku. Setidak-tidaknya bersikap membenci, karena di luaran tersiar kabar bahwa aku masuk anggauta Pasupata. Sekarang ternyata benar. Aku mengenakan jubah putih kaum Pasupata. Artinya aku anggauta Pasupata, tetapi bukan Pasupata golongan mereka.
Yudapati pernah melihat Goratara satu kali. Meskipun
hanya satu kali, pendekar itu sudah dapat merebut hatinya karena peribadinya yang luhur. tegas dan berani. Sekarang pun demikian pula. Teringatlah dia betapa gagah beraninya tatkala melawan keroyokan orang-orang yang memfitnahnya. Waktu itu, ia segera meninggalkan tempat. Ia mengira, pendekar itu akan mati secara mengenaskan seperti yang menimpa anak-isterinya. Ternyata dia dalam keadaan segar bugar tak kurang suatu apa. Diam-diam hatinya bersyukur atas kemurahan Dewata Yang Pemurah.
- Gara-gara kabar busuk itu, seluruh keluargaku mati tak berkubur satu tahun yang lalu. Terus terang, waktu itu kukira tuan-tuan sekalian ikut mengambil bagian. Oleh sakit hati, aku malahan masuk menjadi anggauta Pasupata. Ternyata aku tidak menyesal. Karena dari sinilah aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. kata Goratara lagi dengan suara nyaring dan tegas.
- Ternyata dalam peristiwa itu, tuan-tuan sekalian sama sekali tidak tahu menahu. Karena yang menjadi sutradaranya adalah iblis itu! Dia tidak hanya menghancurkan martabatku saja, tetapi merusak pula nama baik Kaum Pasupata, agama leluhur kita turun-temurun.
- Ohooo . . . jadi engkau sekarang sudah tahu? Bagus!
Mahera tertaWa terbahak-bahak.
- Aku hanya menyesal, mengapa orang-orangku membiarkan engkau mempunyai kepala.
- Bangsat! maki Tepus Rumput.
- Tunggu! - terdengar suara orang yang berteriak dengn marah
Dialah si berangasan Getah Banjaran.
- Saudara Goratara! Terus-terang saja, belum pernah aku bertatap muka denganmu. Tetapi namamu yang besar sudah kukenal semenjak jaman mudaku. Apakah benar ada orang-orang yang mengaku anak-murid aliranku? - Benar. Bahkan dialah yang bersemangat membunuh
anak-isteriku. -. sahut Goratara cepat.
- Tetapi karena kini aku tahu siapakah yang menjadi dalangnya dari peristiwa itu, ijinkanlah aku untuk membuat perhitungan dengan iblis itu.
- Kau mau apa?
Mahera tertawa panjang.
Selagi Goratara hendak membuka mulutnya, Tapaksila mendahuluinya:
- Dalam hal ini, biarlah aku berbicara dulu. Coba Tepus Rumput. wakililah diriku!
- Baik. - sahut Tepus Rumput dengan bersikap hormat.
- Hai Mahera. kau dengar sendiri, bahwa aku mendapat mandat untuk berbicara atas nama seluruh aliran Pasupata termasuk monyongmu. Kami datang ke mari untuk membersihkan rumah tangga. Kau mau berbicara apa?
- Apalagi yang harus dibicarakan? -bentak Mahera.
- Kalian datang, untuk merebut matahari yang sudah bersinar terang, bukan? Memang, di dunia ini hanya ada satu matahari. Kalau kalian ingin menjadi satu matahari tunggal apakah kalian mampu untuk berbuat demikian? lihatlah. semua aliran yang berada di sini sudah bersedia untuk bersujud padaku. Apakah kalian mampu menaklukkan mereka?
- Siapa sudi bersujud padamu?
Getah Banjaran menggeram.
- iblis itu memang besar mulutnya.
Tarus Bawa ikut menimbrung. Semenjak tadi dia tidak membuka mulutnya. Kali ini, agaknya hatinya mulai panas. Wajahnya yang berwarna kuning jadi memucat.
- Engkau baru pandai menyiksa kami. Tetapi jangan bermimpi bisa merenggut semangat hidup kami. Engkau boleh mencincang atau menyembelih kami semua. Namun untuk bersedia bersujud mencium telapak kakimu . . huh. huh. huh . . .
- Ha ha ha ha . . .
Mahera tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya terguncang-gunung.
- Baru saja melawan anak-anakku saja, kalian tidak mampu berbuat banyak. Masakan berani menantang diriku? Kalian mempunyai kepandaian apa? .
Menilik ucapan Goratara dan sikap para pendekar yang memusuhi, jelas sekali sepak-terjang Mahera sudah keterlaluan. Akan tetapi Mahera tentunya mempunyai alasannya sendiri. Dan di dunia ini, tiada satu agama pun yang melarang orang mempunyai angan-angan atau citacita hidup. Karena itu, Mahera bersikap sebagai jantan. Sama sekali ia tidak mencoba mengelak atau mengingkari. Juga tidak berarti membenarkan tuduhan atau kutukan mereka. Ia menanggapi dengan nada suara yang mengguruh bagaikan air terjun. Berkali-kali ia tertawa gelak dan geli. Lalu main mendamprat dan mencemoohkan. Akhirnya menantang mengadu kekuatan. Tak mengherankan, Goratara yang menaruh dendam melompat maju sambil menghantam.
Goratara terkenal sebagai seorang pendekar yang memiliki pukulan geledek. Yudapati pernah menyaksikan selintasan. Sekarang ia dapat mengamati pukulannya. Hebat perbawanya, akan tetapi diam-diam Yudapati heran.
Mengapa sama sekali tidak bertenaga?
Ia lupa, bahwa kepandaiannya kini sudah sekian kali lipat bila dibandingkan dengan sekalian pendekar yang sedang berkumpul di Markas Mahera. Apalagi ia sudah menguasai Ilmu Pemutus Jiwa yang tiada bandingnya di dunia. Tetapi pukulan Goratara sesungguhnya hebat tak terkatakan. Jarang yang berani menerima pukulannya dengan berhadapan. Sebaliknya, Mahera berkepala besar. Untuk menunjukkan kepandaiannya. ia berani mengadu kekerasan melawan kekerasan.
Bres!
Goratara terpental mundur selangkah. Sebaliknya. Mahera hanya berdiri tegak bagaikan patung. Setelah memejamkan mata beberapa detik, ia tersenyum lebar. Serunya:
- Ah, kukira pukulannya sedahsyat gunung meledak. Tak tahunya hanya segini saja. Hayo, siapa lagi yang ingin mencoba-coba. Hebat dan mengejutkan bunyi tantangan Mahera. Artinya dia tidak memandang mata terhadap semua lawan lawannya. Goratara yang terpental satu langkah, belum boleh dikatakan kalah. Memang dia kalah dalam hal mengadu tenaga sakti. Akan tetapi dia belum mengeluarkan semua kepandaiannya. Namun Sebagai seorang pendekar besar, dia mengaku masih kalah seurat. Ujarnya kepada Tapaksila:
- Iblis ini berkepandiaan tinggi. Pantas saja dia berani merajalela. Kakak Tapaksila dan Kudawani. hati-hati!
Kudawani termasuk salah seorang guru Goratara. Karena memperoleh petunjuk-petunjuknya, Goratara dapat mengalahkan Bhoma Printa Narayana seorang ahli pedang kenamaan pada jaman itu. Dalam hal ilmu kepandaian, tentu saja Kudawani masih berada di atas Goratara. Karena itu Yudapati ingin menyaksikan. Tiba-tiba Tepus Rumput berteriak:
- Jangan membuang waktu. Kita datang kemari bukan hanya untuk si iblis ini. Tetapi kita berkewajiban membakar habis akar-akarnya pula. Hayo serbu!
Ternyata laskar Pasupata putih sudah mendahului bertempur. Seketika itu juga, di atas tebing kepundan terdengar suara bentrokan senjata yang ramai sekali.
- Baik. kalian mendahului. Aku pun tidak akan segan segan lagi. teriak Mahera dengan wajah merah padam. Setelah berkata demikian ia memerintahkan anak muridnya
maju semua. Dan pertempuran segera terjadi dengan sengitnya.
Yang terpaku bagaikan patung adalah para anak murid enam aliran yang mengepung Markas Mahera. Mereka sama sekali tidak bergerak, karena belum memperoleh perintah ketuanya masing-masing. Dengan memegang senjatanya masing-masing, mereka menyaksikan pertempuran seru antara para tokoh Pasupata. Bagi mereka, kedua fihak adalah sama-sama Pasupata. Apakah mereka golongan hitam maupun putih, tiada bedanya. Kebetulan malah, kalau mereka saling membunuh. Akan tetapi, kalau kaum putih sampai kalah, betapapun juga mereka semua ikut berkepentingan. Kalahnya kaum putih berarti pula mautnya mereka semua. Sebab Mahera ingin merajai mereka semua.
Dalam pada itu, Mahera sudah mengadu kekuatan melawan Tapaksila Ketua Pasupata golongan putih. Hebat cara bertempur mereka. Masing-masing memiliki himpunan tenaga sakti yang seimbang. Seratus atau dua ratus jurus lagi, belum dapat ditentukan siapakah yang lebih unggul. Gerak-gerik mereka cepat, tangkas dan bertenaga. Setiap pukulan mereka membawa angin berputaran. Dan diam diam, para ketua aliran mengakui bahwa kepandaian mereka semua belum dapat menandinginya.
Undagada. Getah Banjaran dan Hari Sadana yang biasanya terlalu percaya kepada kekuatannya sendiri. kini menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa kepandaian mereka tidak menempil sedikitpun. Dalam hal apa saja, mereka merasa kalah jauh. Teringat bahwa mereka memusuhi kaum Pasupata. wajahnya terasa panas dengan tak dikehendaki sendiri. Mau tak mau mereka menghela nafas panjang.
- Ah. benar-benar mahera menghendaki diriku sebagai kelinci percobaannya belaka. - masing masing berpikir di dalam hati.
Sebaliknya. Borah, Bakara. Bajra, Bayu dan Suwita, kini menemukan tandingnya. Terhadap para ketua aliran, sebentar tadi mereka bisa berbuat banyak. Tetapi menghadapi para pemimpin Pasupata golongan putih, mereka Merasa ketemu batunya. Baik Tepus Rumput, Goratara maupun Kudawani terlalu tangguh bagi mereka. Sebentar saja mereka berada di bawah angin.
Tepus Rumput yang pernah bertempur melawan Bakara mengeluarkan semua ganjalan hatinya. Teriaknya:
- Bidakara! Mana senjatamu yang istimewa? Huh, dengan mengandalkan jumlah engkau menguber-uber diriku. Sekarang kau bisa apa? Nih, aku masih membawa rantai pembelenggumu. Biar kali ini kugunakan menggebuk pantatmu.
Tepus Rumput benar-benar menarik senjata rantainya yang digubatkan pada pinggangnya. Lalu merabu Bakara kalang-kabut. Bakara buru-buru mengeluarkan senjatanya yang aneh. Itulah sebilah senjata setengah pedang setengah tongkat. Dan dengan menggenggam senjatanya itu, ia mencoba menangkis gempuran rantai Tepus Rumput yang nyaris tiada habisnya.
Kudawani dikerubut Borah dan Bajra. Kedua anak murid Mahera itu, kecuali bertenaga besar cekatan dan tangkas pula. Sebaliknya, Kudawani kelihatan rapuh oleh usianya. Meskipun demikian, ia dapat melayani mereka berdua dengan mudah. Tubuhnya berkelebatan di antara mereka berdua. Kedua tangannya menggempur dan menangkis. Dalam beberapa gebrakan saja. kedua lawannya sudah nyaris kehabisan nafas. .
Goratara yang gagah berani tidak kurang hebatnya dibandingkan dengan gurunYa. Dia pun dikerubut dua orang. lawannya adalah Bayu dan Suwita si pedang sakti.
Namun ia dapat melawan mereka berdua dengan tangan kosong. Berlawan-lawanan dengan mereka berdua, barulah kelihatan ketangguhannya. Pukulannya menyambar nyambar dengan suara gemuruh. Pantaslah dia termashur sebagai seorang pendekar bertangan geledek. Pada suatu saat, Suwita kehilangan keseimbangannya. Tepat pada saat itu, pukulan Goratara tiba dengan derasnya. Suwita terpukul telak dan terpelesat dari arena dengan melontakkan darah. Ia memekik terkejut dan kesakitan.
Mendengar pekik Suwita, Mahera terperanjat. Selagi ia mencuri pandang, sekali lagi terdengar jerit memilukan. Itulah jerit Bayu yang tergempur telak pula oleh pendekar Goratara yang memang nampak jauh perkasa. Mau tak mau hatinya tercekat. Segera ia bersiul panjang sambil berseru:
- Barisan siluman!
Setelah berseru demikian, kembali lagi ia bersiul panjang. Suara siulannya begitu nyaringnya sampai menyakitkan gendang pendengaran. Para anak murid berbagai aliran, ada yang membungkuk-bungkuk kesakitan. Buru-buru ketuanya berseru:
- Tutup telinga kalian. Inilah siulan iblis yang terkutuk! Belum lagi habis gaung suara mereka, di arena pertempuran bertambah dua puluh orang berkepala gundul. Merekalah yang disebut barisan siluman. Dan melihat munculnya mereka, Tepus Rumput tertawa terbahak-bahak. Serunya:
- Mahera! Barisan silumanmu memang bisa menggertak orang, tetapi jangan harap dapat mengundurkan kami. Kalau tidak percaya, silakan! -,
Rupanya para pemimpin Pasupata golongan putih sudah mempelajari ilmu yang istimewa itu. Sama sekali
mereka tidak gentar. Bahkan dengan enak saja, mereka masih sempat menggempur mundur lawannya masing masing. Lalu mereka bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. .
Benar saja. Tiba-tiba dua orang gundul yang berperawakan pendek buntet melompat dengan berbareng dan lenyap dari penglihatan begitu melihat rantai Tepus Rumput bergerak. Semua yang menyaksikan terheran-heran. Lebih lebih lagi para anak murid. Mereka sampai ternganga-nganga.
Benarkah di dunia ini ada semacam ilmu demikian?
Hampir hampir saja mereka tidak mempercayai penglihatannya sendiri sehingga mengucak-ucak matanya.
Tetapi ilmu siluman itu benar-benar ada. Yang menyerang tadi menghilang dan muncul kembali. Lalu disusul dengan lainnya. Mereka menyerang secara bergantian dan lenyap pada saat-saat yang sudah ditentukan. Tapaksila segera meloncat ke tengah arena dan duduk bersila, sedang ketiga bawahannya lari berputaran dan kadang berhenti dengan berirama.
Menyaksikan cara perlawanan mereka, Mahera menaikkan kedua alisnya. Lalu tertawa riuh-rendah untuk menyesatkan pendengaran. Bukan main dahsyat suara tertawanya. Kadang meninggi kadang menggelagak tak ubah suara seekor naga hendak menyerang musuh. Dan yang celaka adalah para anak murid keenam aliran yang masih berkepandaian rendah. Mereka jatuh bergedebukan saling tindih sambil membekap kedua telinganya. Namun usahanya masih saja tidak menolong. Suara tertawa Mahera yang istimewa seolah-olah memasuki pori-pori mereka dan merayap merusak urat syaraf.
Yudapati kini mulai meninggalkan tempatnya. Ia tidak perlu berjaga-jaga diri lagi atau main sembunyi lagi, karena masing-masing sedang sibuk dengan masalahnya sendiri.
Dengan langkah panjang ia menghampiri medan pertempuran dan ingin menyaksikan ketangguhan barisan siluman. Pendengarannya yang kini tajam luar biasa, dapat membedakan antara pantulan suara tertawa Mahera dan gerakan barisan siluman yang lenyap dan nampak di sembarang tempat. Tiba-tiba ia mendengar suara menggeleser di bawah tanah, seperti tingkah seekor ular. Arah tujuannya menerobos barisan anak-murid yang masih berdiri tegak bagaikan rumpun patung dengan mulut ternganga-nganga.
- Celaka! Mereka bisa mati. pikir Yudapati.
Tepat pada pada saat itu terdengar pekikan menyayat dari beberapa anggauta aliran Tanah Putih. Syiwapala, Orang-Aring dan Abong-Abong. Mereka mati sebelum sempat menyadari penyebabnya. Tubuh mereka terpagas bagaikan rumpun pohon pisang yang segera roboh ke tanah dengan terpotong menjadi dua atau tiga bagian. Keruan saja para pemimpinnya terkejut seperti orang tersentak bangun dari mimpinya yang indah.
- Bangsat sambar geledek! maki Getah Banjaran.
- Cepat bikin pagar betis! Hari Sadana. Tarua Bawa! Mari kita ikut menyabung nyawa di sini. :!
- Bagus! sahut Hari Sadana.
- Rupanya kita tidak dapat tinggal menjadi penonton saja. Serang!
Getah Banjaran memerintahkan anak-buahnya untuk membuat pagar betis. Sedangkan Hari Sadana memerintahkan anak-buahnya untuk menyerang. Akan tetapi kedua duanya kehilangan pengamatan. Yang bertahan tidak mengerti makna bertahan terhadap siapa. Sedang yang menyerang kurang jelas, siapakah yang diserang. Sebab lawannya timbul-tenggelam, muncul dan menghilang bagaikan barisan iblis. Sudah barang tentu membuat geger laskar aliran lainnya yang ingin pula ikut mengambil bagian.
- Guru! Apakah kita harus mencontoh paman-paman
dari . . .dari . . . kaum . . Pasupata Putih?
terdengar suara lembut. Yudapati segera mengenal suara itu. Dialah Bhiksuni Sekar Tanjung yang cantik dan lembut hati.
- Mengapa harus meniru-niru? gurunya tidak senang.
- Apakah kau kira kaum kita tidak mempunyai cara perlawanan yang lebih baik? Lagipula andaikata kita meniru, apakah engkau tahu makna dari daya pertahanan mereka? - Benar.
Sekar Tanjung mengamini.
- Akan tetapi apa sebab kaum iblis itu tidak menyerang mereka? Di manakah letak kebagusan daya pertahanan mereka?
- Huh. Bhiksuni Aditi mendengus.
- Betapapun juga mereka berasal dari satu perguruan. Tentunya lebih baik menyerang kita daripada mereka. ia berhenti mengesankan. laln memberi perintah kepada Saraswati:
- Saraswati, bawalah sekalian adikmu berpencaran! Dan kau Janari, pimpinlah sebagian adikmu membuat benteng pertahanan.
Dengan cepat Saraswati dan Janari melaksanakan perintah gurunya. Kini tinggal Bhiksuni Aditi dan Sekar Tanjung yang belum bergerak dari tempatnya berdiri. Enam orang anak muridnya bersiaga tempur mengelilingi mereka berdua.
- Daya pertahanan mereka mengamati delapan penjuru angin. Apakah tepat? -pikir Yudapati di dalam hati.
- Padahal lawannya dapat bergerak sepesat angin dan pandai datang dan pergi bagaikan iblis. Ah, agaknya tak boleh aku tinggal menjadi penonton saja. Biarlah aku membantu mereka.
Akan tetapi keputusan itu tidak mudah dilaksanakan. Sebab seluruh anggauta kaum Paramita yang berada di dataran tinggi Markas Kaum Pasupata hitam, terdiri dari kaum wanita. Terpaksalah ia membatasi diri untuk berjaga jaga di luar batas pagar pertahanan mereka. Waktu itu
jerit memilukan terdengar makin sering dari berbagai penjuru di antara suara dengung gelora tertawa Mahera yang tiada habis-habisnya.
Di tengah medan. Tepus Rumput dan kawan-kawannya mencoba menembus gangguan suara gelora tertawa Mahera. Karena agaknya sudah lama berlatih mereka tidak canggung menghadapi serangan laskar iblis. Dengan kerjasama yang rapi, berkali-kali mereka dapat menggebah setiap serangan yang datang dengan tiba tiba. Bahkan senjata mereka berhasil membinasakan beberapa orang. Dengan demikian, untuk sementara laskar iblis tidak mampu mengusiknya. Tetapi hal itu bukan berarti dapat mengalahkan laskar iblis Mahera. Dengan aba-aba rahasia melalui suara tertawa pemimpinnya, mereka beralih menyerang kelompok kelompok laskar Abong-Abong dan Tanah Putih yang segera menjadi kacau. Barisan pedang kaum Syiwapala dan Orang-Aring bertempur secara untung-untungan. Beberapa kali pedang mereka bentrok.
Trang. tiang!
Tetapi yang menyerang lenyap bagaikan iblis. Diperlakukan demikian,mereka kerepotan. Tiga orang bhiksuni Paramita roboh tak berkutik.
Keruan saja Bhiksuni Aditi marah bukan main. Dengan pedang di tangan ia mencoba memburu si pembunuh. Siapapun tahu maksudnya. Ia hendak menuntut balas bagi ketiga muridnya yang mati tanpa sempat melihat siapa pembunuhnya. Akan tetapi seperti sekalian muridnya, ia hanya pandai mengumbar rasa geramnya. Sedangkan lawannya yang diubernya lenyap dengan begitu saja. Bahkan tiba-tiba ia diserang secara mendadak dari belakang. Syukur, betapapun juga kepandaiannya jauh berada di atas sekalian muridnya. Pendengarannya yang tajam menangkap suatu kesiur angin. Secepat kilat ia membalikkan tubuhnya dan menabaskan pedangnya.
Trang. Trang. Trang!
Dan yang menyerang lenyap.
- Hai iblis! Kalian bukan laki-laki sejati! Kalian hanya pandai bermain iblis. Menang pun tiada harganya. ia mengutuk.
Mahera yang sedang mengendalikan alunan suara tertawanya masih saja sempat menangkap bunyi kutukannya. Segera ia meningkatkan suara tertawanya sambil menyahut:
- Siapa bilang tiada harganya. Dalam suatu pertempuran, kemenanganlah yang menentukan. Kalau perlu kau boleh menggunakan gunung sebagai senjata. Hai perawan tua. janganlah berkhotbah di tengah pertempuran. Buktikan saja kebiasaanmu . . . Hohohaaa . . .
Dada Bhiksuni Aditi seakan-akan ingin meledak saja, mendengar ejekan Mahera. Agar tidak terpengaruhi lawan, segera ia mengalihkan perhatian. Dengan bertubi-tubi ia menusukkan pedangnya ke berbagai arah. Di dalam kesibukannya teringatlah ia kepada Sekar Tanjung yang ditinggalkan. Berseru gugup:
- Janari! Lindungi Sekar Tanjung! -.
Oleh bunyi seruanya. Yudapati mengarahkan penglihatannya. Tiba-tiba saja ia mendengar suara menggeleser dari tiga jurusan. Cepat ia memasuki medan pertempuran. Demi menjaga keselamatan Sekar Tanjung, tidak lagi ia menghiraukan batas-batas antara kaum pria dan wanita. Pada saat itu ia melihat Sekar Tanjung dan Janari adu punggung menghadapi tiga laki-laki yang muncul dengan mendadak di depannya. Segera ia menghunus pedang Jagadpati dan lari menghampiri, Sekonyong-konyong sesosok bayangan menyambarkan pedangnya. Tanpa menghiraukan lagi dari mana arah datangnya serangan, pedangnya berkelebat. Dan orang itu roboh dengan leher terpotong.
Dengan beberapa lompatan saja. Yudapati sudah berada
di samping Sekar Tanjung. Sekali pedangnya bergerak dan seorang laki-laki yang sedang menyerang bhiksuni cantik itu, roboh tertembus punggungnya. Dan tatkala ia menggerakkan pedangnya untuk yang ketiga kalinya, iga-iga seorang lawan terobek. Segera temannya membantu dan dengan jitu Yudapati menyambut serangannya.
Ces! Terpagaslah lengan orang itu dan roboh dengan mengerang.
Kedatangan Yudapati itu, tentu saja mengejutkan Sekar Tanjung. Mau ia menyangka seorang musuh yang lain. Akan tetapi yang disangkanya seorang musuh, justru membunuh ketiga orang lawannya.
Siapa dia?
Sewaktu diamati sekilas pandang saja, teringgatlah siapa dia. Itulah wajah yang selalu terbayang di dalam kenangan hatinya yang indah. Seketika itu juga, wajahnya berubah dan kedua bibirnya tergetar. Serunya setengah tertahan:
- Aum mastu nama sidham. Bukankah kakang Yudapati?
- Jangan beralih tempat! sahut Yudapati dengan mengangguk.
Setelah berkata demikian,sebat luar biasa ia menangkis gempuran senjata lawan yang sedang menyerang bhiksuni Saraswati. Tangan orang itu tertabas kutung sampai batas pundaknya. Keruan saja dia kabur bermandikan darah. '
Yudapati tidak berhenti sampai di situ saja. Melihat tiga orang muncul dan mengerubut bhiksuni Aditi, ia melesat sambil menggerakkan pedangnya. Tak ampun lagi, tiga orang itu mati terbabat. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia menggunakan llmu Pedang Gunadewa menghadapi puluhan musuh. Sekarang timbullah keinginannya hendak mempelajari jurus-jurus ilmu iblis itu. Ia mengikuti gerakan mereka dengan mengandalkan pendengarannya yang sering terganggu oleh gelak tertawa Mahera. Dengan cepat dapatlah ia mengikuti gerakan mereka yang istimewa.
Pedangnya mencegat. menghadang. menabas. menikam dan memangkas. Semuanya dilakukannya dengan sangat cepat. Dan sebentar saja dua puluh orang sudah mati tak bernyawa lagi. Tatkala ia memburu barisan siluman itu yang sedang mengancam keselamatan Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarus Bawa, ketiga pendekar itu terkejut setengah mati.
- Hai! Bukankah . . . saudara yang menyimpan kotak mustika? seru Getah Banjaran dan Hari Sadana hampir berbareng.
Yudapati hanya menanggapi dengan senyum lebar saja. Sahutnya:
- Kalian perhatikan musuh-musuhmu! Awas! Benar saja. Tepat pada detik itu, muncullah empat orang bersenjata rantai, tongkat, pedang dan golok. Buruburu ia melompat untuk menghadang. Akan tetapi karena keempat lawannya menggunakan senjata yang berbeda, sejenak ia berpikir. Justru demikian, hampir saja mereka dapat mengenai sasaran. Menyadari kealpaan itu. Yudapati menggerakkan pedang Jagadpati dengan tipu-muslihat llmu Pedang Gunadewa. Begitu cepatnya dan tahu-tahu keempat lawannya mati tertembus ilmu pedangnya yang istimewa tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk melenyapkan diri.
Munculnya Yudapati dalam pertempuran itu, menggegerkan barisan siluman. Jumlah mereka perlu ditambah. Akan tetapi menghadapi gerakan Yudapati yang dapat berpindah tempat juga, mereka merasa mati kutu. Sebentar saja, dua puluh orang mati berguguran.
- Hadang dia! terdengar seseorang memberi perintah.
Tiga orang maju dengan berbareng. Yudapati tidak memperhatikan mereka. ia hanya melihat warna jubahnya. Mereka mengenakan jubah berwarna hijau dan kuning.
Gerakan mereka cukup tangguh. Sebaliknya Ilmu pedang Yudapati terlalu hebat baginya.. Dengan sekali bergerak masing-masing sudah kebagian akibatnya. Yang datang dari sebelah kanan. terpotong tangannya. Yang menyerbu dari depan, terpagas kepalanya. Dan yang menyerang dari samping tertembus pedang tanpa dapat membalas sedikitpun.
- Adik! terdengar seorang berteriak girang.
Dialah Tepus Rumput. Seperti biasanya, masih saja ia sempat memperhatikan keadaan sekitarnya meskipun dirinya lagi sibuk melayani musuh-musuh tangguh.
- Kudawani! Goratara! Tuanku Tapaksila, dialah adik-angkatku yang kukabarkan. Dengan munculnya dia di sini, tidak perlu lagi kita ragu-ragu. Kita bersihkan kubu-kubu iblis ini!
Mendengar ujar Tepus Rumput yang dikatakan dengan suara lantang dan jelas, kecuali Getah Banjaran, Hari Sadana dan Tarus Bawa, semuanya jadi kasak-kusuk. Bhiksuni Aditi yang merasa memperoleh bantuan, memanggil Sekar Tanjung. Dengan kedua alisnya berdiri tegak, ia minta keterangan:
- Kudengar' tadi engkau Sempat berbicara dengan dia. Siapa dia? - Dialah pendekar Yudapati yang pernah kukabarkan. jawab Sekar Tanjung dengan wajah bersemu merah jambu.
- Mengapa dia pun berada di lembah ini? - Biasanya dia senang menolong kesukaran orang. - Biasanya? Apakah engkau sudah terlalu mengenalnya?
Wajah Sekar Tanjung berubah. Ia merasa kelepasan omong. Gugup ia menjawab:
- Maksudku . . . dia pun dulu ikut campur menolong diriku dari cengkeraman Palata. Padahal dia belum mengenal diriku, Mungkin sekali, kali inipun demikian. Hanya saja bagaimana dia tahu kita berada di sini, masih gelap bagiku. Yang jelas, dia se-Agama dengan kita.
Bhiksuni Aditi mengangguk. Kecuali ia sayang kepada muridnya yang satu itu, keterangan Sekar Tanjung bahwa Yudapati se-Agama dengan kaumnya memuaskan hatinya. Sekarang, mulailah ia memperhatikan gerakan-gerakan Yudapati yang istimewa
Yudapati memang lagi sibuk mendalami ilmu siluman Mahera. Barisan siluman tidak sempat lagi mengganggu laskar semua aliran. Mereka memusatkan perlawanan kepada dirinya seorang. Kebetulan. malah, itulah yang diharapkan. Dengan begitu, tidak usah lagi ia membagi perhatian.
- Ilmu warisan guru, belum pernah kucoba secara utuh. Bukankah ini kesempatan yang bagus untuk memahirkan? ia berkata di dalam hati.
Barisan siluman laskar Mahera memang istimewa dan susah dilawan. Akan tetapi Ilmu Pedang Gunadewa terlalu sakti pula. Setiap gerakannya tepat mengenai sasaran. Didukung oleh Himpunan tenaga sakti Tantra. kegesitan Yudapati tidak kalah pesatnya daripada lawannya. Bahkan mungkin sekian kali lipat. Sebab kalau tadi mereka sempat membuat bingung sekalian lawannya. kini justru mereka sendirilah yang jadi sibuk. Tubuh Yudapati berkelebatan melebihi cepatnya kejapan mata. Gelombang tertawa Mahera tidak lagi dapat mempengaruhinya. Tidak mengherankan. jumlah seluruh laskar siluman nyaris habis.
Tepus Rumput pernah berendeng tangan dengan Yudapati melawan keroyokan laskar Mahera yang tidak terhitung jumlahnya. Dia pun sempat menyaksikan betapa dahsyat pukulan sakti Yudapati yang dapat dilontarkan dari jarak jauh. Akan tetapi menyaksikan betapa hebat
ilmu pedangnya, ia ternganga-nganga kagum. Tidak hanya itu saja. Di dalam hati, ia merasa takluk.
Kehebatan Yudapati tidak hanya mengagumkan para pendekar yang berkumpul di lembah itu. Mahera pun akhirnya menyadari. Dengan tiba-tiba ia menghentikan tertawanya. Dengan merah padam ia menghitung jumlah laskarnya. Ternyata tinggal empat orang. Bakara, Bajra. Bayu dan murid-murid andalan lainnya sudah tidak bernafas lagi. Tak mengherankan, hatinya tergempur telak. Ia jadi penasaran, mendongkol dan geram. Saking hebatnya, ia tertawa terbahak-bahak. Lalu berseru mengguntur:
- Orang Jawa! Aku memang berjanji hendak menguji kepandaianmu pada hari ini. Ternyata engkau memang pants menjadi lawanku. Akan tetapi jangan buru-buru menepuk dada dulu. Masih ada ilmu simpananku. Cobalah hadapi kalau kau mampu. - Hai iblis! teriak Tepus Rumput.
- Jadi kalian sudah saling bertemu? Bagus! Kau menantang dia atau kami semua?
- Hm, kalian pun boleh maju berbareng.
Tepus Rumput tertawa riuh. Sahutnya:
- Kau memang benar-benar seorang iblis! Kau menantang kami semua dengan maksud menggertak, kan?
- Apakah kau kira ilmu simpananku tidak berharga sampai perlu menggertak kalian? Dengan satu aba-abaku, kalian semua akan terkubur di sini. Kau tak percaya? Dengarkan! Setelah berkata demikian, Mahera meniup peluitnya panjang-panjang sampai enam kali. Dan mendengar bunyi peluit itu, Yudapati jadi teringat akan peluit pemberian Pamasih. Entah di mana benda itu kini berada. Yang jelas, peluit itu tidak lagi berada pada dirinya. Mungkin sekali tercicir dalam perjalanan atau hilang sewaktu bertempur
melawan laskar Mahera dengan Tepus Rumput dulu.
Tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang menyeramkan. Semua pintu markas Mahera terbuka. lalu muncullah berpuluh-puluh mayat hidup yang masuk dalam gelanggang pertempuran dengan berloncat-loncatan. Yudapati pernah menyaksikan barisan mayat hidup. Waktu itu, ia sudah merasa ngeri dan seram. Kali ini lebih-lebih lagi. Mereka dapat bergerak dengan wajar. Kedua matanya terbuka. Hanya saja mata mereka tiada berkedip. Kedua tangannya jelas sekali dapat digerakkan dengan leluasa. Akan tetapi tatkala kedua kakinya bergerak meloncat-loncat. tangannya melekat pada paha seakan-akan terekat erat. Sebaliknya bagi pengamatan seorang yang berkepandaian tinggi, pandang matanya tidak dapat terkelabui. Karena itu, para ketua aliran segera berwaspada menghadapi segala kemungkinannya.
- Hai Mahera! teriak Tepus Rumput dengan suara lantang.
- Engkau hendak membuat sandiwara macam apa lagi?
- Ho haha . . . Tepus Rumput, matamu memang tajam. Mahera tertawa.
- Akan tetapi meskipun engkau memiliki kepandaian empat kali lipat, belum dapat engkau merobohkan salah seorangnya.
Selagi demikian, tiba-tiba terdengar beberapa anak murid meletuk di sana-sini.
- Hai! bukankah dia kakang Lawo? Mengapa dia?
- Guru?! Lihat, bukankah dia Haru? yang lainnya mencoba membangunkan perhatian gurunya.
- Ya benar. Dia Rami! teriak seorang murid aliran Tanah Putih.
- Eh, Nawuli!
Getah Banjaran terperanjat.
-Guru! Adik Kudadu! seorang berjubah berkata kepada Bhiksu Dewayana.
Lalu terdengar pula Sekar Tanjung berkata dengan
suara menggeletar
- Guru! Ayunda Mayasari, Harini dan Sawitri yang hilang. Mereka , . . mereka ... .
Bhiksuni Aditi seperti tersentak dari mimpinya. Begitu mengenal ketiga orang muridnya yang hilang, terus saja ia melompat maju dengan pedang terhunus. Seorang bhiksuni biasanya mempunyai kesabaran melebihi manusia lumrah. Akan tetapi Bhiksuni Aditi tidak dapat lagi mengendalikan rasa marahnya. Dengan menudingkan pedangnya kepada Mahera. ia membentak:
- Mahera! Kau benar-benar bukan manusia yang berjantung!
- Belum tentu. potong Mahera dengan mengulum senyum.
- Belum tentu bagaimana? - Apakah mereka termasuk anak-muridmu? Kalau benar. cobalah panggil! -.
Bhiksuni Aditi tahu bahwa ketiga muridnya itu pasti berada dalam keadaan tidak sadar. Ilmu Hitam yang membuat orang menjadi manusia hidup tentu saja dikenalnya. Akan tetapi kenyataan itu, baru untuk pertama kali itulah disaksikannya. Celakanya, justru anak-muridnya yang menjadi korban perbuatan keji itu. Keruan saja, dadanya serasa hendak meledak. Penglihatannya jadi berkunang kunang dan kedua telinganya serasa pengang. Tanpa menghiraukan keselamatan dirinya langsung saja ia melesat menyerang Mahera. Sebaliknya Mahera bukan manusia bodoh. Ia tahu bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan amarah lawan-lawannya. Itulah sebabnya, ia mendahului melontarkan pukulan sebelum ujung pedang Bhiksuni Aditi menyentuh tubuhnya.
Tubuh Bhiksuni Aditi masih berada di udara sewaktu
pukulan Mahera terlontar dengan tenaga himpunan. Untuk mengelak, rasanya sudah tiada kesempatan lagi.
Syukur pada saat itu mendadak saja ia merasa memperoleh bantuan. Suatu kesiur angin lewat di sampingnya menyonsong pukulan Mahera.
Bres!
Bhiksuni Aditi menggunakan tenaga pentalannya untuk berjungkir balik menghindari. Sewaktu kedua kakinya tiba di atas tanah, ia menoleh. Yang menolong dirinya teryata pendekar Goratara.
- Mahera. kau ini memang iblis terkutuk! -maki Goratara dengan suara bergelora.
- Dan engkau tentunya mengaku dari kaum lurus, kan? Hahaha . . . hai semuanya saja yang mengaku kaum lurus! Apakah kalian tidak pernah membunuh orang? Tangan kalian berlepotan darah pula seperti tanganku. Apa bedanya? Hanya saja, kalian membunuh mati lawan lawanmu. Lihatlah, anak-muridku yang baik-baik, mati tak berkubur. Sebaliknya. aku tidak melukai anak-murid kalian. Mereka hanya kujadikan mayat-mayat hidup sebagai hukuman. Bukankah aku jauh lebih,berperikemanusiaan daripada kamu? - Enak saja engkau menggoyang lidah. Membunuh dan membunuh memiliki darmanya masing-masing. Membunuh demi menyelamatkan bibit unggul adalah lain dengan cara engkau memperlakukan orang-orang yang tidak kau senangi. Coba katakan. yang kau jadikan mayat hidup masih termasuk manusia hidup atau tidak?
- Kalau tidak bagaimana?
- Maka engkau dengan seluruh kaki-tanganmu harus mengganti jiwa mereka semua.
- Apakah kau bisa? Apakah kamu mampu? Apakah bukan justru kalian yang akan menggantikan jiwa anakmuridku yang gugur bagi kusuma bangsa untuk kelak kusulap menjadi mayat-mayat hidup


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Bangsat! -maki Getah Banjaran yang berangasan.
- Anjing!
Hari Sadana mengutuk dengan geram.
- Babi! teriak Tarusbawa.
Dan seluruh dataran ketinggian gunung penuh dengan suara makian dan kutukan kotor. Hanya kaum bhiksuni saja yang masih bisa menahan mulutnya,meskipun hatinya panas bagaikan terbakar.
Pada saat itu sekonyong-konyong' terdengar suara seseorang yang bernada halus penuh kasih sayang. Dialah Tapaksila Ketua kaum Pasupata putih. Meskipun suaranya halus, akan tetapi dapat menindih suara orang-orang yang sedang kalap. Kata Tapaksila:
- Saudara-saudara, ijinkan aku berbicara dengan manusia iblis ini!
Dan mendengar nada suaranya yang meresap di dalam hati, semua orang menahan diri. Seketika itu juga dataran ketinggian gunung sunyi hening. Kemudian berkatalah Tapaksila kepada Mahera:
- Mahera! Leluhur kita telah membangun aliran Pasupata ini dengan susah payah. Ratusan tahun lamanya, Pasupata berdiri dengan megah sentausa. Tak terbayangkan sebelumnya, setelah ratusan tahun dapat mempertahankan kejayaannya, kini engkau kotori. engkau rusak. engkau hancurkan, engkau porak-porandakan. Apakah engkau mempunyai keberanian untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu ini?
- Kau maksudkan apa yang telah kulakukan ini? Mahera menegas.
- Mengapa tidak? Apa sih salahku?
- Ah, Mahera! Di sini hadir orang-orang suci seperti Bhiksuni Aditi, Bhiksu Dewayana dan kaum agama lainnya. Apakah ucapanmu ini tepat? Engkau hanya membuat malu dan mencoreng muka kaum kita. Pantaslah, kalau kaum Pasunata dibenci orang.
- Lalu kau datang dengan maksud hendak membersihkan rumah tangga? potong Mahera bernafsu.
- Hm, semenjak tadi engkau mengoceh hendak membersihkan rumah tangga. Mengapa tidak rumah tanggamu sendiri?
- Apa yang kau maksudkan?
Tapaksila heran.
- Selama engkau duduk memangku jabatan sebagai ketua Pasupata, apa yang pernah kau lakukan demi kejayaan agama kita? Sekalian anak-muridmu hanyalah sekumpulan tulang-tulang keropos yang tiada gunanya berumur panjang. Mereka hanya menghabis-habiskan nasi dan merusak pakaian melulu. Lihatlah kini. apa yang kuperbuat? Dengan keringat dan darah kubangun kembali kejayaan agama kita. Sekarang mereka semua sudah bersiaga untuk mempertahankan dan menyebar-luaskan agama kita. Yang pertama-tama kulindas adalah orang-orang yang mengaku dirinya kaum lurus. Hai Tapaksila, sudah berapa tahun mereka memfitnah dan mengotori agama kita? Lalu, apa yang pernah kau lakukan untuk membersihkan nama kaum Pasupata? Sekarang mau kubuktikan, bahwa mereka tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah sekawan mayat-mayat hidup yang hanya pandai merengek rengek minta perlindungan Sang Penguasa Alam? Sebaliknya aku tidak! Sengaja kuperlihatkan kepada mereka, bahwa kita adalah manusia lain yang hidup di atas kesadaran sendiri. Karena itu, kunyalakan semangat hidup kaum kita. Kubangkitkan jiwanya. Kukobarkan apinya. Untuk apa? Suatu kejayaan tidak cukup hanya bermodal doa panjang dan pendek. Kejayaan tidak akan berdiri di atas tiang-tiang lamunan dan impian. Tetapi suatu kejayaan harus ditopang dan didukung oleh suatu kekuatan yang nyata. Inilah kenyataan yang kau saksikan sekarang. Mayat-mayat hidup ini terdiri dari mereka yang memusuhi dan memfitnah kita. Dan tidak ada seorang pun anggauta
Pasupata. 'Nah, bagaimana leluhur kita akan menyalahkan aku? Coba jawab! Tapaksiln menghela nafas panjang. Sahutnya dengan tenang:
- Mahera, engkau benar-benar sudah sesat. Penglihatan dan pertimbangan nuranimu Sudah terbalik. Jadi demi mencapai tujuan itu, engkau menghalalkan semua jalan? Kau salah! Kau luput! Nah, kembalilah sebelum kasep! Kalau tidak . . .
- Kalau tidak? potong Mahera garang.
- Kau bisa apa? Hm . . . lebih baik aku menyalahkan dunia daripada dunia menyalahkan diriku.
Dalam pada itu, Yudapati yang semenjak tadi berdiam diri, diam-diam mengamati mayat-mayat hidup yang menjadi andalan Mahera. Memang ia seorang pemuda berpembawaan cermat. Dengan selayang pandang, ia melihat betapa mayat-mayat hidup itu pandai menduduki tempat yang tepat. Seluruh laskar kaum lurus yang terlibat langsung dengan Mahera sama sekali tidak menyadari, bahwa mereka telah terkepung rapat. Jalan mundur tiada lagi. Kecuali bila mampu mengalahkan mayat-mayat itu, yang tentunya memiliki kekuatan dahsyat yang terselubung. Kemudian dengan diam-diam pula, ia mencoba memahami jalan pikiran Mahera. Rupanya, Mahera termasuk salah seorang pemimpin Kaum Pasupata. Pada jamannya, kaum Pasupata banyak mendapat fitnah dan dibenci kaum lurus. Sebagai salah seorang pemimpin Pasupata, ia ingin memperlihatkan keperkasaan kaum Pasupata agar tidak dihina dan direndahkan orang. Tentu saja, caranya hendak memperlihatkan keperkasaan kaumnya menurut jalan pikirannya sendiri.
Dengan tekun ia mempelajari ilmu-ilmu sakti Punta Dewakarma. Merasa sudah dapat menguasai. segera ia menyingsingkan lengan bajunya. Dipelajarinva ilmu-ilmu
hitam yang sebenarnya menjadi larangan utama agamanya sendiri. Ringkasnya, dengan menempuh berbagai jalan ia bertujuan hendak memperlihatkan taringnya.
Ilmu Hitam yang paling hebat dan mengerikan adalah membuat manusia yang memiliki kepandaian menjadi mayat hidup. Sasarannya adalah para anak-murid yang menamakan diri kaum lurus. Seperti yang dikatakan sebentar tadi. tujuannya hendak memperlihatkan kepada dunia, bahwa orang-orang yang menyebut diri sebagai kaum lurus sebenarnya tidak lebih dan tidak kurang adalah mayat-mayat hidup. Sebab mereka hanya pandai berdoa panjang dan pendek saja, yang dikatakan hanya pandai menghabiskan nasi dan merusak pakaian. Itulah sebabnya, dia tidak membunuh ketua-ketua aliran kaum lurus yang sudah ditawannya. Sebaliknya. Sengaja ia mempertontonkan kepandaiannya. Di luar dugaan, Tapaksila dan teman temannya mengganggu rencananya. Bisa dimengerti bahwa rasa penasarannya kini beralih kepada Tapaksila yang sebenarnya termasuk kaumnya. Maka terdengar ia membentak-bentuk hebat:
- Tapaksila. janganlah engkau berkhotbah di sini sebagai orang suci! Kau datang ke mari dengan membawa laskar pilihanmu. Apakah kau kira aku takut?
Setelah berkata demikian, ia membunyikan peluitnya yang aneh. Dan empat orang mayat hidup melesat menghadang penglihatan Tapaksila, Goratara. Tepus Rumput dan Kudawani.
- Tapaksila! Kau boleh berkaok-kaok mengangkat dirimu menjadi Ketua Pasupata. Coba kalahkan mereka! Kalau bisa, aku bersedia takluk. Empat mayat hidup itu, justru terdiri dari anggauta empat aliran kaum lurus. Mereka adalah Lawe, Hani, Rami dan Mayasari. Dengan sebat mereka menarik senjatanya masing masing: penggada. tombak. golok dm pedang. Pandang matanya suram dan tidak beralih. Gerakan kakinya kaku dan sama sekali tidak bernafas. Akan tetApi gerakan tangannya, cekatan dan luwes. Benar-benar hebat dan mengagumkan.
Melihat siapa yang bersiaga bertempur. Tapaksila dan ketiga bawahannya tidak sudi terlibat. Dengan nada pedih. Tapaksila berkata:
- Hm . . . Mahera! Kau sengaja akan menyulitkan kedudukan kami. bukan? Aku tidak mau bertempur melawan anak-murid kaum lurus. Apalagi mereka bukan musuh-musuhku. Bhiksuni Aditi yang tadi terpental oleh pukulan Mahera, sebenarnya ingin melabrak iblis itu. Hatinya penuh penasaran. Akan tetapi ia menahan diri. karena Goratara yang membantu dan menolong jiwanya sedang memaki Mahera. Dia pun membiarkan Tapaksila berdebat dengan Mahera. mengingat Tapaksila adalah pemimpin Goratara. Tetapi setelah menyaksikan betapa Tapaksila terdesak oleh alasan alasan Mahera yang terdengar masuk akal, segera ia menimbrung:
- Rekan Tapaksila! Bagi penglihatanku. sekarang semuanya jadi jelas. Kesalah pahaman antara kaumku dan kaummu seyogyanya kita kesampingkan dulu. Aku tahu rekan Tapaksila kurang leluasa menghadapi tingkah Mahera yang licin. Sengaja ia memajukan anak-murid kaum kami agar melawan. Biarlah aku yang menghadapi. Syukur bila rekan Undaga . Getah Banjaran dan Tarus Bawa bersedia maju mengatasi akal licik iblis itu! -. '
- Bagus! sahut Tepus Rumput bersemangat mewakili ketuanya.
- Hanya saja kami harap bhiksuni berwaspada. Di depan bhiksuni berdiri anak murid Paramita. Tetapi belum tentu mengenal guru sendiri. Ilmu hitam itu terlalu
jahat. Kalau dia sampai melukai bhiksuni, apalagi sampai . . . eh . ; . sampai mencelakakan jiwa, bukankah berarti murid membunuh guru sendiri? Peristiwa itu akan merusak citra kaum lurus. Dan agaknya itulah yang menjadi tujuan si . . .
- Tepus Rumput kau bangsat jahanam! Mengapa mengoceh tak berujung-pangkal seperti orang kemasukan setan? Memang kau setan alas yang berlagak sok suci. sok pinter. sok lurus, sok gagah. -. potong Mahera sengit.
Lalu meniup peluitnya seraya berseru:
- Serang! Bunuuuh . . .!
Benar saja dugaan Tepus Rumput. Yang mendahului menyerang, justru mayat hidup Mayasari. Dengan pedang di tangan, ia menerjang gurunya sendiri dengan ganas. Bhiksuni aditi tahu, bahwa yang menyerang dirinya adalah mayat hidup, meskipun dia adalah Mayasari salah-seorang muridnya. Namun hubungan antara guru dan murid, membuat Bhiksuni Aditi tidak sampai hati untuk melukainya. Apalagi sampai membunuhnya. Masih saja ia mencoba menyadarkan:
- Mayasari! inilah gurumu!
Menyaksikan sikap Bhiksuni Aditi, Tepus Rumput berteriak memperingatkan:
- Awas! Jangan lengah! Dia bukan anak-muridmu lagi! Peringatan Tepus Rumput ternyata kasep. Dengan suatu kesebatan yang mengherankan, Mayasari menggempur pedang Bhiksuni Aditi. Entah Bhiksuni Aditi bertempur dengan setengah hati atau gempuran Mayasari yang terlalu hebat, tiba-tiba saja pedang Bhiksuni Aditi terpental tinggi di udara dan terbang meraung keluar gelanggang. Keruan saja mereka yang menyaksikan memekik terkejut.
Mereka semua tahu bahwa kepandaian Bhiksuni Aditi
terkenal tinggi. llmu pedangnya susah dilawan. Kecuali cepat membawa tekanan tenaga himpunan yang berat. Sekarang dapat digempur hilang dalam satu gebrakan saja. Ah. pasti karena bhiksuni itu bertempur dengan setengah hati.
Bhiksuni Aditi tersadar atas kelalaiannya. Selagi terpaku bagaikan patung, Mayasari melesat membabatkan pedangnya. Syukur pada saat itu Saraswati melesat maju menangkiskan pedangnya seraya membentak:
- Mayasari. jangan kurangajar!
Trang!
Pedang Saraswati terpental tinggi seperti nasib pedang gurunya. Pada detik itu. Bhiksuni Aditi sadar akan bahaya. Sambil menggulingkan badannya, ia menarik tangan Saraswati. Berseru dengan suara pedih:
- Saraswati. hati-hati! Mayasari melejit terus. Terpaksalah Bhiksuni Aditi membawa Saraswati bergulingan. Tepus Rumput menerjang dengan rantai besinya. Mayasari terpaksa mengurungkan langkahnya dan berbalik menangkis gempuran Tepus Rumput. Untung, Tepus Rumput sudah bersiaga penuh. Meskipun demikian, ia kalah tenaga juga. Di luar dugaan siapapun. kuda-kudanya gempur dan bahkan ia terdorong mundur tiga langkah. Keruan saja ia tidak sudi mengalah. Setelah tertegun sejenak, ia membalas. Dengan cepat mereka berdua saling menyerang dengan jurus-jurus yang ganas.
Sementara itu, Bhiksuni Aditi sudah meletik bangun. Segera ia berseru kepada sekalian anak-muridnya:
- Janari, Sekar Tanjung! Bawalah saudara-saudaramu menolong pamanmu Tepus Rumput. Dia bukan Mayasari lagi. Baik tenaga himpunnannya bukan ajaran kaum Paramita. Juga jurus-jurus pedangnya. Hati-hati dan berwaspada. Jangan mengadu tenaga. Lawanlah dengan akal dan kegesitan kalian.
Dengan serentak sekalian anak-murid Paramita maju menerjang menolong Tepus Rumput. Menyaksikan mayat hidup Mayasari bakal dikerubut puluhan orang. Mahera meniup peluitnya. Sekarang. belasan mayat hidup bergerak maju dan langsung saja menyerang kaum Paramita.
- Getah Banjaran! Mengapa engkau jadi linglung? Maju! -terdengar seseorang berseru nyaring.
Dialah pendekar Hari Sadana yang terus terjun ke dalam gelanggang pertempuran.
Getah Banjaran yang berangasan kemudian memerintahkan sekalian anak-muridnya maju menerjang lawan. ia pun mendahului menggempur mayat hidup Nawuli, salah seorang muridnya yang hilang. Melihat suatu kenyataan, bahwa sekalian mayat hidup memiliki tenaga istimewa, tidak mau ia bertempur dengan setengah-setengah. Justru demikian, pertempuran sengit yang terjadi antara murid melawan gurunya, membangunkan mayat-mayat hidup lainnya. Dengan suara peluit yang memekakkan telinga sekalian mayat hidup bergerak maju.
Hari Sadana, Undagada, Tarusbawa dan para pemimpin kaum Syiwapala sebentar saja terlibat dalam suatu pertempuran seru. Tetapi mereka jadi terkejut, karena mayat-mayat hidup itu ternyata tidak mempan kena senjata. Tapaksila, Goratara dan Kudawani yang untuk sementara menjadi penonton, berubah wajahnya menyaksikan peristiwa itu. Mereka saling pandang. Lalu saling mengangguk. Dengan membawa senjata andalannya masing-masing mereka maju mengulurkan tangan.
Goratara yang terkenal dengan pukulan geledeknya, segera menghantam sesosok mayat hidup yang habis membunuh lawannya.
Bluk!
Mayat itu terpental dan jatuh terguling. Namun sedetik lagi mayat itu meletik bangun dan membalas menyerang. Baik tubuh maupun tenaganya
tiada kurang sedikitpun. Diam-diam Goratara berpikir di dalam hati:
- Batu gunung pernah retak terbelah kena pukulanku. Tetapi mayat hidup ini tetap utuh seperti sediakala. Apakah kulitnya lebih keras daripada batu gunung? - Goratara! Bagaimana kalau tenaga kita berdua. kita gabungkan? ujar Kudawani.
- Eh, kakang Kudawani! Engkau seperti bisa membaca hatiku. Mari! sahut Goratara girang.
Kedua pendekar itu kemudian maju ber-bareng. Antara mereka sudah ada saling pengertian semenjak belasan tahun yang lalu. Goratara dulu berhasil mengalahkan ahli pedang Boma Printa Narayana oleh petunjuk-petunjuk Kudawani.
Selanjutnya Goratara memperdalam ilmu kepandaiannya. Seringkali mereka berdua berlatih bersama sama. Masing-masing sudah mengenal ilmu kepandaiannya. Dengan bergabung menjadi satu, kekuatan mereka jadi sekian kali lipat. Yang satu menyerang dan yang lain bertahan. Akan tetapi berlawan-lawanan dengan mayat hidup yang tidak menghiraukan keselamatan jiwanya, mereka merasa kerepotan juga. Memang berkali-kali mereka dapat merobohkan. Namun seperti robot tak berjiwa. mayat mayat hidup itu selalu dapat bangun kembali tak kurang suatu. Bahkan tenaga terasa kian bertambah. Celakanya lagi. mayat-mayat hidup lainnya ikut terjun dalam pertempuran seolah-olah ingin membantu kawan-kawannya yang berada dalam kesulitan. Dengan demikian, bukan Goratara berdua yang merubut mayat hidup. Justru sebaliknya mereka berdualah yang dikerubut mayat-mayat hidup.
Tepus Rumput dan Tapaksila terlibat dalam kesulitan pula. Mereka berdua hampir tak sanggup beralih tempat. Makin cepat mereka bertempur, makin cepat pula gerakan
tangan dan kaki mayat-mayat hidup yang mengepungnya. Untung mereka berdua berkepandaian tinggi, sehingga selalu dapat meloloskan diri manakala terjebak dalam suatu kesulitan. Sebaliknya tidak demikian halnya para ketua aliran kaum lurus. Getah Banjaran, Tarusbawa, Hari Sadana, Undagada, Bhiksuni Aditi dan para pemimpin aliran Syiwapala sudah semenjak tadi jatuh bangun beberapa kali. Kalau saja tiada dewa yang sudi mengulurkan tangan, sebentar lagi mereka akan kehilangan jiwanya. Sedang Bhiksu Dewayana yang terluka, tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolong anak-muridnya.
Memang pada saat itu, sekalian anak-murid kaum lurus sudah banyak yang roboh dengan nafas kembang kempis. Terutama anak-murid-anak-murid aliran Syiwapala. Hal itu tejadi lantaran pemimpinnya sudah terluka parah. Mereka semua melontakkan darah segar. Berarti sebentar lagi akan mati tak berkubur, karena setiap pukulan mayat-mayat hidup membawa hawa beracun.
- Hai orang Jawa! Bagaimana? Apakah engkau masih bersemangat hendak mengadu kepandaian denganku?
Mahera tertawa lega.
- Inilah sebagian kecil kepandaianku. Kalau engkau bisa merobohkan sekalian mayat-mayat hidup, ah barulah engkau pantas berlawan-lawanan denganku.
Tepus Rumput yang sedang bertempur dengan sibuknya, masih sempat mendengar ucapan Mahera. Ia tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan orang Jawa itu. Siapa lagi kalau bukan Yudapati saudara angkatnya. Dan teringat akan Yudapati timbullah harapannya. Sambil menggempur dua sosok mayat hidup yang menerjangnya dengan berbareng, ia berteriak sekuat tenaga:
- Adik! Apakah engkau sudah berhasil memahami Ilmu Pemutus Jiwa? Saat inilah yang paling tepat. Yudapati terkejut mendengar kata-kata Tepus Rumput yang mengingatkan dirinya tentang Ilmu Pemutus Jiwa yang sudah selesai dipelajari. Akan tetapi bila Kecapi Maut itu dibunyikan, bahayanya tidak terkendalikan. Barangkaali tidak hanya mayat mayat hidup saja yang binasa, tetapi seluruh laskar kaum lurus pula. Karena itu, anjuran Tepus rumput kurang tepat.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Semenjak tadi ia mengamati barisan mayat hidup yang mengepung delapan penjuru angin. Sebagian besar belum beralih tempat. Mungkin sekali Mahera berpendapat .belum perlu untuk mengerahkan mayat-mayat hidupnya semua. Para pendekar dengan sekalian laskarnya cukup dibereskan belasan mayat hidup saja. Kenyataannya memang demikian. Maka berpikirlah ia di dalam hati:
- Biarlah kurobohkan' barisan mayat hidup yang berdiri' seperti pagar alam itu. Mungkin bisa mengalihkan perhatian Mahera.
Setelah memutuskan demikian, ia berkata berbisik kepada Tepus Rumput melalui gelombang rahasia tataran tinggi. Katanya:
- Kakang Tepus Rumput. Aku akan menggempur barisan mayat hidup itu. Berusahalah secepatnya untuk mundur. Serukan kepada semua saja, agar menutup telinga. Pada saat itu, aku akan menggesek kecapi mautku. - .
Yudapati tidak mengijinkan Tepus Rumput untuk menanggapi bisikannya. Segera ia membombardemen mayat-mayat hidup yang berdiri tegak di delapan penjuru angin. Hebat akibatnya. Seketika itu juga, terdengarlah suara ledakan yang dahsyat luar biasa. Dan sekalian mayat mayat hidup itu terpental tinggi di udara seperti sampah terbawa angin puyuh.
Keruan saja ledakan dahsyat itu mengejutkan mereka semua yang sedang bertempur, termasuk Mahera. Beberapa saat lamanya. ia berdiri tertegun-tegun sehingga lupa mengendalikan mayat-mayat hidupnya yang sedang bertempur. Kesempatan itu dipergunakan Tepus Rumput dengan sebaik-baiknya. Dengan melesat mundur ia berseru nyaring:
- Sahabat-sahabat, mundur dan mendekam! Siapa yang tidak tahan. harap menutup telinga! - Mengapa harus mendekam?
Bhiksuni Aditi minta keterangan.
Tepus Rumput tidak sempat lagi untuk berbicara berkepanjangan. Demi melaksanakan perintah Yudapati, ia lari ke sana kemari untuk meyakinkan mereka yang masih berbimbang-bimbang.
- Mengapa harus mendekam?
Bhiksuni Aditi tidak mengerti.
- Guru! Kukira, ini semua kehendak kakang Yudapati. -ujar Sekar Tanjung menghampiri.
- Taruh kata benar, mengapa harus mendekam dan menutup telinga?
- Aku percaya, niscaya ada alasannya. Aku percaya. dia pasti bermaksud baik.
Sekar Tanjung meyakinkan.
Pukulan tenaga sakti tingkat sepuluh Ilmu Tantrayana, memang dahsyat luar biasa. Tapaksila. Goratara dan Kudawani yang belum pernah menyaksikan pukulan itu tertegun-tegun dengan mulut setengah terbuka. Apalagi Getah Banjaran. Hari Sadana dan Tarusbawa. Teringat pengalamannya dahulu bertempur melawan pemuda itu mereka jadi malu sendiri. Jelas sekali bahwa Yudapati tidak bermaksud membunuhnya. Bahkan melukai diri mereka sedikitpun. tidak. Sedang Undagada yang merasa memiliki kekuatan raksasa, tercengang ternganga-nganga. Ia menoleh kepada Bhiksu Dewayana yang duduk bersila semenjak
tadi. Bhiksu yang alim ini pun terperanjat menyaksikan peristiwa itu. Mimpipun tak pernah bahwa di dunia ini terdapat pukulan sedahsyat itu yang dapat dilontarkan dari jarak jauh.
Akan tetapi tenaga mayat-mayat hidup itu pun aneh pula. Setelah terbanting ke tanah bagaikan daun berguguran, mereka bangkit kembali meskipun tidak bergerak lagi. Buru-buru Mahera meniup peluitnya. Dan oleh peluit itu. mereka datang meluruk.
Yudapati melompat maju hendak menyongsong serangan mereka. Ia kini dikerubut puluhan mayat hidup. Oleh suara peluit yang makin lama makin cepat, mereka menerjang berseliweran bagaikan kilat. Yudapati tidak sempat berpikir lagi. Pokoknya ia tidak membiarkan mayat-mayat hidup sampai menyentuh dirinya. Kembali lagi ia melepaskan pukulannya.
Bres!
Yang terkena pukulannya terpental dan jatuh bergulingan. Sebaliknya dari jurusan lain, mayat-mayat hidup menyerang dengan ganas. Kali ini mereka membekal berbagai macam senjata.
Melihat mayat-mayat hidup itu membekal berbagai senjata, timbullah keinginan Yudapati hendak menguji llmu Pedang Gunadewa. Ia membiarkan mereka menyerang. Dengan sebat ia menghunus pedang Jagadpati yang tadi disarungkan dan mendahului gerakan mereka. llmu Pedang Gunadewa memang tak terlawan. Sekali bergerak. pedang Jagadpati melukai atau menebas lengan-lengan mayat-mayat hidup. Begitu cepat gerakan pedangnya sehingga menjadi tontonan yang menarik.
Yang berada di dataran Pasupata hitam itu adalah para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namun begitu menyaksikan ilmu pedang Yudapati yanng hebat luar biasa. tak terasa mereka kagum memujinya.
Masing masing pemimpin aliran mengomentari sehingga menambah pengetahuan para anak muridnya.
Suatu ingatan menusuk benak Yudapati. Pikirnya:
- Di sini berkumpul Kaum Abong-Abong, Orang Aring. Paramita. Syiwapala, Tanah Putih. Siguntang dan Gupala Seta. Pastilah mereka belum mengenal ilmu kepandaian leluhurnya yang kutemukan dengan tidak sengaja di sebuah goa. ingin kutahu apa kata mereka.
Setelah berpikir demikian, sekarang ia melawan serangan mayat-mayat hidup itu dengan ilmu kepandaian bermacam ragam yang digabungkan menjadi satu. Tiba-tiba terdengar Getah Banjaran berseru heran:
- Hai! Itu ilmu leluhur kita . ,! Dari mana dia mengetahui?
- Getah Banjaran! Kalau jurus itu menggunakan sepasang pedang, itulah jurus tipu-muslihat kaum Tanah Putih yang hilang semenjak angkatan kedua, -teriak Tarusbawa.
- Ha benar! Benar begitu! Itulah tipu-muslihat kaum orang-Aring yang dulu pernah merajai dunia. Mengapa dia mahir melakukan?
Hari Sadana heran.
- Inilah jurus Gupala Seta yang asli! - Apakah ini bukan jurus-jurus Syiwapala? Guru! Apakah aku salah lihat? seru seseorang.
- Tidak. Penglihatanmu tepat. sahut Bhiksu Dewayana dengan terbatuk-batuk. Meskipun racun Mahera mulai meresap dalam aliran darahnya namun ia masih memaksa diri untuk ikut mengamati. Setelah yakin, ia menghela nafas. Ujarnya:
- Sekarang. bolehlah aku mati. Aku sudah memperoleh kesempatan melihat jurus ciptaan leluhur Syiwapala yang musnah. Tak kusangka, bocah ini dapat mewarisi dengan sempurna.
- Bhiksu Dewayana! Barangkali bukan hanya tuanku
yang heran. Aku pun demikian juga.
Sambung Goratara.
- Itulah pukulan-pukulan jurus Siguntang. Hanya saja dilakukan dengan pedang. Namun gerakan dan sasaran yang dipilihnya sangat tepat. Hai rekan Tepus Rumput! Siapakah dia sebenarnya?
- Ha ha ha . . . Tepus Rumput tertawa panjang. Di antara mereka semua, dialah yang merasa paling berbahagia.
- Dia adalah adik angkatku. Yudapati, namanya. Kurasa pada jaman ini dialah sesungguhnya seorang pendekar sejati tiada tandingnya. Kalau tidak percaya, siapa yang berani mencoba-coba memperlihatkan kepandaiannya? Taruh kata engkau bisa menggunakan tipu-muslihat leluhurmu, dia memiliki jurus lain sebagai antinya. Maka jurusmu jadi bubar pasar. Percaya atau tidak? Goratara seorang pendekar yang berhati tulus. Segera ia mengangguk membenarkan.
- Dan andaikata kita maju berbareng untuk mengkerubutinya . . . hm . . .' lihat! Dia bisa menggabungkan semua jurus ilmu kepandaian kita menjadi satu. Masih ditambah lagi, ilmu pedangnya yang asli. llmu pedang yang tadi sempat diperlihatkan di hadapan kita. Selain itu dia masih memiliki ilmu pukulan tenaga sakti yang dahsyat luar biasa. Masih ditambah satu lagi. Ialah Ilmu Pemutus Jiwa. - Apa itu? -mereka yang mendengar minta keterangan dengan serentak.
- Tunggu tanggal mainnya! Sebentar lagi, kita semua akan merasakan. Karena itu bagi yang belum memiliki himpunan tenaga sakti cukup tinggi, lebih baik mendekam dan menutup telinga. Aku sendiri pernah mengalami hal itu. Ah, terlalu hebat! Maka aku tidak berkelebihan bila menyatakan, bahwa dialah sesungguhnya yang pantas menjadi raja kita . . . '
Para pemimpin aliran lurus memanggut kecil. Namun di dalam hati. mereka masih penasaran.
Benarkah merekapun harus menutup telinga dan mendekam seperti anjing mohon belas kasih manakala pemuda itu nanti menggunakan Ilmu Pemutus Jiwa?
Sementara itu. Yudapati kini memperlihatkan jurus-jurus ilmu pedang Paramita yang dilakukanya dengan tepat. Ilmu pedang itu memiliki gaya seorang wanita yang lemah lembut. Tetapi pada suatu saat mendadak saja menjadi ganas dan cepat luar biasa. Dengan beberapa gerakan saja. tujuh mayat hidup terkutung kedua tangannya.
Bhiksuni Aditi yang semenjak tadi berdiam diri, berdiri kedua alisnya. Berkata kepada Sekar Tanjung:
- Apakah engkau dulu sempat membicarakan ilmu pedang kita?
- Tidak. -sahut Sekar Tanjung dengan suara lembut.
- Apakah dia sedang melakukan Ilmu Pedang paramita? - Benar.
- Tetapi mengapa lain bila dibandingkan dengan ajaran guru?
- Aku pun tidak pandai melakukannya karena jurus jurus itu sudah lenyap semenjak ratusan tahun yang lalu. Tetapi . . . tetapi . . . mengapa jadi begitu ganas? Pembicaraan antara Bhiksuni Aditi dan Sekar Tanjung yang dilakukan dengan setengah berbisik itu dapat tertangkap oleh pendengaran Yudapati yang tajam luar biasa.
- Benar. pikirnya.
- Jurus-jurus leluhur kaum lurus memang ganas dan keji. Kalau begitu tidak baik aku memperlihatkan ilmu leluhurnya yang sudah punah ini. Bukankah yang kulakukan sekarang ini samalah halnya membangunkan bangkai mati?
Memperoleh pikiran demikian, segera ia menyarungkan
pedangnya. Lalu melawan kerubutan sisa-sisa mayat hidup dengan mengandalkan himpunan tenaga saktinya.
- Adik! teriak Tepus Rumput.
- Jangan mengobral himpunan tenagamu! Kau masih harus melayani tantangan Mahera. Gunakan Ilmu Pemutus Jiwa! Ingat engkau sudah berjanji dengan ketiga gurumu. Janganlah membuat mereka kecewa. lagipula, pada saat ini mereka sudah berhasil merebut jiwa Pataliputra.
- Hai! Benarkah itu? sahut Yudapati dengan gembira.
- Kalau begitu suruhlah mereka semua mendekam dan menutup telinga! Aku sendiri tidak tahu sampai di mana batas-batas tenaga saktinya.
Girl Talk 10 Jatuh Cinta Trio Detektif 22 Misteri Teka Teki Aneh Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka

Cari Blog Ini