Ceritasilat Novel Online

Jalan Simpang Diatas Bukit 8

Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto Bagian 8


- Tidak hanya tidak beribu lagi. tetapi . . . - sampai disini kelopak mata Tilam jadi basah.
- Hei, mengapa? Bukankah ayahmu . . .
- Ayah belum berhasil meninggalkan pulau Suwarnadwipa. Ayah terpaksa wafat disini.
- Apa? - .
Tara terbelalak dan wajahnya berubah memucat.
- Jadi...jadi...Tilam menundukkan kepalanya. Tara jadi perasa. Sekarang dialah yang datang menghampiri dengan sikapnya yang lemah lembut. Katanya:
- Ayunda, maafkan aku. Kukira di dunia ini hanya keluargaku yang dirundung malang. Ternyata engkau . . . Sekarang engkau hendak kemana?
Tilam tidak segera menjawab. Ia perlu menenteramkan hatinya dahulu. Setelah menyusut airmatanya, berkatalah ia:
- Apakah aku menjawab dengan terus terang? - Apakah ayunda belum percaya pula kepadaku?
Tilam menatap wajahnya. Sejenak ia menyenak nafas. Lalu berkata:
- Baiklah. aku akan berkata terus terang kepadamu. Aku benci terhadap semua yang berbau kerajaan. Bhayangkara istana adalah musuh- musuhku. Karena itu, aku akan mendaki Gunung Sibahubahu.
- Hai!
Tara terperanjat.
- Apakah engkau hendak menjadi pemberontak? - Boleh kau katakan begitu. Tetapi tujuanku hendak
membawa seorang teman pulang kampung. Sebab tak ada faedahnya lagi berada di Sriwijaya. - .
Tara tidak berani menegas siapa yang disebut sebagai temannya itu. Bila seorang gadis sampai berani menempuh bahaya tentunya yang disebut sebagai teman itu bukan teman biasa.
- Kalau begitu. disini kita berpisah. - ia memutuskan.
- Mengapa berpisah? Kurasa belum waktunya.
- Belum waktunya?
Tara heran.
- Bukankah engkau hendak mencari Mojang Yudapati'? Akupun ingin bertemu dahulu dengannya. Setelah itu baru mendaki Gunung Sibahubahu.
- Apakah engkau hendak mengajaknya kesana juga?
Tara kelihatan khawatir.
- Kalau mungkin. Kalau tidak, akan kubunuh.
Mendengar ucapan Tilam. Tara terperanjat sampai setengah melompat. Kata- kata demikian. sama sekali tidak terduga sama sekali. Ujarnya tak mengerti:
- Engkau tadi berkata bahwa pendekar Mojang Yudapati adalah teman seperjalananmu. Dia pulalah yang membongkar penjara lamuri dengan maksud hendak menolong ayahmu. Mengapa kini hendak kau bunuh? - Sebab dia gagal melakukan tugas sampai membiarkan bhayangkara istana mengejar ayah.. jawab Tilam sederhana.
- Karena itu. kuharap engkau berada di luar garis, apabila aku sedang bertempur melawan dia. Hai adik. bagaimana menurut pendapatmu? Apakah kepandaian pendekar Mojang Yudapati berada di atas kepandaianku?
- Bagaimana aku tahu? Belum pernah aku bertatap muka dengannya. Apalagi menyaksikan kepandaiannya. Tilam tersenyum. Tiba- tiba dengan suatu gerakan kilat.Ia melesat mencabut pedang pendeknya yang menancap di kempolan kuda Tara yang kini sudah tak berkutik lagi. Kemudian melesat tinggi di udara dan dengan gerakan yang manis ia mendarat ke tanah setelah berputar tiga kali.
Selama hidupnya belum pernah Tara menyaksikan seseorang yang dapat bergerak demikian gesit, tangkas cekatan. Apalagi dilakukan oleh seorang puteri seperti Tilam. Lebih hebat lagi, tiba- tiba terdengar suara gemuruh terpangkasnya beberapa batang pohon sebesar tiga lengan manusia. Ia terbelalak kagum dengan mulut ternganga- nganga.
- Bagaimana? Tilam menegas dengan bersenyum.
Tara menutup mulutnya. Lalu menyahut dengan pelahan sekali:
- Mimpipun belum pernah aku melihat seseorang dapat berbuat begitu. Apakah pendekar Mojang Yudapati berkepandaian lebih tinggi daripadamu? Pantas dia berani membongkar penjara lamuri.
Sekarang ganti Tilam yang susah menjawab. Sebenarnya, semenjak mendengar cerita Sekar Tanjung, belum pernah ia menyaksikan kemajuannya Yudapati. Ia hanya berharap, Tara akan patuh padanya setelah ia mempamerkan kepandaiannya. Mengapa demikian, hanya dia sendiri yang tanu. Katanya sambil memasukkan pedang pendeknya ke dalam sarungnya:
- Adik, di dunia ini banyak orang pandai melebihi diriku. Taruh kata engkau berhasil memperoleh benda mustika kerajaan itu, bagaimana caramu mempertahankan diri bila seorang berkepandaian tinggi menghendakinya?
Pertanyaan Tilam mengejutkan dan menyadarkan hati Tara. Selama itu belum pernah ia berpikir demikian. Pikirannya jadi pepat. Tak tahu ia, bagaimana harus menjawabnya.
- Karena itu, maukah adik mendengarkan saranku?
Tilam berkata lagi.
- Sekiranya harus demikian, mengapa aku tidak mendengarkan kata- katamu? jawab Tara dengan wajah bersungguh sungguh.
- Kita berdua akan mencari pendekar Mojang Yudapati, bukan? Andaikata aku dapat dikalahkan, selanjutnya mintalah padanya melindungi benda mustika itu sampai berada ditangan orang yang berhak menerimanya.
- Bagus! seru Tara gembira.
- Kau maksudkan sampai berada ditangan ayah? - Belum tentu. - Mengapa belum tentu?
- Ada pepatah bahasa yang berbunyi begini. Bila negara dalam keadaan kacau balau, seringkali bermunculan siluman- siluman yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan. tahukah adik makna peribahasa itu?
Tara ternyata seorang gadis cerdas dan mudah diajak berpikir menghadapi kenyataan. Ia memanggut mau mengerti. Bertanya:
- Apakah ayunda benar- benar hendak membunuh pendekar Mojang Yudapati?
- Itulah yang kuharapkan. Mengapa? - Tentunya benda mustika itu berada ditanganmu. Selanjutnya. apakah ayunda bersedia melindungi benda mustika itu sampai...sampai...
Belum lagi Tilam sempat menjawab. sekonyong- konyong terdengar suara beradunya senjata tajam. Jelas sekali, itulah suara pertempuran yang ramai dan seru. Tilam dan Tara saling pandang. Seperti berjanji pula. mereka beralih kepada kuda Tara yang tidak sanggup berdiri lagi.
- Adik, apakah engkau tertarik suara pertempuran it"? ujar Tilam.
- Apakah aku tidak boleh melihat?
Tara minta pertimbangan.
Dengan berdiam diri, Tilam menuntun kudanya dan diserahkan kepada Tara. Katanya:
- Kau naiklah!
Tara melompat ke atas pelana kuda. Mengajak:
- Sekarang, naiklah ayunda di belakangku!
- Biarlah aku mengikutimu dari belakang. Rasanya, lebih leluasa aku berjalan kaki daripada naik kuda. Tara tidak memaksanya. Ia percaya alasan Tilam. Sebentar tadi. Ia menyaksikan dengan kepala matanya sendiri, betapa tangkas dan cekatan gerakan Tilam. Maka dengan tersenyum lebar ia mengedut kendali kudanya, dan membiarkannya lari berderap.
Karena lari binatang itu tidak terlalu cepat, Tilam dapat mengikutinya dengan santai pula. Mereka menerjang petak hutan dan tiba pada tanah lapang berbukit. Dengan cepat mereka mendaki ketinggian itu dan dari sana suara beradunya senjata kian terdengar tegas dan nyaring.
Di atas ketinggian semacam bukit tandus, Tara menghentikan kudanya. Karena ia berada di atas punggung kuda, maka penglihatannya dapat menjangkau apa yang terjadi di seberang bukit dengan jelas. Dilihatnya seorang pemuda berberewok tipis bersenjata pedang panjang dikerubut beramai- ramai oleh belasan orang berseragam taruna.
- lihat! ia menuding.
Tilam sudah berada di sampingnya dan mengawaskan pertempuran itu. Samar- samar ia melihat Samaratungga berada di antara mereka yang sedang mengeroyok seorang pemuda berberewok tipis. Menyaksikan hal itu, hatinya nanas.katanya:
- Adik! Bukankah binatang yang mengempitmu tadi berada di antara mereka?
- Benar. mereka main keroyok. sahut Tara.
Entah apa alasannya sekonyong- konyong mengaburkan kudanya seolah- olah seorang pahlawan berkepandaian tinggi datang untuk membantu pemuda itu.
- Hai. tunggu! - seru Tilam sambil melompat menyambar tangannya.
Kemudian dengan pelahan- lahan ia menurunkannya di atas tanah sambil berkata menasehati:
- Nampaknya engkau kenal pemuda itu. Apakah engkau bermaksud hendak menolongnya? Lebih baik, kita amat- amati dahulu siapa dia dan apa alasan para bhayangkara istana itu mengeroyoknya. Kalau perlu,nanti barulah kita turun tangan. Tara sadar akan kesemberonoannya. Sekarang barulah ia merasa bahwa dirinya bergerak semata- mata menuruti kata hatinya. Padahal bhayangkara istana yang sedang mengeroyok pemuda itu berjumlah lebih dari tiga buluh orang.
Tilam tertawa pelahan. Sahutnya:
- Hatimu sesungguhnya baik, adik. Akan tetapi bagaimana caramu menolong pemuda itu?
Tara terdiam. Tak dapat ia menjawab pertanyaan Tilam. Tiba- tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Ujarnya lagi:
- Ayunda berkepandaian tinggi. Mengapa tidak berkenan menolongnya?
- Karena aku kenal pemuda itu lagipula, dia belum kalah. lihat! - sahut Tilam.
Tara menajamkan matanya. Pemuda yang terkepung pasukan bhayangkara istana, mengenakan pakaian seragam pula. Hanya saja bukan seragam perajurit Sriwijaya. Dia nampak gagah berwibawa dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Meskipun terkepung rapat namun masih dapat dia bergerak dengan leluasa. Setiap kali pedangnya bergerak, dua atau tiga orang roboh dengan mengerang kesakitan.
- Mungkinkah dia? Tara menebak- nebak dalam hati. Entah apa sebabnya. jantungnya berdebaran lembut. Pelahan- lahan ia melangkahkan kakinya menjajari Tilam yang berjalan mendekati gelanggang pertempuran.
Pemuda yang dikeroyok pasukan bhayangkara itu makin lama makin leluasa gerak pedangnya. Ia seperti tidak menghiraukan serangan lawan- lawannya. Seorang yang berwajah merah yang rupanya menjadi pemimpin pasukan bhayangkara mencoba memberi aba- aba agar mengepung lebih rapat. Namun usaha mereka sia- sia belaka. Setiap'kali merangsak, pada saat itu pula terdesak mundur kocar- kacir. Mulut mereka tiada henti-hentinya berteriak atau membentak- bentak dengan maksud menggertak pemuda itu:
- Hai mundur! bentak orang berwajah merah itu dengan suara bagaikan guntur.
- Kalian hanya sekumpulan kantong- kantong nasi yang tak ada gunanya hidup berkepanjangan. Masakan untuk menangkap seorang anak kemarin sore saja, tidak mampu? Nih lihat yang jelas! Kalau aku tak dapat menangkap dia hidup-hidup, jangan panggil lagi aku Hanuraga pahlawan ke tujuh negeri Sriwijaya.
Setelah berkata demikian, dengan sebilah goloknya ia menyibakkan belasan anak- buahnya yang mengepung pemuda itu. Kemudian dengan membentak gemuruh, ia menyabetkan goloknya. Tetapi pemuda itu hanya tertawa saja. ia mengelak ke samping dengan gerakan yang manis sekali sambil menusukkan pedangnya ke lengan Hanuman.
- Hoeit!
Hanuraga terkejut. Serangan balasan yang mengarah tempat yang tak terjaga itu. benar benar berada di luar perhitungannya. Buru- buru ia menarik goloknya. Gerakannya sebat luar biasa, akan tetapi gerakan pedang pemuda itu lebih sebat lagi. Tahu- tahu lengannya tertikam.
- Monyet! maki Hanuraga.
Meskipun terasa sakit namun tak sudi ia mengerang. Dengan tangkas ia memindahkan goloknya ke tangan kirinya. Lalu menerjang bagaikan angin puyuh. Serunya memberi semangat anak- buahnya:
- Hai, dengarkan semua! Kalau sampai gagal menangkap bocah ini hidup atau mati, betapa mungkin kita berani bertatap muka dengan Panglima Boma Printa Narayana?
Setelah berseru demikian, ia memberi contoh bagaimana caranya merangsak musuh. Semangat tempur anak buahnya terbangun kembali. Dengan serentak mereka menghujani pemuda itu dengan pedang. tombak dan goloknya. Meskipun demikian, pemuda itu sama sekali tidak gentar. Bahkan sambil menggebah senjata- senjata pengeroyoknya, masih dapat ia berkata nyaring:
- Kau menyebut Boma? Di mana dia sekarang? Suruhlah dia datang dan aku akan membebaskan kalian. Tara yang belum pernah menyaksikan pertempuran yang mengancam mati dan hidupnya seseorang,berdebardebar hatinya. Ia mencemaskan keadaan pemuda itu. Terus saja ia menoleh kepada Tilam. Tetapi Tilam semenjak tadi hanya melihat saja. Sama sekali tiada tanda- tandanya hendak turun tangan untuk membantu.
Tetapi Tilam sendiri sebenarnya disibukkan oleh rasa herannya. Ia kenal siapa pemuda berberewok tipis itu. Dialah Mojang Yudapati yang kini jauh bedanya dengan Mojang Yudapati yang pernah dikenalnya. Kecuali kepandaiannya sudah maju, peribadinya lain pula. Padahal baru berpisah selama lebih kurang dua bulan saja.
Sementara itu pertempuran kian jadi berisik. Hanuraga nampak begitu mendongkol sampai tidak dapat membuka mulutnya. Dengan seluruh kepandaiannya ia mencoba merangsak yang diikuti pula oleh sekalian anak buahnya.
Mojang Yudapati kemudian berkata:
- Jadi kamu tidak mau memberitahukan di mana dia berada? Kalau begitu, kalian tidak bakal lolos dari pedang Setelah berkata demikian,gerakan pedang Mojang Yudapati jadi berubah. Ia bergerak seperti orang kalap. Tetapi pedangnya berkelebatan bagaikan kilat menyambar- nyambar. Sebentar ke barat,sebentar pula ke timur. Beberapa kali ia melancarkan serangan tipu- muslihat yang aneh. Hanya sebentar saja, Sekalian yang mengepungnya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Senjata mereka rusak. Ada yang terkutung sebagian, bahkan ada pula yang terpental tinggi di udara dan jatuh bergemelontangan di atas tanah. Dan pada saat itu juga, mereka terluka yang cukup mengalirkan darah. Untung, rupanya Mojang Yudapati tidak berniat membunuh mereka. Sekiranya pedangnya ditusukkan atau ditikamkan agak kuat sedikit, tentu saja akan lain akibatnya.
- Bagaimana? Kalian masih membungkam juga? gertak Mojang Yudapati.
Samaratungga yang beradat kasar dan memiliki suara hingar- bingar mendongkol bukan main. Dengan ruyungnya berukuran pendek, ia menggempur sambil berseru:
- Semua tujuh pahlawan maju berbareng! Kalau tidak, nama dua puluh satu bhayangkara istana akan jatuh.
Kedua puluh satu bhayangkara istana pimpinan Boma Printa Narayana, memang memiliki keistimewaannya masing-masing. Hanunga adalah jago nomor tujuh dan Samaratungga paling buncit. Walaupun demikian,dengan sekali sambar dapatlah ia menawan Tara sehingga cukup merepotkan Tilam. Maka sudah dapat diukur betapa tinggi ilmu kepandaian jago- jago di atasnya.
Hanuraga menyambut anjuran Samaratungga. Meskipun sudah terluka, namun dengan tangan kirinya masih dapat ia menyerang dengan dahsyat. Goloknya yang tajam mengkilat mengiringi ruyung Samaratungga yang menggempur Mojang Yudapati beruntun. Hanya saja, sasaran goloknya mengarah ke atas.
Mojang Yudapati sudah mempunyai pengalaman bertempur melawan Palata ahli golok yang tidak kalah hebatnya bila dibandingkan dengan ilmu golok Hanuraga. Sekiranya dia berniat mau membunuh Hanuraga sebenarnya bukan merupakan masalah yang sulit. Tetapi tugas yang harus dilaksanakan, hanya untuk menghambat orang orang istana yang bermaksud mengejar perjalanan Duta lembu Seta. Karena itu. berpikirlah ia di dalam hati:
- Biar kutaklukkan dahulu Hanuraga ini. Setelah itu baru Samaratungga. Dengan begitu, aku akan dapat menggebah mereka agar meninggalkan wilayah ini.
Teringatlah dia kepada ilmu golok yang terpahat di dinding goa. Terus saja ia mengincar tempat yang tidak terjaga. Dengan tangan kirinya ia menyerang lengan Hanuraga dan dengan pedangnya ia memukul ruyung Samaratungga. Baik Hanuraga maupun Samaratungga kaget setengah mati, sewaktu Yudapati menyerang titik kelemahannya. Mati- matian mereka menarik senjatanya untuk menangkis. Namun sia- sia belaka, karena Yudapati lebih cepat. Tahu- tahu mereka merasa kehilangan tenaganya.
- Lebih baik. kalian menyerah! Sudahlah, biar bagaimana kalian tidak akan dapat mengerahkan tenaga lagi.
Karena itu. semenjak kini kularang kalian berdua menyebut diri sebagai jago kelas tujuh atau kelas lima . . Mojang Yudapati tertawa.
Keruan saja Hanuraga tidak sudi menyerah dengan begitu saja. Teringatlah dia kepada tangan kanannya.
Meskipun sudah terluka, bukankah masih dapat digerakkan dengan leluasa?
Maka diam- diam ia menyalurkan tenaga saktinya kepada lengan tangan kanannya. Kemudian menyerang Mojang Yudapati dengan sikunya. Namun Mojang Yudapati lebih cerdik. Ia menyambar hulu- golok dan memukulnya miring.
Merasa goloknya nyaris terampas lawan, perhatian Hanuraga jadi terbagi. Ia mencoba berkutat mempertahankan goloknya. Justru demikian, pemusatan tenaganya buyar. Ia kaget bukan main, tatkala merasa tak berdaya sama sekali.
- Celaka! ia memekik dalam hati.
Ia berontak sebisa- bisanya. Pada saat itu, sekonyong- konyong Mojang Yudapati melepaskan terkamannya. Sebagai gantinya, ia memukulnya. Dengan demikian, mata golok kini menikam wajah Hanuraga.
Duk! Dahi Hanuraga terpukul gagang goloknya. Justru demikian, pemusatan tenaganya buyar. Ia kaget bukan main, tatkala merasa tak berdaya sama sekali.
- Celaka! - ia memekik dalam hati. ia berontak sebisa- bisanya. Pada saat itu, sekonyong- konyong Mojang Yudapati melepaskan terkamannya. Sebagai gantinya ia memukulnya. Dengan demikian, mata golok kini menikam wajah Hanuraga.
Duk! Dahi Hanuraga terpukul gagang goloknya.
Seketika itu juga membengkak bulat dengan warna matang biru, ditambah rasa nyeri luar biasa. Pada saat ini juga, ia mundur terhuyung terdorong oleh suatu tenaga ganda. Tenaganya sendiri yang membalik dan pukulan Mojang Yudapati. langsung saja ia roboh tak sadarkan diri.
Menyaksikan pemimpinnya roboh, anak- buahnya maju serentak untuk melindungi. Namun Mojang Yudapati tidak gentar. Dengan masih menindih ruyung Samaratungga dengan tangan kirinya,pedangnya bergerak kesana kemari. Samaratungga adalah seorang bhayangkara yang berperawakan besar. Walaupun demikian,masih dapat dibawanya lari kesana kemari seperti kupu- kupu beterbangan di antara rangkaian bunga.
Tara dan Tilam yang berdiri di luar arena sebagai penonton. kagum bukan main. Di mata Tara. Mojang Yudapati adalah seorang pendekar yang hebat luar biasa. Sebaliknya Tilam yang mengenal Mojang Yudapati,disibukkan dengan berbagai pertanyaan di dalam benaknya.
Dari mana dia memperoleh kepandaian begitu tinggi?
Apakah dia bertemu dengan dewa perang yang mengajarkan rahasia ilmu kepandaian?
Selagi demikian, terjadilah suatu hal yang hanya pantas di kalamkan dalam impian. Tiba- tiba seluruh pengeroyoknya memekik kaget. Sebab senjata mereka masing masing terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah bagaikan hujan turun.
- Bagus! Bagus! tak terasa Tara bertepuk tangan menyatakan pujiannya.
Tentu saja,hal itu mengejutkan Mojang Yudapati. Dengan suara tak mengerti dia bertanya:
- Siapa?
Oleh pertanyaan itu barulah Tara sadar akan kesalahannya. Sambil mendekap mulutnya, ia bersembunyi di belakang punggung Tilam. Tetapi pada saat itu pertempuran berakhir. Laskar bhayangkara tidak berani mengkerubutnya kembali. Bahkan mereka mundur beberapa
langkah, siap untuk melarikan diri.
- Hm. kalian hendak kabur? Jangan harap. bentak Mojang Yudapati.
Mojang Yudapati dahulu pernah merobohkan Palata dengan pukulan tangannya. Juga kali ini dia hendak berbuat demikian pula. Sambil menyarungkan pedangnya,kedua tangannya bergerak dengan berlari larian. Mereka semua roboh tak berkutik seperti terpaku di atas tanah. Sewaktu hendak menggempur Samaratungga, sekoyong konyong terdengar suara menggelegar:
- Hoee . . . kau binatang dari mana sampai berani memusuhi pasukan bhayangkara? - :
Muncullah seorang laki- laki yang berwajah cacar. Perawakan tubuhnya tinggi besar dan bertenaga kuat. Dia melompat ke dalam gelanggang pertempuran dengan senjata tongkat besi. Belum sempat Mojang Yudapati menjawab tegur sapanya, tiba- tiba sudah dihantam dengan ayunan tongkat yang membawa kesiur angin. .
Syukur, ia cekatan dan dapat mengelakkan diri. Namun orang itu sudah menduga demikian. Selagi Mojang Yudapati dapat mengelak, ia mengirimkan serangan susulan. Yudapati terkesiap. Buru- buru ia melompat mundur sambil menghunus pedangnya. Kemudian ia menangkis gempuran orang itu dengan tangan kirinya. Ia bermaksud mengadu tenaga. Keras melawan keras. Sedang pedangnya segera akan bergerak mendahului gerakan lawan.
Tetapi orang itu ternyata cerdik. Tak berani ia mengadu tenaga. Cepat ia mengurungkan serangannya dan berganti dengan serangan lain yang tiba dengan mendadak. Dengan demikian, Mojang Yudapati belum mempunyai kesempatan untuk mendahului gerakan lawan.
Pikirnya. siapa orang ini?
Kepandaiannya berada di atas Hanuraga.
Orang itu kedudukannya memang berada di atas
Hanuraga. Namanya. Waranasi .Dia menduduki urutan ke enam. Senjatanya sebatang tongkat besi. karena bertenaga kuat. Dia paman Samaratungga. Dia terpaksa memasuki gelanggang,karena melihat kemenakannya kena dibawa lari pontang- panting oleh Yudapati.
Tetapi apa yang terjadi?
Dia kalah sebat daripada Mojang Yudapati.
Dia tadi sengaja tidak mau mengadu kekuatan, dengan maksud mendahului gerakan lawan. Tetapi dia lupa bahwa lawannya membekal pedang panjang di tangan kanannya. Selagi ia hendak mengayunkan tongkatnya, pedang Yudapati sudah menikamnya. Tepat pada saat itu, Samaratungga kena tendang sehingga bhayangkara nomor dua puluh satu itu, terguling roboh terjengkang.
Waranasi geram bukan main. Bentaknya:
- Binatang! Sebutkan namamu sebelum kau mampus di tanganku!
Mojang Yudapati menanggapi dengan tertawa lebar. Sahutnya:
- Kau sendiri, binatang dari mana? Apakah engkau salah seorang bhayangkara juga? - Aku Waranasi, pahlawan istana nomor enam. Nah. sesudah mendengar namaku, menyerahlah dengan cepat! Lambat sedikit engkau sudah jadi bergedel Kembali lagi Mojang Yudapati tertawa lebar. Ujarnya:
- Pantas engkau keluyuran sampai di sini. Bukankah engkau hendak menyusul Tuanku Duta Lembu Seta? Hm . . tidak mudah, kawan. Engkau harus sanggup merobohkan aku dahulu.
Mendengar Mojang Yudapati menyebut- nyebut nama Duta lembu Seta. kedua mata Tilam berkaca- kaca. Sebaliknya, Tara segera dapat menebak siapa pemuda itu sebenarnya. Serunya gembira kepada Tilam:
- Ha , . benar dia! Pantas dia berani membongkar
penjara Lamuri seorang diri. Tentu saja. Tilam tidak merasukkan ucapan Tara di dalam pendengarannya. Yang terpikir adalah peribadi Mojang Yudapati yang teguh menjalankan tugasnya. Dia bertempur dengan sungguh- sungguh melawan pasukan bhayangkara demi melindungi ayahnya. Kalau tahu ayah sudah meninggal apa jadinya. pikirnya.
Sementara itu,terdengar suara tertawa Waranasi berkakakkan. Seru pahlawan nomor enam itu: .
- Bagus! Jadi. engkaulah yang dahulu membongkar penjara Lamuri? Kalau begitu, biar kumakan dahulu biangkeladinya dan baru menangkap manusia yang mau melarikan diri.
- Hm. kau mau makan tulang- belulangku juga? Silakan! Kali ini Waranasi tidak hanya bersenjata sebatang tongkat tetapi ditambah dengan sebatang bindi (semacam penggada pendek yang terbuat dari besi) di tangan kirinya. Melihat dua macam senjata itu, tergeraklah hati Yudapati. Teringatlah dia kepada gambar pahatan di dinding goa. Terus saja ia menyimpan pedangnya dan merampas sebatang tombak dari tangan seorang perajurit yang sudah tidak dapat berkutik lagi. Menurut pahatan di dinding goa dahulu, kedua macam senjata itu akan kehilangan dayanya manakala dilawan dengan tombak.
- Awas! - seru Waranasi memperingatkan.
Ia memang terkenal sebagai seorang bhayangkara istana yang tinggi hati sehingga perlu memberi peringatan lawannya setiap kali hendak menyerang. Ia yakin, serangannya selalu mematikan dan terlalu dahsyat.
Di luar dugaan,gerakan tombak Mojang Yudapati sungguh- sungguh aneh. Baik tongkat maupun bindinya sama sekali kehilangan bidang gerak. Meskipun kepandaiannya sekian kali lipat daripada kepandaian Samaratungga namun di mata Tara maupun Tilam tidak terpaut jauh. Hal itu disebabkan oleh keistimewaan ilmu tombak warisan Kalakarna cikal bakal kaum Pasupata.
Setelah mengadu kepandaian delapan atau sembilan jurus, Mojang Yudapati merasa makin kuat kedudukannya. Dengan tertawa ia berkata:
- Eh. Waranasi! Kau mengaku diri sebagai pahlawan bhayangkara urutan enam. Apa sih bedanya dengan urutan yang ke lima puluh atau yang ke enam puluh?
Waranasi merah padam wajahnya. Selagi akan menjawab ejekan Mojang Yudapati, tiba- tiba terdengar suara orang tertawa melalui dadanya. Suara tertawa yang sangat dikenalnya. Lalu terdengar orang itu berkata:
- Waranasi! Namamu minta diagungkan, tetapi ternyata kau tak becus melayani seorang pemuda yang belum pandai membuang isi perut. Apakah kesehatanmu terganggu? Mungkin sekali kau lagi sakit berat.
Pada saat itu muncullah serombongan laskar bhayangkara yang dipimpin oleh dua orang perwira yang berperawakan tinggi besar pula. Orang yang mengejek Waranasi sebenarnya tidak mempunyai potongan perwira. Lagaknya keagung- agungan, berjenggot panjang dan bermata sipit. Dahulu dia seorang Ketua Aliran Kepercayaan tertentu, bernama Bisatanding.
Karena berkepandaian tinggi, maka ia diangkat oleh Raja Muda Dharmaputera sebagai salah seorang pengawalnya. Setelah diadu dengan bhayangkara bhayangkara lainnya, ternyata ia pantas menduduki kedudukan yang ke empat. Ia diberi pangkat dan jabatan yang sepadan dengan kepandaiannya. Itulah sebabnya, ia berani berlagak dan merendahkan kepandaian Waranasi.
Dan yang berdiri di dampingnya,seorang perwira berberewok tebal, berkumis dan berjenggot lebat dan
bermata besar .Sikapnya garang berwibawa. Dialah yang terkenal dengan nama Upasunda,perwira bhayangkara urutan ke tiga
Waranasi yang merasa direndahkan bhayangkara Bisatanding, makin merah padam wajahnya. Dadanya serasa ingin meledak saja. Tetapi rasa marahnya bukan dialamatkan kepada Bisatanding, melainkan terhadap Mojang Yudapati yang membuat gerakan dua macam senjatanya macet.
Dengan menggerung seperti seekor harimau masuk perangkap, ia melompat maju dengan menghantamkan tongkatnya yang dibarengi pula dengan pukulan bindinya. Namun seperti tadi. Mojang Yudapati sama sekali tidak gentar. Tombaknya dapat bergerak dengan leluasa.' Tetapi karena jurus- jurusnya sangat ganas, ia mencoba mengubahnya sedikit. Justru demikian,berkali- kali ia hampir terancam bahaya. Akhirnya ia memutuskan:
- Waranasi. sebenarnya aku menghormati dirimu. Karena selain usiamu pantas menjadi ayahku, kedudukanmu tinggi pula. Tetapi engkau terlalu mendesak dan menganggap ilmu kepandaianmu tidak terlawan. Maka terpaksalah aku . . .
- Mengapa engkau mengoceh seperti burung? Kalau mampu, hayo robohkan diriku! potong Waranasi.
- Apa sih susahnya? Lihat! sahut Mojang Yudapati dengan suara lantang.
Ilmu tombak peninggalan Kalakarna sebagai cikal bakal aliran Pasupata, sesungguhnya merupakan puncak ilmu tombak yang terdapat di persada jagad. Jurus- jurusnya Sederhana, namun menggenggam pemadatan dari sekian ratus pengolahan. Karena itu, meskipun nampaknya sederhana, jadi lebih cepat. Sebab selagi lawan tiba pada saat pengembangannya (variasinya). jurusnya sudah
mengambil jalan pintas dan tepat menghadang di tengah jalan. Itulah sebabnya pula, mengapa jurus- jurus Waranasi macet. Demikian pulalah kali ini. Meskipun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kebisaannya, ujung tombak Mojang Yudapati sudah membobol garis pertahanannya.Tahu- tahu, tongkat besinya tersontek tinggi dan bindinya terpukul miring. Sebelum sadar apa yang harus dilakukannya, serangan Mojang Yudapati sudah mengancam jiwanya.
Masih beruntung,karena Mojang Yudapati tiada niatnya untuk mencabut nyawanya. Dia hanya menghantam dengan tangan kirinya. Tetapi tangan kiri yang sudah pernah berlatih melawan Palata. Dengan suara keras, tubuh Waranasi terpental sampai tiga langkah lebih dan roboh terguling di atas rerumputan.
- Curang! Curang! - seru Waranasi sambil merayap bangun.
Tetapi baru saja ia menancapkan kedua belah kakinya, tenaganya terasa lenyap. Ia terperanjat dan cemas.
Bisatanding yang menyaksikan dari luar garis, tercengang pula. Tak diduganya bahwa pemuda itu berkepandaian begitu tinggi. Kedudukannya memang berada di atas Waranasi. Namun untuk menjatuhkan Waranasi dalam satu gebrak, bukan pekerjaan yang mudah. Mungkin sekali pemuda itu menggunakan tipu- muslihat licik seperti ucapan Waranasi, pikirnya. Memikir demikian. terus saja ia melompat ke dalam arena pertempuran sambil berteriak nyaring:
- Hai, anak muda! Apakah engkau anggauta terlarang? - .
- Terlarang apa?
Mojang Yudapati mengembalikan pertanyaannya.
- Kau anggauta Pasupata, bukan?
- Kalau ya bagaimana, kalau tidak bagaimana?
Tanya jawab itu, membuat Tilam bersenyum. Maka
benarlah tutur- kata Sekar Tanjung. pikirnya.
- Mojang sekarang pandai berdebat dan mahir bersilat lidah.
Namun di dalam hati ia sudah mengambil keputusan. Kalau kedua orang itu ikut pula mengeroyok Mojang Yudapati, dia akan terjun ke arena untuk membantunya. Maka diam diam ia sudah meraba pedang pendeknya yang terkenal tajam.
- Hai anak muda! Di hadapanku,engkau jangan berlagak main silat lidah! Kau tahu. siapa aku? Kau kenal seorang ahli pedang bernama Bisatanding? itulah aku. Kedudukanku perwira bhayangkara urutan ke empat. Dan kau tahu siapa dia? Itulah yang mulia Upasunda perwira atasanku urutan ke tiga.
- Bagus!
Mojang Yudapati tertawa.
- Kalau sudah tahu, lalu aku kau suruh apa? - Kau siapa? - .
- Tanyakan saja kepada bawahanmu itu! Lagipula kau sendiri sudah yakin aku salah seorang anggauta Agama Pasupata. Apa sih bedanya? Bukankah kalian keluyuran sampai ke wilayah ini dengan tujuan hendak menangkap Duta Tarumanegara? Heran! Sungguh mengherankan! Kalian mengaku bhayangkara istana Sriwijaya. Mestinya harus tahu aturan. Masakan mau menangkap seorang Duta negara? Hanya sekumpulan orang biadab yang dapat berbuat begitu. ujar Mojang Yudapati dengan suara lantang.
Kata- kata Mojang Yudapati benar- benar diluar dugaan. Samalah halnya dengan pekerti orang membongkar borok berbau busuk. Keruan saja, wajah Bisatanding menyala merah membiru karena menahan rasa malu. marah dan penasaran. Katanya kepada Upasunda:
- Tuanku! Coba berilah aku pertimbangan! Kubunuh dia atau kutawan dia hidup- hidup?
- Bunuh!
Upasunda pendek.
- Nah. kau dengar sendiri. Bagaimana?
- Bisatanding! Kau terlalu sombong. Biarlah aku merobohkanmu dengan beberapa gebrakan saja.
- Kau bisa merobohkan aku? teriak Bisatanding dengan suara tinggi.
Ia seperti tidak percaya kepada pendengarannya sendiri, lalu tertawa terbahak- bahak. Serunya kalap:
- Selama hidupku baru kali ini, aku mendengar suara orang yang tidak tahu diri. Kau pernah mendengar nama Tujuh Pendekar dari Muarabungo? Empat orang kubunuh sekaligus. Dan yang tiga mati seorang demi seorang.
Ucapan Bisatanding yang terdengar sombong itu, sebenarnya bukan omong kosong. Empat tahun yang lalu, ia pernah bertanding mengadu kepandaian melawan Tujuh Pendekar Muarabungo itu. Dia berhasil membunuh mereka dalam dua tahap. Yang empat orang ditewaskannya dalam pertempuran itu. Yang tiga orang melarikan diri namun akhirnya dapat dibunuhnya pula. Semenjak itu namanya termashur dan Raja Muda Dharmaputera yang mempunyai rencana jauh. kemudian memanggilnya dan diangkatnya sebagai perwira pengawal pribadi. Tentu saja hal itu, tidak diketahui oleh Mojang Yudapati.
Dengan mengulum senyum ia mengawaskan Bisatanding. Kemudian menyahut: - Ah, kebetulan malah.
- Kebetulan bagaimana?
- Biar aku menolong mereka menuntut balas. - Jahanam! Kau benar benar manusia bosan hidup. - bentaknya dan dengan sekali tarik ia mengeluarkan dua bilah pedang pendek.
Melihat bentuk senjata, Mojang Yudapati teringat kepada lukisan di dinding goa. Itulah salah satu puncak rahasia ilmu kepandaian kaum Tanah Putih. Melawan
musuh yang menggunakan dua pedang pendek, memang agak sukar. Sebab dua pedang pendek itu, suatu kali bisa dipergunakan sebagai pisau terbang. Tentunya Bisatanding pandai pula bermain bumerang. Menurut lukisan di dinding goa, pemecahannya harus dengan dua macam senjata pula. Sebatang tongkat dan pedang pendek pula. Atau dengan menggunakan jenis senjata yang sama dengan mengandalkan kecepatan. Sebab siapa yang lebih cepat dialah yang bakal menang.
Soalnya sekarang dapatkah kecepatannya melebihi kecepatan Bisatanding yang tentunya sudah memiliki masa latihan puluhan tahun yang lalu.?
- Bisatanding! ia mencoba menggertak.
- Dahulu kala. tersebutlah seorang pendekar setengah brahmana bernama Raguta. Dialah yang membawa ajaran Ilmu Pedang terbang. Pernahkah engkau mendengar nama itu?
- Apa? - tiba- tiba wajah Bisatanding berubah pucat.
Dan dengan suara terpatah- patah meneruskan:
- Kau . . . kau . . . darimana kau bisa menyebut cikal- bakal . . .eh .
- Dia leluhurku juga. Secara kebetulan aku mewarisi ilmunya. - - ujar Mojang Yudapati memotong.
Bisatanding terhenyak. Kedua matanya terbelalak heran. Tetapi sejenak kemudian tertawa terbahak- bahak. Serunya:
- Ah! Hampir saja aku terperangkap oleh akal licikmu. Hai. anak muda! Resi Raguta hidup ratusan tahun yang lalu. Betapa mungkin engkau bisa mewarisi ilmunya? Kaupun bukan orang sini. Kau benar- benar anak jadah! Tetapi jangan bermimpi bisa mengingusi orang yang hampir keropos tulang- belulangnya. - '
Tilampun ikut menyesali Mojang Yudapati. Silat lidahnva keterlaluan sehingga tidak masuk akal.
Masakan dia berani mengaku mewarisi Ilmu kepandaian seorang brahmana jaman kuno?
Tetapi Mojang Yudapati kelihatan tenang dan meyakinkan.
Apakah selama masa berpisah ini, dia bertemu dengan seorang pandai dari aliran Tanah Putih yang mengajarkan Ilmu Pedang terbang sehingga diapun kini berhak menyebut cikal- bakal aliran tersebut sebagai leluhurnya?
Selagi berteka- teki demikian. Mojang Yudapati sudah membekal dua macam senjata. Tangan kanan membaWa tombak rampasannya tadi dan tangan kirinya menggenggam sebatang pedang pendek yang juga diambilnya dari seorang laskar bhayangkara yang tak dapat berkutik lagi.
- Kau atau aku yang menyerangmu dahulu? - ujarnya.
- Silahkan! Aku ingin mengetahui sampai dimana engkau membual diri.
- Baik.
Dengan tombaknya, Mojang Yudapati mulai menyerang sisi kanan Bisatanding. Menyaksikan serangannya yang sederhana dan mudah dielakkan itu, Bisatanding tertawa geli. Dimiringkannya badannya dan ujung tombak Mojang Yudapati lewat di sisi pinggangnya. Dengan menancapkan pedang pendeknya yang tergenggam di tangan kiri ke tanah, kakinya mendupak.
Mojang Yudapati berpura- pura terperanjat. Ia membiarkan dirinya kena tendang, sehingga roboh ke arah kiri sambil menghantam batang tombaknya ke lengan Bisatanding. Lalu jatuh terguling di atas tanah.
Bisatanding tertawa terbahak- bahak. Serunya dengan suara tinggi:
- Wah hebat betul warisan Resi Raguta. Mojang Yudapati merayap bangun dengan perlahan lahan. Ia membiarkan tombaknya terpental dari tangannya tetapi sebagai gantinya tangan kanan telah menggenggam sebatang pedang milik Bisatanding yang tadi ditancapkan di atas tanah.
- Terima kasih. - katanya.
- Hatimu baik sampai berkenan meminjami aku sebatang pedangmu.
Baru sekarang Bisatanding tersadar kena selomot. Ia kaget sampai wajahnya memucat. Upasunda dan seluruh laskarnya yang ikut menyaksikan gebrakan pertama itu, ikut tercengang- cengang. Mereka kenal benar kepandaian pemimpinnya. Belum pernah pemimpinnya itu kehilangan pedangnya. Apalagi hanya satu gebrakan saja.
Mojang Yudapati sendiri tidak sudi kehilangan waktu. Dengan membekal dua pedang pendek di kedua tangannya, terus saja ia mulai menyerang dengan jurus- jurus peninggalan Resi Raguta yang pernah dipelajarinya hampir satu bulan penuh. Kedua pedangnya terbang bergantian bagaikan bumerang yang dapat menyerang dan berputar kembali. Dan diserang dengan jurus demikian, Bisatanding yang hanya membekal sebatang pendek, tidak dapat berbuat banyak. Suatu kali, rambutnya terpangkas dan lehernya nyaris terpental, sehingga terpaksalah ia bergulingan dari tempat ke tempat dengan menangkis sedapat dapatnya.
Kepandaian Mojang menerbangkan pedang pendek, rupanya melebihi Kadung. pikir Tilam dalam hati.
- Sayang. Kadung tidak menyaksikan sendiri. Pada saat itu terdengar suara Mojang Yudapati berkata lantang:
- Bisatanding! Meskipun pangkatku tidak setinggi pangkatmu namun akupun seorang perwira. Maka tak dapat aku menghinamu. Kalau aku mau membunuhmu. dengan mudah aku dapat memenggal kepalamu. Lebih baik, kau menyerahlah! .
Tentu saja, Bisatanding yang berpangkat seorang perwira menengah tidak mudah untuk menyerah begitu saja. Apalagi, pertempurannya ditonton oleh segenap pasukannya,ditambah pula dihadiri oleh atasannya. Meskipun dia dalam keadaan runyam, masih saja ia berkutat untuk merebut kemenangan. Menyaksikan kebandelannya. Mojang Yudapati membuktikan gertakannya. Kedua pedang pendeknya tiba- tiba terbang berputaran sehingga memaksa Bisatanding berguling menghampirinya. Pada saat itu, kakinya menendang. Dan pahlawan nomor empat itu, jatuh terpental menggabruk tanah. Sewaktu diberi kesempatan untuk bangun kembali. bibir dan hidungnya mengucurkan darah. Sedang mukanya berbedak tanah sehingga nampak sebagai seorang badut sandiwara keliling.
Waranasi yang sebentar tadi ditertawakan, kini melampiaskan rasa mendongkolnya. Berbareng dengan kemenakannya, ia tertawa terbahak- bahak. Laskarnyapun jadi ikut- ikutan tertawa bergegaran.
Tara yang semenjak tadi berdiam diri, menoleh kepada Tilam. Katanya berbisik:
- Upasunda tentunya tidak akan membiarkan perwira bawahannya menanggung malu. Rupanya seluruh perwira bhayangkara hampir berada di sini. Pasukan yang mengkerubut pendekar Mojang Yudapati tadi adalah laskar pimpinan Waranasi. Sedang Bisatanding dan Upasunda membawa pasukannya masing- masing. Kukira, Upasunda akan segera memerintahkan seluruh laskarnya mengeroyok pendekar Mojang Yudapati. Kalau ayunda benar- benar hendak menuntut balas terhadap pendekar Mojang Yudapati. inilah saatnya yang tepat.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tilam mengulum senyum. Ia tahu. Tara memihak dan mencemaskan Mojang Yudapati. Sahutnya:
- Aku bukan seperti mereka. Aku akan membantu Mojang. Setelah itu baru mengadakan perhitungan. Adik,
tetaplah engkau berada di luar gelanggang. Pertempuran yang akan datang akan membahayakan jiwamu,
Tepat pada saat itu,terdengar aba- aba Upasunda. Dengan suara bagaikan guntur meledak di sianghari. ia berseru:
- Semuanya saja. majuuuu . . .! Tangkap dia! mati atau hidup!
Mendengar perintah Upasunda, Waranasi dan Samaratungga yang tadi mentertawakan Bisatanding,maju menerjang dengan berbareng. Juga seluruh pasukan bhayangkara bawahan Bisatanding dan Upasunda.
- Bagus! Hayo maju Semua! Sayang, Boma tidak ikut serta. tantang Mojang Yudapati dengan gagah berani.
Tilam tak dapat lagi menjadi penonton. Dengan menghunus pedang pendeknya yang terkenal tajam luar biasa, ia melompat ke dalam gelanggang pertempuran sambil berseru nyaring:
- Mojang. jangan takut! Aku akan membantumu! Mendengar bunyi ucapan Tilam. Tara tercengang.
Membantu atau berpura- pura?
Tak dikehendaki sendiri, dia ikut lari mengikuti Tilam, memasuki gelanggang pertempuran dengan tanpa tujuan yang jelas. Tiba- tiba ia mendengar seruan gembira Mojang Yudapati yang membuat langkahnya terhenti.
- Tilam! Kau di sini? - Hadapi orang yang bermata burung hantu itu! Aku akan menghadang lainnya. - sahut Tilam dengan gaya memerintah.
Yang dimaksudkan orang bermata seperti burung hantu adalah Upasunda.
Tara tertegun. Mereka berdua bertegur sapa sebagai layaknya teman senasib seperjalanan.
Jika demikian, benarkah Tilam mengancam Mojang hendak membunuhnya?
Bila tidak,mengapa Tilam perlu membohongi
dirinya?
Tara tidak memiliki kepandaian seperti Tilam. Tetapi bukan berarti seorang gadis yang tidak pandai berpikir. Dia kelihatan sederhana. karena kepolosan hatinya. Maka ia jadi sibuk menebak- nebak. Selagi demikian, Samaratungga yang segera mengenal dirinya, langsung saja menghampiri seraya berkata:
- Hayo, sekarang mau lari ke mana?
Tara terkejut. Untung ,Samaratungga sebentar tadi kena dilukai Mojang Yudapati. Gerakan kakinya, tidak lincah lagi. Bahkan jalannya agak limbung. Dengan demikian, Tara mempunyai kesempatan untuk menyusul Tilam dengan maksud minta perlindungan.
Sebaliknya,Samaratungga tidak sudi mengalah. Dengan memaksa diri, ia menubruk.
- Tara. jangan takut! teriak Tilam membesarkan
hatinya.
Dengan gerakan kilat. Tilam menggempur pertahanan Hanuraga. Kemudian melompat menikamkan pedangnya kepada Samaratungga. Tetapi Waranasi segera merintangi. Paman Samaratungga ini, sempat mendengar Mojang Yudapati menyebut namanya.
Sebagai salah seorang perwira bhayangkara,ia sudah memperoleh keterangan siapakah Lembu Seta?
- Kalau aku dapat menawannya,bisa kujadikan sandera yang mahal.
Tetapi Tilam tidak takut, meskipun tadi sudah menyaksikan ketangguhannya. Sebar luar biasa ia menghantam tongkat Waranasi sambil melepaskan tendangannya.
Bres!
Tendangannya tepat mengenai dada Samaratungga yang sudah limbung. Dan pahlawan bhayangkara nomor buncit itu, terpental mundur dan jatuh terjungkal mencium tanah. , '
- Adik. keluar!
Tilam memperingatkan Tara.
Namun tak sempat lagi ia memperhatikan Tara. Waranasi yang berkepandaian tinggi tidak tinggal diam.Meskipun sebagian tenaganya sudah berkurang, namun baik tongkat maupun bindinya masih dapat dimainkan dengan leluasa. Apalagi Hanuraga berada dekat padanya. Bindinya langsung dihantamkan mengarah kepala, sedang tongkat besinya membabat pinggang.
Tilam tertawa manis sekali, seperti tatkala dahulu menghadapi Boma Printa Narayana. Pedang pendeknya yang menerbitkan sinar berkilauan, menangkis tongkat Waranasi sambil mengelakkan bindi. Tak dapat dicegah lagi. Suatu benturan terdengar nyaring sekali. Tahu- tahu tongkat besi Waranasi tertabas kutung. Dan Tilam sendiri melompat dengan berjumpalitan di udara seperti bola membal tinggi dan turun dengan sedap sekali. Ujarnya:
- Tongkat semacam itu masakan kau agung- agungkan sebagai pusakamu?
Setelah mematahkan tongkat lawan. Tilam melesat hendak mendekati Mojang Yudapati. Hanuraga dan lima orang laskarnya menghadang di depannya. Tetapi dengan gerakan kilat, Tilam dapat merobohkan lima laskar itu dengan sangat mudah. Lalu mencecar golok Hanuraga yang diobat- abitkan dengan maksud melindungi diri.
Waranasi yang kehilangan tongkatnya, tidak berani mengejar Tilam. Ia mengarah kepada Tara sekaligus bermaksud akan membangunkan Samaratungga. Menyaksikan hal itu. Tilam mengurungkan niatnya hendak membantu Mojang Yudapati. Ia mencemaskan Tara yang terancam bahaya. Jika sampai kena tertawan, akan memaksa dirinya berpikir sekian kali lipat. Maka dengan menghardik ia menikam Waranasi tiga kali berturut- turut.
Hanuraga yang bersenjata golok, datang membantu. Tetapi mengingat pedang pendek Tilam yang tajam luar biasa, tidak berani gegabah. Ia hanya bermaksud mengurangi cecaran pedang Tilam kepada Waranasi. Dengan demikian, pertempuran mereka jadi seimbang.
Dalam pada itu. Upasunda diam- diam gentar juga menghadapi perlawanan mereka. Belum pernah ia mengalami peristiwa demikian. Di pihaknya jumlah laskarnya sekian kali lipat. Namun menghadapi seorang Mojang Yudapati saja, tidak berhasil meringkusnya. Sekarang tiba tiba Mojang Yudapati mendapat bantuan seorang muda berkepandaian tinggi pula. Sebagai seorang perwira bhayangkara urutan ketiga, dengan cepat dapatlah ia mengukur tinggi rendahnya kepandaian Tilam. Pemuda itu masih kalah jauh bila dibandingkan dengan kepandaian Mojang Yudapati. Akan tetapi pedang pendeknya yang dapat menabas kutung tongkat besi Waranasi, patut diperhitungkan. Pikirnya:
- Tidak boleh aku membiarkan dia berendeng dengan Mojang Yudapati. Coba, ingin kulihat apakah pedangnya mampu menghadapi senjataku.
Senjata Upasunda berbentuk bola besi bergigi tajam. Bola besi bergigi itu bertangkai seutas rantai yang cukup panjang. Cara menggunakannya tak beda dengan cemeti atau cambuk panjang. Diputar kencang dahulu di atas kepalanya, lalu dilontarkan dengan mendadak. Karena memiliki himpunan tenaga sakti, rantai itu menjadi lempeng tak ubah tangkai tombak dari besi. Kadang bisa berubah lemas secara mendadak untuk digubatkan ke leher lawan bila diperlukan. Selama bertahun- tahun ia mengangkat namanya dengan senjata itu. Bahkan pernah malang- melintang tiada tandingnya. Maka dapat dibayangkan, betapa mahir ia menggunakan senjata istimewa itu untuk merobohkan lawannya.
- Anak muda. awas! ia menggerung dahsyat karena hatinya mendongkol dan kesal.
Mendengar kesiur angin yang disertai pula suara mendengung, Tilam tercekat hatinya. Tahulah dia. bahwa lawannya memiliki tenaga luar maupun tenaga dalam yang kuat. Tak berani ia menerjang atau mengadu pedangnya. Dalam detik- detik berbahaya, ia menjejakkan kakinya dan melesat hendak menjajari Mojang Yudapati.
Upasunda memang seorang jago pilihan. Tahulah dia maksud Tilam. Segera ia menghadangnya dengan menyabetkan bandulan besi. Tilam terpaksa mengendapkan kepalanya. Tetapi pada saat itu,terdengar suara Mojang Yudapati:
- Jangan takut! Aku segera datang.
Yudapati sedang bertempur melawan Bisatanding. Sebat luar biasa ia merampas sebatang tombak dan dilontarkannya. Bisatanding tadi pernah mempunyai pengalaman. Mengira bahwa Mojang Yudapati sedang menjebaknya dengan tipu- muslihat, tak berani ia menangkis lontaran tombak. Ia mundur sambil mengelak. Justeru gerakan demikian inilah yang diharapkan Mojang Yudapati. Segera ia menggunakan kesempatan itu, untuk memotong sambaran bandul besi Upasunda. Tetapi yang diserangnya adalah bahu kirinya yang justru tidak terlindung.
Keruan saja Upasunda terkejut setengah mati. Buru buru ia menarik rantainya untuk dibuatnya memapak sambaran pedang Mojang Yudapati. Kesempatan itu, dipergunakan Tilam untuk meloloskan diri. Dengan mencecarkan pedangnya, ia melesat hendak mendampingi Mojang Yudapati. Tentu saja Upasunda tidak sudi kehilangan mangsanya. Setelah menangkis pedang Mojang Yudapati, rantainya diulur untuk menghantam kepala Tilam.
Hantamannya hampir berhasil, sebab Tilam tidak mengira bahwa dia masih dapat memburunya. Dalam keadaan bahaya, lagi- lagi pedang Mojang Yudapati bergerak menusuk tempat yang tidak terlindung. Terpaksa Upasunda mengurungkan serangannya. Tetapi ia terlambat. Kecuali lengannya tergores pedang. Tilam lolos dari kurungannya.
- Jangan harap engkau mempunyai waktu untuk mengatur pernafasanmu. Lihat pedang! seru Mojang Yudapati.
Jurus Mojang Yudapati memang istimewa. Setelah memperoleh pengalaman bertempur, makin lama makin mahir. Kuncinya yang pertama, ialah mengincar bagian tubuh lawan yang tidak terlindung. Selagi lawan sibuk membenahi diri ia sudah menang waktu. Terus saja pedangnya mencecar dengan jurus- jurus istimewa warisan para cikal- bakal yang terpahat di dinding goa.
Upasunda tercengang dan terperanjat. Terpaksalah ia melayani serangan Mojang Yudapati sedapat- dapatnya.
Sebenarnya, selain memiliki ilmu bandulan besi yang istimewa, mempunyai pula ilmu kecekatan yang jarang terdapat di dunia petualangan. larinya cepat. lompatannya bagaikan bayangan. Namun menghadapi serangan Mojang Yudapati yang tidak terputus- putus. semua ilmu kepandaiannya jadi macet. Menyadari hal itu. ia mengeluh di dalam hati.
- Perwira ini istimewa juga. - pikir Mojang Yudapati.
- Dia sudah terluka. Meskipun demikian, masih sanggup - melayani jurus- jurusku. Ingin ia merobohkan Upasunda secepat mungkin untuk mengecilkan hati laskar- laskarnya. Maka ia mempercepat gerakan pedangnya. Tetapi pada saat itu. tiba- tiba terdengar suara Tilam:
- Mojang! Lindungi nona itu! - Siapa dia'?
- Jangan bertanya dahulu! Dia terancam bahaya.
Mojang Yudapati mengerlingkan matanya. Ia melihat gadis berpakaian merah terkepung Montri dan Samaratungga. Sedang Tilam sendiri harus menghadapi Hanuraga dan Waranasi. Dengan sekali melihat tahulah dia. bahwa gadis berpakaian merah itu tidak bisa berkelahi. Terpaksalah ia meninggalkan Upasunda yang sudah tersudut untuk menolong gadis itu.
Dengan pedangnya ia menggempur Samaratungga dan Montri. Mereka berdua belum sempat berdaya, tahu- tahu sudah terlukai dan jatuh terbanting di atas tanah nyaris saling tindih.
Tatkala Mojang Yudapati menatap Tara, lutut gadis itu mengalirkan darah. Tak usah diceritakan lagi, bahwa ia kena dilukai dua bhayangkara tadi.
- Hm, mengapa melukai seorang gadis yang tidak pandai berkelahi? Kalau begitu, pantas mereka kuhajar agar jera.
Mojang Yudapati geram. Dahulu ia pernah mengadu jiwa, gara- gara melihat Sekar Tanjung diperlakukan semena- mena oleh Palata. Sekarangpun demikian pula keadaan hatinya. Tanpa berpikir panjang lagi, terus saja ia menerjang Waranasi, Hanuraga dan Bisatanding dengan sekaligus. Pedangnya berkelebatan dan sebentar saja mereka kena dilukai. Yang beruntung ialah Upasunda. Karena pahlawan nomor tiga itu, sedang membalut lukanya di luar gelanggang.
Selagi Mojang Yudapati menghajar ketiga perwira bhayangkara itu, sekonyong- konyong ia mendengar suara seorang roboh seperti terbanting. Ia menoleh dan melihat Tara roboh pingsan, karena terlalu banyak kehilangan darah. Tentu saja, hatinya tercekat. Dengan gugup ia berseru kepada Tilam:
- Tilam, kau tolong dia dahulu. lainnya, serahkan kepadaku! Aku tidak sudi lagi mengampuni mereka.
Namun Tilam tidak dapat beralih tempat, karena dilibatkan oleh jumlah laskar yang banyak. Apalagi Upasunda mulai memasuki gelanggang lagi. Maka terpaksalah Mojang Yudapati meninggalkan lawan- lawannya untuk menolong Tara.
Pada jaman itu adalah tabu sekali seorang pria bersentuhan dengan seorang gadis. Tetapi tak dapat Mojang Yudapati berbuat lain kecuali harus menyentuhnya. Sebab luka yang mengalirkan darah itu harus dibubuhi obat dan dibebat kencang. Maka dengan memberanikan diri, ia merobek sebagian kain Tara. Setelah membubuhi obat luka sisa pemberian orang tua Sekar Tanjung, ia membalutnya dengan hati- hati.
Pada detik- detik itu, Tara menyenakkan matanya. Ia sudah memperoleh kesadarannya kembali. Begitu ia membuka matanya, nampaklah wajah Mojang Yudapati yang sedang sibuk membalut lukanya. Wajah yang berberewok tipis,berkumis agak tebal dan bermata tajam. Justru demikian, dia nampak tampan dan gagah.
- Eh, bukankah kita sedang terkepung musuh? ia menegakkan badannya.
- Di mana ayunda Tilam? Apakah semua laskar bhayangkara sudah kau bunuh?
- Belum. Tetapi sebentar lagi akan terjadi. - sahut Mojang Yudapati.
- Tilam sengaja memancing mereka menjauhimu. Nah, duduklah diam- diam di sini. Aku akan membantu Tilam.
Sebelum Tara sempat membuka mulutnya, Mojang Yudapati sudah lari dengan cepat. Dengan pedang terhunus di tangannya, ia memasuki gelanggang pertempuran lagi. Hati Tara berdebar- debar. Melihat Mojang Yudapati lari begitu cepat, tentunya Tilam dalam bahaya. Segera ia ikut berdiri,tetapi pembalut terlalu kencang sehingga ia jatuh terduduk kembali.
Tilam memang lagi kerepotan. Syukur ia seorang gadis yang cerdik. Akan tetapi menghadapi kerubutan perwira
perwira bhayangkara kelas tinggi, tak dapat dia berbuat banyak. Meskipun mereka sudah terluka, namun dengan kepaduannya merupakan suatu himpunan kekuatan yang dahsyat.
Tiba tiba di sampingnya muncul tujuh orang pendeta berjubah warna kuning. Baik bentuk tubuhnya maupun roman mukanya berkesan luar biasa. Tanpa menggunakan senjata apapun mereka maju membantu Tilam. Dengan sebat mereka menangkap, mendorong, mengemplang atau menendang pasukan bhayangkara seperti memperlakukan boneka- boneka mati yang tidak pandai mengadakan perlawanan.
Seluruh laskar bhayangkara jadi kelabakan. Seperti sedang berpacu,mereka melarikan diri bertebaran. Anehnya, Upasunda, Bisatanding, Waranasi, Hanuraga, Samaratungga dan Montri tiada nampak di antara mereka.
Kemana pergi?
Sesudah bertempur melawan tujuh pendeta itu, atau menghilang begitu melihat kedatangan mereka?
Mojang Yudapati sempat menyaksikan kehebatan tujuh pendeta itu menghajar laskar bhayangkara. Ia tidak perlu menolong atau membantu Tilam lagi, karena tujuh pendeta itu sudah mengulurkan tangan menggebah laskar bhayangkara. Yang diperhatikan kini adalah cara pendeta pendeta itu menangani musuhnya. Dengan berloncatan dari tempat ke tempat,mereka menghantam laskar bhayangkara yang mencoba melarikan diri. Anehnya, tiada seorangpun yang selamat. Mereka tewas sebelum sempat mengenal siapa yang mencabut nyawanya.
- Ih! Mereka mengenakan pakaian pendeta. Mengapa tangannya sangat kejam? Pendeta golongan mana mereka itu? ia bertanya kepada dirinya sendiri.
Bagi Mojang Yudapati,pulau Suwarnadwipa masih terlalu asing baginya. Dia baru beberapa bulan saja berada di wilayah kerajaan Sriwijaya,itupun masih dipotong
satu bulan sewaktu mempelajari ilmu sakti di dinding goa,
Andaikata selama itu, ia hanya khusus untuk mengenal keadaan kerajaan Sriwijaya, juga belum mencukupi. Macam agama yang diketahuinya hanya agama Hindu. Buddha dan Pasupata. Agama Pasupata itu hanya diketahui oleh tutur kata orang. Barangkali pengetahuannya tidak melebihi apa yang diketahui Isu Wardana atau Tilam.
*****
TUJUH PENDETA BERJUBAH KUNING
SEPERTI HABIS bekerja bakti, ketujuh pendeta itu saling mendatangi sambil membersihkan jubahnya.Mereka berdiri berkeliling dan mendengarkan salah seorangnya yang sedang berkhotbah. Rupanya dialah yang tertua, sehingga yang lain bersikap hormat kepadanya. Kata sang ketua:
- Kalian sekarang makin yakin, bukan? Cengkeraman dan pukulan jurus kita yang disertai tenaga sakti bisa mencabut jiwa dengan mudah. Guru menamakan pukulan sardula. Rupanya berkenan mengambil namaku. Kau sendiri tahu apa artinya sardula. Sardula ialah harimau yang kuat sentausa, ganas dan tak mengenal ampun.
- Benar, hanya sayang sekali si Bisatanding bisa meloloskan diri. sahut yang berada di sebelah kanannya. Dia bernama Pancakara.
- Tak perlu kakak berputus asa. - yang bernama Pramodha menungkas.
- Biarkan kita titipkan nyawanya
untuk sementara. Bukankah pada suatu kali kita akan bertemu kembali? Yang penting, ingin aku memperoleh petunjuk kakak Sardula. Dapatkah kesatuan kita melawan dua puluh satu bhayangkara sekaligus?
- Hm. - dengus Sardula sang ketua.
- Mengapa tidak? Soalnya, belum lagi kita membentuk mata rantai, mereka berenam sudah melarikan diri. Dengan begitu, yang kita hadapi hanya hanya keroco.
Setelah berkata demikian, Sardula mendahului melangkahkan kaki dengan maksud meninggalkan gelanggang. Keenam saudara- seperguruannya mengikutinya dengan sikap melagak. Mereka mengembarakan pandang matanya kepada mayat- mayat yang bergelimpangan dengan mengangkat kepalanya seolah- olah ingin menyatakan diri bahwa di dunia ini hakekatnya tiada yang melebihi kegagahannya.
Tilam tadi memang dalam kesulitan. Ia dikerubuti Upasunda. Bisatanding, Waranasi dan Samaratungga sekaligus. Meskipun mempunyai sayap pun, rasanya tidak mungkin dapat meloloskan diri. Tiba- tiba muncullah ketujuh pendeta itu yang membuat mereka lari pontang- panting. Maka ia merasa berterima kasih dan berhutang budi. Sebagai seorang puteri yang berpendidikan tinggi, segera ia mengejar ketujuh pendeta itu hendak menyatakan terima kasih.
- Paman! serunya.
- Siapakah kalian? Mengapa kalian berkenan menolong diriku? Aku tidak akan melupakan budi baikmu.
Ketujuh pendeta itu menoleh. Kemudian saling memandang. Lalu tertawa meledak. Setelah itu, salah seorang dari mereka berkata:
- Kapan aku menolongmu? Kau kira kami datang demi untukmu? Siapa engkau sampai kami perlu membantumu? Tilam tercengang .Sewaktu hendak membuka mulutnya. suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Kebetulan sekali mereka membuka mulutnya saling menyusul:
- Kami mempunyai urusan yang harus selesai dengan cepat! Sebaiknya, kau tutup dahulu mulutmu!
Tilam terheran- heran sampai mulutnya terbuka.
Aneh pendeta ini!
Siapakah mereka?
Dengan pandang tak mengerti ia mengikuti kepergian mereka menembus semak belukar.
Jubahnya berwarna kuning.
Apakah mereka kaum Punta? - ia menebak- nebak. Teringatlah dia akan pesan ayahnya tentang kelompok pendeta yang mengenakan nama depan Punta. Mereka mempunyai angan- angan tidak beda dengan kelompok Dharmaputera. Dharmaputera berhasil mencapai kekuasaan. Rupanya kelompok pendeta itu memusuhinya. Yang dilakukan sekarang,membunuh semua bhayangkara istana. Baru memasuki istana untuk . . .
- Ah, hebat kalau angan- angannya tercapai. - pikir Tilam lagi.
Selagi sibuk memecahkan teka- teki itu, terdengar suara Mojang Yudapati menyapanya dari belakang:
- Tilam! Kau kenal siapa mereka? Mengapa engkau berada di sini?
Tilam memutar tubuhnya .Pandang matanya mencari Tara. Langsung saja ia minta keterangan: .
- Dimana Tara?
- Tara? Tara siapa? Oh. . . dia terluka sehingga perlu kubalut dahulu sebelum aku menyusulmu.
- Mari kita lihat dahulu dan baru aku nanti berkabar padamu. - ajak Tilam.
Mereka berdua kemudian mendatangi Tara dengan berlari- larian. Tara duduk dengan tenang di bawah sebatang pohon rindang yang dilindungi pula gerumbul semak belukar.
Melihat kedatangan mereka tak kurang suatu, wajahnya cerah. Sambutnya:
- Kulihat tadi pendeta- pendeta berjubah kuning lewat ke sana. Apakah mereka datang membantu kita?
- Hm.
Tilam mendengus sambil membanting diri di dekat Tara. Lalu berkata memperkenalkan:
- Inilah pahhwanmu. Pendekar Mojang Yudapati. .
Mojang Yudapati nampak segan. Kemudian memanggut pendek sebagai tanda perkenalan. Sekonyong- konyong, Tilam melompat sambil menikamkan pedang pendeknya. Tentu saja Mojang Yudapati terperanjat bukan kepalang. Karena serangan itu datang dengan mendadak,terpaksa ia mengelak dengan menggulingkan diri sambil berteriak:
- Hai, apa artinya ini? - Artinya aku akan membunuhmu mati. - Hai, hai! Nanti dulu!
Yudapati terperanjat.
- Cabut pedangmu! Kalau tidak kau bisa mati kutikam! - bentak Tilam. '
Masih saja Yudapati menatap wajah Tilam tak mengerti. Waktu dia hendak minta keterangan lagi, Tilam mendahului:
- Kabarnya engkau sekarang sudah menjadi seorang pendekar besar. Apakah betul?
Sekarang barulah Yudapati mengerti delapan bagian maksud Tilam. Rupanya dia hendak menguji sampai dimana kemajuannya. Karena itu, dengan tertawa ia menghunus pedangnya sambil menyahut:
- Kecepatanmu melebihi kecepatanku. Tetapi aku mempunyai jurus aneh yang akan membuat dirimu selalu ketinggalan. - Jangan omong saja! Coba buktikan! Awas! - seru Tilam dengan suara lantang. .
Pedang pendek Tilam kemudian menyambar nyambar
dengan cepatnya. Segera Yudapati melayaninya, namun tidak bermaksud hendak melawannya dengan sungguh. Ia hanya mengeluarkan beberapa jurus aneh dari aliran Paramita. Karena jurusnya aneh, terpaksa Tilam berusaha untuk menangkis. Justru demikian, ia jadi ketinggalan satu langkah. Sebab dengan cepat sekali Yudapati terus mencecar tempat- tempat yang lemah. Sebentar saja, ia sudah tak dapat berdaya lagi.
Tilam melompat mundur dengan pandang mata heran dan penasaran. Lalu berkata;
- Aku akan menyerangmu lagi.
- Silakan! Kali ini, Tilam memberondong dengan tujuh jurus serangan sekaligus.Namun lagi- lagi ia terpaksa membela diri, karena dengan tiba- tiba Yudapati memotongnya dengan jurus aneh dari aliran Syiwapala. Dan begitu ia membela diri, pada detik itu jadi ketinggalan. Tahu-tahu jurus Yudapati yang berserabutan seperti tak teratur sudah mengurung dirinya rapat- rapat. Kalau saja Yudapati mau menerkamnya, diapun akan segera roboh dengan tubuh tertembus pedang.
- Mojang! Kau benar- benar hebat!
Tilam memuji sambil meloncat mundur.
- Sekarang tugas ini terletak di atas pundakmu. - Tugas apa? Yudapati minta keterangan sambil menyarungkan pedangnya.
Tilam tidak segera menjawab. Ia duduk kembali disamping Tara. Tara kelihatan lega luar biasa. Sekarang tahulah ia maksud Tilam mengancam Yudapati hendak membunuhnya. Ternyata hanya ingin menguji kepandaian pendekar itu.
- Tilam! Kadang-kadang aku tidak mengerti jalan pikiran seorang puteri. ujar Yudapati sambil duduk
di atas sebuah gundukan tanah.
- Mengapa engkau tiba tiba perlu menguji diriku sehingga bersikap garang terhadapku? Tilam tertawa. Menjawab:
- Itulah gara- gara Sekar Tanjung. - Sekar Tanjung? Kau maksudkan Bhiksuni Sekar Tanjung?
Yudapati terbelalak heran.
Tara yang duduk di antara mereka dan tidak mengetahui ujung pangkalnya jadi terlongong- longong. Dengan muka penuh pertanyaan ia mengalihkan pandangnya dari Tilam ke Yudapati atau sebaliknya.
Tilam yang sesama jenis, tentu saja cepat mengerti keadaan hati Tara. Dengan tertawa ia berkata:
- Adik, biarlah kita berbicara dahulu. Setelah itu, nanti kita berbicara bersama.
- O, silakan! Silakan! Sekiranya tidak boleh kudengar. biarlah aku . . .
- Tidak usah. Sebab Bhiksuni Sekar Tanjung yang akan kukatakan ini, hampir mirip dengan wajah dan sifatmu. Entah apa sebabnya, tiba- tiba muka Tara menjadi panas. Suatu perasaan senang yang belum pernah dialaminya, merambat halus ke seluruh tubuhnya, ia jadi tidak berani lagi menatap wajah Yudapati. Dengan berpura pura mencurahkan seluruh perhatiannya, ia menatap wajah Tilam yang seringkali menyungging senyum.
- Sayang sekali, di sini tiada minuman atau penganan. ujarnya.
Setelah berkata demikian,mulailah ia mengisahkan pertemuannya dengan Sekar Tanjung. Dengan terus terang dikatakannya pula, betapa ia tidak yakin tuturkata Sekar Tanjung mengenai diri Yudapati. Sebab kesannya, peribadi Yudapati jadi berubah. Juga ilmu kepandaiannya. Karena itu, suatu kali ia ingin mengujinya. Dan hal
itu telah terjadi sebentar tadi.
- Hm. Kalau kuceritakan bagaimana asal- mula aku memiliki kepandaian ini . . . agaknya waktunya kurang tepat. ujar Yudapati sambil mengerling kepada Tara.
- Ah. tidak perlu terburu- buru. - tungkas Tilam.
- Tetapi kurasa, yang lebih penting adalah masalah adik kita ini. Namanya yang lengkap Tara Jayawardani. Dia puteri Pangeran Sanggrama Jayawardana yang pada saat ini dikucilkan pemerintah. - Bagaimana kau tahu hal itu?
- Ayahlah yang menerangkan padaku. - sahut Tilam.
Dan tiba- tiba kedua matanya berlinang-linang. Menyaksikan hal itu. Yudapati terperanjat. Dengan suara gugup, ia minta keterangan:
- Mengapa engkau . . .
- Ayah . . . ayah wafat di tengah jalan. - Apa?
Yudapati kaget sampai terloncat dari tempat duduknya.
- Wafat bagaimana? Apakah Yang Mulia Duta Lembu Seta ter . . . - Tidak. Ayah membunuh diri.
- Ah! Tiba- tiba saja. Yudapati jatuh pingsan tak sadarkan diri. Hal itu pernah dialaminya, sewaktu di kota Lamuri dahulu mendengar kabar bahwa Duta Lembu Seta terpancung lehernya. Menyaksikan hal itu, tergetarlah hati Tilam. Tak pernah diduganya,bahwa Yudapati yang kerapkali berkesan kasar itu, ternyata berperasaan halus. Tak dikehendaki sendiri, hati dan pikirannya pepat pula. Iapun roboh pingsan di sampingnya.
Yang bingung adalah Tara. Karena tiada mempunyai sangkut- paut serta tidak memahami latar belakangnya,berita kematian Duta Lembu Seta itu hanya dirasakan sebagai suatu musibah. Meskipun demikian, oleh pergaulan
sehari tadi,ia jadi merasa senasib. Dapatlah ia merasakan betapa hati Tilam terpukul hebat oleh kemalangan itu. Yang masih menjadi tanda- tanya besar baginya ialah mengenai Yudapati.
Apa sebab pendekar itu jatuh tak sadarkan diri, begitu mendengar berita musibah tersebut?
Apakah . . . apakah di antara Tilam dan Yudapati mempunyai hubungan istimewa sehingga hatinya tidak hanya seiasekata saja, tetapi berpadu pula?
Di dalam dunia ini memang banyak terjadi hal- hal yang aneh dan ajaib. Tetapi yang paling aneh dan ajaib adalah mengenai makhluk manusia. Demikianlah pendapat para arif bijaksana. Dan tokoh wanita adalah yang terutama. Hati dan jalan pikirannya seringkali berubah dengan cepat.
Kali ini mengenai Tara. Dia seorang gadis yang berhati bersih, suci dan polos. Apalagi selamanya hidup di kalangan istana yang memegang teguh sopansantun tata pergaulan. Begitu memperoleh pendapat bahwa di antara Tilam dan Yudapati mempunyai hubungan yang istimewa, tiba- tiba saja ia merasa salah dan berdosa berada di antara mereka. Jangan- jangan dirinya membuat retak kesatuan mereka. Terus saja ia berdiri dan dengan menguatkan diri ia menghampiri kuda Tilam. Sebentar ia menetapkan hatinya, kemudian naik diatas pelananya. Dengan berlinang airmata, ia mengedut kendali kuda. Mula- mula dibiarkan berjalan dengan hati- hati. Setelah itu dikaburkan secepat- cepatnya tanpa menengok lagi.
Senja hari telah tiba, tatkala Tilam memperoleh kesadarannya. Segera ia bangun dan melihat Yudapati masih saja belum tersadar. Pada detik itu pula, teringatlah dia kepada Tara.
- Hai. di mana dia?
Serentak ia meletik bangun. Dengan cepat ia melihat jejak kaki yang terseret- seret. Hatinya memukul, manakala kuda yang ditambatkan tadi pada sebatang pohon yang berada di balik belukar,tiada lagi di tempatnya.
Cepat ia memburu.
Tilam adalah seorang gadis yang cerdas dan berpengalaman. Terus saja ia meloncat ke atas pohon, menebarkan penglihatannya. Namun apa yang dicarinya tiada nampak lagi. Seketika itu juga tahulah dia, bahwa Tara telah meninggalkannya. Teringat akan keadaan Yudapati, ia turun mencari air. Setelah berputar putar beberapa saat lamanya ia menemukan anak sungai yang berair bersih. Ia mengisi sarung pedangnya dan dengan langkah hati- hati ia kembali ke tempat Yudapati kehilangan kesadarannya. Dengan hati- hati ia memercikkan air itu ke wajah Yudapati. Begitu terpercik air, Yudapati melompat bangun sambil berteriak kalap: .
- Mengapa bunuh diri? Apa yang menyebabkan Yang Mulia bunuh diri? Mengapa kau biarkan . . . - Sudahlah.
Tilam menguatkan hatinya.
- Apakah engkau sudah dapat mendengarkan penjelasanku? Ayah pulang ke nirwana atas kehendak sendiri. Hanya . . . - Hanya apa?
- Kau duduklah baik- baik. Aku akan memberimu penjelasan. ujar Tilam.
Tidak mudah bagi Yudapati untuk mentaklukkan keadaan hatinya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal seakan- akan ingin berontak untuk menghantam musuh yang tidak menentu bendanya. Namun oleh pandang Tilam yang memancarkan keikhlasan dan rasa percaya kepada keadilan Hyang Widdhi, akhirnya ia duduk pula dengan hati mengeluh. .
- Hanya apa? - sekali lagi ia mendesak.
- Entah engkau bersedia atau tidak. sahut Tilam dengan suara adem.
- Apakah ini pesan Yang Mulia? - .
- Benar. - Coba terangkan dahulu!
Yudapati jadi tak sabar. Hal itu bisa dimengerti. Di Tarumanegara kedudukannya hanya seorang perwira pertama. Sekarang,kalau benar benar mendapat semacam kepercayaan dari seorang nayaka, berarti suatu kehormatan besar yang luar biasa. Bagi seorang perwira pertama seperti dia, suatu kepercayaan yang membawa keharuman negara dan bangsanya, pantas ditebus dengan jiwa dan raga.
Dengan tersendat- sendat Tilam mulai memberi keterangan. Mula-mula tentang makna lambang Dapunta Hyang bagi Kerajaan Sriwijaya serta pandangan ayahnya tentang benda mustika tersebut. Kemudian, apa sebab ayahnya dapat dengan mudah meloloskan diri dari penjara Lamuri. Setelah itu hubungannya dengan pihak raja yang sudah digulingkan. Dan yang terakhir menyinggung nama Pangeran Sanggrama Jayawardana dan kelompok pendeta berjubah kuning yang menyematkan nama depan Punta.
- Menurut ayah, mereka termasuk kaum Pasupata.
Tilam mengakhiri keterangannya.
- Sekarang, benda mustika itu berada di tanganku dan hendak kupercayakan kepadamu.
- Kau sendiri mau ke mana?
- Rekyan Kadung harus kita bawa pulang. Setelah ayah tiada, kupikir tak ada gunanya membantu kaum penentang pemerintah. Kecuali kalau dia bercita- cita naik tahta Sriwijaya.
- Tentang lambang Dapunta Hyang, dapatlah kita pikirkan pelahan- lahan. Yang penting. aku ingin menjenguk tempat peristirahatan Yang Mulia. Maukah engkau mengantarkan daku? Aku ingin memperoleh kepastian dahulu. Baru aku bekerja. Tentang Rekyan Kadung, masakan aku akan membiarkannya terpaku bercokol di sini? - ujar Yudapati dengan wajah merah padam.
- Hm.
kalau aku belum dapat membasmi Boma dan semua kakitangannya. biarlah aku berkubur di sini pula.
Tilam dapat berpikir bijaksana. Ia menyetujui jalan pikiran Yudapati. Mereka berdua kemudian menangkap dua ekor kuda, bekas milik laskar bhayangkara yang ditinggal mati majikannya. Sepanjang jalan. Yudapati nampak uring- uringan. Ia jadi membenci kepada semua laskar kerajaan yang menyebabkan duta negaranya mati sengsara.
- Kalau tahu begini, siang- siang mereka sudah kubunuh semua. - ujarnya berulangkali sambil mengepal- epalkan tangan.
Tilam tidak melayani, juga tidak menegornya. Tilam tahu,meskipun Yudapati seorang perwira ditambah lagi sudah menjadi seorang pendekar besar, namun dibalik ketegasan sikapnya,tersimpan gumpalan rasa yang sering mempengaruhi akal dan pikirannya. Tegasnya, kerapkali dia lebih menggunakan perasaannya daripada pikirannya. Sekiranya tidak demikian. mustahil dia membela Sekar Tanjung mati- matian sampai nyaris terenggut nyawanya. Padahal sama sekali dia belum mengenalnya.
Oleh pertimbangan itu pula. Tilam tidak membangkitkan perhatian Yudapati terhadap Tara yang pergi begitu saja tanpa pamit. Juga tidak menyinggung- nyinggung lagi nama Sekar Tanjung. Di dalam hati ia mengharapkan,agar pikiran dan perhatian Yudapati terpusat pada masalah lambang Dapunta Hyang yang sebentar lagi akan memerlukan tenaganya.
Pada hari ketiga, mereka sudah tiba di tempat tujuan. Begitu tiba di tempat itu, hati mereka berdua sudah tak dapat dikendalikan lagi. Disini, Tilam mencoba menceritakan peristiwa terjadinya musibah. Di mulai dari penyulutan tanda sandi dan pesan- pesan ayahnya sebelum melakukan bunuh diri.
- Mengapa menyulut tanda sandi?
Yudapati minta keterangan.
- Untuk menyesatkan laskar bhayangkara. - Hm. kalau begitu aku kasep selangkah. ujar Yudapati seperti menyesali diri sendiri.
Tilam kemudian menerangkan, bahwa jenasah ayahnya diurus oleh para pengawal. Dia sendiri waktu itu sudah tidak dapat menguasai diri.
- Mungkin sekali disemayamkan di tengah perkampungan nelayan, katanya.
- Disemayamkan bagaimana? Apakah engkau tidak ikut menyaksikan? Yudapati heran.
Tilam menggelengkan kepala. Dan Yudapati bertambah- tambah heran. Menegas:
- Mengapa? Bukankah ayahmu sendiri?
- Benar. Tetapi ayah tidak menghendaki aku hadir. Ayah tidak menghendaki aku tertawan Boma dan teman temannya.
Yudapati terlongong sejenak. Namun lambat- laun ia bisa mengerti. Rupanya Duta Lembu Seta sudah sadar, tidak akan dapat meloloskan diri dari pengamatan laskar bhayangkara. Berarti laskar bhayangkara sudah mengepung wilayah pantai dengan rapat.
Tetapi mengapa Upasunda, Bisatanding, Waranasi, Hanuraga, Samaratungga. Montri dan laskarnya bisa muncul mengepung dirinya?
Apakah mereka sedang balik mengejar Tilam?
Untuk mendapatkan kepastian, ia menegas
- Tilam! Apakah engkau membuat gerakan- gerakan demikian rupa. sehingga membuat Upasunda dan kawan kawannya mengejarmu?
Tilam mengangguk. Katanya:
- Sengaja aku membuat pemberitahuan, bahwa Lambang Dapunta Hyang kubawa kabur ke Gunung
Sibahubahu. Surat pemberitahuan itu, kuberikan kepada pendekar Tarung salah seorang pengawal kepercayaan paman Tandun.
- Ih. bahaya! Syukur engkau mengenakan pakaian pria. Tetapi apabila berpapasan dengan Boma,tak dapat engkau berbuat banyak. Sebab, Boma pernah mengenalmu berpakaian pria.
- Benar, memang hanya dia seorang yang harus kuhindari. lainnya, tidak perlu.
- Apakah karena engkau sanggup melawan mereka?
- Bukan itu sebabnya. sahut Tilam.
- Dalam surat pemberitahuan itu hanya kusebutkan: apa yang kau cari berada di Gunung Sibahubahu.
- Jadi engkau sama sekali tidak menyebut lambang Dapunta Hyang"?
- Tidak. - jawab Tilam tegas.
- Dengan begitu baik laskar bhayangkara maupun anak- buah paman Tandun tidak mengerti makna pemberitahuan itu. Mereka mungkin mengira. bahwa diriku berada di Gunung Sibahubahu.
Yudapati tertawa lega. Memang sejak dahulu ia kagum kepada kecerdasan Tilam. Hanya satu yang kurang jelas baginya. Ia tak dapat membayangkan, betapa keadaan hati Tilam tatkala menyaksikan ayahnya melakukan bunuh diri.
Tilam rupanya mengerti apa yang sedang merumun dalam hati Yudapati. Sambil melarikan kudanya pelahan lahan menuju perkampungan nelayan, ia berkata:
- Sewaktu aku memperoleh kesadaranku kembali, pendekar Tarung dan Sabung sedang sibuk berunding. Sebagian menghendaki akan membawa jenasah ayah menyeberang lautan Krakatau untuk diserahkan kepada yang berwajib di Tarumanegara. Tetapi hal itu tidak mudah dan sederhana saja. Mereka tentu akan menghadapi suatu
pengusutan yang berkepanjangan. Padahal mereka bukan dari kalangan pemerintah. Oleh pertimbangan itu. sebagian lagi akan membawa ayah ke perkampungan nelayan untuk disemayamkan. Pertama untuk menghindari tangan- tangan jahil laskar bhayangkara yang tentunya akan membongkar makam demi memperoleh bukti. Kedua, sebagai kesaksian bila kelak memberi laporan kepada paman Tandun. Aku sendiri waktu itu dalam keadaan pepat. Aku melompat ke atas kuda dan melarikan sejadi- jadinya selama dua hari dua malam . . .
Yudapati menghela nafas. Ia bisa merasakan betapa hebat hati Tilam terpukul peristiwa itu. Kalau saja tidak ikut melakukan bunuh diri, sudah merupakan karunia dewata agung. Karena itu, ia tidak berbicara lagi. Dengan wajah bermuram durja ia mengawaskan perkampungan nelayan yang terhampar di depan jangkauan matanya.
Tetapi tatkala tiba di perkampungan nelayan itu, mereka terperanjat sampai seluruh tubuhnya terasa dingin. Perkampungan itu tiada penghuninya lagi. Sunyi senyap dan rumah- rumah terbakar menjadi timbunan puing. Perahu- perahu yang terikat di tepi pantai terombang- ambing gelombang pasang. Menyaksikan hal itu, seperti berjanji mereka melompat turun dari kudanya dan memeriksa perkampungan itu dengan berlari- larian.
Di sana sini masih terdapat sisa dinding yang belum habis terbakar. Bahkan asapnya masih mengepul. Jelaslah sudah, bahwa pemusnahan itu belum terjadi terlalu lama. Dengan hati penasaran, mereka berputar. Tibalah mereka pada suatu lapangan terbuka yang penuh dengan mayat- mayat bergelimpangan. Tua-muda, laki- laki. perempuan dan kanak-kanak. Sungguh suatu pemandangan yang menggeridikkan bulu roma.
- Hai. siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini? - teriak Tilam.
- Kita terlambat . . . terlambat selangkah saja - - - - ujar Yudapati dengan suara berduka.
Suaranya kali ini pelahan sekali dan paras wajahnya muram.


Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan rasa penasaran,mereka berjalan lagi memutari perkampungan. Di antara bau sangit dan busuk, suasana kampung sangat menyeramkan. Sekarang mereka memeriksa perahu- perahu yang terombang- ambing gelombang pasang. Ternyata hanya beberapa buah. Lainnya nampak tenggelam atau dirusak.
- Sekarang aku harus mencari jenasah ayah kemana lagi? seru Tilam dengan suara setengah kalap setengah berputus asa.
- Siapa yang berbuat sekejam ini? Siapa Siapa?
- Tentunya laskar bhayangkara.
- Ah. benar katamu. Sebenarnya, dahulu kita harus membunuhnya semua! Tidak membiarkan Upasunda. Bisatanding. Waranasi. Hanuraga. Samaratungga dan Mantri meloloskan diri. Mengapa kesadaran selalu lambat datangnya? '
Setelah berkata demikian. Tilam menangis dengan airmata bercucuran. Dia jadi teringat akan jenasah ayahnya.
Kalau ayahnya disemayamkan dalam perkampungan ini. di manakah letaknya?
Siapa lagi yang dapat diharapkan dapat memberinya keterangan?
Tiba- tiba ia meloncat dan lari berputaran lagi sambil memanggil- manggil orang.
- Apakah tidak ada yang mendengar suaraku? Apakah tidak ada yang masih hidup?
Menyaksikan pekerti Tilam. Yudapati jadi terharu bukan main. Untuk pertama kali itulah ia melihat gadis yang dikaguminya itu kehilangan pikiran sehat. Tetapi ia bisa mengerti dan mau mengerti. Beberapa hari yang lalu dia- - sendiri jatuh pingsan begitu mendengar Duta lembu Seta wafat di tengah jalan. Dahulu di kota Lamuri demikian pula. Apalagi Tilam sebagai puteri satu- satunya
yang sudah tidak beribu lagi. Alangkah mengharukan nasib gdis itu.
- Tilam! - ia mencoba menghibur dan menenteramkan hatinya.
- Rupanya tiada seorangpun yang dibiarkan hidup. Kukira ini bukan perbuatan laskar bhayangkara.
Mendengar pendapat Yudapati. Tilam tertarik. Ia menghentikan langkahnya sambil menyusut airmatanya. Tanyanya:
- Kalau bukan mereka. lalu siapa?
- Jelek- jelek. kaum nelayan adalah bagian rakyat Sriwijaya pula. Segolongan rakyat yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan masalah pergantian pemerintahan. Seumpama diminta keterangannya tentang sesuatu hal,pasti mereka bersedia menjawab. Karena yang minta keterangan adalah tentara kerajaannya sendiri. Tilam seorang gadis yang pandai berpikir. Segera ia dapat menerima alasan Yudapati. Lalu menegas:
- Apakah kawanan perampok? - Kalau kawanan perampok biasa juga bukan. Mengapa memilih membakar rumah penduduk daripada merampas harta bendanya? Taruhkata penduduk terlalu miskin. tetapi perahu- perahu itu ada harganya. Tetapi perahu- perahu itu sengaja dirusak bahkan banyak yang ditenggelamkan. .
- Lalu siapa'! Apakah . . . apakah . . . laskar Tammanegara yang hendak menuntut bela?
- Dugaanmu bisa masuk akal. Akan tetapi jelek- jelek akupun salah seorang perwira laskar Tarumanegara. Andaikata terpaksa melakukan pembunuhan tentunya dengan menggunakan senjata. Tetapi lihatlah mayat- mayat itu sekali lagi. Mereka tidak terbunuh dengan senjata. Tetapi dengan cengkeraman tangan atau hantaman dahsyat. Tilam tahu. Yudapati mempunyai pembawaan yang
cermat. Untuk membuktikan kebenarannya ia memaksa diri untuk memeriksa mayat- mayat itu kembali .
- Benar mereka semua mati karena terkena pukulan dahsyat atau cengkeraman maut yang hanya dimiliki oleh segerombolan orang yang berkepandaian tinggi
- Kau benar .kata Tilam mengaku kalah.
- Lalu siapa yang melakukan pembunuhan kejam ini?
- Apakah luka yang diderita mereka, ada persamaannya dengan laskar bhayangkara yang terbunuh? !
- Ah! Apakah pendeta- pendeta berbaju kuning dahulu? - '
- Mungkin bukan mereka. Sebab mereka terlalu angkuh dan tentunya tidak sudi melakukan pembunuhan terhadap orang- orang yang tidak berkepandaian.
- Jadi? - - - Kukira anak didik mereka, sahut Yudapati.
- Bukankah menurut keteranganmu. mereka bertujuh adalah ketua- ketua suatu perguruan? '
Tilam tertegun- tegun. Apa yang dikatakan Yudapati bukan suatu hal yang mustahil. Kalau mereka bertujuh dapat melakukan pembunuhan kejam terhadap laskar kerajaan, bukan mustahil bila anak didiknya berlaku gapah dan kejam terhadap penduduk yang dianggap sebagai penghalang tujuannya. Teringat akan pesan ayahnya. kaum jubah kuning itu mungkin sudah ikut terjun dalam masalah kenegaraan, ia jadi bergidik sendiri karena yang diperebutkan tentunya adalah lambang Dapunta Hyang sebagai modal pembangunan kerajaan baru.
Selagi berpikir demikian. terdengar Yudapati berkata lagi:
- Adakah di antara mereka terdapat pengawal- pengawal paman Tandun?
Diingatkan hal itu. Tilam tersentak kaget seperti seseorang tersengat lebah. Sahutnya:
- Ya. ya. ya . . . benar! Mengapa mereka tidak . . . Apakah bukan perkampungan nelayan ini yang dipilih sebagai tempat persemayaman ayah?
Suaranya jadi gembira penuh harapan. Dengan wajah berubah- rubah ia berkata lagi kepada Yudapati:
- Apakah engkau mempunyai saran?
- Aku mempunyai pendapat tetapi entah benar entah tidak. kata Yudapati setelah diam sejenak.
- Katakanlah!
- Menurut pengamatanku, sasaran yang dikehendaki orang- orang luar terhadap Yang Mulia Duta lembu Seta, bukanlah pribadi beliau. Sekiranya demikian. tentunya Boma tidak akan membiarkan beliau lolos dari penjara. Tetapi lebih dari itu. Ialah lambang Dapunta Hyang.
- Benar.
- Demi benda mustika itulah, setiap orang yang berkepentingan mempertaruhkan jiwa dan raganya. Termasuk Yang Mulia Duta lembu Seta dan kelak kita bertiga. - Siapakah yang seorang?
- Rekyan Kadung. tentunya. Dan mendengar Yudapati menyebutkan nama Kadung, Tilam tersenyum manis. Berkata: ,
- lalu?
- Teringatlah aku akan tuturkatamu, bahwa lambang Dapunta Hyang dapat diselamatkan berkat kecerdikan dan kecermatan Yang Mulia. Mengapa engkau tidak menirunya?
Tilam mengerinyitkan dahinya. Menegas:
- Kau maksudkan agar aku menyimpannya secermat mungkin dengan menyelipkannya . . .sampai disini mukanya menjadi. merah dadu.
- Hai. bukankah lebih
tepat engkau saja yang menyimpannya? Yudapati tertawa terbahak- bahak. Dan entah apa sebabnya mendengar si berewok itu tertawa terbahak bahak, hati Tilam berkesan manis. Ada terselip perasaan gemas dan manja. Inilah untuk pertama kalinya ia berkesan demikian terhadap pribadi Yudapati.
- Setelah tersimpan rapih, nah barulah kita menyelidiki di mana tempat persemayaman Yang Mulia berada. Aku menghendaki untuk memasuki kawasan Krakatau.
- Hai! Apa alasanmu? Tilam heran.
- Perkampungan nelayan ini memang sudah rusak binasa. Akan tetapi masakan tiada terdapat seorang dua orang nelayan yang pada saat terjadinya penjagalan ini, masih berada di tengah lautan untuk mencari ikan sebagai mata- pencarian hidupnya?
- Ah, ya! Mengapa aku tidak berpikir demikian? wajah Tilam jadi semakin cerah.
- Kalau begitu. terimalah lambang Dapunta Hyang yang kubawa. Selanjutnya akan kau simpan dimana, aku tidak mau tahu lagi. - Yang jelas, tidak mungkin kuselipkan di dalam
pantat. Aku jadi tidak dapat duduk merata lagi.
Yudapati tertawa nakal..
- Perwira ini. bicaranya sekarang seperti orang pasaran - pikir Tilam dengan hati gemas.
Dan dengan memberengut ia menyerahkan lambang Dapunta Hyang kepada Yudapati.
Dengan terharu, Yudapati menerima Lambang Dapunta Hyang. Setelah berdiam sejenak, justru kedua matanya jadi berkaca- kaca. Berbagai bayangan berkelebatan di depan matanya. Bayangan penderitaan dan- penanggungan yang tak terlukiskan. Benda itu sendiri hanya - sederhana saja bentuknya. Besarnya tidak melebihi ujung ibujari. Namun entah sudah membawa korban berapa ribu orang
demi mempertahankan kehadiran dan amanatnya. Sampai sampai orang luar seperti Duta lembu Seta rela berkorban jiwa. Juga Panglima Jagadpati yang tidak tahu menahu dan tidak mengerti sangkut- pautnya. Mungkin pula darah Kadung, Tilam dan dirinya akan ikut serta membasahi bumi Suwarnadwipa.
- Apakah engkau ahli benda- benda kuno sampai pandang matamu tidak berkedip mengamati lambang Kerajaan Sriwijaya? - tegur Tilam.
Oleh teguran itu. Yudapati tersentak dari lamunannya. Segera ia menyahut:
- Kalau begitu. sekarang kita membagi pekerjaan. Engkau mencari perahu dan aku akan bersembunyi untuk menyelipkan benda ini di anuku. Tanpa menunggu persetujuan. Yudapati lari sekencang kencangnya sambil tertawa berkakakkan. Tilam menghela nafas.
- Benar- benar berubah adatnya. pikirnya.
- Ucapannya nakal dan kerapkali berkesan agak jorok.
Tilam tidak tahu bahwa perubahan itu terjadi akibat perkenalannya dengan Palata.
Pelahan- lahan ia mengalihkan pandangnya kepada beberapa perahu yang terombang- ambing oleh gelombang pasang waktu senja hari.- Sekonyong- konyong teringatlah ia kepada mayat- mayat yang bergelimpangan.
Masakan akan dibiarkan saja?
Sebagai ummat beragama tak dapat ia hanya memeluk tangan belaka.
- Karena pikiran dan hatiku pepat. kubiarkan jenasah ayah dengan begitu saja. Dan orang lain segera mengurusi tanpa kupinta uluran tangannya. Maka terhadap mayat mayat yang tidak terurus. wajiblah aku berlaku demikian pula. ia berkata di dalam hati.
Dengan keputusan itu,ia membatalkan niatnya untuk mencari perahu. Segera ia balik kembali ke perkampungan
mencari alat untuk menguburkan mayat mayat. Selagi demikian. Yudapati datang. Jalannya agak pincang. Tahulah dia bahwa Yudapati menyimpan lambang Dapunta Hyang di pangkal pahanya seperti yang pernah dilakukan ayahnya. Karena pahanya tentunya terbalut kencang, langkahnya jadi terhalang. Ia jadi bersenyum sendiri.
- Hai, Tilam! Apakah engkau sudah mendapat perahu? seru Yudapati.
- Kau tolongkan aku menguburkan mayat- mayat ini dahulu! Baru kita membicarakan tentang perahu. sahut Tilam.
Yudapati terhenyak.
- Benar. pikirnya.
- Hampir saja aku melupakan kewajiban terhadap sesama manusia.
Terus saja ia mencari cangkul, kemudian menggali liang kuburan sebesar- besarnya. Syukur, perkampungan itu didirikan di dekat pantai. Dengan demikian, tanahnya berpasir dan mudah untuk digali. Meskipun demikian, pekerjaan itu membutuhkan waktu selama hampir tiga jam.
- Tetapi jumlahnya begini banyak. Bagaimana kita bisa mengubur mereka. ujar Tilam dengan suara berduka. Sebab selama ikut menggali liang. pikirannya terus teringat kepada ayahnya.
- Bagaimana kalau kita atur begini saja. tungkas Yudapali.
- Yang berusia lanjut dan kanak- kanak kita kubur bersama. Lainnya kita bawa ke tengah laut dan kita tenggelamkan ke dasarnya. Kukira mereka lebih tenang berada di dasar lautan daripada kehujanan dan kepanasan di atas bumi. Seperti tadi, tanpa menunggu persetujuan Tilam, ia lari dengan kaki terpincang- pincang ke tepi pantai. Lima perahu yang terombang- ambing di atas gelombang segera ditariknya menepi. Setelah ditambatnya erat- erat, ia lari kembali dan memapah mayat- mayat yang sudah terkumpul. lalu diaturnya berjajar rapih. Semuanya memerlukan empat buah perahu. Setelah itu dengan seorang diri ia membawa keempat perahu itu ke tengah lautan dan membuang mayat- mayat dengan disertai puji doa semesta. Dan pekerjaan yang memakan tenaga dan keikhlasan baru selesai setelah malam hari tiba.
Tilam tidak mengajaknya berbicara lagi. Ia tahu. Yudapati terlalu lelah. Maka ia membiarkannya beristirahat. Hanya saja,perkampungan nelayan itu membuat bulu kuduknya selalu meminding. Untuk menenteramkan hatinya, ia naik ke perahu yang kelima. Sedang perahu- perahu bekas pengangkut tumpukan mayat, dibiarkan terbawa gelombang laut. Tetapi meskipun dirinya kini berada dalam perahu itu, namun masih tak dapat segera tertidur. Pikirannya melayang tak keruan bentuknya. Akhirnya, ia merasa dirinya kini tiada tempat sandaran lagi. Ia jadi anak yatim piatu. Dunia yang terbentang luas dirasakannya sunyi dan hampa.
- Katakanlah, tinggal satu langkah saja, aku sudah menginjak bumi tempat kelahiranku. Tetapi setelah tiba di sana, kemana aku harus pergi? - ia berkata dalam hati.
Alangkah terasa kosong persada dunia ini. Syukur, ia masih mempunyai tugas suci hendak melaksanakan tugas ayahnya untuk mengembalikan lambang Dapunta Hyang kepada yang berhak menerima.
- Ayah! bisiknya.
- Tenteramkan hatimu, ayah! Aku akan membuat ayah bersyukur di nirwana. Dengan bantuan Yudapati dan Kadung, pasti akan terlaksana harapan ayah. Tak terasa, ia tertidur dengan perasaan nyaman. Sewaktu menyenakkan mata, matahari sedang mengintip di garis cakrawala. Indah semarak menawan hati. Kesejukan pagi hari seolah- olah menjanjikan nasib yang baik. Ia menegakkan badannya dan melihat Yudapati sudah
berdiri tegak di atas batu karang menghadap ke selatan. Kebetulan pemuda itu berpaling padanya. kemudian berseru:
- Tilam, apakah engkau sudah bangun? Lihat ada perahu datang.
Tilam berdiri tegak di atas perahunya yang jadi bergoyang. Samar- samar ia melihat sebuah biduk hendak berlabuh. Segera ia meloncat ke pantai dan lari menghampiri Yudapati yang berada di atas batu karang. Dari atas batu karang,tentunya akan memperoleh penglihatan lebih jelas. Yang berada dalam perahu itu, tidak lebih dari lima orang. Dua orang berdiri dengan gagah di ujung perahu. sedang lainnya mengayuh sambil memegang kemudi. layar yang terpasang hanya mengembang sedikit saja. karena angin meniup malas. Manakala pandang mata dapat menjangkau dengan jelas. wajah Tilam kelihatan berubah.
- Hai paman Sabung dan Tarung! Mereka datang dari mana? seru Tilam setengah bersorak.
- Siapa mereka?
Yudapati minta keterangan.
- Merekalah yang mengawal ayah. Tilam hendak meloncat menyambut, tatkala tibatiba Yudapati menangkap lengannya. Biasanya, Yudapati tidak pernah memperlakukan demikian. Juga Tilam tidak mau diperlakukan demikian. Tetapi semenjak menyaksikan dan mencoba kepandaian Yudapati. Tilam menaruh hormat padanya. Si berewok itu lebih dewasa dalam segala halnya. Baik cara berpikir, pengamatan pandangan maupun tindakannya.
- Jangan terburu nafsu! - kata Yudapati dengan suara sabar.
- Mengapa? Apakah engkau menaruh curiga?
- Curiga sih. tidak. Tetapi apakah hanya kita berdua
saja yang melihat kedatangan mereka?
Pertimbangan Yudapati menyadarkan Tilam.
- Ya. kenapa dia tidak dapat berpikir demikian pula?
Hal itu terjadi karena hatinya terlalu ikut berbicara, ia mengharapkan berita tentang ayahnya secepat- cepatnya. Asal saja bisa bertatap muka dengan pendekar Sabung dan Tarung semuanya akan jadi jelas.
Perahu itu sendiri, tiba tiba menurunkan layarnya. Sebentar saja kehilangan lajunya seakan- akan ada yang ditunggunya. Oleh penglihatan itu. Yudapati membawa Tilam turun dari batu karang. Berkata:
- lihat. mereka bertiarap. Jelas sekali. mereka sedang bersembunyi. Jika begitu. mereka tidak ingin terlihat oleh orang orang yang berada di daratan. Tetapi pemandangan itu tidak berlangsung terlalu
lama. Layar mulai terpasang lagi dan perahu dikayuh dengan laju. Sabung berdiri dengan gagah di depan sedang Tarung memegang kemudinya. Berbareng dengan munculnya matahari penuh di atas cakrawala,perahu sudah mencapai pantai. Mereka berlompatan dengan sikap bersiaga.
Selagi Yudapati dan Tilam memperhatikan gerak- gerik mereka,sekonyong- konyong muncul beberapa orang seolah- olah keluar dari bawah bumi. Menyaksikan peristiwa itu. Yudapati terkejut setengah mati. Katanya:
- Celaka! Kalau begitu. mereka sudah mengetahui kita berdua semenjak semalam. Ternyata mereka bertiduran dengan berselimut pasir. Selama hidupku baru kali ini, aku menyaksikan perangai manusia seaneh mereka. Siapa mereka dan apa sebab tidak mengganggu kita? Tilam tidak menyahut, ia merasa diri tidak perlu menyahut. Namun wajahnya buram, tanda hatinya mendongkol. Memang kalau dipikir ,memaki atau mendongkolpun
tiada gunanya lagi. Namun ia seorang gadis yang berotak cerdas. Menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, ia tidak kekurangan akal.
- Mereka telah mengintip kita. Sekarang kita membalas mengintip mereka. - katanya memutuskan.
- Kukira yang hendak kau intip justru teman- teman mereka.
- Alasanmu?
- Mereka tadi mengembangkan layarnya. Lalu menurunkan. Selang beberapa saat, layar dikembangkan lagi. Apakah bukan salah satu kata sandi mereka? "
- Kau benar. Justru pembicaraan merekalah yang akan kuintip.'
- Hm.
Yudapati mendengus.
- Hm. bagaimana? - Kalau mereka sudah mengintip kita, bukankah mereka bisa mengarang adegan? Bila mereka bermaksud mengelabuhi kita, bukankah kita sudah masuk dalam perangkapnya?
- Belum tentu. Kecuali kalau mereka menganggap kita berdua ini tidak mempunyai otak. jawab Tilam dengn tegas. Berkata lagi:
- Hanya saja aku minta bantuanmu. Kau cegatlah mereka yang muncul dari bawah pasir tadi. Dan aku akan menghadang paman Sabung dan Tarung, sebelum bertemu muka dengan mereka.
Tilam tidak menunggu jawaban Yudapati. Dengan cepat ia mengambil jalan pintas dan langsung menyongsong Sabung dan Tarung yang sudah berada di tepi pantai. Yudapati sendiri bekerja dengan cepat. Sambil lari berlompatan ia berseru: '
- Hai binatang! Apa dosa kaum nelayan sampai kalian jagal habis- habisan?
Mendengar teguran Yudapati yang lantang bagaikan
halilintar meledak di siang hari bolong, mereka membalikkan tubuhnya. Seorang yang mengenakan pakaian kekuning- kuningan menyahut dengan tertawa: .
- Terimalah hormatku! Memang pantas engkau menuduh kami. Tetapi kamipun belum kenal siapa engkau.
- Siapa sudi menerima hormatmu. - bentak Yudapati.
- Kalian kularang melangkahkan kaki. sebelum semuanya jadi jelas. - Eh! Kau anggap dirimu siapa sampai berani main perintah? ... bentak seorang berperawakan dempal. Diapun berberewok seperti Yudapati, tetapi tidak terpelihara baik. Rambutnya berdiri awut- awutan. kumisnya hampir menutupi separoh mukanya. Dengan sebilah golok ditangan, terus saja dia melompat menyerang.
- Kebetulan malah, pikir Yudapati.
Memang itulah yang diharapkannya agar memberi kesempatan Tilam berbicara dengan Sabung dan Tarung.
Menghadapi serangan golok orang berberewok yang berwatak pemberang itu, Yudapati tidak perlu menggunakan pedangnya. Dia hanya cukup mengelak sedikit saja, kemudian mendahului menyerang iganya dengn sebelah tangan. Tentu saja serangan hanya dengan tangan kosong itu, dianggapnya enteng. Walaupun lebih cepat, namun bila mengenai sasaran paling- paling hanya terasa sakit saja tak beda dengan seorang kena gaplok. Yudapati tertawa sambil berseru:
- Kau manusia pemberang jangan memandang enteng serangan tangan. Kau rasakan akibatnya.
Serangan tangan Yudapati pernah membuat Palata mati kutu. Demikian pula kali ini. Tahu- tahu si pemberang tidak dapat bergerak lagi. Ia seperti terpantek di atas tanah. Dan goloknya jatuh di atas tanah pasir.
- Bagaimana? - ejek Yudapati.
Teman- temannya yang berjumlah delapan orang, tertegun keheranan. Orang yang berbicara pertama kali tadi tertawa lagi:
- Maafkan. tuan. Madras perlu dihukum begitu.
- Madras siapa?
- Madras yang tuan buat jadi arca tak pandai bergerak. sahut orang itu tertawa.
- Kau sendiri siapa?
- Modra. bawahan tuanku Sabung.
- Kalau semenjak tadi berkata begitu. kesalah- pahaman tidak perlu terjadi. ujar Yudapati,ia kemudian membebaskan Madras dengan pukulan pula.
- Madras. kau mintalah maaf kepada tuan muda ini. perintah Modra.
Dengan wajah merah padam. Madras memungut goloknya lalu membungkuk hormat dengan hati mendongkol. Yudapati tahu keadaan hatinya. Berkata:
- Apakah engkau mengira suatu kebetulan saja sampai golokmu runtuh di tanah? Engkau boleh mencoba lagi. Silakan! - .
Yudapati memang sengaja berlagak tinggi hati untuk melihat mereka. Akan tetapi Modra lebih bijaksana daripada Madras yang beradat pemberang. Buru- buru ia mencegah. Katanya:
- Semalam kami semua sudah menyaksikan betapa ulet dan kuat tenaga tuan sampai sanggup membuang seluruh mayat penduduk kampung nelayan ini hanya seorang diri. Kami yang sudah berumur hampir setengah abad mengakui kalah jauh dibandingkan dengan tindakan amal tuan. Soalnya karena kami harus berjaga- jaga terhadap mereka yang melakukan pembunuhan penduduk.
- Apakah engkau mengetahui. siapa mereka? - Dari gerombolan mana mereka. kami kurang jelas.
- Tetapi mereka mengenakan jubah berwarna kuning. Hm . , , ... jawab Madras.
- Katakanlah, kami ini dari golongan sesat. tetapi belum pernah kami melakukan pembunuhan membabi buta. Mudah- mudahan Dewa Yama jangan kena dikelabuhi warna jubah dan orang- orang yang hanya pandai hidup di dalam biara.
Yudapati mengerinyitkan dahinya. Dugaannya mendekati kebenaran. Justru demikian, bulu kuduknya meremang sendiri. Sebagai seorang perwira, berperang merupakan ilmu utama dari tiap perajurit. Tetapi kalau sampai membunuhi kanak- kanak dan orang- orang tua, bukan menjadi dasar pekerti perajurit- perajurit Tarumanegara.
- Bagus, bagus! Kau menyebut- nyebut Dewa Yama. Bagaimana kalau aku sendiri yang menjadi Dewa Yama? tiba- tiba terdengar suara orang terbawa angin laut.
Semua orang menoleh ke arah datangnya suara. Yang bersuara belum menampakan diri, akan tetapi suaranya sudah sampai. Jelas sekali, bahwa yang bersuara itu seorang sakti yang susah diukur betapa tinggi kepandaiannya. Diam- diam, hati Yudapati tercekat. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia menyaksikan macam kesaktian yang biasanya hanya diperdengarkan oleh dongeng- dongeng untuk mengasyikkan anak- anak diatas tempat tidur.
- Semua mundur! terdengar suatu seruan nyaring. Dialah pendekar Sabung yang melesat ke depan, diikuti pendekar Tarung. Wajah mereka kelihatan tegang.
- Paman tahu, siapa dia? itulah suara Tilam yang minta keterangan pendekar Sabung. Sebentar tadi belum sempat ia berbicara berkepanjangan, kecuali saling memperlihatkan rasa gembira dan syukur atas pertemuan itu. Selagi hendak minta penjelasan tentang jenasah ayahnya,perselisihan antara Yudapati dan Madras perlu diselesaikan dahulu. Maksud itupun belum terlaksana juga
oleh datangnya suara yang bernada mengancam.
- Yang bersuara seorang pendeta gadungan bernama: Yogabrata.
Sabang memberi keterangan.
- Bagus bunyi nama itu. Tetapi sebenarnya seorang iblis yang tak mengenal kemanusiaan. Merekalah yang menjagal semua penduduk perkampungan nelayan ini.
- Mereka?
- Ya. mereka. Karena isterinya yang bernama PramuSinta jauh lebih jahat lagi. Karena itu, kuminta dengan sangat, jangan hiraukan apa yang bakal terjadi. Andaikata kamipun terpaksa kehilangan jiwa, cepat- cepatlah menjauhkan diri. ...
Kata- kata Sabung diucapkan dengan suara sungguh sungguh sehingga Tilam melemparkan pandang kepada Yudapati untuk minta pertimbangan. Selagi demikian,terdengar Sabung berkata kepada sekalian anak- buahnya:
- Modra,Madras dan semuanya saja. Paling baik kalian beristirahat dahulu menghimpun tenaga. Mereka sudah kena kalian kelabuhi dengan memendam diri dalam pasir, tetapi tidak untuk yang kedua kalinya. Iblis itu membiarkan kalian bertiduran dalam pasir, karena belum pernah mereka menyerang orang diwaktu matahari tengelam. Itulah sebabnya mereka datang lagi kemari untuk menyambangi kalian. Tetapi kalian tak usah takut! Asal saja bersatu- padu, mustahil mereka bisa membunuh kita dengan gampang.
- Sebenarnya apa yang mereka kehendaki sampai membunuhi orang- orang yang tidak tahu- menahu? Yudapati minta keterangan.
Belum sempat Sabung menjawab pertanyaan Yudapati, tibatiba muncullah dua orang manusia yang hebat kesannya. Seorang laki- laki dan seorang perempuan. Yang laki- laki berpakaian jubah kuning Gundul polos. tanpa
kumis tanpa jenggot. Kedua matanya berseri- seri dengan mulut selalu mengulum senyum. Wajahnya ramah,pemaaf dan mau mengerti. Sedang yang perempuan berumur kira- kira empat puluh tahun. Tetapi berwajah cantik sekali. Perawakan tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya bersih. sayang tertutup pakaian jubah seorang biarawati berwarna kuning.
- Manusia- manusia begini inikah yang dengan kejam membunuhi semua penduduk kampung nelayan yang tidak berdosa? Sungguh susah dipercaya.
- Kau ingat- ingat saja, namanya. Yogabrata dan Pramusinta. Sungguh suatu nama yang berbunyi menggiurkan. ujar Sabung dengan berbisik.
- Dan jangan lupa peringatanku tadi. Apapun yang terjadi, pergilah secepat cepatnya.
- Hm.
Yudapati mendengus dalam hati. Ia jadi teringat kepada musibah yang dahulu menimpa keluarga pendekar Goratara. Dahulu saja, jiwa satrianya tidak mengijinkan suatu kekejian berlaku di depan matanya. Apalagi kini ia merasa berkepandaian jauh lebih lumayan daripada dahulu.
Masakan hanya akan tinggal menjadi penonton belaka?
Diam- diam ia memperhatikan gerak- gerik mereka.
- Nah, bagaimana tuan- tuan? Kau serahkan atau tidak? itulah suara Pramusinta yang diucapkan dengan lemah lembut.
- Apa yang harus kuserahkan? bentak Sabung.
- He he he . . . jangan berlagak tolol!
Yogabrata menyambung dengan tertawa lebar.
- Isteriku sudah cukup sabar membiarkan kalian lolos menyeberangi laut. Apakah kalian harus kami paksa untuk mengalami nasib seperti kaum nelayan yang tolol itu?
Madras si pemberang tidak tahan lagi melihat gaya dan kata- kata kedua iblis itu. Dengan memajukan diri ia membentak:
- Kalian iblis yang tidak tahu malu. lagak kalian menyandang jubah pendeta, tetapi hati kalian keji melebihi iblis. siluman dan setan alas!
Mendengar kata- kata Madras. Pramusinta tertawa pelahan sekali. Kemudian dengan lagu suara masih lembut, berkatalah ia menegas:
- Engkau berkata apa. manis?
Belum sempat Madras menyahut, Pramusinta bergerak. Tahu- tahu tangannya sudah menyerang. Cepat- cepat Madras menangkis. Tetapi tangan yang berkulit bersih dan bergaya lembut itu dapat mengelakkan serangannya dan segera ditariknya kembali setelah sempat mengusap pipinya.
Yogabrata tertawa lebar setelah Pramusinta berada kembali di tempatnya. Dan selanjutnya apa yang terjadi benar- benar mengejutkan dan mengerikan. Pipi Madras yang kena usapan lembut, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apapun. Tetapi sekonyong- konyong terdengar suara gemeretak. Dan ia roboh terguling dengan kepala remuk seperti teremas.
Yudapati terlongong keheranan menyaksikan peristiwa itu. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan suatu kesaktian yang begitu hebat dan mengerikan.
Apakah pukulan sakti itu bersumber pula pada ilmu hitam Pasupata?
Dahulu diapun pernah pula menerima akibatnya tatkala kena hisap ilmu hitam Pasupata milik Boma Printa Narayana.
Baik Sabung maupun Tarung, tidak dapat membiarkan anak- buahnya akan diperlakukan sedemikian kejam. Dengan berbareng mereka melompat maju. Pada saat itu terdengar suara Yogabrata menyesali Pramusinta:
- Mengapa engkau hanya mengusapnya saja? Mengapa tidak engkau tempeleng? Apakah wajahnya jauh lebih
menarik daripadaku?
- Aku mau mengusapnya atau menciumnya, apa pedulimu? - bentak Pramusinta tak senang,
Mendengar serentetan tanya- jawab suami- isteri jahanam itu. Tarung tak dapat lagi menguasai diri. Terus saja ia membentak lantang:
- Kami bukannya sebangsa pelacur yang bisa kau usap- usap sekehendakmu sendiri .Juga bukan pelacur laki- laki yang ingin iseng dengan seorang biarawati yang tak punya tampang.
Pramusinta paling benci terhadap seseorang yang mencela baik kecantikan wajahnya maupun sepak- terjangnya. Apalagi diapun kini seakan- akan dikatakan semacam orang iseng yang sedang merantau di daerah pelacuran. Keruan saja, wajahnya merah padam. Kecantikannya sirna dan berubah menjadi bengis. Bentaknya sambil menuding:
- Kau mengoceh apa?
- Eh, apakah kurang jelas? ejek Tarung.
- Aku berkata, kau seorang biarawati yang terhormat. tetapi entah karena apa tiba- tiba iseng mencari seorang pelacur laki- laki sehingga tangannya gatal untuk mengusap- usap pipi yang ditumbuhi berewok tebal. Bagus, bagus! Memang engkau seorang biarawati istimewa yang . . .
Belum lagi Tarung menyelesaikan kata- katanya, Pramusinta sudah melesat menyerang dengan memekik tajam. Kali ini dia menyerang dengan pengebut bulu ekor kuda yang biasa digunakan oleh kaum bhiksuni di biara. Pengebutnya bertangkai baja putih dan memantulkan cahaya gemerlap oleh cahaya matahari. Barangkali itulah sebabnya dia bersiaga bertempur di siang hari dan enggan melakukan pembunuhan di malam hari. Sebab bila terpaksa menghadapi seorang lawan tangguh,tangkai baja putihnya bisa membantu menyilaukan penglihatan lawan.
Tarung sudah bersiaga akan menghadapi serangan mendadak. Semenjak tadi dia sudah memegang senjata andalannya berbentuk sebatang tongkat baja pula. Dengan cekatan ia menghantam tangkai pengebut Pramusinta, berbareng menikam lengan. Pramusinta tahu, lawannya kali ini tentu saja bukan semacam Madras yang sudah dibunuhnya dengan sekali mengusap pipinya. Namun sama sekali tak disangkanya, bahwa Tarung memiliki kecekatan luar biasa dan himpunan tenaga sakti yang kuat.
Buru- buru - ia menarik serangannya dan menyabet ujung tongkat yang nyaris menikam lengannya dengan memekik melengking:
- Lepas!
Hebat gerakan Pramusinta. Meskipun bulu pengebutnya terbuat dari bulu ekor kuda, namun oleh himpunan tenaga saktinya bulu pengebut jadi semacam ribuan helai rambut baja yang mampu menggubat ujung tongkat Tarung. Begitu menggubat kencang, lalu dihentakkan keras.
Dijemput Malaikat Karya Palris Jaya Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding The Heroes Of Olympus 2 Son Of Neptune

Cari Blog Ini