Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 11

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 11


Apakah maksud Ulam Sari membawa enam orang itu ke rumah gadai Sangsang Buwono?
Dalam kemendongkolannya atas perbuatan sewenang wenang dari Sangsang Buwono dan orang orangnya, timbul pikiran Ulam Sari untuk memaksa penguasa gadai menerima mereka itu sebagai barang gadai.
Tak lama kemudian tibalah Ulam Sari yang menyeret enam orang itu ke depan rumah gadai yang dimaksud, kemudian ia menghampiri juru taksir gadai sambil berteriak nyaring,
"Hai saudara tukang taksir. Aku mempunyai enam ekor anjing. Berhubung aku membutuhkan uang cukup banyak. maka gadailah anjingku ini untuk setiap ekor seribu real."
Satu real kira-kira sama dengan satu rupiah.
Bukan main kagetnya para pegawai rumah gadai tersebut. Bagi mereka memang biasa menerima barang gadai. Akan tetapi barang itu terdiri dari emas, berlian, keris atau barang-barang lain yang berharga. Adalah merupakan hal yang langka, dan baru sekarang ini pula terjadi, ada orang yang datang kemari secara kurang ajar.
Manusia digadaikan, mana mungkin?
Lebih-lebih ketika mereka mengamati secara teliti, diketahuilah bahwa enam orang yang diseret dan mau digadaikan itu
adalah rekannya sendiri. Maka dengan mata merah Saking marah, berkatalah tukang taksir,
"Hai... apakah maksudmu......?,"
"Jahanam! Apakah telingamu sudah tuli dan matamu buta?" bentak Ulam Sari.
"Aku datang ke mari untuk menggadaikan enam ekor anjingku ini, dengan harga setiap ekor seribu real. Lekaslah bayar!" '
Baik tukang taksir maupun pegawai pegadaian yang lain tahu belaka, bahwa perempuan wajah buruk ini, datang ke mari untuk mengacau. Namun demikian mereka juga sadar bahwa perempuan ini tentu bukan perempuan sembarangan. Buktinya enam orang itu dapat diikat tanpa bisa berkutik lagi. Salah seorang di antara mereka cepat-cepat pergi untuk memanggil tukang pukul yang melindungi rumah gadai itu. Adapun tukang taksir pada rumah gadai ini, berkata dengan Sikap menghormat,
"Nona, sungguh sayang bahwa menurut peraturan pada rumah gadai kami ini, kami tidak dapat menerima benda hidup. Maka kami mohon agar nona sudi memaafkan."
"Hemm," dengus Ulam Sari dingin.
"Bagus sekali! Apa bila engkau menolak anjing jahat yang akan aku gadaikan ini karena hidup, akan aku buat anjing anjing jahat ini mampus saja !"
Mendengar ancaman Ulam Sari ini, enam orang begundal Sangsang Buwono itu menjadi ketakutan setengah mati. Maka salah seorang dari mereka sudah meratap,
"Tolong..... tolonglah jiwa kami. Den juru.....,.. terimalah kami sebagai barang gadai."
Tetapi pegawai yang disebut den Juru itu tidak gampang-gampang mau mengeluarkan uang enam ribu real. Uang sebanyak itu adalah amat besar sekali nilainya. Dan tentu ia tidak sedia menjadi korban kesembronoannya.
"Duduklah dan tunggu sebentar, nona," bujuk den Juru.
"Tentunya nona haus, dan kami ingin sekali menghidangkan teh lebih dahulu."
"Huh. aku baru mau minum tehmu, apa bila anjing-anjing jahat ini sudah mampus!" sahutnya dengan dingin. .
Sesudah berkata begitu, ia menghampiri pintu rumah gadai. Begitu mengerahkan tenaganya,
"kruk!" engsel daun pintu itu patah. Tentu saja si pegawai rumah gadai kaget di samping gentar. Namun tentu saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya, lalu menegur dengan mata keras,
"Hai nona! Apakah maksudmu yang sebenarnya?"
Ulam Sari hanya mendengus dingin dan tidak menyahut. Ia menyeret enam orang tawanannya, lalu menggunakan sebelah kakinya untuk menyerampang. Tanpa ampun lagi enam orang itu segera roboh di lantai. Sesudah mereka roboh, daun pintu yang dicopot tadi segera dipergunakan menindih tubuh mereka.
"Hai nona!" teriak den Juru.
"Jangan engkau mengacau tempat ini. Apakah engkau tidak membuka dan memasang telinga. milik siapakah rumah gadai ini?!"
Ulnm Sari mengamati juru taksir itu dengan mata mendelik, dan mulut tetap tertutup. Sekali lihat saja ia sudah dapat menduga bahwa orang
itupun tidak berbeda dengan yang lain. Tentu seorang jahat yang suka main gertak dan main peras kepada pihak yang lemah. Kemudian ia melangkah menghampiri, sekali tangannya bergerak,baju bagian dada sudah dicengkeram. Sekali gentak tubuh orang itu terangkat, lalu ditendang roboh dan ditindih pula dengan daun pintu. Dalam marahnya gadis ini sudah mengangkat pot batu, lalu ditindihkan pula di atas daun pintu.
Daun pintu rumah gadai itu, sesungguhnya berat sekali karena terbikin dari kayu jati yang tebal. Sekarang begitu ditambah dengan tindihan pot batu tersebut, tentu saja semakin berat. Tujuh orang itu sekarang merintih-rintik dan meratap-ratap, apa bila keadaan ini terus berlangsung, tentu saja mereka semua ini khawatir mati,
Semua pegawai rumah gadai tersebut pucat dan berseru kaget. Namun mereka tidak berani bertindak. Sebab mereka sadar, bahwa perempuan wajah buruk ini bukan sembarangan, di samping tenaganya kuat bukan main. Pot batu itu amat berat. Kalau toh mereka disuruh mengangkat, walaupun tiga orang maju berbareng belum tentu sanggup mengangkatnya. Akan tetapi perempuan itu sanggup mengangkat, dan melempar pula tanpa kesulitan.
Karena permintaannya belum juga ditanggapi, kemarahan Ulam Sari makin menjadi. Ia mengangkat lagi sebuah pot batu, lalu ditindihkan lagi pada daun pintu. Katanya,
"Hai anjing-anjing jahat. Aku ingin melihat, kamu mampus atau tidak oleh tindihan daun pintu dan pot itu?"
"Aduh.... aduh.... aduh...." hampir berbareng tujuh orang itu berteriak kesakitan.
Mereka merasakan tubuh mereka seperti mau pecah oleh tindihan benda yang berat itu. Adapun para pegawai rumah gadai yang menyaksikan, menjadi gemetaran tubuhnya.
Saking tidak kuasa menahan kesakitan dan khawatir pula keburu mati, juru taksir itu sudah meratap,
"Aduh. .. nona, ampun... . .! Lepaskan aku, dan ambillah uang yang kaukehendaki."
Mendengar rintihan dan ucapan dari Juru, pegawai rumah gadai yang lain tidak dapat berbuat lain kecuali tunduk. Mereka secepatnya mengeluarkan uang enamribu real yang diminta oleh nona itu. Sedang Ulam Sari dengan cepat pula memasukkan uang tersebut ke dalam pundi-pundi. Setiap pundi-pundi berisi seribu real. Namun oleh Ulam Sari pundi-pundi itu ditempatkan di atas daun pintu.
"Ha-ha-ha. bagus! Enam ekor anjing laku enam ribu real !" katanya diiring ketawanya.
"Tetapi si juru taksir itu belum dibayar. Hemm, untuk dia harus dibayar empatribu real. Hayo lekas bayar!"
Karena tambahan uang enamribu real yang menindih itu, maka tujuh orang itu makin meratap ratap minta ampun. Akan tetapi Ulam Sari seperti tidak mendengar, dan masih terus minta pembayaran atas harga si juru taksir.
Di saat itu, mendadak terdengarlah suara bentakan nyaring,
"Bangsat! Apakah nyawamu sudah rangkap berani mengacau tempat ini?"
Baru habis bentakannya, dua orang bertubuh tinggi besar sudah melesat masuk ke dalam rumah gadai. Pakaian dua orang itu serba merah. Wajah
mereka tampak bengis dan dari otot-ototnya yang menonjol jelas sekali bahwa mereka bertenaga kuat.
Namun Ulam Sari hanya tertawa dingin. Sekali loncat gadis ini sudah tiba di belakang dua orang tukang pukul itu. Kemudian dua tangan terangkat. Jari-jari tangan yang kecil dan halus itu sudah mencengkeram leher tukang pukul itu, seperti jepitan besi. Sesungguhnya dua orang ini mempunyai kepandaian lumayan pula di samping bertenaga cukup kuat. Tetapi sungguh sial, begitu dicengkeram oleh jari tangan Ulam Sari, dua orang ini tidak dapat berkutik sama sekali. Mereka kaget sekali dan wajah mereka mendadak pucat. Peluh dingin membanjir membasahi tubuh, di samping tubuhnya menjadi gemetaran.
Sekali mengerahkan tenaga dua orang tukang pukul itu sudah terangkat naik. Kemudian ia menggoyangkan tangannya, sehingga dua orang itu terkocok dan makin tambah ketakutan. Baru setelah dua tukang pukul itu setengah mampus, oleh Ulam Sari segera dilemparkan ke atas daun pintu. Tindihan ini tentu saja makin menambah berat beban tujuh orang yang tertindih di bawahnya. Maka tujuh orang itu berteriak-teriak minta ampun sambil mengaduh aduh.
Robohnya dua orang jago yang melindungi rumah gadai ini, sudah tentu membuat para pegawai rumah gadai itu tambah takut dan khawatir. Pengurus rumah gadai menjadi amat khawatir kalau rekan-rekannya itu harus binasa di tangan si perempuan yang sakti ini. Maka cepat-cepat ia menghampiri Ulam Sari sambil memberikan hormat. Katanya ramah
"Nona. sudilah engkau sabar dan harap sudi memandang muka saya. Ampunilah jiwa mereka dan untuk nona segera kami siapkan lagi empatribu real."
Sesudah berkata demikian, ia cepat-cepat memerintahkan kepada para pegawai Supaya segera mempersiapkan uang itu.
Sambil mempersiapkan uang empatribu real itu, sesungguhnya hati semua orang agak heran.
Mengapa sudah cukup waktu, masih belum juga muncul tukang-tukang pukul dari rumah ndara Sangsang Buwono dan menolong keadaan?
Apa sajakah yang sedang dikerjakan oleh jagojago itu di tempat lain?
Menurut keharusan, dengan keributan yang timbul dalam rumah makan maupun rumah gadai sekarang ini, yang ditimbulkan oleh perempuan ini, tukang-tukang pukul Sangsang Buwono sudah berdatangan dan menolong.
Tetapi mengapa tidak muncul? .
Kalau orang-orang yang bekerja pada pegadaian ini mengharap pertolongan dari para jago itu, sebaliknya Ulam Sari sendiripun mempunyai maksud lain. Ia mengacau di rumah makan maupun di rumah gadai ini, tiada lain maksud kecuali ingin memancing munculnya orang yang disebut dengan nama Sangsang Buwono itu. Gadis ini sekalipun muda, sudah dapat berpikir luas dan hati-hati. Pengalamannya ketika bermaksud membebaskan orang orang yang tersiksa di Pegunungan Kendeng, tidak ingin terulang kembali. Untuk itu ia tidak berani lancang dan gegabah datang ke rumah Sangsang Buwono,khawatir dirinya terjebak. Hanya sungguh
sayang, bahwa apa yang diharapkan belum juga terujud.
Maka diam-diam hati gadis ini merasa gelisah juga, apakah dirinya hanya seorang diri pula, harus terpaksa datang ke rumah Sangsang Buwono dan mengacau?
Maka ketika melihat para pegawai rumah gadai itu sudah selesai mempersiapkan empat buah pundipundi yang berisi uang, segera pula mereka diperintah untuk menempatkan pundi-pundi uang itu di atas daun pintu.
Para pegawai rumah-gadai itu semakin menjadi pucat wajahnya dan ketakutan. Kalau terus ditindih dengan benda yang amat berat itu, mungkinkah tujuh orang kawannya dapat bertahan lagi?
Karena itu mereka menjadi ragu-ragu. Tetapi Ulam Sari tidak perduli dan terus membentak nyaring,
"Hai. apakah kamu membantah perintahku? Lekas tempatkan uang itu di atas daun pintu."
Mereka menjadi takut, dan dengan tergesa-gesa mereka sudah menggotong pundi-pundi uang, ditempatkan di atas daun pintu.
Waktu itu di depan rumah gadai tersebut, makin menjadi banyak jumlahnya manusia yang berkerumun dan menonton.
Ulam Sari tersenyum.
Sesungguhnya ia merasa tidak sampai hati berbuat seperti yang dilakukan sekarang ini. Ia sadar bahwa betapapun berat dosa dan kesalahan orang-orang ini, mereka hanyalah orang orang yang diperalat. Orang yang melakukan pekerjaan karena memperoleh gaji. Dan apa bila tidak melakukan tugasnya secara baik, tentu memperoleh perlakuan tidak menyenangkan dari sang majikan. Yang bersalah bukan orang ini, melainkan adalah si majikan. Tetapi, tujuannya sekarang ini memancing munculnya Sangsang Buwono.
Mengapa tidak juga muncul? .
Tetapi karena khawatir dirinya akan kesalahan tangan menyebabkan nyawa melayang, dan hal itu berarti dirinya melanggar larangan gurunya, ia terpaksa merobahnya. Lalu teriaknya kepada pegawai rumah gadai.
"Ahh, aku sampai lupa kepada anjing-anjing yang aku gadaikan ini. Salah-salah bisa mati. Lekas, lekas angkat semua uang dan pot batu itu!"
Tentang pundi-pundi uang, sekalipun jumlahnya sepuluh buah, setiap orang dapat mengangkat dengan gampang. Akan tetapi dua buah pot batu itu amat berat. Maka terpaksa para pegawai tersebut minta bantuan dua orang tukang pukul, yang segebrakan telah dirobohkan Ulam Sari. Pot batu itu memang berat. Baru sesudah tiga orang mengangkat secara bersama, pot batu itu bisa diturunkan dari daun pintu. Tetapi walaupun pada akhirnya dapat mengangkat pot batu itu. tidak urung napas mereka tersengal sengal. Baru sesudah itu, daun pintu diturunkan pula, dan tujuh orang itu terbebas dari himpitan yang amat berat.
"Hi-hik, bagus! Dan sekarang tugas kalian membawa uang ini untuk modal judi!" kata Ulam Sari sambil cekikikan.
"Juru taksir aku bebaskan dari kewajiban. Tetapi yang lain harus ikut aku pergi ke sana, sebab aku ingin berjudi."
Dua orang tukang pukul itu menjadi jinak saja,
karena menjadi ketakutan. Kemudian delapan orang itu mengikuti Ulam Sari sambil membawa pundi pundi uang, menuju ke rumah judi.
Apa yang telah terjadi dan dilakukan gadis berwajah buruk ini, amat menarik perhatian orang. Sungguh merupakan suatu keajaiban yang hampir tidak dapat dipercaya. Seorang diri dan bertangan kosong pula, seorang perempuan dapat mengalahkan para jago Sangsang Buwono. Pada umumnya orang-orang yang menyaksikan itu gembira dan bersyukur. Namun karena takut kepada orang yang disebut dengan nama Sangsang Buwono, mereka tidak berani menunjukkan sikap gembira yang menyolok.
Akan tetapi karena wajah gadis itu amat buruk, juga menyeramkan sekali, maka dengan terjadinya peristiwa itu, segeralah timbul dugaan dan kepercayaan mereka, bahwa gadis itu bukanlah manusia sewajarnya. Mereka menduga bahwa gadis wajah buruk itu merupakan manusia jejadian. Mungkin sekali seorang siluman yang berhati baik. Karena melihat banyak orang bernasib malang akibat penindasan Sangsang Buwono dan para pembantunya yang sewenang-wenang, maka siluman itu muncul dan memberi pertolongan.
Kalau bukan siluman, manakah seorang perempuan sehebat itu?
Dan sudah barang tentu iring-iringan begundal Sangsang Buwono yang patuh dan tunduk diperintah membawa uang oleh Ulam Sari ini, di sepanjang jalan menarik perhatian orang. Sekalipun pada umumnya mereka khawatir dan takut-takut, tidak terhitung juga jumlahnya orang yang mengikuti
dari jarak agak jauh. Memang mereka tidak berani mengikuti dari jarak dekat. Mereka khawatir dibalas oleh orang-orang Sangsang Buwono yang, biasanya galak dan sewenang wenang itu..
Jarak antara rumah gadai dengan rumah judi yang dibuka oleh Sangsang Buwono adalah lumayan. Karena rumah judi itu diselenggarakan di luar kota. Terletak pada sebuah rumah kuno yang besar, yang dikurung oleh tembok tua dan tinggi. Maka tambah jauh perjalanan yang harus ditempuh, makin bertambah juga jumlahnya orang yang mengikuti di belakang.
"Itulah rumah judi,' kata salah seorang dari tukang pukul.
"Bagus,mari kita masuk!" tanpa ragu sedikitpun Ulam Sari melangkah lebar, mendahului delapan orang yang membawa uangnya.
Hebat juga keberanian Ulam Sari ini. Sebab dirinya adalah seorang perempuan malah seorang gadis yang usianya masih amat muda pula .Wajah yang tampaknya amat kurus dan menakutkan itu, hanyalah tertutup oleh kedok saja. Apa bila kedok penutup muka itu dibuka, wajah gadis ini segera berobah menjadi cantik luar biasa. Tentu saja wajah cantik itu merupakan sesuatu yang amat merarik bagi setiap laki-laki, lebih lebih bagi mereka yang datang ke rumah judi ini. Sebab kebanyakan yang datang ke rumah judi yang diselenggarakan oleh Sangsang Buwono ini bukanlah orang baik baik. Kebanyakan terdiri dari orang orang bertangan panjang, yang mencari kesempatan baik untuk mengambil barang milik orang lain. Orang-orang
demikian, biasanya mempunyai watak yang kurang baik pula terhadap perempuan. Dan orang-orang demikian biasanya ganas terhadap perempuan.
Begitu masuk,segera terdengar beberapa orang berseru heran. Di dalam rumah judi ini semuanya terdiri dari laki-laki. Maka kehadiran Ulam Sari ini membuat semua orang heran, sekalipun wajahnya buruk bukan main. Akan tetapi Ulam Sari tidak perduli,diiring delapan orang itu langsung menghampiri meja di tengah di mana sang bandar dadu sedang beraksi.
Bandar judi yang berkumis tebal, alisnya tebal dengan sepasang mata yang sipit itu, mengenakan pakaian dari sutera yang mahal. Ia duduk pada bangku kecil yang tinggi, dikerumuni oleh beberapa orang laki-laki pemasangnya. Namun begitu melihat dua orang tukang pukul rumah gadai dan enam orang tukang pukul dalam rumah makan Sangsang Buwono, yang masing masing membawa pundi-n pundi itu, si bandar heran. Tegurnya,
"Hai, kalian datang ke mari untuk apa?"
Salah seorang tukang pukul itu sudah menjawab, sambil melirik ke arah Ulam Sari,
"Ahhh, nona ini hendak main-main disini!"
Selama berkecimpung dalam rumah judi ini, dan memperoleh kepercayaan Sungsang Buwono, bandar judi ini tahu belaka bahwa majikannya mempunyai pergaulan yang amat luas. Sekarang begitu melihat si tukang pukul itu jinak dan nampak takut-takut, maka ia menduga bahwa gadis ini salah seorang sahabat Sangsang Buwono, dan tentu merupakan perempuan sakti mandraguna pula.
Malah kemudian si bandar ini sudah menduga, bahwa kiranya perempuan jelek ini seorang pemimpin perampok, maka uang yang dibawanya cukup banyak. Di luar dugaannya sama sekali, bahwa sekalipun perampok, tetapi Ulam Sari bukan perampok yang biasa. Ulam Sari yang mengobrak-abrik rumah makan, kemudian merampok rumah gadai, bukan untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi demi kepentingan banyak orang. Ia tidak senang oleh tingkah laku Sangsang Buwono dan orang-orangnya itu. Karena si gadis wajah buruk ini tenang-tenang saja ketika mendekati mejanya, si bandar dadu itu segera berkata sambil tertawa,
"Ha, bagus! Ada semacam pepatah, bahwa pemilik rumah makan takkan takut kepada tamu berperut besar. Maka sebaliknya aku yang membuka rumah judi, tidak takut kepada tamu banyak uang. Mari, mari silahkan duduk, nona. Dan bolehkah aku yang rendah ini mohon keterangan tentang nama dan julukan nona?"
"Hemm, namaku Sapu Jagad dan pekerjaanku tukang jagal!" sahut Ulam Sari sambil pula menempati pada sebuah bangku kecil yang tinggi.
Mendengar jawaban ini si bandar kaget. Dan ketika ia melirik ke arah tukang pukul itu, si tukang pukul berkedip. Tahulah sudah si bandar ini, bahwa tamunya yang banyak uang ini datang tidak bermaksud baik, tetapi untuk mengacau. Walaupun begitu ia bersikap tenang-tenang saja. Maka bandar ini segera meneruskan permainannya mengocok dadu, dan diletakkan di atas piring, dengan ditutup mangkok. Taruhan dengan dadu ini, pemasang dapat memilih taruhan "besar" dan
"kecil" atau jumlah angka. Setiap biji dadu mempunyai angka satu sampai enam. Hingga dengan begitu, nilai paling kecil tiga dan paling besar delapan belas. Setiap penjudi yang bertaruh berdasar jumlah angka akan memperoleh bayaran beberapa kali lipat banyaknya. Namun begitu pada umumnya lebih suka pasang "besar" atau "kecil".
Maksud kehadiran Ulam Sari ke tempat judi ini. sesungguhnya memancing datangnya orang yang disebut dengan nama ndara Sangsang Buwono itu. Bagi gadis ini, sesungguhnya melihat saja sudah merasa muak.
Apa lagi untuk ikut-ikut judi. Oleh sebab itu Ulam Sari hanya menonton saja, sambil pula melihat bagaimanakah roman muka seorang penjudi yang mujur dan seorang penjudi yang buntung.
Dan karena Ulam Sari belum juga ikut pasang, maka si bandar tidak memperdulikan lagi. Bagi dirinya saat sekarang ini. yang penting melayani para pemasang, dan demi keuntungan pekerjaan yang dilakukan. Maka jari-jari tangan si bandar sudah bekerja lagi, mengocok dadu. Begitu dadu diletakkan di atas meja. para pemasang sudah berserabutan memilih angka yang disukai, atau menebak besar dan keeil. Ternyata lima kali dibuka. angka menunjukkan jumlah yang besar. Membuat orang yang sejak tadi memasang uang pada kecil meringis terus, dan peluh dingin mengucur membasahi leher dan dahinya. Jantungnya mulai tegang dan berdebaran. Apa jadinya kalau uang yang dibawanya ludes di meja judi. Keluarganya akan menderita kelaparan akibat tidak dapat membeli beras dan kebutuhan keluarga yang lain. Sebaliknya mereka yang lima kali mujur terus karena pasang pada jumlah besar, mulut sudah tersenyum simpul. Mereka meraba raba saku yang sudah berisi uang cukup banyak. Kemudian membayangkan betapa bahagianya apa bila hari ini dapat memperoleh kemenangan lebih banyak lagi. Berpikir demikian, bukannya mereka puas memperoleh kemenangan yang sedikit. Mereka makin bernafsu dan pasang dalam jumlah yang lebih besar.
Begitulah sifat dari penjudi. Kalau mujur menjadi senang, kalau kalah menjadi muram. Mereka lupa bahwa baik memperoleh kemenangan maupun kalah sama saja. Kalau hari ini memperoleh kemenangan yang tidak seberapa jumlahnya itu, tentu kemarin, kemarin lusa atau beberapa hari yang lalu kekalahannya jauh lebih banyak dari kemenangannya yang sekarang. Yang selalu memperoleh kemenangan adalah si bandar dan pemilik rumah judi.
Itu jelas!
Apa bila tidak memperoleh keuntungan yang banyak, manakah ada nafsu membuka rumah judi?
Manakah sanggup membayar petugas petugas yang menyelenggarakan perjudian?
Pemilik rumah judi bukan melulu mengeluarkan ongkos untuk petugas. Tetapi juga mengeluarkan ongkos lain berupa pajak, dan juga uang lain guna melicinkan jalan untuk petugas petugas kekuasaan di Jepara, atau pula petugas petugas dari Mataram. Cukup banyak uang yang dikeluarkan.
Di samping itu, setiap perjudian tentu banyak siasat, banyak akal dan penipuan.
Judi yang jujur
manakan bisa memperoleh kemenangan?
Judi bukanlah "mengadu nasib". Tetapi judi adalah mengadu akal dan siasat. Teringat kepada hal-hal ini, maka kalau semula Ulam Sari hanya tenang tenang saja menonton, sekarang timbul keinginannya untuk mencoba. Katanya dalam hati,
'Hemm, benarkah si bandar ini jujur? Tanpa mencoba manakah mungkin aku bisa tahu? Kalau dia tidak jujur, akupun bisa berbuat tidak jujur. Orang berjudi tidak perlu takut disebut tidak jujur."
Sebagai seorang digdaya sakti yang sudah amat terlatih pendengarannya, ketajaman mata dan tenaga sakti (tenaga dalam), akan jauh lebih awas dari manusia yang lain. Maka sesudah memutuskan untuk ikut berpasang, ia segera memperhatikan mangkok yang dipergunakan menutup dadu itu, di samping pula mendengarkan suara jatuhnya dadu dalam mangkok. Kepalanya mengangguk-angguk. Ternyata dadu yang dipergunakan itu terbuat dari kayu melulu, menjadi ringan.
Telinga Ulam Sari adalah tajam luar biasa. Maka walaupun dadu itu ditutup dengan mangkok, namun dengan mendengarkan suara jatuhnya dadu, ia segera dapat menduga besar dan kecilnya angka. Maka setelah merasa pasti dugaannya takkan meleset, ia berkata kepada bandar,
"Hai saudara bandar. Aku ingin memperoleh keterangan dahulu, tentang jumlah pasangan. Ada pembatasan jumlah pasangan atau tidak?"
"Heh-heh-heh," si bandar terkekeh.
"Semua orang tahu bahwa rumah judi di sini. belum pernah membatasi jumlah pasangan bagi para tamu. Pendeknya setiap sahabat yang suka berkunjung ke tempat ini, akan kami layani sepuasnya. Tamu yang mujur, mungkin sekali ketika pulang sampai tak sanggup menggoreng kemenangannya saking banyaknya. Tetapi bagi tamu yang sial, bisa saja terjadi, datang membawa banyak uang dengan bantuan beberapa orang. ketika pulang terpaksa harus menggigit jari."
Ulam Sari tersenyum mendengar jawaban itu. Dari jawaban tersebut tampak akan kesombongan si bandar. Di samping itu secara halus telah menyindir dirinya yang datang membawa uang dengan dibantu oleh beperapa orang.
"Bagus!" puji Ulam Sari.
'Jawabanmu adalah menunjukkan kegagahanmu. Sebab apa bila rumah judi ini sampai membatasi jumlah pasangan, tempat ini akan menjadi bahan cemoohan dan ejekan bagi seorang penjudi besar seperti aku. Hi-hi-hik, para pemasang lain jangan merasa tersinggung dan terhina. Bagiku, pasang dalam jumlah ratusan real untuk apa? Orang seperti aku, kalah berjudi sepuluh ribu real dalam sehari bukan apa-apa. Aku akan bisa mendapatkan ganti dari seorang kaya nanti malam."
Sengaja Ulam Sari mengucapkan kata-kata macam itu. Agar orang menduga bahwa dirinya dari golongan "penjahat ulung". Setelah berkata begitu, Ulam Sari segera mempertajam pendengarannya, guna memperhatikan suara dadu yang baru jatuh setelah dikocok.
"Hemm, biarlah aku memilih angka besar, dengan uang taruhan seribu real" katanya sambil menggapai kepada salah seorang tawanannya. Lalu sebuah pundi-pundi berisi uang seribu real diletakkan pada tempat taruhan angka "besar".
Mengapa memilih angka besar?
Dari pendengarannya, ia bisa menduga pasti-bahwa dadu yang dikocok tadi, jumlahnya empatbelas.
Agak berdebar juga jantung si bandar menghadapi taruhan seribu real itu. Sebab walaupun dirinya telah banyak pengalaman berjudi, sehingga dirinya memperoleh kepercayaan menjadi bandar di rumah judi ini, namun terus terang saja ia belum dapat memastikan besar dan kecilnya angka dadu yang selesai dikocok. Oleh pengaruh debaran jantung menghadapi pasangan yang besar itu, tangannya menjadi agak gemetaran juga ketika bandar itu membuka mangkok.
"Ahhh...." serunya tertahan, dan mendadak saja wajah bandar berobah menjadi pucat, ketika melihat mata dadu itu.
Ternyata mata dadu yang di atas, dua buah dadu memberi angka lima. sedang yang sebuah dengan angka empat. Dengan begitu, jumlahnya empatbelas, merupakan hitungan besar. Dan sudah tentu, perempuan wajah jelek yang bertaruh pada angka besar memperoleh kemenangan seribu real. Untuk itu, seorang pembantunya cepat-cepat membayar seribu real.
Kalau si bandar berdebar, sesungguhnya Ulam Sari tadipun hatinya tegang. Walaupun kalah dan menang tidak terpikir, karena tujuannya menunggu munculnya Sangsang Buwono, namun kalau pasangannya kalah ia merasa malu juga. Oleh karena itu pada kocokan berikutnya Ulam Sari tidak ikut pasang. Ia hanya memperhatikan suara jatuhnya dadu dengan menduga-duga.
"Mungkin sekarang ini kecil," katanya dalam hati.
Si bandar mengamati Ulam Sari. Akan tetapi karena perempuan jelek ini berdiam diri saja, maka kemudian tangan si bardar membuka mangkok. Begitu mangkok dibuka, ternyata dugaannya benar. Angka pada dadu menunjukkan angka kecil. Tiga dadu menunjukkan angka yang sama, masing-masing satu.
Pada kocokan berikutnya, Ulam Sari berkata,
"Taruhkan duaribu real pada angka kecil."
Di antara para penjudi, ada yang sudah mulai dapat menduga bahwa perempuan jelek ini seorang penjudi ulung. Maka sudah ada yang mencoba coba ikut memasang uangnya pada angka kecil.
Orang-orang itu bersorak ketika dadu menunjukkan angka enam, berarti kecil. Dan si bandar makin tambah pucat wajahnya, karena dalam dua kali saja sudah harus membayar tigaribu real lebih.
Akan tetapi sekalipun begitu, si bandar yang sudah kawakan ini tidak menyerah begitu saja. Ia menenangkan hati, kemudian mengocok lagi. Begitu dadu diletakkan di atas meja, Ulum Sari sudah berteriak,
"Ambil uang tujuhribu real. Taruhkan pada angka kecil."
Melihat besarnya jumlah taruhan itu, beberapa orang penjudi melongo keheranan. Ada yang menjadi ragu-ragu, ada yang menghentikan pasangannya, dan ada pula yang tanpa pikir sudah ikut
pasang pada jumlah kecil. Akibatnya perbandingan pasangan jauh tidak imbang. Pada angka kecil berjumlah tujuhribu real lebih, sedang pada angka besar hanya ada puluhan real saja.
Dengan tangan yang gemetaran si bandar membuka mangkok penutup dadu.
"Kecil!" teriak beberapa penjudi yang ikut pasang pada angka kecil.
Si bandar tambah pucat wajahnya. Keringat dingin mengucur dengan derasnya membasahi tubuh. Sehingga si bandar terpaksa menggunakan saputangan untuk menyeka keringatnya.
Karena dua kali sudah kalah sepuluhribu real, maka dalam usahanya mengembalikan kekalahannya itu, si bandar mengocok dadunya berulang-ulang. Pengocokan berulang-ulang ini dengan maksud untuk membingungkan orang dalam memilih angka. Maka sesudah dikocok berulang-ulang dan merasa puas, dadu tersebut diletakkan di atas meja.
"Sekarang aku akan bertaruh lebih banyak lagi," kata Ulam Sari.
"Aku mempertaruhkan uang kemenanganku yang selaksa (sepuluhribu) real itu, pada angka besar. "
Beberapa penjudi yang dua kali memperoleh kemenangan tanpa ragu-ragu lagi mengikuti Ulam Sari, pasang pada angka besar. Melihat beberapa orang ikut pasang pada angka besar itu, tiba-tiba saja penjudi yang lain ikut pula. Dengan begitu, pasangan kali ini semuanya pada angka besar. Pada angka kecil kosong.
Si bandar menenangkan perasaan, dan dalam hati selalu berharap agar kali ini dadu memberi angka
kecil. Kalau harapannya ini terkabul, ia berjanji dalam hati akan menciumi dadu yang dipergunakan judi. Tetapi ketika dibuka penutupnya.
celaka!
"Besar!" teriakan itu gemuruh dan diserukan oleh hampir semua penjudi.
Mendadak saja tubuh bandar itu gemetaran. Sebab hanya beberapa kali membuka mangkok dadu, pembantunya harus membayar duapuluh ribu real lebih. Dengan kekalahan yang dua laksa ini, ia merasa pasti bahwa majikannya akan marah, Paling mujur dirinya dicaci maki dengan kata-kata kotor dan menusuk perasaan. Tetapi kalau tidak mujur, dirinya bisa mendapat gebukan dari majikannya.
Melihat wajah si bandar makin pucat itu, diam diam Ulam Sari tersenyum. Kemudian tanyanya,
'Bagaimana? Pasangan dibatasi atau tidak?"
Tentu saja si bandar merasa ditampar terang terangan oleh pertanyaan itu. Tadi dengan sikap sombong ia sudah mengatakan tak ada batasan.
Maka apa bila sekarang harus membatasi, manakah mungkin?
Dan dengan batasan itu akan berarti kekalahan yang telah diderita tidak mungkin dapat kembali. Oleh sebab itu sekalipun jantungnya tegang dan merasa amat khawatir, ia sudah menjawab tegas.
"Tetap tidak ada batas!"
"Bagus, itulah seorang gagah. Hayo kocoklah, aku akan pasang lagi."
Bandar itupun sudah bekerja mengocok dadu. Tetapi sambil mengocok dadu itu. kali ini ia memutar otak. Ia akan melihat gelagat dahulu, kepada bagian manakah perempuan itu mempertaruhkan uangnya.
"Hemm, aku telah menang tigapuluh ribu real. Sekarang kemenanganku itu aku pasangkan semua pada angka kecil "
Begitu Ulam Sari sudah memilih angka kecil, semua penjudi segera berserabutan untuk mengikuti jejak Ulam Sari, mempertaruhkan uang yang dimilikinya pada angka kecil.
Tetapi si bandar tenang-tenang saja sekalipun tahu, bahwa pada angka yang besar tidak ada pasangan sama sekali. Ia sudah menetapkan rencananya. Ia menggunakan keahliannya untuk melakukan kecurangan. Ia pura pura mendorong mangkok dadu. Oleh gerakan jari tangannya yang amat cepat, terlatih, membuat apa yang dilakukan tidak dicurigai orang. Padahal sesungguhnya oleh keahliannya itu menyebabkan mangkok sudah sedikit terbuka. Hanya sedetik si bandar sudah dapat mengetahui secara cepat, bahwa jumlah dadu tersebut benar menunjukkan angka kecil. Kalau dibiarkan dadu ini pada angka kecil, akan berarti rumah judi ini menderita kekalahan besar sekali. Dan dengan begitu, keselamatannya terancam oleh kemarahan Sangsang Buwono. Guna menolong diri, si bandar yang sudah ahli dalam melakukan kecurangan ini, menggunakan kelingkingnya untuk menggulingkan salah sebuah dadu. Akibatnya kalau semula dadu itu memberi angka satu. sekarang menjadi enam. Dengan demikian jumlah bertambah dengan lima nilai. Maka kalau pada mulanya jumlah itu hanya tujuh saja, sekarang berobah menjadi duabelas. Dari jumlah angka yang kecil, telah berobah menjadi angka besar.
Gerakan kelingking yang sudah amat terlatih ini barang tentu takkan dapat diikuti oleh pandang mata biasa, saking cepatnya. Lebih-lebih si bandar merupakan orang sudah amat berpengalaman.
Akan tetapi salahlah dugaan si bandar, kalau Ulam Sari tidak mengetahui kecurangan yang sudah terjadi dan dilakukan si bandar. Sekalipun demikian gadis yang amat berani, cerdik dan sakti mandraguna ini hanya bersikap tenang saja. Seakan ia tidak tahu apa yang terjadi.
Gembira sekali si bandar melihat orang tidak tahu apa yang sudah dilakukan. Sekali ini, dirinya akan tertolong. Bukan saja kekalahan kembali dalam sekali kocok, namun hal itu akan mengembalikan kepercayaan majikan kepada dirinya.
"Sudah? Apakah tidak engkau tambah lagi ?" tanyanya.
Ini termasuk salah satu cara bagi seorang penjudi ulung untuk membuat orang menjadi sangsi. Seorang penjudi yang terpengaruh, akan gampang kalah.
"Sudah!" sahut Ulam Sari sambil mendorongkan tumpukan pundi-pundi uangnya.
"Jika engkau memang mujur, silahkan makan semuanya."
"Baik! Jika engkau memang ikhlas, apakah salahnya aku makan?" sambut si bandar sambil membuka mangkok penutup dadu.
Akan tetapi tiba-tiba saja matanya menjadi melotot, wajahnya sekarang berubah semakin pucat seperti kapas, ketika melihat dadunya, dan mendengar sorakan yang riuh dari para penjudi,
"Kecil! Betul keciiil"
"Ahhh.!" seru si bandar tertahan.
Mengapa bisa terjadi angka dadu kembali berobah menjadi angka kecil?
Tadi ia tahu benar.
Dari angka tujuh sudah ia usahakan menjadi duabelas.
Namun mengapa sekarang angka dadu itu telah berubah menjadi kecil dengan angka rata-rata dua, atau hanya enam saja ?
Orang-orang yang ikut mencari keuntungan dengan pasangan mengikuti Ulam Sari, pada berjingkrakan seperti anak kecil, saking amat gembira. Melihat kegembiraan para penjudi itu, Ulam Sari segera tertawa terkekeh
"Heh heh-heh, aku menang lagi. Hayo, lekaslah bayar kemenanganku!"
Beberapa saat lamanya si bandar kemekmek. Ia sungguh tidak habis mengerti. Jari kelingkingnya tidak salah, lagi, secara ahli telah menggulingkan dadu. Hanya sebuah saja tadi yang digulingkan.
Namun mengapa sekarang tiga buah dadu itu malah mengguling semua dengan angka rata-rata dua?
Sebaliknya para penjudi kecil yang sama sekali tidak menyadari terjadinya kecurangan, tidak mengerti mengapa si bandar kemekmek Seperti itu. Mereka hanya menduga bahwa perempuan wajah buruk ini seorang penjudi ulung, sehingga setiap tebakannya tidak pernah meleset.
Apakah yang terjadi sesungguhnya?
Kecurangan yang dilakukan oleh si bandar, dibalas oleh Ulam Sari. Memang sebenarnya, ketika melihat gerakan jari kelingking si bandar tadi, sebagai seorang yang tidak pernah berjudi, tidak tahu apa yang Sedang dilakukan. Akan tetapi dengan melihat perubahan wajah si bandar, dan juga pertanyaannya, "tidak
engkau tambah lagi?" membuat Ulam Sari tahu apa yang sudah terjadi. Maka ketika tangan kanan menyodorkan pundi pundi uangnya ke depan, sehingga timbul suara gemerisik dari uang dalam pundi-pundi, tangan kiri Ulam Sari sudah bekerja. Tangan kiri itu menyelonong ke bawah meja. Jari tangan menyentil ke atas, ke arah tempat dadu.
Sentilan Ulam Sari itu bukanlah sentilan biasa. Sentilan itu merupakan sentilan tangan seorang sakti, yang dilambari dengan tenaga dalam (sakti). Tenaga sentilan yang dikendalikan itu, secara tepat telah merobah kedudukan semua mata dadu. Hingga semuanya menunjukkan angka dua.
Atas terjadinya perubahan yang tidak pernah diharapkan itu, dari kepastian menang menjadi kalah lagi. si bandar menjadi marah. Ia menggebrak meja judi sambil membentak kepada tukang pukul rumah gadai,
"Hai Karto Rebo. Apakah maksudmu datang ke mari sambil membawa pengacau ?"
"Aku.... aku.... tidak tahu....." sahut tukang pukul yang bernama Karto Rebo itu tergagap ketakutan.
Kemudian mulutnya meringis dengan mata berkedip-kedip.
Ulam Sari hilang sabar. Bentaknya menggeledek,
"Hayo lekas bayar! Mengapa main lambat? Aku sudah menang cukup banyak, tidak sudi lagi aku berjudi."
Tetapi si bandar tidak perduli, malah memukul meja lagi lebih keras. Kemudian bentaknya garang.
"Perempuan bangsat. Siapa engkau ini berani main gila di tempat ini? Apakah sangkamu aku tidak tahu pengacauanmu ini?"
"Bagus, he-he-heh-heh!"
Ulam Sari tertawa dingin.
"Engkau tidak lekas mau membayar uang kemenanganku, malah engkau menepuk meja. Apakah hanya engkau sendiri yang pandai menepuk meja? Hi-hi-hik, akupun bisa menepuk meja!"
Begitu selesai berkata, Ulam Sari sudah menepuk ujung meja judi itu, sehingga menjadi somplak. Ketika ia menepuk yang kedua kalinya pada ujung yang lain, meja itu somplak lagi.
Melihat keadaan yang tiba-tiba menjadi kacau ini, banyak orang menjadi takut. Mereka tidak berani untuk minta bayaran pasangan yang mestinya harus diterima. Beberapa orang segera menyimpan uang masing-masing, kemudian cepat meninggalkan tempat judi tersebut, justeru telah memperoleh kemenangan yang lumayan. Hanya bagi mereka yang kalah saja, mereka tidak pergi dan malah menonton.
Dalam pada itu, si bandar menjadi kaget dan tidak berani menunjukkan kegarangannya lagi, ketika melihat akibat tepukan perempuan itu. Tiba tiba saja ia sudah menendang meja. Maksudnya tidak lain adalah untuk lekas kabur di saat meja itu terguling.
Teriak si bandar,
"Cepat, rampas uangnya!"
Tetapi para tukang pukul yang mendapat perintah itu tidak cepat bertindak. Bagaimanapun mereka ragu-ragu menghadapi perempuan wajah jelek ini.
Sebaliknya Ulam Sari masih bersikap tenang. Bagaikan kilat cepatnya, Ulam Sari sudah melesat dan menangkap kaki si bandar yang sedang berusaha melompat untuk kabur. Walaupun perempuan dan tubuhnya kecil, tetapi Ulam Sari bukanlah perempuan lemah. Tenaganya belum tentu kalah dengan seorang laki-laki kuat, Oleh sebab itu, tanpa kesulitan lagi ia telah mengangkat tubuh si bandar, kemudian kepala orang itu dibenturkan pada meja.
Sungguh celaka sekali!
Walaupun meja judi itu terbikin dari kayu yang tebal, namun begitu dibentur oleh kepala, meja itu somplak dan berlobang. Sebagai akibatnya kepala bandar menoblos meja.Kepala sebatas pundak menoblos ke bawah meja, sedang tubuh dengan kaki di atas berada di atas meja. Si bandar yang semula garang itu tangan dan kakinya berserabutan. Maksudnya ingin melepaskan kepalanya, namun tak juga berhasil.
Akibatnya, semua orang kaget dan menjadi takut. Para tukang pukul itupun tidak berani sembarangan bergerak.
Di saat keadaan menjadi ribut dan kacau ini, tiba-tiba menerobos masuklah seorang pemuda. Pakaian pemuda itu indah, terbikin dari bahan sutera, tubuhnya tegap dan kira kira baru berusia duapuluh tahun kurang. Sikap pemuda itu nampak tenang, dan pada tangan kanan terpegang sebuah kipas
"Ahhh, maafkan saya yang terlambat datang menyambut kunjungan sahabat dari jauh," kata pemuda itu sambil menghampiri Ulam Sari.
"Nona, saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan nona berkunjung ke tempat ini."
Ulam Sari memalingkan muka. Begitu melihat
langkah pemuda itu yang ringan. sikapnya angker, agak tercekatlah hatinya. Jelas pemuda ini bukanlah sembarangan.
Dan pemuda itu sudah berkata lagi,
"Nona, perkenankanlah saya mengetahui nama, julukan dan tempat tinggal nona."
Ulum Sari tidak menjawab pertanyaan orang, ia malah bertanya,
"Siapakah saudara?"
"Saya yang rendah bernama Sangsang Jagad," sahut pemuda itu.
Tiba-tiba saja Ulam Sari ketawa terkekeh, begitu mendengar nama Sangsang Jagad. Sebab ia segera dapat menduga, bahwa pemuda ini mempunyai hubungan dekat sekali dengan orang yang bernama Sangsang Buwono.
"Heh-heh-heh, apakah hubunganmu dengan orang yang namanya Sangsang Buwono ?"
'Kakak angkatku!" sahutnya.
"Kunjungan saudara yang terhormat ini, semestinya disambut oleh kakakku sendiri. Akan tetapi karena sedang repot dengan urusan lain, maka diutuslah aku guna menyambut saudara, dan kakakku mengharapkan kesediaan 'saudara untuk berkunjung ke rumah. Bukankah amat menyenangkan sekali bila perkenalan ini dilengkapi dengan hidangan sekedarnya?"
Setelah berkata seperti itu, tanpa menunggu jawaban Ulam Sari. pemuda ini telah menatap para tukang pukul itu sambil membentak,
"Kamu anjing tidak berguna. Tentu sikap kamu yang kurang hormat, membuat nona yang baik hati ini menjadi marah. Hayo, kamu semua harus selekasnya mohon maaf."
Dua orang tukang pukul pada rumah gadai, dan lima orang tukang pukul rumah judi ini tidak berani membantah sekalipun penasaran. Mereka sudah membungkukkan tubuh sambil menghaturkan maaf. Akan tetapi Ulam Sari tidak perduli, dan hanya tertawa dingin.
"Hi-hi-hik, sungguh sangat kebetulan bahwa akhiran namaku dengan namamu sama. Jika engkau bernama Sangsang Jagad, aku bernama Sapu Jagad. Pekerjaanku adalah jagal, tetapi juga tidak segan segan untuk menyapu jagad dan buwono."
Jelas sekali bahwa ucapan Ulam Sari ini mengandung sindiran dan ejekan terhadap pemuda itu. Si pemuda hanya melirik sejenak, kemudian perhatiannya beralih kapada si bandar judi yang masih tersiksa dan berkaok-kaok. Si pemuda yang mengaku bernama Sangsang Jagad ini segera memegang punggung bandar judi itu lalu membalikkannya. Kakinya sekarang berdiri di lantai, namun segera terjadilah pemandangan yang amat lucu dan menyedihkan. Sebab kepala bandar itu masih menoblos pada papan meja, sehingga sekarang meja dengan empat kakinya itu terangkat ke atas. Karena meja, itu cukup berat, maka untuk menolong diri si bandar menggunakan dua tangannya untuk menopang meja. Katanya gugup,
"Ahhh, untung... sekali tuan cepat datang. Aduhh.. dia..... dia itu...."
Akan tetapi karena jantungnya tergetar hebat begitu melihat pandang mata Ulam Sari yang luar biasa, orang ini tak sanggup meneruskan kata katanya.
"Hi-hik,"
Ulam Sari tertawa cekikikan.
"Engkau
tak mau berjudi lagi, bukan? Aku tidak akan memaksa engkau. Tetapi, manakah uangku? Apakah rumah judi yang terkenal ini, tidak malu tak kuat membayar uang milik pemasang?"
"Berapakah uang kemenangan nona?" tanya Sangsang Jagad.
Lalu memalingkan muka ke arah juru bayar sambil membentak.
"Lekas bayar! Kenapa main lambat untuk membayar kemenangan tamu ?"
Berbareng mengucapkan kata-katanya ini, Sangsang Jagad sudah memegang dua ujung meja yang menjepit leher si bandar. Sekali mengerahkan tenaganya, maka papan meja yang kuat dan tebal itu sudah pecah menjadi dua potong, sehingga si bandar terbebas dari siksaan.
Beberapa orang yang masih berada di situ bersorak saking kagum. Sebaliknya Ulam Sari tenang tenang saja.
Begitu terbebas dari himpitan meja, dan sekarang sang majikan muda juga sudah datang, bandar ini menjadi berbesar hati. Ia mendelik ke arah Ulam Sari dan menuding, lalu teriaknya,
"Dia main gila!" .
"Bohong!" bentak Sangsang Jagad.
"Nona ini adalah seorang wanita perkasa. Mengapa engkau membuka mulut sembarangan dan tidak dapat menghormat tamu? Huh. apakah di sini uang tidak cukup untuk membayar? Hemm, kalau memang tak cukup, bukankah engkau dapat menyuruh orang mengambil di rumah gadai ?"
Ulam Sari masih berdiam diri. Namun melihat
pemuda ini bukan orang sembarangan, maka Ulam Sari telah memutuskan untuk menghadapi dengan hati hati. Ia sudah mulai mengacau sejak di rumah makan. Ia tidak boleh kepalang tanggung, maka ia harus dapat membongkar kejahatan Sangsang Buwono sampai seakar-akarnya.
Sangsang Jagad meneruskan katanya,
"Nona. janganlah engkau khawatir. Saya memberi jaminan, untuk dibayarnya semua uang tanpa dikurangi sepeser pun. Hemm, sayang,pegawai kami yang bertugas di tempat ini hanya terdiri orang-orang yang tidak bisa memandang Jauh, hingga walaupun sedang berhadapan dengan tamu terhormat, Sikapnya tetap saja tolol. Oleh karena itu. perkenankanlah saya yang mintakan maaf dari nona, Hendaknya nona tidak menjadi kecil hati tentang urusan uang yang tidak seberapa itu. Dan sekarang, saya mohon hendaknya nona sudi singgah ke rumah barang sebentar."
Nampaknya saja ucapan Sangsang Jagad ini halus, dan mendamprat semua pegawainya yang dianggap tidak pandai menerima kedatangan tamu. Namun sesungguhnya di balik sikap yang menghormat dan ucapan yang halus ini, terkandung maksud yang lebih dalam lagi. Sebagai seorang yang berilmu cukup tinggi, tentu saja pemuda ini pandai mengenal gelagat. Ia sadar dan tahu bahwa sekalipun perempuan, orang yang wajahnya jelek seperti iblis ini bukan wanita sembarangan.
Kalau tidak berisi, manakah mungkin berani mengacau rumah judi ini?
Oleh sebab itu Sangsang Jagad
menahan hati, berusaha menyabarkan diri, dan dengan halus mengundang datang ke rumah.
Namun Ulam Sari kurang perhatian terhadap semua ucapan pemuda itu, malah sekarang ia mengucapkan kata-kata sindiran,
"Ehh. nanti dulu! Aku menjadi agak heran dan bingung juga, bahwa di smi banyak Sangsang dan banyak pula Jagad. Hemm, Buwono sama pula artinya dengan Jagad. Dan sama pula artinya dengan dunia, Akupun mempunyai akhiran nama Jagad. Hanya saja mempunyai arti yang berlainan."
Ia berhenti sejenak, kemudian katanya lagi,
"Tetapi sungguh sayang, aku masih senang untuk berjudi di tempat ini, asal saja berjudi secara jujur. Dan, kalau toh benar kakakmu ingin bertemu dengan aku, mengapa kakakmu itu tidak datang ke mari saja?"


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si bandar menjadi kaget dan berteriak,
"Jangan...jangan berjudi lagi......!"
Benar-benar si bandar judi ini mati kutu dan ketakutan untuk berjudi lagi melawan perempuan wajah jelek ini. Sebab sejak si perempuan jelek ini datang dan bertaruh, belum sekali saja ia bisa memperoleh kemenangan.
"Diam kau!" bentak Sangsang Jagad keras.
Kemudian dengan tersenyum manis, ia memalingkan muka ke arah Ulam Sari. Katanya,
"Selama ini, kakakku belum pernah menyambut sahabat dan tamu yang berkunjung ke mari kurang hormat. Maka itu, begitu mendengar kunjungan nona, kakakku menjadi amat gembira. Hanya sungguh sayang, pada hari ini kakakku sedang menerima
tamu, ialah dua orang pengawal kepercayaan Kangjeng Sultan Agung Mataram. Kunjungan tamu agung ini membuat kakakku tidak dapat meninggalkan rumah. Maka sekali lagi perkenankanlah aku mohon maaf sebesar-besarnya."
Ulam Sari ketawa dingin mendengar disebutnya "pengawal kepercayaan" Sultan Agung itu.
"Hihi-hik, dua orang pengawal kepercayaan Sultan Agung? Sungguh beruntung kakakmu mempunyai sahabat orang-orang berpangkat tinggi itu. Aku sih, hanya seorang gelandangan saja. Namun begitu, sesuai dengan namaku Sapu Jagad dan pekerjaanku sebagai tukang jagal, aku adalah paling senang menjagal atau membunuh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Raja Mataram."
Betapa kaget Sangsang Jagad mendengar itu.
"Ahh nona, jangan engkau main-main!"
Mendadak saja, Ulam Sari sudah menyambar lengan baju pemuda itu sambil membentak,
"Huh, engkau sungguh berani, mencuri daging angsa milikku."
Tentu saja Sangsang Jagad tidak kuat menahan sabarnya lagi, menghadapi sikap perempuan yang terang terangan menantang ini. Dengan sebat tangan kanan pemuda ini sudah mengirimkan serangan pancingan, sedang tangan kiri tak kurang sebatnya telah menyambar ke depan untuk mencengkeram pergelangan tangan orang.
Akan tetapi kecepatan tangan Ulam Sari bergerak tidak terduga sama sekali. Bagaikan kilat gadis ini telah membalikkan tangan, kemudian memukul pipi pemuda itu.
"Plakk.....!"
Tetapi gerakan Ulam Sari tidak hanya berhenti sampai di sini. Mendadak saja tangan yang lain telah mencengkeram tangan kanan Sangsang Jagad sambil membentak bengis,
"Kembalikan daging angsa yang kaucuri."
Sesungguhnya saja, pemuda yang bernama Sangsang Jagad ini, adalah seorang pemuda berilmu cukup tinggi. Dan atas kepandaiannya itu, ia memperoleh kepercayaan dari Sangsang Buwono, malah diangkat pula sebagai adiknya. Banyak kali sudah urusan yang ruwet, dapat diselesaikan Sangsang Jagad tanpa campur tangan Sangsang Buwono. Maka dalam kota Jepara dan daerah sekitarnya, orang akan jerih berhadapan dengan dia.
Namun mimpipun tidak bahwa hari ini ketemu batunya. Begitu kena dicengkeram oleh tangan yang kecil dari gadis itu, ia merasakan tangannya seperti dijepit oleh jepitan baja yang panas, sehingga meresap ke dalam tulang. Untuk membela diri, secepat kilat pemuda ini telah mengirimkan tendangan kilat ke arah kempungan lawan. Sungguh sial, ternyata gerakannya kalah cepat dengan kaki si gadis. Tahu-tabu kaki Ulam Sari sudah menyambut dengan jejakan keras.
"Plakk! Aduhhh..!"
Begitu berbenturan, tidak tercegah lagi dari mulut Sangsang Jagad terdengar pekik nyaring. Sebab ia merasakan kesakitan luar biasa pada tulang keringnya, seperti patah tiba-tiba.
Di saat ia merasakan kesakitan pada kakinya ini, mendadak disusul lagi oleh suara yang nyaring.
"Plak.... plak...!"
Ternyata Ulam Sari telah menyusuli tamparan yang keras dua kali ke pipi pemuda itu.
Akibatnya pipi tersebut menjadi bengkak dan matang biru.
Begitu berhaSil menghajar pemuda ini, Ulam Sari telah berteriak nyaring,
"Hai para saudara yang masuh ada di sini, dengar baik-baik. Dari tempat yang jauh sekali, aku datang ke mari, untuk membeli sepotong daging angsa dari Rejosemi. Akan tetapi sungguh celaka sekali, daging itu sudah dicuri oleh bocah ini. Sekarang, aku ingin sekali mendengar petunjuk kalian. Tepat atau tidak kalau bocah ini aku pukul biar babak-belur?"
Tentu saja semua orang yang berada di situ tidak seorang pun berani membuka mulut. Mereka tidak ada yang berani bergerak, dan hanya mengamati dengan jantung berdebar. Sekarang mereka sudah dapat meraba raba maksud perempuan wajah jelek ini. Agaknya kedatangannya memang untuk membalaskan sakit hati Rejosemi.
Sangsang Jagad sendiri saat sekarang tidak dadat berkutik sama sekali. Kaki dirasakan masih amat panas dan sakit, sedang pergelangan tangannya dicengkeram tak dapat membebaskan diri.
Di saat itu, mendadak saja muncullah seorang laki-laki yang bukan lain adalah pengurus rumah gadai yang tadi sudah diobrak-abrik oleh Ulam Sari. Tadi ketika dirinya dipaksa menyerahkan uang beberapa ribu real, ia menjadi khawatir mendapat marah dari sang majikan. Oleh sebab itu secepatnya ia mengirimkan orang untuk memberi laporan kepada Sangsang Buwono. Sesudah itu, dirinya sendiri segera menuju ke rumah judi ini, yang bukan lain untuk mengawasi gerak-gerik perempuan buruk itu.
Sekarang, begitu melihat bahwa majikan mudanya terancam oleh bahaya, pengurus rumah gadai ini sudah menghampiri sambil memberi hormat.
"Nona yang baik, dia ini adalah majikan muda kami. Majikan tua kami amat sayang kepada majikan muda. Maka saya mohon, agar nona tidak mengganggunya. Kalau toh nona memerlukan uang, katakan saja, tentu saya bayar. Asal saja, nona secepatnya membebaskan majikan muda kami."
"Tutup mulutmu. Setan alas!" bentak Ulam Sari.
"Engkau tidak tahu bahwa daging angsa yang aku beli itu, adalah angsa istimewa. Di dunia ini, manakah ada angsa yang dapat menyamai milik Rejosemi? Sekalipun hanya daging angsa, namun bisa dijadikan ramuan obat untuk menghidupkan orang yang telah mati. Namun sebaliknya kalau orang yang makan itu tidak menderita sakit, kontan saja berubah menjadi gemuk. Nah lihat, bukankah muka bocah ini sekarang sudah menjadi merah biru, dan lebih gemuk dari semula? Hayo sekarang lekas bilang. Apakah engkau masih juga berani menyangkal tidak mencuri dagingku itu?"
Si pengurus rumah gadai menjadi makin khawatir. Bujuknya,
"Nona, jangan engkau main-main. Jelas engkau sudah menampar, sekarang malah mengatakan lain."
Sesungguhnya betapa marah si pengurus rumah gadai ini, menyaksikan penderitaan si majikan mudahya. Akan tetapi sadar bahwa perempuan itu
sekalipun wajahnya jelek bukan perempuan sembarangan, maka ia terpaksa menahan sabar.
Saat itu Ulam Sari sudah berkata lagi,
"Hai saudara-saudara, dengar! Sekarang aku minta pendapatmu, dan katakan terus terang. Benar atau tidakkah tuduhanku bahwa bocah ini telah mencuri dagingku?" ,
Semua orang yang sekarang masih hadir di rumah judi ini, adalah kaki tangan Sangsang Buwono. Sebab para penjudi sudah ketakutan dan cepat-cepat ke luar dari rumah ini. Maka begitu mendengar tuduhan dan pertanyaan si gadis wajah buruk, hampir semua orang sudah menyatakan pendapatnya bahwa tuduhan gadis itu ngawur.
Ulam Sari tertawa dingin. Kemudian katanya,
"Hemm, kalau begitu bukankah kamu semua ini ingin membela bocah ini. bukan? Baik! Kamu bilang bahwa bocah ini tidak mencuri daging angsa milikku. Bagus! Mari sekarang kita buktikan. Marilah kamu ikut aku ke rumah tua yang rusak.yang letaknya di pinggir kota itu, untuk memperoleh pembuktian benar dan tidaknya tuduhanku ini. Hemm, sengaja aku takkan membawa kamu semua datang ke ladang Rejosemi, tetapi ke tempat lain."
Ulam Sari memang seorang yang cerdik, sekalipun usianya masih muda. Ia sadar, bahaya akan mengancam apa bila ia mengajak orang-orang ini datang ke ladang Rejosemi, di mana peristiwa menyedihkan itu terjadi. Sebab ladang itu letaknya dekat sekali dengan rumah Sangsang Buwono. Maka itu ia sengaja membawa orang ke tempat lain
yang letaknya berjauhan dengan rumah Sangsang Buwono.
Tetapi begitu mendengar ucapan Ulam Sari, semua orang menjadi kaget setengah mati. Walaupun begitu kaki tangan Sangsang Buwono ini masih berusaha untuk membujuk supaya Ulam Sari tidak mengadu lebih lanjut.
Si pengurus rumah gadai menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya gemetaran. Tentu saja ia mengerti maksud orang, tentang peristiwa menyedihkan yang terjadi di ladang Rejosemi. Di mana di tempat itu, mbok Rejosemi sudah membunuh anaknya sendiri yang dianggap menjadi gara-gara. Oleh sebab itu si pengurus rumah gadai ini segera membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Ulam Sari, sambil meratap-ratap
"Ahh, nona, maafkan kami yang salah. Baiklah kalau nona menuduh majikanku yang muda ini telah mencuri daging milikmu. Sekarang begini saja, nona, kami sedia mengganti dengan berapa saja jumlah uang yang kau minta."
"Jahanam busuk! Jangan engkau memutar lidah di depanku!" bentak Ulam Sari nyaring.
"Pendeknya, siapakah yang butuh uang seperti yang kau tawarkan itu? Sekarang juga aku harus pergi ke rumah tua di pinggir kota itu. Kalau aku tidak ke sana, aku tidak mempunyai muka lagi menyaksikan munculnya matahari esok pagi."
Sehabis berkata, tanpa perduli lagi kepada semua orang, Ulam Sari sudah menyeret Sangsang Jagad yang sama sekali tidak dapat memberontak.
Ia melangkah cepat menuju ke tempat yang telah dipilih itu.
Rumah tua dan rusak itu mempunyai pekarangan luas, dikelilingi oleh tembok yang tinggi, tetapi sudah banyak yang roboh. Rumah itu sendiri mempunyai bentuk "joglo". Namun karena tidak terawat dan tidak dihuni orang lagi, maka di sana-sini sudah bocor dan kotor. Ada beberapa bagian yang dinding temboknya telah roboh dan atapnya ambles ke bawah. Di depan rumah pendapa yang luas dan berbentuk joglo itu. terdapat sebuah kolam yang lumayan luasnya. Tetapi kolam itu sekarang tidak berair lagi dan kering. Sekalipun begitu, hiasan kolam yang berbentuk kura-kura dan ular dari batu itu, masih utuh di tengah kolam.
Dengan bengis, Ulam Sari telah menyeret Sangsang Jagad ke tengah pendapa. Secara tidak sengaja, gadis wajah buruk ini melihat noda darah pada lantai pendapa itu. Entah darah apa, dan kapan terjadi. Tetapi justeru melihat noda darah ini, mendadak saja dalam benaknya segera terbayang peristiwa menyedihkan yang diderita oleh anak Rejosemi, karena dibunuh oleh ibunya sendiri.
Darah gadis ini segera saja mendidih. Dengan kasar ia sudah mendorong punggung Sangsang Jagad, sehingga pemuda ini sudah roboh terjungkal di lantai.
Kemudian terdengar Ulum Sari berkata,
"Aku percaya bahwa di rumah tua ini, terdapat yang mbahurekso. Maka aku mohon kepada engkau, sudlah engkau membalaskan sakit hati para kawula cilik yang ditindas sewenang wenang. Bangsat muda
ini telah mencuri dan makan daging angsa milikku. Namun anehnya banyak orang yang tidak percaya. Maka..."
Belum juga Ulam Sari selesai mengucapkan kata-katanya, tiba tiba saja ia merasakan sambaran angin tajam dari kiri dan kanan. Ulam Sari tidak menjadi gugup. Ia merendahkan tubuhnya, dan akibatnya dua orang yang tadi menyerang dari belakang menubruk tempat kosong. Justeru di saat itu secepat kilat tangan Ulam Sari telah bekerja. Dorongan ke arah pundak yang dilambari oleh tenaga dalam, membuat dua buah kepala itu saling tumbuk.
"Prokk......!"
Saking kerasnya kepala itu saling tubruk, menyebabkan dua-duanya roboh pingsan.
Setelah merobohkan dua orang penyerang gelap itu, Ulam Sari kembali mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada yang "mbahurekso" rumah. '
Tak heran gadis ini minta tolong kepada yang mbahurekso itu. Kalau sampai sekarang di mana cerita ini dibukukan masih tidak terhitung jumlahnva orang yang percaya tentang adanya lelembut, demit dan mbahurekso, tentu saja di jaman cerita ini terjadi, makin lebih kuat lagi. Maka wajar kalau Ulam Sari minta tolong kepada yang mbahurekso rumah tua ini.
Tetapi sekonyong-konyong, terdengar bentakan nyaring dan berbareng Ulam Sari merasakan sambaran angin yang memukul ke arah pundak. Walaupun ia tidak melihat, namun merasakan sambaran angin pukulannya dan langkah kaki orang Yang
begitu ringan, ia segera sadar bahwa sekaranglah ia akan berhadapan dengan musuh berat. Maka secepat kilat ia miringkan tubuhnya, dan berbareng itu sinar pedang berkelebat disusul lewatnya tubuh seorang laki-laki yang tinggi kurus.
Karena tabasannya mengenakan angin, maka tubuh orang itu terhuyung ke depan. Pedang itu sekarang salah sasaran, menyambar ke arah tubuh Sangsang Jagad.
Untung juga orang itu memang bukan orang sembarangan. Di saat berbahaya, ia masih keburu menyelewengkan arahnya, sehingga selamatlah Sangsang Jagad dari kebinasaan.
"Bagus!" serunya,sambil menekan siku orang yang hampir roboh ke lantai itu dengan kaki. Akibatnya mau tidak mau orang itu terpaksa harus melepaskan senjatanya. Orang itu berteriak kaget, namun tidak urung senjatanya lepas. Lalu menggunakan jari kaki, Ulam Sari telah menyontek hulu pedang tersebut, sehingga terbang ke udara, dan kemudian diterima dengan gampang.
"Aku justeru sedang bingung. karena tidak memiliki senjata untuk membelek perut. Maka terima kasih atas bantuanmu ini," katanya sambil tersenyum.
Orang itu menjadi gusar bukan main. Ia memberontak dan menggunakan sekuat tenaganya untuk melepaskan diri dari tekanan kaki Ulam Sari. Begitu berhasil orang itu sudah meloncat untuk berdiri.
Ulam Sari terkejut, ketika merasakan, kakinya agak kesemutan. Nyatalah bahwa si kurus ini tenaganya cukup besar. Akan tetapi dari terkejut, tiba-tiba gadis ini menjadi marah.
Dengan mata mendelik orang kurus itu sudah mengembangkan jari jari tangannya, lalu menubruk. Akan tetapi dengan mudahnya Ulam Sari telah melesat dengan ringan, sehingga telah berada di belakang tubuh orang itu. Menggunakan tangan kiri, tangan Ulam Sari Yang kecil itu telah menyambar pantat orang, kemudian didorong ke atas sambil membentak,
'Naik!"
Dorongan tersebut nampaknya hanya biasa saja, tetapi kekuatan tenaganya hebat sekali. Hal itu bukan lain karena di saat mendorong itu Ulam Sari meminjam tenaga lawan yang sedang melompat dan menubruk. Akibatnya seperti sebuah bola, orang itu sudah terlempar ke atas dan dalam sekejap saja, hampir kepala orang itu membentur genteng.
Orang itu menjadi kaget sekali berbareng bingung. Tetapi dalam gugup dan bingungnya ini, dia masih dapat berdaya. Tiba-tiba saja dua tangan laki-laki ini memeluk penglari pendapa. Tetapi begitu berhasil memeluk penglari itu, tidak urung orang ini kaget. Benar kepalanya urung membentur genteng tetapi sekarang tubuhnya bergelantungan di udara. Dan ketika ia mengamati ke bawah, diam-diam bergidik. Ternyata ia berada di tempat yang cukup tinggi. Ia adalah seorang yang banyak mengandalkan kekuatan tenaganya. Dalam soal keringanan tubuh, dia tidak pernah sempat mempelajari.
Oleh sebab itu melihat tempatnya yang cukup tinggi, orang ini tidak berani meloncat turun.
Siapakah orang ini?
Dia adalah orang ke tiga dan merupakan pembantu utama Sangsang Buwono. Bagi orang-orang sekitar Jepara, telah mengenal nama dan keganasannya, sehingga semua orang ketakutan. Dia inilah yang disebut orang dengan nama Gajah Birowo. Sebab dia memiliki tenaga sekuat gajah. Karena nama gelarannya lebih terkenal dari namanya sendiri itu, maka orang melupakan nama yang sesungguhnya. Namun sekarang, orang yang ditakuti oleh banyak penduduk, namanya amat terkenal itu bergantungan di bawah penglari. Naik tidak mampu, untuk turunpun tidak berani. Kalau terus bergelantungan seperti ini, tidak urung tangannya takkan kuat bertahan.
Orang orang yang berada di luar pendapa itu, semuanya adalah orang-orang Sangsang Buwono. Sesungguhnya mereka merasa kasihan kepada Gajah Birowo. Akan tetapi karena takut kepada perempuan berwajah jelek yang sakti bukan main itu, membuat tidak seorang pun berani masuk ke dalam pendapa.
Ketika itu tanpa memperdulikan keadaan Gajah Birowo yang pucat dan bergelantungan di bawah penglari, Ulam Sari sudah merobek baju Sangsang Jagad. Ia mengangkat pedang dengan tangan kanan, siap untuk menikam perut orang.
"Hai, lihat!" teriak Ulam Sari nyaring.
"Buka semua matamu yang lebar.Kalau kamu tadi tidak percaya bahwa bocah ini sudah mencuri daging angsa milikku, sebentar lagi kamu semua akan segera
memperoleh buktinya. Aku akan segera memecah perut bocah ini. Perlunya orang tidak gampang membuka mulut menuduh aku mengganggu orang baik baik!"
Melihat majikan muda terancam oleh bahaya itu, padahal kedudukan Sangsang Jagad di samping saudara angkat juga merupakan adik ipar Sangsang Buwono. mereka semua menjadi amat khawatir. Beberapa orang dari mereka segera menghampiri dan membujuk kepada gadis wajah buruk itu, agar sedia mengurungkan maksudnya. Malah ada lagi yang mencoba untuk menjanjikan uang dalam jumlah besar, guna menebus nyawa Sangsang Jagad yang sudah tidak berdaya itu. '
Sudah tentu Ulam Sari menjadi makin jengkel melihat orang-orang itu. Teriaknya,
"Hai, kamu ini manusia-manusia macam apa? Ketika kamu melihat mbok Rejosemi menjagal anaknya sendiri dan membelek perutnya, kamu semua tidak seorang pun berusaha menolong. Kamu pura pura tidak tahu. Mengapa sebabnya kamu sekarang membujuk bujuk aku tidak karuan macamnya?"
Ulam Sari berhenti.
Dalam penasarannya gadis ini sudah ingin mencaci -maki orang orang yang tidak tahu malu, dan ketakutan setengah mati bila berhadapan dengan Sangsang Buwono. Terusnya,
"Hai. dengar yang jelas. Apakah jiwa anak seorang berpangkat dan kaya, berharga lebih tinggi sehingga perlu dibela oleh puluhan orang? Sebaliknya apakah jiwa anak seorang miskin itu hanya semacam jiwa ayam, yang gampang saja orang mencelakakan, dan tanpa harga sepeser pun? Hemm, sekarang begini! Lekaslah kamu pulang ke rumah masing masing, dan secepatnya kamu ke mari sambil membawa anakmu sendiri. Awas! Apa bila kamu tidak menurut perintah, jangan tanya akan dosamu. Sekalipun kamu bersembunyi ke liang naga, aku akan berhasil mencari dan menghukum engkau?"
Mendengar ancaman yang hebat itu, semangat mereka semua terbang ke langit. Wajah mereka menjadi pucat. Mereka ketakutan setengah mati, sehingga mengundurkan diri, dan lalu ke halaman mencampurkan diri dengan orang-orang kampung yang berbondong berdatangan, tertarik dan ingin menonton apa yang terjadi dalam rumah tua itu.
Mendadak dari luar tembok terdengar suara ribut-ribut. Sejenak kemudian muncullah sejumlah orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berwajah pucat. Begitu tangan bergerak mengebas, sementara orang yang terserang oleh hawa yang amat kuat sudah roboh terguling. Melihat datangnya orang itu, mendadak saja mata Ulam Sari di balik kedok menyala. Mata itu tidak berkedip mengamati orang yang baru datang itu.
Mungkinkah orang ini, yang menjadi seorang kaya raya, sewenang wenang dan mengganti nama dengan Sangsang Buwono?
"Bagus !" desisnya.
"Dicaripun belum tentu ketemu. Sekarang tanpa sengaja aku dapat berjumpa dengan musuh besarku. Sungsang, hem Sungsang. Jika aku tetap mengenakan kedokku ini, matipun engkau akan penasaran. Hemm, baiklah aku menghadapi engkau dengan keadaanku yang sebenarnya."
Berpikir demikian, segera saja Ulam Sari membuka kedok penutup mukanya. Akibatnya, kalau semula ia berwajah buruk menakutkan, mendadak saja wajah itu berubah menjadi cantik luar biasa. Dalam keadaan yang aseli ini, nama Ulam Sari ditanggalkan, kembali lagi dengan nama Titiek Sariningsih.
Memang orang yang dikenal dengan nama Sangsang Buwono itu, sebenarnya adalah Sungsang. Dari seorang yang gelandangan tidak menentu dan ke sana ke mari melakukan kejahatan, Sungsang sekarang menjadi seorang kaya raya, berkat harta benda milik isteri yang pertama, yang sudah menjadi janda kembang. Pemuda yang bernama Sangsang Jagad dan sekarang ditawan oleh Ulam Sari alias Titiek Sariningsih itulah, adik dari isteri yang pertama ini.
Pada mulanya, seperti kebiasaannya, Sungsang tertarik kepada seorang wanita muda di Jepara ini, yang sedang mau mandi hanya mengenakan kain pinjung (kain panjang yang dipakai sampai di atas payudara, dan si wanita tidak mengenakan pakaian yang lain kecuali kain panjang itu). Waktu itu Sungsang bersembunyi di atas dahan pohon yang tinggi, sehingga dapat melihat ke dalam tembok pekarangan yang tinggi dari rumah yang besar itu. Begitu melihat, pemuda yang selalu menghambakan diri kepada nafsu ini sudah tertarik. Maka pada malam harinya kemudian, menggunakan kepandaiannya ia telah masuk ke dalam rumah besar itu.
Kehadirannya dalam kamar perempuan itu, tentu saja membuat kaget janda ini yang sudah berbaring,
akan tetapi belum tidur. Si janda sudah akan berteriak, akan tetapi kalah cepat dengan gerakan Sungsang. Membuat janda itu tidak dapat menjerit dan memberontak lagi. Mungkin sekali antara Sungsang dengan janda itu telah ditakdirkan sebagai jodohnya. Laki-laki yang biasanya buas dan ganas terhadap korban-korbannya itu ternyata kali ini lain. ia menjadi jatuh cinta, sedang si jandapun menanggapi. Atas persetujuan orang tua si janda, kemudian mereka kawin. Oleh orang tua si janda ini, kemudian dibangun sebuah rumah gedung yang besar dan megah.
Namun walaupun ia telah kawin dengan janda kembang ini, sesungguhnya watak buayanya belum lenyap. Lebih lebih ia adalah murid Patra Jaya, yang dahulu pernah mengabdi kepada Mataram. Walaupun Patra Jaya dahulu harus lari dari Mataram akibat tuduhan menculik selir raja, tetapi karena jasa Patra Jaya terhadap Mataram memang cukup besar, maka semua kesalahan Patra Jaya telah diampuni. Mengingat bahwa Sungsang merupakan orang muda yang berilmu tinggi, Sultan Agung tidak menyia-nyiakan kesaktiannya, ia memperoleh kepercayaan Sultan Agung, menjadi pembantu bagi Bupati Bahurekso untuk mengamati gerak-gerik Kumpeni Belanda di Jepara.
Tetapi sungguh lacur.
Sungsang malah menyalahgunakan kepercayaan Sultan Agung untuk bertingkah laku tidak patut untuk kepentingan diri, ia membuka rumah makan, rumah gadai dan rumah judi. Dari tiga macam usaha ini, membuat Sungsang mengeduk kekayaan besar sekali. Bukan hanya itu, tetapi justeru perbuatannya yang sewenang-wenang, memeras, menindas kawula cilik, membuat semua orang ketakutan.
Dan Bupati Bahurekso yang berkedudukan di Kendal, tidak tahu sama sekali sepak-terjang Sungsang yang terkutuk itu. Karena tidak pernah datang laporan dari ponggawanya. Di luar tahu Bahurekso, bahwa semua punggawa telah makan uang suap dari Sungsang, di samping pula takut. Hingga tidak seorang pun berani melapor maupun membongkar kejahatan Sungsang ini.
Walaupun nampaknya Sungsang telah berumah tangga dan memiliki harta benda tak terhitung jumlahnya, namun kebiasaannya menghambakan nafsu tidak berhenti. Makin hari jumlah isterinya makin bertambah. Sedang di samping itu, di setiap kesempatan ia masih juga meneruskan kebiasaannya yang lama, sebagai penjahat pemerkosa wanita.
Adapun malapetaka yang menimpa Wiro Sukro dan isterinya (Ratmi), yang telah menjadi orang tua angkat Titiek Sariningsih, sebenarnya terjadi tanpa rencana. Ketika itu Sungsang sedang mengikuti rombongan Bupati Bahurekso, yang mendapat tugas Sultan Agung pergi ke Gunung Lawu. Guna membuang pakaian raja yang telah tidak dipakai lagi ke puncak gunung itu. Yang biasanya disebut "nglabuh" (membuang) ageman raja, dan peristiwa itu dilengkapi pula dengan upacara.
Peristiwa tersebut menarik perhatian orang-orang yang dilewati oleh rombongan besar itu. Secara kebetulan, ketika lewat dan ditonton banyak orang itu. Sungsang melihat Ratmi,yang setelah bersuami
malah menjadi semakin cantik. Tiba-tiba seleranya timbul dan memerintahkan pembantunya guna menyelidik. Pada suatu malam datanglah Sungsang dengan pembantu pembantunya, sehingga terjadilah malapetaka yang menimpa Wiro Sukro dan isterinya.
Demikianlah, Sungsang yang telah mengganti namanya dengan Sangsang Buwono itu, hidup bergelimang dalam kemewahan, ia hidup tidak bedanya dengan raja kecil. Karena ia mempunyai pembantu-pembantu yang setia, oleh pengaruh harta benda.
Tetapi seperti diketahui, semua kesabaran ada batasnya. Dan semua perbuatan buruk, pada akhirnya akan bocor juga. Maka setelah berhasil merajalela dalam beberapa bulan tanpa ada seorangpun berani mengganggu -gugat, tanpa sengaja Titiek Sariningsih telah tiba di tempat ini, dan membongkar semua kedok kejahatannya.
Ketika itu para kaki tangan Sungsang menjadi terbelalak matanya, dan mulut melongo, ketika melihat perobahan wajah yang terjadi pada gadis itu. Wajah yang buruk mengerikan itu ternyata hanya sebuah kedok yang menyembunyikan wajah cantik luar biasa. Saking kagum orang-orang menjadi melongo, sehingga ada lalat yang masukpun tidak dirasakan. Dan saking kagum dan herannya, membuat orang-orang itu tidak kuasa membuka mulut untuk berseru. .
Sungsangpun menjadi melongo ketika melihat gadis pengacau itu wajahnya cantik luar biasa.
Benarkah ini?
Tadi menurut laporan laporan yang telah diterima, perempuan yang mengacau rumah makan, rumah gadai maupun rumah judi miliknya,
adalah wajahnya jelek luar biasa. Hingga orang mengatakan wajahnya buruk mengerikan.
Tetapi mengapa laporan itu tidak cocok dengan kenyataannya?
Dan kalau tahu yang mengacau seorang gadis muda yang cantik seperti ini, tentu saja ia tak ingin ribut ribut. Lebih baik ia datang sendiri dan menangkapnya.
"Aha," soraknya dalam hati,
"sungguh tidak pernah aku nyana sedikitpun, tanpa dicari datang seorang gadis cantik ini. Ah, aku memang seorang yang hidup amat beruntung. Hemm, gadis yang cantik dan muda ini harus dapat aku tangkap hidup hidup. Walaupun dia telah melakukan pengacauan luar biasa, biarlah semua dosanya aku ampuni. Asal saja, hemm.."
Dengan langkah lebar Sungsang sudah masuk ke dalam pendapa. Pandang matanya tidak pernah lepas ditujukan kepada Titiek Sariningsih, seakan ingin menelan mentah-mentah gadis jelita itu. Dengan mata tak pernah berkedip, ia menyusuri tubuh gadis itu dari kepala sampai kaki, kemudian dari kaki sampai kepala.
Sebagai seorang sakti mandraguna, tentu saja menghadapi gadis muda ini tidak begitu berkhawatir.
Apakah sulitnya merobohkan bocah ini?
Sekalipun sakti mandraguna, tidak mungkin nempil akan kesaktiannya yang sudah dilatih puluhan tahun. Untuk itu walaupun wajah gadis ini amat membuat hatinya bergairah, namun lebih dahulu ia akan menolong adik iparnya. Baru kemudian membereskan gadis cantik ini.
Melihat lagak Sungsang yang tidak memandang
sebelah mata akan ketangguhannya. Titiek Sariningsih mendengus dingin. Kemudian tangannya bergerak untuk menepuk pinggang Sungsang.
Tanpa memalingkan mukanya. Sungsang sudah membalikkan tangan untuk menangkis ke belakang. Sebagai seorang yang memiliki Aji Wisa Naga, ia mengharapkan orang berani berbenturan tangan dengan dirinya. Sebab dengan begitu, orang akan terserang oleh racun dingin. Dengan begitu, sekali gebrak ia akan berhasil merobohkan gadis muda ini dan menawannya.
Bukankah ini akan menyenangkan?
"Plakk!" tiba-tiba terdengar suara mengeluh dari mulut Sungsang, tubuhnya bergoyang-goyang, dan hampir saja tubuhnya roboh menimpa tubuh adik iparnya sendiri yang masih tidak berdaya.
Tentu saja Sungsang menjadi kaget setengah mati.
Mengapa bukan gadis yang muda itu yang roboh dan terserang oleh racun dingin dari Aji Wisa Naga, malah dirinya sendiri yang hampir roboh?
Kalau dirinya tidak mengalami sendiri, manakah Sungsang bisa percaya?
Dan mengapakah sebabnya Titiek Sariningsih tidag terpengaruh oleh ampuhnya Aji Wisa Naga itu?
Memang setelah memperoleh gemblengan dari Ki Ageng Lumbungkerep, gadis ini menjadi luar biasa. Ia tidak takut sekalipun berbenturan dengan tangan orang yang mempunyai segala macam aji kesaktian itu maupun tangan yang sudah terendam oleh racun, karena takkan berpengaruh apa-apa. Sebaliknya kalau gadis ini mau, iapun mengerti tentang ilmu beracun yang disebut Gruwak Setan yang dimiliki oleh Rara Inten.
Karena Sungsang kaget setengah mati atas kenyataan ini, urunglah niatnya untuk menolong adik iparnya. Kemudian ia berdiri menghadapi Titiek Sariningsih dari jarak yang dekat. Tetapi begitu berdiri dalam jarak dekat dan dapat mengamati Titiek Sariningsih lebih seksama lagi, tiba-tiba saja Sungsang berseru,
"Kau...... kau..... Sri Rukmi.?"
Berdebar tegang jantung Titiek Sariningsih begitu mendengar nama ibunya yang telah tewas mengenaskan, disebut oleh Sungsang. Dadanya seperti meledak mendadak, dan ingin sekali tangannya segera bergerak untuk membunuh manusia jahat ini. Namun rasa marahnya ini ditekan, dan kemudian malah timbullah keinginannya untuk dapat menguji kebenaran keterangan Sindu.
Benarkah Sungsang ini yang sudah menodai kehormatan ibunya, dan kemudian tega pula membunuhnya?
"Kalau benar aku Sri Rukmi, kan mau apa?"
"Ehh, betulkah itu? Kau Sri Rukmi?"
Sungsang terbelalak makin lebar.
"Kamu. ahh, tetapi Sri Rukmi telah aku bunuh mati lama sekali."
"Hemmm...."
Titiek Sariningsih mendengus dalam usahanya menekan rasa marah.
"Aihh....... bukan. Engkau bukan Sri Rukmi. Tetapi engkau anaknya. Heh-heh-heh." tiba-tiba saja Sungsang terkekeh.
Kemudian lanjutnya,
"Dahulu, engkau dapat lolos dari tanganku ketika di Pegunungan Kendeng, adalah atas pertolongan perempuan baju kuning. Hemm, bagus!. Apa maumu datang ke mari dan mengacau usahaku?"
"Hemm. aku memang sengaja mencari engkau."
"Ahh, mencari aku? Ha-ha-ha. Bagus, bagus. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh nasib, bahwa aku dan engkau harus berjodoh. Ibumu dahulu yang berkhianat padaku, sekarang engkaulah yang akan menggantikannya. Bagus, engkau cantik sekali."
"Benar! Engkau memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan, bahwa hari ini engkau harus mampus dalam tanganku."
"Apa? Heh-heh-heh, engkau berani melawan aku? Dengan apakah engkau bisa melawan aku? Sudahlah, engkau jangan mimpi yang tidak-tidak. Lebih baik marilah kita pulang, dan selekasnya kita kawin."
Hampir saja Titiek Sariningsih tidak kuasa lagi menahan kemarahannya dan ingin menerjang, untuk segera membunuh penjahat ini. Akan tetapi segera terkilaslah ingatan dalam benaknya, kalau begitu saja dibunuh mati, penjahat ini terlalu enak. Maka sebelum mati, timbul keinginannya untuk mempermainkan barang sebentar agar sekedar merasakan penderitaan.
Bukankah selama ini Sungsang mengganas dan sudah tak terhitung jumlahnya orang yang mati dalam penderitaan dan penasaran?
"Hai, Sungsang manusia busuk!" katanya.
"Jawablah terus terang. Apa yang sudah engkau lakukan di Karangpandan ?"
"Karangpandan?"
Sungsang terbelalak sejenak. Namun kemudian tertawa. Sahutnya,
"Ehh, apakah yang kaumaksudkan Wiro Sukro dan Ratmi ?"
"Jadi benar engkaukah yang sudah membunuh mereka?"
"Heh-heh-heh, apakah engkau tahu bahwa perempuan yang bernama Ratmi, itu bekas kekasihku? Ha ha-ha, tentu saja aku menjadi tidak rela melihat Ratmi hidup bahagia sebagai isteri Wiro Sukra. Maka sesudah aku memperoleh obat rindu dengan Ratmi, perempuan dan suaminya itu kubunuh mampus."
"Bangsat!" akhirnya Titiek Sariningsih tidak kuasa lagi menahan mulut dan mencaci.
"Dosamu sudah keliwat takaran. Maka hari ini engkau harus mampus dalam tanganku."
"Kau mau melawan aku? Ha-ha-ha, manakah mungkin? Sudahlah, jangan engkau rewel. Lebih baik engkau menyerah dengan rela hati, kita pulang lalu kawin."
"Tutup mulutmu yang busuk!" sambil mengucapkan kata kata ini, tangan Titiek Sariningsrh bergerak.
"Plak-plak.....!"
Sungsang sudah berusaha menangkis dan menghindarkan diri. Namun ternyata bukan tangannya yang berhasil menangkis tamparan gadis itu, malah pipinya. Sebagai akibatnya, pipi kanan dan kiri Sungsang sekarang sudah menjadi bengkak dan matang biru.
Kecepatan gerak tangan Titiek Sariningsih memang sulit dilukiskan saking cepatnya. Sehingga Sungsang yang merupakan tokoh sakti mandraguna, masih juga tidak dapat menghindarkan diri.
Betapa marah dan penasaran atas terjadinya peristiwa yang tidak terduga ini, di samping menjadi amat malu. Saat sekarang ini disinya menjadi pusat perhatian semua pembantunya.
Apabila hari
ini berhadapan dengan seorang gadis muda saja tidak mampu, bukankah hal ini akan menurunkan derajatnya di mata para pembantunya?
Bagaimanapun Sungsang adalah seorang lakilaki ganas, dan tabiatnya sudah terlanjur bejat. Terhadap lawan yang lemah akan mempermainkan dan menyiksa. Tetapi jika berhadapan dengan lawan berat, tidak tanggung-tanggung untuk menurunkan tangan maut. Walaupun semula ia menjadi tertarik dan bergairah melihat kecantikan Titiek Sariningsih. dan lebih lagi setelah mengetahui bahwa gadis ini adalah anak Sri Rukmi, namun begitu tersinggung dan pipinya menjadi bengkak, laki-laki ini menjadi malu dan marah sekali. Sekarang tidak terpikir lagi untuk menangkap dan menawan. Hatinya telah puas ,apa bila berhasil membunuh, sehingga dapat menolong mukanya didepan anak buahnya.
Sambil menggereng keras seperti harimau terluka, Sungsang sudah menerjang maju, menerjang Titiek Sariningsih
Gadis ini tenang saja menghadapi, tetapi tidak berani sembrono. Bagaimanapun laki-laki ini bukan orang lemah. Kalau toh sekali terjang ia tadi berhasil menampar pipi kanan dan kiri Sungsang, itu terjadi karena Sungsang begitu memandang rendah kepada dirinya. Maka menggunakan keringanan tubuhnya dan kegesitannya bergerak, Titiek Sariningsih menghindari hujan serangan yang dilancarkan oleh Sungsang.
Waktu itu di tangan Titiek Sariningsih masih
terpegang sebatang pedang. Maka dengan pedang ini, kemudian Titiek Sariningsih menyambut tinju Sungsang yang menyambar datang.
Sesungguhnya, dengan mudah sabatan pedang ini dapat dielakkan, apa bila Sungsang menarik pulang tangannya. Akan tetapi kalau benar tangan itu ditarik pulang maka pedang itu akan' menghantam adik iparnya, yang masih menggeletak di lantai. Bagaimanapun Sungsang takkan tega kepada adik iparnya ini. Sebab apa bila adik iparnya ini sampai celaka, isterinya yang setia itu akan menjadi sedih.
Pada saat yang berbahaya itu, sebat sekali Sungsang telah melepas sabuk Yang melingkar pada pinggangnya. Kemudian dengan benda ini Sungsang menangkis sambaran pedang Titiek Sariningsih.
"Bagus!" seru gadis ini sambil menggerakkan tangan kiri untuk menangkap ujung sabuk.
Dan ketika terjadi saling tarik, maka benda yang terbuat dari kulit kerbau itu sudah putus menjadi dua potong.
Sadar bahwa gadis muda ini cukup tangguh. Sungsang tidak berani gegabah lagi. Namun begitu dalam hatinya timbul pula pertanyaan.
Mengapa gadis yang dahulu dengan gampang dapat dirobohkan itu, hanya dalam waktu dua setengah tahun saja, sudah menjadi begitu perkasa dan bertenaga kuat pula?
Karena itu ia cepat meloncat mundur. Lalu seorang pembantunya datang menghampiri dan menyerahkan sebatang tongkat baja dengan hiasan kepala burung terbikin dari emas murni.
Dahulu Sungsang memang lebih senang bersenjata cambuk, di samping pedang. Akan tetapi setelah dirinya menjadi seorang kaya raya dan mempunyai nama harum, ia sudah mengganti Senjatanya dengan tongkat dengan hiasan emas itu. Bukannya ia menjadi canggung dengan pergantian senjata ini. sebaliknya malah tambah perkasa. Sebab ilmu tongkat adalah merupakan ilmu andalan sejak gurunya Patra Jaya masih hidup. Maka sebagai muridnya, ia mahir sekali dalam ilmu tongkat ajaran gurunya.
Begitu tongkat diterimanya, ia segera mengebaskan tongkat bajanya itu. Kebasan itu bertenaga kuat sekali, sehingga angin yang dahsyat menyambar. Kebasan ini dimaksud untuk meruntuhkan semangat lawan. Namun celakanya sambaran angin yang dahsyat itu hanya berhasil membuat Titiek Sariningsih tersenyum dingin.
"Hai bocah !" bentaknya.
"Jangan engkau rewel. Aku masih memberi kesempatan padamu agar engkau menyerah baik.-baik, mengingat akan hubunganku dengan ibumu. Akan tetapi jika engkau membandel, hemm, tongkatku ini tidak mengenal kasihan lagi." .
Mendelik dan seperti mengeluarkan api sepasang mata Titiek Sariningsih, mendengar disebutnya nama ibunya yang telah meninggal. Kemudian jawabnya dingin,
"Hem, engkau sudah hampir mampus masih juga bermulut besar. Bukan saja engkau telah membunuh ibuku. Kemudian engkau membunuh pula orang tua angkatku, ayah Wiro Sukro dan ibu Ratmi. Dosamu ini saja sesungguhnya sudah tidak mungkin dapat diampuni lagi. Tetapi sungguh
secara kebetulan Sekali, di Jepara ini aku mendengar perbuatanmu yang tidak patut dan terkutuk. Hayo katakanlah terus terang. Apa yang sudah kau perbuat atas keluarga Rejosemi?"
"Haha-ha, Rejosemi mengapa? Apakah harganya orang macam itu engkau bela? Anaknya sudah mencuri itik milikku. Dan kalau anak itu kemudian mati, siapakah yang membunuh? Yang membunuh adalah mbok Rejosemi sendiri. Apakah aku bisa mencegah perbuatan ibunya yang membelek perut anaknya sendiri?"
"Mulutmu bicara seenakmu sendiri. Jika engkau menuduh anak Rejosemi itu mencuri itik milikmu, apa katamu sekarang kalau bocah ini mencuri angsa yang baru aku beli dari Rejosemi?"
"Hemm, omong kosong. Aku tidak kekurangan uang. Manakah mungkin adikku sampai melakukan pencurian?"
"Huh, sangkamu semua harta bendamu dapat engkau pergunakan membayar angsa milikku itu? Harga angsa milikku sama dengan harga nyawamu."
"Bocah! Sebenarnya saja aku masih dapat mengampuni kekurangajaranmu mengacau rumah makanku, rumah gadaiku dan rumah judi yang menjadi milikku, asal saja engkau mau mengerti!" hardik Sungsang yang naik darah, karena merasa malu disaksikan oleh orang-orangnya.
"Tetapi jika engkau tidak mau mengerti sikapku ini, jangan sesalkan aku jika tongkatku itu harus menghajarmu."
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih tertawa. Akan tetapi sesungguhnya dalam ketawanya ini terkandung kemarahan yang amat hebat.
"Aku ingin melihat apakah tongkat anjingmu itu bisa kaupergunakan memukul anjing-anjingmu yang pandai menggonggong itu."
"Engkau yang menantang aku. Hemm, ingin kulihat sampai di manakah kemampuanmu!" sambil berkata ini, Sungsang sudah melompat ke luar dari pendapa, menuju ke halaman.
Ia tidak ingin terlibat dalam perkelahian dengan gadis itu, di dalam pendapa.
Titiek Sariningsih menendang tubuh Sangsang Jagad. Kemudian sambil mengerahkan tenaga, ia menancapkan pedang rampasannya di dekat pemuda itu.
"Apabila engkau mencoba lari. jangan engkau tanya dosamu. Semua keluargamu harus mengganti jiwamu. Tahu?" hardiknya nyaring.
Kemudian gadis ini sudah melangkah ke luar ke halaman depan tanpa membawa senjata apapun. Gadis ini memang sudah menetapkan keputusan, sebelum membunuh mampus musuh besarnya itu, akan membuat tokoh itu malu, penasaran dan menderita. Maka untuk pertama kali, timbullah niatnya untuk menghadapi Sungsang ini dengan tangan kosong.
"Hei semua orang yang berada di sini!" teriak Titiek Sariningsih nyaring.
"Dengar yang jelas. Namaku Titiek Sariningsih berasal dari Tuban. Tadi kamu semua mengenal aku sebagai seorang perempuan berwajah buruk. Itu memang aku sengaja, aku menggunakan penyamaran itu, guna mencari musuh besarku ini. Sekarang aku sudah dapat bertemu dengan orang yang kucari. Maka
tidak boleh tidak aku harus menghadapi dengan berterang, dalam keadaanku yang aseli."
Ia berhenti sejenak.
Lalu terusnya,
"Dengarlah janjiku hari ini...apa bila aku tidak dapat melenyapkan manusa busuk bernama Sungsang, dan yang kau kenal dengan nama bendara Sangsang Buwono, lebih baik aku tidak menyaksikan munculnya matahari di esok pagi. Di samping, itu agar musuh besarku ini menjadi puas, aku akan menghadapi dia dengan tangan kosong." .
Gempar semua orang yang mendengarnya. Lebih lebih orang-orang yang bukan kaki tangan Sangsang Buwono, yang diam-diam semua berharap agar manusia jahat itu terbunuh mati, sehingga mereka, terbebas dari penindasan dan tindakan sewenang-wenang.
Mendengar ucapan gadis muda yang cantik jelita akan melawan Sungsang dengan tangan kosong ini, diam-diam semua orang menjadi amat khawatir dan merasa sayang kalau gadis itu sampai roboh dikalahkan oleh penjahat itu. Mereka semua sudah mengenal tentang ketangguhan Sungsang itu. Banyak sudah musuh yang roboh di tangan orang itu.
(Bersambung an Jilid 14)
*******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 14
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung"
Karya: Widi Widayat
Jilid: 14
******
SEBALIKNYA kegemparan orang-orang Sungsang adalah lain. Kegemparan mereka mengandung kegembiraan dan harapan. Atas kesombongan gadis itu yang menjanjikan akan melawan dengan tangan kosong berarti gadis itu sendiri yang mencari penyakit. Sesungguhnya merekapun merasa amat sayang.
Mengapa seorang gadis cantik jelita seperti itu, berani sembrono menghadapi majikan mereka?
Apakah yang akan dijadikan andalan untuk menang?
Menggunakan senjatapun belum tentu gadis itu sanggup melayani dalam belasan jurus.
Apa pula sekarang secara sombong akan melawan dengan tangan kosong. Dalam tiga atau empat gebrakan saja tentu sudah roboh.
Bagi mereka semua ini, sudah cukup tahu sampai di manakah kesaktian Sungsang. Beberapa kali sudah terjadi, orang yang berani sembrono menghadapi, begitu datang ke Jepara tidak pernah dapat kembali pulang masih dalam keadaan selamat.
Sungsang sendiri terbelalak kaget mendengar ucapan Titiek Sariningsih Benarkah pendengarannya tidak salah?
Akan tetapi dari kaget Sungsang menjadi gembira.
"Bagus," katanya dalam hati.
"Apakah sulitnya aku mengalahkan engkau? Hemm, engkau cantik jelita bagai dewi. Engkau malah lebih cantik dari ibumu. Jika engkau tidak mau menyerah baik-baik, tentu akan aku gunakan kekerasan."
Namun begitu, untuk tidak mengurangi harga dirinya, ia berkata,
"Bocah, jangan engkau sombong di depanku. Hayo lekas ambil senjatamu!"


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, aku cukup dengan dua tangan dan dua belah kakiku!"
"Bagus! Engkau sendiri yang tidak mau mendengar nasihatku. Nah, sekarang aku memberi kesempatan padamu untuk menyerang aku lebih dahulu."
"Hem, jaga seranganku!"
Tiba-tiba saja tangan kiri Titiek Sariningsih sudah menyambar tongkat Sungsang. Gerakannya cepat bukan main.
Merasakan sambaran tangan yang kecil dan berkulit halus itu, sesungguhnya Sungsang merasa tidak tega dan ingin mengusap-usap. Akan tetapi mendadak ia kaget ketika merasakan sambaran tenaga yang begitu kuat. Dalam kaget dan membela diri, Sungsang sudah menggerakkan tongkatnya untuk menyapu leher.
Beberapa orang yang menyaksikan memekik tertahan saking khawatir, kalau leher gadis yang jenjang dan kuning halus itu patah tersambar oleh tongkat. Namun sesungguhnya kekhawatiran orang itu tidak perlu.Titiek Sariningsih dapat bergerak secepat tatit, ia itu sudah memutarkan tubuh
mengikuti sambaran tongkat lawan, dan kemudian menggerakkan tangannya untuk menyerang dengan pukulan dahsyat.
Dalam waktu singkat saja dua orang itu telah berkelahi sengit sekali. Yang seorang bergerak cepat dengan tongkat yang menyambar-nyambar, sebaliknya yang bertangan kosong tidak kurang pula kecepatannya bergerak, berloncatan ke sana ke mari menerobos di antara sinar tongkat.
Semua yang menyaksikan tegang dan menahan napas. Mereka tetap khawatir akan keselamatan gadis cantik itu, yang begitu sembrono melawan Sungsang tanpa senjata.
Di saat perkelahian itu berlangsung sengit sekali, sekonyong konyong meneroboslah masuk tiga orang. Yang paling depan adalah seorang wanita, rambutnya riap-riapan dan noda darah membasahi pakaiannya yang tidak utuh lagi.
Siapakah mereka itu?
Bukan lain adalah mbok Rejosemi, suaminya dan anaknya. Begitu berada di halaman dan menyaksikan Sungsang berkelahi melawan seorang perempuan yang menolongnya, perempuan ini sudah ketawa bekakakan. Katanya,
"Ha-ha-ha, bendara Sangsang Buwono adalah seorang yang hatinya amat mulia. Maka aku percaya bahwa danyang dan yang mbahutekso rumah ini akan memberkahinya dengan banyak keuntungan, banyak rejeki, banyak isteri, panjang umur dan banyak anak. Ha-ha-ha, percayalah engkau bendara Sungsang Buwono, anakku yang telah mati di sana tentu sudah lapor kepada malaikat. Dia tentu mintakan engkau memperoleh kemuliaan, dan tak lama lagi engkau akan menjadi raja-diraja!"
Setelah mengucapkan kata kata ini, mbok Rejosemi. segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat ke sana ke mari. Akan tetapi sambil memberi hormat ini, perempuan itu tidak hentinya tertawa dan menangis. Perempuan ini memang sudah menjadi gila, akibat derita dan malapetaka yang menimpa keluarganya. Sedang suaminya yang berdiri di samping, wajahnya tampak pucat seperti kertas dan tidak mengucapkan sepatahpun kata.
Sementara itu perkelahian terus berlangsung dengan sengit. Ternyata kemudian kekhawatiran orang tidak beralasan. Baru belasan jurus saja Titiek Sariningsih yang tanpa senjata itu sudah berhasil mendesak Sungsang.
Saat sekarang ini, sekalipun bertangan kosong keadaan Titiek Sariningsih memang tidak perlu dikhawatirkan. Sebab ia sudah menggunakan Ilmu Tangan Kosong Cleret Tahun. Maka gerakan gadis itu cepat sekali seperti tatit. dan sambaran pukulannyapun dahsyat bukan main.
Sesungguhnya, begitu menghadapi ilmu tata kelahi dengan tangan kosong yang cepat dan aneh itu, diam-diam Sungsang hatinya sudah menjadi keder dan khawatir sekali. Mimpipun tidak bahwa gadis muda yang dahulu dengan gampang dapat dirobohkan itu, sekarang dapat menghadapi dirinya yang bersenjata. Dan sekarang begitu melihat munculnya Rejosemi yang tertawa-tawa dan menangis seperti itu, di samping pula berkaok-kaok tidak karuan, tiba-tiba saja ketenangannya terpengaruh sehingga permainan ilmu tongkatnya kalut. Ia sadar
apabila tidak cepat bertindak, tidak urung dirinya akan roboh di tangan gadis yang membencinya itu. Dan betapa nasib yang akan dideritanya, ia tidak sanggup membayangkan. Di dalam bingungnya ini. tiba-tiba saja ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. kemudian menyabatkan tongkatnya menggunakan dua tangan, diarahkan ke dagu Titiek Sariningsih.
Sabatan tongkat Sungsang itu dahsyat luar biasa. Jangan lagi terbentur oleh tongkat. baru sambaran anginnya saja sudah kuasa membuat orang roboh terjungkal. Maka semua orang yang menyaksikan menjadi amat khawatir.
Sementara orang yang berpihak kepada Titiek Sariningsih sudah memekik tertahan, ketika melihat gadis itu bukannya meloncat mundur menghindarkan diri, sebaliknya malah menggerakkan dua tangannya untuk menangkap tongkat lawan
Sungsang kaget sekali.
Ia tidak menduga sama sekali bahwa lawan akan seberani itu menangkap tongkatnya!
Untuk menolong diri, Sungsang segera menyodokkan tongkat itu sekuat tenaga. Tetapi Titiek Sariningsih hanya tersenyum dingin. Ia sedikit mundur, sehingga tenaga sodokan Sungsang yang hebat luar biasa itu berhasil dipunahkan.
Sungsang, kembali kaget!
Namun tentu saja menjadi tambah marah di samping khawatir. Ia segera mengerahkan tenagannya guna menyontek dan membetot. Tetapi gerakan Titiek sariningsih sungguh menakjubkan. Hanya tampak berkelebatan tubuh gadis itu, maju ke depan dan sebelah tangannya sudah menyambar tenggorokan sungsang.
Terbang semangat Sungsang. Ia tidak menduga sama sekali lawan dapat berbuat secepat itu. Cepat-cepat ia menundukkan kepala menyelamatkan tenggorokannya. Namun sungguh celaka sekali, gerakan gadis itu lebih cepat lagi. Tangan kiri gadis itu sudah mendahului menepuk kepala Sungsang, sehingga ikat kepalanya lepas. Gerakan tangan kiri ini segera disusul dengan gerakan tangan kanan yang menyambar baju pada dada.
"Brett!" akibatnya baju yang indah itu sudah robek menjadi dua.
"Biarlah nyawamu bersarang dalam tubuhmu beberapa saat lagi !" katanya sambil mengejek.
Kalau mau, apakah sulitnya Titiek Sariningsih memukul kepala Sungsang itu menjadi pecah?
Dan kalau mau pula, apakah sulitnya menghantam dada orang jahat itu dengan tinju?
Akan tetapi semua itu tidak dilakukan sekarang. Ia sengaja mempermainkan musuh besar ini beberapa saat, supaya menjadi malu dan menderita. Dendamnya kepada manusia jahat Sungsang ini sedalam lautan dan setinggi gunung. Ia tidak menghendaki musuhnya mampus tanpa derita.
Pucat seperti kertas wajah Sungsang saat ini. Buru-buru ia meloncat mundur. Titiek Sariningsih tidak mengejar maju, lalu menggerakkan tangan kiri melempar ikat kepala Sungsang itu ke arah kolam yang berada di halaman.
Apa lacur!
Lemparan ini tepat sekali, sehingga ikat kepala itu sekarang menyangkut kepada kepala ular dari batu yang berada ditengah kolam! hebatnya, begitu disambar oleh ikat kepala ini ternyata kepala ular yang terbikin dari batu itu sudah patah..
Beberapa orang berseru tertahan saking kaget dan kagum melihat itu. Baru lemparan yang menggunakan benda lemas saja sanggup mematahkan leher ular dari batu. Betapa hebat pukulan gadis itu kalau mengenakan kepala atau dada.
Titiek Sariningsih ketawa cekikikan sesudah itu. Namun demikian suara ketawa itu begitu menyeramkan, karena saat ini jantungnya tegang sekali, akan membunuh musuh besarnya.
"Hai Sungsang! Engkau menyerah baik baik, ataukah berani melawan lagi?" tantangnya dengan suara yang dingin.
Gempar keadaan di kala itu. Orang-orang miskin yang menyaksikan kepandaian gadis itu, yang hanya bertangan kosong dapat membuat Sungsang mati kutu, menjadi gembira sekali dan dalam hati bersorak. Mereka semua berharap agar hari ini juga bisa menyaksikan Sungsang yang jahat itu memperoleh hukumannya.
Sebaliknya orang-orang Sungsang ikut menjadi pucat wajahnya. Bukan main gadis itu, dapat mengalahkan majikan mereka dengan tangan kosong. Padahal biasanya malah Sungsang yang menghadapi lawan dengan tangan kosong. Sekali orang beradu tangan atau terpukul, akan segera gemetaran tubuhnya karena kedinginan. Sungguh tidak diduga sama sekali, bahwa sekarang keadaan malah berbalik.
Sedang Sungsang sendiri merasa heran sekali, mengapa Titiek Sariningsih tidak memukul hancur kepalanya dan tidak memecahkan dadanya. Dan sikap itu adalah aneh. Namun apabila diingat dosa dan perbuatannya menghancurkan kebahagiaan
gadis itu, diam-diam ia bergidik. Ia sadar bahwa tidak mungkin gadis itu dapat mengampuni jiwanya. Dari pada dirinya dihina orang, lebih baik mati melawan secara gagah.
"Mampuslah!" teriak Sungsang nyaring sekali sambil menerjang maju, menyapukan tongkatnya untuk menghancurkan tubuh gadis itu.
Sadar akan besarnya dosa kepada Titiek Sariningsih, ia sudah menjadi nekat. Pendeknya ia tidak mau terhina di depan banyak kaki tangannya. Maka Sungsang mengerahkan semangatnya untuk meneruskan berkelahi.
Titiek Sariningsih tertawa dingin melihat sambaran tongkat Sungsang itu. Bagi orang lain, mungkin sekali sambaran tongkat itu sudah amat cepat. Tetapi dalam pandang mata Titiek Sariningsih, sambaran tongkat itu terlalu lambat. Ketika itu tongkat Sungsang menyambar dan menyapu kakinya, sehingga ujung tongkat itu menyentuh tanah. Titiek Sariningsih sedikitpun tidak gentar. Secepat tatit kaki kanan sudah menginjak ujung tongkat itu.
Sungsang kaget sekali.
Ia buru buru berusaha menarik kembali tongkatnya itu agar selamat. Tetapi kalau gerakan Sungsang cepat, gerakan kaki Titiek Sariningsih lebih cepat lagi. Berbareng kaki kanan telah berhasil menginjak ujung tongkat itu, kaki kiri sudah mendepak batang tongkat.
"Tak!" dan di saat itu iuga tongkat baja Sungsang telah lepas dari tangannya. Kaget tidak terkira orang ini, sehingga tanpa disadari mulutnya berseru tertahan.
Dan agaknya hari ini Sungsang memang bernasib sial tanpa diketahui, ternyata ujung tongkat yang semula dipegang dua tangan itu telah menimpa kaki kanan.
"Aduhhh!',"
Sungsang menjerit panjang dan nyaring, karena tahu-tahu dua batang jari kakinya sudah terpukul menjadi remuk dan darah mengucur deras. Sungsang berjingkrakan dan sekuat bisa ia menahan teriakannya, dengan menggigit bibir sehingga menjadi pecah dan berdarah. Wajah Sungsang yang sudah pucat itu bertambah pucat lagi. Karena jari kaki yang remuk itu sakit bukan main.
Semua orang kaki tangan Sungsang gempar. Mereka kaget setengah mati, dan tidak pernah menduga akan terjadi peristiwa seperti ini. Beberapa orang telah meraba senjata, dengan maksud untuk menerjang maju dan membela. Akan tetapi walaupun demikian maksud mereka urung ketika ingat bahwa majikan mereka saja tidak mampu melawan, lebih-lebih mereka yang hanya kaki tangan.
Merasa bahwa dirinya tidak mungkin dapat melepaskan diri dari ancaman maut gadis ini, ia segera menggunakan akal dan kelicikannya. Ia mengerti, bahwa sekalipun kebencian Titiek Sariningsih sudah mbalung sungsum, namun jelas bahwa gadis itu mempunyai jiwa ksatria. Ia mempunyai daya untuk menyelamatkan diri, dengan pura-pura bersikap gagah.
'Ha-ha-ha, aku Sungsang Buwono, dan sekarang sudah dikalahkan orang. Mau membunuh, silahkan membunuh. Mengapa berlambat-lambat? Aku sudah merasa banyak dosa. Dan kematianku akan membebaskan derita batinku karena dosa itu."
Dugaan Sungsang ini ternyata tepat sekali. Titiek Sariningsih yang telah digembleng kebajikan oleh Sindu maupun Ki Ageng Lumbungkerep, sesungguhnya pandangan hidupnya sudah lain. Bahwa balas-membalas, dengan alasan apapun adalah tidak baik .Orang yang sudah mau mengakui dosa dan kesalahannya, seharusnya diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki kelakuannya. Apa bila kesempatan itu sudah diberikan, namun orang itu tidak mau menggunakan kesempatan sebaik-baiknya, kemudian malah menggunakan kesempatan baik itu untuk berbuat curang lagi, belum terlambat untuk menghukum.
Akan tetapi di saat itu terdengarlah mbok Rejosemi berkaok-kaok,
"Ha-ha-ha, hi-hi-hi. Bagus sekali bendara Sangsang bilang seperti itu. Tetapi sekarang berkatalah engkau. Benarkah anakku sudah mencuri itik milikmu dan makan dagingnya?"
Mendengar itu, tiba-tiba saja sepasang mata Titiek Sariningsih mengamati Sungsang dengan mata berapi. Kemarahan yang sudah agak mereda itu, mendadak menggelegak kembali, teringat akan derita Rejosemi. Dosa dan kejahatan Sungsang ini sudah kelewat batas. Makin dibiarkan hidup lebih lama, hanya akan mengacau dunia ini saja, sehingga para kawula cilik menderita oleh tindasan dan perbuatannya yang sewenang-wenang. Membiarkan Sungsang hidup sama artinya dengan melepas ular berbisa dalam kamar tidur. Sekalipun pada suatu ketika tampak jinak, apa bila lengah ular itu akan menggigit mati majikannya.
"Hai Sungsang!" hardiknyn.
"Jika engkau bicara dengan benar, engkau akan sanggup melakukan."
Ia memalingkan mukanya kepada seorang kaki tangan Sungsang yang bersenjata golok. Teriaknya sambil menuding.
"Hai pinjamkan golokmu itu kepada majikanmu."
Orang itu tentu saja takut setengah mati. tidak mau datang memberikan goloknya, dan malah ingin melarikan diri.
"Mau ke mana?" tiba-tiba Titiek Sariningsih sudah berkelebat.
Sebelum orang itu sadar, tubuhnya sudah terbanting agak keras ke tanah. Dan sekali betot golok berikut sarung sudah diambil oleh Titiek Sariningsih. Dengan golok itu, kemudian ia kembali menghadapi Sungsang. Ia melemparkan golok tersebut kepada Sungsang sambil berkata,
"Terimalah golok ini, dan mari masuk ke pendapa."
Sesungguhnya Sungsang tidak tahu maksud gadis itu. Akan tetapi karena sudah merasa tidak mungkin mampu melawan gadis itu, dan kalau toh lari juga tidak ada artinya lagi, maka mau tidak mau ia sudah menurut. Ternyata Sungsang dibawa ke tempat di mana adik iparnya masih menggeletak di lantai tidak bergerak. Tiba-tiba saja Titiek Sariningsih mencabut pedang yang tadi ditancapkan di dekat tubuh Sungsang Jagad. Katanya dingin,
"Sekarang pilihlah salah satu. Aku mengampuni jiwamu, tetapi engkau harus menyaksikan aku membelek perut adik iparmu ini. Apa bila engkau tak sanggup melihat adik iparmu mati, engkau harus
mengganti dengan jiwamu sendiri, dan pergunakan golok itu untuk membunuh diri."
Sesungguhnya ucapan Titiek Sariningsih ini, bukanlah ucapan jujur. Tetapi merupakan ucapan cerdik untuk mencoba Sungsang itu sendiri, sampai di manakah pengakuannya berdosa tadi. Kalau Sungsang sampai hati membiarkan adik iparnya mati dibunuh orang, itu merupakan pertanda bahwa pengakuan desa itu hanyalah pura-pura belaka.
Trio Detektif 17 Misteri Nyanyian Kobra Harian Vampir 03 Penghianatan Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning

Cari Blog Ini