Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 5

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 5


- Coba lanjutkan lagi ceritamu! Tetapi jangan tirukan kata- kata jahanam yang tidak bermutu itu!
- Beberapa kali aku berusaha meloloskan diri. Tetapi selalu saja dapat didahului jahanam itu. Gerakannya cepat luar biasa. Lambat- laun aku merasa lelah sendiri. sedang cahaya matahari mulai padam. Kemudian timbullah pikiranku hendak menikamnya setelah malam hari tiba. Bukankah di dalam gua akan jadi gelap pekat? Oleh pikiran itu, aku menyimpan sisa pedangku yang tadi dipatahkan. Malam yang kutunggu. akhirnya datang juga. Hati- hati aku menggenggam hulu pedang erat erat. Lalu kutusukkan. Tetapi Palata dapat bergerak secepat kilat. Entah
bagaimana caranya menangkis. tiba- tiba sisa pedangku patah sampai ke hulu. Yang kurasakan tangan kirinya menangkap mata pedang. Sedangkan tangan kanannya memencet hulu pedangku. Kudengar suara krak. Dan patahlah pedangku menjadi dua bagaian.
- Patah menjadi dua bagian, katamu? Aditi menegas. Bhiksuni itu terperanjat. karena pedang Sekar Tanjung termasuk pedang pusaka. Baru ia hendak minta keterangan lebih jelas lagi. terdengar Getah Banjaran menarik pedang salah' seorang muridnya dari sarungnya.
- Apakah begini caranya mematahkan pedang? tanyanya. Kemudian dengan ibu jari dan telunjuknya. ia mematahkan pedang itu dengan sekali pencet.
Krak!
Dan pedang itu patah menjadi dua bagian.
- Hai.. kiranya paman Getah Banjaran pandai pula mematahkan 'pedang dengan dua jari. seru Sekar Tanjung gembira.
- Hanya saja. pedangku patah dengan rata. Katakan seperti teriris lempang.
Mematahkan pedang menjadi dua bagian adalah mudah bagi seseorang yang sudah menguasai ilmu tenaga tinggi. Tetapi pedang yang dipatahkan Palata tinggal sebagian. Lalu dengan dua jari saja dapat mematahkan rata menjadi dua bagian. Kalau saja tidak memiliki ilmu sakti yang tinggi tidak mungkin dapat berbuat demikian. Hal itu disadari Getah Banjaran pula. Namun ia tak sudi mengalah di hadapan para pendekar. Ia mengembalikan sebagian pedang kepada pemiliknya. Dan sisa potongan yang masih berada dalam jepitan kedua jarinya. disambitkan ke tanah. Seketika itu juga sisa pedang itu menujam hilang didalam tanah.
- Bagus! Kalau begitu ilmu kepandaian paman berada di atas Palata. - ' ujar Sekar Tanjung kagum.
Tetapi mendadak wajahnya kembali guram. Sambil menghela
nafas. ia berkata:
- Sayang . . . waktu itu kenapa paman tidak berada di dekat goa. Sekiranya demikian. tidak bakal kakak Yudapati sampai terluka parah.
- Terluka parah? Kau tadi berkata, dia sudah mati.
Getah Banjaran setengah membentak.
Sekar Tanjung tidak segera menjawab. Bhiksu Dewayana kemudian menegas:
- Sebenarnya. dia sudah mati atau hanya menderita luka parah? - Dia hanya menderita luka parah. Dan pada saat itu. dia dibunuh Purusara. Hatinya jahat. benar. sehingga tidak malu menggunakan kesempatan terhadap seorang pendekar yang'sedang menderita luka parah.
- Huh. Getah Banjaran mendengus. Hatinya mendongkol, karena ketua muridnya disebut- sebut lagi sebagai orang jahat.
Tilam yang berada di atas pohon, jadi perasa. Katakata Sekar Tanjung diucapkannya dengan suara sayu. Hatinya tersentuh. Seumpama saja keadaannya memungkinkan. ingin ia menghampirinya dan menghibur hatinya. Sekarang ia hanya melihat data itu mengusap air matanya dengan ujung jubahnya.
- Palata memang keterlaluan. - akhirnya dara itu berkata lagi.
- Sekarang ia main paksa. Mula- mula lenganku ditariknya. Lalu aku dipeluknya. Sewaktu hidungnya nyaris menyentuh pipiku terpaksa aku menamparnya. Sama sekali ia tidak marah. Malahan tertawa senang. Ia mencoba memelukku erat- erat dan bermaksud hendak merebahkan diriku di atas tanah. Tiba- tiba terdengar suara orang mendehem. Palata terkejut. sehingga mengurungkan niatnya.
- Siapa? bentaknya.
Tetapi orang yang mendehem itu tidak menyahut. Palata menunggu sejenak. Barangkali ia merasa salah dengar. Maka segera ia hendak
merebankanku tetapi sekali lagi. terdengar suara dehem lagi. Bahkan kali ini lebih jelas.
- Siapa" bentak Palata
Orang yang mendehem tidak menjawab. Dan kembali lagi. Palata hendak merebahkan diriku. Tetapi lagi- lagi orang itu mendehem. Kali ini suaranya jelas sekali datang dari luar goa.
- Siapa?
Palata mendongkol.
- Pergi! Kalau sampai membuat hatiku marah. bisa kucabut jiwamu.
Beberapa saat lamanya, Palata menunggu. Dia menajamkan pendengarannya. Namun tiada terdengar sesuatu. Barangkali orang itu benar- benar meninggalkan goa. karena takut mendengar ancaman Palata. Hatiku mengeluh. Sebab pada saat itu. Palata tertawa pelahan. Tangannya mulai membuka jubahnya. Tiba- tiba terdengar suara tertawa geli di luar gua. Aku berharap. mudah mudahan orang itu berkenan menolong diriku. Akan tetapi rupanya. dia takut menghadapi Palata. Atau merasa kepandaiannya berada di bawah kepandaian Palata.
- Apakah dia yang kau sebut Yudapati? - gurunya memotong
- Benar. Dialah yang kemudian kukenal dengan nama "Yudapati.
Sekar Tanjung membenarkan.
Mendengar keterangan Sekar Tanjung. tahulah Tilam bahwa kepandaian Mojang Yudapati berada di bawah kepandaian Palata. Getah Banjaran mentertawakannya.
- Tetapi walaupun merasa tidak bisa mengungguli kepandaian Palata dengan terang- terangan. masih saja dia berani menggoda. ujar Sekar Tanjung membelanya.
- Setelah merasa terganggu terus- menerus, habislah kesabaran Palata. Mula- mula ia membuatku tak berdaya. Kemudian melesat keluar goa Secepat kilat. Akan tetapi Yudapati rupanya pandai menebak keadaan hati Palata. Ia
mendahului bersembunyi. Karena itu. Palata menubruk tempat kosong. Ia kembali masuk goa dan menghampiri diriku. Baru saja ia hendak memegangku. kembali lagi Yudapati tertawa geli di luar goa. Palata mengutuknya. Dan menyaksikan kejengkelan Palata dan kelucuan Yudapati hampir saja aku tertawa geli.
Karena gemas. Palata keluar goa dengan merangkak rangkak untuk menghilangkan suara langkahnya. Bila Yudapati memperdengarkan suara sedikit saja. tentu akan disergapnya dengan mendadak. Tetapi Yudapati ternyata seorang pendekar cerdik. Sebaliknya hatiku berdebar debar. Bila penolongku sampai tertangkap. habis pulalah riwayat hidupku. Itulah sebabnya tatkala Palata hampir saja tiba di mulut goa segera aku berseru memperingatkan: "Awas! Dia mendekam di belakang pintu goa!"
Yudapati ternyata sudah menjauhi mulut goa sememjak tadi. Serunya membalas peringatanku:
- Terima kasih! Jangan takut! Dalam hal kecepatan berlari, aku menang jauh daripada dia. Aku biasa tukang melarikan diri
Orang- orang yang mendengarkan tutur- kata Sekar Tanjung di dalam hati merasa heran. Palata terkenal dalam hal lari cepat. Gerakannya selain gesit, tangkas dan cepat bagaikan bayangan.
Apakah ilmu lari Yudapati berada di atasnya?
Sebaliknya. Tilam tersenyum geli. Mereka tentunya tidak mengerti akan makna tukang melarikan diri. Sebab. Mojang Yudapati sudah belajar melarikan diri dari pengejaran Boma Printa Narayana semenjak dari penjara Lamuri.
Dalam pada itu. Sekar Tanjung sudah mulai melanjutkan ceritanya lagi. Katanya:
- Rupanya Palata geram padaku oleh sikapku mengisiki lawannya. Namun, ia tidak marah padaku. Kecuali hanya mencubit pipiku. Aku memekik oleh rasa sakit
dan kaget. Pada detik itu Palata melesat keluar goa bagaikan bayangan.
- Hayo kita mengadu ilmu berlari! tantangnya.
Ternyata Yudapati lebih cerdik daripadanya. Tatkala Palata melesat keluar goa Yudapati justru bersembunyi di belakang pintu goa. Segera ia menyelinap menghampiri diriku dan berbisik:
- Jangan cemas! Aku akan menolongmu. Kau diikatnya?
- Tidak. sahutku
- Ia menusukkan jari telunjuknya ke tubuhku. Tiba- tiba aku tak dapat bergerak lagi.
- Oh . . . di bagian mana?
- DI punggung dan sedikit di atas dadaku. Dia menusukkan jari telunjuknya seperti yang dilakukan Palata terhadapku atas' petunjukku. Ternyata tenaga saktinya tidak mempan melawan tenaga jari Palata.
- Barangkali kunci tusukannya berada di atas pahaku. Jahanam tadi menusukkan jarinya di pahaku. aku membisiki
- st. jangan berbicara! - sahutnya.
Ia tidak segera menusukkan jari telunjuknya ke tempat yang kumaksudkan seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Tiba tiba pada saat itu, kudengar suara langkah Palata mendekati mulut goa.
- Cepat, lari! Kalau sampai ketahuan. kau pasti dibunuhnya. - aku membisiki.
- Biaramu dan biaraku adalah seumpama dua setangkai bunga. Bagaimana aku dapat meninggalkanmu dalam keadaan bahaya. jawabnya dengan tenang dan pasti.
- Kalau begitu dia seorang pemeluk agama Buddha Tantrayana. seru Aditi Paramita,
Tentu saja, Sekar Tanjung tak dapat menjawab pertanyaan gurunya. Setelah menunggu perkenan gurunya, ia melanjutkan
- Palata benar benar memasuki goa untuk menjenguk diriku. Melihat diriku masih rebah tak berkutik berada
di tempat semula. ia kembali keluar Lagi mencoba mengejar Yudapati. Dengan hati hati Yudapati merangkak mendekatiku dan berbisik
- Maaf, kau akan kubawa lari. belum sempat aku menjawab, aku digendongnya ke luar goa. Beberapa waktu lamanya ia berlari- lari menyeberang rerumputan liar. kemudian aku dibawanya bersembunyi di dalam ilalang yang lebat. Waktu itu. awan hitam masih saja mengganggu di udara semenjak siang. Kebetulan, malah. Cahaya bulan sipit. tertutup awan sehingga suasana huma itu gelap pekat. Walaupun demikian, baru saja aku diletakkannya hatihati di atas tanah. Palata sudah menyusul. Tentunya, ia memasuki goa untuk memeriksa diriku. Begitu aku tiada lagi berada di dalam gua ia memaki- maki kalang kabut. lalu dengan menggunakan pedang pendek. ia membabati rerumputan sekitar. Untung, kegelapan malam itu,menolong kami berdua.
Jahanam itu ternyata seorang yang sabar. telaten dan teliti. Rumput yang dibabatnya dimulai dari depan mulut goa sampai sekitar dua ratus sekeliling. Dia masih yakin bahwa aku masih berada di sekitar goa. Sekarang langkahnya sudah mendekati kami Yudapati menekan kepalaku agar menunduk lebih dalam. Pada saat itu pedang Palata lewat di atas kepalaku. Kalau saja Yudapati tidak menekan kepalaku,tentu aku sudah terluka terpapas pedang.
Karena Palata merasa gagal mencari tempatku disembunyikan, kembali lagi ia memaki- maki kalang kabut. Tiba- tiba suatu cairan menetesi rambutku dan terus mengalir sampai ke leherku. Cairan apakah ini. pikirku menebak- nebak. Aku menajamkan penciumanku. Aku menyerap bau anyir dalam pernapasanku Aku terkejut. Tanpa kusadari. aku bertanya pada Yudapati:
- Kau terluka? Cepat- cepat ia membungkam mulutku.
- Sst! Aku tak kurang suatu apa. sahutnya dengan berbisik.
KUdengar langkah Palata makin jauh. Hatiku agak lega. Akan tetapi darah yang menetesi kepalaku membanjiri kedua belah pipiku. Tanyaku cemas:
- Engkau pasti terluka parah. Aku membawa obat luka di dalam sakuku. Obati dahulu. agar . . .
- Sst! Jangan berbicara! sahutnya sambil mendekap mulutku lagi.
Benar saja. Palata seakan- akan memiliki telinga dewa. Rupanya ia menangkap bunyi suaraku. Terus saja ia lari balik kembali sambil tertawa terbahak- bahak: '
- Hohahaha . . . hayo bersembunyi di mana? Kau kira aku tak tahu? "
Aku menggigil ketakutan. Pikirku, daripada aku tertangkap basah, lebih baik aku menyerahkan diri untuk memohonkan ampun Yudapati. Tetapi baru saja aku bergerak. Yudapati menekan tubuhku serata tanah.
- Aku bersyukur, pendekar itu cerdik melebihi dirimu. Kau hampir tertipu. Sebenarnya jahanam itu hanya main gertak. potong gurunya.
- Benar! Hai, bagaimana guru dapat mengetahui hal itu?
Sekar Tanjung heran.
- Dugaan guru, tepat sekali. Sedikitpun tidak salah.
- Ah! Tingkah- laku jahanam itu mudah saja di tebak. - sahut gurunya.
- Jika dia benar- benar mengetahui tempatmu bersembunyi, apa perlu berteriak- teriak menggertakmu? Bukankah lebih mudah mencekukmu atau menabaskan pedangnya. sehingga penolongmu itu mati tak sempat memekik? - Rupanya Yudapati sudah dapat menebak kekejiannya dengan tepat. Sambil menekan diriku agar tengkurap serata tanah. diapun membungkam mulutku. Palata terus berkaok- kaok tak keruan juntrungnya. Kadang mengancam, kadang pula memaki- maki. Setelah sekian lamanya tidak menemukan sesuatu yang dapat membangkitkan rasa curiganya. ia memaki- maki lagi dengan kalap. Kembali lagi ia memotong rumput atau membabat ilalang. lambat- laun ia makin menjauh. Setelah suaranya tidak terdengar lagi. Yudapati berbisik kepadaku:
- Adik! Bila darahmu sudah berjalan kembali. engkau akan dapat bergerak. Tetapi karena pijatan Palata terlalu keras. mungkin sekali engkau akan tersentak nyeri kesakitan. sewaktu darah mulai berjalan lancar kembali. Hanya saja. jahanam itu pasti akan balik kembali kemari. Lambat- laun dia akan menemukan di mana kita berada. Karena itu terpaksalah aku mengadu untung. Beranikah adik menanggung akibatnya? '
- Katakanlah! - Sebab engkau akan kubawa masuk ke dalam goa kembali. .Mendengar Sekar Tanjung menirukan bunyi keputusan Yudapati. Bhiksuni Dewayana dan Getah Banjaran memuji dengan berbareng: - Bagus! Benar- benar dia tabah. berani dan cerdik. Apakah dia seorang perajurit? Sebab siasat demikian hanya dimiliki oleh seorang perajurit yang berpengalaman.
Sekar Tanjung bergeleng kepala. Sahutnya:
- Tentang hal itu tak pernah ia menerangkan. Tetapi hatiku kecut. tatkala mendengar keputusannya hendak membawa diriku kembali ke dalam goa. Tetapi pada saat itu. rasa percayaku kepadanya sudah tak kuragukan lagi. Aku yakin. bahwa apa yang diputuskannya tentu mengandung akal muslihat yang bagus demi keselamatanku. Maka mengangguk menyetujui.Segera ia menggendongku kembali masuk ke dalam goa. Setelah aku diletakkan dengan hati- hati di atas tanah. aku berkata'
- Di dalam kantung jubahku terdapat dua botol obat luka. Ambillah dan poleskan ke lukamu .Darah akan segera berhenti mengalir.
Ia tidak segera menjawab. Ia diam sejenak menimbang nimbang. Lalu berkata.
- Biarlah aku menunggu sampai engkau dapat bergerak kembali.
Setelah berkata demikian, ia merobek ujung bajunya dan dipergunakan sebagai pembebat lukanya. Ternyata ia terluka di bagian pundaknya,namun sama sekali ia tak berteriak kesakitan atau mengerang atau mengeluh. Menyaksikan pengorbanannya ingin aku membalas budi untuk merawat lukanya. Pikirku, mengapa ia tidak sudi mengambil obat di dalam kantung jubahku?
- Karena dia seorang satria sejati. sela gurunya.
Dia tahu bahwa engkau seagama dengan dirinya. Dengan sendiri dia faham tata- atur dan tata- tertib perguruan. Adalah tabu bila seorang laki- laki sampai menggerayangi kantung jubah seorang rahib.
- Ya, dia memang seorang satria sejati. Selama hidupnya belum pernah berkenalan denganku. Apalagi berkenalan. sedang bertemupun belum pernah. Walaupun demikian, ia bersedia berkorban jiwa demi keselamatanku.'. - Barangkali dia pernah melihatmu. teriak Getah Banjaran.
Di balik ucapannya,semua tahu akan maksudnya. Ia menuduh Yudapati berani berkorban jiwa. karena tergiur kecantikannya.
- Tidak bantah Sekar Tanjung dengan tegas
- Dia seorang pendekar perantau Kepada Palata ia menerangkan, bahwa dia datang dari Jawadwipa. - Jawadwipa? - mereka semua mengulang dengan berbareng.
- Dia datang ke negeri ini dengan maksud untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. ...
Karena Sekar Tanjung menyebut Jawadwipa,mereka semua percaya. bahwa Yudapati belum pernah melihat Sekar Tanjung.
Jika begitu. lalu apa alasannya sampai rela berkorban jiwa?
Rara Tilampun ikut berpikir. Meskipun baru bergaul kurang dari duapuluh hari. namun ia mengenalnya sebagai seorang perajurit sejati. Dia cermat, berani dan hati- hati. Tetapi kalau tiba- tiba menjadi seorang pendekar. sungguh mengherankan.
Siapakah yang merubah sikap dan pandangan hidupnya begitu cepat?
Tiba- tiba ia mendengar suara Aditi Paramita seperti memberi jawaban kepadanya: '
- Dasar alasan pengorbanannya adalah panggilan agama. Itulah pendapatku. Orang demikian berarti Maha Buddha sudah berada di dalam jiwanya. - - Benar.
Bhiksu Dewayana menguatkan.
- Bila Buddha sudah bersemayam di dalam jiwanya. tidak usah lagi dia terikat oleh biara macam apapun. Hanya sayang . . dia tewas dalam usia muda, kukira.
- Tewaspun ada makna hidupnya. ujar Aditi Paramita.
- Tiap orang bukankah sewaktu- waktu akan mati pula? Tetapi mati dan mati ada bedanya. Matinya seorang jahanam yang tidak mengindahkan cinta kasih.
Tak terasa Rara Tilam memanggut- manggut kecil. Kata- kata Aditi Paramita itu meresap dalam lubuk hatinya. Tadi ia merasa sedih mendengar berita tewasnya Mojang Yudapati. Tetapi ucapan Bhiksuni suci itu menghibur'hatinya
- Setelah selesai membalut lukanya, dia menolong
melancarkan aliran darahku dengan mengurut- urut kaki dan lengan.
Sekar Tanjung berkata lagi.
- Belum lagi aliran darahku pulih kembali, terdengarlah suara gemeresak di luar goa. Pastilah si jahanam itu datang kembali, setelah berputar- putar tiada hasilnya. Duduklah dia terpekur di mulut goa. Entah apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Mungkin hatinya mendongkol, masgul, mengutuk. uring- uringan dan kesal. Mungkin pula sedang mengatur jebakan untuk dapat menangkap kita kembali. Sedang demikian, sekoyong- koyong aliran darahku dapat menjebol sesuatu yang menyumbat kelancarannya. Aku terkejut, nyeri dan sakit. Tak kukehendaki sendiri, aku mengeluh. Hanya sekali saja, namun sudah membawa akibat runyam.
Palata yang tajam pendengarannya segera dapat menangkap bunyi keluhanku. Dengan serta merta ia berdiri sambil tertawa penuh kemenangan. Serunya di antara gelak tertawanya:
- Ho hooo . - . jadi engkau masih berada di sini, manisku.
Aku mengerling kepada Yudapati. Tetapi pendekar itu tidak bergerak sama sekali. Jelas, dia tidak mampu untuk menolong diriku dengan mengadu ilmu kepandaian melawan Palata. Tetapi tiba- tiba terdengar suara srett, sewaktu Palata hendak memelukku. Ternyata Yudapati menikam Palata dengan mendadak. Tikamannya yang datang dengan tiba- tiba berhasil melukai Palata. Tetapi hanya tergores sedikit saja. karena- jahanam itu masih dapat melompat mundur dengan suatu kecepatan yang tak terlukiskan.
Dengan sekali tarik, Palata sudah menggenggam pedang pendek mirip sebatang golok yang disisipkan di pinggangnya. Ia menerjang dan di dalam kegelapan itu, aku mendengar suatu pertempuran sengit. Berulang kali senjata mereka beradu sehingga menerbitkan suara berisik. Namun suara berisiknya benturan senjata itu, tidak melebihi gemuruh suara jantungku karena mencemaskan Yudapati. - Berapa babak pahlawanmu itu bertempur melawan Palata? sela Getah Benjaran.
- Dalam kegelapan betapa mungkin aku menghitung berapa babak yang sudah terjadi. Bahkan berapa lamanya mereka bertempur tidak sempat aku rasukkan dalam perhatianku. Sebab seluruh hatiku mencemaskan keadaan Yudapati. sahut Sekar Tanjung.
- Bila dia tewas dalam pertempuran itu. bukankah habis pula riwayat hidupku?
Getah Banjaran memanggut dalam hati. Ia mau mengerti keadaan Sekar Tanjung pada saat itu. Sebaliknya Aditi Paramita tidak senang melihat cerita muridnya selalu terganggu. Desaknya:
- Teruskan!
Didalam hati masing- masing orang sependapat dengan Bhiksuni itu. Mereka ikut tegang dan berdebar- debar pula. Sayang kalau terhenti lagi karena harus melayani pertanyaan Getah Banjaran. Syukurlah. pada waktu itu terdengar Sekar Tanjung melanjutkan ceritanya:
- Tiba tiba Palata kudengar berseru heran.
- Hai! Ilmu pedang dari mana ini? Seperti ilmu pedang aliran Paramita. setengah ilmu pedang Syiwapala. setengah Tantrayana. Hebat- hebat! Sesungguhnya. siapakah namamu?
- Janganlah memuji ilmu pedangku! Karena aku baru belajar dua tahun lamanya. Kalau engkau ingin mengetahui siapa namaku. bunuhlah aku dahulu! Pada gagang pedang akan kau baca bunyi namaku.
- 0, begitu? Baik, aku akan membunuhmu.
Palata tertawa gelak,
Mereka bergebrak beberapa jurus.
- Kudengar kemudian, Yudapati memekik kesakitan. Namun pertempuran tidak terhenti. Beberapa saat lagi, kudengar pekiknya yang kedua. Akhirnya yang ketika dan keempat kalinya.
Palata tertawa terbahak- bahak. Katanya dengan suara tinggi:
- Sahabat, dengarkan! Sengaja kusebut tiga nama aliran ilmu pedang. Tahukah engkau maksudku? Andaikata pada saat ini Dewayana atau Aditi berada di sampingmu merekapun dapat kukalahkan dengan mudah. Apalagi menghadapi ilmu pedangmu yang campur aduk. Sekarang bukan Getah Banjaran yang mengganggu. Tetapi gurunya bahkan Dewayana pula. Seperti saling berjanji, mereka berseru hampir berbareng:
- Jahanam itu terlalu besar mulutnya. Apakah dia benar- benar berkata begitu?
- Benar.
Sekar Tanjung menyahut dengan suara tetap lembut.
- Tetapi Yudapati tidak mengacuhkan. Meskipun terluka, masih saja ia melawan dengan gagah. Sebaliknya, pada saat itu aliran darahku sudah lancar kembali. Aku mulai dapat bergerak. Walaupun masih sempoyongan, namun dapatlah aku berdiri dengan tegak. Kemudian aku mencoba mencari kutungan pedangku. Rupanya, Yudapati mendengar suara langkahku. Dia tertawa senang sambil berseru:
- Bagus! Engkau sudah dapat berjalan. Lari, larilah secepat- cepatnya!
- Tidak. Aku tidak akan lari. Biar kucarinya dahulu.- sahutku.
- Kau mencari apa?
- Kutungan pedangku. Lalu kita kerubut dia. - Jangan perhatikan daku! Meskipun engkau ikut mengeroyoknya, jahanam ini berkepandaian sangat tinggi. pendek kata. tak ada gunanya. Lari! suaranya terdengar mencemaskan diriku.
- Aku tidak akan meninggalkan engkau dalam bahaya. - Jangan perhatikan diriku. Aku tidak akan mati. Sebaliknya, kalau engkau tetap berada di sini, aku akan segera mati terbunuh. - Mengapa? aku heran.
- Karena aku tak dapat memainkan ilmu Tantrayana yang tinggi. Aku berpikir sejenak. Dalam pada itu pertempuran mereka terdengar makin sengit. Yudapati terluka lagi. Ia berseru menyesaliku:
- Kau belum juga lari? Lihat, aku terluka lagi.
- Aku tidak akan meninggalkanmu. Sebab engkau seagama denganku. lagipula andaikata mau lari, jahanam itu pasti akan dapat menangkapku kembali.
- Aku yang merintangi. Cepat. lari!
- Aku benar- benar tak dapat mengambil keputusan cepat. Aku perlu memperoleh keyakinan. Sebaliknya sewaktu Yudapati melihat aku masih saja tidak beralih tempat, ia mulai marah. Teriaknya:
- Ah, anak bodoh! Seorang pendetapun akan celaka hidupnya, bila bodoh seperti engkau.
Mendengar ucapannya, Palata tertawa tergelak- gelak. Katanya:
- bukan bodoh. Tetapi karena dia sayang padaku. Bukankah begitu, manisku?
- Benci aku mendengar jahanam itu selalu memanggilku dengan manisku. Aku kemudian menegas kepada Yudapati:
- Apa sebab engkau tak dapat memainkan ilmu Tantrayana yang tinggi apabila aku berada disini? - Karena Tantrayana benci kepada bhiksuni- bhiksuni
yang goblok! - sahutnya marah.
- Tantrayana selamanya benci kepada perempuan karena perempuan penjelmaan setan. ..
- Ngacau! bentak Aditi Paramita.
- Guru, maksudnya supaya aku benci padanya, atau paling tidak timbul rasa marahku sehingga aku akan meninggalkannya. Tetapi masakan aku serendah itu? Dia berani berkorban demi keselamatanku, mengapa aku tidak? Lagipula. betapapun juga dia senafas denganku.
- Senafas bagaimana? - gurunya menegas.
- Entah dari aliran apa, tetapi bersumber pada satu agama. Ialah, agama kita Buddha. Bukankah kita senafas dan sefaham dengan dia? - Bagus! Teruskan! Aditi Paramita puas.
Pada waktu itu. kudengar Palata menanyakan namanya lagi. Namun seperti jawabannya tadi, dia berkata:
- Bunuhlah aku dahulu! Dan mendengar pertanyaan Palata aku merasa diilhami. Bukankah akupun belum mengenal namanya? Maka bertanyalah aku:
- Kau menyuruhku lari cepat cepat. Kemana?
- Lari ke Gunung Si bahubahu! Pasti gurumu benda di sana pula. Dan jahanam ini tentu tidak berani mengejarmu sampai ke sana.
- Baiklah. Tetapi siapakah namamu?
- Untuk apa menanyakan namaku?
- Agar dapat kulaporkan kepada guru.
- Tak usah. Toh aku akan mati.
Mendengar serentetan tanya- jawab itu, Palata tertawa gelak. Serunya:
- Hebat! Hebat! Aku benar- benar kagum. Jadi kalian belum saling mengenal? Yang laki- laki seorang satria sejati. Yang perempuan hm . . . mempunyai kesetiaan yang jarang terdapat di dunia. Sahabat, benarkah engkau bersedia mengorbankan jiwamu demi membela anak manis ini? Melihat gerakan pedangnya tadi. pastilah dia murid Aditi. Kau tahu Aditi? Dia seorang bhiksuni yang gemar makan daging anjing.
- Ngacau! - bentak Aditi Paramita.
Memang jahat benar jahanam itu. Tetapi Yudapati tidak membela nama guru. Dia bahkan berkata:
- itulah sebabnya. tak dapat aku memainkan ilmu pedang Tantrayana yang tinggi di hadapan bhiksuni- bhiksuni yang gemar makan anjing. - Tutup mulutmu! Wajah Aditi Paramita merah padam.
- Guru. sesungguhnya Yudapati tidak memaki kita dengan hatinya. Aku tahu dia hanya menghendaki agar aku meninggalkannya.
Sekar Tanjung membela. ;
- Buktinya, tatkala Palata menghampiriku dengan maksud hendak membuatku kembali lumpuh. dia mencecarkan pedangnya. Akupun mempertahankan diri sebisa- bisaku. Kutungan pedang kuputar sejadi- jadinya. Mau tak mau, jahanam itu mundur dengan sendirinya. Dia memaki kalang- kabut dan membalas menerjang Yudapati. Akibatnya, Yudapati terluka lagi.
- Tuuu . . . kalau pendeta kecil ini masih saja di sini. Tantrayana akan selalu gagal. Memang anak murid Tantrayana akan selalu bernasib sial, bila bertemu dengan bhiksuni sealirannya. Benarkah itu, guru?
Aditi Paramita menghela nafas. Muridnya seorang ini, berhati polos benar dan masih terlalu hijau di dalam penghidupan. Sahutnya setengah menggerembengi:
- Sebenarnya orang itu baik atau tidak? - Baik. tentu saja baik.
- Tetapi mengapa dia tidak membela nama pamanmu Dewayana dan gurumu sewaktu jahanam itu merendahkan ilmu pedang kita? - Dia tidak mengenal siapa nama paman dan nama guru. Bahkan namakupun tidak dikenalnya. Juga tidak mau menanyakan. Bahkan terhadap lawannya, tidak juga menanyakan namanya. Rupanya dia eklas mati dengan begitu saja. Tanpa dendam tanpa hitungan. - Baiklah. teruskan!
Aditi memutuskan.
Rara Tilam yang semenjak tadi terpaku di atas pohon, kian tertarik mendengar sepak terjang Mojang Yudapati. Sekar Tanjung menyebut pekertinya dengan istilah tanpa dendam tanpa hitungan. Tentunya yang dimaksudkan, tiada hutang- pihutang kepada lawannya untuk dilaporkan atau diadukan kepada siapapun. Kata- kata sependek itu, membuka hatinya. Maklumlah ia mengenal Mojang Yudapati sebagai seorang perwira yang tidak banyak cakap. Wajahnya selalu nampak sungguh- sungguh. Tetapi menilik dongeng Sekar Tanjung, ia pandai memutar lidah.
Apa yang menyebabkan perangainya tiba- tiba berubah menjadi manusia baru?
Selagi Rara Tilam berteka- teki dengan dirinya sendiri. Sekar Tanjung mulai berkata lagi:
- Selagi mereka bertempur dengan serunya. aku sibuk berpikir sendiri. Dia berkata bila aku masih berada di dalam goa, ilmu Tantrayana yang dibangga- banggakan akan macet. Entah ilmu Tantrayana yang mana, dia tidak menjelaskan. Mungkin Tantrayana Agama Hindu. mungkin Tantrayana Agama Buddha. Atau mungkin pula ilmu Tantra yang sesat. Bukankah begitu, guru? ia minta pendapat gurunya.
Setelah Aditi Paramita mengangguk, ia melanjutkan:
- Tetapi yang jelas. beradaku disamping dia, memang tidak dapat membantunya. Sebab kepandaianku pasti tidak dapat mengimbangi ilmu pedangnya. Malahan, bila Palata selalu menyerang diriku, dia justru terpecah perhatiannya. karena harus menolongku. Setidak- tidaknya, menilik pekertinya, dia tentu berusaha melindungi diriku. Oleh pertimbangan itu. aku memutuskan:
- Baiklah. aku akan pergi. Kapan kita bisa bertemu lagi? Aku wajib menghaturkan terima kasih kepa . . .
- Pendeta sialan, mengapa masih saja bercokol di situ? Untuk selamanya, aku tidak akan sudi bertemu denganmu. Kecuali kalau engkau gemar makan daging anjing . . .
- Keparat! maki Aditi Paramita.
- Mengapa tidak kau tikam saja mulutnya? Pastilah dia termasuk kaum Tantra. Bukan Tantrayana sebenarnya.
- Khawatir kalau dia terus mengutuk diriku. terpaksalah aku meninggalkannya. Sekar Tanjung tidak menanggapi kata- kata gurunya. .
- Begitu aku berada di luar goa, kudengar pertarungan mereka makin gentar. Suara benturan senjata tiada hentinya. Kupikir, kalau Palata yang menang, jahanam itu pasti mengejarku. Karena itu, cepat- cepat aku melarikan diri. Yang kulakukan mula- mula adalah tempat sewaktu aku meninggalkan rombongan. Syukur, di tempat itu kutemukan tanda- tanda sandi perguruan kita. Tentunya para ayunda yang berbuat begitu demi memudahkan cara diriku menyusul perjalanan guru. sampai disini,
Sekar Tanjung menghela nafas. Ia menundukkan kepalanya. Andaikata berada di bawah cahaya matahari, tentunya wajahnya nampak murung.
- Dengan begitu engkau tidak menyaksikan kehebatan Ilmu Tantrayana yang dibanggakan. ujar Bhiksuni Dewayana.
- Kukira, dia tewas.
- Mengapa engkau yakin?
- Bukankah dia tadi berkata, bahwa dirinya pasti
akan mengalami nasib sial bila bertemu dengan seorang bhiksuni. Apakah aku memang membuat orang sial?
Bhiksu Dewayana tertawa geli. Sahutnya dengan meninggikan suaranya:
- Jika demikian, kita semua yang berada di sini akan mengalami nasib sial karena melihat dirimu.
Semua orang yang mendengar ucapan Bhiksu Dewayana tertawa bergegaran. Tetapi Sekar Tanjung nampak prihatin. Keruan saja gurunya menyesali kebodohannya. Katanya menguatkan Bhiksu Dewayana:
- Apa yang dikatakan orang itu omong kosong belaka. Engkau tidak usah resah. - Tetapi kenyataannya, dia selalu menderita luka setiap kali berusaha menghalau serangan Palata. - Karena kepandaiannya kalah jauh dibandingkan dengan Palata. - ujar Aditi dengan sungguh- sungguh.
Tilam membenarkan ucapan Aditi. Dia menyaksikan sendiri, bahwa ilmu pedang Mojang Yudapati masih berada jauh di bawah kakak- seperguruannya. Bahkan, dia merasa menang dua tingkat pula dengan kepandaian Mojang Yudapati. Tetapi Sekar Tanjung sudah terlanjur menganggap Mojang Yudapati sebagai pahlawannya yang tinggi ilmu kepandaiannya. Meskipun terhadap pernyataan gurunya dan Bhiksu Dewayana tidak membantah atau menyangkalnya, namun dia merasa tidak rela bila menganggap enteng ilmu kepandaian Yudapati. Tak terasa ia menghela nafas.
- Engkau yakin, bahwa Yudapati tentu tewas. Apakah Palata dapat mengejarmu? gurunya menegas.
Sekar Taniung mengangguk. Katanya:
- Beberapa jam lamanya aku berputar- putar mengikuti petunjuk sandi perguruan kita. Makin lama makin aneh. Sebab tidak lagi mengarah ke Barat Daya. sebaliknya ke Selatan. Mengapa? Pada saat itu aku berpikir. pasti ada suatu alasan yang penting. Maka langkahku makin kupercepat. Pada fajar hari aku melihat sebuah kota berada di depan mataku. Hatiku gembira dan bersyukur. Di sebuah pancuran air. aku membersihkan diri sambil menunggu ramainya lalu- lintas. Setelah itu. kumasuki kota itu. Belum lagi aku sempat bertanya kepada penduduk. tiba- tiba Palata sudah berada di sampingku, dia tidak berani main paksa kepadaku.Barangkali mengingat lalu lalang penduduk kota. Namun ia tertawa perlahan sambil mengancam:
- Awas. jangan memekik atau mencoba menarik perhatian orang. Sekali engkau main tingkah, aku akan menelanjangimu di depan umum. Ingat! Palata bisa membuktikan ucapannya.Kedua kakiku bergemetaran dan seluruh tubuhku lemah lunglai tak berdaya sedikitpun. Aku percaya. jahanam itu tidak hanya mengancam dengan kata- kata kosong. Dia pasti berbuat demikian. Maka aku harus pandai pandai membawa diri. Palata kemudian membawaku ke pinggir kota. Di sana terdapat sebuah rumah makan bertangga. lantainya,terbuat dari papan yang kokoh. Beberapa orang sudah mengisi kursi- kursi yang disediakan. Palata berkata kepadaku, bahwa rumah makan itu menjual minuman keras dan daging.
- Kaupun nanti harus makan daging dan minum minuman keras pula. - '
Aku menggelengkan kepala.
- Harus! - bentaknya perlahan.
- Aku kenal gurumu semenjak jaman mudanya. Diapun gemar makan daging anjing dan minum- minuman keras. Pernah dia mabuk kepayang. sehingga aku
- Tutup mulutmu! - bentak Aditi Paramita.
- Jananam itu benar- benar jahat! - Akupun tidak percaya kata- katanya tetapi waktu itu aku merasa tidak berdaya. Pikirku. biarlah dia memesan daging kegemarannya dan minuman keras.
Asalkan aku tidak menyentuhnya. bukankah tidak melanggar larangan agama?
Selagi dia memesan daging dan minuman keras, kedua matanya tak pernah terlepas mengamat amati diriku. Kadang- kadang dia tertawa pelahan seperti orang linglung. Tiba- tiba masuklah seorang pemuda dengan membawa pedang dipinggangnya. Wajahnya kuyu dan agak pucat. Berberewok halus bermata tajam. Pakaian yang dikenakan berlepotan darah. Aku terperanjat setelah melihat pundaknya. Kain pembebat yang hampir berwarna merah adalah ujung bajunya yang dirobeknya sendiri. Kulihat baju yang dikenakannya robek pula ujung bajunya. Kalau begitu, dialah penolongku semalam, pikirku .Tiba- tiba saja, aku merasa bersyukur. Karena dia ternyata masih hidup. Tidak tewas seperti dugaanku.
Rupanya Palata memperhatikannya pula. Beberapa saat kemudian ia mengangguk. Pemuda itupun mengangguk. Dia tersenyum. Pemuda itupun membalas senyum. Lantas saja Palata tertawa terbahak- bahak. Dan pemuda itupun tertawa terbahak- bahak pula. . - Bagus. bagus, bagus! Kalau kita tidak bertempur. kita tidak akan saling mengenal. seru Palata.
- Benar. sahut pemuda itu singkat.
- Ilmu pedangmu jempolan!
Palata memuji sambil mengangkat ibu jarinya. Pemuda itupun mengangkat ibu jarinya sambil memuji ilmu kepandaian Palata.
Menyaksikan semuanya itu. aku jadi terheran- heran. Semalam mereka bertempur seru untuk saling membunuh. Kini mereka berbicara seperti cara seorang sahabat lama bertemu di sebuah rumah makan.
- Sahabat! Sekarang tahulah aku siapakah engkau. Engkaulah dahulu yang muncul di atas panggung Tandun Raja Koneng.
- Akupun kenal dirimu. sahut pemuda itu.
- Bukankah engkau bernama Palata?
- Hai!

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Palata terperanjat sampai hampir terlompat dari tempat duduknya.
- Bagaimana engkau mengenal diriku? Dari siapa? ia berhenti sebentar untuk berpikir. lalu tertawa terbahak- bahak.
Sambil mengemplang kepalanya sendiri dia berkata:
- Hai kenapa aku jadi pikun? Bukankah semua orang perlu tahu namaku? Aku ini memang orang yang gemar melihat kecantikan perempuan demi mengabdi. rasa kagumku Kepada penciptanya. Itulah sebabnya, aku selalu berhasil dan dilindungi. Lihat saja seperti bhiksuni dara ini. Sang Pencipta lebih mendengarkan suara hatiku daripada dia. Sebab tentunya dia sudah berdoa panjang pendek mendambakan aku membebaskannya. Tak mungkin! Perempuan yang cantik, melebihi harga jiwaku sendiri. Pendek kata, aku ini hidup untuk perempuan cantik. Demi dara jelita ini. aku bersedia mati.
- Untung bukan aku. - Untung bagaimana?
- Aku manusia yang gemar makan daging. Daging kambing. lembu, kerbau, babi, anjingpun jadi. Pendek kata daging apapun aku senang, kecuali perempuan.
- Apa sebab?
- Jangan lagi bersentuhan. memandang perempuan saja. aku akan sial.
- Eh. masakan ada manusia begitu?
Palata terbelalak heran.
- Ada. Buktinya, aku. Karena melihat perempuan, aku jadi terluka. Padahal mestinya aku yang melukaimu.
Palata tertawa riuh. Serunya:
- Sahabat! Aku kagum padamu. Bukan kagum kepada ilmu kepandaianmu. tetapi jiwa satriamu. Untuk membebaskan dara ini dari tanganku, engkau bersedia mengorbankan jiwa. Benar- benar aku kagum! Sebenarnya siapakah namamu? - Nah. jika semenjak semalam engkau berkata dengan cara ini, tentunya aku mau menyebutkan namaku. Tetapi engkau membentak- bentak orang seperti memperlakukan aku sebagai binatang piaraan. Matipun aku akan tetap bungkam.
- Ah. jiwamu sungguh kokoh. Nah, berkenankah engkau kini menyebut namamu?
- Namaku pendek saja. Yudapati. - Yudapati. Yuda artinya bertempur atau berperang. Pati adalah mati. Jadi berarti bertempur sampai mati.
Palata berkomat- kamit seperti seorang murid menghafal sejarah.
- Meskipun perkara perempuan, engkau bersedia mati?
- Kaupun bersedia mati demi perempuan pula. Apakah yang menyebabkan engkau heran?
Palata memanggut- manggut. Pandang matanya cerah cerah- . Lalu berkata:
- Tetapi sahabat, sungguh sayang! Tak dapat aku membebaskan dara ini, walaupun aku menaruh hormat dan kagum padamu. - '
- Hm.
Yudapati mendengus.
- Kalau begitu. kita bertempur lagi mengadu untung. Ini semua kulakukan demi menjaga kelestarianmu. - .
Mendengar kata- kata Yudapati. Palata tercengang. Menegas:
- Kelestarian? - Ya. Sebab dara ini sebaya dengan anakmu sendiri.
Palata termenung sedetik. Lalu tertawa terbahak bahak. Serunya:
- Kau keliru. sahabat. Justru seorang dara dara akan membuat tulang- belulangku jadi muda kembali. Kalau tak percaya. engkau boleh mencobanya.
- Hus! bentak Aditi Paramita memotong'
- Mengapa kau ucapkan kata- kata cabul itu?
- Bukan aku. tetapi si jahanam itu yang berkata begitu. sahut Sekar Tanjung.
Tentu saja yang ikut mendengar mengulum senyum.
- Sudahlah. Teruskan! Aditi menyenak nafas.
- Yudapati tidak menanggapi ucapan Palata. Setelah meneguk minumannya. dia berkata bahwa ucapan Palata tidak pantas diucapkan oleh seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Sekar Tanjung meneruskan.
- 0. begitu? Jadi engkau mengakui bahwa kepandaianku berada di atasmu? - kata Palata senang.
- Tidak. Kepandaianmu masih jauh berada di bawah ilmu Tantrayana yang kumiliki.
- Omong kosong! Hayo. kita coba! - Tetapi tempatnya kurang tepat. Kalau engkau berani mari kita bertempur di atas bukit! - Apa sih bedanya?
Palata mengejek lalu mengalihkan pembicaraan:
- Baiklah. mari kuputuskan begini saja. Aku akan membebaskan dara ini asal saja engkau mau memperisterikan. Aku akan menghormati isteri seorang sahabat. Tidak akan lagi aku mengganggunya. Bahkan aku akan melindunginya di mana saja dia berada,ini semua kulakukan demi menghargai makna persahabatan. Bagaimana?
- Yudapati tidak segera menjawab. Hatiku yang berdebar- debar malah.
- Guru, ampunilah diriku. Entah apa sebabnya. waktu itu aku berharap agar dia mengiakan. Meskipun hal itu, aku akan melanggar pantangan perguruan. namun daripada aku harus melayani jahanam itu. rasanya aku rela mengikuti Yudapati yang jelas sekali berani berkorban apapun jua demi diriku. - Hm. Aditi Paramita mendengus.
- Lalu apa jawaban Yudapati?
Dengan meremas- remas kancing jubahnya, Sekar Tanjung berkata:
- Yudapati meneguk minumannya dua kali berturut turut. Sama sekali dia tidak berpaling atau menoleh kepadaku.
Palata nampaknya tidak bersabar lagi. Ia mendesak sampai dua tiga kali. Akhirnya. Yudapati menyahut:
- Palata. kuhargai rasa persahabatanmu. Hanya sayang. waktu ini tak dapat aku melaksanakan tuntutanmu. Sebab aku sesungguhnya seorang perantau. Aku datang dari Jawadwipa. Lagipula aku seorang perajurit. Aku harus minta ijin dahulu kepada atasanku, apabila mau kawin. Apalagi, dia seorang bhiksuni.
Palata memiringkan kepalanya menimbang- nimbang. Memutuskan:
- Kalau begitu. mari kita minum dan makan sekenyang- kenyangnya. Jangan bicarakan lagi perkara dara jelita ini. - Justru aku mau membicarakannya. Bebaskan dia! kalau tidak, engkau harus membunuhku dahulu. Hanya sayang, aku tidak dapat membuat hatimu puas. - .
- Memangnya mengapa?
- Karena ilmu pedangku Tantrayana belum selesai kulatih. - Apa sih kehebatannya?
- Terus terang kukatakan ,padamu, bahwa engkau tidak akan tahan menghadapi lima jurus saja. Kalau kau ingin membuktikan, tunggulah satu tahun lagi. Pada saat
itu, bila aku tetap kalah. boleh engkau memaksaku untuk memperisterikan dia. Palata tertawa gelak. Sahutnya:
- Ke sana kemari, ke selatan ke barat, otakmu berputar untuk mengingusi diriku. Jangan bermimpi.
Yudapati tertawa melalui hidungnya. Menyahut:
- Pantas, engkau pendekar yang belum termasuk hitungan. - Siapa yang berkata begitu? - bentak Palata.
- Tandun Raja Koneng dan atasanku sendiri.
- Siapa atasanmu? wajah Palata merah padam. Rupanya hatinya kena dibakar Yudapati.
- Rekyan Kadung yang dapat mengalahkan ahli pedang Boma Printa Narayana. Kau melihat sendiri. bukan?
Palata tertegun sejenak. Sebaliknya, Sekar Tanjung yang mendengar keterangan itu, tersenyum di dalam hati.
- Mengapa Mojang Yudapati mengakui kakaknya seperguruan sebagai atasannya? Padahal baik pangkat maupun kedudukannya, tidak berbeda. Hanya kepandaian merekalah yang selisih. Sementara itu, terdengar suara Sekar Tanjung melanjutkan kisahnya:
- Boma Printa Narayana tidak kalah. Ia hanya mengalah, mengingat dirinya berada di sarang harimau. kata Palata.
- Akupun akan berbuat begitu juga, andaikata menghadapi lawan diluar batas kemampuanku. Orang boleh sakti dan boleh pula memiliki tenaga raksasa. Namun dapatkah dia menghadapi lawan berjumlah ratusan orang? Sebaliknya. aku sendiri tidak tertarik sama sekali untuk berebut kedudukan. Aku orang merdeka yang biasa hidup sebagai majikan di atas kepalaku sendiri. Kecuali itu, cita- cita Tandun pantas ditunjang. Dia bermaksud menggalang kesatuan perjuangan untuk sedikit berbakti kepada bangsa dan negerinya.
- Eh. bagus! Engkau bisa berbicara perihal pengabdian kepada bangsa dan negara. Bagus! sela Yudapati.
Palata tertawa. Kemudian menjawab dengan sungguh sungguh:
- Aku ini memang boleh digolongkan dengan penjahat- penjahat tak bermoral. Tetapi hendaklah dibedakan antara watak dan pekertiku. Barangkali, beginilah kehendak Sang Pencipta yang melahirkan aku dengan susunan perasaan yang lain. Kalau aku melihat perempuan cantik, seluruh sarang dan sendi tulangku bekerja dengan sendirinya. Tetapi janganlah orang luar mencoba- coba mengganggu kedaulatan negeriku. Untuk ini akulah yang akan tampil di garis depan.
Yudapati mengangkat ibu jarinya. Dengan setulus tulusnya ia memuji. Katanya:
- Palata! Engkau seorang jahanam yang berwatak. Rasanya, mau aku menjadi sahabatmu. Kalau engkau pandai berbicara mengenai hak dan kewajiban seorang warga negara yang baik, apa sebab engkau tidak mau mengerti kesulitanku?
Selagi Palata hendak menjawab. masuklah rombongan berpakaian seragam. Tetapi bukan seragam pakaian laskar negeri. Warna pakaian yang dikenakan sama dengan rombongan paman Getah Banjaran.
- Kalau begitu anggauta aliran Abong- Abong.
Aditi Paramita menyela.
- Siapa yang memimpin? Bentak Getah Banjaran tak senang. Pertanyaannya menyatakan bahwa ia membenarkan dugaan Sekar Tanjung.
- Palata menyebut namanya dengan Dompo Pulaha. sahut Sekar Tanjung.
- Usianya sebaya dengan paman. Agaknya antara rombongan paman Dompo Pulaha dan Palata sudah terjadi pemusuhan lama. Salah seorang murid paman Dompo Pulaha tiba tiba saja menyerang Palata dengan bertubi- tubi. Senjata yang digunakan pedang panjang. Bahkan saudara itupun membantu pula.
Sekar Tanjung kemudian menunjuk kepada Kampa yang berdiri di samping Getah Banjaran. Kampa tidak membuka mulutnya. Dia hanya mendengus dengan pandang menyala.
- Hai sahabat! - seru Palata kepada Yudapati.
- Engkau membantu atau tidak?
- Aku orang luar. Tetapi bila hal ini kurasakan ada sangkut- pautnya dengan bhiksuni ini, aku akan ikut menerjang.
- Bukankah engkau akan jadi sial bila melihat seorang dara bhiksuni yang cantik molek?
- Aku sudah terlanjur sial. Maka biarlah aku bertambah sial. jawab Yudapati.
Sementara itu. sambil berbicara, Palata menangkis serangan lawan sambil tetap duduk di atas kursinya. Keruan saja Kampa dan pemuda itu jadi penasaran. Oleh rasa penasaran, ia meludahi Yudapati sambil membentak:
- Jangan pura- pura sok jadi pahlawan. Kau maling cabul pula. .
Yudapati tidak merasa tersinggung. Ia tahu bahwa pemuda itu hanya salah tafsir. Karena dirinya berbicara ramah dengan Palata, maka sudah sewajarnya bila orang menduganya sebagai sahabat jahanam itu. Tiba- tiba ia menghunus pedangnya dan menusuk Palata.
- Akupun tidak tinggal diam. Dengan harapan semoga jahanam itu mati, aku menghunus kutungan pedang dan segera kutikamkan.
- Bagus! Hayolah maju semua! teriak Palata dengan suara gembira di atas kursinya.
Dia benar- benar perkasa dan tangkas. Tubuhnya hanya bergerak- gerak saja. Tahu
tahu tangannya sudah menggenggam senjata andalannya.
- Sahabat! Mari kita minum kembali! serunya sambil menyimpan senjatanya kembali. Dan pada saat itu. teman Kampa menekam dadanya yang mengucurkan darah. Lalu roboh terkapar dengan mata melotot. Ternyata ia sudah kena tikam senjata Palata. Betapa cepat gerakannya, kukira hanya setan yang tahu.
Sampai disini. Sekar Tanjung berhenti menunggu kesan. Waktu itu, angin sejuk mulai terasa meresap ke dalam tubuh. Tak usah diterangkan lagi, bahwa hari sudah mendekati fajar. Namun oleh rasa tegang yang mendengarkan lupa akan waktu. Mungkin sekali karena tertarik oleh yang membawakan cerita atau cerita itu sendiri yang terlalu mengasikkan. ,
- Kampa! Apakah benar semua yang dikatakannya?
Getah banjaran minta keterangan kepada Kampa.
- Benar.'
- Siapa yang terbunuh? - Waraha.
- Dengan sekali gebrakan? - Jahanam itu hanya menarik senjatanya dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya. Untung, Waraha masih dapat tertolong. Tetapi menurut paman Dompo Pulaha akan cacat seumur hidup.
Getah Banjaran menghela nafas. Wajahnya muram. Sekonyong- konyong menegor:
- Mengapa pamanmu Dompu Pulaha tidak mengulurkan tangannya?
Sebelum Kampa menjawabnya, Sekar Tanjung berkata lagi:
- Paman Dompu Pulaha dengan cepat melompat maju menangkis gempuran tangan Palata kepada Kampa. Melihat paman Dompo Pulaha menggunakan senjata.
kembali lagi Palata menghunus senjatanya. Kedua orang itu kemudian bertempur dengan serunya. Namun Palata masih saja duduk di atas kursinya. Sama sekali ia tidak sudi turun dari tempatnya untuk melawan paman Dompo Pulaha dengan sungguh- sungguh. - Ih! terdengar suara Bhiksu Dewayana.
- Apakah ilmu kepandaian Palata benar- benar sangat tinggi?
Getah Banjaran tidak menyahut. akan tetapi membuang mukanya. Itulah suatu tanda, bahwa ia mengakui ilmu kepandaian Palata berada di atas kepandaian adik seperguruannya.
Baik Aditi Paramita maupun Bhiksu Dewayana tahu, bahwa sudah semenjak lama terjadi perselisihan antara kaum Abong- Abong dan Palata. Mereka saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Masing- masing tidak mau mengalah. Akibatnya masing- masing pihak sering jatuh korban pula. '
- Yudapati tidak mau tinggal diam saja. Mula- mula ia memutar pedang pendeknya bagaikan kitiran. Tiba tiba menikam dari suatu arah yang aneh.
Palata terperanjat. Ia tergeliat dan akhirnya berdiri dari tempatnya. - ujar Sekar Tanjung meneruskan kisahnya.
- Apakah engkau tidak salah lihat? - tegur gurunya.
- Belasan kali Dompu Pulaha menyerang dengan bertubi- tubi. Palata tetap berada di atas kursinya. Tetapi Yudapati hanya memerlukan satu kali bergerak. Apakah kepandaian Yudapati memang berada di atas kepandaian Dompu Pulaha?
- Palata hanya berkata, bahwa demi menghormati persahabatan. ia harus melawan Yudapati dengan berdiri.sahut Sekar Tanjung dengan jujur. Lalu melanjutkan:
- Kepandaianku jauh berada di atas. Tetapi aku kagum dan menghormati jiwa satriamu. ujar Palata.
- Lain
halnya dengan manusia- manusia semacam Dompo Pulaha. Dia berani mengangkat diri menjadi wakil pimpinan alirannya. Padahal tidak memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Engkau tidak percaya? Lihat, aku akan membuktikan.
Palata barangkali bermaksud baik. Ia hendak mengangkat derajat Yudapati. Tetapi hati Yudapati mendongkol. Diakuinya sebagai sahabat, berarti namanya jatuh di mata kaum lurus. Sebab meskipun Palata berkepandaian tinggi, ia tetap seorang bangsat yang dibenci oleh seluruh orang- orang gagah. Itulah sebabnya, segera ia menyerang Palata dengan tiga jurus rangkai yang aneh. Palata memekik tertahan dan dengan mati- matian mempertahankan diri. Dengan begitu tak dapat ia membuktikan ucapannya hendak merobohkan paman Dompo Pulaha secepat kilat.
- Palata! Bagaimana? Itulah jurus permulaan Tantrayanaku. Andaikata aku berkesempatan untuk melatihnya beberapa hari saja kukira engkau takkan dapat mempertahankan diri. Hanya saja . . . ih, terlalu ganas. ujar Yudapati.
Dan setelah berkata - begitu, ia menghentikan serangannya dan duduk kembali di atas kursinya. Akupun jadi ikut- ikutan duduk di tempatku semula.
Kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh Palata. Seperti terhadap Waraha yang dapat dirobohkannya dengan satu kali gerakan saja, kini diapun hendak melakukan paman Dompo Pulaha demikian pula. Akan tetapi. kepandaian paman Dompo Pulaha tentunya jauh berada di atas Waraha. Ia hanya terluka. Dan dengan mendekap lukanya, ia melesat mundur sambil memberi tanda sekalian rombongannya untuk cepat- cepat meninggalkan gelanggang pertempuran.
- Hm. Palata mendengus. Kau percaya atau tidak?
Sekiranya aku tidak menghormatimu dan jatuh cinta kepada dara ini, mereka semua sudah kuhabisi. Mengapa tidak? Kalau kubiarkan lari, berarti mereka akan datang lagi untuk membuat perhitungan. Aku sih, tidak gentar. Hanya mengganggu bulan maduku. Kecuali kalau engkau mau memperisterikannya. Dengan begitu selesailah masalah ini. .
Sambil meneguk minumannya. ia berkata lagi:
- Ilmu pedang Dompo Pulaha tadi maju jauh. Dia boleh disebut seorang pendekar kelas satu. Gerakan golokku tidak lambat, namun masih bisa di meringkaskan kulitnya. Jago- jago yang masih sempat menggagalkan sabetan golokku hanya beberapa orang saja. Barangkali hanya dia seorang yang dapat mengelakkan jurusku yang istimewa tadi. Bagus! Bagus! Tetapi sahabat, aku jadi memikirkan nasibmu di kemudian hari. Karena dia masih hidup. maka engkau akan menghadapi kesukaran. Dia bisa memfitnahmu yang bukan- bukan. Tetapi hidup ini artinya risiko. Siapa yang tidak berani menghadapi risiko, jangan hidup. Bukankah begitu, sahabat? Mari kita minum sepuas- puasnya. Hai! Rupanya engkau tidak begitu gemar minum! - Aku kehilangan kegembiraan, karena engkau membiarkan seorang dara berada di sampingku. sahut Yudapati.
- Ah. lagi- lagi perkara perempuan ini. Bukankah aku sudah berkata, jangan engkau bermimpi bisa membebaskan dia. Perempuan cantik adalah seumpama jiwaku sendiri.
- Kalau begitu. mari kita bertempur sampai salah seorang mati.
- Perkara pertempuran. mudah diatur. Hanya saja,tak dapat lagi aku membunuhmu. Aku merasa sudah dua
kali hutang jiwa kepadamu. ujar Palata dengan sungguh- sungguh.
Mendengar ujarnya, aku heran. Kalau begitu. Yudapatilah yang menang. Bukan Palata seperti yang kuduga. Waktu itu, Yudapati tertawa pelahan. Katanya:
- Kapan aku mengampuni jiwamu? - Yang pertama sewaktu di dalam goa. Yang kedua sebentar tadi. jawab Palata.
- Tatkala aku mendengar suara dara cantik ini, sama sekali tak kuduga bahwa engkau berada di dekatnya. Aku memeluk dara itu dan akan segera kulakukan. Andaikata engkau menunggu sebentar lagi. lalu menyerang . . . Pada pagi hari ini tinggal namaku saja yang tertinggal di dunia yang luas. Tetapi engkau seorang satria sejati. Tidak mau menyerang dari belakang punggung. Dengan begitu. engkau hanya menggores pundakku sedikit saja. Terima kasih.
- Hm. Yudapati mendengus.
- Yang kedua. seranganmu sebentar tadi merupakan rangkaian serangan yang aneh. Jurus apakah itu? Selagi aku kerepotan, engkau justru menarik serangan. Andai kata engkau terus mencecarku, mungkin saja pedang Dompo Pulaha sudah menembus dadaku.
- Kedua- duanya salah. bantah Yudapati.
- Sewaktu di dalam goa, aku memang ingin membunuhmu. Tatkala kulihat engkau bergerak hendak memeluk bhiksuni sialan ini. tak dapat aku membiarkan hal itu akan terjadi. Bagi seorang pemeluk agama yang baik, bersentuhan tangan dengan jenis lain, sudah melanggar undang- undang perguruan. Itulah sebabnya, segera aku turun tangan. Tak kuduga, ilmu kepandaianmu sangat tinggi sehingga seranganku gagal. - Baik. kau boleh berkata begitu tetapi aku mempunyai pendapatku sendiri. - potong Palata.
- Lalu apa
sebab engkau menarik seranganmu selagi aku dalam kerepotan? Bukankah engkau ingin menolong jiwaku dengan diam- diam?
- Tidak. Aku justru ingin menghabisi jiwamu. Soalnya, karena aku kurang berlatih. Karena itu, aku ingin menantangmu kembali satu tahun lagi. ..
- Terlalu Iama. Gadis ini akan terlanjur jadi tua. - .
- Enam bulan?
- Satu bulan. - Jadi! Yudapati menyahut nyaring sambil menggeberak meja.
- Sekarang bebaskan dahulu dara itu!
- 0 kalau perkara gadis itu, nanti dahulu. Urusan belum selesai.
- Yang mana belum selesai?
- Kau belum menjawab tuntutanku. - ujar Palata.
- Kataku tadi, dia akan segera kubebaskan dan kuhormati, asal saja engkau akan memperisterikannya.
- Bukankah kita akan bertemu satu bulan lagi?
- Itu kan perkara adu kepandaian. Dan bukan perkara dara jelita ini. Atau harus kusimpannya dahulu sampai satu bulan lagi? Baik, kalau begitu kehendakmu. Tetapi aku tidak bisa menjamin. apakah pada saat itu . . . Yudapati tertawa terbahak- bahak memotong kata kata Palata. Setelah itu berkata minta keterangan:
- Kalau aku bersedia, lalu siapa yang akan mengawinkan? Disini tidak ada pendeta. Juga tiada biara.
Palata berpikir sejenak. Kemudian memutuskan:
- Begini saja. Bukankah dia calon bhiksuni? "Bhiksuni termasuk golongan pendeta. Dengan begitu. dia bisa mengawinkan dirinya sendiri. Aku tinggal menjadi saksinya.
Mendengar cerita Sekar Tanjung itu, gurunya memberengut. Bentaknya:
- ngacau!
- Jelas sekali dia asal berkata saja. Mungkin, karena dia biasa hidup menjadi majikan atas dirinya sendiri. Rupanya Yudapati melihat kelemahan itu. Segera ia mengiakan dengan gembira. ujar Sekar Tanjung.
- Aku kemudian diperintahkan berdiri oleh Palata. Yudapati memberi isyarat mata agar aku patuh saja kepada kemauan jahanam itu. Palata sibuk menuang minuman keras ke dalam tiga mangkok. Satu untuk dirinya dan yang dua mangkok untukku dan Yudapati. lalu berkatalah dia:
- Sekar Tanjung. jawabku singkat. '
Dan mendengar namaku. dia terperanjat seperti seorang menginjak duri tajam. Serunya:
- Bagus benar namamu! Sesuai dengan kejelitaanmu. Ah, sahabat. engkau beruntung! Nah, sekarang engkau harus menyerahkan tanda ikatan kepada sahabatku itu.
- Selamanya, aku tidak mempunyai sesuatu, kecuali perlengkapan untuk perjalanan jauh. sahutku.
- Apa itu?
- Batu api dan obat luka.
- Apa saja asalkan kau serahkan dengan rela.
- Aku berpikir di dalam hati: mengapa tidak rela? Semenjak semalam, ingin aku memberikan obat luar kepada Yudapati. Maka aku menyerahkan batu api dan dua botol obat luka kepada Yudapati.
- Nah, sekarang sudah kuterima. Berarti pula aku memenuhi kehendakmu. Sekarang, suruhlah dia pergi menyusul gurunya. Bukankah engkau berjanji, tidak akan mengganggunya? Bahkan engkau akan melindunginya pula? - Nanti dulu! Meskipun dia golongan pendeta, namun pada saat ini kedudukannya baru calon pendeta. Dengan begitu hanya berkekuatan separoh. Katakah saja. nilai tanda ikatan perkawinan ini hanya berkekuatan separoh.
- Kecuali apabila engkau menambah yang separoh.
- Aku bukan calon pendeta! Aku seorang perajurit! sahut Yudapati.
- Justru engkau seorang perajurit, aku menganggap semua ucapanmu bernilai separoh. - ujar Palata dengan tertawa menang.
- Bukankah engkau berjanji hendak mengadu kepandaian satu bulan lagi? - Benar. Hal itu akan kujamin.
- Tetapi engkau belum memberi persekot padaku. - Persekot apa? '
- Jurusmu yang membuat diriku tadi repot. harus kau selesaikan. Kau meluluskan permintaanku ini, Sekar Tanjung boleh pergi sesuka hatinya. Yudapati tertawa panjang. Sahutnya:
- Engkau memang seorang jahanam yang panjang akal. Engkau seolah- olah meluluskan kebebasan dara itu. Sementara pergi kau hendak membunuhku. Bukankah begitu? Baik. aku . . .
- Aku tidak akan membunuhmu. potong Palata dengan sungguh- sungguh.
- Hm.
- Benar. Jelek- jelek, Palata adalah seorang laki- laki yang selama hidupnya memegang teguh ucapannya. Aku berjanji tidak akan mengganggu Sekar Tanjung lagi. Hal itu akan kupegang penuh. Aku berjanji tidak akan membunuhmu,karena aku merasa berhutang jiwa dua kali Maksudku, hanya ingin membayar lunas.
- O begitu? Karena masih sisa satu kali,maka akupun akan bersedia membuatmu puas. Kita bertempur dua kali berturut- turut. Bila yang pertama kau menang. maka pertempuran yang kedua, akulah yang mengatur. Bagaimana?
- Jadi!
Palata menggeberak meja.
- Kalau begitu. biarlah dara ini cepat- cepat meninggalkan diriku. Sebab kalau dia masih saja berdiri di dekatku, aku akan menjadi sial. Seumpama aku mati kau tikampun tidak kuanggap syah. Di alam baka aku akan selalu mengutukmu dan akan membuat hidupmu sial pula. - Baik. Mereka berdua kemudian bersalaman. Setelah itu, Yudapati memerintahku agar segera meninggalkan rumah makan. Katanya:
- Pergilah cepat! Kalau tidak, engkau akan kukutuk!
- Tetapi aku tidak segera pergi. Entah apa sebabnya. aku mencemaskan keselamatan Yudapati. Menyaksikan hal itu, Yudapati berpaling kepada Palata. Berkata:
- Lihatlah! Ini semua gara- garamu. Dia jadi linglung. Bukankah akan membuat diriku sial terus menerus? Sekarang begini saja. Kita bertempur di luar kota. Sebab, taruh kata akhirnya dia mau pergi pertarungan kita tentu akan mengundang perhatian penduduk. Bila terdapat seorang perempuan saja yang menyaksikan, pasti aku akan tewas kau tembus golokmu. Meskipun engkau tidak berniat membunuhku.
Kali ini Palata hanya mengangkat bahunya. Lalu menyahut pendek: .
- Bukan dia kini sudah jadi isterimu? Akan kau pukul atau akan kau bunuh, bukan urusanku lagi.
Yudapati nampak gelisah. Menyaksikan kegelisahannya, hatinya tidak tenteram. Dengan berat hati aku menuruni tangga. Sekonyong- konyong ingin aku mengetahui di mana mereka akan bertempur. Oleh rasa ingin tahu itu, aku berputar memasuki tikungan jalan. Lalu dengan mengendap- endap aku mencoba mendengarkan percakapan mereka. '
- Sebelah selatan atau utara kota? - itulah pertanyaan Palata yang kudengar selintasan.
- Pokoknya asal jauh dari kota. Petak hutan di depan kita itu. rasanya boleh juga. - Baik. Bagaimana kalau kita membawa minuman dan daging? - Asal daging kambing, aku suka.
- Bagus! - seru Palata gembira. Segera ia memerintahkan pemilik rumah makan untuk memotong seekor kambing gemuk. Pada saat itu, cepat- cepat aku melintas
pagar batas dan mengarah kepada petak hutan. Pikirku aku pasti masih mempunyai waktu untuk mendahului mereka. Sebab mereka harus menunggu kambing pesanannya dipotong dahulu kemudian dikuliti.
Waktu tiba di petak hutan itu, matahari sudah condong ke barat. Kebetulan petak hutan itu berada di atas ketinggian. Di sana terdapat batu- batu pegunungan dan tebing- tebing curam. Aku berdiri di atas batu dan mencoba memperoleh penglihatan. Rumah makan dapat kuamati dengan jelas. Tetapi siapa yang berada dalam rumah makan itu,sama sekali tidak nampak. Dengan demikian tak dapat aku memperoleh kepastian, di mana mereka kini berada. Tentunya, daging kambing yang sudah dipesannya sudah siap. Mungkin sekali sudah meninggalkan rumah makan. Ke mana? Aku duduk termangu- mangu di atas batu yang terlindung oleh segerombolan belukar yang ketat. Selagi demikian. tiba- tiba kudengar suara Palata tertawa gelak.
- Hidungku ini memang aneh bin ajaib. Cepat saja mencium bau perempuan cantik. Kurasa dia melalui wilayah ini. - Celaka! Kalau begitu. nasibku memang harus sial. Apa boleh buat. - ujar Yudapati setengah mendongkol.
Ketajaman penciuman Palata itu. menggemaskan hatiku. Tetapi aku jadi merasa berdosa terhadap Yudapati yang sudah berusaha menyelamatkan diriku dengan daya upaya apapun. Cepat- cepat aku bersembunyi di balik batu dan berjanji tidak akan melongok atau mengintip pertarungan adu kepandaian itu.
- Daging ini hanya dibakar setengah matang. Kebetulan. malah. Mari kita isi dahulu perut kita. Setelah itu baru mulai. ujar Palata.
- Tak usah. Mari kita mulai saja. Makin cepat, makin baik. - sahut Yudapati.
- Bagus! '
Creng!
Masing- masing sudah menghunus senjatanya. Pertarungan sengit segera terjadi. Kudengar benturan senjata mereka membisingkan telingaku. Tidak lama kemudian. Palata berhasil melukai Yudapati.
- Bagaimana? bentaknya.
- Mana ilmumu Tantrayana? - Toh aku belum mati.
Yudapati tertawa.
Mereka berhantam lagi. Makin lama makin seru. Dan untuk kedua kalinya, Yudapati terluka. Namun kali ini, ia tak sudi menghentikan pertarungannya. Akhirnya lengannya nyaris terpapas kutung. Hal itu dapat kutangkap dari pembicaraan mereka.
- Sudahlah. Engkau sudah membayar sebagian hutangmu. kata Yudapati dengan tertawa.
- Kalau sabetan golokmu kau hunjamkan benar, lenganku sudah kutung.
- Benar. Bukankah aku berjanji tidak akan membunuhmu? Aku hanya akan membayar hutangku lunas.
- Tetapi menurut hitunganmu, engkau masih berhutang satu kali. Sekarang aku yang mengatur. ujar Yudapati dengan tertawa.
Jika kubayangkan. bahwa pada saat itu tentunya dia sudah bermandikan darah. Walaupun
demikian,masih sanggup tertawa panjang. Benar- benar aku kagum akan keperwiraannya.
- Katakan cepat! - perintah Palata garang.
- Masih ingatkah engkau tentang goa itu? Engkau menerjang masuk sedang aku tidak bergerak di dalam goa. Beranikah engkau sekarang bertukar tempat?
- Mengapa aku tidak berani?
- Jadi aku yang masuk, sedangkan engkau berada didalam.
- Apakah maksudmu. aku harus mencari goa dahulu?
- Tidak usah. Cukup kita buat peru perumpamaan. Aku akan membuat garis lingkaran. Kemudian engkau masuk ke dalam lingkaran itu. Seperti keadaanku dahulu, engkau tidak boleh bergerak. Pendek kata. kalau engkau beralih tempat,kuanggap kalah. Sebaliknya aku berada di luar lingkaran seolah- olah menirukan dirimu tatkala hendak memasuki goa. Coba. engkau dapat mengalahkan aku atau tidak? Ingat- ingatlah. engkau tidak boleh beralih tempat.
- Baik. Apa sih susahnya? - "
Semua yang mendengarkan cerita Sekar Tanjung jadi ikut tegang. Mereka tadi sudah mendengar kesaksian para anggauta Abong- Abong, betapa cepat si jahanam Palata dapat merobohkan lawannya dengan tanpa bergerak dari kursinya. Kini, Palata bersikap berdiri atau mungkin Berjongkok. Gerakannya lebih leluasa daripada bertempur di atas kursi. Mereka merasa sayang bila Yudapati sampai tewas.
Yudapati kemudian membuat lingkaran. Palata menyaksikan dengan tertawa geli. Sekar Tanjung berkata dengan suara agak cemas.
Setelah selesai. Palata menegur
- Lalu aku harus berada di mana?
- Masuklah ke dalam lingkaran seperti sewaktu aku membawa Sekar Tanjung masuk ke dalam goa.
- Waktu itu, engkau berdiri atau berjongkok?
- Kali ini engkau boleh bebas. Berdiri boleh. Berjongkokpun tiada halangan. Yang penting. engkau tidak boleh beralih tempat. - Baik. sahut Palata.
Dan jahanam' itu rupanya terus melompat masuk ke dalam lingkaran.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya, ingin sekali aku melihat pertarungan yang aneh itu. Tetapi aku takut akan penciuman Palata yang tajam.Kalau hati Yudapati sampai tergoncang oleh beradaku di balik batu,akibatnya akan runyam.
- Sahabat! Kalau kali inipun engkau kukalahkan, berarti tiada hutang pihutang lagi. Selanjutnya satu bulan lagi kita akan bertempur mengadu jiwa. ujar Palata.
- Tentu saja. - sahut Yudapati dengan tertawa.
- Tetapi kali ini, engkau akan merasakan betapa hebatnya ilmu tinggi Tantrayana. Bagaimana? Sudah siap?
- Masuklah! tantang Palata.
( BERSAMBUNG JILID 3)
*****
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 3
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan :
Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang- Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(Team Kolektor E-Book)
*******
"JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT"
Jilid:3
**** Tetapi Yudapati yang berada di luar lingkaran tidak masuk ke dalam lingkaran. Dia bahkan menjauhi dan berjalan mengarah ke tempat persembunyianku.
- Hei, hei! Apa artinya ini? - Kau bisa melukai diriku? Cobalah!
- Kenapa tidak? - .
Rupanya, Palata bergerak melompati lingkaran hendak mengejar Yudapati. Dan pada saat itu, berkatalah Yudapati:
- Sahabatku yang baik hati. Kali ini engkau kalah. ...
- Mengapa kalah? Bukankah kita belum bertempur? - ,
- Engkau sudah beralih tempat. Bahkan sudah meninggalkan lingkaran. Menurut perjanjian, engkau sudah kalah.
- Ya. Meskipun seorang jahanam, akan tetapi katakatanya dapat kita pegang. Karena itu aku percaya, bahwa untuk selanjutnya dia tidak akan mengganggu adik lagi. Tentang diriku sendiri tak usah kau pikirkan. Meskipun dia masih merasa berhutang satu kali tetapi kukira dia akan bisa membayarnya lunas. Pada waktu itu tentunya aku akan tewas di tangannya. Sekiranya aku beruntung. pada suatu kali akupun mati pula. Di dunia siapapun akan mati. Cepat atau lambat. - Benar. tiba- tiba terdengar seseorang menyahut dari balik gerumbul belukar
Dialah Pusara yang datang dengan ditemani Kampa. Dumma dan Daksa. Kata Pusara lagi sambil menghampiri:
- Daripada masih menunggu waktu mengapa tidak mati sekarang juga?
Terhadap Dumma. Daksa dan Kampa yang pernah muncul di rumah makan tadi pagi. Yudapati masih mengenal. Tetapi terhadap Pusara, ia belum pernah melihat.
- Akupun sebenarnya begitu juga.
- Siapa dia? tanyanya lemah kepadaku.
- Orang Abong- Abong. sahutku.
- Pantas bermulut besar. Dia tidak beda dengan Borang yang ikut memfitnah keluarga Gorata.
- Aku Pusara. Selama hidupku belum pernah bertatap muka dengan orang yang kau sebut tadi. Siapa pula Borang?
- Bukankah dia orang Abong- Abong pula? - sahut Yudapati dengan suara agak gemetar.
Dan wajahnya nampak kian pucat. Rupanya luka yang dideritanya amat parah sehingga sebenarnya dia tidak boleh berbicara terlalu banyak. Tadipun dia hanya sanggup berkata dengan suara setengah berbisik.
- Apakah macam begini ini yang kau sebut salah satu jurus ilmu Tantrayana?
- Benar. - Gombal! Yudapati tertawa terbahak- bahak. Sahutnya:
- Dalam mengadu ilmu, otakpun harus kita gunakan. Seekor gajah boleh bertenaga kuat dan bertulang sentausa. Tetapi dia masuk jebakan oleh akal sang kancil. Karena apa? Gajah itu hanya mengandalkan kekuatan jasmani belaka. Ingat- ingatlah hal itu! Waktumu masih satu bulan sebelum bertanding untuk mengenal ilmu Tantrayana yang sejati. Aku sengaja menggugah kesadaranmu, agar kelak tidak menyesal. Selamat jalan! Aku akan meninggalkan tanda di rumah makan tadi. setelah waktu pertandingan tiba.
Dengan geram Palata membanting sesuatu. Lalu melangkah cepat meninggalkan petak hutan itu. Segera aku memunculkan diri dari balik batu. Rupanya, Yudapati sudah mengetahui beradaku di tempat itu. Serunya lemah:
- Adik! Kemarilah!
Setelah berkata demikian, ia roboh di atas tanah. Aku terperanjat. Segera aku menghampirinya. Ternyata luka yang dideritanya tidak ringan, lengannya nyaris terkutung. Dada, lambung, lutut dan punggungnya bermandikan darah.
- Adik, engkau kini sudah bebas. Palata tidak akan berani mengganggumu lagi. Dia terikat janji seorang satria. lagipula dia masih merasa berhutang kepadaku. Untuk pelunasannya, akan kupinta kebebasanmu dari ikatan rekaannya sebentar tadi. Karena itu, jangan pikirkan diriku lagi. Engkau masih seorang calon bhiksuni yang suci. Sampai . . .
Yudapati tak dapat menyelesaikan kata- katanya. Ia kehilangan kesadarannya. Aku mencoba menolong menyadarkannya sebisa- bisaku. Mula- mula aku mencari air untuk membasuh muka dan mencuci luka- lukanya. Kemudian membubuhinya dengan obat luar pemberianku. Sedang demikian. Ia tersadar kembali. Melihat kesibukanku dia
menolak. Katanya setengah berbisik:
- Adik, engkau masih suci. Jangan pikirkan diriku. Aku akan kembali ke Jawadwipa untuk selama- lamanya. Itupun kalau aku tidak tewas satu bulan lagi.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, ia mencoba duduk bersandar pada sebuah batu yang berada di tepi tebing jurang. Petak hutan itu agalnya jarang dijamah orang, sehingga mahkota daunnya sangat lebat. Kebetulan, malah. Dengan begitu, Yudapati terlindung oleh sinar matahari yang sedang memasuki senja hari.
- Kakak. apakah engkau benar- benar hendak melayani jahanam itu mengadu kepandaian sebulan lagi? - aku menegas.
Pusara berpaling kepada ketiga temannya. Lalu tertawa bergegaran. Ujarnya:
- Tak ada anggauta Abong- Abong bernama Borang.
Yudapati tidak nampak terperanjat atau heran. Acuh tak acuh ia berkata:
- Di depan keluarga Goratara, dia mengaku mewakili aliran Abong- Abong. '
- Kau maksudkan Goratara seorang pendekar dari Siguntang? .
Yudapati mengangguk pendek.
- Hm. dia berani mengaku sebagai utusan aliran Abong- Abong? Fitnah! Dasar engkau sahabatnya maling cabul. pantas pandai main fitnah. Kalau benar dia orang Abong- Abong, apa senjatanya?
- Tombak. jawaban Yudapati.
Dan mendengar jawabannya mereka tertawa bergegaran lagi. Wajah Pusara berubah bengis. Bentaknya:
- Kau jahanam tukang fitnah! Hai dengarkan! Senjata kaum Abong- Abong bukan tombak. Tetapi pedang panjang. Nih. lihat!
Sekarang Yudapati yang tertawa geli. Ujarnya:
- Kalau begitu, sama- sama palsu. Kaum Abong- Abong sejati, tidak bersenjata pedang panjang. Tetapi semenjak dahulu, leluhurmu bersenjata kapak. Rupanya cikal- bakal aliran Abong- Abong seorang penebang kayu.
Pusara melompat maju dan hendak menempeleng Yudapati. Cepat- cepat aku menghadangnya. Seruku:
- Dia lagi menderita luka parah. Mundur!
- Hm. Engkau rupanya sudah jatuh cinta kepada jahanam cabul ini.
Pusara menuduhku.
Sewaktu aku hendak mendampratnya, Yudapati mencegahku. lalu berkata:
- Hai Pusara! Nenek- moyangmu . . . leluhur kalian . . . sudah kukenal semenjak lama. Bukankah andalan jurus kapaknya begini? Setelah berkata demikian, dengan memaksa diri Yudapati bermaksud hendak berdiri untuk melakukan jurus yang dikatakannya. Sebaliknya, Pusara sudah berprasangka buruk kepadanya. Sebab leluhur atau cikal- bakal kaum Abong- Abong dikatakan seorang penebang kayu. Itu adalah suatu penghinaan beaar. Karena itu, belum lagi Yudapati dapat berdiri tegak, ia menendangnya sehingga hampir terjungkal ke dalam tebing jurang.
- Hai! aku membentak.
- Perbuatan menghantam seorang yang lagi menderita luka parah adalah pengecut. - Biarkan saja. adik. ujar Yudapati yang jatuh terduduk dengan memenjagangkan tangannya. Lukanya yang sebentar tadi kububuhi obat luar berdarah kembali. Walaupun demikian. sama sekali ia tidak mengerang atau mengeluh. Mulutnya malahan mengulum senyum. Ujarnya lagi:
- Nama jurus itu memang lucu dan mengerikan. Pernahkah adik mendengar jurus berirama menebang pohon keliru menggebuk anjing?
- Bangsat! maki Pusara.
Ia menghunus pedang panjangnya lalu membentak padaku:
- Kau bhiksuni sinting, enyahlah! Kalau tidak, kau kubunuh juga.
- Engkau berani mengganggu seujung rambutku, akan kulaporkan kepada ketuamu.dampratku.
Diluar dugaan. ia bahkan tertawa seloroh beberapa waktu lamanya. Katanya:
- Jangan engkau mencoba menggertakku dengan cara begitu. Tahukah engkau bahwa aku ini justru ketua murid Abong- Abong? Ucapanku tiada beda dengan guruku. Kau berkata aku tidak berani mengganggu ujung rambutmu? Hm . . . lihat!
Berkata demikian, tangan kirinya mencubit pipiku. Aku geram bukan main. Terus saja ia kutikam, namum selalu dapat mengelak atau menangkis dengan baik. Barangkali karena aku hanya bersenjata kutungan pedang. Sebaliknya pedangnya jauh lebih panjang.
Selagi aku mengasah otak untuk dapat menjatuhkannya, terdengar Yudapati berseru kepadaku:
- Jangan kau labrak! Bertahan saja sampai tenagaku pulih sedikit. Asal saja aku bertenaga sedikit saja, apa sih susahnya menggebah anjing jahat itu.
Aku menoleh dan melihat wajahnya bukan main pucat. Dan pada saat itu, Pusara meninggalkan diriku. Dengan sekali menjejakkan kakinya, ia melompat dengan menghunus pedangnya. Yudapati hanya miring sedikit saja. Kakinya menendang dan mengenai pantat Pusara dengan tepat sekali. Seketika itu juga Pusara terpental dan jatuh menggabruk di atas tanah.
- Nah, itulah jurus menebang pohon keliru menggebuk anjing. ujar Yudapati.
Mendengar ujarnya, hampir saja aku tertawa geli. Tiba- tiba aku melihat wajahnya makin pucat. Nafasnya
memburu dan darahnya mengucur kembali membasahi sekujur dadanya.
- Jangan bergerak! Jangan berbicara! aku berseru cemas.
Berbareng dengan seruanku, Yudapati jatuh terduduk kembali di tempatnya. Nafasnya makin memburu dan darahnya mengaliri membasahi seluruh dadanya. Segera aku berdiri di depannya untuk melindungi.
- Sebentar, nona! tiba- tiba Getah Banjaran menyela.
- Pemuda itu berkata, bahwa cikal bakal kaum Abong Abong bersenjata kapak?
- Benar. Nampaknya dia seperti faham benar. - ' sahut Sekar Tanjung.
Getah Banjaran termangu- mangu heran.
Dari mana Mojang Yudapati mengetahui hal itu?
Sejarah cikal bakal kaum Abong- Abong hanya diketahui oleh calon pewarisnya. Itupun terjadi pada dua ratus atau tiga ratus tahun yang lalu. Pewaris- pewarisnya kemudian mencoba mengganti senjata leluhurnya itu dengan tiga macam senjata. Pedang, tombak dan penggada. Ketiga macam senjata itu dimaksudkan sebagai pengganti senjata kapak yang dahulu terkenal disebut Kapak Maut Dewa Yama. Tetapi karena pewaris- pewaris angkatan muda belum juga menemukan rahasianya, maka ketiga macam senjata yang diajarkan kepada tiga kelompok muridnya, tidak menemukan sasarannya yang tepat.
- Guru! Jahanam cabul itu hanya mengacau saja. Kukira tidak perlu ucapannya kita tanggapi. - ujar Kampa dengan maksud membela pamor perguruannya.
Diluar dugaan gurunya membentak garang:
- Diam! Kau tahu apa? Rara Tilam yang bersembunyi di atas pohon heran bukan kepalang. Dia baru berpisah dengan Mojang Yudapati kurang lebih satu bulan lamanya, namun pemuda itu mendadak menjelma sebagai manusia baru. Baik pengetahuannya, maupun watak dan pekertinya.
Aneh!
Sungguh- aneh!
- Tanjung! Apakah dia membicarakan ilmu pedang kita pula? terdengar Aditi Paramita minta keterangan kepada muridnya.
- Sepanjang ingatanku, dia hanya berkata senafas dan sefaham.
- Ya, sudah. Teruskan!
Tetapi sedang Sekar Tanjung hendak meneruskan kisahnya, Bhiksu Dewayana mendahului:
- Bagaimana pendapat pemuda itu tentang ilmu kalangan kami?
- Sama sekali dia tidak menyinggung kalangan Syiwapala. Barangkali tidak sempat lagi. Sebab pada waktu itu, Purusara menjadi kalap. - sahut Sekar Tanjung. Meneruskan'.
- Setelah jatuh menggabruk tanah kena tendangan Yudapati, ia meletik bangun. Dengan pedang terhunus ia menghampiri Yudapati. Dengan muka merah padam. ia membentak:
- Bangsat cabul! Kau berpura- pura terluka parah di hadapan bhiksuni dara ini agar dirawatnya, bukan? Dengan begitu, tangannya yang halus itu akan menyentuh nyentuh tubuhmu. Cuh! - Hm . . orang yang hanya pandai melepas ludah masakan perlu menjadi orang gagah segala? Bagaimana rasanya jurus keliru menggebuk anjing? Engkau mengaku menjadi . . . tapi . . .
Yudapati terbatuk- batuk dengan nafas masih memburu.
Aku tetap menghalang di depan Yudapati. sebab melihat wajah Purusara yang merah padam aku dapat menebak maksudnYa. Waktu itu kudengar Yudapati berbicara lagi:
- Adik! Jangan cemas. Untuk merobohkan dia tidak terlalu sulit. Hanya saja . . . bila dia tetap membabi buta . . . terpaksalah aku menggunakan jurus leluhurnya yang kejam. Bukan keliru menggebuk anjing, akan tetapi membelah buah semangka dari celah dinding.
Yudapati masih saja memanaskan hatinya. Keruan saja Purusara tidak dapat lagi mengendalikan diri. Serunya kepada Dumma. Kampa dan Daksa:
- Singkirkan bhiksuni ini!
Mereka bertiga kemudian mengkerubut diriku. Sudah barang tentu tak dapat lagi aku menghalang di depan Yudapati. Aku terpaksa melompat ke samping atau terdesak mundur. Syukur mereka bertiga tidak bermaksud Membunuhku. Barangkali pula tidak sampai hati untuk melukai diriku. Tujuan mereka hanya untuk menyingkirkan diriku dari depan Yudapati.
Dalam pada itu, Purusara sudah bertempur melawan Yudapati. Karena menderita luka parah pedangnya terpental di atas tanah dalam beberapa gebrakan saja. Purusara kemudian mengancamkan ujung pedangnya ke depan dadanya. Dengan tertawa menang dia berkata:
- Nah, bagaimana? Mana jurus leluhurku yang kejam? Sekarang, engkau minta hidup, setengah mati atau mampus?
Yudapati jatuh terduduk di atas tanah. Mendengar ancaman Purusara, sama sekali ia tidak gentar. Dengan berani ia menjawab: '
- Pendek kata jurus membelah semangka dari celah dinding . . . akan . . .
Belum lagi selesai ucapannya. sang pahlawan Purusara, menusukkan pedangnya ke dada Yudapati. Alangkah jahat dan kejam manusia itu. Menyaksikan hal itu. aku . . . aku " , . meninggalkan ketiga lawanku dan melompat hendak
mencegah perbuatan Purusara. Tetapi pedangnya sudah tertancap di dada Yudapati . . .
Sekar Tanjung kemudian menangis sedu- sedan.
Seketika itu juga suasana kebun sayur menjadi sunyi sepi. Di kejauhan mulai terdengar kokok ayam bersahut sahutan. Fajar hari sudah tiba namun burung- burung belum terbangun dari tidur nyenyaknya.
Getah Banjaran merasa, bahwa mereka yang berada di depannya memancarkan pandang tak senang kepadanya. Perbuatan musuhnya itu, memang tidak adil. Dia membunuh seorang lawan yang sedang menderita luka parah. Berarti menggunakan kesempatan di dalam kesempitan. Namun sebagai ketua aliran, betapapun juga dia wajib membela kehormatan kaumnya. Beberapa waktu berkatalah ia kepada Sekar Tanjung:
- Nona! Kalau Purusara membunuh Yudapati, apa sebab muridku tewas juga? Engkau kurang adil, nona. Engkau hanya menganggap Purusara jahat dan tidak peri kemanusiaan.
- Yudapati tidak mati pada saat itu, meskipun dadanya tertancap pedang. sahut Sekar Tanjung di antara sedannya.
- Dia malahan masih dapat tertawa. Tiba- tiba dia memanggil padaku. Katanya setengah berbisik:
- Adik . . . secara kebetulan aku menemukan rahasia llmu Kapak Bhiksu Parasu. Persembahkan kepada gurumu. Jangan sekali- kali jatuh padanya. Sekarang . . .
Karena suaranya makin lama makin kurang jelas, aku berjongkok dan menajamkan pendengaran. Rupanya Pusara tertarik pula, sewaktu mendengar Yudapati menyebutkan nama Bhiksu Parasu. Aku sendiri tidak tahu alasannya, tiba- tiba ia menegas:
- Apa? Kau berkata apa? Kau menyebut . . .
Sambil menegas, ia maju menghampiri dan ikut berjongkok pula agar dapat menangkap ucapan Yudapati.
- Sekarang . . . tersimpan . . . di . . .terdengar suara Yudapati antara dan tiada.
Purusara membungkukkan tubuhnya. Pada saat itu tangan Yudapati bergerak pelahan mencari pedang pendeknya. Ia berhasil dan dengan sisa tenaganya pedang pendeknya ditusukkan ke perut bagian bawah .Purusara tidak sempat berbuat sesuatu. Kaki dan tangannya berkelojotan seperti ayam terpotong kepalanya. Dalam beberapa detik saja, Purusara tak bergerak lagi. Barangkali itulah yang dimaksudkan Yudapati dengan jurus membelah semangka dari celah dinding. Lucu bunyinya, tetapi Yudapati sendiri pada saat itu pula terguling ke dalam jurang
Sekar Tanjung tidak sanggup lagi melanjutkan ceritanya. Ia menangis sedih. kemudian merebahkan diri dalam,pelukan kakaknya seperguruan Saraswati. Sedang pendengar lainnya tenggelam dalam pikirannya masing masing. Mereka membayangkan betapa ngeri pertarungan itu. Purusara sengaja hendak mengangkat nama perguruannya dengan menggunakan kesempatan selagi lawannya sedang menderita parah. Sebaliknya pada saat- saat terakhir menjelang mautnya, masih dapat Yudapati menjebak musuhnya dengan muslihat yang licin. Rupanya dia mengenal watak dan nafsu orang- orang yang menjunjung ilmu sakti sebagai tujuan hidupnya lalu menjebaknya. seolah olah dirinya telah menemukan suatu rahasia ilmu kepandaian yang maha tinggi. Setiap pendekar atau orang gagah dimanapun, akan mengiler memperoleh ilmu yang menambah kepandaian. Termasuk Purusara yang tentunya mempunyai angan- angan yang melambung tinggi.
Tetapi tidak demikianlah halnya Getah Banjaran, Dewayana dan Aditi Paramita. Sebagai pemimpin kaumnya
mereka mengenal nama cikal- cikal setiap perguruan sebagai pengetahuan wajib. Cikal bakal perguruan Abeng Abong dahulu bernama Yama Parasu. Parasu artinya kapak: Yama bermakna maut. Itulah sebabnya, dia disebut Kapak Maut Dewa Yama yang disegani. Sebab dengan senjata kapaknya, pernah dia malang melintang beberapa tahun tiada tandingnya. Lalu tiba- tiba menghilang tiada kabarnya. Angkatan yang menggantinya hanya mewarisi beberapa bagian saja. Dan angkatan- angkatan selanjutnya makin berkurang. Akhirnya mencoba menambal kekurangannya dengan senjata penggada. Lalu tombak. Setelah itu. pedang panjang. Dan pada angkatan Getah Banjaran, anak muridnya tidak mengenal lagi ilmu perguruannya yang asli. Mereka terbagi menjadi tiga golongan. Golongan yang hanya menekuni ilmu penggada, golongan ilmu tombak dan ilmu pedang. Baik Bhiksu Dewayana dan Aditi Paramita tahu akan hal itu. Tetapi tidak begitu menaruh perhatian lagi, karena ilmu kapak leluhur kaum Abong- Abong, akhirnya lenyap tiada kabarnya lagi.
Dengan disebutkannya nama Yama Parasu oleh Yudapati menurut tutur kata Sekar Tanjung, mereka seperti diingatkan kepada tutur kata gurunya. Kabarnya hilangnya Yama Parasu bersamaan pula dengan beberapa cikal- bakal perguruan lainnya, termasuk aliran Syiwapala dan Paramita.
Mengapa?
Kemana?
Tiada yang dapat membuka tabir itu sampai ratusan tahun lamanya. Sekarang teka- teki itu hampir saja terungkap. Sayang, yang akan mengungkap tabir rahasia itu, kini sudah mati.
Dialah Mojang Yudapati.
Tetapi benarkah Mojang Yudapati mati tertembus pedang?
******
PENEMUAN YANG ANEH.
BERBAGAI PERASAAN menghantui Mojang Yudapati, tatkala meninggalkan perkampungan keluarga Goratara yang tertimpa malapetaka. Hal itu bisa di mengerti karena selama ini hidup sebagai perajurit yang hanya mengenal tugas negara. Tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa di luar kehidupan militer masih terdapat kehidupan masyarakat yang memiliki kewibawaan tak ubah organisasi pemerintahan. Mereka kejam, tak berperikemanusiaan akibat mau menang sendiri. Dan tiba- tiba saja ia benci kepada mereka yang mengagungkan diri sebagai yang berkuasa sehingga dapat berbuat yang bertentangan dengan rasa keadilan.
Taruh kata Goratara memang pantas dibunuh, tetapi apa dosa isteri dan anaknya?
Apakah merekapun layak menerima perlakuan demikian?
Teringat pula, bahwa di belakang pembunuhan itu berdiri fihak yang sedang berkuasa, ia jadi merasa muak.
Sebaliknya. andaikata di tengah perjalanan nanti ia melihat peristiwa demikian, apa yang harus diperbuatnya?
Menjadi penonton lagi atau mengulurkan tangan?
Ia jadi uring- uringan terhadap dirinya sendiri. Andaikata dirinya mempunyai kepandaian berlebihan, rasanya akan mudah untuk memutuskan tindak lakunya. Meskipun sebagai seorang perwira negeri lain tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara tetangga, namun agaknya tidak terlalu buruk andaikata ia menolong fihak yang lemah. Setidak- tidaknya termasuk salah satu dharma agamanya.
- Tetapi aku mempunyai kepandaian apa? - ia mengejek dirinya sendiri.
Selagi demikian, justru ia teringat kepada Boma Printa Narayana. Perwira ahli pedang itu,bukan mustahil sudah menerima laporan tentang tewasnya anak buahnya. Dengan sekali melihat bekas lukanya, pasti dia tahu siapa pembunuhnya. Sebab ahli pedang itu pernah bertempur melawan dirinya. Dan sebagai seorang ahli, ketajaman pengamatannya melebihi manusia lumrah. Memperoleh pikiran demikian, tak berani lagi ia melalui jalan umum. Terus saja ia menerobos petak hutan dan semak belukar.
Demikianlah ia berhari- hari menempuh perjalanannya dengan cara menghindari jalan umum.
Pada suatu hari, ia melihat sebuah kota kecil. Mau tak mau ia harus memasuki kota itu untuk memperoleh perbekalan. Khawatir bahwa hal itu- masih terlihat juga oleh mata- mata fihak penguasa, dengan berat hati ia menjual kudanya. Lalu melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Setelah berjalan serintasan, timbullah semangat jantannya. Katanya di dalam hati:
- Mengapa aku merisaukan Boma Printa Narayana? Apakah karena aku takut mati? Sengaja atau tidak . . . langsung atau tidak lansung, akupun sudah terlanjur
bermusuhan dengan kalangan- kalangan tertentu. Mereka juga pasti akan membalas dendam. Ringkasnya, baik pihak pemerintah maupun kaum yang merasa kurugikan bertekat akan membunuh diriku. Bersembunyipun, tiada gunanya. Sebab, tentunya mereka jauh lebih faham daerahnya sendiri dari padaku. Kalau begitu apa gunanya aku mesti main bersembunyi. Biarlah aku berjalan menurut kata hatiku. Kalau memang harus mati biarlah mati. Jelek- jelek aku seorang perwira Taruma Negara. Aku berkewajiban menjunjung tinggi keperwiraan bangsaku. Hayo siapa yang ingin membunuh diriku. Aku ingin lihat, siapa dia.
Sambil berjalan ia menggeragoti daging kambing goreng yang baru saja dibelinya sebentar tadi. Kemudian meneguk minumannya yang disimpannya dalam goci.
Aneh, setelah memperoleh keputusan demikian, hatinya terasa jadi tegar. Timbullah kegairahan hidup dari dalam kalbunya. Daging goreng dan air minum yang masuk ke dalam kerongkongannya terasa nyaman nikmat. Sekarang tahulah ia, bahwa semua kesan hidup itu tergantung dari keadaan hatinya.
Menjelang petang hari, ia sudah cukup jauh meninggalkan kota kecil tadi. Duduklah ia di tepi jalan melepaskan lelah. Selagi demikian, terdengar suara langkah orang beramai- ramai.
Satu, dua. tiga . . semuanya tujuh orang. Mereka datang dari arah barat dengan berlari- larian. Pakaian yang dikenakannya ringkas singsat dan membekal senjata.
- Hm. apakah mereka orang- orang yang ikut membunuh keluarga Goratara dan kini sudah menemukan jejakku? Baiklah jika kalian mau membunuhku. pikir Mojang Yudapati.
Berpikir demikian, ia berdiri tegak di tengah jalan sambil bertolak pinggang. Serunya:
- Hoooee!
Ini Yudapati perwira Taruma Negara yang tersesat disini. Siapa yang ingin membunuhku terlebih dahulu menyebutkan namanya.
Orang- orang itu terbelalak heran mendengar ucapannya. Yang berada paling depan terdengar menggerutu pendek:
- Sialan! kita bertemu orang gila...
- Ya. jangan membagi perhatian! Urusan kita malahan jadi runyam.
Sambung yang lain di sampingnya.
- Betul! Maling cabul itu jangan sampai sempat lari semakin jauh ! seru di belakangnya.
Dan seperti saling berlomba mereka mempercepat larinya.
Mendengar kata- kata mereka tahulah Mojang Yudapati jika mereka sedang mengejar seorang yang disebut sebagai maling cabul.
Siapa?
Tentunya maling cabul itu berkepandaian tinggi. Kalau tidak, masakan perlu diuber uber tujuh orang. Sedang berpikir demikian terdengar lagi kumandang suara derap kuda. lima penunggang kuda datang dari arah utara. Hatinya Mojang Yudapati tercekat,pastilah mereka rombongan laskar kerajaan.
Namun dugaannya salah. Mereka tidak mengenakan seragam pakaian laskar kerajaan. Lagipula mereka melaluinya tanpa menoleh kepada dirinya.
Kira kira belasan langkah jauhnya. sekonyong- konyong salah seorang penunggang kuda memutar kudanya kembali.
Ternyata dia seorang gadis yang cantik. Hanya saja mangenakan jubah. Tentunya seorang pendeta atau calon bhiksuni yang sering terdapat pada jaman itu.Dengan sopan bhiksuni itu bertanya:
- Apakah tuan melihat seorang laki laki berpakaian putih? lagaknya seperti manusia suci tetapi sebenarnya berhati jahat. Orangnya berperawakan tinggi langsing.Kedua matanya bulat dengan gundu mata hitam.Hidungnya mancung agak bengkok. Usianya kira- kira empat puluh tahun.
- Tidak. jawab Mojang Yudapati.
- Siapa dia?
- Palata.
- oh. - Oh, bagaimana?
- Aku hanya pernah mendengar namanya. Dia . . . dia . . .
- Benar. bhiksuni itu membenarkan dengan mengangguk seolah- olah sudah dapat membaca apa yang hendak dikatakan Mojang Yudapati lalu memutar kudanya kembali dan segera menyusul teman- temannya.
Mojang Yudapati teringat akan orang itu yang pernah muncul di atas panggung Tandun Raja Koneng. Namanya ditakuti orang sebagai majikan wilayah Selatan, Tilam tidak senang melihat kesan peribadinya. Orang demikian, menurut Tilam, pasti gemar menodai kesucian wanita.
Rupanya, mereka sedang mengubar- ubar orang itu.
Coba, mereka dapat menangkap orang itu atau tidak?
Biarlah aku ikut menyaksikan untuk sekedar menambah pengalaman. Siapa tahu ada gunanya. Semenjak tidak menghiraukan keselamatan diri, ia jadi bersikap acuh tak acuh terhadap apapun yang berhubungan dengan kepentingannya. tak terpikirkan lagi tujuan perjalanannya sebagai tugas yang utama.
Toh, akhirnya dirinya akan mati di tengah perjalanan. Entah oleh tangan laskar Boma Printa Narayana,entah oleh tangan kaum petualangan. Dengan demikian,ia sudah menghukum diri sendiri semacam pesakitan yang sedang berangkat menuju tiang gantungan.
Maka senyampang masih bisa menghirup udara segar, ia bermaksud hendak memperoleh pengalaman baru apa saja demi memuaskan hatinya.
Sikap dan pandangan hidup inilah yang diramalkan Mahendra melalui mulut Isu Wardana. Sesungguhnya
setelah menyaksikan peristiwa penjagalan dan kekejian lawannya dengan tidak sadar nalurinya bergolak untuk memperoleh nilai lebih daripada apa yang dihayati sekarang.
Dengan pikiran demikian,ia mengikuti arah perjalanan dua rombongan yang sudah mendahuluinya. Mereka berlari- larian cepat dan yang lain menunggang kudanya. Sebaliknya ia hanya berjalan asal berjalan saja. Sudah barang tentu, jaraknya makin lama makin jauh. Pada waktu malam hari tiba, ia baru mencapai tepi petak hutan yang berada di atas ketinggian. Cahaya bulan tidak kuasa menembus rimbun daun yang menaungi bumi. Sekarang terasa, betapa perjalanan jadi sukar. Tidak berani ia membuat obor, karena takut menimbulkan kecurigaan orang. Jangan jangan, malah dirinya yang dikira Palata.
Maka dengan mengandalkan perasaan dan ketajaman matanya, ia melanjutkan berjalan setapak demi setapak.
Tiba- tiba.
Brus!
Kakinya menginjak tempat kosong. Ia terperosok ke dalam jurang. Untung saja jurang itu tidak begitu dalam. Tetapi tertutup oleh rimbunan belukar dan timbunan daun kering. Walaupun demikian, tatkala terbanting di dasarnya, punggungnya terasa sakit juga. Tatkala bergerak hendak mencoba bangkit, kembali lagi ia terperosok. Kali ini seperti terperosok ke dalam mulut sumur. Pedang Jagadpati yang selalu tergantung dipinggangnya sempat melintang di atas bibir sumur. Karena terhentak berat badannya,ikat pinggangnya terputus. Dan ia terbanting kira- kira sedalam empat meter. Pedang pendek terpental dari ikatannya dan terdengar jatuh masuk ke dalam dengan suara gemerisik. Sekarang tidak berani lagi ia bergerak dengan sembarangan. Jangan- jangan ia jatuh terperosok lebih dalam lagi. Hati- hati ia merogoh saku bajunya hendak mengambil batu api.
Syukur, masih ada. Namun tatkala bermaksud hendak membuat penerangan, segera ia urungkan. Siapa tahu orang- orang yang sedang mengejar Palata masih berada di sekeliling tempat itu. Biasanya nyala api sekecil kecilnyapun akan nampak menyala lebih cerah di tengah malam buta. Maka ia menyabarkan diri dan menenteramkan hatinya.
Bukankah dirinya masih selamat tak kurang suatu apa?
ia menengadah ke atas dan mengawasi mulut sumur. Samar- samar ia melihat pedang panjang masih melintang di tempatnya. Asal saja suara jatuhnya tadi tidak meninggalkan kumandang terlalu panjang, tentunya tidak membangkitkan perhatian orang, pikirnya di dalam hati.
Ia menunggu beberapa waktu lamanya. Tiada terdengar suatu bunyi yang mencurigakan. Hatinya jadi lega.
Nah, sekarang tinggal mengatur letak badannya. Karena tanahnya rupanya mudah rontok, maka semalam suntuk ia tidak berani bergerak. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hatinya. Tetapi berkat ketabahan dan kecermatannya, dapat ia menguasai diri. Dan tatkala matahari mulai menembus kepekatan hutan raya, hatinya bersyukur bukan main.
Mula- mula yang dikerjakan ialah memeriksa keadaan tanah.
Sialan, pikirnya.
Ternyata dindingnya kuat bagaikan batu besi. Juga tempat dirinya tertampung. Hanya tengahnya saja yang berlubang dan merupakan terowongan entah berapa jauh kedalamannya. Tahu begitu kedua kakinya dapat direntangkan panjang melintang pada tepi terowongan seperti letak pedang Jagadpati di atasnya
Kemudian ia mengamat- amati letak pedang Jagadpati. Segera ia berdiri tegak memipit dinding terowongan .Lalu melompat tinggi dan hinggap di tepinya sambil menyambar pedang Jagadpati.
Setelah itu teringatlah dia
kepada pedang pendeknya. Pedang pendek itu harus diambilnya, karena terukir namanya sendiri .Ia mencoba mengingat- ingat suara logamnya yang bergemelontang seperti terantuk- antuk.
Terdengarnya seperti terpental- pental dari tempat ke tempat. Kalau begitu tidak langsung jatuh ke dasarnya.
Apakah terowongan ini berbelok- belok? ia menebak- nebak.
Dengan cekatan ia mencari beberapa batang ranting kering, kemudian di sulutnya menjadi obor. Ia bermaksud menjajaki sampai seberapa dalamnya. Dan dengan obor itu, ia terjun melalui mulut terowongan menyusur dinding. Ia mencoba melongok ke dalam. Tetapi sinar obornya tidak mampu menembus sampai ke dasarnya. Ia tidak kekurangan akal. Segera ia menghunus pedang Jagadpati dan menggempur bongkahan tanah. Terdengarlah suara bergemuruh namun berkumandang seolah- olah menggelinding makin menjauh.
Tahulah dia, bahwa di balik dinding terdapat tanah menurun yang miring sifatnya.
Memperoleh kesimpulan demikian, hatinya mantap. Ia mengangkat obornya tinggi- tinggi dengan tangan kirinya dan pedang di tangan kanan. Lalu memberosot turun dengan hati- hati. Tiba- tiba bulu kuduknya meremang. Di depan kakinya, tergeletak sebuah kerangka dan tengkorak manusia yang masih utuh.
- Hai! - ia terkejut.
Apakah sebuah makam?
Makam siapa?
Dan mengapa dikubur di sini?
Dengan menajamkan mata serta meninggikan obornya, ia mencoba mengamat- amati. Rangka dan tengkorak itu letaknya aneh. Bukan miring atau terlentang. tetapi tengkurap.
Pikirnya, apakah jaman dahulu pernah terdapat suatu kepercayaan, menelungkupkan mayat seolah mencium bumi?
Tetapi terowongan ini nampaknya memanjang dan sempit. Sama sekali tidak merupakan lubang pemakaman.
Ia berjongkok agar memperoleh penglihatan lebih jelas lagi. Ternyata kerangka itu masih mengenakan pakaian, walaupun sudah hancur menjadi abu. Di sampingnya terdapat sepasang kapak raksasa yang mengkilat oleh cahaya obornya. Dengan memindahkan pedangnya ke tangan kiri. ia mencoba mengangkat kapak itu dengan tangan kanannya.
-Ih! Bukan main beratnya. Setidak tidaknya berbobot 60 kati. Berarti orang yang mati itu kuat menggunakan sepasang kapak yang berbobot 120 kati.
Apakah raksasa?
Ia mencoba membacokkan kapak itu sekenanya saja kepada sepotong batu yang menjorok kedalam. Dan batu itu terpapas rata dan jatuh menggelinding ke dalam.
Mojang Yudapati terkejut .Sama sekali tak diduganya, bahwa kapak itu tajam luar biasa. Tentunya senjata seorang pendekar sakti pada jaman kuno. Karena memiliki sifat yang cermat,secara wajar ia memeriksa bekas papasannya. Benar- benar serata orang memotong tahu. Ia mendekatkan obornya. Samar- samar ia melihat sederet huruf. Bunyinya:
Abong- Abong. '
- Hai! Apakah dia leluhur kaum Abong- Abong? ia tercengang. Sebab pada detik itu pula, teringatlah dia kepada Borang yang mengaku wakil dari aliran Abong Abong di kediaman pendekar Goratara. Kemudian ia memeriksa kapak lainnya. Disitu tertera sebuah nama: Yama Parasu.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah. tentunya inilah nama pemiliknya.
Memperoleh keyakinan demikian, segera ia membungkuk hormat. Lalu timbullah suatu teka- teki di dalam hatinya.
Apa sebab pendekar itu terkubur di sini?
Ia tahu pula. bahwa letak wilayah Abong- Abong berada di ujung utara wilayah kerajaan Sriwijaya. Tentunya ada latar belakangnya yang menarik.
Pelahan- pelahan ia memberosot turun melalui terowongan kasar. Setelah melewati empat belokan. pedang pendeknya tergeletak di depan kakinya. Tetapi lubang terowongan itu masih saja menurun berbelok- belok. timbullah niatnya hendak menyelidiki sampai di batas akhir terowongan itu.
Demikianlah setelah menyusupkan pedang pendeknya di pinggangnya, ia melanjutkan langkahnya lagi setapak demi setapak. Sekonyong- konyong ia melihat cahaya terang di kejauhan.
- Hai! Apakah di sana terdapat mulut terowongan ini? pikirnya senang.
Baru saja ia melangkahkan kakinya, terdapat lagi dua kerangka manusia. Yakinlah kini, bahwa terowongan itu bukan tempat pemakaman. Mungkin sekali tempat penyiksaan semacam penjara di bawah tanah.
Siapakah yang membuat penjara penyekap musuh ini?
Lalu kapan dibuatnya?
Nafsu ingin mengetahui, kian meluap- luap. Dengan pedoman cahaya terang itu, ia melangkah maju.
Tetapi aneh!
Letak cahaya itu sekarang makin meninggi. Dan tiba- tiba ia berada di sebuah kamar berukuran besar berdinding batu gunung yang kokoh'perkasa. Dan cahaya itu datang dari atas semacam penerangan. Di mulut terowongan yang merupakan batas akhir, di ketemukan bekas timbunan tanah. Tentunya reruntuhan tanah dari atas. Mengingat betapa panjang terowongan itu, ia kagum bukan main. Orang yang bersenjata kapak yang menyebut diri Yama Parasu, pasti seorang pendekar jaman kuno yang berhati tabah, ulet dan perkasa. Kalau tidak, mustahil sanggup membuat terowongan demikian panjang dengan harapan akan memperoleh jalan keluar. Sayang andaikata maju sepuluh langkah saja, dia tentu sudah
berhasil keluar dari sekapan yang mengerikan ini.
- Ih! Alangkah kejam yang memenjarakannya di dalam goa tertutup ini. - pikir Mojang Yudapati di dalam hati.
Atau sebaliknya. mereka ini pantas dikurung disini karena sangat berbahaya bila dibiarkan hidup bebas di luar? Karena cahaya dari atas sudah cukup memberi penerangan, obornya di padamkan dan diletakkan di atas lantai. lalu dengan hati- hati ia berjalan mengelilingi dindingnya. Beberapa langkah di depannya terdapat enam kerangka yang terpisah- pisah letaknya. Senjata mereka berada di sampingnya. Melihat hal itu timbul lagi dugaan Mojang Yudapati: '
- Mereka tidak dipenjarakan sebagai orang- orang hukuman. Sekiranya demikian,mustahil mereka dibiarkan membawa senjatanya masing- masing. Tetapi mengapa mereka mati di sini? Masuk perangkap atau terkurung? Atau . . . atau sewaktu mereka sedang berkumpul di sini untuk membicarakan sesuatu yang pelik tiba- tiba terjadi gempa bumi sehingga menutup jalan keluar? ia berhenti menimbang- nimbang.
Sejurus kemudian berkomat kamit:
- Kurang tepat! Kurang tepat! Kalau mereka tertutup jalan keluarnya, apa sebab Yama Parasu seakan akan membuat jalan terobosan? Gempa bumi bukankah hanya menutup atau menyumbat jalan keluar yang tentunya sudah diketahui tatkala mereka memasuki goa ini? Sekarang, ia mulai memperhatikan posisi mereka. Ada yang terbaring duduk dan berjongkok. Senjata mereka masing- masing terdiri dari tombak, tongkat. penggada. pedang bergigi tajam dan palu godam.
Kalau begitu mereka pasti bukan pendekar- pendekar satu aliran, lalu mengapa mereka berkumpul disitu? Mojang Yudapati berteka- teki dengan dirinya sendiri.
Dengan cermat ia mencoba membaca ukiran- ukiran huruf yang terdapat pada senjata mereka. Terbacalah nama: Kalakarma dari Pasupata. Kemudian Raguta dari aliran Tanah Putih. Dasagriwa dari kaum Siguntang. Catur Rudra dari aliran Arnawa. Amarawati dari Paramita.
Di depan kerangka yang nampak duduk bersila itu, ia mengamati beberapa waktu lamanya. Tentunya dia seorang wanita. Dan menilik nama dan alirannya, tentu seorang bhiksuni. Lalu Gunadewa dari aliran Gupala Seta. Upasunda dari kalangan Orang- Aring. Dan yang terakhir bernama Wisrawana dari Syiwapala. Dia bersenjata pedang dan pasti dari kalangan agama. Kalau begitu seorang pendeta.
- Benar- benar aneh! Mengapa mereka mati semua dalam satu tempat? Mati kekurangan makan- minum atau terbunuh?
Mojang Yudapati semakin heran.
- Bila terbunuh tentu ada yang membunuhnya. Siapa? Atau mereka saling mengadu kepandaian akhirnya gugur bersama pula?
Ia mencoba memeriksa dinding goa dengan bantuan obornya nampaklah sederet kalimat yang berbunyi begini:
"Kaum pendatang, kamu kalah. Tapi kamu menjebak kaum Pasupata sebagai pengecut."
- Kaum Pasupata? Mojang Yudapati mengulang di dalam hatinya.
Apakah mereka semua kaum Pasupata?
Mojang Yudapati tentu saja tidak mengerti, bahwa makna Pasupata ialah nama suatu kepercayaan orang nusantara asli pada jaman itu. Setelah Agama Hindu dan Budha berkembang di Suwarnadwipa. kaum Pasupata dinyatakan sebagai agama terlarang dan berbahaya. lambat laun rakyat yang sudah menganut kedua agama tersebut, memandang Pasupata sebagai kepercayaan kotor dan kasar. Akibatnya Pasupata sendiri pecah dari dalam. Mereka
mendirikan suatu faham sendiri, terdiri dari sembilan aliran. Kecuali Pasupata tetap berdiri sebagai simbol cikal bakal terdapat pula kaum Abong- Abong, Tanah Putih, Siguntang. Arnawa, Paramita. Syiwapala. Orang- Aring dan Gupala Seta. Hanya sekali- kali mereka bersatu padu. bila menghadapi kekuatan dari luar. Mungkin pula yang dikatakan sebagai kaum pendatang ialah kaum Chaiya atau anak keturunan Da Punta Hyang yang datang dari Minanga Tamwan. Tetapi dalam keadaan damai, mereka sering bertempur berebut unggul. Hanya terhadap kaum Pasupata yang tidak begitu banyak jumlah anggotanya, mereka bersatu- padu untuk menghancurkan.
Dengan demikian, sesungguhnya mereka saling curiga mencurigai.
Hal itu kini dapat disaksikan Mojang Yudapati setelah mengamat- amati dinding yang penuh dengan ukiran gambar seseorang sedang bertanding. Sesungguhnya merupakan hasil karya mereka dalam keadaan iseng sambil menunggu datangnya maut.
Dua orang sedang mengadu kepandaian. Yang sebelah kanan pendekar dari Gupala Seta dan yang kiri dari Syiwapala. Senjata mereka tombak dan pedang. Masing masing tidak mau mengalah, sehingga gambar ukiran itu berdiri dari 32 buah. Setelah diperhatikan dengan seksama, jurus mereka masing- masing termasuk jurus simpanan yang jarang terlihat di luaran. Mojang Yudapati mencoba menirukan jurus pedang Syiwapala pada dua gambar berturut yang dihubungkan. Ternyata tidak mudah untuk memperoleh gaya sambung pada gambar ke dua. Setelah diulangi sampai empat kali, baru dapat difahaminya. ia kagum dan termangu- mangu. Hampir sepuluh tahun lamanya ia bersenjata pedang. Tetapi andaikata menghadapi serangan pedang dengan jurus sambung yang terdapat pada gambar itu, jelas sekali ia akan mati dalam satu gebrakan saja. Dan ia bertambah terperanjat tatkala memperhatikan lukisan tombaknya. Ternyata tombak itu dapat menangkis dengan baik bahkan membalas menyerang.
Memperoleh pengertian itu, ia jadi bernafsu untuk memeriksa lukisan- lukisan lainnya. Semuanya berjumlah sembilan macam yang terdiri dari berpuluh- puluh gambar. Rata- rata terdiri dari 30 sampai 40 jurus. Setelah tercenung- cenung beberapa waktu lamanya, akhirnya ia menghela nafas kagum luar biasa.
Naga Merah Hiat Liong Toan Karya Khu Lung Roro Centil 10 Orang-orang Lembah Terkutuk Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar

Cari Blog Ini