Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 1

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 1


Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 1
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung)
Karya: Widi Widayat
Jilid:1
******
DALAM usaha menghimpun kekuatan dan mempersatukan Pulau Jawa, Raja Mataram yang ketiga dan bergelar Panembahan Agung Anyakrakusuma itu, sudah mendekati berhasil, setelah berhasil menaklukkan Surabaya, Cirebon dan yang lain. Akan tetapi tujuan Panembahan Agung yang lebih dikenal dengan Sultan Agung belum terapai seluruhnya. Cita-citanya yang terutama bukan lain untuk mengusir Kumpeni belanda dari bumi pertiwi. Maka sebelum cita-cita ini berhasil, Sultan
Agung takkan berhenti berusaha. Di samping bercita-cita mengusir Kumpeni Belanda, Raja Mataram inipun masih merasa masygul, bahwa sejak kakeknya yang bergelar Panembahan Senopati, sampai kepada dirinya sebagai Raja Mataram yang ke tiga, belum juga memperoleh pengakuan dari Sunan Giri. Sehingga sekalipun dirinya telah menggunakan gelar sultan, namun gelar itu belum syah menurut kebiasaan yang berlaku bagi raja-raja di Jawa. Sebab gelar sunan atau sultan dan pengakuan syah atau tidaknya seorang raja, di tangan Sunan Giri secara mutlak. Padahal, sampai sekarang ini Sunan Giri belum juga mau mengakui
Kerajaan Mataram.
Apakah alasan Sunan Giri yang belum juga mau mengakui Kerajaan Mataram itu?
Bukan lain karena yang berkuasa di Mataram, dianggap tidak berhak menduduki tahta kerajaan itu. Sebab bukanlah keturunan dari Raja Demak. Seperti diketahui
dalam sejarah, bahwa semenjak Sultan Trenggono,
raja Demak meninggal, kedudukan raja menjadi kosong. Hal itu bukan lain oleh terjadinya pertentangan antara keturunan Sultan Trenggono dengan Raden Harya Penangsang sebagai keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen. Berkat kepandaian Jaka
Tingkir dengan bantuan Pemanahan, akhirnya pertentangan itu dapat diatasi, dengan terbunuh matinya Raden Harya Penangsang.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku. setelah, Sultan Trenggono meninggal, maka hanya Pangeran Pangiri (putera Sunan Prawoto) yang berhak menggantikan sebagai raja. Tetapi Pangeran Pangiri masih kecil, dan belum pula dewasa. Oleh sebab itu dalam persetujuannya dengan Ratu Kalinyamat, Jaka Tingkir mewakili. Perwakilan ini bisa disetujui dan dianggap syah oleh Sunan Giri, karena Pangeran Pangiri adalah menantu Jaka Tingkin. Dalam persetujuan itu. Jaka Tingkir yang kemudian bengelar Sultan Hadiwijoyo dan berkuasa di
Pajang (sebelah barat kota Sala ), mewakili selama hidup. Artinya Pangeran Pangiri baru bisa menggantikan sebagai raja, apa bila Sultan Hadiwijoyo telah meninggal.
Akan tetapi keturunan Sultan Trenggono. Ratu Sekar Kedaton dengan Pangeran Benowo tidak setuju kalau tahta kerajaan jatuh ke tangan Pangeran
Pangiri, sekalipun Pangeran Pangiri berhak sebagai keturunan Raja Demak. Maka antara Pangeran Benowo, Ratu Sekar Kedaton dan Sutowijoyo (putera angkat Sultan Hadiwijoyo, yang kemudian hari bergelar Panembahan Senopati), terjalin persekutuan untuk menghalangi Pangeran Pangiri menggantikan kedudukan sebagai raja. Usaha inilah yang mencetuskan perang antara Kabupaten Mataram (Panembahan Senopati) melawan Pajang. Dalam peperangan ini, ternyata Pajang menderita kekalahan, yang menyebabkan Sultan Hadiwijoyo meninggal. Kemudian Pangeran Pangiri yang dibantu Adipati Tuban berusaha menggempur Mataram. Namun ternyata usahanya kandas dan dikalahkan .
Itulah latar belakangnya, yang menyebabkan Suuan Giri tidak mengakui kedaulatan Mataram, dan menganggap merupakan raja yang tidak syah. Jalan damai telah diusahakan, tetapi Sunan Giri kokoh pada pendiriannya, bahwa Raja Mataram tidak berhak sebagai raja. Maka tiada jalan lain lagi, kecuali Giri harus dipukul dengan kekerasan.
Untuk maksud ini, Pangeran Pekik, Adipati Surabaya yang dipercaya untuk melaksanakan tugas.
Pendeknya, Sunan Giri harus ditundukkan. Surat perintah telah dibuat, untuk segera dikirim ke Surabaya.
Pad mulanya utusan yang mengantar surat ke Surabaya itu, diperintahkan untuk lewat laut. Namun kemudian perintah itu dibatalkan. Utusan lewat darat. Hal ini dimaksud, bahWa di samping menuju Surabaya itu, utusan diberi lain tugas pula untuk meninjau keadaan hidup rakyat maupun bupati dan
adipati yang telah tunduk kepada Mataram. Utusan yang membawa surat perintah ini, terdiri dari dua puluh orang pasukan berkuda. Merupakan pasukan
pilihan, mahir menguasai kuda maupun olah yuda. Hal ini perlu, agar perjalanan, utusan yang membawa surat penting ini tidak terhalang di tengah jalan. Di samping anggauta pasukan itu sendiri merupakan pasukan pilihan, pasukan itupun dipimpin oleh tokoh Mataram yang paling diandalkan... Ialah Hesti wiro, Adipati Mandurorejo dan Adipati' Uposonto.
Perjalanan utusan Mataram ini sejak dari Mataram selalu selamat tanpa gangguan. Dan setelah berhari-hari menempuh perjalanan di jalan berdebu rombongan ini mampir di Kabupaten Madiun. Dari Madiun, setelah melepaskan lelah semalam meneruskan perjalanan ke Surabaya.Tetapi ketika rombongan jurusan berkuda ini Hampir mencapai desa Rajasa, mereka kaget. Hesti Wiro yang berkuda paling depan memberikan tanda berhenti kepada pasukan Yang Bergerak di belakangnya, kemudian orang tua ini meloncat turun dari kuda. Kakek ini mengamati apa yang terjadi tak jauh di depannya dengan pandang mata heran,
Adipati Mandurorejo dan Adipati uposonto setelah menyerahkan kudanya kepada anggauta pasukan, cepat menerobos ke depan. Kemudian berdiri disamping Hesti Wiro. Dua orang tokoh sakti Mataram ini.Berdiri terbelalak pula. seperti Hesti Wiro. Mereka heran dan hampir tidak percaya.
Pada sepetak tanah kosong, merupakan ladang orang yang tidak ditanami karena musim kering,
tampak tiga orang sedang berkelahi sengit. Ada dua orang kakek sedang berkelahi, mengeroyok seorang gadis muda yang cantik jelita. Tetapi yang mengherankan, sekalipun muda, gadis itu dapat mendesak dua orang lawannya sedemikian rupa, dengan senjata sebatang pedang. Dua orang kakek itu melawan mati matian. Kakek yang lebih tua bersenjata tongkat, sedang kakek yang lebih muda bersenjata pedang. Akan tetapi kakek yang muda itu, menggunakan pedangnya dengan tangan kiri. Sebab tangan kanan sudah buntung ,sebatas siku.
"Hai, bukankah dua orang kakek itu Reksogati dan SaWungrana?" kata Adipati Uposonto, setelah memperhatikan beberapa saat lamanya.
"Benar...."
sahut Hestiwiro.
"Ah...
aku tadi masih ragu ragu karena sawungrana buntung lengan kanannya. Aih..
..mengapa lengannya buntung?"
"Heran! " ujar Adipati Mandurorejo.
" siapakah gadis muda itu? Seorang diri dikeroyok dua , masih sanggup mengatasi? "
"Ahh, Makin lama kita yang tua ini. makin ketinggalan jaman !," kata Hesti Wiro setengah mengeluh.
"Sekarang di dunia ini muncul orang orang muda sakti mandraguna"
"Mari kita bantu mereka!" ajak Adipati Mandurorejo. '
"Ahh, apakah kita sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?" "bantah Hesti_Wiro.
"Orang tua mengeroyok seorang gadis yang pantas menjadi cucunya?" ".
"Malu? Mengapa malu? Kita sedang bertugas dan Reksogati maupun Sawungrana merupakan petugas Mataram pula, seperti ktta. Demi tugas, kita harus berpandangan jauh. Kita harus melindungi Reksogati dan Sawungrana yang terancam bahaya."
Adipati Uposontopun sependapat dengan Adipati Mandurorejo.
"Benar. Kita harus dapat membedakan antara tugas dan urusan pribadi. Berhadapan dengan urusan pribadi, kita harus selalu jaga akan sikap ksatrya dan kegagahan. Akan tetapi demi tugas perasaan macam itu harus kita buang jauh-jauh."
Karena kalah suara, akhirnya Hesti Wiro menyerah, sekalipun hatinya agak raguragu. Akan tetapi, mendadak mereka menjadi terbelalak.
Sebelum mereka sempat melompat maju untuk memberi bantuan, terdengar pekik panjang Sawungrana dan Reksogati hampir berbareng, disusul robohnya dua orang kakek itu.
Ternyata oleh sambaran pedang yang sulit diikuti gerakannya, kaki kiri Sawungrana sebatas paha telah terbabat kutung, lalu rubuh di atas tanah. Sedang Reksogati juga menderita. Tangan kanan yang tadi menggunakan senjata tongkat telah terbabat putus pula sebatas atas siku. Reksogati terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah pucat, lalu jatuh terduduk di atas tanah.
Tiba-tiba terjadi peristiwa yang tidak terduga. Terdengar suara "trang" yang amat-nyaring, beradunya dua senjata. Tahu-tahu telah muncul seekor harimau tutul yang telah berhasil menangkis
pedang gadis itu dengan senjata tongkat. Akibatnya, pedang gadis cantik yang sudah hampir membabat leher Reksogati terpental menyeleweng. Reksogati selamat dari maut.
Kemudian terjadilah perkelahian yang sengit sekali, antara si gadis jelita bersenjata pedang, dengan seekor harimau yang dapat berdiri dengan dua kaki, sedang kaki depannya dapat memegang tongkat dipergunakan sebagai senjata. Semua orang yang menjadi anggauta rombongan pasukan berkuda Mataram ini terbelalak heran hampir tidak percaya.
Mungkinkah di dunia ini sekarang ada seekor harimau yang dapat bertingkah laku seperti manusia?
Gerakan harimau itu amat gesit dan sambaran tongkatnya bertenaga, bersiutan berobah seperti seekor ular galak yang amat berbahaya. Sebaliknya pedang gadis itupun gerakannya sulit diduga saking cepatnya. Yang tampak hanya gulungan sinar putih menyambar pergi datang, membungkus tubuh si gadis dan menyerang pula dengan gencar.
Walaupun tiga orang tokoh Mataram yang bernama Hesti Wiro, Adipati Mandurerejo dan Adipati Uposonto ini merupakan orang-orang sakti mandraguna, mereka terbelalak kagum melihat perkelahian yang sedang berlangsung itu.
Perkelahian yang aneh, antara seekor harimau dengan seorang gadis cantik.
Dan yang mengherankan pula, mengapa harimau itu berpihak kepada Reksogati dan Sawungrana?
Perkelahian itu memang Sungguh menakjubkan, saking amat cepat, sehingga tubuh mereka yang
bertempur lenyap bentuknya, tinggal gumpalan Warna yang berkelebat cepat seperti tatit dan saling libat.
Hesti Wiro, Adipati Mandurorejo dan Adipati Uposonto tak jadi bergerak untuk ikut berkelahi. Tiga orang ini berdiri mematung, mengamati perkelahian yang sedang terjadi. Sehingga mereka lupa untuk segera bertindak dan menolong Sawungrana dan Reksogati yang terluka. Adapun para anggauta rombongan pasukan berkuda itu, sekarang sudah tak sanggup lagi terus mengikuti jalannya perkelahian itu. Pandang mata mereka sudah menjadi kabur dan kepala pening, saking cepatnya.
Agaknya gadis itu menjadi penasaran, setelah agak lama belum juga berhasil mengalahkan lawan. Masih terus menghujani serangan ,gadis itu membentak-bentak nyaring. Pedangnya berkelebat lebih cepat lagi, dan amat berbahaya.
Bentakan-bentakan nyaring itu, kemudian terbukti membawa hasil. Gadis itu dari sedikit berhasil mendesak lawan, sehingga lawan terpaksa harus bergerak mundur dan berlompatan. Nyatalah bahwa sekalipun "harimau" itu menakjubkan kepandaiannya, tak kuasa mengatasi gadis cantik berpedang tajam.
Hesti Wiro, Adipati Mandurorejo dan Adipati Uposonto masih berdiri terbelalak. Dalam hati terasa amat heran, merasa aneh dan kagum.
Manusia dari manakah yang telah berhasil melatih harimau, yang menjadi sakti seperti itu?
Yang dapat berdiri
seperti manusia dan kaki depan dapat memegang
tongkat sebagai senjata?
Dari gerak dan ketangguhan harimau itu berkelahi, jelas bahwa tingkat kesaktian harimau itu jauh di atas Reksogati dan Sawungrana. Buktinya tadi Reksogati dan SaWungrana mengeroyok saja tak urung roboh, sebaliknya harimau itu masih juga dapat melawan, sekalipun akhirnya harus terdesak. Diam-diam tiga orang tokoh Mataram ini mengakui pula, bahwa tingkatnya masih di bawah harimau itu. Sebab tingkat mereka bertiga hanya seimbang dengan tingkat Reksogati dan Sawungrana.
Perkelahian antara "harimau" dengan gadis muda itu masih terus berlangsung dengan sengit. Sambaran senjatanya amat berbahaya, dan pohon yang berdekatan telah roboh dan terpapas dahan dahannya. Akan tetapi "harimau" itu terdesak mundur dan tanpa disadari makin lama semakin menjauhi tempat perkelahian yang semula. Tibatiba "harimau" itu menggeram dan melompat melarikan diri. Agaknya "harimau" itu sudah tidak sanggup lagi meneruskan perkelahian, memilih mencari selamat. Sebaliknya gadis muda itu agaknya amat penasaran. Dia tidak mau memberi kesempatan "harimau" itu melarikan diri. Dia terus mengejar dan merasa belum puas sebelum dapat mengalahkan lawan.
Orang orang Mataram itu baru sadar setelah si gadis dan harimau sudah beralih di tempat jauh, lalu terdengar perintah Adipati Mandurorejo,
"Hai pasukan! Lekas beri pertolongan mereka itu !"
Pasukan tahu siapa yang disebut mereka itu. Maka enam orang segera berlarian mendapatkan
Sawungrana yang menggeletak pingsan dan Reksogati yang duduk sambil memejamkan mata dengan wajah pucat.
Ketika merasa disentuh, Reksogati membuka mata. Baru saja Reksogati akan membuka mulut bertanya, sudah terdengar seruan nyaring;
"Kakang Reksogati, biarkan mereka membantu menolong lukamu dan Sawungrana."
Reksogati mengangkat muka dan memandang ke arah suara. Bibir tua itu tersenyum, ketika mengenal bahwa yang berseru tadi Adipati Uposonto. Ia gembira bahwa di saat menderita, tertolong oleh sepasukan Mataram.
Tetapi yang membuat ia heran, mau ke mana dan melakukan tugas apa pasukan Mataram yang kecil jumlahnya itu?
Tiga orang tokoh Mataram itupun kemudian menghampiri Sawungrana dan Reksogati. Setelah Reksogati memperoleh pertolongan, berangsur wajah kakek itu kembali merah. ia berdiri sudah tanpa lengan kanan lagi. kemudian berkata,
"Terima kasih. Beruntung saya dapat tertolong oleh kalian. Tetapi manakah gadis liar itu tadi? Huh, semestinya harus kalian cincang."
Tak mengherankan kalau Reksogati berkata seperti itu. Begitu lengannya terpapas buntung ia menjadi amat malu sekali.
Mengapa sudah mengeroyok dua dengan Sawungrana tak juga dapat mengalahkan gadis muda tadi?
Oleh pengaruh rasa malu ini, kemudian ia membiarkan lengannya yang terpapas kutung, sehingga darah dari lengan terus mengalir. Saking banyaknya darah yang keluar
membuat kakek ini lemas dan baru sadar akan kesalahannya. Ia segera berusaha menghentikan aliran darah, lalu memejamkan mata dalam usahanya memulihkan kekuatan, Oleh keadaannya ini, menyebabkan Reksogati tidak menyaksikan keanehan yang terjadi, seekor harimau dapat menyelamatkan nyawanya dan nyawa Sawungrana.
Dengan agak malu Hesti Wiro menjawab,
"Bukan kami yang menolongmu, kakang."
Hesti Wiro tidak menerangkan tentang harimau aheh yang telah menolong. Sebab ia khawatir kalau keterangannya tidak dipercaya. Kemudian terusnya,
"Dan sekarang, gadis itu pergi, mengejar penolongmu !"
"Ahhh, sayang....."
Reksogati menyesal.
"....kalau saja kalian dapat merobohkan gadis liar itu, ingin sekali aku membalas sakit hati dengan makan jantungnya mentah mentah huhu....."
"Mengapa engkau akan makan jantungnya?" tanya Adipati Mandurerejo.
"Huh, saya amat benci !"
Reksogati bersungut sungut.
"Huh, kapan saya memperoleh kesempatan membunuh, tentu akan saya ganyang mentah-mentah jantungnya. Juga, kalau saya mendapat kesempatan untuk bertemu dan berhasil membunuh bangsat Sindu, akan saya ganyang pula jantung adik seperguruan yang murtad itu !"
"Aihh..... mengapa?"
Hesti Wiro kaget.
"Karena Sindu dengan gadis liar tadi mempunyai hubungan erat. Gadis liar tadi yang membuat aku buntung, bukan lain murid Sindu"
"Ahhh....!" tiga orang tokoh Mataram ini kaget dan hampir tidak percaya.
"Ah... mana bisa jadi?"
Hesti Wiro tidak percaya.
"Sindu adalah adik seperguruanmu sendiri. Manakah mungkin muridnya sanggup menghadapi engkau berdua?"
" Hemm, aku sendiri merasa heran. Akan tetapi apa yang terjadi memang demikian."
Gadis yang disebut liar oleh Reksogati itu, memang benar murid tunggal Sindu. Bagi para pembaca yang sudah membaca buku "Kisah Sl Pedang Buntung", telah kenal bahwa murid Sindu itu bernama Titiek Sariningsih, gadis bangsawan dari Tuban. Juga tentu sudah tahu kedudukan Sindu, Reksogati dan Sawungrana. Akan tetapi bagi pembaca yang belum pernah membaca buku tersebut, agar jelas perlu diterangkan barang sedikit.
Antara Reksogati, Sawungrana dan Sindu, merupakan saudara seperguruan murid Ki Ageng Lodoyong.
Reksogati merupakan murid tertua, dan Sindu murid tertunda. Mereka semua pada mulanya mengabdi di Mataram, sebagai pengawal rahasia bersama-sama dengan Hesti Wiro, Patrajaya dan Gupala. Akan tetapi Patrajaya dan Gupala akhirnya mati sampyuh dalam perkelahian, setelah dua orang ini meninggalkan tugas pekerjaannya sebagai pengawal.
Ketika terjadi penyerbuan Mataram ke Tuban, Reksogati dan adik-adik perguruannya ikut bertuas menggempur Tuban. Akan tetapi di dalam tugas ini, mendadak berubahlah pendirian Sindu setelah melihat korban peperangan.
Diam-diam Sindu meninggalkan tugas dan ingin menjauhkan diri dari kekerasan, perkelahian dan pembunuhan.
Kemudian pada suatu malam, tibalah Sindu di kota
Tuban yang telah jatuh ke tangan Mataram oleh bantuan murid-murid Perguruan Tuban. Secara tidak sengaja, ia masuk ke dalam rumah Tumenggung Kebo Bangah. Dalam rumah itu, terjadi peristiwa yang amat mengerikan. Hampir seluruh penghuni tewas dibunuh orang. Sindu bertemu dengan gadis Cilik bernama Titiek Sariningsih, puteri tunggal Tumenggung Kebo Bangah yang sedang menangis sambil mengguncang-guncang tubuh ibunya yang sudah menjadi mayat dalam keadaan tanpa pakaian. Titiek SariningSih ditolong dan diambil murid oleh Sindu, bertempat tinggal di Banyubiru (dekat dengan Tawangsari Sukoharjo ). Dimana di tempat itu dimakamkan Ki Ageng Purwoto Sidik atau Ki Ageng Kebo Kanigoro, putera Prabu Handayaningrat Pengging.
Sindu membawa Titiek Sariningsih di tempat terasing itu, di samping ingin bergembunyi, juga akan menggembleng muridnya.
Tetapi tanpa sengaja guru dan murid ini menemukan simpanan ilmu warisan Ki Ageng Purwoto Sidik yang tertulis pada kitab dari sutera, dan sebatang pedang buntung bernama "Pedang Buntung ".
Berkat ilmu warisan itu, dalam waktu singkat Sindu dan Titiek Sariningsih memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu kesaktian. Sesungguhnya Sindu sudah merasa kerasan hidup di Banyubiru. Akan tetapi Titiek Sariningsih yang teringat kepada ayah bundanya mendesak mengajak pulang ke Tuban.
Dalam perjalanan ke Tuban ini, bentroklah Sindu dengan Reksogati dan Sawungrana. Tetapi dua orang kakak seperguruan itu, dapat dikalahkan
oleh Sindu. Kemudian Sindu dan Titiek Sariningsih terpisah ketika tiba di wilayah Kendeng. Dalam keadaan seorang diri terpisah dengan Sindu itu, Titiek Sariningsih hampir celaka di tangan Sungsang, murid Patrajaya.
Untung gadis ini tertolong oleh Gadis Berbaju Kuning, yang bernama Damayanti. Titiek SariningSih dibawa pulang ke Lumbungkerep, dan di sana Titiek Sariningsih digembleng oleh Ki Ageng Lumbungkerep, adik seperguruan Ki Ageng Purwoto Sidik.
Begitulah kisah singkat Sindu dan Titiek Sariningsih.
"Secara tak terduga, kami tadi bertemu dengan gadis liar murid Sindo,"
Reksogati menerangkan.
"Oleh rasa benci yang meluap-luap kami segera mengeroyok bocah itu untuk membunuhnya. Lebih lebih Sawungrana, yang lengan kanannya buntung oleh gadis liar itu."
"Ahhh...,.." tiga orang tokoh MataTam itu kembali kaget, mendengar keterangan bahwa bocah tadi telah membuntungi lengan Sawungrana.
" Lengan Sawungrana buntung ketika terjadi perkelahian seorang lawan seorang dengan murid Sindu itu,"
Reksogati melanjutkan.
"Kami ingin membalas sakit hati itu, tetapi hemm ...... walaupun mengeroyok, tak juga menang melawan bocah liar itu."
Tiga orang tokoh Mataram ini menggeleng gelengkan kepala saking heran tak mengerti, mengapa Reksogati dan Sawungrana yang terkenal sakti itu, tak mampu mengalahkan kemenakan muridnya sendiri dan kalah pula oleh Sindu.
Di saat mereka terlibat pembicaraan ini, Sawungrana yang tadi pingsan telah siuman. Ia meringis menahan sakit ketika pada kaki kiri terasa amat nyeri. Ketika ia memaksa diri untuk duduk, mata Sawungrana terbelalak melihat kaki kirinya sudah buntung sebatas lutut. Dirinya sekarang telah menjadi seorang cacat yang tidak berguna lagi. Lengan tinggal sebelah, dan kakipun tinggal sebelah. Ia menghela napas masygul.
Mengapa dirinya harus menderita macam ini?
Apakah hidupnya selanjutnya tidak hanya menjadi bahan ejekan dan tertawaan orang oleh cacat bnntungnya ini?
Karena merasa telah menjadi orang cacat, dan merasa tidak berguna lagi ini, tiba tiba saja timbullah keputusannya yang nekat. Ia tidak mau hidup dihina orang. Ia tidak sudi hidup atas belas kasihan orang karena cacatnya. Maka ia memilih untuk segera mengakhiri hidupnya saja. Begitu mengambil keputusan, Sawungrana telah mengangkat tangan kiri.
" Prakkk...... "
"Aih ahhh... ohhh......!"
Dan setelah saling berteriak kaget, mereka telah berlompatan ke arah Sawungrana, dengan wajah pucat.
Sawungrana telah roboh menggeletak dengan kepala pecah. Dalam nekatnya merasa hidup sebagai orang cacat sudah tidak berharga lagi, Sawungrana telah memukul kepalanya sendiri sekuat tenaga. Mengakibatkan kepala itu pecah oleh pukulannya sendiri, dan Sawungrana menggeletak tanpa nyawa lagi.
"Sawungrana...... ohh... adikku...... kau tega padaku.,,.?" teriak Reksogati parau dan saking sedihnya, kakek ini sudah menubruk sambil menangis.
Tidak mengherankan kalau kakek ini sampai lupa kepada keadaan dirinya. Sebab hanya Sawungranalah orang satu-satunya yang paling dekat dengan dirinya, yang telah bertahun-tahun senasib sepenanggungan, setelah mereka meninggalkan Mataram. Maka kematian Sawungrana ini merupakan pukulan batin yang hebat sekali.
Sekalipun hati Hesti Wiro terguncang oleh peristiwa yang tak pernah diharapkan ini, ia cepat dapat menguasai perasaannya. Kakek ini khawatir apabila Reksogati juga memilih jalan pendek membunuh diri, setelah dikalahkan oleh orang muda. Untuk menjaga kemungkinan itu, maka di samping waspada untuk bertindak menggagalkan perbuatan Reksogati, ia menghibur,
"Kakang. kuatkan hatimu. Apa harus dikata kalau suratan takdir memang harus demikian? Sudahlah, kakang, mengapa harus disesalkan? Biarkan adi Sawungrana yang telah mendahului kita, menghadap Tuhan dengan tenang. Dan harapanku pula, kakang, jangan engkau menjadi putus asa dan kecil hati setelah dikalahkan oleh orang muda."
Tiba-tiba Reksogati bangkit. Matanya yang basah air mata menatap tajam kepada Hesti Wiro, lalu bersungut-sungut,
"Huh-huh, sangkamu aku ini orang apa? Jangan khawatir aku putus asa seperti Sawungrana. Huh, aku bersumpah kepada bumi dan langit. Bahwa sejak peristiwa ini, aku harus dapat membalas sakit hati ini dengan jalan
apapun juga. Pertama aku harus dapat membunuh Sindu. Yang ke dua aku harus dapat membunuh, muridnya yang liar itu, kemudian akan aku ganyang jantungnya. Huh adi Sawungrana! Tenanglah engkau di sana! Selama Reksogati masih hidup, selama itu pula takkan hentinya aku berusaha mengalahkan dua orang musuh besar itu."
Gembira sekali Hesti Wiro mendengar ucapan Reksogati itu.
"Ha-ha-ha, bagus! Itulah Sikap seorang gagah sejati dan jantan perwira. Kakang Reksogati, akupun berharap agar engkau ,dapat mencapai cita-citamu."
"Terima kasih! Tetapi janganlah engkau berusaha membantu aku. Urusan ini adalah masalah pribadi dan juga urusan rumah tangga. Aku murid tertua bapa Ki Ageng Lodoyong. Maka aku pula yang berhak menghukum Sindu dan muridnya yang murtad." !
Akan tetapi diam-diam timbul rasa sangsi dan ragu-ragu dalam hati orang-orang Mataram itu..
Mungkinkah seorang diri Reksogati dapat mencapai maksud membalas dendam itu?
Ketika lengannya belum buntung, dan berdua pula mengeroyok Titiek Sariningsih, tidak mampu mengalahkan murid Sindu itu. Apa pula sekarang. setelah lengannya buntung dan tinggal seorang diri pula,dapatkah mengalahkan musuh musuhnya itu?
"Kakang Reksogati, kemana sajakah engkau selama ini? Telah berkali-kali ingkang sinuhun menanyakan engkau berdua. Namun karena tiada khabar beritanya, aku tidak dapat memberikan keterangan," kata Hesti Wiro sambil duduk menunggu anggauta pasukan itu yang sibuk membuat lubang untuk mengubur Sawungrana
" Hemm,"
Reksogati menghela napas panjang.
"Aku memang merasa malu kembali ke Mataram setelah gagal menunaikan tugas yang diperintahkan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari."
"Tugas apa?" tanya Hesti Wiro yang pura pura tidak tahu.
"Dahulu, Gusti Kangjeng Ratu Wandansari memerintahkan padaku dan Sawungrana, supaya mencari jejak Sindu yang lari dari tugas. Hemm, ternyata usahaku tak berhasil, malah aku dan Sawungrana dikalahkan oleh Sindu. Akibatnya aku dan Sawungrana malu dan takut pulang ke Mataram."
"Mengapa harus takut dan malu? Tenagamu masih dibutuhkan oleh Mataram. Maka sejak pertemuan yang tak tersangka-sangka ini, engkau harus kembali kepada tugasmu yang semula,"
"Tidak! Mohonkan ampun baik kepada ingkang Sinuhun, maupun kepada _Gusti Kangjeng Ratu Wandansari. Sejak sekarang, aku akan mengasingkan diri dan menggembleng diri. Kemudian aku akan mencari Sindu dan muridnya, untuk kubuhuh."
"Ha ha-ha..."
Hesti Wiro tertawa.
"Mengapa engkau berpendapat begitu? Engkau keliru! Dengan mengasingkan diri, engkau malah akan terlambat memperoleh kemajuan. Sebaliknya jika engkau kembali ke Mataram dan mengabdi ingkang Sinuhun, engkau akan memperoleh kemajuan lebih cepat,."
"Mengapa bisa begitu ?"
Reksogati heran.
"Ha-ha -ha, tentu saja! Sebab sambil mengabdi dan menunaikan tugasmu sebagai pengawal, engkau akan memperoleh petunjuk petunjuk ingkang sinuhun maupun para sakti yang lain."
Mendengar itu, tiba-tiba saja pendirian Reksogati berubah.
"Baiklah! Aku setuju dengan pendapatmu, kembali mengabdikan diri kepada Mataram-"
Memang beralasan apa bila Reksogati berubah pendapatnya. Ingkang Sinuhun Sultan Agung justeru seorang raja yang sakti mandraguna.Dengan petunjuk dan bimbingan Ingkang Sinuhun Sultan Agung dirinya akan memperoleh kemajuan guna mengalahkan musuh besarnya.
Akhirnya, dengan menderita luka buntung lengannya, Reksogati menggabung diri pada rombongan utusan ke Surabaya ini. Tetapi karena kuda tunggangan itu jumlahnya hanya sama dengan Jumlah utusan, maka salah seorang terpaksa harus boncengan, mengalah untuk kudanya diberikan kepada Reksogati.
Lalu, bagaimanakah dengan gadis muda perkasa yang disebut bernama Titiek Sariningsih tadi, yang mendesak dan mengejar seekor harimau ajaib yang bisa berdiri dan memegang senjata tongkat?
Dalam penasarannya Titiek Sariningsih terus mendesak, dan ketika harimau itu berusaha melarikan diri, ia terus mengejar. Berbeda dengan dugaan para utusan Mataram tadi, yang menduga bahwa harimau itu seekor harimau ajaib. Sebab Titiek Sariningsih menghadapi dan melawan dalam jarak dekat tahu belaka bahwa lawannya bukanlah harimau benar-benar. Tetapi seorang manusia berilmu tinggi yang mengenakan kulit harimau tutul.
Orang yang mengenakan kulit harimau tutul itu justeru rapi. Sebab kepala harimau itu masih tetap utuh. Agaknya kepala harimau itu telah diberi ramuan obat, sehingga tidak menyebabkan kepala harimau itu rusak. Maka kulit harimau yang dia pergunakan sebagai kerudung itu, tampaknya seperti harimau benar-benar.
Ternyata kemudian bukan saja orang yarg bersembunyi dalam kulit harimau itu sakti mandraguna, tetapi juga dapat bergerak sangat gesit dan cepat. Loncatannya begitu kuat, sehingga terjadilah saling kejar dengan cepat. Titiek Sariningsih telah mengerahkan kepandaiannya lari, namun belum juga dapat berhasil menyusul.
"Manusia busuk pengecut! Kalau engkau memang gagah, jangan lari dan bersembunyi dalam kulit harimau!" teriak Titiek Sariningsih sambil terus mengejar.
Tetapi orang yang mengenakan kulit harimau tutul itu tidak menjawab, dan juga tidak menghentikan larinya. Karena mereka kejar mengejar dalam waktu cukup lama, maka tanpa terasa telah jauh sekali. Kalau pada mulanya mereka berkelahi tak jauh dari desa Rajasa, sekarang mereka sudah mulai mendaki perbukitan Kendeng dan menerobos belantara.
"Manusia busuk, berhenti! Jika engkau jantan, mari kita meneruskan berkelahi!" teriak Titiek Sariningsih nyaring, menantang kepada lawan.
Mendadak, harimau itu menghentikan larinya, membalikkan tubuh dan secara tak terduga telah menggerakkan tongkatnya menghantam Titiek Sariningsih. Gadis ini memekik kaget, dan menggerakkan pedangnya untuk menangkis sambil melempar diri ke samping. Gadis ini tadi sedang berlarian cepat sekali dalam usahanya mengejar lawan. Tahu tahu harimau itu berhenti, membalikkan tubuh dan menyerang. Tentu saja Titiek Sariningsih sulit untuk dapat menghentikan gerak larinya, dan terpaksa membuang diri ke samping. . .
"Bagus, akan aku lihat sampai di mana kepandaianmu!" terdengar suara orang berasal dari leher harimau.
Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saja Titiek Sariningsih cekikikan.
"Hi-hi-hik. baru sekarang saja aku mendengar suara dari leher."
'Kurang ajar! Aku memang bukan harimau, tetapi pinjam kulit harimau," sahut orang itu, dan kembali terdengar suara dari leher harimau. Terang sekali bahwa orang itu menempatkan kepalanya di bawah kepala harimau itu sendiri
Titiek Sariningsih melintangkan pedang Lemas yang mengkilap tajam itu di depan dadanya. Sepasang matanya tak berkedip mengamati lawan. Kemudian ejeknya.
'Jangan engkau bersembunyi di dalam kulit harimau. Aku tidak sudi melawan orang yang pengecut, Pedang tidak bermata, dan aku khawatir kalau sampai mencelakakan orang yang tak berdosa."
"Hem. anak muda! "
Terdengar suara lamban
dari leher harimau tutul itu lagi.
"Engkau bilang takut salah mencelakakan orang. Sekarang aku bertanya padamu, apakah kesalahan dua orang kakek itu, sehingga engkau buntungi lengan dan kakinya ?"
"Itu urusanku sendiri. Orang lain tak berhak campur urusan. Tahu ?"
"Siapa bilang orang lain tak boleh campur urusan? Buktinya aku sudah mencampuri urusanmu. Aku takkan membiarkan orang berbuat sekehendak hati, menyiksa dan mencelakakan orang lain."
"Kurang ajar!" lengking Titiek Sariningsih penasaran.
"Sangkamu aku sekejam dan sejahat yang engkau duga? Aku takkan bertindak kepada yang lain yang tak bersalah. Tahukah engkau bahwa dua orang kakek itu amat besar dosanya padaku maupun keluargaku ?"
'Aihh,apa alasanmu, anak muda ?"
"Mereka adalah begundal -begundal Mataram, yang telah membuat aku menderita, dan seluruh keluargaku hancur berantakan. Huh-huh, oleh perbuatan orang Mataram ayahku gugur di medan perang membela Kadipaten Tuban. Dan oleh orang Mataram pula, ibu yang tidak berdosa, telah tewas dibunuh orang. Huh hu huuukkk .,, "
Begitu teringat kepada ayahnya yang tewas di medan pertempuran, dan ibunya mati terbunuh, gadis perkasa ini tiba-tiba menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri di atas tanah. Ia menjadi seperti lupa diri. Lupa bahwa di depannya berdiri seorang lawan. Sedang pedangnya itupun terlepas dari tangan.
Memang tidak mengherankan apabila gadis
ini menjadi seperti lupa diri, kemudian menangis sesenggukan. Akibat perang, dirinya sekarang menjadi perawan lola.
Perawan yatim piatu, tidak berayah dan tidak beribu lagi. Seperti telah diceritakan dalam buku "Kisah Si Pedang Buntung", gadis yang bernama Titiek Sariningsih ini, ayahnya yang bernama Tumenggung Kebo Bangah, gugur dalam perang membela Tuban. Sedang ibunya mati terbunuh oleh seseorang yang tak bertanggung jawab. Hal ini baru diketahui oleh Titiek Sariningsih, setelah selama enam tahun meninggalkan Tuban. Ia pulang ke rumah, tetapi rumahnya telah ditempati orang lain. Ketika ia ke rumah kakeknya, ia dapat bertemu dengan kakek dan neneknya yang-telah amat tua. Dirumah Tumenggung Kebo Pangesti ini, barulah Titiek Sariningsih tahu keadaan yang sebenarnya. Titiek Sariningsih kaget setengah mati, dan saking sedihnya telah lari dari rumah kakeknya, seperti tingkah seorang linglung.
Gadis ini berlarian seperti gila, meninggalkan kota Tuban. Ia sampai tak ingat lagi, bahwa kehadirannya di rumah Tumenggung Kebo Pangesti itu bersama Nuryanti, Danang dan Danardono.
Titiek Sariningsih terus berlarian tanpa mengingat apa-apa lagi. Dunia ini serasa gelap, saking sedih dan amat masygul. Saking berlarian tak kenal arah dan hanya menurutkan hatinya yang berduka, di tengah hutan, di atas perbukitan Kendeng, gadis ini menabrak sebatang pohon besar. Ia kemudian roboh dan pingsan.
Secara kebetulan, tiga orang murid Sumbing
yang bernama Nuryanti, Danang dan Danardono
itu, dalam usaha pengejarannya kepada Titiek Sariningsih tiba di tempat itu pula. Mereka kaget ketika mendapatkan Titiek SariningSih roboh pingsan. Pakaian Titiek Sariningsih sudah tidak karu-karuan lagi, di sana sini cabik dan robek. Rambutnya kusut, dan pipinya berdarah. Titiek Sariningsih yang pingsan itu segera ditolong oleh mereka. Tidak lama kemudian, sadarlah Titiek Sariningsih. Akan tetapi sebelum tiga orang muda murid Perguruan Sumbing ini sempat bertanya, Titiek Sariningsih telah melompat dan lari lagi seperti terbang. Mereka kaget dan berusaha mengejar. Tetapi tiga orang muda seperguruan ini kemudian menjerit kaget, karena menyaksikan Titiek Sariningsih telah melompat ke dalam sebuah jurang.
Nuryanti, Danang dan Danardono segera menyerbu ke situ. Akan tetapi jurang yang menganga itu amat dalam sekali, dan Titiek Sariningsih tidak terlihat lagi. Mereka berusaha memanggil Titiek Sariningsih dengan berteriak, akan tetapi tiada jawaban yang terdengar. Mereka gelisah dan menduga bahwa gadis itu telah mati terbanting dalam jurang yang amat dalam itu.
Di antara tiga orang muda ini, Dananglah yang paling gelisah dan sedih. Sebab diam-diam pemuda yang bernama Danang itu, telah tergila-gila dan, jatuh cinta kepada Titiek Sariningsih.
"Aku akan turun dan mencarinya" katanya dengan mata merah menahan air mata.
"Jangan!" teriak adik kandungnya yang bernama Nuryanti itu, sambil menangkap lengan Danang,
'Apakah engkau ingin mencari mampus?"
"Siapa takut mati?" tantangnya.
"Heh heh-heh, aku lebih senang dapat mati bersama dengan adik Titiek Sariningsih."
"Gila! Apakah engkau sudah berubah menjadi
gila? "
"Aku memang sudah gila, huh, aku sudah gila akan kecantikannya. Aku tak dapat hidup lagi tanpa Titiek Sariningsih......."
Nuryanti memeluk Danang sambil menangis. Adapun Danardono yang kebingungan melihat tingkah dan kata-kata Danang, tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Kakang, ohh...... mengapa engkau berpendirian seperti itu? Kakang, apakah engkau ini seorang pengecut yang tak tahu malu lagi?"
Mendengar sebutan pengecut, Danang melepaskan tangan adiknya yang memeluk. Matanya menatap adiknya dengan pandang mata marah;
"Apa katamu? Huh, engkau menuduh aku seorang pengecut tak tahu malu lagi? Huh, aku bukan pengecut."
Nuryanti ,senang kakaknya menjadi marah, berarti dia akan bisa disadarkan. Oleh karena itu, katanya halus dan membujuk"Aku tahu, kakang ! bahwa engkau bukan pengecut. Tetapi seorang yang bertanggung jawab, takkan lari dari tugas. Takkan berani berkhianat kepada perguruannya. Apakah engkau lupa bahwa kita sekarang ini sedang menunaikan tugas perguruan mencari pencuri golok emas milik perguruan kita? Nah, apa bila sekarang engkau masuk ke jurang ini, kemudian takkan dapat keluar lagi, apakah perbuatanmu ini bukan perbuatan pengecut, dan akan memalukan nama perguruan ,maupun saudaramu? '
"Adikku... ohh, Nuryanti......" mendadak saja Danang memeluk adik kandungnya ini dengan erat, setelah merasa disadarkan.
"Ohh..... engkau benar, Nuryanti. Engkau benar! Betapa dunia ini akan mentertawakan aku, jika aku nekat mencebur ke jurang ini. Hemm, sudahlah, mari kita Pergi secepatnya dari sini."
Danang mendahului melompat meninggalkan tempat itu. Hal ini dilakukan dalam usahanya untuk dapat menekan perasaannya, agar dapat secepatnya mengusir kenangannya kepada gadis Titiek SariningSih yang amat digandrungi itu.
Tetapi ternyata, bahwa dugaan tiga orang saudara seperguruan ini salah. Titiek Sariningsih yang secara tidak sadar tercebur ke dalam jurang itu, tidak mati. Dalam keadaan pingsan, tubuh Titiek Sariningsih yang meluncur cepat dari atas itu, telah diterima oleh dahan-dahan pohon dan daun-daun beringin yang tumbuh di dasar jurang. Pertolongan alam ini membuat Titiek SariningSih tidak terbanting ke dasar jurang.
Entah berapa lamanya Titiek Sariningsih pingsan di atas dahan pohon beringin yang tumbuh di dalam jurang itu. Ketika ia sadar, yang pertama kali dirasakan adalah rasa sakit sakit di sekujur tubuhnya. Ketika ia membuka matanya, gadis ini kaget setengah mati, karena yang tampak hanya langit yang jauh. Ketika melihat kiri dan kanan, ia bertemu dengan tebing yang tidak rata. Dan ketika jari tangannya bergerak, jari tangan itu mendapatkan daun daun dan ranting pohon. Sadarlah gadis ini, bahwa dirinya terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam, tetapi tertolong oleh sebatang pohon yang membuat dirinya tak terbanting ke dasar jurang.
Titiek Sariningsih bangkit duduk sambil mengeluh. Seluruh tubuhnya dirasakan sakit-sakit, akan tetapi rasa sakit tubuhnya itu masih jauh kalah apa bila dibanding dengan rasa hatinya sekarang ini. Sebagai seorang gadis, yang sudah tidak berayah dan beribu lagi. Tiba-tiba saja Titiek Sariningsih menjadi menyesal sendiri.
Mengapa tadi tidak mati saja terbanting ke dalam jurang?
Ia duduk diatas dahan pohon dalam jurang ini, dengan menghela napas berulang-ulang. Timbul keinginannya untuk mati saja, menyusul ayah bundanya. Namun untuk membunuh diri, ia merasa tak sampai hati. Ia teringat kepada petunjuk dan nasihat Sindu maupun Ki Ageng Lumbungkerep. Bahwa dengan alasan apapun, mati membunuh diri adalah tidak baik.
Di saat ia sedang dilanda oleh rasa kecewa dan sedih ini, tiba-tiba saja ia teringat sebabnya ibunya mati. Ibunya terbunuh mati oleh seseorang yang belum diketahui. Betapa penasaran arwah ibunya di alam baqa yang mati terbunuh secara mengenaskan itu. Dan betapa marah ibunya kalau dirinya sebagai anak tunggal, tidak dapat mencari dan membalaskan sakit hati itu. '
Teringat akan ibunya yang terbunuh mati itu mendadak saja ingatlah ia akan permulaannya meniggalkan rumah. Ia diajak oleh Sindu, beberapa saat sesudah ibunya tewas. Lalu timbullah dugaannya, bahwa tentu Sindu tahu siapa pembunuh itu. Dan kalau Sindu sampai menjawab tidak tahu, ia mempunyai alasan yang cukup kuat untuk menuduh Sindu sendiri sebagai pembunuhnya. Tetapi hemm, gadis ini kembali menghela napas.
Bagaimana ia harus menghadapi, dan apa yang harus dilakukannya, kalau ternyata benar Sindu sendiri itulah pembunuh ibunya?
Teringat akan ibunya yang mati terbunuh secara mengenaskan, dan sampai sekarang belum ia ketahui siapa yang melakukan kekejaman itu, ,timbullah lagi keinginannya untuk terus hidup: Entah, apapun yang bakal terjadi,. Pendeknya ia harus dapat menemukan siapa pembunuh ibunya.
Memperoleh keputusan demikian, Walaupun badan masih terasa sakit, Titiek Sariningsih segera menyelidiki keadaan sekeliling. Ia harus segera keluar dari jurang yang dalam ini. Tetapi setelah meneliti beberapa saat lamanya, ia menghela, napas. Dinding jurang ini kecuali amat dalam, juga sulit untuk dipanjat tanpa menggunakan alat. Sebab walaupun ada pula Batu-batu yang menonjol. akan tetapi jarak antara batu dengan, batu begitu jauh. Sedang pohon pohon yang tumbuh pada dinding jurang itu, merupakan pohon pohon kecil, yang tak mungkin dapat ia pergunakan alat untuk mendaki.
Apa dayanya sekarang untuk segera dapat keluar dari jurang ini?
Kemungkinan satu-satunya hanya apabila dirinya turun saja ke dasar
jurang.
Gadis ini segera menerobos sela-sela ranting untuk turun. Namun, kemudian baru diketahuinya bahwa pohon beringin yang menyelamatkan dirinya itu, bukan tumbuh dari dasar jurang. Pohon ini tumbuh dari dinding jurang, dan jarak antara pangkal batang dengan dasar jurang masih puluhan meter lagi. Ia mengamati keadaan. Bagaimanapun juga, ia berpendapat lebih gampang lewat dasar jurang ini dibanding harus mendaki tebing yang curam dan tinggi itu. Begitu sampai pada pangkal batang pohon ia harus bertindak amat hati-hati. Sebab untuk turun ke dasar jurang, ia hanya mengandalkan kepada pertolongan batu-batu yang menonjol dan pohon-pohon kecil yang tumbuh di tebing. Sedikit saja sembrono, dirinya akan segera terbanting ke dasar jurang dan mati.
Lambat sekali Titiek Sariningsih menuruni tebing ini. Peluh membasahi seluruh tubuhnya karena hatinya terasa tegang. Dari sebuah batu ke batu lain, dan dari sebatang pohon kecil ke batang pohon yang lain, Titiek Sariningsih merambat turun. Setelah melalui perjuangan yang menegangkan hati, barulah kemudian gadis ini berhasil melompat kedasar jurang. Kelegaan hati berhasil turun itu, mendadak membuatnya terasa kelelahan dan kepayahan. Ia menjatuhkan pantatnya dan duduk pada sebuah batu. Bibir dan kerongkongannya terasa kering. Akan tetapi dasar jurang itu kering sama sekali. Maka rasa, haus itu ditahankannya dan setelah berkurang lelahnya ia melangkah menuruni jurang, untuk mencari jalan ke luar.
Ketika itu matahari sudah condong ke barat. Sinar matahari yang sudah lemah itu tidak kuasa menerangi jurang seperti sebelumnya. Hal ini membuat Titiek Sariningsih gelisah.
Mungkinkah dirinya harus bermalam di dasar jurang ini kalau belum dapat memperoleh jalan ke luar?
"Hemm, biarlah kucoba," gumamnya sambil menyeka keringat yang terus mengucur membasahi dahi dan lehernya.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku percaya, pada akhirnya akan menemukan jalan keluar."
Kemauannya yang bulat dan tekadnya yang penuh itu, pada akhirnya menolong gadis ini. Setelah beberapa lama ia menyusuri dasar jurang ini, tibalah ia pada bagian perbukitan yang rendah, sedang tebing jurang tidak curam lagi. Dengan mengerahkan kekuatannya yang masih ada, Titiek Sariningsih segera mendaki tebing jurang. Dan ketika ia berhasil mencapai atas jurang ia segera melonpat. Akan tetapi kakinya sudah terasa lelah sekali dan lemah.Ia terhuyung-huyung, kemudian jatuh terduduk. Sekalipun demikian, dalam hati bersyukur, bahwa dirinya masih dapat ke luar dari jurang yang dalam itu.
Semalam ia menginap di dalam hutan, dan tidur di atas dahan. Ketika pagi mendatang ia meninggalkan hutan itu tanpa tujuan. Maka yang dilakukan hanyalah mengikuti langkah kaki. Tanpa terasa, kemudian tibalah ia di jalan yang cukup lebar. Ia tidak tahu, ke manakah jalan itu menuju. Harapannya agar ia dapat bertemu dengan orang yang bisa diminta keterangannya.
Akan tetapi sungguh sial. Ia tidak bertemu dengan penduduk desa sekitar itu yang dapat di
mintai keterangannya, malah bertemu dengan Reksogati dan Sawungrana. Bertemu dengan dua orang kakek ini, mendadak saja gadis ini marah di samping benci. Soalnya adalah karena dua orang ini hamba Sultan Agung. Padahal ayahnya, Tumenggung Kebo Bangau; gugur dalam perang melawan Mataram. Dengan demikian dua orang ini ikut bertanggung jawab atas gugurnya ayahnya, kemudian timbullah pendapatnya, betapa arwah ayahnya akan gembira apa bila dirinya _dapat membunuh Reksogati dan SaWungfena.
Itulah sebabnya Titiek Sariningsrh bertempur melawan Reksogati dan Sawungrana.
Gadis ini sama sekali tidak gentar sekalipun dikeroyok dua orang. Akan tetapi karena sadar bahwa dua orang ini merupakan dua orang sakti dan tak boleh gegabah, maka dalam melawan Reksogati dan Sawungrana ini, ia mencabut pedang pusaka yang lemas, Pedang Buntung, yang tersimpan melingkar pada pinggangnya seperti ikat pinggang.
Tetapi betapa penasaran Titiek Sariningsih, bahwa usahanya untuk membunuh Reksogati dan Sawungrana gagal. Karena seorang yang mengenakan kulit harimau tutul, telah mencampuri urusannya. Ia terseret ke tempat yang agak jauh dari tempat perkelahian yang semula. Dan sekarang, Titiek Sariningsih seperti lupa akan keadaan, telah menjatuhkan diri sambil menangis, teringat akan ayahnya yang gugur dan ibunya yang terbunuh mati.
Untung sekali bahwa agaknya orang yang bersembunyi di balik kulit harimau itu, bukanlah orang yang licik dan curang. Ketika melihat pedang Titiek Sariningsih runtuh dan melihat pula gadis ini menangis, orang itu hanya berdiri tegak tanpa bergerak, pada jarak kira kira tiga meter didepannya. Kalau saja orang ini mau menggunakan kesempatan sebaik ini dan menyerang, dengan gampang Titiek Sariningsih akan dikalahkan.
Orang yang bersembunyi di balik kulit harimau itu agaknya merasa terharu melihat Titiek Sariningsih menangis sedih. Terdengar dari dalam kulit harimau suara orang itu yang menghela napas berat. Sesaat kemudian, terdengarlah suara orang itu, yang terdengar dari leher harimau,
"Anak muda, apa sebabnya engkau menangis? Hemm, agaknya engkau menyesalkan ayahmu yang gugur dalam medan perang, dan ibumu yang mati dibunuh orang. Mengapa begitu ?"
Mendengar ucapan orang ini, mendadak saja Titiek Sariningsih ingat diri. Dengan kecepatan luar biasa, pedang pusaka yang tadi lepas dari tangannya sudah disambar. Kemudian ia meloncat berdiri dalam keadaan siaga,sedang matanya masih basah air mata. Sepasang mata itu mendelik ke arah orang yang bersembunyi di balik kulit harimau. Lalu terdengar jawabannya sengit,
"Huh, engkau bertanya sebabnya aku menangis? Huh, siapakah engkau ini sudah tidak berjantung dan tidak mempunyai perasaan lagi? Adakah orang yang tidak menyesal kalau ayahnya gugur- di medan perang sedang ibunya yang tak berdosa, tahu tahu tewas dibunuh orang? Huh, hati-hatilah sedikit engkau
bicara.
"Heh-heh-heh," terdengar suara ketawa dari arah leher harimau.
"Sungguh menggelikan, orang yang telah mati disesalkan. Apakah sangkamu manusia yang hidup di dunia ini tidak bakal mati?! Semua manusia yang hidup tentu mati."
"Tanpa nasihatmu, akupun telah tahu bahwa manusia yang hidup tentu mati. Huh, akan tetapi ayah bundaku mati penasaran. Maka aku harus berusaha membalas membunuh orang orang yang ikut bertanggung jawab atas gugurnya ayahku, maupun pembunuh ibuku. Huh, tentang pembunuh ibuku memang gelap. Aku tak tahu siapa yang sudah membunuh ibuku yang tak berdosa itu. Akan tetapi. sebaliknya ayah-sudah jelas. Orang -Orang yang bertanggung jawab atas gugurnya ayah, bukan lain adalah orang-orang Mataram."
"Ahhh..... mengapa engkau berpendapat begitu, anak muda? Hemm, apakah pendapatmu itu bisa dibenarkan? Ingat dan sadarlah engkau, anak muda, bahwa apa yang terjadi atas ayahmu, terjadi di dalam medan perang. Orang yang gugur di medan perang tidak terhitung jumlahnya, baik dari pihak Tuban maupun pihak Mataram. Ahh, betapa menyedihkan kalau anak atau keluarga mereka yang gugur dalam perang itu, kemudian saling penasaran dan ingin menuntut balas. Dunia yang sudah kacau ini, akan semakin menjadi kacau tak karuan oleh tingkah laku manusia-manusia yang tolol dan tak bertanggung jawab. Perang sendiri sudah selesai, namun orang-orang yang linglung saling berkelahi sendiri."
Orang yang berlindung pada kulit harimau itu
berhenti. Sejenak kemudian baru meneruskan,
"Anak muda, sadarlah bahwa dengan macam alasan apapun, perang adalah jahat dan tidak baik. Karena perang membuat manusia ini buta dan saling bunuh. Di samping akan banyak nyawa manusia yang melayang, akan terjadi pula kerusakan-kerusakan hebat. Akibatnya para kawula yang akan menderita, harus hidup tidak tenteram terpaksa mengungsi dan pula berkorban nyawa. Yang hidup sebagai petani, tidak dapat mengerjakan sawah dan ladangnya. Yang hidup sebagai pedagang, tidak dapat melakukan pekerjaannya. Sawah dan ladang terlantar, akibatnya harga barang-barang kebutuhan hidup membubung tinggi. Siapa pula yang akan menderita akibat kenaikan harga ini? Bukan lain adalah kawula sendiri. Lebih dari itu, orang muda, kawula akan masih dibebani kewajiban yang sangat berat. Dengan alasan membantu negara dan membangun kerusakan-kerusakan yang terjadi tak dapat dipungkiri, kawula harus membayar pajak yg lebih tinggi, membayar sumbangan wajib ini dan Itu, bantuan ini dan itu. Semua beralasan cukup kuat demi negara."
Orang itu berhenti lagi, agaknya mencari kesan. Ketika melihat Titiek Sariningsih berdiri dan terdiam, orang ini meneruskan,
"Anak muda, perang akan menjauhkan kasih di antara manusia. Begitu pula rasa penasaran dan dendam, tentu akan meracuni hati setiap orang itu sendiri."
Gadis ini menunduk sesaat. Tetapi setelah mengangkat kepalanya lagi, sepasang mata gadis itu bersinar. Katanya lantang,
"Hemm, baiklah, aku bisa menerima nasihatmu, dan terima kasih pula engkau
sudi menyadarkan aku yang sedang gelap. Ya ,jika aku menurutkan hatiku, yang memusuhi orang orang yang berbau Mataram, jelas tidak tepat. Akan tetapi, tentang ibuku yang terbunuh mati tanpa dosa, mungkinkah aku dapat membiarkan manusia kejam dan jahat itu terus merajalela membunuhi orang-orang yang tak berdosa? Aku akan mencari pembunuh ibuku. Dan kelak kemudian hari, apa bila aku dapat bertemu dengan pembunuh itu, tentu akan kubalas dan kubunuh pula."
"Aih anak muda, jangan engkau berkata seperti itu. Itu tidak baik. Apakah angkau mempelajari iimu kesaktian hanya akan engkau pergunakan berkelahi dan mencari menang? Kewajiban seorang gagah sejati, membela keadilan dan kebenaran, serta menentang kesewenangan. Namun demikian, anak muda,hati hatilah engkau tentang apa yang dikatakan orang keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran untuk siapa? Kalau keadilan dan kebenaran itu hanya untuk beberapa gelintir manusia, tetapi mengorbankan orang banyak, belum tentu itu sungguh-sungguh adil dan benar."
Mendengar ucapan orang yang bersembunyi di dalam kulit harimau ini, Titiek Sariningsih kaget berbareng heran. Ia mengerutkan alisnya yang lentik. Ia ingat, ia pernah mendengar nasehat semacam ini, dan susunan kata-katanyapun amat mirip. Dalam pada itu, setelah banyak yang diucapkan orang itu, ia merasa kenal akan nada suara ini.
Suara gurunya, Sindu!
Benarkah orang yang bersembunyi di balik kulit harimau ini gurunya sendiri?
Titiek Sariningsih mengamati bentuk tubuh
orang di depannya itu secara teliti. Ternyata orang itu tidak begitu tinggi. Dari malah ia bisa menduga, bahwa orahg itu kalah tinggi dengan keadaan dirinya sekarang. Ia masih ingat, bahwa di saat dirinya berpisah dengan Sindu, satu setengah tahun yang lalu, tinggi tubuhnya dan tinggi kakek itu terpaut hanya sedikit sekali.
Menduga bahwa orang yang bersembunyi di balik kulit harimau itu Sindu, gadis ini menjadi gembira. Di samping ia sudah amat rindu kepada gurunya itu, ada kepentingan pula yang akan ia tanyakan. Ia percaya, bahwa gurunya ini akan bisa menjawab tentang siapa pembunuh ibunya.
Akan tetapi gadis ini seorang cerdik. Kalau sekarang, tiada orang lain yang hadir gurunya belum juga mau membuka penutup tubuhnya, kiranya gurunya ini masih belum mau diketahui. Dan tiba-tiba saja ia dapat menduga-duga akan sebabnya gurunya ini belum juga mau terus terang kepada dirinya. Tadi gurunya telah menghalangi dirinya, yang berusaha membunuh Reksogati dan Sawungrana. Karena bagaimanapun, dua orang kakek itu adalah kakak seperguruan gurunya.
Inilah mungkin yang menyebabkan gurunya ini tetap mempertahankan keadaannya sejak muncul memberi pertolongan.
Memperoleh dugaan demikian, tiba-tiba saja Titiek Sariningsih cekikikan.
"Hi-hi-hik, lagakmu seperti seorang kakek. Panjang lebar memberi nasehat kepada orang. Padahal aku tahu, bahwa sesungguhnya engkau ini hanya seorang bocah cilik, yang mungkin lebih muda dari aku"
"Apa katamu?" suara dari leher harimau itu menjawab dengan nada yang kurang senang.
"Aku bocah cilik yang lebih muda dari engkau? Heheh heh, lucu! Lagakmu sebagai seorang juru nujum tidak pernah laku."
Titiek Sariningsih tidak mau kalah dan terus cekikikan.
"Hi-hi-hik, siapa yang mau percaya engkau lebih tua dari aku? Buktinya tubuhmu lebih pendek dibanding aku. Suaramu aku dengar dari leher harimau,, Hi -hi-hik, lucu! Baru sekarang aku tahu ada harimau bisa bicara, dan suara yang keluar bukan dari mulut, melainkan dari-leher"
"Hah ha ha," terdengar suara ketawa yang geli dari leher harimau,
"apakah usia seseorang ditentukan oleh ukuran Tinggi dan rendahnya tubuh?"
"Memang tinggi dan rendahnya tubuh bukanlah ukuran usia orang. Namun karena engkau tetap bersembunyi di balik kulit harimau, maka aku berani bertaruh, bahwa engkau ini berusia tidak lebih empat belas tahun. Hi-hihik, aku jauh lebih tua dibanding engkau. tahu? Maka janganlah engkau mencampuri urusanku."
"Haha ha, heh-heh-heh," suara ketawa yang geli, terdengar dari leher harimau.
Mendengar nada suara ketawa itu, makin menjadi yakin gadis ini, bahwa orang yang bersembunyi di dalam kulit harimau ini bukan lain gurunya sendiri. Maka tantangnya,
"Hayo, jika engkau seOrang jantan sejati, jangan engkau bersembunyi di balik kulit harimau. Aku ingin melihat tampangmu, sehingga aku dapat mengukur keadaan dan usiamu."
"Heh-heh-heh. jika aku membuka leher harimau ini, engkau akan lari ketakutan. Sebab wajahku jelek bukan main, seperti wajah hantu. Untuk menjaga agar engkau tidak ketakutan, maka aku sengaja menyembunyikan diri di dalam kulit harimau."
Agak kaget Titiek Sariningsih mendengar wajah jelek itu.
Mungkinkah Wajah gurunya benar-benar rusak dan menakutkan sebagai hantu?
Akan tetapi tiba-tiba saja gadis ini sadar, bahwa tentu orang ini hanya membual. Tantangnya,
"Bagus, cobalah buka leher harimau itu, dan perlihatkan mukamu. Aku ingin melihat, apakah wajahmu yang jelek seperti hantu itu kuasa membuat aku takut."
"Ha-ha-ha-ha, engkau cerdik anak muda. Tetapi biarlah kita bicara secara begini saja. Aku dapat melihat engkau, sebaliknya engkau tak dapat melihat aku."
"Huh-huh, tidak adil! Apakah aku ini engkau anggap semacam tontonan, engkau dapat menonton aku, dan sebaliknya aku tidak dapat melihat engkau? Huh, kalau caramu seperti ini, berarti engkau bisa bicara tetapi tak dapat berbuat."
"Apa? Aku bisa bicara tetapi tak dapat berbuat apa?"
"Baru saja engkau bicara tentang keadilan dan kebenaran. Namun ternyata engkau sendiri sekarang sudah berlaku tidak adil. Huh, mana orang mau mendengar ucapanmu jika engkau sendiri manusia yang lain di mulut lain di hati? Huh, akupun takkan mau mendengar segala ucapanmu. Siapakah yang dapat melarang aku bertindak menurutkan kemauanku? Pendeknya, dengan pedang yang terpegang di tangan ini, aku akan melakukan pembunuhan, kepada setiap orang yang aku anggap musuh!"
"Aihhh......!" terdengar suara terkejut dari orang yang bersembunyi di balik kulit harimau itu.
" Mengapa engkau begitu ? "
" Hemm, ini urusanku sendiri, dan engkau tak berhak untuk bertanya,"
Titiek Sariningsih menjawab sambil membusungkan dada.
"Yang jelas, aku tak takut kepada siapapun. Karena pedangku ini amat tajam sekali, yang dapat membelah batu gunung seperti orang mengiris pisang." .
"Aihhh......! Bukankah pedangmu itu bernama Pedang Buntung, pedang pusaka peninggalan Ki Ageng Purwoto Sidik? Apakah engkau lupa bahwa orang yang memegang pedang itu tidak boleh melakukan pembunuhan?"
Mendadak Titiek Sariningsih menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
" Kakek, terimalah hormat dari muridmu. Mengapa kakek sampai hati mempermainkan aku seperti ini?"
'Hehheh-heh, engkau cerdik Titiek, aku terpancing."
Gembira sekali hati gadis ini, setelah ternyata bahwa orang yang bersembunyi di balik kulit harimau itu, benar-benar Sindu.
Akan tetapi gadis ini heran, ketika suara Sindu terdengar menjadi jauh.
"Hehe heh heh, .engkau cerdik Titiek, aku terpancing oleh kecerdikanmu!"
Titiek Sariningsih mengangkat kepalanya, kemudian meloncat bangkit. Betapa kaget gadis ini, ketika didepannya kosong. Sindu telah lenyap.
"Kakek......! Tunggu......! Aku ingin bicara dengan kau, dan aku sudah amat rindu!" teriak Titiek Sariningsih nyaring.
"Titiek, ha ha-ha.... aku puas dan gembira melihat kemajuanmu sekarang. Engkau sekarang merupakan seorang wanita sakti mandraguna pilih tanding. Buktinya, engkau tidak kesulitan mengalahkan kakang Reksogati dan kakang Sawungrana. Titiek, aku puas dan aku tidak perlu lagi mengkhawatirkan engkau. ,Pesanku yang harus selalu kauingat, patuhilah larangan Ki Ageng Purwoto Sidik melakukan pembunuhan "
Suara Sindu itu terdengar dari jarak jauh, dari arah timur. Titiek Sariningsih melesat ke timur sambil berteriak,
"Kakek! Tunggu.......! Aku ingin bertanya padamu. Engkau tentu tahu, siapakah pembunuh ibuku.....?" '
Akan tetapi tidak terdengar suara jawaban dari Sindu. Titiek Sariningsih heran.
Benarkah gurunya sekarang dapat bergerak seperti iblis, hingga dalam waktu singkat sudah tak dapat ia kejar lagi?
Ia masygul dan penasaran. Ia harus memperoleh keterangan dari kakek itu, siapakah pembunuh ibunya. Oleh sebab itu, ia segera berteriak dan mengulang lagi,
"Kakek! Tunggu....! Di mana engkau?
kek . .kasihanilah aku! Kakek.... terangkanlah sejujurnya! Siapakah pembunuh ibuku yang tak berdosa?"
Gadis ini berhenti sambil memasang telinga, untuk mendengarkan suara jawaban dari Sindu. Akan tetapi sayang sekali, jawaban yang ditunggu tunggu itu tidak kunjung datang. Agaknya Sindu sudah di tempat amat jauh, dan tidak mendengar suara teriakannya.
Jawaban yang tak kunjung datang ini, membuat Titiek Sariningsih jengkel dan penasaran. Kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, sambil bersungut-sungut,
"Celaka! Kakek Sindu sudah tidak sayang lagi padaku. Aku...... ah, nasib......! Aku sekarang hidup sebatang kara sebagai perawan lola. Kakek Sindu yang semula aku harapkan menjadi pelindungku, ternyata malah meninggalkanku. Ohh..;,.."
Gadis ini menghela napas. Lalu tanpa terasa, menitiklah dua butir air mata dari sudut matanya. Akan tetapi gadis ini menjadi kaget sendiri. Kemudian gumamnya,
"Huh. aku tidak boleh menangis.Tak ada gunanya! Mengapa aku harus bersedih ? Mengapa aku harus merasa sebagai perawan lola? Di dunia ini tidak terhitung jumlahnya manusia. Asal saja aku berbuat baik, semua orang akan suka padaku. Tetapi hemm...."
Baru saja timbul semangatnya,baru saja ia percaya akan dapat hidup seorang diri, mendadak dalam benaknya terbayang wajah ibunya yang waktu ia tinggalkan, menggeletak terlentang di atas lantai tak bergerak, dan tanpa mengenakan pakaian selembarpun. Dahulu ia mengira bahwa ibunya tidur
nyenyak. Tetapi sekarang ia tahu, bahwa ketika ia tinggalkan dahulu, sesungguhnya ibunya telah tewas karena dibunuh orang.
"Ahh.........!" mendadak gadis ini mengeluh dan menutup wajahnya menggunakan dua telapak tangannya. ia menjadi ngeri membayangkan keadaan ibunya ketika itu. Sekarang, setelah dirinya menginjak usia dewasa, ia dapat menduga apakah arti ibunya tewas dalam keadaan seperti itu. Tentu pembunuh itu seorang laki-laki biadab, dan sebelum membunuh ibunya, melakukan perbuatan terkutuk. (Untuk lebih jelas, harap baca "Kisah Si Pedang Buntung " ).
Titiek Sariningsih kembali menghela napas panjang. Kemudian terdengarlah suaranya yang berbisik,
"Ibu! Ibu. .., dengarlah suaraku. Suara anakmu Titiek Sariningsih. ibu, tenanglah engkau dialam sana. Anakmu Titiek Sariningsih bersumpah, akan mencari pembunuh itu dan membalaskan sakit hatimu dengan pedangku ini."
"Sringg....." tiba tiba dengan gerakan yang cepat tak terduga, pedang buntung yang sangat tajam itu telah menebas ujung rambutnya sepanjang beberapa sentimeter. Apa yang dilakukan oieh gadis ini ialah dengan maksud semacam pembuktian sumpah kepada ibunya, yang akan mencari manusia biadab itu.
Tanpa setahu Titiek Sariningsih, apa yang dia lakukan ini terlihat oleh Sindu yang bersembunyi di belakang pohon. Kakek ini menghela napas. Ia merasa kaSihan sekali kepada nasib murid tunggalnya itu, yang masih amat muda sudah kehilangan ayah bundanya. Tetapi kakek ini menekan perasaannya, untuk tidak muncul dan bertemu dengan Titiek Sariningsih. Tidak seorangpun tahu alasan Sindu yang tidak mau bertemu dengan Titiek Sariningsih ini, kecuali Sindu sendiri.
Agak lama Titiek Sariningsih duduk di tempatnya. Di saat ia duduk melamun seorang diri ini, tiba-tiba saja teringatlah ia akan sebabnya ayahnya meninggal. Ayahnya tewas dalam perang melawan Mataram, dan membela Tuban. Ia menjadi amat menyesal sekali bahwa usahanya untuk membunuh Reksogati dan Sawungrana dihalangi oleh Sindu. Kalau saja tadi usahanya berhasil, setidaknya ia telah dapat membunuh dua orang Mataram itu. Walaupun ia takkan merasa puas nyawa ayahnya diganti dengan nyawa Reksogati dan Sawungrana, namun Setidaknya dapat mengurangi penasarannya.
Ia mengangkat kepalanya, memandang ke tempat jauh.
Dalam hatinya timbul pertanyaan ke mana dirinya sekarang mau menuju?
Kalau ingat akan kakek dan neneknya di Tuban, yang diketahui telah amat tua itu, ingin sekali dirinya menunggui orang tua itu agar dapat berumur lebih panjang. Tetapi mengingat apa bila dirinya menunggui kakek dan neneknya, dirinya ibarat burung dalam sangkar. Dan demi meneruskan keturunannya, tentu kakek dan neneknya akan segera memaksa supaya dirinya lekas kawin dan mempunyai anak.
Tidak!
Dirinya takkan mau kawin dan punya anak sebelum ia tahu siapakah pembunuh ibunya. Apapun
jadinya, ia harus dapat menemukan pembunuh itu dan membalasnya. Selama pembunuh itu belum diketahui, selama itu pula dirinya takkan merasa hidup tenteram. Ia akan selalu merasa dibayangi oleh arwah ibunya yang mati penasaran.
"Hemm, asal saja aku berusaha, kemudian hari pembunuh itu akan dapat kuketemukan!" desisnya
"Biarlah, untuk sementara waktu aku mengembara menurutkan langkah kakiku."
Gadis ini segera bangkit. Tiba-tiba saja perutnya terasa melilit minta isi. Baru teringat oleh gadisini, bahwa sejak pagi tadi baru sekali saja makan padahal sekarang hari telah sore. Maka gadis ini segera berusaha memperoleh pengisi perut. Akan tetapi timbullah rasa heran dalam hatinya, ketika sudah berusaha cukup lama tak juga memperoleh seekorpun kelinci atau binatang buruan yang lain. Hutan yang luas itu seakan sekarang tiada penghuni lagi. Ia merasa heran. Apakah binatang dalam hutan ini telah habis menjadi mangsa para pemburu ?
Tak mungkin. bantah hatinya. Akan tetapi walaupun hatinya tidak percaya, buktinya ia telah lama menjelajah dan berusaha, belum juga ia berhasil memperoleh seekor kelincipun.
Hari telah menjadi semakin sore. Perutnya terasa semakin melilit-lilit, ingin mendapatkan isi. Akan tetapi apa harus dikata, seekor kelincipun belum juga ia peroleh. Malah ketika dirinya mulai mengalihkan perhatiannya kepada buah-buahan yang ada dalam hutan inipun ternyata pohon-pohon yang tumbuh di dalan hutan ini, bukan pula pohon yang memberikan buah enak kepada manusia. Berusaha mencari buah pisangpun, dalam hutan ini juga tidak ada. ia menjadi heran.
Mengapa dalam hutan yang luas ini, tiada sesuatu yang bisa dijadikan pengisi perut?
Akan memetik daun muda dan nekat makan daun itupun, perutnya segera terasa mual, maka ia mengurungkan maksudnya, Ia melangkah terus dan menahan lapar. Ia percaya. kalau terus berusaha akhirnya akan memperoleh pengisi perut.
Telah cukup lama dan cukup jauh ia menjelajah hutan yang luas ini. Perutnya yang lapar selalu melilit-lilit. Kerongkongannyapun terasa kering dan haus. Kebetulan sekali, ia menemukan sungai kecil yang mengalirkan airnya yang jernih. Air yang jernih itu membuat ia semakin merasa haus. Ia segera menuruni tebing kali kecil itu, bermaksud untuk mengambil air dan minum. Tetapi, tiba-tiba ia menangkap desir angin yang halus menyentuh punggungnya. Sebagai seorang yang sudah memiliki ilmu kesaktian cukup tinggi, telinganya yang telah terlatih segera menduga ada orang yang menyerang dirinya secara gelap. Sebuah benda yang tumpul dilemparkan ke arah dirinya. Tanpa memalingkan mukanya, ia mengangkat tangan kiri menyampok ke belakang.
"Plokk......!" benda yang menyerang ke arah dirinya itu jatuh ke atas tanah.
Gadis ini segera menyelidiki sekeliling, menggunakan matanya yang terlatih dan telinganya yang peka. Tetapi ia menjadi heran. Ia tidak melihat seorangpun yang mencurigakan. Dan ia tidak mendengar gerakan seseorang maupun dengus napas orang. Ia mengerutkan alisnya, dan hatinya bertanya.
"Sungguh aneh kalau ada benda yang menyerang dirinya, akan tetapi tidak tampak orangnya itu."
Dugaannya kemudian, tentu penyerangnya itu seorang sakti mandraguna. Dan sesudah menyerang, kemudian menyembunyikan diri. Mungkin penyerang itu malah jauh lebih sakti dibanding dirinya. Maka dirinya harus lebih berhati hati.
"Hai, siapa menyerang secara curang?! Hayo keluarlah jika memang jantan. Janganlah engkau main, sembunyi seperti bekicot!" teriak gadis ini yang menantang.
Ia menunggu dan bersiaga. Namun tidak terdengar suara jawaban, dan tidak tampak pula orang muncul. Setelah agak lama ditunggu belum juga ada yang muncul maupun menjawab, gadis ini mengulang lagi,
"Hai, bedebah busuk! Janganlah engkau seperti tikus, berani menyerang tidak berani muncul. Sangkamu aku takut padamu?"
Namun ternyata tiada jawaban dan tidak ada orang yang muncul. Hal ini tentu saja membuat Titiek Sariningsih amat penasaran sekali, merasa dipermainkan orang. Untuk mengurangi rasa penasarannya, gadis ini mengamati ke arah benda yang ditangkisnya tadi. Ternyata benda yang dilempar orang tadi hanyalah batu, dan oleh tangkisannya menjadi pecah. Akan tetapi gadis ini menjadi tertarik, karena batu yang dilemparkan orang itu dibungkus oleh secarik sutera putih, selebar saputangan. Sutera putih itu tampak adanya coretan
coretan. Ia menjadi curiga dan dihampirinya sutera itu. Ia terbelalak ketika memperhatikan bahwa coretan itu merupakan huruf. Dan agaknya dalam menulis orang itu tergesa, terbukti tulisannya jelek. Ketika sutera putih itu sudah diambil, gadis ini membalikkan tubuh dan berteriak,
"Kakek Sindu! Mengapa engkau bertindak seaneh ini? Engkau tak mau bertemu muka dengan aku. Tetapi engkau mengapa selalu membayangi aku? Apakah maksudmu yang sebenarnya? Kakek, keluarlah dari tempat persembunyianmu. Aku ingin menanyakan sesuatu yang amat penting!"
Akan tetapi gurunya yang bernama Sindu itu, tidak juga menjawab maupun muncul. Hanya suara teriakannya sendiri yang menggema dan memantul dari batu dan tebing jurang. ia mengulang lagi, namun Sindu tak juga muncul. Saking penasaran, gadis ini membanting-bantingkan kakinya sendiri.
Mengapa terjadi perubahan pada gurunya?
Tetapi tiba-tiba ia segera ingat akan peristiwa satu setengah tahun lebih yang lalu, tentang sebabnya terpisah dengan gurunya itu. Dahulu, ia memang sudah melanggar pesan Sindu. Ketika Sindu sedang menyelidik ke dalam rumah yang dipergunakan sebagai tempat pertemuan beberapa tokoh sakti, yang sengaja akan mengganggu perjalanan boyong Ratu Wandansari ke Surabaya. Ia terpaksa meninggalkan tempat persembunyiannya, karena dituntut oleh perutnya yang lapar minta isi. Ia pergi dari tempat persembunyiannya, dengan maksud mencari penjual nasi. Namun celakanya, ia tidak mendapatkan nasi yang diharapkan, malah dirinya
hampir celaka di tangan anak buah gerombolan penjahat Kendeng. Baru saja ia lepas dari tangan anak buah Kendeng bertemulah ia dengan Sungsang. Hingga dirinya dirobohkan dan tentu celaka kalau tidak ditolong Damayanti.
(Untuk jelasnya. silahkan membaca " Kisah Si Pedang Buntung , oleh pengarang yang sama).
Teringat akan itu, ia menduga bahwa Sindu marah oleh peristiwa tersebut. Kemudian teriaknya lagi,
"Kakek ! Kau marah akan terjadinya peristiwa dahulu itu, yang membuat aku terpisah dengan engkau? Kek, kalau hal itu kauanggap aku bersalah, baiklah aku mohon maaf. Keluarlah engkau kek, aku akan berlutut di depanmu dan mohon ampun. Namun perlu juga aku jelaskan, bahwa kepergianku dari tempat persembunyian itu tidak sengaja. Ketika itu aku amat lapar sekali, tetapi nasi jagung bekal kita dingin. Aku ingin mercari nasi. Ternyata usahaku memperoleh nasi tak terkabul, malah aku tersesat dan hampir saja aku celaka kalau tak ada orang yang menolongku Kek, keluarlah dan mari kita bicara baik-baik."
Namun ternyata harapannya sia-sia belaka. Orang yang diharapkan itu tak juga muncul maupun menjawab. Ia menjadi jengkel dan penasaran. Lalu bersungut-sungut,
"Huh-huh, baiklah! Ianpa engkaupun aku dapat hidup"
Karena berteriak beberapa kali, ia makin terasa lebih haus. Ia teringat akan sungai yang airnya jernih. Akan tetapi segera teringat pula akan sebabnya ia tadi diserang dengan batu yang dibungkus
sutera itu dan terdapat tulisannya.
Apakah saja maksud penyerang gelap itu?
Sutera putih yang dipegangnya itu segera ia perhatikan dan dibaca. Begitu membaca tulisan tersebut, makin yakinlah hati gadis ini, bahwa penyerang gelap ilu bukan lain gurunya sendiri.
Apakah isi tulisan dalam sutera putih yang menggunakan getah pohon itu?
Isinya adalah,
Titiek Sariningsih, jangan engkau gegabah minum air sungai yang tampaknya jernih itu. Air itu beracun jahat sekali. Siapapun yang berani minum air tersebut tentu mati, dan siapa yang berani mandi atau membasuh anggauta tubuhnya akan keracunan. Mengapa sebabnya beracun? Sebab di hulu. pada mata air sungai ini, terdapat orang yang sengaja meracuni air itu.
Titiek, untuk menguji air itu beracun atau tidak, engkau memiliki alat yang dapat engkau andalkan. Pergunakan pedang pusaka Si Buntung. Jika batang pedang itu engkau masukkan dalam air, kemudian pedangmu yang semula putih itu berubah menjadi merah, inilah tanda bahwa air itu beracun dan berbahaya sekali. Akan tetapi kalau batang pedangmu berubah kekuning-kuningan, maka racun dalam air itu sekalipun beracun, tidak begitu berbahaya.
Tulisan pada sutera putih itu tanpa tanda apa.Namun mengingat orang sudah mengenal
namanya dan mengenal pula pedang yang ia sembunyikan pada pinggang, jelas bahwa orang itu memang Sindu.
Hanya yang membuat hati gadis ini bertanya-tanya, apa saja sebabnya Sindu tak mau muncul dan menemuinya?
Tetapi sekalipun hatinya masygul dan tidak senang atas sikap Sindu, gadis ini berterima kasih pula atas peringatan Sindu. Kalau benar air itu beracun dan tidak ada peringatan, dirinya tentu sudah tewas keracunan. Dan dalam pada itu, Titiek Sariningsih gembira sekali atas pemberitahuan dari Sindu itu. Ternyata bukan saja Pedang Si Buntung itu amat tajam dan merupakan senjata yang ampuh, tetapi pedang itu juga bisa dipergunakan untuk menyelidiki air, beracun atau tidak. Dengan bekal pemberitahuan itu, maka Titiek Sariningsih segera menuju ke sungai kecil itu, sambil mencabut pedang yang tersimpan pada pinggangnya. Dengan pedang itu, ia akan mengetahui air itu beracun atau tidak. Begitu pedang itu dimasukkan ke dalam air, gadis ini menjadi terkejut. Ternyata batang pedang yang semula warnanya putih mengkilap tersebut, mendadak saja telah berubah menjadi merah seperti terkena oleh darah.
"Ahh, benar air ini beracun jahat sekali!" desis gadis ini sambil mengamati batang pedang yang berwarna merah itu.
Batang pedang yang berubah merah itu diamati dengan teliti beberapa saat lamanya.
Ia ingin menunggu, apakah batang pedang yang semula putih itu, akan kembali menjadi putih sendiri setelah beberapa saat lamanya?
Oleh pergaruh angin, ternyata kemudian batang pedang yang warnanya merah itu, kembali menjadi putih seperti semula tanpa dibersihkan. Sekalipun demikian Titiek Sariningsih masih khawatir, kalau batang pedangnya itu masih mengandung racun jahat tersebut. Maka batang pedang itu segera digosok -gosokkan pada rumput beberapa lama. Setelah ia merasa pengaruh racun itu hilang. barulah ia berani menyarungkan kembali ke sarungnya.
Titiek Sariningsih berdiri sambil mengamati air sungai yang terus mengalir itu. Diam-diam ia merasa heran.
Mengapa sungai ini seluruh airnya bisa beracun?
Padahal tentu tidak sedikit orang yang memanfaatkan air sungai ini, baik untuk mengairi tanaman, mercuci pakaian, mandi atau pula untuk minum. Kalau air ini beracun,berapa besar korban yang jatUh akibat air kali ini!
Orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban, dan apa sajakah maksud orang menyebar racun itu?
Sungguh manusia busuk yang tidak pantas diampuni dosa dosanya, karena akibat racun yang disebarkan amat berbahaya.
Berpikir demikian, mendadak saja gadis ini menjadi marah. Peracunan air sungai seperti ini kalau dibiarkan terus berlangsung, akibatnya akan 'menjadi semakin luas. Bukan saja manusia yang menggunakan akan tewas, tetapi juga semua binatang maupun tanaman. Maka di samping tidak terhitung jumlahnya yang tewas, akan menimbulkan pula paceklik dan kebutuhan hidup membubung tinggi harganya.
"Harus aku cari manusia keparat itu! " desisnya
Titiek Sariningsih segera berkelebat pergi, menuju ke hulu. Sesuai dengan petunjuk Sindu, tentu orang-orang jahat yang menyebarkan racun itu, bertempat tinggal di sana. Sambil menuju ke hulu ini, Titiek Sariningsih menjadi tahu, mengapa sejak tadi tak bisa menemukan seekor kelinci maupun binatang buruan yang lain guna mengisi perut. Kiranya binatang-binatang itu sudah banyak yang mati menjadi korban air yang beracun. Binatangpun tahu akan bahaya. Karena telah banyak kawan kawannya yang mati, menjadi sadar akan bahaya. Maka binatang yang masih hidup, segera pergi mengungsi ke tempat yang lain. Hingga terhindarlah dari bahaya kematian.
Dugaan Titiek Sariningsih itu tepat. Peracunan yang dilakukan orang terhadap air sungai ini, memang telah berlangsung agak lama. Akibatnya telah banyak binatang yang minum air kali itu, kemudian mati. Binatang pemakan bangkai segera memanfaatkan bangkai itu, akan tetapi kemudian ikut pula keracunan dan mati.
Teringat usahanya mencari pengisi perut belum juga berhasil itu, perutnya yang lapar dan kerongkongannya yang kering menagih lagi. Padahal hari sudah semakin sore, sinar matahari semakin lemah. Hutan itu tambah lama bertambah gelap. Mencari sumber air yang tidak beracun dan pengisi perut. sulitnya seperti orang mencari jarum dalam telaga yang berair dalam. Maka setelah cuaca menjadi gelap, ia terpaksa menahan lapar dan haus, meloncat ke atas dahan pohon Yang tinggi untuk tidur.
Keesokan paginya ketika ia bangun tidur, perutnya terasa semakin melilit-lilit dan rasa haus hampir tidak tertahankan Lagi. Tetapi semua itu ia pertahankan, lalu meloncat turun dari dahan yang ia pergunakan tidur semalam, untuk kemudian mencari pengisi perut.
Akan tetapi begitu menginjakkan kaki di atas bumi, gadis ini menjadi terbelalak heran, memandang bungkusan agak besar dibawah pohon.
"Bungkusan apakah itu?" ,tanyanya seorang diri sambil memperhatikan. Hatinya penuh rasa curiga, teringat akan sungai yang diracun orang. Siapa tahu kalau diam-diam ada orang yang tahu kehadirannya, kemudian berusaha mencelakakannya.
Akan tetapi kemudian pandang matanya tertumbuk kepada coretan-coretan di atas batu, yang berdekatan letaknya dengan bungkusan itu. Tidak sembarang orang dapat mencoret-coret batu gunung yang keras itu, sekalipun menggunakan senjata. Di bacanya coretan di atas batu itu; dan ternyata ditujukan kepada dirinya. Yang isinya; bahwa bungkusan itu berisi nasi, lauk dan air minum. Semua tidak beracun, karena yang melakukan Sindu, gurunya.
Titiek Sarinlngsih. aku tahu engkau lapar dan haus. Itulah sebabnya aku mengirim nasi, lauk dan air minum untukmu makanlah !
Maafkan aku, cucuku, kakek Sindu tak dapat hertemu muka dengan engkau. Akan tetapi
percayalah, kelak kemudian hari akan tiba saatnya kita bertemu.
Kakekmu, Sindu.
Heran gadis ini ketika membaca tulisan pada batu itu.
Mengapa Sindu tak mau bertemu muka, dan apa saja alasannya?
Akan tetapi dengan peringatannya ketika akan minum air sungai kemarin, dan usahanya mengirim makanan pada pagi hari ini, membuktikan bahwa orangtua itu masih tetap memperhatikan dirinya, dan masih tetap kasih seperti semula. Kalau sekarang kakek itu mengatakan belum dapat bertemu muka, tentunya ada pula alasannya.
Di samping melihat huruf huruf yang tertulis pada permukaan batu yang keras ini, dan dari bentuk tulisannya jelas hanya menggunakan jari tangan, diam-diam gadis ini kagum. Dengan melihat halusnya bekas jari dan juga dalamnya huruf itu, membuktikan bahwa gurunya itu sekarang telah mencapai kemajuan yang mengagumkan. Ia gembira sekali. Dirinya sendiri memperoleh kemajuan. Ternyata gurunyapun memperoleh kemajuan.
Karena perutnya yang kosong telah mendesak minta isi, maka diambillah bungkusan agak besar itu. Ternyata di dalamnya terdapat sebuah impes. (tempat air dari perut kerbau), nasi putih, sambal dan ikan ayam goreng. Terharu gadis ini melihat makanan yang dihadapi. Jelas bahwa gurunya bisa mendapatkan nasi putih, sambal dan ayam goreng ini, harus menempuh perjalanan jauh, membeli pada orang di desa.
"Kek, terima kasih atas perhatianmu," desisnya sambil membuka tutup impes.
Mulutnya dibuka dan minum. Dingin air itu, tetapi sekalipun hari masih pagi, dapat menghilangkan rasa kerongkongan yang haus. Bagi orang yang tidak biasa minum air dingin di waktu pagi akan menyebabkan perut sakit. Tetapi bagi yang sudah terbiasa seperti Titiek Sariningsih, tidak berpengaruh apa-apa dan malah baik sekali bagi tubuh. Membiasakan minum air dingin diwaktu pagi sebelum diisi oleh yang lain, memberi pengaruh lancarnya peredaran darah dan hawa sakti dalam tubuh. Sehingga tubuh menjadi sehat kuat, tidak gampang terserang oleh penyakit.
Dengan lahap Titiek Sariningsih makan. Sambal yang warnanya merah itu cukup pedas. Namun sambal itu malah merangsang selera makan, Sehingga gadis yang sudah kelaparan sejak kemarin itu, makan lebih banyak dari pada biasanya. Sisa makanan segera dibungkus. lalu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya. Maksudnya akan dipergunakan mengisi perut siang atau nanti sore, setelah perutnya lapar lagi. Akan tetapi karena ia makan terlalu banyak, ia terpaksa harus duduk agak lama di tempat itu, untuk menghilangkan rasa yang tak enak pada perut maupun pinggangnya.
Setelah rasa tak enak pada perut dan pinggang itu menghilang, barulah Titiek Sariningsih meninggalkan tempat ini, dan meneruskan perjalanan. ia bertekad bahwa hari ini juga dirinya harus tiba di mata air sungai yang beracun itu, untuk membuat perhitungan kepada manusia biadab dan terkutuk yang telah meracuni sungai itu.
Ternyata tidak memerlukan waktu lama, gadis ini mencapai tempat tujuan. Sebelum tengah hari, tibalah ia pada perbukitan Kendeng yang banyak tumbuh pohon-pohon tua. Di tempat itu, tumbuhlah macam-macam pohon tua yang menjulang tinggi, berdaun rimbun. Pohon itu terdiri dari pohon karet, randu alas, gayam, beringin dan jati. Pohon-pohon besar inilah yang kemudian dapat menampung curahan air hujan. Curahan air hujan yang ditampung oleh pohon-pohon besar itu, kemudian menimbulkan sumber air.
Pohon-pohon besar dan tua, merupakan tempat penampung air dari alam yang besar kegunaannya bagi manusia hidup di dunia-ini. Maka sungguh tolol manusia di dunia ini kalau tidak tahu akan kegunaan hutan dan pohon'pohon besar. Hutan yang rusak, bukit yang gundul, akibatnya akan menimbulkan keringnya sumber air. Padahal manusia takkan dapat hidup tanpa air. Sebaliknya walaupun manusia cukup air, akan tetapi sawah dan ladang tidak cukup air, manusia akan mati kelaparan pula tanpa adanya makanan. Sebab tanaman akan kering, mati tanpa menghasilkan. Oleh sebab itu, mata air yang menjadi sumber bagi sungai-sungai, harus dijaga dan dilindungi oleh manusia sendiri. Jelas, bahwa hanya manusia yang tolol dan ingin mati saja, merusak hutan membabi buta. Membiarkan bukit menjadi gundul tanpa tanaman.
Makin dekat dengan tempat tujuan, makin teganglah hati gadis ini. Benar! gadis ini belum luas
pengalaman namun ia sudah memperoleh petunjuk dan pesan berharga baik dari Sindu maupun Ki Ageng Lumbungkerep. Oleh sebab itu. Titiek Sariningsih cukup tahu akan bahayanya datang ke tempat itu. Sebab manusia yang sanggup melakukan kekejaman, kebiadaban dan membunuh manusia-manusia yang tak berdosa itu, tentu seorang manusia yang kejam ganas dan tak berperasaan lagi. Tidak mustahil bahwa sekitar tempat tinggalnya dilindungi oleh jebakan-jebakan maut, disebari macam-macam racun, hingga orang yang datang tanpa dikehendaki akan mati konyol.
Menduga bahwa hutan yang rimbun, penuh dengan pohon-pohon besar yang tumbuh dengan subur itu merupakan tempat tinggal manusia Jahat itu, maka terpikir, oleh gadis ini, bahwa tanah di sekitar itu penuh bahaya. Kalau tidak disebari racun, tentu dipasangi jebakan-jebakan maut. Untuk menghindarkan diri dari bahaya ini, maka terpikir oleh gadis ini, untuk menggunakan batu-batu yang banyak berserakan, sebagai jalan.
Akan tetapi, baru saja ia melayang ke sebuah batu terdengarlah suara halus yang masuk dalam rongga telinganya,
"Titiek, engkau tolol! Oleh perbuatanmu yang berloncatan dari batu ke batu itu, justeru membawa dirimu ke jebakan maut yang berbahaya. Batu-batu itu memang tidak disebari racun. Tetapi justeru di bawah batu itulah banyak lubang-lubang jebakan. Entah sudah berapa banyaknya manusia yang mati menggunakan batu sebagai jalan. Maka jalan yang paling aman bagimu, tiada lain kalau engkau meloncat dari dahan ke dahan seperti tingkah kera!"
Gadis ini mengerutkan alisnya, tetapi kemudian tersenyum. Makin mantaplah hati gadis ini mendengar bisikan itu. Jelas bahwa gurunya, kakek Sindu telah menggunakan Aji Pameling untuk memperingatkan dirinya. Dan jelas pulalah, walaupun gurunya itu tak sedia bertemu muka dengan dirinya, namun tidak tega dan selalu membayangi. Bantuan Sindu ini amat besar artinya bagi keselamatannya. Kepercayaannya makin tebal, bahwa dirinya yang bakal dapat melenyapkan manusia terkutuk itu.
Akan tetapi diam-diam gadis ini menjadi heran. Kalau kakek Sindu dapat memperingatkan bahwa batu-batu ini berbahaya, dan telah banyak korban yang jatuh, berarti sedikit banyak gurunya telah tahu keadaan tempat ini, dan menyaksikan pula orang-orang yang binasa dalam usahanya memusuhi manusia jahat itu.
Kalau benar gurunya itu sudah tahu, mengapa gurunya tidak mau bertindak. dan membiarkan manusia jahat itu melakukan perbuatannya?
Ia menjadi heran.
Apa sajakah latar belakang perbuatan gurunya yang aneh ini?
Bukan saja tak mau bertemu muka dengan dirinya, namun selalu membayangi dan memperingatkan dia setiap berhadapan dengan bahaya. Kemudian mengerti bahwa di tempat ini ada orang melakukan kebiadaban hanya dibiarkan. Sekarang, dirinya malah yang setengah diperintah supaya melenyapkan orang itu terbukti
dengan bantuan-bantuannya.
Mengapa watak gurunya berubah seperti ini?
Kemudian 'timbullah rasa sesalnya., mengapa dirinya tidak dapat memiliki Aji Pameling seperti kakek Sindu. Kalau saja dirinya memiliki aji tersebut, tentu ia dapat bercakap-cakap dengan gurunya itu dalam jarak jauh.
Oleh peringatan Sindu yang menggunakan Aji Pameling itu. Titiek Sariningsih mengurungkan niatnya berloncatan dari batu ke baru. Kemudian ia menjejakkan kakinya, melesat ke atas dahan pohon yang terdekat dan terendah. Kemudian dengan kegesitan geraknya gadis ini dapat menggunakan dahan pohon tersebut, seperti jalan di atas bumi. Daerah itu justeru banyak tumbuh pohon besar. Maka untuk berloncatan tidak begitu sulit. Namun demikian juga tidak boleh gegabah, karena dahan dahan pohon itu cukup tinggi. Sekali saja terpeleset dan jatuh, sedikitnya orang akan menderita cedera atau terluka, dan malah bisa menyebabkan kematian.
Sambil berloncatan ini Titiek Sariningsih selalu waspada dan hati-hati. ia sadar bahwa orang yang menyebarkan racun itu,akan dapat menyerang dari bawah. Dan mengingat pula bahwa orang itu pandai dalam soal-soal racun, maka pengaruh racun itu lebih berbahaya dibanding dengan ilmu kesaktian yang biasa. Di samping itu, dirinya belum tahu juga penghuni tempat terasing ini. Kalau ternyata orang itu memiliki anak buah, dirinya bakal berhadapan dengan keroyokan.
Mendadak terdengar suara orang yang ketawa mengikik keperti kuda, bercampur dengan suara terkekeh dan nyaring, seperti-suara kuntilanak ketawa. Suara orang yang ketawa di tengah suasana yang sepi dan-di dalam hutan pula ini, bagaimanapun menimbulkan rasa seram bagi orang yang mendengarnya.
' Hi-hi-hik, hiyeh-hiyeh-hiyeh kik-kik kik.. ..? bagus, siapa berani kurang ajar masuk dalam istanaku seperti seekor kera? Huh-huh, orang yang berani lancang masuk ke mari tanpa ijin, takkan dapat ke luar lagi dengan selamat. Hi hii hih orang yang berani mengganggu Dewi Racun, upahnya hanya akan mampus dan menjadi makanan burung pemakan bangkai!"
Meskipun Titiek Sariningsih merasa percaya akan kekuatan diri, dan percaya pula akan bantuan kakek Sindu, namun diam-diam meremang pula bulu kuduknya mendengar ancaman itu. Sebab orang semacam itu akan sanggup berbuat. kekejaman.
(Bersambung Jilid 2)
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 2
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung)
Karya; Widi Widayat
Jilid: 2
******
TITIEK Sariningsih menghentikan lompatannya, dan mengintip dari sela daun. Tampak dari tempatnya mengintip, seorang wanita setengah baya berdiri tegak pada tempat yang terbuka. Keadaan perempuan itu membuat Titiek Sariningsih bergidik!
Wanita itu mengenakan pakaian yang lengkap seperti umumnya wanita, tetapi dari bahan yang serba lurik. Rambutnya yang masih hitam itu tidak disanggul, akan tetapi dibiarkan riap-riapan menutup punggungnya. Di sekitar perempuan itu berdiri, tampak belasan ekor ular. Besar dan kecil, yang warnanya aneka ragam. Di antara ular ular yang mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya itu, terdapat pula dua ekor ular kecil yang membelit-belit lengan dan lehernya.
Jijik Titiek Sariningsih melihat sejumlah ular itu. Dan diam-diam bisa menduga pula, pantas sungai yang selalu mengalirkan airnya itu, terus beracun. Ternyata orang itu memelihara sejumlah ular berbisa.
Yang membuat gadis ini heran, mengapa ada seorang wanita yang sanggup melakukan kekejaman terhadap banyak orang yang tak berdosa?
Dan apa sajakah maksud dan tujuan perempuan ini?
Tetapi di samping itu semua, mengapa perempuan aneh ini menghadap ke arah lain?
Sehingga dirinya melihat perempuan itu dari arah samping, dan tak dapat mengetahui jelas wajah perempuan ganas itu.
Kalau demikian halnya, adakah orang lain yang sama tujuan dengan dirinya?
Menduga demikian gadis ini segera mengamati ke arah perempuan itu memandang.
Ahh, ternyata dugaannya
benar. Ada orang lain dari arah utara, yang bertujuan sama dengan dirinya. Dan ternyata pula orang itu menggunakan jalan seperti dirinya, lewat atas pohon. Dengan gerakan yang cukup ringan, orang itu sudah melayang turun dari dahan pohon.
"Ahh," serunya dalam hati.
Ternyata orang yang datang itu seperti dirinya, seorang perempuan pula. Perempuan itu tubuhnya ramping dan padat berisi. Menurut taksiran Titiek Sariningsih, berusia sekitar duapuluh lima tahun. Bentuk tubuh perempuan itu menyedapkan dipandang mata. Lebih lebih karena mengenakan pakaian yang ketat sehingga pakaian itu mencetak bentuk tubuh wanita itu yang terbayang. nyata lekuk lengkungnya. Akan tetapi ketika Titiek Sariningsih memperhatikan wajahnya, hampir saja gadis remaja ini terpekik. Sebab pada wajah perempuan itu. tampak bekas bekas senjata tajam. Sehingga wajah yang sebenarnya cantik jelita itu, sekarang menjadi rusak dan cukup menyeramkan. Pada dahinya ada bekas luka yang lebar dan menyilang. Demikian pula pada pipi yang kuning dan halus itu, terdapat banyak bekas goresan senjata tajam. Melihat bekas-bekas luka pada wajah yang cantik itu, diam-diam Titiek Sariningsih bergidik.
Siapakah yang sudah melakukan kekejaman demikian, sehingga merusak wajah yang cantik dan menarik itu?
Titiek Sariningsih menahan napas, dan tetap di atas dahan pohon yang rindang itu. sambil mengamati ke bawah penuh perhatian. Ia berjanji, apa bila perempuan yang wajahnya rusak itu berhadapan dengan bahaya, ia akan berusaha menolongnya. Sebab ia menduga, kalau perempuan ini datang pula kemari dan memusuhi perempuan riap riapan itu, jelas bahwa perempuan inipun dari golongan baik.
Begitu melayang turun dari dahan, lalu berdiri tegak tidak jauh dari tempat perempuan aneh itu berdiri, perempuan yang wajahnya rusak ini terkekeh nyaring, disusul kata katanya yang mengejek,
"Hi-hi-hik, heh-heh heh, tidak pernah aku sangka, bahwa engkaulah orangnya yang melakukan peracunan pada sungai itu. Sebagai hasil perbuatanmu yang terkutuk, tidak terhitung jumlahnya manusia maupun binatang yang tewas oleh air sungai yang beracun itu. Huh, Subinem! Apa sajakah maksudmu melakukan semua itu?"
Agak kaget Titiek Sariningsih mendengar ucapan perempuan yang rusak wajahnya itu.Ternyata perempuan itu telah mengenal orang aneh ini, yang bernama Subinem. Akan tetapi karena dirinya belum mengenal dua orang perempuan itu. maka ia hanya terbatas kepada rasa heran saja.
"Hiyeh hiyeh heh hiyeh," perempuan aneh itu meringkik-ringkik seperti kuda binal.
"Bagus sekali engkau berani datang ke mari tanpa kucari. Huh-huh, hari ini engkau akan mampus dalam tanganku, dan terbayar lunas semua hutangmu kepadaku!"
"Uah, sombongnya! " ejek perempuan yang rusak wajahnya itu:
"Sangkamu dengan mengandalkan segala macam racunmu engkau dapat menang melawan aku? Hemm, aku Salindri! Tentang pengetahuan racun, kiranya takkan kalah dengan engkau!"
Titiek Sariningsih agak kaget, mendengar itu. Kalau demikian halnya, dua orang perempuan ini setali tiga uang. Sama-sama ahli racun, dan tentu bukan orang baik baik, Diam-diam Titiek Sariningsih waspada. Ia makin berhati hati, sebab apa bila sembrono, dirinya malah bisa dikeroyok oleh dua orang perempuan itu.
Benarkah dugaan Titiek Sariningsih ini?
Tentu saja tidak benar!
Bagi para pembaca yang sudah pernah membaca karya Widi Widayat yang berjudul "JAKA PEKlK ", diteruskan " RATU WANDANSARI " dan disambung "KISAH SI PEDANG BUNTUNG", tentu saja sudah mengenai dua orang perempuan yang bernama Subinem dan Salindri ini. Akan tetapi yang belum pernah membaca, tentu saja belum kenal.
Untuk itu, serba sedikit perlu dikenal sejarah hidup dua orang perempuan ini.
Wanita aneh yang rambutnya riap-riapan ini, namanya Subinem. Dia seorang murid wanita Perguruan Tuban, sebagai murid langsung Anjani. Dia murid angkatan tua maka dia merupakan mbakyu
perguruan Rara Inten dan mbakyu perguruan ketua Perguruan Tuban yang sekarang. Sejak dahulu, Subinem bercita cita untuk dapat menduduki jabatan sebagai ketua Perguruan Tuban. Untuk itu ia tidak segan-segan melakukan fitnah kepada murid yang dicalonkan sebagai ketua Perguruan Tuban.
Seperti diketahui, bahwa sebelum Anjani meninggal dunia, calon pengganti ketua adalah Endang Bratajaya. Akan tetapi Endang Bratajaya ini harus menemui ajalnya secara mengenaskan oleh tangan Anjani sendiri. Pembunuhan ini terjadi, bukan lain oleh "lidah beracun" Subinem yang wajahnya jelek ini. Setelah Endang Bratajaya mati, ia mengharap agar pilihan gurunya jatuh kepada dirinya. Namun ternyata harapannya meleset lagi. Karena Anjani mencalonkan murid termuda yang bernama Rara Inten. Usaha untuk menyingkirkan Rara Inten gagal, dan membuat dirinya dipecat sebagai murid Tuban.
Secara tak sengaja, mendekati penyerbuan Mataram ke Tuban, oleh bantuan Ratu Wandansari, Subinem berhasil menduduki jabatan ketua Perguruan Tuban secara paksa. Namun ternyata, kedudukan itu tidak lama dapat dipertahankan. Sebab kemudian datanglah ke rumah Perguruan Tuban itu, Rara Inten, Salindri dan beberapa tokoh sakti yang lain. Subinem terusir dari rumah, Perguruan Tuban. Kemudian ia bersembunyi dan bertempat tinggal di tempat ini. Oleh kemasygulan hatinya yang merasa hidup tidak beruntung, kemudian dia tekun mempelajari masalah racun, dan menundukkan binatang ular. Oleh ketekunannya, berhasillah ia mencapai cita-cita itu. Akan tetapi amat sayang sekali, setelah dirinya pandai mengenai racun dan dapat menundukkan ular-ular berbisa, timbullah maksudnya untuk mencelakakan banyak orang. Maka mata air sungai yang dekat dengan tempat tinggalnya disebari racun jahat. Hal ini dilakukan, guna memuaskan hati yang selalu merasa menderita.
Adapun Salindri termasuk pula seorang perempuan yang pandai tentang racun. Dia adalah anak Indrajid dan cucu Dewa Srani, merupakan dua
orang tokoh sakti Gagak Rimang. Sejak masih gadis kecil, Salindri selalu bermain main dengan racun. Malah dia meyakinkan ilmu yang aneh, bernama Tuding Iblis. Cara melatih diri ilmu ini, ia meracuni tubuhnya sendiri dengan racun laba laba. Seluruh tubuhnya penuh racun, maka wajah yang semula cantik itu, menjadi jelek bukan main. Sebab wajah yang ayu itu menjadi bengkak penuh racun jahat!
Akan tetapi agaknya Tuhan menakdirkan Salindri gagal dengan keyakinannya tentang Ilmu Tuding Iblis. Ia terpaksa melarikan diri dari rumah ayahnya karena diancam akan dibunuh oleh ayahnya sendiri.
Mengapa ayahnya sampai hati akan membunuh anaknya sendiri?
Karena Salindri telah lancang berani membunuh ibu tirinya, ialah isteri muda Indrajid yang amat dicintai. Dalam pengembaraannya kemudian, Salindri menjadi murid nenek Ratih. Lalu bertemu dengan Jaka Pekik (Pangeran Pekik).


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada suatu ketika, Salindri berada dalam sebuah perahu, bersama Jaka Pekik, Ratu Wandansari, Rara Inten dan Kreti Windu (ayah angkat Jaka Pekik).
Akan tetapi dalam perjalanan bersama ini, Salindri menderita sakit berat, oleh pukulan gurunya sendiri nenek Ratih. Dalam usahanya untuk menolong Salindri ini, Jaka Pekik mengajak singgah di Pulau Bawean. Tetapi celakanya, di tempat ini Rara Inten berbuat curang. Rara Inten mengusir, Ratu Wandansari dengan paksa. Hingga untuk waktu lama, Ratu Wandansari dituduh sebagai pencuri pedang pusaka Jati Sari dan Jati Ngarang. Padahal sesungguhnya yang melakukan pencurian ini Rara Inten. Malah di samping mencuri pedang pusaka, mengusir Ratu Wandansari, Rara Intenpun tidak segan-segan melakukan kekejaman kepada Salindri, yang ketika itu menderita sakit berat. Wajah Salindri dirusak sedemikian rupa, sehingga sekarang gadis cantik iu wajahnya rusak dan menyeramkan. Sekalipun begitu, tanda-tanda kecantikannya masih membekas di balik cacat wajahnya. Begitulah secara singkat sejarah hidup Subinem dan Salindri.
Sekarang, dua orang ini berhadapan sebagai musuh. Tentu saja Subinem amat benci kepada Salindri. Sebab Salindri salah seorang yang menyebabkan dirinya terusir dari Perguruan Tuban. Sebaliknya Salindri benci kepada Subinem, karena dianggap selama hidup selalu membuat dunia ini tidak tenteram. Orang macam ini, menurut pendapat Salindri, harus lenyap dari bumi.
Memang ada pula sebabnya Salindri tiba di tempat ini, tiada bedanya dengan kehadiran Titiek
Sariningsih. Pada suatu hari, ketika ia sedang lewat di tepi kali yang beracun itu, ia kaget melihat seseorang menggeletak mati di tepi sungai. Dari tanda-tanda pada tubuhnya. Salindri tahu akibat keracunan. Belum juga Salindri beringsut dari tempatnya, tampak seekor burung perkutut hinggap pada batu di tepi kali, dan minum air kali. Akan tetapi tiba-tiba burung perkutut itu kelabakan, lalu mati pula dengan seluruh tubuhnya berubah biru. Salindri mengerutkan alisnya, lalu mengambil air sungai itu, menggunakan daun. Hanya menggunakan alat penciumannya, Salindri cepat menjadi tahu bahwa sungai itu airnya beracun.
Semula ia heran, apakah sebabnya air sungai itu beracun?
Namun kemudian ia menduga, tentu di hulu terdapat Orang yang sengaja meracuni air kali yang dibutuhkan orang banyak itu. Dan secara kebetulan, kehadiran Titiek Sariningsih, kalah dahulu dengan Salindri. Maka perhatian Subinem tertuju kepada Salindri.
"Subinem!" teriak Salindri nyaring dengan sepasang mata yang mendelik, sehingga wajah yang penuh bekas luka itu menjadi makin menyeramkan lagi.
"Mengapa engkau tidak menjadi baik,, tetapi malah semakin salah jalan? Engkau telah memperoleh pengampunan atas dosa-dosamu yang berkhianat terhadap Perguruan Tuban. Maksudnya tak lain, agar engkau menggunakan kepandaianmu guna kepentingan masyarakat. Namun ternyata apa yang engkau lakukan sekarang ini, malah lebih menyeleweng lagi. Engkau telah berbuat ganas dan kejam terhadap ribuan orang yang tak berdosa.
Apa sajakah maksudmu meracuni sumber sungai yang dibutuhkan banyak orang ini?"
" Hiyah-hiyah hiyah...... hi-hi-hik......!"
Subinem yang wajahnya jelek itu ketawa terkekeh nyaring, lagaknya amat merendahkan Sallndri
"Tentang segala langkah dan tingkah lakuku ini, siapa yang dapat melarang? Heh-heh-heh, tentang segala macam manusia yang mampus oleh perbuatanku ini, apa perdulimu? Aku memang ingin membunuh Semua manusia yang hidup didunia ini dengan racun. Aku bukan Subinem lagi. Subinem sudah mati bersama jatuhnya dari kedudukannya sebagai ketua Perguruan Tuban, oleh tipu muslihat iblis Pekik dan Wandansari. Yang ada sekarang aku adalah Dewi Racun!"
"Tutup mulutmu yang busuk !" bentak Salindri nyaring sekali, pertanda amat marah.
"Jangan sembarangan engkau menyebut Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik. Engkau sendirilah sesungguhnya manusia busuk dan jahat sejahat jahatnya. Engkau bertanya siapa yang bisa melarang tingkah lakumu? Dengar yang jelas! Akulah yang akan melenyapkan engkau dari muka bumi ini!"
"Uah-ha-ha-ha, hiyah-hiyah-hiyah! Mari kita lihat, apakah kesombonganmu ini benar-benar terbukti? Pendeknya orang yang berani lancang masuk ke wilayahku ini, takkan dapat keluar lagi dalam keadaan masih bernyawa! Semua manusia yang lancang masuk ke mari, harus menjadi mangsa burung pemakan bangkai dan mangsa ular-ular piaraanku ini."
Agak kaget Titiek Sariningsih mendengar ancaman Subinem, yang telah mengganti nama dengan Dewi Racun itu. Sungguh ngeri kalau benar terjadi, mayat seseorang diberikan sebagai mangsa ular-ular yang tampak ganas dan berbisa itu. Manusia seperti Subinem ini, apa bila diberi hidup lebih lama lagi, akan selalu menimbulkan bahaya bagi manusia lain di dunia ini. Akan tetapi. diam diam Titiek Sariningsih mengeluh sendiri. Ia akan selalu ingat akan larangan Ki Ageng Purwoto Sidik melakukan pembunuhan dengan macam alasan apapun juga. Apa bila dirinya sebagai seorang murid yang patuh dan taat kepada gurunya, takkan mungkin dapat melanggar guru itu.
Lalu apa yang harus dilakukan terhadap manusia iblis seperti Subinem ini?
Sementara itu Salindri mendelik. Kemudian katanya lagi, masih bernada sabar,
"Hai, Subinem .Apakah engkau memang telah jauh tersesat dan tak dapat diperbaiki lagi? Jika begitu, hemm..... jangan salahkan aku, jika aku terpaksa harus membunuhmu. Hayo, bersiaplah engkau untuk mampus!
Baru saja selesai ucapannya, dari tangan Salindri telah menyambar beberapa sinar putih berkeredep. Itulah pisau-pisau kecil sebagai senjata jarak jauh, yang dilepaskan oleh tangan gadis itu. Sebagai seorang murid dan malah merupakan murid tunggal dari nenek Ratih yang sakti mandraguna. Salindri termasuk sebagai seorang yang ahli melempar senjata pisau kecil itu. Sekali bergerak tujuh batang pisau kecil telah menyambar dahsyat ke arah Subinem.
"Trang trang tring tring cring !" tahu tahu di tangan Subinem telah terpegang sebatang pedang, dan berhasil menangkis semua pisau terbang yang menyerang ke arah dirinya.
Sebagai seorang murid Perguruan Tuban dari angkatan tua. tentu saja ketinggian ilmu Subinem tak bisa diremehkan. Lebih-lebih Perguruan Tuban terkenal sebagai perguruan yang ilmu pedangnya terkenal hebat. Maka tidak mengherankan gerak tangan Subinem sedemikan cepat. Entah bagaimana caranya bergerak mencabut pedang, yang diteruskan menghalau pisau pisau kecil yang disambitkan oleh Salindri. Yang jelas, semua pisau terbang itu telah tertangkis dan runtuh di tanah. Dengan hasilnya itu Subinem ketawa mengejek,
"Hiyeh-hiyeh hiyeh, hi-hi-hik..... pisau terbangmu itu, hanya bisa dipergunakan menakuti anak kecil."
Biang Ilmu Hitam Hek Hoat Bo Karya Rajakelana Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini