Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 13
"Aku bernama Prahara Bayu," sahut kakek. itu dengan tenang.
"Sudahkah engkau mendengar tentang Banteng Kembar saka Banten (Sepasang Banteng dari Banten)? Hemm, jika aku bukan anggauta Perguruan Wanasalam, bagaimana bisa jadi bahwa diriku ini menjadi salah seorang dari Banteng Kembar saka Banten? "
Mendengar disebutnya nama Banteng Kembar saka Banten itu, sementara tokoh tua berseru tertahan. Bagi mereka yang sudah tua, memang sudah mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi karena selama ini salah seorang banteng itu tidak pernah muncul, dan Perguruan Wanasalam juga masih baru, kebanyakan dari mereka hanya mengenal nama Guno Saronto. Sebaliknya bagi Ulam Sari yang belum luas pengalaman, dan sementara itu belum pernah mendengar cerita dari Sindu maupun Ki Ageng Lumbungkerep, nama itu begitu asing dan tidak mempunyai pengaruh apa apa.
Guno Saronto sendiri, dalam waktu yang hanya tiga tahun lamanya telah berhasil memupuk nama harum, dan luas sekali pergaulannya. Maka sekarang setelah mereka melihat dengan mata kepala sendiri munculnya seorang "banteng" yang lain, diam diam mereka berdebar. Jelas apa yang dilihat tadi, robohnya dua orang perwira dengan sekali gebrak, adalah merupakan bukti bahwa kakek yang bernama Prahara Bayu ini, tentu sakti mandraguna. Maka di antara mereka segera kasak-kusuk. Ada yang merasa pasti bahwa pemuda baju kuning itu akan roboh, tetapi sebaliknya ada pula yang berpendapat bahwa kakek itulah yang nanti akan roboh.
Sementara itu dengan sikapnya yang garang Kebo Kuning sudah berkata,
"Ha-ha-ha, persetan dengan sepasang banteng atau sepasang katak. Apakah engkau juga ingin memperebutkan kedudukan ketua perguruan?"
"Hemm. engkau terlalu menghina aku, orang
muda!" hardik Prahara Bayu.
"Kalau saja aku menghendaki kedudukan itu, apakah sulitnya?"
"Jangan engkau membual dan bermulut besar. Siapakah yang mau percaya ucapanmu? Sekarang apakah yang engkau kehendaki ?"
"Hem, aku datang kemari adalah sehubungan dengan meninggalnya kakang Guno Saronto, dan urusan ketua Perguruan Wanasalam pula,"
Prahara Bayu menjawab dengan nada yang dingin.
"Yang jelas, kedudukan ketua Perguruan Wanasalam harus diduduki oleh seorang murid perguruan. Kemudian, siapapun yang berhasil menduduki jabatan ketua perguruan, dia tidak boleh pergi memenuhi undangan ke Plered. Tidak sepantasnya manusia manusia kasar seperti orang--orang Perguruan Wanasalam ini, harus bergaul dengan orang-orang mahal dari kota raja. Karena dengan begitu, hanya membuat malu saja, justeru tidak pandai tentang adat dan kesopanan orang-orang besar."
Ucapan Prahara Bayu yang tegas-tegas menunjukkan perasaan tidak senang terhadap kekuasaan Mataram ini, membuat sementara orang tercekat kaget.
Mengapa orang ini begitu sembrono mengucapkan kata-kata tersebut di depan ratusan orang yang belum dikenal watak dan tabiatnya?
Dengan begitu jelas sekali bahwa Prahara Bayu ini tidak tunduk kepada Mataram. Orang yang demikian, kiranya gampang sekali dituduh oleh kekuasaan Mataram sebagai pemberontak. Sedang hukuman yang paling ringan, hanyalah seumur hidup.
Dua orang perwira yang tadi dengan gampang telah dirobohkan oleh Prahara Bayu, entah dengan
cara bagaimana, sudah tidak nampak lagi batang hidungnya. Mungkin sekali mereka menjadi malu, setelah dirobohkan orang tanpa dapat berkutik sama sekali. Maka mereka sudah pergi diam-diam, di saat semua perhatian orang sedang ditujukan ke arah Kebo Kuning dan Prahara Bayu.
Setelah Prahara Bayu menyapukan pandang matanya ke seluruh pendapa seperti mencari kesan, kakek ini meneruskan,
"Sebagai seorang angkatan tua dalam Perguruan Wanasalam, sudah tentu aku takkan bisa menyetujui cara pemilihan ketua, yang hanya mendasarkan kepada kesaktian melulu. Kesaktian seseorang belum tentu berpengaruh baik terhadap perguruan. Oleh sebab itu menurut pendapatku, yang lebih penting bagi seorang ketua perguruan, adalah Watak dan pribadi seseorang. Sebab kebijaksanaan, kejujuran dan keagungan jiwa seseorang, pengaruhnya akan besar sekali bagi kemajuan sesuatu perguruan."
Ia kembali berhenti, menebarkan pandang matanya seperti mencari kesan. Sesaat kemudian, terdengarlah katanya lagi,
"Para tamu sekalian, bolehkah aku bertanya kepada kalian tentang pandangan kalian? Menguntungkankah dan baikkah akhir dari pemilihan, kalau hanya mempertimbangkan tentang kesaktian seseorang, tetapi mengabaikan tentang watak dan pribadi? Apa yang akan terjadi kalau orang itu sakti mandraguna tetapi wataknya begitu rendah dan jiwanya kerdil?"
Sementara yang hadir terkesan di hati mendengar kata-kata kakek ini, dan tanpa merasa sudah
mengangguk. Ucapan kakek ini memang tidak bisa dicela. Sebab kesaktian seseorang belum dapat menjadi ukuran dapatnya membawa kemajuan sesuatu rumah tangga perguruan. Berbeda dengan seseorang yang berjiwa agung, kekurangannya dalam ilmu kesaktian dapat ditambal oleh keagungan jiwa, kebijaksanaan dan kejujuran.
Tiba-tiba terdengar jawaban Kebo Kuning yang membuat semua orang melengak,
"Aku tidak perduli dengan semua itu. Hem, engkau mau apa?"
"Mau apa, katamu?" sepasang mata Prahara Bayu mendelik mengamati Kebo Kuning tanpa berkedip.
"Biarlah sekarang aku menyerahkan tulang tulangku yang sudah keropos termakan umur ini, agar engkau hajar!"
Tetapi si pemuda baju kuning mendengus dingin. Kemudian jawabnya dengan nada merendahkan.
"Hemm, engkau ingin berkelahi dengan cara apa? Dengan senjata ataukah tangan kasong?"
"Karena engkau mengaku sebagai salah seorang anak murid Perguruan Wanasalam, maka marilah kita coba-coba bermain-main dengan ilmu mustika perguruan."
"Mustika apa?" tanya Kebo Kuning.
"Jangan engkau plintat-plintut dan berteka-teki. Aku paling benci kepada orang yang tidak berterus terang."
"Ha-ha-ha-ha!"
Prahara Bayu ketawa bekakakan mendengar pertanyaan Kebo Kuning. Kemudian ejeknya,
"Baru soal ilmu mustika perguruan saja engkau tidak tahu, mengapa engkau tanpa malu berani mengaku sebagai murid perguruan "
Untuk sejenak tampak Kebo Kuning malu. Namun hanya sejenak saja, kemudian wajah pemuda itu sudah kembali tenang seperti semula.
"Ilmu kesaktian dari perguruan kita tidak dapat diukur sampai di mana dalamnya. Bukankah apa bila seseorang telah mencapai tingkat sempurna, sekalipun menggunakan pukulan yang paling lumrahpun, kita bisa. menjagoi dunia? Maka ajaran ilmu yang manapun dari perguruan kita itu, bisa saja disebut sebagai mustika. Sebab hal itu tergantung siapa yang menggunakannya."
Diam-diam Prahara Bayu kaget mendengar jawaban pemuda ini, yang begitu cerdik sehingga dapat menolong diri dari keadaan terjepit. Tentu saja kakek ini cukup mengetahui, bahwa pemuda baju kuning ini tidak mengenal sama sekali tentang ilmu mustika dari Perguruan Wanasalam. Akan tetapi dengan alasan-alasan yang tepat, pemuda itu dapat menolong diri.
Diam-diam Prahara Bayu memuji kecerdikan pemuda ini. Kakek ini mengusap-usap kumis dan jenggotnya yang telah putih seperti kapas. Kemudian terdengarlah kakek ini berkata,
"Bocah, karena engkau tidak tahu tentang apa yang disebut ilmu mustika itu. maka biarlah terus terang aku katakan. Mustika dari perguruan kita, adalah yang disebut Barisan Patangpuluh Patok (Barisan Empatpuluh Tonggak ). Nah. sudah tahukah engkau sekarang?"
'Hemm,"
Kebo Kuning mendengus dingin.
"Mustika apakah itu? Nah, sekarang dengarlah penjelasanku tentang ilmu kepandaian dan ilmu kesaktian, yang paling berharga adalah ilmu yang sejati. Segala barisan dan segala macam tonggak, itu hanyalah merupakan permainan anak kecil. Huh, jika engkau tidak percaya, boleh saja kita coba. Mari, tunjukkanlah barisan empatpuluh pantat itu!"
Mendengar ucapan Kebo Kuning ini, wajah Prahara Bayu merah padam. Sementara yang hadirpun menganggap bahwa ucapan pemuda itu keterlaluan menghina. Akan tetapi dalam waktu singkat kakek ini sudah dapat menekan perasaannya, dan tanpa membuka mulut ia sudah menyambar sebuah cangkir, yang langsung dilemparkan ke lantai. Orang yang melihat kaget dan khawatir kalau cangkir itu akan pecah hancur. Namun ternyata cangkir itu tetap utuh dan tengkurap di lantai. Cangkir ke dua sudah melayang pula, ke tiga ke empat, dan berturut-turut Prahara Bayu telah melempar cangkir-cangkir tersebut ke lantai dalam keadaag tengkurap.
Semua orang yang menyaksikan menahan napas saking takjub. Dengan pameran mengendalikan tenaga seperti ini, jelas sekali bahwa kakek itu memang seorang sakti mandraguna, yang tak dapat dipandang ringan. Diam-diam sekalipun Ulam Sari seorang muda yang sudah menguasai ilmu tingkat tinggi, tidak urung tercekat juga. Khawatir kalau Kebo Kuning sampai tak mampu menghadapi.
Dalam waktu yang tidak lama, empatpuluh buah cangkir telah siap di lantai, dijadikan pengganti tonggak. Sesudah itu, dengan gerakannya yang ringan seperti burung hinggap pada ranting pohon, Prahara Bayu sudah berdiri pada pantat salah satu cangkir sambil menantang,
"Mari, temanilah aku bermain-main. "
Sesungguhnya saja, Kebo Kuning tidak mengenal apa yang disebut Barisan Patangpuluh Patok itu. Akan tetapi dengan ilmu yang dikuasai, ia tidak gentar sedikitpun menghadapi tantangan kakek ini. Tanpa menjawab pemuda ini sudah meloncat dengan gerakan yang ringan seperti burung, lalu sebelah kakinya sudah hinggap pada pantat cangkir. Baru kemudian kaki yang lain menyusup menginjak pada pantat cangkir di dekatnya. Sesudah itu ia mengangkat kedua tangannya, lalu bersiap diri dengan kuda-kuda kokoh. Kali ini ,ia tidak berani sembrono. Ia tidak berani gegabah menyerang, melainkan menunggu orang menyerang.
Prahara Bayu tidak mau main lambat-lambatan lagi. Kakek ini sudah meloncat sambil menjotos dengan tinju kanan.
Bagi orang lain, mungkin tidak memperhatikan bentuk tinju orang. Akan tetapi Kebo Kuning lain. Sepasang matanya yang awas segera dapat melihat bahwa empat jari tangan yang ditekuk menjadi tinju itu tidak merata. Dengan bentuk tinju semacam ini, Kebo Kuning cepat bisa menduga bahwa kakek ini merupakan seorang kakek ahli urat. Orang yang terserang uratnya, bisa menderita lumpuh atau malah bisa pingsan.
Setelah berkelahi beberapa saat lamanya, diam diam Prahara Bayu menjadi heran bukan main. Melihat gerak tubuh, gerak kaki maupun gerak tangannya, jelas semuanya tidak menyimpang dari peraturan Perguruan Wanasalam.
Mengapa bisa begini?
Kalau benar pemuda ini murid Perguruan Wanasalam, mengapa dirinya sebagai tokoh tua tidak mengenalnya?
Dan kalau bukan, mengapa bisa menggunakan ilmu tata kelahi perguruannya dengan baik?
Demikianlah dengan dua kaki bergerak gerak di atas empatpuluh cangkir itu, mereka saling serang dengan cepat, masing masing menggunakan ilmu tata kelahi Perguruan Wanasalam. Cangkir itu sekarang dipergunakan sebagai tonggak, sehingga dalam bertempur kaki mereka tidak pernah menyentuh lantai.
Di dalam perkelahian di atas cangkir-cangkir seperti ini, tujuan masing-masing pihak untuk menduduki tempat di tengah-tengah, guna mendesak lawan ke pinggir. Apa bila sudah demikian,berusaha untuk mendesak supaya lawan jatuh dari cangkir. Semestinya, yang dipergunakan sebagai tonggak adalah terbuat dari kayu atau tonggak bambu. Namun sekarang ini menggunakan cangkir-cangkir sebagai pengganti tonggak itu. Maka dapat dibayangkan betapa sulitnya orang berkelahi di atas barang seperti ini. Sebab di samping licin dan ringkih, mudah terpeleset, pun gampang sekali cangkir itu pecah.
Bagi Prahara Bayu, berloncatan dan bergerak di atas cangkir di atas lantai seperti ini, sudah bukan hal yang sulit lagi. Sebab bagi dirinya sudah puluhan tahun lamanya melatih diri secara tekun, hati-hati dan perhitungannya tepat. Oleh sebab itu
baru beberapa lama berkelahi, ia telah berhasil menduduki tempat di tengah guna mendesak lawan dengan tenaga yang lebih kuat. Sekalipun begitu, ia tidak berani bertindak gegabah. Ia sadar bahwa sekalipun muda, Kebo Kuning seorang pemuda perkasa.
Seperti di atas tadi telah disinggung, bahwa cangkir merupakan barang keramik yang tipis dan ringkih, gampang sekali pecah. Maka apa bila dalam perkelahian ini sampai salah injak dan pecah, berarti menderita kalah. Menyadari akan keadaan ini, maka di dalam setiap melontarkan pukulan dan serangannya, pemuda ini tidak berani menggunakan tenaga berlebihan, khawatir cangkir yang diinjak pecah. Tetapi karena sekarang melihat lawan berada di tengah-tengah dengan pertahanan yang teguh, diam-diam pemuda ini menjadi mendongkol. Dirinya akan menderita kekalahan dan malu, apa bila tidak dapat merobah keadaan.
Sambil mengerahkan semangat, ia menggunakan dasar-dasar dari Ilmu Sekti Mandraguna, untuk dapat bergerak seperti terbang lalu berputaran seperti burung dan selalu berusaha mencari kelemahan Prahara Bayu. Akan tetapi sungguh celaka, sekalipun sudah lewat belasan jurus lamanya, kakek itu masih tetap saja berdiri teguh dan pukulan-pukulannya semakin lama menjadi makin dahsyat.
Kebo Kuning sekarang menderita kesulitan. Lebih lagi ia tadi begitu sembrono kurang memperhatikan letak cangkir yang disebarkan oleh Prahara Bayu. Bagaimanapun letak cangkir-cangkir itu tidak teratur. Tidak menurut barisan yang biasa.
Maka sedikit saja salah langkah
dirinya akan celaka.
Bagaimanapun didalam setiap perkelahian, orang tidak dapat terlalu mengandalkan kepada kesaktian, dan mengabaikan tentang siasat dan sikap hati-hati. Sekarang Kebo Kuning telah masuk dalam perangkap yang telah diatur secara cerdik oleh Prahara Bayu. Di dalam menyebar cangkir tadi, memang sudah diatur sedemikian rupa, dan hanya Prahara Bayu seorang yang memahami. Maka dengan hasil latihan yang sudah puluhan tahun lamanya, kakek ini dapat meloncat ke sana ke mari tanpa khawatir tergelincir atau memecahkan cangkir. Tetapi Kebo Kuning dalam keadaan sebaliknya. Setiap kali bergerak dan berpindah, lebih dahulu ia harus melihat kedudukan cangkir yang akan diinjaknya. Akibatnya, tambah lama Prahara Bayu makin menjadi garang, sebaliknya Kebo Kuning menjadi terdesak dan menderita kesulitan.
Melihat bahwa siasatnya telah memberi hasil, Prahara Bayu menjadi gembira sekali. Ia tidak mau memberi kesempatan lawan bernapas. Kakek ini segera mengirimkan serangan-serangan berantai dengan tenaga yang lebih dahsyat. Dalam waktu singkat keadaan Kebo Kuning sudah sulit sekali. Namun pemuda inipun seorang cerdik. Melihat keadaan dirinya terdesak,ia kini mengubah caranya berkelahi.Kalau pada mulanya ia memukul dengan telapak tangan, sekarang ia lebih banyak menyerang dengan tangan kiri dan menggunakan dua batang jarinya.
Prahara Bayu yang tidak pernah menduga, kaget dan cepat-cepat menghindar sambil melompat ke pinggir. Tetapi mimpipun tidak, pemuda itu sudah menyusulkan tabasan tangan kanannya, seperti orang menabaskan golok.
Akibatnya Prahara Bayu menjadi gelagapan. Dari keadaan mendesak sekarang dirinya kena didesak. Dari kedudukan menyerang sekarang dirinya dicecar oleh serangan dahsyat Kebo Kuning yang menggunakan ilmu tombak dengan tangan kiri, dan menggunakan ilmu golok dengan tangan kanan. Walaupun saat sekarang ini Kebo Kuning bertangan kosong, akan tetapi bahayanya tidak ringan. Jari tangan kiri itu bisa melubangi kulit tubuh, sedang tabasan telapak tangan seperti golok itu dapat mematahkan tulang pundak atau lengan.
Di dalam keadaan bingung,tahu-tahu pundaknya sudah kena ditabas oleh telapak miring tangan kanan Kebo Kuning. Masih untung, di saat berbahaya dengan mengerutkan tubuhnya, dapat memunahkan tujuh bagian tenaga lawan.
Di lain saat, Kebo Kuning menyabat ke atas dengan tangan kiri. Tetapi kedudukan ilmu yang dipergunakan pemuda ini sudah berubah. Kalau tadi tangan kiri menggunakan ilmu tombak, sekarang tangan kiri itu berubah dengan ilmu golok. Sebaliknya tangan kanan yang menggantikan dengan ilmu tombak. Baru beberapa gebrakan, tahu tahu dua tangan pemuda itu sudah berubah, semuanya menggunakan ilmu golok. Walaupun Prahara Bayu sudah kaya akan pengalaman dan berusaha
menyelamatkan diri, tidak urung dadanya terpukul, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang.
Selama dua orang ini berkelahi, Ulam Sari selalu memperhatikan seksama sekali. Entah mengapa sebabnya, begitu melihat orang tua itu terpukul, ia menjadi tidak tega kalau kakek itu harus dikalahkan dalam keadaan penasaran. Oleh sebab itu di saat dalam keadaan berbahaya, yaitu ketika dua kaki Prahara Bayu hampir menginjak lantai, dengan kecepatan luar biasa ia sudah mengambil dua buah cangkir sekaligus, kemudian dilontarkan. Dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan. dua buah cangkir itu menggelinding dan berhenti tepat di bawah kaki Prahara Bayu. '
Prahara Bayu tadi sudah pucat dan peluh dingin membasahi seluruh tubuh. Akan tetapi begitu merasa menginjak dua buah cangkir, kakek ini kaget berbareng bersyukur. Tentu saja kakek ini menjadi sadar, bahwa ada seseorang yang menolong di saat dirinya dalam keadaan terdesak. Sebaliknya sekalipun ratusan pasang mata semua terbuka, tetapi karena perhatiannya dipusatkan kepada mereka yang sedang berkelahi, menyebabkan tidak seorang pun tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ulam Sari.
Kebo Kuning terus mendesak dengan ilmu yang berganti-ganti. Kadang ilmu tombak. dan kadang ilmu golok. Tetapi sekalipun benar Kebo Kuning menggunakan ilmu tata kelahi Perguruan Wanasalam, namun tidak pernah terjadi seorang murid perguruan menggunakan cara berkelahi seperti itu. Keadaan ini tentu saja makin lama membuat tokoh
Perguruan Wanasalam ini menjadi ragu ragu. Dirinya adalah tokoh tua Perguruan Wanasalam.
Namun mengapa pemuda ini menggunakan ilmu tata kelahi macam itu?
Saking mendongkol dan tidak percaya bahwa pemuda ini murid Perguruan Wanasalam, kakek ini tidak kuasa lagi menahan mulut.
"Kepandaian anak sungguh sempurna dan dengan Sesungguhnya aku katakan. belum pernah melihat angkatan muda dalam perguruan kami dapat berkelahi seperti engkau. Bolehkah aku bertanya dan mengetahui guru dan golongan anak ?"
"Hemm, engkau masih belum juga percaya bahwa aku benar-benar murid Perguruan Wanasalam? Hayo, engkau akan menggunakan alasan apa lagi, apa bila aku dapat mengalahkan engkau dengan ilmu tombak?"
Sekali ini Kebo Kuning terpancing lagi oleh siasat Prahara Bayu. Justeru jawaban inilah yang diharapkan oleh kakek itu. Maka sambil membungkuk memberi hormat, kakek ini berkata,
"Apa bila engkau dapat merobohkan aku dengan Ilmu Tombak Perguruan Wanasalam maka peristiwa ini sungguh sungguh merupakan peristiwa sejarah bagi perguruan kami. Dan andaikata aku tak berdaya melawan engkau, hal itu jelas merupakan kebodohanku sendiri."
Tentu saja Prahara Bayu menjadi gembira sekali mendengar tantangan ini. Bagaimanapun, dirinya adalah merupakan ahli llmu Tombak Perguruan Wanasalam. Dalam hal ilmu tombak, tidak seorang pun anggauta Perguruan Wanasalam sanggup mengatasi. Malah Guno Saronto sendiri sebagai kakak
seperguruannya, tidak sanggup pula melawan ilmu tombaknya. Akan tetapi walaupun begitu, dalam kesempatan ini Prahara Bayu tidak ingin melupakan budi kebaikan kepada orang yang telah menolong dirinya, dengan melemparkan dua buah cangkir. Maka sambil membungkuk lagi, tetapi diarahkan kepada Ulam Sari, kakek ini menyambung.
"Hari ini aku si tua ingin mempersembahkan kebodohanku."
Sambil menjawab Kebo Kuning, sekaligus Prahara Bayu sudah mengucapkan terima kasih kepada orang yang menolong dirinya. Sesungguhnya kakek ini memang tidak tahu siapa yang telah melemparkan cangkir tadi. Ia hanya tahu, cangkir itu datang dari jurusan di mana Ulam Sari duduk.
Dalam perkelahian seterusnya, benar-benar Kebo Kuning sudah menggunakan tangannya sebagai tombak untuk menyerang Prahara Bayu. Akan tetapi ia seorang pemuda cerdik. Sekarang ia sudah dapat membayangkan suatu siasat guna mengalahkan kakek ini.
Baru bergebrak dalam beberapa jurus saja, karena Kebo Kuning menggunakan ilmu tombak, Prahara Bayu sudah kembali di atas angin dan dapat mendesak Kebo Kuning. Memang sesudah menelan pil pahit tadi, kakek ini sekarang berlaku hati-hati sekali. Sambil mendesak ia selalu berjaga-jaga, kalau-kalau lawannya membalas dengan pukulan aneh aneh yang tidak ia pahami. Namun apa yang diduga Prahara Bayu tidak pernah terjadi. Cara berkelahi Kebo Kuning tidak berobah, selalu menyerang dengan ilmu tombak. Maka ketika Kebo
Kuning menyerang dirinya dengan Tumbak Biting Tatu Miring, Prahara Bayu telah menyambut dengan Iwak Lele Ambles Banyu (Ikan Lele Menyelam Dalam Air).
Tetapi mendadak kakek ini terkesiap!
Karena begitu kakinya menginjak cangkir, benda yang diinjak itu terasa aneh pada kakinya. Ketika kakek ini mencoba untuk melirik, ia menjadi kaget lagi.
Mengapa?
Ternyata cangkir itu sudah berobah letaknya, bukan tengkurap lagi, melainkan terlentang. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya, ia masih merasa beruntung bahwa tadi tidak menginjak. Kalau menginjak, tentu cangkir yang ringkih itu akan pecah.
Setelah bergebrak lagi, barulah Prahara Bayu sadar bahwa berobahnya letak cangkir itu, adalah akibat perbuatan pemuda itu. Ketika pemuda itu mengangkat kakinya, jari kakinya mengangkat cangkir itu. Kemudian ketika dilepaskan, letak cangkir itu sudah berbalik dan terlentang. Disaat kaki kiri menotol cekung cangkir yang sudah telentang, kaki kanan sudah membalikkan cangkir yang berikutnya.
Menghadapi siasat yang cerdik dari Kebo Kuning ini. Prahara Bayu sadar bahwa dalam hal keringanan tubuh. dirinya tidak mungkin dapat menandingi pemuda itu. Maka kemungkinan satu-satunya ia harus dengan segera merobohkan lawan dalam waktu singkat. Memperoleh pikiran demikian, kakek ini sudah menyerang dengan hebat.
Tetapi sungguh tidak terduga sama sekali, Kebo Kuning menggunakan siasat gerilya dan lari berputaran. Dalam waktu singkat, pemuda ini telah berhasil membalikkan empatpuluh cangkir yang ada. Yang belum terbalik tinggal dua buah saja, karena semua cangkir yang ada dengan tambahan yang dilemparkan oleh Ulam Sari menjadi empatpuluh dua. Dengan begitu, sekarang tinggal dua buah cangkir saja yang belum terlentang, ialah yang maSih diinjak oleh Prahara Bayu.
Hebat bukan main keringanan tubuh dan kecepatan Kebo Kuning bergerak. Pemuda itu seperti terbang dari cangkir ke cangkir yang terlentang. Sebaliknya Prahara Bayu berdiri seperti patung di atas dua cangkir yang masih tengkurap.
Tanpa memiliki daya keringanan tubuh, manakah mungkin Prahara Bayu berani meloncat ke cangkir yang sudah terlentang seperti itu?
Sebab begitu terinjak cangkir itu akan segera pecah dan berarti dirinya menderita kekalahan.
Diam-diam kakek ini menjadi menyesal, mengapa ia tadi menantang pemuda itu dengan berkelahi secara ini. Kalau berkelahi secara biasa, belum tentu dirinya menderita kekalahan. Memikir demikian, ia makin tambah menyesal.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Untung juga bahWa Prahara Bayu seorang kakek yang pandai memegang janji dan jujur. Walau pun ia merasa bahwa dirinya dikalahkan dengan akal, ia tidak dapat membantah kekalahan yang dialami itu. Maka setelah menenangkan hati, akhirnya kakek ini membungkuk memberi hormat kepada si pemuda sambil berkata,
"Anak, aku mengaku kalah !"
Kebo Kuning tersenyum bangga sambil membalas hormat. Tanyanya,
"Jadi, sekarang aku berhak menduduki jabatan ketua Perguruan Wanasalam?"
"Aku si tua sudah engkau kalahkan. Tentu saja aku setuju. Hanya aku belum tahu, bagaimanakah pendapat yang lain." ,
Sebelum Kebo Kuning sempat membuka mulut untuk menanyakan kepada para murid Perguruan Wanasalam, mendadak terdengarlah suara kuda lari keras meninggalkan tempat itu. Wajah Kebo Kuning yang semula berseri gembira itu, mendadak saja berubah pucat. Sedetik kemudian pemuda ini Sudah melompat ke luar lalu lari Secepat terbang mengejar kuda yang lari.
Semua orang yang hadir dan begitu pula Prahara Bayu melengak heran melihat itu.
Mengapa begitu menang berkelahi, pemuda itu tidak segera membicarakan tentang kedudukan ketua, malah melompat ke luar dan mengejar si penunggang kuda?
Apa yang terjadi memang di luar dugaan semua orang. Ulam Sari telah meninggalkan pendapa itu diam-diam melepaskan tambatan si Mega Langking, lalu melarikan kuda itu cepat-cepat.
Mengapa Ulam Sari bertindak seperti ini, mencuri kuda si pemuda baju kuning itu?
Ada beberapa soal yang menyebabkannya. Pertama ia sekarang sudah tahu bahwa pemuda baju kuning itu mempunyai hubungan yang erat dengan gadis baju kuning yang bernama Damayanti (baca "Kisah Si Pedang Buntung"). Yang kedua, ia menjadi penasaran setelah ternyata, bungkusannya itu dicuri oleh Kebo Kuning. Dan yang
ke tiga, gadis ini menjadi tidak senang setelah mengetahui bahwa Kebo Kuning 'mengacau Perguruan Wanasalam.
Bukankah dengan tindak perbuatannya ini, bertentangan dengan setiap ajaran dan nasihat kebaikan?
Berdasarkan alasan-alasan ini, maka setelah mengetahui Kebo Kuning pasti memperoleh kemenangan, ia segera bertindak. Gadis ini segera ke luar dari pendapa, lalu mengambil kuda hitam yang bernama Mega Langking. Sebenarnya saja kuda mustika bernama Mega Langking itu adalah kuda yang galak dan binal, jika berhadapan dengan orang yang belum dikenal. Orang yang berani mendekati bisa digigit atau disepaknya. Akan tetapi karena Ulam Sari telah mengenalnya, maka kuda mustika itu menurut saja ketika dituntun lalu dilarikan oleh Ulam Sari.
