Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 10

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 10


"Hai. kau! Mengapa pula engkau di sini?" '
Sesungguhnya merasa kurang senang Wanengboyo akan ucapan Jalu Raga yang kurang menghargai dirinya itu. Akan tetapi mengingat bahwa dirinya takkan mampu menandingi orang itu, maka rasa tak senang ini terpaksa ia sembunyikan. Ia tertawa, lalu jaWabnya,
"Ha-ha-ha, kiranya nasibku tak jauh berbeda dengan nasib kalian."
"Hemm. celaka duabelas! Kita berjuang mati matian, tahu-tahu Sunan Giri sudah menyerah. Huh, tak tahu malu!" kata Pitrang dengan nada yang mendongkol dan tidak puas.
Kaget Wanengboyo mendengar berita Sunan Giri telah menyerah itu. Tetapi sekilas kemudian ia mendapat akal. Jawabnya,
"Memang tidak tahu malu! Dan itu pula sebabnya cepat-cepat aku menyelamatknn diri. Sungguh percuma saja kita membuang tenaga membantu Giri. Kalau tahu begitu, bukankah lebih enak kita berkeliaran secara bebas?"
Oleh ketangkasan Wanengboyo menggerakkan lidah ini. baik Pitrang maupun Jalu Raga menjadi tidak tahu, bahwa Wanengboyo melarikan diri karena takut berhadapan dengan Yoga Swara. Kemudian tiga orang ini duduk di atas rumput di pinggir sungai. Mereka merasa beruntung dapat melarikan diri sehingga tidak tewas dalam pertempuran yang hebat itu.
"Hemm, sayang... " ujar Jalu Raga setengah mengeluh.
'Apanya yang sayang ?" tanya Wanengboyo.
"Sayang bahwa Sunan Giri tidak mengindahkan pendapat kita. Kalau saja sejak semula sudah siap-siaga, kiranya Giri tidak akan mengalami kekalahan."
"Ya. Tetapi semua sudah terlanjur, kita tidak dapat berbuat apa apa." kata Pitrang.
"Bagi kita yang penting sekarang harus mencari tempat untuk hidup."
Kalau Pitrang mengucapkan kata-kata ini, memang mempunyai maksud yang dalam. Bagaimanapun, ia membantu Giri ada pula maksud lain. Yang penting ia berlindung dan menghindarkan dari dari bahaya untuk menghindarkan diri dari Lima Harimau Sempu. Ia merasa bahwa seorang diri tidaklah mungkin dapat menandingi lima saudara yang beracun itu. Maka sekarang, setelah tempatnya berlindung tak ada lagi, dia menjadi amat khawatir sekali, kalau sampai bertemu dengan Lima Harimau Sempu. Begitu bertemu, dirinya akan terancam maut.
"Benar!" sahut Wanengboyo. yang merasa pula
tidak mempunyai tempat untuk berlindung.
' sekarang kita harus memikirkan soal itu."
Jalu Raga terkekeh kekeh. Ejeknya,
"Heh heh heh. sungguh menggelikan kalian ini. Dunia cukup luas, dan tidak terhitung aneka macamnya makanan yang dapat menghidupi kita. Mengapa kalian seakan putus harapan?" '
Tidak mengherankan kalau Jalu Raga mengucapkan kata-kata ini. Telah puluhan tahun lamanya dirinya dapat hidup seorang diri tanpa menggantungkan orang lain. Yang menjadi pegangannya, manusia hidup harus mencari hidup. Tidak perduli dalam mempertahankan hidup ini harus melakukan perbuatan-perbuatan yang kurang patut. Pendeknya. mencuri, merampok, melakukan perbuatan terkutuk apapun, Jalu Raga tidak pernah menampik. Yang penting untuk dapat hidup.
Tentu saja jalan pikiran Jalu Raga yang seperti ini, tidak benar. Jalan pikiran sesat, jalan pikiran yang jahat. Setiap manusia yang hidup didunia ini memang harus berusaha mempertahankan hidupnya. Tetapi harus menghindarkan diri dari perbuatan menyeleweng dan jahat. Harus mencari jalan halal, sesuai dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Tuhan.
Kalau jalan baik dan yang halal terbuka luas untuk setiap manusia yang menghendaki hidup, mengapa harus melewati jalan seesat dan tidak baik? '
Wanengboyo dan Pitrang mengangkat muka menatap Jalu Raga. dan kemudian dua orang ini saling pandang. Untuk sejenak mereka tidak membuka mulut, sedang Jalu Raga masih terkekeh kekeh. Tetapi kemudian berkatalah Pitrang.
"Bolehkah aku bicara?" katanya.
"Heh-hehheh, mengapa engkau mesti minta ijin untuk bicara?" ejek Jalu Raga.
"Kau punya mulut, engkau merdeka untuk bicara."
Tersinggung juga hati Pitrang atas ucapan Jalu Raga hms.
Ia mendelik.
Tetapi sebentar kemudian telah menundukkan muka dan menghela napas. Ia tahu, tidak boleh mengumbar hawa amarahnya. Ia merasa, bahwa saat sekarang ini membutuhkan teman seperjuangan untuk menghadapi Lima Harimau Sempu.
Apakah salahnya selangkah mundur tetapi untuk memperoleh kemenangan?
Dalam siasat main catur jalan mundur bukan berarti kekalahan. Tetapi jalan mundur itu malah merupakan tempat berpijak yang lebih kokoh untuk menghancurkan lawan secara total.
"Ha-ha-ha,"
Pitrang tertawa.
Katanya kemudian,
"Ibarat tiga ekor lalat yang harus terbang sendiri-sendiri, mengarungi dunia yang amat luas ini. Apakah untungnya tiga ekor lalat yang tolol itu? Salah-salah malah mati secara konyol."
Jalu Raga mendelik marah. Bentaknya,
"Hai, jangan kurang ajar! Engkau menganggap diriku ini seekor lalat? Huh. kepalan tanganku ini masih sanggup untuk menghancurkan batok kepalamu! Tahu?"
'Sabar, kawan,"
Wanengboyo cepat-cepat berusaha menyabarkan.
"Kita adalah kawan senasib, tidak seharusnya kita bertengkar dan cerai berai"
"Benar," sambung Pitrang cepat-cepat.
Kemudian ia sambil membungkuk menghormati Jalu Raga, terusnya,
"Maafkan aku, bukan maksudku mempersamakan engkau sebagai seekor lalat. Yang benar maksudku adalah begini. Kita ini jumlahnya tiga orang. Masing , masing kita sekarang tidak mempunyai tempat berteduh lagi.. Apakah baik kalau kita sekarang ini harus berpisah, kemudian saling menempuh jalan sendiri? Dunia luas sekali, dan setiap manusia tidak mempunyai arti apa-apa."
Pitrang berhenti dan mencari kesan. Sesaat kemudian lanjutnya,
"Saudara-saudaraku, setiap manusia mempunyai rahasia pribadi. Dan orang-orang seperti kita ini, akan selalu berhadapan, dengan musuh. Ada pepatah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Apakah tidak sebaiknya sekarang ini kita bersatu saja, mengangkat sebagai saudara, agar kita lebih kuat?"
Mendengar ini baik Wanengboyo maupun Jalu Raga mengerutkan alis. Mereka dapat menduga, bahwa ajakan Pitrang ini tentu mempunyai maksud tertentu yang dalam. Tentu Pitrang ini mempunyai musuh, dan merasa pula bahwa dirinya tidak sanggup untuk menghadapi seorang diri. Apa bila mereka sedia dan mengabulkan harapan Pitrang, berarti mereka dibawa oleh Pitrang ke satu tempat untuk sewaktu-waktu harus berhadapan dengan musuh Pitrang. Mereka bukannya orang-orang yang tolol. Baik Jalu Raga maupun Wanengboyo merupakan orang-orang yang telah luas pengalaman dan dalam hal tipu muslihat sudah tidak asing lagi. Sudah tentu mereka takkan gampang gampang masuk dalam perangkap yang dipasang oleh Pitrang.
Hampir saja Jalu Raga membuka mulut untuk mengejek Pitrang. Tetapi sebelum mulutnya terbuka untuk mengejek, berkelebatlah ingatan dalam benaknya.
Bukankah dirinya saat sekarang inipun berhadapan dengan musuh yang cukup kuat?
Berhubung dengan perbuatannya yang telah mencuri golok pusaka milik Perguruan Sumbing?
Kalau hanya berhadapan dengan orang-orang Perguruan Sumbing itu sendiri, ia tidak takut. Bukankah tokoh tua Sumbing yang bernama Bima dan Kunting itu. sekalipun mengeroyok tidak juga berhasil merobohkan dirinya? ,
Ia tidak gentar berhadapan dengan orang-orang Sumbing. Akan tetapi kalau dirinya harus menghadapi keroyokan, atau harus menghadapi sahabat sahabat Perguruan Sumbing yang membantu, kiranya akan memperoleh kesulitan.
Manakah mungkin seorang diri dapat menghadapi banyak orang?
Terpikir demikian, lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, bukankah usul Pitrang ini merupakan hal yang kebetulan bagi dirinya?
Kalau mereka mengangkat saudara, akan berarti mereka akan saling bantu. Orang yang telah mengangkat sebagai saudara, rela pula mengorbankan nyawa guna membela saudaranya. Maka jelas, apa bila mereka bertiga mengangkat sebagai saudara, akan lebih mantap dalam menghadapi musuhnya.
Akan tetapi Jalu Raga seorang tokoh yang angkuh. Seorang yang tidak ingin harga dirinya turun di mata orang. Walaupun ia gembira sekali mendengar ajakan itu, namun ia menahan diri. Ia tidak segera mengutarakan pendapatnya, dan ingin melihat gelagat lebih dahulu. Kalau toh ajakan mengangkat saudara itu akan menguntungkan dirinya, tentu saja ia menerima dengan tangan terbuka. Akan tetapi kalau dirinya hanya sekedar menjadi alat pembela Pitrang, ia tidak mau mati konyol.
"Hemm, apakah maksudmu yang sesungguhnya, mengemukakan maksud seperti itu ?" tanyanya dengan tertawa.
Pitrang yang merasa terancam bahaya oleh Lima Harimau Sempu, sesungguhnya bukan orang tolol juga. Maka iapun telah memperhitungkan secara pasti, bahwa orang yang diajak akan menyambut dengan gembira. Lebih-lebih ia tadi telah melihat kesangsian tokoh Rawa Lakbok itu. Maka dalam hatinya sudah dapat menduga, bahwa Jalu Ragapun mempunyai musuh kuat, hanya saja ia belum tahu pihak manakah musuh Jalu Raga. Sahutnya sambil tertawa pula,
"Seperti aku katakan tadi, bahwa orang-orang seperti kita ini sulit sekali terhindar dari permusuhan. Aku punya musuh, kakang Jalu Raga tentu punya musuh dan saudara Wanengboyopun kiranya punya musuh. Maka apakah tidak sebaiknya kita sekarang ini bersatu padu, guna menghadapi musuh-musuh pribadi itu dengan mengangkat sebagai saudara ?"
Diam-diam Jalu Raga kaget mendengar tepatnya dugaan Pitrang itu.
Mungkinkah Pitrang sudah tahu bahwa dirinya mempunyai musuh Perguruan Sumbing?
Tetapi ia merasa belum pernah membicarakan masalah pencurian golok pusaka Perguruan Sumbing itu kepada siapapun, kecuali Rara Inten yang pernah menolong dirinya. Dengan demikian apa yang diucapkan Pitrang itu tentu hanya dugaan saja. '. Kalau diam-diam Jalu Raga kaget, maka Wanengboyopun tidak kurang kagetnya. Sekalipun sejak tadi ia tidak membuka mulut, bukan berarti bahwa dirinya tidak mempunyai musuh. Ia belum membuka mulut, karena ia seorang cukup hati hati menghadapi orang. Yang terang dirinya adalah murid pengkhianat dari Pondok Bligo. Dirinya murid Cinde Amoh yang sudah menggegerkan Pondok Bligo. dan hampir-hampir saja menjatuhkan nama baik perguruan Islam itu. Apa bila dirinya sampai kepergok oleh murid murid Pondok Bligo. sulit untuk bisa menyelamatkan diri. Dan itulah sebabnya kalau dahulu dirinya tidak memelihara kumis maupun jenggot, sekarang Wanengboyo merupakan seorang berewok. Jenggot maupun kumisnya hampir menutup wajahnya, karena jenggot itu bersambung dengan godeg. Bukan hanya sampai di situ dalam usahanya menyelamatkan diri. Ia tidak mau kalah dengan gurunya yang pandai menyamar dan mengganti nama. Nama Wanengboyo belum cukup lama dipakainya. Sedang nama yang sesungguhnya, adalah Usmanto (baca "Jaka Pekik" dan "Ratu Wandansari" oleh pengarang yang sama).
"Hem." dengus Wanengboyo.
"Kalau benar
ajakan ini keluar dari hati yang tulus tentu saja amat menggembirakan. Tetapi kalau hanya dijadikan alat perseorangan, apakah untungku ?"
"Apa?"
Pitrang mendelik.
"Sangkamu aku mengajak mengangkat saudara ini, bukan keluar dari hatiku yang tulus? Hemm, kalau toh memang kalian keberatan. siapakah yang akan memaksamu? Terus terang aku memang mempunyai musuh. Tetapi apa bila aku cukup hati-hati, kiranya aku akan masih dapat mempertahankan nyawaku."
"Ah, engkau jangan lekas menjadi tersinggung." buru-buru Jalu Raga menasihati.
"Ada soal bisa dibicarakan, justeru kita telah lama berhubungan satu sama lain. Terus terang saja ajakanmu itu memang baik. Tetapi tentang itu harus diatur sebaik baiknya."
"Ha ha,-bagus!" sambut Wanengboyo tiba tiba.
"Mengangkat saudara memang gampang. Tetapi pengaturannya dan kerja sama itu yang perlu dibicarakan lebih dahulu."
Pitrang gembira sekali mendengar jawaban itu, yang membuktikan hati mereka telah tergerak. Katanya kemudian,
"Tentu saja orang yang mengangkat sebagai saudara. tujuannya adalah saling membela. Berarti pula sehidup semati, senasib dan sepenanggungan. Hidup mulia 'kita rasakan bersama, begitupun hidup sengsara kita pikul bersama. Bukankah itu bagus?"
Sebelum Wanengboyo dan Jalu Raga membuka mulut, Pitrang sudah meneruskan.
"Saudara angkat, berarti terikat oleh tekad bersama dan sumpah. Maka kerukunan saudara angkat, akan melebihi saudara sekandung. Mengapa begitu? Karena kita diikat oleh cita-cita dan kepentingan bersama. Orang yang terikat oleh kepentingan bersama. mau tidak mau tentu rukun dan saling membela."
Pitrang berhenti mencari kesan. Ketika Jalu Raga sudah mau membuka mulut, Pitrang menggerakkan tangan dan meneruskan,
"Terus terang saja, aku mempunyai musuh. Untuk menghadapi musuh itu aku merasa tidak mampu bekerja seorang diri, dan memerlukan bantuan saudara angkat. Sebaliknya, tentu saja akupun dengan senang hati dan sedia mengorbankan nyawa demi menghadapi musuh kakang Jalu Raga dan saudara Wanengboyo. Dengan begitu, setiap musuh kita hadapi bersama-sama. Bukankah ini bagus?"
"Benar!"
Jalu Raga menepuk pahanya sendiri.
"Aku setuju mengangkat saudara. Dan terus terang pula aku akui, bahwa akupun bukan orang bersih. Akupun mempunyai musuh yang kuat, sehingga sulit pula aku menghadapi seorang diri."
Wanengboyo yang hati-hati, tentu saja tidak cepat memberikan persetujuannya, tetapi perlu memperoleh keterangan. Tanyanya,
"Kalian telah mengemukakan, mempunyai musuh musuh yang tidak sanggup dihadapi seorang diri. Cobalah kalian terangkan, siapakah musuh itu ?" '
Untuk sejenak Pitrang dan lalu Raga saling pandang. Tetapi kemudian Jalu Raga terkekeh mengejek,
"Hai Wanengboyo! Janganlah engkau menjadi manusia licik. jika engkau mau, katakan saja sudi mengangkat saudara. Apa bila tidak mau., katakan terus terang tidak mau, dan jangan berusaha mencari keterangan. Bukankah engkau bermaksud, kalau musuhku maupun musuh Pitrang terlalu berat. lebih baik menyingkir?" ,
Kaget juga Wanengboyo mendengar dugaan yang tepat itu. Tetapi iapun bukan manusia tolol. Sahutnya,
"Heh-heh-heh, bukan begitu. Yang aku khawatirkan malah sebaliknya. Aku khaWatir kalau nanti kalian sudah tahu pihak manakah musuhku, kalian menjadi kaget dan kemudian menyesal."
Terkesiap Pitrang mendengar jawaban Wanengboyo ini. Akan tetapi soal ini dirinyalah yang mengutarakan mula pertama, dan iapun merasa tak kuasa menghadapi Lima Harimau Sempu. Maka tidak boleh tidak, persatuan di antara mereka bertiga harus terujut. Katanya dengan bernafsu.
"Jadi kalau begitu, pada pokoknya saudara Wanengboyo setuju dengan pengangkatan sebagai saudara itu?"!
"Ya,"
Wanengboyo menganggukkan kepalanya.
"Aku tadi sesungguhnya ingin mendengar pihak pihak manakah musuh kalian. Tetapi karena tidak disetujui, sudahlah. Tidak urung kalian nanti akan mengemukakan juga. Maka apa bila nanti kalian mendengar siapakah musuhku, janganlah kalian mencuci tangan."
"Sudahlah. hal itu tidak perlu kita bicarakan sekarang," pinta Pitrang yang tidak sabar.
"Mari kita sekarang mengangkat saudara lebih dahulu, baru nanti kita menentukan langkah."
Begitulah, tiga orang yang merasa tidak mempunyai tempat berteduh ini akhirnya saling mengangkat sebagai saudara, guna mencari keselamatan. Dari mereka, Jalu Ragalah yang tertua dan mempunyai kepandaian tertinggi. Maka Jalu Raga yang menjadi saudara tertua dan berhak untuk memberi teguran kepada yang muda. Pitrang merupakan saudara ke dua, sedang Wanengboyo merupakan saudara termuda. Mereka bersatu hati, saling membela dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk membela saudara.
Pitranglah merupakan orang pertama yang membuka rahasia hatinya. Ia merasa takut dikejar kejar oleh musuhnya, yang bernama Lima Harimau Sempu.
Tetapi bagaimanakah sambutan Jalu Raga dan Wanengboyo?
Dua orang ini terkekeh, kemudian kata Jalu Raga.
'Adi tidak perlu khawatir dengan musuh itu. Heh-heh-heh, apakah yang perlu ditakutkan?"
"Benar! Lima Harimau Sempu itu hanya membanggakan kepada senjatanya yang beracun," sambut Wanengboyo.
"Dan mereka takkan dapat berbuat apa-apa terhadap kita." .
(Bersambung jilid 12)
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 12
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
P E R A W A N L 0 L A
Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung"
Karya: Widi Widayat
Jilid: 12
******
PITRANG senang sekali mendengar itu, bahwa saudara-saudaranya tidak merasa gentar menghadapi Lima Harimau Sempu. Tanyanya kepada Jalu Raga,
"Dan kakang Jalu Raga juga punya musuh ?"
"Hemm," dengus Jalu Raga.
"Aku mempunyai musuh berat. Semula aku sudah bertekad untuk menghadapi seorang diri, karena seorang laki-laki berani berbuat harus berani bertanggungjawab."
Ia berhenti lalu meraba-raba pinggangnya. Ia melepaskan ikat pinggangnya, dan tampaklah sarung sebatang golok yang indah. Jalu Raga mencabut golok itu.
"Ahhh......!" tanpa terasa dua orang ini, Wanengboyo dan Pitrang berseru kaget. Begitu dicabut, sinar kuning yang menyilaukan dari batang golok itu menyambar.
Mereka terbelalak.
"Coba kalian terka, golok emas ini milik siapa?" tanya Jalu Raga.
"Ahhh...... aku ingat!" seru Pitrang setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Ahhh, bukankah golok ini milik perguruan......"
Pitrang menghentikan kata-katanya yang belum selesai dan memandang Jalu Raga.
"Teruskan, kalau memang engkau tahu," kata Jalu Raga sambil tersenyum.
"Ini...... ini......"
Pitrang berdebar.
"....... ini golok pusaka milik Sumbing...,,."
"Benar!"
Jalu Raga mengangguk.
"Aku telah mencuri dari perguruan itu, dan tentu saja aku dikejar kejar. "
Wajah Pitrang tiba-tiba saja pucat. Mimpipun tidak bahwa saudara angkatnya ini,musuhnya jauh lebih berat dibanding dengan musuhnya sendiri. Diam-diam ia menyesal mengapa tidak mencari keterangan dulu.
"Kau takut?" ejek Jalu Raga ketika melihat perubahan wajah Pitrang.
"Tidak....!" sahut Parang cepat-cepat dan kemudian berusaha menenteramkan hatinya.
"Bagus!" puji Jalu Raga.
"Memang saudara angkat, takkan takut mengorbankan nyawa untuk kepentingan saudaranya. Heh -heh heh!"
Jalu Raga ketawa terkekeh senang sekali, dan merasa dirinya bangga.
Apakah yang perlu ditakuti kalau musuh Pitrang hanya lima orang bersaudara itu?
Jauh lebih ringan apa bila dibandingkan dengan bermusuhan dengan Perguruan-Sumbing.
"Kapankah kakang Jalu Raga mencuri golok emas itu ?" tanya Wanengboyo.
"Sudah lama. Dan tentu saja orang-orang Sumbing takkan menghentikan usaha mereka, sebelum memperoleh kembali golok ini. Bagaimana? 'Tentunya kalian tidak mungkir janji?"
"Mengapa mungkir janji?"
Wanengboyo bernafsu.
"Sekali mengangkat sumpah sebagai saudara. matipun aku rela untuk membela saudaranya."
Mendengar ucapan Wanengboyo ini, Pitrang menjadi malu kalau kalah suara. Maka katanya kemudian.
"Benar! Dan Pitrangpun mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan saudara-saudaranya."
Wanengboyo dalam hati mengejek dua orang saudaranya Itu.
"Hemm, musuh-musuhmu jauh lebih ringan dibanding dengan musuhku."
"Dan sekarang giliran adi Wanengboyo. Apakah engkau juga mempunyai musuh ?" tanya Jalu Raga.
Wanengboyo ragu-ragu memberikan jawabannya.
Apakah dua orang ini tidak menjadi ketakutan dan mencabut pernyataannya sebagai saudara angkat, setelah tahu pihak manakah musuhnya itu?
Melihat keraguan Wanengboyo, maka Jalu Raga terkekeh. Katanya,
"Adi Wanengboyo. Kita telah mengangkat sebagai saudara. Mulai sekarang kita harus membuka hati masing masing, sehingga tidak ada lagi rahasia. Kita mempunyai kepentingan yang sama, maka kita akan menghadapi musuh itu bersama-sama pula."
"Benar. Mengapa kau tidak ikhlas?" desak Pitrang.
"Baiklah. dan aku berharap supaya kakang berdua tidak mentertawakan aku," sahut 'Wanengboyo.
"Tetapi sebelum aku menjawab, apakah kakang berdua sudah tahu dari manakah asal-usulku?"
Pitrang dan Jalu Raga saling pandang. Walaupun mereka telah kenal lama, namun mereka belum pernah mendengar asal-usul Wanengboyo.
"Hemm, aku tidak tahu," sahut Jalu Raga.
"Aku ingin bertanya. Apakah kalian pernah mendengar tentang riwayat hidup seorang tokoh tua bernama Cinde Amoh ?"
"Apa? Cinde Amoh guru Kreti Windu, yang kemudian menggegerkan Pondok Bligo?"
Jalu Raga kaget.
"Ya. Yang di Pondok Bligo menyamar dan mengganti nama dengan nama Kasim."
"Tentu saja setiap orang sudah tahu. Mengapa ?"
Ya, bagi setiap orang tentu saja sudah mendengar tentang pengacauan Cinde Amoh di Pondok Bligo dan hampir saja Pondok Bligo itu hancur dan dapat dikuasai oleh Cinde Amoh. Untung sekali ketika itu pasukan Gagak Rimang yang dipimpin oleh Jaka Pekik (Pangeran Pekik) berada di pondok itu.
Hingga oleh bantuan Jaka Pekik dan pasukan Gagak Rimang, kebusukan Cinde Amoh dapat dibongkar dan Pondok Bligo selamat dari pengkhianatan (Untuk jelasnya. baca "Ratu Wandansari " ).
"Dia adalah guruku!"
"Aihhh......." tanpa terasa Jalu Raga dan Pitrang berseru kaget mendengar pengakuan Wanengboyo itu.
Sekarang, sebelum Wanengboyo mengemukakan pihak manakah lawannya itu. mereka sudah dapat meraba dan mencium. Kiranya musuh itu adalah Pondok Bligo. Dengan begitu, musuh Wanengboyo jauh lebih berat apa bila dibandingkan dengan musuh yang dihadapi Jalu Raga maupun Pitrang.
Melihat dua orang itu nampak kaget, Wanengboyo terkekeh. Ejeknya,
"Nah, apa kataku. kalian tentu gentar dan ketakutan mendengar musuhku. Tetapi kalau kalian memang tidak berani menghadapi, tidak mengapa. Aku memang sudah bertekad mati untuk mengikuti jejak guruku."
"Ahhh, jangan begitu..... jangan begitu..'..."
Jalu Raga gugup.
"Kita sudah setuju mengangkat saudara, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul. Sudahlah, pendeknya kita bertiga ini menghadapi tiga macam musuh. Kita harus bersatu padu menghadapi, dan kalau perlu kita mengorbankan nyawa."
"Bagus, aku memang sudah lama mencari -cari.Sekarang juga serahkan nyawamu!"
Tiga orang saudara ini kaget dan saling pandang sesaat. Namun kemudian mereka segera meloncat berdiri dan bersiaga.
Siapakah yang telah berteriak dari tempat agak jauh itu, dan menyambung pembicaraan mereka?
Tidak usah lama mereka menunggu. Muncullah lima orang laki-laki di depan mereka, dengan macam-macam bentuk dan senjata.
"Inilah Lima Harimau Sempu itu," bisik Pitrang.
"Heh-heh-heh,"
Jalu Raga menyambut dengan ketawanya yang terkekeh. Kemudian terdengar katanya yang mengejek,
"Lima harimau ompong, apakah yang ditakuti?"
Lima Harimau Sempu itu kemudian menyebar dan bersiap diri. Kemudian sambil mendelik, Sureng Pati membentak,
"Kami hanya mempunyai kepentingan dengan orang Semeru itu dan tidak dengan kalian. Mengapa kalian mencampuri ?"
Jalu Raga terkekeh lagi dan mengejek,
"Hehheh-heh, maksudmu kepada adi Pitrang ini, bukan? Hemm, dan kalian akan mengandalkan jumlah untuk mengeroyok ?"
Wajah Sureng Pati yang pucat itu berubah menjadi merah saking marah. Jawabnya garang,
"Kami merupakan lima orang bersaudara, dan selamanya kami selalu sehidup dan semati."
"Bagus! Dan hari ini kamu semua akan mampus di tanganku!" ejek Jalu Raga.
Lima Harimau Sempu itu mendelik marah. Namun Sureng Pati sebagai saudara tertua menggerakkan tangan, memberi isyarat agar adik-adiknya berdiam diri. Katanya lagi.
"Kami tidak mempunyai urusan dengan tuan. Mengapa tuan ikut campur?"
"Dengan adi Pitrangkah maksudmu, urusan itu?" pancing Jalu Raga.
"Benar! Kami datang untuk menagih hutang yang telah amat lama belum dibayari"
"Heh-heh-heh. enak saja kau bicara !' tiba tiba Wanengboyo telah ikut campur dengan ucapannya yang lantang.
'Jika engkau lima orang mempunyai kepentingan bersama. apakah sangkamu orang lain tidak mempunyai kepentingan bersama pula ?"
"Tetapi kami merupakan lima orang bersaudara."
""Bagus!" sambut Jalu Raga.
"Jika kamu merupakan lima bersaudara. kamipun merupakan tiga bersaudara. Jika kamu mengandalkan jumlah dan mau menekan salah seorang adikku, tentu saja kami akan mengimbangi keadaan. Kami tidak perlu menjadi malu mengandalkan pula kekuatan untuk, menghadapi kamu. Huh-huh, aku ingin melihat apakah Lima Harimau Sempu benar-benar galak, ataukah hanya harimau ompong?"
Merah padam wajah Lima Harimau Sempu saking gusar mendengar itu. Akan tetapi saudara saudara yang lebih muda selalu tunduk dan patuh kepada Sureng Pati, sebagai Saudara yang tertua. Oleh sebab itu empat macan yang lain menahan sabar dan hanya mengamati Sureng Pati.
Namun begitu jelas sekali bahwa mereka hampir tak kuasa menahan sabarnya lagi, tampak dari senjata masing masing yang bergerak-gerak karena tangan masing masing menggigil.
Sureng Pati seperti tidak melihat keadaan adik adiknya. Katanya,
"Tetapi apakah mau tahu persoalan kami dengan bangsat Pitrang ?"
"Jahanam busuk!" teriak Pitrang begitu mendengar dicaci sebagai bangsat.
"Aku ingin bertanya padamu, dan jawablah dahulu sejelasnya."
"Apa? Apakah yang akan engkau tanyakan?" hardik Sureng Pati.
"Apakah engkau sudah menanyakan kepada isterimu yang telah mampus itu tentang hubungannya dengan aku?"
"Bangsat!" teriak Sureng Pati nyaring.
"Kau telah mencelakakan isteri dan keluargaku, engkau masih tidak malu membicarakan lagi?"
"Heh-heh-heh, siapakah yang harus malu? Aku ataukah engkau? Heh-heh-heh, dengarlah yang jelas."
Pitrang mengejek.
"Waktu itu, begitu engkau minggat, isterimu yang kesepian menjadi tergila-gila padaku. Aku tak mau melayani mengingat hubunganku dengan engkau. Tetapi isterimu tidak tahu malu........"
"Bangsat. Tutup mulutmu!" teriak Sureng Pati yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi, sambil melompat dan menikamkan senjatanya.
"Trang.......!" tubuh Sureng Pati bergoyang goyang, sebaliknya Pitrang terhuyung mundur selangkah, begitu dua senjata saling berbenturan.
Melihat Sureng Pati telah bergerak. saudara yang lain segera melompat dan menyerang pula. Guna Pati yang bersenjata rantai baja dengan dua ujungnya terdapat dua bola besi sebesar kelapa itu, telah menghantam sekuat tenaganya ke arah kepala Pitrang. Berbareng itu, Wiropati yang bersenjata sepasang golok telah pula menyerbu.
'Trang-trang......! Aihh......!" seruan kaget itu keluar dari mulut Wiropati.
Sebab golok pada tangan kanan terasa ringan, begitu terbentur oleh senjata Jalu Raga yang bersinar kuning itu.
Tetapi justeru Jalu Raga dan Wanengboyo tadi harus maju untuk menangkis senjata yang menyerang Pitrang, maka secepat kilat Lima Harimau Sempu itu sudah menempatkan diri, mengurung lawan.
Jalu Raga. Pitrang dan Wanengboyo segera beradu punggung, untuk dapat melayani lima orang itu secara baik. Wanengboyo bersenjata golok, Jalu Raga bersenjata golok emas pusaka Perguruan Sumbing, sedang Pitrang bersenjata sebatang pedang. Dengan bersama-sama melawan keroyokan ini, mereka merasa pasti akan dapat mengalahkan lawan.
Akan tetapi di luar dugaan. Justeru cara membela diri dan melawan seperti ini, merupakan kekeliruan. Sebab dengan mengurung seperti itu. seperti memberi kesempatan kepada lima orang bersaudara tersebut menyelenggarakan kerja sama. Padahal kehebatan lima bersaudara ini, apa bila dapat bekerja secara berbareng. Lima orang yang memiliki senjata berlain-lainan ini, segera dapat mengatur penyerangan maupun membela diri. Hanya sayang, golok Wiropati tinggal sebelah, karena yang sebatang telah terpapas kutung oleh golok emas Jalu Raga. Namun justeru kutungnya golok ini membuat lima orang bersaudara ini marah bukan main, sehingga terjangan mereka semakin berbahaya.
Dalam waktu yang tidak lama, mereka telah berkelahi sengit sekali. Sambaran angin senjata menderu-deru, diseling pula oleh bentakan-bentakan nyaring. Lebih-lebih senjata Guna Pati yang berujud rantai baja dengan dua buah bola besi pada setiap ujungnya itu, sesuai dengan tenaganya yang seperti raksasa, menyambar-nyambar secara bebas karena rantai itu panjang.
"Trang...... aihh......!"
Pitrang kaget dan pucat ketika pedangnya sudah terlibat oleh rantai baja Guna Pati. Ia mengerahkan kekuatannya untuk menarik pedang itu, namun usahanya tidak berhasil.
"Lepas!" teriak Jalu Raga sambil menyambarkan goloknya, sedang tangan kiri dipergunakan untuk mengebut sambaran tombak trisula Sureng Pati.
Setelah golok Wiropati terkutung sekali tebas, mereka insyaf bahwa golok lawan yang berkilauan cahayanya itu tajam bukan main. Maka Guno Pati tidak berani sembrono, sehingga mau tidak mau terpaksa melepaskan pedang Pitrang.
"Kakang Jalu Raga dan kakang Wanengboyo," seru Pitrang.
"Hati hati! Janganlah kalian menyentuh senjata bangsat itu. Senjata mereka dilumuri dengan racun."
Sesungguhnya, tanpa peringatan Pitrangpun mereka sudah tahu, bahwa senjata lawan itu beraeun. Maka dalam melawan ini, mereka tidak berani sembrono menyentil dengan jari.
Di antara lima orang bersaudara itu, orang yang termuda gerakannya gesit dan cepat. Orang termuda ini bernama Darmopati, orangnya kerdil. tetapi sesungguhnya sangat berbahaya. Senjata orang ini berujut busur dan anak panah. Apa bila berkelahi rapat dan jarak pendek, maka busur itu dapat dirobah sebagai tombak, karena pada setiap ujungnya terdapat pisau tajam dan beracun. Bukan saja ujung-ujung busur itu tajam dan berbahaya. tetapi anak panah itu sendiri yang pada jarak
pendek dipegang tangan kiri, merupakan senjata yang berbahaya pula. Sebab jangan lagi dapat melukai kulit tubuh lawan. Baru menyentuhpun, orang sudah dapat keracunan.
Di saat Jalu Raga menolong Pitrang ini, mendadak Jalu Raga merasakan sambaran angin senjata mengarah punggung. Tetapi Jalu Raga tidak menjadi gugup. Tanpa memutarkan tubuh, Jalu Raga telah menekuk lengan dan membabatkan ke belakang, menggunakan jurus yang disebut Ular Membalikkan Tubuh. .
"Trang! Aih..!"
Sunupati berteriak kaget dan cepat melompat mundur, dengan wajah berobah pucat. Ia tadi dengan senjata sabit yang besar dan panjang, bermaksud membabat punggung Jalu Raga dari belakang. Ia menduga pasti bahwa babatannya akan berhasil, justeru lawan dalam keadaan lengah.
Tidak tahunya Jalu Raga adalah seorang tokoh kawakan dan ahli ilmu golok. Tanpa memutarkan tubuh secara tepat sekali dapat membacok senjata Sunupati. Akibatnya senjata orang yang tersebut belakangan ini, terkutung menjadi dua.
"Ha-ha-ha."
Jalu Raga gembira sekali, justeru golok curiannya ini tajam luar biasa, sehingga telah berhasil mengutungkan senjata Sunupati dan Wiropati.
Dengan rusaknya senjata Sunupati dan sepasang golok Wiropati sekarang tinggal sebatang lebih separoh, tentu saja kerja sama mereka menjadi pincang. Wrropati yang terbiasa dengan senjata sepasang golok, tidak dapat bekerja secara baik dengan hanya menggunakan sebatang golok. Sedang Sunupati yang biasanya bersenjata sabit itu, begitu sabitnya patah, tidak dapat menunjukkan kegarangannya.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal antara lima orang bersaudara ini, mempunyai hubungan satu sama lain. Kalau salah seorang saja dari mereka tidak dapat bekerja dengan baik. seluruh pembelaan diri maupun kerja sama mereka menjadi kacau.
Sureng Pati sebagai saudara tertua insyaf akan kepincangan ini. Apa bila keadaan pincang seperti ini nekat diteruskan, tidak urung pihaknya sendiri yang akan menderita rugi. Sureng Pati mempunyai pandangan yang cukup jauh. Selama mereka masih hidup. lain waktu masih akan dapat menuntut balas kepada Pitrang.
Mengapa sekarang harus tergesa ?
Memperoleh pikiran demikian, Sureng Pati segera berteriak,
"Mendung !"
Empat orang saudaranya 'cepat menyambut.
"Hujan!" .
"Siut siuut sing sing..... srrr-srrr......!" belum juga lenyap teriakan mereka, tangan kiri sudah bergerak dan menyambarlah puluhan senjata rahasia menghujani ke arah Jalu Raga dan saudaranya
"Tring tring cring.....!"
Dengan tangkasnya tiga orang saudara ini memutarkan senjata masing masing untuk melindungi tubuh, sehingga hujan senjata rahasia itu tidak sampai dapat menyentuh ujung baju mereka.
Di saat mereka menghentikan putaran senjata masing-masing, dan hujan senjata rahasia telah berhenti, Lima Harimau Sempu itu sudah tidak tampak bayangannya lagi lenyap di balik rumpun pohon. Akan tetapi sekalipun bayangan mereka tidak tampak, masih juga terdengar suara teriaknya.
"Hari ini kami mengaku kalah. Tetapi Jika kalian memang jantan, kami menantang kalian empat bulan lagi."
"Huh, siapa takut?" sambut Jalu Raga dingin.
"Bagus, empat bulan lagi kita tentukan siapa yang lebih unggul. Kami mengundang kalian datang di laut kidul. Kita bertempur diatas perahu di perairan Pulau Sempu."
"Kami terima tantanganmu!"
"Kakang.... mengapa engkau., cepat menerima tantangan mereka?" tegur Pitrang yang khawatir.
"Kau takut?" ejek Jalu Raga.
"Kakang, ahh..... bukannya takut dan tidak takut. Tetapi kita harus memperhitungkan tipu muslihat mereka." .
"Heh-heh-heh. kalau mereka menggunakan tipu muslihat, bukankah itu malah baik? Berarti kita memperoleh kemenangan tanpa bertanding."
"Manakah mungkin mereka sudi mengaku kalah?"
'Engkau tolol! Apakah yang dapat menipu hanya mereka sendiri? Kitapun dapat menipu mereka. Kita tidak datang dan tidak memenuhi undangan merekapun tidak mengapa. Siapa bisa menuntut?"
"tapi kalau mereka pengumumkan kepada setiap orang ?"
"Tak usah engkau ribut. Siapakah yang akan percaya kepada omongan Lima Harimau Sempu? Sudahlah, mari kita pergi."
Mereka kemudian mengikuti langkah Jalu Raga meninggalkan tempat tersebut, tanpa ada yang berani membantah lagi.
Namun bagi seorang gagah sejati, seorang ksatria yang dapat dipercaya apa yang diucapkan, kiranya takkan setuju dengan pendapat dan pendirian Jalu Raga ini. Sebab bagi seorang ksatria, apa bila telah berkata satu tetap satu. Kalau bicara tidak tetap tidak. Pendeknya sedia mengorbankan nyawanya dengan bibir tersenyum, untuk memenuhi janji dan ucapannya. Dengan demikian jelas bahwa ucapan Jalu Raga seperti itu hanyalah terdapat dalam kamus orang-orang yang telah tersesat.
*****
Seorang gadis bertubuh ramping. kulit tubuhnya kuning langsat, dan potongan tubuh itu sedap sekali dipandang dari belakang, melangkah secara tetap menyusuri jalan berbatu di luar kota Jepara. Apa bila seorang laki laki mengamati gadis itu dari belakang, mau tidak mau jakun laki-laki akan naik turun berselera.
Betapa tidak?
Memang gadis itu di samping kulitnya kuning langsat, potongan tubuhnyapun menyedapkan sekali justeru singsat.
Akan tetapi apa bila laki-laki itu berhadapan muka. kemudian bertatap pandang. kiranya laki
laki akan segera lari tunggang-langgang saking merasa seram.
Mengapa?
Ternyata wajah gadis itu jelek sekali, menyeramkan seperti setan, dan jelas bahwa wajah gadis tersebut rusak oleh serangan sesuatu penyakit.
Sungguh sayang mengapa si gadis harus menderita seperti itu, wajahnya rusak?
Sebaliknya bagi para pembaca tidak akan merasa heran maupun kaget. Sebab gadis yang berwajah jelek menyeramkan seperti ini sudah kita kenal lama. Dialah Perawan Lola yang menyamar dengan nama Ulam Sari, akan tetapi namu yang benar adalah Titiek Sariningsih. Seorang puteri tunggal bangsawan, seorang puteri tumenggung, tetapi dia harus hidup dirundung derita.
Ternyata bahwa derita gadis ini belum juga kunjung habis dalam menghadapi hidupnya di dunia ini. Sekarang inipun hati Titiek Sariningsih alias si wajah jelek Ulam Sari, amat menderita, sedih sekali, tetapi juga amat penasaran. Dan kalau toh sekarang ia hampir tiba di kota Jepara, bukan lain hanyalah menurutkan langkah kaki.
Entah mengapa sebabnya, seperti dituntun oleh tenaga gaib yang tidak nampak, Ulam Sari berkeinginan sangat dapat melihat kota Jepara itu dari dekat. Sebab menurut berita-berita yang tersiar luas, di kota itulah bermukim beberapa orang Belanda orang yang berkulit tubuh putih, dan bermata abu-abu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ia bertemu dengan Sindu. Dalam pertemuan dengan gurunya ini, Ulam Sari menerima pemberitahuan dari Sindu yang amat mengejutkan. Bahwa ibunya bukannya mati secara wajar, akan tetapi menjadi
korban nafsu kebinatangan manusia yang terkutuk. Sebelum ibunya terbunuh mati, telah dinodai kehormatannya lebih dahulu oleh seorang laki-laki bernama Sungsang. Betapa menggelegak dan bergolak darah gadis ini dalam dada, mendengar keterangan yang tidak terduga-duga itu. Ia justeru sudah lama sekali bercitacita untuk mencari pembunuh itu. Maka setelah mendapatkan berita ini, bagi Ulam Sari tiada hal yang lebih penting lagi kecuali selekasnya harus mencari Sungsang.
Sesungguhnya ia sudah bosan harus menyamar dengan wajah jelek dan menamakan diri Ulam Sari itu. Dan iapun sudah bertekad akan mencari dan menghadapi Sungsang dengan berterang, dalam keadaannya yang sewajarnya.
Akan tetapi celakanya, terjadilah peristiwa menyusul yang tidak terduga. Ketika gadis ini meluangkan waktu untuk meninjau keadaan orang tua angkatnya, Wiro Sukro yang telah hidup bahagia bersama Ratmi di desa Karangpandan. Gadis ini menduga pasti, betapa gembira orang tua angkatnya itu, apa bila dapat bertemu dengan dirinya.
Bukankah sesungguhnya pada waktu itu, baik Wiro Sukro maupun Ratmi merasa berat ditinggalkannya?
Dalam pertemuannya dengan orang tua angkatnya itupun ia sudah merencanakan pula akan memberitahukan perihal ibunya. Bahwa ternyata ibunya itu tewas dalam keadaan yang menyedihkan. Untuk itu, maka Ulam Sari akan minta diri kepada orang tua angkatnya melakukan perjalanan jauh lagi mengubar Sungsang.
Akan tetapi apa yang
didapatkan
Ulam Sari
setelan tiba di desa Karangpandan setelah beberapa kali bertanya kepada para penduduk desa itu, Ulam Sari diajak ke rumah kepala desa. Ternyata bahwa semenjak Wiro Sukro bersama Ratmi pulang ke Karangpandan, sering sekali suami isteri itu memberitahukan kepada orang, bahwa mereka mempunyai seorang anak tunggal perempuan dan cantik jelita. Maka begitu gadis ini datang, semua orang segera tahu bahwa gadis inilah anak Wiro Sukro.
Tetapi yang membuat Titiek Sariningsih alias Ulam Sari ini heran dan curiga, mengapa dirinya tidak segera diajak ke rumah orang tuanya, sebaliknya malah diajak ke rumah kepala desa?
"Aku tidak ingin bertemu dengan kepala desa. Tetapi aku ingin memperoleh petunjuk, di manakah rumah orang tuaku, dan segera pula ingin bertemu! ' protesnya.
"Nona, sudilah engkau sabar," bujuk seorang laki laki tua yang mendampingi gadis itu.
"Setelah nona bertemu dengan bapak kepala desa engkau akan segera tahu semuanya."
Mendengar ini kecurigaan Ulam Sari makin bertambah.
"Mengapa harus lewat kepala desa? Bukankah ayah dan ibuku sendiri bisa bicara?"
"Tetapi ayah dan ibumu ......" seorang laki-laki tua yang lain, belum juga selesai bicara, telah di potong oleh laki-laki tua yang pertama, '
"Adi! Bukankah bapak kepala desa telah berpesan, apa bila nona Titiek Sariningsih pulang. Yang berhak menerangkan hanya dia?"
Berdebar jantung Ulam Sari mendengar itu.
Mengapa urusannya dengan orang tuanya harus lewat kepala desa?
Mendadak saja ia ingat akan sejarah hidup ayah angkatnya. Bahwa ayah angkatnya itu, merupakan seorang tokoh penentang Mataram, dan pernah pula meringkuk dalam tahanan di Surabaya.
Mungkinkah ayah angkatnya itu sekarang telah ditangkap oleh Sultan Agung, karena dianggap sebagai seorang yang berbahaya?
"Apa yang telah terjadi dengan orang tuaku?" desak Ulam Sari dengan suara yang gemetar gugup.
"Maafkan saya, nona,'setelah nona bertemu dengan bapak kepala desa, akan nona ketahui sendiri semuanya," sahut orang tua itu.
Hampir saja Ulam Sari menggerakkan tangannya, mencekuk laki-laki tua itu kemudian akan dipaksa untuk memberi keterangan. Tetapi sebelum tangannya bergerak, kesadarannya datang. Bahwa tidak benar apa bila dirinya berbuat seperti itu. Salah-salah dapat menimbulkan keributan yang tidak ia kehendaki.
Tak lama kemudian tibalah mereka di rumah kepala desa yang luas, besar dan kokoh. Ia harus menunggu beberapa saat lamanya di pendapa, sebelum kepala desa itu datang menemui. Rasa hatinya ingin sekali segera tahu apa yang terjadi, namun sedapat bisa harus menyebarkan diri.
Beberapa lama kemudian muncullah seorang laki-laki setengah baya dari dalam rumah. Sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala desa, laki laki itu pakaiannya cukup baik. Kumisnya tebal akan tetapi tidak berjenggot. Begitu duduk, kepala desa Ini tidak segera membuka mulut, akan tetapi mengamati Titiek Sariningsih ( Ulam Sari) penuh perhatian seakan seseorang sedang menaksir.
Sesungguhnya Ulam Sari tidak sabar lagi menghadapi orang berlambat lambat seperti ini,di samping dipandang sedemikian rupa. Namun mengingat dirinya membutuhkan bertemu dengan orang tuanya, maka gadis ini menekan perasaan dan hatinya.
"Siapa engkau, anak?" tanya kepala desa itu.
Sebelum Ulam Sari sempat membuka mulut, laki-laki pengantarnya mendahului,
"Pak lurah, dia inilah puteri adi Wiro Sukro "
"Ahhh........" kepala desa itu berseru tertahan.
"Jadi engkaukah puteri tunggal Wiro Sukro yang sering dibicarakan itu ?"
"Benar," sahut Ulam Sari dengan nada tawar.
"Dan sekarang saya ingin bertemu dengan ayah bundaku. Mengapa aku harus dibawa ke mari ?"
"Anak, sabarlah sedikit," bujuk kepala desa itu dengan nadanya yang halus.
Perobahan sikap kepala desa ini memang ada sebabnya. Semua orang kenal siapakah Wiro Sukro, seorang petani yang memiliki kesaktian dan sedikit banyak berjasa terhadap keamanan wilayah Karangpandan. Maka puterinya tentu bukan sembarangan orang.
"Mengapa harus berbelit-belit macam ini? desak Ulam Sari.
" Lekas tunjukkanlah di mana ayah dan bundaku,"
"Ya. akan segera aku ceritakan......
"Mengapa harus kauceritakan? Aku ingin bertemu orang tuaku!" hardik Ulam Sari yang tidak kuasa lagi menahan hati.
'Ohhh... ahhh..... mana mungkin nona dapat bertemu dengan... auhhh......" '
Belum juga selesai kepala desa itu bicara, mendadak saja tangan gadis ini sudah bergerak secepat kilat mencekuk leher kepala desa, kemudian diangkat. Melihat itu, dua orang laki-laki yang tadi mengiring Ulam Sari kaget dan pucat wajahnya. Tetapi salah seorang cepat membujuk,
"Nona... sabar dulu... ah...... sabar dulu......"
Tetapi Ulam Sari tidak menggubris. Hardiknya,
"Hayo terangkan, di mana ayah bundaku sekarang? Kautangkap dan kaupenjarakan ?"
Sepasang mata kepala desa itu terbelalak sebentar. Wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil. Sesungguhnya kepala desa ini ketika mudanya, pernah pula belajar ilmu tata kelahi dan ilmu kesaktian. Maka kalau hanya berhadapan dengan orang yang berkepaudaian lumayan saja, tanpa kesulitan akan dapat menyelamatkan lehernya. Akan tetapi karena sekarang ini dirinya berhadapan dengan gadis perkasa Ulam Sari, maka kepandaian yang dimiliki itu tiada artinya sama sekali. Ia tidak melihat gerakan tangan gadis itu, tahu-tahu lehernya sudah dicekuk kuat sekali. Walaupun diam-diam ia sudah berusaha mengerahkan tenaganya, cekukan itu tak juga menjadi kendor.
" Nona..... tidak ada yang menangkap dan memenjarakan orang tuamu...; jawab kepala desa
itu dengan gemetar.
"Tetapi...... telah terjadi malapetaka hebat......"
"Apa? Malapetaka menimpa siapa?"
"Menimpa orang tuamu......"
"Ahhhh..."
Pekik tertahan keluar dari mulut Ulam Sari. cekukannya lepas karena kaget. Begitu lepas, kepala desa itu duduk kembali sambil meraba-raba lehernya yang terasa amat sakit.
"Bagaimana terjadinya malapetaka itu? Dan... bagaimanakah dengan ayah bundaku......?' tanyanya tidak sabar.
"Anak, ahh.....aku kaget sekali....."
Kepala desa itu tidak menjawab pertanyaan Ulam Sari, tetapi menyatakan kekagetannya seperti menyesalkan perbuatannya. Sesungguhnya kepala desa ini merasa terhina juga atas perbuatan Ulam Sari. Tetapi karena sadar bahwa sekalipun muda gadis yang dihadapi sekarang ini berilmu tinggi, maka perasaannya itu ditahan dalam hati.
Agaknya Ulam Sari sadar juga telah membuat orang ketakutan. Sebagai murid Ki Ageng Purwoto Sidik (Ki Ageng Kebo Kanigoro), Ki Ageng Lumbungkerep dan Sindu, ia cepat dapat menguasai perasaan.
" Ahhhh, maafkanlah kekurangajaranku.. ..."
"Paman." katanya lagi dan sekarang tampak sabar.
"Coba terangkan sejelasnya apa yang sudah terjadi dengan orang tuaku. Malapetaka apakah itu, dan di manakah ayah bundaku sekarang?"
"Tentu saya terangkan sejelasnya, anak. tetapi aku mohon agar engkau bersabar diri." pinta kepala desa itu.
"Apakah engkau mau berjanji? Anak ..... engkau harus mau mengerti, bahwa kedudukanku sebagai kepala desa. Ibarat diriku ini seorang ayah. dan semua penduduk dalam wilayah ini merupakan anak-anakku. Nah, sebagai ayah tentu saja aku selalu mencintai anak-anaknya."
"Ya... ya, aku berjanji akan mendengarkan ceritamu. Tapi... bukankah ayah bundaku sendiri dapat menceritakan......?"
"Ahhh ..... mana mungkin......?"
"Mengapa tak mungkin?"
'Orang tuamu sudah... sudah ..."
"Aihhhhh......!"
Ulam Sari memekik nyaring saking kaget. Akan tetapi yang lebih kaget lagi adalah kepala desa dan dua orang laki-laki yang mengiringnya. Pekik tadi menggetarkan jantung. Si kepala desa terguling roboh dengan wajah pucat dan tubuh menggigil. Hanya sejenak, ia telah dapat duduk kembali. Tetapi sebaliknya dua pengiring itu, roboh terguling dari tempat duduknya dan pingsan.
Untung sekali Ulam Sari telah memperoleh gemblengan lahir maupun batin dari tiga orang gurunya. Dalam waktu singkat sudah berhasil kembali menekan perasaan. Ia cepat bertindak menyadarkan dua orang pengiring itu dengan pijitan pada punggung, sebaliknya kepada kepala desa ia kembali menyatakan permintaan maaf.
"Maafkan aku, paman."
"Nona membuat aku terkejut setengah mati. Hemm, apa bila di saat itu nona berada di rumah. kiranya takkan terjadi malapetaka menyedihkan itu ... karena nona akan dapat membelanya."
Karena sudah menekan perasaannya, sekalipun kaget Ulam Sari masih bisa menguasai diri. Sekarang gadis ini sudah bisa menduga malapetaka yang terjadi. Kiranya ayah bundanya telah tewas di tangan orang.
Tetapi siapakah musuh ayahnya itu?
Ternyata pada suatu malam, datanglah beberapa orang musuh ke rumah Wiro Sukro. Keributan yang terjadi di rumah Wiro Sukro itu membuat para tetangga kaget dan berdatangan. Baik Wiro Sukro, Ratmi dan para penduduk melawan musuh itu mati-matian. Namun ternyata musuh terlalu kuat, sehingga perlawanan sia-sia belaka. Akibatnya beberapa orang penduduk yang membela tewas menjadi korban, demikian pula Wiro Sukro. Ratmi seorang diri masih tetap nekat melawan. Namun ternyata wanita gagah itupun pada akhirnya tewas menyusul suaminya, setelah dihinakan lebih dahulu oleh musuh-musuhnya itu.
Kepala desa tidak dapat menerangkan pihak manakah yang telah memusuhi Wiro Sukro. Ia hanya dapat menerangkan bahwa musuh itu berjumlah belasan orang, dipimpin oleh seorang laki-laki bersenjata cambuk.
"Ahhh... mungkinkah......" gumam Ulam Sari di tengah isak tangisnya, karena gadis ini menjadi amat sedih.
"Siapakah, nona....? Apakah engkau tahu...?" tanya kepala desa.
Ulam Sari menggelengkan kepalanya.
"Aku hanya menduga seseorang...... tetapi belum yakin......"
Dugaan Ulam Sari itu tertuju kepada musuh
besarnya, Sungsang!
Sebab sepanjang pengetahuannya. jarang sekali orang yang menggunakan senjata cambuk. Darah menggelegak dalam dada, namun masih juga ditekan sekuatnya.
Betapa sedih dan hancur perasaan Ulam Sari, setelah ia meninggalkan makam orang tua angkatnya.
Dalam dadanya timbul rasa penasaran dan penyesalannya, mengapa dirinya ini harus hidup di dalam penderitaan?
Ayah dan ibu kandungnya telah meningsalkan dirinya untuk selama lamanya, di saat dirinya masih kecil. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Wiro Sukro dan isterinya. yang kemudian memungut da sebagai anak angkatnya. Hatinya terasa besar dan merasa dirinya bukan Perawan Lola lagi. Akan tetapi sekarang, dirinya tidak mempunyai orang tua lagi.
Dengan hati yang tidak karuan rasanya, gadis yang mengenakan kedok muka menyeramkan dan mengganti nama dengan Ulam Sari ini, mengembara tanpa kawan. Maksud yang terkandung dalam dadanya hanya satu. Selekasnya ia harus dapat bertemu dengan Sungsang untuk menghukum dosa dosanya. .
Begitulah sebabnya sekarang Ulam Sari tiba di luar kota Jepara. Kota pelabuhan yang dihuni oleh orang asing, berkulit-putih dan bermata abu abu.
Karena berwajah jelek sekali dan menyeramkan, maka selama perjalanan tidak seorangpun perduli dan mengganggu.
Tetapi kalau toh laki laki berani mengganggu, dapat berbuat apakah kepada gadis perkasa ini ?
cuping hidungnya bergerak-gerak dan air liurnya memenuhi mulut, hidungnya yang mungil itu menghirup bau gurih dan wangi dari dalam sebuah rumah makan. Kerongkongannya justeru terasa kering dan perutnya sudah lapar. Maka timbullah niatnya untuk mengisi perut sambil melepaskan lelah barang sebentar.
"Rumah Makan Jantan".
Ulam Sari tersenyum membaca nama rumah makan yang megah dan besar itu.
Mengapa namanya "jantan"?
Kalau begitu apakah hanya si jantan saja yang boleh jajan di rumah makan ini, dan para "betina" tidak boleh?
Justeru tertarik oleh nama yang aneh ini, tanpa ragu ragu lagi ia segera masuk, ia sadar bahwa rumah makan yang besar seperti ini harga makanan tentu mahal. Dirinya tidak memiliki uang cukup banyak. Tetapi keinginannya makan di tempat ini tak dapat dibendung lagi.
Dengan langkah tetap Ulam Sari segera mendaki tangga rumah bagian atas. Tetapi tiba-tiba seorang pelayan menghadang dengan muka masam, sambil berkata,
"Nona, harga makanan di bagian atas amat mahal. Silahkan nona makan di bagian bawah saja."
Tak heran kalau pelayan itu melarang Ulam Sari ke bagian atas. Sebab di samping wajah Ulam Sari jelek dan menyeramkan, juga pakaiannyapun dari kain kasar dan sudah kotor lagi. Orang seperti ini, menurut dugaan si pelayan tentu saja tidak mempunyai uang cukup banyak.
Ulam Sari menjadi tersinggung,
Apa salahnya
dirinya makan di bagian atas?
Karena tersinggung, tanpa pikir panjang lagi sudah membentak,
"Jangan ribut! Asal saja makanan cukup lezat, berapapun harganya tentu aku bayar!"
Atas bentakan perempuan wajah jelek menyeramkan itu, si pelayan menjadi takut. Ia segera minggir, kemudian membiarkan Ulam Sari masuk ke bagian atas.
Nyatalah bahwa ruangan rumah makan bagian atas ini cukup lebar. Di samping itu lebih bersih, lebih terawat, perabotan lebih bagus dan dihias sedemikian menyedapkan. Ulam Sari menyapukan pandang matanya kepada seluruh ruangan dan kepada semua yang duduk jajan di situ. Tidak tampak seorang pun perempuan, dan mereka semua berpakaian begitu indah dari bahan yang mahal. Jelas mereka merupakan orang-orang' yang beruang.
Masuknya Ulam Sari ke dalam rumah makan ini, memang menarik perhatian orang pula. Akan tetapi karena wajah Ulam Sari begitu buruk, hanya sekilas saja orang mengamati, kemudian orang tidak ambil perhatian lagi.
Meskipun demikian, pendengaran Ulam Sari yang tajam, mendengar pula orang berbisik-bisik membicarakan wajahnya yang buruk. Diam-diam gadis ini tersenyum dan mencemoohkan.
Begitukah pandangan laki-laki kepada perempuan?
Yang terpenting adalah keadaan kulit. Keadaan wajah. Begitu melihat wajah perempuan buruk, menjadi muak, sebaliknya apa bila memandang wanita yang berwajah cantik menjadi tertarik.
Mengapa manusia di dunia ini pandangan dan penghargaannya selalu ditekankan kepada apa yang tampak, dan bukan keadaan batiniah?
Tetapi Ulam Sari tidak perduli akan penilaian orang terhadap dirinya. Dan ia tidak perduli pula sikap pelayan yang berada di tempat itu, yang memandang rendah kepada dirinya. Hal ini terbukti tidak seorang pun pelayan menghampiri dirinya sekalipun ia sudah cukup lama duduk'di kursi.
Sesungguhnya mendongkol juga hatinya melihat sikap para pelayan yang memuakkan itu. Namun rasa mendongkol ini ditahankan, sambil mencari jalan,apa yang harus dilakukan menghadapi pelayan yang tidak memandang mata kepada dirinya itu.
Mendadak terdengar suara ribut ribut di jalan, di depan rumah makan itu. Masih juga suara ribut itu belum sirap, segera didengarnya suara perempuan yang tertawa nyaring.
Yang membuat Ulam Sari tertarik dan agak kaget, mengapa suara ketawa perempuan itu bercampur dengan tangis?
Saking tertarik, dan karena para pelayan juga tidak mau perduli kepada dirinya, maka berdirilah Ulam Sari, menghampiri jendela serta memandang ke jalan.
Apa yang tampak kemudian?
Di tengah jalan itu tampak seorang wanita setengah tua, dengan rambut yang riap-riapan dan mukanya berlepotan darah. Yang menarik lagi, perempuan itu memegang sebatang golok.
"Hemm, mengapa dia?" tanyanya dalam hati.
Akibat perempuan itu duduk di tengah jalan sambil memegang golok, lalu lintas jadi terhenti.
Di antara mereka ada yang kemudian menonton, tetapi ada pula yang merasa takut, mengira bahwa perempuan itu gila dan mau mengamuk.
Hampir Ulam Sari kembali ke tempat duduknya, merasa tak tega untuk ikut menonton orang gila itu. Akan tetapi tiba-tiba maksudnya itu diurungkan, ketika melihat perempuan gila itu menunjuk ke arah rumah makan sambil berteriak nyaring.
"Ndara Sangsang Buwono. Dengar dan lihatlah bahwa aku si tua duduk di tempat ini, dengan harapan agar engkau dapat hidup mulia dan berumur panjang."
Selesai mengucapkan kata-kata ini, perempuan tua itu bersujut sambil membentur-bentukan dahinya pada jalan. Benturan itu cukup keras, sehingga dahinya lecet dan berdarah. Namun perempuan tua itu seperti tidak merasakannya, dan sesudah duduk kembali; ia tertawa dan berteriak lagi.
"Ndara Sangsang Buwono! Bukan saja engkau hidup mulia dan panjang umur. Tetapi engkaupun akan memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi."
Tetapi baru perempuan itu berhenti berteriak dan belum sempat bersujut lagi, dari dalam rumah makan telah ke luar seorang laki-laki tua dengan langkah lebar. Pada tangan kanan laki-laki itu terpegang sebatang tongkat. Kemudian menghampiri perempuan gila itu sambil membentak lantang,
"Hai Rejosemi! Lekaslah engkau pergi dan jangan membuat kacau tempat ini. Huh, apakah sangkamu kami menjadi kasihan melihat engkau berlagak gila?!"
Akan tetapi tampak perempuan yang disebut dengan nama Rejosemi itu tidak menggubris bentakan orang. Ia masih tetap duduk di tempatnya sambil menangis dan sesambat. Melihat kebandelan perempuan itu, agaknya laki-laki tersebut menjadi Jengkel. Ia melambaikan tangannya ke dalam rumah makan. Lalu muncullah dua orang laki-laki muda bertubuh kekar. Sekali melompat salah reorang telah berhasil merebut golok Rejosemi dan yang seorang segera mendorong keras.
Akibatnya sungguh kasihan. perempuan tua itu terlempar ke tepi jalan dan jungkir-balik.
Namun ia seperti tidak merasakan tubuhnya yang sakit .Begitu terlempar dan jungkir-balik, Rejosemi sudah berdiri. Untuk sejenak perempuan ini membuka mulut tetapi tidak terdengar suaranya. Di saat orang yang melihat bertanya tanya apa yang akan dilakukan Rejosemi, tiba-tiba tangan perempuan itu bergerak dan memukul dadanya sendiri keras-keras. Agaknya pukulan itu terasa sakit, dan Rejosemi menangis lagi sambil berteriak,
"Ya ampun, anakku ... anakku. sungguh kasihan sekali engkau binasa penasaran. Tetapi.... tetapi Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan tentu tahu bahwa sesungguhnya engkau tidak pernah mencuri dan makan daging itik milik orang...!"
"Hai, tutup mulutmu. bangsat! Jika engkau tak lekas enyah dari sini, kubacok kepalamu!" teriak laki-laki yang tadi merebut goloknya.
Karena laki laki itu mengamangkan goloknya, agaknya Rejosemi menjadi takut. ia tidak mengucapkan kata-kata lagi, namun perempuan itu menangis dan sesambat menyedihkan.
Orang-orang yang menyaksikan tampak merasa kasihan kepada Rejosemi. Namun tidak seorang pun berani mendekati dan menghibur. Dan akibatnya semua perasaan itu hanya ditahankan dalam hati, karena takut akan akibatnya.
Diam-diam Ulam Sari heran di samping penasaran, melihat seorang wanita dihina oleh laki laki itu. Akan tetapi sekalipun masih muda, ia seorang gadis yang cukup cerdik dan hati-hati. Maka gadis ini takkan bertindak sebelum mengetahui duduk perkaranya lebih jelas.
Di saat ia masih dalam keadaan termangu mangu ini, mendadak telinganya menangkap suara orang yang perlahan, dari meja yang tak jauh dari tempat duduknya,
"Hem, sebenarnya saja dalam urusan Rejosemi itu, ndara Sangsang Buwono memang terlalu. Coba kaupikir. Apakah dia menjadi senang kalau melihat orang menderita. karena anaknya binasa penasaran ?"
Mendengar itu Ulam Sari terkejut. Namun ia pura-pura tidak mendengar, lalu ia melangkah dan duduk kembali di kursinya.
Laki-laki ke dua yang duduk berdampingan dengan laki-laki yang bicara tadi menjawab perlahan juga,
"Ehh. engkau jangan cepat-cepat menyalahkan ndara Sangsang Buwono. Coba kaupikir, apa bila seseorang kehilangan sesuatu benda, bukankah orang itu berhak untuk bertanya kepada orang yang dicurigai? Kalau toh akhirnya perempuan itu menikam perut anaknya sendiri, siapakah yang menyuruh?"
Mendengar pembicaraan orang yang nadanya mencurigakan itu. Ulam Sari segera memalingkan muka. Akan tetapi, begitu berpaling, dua_orang laki-laki itu tidak bicara lagi.
Sepintas pandang saja Ulam Sari segera dapat menerka golongan manakah dua orang lakilaki yang sedang jajan ini. Jelas bahwa dua orang ini termasuk golongan pedagang yang mampu. Dan sebagai pedagang yang tiap hari mengejar keuntungan, mereka paling sungkan untuk bicara urusan orang lain. Lebih-lebih kalau urusan tersebut tidak dapat memberi keuntungan. Walaupun tahu, tentu pura-pura tidak tahu.
Mendadak saja timbullah niat Ulam Sari untuk menekan dua orang pedagang ini dengan caranya sendiri. ia sadar, kalau ia lewat jalan wajar, dua orang pedagang ini takkan mau bicara lagi. Maka setelah memperoleh cara yang tepat, gadis jelek ini bangkit berdiri, menghampiri mereka sambil memberikan hormat. Katanya kemudian,
"Ah hampir saja aku lupa. paman, akibat sudah begitu lama tidak pernah bertemu muka. Apakah selama ini paman berdua makin memperoleh kemajuan dari keuntungan yang makin bertambah? Bukankah dengan berdagang beras ke kota ini, keuntungan paman berlipat ganda?"
Cerdik juga Ulam Sari dalam usahanya membuka percakapan. Dugaan Ulam Sari memang tepat sekali, bahwa dua orang laki-laki ini memang pedagang beras. Dengan membawa dagangan beras dari daerah daerah penghasil padi, dibawa ke kota
Jepara, keuntungan yang cukup baik terbayang di depan mata. Kumpeni yang berdiam di Jepara ini, tugasnya yang utama memang membeli beras dan kemudian dibawa lewat laut ke Jayakarta (Jakarta).
Sesungguhnya dua orang pedagang itu tampak ragu dan merasa tidak kenal. Tetapi karena sikap Ulam Sari ramah, dan begitu bicara memujikan keuntungan banyak, tentu saja pedagang ini berkenan di hati.
"Terima kasih, anak, meskipun tidak banyak keuntungan berdagang beras namun cukup juga untuk ongkos hidup kami sekeluarga," sahut salah seorang.
Ulam Sari pura -pura menghela napas. Kemudian katanya,
"Paman, aku ingin bicara dengan kalian, tetapi saya berharap ikut pula membantu memikirkan. Begini paman, terus terang saja saat ini saya membawa uang seribu ringgit. -Saya sudah bosan berdagang sayur-mayur, dan ingin berganti haluan berdagang beras. Maka sungguh kebetulan saya bertemu dengan kalian. Apakah kiranya paman berdua sedia menolong saya tentang perdagangan beras itu?"
Berseri wajah dua orang pedagang beras ini, mendengar disebutnya uang sejumlah seribu ringgit. Bagi pedagang, tentu saja tidak lekas menjadi curiga melihat pakaian Ulam Sari yang buruk, akan tetapi mengaku membawa uang sebanyak itu. Banyak di antara pedagang yang membawa uang banyak memang berpura-pura seperti orang menderita rudin. Hal itu untuk menghindarkan diri dari
incaran para penjahat. Lebih-lebih yang mereka hadapi sekarang ini perempuan. Tentu saja selalu bersikap hati-hati.
'Tentu anak, sama-sama pedagang. tentu saja kami tidak keberatan," sahut salah seorang.
Sesudah pancingannya berhasil, Ulam Sari segera pindah duduk di depan dua orang pedagang itu. Lalu, katanya perlahan,
" Paman, aku tadi mendengar kalian membicarakan tentang ndara Sangsang Buwono, dan bicara pula tentang anak yang binasa penasaran. Sudikah kiranya paman menerangkan serba sedikit soal itu?"
"Itu...... itu..."
Cepat-cepat Ulum Sari mengulurkan tangan dan dengan jari tangannya memencet pergelangan tangan dua orang pedagang itu, ketika dapat menduga mereka mau menolak. Hampir berbareng dua orang laki-laki itu berteriak tertahan saking sakit. Dan teriakan ini membuat para tamu kaget dan memandang ke arah mereka. Akan tetapi Ulam Sari cukup cerdik. Begitu melihat orang mengamati, segera saja ia membentak perlahan,
"Lekas tertawa!"
"Ha-ha-ha....!" '
'He-he-he.,...!"
Tanpa berani membantah lagi, dua pedagang itu sudah tertawa. Sekalipun tertawa, suaranya agak menggeletar saking kesakitan. Untung sekali orang kurang memperhatikan, sehingga mereka sibuk lagi dengan urusan masing-masing.
Diam-diam dua orang pedagang beras ini heran. Jari tangan yang sekarang memencet pergelangan tangan mereka ini, hanya kecil saja.
Akan tetapi sungguh tidak habis mengerti, mengapa pencetannya kuat sehingga mereka tidak kuasa memberontak lagi?
Untuk membuat dua orang pedagang beras ini mati kutu, Ulam Sari segera menghardik,
"Hai dengarlah baik-baik. Walaupun aku perempuan, tetapi aku ini seorang perampok besar. Bersama suamiku, telah tidak terhitung Jumlahnya. orang yang aku rampok, dan kalau perlu membunuh orang tak ada halangan!"
Ulam Sari berhenti dan mencari kesan. Dilihatnya, wajah dua orang pedagang itu sekarang pucat, dan dari lehernya menitik turun keringat dingin. Tentu saja dua pedagang ini menjadi takut mendengar kata-kata Ulam Sari itu. Sebab bukan saja mereka telah merasakan, bahwa pencetan jari tangannya membuat mereka tidak berdaya. Padahal merekapun menyadari, bahwa munculnya perempuan ini tentu disertai pula oleh suaminya. Kalau baru perampok perempuan saja telah membuat mereka tidak berdaya, apa lagi suaminya.
"Akan tetapi, paman, legakanlah hatimu bahwa sudah agak lama baik aku maupun suamiku telah menghentikan perbuatan buruk itu."
Ulam Sari menyambung ucapannya.
"Kami suami isteri sekarang telah kembali menjadi manusia baik-baik. dan hidup secara baik-baik. Namun hemm. sungguh sayang sekali keadaan sekarang amat memaksa
kami suami isteri. Paman! kami membutuhkan membeli barang, akan tetapi kami tidak punya uang. Maka kami mohon kerelaan paman berdua, agar bersedia meminjamkan uang sebanyak duaribu ringgit saja. Jadi, kami mohon pinjam seorang seribu ringgit."
Barang tentu dua orang pedagang ini kaget setengah mati. Dengan sikap yang gugup mereka menjawab hampir berbareng,
"A... a... ku.. tidak punya......"
"Hemm, bagus!" dengus Ulam Sari dingin.
'Sekarang begini saja, paman.Aku sedia untuk mengurungkan maksudku pinjam uangmu, asal saja kalian sedia menceritakan semua yang telah terjadi, sehubungan dengan orang yang disebut ndara Sangsang Buwono itu. Terangkan Sejujurnya siapakah yang telah menjadi korban itu, dan mengapa ,pula sebabnya. Siapa di antara kalian yang dapat memberi keterangan lebih jelas, akan aku bebaskan dari perkara pinjaman uang ini. Dan untuk kebutuhan itu, aku akan dapat pinjam kepada orang lain."
"Baik. Akan aku ceritakan secara jelas!" sahut dua orang pedagang itu seperti ingin berebut.
Ulam Sari tersenyum sambil melepaskan tekanan pada pergelangan tangan mereka. Kemudian perintahnya,
"Hayo paman yang berkumis, sekarang ceritakan semuanya. Nanti paman gemuk juga boleh bercerita, sesudah si kumis. Siapa yang menceritakan kurang jujur dan kurang jelas, mau tidak mau harus mengeluarkan uang sebagai pinjaman padaku."
Akan tetapi walaupun ia sudah melepaskan pijitannya,iapun masih menggertak mereka dengan pedang lemas yang ia sembunyikan pada pinggangnya. Katanya lagi,
"Lihatlah baik baik pedangku ini. Pedang yang lemas dan dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang ini, merupakan pedang pusaka dan tajamnya bukan main. Siapa yang berani main gila, sekali sabat kepalamu akan terpancung. Mengerti ?"
Melihat ada sebatang pedang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, mereka terbelalak ketakutan.
"Ya... ya... akan aku ceritakan...."
"Nona," mulailah si kumis membuka mulut untuk menceritakan,
"engkau jangan khawatir. Aku.... akan menceritakan sejelas-jelasnya...... dan lebih jelas dibanding yang lain......."
"Ahh.... tidak mungkin! Aku yang lebih tahu!" potong si gemuk.
"Sebaiknya aku sajalah yang'menceritakan peristiwa itu."
Kalau si gemuk memotong ucapan si kumis dan berkeinginan untuk menceritakan itu bukan lain karena si gemuk takut, apa bila dirinya yang harus mengeluarkan uang sebagai pinjaman kepada Ulam Sari. Oleh sebab itu ia ingin bercerita.
"Diam kau!" bentak Ulam Sari lirih.
"Biar si kumis cerita dahulu, baru nanti aku dengar ceritamu !"
Karena sambil membentak Ulam Sari mendelik. si gemuk ketakutan.
"Baik...baik..... nona. saya tunggu giliran."
"Tetapi engkau nanti harus membayar dendanya, karena engkau melanggar perintahku!" hardik Ulam Sari dengan suara menyeramkan.
Dan membuat si gemuk makin ketakutan.
"Nona...... !"
"Nanti dulu!" potong Ulam Sari lagi.
"Apakah paman berdua ini sudah berubah menjadi orang yang pelit? Hayo sebaiknya perintahkan kepada pelayan untuk menghidangkan masakan yang lebih lezat. Aku suka akan ayam panggang, telor mata sapi, nasi pulen dan sop. Yang lain terserah paman sendiri. Hemm, inilah hukuman yang aku jatuhkan kepada paman gemuk, dan dialah yang harus membayar semuanya."
Si gemuk mengangguk-angguk dan wajahnya sedikit berseri, mendengar bahwa hukuman yang harus diterima hanya macam itu. Buruburu ia memanggil pelayan agar menghidangkan masakan seperti yang diminta gadis tadi.
Pelayan yang menghampiri meja dua pedagang itu, tampak agak heran melihat gadis wajah jelek sudah satu meja. Akan tetapi karena tugasnya hanya menerima pesanan dan menghidangkannya, maka urusan si gadis jelek kurang menjadi perhatian lagi, dan ia bergegas menuju ke dapur untuk menyampaikan pesanan itu.
"Nona," mulailah si kumis berkata.
"Aku akan segera memulai cerita ini. Tetapi sudilah nona merahasiakan soal ini, agar tidak diketahui orang lain."
"Hemm, engkau takut. Jika engkau takut, sudahlah engkau tak perlu bercerita. Biarlah si gemuk ini saja yang bercerita."
Sambil berkata demikian, ia memalingkan mukanya ke arah si gemuk.
"Ahhh ya. aku akan cerita......" si kumis menjadi gugup.
"Begini, nona, orang yang biasa dipanggil dengan nama ndara Sangsang Buwono itu. merupakan orang terkaya dikota Jepara ini maupun beberapa kota yang lain. Dan orang itu, terkenal dengan julukan...."
"Cambuk Sakti....." sela si gemuk.
"Jangan ngacau! Siapa yang suruh kau bicara?" bentak Ulam Sari.
Bentakan itu membuat si gemuk tidak berani mengangkat kepala. Ia menundukkan kepala dengan hati yang berdebaran.
"Ndara Sangsang Buwono itu,di kota ini terkenal sebagai orang yang kaya raya. Di samping membuka rumah makan yang besar ini, juga membuka pegadaian," kata si kumis dalam usahanya menceritakan sebaik baiknya.
"Bukan hanya itu sajalah usahanya, tetapi dia juga mempunyai rumah judi. Memang di samping seorang yang kayaraya, diapun terkenal sebagai seorang yang berilmu tinggi, sehingga disebut orang dengan nama julukan Cambuk Sakti. Sebagai seorang kaya dan berilmu tinggi, maka orang itu pergaulannya luas. Para pembesarpun segan, dan malah kata orang sahabat baik Kangjeng Bupati Jepara pula......"
"Siapa Kangjeng bupati Jepara itu?" potong Ulam Sari.
"Nona belum tahu? Kangjeng Bupati itu bernama Bahurekso."
"Teruskanlah! Aku mengerti bahwa orang yang bernama Sangsang Buwono itu, tentu seorang penjahat besar, dan menggunakan pengaruh uangnya, sehingga kangjeng bupati tidak sadar telah tertipu."
Dua pedagang itu saling pandang. Dalam hati mereka segera menduga bahwa tidak aneh kalau gadis ini tahu soal itu, karena memang teman dalam bidang kejahatan.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat mereka saling pandang itu, Ulam Sari tertawa dalam hati. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini menduga bahwa dirinya dianggap sebagai teman Sangsang Buwono. Oleh sebab itu katanya
"Engkau harus tahu, bahwa orang yang bergerak dalam bidang kejahatan, sering sekali bermusuhan dan saling berebut pengaruh. Maka jangan engkau khawatir dan ragu ragu. karena aku bukanlah sahabat Sangsang Buwono. Katakanlah secara jujur, kalau jahat katakan jahat!"
Dua pedagang itu mengangguk-angguk kemudian si kumis meneruskan ceritanya.
"Nona, ndara Sangsang Buwono mempunyai gedung yang amat besar terletak di luar kota Jepara. Gedung itu malah lebih megah jika dibanding dengan gedung Kangjeng Bupati Bahurekso. Akan tetapi entah mengapa, menurut apa yang aku dengar ndara Sangsang Buwono ingin mendirikan bangunan lagi terletak di belakangnya. Bangunan itu dimaksud untuk rumah isterinya yang termuda. isteri yang ke sembilan."
Si kumis berhenti sejenak, kemudian sesudah melirik Ulam Sari, terusnya.
"Dan tanah di belakang gedung itu, adalah milik orang bernama Rejosemi yang dijadikan ladang guna menghidupi sekeluarganya. Tetapi karena ndara Sangsang Buwono membutuhkan, maka tanah itu maksudnya akan dibeli. Rejosemi suami isteri dipanggil untuk di
ajak berunding tentang harga tanah itu. Namun tanah yang luasnya kira-kira empat bahu itu, hanya akan dibayar dengan harga dua ringgit. Tentu saja si pemilik ,menolak, dan tidak ingin menjual tanah itu. Kemudian ndara Sangsang Buwono menambah jumlah _sampai sejumlah sepuluh ringgit. Akan tetapi Rejosemi tetap berkukuh tidak sedia menjual tanah itu. Menurut pendirian keluarga itu, berapapun banyaknya uang penjualan tanah itu akan cepat habis. Seballaknya apa bila tetap di jadikan ladang, hasilnya akan tetap dapat dijadikan tiang hidup sekeluarga.
Akibat penolakannya itu, ndara Sangsang Buwono menjadi marah dan mengusir ruang isteri itu. Dan kemudian menyusullah-peristiwa menyedihkan di hari kemarin....."
Si kumis berhenti dan menghela napas. Agaknya orang ini menjadi ikut sedih juga, teringat kembali kepada peristiwa yang menimpa keluarga itu.
"Nona, ndara sangsang Buwono itu memelihara -pula beberapa ekor itik. Itik tersebut dibiarkan berkeliaran di sekitar gedung mereka, sehingga sering sekali menimbulkan kerugian orang sekitar. Akan tetapi mengingat dia seorang kayaraya dan banyak pula algojo-algojonya, membuat semua orang takut dan tidak berani mengganggu. Tetapi ahhh....."
Si kumis berhenti lagi. Baru sesudah menyambar rokok, setelah disulut dan dihisap dua tiga kali, ia meneruskan lagi,
"Kemarin petugas pengawas itik itu lapor kepada ndara Sungsang Buwono, bahwa itiknya hilang seekor. Dan para bujang ndara
Sangsang Buwono melaporkan. hilangnya itik tersebut karena dicuri oleh anak Rejosemi yang paling kecil, bersama kakaknya. Katanya itik itu kemudian disembelih dan dagingnya dimakan. Mendengar laporan itu, kemudian ndara Sangsang buwono memerintahkan menyelidiki. Kemudian para bujang yang diperintah menyelidik ke ladang Rejosemi. Di ladang itu mereka menemukan bulu-bulu itik yang bertebaran. Maka bulu itu dijadikan bukti, bahwa anak Rejosemi benar telah mencuri itik yang hilang. "
Tentu saja Rejosemi menolak tuduhan itu. Orang tuanya tidak mau percaya bahwa anak-anaknya melakukan pencurian itu. Bagaimanapun miskinnya, mereka sekeluarga tidak berani melakukan perbuatan kurang baik. Malah kemudian Rejosemi mengembalikan tuduhan itu dan menyatakan, jelas bahwa itik itu ditangkap oleh bujang-bujang ndara Sangsang Buwono sendiri. Lalu bulu-buku itik itu sengaja disebar di ladangnya. Banyak pula orang menduga seperti itu. Namun tidak seorang pun berani membela Rejosemi.
Karena Rejosemi menolak tuduhan mencuri itik tersebut, maka orang-orang ndara Sangsang Buwono segera menangkap dua orang anak Rejosemi. Tetapi sudah tentu dua orang anak yang tidak merasa mencuri itik itu tidak mau mengaku. Namun ndara Sangsang Buwono tidak kurang akal. Ia bertanya kepada anak yang kecil,
'Nak, apakah tadi pagi kau sudah makan?
Dan anak yang masih kecil itu, yang baru berumur lebih kurang dua tahun, bicaranya belum bisa lengkap. menjawab.
'Ehhh... itik '.
Maksud jawaban itu jelas. ia ingin mengatakan sudah makan, tetapi hanya sedikit. Apa yang disebut itik itu.singkatan dari kata-kata 'sathithik', yang artinya sedikit. Tetapi justeru jawaban bocah ini, kemudian dijadikan dasar pengakuan oleh ndara Sangsang Buwono. Maka dia sudah berusaha menekan agar Rejosemi mau mengakui perbuatan anaknya itu. Akan tetapi walaupun ditekan. Rejosemi tetap mengatakan tidak mencuri. Dan ia. menjawab, bahwa apa yang dimaksud anaknya bukan makan daging itik tetapi makan sedikit.
Karena Rejosemi membandel tak mau mengakui ini, ndara Sangsang Buwono menjadi marah. Ia menggebrak meja, di samping segera mengadakan pengaduan kepada kepala desa. Sungguh celaka sekali, kepala desa itu takut pula kepada ndara Sangsang Buwono. Akibatnya ikut memaksakan supaya Rejosemi mengaku. Tetapi Rejosemi tetap tidak mau mengaku, sehingga akibatnya Rejosemi ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan.
Perempuan yang tadi berteriak-teriak, adalah isteri Rejosemi. Perempuan itu yakin bahwa anaknya iidak mencuri. Maka ia datang ke rumah ndara Sangsang Buwono untuk menuntut keadilan. Tetapi kedatangan perempuan ini seperti ular mencari pukul. Perempuan itu malah ditendang oleh penjaga pintu gerbang. Dari rumah ndara Sangsang Buwono, mbok Rejosemi pergi ke rumah kepala desa, di mana suaminya ditahan. Akan tetapi betapa hancur hatinya dan betapa sedih perempuan ini, ketika bertemu dengan suaminya. Si suami tidak bisa bicara apa-apa. di sana-sini tampak noda darah, jelas sekali sudah dianiaya.
Mbok RejOsemi penasaran. Begitu tiba di rumah, ia segera menyeret anaknya itu, lalu dibawa ke ladangnya. Beberapa tetangga dekatpun diajak serta, dan para tetangga yang merasa kasian itupun mengiringi ibu dan anak ke ladang.
Tetapi apa yang terjadi di sana?
Ternyata anak yang tidak berdosa itu ditikam perutnya oleh mbok Rejosemi Sendiri. Para tetangga berusaha merebut golok itu dan menyelamatkan si anak. Akan tetapi karena terluka parah pada perutnya, anak itu terlanjur mati. Di saat bocah itu terkapar mandi darah, ibunya tidak menangis tetapi malah berkata lantang,
"Anakku, aku tahu bahwa engkau tidak mencuri itik itu. Tetapi nyatanya ayahmu ditahan, dan engkau tetap dituduh sebagai pencuri. Anakku, aku tak dapat berbuat apa apa. Maka untuk menuntut keadilan, engkau harus mau berkorban. Engkau harus mati, dan agar peristiwa ini bisa didengar oleh kangjeng bupati,"
"Hai, benarkah itu ?" potong Ulam Sari membentak.
"Jika ceritamu ini tidak benar, huh, awas! Tubuhmu akan aku cincang habis !"
Pucat wajah si kumis. Kemudian dengan gemetaran, ia menjawab,
"Benar. Itu benar, nona..... sesuai dengan keadaan...." '
"Hemm, bagus !"
Mendadak saja Ulam Sari sudah mengangkat sebelah kaki dan ditumpangkan di
atas meja. Tangannya bergerak cepat sekali, menghunus pisau belati di pinggangnya. Sambil memegang pisau belati ini, perintahnya angker,
"Hayo ceritakan terus !"
"Tapi... tapi saya tidak... ada sangkut -pautnya dengan peristiwa.... itu.....!" pedagang itu makin pucat dan ketakutan.
Ketika itu wajah Ulam Sari yang jelek menyeramkan menjadi berkerut-kerut. dan lebih menakutkan. Membuat para tamu yang tadi asyik makan di tempat itu kaget, takut dan cepat-cepat meninggalkan ruangan itu.
"Lekas bilang!" bentak Ulam Sari.
"Apakah dalam perut bocah itu terdapat daging itik?"
"Tidak!" sahut si kumis.
"Tidak ada daging dalam makanan itu, kecuali sayur. Dan karena peristiwa yang menimpa keluarga itu cukup berat. membuat mbok Rejosemi mendadak menjadi gila."
"Hemm, lekas beritahukanlah. DI manakah rumah Sangsang Buwono itu ?"
Sebelum si, kumis sempat membuka mulut., mendadak terdengarlah suara gonggongan anjing dari tempat agak jauh. Gonggong anjing itu riuh, merupakan pertanda jumlahnya cukup banyak.
"Gila. Benar-benar gila!" desis si kumis.
"Apa lagi?" hardik Ulam Sati.
"Nona, itulah suara anjing-anjing, ndara Sangsang. Agaknya itu para kaki tangan ndara Sangsang Buwono sedang mengejar-ngejar anak Rejosemi yang ke dua, dengan anjing-anjing yang galak."
Menggelegak darah Ulam Sari dalam dada mendengar itu.
"Apakah satu jiwa belum cukup, dan sekarang akan mencari korban lagi?"
"Menurut pendapat ndara Sangsang Buwono, karena yang mencuri itu dua bocah. maka kalau yang kecil makan, tentunya yang besarpun makan."
Si kumis menerangkan.
"Karena itu ndara Sangsang Buwono ingin menangkap anak yang ke dua itu, dengan maksud akan diperiksa lebih teliti. Beberapa tetangga yang merasa kasihan berusaha melindungi dan menyembunyikan di tempat rahasia. Namun sungguh celaka, perbuatan itu diketahui oleh kaki tangan ndara sangsang Buwono sehingga akhirnya bocah itu diuber-uber untuk ditangkap."
Ketika itu suara anjing yang menggonggong makin lama menjadi makin dekat dan suara gonggongan makin menjadi jelas. Di sela sela suara gonggongan anjing yang hebat itu, terdengar suara bocah yang menjerit-jerit tidak karuan mungkin saking ketakutan.
Mendengar itu Ulam Sari segera mendekati jendela dan melihat ke bawah. Tampak olehnya kemudian, seorang bocah berusia kira-kira sepuluh tahun sedang lari sekencang-kencangnya, tetapi telah limbung. Agaknya telah lama bocah ini berlarian dan dikejar oleh anjing-anjing galak itu. Terbukti si bocah telah tersengal-sengal napasnya, dan di samping itu pakaiannya sudah robek di sana-sini. Yang membuat Ulam Sari terbelalak, karena pada tangan, kaki maupun wajah bocah itu sudah berdarah, Mungkin sekali dia telah terluka akibat gigitan anjing. Di belakang bocah itu kira
kira hanya lima depa, beberapa ekor anjing terus menggonggong sambil mengubar. Kemudian menyusul agak di belakang lagi beberapa orang kaki tangan ndara Sangsang Buwono berlarian pula.
Bocah yang dikejar-kejar dan napasnya sudah tersengal-sengal itu, tampaknya sudah hampir tidak kuasa lagi berlari. Namun ketika melihat ibunya, tiba-tiba saja semangat bocah ini bangun, lalu berteriak keras,
"Ibuuuuu......!"
Sungguh celaka!
Sehabis berteriak, bocah ini terguling roboh tidak dapat bangun lagi. Melihat anaknya roboh kempas-kempis, sekalipun telah menjadi gila mbok Rejosemi masih mengenal anaknya. Sekali melompat perempuan ini sudah menghadang anjing-anjing tersebut untuk melindungi anaknya. Perempuan ini berdiri tegak, dua tangannya terkepal dan memandang anjing-anjing itu tidak berkedip.
Sebanyak sembilan ekor anjing berhenti bergerak. Agaknya anjing-anjing itu menjadi gentar berhadapan dengan perempuan yang menatap tak berkedip itu. Akan tetapi saat itu lima orang kaki tangan ndara Sangsang Buwono telah datang. Melihat keangkeran mbok Rejosemi, agaknya para kaki tangan itupun jerih. Yang dilakukan kemudian hanyalah memberi komando kepada sembilan ekor anjingnya.
"Serang!" perintah salah seorang.
Dan agaknya anjing yang sudah terlatih itu mengerti pula akan komando ini. Seekor anjing telah melompat maju, menubruk ke arah bocah itu. Akan tetapi mbok Rejosemi sudah berteriak nyaring, menubruk pula ke depan, menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungi sang anak.
Ahh, yang terjadi sungguh menyedihkan. Karena usaha Rejosemi melindungi anaknya seperti itu, maka pundak perempuan itu sudah memperoleh hadiah gigitan gigi anjing. Kemudian anjing yang ke dua sudah menyerbu pula, dan berhasil menggigit lutut si bocah.
Beberapa orang yang melihat tidak seorang pun berani maju dan menolong. Seakan peristiwa itu malah merupakan tontonan yang menarik. Sungguh, manusa-manusia macam itu, yang melihat peristiwa menyedihkan hanya menonton, adalah jelas terdiri dari manusia-manusia yang mementingkan diri pribadi. Betapapun orang tak boleh berdiam diri melulu, kalau menyaksikan perbuatan sewenang wenang.
Sembilan ekor anjing yang galak itu segera saja mengeroyok tubuh mbok Rejosemi yang memeluk dan melindungi tubuh anaknya. Dan tentu Saja hal itu apa bila terus berlangsung, tidak urung ibu yang ingin membela anaknya ini, hanya akan mengorbankan nyawa sia-aia. Untung bahwa agaknya si bocah tidak tega melihat, ibunya menjadi korban gigitan anjing. Bocah itu meloloskan diri dari pelukan ibunya, kemudian menggunakan tinju dan kaki yang kecil, memberikan perlawanan kalang-kabut.
Ulam Sari menyaksikan semua yang terjadi dengan mata tak berkedip, dan dada seperti mau meledak. Ia masih berusaha menekan perasaan dan belum juga turun tangan adalah ingin memperoleh bukti benar dan tidaknya cerita pedagang
tadi.
Benarkah ndara Sangsang Buwono memang melakukan kekejaman di luar batas manusia?
Tetapi keroyokan anjing dan teriakan kaki tangan ndara Sangsang Buwono makin menjadi. Orang-orang itu memberi komando kepada sembilan ekor anjing supaya mencakar dan menggigit korban.
Diam diam Ulam Sari telah mempersiapkan beberapa biji sendok perak. Dengan mudahnya sendok itu dipatahkan menjadi beberapa potong. Kemudian pada detik ibu dan anak itu dalam bahaya, oleh gigitan dan cakaran sembilan ekor anjing, tangan gadis ini terayun. Tiga sinar putih berkelebat seperti tatit. Disusul oleh suara anjing yang kesakitan, dan sesaat kemudian roboh binasa.
Anjing yang lain sejenak kaget melihat kawannya roboh tidak berkutik. Akan tetapi sesaat kemudian enam ekor anjing yang lain kembali menubruk untuk menggigit dan mencakar lagi.
Tangan Ulam Sari kembali terayun, dan enam sinar berkeredep putih telah menyambar lagi.
"Crat crat-cratt...." enam kali berturut-turut potongan sendok itu sudah menembus kepala anjing.
Begitu terkena sembilan anjing-anjing tadi berjingkrak berkaing-kaing. Tetapi tak lama kemudian enam ekor anjing itu sudah roboh, kemudian binasa menyusul tiga ekor kawannya.
Lima orang kaki tangan ndara Sangsang Buwono yang ketika itu mengamati dari tempat tidak jauh. menjadi kaget dan marah. Mereka adalah kaki tangan, yang hidup dari gaji pemberian orang.
Di samping itu dengan berlindung kepada pengaruh sang majikan, mereka telah terbiasa berbuat sewenang-wenang kepada sekalian orang. Maka kaki tangan ini, biasanya malah lebih galak jika dibanding dengan majikannya sendiri.
"Hai, bangsat mana berani kurang ajar?!" teriak salah seorang dengan suara lantang, mengamati ke arah Ulam Sari berdiri.
"Pembunuh anjing ndara Sangsang Buwono harus mengganti dengan nyawa!"
Setelah itu. mereka sudah melompat dan masuk dalam rumah makan. Golok mereka yang mengkilap tajam telah terhunus, sedang wajah merekapun tampak merah saking marah
Begitu lima orang kaki tangan ndara Sangsang Buwono masuk ke dalam rumah makan dan naik ke tingkat atas, tamu-tamu menjadi ketakutan dan bergegas meninggalkan tempat itu. Para tamu ini tahu, bahwa rumah makan yang besar ini milik Sangsang Buwono. Apa bila lima orang kaki tangan itu marah dan mau menangkap orang, tentu saja pengurus dan pelayan rumah makan inipun akan memberi bantuan sepenuhnya. Sebab merekapun merupakan kaki tangan Sangsang Buwono pula. Maka dalam waktu singkat, semua pelayan dan pengurus rumah makan ini telah bersenjata.
Kalau yang lain menjadi takut dan lari berserabutan, sebaliknya Ulam Sari malah menghampiri kursi dan duduk. Ia tersenyum ketika melihat beberapa orang telah datang menyerbu. Tetapi karena wajahnya buruk, maka begitu tersenyum, senyum itu malah mengerikan.
"Hai bangsat kurang ajar!" bentak yang menjadi pemimpin sambil mengancam.
"Lekas serahkan dua tanganmu untuk kubelenggu. Kemudian ikutlah kami menghadap ndara Sangsang Buwono!"
Makin tak senang Ulam Sari melihat lagak kaki tangan ini. Begitu orang tersebut menghampiri, tanpa bergerak dari tempat duduknya,tangan kanan sudah menyambar seperti tatit.
"Plak-plak-plok... aduhh.....!" teriakan nyaring terdengar dari mulut pemimpin itu, begitu dua pipinya terhajar oleh tamparan.
Kemudian tidak ampun lagi, pemimpin itu sudah roboh pingsan di atas lantai.
Dua orang kawannya segera datang untuk menyerbu. Dua batang golok menyambar hampir berbareng. Sambaran golok itu cukup bertenaga, dan sepintas pandang saja Ulam Sari tahu bahwa kaki tangan ini mengenal ilmu tata kelahi. Jelas sekali orang yang disebut ndara Sangsang Buwono itu seorang hartawan jahat, terbukti dengan digajinya tukang pukul.
Atas serangan itu, bergerakpun tidak dari tempat duduknya. Namun mendadak saja dua batang golok itu terlepas dari tangan. Menyusul kemudian dua orang itu berdiri tegak seperti patung. Apa yang terjadi memang cepat sekali. Sambaran tangan Ulam Sari tidak dapat diikuti oleh pandangan mata dua orang itu, dan tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi kaku.
Dua orang tukang pukul yang lain menjadi gentar. Mereka tidak berani menerjang maju. Malah sesaat kemudian telah memutarkan tubuh dan melarikan diri, sambil berteriak,
"Den Jiwo..... tolong, tolongggg........!"
"Tidak tahu malu !" desis Ulam Sari, tetapi tidak mengejar.
Tidak mengherankan Ulam Sari mengucapkan kata kata itu. Buktinya orang orang itu memang tidak tahu malu. Kepada mereka yang lemah dan tidak berani melawan, mereka garang, menekan dan sewenang-wenang. Akan tetapi begitu berhadapan dengan orang berisi, mereka menjadi ketakutan setengah mati.
Orang yang dipanggil dengan sebutan den Jiwo telah masuk ruangan itu. Lengkapnya orang ini bernama Sandang Jiwo. Ia seorang bekas perampok, tetapi karena Sangsang Buwono mengangkat orang itu sebagai pengurus rumah makan. maka semua kaki tangan Sangsang Buwono menghormati dan memanggil raden atau disingkat den, Sandang Jiwo memang seorang cerdik dan licin. Begitu melihat Ulam Sari, tidak berani sembrono sekalipun yang dihadapi seorang perempuan, ia membungkuk memberikan hormat. Katanya dengan nada hat hati,
"Maafkan saya, karena tak tahu, saya menyambut kedatangan nona kurang hormat. Apakah yang akan nona perintahkan kepada saya?"
Ulam Sari hanya melirik tanpa menjawab. Tiba-ttba tangan gadis ini malah mengambil tambang pemilik pedagang beras yang menggeletak di atas meja. Sekali tangan kecil itu terayun. tambang tersebut telah mengikat tiga tubuh tukang pukul yang
tadi telah dirobohkan. Sesudah itu dengan sikap yang tenang, tiga tubuh tersebut diikat dengan kaki meja.
Bukan tiada maksud Ulam Sari menggerakkan tangan membelenggu tiga orang tukang pukul itu. Maksudnya agar semua pelayan dan pengurus rumah makan menjadi gentar. Maka setelah tiga. orang tukang pukul itu meringkuk tak berkutik, tanpa melayani Sandang Jiwo, ia menyambar cangkir teh untuk minum.
Melihat Sikap Ulam Sari seperti itu, wajah Sandang Jiwo berubah merah padam. Ia marah bukan main, namun mash juga menyabarkan diri dan bertanya lagi,
"Nona, perintah apakah yang perlu aku lakukan untuk nona?"
Ulam Sari melirik .
Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan orang, malah sebaliknya bertanya,
"Apakah engkau masih mempunyai hubungan famili dengan Sangsang Buwono?"
"Hemm, bukan famili tetapi aku orang kepercayaannya. Kenalkah nona kepada majikan kami ndara Sangsang Buwono?"
Sambil mengucapkan kata-kata ini, pengurus rumah makan itu mengamati penuh perhatian. Kalau saja perempuan ini cantik, tentu saja hal itu tak perlu ditanyakan. Sebab Sangsang Buwono terkenal sebagai orang yang mempunyai hubungan dengan banyak perempuan. Akan tetapi karena Wajah gadis ini jelek menyeramkan, tentu saja amat mengherankan kalau Sangsang Buwono mau memperhatikan.
"Aku belum kenal!" sahut Ulam Sari.
"Tetapi lekas panggil majikanmu untuk bertemu dengan aku "
Sandang Jiwo mengerutkan alis mendengar ucapan yang congkak itu.
Hatinya makin mendongkol.
Namun masih berusaha menekan perasaan. Katanya kemudian,
' Tetapi nona, bolehkah aku mengetahui nama dan kedudukan nona yang mulia? Agar saya dapat melaporkan kepada ndara Sangsang Buwono lebih jelas."
" Baik, dengarkan yang jelas," sahut Ulam Sari sambil tersenyum dingin.
"Namaku Sapu Jagad."
"Ahhh, Sapu Jagad?"
Sandang Jiwo heran dan tertawa.
"Kalau begitu, apakah nona tukang sapu ?"
"Benar aku tukang sapu, tetapi pekerjaan yang sesungguhnya aku adalah jagal. Tukang jagal, berarti tukang mencabut nyawa. Apakah engkau tahu?"
Paras muka Sandang Jiwo menjadi berubah mendengar itu. ia tampak marah. Sebab apa bila nama Sapu Jagad itu dihubungkan dengan pekerjaan sebagai tukang pencabut nyawa akan berarti secara terang-terangan perempuan jelek ini mengejek majikannya.
Mengapa begitu?
Jagad sama dengan Buwono. Maka apa bila perempuan ini mengaku pekerjaannya jagal, berarti maksudnya akan menyapu dan mencabut nyawa orang yang mempunyai nama Buwono atau Sangsang Buwono.
"Siapakah sesungguhnya nona?" tanyanya dengan mata mendelik dan suara lantang.
'Hemm apakah engkau masih kurang jelas?" kata Ulam Sari dengan nada dingin.
"Namaku Sapu Jagad dan pekerjaanku sebagai jagal. Aku
sudah lama mendengar bahwa disini hidup seorang bernama Sangsang Buwono. Maka merupakan kewajibanku untuk datang ke mari, menjagal serta menyapu orang yang bernama Sangsang Buwono."
Mata Sandang Jiwo mendadak merah dan mundur selangkah. Tangan kanan cepat meraba pinggang, kemudian telah terpegang tangan kanan sebatang cambuk. Sambil bersiap diri dengan cambuk ini. tangan kiri memberi isyarat kepada semua orang. Maka dalam waktu singkat mereka semua mengurung. Sandang Jiwo yang sudah marah ini lalu melompat sambil menyambarkan cambuknya.
Ulam Sari tersenyum dingin.
Sekarang ia menjadi makin yakin bahwa orang yang bernama Sangsang Buwono adalah penjahat besar, yang memperoleh bantuan banyak tukang pukul. Untuk ini, ia sudah bertekad harus memberi hukuman, yang setimpal.
Begitu cambuk Sandang Jiwo menyambar, tanpa kesulitan Ulam Sari telah menangkap ujung cambuk itu. Secepat kilat ia menggentak, dan ketika Sandang Jiwo terhuyung, tangan kirinya menepuk pundak orang. Sandang Jiwo meringis, dan sesaat kemudian laki-laki ini sudah berlutut karena lutut terasa tidak bertenaga lagi.
"Ehh-ehh, jangan terlalu menghormati aku!" ujar Ulam Sari sambil terkekeh.
Lalu sekali bergerak, cambuk itu telah dipergunakan untuk mengikat
kaki tangan dan tubuh Sandang Jiwo, yang kemudian diikat pula pada kaki meja.
Melihat sekali gebrak pengurus rumah makan itu telah dapat diringkus. para pelayan yang jumlahnya belasan orang itu ketakutan. Diam-diam mereka merasa heran.
Apakah gadis wajah jelek ini merupakan manusia jadi jadian, dari siluman dan iblis?
"Eh, koki gemuk! Berikan padaku golokmu itu!" hardik Ulam Sari sambil menuding kepada si koki yang gendut.
Tentu saja koki gendut ini tidak berani membantah. Ia maju sambil menyerahkan golok itu.
"Aih, koki," katanya pula.
"Katakan, kalau engkau masak daging di punggung, bagian manakah yang kaupilih ?" '
"Yang aku pilih pada kiri dan kanan tulang punggung," sahut si koki.
"Daging lembu merupakan daging yang menyenangkan. Dimasak apa saja selalu memberi rasa lezat. Apakah nona menghendaki daging itu?"
Tetapi Ulam Sari tidak menjawab. Kemudian sambil menunjukkan wajah bengis, ia sudah menyingkap baju Sandang Jiwo.
"Daging di tempat ini?" sambil berkata, ia telah mengusap-usap tulang punggung Sandang Jiwo menggunakan punggung golok. Sandang Jiwo yang merasakan punggungnya dingin, terkesiap!
Wajahnya tampak amat ketakutan. Kemudian pengurus rumah makan ini beriba.
"ampun..... nona..'"
Memang tiada maksud untuk mengambil jiwa Sandang Jiwo. Ia tadi memang hanya membuat Sandang Jiwo supaya ketakutan setengah mati. Namun demikian pengurus rumah makan yang galak ini, kalau tidak merasakan penderitaan akan terus melakukan perbuatan sewenang-wenang kepada. orang. Maka dengan gerakannya secepat kilat, ujung golok yang tajam itu dipergunakan menggores punggung Sandang Jiwo.
"Cukupkah setengah kati ?" tanya Ulam Sari.
"Cu ...cukup..." sahut si koki gemetaran saking takut. .
Yang ketakutan setengah mati adalah Sandang Jiwo. Hingga wajahnya berubah pucat. Ia tidak tahu dagingnya sudah dipotong orang atau belum. Tetapi ia merasakan kesakitan setengah mati pada punggungnya .
"Celaka......!" ia mengeluh dalam hati.
"Apakah aku harus mati secara begini?"
Namun ia tidak dapat bergerak sedikitpun. Dan sekalipun sakit luar biasa ia tidak berani sesambat dan meratap. Sebab ia tahu, apa bila dirinya sesambat tidak urung gadis wajah jelek ini malah akan mencincangnya.
Tanpa memperdulikan wajah mereka semua pucat seperti kapas, Ulam Sari sudah bertanya lagi kepada si koki gendut,
"Hai koki. Terangkan yang
perut, bagaimanakah caranya memasak hati lembu dan otak orang?"
Mendengar ini tak tercegah lagi tubuh Sandang Jiwo gemetaran. Saking takut, ia membentur-benturkan dahinya ke lantai. Lalu terdengar pula suaranya yang gemetar minta ampun,
"Nona yang mulia.. ampunilah jiwaku. Nona.. apapun perintah nona akan saya lakukan dengan senang hati .. asal saja aku tidak dibunuh ......"
Hati Ulam Sari menjadi puas setelah dapat membuat pengurus rumah makan ini ketakutan setengah mati. Namun begitu ia masih menunjukkan wajah bengis, dan goloknya masih menempel pada punggung. Katanya.
"Apakah engkau sudah kapok dan tidak lagi membantu Sangsang Buwono melakukan kejahatan kejahatannya ?" '
"Tidak berani. ya, saya kapok......" sahutnya cepat dan makin tambah gemetaran.
"Hemm, baik!" kata Ulam Sari kemudian.
"Sekarang laksanakan perintahku. Semua tamu yang tadi makan di bagian atas ini, usiriah! Sebaliknya semua orang yang makan di bagian bawah, seorangpun tidak boleh pergi. Tahu ?"
Sandang Jiwo mengangguk angguk, hatinya merasa lega. Lalu masih tetap belum dapat bangun, ia memerintahkan kepada pembantu-pembantunya,
"Lekas! Lekas laksanakan perintah yang mulia! Semua tamu di bagian bawah tidak boleh keluar, dan semua tamu di bagian atas harus diusir pergi."
Diam diam Ulam Sari gembira telah berhasil menghajar Sandang Jiwo ketakutan setengah mati, dan semua anak buah Sandang Jiwo tidak seorangpun berani melawan. Ia menebarkan pandang matanya ke ruangan itu. Tetapi ternyata ruangan itu sudah kosong.
Memang tanpa diperintahpun, semua tamu yang tadi makan di bagian atas ini telah pergi terburu buru, begitu melihat kekacauan yang terjadi. Mereka adalah orang-oran yang beruang. Mereka merupakan pedagang-pedagang besar dan para juragan. Tentu saja sebagai orang beruang, cepat-cepat menghindarkan diri apa bila terjadi keributan, karena merasa sayang kalau dirinya terseret dalam keributan sehingga semua harta bendanya berantakan.
Sementara itu perintah Ulam Sari telah disambut dengan gembira oleh orang-orang yang makan di bagian bawah. Sebab mereka yang jajan di bagian bawah ini, hampir seluruhnya merupakan orangorang miskin. Di antara mereka terdapat pula orang orang ,yang pernah dirugikan oleh Sangsang Buwono. Maka terjadinya keributan sekarang ini, ada seorang perempuan berani mengobrak-abrik rumah makan ini, mereka menyambut dengan rasa syukur dan gembira. Timbullah harapan mereka ini, agar gadis wajah jelek itu tidak tanggung-tanggung dalam menghajar Sangsang Buwono dan kaki tangannya.
Ulam Saripun telah turun di bagian bawah.Dengan wajah yang jelek menyeramkan itu, ia menyapukan pandang matanya ke seluruh ruangan.
Akan tetapi walaupun wajah gadis itu jelek dan menyeramkan, sekarang berubah tidak menakutkan dan semua orang memandang ke arah dirinya. Mereka ingin melihat apa lagi yang akan dilakukan gadis perkasa itu.
"Saudara-saudara yang baik, hari ini aku ingin menyelenggarakan pesta besar!" katanya.
Dan mendengar itu, semua orang sudah menyambut dengan wajah berseri dan di sana-sini terdengar suara yang memuji.
"Semua pelayan di rumah makan ini akan melayani apapun yang kalian inginkan. Pesanlah apa yang kalian suka, dari daging lembu sampai pada daging ayam. Koki sudah aku perintahkan supaya masak yang paling lezat, dan yang harganya paling mahal. Jangan khawatir, akulah yang akan membayar harga makanan yang kalian pesan."
Ulam Sari berhenti dan mencari kesan. Ketika melihat wajah semua orang itu nampak berseri, Ulam Sari tambah merasa lega. Sesaat kemudian ia melanjutkan,
"Bagi mereka yang suka arak, silahkan minum sepuasnya. Tetapi... kiranya ada daging yang istimewa. Hayo tangkaplah semua ikan gurami dalam kolam dan masak dagingnya."
Sandang Jiwo dan anak buahnya tidak seorang pun berani membantah. Mereka segera melaksanakan semua perintah itu, sekalipun sebenarnya hati menentang. Lebih-lebih Sandang Jiwo yang merasa bertanggung jaWab tentang usaha rumah makan itu.
Hatinya sudah ketakutan setengah mati. apakah yang harus diderita kalau majikannya marah?
Ulam Sari yang biasanya lemah-lembut itu, saat sekarang ini memang tampak garang. Ia melirik kepada lima orang tukang pukul yang masih diikat pada kaki meja.Para tukang pukul itu wajahnya tampak pucat, jelas amat ketakutan. Dalam hati mereka mengakui, telah melakukan perbuatan yang sewenang-wenang. Maka jantung mereka berdegup cepat, khawatir sekali kalau mereka akan disiksa oleh gadis wajah jelek tetapi sakti mandraguna itu.
Setelah semua perintahnya diturut, Ulam Sari segera meninggalkan ruang atas. Setelah tiba di bagian bawah, ia melihat bahwa orang orang masih tetap memenuhi ruangan itu. Ia merasa senang sekali, sehingga tertawa. Sesudah itu katanya nyaring,
'Saudara-saudara sekalian yang memenuhi ruangan ini, dengarlah! Hari ini adalah hari ulang tahunku. Maka perkenankanlah saya mengundang sekalian saudara sekedar makan dan minum dalam ruangan ini. Saudara-saudara sekalian tidak perlu ragu-ragu dalam memerintahkan pelayan supaya menyediakan minuman dan masakan apa saja yang kaiau suka. Kalau sampai terjadi pelayan dalam rumah makan ini sampai berani membandel dan tidak mau melayani, hemm, beritahukanlah padaku. Rumah makan ini akan segera aku ratakan dengan tanah."
Semula orang-orang itu merasa heran. Namun kemudian mereka berteriak dan bersorak gembira sekali. Kemudian mereka seperti berlomba memanggil pelayan, untuk disediakan masakan yang disuka. Mereka yang memenuhi ruangan ini justeru terdiri dari orang-orang melarat. Biasanya kalau mereka makan harus berhati-hati, diperhitungkan dengan
kebutuhan dan uang yang dimiliki. Maka biasanya mereka memilih masakan yang paling murah. Akan tetapi karena hari ini adalah hari ulang tahun dari gadis wajah jelek yang gagah perkasa itu, maka mereka semua tidak tanggung-tanggung dalam memesan makanan. Ada yang segera pesan ayam panggang utuh, ada yang pesan ayam goreng tulang, hati, sate kambing. sate ayam, burung dara tim, ikan gurami dan lain sebagainya. Mendadak saja semua pelayan sibuk melayani kebutuhan, dan para koki harus bekerja mau-matian .Mereka tidak berani memperlambat pesanan, karena takut akan celaka di tangan gadis wajah buruk itu.
Sesudah melihat para pelayan menjadi sibuk, dan orang-orang itu pesan makanan tanpa ragu ragu lagi.
Ulam Sari Segera kembali ke'ruang atas. Ia segera melepas mereka yang tadi diikat pada meja. Namun mereka tidak dilepaskan begitu saja. Leher masing masing segera digubat dengan tali, dan kemudian mereka semua ditarik meninggalkan ruangan atas menuju ke bawah.
( Bersambung jilid 13 )
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 13
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
Karya : Widi Widayat
Jilid : 13
*****
"HAI saudara-saudara!" kata Ulam Sari dengan nyaring.
"Berilah aku petunjuk. Di manakah letak rumah gadai milik ndara Sangsang Buwono?"
Salah seorang dari mereka cepat memberi keterangan,
"Oh. silahkan nona, menuju ke selatan. Setelah tiba pada jalan simpang tiga. Beloklah nona ke kiri. Kemudian akan tampaklah sebuah gedung besar. Itulah rumah gadai ndara Sangsang Buwono."
"Terima kasih atas petunjuk saudara," sahut Ulam Sari, kemudian melangkah ke luar sambil menyeret enam orang yang menjadi tawanannya.
Begitu lewat di jalan besar itu, beberapa orang yang menyaksikan keheranan. Banyak di antara mereka yang segera mengikuti Ulam Sari. Diam diam orang-orang itu gembira juga. Sebab biasanya begundal-begundal Sangsang Buwono adalah galak dan pekerjaannya main peras dan main tindas. Maka pembalasan ini membuat mereka senang sekali.
Beberapa orang Belanda yang menghuni pada benteng Kumpeni, melihat juga peristiwa itu. Mereka hanya tertawa saja kemudian pergi dengan
tak acuh. Memang semenjak benteng Kumpeni Jepara diobrak-abrik oleh Bupati Baureksa, yang kedudukannya di Kendal tetapi menguasai Jepara juga, para Kumpeni Belanda itu amat hati-hati dalam segala tindak dan perbuatannya.
Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong Balada Si Roy 05 Blue Ransel Karya Gola Gong Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua

Cari Blog Ini