Pendekar Rambut Emas Karya Batara Bagian 1
1234 PENDEKAR RAMBUT EMAS
Karya BATARA
Pelukis YANES
Percetakan & Penerbit CV G E M A
Mertotusuman 761 Rt. 14 Rt III Telpun No.
5801 S O L O
Sumber Image : Awie Dermawan
Editor : Andy , Iskandar Effendi & Yons
Di Upload di Grup : Kolektor E-Book
Dari Tgl 24 Agt. 2018 s/d 12 Feb. 20195
DISCLAIMER
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba
bagi para pecinta Ebook untuk belajar,
berdiskusi, berbagi pengetahuan dan
pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya
untuk melestarikan buku-buku yang sudah sulit
didapatkan dipasaran dari kpunahan, dengan
cara mengalih mediakan dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek
alih media diklasifikasikan berdasarkan kriteria
kelangkaan, usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku
diperoleh dari kontribusi para donatur dalam
bentuk image/citra objek buku yang
bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam
format digital sesua? kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan
finansial dari buku-buku yang dialih mediakan
dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor Ebook6
"PENDEKAR RAMBUT EMAS"
Karya : Batara
* * * Lalu lalang di depan mata
sering berubah berganti rupa
siapa dapat "menangkap" harganya
dialah manusia berguna ganda
( Diambil dari kitab Bu Beng Sian Su )
Jilid 1
KIM-MOU-ENG (Pendekar Rambut
Emas), sebenarnya tokoh yang tidak begitu
menonjol di dunia persilatan. Tokoh ini hidup dalam
pemerintahan kaisar Yuan Ti, yakni ketika ahala
Han berkuasa dalam abad terakhir sebelum
Masehi. Pendekar yang kurang begitu dikenal
karena sepak terjangnya memang tidak menyolok,
lebih suka menyembunyikan diri dan berkelana
secara diam-diam dari satu tempat ke tempat
lainnya, menikmati keindahan alam dan benarbenar merupakan pengembara tulen. Tapi ketika7
terjadi suatu peristiwa besar di ibu kota kerajaan,
yakni yang saat itu berada di kota Chang-an (kini
bernama Sian) tiba-tiba saja nama pendekar ini
melejit dengan luar biasa mengejutkan.
Saat itu sri baginda mengadakan
semacam sayembara. Semalam beliau bermimpi
ketemu seorang wanita cantik yang luar biasa
parasnya, ayu dan huelook bukan main (ehm!).
Tapi ketika sri baginda hendak memeluknya dan
mencium wanita ini mendadak si juwita lenyap. Sri
baginda terbangun, kecewa dan lama tertegun di
tempat peraduannya. Tapi ketika pagi menjelang
tiba dan sri baginda buru-buru membersihkan diri
dibantu dayang yang cantik-cantik tapi tidak
menggerakkan gairah beliau akhirnya para menteri
dipanggil menghadap. Mereka ditanya apa arti
mimpi itu. Jelek atau baik bagi keselamatan
negara. Tapi karena menteri-menteri ini juga
kejangkitan penyakit ABS (Asal Bapak Senang)
maka tentu saja mereka menyatakan bahwa arti
mimpi itu adalah baik. Terang tak berani berkata
"buruk" karena hanya mencemaskan junjungan
mereka belaka. Dan lagi kalau buruk, buruk
tentang apa? Para peramal istana pun tak ada
yang mampu mengartikan mimpi itu dengan jelas,
apalagi mereka. Maka, daripada bilang yang8
macam-macam lebih baik bilang yang baik-baik
saja. Beres!
Dan kaisar memang gembira. Dia
gandrung wuyung (tergila-gila) pada bayangan
wanita dalam mimpi itu. Bertanya adakah wanita
cantik seperti yang terlihat dalam mimpinya itu.
Dan ketika para menterinya bingung karena kaisar
tak dapat menjelaskan bagaimana wujud wanita
dalam mimpinya itu akhirnya kaisar barkata,
"Kalian cari saja seluruh wanita-wanita
cantik dalam kerajaan kita. Kumpulkan dan bawa
mereka ke mari!"
Wah, para menteri terkejut. Kerajaan
mereka cukup luas, daerahnya meliputi batas
tembok besar bersebelahan dengan bangsa Tar tar di utara sana, meliputi gunung dan sungaisungai yang mengalir deras membagi kota dan
desa. Mana mungkin melakukan ini? Kalau toh
melakukan itu dan memanggil wanita- wanita
cantik yang dicari sampai ke pelosok-pelosok tentu
pekerjaan ini memakan waktu lama dan mungkin
lima tahun belum selesai. Padahal sri baginda
biasanya minta cepat, belum kalau ada gangguan
ini-itu. Maka penasihat kaisar yang bernama Kimtaijin lalu memberi usul.
"Sri baginda, ampunkan hamba. Hamba
mempunyai cara lebih praktis untuk memenuhi9
permintaan paduka. Bagaimana kalau gambar
wanita-wanita cantik itu saja yang dibawa ke mari?
Tak perlu orangnya, sri baginda. Karena belum
tentu mereka cocok seperti mimpi yang paduka
lihat!"
Kaisar tertegun. "Gambarnya?"
"Ya, kita perintahkan seorang pelukis
ulung, sri baginda. Biar pelukis ini yang melukis
wajah wanita-wanita cantik yang ditemui itu untuk
diberikan pada paduka. Kalau cocok, barulah
wanita yang berkenan di hati paduka itu dipanggil
menghadap!"
"Ah," kaisar tertawa, girang sekali. "Usulmu
bagus, taijin. Aku setuju kalau begitu! Siapa
sekarang yang menjadi pelukisnya?"
Kim-taijin langsung menunjuk menteri
Mao. "Kiranya Mao-taijin dapat melakukan tugas
ini, sri baginda. Dia pandai dan hidup lukisannya!"
Kaisar tertawa bergelak, teringat
menterinya yang pandai melukis ini. "Benar!"
katanya menepuk kursi. "Sanggupkah kau
memenuhi permintaanku, taijin? Kau dapat
membawa lukisan semua wanita-wanita cantik
yang ada di seluruh kerajaan kita?"
Mao-taijin menjatuhkan diri berlutut.
"Tentu, hamba akan mencobanya, sri baginda.10
Tapi hamba mohon waktu, harap paduka tak buruburu."
" Boleh, tapi berapa lama waktu yang kau
minta, taijin? Seminggu? Sebulan?"
Mao-taijin terkejut. "Terlalu pendek, sri
baginda. Mungkin setahun menurut taksiran
hamba!"
"Apa? Setahun?" kaisar melotot. "Terlalu
lama, taijin. Aku tak dapat menahan rinduku sekian
lama. Aku bisa mati kaku!"
Mao-taijin pucat. Sebenarnya, waktu yang
dia berikan itu sudah termasuk pendek dibanding
dengan mendatangkan wanita-wanita itu ke istana.
Tapi melihat kaisar terbelalak kepadanya dan
rupanya ingin
menentukan waktu seminggu atau sebulan
karena tak sabar menanti akhirnya menteri ini
membenturkan dahinya, sudah memutar otak
dengan cepat dan berkata, "Baiklah, hamba akan
menyelesaikannya dalam waktu satu bulan, sri
baginda. Mohon doa restu paduka agar hamba
dapat menyelesaikan tugas hamba dengan baik!"
Begitulah, kaisar telah mendapat janji.
Mao-taijin langsung pulang dan membicarakan ini
dengan pembantu-pembantunya, menyuruh
mencari pelukis-pelukis lain karena tak mungkin
baginya untuk bekerja sendirian. Hari itu juga11
langsung memukul canang memberi pengumuman
bahwa di gedungnya ada lowongan pekerjaan,
khusus untuk pelukis-pelukis yang tentu saja akan
disaring kepandaiannya, siapa paling baik dialah
yang membantu menteri ini. Dan karena pelukispelukis kota raja memang banyak dan rata-rata
mereka juga pandai akhirnya dalam waktu singkat
Mao-taijin mampu mengumpulkan seribu orang
pelukis di gedungnya. Wah!
Tapi Mao -taijin cukup selektif. Dia tidak
menerima semuanya itu, disaring dan benar-benar
dicari yang paling jempol. Dan karena dia sendiri
memang ahli dalam bidang lukis-melukis dan tahu
mana jelek mana baik akhirnya dari seribu pelukis
itu yang diterima hanya seratus orang saja. Yang
lain disuruh pulang, diam-diam kecewa karena
nasib baik pergi meninggalkan mereka. Iri pada
seratus rekan mereka yang beruntung. Tapi Maotaijin yang mata duitan kiranya menjadikan seratus
pelukis yang sudah diterima ini sebagai sapi
perahan.
"Kalian beruntung kuterima," demikian
katanya.
"Tapi apa imbalan kalian kepadaku?
Adakah yang dapat memberi uang terima kasih?"
Seratus pelukis itu tertegun. "Uang terima
kasih apa, taijin? Apa yang harus kami lakukan?"12
"Bodoh!" menteri Mao melotot pada
mereka. "Ini proyek besar bagi kita semua,
manusia-manusia dungu. Kenapa kalian tak
mengerti budi kebaikanku? Kalian akan dapat
banyak uang dari upah yang kalian terima. Ini rejeki
yang harus dibagi rata. Kuminta kalian
menyumbang dengan ikhlas masing-masing
limaribu tail perak!"
Para pelukis itu terkejut. "Limaribu perak,
taijin?" "Ya, limaribu saja. Kalian sanggup, bukan?"
"Ah, kami tak punya, taijin. Kami orangorang miskin yang sebagian besar masih
pengangguran. Sebaiknya kalau menyumbang tak
perlu ditentukan jumlahnya!"
"Benar, dan itu baru ikhlas, taijin. Kalau
ditentukan jadinya bukan sumbangan ikhlas tapi
sumbangan paksaan!"
"Keparat, kalian mau memberontak?" Maotaijin terkejut, marah melihat seratus calon
pembantunya itu berteriak-teriak, memberi tanda
dan sebentar saja belasan pengawalnya datang
menghadap dengan golok dan pedang terhunus,
tampak garang dan bengis memandang seratus
pelukis itu. Dan ketika Mao-taijin menggebrak meja
bangkit berdiri akhirnya menteri ini berseru, "Yang
tidak bisa lebih baik pulang, aku akan mencari
lainnya yang mampu!"13
Seratus orang itu berbisik-bisik. Mereka
sekarang melihat bahwa kiranya menteri ini tamak
harta. Rupanya tak menyia-nyiakan kesempatan
itu untuk mengeruk untung sebesar-besarnya.
Mumpung ada proyek! Dan seratus pelukis yang
tiba- tiba terbagi dua itu mendadak menyibak ke kiri
dan ke kanan. Yang kiri adalah yang tidak setuju,
sedangkan yang kanan adalah kelompok yang
berpikiran lebih "cerdik". Mereka ini berpikir, kalau
itu memang proyek besar dan wajar memberi uang
semir bukankah mereka dapat mencari gantinya
pada korban yang diburu? Menjadi orang yang
dicari atau dicinta kaisar adalah suatu
keberuntungan yang tak habis disyukuri selama
tujuh turunan. Kalau sekarang mereka
menyumbang limaribu tail perak padahal mereka
bisa minta ganti pada keluarga wanita-wanita
cantik yang akan mereka datangi itu selaksa atau
dua laksa tail bukankah uang mereka akan
kembali?
"Ah, ini jual beli jasa. Kalau mereka
digenjot Mao-taijin mereka dapat ganti
"menggenjot" keluarga wanita-wanita cantik itu.
Ha-ha!"
Kelompok di sebelah kanan ini tertawa.
Mereka memang kritis, dapat mengerti "hukum
dagang" yang terjadi saat itu. Bahwa seni adalah14
seni sementara bisnis adalah bisnis. Masalah seni
sudah dikotori bisnis tak jadi apa. Bukankah
menteri Mao yang menyulut perhitungan untung
rugi ini? Biarlah menteri itu pula yang memikul
dosanya kalau kelak pintu keadilan menuntut
mereka!
Demikianlah seratus pelukis yang "hidup"
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pikirannya ini memisahkan diri dengan rekan-rekan
mereka yang lain yang tak mau memenuhi
permintaan menteri Mao. Mereka tak peduli disebut
kotor atau curang. Persetan semuanya itu. Dan
ketika kelompok yang kiri pergi meninggalkan
gedung Mao-taijin dan mengumpat pembesar itu
yang mencari keuntungan dari kekuasaannya
maka kelompok sebelah kanan yang kira-kira
berjumlah limapuluh orang itu menyanggupi
permintaan menteri Mao. Mereka membayar
masing-masing limaribu tail perak, dan karena
jumlah mereka ada limapuluhan orang maka "uang
terima kasih" yang diterima pembesar ini berjumlah
duaratus limapuluh ribu tail perak. Bukan main,
hanya sekejap saja. Betapa gampangnya cari duit!
Tapi itu urusan Mao-taijin. Pelukis yang
diterima ini tak menggerutu. Mereka sendiri sudah
punya akal bagaimana uang yang mereka
sumbangkan itu akan kembali. Juga dengan
sekejap mata, meniru "teknik" yang telah15
ditunjukkan menteri Mao. Dan begitu mereka
digerakkan ke seluruh pelosok kerajaan untuk
mencari wanita-wanita cantik dan melukis wajah
mereka untuk diberikan pada Mao-taijin karena
menteri ini masih akan menyeleksinya lagi maka
rakyat menjadi gempar dan ribut oleh kejadian ini.
Banyak diantara mereka, yang tentu saja
mempunyai anak-anak gadis cantik, segera
mendaftar dan mencari pelukis-pelukis ini,
mengharap anak mereka cocok seperti yang dicari
kaisar. Jadi malah terbalik, bukannya pelukis itu
yang mencari mereka tapi justeru mereka yang
mencari pelukis-pelukis ini. Siap membayar berapa
saja. Merubung bagai laron, menyodorkan anakanak perempuan mereka yang cantik audzubillah.
Dan karena permintaan lebih banyak dari
penawaran tiba-tiba saja "hukum dagang" kembali
usil. Para pelukis itu pasang harga. Mula-mula
dinaikkan sedikit, tidak kentara. Tapi ketika anakanak perempuan yang disodorkan semakin banyak
dan mereka rata-rata ingin diambil kaisar dan hidup
mewah di istana karena kabar burung itu telah
hinggap dari satu mulut ke mulut lainnya tiba-tiba
saja"tarif" yang dipasang pelukis-pelukis ini
membubung dengan cepat.
Mula-mula satu biji, eh sorry... satu kepala
diambil seratus tail. Lalu naik duaratus tail.16
Kemudian tigaratus.. empatratus.. tujuhratus dan
akhirnya per kepala seribu tail. Bukan main! Tapi
para pendaftar tetap juga membludak (melimpah),
membuat pelukis-pelukis yang ketiban rejeki ini
terbelalak. Dan ketika mereka coba-coba
menaikkan dan hasrat masih juga menggebu maka
sebagai klimaksnya dipasang tarif limaribu tail
perak untuk satu kepala. Luar biasa, kembali sudah
uang para pelukis-pelukis itu!
Tapi keadaan mulai berubah. Keluarga
wanita-wanita cantik yang tak begitu mampu mulai
mundur. Tak kuat membayar. Tinggal sekarang
golongan hartawan atau bangsawan yang sanggup
membayar. Tak begitu banyak dibanding rakyat
biasa tapi sudah membuat pelukis-pelukis ini
kekenyangan, menepuk-nepuk perut mereka yang
gendut dan sering menyeringai. Maklum,
penghasilan mereka hampir tak kalah dengan yang
diterima Mao- taijin, yang tentu saja melotot dan
mencak-mencak tapi tak bisa berbuat apa-apa
melihat ulah pelukis-pelukis itu, yang cerdik bagai
siluman! Dan ketika ribuan wajah cantik selesai
dilukis dan mereka siap menghadap Mao-taijin
maka saat itulah di kota Chi-cou terjadi hal
mencengangkan.