Kebo Kuning melihat bahwa kuda itu dilarikan oleh seorang gadis. Ia terkesiap ketika mengenalnya, bahwa gadis itulah yang telah ia curi bungkusannya.
"Hei pencuri kuda! Berhenti!"
Dan Ulam Sari memalingkan mukanya, tertawa dan membalas,
"Hei pencuri bungkusan! Hayolah kita tukar !" '
Tetapi Ulam Sari tidak berhenti, malah sebaliknya mengeprak kuda itu lari lebih cepat, dan malah terdengar suara ketawanya yang cekikikan.
Kebo Kuning kaget berbareng heran melihat wajah yang jelek dan menyeramkan dari gadis itu.
Mengapa baru kemarin saja, wajah yang semula cantik jelita itu, sekarang sudah berobah menjadi
jelek bukan main?
Ia hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
Akan tetapi Kebo Kuning bukanlah seorang pemuda tolol, sebaliknya malah seorang pemuda yang pintar luar biasa, Dalam sekejap ia segera dapat menduga, bahwa gadis itu tentu mengenakan kedok penutup muka. Hingga wajah yang cantik itu sekarang berobah buruk menyeramkan.
Kebo Kuning penasaran bukan main, kuda mustikanya dicuri orang. Ia merasa dihina oleh gadis itu. Sama sekali pemuda ini tidak menyadari, bahwa dirinya sendiri yang telah memulai dengan perbuatannya yang mencuri bungkusan gadis itu. Menyalahkan orang laim memang gampang sekali, tetapi mawas diri dan menyalahkan kepada diri sendiri, tidak gampang. Dan memang beginilah biasa yang terjadi di dunia ini. Walaupun jelas Kebo Kuning berbuat salah, namun ia tidak mau mengakui kesalahannya itu, malah sekarang ia penasaran dan dihina oleh perbuatan gadis itu.
Apakah ini tidak lucu?
Yang terang saja di dunia ini memang terjadi banyak peristiwa peristiwa yang "lucu" tetapi juga. "menjengkelkan" bagi orang yang sudah memperoleh kesadaran.
Bukankah dunia ini ibarat sebuah panggung, dan manusia di dalamnya merupakan pelaku-pelaku dan badut-badut yang tidak lucu?
Di jaman terjadinya peristiwa ini, tidak sedikit terjadi peristiwa aneh dan menjengkelkan bagi para kawula Mataram. Apa bila terjadi sesuatu peristiwa yang dilakukan oleh putera pembesar kerajaan atau orang kaya, walaupun perbuatan itu salah, namun ditutup dan dirahasiakan. Kalau ada kawula yang
menuntut, bukan memperoleh lindungan hukum dan peradilan yang wajar, melainkan si kawula itu sendiri yang pada akhirnya akan meringkuk dalam penjara.
Kekuasaan seorang raja memang tidak terbatas. Demikian pula kekuasaan alat-alat kekuasaan raja,menggunakan kesempatan sebaik -baiknya guna memperoleh keuntungan dengan cara -cara kotor.
Akan tetapi siapakah yang dapat melawan?
Siapapun yang berani mengganggu gugat penguasa, orang itu sendiri yang akan menderita akibatnya .
Nah, apa yang terjadi antara Kebo Kuning dengan Ulam Sari ini, merupakan sekedar contoh yang kecil. Bahwa manusia ini lebih gampang menyalahkan orang lain daripada kepada diri sendiri. Kebo Kuning merasa senang ketika berhasil mencuri bungkusan milik Ulam Sari. Tetapi sebaliknya ia menjadi marah dan merasa terhina, setelah barang miliknya diambil orang. Untung Kebo Kuning bukan seorang pembesar negeri, atau putera pembesar negeri. Hingga pemuda ini tidak dapat menggunakan kekuasaannya Untuk menangkap dan menghukum pencuri kuda itu.
Dalam penasarannya Kebo Kuning telah mengerahkan semangat dan kepandaiannya untuk lari secepat terbang, mengejar kuda mustika Mega Langking yang sedang kabur. Akan tetapi kali ini ia ketanggor. Walaupun ia dapat lari secepat terbang, namun kuda mustika itu dapat lari lebih cepat lagi. Kalau semula pemuda ini masih dapat melihat bayangan kuda dan penunggangnya itu, beberapa
saat kemudian ia sudah ketinggalan jauh dan gadis maupun kuda itu sudah tidak tampak lagi.
Tentu saja peristiwa yang dihadapi sekarang ini, membuat kegembiraannya yang tadi meluap-luap karena dapat merobohkan tokoh sakti Perguruan Wanasalam, mendadak saja sekarang lenyap, dan berganti menjadi penasaran yang sulit diobati. Namun diam-diam timbul pula rasa aneh dalam dadanya.
Mengapa kuda itu menurut saja diambil orang?
Padahal kuda mustika itu binal dan galak.
Kalau toh orang bisa mencuri, manakah mungkin dapat duduk lama di atas punggungnya?
Pencuri itu sudah akan dilemparkan dari punggung.
Setelah berlarian cukup lama, tibalah ia di sebuah kota kecil bernama Godong. Kota ini merupakan tempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram berpangkat bupati. Akan tetapi kota ini tidak begitu ramai, kalah dengan Demak. Kebo Kuning merasa haus, maka inginlah pemuda ini mengurangi rasa dahaganya dengan minum teh di sebuah warung. Namun baru saja ia akan masuk warung, mendadak didengarnya suara ringkik kuda. Kebo Kuning kaget, karena mengenal bahwa suara kuda itu, adalah suara Mega Langking. Bagai terbang ia sudah memburu ke tempat asal suara itu terdengar. Dan ketika ia membelok pada suatu tikungan dilihatnya gadis wajah buruk itu melambaikan tangan sambil ketawa cekikikan mengejek.
Sulit dilukiskan betapa marah Kebo Kuning. Dia cepat memungut sebutir batu kerikil dan di sambitkan ke arah gadis itu. Akan tetapi dengan
berani. Ulam Sari sudah menyambut batu kerikil itu dengan tangan kiri sambil berteriak,
"Kau mau mengembalikan bungkusanku apa tidak?"
Kebo Kuning yang marah dan penasaran sekali tidak menjawab. Ia hanya melompat dan berusaha merebut kendali kuda Mega Langking. Namun di saat tubuh Kebo Kuning masih mengapung di udara, dari tangan gadis wajah buruk itu menyambar sebuah benda. Kebo Kuning kaget dan cepat menurunkan tubuh sesudah menangkap benda yarg disambitkan ke arah dirinya. Betapa mendongkol Kebo Kuning, sulit digambarkan. Akan tetapi si gadis wajah buruk sudah kabur dengan kudanya.
Kebo Kuning menjadi makin kalap dan marah atas peristiwa ini. ia belum juga sadar akan kesalahan sendiri, dan tahunya hanya menyalahkan orang lain. Di saat ia sedang marah tak karuan ini, mendadak saja ia melihat seekor kuda yang ditambatkan di luar rumah. Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, dan tanpa menyadari bahwa perbuatannya ini sudah mencuri. Kebo Kuning melepaskan tambatan kendali kuda lalu melompat ke atas punggung, dan kuda itu dikaburkan secepat terbang. Tentu saja si pemilik kuda kaget sekali dan memburu keluar. Akan tetapi sudah terlambat, kudanya sudah kabur jauh.
Ia memacu kuda curiannya itu cepat sekali.
Namun walaupun kuda itu sudah dipaksa lari sekuat tenaga, manakah mungkin dapat mengimbangi kecepatan Mega Langking lari?
Kudanya yang di curi oleh Ulam Sari sudah kabur jauh tidak tampak bayangannya lagi. Sekarang Kebo Kuning bersama kuda tunggangannya telah menerobos hutan jati. Tak lama kemudian telinganya yang tajam menangkap suara ringkik kuda. Hatinya berdebar lalu menuju ke arah suara ringkik kuda itu. Dan betapa gembira Kebo Kuning, ketika melihat kuda mustika Mega Langking itu tertambat pada sebatang pohon jati kecil. Walaupun gembira, namun pemuda ini cukup hati-hati. Sebelum mendekati untuk merebut kembali kuda mustika itu, lebih dahulu ia meneliti keadaan sekitarnya. Baru sesudah tidak melihat gadis wajah buruk itu, pemuda baju kuning ini menghampiri untuk melepaskan kendali kuda.
Sungguh lacur!
Ketika jaraknya tinggal dua tombak lagi. sekonyong-konyong sesosok tubuh ramping melayang turun dari atas dahan pohon, dan hinggap tepat di atas punggung kuda.
"Hai kebo dungu!" ejek Ulam Sari.
"Mari kita Sekarang berlomba lagi !"
Seperti diketahui, Ulam Sari adalah seorang gadis periang, gadis yang suka berkelakar, akan tetapi kalau sudah digoda orang, iapun akan sanggup untuk membalasnya. Dalam marahnya bungkusannya diambil orang. sekarang Ulam Sari sudah berusaha untuk mengocok Kebo Kuning dengan menunjukkan kepandaiannya.
Kalau saja mau melarikan kuda itu, manakah mungkin Kebo Kuning dapat mengejar?
Tetapi ia tadi sengaja menunggu pemuda itu menyusul, dan memancing supaya mendekati. Kuda ditambatkan pada pohon, sedang dirinya sendiri duduk di atas dahan pohon. Namun begitu Kebo Kuning menghampiri, ia telah turun dari dahan pohon, lalu siap sedia lagi di atas punggung kuda.
Sebaliknya Kebo Kuning yang sudah penasaran, tidak mau main-main lagi. Kakinya menjejak sanggurdi, dan tubuhnya melesat seperti anak panah, dan menubruk Ulam Sari.
Mimpipun tidak bahwa pemuda itu akan melakukan serangan berbahaya macam itu. Kalau gadis ini seorang berhati kejam, dengan menyambut serangan itu tentu si pemuda akan segera menderita luka parah. Tentu saja Ulam Sari tidak sedia melakukan perbuatan seperti itu. Maka ia menggerakkan kendali kuda untuk menghindarkan diri.
Tetapi sungguh di luar dugaan. Setelah bergekatan dan melihat Kebo Kuning, kuda mustika Mega Langking ini melawan. Ia tidak mau tunduk atas perintah Ulam Sari supaya menyingkir, melainkan malah melangkah maju.
Di saat tubuhnya masih mengapung di udara, Kebo Kuning sudah melancarkan pukulannya untuk menghantam kepala Ulam Sari dengan tangan kanan, sedang tangan kiri untuk mencengkeram pundak.
Sungguh ia tidak menduga sama Sekali, bahwa Kebo Kuning sanggup melakukan serangan seperti itu. Apa yang dilakukan sekarang ini, bukan lain adalah sekedar membalas apa yang sudah dilakukan oleh Kebo Kuning.
Bungkusannya telah dicuri, maka apa salahnya ia membalas mencuri kuda ini?
Lebih lagi ia sudah mengenal kuda mustika Mega Langking ini, sebagai kuda Damayanti. Kalau seseorang memperoleh kesempatan mengendarai kuda mustika ini jelas bahwa Kebo Kuning mempunyai hubungan dekat dengan Damayanti .Diam-diam
Ulam Sari sudah merasa rindu dengan Damayanti. justeru semenjak perpisahannya ketika itu, sampai sekarang belum pernah berjumpa lagi. Untuk itu timbullah keinginannya menanyakan khabar Damayanti kepada pemuda ini.
Mengingat bahwa pemuda ini mempunyai hubungan dekat dengan Damayanti, dan di samping itu memang tidak berniat untuk bermusuhan. maka begitu melihat ancaman bahaya, bagaikan kilat cepatnya, kaki gadis ini sudah menjejak sanggurdi kuda pula. Begitu tubuhnya melesat di udara,tubuhnya dapat melenting lebih tinggi dan lewat di atas kepala Kebo Kuning. Ketika tubuhnya turun, jatuhnya pantat tepat sekali pada pelana kuda yang tadi ditunggangi oleh Kebo Kuning.
Tetapi apakah yang telah terjadi di saat tubuh masing-masing terapung di udara.?
Tangan Ulam Sari yang kecil mungil itu telah dapat bekerja cepat luar biasa. Di saat orang tidak menduga sama sekali, jarijari tangannya mencengkeram tali pengikat bungkusannya, sehingga di saat pantatnya duduk di atas kuda, bungkusan itu sudah kembali di tangannya. Apa yang terjadi justeru dalam waktu yang singkat sekali, hingga Kebo Kuning sendiri tidak menyadari bahwa gadis wajah buruk itu dapat berbuat secepat itu. Dan justeru Ulam Sari berhasil merebut kembali bungkusannya ini, Kebo Kuning sudah pula hinggap di atas punggung kuda Mega Langking.
Kebo Kuning ternyata masih tetap penasaran. Lebih lagi ketika mengetahui bungkusan yang di
carinya itu telah berhasil diambil tanpa ia ketahui. Bentaknya,
"Hai Titiek Sariningsih! Engkau berani kurang ajar di depanku ?"
Titiek Sariningsth yang menyamar dengan nama Ulam Sari ini kaget berbareng heran.
"Dari mana kau tahu namaku ?"
Tiba-tiba saja pemuda ini terkekeh.
"Heh-heh heh, bibi Damayanti memuji engkau sebagai seorang gadis perkasa di jaman ini. Namun ternyata sesudah aku mengetahui dengan mata kepalaku sendiri, nyatanya pujian bibi Damayanti itu kosong saja."
Sulit dikatakan bagaimana gembira hati gadis ini, mendengar disebutnya nama Damayanti. Ternyata benar dugaannya, bahwa pemuda ini mempunyai hubungan dekat dengan Damayanti.
"Kau kau... kenal dengan mbakyu Damayanti? Di mana dia sekarang?"
Mendengar ini tiba-tiba saja Kebo Kuning marah dan membentak,
"Bocah cilik! Jangan engkau main gila di depanku."
"Siapa yang main gila?"
Ulam Sari tercengang.
"Huh, mengapa begitu aku menyebut bibi Damayanti, engkau sudah menggunakan sebutan mbakyu? Huh, apa dengan begitu engkau bermaksud agar tingkat kedudukanmu lebih tinggi dibanding aku?"
Heran Ulam Sari mendengar pemuda ini marah. Tetapi ia seorang gadis yang cerdik. Ia sudah menjadi tahu, bahwa pemuda ini mempunyai sifat pembawaan watak yang tinggi hati. Belum tahu ketinggian hatinya ini merupakan pembawaan sejak
lahir, ataukah oleh pengaruh kegagahannya dengan memiliki kepandaian tinggi. Pancingnya kemudian.
"Jadi, engkau memanggil dia dengan sebutan bibi?"
"Untuk apa aku harus bohong di depanmu ?'
Ulam Sari ketawa cekikikan. Kemudian kata gadis ini,
'Jika engkau benar panggil bibi kepada mbakyu Damayanti, jelas bahwa tingkatku lebih tua dibanding dengan engkau. Setidaknya, engkaupun harus memanggil bibi. Malah, apa bila benar benar diusut dari urutan tingkat perguruan, engkau harus memanggil aku nenek!"
"Ha-ha-ha-ha..!"
Kebo Kuning ketawa bekakakan seperti gila mendadak.
"Hai. mengapa engkau ketawa macam itu?": hardik Ulam Sari.
"Siapa yang tidak tertawa geli mendengar ucapanmu itu ?" ejek Kebo Kuning.
"Usiamu masih lebih muda dibanding aku, mengapa mau mengakali aku supaya menyebut bibi dan nenek? Haha-ha..... tidak lucu!"
"Hemm, engkau kurang percaya? Huh, engkau bisa menanyakan sendiri kepada dia, Dengarlah hai kebo dungu, aku adalah murid langsung Ki Ageng Purwoto Sidik, saudara seperguruan Ki Ageng Lumbungkerep. Padahal Damayanti adalah cucu Ki Ageng Lumbungkerep, sehingga semestinya Damayanti sendiri memanggil aku bibi. Nah, jika engkau termasuk cucu perguruanku, maka engkau harus panggil apa kalau bukan nenek?"
Sesungguhnya saja sebelum pergi dan memperoleh pinjaman kuda mustika Mega Langking ini.
Kebo kuning sudah memperoleh pengetahuan tentang urutan kedudukan Titiek Sariningsih, bahwa sekalipun Titiek Sariningsih memanggil mbakyu kepada Damayanti, namun dalam urutan kedudukan lebih tua Titiek Sariningsih dibanding dengan Damayanti, lebih-lebih bagi Kebo Kuning. Titiek Sariningsih merupakan nenek perguruan.
Akan tetapi setelah sekarang ia berhadapan, dan gadis yang harus disebut nenek guru ini masih muda belia, dan lebih muda dari pada umurnya sendiri, mana mungkin dirinya mau?
Melihat kemudaan usianya ini, manakah mungkin nenek guru ini bisa menang jika berkelahi dengam dirinya?
Tokoh tua Perguruan Wanasalam saja jatuh di tangannya, apa lagi gadis yang harus disebut nenek guru ini.Dalam waktu singkat, ia percaya akan dapat mengalahkannya. Terpengaruh oleh dasar watak yang tinggi hati, pemuda yang mengaku bernama Kebo Kuning ini telah marah dan membentak,
"Jangan ngacau! Orang muda macam kau, pantasnya memang aku hajar!"
Tiba-tiba saja Kebo Kuning sudah melepas cambuk lemas yang semula melingkar di pinggangnya. Cambuk ini putih mengkilap, dan pada ujungnya terdapat bola baja, sebesar biji salak. Begitu cambuk dipukulkan ke udara, terdengarlah suara memekakkan telinga, dan sinar putih yang panjang menyambar .Sesungguhnya, Kebo Kuning ingin sekali menghajar gadis ini di atas tanah. Akan tetapi karena tahu bahwa nenek gurunya ini sakti mandraguna, maka inginlah ia meminjam ketangkasan kuda mustika Mega Langking untuk memperoleh kemenangan .
Cambuk yang panjangnya sama dengan tangkai tombak itu, sudah menyambar ke belakang tubuh Ulam Sari. Ujungnya melengkung, kemudian bola baja itu sudah mengancam tengkuk.
Ulam Sari tertawa dalam hati. Tentu saja tentang ilmu cambuk, dirinya amat mahir. Dirinya dilatih langsung oleh Ki Ageng Lumbungkerep. Kalau mau, apakah sulitnya memunahkan serangan pemuda ini. kemudian menangkap dan merebut cambuk itu?
Akan tetapi hari ini sedang timbul kegembiraan Ulam Sari, setelah bungkusannya dapat kembali. Ia pura-pura tidak mengerti akan ilmu cambuk yang digunakan oleh Kebo Kuning, dan ia hanya mendekam di punggung kuda tahu bahwa bola baja itu akan menyambar ke arah tengkuknya. Maka tanpa menengok untuk melihat, ia menggunakan tangan kiri dan menyentil bola baja itu.
"Cring.!" bola baja mental membalik.
Dan Kebo Kuning yang tadi sudah gembira sekali, kaget bukan main. Sentilan itu membuat cambuknya tergetar hebat, dan lengannya tergetar pula.
Akan tetapi sesuai dengan ketinggian hati Kebo Kuning, pemuda ini tidak mau-mengerti orang berbuat mengalah. Ia malah menjadi gusar bukan kepalang. Begitu cambuknya terpental, cambuk itu sudah melayang kembali secepat tatit, dan sekarang bola baja itu menyambar ke arah pundak.
Tanpa melihat gerak cambuk itu sendiri, dan hanya melihat gerakan pundak Kebo Kuning, gadis ini sudah tahu ke mana arah serangan kali ini. Kali ini Ulam Sari tidak mau menangkis lagi dengan sentilan jari tangan melainkan menerima pukulan itu dengan pundaknya, yang sudah dilindungi oleh tenaga sakti
"Tak...... aih.!" pekik tertahan itu ke luar dari mulut Kebo Kuning.
Sebab begitu bola baja pada ujung cambuk membentur pundak Ulam Sani, semacam tenaga yang amat dahsyat telah mendorong tenaganya sendiri, sehingga hampir saja cambuk lepas dari tangan, karena lengannya sudah kesemutan. Sepasang mata Kebo Kuning terbelalak saking kaget dan heran. Sekarang, ia mengakui apa yang sudah pernah diterangkan oleh bibi Damayanti. Bahwa sekalipun usianya masih amat muda, akan tetapi Titiek Sariningsih merupakan seorang gadis perkasa yang sakti mandraguna.
"Hi'hi hik."
Ulam Sari ketawa cekikikan sambil duduk kembali di atas punggung kuda sambil mengamati Kebo Kuning.
Seharusnya, dua kali menyerang dirinya malah menderita rugi ini, Kebo Kuning harus segera mengakui kekalahannya, dan mengakui pula bahwa tingkat kedudukan Ulam Sari lebih tinggi dibanding dirinya. Akan tetapi sungguh sayang sekali, ketinggian hatinya membuat hati pemuda ini tidak mau mengerti. Ia bukannya mengakui keunggulan lawan, malah menjadi tambah penasaran. Tadi dalam waktu singkat telah berhasil mengalahkan empat orang tokoh Perguruan Wanasalam.
Mengapa dirinya sekarang tidak mampu mengalahkan gadis ini?
"Tar.....!" kali ini sambaran ujung cambuknya diarahkan ke kepala.
"Hemm," kata Ulum Sari dalam hati.
"Maksudku untuk menanyakan khabar tentang mbakyu
Damayanti, akan tetapi bocah ini angkuh dan tinggi hati. Ahh, tiada gunanya aku melayani bocah ini lebih lama lagi."
Maka di saat ujung cambuk hampir menyentuh kepalanya, ia kembali menyentil dengan jari tengah tangan kiri, dan berbareng itu Ulam Sari sudah menjepit perut kuda. Akibatnya, cambuk Kebo Kuning mental membalik, sedang kuda Ulam Sari sudah melompat maju lebih setombak.
Ulam Sari mengamati Kebo Kuning sambil tersenyum. Katanya.
"Ilmu cambukmu benar-benar hebat sekali, dan aku tak sanggup mengatasi. Ya, aku mengaku kalah! Tetapi berilah aku keterangan, bagaimanakah dengan keadaan mbakyu Damayanti?"
Walaupun Wataknya tinggi hati, namun Kebo Kuning juga bukan seorang pemuda tolol. Tentu saja ia tahu bahwa Ulam Sari sengaja mengalah.
Kalau tidak, apakah sulitnya membalas menyerang?
Namun ternyata gadis itu tidak mau membalasnya.
"Hemm. engkau sengaja mengalah, ataukah memang sengaja mengejek kepandaianku ?"
Tiba-tiba saja pemuda ini sudah menjepit perut kuda menggunakan dua lututnya sehingga Mega Langking meringkik dan meloncat ke depan. Berbareng itu cambuknya sudah menyambar lagi
"Tar... .!"
Melihat kebandelan pemuda ini, timbul pula rasa tidak senang dalam hati Ulam Sari.
"Hemm, agaknya bocah ini harus diajar adat sedikit, supaya berkurang kesombongannya."
Ulam Sari tidak menghindari sambaran cambuk
itu, Kemudian ia mengangkat tangan kanan, sambil ia
membentak,
"Lepas!"
Kebo Kuning kaget bukan main ketika tiba
tiba cambuknya sudah benar-benar terlepas dari
tangannya, dan ia tidak tahu pula bagaimanakah
gadis itu bergerak dan dapat merebut cambuknya.
Belum juga hilang kagetnya, cambuk itu sudah meledak di udara, dan terdengar seruan Ulam Sari,
"Awas, selamatkan kepalamu !"
Sinar putih yang panjang berkelebat seperti kilat, menyambar ke arah Kebo Kuning. Pemuda ini kaget bukan main. Dalam gugupnya, untuk menyelamatkan diri tiada jalan lain harus berlindung di bawah perut kuda. Tetapi tentu saja Ulam Sari sudah bisa menduga lebih dahulu apa yang akan dilakukan oleh Kebo Kuning.
Kalau saja mau, apakah sulitnya meneruskan gerak ujung cambuk itu memukul dari bawah perut kuda?
Namun ia memang hanya ingin membuat pemuda ini berkurang keangkuhannya. Ia menahan luncuran bola baja, sehingga ketika memukul pelana kuda, tidak menimbulkan akibat apa-apa. Ulam Sari memang tidak ingin pelana itu hancur, dan Damayanti menjadi kecewa.
Begitu berhasil menyelamatkan diri dari sambaran ujung cambuk dengan berlindung di bawah perut kuda, maksudnya akan segera mencabut pedang sambil meloncat dan dan duduk di atas pelana kuda. Akan tetapi baru saja i belum sempat menghunus pedang , ia merasakan pipinya panas. Ketika di usap. Jari tangannya bernoda darah.
"Hemm," dengus Ulam Sari.
"Apakah engkau masih berani main-main di depan orang tua? Masih untung bibi gurumu berlaku murah. Jika aku bersungguh-sungguh, tentu gigimu sudah rontok. Tahu? Nih, terimalah kembali cambukmu!"
Betapa marah Kebo Kuning, memperoleh luka pada pipi dan berdarah seperti ini. Akan tetapi, nyata-nyata gadis ini sakti mandraguna.
Mana dirinya mampu menandingi?
Tetapi terdorong oleh ketinggian hati dan rasa penasarannya, Kebo Kuning tidak mau menyadari keadaan. Ia sudah menggeram dan menerjang lagi dengan cambuknya.
Akan tetapi walaupun Kebo Kuning sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, manakah mungkin njung cambuknya dapat menyentuh tubuh Ulam Sari?
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akibatnya apa yang terjadi bukanlah perkelahian yang sesungguhnya. Tetapi semacam seekor tikus melawan seekor kucing. .
Mendadak terdengar suara derap kaki kuda.Disusul kemudian oleh suara orang,
"Ah, perempuan itu sungguh luar biasa. Bentuk tubuhnya indah sekali, tetapi mengapa mukanya rusak dan buruk?"
Terdengar suara orang tertawa, kemudian disusul oleh katanya,
'Ha-ha-ha, engkau bermata tajam sekali, kangmas. Walaupun wajahnya buruk, tetapi bentuk tubuhnya padat berisi. Apakah salahnya? Hayo engkau jangan kalah dulu dengan perempuan itu"
Mendengar kata kata yang nadanya kurang ajar itu. Kebo Kuning mendongkol bukan main.
Katanya dalam hati,
"Hemm, jika engkau tahu wajah yang buruk itu ditutup oleh kedok penutup muka, apakah engkau tidak kelabakan setengah mati?"
Dalam marahnya Kebo Kuning mengalihkan sambaran cambuknya, tidak lagi kepada Ulam Sari, tetapi kepada perwira Mataram yang lancang mulut tadi. Si perwira kaget dan berusaha menghindarkan diri. Akan tetapi sambaran cambuk itu hanya pancingan belaka. Kuda mustika Mega Langking melompat dan di saat lain, leher perwira itu sudah dicengkeram. Begitu digentak, perwira itu terangkat dari punggung kuda, lalu roboh terjungkal di atas tanah. Baru saja tangan kiri membanting roboh perwira yang seorang. cambuk Kebo Kuning sudah menyambar ke arah laki-laki yang seorang.
Serangan itu dilakukan oleh Kebo Kuning cepat tidak terduga. Tetapi di luar dugaan, laki-laki itu dengan tenang telah mengangkat tangannya untuk menangkap ujung cambuk.
Begitu Kebo Kuning melihat bahwa jari tangan itu ditekuk seperti gaetan, pemuda ini segera mengetahui berhadapan dengan lawan berat. Buruburu Kebo Kuning menarik kembali senjatanya. Kemudian ia tertawa dingin sambil bertanya.
"Apakah tuan akan pergi ke Plered untuk menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Pangeran Kajoran ?"
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan menggunakan pakaian mentereng itu kaget.
"Bagaimana saudara tahu?"
"Ha-ha-ha, dari gerak gerikmu aku sudah dapat menduga, bahwa engkau salah seorang ketua perguruan. Siapakah nama tuan, dan dari perguruan mana?"
Tetapi laki-laki tinggi besar itu hanya mendengus, dan tidak mau menjawab pertanyaan yang kurang ajar itu.
Sementara itu si perwira Mataram yang tadi terbanting ke tanah, sudah dapat merangkak bangun. Akan tetapi perwira ini merasakan tulang tulangnya seperti lepas dari persendiannya, maka meringis kesakitan. Teriaknya kemudian.
"Tuan Raga Jati, hajarlah bocah kurang ajar itu !"
Perlu diketahui, bahWa perwira ini berbeda dengan perwira, yang sudah dilihat Ulam Sari di Wanasalam. Sebab perwira ini hanya seorang diri, dan melihat pandang matanya jelas merupakan seorang laki-laki mata keranjang. Melihat ini, Ulam Sari segera dapat menduga, bahwa utusan yang dikirim oleh Pangeran Kajoran itu dalam jumlah banyak dalam usahanya mengumpulkan para tokoh sakti ke Plered.
Sementara itu Kebo Kuning yang marah sudah menjepit perut kuda dengan lututnya, hingga kuda itu melompat dan menerjang ke arah si perwira. Melihat ini perwira itu ketakutan setengah mati dan melompat untuk menyingkir. Tetapi Kebo Kuning, tidak mau mengerti, sudah mengayunkan cambuknya ke punggung orang.
Melihat bahwa perwira itu dalam bahaya, cepat seperti kilat laki-laki tinggi besar yang disebut namanya Raga Jati itu sudah mencabut pedang pendek
yang langsung dipergunakan untuk menangkis senjata si pemuda. Namun dengan kesebatan luar biasa. Kebo Kuning telah dapat menghindarkan benturan senjata.
"Ahh, kiranya paman Raga Jati, ketua Perguruan Karimun Jawa. Aha, hampir saja aku tidak mengenalnya."
Betapa kaget dan herannya Raga Jati mendengar ucapan pemuda ini. Melihat usianya, sekalipun berkepandaian tinggi, tetapi pengalamannya tentu belum begitu luas. Akan tetapi mimpipun tidak,bahwa hanya dengan melihat caranya menangkis saja, pemuda ini sudah dapat menduga secara tepat sekali. Raga Jati di samping kaget tetapi juga menjadi gembira. Sebab walaupun dirinya tinggal di luar Pulau Jawa, namun pemuda ini sudah dapat mengenal namanya yang terkenal.
Siapakah yang tidak menjadi bangga? .
"Anak, bagaimanakah engkau bisa tahu bahwa aku ketua Perguruan Karimun Jawa?"
"Aku memang sedang berusaha mencari engkau. Karena terhalang oleh laut,aku tidak bisa datang ke sana. Sungguh beruntung, hari ini aku dapat bertemu dengan engkau."
Ulam Sari heran bukan main.
Mengapa bocah ini sudah banyak mengenal tokoh sakti, yang tidak terhitung jumlahnya?
Nyatalah bahwa pemuda ini lebih luas pengalamannya dibanding dengan dirinya. Akan tetapi. apakah saja maksudnya untuk menemui ketua Perguruan Karimun Jawa ini?
Pemuda ini tadi telah mengacau Perguruan Wanasalam, hingga kedudukan ketua diduduki olehnya.
Sekarang
apakah maksudnya bertemu dengan Raga Jati yang justeru berkedudukan sebagai ketua perguruan?
Raga Jati tercengang mendengar jawaban Kebo Kuning.
"Siapakah anak, dan mengapa pula maksudmu mencari aku ?"
"Aku ingin memberi tahu padamu, agar engkau tidak usah datang saja ke Plered. Biarlah aku saja yang mewakili engkau ke sana."
"Apakah maksudmu yang sebenarnya?" tanya Raga Jati yang kebingungan, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ha-ha ha, apakah engkau seorang ketua perguruan yang tolol? Sudahlah. serahkan saja kedudukan ketua Perguruan Karimun Jawa padaku."
Bukan main kagetnya Ulam Sari mendengar ini. Tadi pemuda ini sudah merebut kedudukan ketua Perguruan Wanasalam.
Mengapa sekarang menginginkan kedudukan ketua Perguruan Karimun Jawa?
Untuk apa saja mempunyai kedudukan ketua dari beberapa perguruan itu, dan bagaimana pula dapat melakukan tugasnya?
Saking heran dan tak mengerti maka Ulam Sari hanya berdiam diri di atas punggung kudanya.
Akan tetapi sebaliknya jaWaban Kebo Kuning itu, memancing kemarahan Raga Jati.
Siapakah yang tidak akan menjadi marah menghadapi peristiwa macam ini, di tengah jalan orang meminta dirinya supaya turun dari kedudukan ketua perguruan?
Bukankah ini merupakan suatu penghinaan yang tak ada taranya?
Namun begitu ia adalah seorang yang sudah luas pengalaman. Ia menyadari bahwa sekalipun muda, pemuda yang ia hadapi sekarang ini tidak boleh diremehkan. Ia terpaksa menahan sabarnya, dan bertanya,
"Beritahukanlah dahulu nama, tempat tinggal dan gurumu pula."
"Apakah guna pengetahuan tentang namaku? Namaku saja tak perlu engkau ketahui, apa lagi guruku merupakan pantangan besar. Tetapi walaupun begitu perlu engkau ketahui, bahwa dahulu guruku pernah bertemu muka dengan kau. Sudahlah, pendeknya aku menghendaki kedudukanmu sebagai ketua Perguruan Karimun Jawa."
Berkerut alis Raga Jati mendengar ucapan pemuda ini. Ia memutar otaknya untuk mengetahui dan mengingat beberapa tokoh sakti yang bersenjata cambuk. Akan tetapi begitu banyak tokoh yang sudah dikenalnya bersenjata cambuk. Dahulu pada waktu dirinya masih menjadi pembantu Dewa Srani,ia juga sebagai anggota Gagak Rimang pula. banyak berkelana dan berkelahi. Namun setelah Dewa Srani meninggal, dengan sementara anak buah di bawah pengaruhnya, segera diajak untuk bertempat tinggal di Kepulauan Karimun Jawa, dan mendirikan perguruan di sana. Sebagai seorang yang pernah menjadi anggauta Gagak Rimang, maka Raga Jati gembira sekali mendapat undangan ke Plered. Hal ini sehubungan dengan kenyataan, bahwa Pangeran Pekik sebagai Raja Gagak Rimang, kini menjadi keluarga Raja Mataram.
Di saat Raga Jati sedang dalam keadaan ragu ragu ini. tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian muncullah seorang penunggang
kuda berpakaian perwira Mataram pula. Agaknya perwira ini dalam perjalanan tadi ketinggalan, dan sekarang menyusul. Melihat kawannya datang, perwira yang tadi dihajar oleh Kebo Kuning, sudah berkaok dan membakar hati temannya. Tentu saja perwira yang baru datang ini menjadi marah lalu bersama-sama mereka sudah menggerung keras menerjang berbareng. Yang seorang, yang tadi terjungkal di tanah menyerang dengan berdiri di atas tanah, sedang yang seorang menyerang dengan kuda. Sambil menerjang maju ini, yang seorang sudah melaba hulu golok sedang yang seorang sudah meraba hulu pedang.
"Tar....!" tiba tiba cambuk Kebo Kuning berkelebat. Pergelangan tangan perwira yang akan mencabut golok sudah terkena pukulan ujung cambuk, membuat perwira itu meringis kesakitan.
Tetapi cambuk itu tidak berhenti sampai disini . Bagaikan kilat cepatnya, ujung cambuk itu sudah melibat perwira yang tadi terjungkal dari kuda. Akibatnya sebelum perwira itu sempat mencabut pedangnya, pedang itu sudah meloncat keluar sendiri dari sarungnya.
( Bersambung jilid 16 )
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 16
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung"
Karya: Widi Widayat
Jilid: 16
******
KAGET perwira ini tidak terkira, dan berusaha menarik kembali tangannya. Akan tetapi tidak urung mata pedang itu sudah berhasil menggores telapak tangannya dan mengucurkan darah. Sesudah itu, pedang yang berhasil dilibat oleh ujung cambuk, dilemparkan tinggi di udara hingga tidak tampak lagi.
Sesudah itu, pemuda ini melibatkan cambuknya ke pinggang, tanpa memperhatikan lagi kepada pedang yang terlempar ke udara. Kebo Kuning memalingkan mukanya ke arah Raga Jati. Katanya,
"Bagaimana? Rela atau tidakkah engkau menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Karimun Jawa padaku?"
Ketika itu, baik Raga Jati maupun dua perwira tersebut, sedang mengamati pedang yang terbang di udara itu dengan penuh rasa takjub, dan sekarang pedang itu sedang meluncur cepat sekali dari udara.
"Apa?" tanya Raga Jati kaget.
"Serahkan kedudukan Ketua Karimun Jawa padaku!"
Waktu itu, pedang telanjang itu sedang meluncur dari atas seperti kilat cepatnya dan sedetik lagi tentu sudah menghunjam kepala pemuda itu
Melihat ini, tiga orang itu gembira. Dalam hati berkata.
"Mampus kau !"
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh membuat tiga orang ini melongo keheranan. Tanpa menengadahkan nyekanya, hanya mengandalkan pendengarannya saja, Kebo Kuning sudah mengangkat sebelah tangannya, dan dengan tepat Sekali jari tangan itu sudah dapat menjepit hulu pedang.
Kalau tiga orang itu takjub, Ulam Sari tersenyum saja. Sungguh angkuh-pemuda baju kuning ini, sehingga perlu memamerkan kepandaiaanya seperti itu.
Tetapi kepandaian yang dipertunjukkan oleh Kebo Kuning ini, memang merupakan kepandaian yang menakjubkan juga. Pedang itu meluncur dari tempat yang tinggi sekali. Dengan begitu mempunyai tenaga yang besar sekali. Sedang di samping itu, terkecuali hulunya, semua bagian pedang itu tajam yang dapat melukai atau mencelakakan seseorang. Maka apa bila seseorang dapat menangkap tanpa memandang, ini memang merupakan kepandaian yang luar biasa.
Melihat semua ini, Raga Jati yang memang selalu bertindak hati-hati, makin hati-hati lagi tindakannya. Ia masih berusaha menduga-duga dari pihak manakah pemuda baju kuning ini, namun ia selalu gagal dan tidak bisa meraba sedikitpun asal usulnya.
Kebo Kuning tertawa dingin. Kemudian ia melemparkan lagi pedang itu ke udara. Tetapi pedang ini sekarang tidak meluncur begitu saja seperti
tadi, melainkan pedang itu meluncur sambil jungkir-balik tiada hentinya. Tentu saja pertunjukan ini membuat mereka semakin heran dan takjub. Dan Raga Jati mengamati luncuran pedang itu penuh perhatian.
Di saat ia sedang mengamati luncuran pedang seperti itu, mendadak ia merasakan sambaran angin halus ke arah tubuhnya. Bagaikan kilat ia menjejakkan kakinya, dan tubuh itu sudah melesat ke belakang kurang lebih dua tombak. Dan saat itu ia melihat berkelebatnya cahaya putih yang panjang di samping pinggangnya. Sekarang Raga Jati baru sadar, bahwa di saat ia tadi menengadahkan kepalanya melihat pedang itu dirinya telah diserang oleh si pemuda. Kalau saja ia tadi tidak keburu meloncat, sudah pasti ia akan celaka. Maka
"srat ....!" ia sudah mencabut pedangnya.
Sebaliknya Kebo Kuning menjadi penasaran atas kegagalan serangannya itu. Ia tidak berani sembrono menyerang lagi, dan berdiam diri.
"Engkau terlalu mendesak aku. Hemm, terpaksa sekarang aku harus minta pelajaran dari engkau yang muda!" '
Di saat itu pedang yang tadi dilemparkan ke udara sudah meluncur turun, dan dengan gerakan yang indah sekali Kebo Kuning sudah menggulung hulu pedang. Akan, tetapi tiba-tiba pedang itu telah lepas dari cambuk dan menyambar ke dada Raga Jati. Atas serangan yang tak terduga ini, sudah tentu Raga Jati membela diri dengan pedangnya pula.
'Dewa Meniup Seruling!" seru Kebo Kuning.
"Benar!" sahut Raga Jati sambil membentak;
'Apa maksudmu?"
Pertanyaan ini tidak mengherankan. Sebab gerakannya menangkis tadi, memang menggunakan jurus Dewa Meniup Seruling.
Tetapi mengapa pemuda ini tahu?
"Dewi Menyebar Bunga!" seru Kebo Kuning sambil menggerakkan cambuknya, sehingga ujung pedang itu menyambar ke dada Raga Jati kanan dan kiri.
Raga Jati kaget!
Betapa tidak?
Ilmu pedang yang disebut oleh bocah itu, justeru ilmu pedangnya sendiri. Dewa Srani sebagai pemimpin dan gurunya, dahulu adalah seorang jago ilmu pedang (baca: "Jaka Pekik" dan "Ratu, Wandansari", oleh pengarang yang sama). Ia banyak memperoleh petunjuk untuk kesempurnaan ilmu pedangnya. Maka sesudah mendirikan Perguruan Karimun Jawa, ia mendalami ilmu pedangnya itu belasan tahun lamanya, lalu diberi nama Ilmu Pedang Ombak Samodra (Gelombang Samodra).
Mengapa sekarang pemuda ini menghadapi dirinya. justeru menggunakan Ilmu Pedang Ombak Samodra yang amat dipahami itu?
Dan yang luar biasa, pedang itu tidak dipegang oleh tangan, melainkan hanya dilibat oleh ujung cambuk,
Sebagai seorang jago pedang, ia tidak takut berhadapan dengan serangan bocah ini yang menggunakan Ilmu Pedang Ombak Samodra. malah tidak dipegang oleh tangan. Apa bila pedang itu sampai berbenturan, pedang itu tentu akan runtuh. Akan tetapi di luar dugaan, baru saja Raga Jati
menggerakkan pedangnya untuk menangkis, Kebo Kuning sudah berteriak lagi,
"Gelombang Mendampar Batu Karang!" dan sambil berteriak, ia telah menarik kembali cambuknya.
Pedang itu terjatuh, tetapi dengan cepat sudah dapat ditangkap oleh tangan kiri. Sekarang pemuda ini mengamati Raga Jati dengan tersenyum nyengir mengejek.
Sejak tadi, Raga Jati sudah menimbang-nimbang, apakah yang harus dilakukan untuk menghadapi pemuda baju kuning yang sudah memamerkan kepandaiannya yang aneh-aneh itu?
Pedangnya hanyalah pendek, sedang lawan bersenjata cambuk yang panjang. Lawan menunggang kuda, Sedang dirinya sendiri sekarang berdiri di atas bumi. Dengan begitu, kedudukannya kurang menguntungkan. Salah sedikit saja, namanya akan hancur di tangan pemuda baju kuning ini.
Tak lama kemudian Raga Jati sudah memperoleh ketetapan hati. Sambil melintangkan pedangnya di depan dada, ia berkata,
"Bocah, main-main dengan cara ini tak ada faedahnya sama sekali. Jika benar benar engkau ingin memberi pelajaran dengan Ilmu Pedang Ombak Samodra, maka sekalipun pengetahuanku tidak seberapa, dengan senang hati aku melayani barang tiga jurus."
"Hemm, baiklah !" sahut Kebo Kuning ketus.
"Jika aku tidak menjatuhkan engkau dengan Ilmu Pedang Ombak Samodra, agaknya engkau tidak rela menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Karimun Jawa padaku."
Sambil berkata begitu, Kebo Kuning sudah meloncat turun dari kudanya, lalu ia melibatkan cambuknya di seputar pinggang.
Sambil mengebaskan pedangnya, Kebo Kuning melirik ke arah Ulam Sari. Katanya,
"Tunggu! Bagiku tiada halangannya untuk melayani engkau bermain-main barang sebentar. Akan tetapi bagaimanapun aku agak khawatir kalau si pencuri kuda itu menggunakan kesempatan, di saat aku sedang bermain-main dengan engkau."
Tentu saja Ulam Sari merasa, bahwa kata-kata pemuda itu ditujukan kepada dirinya,
Dalam hati gadis ini tertawa geli, mentertawakan pemuda itu yang begitu angkuh, tidak mau merasa dirinya seudiri yang bersalah, dan pandainya hanya menyalahkan orang. Kalau pemuda itu tidak kurang ajar sudah mengambil bungkusannya, tentunya ia tidak membalas mencuri kudanya. Dan kalau toh benar ia ingin memiliki kuda itu, apakah sulitnya?
Ia tadi dapat memacu kuda itu, kemudian dilarikan ke tempat yang amat jauh.
Manakah mungkin pemuda ini dapat mengejar dan mencarinya?
"Huh, engkau terlalu menghina orang!" jawab Ulam Sari dengan hati geli tetapi juga setengah mendongkol.
"Siapakah yang mau mencuri kudamu, jika engkau sendiri tidak memulai mencuri bungkusanku?"
Kebo Kuning mendengus dingin. Kemudian katanya,
"Tetapi orang yang wajahnya buruk macam engkau ini, tentu mempunyai banyak akal dan tipu muslihat yang buruk pula."
'Huh" ejek Ulam Sari membalas.
"Benarkah orang yang wajahnya buruk tentu hatinya buruk.
Sedang yang tampan tentu hatinya bagus? Tampan dan buruk hanyalah soal kulit melulu. Tetapi harga diri seorang manusia tidak ditentukan oleh buruk dan baiknya, melainkan oleh keluhuran budi seseorang."
"Uahh, lagakmu seperti sedang berkhotbah. Siapakah yang mau mendengar oeehanmu?" sambil berkata, Kebo Kuning menyambar kendali kuda dengan tangan kiri.
Kemudian berbareng dengan gerakan itu, tangan kanan yang memegang pedang telah menikam Raga Jati.
Melihat pemuda itu telah menyerang dirinya dengan tangan kiri menuntun kuda, hati Raga Jati amat gembira. Katanya dalam hati,
"Hemm, pemuda ini tidak tahu tingginya Gunung Merapi. Hemm? engkau sendiri yang mencari penyakit, berani melawan aku !"
Tetapi mulutnya, tetap tidak mengucapkan apa-apa. Segera saja ketua Perguruan Karimun Jawa ini mengirimkan serangan-serangan yang hebat, untuk menekan dan agar dalam waktu singkat dapat mengalahkan pemuda baju kuning yang kelewat sombong ini. Ternyata nama harum Raga Jati sebagai ketua Perguruan Karimun Jawa itu, bukanlah hanya nama kosong melulu. Gerakannya cepat sekali, dan pedangnya menyambar bertubi-tubi.
Atas serangan lawan yang cepat dan bertubi-tubi ini, Kebo Kuning tidak berani sembrono dan memandang ringan. Ia selalu ingat akan pesan gurunya, bahwa sedikitpun dirinya tidak boleh meremehkan lawan. Sebab berani meremehkan lawan, berarti mencari penyakit yang dapat mencelakakan
diri sendiri. Tetapi dengan tangan kiri menuntun kuda seperti sekarang ini, dirinya memang menderita rugi. Sebab dirinya tak dapat bergerak leluasa, tidak dapat meloncat, memutar tubuh maupun menghindar ke sana dan ke mari. Dengan demikian, kedudukan Kebo Kuning memang tidak di tempat yang menguntungkan.
Akan tetapi sungguh mengherankan, dan membuat Raga Jati sendiri sebagai seorang ahli dalam perguruannya, menjadi heran bukan main. Ternyata sekalipun kedudukan lawan tidak menguntungkan, pemuda itu masih dapat mempertahankan diri secara sempurna sekali, ia sudah berusaha untuk dapat menemukan bagian-bagian lawan yang lemah atau kosong tidak terjaga. Ia menyerang bertubitubi dan secara gencar .Namun sungguh mentakjubkan, pemuda berbaju kuning ini dapat melayani dirinya, menggunakan ilmu pedang Perguruan Karimun Jawa sendiri.
Sebagai seorang ketua Perguruan Karimun Jawa, tentu saja Raga Jati menjadi melengak tak habis mengerti.
Mengapa bukan anggauta dan murid perguruan, pemuda berbaju kuning ini dapat melawan dirinya, menggunakan ilmu pedang yang sama?
Tetapi walaupun heran bukan main, Raga Jati tidak mengurangi tekanannya kepada lawan yang muda itu. Pedangnya terus menyambar-nyambar dahsyat dan berkelebat cepat sekali Seperti tatit. Pendeknya ia tetap tidak percaya bahwa ada seorang semuda ini, sampai dapat merobohkan dirinya, menggunakan ilmu pedangnya sendiri, yang sudah ia yakini puluhan tahun lamanya.
Perkelahian adu ilmu pedang yang terjadi antara Kebo Kuning dengan Raga Jati ini, justeru terjadi di tengah jalan beaar. Tentu saja jalan ini banyak dilewati oleh orang maupun para pedagang yang mempertahankan hidup dari berdagang. Melihat terjadinya perkelahian yang seru di tengah jalan itu. orang-orang yang lewat menjadi tertarik dan menonton. Hanya bagi mereka yang hatinya kecil dan takut melihat menyemburnya darah saja, cepat cepat meninggalkan tempat itu. Maka dalam waktu tidak lama, jumlah orang yang menonton makin bertambah banyak.
Setelah Bergebrak lebih-duapuluh jurus lamanya, Raga Jati tersenyum dalam hati. Tahulah ia sekarang akan rahasia pemuda baju kuning ini. Jelas sekali bahwa pemuda ini pernah mempelajari ilmu pedang perguruannya, hanya ia tidak tahu dari Siapakah pemuda ini memperoleh pelajaran itu. Tetapi sekalipun telah mempelajari, terbukti bahwa pemuda baju kuning ini ilmu pedangnya masih kurang sempurna. Pada bagian-bagian yang sulit pemuda baju kuning ini belum bisa menyelami.
Namun mengapa, dirinya belum juga dapat mengalahkan lawan yang muda ini?
Persoalannya terletak bahwa pemuda baju kuning ini menguasai beraneka ragam ilmu tata kelahi dari beberapa perguruan. Hingga dengan modal pengetahuan yang serba sedikit itu, dapatlah pemuda ini berkelahi menurut kebutuhan atau pihak manakah yang sedang dihadapi. Apa bila pada suatu ketika terdesak, pemuda ini akan segera menolong diri dengan serangan serangan aneh yang mirip dengan gerak ilmu pedang Perguruan Karimun Jawa.
sebagai akibat macam ragamnya ilmu tata kelahi yang berhasil dikuasi oleh pemuda baju kuning ini, menyebabkan Raga Jati tak juga kuasa mengalahkan Kebo Kuning.
Sambil melawan pemuda baju kuning ini, ia melirik dan sempat melihat bahwa jumlah penonton yang memenuhi jalan itu, makin lama menjadi semakin banyak. Melihat ini, sudah tentu Raga Jati menjadi malu. Bukan saja karena ia merasa dirinya sebagai ketua perguruan yang cukup terkenal, namun juga merasa malu bahwa dirinya seorang tua berkelahi melawan seorang muda. Dan lebih lagi, si pemuda sekarang ini tidak dapat bergerak leluasa. Sambil berkelahi, tangan kirinya, tetap memegang kendali kuda. Bukankah ini berarti, bahwa sebenarnya saja pemuda itu sudah sengaja menempatkan diri pada pihak yang lemah?
Karena seorang berkelahi, setiap tangan kanan bergerak mesti perlu diimbangi oleh tangan kiri untuk membantu. Akan tetapi pemuda ini ternyata dapat melawan secara baik sekali, sekalipun dalam keadaan tidak dapat bebas bergerak. Kalau saja sekarang ini, perkelahiannya berakhir tanpa ada yang kalah dan menang, itupun dirinya sudah kehilangan muka. Sebab dalam melawan, pemuda ini sudah dalam kedudukan mengalah begitu rupa. Sedang dirinya, dengan bebas dapat bergerak, menyerang, menangkis menghindar maupun berloncatan ke sana ke mari. Kalau sampai melawan pemuda ini saja dirinya tidak mampu, manakah ada harga bagi dirinya menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh Pangeran Kajoran itu ?
Diam-diam Ulam Sari yang menonton itupun
menjadi heran. Nyatalah bahwa pemuda yang sudah mencuri bungkusannya itu, bukanlah seorang pemuda sembarangan. Dan apa bila mengingat pemuda itu membawa kuda mustika milik Damayanti, jelas pula bahwa pemuda ini tentu mempunyai hubungan yang dekat sekali dengan gadis itu.
Tetapi anehnya. mengapa ketika dirinya menggembleng diri di Lumbungkerep, ia tidak pernah bertemu dengan pemuda yang mengaku bernama Kebo Kuning ini?
Karena tertarik Ulam Sari segera memperhatikan secara seksama gerak-gerik pemuda itu dalam berkelahi. Akan tetapi setelah memperhatikan secara teliti, tiba-tiba saja gadis herwajah juga ini ketawa cekikikan seorang diri.
"Hi-hi-hik, hi-hi-hik...."
Kalau saja saat sekarang ini tidak sedang repot melayani Raga Jati, pemuda baju kuning itu tentu sudah mendamprat dan menegur gadis waJah buruk itu. Sebab ia merasa bahwa ketawa perempuan itu ditujukan pada dirinya.
Kenyataannya memang, bahwa ketawa Ulam Sari itu ditujukan kepada Kebo Kuning. Setelah gadis yang mengenakan kedok penutup muka yang buruk ini memperhatikan, tahulah Ulam Sari akan kunci rahasianya. Ternyata pada dasarnya Kebo Kuning menggunakan Ilmu Pedang Sekti Mandraguna peninggalan Ronggo Lawe. Hanya saja pemuda itu memang cukup pintar. Dalam bergerak pemuda itu pandai menyesuaikan diri, meniru gerakan orang. Dengan begitu sesungguhnya Kebo Kuning melawan dengan Ilmu Pedang Sekti Mandraguna, hanya saking cepatnya bergerak, sulit bisa diketahui oleh lawan.
Dalam pada itu Raga Jati menjadi amat penasaran di samping amat malu.
Dirinya seorang ketua, Perguruan Karimun Jawa, manakah dirinya masih mempunyai muka berhadapan dengan para pembantu dan murid-muridnya, kalau dirinya dapat dikalahkan oleh orang dengan ilmu pedang perguruannya sendiri?
Saking malu dan penasaran, maka ia menjadi lupa akan kedudukannya sebagai ketua perguruan dan seorang yang lebih tua tingkat umurnya. Ia tidak segan-segan lagi dalam menyerang dan menghujani tikaman-tikaman berbahaya. Malah sambil mengerahkan semangat, Raga Jati sekarang mulai mengeluarkan ilmu ilmu simpanannya. Yang sesungguhnya ilmu ini jarang sekali ia pertunjukkan atau ia pergunakan berkelahi, kalau tidak-sedang berhadapan dengan tokoh sakti mandraguna yang alot.
Begitu menggunakan ilmu-ilmu simpanannya, serangan pedangnya sekarang menyambar dahsyat dan bertubi-tubi disertai oleh angin yang amat kuat. Berkat latihannya yang sudah puluhan tahun lamanya, ilmu pedang itu sudah mendarah daging sehingga dapat bergerak secara leluasa. Sebagai akibatnya pula, sekarang Kebo Kuning dikurung oleh sinar pedang, sehingga tidak mungkin dapat lolos lagi.
Dua orang perwira Mataram itu menjadi gembira, dan merasa pasti pula pemuda itu akan segera roboh tidak bernyawa. Adapun orang-orang yang menontonpun sekarang hatinya merasa tegang dan khawatir pula, kalau pemuda itu tubuhnya hancur oleh tikaman yang bertubi-tubi.
Sebaliknya Ulam Sari mengamati dengan bibir tersenyum-senyum. Gadis ini tahu bahwa bagaimanapun Kebo Kuning tidak dalam keadaan bahaya. Tubuh Kebo Kuning telah dilindungi oleh sinar pedang yang tak mungkin dapat diterobos oleh senjata lawan. Dan ia tahu pula bahwa pemuda ini sekarang sedang memperhatikan gerakan gerakan Raga Jati, kemudian nanti akan ditiru untuk menyerang kepada pemiliknya.
Disaat Ulam Sari tersenyum-senyum seperti itu tiba-tiba Kebo Kuning sempat melirik dan melihat. Pemuda yang pada dasarnya mempunyai watak yang angkuh dan tinggi hati ini menjadi salah paham. Ia mengira kalau gadis wajah buruk itu sedang mentertawai dirinya. Maka teriaknya ditujukan kepada Ulam Sari,
"Hai perempuan buruk! Engkau mentertawakan aku? Baik! Lihat saja nanti, apakah engkau dapat tertawa setelah berkelahi melawan aku?"
Kebo Kuning yang wataknya angkuh itu benar benar seorang pemuda bandel. Jelas bahwa dirinya dalam kedudukan lemah, namun tak juga mau melepaskan kendali kuda, lalu menolong diri dengan gerak tubuhnya yang cukup gesit. Akan tetapi hal ini memang ada hubungannya pula dengan Ulam Sari.
Mengapa?
Sesuai dengan wataknya yang angkuh dan tinggi hati, pemuda ini menjadi khawatir diejek dan ditertawakan oleh Ulam Sari, kalau dirinya sekarang melepaskan kendali kuda itu.
Namun Sekalipun bandel dan tinggi hati, pemuda ini cukup cerdik. Setelah beberapa gebrakan lagi
mendadak tangan kiri Kebo Kuning sudah menarik kendali kuda. Tarikan ini bagi kuda mustika seperti Mega Langking, sudah merupakan perintah yang tentu dilakukan oleh si kuda. Maka begitu merasa kendali ditarik, tiba-tiba saja kuda ini sudah melompat ke depan dan lalu berdiri di atas dua kaki yang belakang. Dengan gerakan ini, tampaklah bahwa kuda itu seperti siap untuk menginjak kepala Raga Jati.
Raga Jati kaget!
Dan tentu saja untuk menjaga martabat dan kedudukannya, ia takkan sampai hati melukai kuda itu.
Kalau mau, apakah sulitnya menikam dengan pedangnya?
Karena itu ia cepat cepat miringkan tubuh untuk menghindarkan diri dari injakan kaki kuda. Namun sesungguhnya dengan perbuatannya ini sama pula mencelakakan diri sendiri. Sebab apa yang dilakukan oleh Kebo Kuning memang merupakan suatu siasat untuk memperoleh kemenangan dalam keadaan terdesak.
Mendadak terdengar seruan Raga Jati yang kaget. Berbareng itu ia merasakan pergelangan tangannya seperti lumpuh, dan sebelum sadar apa yang terjadi, pedangnya sudah terbang di udara. Dengan terjadinya peristiwa tidak terduga-duga ini, Raga Jati baru sadar telah terjebak oleh siasat lawan yang licin. Dirinya telah dapat dibokong. di saat dirinya sedang sibuk menghindarkan diri dari injakan kaki kuda.
Walaupun Raga Jati bukanlah ahli pedang kelas utama, namun ia sudah terhitung ahli pedang yang jempolan. Selama ini dengan pedangnya ia dapat
membuat nama Perguruan Karimun Jawa menanjak tinggi dan memperoleh nama baik dalam masyarakat. Tetapi mimpipun tidak bahwa hari ini, dirinya harus kalah hanya melawan seorang pemuda yang masih ingusan.
Tentu saja ia menjadi penasaran bukan main.Secepat kilat ia sudah melompat ke belakang, ke arah kudanya ditambatkan.Dengan gerakannya yang cepat seperti tatit, ia sudah menyambar cadangan pedang yang diselipkan di pelana kuda.
Raga Jati memang seorang yang selalu berhatihati dalam melakukan perjalanan. Ia tidak pernah lupa membekal cadangan pedang.
Sebab siapa tahu di tengah jalan pedang yang dibawanya itu lepas dari tangan?
Dengan cadangan pedang apa bila sebatang lepas dari tangan, ia masih dapat menggunakan pedang cadangan.
Nah. ternyata sikapnya yang selalu hati-hati ini sekarang ada gunanya. Begitu pedangnya terlempar ke udara oleh pemuda itu, sekarang dirinya masih dapat melawan lagi dengan pedang yang baru diambilnya.
Akan tetapi sebelum Raga Jati dapat berbuat apa-apa, mendadak suatu sinar -yang panjang menyambar ke udara. Raga Jati terbelalak kaget dan menengadahkan mukanya ke angkasa.
"Trang.....!" terdengarlah suara benturan senjata yang nyaring di udara.
Ternyata, sinar yang menyambar tadi adalah pedang Kebo Kuning yang dilontarkan ke udara. Yang mentakjubkan justeru pedang itu dapat secara tepat membentur pedang Raga Jati yang baru meluncur turun. Dan sebagai
akibat benturan pedang itu, maka pedang Raga Jati yang sedang meluncur turun telah patah menjadi dua potong. Di lain saat dengan gerakan yang amat indah, Kebo Kuning telah menangkap pedangnya yang meluncur turun dengan jepitan jari tangan.
Melihat itu mendadak saja wajah Raga Jati pucat dan terpaku. Dan dua orang perwira Mataram yang tadi sudah berseri-seri itupun, sekarang menjadi pucat pula wajahnya.
Begitu menyambut kembali pedangnya yang meluncur dari udara, Kebo Kuning sudah menerjang kepada Raga Jati sambil bersesu,
"Awas! Aku menyerang engkau dengan tipu Ombak Samudra Nrajang Karang!" _
Ombak Samodra Nrajang Karang artinya gelombang samudera menerjang batu karang.
Raga Jati tidak mau mengalah saja tentunya. Ia sudah menyambut serangan dengan pedangnya.
"Trang.....! Aihh..!"
Begitu pedang berbenturan. Raga Jati berseru kaget. Sebab mendadak saja pedang cadangannya ini telah patah menjadi dua. Jadi sekarang dua batang pedang miliknya itu, semuanya telah patah menjadi dua potong. Hingga ia tidak lagi memiliki pedang.
Mengapa bisa terjadi begitu?
Sekali bentur pedang Raga Jati patah?
Di antara manusia-manusia yang hadir di tempat itu, hanya Kebo Kuning sendiri dan Ulam Sari, yang tahu akan sebabnya. Dalam menyerang tadi. Kebo Kuning memang menggunakan lagi siasatnya yang licin. Di saat menerjang untuk menyerang, Kebo Kuning tadi memang benar-benar menyerang dengan tipu Ombak Samodra Nrajang Karang!
Akan tetapi ketika dua pedang itu hampir berbenturan, mendadak saja pemuda ini telah merobah pukulannya, menggunakan Ilmu Sekti Mandraguna. Akibatnya tangkisan Raga Jati tadi mengenakan tempat kosong, tidak berhasil membentur pedang lawan. Justeru di saat itu, pedang Kebo Kuning menyambar untuk menghantam.
Raga Jatipun sadar pula bahwa pedangnya membentur tempat kosong. Akan tetapi ia tidak sempat untuk menarik pedangnya, karena gerakannya kalah cepat. Untuk menolong diri Raga Jati cepat-cepat menyalurkan tenaganya. Tetapi ternyata inipun sudah terlambat, sehingga pedangnya sudah terbentur oleh pedang lawan dan patah menjadi dua potong. Maka ketua Perguruan Karimun Jawa ini sekarang tinggal dapat menyesal dirinya sendiri, justeru semua itu akibat kalah tangkas bersiasat.
Setelah dua batang pedangnya berturut-turut dapat dipatahkan oleh lawannya yang masih muda ini, Raga Jati menjadi sadar, bahwa tiada gunanya lagi meneruskan berkelahi. Maka sesudah ia menyambar potongan pedangnya. Raga Jati sudah meloracat ke atas punggung kudanya, kemudian menggerakkan kendalinya sambil berteriak.
"Aku mengaku kalah di tanganmu, dan sekarang juga aku akan kembali ke tempat asalku. Hemm, aku berjanji akan menghabiskan sisa hidupku ini tanpa memegang pedang lagi. Akan tetapi bagaimanakah aku dapat menjawab kalau ada orang bertanya, siapakah pemuda yang sudah mengalahkan aku?"
Kebo Kuning tertawa. Kemudian jawabnya lantang,
"Namaku Kebo Kuning!"
Tetapi tiba-tiba pemuda ini telah menggerakkan kendali kudanya, sehingga ia bersama kudanya telah mendekati Raga Jati. Begitu tiba di samping Raga Jati, tampak Kebo Kuning mengucapkan katakatanya yang amat perlahan. Orang lain tak dapat mendengar, kecuali Raga Jati seorang.
Entah apa yang diucapkan oleh Kebo Kuning. Mendadak saja wajah Raga Jati berobah pucat. Kemudian nampak orang tua ini ketakutan.
"Ahhh..!" seru Raga Jati yang amat terkejut.
"Kalau saja aku tahu sejak tadi, manakah mungkin aku berani melawan engkau? Ahh, sudahlah selamat tinggal!"
Kebo Kuning tidak menjawab,ia hanya menepuk pantat kuda mustika Mega Langking. Mendadak saja kuda itu sudah melompat, lalu meluncur seperti terbang lewat di atas kepala puluhan orang yang sedang membuntu jalan. Kemudian kuda itu sudah lari cepat sekali, dan dalam waktu singkat sudah tidak nampak lagi.
Tentu saja semua orang memandang dengan henan dan mulut ternganga. Selama hidup baru sekali ini saja menyaksikan kuda yang dapat terbang.
Apakah kuda yang dikendarai oleh pemuda baju kuning tadi, kuda sembrani, yang menurut cerita dapat terbang itu?
Dalam cerita wayang, ketika mudanya Begawan Drona dapat melompati laut karena mengendarai seekor kuda betina. Kuda itu kemudian menjadi isterinya. Namun ternyata kemudian bahwa kuda itu bukan kuda biasa, melainkan
penjelmaan dari bidadari Walotama. Dari perkawinannya ini lahirlah Haswatama. seorang manusia tetapi kakinya kaki kuda.
Mungkinkah pemuda baju kuning itupun mempunyai kuda sembrani yang dapat terbang?
Kebo Kuning mengaburkan kudanya dengan wajah berseri dan hati riang.
Betapa tidak?
Dalam waktu sehari saja dirinya telah berhasil mengalahkan dua orang tokoh tertinggi dari dua perguruan.
Apakah ini tidak hebat?
Saking riang dan gembira, Kebo Kuning menembang-nembang. Lebih-lebih apa bila ia teringat kepada Ulam Sari. Tentu gadis yang berwajah cantik tetapi menyembunyikan kecantikannya dengan kedok iblis itu, sekarang menjadi benar-benar tunduk kepada dirinya.
Tetapi belum juga selesai ia menembang lagu Dandang Gula, mendadak saja ia merasakan punggungnya panas. Ketika jari tangannya meraba ke belakang.
"Tarrr....!" suatu ledakan kecil membuat pemuda ini kaget.
Apa pula ketika merasa bahwa bajunya terbakar. Bukan hanya kaget melulu, tetapi ditambah setengah mati. Dengan gerakannya yang indah, ia sudah meloncat dari punggung kudanya lalu di udara berjungkir-balik.
'Byurrrr.....!"
Kebo Kuning langsung menceburkan diri di sungai yang berada di tepi jalan. Hingga baju yang tadi terbakar itu. sekarang sudah padam. Begitu api yang membakar baju padam, ia meraba ke bagian punggung, lalu meloncat kembali ke jalan. Bajunya sudah berlubang, namun untung sekali dagingnya tidak terluka.
Darah pemuda yang tinggi hati dan angkuh ini, mendadak saja mendidih. Ia marah bukan main. Tiba tiba saja pemuda ini menduga, tentu yang telah melempar api ke punggungnya tadi, adalah perempuan berwajah buruk tadi. Tentu perempuan itu masih belum puas sehingga sekarang menyerang secara gelap. Menduga kalau yang melakukan perbuatan curang ini Ulam sari, maka pemuda ini sudah berteriak mencaci maki,
"Jahanam perempuan buruk Ulam Sari! Jika engkau memang berani, mengapa engkau main sembunyi dan menyerang orang secara curang.. .?"
Karena bajunya berlobang oleh api, maka cepat cepat pemuda ini mengambil bungkusan pakaian yang tergantung pada pelana kuda. Ia melepas baju yang berlobang itu dan berganti dengan baju yang baru. Akan tetapi baru saja akan berganti baju, mendadak saja pandang mata Kebo Kuning tertarik kepada pundak kudanya yang bengkak dan menghitam. Di saat ia sedang keheranan, mendadak saja ia melihat merangkaknya dua ekor kutu berbisa pada perut kuda.
Tentu saja Kebo Kuning menjadi terkejut bukan main, ia menggunakan cambuknya kemudian menyabat. Sekali bergerak, dua ekor kutu berbisa itu telah menggelinding runtuh ke tanah dan mati.. Saking gemasnya, Kebo Kuning mengambil sebutir batu, lalu dua ekor kutu berbisa itu diremukkan dengan batu.
Kutu berbisa itu berlainan dengan kutu biasa. Kutu itu besarnya sama dengan lebah madu, Begitu
menggigit, racun yang keluar dari mulut dapat menewaskan si korban gigitannya.
Baru saja hati pemuda ini lega karena berhasil menghancurkan dua ekor kutu beracun itu. mendadak ia kaget setengah mati.
Mengapa?
Ternyata kudanya itu meringkik kesakitan, disusul oleh kuda itu sendiri roboh terguling di atas tanah.
Melihat ini tentu saja Kebo Kuning menjadi bingung tiga perempat mati. Bukan setengah mati, karena saat ini Kebo Kuning tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kembali dugaannya tertuju kepada Ulam Sari. Maka dalam bingungnya ini, mulutnya sudah berteriak lagi mencaci maki Ulam Sari,
"Hai Ulam Sari yang wajahnya buruk! seperti iblis! Engkau jahanam ! Engkau perempuan terkutuk ! Mengapa engkau mencelakakan kudaku yang tak berdosa...?"
Dalam bingungnya ini, ia sudah tidak ingat lagi untuk menukar baju. Ia mencoba untuk menolong kudanya yang menggeletak dan merintih rintih itu, menggunakan jari tangan memencet pada bagian pundak yang bengkak menghitam. Maksudnya jelas dengan pencetan itu, ia ingin mengeluarkan racun yang masuk dalam tubuh kuda. Akan tetapi kiranya kuda itu kesakitan bukan main, buktinya kuda itu berusaha memberontak.
Kebo Kuning tidak meneruskan memencet pundak kuda yang bengkak itu. Dan di saat ia kebingungan setengah mati tanpa daya ini, mendadak ia mendengar suara derap kuda dari arah utara. Tak lama kemudian ia melihat seorang penunggang
kuda yang datang. Dan ternyata, penunggang kuda itu bukan lain perempuan wajah buruk Ulam Sari.
Dada Kebo Kuning seperti mau meledak melihat datangnya gadis buruk itu. Mendadak saja pemuda ini meloncat. menyongsong Ulam Sari yang baru datang sambil menyebatkan cambuknya. Sambaran ujung cambuk itu mengarah kepala, dan berbareng itu pula Kebo Kuning mencaci lagi,
'Jahanam Ulam Sari. Engkau hanya pandai mencari kelengahan orang. Huh. apakah perbuatanmu ini pantas dilakukan oleh seorang yang mengaku sebagai ksatria ?"
Ulam Sari menangkis dengan ranting kayu yang tadi diambil dalam perjalanan. Akibatnya cambuk itu terpental.
""Hai, mengapa engkau menuduh aku seperti itu?" tanya Ulam Sari sambil ketawa cekikikan.
"Hi-hi-hik, enak saja engkau mencaci-maki orang."
Dalam pada itu berbareng dengan terpentalnya cambuk oleh tangkisan si gadis wajah buruk, Kebo Kuning merasakan lengannya kesemutan. Memang ia tahu bahwa sekalipun wajahnya jelek, tetapi gadis itu tidak dapat dipandang ringan. Akan tetapi dalam kalapnya. ia sudah mencaci-maki lagi.
"Bangsat! Mengapa engkau masih juga bertanya? Bukankah engkau telah menggunakan binatang kecil beracun untuk mencelakakan kuda tungganganku? Huh-huh, apakah itu bukan merupakan perbuatan jahanam terkutuk?"
"Hi-hi-hik, aku menjadi geli!" kata Ulam Sari sambil tetap cekikikan, sama sekali tidak marah di
caci-maki macam itu.
"Ya, akupun tidak bisa menyalahkan engkau, kalau saja engkau lekas menjadi kalap dan menuduh seperti itu. Hi-hi-hik, namun begitu hai kebo dungu. Aku ingin bertanya padamu. Bagaimana engkau bisa memastikan kalau Ulam Sari yang Wajahnya jelek seperti aku ini, yang sudah menurunkan tangan jahat dan curang padamu?"
Mendadak saja pemuda ini menjadi kaget. Bukan saja atas jawaban gadis wajah buruk itu. Tetapi juga apa yang tampak di depannya.
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengapa?
Sebab di belakang Ulam Sani mengikuti dua orang penunggang kuda yang bukan lain adalah dua orang, perwrra yang tadi datang bersama dengan Raga Jati. Ternyata dua orang perwira itu tidak dapat berkutik sama sekali. karena tangan mereka diikat erat-erat oleh tambang yang kuat. sedang ujung tambang itu dipegang oleh Ulam Sari. Semula begitu melihat ia menduga bahwa sebabnya dua orang perwira itu diikat oleh Ulam Sari, mungkin sekali sehubungan dengan mulut perwira itu yang lancang terhadap Ulam Sari. Namun sesudah ia memikir sebentar, ia segera bisa menebak latar belakangnya.
"Hai gadis buruk!" bentak Kebo Kuning tetap angkuh, sekalipun sebenarnya ada rasa terima kasih yang timbul dalam dadanya .
Adapun sebabnya ia membentak dan mencaci seperti itu, karena dirinya tadi oleh Ulam Sari telah disebut sebagai "kebodungu".
"Apa saja yang sudah di lakukan oleh dua bangsat itu."
Ulam Sari ketawa cekikikan
" hi hi -hik..!"
"Hush !" bentak Kebo Kuning yang sudah tidak dapat sabar lagi.
"Mengapa engkau cekikikan macam kuntilanak?"
Ulam Sari masih tertawa sambil menjawab.
"Hi-hi-hik, cobalah tuan besar bertanya sendiri kepada mereka ini .Siapakah nama dan julukan dua orang besar dari Mataram ini?"
Tetapi tentu saja Kebo Kuning yang pada dasarnya berwatak angkuh dan tinggi hati ini, tentu saja tak mau kalah dengan Ulam Sari. Maka ia tidak mau bertanya, sebaliknya malah mengembalikan kepada Ulam Sari.
'Hemm, kalau kau sudah tahu, beritahukan saja julukan mereka itu padaku. Mengapa engkau pelit dan aku harus bertanya?"
"Hi-hi-hik,"
Ulam Sari cekikikan lagi. Biasanya gadis ini tidak mau mengalah kepada siapapun apa bila sudah tersinggung. Namun entah mengapa sekarang berhadapan dengan Kebo Kuning, gadis ini sikapnya selalu mengalah. Hal ini mungkin karena menduga bahwa pemuda ini mempunyai hubungan yang dekat sekali dengan Damayanti. Maka jawabnya kemudian,
'Baiklah dan dengar jangan sampai salah tangkap. Yang ini adalah berjuluk Si Api Kilat, sedang namanya Wiro Dahana. Adapun yang ini, adalah bergelar Si Caplak Sekti, sedang namanya adalah Wiro Klenteng."
Yang dimaksud dengan Caplak, adalah binatang yang bentuknya mirip dengan lalat, tetapi lebih besar lagi. Caplak itu biasa menggigit binatang, dan bisa terbang gesit seperti lalat. Si Caplak Sekti Wiro Klenteng maupun Si Api Kilat Wiro Dahana, adalah dua orang perwira Mataram yang cukup ditakuti oleh kawan maupun lawan. '
Mendengar penjelasan Ulam Sari itu, tentu saja pemuda ini segera tahu siapakah yang telah menyerang dengan api dan siapa pula yang telah melepas kutu beracun pada kuda tunggangnya, sehingga sekarang roboh dan menderita keracunan. Kemudian Kebo Kuning dapat menduga pula, bahwa dua orang itu telah melakukan kecurangan, di saat dirinya sedang sibuk berkelahi dengan Raga Jati.
Dan sudah barang tentu Kebo Kuning menjadi amat marah sekali, atas pekerjaan dua orang ini yang curang. Maka tanpa membuka mulut dan tidak mengucapkan sepatah katapun, pemuda ini sudah mengayunkan cambuknya.
"Tar-tar-tar... tar-tar-tar......."
Cambuk itu meledak enam kali di udara, dan seperti kilat cepatnya ujung cambuk itu telah membagi serangan kepada dua orang perwira tersebut, masing-masing tiga kali. Karena saat sekarang ini baik Si Api Kilat Wiro Dahana maupun Si Caplak Sekti Wiro Klenteng terikat erat erat pada kuda, maka sama sekali dua orang perwira itu tidak dapat menghindar dan menyelamatkan diri. Dan akibatnya hebat. Hampir bersamaan waktunya dua orang perwira itu telah mengucurkan darah pada muka dan kepalanya.
"Lekas engkau keluarkan obat pemunah untuk kudaku atau tidak ?!" hardik Kebo Kuning dengan sikap yang bengis.
"Jika engkau malas, awas! Cambukku ini bisa meremukkan kepalamu. Tahu?"
'Tar-tar-tar..."
Kebo Kuning mengayunkan cambuknya tiga kali berturut turut ke sebatang pobon yang berdiri di pinggir jalan. Begitu tersabat oleh cambuk maka tiga cabang pohon itu telah patah dan daunnya rontok Seperti dilanda oleh taufan
Tentu saja Si Caplak Sakti Wiro Klenteng menjadi ketakutan setengah mati, Akibat cambukan tadi ia merasakan muka dan kepalanya sakit dan berdarah. Akan tetapi saat sekarang ini tangannya terikat erat-erat dengan kuda. Maka katanya gemetar setengah mengeluh,
"Ba...... bagaimana aku bisa....."
Tetapi belum juga orang itu selesai mengucapkan kata-katanya, Ulam Sari telah bergerak sebat sekali. Tangan gadis yang kecil ini terulur, dan sekali renggut tali pengikat pada tangan itu telah putus dan jatuh ke tanah. Tentu saja baik Si Caplak Sekti maupun Si Api Kilat menjadi terbelalak melihat jari-jari tangan yang kecil itu sekali renggut telah berhasil memutuska tali pengikat yang kuat itu.
Kebo Kuning tersenyum. Pemuda ini tahu maksud-gadis buruk itu. Agaknya Ulam Sari ingin memamerkan kepandaiannya di depannya.
Dalam pada itu Si Caplak Sekti Wiro Klenteng segera mengeluarkan sebungkus' obat dari dalam saku bajunya. Kemudian ia mengusapkan obat tersebut kepada luka pada pundak kuda itu, sambil berkata,
"Sesudah makan obat pemunah ini, jiwa kuda ini tak perlu dikhawatirkan lagi. Tetapi sekalipun begitu, dalam waktu tiga hari kuda ini tidak boleh berlari. Agar tulang dan otot ototnya tidak memperoleh luka akibat racun."
Si Api Kilat Wiro Dahana masih tegak di atas kudanya karena tidak bisa bergerak dan terikat. Oleh sebab itu Kebo Kuning memalingkan muka ke arah Wiro Klenteng sambil memerintah,
"Buka ikatannya!"
Mendengar perintah ini, Si Api Kilat Wiro Dahana gembira dan wajahnya berseri. Lalu, katanya dalam hati,
"Ha-ha-ha, sekalipun mendapat hadiah cambuk, tetapi tidak ada orang lain yang tahu kecuali kakang Wiro Dahana. Dengan begitu aku percaya bahwa dia takkan berani membicarakan pengalaman pahit ini kepada siapapun. Karena apa bila dia membocorkan rahasia, berarti dirinya sendiri mendapat malu pula."
Tentu saja orang ini mempunyai pendapat seperti itu. Baik Wiro Dahana maupun Wiro Klenteng adalah perwira perajurit Mataram. Seorang perwira kedudukannya cukup tinggi dan tidak gampang Orang dapat mencapai pangkat. Maka bagi mereka, peristiwa yang ditakuti apa bila pengalaman yang tidak menyenangkan seperti ini sampai tersiar dan diketahui orang banyak. Sebab hal itu akan berarti menurunkan keangkeran dan derajatnya sebagai seorang perwira.
Atas perintah Kebo Kuning itu, dengan agak tergesa Wiro Klenteng sudah menghampiri kawannya seperjalanan. Kemudian membuka pula tali pengikat yang membuat Wiro Dahana tidak berdaya,
tetapi baru saja mereka mau angkat kaki mendadak terdengarlah suara ketawa Kepo Kuning yang dingin.
"Kamu mau berangkat pergi? Hemm! Kamu kira dalam dunia ini ada urusan yang dapat rampung dalam waktu cepat?."
Mendengar ucapan pemuda ini, mendadak saja jantung dua orang perwira itu bergoncang cepat. Mereka saling pandang dengan sinar mata yang ketakutan. Dan karena itu mereka mengekang kendali kuda masing-masing, tidak berani meneruskan.
Kemudian terdengarlah perintah Kebo Kuning,
"Hai Wiro Dahana. Hayo lekas keluarkanlah semua alat pembakarmu! Dan engkau Wiro Klenteng, hayo segera keluarkanlah semua kutu busukmu! Huh. apa bila kamu secara curang masih berani menyembunyikan apa yang aku minta, awas! Aku tak segan-segan untuk menghajar kepalamu Sampai remuk!" .
Sambil berkata ini, mendadak saja Kebo Kuning menggerakkan cambuknya ke udara. Kemudian terdengarlah suara ledakan cambuk yang nyaring berulang ulang.
Atas ancaman ini tentu saja mereka tidak berani berkutik sama sekali. Dengan hati yang tidak ikhlas, Wiro Dahana sudah mengeluarkan kotak besi yang tidak begitu besar. Kotak itu merupakan tempat sebagai penyimpan senjata rahasia yang dapat menimbulkan kebakaran. Adapun Wiro Klenteng segera pula mengeluarkan tabung bambu dari tempat simpanannya, di mana tabung itu berisi ratusan kutu beracun. Tabung itu mengkilap licin. Memberi bukti bahwa tabung bambu ini sudah amat
lama dipergunakan oleh Wiro Klenteng. Diam-diam bulu kuduk Kebo Kuning berdiri, jika ingat bahwa di dalam tabung bambu yang licin mengkilap ini, tersimpan banyak sekali kutu-kutu beracun yang amat jahat.
Akan tetapi Kebo Kuning segera ingat bahwa nama julukan, Wiro Klenteng ini, Si Caplak Sekti. Kalau begitu, tentu orang ini masih menyimpan tabung lain, yang berisi caplak (seperti lalat tetapi besar). .
'Wiro Klenteng! Keluarkanlah tabung lain yang berisi caplak!" perintah Kebo Kuning.
"Aa . ..aku . . . .tidak punya yang-lain . .. . " sahut Wiro Klenteng tidak lancar.
"Gelarmu Si Caplak Sekti. Mengapa yang kau keluarkan hanya kutu saja?" ""
"Ohh. . .. itu..... sudah tidak lagi... .."
" Mengapa ?"
"Caplak yang bisa terbang itu sulit diatur dan diperintah... itulah saya lebih suka kepada... kutu-kutu ini . . . . . "
"Hemm, mengapa engkau tidak mengganti julukanmu dengan Si Tuma (kutu) Busuk saja? Bukankah gelaran itu lebih gagah dibanding Si Caplak Sakti?"
Wiro Klenteng tidak dapat membuka mulut saking takutnya.
"Hai bangsat !" bentak Kebo Kuning dengan sepasang matanya yang menyala.
"Engkau manusia busuk yang hanya pandai membokong orang. Dan engkau telah membuat aku rugi pula dengan seranganmu yang curang ini.Huh-huh. sungguh engkau
orang yang tidak takut mati. Huh. jika aku menurutkan kemarahanku, sesungguhnya kamu sekarang ini harus mampus. Hem, memang agaknya kamu masih mempunyai peruntungan yang cukup bagus. Sebab aku takkan mengambil dua jiwa manusia dalam satu hari. .... "
Nada dan ucapan Kebo Kuning ini merupakan ancaman yang hebat sekali bagi mereka berdua. Tentu saja hal ini membuat Wiro Dahana dan Wiro Klenteng makin tambah ketakutan.
Ulam Sari tersenyum kecut melihat lagak dan tingkah Kebo Kuning itu. Kalau saja ia tadi tidak waspada ketika Kebo Kuning sedang berkelahi dengan Raga Jati, apakah mungkin Kebo Kuning bisa tahu bahwa yang berbuat adalah dua orang perwira Mataram ini?
Akan tetapi dengan berhasilnya menangkap Wiro Dahana dan Wiro Klenteng ini, oleh Kebo Kuning seperti dianggap angin saja. Tidak mau mengucap terima kasih, dan sekarang malah bersikap seperti tidak mau tahu. Diam-diam Ulam Sari mendongkol bukan main.
Apakah bocah ini tidak pernah diberi nasihat tentang adat dan kesopanan oleh gurunya?
sehingga tindak dan langkahnya begitu liar, suka menuduh dan mencaci maki orang yang belum tentu benar.
Mungkin sekali apa bila dirinya tadi tidak membawa dua orang ini datang ke mari, kiranya Kebo Kuning masih tetap menuduh dan mencaci maki dirinya.?
"Hemm, manusia yang tak pandai mawas diri." katanya dalam hati.
'Orang yang tidak mau menyalahkan diri sendiri. dan tahunya hanya menyalahkan orang lain. Huh-huh. apabila kemudian
hari engkau berhadapan dengan peristiwa yang tidak menyenangkan, engkau baru tahu rasa akan keangkuhan dan ketinggian hatimu."
Tetapi karena kata-kata ini tidak terucapkan, tentu saja Kebo Kuning tidak mendengar dan tidak pula mengerti. Pemuda itu dengan sikapnya yang tetap garang di depan Wiro Dahana dan Wira Klenteng, sudah menghardik lagi,
"Kamu dengarlah baik baik. Hari ini, salah seorang di antara kamu harus mati! Tetapi siapa yang harus mati dan siapa yang berhak hidup, tentu saja bagiku sulit untuk memutuskan sesuai dengan keadilan bagi kamu sendiri. Maka aku mempunyai cara yang cukup adil. Sekarang aku perintahkan pada kamu untuk saling berusaha mempertahankan nyawa. Ialah dengan cara, kamu berdua harus saling serang dengan senjata rahasiamu masing masing. Siapa yang terkena oleh sambaran senjata rahasia, itulah yang mesti mampus. Ketentuan ini tidak dapat dibantah siapapun. Dan tiada gunanya pula kamu menyembah-nyembah padaku seperti kepada sang pangeran, sambil mohon ampun."
Sambil mengucapkan kata katanya ini, tidak lupa Kebo Kuning melirik ke arah Ulam Sari dengan sikapnya yang amat sombong. Ulam Sari tahu, akan tetapi pura-pura tidak tahu. Gadis ini masih juga menekan perasaan dan berusaha menyabarkan diri.
Sesudah itu Kebo Kuning memandang ke arah mereka berdua. Katanya lagi,
"Hayo, lekaslah kamu bersiap diri. Dan aku yang akan memberikan aba aba. Satu dua. tiga !"
Tetapi dua orang perwira itu masih tampak saling meragu. Mereka belum dapat mengerti sepenuhnya akan maksud pemuda ini.
Dia bicara sungguh-sungguh, ataukah hanya untuk membuat mereka takut?
Akan tetapi di saat lain, masing-masing telah mempunyai pendapat dan pikiran, bahwa apa bila pemuda ini menurunkan tangan sendiri. bukankah nyawanya sudah melayang sejak tadi?
Tentu saja masing-masing manusia akan selalu berusaha mencari hidup sendiri. Tidak perduli sekarang harus berhantam sendiri dengan kawan.
Kalau perlu untuk hidupnya, tentu saja harus cepat bertindak. Secepat memperoleh pikiran, secepat itu pula mereka berbuat. Dan tiba-tiba saja hampir berbareng dua orang itu berteriak nyaring menyayat hati. Sebab leher Wira Dahana teiah digigit oleh kutu beracun, sebaliknya rambut dan baju Wira Klenteng telah terbakar disambar bola api.
Melihat kesudahan dari mereka saling hantam dengan senjata rahasia masing-masing itu, Kebo Kuning tertawa gembira sekali. Kemudan masih sambil tertawa, ia berkata,
"Sudahlah, hitung-hitung kamu tidak ada yang kalah dari tidak ada yang menang. Sekarang, lekaslah kamu menggelinding dari tempat ini!"
Perintah ini barang tentu disambut oleh mereka dengan hati amat gembira. Tanpa menghiraukan kutu beracun masih menggigit leher, Wiro Dahana telah mengeprak kudanya supaya lari. Sebaliknya karena Wiro Klenteng tdak sempat untuk memadamkan api yang membakar rambut dan bajunya membuat api itu masih juga berkobar. Dan karena ditiup oleh angin dalam usahanya melarikan diri,
Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo 3600 Detik Karya Charon
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama