Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 3
- Tapi tuan muda. Tanpa kartu undangan itu, tak dapat kami mendaki gunung Sibahubahu. Lebih baik. bunuh sajalah kami!
- Baik. Siapa yang minta kucabut jiwanya dahulu. Aku hanya membutuhkan dua kepala saja. -gertak Tilam sambil menghunus pedangnya
Mereka berempat saling pandang. Ternyata mereka masih mencintai jiwanya masing-masing, sehingga tiada seorangpun diantara mereka yang rela membayar harga kartu undangan itu dengan jiwanya.
- Bagaimana? Cepat! Aku tidak mempunyai waktu lagi. -bentak Tilam menghardik.
Pemilik kartu undangan itu kemudian berkata kalah:
- Sudahlah, sudahlah . . . biarlah kami berdua tidak ikut hadir. Datangpun tak ada gunanya.
- Mengapa tak ada gunanya?
- Luka yang kami derita ini belum tentu sembuh dalam satu minggu. Hanya saja, tolong bunuh sajalah mereka berdua.
- Mengapa begitu?
- Mulut mereka dapat mengarang cerita yang bukan bukan Untuk mengambil hati majikan.
Keruan saja mereka berdua yang kena tunjuk terperanjat sampai berjingkrak. Serunya hampir berbareng:
- Hai. hai! Kau mengacau!
-Alah . . . masakan kami tidak mengenal perangai kalian? Sudahlah, jangan main sok dihadapan tuan muda. Kita semua ini golongan bangsat. Malaikatpun masih kita coba mengibulinya,
Tilam tertawa geli di dalam hatinya mendengarkan pertengkaran mereka. Namun di hadapan golongan bangsat.
wajib ia bersikap angker dan galak. Bentaknya:
- Siapa sudi mendengarkan pertengkaran kalian berkepanjangan? Aku tak mempunyai waktu lagi. Cepat. serahkan kepala kalian. Mana yang harus kupotong dahulu?
" Kedua orang itu memang pandai mengambil hati. Mendengar bentakan dan ancaman Tilam, terus saja mereka
menjatuhkan dirinya dan menyembah serendah tanah.
Berebut mereka menyerahkan kartu undangannya kepada
Tilam.
- Biarlah kami senasib. Kami berduapun tidak berangkat. kata mereka.
Tilam tak sudi menerima persembahannya. Takut Tilam akan mengambil tindakan cepat, buru-buru mereka merobek-robek kartu undangannya dan dilemparkan bertaburan di atas tanah. Tilam merasa puas. Dengan sekali melompat, ia duduk kembali di atas pelana kudanya, kemudian memburu waktu agar tiba lebih dahulu di tempat perjanjian.
Pada waktu ia menancapkan kertas pemberian tahu pada batang pohon. Mojang masih terlibat percakapan dengan kakek Upik. Namun. ia tak mau menang sendiri. Mojanglah yang lebih dahulu tahu, siapakah sesungguhnya rombongan pedagang yang dicurigainya. Hanya saja, mungkin dia belum mengetahui maksud tujuan mereka. Maka perlu ia menyebutkan nama gunung Sibahubahu. Tentang kartu undangan, tak masuk hitungan. Sebab bunyi perlombaan tidak menyebutkan dirinya ingin menghadiri pertemuan mereka. Sebaliknya apabila hanya tahu saja siapa mereka sesungguhnya dan tidak menyelidikinya sampai tuntas, ibarat seseorang makan mangga setengah matang. Akibatnya bisa membuat perut mulas. Dengan demikian perlombaan itu berakhir seri saja.
Oleh pikiran itu ia bersembunyi di balik gerumbul Yang banyak sekali terdapat di seberang menyeberang jalan.
Begitu melihat Mojang melompat di atas pelananya segera ia menghampirinya. Serunya dengan suara nyaring:
- Mojang. kau hebat!
- Apanya yang hebat? sahut Mojang tak mengerti di atas kudanya.
- Kau menang. Hm.
- Karena engkau mengetahui lebih dahulu daripadaku. siapa mereka sesungguhnya. Bukankah engkau yang menghajar mereka berempat sampai matang biru?
Mojang tercengang sejenak. Lalu menyahut:
- Tidak seluruhnya. Seorang kakek membantuku menggebuki mereka sampai jera,
- seorang kakek? Tilam ganti tercengang.
Suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya menggoda:
- Oh, tahulah aku. Kabarnya akan menjadi kakek mertuamu. bukan?
- Kakek mertua?
Mojang tak mengerti.
Tilam tertawa panjang sambil mengedut kendali kudanya. Mojang menjajarkan kudanya dua langkah di sampingnya. Membiarkan kudanya berjalan santai, mereka melanjutkan percakapannya. Tilam mengabarkan pertemuannya dengan empat bangsat anak buah Palata yang menyangka Mojang calon menantu kakek itu. Dari mereka pulalah ia memperoleh dua kartu undangan. Lalu menutup warta beritanya dengan kata-kata pujian:
- Dengan begitu, engkaulah yang pantas menang. Kau cerdik dan cermat.
- Tidak.
Mojang menolak.
- Dalam hal kecerdikan dan kecermatan betapapun juga. aku kalah setingkat. Tidak pernah terpikir olehku tentang kartu undangan.
- Soal kartu undangan biarlah tidak masuk undangan Katakan saja. kita seri. Hanya saja engkau tidak mengetahui
tujuan mereka. Karena itu, engkau kurang selangkah daripadaku.
Mojang menghela nafas. Sahutnya:
- Soal Gunung Sibahubahu dan tujuan mereka, sebenarnya sudah kuketahui dari kakek Upik. Entah hal itu termasuk hitungan atau tidak.
- Dari kakek siapa? Upik? Siapa dia?
Dengan perlahan-lahan, Mojang menceritakan pengalamannya bertemu dengan kakek Upik. Ternyata Mojang yang nampaknya pendiam kini pandai bercerita panjang lebar sehingga terasa mengasyikkan. Tilam mendengarkan dengan penuh perhatian. Entah apa yang berkecamuk di dalam benaknya.
- Nah apa kataku tadi. serunya dengan suara riang.
- Kaulah yang menang. Selanjutnya aku akan mendengarkan kata-katamu.
Mojang tersenyum lebar. Sekonyong-konyong ia merasa puas. Tanyanya menegas:
- Mendengarkan kata-kataku bagaimana?
- Kaulah yang menjadi pandu perjalanan ini.
- Mendaki Gunung Sibahubahu?
- Ya. Bukankah engkau membawa sebuah kartu undangan dariku? Artinya engkau harus mendaki gunung itu.
Mendengar kata-kata Tilam. Mojang mengeluh di dalam hati. Meskipun menang akhirnya tetap terikat pada kemauan gadis itu. Pikirnya:
- Gadis ini memang cerdik dan berpandangan jauh. Dalam perlombaan mengadu cepat, dia bersedia mengalah. Tetapi kemenanganku tak lebih dan tak kurang semacam hadiah hiburan belaka.
Tilam rupanya dapat membaca pikirannya. Ujarnya:
- Akupun sebenarnya ingin segera menyusul ayah. Tetapi peristiwa ini'tidak boleh kita abaikan. Dengan begitu tidak sia-sialah makna ayah meninggalkan negeri
sampai lima tahun. Apakah engkau ingin cepat-cepat pulang kampung?
Tergelitik lagi rasa harga diri Mojang sebagai seorang laki-laki.
Bukankah perjalanan ini terhitung tugas negaranya juga demi memperoleh penglihatan yang lebih luas dan menentukan? .
Jika membiarkan Tilam bekerja seorang diri, rasanya dirinya tak lebih daripada seorang perajurit yang lari meninggalkan gelanggang pertempuran. Maka dengan bersemangat ia menyahut:
- Pulangpun. aku tak tahu jalan. Biarlah aku mati bersamamu.
- Siapa yang menghendaki engkau mati? Kita hanya menjadi saksi saja. Tidak kurang tidak lebih.
- Benar begitu?
- Bukankah aku akan mendengarkan kata-katamu?
- Bagus! Kalau begitu mari kita berangkat. seru Mojang girang.
Ia merasa terhibur mendengar ucapan gadis itu dan seolah-olah telah memperoleh suatu pegangan. Hanya peganan apakah itu, ia sendiri tidak tahu. Beberapa saat kemudian. ia berkata:
- Mungkin sekali, kita perlu membeli dua tenda dan dua selimut. Rasanya tak mungkin kita memperoleh rumah penginapan di pinggang gunung Sibahubahu. '
- Belum tentu. Mari kita lihat dahulu.
Karena hati sudah mendapatkan suatu kesepakatan. perjalanan jadi lancar. Namun sampai hari ke sepuluh. Gunung Sibahubahu masih saja bersembunyi di balik rimba raya yang luar biasa luasnya. Baru pada hari yang ke empat belas tibalah mereka di kaki gunung. Kesannya angker berwibawa.
Dalam perjalanan mereka tidak menemukan kesulitan apapun berkat kartu undangan yang dibawanya. Bahkan mereka mulai dapat menyadap tutur kata warga gerombolan yang kadang-kadang membicarakan Ketua Perserikatan
Tandun. Ternyata Tandun bermaakas di atas Gunung Sibahubahu. Wilayah kotanya ditandai dengan perkampungan perkampungan berbenteng batu, Setiap perkampungan memiliki rumah penginapan yang rupanya disediakan bagi tetamu-tetamu tertentu. Dengan begitu. Mojang sekali
lagi merasa kalah terhadap Tilam. Benar-benar ia kalah dalam hal melihat negeri orang.
Pada suatu petang mereka menginap di suatu penginapan yang terletak di tepi danau. Dengan memperlihatkan kartu undangan, mereka disambut dengan tertib. Mereka dipersilahkan duduk di serambi depan; Baru saja mereka menerima hidangan yang disediakan, masuklah tiga orang berseragam jubah. Berpura-pura menghirup minuman. Tilam mencuri pandang. Diam-diam ia mengamat-amati. Menilik pakaian yang dikenakannya, mereka bertiga tentunya golongan pendeta.
Mengapa sampai di sini pula?
- Apakah mereka temasuk golongan garong pula. "pikirnya. Kalau benar, sungguh menyedihkan. Sebab ada peribahasa yang berbunyi: Bila golongan pendeta tidak bisa lagi membedakan yang buruk dan yang benar, tanda dunia akan kiamat. Ah, mungkin pula mereka bangsat-bangsat yang sedang menyamar. pikirnya lagi. Hampir bersamaan dengan datangnya pikiran itu, dua orang pendeta di antaranya berteriak teriak memanggil pelayan. Pelayan yang merasa dirinya tidak tuli, keruan saja tersinggung hatinya. Dengan berani ia membalas tajam:
- Kami bukan anjing, bukan pula lembu yang perlu :dihardik. Apa sih, maksud tuan?
- Eh, bangsat benar kau ini. Kau berani berkata begitu? bentak yang berberewok dan berkumis tebal. Sewaktu tangannya hendak bergerak untuk mencekik pelayan itu.
temannya menyanggah.
- Jangan kotori tanganmu dengan nafas binatang ini.
Katanya.
- Hai, mengapa engkau tidak cepat-cepat menyambut kedatangan kami? Kami boleh menginap di sini atau tidak? Majikanmu sendiri tidak akan berani bersikap kurangajar terhadap kami. Kau tahu, siapakah kami ini?
Menghadapi kegarangan mereka, betapapun juga pelayan itu tidak berani mengumbar rasa mendongkolnya. Dengan membungkuk-bungkuk beberapa kali, ia minta maaf.
- Tuan pendeta, jika tuan ingin menginap di wilayah kami bisa saja disediakan penginapan khusus. Tetapi menurut peraturan, kami dilarang menerima tuan.
- Hai, mengapa? Kamipun membawa undangan!
- Benar. Tetapi makanan di sini hanya terdiri dari babi dan anjing. sahut pelayan itu.
Mereka bertiga saling pandang. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Yang berkepala gundul polos, lalu berkata kepada kedua temannya.
- Memang tidak terlalu salah bangsat ini. Menilai majikannya bisa dilihat macam anjingnya. Setelah berkata demikian, ia membanting kartu undangannya di atas meja.
- Nah, lihat yang jelas! Bukankah itu tanda tangan majikanmu? bentaknya.
Setelah itu membanting sepotong perak seberat seperempat kilo, sambil membentak lagi:
- Sama tidak dengan perakmu? '
Melihat potongan perak yang bernilai tingg' itu. si pelayan mengiler juga. Sejenak ia menimbang-nimbang. Lalu berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri:
- Tak apalah sekali-kali melanggar peraturan. Habis, tuanlah yang memaksa aku berbuat begini. Silahkan, kalau tuan berkenan menginap di sini.
- Berkenan bagaimana? Mau menerima perakku atau tidak?
- Mau. mau. mau. sahut pelayan itu terbaca-bata.
Dengan terburu-buru ia mendahului ketiga tetamunya mempersiapkan kamar yang layak. Tilam mengerlingkan matanya kepada Mojang yang selama itu bersikap diam sambil menikmati hidangan yang disediakan baginya.
Menarik sungguh pekerti mereka.
- Dengan mengenakan jubah pendeta masih saja sempat memaki-maki seorang pelayan yang sedang menjalankan kewajiban. -.katanya sambil mengunyah sekerat daging.
- Kalau bukan pendekar mereka bertiga tadi pasti termasuk golongan penjahat besar. ujar Tilam,
- Benar. Seyogianya setelah mengetahui siapa mereka. lebih baik kita bersikap acuh saja.
- Aku justru ingin memakinya. ,
- Hai jangan! Belum waktunya kita ikut campur.
Mojang mencegah.
- Hayo. bukankah engkau berjanji akan mendengarkan kata-kataku? Makanlah! Aku mempunyai saran dan pendapat-pendapat yang mungkin ada baiknya untuk kau dengarkan.
Tilam menahan diri. Percaya bahwa Mojang tentunya mempunyai alasan yang pantas didengarkan, segera ia menyuap nasinya sambil memasang pendengaran.
- Sekian lamanya. kita hanya mencurigai mereka yang mengenakan pakaian pedagang. Apakah anak buah Coleng. Batega dan Barabas begitu juga? ia mulai.
- Siapakah mereka itu?
- Merekalah kepala kepala gerombolan yang menguasai wilayah timur. utara dan barat. Mereka saling bertengkar. berebut dan bersaing. Begitulah keterangan yang kuperoleh dari kakek Upik yang pernah menjadi Kepala kampung pada masa mudanya.
- Lalu?
- Oh ya. Kau beritahukan aku dahulu, bagaimana engkau bisa cepat mengmbil kesimpulan bahwa akulah yang menghajar empat penjahat dahulu di rumah kakek itu.
Tilam tertawa perlahan. Sahutnya:
- Mudah saja. Bukankah aku mengetahui arah yang engkau pilih? Engkau menuju ke barat hendak memasuki perkampungan. Dan aku bersua mereka justru dekat perkampungan itu. Siapa lagi yang menghajar mereka kalau bukan engkau. Apalagi mereka membicarakan pula tentang logat bahasamu. Mengapa engkau justru ingin membelokkan persoalan?
- Bukan begitu, maksudku sahut Mojang cepat.
- Artinya. engkau pandai menarik kesimpulan. Dengan demikian, tak perlu aku berbicara berkepanjangan.
- Jadi yang kau maksudkan, ketiga pendeta itu mungkin termasuk anggaota Batega, Barabas atau Coleng?
- Mungkin pula mewakili ketiga-tiganya. Atau bukan mustahil gerombolan lain yang disegani Tandung. Kau dengar sendiri bagaimana cara mereka memperlihatkan wibawanya. Tandun sendiri, katanya menghormati mereka.
Tilam mengangguk. Dan setelah itu mereka tidak berbicara lagi. Tetapi di dalam hati, Tilam mulai mengagumi kecermatan pandangan Mojang. Pikirnya;
- Sang berewok ini hati-hati juga dalam setiap tindakannya. Dia bisa berpikir panjang.
Memang pada saat itu, Mojang tidak berkesempatan untuk mencukur berewoknya sehingga tampangnya kembali pada aselinya. Justru demikian, ia nampak gagah dan tampan.
- Masih ada lagi yang harus kita pikirkan. -kata pemuda itu lagi.
- Apa?
Tilam menegas.
- Menurut kabar, markas Tandun berada di balik gunung ini. Tetapi dia mengharapkan semua tetamunya tiba ditempat pada esok malam. Berarti, semua tetamunya dipaksa untuk berlomba dengan waktu. Kau tahu sendiri. tidak mungkin perjalanan itu kita tempuh dengan kuda terus menerus. Karena itu. sebelum fajar menyingsing sebaiknya kita berangkat mendaki ketinggian di depan kita.
- kau membicarakan tentang perlombaan. Apa yang harus diperlombakan?
- Mungkin mengejar waktu. Mungkin . . . nah, di sinilah kita berhadapan dengan teka-teki yang akan kita ketahui esok malam.
Malam itu mereka cepat-cepat masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Pada keesokan harinya sebelum fajar menyingsing, mereka berangkat meninggalkan penginapan. Meskipun kuda Mojang bukan kuda mustika, namun kuat dan ulet. Setelah berlari-larian sehari penuh, menjelang petang tibalah mereka di depan markas Tandun. Baik Mojang maupun Tilam turun dari kudanya .menirukan perbuatan yang lain-lain. Mereka meneruskan perjalanan dengan menuntun kudanya masing-masing sebagai suatu penghormatan terhadap yang mempunyai rumah. Itulah adat istiadat yang berlaku pada jaman itu.
Sewaktu Tilam menoleh kekiri, ia melihat tiga pendeta yang semalam bertengkar dengan pelayan penginapan. Hampir saja mulutnya memaki mereka, kalau saja Mojang tidak cepat-cepat mencegah.
- Masih ada waktu untuk memaki mereka. bisik Mojang.
- Kitapun belum mengetahui dengan pasti, siapa mereka sebenarnya.
- Benar juga, pikir Tilam.
Kemudian ia mengalihkan pandang kepada orang-orang yang mendaki gunung dengan menuntun kudanya. Melihat jumlah mereka pesta pertemuan Tandun temasuk pesta besar-besaran. Memperoleh kesan itu. hati Tilam makin tertarik
Di depan markas Tandun, mereka disambut beberapa orang yang mempersilahkannya dengan hormat. Bahkan empat orang berkenan mengantarkannya sampai ke tempat duduk yang sudah ditentukan. Mojang dan Tilam mendapat tempat duduk di deretan sebelah timur. Pesta perjamuan itu berada di sebuah petamanan yang luas. Berpuluh-puluh meja penuh dengan minuman keras dan penganan di atur berjajar berkelompok-kelompok. Masing-masing dilayani oleh empat orang berseragam yang siap siaga mengiringkan kehendak tetamunya.
Pemilik rumah ini lengkapnya bernama" Tandun Raja Koneng. Tetapi orang-orang luar, menyebutkan namanya dengan Tandun saja. Kecuali pendek, mudah diingat-ingat pula. Sebenarnya dia memiliki bukit sendiri diperbatasan Riauw. Bahkan membangun sebuah kota pula bernama: Tandun. Namun, markas besarnya ternyata bersembunyi di balik Gunung Sibahubahu. Luas halaman markasnya sekitar seratus hektar. Bangunan rumahnya berbentuk memanjang. Berkesan angker berwibawa. Di tengah taman bunga terdapat lapangan raga. Mungkin sekali dipergunakan untuk melatih anak pasukannya. Di kedua sisi lapangan terdapat dua los panjang, penuh dengan bermacam-macam senjata yang diatur rapih di rak-rak kayu. Semuanya itu tidak luput dari pengamatan Mojang dan Tilam. Setelah memperhatikan tempat pertemuan itu, perhatiannya mulai terpusat pada meja panjang yang rupanya disediakan untuk tuan rumah. Lalu panggung terbuka yang terbuat dari papan: Melihat hal itu, terus saja mereka tahu. bahwa sebentar lagi pasti akan terjadi tontonan yang menarik.
Dalam pada itu. para tetamu datang mengalir tiada hentinya. Sebentar saja semua kursi sudah terduduki.
Anehnya, masing-masing tiada yang saling mengenal. kecuali dalam kelompoknya sendiri. Terjadilah suara kasak kusuk di antara mereka membicarakan apa kehendak tuan rumah sesungguhnya.
Apakah semua tetamunya diharapkan untuk mempertunjukkan kepandaiannya masing-masing di atas panggung terbuka itu?
Tidak lama kemudian terdengarlah bunyi gong mengalun panjang. Serombongan orang berpakaian seragam mengiringkan seorang laki-laki berumur kira-kira enampuluh tahun. Laki-laki itu berjenggot panjang berbentuk segi tiga. Kumisnya terpelihara rapih. Meskipun kepalanya tertutup kopiah namun siapapun akan mudah menerka warna rambutnya. Mestinya setengah ubanan, mengingat jenggot dan kumisnya sudah memutih. Tetapi tubuhnya nampak masih kekar dan bersemangat. Pandang matanya tajam dan wajahnya bersih bercahaya. Siapapun tidakkan mengira, bahwa dialah sesungguhnya ketua perserikatan kaum pembangkang pemerintah.
Setelah duduk sejenak di atas kursi yang sudah disediakan dengan sekali lompat ia berdiri dengan angkernya di atas panggung terbuka. Ia membungkuk hormat kepada sekalian hadirin dengan wajah berseri-seri. Lalu berkata dengan jelas dan tenang:
- Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Pertama tama perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasih tak terhingga, 'atas kesudian saudara melangkahkan kaki memenuhi undanganku. Semua orang orang gagah berada di sini. Kecuali rekan Barabas, Coleng dan Batega. Mereka bertiga sedang menyelesaikan suatu urusan yang maha penting. Namun. masing-masing tidak lupa mengirimkan Wakil-wakilnya. Untuk ini, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Sekarang tentunya saudara-saudara ingin berkenalan dengan rekan Palata, majikan dari wilayah
Selatan. Bila rekan Palata tidak berkeberatan. kupersilahkan naik panggung.
Belum habis bunyi gaung suaranya, meloncatlah seseorang dari bawah panggung. Gerakannya luar biasa cepat tak ubah bayangan. Tahu-tahu disamping Tandun. Berdirilah seorang laki-laki berperawakan tinggi langsing, laki laki itu kira-kira berumur empatpuluh tahun. Kedua matanya bulat dengan gundu mata hitam. Di bawah sinar penerangan. pandang matanya nampak tajam seolah-olah dapat menembus ulu hati setiap penonton. Alis matanya tebal. Hidungnya mancung agak bengkok. sedang mulutnya selalu menyungging senyum.
Tilam tidak senang memperoleh kesan peribadinya. Orang demikian, pasti seorang yang gemar paras cantik. Sebaliknya. semenjak Tandun menyebutkan namanya pandang mata Mojang tak beralih dari panggung. Tatkala melihat berkelebatnya Palata yang dapat bergerak cepat bagaikan bayangan, hatinya tercekat. Sekarang, ia menyaksikan perawakannya. Entah apa sebabnya jantungnya ber-debaran. Hal itu. disebabkan dirinya terlibat tidak langsung dengan anak buah Palata yang bermaksud membawa Upik untuk dipersembahkannya sebagai gundiknya. Waktu itu, pernah ia berpikir hendak membicarakan peristiwa kakek Upik baik-baik dengan Palata. Tentunya, tidak akan berjalan dengan lancar. Lambat atau cepat pasti akan terpaksa berkelahi dengan Palata demi masa depan Upik. Kini, dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan betapa kepandaiannya berada di atasnya. Mau tak mau ia mengeluh di dalam hati.
Dalam pada itu terdengarlah suara Tandun berkata kepada Palata:
- Rekan Palata, terima kasih. Sekarang perkenankan aku memperkenalkan wakil-wakil dari majikan Timur.
Utara dan Barat. Silahkan!
Tiga orang berjubah panjang melompat dengan satu gerakan naik ke panggung. Merekalah tiga orang berpakaian pendeta yang bertengkar dengan pelayan kemarin petang. Menyaksikan kehadiran mereka sebagai wakil-wakil kepala gerombolan wilayah timur, utara dan barat, Tilam mendongkol. Hampir saja ia memakinya. Selagi mulutnya hampir menyemburkan kalimat makian. Mojang mengedipkan mata sambil berbisik:
= Sst! Duduklah yang tenang dahulu. Sandiwara baru saja mulai.
- Manusia rendah mereka itu. Sebagai wakil pimpinannya, mengapa sudi bertengkar dengan seorang pelayan. Pastilah manusia demikian, tidak berakal budi. -sahut Tilam berbisik pula.
- Ya. ya, ya . , . mungkin lebih tepat kita sebut sebagai babi. Namun begitu. pada saat ini sebaiknya kita duduk dengan sopan dahulu.
Tilam mau mengerti. Kemudian dengan penuh perhatian ia mendengarkan kata-kata Tandun yang kini terdengar nyaring oleh rasa girang. Kata orang itu:
- Saudara-saudara, silahkan minum dan makan seadanya dahulu, Syukur bila masih ada waktu untuk mendengarkan apa maksudku mengundang saudara-saudara sekalian hadir di sini.
- Silahkan! Silahkan! -sambut tetamunya dari berbagai sudut.
- Saudara-saudara yang hadir di sini adalah sahabat sahabatku seumpama anggauta tubuhku sendiri. Karena itu, rasanya tiada sesuatu yang perlu kurahasiakan. Tandun Raja Koneng mulai. Sudah duapuluh tahun lamanya. aku menjabat sebagai Ketua Perserikatan. Selama itu berkat kesetiaan saudara-saudara, kita bisa makan dan minum dalam keadaan aman dan damai. Selain itu juga berkat kerjasama antara saudara-saudara dengan pihak pemerintah. Tetapi pada saat ini pemerintah yang lama mengalami kegoncangan hebat. Raja Dharmajaya digulingkan oleh Dharmaputera. Tegasnya, pada saat ini Dharmaputera mengangkat diri sebagai raja Sriwijaya. Kita sih, sebenarnya tidak memperdulikan siapa yang jadi raja. Pengemis kudis pun, jadi. Asal .
Sampai di sini, ucapannya terputus oleh suara gelak bergegaran. Setelah suara tertawa mereda. ia melanjutkan ucapannya :
- Asalkan dia tahu diri. Bersama-sama hidup berdampingan dengan kita.
- Benar, benar! sahut hadirin. ..
- Masakan negeri seluas ini mau dikangkangi sendiri? .
- Tetapi, sayangnya aku belum memperoleh ketegasan untuk kulaporkan kepada saudara-saudara sekalian. ujar Tundun Raja Koneng.
- Mengingat diriku tidak mempunyai hubungan baik dengan pengikut-pengikutnya. lagipula usiaku sudah menjulang tinggi, maka aku bermaksud akan meletakkan jabatan. Selanjutnya terserah kepada saudara saudara mencari upaya memilih pemimpin baru. Aku sendiri, selanjutnya akan hidup sebagai orang preman. Hidup berniaga sebisa-bisaku. Pendek kata. tidak lagi hidup berkecimpung di antara saudara-saudara. Namun aku berjanji tidak akan membuat atau menimbulkan kesukaran-kesukaran demi kelangsungan hidup saudara sekalian. Sekian dan terima kasih.
Pidato tuan rumah itu, menimbulkan bermacam-macam tanggapan. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Kebanyakan di antara mereka masih memerlukan pimpinan Tandun Raja Kopeng. Namun tidak sedikit pula yang bersikap diam. Mojang dan Tilam tentu saja tidak mengetahui masalah mereka. Tetapi menilik kata-kata Tandun mereka sudah dapat menebak delapan bagian. Agaknya pemerintah merasa kewalahan menghadapi sepak terjang mereka yang sudah dilawan. Apalagi bagi pegawai-pegawai yang berkedudukan mengurus keamanan daerah. seperti Camat dan Polisi. Demi kelangsungan hidup sendiri, kemudian mereka mengadakan usaha pendekatan. Terjadilah suatu kesepakatan bersama. Masing-masing tidak saling mengganggu Kecuali perkara pencurian-pencurian kecil. Untuk ini kaum perusuh mau mengembalikan barang curian yang dicuri oleh salah seorang anggautanya. Sebaliknya, bila mengenai perampokan uang negara, pegawai pamongpraja dan polisi cukup melaporkan hal itu kepada atasan. Karena bidang keamanan berada di tangan tentara. Dengan demikian, pamongpraja dan pihak polisi, tidak dapat terlalu disalahkan oleh pemerintah pusat. Kecuali jiwanya aman. sandang pangan mereka berlangsung terus.
Sekonyong-konyong terdengar seorang berteriak:
- Hai Tandun! Perkara engkau akan mengundurkan diri atau tidak itulah mudah diurus. Tetapi sudah sekian lamanya engkau tidak memperkenalkan wakil-wakil majikan timur. utara dan barat. Mereka berlagak mengenakan jubah pendeta. Gadungan atau bukan?
Kata-kata itu diucapkan dengan suara nyaring dan lantang. Semua hadirin berpaling kepadanya. Ternyata dia seorang laki-laki berperawakan ramping berukuran sedang yang duduk di sebelah barat panggung. Pakaian yang dikenakan termasuk pakaian saudagar. Tak usah diterangkan lagi, bahwa dia sedang menyamar. Hanya saja. tak dapat dia digolongkan dengan orang-orang yang mengenakan pakaian saudagar. Kecuali tak berteman ,warna pakaiannya berbeda. Di pinggangnya tergantung pedang panjang yang diperlihatkan dengan terang-.terangan.
Melihat orang itu. Mojang berbisik kepada Tilam :
- .. Babak kedua akan segera dimulai.
Tilam mengangguk pendek. Dengan pandang mata tajam ia mengamat-amati orang itu. Tundun Raja Koneng, benar-benar pantas disebut sebagai Ketua Perserikatan. Menghadapi tetamu yang dapat memecahkan suasana persahabatan masih dapat ia membawa sikapnya yang tenang dan agung. Setelah merangkapkan kedua tangannya di tengah dadanya, berkatalah ia ramah :
- Sahabat handai taulan kita tersebar luas di bumi Sriwijaya. Jumlahnya tak terhitung lagi. Menurut kabar, bahkan ditambah lagi dengan jumlah angkatan muda. Karena itu, mustahil aku dapat mengingat-ingat nama-nama hadirin dengan baik. Apalagi aku kini sudah merasa pikun. Maka perkenankanlah saudara menyebutkan nama sendiri dan atas nama siapa berkenan hadir di sini. _
- Aku sendiri sih . . . hanya seorang pedagang. Seorang pedagang yang tidak bermodal dan tak berteman. Namaku: Gandara. Nah, siapa nama pendeta-pendeta gadungan itu?
Semenjak tadi, ketiga wakil yang berjubah pendeta itu, sudah tersinggung kehormatannya. Apalagi, kini dinyatakan sebagai pendeta-pendeta gadungan di depan khalayak ramai. Keruan saja wajah mereka berubah beringas. Yang berkepala gundul membentak :
- Jadi engkau saudagar tak bermodal tak berteman? Bagus! Aku pun seorang pendeta yang tidak mempunyai pengikut pula. Namaku, Pasu. Pendek saja.
Kedua temannya, kemudian memperkenalkan namanya pula. Yang berada di kirinya bernama Sumbar. lainnya, Tokang. Dengan berbareng mereka membentak ;
- Kau tak bermodal dan aku tak mempunyai pengikut. Artinya kita sama-sama setali tiga uang. Sebenarnya atas ijin siapa engkau hendak mengacau di sini? Gandara tertawa panjang. Suara tertawanya bergaung
menumbuki dinding-dinding gunung. Lalu menjawab:
- Palata! Menyingkirlah dahulu! Biarlah aku berhadap hadapan dengan pendeta-pendeta gadungan itu!
Palata tidak menyahut. Dia hanya mendengus. Tetapi seperti tadi ia menghilang begitu saja dari pengamatan. Dan sekonyong-konyong sudah duduk bercokol di atas kursinya. Betapa cepat gerakannya benar-benar membuat Mojang kagum.
Dalam pada itu, Gandara sudah berada di atas panggung. Berkata kepada Tandun :
- Kau tadi sudah mengumumkan akan mengundurkan diri. Selanjutnya terserah kepada kita, bagaimana caranya memilih seorang ketua baru. Kurasa inilah cara yang terbaik. Aku akan merobohkannya seorang demi seorang.
- Maksudmu?
Tandun menegas. Sekarang ia tidak menggunakan sebutan tuan lagi, karena Gandara semenjak semula tidak menghargainya sebagai tuan rumah.
- Apakah masih kurang jelas?
Gandara tertawa panjang.
- Aku berkepentingan untuk merebut kedudukan ketua perserikatan. -'
- Oh, begitu?
Tandung melengak.
- Silahkan! Tetapi sebenarnya ada kata-kataku yang masih belum selesai.
- Masih ada waktu untuk menyelesaikan urusanmu. potong Gandara.
- Baik. _
Tandun Raja Koneng kemudian turun dari panggung dengan wajah penuh pertanyaan. Sebenarnya, dia tidak kenal orang itu. Sekarang, dia ingin merebut kedudukan.
Siapakah dia?
Sumbar, Pasu dan Tokang, ternyata wakil wakil majikannya yang beradat panas. Menyaksikan tingkah laku
Gandara yang merendahkan dirinya di depan khalayak ramai membuat mereka kalap. Dengan serentak, mereka maju. Tetapi Gandara menanggapi gerakan mereka dengan tertawa. Serunya:
- Ohoo . . . kebiasaan kalian merampok, masakan hendak kalian perlihatkan pula di atas panggung? Hargai dong tuan rumah. - Cuh! Sumbar meludah.
- Untuk menghabisi jiwamu, masakan perlu enam tangan maju berbareng. Boleh pilih siapa di antara kami yang pantas kau lawan! - Siapa saja. Engkau atau lainnya. sahut Gandara dengan suara congkak.
- Kalau begitu, biarlah aku yang membawamu ke neraka. - Silahkan!
Pasu dan Tokang turun dari panggung dengan hati panas. Dengan mata tak berkedip, mereka mengawaskan Gandara. Dalam pada itu, Gandara dan Sumbar sudah siap tempur. Masing-masing membawa senjata andalannya. Gandara menghunus pedangnya, sedangkan Sumbar menarik tongkat mustikanya dari balik jubahnya. Tongkatnya bercahaya berkilauan. Hadirin yang selama itu berdiam diri oleh rasa tegang, terperanjat sewaktu melihat senjata itu.
- Ah! Mengapa dia tampil lagi di sini? seru seseorang yang duduk berdekatan dengan Mojang.
- Siapa yang kau maksudkan?
Tilam menegas.
- Ah. anak muda. Tentu saja engkau tidak mengetahui riwayat hidup orang-orang setua ayahmu _ ujar orang itu memaklumi,
- Orang yang mengaku bemama Sumbar itu pada jaman mudanya terkenal dengan nama: Batusurat. Seperti Tandun Raja Koneng, dia pun kepala perampok. Bahkan menguasai lautan pula. Senjatanya sebatang tongkat mustika karena terbuat dri emas murni. Dengan senjata itu, ia malang melintang tiada tandingnya. Tetapi, akhirnya ia kalah bertanding kepandaian dengan Batega. Semenjak itu, ia menyimpan senjatanya dan hidup bertobat sebagai pendeta. Meskipun berdandan sebagai pendeta, dia tidak mempunyai pantangan apapun. Minum arak, maupun makan daging merupakan bagian hidupnya. Maka tidak terlalu salah, bila dia dikatakan sebagai pendeta gadungan. Sebab main perempuan pun. dia suka.
Mojang tertawa geli. Katanya:
- Hebat! Tetapi dari mana ia memperoleh uang? - Harta hasil rampokannya dahulu, tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan. Lagipula ia mendapat uang pensiun dari Batega. Sebab, dia masih mau muncul di hadapan umum sebagai wakil majikan dari timur. Seperti sekarang ini. _
- Apakah kedua pendeta itu gadungan pula? Tilam minta keterangan.
- Kukira begitu. Sebab, mereka bertiga sesungguhnya saudara seperguruan.
- Benar-benar mengherankan! Sudah kaya raya dan mengenakan jubah pendeta, apa keuntungannya masih ikut campur urusan luar! Mojang menghela nafas.
Tilam tersenyum geli. Bisiknya :
- Seumpama aku Batega, diapun akan kubuat begitu
juga - Kubuat begitu juga bagaimana? _
- Agar terikat denganku selama hidupnya. Membiarkan dia hidup merdeka di wilayahku, samalah halnya melepaskan seekor harimau dalam kandang ayam.
- Tetapi dengan cara apa engkau akan mengikatnya? Orang semacam dia tidak dapat dipegang kata-katanya. - Kalau begitu dengan racun, umpamanya. Racun
berbahaya, sedangkan obat pemunahnya kusimpan. Atau menyandera anak-isterinya. Atau ,merampas habis harta simpanannya
- Benar. orang di sebelahnya menguatkan.
Mojang tercenung. Ia merasa malu sendiri. Ternyata pengalamannya hidup sebagai tentara belum cukup menjamin pengetahuan mayarakat dan dampak-dampak lingkungan penghidupan. Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan.
- Apakah Pasu dan Tokang bukan namanya yang benar? ia bertanya kepada orang di sebelahnya.
- Tidak. Pasu dan Tokang adalah nama asli mereka. Hanya saja senjata andalannya berbeda. Senjata andalan Pasu. tongkat pula. Tetapi tongkat kayu yang terbuat dari pohon Tuhalata yang jarang terdapat di dunia. Kayu itu ulet melebihi baja dan besi. Tidak akan terpangkas kutung oleh senjata tajam manapun juga. Kau lihat saja nanti. Pedang Gandara akan kerepotan menghadapi keampuhan tongkat itu. Sedang Tongkang (Tokang) bersenjata golok. Dahulu ia seorang perampok. Kabarnya ia pernah berkelana sampai memasuki perairan Cina. Namanya menggetarkan lautan dan bumi. Bengis dan tak mengenal ampun.
Dalam pada itu, di atas panggung sudah mulai memperlihatkan tontonan yang menarik. Baik Sumbar maupun Gandara tidak sudi mengalah. Masing-masing ingin menjatuhkan lawannya secepat mungkin untuk menaikkan pamor. Karena itu, dalam beberapa gebrakan saja mereka sudah bertempur dengan serunya. Pedang Gandara berkelebatan mengurung lawan. Sebaliknya. tongkat mustika Sumbar tidak mau mengalah. Ia memukul dan menangkis dengan sama cepatnya. Bentrokan senjata tidak dapat dihindarkan lagi.
Beberapa saat kemudian. Sumbar menghantamkan tongkatnya. Gandara tiba-tiba menggetarkan pedangnya.
Entah apa sebabnya, Sumbar berteriak kesakitan dan jatuh berlutut di atas panggung. Mojang memanjangkan kepalanya hendak melihat sebab-musababnya. Sebagai seorang perwira yang pandai bermain pedang ia merasa heran. Tetapi dengan sekejap saja tahulah dia apa yang menyebabkan. Tatkala Gandara menggetarkan pedangnya, tangan kirinya bergerak melepaskan senjata bidik berbentuk paku berujung tajam. Serangan itu di luar perhitungan siapapun.
- Ih, licik! _
Mojang menggerutu.
- Siapa yang licik?
Tilam minta keterangan.
- Gandara. Dia seorang ahli pedang. Mengapa melepaskan senjata bidik? Menangpun rasanya tidak wajar.
Tilam tertawa pelahan. Sahutnya :
- Aku pun sering berbuat demikian. Musuh akan terpancing oleh gerakan pedang yang sengaja digetarkan. Pada kesempatan itu, senjata lain harus digunakan. Apanya yang licik? Kalau begitu, Sumbar hanya sebuah nama gertak sambal saja.
Gandara yang merasa menang, kemudian menggertak:
- Kau menyerah atau tidak? Dengan tertawa, ia maju mendekat. Maksudnya hendak menendang tulang rusuk pula. Sekonyong-konyong Sumbar meloncat bangun sambil menyemburkan ludahnya. Keruan saja Gandara jadi kelabakan. Tahu-tahu senjata bidiknya yang tadi menancap di lutut Sumbar, berbalik menyambar dadanya. Mati-matian ia mengelak seraya menangkis. Akan tetapi semburan ludah Sumbar singgah dilehernya.
- Bagus! ini namanya tipu muslihat dilawan dengan tipu muslihat. Seri! -seru orang di sebelah Tilam. Dan seruannya dikuatkan beramai-ramai oleh teman-temannya.
Gandara merah padam mukanya. Dengan beringas ia membentak:
- Pendeta kotor! Mengapa main ludah? - Apanya yang kotor? Semua orang mempunyai ludah. Tinggal pilih. Kau telan atau kau semburkan. Kabarnya kau senang menelan ludah. Nah, telanlah ludahku. Kuberi kesempatan padamu untuk turun panggung dengan baik-baik. Dan mulai saat ini. kularang engkau mengumbar mulut sesuka hatimu. Semua orang tahu, apa artinya orang menelan ludah. Seseorang yang merasa terjepit suatu masalah dan tak pandai mencari jalan keluar biasanya menelan ludah di luar kehendaknya sendiri. Itulah Sebabnya. Sumbar menelanjangi Gandara sebagai seorang pengecut di depan umum. Sudah barang tentu, Gandara naik pitam. Bentaknya:
- Manusia kotor! Kau berlagak seakan-akan sudah menjatuhkan diriku. Apa sih kehebatannya menyemburkan ludah.
Dengan berjalan terpincang-pincang Sumbar menyahut:
- Bagaimana kalau ludahku itu mengandung racun? Jadi monyet pun engkau tak sempat.
Gertakan itu agaknya mempunyai pengaruh. Tiba-tiba wajah Gandara berubah agak pucat. Pikirnya,
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- jangan jangan mengandung racun benar. Celaka!
Diam diam ia menyalurkan tenaganya untuk memeriksa batang lehernya. Setelah dirasakan tiada sesuatu yang mencurigakan legalah hatinya. Dan wajahnya nampak kembali garang seperti semula.
- Sekarang rasakan pedangku! _. ia membentak.
Pedangnya menikam dengan sepenuh tenaga.
- Bagus! -seru Sumbar sambil menangkis.
- Kau hendak menunjamkan pedangmu ke perutku? Huh, jangan
mimpi! - Apakah ludahmu bisa melukai diriku? -ejek Gandara
Sumbar tertawa terbahak-bahak. Sahutnya:
- Sudah kuberi engkau kesempatan untuk menyelamatkan jiwamu. Tetapi kau bandel. Bagus! Kali ini aku benar benar akan meludahimu dengan racun. ingin kulihat, apakah pedangmu bisa berbuat banyak.
Ancaman itu betapapun juga mempengaruhi Gandara. Ia bertempur dengan hati-hati. Setiap kali melihat mulut Sumbar seperti sedang mengulum sesuatu. cepat-cepat ia melompat mundur. Dengan begitu lambat laun ia jadi menjadi terdesak. Ia berputar-putar dari tempat ke tempat. Untuk beberapa waktu lamanya ia merasa tak dapat berbuat sesuatu.
Menyaksikan hal itu,Mojang berkata kepada Tilam dengan berbisik:
- Tilam! Apakah kita masih perlu berada di sini? Mereka sedang berebut tulang tak berisi. Itu pun bukan urusan kita. Bahkan, kalau kita ikut campur, berarti melibatkan diri dengan masalah negeri orang. - Sebentar lagi. jawab Tilam dengan berbisik pula.
- Aku pun tidak bermaksud mencampuri masalah mereka. Hanya saja orang yang mengaku bernama Gandara itu, menarik perhatianku. "
- Apanya yang menarik?
- Untuk apa dia hendak merebut kedudukan sebagai Ketua Perserikatan? Jangan-jangan dia hanya menjadi kelinci percobaan. lihatlah, gerakan pedangnya jauh berada di bawah kepandaianmu. Namun ia berani mementangkan mulutnya di sini. Kalau tidak mempunyai sandaran yang
diandalkannya, mustahil dia mempunyai keberanian sebesar itu.
Mojang mengangguk membenarkan. namun hatinya tiada semangat. Ia bahkan nampak murung. Meskipun dia bukan tokoh politik, namun mencampuri urusan dalam negeri orang lain, rasanya tidak akan dibenarkan oleh rajanya sendiri. Dia akan dituntut di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Itu pun kalau dirinya selamat tak kurang suatu apa. Andaikata sampai mati, tiada seorang pun akan meneteskan air mata baginya. Oleh pertimbangan itu, di dalam hati ia sudah memutuskan. Kalau Rara Tilam terlalu usil, ia akan pergi meninggalkannya untuk menyusul Duta Lembu Seta ke wilayah Walaing. Tentunya tidak mudah. Tetapi dia mempunyai mulut, tangan, kaki, otak dan kemauan. Masakan tidak akan dapat diketemukannya,
( BERSAMBUNG JILID 2 )
*****
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 2
Penerbit "Melati".
Jakarta
Kupersembahkan untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa saja yang mau kusebut
keluargaku.
Judul: Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit/isi: A R I E
Cetakan: Ke 1.
Agustus 1983.
Penerbit: MELATI
Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(Team Kolektor E-Book)
*******
"JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT"
Oleh:
HERMAN PRATIKTO
Jilid : 2
******
TEKA TEKI YANG ANEH
PERTEMPURAN YANG selalu beralih dari tempat ke tempat, lambat laun terasa menjenuhkan. Hal itu dapat dimengerti, karena yang hadir adalah tukang berkelahi dengan keahliannya masing-masing. Pendeta Tongkang yang beradat panas, tidak sabar lagi. Ia melompat ke atas panggung. Dengan sekali bergerak, ia menangkap lengan kiri Gandara dan dihentakkan tinggi di udara. Serangan yang datangnya dengan mendadak itu, sama sekali tak terduga. Itulah sebabnya lengan Gandara dapat tertangkap sangat mudah. Tatkala Gandara menyadari serangan itu, tubuhnya sudah terlanjur mengapung di udara dan akan terlempar keluar panggung. Namun ia tak kehilangan akal. Ujung pedangnya menghunjam ke arah Pasu yang masih duduk di atas kursinya. Oleh rasa terkejut, Pasu yang berkepala gundul membabat ujung pedang Gandara dengan tongkat mustikanya yang termashur. Gandara terpental balik tinggi di atas panggung. Pada saat itu pula. Pasu
melompat ke atas panggung seraya memaki:
- Bangsat! Mengapa engkau menyerang diriku di luar panggung? Dengan berjumpalitan Gandara turun di atas panggung. lalu menyahut:
- Kalian kawanan babi yang tidak mengenal peraturan. Mengapa kawanmu itu menyerang dengan sekonyong-konyong? -dengan menudingkan jari telunjuknya kepada Tongkang. ia meneruskan:
- Kalau kalian mengandalkan jumlah, masakan aku tidak berteman?
Tongkang yang kena tuding, tidak sudi mengaku salah. Bentaknya:
- Kau banci yang hanya pandai mengumbar mulut! Suaramu menggeledek bagaikan guntur di siang hari, tetapi takut disambar ludah. Kepandaian semacam itu, masakan pantas kau pamerkan di sini? Dengan menggerung, Gandara melompat menyerang. Namun gerakannya dipotong Sumbar yang segera menyemburkan ludahnya. Lagi-lagi ia tidak berani melawan semburan ludah Sumbar. Meskipun dadanya serasa hendak meledak, terpaksa ia mengelak. Dengan demikian,serangannya gagal tiada ujung pangkalnya.
Tongkang tertawa terbahak-bahak dan disambut riuh rendah oleh hadirin. Pengikut-pengikutnya yang duduk berderet di sebelah barat panggung, mulai memaki-maki kalang kabut. Selagi demikian, sekonyong-konyong dua orang bersenjata pedang panjang melompat di atas panggung. Kedua orang itu maju berbareng dan memberondong Tongkang dengan serangan berantai yang mematikan. Menyaksikan hal itu, Pasu tidak tinggal diam. Dengan membawa tongkatnya yang termashur. pendeta gundul polos itu masuk ke dalam gelanggang pertarungan. Gandara dan Sumbar bergerak pula. Dengan demikian, di atas panggung bertempur tiga pasang yang saling tidak mau mengalah.
Benar juga kata-kata orang tadi yang duduk di sebelah Tilam. Pasu, si pendeta gundul yang bertongkat mustika itu, benar-benar tangguh. Tongkatnya yang tidak mempan senjata tajam,seringkali membuat lawannya repot. Bahkan dia pun dapat membantu menggebah serangan Gandara yang berusaha mendesak Sumbar.
Tetapi pertempuran itu, tidak menarik hati Rara Tilam. Apalagi, hadirin mulai berteriak-teriak membesarkan hati jagonya masing-masing. Terus saja ia berdiri dan menggamit Mojang. Dengan isyarat mata, ia mengajak Mojang meninggalkan tempat. Sekonyong-konyong di atas panggung terjadi suatu perubahan, Entah bagaimana penyebabnya, Sumbar, Pasu dan Tongkang dengan berbareng jatuh terjengkang mencium panggung. Dan di atas panggung berdirilah seorang laki-laki berpedang panjang mengenakan pakaian saudagar.
Melihat orang itu. Mojang dan Tilam hampir berbareng berseru tertahan:
- Boma!
Memang, orang yang mengenakan pakaian saudagar itu Boma Printa Narayana. Dengan tertawa lebar ia berkata kepada Tandun Raja Koneng yang masih duduk di atas kursinya.
- Tandun! Aku pun menghendaki jabatanmu.
Tandun terperanjat melihat Boma muncul di atas panggung. Tetapi sebagai seorang kepala begal yang berpengalaman, wajahnya tidak berubah. Dengan tertawa pula, ia naik ke atas panggung. Kemudian menyahut:
- Saudara Boma! Engkau seorang pendekar kenamaan. Masakan berangan-angan hendak menduduki jabatanku? Saudara-saudara sekalian, berhenti dahulu! Mari, kuperkenalkan! Inilah pendekar kenamaan Rakyan Boma Printa Narayana .Meskipun banyak di antara kita belum pernah
bertatap muka dengan beliau, namun nama beliau tentu sudah kalian dengar. Pada jaman itu. nama Boma memang sudah lama termashur di seluruh Kerajaan Sriwijaya sebagai seorang pendekar pedang yang disegani. Seluruh wilayah timur. barat. utara dan selatan. hampir dijelajahnya. Setiap pendekar didatanginya dan diuji kepandaiannya. Dan selama itu,belum pernah sekali juga dikalahkan oleh lawannya. Itulah sebabnya,namanya termashur seumpama menggetarkan bumi dan langit. Tak mengherankan, sewaktu Tandun menyebutkan namanya seluruh hadirin gempar.
- Hai Tandun! Kau setuju atau tidak bila aku menghendaki jabatanmu?!
- Ah! Engkau bergurau!
- Apakah aku kurang bersungguh-sungguh? Lihatlah yang jelas, aku menggenggam pedang. Kau tahu sendiri apa artinya kalau aku menghunus pedang. Apalagi menghunus pedang di atas panggung persabungan.
Tandun menaikkan kedua alisnya. Dahinya berkerinyit. Namun masih saja ia membawa sikapnya yang sabar. Katanya dengan sopan:
- Apakah sih enaknya menjadi Ketua Perserikatan? Lagipula, engkau bukan termasuk golongan kami.
- Apakah ada larangannya? Pendeta-pendeta yang makan babi itu pun boleh berebut kedudukan duniawi. Masakan aku tidak boleh? Boma tertawa mengejek.
Pasu, Tongkang dan Sumbar sudah semenjak tadi ingin membalas. Sebab mereka merasa diserang dari belakang. Dengan berbareng mereka maju menyerang. Namun Boma tidak gentar. Dengan menggetarkan pedangnya, tubuhnya berkelebatan bagaikan bayangan. Tandun memperhatikan sebentar, lalu turun dari panggung dengan bersungut-sungut. Sekian lamanya ia berpikir namun
belum dapat membaca maksud Boma memperebutkan jabatan yang hendak ditinggalkannya.
- Tongkang! Sumbar! Kalian mundur! Biar aku seorang yang melawannya. teriak Pasu dengan suara gegap gempita.
Tongkang dan Sumbar agaknya yakin akan ketangguhan saudaranya. Dengan serentak mereka mundur. Pada saat itu, tongkat Tuhalata sudah menyambar. Boma menangkis dengan mengadu kekuatan. Suatu benturan terjadi dan Pasu mundur terhuyung beberapa langkah. Boma tak terkecuali pula. Dia nampak tergempur telak sehingga mundur sempoyongan juga.
- Bagus! -seru penonton kagum.
Rupanya Boma bermaksud menghantam Pasu roboh dalam satu gebrakan. Ia mengerahkan tenaganya dengan sungguh-sungguh. Biasanya ia selalu berhasil. Akan tetapi tenaga Pasu ternyata dahsyat. Meskipun Boma berhasil mementalkan tongkat Pasu ke samping, tetapi pedangnya sendiri pun demikian pula. Bahkan hampir saja, dia jatuh terjengkang oleh tenaga pukulannya sendiri yang membalik.
Pasu sadar akan ancaman bahaya. Nama Boma benar benar tidak kosong. Dengan gempurannya tadi, dapatlah ia mengukur betapa kuat tenaga Boma. Cepat-cepat ia menjagangkan kedua kakinya kuat-kuat agar tidak tergentak mundur beberapa langkah lagi. Lalu dengan menguatkan diri, ia mencoba melangkah maju. Ia berhasil maju selangkah dua langkah, namun masih saja sempoyongan. Dengan demikian, gebrakan tadi tiada yang kalah atau menang.
Menyaksikan hal itu, kembali lagi Tandun Raja Koneng naik ke atas panggung. Sekarang ia ingin memperoleh ketegasan maksud Boma sesungguhnya. Sebab pendekar
itu ternyata bertempur dengan sungguh-sungguh. Katanya:
- Saudara Boma. cobalah hentikan sejenak. Sebenarnya. apa maksudmu hendak merebut kedudukan sebagai Ketua Perserikatan?
- Bagus! sahut Boma dengan tertawa lebar.
- Jelaskanlah lebih dahulu maksudmu tentang pertemuan malam ini. Apakah engkau hendak berontak terhadap pemerintah?
- Pemerintah yang mana?
Boma tercengang sejenak. Lalu tertawa gelak. Sahutnya:
- Tandun! Pihakku sudah mau mengalah. Gandara tidak mau membalas membidikkan senjata rahasianya, meskipun diubar ludah babi itu. Namun muka mereka masih tebal juga. Aku pun sudah cukup sabar engkau kibuli semenjak tadi. - Mengibulimu'?
Tandun heran.
- Kau maksudkan aku mendustaimu? Di bagian mana aku berdusta padamu? - Hm. Engkau mendongeng tentang terjadinya perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat. Dan yang hadir di sini diam saja. Bukankah berarti semuanya sudah mendengar kabar tentang peralihan kekuasaan itu? Tetapi engkau tidak menjelaskan. Apa sebab engkau mengumpulkan orang-orangmu di atas Gunung Sibahu-bahu ini.
- Hal itu terjadi. karena begundalmu Gandara memotong pembicaraanku.
Tandun membela diri.
- Baik. Anggaplah engkau yang benar. Nah sekarang, jelaskan apa maksudmu mengumpulkan kawan-kawanmu di sini! Boma tidak mau mengalah.
- Biarlah kutebak. Semuanya tahu. apa maksudmu mengumpulkan mereka ini. Mereka akan kau persatukan untuk menimbulkan huru hara. Kalau mungkin menumbangkan raja sekarang untuk menaikkan raja lama ke tahtanya. Sebab raja lama memberimu kesempatan merampok harta benda rakyat
yang tidak berdaya. Bukankah begitu?
Kali ini Tandun tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan merah padam ia membentak:
- Selama hidupku tak pernah aku berniaga dengan modal. Pada segala jaman, aku bisa hidup. Baiklah andaikata tuduhanmu benar, apa kepentinganmu dalam hal ini? Apakah engkau hendak merebut kedudukanku untuk mengangkat diri menjadi raja?
Boma tertawa geli. Sahutnya:
- Bercita-cita menjadi seorang raja, bukan menjadi tujuan hidupku. Aku hanya ingin minta keterangan di mana Duta lembu Seta dari Jawadwipa kini berada?
Kata-kata itu bagaikan halilintar meledak di siang terang benderang. Seketika itu juga, semua hadirin menjadi gempar. Apalagi bagi Rara Tilam dan Mojang. Kedua pemuda-pemudi itu demikian terkejut sampai tergoncang jantungnya.
- Engkau bisa mengelabui mereka semua, tetapi jangan mengharapkan diriku dapat kau pilin-pilin seperti tembakau mulut. Aku tahu dengan pasti. Duta Lembu Seta berada dalam perlindunganmu. ujar Boma dengan suara berapi-api.
- Hm, enak saja engkau mengoceh seperti burung. sahut Tandun.
- Mendengar namanya saja, baru pada saat ini. Mengapa engkau menuduhku dengan serampangan saja?
Boma tertawa mengguruh. Kemudian berkata dengan menekan-nekankan tiap patah katanya:
- Baiklah, mari kita berhitung dagang! Kalau engkau sanggup mendengar kabar peralihan kekuasaan dengan cepat, masakan tidak pula mendengar kabar tentang duta Jawadwipa itu? Jangan lagi perkara tamu negara sedangkan berapa jumlah uang negara yang sedang berada dalam
perjalanan, sudah dapat kau cium. Pemerintah memang bisa mengelabui rakyat jelata. tetapi tidak kepada golonganmu. Tentunya engkau sudah mendengar kabar pula bahwa duta itu berada dalam penjara lamuri.
- Mengapa aku harus tahu? - Siapa tahu ada hadiah besar yang tersedia. Membunuhnya dengan diam-diam atau membebaskannya. Kedua-duanya bisa mendapat upah besar.
- Hm.
Tandun mendengus.
- Pada saat ini duta Lembu Seta sudah bebas dari penjara. Siapa yang membebaskannya, tidak penting. tapi untuk dapat melintasi Wilayah kekuasaanmu, tidak mudah. Seribu laskar Sriwijaya belum tentu dapat menjnmin keselamatannya. Kecuali kalau ada surat jaminanmu. Nah. bukankah wajar bila aku minta keterangan dari mulutmu?
- Belum tentu dia melintasi wilayah kita. bantah Tandun.
- Kau maksudkan dapat melintasi lautan? Hm . . . apakah anak-buahmu yang berlayar di tengah lautan akan kehilangan pengamatan? Pendek kata. Duta Lembu Seta kini berada di tanganmu. Dalam perlindunganmu atau sebagai sandera untuk memperoleh uang tebusan. Dan uang tebusan itu ingin engkau kangkangi sendiri. Itulah sebabnya. buru-buru engkau rela meletakkan jabatanmu sebagai Ketua Perserikatan. Hebat dan gencar tuduhan Boma Printa Narayana. Semuanya masuk akal dan mudah difahami. Seketika itu juga suasana perjamuan itu sunyi tegang. Masing masing ingin mendengar tiap patah jawaban Tandun Raja Koneng. Yang paling gelisah adalah Rara Tilam dan Mojang. Kalau Tandun mengakui tuduhan Boma berarti mereka akan terlibat dalam suatu masalah yang berkepanjangan.
Sebaliknya bila tidak, akan menghadapi Boma Printa Narayana yang licin dan menguasai laskar kerajaan. Baik Tandun maupun Boma merupakan lawan yang mempunyai anak-buah berlapis-lapis. Sukar ditembus dan mungkin pula sukar untuk diajak berunding pula.
- Pasu! Orang ini tidak jelas bagiku. ujar Tandung kepada Pasu.
- Bolehkah aku meminjam tongkat mustikamu?!
- Tentu saja. sahut Pasu dengan wajah cerah.
Terus saja ia menyerahkan tongkatnya.
Pada detik itu semua orang tahu bahwa pertarungan tidak dapat dihindarkan lagi. Tandun perlu mempertahankan kehormatannya demi menolak tuduhan Boma. Di luar dugaan, tiba-tiba tongkat mustika melayang bagaikan kejapan kilat dan sesosok bayangan menangkapnya di udara. Berbareng dengan gerakan itu pula,bayangan yang menangkap tongkat mustika melayang jungkir balik di udara dan mendarat di atas panggung dengan sangat indah.
- Hai!
Mojang dan Tilam memekik tertahan. Sebab orang yang baru saja mendarat dengan manisnya di atas panggung adalah Kadung.
Bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di pihak Tandun?
Lalu di manakah kini Duta Lembu Seta berada?
- Siapa? orang yang duduk di sebelah Tilam minta keterangan.
Baik Tilam maupun Mojang tidak sempat memberi keterangan. Di atas panggung,terdengar suara Tandun berkata bergelora:
- Saudara Boma! Tahukah engkau siapa pemuda ini? Dialah rakyan Kadung. seorang pendekar muda yang datang dari jauh. Terus terang saja dialah yang kuharap menggantikan kedudukanku untuk memimpin para patriot menyingkirkan bisul yang mengeram dalam Kerajaan
Siriwijaya.
- Siapakah yang kau sebutkan para patriot? -wajah Boma merah padam.
- Kita semua yang akan menghancurkan anak keturunan kaum Syailendra yang kini bercokol di bumi Suwarnadwipa.
- Hm, bagus! Apakah dia sanggup menghadapi pedangku? - bentak Boma sambil mengulum senyum.
Boma Printa Narayana memang seorang ahli pedang nomor satu pada jaman itu. Seperti terhadap Pasu. ia ingin menjatuhkan Kadung dalam satu gebrakan. Tetapi untuk kedua kalinya, ia gagal. Tatkala pedangnya disabetkau dengan delapan bagian tenaganya, tongkat Kadung dapat memukulnya balik. Boma terperanjat sehingga tergentak mundur dengan sempoyongan. Kadung mengalami goncangan pula. ia terpukul dua langkah namun dengan cepat dapat mempertahankan diri.
Setelah mereka berdua memperbaiki kedudukan masing masing. Pasu dan kedua temannya turun panggung. Juga Gandara dan kedua rekannya. Hanya Tandun seorang yang masih berada di atas panggung. Agaknya ia bermaksud membantu bila Kadung tidak dapat melawan pedang Boma yang terkenal cepat dan ganas.
Pertempuran dilanjutkan lagi dengan sengitnya. Pedang Boma bergerak tak ubah ular yang timbul tenggelam di permukaan air. Sedang tongkat Kadung berkelebatan seperti burung elang menyambar mangsanya. Sekalian hadirin yang menyaksikan pertarungan itu kagum terpesona. ,Mereka tak habis pikir. bahwa seorang pemuda yang berusia belum cukup tigapuluh tahun sudah dapat menandingi seorang ahli pedang seperti Boma Printa Narayana. Dengan cepat limapuluh jurus sudah lewat. Namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah.
Kadung adalah teman sekerja Mojang. Tetapi selama itu belum pernah Mojang menyaksikan kepandaian Kadung. Sekarang ia kagum luar biasa. Di dalam hati ia merasa takluk. Ia hanya heran,apa sebab Kadung tidak menggunakan pisau terbangnya yang temashur.
Apa maksudnya?
Ah. makin dipikirkan, sepak terjang Kadung merupakan teka-teki besar baginya.
Sebagai seorang militer apa sebab mencampuri urusan dalam negeri orang lain'!
Mengapa meninggalkan tugasnya dengan begitu saja?
Tentunya ada suatu alasan yang kuat.
Apakah Duta Lembu Seta disandera kaum perusuh, sehingga ia bersedia menjadi semacam bonekanya untuk berlawan-lawanan dengan Roma?
Semua pertanyaan itu tidak dapat memperoleh jawabannya dengan cepat.
Dengan penuh perhatian Mojang mengawaskan gerak gerik Kadung yang lincah dan bertenaga. Sekonyong konyong ia mendengar Boma bersiul nyaring melengking. Pada saat itu, pedangnya bergerak cepat luar biasa. Langkah kakinya berubah. Pedangnya berkelebatan bagaikan kilat menyambar sebatang pohon. Yang aneh batang pedangnya' seolah-olah terpecah menjadi ratusan batang dan mengurung Kadung rapat sekali. Dengan disertai suara raungan. pedangnya digetarkan dan nampak seperti ratusan bunga rontok dari tangkainya dan meluruk tubuh Kadung. Dan diserang dengan cara demikian, lambat laun Kadung berada di bawah angin
- Hohooo . . . teriak Gandara dari bawah panggung.
- Apanya yang hebat sehingga berani mencanangkan diri hendak menghimpun kekuatan melawan laskar Syailendra? Tongkang dan Sumbar yang beradat panas,penasaran mendengar suara Gandara. Dengan berbareng mereka memaki kalang kabut. lalu berteriak nyaring pula:
- Apakah pedang majikanmu bisa menyentuh kulitnya? Nih. kentut! ,.
Gandara hampir saja kalap, kalau saja tidak ditahan kedua temannya. Sebaliknya. Mojang yang berada di pihak Kadung, menjadi cemas.
Dapatkah temannya itu melawan kecepatan pedang Roma yang memang sulit dilawan?
Tetapi, Kadung ternyata tidak berkecil hati. Menghadapi lawannya yang merubah tata perkelahiannya,dia pun segera mengimbangi. Ia tak mau lagi mengadu tenaga untuk menggempur musuh. Tetapi tongkatnya kini diputar seperti kitiran untuk melindungi dirinya. Meskipun sifatnya membela diri, akan tetapi sesungguhnya menggenggam tipu muslihat memancing lawan. Bila lawan salah tafsir, dia dapat menyerang dengan mendadak. Apalagi sesungguhnya ia memiliki senjata andalannya yang masih tersimpan. Itulah sepasang pisau terbang yang dapat dilepaskan diluar dugaan musuh.
Tandun Raja Koneng, Pasu, Sumbar dan Tongkang tercengang menyaksikan cara Kadung menggebu serangan Boma. Tongkat Tuhalata itu kelihatan lemas seperti sebatang ranting yang dapat digunakan sebagai cambuk. Kalau saja Kadung tidak memiliki tenaga sakti, tidak mungkin seseorang dapat mengubah daya guna sebatang tongkat yang lempang keras menjadi semacam cambuk.
- Ah, hebat! tak terasa Tandun memuji.
Dan mendengar pujiannya, entah apa sebabnya, hati Mojang menjadi besar dan bangga.
Ternyata, perlawanan Kadung memang tepat. Sekarang gerakan pedang Borna tidak secepat tadi. Bahkan hampir-hampir kehilangan kelincahannya. Ke mana saja pedangnya bergerak seakan-akan menumbuk suatu dinding tenaga yang tidak nampak. Tiba-tiba ia merasakan suatu tenaga besar yang menindih ujung pedangnya. Hatinya
tercekat
- Mojang! bisik Tilam.
- Apakah Kadung tidak pantas kusebutkan sebagai kakak seperguruanku? Aku ingin lihat,bagaimana cara Boma melepaskan pedangnya dari himpitan tenaga sakti yang tidak nampak. Tetapi baru saja ia menyelesaikan ucapannya terdengarlah suara nyaring mempengangkan telinga. Boma Printa Narayana memutuskan mengadu tenaga sakti pula. Hebat akibatnya. Di tengah keheningan malam, suara benturan dua senjata mustika itu mendengung panjang seakan-akan mampu memecahkan gendang telinga,letikan apinya bagaikan kembang api. Dan pada detik itu, tongkat Kadung terbang tinggi di udara. Jelas sekali, bahwa Boma menang dalam hal adu tenaga.
Kadung tertegun, ia terpaku di tempatnya. Sama sekali ia tak bergerak dan tiada upayanya untuk segera mempertahankan diri. Namun dengan tiba-tiba, ia meletik tinggi dan menyambar tongkatnya yang melayang turun. Dengan berjungkir balik ia mendarat di atas panggung dan menghantam kepala Boma dengan gerakan dahsyat.
Sungguh!
Gerakannya itu di luar dugaan siapapun. Mojang yang semenjak tadi kagum padanya, ternganga-nganga keheranan.
Bagaimana mungkin tiga gerakan yang sulit itu dapat dilakukan dengan cepat dan tepat?.
Andaikata dirinya yang menghadapi serangan demikian,kepalanya sudah pecah menjadi empat bagian.
Tetapi Boma Printa Narayana benar-benar seorang ahli pedang yang disegani lawan dan kawan. Ia merasa kalah dalam hal tenaga. Sebaliknya menang dalam hal pengalaman serta pengerahan tenaga sakti. Menghadapi hantaman Kadung, sama sekali ia tidak mundur mengelak atau menangkis. Tetapi malahan menyerang. Dengan mengerahkan sembilan bagian tenaga saktinya, ia bermaksud hendak mematahkan tongkat Kadung yang terbuat dari kayu. Ia tidak mengetahui bahwa tongkat Pasu itu terbuat dari kayu Tuhalata yang tidak mempan tertabas senjata tajam apapun jua. Sekali lagi terdengarlah suara benturan yang memekakkan telinga. Gempuran tongkat dapat dipentalkan ke samping. Sebaliknya pedangnya sendiri somplak sebagian. Karena terkejut, ia menggenggam hulunya erat-erat. Justru demikian. tangannya terbeset sehingga darahnya membersit membasahi pergelangan.
Karena merasa sakit secara wajar Boma hendak menuntut balas. Dengan menguatkan hati, ia menyerang. Serangannya kali ini pun menggunakan sembilan bagian tenaga saktinya. Kadung terperanjat. Cepat luar biasa ia terbang ke udara dan menghantamkan tongkatnya. Hantaman Kadung dilakukannya selagi tubuhnya mengapung di udara benar-benar mengejutkan semua yang menyaksikan. Mereka semua mengira, bahwa bentrokan yang ketiga kalinya ini pasti lebih dahsyat. Tetapi bentrokan itu justru tidak menerbitkan suara apapun. Tentu saja semua yang menyaksikan terheran-heran.
Apa sebab demikian?
Seperti saling berjanji,mereka berdiri memanjangkan lehernya. Ternyata tubuh Kadung masih mengapung di udara sedang ujung tongkatnya menindih ujung pedang Boma.
Boma membawanya berputar sambil membentak bentak untuk mengerahkan tenaga demi menahan tindihan tongkat Kadung. Beberapa kali ia mencoba menghentakkannya. Namun tongkat Kadung masih saja menempel seolah-olah terlengket besi berani yang kuat luar biasa. Dengan demikian. Kadung tetap berada di udara. Hadirin tercekat hatinya,sedang yang Ilmu kepandaiannya belum seberapa tingginya tidak mengetahui artinya".
Tilam. Tandun Raja Koneng. Palata dan beberapa
jago lain yang berilmu tinggi,tentu saya mengetahui bahwa kedua lawan itu sedang mengadu tenaga sakti. Sewaktu Boma kena tindih lawannya, ia menggunakan dua ilmu sakti silih berganti. Yang pertama tenaga menempel dan yang kedua tenaga pelontar. Dengan demikian, ia menggunakan tenaga menyerap dan melontar sekaligus .Memukul balik lawan dengan cara demikian, tidak mudah. Belum tentu Tandun dan Palata dapat berbuat demikian.
Dalam hal ilmu sakti. Kadung masih kalah setingkat. Itulah sebabnya. Duta Lembu Seta belum yakin dirinya bisa dibawanya lari dengan selamat. Bahkan andaikata dibantu Mojang dan puterinya, belum tentu menang. Sebab Boma tentunya membawa serta teman-temannya yang berkepandaian tinggi pula. Tetapi kali ini. Kadung dapat menggunakan kedudukannya dengan baik. Ia mengapung di udara. Dengan demikian,tindihan tenaga jadi berlipat ganda. Boma memang dapat memunahkan tenaga hantamannya dengan cara menempelkan pedangnya. Namun gagal untuk melontarkannya.
Sekalipun demikian, Kadung tetap saja terancam bahaya. Sebab Boma membawanya berputar terus menerus sambil sekali-kali menggetarkan pedangnya dalam usahanya untuk melepaskan tindihannya. Apabila sampai terlepas, ujung pedang Boma akan dapat menusuknya dengan mudah. Karena itu dengan seluruh tenaganya ia harus tetap dapat menindih. Itulah sebabnya, tak berani ia membagi perhatian.
Menyaksikan hal itu. Tandun mengeluh. Bila adegan itu terus berlangsung satu jam lagi. celakalah Kadung. Taruh kata. Kadung kemudian dapat melesat tinggi di udara untuk menjauhkan diri. namun tatkala mendarat di atas panggung, belum sempat ia menghimpun tenaganya Yang sudah terkuras. Tentunya Boma tidak mau menyia nyiakan waktu yang bagus. Dia pasti akan menyerang dengan kecepatan kilat.
Dengan menebalkan mukanya, ia memasuki arena pertarungan dengan langkah hati-hati. Kemudian berkata:
- Jika dua ekor harimau sedang berkelahi,salah satunya mesti celaka. Saudara Boma dan Kadung. silahkan beristirahatlah sebentar. Kata-kataku belum lagi selesai.
Tetapi mereka berdua tidak menyahut.Jelas sekali bahwa masing-masing sedang menggunakan seluruh tenaganya. Bila lengah sedikit saja, tentu akan membawa bahaya.
- Saudara Boma! Tandun berkata lagi.
- Engkau adalah seorang ahli pedang nomor satu di kerajaan Sriwijaya. Sedangkan rakyan Kadung adalah seorang pendekar muda yang baru saja muncul di arena persabungan. Tingkatannya tentu berada di bawah saudara Boma. Sekarang dengarkanlah kata-kataku. Jika engkau benar-benar hendak merebut kedudukanku, biarlah kuputuskan begini saja. Engkau menguasai wilayah Utara.. sedangkan aku bagian Selatan. Tentang untung ruginya, dapat kita rundingkan di kemudian hari.
Tandun Raja Koneng belum mengetahui bahwa Boma Printa Narayana kini sudah menjadi kepercayaan Raja Dharmaputera yang menggulingkan kekuasaan Raja Dharmajaya. Ia mengira, Boma Printa Narayana benar-benar bermaksud hendak merebut kedudukan sebagai Ketua Perserikatan untuk maksud memperkaya diri. Karena itu, ia bermaksud membujuknya. Di kemudian hari, bila dapat diajak bekerja sama dengan Kadung,masa depan akan menjadi cerah.
Sebaliknya, Boma yang merasa dirinya berada di atas angin tidak sudi menggubris maksud baik Tandun. Perhatiannya dipusatkan untuk menggempur tenaga sakti
Kedung. Ia berputar putar makin cepat sehingga tubuh Kadung seolah-olah terkatung-katung di atas sebuah biduk yang sedang diayunkan gelombang pasang. Menyaksikan hal itu. Tandun mengeluh. Ingin ia mengulurkan tangan tetapi merasa kepandaiannya tidak cukup untuk mengatasi.
Selagi hadirin dalam keadaan tegang dan jantung berdebar-debar. tiba-tiba terdengar suara nyaring memecahkan kesunyian:
- Paman Tandun! Betapa mungkin Boma mengincar kedudukan sebagai Ketua Perserikatan.
Hampir berbareng dengan menggemanya suara nyaring itu, sebatang pisau pendek terbang di tengah udara dan menghantam ujung pedang Boma. Sambaran pisau terbang itu tepat sekali menghantam sasarannya. Ujung pedang Boma terpukul miring dan pada detik itu Kadung melesat di udara dan mendarat di atas panggung dengan tak kurang suatu apa. Berbareng dengan peristiwa itu. seorang pemuda muda belia masuk ke arena pertandingan. Tak usah diterangkan lagi, bahwa dialah pemilik pisau terbang yang memukul ujung pedang Boma Printa Narayana.
Semua hadirin temasuk Tandun, heran bukan kepalang.
Benarkah seorang pemuda ibarat belum pandai beringus sudah memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga dapat mementalkan ujung pedang Boma yang sedang mengerahkan sembilan bagian tenaga saktinya?
- Aha . . . kita bertemu kembali. Mengapa justru di sini? sambut Boma Printa Narayana dengan tertawa mendongkol.
Pemuda itu tidak lain adalah Rara Tilam. Tatkala ia menghampiri Boma dengan langkah tenang. Mojang melompat pula di atas panggung dengan meraba hulu pedang Jagadpati.
- Pada saat ini pendekar Boma Printa narayana sudah menjadi perwira kepercayaan Raja Dharmaputera.
Masakah masih mempunyai waktu untuk mengurusi perserikatan kaum pembangkang pemerintah? sahut Tilam dengan suara tajam.
Baru saja Tilam menyelesaikan kalimat kata-katanya, seluruh hadirin menjadi gempar, Rupanya, masuknya Boma Printa Narayana dalam kalangan istana sangat dirahasiakan sehingga ucapan Tilam benar-benar mengejutkan. Memang Boma temasuk salah seorang anggauta rahasia andalan Raja Muda Dharmaputera yang sedang menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Sekarang makar itu berhasil dengan baik. Tidak mengherankan. Boma Printa Narayana termasuk salah seorang kepercayaan raja. Apalagi dia berkepandaian tinggi dan memiliki penglihatan jauh.
- Saudara Boma! Benarkah kata-kata anak muda ini?
Tandun menegas kepada Boma. .
*****
GOA RAHASIA
MENDENGAR bunyi perkataan Tandun. hadirin seperti ikut berlomba untuk mencari keterangan tentang Boma. Masing-masing mengemukakan pendapat dan tafsir. Banyak pula yang langsung memakinya sebagai begundal raja yang mengabdikan dirinya sebagai tukang pijat lutut yang di Pertuan. Ada pula yang menyamakan sebagai babi potong. Tetapi wajah Boma sama sekali tidak berubah. Dengan tenang ia menatap-muka Tandun. lalu menjawab:
- Mulutmu sendiri yang mengumumkan bahwa engkau akan mengundurkan diri dari jabatanmu. Kaupun mengijinkan siapapun mencari cara menggantikan kedudukanmu. Tentu saja cara yang paling baik adalah mengadu kepandaian. Siapa yang kuat dialah yang berhak. Tentang apa yang kukerjakan sekarang tak ada sangkut pautnya dengan kamu sekalian. Kecuali kalau engkau berangan angan hendak menggulingkan raja kita yang baru
Wajah Tandun seketika itu juga berubah dengan hebatnya. Ia mendongakkan kepalanya. kemudian tertawa terbahak-bahak panjang sekali. Jelas sekali. bahwa dia sedang melampiaskan rasa marahnya. Lalu berkata seperti bersenandung:
- Aneh! Sungguh aneh! Air laut selamanya tidakkah pernah berkenalan dengan air kelapa. Apa sebab lereng Gunung Sibahubahu yang tenang damai tiba-tiba mendapat kunjungan seorang perwira tinggi kerajaan yang terhormat? Maafkan . . . tak dapat lagi aku melayanimu.
Boma Printa Narayana yang berpengalaman segera tahu apa arti kata-kata Tandun itu. Segera ia membagi pandangnya dan melihat seluruh hadirin meraba gagang senjatanya. Mereka memancarkan pandang mengancam kepadanya. Meskipun Tandun tidak terang-terangan memberi aba-aba mengepungnya namun orang-orangnya tentunya tidak akan dilarangnya bilamana menyerbunya dengan mendadak. Pikirnya.
- meskipun dirinya berkepandaian tinggi mustahil dapat melawan ratusan orang dengan seorang diri.
Oleh pertimbangan itu, ia tertawa pula untuk menutupi kegoncangan hatinya. Berkata kepada Tandun:
- Baiklah. Memang tidak selayaknya aku berangan angan hendak menggantikan kedudukanmu. Hanya saja kuperingatkan bahwa niatmu hendak memberontak kepada pemerintah pusat akan berakibat besar. Nah, ijinkan aku mengundurkan diri.
Setelah berkata demikian, ia memberi isyarat mata kepada Gandara dan dua temannya. Kemudian dengan hati-hati ia turun panggung dan meninggalkan tempat perjamuan. Hadirin memaki-makinya kalang kabut. Namun ia tak berani menanggapi.
- Hai budak raja! seru seseorang.
- Apakah engkau masih berani membanggakan kecepatan pedangmu? Boleh kau coba sekarang.
Gandara yang beradat panas hampir saja menoleh untuk membalas memaki .Tetapi Boma buru-buru memberi isyarat mata agar menutup telinga. Gandara yang berpengalaman mengerti akan makna isyarat itu dan dengan menundukkan kepalanya ia mengiringkan atasannya meninggalkan tempat perjamuan kaum pemberontak.
Menyaksikan kepergian Boma dan kawan-kawannya, hati Tandun puas. Wajahnya berseri-seri. Selagi hendak menyatakan kepuasan hatinya. sekonyong-konyong Mojang yang berada di belakang Tilam,menghunus pedang Jagadpati yang memantulkan cahaya berkilauan. Tak usah dikatakan lagi bahwa pedang itu pasti senjata mustika yang jarang terdapat di dunia. Tandun terkejut. Pikirnya di dalam hati:
- Siapakah pemuda ini? Apakah dia hendak merebut kedudukan Ketua Perserikatan pula?
Dalam pada itu sambil menudingkan pedangnya kepada Kadung, Mojang membentak:
- Kau seorang militer. Apa kepentinganmu berebut kedudukan di negeri orang? Apakah engkau hendak makar? Di mana pula Tuanku Lembu Seta?
Tandun heran bukan main. Nampaknya Mojang rekan sekerja Kadung.
Mengapa bisa tersesat sampai di Gunung Sibahubahu?
Di samping itu, diapun menanyakan tentang Duta lembu Seta. Diam diam ia mengerling kepada Tilam yang bersikap tenang.
- Kau lihat sendiri aku melawan Boma dengan senjata pinjaman. jawab Kadung.
- Apakah engkau menjadi tawanan orang? -. kedua alis Mojang berdiri.
Tandun tertawa gelak mendahului jawaban Kadung. katanya:
- Mudah! mudah! Hal itu mudah kita selesaikan. Akulah yang bertanggung jawab. Maka aku pulalah yang akan mengembalikan pisau terbangnya.
- Diapun berhutang jiwa Tuanku Lembu Seta. Apakah engkau dapat membayarnya pulang pula?
Mojang menegas dengan suara angker.
- Kau maksudkan jiwa Tuanku Lembu Seta?
- Benar.
- Aku yang menjamin. Sebentar lagi marilah kita bicarakan. Sebaiknya perjamuan ini kita sudahi saja sampai di sini. Hai! Mana Palata?
Tak terasa. Mojang, Kadung dan Tilam mengikuti pandang mata Tandun yang mencari tempat duduk Palata. Tetapi majikan dari wilayah Selatan itu tiada lagi berada di tempatnya. Tandun termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian tertawa perlahan. Katanya seperti kepada dirinya sendiri:
- Orang itu memang susah diurus. Akan tetapi hal itu dapat kita selesaikan pada waktu lain
Setelah berkata demikian dengan suara lantang ia mempersilahkan hadirin melanjutkan perjamuan dengan makan minum. Kemudian membawa Kadung. Tilam dan Mojang masuk ke dalam kediamannya,setelah mengembalikan tongkat kepada pemiliknya.
Ternyata kediamannya bukan berbentuk seperti rumah biasa. Untuk sampai keruang tamu mereka harus melalui lorong goa berlika-liku. Pintu-pintu ruangan memiliki kunci rahasianya masing-masing. Maka dapat dimengerti andaikata tentara kerajaan tiba-tiba dapat mengepung tidak akan mudah membasmi penghuninya sampai ke akar-akarnya. Apalagi tentunya markas semacam demikian tidak hanya berjumlah satu atau dua buah saja. Bukan mustahil berjumlah belasan. Mungkin pula diperlengkapi dan dilindungi dengan benteng-benteng alam yang teratur
rapi.
Semuanya itu tidak luput dari pengamatan Mojang. Teringat pulalah dia akan tutur-kata kakek Si Upik yang mengabarkan tentang benteng benteng kaum perusuh yang bersembunyi di balik bukit-bukit yang tak terhitung lagi jumlahnya. Perbentengan Palata. Batega. Coleng, Barabas dan Tandun Raja Koneng yang menjadi Ketua Perserikatan. Sekarang ia tambah mengerti apa sebab tentara kerajaan tidak dapat berbuat banyak terhadap mereka. Andaikata dirinya sendiri yang ditugaskan untuk membrantas mereka ,rasanya kepandaiannya jauh dari mencukupi.
Diam-diam ia memperhatikan Kadung dan Tilam yang mengikuti Tandun dengan langkah mantap. Teringat bahwa mereka berdua adalah adik dan kakak seperguruan. tiba tiba dirinya merasa terasing. Terasing baik dari Tandun maupun Kadung dan Tilam.
Tidak lama kemudian mereka tiba pada sebuah dinding panjang seperti penyekat ruangan.Tandun berdehem tiga kali dan dinding itu terbuka lebar dengan suara bereyotan. Dan dibalik dinding itu, nampak sebuah ruangan lebar yang mahal harganya. Lantainya terbuat dari marmer. Dindingnya dicat hijau muda. Pada tempat-tempat tertentu tergantung papan lukisan yang indah. Tentunya hasil dari rampokan atau curian dari orang-orang kaya atau anak keturunan raja.
Mojang kagum bukan kepalang. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa seorang kepala perampok dapat membangun sebuah istana yang terlindung kuat sentausa. Taruh kata seorang perwira dapat membawa pasukannya sampai pada tembok goa terakhir,mustahil dapat menggempur dinding' penyekatnya yang tebal. Dan siapapun takkan pernah mengira bahwa di balik dinding penyekat
itu terdapat ruang seindah itu. Niscaya ruang itu, hanya merupakan semacam serambi depan untuk menerima tetamu penting. Di dalamnya pasti terdapat ruang-ruang lainnya yang jauh lebih indah dan rahasia.
Bagaimana caranya Tandun dapat membangun sebuah istana begini hebat? pikirnya di dalam hati.
Kecuali beayanya. tidak sedikit tentunya melibatkan tangan-tangan ahli.
Dari mana semuanya itu diperolehnya?
Memperoleh pikiran itu. makin sadarlah ia bahwa kedudukan sebagai seorang Ketua Perserikatan bukan main
besar kekuasaannya. Anggautanya niscaya berjumlah ratusan ribu orang. Kalau saja anggautanya terorganisir dengan baik belum tentu laskar kerajaan Sriwijaya dapat mempertahankan diri. Dalam pada itu. Tandun telah mempersilahkan ketiga tetamunya mengambil tempat duduk. Beberapa pelayan dengan cepat menyediakan minuman dan sekedar hidangan. Setelah mereka diperintahkan meninggalkan ruang, barulah Tandun mulai berbicara. Katanya kepada Kadung:
Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
- Rekyan Kadung, sebenarnya siapakah dia? Kelihatannya rekyan Kadung bergaul erat dengannya.
Kadung memperkenalkan Tilam. Sahutnya:
- Dialah adik-seperguruanku. Namanya Rara Tilam, puteri Tuanku Lembu Seta. Mata Tandun terbelalak heran. Seperti orang kebingungan ia menegas:
- Menurut keterangan beliau puterinya seorang puteri
- Apakah dia bukan seorang puteri?
Kadung tersenyum. Kemudian ia mengedipkan matanya kepada Tilam agar membuka penutup kepalanya. Tilam nampak sekali patuh kepada kakak-seperguruannya. Walaupun masalahnva belum jelas namun dengan tiada menaruh curiga ia
membuka penutup kepalanya. Dan terurailah rambut Tilam yang panjang berwarna hitam lekam Seketika itu juga, ia nampak cantik belia bagaikan bunga sedang merekah.
- Ah!
Tandun tercengang. Kemudian tertawa dan berkata memaklumi:
- Mataku memang sudah lamur sampai tidak dapat membedakan seorang puteri dan seorang pria.
Setelah berkata demikian, ia berdiri tegak dan menganggukkan kepalanya tanda homrat. Tilam menerima penghormatan itu dengan berdiri pula. Setelah kedua-duanya duduk kembali,pandang mata Tandun beralih kepada Mojang. Tanyanya minta keterangan;
- Dan saudara ini?
- Dialah seorang perwira Kerajaan Taruma Nagara. Mojang, namanya. Sebenarnya nama lengkapnya: Mojang Yudapati. Karena dia senang menyendiri, kawan-kawan kita menyebutnya: Mojang. Tahukah tuan, apa arti Mojang?
- Tidak. Tandun bergeleng kepala.
- Gadis.
- Seorang gadis maksud tuan?
- Ya. Makhluk dewata yang senang menyendiri. Mendengar keterangan Kadung. Tandun tertawa terbahak-bahak. Juga Tilam dan Kadung.
- Sungguh pertemuan yang aneh sekali! - seru Tandun. .
- Seorang gadis justru kukira seorang pria. Sebaliknya seorang pria bernama gadis. Mojang! Apakah aku diperkenankan memanggilnya dengan Mojang pula?
Mendengar kata-kata Tandun dan menyaksikan ketulusan hatinya. Mojang makin tertarik. Tak terasa ia mengangguk sambil tersenyum lebar. Akhirnya mereka kembali tertawa ria.
- Baiklah. mari kumulai saia pemasalahan ini. Tandun mengalihkan pembicaraan sambil mendahului menghirup minumannya.
- Saudara Mojang! Legakan hatimu, bahwa Tuanku Lembu Seta dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa. Tentunya engkau ingin memperoleh kejelasan. bagaimana asal mula Tuanku lembu Seta berada dalam penilikan kita.
Lagak lagu,sikap dan kata-kata Tandun berkesan baik dalam hati Mojang. Kelihatannya dia menghormati Duta lembu Seta. Bila dia mengetahui pula bahwa puteri Duta Lembu Seta hanya seorang. agaknya sudah saling mengenal. Setidak-tidaknya pertemuannya bukan hanya secara kebetulan. Memperoleh pikiran demikian, ia menoleh kepada Kadung dan Tilam untuk memperoleh kesan.
Ternyata pandang mata mereka mantap. Maka dalam hal ini, ia merasa ketinggalan.
Ilmu kepandaian Mojang memang berada di bawah Kadung dan Tilam. Meskipun demikian. ia memiliki kecermatan. Pengamatannya hati-hati dan pandai membawa diri. Dia seorang perajurit sejati. Karena itu sesungguhnya dia tidak senang berada di tengah kaum pembangkang dengan alasan apapun. Tugasnya hanya satu saja. Yalah membawa pulang Duta lembu Seta dengan selamat. Untuk tugas itu, ia bersedia mati. itulah sebabnya begitu mendengar jaminan Tandun tentang keselamatan jiwa Lembu Seta hatinya terhibur. Namun ia belum merasa puas, selama tidak bertatap muka dengan Duta lembu Seta.
- Dimanakah beliau sekarang? itulah kata-katanya yang pertama.
Tandun tertawa lebar. Sahutnya:
- Apakah engkau tidak berkenan mendengarkan asal mula perkenalanku dengan Tuanku lembu Seta?
Mojang tidak menjawab. Namun sikapnya membawa kesan tidak berkeberatan. Maka berkatalah Tandun dengan
santai:
- Itulah terjadi dua tahun yang lampau. sewaktu tuanku Duta Lembu Seta mula-mula bertugas di negeri kami. Terus terang saja aku mempunyai kedudukan lumayan pula dalam pemerintahan. Tetapi tidak sehaluan dengan kebijaksanaan para menteri. Seperti yang kuumumkan tadi pada jaman mudaku, aku hidup sebagai berandal. Dengan susah payah akhirnya aku dapat mencapai kedudukanku sekarang ini. Aku menjadi Ketua Perserikatan kaum berandal yang malang melintang di hampir seluruh wilayah kerajaan Sriwijaya bagian utara. Setelah sedikit mempunyai harta,timbullah niatku hendak membeli kedudukan di pusat pemerintahan agar memperoleh pengawasan keluar masuknya keuangan negara. - Membeli kedudukan?
Mojang menegas dengan suara seolah-olah tidak percaya kepada pendengarannya sendiri.
- Ya. Apakah aneh? Lalu apanya yang aneh? Tandun tertawa gelak. Meneruskan:
- Burung mati karena makanan. Manusia bersedia melakukan apa saja demi harta. Tentu saja bagi mereka yang kemaruk harta. Dan sudah lama kami tahu bahwa para menteri yang bercokol di pusat pemerintahan adalah bangsa kantong-kantong nasi. Mereka serakah. loba. kemaruk harta. koruptor dan pengkhianat. Sekiranya tidak demikian,mustahil bangsa Syailendra bisa menyusup masuk ke dalam pemerintahan. Nah. dengan dasar itu nyatanya aku berhasil membeli kedudukan yang kuinginkan. Kedudukan sebagai pengawas keluar masuknya uang negara. Dengan demikian kedudukanku adalah menguntungkan anggauta perserikatan. Terus terang saja, kami merampok atau merampas harta kerajaan. Sebaliknya sedapat mungkin kita melindungi rakyat jelata
- Hm.
Mojang mendengus pendek. Sebab pada saat itu ia teringat akan sepak terjang kaum berandal yang hampir saja menumpas kebahagiaan hidup keluarga Upik.
Tandun menghela nafas seakan-akan tertindih sesuatu yang berat. Lalu berkata tak lancar:
- Tetapi hal itu ternyata mudah diucapkan. sebaliknya susah dilaksanakan. Mereka justru membentuk kelompoknya sendiri dan membagi daerah kekuasaan. Masing-masing kelompok tidak mau mengalah. Akhirnya seringkali mereka bertindak diluar kontrol. Karena itu tidak jarang terjadi tindak semena-mena, tindak kekerasan, tindak pemerasan yang justru menambah sengsara hidup rakyat jelata.
ia berhenti menunggu kesan. Meneruskan:
- Kejadian itu! membangkitkan kesadaranku. Apalagi pada waktu itu kekuasaan raja mulai terasa goyah oleh masuknya pegawai pegawai asing yang datang dari Chaiya. Mulamula mereka datang sebagai pendeta atau pengembara yang hendak mendalami Agama Buddha. Tetapi sesungguhnya mereka termasuk wangsa Syailendra yang menanjak cepat sekali menduduki kunci-kunci pemerintahan, Mengapa jadi begitu? Pada saat-saat demikian itu. aku berkenalan dengan Tuanku Duta Lembu Seta. Banyak sekali aku memperoleh pengetahuan tentang ilmu pemerintahan. Dan entah apa sebabnya tiba-tiba aku mempunyai angan angan hendak membatasi kekuasaan-kekuasaan yang diperoleh kaum Syailendra.
- Apakah engkau berangan-angan hendak mengangkat diri menjadi raja? potong Mojang.
- Mengangkat diri menjadi raja? Mana mungkin! sahut Tandung dengan tertawa riuh.
- Betapapun juga aku biasa hidup sebagai seorang berandal. Buddha tidak akan mengijinkan daku naik tahta. Buddha hanya akan mengijinkan daku membantu raja Dharmajaya merebut tahtanya kembali dari tangan kaum Syailendra. Kebetulan sekali dalam
perjalanan pulang ke Jawadwipa. Tuanku Duta Lembu Seta harus melalui wilayah kekuasaan kami. Aku mohon dengan hormat agar rekyan Kadung diperkenankan membantu mewujudkan cita-citaku melatih kaum berandal menjadi perajurit-perajurit sejati yang cinta pada bangsa dan negaranya.
- Dimanakah Tuanku Lembu Seta kini berada?
- Batega. Barabas dan Coleng mengawal perjalanan beliau sampai mencapai lautan Krakatau. Akupun bertanggung jawab akan menyusulkan puterinya ke Palas Pasemah. (Sekarang wilayah Lampung)
Jawaban Tandun yang lancar justru membuat Mojang berpikir cermat. Dengan sekilas pandang tiba-tiba ia memperoleh kesan dari tatapan wajah Kadung dan Tilam. Tilam biasanya pandai berbicara dan agak tidak sabaran. Akan tetapi kali ini justru dirinya sendiri yang berbicara banyak. Sebaliknya Kadung seperti bersikap menunggu.
Menunggu apa?
Memperoleh kesan demikian. ia berkata:
- Saudara Tandun! Apakah engkau hendak berusaha menggulingkan raja Sriwijaya sekarang. bukan termasuk urusanku. Tetapi kawanku ini adalah seorang perwira. Namanya yang lengkap Kadung Jayawardana. Dialah salah seorang perwira Taruma Nagara seperti diriku. Maka beradanya di sini sudah menyalahi tugas. Apalagi ikut serta membantu saudara Tandun menyusun kekuatan militer. Sebenarnya apakah dasar alasanmu?
Tandun tidak segera menjawab. Ia tertawa melalui dadanya. Kemudian berkata dengan suara datar:
- Memang sebagian besar hayatku. aku hidup sebagai berandal. Maka sudah sepantasnya engkau menaruh curiga padaku. Kau mengira, aku menyandera rekyan Kadung,
bukan? legakan hatimu. meskipun aku seorang berandal. tidak selamanya aku berhati binatang.
ia berhenti mengesankan. Meneruskan: ...
- Adapun alasanku sederhana saja apa sebab aku mohon bantuan rekyan Kadung. Kalau pemerintah pusat yang kini berkuasa menggunakan tenaga orang-orang asing demi mencapai tujuannya. mengapa aku tidak? Lagipula hal ini direstui junjunganmu Tuanku Lembu Seta. - Tuanku Duta Lembu Seta menyetujui?
Mojang menegas.
- Kau heran. bukan? Baiklah. aku tidak akan mengguruimu atau hendak memaksamu agar membenarkan alasanku. Aku akan bercerita mengenai sesuatu hal. Kuharapkan engkau mempertimbangkan dengan jujur.
- Bercerita? Mengenai hal apa?
Mojang tak mengerti maksud Tandun.
- Begini.
Tandun mendehem. Kemudian setelah menghirup minumannya, mulailah ia bercerita:
- Tersebutlah seorang duta raja dari Nuswantara yang datang ke negeri ini untuk mempererat tali persahabatan yang sudah terintis semenjak turun temurun. Tentu saja duta itu disambut dengan penuh persahabatan oleh raja negeri ini. Kemudian terjadilah suatu pemberontakan. Raja tersebut digulingkan. Bolehkah duta itu mencampuri urusan yang terjadi didalam negeri kita. atau tidak?
- Tentu saja, tidak.
jawab Mojang tegas. Dan segera ia tahu, bahwa duta yang dimaksudkan itu adalah lembu Seta.
- Sebaliknya. apakah beradanya di negeri ini bisa dianggap sebagai sekutu raja lama. sehingga dirinya disangkut-pautkan dengan peristiWa perebutan kekuasan? - Tentu saja. tidak. .
- Raja yang baru itu menangkap duta tersebut dan dipenjarakan. Benarkah tindakan raja baru itu?
- Tentu saja. tidak!
suara Mojang makin nyaring.
- Tidak usah kuterangkan lagi. bahwa duta tersebut adalah Tuanku Lembu Seta. Beliau dipenjarakan di penjara Lamuri. Berhakkah beliau menuntut keadilan?
- Keadilan bagaimana? -...
- Berjuang untuk membebaskan diri.
- Tentu saja.
- Meskipun harus dibantu oleh pengiring atau sahabatnya yang setia?
- Mengapa tidak boleh?
- Kalau sampai terjadi suatu pembunuhan. salahkah beliau? - Dalam hal ini karena pihak penguasa bersitegang. Maka pertarungan aku kepandaian tak mungkin dapat dihindarkan. Apalagi pihak raja sudah membunuh panglima kami Jagadpati
- Bagus!
Tandun berseru setengah bersorak.
- Akupun berada di pihakmu. Artinya aku membenarkan dan menyetujui pendapatmu. Tetapi setelah Tuanku Lembu Seta dapat melarikan diri dari penjara, beliau dikejar terus menerus oleh pihak raja. Bagaimana pendapatmu?
- Pihak raja berhak berbuat demikian, tetapi perbuatannya itu sudah salah semenjak mula-mula. - Ah. benar-benar jujur pendapatmu.
Tandun memanggut-manggut puas.
- Syukur. tidak semua anak negeri menyetujui sepak terjang raja baru itu. Bahkan ada beberapa golongan yang merasa wajib menyelamatkan Tuanku Lembu Seta sebagai duta negara. Sebab Tuanku lembu Seta datang ke negeri ini tidak membawa wadya. bahkan sebilah pedangpun tidak. Beliau datang atas nama negaranya untuk mempererat tali persahabatan. dimana seluruh anak
negeri terlibat di dalamnya. Kalau akupun ikut serta menyelamatkan jiwa Tuanku lembu Seta. salahkah perbuatanku itu?
Mojang tidak menjawab. Tetapi pandang matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Tandun yang berpengalaman segera dapat membaca keadaan hatinya. Lalu berkata lagi:
- Sebagai pembalas budi. Tuanku lembu Seta berkenan mendengarkan permohonanku untuk merelakan rekyan Kadung ikut serta melatih gerombolan-gerombolan terlarang menjadi suatu kekuatan nyata demi menumbangkan kekuasaan raja baru yang ternyata seorang wangsa Syailendra. Kalau engkau berkeberatan. mengapa engkau tidak menolak pula tugas Panglima Jagadpati merebut jiwa Tuanku lembu Seta dengan kekerasan?
Dihadapkan pada masalah itu. Mojang termangu-mangu. Alasan Tandun nampaknya dapat diterima. Dan keputusan Duta Lembu Seta mendengarkan permohonan Tandun bisa pula dimengerti. Setidak-tidaknya. Duta Lembu Seta berhadapan dengan bentuk kekuasaan liar. Bentuk kekuasaan yang tidak menghormati bahkan melanggar tata-tertib kedaulatan dan undang-undang negara yang beradab. Mojangpun merasa sedang berlawan-lawanan dengan semacam gerombolan pula.
- Tetapi, tentunya Tuanku lembu Seta harus pandai mempersembahkan alasannya terhadap raja. Sebab betapapun juga, ikut campurnya Kadung di sini, tidak akan dapat dibenarkan. akhirnya ia berkata.
- Pendapatmu masuk akal, karena engkau biasa hidup di bawah naungan undang-undang tata-tertib. Sebaliknya. aku tidak demikian. - ujar Tandun.
-:Sekarang, berilah aku penerangan. apa bedanya beradanya rekyan Kadung di antara kita dan gugur terbunuh laskar kerajaan Sriwijaya yang akan merusak persahabatan antara sesama kerajaan
Nusantara. - Maksudmu, kita anggap saja Kadung tewas dalam
melakukan tugasnya? Mojang menegas.
- Benar. ..
Mojang berpikir sejenak. lalu menjawab:
- Tuanku Duta Lembu Seta memang dapat melaporkan demikian. Andaikata Raja Taruma Nagara menegor Raja Dharmaputera. bukan mustahil penasehat-penasehatnya dapat memutar balik kenyataan yang terjadi. Dengan alasan Tuanku Lembu Seta ikut campur urusan dalam negeri orang . . .
- Dapatlah ia dibunuh tanpa urusan. tungkas Tandun.
- Mengapa tidak? Dalam suatu huru-hara. dapatkah pemerintah menilik semua yang terjadi? Alasan demikian dapat masuk akal.
Mojang tercenung. Tak terasa ia mengangguk pendek. Apalagi dengan bukti. dirinya dan Kadung berada di sisi Duta Lembu Seta. Raja Dharmaputera dapat menguatkan tuduhannya, pikirnya kemudian. Pada saat itu. rasanya Duta Lembu Seta lebih baik dalam perlindungan pihak yang menentang raja. daripada dirinya dan Kadung. Sebab rakyat yang mendengar tentang nasib rajanya kena tawan dalam kurun waktu tertentu akan membantu pihak penentang. Sebaliknya, dirinya dan Kadung tak lebih daripada mengadu untung. Tiba-tiba terdengar suara Tandun mengejutkan hatinya:
- Seumpama rekyan Kadung mati terbunuh. apakah yang hendak kau lakukan? Menyerahkan diri untuk dihukum seumur hidup atau menuntut balas?
Tentu saja dia akan mengadu jiwa pula. Tetapi hal itu tidak diucapkannya. Sekarang dapatlah ia menatap wajah Kadung dan Tilam dengan kesan lain. Meskipun ia merasakan ada sesuatu yang kurang tepat. tetapi apa yang
kurang tepat itu, tak dapat ia memperoleh penglihatan. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. tanyanya menegas:
- Engkau belum menjelaskan tentang pisau terbang kawanku ini. Mengapa?
- Kau kira aku merampasnya? Tidak. sama sekali tidak. Aku hanya menyimpannya demi Boma.
- Boma? Boma Printa Narayana, maksudmu?
- Benar. Sebab tatkala rekyan Kadung berada di atas genting penjara lamuri. Boma sempat melihat rekyan Kadung menerbangkan pisau terbangnya.
- Benar. Bahkan berkat pisau terbangnya, aku tertolong dari maut.
Mojang membenarkan.
- Akan tetapi apa sebab engkau yakin. bahwa Boma akan datang kemari?
- Masakan engkau belum sadar? Tandun tertawa gelak.
- Sadar perkara apa?
Mojang tersinggung.
- Bahwasanya, Bomalah yang membiarkan Tuanku Lembu Seta lolos dari penjara. '
- Boma membiarkan Tuanku lembu Seta lolos dari penjara?
Mojang mengulang seolah-olah tidak percaya kepada pendengarannya sendiri.
Tandun tertawa terbahak-bahak. Katanya dengan suara tinggi:
- Meskipun terdapat pula beberapa bawahanku yang ikut serta menjebol penjara, namun tanpa bantuan Boma tidak mungkin Tuanku Lembu Seta dapat lolos dari penjara dengan selamat. Sekarang, cobalah terka apa sebab Boma membiarkan Tuanku Lembu Seta lolos dari penjara?
Mojang bukan orang tolol. Hanya saja. hal itu tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Sebab jawabannya sederhana saja. Duta Lembu Seta dibiarkan lolos dari penjara untuk dapat menguatkan alasan rajanya di kemudian
hari. manakala diminta pertanggung jawabannya. Dan tentara negeri akan dibenarkan dalam usahanya hendak menangkapnya kembali dalam keadaan hidup atau mati. Memperoleh pikiran demikian, ia menggeridik dengan sendirinya.
Dalam pada itu, ia mendengar tepuk tangan Tandun tiga kali berturut. Seorang pelayan datang menghadap dan diperintahkan mengambil senjata andalan Kadung. Setelah datang kembali dengan membawa senjata Kadung dan kemudian diperintahkan mengundurkan diri, Tandun menyerahkan pisau terbang tersebut kepada pemiliknya.
- Baiklah. Semuanya sudah jelas bagiku.
ujar Mojang seperti suara orang menyerah kalah. Kemudian ia menatap wajah Tilam dan berkata dengan mengulum senyum:
- Tilam! Engkau tentunya akan berangkat dengan segera untuk menyusul ayahandamu. Sampai di sini, rasanya tugasku sudah selesai. Aku akan menyertai Kadung. Setidak-tidaknya untuk sementara. Selanjutnya Tuanku Lembu Seta dapat melaporkan diriku tewas dalam perjalanan pulang.
- Hai, mengapa begitu?
Tilam dan Kadung berseru hampir berbareng.
Mojang tidak menjawab. Ia berpaling kepada Tandun. Berkata:
- Hanya saja, bagaimana aku bisa yakin bahwa Tuanku, Lembu Seta selamat sampai ke seberang lautan?
- Kami hanya akan mengantarkan Tuanku Lembu Seta sampai di perairan Krakatau. Selanjutnya tiada halangan lagi yang merintangi, kecuali pabila gelombang laut mendaki setinggi gunung.
Tandun tertawa ramah.
- Adapun jaminannya adalah jiwaku sendiri. Puteri Tilam sendiri. bukankah ikut serta sampai ke seberang lautan? Bila aku berkhianat. puteri Tilam dapat melaporkan hal itu kepada rekyan Kadung. Dan kukira. demikian pula tuiuanmu berada di samping rekyan Kadung. Bukankah begitu?
Di dalam hati. Mojang memuji kecerdikan Tandun. Pantas dia dipilih sebagai ketua perserikatan kaumnya. Selain pandai membaca situasi pandai pula membaca hati orang. Sebaliknya. Tilam menjadi perasa. Ia merasa tak enak hati. Berkata hati-hati kepada Mojang:
- Mojang! Apakah engkau mengira, ayah rela mengorbankan jiwamu? - Tuanku Lembu Seta bekerja demi negara. Untuk negara itulah aku bersedia mengorbankan jiwa.
sahut Mojang dengan cepat.
- Lagipula, hal itu untuk membantu mempermudah Tuanku Lembu Seta menghadap raja. Barangkali pula, setelah Sri Baginda mendengar kabar gugurnya Panglima Jagadpati akan menaruh perhatian kepada kaum penentang raja wangsa Syailendra. Siapa tahu?
- Benar! seru Tandun bergembira.
- Hanya saja. beradamu di sini akan membuat Boma Printa Narayana berkeliaran di sekitar Gunung Sibahu-bahu. - Hal itu mudah di atur. Memang Boma akan segera mengenal diriku. Maka ijinkanlah aku membuat penyesatan. Aku akan segera balik kembali ke utara dan akan meneruskan perjalanan menyusur pantai. Mudah-mudahan dia terkecoh.
- Rencana bagus! Hanya saja Boma seorang pendekar ahli pedang yang tidak mudah terkecoh. Ia seolah-olah memiliki indera ke enam. Tandun memperingatkan.
Mojang mengangguk. Selagi hendak membuka mulut. berkatalah Tilam dengan suara sendu:
- Ayah datang kemari dengan tidak membawa sebilah senjata. Juga tidak berteman maupun berwadya. Ayah hanya membawa gambar Siddayatra di dadanya. Kau tahu arti Siddayatra?
- Tuanku lembu Seta sudah menerangkan. Bukankah
berarti perjalanan suci"? ..
= Benar. Dan aku yakin. ayah pasti selamat karena dilindungi oleh sang suci itu sendiri. Mojang mengangguk.
*** KEESOKAN harinya, Kadung sudah duduk di atas kursi Ketua Perserikatan dengan resmi. Segera ia sibuk membereskan beberapa sengketa antaranya persoalan pencurian mutiara oleh seorang perampok bernama Bandaro. Raja muda yang memerintah wilayah perampokan itu menugaskan seorang kepala polisi untuk mengurus pencurian tersebut. Biasanya kepala polisi itu selalu berhasil mengambil barang curian kembali. Tetapi kali ini, tidak. Di bawah pimpinan Kadung yang kini terang-terangan hendak menyusun kekuatan untuk menentang kekuasaan wangsa Syailendra,dengan tegas menolak permintaan itu. Bahkan kepala polisi itu diancam akan kehilangan kepalanya. bila tidak segera meninggalkan wilayah Gunung Sibahubahu.
Menyaksikan lagak temannya itu, Mojang tertawa di dalam hati. Untuk pertama kali itulah ia melihat Kadung bertugas mengurusi perkara perampokan-perampokan yang tidak sesuai dengan tugas kewajibannya semula. Namun Kadung melakukan tugas barunya itu dengan sungguh sungguh. Beberapa perkara telah diselesaikan dengan cekatan dan memuaskan kaum berandal. Sebab semua barang rampokan dan rampasan, akhirnya dimasukkan sebagai kas perjuangan kaumnya.
Terus terang saja bagi Mojang semuanya itu bertentangan dengan hati nuraninya. ia merasa diri tidak sanggup bergaul terlalu lama dengan golongan demikian. Untung, lembu Seta menugaskan Kadung dan bukan dirinya. Meskipun begitu, betapapun ia memperoleh pengetahuan baru sekedar menambah pengetahuan. Ternyata kaum berandal yang datang pergi mengunjungi markas Tandun terdiri dari bermacam-macam kelompok. Ada yang mengaku dari aliran Pasupata. Abong-abong, Gupala Rekta dan Arnawa. Menurut keterangan Tandun. di wilayah Kerajaan Sriwijaya terdapat belasan macam aliran. Yang mengaku
dari aliran putih. di antaranya: kaum Siguntang. Tanah Putih, Paramita dan Mahadarana. Meskipun demikian. mereka saling bersaing dalam hal ilmu kepandaian. Karena itu. tidak jarang mereka bentrok yang kadangkala minta korban jiwa.
Pada malam harinya. Mojang tidak dapat memejamkan matanya. Ada beberapa hal yang tak dapat dipecahkan.
Mengapa Tilam kelihatan menurut dan patuh?
Kadungpun bekerja dengan sungguh-sungguh.
Benarkah Tandun Raja Koneng dapat dipegang kata-katanya?
Meskipun terhadap dirinya bersikap ramah dan menyenangkan, namun ia merasa tidak termasuk dalam hitungannya. Bahkan ia merasa diri semacam pion saja yang dapat dikorbankan sewaktu-waktu. Itulah sebabnya, kemarin malam ia minta kepada Tilam agar dilaporkan tewas dalam perjalanan oleh ayahandanya terhadap pemerintah pusat. Meskipun Kadung dan Tilam nampak terkejut, namun entah apa sebabnya, ia merasa kurang puas.
Dua hari kemudian, Tandun melepaskan beberapa ekor merpati pengantar berita ke pos-pos tertentu. Setelah itu mengabarkan bahwa Tilam dan dirinya bisa meninggalkan markasnya dengan segera. Perbekalanpun sudah disiapkan. Dan tepat menjelang fajar hari, Mojang dan Tilam minta diri dari Kadung. Perpisahan itu terasa mengharukan. Namun masing-masing sadar bahwa apa yang sedang dilakukan itu termasuk tugas negara yang harus dilakukan dengan segenap hati dan jiwanya.
Seperti sewaktu hendak mendaki Gunung Sibahubahu, Mojang dan Tilam mula-mula melalui jalan setapak. Setelah itu menyeberangi hutan raya dan menyusur anak sungai. Karena disertai tiga orang penunjuk jalan, perjalanan mereka lancar tak kurang suatu apa. Boma Printa Narayana yang diperkirakan masih berkeliaran di sekitar lembah gunung
ternyata tidak menampakkan batang hidungnya. Barangkali. dia menghadang di tempat lain. Atau mungkin sekali membiarkan mangsanya bebas berjalan untuk sementara.
Sepuluh hari kemudian sampailah mereka di atas sebuah bukit yang subur. Di atas bukit itu terdapat jalan simpang yang dipagari tebing terjal. Tepat di sudut jalan simpang itu, para penunjuk jalan berhenti. Mereka membungkuk hormat kepada Mojang. Kata salah seorang:
- Sampai di sini, tuan harus berpisah jalan. Menurut tuanku Tandun. tuan harus mengarah ke timur, sedangkan
kami bertiga akan mengantarkan puteri Tilam serintasan sampai di seberang bukit sebelah selatan itu. Selanjutnya, kami bertiga diperintahkan pulang ke markas.
Mojang mengangguk. Kemudian berkata kepada Tilam:
- Tilam! Kita berpisah di jalan simpang di atas bukit ini. Bila kita terpaksa berpisah untuk selamanya, kelak kitapun bakal berkumpul kembali di nirwana.
- Hai, mengapa berkata begitu? seru Tilam tercengang.
- Engkau pasti selamat. Sebab paman Tandun sudah mengatur perjalananmu. Anak buah paman Tandun akan membantumu dengan diam-diam. Mojang terbelalak heran. Hal itu, sama sekali tidak diduganya. Beberapa malam yang lalu, ia justru merasa tak ubah buah catur yang sewaktu-waktu akan dikorbankan. Karena itu ia menegas:
- Jadi aku masih mempunyai harapan untuk bisa bertemu di Taruma Nagara?
- Tentu.-' .
- Tetapi bagaimana dengan Kadung?
Tilam tidak menjawab. Ia menyerahkan sebuah kantung sutra berwarna biru. lalu berkata setengah berbisik:
- Di dalamnya terdapat sehelai peta. Sewaktu Mojang hendak membuka mulutnya. ia melihat Tilam memberi isyarat mata. Sebagai seorang perwira yang berpengalaman, dapatlah ia membawa diri. Maka ia membatalkan niatnya hendak minta ketegasan tentang diri Kadung.
Beberapa saat lamanya ia termangu-mangu mengikuti Tilam dengan pandang matanya. Tilam sengaja hendak menghilangkan diri dengan cepat dari penglihatan Mojang. Kudanya dilarikan bagaikan terbang, sehingga ketiga pengiringnya mencambuki kudanya kalang-kabut agar tidak kehilangan pengamatan. Suara derap kuda memantul pada dinding-dinding pegunungan. Makin lama makin lemah dan akhirnya lenyap dari pendengaran.
Tak terasa Mojang menghela nafas. Pandangnya runtuh kepada kantung biru yang sebentar tadi diterimanya dari Tilam. Ternyata isinya hanya secarik kain bertuliskan kalimat pendek saja.
"Mojang, akupun seorang perwira. Kelak kita bertemu kembali di Taruma Negara."
- Hai! Apa maksudnya?
Mojang berteka-teki.
Apakah yang sedang dilakukannya bertentangan dengan kata hatinya?
Pantas dia tidak berbicara banyak.
Atau karena dinding-dinding goa bertelinga?
Tetapi ia bekerja dengan sungguh-sungguh.
Teringat akan sikap Tilam yang berahasia pula. suatu bayangan berkelebat di dalam benaknya. Tetapi bayangan apakah itu. ia tak tahu. Dengan demikian. sudah beberapa kali ia memperoleh kesan tertentu. Hanya sayang. ia tidak dapat mengerti dengan cepat.
Mojang berpembawaan sebagai seorang yang cermat dan berhati-hati. Itulah sebabnya, seringkali ia justru bertekateki dengan dirinya sendiri. Teringat pulalah dia kepada sikap dan pandangan hidup Tilam yang termasuk asing bagi seorang perajurit. Gadis itu gemar main selidik .
- Kita harus membiasakan melihat sesuatu yang berada dibalik yang sedang terjadi, pernah dia berkata demikian. Dan ingatan-ingatan itu semua kini berumun di dalam benaknya.
- Baiklah. Biar semua terjadi apa yang kini sedang terjadi. Kelak bukankah masih ada kesempatan untuk minta keterangan yang lebih jelas? akhirnya ia memutuskan.
Pelahan-lahan ia membiarkan kudanya berjalan santai sambil menikmati pemandangan yang tergelar di depan
matanya. Suasana pegunungan aman damai. Remang remang tersembullah sebuah perkampungan di lembah jauh di sana. Sebelum menjelang malam, tentunya dia sudah dapat tiba di perkampungan itu.
Selagi memikir demikian, sekonyong-konyong ia mendengar langkah beberapa orang. Cepat ia bersembunyi di balik belukar. Ia menunggu beberapa saat lamanya. Tetapi suara langkah itu tiada terdengar lagi. Ia penasaran. Setelah menambatkan kudanya dengan berjingkit-jingkit ia menghampiri sebatang pohon dan memanjat dengan cekatan. Dan nampaklah empat orang sedang duduk dit tepi jalan.
- Haha . . . -seorang yang berperawakan tipis tertawa senang.
- Sekarang kita bakal mempunyai penghasilan lagi. Tokang sudah memutuskan membangun rumah perjudian sekalian membuka rumah bordil. Tentunya, bakal ramai. . .! '
Melihat perawakan dan roman mukanya. tahulah Mojang bahwa orang itu pasti manusia buaya darat.
Hanya saja mengapa nama Tokang disebut-sebut?
Terhadap orang itu, memang ia tidak menaruh simpati. Akan tetapi Tokang sudah terikat semacam sumpah dengan Tandun.
Apakah dia sengaja membuat rumah perjudian untuk mengumpulkan dana perjuangan? .
- Ah, itupun bukan urusanku.
ia memutuskan di dalam hati.
- Kalau orang semacam dia membuka sepuluh rumah pelacuran dan puluhan rumah perjudian, apakah yang diherankan?
Mojang tidak tertarik lagi mendengarkan percakapan itu. Tetapi tiba-tiba ia mendengar orang yang berperawakan pendek kekar berkata nyaring:
Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam Wiro Sableng 185 Jabang Bayi Dalam Guci
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama