Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 6

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 6


Orang cendekiawan itu memang aneh. Sudah jelas, mereka terkurung di dalam goa yang tiada jalan keluarnya. Namun mereka masih saja mengotot tidak mau mengalah. Tentunya, mula- mula dimulai dengan saling adu mulut untuk mengunggulkan ilmu kepandaian pihaknya masing- masing. Lalu saling melukiskannya. Setelah itu, agaknya saling bertempur dengan sungguh- sungguh. Mungkin sekali mereka bergantian mencari lawan. Dan akhirnya gugur bersama. - .
Ia mendongak memandang ke atas mengamati lobang cahaya yang kini nampak remang- remang. Rupanya petang hari mulai tiba. Dengan begitu,ia tenggelam dalam suatu keasyikan sehingga lupa makan dan minum semenjak semalam.
- Yang mengurung mereka ini mengirimkan makan minumanya melalui lubang cahaya itu.' Hm . . . andaikata mereka bersatu padu untuk berdiri bersusun, bukankah dengan sekali lompat dapat mencapai lubang angin itu? Sembilan orang tersusun tindih. Paling tidak sudah mencapai ketinggian lima belas meter. Lalu . . . yang berada paling atas melompat tinggi menyambar tepi lubang. Setelah berhasil keluar, tinggal menurunkan tali. Bukankah
mereka semua dapat bebas? - ia berpikir mondar- mandir sambil mendongak ke atas.
- Soalnya sekarang. siapakah yang berada paling atas? Agaknya mereka saling curiga dan akhirnya memilih lebih baik mati berbareng saja. Atau mungkin sudah pernah dicoba tetapi sekian kali tetap gagal karena lubang itu memang . . . ya. memang terlalu tinggi.
Memperoleh kesimpulan demikian, kembali lagi ia membayangkan mereka yang sedang bertempur mengadu kepandaian. Tiba- tiba teringatlah dia kepada pendekar yang menamakan diri Yama Parasu yang bersenjata dua bilah kapak. Pikirnya:
- Kalau mereka saling bergebrak sampai mati, maka satu- satunya yang lolos hanyalah pendekar Yama Parasu. Bukan mustahil bahkan dialah yang terunggul. Buktinya dia bekerja seorang diri membuat terowongan terobosan. - =
Ia memeriksa kembali lukisan- lukisan yang terdapat di dinding goa, apakah pendekar Yama Parasu mengadu kepandaian pula. Ternyata di sebelah timur ia menemukan satu seri gambar seseorang bersenjata dua bilah kapak melawan tombak dan pedang. Lalu melawan yang bersenjata penggada bergigi. Sampai di sini. obornya nyaris mati. Cepat ia mengambil sisa ranting. Ternyata tinggal sebatang. Maka ia memutuskan hendak keluar goa dahulu mengumpulkan ranting kering sebanyak- banyaknya.
Namun dalam sekilas pandang tadi, dia melihat betapa Yama Parasu sudah melawan tiga orang.
- Artinya, dia sudah mengalahkan tiga orang. pikirnya di dalam hati.
Paling tidak sudah memperlihatkan kepandaiannya terhadap tiga orang pendekar.
Dengan membawa pedang pendek dan sebatang obor, ia mendaki tanjakan terowongan dengan membungkukkan badan. Ternyata panjangnya bukan main. Maka rasa kagumnya terhadap pendekar Yama Parasu makin tinggi. Ia mencoba mengingat- ingat gerakan jurus kapaknya yang terdapat pada gambar- gambar tadi. Tentu saja hanya yang dapat diingatnya saja.
- Ih. luar biasa ganasnya. Pukulannya antap dan pasti.
Tiba di samping kerangka Yama Parasu, kembali lagi ia membungkuk hormat. Tetapi khawatir kalau obornya padam dengan mendadak, ia melakukan penghormatan itu dengan selintasan. lalu cepat- cepat ia mendaki lagi. Benar saja. Obornya padam menjelang dua langkah mencapai tepi mulut terowongan.
Hawa sejuk hutan raya membangkitkan semangat hidupnya. Entah apa sebabnya, perasaannya tergetar setiap kali teringat kepada lukisan- lukisan berjajar di bawah sana. Darahnya bergolak dan seakan- akan mengajak dirinya untuk bergerak bebas sebebas- bebasnya. Galak ganas ibarat seekor harimau yang baru terlepas dari sangkarnya. Terasa kini., perutnya terangsang rasa lapar dan dahaga. Barulah dia kini teringat, bahwa makanan dan minuman yang dibawanya tadi berserakan di atas tanah di dasar jurang. Terus saja ia menyalakan obor untuk mengumpulkannya. Lalu duduk mengerumiti potongan daging dengan lahapnya. Kadang diselingi dengan beberapa teguk minuman untuk melicinkan kerongkongannya. Sambil menikmati semuanya yang terasa menyentuh perasaannya, timbullah gairah semangat hidupnya. Perasaannya seperti seorang perwira yang sudah berhasil membobol benteng musuh. Itulah perasaan aslinya sendiri yang sekarang diketemukan kembali. Hanya saja agak berbeda peregukannya. Pendek kata, ia merasa seperti jadi manusia baru yang baru saja dilahirkan. Dunia luas seolah- olah terbuka lebar baginya. Tiada lagi ia takut akan ancaman bahaya. Karena apabila dia sudah dapat menguasai seperdelapan
juru- jurus dahsyat yang dilihatnya tadi. agaknya cukup untuk merobohkan Boma Printa Narayana. Apalagi sebangsa Borang dan kaki tangan- kaki tangannya.
Selagi menikmati kegairahan hatinya, sekonyong konyong ia mendengar suara seorang perempuan dalam kesusahan. Cepat ia memadamkan obornya. Kemudian merangkaki tebing jurang dengan hati- hati. Ia melongokkan kepalanya dan melihat berkelebatnya dua sosok bayangan mendaki di balik ketinggian. Nalurinya terus saja mengajaknya untuk mengikuti.
Dialah Palata yang sedang menawan Sekar Tanjung, dan dibawanya masuk ke dalam goa dengan paksa. Goa itu sebenarnya terletak tidak jauh dari terowongan tempat mengurung para pendekar Pasupata. Dan selanjutnya, apa yang terjadi tidak berbeda jauh dengan yang diceritakan Sekar Tanjung kepada guru dan sekalian pendengarnya.
Hanya saja, Mojang Yudapati tidak tewas seperti yang dikabarkan bhiksuni cantik itu.
Benar dadanya tertancap pedang tetapi tidak sampai mengancam jiwanya. Sewaktu dia terjatuh ke dalam jurang, masih sempat Sekar Tanjung menggertak kawan- kawan Pusara. Katanya;
- Kudengar dengan telingaku sendiri, bahwa antara Yudapati dan Palata terikat satu perjanjian. Mereka akan bertemu kembali untuk mengadu kepandaian. Bila Palata mengetahui Yudapati gugur terjungkal dalam jurang. maka kalianlah yang jadi sasarannya.
Mendengar kata- kata Sekar Tanjung, wajah mereka berubah hebat. Mereka tahu apa artinya bila Palata sampai minta pertanggung jawabannya. Walaupun berusaha bersembunyi di ujung dunia. Palata pasti akan mencari mereka sampai ketemu. Maka satu- satunya jalan yang terbaik, manakala mereka cepat- cepat meninggalkan jurang itu dan mengungsi di belakang gurunya. Setidak- tidaknya
Palata akan terpaksa berhadapan dengan sekalian anggota Abong- Abong.
Memperoleh pikiran demikian, mereka meninggalkan tempat itu sambil membawa jenasah Pusara, dengan langkah panjang. Sekarang tinggal Sekar Tanjung seorang diri. Ia meratapi Yudapati yang sudah dianggap sebagai pahlawannya.
Bukankah pemuda itu tewas demi keselamatan jiwanya?
Setelah kehabisan air mata, perlahan- lahan ia berdiri. Kemudian meninggalkan tempat itu untuk mencari jejak rombongannya yang tentunya menyusul gurunya. Kepadanyalah dia hendak mengadukan nasibnya.
**** MALAM HARI tiba dan matahari terbit kembali pada keesokan harinya. Mojang Yudapati tersentak bangun dan kembali tak sadarkan diri lagi karena tertusuk rasa sakit sampai ke tulang- tulangnya. Tatkala menyenakkan mata untuk yang kedua kalinya,senja hari telah tiba. Yang terasa dalam dirinya ialah rasa lemah lunglai. Sama sekali ia tidak bertenaga lagi. Namun ingatannya masih jernih. Segera teringatlah dia kepada Sekar Tanjung dan Pusara yang menikam dadanya. Tetapi pedang itu ternyata tiada lagi. Sebagai gantinya, darah setengah kering meleleh membasahi sekujur dadanya setebal hampir satu senti.
Apakah ada yang menolong dirinya?
Ia menebarkan pandangnya untuk mencari kejelasan dimana dirinya kini berada. Ternyata ia berada di atas dahan pohon berbentuk penyangga. Dahan pohon berjumlah empat yang bercabang. Dan pohon itu sendiri tumbuh mencongak pada tebing jurang. Dan pedang yang tadinya tertancap di dadanya. tampak tergantung di puncak pohon, tersangkut pada dahan dan ranting yang saling bersilang
Rupanya, sewaktu ia terjungkal dari tebing jurang tubuhnya tersangkut pada rimbun pepohonan yang tumbuh di dinding jurang. Hulu pedang yang menancap didadanya terkait pada serumpun ranting yang bercabang dan tercabut oleh berat badannya yang jatuh pada dahan bercabang di bawahnya. Peristiwa itu terjadi sewaktu ia kehilangan kesadarannya. Dengan demikian ia sama sekali tidak menanggung rasa sakit. Namun setelah sadar, barulah rasa sakit itu menyakiti dirinya serasa menembus sampai ke tulang belulangnya. Dan ia jatuh pingsan kembali.
Kini ia tersadar untuk yang kedua kalinya. Rasa sakit yang luar biasa mulai menggigit kembali.
Syukur kali ini daya tubuhnya yang kuat dapat mempertahankan diri. Secara naluriah, segera ia - ingin menolong dirinya.
Tetapi dengan apa?
Dan bagaimana?
Teringatlah dia kepada obat luka pemberian Sekar Tanjung. Ia mencoba menggerakkan tangannya. Yang dapat bergerak hanya tangan kirinya. Dan dengan tangan kirinya itu, ia menggerayangi saku bajunya. Dua botol obat luka itu masih tersimpan aman. Perlahan- lahan ia mengeluarkan sebotol dari dalam sakunya. Kemudian membuka penutupnya dengan giginya. Setelah berhasil ia menyontakkan isinya ke sekujur dadanya asal jadi saja. Pokoknya pada tempat- tempat yang terasa sakit dan nyeri. Ternyata pekerjaan yang sederhana itu menyita tenaganya. Dan ia kembali terjatuh pingsan, sementara botol obatnya itu menggelinding ke dalam jurang.
Entah sudah berapa lama ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Tatkala menyenakkan matanya, cahaya matahari terasa sejuk menyentuh kedua belah pipinya. Dengan demikian sesungguhnya ia pingsan selama satu malam suntuk lebih.
Berkat pembawaan diri yang cermat dan berpengalaman sebagai prajurit. ia perlu mengisi perutnya agar memperoleh tenaga, ia tidak mau berpikir secara berkepanjangan. Begitu melihat rimbun daun, segera ia memetiknya yang termasuk muda dan dikunyahnya. Perlahan lahan ia menelannya. Rasanya pahit mengandung semacam perekat.
Ah, apa saja, jadinya!
Pokoknya untuk isi perut. ia berguman dalam hatinya. Dengan keputusan itu. ia mengembarakan matanya dan melihat segerombol buah berwarna merah tua. Entah buah apa, ia tak tahu. Namun tanpa berpikir panjang lagi, terus saja ia memetiknya dan memakannya.
Pahit! Pahit luar biasa!
Apakah buah yang mengandung racun?
Kebetulan, malah. Kalau memang harus mati, biarlah mati lebih cepat.
Tetapi buah dan daun pohon itu, sesungguhnya termasuk salah satu ramuan obat mujarab yang mempunyai daya khasiat untuk menyerap dan merekat darah yang membanjir keluar dari tubuhnya. Getahnya lebih- lebih berkhasiat demikian. Memang, kalau umur masih dikehendaki lebih panjang lagi, terjadi hal- hal diluar pengamatan akal. Jatuhnya Mojang Yudapati yang tersangkut pada dahan bercabang itu, mematahkan dahan dan ranting bagian atas. Getahnya menetes dan tepat jatuh pada luka bekas tancapan pedang. Seketika itu, darah yang membanjir keluar terbendung oleh daya perekat getah. Itulah sebabnya, tatkala Mojang Yudapati membuka mata, sekujur dadanya penuh dengan darah yang setengah mengental. Kelak dia baru tahu, bahwa hal itu terjadi berkat khasiat pohon yang menyelamatkan jiwanya dari renggutan maut.
Sekarang ia menelan daun dan buahnya. Ramuan obat mujarab itu membuktikan khasiatnya. Darahnya tidak lagi menembus keluar dagingnya. Apalagi lukanya
terbubuhi obat luka buatan biara Paramita yang termasyhur. Maka tidak mengherankan, luka cepat kering dalam waktu tiga hari saja. '
Selama itu, yang dimakan hanya daun dan buah pohon ajaib itu,
Syukur, sebagai seorang perwira ia sering terlatih untuk menahan lapar karena perajurit Taruma Ngara diwajibkan dapat bergerak secara wajar. meskipun tidak makan dan minum selama tiga hari. Itulah sebabnya, menahan rasa lapar dan minum tidak merupakan suatu masalah pokok baginya. Hanya saja. tenaganya jauh berkurang akibat luka yang dideritanya. Juga gerakan tangan dan kakinya terbatas. Namun pada hari keempat, ia sudah dapat duduk bersandar pada dahan dengan kokoh. Mulailah pikirannya bekerja untuk membebaskan diri dari tebing jurang yang terjal. Ia menengadah kemudian meruntuhkan pandangnya untuk mengukur jarak. Seumpama tenaganya pulih, tentu saja ia akan memilih mendaki tebing daripada turun ke bawah. Jarak jangkauannya tidak begitu tinggi. Kira- kira lima kali tinggi manusia dewasa.
Ia mencoba berdiri dengan hati- hati. Tangan kirinya memegang dahan pohon erat- erat lalu dengan mangerahkan tenaga sekedarnya. ia mengangkat badannya.
Hup! Kedua kakinya bergemetaran, walaupun demikian ia berhasil berdiri tegak dan bersandar pada dahan pohon.
Jelas, tiada harapan baginya untuk dapat memanjat tebing setinggi itu. Kecuali bila dia dapat makan dan minum dengan teratur selama beberapa hari untuk merebut tenaganya kembali. Dengan pikiran kosong ia mengembarakan pandang matanya. Tiada pepohonan yang berarti untuk dapat menunjang maksudnya. Burungpun tak pernah tersesat membuat sarangnya di atas pohon untuk bertelur. Tegasnya, baik minum maupun makanan yang
dapat menjanjikan diperolehnya tenaganya kembali.Tiada sama sekali.
Menghadapi kenyataan itu tak terasa ia menghela nafas. Ia mendongak ke atas memandang awan yang berserakan di udara. Terloncatlah doanya:
- Brahma. Wysnu. Syiwa. Hyang Widdhi Wisesa! Aku telah kau hidupkan kembali. Tetapi aku tak tahu bagaimana diriku dapat mencapai ketinggian tebing itu. Bimbinglah diriku! Tunjukkan jalannya! Apakah memang diriku Kau kehendaki mati pelahan- lahan?
Pada waktu itu, rakyat Nusantara memeluk Agama Syiwa dan Budha di samping agama pribumi atau faham kepercayaan yang disebut dengan Pasupata. Antara Syiwa dan Buddha terjadi suatu pembauran dengan adat- istiadat serta faham kepercayaan. sehingga orang- orang akan menyebut Penguasa Tinggi dari dua Agama besar tempat ia menaruhkan seluruh harapannya, seperti yang dilakukan Mojang Yudapati.
Tiba- tiba terdengar suara dua orang sedang bertengkar di atas tebing. Suara laki- laki dan wanita. Tiap patah kata mereka terdengar jelas dan berwibawa sehingga Mojang Yudapati segera dapat menerka, bahwa mereka berdua termasuk dua insan yang berilmu tinggi. '
- Goplo! terdengar suara wanita memanggil yang laki- laki.
- Sudah jelas. pasti di sini tempatnya. lihat, darah itu!
Orang yang dipanggil dengan nama Goplo tertawa terbahak- bahak. Sahutnya senang:
- Aruni! Nah. begitulah seharusnya engkau memanggil namaku. Suaramu yang merdu dan sedap didengar itu, selalu kurindukan semenjak anak kita lahir. Waktu tujuh belas tahun bukan waktu yang sekejap lho!
- Sudahlah. bagaimana pendapatmu? Benar tidak
bahwa tempatnya pasti di sini? potong wanita yang bernama Aruni dengan Ketus.
- Kalau kau berkata di sini, tentu di sini.
- Nah. berbuatlah!
- Berbuat apa? - Apakah engkau tidak sudi mendengarkan permohonan anak gadismu?
- Tentu. tentu! Tetapi masakan dia tidak tahu pantanganku? Selamanya aku tak mau melihat laki- laki lain. - Lagi- lagi begitu. Lagi- lagi begitu.
Aruni mengomel Lalu mengancam:
- Baiklah, kalau engkau tidak sudi mengabulkan pemohonan puteri kita. biarlah aku kembali lagi kepertapaanku. - Hai. hai. jangan!
Goplo gugup.
- Jangan! Apakah engkau begitu cepat jenuh melihat tampangku?
- Bukankah kau batu bunyi perjanjian kita dahulu? Setelah melahirkan anakmu. aku akan bertapa dan bersumpah tidak akan turun gunung melihat tampangmu. Tetapi lihatlah, demi anak kita, aku turun gunung juga untuk menemuimu. Kalau engkau menganggap enteng pemohonan puteri kita. masakan aku tidak bisa bertindak sendiri.
- Bertindak sendiri bagaimana?
Goplo cemas.
- Akan kubawa dia naik gunung untuk menemaniku selama hidupku. jawab Aruni.
- Aruni! Bukankah puteri kita sudah mendapat keadilan? Dia sekarang berada di Paramita. Artinya baik aku maupun engkau, tidak akan berselisih lagi tentang siapa yang berhak memilikinya.
- Dewasana! Apakah engkau menantangku untuk bertempur lagi seperti dahulu?
- Dewasana. Dewasana! Kau memanggil siapa? - Bukankah Dewasana itu namamu?
- Goplo! Bukan Dewasana segala.
- Dewasana!
- Goplo! - Dewasana!
- Goplo!
Mendengar pertengkaran mereka. Mojang Yudapati yang sudah tidak bertenaga, masih saja terpaksa bersenyum. Ia semakin yakin mereka yang sedang bertengkar di atas tebing itu, tentu manusia- manusia istimewa. Sebab biasanya orang yang memiliki kepandaian tinggi berwatak aneh.
- Aku dahulu bersedia melayani seorang pendekar besar bernama Dewasana. ujar Aruni.
- Tetapi karena ketololanku. engkau menyebutku dengan Goplo! Dan aku lebih senang bila engkau tetap memanggilku dengan Goplo!
Dewasana mengotot.
- Sudahlah. Yang sudah lalu biarlah lalu. Sekarang bagaimana? Engkau mau meluluskan permintaan puterimu atau tidak?
- Sudah kukatakan, tentu ' akan kululuskan. Kalau tidak, masakan aku sampai datang ke tempat ini. Hanya saja aku sudah bersumpah tidak sudi melihat muka laki- laki.
- Tetapi bagaimana kalau gadismu senang kepada laki- laki? Pada suatu kali masakan gadismu akan kau biarkan menjadi seorang bhiksuni?
- Itu kan masalah nanti. Tetapi pada waktu ini . . .
- Baiklah. Berikan talimu itu kepadaku! potong Aruni.
- Buat apa?
- Kau sendiri membawa tali sepanjang itu buat apa? Bukankah jauh- jauh engkau sudah tahu bahwa tali itu sangat berguna untuk meluluskan permohonan puterimu?
Terdengar Goplo Dewasana menghela nafas. Berkata tak jelas:
- Sebenarnya aku ingin menjenguk sendiri apakah laki- laki itu masih hidup. Kalau masih hidup berarti aku melanggar pantanganku sendiri. Kalau sudah mati tak ada masalah. Karena aku tidak tahu dengan pasti apakah dia masih hidup atau mati, maka . . . Tetapi yang pasti tidak kuijinkan engkau turun ke jurang.
Sampai disini, Mojang Yudapati tidak ragu- ragu lagi bahwa yang dibicarakan adalah dirinya.
Dan puteri yang disebut sebagai anak mereka apakah bukan Sekar Tanjung?
Diapun seorang bhiksuni yang bernaung di bawah biara Paramita.
- Kau julurkan saja ke bawah lewat tebing ini. Kemudian bertanyalah padanya, apakah dia masih hidup. Nah, bukankah mudah? sahut Aruni.
Kata- kata Aruni itu sesungguhnya menggelikan.
Bukankah makna bertanya itu sudah mengandung keyakinan bahwa laki- laki yang dimaksudkan masih hidup?
Namun, rupanya mereka sudah biasa berbicara kesana kemari yang dapat membuat orang lain tertawa. Sehingga apa yang mereka katakan adalah wajar belaka.
- Hai Aruni! Selamanya otakmu memang encer melebihi diriku. Sudah tahu aku ini berotak tolol. mengapa tidak kau katakan hal itu semenjak tadi? Lalu bagaimana. kalau dia masih hidup? - Buatlah keranjang kayu! Suruh dia masuk ke dalamnya. lalu kau tarik ke atas. Bukankah beres?
- Benar.
Goplo Dewasana terdengar berseru kagum. Sekonyong- konyong berubah:
- Tetapi kurang tepat! Kurang tepat! - ,
- Apanya yang kurang tepat?
- Tentunya aku akan melihat seorang laki- laki. Ini ... ini melanggar . . .
- Mudah saja. Kau bersembunyi di balik belukar.
Begitu dia sampai diatas tebing. larilah!
- Dan engkau? Apakah engkau akan melihat seorang laki- laki lain kecuali aku?
Goplo Dewasana cemburu.
- Jangan khawatir. Aku hanya menyediakan makan minumnya. Setelah itu aku lari pula,ini semua kita lakukan, karena puterimu merasa berhutang budi padanya. Kau harus tahu bahwa dia berkorban jiwa demi puteri kita. - Ya. ya, ya . . . mudah- mudahan anak kita mau kawin dengan dia. Waduh, kita bakal tidak menanggung putus keturunan. Setelah dia jadi menantu kita. bukankah wajar bila kita menurunkan ilmu kepandaian kita masing masing kepadanya? Kau mewariskan ilmu pedangmu dan aku akan mewariskan ilmu menghimpun mantra sakti. Bukankah anak kita akan cepat melahirkan anak? - Hus! Tutup mulutmu! bentak Aruni. '
Hati Mojang Yudapati tiba- tiba berdebar- debar.
Benarkah mereka datang untuk menolong dirinya?
Benarkah dirinya berhak memperoleh harapan untuk hidup kembali?
Dengan berbagai pikiran dan harapan itu, ia jadi tegang sendiri. Ditengadahkan mukanya dan tibatiba ia melihat seutas tali sebesar tinju kanak- kanak turun menyusuri tebing. Kemudian terdengar suara Goplo Dewasana berkata nyaring:
- Hoee . . . kau masih hidup atau sudah mampus? - Menurut puterimu ia luka parah. Meskipun masih hidup, suaranya tidak akan terdengar dari sini. ujar Aruni.
Uluran tali berhenti sejenak. Lalu terulur lagi, kali ini malahan bertambah lancar. Berbareng dengan itu terdengar Goplo Dewasana berseru:
- Kalau belum bisa membuka mulutmu, tangkap tali ini. Kau tarik- tariklah sekuasamu! .."
Mojang Yudapati menunggu uluran tali. Kebetulan sekali tepat berada di atas kepalanya. Segera ia menangkapnya dan ditarik- tariknya beberapa kali. Seketika itu juga terdengar suara Goplo Dewasana berseru girang:
- Aruni! Dia masih hidup. lihat! Tali kita bergerak gerak.
- Bagus! Kalau begitu, cepat buatlah keranjang atau kotak kayu. Suruhlah dia nanti masuk ke dalamnya. - Peganglah tali ini. Aku akan membuat kotak kayu. - sahut Goplo Dewasana.
Aruni tidak menyahut. Mungkin dengan berdiam diri dia mengambil alih apa yang dilakukan Goplo Dewasana. Karena itu suasana di atas tebing jadi hening. Mojang Yudapati tahu, bahwa pada saat itu Goplo Dewasana sedang mencari kayu. Khawatir kalau tali itu tiba- tiba tertarik ke atas, Mojang Yudapati mengikat ujungnya pada batang pohon. Pikirnya di dalam hati: .
- Orang- orang pandai kadang- kadang berwatak angin anginan. Mereka mudah berganti pikiran. Kalau mereka pergi dengan begitu saja, setidak- tidaknya tali ini banyak gunanya.
Baru saja ia berpikir demikian tiba- tiba terdengar suara gemeretak pohon roboh. Lalu disusul dengan suara orang membelah kayu. Mendengar suara itu, Mojang Yudapati tercengang. Pikirnya lagi:
- Apakah orang yang menamakan diri Goplo Dewasana itu memiliki tenaga sebesar tenaga seekor gajah? Kalau benar demikian, maka di dunia ini banyak terdapat orang pandai. Mahendra sudah sakti, rupanya orang ini tidak kalah pula saktinya. Mungkin melebihi. Palata, Boma memiliki keahliannya masing- masing. Mungkin pula, ilmu pedang Aruni melebihi mereka berdua.
Tak terasa ia menghela nafas. Pada detik itu pula
tiba- tiba teringatlah dia kepada gambar ukiran ilmu sakti yang tersimpan dalam goa. Kini timbullah semangatnya hendak mempelajarinya. Katanya di dalam hati:
- Aku bersumpah. Bila aku selamat dari malapetaka ini. aku akan menyerap semua ilmu kepandaian yang terdapat dalam goa itu. Tidak peduli, apakah ilmu itu baik atau berakibat buruk bagiku.
Ia bersumpah demikian, karena ramalan Mahendra ternyata tepat. Ia merasa dirinya sudah menjadi manusia lain semenjak menyaksikan malapetaka yang menimpa keluarga Goratara. Kemudian setelah melihat dan mempelajari gambar ukiran di goa itu, sikap dan pandangan hidupnya makin berubah. Ia jadi pemberani, setengah liar dan tidak pedulian. Dibandingkan dengan budi- pekertinya dahulu, tentunya akan dinilai buruk oleh atasannya. Semuanya itu terjadi akibat ia tidak sampai hati membiarkan bhiksuni Sekar Tanjung dirusak oleh seorang jahanam. Palata si jahanam itu berkepandaian jauh tinggi di atasnya. Nyatanya agak kerepotan juga melawan serangannya dengan menggunakan jurus- jurus yang terdapat pada dinding goa itu. Padahal ia hanya menggunakan jurus- jurus seingatnya saja. Seumpama lebih teratur dan memahami benar, akan lain hasilnya. Palata mungkin bukan tandingannya lagi.
- Kalau aku tidak teringat jurus aneh Yama Parasu, mustahil Purusara dapat terjebak oleh tipu- muslihatku. Memang ganas jurus itu. Tetapi aku dipaksa berbuat demikian. Dalam saat penentuan hidup dan mati. masakan aku tidak boleh berbuat demikian? pikirnya di dalam hati.
Dalam pada itu, suara gemeretak pohon roboh terdengar lagi. Seperti tadi disusul dengan suara seseorang membelah kayu entah dengan menggunakan alat apa.
Namun tidak lama kemudian tali yang diikatkan pada batang kelihatan bergerak. Cepat- cepat ia membuka ikatannya. Setelah terlepas, tali itu terbang tinggi dan menghilang dibalik tebing. Rupanya tali itu dihentakkan dengan tenaga istimewa, sehingga tidak menyentuh dinding jurang sedikitpun.
- Apakah mereka bermaksud memberi tahu padaku, bahwa dengan cara demikian ia hendak mengangkat diriku ke atas?
Mojang Yudapati menduga- duga.
Ia menunggu beberapa Waktu lamanya. Kemudian turunlah sebuah peti panjang terbuat dari belahan kayu kasar. Menyaksikan hal itu, Mojang Yudapati kagum bukan kepalang. Apalagi antara sisi dan sisinya sama sekali tak terikat oleh macam tali pengikat apapun. Tetapi dipaku kuat dengan belahan kayu pula. Kalau saja Goplo Dewasana tidak memiliki tenaga sakti bagaimana dia bisa menanamkan potongan kayu ke dalam belahan balok setebal itu.
Ia membiarkan peti kayu itu terayun- ayun sejenak. Lalu dengan hati- hati, ia merayap masuk ke dalamnya. Dugaannya ternyata benar. Goplo Dewasana tidak memerlukan keterangannya, karena bobot peti jadi bertambah oleh berat badannya. Dan dengan suatu hentakan istimewa, peti itu melambung tinggi dan mendarat dengan nyaman di atas tebing.
- Apakah aku sedang bermimpi?
Mojang Yudapati heran bukan kepalang.
Meskipun dadanya masih terasa nyeri, ia mencoba mencari penolongnya. Ternyata suasana disitu sunyi senyap. Seperti yang dikatakan tadi, mereka cepat- cepat melarikan diri karena tidak sudi melihat muka laki- laki. Menghadapi kenyataan itu. Mojang Yudapati tak dapat berbuat suatu apa, kecuali merasa bersyukur kepada Yang
Maha Kuasa yang berkenan menolong dirinya melalui insannya. Merekalah Goplo Dewasana dan Aruni yang ternyata orang tua Sekar Tanjung.
Orang tua Sekar Tanjung?
tiba- tiba Mojang Yudapati terkejut.
Bukankah mereka termasuk golongan masyarakat yang tidak boleh kawin?
Yang laki- laki seorang pendeta dan yang perempuan seorang bhiksuni.
Tetapi mengapa mereka merasa mempunyai seorang anak yang kebetulan bernama Sekar Tanjung?
Benar tidaknya, niscaya mempunyai latar belakang yang menarik. Dengan tetap duduk di tempatnya ia termenung- menung, ia mencoba menebak- nebak teka- teki itu, namun tiada berhasil dengan memuaskan. Akhirnya ia memeriksa sekitarnya. Di dekatnya, terdapat beberapa bungkusan yang teratur rapih. Ia menggapai bungkusan yang terdekat dan dibukanya. Isinya, sungguh luar biasa. Kecuali dua botol minuman keras terdapat pula makanan kering. Kemudian ia membuka bungkusan yang lain. Bungkusan ini berisikan ikan kering dan daging yang sudah diasapi. Cukup untuk lauk pauk selama satu bulan. Dan yang berada di dalam bungkusan yang ketiga adalah obat obatan dan ramuan yang dapat membantu mempercepat kesehatannya kembali.
Mengapa mereka menyediakan makan minum dan obat- obatan untuk selama satu bulan? pikir Mojang Yudapati.
- Apakah lukaku ini bisa sembuh kembali hanya selama satu bulan? Kalau begitu, biarlah aku merawat diri seperti yang mereka harapkan.
Sudah beberapa hari ia tidak makan dan minum, maka makanan kering itu menimbulkan seleranya. Akan tetapi mula- mula yang dilakukan ialah menyobek bagian tepi bajunya yang terlengket di dadanya oleh darahnya yang sudah mengental.Dengan begitu. meskipun masih agak
terasa sakit gerakan kedua tangannya tidak terganggu lagi. Dapatlah ia memotong makanan dan daging kering pemberian dua orang aneh tadi dan dimakannya dengan lahap. Sayang tidak terdapat air minum. Sebab sebenarnya ia tidak begitu gemar minum minuman keras. Tetapi kali ini apa boleh buat. Begitu penutupnya terbuka. terus saja ia meneguknya dengan bernafsu.
Sampai malam hari menyelimuti seluruh alam masih saja ia duduk menggerumiti makanannya. Setelah merasa puas barulah ia menyandarkan diri pada sisi peti dan mulailah pikirannya melayang memikirkan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Menurut pendapatnya semuanya itu terjadi karena uluran tangan ajaib. Benar- benar terjadi seperti dalam mimpi. Itulah sebabnya, ia setengah percaya setengah tidak.
- Hidup ini seperti ada yang menangani dan mengatur. ia berkata di dalam hati kepada dirinya sendiri.
- Kalau begitu peristiwa secara kebetulan sebenarnya tidak ada. Benarkah demikian? '
Tentu saja hal itu tidak mudah dijawabnya. Tetapi terasa di dalam hatinya, bahwa ia wajib mengerti apa sebab semuanya itu harus terjadi. Dengan pengertian itu, ia berkomat- kamit lagi.
- Secara kebetulan aku terperosok di dalam jurang dan menemukan goa ilmu sakti warisan para leluhur. Maka penemuan ini wajib kuperhatikan agar memperoleh hikmahnya. Siapa tahu, 'barangkali ada maksud Yang Mengatur demi hari depanku.
Terbayang pula dalam benaknya. peristiwa ratusan tahun yang lalu, tatkala para cikal- bakal itu terkurung di dalam goa dan penasaran mereka tak terlukiskan lagi. Walaupun demikian masih sempat mereka teringat untuk mencoba melestarikan ilmu
kepandaian mereka masing- masing dengan harapan semoga kelak ada seseorang yang dapat menghimpun mempertahankan dan mengembangkan.
Itulah aku! ia berkata pada dirinya sendiri.
Teringat pulalah ia tatkala terpaksa bertempur melawan Palata yang memiliki kepandaian tinggi jauh di atasnya. Walaupun demikian dengan diilhami lukisan gaya pertempuran para cikal- bakal itu, dapatlah ia merepotkan Palata bahkan membunuh Pusara. Sedangkan yang digunakannya hanya yang teringat sepintas saja dalam otaknya.
Sambil bertempur ia berbicara berkepanjangan asal jadi saja. Maksudnya untuk memperoleh waktu mengingat- ingat gaya lukisan di dinding goa.
- Hai! Bukankah ini termasuk salah satu upaya tipu muslihat? Kalau begitu beraneka macam lukisan itu sebenarnya menggambarkan suatu adegan tipu muslihat, ia memperoleh kesimpulan. Ia termenung- menung memeriksa bunyi kata kesimpulannya. Maka terasalah betapa akal dan tipu- muslihat itu memegang peranan penting dan menentukan dalam suatu adu ilmu kepandaian.
- Ya benar! - ia yakin di dalam hati.
- Para leluhur itu menghendaki aku mempelajari ilmu kepandaian mereka demi menebus rasa penasaran mereka. Kalau tidak, mengapa muncul pula dua orang aneh yang mengangkat diriku dari jurang ini? Bukankah atas berkah dan kehendak mereka dialam gaib sana? Memperoleh keyakinan demikian, bersumpahlah ia, akan mempelajari, menekuni dan mendalami semua makna lukisan- lukisan yang terdapat dalam goa itu.
Maka pada keesokan harinya mulailah ia berkemas. Yang dimaksudkan berkemas, sesungguhnya hanya mengumpulkan sisa sisa makanan kering dan obat- obatan. Kemudian karena luka di dadanya masih mengganggu gerakan lengannya, terpaksalah ia berjalan dengan santai saja. Tatkala mendengar suara ricik- air, segera ia mengisi botolnya sepenuh penuhnya. Dan tiba- tiba teringatlah dia kepada perjanjiannya dengan Palata. Bulan depan, ia harus mencoba lagi melawan ilmu golok jahanam itu.
- Mudah mudahan jurus- jurus tipu- muslihat yang terukir pada dinding goa dapat mengilhami cara mengalahkannya.
Tak terasa senja hari tiba dengan diam- diam. Dan waktu alam mulai mengisahkan kelelahannya masing- masing, ia sudah tiba di atas tebing jurang. Dengan hati- hati ia memberosot turun di depan terowongan, ia menemukan sisa- sisa perlengkapannya kembali. Kecuali bungkusan pakaian, kantong uang emas sisa peninggalan Panglima Jagadpati, terdapat pula sisa makanan dan guci air minum.
Setelah beristirahat sejenak ia menutup pintu masuknya. Kemudian dengan penerangan obor. ia turun pelahan lahan melalui jalan kapak warisan Yama Parasu. Karena sudah hafal sifat tanah dan lika- likunya, maka dengan lancar tibalah ia di dasar goa dengan selamat. Setelah meletakkan semua perlengkapannya, ia mencari pedang Panglima Jagadpati yang dahulu tidak sempat dibawanya serta. Setelah diketemukan, ia menjatuhkan diri untuk melepaskan lelah.
Tak terasa ia tertidur oleh rasa lelah dan rasa syukur.
Sekonyong- konyong, seorang laki- laki lanjut usia yang berambut putih panjang datang menghampiri. Setelah diamat- amati dengan seksama. ternyata gurunya sendiri yang bermukim di ketinggian Gunung Gede. Dialah Resi Sanggrama Suradipati. Dengan mengerut kening berkatalah dia:
- Yudapati, mengapa engkau terluka? Masih dapatkah kulitmu tertembus senjata tajam? Kalau begitu, engkau kurang bertapa. Dengan merasa salah. Mojang Yudapati merangkak rangkak bangun. Jawabnya: .
- Guru! Memang aku pantas kau cela dan kau hukum. Semenjak pangkat dan kedudukanku menanjak dengan lancar, hampir- hampir aku tidak pernah membunyikan mantra pemberian guru. Apalagi bertapa untuk merasukkan kedalam ragaku. Itulah sebabnya, aku terluka. Atau karena musuh menggunakan senjata pusaka?
Resi Sanggrama Suradipati tertawa geli. Katanya dengan suara tinggi:
- Kau maksudkan Ilmu Tantra bisa tertembus senjata tajam? Betapa mungkin! Tantra adalah sumber dari segala ilmu sakti. Tantra adalah sumber Tantrayana baik Hindu maupun Buddha. Tantra akan membuatmu kebal dan sakti. Tantra akan membuatmu memperoleh himpunan tenaga gaib. Dengan Tantra pula, engkau akan sanggup menggempur dinding goa ini dengan sekali tumbuk. Lihatlah mereka! Mereka mati di sini tanpa daya. Bagaimana mungkin, mereka berani mengagungkan diri sebagai orang orang sakti?
Setelah berkata demikian, Resi Sanggrama Suradipati berjalan meneliti tiap lukisan. Setiap kali ia berhenti mengamati dengan seksama. Dan setiap kali pula, dia memanggut- manggut kecil.
- Boleh juga. - akhirnya dia berkata.
- Tetapi tanpa Tantra. semuanya ini tiada gunanya.
Mojang Yudapati terlongong- longong mendengarkan kata- kata gurunya. Tetapi tatkala ia ingin mendapat penjelasan lebih jauh lagi, bayangan gurunya lenyap dengan begitu saja. Dan terbangunlah ia, karena dihentakkan oleh rasa kecewa dan masgul.
- Guru! masih sempat ia berteriak.
Lalu tersadarlah dia. Tinggi di atasnya memancar cahaya cerah. Kalau begitu malam sudah berganti siang. Segera ia bangun tertatih-tatih. Rasa sakit masih menghambat gerakannya. Justru demikian, teringatlah dia akan kata- kata gurunya di dalam mimpinya.
- Benar. Apa sebab aku masih terluka? - ia menggumam.
- Mestinya, baik golok Palata maupun Pusara tidak boleh sampai melukai dirinya. Pengalamanku sebagai perajurit sudah membuktikan berkali- kali. Kalau begitu. ilmu kebalku sudah luntur. Ya. mengapa baru sekarang kusadari?
Teringat hal itu ia jadi ragu- ragu.
Berlatih menekuni ilmu kepandaian yang terlukis di dinding goa atau bertapa dahulu menghimpun tenaga sakti dan kekuatan gaib?
Dengan menyulut obornya, ia kembali memeriksa lukisan lukisan ilmu sakti itu. Sewaktu tangannya mencoba hendak menirukan, masih terasa kejang dan nyeri.
- Ah! Kalau begitu, biarlah aku bertapa dahulu menghimpun tenaga Tantra yang memperkirakan dari jaman Zaratustra. Ada pula yang mengatakan, warisan dari budaya Sumeria, Babilonia dan Elmuria. Tetapi Tantra ternyata sudah di kenal lama di pulau Jawadwipa sebelum belahan bumi tenggelam di dasar lautan. Ilmu itu tumbuh sesuai dengan jamannya. Manusia masih berhadap- hadapan dengan binatang- binatang raksasa, alam raya yang buas dan bahaya alam yang melanda dengan tiba- tiba. Maka ilmu semacam Tantra itu digunakan untuk mempertahankan kelestariannya. yang dihimpunnya dari pengalaman hidup manusia semenjak jaman purbakala. Bila memang demikian halnya maka kata- kata Resi Sanggrama Suradipati dalam mimpi Mojang Yudapati bukan omong kosong belaka.
Tetapi jumlah sikap dan pengamatan Tantra tak terhitung jumlahnya. Masing- masing sikap, memiliki daya perbawa sendiri dan membutuhkan latihan dan penekanan bertahun- tahun lamanya. Bila seseorang sudah dapat menguasai tujuh sikap Tantra saja, ia berhak mengumumkan diri sebagai seorang pendekar sakti. Tidak berlebih lebihan manakala ia mendirikan aliran perguruan berbekal tujuh sikap Tantra yang dimilikinya. Itulah sebabnya, maka terdapatlah berbagai macam aliran Tantra. Dan akhirnya dinamakan Tantrayana yang bermakna kereta mantra ( Tantra: mantra. Yana: kereta ).
Mojang Yudapati baru sampai pada tingkat dua, yang berintikan menghimpun tenaga sakti dan pelindung badan. Seringkali ia terpukul lawan dengan berbagai macam senjata. Ia hanya menderita luka luar yang sembuh dengan cepat. Namun bila berhadapan dengan lawan yang memiliki tenaga Tantra, kekebalannya ternyata tertembus juga. Tidak mengherankan, ia luka parah. Syukur karena sedikit banyak ia terlindung tenaga Tantra, lukanya sembuh dengan cepat. Bagi manusia lumrah, mestinya sudah mati semenjak tertembus pedang untuk yang pertama kali.
Menyadari hal itu, Mojang Yudapati kini hendak menghimpun tenaga Tantra sampai tingkat empat. Tentunya, tidak mudah. Akan tetapi hal itu harus dimilikinya. Kalau tidak, jangan berharap bisa berlawan- lawanan dengan Palata. Sayang, waktunya tinggal tiga minggu saja. Padahal ia harus membagi perhatiannya kepada ragam ilmu tipu muslihat yang terlukis pada dinding goa.
Terombang- ambing oleh suatu keraguan merupakan pantangan besar bagi seseorang yang harus mengambil tindak keputusan. Sebagai seorang perwira, hal itu sudah difahaminya semenjak mula- mula masuk menjadi perajurit. Maka ia tidak mau mengingat- ingat lukisan itu dahulu. ia harus memusatkan seluruh perhatiannya kepada hukum ilmu Tantra. Setidak- tidaknya sepuluh hari lamanya. Menurut perhitungannya, tingkat dua yang sudah pernah difahami akan mengambil waktu empat hari saja. Sisa enam hari akan diusahakan untuk naik tingkat. Selama itu, ia harus berpuasa tidak makan dan minum, yang merupakan syarat utama.
Entah pada hari yang keberapa, gurunya muncul kembali dalam mimpinya. Kali ini gurunya bersikap ramah. Berkali- kali kedua tangannya bergerak- gerak seperti sedang memberikan petunjuk dan bimbingan. Namun apabila ia terbangun kembali, semua makna mimpinya itu ikut sirna.
Dengan kesal ia mencoba mengingat- ingat. Tetap saja teraling oleh dinding penyekat yang tebal dan berahasia. Setelah sekian lamanya berkutat dengan dirinya sendiri, barulah teringat untuk menghibur hatinya. Katanya:
- Menurut orang- orang tua, mimpi yang bermakna sering terhapus dari ingatan. Tetapi guru muncul di alam mimpiku. Artinya, setidak- tidaknya masa puasaku sudah membawa masuk bayangan guru. Kalau begitu, biarlah aku terus berpuasa sampai dapat meresapkan petunjuk petunjuk guru kedalam perbendaharaan ingatanku.
Kembali lagi ia memusatkan seluruh daya ciptanya untuk menyelami Ilmu Tantra yang pernah diajarkan gurunya. Walaupun tidak mudah, namun pada hari kedua setelah bermimpi mulailah terasa semacam asap hawa panas meresap di dalam tubuhnya. Ia bergembira. Sebab hal itu berarti ia memperoleh kemajuan. Ia makin menyelam dalam lagi. Baik lukisan di dinding goa maupun makna mimpinya, dienyahkannya dari ruang benaknya. Akibatnya ia jatuh tertidur dengan tidak dikehendaki sendiri.
Ia tersadar pada keesokan harinya. Yang terasa, seluruh tubuhnya menjadi lemah lunglai. Walaupun demikian semangat hidupnya berkobar- kabar seperti nyala api tersekap dalam tungku. Perasaan demikian belum pernah dialaminya. Berarti masa puasanya melebihi jumlah hari yang pernah dilakukannya. Mungkin sekarang sudah melewati hari yang kesepuluh. Dengan menghirup nafas sebanyak- banyaknya ia menghimpun kekuatan dan kemauannya yang keras. Tak terasa ia maju dua hari lagi.
Aneh!
Gurunya tidak muncul di dalam mimpi.
- Apakah usaha sia- sia? ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Setelah berbimbang- bimbang sejenak, ia memutuskan untuk memasuki sikap Tantra tingkat tiga. Diluar dugaan. ia berhasil dengan baik. Dan pada hari keempat belas, ia sudah berada pada tingkat keempat.
Tubuhnya mulai tergoyang- goyang. Tergoyang oleh getaran aliran darah dan pernafasan. Takut tersesat, segera ia menghentikan pemusatannya. Justru demikian, tiba- tiba ia menggigil. Ia jadi kebingungan karena merasa serba salah. Tak tahu apa yang harus dilakukan, ia memejamkan matanya seperti pekerti seseorang menunggu nasib.
Pelahan- pelahan tubuhnya mulai anteng kembali. Tiada lagi tergoyang oleh suatu sebab. Hanya seluruh tubuhnya terasa meremang. Mulailah ia dapat mengatur pernafasannya. Beberapa saat kemudian kedua tangan dan kakinya dapat bergerak. Segera ia membuka kedua matanya sambil menghela nafas.
Ternyata hampir seluruh badannya basah kuyup oleh keringat yang membersit dari pori- porinya. Dan anehnya, keringat itu terasa hangat nikmat.
Karena tak merasakan suatu kelainan, hatinya menjadi lega. Segera ia meraih botol minumannya dan di teguknva dengan tangan gemetaran. Pelahan- lahan dingin
air merayap turun ke perut melalui kerongkongannya. Alangkah nikmat dan segar.
Setelah itu, ia menelan butiran ramuan obat kuat pemberian orang tua Sekar Tanjung. Hebat khasiatnya. Sedikit demi sedikit ia mulai bertenaga kembali. Akhirnya sambil menggerumuti daging kering. ia menanggalkan bajunya. Ternyata lukanya sudah sembuh. Kain pelapis yang penuh dengan darah kering diletakkan di sisinya. Bukan main rasa syukurnya terhadap kemurahan Sang Pencipta. Tak terasa ia mendongak ke atas. Cahaya cerah masih bersinar terang melalui lobang goa. Rupanya hari masih cukup panjang. Teringat akan perjanjiannya dengan Palata, segera ia berdiri hendak berlatih. Tetapi tiba- tiba kedua kakinya masih bergemetaran dan hampir saja jatuh tersangkut.
Menghadapi kenyataan itu, tiba- tiba teringatlah dia kata- kata gurunya yang wajib diucapkan setiap kali dia hendak berlatih menghimpun tenaga Tantra.
- Semuanya jangan dipaksakan. Majulah setapak sesuai dengan keadaan dirimu.
Teringat akan bunyi hafalan itu, pelahan- pelahan ia duduk kembali. Setelah mengisi perut dengan sekerat daging dan beberapa teguk minuman, ia bersandar pada dinding goa. Benar saja. Justru perutnya terisi ia merasakan suatu kelelahan luar biasa. Tak terasa ia jatuh tertidur dengan nikmatnya.
Sewaktu terbangun suasana dalam goa gelap pekat. Ia memeriksa diri. Yang terasa, seluruh tubuhnya menjadi segar bugar. Segera ia berdiri dan mencoba berjalan dua tiga langkah. Merasa tiada halangannya, ia merogoh batu apinya yang selalu disimpannya dalam saku. Setelah berhasil menyulut obor. dengan langkah tetap ia menghampiri dinding goa dan mulai mengamati gambar
pahatan. Beberapa waktu lamanya ia mencoba menelaah maknanya. Setelah merasa bisa mengerti ia menancapkan obornya di atas tanah. Lalu mencari pedang pusaka Jagadpati dan dengan pelahan- lahan ia menirukan adegan yang diamatinya.
Semenjak mula- mula melihat gambar pahatan itu. Ia sudah tahu bahwa makna tiap adegan adalah serangan tipu muslihat yang mematikan. Tetapi apabila disambung dengan adegan berikutnya terasa bertentangan.
Apa sebab demikian?
Syukur, ia berpembawaan cermat. Maka setelah bermenung- menung sejenak, tahulah dia apa sebabnya. Dia harus melakukan gerakan pendahuluan, yang berakhir dengan adegan itu. Jelasnya, setiap adegan tipu muslihat itu, harus ada pendahuluannya.
- Tetapi aku hanya menguasai ilmu pedang ajaran guruku. Sebaliknya ilmu pedang itu dari ajaran aliran lain. Bagaimana aku bisa memetik daya faedahnya? ia berpikir.
Ia duduk beristirahat untuk memecahkan masalah itu. Tiba- tiba teringatlah dia akan mimpinya. Ucapan gurunya dalam mimpi itu kembali terngiang dalam benaknya.
"Tantra adalah sumber Tantrayana baik Hindu maupun Buddha."
Kalau begitu ilmu kepandaian yang mereka miliki, tentunya berasal dari Tantra juga. Apakah benar? ia berkomat- kamit.
Dengan pikiran itu, ia mencoba memusatkan dalil dalil Tantra yang pernah diajarkan gurunya. Ilmu Tantra perguruan tingkat tiga. Dengan berpedoman dalil- dalil itu, ia menggerakkan pedangnya yang selaras dan seirama. Hasilnya diluar dugaan. Sekonyong- konyong, ia merasa lebih paham. Begitu merasa bisa memahami ia jadi keheranan. Betapa tidak? Dengan lancar dapatlah ia sampai pada puncak adegan yang pertama. Sewaktu
disambungnya dengan gambar adegan kedua dengan mudah ia 'menemukan jalan keluarnya. Demikianlah, tahu tahu ia sudah memahami sampai pada adegan terakhir.
Dahulu ia pernah keasyikan sewaktu mengamati gambar pahat itu. Sekarang makin bertambah- tambah. karena merasa lebih dapat memahami dan menguasai.
Itulah sebabnya ia mempunyai gairah untuk mengulangi lagi mulai adegan pertama sampai akhir. Kemudian sekali lagi dan sekali lagi. Sekarang tanpa melihat gambar, ia dapat menggerakkan pedangnya secara otomatis.
' Hi huuuuu! - ia bersorak di dalam hati.
- Aku sudah menguasai 32 jurus. Dengan bernafsu ia mulai menghitung jumlah gambar pahatan yang terdiri dari sembilan bagian. Masing masing bagian terdiri antara 30 sampai 40 gambar adegan pertempuran. Seluruhnya berjumlah 345 buah.
Tiga ratus empat puluh lima buah.
Dapatkah kuselesaikan dalam beberapa hari saja? ia teringat kepada hari perjanjian. Ia berjalan mondar- mandir. Akhirnya memutuskan akan mempelajari dahulu yang bagian pedang dan golok.
Bukankah Palata bersenjata setengah pedang setengah golok?
Sekonyong- konyong ia seperti dihentakkan suatu ingatan. Setengah terkejut setengah terheran- heran, ia memandang sekelilingnya. Cahaya terang benderang menembus dari lobang goa.
Pantas!
Apa sebab aku dapat melihat gambar- gambar pahatan dengan jelas. Kiranya sudah siang.
Dengan perasaan gembira dan lega, ia duduk bersila mengisi perut. Kemudian menelan butiran- butiran obat kuat. Ia memejamkan kedua matanya untuk mencoba mengingat- ingat semua jurus yang sudah difahaminya. Ternyata lancar tak kurang suatu apapun.
Sekarang tinggal memahami ilmu pedang aliran Paramita dan Gupala Seta. Setelah itu, ilmu golok aliran Orang- Aring. Mudah- mudahan dapat mengatasi keahlian Palata. pikirnya di dalam hati.
Ia menidurkan diri beberapa jam. Lalu meletik bangun dengan sekaligus menggerakkan pedangnya mengulangi rahasia ilmu pedang aliran Syiwapala. Hanya beberapa saat saja, selesailah sudah. Seluruh perasaannya diliputi semangat hidup yang hangat.
Setelah mengisi perut dan menelan beberapa butir obat kuat, segera ia menenteng pedangnya mendekati gambar pahat yang memuat rahasia ilmu pedang aliran Paramita.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti yang dilakukan semalam, ia menyelusuri liku- liku dan pecahan jurus- jurusnya dengan Tantra. Dan sebelum goa menjadi gelap pekat, ia sudah memahami dan menguasai.
- Memang benar. Semuanya jangan dipaksakan. Tetapi sama sekali aku tidak lelah. Mengapa aku tidak beralih untuk memahami rahasia ilmu pedang Gupala Seta? Bukankah lebih cepat lebih baik? ia berkomat- kamit.
Segera ia menyalakan obor. Ia memeriksa gambar gambar pahatan ilmu pedang Gupala Seta yang terdiri dari 36 jurus. Pelahan- lahan ia menggerakkan pedangnya. Makin lama makin terasa, bahwa ketiga ilmu pedang itu benar- benar berasal dari satu sumber. Dengan kesimpulan itu dapatlah memahaminya lebih mudah. Untuk meyakinkan dirinya sendiri, ia menancapkan obornya di atas tanah. Diulanginya jurus- jurus puncak rahasia Ilmu Pedang aliran Gupala Seta dari adegan pertama hingga akhir. Hasilnya lancar dan memuaskan. Kemudian pindah ke jurus aliran Paramita. Setelah itu kembali ke jurus- jurus aliran Syiwapala. Ketiga aliran Ilmu Pedang itu dapat dikuasainya dengan mahir. Tetapi sewaktu
mengamati jurus- jurus Ilmu Pedang aliran Siguntang dan Tanah Putih, ia merasa menghadapi suatu masalah yang tidak mudah dipecahkan. Sebab aliran Siguntang menggunakan pedang bergigi, sedang aliran Tanah Putih bersenjatakan dua bilah pedang.
Ia menghela nafas. Tadinya, ia mengira bahwa dengan menggunakan senjata pedang tunggal, jurus- jurus rahasia kedua aliran itu akan dapat dikuasainya dengan lancar seperti ketiga aliran lainnya. Sama sekali tidak disangkanya, bahwa tiap senjata mempunyai sifatnya sendiri yang menuntut pemahaman lain.
Sambil duduk beristirahat ia memperhatikan gambar pahatan rahasia Ilmu Pedang aliran Siguntang. Jurus jurusnya nampak sederhana. Akan tetapi dengan jurus sederhana itu, lawannya yang bersenjata tombak dapat dibuatnya takluk.
Betapa mungkin?
Tentunya, jurus jurus sederhananya menggenggam rahasia yang bersembunyi di baliknya. Merasa tidak dapat memecahkan rahasianya dengan cepat, ia perlu menyabarkan diri. Pelahan- lahan ia mengambil makanan kering dan minuman. Karena dalam goa sudah mulai gelap, ia membuat api unggun. Sambil membakar beberapa kerat daging dan ikan kering, otaknya bekerja keras untuk memecahkan teka teki gerakan pedang bergigi aliran Siguntang. Teringatlah dia kepada pendekar Goratara. Menurut kabar, pada jaman mudanya ia murid aliran Siguntang. Ia terkenal sebagai seorang pendekar yang memiliki pukulan dahsyat bagaikan halilintar menyambar sasaran. Sewaktu dikerubut lawan- lawannya, dengan tangkas ia menerjang dan memukul.
- Eh ya . . . mengapa ia hanya melabrak lawan- lawannya dengan tangan kosong saja? Mengapa tidak mengunakan senjata alirannya? Mestinya dia mahir menggunakan senjata pedang bergigi.
Mojang Yudapati termangu- mangu.
Oleh ingatan itu, ia jadi tegang sendiri. Suatu bayangan berkelebatan di dalam benaknya. Ia mencoba mencocokkan pukulan tangan Goratara yang diingatnya dengan gambar pahatan di depannya.
Rasanya mirip dan sejiwa.
Ya. sejiwa!
Sejiwa.
sejiwa,
sejiwa!
- Ah! terkejut.
Tetapi wajahnya nampak menjadi cerah. Bergumam:
- Apakah gerakan pedang aliran Siguntang mengutamakan pengerahan tenaga Tantra?
Dengan sebat ia menyambar pedangnya dan mencoba membuktikan dugaannya. Ia menghimpun tenaga Tantranya yang kini sudah mencapai tingkat tiga, lalu menirukan jurusnya. Hasilnya mengherankan dirinya sendiri. Sebab dengan tiba- tiba, tenaga dalamnya meruap keluar, melalui batang pedangnya. Mula- mula lengannya bergemetaran tergoyang oleh suatu arus tenaga yang tidak nampak, sehingga ujung pedang beralih tempat dari titik sasaran. Segera ia mempertahankan arah acungannya. Justru demikian, lengannya malah tergoncang hebat. Setelah berkutat beberapa waktu lamanya, ia menjadi sadar. Goncangan itu terjadi karena memperoleh perlawanan dari luar. Menyadari hal itu, kini ia mencoba mengikuti jalur arusnya dengan memusatkan perhatian pada titik sasaran. Ternyata ia berhasil. Akibatnya, terdengarlah suara mencicit yang membersit dari ujung pedang menembus dinding goa. Tetapi karena himpunan tenaganya kurang kuat, arusnya hanya membuat lobang sedalam satu inci. Tatkala ia menambah himpunan tenaganya, suara mencicit lenyap dan berganti dengan suara brebet, brebet. bretet!
Dan dinding goa seperti terhembus angin kuat yang membuat lapisannya rontok meluruk ke tanah.
- Ah! - ia tersadar.
- Kalau saja himpunan Tantraku sekuat tenaga sakti pendekar Gontara. bukankah kedua tanganku akan memiliki daya pukul yang dahsyat pula?
Ia jadi teringat bunyi mimpinya tatkala bertemu dengan gurunya. bahwa semua daya tenaga sakti bersumber pula pada Tantra. Tetapi mengingat waktu perjanjiannya dengan Palata, tak mungkin ia dapat menghimpun tenaga Tantra hanya dalam masa dua atau tiga hari saja. Sebab menghimpun tenaga Tantra membutuhkan waktu bertahun- tahun lamanya. Bahkan makin lama makin ruwet, rumit dan pelik.
- Baiklah, kuumpamakan saja aku berangkat berjudi harus mengingat modal yang kubawa. Modal tenagaku hanya himpunan Tantra tingkat tiga. Biarlah dengan bermodal sekecil itu, aku mengadu untung. Kalau Palata belum juga dapat kukalahkan, apa lagi yang harus kukatakan bila aku harus mati di ujung goloknya. ia memutuskan.
Dengan berbekal kenyataan itu, ia mulai berlatih memahami jurus- jurus sederhana aliran Siguntang. Dibandingkan dengan kebisaannya dahulu, ia sudah melompat maju sekian kali lipat. Tetapi apakah kemajuannya kini sudah cukup untuk menghadapi Ilmu Golok Palata,dirinya tidak dapat meramalkannya.
Karena jumlah jurusnya tidak seruwet jurus- jurus pedang tunggal, ia dapat memahami jurus aliran Siguntang dengan cepat. Bedanya pedang bergigi tidak hanya dapat digunakan untuk menangkis dan menusuk saja, tapipun mempunyai daya guna menggaet. menyabet, menabas, memukul dan menggergaji. Ia bergembira. karena memperoleh pengetahuan baru.
Mengingat waktu yang makin mendesak, ia tak mengenal lelah. Langsung saja ia beralih tempat untuk mengamati
rahasia llmu Pedang aliran Tanah Putih. Disinipun, ia mendapat kesulitan. Sebab Ilmu Pedang aliran Tanah Putih menggunakan dua bilah pedang berukuran pendek. Terasa sekali, bahwa syarat utama yang dituntutnya ialah kecepatan.
Kalau saja tenaga Tantraku sudah mencapai tingkat empat syukur lima agaknya bukan merupakan masalah lagi. - ia berguman kepada diri sendiri. lalu tertawa geli.
- Hm. lagi- lagi kalau saja, kalau saja . . . mengapa aku masih saja bermimpi mengingkari kenyataan. Karena kini tidak mempunyai pedang pendek lagi, ia mengambil dua batang ranting sebagai penggantinya. Kemudian mulai berlatih memahirkannya. Tiba- tiba pada suatu saat, ia merasa harus menyambitkan kedua pedangnya bergantian.
- Mengapa seperti pisau terbang? - ia heran.
Ia mengulangi jurus permulaan. Lagi- lagi pada tempat itu, harus berbuat demikian. Dan setelah menghampiri gambar pahat agar memperoleh pengamatan jelas ia jadi berkecil hati. Sebab pada gambar selanjutnya, kedua pedangnya harus disambitkan berbareng semacam pisau terbang. '
- Hai! Seperti senjata andalan senjata Rekyan Kadung! ia berseru di dalam hati.
Tetapi pada gambar selanjutnya terdapat perbedaannya. Kedua pedang yang telah terlontar dari tangannya secara bergantian itu harus dapat pulang kembali semacam bumerang. Lalu diterbangkan lagi secara bergantian. sehingga jalurnya bergaris jadi lingkaran lebih hebat lagi, manakala dua pedang pendek itu harus diterbangkan dengan berbareng. Kecuali harus dapat berputar balik, disusul dengan jurus- jurus lainnya.
Melihat contoh gambar pada itu.Mojang Yudapati
berkeringat. Hatinya mengeluh. Jelas sekali. modalnya tidak sampai. Andaikata memaksapun, akan memerlukan waktu latihan cukup lama.
Menyadari hal itu, ia duduk dengan lunglai. Terasa sekali di dalam hatinya bahwa ilmu kepandaian yang terdapat di jagad ini bermacam ragam dan mungkin sekali tak terhitung jumlahnya. Disini sudah hebat. Disana lebih hebat lagi. Begitu pulalah sebaliknya.
- Apakah tenaga Tantraku bisa mencukupi? ia berkomat- kamit.
- Tetapi, tadi dapat kukerahkan melalui batang pedang. Lalu dengan suara mencicit dapat menembus dinding goa. Bagaimana andaikata jalur kelurusannya kubelokkan demikian rupa seperti bumerang? jika orang dapat menggunakan senjata bumerang, mengapa aku tidak?
Dengan semangat juang itu, ia berdiri tegak kembali. Dikerahkan tenaga Tantra himpunannya. Setelah melakukan beberapa jurus, ia melepaskan sebatang rantingnya dengan gaya mengedut.
- Hai! Diluar dugaan, ia berhasil. Ranting kering itu terlontar lurus dan tiba- tiba berputar balik.
- Benar- benar semuanya bersumber kepada tenaga Tantra. serunya dengan rasa kagum. .
ia mencoba sekali lagi. Sekali lagi. Sekali lagi. Dan yang terakhir, ia menangkap ranting yang berputar balik sambil melepaskan yang satunya. Kemudian disusulkan. Lambat- laun ia menemukan arus- arus tertentu yang dapat membawa dan mengembalikan rantingnya.
Bagaimana kalau dengan sebilah pedang benar benar?
Ia memungut pedang Jagadpati dan diterbangkan berbareng mengedutnya kembali. Ternyata lebih mudah dan malahan membawa tenaga menekan.
Mengapa demikian?
Setelah berpikir sejenak dapatlah ia memahami. Bukankah pedang lebih berat daripada ranting pohon? Tetapi andaikata tenaga saktinya memenuhi syarat, daya tekan ranting pohon akan lebih kuat seperti yang dilakukan tadi tatkala mengembangkan himpunan tenaga Tantra. Lapisan dinding goa tergempur rontok meluruk ke tanah.
- Inipun lumayan. ia menghibur diri.
- Di kemudian hari bila masih ada kesempatan, bukankah aku dapat berlatih Tantra lebih jauh lagi?
Dengan demikian, selesailah sudah bagian Ilmu Pedang yang terpahat dan terukir di dinding goa. Kini, ia beralih kepada llmu Golok. Ternyata Ilmu Golok tidak semudah sangkaannya. Jurus- jurusnya hampir serupa dengan jurus- jurus pedang. Hanya lebih mantap dan tegas. Walaupun demikian oleh ketekunan dan kekerasan hatinya, dapatlah ia memahaminya dengan baik. Tetapi tenaganya seperti terkuras habis. Diam- diam hatinya tercekat. .
- Celaka! Apakah...- ia cemas. '
Ia tidak menyadari, bahwa waktu itu sudah memsuki hari ketiga. Berarti, ia berlatih tidak mengenal waktu selama tiga hari dan tiga malam. Tentu saja, tenaganya makin berkurang. Apalagi, baru saja sembuh dari luka parah. Keadaan dirinya belum pulih benar seperti sediakala.
Dengan membawa perasaan cemas, ia tertidur oleh rasa lelah. Entah karena terlibat oleh msalah gambar pahatan itu atau entah karena terlibat rasa cemas, tiba tiba saja ia merasa berada di tengah gelanggang pertikaian. Bentuk gelanggang itu tidak beda jauh dengan ruang goa yang dimasukinya. Sembilan orang berpakaian pendekar muncul dari balik dinding. Masing- masing menyebutkan namanya, sebagai : Yama parasu, Kalakarna Raguta, Dasagriwa, Gunadewa. Upasunda. Wisrawana dan Amarwati.
- Jadi tuan- tuanlah yang memahat gambar- gambar ini? ia minta keterangan.
- Dan engkau sudah memahaminya? tungkas pendekar yang menyebutkan namanya sebagai Yama parasu.
- Hanya sebagian.
Hebat perbawa sembilan pendekar itu, sehingga hatinya meringkas. Apalagi sikap dan kesan Yama Parasu amat garang dan menakutkan. Dalam mimpi itu,ia nyaris menggigil ketakutan. Dan takut kena salah. segera ia berkata lagi:
- Semuanya itu terjadi karena tidak kusengaja.
Yama Parasu tertawa gemuruh. Sahutnya:
- Kau seorang perwira. Mengapa hatimu kecil? 0rang yang tidak memiliki jiwa besar, tidak cocok untuk memahami rahasia ilmu kepandaian kami,Diingatkan tentang kedudukannya, mendadak saja timbullah rasa jantannya. Menjawab:
- Takut? Kalau takut. mustahil aku berani merantau sampai kemari. Kami, orang- orang Jawadwipa, dididik dan diajar untuk menghormati orang- orang tua. Apalagi kalian termasuk leluhur kami. Salahkah aku berlaku hormat kepada kalian?
- Bagian mana yang telah kau pelajari? ujar Yama Parasu tidak menghiraukan ucapannya.
- Bagian Ilmu Pedang dan Ilmu Golok.
- Apa yang akan kau lakukan, bila musuhmu bersenjata kapak, tombak, tongkat, penggada, cakram pisau terbang atau mungkin pula palu godam? Masing- masing senjata itupun memiliki tipu- tipu yang mematikan juga.- Tentu saja aku akan melawannya dengan ilmu pedang yang sudah kufahami.
Mojang Yudapati tidak mau mengalah.
- Ilmu Pedang yang mana?
Menghadapi pertanyaan ini tiba- tiba Mojang Yudapati merasa buntu pikir. Dahulu, sewaktu belum mempelajari rahasia llmu Pedang yang terpahat pada dinding goa itu, ia melawan semua musuhnya dengan ilmu pedang perguruannya yang sudah dikuasainya. Tetapi setelah melihat pahatan rahasia Ilmu Pedang yang jauh lebih hebat daripada ilmu pedangnya sendiri tentu saja ia akan menggunakan Ilmu Pedang yang hebat itu.
Tetapi yang mana?
Hal itu tidak pernah terpikirkan.
Melihat Mojang Yudapati termangu- mangu seperti kehilangan akalnya, Yama Parasu berkata:
- Kalau begitu, engkau belum berhak mengaku sudah memahami Ilmu Pedang kami menjadi satu kesatuan. aah barulah engkau berhak mengaku memiliki kepandaian memainkan pedang.- Menggabungkan?
Mojang Yudapati menegas.
- Kau maksudkan, aku harus menyambung rangkaiannya menjadi satu kesatuan?
Yama Parasu dan kawan- kawannya tiba- tiba lenyap dari penglihatan. Dan dalam mimpi itu, ia serasa mendengar dengung suaranya sendiri:
menggabungkan? . . . menggabungkan? . . .
Dan suara itu begitu bergaung nyaring, sehingga telingganya terasa pengang. Ia tersentak bangun dengan jantung berdebaran. '
Cahaya yang datang dari lubang goa nampak terang kembali. Perlahan- lahan ia berdiri tegak.
- Hai!
Hatinya terasa nyaman dan segar. Ia memeriksa tenaga himpunan Tantra. Ternyata tidak luntang suatu apa. Bahkan semangat hidupnya bertambah-tambah bagaikan api menyala- nyala. Barulah ia kini menyadari bahwa perasaan cemasnya sebentar tadi bergetar tanpa alasan yang berdasar.
Segera ia teringat kembali akan bunyi gaung suaranya sendiri. Dengan perasaan tegar ia menyambar pedangnya. Lalu mulailah ia melakukan jurus- jurus rahasia Ilmu Pedang Syiwapala. Tetapi tatkala hendak digabungkan dengan jurus- jurus aliran Gupala Seta, mendadak macet. Ia terkejut, dan mengulangi kembali, lagi- lagi gerakan pedangnya macet, apabila tiba pada saat hendak menyambungkan. Ternyata titik tolak Ilmu Pedang aliran Syiwapala dan Gupala Seta, bertentangan. Tetapi mengapa aku tadi dapat memahami, ia bertanya kepada diri sendiri.
Ia mencoba mengingat- ingat. Setelah merenung- renung beberapa saat, tahulah ia apa sebabnya. Setiap kali beralih kepada ilmu Pedang aliran lain, ia berhenti dahulu untuk mengamat- amati lalu menirukannya.
Kalau begitu, apakah setiap kali hendak beralih harus berhenti dahulu?
Bagaimana mungkin?
Apakah musuh harus kuajak berdamai dahulu agar sabar menunggu sampai aku bisa mengatur diri? ia mondar- mandir dengan pikiran penuh.
Namun seperti biasanya, ia tidak mudah menyerah. Ia memeras otaknya untuk memperoleh jawabannya. Teringatlah dia akan tenaga himpunan Tantra.
Bukankah menurut gurunya, Tantra adalah sumber dari segala ilmu yang terdapat di persada bumi?
Dengan pikiran itu. ia mengulangi lagi. Namun tetap saja gagal. Sebab, Tantra ternyata hanya merupakan pendukung belaka.
lalu dengan apa?
Apakah harus disambung dengan ilmu pedangnya sendiri?
Segera ia mencobanya, namun tetap saja gagal. Oleh rasa jengkel dan kesal, ia melemparkan pedangnya ke tanah.
- Sekian lamanya aku berlatih untuk memahami tiap ilmu pedang yang terpahat di dinding. Ternyata tiada gunanya. kecuali hanya sekedar menambah pengetahuan semata. Dengan berbekal ilmu pedang yang terpotong potong, betapa mungkin aku dapat mengalahkan ilmu golok Palata yang sudah jadi. ia mengeluh.
Untuk menambal rasa kecewa dan penasaran, ia kemudian duduk bersemadi dengan Yoga Tantra. Tentu saja rasa penasarannya tidak mudah untuk dibawa berdamai. Berbagai bayangan berkelebatan di depan kelopak matanya yang dipejamkan. Teringatlah dia betapa dengan susah payah ia dapat memahami ragam Ilmu Pedang itu dengan Tantra. Mendadak saja. suatu ingatan menusuk benaknya.
Semuanya bersumber Tantra.
Itulah kata- kata gurunya dalam mimpinya. Karena itu ia berlatih Tantra sampai tingkat tiga. Sewaktu dibuat bekal untuk menyelami dan memahami ragam ilmu pedang itu, ternyata berhasil dengan baik.
Tetapi berbekal Tantra tingkat yang mana?
Bukankah dirinya tidak perlu mengingat- ingat?
Dia hanya percaya bahwa ia kini sudah berbekal Tantra tingkat tiga. Tentunya sudah mencukupi. Karena menyadari bahwa Tantra hanyalah sebagai tenaga pendukung saja ia tidak perlu pusing- pusing untuk memilih arus tenaga Tantra tingkat apa yang sesuai dengan jurus- jurus yang sedang dilakukannya.
- Dan gambar pahatan itu merupakan pecahan dari Tantra yang kini harus kugabungkan menjadi satu kesatuan. Bukankah gambar- gambar itu kini berbalik menjadi jurus- jurus pendukung, bila harus kumanunggalkan? ia berteka- teki dengan dirinya sendiri. .,
- Ya, benar begitu! Gambar- gambar itu berkedudukan menjadi pendukung Tantra bila kumanunggalkan. Sebab bila manunggal menjadi satu kesatuan berarti Tantra... Sampai disini. ia jadi terlongong- longong. Seperti kanak- kanak yang baru belajar di kelas pertama, ia mulai menghafal.
- Tantra adalah sumber dari semua ilmu yang
terdapat di persada bumi. Demikian pulalah ragam gambar- gambar itu. ia berhenti sebentar. Lalu meneruskan:
- Jadi gambar- gambar itu adalah pecahan dari Tantra. Kalau kupersatukan akan menjadi Tantra sebulat- bulatnya.
Berhasil memahaminya, karena berbekal tenaga Tantra. Caraku mengatur arus Tantra, tanpa mengingat- ingat. Kalau begitu, bila aku ingin mempersatukannya, seharusnya tidak boleh mengingat- ingat jurusnya. Pendek kata, asal bergerak saja . . .
Benarkah begitu?
Segera ia berdiri dan menghampiri deretan gambar gambar yang melukiskan ragam Ilmu Pedang. Untuk menghemat waktu, ia mencoba merangkaikannya melalui adegan gambar. Karena ragam Ilmu Pedang itu asalnya dari sumber yang sama, lambat- laun ia menemukan gaya gerakan yang mirip dari setiap aliran.
Memperoleh pengamatan itu, semangatnya tumbuh kembali. Terus saja ia mencoba merangkaikan jurus aliran yang satu dengan yang lain yang sekiranya agak mirip. Setelah itu, segera ia mempraktekkan. Hasilnya, ternyata lancar. Ia mencoba jurus lainnya, dengan cara yang sama umpamanya jurus llmu Pedang Syiwapala yang agak mirip dengan jurus Paramita. Jurus Ilmu Pedang Paramita dengan jurus Ilmu Pedang Siguntang atau Tanah Putih. Juga berhasil dengan baik. Tentu saja ia bersorak gembira seperti kanak- kanak menemukan sekantong uang di tengah jalan.
Dan kembali lagi, ia jadi lupa waktu sebab makin lama, makin terasa lancar.
Tatkala malam hari tiba dengan diam- diam, ia jatuh tertidur dengan perasaan nyaman. Karena isi benaknya penuh dengan rangsangan pikiran, kembali lagi ia bermimpi.
Tetapi mimpi yang mengecewakan yang hampir merenggut rasa nyamannya.
- Apakah engkau sudah berhasil menggabungkan menjadi satu kesatuan? = seseorang bertanya kepadanya.
- Kau ingin melihat? jawabnya.
- Coba perlihatkan kemampuanmu!
Dengan penuh semangat ia mempamerkan hasil jerih payahnya. Di luar dugaan orang itu tertawa terbahak hahak. Ujarnya:
-Itu bukan kesatuan. Tetapi hasil ciptaanmu sendiri yang merupakan Ilmu Pedang aliran tersendiri.
- Apa? ia terkejut.
- Kau tak percaya? Coba, lawanlah bocah itu!
Dan muncullah seorang pemuda tanggung yang menyerangnya' dengan kalap. Serangannya tanpa jurus tanpa bentuk. alias asal jadi saja. Tetapi meskipun demikian, ia tertegun- tegun beberapa saat. Sekian lamanya, ia tidak menemukan cara melawannya. Sebaliknya pemuda tanggung yang kalap itu, terus mendesaknya dengan pedang berserabutan. Cepatnya luar biasa. Mau tak mau, ia terpaksa mundur selangkah. Pada saat itu, terdengar suara tertawa orang itu.
- Hahaha . . . nah percaya atau tidak? Mana ilmu pedangmu? Mana ilmu- ilmu pedang lainnya yang sudah kau fahami? Padahal bocah itu sama sekali tidak mengenal ilmu pedang sejuruspun.
- Apakah aku harus kalap pula? potongnya sengit.
- Engkau sudah mengantongi Ilmu Pedang nomor satu di dunia. Bila ilmu kepandaianmu dapat kau gerakkan secara kalap, bukankah jadi dahsyat? - Jadi?
Orang itu tidak segera menjawab. Dia tertawa panjang lagi. Kemudian menggurui:
- Jurus semua ilmu adalah mati. Sebaliknya yang melakukannya yang hidup. Semua ayat suci adalah catatan mati. Sebaliknya yang membaca yang hidup. Apakah sewaktu engkau bertempur melawan musuh, haruskah kau mulai dari jurus satu. kemudian jurus dua. tiga, empat dan seterusnya? Itulah yang kumaksudkan, jurus jurus semua ilmu itu mati. Sebaliknya bila engkau melawannya dengan jurus yang keluar dari lubuk hatimu itulah jurus yang hidup. Mendengar kata- kata orang itu. terbukalah pikiran Mojang Yudapati. Pikirnya:
- Benar! Dalam suatu pertempuran, masakan aku harus melalui jurus pertama dahulu sebelum meningkat ke jurus lainnya? Tentunya aku akan melawan dengan jurus seingatku saja. - Benar! orang itu membenarkan.
- Dengan begitu, kau akan merebut waktu pula. Bukan suatu hal yang mustahil, bila pada gempuran pertama engkau akan menggunakan jurus ke 36. Lalu jurus 14, lalu 29, lalu 11, lalu . . . pendek kata seingatmu. Bukankah engkau sudah merebut waktu? Sebab engkau tidak perlu mengingat- ingat jurus apa dahulu yang harus kulakukan. Sebab engkau tidak terbelenggu lagi oleh ketentuan- ketentuan perguruan. Engkau bebas merdeka laksana burung rajawali yang terbang mengarungi angkasa. Kadang melayang rendah, kadang pula mendaki tinggi. Pendek kata bergerak seiring dengan kemauanmu, selaras dengan'rasamu. Itulah yang dikatakan Ilmu Pedang yang sudah mencapai puncak. Itulah Ilmu Pedang yang sudah manunggal dan sejiwa. Dengan begitu kau tidak lagi dikuasai oleh belenggu- belenggu tata- tertib perguruan yang mati. Sebaliknya, engkau bahkan menghidupkan ajaran- ajaran perguruan yang sudah kau fahami.
- Tetapi bagaimana kalau lawan sudah mendahului menyerang seperti anak kalap tadi?
- Bergerak belakangan, tetapi tiba mendahului. Kau
tahu maknanya? - Apa itu?
- Kau akan mendahului bila mengetahui titik kelemahannya. Umpamanya musuhmu menusukkan pedangnya. Bukankah dia melencangkan lengannya? Pada saat demikian bagian manakah yang tidak terlindung? Bukankah pangkal lengannya yang justru sedang bergerak melencang? Tusuklah titik kelemahan itu! Dia pasti akan menarik serangannya untuk segera melindungi pangkal lengannya. Dan pada saat itu engkau sudah memperoleh kebebasan untuk melancarkan serangan berangkai tiada putus- putusnya dengan jurus- jurus gabungan yang keluar menurut apa yang kau ingat. Dengan demikian, bukankah berarti engkau tidak perlu mengingat- ingat kemestian- kemestiannya?
- Benar. ujar Mojang Yudapati bersyukur
- Ya, mengapa hal itu tidak kusadari lebih awal? Ia meruntuhkan pandang, karena merasa malu. Sejenak kemudian mendongakkan kepala untuk menatap wajah orang itu. Ternyata orang itu sudah lenyap dari penglihatan. Pada saat itu pula ia terbang dari mimpinya.
Suasana dalam goa masih gelap pekat. Tetapi karena sudah biasa berada dalam goa itu, suasana gelap pekat tidak mempengaruhi keadaan hatinya. Sebaliknya makna mimpi yang baru saja berlalu, berpengaruh hebat dalam dirinya. lama sekali ia termangu- mangu. Sebentar merasa bersyukur,sebentar pula berbimbang- bimbang.
Benarkah makna mimpi itu?!
Dapatkah makna mimpi itu dipegang sebagai pedoman?
Pelahan-lahan, ia menegakkan badannya. Kemudian bangkit untuk membuat unggun api. Setelah api menyala terang. Ia duduk kembali ke tempatnya semula. Sambil menatap nyala api yang membakar unggun ranting kering, ia mencoba merenungkan makna mimpinya dengan seksama.
Kata orang- orang bijaksana. dalam hidup ini sering terjadi peristiwa- peristiwa yang nalar dan yang tan nalar. Yang wadag dan yang tan wadag. Yang nampak dan yang tidak nampak. Dan untuk mencari kebenarannya, ada dua cara yang ditempuh. Pertama, melalui pengamatan panca- indera. Kedua, melalui keyakinan, iman dan pengalaman pribadi.
Mimpi merupakan peristiwa pribadi yang tidak nampak dari luar. Karena itu, tidak dapat yang bersangkutan membawa saksi. Meskipun demikian, dapat dibahas dan dikupas melalui kaidah- kaidah kejiwaan dan pengalaman. Kerapkali, mimpi membawa ilham hakiki suatu permasalahan yang rumit bagi yang bersangkutan.
Teringatlah ia kepada suatu peristiwa yang pernah terjadi di kampungnya.
Salah seorang warga kampungnya ikut berlayar ke pulau Madagaskar. Di tengah perjalanan, ia mati dan menurut adat kebiasaan mayatnya dilemparkan ke dalam lautan. Tetapi setelah sekian bulan terayun ayun gelombang, pada suatu hari warga kampungnya menemukan mayat itu terbuncang gelombang sampai mendarat di pantai.
Bagaimanakah peristiwa itu dapat dimengerti oleh nalar?
Siapa yang membawa mayatnya kembali ke kampungnya?
Mengapa bisa terjadi demikian?
Tiada seorangpun yang dapat menjelaskan sebab- musababnya. Dan teringat peristiwa itu, bangkitlah rasa keyakinannya. Terus saja ia berkata kepada dirinya sendiri:
- Kalau dipikir, apa modalku mempelajari Tantra, selain bermodal iman yang teguh? Kenyataannya. dengan Tantra terjadilah peristiwa yang ajaib. Aku dapat menghimpun tenaga sakti yang tak kuketahui dari mana asalnya. Kemarin malam, aku bermimpi bertemu dengan para
cikal- bakal yang menganjurkan diriku untuk menggabungkan semua pecahan ilmunya menjadi satu kesatuan. Nyatanya, aku menghadapi suatu kesulitan dan baru berhasil setelah berkutat sekian lamanya. Dan setelah berhasil muncullah seseorang dalam mimpiku yang mengecam serta mentertawakan kemajuanku. Rasanya benar juga. Mengapa aku tidak mencoba- coba untuk membuktikan kebenarannya? Siapa tahu memang demikianlah jalan yang harus kutempuh untuk menggabungkan rahasia ilmu kepandaian para leluhur itu menjadi satu kesatuan. Terbayanglah kembali mimpinya sebentar tadi. Mimpi tentang seorang pemuda tanggung yang sedang kalap. Dengan sebilah pedangnya, dia mengamuk berserabutan. Sama sekali dia tidak menghiraukan keselamatan diri sehingga tidak perlu berjaga- jaga. Justru demikian gerakan pedangnya cepat luar biasa dan ganas. Sebab apa yang terpikirkan dalam otaknya. hanya hendak merobohkan lawannya.
- Apakah itu yang dinamakan tidak mengingat- ingat jurus? Ya, benar! Kalap. bukankah berarti kehilangan pertimbangan akal dan hati? Seseorang yang sedang kalap, betapa mungkin dibebani kemestian- kemestian jurus dan aturan- aturannya yang harus dilakukan bilamana memegang pedang di tangan? Bukankah dia akan menyerang dengan gerakan apa saja yang diingatnya atau yang terlintas dalam ingatannya?
Menghadapi orang kalap, siapapun akan dibuatnya tertegun meski untuk beberapa saat. Tetapi beberapa saat itu, banyak artinya. Yang diserang sudah kehilangan waktu dan kalah waktu pula bila dibandingkan dengan yang menyerangnya.,
Jika yang kalap itu memiliki ilmu kepandaian alangkah hebat akibatnya. Sebab gerakan
pedangnya akan jadi jauh lebih dahsyat.
Menyadari hal itu, dengan penuh semangat ia memungut pedangnya. Kemudian ia menirukan gerakan bayangan orang yang sedang kalap. Untuk sejenak ia akan terdesak mundur. Kewajibannya kini mencari dan mengincar titik kelemahannya. Lalu hup!
Ia menikamkan pedangnya dan menyerang balik dengan awut- awutan pula. Tetapi karena sudah mengantongi puluhan jurus rahasia ilmu pedang yang terpahat pada dinding goa, dengan sendirinya yang keluar dari lubuk hatinya adalah jurus- jurus yang sudah teratur rapih. Bedanya, ia tidak harus memulai dari jurus permulaan. Tiba- tiba saja melompat ke jurus 23, lalu 15, lalu 4 dan seterusnya. Pendek kata membalas menyerang dengan jurus- jurus yang muncul dalam benaknya.
Hebat akibatnya,Kecuali jadi cepat luar biasa. jurus jurus itu tiada habisnya. Terus menerus bersambungan tiada putusnya. Sewaktu ia merasa sudah cukup, unggun api telah padam dan ruang goa menjadi cerah oleh sinar matahari yang menembus dari lubang goa.
Hati- hatinya berdebar- debar bagaikan seseorang menemukan jalan keluar dari lubang jarum. Gembira bersyukur dan terharu bukan main. Terus saja ia menjatuhkan diri. Dengan berjagang kepada dua lututnya, air matanya meleleh membasahi kedua belah pipinya. Terloncatlah ucapannya:
- Hyang Widdhi Wisesa, tiada dapat kutemukan katakata lain, kecuali terima kasih. Terima kasih atas kemurahanMu. Dan andaikata aku masih juga tak dapat mengalahkan Palata, kuberjanji tidak mencari kambing hitamnya. Itu semua akibat diriku yang tidak becus.
Ucapannya itu membersit dari lubuk hatinya sehingga seluruh tubuhnya bergetar lembut. Pada saat itu ia merasakan suatu keheningan yang nikmat. Rasa syahdu yang tidak terlukiskan lagi menimbulkan gairah hidupnya. Apa yang tadinya terasa gelap menjadi cerah semarak. Dunia luas seakan terbuka lebar baginya.
Dengan rasa nikmat itu, ia berdiri pelahan- lahan. Kemudian berjalan menghampiri dinding goa mengamati lukisan himpunan rahasia ilmu kepandaian yang tiada taranya di dunia. Itulah peninggalan para cikal bakal aliran yang terdapat di pulau Suwarnadwipa. Segera ia membungkuk hormat untuk menyatakan terima kasihnya. Lalu teringatlah dia akan mimpinya, betapa Yama Parasu mengingatkan dirinya agar mempelajari ilmu kepandaian para leluhur lainnya yang bersenjata tombak, tongkat, penggada, kapak dan palu godam.
Sebenarnya dengan berbekal kepandaianku sekarang ini, sudah cukup untuk mematahkan serangan senjata macam apapun, ia berkata di dalam hati. Tetapi mungkin pula, arwah pendekar Yama Parasu bermaksud baik. Apa salahnya kupelajari pula? Memang, waktu tidak mengijinkan diriku untuk berlama- lama di sini.Janjiku dengan jahanam Palata harus kutepati. Maka untuk sementara, biarlah kuhafalkan dahulu jurus- jurusnya. - - '
Dengan keputusan itu, ia jadi asyik kembali. Mula mula yang diamatinya adalah Ilmu Golok aliran Orang Aring yang sudah difahami. Kemudian beralih kepada Ilmu Palu Godam aliran Arnawa. Setelah itu Ilmu Tombak aliran Abong- Abong dan Pasupata. Sekonyong- konyong, masih terdapat llmu Penggada dari aliran Gupala Seta.
- Eh, rupanya aliran Gupala Seta memiliki ilmu simpanan dua buah. Yang satu ilmu Pedang dan yang kedua llmu Penggada. Benar- benar aneh. Baik sifat dan cara pengerahannya amat bertentangan. Ilmu Pedang menuntut kelincahan, sedangkan Ilmu Penggada berpegang pada
pengerahan tenaga. Mengapa bisa jadi begitu? Apakah cikal- bakal aliran Gupala Seta dua orang?
Karena sudah faham cara mengerahkan himpunan tenaga sakti, ingin ia menyelami keanehan itu. Benarbenar ilmu Penggada menuntut himpunan tenaga yang besar. Tanpa berpikir berkepanjangan. terus saja ia menirukan jurusnya. Ternyata lamban, namun bertenaga kuat. Setelah selesai ia memeriksa titik sambungnya dengan ilmu pedangnya,
- Hai! Mengapa aku memikirkan hal itu? Hampir saja aku terjebak lagi. llmu Pedang aliran Gupala Seta, bukankah sudah kumanunggalkan menjadi satu kesatuan? Apakah harus kupadukan.
Sejenak ia berbimbang- bimbang. Lalu timbullah ingatannya. Berpikir di dalam hati:
- Kalau ilmu pedang harus kupadukan dengan ilmu pedang lainnya, tentunya aku dituntut demikian pula. bila memadukan ilmu keras ini. Palu Godam, Kapak dan Penggada membutuhkan himpunan tenaga kuat. Tetapi bagaimana dengan tombak? Nampaknya Ilmu Tombak bisa seiring dengan senjata tongkat dan sejenisnya.
Ia yakin akan hal itu. Tetapi sewaktu hendak berlatih, teringatlah dia kepada Palata. Sebagai seorang perwira yang berkewajiban pula menjaga keharuman nama negara, ia tidak boleh ingkar janji. Setelah membungkuk hormat, berkatalah ia setengah berdoa:
- Kali ini aku mengecewakan harapan para datuk. Tetapi aku berjanji. Bila lolos dari bahaya. segera aku datang kemari untuk memenuhi harapan datuk. Akan kupadukan dan kumanunggalkan semua warisan para datuk menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah- pisah lagi.
Dengan sikap seorang perwira menghadap atasannya
ia membalikkan tubuhnya dan menghampiri sisa perbekalan dan bungkusan pakaiannya untuk berkemas- kemas. Pada ambang terowongan buatan pendekar Yama Param. sekali lagi ia menjelajahkan pandang matanya kepada gambar gambar pahatan dan ruang goa. Dengan terbaru ia mengangguk pendek sebagai ucapan terima kasih. Lalu merayap keluar goa.
Hawa segar sejuk menyambut kehadirannya di luar goa. Ia seolah- olah makhluk dalam bumi yang muncul di atas persada jagad raya saja. Mukanya penuh berewok, berambut kotor dan berpakaian lusuh. Selain itu, pandang matanya berkesan asing. Asing terhadap semuanya di luar dirinya. Sebab hampir satu bulan lamanya, ia berada di dalam gua tak ubah seseorang yang terkubur hidup hidup.
- Apa yang harus mula- mula kulakukan ialah, menutup goa. Setelah itu mencari air untuk mandi, mencukur berewok, mengatur jenggot dan kumis, kemudian berganti pakaian yang pantas. katanya kepada diri sendiri.
Dengan hati tegar, ia menutup pintu terowongan. Menimbuni dengan tanah dan rerumputan sehingga nampak samar. Kemudian merangkaki tebingnya untuk mencari air. Di sepanjang jalan ia bersiul panjang dan pendek melagukan senandung apa saja yang membersit dari kalbunya. kini, dirinya bukan lagi seperti dahulu lagi yang gentar menghadapi Boma Printa Narayana. Tetapi menjelma sebagai manusia baru yang memiliki kepandaian tinggi tiada tara.
*****
PERANG TANDING
SETELAH MANDI, mencukur berewok, mengatur jenggot. merapikan kumis dan berganti pakaian, ia merenungi sisa makanan keringnya. Mula- mula ingin ia menendangnya jauh- jauh. Tetapi teringat pengalamannya dahulu, ia menyimpan rapih di atas pohon. Siapa tahu ada guna faedahnya. Kemudian dengan menenteng pedang Jagadpati mulailah ia memasuki perjalanannya mengarungi dunia baru.
Ya, baginya dunia yang akan dimasukinya berkesan baru.
Meskipun keadaan dirinya belum sesehat dahulu, namun keadaan hatinya jauh melebihi. Dadanya terasa lapang, siap untuk menerima masalah apapun. Teringat akan perjanjiannya dengan Palata, terbayang pulalah perkenalannya dengah Sekar Tanjung.
Menurut Palata, Sekar Tanjung seorang dara yang cantik molek. Waktu itu sama sekali ia tidak terpengaruh. Sebab seluruh perhatiannya sedang berkutat mencari jalan keluar. Tetapi kini
dapatlah ia memikirkannya dengan merdeka
Dibandingkan dengan Rara Tilam, Sekar Tanjung jauh lebih cantik dan menarik. Andaikata ketangkasan dan kelincahannya seimbang dengan Rara Tilam, maka dia sesungguhnya seorang dara yang sempurna. Sekarang barulah ia memahami apa sebab Palata hendak mempertahankannya dengan mati- matian.
- Jahanam itu entah sudah berapa kali merusak gadis gadis suci. Mungkin puluhan bahkan ratusan kali. Untung hal itu tidak terjadi pada diri Sekar Tanjung. Pendek kata, aku akan berusaha agar Palata tidak mengganggu kaum bhiksuni.
Mojang Yudapati memutuskan sikapnya.
- Kalau aku bisa memaksa Palata mengangkat sumpah, barulah ada maknanya aku hidup didunia ramai.
Waktu itu senja hari sudah tiba. Perut Mojang Yudapati mulai keroncongan minta isi. Segera ia mempercepat langkahnya. Ia berharap dapat tiba dirumah makan dahulu itu, sebelum malam hari tiba. Tetapi karena merasa kehilangan arah, perlu ia menjenguk jurang yang hampir merenggut jiwanya. Bila sudah tiba di jurang itu. dapatlah ia menentukan di mana rumah makan itu berada. Sebab, dahulu ia berangkat bersama- sama dengan Palata dari rumah makan itu untuk tiba di tebing jurang yang berada di atas ketinggian berselimut hutan raya.
Teringat akan tebing jurang itu, terbayang pulalah ia kepada kedua penolongnya. Penolong yang aneh bin ajaib. Mereka bernama Dewasana dan Aruni yang mengaku sebagai orang tua Sekar Tanjung.
Demikianlah kesimpulan yang diperolehnya dari pembicaraan mereka. Sayang, ia tidak sempat melihat wajah mereka. Meskipun demikian menilik pekertinya mereka berdua pasti berkepandaian tinggi. Dan orang- orang pandai, seringkali memilih sepak terjang yang aneh.
- Ha. kalau Palata bertemu dengan mereka akan menumbuk batu.
Mojang Yudapati berharap.
Dengan berbagai kenangan itu, tak terasa Mojang Yudapati hampir tiba ditebing jurang yang hampir merenggut jiwanya. Tetapi dengan diam- diam pula petang hari sudah menyelimuti seluruh alam. Sebentar lagi, dunia akan menjadi gelap pekat. Apalagi di dalam petak hutan raya yang bermahkota rimbun. Untung, Yudapati sudah cukup terlatih hidup dalam kekegelapan selama satu bulan, itulah sebabnya pandang matanya sama sekali tak terganggu. Sekonyong- konyong ia melihat cahaya api meletup- letup tidak menentu. Cahaya api yang memantul demikian, biasanya datang dari api unggun yang kena tiup angin lalu.
Siapa yang membuat api unggun di tepi jurang itu?
Hati- hati ia menghampiri. Dari balik pohon, ia melihat sesosok orang duduk termangu- mangu di tebing jurang. Kepalanya menunduk seperti mencari sesuatu. Sedangkan tak jauh dari padanya, terbujur dua mayat yang berlumuran darah. .
Sudah barang tentu, pemandangan itu menerbitkan rasa aneh dalam hati Yudapati.
Siapakah orang itu?
Dan siapa pula mereka yang terbunuh?
Selagi hatinya menebak- nebak, terdengarlah orang itu berkata nyaring:
- Saudara Yudapati! Meskipun hanya selintasan, kejujuran dan jiwa kesatriamu berkenan di hatiku. Karena itu, engkaulah sahabat sejati. Kini. kukirimkan mereka berdua ke alam baka agar menjadi pelayanmu. Mereka pantas menjadi pelayanmu. Malahan sudah selayaknya menjadi budakmu, karena ikut serta menjerumuskan engkau ke dalam jurang. Beberapa hari lagi aku akan mengirimkan jumlah jauh lebih banyak lagi. Akan kumusnahkan orang Abong- Aboug seorang demi seorang, agar hatimu puas. Kuharap engkau dapat membentuk satu pasukan tangguh biar Dewa Yama segan padamu. - .
Mendengar kata- kata orang itu, dengan segera Yudapati dapat menebaknya siapa dia. Meskipun apa yang dilakukannya bertentangan dengan hatinya, namun ia terharu juga. Tak pernah terbayangkan sedikitpun juga bahwa jahanam itu menghargai dirinya begitu tinggi. Terus saja ia muncul dari balik pohon sambil berkata riang:
- Tak usah. Dewa Yama sudah takluk kepadaku semenjak lama. - Bukan main terkejut hati Palata sampai ia meletik bangun seraya menghunus goloknya. Bentaknya:
- Siapa kau?- Aku Yudapati.
- Bohong! Dusta! Engkau roh jahat! Engkau hantu
gentayangan . .
Yudapati tertawa gelak sambil menghampiri. Serunya:
- Lihatlah yang jelas! Bukankah aku Yudapati?- Bukan . . . bukan . . . Palata bergerak memutar.
- Kau hantu yang menggunakan jasad sahabatku.
- Hantu? Masakan aku hantu?
- Jika bukan hantu, coba makanlah!
- Apa yang harus kumakan?
- Tuuuh . . . di dalam kotak itu terdapat nasi, penganan, lauk pauk, minuman keras. Kau boleh pilih sesukamu. Hayo, makanlah kalau kau bukan hantu!
Yudapati tertawa geli. Segera ia menghampiri kotak penyimpanan perbekalan Palata. Dasar perutnya sudah keroncongan semenjak tadi, terus saja ia menyambar paha ayam yang tergoreng mulus. lalu digerogotinya dengan nyaman.
Palata tercengang. Dengan suara pelahan ia menegas:
- Engkau sahabatku Yudapati benar- benar? - Siapa sudi bersahabat dengan jahanam maling perempuan? - tungkas Yudapati.
- Menilik suara dan gayamu berbicara, engkau memang sahabatku Yudapati. Tetapi engkau terlalu kurus dan terlalu pucat. Coba buka pakaianmu. Aku ingin melihat dadamu. Menurut kabar, engkau mati tertusuk pedang orang Abong- Abong.
Palata masih beragu.
Dengan lapang hati, Yudapati membuka bajunya. Dan begitu terlihat bekas lukanya, terus saja Palata menandak- nandak sambil menyarungkan goloknya. Serunya gemuruh: - Saudara Yudapati! Bagaimana engkau bisa hidup kembali? Melihat bekas lukamu, jelas sekali bahwa berita itu benar.
- Panjang ceritanya. jawab Yudapati dengan sederhana.
- Aku lapar. Di mana kita bisa mencari kedai?
- Takusah! Tak usah! Ah, ya. . . barangkali isi kotakku cukup untuk membuat perut kita berdua kenyang. Makanlah sesukamu! 'Aku sendiri, biarlah menunggumu sambil meneguk minuman keras.
- Menunggu? Menunggu apa?
- Menunggu sampai engkau berkenan berkabar padaku. Dua jahanam ini, biar kusingkirkan dahulu agar tidak mengganggu penglihatanmu. ujar Palata.
Dan dengan sekali bergerak, kedua mayat murid aliran Abong- Abong itu ditendangnya masuk jurang.
- Nah, begini bukankah jauh lebih bersih? - ujarnya lagi.
Yudapati bersikap acuh tak acuh. Dengan menggerumuti paha ayam, ia berkata:
- Kau curi dari mana semua makanan ini?
- Mencuri? Palata meledak dengan suara tinggi. ,
- Saudara Yudapati! Meskipun aku senang mencuri perempuan, tetapi selama hidupku belum pernah aku mencuri makanan. Apalagi sampai merampok. Aku masih cukup
uang untuk membelinya.
- Hm. bagus!
Yudapati mendengus.
- Orang seperti dirimu bagaimana sudi bermurah hati terhadap orang lain. Engkau membeli makanan dan minuman keras sebanyak ini. tentunya mempunyai rencana keji.
- Mempunyai rencana. memang benar. Tetapi rencana keji. belum tentu. Sebab makanan dan minuman ini kulakukan demi kebaikanmu. Bukankah hari perjanjian sudah tiba? Sewaktu aku membeli makanan dan minuman keras ini di sebuah rumah makan besar aku mendengar percakapan orang Abong- Abeng. Mereka membicarakan tentang dirimu. Karena engkau bersahabat denganku maka engkau harus dibunuh. Tetapi yang benar karena salah seorang ketuanya bernama Pusara menaruh cemburu kepadamu. - "
- Cemburu apa?
- Karena dara bhiksuni itu jatuh hati kepadamu.
- Huh.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yudapati mendengus...
- Mendengar kabar kalau engkau terluka oleh golokku, Pusara tidak mau menyia- nyiakan kesempatan. Sambil melampiaskan rasa cemburunya, dia berharap dapat menaikkan derajat perguruannya, karena di depan orang banyak ia dapat membunuhmu dengan mudah. Tetapi kabarnya, engkau dapat membunuhnya pula. sebelum tercebur dalam jurang.
- Hm.
- Mendengar kabar itu, terus saja aku mencekuknya.
Dua mayat tadi. sahut Palata tiada kesan.
- Mereka kupaksa menunjukkan di mana jurang itu. Ternyata mereka membawaku kemari. Teringat bahwa di alam baka sana engkau tentunya perlu pembantu, maka mereka kubunuh sebagai korban pertama.
- Korban pertama?
Yudapati berpura- pura menegas
- Benar. Rencanaku aku akan membunuh orang orang Abong- Abong seorang demi seorang. Tetapi engkau ternyata masih hidup. Selanjutnya, aku hanya mengiringkan petunjukmu. Kalau engkau menghendaki perhitungan tinggi. biarlah aku menalangimu membunuh kaum Abong- Abong, barang empat orang. Bagaimana?
- Huh.
- Huh bagaimana?
- Kalau aku menghendaki jiwa mereka. masakan perlu minta bantuanmu?
- Benar.
Palata mengangguk membenarkan. Kemudian duduklah ia bersila di depan Yudapati sambil meneguk minuman keras hampir setengah botol sekaligus.
Yudapati sudah mengambil keputusan. Menghadapi seorang jahanam seperti Palata ia akan menggunakan muslihat.
Bukankah pokok ajaran gambar pahatan di dinding goa menitik beratkan kepada tipu- muslihat?
Karena itu, seperti dahulu, ia akan menggunakan ketajaman lidah. Bila terpaksa, barulah adu senjata .Meskipun ia kini sudah mengantongi puncak kepandaian berbagai aliran namun belum pernah dicobanya.
Celakanya, sekali mencoba akan berhadapan dengan ahli golok Palata. Sekali salah, ancamannya mati tak berkubur.
- Hai! Kau lagi memikirkan apa? - tegor Palata.
- Memikirkan? Memikirkan apa? Bukankah engkau melihat sendiri, bahwa aku sedang menikmati paha ayam? - =
- Mengapa belum kau mulai? - Mulai apa? - Bukankah aku ingin mengetahui bagaimana engkau bisa hidup kembali? - Hm. semenjak kapan engkau merasa berkuasa terhadapku? kalau aku tidak ingin bercerita. kau mau apa?
Palata tertawa terbahak- bahak. Ujarnya sambil mengangguk- angguk: - Kau memang pandai mengadu mulut. Sayang ilmu pedangmu hanya sedang saja. Lagipula. kedatanganku kemari bukan bermaksud hendak menagih janji.
- Memangnya aku pernah berjanji apa kepadamu?
- Bukankah engkau ingin memperlihatkan ilmu Tantrayanamu yang kau bangga- banggakan? Kalau tak mau, kebetulan malah. Tetapi engkau harus berangkat sekarang juga untuk menemui dia.
- Dia siapa?
- Isterimu.
- Siapakah isteriku?
- Hai . . . bukankah dara bhiksuni Sekar Tanjung? Palata tertawa lebar.
Mendengar Palata menyebut nama Sekar Tanjung, hati Yudapati tercekat. Memang semenjak Palata membawa- bawa istilah isterimu, ia sudah dapat menduga. Meskipun demikian. masih saja ia terkejut sewaktu jahanam itu menyebutkan namanya. Pikirnya,
apakah Sekar Tanjung tertawan kembali?
Pikiran inilah yang mengejutkan hatinya. Sengit ia menegas:
- Engkau jahanam berpura- pura menjadi satria yang bisa memegang janji. Nyatanya engkau menawan seorang bhiksuni suci. Apakah engkau telah menodainya?
- Menodai?
wajah Palata merah padam.
- Mengapa engkau menuduhku begitu?
- Dia telah kau tawan kembali, bukan? - Menawannya?
Palata heran. Tetapi pada detik itu ia jadi sabar kembali. Katanya:
- Ah, engkau salah faham. Kau mengira. aku menawannya seperti dahulu? 0, tidak! Aku tidak menawannya. Apalagi
sampai menodai. Meskipun aku seorang jahanam tetapi dalam hal ini engkau harus percaya. Sekali aku sudah menganggap sebagai Isteri sahabatku, tidak akan berbuat tidak senonoh kepadanya. Percayalah, dalam dunia hanya engkau seorang yang dirindukannya siang dan malam. Karena itu, marilah kita berangkat! Kau harus menemuinya. Jangan biarkan dia merana seorang diri. - Tidak.
- Tidak, bagaimana?
- Tidak mau.
- Mengapa tidak mau?
- Sekali aku berkata tidak mau, tiada perlu alasan lainnya.
Yudapati bersitegang.
Palata tercengang. Kemudian tertawa panjang. Dengan berdiam diri ia meneguk botol minumannya lagi. Yudapati berpembawaan cermat. Segera ia menaruh curiga. Mencoba:
- Aku tahu. Engkau seorang jahanam ahli llmu Golok. Tentunya, engkau akan memaksaku dengan kekerasan, bukan?
- Salah. Kali ini engkau salah terka. - sahut Palata cepat.
- Kedatanganku kemari bukan membawa maksud buruk atau hendak memusuhimu berkepanjangan. Sebaliknya, tidak mungkin aku kembali dengan tangan hampa.
- Bagus! Janganlah engkau berlagak menjadi seorang jahanam yang berbudi luhur. Dengan ilmu golokmu itu, kau pasti dapat membunuhku. Yudapati tidak takut mati. Nah, bunuhlah! Tetapi janganlah engkau bermimpi akan dapat menawanku hidup- hidup.
Palata menatap wajahnya. Orang Jawadwipa itu. dikenalnya sebagai seorang pendekar yang tidak hanya gagah berani tetapi tidak gentar mengadu jiwa pula. Bukan mustahil dia bisa melakukan bunuh diri. Maka untuk
menawannya hidup- hidup, memang susah sekali.
- Saudara Yudapati; akhirnya ia berkata mengalah.
- Sungguh! Kedatanganku kemari semata- mata untuk melaksanakan perintah agar membawamu kepadanya. Tentang Tantrayana segala, lupakanlah!
- Tetapi engkau lupa, bahwa sekali aku berkata tidak mau, maka selamnya tidak mau. Dalam hal ini, tiada seorangpun yang dapat membatalkan, kecuali maut. Nah. jelas? '
Palata menghela nafas. Dengan berat hati ia berkata:
- Kalau begitu, terpaksalah aku mengambil tindak kekerasan. '
- Bagus! Silahkan! Palata menghunus goloknya. Sebenarnya tiada maksudnya hendak membunuh Yudapati. Pikirnya:
- Yudapati bukan orang tolol. Karena ia memilih lebih baik mati daripada tertawan hidup- hidup, tentunya dia akan menyerangku dengan mati- matian. Sebaliknya, aku tidak dapat membunuhnya karena tidak berniat membunuhnya. Kalau dia nekad, akulah yang celaka. Dasar cerdik dan panjang akal.
pada detik itu pula ia menemukan jalan keluarnya. Segera ia berkata:
- Saudara Yudapati! Sebenarnya antara kita berdua tiada pemusuhan apapun. Karena itu apa perlu mengadu jiwa? Bagaimana kalau kita bertaruh saja?
Yudapati bersyukur bukan main. Memang inilah yang diharapkannya. Sebab ia belum yakin, dirinya bisa menang. Sebaliknya kalau hanya bertaruh jiwanya masih tertolong. Meskipun demikian, ia berpura- pura dungu. Sahutnya:
- Bertaruh? Apa yang baru kita taruhkan? Kalau kau menang, akupun tidak mau pergi. lebih-lebih. kalau aku menang.
- Ha ha ha...Palata tertawa dengan maksud hendak membakar hati.
- Rupanya orang Jawa tidak hanya tinggi hati tetapi takut pula terhadap golokku. Aku hanya bertaruh untuk 30 jurus saja. Bila aku tidak dapat mengalahkan engkau dengan 30 jurus saja, anggaplah aku kalah. Kau takut? - Apa yang kutakutkan? Paling- paling aku hanya akan mati di ujung golokmu. sahut Yudapati dengan merah padam.
- Saudara Yudapati, dengarkan! - kata Palata berkhotbah.
- Bukan maksudku hendak merendahkan kepandaianmu, tetapi meskipun hanya 30 jurus, engkau tidak akan dapat berbuat banyak. Sebab jurus- jurusku sangat istimewa. selain mengandung banyak perubahan, cepat dan ganas pula. Aku berjanji tidak akan mengusikmu lagi, bila gagal. Sebaliknya bila aku berhasil mengalahkanmu, kuminta dengan hormat sudilah engkau kubawa pergi menghadap bhiksuni Sekar Tanjung.
Di dalam goa, Yudapati sudah sempat mengamati jurus- jurus Ilmu Golok yang keji dan ganas. Kecuali itu. ia sudah berhasil memanunggalkan beberapa aliran Ilmu Pedang menjadi satu kesatuan.
Meskipun belum mahir benar, masakan tidak mampu menghadapi 30 jurus lawan?
Memperoleh pertimbangan itu, terus saja ia menyahut:
- Baik. Kuterima 30 jurus seranganmu. - Bagus, bagus! Palata setengah bersorak.
- Tetapi berkelahi di tengah malam buta rasanya kurang menyenangkan. Bagaimana kalau kita tunda esok pagi saja? - =
Pikir Yudapati kebetulan malah. Dengan begitu, ia memperoleh kesempatan untuk mengatur rencana lebih cermat lagi. Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia menjawab:
- Boleh saja. - Kalau begitu aku akan pergi dahulu. ujar Palata sambil menyimpan goloknya.
Tanpa menunggu persetujuan Yudapati, ia melangkahkan kakinya. Makin lama makin cepat. Lalu lari secepat kilat menuruni bukit. Sebentar saja. tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Menyaksikan kegesitannya, tergetar juga hati Yudapati. Ia jadi kehilangan nafsu makannya. Dengan merenungi api unggun yang hampir padam, ia duduk bersandar pada sebatang pohon. Pikirannya jadi tak menentu. Kadang ia merasa yakin, kadang tidak. Teringat, bahwa Palata tidak bermaksud membunuhnya, hatinya jadi terhibur. Tetapi bila teringat, bahwa mulai saat itu ia akan dipandang rendah oleh jahanam itu, ia jadi murung.
- Kalau aku sampai kena ditawannya hidup- hidup, habislah sudah riwayatku. pikirnya.
- Tak dapat lagi aku duduk- sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan jahanam itu. Hidup demikian, apakah enaknya?
Setelah menimbang- nimbang beberapa saat lamanya, timbullah semangat jantannya. Pikirnya lagi:
- Palata tidak berani memaksaku, karena yakin aku akan bunuh diri. Kalau begitu, tidak boleh aku kalah gertak. Biar kumakannya habis isi kotak itu. Sekiranya besok aku harus melakukan bunuh diri, mengapa aku kini berpikir berkepanjangan?
Dengan semangat emoh kalah, segera ia mengaduk aduk isi kotak Palata. Dua ekor ayam yang sudah dimasak, disikatnya habis. Juga minuman keras yang tersimpan rapih dalam botol tertutup. Masih pula ia melahap dua bungkus nasi, lima butir telor dan ikan rebus. Setelah menghabiskan sebotol air minum ia merasa sudah terlalu kenyang. Memang, sudah satu bulan lamanya ia tidak menyentuh nasi dan lauk- pauk yang lezat. Meskipun demikian semuanya ada batasnya. Rasanya kalau memaksa diri, perutnya akan meledak.
Ia duduk bersandar lagi ke tempatnya semula. Tak mau lagi ia mengingat- ingat peristiwa yang akan terjadi esok pagi. Di dalam hati,ia sudah menyerahkan nasibnya ke haribaan Hyang Widdhi Wisesa. Walaupun demikian, masih saja tersimpan sisa- sisa penasarannya yang bersembunyi di lubuk hatinya. Untuk mengenyahkannya, segera ia memejamkan matanya. Entah membutuhkan waktu berapa lama, ia tidak tahu.
Tiba- tiba saja, ia sudah bertempur dahsyat melawan golok Palata yang mendesing bagaikan gangsingan
- Kau curang! Curang! ia berteriak.
- Apanya yang curang?
Palata heran.
- Kau mendahului, sebelum aku bersiaga. tuduhnya.
- Baik. Kau boleh menggerakkan pedangmu dua tiga kali. Dan aku baru membalasmu pada seranganmu yang keempat. ejek Palata.
- Belum lagi gaung suara Palata hilang dari pendengaran, ia segera menikamkan pedangnya. Ia menggunakan jurus jurus aliran Syiwapala. Seketika itu juga, tubuh Palata terbungkus rapat oleh sinar putih pedang.
Palata terperanjat. Sambil menangkis dan mundur selangkah. ia berseru:
- Ilmu pedang bagus!
- Satu jurus. teriak Yudapati.
Kali ini Palata tidak sudi mundur lagi. Setelah menangkis, ia mengeserkan kakinya untuk mengelak. Ia ingin memegang janjinya, tidak akan membalas menyerang. Sebaliknya. Yudapati terus menghitung:
- Dua jurus.
Demikianlah, Yudapati menyerang empat kali beruntun. Dan Palata hanya menangkis atau mengelak. Sama sekali ia tidak membalas. Meskipun begitu, Yudapati sudah
menghitungnya sebagai jurus yang sudah berlaku.
Palata tidak menegurnya atau mengacuhkan. Dia hanya bersenyum, lalu mendengar. Tetapi setelah berhasil mengelakkan serangan pedang Yudapati empat kali beruntun tanpa membalas. sekonyong- konyong dia bersiul tajam!
- Awas! serunya melengking.
- Satu, dua. tiga, empat . . . . - .
Goloknya disabetkan ke kiri dan ke kanan dengan suatu kecepatan yang susah dilukiskan. Tetapi yang lebih hebat lagi membawa tekanan tenaga sakti seberat ratusan kati.
- Lima! Enam! Tujuh! Delapan ,. . - mulutnya menghitung jurus- jurus yang telah dilontarkan.
Yudapati terkejut bukan kepalang. Ia merasa tertindih suatu himpunan tenaga tak nampak, sehingga sukar bernafas. Kini kedua tangannya bahkan hampir tak dapat digerakkan lagi. Dan pada hitungan yang kesembilan, pergelangan tangannya kena totok. Pedangnya terpental dari genggaman dan runtuh diatas tanah.
- Bagaimana? Palata mengancamkan goloknya pada lehernya.
- Sudah berapa jurus? - Yudapati tidak dapat berkutik lagi, selain memejamkan mata menunggu datangnya maut. Ternyata Palata tidak melanjutkan ancamannya. Dia hanya tertawa haha hihi sambil berkata:
- Kau kalah, bukan?
- Tidak! Aku tidak kalah. seru Yudapati.
Kedua mata Palata terbelalak heran sambil menarik ancamannya. Merasa terlepas dari ancaman maut. Yudapati membuka kedua matanya. Jahanam itu masih saja terbelalak heran. Lalu menegas:
- Engkau tidak kalah? Bukankah golokku tadi sudah mengancam tenggorokanmu? - Kau curang! - Curang? Bukankah aku membiarkan engkau menyerang diriku empat kali tanpa membalas? Bahkan aku membiarkan dirimu menghitung gerakanku menjadi empat jurus. Baiklah, hitung saja jadi tiga belas jurus! Dengan begitu. berarti engkau kukalahkan dalam . . . - Tidak! - potong Yudapati.
- Sama sekali, aku tidak kalah.
- Lalu apa namanya. kalau tidak kalah? Engkau tidak dapat berkutik lagi.
- Tetapi karena kau tindih dengan tenaga silumanmu. Bukankah tadi kita berjanji hanya untuk mengadu ragam ilmu kepandaian?
Palata mau mengalah. Sahutnya:
- Baiklah. Aku akan mengiringkan semua kehendakmu.
- Eh, nanti dulu! - tungkas Yudapati.
- Aku bukan bermaksud ingkar janji atau mau menang sendiri, tetapi karena sudah terlanjur hendak memperlihatkan ragam Ilmu Tantrayana kepadamu. Yang kukuasai baru tujuh macam. Manakala engkau tetap unggul dari padaku maka barulah engkau berhak mengaku mengalahkan aku. Bagaimana? Kalau tidak mau, kita sudahi saja sampai disini. Selanjutnya engkau boleh pergi.
- Dan engkau?
- Aku tetap tidak mau kau bawa pergi.
- Hm. Palata menghela nafas.
- Baiklah. Tetapi setelah itu, engkau harus berjanji tunduk kepada kemauanku. - Jadi. sahut Yudapati pendek.
Dengan berturut- turut. Yudapati memainkan Ilmu pedang Paramita. Gupala Seta. Siguntang, Syiwapala dan Tanah Putih. Palata heran bukan kepalang. Pikirnya.
- Pemuda ini mempunyai bermacam ragam Ilmu Pedang yang bagus, kuat dan ganas. Kalau aku bisa mengunggah sebenarnya karena mengandalkan himpunan tenaga saktiku. Tetapi jangan- jangan ia sengaja menghabiskan himpunan tenagaku dahulu. kemudian membalas dengan jurus- jurus yang aneh. Kalau aku hanya bertujuan merebut kemenangan saja aku bisa mati konyol. Senyampang masih ada kesempatan. biar kubunuhnya dia.
Sebaliknya, makin lama Yudapati makin penasaran. Semua simpanan Ilmu Pedangnya sudah dikeluarkan. Namun setiap kali hendak beralih kepada aliran lain, Palata selalu dapat menindihnya. Maka teringatlah dia akan mimpinya tatkala bertemu dengan pendekar Yama Parasu. Ilmu Pedang yang terpotong- potong tiada gunanya sama sekali. Menyadari akan hal itu, tidak perlu lagi ia mengeluarkan Ilmu Golok aliran Orang- Aring. Langsung saja ia menggunakan jurus- jurus gabungan yang dapat tersambung tanpa berhenti dahulu. Kalau masih kalah juga, ia akan menggunakan senjatanya yang terakhir. ialah gabungan semua Ilmu Pedang yang terukir di dinding goa berdasarkan ingatannya yang muncul di benaknya.
Sayang, pada waktu itu Palata sudah mengambil keputusan hendak menerjangnya dengan sungguh- sungguh. Itulah sebabnya, sebelum ia sempat menggunakan senjatanya yang berakhir perutnya sudah terbabat robek. berbareng dengan suara gemelontangnya pedang, ia roboh bermandikan darah.
Hantu Hantu Lapar Hungry Ghost The X Files Karya Chris Carter Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni Still Sekuel Cewek Karya Esti Kinasih

Cari Blog Ini