Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 12

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 12


Sebaliknya kalau Sungsang memilih membunuh diri sendiri, ini masih bagus!
Berarti sekalipun hatinya jahat bukan main, di saat menghadapi maut masih dapat menunjukkan watak ksatrianya.
"Baik sekali kesempatan yang kuberikan padaku."
Sungsang mengucapkan jawabannya dengan mantap.
"Tentu saja tidak mungkin aku membiarkan adik iparku yang tidak berdosa itu mati penasaran. Maka sekarang lihatlah aku akan memenggal leherku sendiri."
Begitu selesai berkata, Sungsang sudah mengangkat golok itu 'untuk memenggal leher sendiri. Namun mendadak terdengar suara orang mencegah,
"Kakang Sungsang Buwono, jangan!"
Ternyata suara mencegah itu dari pembantu Sungsang yang sejak tadi masih tetap menggelantung di penglari, dan tidak juga berani melompat turun. Menyusul suara teriakan mencegah itu, terdengarlah suara sambaran, benda yang halus.
"Serr-serr.... cring-cring....!" sebuah benda menyambar golok di tangan Sungsang Sehingga miring.
Akan tetapi karena tenaga bacokan Sungsang kuat
maka golok itu hanya menyeleweng dan masih berhasil melukai pundaknya. Sekalipun begitu, nyawa Sungsang lepas dari bahaya.
Pedang Titiek Sariningsihpun tergetar. Titiek Sariningsih kaget sekali, dan ketika mengamati benda apakah yang tadi membentur pedangnya. ia menemukan sebutir isi buah salak. Bukan main herannya gadis ini, tetapi juga merasa penasaran. Melihat benturan yang begitu hebat, jelas sekali bahwa si penyambit memang seorang sakti mandraguna. Akan tetapi karena orang itu telah merusak semua rencananya tiba-tiba saja gadis ini marah.
Siapakah orangnya yang melempar isi salak itu, dan apa pula maksudnya?
Mungkinkah orang itu berusaha melindungi keselamatan Sungsang?
Gadis ini kemudian melompat ke halaman. Lalu dengan gerakan yang ringan sekali, Titiek Sariningsih telah melompat ke atas genteng. Kemudian dengan cepat gadis ini sudah berada di atas wuwungan rumah. Wuwungan rumah bentuk "joglo" adalah begitu tinggi. Hingga dengan berdiri di situ, ia dapat mengamati tempat yang cukup jauh. Oleh ketajaman pandang matanya, ia berhasil menangkap berkelebatnya bayangan yang gesit sekali, di sebelah selatan. Yang dalam waktu amat singkat bayangan tersebut telah hilang dari pandangannya.
Dalam penasarannya. Titiek Sariningsih telah meloncat ke wuwungan rumah belakang. Dari rumah belakang ini ia melompat ke tembok, lalu memburu ke arah bayangan yang tadi dilihatnya. Akan tetapi sungguh aneh. Walaupun gerakannya cepat namun bayangan orang itu tetap. Kalau saja bayangan orang tadi pendek kecil, ia tidak akan heran. Sebab ia cepat dapat menduga bahwa penyambit tadi gurunya sendiri, Sindu!
Akan tetapi karena bayangan orang tadi jelas bertubuh tinggi, maka sulit baginya untuk menduga-duga.
"Hemm," desisnya.
"Dalam usahaku menghukum musuhku bebuyutan, sekarang muncul seorang sakti yang berusaha melindungi Sungsang. Hemm, aku ingin melihat sampai di manakah ketangguhan orang itu? Pendeknya jangan lagi hanya dilindungi oleh seorang saja, walaupun dilindungi oleh seribu orang, aku takkan puas sebelum dapat memukul pecah kepala Sungsang."
Tiba-tiba Titiek Sariningsih mendengar sambaran angin yang tajam tetapi halus dari arah samping. Ia tidak mau menghindar, tetapi malah menggunakan tangan kirinya untuk menangkap benda yang menyambar ke arah dirinya. Begitu berhasil menangkap benda yang menyambar, gadis ini kaget. Nyata bahwa penyambit itu memang sakti mandraguna. Terbukti telapak tangannya tergetar di'saat menerima benda itu. Dan ketika diperiksanya benda itu, ternyata isi salak lagi. Isi salak yang masih baru seperti yang membentur pedangnya tadi. Terang bahwa penyambit itu seorang yang getol kepada buah salak.
"Jangan main sembunyi jika memang berani!" teriak Titiek Sariningsih yang lantang dan menantang.
"Mari kita coba, siapakah yang lebih unggul antara engkau dengan aku !"
Ia menunggu sesaat. tetapi tiada jawaban yang terdengar. Di saat ia akan mengulang tantangannya lagi, tiba-tiba ia mendengar suara ketawa orang yang halus, tetapi terdengar begitu tajam. Lagilagi ia terkejut. Makin menjadi jelas bahwa orang itu memang sakti mandraguna, dan tidak boleh sembrono dalam menghadapinya. Titiek Sariningsih tahu dari manakah suara ketawa tadi berasal. Maka dengan gerakannya yang amat ringan, gadis ini sudah melompat ke arah timur. Hatinya penasaran, maka sekali ini ia harus dapat berhadapan dengan orang itu.
Tetapi walaupun Titiek Sariningsih sudah berusaha mencarinya, orang yang dicari itu tetap saja tidak diketemukan. Orang tersebut nampak sekali sengaja main kucing kucingan.
"Aihh!" mendadak gadis ini berseru tertahan, kemudian melompat dan berlarian cepat sekali menuju ke rumah tua, di mana tadi Sungsang akan memperoleh hukumannya.
"Celaka!" gumamnya.
"Mengapa aku menjadi tolol? Jelas orang tadi sengaja memancing aku meninggalkan rumah tua itu, untuk menolong Sungsang. Ahh, betapa penasaran arwah ibuku kalau bangsat itu berhasil lolos. Huh, apa bila jahanam itu sampai lolos, lakilaki yang tadi memancing aku harus bertanggung jawab, dan mengganti dengan nyawanya sendiri."
Tidak lama kemudian, ia telah tiba kembali di rumah tua. Masih di tempat agak jauh, hatinya sudah terasa berdebaran ketika tidak mendengar suara apapun, dan tidak tampak pula seorangpun.
"Ahh. benar-benar jahanam Sungsang telah kabur!" desisnya dengan nada jengkel dan penasaran.
Ternyata baik di halaman maupun di dalam pendapa tidak lagi terdapat seorang jua. Keadaan sunyi senyap.Namun demikian gadis ini masih juga melangkah cepat masuk ke dalam pendapa. Seakan ada sesuatu daya yang tidak nampak telah menuntun gadis itu.
Tetapi begitu masuk ke dalam pendapa ini mendadak saja dada terasa sesak dan pandang matanya menjadi kabur. Ia terhuyung, dan hampir saja ia jatuh terduduk.
Apa yang dilihat oleh Titiek Sariningsih?
Suatu pemandangan yang membuat gadis ini amat menyesal dan menyesali diri sendiri yang tolol. Dan sebagai akibat kesembronoan dan ketololannya, menimbulkan peristiwa yang menyedihkan. Di ruang tengah pendapa itu, ternyata telah menggeletak tiga sosok mayat orang, yang di seluruh tubuhnya penuh bekas bacokan senjata tajam. Mereka ini adalah Rejosemi, mbok Rejosemi dan anaknya.
Gadis ini hampir saja meruntuhkan air mata saking amat sedih dan menyesal. Dan setelah dapat menenteramkan hatinya, Titiek Sariningsih berdiri tegak bagai patung. Tetapi bagaimanapun, ia seorang perempuan. Seorang yang perasaannya amat halus dan mulia. Melihat pemandangan yang amat menyedihkan itu, hatinya terasa tidak tega. Sedu sedan segera naik ke kerongkongannyat .Dan sesaat kemudian gadis ini malah benar-benar sudah
menangis, sambil menjatuhkan diri mendeprok di lantai. Cukup lama ia menangis dan memeras air mata. Sebagai akibat kesembronoannya, berarti pula dirinya telah membunuh keluarga yang malang itu. Keluarga yang sebenarnya ia tolong dan ia selamatkan.
"Aduhh. oohh, akulah yang bersalah. Akulah yang berdosa!" ratap gadis ini sambil masih terus menyeka air matanya yang tak juga mau kering.
"Akulah yang membuat engkau sekeluarga tewas Secara mengenaskan. Hem, dengarlah, sekarang juga aku bersumpah. Aku takkan berhenti berusaha sebelum berhasil membunuh manusia busuk itu. Manusia yang kejam melebihi binatang buas."
Memang, rasa sesal yang berkecamuk dalam dada gadis ini, tak juga terobati oleh tangis dan air matanya. Makin menangis ia makin menjadi menyesal.
Mengapa sebabnya ia bersikap lemah terhadap Sungsang?
Kalau ia tadi tidak main lambat lamhatan, tentunya takkan sampai terjadi seperti ini. Takkan sampai terjadi Sungsang lepas dari tangannya, dan keluarga Rejosemipun tidak menjadi korban.
Setelah kenyang menangis dan memeras air matanya, ia merasa tidak tega kalau membiarkan tiga soSok mayat itu menggeletak tidak terawat. Gadis ini kemudian keluar dari pendapa sambil membawa pedangnya. Ia menuju ke kebun dan dibuatlah lubang. Mengingat apa bila membuat tiga buah lubang terlalu lama, maka dibikinlah satu lubang yang besar. Mayat satu keluarga itu akan dikubur
saja dalam satu lubang. Kesungguhan hatinya menolong, sehingga dalam waktu singkat ia telah berhasil membuat lubang yang cukup lebar. Lalu seorang demi seorang Rejosemi dan keluarganya dimasukkan ke dalam lubang. Kemudian setelah mengucapkan kata-kata perpisahannya dan berjanji akan membalaskan sakit hatinya, tiga sosok mayat itu ditimbun dengan tanah.
Ia menghela napas lega setelah selesai mengubur keluarga yang malang itu. Serasa himpitan yang semula menekan dadanva menghilang tlba tiba. Di saat ia mau meninggalkan rumah tua ini, mendadak didengarlah suara ringkik kuda di sudut pekarangan timur. Gumamnya,
"Ah, kuda siapakah itu? Memang ketinggalan ataukah sengaja ditinggalkan oleh orang-orangnya Sungsang? Hemm, kiranya baik juga kuda itu kuambil."
Hanya dengan beberapa kali' loncatan saja ia telah berhasil mencapai kuda itu. Tambatan kuda dilepas, kemudian sambil menuntun kuda tersebut meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan gadis yang cantik jelita ini wajahnya tampak muram dan berkali-kali menghela napas panjang juga. Menyusuri jalanan ini Titiek Sariningsih merasa amat heran.
Mengapa jalan tampak sepi dan semua rumah penduduk tertutup rapat-rapat?
"Hemm, kiranya semua penduduk menjadi takut oleh gara gara dari ketololanku tadi," desisnya.
"Mereka takut akan kekejaman orang-orang Sungsang. Maka merasa lebih aman kalau menutup pintu dan dengan seluruh keluarga menyembunyikan diri dalam rumah. Hemm, begitu besar pengaruh Sungsang yang jahat." '
Kegagalannya membunuh Sungsang tadi memang membuat gadis ini amat penasaran. Kalau semula ia ragu-ragu untuk datang ke rumah Sungsang, sekarang gadis ini merasa seperti ditantang. Untung sekali bahwa sebelum kegagalan ini terjadi, ia tadi sudah menanyakan tentang letak rumah manusia jahat itu. Hingga untuk mencari di kota Jepara yang tidak begitu luas itu, tidaklah sulit. Tanpa ragu sedikitpun ia menuntun kudanya menuju ke rumah Sungsang.
Ketika ia tiba di rumah gedung besar milik Sungsang itu, timbullah rasa heran dalam dada gadis ini.
Mengapa rumah yang besar inipun sepi tidak tampak seorang pun?
Dengan berdiri di depan pintu gerbang pekarangan rumah gedung itu, ia mengamati ke dalam. Di dalam halaman rumah itupun tidak tampak seorang pun, sehingga keadaan sepi sekali. Yang membuat gadis ini lebih heran dan bertanya-tanya lagi, adalah keadaan rumah gedung itu. Bukan hanya regol (pintu gerbang) itu saja yang terbuka lebar, namun semua pintu dan jendela rumah terbuka lebar-lebar.
"Hemm. manusia licik Sungsang mengatur tipu untuk menjebak aku!" desisnya dengan dada yang bergolak.
"Tetapi hemm. aku tidak takut tentang segala macam tipu dan jebakan. Lebih baik aku mati saja dari pada tidak berhasil membunuh musuh besarku! Betapa arwah ibuku di alam baqa akan marah!"
Namun sekalipun begitu, ia tak berani gegabah menerjang masuk. Terlintas pikiran baik dalam benaknya. Desisnya,
"Hemm. kalau aku membakar rumah ini,aku akan melihat. Dia mau ke luar atau tidak? Sebaliknya kalau aku harus menerjang masuk, mereka berjumlah banyak, dan tentunya pula rumah penjahat ini diperlengkapi pula dengan macam-macam jebakan. Manakah mungkin aku mampu melawan mereka yang berjumlah banyak?"
Untuk membakar rumah gedung itu, tentu saja memerlukan bahan bakar. Maka gadis ini sambil menuntun kudanya meninggalkan rumah itu untuk mencukupi kebutuhannya. Tetapi,belum juga jauh ia pergi, tiba-tiba tampak asap mengepul tinggi dari bagian belakang gedung tersebut. Jelas dalam rumah itu timbul kebakaran.
Melihat itu Titiek Sariningsih terkesiap. Tetapi juga tersenyum masam. Desisnya,
"Hemm, ternyata manusia jahat Sungsang banyak sekali tipu dan akalnya. Benar-benar dia seorang yang penuh tipu muslihat. Dalam usahanya menyelamatkan diri, dia rela membakar rumah sendiri yang begitu besar. Ahh kiranya dia sekeluarga telah menyelamatkan diri mengungsi ke tempat lain."
Mendadak saja terlintas dalam benak gadis ini, tentang tanah ladang yang menjadi gara-gara. sehingga Rejosemi sekeluarga tewas menjadi korban keganasan Sungsang. Timbul niatnya untuk melihat tanah ladang yang menimbulkan malapetaka itu dari dekat.
Sambil menuntun kudanya ia menuju ladang yang letaknya di belakang gedung Sungsang.
Ternyata ladang Rejosemi di belakang gedung itu memang subur. Daun menghijau dari tanaman yang ditanam di tempat itu. Dan mendadak saja terbayang betapa mbok Rejosemi yang terpukul jiwanya itu, telah menyembelih anaknya sendiri di ladang ini, hingga menemui ajalnya. Betapa derita keluarga itu. ia tidak dapat membayangkan. Tetapi betapa penasaran arwah mereka sekeluarga, karena dibunuh semena-mena oleh orang-orang Sungsang.
Teringat malapetaka yang menimpa keluarga Rejosemi, yang dibunuh mati di saat dirinya terpancing oleh orang yang tak mau menampakkan diri itu, Titiek Sariningsih menghela napas sedih. ia amat menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri, mengapa tidak berhati-hati dalam menghadapi akal busuk dan tipu muslihat orang. Akibatnya maksudnya menolong keluarga itu, malah berakhir dengan mencelakakannya.
"Hemm, engkau akan lari ke mana bangsat Sungsang!" desisnya.
"Walaupun engkau bersembunyi di mulut naga, tidak urung akan aku susul dan kubunuh mati!"
Memang dalam dada gadis ini sekarang bergelora nafsu untuk membunuh kepada manusia busuk, musuh besarnya itu. Malah kemudian timbul pula janjinya kepada diri sendiri, ia takkan mau hidup lagi apa bila tidak berhasil melenyapkan manusia jahat yang sudah membunuh ibunya itu.
Di saat ia berdiri seperti patung dan rasa hati tidak karuan, karena gagalnya melenyapkan musuh besarnya itu, tiba-tiba pendengarannyayang tajam
telah menangkap gerakan kaki orang, dan di samping itu terdengar pula suara orang berteriak.
"Lekas, lekas tangkap pembunuh itu! Dia juga membakar rumah majikan kita!"
"Benar! Jangan biarkan dia sampai dapat lolos!"
"Aku melihat penjahat tadi di ladang belakang gedung."
"Lekas, mari lekas kita kurung!"
Mendengar itu Titiek Sariningsih kaget. Ia mencoba melihat keadaan dengan meloncat dan menedaki pohon tinggi tak jauh dari ladang itu. Tampak kemudian pada jalan didepan gedung Sungsang yang telah terbakar itu, puluhan orang bersenjata anak panah, senjata api dan senjata lain. Melihat pakaian mereka, jelas bahwa mereka itu dan penguasa daerah. Tetapi ketika ia meneliti, Titiek Sariningsih tidak melihat batang hidungnya Sungsang.
"Kurang ajar !" gumamnya.
"Manusia busuk itu sekarang menggunakan tangan penguasa untuk memusuhi aku!"
Ia sadar kalau terlalu lama di tempat ini, dirinya bisa bermusuhan dengan penguasa Jepara. Ia cepat turun dari pohon, kemudian langsung beralih ke punggung kuda,dan kuda itu dikepraknya ke luar kota. Untung juga bahwa jalan yang dipilih tepat. Ia tidak berpapasan dengan pasukan yang berusaha menangkap dirinya itu. Setelah merasa aman, gadis ini menghentikan kudanya dan membalikkan diri. Dari tempat agak jauh ini ia melihat asap tebal yang mengepul dari beberapa tempat.
"Hem, licik benar manusia jahat bernama Sungsang itu!" desisnya.
"Ternyata bukan saja rumah gedungnya, tetapi juga rumah judi, rumah gadai dan rumah makannya telah dikorbankan untuk dibakar habis."
Melihat ini, bahwa Sungsang tidak segan-segan memusnahkan harta benda yang tidak terhitung jumlahnya itu, jelas bahwa Sungsang tidak mungkin kembali ke Jepara. Manusia licik itu tentu telah mempunyai rencana untuk pindah ke tempat yang lebih aman.
Manakah kota yang dipilih?
Titiek Sariningsih tidak dapat menduganya.
"Hemm, ke manakah aku harus mencari?" desisnya lagi;
"Betapa penasaran arwah ibuku di alam baqa, apa bila aku tak dapat membunuhnya."
Akan tetapi Titiek Sariningsih adalah seorang gadis yang cerdik juga. Tadi ketika ia mengubar orang yang menyambit dirinya, kemudian sibuk mengubur jenazah Rejosemi sekeluarga, waktu yang ia pergunakan tidak banyak. Kira-kira hanya dua jam saja.
Mungkinkah dalam waktu sesingkat itu, Sungsang telah berhasil menyelesaikan urusannya yang begitu banyak?
Ia percaya bahwa apa yang dibakar itu hanya rumahnya saja. Sedang isi dan harta bendanya tentu telah diselamatkan oleh para begundalnya. Ia mengerti bahwa jumlah begundal Sungsang itu sampai ratusan banyaknya. Dia hidup mulia bagai seorang bupati. Tetapi apa bila dalam waktu singkat semua urusan telah selesai,ia merasa kurang percaya. Maka segera timbul dugaannya, bahwa malam nanti Sungsang akan memerlukan waktu untuk pulang ke Jepara. Dan kalau bukan dia sendiri yang muncul, sedikitnya ada orang yang dipercaya oleh manusia jahat itu
untuk pergi ke tempat persembunyiannya, guna memperoleh perintah perintah yang diperlukan.
Memperoleh pikiran demikian, gadis ini menggumam,
"Hemm, kalau begitu kiranya lebih tepat apa bila aku berjaga saja di jalan besar."
Tetapi di waktu siang seperti sekarang ini, dan peristiwa menggemparkan itu belum lama berlangsung, tentu takkan ada orang yang muncul. Maka terpikir oleh gadis ini untuk mengaso saja dahulu. Nanti setelah malam tiba, ia akan berjaga semalam suntuk guna menangkap orang kepercayaan atau Sungsang sendiri.
Demikianlah, Titiek Sariningsih yang penasaran itu, tidak mau bekerja tanggung-tanggung. Sungsang adalah musuh besarnya, yang sudah membunuh ibu kandungnya secara biadab. Kemudian membunuh orang tua angkatnya pula, Wiro Sukro dan Ratmi. Disusul lagi secara biadab telah membunuh Rejosemi sekeluarga. Dosa manusia Sungsang itu tidak mungkin bisa diampuni lagi. Terlalu lama Sungsang dibiarkan hidup, akan membahayakan keselamatan manusia.
Maka setelah hari berganti malam, gadis ini segera pergi ke jalan besar. Ia bersembunyi di dalam semak lebat di pinggir jalan itu, sambil sepasang matanya yang jeli selalu mengamati ke empat penjuru. Seseorang yang sedang menunggu, tentu merasakan pergantian waktu terlalu lambat. Demikian pula gadis ini, sudah merasa letih menunggu, tetapi perjalanan malam terlalu lambat. Namun demikian, ia seorang gadis yang memiliki watak keras.
Walaupun dirinya harus dalam keadaan seperti ini cukup lama, ia tetap saja tidak bergerak dari tempatnya.
Akhirnya, di kejauhan terdengar suara ayam berkokok memberi pertanda bahwa malam sudah dini hari.
Diam-diam ia mengeluh.
Mengapa semenjak sore sampai sekarang, ia tidak melihat seorang pun yang lewat?
Mengapa hampir semalam berjaga di tempat ini tidak memperoleh apa yang diharapkan?
Kepalang tanggung kalau harus menghentikan usahanya. Maka ia tetap menunggu di tempat ini, sampai fajar tiba. Akan tetapi gadis ini segera menghela napas panjang setengah mengeluh. Karena orang-orang yang diharapkan tidak juga muncul. Yang ia lihat pada pagi itu hanyalah para petani atau pedagang melaksanakan kewajiban masing masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Apakah aku harus masuk kembali ke Jepara, kemudian melakukan penangkapan kepada salah seogang begundal Sungsang, lalu aku paksa supaya memberi keterangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
"Hemm, tanpa memperoleh keterangan dari salah seorang, manakah mungkin aku dapat mencari Sungsang? Dunia ini amat luas, dan diapun dapat menyamar."
Di saat ia sedang menimbang-nimhang ini, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap derap kaki kuda yang datang dari arah kota Jepara. Mendadak saja wajah gadis ini cerah. Bibirnya tersenyum dan hatinya gembira. Inilah yang ia harapkan sejak kemarin sore. Penunggang kuda
yang garang ini, tentu orang kepercayaan Sungsang yang berusaha pergi ke tempat persembunyian Sungsang, untuk melapor.
Akan tetapi beberapa saat kemudian, apa yang diduganya itu ternyata bukan. Yang datang itu dua orang penunggang kuda, namun dua orang itu mengenakan pakaian seragam perajurit perwira Mataram.
Melihat itu berdebar hati Titiek Sariningsih. Ia segera teringat akan ucapan pemuda adik ipar Sungsang yang bernama Sangsang Jagad itu. bahwa kakaknya tak dapat datang sendiri menyambut karena sedang menerima tamu dua orang perwira Mataram.
Jadi dua orang perwira inikah yang menjadi tamu kehormatan itu?
Titiek Sariningsih tetap bersembunyi, dan membiarkan dua orang perwira itu lewat. Akan tetapi setelah lewat, gadis ini segera membungkuk dan memungut sebutir batu kerikil, kemudian ditimpukkan. Batu kerikil itu melesat seperti kilat cepatnya, dan menghantam tepat lutut kaki kuda bagian belakang.
'Takk!" begitu kena kuda tersebut meringkik keras.
Lututnya patah dan seketika roboh.
Untung sekali bahwa perwira yang mengendarai kuda itu cukup berilmu. Begitu mendengar si kuda meringkik keras dan akan roboh, tubuh perwira itu sudah membal dan kemudian dengan ringannya telah berdiri tegak di pinggir jalan. Tetapi si kuda yang menderita kesakitan hebat, berguling guling sambil meringkik-ringkik tiada hentinya.
"Ahh, celaka!" terdengar perwira itu mengeluh, setelah menyaksikan keadaan kudanya.
Kawannya menahan kendali kudanya, sambil berpaling ia bertanya,
"Hai, kenapa kudamu ?"
"Hemm, kudaku terpeleset dan lututnya patah," jawabnya masih tetap bernada mengeluh.
"Kudaku tidak mungkin dapat berjalan lagi."
"Celaka duabelas !" perwira yang masih duduk di punggung kuda itupun mengeluh.
"Kalau begitu marilah kita cepat kembali masuk kota Jepara. dan kita bisa minta tukar kuda kepada saudara Sangsang Buwono."
'Hemm, manakah mungkin?" sahut kawannya sambil menghela napas panjang.
"Dia telah pergi tidak diketahui lagi di mana. Seluruh kota dalam keadaan ribut. Kumpeni Belandapun agaknya menjadi khawatir, melarang orang-orangnya meninggalkan benteng dan berjaga terus. Maka yang paling tepat kalau kita teruskan perjalanan untuk sementara. Apa bila kita tiba di salah satu desa, kita bisa minta bantuan kepala desanya. Kita tentu bisa memperoleh ganti kuda yang baru."
Sehabis berkata perwira ini segera mencabut pisau belati yang menyelip di pinggangnya, Perut kuda itu segera terhunjam oleh pisau belati. Agaknya perwira ini tidak tega melihat kudanya menderita terlalu lama, maka tiada jalan lain lagi kecuali dibunuh saja.
"Sayang juga," kata perwira yang seorang.
"Kalau begitu, marilah kita berkuda berboncengan untuk sementara waktu. Asal perlahan lahan. kuda
ini akan cukup kuat membawa kita berdua sampai ke desa di depan.! Tetapi, ahh, masih ada suatu pertanyaan yang membuat aku ragu ragu."
"Tentang apa?"
"Mungkinkah Sangsang Buwono benar benar takkan kembali lagi ke Jepara?"
"Kiranya tidak akan kembali lagi! Jika kita lihat tanpa rasa sayang lagi menghancurkan rumah rumah besar miliknya itu, jelas bahwa dia ketakutan setengah mati, dan ingin dapat menghindari
bencana itu,"
"Hemm, sayang!" perwira itu menghela napas pendek.
"Perjalanan kali ini sungguh sial. Kita tidak memperoleh sesuatu yang kita butuhkan. sebaliknya engkau malah harus mengorbankan kudamu yang bagus itu."
Perwira yang kehilangan kudanya karena harus mati itu, telah meloncat dan membonceng temannya, sambil, berkata,
"Ahh, mengapa engkau berkata begitu? Kita datang ke mari adalah sesuai dengan perintah Gusti Pangeran Kajoran, untuk mengumpulkan para tokoh sakti, untuk dapat saling bertemu dan berkenalan. Maka sebagai salah seorang yang dahulu pernah hidup di Plered, dan merupakan murid tunggal Ki Patra Jaya, tentu dia akan memenuhi undangan itu."
"Ya, mudah mudahan begitulah yang terjadi."
Dua orang perwira itu kemudian boncengan meneruskan perjalanan.
Sulit dilukiskan betapa gembira Titiek Sariningsih mendengar keterangan Singkat itu.
Jadi saat sekarang Pangeran Kajoran sedang berusaha mengumpulkan para tokoh sakti ke Plered, dan Sungsang termasuk orang yang diundang pula?
Kegembiraan gadis ini bukan saja di sana akan dapat berhadapan muka dengan Sungsang. Tetapi disana dirinya dapat pula berjumpa dengan para tokoh sakti yang sedang diundang Pangeran Kajoran. Tetapi sekalipun begitu, timbul pula pertanyaan dalam hati.
Apa sajakah maksud pangeran itu mengundang dan mengumpulkan para tokoh sakti?
Apakah kehendak Pangeran Kajoran ini mengandung maksud agar semua kekuatan di dalam kekuasaan Mataram itu bersatu di bawah Mataram, kemudian dapat dipergunakan untuk kepentingan Mataram pula?
Lalu untuk kepentingan apakah?
Para pemberontak telah berhasil dipatahkan. Di Wilayah timur sekarang ini, satu-satunya daerah yang belum dapat ditundukkan tinggal Belambangan saja.
Perlukah untuk menaklukkan Belambangan saja, memerlukan bantuan beberapa tokoh sakti?
Bukankah Surabaya yang dibantu oleh Gagak Rimang kiranya cukup sanggup untuk menundukkan Belambangan itu?
Di luar tahu Titiek Sariningsih bahwa cita-cita Sultan Agung begitu jauh. Ia berkeinginan dapat membangun Kerajaan Mataram yang sentausa dan jaya, seperti yang pernah terjadi di jaman Majapahit, dalam jaman keemasan Gajah Mada. Ia ingin mempersatukan seluruh nusantara ini dalam satu wadah. Dan agar cita cita ini berhasil, tindakan pertama yang penting harus dapat mengusir Kumpeni Belanda dari muka bumi Pertiwi ini. Dan mungkin untuk kepentingan inilah, Pangeran Kajoran mengundang para tokoh sakti itu berkumpul di Plered.
Setelah dua orang perwira Mataram itu berangkat, gadis inipun segera mengambil kudanya, yang sejak sore kemarin ia sembunyikan di tempat yang berumput subur. Kuda itu dilepas dari tambatannya, dan menepuk nepuk lehernya sambil berkata halus,
"Kuda, bantulah aku mencari jejak manusia busuk Sungsang. Betapa terima kasihku padamu, kalau pada akhirnya manusia busuk itu dapat jatuh ke tanganku."
Kuda itupun meringkik-ringkik lirih, seakan mengerti apa yang diucapkan majikan barunya. Dan sesudah Titiek Sariningsih duduk di punggungnya, kuda itupun mulai melangkahkan kaki menyusur jalan besar menuju ke selatan. Di sebelah kiri dan agak jauh di sana, nampak Gunung Muria menjulang tinggi. Sedap juga gunung yang membiru di kejauhan itu dipandang. Ia membiarkan kudanya itu melangkah seenaknya, sebab ia tidak perlu tergesa, justeru akhir tujuan sudah pasti. Ia harus ke Plered apa bila berkeinginan menangkap dan mengadili Sungsang.
Melihat Gunung Muria yang membiru dan menjulang tinggi itu, tiba-tiba saja gadis ini terkenang kembali kepada kehidupannya hampir dua tahun lamanya di lereng Wilis. Waktu itu ia hidup di desa Lumbungkerep, menggembleng diri di baWah asuhan Ki Ageng Lumbungkerep. kakek Damayanti atau yang lebih terkenal dengan sebutan Gadis Berbaju Kuning yang sakti mandraguna. Entah mengapa sebabnya mendadak saja timbul rasa kerinduannya, baik kepada Damayanti maupun keluarganya, dan lebih lebih Ki Ageng Lumbungkerep yang sudah berusia lebih seratus limapuluh tahun itu.
Bukankah atas jasa orang tua itu, dirinya sekarang menjelma menjadi dara perkasa pilih tanding?
Ketika kuda yang ditunggangi Titiek Sariningsih ini hampir tiba di kota Kudus, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kuda di belakangnya, yang cepat luar biasa. Begitu memalingkan mukanya, ia segera melihat seekor kuda hitam yang tinggi besar, kabur seperti angin menuju ke arahnya. Kagum juga gadis ini melihat kecepatan kuda itu lari. Ia khawatir kalau kudanya sampai keterjang oleh kuda yang lari cepat seperti itu, maka cepat-cepat ia menahan kendali kudanya dan bergerak menepi. Baru saja ia menepi, di sebelahnya berkesiur angin yang tajam, dan seperti melesatnya anak panah dari busur, kuda hitam itu dengan penunggangnya telah lewat. Saking cepatnya kuda itu lari, seakan kuda itu tidak menapak bumi.
Penunggang kuda hitam yang dapat bergerak seperti terbang itu, adalah seorang pemuda bertubuh semampai dan mengenakan baju kuning. Namun saking cepatnya kuda itu lari, gadis ini tidak dapat melihat wajah penunggang kuda itu. Akan tetapi mendadak saja Titiek Sariningsih terkejut. Desisnya,
"Kuda itu yah, kuda itu..... bukankah si Mega Langking milik mbakyu Damayanti? Ah, benar! Manakah mungkin ada kuda lain dapat lari secepat Mega Langking?'
Ia amat kenal dengan Mega Langking. Kuda mustika milik Damayanti. Kuda itu bulunya hitam mulus dan halus. Bulu pada lehernya halus sekali seperti rambut perempuan. Apa bila ia memperoleh kesempatan mendekati kuda itu, ia akan segera dapat mengenal, tentang kuda yang bernama Mega Langking. Sebab pada telinga kanan bagian dalam, terdapat bulu halus warna putih yang lebarnya sama dengan uang real (rupiah).
Hanya yang membuat gadis ini heran. mengapa kuda mustika yang amat disayang oleh Damayanti itu, jatuh ke tangan pemuda tadi?
Apakah hubungan si pemuda dengan Damayanti dan keluarganya?
Dan kalau tidak mempunyai hubungan apaapa, tentu kuda mustika itu sudah dicuri orang. Namun kalau benar orang dapat mencuri kuda itu, sulit dibayangkan betapa ketinggian ilmu pemuda itu.
Titiek Sariningsih terus menggerakkan kudanya keselatan. Namun sekarang langkah kuda itu lebih cepat dibanding tadi. Pandang mata Titiek Sariningsih menuju jauh ke depan. Dan kuda hitam tadi sudah tidak tampak lagi, entah ke mana.
Perjalanan Titiek Sariningsih kali ini memang tidak tergesa. Lebih-lebih selama menyusuri jalan ini, benaknya penuh oleh macam-macam pikiran. Ialah tentang Sungsang yang lolos. tentang apa maksud Pangeran Kajoran mengundang para tokoh sakti, dan tentang kuda Mega Langking milik Damayanti yang dilarikan oleh pemuda itu.
"Hemm, jika aku dapat bertemu dengan pemuda tadi, aku akan menanyakan hubungannya dengan mbakyu Damayanti," gumamnya.
"Aku cukup kenal dengan tabiat mbakyu Damayanti. Tidak sembarang orang memperoleh kepercayaan mengendarai kudanya."
Ketika senja mendatang, gadis ini telah masuk ke kota Demak. Kota di mana di jaman Demak merupakan ibu kota kerajaan. Kota itu tidak begitu luas, namun cukup ramai. Ketika lewat di depan sebuah rumah makan, Titiek Sariningsih agak kaget ketika melihat kuda hitam tadi ditambatkan di depan rumah makan itu. Ia segera turun dari kuda, lalu menambatkan kudanya. Sebelum ia masuk ke dalam, lebih dahulu ia mendekati kuda hitam itu. Ia masih mengenal bagaimanakah caranya mendekati kuda mustika Mega Langking. Apa bila ibu jari tangan dengan jari tengah saling menempel, kemudian digerakkan, akan terdengar suara "tik-tik-tik". Tentu si kuda akan membalas dengan ringkik lirih.
Maka Titiek Sariningsih segera menghampiri kuda hitam itu sambil menempelkan jari tengah dengan ibu jarinya, dan ketika digerakkan tiga kali, terdengarlah suara "tik-tik-tik". Ternyata si kuda mengangkat kepalanya dan meringkik lirih. Agaknya si kuda masih mengenal dirinya.
Melihat lagak si kuda hitam ini, Titiek Sariningsih gembira. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengusap bulu kuda yang halus itu sambil berkata lirih,
"Mega Langking...... Mega Langking, mengapa engkau di sini?"
Kuda yang bernama Mega Langking ini meringkik lirih sambil menggaruk-garukan kaki depannya ke tanah. Kalau saja bisa bicara, mungkin kuda ini akan bertanya, mengapa selama ini ia tidak pernah berkunjung ke Lumbungkerep?
Gembira sekali Titiek Sariningsih setelah mengenal bahwa kuda hitam ini benar-benar Mega Langking, kuda kesayangan Damayanti. Ia segera masuk ke dalam rumah makan tersebut, dan inginlah ia dapat berkenalan dengan si pemuda yang mempunyai hubungan dekat dengan Damayanti. Akan tetapi ketika ia masuk dan menebarkan pandang matanya, ternyata pemuda baju kuning yang dicarinya tidak nampak.
Saking kepingin dapat bertemu dengan penunggang kuda Mega Langking itu, hampir saja ia bertanya kepada salah seorang pelayan. Akan tetapi maksudnya itu ia urungkan sendiri, karena ia merasa malu kepada tamu-tamu yang jajan di dalam rumah makan itu. Adalah kurang pantas apa bila seorang gadis pula seperti dirinya ini, menanyakan tentang seorang pemuda yang belum dikenalnya. Timbullah akalnya kemudian, untuk duduk saja di dekat pintu. Dengan begitu, orang akan lewat didepan mejanya apa bila sudah selesai jajan. Perutnya memang sudah terasa lapar. Maka ia memesan nasi dan lauk serta minumnya kepada seorang pelayan yang datang menghampiri. Ketika apa yang dipesan itu telah datang, iapun mulai makan. Akan tetapi sebagai seorang gadis, dan sesuai dengan adat timur, kalau makan di samping perlahan juga selalu harus menundukkan muka. tidak memandang ke kiri maupun ke kanan. Hal ini perlu dipatuhi
oleh setiap gadis, apa bila tidak ingin disebut sebagai seorang gadis yang kurang sopan.
Sambil makan ini, tiba-tiba saja teringatlah Titiek Sariningsih akan sesuatu benda kenang-kenangan pemberian Damayanti. Benda kenang-kenangan itu berujud patung kuda dari kayu. Patung kuda itu terbikin dari kayu sanakeling, maka warnanyapun menjadi hitam mirip sekali dengan Mega Langking.
"Hemm, kalau pemuda tadi mempunyai hubungan erat dengan mbakyu Damayanti, tentu mengenal patung kuda itu," katanya dalam hati.
"Kalau begitu, biarlah patung itu aku ambil dan kupamerkan di atas meja. Kalau dia dapat melihat, dia tentu menegur dan, mengajak berkenalan dengan aku. Bagus, jalan inilah yang paling bagus."
Memperoleh pikiran demikian ia mengangkat kepala, menghentikan suapan nasinya, untuk membuka bungkusan yang tadi ia letakkan di sudut meja. Akan tetapi tibatiba saja sepasang mata gadis ini terbelalak kaget.
Mengapa?
Bungkusan itu mendadak telah lenyap tanpa bekas.
Titiek Sariningsih mengerutkan alis dan mengingat-ingat. Tetapi tidak salah lagi, ia tadi meletakan bungkusan itu di sudut meja ketika ia masuk ke rumah makan ini.
Mengapa sekarang mendadak lenyap?
Dengan pandang mata curiga ia menyapu ke seluruh ruangan rumah makan. Tamu-tamu lain sibuk dengan urusannya sendiri, mengisi perut. Memang ada juga beberapa pasang mata lakilaki yang ditujukan ke arah dirinya. Namun ia
tidak dapat mencurigai itu. Sebab ia tahu, bahwa pandang mata mereka itu mempunyai maksud lain.
"Hemm," desisnya.
'Kalau dilakukan oleh orang biasa saja, mana mungkin gerakan orang itu luput dari pengamatanku? Ah, celaka. Di kota ini aku bertemu dengan seorang sakti yang sengaja memancing perselisihan dengan aku"
Karena tak ada alasan menuduh orang, dengan hati berat dan terpaksa ia memanggil seorang pelayan, yang tadi melayani dirinya.
"Saudara," katanya setelah pelayan itu datang menghampiri.
"Aku ingin bertanya apakah engkau melihat bungkusan yang tadi kutaruh di sudut meja ini? Dan apakah saudara juga melihat seseorang yang telah mengambil bungkusan itu?"
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab
"Benda milik tamu harus dijaga sendiri keamanannya, nona. Kecuali kalau tadi nona menitipkan benda itu kepada kami."
"Ehh, bukan maksudku minta pertanggungan jawabmu," kata Titiek Sariningsih.
" Aku hanya ingin bertanya, apakah saudara melihat orang yang mengambil bungkusanku tadi?"
Makin keras pelayan itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku tidak tahu sama sekali! Tetapi, rumah makan ini paling aman di kota ini. Manakah ada penjahat berani masuk ke mari?"
Para tamu lain yang jajan di tempat ini tertarik dan melihat ke arah Titiek Sariningsih dan pelayan tersebut. Sementara tamu laki-laki muda
yang melihat dan mendengar pembicaraan mereka, ada yang tersenyum-senyum, sambil mengamati penuh arti.
Sementara itu si pelayan yang khawatir kalau apa yang telah dimakan oleh gadis ini tidak dibayar, sudah berkata,
"Harga makanan maupun minuman yang nona pesan tadi semuanya seharga setengah real. Untuk itu nona harus membayar dengan uang, dan tidak dengan seribu satu alasan."
Merah wajah gadis ini saking malu, dianggap berani masuk ke dalam rumah makan, peaan makanan tidak memiliki uang. Memang pada pakaian yang menempel tubuhnya sekarang ini. tidak sepeserpun uang yang ada. Akan tetapi dalam bungkusan itu, ia menyimpan beberapa ratus ringgit dan beberapa ratus real, yang ia ambil dari kemenangannya di rumah judi Sangsang Buwono. Namun apa harus dikata, bungkusan itu sekarang telah lenyap tanpa diketahui siapakah yang mencuri.
Sementara itu dari mulut beberapa orang tamu laki-laki muda sudah terdengar suara yang usil. Menawarkan jasa baiknya membayar harga makanan itu, asal saja tahu sendiri. Kalau para tamu laki-laki muda itu bersikap demikian, bukan lain karena tertarik oleh kecantikan dan kemudaan wajah Titiek Sariningsih.
Malu dan marah gadis ini mendengar katakata kurang ajar itu. Kalau saja menurutkan rasa malu dan marahnya, ingin sekali ia menerjang ke arah para pemuda yang bermulut usil itu dan menghajarnya. Namun apa bila ia melakukan itu,
salah-salah bakal timbul peristiwa-peristiwa yang tidak ia harapkan, dan bisa pula menambah persoalan-persoalan yang harus ia hadapi.
Yang terang apa yang terjadi sekarang'ini adalah kesalahannya sendiri, yang begitu sembrono. Kalau ia tadi pandai menjaga bungkusannya itu, tentu saja takkan sampai dicuri orang.
"Mari ikut aku ke luar, saudara, jangan khawatir aku tidak membayar," ajaknya sambil mendahului melangkah ke luar.
Tentu saja si pelayan bergegas mengikuti ke luar, takut kalau tamunya perempuan ini sampai kabur. Beberapa orang tamu laki-laki muda yang tertarik perhatiannya kepada gadis itupun, kemudan berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Mereka menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis cantik itu.
Begitu keluar dari rumah makan, ia melihat bahwa Mega Langking sudah tidak nampak lagi. Tiba-tiba saja ia dapat menghubungkan hilangnya bungkusan itu dengan si kuda Mega Langking. Ia dapat menduga bahwa pemuda penunggang Mega Langking itulah yang sudah panjang tangan berani mengganggu dan mencuri bungkusannya. Ia marah, tetapi juga lega. Apa bila pemuda itu melihat patung kuda di dalam bungkusannya, pemuda itu tentu mengerti hubungannya dengan Damayanti. Dan ia pastinya pula pemuda itu akhirnya akan memgemballkan bungkusannya sambil berlutut minta ampun.
"Kudaku ini biar aku tinggal sementara di sini," kata Titiek Sariningsih sambil menyerahkan kendali
kuda kepada si pelayan.
"Beberapa hari lagi aku akan datang ke mari membayar harga makanan itu, di samping membayar ganti rugi ongkos pemeliharaannya."
Si pelayan menjadi gugup menerima kendali kuda itu. Kalau gadis ini memiliki seekor kuda, jelas bahwa si gadis tidak berdusta, bungkusannya benar benar hilang. Harga kuda puluhan real, maka tidak mungkin menipu harga makanan yang hanya setengah real.
"Ahh, nona, maafkan aku. Soalnya aku hanya pelayan, aku khawatir majikan menjadi marah. Ya, kuda ini akan kami rawat dan pelihara baik-baik, sambil menunggu kedatangan nona."
Para tamu laki-laki muda yang ikut keluar tadi masih cengar-cengir, dan di antara mereka menawarkan jasa baik untuk membayar harga makanan itu, dan tidak usah Titiek Sariningsih meninggalkan kudanya. Mendengar mulut-mulut usil itu, hampir saja Titiek Sariningsih bergerak dan menghajar mulut-mulut lancang itu. Untung ia masih dapat menahan sabarnya, lalu melangkah pergi tanpa membuka mulut.
Namun diantara pemuda itu ada pula yang tidak mengenal gelagat. Melihat Titiek Sariningsih melangkah pergi, ada tiga orang pemuda yang segera mengikuti dengan langkah cepat. Titiek Sariningsih tidak memalingkan mukanya, tetapi dengan mendengar suara langkah tiga orang pemuda itu. ia segera tahu bahwa tiga orang pemuda ini mempunyai kepandaian lumayan juga. Pantas berani bermulut lancang dan kurang ajar. Namun ia masih bersikap tidak perduli. Tetapi apa bila kesabarannya ini tidak membuat tiga orang pemuda itu kenal gelagat, terpaksa ia akan memberi hajaran secukupnya kepada mereka.
Ia tetap melangkah seenaknya. Dan tiga orang pemuda itu jaraknya menjadi semakin dekat. Ketika tiba pada jalan yang agak sepi di pinggir kota, tiba-tiba tiga orang muda itu sudah menghadang di depannya. Pandang matanya kurang ajar sekali, sedang mulutnya cengar-cengir.
"Nona," tegur salah seorang.
"Kalau benar nona tidak mempunyai uang, mengapa masuk ke rumah makan? Apa bila nona bersedia bersahabat dengan kami, tentang uang jangan khawatir."
Pemuda kedua caranya bicara lebih halus dan sopan lagi.
"Nona, apakah engkau datang dari tempat jauh, sehingga kehabisan bekal? Sungguh sayang kalau hanya makanan seharga setengah real saja, kuda yang bagus itu harus engkau Jadikan tanggungan. Mari kita kembali ke sana dan aku sanggup,membayarnya. Kemudian akupun akan sedia mencukupi kebutuhan nona yang lain, asal saja nona sudi menjadi sahabat baik kami."
Pemuda yang ke tiga tidak mau ketinggalan. ia mengambil uang dari sakunya, digenggam dalam tangan kanannya, dalam hitungan belasan ringgit. Sambil berkedap-kedip penuh arti. pemuda ini berkata,
"Nona, aku mempunyai uang cukup banyak. Begitu pula dua orang sahabatku ini. Maka Apabila nona sudi bersahabat dengan kami semalam saja. kebutuhan nona akan kami cukupi...."
"Cukup!" bentak Titiek Sariningsih tiba-tiba dengan mata mendelik.
"Kamu bertiga adalah pemuda-pemuda harapan bangsa. Mengapa tingkah lakumu berandalan dan setengik itu? Secara gegabah berani menghina perempuan? Huh-huh, aku bukan perempuan rendah semacam yang kamu sangka. Aku tidak membutuhkan uangmu."
Tetapi bentakan itu bukannya membuat tiga orang pemuda ini kaget dan gentar, melainkan malah membuat mereka tertawa riuh.
Mereka mengejek.
Kalau gadis ini tidak dapat dibujuk dengan gemerincingnya uang perak. mereka tidak segan segan untuk menggunakan kekerasan.
"Ha,-ha-ha, jangan galak-galak, nona yang manis." kata pemuda pertama.
"Kami bermaksud baik,dan nona takkan kecewa menjadi sahabat baik kami." .
"Betul! Kami akan dapat memberi apa saja yang nona kehendaki dan minta. Kami tiga orang ini adalah merupakan sahabat-sahabat yang setia" bujuk pemuda yang ke dua.
"Jika nona sedia menjadi sahabat baik kami secara adil, nona akan hidup bahagia."
"Kami mempunyai sebuah gedung yang besar dan megah," sambung pemuda ke tiga.
"Nona akan kami bawa malam ini ke sana, dan kami ajak ke sorga. Heh heh heh ......"
"Hemm," dengus Titiek Sariningsih yang mulai marah.
"Apakah kamu tidak juga mengenal gelagat?"
"Ha-ha-ha," pemuda ke dua tertawa sambil melangkah maju.
"Engkau mau .."
"Plak .... aduh ...!"
Belum juga pemuda ke dua itu selesai berkata, dan belum juga sempat menghindarkan diri, tahutahu sebelah pipinya telah ditampar keras sekali. Pipi itu mendadak saja sekarang sudah menjadi bengkak dan matang biru. '
Gerakan Titiek Sariningsih memang cepat bukan main. Entah bagaimana cara gadis ini bergerak, tahu-tahu pipi pemuda itu sudah kena ditampar. padahal Titiek Sariningaih masih tetap berdiri di tempatnya semula. Benar-benar Titiek Sariningsih telah dapat bergerak seperti kilat cepatnya. Dalam sedetik melompat maju, menampar kemudian melompat kembali ke tempatnya sendiri. Masih untung juga Titiek Sariningsih tidak menurunkan tangan kejam. Tamparannya tadi menggunakan tenaga yang dikendalikan.
Kalau saja Titiek Sariningsih benar benar memukul, apa yang akan terjadi?
Walaupun tangan gadis ini kecil dan kulitnya lumar dan halus, namun apa bila menampar benar-benar, mulut pemuda itu bisa remuk dan giginya semua tanggal.
Apa yang telah terjadi, membuat tiga orang pemuda ini kaget. Akan tetapi mereka tiga orang pemuda kasar, pemuda ugal-ugalan yang suka melakukan pelanggaran, mengandalkan sedikit kepandaian. Mereka bukan menjadi sadar atas hajaran ini, melainkan malah menjadi marah.
Menurut pendapat mereka, dengan mengeroyok tiga, apakah sulitnya mengalahkan gadis ini?
"Kurang ajar. Kau berani memukul aku?" bentak pemuda yang sudah terpukul tadi.
"Hemm, tanganmu ganas! Agaknya engkau belum mengenal siapa kami? Huh. karena engkau
sendiri yang tidak dapat menghargai kami, maka jangan salahkan aku berbuat kasar!" bentak pemuda ke dua dengan wajah merah saking marah.
Titiek Sariningsih yang sudah menjadi marah, ketawa cekikikan dan mengejek,
"Hi-hi-hik, pemuda pemuda macam kamu berani kurang ajar di depanku? Aku ingin melihat sampai di manakah kegagahanmu?"
Betapa marah tiga orang muda ini, sulit dilukiskan. Sambil saling lirik untuk memberi isyarat, tiga orang muda ini sudah menyebar diri dengan maksud untuk mengeroyok dari tiga jurusan. Akan tetapi segera terdengarlah suara,
"Plak plak plak plak plak plak.... Aduh mati aku.......!"
Sebelum mereka dapat berdiri tegak, tahu tahu berkelebatlah bayangan ramping di depan mereka sambil memberi hadiah dua kali tamparan pada pipi kanan dan kiri.
Tamparan yang keras sekali. sehingga bukan saja pipi bengkak dan bibir pecah, tetapi kepala mereka menjadi pusing tujuh keliling. Saking sakit, mulut masing-masing sudah berteriak kesakitan.
"Hi-hi-hik. bagaimana?" ejek Titiek Sariningsih sambil cekikikan.
"Ingin tambah lagi?"
Tiga orang pemuda itu menggunakan tangan untuk mengusap-usap pipi yang bengkak dan darah yang keluar dari mulut. Mata mereka terbelalak, dan kemudian tanpa membuka buka mulut, tiga orang ini sudah lari terbirit birit.
Titiek Sariningsih tersenyum masam. Walaupun telah berhasil menghajar tiga orang muda itu, tetapi hati gadis ini merasa sedih. Betapa runyam dunia ini, apa bila terdapat orang-orang muda seperti itu berjumlah sampai ribuan banyaknya. Tentu kehidupan kaum wanita tidak aman. Para orang tua merekalah yang bertanggung jawab terhadap para muda macam itu. Sebab sebagai akibat kurang pengawasan, menyebabkan para muda itu menjadi berandalan, berani melakukan pelanggaran-pelanggaran dan melakukan perbuatan tidak baik yang lain. Betapa runyam dunia ini, apa bila para orang tua tidak dapat mengatasi putera-puteranya sendiri.
Titiek Sariningsih meneruskan perjalanan dengan hatinya yang menyesal, penasaran di samping masygul. Ia merasa dipermainkan oleh seseorang, dengan lenyapnya bungkusan itu secara mendadak.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan diam diam pula ia heran. orang sakti manakah yang lancang tangan membuat dirinya menderita malu macam ini?
Sekarang ia tidak memiliki uang sepeser pun, sehingga tidak mungkin menginap di dalam rumah penginapan. Dirinya seorang yang tidak sudi menggunakan kepandaian untuk merugikan orang lain, dengan cara meminjam (mencuri) milik orang. Maka malam ini biarlah ia akan menginap di tempat yang tidak usah membayar saja, di atas sebatang pohon besar di tempat yang sepi. Semalam ia tidak tidur sekejappun.Kalau saja tidak sial tentunya ia dapat tidur nikmat di dalam sebuah rumah penginapan. Namun untuk mengaso itu. karena sekarang sudah tidak memiliki uang sepeserpun, sekaligun di atas pohon tidak mengapa.
Setelah tiba di luar kota dan sepi, ia segera melenting tinggi ke sebatang dahan pohon besar. Ia memilih batang pohon yang banyak dahannya dan berdaun lebat. Dan sesudah itu, ia merebahkan diri di atas dahan pohon. Tetapi sambil berbaring di atas pohon ini, dalam benaknya segera berkelebat apa-apa yang baru dia alami sejak ia mengobrak abrik tempat usaha Sungsang. Belum dua hari ia melepaskan kedok muka yang mengerikan itu. sudah menyebabkan dirinya harus menghajar tiga orang pemuda yang kurang ajar karena tertarik oleh kecantikan wajahnya. Padahal selama ia menyamar dengan kedok penutup muka yang buruk itu, ia tidak pernah digoda oleh laki-laki.
"Haruskah aku mengenakan kembali kedok muka terkutuk ini?" desisnya.
"Hem, sesungguhnya aku tidak senang bersembunyi dalam penyamaran. Akan tetapi kalau di setiap tempat aku harus berurusan dengan kekurangajaran laki-laki, tidak urung akan memperlambat usaha pengejaranku terhadap Sungsang."
Ia menghela napas. Sesaat kemudian terusnya,
"Tetapi kalau aku mengenakan kedok yang mengerikan ini, tentu Sungsang tidak mengenal aku lagi. Ahh, tidak! Biarlah aku mengenakan kedok ini saja. Apa bila aku sudah memperoleh kesempatan berhadapan muka dengan dia, aku masih dapat melepas kembali agar dia mengenal aku, dan aku dapat membunuh dia dengan hati puas." '
Memperoleh keputusan ini, ia segera mengambil kedok penutup muka yang buruk itu dan dipasang untuk menutup wajahnya. Dan dengan mengenakan
lagi kedok penutup muka yang buruk mengerikan ini, nama Titiek Sariningsih disembunyikan lagi, ia lebih suka dengan nama samarannya, Ulam Sari.
Ia dapat tidur pulas tanpa gangguan semalam suntuk, dan ia bangun tepat pada pagi mendatang. Dengan gerakannya yang ringan seperti burung garuda meniup dari angkasa, kaki gadis ini tanpa suara sudah menapak di atas bumi. Perutnya terasa lapar, di samping pula ingin menggosok gigi dan membersihkan tubuh. Maka dicarinya sumber air di dalam sebuah hutan. Setelah cukup baru terpikir untuk mencari pengisi perut. Sungguh kebetulan bahwa pagi ini ia memperoleh seekor ayam hutan. Dengan sarapan' daging ayam ini, di samping akan kenyang juga merasakan kelezatannya. Tetapi tiba-tiba kembali ia merasa masygul. Sebab bumbu persediaannya, yang disimpan dalam bungkusan uang dan patung kuda itu, telah dicuri orang. Mau tidak mau pagi ini ia harus makan daging ayam panggang tanpa bumbu apapun.
Matahari sudah sepenggalah tingginya, ketika Titiek Sariningsih yang sudah menggunakan nama samaran Ulam Sari lagi ini, meneruskan perjalanan. Ia bergerak cepat tanpa gangguan apapun di jalan. Dan mendekati tengah hari, tibalah ia di desa Wanasalam. Tiba-tiba gadis ini teringat akan cerita Sindu, bahwa dahulu di jaman Demak, ketika Raden Patah menjadi Raja Demak, nama Patih Demak itu bernama Wanasalam.
Adakah hubungan nama desa ini dengan Patih Demak itu?
Dan mungkinkah kiranya, karena letaknya dekat dengan
Demak, desa ini dahulu merupakan tempat tinggal Patih Wanasalam?
Ulam Sari masuk ke desa ini dengan langkah seenaknya. Mendadak perhatian gadis ini tertarik kepada banyaknya orang berkumpul di depan rumah besar, yang mempunyai halaman luas sekali, sedang pekarangan rumah itu dilindungi oleh tembok yang tidak begitu tinggi. Begitu memandang ke arah rumah itu mendadak saja gadis ini tahu bahwa salah seorang keluarga pemilik rumah ini sedang meninggal.
Biasanya ia tidak begitu tertarik kepada keluarga yang kehilangan salah seorang, anggauta keluarganya, kalau ia belum merasa kenal. Akan tetapi sekali ini entah mengapa sebabnya, seperti dibimbing oleh sesuatu daya yang tidak nampak, mendadak saja langkah kakinya sudah membelok masuk ke dalam pekarangan rumah itu.
Rumah depan keluarga yang kesripahan (kematian) salah seorang keluarganya ini, sudah cukup banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan yang datang melayat. Rumah depan yang luas iiu seakan menjadi sempit saking banyaknya orang melayat, sehingga tidak sedikit pula di antara mereka yang terpaksa berada di halaman. Di bagian dalampun, di mana jenazah itu membujur, juga tampak banyak orang yang duduk menunggui untuk memberi penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal.
Menurut kebiasaan yang berlaku dan sesuai dengan adat di desa, keluarga yang kematian keluarganya, tentu mempersilahkan kepada tamu-tamu
yang melayat itu untuk bersantap siang. Di kala itupun belum lama dengan kehadiran Ulam Sari, hidangan makan siang itu dihidangkan oleh beberapa orang muda yang membantu.
Walaupun di dalam pendapa itu telah banyak sekali tamu, namun Ulam Sari ikut pula berada di dalam pendapa.
Kemudian ia mencoba untuk bertanya kepada seorang perempuan yang duduk di sampingnya, siapakah yang meninggal sekarang ini?
Sebab orang yang datang melayat luar biasa banyaknya.
"Bibi, bolehkah aku bertanya, siapakah sesungguhnya yang meninggal sekarang ini ?" tanyanya.
Perempuan setengah baya itu mengamati Ulam Sari dengan pandang mata heran. Sungguh aneh kalau gadis ini datang melayat, belum pernah mendengar nama Guno Saronto yang terkenal, sebagai ketua Perguruan Wanasalam. Jawabnya,
"Jadi nona belum tahu kalau yang meninggal sekarang ini bernama Ki Guno Saronto, ketua Perguruan Wanasalam?" .
"Ya, aku memang belum pernah mendengarnya." katanya terus terang.
Titiek Sariningsih memang belum pernah mendengar nama ini. Sebab baik Sindu, Damayanti, Damarjati maupun Ki Ageng Lumbungkerep tidak pernah menyebut-nyebut nama Guno Saronto dan Perguruan Wanasalam.
Tetapi memang tidak mengherankan, justeru Titiek Sariningsih memang belum luas pengalaman. hingga gadis ini tidak mengenal nama Guno Saronto maupun Perguruan Wanasalam
Malah bukan
hanya Titiek Sariningsih seorang, tetapi juga beberapa banyak para muda, karena Perguruan Wanasalam ini termasuk masih baru. Guno Saronto berasal dari ujung barat Pulau Jawa, dan tidak dikenal pula nama aslinya ketika masih berdiam di sana. Dan tentang sebabnya Guno Saronto sampai memindahkan perguruannya dan mengungsi ke desa inipun tidak pernah diketahui orang. Nama Guno Saronto muncul sebagai orang sakti baru kira-kira tiga tahun .Akan tetapi sekalipun begitu, perguruan ini cepat memperoleh kepercayaan orang, dan mempunyai anak murid yang cukup banyak.
Tiba-tiba perhatian Ulam Sari tertarik kepada dua orang perwira Mataram yang kemarin meninggalkan Jepara, yang salah seekor kudanya terpaksa dibunuh mati oleh sambitannya. Gadis ini menjadi heran.
Mengapa perwira ini juga datang melayat kemari?
Kalau demikian benar-benar Guno Saronto seorang tokoh sakti, sehingga banyak sahabat dan orang memerlukan datang untuk memberikan penghormatan yang terakhir. Dan saking tertarik, maka Titiek Sariningsih mencoba untuk berpindah tempat, kemudian sekarang ia termasuk di dalam kelompok laki-laki muda, dan di antara mereka terdapat dua orang laki -laki setengah baya yang mengenakan pakaian yang biasa dipakai oleh para tukang pukul orang kaya. Hingga pakaian yang menyolok dan berbeda dengan kebanyakan orang itu tampak menyolok, membuat pemakainya tampak garang.
Bagi Ulam Sari yang wajahnya buruk menyeramkan ini, tidak perlu kikuk kikuk lagi masuk
dalam kelompok laki-laki. Sebab tidak seorang pun laki-laki akan tertarik dan mau memperhatikan dirinya. Dan agaknya salah seorang pemuda yang duduk disamping tukang pukul itu, seperti dirinya pula, belum banyak tahu tentang Guno Saronto. Terbukti salah seorang dari tukang pukul menerangkan,
"Hemm, kiranya ada baiknya apa bila aku memberi keterangan ringkas padamu. Ki Guno Saronto adalah seorang sakti yang namanya terkenal, di samping sebagai ketua Perguruan Wanasalam, juga merupakan seorang yang kaya raya. Hanya sayang sekali, dia tidak mempunyai seorang pun anak. Namun demikian Guno Saronto sudah merasa puas karena mempunyai tiga orang murid yang berbakti. Murid pertama bernama Slamet Basuki, yang ke dua bernama Gagak Wilis dan yang ke tiga bernama Jaladri."
Tukang pukul itu berhenti. Lagaknya bangga bahwa dirinya banyak tahu tentang Guno Saronto.
"Mengingat bahwa sahabatnya banyak, maka jenazahnya tidak cepat dikubur. Hal itu guna menunggu kedatangan sahabat-sahabatnya dari jauh agar mereka tidak kecewa. Untuk mencegah jenazah itu berbau, maka telah dimasukkan obat pencegah pembusukan dan seluruh tubuh jenazah itupun dilumuri oleh obat pula. Dengan obat itu, jenazah dapat bertahan tanpa membusuk selama kira-kira satu minggu?"
Akan tetapi kata-kata tukang pukul ini kemudian terputus, sebab tiba-tiba di bagian dalam rumah terdengar suara ribut-ribut orang bertengkar. Ulam Sari mengangkat kepala dan memperhatikan keadaan di dalam rumah. Gadis ini merasa heran sekali, mengapa di saat jenazah masih menunggu datangnya para sahabat, sekarang timbul pertengkaran.
Timbul pertanyaan Ulam Sari, siapakah yang bertengkar dan membuat keributan itu, serta mengapa tidak ada orang yang berusaha mencegah?
Banyak orangpun perhatiannya tertuju ke arah di mana terjadi pertengkaran itu. Seperti Ulam Sari, merekapun menjadi heran. Tiba-tiba beberapa orang yang mengenakan pakaian tukang pukul sudah meninggalkan tempat duduknya, dan beralih tempat mendekati tempat keributan itu. Saking tertarik, Ulam Saripun tidak mau ketinggalan dan maju ke depan untuk dapat mendengar lebih jelas.
Kemudian didengar oleh Ulam Sari, perkataan salah seorang perwira Mataram yang kemarin meninggalkan Jepara itu,
"Dengarlah baik-baik, bahwa kami datang ke mari adalah atas perintah Gusti Pangeran Kajoran. Maksudnya tiada lain untuk mengundang Ki Guno Saronto agar ikut hadir dalam pertemuan para tokoh sakti di Plered, dan yang lebih penting lagi adalah kehadiran seorang ketua perguruan. Sungguh sayang, bahwa kedatangan kami terlambat, Ki Guno Saronto sudah meninggal."
Perlu diterangkan sedikit untuk para pembaca yang budiman. Dalam jilid-jilid terdahulu, baik cerita "Perawan Lola" ini, maupun cerita cerita sebelumnya. "Jaka Pektk", "Ratu Wandansari " maupun "Kisah Si Pedang Buntung", selalu disebutkan bahwa Ibu Kota Mataram dijaman Sultan Agung adalah kota Karta.
Tetapi mengapa sekarang disebut Plered?
Hal ini tidak lain karena Sultan Agung yang semula bersemayam di Karta itu, pindah ke Ibu Kota Plered.
Mendengar ucapan perwira itu. banyak orang yang menghela napas terharu. Kemudian terdengar perwira yang seorang menyambung.
"Akan tetapi sekalipun Ki Gunu Saronto sudah keburu meninggal, tidak sulit ditempuh jalan lain ialah secepatnya harus dipilih ketua yang baru, dipilih dari salah seorang muridnya itu." '
Tiga orang murid Guno Saronto saling pandang tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Di luar tahu orang-orang yang datang melayat ini, bahwa begitu gurunya meninggal, di antara mereka segera terjadi persaingan secara diam-diam. Sebab masing-masing sudah timbul keinginan untuk dapat menduduki jabatan ketua perguruan. Masing-masing merasa dirinya mampu, dan masing-masing merasa lebih dibanding dengan saudaranya. Mereka berebut, dan tentu saja lalu saling berusaha mencari pengaruh.
Peristiwa macam ini, bukan merupakan hal yang aneh lagi dalam pergaulan hidup manusia. Persaingan, perebutan, mencari pengaruh dalam usaha memperoleh kedudukan yang diinginkan. Persoalannya keadaan semacam itu sudah terlanjur menjadi semacam tradisi dan kebudayaan. Dan berkembangnya dari hal-hal semacam ini, adalah akibat masing-masing manusia selalu menonjolkan "aku"-nya dari pada pengabdiannya kepada jabatan. kedudukan dan kewajibannya. Karena tujuan dari "si aku" adalah untuk kepentingan pribadi. Baik untuk mengumpulkan kekayaan, untuk kemuliaan hidup maupun kesenangan diri. Betapa runyam keadaan, kalau masing masing penguasa lebih mendekatkan diri dengan ke "aku"annya, dibanding pengabdiannya kepada tugas kewajibannya.
Murid ke tiga yang bernama Jaladri cepat menjawab,
"Guru meninggal akibat serangan penyakit yang begitu mendadak. Begitu pingsan, tidak bisa diselamatkan lagi. Karena itu, guru tidak meninggalkan pesan apa-apa."
Murid pertama yang bernama Slamet Basuki menyambung,
"Dan perlu diketahui, bahwa beberapa paman guru kami, bertempat tinggal amat jauh, di samping tidak diketahui tempat tinggalnya yang jelas. Akibatnya kami kesulitan memberi khabar."
"Hemm, jadi kalau begitu, tentang pemilihan ketua baru itu, masih memerlukan waktu ?" salah seorang perwira Mataram itu menghela napas.
"Undangan Gusti Pangeran Kajoran masih dua bulan lagi, jatuh pada bulan Ruwah. Kami mengharap dalam waktu dua bulan, kalian telah berhasil membereskan persoalan rumah tangga ini."
Tiba-tiba seorang tukang pukul tua membuka mulut,
"Menurut kebiasaan, warisan orangtua akan diberikan kepada anak paling tua atau anak yang paling baik. Oleh sebab itu, kalau menurut pendapatku, lebih tepat apa bila kedudukan ketua diserahkan saja kepada saudara Slamet Basuki."
Mendengar ini murid tertua yang bernama Slamet Basuki itu tertawa, wajahnya cerah dan tampak amat gembira.
"Ya, menyerahkan warisan orang tua kepada anak yang paling tua biasa terjadi!" seorang tukang pukul lain menyambung.
"Tetapi...... sekalipun saudara Slamet Basuki merupakan murid tertua, dalam hal usia masih kalah tua dibanding dengan murid ke dua saudara Gagak Wilis. Di samping berusia paling tua dibanding murid yang lain, Gagak Wilispun merupakan murid yang paling menonjol, paling pandai dan paling bijaksana. Aku percaya, apa bila kedudukan ketua ini diserahkan kepada Gagak Wilis, nama Perguruan Wanasalam akan menanjak tinggi, dan arwah Ki Guno Saronto di alam baqapun akan puas !"
Kalau begitu dipuji Slamet Basuki tertawa dan girang, sikap Gagak Wilis lain. Ia malah makin deras menitikkan air mata dan nampak pula lebih sedih. .
Tetapi tiba-tiba saja seorang tukang pukul lain, yang kumisnya tebal dan nampak garang sekali, sudah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata,
"Tidak, tidak boleh begitu. Dalam keadaan biasa, aku memang setuju dengan pendapatmu. Tetapi sekarang ini keadaannya adalah lain. Di dalam pertemuan para ketua perguruan dan tokoh sakti di Plered itu, setiap orang harus mempertunjukkan kesaktiannya. Apa bila ketua Perguruan Wanasalam tidak dapat menunjukkan kesaktiannya, kemudian kalah dengan perguruan lain, tentu nama Perguruan wanasalam akan hancur. Maka menurut pendapatku, kedudukan ketua ini tidak tentu harus jatuh ke tangan murid tertua. Pendeknya siapa yang paling sakti, itulah yang berhak menduduki jabatan ketua yang lowong itu."
Mendengar pendapat ini, beberapa orang tamu mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Merasa pendapatnya memperoleh dukungan, orang ini meneruskan,
"Tetapi dari tiga orang murid itu, menurut pendapatku di antara mereka hanya murid termuda sajalah yang pantas, justeru yang paling tinggi kepandaiannya, ialah saudara Jaladri."
Orang yang mengusulkan Slamet Basuki cepat cepat membantah sambil menggelengkan kepalanya,
"Tidak! Tidak begitu! Walaupun Jaladri merupakan murid paling cerdas, tetapi di dalam ilmu kepandaian tentu saja kalah jauh dibanding dengan Slamet Basuki."
"Tidak, semuanya tidak!" tukang pukul yang ke dua tidak mau kalah.
"Dalam menghadapi lawan, tidak hanya mengandalkan kepada kesaktian, tetapi perlu pula dengan kecerdikan dan siasat. Terus terang saja aku orang luar. Akan tetapi jika aku harus bicara dengan kehendak hatiku, orang yang paling tepat hanyalah Gagak Wilis."
Begitulah, karena tiga orang tersebut mempunyai pendapat yang berlainan, maka suasana menjadi ribut. Walaupun semula mereka masih menyindir-nyindir, tetapi makin lama berterus terang dan mereka saling bertentangan pendapat.
Di tempat ini. sebagian besar yang hadir tentu saja adalah murid, cucu murid dan keluarga Perguruan Wanasalam. Dan sebagai para cucu murid, tentu saja masing-masing menyokong gurunya. Akibatnya para cucu murid ini kemudian saling sindir dan saling berusaha memuji gurunya. Dari bisik-bisik. kemudian berlarut menjadi percekcokan, saling sindir dan saling hina.
Sungguh menyedihkan.
Di saat jenazah Guno Saronto masih membujur, ternyata suasana berkabung itu telah beralih menjadi kancah pertengkaran. Keadaan menjadi kalut, malah diantara mereka yang berdarah panas, tidak saja mengeluarkan katakata keras, mencaci maki, tetapi juga ada pula yang sudah menggebrak meja. Beberapa orang tamu sudah berusaha melerai dan menenangkan keadaan. Akan tetapi sungguh sayang usahanya belum berhasil.
Makin panas suasana, dan makin mereka bercekcok, kelompok cucu murid yang ingin membela guru masing-masing itu sudah saling tantang untuk berkelahi. Di antara tamu yang datang melayat ada pula yang merasa senang, ingin menyaksikan mereka saling hantam sendiri. Akan tetapi banyak pula jumlahnya para tamu yang menjadi sedih menyaksikan keadaan ini.
Mendadak salah seorang dari perwira Mataram itu berdiri dan berteriak,
"Tenang! Saudara saudara. harap kalian tenang dan dengarlah apa yang akan aku katakan."
Kedudukan seorang perwira, lebih-lebih sebagai
utusan saudara raja. tentu saja dihormati oleh setiap orang. Maka kalau semula keadaan gaduh, tidak lama kemudian sudah sirap, mereka yang tadi bercekcok dan siap berkelahi mengalihkan perhatian kepada perwira itu.
"Saudara-saudara," kata perwira itu lagi.
"Memang lebih cepat Perguruan Wanasalam ini mempunyai pimpinan, adalah lebih bagus. Dan untuk itu, menurut pendapatku, seorang ketua perguruan harus dipilih di antara mereka yang paling tinggi kepandaiannya. Apakah kalian setuju dengan pendapatku ini ?"
Mendengar ini banyak orang menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian perwira itu meneruskan,
"Sudah tentu tinggi dan rendahnya ilmu seseorang, hanya bisa dilihat dari percobaan berkelahi, antara tiga orang murid yang memiliki hak waris perguruan itu. Dan mengingat hubungan saudara seperguruan, saya harapkan siapa yang menang tidak menindas yang kalah, sebaliknya yang kalah jangan mendendam kepada yang menang. Silahkan kalian berkelahi secara ksatria dan adil, sehingga dapat memberi kepuasan semua pihak."
Agaknya semua orang sudah setuju dengan pendapat ini, terbukti mereka menyambut dengan gemuruh. Seakan semua orang menjadi lupa bahwa saat sekarang ini yang penting menghormati jenazah Guno Saronto yang tak lama lagi akan dikubur.
"Pertandingan kepandaian antara saudara seperguruan adalah merupakan kejadian yang biasa,"
kata perwira itu lagi.
"Akan tetapi sebelum kalian mulai mengadu kepandaian, inginlah aku mengajukan permintaan."
"Ya, kami akan meluluskan," sahut Gagak
Wilis.
"Sejak saat ini harus kita tetapkan, bahwa siapa yang paling tinggi ilmu kepandaiannya, itulah yang berhak menduduki jabatan ketua perguruan. Kalau saling setuju, maka kalian harus kembali rukun seperti semula, dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa." '
"Tentu. Tentu!" sahut mereka hampir berbareng.
"Kalau demikian, tempat yang paling tepat adalah di pendapa ini saja. Mari, kita buat tempat yang cukup luas untuk bertanding."
Tamu-tamu yang semula memenuhi pendapa itu, sekarang harus minggir. Malah perabot-perabot di dalam pendapa itupun harus banyak yang disingkirkan keluar. Akibatnya di antara tamu yang tadi di dalam pendapa itupun banyak yang harus keluar. Sebaliknya orang-orang yang semula di luar, sudah berdesakan maju untuk dapat menyaksikan pertandingan itu dari jarak dekat.
Perwira itu segera bertanya,'
"Siapakah yang akan maju lebih dahulu dan bertanding? Apakah saudara Slamet Basuki dan saudara Gagak Wilis lebih dahulu ?"
"Setuju!" sambut Gagak Wilis yang cepat-cepat menyambar sebatang golok yang diangsurkan oleh salah seorang muridnya.
Tetapi agaknya murid ini
masih ingat untuk memberi hormat kepada jenazah gurunya lebih dahulu. Buktinya sesudah berlutut dan memberi hormat, barulah ia membalikkan tubuh dan menantang Slamet Basuki. Sebaliknya Slamet Basuki cukup cerdik. Kalau ia maju lebih dahulu, sesudah menang, dirinya masih harus berkelahi lagi. Maka jalan yang paling tepat apa bila ia mengalah lebih dahulu memberikan kesempatan kepada Jaladri. Katanya halus,
"Aku adalah murid tertua. Kiranya tidak pantas kalau aku yang harus maju lebih dahulu. Maka biarlah aku yang mengalah, memberi kesempatan kepada dua orang adikku lebih dahulu. Sebab bagiku, siapapun yang menjadi ketua perguruan, asal disetujui oleh semua pihak, aku tentu setuju."
Cerdik juga orang ini. Nampaknya saja mengalah dan merendah. Tetapi yang benar, ia mencari kesempatan baik. Sebaliknya Jaladri termasuk orang yang jujur dan tidak sabaran. Ia tidak menyadari kakak seperguruannya licik. Sahutnya,
"Baik! Aku akan melayani kakang Gagak Wilis dengan golok pula !"
Sesudah itu ia memberi perintah kepada seorang muridnya, supaya mengambilkan golok. Kemudian dengan langkah lebar dan tubuh tegak, ia sudah masuk dalam gelanggang, tanpa memberi hormat lebih dahulu kepada jenazah gurunya. Goloknya yang dipegang pada tangan kanan, dilintangkan ke pundak kiri. Sedang tangan kiri ditekuk menjadi semacam gaetan. Kaki kanan berdiri tegak sedang kaki kiri sedikit mengisar keluar.
Di antara tamu yang datang melayat itu, banyak pula sahabat Guno Saronto yang memiliki kepandaian inggi. Maka begitu melihat cara Jaladri bersiap dengan teguh dan penuh semangat itu, dalam hati sudah memuji.
Di lain pihak, Gagak Wilis bersiap diri dengan menyembunyikan goloknya di belakang tangan kanan, adapun tangan kirinya lencang ke depan. Katanya kemudian,
"Majulah!" '
Orang setengah tua yang berada di dekat Ulam Sari, yang pakaiannya menunjukkan kedudukannya sebagai seorang jagoan, agaknya mempunyai pengentahuan luas dalam hal ilmu tata kelahi. Buktinya tanpa ditanya, orang ini sudah memalingkan muka kepada pemuda di sampingnya sambil berkata,
"Kalau kita ingin menilai kepandaian orang, perhatikanlah tangannya, kalau orang itu bersenjata golok tunggal. Sebaliknya kalau orang itu bersenjata golok sepasang maka yang perlu diperhatikan adalah kakinya. Seorang yang bersenjata golok tunggal, memegang senjata dengan kanan dan tangan kirinya kosong.Dengan memperhatikan gerakan dan pukulan tangan kirinya, dapatlah kita menilai ilmu goloknya, Cobalah lihat pasangan tangan kiri Gagak wilis. sikapnya membela diri itu mengandung unsur persiapan seranga .Kiranya tenaga dalamnya cukup tangguh."
Mendengar keterangan ini, tanpa sesadarnya Ulam Sari sudah manggut-manggut kepalanya.
Waktu itu dua orang saudara seperguruan yang berhadapan sudah bergebrak, Pukulan dibalas pukulan, serangan golok dibalas dengan golok. Gerak gerik mereka cukup cepat dan di antara penonton
malah mulai ada yang khawatir, kalau salah seorang
dari mereka itu ,sampai ada yang roboh binasa.
Makin lama berkelahi, semakin menjadi seru. Gagak Wilis dalam hal kegesitan bergerak menang setingkat, tetapi sebaliknya Jaladri lebih unggul dalam tenaga. Dengan saling memiliki kelebihan ini, perkelahian tersebut jadi menarik karena belum tampak ada yang terdesak.
Di saat semua orang memusatkan perhatian ke gelanggang pertandingan, mendadak dari luar pendapa terdengar suara teriakan nyaring,
"Hai, mengapa ilmu golok Perguruan Wanasalam dipertunjukkan secara begitu tolol? Berhenti! Lekas berhenti, dan jangan membuat malu !"
(Bersambung jilid 15)
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 15
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung"
Karya: Widi Widayat
Jilid: 15
*****
GAGAK WILIS dan Jaladri kaget, hampir berbareng melompat mundur. Semua pandang mata dan perhatian orang sekarang beralih, ditujukan kepada seorang pemuda tampan, gerak geriknya halus, dan mengenakan baju kuning sedang masuk ke pendapa. Melihat pemuda ini jantung Ulam Sari berdebaran. Sebab ia segera mengenal siapakah pemuda ini. Dan berdebar, tiba-tiba saja gadis ini menjadi kaget ketika melihat bungkusan di punggung pemuda itu. Sebab bungkusan itu bukan lain adalah miliknya sendiri yang lenyap secara aneh di dalam rumah makan di Demak.
"Ahh, pemuda ini paling banyak setahun lebih tua dibanding aku," gumamnya dalam hati
"Tetapi mengapa bisa mengambil bungkusan itu tanpa aku ketahui? Apakah pemuda ini mempunyai kepandaian bagai dewa, sehingga tingkatku jauh di bawahnya? Dan... dan apakah hubungan dia dengan mbakyu Damayanti?"
Kalau Ulam Sari menjadi berdebar dan kaget. sebaliknya Gagak Wilis dan Jaladri menjadi gusar sekali. Namun begitu melihat bahwa yang berteriak tadi ini seorang pemuda yang usianya
masih belasan tahun, mereka menjadi malu kalau terus terang menegur.
Tetapi pemuda itu seperti tidak mau perduli kepada Gagak Wilis dan Jaladri. Begitu masuk ke dalam gelanggang. pemuda baju kuning ini sudah berkata dengan lagak sebagai seorang guru memberi pelajaran kepada muridnya,
"Kamu ini bagaimana, menggunakan ilmu golok begitu sembrono dan tak tahu malu? llmu golok adalah mempunyai unsur "memukul disertai oleh kecerdikan". Padahal apa yang kamu pertunjukkan tadi, menghantam kalang-kabut seperti orang mabok jengkol. Hemm, begitukah ilmu golok Perguruan Wanasalam? Sayang......' sayang sekali Guno Saronto yang mempunyai nama harum menjulang tinggi di angkasa itu, mempunyai murid-murid yang tolol seperti kamu!"
Sepasang mata Gagak Wilis dan Jaladri menyala mendengar ucapan ini. Hampir saja dua orang ini sudah melompat dan menghajar pemuda yang lancang mulut itu. Tetapi sebelum dua orang murid ini sempat menerjang, Slamet Basuki sudah melompat ke depan si pemuda baju kuning sambil memberi hormat. Lalu berkata,
"Saudara yang masih berusia muda, begitu datang sudah mendamprat habis-habisan. Bolehkah aku mengerti nama tuan yang terhormat?"
Tetapi si pemuda baju kuning ini hanya mendengus dingin. Ia tidak menjawab pertanyaan orang, dan Sikapnya begitu garang.
Namun Slamet Besuk bersikap sabar. Katanya,
"Harap tuan ketahui bahwa hari ini, dengan disaksiksn sendiri oleh jenazah guru Kami yang masih membujur, kami melakukan pemilihan ketua baru perguruan kami, Perguruan Wanasalam. Atas kehadiran tuan yang datang melayat kepada guru kami, tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih. Mari, marilah silahkan duduk yang enak."
Tetapi sungguh mengherankan sikap pemuda baju kuning ini. Ia tidak juga mau duduk, sebaliknya alisnya malah terangkat seperti orang sedang marah. Dan sesaat kemudian, terdengarlah ia berkata,
"Perguruan Wanasalam memiliki nama yang cukup harum, sejajar dengan nama Perguruan Kemuning, Perguruan Bligo maupun Semeru. Tetapi apa bila calon yang akan dipilih orang-orang semacam ini, apakah tidak hanya menjadi buah tertawaan orang saja. dan menjatuhkan nama harum Ki Guno Saronto?"
Mendengar ini Slamet Basuki kaget. Kemudian sambil membungkuk memberi hormat, ia bertanya.
"Ahh, agaknya tuan diutus oleh salah seorang angkatan tua yang sakti. Maka petunjuk apakah kiranya yang perlu tuan sampaikan kepada kami?"
Sebaliknya Jaladri dan Gagak Wilis menjadi mendongkol sekali, mendengar sikap maupun katakata kakak seperguruannya yang begitu menghormat. Sekalipun begitu, dua orang ini masih berusaha menahan hati, justeru yang bicara sekarang ini adalah saudara tua mereka.
"Aku suka datang, tentu tak seorang pun dapat mencegah," sahut pemuda baju kuning dengan nada yang dingin.
"Mengapa aku harus memenuhi perintah orang? Tetapi perlu engkau ketahui bahwa
antara aku dengan Perguruan Wanasalam masih mempunyai hubungan yang dekat sekali. Dan karena aku tak ingin melihat kekacauan yang terjadi tentu saya wajib melerai dan memberikan nasihat nasihatku."
Jaladri yang paling berangasan tidak kuasa menahan sabarnya lagi.
"Apakah hubunganmu dengan Perguruan Wanasalam kami? Huh, kami minta agar kisanak tahu gelagat, justeru kami sedang menghadapi urusan penting. Hayo, mau minggir apakah tidak?"
Sesudah membentak, Jaladri memalingkan mukanya ke arah Gagak Wilis. Katanya lagi,
"Kakang Gagak Wilis. Mari kita lanjutkan lagi!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Jaladri sudah menggeser kaki kirinya ke depan, goloknya di lintangkan di pinggang, disusul gerakannya untuk memulai serangannya.
"Ha, itulah pukulan Ndemok Badan Nyabet Bangkekan (Meraba Tubuh Menyabat Pinggang)!" seru si pemuda baju kuning.
"Tetapi mengapa langkahmu yang seharusnya ringan malah terlalu berat sedang langkah yang seharusnya berat, tidak cukup teguh? Dan sorot matamu itu, tidak langsung mengamati kepada lawan, tetapi malah melirik kearah aku. Itu salah .Tidak benar sama sekali'"
Betapa tercengangnya tiga orang murid Guno Saronto, sulit dilukiskan. Apa yang diucapkan oleh pemuda baju kuning ini tidak bedanya di saat gurunya masih hidup, apa bila sedang menghadapi mereka berlatih. Kalau demikian, apakah pemuda ini benar-benar memahami tentang ilmu tata kelahi perguruan Wanasalam?
Agaknya salah seorang perwira Mataram utusan Pangeran Kajoran itu menjadi tidak senang juga atas campur tangan si pemuda baju kuning yang dianggapnya lancang ini.
"Hai kisanak," bentaknya.
"Apakah maksudmu sebenarnya datang ke mari? Di samping itu, katakan terus terang siapa gurumu ."
Si pemuda baju kuning itu memalingkan muka ke arah si perwira. Tetapi pemuda ini tidak menjawab pertanyaan Orang, malah membalas bertanya.
"Bukankah hari ini Perguruan Wanasalam sedang berusaha memilih ketua perguruan yang baru?"
"Ya, kau benar."
"Nah, asal saja orang serumpun, siapa saja boleh turut dalam pemilihan ini, bukan?"
"Memang tidak salah."
"Bagus! Kedatanganku sekarang ini justeru untuk merebut kedudukan ketua itu!"
Mendengar jawaban pemuda ini yang nadanya sungguh-sungguh, semua yang hadir jadi terkejut. Dan semua orang tahu, bahwa Guno Saronto semula adalah tokoh dari wilayah barat. yang kurang diketahui asal-usulnya. Maka apa bila sekarang tiba -tiba muncul seorang pemuda yang mengaku masih serumpun dengan Perguruan Wanasalam, mereka tidak menjadi heran.
Siapa tahu kalau pemuda ini datang dari wilayah barat pula, dan merupakan orang yang mempunyai hubungan perguruan?
Namun si perwira yang ingin pekerjaannya cepat selesai itu tidak senang diganggu. Katanya,
"Kalau kisanak memang pandai berkelahi, biarlah sebentar lagi aku melayani engkau bermain-main,
agar pengalamanku bertambah. Akan tetapi karena sekarang ini mereka sedang memperebutkan kedudukan ketua perguruan, maka sudilah kisanak minggir."
Si pemuda baju kuning itu mendengus dingin
"Hemm, mereka tak ada perlunya lagi berkelahi dan biarlah seorang demi seorang melawan aku!"
Kemudian ia memalingkan mukanya kepada salah seorang anggauta Perguruan Wanasalam. Katanya,
"Berikan golokmu padaku!"
Sikap pemuda ini begitu garang, seakan tidak memandang sebelah mata kepada mereka yang hadir, di mana tentu banyak pula orang-orang sakti. Mendengar perintah itu murid Wanasalam tampak ragu-ragu sejenak. Akan tetapi begitu pandang mata bertemu, pandang mata itu berpengaruh kuat sekali, sehingga murid itupun mencabut goloknya, diberikan kepada si pemuda.Namun caranya memberikan golok itu tidak dibalik dan hulu diangsurkan kepada orang. Melainkan bagian tajamnya. Melihat cara memberikan golok seperti ini, si pemuda tersenyum sambil membuka jari tangannya .Kemudian menggunakan jari tengah dan jari telunjuknya, ia sudah menjepit belakang golok itu, dan selanjutnya hulu golok telah terpegang.
"Seorang demi seorang, ataukah dua orang maju berbareng?" tanyanya dengan nada dingin.
Jaladri yang memang wataknya tidak sabaran sudah menyambut dengan kata keras,
"Aku seorang diri yang akan melayanimu!'
"Hemm," si pemuda hanya mendengus, dan tahu-tahu tangan kirinya sudah ditekuk seperti gaetan melindungi pergelangan tangan kanan, sedang goloknya sudah menyontek dari bawah ke atas, tetapi tubuhnya agak condong ke belakang.
Sudah tentu Jaladri tahu bahwa serangan seperti itu, memang benar gerakan dari Perguruan Wanasalam. Dan tentu saja melihat kemudaan orang tentu tenaganya masih penuh dan gerakannya cepat. Akan tetapi sebagai seorang murid yang sudah mahir dalam ilmu perguruannya, ia merasa pasti akan dapat mengalahkan lawan dengan gampang.
"Hamba kerdil datang bersembah!" seru pemuda baju kuning ini sambil membalikkan golok yang lalu diacungkan ke atas.
Gerakan pemuda ini begitu aneh. Sebenarnya, dalam menyerang yang pertama ia menggunakan serangan yang menyontek dari bawah ke atas.
Akan tetapi mengapa serangan yang kedua, dapat bergerak pula dari bawah ke atas?
Karena Jaladri tidak pernah menduganya, maka dengan sedikit miringkan tubuh pemuda itu sudah bisa menyambarkan goloknya ke kepala orang. Jaladri kaget dan cepat-cepat menyelamatkan kepalanya dengan merendahkan kepala dan tubuh.
Si pemuda sudah berseru lagi ketika serangannya dapat dihindari lawan,
"Awas, Pitik Ngandang (Ayam Pulang ke Kandang)!"
Tangan kiri pemuda itu sudah menyambar dan menghantam pergelangan tangan orang diikuti oleh sambaran golok dari atas menabas ke bawah.
'Trang!" golok Jaladri terpukul dan terlempar di atas lantai.
Akan tetapi golok si pemuda baju
kuning masih tetap bergerak menyambar ke leher yang tidak terjaga lagi.
"Ahhh..!" terdengar seruan kaget dan khawatir dari beberapa orang yang menyaksikan.
Sebab mereka segera menduga, bahwa kepala Jaladri akan segera lepas dari leher dan menggelinding di lantai disebabkan sambaran golok itu cepat luar biasa.
Akan tetapi yang terjadi kemudian membuat semua orang heran tetapi juga bersyukur. Di waktu mata golok itu menempel ke leher Jaladri, pemuda baju kuning itu sudah dapat menahan luncuran goloknya, sehingga leher orang itu selamat.
Melihat ini tiba-tiba jantung Ulam Sari memukul keras, melihat bagaimana Si pemuda dapat menahan luncuran goloknya di saat berbahaya. Jelas Sekali bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dari pada dirinya. Dan yang lebih aneh lagi, entah apa yang menyebabkan, mendadak saja timbul sesuatu yang aneh di dalam dadanya. Mungkinkah perasaan ini timbul karena jelas, bahwa pemuda baju kuning ini mempunyai hubungan dekat dengan Damayanti?
Sebab bukan saja pemuda ini memakai baju kuning serupa dengan warna kesayangan Damayanti. Akan tetapi pemuda ini juga mengendarai kuda mustika kesayangan Damayanti pula, yang bernama Mega Langking.
Ketika itu di gelanggang, Jaladri berusaha menundukkan kepalanya sehingga hampir-hampir dahinya menyentuh tanah. Akan tetapi celakanya mata golok itu mengikuti terus. sehingga walaupun ia memiliki ilmu yang tinggi, tidak berdaya lagi di
saat golok lawan sudah menempel di lehernya. Untung sekali Jaladri tidak terlalu lama tersiksa oleh keadaan itu, sebab si pemuda sudah menarik kembali senjatanya.
Karena merasa telah dirobohkan orang tanpa berdaya, sekalipun Jaladri seorang berangasan, tak dapat berbuat lain kecuali mundur dari gelanggang.
Melihat ini Gagak Wilis penasaran sekali. Mengapa dalam tiga gebrakan saja.
Jaladri tidak mampu melayani pemuda itu?.
Padahal gerak serangan pemuda itu jelas, setiap murid Perguruan Wanasalam tentu sudah paham. Oleh karena itu sambil melompat ia sudah membentak,
"Kau jahat.....!"
Tetapi belum juga bentakannya selesai, sinar putih yang panjang telah berkelebat dan golok si pemuda baju kuning sudah menyambar dari bawah ke atas. Gerakan itu seperti juga gerakannya tadi. Akan tetapi cepat luar biasa, sehingga Gagak Wilis kaget sekali. Tentu saja Gagak Wilis mahir pula akan serangan itu, dan gampang pula untuk menolong diri.
Namun di luar dugaannya. Sebelum dua golok itu berbenturan, si pemuda sudah kembali berkelebat dan menyabat ke atas lagi. Dan sebelum ia dapat berbuat apa-apa, lengannya sudah kesemutan dan goloknya runtuh di lantai, disusul oleh mata golok yang menempel pada leher.
Begitulah dengan cara yang sama, si pemuda baju kuning telah berhasil merobohkan Gagak Wilis. Yang beda hanyalah waktunya lebih pendek di banding dengan ketika mengalahkan Jaladri tadi.
Hampir saja Ulam Sari berseru, setelah sadar.
Mengapa?
Sebagai seorang murid Ki Ageng Purwoto Sidik dan sudah memperoleh gemblengan pula dari Ki Ageng Lumbungkerep, ia tahu. Ya, ia tahu bahwa sesungguhnya gerakan si pemuda baju kuning tadi dilambari oleh gerakan ilmu tata kelahi tangan kosong yang bernama Cleret Tahun warisan ilmu dari Ki Ageng Purwoto Sidik. Dan karena sekarang ini sedang menggunakan golok maka gerakan itu didasari oleh gerak llmu Pedang Mahesa Kurda.
"Ahh, bukan!" bantahnya sendiri dalam hati.
"Warisan ilmu Ki Ageng Purwoto Sidik hanya aku dan kakek Sindu saja yang mewarisi. Ahh, kiranya menggunakan ilmu tata kelahi Sakti Mandraguna. Hanya saja semua gerakan itu disesuaikan dengan ilmu tata kelahi Perguruan Wanasalam. Ahh, kalau ,begitu benar dugaanku. Dia ini tentu mempunyai hubungan erat sekali dengan mbakyu Damayanti."
Ketika itu terdengar hardik si pemuda baju kuning,
"Lekas menyerah!"
"Tidak sudi!" teriak Gagak Wilis keras keras.
Si pemuda baju kuning berusaha mengancam dengan menekankan mata golok ke leher orang itu. Akan tetapi Gagak Wilis yang keras kepala tidak sudi menyerah begitu saja, malah terdengar katanya yang garang,
"Sekalipun kepalaku harus kutung. tak sudi aku menyerah!"
Kalau Jaladri tadi berusaha menunduk, sebaliknya Gagak Wilis ini malah menegakkan kepalanya.
Untung juga bahwa si pemuda baju kuning memang
tidak ingin mencelakakan orang. Karena Gagak Wilis membandel, ia mengangkat goloknya sambil bertanya,
"Dengan cara bagaimana engkau mau menyerah?"
Diam-diam Gagak Wilis sudah mempunyai daya untuk dapat menandingi pemuda ini. Dengan ilmu golok, jelas pemuda ini seperti mempunyai ilmu Siluman. Gerakannya cepat luar biasa. sekalipun ilmu yang dipergunakan itu benar benar ilmu tata kelahi Perguruan Wanasalam. Katanya kemudian,
"Jika engkau berani. mari kita berkelahi dengan senjata tombak!"
Tantangan Gagak Wilis ini diucapkan dengan keras dan garang. Semua orang yang hadir mendengarnya. Banyak orang menduga pemuda ini tentu menolak tantangan itu. Sebab Gagak Wilis memang seorang yang mahir sekali dalam ilmu tombak. Akan tetapi di luar dugaan, pemuda yang usianya di bawah duapuluh tahun itu dengan tersenyum menyambut baik tantangan itu.
"Baiklah. Sekehendakmu aku layani!"
"Ambilkan tombak!" teriak Gagak Wilis kepada salah seorang muridnya.
Murid yang mendapat perintah itu cepat-cepat pergi melaksanakan perintah gurunya. Sebentar kemudian murid itu telah datang kembali sambil membawa tombak. Sebaliknya si pemuda baju kuning segera mengembalikan golok kepada pemiliknya, akan tetapi di tempat itu tidak terdapat seorang pun yang bersenjata tombak, sehingga ia tidak dapat pinjam.
Gagak Wilis yang sedang marah, begitu melihat muridnya hanya membawa sebatang tombak menjadi marah. '
"Plak!" tangannya bergerak menampar keras sekali, sehingga kepala murid itu seperti mau pecah dan matanya melihat bintang seribu.
"Dia mau berkelahi dengan aku memakai senjata tombak!" hardiknya.
"Apakah engkau sudah tuli? Mengapa engkau hanya mengambil sebatang saja?"
Murid yang kepalanya seperti pecah itu gelagapan. Tanpa bicara lagi, murid itu telah lari kembali ke tempat senjata untuk mengambil lagi sebatang. Tak lama kemudian ia telah kembali, langsung menyerahkan tombak itu kepada si pemuda baju kuning.
Dengan tersenyum si pemuda sudah menyambut tombak itu. Tiba-tiba Gagak Wilis sudah berseru
"Jagalah seranganku!"
Serangan yang digunakan itu bernama Tumba Biting Tatu Miring (Tombak Lidi Terluka Miring). Serangan itu nampaknya biasa saja, tetapi di dalam kesederhanaannya mengandung ancaman yang hebat. Ini merupakan salah satu rahasia ilmu tombak Perguruan Wanasalam. Gagak Wilis menggunakan langsung ilmu tombak bagian ini, dengan maksud agar dalam waktu singkat telah berhasil mengalahkan lawan sehingga dapat menolong muka di depan semua tamu.
Guna menyambut serangan itu, si pemuda baju kuning menekan ke bawah dengan ujung tombak
Tiba-tiba seorang tukang pukul yang sejak tadi banyak bicara dan berada di dekat Ulam Sari telah berkata,
"Yang dipergunakan pemuda itu adalah Tameng Angin, Jaring Jarum (Perisai Angin, Jaring Jarum ). Itu hanya jurus biasa dalam ilmu tombak Perguruan Wanasalam. Manakah mungkin dapat menandingi ilmu tombak Gagak Wilis?"


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terapi baru saja orang itu selesai menerangkan, tiba-tiba saja si pemuda baju kuning berjongkok dan ujung tombaknya berhasil menindih senjata Gagak Wilis. Inilah jurus yang bernama Kucing Nubruk Tikus (Kucing Menerkam Tikus ). Nyatalah bahwa dengan pukulan biasa, si pemuda baju kuning itu dapat menundukkan lawan yang menggunakan jurus rahasia. Dan ini berarti pula bahwa yang kosong secara mendadak bisa berobah menjadi serangan yang berbahaya.
Ulam Sari tersenyum.
Tentu saja gadis ini tidak bisa ditipu seperti yang lain. Benar pemuda ini hanya menggunakan ilmu tombak yang biasa. Akan tetapi karena gerak tombak itu dilambari dengan ilmu tata kelahi Sakti Mandraguna maka hebatnya menjadi bukan main. Kalau dirinya memperoleh kesempatan, iapun akan sanggup berbuat seperti si baju kuning.
Beginilah, saat sekarang tombak Gagak Wilis sudah dapat ditindih oleh tombak lawan. Dengan sekuat tenaganya Gagak Wilis berusaha memberontak, namun tidak berhasil.Tiba-tiba si pemuda sudah menyontek dengan senjatanya dan "tak!" ujung tombak Gagak Wilis sudah patah, sehingga mata tombak itu sekarang menggeletak di lantai. Sebelum Gagak Wilis dapat berbuat sesuatu, seperti kilat cepatnya tombak si pemuda berkelebat dan mengancam pinggang Gagak Wilis.
"Menyerah tidak?" tanyanya perlahan.
Gagak Wilis tidak dapat berdaya sama sekali, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi pucat seperti kertas. Sekarang ia mengakui keunggulan lawan, justeru dalam tiga gebrakan saja, ia tidak dapat berdaya lagi. .
"Sudah, sudah, aku kalah!" serunya sambil melemparkan tangkai tombak, lalu melangkah keluar dari Gelanggang.
Tentu saja peristiwa itu menggemparkan semua yang hadir. Nama Jaladri dan Gagak Wilis cukup terkenal di Wilayah ini dan sekitarnya. Dan merupakan tokoh-tokoh Perguruan Wanasalam. Akan tetapi kalau dalam waktu singkat sudah tidak berdaya lagi di tangan pemuda itu, benar-benar di luar dugaan semua orang.
Karena dua orang sudah keok, maka tinggal seorang lagi. Slamet Basuki. Murid tertua ini sudah maju ke gelanggang di tengah pendapa itu, membungkuk memberi hormat kepada pemuda baju kuning sambil berkata,
"Kesaktian kisanak memang luar biasa menakjubkan. Aku menyadari bahwa sesungguhnya akupun bukan tandingmu. Akan tetapi....."
"Tak usah banyak mulut!" bentak si pemuda.
"Tidak ada gunanya orang bicara panjang lebar di depanku. Kalau benar engkau menyerah, engkau harus setuju aku menjadi ketua. Tetapi jika engkau penasaran, mari kita bertanding!
Betapa marah Slamet Basuki sulit dilukiskan mendengar ini. Namun ia bukan seorang tolol. Ia telah berusia tigapuluh lima tahun,banyak pengalaman dan luas pergaulan. Ia sudah memperoleh pengalaman. bahwa dengan golok maupun tombak dua orang saudaranya telah dikalahkan dengan mudah. Maka katanya kemudian,
"Kisanak, sejak Perguruan Wanasalam berdiri. semua orang sudah mengenal tentang tiga macam ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. ialah ilmu golok, ilmu tombak dan ilmu tangan kosong....."
"Bagus, ha-ha-ha!" putus si pemuda.
"Kalau begitu, engkau ingin menghadapi aku dengan ilmu tangan kosong?"
Mendengar ini, Ulam Sari yang sudah dapat menebak asal-usul si pemuda, sudah dapat memastikan bahwa dalam waktu singkat, murid Guno Saronio ini akan dikalahkan juga. Sebab walaupun nampaknya menggunakan ilmu tangan kosong Perguruan Wanasalam, tetapi gerakan itu dilambari oleh llmu Tangan Kosong Cleret Tahun.
Si pemuda sudah bergerak menabaskan telapak tangannya. Slamet Basuki tersenyum, lalu menangkis dengan tangan kiri yang kemudian akan diteruskan untuk mencengkeram pusar orang. Akan tetapi sebelum tangan mereka berbenturan, tahu-tahu si pemuda sudah membalikkan telapak tangannya dan dua batang jarinya seperti kilat menyambar kekiri untuk menusuk mata.
Melihat kesempatan ini Slamet Basuki gembira bukan main. Ia telah mengangkat tangannya untuk menangkap tangan lawan,sedang tangan kiri bergerak cepat sekali untuk mencengkeram pinggang, tetapi sungguh di luar dugaan, sebab tahu tabu kaki kanan si pemuda sudah menyepak dan hampir berbareng tubuh Slamet Basuki sudah terpental, terhuyung kemudian roboh di lantai. Karena terbanting kantap, dahinya terbentur lantai dan berdarah.
Ternyata bahwa Slamet Basuki yang menantang berkelahi dengan tangan kosong ini, malah paling menderita dibanding dengan saudaranya yang lain karena harus menderita luka. Dan dengan robohnya Slamet Basuki ini, maka tiga orang murid Guno Saronto telah berhasil dikalahkan.
"Sungguh sakti saudara," kata perwira Mataram itu tiba-tiba dengan wajah berseri dan dari seri wajahnya jelas ia benar-benar memuji.
"Ya, andai kata Guno Saronto hidup kembali, mungkin tak dapat menandingi kesaktian saudara. Dengan kemenangan saudara, maka kedudukan ketua Perguruan Wanasalam di tangan saudara. Menggunakan kesempatan baik ini, aku ingin memberi penghormatan."
Si perwira mengangsurkan cangkir isi teh kepada si pemuda, dan disambutnya dengan bibir tersenyum. Tetapi baru saja akan meneguk isinya, tiba-tiba terdengar suara seruan dari dalam rumah,
"Hemm, apakah dia benar-benar anak murid Perguruan Wanasalam? Agaknya bukan!"
Karena suara itu dari dalam rumah, maka si pemuda tak bisa melihat siapakah yang berseru itu. Si pemuda menjadi tidak senang, maka serunya,
"Kalau ada orang yang masih merasa penasaran, silahkan maju"
untuk beberapa saat lamanya keadaan tenang, tidak terdengar suara penyahutan. Jantung semua orang yang hadir berdebaran. Tidak terkecuali Ulam Sari yang menyamar dengan wajah jelek itu. Entah mengapa sebabnya, diam-diam ia sudah memutuskan untuk membela pemuda baju kuning itu, kalau sampai kewalahan menghadapi lawan.
Tiba-tiba terdengarlah suara salah seorang dari perwira Mataram itu,
"Tadi telah terjadi persetujuan, bahwa siapapun yang berkepandaian tertinggi berhak menduduki jabatan ketua perguruan. Padahal semua oraug sudah menyaksikan sendiri, bahwa kemenangan saudara baju kuning ini, secara wajar. Mengalahkan lawan dengan ilmu kepandaian, dan menggunakan ilmu ajaran Perguruan Wanasalam sendiri. Sesuai dengan itu,menurut pendapatku sebagai seorang utusan pemerintah Mataram, hal ini tidak perlu disangsikan lagi. Kalau toh benar masih ada sementara anggauta Perguruan Wanasalam yang penasaran, maka siapapun boleh maju untuk menentukan menang dan kalahnya. Apa bila pada perguruan ini telah selesai dipilih ketua yang baru, dengan demikian tiada halangan lagi hadir memenuhi undangan Gusti Pangeran Kajoran. Semakin tinggi ilmu kepandaian dan kesaktian ketua Perguruan Wanasalam ini, semakin menyenangkan. Justeru orang-orang berilmu tinggi itulah yang dikehendaki oleh Gusti Pangeran Kajoran."
Perwira itu berhenti, menebarkan pandang matanya kepada sekalian yang hadir. Setelah menelan ludah, perwira ini berkata lagi,
"Saudara-saudara semua. jika tidak ada lagi yang sedia maju, dan
kalian sependapat dengan aku. maka kedudukan ketua Perguruan Wanasalam, tidak lain harus diserahkan ke tangan saudara muda ini. Manusia sakti mandraguna berusia muda tidaklah aneh, justeru dunia ini selalu berputar. Yang muda bakal menggantikan yang tua, yang lapuk termakan usia. Nah, sekarang perkenankanlah saya mohon tanya tentang nama atau gelaran saudara."
Si pemuda baju kuning ini nampak ragu-ragu. Dan belum juga pemuda itu sempat membuka mulut, perwira itu sudah berkata lagi,
"Nama saudara perlu diketahui oleh semua yang hadir. Hal ini berguna untuk kepentingan pengukuhan saudara sebagai ketua Perguruan Wanasalam. Sebab sebentar lagi, semua anggauta dan murid Perguruan Wanasalam harus memberi hormat kepada ketua."
"Benar," sahut si muda baju kuning.
"Dan aku ...... aku bernama Kebo Kuning."
"Ha. bagus. Namanya Kebo Kuning. Biasanya kerbau berwarna putih atau abu-abu bulunya, tetapi saudara ini bajunya kuning. Ha-ha-ha, Silahkan saudara duduk di tempat kehormatan. Sini... meja di bawah talang inilah merupakan meja kehormatan."
Sambil berkata, perwira itu sudah bangkit dan berpindah tempat duduknya. Sebaliknya, Kebo Kuning tanpa merasa rikuh lagi, sudah duduk di mana tadi merupakan tempat duduk perwira utusan Mataram itu.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar lagi suara orang menangis menggerung-gerung. Lalu di tengah tangis itu, terdengar pula suara orang berkata serak,
"Perguruan Wanasalam, adalah merupakan penerus perguruan yang namanya amat harum di Wilayah barat. Aduh celaka sekali...... mengapa tiba-tiba saja sudah dihina ,dan dikalah oleh seorang bocah ingusan..? Hu-huhukkk.. .. celaka! Bukan saja sekarang ini... aku harus menangis karena kakang Guno Saronto meninggal tetapi juga menangis karena Perguruan Wanasalam dihina orang....."
Semua orang berdebar mendengar kata-kata di tengah tangis itu.
Siapakah orang ini yang sejak tadi menangis dan tidak nampak batang hidungnya?
Di saat orang sedang bertanya-tanya itu, tiba-tiba Kebo Kuning sudah membentak;
"Hai. jangan membuka mulut sembarangan kau. Kau bilang aku pemuda ingusan? Hemm, apa bila engkau penasaran keluarlah untuk bertanding melawan aku!"
Begitu Kebo Kuning selesai mengucapkan tantangannya itu, mendadak muncullah seorang kakek kira-kira berusia enampuluh lima tahun, tubuhnya kurus kering. Ikat kepalanya ungu, dan semua rambutnya sudah putih. Ia berdiri di samping pembaringan, di mana jenazah Guno Saronto membujur kaku. .
"Ah, kakang Guno Saronto...." terdengar orang itu sibuk mengusap air mata sambil meratap.
"Celaka sekali engkau., ahh, sekalipun engkau harus kembali hidup, tidak mungkin engkau kuasa menandingi pemuda itu. Ahh..... sungguh tidak aku nyana sama sekali, hari ini Perguruan Wanasalam akan hancur...... diobrak abrik seekor kerbau berbulu kuning."
Semua orang jantungnya berdebar. Semua mata mengamati ke arah kakek tersebut, dengan mata tak berkedip.
Kemudian terdengar lagi suara kakek itu,
"Hem, selama aku berkelana dan menjelajah dunia yang luas ini, sudah tidak terhitung jumlahnya manusia gagah sakti. Namun selama puluhan tahun aku berkelana, aku belum pernah bertemu dengan seorang pembesar kerajaan, yang tidak mengenal malu seperti dia!"
Kata-kata si tua ini, tentu saja menyebabkan telinga si perwira merah. Betapa tidak, justeru sebagai seorang perwira Mataram, terang-terangan dirinya dihina orang di depan banyak pasang mata. Bentaknya menggeledek.
"Hai tua bangka! Jangan engkau membuka mulut Sembarangan di depanku, heee! Hayo, majulah ke mari jika berani!" .
Tetapi kakek itu sekarang berjongkok di tepi pembaringan, sambil merangkul jenazah Guno Saronto yang membujur kaku. Sesaat kemudian terdengarlah katanya,
" Kakang Guno Saronto. Dengarlah, aku menerima perintah Dewa Yamadipati untuk mengundang paduka-paduka tuan pembesar negeri yang terhormat itu untuk pergi ke akhirat. Disana sedang diadakan pertemuan besar. Dan semakin tinggi kepandaian dan kesaktian orang, semakin menyenangkan."
Tak kuasa lagi perwira ini menahan sabarnya lagi mendengar ejekan itu. Mendadak saja perwira yang tadi banyak bicara itu sudah meloncat ke dalam rumah, langsung mengirimkan pukulan gertakan dengan tangan kiri, tetapi kemudian mencengkeram leher kakek itu dengan tangan kanan.
Mendadak dari dalam rumah terbang sesosok tubuh dan tersungkur di tengah pendapa. Ketika semua orang melihat, banyak orang berseru tertahan, tetapi juga tidak sedikit yang tercengang. Ternyata orang itu bukan lain adalah si perwira yang galak dan garang tadi, yang tersungkur di tengah pendapa.
Tidak seorangpun tahu apa yang terjadi, tetapi yang jelas perwira itu telah berhasil dilontarkan dengan gampang.
Melihat kawannya dikalahkan orang dengan mudah, perwira yang lain sudah bangkit dan menghunus goloknya dan menerjang kakek itu. Seluruh ruangan rumah itu menjadi kalut. Tidak lama kemudian tampak sesosok tubuh berkelebat ke luar. Ternyata perwira yang tadi 'menghunus golok, sudah roboh pula di lantai.
Melihat apa yang terjadi, makin teganglah jantung Ulam Sari. Dengan melihat kenyataan itu dalam segebrakan saja si perwira telah roboh. jelas bahwa kakek itu mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dibanding dengan tiga orang murid Guno Saronto. Maka diam-diam ia khawatir juga akan keselamatan Kebo Kuning.
Sanggupkah pemuda itu menghadapi kakek itu?
Kebo Kuningpun tahu belaka bahwa sekarang dirinya harus menghadapi seorang kuat dari Perguruan Wanasalam. Dengan sikap yang tenang ia segera bangkit berdiri dan berkata,
"Silahkan engkau Segera keluar ke pendapa ini, jika engkau memang benar tidak puas dengan keadaan. Untuk
apa harus menangis dan meratap-ratap seperti kakak yang masih berbau susu?"
Hampir tertawa Ulam Sari mendengar cara Kebo Kuning bicara. Jelas bahwa ucapannya kali ini untuk membalas kakek itu.
Perlahan-lahan orang tua tersebut bangkit, lalu melangkah ke luar dari dalam rumah. Sepasang mata orang tua itu benar-benar membuat orang yang melihatnya berdebar. Sebab mata itu bersinar terang dan berwibawa. Kebo Kuningpun menyadari keadaan, ia tahu benar bahwa kakek ini seorang angkatan tua Perguruan Wanasalam. Untuk itu Kebo Kuning telah bersiap diri menghadapi segala kemungkinan.
Begitu berhadapan dengan Kebo Kuning, kakek itu berkata dengan sikap yang keren,
"Bocah, engkau bukan keluarga Perguruan Wanasalam, dan nama Kebo Kuning itu tentu bukan namamu yang sebenarnya. Dengan engkau, Perguruan Wanasalam tidak mempunyai permusuhan apapun.Akan tetapi mengapakah sebabnya engkau telah menghina dan mengacau seperti ini?'
"Hemm," dengus Kebo Kuning dingin,
"apakah engkau juga anggauta Perguruan Wanasalam? Dan siapa pula kiranya nama dan gelaran paman?"
Misteri Putri Peneluh Karya Abdullah Harahap Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton Pendekar Naga Geni 2 Rahasia Barong Makara

Cari Blog Ini