Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 4

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 4


- Baiklah hal itu bisa kita bicarakan kalau sudah jadi kenyataan. Akan tetapi bagaimana pendapatmu tentang keputusan Goratara? Dia melahan hendak mengundurkan diri dari semua masalah dunia. Kabarnya akan menjadi seorang pendeta saja.
- Seekor ular piton yang kekenyangan. bukankah akan tidur satu tahun? sahutnya orang keempat.
- Selama ini, berapa ekor babi hutan yang sudah ditelannya? - Ya, soalnya apakah Tokang bakal mengijinkan?
- Itu urusannya. Kalau benar-benar ingin hidup sebagai pendeta, siapapun tidak berhak menghalangi. Kapan dia akan mengadakan perjamuan perpisahan?
- Kalau tak salah, sebentar malam.
- Sebentar malam?
- Mengapa?
- Kita datang yo! Biasanya orang-orang dari Gupala Seta, Pasupata dan Abong-Abong ikut hadir. Tentunya akan terjadi tontonan yang menarik.
Sampai di sini, Mojang tidak bersemangat lagi untuk mendengarkan percakapan mereka. Teringat akan yang jauh lebih penting, segera ia turun ke tanah. Lalu menghampiri kudanya. Ia bermaksud hendak meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Pikirnya. kalau dia tadi dapat mendengar suara langkah
kaki mereka. mengapa derap kaki kudanya tidak mereka dengar? Jangan-jangan percakapan itu sengaja mereka perdengarkan dengan maksud tertentu.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia berwaspada. Pelahan-lahan ia melarikan kudanya memasuki kelokan yang berada di seberang mereka. Benar saja. Empat orang itu berdiri dengan serentak dan hampir berbareng lari menyongsongnya. .
- Tentunya tuan akan menyeberangi sungai, bukan? Kami mempunyai sebuah rakit besar cukup untuk mengangkut kuda tuan. seru yang berperawakan pendek kekar.
Mojang menahan kendali kudanya. Dengan pandang tajam. ia menyahut:
- Siapa kalian?
- Aku bernama Sumpit. Pekerjaanku menyeberangkan orang ke seberang sungai. Dan mereka ini teman teman kami. Sabang, Tomang dan Karit. Sekitar wilayah ini tentu mengenal kami berempat. Sebab kami anggauta Arnawa . . . eh anggauta aliran lautan. Hanya saja, tempat makan minum kami, berada di sini.
Mojang mengeringyitkan dahi. Sejenak ia menyapu mereka dengan sekilas pandang. Lalu berkata menegas:
- Bagaimana kalian tahu. bahwa aku akan menyeberangi sungai? Mereka saling memandang. Kemudian tertawa selintasan. Setelah itu yang bernama Tomang berkata:
- Jalan bukit setapak ini berhenti sampai di tebing sungai. Satu-satunya jalan untuk melanjutkan perjalanan hanya dengan menyeberangi sungai. Mojang mau mengerti. Tetapi kecermatannya membisiki dirinya agar berwaspada terhadap mereka. Menilik pakaian dan dandanannya bukan manusia preman. Setidak-tidaknya termasuk satu kelompok yang biasa teratur cara mengenakan pakaian. Sebagai seorang perwira,segera ia mengetahui kelainan itu.
*****
DITUMPAS HABIS
MEMPEROLEH kesan demikian. Mojang mengedut kendali kudanya. Kudanya melangkahkan kakinya menyibakkan mereka berempat yang berdiri merumun di depannya. Kelihatannya mereka penasaran. Sumpit yang agak beradat panas hampir saja bergerak untuk menghalangi. Tetapi ketiga temannya mengedipkan matanya.
Semuanya itu tidak luput dari pengamatan Mojang. Seolah-olah tidak mengacuhkan mereka, kudanya terus melangkah dengan santai. Tatkala memasuki kelokan lagi, sekonyong-konyong ia melihat dua orang berpakaian rapi yang rasa-rasanya pernah dikenalnya. Mendadak saja ia teringat siapa mereka berdua. Itulah Gandara dan temannya yang dahulu ikut membantu mengkerubut Pasu, Sumbar dan Tokang. Segera ia menghentikan kudanya dan memperhatikan mereka.
Gandara segera mengenal dirinya. Serunya:
- Hai saudara berberewok! Bukankah kita pernah bertemu di atas panggung Tandun'! - Hm.
Mojang mendengus.
- Kalau sudah mengenal diriku, lalu apa maksudmu? - Mari kita berjalan beramai-ramai! Syukur. kalau engkau berkenan menghadiri perjamuan di rumah Goratara. '
- Siapa Goratara? Aku orang asing di sini.
- 0. begitu? ujar Gandara setelah berpikir sejenak.
- Tetapi keramaian itu perlu kau hadiri untuk menambah penglihatan dan pengalaman.
Mojang seorang perajurit sejati. Hati dan nafasnya hanya mengenal tugas seorang militer. Kalau saja dahulu bukan Tilam yang mengajak, tidak bakal ia berada di markas Tandun. Karena itu, ia tidak tertarik kepada tawaran Gandara. Sahutnya:
- Segala yang terjadi di sini bukan urusanku. Perkenankan aku melanjutkan perjalananku.
- Ha ha ha . . . rupanya saudara tidak tertarik pula melihat perempuan cantik. Baiklah. selamat jalan!
Justru pertemuan itu berakhir dengan baik, timbullah rasa curiga Mojang. Teringat pulalah dia, bahwa Gandara termasuk anak-buah Boma Printa Narayana.
- Hai! Jangan jangan Boma berada tak jauh di sekitarnya, pikirnya.
Hatinya tercekat. Ia pernah bertempur dengan ahli pedang itu. Juga pernah menyaksikan betapa perkasa ia melawan Kadung. Kalau saja Tilam tidak mengulurkan tangannya, Kadung dapat dikalahkannya. Apalagi dirinya.
- Ah, senyampang masih ada kesempatan, mengapa tidak cepat cepat melarikan kudanya secepat mungkin.
Meskipun kudanya belum termasuk seekor kuda jempolan, namun larinya cepat dan ulet. Menjelang petanghari sampailah dia di tepi sungai yang lebar dan deras pula arusnya. Biasanya, bila arusnya deras, tentunya tidak
begitu dalam. Tetapi mengingat sungai itu terletak di seberang menyeberang bukit, bukan mustahil mempunyai keistimewaannya. Andaikata tidak begitu dalam, paling tidak masih kuasa menelan dirinya dan kudanya dengan berbareng.
- Benar-benar jalan buntu. Mojang mengeluh. Selagi termangu-mangu. sekonyong-konyong ia mendengar beberapa langkah orang mengejarnya. Ia menoleh. Ternyata. merekalah Sumpit, tomang. Karit dan Sabang. Mereka kini mengenakan seragam perajurit dan bersenjata pedang pendek.
- Tawaran baik. kau tolak. Sekarang menerimapun, sudah kasep! seru Sumpit. '
- Hm. Mojang mendengus.
- Bergedel rebus atau goreng? - Siapa yang sudi menerima tawaranmu! bentak Mojang mendongkol.
- Kau tahu maksudnya? - Maksud apa? - Kalau suka bergedel rebus. kau cukup kami lemparkan di dalam sungai. Kalau goreng, lebih parah lagi. Engkau perlu kami cacah sampai lembut dahulu . . . baru kami goreng.
- Binatang! Sebenarnya siapa kamu?
Sumpit dan ketiga temannya tertawa berbareng. Menyahut:
- Kau kenal perwira Gandara atau tidak? Nah, dialah komandan kami. Kami diperintahkan untuk membenamkan dirimu didasar sungai atau . . .
Belum lagi selesai ia mengucapkan kata-katanya. Mojang sudah melompat turun ke tanah sambil menghunus pedang pendeknya. Terus saja ia menyecar mereka berempat dengan cepat.
Keruan saja. mereka kaget setengah mati. belum lagi dua gebrakan, Tomang dan Sabang sudah terluka. Kini tinggal Sumpit dan Karit. Dengan bahu-membahu mereka mencoba mengkerubuti Mojang. Tetapi Mojang berkelahi dengan gagah berani. Sebentar saja mereka sudah tergores senjata.
- Bagus! Kaupun pandai berkelahi. -terdengar suara seseorang.
mojang mengerlingkan matanya. Ternyata dialah Gandara yang tiba-tiba saja muncul dengan membawa dua temannya. Mojang mengenal ketangguhan mereka bertiga.Maka ia bermaksud merobohkan Sumpit dan Karit secepat mungkin. Diluar dugaan. mereka berkelahi dengan licik. Mereka menyerang bergantian dan setiap kali Mojang hendak membalasnya, segera meloncat menjauhi. Dengan demikian, arena perkelahian berubah dari tempat ke tempat. Tahu-tahu sudah berada di atas tebing sungai.!
Gandara dan kedua temannya yang menyaksikan pertempuran itu dari luar gelanggang tertawa berbahak bahak. Meskipun demikian. mereka mencemaskan kedua bawahannya. Sebab sewaktu-waktu Mojang akan dapat menikamnya mati. Ilmu pedangnya berada di atas mereka. Terus saja Gandara berteriak:
- Hai! Lainnya keluar! Bentuklah rantai lautan! Bawalah dia berputaran. Aku tanggung sebentar lagi dia akan menjadi bergedel rebus dengan kehendaknya sendiri. Tujuh orang bersenjata golok dan tombak muncul dari balik gerumbul. Dengan saling bergandengan tangan, mereka menyerbu dan mengepung Mojang. Mereka menyerang dengan berputar-putar. Dan diperlakukan demikian. lambat laun kepala Mojang menjadi pening. Namun dengan menguatkan diri, ia mencoba membobol kepungan mereka yang aneh.
- Hahaha . . . bagaimana? ejek Sumpit.
- Ini namanya menyeduk lawan menjadi bergedel goreng. Sebentar lagi. engkau akan jadi bergedel rebus.
Sebenarnya Mojang segan melakukan pembunuhan. Tetapi mendengar ejekan Sumpit. hatinya panas. Terus saja ia menghunus pedang Jagadpati yang tajam luar biasa. Dengan menguatkan hati, ia membabat pedang pendek Sumpit yang sekaligus terpotong menjadi dua bagian. Dan sebelum pemiliknya menyadari akan akibatnya lehernya tertikam telak dan tubuhnya terjungkal di dalam air. Dengan demikian, dia sendiri yang menjadi bergedel rebus.
- Jahanam! Bunuh dia!
perintah Gandara dari luar gelanggang.
- Rupanya ia menolak maksud baik kita.
Setelah memberi perintah demikian,diapun masuk dalam gelanggang yang diikuti dua temannya pula. Dengan begitu. Mojang dikerubut dua belas orang. Walaupun andaikata dia tiba-tiba mempunyai sayap, belum tentu dapat meloloskan diri. Apalagi hendak mengalahkannya. Pada saat kedua matanya berkunang-kummg, tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang sedang menepi dengan kecepatan bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Penumpangnya seorang pemuda berusia tujuh belasan tahun. Begitu melompat ke darat, pemuda itu berteriak nyaring:
- Huoeee! Siapa berani merampok di wilayahku?
Gandara memutar tubuhnya sambil berteriak
- Kau siapa? Mau mati?!
- Kalau bisa mati. apa salahnya? pemuda tanggung itu menjawab.
Kemudian menyerbu dengan bersenjatakan kayu pengayuh. Hebat gerakannya. Entah bagaimana caranya menyerang, tiba-tiba tiga orang diantara pengeroyok Mojang kena dilemparkan berjungkir-balik.
- binatang kecil! Kau benar benar bosan hidup? bentak Gandara.
Memperoleh bintang penolong. Mojang agak dapat bernafas. Dengan semangat berkobar kobar ia menghantam pedang Gandara yang bergerak hendak menusuk lambung pemuda tanggung itu.
Trang!
- Adik kecil. hati-hati! ia memberi peringatan,
- Kakak berberewok. perhatikan dirimu sendiri. Orang orang yang mengaku anggauta Arnawa ini harus diberi hajaran yang setimpal. sahut pemuda tanggung itu dengan ketus.
Setelah berkata demikian, pemuda tanggung itu melompat kesana ke mari dengan sebatnya. Gerakan senjata pengayuhnya tak ubah sapu lidi menggebah rumunan lalat.Tentu saja mereka yang kena gebah tidak sudi mengalah. Dengan mati-matian, mereka mencoba menikam, menusuk atau membabatkan pedangnya. Namun pemuda tanggung itu gesit luar biasa. Selain pandai mengelakkan setiap serangan lawan, kadang-kadang kayu pengayuhnya hampir-hampir mengenai sasaran.
- Salah! Salah! tiba-tiba terdengar suara menggegerendeng di luar gelanggang.
Seperti saling berjanji mereka semua menoleh. Dan nampaklah seorang laki-laki berkulit hitam datang menghampiri. Orang itu jelas berkebangsaan India. Pandang matanya tajam luar biasa. Alisnya tebal dan hidungnya mancung seperti paruh burung kakatua.
- Wardana! Mereka harus kau pukul! Bukan kau gebah seperti lalat. ujar orang india itu lagi. .
- Aki! Mereka semua memang sebangsa lalat hijau. - sahut pemuda tanggung itu yang ternyata bernama Wardana.
Mendengar ujar Wardana. Gandara yang beradat panas, merasa terhina. Dengan menudingkan pedangnya ia membentak kepada orang India itu. Katanya seram:
- Siapa kau? - Aku Mahendra. Memangnya kenapa?
- Ah! Bangsat ini ternyata berada di sini.
Mahendra tertawa terbahak-bahak. Serunya gembira:
- Aku inilah golongan lautan yang tulen. Aku datang dari jauh dan kemari hanya dengan satu tujuan.
- Apa? - Merangket kalian sampai menjadi anjing benar benar.
- Binatang! Kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku Gandara. salah seorang utusan Raja Sriwijaya. Engkau berani merendahkan utusan raja?
- Kalau bukan anjing. tentunya babi.
- Tepat! Tepat!
Wardana bertepuk tangan dengan tertawa panjang.
Sementara itu dua belas laskar Sriwijaya berjajar ramping di sisi Gandara. Mereka bersiaga tempur. Masing masing menggenggam senjata andalannya. Pedang pendek. pedang panjang. tombak, golok. penggada dan rantai. Gandara adalah ahli senjata bidik. Karena tak tahan mendengar hinaan. terus saja ia melepaskan senjata bidiknya berbentuk paku-paku tajam.
Jarak antara dirinya dan Mahendra hanya beberapa langkah. Karena itu bidikannya tepat mengenai sasaran. Tetapi begitu menyentuh tubuh Mahendra semuanya runtuh di atas tanah dengan suara gemerisik.
- Hai, kebetulan malah. Badanku lagi kumat gatalnya. Hayo. sekali lagi! Sekali lagi!
Gandara terbelalak heran sampai tertegun di tempatnya. Sedang demikian,temannya yang bersenjata rantai melompat maju dengan menggerung. Ia membabat pinggang Mahendra dengan rantai besinya yang panjang kira-kira empat langkah. Tetapi Mahendra sama sekali tidaak gentar. Bahkan dengan tertawa ia berkata:
- Bagus! Kebetulan. malah. Bukankah aku tadi berkata hendak merangketmu menjadi anjing?
Dengan mengebaskan tangannya. rantai yang menghantam dirinya terpental balik. Ternyata tenaga kibasan itu luar biasa kuatnya. Teman Gandara itu sampai mundur terhuyung. Belum lagi ia menetapkan kedua kakinya, ujung rantainya sudah berada dalam genggaman Mahendra. Cepat luar biasa, ia sudah melilit kedua tangan pemiliknya.
- Nah. aku sudah menangkap seekor anjing. Wardana. engkau senang atau tidak memelihara anjing ini? Mahendra berkata kepada Wardana.
- Lemparkan saja ke sungai. Dia pantas jadi bergedel rebus.
Ucapan Wardana seakan-akan aba-aba seorang komandan kepada bawahannya. Mahendra terus melemparkan pemilik rantai itu ke dalam sungai. Orang itu terbanting hebat di permukaan. Lalu tenggelam dan timbul sekali lagi. Setelah itu tak kelihatan batang hidungnya.
Mojang tertegun menyaksikan semuanya itu. Untuk pertama kali ini, ia menyaksikan seorang pendekar setangguh Mahendra. Orang india itu tidak mempan kena senjata bidik, lalu dengan mudah menampar balik senjata rantai yang di hantamkan dengan sepenuh tenaga. Setelah itu, melemparkan lawannya dengan mudah saja.
Ilmu apakah itu?
- Maju! seru Gandara dengan muka merah padam.
Sebelas orang segera maju menyerbu. Mereka membuat lingkaran seperti cara mereka tadi mengepung Mojang. Tetapi Mahendra malah melompat masuk dan berdiri dengan gagahnya di tengah-tengah. Serunya kepada Wardana:
- Perhatikan dengan baik-baik bagaimana caranya
membuat mereka menjadi anjing merangkak-rangkak. Sebenarnya hati mereka meringkas setelah menyaksikan ketangguhan Mahendrra. Tetapi karena takut kepada perintah atasan, segera mereka berteriak-teriak nyaring sambil menerjang sejadi-jadinya. Sumpit dan Karit menghantamkan pedang pendeknya. Bagaikan kilat. Mahendra menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kanannya bergerak dan terdengarlah suara "krek". Pergelangan tangan mereka patah dan pedangnya jatuh berkelontangan di atas tanah berbatu.
Hampir berbareng dengan peristiwa itu. dua laskar Gandara menusukkan tombaknya. Dengan gesit Mahendra mengelak. Tangannya singgah di kedua wajah mereka. Tahu-tahu hidung dan kedua mata mereka berpindah tempat. Hidungnya melesak serata kedua belah pipinya. sedang kedua matanya melotot.
- Bagaimana? Cukup jelas? -ujar Mahendra kepada Wardana.
- Jelas sekali. Sekarang wajah mereka benar-benar seperti anjing buduk. -sahut Wardana dengan amat nakalnya.
Menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu. Gandara cepat-cepat berteriak gugup:
- Lari! "
- Eh, enak saja engkau menggoyangkan lidah. Kalian harus menjadi anjing dahulu! ujar Mahendra dengan tertawa.
Dan entah bagaimana caranya bergerak, tahu-tahu Gandara dan seluruh laskarnya jatuh mendekam di atas tanah. Mojang hanya menyaksikan berkelebatnya bayangan hitam yang bergerak ke sana kemari. Kemudian mendengar suara erangan. Kaki mereka masing masing patah. sehingga mau tak mau mereka harus berjalan merangkak bila ingin menjauhkan diri.
- Berterima kasihlah kepada aki sebelum pikirannya berubah. - ujar Wardana dengan suara ketus.
Mereka adalah golongan manusia yang biasa mengabdi kepada kekuasaan. Mengalami sendiri betapa perkasa Mahendra, maka segera mereka mengangguk-angguk menghaturkan terima kasih. Bahkan Gandara yang girang dan angkuh tak terkecuali.
- Wardana! Lain kali bersikaplah yang tegas. Terhadap lawan engkau tak boleh setengah-setengah. Hayo. pulang! ujar Mahendra setengah menggerutu.
- Aku harus mengantarkan kakak ini ke seberang dahulu. -'sahut Wardana.
- Hm. dengus Mahendra.
- Kau kenal siapa dia?
- Tidak. Tetapi nampaknya dia berhati baik. - Kau anak kemarin sore. masakan bisa membedakan yang baik dan yang buruk? Lagakmu seperti tahu semuanya. Padahal dikeroyok bangsa tikus dan cecurut saja tidak mampu menjatuhkan. Cepat pulang dan latihan lagi!
Mahendra menggerutu. Kemudian dengan sekali meloncat ia sudah berada di atas perahunya dan sebentar saja bayangannya lenyap di kelokan tebing sungai.
Mojang bukan main kagum kepada orang India itu. Jelas sekali. pengayuhnya berada di tangan Wardana.
Lalu dengan cara bagaimana dia dapat menggerakkan perahunya?
Orang india itu hanya kelihatan mengibaskan tangannya. Dan perahunya melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. .
Teringat akan kata-kata Mahendra, ia meruntuhkan pandang kepada Gandara dan laskarnya yang mengerang erang kesakitan. Meskipun ucapan Mahendra tadi ditujukan kepada Wardana. tetapi dia terkena batunya pula. Hatinya merasa kecil karena sesungguhnva bahkan dirinya
yang tidak becus berlawan-lawan dengan laskar Gandara yang dikatakannya sebagai tikus dan cecurut.
- Mulut aki memang tajam. tiba-tiba Wardana berkata dengan tertawa geli.
- Kalau saja mereka masih dibiakan hidup semata-mata demi kemajuanku. Mari kuantarkan kakak sampai ke seberang.
Wardana menuntun kuda Mojang dan dibaWanya menuruni tebing. Di tepi sungai terdapat sebuah rakit cukup lebar. Barangkali rakit itulah yang dikatakan Sumpit sebagai pemiliknya. Setelah kuda ditambatkan pada tiang sudut, ia mmempersilahkan Mojang naik ke rakit.
- Adik! Sebenarnya siapa adik ini? Apakah benar benar cucu Mahendra?
Mojang minta keterangan.
- Yang kuketahui. namaku Isu Wardana. Selebihnya. aku tak tahu. Semenjak kanak-kanak aku diasuh aki Mahendra. Ayah bundahku tak pernah kulihat atau kudengar. Mungkin sekali. aku anak setan. sahut Wardana nakal.
- Sebaliknya. siapakah kakak? Mengapa melalui jalan ini?
- Hai! Apakah engkau belum mengenalku?
Mojang Heran.
- Apakah kita pernah bertemu?
Wardana heran pula.
- Maksudku. kalau engkau belum pernah mendengar namaku. lalu siapakah yang mengirimkanmu kemari untuk membantu kesukaranku?
Wardana tercengang-cengang sampai mulutnya ternganga. Sambil menggaruk-garuk kepalanya. ia berkata:
- Aneh sekali! Selamanya aku hanya hidup dengan aki. Siapa lagi yang mengirimkanku kemari selain aki.
Mojang tertegun sejenak. Berkomat-kamit:
- Kalau kakekmu yang memerintahkanmu kemari, lalu dari siapa dia mendengar kabar kedatanganku? Apakah engkau pernah mendengar nama Tandun? Tandun Raja Koneng? - Siapa dia? kembali lagi Wardana tercengang. Dan sambil mengayuh rakit. ia meneruskan:
- Aki memiliki semacam ilmu pendengaran yang dapat mendengar daun jatuh di balik bukit. Tadi aki sedang bersemedi. Tiba-tiba tertawa mendengus sambil berkata. Selamanya aku paling benci mendengar orang menyebut-nyebut Arnawa. Tahukah kakak. apa arti Arnawa?
- Apakah itu? ..
- Lautan. sahut Wardana.
- Aki merasa diri datang dari seberang lautan. Maka istilah Arnawa itu menyinggung
hatinya. - Apakah kakekmu berasal dari tanah India?
Mojang : menegas.
- Apakah Tibet termasuk tanah India?
Mojang mengangguk. Setelah berpikir sejenak, berkatalah ia memaklumi:
- Agaknya tanah Sriwijaya kini sudah dianggap kakekmu sebagai tanah air sendiri. Karena itu akan cepat tersinggung manakala ada seseorang yang mengucapkan istilah Arnawa. Meskipun orang itu tidak bermaksud mengejek kakekmu sebagai orang asing.
Wardana menundukkan kepalanya lalu menatap wajah Mojang dengan pandang bertanya:
- Aku adalah cucunya . . , tetapi kulitku . . . Atau aku . . .
- Sudahlah. Hal itu tak usah kau pikirkan berkepanjangan. Kakek Mahendra selama ini baik-baik terhadapmu. bukan? .
- Tentu saja baik sekali, meskipun garang. - .
- Maka dialah kakekmu. Sebab dia tidak hanya memberimu makan-minum saja tetapi melindungi jiwamu pula. Bahkan, barangkali engkau akan diwarisi ilmunya yang sakti. Akupun akan bersedia menjadi cucunya. seumpama aku bisa berguru padanya atau dia memperlakukan diriku
seperti dirimu. ujar Mojang dengan sungguh-sungguh.
Di luar dugaan. Wardana cepat sekali jadi terharu oleh kata-kata yang lembut. Dengan berkaca-kaca dia berkata: '
- Nah benarlah dugaanku. Kakak seorang yang baik hati. Sekarang berapa usia kakak? '
- Duapuluh tujuh tahun. - Woaa . . . kalau begitu. pantas aku menyebut kakak dengan paman. seru Wardana.
- Engkau sudah terlanjur memanggilku dengan kakak. Apa jeleknya? - Ya. tetapi kakak belum menyebutkan nama. Apakah aku tidak boleh mengenal nama kakak?
- Boleh. Mengapa tidak? Namaku Yudapati. Tetapi aku sering dipanggil dengan nama Mojang.
- Mengapa? - ,
- Katanya. karena aku suka menyendiri seperti seorang gadis.
- Apakah Mojang berarti seorang gadis?
- Ya.
Wardana tertawa terbahak-bahak. Serunya:
- Bagaimana mungkin? Kakak berberewok. Masakan seorang gadis berberewok? Aku akan memanggilmu dengan nama kakak Yudapati. Kalau kudengar ada seseorang memanggilmu dengan Mojang. biarlah kugamparnya.
Mojang tersenyum, namun ia mengangguk. Mencoba:
- Tetapi yang memanggil diriku dengan Mojang terlalu banyak. -'
Wardana tidak segera menyahut. Selang beberapa saat kemudian. barulah ia membuka mulutnya. Katanya:
- Kalau begitu. pindah tempat Saja! Disini umpamanya. Kakak dari mana?
- Jauh . . jauh di seberang lautan. Aku datang dari Jawadwipa.
- Jawadwipa? Dimanakah letak Jawadwipa? - Di sebelah selatan pulau ini. Tahukah engkau. bahwa kerajaan Sriwijaya ini berada di atas sebuah pulau panjang bernama Suwarnadwipa? Wardana ternganga. Ujarnya:
- Kalau berada di atas sebuah pulau, mengapa tidak terasa bergoyang? ...
Mojang Yudapati tertawa terbahak-bahak untuk yang pertama kali itulah. ia tertawa dengan setulus hati. Katanya kemudian:
- Adik! Kelak akan datang saatnya engkau meluaskan pengalaman dan penglihatan. Kini, mintalah pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada kakek Mahendra. Dia tentu akan bersedia meluluskan permintaanmu.
Wardana termangu-mangu seperti ada yang dipikirkannya. Lalu berkata:
- Kakak! Apakah engkau sudah berkeluarga?
Mojang Yudapati menggelengkan kepalanya.
- Kalau begitu, hiduplah bersama kami di sini. ujar Wardana dengan sungguh-sungguh.
Mojang Yudapati menghela nafas. Sahutnya:
- Aku kagum kepada kakek Mahendra. Seumpama aku tidak terikat ingin aku berguru padanya.
- Bagus! Akulah nanti yang akan memohonkan maksudmu. Tetapi siapa yang mengikat dirimu?
Mojang Yudapati menimbang-nimbang sejenak. Lalu menjawab:
- Sebenarnya tak boleh aku menerangkan siapa diriku ini kepada siapapun. Tetapi engkau seorang adik yang tulus hati. Andaikata kakek Mahendra pada saat ini ikut mendengarkan rasanya tidak mengapa. Aku adalah salah seorang perwira Kerajaan Taruma Negara yang dikirmkan kemari untuk menyelamatkan jiwa duta kami yang ditawan Raja Dharmaputera yang baru saja berhasil merebut kekuasaan raja lama. Sekarang, aku dalam perjalanan pulang. Sebagai seorang perwira, tidak boleh aku menyimpang dari tugas yang dibebankan di atas pundakku. Kelak, kalau aku sudah tiba dengan selamat di negeriku, aku akan datang mencari kakek Mahendra untuk bersimpuh menjadi muridnya.
Wardana ternyata seorang pemuda tanggung yang cerdas otaknya. Ia seakan-akan dapat mengerti persoalan dan kedudukan Mojang pada saat itu. Lalu berkata dengan setengah bersorak:
- Kakak berjanji akan datang kemari?
- Berjanji. - Tetapi kakakpun harus berjanji pula kepadaku. - Berjanji apa? .
- Mulai saat ini, janganlah kakak mau disebut dengan nama Mojang. Nama Yudapati lebih gagah dan sesuai dengan peribadi kakak.
Mojang Yudapati bersenyum seraya mengangguk. Di dalam hati ia berkata:
- Kepandaianku bila dibandingkan dengan orang-orang gagah memang tidak lebih daripada seorang gadis yang lemah. Baiklah, aku akan bernama Yudapati dan akan segera meletakkan jabatanku untuk kembali kemari berguru kepada Mahendra. Rasanya setelah itu. tidak akan lagi aku dipanggil Mojang oleh teman-temanku. Memperoleh keputusan demikian. tiba-tiba hatinya terasa menjadi lapang dan bersemangat. Setelah mendarat dengan aman di seberang sungai. bertanyalah ia kepada Wardana:
- Adikku! Bila pada suatu kali aku mencarimu kemari. bagaimana aku menyebutkan nama desamu?
Diluar dugaan. tiba-tiba wajah Wardana tampak muram. Sahutnya:
- Tetapi aki sering berpindah tempat. Seingatku aku sudah dibawanya berpindah tempat sembilan kali.
Jawaban Wardana diluar harapan Mojang Yudapati. Beberapa saat lamanya ia termangu-mangu seperti kehilangan akal. Mendadak Wardana bertepuk tangan menyatakan rasa gembiranya. Serunya:
- Bukankah aku sudah mengenal nama kakak?
- Maksudmu?
- Setiap kali aku dibawa berpindah tempat bukankah aku bisa memberi tanda pengenal? Aku akan selalu mengguritkan nama kakak pada sebatang pohon yang kupatahkan dahannya yang ke tiga.
- Itupun baik juga. ujar Mojang Yudapati setelah berdiam sejenak. Lalu mengalihkan pembicaraan:
- Adik, kenalkah engkau seorang gagah bernama Goratara? - Goratara seorang perampok terkenal yang dahulu berasal dari Bukit Siguntang? - Sebenarnya belum pernah aku mengenal dirinya. Baik asal-usulnya. maupun apa yang dilakukan.
- Tetapi. mengapa kakak menanyakannya?
Mojang Yudapati tertawa pelahan. Sambil mengelus kepala Wardana. ia menyahut:
- Otakmu cerdas. cermat dan cerdik. Dibawah didikan kakekmu. lima tahun lagi pastilah engkau sudah menjadi seorang pendekar besar. Tentang nama Goratara. kudengar dari mulut laskar-laskar tadi. Menurut mereka. Goratara malam ini akan mengadakan perjamuan perpisahan. Dihadapan-para hadirin, ia akan mengumumkan pengunduran dirinya dari masalah dunia. Katanya dia hendak hidup sebagai pendeta.
- Ah. betapa mungkin! ujar Wardana cepat.
- Menurut kakek dia sudah berkeluarga. Anak-isterinya banyak. Masakan dia bisa hidup sebagai pendeta? Jangan-jangan dia justru akan menjadi korban suatu petualangan. Apakah kakak akan hadir?
- Tidak.
Mojang Yudapati bergeleng kepala.
- Aku hanya ingin menjenguknya sebentar. Ingin melihat apa'yang terjadi sebenarnya di belakang ucapan laskar laskar tadi. - Hm.
Wardana berprihatin.
- Seumpama kakek mengijinkan. sebenarnya akupun ingin ke sana untuk menambah pengalaman. Siapa tahu, barangkali ada suatu peristiwa yang menggembirakan.
Mojang Yudapati tertawa lebar. Melihat lagak lagu Wardana, hatinya terhibur. Itu dapat dimengerti. karena semenjak mendarat di pulau Suwarnadwipa hatinya tegang dan senantiasa dihantui rasa cemas. Terhadap siapapun, ia perlu berwaspada sehingga sikapnya ibarat seorang perajurit berada ditengah medan pertempuran. Sebaliknya, Wardana berkesan menyenangkan. Rasanya ia seperti berbicara dengan darah dagingnya sendiri. Tiada rasa cemas atau dihantui rasa curiga. Suatu keyakinan timbul di didalam lubuk hatinya, bahwa tidak semua penduduk memusuhi dirinya.
- Baiklah adikku. kau pulanglah! Bukankah kakek Mahendra mengharapmu cepat pulang untuk memperdalam latihan-latihan? ujarnya.
Dengan berat hati, Wardana mengangguk. Kemudian melompat di atas rakitnya. Setelah melambaikan tangannya. mulailah ia menggerakkan galah pengayuhnya. Mojang Yudapati mengikuti kepergiannya dengan pandang matanya. Apabila rakit Wardana telah menghilang di balik kelokan. barulah ia menengadahkan mukanya dan menuntun kudanya mendaki tebing sungai.
malam telah tiba tatkala ia singgah di sebuah kedai nasi. Beberapa orang makan dan minum dengan tergesa gesa. Ia memanggil pelayan kedai sambil minta keterangan dengan berbisik:
- Apakah kedai akan segera ditutup?
- Ah. tidak. Kami justru mulai melayani tamu menjelang petang dan tutup di larut malam. Apalagi. agaknya banyak tetamu-tetamu yang mengunjungi dusun kami.
- Tetapi mengapa mereka nampak tergesa-gesa?
- Atas perintah pihak penguasa. mereka harus tiba di kediaman pendekar Goratara sebelum pukul delapan.
- Pendekar?
- Ya. Goratara adalah seorang pendekar budiman. Dahulu pada jaman mudanya, ia memang senang merampok. Tetapi yang dirampok adalah tuan-tuan tanah. Dan hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada penduduk yang perlu menyambung hidupnya. Seperti kami ini. Kalau bukan dia yang memberi modal, dari mana kami mampu membangun kedai nasi?
Mojang Yudapati kemudian memesan dua piring nasi dan lauk-pauk. Dan sambil melayani pesanannya, pelayan itu yang agaknya gemar berbicara menyambung ketetangannya;
- Tuan tahu, arti Goratara? Goratara dahsyat tiada tara. - Tetapi apa hubungannya dengan pihak penguasa? Kabarnya dia akan mengundurkan diri dari keduniawian dan hendak hidup sebagai pendeta. - Ah! pelayan itu tertegun sejenak.
Ia nampak berbimbang-bimbang. lalu berkata dengan berbisik:
- Apakah . . . ya. barangkali begitu. Selamanya! tak pernah ia dikalahkan orang. Pukulan tangannya ibarat halilintar menumbangkan batang kelapa. Tetapi kabarnya dia kalah


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanding melawan seorang perwira bekas pendekar yang malang melintang tiada tandingnya. - Siapa dia?
- Namanya, aku tak tahu. Kabarnya dia seorang ahli pedang.
Hati Mojang Yudapati tercekat. Menegas dengan hati hati:
- Boma Printa....
- Ya. ya., ya, ya betul! Orang-orang menyebutnya Boma.
Hati Mojang Yudapati jadi gelisah sendiri. Untung pada waktu itu sipelayan sedang melayani tetamu lain yang baru saja datang. Dengan demikian, perubahan sikapnya tidak terlihat. Dan sambil menyuap nasi pikirannya bekerja.
- Orang-orang ini dipaksa pihak penguasa untuk mengunjungi rumah Goratara sebelum pukul delapan. Mengapa dipaksa? ia berpikir sibuk di dalam hati.
Teringat pengalamannya tadi siang diam-diam ia mulai mengamati mereka yang termasuk tetamu-tetamu yang dipaksa mendengarkan kehendak pihak penguasa. Kaki tangan pihak pemerintah atau orang-orang merdeka yang diwarnai aliran-aliran tertentu?
- Tugasku kini adalah membuat penyesatan pengamatan Boma Printa Narayana. pikirnya lagi.
- Ikut menghadiri pertemuan ini samalah halnya dengan bunuh diri. sebab peristiwa Gandara dan laskarnya tadi, tentunya sudah didengar Boma. Tetapi kalau aku menjauhi. justru akan mengancam beradanya Tilam dan tuanku Lembu Seta.
Sekarang barulah ia dapat memahami kata-kata Mahendra bahwa orang tidak boleh bersikap setengah-setengah bila sedang menghadapi lawan. Andaikata Gandara dan
semua laskarnya tadi terbunuh mati tentunya akan mengurangi ancaman bahaya.
Membunuh mati!
Alangkah kejam!
Meskipun dia seorang perajurit selama hidupnya belum pernah ia membunuh orang. Paling-paling hanya cukup dengan melukainya. Sebaliknya, ia kini merasa dihadapkan dengan masalah hidup atau mati. Dalam keadaan terjepit,akhirnya dia toh akan dipaksa untuk memilih.
Membunuh atau dibunuh.
-Ih, celaka! tiba-tiba ia terkejut.
- Mengapa pelayan itu bisa berbicara berkepanjangan disini? Diapun mengaku mendapat modal untuk membangun kedai nasinya. Pelayan atau majikan? Siapakah yang dimaksudkan dengan istilah kami? Apakah kedai nasi ini merupakan milik bersama suatu kongsi? Dia mengaku tidak mengenal nama ahli pedang yang dikatakan pernah mengalahkan Goratara. Setelah aku menyebut nama Boma dengan cepat ia membenarkan. Lalu mengapa dia tidak menanyakan padaku. apa sebab aku kenal nama itu?
Mojang Yudapati memang biasa berpikir cermat dan bersikap hati-hati. Setelah memperoleh pertimbangan demikian segera ia meletakkan segenggam uang logam di atas meja. Kemudian meninggalkan kedai nasi itu dengan diam-diam. Di tengah jalan. ia menambatkan kudanya di balik belukar yang terlindung pagar alam. Lalu mencukur berewok dan kumisnya hingga licin.
*** BARU SAJA ia hendak menghampiri kudanya,tiba tiba ia mendengar dahan patah. Dengan hati tercekat ia melongok dari balik belukar dan melihat seorang pemuda tanggung berdiri tegak di bawah sebatang pohon. Pemuda tanggung itu mendongakkan kepalanya dan mulutnya berkomat-kamit seperti lagi menghitung. Segera Mojang Yudapati mengenal siapa dia. Terus saja dia berseru heran:
- Adik! Mengapa kemari?
Pemuda tanggung itu siapa lagi kalau bukan Isu Wardana. Mendengar suara Mojang Yudapati,diapun segera mengenali pula. Namun ia kelihatan berbimbang-bimbang. Menegas:
- Kakak Yudapati? - Benar. Masakan . . . tiba-tiba teringatlah dia akan dirinya.
- Dia tidak berberewok tebal lagi seperti tadi siang.
Terus saja ia tertawa terbahak-bahak.
- Bagaimana? Apakah wajahku berubah?
Isu Wardana kini ikut tertawa pula. Sahutnya:
- Selain gelap malam, kakak bertambah cakap.
- Kau senang aku berwajah licin? Kalau begitu, mulai saat ini aku tidak akan memelihara berewok lagi.
- Berberewok atau tidak. engkau tetap kakakku Yudapati. ujar Wardana sambil menghampiri.
- Mengapa kemari?
Mojang Yudapati mengulang pertanyaannya.
- Apakah kakekmu memberi ijin padamu untuk melihat keramaian? - Apakah kakak hendak ke sana?
Mojang Yudapati berbimbang-bimbang. Sebenarnya dia hendak mengaku bahwa penyamarannya itu dimaksudkan demi menghindarkan incaran Boma Printa Narayana. Tetapi ia merasa malu untuk berkata-terus-terang terhadap seorang pemuda tanggung. Apalagi Wardana sudah menganggapnya sebagai kakaknya. Untung pada saat itu
berkatalah Wardana:
- Sebenarnya aki mencemaskan kakak terjebak gerombolan orang-orang jahat. Karena itu aki sendiri menyusul ke mari. Sekarang aki lagi membereskan kedai nasi itu. Bahwasanya Isu Wardana sampai menyusul dirinya sudah mengundang berbagai pertanyaan. Sekarang Wardana bahkan mengabarkan bahwa kakeknya ikut serta pula dan ditambah dengan istilah membereskan kedai nasi. Semuanya itu membuat Mojang Yudapati jadi tak mengerti. Ujarnya:
- Adik, marilah kita mencari tempat duduk yang baik. Berkabarlah bagaimana sampai kakek Mahendra ikut serta kemari.
Mojang Yudapati kemudian membawa Isu Wardana seperti seorang ibu membacakan cerita kanak-kanak terhadap anaknya:
- Panjang ceritanya. Rupanya, aki mengikuti pembicaraan kita. Begitu tiba di rumah aku kena damprat. Aku dipersalahkan memberi keterangn kurang lengkap kepada kakak. - Tentang? - Tentang pendekar Goratara. Memang benar, pada masa mudanya pendekar Goratara hidup sebagai begal. Tetapi dia hanya membegal atau merampok tuan-tuan tanah atau uang negara yang kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Itupun ada sebabnya, setelah berkenalan dengan Kudawani salah seorang pendeta sakti Agama Pasupata tidak hanya dilarang pemerintah, tetapi dibenci pula oleh semua aliran suci. Pendekar-pendekar muda dari aliran Tanah Putih, Siguntang. Paramita dan Gupala Seta bahkan dilarang bersentuh badan dengan orang-orang Pasupata. Demikianlah aki memberi keterangan padaku. Tetapi Kudawani adalah seorang pendeta yang
berbudi luhur. ia tidak hanya berkepandaian tinggi. tetapi tingkah-lakunya sangat beradab. Sopan-santun dan menjungjung tinggi kesusilaan. Dia bertemu dengan Goratara dan kemudian bersahabat. Menurut aki, setelah mengadu kepandaian. Sebenarnya Kudawani menang satu tingkat namun ia berpura-pura mengalah. Sebaliknya. Goratara tahu diri. Dia bahkan mengangkat Kudawani sebagai kakaknya. Karena sudah menjadi saudara. Kudawani sering mengunjungi kediaman Goratara. sehingga lambat-laun dapat mengubah watak dan pekerti Goratara.
- Meskipun masih hidup sebagai begal. potong Mojang Yudapati.
- Benar. tetapi bukan untuk memuaskan diri sendiri. Hasil rampokannya selalu dibagi-bagikan kepada rakyat yang miskin. - Apakah dia masuk Agama Pasupata?
- Menurut aki. tidak. Dia hanya menghormati peribadi pendeta Kudawani. Tetapi dia dikabarkan orang sudah memeluk Agama Pasupata agar dibenci kaum pendekar.
- Siapakah yang berbuat begitu?
- Ahli pedang nomor satu di Kerajaan Sriwijaya.
- Boma Printa Narayana? hati Mojang Yudapati tergetar. Sebab pada waktu itu tiba-tiba teringat dia kepada tutur kata si pelayan kedai. bahwa Goratara pernah dikalahkan Boma Printa Narayana.
- Benar. -sahut Isu Wardana sambil mengangguk.
- Boma sudah dapat mengalahkan Goratara. Apa sebab masih perlu memfitnahnya?
- Dikalahkan? Tidak! - ujar Wardana.
- Menurut aki kepandaian mereka setingkat. Tiga hari tiga malam mereka bertempur mengadu kepandaian. Dan selama itu. belum ada yang kalah atau menang. Lalu datanglah Kudawani. Pendeta itu duduk di luar gelanggang sama sekali ia tidak mengulurkan tangan. Dia hanya berkhotbah yang diselingi dengan makna bait-bait Sutra suci. Tetapi sesungguhnya memberi kisikan kepada Goratara bagaimana caranya mengalahkan Boma. Kisikannya berhasil. Pada suatu saat pukulan halilintar Goratara tiba dengan derasnya. Meskipun Boma masih sempat menangkis namun pedangnya terpental tinggi di udara. Bahkan tubuhnya terpental mundur hampir terjungkal. Rupanya semenjak itu. Boma menaruh dendam terhadap mereka berdua. menurut aki pamornya sebagai ahli pedang nomor satu akan rusak'. bila sampai didengar orang, demi menjaga kemungkinan itu. maka ia mulai meniupkan kabar bohong. agar pendekar-pendekar di seluruh bumi Sriwijaya segan menghampiri. Mojang Yudapati mengangguk angguk. Lalu menungkas:
- Apakah akimu sudah mendengar kabar bahwa Boma kini menjadi salah seorang kepercayaan raja?
- Aki seorang pengembara dan telinganya sangat tajam. Aki menerima kabar itu dari seorang kenalan yang menerima surat pos merpati pendekar Tandun. begitulah aki tadi bercerita padaku. Karena itu begitu mendengar kabar bahwa Goratara akan mengundurkan diri dari masalah dunia karena hendak menjadi seorang pendeta segera aki menduga buruk. - Dari siapa kakekmu mendengar kabar tentang maksud Goratara menundurkan diri dari . . .
- Bukankah dari mulut kakak sendiri?
Wardana menyahut cepat.
- Bahkan kakak menyebut pula nama Tandun Raja Koneng di tengah sungai. Semuanya itu kukatakan kepada aki. Mendengar nama Tandun , aki lalu pergi mencari kenalannya. Rupanya kenalan aki itu bawahan Tandun. Maka dikabarkan pula siapa kakak sebenarnya.
Bawahan Tandun diwajibkan melindungi kakak. manakah kakak melintasi wilayahnya. Orang itupun mengabarkan pula tentang Boma yang kini menjadi perwira tinggi kepercayaan raja baru. - '
Mojang Yudapati ternganga nganga mendengar katakata Wardana. ia benar-benar kagum akan daya ingatnya. Selagi ia hendak membuka mulutnya untuk menyatakan rasa kagumnya. Wardana berkata lagi:
- Sebagai seorang perwira tinggi dapatlah Boma menggunakan kekuasaannya untuk menumpas Goratara. Dalam hal ini. aki menyampaikan pesan kepada kakak. Maukah kakak mendengarkan pesannya?
- Mengapa tidak? - Aki berpesan. agar kakak jangan menghiraukan masalah itu. Kakak seorang perajurit sejati. Bila kakak sampai ikut menyaksikan terjadinya fitnah ini, aki meramalkan bahwa sikap dan pandangan hidup kakak akan berubah.
- Sikap dan pandangan hidup?
Mojang Yudapati menegas.
Isu Wardana mengangguk.
- Kau mengerti arti kata sikap dan pandangan hidup? - Tidak. Isu Wardana menggelengkan kepalanya.
- Aku hanya menirukan ucapan aki. Apakah salah? Mojang Yudapati tertegun. Rasa kagumnya terhadap daya ingatan Wardana kian bertambah. Terus saja ia mendekapnya erat-erat. Katanya dengan suara agak menggetar:
- Adikku, apa lagi yang dikatakan kakekmu?
- Hanya itu. Kemudian aku harus segera pulang. Aku telah membuktikan ucapanku. bukan? Lihat. yang kupatahkan adalah dahan ketiga. ujarnya sambil menuding dahan yang dipatahkannya.
- Adikku, sekarang dengarkan kata-kataku. Camkanlah di dalam hatimu. Aku seorang perwira yang sering menerima laporan-laporan bawahanku. Akan tetapi tiada pernah aku mendengarkan sebuah laporan selengkap dirimu. laporan teratur rapih yang keluar dari mulut seorang pemuda tanggung. Ini semua menandakan. bahwa engkau memiliki daya ingat yang luar biasa kuat. Selain itu. engkau cerdik dan cerdas. Semuanya ini merupakan bekal yang bagus sekali untuk membuka gapura masa depanmu. Adikku! aku percaya engkau kelak akan menjadi seorang pendekar besar. Mungkin melebihi kakekmu sendiri. Isu Wardana mengangguk dengan kepala kosong. Tiba-tiba ia nampak gelisah. Lalu berkata terpaksa:
- Kakak, selamat jalan! Aku harus segera kembali.
Menuruti kata hati, sebenarnya Mojang Yudapati masih ingin menahan pemuda tanggung itu. Tetapi mengingat kakeknya yang berwatak keras dan angker. terpaksalah ia mengangguk. Melihat anggukannya. Isu Wardana kemudian membalikkan badannya dan lari secepat kilat menembus tirai malam. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benak Mojang Yudapati. Serunya:
- Adik! Engkau belum menerangkan apa arti membereskan kedai nasi! Tetapi Isu Wardana sudah lenyap dari pengamatan. Mojang Yudapati menghela nafas. Suara Isu Wardana yang lancar dan sedap didengar mengiang-ngiang terus di dalam pendengarannya. Ia jadi teringat akan pesan Mahendra melalui mulut pemuda tanggung itu. Lantas saja ia termangu-mangu merenungkannya,
- Memang benar. Masalah Goratara bukan urusanku. Tetapi apa arti Mahendra membereskan kedai nasi?
Mojang Yudapati bukan seorang pemuda yang usilan. Hanya oleh sifat cermatnya, ingin ia memperoleh keterangan yang meyakinkan. Ia menyimpan pedang Jagadpati
di balik pelana kudanya. Kemudian dengan berlari-larian,
ia kembali ke kedai nasi. Begitu tiba di kedai itu, matanya terbelalak. mayat-mayat berserakan seperti daun bertebaran di musim kemarau. Baik tetamu maupun penghuni kedai itu mati semua. Dengan hati tercekat ia mengamat amati mayat-mayat itu. Tatkala melihat mayat si pelayan yang bersikap ramah terhadapnya, hatinya memukul. Mayat pelayan itu tertengkurap. Setelah dibalikkannya,ia jadi mengerti. Baju luar pelayan itu terobek. Dan yang melekat di tubuhnya adalah baju seragam laskar Sriwijaya.
- Ah! Mataku benar-benar lamur! serunya di dalam hati.
- Dia tahu diriku, sebaliknya aku tidak. Dia membiarkan diriku pergi dengan aman. Tentunya mengira diriku tertarik untuk ikut menghadiri perjamuan di kediaman Goratara. Sadar akan bahaya, segera ia meninggalkan kedai nasi itu. Mahendra benar-benar tak ubah Dewa Maut. Tangannya kejam tak mengenal ampun. Siapa saja yang dipandangnya sebagai lawan, dibabatnya habis. Tetapi hal itu dilakukan demi keselamatan dirinya. Bukan mustahil pula atas usul Isu Wardana.
Haruskah dia merasa berterima kasih?
Tak dapat ia menjawab pertanyaannya sendiri itu. Sebab dia belum dapat mengukur sampai dimana kekejaman pihak Boma Printa Narayana. Boma memang ingin menangkap dirinya. Barangkali dengan segala cara.
Tetapi
benarkah dia menghedaki jiwanya?
Kalau menghendaki jiwanya, ia sudah mati semenjak meninggalkan kota Lamuri.
Mengingat hal itu, perlukah Mahendra menumpas laskar dan kaki-tangannya?
Ia kagum terhadap ilmu sakti Mahendra yang susah diukur betapa tingginya. Semenjak itu, ia berangan-angan hendak berguru kepadanya: Tetapi setelah melihat kekejamannya hatinya jadi bimbang.
Orang sekejam itu pantaskah menjadi gurunya?
Dirumun persoalan-persoalan yang menyentuh kepentingan hidupnya, ia jadi penasaran. Tanpa menghiraukan ancaman bahaya. ia memutuskan hendak menyaksikan apa yang akan terjadi dalam perjamuan Goratara. Ingin ia memperoleh kepastian untuk dapat menentukan sikapnya.
Memperoleh keputusan itu, ia balik kembali. Dengan berlari-larian kencang,ia menjejak arah tetamu-tetamu yang sebentar tadi meninggalkan kedai nasi. Ternyata kediaman pendekar Goratara tidak begitu jauh.
Hanya tersekat oleh tanah persawahan yang sunyi. Penerangan rumah nampak menyibakkan udara malam yang sedang melingkupi bumi. Sekali-kali ia mendengar suara riuh. Kadang suara tepuk tangan. kadang pula suara sorak sorai.
Hati-hati ia meloncati pagar dinding. Kemudian menyusur tepi halaman rumah yang luas. Kebetulan sekali, di halaman samping terdapat sebatang pohon mangga yang berdaun lebat. Teringatlah dia akan pengalamannya tatkala menyusup masuk di dalam penjara. Terus saja ia memanjat pohon itu dan berlindung di belakang gerombol mahkota daun. Hatinya lega luar biasa, karena dari balik mahkota daun itu. dapatlah ia memperolah penglihatan yang luas.
Perjamuan itu berada di ruang tengah yang tersekat antara serambi depan dan gedung kediaman. Sebenarnya tidak boleh disebut sebagai suatu perjamuan karena tuan rumah nampak sekali tidak mengadakan suatu persiapan. Tempat duduk tidak mencukupi sehingga banyak hadirin yang berdiri berjejal-jejal. Diatas mejapun tidak nampak suatu hidangan apapun. kecuali poci-poci minuman. Itupun hanya terbatas jumlahnva.
Hadirin yang duduk dan berdiri memenuhi luas ruangan itu menghadap kearah dinding pintu masuk. Mereka membentuk lingkaran seperti penonton merumun pertunjukan tarian kera. Dan di depan pintu masuk, tuan rumah duduk dengan tenangnya, didampingi anak-isterinya dan beberapa pemuda yang mungkin sekali murid-muridnya.
Goratara ternyata seorang pria berperawakan sedang. Usianya kurang lebih empatpuluh lima tahun. Kesan wajahnya angker berwibawa dan yakin akan kemampuan diri sendiri. Menghadapi tetamu yang tidak diundang itu. wajahnya tetap tenang dan bersikap acuh tak acuh. Dengan pandang matanya yang tajam, ia menyapu jumlah tetamunya yang mengenakan pakaian aneka ragam.
- Saudara-saudara sekalian! -katanya dengan suara jelas.
- Apakah kalian tidak salah dengar? Selama hidup, Goratara tidak berteman dan tidak berkawan. Tiba-tiba tiada hujan tiada geledek, kalian datang seperti angin puyuh.
- Hai Goratara! Semenjak tadi engkau hanya berkata tiada hujan tiada geledek. Mengapa kita bisa salah dengar? -teriak seorang dari sisi Selatan.
Suaranya parau tidak menyedapkan pendengaran. Orang itu kemudian berdiri dari tempat duduknya sambil mengacung-acungkan sehelai kertas.
- Bukankah ini undanganmu? Jauh-jauh kami datang untuk menghormati undanganmu. Undangan yang menyatakan engkau hendak mengundurkan diri dari semua kegiatan. Sekarang, apa sebab engkau bersikap dingin? Apakah engkau tidak menghargai capai-capai kami?
- Tolong sebutkan, dari kalangan apa saudara datang! sahut Goratara.
- Lihatlah lencana kami! Bukankah kami dari kalangan Abong-Abong bagian Selatan? - Kami dari kalangan Gupala Seta. ? yang duduk
di sebelahnya menyambung.
- Kami dari Tanah Putih. terdengar suara menyambung dari arah barat.
Kemudian masing-masing aliran memperkenalkan diri. Yang berada di sebelah Utara. kaum Syiwapala. Lalu Lalu Orang-aring dan Arnawa.
- Baiklah. semuanya sudah kudengar dengan jelas. -akhirnya tuan rumah berkata.
- Dengan sesungguhnya kukatakan bahwa aku tidak merasa membuat undangan itu. Walaupun demikian. atas perhatian kalian dengan ini aku menghaturkan rasa terima kasih. Bila bersabar sedikit, mungkin sekali hidangan akan dapat disediakan sebelum mmenjelang pagi hari.
- Siapa yang sudi mendengarkan basa-basimu. Cepat katakan dengan tegas, apa maksudmu mengundurkan diri dari semua kegiatan? Apakah justru hendak memusuhi kami? teriak pembicara pertama yang mengaku dari aliran Abong-Abong wilayah Selatan.
Baru saja Goratara hendak menjawab pertanyaan itu, sekonyong-konyong terdengarlah suara derap langkah melintasi serambi depan. Tujuh orang berseragam laskar kerajaan menyibakkan pengunjung yang merumun menghadap tuan rumah. Semua hadirin terheran-heran.
Mengapa pihak penguasa ikut pula menghadiri perjamuan Goratara?
Apakah mereka memang sengaja diundang Goratara demi menaikkan pamornya di hadapan khalayak ramai?
Tetapi Goratara tidak bergerak dari tempat duduknya. Meskipun tetap tenang, namun wajahnya nampak berubah hebat. Mula-mula terhenyak heran. Mendadak dengan wajah merah padam ia membagi pandangnya kepada semua tetamunya. Jelas sekali ia menaruh curiga. Menyaksikan perubahan wajahnya, enam orang muridnya
maju ke depan siap menjaga segala kemungkinan.
- Hai Goratara! Mengapa kamu tidak menghormati kedatangan kami? bentak kepala laskar.
- Kami datang atas nama raja. Berdirilah untuk menghormati kedaulatannya! Goratara tercengang sejenak. Kemudian tertawa geli. Sahutnya
- Raja itu manusia atau dewa. sampai aku harus berdiri segala? Goratara selamanya malahan bermusuhan dengan pihak raja. Entah sudah berapa kali. uang negara kurampok dan 'kubagi-bagikan kepada orang banyak.
- Justru demikian, raja berkenan mengutus kami untuk menyatakan terima kasih.
- Terima kasih bagaimana?
Goratara terbelalak heran.
- Terima kasih kepada kebijaksanaanmu. Karena dengan demikian, mempercepat robohnya suatu pemerintahan yang tidak becus mengurus kebahagiaan rakyat. Maka atas nama Sri Baginda Dharmaputera yang kini memerintah kerajaan Sriwijaya. engkau Goratara diangkat menjadi Perwira Madya yang berkuasa memerintah seribu orang laskar tempur. Nah, berdirilah dan membungkuklah sebagai tanda menghormati keputusan raja.
Goratara ternganga-nganga heran. Ia seperti tidak percaya kepada pendengarannya sendiri. Juga sekalian tetamu yang merumun di dalam ruang itu. Sebab hal itu tidak terduga sama sekali.
Kepala laskar kemudian membuka naskah yang tergulung rapih dengan tali pita. Ia bermaksud membuktikan kepada semua hadirin, bahwa ucapannya tadi didukung oleh Surat Penetapan Raja. Lalu ia membuka mulutnya hendak membaca isi Surat Penetapan Raja. Belum lagi suaranya keluar dari mulutnya. tiba-tiba tokoh yang mengaku dari aliran Abong-Abong tertawa terkekeh-kekeh lama sekali. Kemudian berkata nyaring:
- Pantas! Pantas! ...
- Pantas. pantas bagaimana? bentak kepala laskar.
- Kau kira aku berdusta?
- Bukan tuan! Aku Borang dari kalangan Abung-Abang Meskipun barangkali agak kasar. namun sedikit banyak aku mengenal apa arti kesopanan. Tetapi ucapanku ini kupersembahkan kepada duli tuanku pendekar besar Goratara. Pantas dia mengumumkan diri hendak mengundurkan dari semua kegiatan. Tak tahunya karena dia sudah menerima pangkat begitu mulia. Tanggung uang negara bakal terkuras habis. - Diam! Aku belum selesai membacakan Surat Penetapan. - potong kepala laskar.
- Begitu selesai kubaca. selanjutnya ucapanmu bakal berurusan dengan pemerintah. Maka. hati-hatilah! - Aku justru tidak ingin mendengar segala pengumuman yang berbau pemerintah. Kami orang merdeka yang biasa malang-melintang kemana saja kami kehendaki. Maka akupun berhak bertanya dahulu kepada sang pendekar Goratara. semenjak kapan dia berangan-angan menjadi kaki-tangan kerajaan.
Kepala laskar itu menurunkan Surat Penetapan Raja dan digulungnya rapi kembali. Suasana ruang perjamuan itu menjadi sunyi. Beberapa saat kemudian. terdengar Goratara mendengus. Lalu berkata menahan diri:
- Hm. Akal murahan begini. mengapa kau jual kepadaku? '
- Akal murahan? ,. kepala laskar heran.
- Apa maksudmu? Dengan menudingkan telunjuknya kepada Borang. dia berkata angker:
- Abong-Abong adalah suatu aliran besar di sebelah
utara kerajaan. Masakan aliran sebesar itu. diwakili oleh orang semacam dia? Selamanya, belum pernah aku mendengar namanya. Orang semacam dia masakan pantas bertatap muka denganku? - maksudmu?
- Aku kenal semua pimpinan aliran Abong-Abong yang tersebar luas di wilayah kerajaan kita. Nama Borang, baru kudengar malam ini. Salaknya yang merusak pendengaran juga baru kudengar malam ini. Sebenarnya dari mana engkau membeli orang semacam dia sehingga dapat bekerja sama begitu baik denganmu? - Apakah engkau tidak percaya bahwa aku utusan raja?
- Hm . . . siapapun tahu, aku tak pernah berhubungan dengan pihak raja. Bagaimana raja bisa mengenal namaku?
- Itulah karena . . . karena jasa perwira tinggi kami yang mempersembahkan namamu ke hadapan duli baginda. - Siapa dia? Goratara mengerinyitkan dahi.
- Tuanku . . . eh . . . tuanku Boma Prima Narayana. - Oh.
Goratara tertegun.
- Jadi dia kini sudah menduduki jabatan seiingggi itu? Pantas dia teringat padaku. Dan setelah berkata demikian, Goratara tertawa terbahak-bahak. Sebaliknya, Borang yang kena dampratnya, berteriak nyaring:
- Kau berkata, aku tak pantas bertatap muka denganmu? Apakah engkaupun pantas berbicara denganku?
- Kalau tidak pantas. mengapa engkau datang kemari sebagai tamu tak diundang? Didebat demikian. Borang nampak kelabakan. Setelah bercelingukan. kembali ia mengacung-acungkan kertas undangan. Serunya:
- Bukankah aku datang karena surat undanganmu? -- Siapapun dapat membuat surat undangan. Apakah istimewanya?
Borang terbungkam. Wajahnya merah padam. Ia memeriksa surat undangan dengan rasa penasaran. Tatkala hendak menunjukkan tanda tangan yang tertera di bawah baris kalimat penghabisan. kepala laskar berkata mendahului:
- Goratara! Engkau bersedia mendengarkan bunyi Surat Penetapan Raja,atau tidak? - Kalau bersedia bagaimana, kalau tidak bagaimana?
Kepala laskar tidak segera menjawab. Ia nampak ragu ragu. Kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan:
- Apakah engkau tidak menghargai maksud baik tuanku Boma Printa Narayana? - Maksud baik yang mana? - Mengingat persahabatan lama, engkau dilindungi baik di hadapan raja maupun khalayak ramai. - Melindungi? Goratara menegas.
Kepala laskar kemudian menyimpan Surat Penetapan Raja di balik bajunya. Sekarang ia memperlihatkan sikap yang tegas. Setelah mendongakkan kepalanya, ia menjelajahkan pandangnya kepada hadirin. Mojang Yudapati yang berada di atas pohon, tiba-tiba melihat beberapa orang diantara hadirin menanggut pendek seperti memberi isyarat. Menyaksikan hal itu, jantung Mojang Yudapati berdegup kencang, ia memperoleh pirasat akan terjadi suatu peristiwa yang hebat.
- Goratara! Sayang, engkau menolak maksud baik tuanku Boma Printa Narayana. kata kepala laskar dengan membusungkan dadanya.
- Engkau seorang preman. Seorang begal yang belum mengabdikan kebisaanmu kepada negara. Meskipun demikian., tiba-tiba oleh kebijaksanaan tuanku Boma Printa Narayana.engkau diangkat raja menjadi seorang perwira madya. Itulah yang pertama. - Dan yang kedua? tungkas Goratara dengan tetap duduk di atas kursinya.
- Siapapun tahu bahwa enkau sesungguhnya seorang pemeluk Agama Pasupata yang terlarang dan dibenci seluruh rakyat. Tetapi, di hadapan raja hal itu sama sekali tak dikabarkannya. Apakah hal itu bukan berarti melindungi? Apa jawabanmu?
Goratara berdiri dari tempat duduknya. Kemudian dengan suara menggeletar, ia menyahut:
- Semuanya fitnah!
- Fitnah"? -kepala laskar heran.
- Kauumumkan pengangkatan raja di tengah hadirin. bukankah dengan maksud tertentu? Maksud yang pertama. Boma sengaja hendak mengadu domba antara diriku dengan para pendekar-pendekar gagah di seluruh wilayah kerajaan. Paling tidak, hendak menyebarkan bibit kebencian. - Mengapa enkau menyebut-nyebut nama tuanku?
- Bukankah mereka semua ini datang atas perintahnya? Sekiranya bukan karena perintahnya, tentunya oleh akal liciknya. - Engkau berani menuduh begitu? Apakah buktinya?
- Mudah saja.
Goratara tersenyum.
- Sebab, tak pernah aku menebarkan surat undangan terhadap siapapun. Apalagi dengan pengumuman bermaksud hendak mengundurkan diri dari semua kegiatan ,Hai dengarkan! Goratara dahulu tiada bedanya dengan Goratara sekarang. Selamanya berada di tengah rakyat yang tertindas. Rakyat yang hidup malang karena ulah para tuan-tuan tanah dan tuan-tuan yang loba kekuasaan. Sekiranya tujuan hidupku hanya untuk membesarkan perut sendiri. semenjak dahulu sudah bisa aku membeli beberapa buah-gunung dan pohon-pohon. Sekarang engkau memuji-muji Boma Printa Narayana seperti dewa kebahagiaan. Apakah kau kira aku tak tahu bahwa sudah semenjak lama dia menebarkan fitnah tentang Agama terlarang itu?
- Hai! Apa buktinya?
- Buktinya, engkau sendiri mendengar kabar fitnah itu. Masakan yang lain. tidak?
- Tetapi. memang engkau pemeluk Agama Pasupata'. Benar atau tidak? Bukankah engkau hidup bersahabat dengan Kudawani? Dan tiap orang tahu, siapa Kudawani itu. Kecuali seorang pendeta. diapun wakil pimpinan Agama Pasupata. Benar atau tidak?
Mendengar ucapan kepala laskar itu, tiba-tiba saja Goratara bungkam.Kesempatan itu segera digunakan sebaik-baiknya oleh kepala laskar. Serunya:
- Nah saudara-saudara sekalian. Bukti sudah jelas. Dia menolak maksud baik pemerintah. karena sesungguhnya seorang pemeluk Agama Pasupata. Selanjutnya terserah kepada saudara sekalian. Borang yang semenjak tadi sudah mendongkol terhadap Goratara. terus saja menuding. Teriaknya menegas:
- Betulkah engkau anggauta Agama Pasupata? - Aku seorang laki-laki semenjak dilahirkan. Kata kataku bukan banci. Pendeta Kudawani memang sahabat karibku. Tetapi aku bukan pemeluk Agama Pasupata.
- Bohong!
- Kau percaya atau tidak. terserah.
- Engkau bersahabat dengan seorang pendeta Pasupata. Paling tidak. engkau sudah bersintuh tangan, berjabatan. berpelukan dan mungkin seringkali makan dan minum bersama.
- Benar. Lalu mengapa?
- Saudara-saudara! Kalian sudah mendengar sendiri pengakuannya. teriak Borang seperti orang kalap.
- Bunuh! Basmi! Tumpas!
Pada dewasa itu. Agama Pasupata dianggap kotor dan kasar. Rupanya dibenci oleh seluruh lapisan masyarakat. Begitu mendengar pengakuan Goratara dan aba aba Borang. tanpa berpikir paniang lagi, terus saja mereka menyerbu dengan berbareng.
Ke-enam murid Goratara tentu saja tidak membiarkan mereka menghampiri gurunya. Dengan pedang terhunus mereka bertahan. Tetapi menghadapi penyerbuan yang datang seperti air bah, dengan cepat mereka terluka parah. Meskipun demikian. mereka pantang menyerah. Akibatnya mereka mati terajang-rajang seperti sayuran.
- Berhenti! teriak Goratara dengan suara bergelora. Hebat perbawanya. Tiba-tiba saja, para penyerbu menghentikan gerakannya. Sebaliknya, Borang yang penasaran tidak sudi kalah gertak. Dengan berseru nyaring ia melompat dengan menusukkan tombaknya. Tetapi dengan sekali pukul, Borang roboh terjengkang dengan melontakkan darah. Sekarang orang-orang menyaksikan ketangguhan Goratara. Sesuai dengan makna namanya, pukulannya dahsyat seakan-akan dapat menggugurkan sebuah bukit.
Goratara kemudian memeluk seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun. Rupanya dialah anak tunggalnya. Dengan suara gagah berwibawa berkatalah Goratara kepada anak itu:
- Anakku! Engkau percaya kepada ayahmu atau tidak?
- Percaya. jawab si anak dengan singkat.
- Takutkah engkau menghadapi mereka?
- Tidak. - Bagus! Memang mereka hanya sebangsa kurcaci kurcaci yang tak ada harganya hidup di dunia. ujar sang ayah.
- Percayakah engkau bahwa ayahmu memeluk Agama Pasupata?
- Ayah berkata tidak. Tentunya tidak.
- Bagus.
Goratara nampak puas.
- Percayakah engkau, bahwa ayahmu akan dapat membunuh mereka semua? -.
- Percaya. - Ya. ayahmu akan membunuh mereka seorang demi seorang. Akan tetapi, pergilah engkau meninggalkan rumah ini secepatnya. Ibumu akan menyertaimu.
Anak itu mengangguk.
- Lihatlah yang jelas! Hidup mereka tak ubah sekumpulan binatang yang tidak ada harganya. Ya . . . hanya kawanan lembu tarik yang patuh saja kepada siapa yang dianggapnya sebagai majikannya. Apakah engkau kelak akan hidup seperti mereka?
- Tidak. Aku akan hidup seperti ayah.jawab si anak.
- Kalau begitu. camkanlah kata-kata ayahmu. Belajar menuntut kepandaian semenjak kanak-kanak. Kalau tidak, hidupmu tak ubah daun melayang tertiup angin. Bila hal itu kau sadari sewaktu usia menjelang tua. semuanya sudah jadi terlambat. Nah, anakku, berangkatlah!
Goratara kemudian memberi isyarat mata kepada isterinya. Pada waktu itu. Borang yang terkapar melontakkan darah, berseru nyaring:
- Bunuh! bunuh! Membabat rumput harus sampai ke akarnya. Kalau tidak akan menjadi penyakit di kemudian hari.
Oleh seruan itu. orang-orangnya mendahului bergerak. Tetapi Goratara tidak membiarkan mereka merajalela seperti tadi. Dengan kedua tangannya. ia menggempur.
Dan seperti ombak menerjang batu karang mereka terpental mundur bagaikan sekumpulan bola.
Menyaksikan hal itu. Borang tertatih-tatih bangun. Sambil berteriak-teriak memompa semangat hadirin lainnya. tombaknya dilemparkan sekuat-kuatnya ke arah si anak. Goratara tak sempat melindungi anak tunggalnya, karena musuh meluruknya dari semua penjuru. Dan tombak Borang menancap ke punggung anaknya.
- Anakku! pekik ibunya dan langsung saja ia memeluk anaknya.
Goratara menggerung bagaikan harimau terjebak. Dengan kalap ia mengamuk. Seketika itu, seluruh ruang rumahnya banjir darah. Borang mencoba melarikan diri. Tetapi dengan sekali loncat. Goratara telah menghadangnya dan menghantamnya mati. Menyaksikan sang pemimpin tewas, anak-buahnya membalas dengan memenggal kepala isterinya.
- Hai!
Mojang Yudapati memekik tertahan di dalam hati. Seluruh tubuhnya menggigil menyaksikan semua yang terjadi di depan matanya. Ia kehilangan pengamatan diri sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
- Ah, fitnah! Fitnah benar-benar jauh lebih kejam daripada pembunuhan. -ia menggeram.
Tiba-tiba ia mendengar suara kepala laskar berkata senang kepada rekannya:
- Hebat tata-kerja Borang. Ia pantas dinaikkan pangkatnya.
- Lainnyapun juga. -sahut temannya.
Mereka berjalan melalui bawah pohon tempat persembunyian Mojang Yudapati. Dan mendengar kata-katanya itu. Mojang Yudapati seperti kalap. Entah apa yang menggerakkan hatinya,mendadak saja ia melompat turun sambil membabatkan pedang pendeknya. Karena serangan itu datangnya dengan tiba-tiba dan sama sekali tak
terduga. ia mati tertikam dengan tak sempat memekik.
Keruan saja bawahannya kaget setengah mati. Tetapi sebelum mereka sempat berbuat sesuatu. Mojang Yudapati sudah membereskan semuanya. Justru demikian, tersentaklah kesadarannya.
- Hai! Mengapa aku ikut-Ikutan membunuh pula? Untuk apa dan untuk siapa? -serunya tercekat di dalam hati. ,
Terus saja ia melarikan diri menerjang kepekatan malam. Ia jadi teringat akan ramalan Mahendra melalui mulut Isu Wardana. Katanya bila kakak sampai ikut menyaksikan terjadinya fitnah. aki meramalkan bahwa sikap dan pandangan hidup kakak akan berubah. Dan hal itu benar-benar terjadi kini.
Betapa tidak? '
Ia tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri untuk apa dan untuk siapa ia melakukan pembunuhan terhadap laskar Sriwijaya. Yang terasa di dalam hatinya. ia marah menyaksikan suatu tindak tidak adil yang menimpa keluarga Goratara. Maka apa yang dilakukannya tadi adalah tindakan seorang pendekar dan bukan seorang perajurit sejati yang mengabdikan seluruh hidupnya hanya kepada negara dan bangsanya. Padahal negerinya tidak bermusuhan dengan Sriwijaya. Juga masalah keluarga Goratara "tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negeri dan bangsanya maupun dirinya sendiri. Menyadari akan hal itu. ia jadi merasa serba salah.
Barangkali inilah ramalan Mahendra. Sikap dan pandangan hidupku jadi berubah dengan tak setahuku sendiri,ia berkata di dalam hati.
Namun setelah menyadari tindak-lakunya itu, hatinya merasa agak lega. Terus saja ia melompat ke atas pelana kudanya dan melarikannya secepat-cepatnya. Siapa tahu. nasib laskar yang dibunuhnya sebentar tadi. sudah tercium oleh kaki tangan Boma Printa Narayana. Dan teringat betapa licinnya Boma Printa Narayana menjebak lawannya, bulu kuduknya menggeridik dengan sendirinya. Untuk menghadapi lawan seperti dia, dirinya masih harus belajar banyak. Apakah arti diriku kalau dibandingkan dengan Goratara pikirnya di dalam hati. Walau demikian. Goratara dengan seluruh keluarganya tertumpas habis tanpa sempat melihat muka lawannya yang licin itu.
Terngianglah kata-kata Goratara kepada anaknya:


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Belajarlah menuntut kepandaian semenjak kanak-kanak. Kalau tidak, hidupmu tak ubah daun melayang tertiup angin. Bila hal itu baru kau sadari sewaktu usia menjelang tua. semuanya sudah jadi terlambat.
Alangkah dalam makna kata-kata itu. Dan kata-kata demikian hanya terlahir dari mulut seseorang yang sudah kenyang makan asam garam penghidupan.
**** DONGENG SEKAR TANJUNG
DENGAN PENGAWALAN ketat yang sambung-menyambung, Rara Tilam tiba di wilayah Pasemah ( lampung ) dengan selamat. Sebenarnya, berbekal kepandaiannya yang tinggi, dapatlah ia berjalan seorang diri tanpa pengawalan. Akan tetapi karena perjalanannya tidak melalui jalan lintas umum, maka perlu ia ditemani beberapa pemandu.
pada suatu hari, ia tiba di depan kota Pakuan Agung. Ia berhenti beristirahat di bawah pohon rindang yang tumbuh di atas bukit. Hatinya terasa lega penuh syukur. Tiba-tiba timbullah gairahnya hendak melanjutkan perjalanan dengan seorang diri.
- Kirimkan maksudku ini kepada paman Tandun lewat pos merpati. katanya kepada ketua pemandu.
- Tetapi berita tugas pengawalan sudah terlanjur sampai di pantai Krakatau. Kami tidak akan berani melanggar perintah atasan. ujar ketua pemandu setengah
memohon. Tilam diam menimbang-nimbang. Lalu memutuskan:
- Baiklah. Kalau begitu. carilah penginapan yang baik. Ingin aku menjenguk kota di depan kita itu.
- Kami akan berusaha sebaik-baiknya. Tetapi apakah penginapan itu berkenan di hati tuanku puteri. kami tak tahu.
- Sudahlah. Apa yang kau pilih, akupun akan setuju. Ketua pemandu itu mengiakan dan berangkat mendahului. Tetapi hampir setengah hari Tilam menunggu di bawah pohon rindang itu. Ketua pemandu belum juga menampakkan batang hidungnya. Segera ia menyuruh dua pemandu lainnya untuk menyusul. Kedua pemandu itupun, tidak segera'balik kembali.
Hai. mengapa?
Pemandu pemandu lainnya ikut bergelisah juga. Untung tatkala matahari hampir saja mengungsi dari permukaan udara, mereka datang berturut-turut dengan raut muka berteka-teki.
- Aneh! Aneh! - ujar ketua pemandu berulang kali.
- Apanya yang aneh?
Tilam meminta keterangan.
- Semua penginapan dipenuhi anggauta Syiwapala dan Paramita.
- Memangnya berapa jumlah penginapan di kota itu? - Kota itu bernama Pakuan Agung. Meskipun kota kecil tetapi mempunyai tiga buah penginapan.
- Kalau begitu. merupakan kota lalu-lintas perdagangan yang ramai. Lalu mengapa aneh? - potong Tilam.
- Sebab tidak semestinya kaum Syiwapala dan Paramita berada di wilayah ini. Apalagi masing-masing diketuai oleh pemimpinnya sendiri. Bhiksu Dewayana dan Bhiksuni Aditi Paramita. Kalau tiada menghadapi masalah yang maha penting, mustahil kedua pemimpin agama
itu keluar dari biaranya.
Keterangan ketua pemandu itu menarik perhatian Tilam. Puteri lembu Seta ini memang cepat sekali tertarik kepada hal-hal yang menerbitkan teka-teki. Selain itu, semenjak kakak seperguruanku ikut serta berkecimpung di dalam kalangan orang-orang pergerakan, diam-diam ia mulai menaruh perhatian terhadap sekte-sekte agama dan aliran-aliran yang terdapat di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Seperti sekte agama Pasupat. Syiwapala. Paramita dan Gupala Seta. Lalu aliran Tanah Putih. Abong Abong, Siguntang. Arnawa dan Orang-Aring. Ia mengamati pula cara kerja dan tujuan hidup mereka. Dalam perjalanannya menyusul ayahnya di pantai Krakatau banyak hal-hal yang menambah pengetahuannya. Ternyata mereka mengenal disiplin. tiada bedanya dengan tata kerja orang-orang pemerintahan. Mereka mengenal makna kesetiaan dan persatuan. Menghargai pula adat-istiadat para leluhurnya dan menjungjung tinggi panji-panji keyakinannya. Sayangnya. masing-masing berdiri sendiri sehingga saling bersaing dan saling mengangkat diri. Apabila mereka dapat dipersatukan seperti cita-cita Tandun Raja Koneng, tentunya akan merupakan suatu kekuatan dahsyat yang tidak mustahil dapat menggulingkan kekuasaan raja yang dimusuhinya.
- Lalu. apakah kita terpaksa menginap ditengah lapang? ia ingin memperoleh ketegasan.
- Tidak. Berkat usaha rekan-rekan sefaham. akhirnya kami dapat meyakinkan pemilik penginapan untuk menyediakan tempat istirahat. Tetapi hanya sebuah kamar. Itupun berada di tepi kebun sayuran yang berada di halaman belakang. Untuk kami sendiri . . . biarlah kami tidur di tengah alam terbuka.
Tilam tersenyum. Ia tahu arti istilah berkat usaha.
Yang benar. pasti dengan paksaan. ancaman atau gertakan. Bagaimanapun juga ia wajib menghargai usaha mereka. Ujarnya kemudian:
- Tak mengapa. Di tengah kebun sayurpun. jadi asalkan tidak terganggu.
- Nah, inilah yang masih menjadi persoalan. Rumah penginapan itu bernama: "Kurun Waktu." Rupanya dipilih oleh kaum Paramita sebagai tempat peristirahatan mereka. - Bukankah mereka terdiri dari kaum wanita?
- Benar. Tetapi pagi-pagi mereka sudah memerintahkan untuk mencuci semua perkakas dapur yang pernah digunakan untuk memasak daging. Ringkasnya. semua masakan hanya terdiri dari sayur-mayur. Ini . . . ini . . . - Apakah buruknya? Gajah dan kerbau jauh lebih bertenaga dapada harimau dan kawanan binatang pemakan bangkai.
- Jadi . . . jadi tuanku puteri berkenan? -ketua pemandu setengah bersorak.
- Kalau begitu, sebaiknya tuanku puteri tidak perlu menyamar lagi. Ini demi menghindarkan permasalahan. lagipula kami sudah terlanjur mendaftarkan tuanku puteri sebagai tetamu wanita.
Rumah penginapan "Kurun Waktu". sebenarnya lebih tepat bila disebutkan sebagai pesanggrahan seorang tuan tanah yang kaya raya. Letaknya berada jauh di luar kota. Berdiri di atas tanah perkebunan yang luas sekali. Tatkala Tilam tiba di perkebunan itu. rembang-petang sudah lewat. Seorang pelayan datang menyambut dengan hormat. Setelah dipersilahkan turun dari kuda, ia dibawa menyeberang mengitari kebun. Tilam mengikuti dengan tersenyum geli. Untuk pertama kali itulah ia mengalami masuk ke halaman rumah penginapan seperti seorang pencuri.
- Hai! Mengapa harus berputar-putar? Bukankah
uangku sama nilainya dengan uang mereka?
Tilam menggerutu.
- Bukan begitu, nona. sahut orang itu dengan berbisik.
- Soalnya, bhiksuni-bhiksuni itu garang dan galak. Mereka main bentak dan rewel. Daripada akan menimbulkan pertanyaaan yang bukan-bukan, lebih baik kita hindari saja dengan cara begini. '
Tilam mendongak ke udara. Cahaya bulan purnama nampak merekah di ufuk timur. Kemudian ia menoleh ke arah regu pemandu yang berjalan mengambil simpang jalan sambil menuntun kudanya.
- Apakah mereka menempati semua kamar? ia minta keterangan.
- Sebenarnya jumlah kamar kita tidak banyak. Hanya ada empat kamar besar. Kemudian ruang tengah dan pendapa. Para bhiksuni menempati kamar-kamarnya. Tetapi pengawal-pengawalnya yang terdiri dari laki-laki setengah umur mmenempati ruang tengah dan pendapa.
Tilam mengangguk. Ia tidak berbicara lagi. Samar samar ia melihat sebuah perumahan yang terlindung oleh beberapa pohon hias yang tinggi. Mungkin sekali, rumah itu merupakan perumahan tukang kebun. Tetapi karena terpaksa, kini disediakan untuk tempat menginap Tilam .
Tilam sudah menduga buruk. Rumah itu, tentunya kotor dan tak teratur. Tetapi dugaannya salah sama sekali. Ternyata lantainya bersih, sedang ruang tengah berbentuk sebuah kamar yang cukup lebar. Di ruang itu terdapat sebuah tempat tidur dan sebuah meja dengan hidangan makan malam yang lengkap. Tetapi seperti yang diberitakan ketua pemandu, makannya terdiri dari sayin mayur. Minuman yang di sediakan hanya air putih.
- Biarlah malam ini aku menjadi seorang bhiksuni pula. - katanya geli di dalam hati.
setelah pelayan itu membesarkan nyala pelita, ia berkata dengan membungkuk hormat:
- Silakan nona. Sebenarnya rumah ini tempat persemadian majikan pada hari hari suci. Mudah-mudahan nona dapat menjaga diri. sehingga kami tidak perlu dipecat.
Tilam mau mengerti permohonan pelayan itu. ia mengangguk. Dan setelah pelayan meninggalkan rumah itu,mulailah ia memeriksa ruangan. Bersikap hati hati dan selalu berwaspada kerapkali membantu ancaman bahaya yang tersembunyi. Ternyata tiada sesuatu ruang mencurigakan. .
Nyala lampu diredupkannya. Kemudian ia mandi untuk berganti pakaian penyamarannya kembali. Pakaian singset lebih leluasa untuk dibuat bergerak daripada pakaian wanita. Tetapi untuk menjaga keselamatan pelayan tadi, rambutnya dibiarkan terurai panjang. Siapa tahu para bhiksuni mengadakan pemeriksaan mendadak.
Beberapa waktu lamanya ia merebahkan diri di atas tempat tidur. Pikirannya melayang kepada Kadung. ayahnya dan Mojang Yudapati. Pada saat-saat ini, tentunya Kadung makin sibuk dalam usahanya ikut membantu Tandun menggalang persatuan kaum petualang. Sedangkan ayahnya, menurut pengalamannya sendiri, pasti sudah selamat tiba di tempat tujuan. Ayahnya akan dijaga dan dikawal dengan ketat.
Sebaliknya. bagaimana keadaan Mojang Yudapati yang membawa tugas menyesatkan pengamatan Boma Printa Narayana?
Diantara ketiga orang itu, dialah yang terancam bahaya. Teringat akan kata-kata perpisahannya, ia jadi perasa.
Benarkah Mojang Yudapati akhirnya harus tewas di perjalanan?
Ia menghela nafas. Dia berdoa untuk keselamatannya. Karena doa itu diucapkannya dalam hati dengan sungguh-sungguh,
tak dikehendakinya sendiri ia terlena tertidur.
Entah sudah berapa lama ia tertidur, tiba- tiba pendengarannya yang tajam menangkap bunyi yang mencurigakan. ia mendengar tepukan tiga kali di kejauhan. Lalu suara siul panjang melengking. Cepat ia meletik bangun memadamkan pelita. Setelah menggelung rambutnya, hati- hati ia membuka pintu. Di luar udara cerah oleh bulan purnama yang menebarkan cahaya indah sejuk.
Dengan sekali melompat ia hinggap di atas dahan yang berdaun lebat. Lalu menebarkan penglihatannya. Suara tepukan dan siulan terdengar lagi. Di rumah penginapan terdengar suatu gerakan bersama. Beberapa gadis berseragam jubah agama, mengikuti gerakan seorang bhiksuni yang berkelebat bagaikan bayangan. Barangkali dialah yang bernama Aditi Paramita. ketua biara sekte agama Paramita.
Setelah itu muncullah beberapa bayangan orang berturut- turut yang datang dari berbagai jurusan. Mereka maju dengan hati- hati. Akhirnya berdiri tegak dengan mengambil jarak tengah kebun sayur. Jelas sekali masing masing membawa senjata andalannya.
- Hai Dewayana. Aditi! Dari wilayah utara aku mengunjungi biara kalian. Tak kusangka kalian berada di wilayah ini. Untuk apa? Kami bermaksud baik. Apa sebab salah seorang murid kalian membunuh anak- muridku? Apakah karena kalian anggap kami ini golongan iblis?
- Ah. kiranya rekan Getah Banjaran dari aliran Abong Abong. sahut seorang pendeta yang mengenakan jubah berwarna abu- abu.
Dialah Dewayana pemimpin agung sekte Syiwapala.
- Sebenarnya siapakah yang engkau maksudkan? Orang yang bernama Getah Banjaran berperawakan tinggi besar gagah perkasa. Mendengar getaran suaranya
yang bergelora. pasti dia seorang pemarah dan mau menang sendiri.
- Dialah kaum Paramita. sahut Getah Banjaran sambil menunjuk ke arah seorang bhiksuni yang mengenakan jubah hijau muda.
Kena tuding demikian, para bhiksuni yang berdiri di belakang pemimpinnya memperlihatkan gerakan penasaran. Akan tetapi Aditi Paramita nampak tenang. Sahutnya dengan suara tajam:
- Selamanya belum pernah kalangan kami bertemu dengan anak- murid darimana saja. Mengapa engkau menuduh pihak kami?
- Semuanya akan jadi jelas, apabila engkau tidak menyembunyikannya. - ,
- Siapakah yang kami sembunyikan? - Tentunya murid kesayanganmu.
Getah Banjaran mendengus melalui hidungnya.
- Semua murid kami sayang. Kami tidak pernah pilih kasih.
- manakah muridmu yang bernama Sekar Tanjung? Suruhlah dia keluar menghadapku! - Sekar Tanjung?
saudara- saudara seperguruannya berseru heran. Saraswati salah seorang saudara- seperguruan Sekar Tanjung, bergerak maju hendak mendamprat. Tetapi Aditi Paramita mencegahnya. Dengan tenang. pemimpin agung sekte Paramita itu berkata:
- Sekar Tanjung memang nama salah seorang murid kami. Dia berhati lembut dan masih terhitung kanak kanak. Usianya belum lagi mencapai tujuh belas tahun. Masakan sudah pandai membunuh orang? lagipula kami sekalian tiba di wilayah ini justru hendak melacak jejaknya. Dia terpisah dari rombongan. Mungkin sekali tersesat. Sebab tujuan perjalanan kami ke Gunung Sibahubahu. Mengapa jejaknya mengarah ke selatan? Apakah engkau dapat memberi keterangan yang lebih jelas?
Getah Banjaran tertawa mendongkol. Teriaknya:
- Akulah yang justru minta keteranganmu. Mengapa engkau berputar lidah?
Selagi Aditi Paramita hendak menjawab, sekonyong konyong terdengar suara lembut dari arah serambi belakang penginapan:
- Guru! Guru! Aku sudah kembali!
- Engkaukah Sekar Tanjung? - sambut Aditi Paramita dengan suara bersyukur. .
- Awigna mastu nama siddham. Kamari! .
Semua yang berada di kebun sayur berpaling ke arah serambi belakang rumah penginapan. Waktu itu, tiada awan di udara sehingga cahaya bulan purnama makin semarak. Seseorang dapat melihat bayangan apapun dengan jelas. sejauh seratus dua ratus langkah sekelilingnya. Kemudian muncullah bayangan seorang gadis belia calon bhiksuni, dengan membawa penerangan lampu terang benderang.
- Hai! Kau mau ke mana? Mengapa membawa lampu segala? - gerutu gurunya.
- Oh!
Dengan gugup dan agak kebingungan, gadis belia itu mencari tempat yang tepat untuk meletakkan lampunya.
- Akan kau taruh dimana? Padamkan! - bentak gurunya.
Dengan tergesa- gesa. gadis belia itu menghembus sumbu lampunya. Beberapa kali barulah padam. Menyaksikan pekertinya. Tilam tersenyum geli. Jelas sekali. gadis belia itu masih seorang dara yang polos.
Masakan dia bisa membunuh orang?
Sedang hendak memadamkan lampu saja nampak kurang cekatan. Tetapi oleh penerangan
lampu yang terang- benderang itu. baik Tilam maupun semuanya, berkesempatan melihat Wajah dan bentuk badan gadis belia itu. Bukan main cantiknya. Selain cantik. lemah lembut pula. Bentuk tubuhnya anggun. Usianya memang belum mencapai tujuh belas tahun. Kesan demikian akan diperoleh siapa saja yang melihatnya. Berpikirlah Tilam di dalam hati:
- Orang secantik dan seanggun dia. mengapa masuk ke biara? Apakah kelak akan hidup sebagai seorang pendeta?
- Tanjung! Engkau pergi ke mana saja. sehingga membuat kami berlarat- larat sampai kemari? tegur Aditi Paramita.
Sekar tanjung lantas saja bersimpuh di hadapannya sambil memegang jubahnya. Jawabnya lembut dengan sedu sedan:
- Guru. maafkan. Semuanya terjadi karena paksaan. Hampir saja aku tak dapat berjumpa lagi dengan guru.
- Dipaksa? Siapa yang memaksa? Apakah engkau membunuh orang?
Teguran gurunya itu mengejutkan hati Sekar Tanjung sampai tangannya terlepas dari jubah gurunya yang tadi dipegangnya erat. Dengan wajah tak mengerti ia mengulang kata- kata gurunya:
- Membunuh? Aku membunuh orang? Siapa yang kubunuh?
Getah Banjaran yang membungkam semenjak Sekar Tanjung muncul dari serambi belakang rumah penginapan. membentak:
- Aditi! Siapa sudi menyaksikan permainan sandiwaramu? Hai Kempa. gotong kemari!
Orang yang bernama Kempa adalah salah seorang muridnya. Dengan cepat ia memberi perintah dua saudara- seperguruannya: Dumma dan Daksa. untuk segera melaksanakan perintah pemimpinnya. Mereka berdua datang dengan mengangkat sebuah daun pintu. Di atasnya menggeletak sesosok mayat yang masih tertancap sebatang pedang pendek.
- Hadapkan kepada Bhiksuni Aditi agar dapat memeriksa benar tidaknya tuduhan kita!
Getah Banjaran berkata lagi dengan garang.
Dumma dan Daksa kemudian membawa daun pintu itu ke depan Aditi Paramita kira- kira sepuluh langkah jauhnya. Setelah diletakkan di atas tanah, mereka kembali ke tempatnya semula.
- Apakah dia muridmu? Aditi Paramita menegas.
- Bahkan muridku yang tertua. Purusa. namanya. - .
Aditi Paramita berpaling kepada Sekar Tanjung yang tengah berdiri dengan pelahan- lahan.
- Kau kenal dia? - Kenal sih . . . tidak. Tetapi aku mendengar dia mengaku bernama Pusura. Ia mati terbunuh. tetapi bukan aku yang membunuhnya. ujar Sekar Tanjung dengan suara masih lemah lembut.
Jawaban Sekar Tanjung itu agak melegakan hati gurunya. Terus saja Aditi memberi perintah kepada dua orang muridnya:
- Saraswati! Janari! Periksa!
Saraswati dan Janari maju dengan berbareng. Mereka membungkukkan badan memeriksa pedang yang tertancap di dalam tubuh Purusara. Setelah meneliti sejenak. dengan berbareng mereka lapor kepada Aditi:
- Guru! Ini bukan pedang perguruan kita.
Aditi Paramita melesat menghampiri mayat dan mencabut pedang yang tertancap dalam. Gerakannya cepat dan luwes. Setelah mengamat- amati dengan wajah heran ia berkata kepada Getah Banjaran:
- Apakah engkau sudah memeriksa pedang yang menancap pada tubuh muridmu? Ini bukan pedang perguruan kami. '
- Benar. Tetapi ada sangkut- pautnya dengan muridmu yang cantik itu. Suruhlah dia berkata terus- terang sebelum aku kehilangan kesabaranku '
- Guru, bukan aku yang membunuhnya. Tetapi pemilik pedang itu. - sahut Sekar Tanjung dengan suara setengah mengadu.
- Siapa?
- Bukan orang sini pula.
- Bukan orang sini bagaimana? - Dia seorang pendekar perantau. Namanya Yudapati.
Pengakuan Sekar Tanjung itu menggemparkan mereka semua, termasuk Tilam yang bersembunyi di atas pohon.
- Mengapa engkau kenal namanya? tegor gurunya dengan sengit.
- Guru . . . Sekar Tanjung berbimbang- bimbang.
- Karena ajaran guru, bahwa semua murid biara Paramita harus mengutamakan menolong sesama orang, aku memberanikan diri untuk merawat lukanya. Karena . . . karena . . . aku merasa berhutang budi kepadanya. Aditi Paramita tertegun tak ubah sebuah arca. Juga sekalian saudara seperguruan. Sebab bersentuh tangan dengan seorang laki- laki, merupakan hal yang tabu. Bahkan termasuk larangan yang paling keras bagi biaranya.
Sebaliknya. Getah Banjaran seakan- akan sudah memperoleh penerangan tentang sebab- musababnya ketua muridnya terbunuh. Serunya dengan suara menggelegar:
- Hayoo . . . apakah hanya merawat lukanya saja?
- Menyediakan makanan dan mencarikan obat luar. - Apa lagi
- Mencarikan alat penerangan, karena . . .
- Sudah. diam! - bentak gurunya.
Memang muridnya seorang itu,berhati polos dan memandang setiap orang sepolos hatinya.
- Tanjung, kau tahu siapa dia? - ujar Aditi sambil menuding Getah Banjaran.
- Tidak.
- Mengapa engkau membiarkan dirimu menjawab setiap pertanyaaannya?
- Bukankah dia minta keterangan?
Aditi Paramita menghela nafas. Lalu berkata dengan sabar: .
- Dia pemimpin aliran Abong- Abong. Namanya Getah Banjaran. Engkau sedang dituduh mempunyai sangkut- paut dengan kematian muridnya. Jagalah mulutmu!
- Tetapi. bagaiman kalau dia bertanya terus menerus? Apakah aku tidak boleh menjawab?
Dewayana yang semenjak tadi membungkam mulut berkata dengan suara sabar:
- Anakku! Ketulusan hatimu menarik hatiku. Mudah mudahan di kemudian hari engkaulah yang dapat menggantikan kedudukan gurumu. Coba terangkan yang jelas. bagaimana asal mula pertemuanmu dengan pendekar itu, sehingga terjadi suatu pembunuhan.
Sekar Tanjung menatap wajah gurunya minta pertimbangan. Gurunya mengangguk sambil berkata:
- Dialah pamanmu Dewayana. pemimpin Agung biara Syiwapala. Terhadap pamanmu seorang ini, dapat engkau berbicara dengan, terus terang. Dewayana menghampirinya dan minta agar pedang itu diberikan kepadanya. Ia menyalakan lampu penerangn Sekar Tanjung yang sebentar tadi dipadamkan. Lalu memeriksa hulu pedang yang terdapat ukiran namanya. Tilam
yang berada di atas pohon ikut melongokkan kepalanya dan oleh penerangan lampu, segera ia mengenal pemilik pedang itu.
Mojang! ia berkata di dalam hati. Kalau begitu, ia berada tidak jauh dari sini.
Dengan pandang selidik. Dewayana mengamati wajah Sekar Tanjung. Kemudian kepada mayat Purusara. Ia nampak heran. memikirkan sebab kematian Purusa Pedang itu seperti ditusukkan melalui perut dengan miring ke atas sampai mencapai tenggorokan. Jelas sekali. bahwa penusukannya melancarkan serangan itu dengan berjongkok.
Jurus apakah itu dan berasal dari mana?
Sedang Dewayana berbimbang- bimbang, berkatalah Sekar Tanjung dengan suara memohon:
- Ampuni dia, paman! Dia dalam keadaan terpaksa. Tipu serangannya. memang bukan jurus tipu- muslihat yang pernah kita kenal. Dia mengaku seorang perantau. Hanya saja tidak mengaku dari negeri mana dia datang.
- Huh! dengus Getah Banjaran.
- Aditi. coba dengarkan baik- baik ucapan muridmu yang cantik itu. Dia memohon pengampunan dan perlindungan dan pengertian. Sudah begitu. masih pula menyembunyikan asal usul pembunuh itu. Bukankah berarti muridmu bekerja sama dengan pembunuh kejam itu? Salahkah aku, bila aku menuntut tanggung jawabmu?
- Kau kira aku tuli sampai engkau perlu mengingatkan diriku? tegor Aditi Paramita dengan sengit.
Rupanya,betapapun juga ia wajib membela muridnya berhadapan dengan orang luar.
Tentu saja Getah Banjaran tidak mau mengalah. Katanya mendesak kepada Sekar Tanjung yang polos:
- Kau manggil dengan sebutan apa kepada orang ::..
Sebagai seorang gadis yang berhati bersih dan poros sudah barang tentu tidak mengerti jebakan Getah Banjaran. Sahutnya dengan wajar:
- Kakak. Kakak Yudapati?
Mendengar jawaban Sekar Tanjung. Getah Banjaran dengan segenap muridnya tertawa bergegaran.
- Kau dengar. tidak? Bukankah berarti hubungannya sudah rapat? Getah Banjaran menatap Aditi Paramita. Sebelum Aditi Paramita sempat menjawab. Sekar Tanjung berkata dengan heran:
- Mengapa? Umurnya sepuluh tahun lebih tua dari padaku. Bukankah sudah sepantasnya aku memanggilnya dengan kakak?
- Tuuuh . . . dia tahu usianya pula.
Getah Banjaran tertawa terkekeh- kekeh.
Tatkala Sekar Tanjung hendak menanggapi. Aditi Paramita membentaknya:
- Diam! Bukankah aku menyuruhmu menjaga mulutmu?
- Tetapi apakah salahku memanggilnya dengan kakak? .
- Diam! Kau tahu apa?
Sekar Tanjung menoleh kepada Dewayana mencari bantuan. Orang tua itu kemudian berkata:
- Kau sudah mendapat ijin gurumu untuk mengabarkan mula- mula engkau bertemu dan berkenalan dengan pendekar Yudapati. Mengapa belum kau mulai juga? Sekar Tanjung menundukkan kepalanya. Sambil memainkan kancing jubahnya. ia menyahut:
- Ini semua. gara- gara Palata. - Palata? - guru dan sekalian saudara- seperguruannya memekik tertahan.
- Mengapa? Aku ditawan Palata.
- Ah!
Sekarang mereka benar- benar memekik terkejut: Mereka kenal kebiasaan Palata. Dengan sendirinya tahu pula apa makna ditawan. Tilampun semenjak melihat peribadinya tatkala melompat di atas panggung Tandun, berkesan kurang baik. Kepada Mojang pernah ia berkata, bahwa manusia semacam dia tentu gemar mengganggu wanita. Tetapi apa yang diketahui sekalian murid biara Paramita. jauh lebih mengerikan. Setiap kali Palata menawan seorang gadis. tentu diperkosanya dahulu seelum dibebaskan. Kadangkala berjalan sampai dua minggu. Itupun masih terhitung mujur. Sebab bila dia merasa sudah bosan, gadis itu dibunuhnya agar tidak menjadi ' msalah ruwet.
- Coba ceritakan yang jelas, apa sebab engkau sampai kena tawan Palata! perintah gurunya dengan suara cemas.
Setelah berkata demikian, ia dibimbingnya menjauh, hendak dibawanya masuk ke dalam rumah penginapan. Semua orang, maklum apa sebabnya. Sekar Tanjung seorang gadis yang cantik jelita. Sekarang kena ditawan si jahanam Palata. Tentunya runyam, Paling tidak ada suatu cerita yang mengerikan.
Tetapi baru saja berjalan dua langkah. sesosok bayangan menghadang didepan mereka. Dialah Getah Banjaran yang menghalangi mereka pergi dari pengamatannya. Katanya dengan suara garang;
- Peristiwa ini menyangkut tindak pembunuhan. Kuharap engkau dan muridmu berbicara bertatap muka dengan kita semua. Meskipun kita memiliki faham hidup masing- masing, tetapi kita adalah sebangsa setanah air. Engkau adalah seorang bhiksuni yang sudah mencapai tataran arif budiman. Masakan masih pilih kasih? Tindakanmu memeluk murid tercinta untuk kau ajak berunding di belakang punggungku. apakah bedanya dengan tingkah laku kawanan pencuri dan penyamun?
Jelas sekali maksud Getah Banjaran. Disadari atau tidak ,ucapannya merendahkan martabat seorang bhiksuni yang sudah menduduki kursi pemimpin agung sekte agama, di hadapan khalayak ramai. Sudah barang tentu hal itu menyinggung kehormatan bhiksuni Aditi Paramita. Apalagi tabiat Aditi keras dan mudah berang. Seketika itu juga kedua alisnya berdiri tegak.
Semua yang menyaksikan perubahan wajah Aditi Paramita, tergetar hatinya. Pastilah akan terjadi suatu pertarungan dahsyat antara kedua pemimpin agung itu. Dan bila sudah terlanjur bergebrak,tentu akan sukar untuk dilerai, dibujuk atau dipisah. Selanjutnya ekornya akan jadi panjang. Sebab murid masing- masing akan mengadu jiwa pula.
Cepat Dewayana maju menghampiri dan berdiri di antara mereka berdua. Setelah memberi hormat kepada mereka berdua, berkatalah ia menyabarkan:
- Kita sekalian ini meskipun bertanah air satu, kenyataannya seperti tersesat di rantau orang. Sebab kecuali kita tidak pernah saling bertemu tidak pernah pula menginjak wilayah ini. Hidup ini berarti masalah. Dan tiada suatu masalah apapun di dunia ini yang tidak dapat terpecahkan. Mengapa masing- masing sudah bertindak saling mengadili?
- Bhiksu Dewayana, engkau adalah seorang suci. Mengapa bersusah payah sudi mencampuri urusanku? Aku memang marah, karena orang kasar itu berbicara seenak hatinya sendiri. Apakah dia bermaksud menghalangi kepergianku? Kalau dia melarang, aku justru ingin pergi. Sebaliknya, bila engkau menghendaki pula aku tetap berada di tempatku, baiklah aku akan patuh. sahut Aditi.
Sebenarnya di dalam hati Getah Banjaran segan juga terhadap Bhiksuni Aditi Paramita. Bhiksuni itu terkenal ilmu pedangnya dan belum tentu dapat dikalahkan dalam seribu gebrakan. Taruhkata dia dapat mengalahkannya tentunya sekte- sekte agama lainnya tidak akan tinggal diam. Betapapun juga akan memihak kepada sekte Paramita. Memperoleh pertimbangan demikian. segera ia merubah sikap. Dengan tertawa ia berkata kepada bhiksu Dewayana:
- Betapa aku berani menghalangi maksud Bhiksuni aditi? Aku hanya memohon' padanya. agar muridnya sudi menerangkan peristiwa ini dengan jelas di hadapan kita semua. Dengan demikian kita sekalian dapat menimbang salah tidaknya.
Setelah berkata demikian. ia melesat mundur dan berdiri di tempatnya semula. Melihat sikap Getah Banjaran yang sudah pandai menghormati dirinya. hati Aditi Paramita terhibur. Meskipun demikian, masih saja ia memperlihatkan keangkerannya.
- Huh! dengusnya.
- Mengapa main gertak segala.
Ia menunggu reaksi Getah Banjaran. Tetapi pemimpin Abong- Abong itu pandai membawa diri. Dia tidak menanggapi, walaupun hatinya mendongkol. Itulah sebabnya berkatalah ia kemudian kepada Sekar tanjung:
- Tanjung, coba ceritakan semua pengalamanmu dalam garis besarnya saja. Maksudku yang penting- penting saja. Yang tidak perlu tak usah! Sekar tanjung mengangguk. Lalu mulailah ia berkisah:
- Yang penting. aku tidak berbuat sesuatu yang melanggar pantangan agama. Juga tidak melanggar ajaran guru dan peraturan perguruan. Aku tetap suci. Hanya saja. aku memohon agar guru berkenan membunuh si jahanam Palata. Sebab dia . , . - ,
- Sudahlah. aku tahu maksudmu. potong gurunya cepat.
Sebab dia khawatir. muridnya yang berhati polos itu akan berbicara yang tidak perlu diketahui orang luar.
- Akan kubalaskan sakit hatimu. Akan kubunuh Palata dan jahanam Yudapati itu. "
- Mengapa dia? Mengapa kakak Yudapati? Sekar Tanjung berseru heran. Tiba- tiba saja ia menangis sedu sedan. Katanya memeneruskan:
- Guru tak perlu membunuhnya. Siapapun juga tidak akan dapat membunuhnya. Sebab kakak Yudapati sudah tewas.
Keruan saja. yang mendengar kata- kata Sekar Tanjung, tercengang dan terkejut. Demikian pula Tilam yang berada di atas pohon. Kalau saja dia seorang puteri yang tidak pandai menahan diri, pasti akan jatuh oleh rasa terkejut.
- Dia! Purusara si jahanam .. . . Dia jahat sekali.
Mendengar Yudapati tewas terbunuh ketua muridnya, rasa penasaran Getah Banjaran sirna. Wajahnya nampak cerah. Ujarnya:
- 0, tahulah aku kini. Rupanya Purusara bertempur mati- matian melawan Yudapati. kemudian gugur bersama. Memang Purusara seorang jantan sejati. Ia gugur demi menjunjung nama aliran Abong- Abong yang termashur semenjak ratusan tahun yang lalu. Bagus! - . ia berhenti sejenak untuk tertawa dengan hati lega.
Kemudian membentak Sekar Tanjung:
- Kau tadi berkata. bahwa Purusara jahanam dan jahat. Apakah orang Abong- Abong memang jahanam dan jahat?
Dibentak demikian. Sekar Tanjung kebingungan. Rupanya ia tadi berbicara dengan hatinya. Setelah ditegur demikian. barulah ia merasa bahwa ucapannya menyakiti hati golongannya. Keruan saja ia menjawab sekenanya:
- apakan paman jahanam atau tidak. aku tidak tahu. Tetapi yang kumaksudkan hanya dia seorang.
Berkata demikian. sekali lagi ia menuding mayat Purusara. Akan tetapi dengan menyembunyikan mukanya dari tatapan pandang Getah Banjaran. Menyaksikan pekerti muridnya. Aditi Paramita perlu melindungi dan membesarkan hatinya. katanya dengan ketus:
- Tanjung. jangan takut! Di sini ada gurumu. Berbicaralah apa yang kau rasakan benar. Ceritakan kejahatannya. Tak perlu kau tutup- tutupi! Waktu itu, agama Buddha lebih besar pengaruhnya daripada agama Hindu. Maka berkatalah Getah Banjaran kepada Sekar Tanjung:
- Engkau sudah rela hidup di dalam biara'. Tentunya seluruh hidupmu sudah kau persembahkan kepada kesucian Sang Maha Buddha. Beranikah engkau bersumpah, bahwa kata- katamu tidak berdusta? Sebab engkau membicarakan orang yang sudah mati. Orang mati tidak akan dapat mempertahankan diri atau membantah setiap patah katamu.
Sekar tanjung menatap wajah Getah Banjaran dengan pandang cemerlang. Terus saja ia duduk berlutut sambil merangkapkan kedua tangannya di tengah dadanya. lalu berkata:
- Aku Sekar Tanjung. Dengan ini aku bersumpah di hadapan Buddha yang maha suci. Terkutuklah kiranya, manakala aku berani berdusta meski sepatah katapun.
Mendengar sumpah Sekar Tanjung yang diucapkan dengan suara lembut dan menyakinkan, semua orang menaruh'simpati kepadanya. Bhiksu Dewayana, kemudian berkata:
- Aku ikut bersaksi, bahwa kata- kata Sekar Tanjung tidak berdusta. Mendengar ucapan Bhiksu Dewayana, Aditi Paramita menatap wajah Getah Banjaran. Ujarnya:
- Bhiksu Dewayana sendiri berani bersaksi. apakah engkau masih sangsi? - .
Getah Banjaran berwatak kasar dan mau menang sendiri. Namun mendengar suara Sekar Tanjung yang lembut tetapi berkesan agung,ia yakin. Dengan setulusnya ia menyahut:
- Pendeta suci Dewayana sudah berkenan menjadi saksi Masakan aku masih sangsi? Nah berbicaralah! Aku akan mendengarkan setiap patah katamu.
Sekar Tanjung kemudian berdiri dengan pelahan- pelahan. Kemudian ia melanjutkan kisah pengalamannya:
- Guru! Tiga hari yang lalu, tatkala kita melalui jalan ketinggian ditepi pantai. tiba- tiba hujan turun dengan derasnya. Ayunda Saraswati dan ayundajanari yang pimpin rombongan ikut pula kehujanan. Bahkan kedua kakiku kotor berlumpur. Ayunda Saraswati memutuskan melalui jalan hutan saja. Dengan berperisai mahkota daun, kami semua agak terhindar dari curah hujan. Tetapi kedua kakiku yang berlumpur lambat laun terasa gatal. Diam diam aku meninggalkan rombongan dan mencuci kaki di sebuah sungai yang teraling tebing agak tinggi. Sungai kecil, namun airnya jernih dan arusnya deras. Aku duduk berjuntai di atas sebuah batu untuk sejenak melepaskan lelah. Air yang bersuara bergemericik menarik perhatianku. Kuikuti arusnya yang menumbuk- numbuk batu dengan pandang mataku. Tiba- tiba muncullah sesosok bayangan di samping bayanganku di atas permukaan air. Aku terkejut dan segera berdiri. Tetapi pada saat itu tiba- tiba pinggangku terasa nyeri. Tenagaku tiba- tiba sirna dan aku bermaksud memekik sekuat- kuatnya. Namun suarakupun hilang pula. Dalam keadaan tak berdaya,
aku di angkat tinggi oleh seseorang. Setelah kuperhatikan wajahnya, hatiku agak lega. Sebab kesan wajahnya tidak bengis. Aku dibawanya menyeberang sungai dan diriku diletakkan dengan hati hati di dalam sebuah goa yang terlindung belukar.
Selang beberapa waktu lamanya, kudengar suara ayunda Saraswati dan ayunda Janari memanggil- manggil namaku. Tentu saja tak dapat aku menyahut. meskipun keinginanku untuk berbuat demikian sangat besar. Sebaliknya orang itu. tertawa pelahan melalui dadanya. Katanya:
- biarkan kedua kakakmu datang kemari pula. Kebetulan, malah. Entah apa maksudnya, aku tidak tahu. Tetapi. ayunda berdua hanya melintasi belukar yang menutupi goa. Sama sekali tidak menjenguk ke dalam.
- Apakah orang itulah yang bernama Palata? sela gurunya.
- Benar. Dialah Palata.
- Nah. selanjutnya sebutkan saja namanya. agar lebih jelas!
Sekar Tanjung mengangguk. Lalu meneruskan:
- Setelah langkah ayunda berdua tidak terdengar lagi, aku dibebaskan dari siksanya. Tenagaku dan suaraku pulih kembali. Aku berdiri menggeliat. Dalam suatu kesempatan, aku melesat hendak lari keluar goa. Sama sekali tak kuduga, bahwa gerakan Palata jauh lebih gesit dan tangkas dari padaku. Dengan sekali menjejakkan kakinya, aku sudah tertangkap kembali. Dengan mati- matian aku mengibaskan tanganku yang telah ditangkapnya. Aku berhasil dan segera mundur sambil menghunus pedangku. Tetapi pada saat itu, aku teringat ajaran guru. Di dalam hidup ini,orang harus mengutamakan cinta- kasih. Mengapa aku akan membunuhnya, sedangkan maksud Palata belum jelas bagiku? Maka terlebih dahulu perlu aku
memberinya peringatan kepadanya:
- Jangan ganggu aku! Pergilah! Kalau tidak. aku terpaksa melukaimu.
Palata tertawa pelahan melalui hidungnya. sahutnya:
- Hatimu sangat baik. sayang. Kau sayang padaku. bukan? Karena itu, engkau tidak sampai hati membunuhku.
- Kita belum saling mengenal. Karena itu. tiada gunanya kita bertengkar. Mengapa pula aku harus membunuhmu?
- 0, begitu?
Palata menyahut sambil tertawa melalui hidung lagi.
- Jika begitu. mari kita duduk beromong omong. sayang.
- Sayang. sayang. sayang. Mengapa kata- kata itu kau sebut berulang kali?
potong gurunya menggerembengi.
- Guru! Dia memang berkata begitu. Setiap kali. dia memanggilku sayang.
Tilam tersenyum di atas pohon. Dara itu benar- benar polos. Sama sekali mulus dari rasa prasangka. Tetapi orang sesuci dan semulus dia. biasanya akan dilindungi oleh kesuciannya sendiri. Dalam pada itu,terdengar lagi Sekar Tanjung melanjutkan kisahnya:
- Guru! Meskipun berulang kali ia memanggilku dengan sayang terus- menerus. aku menolak permintaannya untuk di ajak beromong- omong. Tetapi dia bahkan nekad. Tangannya repah- repeh. - Repah- repeh- bagaimana? kedua alis gurunya berdiri tegak.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Itu . . . tangannya memegang- megang ke mana- mana. Kadang- kadang menggerayang . . .
- Sudah! bentak gurunya.
Dan yang mendengar mengulum senyum. Terutama kaum pria. Tetapi mereka tidak berani memperlihatkan rasa senangnya di hadapan Bhiksuni Aditi Paramita yang garang itu.
- Lambat laun aku merasa geli juga .Maka terpaksalah aku mengancamnya. Awas, jika engkau tetap bandel menawanku di sini. Apakah engkau tidak tahu bahwa guruku selalu berada dekat di sekitar diriku? Guruku terkenal ilmu pedangnya dan galak. Bila mendengar bahwa engkau sampai berani menggerayangi tubuh muridnya seperti yang kau lakukan terhadapku ini. pasti kedua kakimu akan dikutungi. Nah. lepaskan diriku. Aku berjanji tidak akan mengadu.
Tetapi dia tidak takut. Sahutnya sambil tertawa cengar cengir:
- Haa . . . kalau engkau yang hendak mengutungi kedua kakiku. dengan rela hati akan kuserahkan diriku. Tetapi kalau gurumu .. . hm . tentunya sudah tua .Kulitnya tentunya tidak sehalus . .
- Hus! Tutup mulutmu! - bentak gurunya.
Kemudian ia menghela nafas. Memang muridnya yang seorang ini, hatinya masih suci bersih. Sifatnya masih kekanak kanakan. Masih muda dalam pengalaman hidup. sehingga belum mengenai apa arti hubungan antara kaum laki- laki dan kaum wanita. Dengan sendirinya belum memahami perbuatan dan kata- kata cabul,sehingga menirukan saja apa yang diucapkan Palata di hadapan khalayak ramai. Tetapi sebaliknya. kaum pria tentu saja yang senang. Diam diam mereka tertawa geli di dalam hati. Hanya saja mereka segan terhadap Aditi Paramita, Walaupun demikian. dengan sendirinya mereka meruntuhkan pandang kepada pemimpin agung itu untuk mengamati kulit tubuhnya. Untung selain berjubah. cahaya rembulan kurang memberikan penerangan bagi mereka. Mereka hanya dapat membayangkan betapa kira- kira kulit tubuh sang pendeta. Tentunya tidak semulus kulit si dara jelita Sekar Tanjung yang ayu molek.
- Tetapi dia memang berkata begitu.
Sekar Tanjung masih juga belum dapat menanggapi makna teguran gurunya.
- Adik! Saraswati ikut campur.
- Sudahlah. jangan kau tirukan ucapan orang gila itu! Kata- kata Palata tidak pantas untuk didengarkan oleh hadirin yang tinggi rasa susilanya. Kau mengerti? - Baiklah. sahut Sekar Tanjung dengan suara patuh.
Kemudian mengalihkan pembicaraan:
- Dan setelah berkata begitu. ia mematahkan pedangku.Barangkali dia takut, aku akan mengutungi kedua kakinya sungguh- sungguh.
- Dia mematahkan pedangmu? .
Aditi Paramita menegas.
- Ya. - sahut Sekar Tanjung .
- Setelah aku kehilangan pedang, ia makin banyak berbicara. Katanya. aku ini cantik jelita seperti sekuntum bunga. Katanya, tak pantas aku menjadi calon pendeta. Seorang pendeta itu. hidupnya kesepian tak ubah setan. Karena dia disingkiri orang yang akan memberinya sorga. Pendek kata, hidup seorang pendeta itu ibarat orang masuk neraka. Bukankah mengacau? Lalu, tak pantas pula kalau tidur mengenakan jubah. Maka aku disuruhnya tidur tak berjubah. Kalau sudah tak berjubah. nah barulah dia sudi tidur bersamaku. Nanti aku akan mengenal sorga. Lalu . . .
- Tutup mulutmu! - bentak Aditi Paramita dengan wajah merah padam.
- Kau kanak- kanak yang belum pandai memilih kata- kata yang . . .
- Dialah yang berbicara begitu. Bukannya aku.Aku berkata. tentang sorga itu . . . aku akan menjenguknya seorang diri. Tidak perlu bantuan siapapun. Bukankah hidup mati seorang diri saja?
- Diam!
Sekarang sebagian pengikut Getah Banjaran yang
terdiri dari kaum muda tak dapat lagi menahan rasa gelinya. Dumma dan Daksa si penggotong mayat tadi tertawa di dalam mulutnya. Mati- matian mereka ingin menahan bunyi tertawanya. .Justru demikian mereka jadi terbatuk- batuk.
Aditi Paramita tak dapat lagi menguasai diri,ia memungut batu sekenanya dan di sambitkan.
Pluk. pluk!
Mulut mereka masing-masing tersumbat sebongkah tanah kering. Karena sambitan itu disertai tenaga sakti,mulut mereka sampai berdarah.
- Apa - apaan ini? - bentak Getah Banjaran membela kedua muridnya.
- Bukankah kau kenal watakku yang mau menang sendiri? sahut Aditi menyindir wataknya pula. '
- Hm. - dengus Getah Banjaran.
Pada saat itu ingin ia mencoba kepandaian pendeta wanita itu. Dan melihat sikapnya yang garang. entah apa sebabnya, tiba- tiba hati Aditi Paramita meringkas juga. Sebenarnya diapun segan pula terhadap Ilmu Kampak kaum Abong- Abong yang termashur semenjak jaman dahulu. Perlahan- lahan ia berpaling kembali kepada muridnya. Berkata:
Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan 14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini