Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 7

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 7


- Maaf, aku terpaksa membunuhmu. Ilmu Pedangmu makin lama makin berbahaya. Kalau sampai kehilangan tempo, aku akan mati konyol. - Aku tidak kalah. Aku baru memainkan enam macam ilmuku.
Yudapati mendongkol.
- Simpan saja untuk kau cobakan kepada genderowo genderowo di alam baka. Sekarang, terpaksa aku membunuhmu. Tak dapat lagi Yudapati berbuat lain, kecuali memejamkan matanya. Dan pada saat itu terdengarlah seseorang berteriak nyaring:
- Jangan!
Sebuah lengan halus berkulit kuning keputih- putihan memeluk lembut. Yudapati menyenakkan matanya dan melihat wajah seorang puteri yang cantik luar biasa. Katakanlah, andaikata orang pernah melihat wajah bidadari dialah orangnya. Setelah diamatinya dengan seksama. ternyata Sekar Tanjung, dara bhiksuni dari biara Paramita.
- Tanjung! terdengar suara kasar membentak.
- Engkau mencintai pemuda itu?
- Ayah! Mengapa ayah membawa- bawa istilah itu? Diam- diam Yudapati mengerlingkan matanya.
Benarlah dugaannya. Dialah Goplo Dewasana yang datang menghampiri Sekar Tanjung dengan isterinya. Aruni.
- Kalau engkau tidak mencintainya, mengapa rela mati demi dia? Aruni membantu suaminya.
- Ibu! Aku sudah memutuskan hendak hidup sebagai seorang bhiksuni. Maka jalan pikiranku sudah jauh berbeda dengan ayah maupun ibu. Selama hidupku, belum pernah aku melihat pendekar ini. Apalagi berkenalan. Demikian pulalah sebaliknya. Walaupun demikian, dia menemui ajalnya lantaran diriku. Benar- benar aku berhutang jiwa padanya .
- Seumpama dia dapat kami sembuhkan, engkau bersedia melakukan apa saja demi membalas budinya? ibunya menegas.
- Benar. Bahkan aku bersedia menggantikan kedudukannya. jawab Sekar Tanjung.
- Menggantikan kedudukannya bagaimana? ayahnya minta keterangan.
- Biarlah aku yang mati.
- Hai! Jangan ulangi ucapanmu itu! Ayahnya cemas.
- Ah, dia hanya berkelakar. Tak- usah kau risaukan ucapannya! - ujar isterinya menghibur.
Setelah berkata demikian, mereka berdua tidak berbicara lagi. Yang terdengar kini hanya suara sedu- sedan Sekar Tanjung. Diam- diam Yudapati heran.
Mengapa mereka membiarkan Sekar Tanjung dirundung duka demikian?
Kembali lagi ia mengerling. tetapi mereka berdua tiada lagi nampak. Entah ke mana mereka pergi, hanya setan yang tahu.
Terdengar kemudian Sekar Tanjung berdoa:
- Ya Sang Maha Buddha . . . tolonglah dia! Tiupkan nyawanya agar kembali ke jasadnya. Dengan demikian, dia akan hidup kembali dan aku tidak usah selalu merasa berhutang budi kepadanya . . .,
Sekonyong- konyong terdengarlah suara Palata tertawa gemuruh. Ternyata dia belum meninggalkan dirinya. Sambil tertawa panjang dan pendek, ia berkata:
- Anak cantik! Apa enaknya menjadi bhiksuni? Engkau hidup menyiksa diri. Katakanlah padaku, bahwa engkau bersedia menjadi isterinya dan aku bisa memaksanya untuk memenuhi kehendakmu. - Kau iblis, janganlah engkau mengganggu diriku. Aku seorang pendeta yang tidak pernah dihinggapi pikiran demikian. Sebab, kerapkali pikiran mengganggu keseimbangan hidup. tungkas Sekar Tanjung dengan suaranya yang halus.
- Hahaaaa . . . engkau seorang anak kemarin sore berani berkhotbah di hadapanku. Berapa sih umurmu? Apa pula pengalamanmu? Engkau berada di luar biara.
Artinya engkau menginjak kenyataan hidup. Kalau engkau hidup melamun seperti dalam biara. kau termasuk manusia yang hidup dalam mimpi rekaan orang- orang yang menganggap dirinya suci. ="
- Palata, belajarlah berbicara yang lemah lembut! Bila engkau sudah pandai menggunakan pertimbangan rasamu, tentunya akan mengerti apa sebab aku ingin merawat pendekar ini.
Palata tertegun sejenak. Kemudian mengangguk- angguk pendek. Tiba- tiba tangannya menggempur. Yudapati terkejut bukan main. Ingin ia melindungi Sekar Tanjung. Tetapi kedua tangannya tak dapat digerakkan lagi. Tanpa berpikir panjang segera ia mendorong Sekar Tanjung ke samping. Akibatnya pukulan Palata tepat menggempur perutnya.
Brol!
Perutnya pecah dan isinya . . .
Yudapati terengah- engah. Tatkala membuka matanya, nafasnya masih memburu.
- Saudara Yudapati! Rupanya engkau tidak biasa minum minuman keras. Semalam engkau menghabiskan hampir sebotol. Pantas nafasmu memburu semenjak tadi. seru Palata.
Beberapa detik lamanya, Yudapati tertegun. Jantungnya berdeburan dan hatinya tidak tenteram. Sadar bahwa pengalamannya yang mengerikan tadi hanya sebuah mimpi panjang, hatinya lambat laun jadi tenteram kembali. Ternyata ia tertidur nyenyak sekali. Tahu- tahu malam sudah berganti pagi hari. Dan yang hebat lagi. Palata sudah hadir di depannya.
Dengan memaksa diri, ia bersenyum lebar sambil berkata:
- Agaknya engkau tidak tidur. Apakah karena hatimu begitu gelisah memikirkan apa yang akan terjadi pada pagi hari ini?
- Gelisah? Apa yang kugelisahkan?
Palata tersinggung. Tetapi sedetik itu pula, ia dapat menguasai diri. Sambil menunjuk dua buah gentong dan dua keranjang berisikan makanan, ia mengalihkan pembicaraan.
- Aku sudah menduga jauh- jauh sebelumya. Pastilah engkau seorang gagah perwira yang tidak gemar minum. Maka gentong yang ini, kuisi dengan air minum. Mari kita makan dan minum sekenyang- kenyangnya sebelum sandiwara mulai.
Menurut kata hati, ingin Yudapati memaki jahanam itu. Apalagi kesan mimpi terhadapnya, tidak menyenangkan. Tetapi pada detik itu pula, perlu ia mengulur waktu sampai memperoleh kesimpulan yang tepat. Sadar bahwa ia sedang berhadap- hadapan dengan seorang jahanam yang licin, segera ia menguap panjang untuk menghapus kesan penglihatan. Katanya masih malas:
- Kau tinggalkan semua botol minuman kerasmu disini. supaya aku meminumnya habis. Engkau memang seorang jahanam yang licin. Engkau ingin membuatku mabuk, bukan? Untung aku hanya minum setengah botol saja.
Palata tertawa terbahak- bahak. Dahinya berkerinyit ingin menebak arah bidikan ucapan Yudapati. Jahanam inipun bersikap waspada terhadapnya. Tetapi karena tidak melihat suatu kesan yang mencurigakan, wajahnya menjadi wajar kembali. Serunya menyambut:
- Mungkin sekali, isi gentong ini terlalu banyak bagimu. Kau boleh mengguyurkan sebagian ke tubuhmu agar segar kembali. Dengan begitu. kelak aku tidak dituduh mau menang sendiri.
- Hm. - dengus Yudapati.
Benar- benar ia meletik bangun dan menghampiri gentong yang diperuntukkan baginya. Tanpa memeriksanya segera ia meneguknya
dengan bernafsu. Lalu membawanya menjauhi Palata untuk mencuci muka. Sambil mencuci muka, pikirannya bekerja keras. Masih teringat tegas dalam benaknya betapa pedangnya terpental jatuh dalam mimpinya..
Pada saat itu, ia bersikap pasrah kepada nasib. Tiba- tiba terlintaslah bayangan pendekar Goratara yang meratapi kemalangannya pula. Justru pada detik itu pula, terbukalah kesadarannya. Pikirnya'.
- Pendekar Goratara tentunya seorang ahli ilmu pedang bergigi, karena dia salah seorang murid aliran Siguntang. Tetapi mengapa dia lebih senang bertangan kosong daripada menggunakan pedangnya? Bukankah dalam suatu pertempuran jarak dekat. tangan jauh lebih luwes daripada sebilah pedang dengan ukuran tertentu?Memperoleh pikiran demikian, segera ia mengguyur punggung dan dadanya. Seluruh tubuhnya kembali segar bugar. Ia merasa sudah memperoleh pegangan. Mengincar kelemahan lawan dan menggunakan tangan sebagai pengganti pedang dalam keadaan terpaksa.
Sekarang wajahnya nampak cerah. Dan dengan wajah cerah itu, ia kembali ke tempatnya. Sambil duduk ia meneguk isi gentongnya. Menyaksikan hal itu, Palata mengacungkan ibu jarinya. Ujarnya:
- Engkau benar- benar seorang satria jempolan. Hatimu penuh dengan keberanian sehingga tidak perlu curiga terhadap minuman yang dihidangkan lawan. Bagaimana andaikata aku mencampuri racun berbisa"!
Yudapati tertawa lebar. Sahutnya:
- Ilmu kepandaianmu sangat tinggi. Dengan kepandaianmu itu engkau dapat mengambil jiwaku dengan mudah. Apa perlu menggunakan racun segala?
Palata tercengang. Ujarnya lagi:
- Tak pernah kusangka bahwa engkau seorang satria
yang cerdik. Maka ijinkan aku mempersembahkan hidangan ini kepadamu.
Yudapati membiarkan Palata meletakkan keranjang isi makanan di hadapannya. Diapun segera menyambut makanan itu tanpa segan- segan lagi. Rupanya, kali ini Palata ingin mengambil hatinya. Makanan yang dibawanya, termasuk masakan mahal. Rasanya sedap dan masih hangat. Sebentar saja makanan itu nyaris disapunya habis.
Palata bergembira menyaksikan kelahapannya. Seperti sedang berlomba, ia melahap pula makanan yang dibawanya dengan bernafsu. Ternyata perutnya mampu menerima sekeranjang makanan penuh. Bahkan masih ditambah dengan setengah gentong minuman keras dan empat botol
- Saudara Yudapati! Bagaimana? Apakah sudah kau pikir masak- masak? tiba- tiba ia membuka mulutnya.
- Apa yang harus kupikirkan masak- masak?
- Engkau tetap berkepala batu atau bersedia bertemu dengan isterimu?
Yudapati tidak menjawab. Ia tertawa pelahan-lahan melalui dadanya. Pikirnya di dalam hati:
- Jahanam ini mati- matian hendak memaksaku bertemu dengan Sekar Tanjung. Apa maksud sesungguhnya? Aku tidak percaya kalau hanya itu saja alasannya. Dia bukan murid aliran Paramita.Bukan pula budak Sekar Tanjung. Andaikata bersediapun, Sekar Tanjung yang alim itu. mustahil berkenan menerimanya. Hm . . tentunya menggenggam maksud yang disembunyikan. Teringat pulalah dia akan mimpinya semalam dan sewaktu bertempur beberapa jurus di dalam goa tempat jahanam itu menyembunyikan Sekar Tanjung. Gaya dan gerakan golok Palata tidak begitu istimewa. Hanya saja himpunan tenaga saktinya jauh melebihinya.
Pikirnya lagi:
- Tetapi bila kecepatanku tidak terhalang mungkin aku dapat merobohkannya. Mengapa tidak? Sebab sebelum dia sempat memusatkan himpunan tenaganya. aku sudah mendahului menusuk tempat- tempat yang lemah. Sayang, belum sempat aku mencoba ketangguhan ragam ilmu kepandaian yang terpahat di dinding goa. Berlawan- lawanan dengan dia, aku harus merasa pasti terlebih dahulu. Kalau hanya mengandalkan mengadu untung belaka diriku bisa runyam. Baiknya akan kuuji dahulu dan kujajaki dahulu sampai dimana penguasaannya terhadap Ilmu Goloknya.
Palata memang seorang jahanam yang cerdik. Sambil meneguk minumannya, ia memperhatikan gerak- gerik Yudapati. Dan melihat perubahan wajah Yudapati, timbullah rasa curiganya. Tegornya dengan tertawa merendahkan:
- Saudara Yudapati! Apakah engkau menemukan akal untuk mengalahkan ilmu golokku? Sedikit banyak, ucapan Palata tepat mengenai masalah yang sedang dipikirkan Yudapati. Keruan saja Yudapati mendongkol. Sahutnya:
- Untuk mengalahkan ilmu golokmu. apa sih susahnya? Bahkan aku sedang memikirkan keselamatanmu. Sebab Ilmu Tantrayana sangat ganas dan keji. Meskipun engkau seorang jahanam, namun terhadapku engkau bersikap baik. Karena itu, tak sampai hati aku melukaimu apalagi sampai membunuhmu. sebaliknya, ujung pedang tidak mempunyai pertimbangan demikian. Sekali bergerak pedangku akan . . . ah mengerikan!
Palata tertawa terpingkal- pingkal. Cemoohnya'.
- Saudara Yudapati, mengapa sudah bermimpi di pagi hari? Kau yakin bisa mengalahkan golokku?
- Baiknya begini saja.
Yudapati memotong.
- Bukankah engkau semalam berkata hanya hendak mengadu
kepandaian saja? Engkau terlalu bangga terhadap 30 jurus ilmu golokmu, sehingga yakin akan merobohkan diriku. Padahal ilmu simpananku sangat banyak.
- Uwaah hebat!
- Kita mengambil jarak. ujar Yudapati dengan menelan rasa mendongkolnya.
- Kau di sana dan aku disini. Kita bertempur mengadu kepandaian dari jarak jauh. Palata memiringkan kepalanya. Sejenak kemudian menyahut:
- Usulmu menarik, tetapi kurang bagus!
- Apanya yang kurang bagus?
- Aku tahu maksudmu. Engkau segan terhadap himpunan tenagaku, bukan? Kau memang cerdik. Kecuali secerdik kancil banyak memiliki akal bulus.
Betapa sabarpun. dikatakan memiliki banyak akal bulus, hati Yudapati panas juga. Dengan membentak ia berkata:
- Jadi kau ingin cepat mampus? Silahkan!
Watak Palata memang aneh. Justru dipersilahkan, ia jadi curiga. Pikirnya.
- jangan- jangan dia beralasan. Karena aku tidak bermaksud membunuhnya mengapa tidak kuterima saja usulnya.
- Saudara Yudapati! Kau minumlah dahulu sepuasmu. Akan kulayani kehendakmu. ujarnya.
- Memang kadang- kadang aku tak tahu diri . Bukankah kesehatanmu belum pulih kembali?
- Hm.
Yudapati mendongkol. Tetapi ia sadar akan kelicinan musuhnya. Maka tak boleh ia hanya menuruti kata hatinya saja. Otak dan akal perlu digunakan. Terus saja ia menghunus pedangnya, sambil berkata:
- Lihatlah gerakan pedangku! - .
Ia sengaja memperlambat gerakannya. Tidak boleh
ayal, tapipun jangan terlalu cepat. Pendek kata. ia mengelabui Palata. Karena itu. gerakan pedangnya sesuaikan dengan keadaan dirinya yang nampak belum pulih kembali.
- Bagus! seru Palata kagum.
Secepat kilat ia menghunus goloknya dan menangkis serangan Yudapati dari jarak jauh.
Kedua orang itu lantas saja bertempur dengan asyiknya. Berkali- kali Palata menyatakan keheranannya. Tetapi karena gerakan pedang Yudapati kurang cepat goloknya dapat menindihnya.
- Bila bertempur sungguh sungguh, pedang Yudapati sudah terpental di udara.
- Kau memang jahanam ahli ilmu golok. Yudapati memuji.
- Nah, itu baru sepertujuh bagian kepandaian yang kumiliki. Semuanya ada tujuh macam. Bagaimana?
- Bagus! Bagus ! Keluarkan semuanya agar menambah pengalamanku.- seru Palata bergembira.
Seperti sebulan yang lalu, di dalam hati ia memang ingin menyadap ilmu kepandaian Yudapati yang aneh- aneh. Agaknya, hari ini dia akan berhasil.
- Kau ingin melihat ragam ilmu kepandaianku yang kedua, tiga, empat . . . sampai tujuh?
- Pokoknya sampai habis: - Begitu? lihat!Yudapati kemudian memainkan Ilmu Pedang aliran Paramita. Setelah itu aliran Gupala Seta dan Siguntang. Seperti tadi, Palata berkaok- kaok kagum. Seringkali dia terdesak dan terpaksa bertahan mati- matian. Namum dengan kecerdikan dan kecepatannya, dapatlah ia membebaskan diri. Lalu dengan memekik- mekik tinggi ia bermaksud melabrak maju.
- Bagaimana? Kau mengaku kalah atau tidak? - ia tertawa terbahak- bahak.
- Ilmu pedangmu memang hebat. Belum pernah aku bertemu lawan setangguh engkau.
Tetapi menghadapi ilmu golokku, engkau jangan buru buru bermimpi yang bukan- bukan! - Nah, kalau begitu kau boleh pergi saja dengan aman damai. ujar Yudapati. Apa? - mata Palata terbelalak.
- Kau sudah kalah.
- Kalah? Bukankah aku dapat menghancurkan seranganmu?
- Benar. Tetapi memerlukan berapa jurus? Aku sudah memainkan empat bagian kepandaianku. Jika masing masing engkau memerlukan 10 jurus saja untuk mengalahkan aku artinya sudah berjumlah 40 jurus. Padahal engkau sendiri berkata: bila aku dapat melawan dirimu sampai 30 jurus saja, maka . . . - Nanti dahulu! - potong Palata penasaran.
- Soalnya, ini bukan bertempur dengan sungguh- sungguh. Kau tak percaya? - Coba ulangi lagi keempat bagian kepandaianmu tadi! Aku akan dapat membuktikan, bahwa engkau akan terjungkal sebelum 30 jurusku selesai.
- Jahanam! maki Yudapati di dalam hati.
Dia menantangku agar aku mengulangi kembali jurus- jurusku tadi. Dengan begitu, dia akan lebih memahami.Berarti dia sudah menyerap ilmu kepandaian para cikal bakal. - Hai! Bagaimana? - teriak Palata.
- Kau memang seorang jahanam yang licin dan pandai. - sahut Yudapati.
- Baiklah, aku mau mengalah. Semuanya tadi. tak usah masuk hitungan. Tetapi aku akan menyerangmu dengan serangan yang jauh lebih dahayat dan berbahaya. - Hai, mengapa berbicara berkepanjangan seperti kanak- kanak? Hayo. keluarkan seluruh kepandaianmu! tantang Palata.
Di dalam hati ia mengakui bahwa jurus jurus ilmu pedang Yudapati memang hebat tak terkatakan. Tentunya. jurus yang dikatakannya jauh lebih dahsyat dan berbahaya omong kosong. Tetapi ia mempunyai dua pegangan. Ia menang himpunan tenaga sakti dan kecepatan. Itulah sebabnya dengan nyaring ia berkata lagi:
- Tetapi kali ini kita bertempur sungguh- sungguh, bukan?
- Kau yang menantang dan bukannya aku. ujar Yudapati.
Di dalam hati ia berkata:
- Engkau sudah terjebak. Kau mengira aku belum pulih kembali. Tetapi justru karena hidanganmu. aku pulih seperti sedia kala. Engkau tadi sudah keripuhan menghadapi gabungan Ilmu Pedang yang terpotong- potong apalagi kalau kini kugabungkan dan kumainkan serabutan seperti laku orang kalap. Apakah engkau mempunyai kesempatan untuk mencari dan menemukan cara pemunahannya?
- Apa yang kau maksudkan? Palata menegas.
- Artinya, kalau sampai terluka, bukan salahku.
- Luka atau mati. bukankah peristiwa yang wajar bagi orang seperti diriku? - Bagus! Mari kita mulai! tantang Yudapati.
- Seranglah 'diriku dahulu agar penglihatanku bertambah. sahut Palata dengan tertawa.
- Kau ingin kuserang dahulu? Justru itulah kehendakku. - seru Yudapati di dalam hati.
Di dalam benaknya, ia menirukan sepak- terjang orang kalap. Dengan demikian. jurus- jurus pedangnya tidak teratur lagi. Tidak lagi mulai jurus satu sampai akhir. tetapi langsung dari jurus pertengahan. Kadang naik ke jurus sambungnya kadang beralih ke jurus pertama. dua. tiga . . . kemudian melompat ke jurus 37 dan seterusnya. Pendek kata bergerak menurut kata ingatannya.
Tak pernah terbayangkan bahwa Yudapati akan menyerang seperti kerbau gila. Memimpikannyapun tidak.
Keruan saja Palata kelabakan bukan kepalang. Apalagi, tiba- tiba Yudapati dapat bergerak secepat gerakan goloknya.
- Hai! Dari mana ia memperoleh tambahan tenaga?
Tatkala ia mencoba menangkis, Yudapati justru menikam tempat- tempat yang tidak terlindung. Terpaksa ia berputar atau menggeser tubuh untuk menyelamatkan diri. Tetapi pada saat itu serangan pedang Yudapati makin gencar dan makin cepat. Akhirnya tak ada jalan lain, kecuali mengadu tenaga dengan membenturkan goloknya.
Trang!
Dia berhasil. Pedang Yudapati terpental dari genggamannya. Tetapi baru saja ia hendak tertawa senang, sekonyong- konyong seluruh tubuhnya kesemutan. Baik kedua lengan maupun kedua kakinya tidak dapat digerakkan lagi. Ternyata dengan cerdik, Yudapati menggunakan tangannya sebagai pengganti pedangnya.
- Untung pedangku tiada di tangan lagi. Kalau masih tergenggam di tangan, bukankah engkau sudah mampus? ujar Yudapati dengan gaya mengasihani.
- Kau curang! maki Palata.
Sekarang ganti dialah yang menuduh Yudapati curang.
- Kau menang, karena aku membiarkan engkau menyerang dahulu. Coba beri kesempatan padaku untuk bergerak berbareng. Aku ingin lihat, apakah engkau . .- .
- Baik. potong Yudapati.
Ia menggempurkan tangannya sambil melompat undur untuk menyambar pedangnya. Begitu menoleh. Palata sudah mmenggenggam goloknya. Inilah pengalamannya untuk yang pertama kalinya, bahwa gempurannya dapat membebaskan seorang yang terpaku oleh pukulan tangannya. Sedetik itu tahulah ia apa sebabnya. Pukulannya adalah salah satu jurus rangkaian Tantra. Dan gempurannya membawa tenaga sakti Tantra. Dengan demikian terurai dengan sendirinya.
Tetapi bagaimana akibatnya andaikata ia hendak membebaskan seseorang yang terpaku karena terkena jurus jurus di luar Tantra?
Barangkali tidak semudah tadi.
Namun tak sempat lagi ia berpikir berkepanjangan. Pada saat itu. Palata sudah berteriak- teriak kalap dengan dibarengi gerakan goloknya yang cepat luar biasa
Menghadapi serangan demikian. Yudapati teringat akan mimpinya tatkala diserang seseorang yang sedang kalap. Ingatannya, tinggal mencari dan mengincar tempat- tempat yang tidak terlindung.
Palata sendiri pada saat itu sudah jadi beringas. Kalau tadi ia tidak bermaksud membunuh, kini justru ingin membunuh Yudapati secepat- cepatnya demi menaikkan pamornya.
Maka ia menyerang dengan sungguh- sungguh.
Syukur, Yudapati sudah diilhami mimpinya. Begitu memperoleh kesempatan, pedangnya menikam dengan mendadak. Palata kaget setengah mati. Cepat- cepat ia menangkis dan hendak membalas menyerang.
Aneh!
Tahu tahu ia bergerak mundur sampai ke tebing jurang. Sewaktu hendak berusaha mengelak, goloknya tergempur dan jatuh berkelontangan di atas tanah.
- Bagaimana? ;ujar Yudapati. Sekarang ia makin yakin kepada kepandaiannya sendiri. Selain sudah memiliki jurus- jurus rangkaian yang istimewa, pengalamannya membimbingnya untuk selalu mengincar tempat- tempat yang terbuka.
Palata tertegun. Di dalam hati. ia heran bukan kepalang.
Apa sebab ia tak pernah mempunyai kesempatan untuk menindih pedang Yudapati dengan himpunan tenaga saktinya?
Karena penasaran, wajahnya berubah rubah hebat. Sekali tangannya bergerak, ia menyambar pedangnya dan terus menyerang.
Yudapati sudah mengambil keputusan untuk mentaklukkan jahanam itu sampai kedasar hatinya. Ia membiarkan Palata menyerangnya lebih dahulu. Tetapi karena acungan pembukaannya mengincar tempat- tempat yang terbuka. kembali lagi Palata terdesak sampai ke tebing jurang. Kemudian dengan sekali depak, Yudapati akan terjatuh ke dalam jurang. Namun yang terjadi sekarang. justru sebaliknya. Lagi- lagi dialah yang kini terdesak mundur sampai di tepi tebing jurang. Ia berputus asa dan membanting goloknya. Kemudian berjalan cepat keluar gelanggang pertempuran.
- Hai. Palata! - seru Yudapati.
- Golokmu . . .!
Palata ternyata tidak menghiraukan seruan Yudapati.
Tiba- tiba rasa iba membersit dari dalam lubuk hati Yudapati. Dengan cepat pemuda itu memungut golok Palata dan buru - buru mengejarnya. Ia menghadang di depannya dan mengangsurkan goloknya sambil berkata:
- Palata! Kita tidak pernah mempunyai pemusuhan apapun. Nah, terimalah golokmu kembali!
Palata menghentikan langkahnya. Dengan tersenyum pahit, ia menjawab:
- Untuk apa golok itu kau kembalikan kepadaku? Toh tiada gunanya lagi, karena aku sudah kau kalahkan.
- Kalah dan menang bukankah sudah lumrah terjadi dalam masalah kehidupan manusia?
Palata berbimbang- bimbang sejenak. Dengan malas ia menerima goloknya kembali sambil berkata:
- Dua orang sudah yang mengalahkan golokku.
- Dua orang? Siapa?
Yudapati heran.
- Yang menyuruh aku membawamu bertemu dengan bhiksuni Sekar Tanjung. Palata memberi keterangan.
- Dan yang kedua adalah engkau.
- Siapa yang menyuruhmu kemari? Maksudku apa hubungannya dengan Sekar Tanjung dan siapa pula namanya. - Apa hubungannya dengan bhiksuni Sekar Tanjung, aku kurang jelas. Tetapi ia dapat memaksaku untuk melakukan perintahnya.
- Ah! Engkau seorang majikan di atas kepalamu sendiri. Biasa hidup bebas merdeka. Masakan kau bisa membiarkan orang lain berada di atas kepalamu? - Karena aku dapat dipaksanya minum racunnya. Racun itu akan bekerja dahsyat, manakala dalam waktu satu bulan aku tidak dapat melaksanakan perintahnya. Sebaliknya apabila berhasil, obat penawarnya hanya dia seorang yang memiliki. Yudapati tertegun di tempatnya. Suatu bayangan berkelebat di dalam benaknya. Hampir saja ia berteriak siapa orang yang berhati keji itu. Tetapi mengingat Palata berhati keji pula, ia mengurungkan maksudnya. Sebagai gantinya, ia menghela nafas panjang.
Dalam pada itu, terdengarlah suara Palata berkata lagi: '
- Aku memang mengaku takluk kepadamu untuk selama- lamanya. Karena itu tak dapat aku membawamu bertemu dengan bhiksuni Sekar Tanjung. Barangkali saja. sudah takdirku harus mati dirusak racun jahat. Tetapi urusan ini sendiri belum selesai. Sebab entah kapan, orang itu tentu mencarimu. Camkanlah peringatanku ini!
Yudapati tidak menjawab. Dia sudah dapat menebak delapan bagan, siapakah orang itu. Dialah yang sebentar tadi berkelebat di dalam benaknya. Tetapi orang itu merupakan penolongnya yang besar.
Benarkah dia yang meracuni Palata?
Tetapi Palata seorang jahanam terkutuk. Dia pantas menerima upahnya. Oleh pertimbangan itu terloncatlah kata- katanya:
- Palata! Akulah nanti yang akan memintakan obat penawar untukmu. '.
Palata hampir melangkahkan kakinya. Tatkala mendengar ucapan Yudapati. seleret cahaya nampak di wajahnya. Serunya menebak- nebak:
- Kau kenal dia?
- Bukankah dia bernama Dewasana? - sahut Yudapati.
- Hai benar!
Palata melonjak kegirangan. Dengan suara agak menggeletar ia menegas:
- Bagaimana engkau mengenal dia?
Yudapati meruntuhkan pandang. Kemudian menjawab:
- Sebenarnya . . . belum pernah aku bertatap muka dengan dia. ,
- Tetapi mengapa engkau dapat menyebut namanya dengan tepat? - Dialah yang mengangkat tubuhku dari jurang. Waktu itu, kudengar dia bercakap- cakap dengan isterinya. Kalau tidak salah, dia bernama Aruni dan mengaku sebagai ibu bhiksuni Sekar Tanjung. - Dia mengaku begitu? Palata terbelalak.
- Pantas . . . pantas . . . pantas dia memaksaku demikian rupa, sehingga aku tak dapat berkutik. Tetapi dia seorang pendeta. Apakah . . . ha haha . . . Kalau begitu yang edan ini bukan hanya Palata seorang. Tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Entah dengan menggunakan ilmu siluman apa, aku tak tahu. Tetapi setiap kali tangannya bergerak, aku roboh tak berkutik. Ah, pantas! Pantas ia yakin bahwa engkau masih hidup. Siapapun takkan mengira bahwa dialah yang mengangkatmu dari jurang. Tetapi apa sebab engkau belum pernah bertatap muka dengan dia?
- Dengan sebuah peti buatan, aku ditimbanya seperti air sumur. Kemudian peti yang kutumpangi dihentakkan dengan suatu kekuatan dahsyat. Aku dapat mendarat di tepi tebing jurang itu dengan selamat. Itulah bekasnya!
Yudapati menunjukkan tanah pendaratannya seperti tergarit rata.
- Sewaktu aku ingin mengenal siapa penolongku. dia tiada lagi di tempatnya. - Aneh. aneh . . . orang itu memang aneh. Kalau tidak aneh masakan menjadi pendeta segala? Tetapi kepandaiannya sangat tinggi. - Mungkin sebelum menjadi pendeta, dahulu ia hidup berkeluarga. Lalu entah oleh alasan apa,selanjutnya dia hidup sebagai pendeta. Tetapi Sekar Tanjung sudah dilahirkan.
Yudapati mencoba membela namanya.
- Ya. benar. Mungkin demikian.
Palata mau mengerti. lalu menatap Yudapati tajam seraya berkata dengan sungguh- sungguh:
- Engkau ingin menolong jiwaku. Mengapa? .
- Terus terang saja. engkau sudah mengampuni jiwaku beberapa kali. Andaikata . . .
- Tidak. - potong Palata.
- Aku kagum watak satriamu. Sekarang aku benar- benar takluk kepadamu. Andaikata kelak engkau berhasil membawa obat pemunah bagiku, aku akan menjadi budakmu selama hidupku. - Hai! Yudapati terkejut. Ia mau membatalkan ucapannya, tetapi jahanam itu sudah melesat pergi. Gerakannya sepesat angin. Tahu tahu bayangannya sudah lenyap di telan petak hutan raya.
Hebat pengalaman Yudapati pada hari itu. Tidak hanya berhasil merebut kemenangan gilang- gemilang saja, tetapi dibumbui dengan riwayat orang tua Sekar Tanjung pula.
Tetapi dengan demikian berarti pula ia harus mencari pendeta Dewasana. Agaknya pendeta itu memang bukan seorang pendeta lumrah. Kalau Palata saja dapat menyebutnya aneh, tentunya luar biasa sepak terjangnya.
Palata yang berpengalaman dan licin dapat ditaklukkannya dengan mudah. Rasanya susah mengukur betapa tinggi kepandaiannya, pikir Yudapati.
Dan dengan pikiran itu, ia duduk di atas batu sambil menggerumuti sisa makanan yang masih teratur rapih di dalam kotak.
- Hari ini aku dapat mengalahkan orang berkepandaian tinggi seperti Palata untuk yang pertama kalinya. - ia berkata di dalam hati.
- Hal itu berkat restu para cikal bakal. ilham mimpi dan kemajuanku sendiri. Tetapi orang yang berkepandaian tinggi melebihi Palata, tak terhitung jumlahnya. Seperti Dewasana, Tandun Raja Koneng. Boma Printa Narayana dan lain- lainnya. Rasanya masih banyak yang harus kupelajari.
Menyinggung nama Boma Printa Narayana hatinya tercekat. Teringatlah dia akan tugasnya. Segera ia berkemas- kemas hendak melanjutkan perjalanan menyusul Duta Lembu Seta.
Tetapi pada saat itu pula muncullah bayangan Palata seakan- akan memperingatkan kesanggupannya hendak memintakan obat penawar kepada Dewasana. Sebagai seorang satria, tak boleh ia ingkar janji. Apapun akibatnya, ia wajib melakukan usaha itu. Soalnya sekarang, mana yang lebih penting antara tugas negara dan masalah Palata.
Yudapati menghela nafas.
******
LAMBANG DAPUNTA HYANG
DENGAN MEMBAWA kesan manis, Rara Tilam melanjutkan perjalanannya. Wajah dan perawakan tubuh Sekar Tanjung senantiasa terbayang dalam benaknya.
Aneh!
Dia sendiri termasuk seorang gadis yang cantik molek. Namun bila dibandingkan dengan keserasian Sekar Tanjung bagaikan bumi dan langit. Barangkali perbandingan demikian terlalu berlebihan.
Tetapi entah apa sebabnya, ia rela bila dibandingkan demikian.
Itulah kesan pertama kali yang manis. Dan yang kedua adalah berita tentang Mojang Yudapati.
Benarkah pemuda itu kini menjadi seorang pendekar berkepandaian tinggi?
Apa sebab berubah menjadi seorang pemuda yang cerdik, jahil mulut dan usilan?
Masalah ini yang masih menjadi teka- teki baginya. '
Tak terasa perjalanan sudah mendekati tempat tujuan. Karena perjalanan sudah diatur Tandun Raja Koneng demikian rupa. maka tiada halangan yang menghambat.
Menurut pengawalnya, dua tiga hari lagi akan sampai.
Malam itu ia duduk memikirkan kesan manisnya itu. Menilik gaya tutur- kata Sekar Tanjung. bhiksuni yang cantik luar biasa itu jatuh hati kepada si berewok Mojang Yudapati.
Tiap patah katanya meletup dari lubuk hati yang suci murni. Dia begitu mencemaskan dan meratapi kematian Mojang Yudapati.
Benarkah Mojang Yudapati mati tertembus pedang?
- Bhiksuni itu hanya mengatakan terguling dalam jurang. - ia mengingat- ingat.
Selagi demikian, sekonyong- konyong ia melihat seleret cahaya melintas di udara. Cahaya itu berwarna kuning seWaktu mula- mula tersembul di udara. Kemudian meledak menebarkan warna- warni yang indah. Tentunya cahaya buatan orang dengan maksud menarik perhatian.
- Hai!
Itu tanda sandi golongan kita. seru pemimpin rombongan. .
- Apakah terjadi sesuatu?


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tilam minta keterangan.
- Tidak. Mereka hanya memanggil kita secepat mungkin. - sahut pemimpin rombongan.
- Bila menghadapi bahaya, tentunya harus menyulut cahaya warna merah.
- Kalau begitu, kita ke sana. ajak Tilam.
- Bagus! Itulah yang kami harapkan. - pemimpin rombongan kelihatan senang.
Segera ia memerintahkan anak- buahnya melanjutkan perjalanan. Lalu berkata kepada Rara Tilam:
- Tuanku puteri, bolehkah kami memberi jawaban? - Engkaulah pemimpin rombongan. Apa yang kau rasakan baik, lakukanlah!
Pemimpin rombongan kemudian menyulut tanda cahaya berwarna kuning pula. Tetapi cahaya itu tidak pecah menebarkan warna- warni Begitu mendaki udara. langsung saja padam seperti bintang runtuh memasuki stratosphore.
Seperti biasanya manakala dalam perjalanan. Rara Tilam selalu mengenakan pakaian pria. Itulah sebabnya dengan cepat ia mendahului para pengiringnya. Apalagi kudanya adalah kuda pilihan. Kecuali kuat, cepat pula larinya.
Menjelang larut malam, perjalanannya mulai melalui padang luas penuh pagar alam. Kecuali ilalang liar terdapat pula semak belukar dan pohon- pohon raksasa. Sampai disini. tiba- tiba hati Rara Tilam merasa tidak tenteram. Kesannya seperti seseorang yang akan menghadapi suatu peristiwa tidak menyenangkan.
- Apakah benar- benar mereka tidak dalam bahaya?
ia menegas kepada pemimpin rombongan.
- Jelas tidak! - sahut pemimpin rombongan dengan suara pasti.
- Kalau tidak, mengapa menyulut tanda sandi? Bukankah akan membangunkan perhatian musuh? Pemimpin rombongan tidak segera menjawab. Setelah berbimbang- bimbang sejenak, barulah ia membuka mulutnya:
- Kita sudah tiba di wilayah selatan. Masakan di sini ada musuh?
Tilam mengeluh di dalam hati. Berkata:
- Apakah kalian bersenjata?
- Selamanya. kami bersenjata.
- Bisa bertempur?
- Tentu. Tilam menyenak nafas. Ia tidak berkata- kata lagi. Sebagai gantinya ia mengaburkan kudanya secepat angin. Keruan saja, para pengiringnya tertinggal jauh. Di atas ketiggian, ia mengekang tali kudanya sambil mengamat amati penglihatan jauh disana yang suram oleh suasana malam.
- Hai! Coba sulutlah tanda sandimu sekali lagi, agar mereka tahu di mana kita berada. ujarnya kepada pemimpin rombongan setelah menyusulnya.
- Apakah perlu? Bagaimana kalau...kalau...- sahut pemimpin rombongan itu gagap.
- Katamu, di wilayah selatan tidak ada musuh.
-:Benar . . . tetapi bukankah lebih baik kita berwaspada dari pada tidak? Lagi pula . . . mungkin benar pendapat tuanku puteri. bahwa mungkin sekali tanda sandi kita menarik perhatian musuh . . .
Rara Tilam tersenyum. Lalu memutuskan:
- Baiklah . . . pimpinlah anak buahmu mencari jalan! - Mendahului di depan?
- Tentu saja.
Pemimpin rombongan berbimbang- bimbang. lalu menoleh kepada anak buahnya. Berkata memerintah;
- Berangkat!
Rara Tilam membiarkan mereka berangkat mendahului. Ia sendiri mengambil jalan pintas. Di kejauhan nampak nyala api perdiangan. Dan melihat api itu, hati Tilam agak tenteram. Segera ia mengaburkan kudanya secepat mungkin. Tetapi tatkala hampir tiba di tempat tujuan, ia menghentikan kudanya untuk memperoleh keyakinan.
Beberapa saat kemudian rombongannya tiba dengan suara gemuruh. Beberapa orang datang menyambut. Salah seorang berseru nyaring:
- Rajawali!
- Bintang tujuh. sahut pemimpin rombongan dengan suara lega.
- Hihooo . . . ! mereka bersorak gembira.
Sebentar saja mereka sudah terlihat dalam suatu percakapan yang asyik. Berkatalah pemimpin rombongan lantang:
- Bagaimana? Aman? - Aman.
- Di mana tuanku . . .
- Ssst. Beliau tidak berkenan diganggu.
- lalu apa artinya menyulut tanda sandi?
- Yang Mulia yang memerintahkan. Beliau ingin berbicara dengan tuanku puteri secepat mungkin. - Lalu? - .
- Yang Mulia kini berada dalam pengawasan pendekar Sabung dan Tarung.
- Pendekar Sabung dan Tarung? Kalau begitu, bolehlah kita berlega hati. Siapa yang tidak kenal nama mereka yang termashur? Tetapi tuanku puteri kini . . .
- Aku ada di sini. - terdengar suara memotong.
Mereka semua memalingkan mukanya dan muncullah Rara Tilam dengan kudanya dari balik pepohonan. Dengan masih bercokol di atas pelana kudanya, Tilam berkata:
- Di mana ayahku kini berada?
Seorang yang berperawakan gagah menyahut dengan hormat:
- Mari kami iringkan. - Siapa kau?
- Hamba bawahan pendekar Tarung dan Sabung. - Namamu.
- Gorah.
- Di mana majikanmu kini? Kabarkan kedatanganku dan suruh mereka datang kemari!
Orang yang bernama Gorah tercengang dengan pandang tak mengerti. Tiba- tiba, sebat luar biasa tangan Tilam sudah menggenggam pedang terhunus, sambil membentak
lantang:
- Beri keterangan yang benar! Ayahku kalian sandera atau . . . - Sandera? Mengapa yang mulia kami sandera? .
- Jawablah pertanyaanmu sendiri! Masakan aku harus menebak teka- tekimu? - sahut Tilam dengan suara lantang.
- Ah, barangkali tuanku puteri salah faham. ujar Gorah.
- Masakan aku bisa salah terka? Coba jawab, mengapa menyalakan tanda sandi? Ayahku seorang nayaka yang cermat. Tidakkah mungkin ayah memerintahkan kalian menyulut tanda sandi justru pada saat akhir perjalanan. Bukankah hal itu akan membangunkan perhatian orang?
- Majikan kami sudah memperingatkan kemungkinan demikian, namun Yang Mulia bersikeras. Tiada jalan lain kecuali meluluskan perintah Yang Mulia. Padahal kami memperoleh laporan, bahwa dua puluh satu bhayangkara istana berkeliaran di wilayah selatan. Mereka tidak mungkin berkeliaran di wilayah ini, apabila tidak mendapat perintah dari pusat pemerintahan. - Apakah ayah mengetahui hal itu?
Tilam mengerinyitkan dahi.
- Kurasa mengetahui. Sebab semenjak siang tadi Yang Mulia kelihatan kehilangan semangat. Berulang kali Yang Mulia menghela nafas murung. Majikan kami mencoba membesarkan hati. Namun sempat kami mendengar Yang Mulia mengeluh.
- Mengeluh?
- Ya. mengeluh.
- Apa kata ayah?
- Samar samar kami mendengarkan ucapan: rupanya dia tidak akan melepaskan sebelum kululuskan kehendaknya.
Gorah memberi keterangan.
Kedua alis Tilam tegak dan pandang matanya berkilat- kilat. Tetapi berbareng dengan perubahan wajahnya ia menyarungkan pedangnya. Lalu minta keterangan dengan suara agak sabar:
- Sebenarnya siapa yang kau sebutkan sebagai dua puluh satu bhayangkara istana itu?
- Kami sendiri tidak jelas. Kami hanya dapat menyebut nama mereka barang sepuluh orang. Sanggadewa. Siddhi Rasong, Upasunda. Bisatanding, Kuturan. Waranmi. Hanuraga. Mantri, Anakas dan Tunggawarman. Kabarnya kedua puluh satu bhayangkara istana berada di bawah perintah ahli pedang Boma Printa Narayana. Mendengar Gorah menyebutkan nama Boma Printa Narayana, hati Tilam tergetar hebat. Teringatlah dia akan peringatan ayahnya tatkala masih berada dalam sekapan. Teringat pulalah dia akan pengalamannya sendiri sewaktu bertempur mengadu kepandaian karena hendak menolong Mojang Yudapati. Kecuali cerdik, licin dan cermat, ilmu pedangnya berada jauh di atas kepandaiannya. Mungkin pula, Rekyan Kadung belum tentu dapat melawannya.
Menilik tekanan kata- katanya, agaknya bisa dipercaya. Dan kalau ayah benar- benar yang memerintahkan menyulut tanda sandi, pasti ada sesuatu yang penting untuk disampaikan kepadaku. Pikirnya di dalam hati.
Memperoleh pikiran demikian, ia turun dari punggung kudanya. Lalu berkata ramah:
- Maafkan akan kesemberonoanku.
- Tidak! Tuanku puteri tidak salah. Dalam keadaan begini. siapapun harus waspada. Apalagi dua puluh satu bhayangkara itu terkenal memiliki kepandaian tinggi yang istimewa.- Sekarang antarkan aku menghadap ayah. tungkas Tilam.
Dengan tergesa- gesa ia mengikuti Gorah yang berlari lari kecil. Setelah berbelok- belok dan memasuki tikungan yang rumit. Gorah membawanya mendaki ketinggian. Dan di atas ketinggian , samar- samar nampak sebuah tenda darurat bergetaran tertiup angin. Sampai di sini, Gorah berkata setengah tertahan:
- Tuanku Sabung dan Tarung. kami datang mengantarkan tuanku puteri.
Dua sosok bayangan melesat dari dalam tenda bagaikan daun kering terbang terhembus angin kencang. Sama sekali tiada menerbitkan suara sedikitpun. Hal itu membuktikan bahwa kedua sosok bayangan itu memiliki kepandaian tinggi.
- Apakah tuanku puteri Rara Tilam?
- Benar. - sahut Gurah dengan membungkuk hormat.
Kedua sosok bayangan itu adalah pendekar Sabung dan Tarung. Perawakan mereka sebaya. Tinggi dan gagah perkasa. Mereka datang menghampiri Tilam dengan sopan.
- Yang Mulia hampir tidak sabar menunggu kedatangan tuanku puteri. ujar pendekar Sabung.
Rara Tilam mengangguk pendek sebagai balasan sikap hormatnya. lalu langsung memasuki tenda. Remang- remang ia melihat sesosok bayangan yang duduk bersila di atas tikar.
- Ayah? ia menegur dengan suara ragu.
- Benar.
Dan mendengar suara yang terlalu dikenalnya, Tilam segera memburu hendak memeluknya. Tetapi ia mengurungkan maksudnya sewaktu melihat ayahnya sedang berusaha menyulut pelita dengan batu apinya. Manakala di dalam tenda itu menjadi agak terang. barulah ia maju
memeluk ayahnya.
- Ayah belum tidur juga? Hari sudah mendekati fajar. Mengapa ayah menyiksa diri? Apakah belum cukup penderitaan ayah'!
Tilam mencemaskan kesehatan ayahnya.
- Tilam. tak boleh engkau berkata begitu. Tegur ayahnya.
- lagipula tidak tepat waktunya. Pada saat ini ribuan orang hidup sengara dan menderita melebihi ayahmu. Mengapa justru engkau melupakan keadaan mereka?
Tilam melepaskan pelukannya, kemudian duduk bersimpuh menghadap ayahnya yang amat dicintainya dan dicintainya dan dihormatinya. Ayahnya nampak bertambah tua dan kurus. Meskipun demikian, wajahnya bercahaya gemilang. Rambutnya yang sudah memutih dibiarkan terurai panjang. Juga misai dan jenggotnya.
- Ayahlah yang menghendaki aku cepat menyusul kemari?
Tilam mengalihkan pembicaraan.
- Benar. setelah pos merpati mewartakan dimana beradamu. Sekarang engkau sudah tiba. Mari kita berangkat sekarang juga meninggalkan tempat ini. - ujar ayahnya lembut.
Kemudian ia memanggil pendekar Sabung dan Tarung masuk ke dalam tenda. Perintahnya:
- Seperti yang sudah kita rencanakan. bawalah sepuluh orang serta. Selebihnya mengatur penyesatan dengan saling menyulut tanda sandi. Mudah- mudahan mereka terkecoh. Setidak tidaknya demikianlah harapanku agar aku masih mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pesan. - Pesan apa?
Tilam heran.
- Kau nanti mengerti sendiri. Sekarang. biarlah kedua pamanmu mengatur perjalanan.
Menyaksikan kegopohan ayahnya. diam- diam Tilam heran di dalam hatinya. Biasanya ayahnya bersikap tenang menghadapi semua peristiwa. Terlalu tenang. malah. Di dalam penjara. ayahnya bersikap gagah dan tidak perduli.
Tetapi kali ini, mengapa berkesan agak lain? Sikap ayahnya seperti seseorang merasa salah.
Salah terhadap siapa?
Tetapi ia tak dapat berpikir berkepanjangan. karena semua orang jadi sibuk. Sebagian membongkar tenda, sebagian mengurus perlengkapan perjalanan dan sebagian lagi membagi tugas pekerjaan.
- Kau tahu siapakah yang membangun kerajaan sriwijaya ini? tiba- tiba Duta Lembu Seta membuka suaranya kepada Tilam. .
- Beberapa orang menyebut- nyebut nama Dapunta Hyang yang berangkat naik perahu dari Minanga Tamwan dengan membawa 20.000 tentara.
Tilam menjawab.
- Tetapi benarkah sebanyak itu? Dua puluh ribu tentara! Berapa jumlah perahu yang dibutuhkan untuk mengangkut orang sebanyak itu.
- Itu bukan urusan kita. Yang nyata, kerajaan Sriwijaya dibangun oleh seorang pandai dan bijaksana bernama Dapunta Hyang. Maka tidak mengherankan, bahwa nama Dapunta Hyang dijadikan pula sebagai simbol kerajaan. Camkan hal ini!
- Lalu?
- Sudah sampai disitu saja. Sekarang kita berangkat. - Ya, ayah.
Tilam menebak- nebak maksud ayahnya.
Tandun Raja Koneng sangat menghormati Duta Lembu Seta. Kepada bawahannya ia memerintahkan agar selalu menyediakan kereta berkuda, mengingat usia sang Duta sudah lanjut. Demikian pulalah kali ini. Sebuah kereta yang ditarik empat kuda sudah siap di tempatnya. Di luar dugaan Duta lembu Seta menolak. Dia memilih perjalanan dilanjutkan dengan menunggang kuda. Dengan kuda ia akan dapat mengambil jalan pintas. Kalau perlu mendaki gunung,menembus hutan raya. menerjang tanah berawa.
- Ayah cerdik juga. - pikir Tilam di dalam hati.
- Sekian lamanya ayah senantiasa berkereta. Siapa mengira, bahwa tiba- tiba ayah melanjutkan akhir perjalanan dengan berkuda. Mereka yang akan menghadang ayah di jalan lalu lintas bakal menggigit jari. Akan tetapi keputusan Duta lembu Seta yang tibatiba itu membuat mereka sibuk juga. Untuk, mereka orang orang lapangan yang biasa hidup bertualang. Seseorang yang berperawakan mirip Duta Lembu Seta segera didandani. Dia ditempatkan di dalam kereta berkuda menggantikan kedudukan duta Lembu Seta. Yang lainnya mendahului berjalan dibawah pimpinan pendekar Tarung. Yang sebagian bertugas menyulut tanda sandi untuk kemudian menyusul dari belakang. Mereka dipimpin pendekar Sabung yang berpengalaman. Dan dengan pengawalan yang ketat itu, Duta lembu Seta dan Rara Tilam mulai melanjutkan perjalanan dengan berkuda.
Benar saja. Sewaktu fajar hari hampir menyingsing, seleret cahaya melintas di udara dan meledak menebarkan cahaya warna- warni. Lembu Seta yang sudah jauh meninggalkan tempat peristirahatan, tersenyum puas. Ujarnya: '
- Mudah- mudahan ayah masih sempat menyampaikan pesan.
- Kepada siapa? Tilam minta keterangan.
- Kepadamu. Siapa lagi?
- Pesan?
Tilam terbelalak heran.
Lembu menghela nafas lalu berdehem. Katanya dengan suara berat:
- Anakku. pernahkah engkau berfikir apa sebab ayah dapat meloloskan diri dari penjara dengan mudah? Itulah berkat pertolongan Boma Printa Narayana. - Boma Printa Narayana? - hati Tilam tergetar berbareng heran.
- Ya. Boma Printa Narayana ahli pedang nomor satu di kerajaan Sriwijaya. Dialah pemimpin dua puluh satu bhayangkara istana. Dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya.
- Mengapa justru dia?
- Tepat pertanyaanmu itu. Ya . . . mengapa justru dia? Tentunya ada maksudnya. Maksud maha besar yang akan menentukan mati hidupnya kerajaan Sriwijaya. - Apa maksud ayah?
Lembu Seta tidak segera menjawab. Ia mengembarakan penglihatannya. Jauh di belakangnya nampak pendekar Sabung berkuda memimpin pengawalan. Waktu itu sudah terang tanah. Fajar hari menyingsing di ufuk timur. Angin meniup segar membawa kesejukan alamiah. Sayup sayup terdengar gemuruh gelombang lautan yang bergerak mengelilingi pinggang Gunung Krakatau dengan tiga buah puncaknya. Semuanya berkesan aman damai dan manis.
- Anakku, masihkah kau ingat akan nama pembangun kerajaan Sriwijaya yang besar ini? Pada saat ini kelangsungannya terancam kepunahan. Karena itu. betapapun juga Boma Prima Narayana tidak akan melepaskan ayahmu menyeberang lautan Krakatau sebelum memperoleh apa yang diinginkannya.
Lembu Seta mulai berbicara lagi.
- Apakah itu? - Lambang Dapunta Hyang.
- Lambang Dapunta Hyang?
Tilam tercengang.
- Ayah maksudkan semacam barang atau benda purba yang bergambar Dapunta Hyang?
- Benar. Engkau tahu gambar Dapunta Hyang?
Tilam berpikir sejenak. Menjawab
- Tentunya seorang tokoh agung semacam arca Buddha. - Kali ini engkau salah tebak.
Lembu Seta bersenyum.
- Apakah tapak kaki atau tapak tangan?
- Bukan. Tetapi berbentuk segi sembilan dengan gambar garuda. gajah dan biduk, sebagai lambang asal usul leluhur yang memerintah kerajaan. Ukuran besarnya tidak melebihi ibu jari kanak- kanak berumur satu tahun. Maka dapat dibayangkan betapa rumit cara pembuatannya. Dan lambang demikian hanya berada di tangan seorang raja yang syah.
- Ayah! Agaknya benda itu sangat penting bagi seorang pengganti raja.
- Tentu saja.
- Apakah tidak mungkin hilang atau tercuri?
- Tidak mungkin. Sebab benda mustika itu menjadi benda hias sebentuk cincin yang harus dikenakan seorang raja. Setiap kali sidang nayaka mengambil keputusan akan mempunyai kekuatan hukum manakala terdapat cap lambang itu.
- Apakah tidak mungkin dapat dipalsukan? - Tidak mungkin, karena mempunyai kode- kode tertentu yang dikenal para parampara ( penasehat ), nayaka dan angkatan perang. Masing- masing diberi pecahan kode yang berbeda. Bila dikumpulkan baru merupakan kode utuh. .Juga para pembesar mahkamah Agung dan Pengadilan. Taruh kata ada seorang nayaka yang mencoba meniru, dia tidak akan mungkin dapat mengumpulkan bagian kode- kode yang disimpan kementerian- kementerian lainnya. Selain itu, bahannya tidak mudah dicari. Lambang itu dibuat bukan dari baja atau besi, tetapi batu meteor yang mempunyai kadar tertentu pula. Pendek
kata tiada seorangpun di dunia yang akan sanggup memalsukan. Itulah sebabnya dalam masalah perebutan kekuasaan seperti yang terjadi sekarang ini. benda itu mempunyai makna yang mahal sekali harganya. Seperti yang kukatakan tadi dapat menentukan kelangsungan atau punahnya kerajaan besar ini. Maka dapat dimengerti betapa raja sekarang ini mengerahkan seluruh daya upaya untuk memperolehnya kembali. Barangkali baginda rela menyerahkan separoh negerinya demi lambang Dapunta Hyang. - Apakah Raja Dharmaputera yang merebut kekuasaan Raja Dharmajaya tidak memiliki lambang itu?
Tilam terperanjat.
- Tidak atau lebih tepat, belum. jawab Lembu Seta.
- Bukankah raja lama sudah ditawannya? - Benar, tetapi baginda hanya mengenakan cincin. Sedang benda hiasnya tiada. - Ke mana?
- Itulah soalnya.
Lembu Seta mendehem.
- Padahal barang siapa memiliki benda tersebut, dialah yang akan diakui rakyatnya sebagai raja yang syah. Mendengar keterangan ayahnya. Tilam merasakan sesuatu yang hebat akan terjadi. Sesuatu yang mengerikan yang membuat mulutnya terbungkam dan memaksa dirinya berpikir keras. Pada saat demikian. ayahnya berkata lagi:
- Raja Dharmaputera tidak akan berani membunuh Raja Dharmajaya,selama lambang Dapunta Hyang itu belum berada di tangannya. Maka tentunya, Raja Dharmajaya akan mengalami perlakuan halus dan kasar. Kalau perlu disiksa setengah mati. Tetapi andai kata baginda kini bermaksud hendak berkata yang benar karena tiada
tahan siksaan;lagi, juga akan sia- sia belaka.
- Mengapa? - Bagindapun kini tidak tahu lagi di mana lambang Dapunta Hyang itu berada.
- Tetapi apa hubungannya Boma Printa Narayana dan ayah dalam hal ini?
Tilam minta keterangan.
lembu Seta melemparkan pandangnya jauh di atas ketiga puncak Gunung Krakatau. Waktu itu matahari sudah mengintip di timur. Langit mulai cerah. Burung buruug sudah semenjak tadi menginggalkan sarangnya dan berkicau bersahut- sahutan dari tempat ke tempat. Angin yang meniup masih membawa hawa sejuk nyaman. Berputar- putar dan menembus petak hutan yang tak terjangkau oleh penglihatan. Suasana alam sunyi hening. Dan dalam keadaan demikian. berkatalah lembu Seta mengejutkan hati Rara Tilam:
- Di dunia ini hanya seorang yang tahu dimana benda mustika itu berada. Orang itu adalah ayahmu seorang.
- Apa? Ayah? suara Tilam nyaris melengking.
Lembu Seta mengangguk. Berkata meneruskan:
- Raja Dharmajaya agaknya sudah mengetahui, bahwa singgasananya terancam bahaya. Selain dari kelompok raja muda yang mendukung Raja Muda Dharmaputera terdapat pula kelompok yang mengenakan jubah pendeta.
- Jubah pendeta? Maksud ayah pendeta palsu? Tilam menegas.
- Tentu saja mereka akan menolak bila kau katakan demikian. jawab ayahnya.
- Meskipun demikian. mulai sekarang engkau harus mengingat- ingat warna jubah dan namanya. Sebab pada suatu kali mereka akan muncul dalam percaturan negara. Pemimpinnya berjumlah tujuh orang dengan mengenakan nama depan Punta dan jubahnva berwarna kuning. Khabarnya dipimpin oleh sentana
pendeta berilmu tinggi bernama: Punta Dewakarma.
- Kelompok pendeta yang ikut serta mencampuri urusan negara! Hebat!
Tilam setengah mendongkol.
- Penduduk menyebutnya sebagai kelompok Agama Pasupata.
- Ya. nama agama itu pernah kudengar. Lembu Seta menghela nafas dalam. Sebentar ia mendongakkan kepala seperti sedang mengingat- ingat sesuatu. Kemudian berkata:
- Dua malam sebelum perebutan kekuasaan terjadi, baginda Dharmajaya memanggil ayah datang menghadap. Tentunya engkau masih teringat peristiwa itu. Sebab semenjak itu, ayah tak pernah pula. Hm . . . ayah membuat hidupmu menderita.
- Tidak! Ayahlah yang jauh lebih menderita dari padaku. Tilam menghibur.
lembu Seta memandang jauh di depan. Katanya:
- Sudahlah . . . apa yang harus terjadi tak usah kita sesalkan. Yang penting perhatikan kata- kata ayahmu, agar engkau tidak salah langkah!
- Salah langkah? Apakah ayah bermaksud aku harus tinggal di sini? Tilam terperanjat heran.
lembu Seta tidak menjawab pertanyaan Tilam. Seperti kepada dirinya ia berkata lagi:
- Malam itu ayah diterima Sri Baginda di kebun bunga yang terletak di bagian belakang serambi istana. Di tengah kebun, tiba- tiba Sri Baginda mengangsurkan lambang Dapunta Hyang agar kugenggam rapat. lalu bersabda: "Negara dalam bahaya. Tiada pilihan lain, kecuali keputusan ini. Pilihkan siapa saja yang pantas melanjutkan dinasti kerajaan. Syukur bila dia salah seorang anggauta kerajaan". Tentu saja ayah terkejut bukan main. Barangkali melebihi rasa terkejutnya orang tersambar geledek. Tetapi sewaktu ayah bermaksud hendak mohon keterangan mengapa ayahmu yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas suci itu. padahal ayah seorang nayaka negeri Taruma Negara. Sri Baginda tidak memberi kesempatan ayahmu membuka mulut. Dengan isyarat gerakan tangan. ayahmu dipersilakan meninggalkan tempat secepat mungkin. Di depan pagar kebun. ayah berpapasan dengan Boma Printa Narayana yang mengucapkan selamat malam. Ternyata dia datang menyusul Baginda ke kebun untuk menawannya. Dengan sendirinya, ayahpun tidak diijinkan pulang.
Tilam percaya kepada tiap patah kata ayahnya. Tetapi peristiwa itu sendiri seperti menyembunyikan suatu maksud yang tidak jelas. Ia tahu Raja Dharmajaya tidak mempunyai suatu maksud yang tidak jelas. Ia tahu. Raja Dharmajaya tidak mempunyai putera seorangpun. Kecuali seorang puteri yang diperisterikan Raja Muda ,Dharmaputera yang kini merebut kekuasaan. Tetapi Sri Baginda masih mempunyai tujuh orang saudara laki- laki.
Masakan tiada seorangpun di antara mereka yang dapat dipercaya?
Jika demikian halnya, alangkah mengharukan.
- Rupanya raja sudah lama tidak mempunyai teman atau hamba sahaya yang dapat dipercaya. ia berkata.
- Dalam keadaan negara terancam kemusnahan teringatlah Baginda kepada ayah yang tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap tahta kerajaan. ,..
- He.
- Ibarat orang bermain catur yang melihat kerapkali mempunyai penglihatan lebih jelas dari pada yang sedang bertempur mengadu kepandaian. Maka tidak mengherankan bahwa baginda mengharapkan bantuan ayah. Setidak- tidaknya. siapa tahu raja Purnawarman berkenan mengulurkan tangan untuk menyelamatkan dinastinya.
Lembu Seta menghela nafas. Ujarnya:
- Mungkin tidak terlalu salah. Bahkan dapat ditafsirkan, bahwa tindakan Baginda adalah semacam orang yang berputus asa, kemudian hendak gugur bersama lawan- lawannya. Tetapi satu hal yang masih harus kau jawab. apa sebab Boma Printa Narayana tahu, bahwa batu hias lambang Dapunta Hyang berada di tangan ayah.
- Yang mudah. raja terpaksa mengaku. Mungkin tidak tahan lagi oleh siksaan yang kejam. - jawab Tilam dengan cepat.
- Yang masih asing bagi ayah ialah. bahwa seorang yang berkepandaian tinggi dapat menggunakan ilmu saktinya untuk menangkap pembicaraan orang dari jarak jauh. Lembu Seta mengangguk- angguk. Katanya memutuskan:
- Baiklah. anggap semua pendapat kita benar. Yang penting sekarang, kita wajib mengembalikan lambang Dapunta Hyang kepada yang berhak menerima. Sebab kita datang kemari bukan bermaksud untuk menjadi pencuri atau berangan- angan ingin mendirikan kerajaan baru atau hendak merobohkan kekuasaan singgasana Sriwijaya. Kau selidiki cita- cita Tandun yang banyak membantu ayah. Boma Printa Narayana rupanya menaruh curiga juga kepada Tandun. Ayah percaya secara diam diam ia menguntit perjalanan ayah semenjak lolos dari penjara Lamuri. .Juga Boma Printa Narayana sendiri. apakah orang itu berangan- angan besar pula untuk menduduki tahta dengan caranya sendiri? Dan yang terakhir, amati keluarga Pangeran Sanggrama Jayawardana! Dia salah seorang adik raja.
- Ayah! Jadi ayah menugaskan aku untuk membawa lambang Dapunta Hyang?
Tilam menegas.
- Apakah engkau berkeberatan? Kalau begitu. biarlah ayah sendiri yang melakukan.
Ucapan lembu Seta itu diluar dugaan Rara Tilam. Gadis itu terpukul hatinya sampai wajahnya pucat lesi. Sahutnya dengan suara merasa salah:
- Ayah! Mengapa ayah berkata demikian?
- Tilam. anakku! Tujuan hidup ayahmu ini hanya satu. Ingin hidup tidak berhutang. Baik terhadap diri sendiri maupun isi jagad raya. Dengan demikian sewaktu waktu ayah dipanggil pulang tidak merasa berhutang terhadap siapapun.
Bukan main terharu rasa hati Tilam mendengar kata kata ayahnya yang sangat dicintai dan dihormatinya. Namun ia tidak sempat menyatakan rasa harunya. karena tiba- tiba ayahnya mengangsurkan sebuah benda kecil mungil berbentuk sembilan segi.
Itulah lambang Dapunta Hyang yang sedang diperebutkan orang.
- Kusimpan benda mustika itu di dalam kulitku, karena itu Boma Printa Narayana tidak menemukan meskipun pernah menggeledah sekujur badan ayahmu. ujar Lembu Seta.
- Kulukai sedikit pangkal paha. lalu kusisipkan. Meskipun demikian ayah tahu, bahwa dia tidak akan membiarkan ayah menyeberangi selat Sunda dengan aman sebelum benda mustika itu berada dalam tangannya. Sekarang hati ayah lega luar biasa. karena benda mustika itu sudah tersimpan dalam tanganmu. Matipun rasanya rela.
- Untuk apa ayah rela berbuat demikian? tungkas Tilam khawatir.
- Karena ayah pernah berjanji kepadanya akan menunjukkan dimana benda mustika itu berada, setelah sampai di pantai selat Sunda. Ayahmu harus memegang janji. - Nah. apakah dia berani bertindak kasar terhadap ayah?
Tentunya dia akan mengejar daku.
lembu Seta tidak menanggapi. Dan Tilam yang mengenal watak dan peribadi ayahnya. cepat- cepat membawa dirinya. Di dalam hati diam- diam ia merencanakan jalan keluar diluar pengetahuan ayahnya. Ia akan menulis surat pemberitahuan yang akan dititipkan kepada pendekar Sabung atau Tarung, agar menyusul dirinya ke Gunung Sibahubahu. Disanalah baru ia akan memutuskan. siapakah yang pantas menyimpan lambang Dapunta Hyang sebagai modal membangun kelangsungan dinasti Sriwijaya yang syah.
- Ayah! Sebelum senja hari agaknya kita sampai di pantai selat Sunda. ia mengalihkan pembicaraan.
- Tilam! Engkau sudah membawa lambang Dapunta Hyang. Masakan masih sempat memikirkan perjalanan ayah? Hidup dan matinya rakyat Sriwijaya kini berada di tanganmu. lambat sedikit, berarti ribuan jiwa akan menjadi korban pembunuhan yang tidak berguna. ujar lembu Seta dengan sungguh- sungguh.
- Apakah ayah menghendaki aku segera berangkat? - Apakah kau kira bukan tugas mulia? bentak ayahnya. Sekonyong- konyong wajah lembu Seta nampak seram.
- Harkatnya tiada beda dengan Siddayatra. Sebab engkau melaksanakan tugas suci, karena merebut merebut kesejahteraan jiwa ribuan orang. Engkau masih kurang yakin? Marilah kubuktikan. Dengan cekatan, lembu Seta turun dari kudanya. Dan sebelum Tilam menyadari apa yang hendak dilakukan ayahnya, tiba- tiba lembu Seta menghunus belati Istana Taruma Negara dan ditancapkan tepat pada ulu hatinya.
Ayah! - teriak Tilam kalap sambil melompat dari atas kudanya.
Sebat luar biasa ia menyambar tubuh ayahnya yang hampir roboh menyentuh tanah.
- Ayah! Mengapa ayah melakukan hal ini? Perlahan lahan lembu Seta membuka kedua matanya. sambil menyungging senyum. Dengan suara setengah berbisik Lembu Seta berkata:
- Ayah tidak akan membiarkan engkau kena tangkap. Engkau sudah cukup menderita . . . Kuminta jangan menangis! Sebab ayahmu menang . . . Tidak akan kubiarkan pula kaki- tangan negeri lain hendak menawan Duta Raja Purnawarman. Ayahmu menang . .. negeri kita Taruma Negara menang . . .
Setelah berkata demikian ,dengan tenang Lembu Seta memejamkan kedua matanya. Tilam jadi kalap. Ia menggoncang- goncangkan tubuh ayahnya sambil memekik mekik:
- Ayah! . . . Ayah! Tetapi ayahnya sudah pergi untuk selama- lamanya.
Dan Tilam roboh tak sadarkan diri.
*****
TAK TERASA, waktu berjalan sangat cepatnya. Tiga bulan sudah, Raja Dharmaputera duduk di atas singgasana kerajaan. Banyak perubahan- perubahan terjadi dalam tata pemerintahan. Tetapi bagi penduduk, semuanya itu tidak penting. asal saja dapat hidup tenteram dan memperoleh kesempatan untuk mencari sandang- pangan dengan aman. Justru masalah keamanan itulah yang selalu mengganggu mereka. Sebab dimana- mana muncul siluman siluman yang melakukan pemerasan dan perampokan. Setiap hari tentu terjadi pembunuhan- pembunuhan.
Kadang dilakukan oleh alat- alat negera, kadang oleh jagoan jagoan kecil tak bertuan.
Di pinggiran kota Cahayanagari terdapat sebuah rumah makan yang selalu ramai dikunjungi orang. Seorang pemuda yang mengenakan pakaian bersih turun dari kudanya. Setelah menambatkan binatang tunggangannya, ia memasuki ruang rumah makan sambil mengeperiki celana dan bajunya. wajahnya cakap, namun muram. Dialah Rara Tilam yang seperti biasanya selalu mengenakan pakaian pria manakala sedang dalam perjalanan.
Semenjak mengalami peristiwa yang memukul hatinya, ia selalu nampak muram dan uring- uringan. Terhadap setiap alat negara, ia memusuhi. Sebab menurut jalan pikirannya, merekalah yang menjadi penyebab ayahnya melakukan bunuh diri.
- Coba buatkan masakan yang lezat! - ia berkata kepada seorang pelayan.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Bawa pula sebotol minuman! Pelayan itu terbelalak heran. Sambil tertawa dia menjawab:
- Tuan muda! Masakan lezat hanya disediakan untuk empat orang. Tuan tidak mungkin dapat mmenghabiskan. Kan sayang? lagipula tidak cocok diiringkan dengan minuman keras. Begini saja. bagaimana kalau kami masakkan yang agak murahan? '
- Hai! Engkau menjual masakan atau menjual obat? bentak Tilam.
- Apakah kau kira aku tak dapat membayar harganya? '
- Oh tidak, tidak, tidak. Bukan begitu maksudku. Tetapi . . . kalau dibarengi dengan minuman keras . . .
- Siapa yang minta minuman keras? Bukankah aku hanya mmemesan sebotol minuman?
- Benar. Tetapi . . . pelayan itu tidak menyelesaikan ucapannya. Juga tidak bergerak dari tempatnya.
- Apa lagi yang kurang jelas? bentak Tilam.
- Kedudukanku memang serba susah. Menurut majikan, pesanan harus dibayar dahulu. Soalnya . , . pada akhir- akhir ini . . sering kami kedatangan tetamu yang membuat rugi kami.
- Hm. Tilam mendongkol. lalu mengeluarkan sekeping uang emas yang di letakkan di atas meja.
- Bagaimana? Masih kurang? - Cukup, cukup, cukup . . . bahkan jauh lebih cukup. pelayan itu jadi gopoh sambil memungut uang Tilam.
Selagi pelayan itu hendak meninggalkan tempat,masuklah seorang gadis berpakaian merah. Semua yang berada dalam rumah makan itu memalingkan kepalanya. Juga Tilam. Sebab baik bentuk badan dan wajahnya, mengingatkan Tilam kepada Sekar Tanjung. Bedanya, wajah gadis itu kelihatan murung dan agak pucat.
Gadis berpakaian merah itu mengambil tempat menyendiri. Setelah memandang pelayan yang menghampiri, berkatalah ia lembut:
- Aku perlu makan dan minum.
- Ya, semua orang perlu makan dan minum. - sahut pelayan itu ketus.
- Nona membawa uang atau tidak? Gadis itu kelihatan mendongkol. Segera ia merogoh sakunya. Tiba- tiba wajahnya memucat dan bingung. Pelayan yang semenjak tadi mengawasi gerak- geriknya, segera dapat menebak keadaan dirinya. Dengan tertawa menang. ia berkata:
- Nah, benar tidak? Semua orang perlu makan dan minum. Soalnya nona membawa uang atau tidak? Pulanglah dahulu mengambil uang, baru datang kemari. Nanti sorepun boleh.
Tetamu- tetamu yang ikut memperhatikan kedatangannya,tertawa bergegaran. Gadis itu kemudian menjelajahkan pandang matanya kepada belasan tetamu yang mentertawakan. Wajahnya menjadi merah dadu oleh rasa malu. salah dan mendongkol. Rasanya ingin saja ia menyembunyikan wajahnya agar tidak kena pandang orang.
Pada saat itu. seorang pemuda bangkit dari kursinya setelah selesai makan. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan serenceng uang untuk membayar harga makanan. Ia mengerlingkan matanya kepada gadis itu sambil bersenyum. Lalu melangkahkan kakinya meninggalkan ruang rumah makan dengan wajah mantap.
Sekonyong- konyong gadis itu berkata kepada pelayan yang menghinanya:
- Dia membayar setelah makan. Mengapa aku harus membayar dahulu sebelum masakan kau hidangkan?
- Soalnya dia sudah jadi langganan kami. Tempat tinggalnya kami kenal pula. Sebaliknya nona baru kali ini masuk ke rumah makan kami. Kamipun belum kenal siapakah orang tua nona.
Alasan pelayan itu masuk akal. Gadis itu kemudian bangkit dari kursinya. Dengan menundukkan kepalanya ia meninggalkan tempatnya. Baru beberapa langkah masuklah seorang laki- laki dengan langkah lebar. Lakilaki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun. Perawakannya tinggi besar. Berdada bidang dan tangannya berbulu. Bentuk wajahnya persegi tiga. Matanya besar dan dilindungi oleh sepasang alisnya yang tebal.
- Nona! - tegurnya dengan suara ingar bingar.
- Kulihat engkau belum sempat makan. Mari makan bersamaku! Jangan takut, dalam kantong bajuku cukup uang. ,
Wajah gadis itu kelihatan bertambah bingung. Jelas sekali bahwa dia sedang lapar. Tetapi hatinya tidak memperkenankan menerima tawaran orang itu. Selagi dalam keadaan demikian, Tilam memanggilnya
- Adik. marilah duduk di tempatku. Masakan yang kupesan terlalu banyak bagiku.
Gadis itu menoleh. Melihat wajah dan perawakan Tilam, ia berkenan. Dengan wajah berseru merah, ia menerima tawaran Tilam dan segera duduk didepannya. Ia tidak menghiraukan sikap tetamu lainnya yang mentertawakannya dalam hati. '
Pelayan yang bersikap ketus tadi. cepat- cepat merubah sikapnya. Sebab uang emas Tilam bernilai sepuluh kali harga masakan yang dipesan. Dengan tangkas masakan segera dihidangkan. Dan gadis itu segera makan dengan lahapnya. Tak usah diterangkan lagi, bahwa gadis itu kelaparan. Ia tidak memperdulikan pandang mata Tilam yang mengamat- amati dengan rasa iba. Dan setelah kenyang, tiba- tiba ia menarik tusuk kondenya yang terbuat dari emas bermata berlian. Tusuk konde itu kemudian diberikan kepada Tilam. Katanya:
- Kakak, terimalah ini sebagai harga pembayaran. Terima kasih atas kebaikan hatimu.
Melihat tusuk konde itu. Tilam tercengang. Tusuk konde demikian hanya pantas dimiliki anak seorang yang berkedudukan tinggi atau anak seorang kaya. Cepat ia menyanggah, karena tidak mengharapkan imbalan demikian. Tetapi sebelum sempat membuka mulutnya, gadis itu sudah meninggalkan kursinya dan berjalan cepat hendak keluar pintu. Tetapi tepat di ambang pintu, ia bertubrukan dengan seorang laki- laki berperawakan gemuk pendek. Tubrukan itu tak dapat dihindarinya, karena tubuh laki laki itu memenuhi luas pintu. '
- Hai, maaf! gadis itu memekik terkejut.
Laki- laki itu tertawa lebar. Sahutnya sambil mendorong gadis itu masuk ke dalam ruangan tamu:
- Eh nona cantik manis, mengapa buru- buru? Mau ke mana? Kedua lengan laki- laki itu berbulu juga seperti laki
laki berdada bidang tadi. Tetapi ia lebih urakan dan berani. Dengan sengaja ia merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi gadis itu. Lalu mencoba mengusap wajah gadis itu.
Gadis itu melompat mundur sambil memekik:
- Mengapa engkau kurang ajar?
- Apakah ada larangannya?
- Tak boleh engkau berbuat begitu terhadapku. tegor gadis itu dengan lagu suara tetap halus.
- Mengapa tidak boleh? - Kau orang kasar. Kalau ketahuan ayah, pasti dihukum berat. - Siapa ayahmu?
- Ayahku seorang pangeran.
Orang itu tercengang sejenak. Lalu tertawa melalui dadanya. Katanya:
- 0, kalau begitu engkau anak seorang pangeran? Pangeran siapa? Anak pangeran mengapa sampai keluyuran kemari? Siapa ayahmu? Biar aku yang menghadap padanya. Tentunya engkaulah yang akan dihukumnya.
- Kau ingin mendengar nama ayahku? - gadis itu memberengut.
- Siapa?
- Pangeran Sanggrama Jayawardana.
Orang itu kembali tercengang. Juga Tilam yang semenjak tadi menaruh perhatian terhadap lagak- lagu gadis itu. Menilik suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan santun, tentunya tidak berbohong. Sebaliknya orang itu makin sangsi.
Bila gadis itu puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana, mengapa sampai kelaparan?
Dia mengerlingkan matanya kepada temannya yang berdada bidang. Temannya mengulum senyum dengan mengisyaratkan matanya. Memperoleh isyarat mata itu. berkatalah ia
mengejek:
- Nona anak pangeran. siapakah namamu?
- Tara. Apakah penting? Kau sendiri siapa? Menilik caranya bertanya jawab. jelas sekali bahwa gadis itu belum berpengalaman dalam pergaulan hidup di luar rumah. Tentu saja orang gemuk pendek itu langsung saja mengumbar suaranya. Ujarnya'.
- Akupun anak raja. Anak raja yang sudah bangkrut. Namaku: Dapunta.
Mendengar ucapan orang gemuk itu, kedua alis Tilam berdiri tegak. Olok- olok itu sudah diluar batas kesopanan. Sebab nama Dapunta bagi seluruh rakyat Sriwijaya adalah nama yang diagungkan dan dihormati sebagai cikal- bakal kerajaan. Walaupun maksud orang itu hendak mengejek Tara, namun sebenarnya tidak boleh sampai melampaui batas.
- Dan kau ingin tahu nama orang itu pula? - ujar yang mengaku bernama Dapunta sambil menunjuk temannya yang berdada bidang.
- Dialah Samaratungga. bawahan panglima Boma Printa Narayana. Itulah sebabnya dia selalu berada di bersamaku, karena dia pengawal anak raja. Hai Samaratungga. kita apakan gadis yang cantik manis ini? - Dia sudah menyatakan diri sebagai anak Sanggrama Jayawardana. Kau tangkap saja! Kalau beruntung, kita mendapat hadiah besar. Kalau hanya mengaku-aku, bisa kita buat mainan. sahut Samaratungga. '
Gadis yang bernama Tara itu mendongkol. Wajahnya merah padam. Tetapi nampaknya, ia tidak dapat berkelahi. Maka ia melayangkan pandangnya jauh di depan untuk mencari kesempatan melarikan diri. Ternyata halaman depan rumah makan terdapat beberapa buah empang. Terdapat pula calon empang yang belum terisi air. Hanya
ditutupi dengan anyaman bambu dan anyaman daun enau. Selanya hanya ladang luas calon huma yang berbatasan dengan petak- petak hutan. Memperoleh penglihatan itu, Tara jadi putus asa. Jelas sekali tiada harapan untuk dapat meloloskan diri. '
Selagi demikian orang yang mengaku bernama Dapunta menyambar dan menggenggam pergelangan tangannya. Tentu saja Tara berontak sekuasanya. Ia memukul- mukulkan sebelah tangannya sambil menarik- narik pergelangan tangannya yang tergenggam. Tetapi ia kalah tenaga. Dapunta tertawa terbahak- bahak sambil menggoncang goncangkan tangannya. Tiba- tiba ia mengaduh kesakitan, karena Tara menggigit genggamnya. Tak dikehendaki sendiri ia mengendorkan genggamannya. Dan pada saat itu, Tara dapat membebaskan tangannya yang tergenggam.
Merah padam muka Dapunta. Kehormatannya tersinggung karena gagal menawan Tara. Sekarang, dengan kedua tangannya ia menyambar pinggang Tara dan melemparkannya kepada Samaratungga. Dengan tertawa ingar bingar Samaratungga menangkap tubuh Tara dan dikempitnya. '
Tara sadar bahwa dirinya berada dalam ancaman bahaya. Justru demikian, timbullah keberaniannya. Dengan suara agak lantang dia berkata:
- Kiranya kalian semua adalah budak belian kaum pengkhianat. Kalau mau membunuh. bunuhlah! - Membunuh? Mengapa aku harus membunuhmu?
Samaratungga tertawa gemuruh.
- Lebih baik engkau menjadi kucing piaraanku. Kutanggung, engkau akan mendapat kesenangan yang tidak dapat kau lupakan. Setelah berkata demikian, ia meninggalkan kursinya Tara. Dengan diiringkan Dapunta dan delapan orang anak buahnya- ia melangkah keluar rumah makan. Sebat ia
melompat ke atas pelana kudanya. Dan pelayan rumah makan yang semenjak tadi tertegun tak tahu apa yang harus diperbuatnya, mengejarnya sambil memohon:
- Tuan besar . . . tolong sedikit hambamu yang malang ini. Tuan- tuan belum membayar hidangan.
- .Oh. engkau minta bayaran?
Samaratungga mendengus. Dengan sebelah tangannya ia menyambar cambuk dan dicambukkan ke kepala pelayan itu. Keruan saja, pelayan itu mengiang- iang kesakitan. Selagi demikian, Dapunta menendangnya dari belakang sehingga ia jatuh menggabruk tanah.
Tara mencoba menggunakan kesempatan itu untuk berontak. Tetapi pelukan Samaratungga kuat bukan main. Tak dapat ia berkutik sedikitpun. Bahkan untuk menggigit saja, tidak dapat. Ia jadi putus asa dengan wajah muram.
- Berangkat! perintah Samaratungga dengan suara gemuruh.
Ia mendahului menghardik kudanya dan mengaburkannya melintasi tepi- tepi empang yang berada di depan halaman rumah makan. Sekonyong- konyong sesosok bayangan berkelebat dan tahu- tahu. kudanya lari menyelonong menginjak anyaman daun enau dan terjerumus di dalam lubang empang yang mempunyai kedalaman dua kali tinggi manusia. Juga kuda Dapunta ikut- ikutan terjerumus di dalam empang.
- Hai bangsat dari mana yang berani kurang ajar ini? bentak Samaratungga.
Seorang pemuda berperawakan ramping berwajah cakap muncul di atas tebing empang. Dia membawa pedang pendek yang tergantung di pinggangnya. Dialah Rara Tilam yang berpakaian pria. Dengan tertawa ia menjawab:
- Siapa tadi yang mengaku- aku bernama Dapunta? Samaratungga dan Dapunta roboh saling tindih dengan kudanya. Dengan tertatih- tatih mereka bangun sambil- mengeperikkan pakaiannya. Mendengar kata- kata Tilam. Dapunta membentak:
- Kau bangsat dari mana?
- Kalau bangsat. tentunya engkau berandal kampungan. Siapa namamu yang benar? Kalau membangkang perintahku, jangan harap engkau dapat naik. Aku akan mengurungmu sampai mati kelaparan. - Jahanam bangsat! maki Dapunta.
- Baik. Nah, tenang- tenanglah mendekam disitu saja! Aku ingin tahu. apakah perutmu masih gendut sesudah dua tahun. - Hai. kau jangan keterlaluan. Jelek- jelek, aku ini salah seorang pengawal raja. Montri, namaku. - Nah kan begitu. Mengapa mengaku-aku bernama Dapunta?
Samaratungga yang merasa sudah cukup bersabar menyela:
- Hai anak muda! Kau menghendaki apa? Uang atau kuda?
Tilam tertawa manis sambil mengamat- amati Tara yang kini sudah terbebas dari kempitan Samaratungga. Tara membalasnya dengan bersenyum pula. Dan melihat Tara tak kurang suatu apa. berkatalah Tilam membalas pertanyaan Samaratungga:
- Aku tidak menghendaki uangmu maupun kudamu. Aku hanya minta engkau agar membiarkan nona itu berada bersamaku. Jika engkau sudi menyerahkan dengan baik- baik, aku akan membiarkan engkau dan kawan- kawanmu naik ke atas.
Samaratungga terhenyak. Lalu tertawa riuh. Sahutnya dengan suara gemuruh:
- Baik. akan kuserahkan nona ini kepadamu. Terimalah!
Samaratungga memutar tubuhnya dan menyambar tubuh Tara dengan tangan lu'rinya. Sedang tangan kirinya menjungjung seakan- akan hendak melemparkannya ke atas. tiba- tiba tangan kananya mengayunkan senjata bidik semacam paku yang tajam luar biasa. Kedua kakinyapun menjejak tanah dan bermaksud melompat ke atas.
Tilam melompat mundur sambil menangkap sambaran paku. Ia membiarkan Samaratungga melompat ke atas. Tetapi begitu kepalanya tersembul dari lubang empang, ia menimpukkan paku rampasannya. Samaratungga kaget setengah mati. Ia memekik dan dengan mati- matian melindungi batang hidungnya dengan membuang mukanya. Sebagai gantinya, janggutnya tertancap senjata pakunya sendiri. Dan robohlah ia ke dasar empang kembali dengan menderita sakit.
Tara dapat menyaksikan peristiwa itu dengan jelas. Di dalam hati, ia memuji ketangkasan dan kegesitan Tilam. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berseru girang:
- Bagus. bagus!
Tilam muncul di atas tebing liang sambil tertawa. Sahutnya:
- Tara, kau lihat saja bagaimana mereka nanti menjadi sekawanan tikus.
Tentu saja baik Samaratungga maupun Montri mendongkol hatinya.Dengan gemas Montri mencabut goloknya. Ia tak sudi mengulang kesalahan Samaratungga yang bermaksud menggebah Tilam dengan mengayunkan senjata bidiknya. Tetapi dengan goloknya ia menyerang kepala Tilam yang sedang melongok kebawah. Tilam menarik kepalanya untuk mengelakkan sambaran goloknya. Inilah yang dikehendaki Montri. Sebat luar biasa ia melompat naik ke atas dengan menjejakkan kakinya kepada tebing empang. Tetapi pada saat sebelah kakinya hampir menginjak tepi liang. tiba- tiba perutnya terasa sakit luar biasa. Dan ia terpental jatuh kembali kena tendangan Tilam. Karena badannya gendut maka jatuhnya membal seperti seekor kerbau terbanting di atas tanah lunak.
- Hai maling palsu! Bagaimana rasanya? Enak? ejek Tilam.
Memang ia lagi murung dan benci kepada semua yang menjadi hamba sahaya raja.
- Kau serahkan tidak nona itu? Kalau tidak, aku akan tetap berada di sini untuk menjaga kalian sampai mati kelaparan.
Samaratungga mendongkol bukan main. Seumur hidupnya belum pernah ia berputus asa. Tetapi kedudukan pemuda itu jauh menguntungkan dari padanya. lagipula berkepandaian tak rendah. Maka ia harus mencari akal sebagus- bagusnya. Tetapi bagaimana, itulah soalnya. Ancaman pemuda itu agaknya tidak hanya suatu gertakan kosong belaka. Kalau benar- benar tidak membiarkan dirinya lolos, tentu kawan- kawannyapun akan kehausan dan kelaparan.
- Hem kaupun bakal kelaparan pula. Sebab sekali meninggalkan tempatmu, aku akan segera naik ke atas. ia mencoba menggertak pula.
Tilam tertawa. Sahutnya:
- Engkau memang manusia tak berotak. Pelayan yang melayanimu baik- baik, kau sakiti dan kau buat rugi. Tentu saja dia bersedia membawa makan dan minuman bagiku.
- Tetapi bagaimana dengan nona ini? ..
- Itu kan mudah diatur. Bagaimana cara mengatur- ku, masakan harus kuberitahukan kepadamu?
Mendengar jawaban Tilam, Samaratungga jadi pepat.
Sementara itu Montri mengerang kesakitan, karena perutnya terbanting telak ditambah pula kena injak kaki kudanya yang kaget berjingkrak. Tak mengherankan ia jadi kalap. Setengah memaki ia berteriak:
- Hai monyet! Kalau kau laki- laki tulen, hayo turun ke bawah! Mari kita bertempur!
Tilam tertawa geli. Sahutnya:
- Tidak! Kau terlalu gendut! Kalau kita bergebrak di bawah bisa membuat kaget kuda- kuda kalian. Kalau perutmu sampai kena sepak kaki kuda, bukankah bakal jadi berlubang? Saking mendongkolnya, Montri terdiam. Sebaliknya, diam- diam Samaratungga ingin menaklukkan Tilam dengan cara lain. Pikirnya di dalam Hati:
- Hm . . . dia bisa berbuat apa kalau aku bersikap acuh tak acuh. Tentunya dia akan berusaha menolong gadis ini. Coba aku ingin melihat, apa yang akan dilakukannya. Dan setelah berpikir demikian, ia menerkam nadi Tara. Lalu duduk di atas tanah sambil menunggu.
Ternyata Tilam tidak menampakkan diri di atas empang. Suasana menjadi sunyi. karena tiada seorangpun yang membuka mulutnya. Baik Samaratungga, Montri dan beberapa orangnya berdiam diri, walaupun hatinya berkebat- kebit.
Samaratungga diam- diam mencoba menduga-duga apa yang sedang dilakukan Tilam. Tetapi setelah lewat sekian lamanya. tetap saja tiada suatu gerakan apapun. Tetapi sunyi sepi seperti ditinggal pergi. selagi ia hendak bangkit dari duduknya, sekonyong- konyong terjadi sesuatu yang mengejutkan hatinya sampai ia terpaksa melompat ke samping. Sebab sebuah benda hitam jatuh berturut- turut di dalam lobang yang membuat jadi berdesakan. Ternyata yang jatuh ke dalam lobang adalah sisa anak buahnya
berjumlah delapan orang. Mereka jatuh dengan tak berkutik sama sekali.
Lobang bakal empang itu sebenarnya cukup lebar. Tetapi kini berdesak- desakan. Karena selain dipenuhi manusia, masih memberi tempat kepada tiga ekor kuda yang saling dorong mendorong. Dan pada saat itu, muncullah Tilam di atas mulut lobang sambil tertawa nakal. Ujarnya:
- Kalau lobang kujejali dua belas orang, bukankah engkau terpisah dari nona itu? Bila nona itu menggeser menjauhi, engkau bisa apa? Sebaliknya, kalau engkau tetap membandel . . . hm . . .coba lihat!
Samaratungga dan Montri tercekat hatinya Sebab kedua tangan Tilam mengangkat sebongkah batu sebesar tiga kali kepala manusia. Ancamnya pula:
- Aku akan menghitung sampai hitungan tiga. Jika engkau tidak mau menyerahkan nona itu, maka batu ini terpaksa kuhantamkan ke kepalamu. Aku ingin tahu, apakah engkau bisa mengelak.- Celaka!
Samaratungga mendongkol. Dia terdesak- desak oleh jumlah orang yang kini berjejalan memenuhi lobang. Satu- satunya jalan, hanya bisa bersembunyi di bawah perut kuda. Tetapi dengan begitu, terpaksalah Ia melepaskan pergelangan tangan Tara yang sudah di genggamnya. Terpaksalah ia berteriak:
- Tahan! Tahan dulu! Samaratungga yang selamanya dihormati kawan dan lawan, hampir- hampir tidak tahan mendengar ancaman Tilam. Dalam keadaan terpaksa mengaku kalah, masih saja ia memutar otaknya untuk mencari kesempatan membalas lawan. Ia berpura- pura hendak melontarkan Tara ke atas. Akan tetapi berbareng dengan gerakannya, ia melemparkan golok terbangnya yang biasanya tepat mengenai sasaran. Ia yakin bahwa kali ini Tilam tentu tertembus oleh goloknya. Sebab kedua tangannya sedang mengangkat batu. Andaikata mau melompat mundur tentu kurang kegesitannya. Akan tetapi yang terjadi justru terpaut jauh dari perkiraannya.
Tilam sama sekali tidak bergerak mundur atau berkisar tempat. Golok yang terbang dengan suara mendesing itu. ditangkap dengan mulutnya. Lalu disemburkan tak kurang kuatnya daripada lemparan tangan. Akibatnya yang jadi korban adalah si gendut Montri. Dengan memekik seperti seekor babi kena tusuk, ia roboh meringkuk di atas tanah yang jadi sempit oleh jumlah penghuninya.
- Samaratungga! - teriak Tilam dengan suara lantang.
- Kalau engkau masih berangan- angan ingin bertempur denganku dalam keadaan begini, pasti kalah. Kalau tidak percaya. coba keluarkan semua daya upayamu.
- Hm.
Samaratungga mendongkol sampai dadanya ingin saja meledak. lalu menyahut dengan suaranya yang ingat bingar:
- Kau benar- benar berani menimpukkan batu ini? Artinya, nona yang kau kehendaki akan mati tertindih. Dia akan menjadi gepeng seperti kerupuk kena bakar. Tilam mendengus. Ujarnya:
- Kau kira aku benar- benar menghendaki jiwa nona itu? Salah! Salah! Yang kukehendaki justru jiwa salah seorang bhayangkara istana bemama Samaratungga. Dialah yang akan menjadi gepeng semacam lempengan tanah liat.
Setelah berkata demikian. Tilam hendak membuktikan ancamannya. Ia mengangkat batunya tinggi- tinggi dan hendak ditimpukkan ke bawah. Tentu saja, Sumaratungga kaget setengah mati. Serunya gugup:
- Hai. hai! Jangan! Tunggu dulu! Baik . . . baik . . . ini kuserahkan nona yang kau kehendaki.
Samaratungga sebenarnya termasuk seorang bhayangkara yang berpengalaman. Kalau tidak mustahil terpilih menjadi salah seorang bhayangkara istana. Demikianlah setelah memperhatikan sikap Tilam, mulailah dia berpikir. Pemuda itu agaknya tidak niat hendak membunuhnya. Beda sekali dengan sikap seorang pendekar yang bermaksud menolong atau melindungi orang lemah.
Jangan- jangan dia hanya temasuk pemuda bangor yang hanya bermaksud hendak merebut perempuan cantik demi kesenangannya. pikirnya didalam hati.
- Biarlah aku berpura- pura mengalah. Kalau sudah berada di atas, apa sih susahnya membekuknya kembali. Memperoleh pikiran demikian, segera ia mengambil putusan. Dengan sekali sambar ia memeluk pinggang Tara dan dilemparkannya ke atas. Di luar dugaan, Tilam mengambil tindakan cepat luar biasa. Dengan mendorongkan sebelah tangannya. serangkum angin mengangkat tubuh Tara tinggi- tinggi dan terlempar menjauhi lubang empang.
- ih! dia berkepandaian juga! Samaratungga terperanjat. Lalu berteriak gemuruh:
- Hai pemuda bongor! Kau sudah mendapat bagianmu. Mau apa lagi sekarang?
Tilam mendongkol hatinya dituduh sebagai seorang pemuda yang gemar paras cantik. Mula- mula ia tercengang, karena dirinya sebenarnya seorang gadis cantik. Tetapi setelah menyadari bahwa dirinya kini berpakaian pria maka tuduhan itu dirasakan menghinanya. Terus saja ia membentak:
- Benarkah diriku seperti yang kau tuduhkan? Nah. lihatlah yang tegas!
Setelah berkata demikian tanpa menunggu jawaban.
Ia langsung terjun ke dalam lubang. Kedua tangan dan kakinya bekerja. Sebentar saja terdengar orang berkaok kaok kesakitan. Sebab masing- masing orang mendapat hadiah yang setimpal. Bahkan ada yang patah kaki dan tangannya. Keruan Samaratungga tercengang- cengang. Bentaknya:
- Hai! Apa yang kau lakukan ini?
Yang berada di dalam lobang empang, sebenarnya bukan manusia biasa. Mereka perajurit- perajurit pilihan yang pandai berkelahi. Akan tetapi mereka seperti kawanan ikan berjejalan dalam suatu tempat yang sempit. Masih pula ditambah dengan beberapa ekor kuda. Karena itu, mereka mati kutu. Sama sekali mereka tak dapat berbuat apapun, kecuali menerima saja hadiah bogem mentah dan tendangan Tilam.
Samaratungga yang merasa dirinya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak sudi diperlakukan demikian. Ia mendorong bawahannya yang mendesak dirinya, agar memperoleh bidang gerak. lalu mencoba menangkis pukulan Tilam. Sebaliknya Tilam seorang gadis yang cerdik.Pundak dan kepala orang- orang yang berdiri berjejal itu digunakan sebagai batu lompatan. Ia melompat ke sana ke mari dengan leluasa. Dengan demikian, dapatlah ia menyerang Samaratungga dengan pululan beruntun. Mau tak mau, Samaratungga terdesak di dinding dengan tak dapat berbuat banyak.
- Bocah! Siapakah engkau sebenarnya? ia membentak.
- Apa yang kau kehendaki dan mengapa memusuhi kami?
Tilam tidak sudi menjawab. Tangannya menghantam. Buru- buru, Samaratungga memalingkan kepalanya. Pukulan Tilam tidak mengenai sasaran dan menghantam dinding.
- Bres!
Samaratungga terperanjat, karena pukulan Tilam ternyata dapat melubangi dinding empang yang berbatu. Menyaksikan hal itu, hati Samaratungga berdebar. Seumpama hantaman Tilam tadi tepat mengenai sasarannya. sudah dapat dibayangkan betapa akibatnya.
Dengan memaksa diri ia mendesak tubuh anak- buahnya agar bisa beralih tempat. Tentu saja ia kalah cepat dibandingkan dengan Tilam yang dapat bergerak leluasa di atas pundak atau kepala delapan anak buahnya. Tahu tahu lengannya sudah kena hantam. Hebat akibatnya. Tiba- tiba saja tenaganya lenyap dan sama sekali tak dapat digerakkan. Selagi demikian, Tilam menarik lengannya dan dikedut ke atas. Tubuhnya terlempar tinggi dan jatuh ke luar lobang dengan menggabruk ke tanah. Pada saat itu pula, Tilam menyusul melompat ke atas sambil memanggil Tara:
- Adik! Binatang ini telah menghinamu. Sekarang akan kau balas bagaimana, terserah. ..
Tara tertegun. Untuk pertama kali ini', dia dipanggil adik oleh seorang pemuda yang belum pernah dikenalnya. Keruan saja, kedua pipinya bersemu merah dadu. Beberapa saat lamanya, ia tak dapat menentukan sendiri apa yang harus dilakukan. Dan pada saat itu. terdengar Samaratungga memaki kalang kabut. Bentaknya kemudian:
- Aku telah kau robohkan. Tetapi kalau kau bunuh, hatiku tidak puas. Hai binatang, sebenarnya siapakah engkau?
Tilam tahu, dampratan itu dialamatkan kepadanya. Ia tertawa pelahan sambil menjawab tenang:
- Baiklah akan kuperkenalkan siapa diriku sebelum engkau mati. Engkau adalah salah seorang bhayangkara raja yang berkeliaran sampai di wilayah ini. Tentunya ada tugas yang sangat penting. Bukankah engkau sedang
menyusul seorang tokoh mulia yang tiba di wilayah ini? Beliaulah duta negara Taruma Negara. - Lembu Seta?
Samaratungga terbelalak.
- Bagus! Engkau sudah mengaku atau mungkin kelepasan omong. Duta Taruma Negara itulah ayahku. - .
- Apa?
Samaratungga terperanjat. Tetapi mendadak saja menjadi beringas. Bentaknya:
- Oh. jadi engkau anak Lembu Seta? Kalau begitu. engkaupun termasuk orang yang dicari pemerintah. Pantas saja engkau mati- matian hendak menolong gadis ini. Ternyata kalian berdua setali tiga uang.
Gadis yang bernama Tara itupun terkejut tatkala Tilam menyatakan dirinya sebagai anak Duta Lembu Seta. Sekarang ia mau menerima, pemuda itu memanggilnya dengan adik. Selagi demikian, bertanyalah Tilam kepadanya:
- Adik. bagaimana pendapatmu? Kita berdua dikatakan setali tiga uang. Artinya kita berdua menjadi buruan pemerintah.
Tara tidak segera menjawab. Mendadak saja ia seperti kebingungan. Istilah dicari pemerintah terlalu berat baginya. Ayahnya, Pangeran Sanggarama Jayawardana. memang tidak menyetujui tindakan Raja Muda Dharmaputera merebut pemerintahan. Namun ayahnya tidak menentangnya dengan mengangkat senjata.
Masakan digolongkan dalam daftar hitam?
Tilam berkata lagi:
- Apapun alasan kita, dia sudah menentukan sikap permusuhan. Bagaimana kalau aku yang menghakiminya? - Apakah engkau hendak membunuhnya? Tara menegas dengan suara agak khawatir.
- Binatang ini harus kita bunuh. Sebab kalau tidak kita bunuh, dialah yang akan membunuh. Hanya sayang sekali di tempat ini tidak cocok untuk membunuhnya. Waktunyapun tidak tepat. Sebab, kita harus memikirkan pemilik halaman ini. Seluruh keluarga pemilik rumah makan itu bisa ditumpas habis oleh pemerintah. Meskipun demikian. dia harus kita beri tanda mata yang sepadan.
Setelah berkata demikian. Tilam menghunus pedang pendeknya yang terkenal tajam luar biasa. Setelah dibolah- balingkan di depan hidung Samaratungga, tiba- tiba menabas cepat sekali. Tahu- tahu Samaratungga sudah kehilangan sebelah telinganya.
Keruan saja Samaratungga menggerung kesakitan. Inilah penghinaan yang tiada tara baginya. Sebab semenjak itu tentunya dia akan mendapat julukan Samaratungga si kuping satu. itupun kalau jiwanya masih selamat.
Bagaimana kalau Tilam yang dianggapnya seorang pemuda ganas itu, tiba- tiba memenggal kepalanya?
Memikirkan kemungkinan itu, betapapun juga wajahnya berkeringat.
- Hai binatang tua! ujar Tilam.
- Engkau hanya kehilangan tenaga untuk sementara saja. Setelah itu, engkau bisa menyusul kepergianku. Dan ditempat itu barulah aku memenggal kepalamu.
Dengan leluasa Tilam memilih dua ekor kuda yang masih segar kuat dan tangkas. Sambil mengangsurkan kendali. berkatalah ia kepada Tara:
- Adik. mari kita berangkat!
Tara berbimbang- bimbang sejenak. Tetapi kemudian ia menerima angsuran kendali Tilam. lalu melompat ke atas pelana. Meskipun demikian, wajahnya nampak belum dapat mengambil keputusan yang tepat. Melihat hal itu Tilam bertanya:
- Adik. sebenarnya engkau hendak ke mana sementara, dapatlah aku mengantarkan. Tetapi selanjutnya, aku harus berpisah karena aku mempunyai masalah sendiri
Masih saja Tara tidak menjawab. Pelahan- lahan ia mengedut tali kudanya. lalu membiarkan kudanya berjalan berendeng dengan kuda Tilam. Dengan pandang penuh pertanyaan, ia mengamati wajah Tilam. betapapun juga. Tilam sesungguhnya pemuda gadungan. Kena pandangan seorang gadis sesama jenis, ia jadi risih sendiri. Tak terasa ia menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian menegakkan kepalanya, lalu berkata dengan suara tegas:
- Adik, kita baru saja berkenalan. Sebenarnya tidak pantas aku minta keterangan kemana tujuanmu. Karena masing- masing mempunyai tujuan, biarlah sampai di sini saja kita berkumpul. Selamat jalan dan sampai bertemu lagi . . .
Keputusan Tilam yang tiba- tiba itu menghentakkan rasa sadar Tara. Sekonyong- konyong ia berseru:
- Kakak! . . . Ingin aku mendapat keterangan sedikit darimu.
Tilam menahan kudanya. Di dalam hati ia tertawa geli karena dipanggil kakak. Meskipun demikian ia menyahut:
- Kau mau minta keterangan apa dariku? - .
- Apakah engkau pernah mendengar seorang bhiksuni bernama Sekar Tanjung dan seorang pendekar bernama Mojang Yudapati?
Mendengar pertanyaan itu, Tilam terperanjat. Pikirnya,
mengapa gadis itu menyebut kedua nama yang selama ini melekat pula dalam ingatannya?
- Adik. marilah kita jalan selintasan lagi! Kita nanti membicarakan bunyi pertanyaanmu itu.
Kedua orang itu kemudian melarikan kudanya menuju utara. Sepanjang jalan tiada sesuatu yang menarik perhatian. Hanya kesannya terlalu sunyi dan terlalu lengang. Selama itu Tilam sibuk dengan pikirannya sendiri.
Apa hubungannya gadis ini dengan bhiksuni Sekar Tanjung?
Mau ia menduga, bahwa Sekar Tanjung mungkin salah seorang saudaranya karena wajah dan lagak- lagunya hampir mirip. Tetapi dugaan demikian, kurang tepat. Sebab dalam dunia ini banyak terjadi dua orang yang sama rupa dan sama pula lagak- lagunya tetapi sama sekali tidak mempunyai pertalian saudara.
Lebih mengherankan lagi, dari mana gadis ini mengenal nama Mojang Yudapati?'.
Terdorong oleh teka- teki yang mengusik hatinya itu. bertanyalah dia hati- hati untuk memperoleh kepastian.
- Adik, apakah engkau benar- benar puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana? Maafkan, bila pertanyaanku ini menyinggung hatimu.
Tara melemparkan pandang kepada Tilam. Teringat bahwa Tilam tadi menyatakan diri sebagai putera Duta Lembu Seta, dengan senang hati ia menjawab:
- Benar. Nama lengkapku Tara Jayawardani. Mengapa?
- Barangkali . . . akupun memerlukan penjelasan seperti ucapan binatang- binatang tadi. ujar Tilam dengan tertawa.
- Apa sebab adik sampai berada di luar istana?
Wajah Tara tiba- tiba nampak muram. Sahutnya:
- Kau jawablah dahulu pertanyaanku. Benarkah engkau putera Duta lembu Seta? Menurut keterangan ayah, Duta lembu Seta hanya membawa puterinya kemari. Apakah kakak salah seorang puteranya yang datang kemari untuk mencari beliau? Tilam tertawa lagi. Terhadap seorang gadis yang berhati polos itu. tidak sampai hati ia menyembunyikan dirinya. Menjawab:
- Adik! Apakah engkau mengira aku seorang pria?
Kata- kata Tilam itu membuat Tara terbelalak. Dengan pandang berteka- teki ia berkata:
- Apakah maksudmu?
- Adik. akupun seperti dirimu. Namaku Tilam.
Tara tercengang sampai mulutnya terbuka. Sementara itu, Tilam membuka penutup kepalanya sebentar, lalu ditatanya kembali seperti semula. Sekarang, Tara percaya benar kepada keterangannya. Rasa kikuknya lantas saja sirna.
- Ah! Kalau begitu, aku akan memanggilmu dengan
ayunda. .
- Untuk sementara, tak usah. Anggap saja diriku seperti penglihatan orang lain. Untukmu sendiri, asal tahu saja. Dalam perjalanan ini perlu aku mengenakan pakaian pria agar tidak menimbulkan perhatian orang. Tara menghela nafas. Katanya seperti menyesali diri sendiri:
- Ya, mengapa aku tak pernah berpikir bagitu? Andaikata ayunda tidak mengulurkan tangan, bukankah aku . . .
- Tidak! Untukmu, barangkali lebih baik tidak menyamar saja. Negara dalam keadaan kacau balau. Bila adik mempunyai sedikit kepandaian. bahkan akan banyak menghadapi halangan. lebih baik, bila perlu mengenakan pakaian bhiksuni.
- Bhiksuni?
- Ya benar!
- Tetapi darimana kuperoleh pakaian bhiarawati demikian?
- Ya. pikir Tilam di dalam hati.
- Hal itu merupakan masalah juga, karena Tara rupanya tidak membawa uang cukup. Katanya memutuskan:
- Biarlah hal itu kita pecahkan pelahan- lahan. Sekarang ingin aku memperoleh keterangan apa sebab adik menyebut- nyebut nama bhiksuni Sekar Tanjung dan Mojang Yudapati? - Apakah engkau kenal mereka berdua?
- Pernah aku mengenal bhiksuni Sekar Tanjung sepintas lalu. Sebaliknya, Mojang Yudapati pernah menjadi teman seperjalanan.
- Betul? - seru Tara setengah bersorak. Dan pandang matanya jadi bener- seri.
- Kalau begitu, tidak sia- sia perjalananku. Sebenarnya kepergianku tidak atas sepengetahuan ayah. Hanya terdorong oleh rasa wajib hendak membantu ayah bebas dari ancaman raja. - Raja yang mana?
- Raja yang memerintah sekarang. jawab Tara. Melanjutkan:
- Ayah sempat ditawan raja sekarang meskipun hanya merupakan tahanan rumah. Pada suatu malam, aku mendengar ayah berbicara dengan ibu. Ayah berkata, bawa raja sekarang memaksa ayah untuk dapat menemukan lambang Dapunta Hyang. Ayah merupakan seorang kepercayaan Sri Baginda Dharmajaya yang ditawan entah di mana. Dari Sri Baginda, ayah diberitahu bahwa lambang Dapunta Hyang berada di tangan ayahmu. Ayahmu dimasukkan pemerintah sekarang di dalam penjara Lamuri. Kemudian terbetik suatu berita bahwa penjara lamuri dibongkar seorang pendekar bernama Mojang. Selanjutnya ayahmu dibebaskan dari penjara. Namun lambang Dapunta Hyang tiada padanya. Ayah menduga bahwa lambang Dapunta Hyang mungkin berada di tangan pendekar Mojang. Ayah memutuskan tidak menghiraukan ancaman raja. Kepada ibu. ayah berkata lebih baik mati daripada berkhianat kepada leluhur. Pada saat itu. timbullah pikiranku hendak mencari pendekar Mojang. Karena
kudengar ayahmu dalam perjalanan pulang. tentunya akan memasuki wilayah selatan. Aku terus menyusul dengan harapan memohon belas kasih ayahmu agar berkenan menyerahkan lambang Dapunta Hyang kepadaku. Di tengah jalan aku berpapasan dengan rombongan bhiksuni yang membicarakan peristiwa pertemuan bhiksuni Sekar Tanjung dengan pendekar Mojang Yudapati. Aku hanya percaya saja, bahwa tentunya pendekar Mojang ikut mengawal ayahmu. Maka dengan untung- untungan, aku menyusul sampai di sini. Karena tidak membekal uang banyak, terpaksalah aku . . .
- Nih, terimalah kembali kondemu yang kau berikan kepadaku. - potong Tilam dengan tersenyum.
Wajah Tara merah dadu karena merasa malu. Tetapi Tilam terus memaksanya, sehingga ia terpaksa pula menerimanya. Tilam berkesan baik terhadap Tara. Mungkin apa yang dikatakannya dapat dipercaya. Namun sebagai orang yang berpengalaman dan berpenglihatan jauh, ia bersikap hati- hati. Sebab kalimat- kalimat Tara masih banyak yang harus dipertanyakan. Ia harus mengujinya dahulu sampai memperoleh keputusan untuk menentukan sikap. '
- Lambang Dapunta Hyang, kini berada di tanganku. Tetapi peristiwa Mojang membongkar penjara, benarkah sudah diketahui pihak pemerintah dengan jelas? pikirnya di dalam hati.
Memang, menilik Boma Printa Narayana dahulu selalu menguntitnya, agaknya bukan mustahil pula.
Sebaliknya apa sebab nama Kadung tidak disebut sebut?
Bila nama Mojang diketahui, tentunya nama Kadung tidak luput dari pengamatan pula. Apakah karena dia belum sempat menceritakan kegiatan Kadung dan gerombolan Tandun Raja Koneng yang terang- terangan menentang pemerintah?
Biarlah hal ini kuselidiki dahulu dengan pelahan- lahan .
Dengan pikiran itu, ia mencoba bertanya:
- Adik. nama Mojang dan Sekar Tanjung sudah kau ketahui. Bagaimana tentang teman Mojang yang ikut pula membongkar penjara lamuri?


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Ayah tidak menyebut nama lain. kecuali Tandun dan teman- temannya yang kini membuat gerakan menentang raja. Kabarnya, di antara mereka terdapat salah seorang teman Mojang. Kabar itu entah benar atau tidak. Menurut ayah, panglima Boma pernah membuat laporan di kotaraja.
Tak terasa. Tilam mengangguk membenarkan. Lalu mengalihkan pembicaraan:
- Adik, setiap kali engkau menyebut nama Mojang dan Sekar Tanjung, apa sebab wajahmu jadi murung?
Memperoleh pertanyaan itu, di luar dugaan setitik air mata membasahi pipi Tara. Sahutnya dengan suara tak jelas :
- Karena . . . hidup dan matinya seluruh keluargaku, tergantung kepada mereka berdua.
- Mereka berdua?
Tilam menegas heran.
- Maksudku, bila aku dapat bertemu dengan bhiksuni Sekar Tanjung, tentunya aku akan tahu di mana pendekar Mojang Yudapati berada. Bila pendekar itu sudah terlanjur menyeberang pulang ke negerinya, maka . . .
Tara tidak menyelesaikan kata- katanya. Air matanya nampak membanjir. Dan Tilam jadi perasa. Teringatlah dia akan tutur- kata ayahnya, bahwa demi lambang Dapunta Hyang, raja ibarat berani mengorbankan separuh wilayahnya. Maka ancaman terhadap keluarga Pangeran Sanggrama Jayawardana bukanlah ancaman kosong belaka. Apalagi Sri Baginda Raja Dharmajaya ternyata sudah mengisiki Pangeran Sanggrama Jayawardana di mana lambang itu
berada. Meskipun demikian masih ia mencari keyakinan:
- Adik bermaksud hendak mencari pendekar Mojang Yudapati yang pada saat ini mungkin sudah berada ditepi pantai selat Sunda. Apa sebab adik justru mengarah ke Utara? Tara menyusut air matanya. Dengan pandang tajam, ia menatap wajah Tilam. Ujarnya :
- Karena . . .karena engkau menyatakan diri sebagai puteri Duta Lembu Seta dan mengaku teman pendekar Mojang Yudapati, maka aku mengharapkan bimbinganmu. Apakah salah? Kalau begitu . . .
Belum lagi menyelesaikan kata- katanya, Tara mencambuk kudanya dan mengaburkannya ke arah timur laut.
Tilam mengikuti dengan pandang matanya. Keputusan Tara untuk pergi begitu saja dengan tiba- tiba itu, mengherankan hatinya. Beberapa saat lamanya ia terhenyak di atas pelana kudanya. Kemudian mengejarnya dengan berseru:
( BERSAMBUNG JILID 4 )
******
HERMAN PRATIKTO
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
Jilid 4
penerbit
"Melati"
Jakarta
Kupersembahkan :
Untuk :
- Hidupku
- kebebasanku
- dunia baru
- ayah bunda
- anak istri
- dan siapa yang mau kusebut keluargaku.
Judul : Jalan Simpang di atas Bukit
Gambar kulit : ARIE
Gambar isi : ARIE
Cetakan : Ke I September 1983
Penerbit : Melati Jakarta.
Hak cipta dilindungi Undang- Undang.
*****
Buku Koleksi : Gunawan Aj
Juru Potret : Awie Dermawan
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(Team Kolektor E- Book)
*******
JALAN SIMPANG DIATAS BUKIT
4 - Adik, adik! Tunggu dahulu! Aku belum berbicara
Tara seorang gadis yang belum mempunyai pengalaman hidup bertualang. Modalnya hanya kepolosan hati. Akan tetapi sebagai anak seorang pangeran, kata- katanya biasa didengar orang. Sekarang ia merasa diabaikan, malahan merasa sedang diselidiki. Sudah barang tentu, kehormatan dirinya tersinggung. Karena budi- pekertinya halus, maka ia memiliki cara sendiri untuk menyatakan keadaan hatinya. Ia jadi ngambek. Kudanya makin dikaburkan sejadi- jadinya.
- Adik, adik! Dengarkan dahulu kata- kataku! Bukankah engkau hendak mencari pendekar Mojang Yudapati'! - sem Tilam.
Sebenarnya, Tara sudah mengayunkan cambuknya hendak mempercepat lari kudanya. Tetapi mendengar Tilam menyinggung nama Mojang Yudapati, ia berbimbang bimbang. Tak terasa ia mengekang kendali kudanya. Dengan
demikian Tilam dapat menyusulnya dan menjajarinya.
- Adik. mengapa engkau marah padaku?
Tilam mulai berbicara.
- Bukankah wajar bila aku minta keterangan padamu apa sebab mengarah ke utara, padahal sebenarnya harus ke selatan? Sekarang, jelaslah sudah apa sebabnya. Engkau mengharapkan petunjukku. Sebenarnya aku sendiri juga sedang mencari dia.
Keterangan itu mengecewakan hati Tara. Menurut jalan pikirannya, bila Tilam tidak mengetahui pula di mana Mojang Yudapati berada, mengapa dia harus mengikutinya. Karena itu, ia membedalkan kudanya kembali. Kali ini makin lama makin cepat.
- Hai, adik! Aku belum selesai berbicara. teriak Tilam, sambil mengejar.
Tara sebenarnya sudah kehilangan tujuan. Ia mencambuk kudanya hanya menuruti kata hatinya. Mendengar kata- kata Tilam, ia merasa dirinya tidak pantas berbuat demikian.
Bukankah Tilam seorang gadis?
lagipula tiada maksud jahat kepadanya. Dengan pertimbangan itu, ia menahan kendalinya. Di luar dugaan, kudanya tidak sudi lagi patuh padanya. Barangkali karena sering dicambuk dengan tiba- tiba, sekarang binatang itupun ngambek pula. Dia lari menubras- nubras sejadi- jadinya. Tidak lagi mengarah ke timur laut. Tetapi berbalik menuju ke selatan dan akhirnya menerjang belukar hendak menembus hutan.
Rupanya, Tara belum mempunyai pengalaman mengendalikan kuda. Apalagi menghadapi kuda yang sedang ngadat. Ia mencoba menarik kendalinya sekuat- kuatnya. Tetapi kuda itu jadi kehilangan arah. Ia berjingkrakan dan lari berputaran. Tahu- tahu di hadapannya menghadang sebatang pohon besar. Kalau sampai menubruk betapa akibatnya sudah dapat dibayangkan. Ia akan terpental atau terhantam batang lehernya.
Dengan mati- matian ia menahan kendalinya. Kudanya berontak. Akibatnya. kendali putus dan kuda itu membedal sejadi- jadinya. Bukan main takutnya. sampai wajahnya pucat. Sebaliknya karena tiada terkendali lagi, arah larinya makin mendekati petak hutan.
Tilam mengetahui kesukaran yang sedang dihadapi Tara. Dengan perasaan cemas. segera ia mengejar. Kira kira- kira berjarak sepuluh meter ia berteriak nyaring:
- Pegang surainya dan tiarap!
Maksudnya, seumpama kuda menerjang hutan. Tara akan terlindung oleh leher kuda itu sendiri. Setelah itu ia menghunus pedang pendeknya dan diayunkannya. Pedang pendeknya terbang bagaikan kilat dan menancap pada kempolannya.
Binatang itu berjingkrak oleh rasa sakit dan kaget. Lalu roboh dengan meringkik hebat. Tara terlempar dan jatuh nyaris terjengkang kalau saja lengannya tidak disambar Tilam. Beberapa puluh meter di depannya, Tilam menurunkannya di atas tanah dengan pelahan lahan.
- Bagaimana? Tidak apa- apa, bukan?
Tara menyusut keringatnya sambil menenteramkan hatinya. Kemudian memanggut sambil menyahut dengan suara pelahan:
- Tidak. Terima kasih. '
Tilam melompat turun ke tanah dan menghampiri Tara. Sekitarnya sunyi sepi. Alam raya hanya berisikan rumput liar dan semak belukar. Angin yang datang dan pergi membuaikan rambut Tara yang jadi terurai kacau. Sambil menata rambutnya kembali. berkatalah Tara:
- Kau hendak berkata apa lagi? Tilam tersenyum manis. Sebagai puteri seorang nayaka, ia kenal adat- istiadat kalangan istana. Karena itu dengan suara halus pula. ia menyahut:
- Sebenarnya panjang ceritanya. Sebab nasib keluargamu tidak berbeda jauh dengan keluargaku. Engkau masih beruntung, karena mempunyai ayahbunda. Sebaliknya aku tidak.
- Hai! Apakah engkau tidak beribu lagi?
Tara menaruh perhatian.
Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir Be My Sweet Darling Karya Queen Soraya Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking

Cari Blog Ini