Bupati Chi-cou, yang bernama Wang
Yang, suatu hari "turba" melihat rakyatnya. Bupati17
ini terkenal jujur dan baik, memiliki seorang anak
perempuan yang luar biasa cantiknya bernama
Cao Cun, seorang gadis jelita berambut panjang,
pandai sastra dan main musik, termasuk menari
dan menyanyi. Halus budi pekertinya dan jujur
seperti sang ayah. Tidak begitu cerdik tapi juga
tidak begitu bodoh. Ai kyunya (IQ) sedang-sedang
saja, tidak "jongkok". Dan ketika bupati Wang
melihat rakyatnya di kecamatan Gong yang
dipimpin bawahannya bernama Gong Si Tek maka
puterinya yang cantik ini ikut.
"Ayah, aku juga ingin melihat-lihat
rakyatmu. Biarlah kulihat kemajuan mereka."
Sang bupati heran. "Untuk apa?
Bukankah kau biasa tinggal di rumah, Cun -ji (anak
Cun)? Ini bukan tamasya, ini pekerjaan dinas!"
Cao Cun tertawa. "Aku tahu, tapi aku ingin
penyegaran, ayah. Aku jemu tinggal di rumah
melulu. Boleh, kan?"
Sang ayah tersenyum. Kalau anaknya
sudah bersikap manja begini biasanya dia tak
mungkin menolak lagi. Betapapun puterinya itu
amat disayang dan dicinta. Dan Cao Cun yang ikut
ayahnya ke kecamatan Gong lalu disambut dan
untuk pertama kali melihat penghormatan bawahan
kepada atasan. Melihat camat Gong bersikap
hormat dan menyambut mereka dengan baik,18
manis dan ramah bahkan setengah takut. Maklum
atasan datang secara mendadak, memeriksa dan
menanya ini itu sebagaimana layaknya seorang
bupati yang ingin melihat kemajuan daerahnya.
Dan ketika sang bupati ingin melihat padi-padi
rakyatnya yang menguning di sawah dan sebentar
lagi akan panen tiba-tiba seorang lelaki datang
menghadap mereka.
"Wang-taijin, hamba So Lui Tai. Maaf
hamba datang tanpa diundang, bolehkah hamba
mengganggu sebentar?"
Sang bupati terkejut, tapi tertawa lebar.
"Ah, kau siapa? Petani di kecamatan inikah?"
Camat Gong buru-buru maju, juga terkejut
melihat laki -laki yang menghadap secara tiba- tiba
ini. "Ampun, dia bukan petani, taijin. Tapi pelukis,
datang dari kota raja atas suruhan Mao-taijin...!"
Bupati Wang terbelalak. "Pelukis? Dari
kota raja...?"
Dan Lui Tai, si pelukis itu, tersenyum lebar,
menganggukkan kepalanya. "Ya, hamba pelukis,
taijin. Utusan Mao- taijin untuk mencari..." dia
tertawa, menghentikan kata-katanya dan melirik
Cao Cun, kagum melihat kecantikan gadis itu
karena sesungguhnya belum pernah dia
menjumpai wanita begini elok, tidak banyak
pulasan tapi benar-benar cantik! Dan Gong-taijin19
yang tiba-tiba tersenyum melangkah maju buruburu menyambung, tergerak hatinya,
"Lui Tai datang ke kecamatan ini untuk
meIukis gadis-gadis cantik, taijin. Kaisar menyuruh
menteri Mao untuk menemukan gambar wanita
jelita yang pernah diimpikannya itu!"
"Ooh...!" bupati Wang tertawa, mendengar
juga berita itu dan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tapi tak mengerti maksud kedatangan
pelukis itu karena bupati Wang memang polos dia
bertanya, "Dan
maksudmu, mau apa kau menemui aku,
Lui Tai?"
Lui Tai tertegun. Dia melihat
ketidakmengertian bupati ini, ketidakmengertian
yang sungguh-sungguh. Tak tahu bahwa memang
bupati itu tak tertarik pada berita yang akhir-akhir
ini gencar dari mulut ke mulut tentang wanitawanita cantik yang diambil lukisannya itu. Siapa
tahu mereka beruntung diambil kaisar! Tapi melihat
bupati ini rupanya benar-benar tak mengerti
padahal dia sudah mengincar bupati ini untuk
"diperas" tiba-tiba Lui Tai tersenyum lebar, menjura
dengan penuh harap. "Hamba ingin melukis
puterimu, taijin. Siapa tahu dialah yang dicari sri
baginda!"20
"Ooh ...!" sang bupati tiba-tiba kembali
tertawa. "Kau mau mengambil gambar puteriku, Lui
Tai? Ah, silahkan tanya pada yang bersangkutan.
Mungkin puteriku tak keberatan!"
Lui Tai tersenyum semakin lebar,
menghadapi Cao Cun, merasa ada harapan.
"Bolehkah hamba melukis wajah paduka, siocia?"
Cao Cun, seperti ayahnya yang jujur dan
polos mengangguk, tertawa kecil. " Aku
sebenarnya tak tertarik untuk dilukis, Lui-twako
(kakak Lui). Tapi kalau iseng-iseng untuk
menyenangkan hatimu baiklah, aku tak keberatan."
"Ah, tentu!" Lui Tai girang, merasa akan
mendapat lagi limaribu tail perak. "Paduka tentu
yang dimaksud kaisar, siocia. Paduka cantik dan
elok melebihi bidadari!" dan memuji-muji seperti
biasa orang jual kecap pelukis ini tak habishabisnya mengumpak orang, meninabobok caIon
korbannya dengan sajian kata- kata membubung
yang manis melebihi madu, menarik perhatian
orang akan harapan dipilih kaisar. Hidup mewah
dan serba gemerlapan di istana. Pendeknya,
memikat dan membujuk Cao Cun dan ayahnya
akan tinggal di samping kaisar, sama sekali tidak
atau belum mengeluarkan alat-alat gambarnya, pit
dan tinta. Dan Cao Cun yang tentu saja heran serta
geli akhirnya menegur,21
"Lui-twako, kenapa tak segera melukis?
Mana itu hasil kerjamu kalau ngobrol melulu?"
" Ah, he-he..." pelukis ini mulai pasang
aksi, siap untuk "menembak" tarif. "Hamba belum
mendapat persetujuan ayah paduka untuk melukis
dirimu, siocia. Maksudku, eh... ongkos untuk biaya
melukis itu!"
Cao Cun tertegun. "Ongkos? Bukankah
kau sendiri yang minta untuk melukis wajahku?"
Lui Tai tertawa, menyeringai lebar.
"Maksud hamba, eh... biaya tinta dan tenaga
melukis mohon imbalannya, siocia. Hamba mohon
agar paduka mengasihani hamba agar tidak
bekerja secara sia-sia."
"Hm..." Cao Cun tersenyum, akhirnya
memandang ayahnya. "Bagaimana, kau dapat
memberi sekedar ganti rugi, ayah? Lui-twako ini
aneh. Dia yang minta gambarku justeru aku yang
dimintai uang! Bukankah terbalik? Seharusnya aku
yang minta ganti rugi kepadanya karena dia telah
menahan waktuku!"
Wang-taijin tertawa lebar. "Sudahlah, aku
dapat mengerti kalau Lui Tai ini minta ganti rugi
ongkos mengerjakannya, Cun-ji. Rupanya di
samping seniman dia juga pedagang, ha-ha...!"
dan Wang-taijin yang mengeluarkan sekeping
perak seharga limapuluh tail lalu menyerahkannya22
pada Lui Tai yang tak buru-buru diterima, bahkan
mundur mengejutkan bupati ini.
"Ada apa, kurangkah ini, Lui Tai?"
Lui Tai tak segan-segan mengangguk.
"Ah, kalau begitu biar kutambah. Seratus
tail jadinya!" dan Wang-taijin yang kembali tertawa
mengeluarkan limapuluh tail hingga seratus tail
dengan yang pertama lalu menyodorkannya pada
sang pelukis. Tapi Lui Tai justeru menunjukkan
muka tidak senang!
"Taijin, apa yang kau peroleh bakal jauh
melebihi nilai uang itu. Kenapa kau tak dapat
menghargai jasa orang?"
Wang-taijin terkejut. "Apa maksudmu?"
Lui Tai melirik tajam, berusaha
memperingatkan bupati ini, "Anak gadismu akan
dipilih kaisar, taijin. Itu berarti keberuntungan tiada
tara seumur hidup. Masa untuk jasaku ini hanya
kau beri seratus tail saja?"
"Ah jadi maumu bagaimana? Bukankah
kau minta sekedar ganti ongkos dan tinta?"
"Tidak," pelukis ini berani mengejek. "Aku
mempunyai tarif sendiri, taijin. Kalau kau suka
boleh berikan padaku limaribu tail perak. Harga itu
sudah pasti. Anakmu pasti akan diboyong ke
istana!"23
Wang- taijin membelalakkan matanya.
Sekarang dia tahu bahwa pelukis ini mau menjual
jasa tapi sekaligus memukul bayarannya.
Perbuatan yang tentu saja membuat dia marah!
Dan karena dia dan anak perempuannya
sesungguhnya tak tertarik sama sekali oleh
gembar gembor di luar tentang berita dari istana itu
tiba- tiba bupati ini menghardik, "Lui Tai, kau
pemeras busuk! Aku tak butuh lukisanmu itu. Biar
kau tinggalkan puteriku dan tak perlu dibawa ke
istana. Kami bukan pemabuk harta!"
Lui Tai terkejut, tak menyangka jawaban
bupati ini. Dan ketika dia terbelalak dan heran
bahwa pembesar ini benar-benar tak "kepincut"
oleh harapan nikmat tinggal di istana tiba-tiba
bupati itu telah menyuruh orang-orangnya
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengusir pelukis ini! Lui Tai langsung didorong,
disuruh pergi dengan paksa. Dan karena Wangtaijin benar-benar marah dan pembesar itu
menyambar puterinya diajak pergi akhirnya Lui Tai
menjadi korban para pengawal bupati ini. Mereka
juga gemas, sudah mendengar praktek-praktek
kotor yang sebenarnya adalah pemerasan ini. Atau
setengah pemerasan karena pelukis-pelukis Maotaijin itu mengerjakan "aji mumpung". Mumpung
ada kesempatan. Mumpung ada rejeki. Ada24
proyek. Dan Lui Tai yang seketika itu juga diusir
akhirnya pergi menaruh dendam pada bupati ini!
"Wang-taijin, awas kau. Aku akan
membalas semua hinaanmu!"
"Eh." Wang-taijin terkejut, kepala
pengawalnya juga terkejut. "Kau mengancam,
orang she So?" dan belum bupati ini memberi
perintah tahu-tahu kepala pengawalnya yang
bernama Hok Gwan sudah menyambar dan
langsung membanting pelukis ini.
"Tikus busuk, kau pergilah... brukk!"
Lui Tai mengaduh. Dia bangkit berdiri tapi
lagi-lagi didekati kepala pengawal yang marah ini,
mendapat tendangan dan tamparan hingga
tubuhnya kembali mencelat, kini jauh di luar pagar.
Tapi ketika Hok Gwan hendak menghajarnya lebih
keras tahu-tahu sang bupati berseru,
"Hok Gwan, lepaskan dia. Biarkan dia
pergi...!"
Lui Tai terhuyung. Pipi dan mukanya
bengap dipukul kepala pengawal itu, tapi sang
pelukis yang rupanya berani ini berkata, "Orang
she Hok, hati-hati kau. Kalian lupa bahwa aku
adalah orangnya Mao-taijin.
Awas kalian!"
Wang -taijin tertegun. Sekarang dia ingat
bahwa orang she So yang pemeras ini adalah25
pembantu menteri Mao. Meskipun bukan
atasannya langsung tapi jelas menteri itu jauh lebih
tinggi tingkatannya dibanding dia. Maka melihat
pelukis itu terhuyung-huyung meninggalkan
mereka dan meninggalkan ancaman demikian tibatiba bupati ini pucat. Tapi dia merasa benar.
Pelukis itu memeras. Maka gemetar mengepal tinju
akhirnya bupati ini melanjutkan pekerjaannya
dengan pikiran tak enak, diketahui Cao Cun yang
sejak tadi mengerutkan kening melihat
kekurangajaran pelukis tadi. Dan ketika mereka
pulang dengan muka murung dan hati kesal
akhirnya ayah dan anak ini sama menarik napas
dan entah kenapa tiba-tiba merasa berdebar akan
datangnya sesuatu yang tidak baik.
* * *
Malam itu, sehabis menyulam dan
menyelesaikan pekerjaan tangannya Cao Cun
pergi tidur. Ayah dan ibunya masih bercakap-cakap
di beranda tengah, membicarakan sedikit keributan
siang tadi di kecamatan Gong. Dan ketika malam
semakin larut dan bupati Wang serta isterinya pergi
tidur dengan perasaan penat tiba-tiba anjing yang
ada di depan rumah menggonggong.26
Wang-taijin terkejut. Dia mendengar anjing
mereka itu menyalak seolah bertemu orang jahat,
bahkan membaung membuat bulu tengkuk berdiri.
Maka turun untuk melihat keadaan tiba-tiba bupati
ini membuka pintu kamarnya.
"Kau mau ke mana?" sang isteri terkejut,
pucat mendengar suara-suara yang menyeramkan
ini, ikut turun dan memegangi piyama suaminya.
Tapi Wang-taijin yang berusaha menenangkan
dengan senyum lebar tiba-tiba mendorong
isterinya masuk.
"Aku mau keluar sebentar, nio-nio. Kau
tinggallah di dalam tak usah cemas!"
"Tapi..."
"Sudahlah, ada Hok Gwan, bukan? Aku
mau menemui kepala pengawalku itu. Kau tidurlah
kembali!" dan Wang-taijin yang sudah menutup
pintu kamarnya menyuruh sang isteri masuk
akhirnya bergegas menuju ke luar. Dan kebetulan
salak anjing tiba-tiba berhenti, bertemu dengan
Hok Gwan di regol dalam.
"Ada apa? Mana si kuning, Hok Gwan?"
Hok Gwan mengerutkan keningnya.
"Entahlah, tak ada apa-apa, taijin. Si kuning
menyalak tanda ada sesuatu yang mencurigakan."
"Tak mungkin," bupati ini membantah.
"Mana si kuning?"27
Hok Gwan bersiul. Dia memanggil anjing
itu dengan isyarat panjang, panggilan yang sudah
biasa dilakukan oleh keluarga sang bupati yang
memiliki anjing satu -satunya ini. Dan ketika
bayangan si kuning muncul dan anjing itu
melompat dengan napas terengah-engah
langsung Wang-taijin menangkap lehernya.
"Ada apa, kuning? Kau melihat orang
jahat?"
Anjing ini menggaruk-garukkan kakinya,
mengibas ekor dan mendengus mengeluarkan
suara aneh. Dan Wang-taijin yang tertegun melihat
gerak gerik anjingnya tiba-tiba berkata, "Benar, dia
melihat sesuatu yang mencurigakan. Kau periksa
rumah ini, Hok Gwan. Kerahkan anak buahmu
meronda sekeliling!" tapi baru bupati ini selesai
bicara sekonyong-konyong dari dalam rumah
terdengar dua jeritan panjang.
"Ayah, tolong...!" "Suamiku, tolong...!"
Wang-taijin dan pengawalnya terkejut.
Mereka langsung memburu ke asal suara itu, Hok
Gwan sudah berteriak memanggil sembilan anak
buahnya yang menjaga di depan, bersepuluh
dengan kepala pengawal itu sendiri. Dan ketika
mereka tiba di dalam dan jeritan serta teriakan Cao
Cun dan ibunya ini melengking memecahkan28
keheningan malam mendadak dua bayangan
berkelebat memanggul dua wanita itu.
"Ha-ha, kami pinjam sebentar anak
isterimu, taijin. Tak perlu khawatir, dua hari lagi
mereka akan kami kembalikan!"
Wang-taijin terbelalak. Dia melihat dua
laki-laki berkedok menculik isteri dan anak
perempuannya itu, Cao Cun menjerit-jerit dan
meronta di belakang punggung sang penculik,
menangis dan mencakar ke sana sini, memanggilmanggil ayahnya. Dan bupati Wang yang tentu
saja tak tahan melihat semuanya itu dan marah
bukan main tiba-tiba berteriak menubruk lawan di
sebelah kiri yang membawa puterinya.
"Penculik hina, lepaskan anakku...!"
Tapi laki-laki berkedok ini tertawa
mengejek. Dia mengelit menghindar tubrukan
bupati itu, lalu sementara Wang-taijin hampir
terjelungup tahu-tahu kakinya bergerak
menendang perut bupati itu.
"Ha-ha, kami melepaskannya kalau sudah
ada tebusan, taijin. Sekarang pergi dan
beristirahatlah di kamarmu... dess!"
Wang -taijin mencelat. Dia memang bupati
yang lemah, tak pandai silat. Maka begitu luput dan
ganti mendapat tendangan tak ayal bupati ini
terpekik dan terpelanting roboh. Tapi Wang-taijin29
bangkit berdiri, nekat dan kembali menubruk
penculik ini. Dan Hok Gwan yang juga sudah
mencabut senjatanya melawan penculik yang lain
akhirnya melihat kedatangan sembilan anak
buahnya yang mendengar teriakan kepala
pengawal ini, menerjang dan maju mengeroyok
dengan tombak dan golok, mengeluarkan
bentakan-bentakan marah karena melihat majikan
meraka dirusuhi. Dan begitu para pengawal ini
menyerbu dan Wang-taijin disuruh minggir
akhirnya dua penculik itu dikerubut seorang lawan
lima!
"Ha-ha, kalian mau coba-coba menangkap
kami, pengawal-pengawal busuk? Tak mungkin
bisa, kalian bukan tandingan kami. Lihat... plakbluk-dess!" dan dua penculik itu yang tertawa
mengejek menangkis tombak dan pedang tiba -tiba
dengan tangan kosong mematahkan senjata para
pengawal itu, membuat para pengawal terkejut dan
kaget membelalakkan mata. Dan ketika dua
penculik itu berkelebat menggerakkan kakinya
tahu-tahu Hok Gwan dan sembilan anak buahnya
ini mencelat terlempar bagai disapu angin puyuh!
"Ha-ha, bagaimana kecoa-kecoa busuk?
Kalian masih tidak percaya?"
Hok Gwan dan anak buahnya melompat
bangun. Mereka terbanting tapi tidak terluka,30
gentar tapi juga marah kepada dua penjahat ini.
Dan melihat Wang-taijin berteriak-teriak agar
mereka menangkap penjahat itu terpaksa Hok
Gwan dan anak buahnya kembali menyerang,
nekat dan coba-coba mengulang. Tapi ketika lagilagi mereka terpelanting bergulingan dan tiga
diantara mereka bahkan patah tulang tiba-tiba dua
penculik itu tertawa bergelak berkelebat keluar.
"Wang-taijin, kami minta tebusan selaksa
tail. Siapkan uang itu dan dua hari lagi kami
kembali. Awas, kalau tidak terpaksa anak isterimu
kubunuh. Ha-ha...!"
Wang-taijin pucat. Dia melihat Hok
Gwan dan kawan-kawannya itu tak mampu
menandingi penjahat yang lihai-lihai ini, tertegun.
Tapi si kuning yang tiba-tiba menyalak dan
mengejar penculik yang membawa Cao Cun
mendadak melompat menggigit kaki penjahat ini,
mengaduh karena tak menyangka anjing itu bakal
menyerang. Dan ketika penjahat itu berteriak
menendang anjing ini tiba-tiba si kuning sudah
melompat dan menyerang lagi, menahan langkah
si penjahat, kali ini menggigit pinggang dan
"nggandul " di situ, menggeram tak mau
melepaskan lawan hingga si penculik kelabakan,
mengipat-ngipatkannya tapi tetap saja anjing itu
menancapkan taringnya. Tapi begitu penculik ini31
membentak marah dan mencabut sesuatu tibatiba si kuning roboh menguik dengan kepala
ditembus belati kecil.
"Crep!" anjing itu tewas seketika. Dia
sudah tak dapat bergerak lagi, ditendang dan
mencelat bangkainya mengenai Wang-taijin. Dan
dua penjahat yang kembali meneruskan larinya
memanggul tawanannya itu tiba-tiba memaki
bupati Wang,
"Wang-taijin, tuntutan kami naik menjadi
duapuluh ribu tail. Anjingmu telah menyerang kami.
Jahanam...!"
Wang-taijin menangis. Dia sekarang sadar
dan berteriak-teriak mengejar dua penjahat itu
disusul Hok Gwan dan para pengawal lain dengan
hati kebat-kebit, membuat malam yang sepi itu
pecah oleh teriakan bupati ini. Tapi ketika lawan
mengejek dan hampir lenyap di luar rumah
mendadak sebuah bayangan muncul bagai iblis,
menghadang dan langsung membentak,
"Tikus-tikus, busuk apa yang kalian
lakukan?"
Dua penculik berkedok itu terkejut. Mereka
tahu-tahu telah berhadapan dengan seorang lakilaki asing, gagah dengan rambut keemasan, berdiri
tegak di depan mereka seolah benteng yang tak
bergeming. Tapi dua penjahat yang tertawa32
bergelak dan memandang rendah laki-laki di depan
itu tiba-tiba mendorong dan ganti membentak,
"Minggir...!"
Tapi dua penculik ini terperanjat. Mereka
telah menepuk pundak penghadang itu, mengira
sekali cengkeram akan melempar laki-laki itu. Tapi
ketika jari mereka lekat dan justeru pundak itu
mengeluarkan tenaga yang luar biasa kuat
menolak balik pukulan mereka mendadak dua
orang ini berteriak kaget ketika mereka terbanting
roboh.
"Hei, bress...!"
Dua penculik itu jatuh bangun. Mereka
tak mengerti bagaimana mereka roboh sendiri, tak
melihat lawan menggerakkan kaki atau tangan tapi
mereka sudah terguling-guling di atas tanah. Dan
belum mereka sadar akan apa yang terjadi tahu tahu dua tawanan mereka yang ditaruh di atas
pundak sekonyong-konyong melejit dan lepas dari
pelukan mereka, terbang ke arah laki-laki berambut
emas itu.
"Heii...!"
Tapi mereka tinggal melongo. Cao Cun
dan ibunya sudah ditangkap laki-laki ini, yang
ternyata seorang pemuda tampan dengan mata
seperti bintang, asing tapi penuh wibawa dengan
rambutnya yang aneh itu. Dan ketika Wang-taijin33
dan Hok Gwan serta yang lain-lain datang
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendekat dan langsung menubruk anak dan
isterinya itu maka bintang penolong yang tak
dikenal ini sudah menghadapi dua penculik
berkedok itu.
"Kalian siapa? Kenapa membuat onar?"
Dua penjahat itu tertegun. Mereka kaget
sekejap melihat lolosnya tawanan mereka, melihat
Cao Cun dan ibunya sudah berpelukan dengan
ayah mereka, menangis. Tapi membentak
menerjang maju tiba-tiba dua penjahat ini
menghantam pemuda berambut emas itu.
"Keparat, kau tak perlu tanya siapa kami,
bocah. Yang jelas sekarang enyah dan
mampuslah... plak-dess!" Pemuda itu tak
mengelak. Dia tenang menerima dua pukulan ini,
tersenyum mengejek dan sekilas bibirnya yang
tipis menyungging tawa yang aneh. Tapi begitu
pukulan tiba dan tepat mengenai tubuhnya tiba-tiba
dua penjahat itu menjerit dan... terpelanting roboh
dengan tangan bengkak-bengkak!
"Aduh... !" keduanya kaget bukan main,
melompat bangun dan terbelalak memandang
lawan. Tapi penasaran dan menyerang kembali
tiba-tiba mereka mempergunakan kaki untuk
menendang, tak dapat menggunakan tangan lagi
karena sudah melepuh seperti disengat tawon.34
Tapi begitu kaki mengenai tubuh pemuda ini dan
lawan diam tak membalas tiba-tiba mereka
menjerit dan... kembali roboh terlempar, kaki salah
urat dan melembung seperti balon!
"Aduh...!" "Augh...!"
Dua penculik itu bergulingan. Mereka
berteriak dan mendesis-desis kesakitan, tak
mampu bangun berdiri. Dan ketika mereka berkaok
bagai ayam disembelih tahu-tahu pemuda
berambut keemasan ini telah mencengkeram baju
mereka.
"Kalian masih bersikap sombong? Kalian
minta dihajar lebih keras?"
Dua penculik itu menggigil, mengeluarkan
air mata saking sakit dan pedihnya rasa bengkak
itu. Dan ketika mereka mendesis dan gentar
menghadapi lawan yang demikian lihai karena
belum membalas sudah membuat mereka keok
akhirnya keduanya menjatuhkan diri berlutut
dengan muka gemetar.
"Ampun... ampunkan kami, siauw-hiap.
Kami hanya orang suruhan saja yang tidak
bersalah...!"
"Hm, siapa kalian?" "Kami... kami..."
"Bret!" pemuda itu tiba-tiba sudah
merenggut kedok yang dikenakan dua penjahat ini,
melihat mereka adalah dua orang laki-laki bermuka35
codet. Dan Wang-taijin yang melihat siapa mereka
tiba-tiba berseru,
"Dua Musang Sakti...!"
Dan dua penculik yang menggigil tak
mampu bersuara tiba-tiba mengangguk dan mohon
ampun pada bupati Wang itu. "Ya, ampunkan kami,
taijin... kami hanya orang suruhan belaka..."
"Siapa yang menyuruh kalian?"
"Lui Tai."
"Pembantu Mao-taijin itu?"
"Ya."
"Ah!" dan bupati Wang yang tampak marah
dan tiba-tiba merah mukanya mendadak
melangkah maju.
"Musang Sakti, kalian adalah orang-orang
jahat yang diusir dari kota raja. Kenapa sekarang
berkeliaran di daerahku membuat onar? Berani
kalian menculik anak isteriku?"
Dua musang itu pucat, memandang
pemuda berambut emas yang ada di situ, gentar
tak berani berkurang ajar pada bupati ini karena
ada lawan yang jauh lebih kuat dibanding mereka.
Dan ketika bupati Wang marah- marah dan siap
menangkap mereka tiba-tiba Cao Cun berseru
memperingatkan ayahnya,
"Ayah, yang menangkap mereka itu bukan
dirimu. Sebaiknya serahkan hal itu pada in-kong36
(tuan penolong) ini!"
Wang-taijin terkejut. Dia terbawa pada sikapnya
sebagai pembesar, lupa bahwa pemuda berambut
emas inilah yang menangkap dua musang jahat itu.
Bahkan yang menolong keluarganya dari musibah
besar. Maka terkejut dan sadar akan budi
pertolongan pemuda ini tiba-tiba Wang-taijin
menjatuhkan diri berlutut!
"Siauw-hiap (pendekar muda), maafkan
kelancanganku. Aku hampir melupakan rasa
terima kasihku yang besar!" dan ketika bupati itu
menjatuhkan diri berlutut dengan air muka penuh
haru dan gembira akhirnya berturut-turut Cao Cun
dan ibunya juga mengikuti jejak sang ayah.
"Benar, kau telah menolong kami berdua,
siauw-hiap. Sungguh tak terkira rasa syukur dan
terima kasih kami!"
"Dan aku juga menyatakan terima kasihku,
in-kong. Entah apa jadinya kalau dua manusia
jahat ini membawa diriku!" Cao Cun bicara, lembut
dan halus dengan suaranya yang merdu, enak
didengar. Dan ketika Hok Gwan dan temantemannya juga berlutut di belakang pemuda itu
sambil mengangguk-angguk maka terkejutlah
pemuda ini membangunkan bupati itu.
"Taijin, bangunlah. Aku kebetulan lewat di
sini, tak perlu berterima kasih!" dan berturut-turut37
menyuruh Cao Cun dan ibunya bangun berdiri
akhirnya pemuda ini menghadapi Dua Musang
Sakti itu.
"Musang busuk, hukuman apa yang kalian
inginkan sekarang?"
Dua musang itu terkejut. "Kami... kami
minta hukuman seringan-ringannya, siauw-hiap...
kami minta agar kau tidak membunuh kami!"
"Hm, padahal kalian telah menculik dan
memeras?"
Dua orang itu gemetar. "Kami... kami
hanya orang suruhan, siauw-hiap... kami..." dua
musang itu tiba-tiba menghentikan kata-katanya,
melihat leher mereka sudah dicekik hingga sulit
bernapas. Dan ketika mereka terbelalak dan pucat
memandang lawan yang lihai ini pemuda berambut
emas itu sudah memutuskan,
" Kalian harus mengganti rugi duapuluh
ribu tail perak pada Wang-taijin, seperti yang kalian
minta tadi! Sanggup?"
Dua orang ini terbelalak. Duapuluh ribu
tail? Darimana mereka dapatkan itu? Tapi mereka
yang tiba-tiba tersenyum mendadak
menganggukkan kepalanya menyatakan setuju.
Menyanggupi karena mereka dapat mencari nanti
di tengah jalan, mencuri atau merampok orangorang kaya! Tapi Wang-taijin yang terkejut38
mengenal watak dua musang ini sudah buru-buru
berseru,
"Siauw-hiap, jangan... tidak usah! Aku tak
perlu dibayar seperti itu. Mereka nanti akan
mencari uang dengan jalan merampok atau
mencuri. Tidak usah saja!" dan Wang -taijin yang
buru-buru mengulapkan lengannya mencegah
pemuda itu memaksa dua musang ini memberi
ganti rugi tiba-tiba berkata lagi dengan muka pucat,
"Mereka tak punya uang sebanyak itu, siauw-hiap.
Kalau kau memaksa mereka seperti itu
maka mereka akan mencelakakan orang lain untuk
mencari uang ini. Tidak, aku tak mau uang haram.
Mereka bukan manusia baik-baik!"
Sang pemuda tertegun. "Begitukah? Kalau
begitu mereka sudah terlampau jahat? Hm, kalau
begitu dihukum yang lainnya saja. Jari mereka
harus dipotong!" dan pemuda berambut emas yang
kini menghadapi dua musang itu membentak,
"Musang-musang busuk, kalian potong jari-jari
kalian untuk pengingat dosa-dosa kalian. Berani
membantah?"
Dua musang itu pucat. Mereka merasa
hukuman pertama tadi ringan, jauh lebih ringan
daripada memotong jari-jari sendiri. Maka
mendengar Wang-taijin mencegah dan kini
pemuda yang amat lihai itu mengganti hukuman39
mereka dengan memotong jari tiba-tiba dua lakilaki bercodet itu mendelik. Mereka marah sekali
pada bupati Wang ini, yang menjadi gara-gara.
Tapi Cao Cun yang maju dan khawatir oleh
pandangan dua musang itu tiba-tiba berkata lirih,
"Siauw-hiap, lebih baik lepaskan saja
mereka ini. Kau minta saja padanya agar bertobat
dan tidak melakukan kejahatan lagi."
Pemuda berambut emas itu heran.
"Kenapa?"
Cao Cun terisak. "Aku tak mau mereka
mendendam pada ayah, siauw-hiap. Kalau kau tak
ada di sini dan mereka kembali membuat
kerusuhan maka kami sekeluarga tentu celaka."
"Hm..." pemuda itu kini membalikkan
tubuhnya menghadapi dua musang ini. "Kalian
berani mendendam pada keluarga Wang-taijin?
KaIian minta kubunuh agar tidak merupakan
ancaman lagi?"
"Tidak... tidak...!" dua musang itu terang
kaget, pucat dan terkejut melihat mata yang seperti
bintang itu tiba-tiba hidup, berkilat dan bersinarsinar memandang mereka. Dan sebelum pemuda
menakutkan ini menjatuhkan keputusan maut
mendadak mereka sudah menjatuhkan diri
berlutut. "Kami akan memenuhi permintaan Wangsiocia (nona Wang), siauw-hiap. Kami berjanji akan40
bertobat bila kami dilepaskan baik- baik. Kami tak
akan mendendam pada Wang-taijin!" dan merintih
serta mengiba-iba dua musang itu membenturbenturkan dahi mereka, berjanji tak akan
melakukan kejahatan dan segala perbuatan buruk
lagi. Dan ketika Cao Cun juga memohon agar
pemuda itu tak membunuh atau menyakiti dua
musang ini dan melepaskan saja mereka dengan
baik-baik karena dua musang itu rupanya benarbenar sudah bertobat maka pemuda berambut
emas ini tiba-tiba menendang dua laki-laki itu.
"Baiklah, Wang-siocia mengampuni kalian,
musang busuk. Kali ini kalian boleh pergi tapi awas
kalau kalian melanggar janji, aku tak akan
mengampuni kalian lagi.
Enyahlah... dess!" dan dua musang itu
yang mencelat sambil mengaduh akhirnya
terbanting dan terguling-guling di luar rumah
Wang-taijin, mengeluh tapi girang diampuni begitu
mudah. Maka begitu menyatakan terima kasih dan
memutar tubuh buru-buru mereka ngeloyor dan
tidak lagi menoleh ke tempat yang membuat
mereka sial itu!
Wang-taijin dan semua orang tertegun.
Mereka melihat kehebatan pemuda ini,
kelihaiannya yang luar biasa hingga tidak perlu
membalas Dua Musang Sakti itu sudah keok.41
Melihat dua laki-laki bercodet itu terbirit-birit
melarikan diri.
Tapi begitu mereka memutar tubuh
memandang pemuda yang tadi berdiri tak jauh dari
mereka mendadak Wang- taijin dan anak isterinya
terkejut karena pemuda itu sudah tak ada lagi di
dekat mereka!
"Hei, kemana dia?" Wang-taijin berseru
kaget, disusul yang lain-lain karena Hok Gwan dan
anak buahnya juga tak melihat kemana bintang
penolong mereka itu pergi. Lenyap begitu saja
seperti iblis. Dan Wang-taijin dan anak isterinya
yang tentu saja ribut dan mencari ke sana ke mari
sambil memanggil-manggil akhirnya kecewa
karena tetap saja orang yang mereka cari itu tak
kelihatan bayangannya. Mereka tak tahu kemana
pemuda aneh itu pergi, tak sempat mengajak
masuk dan bercakap untuk menyatakan terima
kasih. Tapi Wang-taijin yang penasaran dan ingin
kembali menemui pemuda gagah itu akhirnya
memberi perintah pada Hok Gwan untuk mencari
pemuda lihai ini keesokan harinya.
"Hok Gwan, kerahkan semua pengawal
untuk mencari bintang penolong kita ini. Ajak dia ke
mari memenuhi undanganku. Aku ada perlu
penting dengannya. Sampaikan itu!"42
Hok Gwan mengangguk. Dia tak tahu
bahwa semalam Wang-taijin dan isterinya telah
saling berbisik-bisik untuk mengambil pemuda itu
sebagai mantu. Ingin menyerahkan Cao Cun agar
menjadi isteri pemuda itu. Pemuda yang dan tentu
dapat melindungi mereka dari ancaman bahaya.
Pemuda yang menarik dan gagah! Dan Hok Gwan
yang tentu saja tak tahu pembicaraan yang bersifat
pribadi ini sudah menyambut girang perintah
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
majikannya itu. Dia menyebar anak buahnya,
bahkan dia sendiri juga ikut terjun, mencari ke
segenap kabupaten Chi-cou untuk menemukan
pemuda gagah itu. Pemuda yang membuat dia
kagum dan terbelalak akan kelihaiannya.
Merobohkan Dua Musang Sakti yang telah
membuat dia dan sembilan anak buahnya keok.
Padahal sama sekali tidak membalas. Dan ketika
Hok Gwan berputar-putar ke seluruh wilayah
kabupaten mencari-cari pemuda ini akhirnya
secara kebetulan dia menjumpai pemuda aneh itu
duduk minum arak di sebuah kedai jauh di ujung
perbatasan Chi-cou dengan kabupaten Pin!
"Ah...!" Hok Gwan girang bukan main,
langsung turun dari kudanya dan menghampiri
pemuda itu. Dan ketika sang pemuda mengerutkan
kening melihatnya heran buru-buru Hok Gwan
memberi hormat di kaki meja, menjatuhkan diri43
berlutut. "Siauw-hiap, hamba mendapat perintah
Wang- taijin agar siauw-hiap sudi memenuhi
undangannya ke kabupaten Chi-cou. Taijin ada
urusan penting yang hendak dibicarakan berdua.
Mohon siauw-hiap tak mengecewakan permintaan
ini setelah susah payah aku mencari-carimu!"
Pemuda itu tersenyum, sedikit saja tapi
sudah membuat kepala pengawal ini bungah
(gembira bukan main). "Hm, ada apa Wang-taijin
memintaku ke sana?
Apakah musang-musang busuk itu
mengganggu kalian lagi?"
"Tidak, tidak...!" Hok Gwan
menggelengkan kepalanya. "Wang-taijin hendak
membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi,
siauw-hiap. Mungkin..."
"Mungkin apa?"
"Mungkin minta siauw-hiap menjadi
pengawal pribadi di sana!"
Pemuda itu tiba-tiba tak senang. "Kalian
hendak menyogokku dengan pangkat?"
Hok Gwan terkejut. "Tidak, eh... maaf, itu
baru dugaanku belaka, siauw-hiap. Itu baru
kemungkinan yang kureka-reka sendiri saja!"
"Hm, kalau begitu katakan pada
majikanmu bahwa aku tak tertarik dengan pangkat44
dan kedudukan. Aku pengelana sejati yang tak
ingin diikat dengan apapun!"
Hok Gwan semakin terkejut melihat
pemuda itu menghabiskan araknya dan tiba-tiba
bangkit berdiri siap keluar dari kedai itu. Dan ngeri
bahwa pemuda ini pandai "menghilang" dan sekali
lenyap tentu dia tak akan dapat menemuinya lagi
tiba-tiba Hok Gwan menangis memeluk erat-erat
kaki pemuda ini. "Siauw-hiap, ampunkan aku. Kau
penuhilah permintaan Wang-taijin. Itu hanya
dugaanku belaka yang tidak kupikir panjang lebar.
Aku akan berlutut di sini sampai mati kalau kau
menolak keinginan ini!"
Pemuda itu terkejut. "Kau mau memaksa?"
Hok Gwan menggigil. "Tidak, tapi... tapi
penuhilah permintaan ini, siauw-hiap. Aku boleh
memotong jariku sendiri kalau kata-kataku tadi kau
anggap dosa!"
Pemuda itu tiba-tiba tersenyum.
"Bangunlah, aku akan memenuhi permintaanmu!"
dan ketika Hok Gwan bangun dan berseru girang
melepaskan pelukannya tiba-tiba pengawal ini
telah menyambar kudanya untuk diberikan pada
pemuda ini.
"Pakailah, aku akan berjalan kaki untuk
menebus kelancanganku, siauw-hiap. Taijin tak
sabar lagi menunggu dirimu di gedung kabupaten!"45
Pemuda itu tertawa. "Untuk apa? Kau mau
berjalan kaki?"
"Ya, penebus kelancanganku tadi, siauwhiap. Biarlah kau pakai kudaku dan aku akan
berjalan pulang!"
Pemuda itu tiba-tiba tertawa lepas, melihat
kepolosan pengawal Wang-taijin ini. Dan ketika
Hok Gwan terheran dan terbelalak memandang
kepadanya tiba-tiba pemuda itu berkelebat lenyap
meninggalkan kedai. "Pengawal she Hok, kau
pakai saja kudamu. Aku lebih cepat dengan kedua
kakiku. Pulanglah, aku akan lebih dulu tiba di
sana...!" dan ketika suara itu lenyap dan Hok Gwan
sadar akan apa yang terjadi tiba-tiba pengawal ini
berseru keras melompati kudanya, ingin
membuktikan dan buru-buru mencongklang
tunggangannya menuju ke kabupaten Chi-cou,
mencambuk dan menendang-nendang kudanya
agar secepat mungkin sampai di tempat tujuan.
Dan ketika sejam kemudian dia tiba di sana dengan
keringat bercucuran dan napas terengah-engah
saking gugup dan tegangnya mendadak pengawal
ini melongo ketika melihat pemuda yang aneh itu
benar telah bercakap-cakap dengan Wang-taijin!
"Ah...!" pengawal ini tak habis pikir,
disambut senyum dan ketawa majikannya yang
melihat pengawalnya itu ngos-ngosan. Heran dan46
tak habis mengerti bagaimana dia yang telah
berlari cepat bersama kudanya itu masih kalah oleh
pemuda asing ini, yang duduk enak dan sama
sekali tidak berkeringat seperti dia yang
"gembrobyos". Dan ketika Wang-taijin terbahak
dan menyuruh pengawalnya itu keluar karena
pemuda lihai yang mereka undang sudah datang
sejam yang lalu akhirnya kepala pengawal ini
mengangguk dan ngeloyor keluar dengan muka
terheran-heran.
Memang, pemuda itu telah datang jauh
sebelum pengawal itu tiba. Sejam yang lalu ketika
mereka bercakap-cakap di kedai arak,
mempergunakan ginkangnya (ilmu meringankan
tubuh) yang hebat dan sebentar saja telah bertemu
dengan bupati Wang yang tentu saja girang dan
gembira bukan main, mendengar cerita singkat
tamunya itu akan pertemuannya dengan Hok
Gwan. Dan ketika mereka bercakap-cakap dan
sejam kemudian kepala pengawal itu datang dan
percakapan basa- basi telah selesai maka dengan
muka berseri tapi juga agak tegang Wang-taijin lalu
menuju pada pokok persoalan yang sebenarnya
sudah disiapkan, persis ketika saat itu puterinya
membawa minuman dan makanan kecil untuk
tamu mereka yang dikagumi.47
"Siauw-hiap, bolehkah kutanya sedikit
persoalan pribadimu?"
Sang pemuda teregun. "Kau mau bertanya
apa, taijin?" dan ketika sang bupati tersenyum dan
melihat pemuda itu melirik puterinya yang kembali
ke belakang akhirnya pembesar ini menekan
debaran jatungnya.
"Maaf, aku ingin bertanya apakah kau
sudah beristeri atau belum, siauw-hiap. Bolehkah
kutanya ini kalau tidak menyinggung hatimu?"
Pemuda itu tiba-tiba tersenyum, mata
bintangnya bergerak hidup. "Belum, aku masih
bujang. Kenapakah?"
"Hm," Wang-taijin mendapat harapan.
"Dan siauw-hiap juga belum punya, eh... kekasih?"
Sang pemuda tiba- tiba murung. "Taijin,
ada maksud apa kau menanyai ini? Aku memiIiki
masa kecil yang gelap. Pertanyaanmu membuat
aku teringat pada luka yang lama!"
"Ah, maaf!" Wang-taijin buru -buru
menjura. "Aku tak tahu, siauw-hiap. Aku... aku..."
dan Wang-taijin yang gugup melihat kemurungan
tamunya tiba-tiba macet tak dapat melanjutkan!
Tapi pemuda berambut emas itu tersenyum pahit,
menghela napas.
"Apa yang kau inginkan, taijin?"48
Wang-taijin seret mengeluarkan katakatanya. Tapi setelah melihat tamunya tersenyum
dan dapat kembali bersikap biasa akhirnya bupati
ini bicara juga, "Kami, eh aku ingin menyerahkan
puteriku padamu, siauw-hiap. Kalau kau suka dan
memang belum beristeri biarlah
Cao Cun menjadi isterimu!"
Pemuda ini terbelalak, rupanya kaget.
"Apa?"
Dan Wang-taijin memberanikan hatinya
dengan muka penuh harapan, "Aku ingin
menyerahkan Cao Cun sebagai isterimu, siauwhiap. Kalau kau cocok dan suka padanya sungguh
akan gembira dan besar sekali kebahagiaan kami
sekeluarga!"
Pemuda itu tertegun. Dia teringat puteri bupati
Wang yang ayu dan elok itu, lembut dan memiliki
wajah gemilang serta cantik dan jelita. Gadis yang
agaknya mampu merobohkan setiap lelaki yang
pertama kali memandangnya. Tapi mengerutkan
alis menggeleng kepala tiba -tiba pemuda ini
bangkit berdiri. " Maaf," Wang-taijin terkejut. "Aku
sedang pepat pikiran, taijin.
Tak mungkin bagiku memikirkan jodoh
dalam saat seperti ini!" dan ketika bupati itu
terbelalak memandangnya pemuda inipun
menjura. "Taijin, kukira cukup kita bercakap-cakap.49
Terima kasih untuk semua perhatian dan maksud
baikmu."
"Ah, kau mau ke mana, siauw-hiap?"
Pemuda ini tersenyum getir. "Aku
pengelana sejati, taijin. Aku ingin melanjutkan
perjalananku ke mana aku suka."
"Ah, dan... dan puteriku?"
"Kenapa dengan puterimu?"
"Tak cantikkah dia? Tak sukakah kau
kepadanya?"
Pemuda ini tiba-tiba menggigit bibir.
"Taijin, puterimu halus dan cantik bagai bidadari.
Siapa tak suka padanya? Aku bukan tidak suka,
taijin. Tapi saat ini aku belum berhasrat untuk
memperisteri seorang gadis!"
Wang-taijin pucat, merasa gagal!
"Siauw-hiap, adakah seorang gadis yang telah
menjatuhkan hatimu?"
Pemuda itu memejamkan mata. "Perlukah
kau ketahui?"
Wang-taijin tertegun. Dia tiba-tiba merasa
telah melancarkan pertanyaan di luar batas, urusan
pribadi yang memang tak seharusnya dia ikut
campur. Dan Wang-taijin yang tak menjawab
karena merasa terpukul tiba-tiba melihat pemuda
aneh itu membuka matanya.50
"Taijin, aku tidak menolak maksud baikmu.
Tapi masalah itu biarlah kita bicarakan saja lain
hari."
"Ah!" Wang-taijin tiba-tiba merasa
mendapat harapan. "Kalau begitu kau
mengabulkannya, siauw-hiap? Kau..."
"Nanti dulu, jangan terburu -buru!" pemuda
itu memotong. "Aku tak memberi janji mau atau
tidak mau, taijin. Tapi masalah jodoh adalah
masalah yang tidak gampang diselesaikan dengan
cara begitu singkat. Hidup suami-isteri adalah
hidup keterikatan. Aku tak mau gampang memberi
janji kepada siapapun!" dan sekali lagi menjura
kepada bupati itu tiba-tiba pemuda ini berkelebat
keluar. "Taijin, pembicaraan kita sudah cukup.
Terima kasih atas semua kebaikanmu...!" dan
ketika Wang-taijin terbelalak memandang ke depan
tahu-tahu pemuda berambut emas itu telah lenyap
di luar halamannya.
"Kim-mou-eng (Pendekar Rambut
Emas)...!" Wang-taijin tiba-tiba berseru, memanggil
begitu saja pemuda lihai itu dengan sebutan
sekenanya. Tapi tak menyangka sebutannya
mengena pada sasaran mendadak pemuda yang
tadi lenyap itu sekonyong-konyong muncul kembali
di depannya seperti iblis. Begitu saja membuat
Wang-taijin mundur menubruk kursinya.51
"Bagaimana kau mengenal julukanku?"
Wang-taijin geragapan. Dia bangun berdiri
dengan muka kaget, membersihkan bajunya dan
menarik kembali kursi yang roboh. Tapi melihat
orang tak marah padanya dan bersikap wajar tibatiba pembesar ini kagum bukan main. Kagum serta
tertarik melihat pemuda ini demikian hebat. Dapat
datang dan pergi seperti siluman! Maka tersenyum
dan girang memutar akal tiba-tiba bupati ini
tertawa. "Aku mengenal dan menyebutmu
sembarang saja, siauw-hiap. Tapi kalau betul itu
adalah julukanmu maka akan kupanggil dirimu
Kim-mou-eng!" dan belum pemuda ini membalas
dengan kata-kata Wang -taijin sudah menjura
penuh hormat. "Kim-mou-eng, bagaimana kalau
begitu jika Cao Cun menjadi adikmu? Aku cukup
puas kalau kau dapat menjadi kakaknya, Kim-moueng. Aku tak mengharap lebih di saat ini!"
Kim-mou-eng tertegun. "Kau mau
mengikatku di sini?"
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak," Wang-taijin buru-buru menyela,
cerdik melihat keadaan. "Aku tak mengikatmu
kemana kau pergi, Kim-mou -eng. Tapi kalau kau
mau tinggal beberapa hari di sini dan menganggap
puteriku sebagai adikmu maka rasa terima kasih
kami akan terbayar sedikit dengan kemurahanmu.
Aku tak memaksa."52
Kim-mou-eng lagi-lagi tertegun. Dan
sementara dia mengerutkan kening memandang
bupati ini tiba-tiba Cao Cun muncul. "Ayah, kenapa
tamu kita kau biarkan berdiri begitu? Apakah kau
mengusirnya pergi?"
Bupati Wang terkejut, tapi cepat girang
memberi isyarat. "Tidak, justeru Kim-mou-eng mau
tinggal beberapa hari di sini, Cun-ji. Kau rupanya
beruntung akan dianggap sebagai adiknya. Hayo
cepat beri hormat...!" dan Wang-taijin yang buruburu mengedip memberi isyarat tiba-tiba membuat
Cao Cun terkejut tapi girang bukan main, merah
tersipu. Tapi begitu sang ayah sudah memegang
pundaknya dan menyuruh Cao Cun berlutut di
depan kaki Pendekar Rambut Emas ini maka puteri
bupati Wang itu sudah berkata, gemetar penuh
gembira,
"In-kong, kalau betul kau mau
menganggap aku sebagai adikmu sungguh
kegembiraan kami sekeluarga tak terkira besarnya.
Aku Cao Cun mohon bimbinganmu!" dan Cao Cun
yang menyentuh lutut Pendekar Rambut Emas
akhirnya membuat pemuda lihai ini sadar dan
gugup, tak dapat mengelak lagi karena Cao Cun
sudah memberi hormat padanya. Dan karena
perbuatan ini telah "mengikatnya" dalam hubungan
persaudaraan yang lebih akrab akhirnya Kim-mou-53
eng tersipu dan buru-buru membangunkan puteri
Wang-taijin itu.
"Nona, bangunlah. Aku tak pantas
sebenarnya menjadi kakakmu!"
Cao Cun terkejut. "Kau memanggilku
nona?"
Wang-taijin tampil bicara, tertawa lebar.
"Ha-ha, Kim-mou-eng masih canggung, Cun-ji. Kau
sendiri tak memulainya menyebut twako (kakak)!"
Cao Cun sadar. "Ah, benar, maaf twako...
maaf, Kim-twako!" dan ketika Kim-mou-eng
bingung dan tersipu melihat gadis itu berdiri di
depannya karena sang ayah selalu membantu
akhirnya Pendekar Rambut Emas tak berdaya
mengelak lagi.
"Sudahlah, ayahmu pintar, Cun-moi (adik
Cun). Aku benar-benar gugup menghadapi kalian."
"Dan kau masih jadi mau pergi juga, Kimmou-eng?"
Pemuda ini tertegun.
"Tidak, bukan? Nah, kalau begitu biar
kusiapkan pesta kecil untuk kalian!" Wang-taijin
tertawa, melanjutkan kata-katanya dan berhasil
"menjebak" pemuda ini untuk tidak tergesa-gesa
meninggalkan rumah mereka. Dan ketika Wangtaijin gembira dan Kim-mou-eng telah menganggap
Cao Cun sebagai adiknya dan tentu saja tak enak54
meninggalkan bupati itu yang tidak bermaksud
jahat akhirnya pemuda aneh ini tinggal beberapa
hari di gedung bupati itu. Mau tidak mau
menyambut juga penghargaan bupati itu. Terang
tak enak pergi begitu saja seperti orang tak punya
aturan. Dan begitu Kim- mou-eng tinggal bersama
di gedung bupati Wang ini untuk beberapa hari
maka hubungan Cao Cun dan pemuda itu menjadi
akrab!
* * *
Ternyata Kim-mou-eng adalah keturunan
bangsa Tar-tar. Hal itu baru diketahui Cao Cun dan
ayah ibunya beberapa hari kemudian, yakni ketika
mereka bercakap-cakap. Ketika hubungan Cao
Cun dan pemuda yang aneh itu terjalin baik tanpa
penuh prasangka. Bahwa pemuda ini memiliki
darah campuran antara suku Tar-tar dan bangsa
Han karena ayah pemuda itu adalah salah seorang
kepala suku bangsa perantau itu sementara ibunya
adalah wanita Han (Tiongkok) yang dua-duanya
telah meninggal dunia, jauh lima belas tahun yang
lalu ketika Kim-mou-eng masih kecil. Dan Cao Cun
yang terharu mendengar kisah pemuda ini55
mendengar penuh perhatian ketika suatu hari
mereka bercakap-cakap di taman.
"Aku seorang jaka-lola, Cun-moi. Luntanglantung belasan tahun di tengah-tengah suku
bangsa ayahku yang suka merantau. Ayah dan ibu
telah lama meninggal, aku hidup sendiri di tengahtengah suku bangsa yang keras itu," demikian
mula-mula Kim-mou-eng bercerita, menarik napas
dan tampak muram menceritakan masa kecilnya
yang penuh kepahitan, jauh berbeda dengan puteri
bupati Wang itu yang hidup cukup, senang dan
memiliki orang-orang tua yang masih hidup. Dan
Cao Cun yang melelehkan air mata memandang
penuh harapan tiba-tiba terisak.
"Jadi kau hidup sendiri, twako? Kau tak
bersanak-kadang lagi?"
"Hm, begitulah yang kualami selama
bertahun-tahun, Cun-moi. Tapi kalau dibilang hidup
sendiri sesungguhnya juga kurang tepat."
"Maksudmu?"
"Aku hidup di tengah-tengah keluarga
besar suku bangsaku. Meskipun mereka bukan
keluarga dalam pertalian darah tapi bagaimanapun
juga aku termasuk seorang di antara mereka. Aku
telah dianggap seorang warga di tengah-tengah
suku bangsa Tar-tar yang besar!"56
"Tapi kau hanya memiliki setengah ikatan
darah, twako. Ibumu adalah orang Han seperti
yang kau katakan sendiri!"
"Ya, tapi selama ini aku dibesarkan di
tengah-tengah mereka, Cun-moi. Jadi meskipun
aku berdarah campuran tapi aku sendiri telah
terbiasa oleh adat dan kebudayaan mereka. Aku
merasa bahwa aku berdarah Tar-tar!"
"Hm, tapi bagaimanapun juga darah Han
mengalir di tubuhmu, twako. Kau tak dapat
menganggap dirimu penuh sebagai suku bangsa
Tar-tar!" Cao Cun mengingatkan.
"Benar, dan akhir- akhir ini aku merasa
rindu akan tanah kelahiran ibuku, Cun-moi. Karena
itulah aku meninggalkan suku bangsaku di utara itu
untuk merantau di Tionggoan. Tak kuduga... "
pemuda ini menghentikan kata-katanya, tiba-tiba
sedih dan menutupi mukanya dengan bibir digigit
kuat-kuat. Dan Cao Cun yang terkejut melihat
pemuda itu basah kedua matanya tiba-tiba
bertanya, cemas,
"Ada apa, twako? Kau mendapat musuh?"
"Benar," pemuda ini menghela napas berat. "Dan
musuhku itu adalah suheng (kakak seperguruan
laki-laki) dan sumoiku (adik seperguruan
perempuan) sendiri!"57
Cao Cun terkejut. "Kau memiliki saudarasaudara seperguruan, twako? Siapa mereka?"
Kim-mou-eng memejamkan mata. "
Mereka asli orang-orang Tar-tar, Cun-moi.
Menyatakan tidak setuju dan marah sekali ketika
aku menyatakan niatku untuk meninggalkan suku
bangsaku merantau di tanah kelahiran ibuku!"
Cao Cun tertegun. "Siapa suheng dan
sumoimu itu? Dan, hm... cantikkah sumoimu itu?"
Pemuda ini membuka matanya. "Mereka
orang-orang lihai, Cun-moi. Kami bertiga saudara
seperguruan baru kali itu bertengkar!"
"Dan sumoimu itu, cantikkah dia?" Cao
Cun mengulang pertanyaannya, ingin tahu sekali.
Siapakah namanya?"
Pendekar muda ini sejenak tersenyum.
"Sumoiku itu cantik, Cun-moi. Namanya Salima.
Tapi suhengku yang bernama Gurba itu amat keras
hati dan jauh lebih berbahaya dibanding sumoiku.
Ayah ibunya juga meninggal dibunuh orang-orang
Han!"
Cao Cun terkejut. "Suhengmu juga lola?"
"Ya, sumoiku juga lola, Cun-moi. Kami tiga
bersaudara seperguruan sama-sama tak beribubapa lagi. Sama-sama sebatangkara!"
"Tapi suhumu?"58
Kim-mou-eng mendadak tersenyum, hidup
mata bintangnya itu. "Kami tak mengenal suhu
(guru) kami, Cun-moi. Kami belajar dari sebuah
kitab yang ditinggalkan seseorang lewat suaranya!"
Cao Cun membelalakkan mata. "Apa, kau
memiliki guru secara bayangan?"
"Ya, guru kami itu memang merupakan
guru bayangan, Cun-moi. Dia tak pernah
menampakkan diri selain suaranya itu. Kami tak
berhasil mengenal siapa dia tapi ilmu silat yang dia
berikan benar-benar hebat dan luar biasa sekali!"
Cao Cun tertegun. Dia hampir tak berkedip
memandang Pendekar Rambut Emas ini, dan
ketika dia masih juga terbelalak memandang
temannya akhirnya Kim-mou-eng tertawa. "Benar,
aku tak berdusta padamu, Cun-moi. Guru kami itu
memang orang yang aneh. Kami tak tahu siapa dia
tapi kami mengenal betul suaranya."
"Hm...!" Cao Cun merasa takjub. "Dan kau
juga tak tahu siapa nama gurumu itu, twako?"
"Sedikit. Dia tak pernah menyebut
namanya kecuali ?Sian-su? di atas kitabnya. Kami
tak tahu siapa dia sebenarnya, tapi yang jelas guru
bayangan kami ini orang yang hebat dan sakti
sekali, juga bijaksana, mirip dewa!"
Cao Cun kagum, bangkit rasa herannya
yang besar. "Dan dengan kepandaianmu yang59
sudah seperti ini kau masih juga tak berhasil
mengetahui siapa gurumu itu, twako?"
"Ya, aku tak berhasil. Dia pandai
menghilang seperti asap, Cun -moi. Betapapun aku
mengejar atau mencarinya tetap saja aku tak
berhasil. Bahkan dulu pernah kami bertiga
mengepungnya tapi tetap gagal seolah guru
bayangan kami itu amblas memasuki dasar bumi!"
Cao Cun mendesah penuh takjub. Kalau
bukan pemuda ini sendiri yang menceritakan
mungkin dia tak akan percaya. Maklum, Kim-moueng sendiri pandai menghilang seperti siluman.
Jadi kalau dia menceritakan betapa gurunya itu
dapat menghilang melebihi Pendekar Rambut
Emas ini sendiri maka dapat dibayangkan betapa
hebat dan luar biasanya guru bayangan pemuda
itu. Agaknya dewa atau maha dewa yang sudah
bukan berujud manusia lagi! Dan Cao Cun yang
kagum dengan mata bersinar-sinar akhirnya
mendengarkan Kim-mou-eng melanjutkan
ceritanya. Betapa pemuda itu bersama suheng dan
sumoinya hidup di alam yang keras dan menempa
mereka dengan keras pula, menjadikan mereka
orang-orang muda yang cepat dewasa dan
matang, memiliki kepandaian tinggi dan menolong
suku bangsa mereka dari gangguan suku-suku
bangsa lain yang liar. Dan karena mereka selalu60
mengalahkan musuh dan musuh yang kalah
akhirnya bergabung dengan mereka maka suku
bangsa Tar-tar berkembang pesat menjadi suku
bangsa yang besar dan tangguh. Mereka akhirnya
menyapu suku-suku bangsa lain yang liar di
sekeliling mereka, yang sering mengganggu dan
mengancam ternak mereka karena mereka juga
hidup dari memelihara ternak yang besar
jumlahnya, puluhan ribu ekor. Dan karena mereka
juga merupakan bangsa yang keras karena alam
yang keras menempa mereka maka akhirnya suku
bangsa Tar-tar ini menjadi suku
bangsa yang gagah berani dan ditakuti banyak
lawan, terutama dengan adanya Kim-mou-eng dan
dua saudara seperguruannya itu, Gurba dan
Salima, yang masing-masing mendapat julukan
sebagai Singa Daratan Tandus dan Dewi
Bertangan Besi, nama yang amat ditakuti sukusuku bangsa lain karena keperkasaan mereka,
kehebatan mereka. Dan ketika beberapa tahun
kemudian Kim-mou-eng dan dua saudara
seperguruannya ini menundukkan banyak musuh
dan Tar-tar menjadi suku bangsa yang besar
akhirnya Gurba diangkat menjadi pemimpin di
kalangan suku bangsa itu.
"Suhengku memang hebat, Cun-moi. Dia
gagah dan tinggi besar serta pandai memanah61
atau melempar lembing seperti kebiasaan suku
bangsa Tar-tar. Kulitnya hitam tapi bengis terhadap
musuh!"
Cao Cun ngeri. "Dan sumoimu?"
"Sumoi berkulit hitam manis, Cun-moi. Dia
juga gagah perkasa dan banyak pemuda tergilagila padanya. Tapi dia tak menghiraukan mereka
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua itu!"
"Dan kecantikannya, samakah dengan
orang-orang pedalaman, twako?"
"Ah, tentu tidak. Dia wanita Tar-tar yang
hidup di alam terbuka, tidak cantik tapi manis luar
biasa. Penuh daya tarik dan cukup menggairahkan
bagi gadis seusianya!"
"Hm...!" Cao Cun tiba-tiba cemburu. "Dan
kau tertarik padanya, twako?"
Kim-mou-eng mendadak tersenyum lebar.
"Aku tertarik padanya karena dia memiliki
kepribadian yang teguh, Cun-moi. Tapi kalau
tertarik dalam arti cinta aku masih belum tahu!"
"Kenapa begitu?" Cao Cun mengerutkan
kening, sedikit merah mukanya karena
pertanyaannya dapat "ditangkap" pemuda itu. Dan
Kim-mou-eng yang tertawa menepuk permukaan
meja tiba-tiba memandang puteri bupati Wang ini.62
"Cun-moi, kau sendiri tahukah bagaimana
yang disebut cinta itu? Cukupkah sekedar gerakgerik dari perasaan ingin saling mendekati?"
Cao Cun terkejut. "Maksudmu?"
"Ya, jelas sekali. Apakah cinta itu? Adakah
jawabannya yang tepat bagaimanakah definisi
cinta itu? Aku tak mau sembrono, Cun-moi. Aku
ingin tahu lebih dulu bagaimana sebenarnya yang
bernama cinta ini. Apakah sekedar dorongan nafsu
atau perasaan!"
Cao Cun tertegun. "Aku tak mengerti."
"Aku juga tak mengerti!" Kim-mou-eng
tertawa.
"Karena itu aku ingin menyelidikinya dulu.
Kalau aku menemukan nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam kata ?cinta? itu barulah aku berani
mengatakan apakah aku jatuh cinta pada
seseorang atau tidak!"
Cao Cun tersipu, "Hm..." gadis ini
semburat merah. "Jadi kalau begitu kau tak tahu
bagaimana sebenarnya perasaanmu terhadap
sumoimu itu. Kau tak tahu kau mencintainya atau
tidak?"
"Sebagai seorang adik seperguruan tentu
saja aku mencintainya. Tapi kalau dimaksudkan
sebagai cinta seorang kekasih memang dengan
jujur kujawab belum tahu!"63
"Dan kau dapat memberikan bayangan
wajahnya kepadaku, twako?"
"Tentu, untuk apa?"
"Untuk... untuk sekedar mengenalnya
belaka. Siapa tahu dikemudian hari aku berjumpa
dengan sumoimu itu!" Cao Cun gugup, melihat
mata temannya memandang berseri dengan
senyum yang aneh, seakan tahu dia
menyembunyikan sesuatu. Dan ketika Kim-moueng mengeluarkan pit dan tinta serta sehelai kertas
untuk melukis tiba-tiba puteri Wang-taijin ini
tertegun.
"Kau mau menggambar, twako?"
"Ya, melukis wajahnya. Bukankah kau
ingin tahu wajah Salima?"
Cao Cun terbelalak. "Kau cukup
membayangkan-nya saja kepadaku!"
"Tidak, kau tak akan puas hanya dengan
bayangan ceritanya, Cun-moi. Aku akan melukis
wajahnya agar kau dapat membuktikan benarkah
kata-kataku tadi. Lihat...!" dan Kim-mou- eng yang
sudah tertawa mencoret-coret kertas itu dengan
wajah seorang gadis tiba -tiba membuat Cao Cun
terhenyak ketika sebentar saja pemuda itu
menyelesaikan lukisannya. Menggambarkan
seorang gadis dengan topi burung rajawali, cantik
dan gagah. Atau lebih tepat, manis dan gagah64
karena gadis itu memang lebih tepat disebut manis
daripada cantik, anggun dan tampak memiliki mata
yang tajam bagai mata seekor harimau betina.
Seluruh kegagahan dan kepribadiannya yang kuat
tampak menonjol di situ. Begitu pula lekuk dagunya
yang keras, membayangkan kemauan dan
kekerasan hati yang teguh. Manis dan memikat,
namun gagah! Dan ketika lukisan itu selesai dan
Cao Cun bengong melihat Kim-mou-eng pandai
melukis hingga lukisan itu tampak hidup dan indah
tiba-tiba pemuda ini bangkit berdiri menyimpan pit
dan tintanya, tersenyum lebar.
"Inilah Salima, Cun-moi. Manis dan gagah,
bukan?"
"Ya," Cao Cun mengangguk, sedikit
gemetar.
"Dan kau... kau rupanya hafal benar akan
segala garis-garis wajah sumoi-mu, twako. Kau
dapat menggambarkan begitu hidup wajah
sumoimu itu. Kalau begitu kau mencintai sumoimu
itu!"
Kim Mou eng terkejut. "Darimana kau
tahu?"
"Lihat," Cao Cun menggigil, menuding
garis-garis dan lekuk yang gagah di dagu itu. "Kau
dapat melukisnya begitu hidup, twako. Kau hapal
benar wajah sumoimu itu. Kalau tak65
membayangkannya setiap saat atau
memperhatikannya demikian seksama tentu tak
mungkin kau dapat melukisnya seperti ini. Kau
mencintainya!"
Pemuda itu tertegun. "Salima memang
sumoiku, Cun-moi. Sejak kecil kami memang
berkumpul bersama. Tak ada alasan untuk
mengatakan itu!"
Dan, belum Cao Cun membantah tiba-tiba
Kim-mou-eng memandang gadis itu, tertawa. "Lihat
aku juga dapat melukis wajahmu dengan garis dan
lekuk yang sama, Cun-moi. Sekarang buktikan dan
lihat baik-baik!" dan ketika kembali pemuda itu
mengambil pit dan tinta dari saku bajunya dan
melukis wajah Cao Cun di kertas yang lain akhirnya
sebentar saja Cao Cun dibuat bengong ketika
wajahnya benar-benar dilukis pemuda aneh ini,
persis dengan segala garis-garis mukanya, tajam
dan jelas dengan lekuk di sana-sini, seperti wajah
yang dia miliki, cantik dan lembut dengan matanya
yang bulat jernih itu, dengan rambut panjangnya
yang tergerai penuh daya tarik di belakang
punggung. Dan ketika lukisan itu selesai dan Cao
Cun melihat bayangan wajahnya sendiri yang
cantik gemilang di kertas putih itu tiba-tiba saja Cao
Cun kagum dan berseru memuji.66
"Hebat, kau benar-benar pelukis jempolan,
twako.
Lukisanmu hidup dan mengagumkan
sekali!" Pemuda itu tertawa, "Persis dengan
aslinya?"
"Ya."
"Kalau begitu aku juga mencintaimu
seperti kau mengatakan aku mencintai sumoiku
tadi?" Cao Cun tertegun.
(Bersambung jilid II)
Koleksi Kolektor Ebook67
Jilid 2
"HA-HA!" Kim-mou -eng akhirnya tertawa
bergelak. "Sekarang kau tak dapat menjawab
pertanyaanku, Cun-moi. Bahwa cinta tak dapat
dilihat berdasarkan ingatan wajah seseorang
belaka! Bukankah kau melihat bahwa garis-garis
wajahmupun dapat kulukis dengan hidup di sini?
Bagaimana jawabannya sekarang?" dan ketika
gadis itu tertegun tak dapat menjawab tiba-tiba
Kim-mou-eng berkelebat keluar, menyambar pit
dan tinta bak-nya di atas meja. "Cun-moi, cinta
adalah sesuatu yang luar biasa dan aneh. Kau dan
aku sesungguhnya belum tahu benar tentang
apakah cinta itu. Kita masih terlalu muda...!" dan
ketika bayangan pemuda itu lenyap di belakang
taman akhirnya Cao Cun mendelong dengan pipi
kemerah-merahan.
Sehari itu Cao Cun melamun sendiri. Dia
teringat percakapan mereka, teringat kepandaian
Kim-mou-eng yang ternyata juga seorang jago
lukis disamping jago silat. Hal yang membuat dia
benar-benar kagum dan jatuh hati. Merasa tertarik
dan jatuh cinta pada pemuda berdarah campuran
itu. Pemuda yang tampan dan hebat. Dan ketika
sehari itu Kim-mou -eng tak keluar lagi menemui68
dirinya mendadak Cao Cun gelisah dan tak enak
lagi duduk di taman.
Hasrat yang kuat membuat dia ingin
menemui pemuda itu. Duduk bercakap-cakap dan
berdekatan. Memandang dan kembali memandang
wajah yang gagah dan tampan itu. Semakin
tampan dan menarik dengan rambutnya yang
aneh, kuning keemasan bagai suri bulu ratu yang
dia pelihara di taman itu. Bunga berserat halus
namun harum memabukkan. Tapi ketika ingat
bahwa dia seorang gadis dan tak pantas rupanya
menemui pemuda itu tiba-tiba Cao Cun tertegun.
Ah, apa kata orang nanti? Apa kata ayah
dan ibunya kalau dia mencari pemuda itu di
kamarnya? Bukankah saru? Cao Cun tiba-tiba
menggigil. Dia sekarang teringat kata-kata
Pendekar Rambut Emas tadi, bahwa cinta adalah
sesuatu yang aneh. Sesuatu yang luar biasa.
Bahwa cinta agaknya bukan sekedar dorongan
nafsu atau perasaan. Dan kalau sekarang dia
didorong oleh nafsu atau perasaannya itu menemui
Kim-mou-eng agaknya bukan lagi "cinta" yang ada
di hatinya itu. Melainkan...
Cao Cun tiba-tiba terisak. Dia menangis
dan lari memasuki kamarnya, menyambar dua
lukisan yang baru dikerjakan Kim-mou-eng itu. Dan
ketika dia membanting tubuh di atas69
pembaringannya maka yang dilakukan gadis itu
adalah... membanding-bandingkan dua lukisan itu
dengan air mata bercucuran.
Aneh! Cao Cun tiba- tiba ingin mengetahui
siapa yang lebih "cantik" diantara dua gambar itu.
Dia ataukah Salima. Dan ketika dia melihat bahwa
Salima juga memiliki wajah yang tak bisa
dipandang " enteng" karena gadis Tar-tar itu
memiliki kecantikannya yang khas dan daya tarik
yang kuat tiba-tiba Cao Cun mengguguk meremasremas lukisan gadis Tar-tar ini, terngiang kata-kata
Pendekar Rambut Emas tentang sumoinya itu.
" Dia tak dapat dibilang cantik, Cun-moi.
Tapi manis luar biasa dengan daya tarik yang amat
menggairahkan. Meskipun hitam tapi hitam manis!"
Begitu kata-kata itu terngiang. Dan Cao
Cun memang harus mengakui. Salima memang
manis, juga gagah. Dan kalau manis itu "digabung"
gagah maka Salima memang dapat menjatuhkan
setiap lelaki dengan daya tariknya. Termasuk Kimmou-eng!
Cao Cun tiba-tiba menjerit. Dia mendadak
merasa tertikam membayangkan Kim-mou -eng
jatuh cinta pada sumoinya itu. Panas dan cemburu!
Dan ketika sehari itu Cao Cun juga tak keluar dari
kamarnya karena dihimpit perasaan duka tiba-tiba70
gadis ini meremas-remas lukisan Salima hingga
kumal dan robek-robek.
"Salima, kau gadis Tar- tar yang liar. Kau
tak boleh menggoda Kim-mou-eng...!"
Cao Cun mengguguk. Dia tiba-tiba
menangis tanpa sebab lagi, tersedu-sedu,
membanting-banting lukisan itu hingga pecah
menjadi dua. Dan ketika Cao Cun mengeluh dan
melempar lukisan ini di tepi pembaringannya
akhirnya gadis itu menutupi muka dengan bantal.
Sehari itu puteri Wang-taijin ini tampak pucat,
lemah karena habis tenaganya untuk menangis.
Tangis yang meledak begitu saja karena cemburu.
Dibakar perasaan jelus membayangkan Salima
menggoda Kim-mou-eng. Dan ketika Cao Cun
terengah dan memejamkan mata kelelahan
akhirnya beberapa saat kemudian gadis ini tertidur.
* * *
Keesokan harinya, ketika Cao Cun
termenung sendiri di bangku taman dan membawa
lukisan Salima yang kumal dan robek menjadi dua
tiba-tiba Kim-mou-eng muncul.
"Ada apa, kau baru menangis, Cun-moi?"71
Cao Cun terkejut, bangkit berdiri dan
cepat-cepat menyembunyikan lukisan Salima yang
kumal-kumal itu.
Tapi Kim-mou-eng yang rupanya sudah
melihat ini tiba-tiba bertanya, "Apa yang kau bawa
itu, Cun-moi? Lukisan siapa?"
Cao Cun gugup. "Lukisan... lukisan diriku!"
"Hm, kenapa kumal? Kenapa kau remas-remas?"
"Aku... aku..." Cao Cun merah mukanya,
semakin gugup. Dan ketika dia tak dapat
menjawab dan Kim-mou-eng sudah bergerak cepat
tiba-tiba lukisan itu telah disambar pemuda ini,
langsung dibeber. Dan begitu Kim-mou-eng
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertegun dan melihat siapa yang ada di lukisan itu
mendadak pemuda ini mundur dan berseru kaget,
"Ah, kau bohong!"
Cao Cun mengguguk. Gadis ini mendadak
terpukul, malu dan jengah. Dan ketika Kim-moueng memandangnya dengan mata terbelalak tibatiba Cao Cun menangis tersedu-sedu dan memutar
tubuhnya lari ke dalam, menyambar lukisan Salima
yang dipegang Pendekar Rambut Emas itu.
"Twako, maafkan aku...!"
Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sesuatu
yang "tidak beres" pada diri puteri Wang-taijin itu.
Tapi baru Cao Cun memutar tubuhnya tiba-tiba
sebuah bayangan meluncur turun menghadang di72
depan gadis ini, langsung Cao Cun yang tentu saja
kaget karena gadis itu persis seperti lukisan yang
dibuat Kim-mou-eng tiba-tiba mengaduh dan
terbanting roboh ketika sebuah tamparan meledak
di pipinya!
"Gadis tak tahu malu, kau membujuk dan
mengguna-gunai suhengku... plak!"
Cao Cun menjerit kesakitan. Dia
terjengkang dan seketika itu juga bengkak pipinya,
menangis dan bangun berdiri dengan kaki
terhuyung. Tapi ketika gadis di depan berkelebat
dan kembali hendak menamparnya tiba-tiba Kimmou-eng sudah membentak dan melompat maju.
"Salima, tahan...!"
Ternyata gadis itu benar Salima adanya,
sumoi Kim-mou-eng, gadis Tar- tar yang manis dan
gagah! Dan Salima yang memandang suhengnya
dengan mata berapi ganti membentak, "Apa yang
kau maui, suheng? Inikah hasil perjalananmu di
pedalaman Tionggoan?"
Kim-mou-eng terkejut. "Salima..."
"Suheng!" gadis itu kembali membentak,
memotong cepat dengan seruan tinggi. "Inikah
hasil perjalananmu meninggalkan keluarga besar
Tar-tar? Kau berpacaran dengan seorang gadis
lemah yang tiada guna? Twa-heng (kakak tertua)
memanggilmu, suheng. Harap tak perlu banyak73
membantah lagi demi bendera Tar-tar!" Salima
tiba-tiba mengeluarkan bendera bergambar singa,
mengebut dan mengibarkannya di depan Kimmou-eng, bersikap agung bagai seorang ratu. Dan
Kim-mou-eng yang terkejut melihat bendera ini
tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut berseru tertahan.
"Sumoi, darimana kau mencuri bendera
ini?" Salima marah. "Twa-heng yang
memberikannya kepadaku, suheng. Aku bukan
mencuri tapi benar-benar mendapatkannya
dengan resmi dan sah!" lalu, kembali mengebutkan
bendera itu dua kali gadis yang manis dan gagah
ini membentak, "Suheng, demi nama Tar-tar yang
jaya kuminta kau ikut pulang keluar pedalaman.
Tak perlu membantah!"
Kim-mou-eng bangun berdiri dengan muka
berubah. Cao Cun melihat betapa kakak angkatnya
itu terkejut, gugup dan marah. Tapi melihat Salima
berdiri dan gagah angkuh dengan sikap seperti ratu
yang penuh wibawa tiba- tiba puteri Wang-taijin ini
tergetar. Melihat betapa keras dan gagahnya gadis
Tar-tar ini. Anggun dan memiliki daya tarik besar.
Tinggi semampai dengan mata harimaunya itu
yang galak bersinar-sinar. Dingin tapi menarik! Dan
ketika dia melihat Kim- mou-eng bentrok dengan
pandang mata sumoinya yang tajam tapi keras dan
Kim-mou -eng tertegun memandang bendera di74
tangan Salima tiba-tiba pemuda ini menghela
napas tersenyum pahit, membungkuk agar
bendera itu disimpan.
"Sumoi, aku akan pulang ke Tar-tar setelah
kampung halaman ibuku kutengok. Harap bendera
keramat itu kau simpan."
Salima mendengus. "Twa-heng tak
mengijinkan kau berlama-lama meninggalkan
bangsa kita, suheng. Ini sudah bulan kedua kau
meninggalkan kami!"
"Tapi aku tak terikat pada batas waktu,
sumoi. Aku juga belum menemukan kampung
halaman ibuku."
"Persetan itu semuanya. Kau harus pulang
atau...tar-tar!" Salima meledakkan bendera,
mengebutkannya di depan mata dengan sikap
beringas, dingin dan marah pada suhengnya itu.
Dan ketika sang suheng terbelalak kepadanya dan
gusar memandang sumoinya ini maka Salima
melompat mundur dan berseru marah, "Atau kau
akan kurobohkan, suheng. Kuseret dan menerima
hukuman di tengah-tengah suku bangsa kita
sebagai pemberontak!"
Kim-mou-eng tak dapat menahan diri lagi.
Dia merasa diancam dan diganggu oleh sumoinya
ini, tapi melihat Cao Cun ada di situ dan rupanya
tegang dan ketakutan melihat semuanya ini tiba-75
tiba pemuda itu mengangguk. "Baik, kau simpanlah
bendera itu, sumoi. Aku turut perintahmu asal kau
tak mengganggu gadis ini. Kau berjanji?"
Salima menjengek.
"Kau mendapat kekasih baru?"
"Tutup mulutmu!" Kim-mou-eng
membentak marah. "Dia puteri Wang-taijin, sumoi.
Kami berhubungan sebagai kakak dan adik!"
"Hm, begitukah? Baiklah, aku tak akan
mengganggu padanya. Hayo sekarang kita
berangkat!" dan Salima yang menyimpan
benderanya di balik punggung tiba- tiba melihat
suhengnya itu melompat jauh melarikan diri.
"Cao Cun, selamat tinggal pada kalian
sekeluarga. Aku tak dapat lagi tinggal lama-lama di
sini... wutt!" dan Kim-mou-eng yang lenyap di luar
taman tiba-tiba dibentak sumoinya yang marah dan
merasa tertipu.
"Suheng, kembali kau...!"
Namun Kim-mou-eng mengerahkan
ginkangnya. Dia lenyap di luar taman, sebentar
saja telah berkelebat seperti iblis keluar kota Chicou. Dan ketika Salima mengejar dan membentak
di belakang maka tinggallah Cao Cun sendiri
dengan mata terbelalak.
"Kim-twako...!"76
Namun Kim-mou-eng tak mendengar
seruannya. Pemuda aneh ini telah jauh di luar
batas kota, melarikan diri dari sang sumoi yang
mengganggu dan mengancamnya. Bukan takut
tapi semata tak mau ribut-ribut dengan gadis itu.
Apalagi di rumah Wang-taijin, ditonton Cao Cun
yang kini membuktikan kekerasan hati Salima,
gadis Tar-tar yang gagah tapi angkuh itu. Dan
ketika dua bayangan suheng dan sumoi itu lenyap
saling berkejaran maka Cao Cun mengguguk dan
tiba-tiba meninggalkan tempat itu menuju
kamarnya, lupa pada lukisan yang tertinggal di
taman. Yakni lukisan dirinya dan Salima, tak
menghiraukan semuanya itu. Dan ketika sesosok
bayangan muncul berindap-indap dan terkekeh
tanpa suara akhirnya bayangan ini mengambil dua
lukisan itu, menyimpannya baik-baik dan pergi
menyelinap dengan muka berseri, sebentar saja
telah keluar dari taman itu seperti langkah seorang
maling. Dan ketika dia memasuki sebuah rumah di
sudut kota dan membuka jendela maka tampaklah
siapa kiranya bayangan ini. Bukan lain Lui Tai!"
"Ha-ha, kau berhasil, Lui-twako?"
Lui Tai tersenyum, menyeringai lebar,
dihampiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah
Gong-taijin! "Ya, aku berhasil, taijin. Ini semua
berkat pertolonganmu...!" dan ketika dua laki-laki77
itu tertawa dan saling jabat tangan akhirnya camat
Gong berkata,
"Kalau begitu cepat saja ke kota raja, Luitwako. Serahkan gambar Wang-siocia itu pada
Mao-taijin karena siapa tahu dialah yang dicari-cari
kaisar!"
"Ya, dan kita akan bagi rata semua
keberuntungan ini, taijin. Siapa tahu Cao Cun lah
yang dicari kaisar. Untung ada gadis Tar-tar itu!"
Gong-taijin tertawa. Dia teringat Salima,
tertarik tapi bergidik. Teringat betapa gadis Tar-tar
itu mendatangi rumahnya mencari Pandekar
Rambut Emas, yang konon katanya terlihat
jejaknya di daerah itu. Dan karena Lui Tai ada di
situ dan mereka dapat memberi keterangan bahwa
Pendekar Rambut Emas yang berambut keemasan
itu ada di rumah Wang-taijin karena telah
menyelamatkan bupati itu dari serangan Dua
Musang Sakti akhirnya Salima berangkat dan Lui
Tai sebagai petunjuk jalannya.
Begitulah, mereka tepat di dalam taman
ketika Pendekar Rambut Emas muncul, Salima
langsung keluar dan ditabrak Cao Cun yang
meremas-remas lukisan. Dan ketika suheng dan
sumoi itu bertengkar dan Lui Tai bersembunyi di
dalam taman dan kebat-kebit melihat pertikaian itu78
akhirnya pelukis ini gembira bukan main ketika Cao
Cun membuang dua lukisannya itu, terpukul
oleh sikap Salima. Dan begitu gadis itu
pergi sementara Salima dan suhengnya juga
lenyap entah kemana dengan gesit dan spontan si
pelukis ini menyambar dua lukisan itu dan kagum
melihat gambar yang dibuat Pendekar Rambut
Emas. Heran bahwa pemuda aneh itu juga, mahir
melukis. Bahkan agaknya di atas kepandaiannya
sendiri. Mungkin setingkat dengan Mao -taijin! Dan
ketika seminggu kemudian peristiwa di atas telah
terjadi dan Lui Tai serta rekan-rekannya yang lain
menyerahkan hasil lukisan mereka pada Mao-taijin
dan Mao-taijin menyeleksinya dan
menyerahkannya pada kaisar mendadak secara
mengejutkan Cao Cun inilah yang dicari kaisar!
"Ha- ha, inilah juwitaku di dalam mimpi itu,
taijin. Siapa dia dan dimana tinggalnya? Panggil
cepat dia kemari. Aku tak sabar menanti. Gadis
itulah yang kucari-cari!"
Mao-taijin terkejut. Dia terang mencari-cari
Lui Tai, pembantu yang telah melukis wajah si
juwita itu. Tak tahu bahwa Kim-mou-eng lah yang
melukis wajah Cao Cun. Dan Lui Tai yang terkejut
dipanggil menteri Mao akhirnya tertawa dan
terbahak seolah mendapat durian runtuh.79
"Ha-ha, ini keberuntunganku, taijin.
Berapa yang akan kau berikan padaku untuk
mendapatkan alamat gadis itu?"
Mao-taijin terbelalak. "Kau mau
memeras?" "Tidak," Lui Tai tertawa. "Tapi sekedar
uang terima kasih, taijin. Bukankah kau juga dapat
mencari gantinya pada kaisar? Gadis ini alamatnya
rahasia sekali, tak sembarang orang dapat
menemui!"
Mao- taijin mendongkol. Dia memberi Lui
Tai sekantong uang emas, bukan lagi perak. Dan
ketika pelukis itu menunjukkan alamat Cao Cun
yang ternyata puteri bupati Wang mendadak
menteri ini tercengang. "Ah, dia puteri Wangtaijin?"
"Ya," Lui Tai tersenyum lebar. "Dan kau
dapat membawa gadis itu dengan ganti rugi yang
cukup, taijin. Bupati Wang cukup kaya dengan
harta bendanya yang banyak!"
Mao-taijin tertawa. Sekarang matanya
bersinar, muncul akal busuknya untuk memeras
bupati Wang itu. Maklum, Cao Cun terpilih sebagai
wanita yang dicari kaisar dan tentu hidup
bergelimang kemewahan disamping kaisar dan
tentu tak segan mengeluarkan uang berapa saja
untuk ditemukan dengan kaisar yang berkuasa itu,
lewat dia. Karena dialah yang ditunjuk kaisar untuk80
mendatangkan wanita yang dicari ini. Tak tahu
betapa diam-diam Lui Tai tertawa di belakang
punggung karena bupati Wang adalah orang jujur
yang tentu tak mau main sogok, terbukti ketika dulu
dia memeras bupati itu dan tak berhasil. Bahkan
sang bupati marah-marah. Dan ketika benar bupati
itu dipanggil menghadap bersama puterinya di
gedung Mao-taijin dan menteri ini meminta 500 ons
emas agar Cao Cun dapat dibawa menghadap
kaisar mendadak bupati Wang marah-marah dan
menegur menteri itu!
"Hamba tak ingin main suap, taijin. Kalau
sri baginda menghendaki puteri hamba biarlah itu
terjadi secara wajar. Hamba tak mau melakukan
apa yang paduka minta!"
Mao-taijin terbelalak, terkejut sekali. "Kau
menghinaku, bupati Wang?"
"Tidak," Wang-taijin berkata tegas, maklum
akan kedudukannya yang lebih rendah daripada
menteri itu.
"Hamba tidak menghina paduka, menteri
yang mulia. Tapi hamba tak suka melakukan apa
yang paduka minta karena itu perbuatan tidak
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jujur!"
"Ah, dan kau tahu, siapa aku?"
" Hamba tahu. Paduka adalah perantara
terpercaya untuk membawa puteri hamba81
menghadap kaisar. Bahwa tanpa bantuan paduka
tentu puteri hamba tak akan dapat menghadap sri
baginda."
"Bagus, dan kau sudah tahu untung
ruginya?"
"Maksud paduka?"
"Puterimu bakal hidup bergelimang harta di
dalam istana, Wang-taijin. Keberuntungan itu tak
habis kau syukuri selama tujuh turunan. Maka
kuminta 500 ons emas untuk balas jasaku yang
telah membuatmu beruntung itu!"
"Tidak!" Wang-taijin
membantah."Keberuntungan adalah anugerah dari
Tuhan, paduka menteri. Bukan dari manusia
karena manusia hanyalah sekedar perantara saja!"
"Tapi tanpa diriku kau tak akan berhasil,
bupati bodoh!" Mao-taijin mulai marah. "Karena
biarpun Tuhan memberimu rejeki tapi kalau
perantaranya tak kau hargai maka rejekimu itu
akan lenyap. Pikirkan itu!"
Wang-taijin juga marah. Dia bupati jujur
yang kurang diplomatis, keras dan teguh pada
pendirian bahwa manusia hidup harus baik. Tak
boleh curang atau kotor karena kebersihan dan
kejujuran adalah di atas segala-galanya. Maka
begitu menteri Mao mendesaknya dan menekan
agar dia mau memberi menteri itu "uang terima82
kasih" berujud 500 ons emas (bayangkan harganya
sekarang) yang berarti penyuapan akhirnya
bupati ini memaki-maki menteri itu,
mengeluarkan kata-kata keras yang membuat
sang menteri merah mukanya. Maklum, Wangtaijin bukan bawahan langsung menteri ini karena
menteri Mao bukanlah gubernur atau menteri
dalam negeri. Jadi Wang-taijin tak khawatir kalau
menteri itu memecatnya. Berani karena merasa
bersikap benar. Bahkan mengancam perbuatan
menteri itu akan dilaporkan pada Han-taijin yang
menjadi penasehat kaisar, atasan langsung bupati
itu setelah gubernur Liang yang menjadi atasannya
di tingkat propinsi. Dan Mao-taijin yang tentu saja
mencak-mencak oleh keberanian bupati ini
akhirnya mengusir pergi ayah dan anak itu dengan
ancaman pula.
"Baik, seumur hidup kau akan merasakan
keberanianmu ini, bupati bodoh. Puterimu tak akan
kuhadapkan kaisar dan kalian akan menderita
untuk keberanian kalian ini!"
Bupati Wang tak takut. "Hamba merasa di
jalan yang benar, paduka menteri. Hamba tak takut
karena Tuhan pasti melindungi hamba!"
Dan Cao Cun yang juga marah melihat
kebusukan menteri itu menyambung pula. "Hamba
tak mata duitan untuk tinggal di istana, taijin. Bagi83
hamba tak apa kalau paduka tak menghadapkan
hamba pada kaisar!"
Mao- taijin semakin marah-marah. Dia mengusir
ayah dan anak itu, gusar bukan kepalang. Merasa
tertampar dan terpukul karena baru kali itu ada
orang berani melawannya. Menolak mentahmentah uang semir yang diminta. Padahal bupati
Wang itu dapat hidup enak di istana, jauh lebih
enak daripada di Chi-cou. Bahkan pangkatnya
mungkin bisa naik dengan cepat kalau puterinya
menjadi kecintaan kaisar. Barangkali sebentar saja
bisa menjadi kepala menteri atau wakil kaisar! Dan
menteri Mao yang dendam pada bupati yang jujur
dan berani ini tiba-tiba pada suatu hari
merencanakan untuk membunuh saja bupati itu.
"Pengawal, panggil kemari Sin-kee Lo-jin
(Si Tua Ayam Sakti)!" menteri ini memanggil
pengawalnya, menyuruh agar Sin-kee Lo-jin yang
menjadi pelindung pribadinya itu datang, seorang
kakek tinggi kurus dengan mata yang bulat kecil,
persis mata ayam. Dan ketika kakek itu datang dan
Mao-taijin berbisik-bisik maka Sin-kee Lo-jin
mengangguk dan menyeringai lebar.
"Tak perlu khawatir. Hamba akan ke Chicou sekarang juga, Mao-taijin. Akan hamba racun
bupati itu agar mampus disangka kena penyakit
siluman."84
Tapi, belum Si Tua Ayam Sakti ini beranjak
dari tempatnya tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat masuk, begitu saja bagai iblis. Dan
ketika dua orang itu kasak-kusuk tak mengetahui
kedatangannya maka bayangan yang sudah berdiri
di belakang Sin-kee Lo-jin itu menepuk pundaknya.
"Iblis tua, sebaiknya kau urungkan saja niat
kalian itu. Kalau tidak aku akan melaporkannya
pada kaisar!"
Sin- kee Lo-jin dan Mao-taijin terkejut.
Mereka sekarang melihat siapa pembicara itu,
seorang pemuda aneh berambut keemasan. Yang
datang begitu saja tanpa mereka ketahui. Seperti
iblis! Dan Sin-kee Lo-jin yang marah serta kaget
tiba-tiba memutar tubuhnya "menjalu" (menendang
seperti ayam) lawan tak dikenal itu.
"Pemuda kurang ajar, pergi kau...!"
Sang pemuda tak mengelak. Dia
menerima saja tendangan mirip ayam jago itu,
tersenyum mengejek. Dan ketika "jalu" yang
dipasang Sin-kee Lo-jin tepat mengenai
pinggangnya mendadak Ayam Sakti itu menjerit
dan roboh terguling-guling bagai menendang baja
tak bergeming yang membuat dia kesakitan.
"Bress-aduh...!"
Mao-taijin terkejut. Dia melihat justeru
pembantunya itu yang berteriak kesakitan,85
terlempar dan memegangi tumit kakinya yang nyeri
menusuk tulang. Entah kenapa tertolak balik ketika
menjalu tadi. Tapi Sin-kee Lo-jin yang sudah
melompat bangun dengan kaki terpincang-pincang
mendengar Mao-taijin berseru padanya, "Lo-jin,
bunuh dia. Dia telah mendengar rencana kita...!"
dan mundur di balik mejanya yang terpasang alat
rahasia mendadak menteri ini menjebloskan diri
dalam sebuah lubang di bawah lantai.
"Bless!"
Mao -taijin lenyap sekejap. Rupanya
menteri ini pengecut sekali dan buru-buru
menyelamatkan diri melihat lawan,
mempercayakan perlindungannya pada Sin-kee
Lo-jin. Dan Sin- kee Lo-jin yang menggereng
berteriak keras tiba-tiba menubruk dan menyambar
pemuda itu.
"Bocah keparat, aku akan menanduk
kepalamu!"
Pemuda aneh itu diam saja. Dia terkejut
mengerutkan kening melihat menteri Mao lolos, tak
menyangka di bawah meja terpasang alat rahasia.
Tapi begitu Sin-kee Lo-jin menubruk dan
kepalanya benar-benar menanduk seperti jago
sedang berlaga tiba-tiba dia mengelak ke kiri dan
mendengus. Dan ketika Sin-kee Lo-jin meluncur ke
depan dengan seruan kaget tiba-tiba tangannya86
bergerak menampar mengepret telinga Ayam Sakti
itu. "Tua bangka, pergilah... plak!"
Sin-kee Lo-jin terpekik. Dia kembali
terlempar dan mencelat roboh, telinga rasanya
mengiang bagai mendengar seribu nyamuk
beterbangan. Tapi Sin-kee Lo-jin ykoleksiang
kembali membentak dan melompat bangun tibatiba menyerang penuh kemarahan lawannya yang
tak dikenal itu, mencabut senjatanya yang aneh
berupa cakar ayam yang terbuat dari baja, lengkap
dengan jalunya sekalian. Dan begitu dia menyerbu
dan membentak marah maka bertubi- tubi pemuda
berambut emas ini mendapat serangan yang
gencar tiada putus.
Tapi lawan yang aneh itu mulai
berlompatan. Sin-kee Lo-jin meraung-raung
melihat serangannya selalu luput, mengenai angin
kosong belaka karena lawan selalu terdorong
sebelum disentuh cakar bajanya. Seolah kapas
yang selalu tertiup sebelum dipegang. Mendengar
lawan tertawa mengejek sementara dia membabibuta dengan serangannya yang menderu-deru,
gagal belum sekali juga mendaratkan pukulannya
ke tubuh lawan yang lincah itu. Dan ketika dia
membentak dan memaki lawannya itu mendadak si87
pemuda menampar telinganya untuk kedua kali
sambil tertawa.
"Ayam tua, sebaiknya kau roboh saja...
plak!"
Sin- kee Lo-jin benar-benar roboh. Dia
mendelik tapi juga mulai gentar, maklum bahwa dia
menghadapi lawan yang benar-benar lihai. Dan
ketika kembali dia terbanting ketika lawan
menyapu kakinya mendadak terdengar seruan
Mao-taijin yang entah bersembunyi dimana,
"Lo-jin, panggil para pengawal untuk
membantumu. Goblok, jangan membuang-buang
waktu lagi...!"
Sin-kee Lo-jin marah. Untuk pertama kali
dia dimaki tuannya itu, geram dan gusar bukan
main pada lawannya ini. Tapi maklum lawan benarbenar lihai dan agaknya dia bukan tandingan
pemuda tak dikenal ini tiba-tiba dia memanggil
semua pengawal yang ada di gedung Mao-taijin
dengan suitan panjang, berteriak-teriak dan
membuat gaduh tempat itu. Dan begitu para
pengawal datang dan menyerbu dengan golok dan
tombak akhirnya pemuda ini dikeroyok oleh
tigapuluh orang lebih termasuk Sin-kee Lo-jin itu!
"Bagus, bagus... serang dia. Bunuh dia!"
Sin-kee Lo-jin berkaok-kaok, memberi perintah dan
ikut menyerang dengan senjata tidak pernah88
berhenti dari pegangannya, berputar dan
membabat atau menusuk dengan cakar bajanya
yang runcing, mengerubut dan
berteriak-teriak agar para pengawal terus
maju, tak perlu takut. Tapi ketika pemuda itu
membentak dan berkelebat lenyap membalas
marah mendadak saja para pengawal itu saling
menjerit dan roboh berpelantingan menerima
tendangan atau tamparan pemuda itu.
"Sin- kee Lo-jin, kau tak tahu diri. Awas
kalau begitu...!" dan ketika pemuda ini
menggerakkan kaki tangannya menangkis dan
menyapu hujan senjata mendadak golok dan
tombak patah-patah bertemu sepasang kaki dan
tangan pemuda ini, tak ada satupun yang kuat
menahan gebrakan itu. Padahal si pemuda masih
bertangan kosong. Dan ketika pemuda itu
berkelebat dan menangkis sambaran cakar baja
yang menghantam kepalanya tiba-tiba senjata di
tangan Ayam Sakti inipun patah dan mencelat dari
tangan pemiliknya.
"Plak!" Sin-kee Lo-jin terbelalak. Dia
seakan tak percaya melihat kelihaian pemuda itu,
mendelong dengan muka kaget. Tapi begitu
pemuda ini meneruskan gerakannya mendorong
dada si Ayam Tua tiba- tiba Sin-kee Lo-jin menjerit
dan roboh terjerembab dengan tulang rusuk patah.89
"Dess...!" si Ayam Sakti tak dapat berdiri
lagi. Dia melihat tigapuluh pengawal Mao- taijin
sudah tumpang tindih dengan tulang patah-patah.
Tak ada yang tewas tapi semuanya terluka tak
dapat bangun, sama seperti dia, merintih dan
memegangi bagian yang patah, sebagian malah
ada yang pingsan. Tapi ketika pemuda itu
menjengek dan Sin-kee Lo-jin gentar melihat
pemuda itu siap menghampirinya tiba-tiba seratus
busu (pengawal istana kaisar) muncul dipimpin
seorang panglima tinggi besar berjenggot lebat,
hasil panggilan Mao-taijin yang kecut melihat anak
buahnya roboh bergelimpangan. Dan begitu
panglima ini muncul dengan pakaian perangnya
yang bergemerincing nyaring terdengarlah
bentakannya yang menggeledek bagai petir
membelah ruangan itu,
"Manusia keparat, kau siapa berani
mengganggu gedung Mao-taijin? Tak tahu mati,
mengelus macan tidur, ya?"
Pemuda itu terkejut. Dia bukan lain Kimmou-eng adanya, pemuda yang berhasil
melepaskan diri dari kejaran sumoinya, Salima.
Belum begitu dikenal di Tionggoan karena dia
belum begitu lama muncul, baru dua bulan kurang
sedikit. Tapi melihat panglima tinggi besar itu
membentaknya dengan suara menggelegar dan90
seratus busu telah mengepungnya rapat
mendadak Kim-mou- eng tersenyum lebar,
mengenal panglima ini yang tentu Kang-jiu Buciangkun (Si Tangan Baja) adanya, seorang
Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panglima yang banyak didengar di perjalanan
sebagai panglima yang bengis dan garang.
Seorang dari tujuh panglima istana yang terkenal
dengan julukan Jit-liong Ciangkun (Panglima Tujuh
Naga), yakni panglima-panglima kaisar yang
gagah dan kosen. Maka melihat panglima ini
datang dan dia kagum mendengar suaranya yang
menggetarkan bagai aum singa tiba-tiba Kim-moueng maju dengan senyum mengejek, ingin melihat
kepandaian orang.
"Bu -ciangkun (panglima she Bu), kaukah
yang berjuluk Si Tangan Baja itu? Benarkah
tanganmu seperti baja dan hatimu setegar naga?"
Panglima itu, yang memang Si Tangan
Baja adanya mendelik. "Benar, kau siapa dan
kenapa membuat onar di sini? Tak tahu memasuki
sarang harimau, hah?"
Kim-mou-eng tersenyum, melihat
kemiripan panglima ini dengan twa-hengnya,
Gurba, sama-sama keras dan suka membentakbentak. Maka tertawa melirik para pengepungnya
Kim-mou-eng tiba-tiba menjawab, "Aku pengelana91
biasa, Bu-ciangkun. Melihat Mao-taijin hendak
berbuat jahat membunuh orang baik-baik."
"Bohong, kau dusta! Kau pengacau.
Kaulah yang hendak membunuh Mao-taijin!" dan,
menggereng bagai singa lapar tiba-tiba panglima
ini memberi aba-aba pada pasukannya.
"Tangkap orang ini. Ringkus dia!"
Seratus busu itu menyerbu. Mereka sudah
mengangguk dan meluruk bagai tawon, sebentar
saja membentak dan menyerang Kim-mou-eng,
berteriak dan menggerakkan senjata mereka untuk
merobohkan pemuda ini. Tapi Kim-mou-eng yang
tertawa dan berkelebat lenyap tiba-tiba menghilang
dari tempat itu hinggap di atas sebuah belandar.
Para pengeroyok tertegun. Mereka tak
tahu dimana lawan mereka berada. Maklum,
gerakan Kim-mou-eng demikian cepat dan begitu
bergerak tahu-tahu lenyap bagai iblis. Tapi Buciangkun yang rupanya lihai dan tahu dimana
lawan bersembunyi tiba-tiba menarik tombak
seorang busu, langsung melemparkannya ke atas
belandar dimana pemuda itu berada. Dan begitu
panglima ini membentak dan meluncurkan
tombaknya tahu-tahu senjata panjang itu telah
menderu dan menyambar ke atas.
"Dia di sana. Goblok!"92
Para pengawal mendongak. Mereka
sekarang melihat dimana lawan mereka itu, melihat
pula lemparan tombak yang dilontarkan Buciangkun, mengaung dan tahu-tahu menyambar
pemuda di atas belandar itu dengan cepat. Dan
ketika semua mata terbelalak ke atas dan tombak
tepat mengenai pemuda itu mendadak Kim-moueng terjungkal dan roboh mengaduh.
"Crep!"
Semua mata girang. Mereka menyangka
Kim-mou-eng terluka, bersorak dan menghambur
dengan pekik memuji Bu-ciangkun. Tapi begitu
mereka mendekat dan Kim- mou-eng melompat
bangun mendadak tombak yang mengenai
tubuhnya itu, yang ternyata "menembus" ketiaknya,
dikempit seolah ditembus sungguh- sungguh
mendadak sudah menyambar dan mengemplang
mereka semua, disusul ketawa pemuda itu yang
mengejutkan mereka.
"Ha-ha, jangan sebodoh itu mengira aku
terluka, tikus-tikus busuk. Sekarang lihat dan jaga
baik-baik diri kalian. Awas...!" dan begitu Kim-mou
-eng berkelebat memutar senjata panjang ini tahutahu para busu yang meluruk hendak
menangkapnya itu sudah digebuk dan roboh
berpelantingan menjerit-jerit.
"Aduh... plak-dess!"93
Tombak sudah menyerampang mereka,
sebentar saja membuat separuh dari jumlah
pengeroyok yang maju tumpang-tindih tak karuan,
berteriak-teriak kesakitan mengejutkan Buciangkun, yang juga tak
mengira hasil tipuan pemuda itu. Dan
ketika Kim-mou-eng tertawa dan melompat keluar
karena tempat itu sudah penuh oleh tubuh-tubuh
yang bergelimpangan maka Bu-ciangkun
menggereng dan berkelebat mengejar, mengira
Kim-mou-eng melarikan diri.
"Siluman cilik, jangan lari...!"
Kim-mou-eng berhenti. Dia memang tidak
bermaksud melarikan diri, hanya mencari tempat
lebih lega. Kini berdiri di tengah halaman luar
gedung Mao-taijin itu, tertawa melihat panglima
tinggi besar itu mengejarnya. Dan ketika sisa
pengawal juga berlari-lari ke depan mengurung
tempat itu akhirnya Kim-mou-eng bersiap-siap
menghadapi panglima gagah ini.
"Bu-ciangkun, pengawal-pengawalmu tak
ada yang dapat menangkap aku. Sebaiknya kau
maju sendiri dan mari kita main-main."
"Hargh!" panglima itu mengaum. "Kau
memang lihai, tikus kecil. Tapi jangan harap
mempermainkan aku dengan mudah. Sebut dulu
siapa namamu!" dan membentak melompat maju94
panglima ini sudah menggerak-gerakkan kedua
lengannya yang berkerotok bagai bambu
berplethakan.
Kim-mou-eng tersenyum. "Aku tak punya
nama. Aku pengembara biasa."
"Bohong!" panglima itu marah. "Kau bukan
orang sini, rambut emas. Kau orang asing yang
agaknya berasal dari luar tembok besar!"
"Benar," Kim-mou-eng tertawa kecil. "Tapi
aku bukan asing secara keseluruhan, Bu-ciangkun.
Jelek-jelek ibuku adalah juga wanita Han!"
"Dan apa maksudmu membuat onar?"
"Aku melihat Mao-taijin merencanakan
membunuh orang baik-baik. Dia kepergok dan..."
"Wutt!" panglima ini tiba-tiba membentak
marah dan memotong ucapan lawan dengan
serangannya yang dahsyat, menyambar muka
Kim-mou-eng dengan pukulan lurus ke depan,
menderu karena mengira Kim-mou-eng memfitnah.
Dan begitu panglima ini menyerang dan dia
langsung mengerahkan Tangan Bajanya
menghantam ke depan tiba-tiba pukulan itu telah
tiba di depan hidung Pendekar Rambut Emas ini.
"Dukk...!" Kim-mou-eng terkejut, cepat
mengelak dan menangkis mengerahkan
sinkangnya (tenaga sakti). Dan begitu dua lengan
bertemu dan Kim-mou-eng tergetar maka si95
Tangan Baja Bu-ciangkun itu terdorong dan
berseru kaget,
"Hebat...!" panglima ini terkejut, berseru
kagum dan terbelalak melihat lengannya terpental.
Melihat lawan tak apa-apa padahal biasanya
Tangan Bajanya itu mampu memukul remuk
kepala seekor banteng! Maka terkesiap melompat
mundur tiba-tiba panglima ini bertanya kembali,
"Kau siapa?"
Namun Kim-mou-eng tak menjawab. Dia
memang enggan memperkenalkan nama, bosan
pada bentuk penonjolan diri. Tapi tersenyum dan
kagum memandang panglima ini dia memuji juga,
tak menggubris pertanyaan lawan, "Kau hebat, Buciangkun. Tanganmu betul-betul ampuh dan keras
seperti baja!"
Bu-ciangkun menggereng. Dia penasaran
melihat lawan tak mau menjawab pertanyaannya,
dua kali sudah. Maka membentak dan maju
kembali tiba-tiba panglima tinggi besar ini bergerak
menubruk cepat. "Rambut Emas, kau rupanya
minta ditangkap dan dibanting agar mengaku...
wut-wutt!" dan panglima Bu yang sebentar saja
telah menyerang dengan ilmu silatnya Kang-jiu
Sin-hoat (Silat Tangan Baja) lalu menyambarnyambar dan mengepung lawannya dengan
pukulan-pukulan cepat. Sebentar kemudian diiringi96
bentakan-bentakannya yang keras menggetarkan
itu, bermaksud melumpuhkan nyali lawan dengan
suaranya. Tapi Kim-mou-eng yang menangkis dan
tertawa melayani panglima ini tiba-tiba berkelebat
mengerahkan ginkangnya.
"Bu-ciangkun, kau boleh robohkan aku
kalau bisa. Kalau berhasil tentu kau akan
mengetahui siapa namaku!"
Bu-ciangkun marah. Dia merasa
dipermainkan lawannya ini, membentak dan
mempercepat gerakannya untuk mengejar lawan.
Dan begitu keduanya saling sambar dan panglima
Bu melancarkan pukulan-pukulan berat akhirnya
dua orang itu bertempur dengan seru dan ramai.
Terutama di pihak Bu-ciangkun karena dia
menambah tenaganya dan penasaran bukan main
melihat lawan dapat menangkis dan mementalkan
Tangan Bajanya, terbelalak dan hampir tak
percaya bahwa pemuda itu dapat melayani ilmu
silatnya, berani keras lawan keras. Merasa betapa
lengannya selalu tergetar setiap kali bertemu
lengan pemuda itu. Diam-diam menyeringai karena
kini lengannya mulai sakit, ngilu dan pedih. Tanda
kalah kuat! Dan ketika Bu-ciangkun terbelalak dan
kaget dalam hati tiba-tiba pemuda itu ganti
mendesaknya dengan tamparan-tamparan
sinkang.97
"Bu- ciangkun, sekarang kau harus
berhati-hati. Aku akan merobohkanmu sepuluh
jurus lagi!"
Bu-ciangkun terkejut. Dia melihat
lawan berkelebat mengelilingi dirinya, berputaran
cepat merupakan bayangan yang tak kelihatan lagi
mana kepala mana kaki. Demikian cepat hingga
dia merasa pening. Dan ketika Bu-ciangkun mulai
terhuyung dan gugup menangkis sana-sini tiba-tiba
sebuah tamparan mendarat di pundak kanannya.
"Plak!"
Bu-ciangkun terdorong. Dia tidak sampai
roboh menerima pukulan itu, kuat daya tahannya
karena memiliki tenaga cukup besar. Tapi ketika
lawan kembali menampar dan berturut-turut dada
dan lehernya dicium telapak pemuda itu yang
mengandung sinkang yang selalu membuat ia
kesakitan akhirnya pada jurus kesepuluh panglima
tinggi besar ini benar-benar terjungkal ketika lawan
menampar pelipisnya dan menendang belakang
lututnya.
"Jurus kesepuluh... plak-dess!"
Bu-ciangkun benar-benar terbanting. Dia
mengeluh dan roboh persis seperti yang dikata
lawannya itu, mata berkunang-kunang bagai
melihat ribuan bintang. Dan ketika dia terhuyung
melompat bangun dan para busu terkejut melihat98
panglima mereka kalah tiba-tiba dua bayangan
berkelebat menuju tempat itu.
"Bu-ciangkun, siapa pemuda ini?"
Bu-ciangkun masih nanar. Dia terengah
dengan napas megap-megap, kaget dan terbelalak
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Si Rase Hitam Hek Sin Ho Karya Chin Yung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama