Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 14

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 14


tentu saja api yang membakar Wiro Klenteng makin menjadi.
Mereka baru sadar akan keadaan sesudah pergi cukup jauh. Kemudian dua orang ini saling melompat turun dari kuda, laiu saling memberi pertolongan. Bagaimanapun, dua orang perwira Mataram ini penasaran dan mendongkol bukan main.
"Kurang ajar sekali perempuan wajah buruk itu," kata Wirb Dahana geram.
"Mengapa matanya begitu jeli dan melihat. apa-yang kita lakukan? Huh, kalau saja tidak diganggu perempuan buruk itu, tentunya bocah baju kuning itu tidak melihat apa yang kita perbuat, dan dia takkan dapat berbuat apa-apa kepada kita"
"Ya, benar-benar sial perjalanan kita ke Karimun Jawa." sahut Wiro Klenteng setengah mengeluh.
'Lalu bagaimanakah kita harus memberi laporan kepada Gusti Pangeran Kajoran? '
Tiba-tiba saja Wiro Dahana bekakakan.
"'Haha-haha, mengapa engkau seperti seorang tolol? Tentu saja kita melapor bahwa pekerjaan berhasil ,dengan menyenangkan, disamping lancar."
"Tetapi kalau Raga Jati tidak dapat datang ke Mataram?"
"Ha-ba-ha-ha, itu toh bukan urusan kita. Pendeknya ketika kita datang, Raga Jati dengan senang hati menerima undangan itu. Kalau tidak datang, mengapa repot? Kita toh bisa memberi alasan. Mungkin sekali ketidakdatangannya itu memang ada halangan yang mendadak. Siapa bisa memaksa?"
"Ahh, engkau benar. Akan tetapi......"
Wiro Klenteng menghela napas panjang.
"Apa lagi?"
Wiro Dahana melengak keheranan.
"Aku sedih sekali. Sebab hasil kerjaku bertahun tahun dirampas begitu saja oleh bocah itu. Hemm, di rumah aku sudah tidak mempunyai kutu racun lagi. Ahh, untuk membuat kutu bisa menjadi beracun, aku memerlukan waktu tidak kurang dari setengah tahun.? "
"Hemm, yang kaupikir hanya dirimu sendiri. Apakah engkau seorang yang menderita rugi? Dengan dirampasnya peluru apiku itu, bukankah aku juga menderita rugi yang besar?"
Untuk sejenak mereka tidak bicara. Kemudian sambil menghela napas panjang, Wiro Dahana berkata,
"Sudahlah, mari kita sekarang pulang. Masih untung nyawa kita tidak melayang di tangan bocah itu. Kalau saja ia tadi turun tangan jahat, apakah isterimu dan istriku tidak menjadi janda?".
Sesudah itu dua orang perwira Mataram ini melompat ke atas pelana kuda masing-masing. Sesaat kemudian dua orang perwira Mataram ini telah memacu kuda masing-masing, untuk secepatnya pulang ke Mataram.
Biarlah dua orang perwira itu pulang dengan hati mendongkol dan penasaran. Sebaiknya kita jenguk kembali Kebo Kuning dan Ulam Sari.
Apa yang mereka lakukan?
Kebo Kuning masih ketawa terkekeh-kekeh geli ketika dua orang perwira Mataram itu memacu kuda masing-masing pergi. Siapa yang tak menjadi geli kalau melihat seorang penunggang kuda, bajunya terbakar tetapi tidak berani memadamkan api itu?
Dan si samping itu, siapa yang tidak menjadi puas, dapat mempermainkan dua orang yang memiliki senjata rahasia berbahaya itu? .
Namun tiba tiba pemuda ini kaget ketika merasakan punggungnya dingin, ditiup oleh angin. Begitu merasakan punggungnya dingin, pemuda ini baru ingat bahwa baju bagian belakang telah berlobang cukup lebar akibat dimakan oleh api hasil kerja Wira Dahana. Ia melirik ke arah gadis wajah buruk itu, dan ternyata Ulam Sari sedang mengamati ke arah dirinya dengan bibir menyungging senyum. Tentu saja ia menjadi malu berbareng mendongkol. Ia tahu bahwa saat ini sedang diejek oleh gadis itu.
Tentu bocah perempuan wajah buruk iiu menepuk dada, kalau bukan dirinya yang membawa dua orang perwira itu, manakah mungkin dirinya dapat menghajar?
"Minggir!" bentaknya tiba-tiba.
"Aku mau tukar baju!"
"Hi-hik, mau tukar baju siapa yang melarang?" ejek Ulam Sari sambil cekikikan
"Tetapi di tengah jalan ini ?" '
Kebo Kuning tambah mendongkol oleh ucapan Ulam Sari itu. Pemuda ini tanpa membuka mulut lagi, segera melompat ke dalam semak pohon. Ia menukar baju dengan warna yang sama, kuning lagi. Sesudah selesai memakai baju, ia tidak perduli lagi kepada baju yang tadi dipakai dan terbakar. Baju itu digulung, lalu dilempar ke sungai yang tak jauh dari tempat itu,
Ia masih mengamati baju yang hanyut di sungai itu penuh perhatian. Mendadak terdengar ucapan Ulam Sari,
"Hi hik, begitu memakai yang baru, sudah tidak ingat lagi yang lama. Hemm, kasihan si baju itu. Beberapa lama memberikan jasa melindungi tubuh manusia dari sengatan sinar matahari dan tiupan angin yang dingin, begitu tidak dipakai segera dibuang. Hemm, kasihan juga manusia-manusia seperti perwira-perwira Mataram tadi. Mereka mengabdi dan berusaha memberikan jasa terhadap junjungan mereka. Kalau baik memperoleh sanjung dan puji. Tetapi sekali saja bersalah, tanpa ampun lagi akan segera mendapat hukuman berat, di samping kehilangan kedudukan. Dan kasihan pula manusia-manusia yang tidak mengenal jasa orang lain."
Walaupun katakata Ulam Sari itu berliku-liku, namun pada akhirnya menjurus kepada usaha untuk menyindir dan mengejek dirinya. Barang tentu Kebo Kuning menjadi malu, mengapa ia tadi lupa mengucapkan terima kasih kepada gadis wajah buruk itu. Akan tetapi ,celakanya ia memang seorang pemuda yang wataknya tinggi hati dan angkuh. Mendengar sindiran Ulam Sari ini bukannya sadar akan kesalahannya, sebaliknya malah menjadi marah.
Namun bagaimanakah caranya marah kepada gadis wajah buruk itu?
Terang-terang dirinya sendiri yang bersalah tikak mengucapkan terima kasih atas pertolongan tadi.Tetapi kalau tidak membalas hatinya tidak merasa puas.
Mendadak, terdengar teriakan kebo kuning yang ngeri, "Aduhh.... aduhh.... . celaka.... Aduhh... aku digigit oleh kutu beracun '"
Mendengar teriakan pemuda itu, ulam sari Kaget tetapi juga merasa geli.
Mengapa pemuda ini menjadi gugup oleh gigitan kutu beracun?
Kalau toh benar ada cepat cepat dibunuh, toh tidak mengapa. Kemudian dengan menggunakan obat pemunah yang ditinggalkan oleh Wiro Klenteng tadi, semua bahaya akan segera lewat pula.
Akan tetapi ketika melihat bahwa Kebo Kuning tampak mencakar-cakar panggungnya, yang agaknya belum juga berhasil mengambil kutu beracun yang menggigit punggungnya 'itu, mendadak saja timbullah rasa iba dalam hati Ulam Sari. Pada dasarnya ia memang seorang gadis yang baik hati. Suka menolong orang lain, dan tidak suka pula melihat orang lain menderita.
"Ohh.. punggungmu digigit... ..?" sambil bertanya ini Ulam Sari telah melompat ke arah Kebo Kuning dengan maksud memberikan bantuannya.
Entah mengapa sebabnya, Ulam Sari sendiri tidak tahu. Kepada pemuda ini ia tidak dapat benci. sekalipun sepak terjang pemuda itu sering membuat ia mendongkol dan tidak senang. Maka begitu melihat Kebo Kuning kebingungan mencakar-cakar punggung, ia menjadi bingung pula.
Tetapi justeru kebaikan hati gadis ini, yang membuat gadis itu sendiri celaka!
Ulam Sari memang pintar, akan tetapi sekali waktu bisa ditipu orang juga. Selagi Ulam Sari meloncat dan tubuhnya masih terapung di udara, mendadak Kebo Kuning telah mendorong dengan tenaga yang amat kuat. Inilah serangan secara curang yang tidak terduga-duga. Sebagai akibat dorongan itu. Ulam Sari
tak kuasa menghindari maupun melawan. Tanpa ampun lagi, gadis ini telah masuk ke sungai.
"Byurrr. . . . . ."
Celakanya pula Kebo Kuning malah gembira sekali, dapat menipu dan membuat orang lain basah kuyup. Pemuda itu bersorak gembira sambil bertepuk tangan.
"Ha-ha-ha, sudah dapat berapa ekor ikankah engkau, nona kecil? Ahhh, tetapi mengapa mencari ikan, pakaianmu basah kuyup? Bagi dong, akupun suka akan ikan kali.. haha-ha......"
Betapa mendongkol dan marah Ulam Sari, atas perlakuan pemuda baju kuning ini. Ia tidak tahu bagaimana harus marah kepada pemuda itu. Ternyata kebaikannya malah dibalas dengan perlakuan yang tidak pantas. Ia tidak membuka mulut untuk membalas ejekan orang. Hanya diam-diam ia mengambil lumpur dalam kali tersebut, dengan pura-pura menubruk seekor ikan.
"Uah. kau benar! Ini namanya serba kebetulan. Aduhh, ikan yang besar....."
Mendengar Ulam Sari mendapat ikan yang besar, dan gadis itu tidak memperdulikan pakaiannya yang basah tetapi malah bergerak menubruk seperti orang benar-benar menangkap ikan di kali, Kebo Kuning jadi tertarik. Tanyanya
"Ikan apakah. aughhh.... hi-hihik......"
Dan dengan gesitnya Ulam Sari telah meloncat dari air.
Apa yang terjadi merupakan balasan yang setimpal. Kebo Kuning yang sama sekali tidak sadar ditipu oleh Ulam Sari, sudah mendekati sungai dan
ingin melihat ikan yang berhasil ditangkap oleh gadis itu. Justeru di saat Kebo Kuning mendekati sungai ini, Ulam Sari meraup lumpur dengan dua belah tangannya. Secepat Eilat dua tangan yang penuh lumpur itu mendorong. Dan akibatnya, tak ampun lagi wajah dan pakaian Kebo Kuning basah kuyup oleh lumpur.
Ulam Sari geli dan ceklkikan merasa dapat membalas, dan ia tidak memperdulikan pakaiannya yang basah, mengamati pemuda itu dengan mengejek.
Ketika itu keadaan Kebo Kuning memang basah kuyup oleh lumpur. Bukan saja pakaiannya kotor, tetapi juga Wajah dan tangan yang tadi berusaha menangkis. Sulit diketahui bagaimanakah perasaan Kebo Kuning saat itu, akan tetapi tampak bahwa Kebo Kuning marah. Mendadak saja Kebo Kuning membentak sambil melompat untuk menubruk.
"Budak kecil berwajah buruk! Agaknya engkau memang ingin dihajar dengan kekerasan!"
Ulam Sari terkejut sekali dan buru-buru meloncat melarikan diri. Ulam Sari merupakan seorang gadis jago lari. Pantasnya begitu meloncat menghindar, Kebo Kuning tidak dapat berdaya. Namun, pada kenyataannya Kebo Kuningpun seorang pemuda yang dapat bergerak gesit, dan merupakan seorang jago dalam hal meringankan badan. Hal itu sudah terbukti ketika pemuda ini mengacau Perguruan Wanasalam. Ia dapat menundukkan tokoh Perguruan Wanasalam dengan berkelahi di atas puluhan cangkir.
ulam sari lari berputaran, tetapi celakanya selain dapat dihadang oleh Kebo Kuning. Bukan melulu menghadang, akan tetapi Kebo Kuning yang berlepotan lumpur itu berusaha memeluk dengan dua belah tangannya.
Dalam keadaan khawatir, orang sering menjadi lupa. Lupa bahwa dirinya sendiri dalam keadaan basah kuyup. Kalau saja dirinya menyerang, tentu Kebo Kuning takkan mengubar terus seperti itu. Akibatnya dua orang muda itu berkejar-kejaran dan main petak. Nampaknya seperti dua orang muda sedang asyik bercanda.
"Hei..... apakah engkau berani meraba aku.....?" bentak Ulam Sari tiba-tiba sambil meloncat menghindar.
Bentakan itu membuat Kebo Kuning meloncat mundur. Bagaimanapun apa yang dilakukan tadi, sesungguhnya memang hanya bermaksud bergurau dan untuk menakut-nakuti saja. Dalam pada itu, walaupun gadis ini sekarang tampaknya berwajah buruk, tetapi sesungguhnya di dalamnya tersimpan wajah yang cantik jelita bagai dewi. Maka pemuda ini kemudian berdiri mematung, tetapi matanya selalu mengamati gadis itu.
"Hai kebo dungu!" hardik Ulam Sari.
"Apakah engkau tidak merasa bahwa aku sudah berbuat kebaikan terhadap engkau? Tetapi mengapa sebabnya aku memberi air susu dan engkau membalas dengan air tuba?"
"Ih.. kapankah nona memberi air susu pada aku.?" goda Kebo Kuning.
Ulam Sari nampak berjengit kaget. Kalau saja pada saat sekarang ini wajah itu tidak tertutup oleh kedok, Kebo Kuning tentu dapat melihat bahwa Wajah itu berobah merah karena malu.
"Kurang ajar! Mulutmu kotor !" bentaknya.
"Benar, mulutku memang kotor. Salah siapa engkau melempar lumpur ke mukaku ?" goda Kebo Kuning lagi, yang ketika itu memang sekitar mulutnya banyak lumpur.
"Kebo dungu memang kebo tolol !" hardik Ulam Sari lagi.
' Maksudku, orang diberi kebaikan, mengapa engkau malah membalas tidak baik?"
Tetapi ternyata di samping berwatak tinggi hati dan angkuh, Kebo Kuning pandai pula bersilat lidah. Ia tidak mau mengakui jasa orang yang sudah diperuntukkan dirinya. Dan pemuda ini segera menjawab secara menyimpang,
"Eh nona..... apakah engkau tahu bahwa aku tadi benar-benar mengalahkan Raga Jati dengan ilmu pedang perguruan sendiri?"
Kalau saja ia bicara dengan orang lain, Kebo Kuning memang dapat mengelabui.
Tetapi bicara dengan Ulam Sari, mana mungkin dapat menipu?
Maka jawab Ulam Sari sambil ketawa cekikikan,
"Hi -hi -hik, engkau bisa menipu Raga Jati dan orang lain, tetapi engkau takkan dapat menipu aku. Benar nampaknya engkau tadi melawan Raga Jati dengan ilmu pedang yang sama. Akan tetapi engkau menggunakan siasat dan kelicinan bagai bulus. Apakah sangkamu aku tidak tahu ?"
Terbelalak juga Kebo Kuning atas sindiran Ulam Sari itu. Namun tentu saja ia takkan mau
mengalah begitu saja. Ia malah membalas mengejek,
"Uah, engkau berani menganggap dirimu terlalu mulia, dan sudah melepas budi besar sekali padaku? Hayo sekarang aku bertanya padamu, bagaimanakah engkau bisa mengetahui bahwa dua orang perwira Mataram tadi telah menyerang aku secara curang?"
Mendongkol sekali Ulam Sari mendengar katakata pemuda sombong ini. Saking mendongkol, ia tidak segera memberi jaWabannya.
Justeru di saat gadis ini belum membuka mulut untuk menjawab, Kebo Kuning sudah mendahului,
"Hai, mengapa engkau diam saja? Jika begitu, benar apa yang aku pikir, bahwa sesungguhnya sama sekali tidak menerima budi baik dari engkau."
Sesungguhnya saja Ulam Sari memang tidak ingin membicarakan jasa dan kebaikannya. Namun oleh sikap pemuda ini, bagaimanapun ia mendongkol. Ia ingat bahwa dirinya sendiri basah kuyup dan perlu segera mengganti pakaian. Sebaliknya pemuda itupun kotor, perlu mandi dan ganti pakaian pula. Oleh sebab itu katanya kemudian,
"Sudahlah, semuanya dapat kita bicarakan nanti. Sekarang engkau kotor dan perlu mandi. Sebaliknya aku yang basah kuyup oleh perbuatanmu, perlu ganti pakaian pula. Lekas, pergilah ke sungai."
Kebo Kuning menyeringai, namun kemudian pergi pula ke tepi sungai, bersembunyi di balik batu, lalu melepaskan pakaiannya dan masuk ke sungai. Begitu pemuda itu sudah mandi, Ulam Sari merasa aman untuk berganti pakaian. Akan tetapi
begitu selesai mengganti pakaian ,mendadak saja timbullah pikirannya yang bagus. Ia akan membalas pemuda itu.
Dengan berindap-indap Ulam Sari mendekati tumpukan pakaian yang baru saja habis dicuci oleh Kebo Kuning, kemudian sekaligus ia menyambar pakaian basah itu berikut bungkusan pakaian cadangan mllik pemuda itu. Katanya dalam hati,
"Hem. ketika aku di Demak dia telah mencuri bungkusanku. Maka sekarang datanglah saatnya aku membalas mengambil semua pakaiannya. Hi-hi-hik, aku ingin melihat, apakah dia bisa pergi dengan kuda mustika itu tanpa pakaian?"
Gerakan Ulam Sari cepat sekali, sehingga Kebo Kuning yang waktu itu sedang merendam tubuh di sungai dan membersihkan lumpur yang mengotori tubuhnya tidak tahu sama sekali. Pemuda ini baru merasa kaget dan pucat ketika mendengar suara Ulam Sari yang cekikikan, sambil membawa semua pakaiannya.
"Hi-hi-hik, ada ubi ada talas. Engkau telah membuat aku kebingungan, karena bungkusanku engkau curi. Sekarang aku terang-terangan mencuri bungkusanmu. Hi-hi-hik, engkau mau apa ?" sambil berkata dan cekikikan ini, kemudian Ulam Sari melompat lalu lari.
"Ulam Sari. Ulim Sari...! Aduhh, aku kapok. Aku taubat ! Kembalikan bungkusan itu " teriak Kebo Kuning yang kebingungan.
Untuk moloncat ke darat tidak berani, tetapi kalau harus merendam diri seperti ini juga berabe. Kalau tidak malu sesungguhnya pemuda ini ingin menangis.
Pemuda ini kembali berteriak-teriak memanggil Ulum Sari. Namun gadis ini pura-pura tidak mendengar, dan sambil berlarian gadis ini ketawa cekikikan saking geli. Ia dapat membayangkan, bahwa pemuda itu tentu baru berani mendarat apabila hari telah gelap.
Sebaliknya karena teriakannya tidak memperoleh tanggapan, dan Ulam Sari tidak juga muncul dan mengembalikan bungkusannya, Kebo Kuning menjadi amat mendongkol. Tidak tercegah lagi pemuda ini sudah menyumpah-nyumpah dan mencaci-maki Ulam Sari kalang-kabut.
Ulam Sari mengeprak kuda tunggangannya masih sambil terpingkal pingkal. Baru kali ini sajalah, ia merasa geli yang sangat. Bergurau yang sampai kelewat batas, akan tetapi tidak melanggar kesopanan. Sudah cukup jauh gadis ini melarikan kudanya. Namun gadis ini belum juga berhenti tertawa. Bagi orang yang tidak tahu mungkin saja cepat menganggap bahwa gadis yang wajahnya buruk ini merupakan seorang gila.
Kalau tidak gila, manakah mungkin orang ketawa disepanjang jalan?
"Hi hi-hik ... . hi-hi-hik... . .! "
Di saat gadis ini masih ketawa cekikikan dan gema suara ketawanya masih memantul-mantul, mendadak gadis ini menghentikan ketawanya. Kemudian pandang mata gadis ini dicurahkan kearah seorang nenek yang telah bongkok tubuhnya, melangkah perlahan menyusuri jalan berbatu dengan ditopang tongkat. Dengan tubuh yang sudah bongkok, rambut telah putih, kulit keriput bisa diduga usia nenek tua ini. Kiranya tidak kurang dari tujuhpuluh tahun.
Akan pergi ke manakah nenek yang sudah bongkok tubuhnya ini?
Dan mengapa pula bepergian hanya seorang diri?
Mungkinkah nenek yang sudah tua pikun ini tidak mempunyai keluarga, sehingga tidak seorang pun yang mengikuti?
Kalau benar nenek yang telah pikun ini memang tidak mempunyai keluarga, ah, sungguh kasihan. Dirinya sendiri bisa disebut sebagai seorang hidup sebatangkara. Tiada ayah bunda lagi, dan tiada pula saudara.
Teringat akan nasibnya ini, mendadak saja ia menjadi khawatir. Benar sekarang dirinya masih muda, masih kuat lari atau melangkah jauh. Akan tetapi kalau sudah dimakan usia seperti nenek yang bongkok ini, betapa hidupnya akan menderita kalau masih harus mempertahankan hidupnya, dan mencari makan sendiri.
Bukankah sesungguhnya, di dunia ini tidak terhitung jumlahnya orang-orang tua yang hidup menderita dan perlu dikasihani?
Tetapi berapakah jumlahnya manusia di dunia ini yang sudi memalingkan muka, mengulurkan tangan kepada orang-orang macam itu?
Kiranya bisa dihitung dengan jari. Namun sebaliknya apa bila seseorang yang gagah dan kuat, dia akan dikerumuni oleh banyak orang, dan banyak sekali pula orang datang memberi hadiah-hadiah walaupun orang itu sudah sangat cukup.
Apakah sebabnya?
Bukan lain orang itu mempunyai jabatan tinggi dalam Kerajaan Mataram. Mempunyai kekuasaan yang menentukan. Hingga dengan hadiah-hadiah yang diberikan itu, bakal memperoleh balasan sesuai dengan kebutuhannya.
Teringat akan keadaan dunia yang banyak terjadi kepincangan-kepincangan dan keadaan-keadaan yang mengecewakan yang sering disaksikan itu, Ulam Sari menghela napas panjang.
siapakah sesungguhnya yang bersalah dalam masalah ini?
Raja Mataram Sultan Agung, ataukah punggawa-ponggawanya yang menyalahgunakan kesempatan dan kekuasaan?
Ulam Sari meloncat turun dari kuda, lalu menghampiri si nenek tua yang melangkah terbongkok bongkok termakan usia.
"Nek, engkau mau ke mana ? '
"Ahh...!" nenek pikun ini nampak kaget dan terhuyung-huyung.
Untung sekali Ulam Sari segera menyambar lengan nenek itu, hingga tidak jadi jatuh.
"Aduhh.. nak'.. engkau bikin kaget orang saja.:..." kata nenek ini sambil memegang pangkal tongkat itu dengan dua telapak tangan yang ditumpuk, dengan tubuhnya yang tetap bongkok, sedang wajahnya diangkat setengah menengadah untuk dapat melihat orang yang diajak bicara.
Wajah nenek ini telah penuh keriput, membuktikan ketuaan usianya,
"Nenek mau ke mana?" tanya Ulam Sari halus.
"Apa...?" nenek itu agaknya sudah berkurang daya tangkapnya, lalu menggunakan telapak kirinya, di pasang di belakang daun telinga.
"Kau bilang apa?"
"Aku bertanya, nenek mau ke mana?"
"Ohh. . di sini tidak ada warung..,." sahut nenek itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Jika engkau ingin makan. harus mencari agak jauh."
Meledak ketawa Ulam Sari mendengar jawaban si nenek yang tidak terduga-duga ini.
Apakah yang ditangkap oleh telinga nenek ini, ia bertanya tentang warung?
Nenek ini tampak heran melihat dan mendengar gadis yang wajahnya buruk ini ketawa. 'Hardiknya,
"Apa yang engkau tertawakan?"
"Aku tidak mencari warung."
Ulam Sari berusaha memberi penjelasan.
"Engkau mencari sarung? Apakah engkau kehilangan sarung, nak?"
Jawaban yang menyeleweng ini memancing ketawa Ulam Sari lagi, sehingga gadis ini sekarang terpingkal-pingkal. Saking geli, perutnya menjadi sakit, akan tetapi ketawanya itu tidak bisa ditahan. Tiba-tiba saja nenek pikun inipun ikut tertawa terkekeh-kekeh. Entah mengapa sebabnya. Dua orang, yang seorang muda yang seorang nenek nenek, sama-sama tertawa terpingkal-pingkal, layaknya seperti dua orang yang sedang kontes tertawa. Untung sekali di saat itu tidak ada orang lewat. Kalau ada, keadaan ini akan membuat orang yang melihat akan keheranan.
Sesudah puas tertawa, sekarang Ulam Sari baru sadar kalau nenek yang sudah pikun ini memang lemah pendengarannya. Tanyanya agak keras,
"Apakah nenek tuli?"
Tiba-tiba sepasang mata nenek itu menyala marah. Nenek itu seperti ingin menegakkan tubuhyang bongkok, akan tetapi tidak berhasil. Kemudian nenek ini mengangkat tongkatnya, diamangkan kepada Ulam Sari sambil menghardik,
"Kurang
ajar engkau, bocah! Mengapa engkau memaki aku agak tuli? Huh, kapan engkau sudah setua aku, engkaupun tentu menjadi tuli."
Hampir saja gadis ini meledak lagi ketawanya. Untung juga bisa menekan. Katanya.
"Nenek, maaf ! Bukan maksudku untuk memaki engkau. Sekarang aku ingin bertanya kepada nenek, engkau mau pergi ke mana ?"
Karena pertanyaan ini diucapkan -cukup keras. maka pertanyaan ini dapat didengar nenek itu. Jawabnya,
"Aku? Engkau menanyakan aku mau pergi ke mana?"
Ulam Sari menganggukkan kepalanya.
"Aku mau pergi ke Mataram!"
"Ihh.....!"
Ulam Sari berjingkrak kaget mendengar jawaban nenek ini.
"Hai!" hardik nenek ini tiba-tiba.
"Mengapa engkau kaget? Apakah engkau tidak percaya aku mau pergi ke Mataram?"
"Hanya dengan jalan kaki seperti ini?"
Nenek itu mengangguk.
"Mengapa? Milikku hanya dua kaki dan tongkat ini. Tetapi sekalipun jauh, aku percaya akan sampai juga kalau memang ada niat."
"Tetapi tentu lama sekali, nek."
"Lama dan tidak, itu bukan urusanmu. Tahu ?" tiba-tiba nenek ini membentak.
"Engkau orang muda yang cerewet!. Engkau bertanya aku mau ke mana, aku jawab akan ke Mataram! Mengapa engkau mengurusi tentang kapan aku sampai dengan kakiku yang sudah keropos ini? Aku tak tahu kapan bisa tiba di sana,tetapi yang penting aku melangkah terus."
Sekalipun dibentak, gadis ini tidak marah. Memang sudah dikehendaki oleh gadis ini barangkali si nenek membutuhkan bantuannya. Apa pula sekarang ia tahu nenek ini bermaksud pergi ke Mataram. Ibu kota kerajaan itu masih cukup jauh dari tempat ini.
Berapa bulankah nenek ini bisa tiba di Ibu Kota Kerajaan Mataram itu, kalau hanya melangkah perlahan Seperti sekarang ini?
Di samping itu, timbul pula rasa khawatirnya, tubuh tua yang telah pikun ini kepayahan di perjalanan. Akibatnya bisa menyebabkan nenek ini jatuh sakit.
Namun sekalipun baru bicara sedikit dengan nenek ini, ia sudah bisa meraba-raba bahwa sekalipun nenek ini sudah pikun,akan tetapi wataknya yang tinggi hati masih belum juga hilang. Maka dalam bicara, harus hati-hati.
"Nenek. mengapa engkau bepergian hanya seorang diri?" tanya gadis ini hati-hati.
"Apa? Sendirianpun, siapa takut? Engkau heran aku bepergian seorang diri. Tetapi engkau, bukankah engkau juga sendirian?"
Jawaban yang tidak terduga-duga ini membuat Ulam Sari kaget berbareng heran.
Sungguh celaka!
Ia bermaksud baik, ternyata nenek ini sudah menyalahartikan pertanyaannya. Tentu nenek ini akan beranggapan lagi bahwa dirinya seorang gadis yang cerewet mengurusi kebutuhan orang lain.
"Benar nenek, aku seorang diri. Tetapi akn masih muda dan berkuda pula......"
Tiba-tiba nenek ini menukas kata-katanya yang
belum selesai dengan nada yang sombong,
"Huh.
Engkau membanggakan diri mempunyai kuda dan
masih muda. 'Apakah seorang nenek seperti aku,
sudah tidak berguna lagi dan sepantasnya hanya
dihina. Sekalipun hanya dengan kaki dan tongkat ini......"
Sebelum nenek ini selesai bicara. Ulam Sari memotong,
"Nek, nanti dulu. Bukan begitu maksudku."
"Kalau tidak begitu, habis apakah maksudmu?" hardik nenek ini.
"Maksudku begini, nek, jika engkau memang seorang diri, akupun hanya seorang diri pula. Maka dari pada nenek bergerak dengan lambat, kiranya lebih tepat apa bila nenek membonceng aku. Dengan kuda ini, perjalanan nenek lebih lancar di samping tidak payah pula."
"Hemm, apakah ucapanmu ini keluar dari hati yang tulus, ataukah engkau memang sengaja menghina nenek pikun seperti aku ini?"
Diam-diam Ulam Sari mengeluh. Baru kali ini sajalah ia bicara dengan orang kewalahan. Setiap ucapannya selalu diterima salah sehingga ia menjadi serba salah.
"Nek, aku bicara sesungguhnya, keluar dari hatiku yang tulus!" sahut Ulam Sari bernada mantap dan sungguh-sungguh.
"Melihat nenek berjalan Seorang diri, padahal tujuan Ibu Kota Mataram itu cukup jauh, maka inginlah aku membantu nenek. Aku tidak mempunyai maksud lain yang tersembunyi, kecuali ingin membantu nenek mempercepat perjalanan."
"Sudah, sudah, jangan cerewet!" bentak nenek ini sambil mendelik.
Tampak sekali bahwa nenek ini benar benar marah dan merasa dihina.
"Aku masih mempunyai kaki. Tanpa bantuanmupun jika Allah masih memberi aku umur panjang, aku akan tiba pula di Mataram dengan selamat."
Mendengar ini mendongkol berbareng kecewalah hati Ulam Sari. Ia bermaksud baik, bermaksud memberi pertolongan mengingat bahwa nenek ini sudah pikun. Bagi seorang yang dadanya dihuni oleh hati yang cukup kesadarannya, dalam menawarkan bantuannya ini tidak mengandung sesuatu maksud yang lain kecuali hanya ingin menolong. Begitu pula apa yang diinginkan oleh Ulam Sari sekarang ini.
Namun sungguh celaka!
Ternyata tawarannya ini telah ditolak mentah-mentah oleh nenek pikun itu, malah dirinya dibentak-bentak.
Saking mendongkol, gadis ini segera minta diri.
"Kalau begitu, baiklah! Aku akan berangkat seorang diri!"
Sambil berkata, gadis ini sudah meloncat dengan ringan ke atas punggung kuda. Begitu tumit dipukulkan ke perut kuda. kuda tunggang itu sudah lari pesat meninggalkan nenek pikun tadi. Akan tetapi setelah agak jauh berkuda, mendadak saja timbullah perasaan yang sedikit kurang enak. Dalam hatinya timbul rasa heran.
Apakah sebabnya?
Tiba tiba ia memalingkan mukanya ke belakang.
"Ahhh...;.!" serunya kaget.
"Di manakah bungkusan pakaian Kebo Kuning? Jatuh? Aduhh celaka,
Kalau barang-barang itu benar-benar hilang. bagaimanakah aku dapat mempertanggungjawabkan apa bila bertemu dengan dia? Padahal maksudku apa bila bertemu dalam perjalanan nanti, aku ingin mengembalikan kepada dia sambil minta maaf...."
Ulam Sari menghentikan langkah kudanya. kemudian menarik kendali dan berbalik haluan.
Rasa hatinya tidak enak!
ia harus kembali lewat jalan yang tadi dilalui. Kalau benar bungkusan itu terjatuh dan belum diambil orang, tentu masih dapat diketemukan kembali.
Kuda itu lari pada jalan yang tadi telah dilalui, sambil matanya meneliti sepanjang jalan.
Siapa tahu kalau bungkusan milik Kebo Kuning itu benar benar terjatuh? '
"Hemm, biarlah aku kembali sampai di tempat bertemu dengan nenek tadi' desisnya.
"Kalau bertemu dengan nenek itu, ingin aku menawarkan jasa baik sekali lagi. Tetapi kalau dia bersikeras menolak, apa boleh buat."
Tanpa terasa, ia sudah mengulang perjalanan sampai di tempat ia tadi berbicara dengan nenek pikun itu. Mendadak sepasang mata gadis ini bersinar gembira.
Memang!
Dari jauh tampak bungkusan pakaian Kebo Kuning itu menggeletak di tengah jalan. Jadi, bungkusan itu benar terjatuh.
Akan tetapi mengapa ia tidak melihat nenek pikun tadi?
Kemanakah dia?
Apakah nenek itu mengambil jalan lain, sehingga tidak berpapasan dengan dirinya?
Dengan agak tergesa Ulam Sari meloncat turun dari kuda. Lalu tangannya sudah terulur untuk menyambar bungkusan pakaian Kebo Kuning itu.Akan tetapi...... mendadak gadis ini kaget da meloncat mundur dengan pucat.
Mengapa?
Kain pembungkus itu memang tak salah lagi, pembungkus pakaian yang tadi diambil ketika Kebo Kuntng masuk ke sungai. Akan tetapi sekarang, isinya sudah lain. Isi bungkusan itu sekarang bukan pakaian Kebo Kuning lagi. Isinya, kotoran kerbau yang masih baru.
Geli-geli mendongkol berhadapan dengan peristiwa aneh ini.
Siapakah yang sudah menemukan bungkusan ini, kemudian mengganti isinya dengan kotoran kerbau?
Untung ia tadi tidak gegabah.
Kalau gegabah, bukankah bau kotoran kerbau itu tidak sedap?
"Hamm," gadis ini menghela napas pendek.
'Heran aku! Aku tidak melihat seorangpun. Tetapi mengapa isinya sudah ganti? Aduhh, celaka! Aku sudah dipermainkan orang.""
Gadis ini tiba-tiba saja membantingkan kakinya. Hatinya mendongkol dan marah.
Namun tidak tahu kepada siapa harus marah?
Untuk beberapa saat lamanya gadis ini menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan, dan tidak melihat pula seorang pun. Sayang, nenek itu tadi sudah tidak nampak. Kalau saja masih nampak, tentu ia bisa bertanya kepada nenek pikun tadi.
Akhirnya dengan hati mendongkol, heran dan uring-uringan,gadis ini meloncat kembali ke atas kuda. Tentang semua pakaian Kebo Kuning yang
hilang itu, ia akan bicara terus terang dan minta maaf, apabila memperoleh kesempatan dapat bertemu. Mudah-mudahan saja pemuda yang angkuh dan tinggi hati itu tidak marah.
Ulam Sari memacu kudanya cepat-cepat, langsung menuju ke Mataram. Hati gadis ini merasa tertarik sekali atas pertemuan para tokoh sakti yang diselenggarakan oleh Pangeran Kajoran.
Di samping ia akan mencari tambahan pengalaman, iapun ingin mengetahui apa sesungguhnya maksud Pangeran Kajoran menyelenggarakan pertemuan itu?
Pertemuan itu mengandung maksud tidak baik ataukah bermaksud untuk mengumpulkan sekalian orang sakti, untuk memperkuat kedudukan Mataram?
Dalam perjalanan ini mendadak saja ia teringat akan ucapan Sindu, kakeknya ketika itu. Ketika bertemu dengan dirinya dan memberitahukan, bahwa pembunuh ibunya adalah Sungsang. Ketika itu Sindu menyatakan ingin pula pergi ke Mataram. Adapun maksudnya akan menyerahkan keris pusaka Kyai Sengkelat, sesuai dengan pesan Empu Supo. Maka ia berharap, di Mataram dapat bertemu dengan kakeknya itu. Dengan Sindu berada di sampingnya, hatinya akan menjadi lebih besar dan merasa aman.
Tanpa terasa, pada suatu hari tibalah gadis ini di Ibu Kota Mataram. Gadis ini, yang belum pernah datang ke Mataram merasa heran dan kagum. Dalam kota banyak sekali rumah-rumah gedung yang besar.
Pada mulanya ia agak bingung ke mana harus menuju, dan di mana pulakah letak rumah Pangeran Kajoran itu?
Namun wajah gadis ini segera berobah menjadi cerah dan gembira ketika kudanya yang melangkah seenaknya didahului oleh serombongan orang berkuda dan yang paling depan seorang perwira, berjajar dengan seorang kakek yang masih nampak gagah. Melihat ini Ulam Sari segera dapat menduga, tentu mereka ini termasuk tamu Pangeran Kajoran.
Ternyata dugaan gadis ini benar. Rombongan orang yang diantar oleh perwira itu memang menuju ke gedung Pangeran Kajoran. Sebagai rumah seorang pangeran dan adik raja, maka rumah itu dikelilingi oleh tembok yang tinggi dan tebal. Pekarangannya amat luas, dan bangunan yang ada di dalamnyapun juga berderet-deret. Agaknya persiapan memang sudah diatur begitu rapi, dalam usahanya menyambut kehadiran para tamu undangan. Buktinya sejak di pintu gerbang, rombongan tamu itu dihormat oleh para perajurit yang berjaga secara sungguh sungguh. Malah beberapa pekatik (tukang kuda) segera menyambut kuda-kuda tunggang mereka, lalu kuda tersebut ditambatkan di tempat yang sudah tersedia.
Walaupun kehadiran UlamSari saat ini tanpa diundang dan di antara rombongan ini belum ada seorang pun yang dikenalnya, namun ia bisa masuk tanpa kesulitan dan tidak seorang pun penjaga yang menanyakan tentang tanda-tanda pengenalnya. Mungkin juga hal ini bisa terjadi, karena para perajurit penjaga itu mengira, bahwa Ulam Sari merupakan rombongan tamu yang baru datang ini.
Setelah kuda-kuda tunggang mereka diterima oleh para tukang kuda, mereka kemudian jalan
kaki melewati halaman yang bersih dan luas. Halaman ini dinaungi oleh banyak pohon sawo dan sebagai alas halaman merupakan pasir. Dengan begitu, tiada rumput yang tumbuh dan mengotori halaman ini. Oleh perwira penyambut mereka langsung diantar masuk ke dalam pendapa yang amat luas dan kokoh. Di belakang pendapa masih ada pula bangunan yang disebut petinggitan, baru kemudian rumah besar tempat kediaman Pangeran Kajoran.
Berbeda dengan kebiasaan para bangsawan yang berlaku apa bila menerima tamu. Biasanya orang dipersilahkan duduk ngelesot di atas lantai yang sudah dibentangkan tikar di atasnya. Kali ini Pangeran Kajoran menerima kehadiran para tamu yang terdiri dari macam macam golongan ini dengan meja dan kursi yang telah diatur sedemikian rupa. Hingga pendapa yang luas berikut petinggitan itu, semua penuh oleh kursi dan meja. Agaknya Pangeran Kajoran mengerti, bahwa para tamu yang diundang sekarang ini, merupakan tokoh-tokoh sakti dari seluruh penjuru Wilayah Mataram. Para tokoh itu biasanya angkuh dan tidak mau perduli kepada urusan negara maupun kerajaan. Seakan mereka mereka itu hidup merdeka di luar segala ikatan apapun. Mereka merasa merdeka dan tidak mau diperintah oleh raja yang berkuasa sekalipun. Maka apa bila tamu-tamu ini diterima dan disuruh duduk mengelesot di alas tikar, tentu tidak mau dan lebih baik membatalkan kehadirannya.
Akan terapi sekalipun cara hidup mereka itu tidak mau diperintah, Sultan Agung bijaksana sekali
dalam menghadapi mereka. Selama mereka tidak menimbulkan kerugian bagi kerajaan, dan selama mereka tidak berusaha memberontak, mereka dibiarkan hidup merdeka. Pada nyatanya memang, merupakan bagian besar di antara mereka, sedikit banyak menguntungkan di bidang keamanan. Mereka merupakan orang-orang yang membenci kejahatan dan merugikan para kawula. Dengan begitu berarti pula bahwa Mataram mempunyai banyak petugas keamanan yang tidak perlu dipikirkan upah dan penghasilannya. .
Diantara tamu undangan, telah banyak pula yang hadir dan menempatkan diri di tempat yang telah tersedia. Akan tetapi begitu Ulam Sari masuk dalam pendapa ini, mendadak saja gadis yang menyamar dengan wajah yang amat buruk ini kaget berbareng heran. Siapa yang takkan kaget dan heran jika mengalami sepert Ulam Sari ini?
Ternyata di dalam pendapa itu telah pula hadir si nenek bongkok dan pikun, yang dikenalnya di tengah jalan.
Siapa yang tidak menjadi kaget berbareng heran, justeru nenek yang langkahnya sulit itu, malah dapat hadir di tempat ini lebih awal dari pada dirinya?
Dirinya sendiri memacu kuda tunggangannya cepat-cepat dan langsung ke Mataram.
Akan tetapi mengapa sebabnya nenek pikun itu dapat hadir lebih dulu?
Hampir -saja gadis ini tidak percaya atas pandang matanya sendiri, kalau ia tidak melihat nenek itu melambaikan tangannya ke arah dirinya. Dan entah mengapa sebabnya pula, iapun segera melangkah dan menghampiri tempat duduk nenek pikun yang wajahnya keriput itu.
"Mengapa engkau malas, bocah?" tegur nenek itu, begitu Ulam Sari datang dan duduk di sampingnya.
"Aku yang tua sudah datang sejak tadi, ternyata engkau baru datang."
Untuk sejenak Ulam Sari terpukau atas teguran nenek ini. Sikap nenek ini begitu wajar, seperti sedang menegur kepada anak atau cucunya.
"Ya nek, maafkan saya yang datang terlambat."
Ulam Sari menjawab ini lirih saja, dengan maksud agar orang lain tidak terganggu. Namun di samping itu, ada pula maksud tersembunyi.
"Hemm. lain kali jangan malas-malasan begitu. Sebagai orang muda engkau harus bisa datang lebih dahulu dibanding yang tua."
"Nenek naik apa? Saya berkuda. Tetapi mengapa kalah dahulu dengan kau ?"
'Hemm, engkau memang bocah yang cerewet. Mengapa kautanyakan tentang hal itu? Hemmm, Allah itu selalu adil. Aku ditolong oleh Dewa dan diajak terbang, maka dapat datang di Mataram ini lebih cepat dibanding engkau. Hi-hi-hik."
Diam -diam Ulam Sari tersenyum berbareng gembira sekali. Sekarang ia dapat memastikan bahwa nenek bongkok dan pikun ini, bukan seorang nenek yang sebenarnya. Tetapi seorang perempuan sakti yang menyamar seperti juga dirinya. Sebabnya ia menduga demikian. karena ketika bertemu yang pertama kali, nenek ini pura-pura tuli sehingga ia harus bicara keras dan menimbulkan hal-hal yang lucu. Akan tetapi sekarang, ia bicara setengah berbisik, nenek yang pikun ini dapat menangkapnya secara benar.
Tanpa sengaja dapat bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita sakti yang menyamar sebagai nenek pikun ini, tentu saja membuat hati gadis ini lebih mantap dan gembira. Sebab bagaimanapun, dirinya adalah seorang wanita. Ia hadir di tempat ini hanya seorang diri. Maka dengan hadirnya wanita ini, berarti sekarang dirinya mempunyai seorang teman. Ada orang yang bisa diajak bicara.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawaban si nenek yang mengatakan bertemu dengan Dewa dan diajak terbang, merupakan jawaban yang meyakinkan bahwa nenek ini bukan wanita sembarangan.
Akan tetapi dalam hatinya timbul pula pertanyaan, siapakah wanita ini?
Di antara perempuan-perempuan yang ia kenal dan sakti mandraguna, tidak banyak. Maka pertanyaan itu tidak dapat ia jawab sendiri, dan tidak dapat menduga siapakah sesungguhnya "nenek" ini.
Tiba tiba saja, teringatlah Ulam Sari akan bungkusan pakaian Kebo Kuning yang tiba-tiba hilang. Dan ketika ia mengulang kembali jalan yang sudah dilalui, ia menemukan bungkusan itu di tengah jalan. Namun ketika diambil, ternyata isinya bukan pakaian lagi, malah tahi kerbau.
"Nek, bolehkah aku bertanya?" tanya Ulam Sari sambil mengamati wajah Si nenek yang keriputan.
"Mau tanya, tanyalah. Kalau bisa kujawab, tentu aku jawab. Tetapi jika engkau mau menanyakan tentang namaku, aku tidak punya nama. Entahlah, aku sendiri sampai lupa kepada namaku sendiri. Mungkin, sebabnya aku lupa kepada nama
sendiri ini akibat nyawaku terlalu kerasan berada di dalam tubuhku. Hingga usiaku sudah banyak, tetap Saja dipelihara oleh Allah."
Ulum Sari ketawa cekikikan geli mendengar jawaban nenek ini.
"Hi'hi-hik, engkau lucu, nek..."
"Apanya yang lucu? Kau mau menghina aku ya?" sambil berkata ini si nenek mendelik ke arah Ulam Sari.
"Aku tahu bahwa engkau mentertawakan tubuhku yang sudah bongkok. Huh, bocah cilik yang cerewet."
Tetapi Ulam Sari yang sudah mengenal watak, si nenek ini yang angin-anginan, tidak menjadi tersinggung. Ia malah tambah geli dan terus cekikikan .
"Anu," katanya setelah puas tertawa.
"Bukankah ketika itu aku berjumpa engkau di jalan ?"
"Kalau memang sudah terjadi, mengapa engkau bertanya? Huh, kau ini cerewet betul!" hardiknya lagi. '
"Hi-hi-hik, begini, nek. Begitu bertemu dengan engkau, aku meneruskan perjalanan. Akan tetapi, bungkusan pakaian yang aku gantungkan di pelana kuda, tiba-tiba saja lenyap tanpa bekas. Apakah nenek tahu?"
Sepasang mata tua si nenek itu mendelik. Kemudian bertanya,
"Pakaian siapa ?"
Pertanyaan ini membuat wajah Ulum Sari merah karena malu. Untung saja wajah gadis ini ditutup oleh kedok. Hingga wajah yang berubah merah itu tidak nampak.
Betapa tidak malu, justeru pakaian itu bukan miliknya tetapi milik Kebo Kuning?
Akibatnya gadis ini tidak cepat menjawab, dan sedang berusaha mencari alasan.
"Hai. apakah engkau tuli!?" hardik nenek ini lagi.
"Mengapa sekarang kau tidak menjawab pertanyaanku ?"
"Anu ehh ...."
Ulam Sari agak gugup.
'Pakaian sahabatku .."
"Hi-hi-hik," sekarang nenek ini yang tertawa. Desaknya,
"Sahabatmu? Siapa? Laki-laki atau perempuan ?"
"Anu. ehm...."
Ulam Sari makin gugup.
"Anu. ehhh........ _
"Anu eh apa? Bocah jangan engkau bicara
plintat-plintut!" hardik nenek ini lagi.
"Sahabat laki laki...."
"Hi-hi-hik, pantaskah seorang gadis membawa pakaian laki-laki? Huh, tak tahu malu! Perempuan macam apakah engkau ini, sehingga. merendahkan diri seperti itu ?"
( Bersambung jilid 17 )
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 17
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung"
Karya: Widi Widayat
Jilid: 17
******
DALAM mengucapkan kata-katanya ini, nenek itu sikapnya seperti seorang nenek bicara dengan-cucunya. Nadanya sungguh-sungguh, sehingga untuk sejenak Ulam Sari terpukau. Akan tetapi setelah itu, diam-diam Ulam Sari amat mendongkol akan sikap nenek ini. Kalau-saat seperti ini di jalan, mungkin ia tidak kuat lagi menahan hati dan kesabarannya.
Mengapa nenek ini begitu bawel dan minta menang sendiri?
Di luar dugaan. Nenek ini seperti dapat menduga pikiran orang. Katanya,
"Huh. aku tahu bahwa engkau mencaci-maki aku. Bukankah begitu? Pakaian siapakah yang kaubawa itu? Dan bagaimanakah pula bisa dalam tanganmu?"
Atas pertanyaan ini Ulam Sari menjadi terdiam tidak bisa menjawab. Sesungguhnya saja, ia bisa menjawab secara membohong. Akan tetapi karena ia sudah menduga bahwa "si nenek" ini bukan nenek sebenarnya, dan tentu seseorang yang sakti mandraguna sedang menyamar maka ia tak berani bicara sembarangan. Sebab kalau bukan nenek sakti mana mungkin bisa lebih dulu datang dibanding dirinya?
"Bocah!" hardik si nenek ini lagi.
"Jangan engkau main plintat'plintut di depanku. Tahu? Aku sudah tahu siapakah engkau ini. Engkau seorang gadis cantik jelita bernama Titiek Sariningsih, tapi engkau menutup wajahmu dengan kedok samaran. Hi-hi-hik. bukankah aku benar?"
Terbelalak sepasang mata Ulam Sari mendengar kata-kata si nenek ini. Dalam hatinya kaget berbareng heran.
Dari manakah nenek ini tahu?
Oleh sebab itu Ulam Sari mengamati si nenek ini penuh perhatian. Mulai dari ujung rambut sampai ke ujun kaki.
Ia berusaha menduga dan mengenal kembali siapakah sesungguhnya orang yang menyamar sebagai "nenek" ini?
Namun ia merasa heran. Ia lupa sama sekali kepada bentuk badan perempuan ini.
Siapakah sesungguhnya, berkali-kali timbul pertanyaan dalam hatinya.
Siapakah sesungguhnya?
"Hi-hi-hik," nenek ini tertawa.
"Tidak usah engkau bingung. Pada saatnya nanti engkau akan tahu juga, siapakah aku ini, bocah!"
Lagi-lagi Ulam Sari kaget dan terbelalak mendengar ucapan nenek ini yang tepat. Bahwa dirinya sedang menduga-duga dan berusaha mengenalnya. Tetapi karena sekarang dirinya sudah diketahui oleh nenek ini, diam-diam ia kagum dan hormat. Kemudian katanya,
"Maafkan aku. Karena tak tahu maka sikapku kurang menghormat."
Sambil berkata ini, Ulam Sari berusaha bangkit kemudian akan turun dari kursi lalu memberi hormat. Akan tetapi tahu-tahu tangan nenek itu sudah mencegah dan berbisik.
"Bocah! Apakah engkau sudah menjadi seorang tolol? Di sini banyak orang. Duduklah!"
Ulam Sari kaget sekali.
Begitu tangan si nenek
ini menekan pundaknya, ia tidak dapat bergerak sama sekali. Walaupun ia telah berusaha melawan namun telapak tangan itu seperti berubah menjadi sebuah batu yang amat besar dan berat. Diam-diam gadis ini menjadi tunduk. Dan lagi lagi ia minta maaf,
"Maafkan saya." .
"Hi-hi-hik. tak apalah."
Si nenek cekikikan tertawa. Kemudian katanya,
"Ulam Sari! Apa yang sudah terjadi, tak periu disesalkan. Akan tetapi apa yang engkau lakukan tempo hari. jangan engkau ulang lagi. Maksudmu aku tahu, hanya ingin membalas dan bergurau saja. Engkau tidak mempunyai maksud jahat. Akan tetapi, apakah engkau tahu bahwa Kebo Kuning yang kehilangan bungkusan itu menjadi salah paham dan merasa dihina ?"
"Kau... kau tahu, nek......?'
Ulam Sari kaget setengah mati.
"Dan kau pulakah yang sudah mengganti dengan tahi kerbau itu......?"
"Hi-hi-hik," nenek ini tertawa lagi.
"Salahkah jika aku ganti dengan tahi kerbau? Hi-hi-hik, bungkusan itu milik kerbau juga....."
Ulam Sari tertawa cekikikan pula sekalipun menjadi amat malu. Kemudian tanyanya,
"Kalau begitu.. sudah nenek kembalikan? Dan nenek pulakah yang mengambil dari pelana kudaku ?"
"Hi-hi-hik, apakah salahnya?"
Nenek ini masih cekikikan.
"Engkau mengambil. dan akupun mengambil. Bukankah itu sudah sepantasnya?"
"Ihhh....." saking kagum Ulam Sari berseru tertahan.
Ia tidak merasakan sama sekali sambaran angin di saat nenek ini mengambil bungkusan dari pelana kuda. Menilik ini, ia dapat menduga, sampai di manakah kesaktian si nenek ini. Diam-diam ia menjadi semakin tunduk, tetapi juga amat berterima kasih.
"Bocah, apakah engkau tahu keadaan Kebo Kuning sesudah pakaiannya kauambil ?" tanya si nenek.
"Ya..... bagaimanakah dia?"
"Tentu saja dia kebingungan setengah mati. Kalau saja tidak malu, Kebo Kuning tentu sudah menangis seperti anak kecil. Kalau saja tidak ingat malu, tentu Kebo Kuning sudah nekat meloncat ke punggung kuda dan mengejarmu. Dia menyumpah-nyumpah kalang-kabut. Dia marah dan merasa engkau hina. Hemm, apakah engkau tahu akibat seseorang yang merasa dihina orang?"
Untuk sejenak Ulam Sari berdiam diri, ia memang mengerti, bahwa seseorang yang merasa terhina, bisa menjadi marah, memusuhi dan takkan puas sebelum dapat menebus hinaan itu. Katanya,
"Ya nek, orang bisa marah dan menimbulkan hal hal yang tak diharapkan." .
Si nenek mengangguk-anggukkan kepalanya.
'Benar! Itulah sebabnya aku lancang mencampuri urusanmu, yang bukan lain untuk menghindari hal hal yang kurang baik. Aku ambil bungkusan itu. Kemudian aku serahkan kepada Kebo Kuning. Aku bilang pada dia, bahwa aku datang membawa pakaiannya itu, atas perintahmu. Dan di samping itupun
aku sudah mintakan maaf atas perbuatanmu yang sembrono itu."
"Lalu, bagaimanakah dia?" tanya Ulam Sari dengan hati yang berdebar.
"Dia menerima dengan senang hati, sekalipun tidak lupa mencaci-maki engkau. Namun sesudah aku beri penjelasan. bahwa engkau tidak mempunyai maksud kurang baik, kemarahannya mereda. Apa lagi sesudah aku mengatakan pada dia, bahwa apa yang engkau lakukan hanyalah sebagai perbuatan balasan. Dia sudah mengambil bungkusanmu, dan sekarang membalasnya. Mendengar penjelasanku ini, dia mengerti dan menganggap semua urusan sudah selesai."
Untuk ke sekian kalinya Ulam Sari terbelalak tidak dapat membuka mulut.
Jadi nenek ini tahu pula tentang peristiwa bungkusannya yang hilang dan diambil oleh Kebo Kuning itu?
Ulam Sari tambah heran. Bukan main nenek ini.
Mengapa seperti dewa saja, sehingga dapat mengetahui seluk beluk peristiwa yang ada hubungannya antara dirinya dengan Kebo Kuning?
"Ahh...... jadi nenek tahu semua itu? Nenek membayangi aku?" katanya dengan nada kagum.
'Hi-hi-hik, hanya kebetulan saja. anak, sudahlah. Hal itu tidak perlu diperpanjang. Bocah itu nanti tentu juga datang kemari. Engkau tak usah bersikap takut dan malu kepada dia, dan bersikap wajar saja. Ohh ya, engkau jangan sembrono di sini. Sebab yang bakal hadir di sini, banyak tokoh tokoh terpendam, yang semula tidak banyak dikenal orang."
Ulam Sari mengangguk tanda mengerti. Dia diam-diam bersyukur pula bahwa ia bertemu dengan nenek ini. Dengan demikian di samping tidak terasing, iapun memperoleh teman yang dapat diandalkan.
'Terima kasih atas-semua kebaikanmu, nek," katanya kemudian.
"Tetapi, perkenankanlah saya mohon keterangan, siapakah sebenarnya engkau ini, nek?"
"Hi-hi-hik," nenek ini tertawa, dan tidak galak seperti tadi.
"Tak usah aku beritahukan, pada saatnya nanti engkau tahu sendiri. Namun begitu engkau tidak perlu ragu-ragu terhadap aku. Dan di samping itu, apa bila di tempat ini engkau nanti menyaksikan peristiwa peristiwa yang tidak terduga, janganlah engkau kecil hati."
"Terima kasih, nek, saya akan selalu menjaga diri. Hanya....."
"Hanya apa ?"
"Terus terang aku penasaran. Engkau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenal engkau, sehingga aku terpaksa harus menduga-duga, tetapi tak juga dapat menebak siapakah engkau ini sebenarnya. Oh ya, aku ingin bertanya padamu, nek. Apakah maksud Pangeran Kajoran yang sesungguhnya mengumpulkan para tokoh sakti di tempat ini ?"
'Hi-hi-hik. siapa tahu?" sahut nenek ini masih sambil cekikikan, dan mengangkat bahu.
"Tetapi yang terang dengan kehadiranmu di sini, engkau akan tambah pengalaman dan akan terbuka pula mata hatimu, Bahwa seaungguhnya, dunia ini dipenuhi oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.
Orang-orang yang berhati kotor. Orang yang nampaknya baik-baik, belum tentu baik. Tidak sedikit jumlahnya manusia jahat yang berselimut di dalam kebaikan. Jadi yang jelas, engkau jangan kaget apa bila di sini nanti, engkau menyaksikan dengan mata kepala sendiri, terjadinya kecurangan-kecurangan dan tipu muslihat yang tidak patut. Bukankah orang akan selalu mencari menang sendiri dan dapat mengambil keuntungan di setiap kesempatan? Itulah manusia, yang gampang sekali dipengaruhi oleh keserakahan hari dan nafsu. Maka, sebagai orang muda yang bakal hidup masih lama, janganlah engkau gampang-gampang percaya akan ucapan orang dan janji muluk. Agar engkau tidak masuk dalam perangkap orang orang yang hatinya tidak baik." .
Ulam Sari mengangguk-anggukkan kepalanya, kagum dan amat berterima kasih atas nasihat si nenek ini. Katanya,
"Terima kasih atas segala nasihatmu, nek, dan saya akan selalu berhati-hati."
Sesungguhnya Ulam Sari masih akan bertanya dan minta keterangan lagi. Akan tetapi si nenek menyilangkan jarinya ke bibir. Memberi peringatan agar tidak banyak mulut. Sebab pada waktu itu, tamu yang sudah hadir makin banyak jumlahnya. Dan meja-meja di dekat merekapun sekarang sudah dikerumuni oleh para tamu. Untung bahwa orang orang yang duduk di dekatnya ini, belum ada yang dikenal oleh Ulam Sari.
Memang waktu itu puluhan meja dan ratusan kursi yang memenuhi pendapa dan paringgitan yang luas itu, sudah hampir penuh diduduki oleh para
tamu undangan. Diam-diam Ulam Sari menghitung. Tidak kurang dari sembilan ratus orang tamu undangan yang telah siap dan hadir.
Ahhh, sekarang gadis ini baru terbuka mata dan hatinya. Ternyata bahwa tidak terhitung banyaknya para tokoh sakti di dunia ini.
Hanya yang membuat gadis ini merasa heran, mengapa Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari tidak nampak hadir di sini?
Bukankah suami isteri itu merupakan tokoh sakti pula, malah masih kerabat Raja Mataram?
Diantara tamu tamu yang hadir ini, ia tahu terdapat pula tokoh tokoh Gagak Rimang. Yang sudah ia kenal, antara lain Yoga Swara yang sudah makin tua.
Gadis ini menebarkan pandang matanya mengamati seluruh ruangan. Diam -diam ia memang mencari, barang kali Rara Inten hadir juga. Namun ia tidak melihat saudara angkatnya itu, sekalipun ia mengamati penuh perhatian. Juga kakeknya, Sindu, tidak nampak pula. Di samping ia berusaha mencari Rara Inten dan Sindu, sebenarnya iapun mencari Kebo Kuning.
Bukankah pemuda itu sudah berhasil mengalahkan tokoh paling sakti Perguruan Wanasalam dan Karimun Jawa?
Dengan begitu, Kebo Kuningpun merupakan tokoh perguruan. Sebab dia berhak mewakili Perguruan Wanasalam dan Karimun Jawa.
Namun mengapa sebabnya, pemuda itu belum menampakkan diri?
Si nenek mengamati Ulam Sari dengan mulut senyum simpul. Entah apa sebabnya, tetapi agaknya nenek ini tahu apa yang terkandung dalam dada gadis ini. Namun, mendadak saja si nenek ini kaget. ketika melihat sepasang mata Ulam Sari berobah
dan menyala. Si nenek segera pula mengamati ke arah pandang mata Ulam Sari ini tertuju. Begitu melihat si nenek ini segera tahu mengapa sebabnya. Orang yang sedang diperhatikan Ulam Sari dengan sinar mata menyala itu, bukan lain seorang laki-laki tinggi kurus", bukan lain adalah Sungsang!
Melihat ini, agaknya si nenek tahu urusan Ulam Sari dengan Sungsang. Buktinya nenek ini sudah menarik baju Ulam Sari, dan membuat gadis wajah buruk ini tersadar. .
Namun Ulam Sari segera mengamati si nenek penuh curiga. Dalam hati gadis ini timbul dugaan, bahwa "nenek" ini tahu persoalannya dengan Sungsang. Tanyanya,
"Nek, apakah engkau tahu urusanku dengan dia?"
Yang dimaksud dengan "dia" itu, adalah Sungsang.
Nenek ini tertawa lirih. Kemudian jawabnya,
"Hi-hi-hik, apakah engkau kira aku ini seorang yang tahu banyak urusan? Engkau belum pernah memberitahukan padaku. mana aku tahu? Tetapi sinar matamu itu memberi tahu padaku, bahwa engkau benci kepada Sungsang."
Ulam Sari lagi-lagi kaget.
Jadi nenek inipun telah kenal dengan Sungsang?
Katanya kemudian,
"Nek, aku memang benci setengah mati kepada orang yang bernama Sungsang itu. Dialah pembunuh ibuku" _
Begitu teringat kepada ibunya yang menjadi korban kebiadaban Sungsang, mendadak saja jari gadis ini bergetar hebat, sehingga isak memenuhi dadanya. Tetapi gadis ini cepat dapat menekan perasaannya, dan meneruskan,
"Ya.. ibuku mati oleh keganasan tangan Sungsang. Di Jepara aku sudah hampir bisa membunuh laki-laki bangsat itu. Akan tetapi...... sungguh sayang, usahaku gagal akibat gangguan seseorang yang mengacau......"
Mendadak saja ia teringat akan biji salak yang masih disimpannya. Biji salak itu diambil, lalu ditunjukkan kepada nenek ini sambil bertanya.
"Nek.. apakah engkau mengenal orang yang suka menggunakan biji salak sebagai senjata rahasia"
Tiba-tiba si nenek ini cekikikan sambil mengembalikan biji salak itu kepada Ulam Sari. Melihat ini tentu saja Ulam Sari kaget dan lalu menduga, bahwa si nenek inilah yang sudah menyerang dirinya dengan biji salak itu.
"Bocah! Engkau tentu menduga aku yang sudah mengacau, bukan?" kata nenek ini.
"Engkau keliru! Bukan aku yang melakukan itu, tetapi malah sahabatmu itu."
"Sahabatku? Siapa?"
Ulam Sari heran.
'Sahabat yang kaucuri bungkusan pakaiannya "
"Ihh......"
Ulam Sari berseru kaget.
"Kebo Kuning? Benarkah itu, nek? Dan engkau tahu ?"
"Aku tahu dan merasa pasti, dia itulah yang sudah menyambit engkau," sahut si nenek dengan nada yang sungguh-sungguh.
"Tetapi engkau jangan salah duga dan salah paham. Dia memang mempunyai alasan berbuat seperti itu."
"Alasan apa?" desak Ulam Sari yang menjadi curiga.
Sekarang gadis ini menduga bahwa nenek ini mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Kebo Kuning.
"Mana aku tahu? Pada waktunya nanti engkau bisa bertanya kepada Kebo Kuning. Tak perlu engkau penasaran terhadap dia. Kapan nanti engkau memperoleh keterangan dari Kebo Kuning, engkau takkan menyesal dan menyalahkan dia."
Tertegun gadis ini mendengar jawaban si nenek ini. Makin kuat dugaannya bahwa orang yang menyamar sebagai "nenek' ini mempunyai hubungan erat dengan Kebo Kuning, ia kembali mengamati si nenek dan berusaha menduga, siapakah nenek ini.
Tiba-tiba saja ia teringat kepada kuda mustika Mega Langking milik Damayanti. Kebo Kuning menggunakan kuda yang amat disayang oleh Damayanti. Dan "nenek" ini tahu banyak tentang Kebo Kuning.
Kalau begitu..... ahh, siapa lagi kalau bukan Damayanti?
Ia mengamati penuh perhatian dan berusaha mengingat-ingat bentuk tubuh perempuan itu.
Ahh, ia mentertawakan diri sendiri. Nenek ini tubuhnya dibuat menjadi bongkok. Tentu saja ia menjadi lupa. Tetapi setelah tahu rahasianya, dan ingat persamaan bentuk tubuh si nenek ini dengan Damayanti, mendadak saja gadis ini gembira. Tangannya memegang lengan kiri si nenek. Lengan yang kulitnya berkeriput dan kasar.
Hatinya kembali meragu.
Mungkinkah lengan Damayanti yang halus dan lumar itu, sekarang berobah berkeriput seperti ini?
Namun disaat lain ia kembali mentertawakan diri sendiri.
Tentu saja lengan inipun dirobah menjadi kasar dan berkeriput seperti layaknya lengan seorang perempuan tua. Dengan begitu, penyamarannya menjadi lebih tertib dan tidak gampang diketahui orang. Jadi menyamar yang teliti, bukan saja wajahnya dirobah, warna rambut dirobah, tubuh dibengkokkan, tetapi kulit tubuh yang nampak dari luar harus memperoleh perhatian pula.
Memperoleh dugaan demikian, hilang keraguan Ulam Sari. Katanya,
"Ahh, mbakyu Damayanti! Aihh....... engkau membuat aku kebingungan menebak-nebak. Engkau......!'
"Ssstt!" nenek itu menyilangkan jari ke bibir.
'Jangan terlalu keras bicara. Hemm, Titiek, ternyata ingatanmu cukup tajam! Hingga engkau masih mengenal aku."
Mendengar jawaban ini, sulit dilukiskan betapa rasa gembira Ulam Sari alias Titiek Sariningsih. Ia memeluk dan berbisik,
"Mbakyu Damayanti. Mengapa engkau menyamar seperti nenek pikun ini? Tentu ada peristiwa penting sekali, sehingga memerlukan campur tanganmu."
"Ya, memang ada urusan penting," sahut Damayanti yang masih tetap menyamar sebagai nenek bongkok.
Hanya saja di kala bicara dengan Ulam Sari, nada. suaranya sudah berobah. Tidak seperti tadi, melainkan suara Damayanti yang aseli.
"Urusan itu berhubungan erat dengan Kebo Kuning."
"Ahh, kalau begitu dugaanku benar belaka !' kata Ulam Sari dengan gembira.
"Begitu melihat Kebo Kuning mengendarai Mega Langking. Kuda kesayanganmu itu, aku menduga dia mempunyai hubungan erat dengan engkau. Ehh, siapakah sesungguhnya dia itu?"
"Hi-hi-hik, engkau tertarik kepada dia....... bukan?"
"Aihh... kau...... jangan begitu ahh....."
Ulam Sari kaget dan gugup.
"Aku benci pada dia. Dia seorang pemuda yang angkuh dan tinggi hati. Pemuda macam dia...."
"Sudahlah," cegah Damayanti.
"Engkau tidak tahu, tidak aneh pula jika engkau sudah menuduh dia itu sombong, angkuh dan tinggi hati. Sesungguhnya itu bukan wataknya yang aseli. Percayalah padaku. Perubahan watak seperti itu jika menghadapi engkau, adalah kesalahanku"
"Salahmu? Mengapa?"
Ulam Sari menjadi heran dan tertarik. '
"Sebelum Kebo Kuning pergi, aku memberitahukan dia. Bahwa aku mempunyai seorang adik yang wajahnya cantik jelita..." " '
"Ihh....mbakyu......" potong Ulam Sari malu.
"Hi-hi-hik, aku memang berkata begitu, Titiek. Aku bilang wajahnya cantik jelita. tidak kalah dengan aku, dan sakti mandraguna pula. Aku katakan pada dia, bahwa sekalipun perempuan. engkau adalah perempuan pilih tanding murid Ki Ageng Purwoto Sidik, saudara seperguruan eyang. Dalam hubungan perguruan, sepantasnya aku memanggil bibi. Maka apa bila engkau bertemu dengan Titiek Sariningsih, engkau harus pandai menghormati terhadap orang yang lebih tua kedudukannya......."
"Nanti dulu, mbakyu," tukas Ulam Sari.
"Engkau bilang kedudukanku dalam perguruan lebih tua. Siapakah dia itu sebenarnya?"
'Hemm, tak aneh apa bila engkau heran dan bertanya," sahut Damayanti.
"Kebo Kuning adalah adik seperguruanku, justeru dia adalah murid ayah maupun ibu."
"Ahhh, pantas.......'
"Pantas apa?"
"Pantas ilmunya begitu tinggi. Aku kagum ketika melihat dia mengalahkan tokoh sakti Perguruan Wanasalam dan ketua Perguruan Karimun Jawa. Tapi mbakyu, mengapa ketika aku di sana, tidak pernah mengenal dan melihat?"
"Memang ada sebabnya,"
Damayanti menyahut. Kemudian ia menerangkan,
"Cara menggembleng Kebo Kuning....." '
"Nanti dulu. Mbakyu, katakan terus terang padaku. Kebo Kuning itu tentu bukan nama sebenarnya. Dia menggunakan nama samaran. Bukankah begitu?" ,
Damayanti mengangguk.
"Nama yang sebenarnya adalah Satria Utama."
"Ah, namanya begitu bagus."
"Bukan hanya namanya. Bukankah orangnya juga bagus ........?"
"Ahhh, kau.."
Tetapi tidak urung dua orang perempuan ini sama-sama cekikikan tertawa.
"Biarlah sekarang kuteruskan keteranganku.' kata Damayanti.
"Memang cara ayah, ibu maupun eyang (kakek), dalam menggembleng bocah itu jauh bedanya dengan murid murid yang lain. Bocah
itu diasingkan di tempat yang tidak boleh dikunjungi orang, selain aku, ayah, ibu atau eyang......."
"Mengapa diasingkan?" tanya Ulam Sari yang heran.
"Soalnya, agar tidak menimbulkan cemburu dan iri hati bagi murid yang lain. Sebab kami sekeluarga berusaha membentuk dia menjadi seorang pemuda perkasa."
"Mengapa begitu? "
"Ada soalnya, yang kemudian hari engkau akan tahu sendiri. Dia tentu akan menerangkan padamu, pada saatnya nanti. Tapi yang jelas, dia memang seorang anak yatim piatu seperti engkau. Titiek. Itulah sebabnya kami sekeluarga mengasihi begitu rupa. Sikap eyang seperti kepada cucunya sendiri. Sikap ayah maupun ibu seperti kepada anak sendiri. Dan sikapku seperti kepada adik kandung sendiri..."
"Ahh. pantas engkau rela menyerahkan kuda Mega Langking kepada dia."
Damayanti mengangguk.
"Engkau benar. Engkau tentunya juga tahu bahwa aku ini anak tunggal. Aku tidak mempunyai adik. Itulah sebabnya aku amat kasih kepada Satria Utama. Sebaliknya, engkau sendiri tentu merasa bagaimanakah sikap kami sekeluarga kepada engkau. Bukan saja karena engkau masih mempunyai hubungan famili dengan kami, tetapi engkau juga murid langsung Ki Ageng Purwoto Sidik. Oleh sebab itu kami sekeluarga mempunyai harapan. Agar kelak kemudian hari, engkau dengan dia bisa menjadi........"
"Ahh!" seru Ulam Sari tertahan dan membuang muka, merasa malu.
Tentu saja Ulam Sari sudah dapat menduga ke mana tujuan ucapan Damayanti .Dirinya diharapkan dapat menjadi isteri Satria Utama.
"Nanti dia tentu datang juga kemari," kata Damayanti lagi.
"Sudahlah,"
Ulam Sari berusaha mencegah Damayanti membicarakan Satria Utama lagi. Kemudian gadis ini memperhatikan empat buah kursi besar, diberi alas kulit harimau, yang sampai sekarang masih saja kosong. Diam diam gadis ini heran.
Untuk siapakah kursi yang masih kosong itu?
Mungkinkah di situ akan duduk Pangeran Mataram, termasuk Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari ?
Di saat Ulam Sari sedang menduga-duga dan dalam hati bertanya itu, tiba -tiba terdengarlah seruan nyaring dari seorang perwira Mataram, yang bertugas sebagai penerima tamu,
"Kami persilahkan empat orang tokoh utama masuk ke dalam pendapa!"
Seruan ini segera disambung oleh para perwira yang lain, sehingga empat orang tokoh utama yang belum hadir itu bisa mendengar.
Agaknya bukan hanya Ulam Sari dan Damayanti yang kaget berbareng heran. Tamu yang hadirpun merasa kaget dan heran.
Siapakah yang disebut sebagai tokoh utama itu?
Kalau begitu, ada pembagian antara tokoh utama dan bukan tokoh utama. Atau dapat diartikan pula tokoh besar dan bukan tokoh besar.
Seluruh pendapa itu hening dan semua mata mengamati ke arah pintu samping. Dari pintu tersebut muncullah seorang perwira Mataram yang melangkah tegap, mendahului empat orang lakilaki tua masuk ke dalam pendapa. Begitu tiba di depan empat buah kursi beralas kulit harimau tersebut, perwira itu langsung mempersilahkan empat orang tersebut duduk pada kursi itu.
Melihat empat orang itu banyak di antara tamu saling berbisik.
Mengapa di antara empat orang itu, tidak ada Kyai Abubakar sebagai tokoh utama Pondok Bligo?
Padahal Pondok Bligo merupakan perguruan yang terkenal, dan banyak memiliki tokoh sakti mandraguna.
Mungkinkah wakil Pondok Bligo tidak diundang?
Juga mengapa tidak hadir Wisnu Murti ketua Perguruan Kemuning yang masih merupakan kakek guru dari Pangeran Pekik?
Dua orang tokoh itu, yang satu dari Pondok Bligo dan yang seorang dari Perguruan Kemuning adalah merupakan tokoh-tokoh sakti mandraguna


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa bukan dua orang itu sebagai tokoh utama?
Mungkin pulakah Perguruan Kemuning tidak diundang, atau diundang tetapi tidak mau hadir?
Orang berusaha menduga dan menebak-nebak. Namun tidak juga mereka dapat memperoleh jawaban yang memuaskan.
Di antara keempat orang yang disebut sebagai tokoh utama itu, yang melangkah paling depan adalah seorang laki-laki tua. Kepalanya gundul pelontos, tanpa ikat kepala dan mengenakan jubah putih. Selintas kilas saja orang segera dapat mengetahui bahwa kakek itu seorang pendeta. Wajahnya tampak Welas asih di samping angker dan berwibawa. Di belakangnya menyusul seorang kakek pula, yang pakaiannya begitu mentereng dan sepasang matanya jelalatan mengamati seluruh ruangan. Sepintas pandang, orang tidak dapat menilai, bahwa kakek ini seorang sakti mandraguna pilih tanding. Berbeda dengan pendeta yang berjalan paling depan, dari sikap dan wajahnya yang angker saja, orang sudah menjadi tunduk. Orang ke tiga yang masuk, adalah seorang tua, yang usianya tidak kurang dari limapuluh lima tahun.Sekalipun sudah tua, akan tetapi laki-laki ini nampak masih bersemangat. Sepasang matanya bersinar berkilat kilat, langkahnya tenang tetapi mantap, membuktikan bahwa dia memang seorang tokoh berilmu tinggi. Pakaian orang inipun indah, terbikin dari bahan yang amat mahal. Malah kalau orang lain kakinya tanpa alas orang ini memakai terompah (semacam sandal). Begitu masuk ke dalam pendapa, tokoh ini bibirnya menyungging senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada para tamu yang sudah dikenal. Begitu melihat, di antara banyak orang sudah menyebut namanya, Sela Kencana!
Tiba-tiba Damayanti berbisik,
"Satria Utama yang mengaku bernama Kebo Kuning itu, juga mempunyai hubungan dengan Sela Kencana ini."
"Hubungan keluarga?" tanya Ulam Sari.
Damayanti menggeleng.
"Bukan. Tetapi hubungan persoalan, yang akan diselesaikan bocah itu sendiri di depan banyak orang di sini."
"Ahhh........!"
Ulam Sari kaget.
"Apakah persoalan dia dengan orang itu?"
"Persoalan pribadi, dan nanti engkau juga akan tahu sendiri, sesudah bocah itu muncul. Entah apa saja yang dilakukan bocah itu, sehingga sampai sekarang belum juga muncul. Tetapi yang jelas, persoalan antara Satria Utama dengan Sela Kencana, akan menggemparkan dan menarik perhatian orang."
"Ahhh, jadi kalau begitu ada hubungannya pula antara tingkah lakunya yang aneh dengan Sela Kencana ini?"
"Tingkah laku aneh yang mana?"
"Itu tentang usahanya mengalahkan tokoh sakti Perguruan Wanasalam dan Karimun Jawa."
"Benar!"
Damayanti mengangguk.
"itu merupakan usaha Satria Utama agar mempunyai alasan, dapat hadir pada pertemuan ini. Jadi usahanya itu memang mempunyai maksud tertentu. Dan itu pulalah sebabnya aku harus ikut menyingsingkan lengan baju, terpaksa menyamar sebagai nenek pikun ini, meninggalkan Wilis. Sebab bagaimanapun aku tak tega membiarkan dia seorang diri menempuh bahaya."
Ulam Sari mengangguk-angguk. Kemudian bertanya,
"Kalau begitu, kiranya ayah dan ibu juga hadir?"
Yang disebut oleh Ulam Sari ayah dan ibu ini, bukan lain ayah bunda Damayanti.
Damayanti tertawa. Sahutnya samar-samar,
'Siapa yang tahu ?"
Mendengar jawaban ini, diam-diam.Ulam Sari dapat memastikan bahwa ayah dan ibu Damayanti akan datang juga.
Orang yang disebut namanya Sela Kencana ini. sikapnya berbeda dengan dua orang kakek yang tadi. Orang ini tidak segera duduk pada kursi yang telah disediakan. Akan tetapi menghampiri beberapa orang tokoh perguruan yang sudah dikenalnya, menjabat tangan para tamu itu seorang demi seorang dengan bibir yang tetap tersenyum-senyum. Sikap Sela Kencana tidak bedanya seorang tuan rumah yang ramah, menerima kunjungan para tamu. Secara tidak terduga, Sela Kencana menghampiri meja di mana Ulam Sari dan Damayanti duduk. Akan tetapi Sela Kencana perlu menghampiri seorang kakek yang duduk semeja dengan Ulam Sari. Lalu Sela Kencana menjabat tangan kakek itu sambil berkata diiring ketawanya,
"Kera tua! Engkau juga datang? Ha-ha-ha, sayang sekali aku tak tahu sebelumnya jika engkau bakal datang. Hingga aku tidak membawakan setundun pisang untuk engkau."
Kakek itu membungkuk memberi hormat, ia menjawab sambil tertawa pula,
"Aihh......, sudah amat lama saya tidak pernah berjumpa lagi dengan tuan. Hemm, makin tua engkau makin gagah saja, dan ganteng....."
Sela Kencana tertawa.
"Ha-ha-ha, syukur engkau masih selamat tak kurang suatu apa. Tetapi bagaimanakah dengan anak cucumu di Gunung Slamet?'
"Ya, semua' kera anak cucuku hidup dengan gembira, ha-ha-ha!" sahut kakek ini dengan ketawa bekakakan.
Sela Kencanapun meninggalkan meja ini dengan
masih tetap tertawa. Diam-diam Ulam Sari memuji atas keramahan tokoh ini, di samping hampir semua tokoh dikenal dan mengenal. Tidak mengherankan apa bila Sela Kencana terpilih sebagai "tokoh utama".
Adapun orang tua yang semeja dengan Ulam Sari, dan disebut "kera tua" oleh Sela Kencana ini, namanya Sugriwa. Sebabnya disebut kera tua, karena dalam cerita wayang, Sugriwo itu adalah nama kera yang menghuni Gua Kiskenda.
Sela Kencana baru menuju ke kursi yang disediakan, sesudah keliling memberi salam dan jabatan tangan kepada puluhan orang tokoh. Kesan semua tamu terhadap Sela Kencana begitu baik. Dan banyak di antara mereka bersimpati.
"Titiek," bisik Damayanti
"Engkau jangan mudah terpengaruh oleh apa yang nampak. Sesuatu yang tampaknya menarik, mengagumkan, belum tentu berhati emas. Justru di balik sikap yang begitu menarik itu, perlu engkau curigai, karena kebanyakan bersembunyi tingkah laku yang tidak patut."
Ulam Sari mengangguk, sebab sudah dapat menebak siapakah yang dimaksud. Namun begitu. diam-diam ia ragu dan tidak percaya.
Mungkinkah orang yang seramah Sela Kencana ini hatinya jahat?
Orang ke empat yang masuk ke dalam pendapa. ternyata seorang kakek yang mengenakan pakaian seragam perwira Mataram. Ulam Sari terbelalak dan heran.
Mengapa kakek ini dianggap sebagai tokoh utama?
Ia pernah berkelahi melawan kakek itu. dan ia sanggup mengalahkan, Ia sudah mencoba baik di surabaya maupun di Giri. Sebab bukan lain perwira itu adalah Hesti Wiro.
Tiba tiba kera tua Sugriwo berkata kepada seorang pemuda yang duduk di sampingnya,
"Anak, engkau harus dapat meniru perbuatan perbuatan mulia yang telah dilakukan oleh tuan Sela Kencana. Dia seorang hartawan yang tangannya selalu terbuka. Dia tidak pernah meremehkan atau menolak apa saja orang datang dan minta bantuan."
Mendengar kata-kata Sugriwo ini, Ulam Sari melirik ke arah Damayanti dan melihat bahwa Damayanti menundukkan muka, tetapi bibirnya men-cibir.
"Nah, itu dia !"
Sugriwo berkata lagi sambil mengangkat tangan dan menuding.
"Pemuda-pemuda yang pakaiannya kembar dan sibuk membagikan bungkusan itu, adalah murid-murid tuan Sela Kencana. Entah apa saja ini bungkusan itu. Tetapi aku merasa pasti, bahwa di dalam bungkusan itu terdapat pula uang."
Ulam Sari melirik ke meja yang sudah menerima bungkusan itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh Sugriwo benar. Dalam bungkusan itu selain terdapat ayam panggang, dan beberapa macam makanan lain, juga uang dalam pundi pundi kecil. Melihat ini, hati Ulam Sari makin tambah ragu dan kurang percaya akan keterangan Damayanti tadi. Adapun pemuda yang tadi diajak bicara oleh kera tua Sugriwo, mengangguk anggukkan kepala, sedang dari wajahnya membayangkan rasa kagum.
Tak lama kemudian menyusul pula para pelayan tuan rumah yang menghidangkan minuman dan
makanan ringan di atas piring. Hingga pada meja meja perjamuan itu sekarang penuh cangkir dan piring isi makanan.
Sesudah semua meja penuh hidangan dan minuman, seorang perWira yang tugasnya memang menerima tamu sudah berteriak nyaring,
"Para tamu dan para tokoh yang terhormat, kesediaan tuan-tuan sekalian hadir pada pertemuan ini, Gusti Pangeran Kajoran menyambut dengan gembira, mengucapkan terima kasih dan mengucapkan pula selamat datang kepada kalian! Minuman dan makanan telah tersedia di meja, silahkan kalian mencicipi. Nanti, Gusti Pangeran Kajoran tentu saja akan menyambut sendiri kepada kalian semua!"
Perwira ini berhenti sebentar, baru kemudian meneruskan,
"Hari ini merupakan pertemuan yang amat penting, justeru dihadiri oleh sekalian tokoh sakti dari seluruh penjuru Wilayah Kerajaan Mataram. Pertemuan seperti ini belum pernah terjadi dalam sejarah. Maka tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Gusti Pangeran Kajoran. Sekarang kiranya tepat apa bila kami lebih dahulu memperkenalkan kepada kalian, tentang empat tokoh utama "yang duduk pada kursi kehormatan ini."
Kemudian oleh perwira itu mulai disebut tentang nama para tokoh itu. Yang pertama, seorang pendeta gundul itu, bernama Ajata Satru dari Cirebon, Para yang hadir menyambut nama itu dengan tepuk tangan yang gemuruh. Agaknya nama Ajata Satru cukup tenar pula, sehingga kehadirannya memperoleh sambutan hangat. Kemudian
orang ke dua, diperkenalkan dengan nama Suwelo Giri dari Karangbolong. Orang ketiga seperti telah diceritakan di depan bernama Sela Kercana, hartawan yang dermawan dan berumah di desa Tegal Saribit._Sedang orang ke empat adalah Hesti Wiro, tokoh pengawal yang sudah banyak dikenal orang.
Keempat orang yang disebut sebagai "tokoh utama" itu kemudian memberi hormat kepada sekalian yang hadir, dan disambut oleh tepuk tangan ,dan sorak gemuruh dari mereka semua. Sesudah itu semua tamu menyerbu hidangan yang sudah tersedia di atas meja.
Tak lama kemudian terdengar suara perwira itu lagi,
"'Para tamu sekalian yang kami hormati, Gusti Pangeran Kajoran segera masuk dalam ruangan. Siiahkan para hadirin memberi penghormatan."
Berisik untuk sebentar, karena semua tamu berdiri untuk memberi penghormatan kepada pangeran itu sambil membungkukkan tubuh. Pangeran Kajoran yang sakti mandraguna dan luas pula pergaulannya itu membagi Senyum kepada semua yang hadir. Sesudah itu, barulah Pangeran Kajoran menempatkan diri pada kursi yang sudah disediakan.
Melihat ketenangan, keangkeran, sinar mata yang berpengaruh dan gerak-gerik Pangeran Kajoran itu, diam-diam Ulam Sari kagum dan memuji. Tak heran, dia saudara Ratu Wandansari. Sekalipun usianya masih muda, namun banyak mengenal dan dikenal oleh para tokoh sakti.
Sejenak kemudian Pangeran Kajoran dipersilahkan oleh perwira itu, untuk memberi ucapan selamat datang kepada para tamu. Dan pangeran itu
pun berdiri, lebih dahulu mengangguk-angguk dan membagi senyum kepada semua yang hadir. Baru kemudian ia mulai berkata.
"Pertemuan yang belum pernah terjadi hari ini, sepengetahuan Ingkang Sinuhun Sultan Agung, raja bijaksana di Mataram yang jaya. Saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan kehadiran kalian, memenuhi undanganku. Perlu tuan-tuan ketahui, bahwa saya terlambat masuk ke dalam pendapa ini, oleh karena baru saja saya pulang dari keraton, atas panggilan ingkang sinuhun. Pada saat saya menghadap, ingkang sinuhun berkenan memberi hadiah duapuluh empat buah cangkir, yang harus saya bagikan kepada duapuluh empat orang ketua perguruan!"
Tanpa diperintah, seorang perwira telah masuk mendahului dua orang pelayan yang menggotong sebuah peti kayu yang besar dan diselubungi oleh kain sutera warna merah. Begitu selubung dibuka, di dalamnya terdapat sebuah peti besar dari kayu cendana yang terukir bagus sekali. Begitu kotak tersebut dibuka, segera dikeluarkanlah isi kotak tersebut. Ternyata cangkir itu, yang duabelas merupakan cangkir emas yang dihias oleh pahatan halus, berujud lukisan seekor banteng yang sedang berkelahi melawan seekor harimau gembong. Mata banteng itu merah terbikin dari batu mirah, sedang mata harimau tersebut hijau terbikin dari batu akik. Sehingga apa bila terkena sinar, mata banteng maupun mata harimau itu akan berkilauan seperti benar-benar hidup. Membuktikan bahwa lukisan itu dipahat oleh seorang ahli. Adapun yang duabelas lainnya, merupakan cangkir perak yang halus pula buatannya. Canakir itu dihias dengan lukisan seekor burung rajawali yang sedang berkelahi melawan seekor ular. Mata rajawali maupun ular inipun terbikin dari batu mirah dan batu akik yang dapat bersinar. Sehingga tampak hidup dan menyedapkan dipandang.
Tentang harga dari cangkir emas maupun cangkir perak itu bagi para tamu yang hadir, apa bila dinilai dengan uang tidaklah seberapa besar. Akan tetapi karena barang-barang itu merupakan hadiah dari raja dari Mataram, dan tentu nilai dari cangkir tersebut merupakan ukuran dari martabat seseorang, maka barang-barang yang tidak seberapa besar nliainya itu menjadi amat bernilai. Lebih-lebih sesudah Pangeran Kajoran memberi, penjelasan sekedarnya.
"Kalian adalah tekoh'tokoh utama dalam dunia orang sakti," kata Pangeran Kajoran sambil mengamati empat orang tokoh yang duduk pada kursi kehormatan itu.
"Maka sudah sepantasnya pula apa bila empat buah cangkir emas, saya samrpaikan kepada kalian masing-masing sebuah."
Sesudah berkata, Pangeran Kajoran mengambil empat buah cangkir emas itu dari meja. Lalu dibagikan kepada empat orang tokoh utama itu. Atas pemberian ini, empat Orang itu menyambut dengan ucapan terima kasih.
"Cangkir emas tinggal delapan buah," kata Pangeran Kajoran setelah kembali ke tempat semula.
"Karena jumlahnya terbatas, padahal yang hadir di tempat ini ratusan jumlahnya, maka kiranya perlu diatur. Yang berhak memiliki cangkir cangkir itu adalah para tokoh sakti mandraguna. Dan delapan orang sakti yang terpilih itu tentu saja kedudukun dan martabatnya menjadi naik tinggi, sejajar dengan empat orang tokoh utama."
Pangeran Kajoran berhenti sejenak sambil menebarkan pandang matanya ke sekeliling. Kemudian katanya lebih lanjut,
"Sebelum ditentukan siapakah di antara kalian yang berhak memperoleh cangkir emas itu, harap kalian ketahui, bahwa tujuan saya mengumpulkan kalian di sini, adalah luhur, Kalian adalah para tokoh pecinta negeri. Pecinta tanah air yang takkan begitu saja membiarkan orang asing menginjak-injak bumi Pertiwi. Cita cita paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung sejalan dengan cita-cita kalian. Ialah ingin mempersatukan tenaga dan kekuatan yang ada, guna melawan dan mengusir Kumpeni Belanda yang menghina kita. Beberapa tahun yang lalu, seperti kalian ketahui, akibat kesalahpahaman antara raja dengan beberapa tokoh sakti terjadi pertentangan. Karena mereka membela para bupati dan adipati yang memberontak kepada Mataram. Akan tetapi semua itu sekarang telah berhasil dibereskan, dan kerja sama antara kerajaan dengan kalian semua terjalin amat erat. Para bupati dan adipati yang semula memberontak sekarang telah bernaung di bawah panji Mataram. Maka tujuan mulia sekarang. tiada lain kecuali mengusir Kumpeni Belanda itu dari tanah air."
Katakata Pangeran Kajoran ini terputus oleh tepuk sorak mereka yang hadir, hingga suaranya amat gemuruh. Mereka yang hadir ini, merupakan tokoh-tokoh pecinta tanah air. Yang tidak akan rela tanah tumpah darahnya diinjak-injak oleh
bangsa lain. Maka semangat mereka terbangun.
Akan tetapi tiba-tiba Damayanti mendengus dingin. Katanya perlahan,
"Semua orang akan mencintai tanah airnya. Dan akan membela dengan titik darah penghabisan. Tujuannya memang bagus dan patut dipUji. Akan tetapi cara yang diselenggarakan oleh Pangeran Kajoran ini perlu dicela."
Ulam Sari kaget mendengar itu. Ia mengamati sambil bertanya,
"Mbakyu, apakah alasanmu ?"
"Hemm, dengan adanya pembagian antara tokoh utama dan bukan tokoh utama ini saja sudah menimbulkan rasa tidak puas di antara mereka yang hadir. Rasa tidak puas menjurus kepada perpecahan. Kemudian, dengan adanya pembagian cangkir itu ditentukan oleh ilmu kesaktian, ini merupakan tindakan yang tidak bijaksana pula. Mengapa orang harus berkelahi? Belum juga orang bisa dipersatukan mengusir orang asing. sudah disuruh berkelahi.Akibat berkelahi adalah jelas, terluka atau terbunuh mati. Manakah mungkin orang bisa bersatu kalau sudah timbul malapetaka? Masing masing pihak yang merasa dirugikan tentu akan berusaha menuntut balas.Sebaliknya pihak yang merasa menang akan menjadi sombong dan marendahkan pihak lain. Hemm, cara yang tidak bijaksana. Tidak bijaksana!"
Damayanti berhenti sejenak. Kemudian terusnya;
"Aku tidak rela apa bila di antara kita sendiri saling cakar dan berkelahi. Dan kalau toh raja memang ingin mempersatukan kita ini untuk mengusir orang asing itu, lebih tepat apa bila tiada sebutan tokoh utama dan bukan tokoh utama. Tidak
perlu ada pembagian hadiah yang tidak adil. Huh, orang orang seperti kita adalah pejuang sejati. Pejuang yang tdak pernah memikirkan kedudukan pribadi. Kita tidak pernah mencitakan kedudukan tinggi sebagai balas jasa perjuangan kita membantu negara. Tanpa diminta oleh rajapun, orang orang seperti kita akan melawan dan menghancurkan Kumpeni Belanda itu."
"Kau benar," sambut Ulam Siri sambil bertepuk lirih.
"Mengapa harus ada perkelahian kalau menghendaki persatuan? Dengan penyelenggaraan macam ini, persatuan tidak terujud malah akan berakibat kita saling cakar dan saling hantam. Hem, sayang....."
Ketika itu Pangeran Kajoran sudah meneruskan,
"Seperti kalian ketahui, bahwa pada tahun 1618, orang orang Belanda yang bertempat tinggal di Jepara secara kurang ajar telah merampas beberapa buah perahu kita. Paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung segera memerintahkan kepada Bupati Baurekso, Bupati Kendal menghukum mereka. Tindakan semacam ini perlu dilakukan agar mata Kumpeni Belanda terbuka. Bahwa kita tidak boleh dihina. Sekarang Kumpeni Belanda itu makin kurang ajar. Maka paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung sudah memikirkan daya untuk menyerbu dan menghancurkan Betawi (Jakarta), dan mengusir Kumpeni Belanda dari sana. Cita cita ini baru bisa berhasil, apa bila kalian semua membantu Kerajaan Mataram.'
Ia berhenti lagi dan baru, beberapa saat lagi meneruskan.
"Itulah sebabnya diselenggarakan pertemuan dengan kalian ini. Kalian perlu menunjukkan kesaktian masing-masing di sini dan memperebutkan cangkir emas dan cangkir perak, bukan lain adalah untuk memperoleh kepercayaan diri. Bahwa pada saatnya nanti kekuatan Mataram bergerak menggempur Kumpeni Belanda, akan berhasil sekali pukul dengan bantuan para tokoh sakti. Dan yang bertindak sebagai wasit dan juru pemisah di antara kalian, adalah empat orang tokoh utama yang sudah menerima cangkir emas ini."
Ketetapan untuk berkelahi memperebutkan martabat diri dan cangkir emas maupun cangkir perak itu jelas tidak dapat diubah lagi. Damayanti menghela napas sedih. Dan Ulam Sari hanya berdiam diri.
Tetapi mengapa sebabnya para yang hadir itu tidak seorang pun berani menentang pertemuan yang menjadi ajang mengadu domba ini?
Setiap orang takut dan khawatir apa bila dituduh sebagai penantang Mataram dan pemberontak.
Bukankah alasan Pangeran Kajoran tepat sekali, untuk mengusir Kumpeni Belanda?
Maka walaupun banyak di antara mereka tidak setuju dengan cara penyelenggaraan ini, mereka terpaksa diam saja. Namun demikian, karena banyak di antara mereka yang tidak puas, pendapa ini menjadi berisik, karena semua orang bicara dengan teman semeja
Tiba tiba terdengar suara Damayanti berbisik,
"Titiek apakah engkau sudah dapat menduga-duga mengapa sebabnya aku hadir di tempat ini ?"
Titiek Sariningsih yang masih menyamar sebagai Ulam Sari ini, men angguk. Jawabnya
"Aku
tahu! Bukankah engkau ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah ini ?"
"Engkau cerdik juga, Titiek," kata Damayanti sambil tersenyum.
"Mungkin memang sudah suratan takdirku. Di kala terjadi permusuhan, di kala terjadi malapetaka, aku seperti telah ditetapkan menjadi juru pemisah dan juru pendamai. Walaupun engkau sendiri tidak melihat dan tidak mengetahui apa yang terjadi di Pondok Bligo, tetapi tentu engkau masih ingat akan ceritaku, bukan?"
Ulam Sari mengangguk. Gadis ini memang masih ingat tentang sepak terjang Damayanti ketika di Pondok Bligo. Sehingga berhasil mencegah terjadinya pertumpahan darah antara tokoh sakti (baca: Ratu Wandansari oleh pengarang dan penerbit yang sama).
Tiba-tiba seorang perwira bertepuk tangan tiga kali. Suara berisik berkurang. Setelah perwira itu berteriak agar para hadirin tenang. suasana berisik itu menjadi sirap.
"Saya tahu, bahwa kalian menduga buruk padaku," kata Pangeran Kajoran.
"Maksudku bertanding di sini bukanlah bertanding benar benar, sehingga dapat menimbulkan korban jiwa. Untuk mengatur semua ini, biarlah seorang pembantuku memberi penjelasan."
Pangeran Kajoran kembali duduk di kursinya. Kemudian muncullah seorang laki-laki gagah, berpakaian mentereng sebagai seorang pembesar kerajaan. Setelah memberi hormat kepada Pangeran Kajoran, orang itu menebarkan pandang matanya
ke seluruh ruangan pendapa. Seorang tua yang duduk di dekat Ulam Sari sudah berseru tertahan,
"Ahh. itu dia Adipati Mandurorejo!"
Adipati Mandurorejo merupakan tokoh sakti Mataram pula. Namanya yang harum tercatat pula dalam sejarah Mataram. Ia mendehem tiga kali, baru mulai bicara.
"Harap tuan-tuan sabar untuk mengatur apa yang akan kita perlukan."
Sesudah berkata, Adipati Mandurorejo menggerakkan tangan memberi isyarat kepada perwira penerima tamu. Perwira inipun kemudian mengangkat tangan memberi isyarat kepada para pelayan di luar pendapa. Beberapa orang pelayan segera masuk ke dalam pendapa sambil membawa kursi. Duabelas kursi berjajar di timur, dan duabelas kursi lain berjajar di bagian barat. Bagian tengah tetap kosong dan sekarang semua orang tahu, tentu tempat kosong itulah yang dijadikan ajang mengadu kesaktian. Diam-diam jantung semua orang tegang.
Siapakah nanti yang akan terpilih dari sejumlah yang hadir ini?
Pada kursi sebelah barat maupun timur itu, di depannya ditempatkan pula meja. Pada setiap meja itu diberi alas kain warnanya berbeda. Sebelah barat kain putih bersulam benang emas, sedang bagian timur kain hijau bersulam benang perak. Orang segera bisa menduga bahwa kursi sebelah barat itulah tempat para tokoh yang bakal memperoleh cangkir emas.
Ternyata dugaan mereka itu benar. Duapuluh empat cangkir tadi, sekarang dipindahkan oleh para Pelayan ke tempat yang sudah ditentukan. Cangkir emas di sebelah barat, sedang cangkir perak di sebelah timur. Sesudah semua diatur beres, barulah Adipati Mandurorejo berkata dengan suara nyaring.
"Pertemuan kita hari ini bukan lain untuk mengikat persahabatan. Maka apa bila nanti bertanding, begitu salah seorang dapat disentuh, pertandingan itu dianggap selesai. Yang kena disentuh dianggap kalah. Dalam pertandingan persahabatan ini tidak ada yang kalah dan menang dalam arti sesungguhnya. Maka siapapun tidak boleh mendongkol dan mendendam. Oleh sebab itu tidak dibenarkan dalam pertandingan ini sampai membuat lawan terluka."
Ia berhenti sejenak dan batuk-batuk. Kemudian baru ia melanjutkan lagi,
"Akan tetapi kita semua memang menyadari, bahwa setiap perkelahian itu memang ada kemungkinan salah tangan. Maka apa bila sampai terjadi begini, Gusti Pangeran Kajoran telah menetapkan ganti rugi. Bagi yang kesalahan tangan mendapatkan luka ringan akan memperoleh ganti uang obat sebanyak limapuluh real. Dan yang terluka berat akan menerima duaratus real. Sebaliknya apa bila sampai terjadi ada yang meninggal dunia, sumbangan penguburan akan diberikan kepada keluarga masing.-masing delapanratus real. Perlu diketahui juga, bahwa seseorang yang sampai kesalahan tangan melukai maupun membunuh lawan, tidak akan dituntut di pengadilan, karena semua itu terjadi di dalam perkelahian di pertandingan secara kesatria."
Damayanti dan Ulam Sari terkejut dan menggerutu. Tidak terkecuali beberapa orang tamu.
Mengapa ada ketentuan semacam itu?
Mula-mula diterangkan, salah seorang yang tersentuh oleh
lawan dianggap kalah. Akan tetapi mengapa ada ganti rugi bagi orang yang mati terbunuh? Apakah anjuran macam ini tidak merangsang orang menyalahgunakan pertandingan ini?
"Hemm, kentut busuk!" desis Damayanti.
"Dengan ketetapan macam ini, berarti dianjurkan kepada semua yang hadir untuk saling bunuh. Kalau sampai terjadi saling bunuh, manakah mungkin bisa bersatu? Yang terjadi malah akan sebaliknya. Orang saling hantam dan saling mendendam. Huh, apakah benar semua ini merupakan buah,pikiran Pangeran Kajoran yang disetujui oleh Sultan Agung? Saya kira bukan."
"Ehh, mbakyu. Lalu engkau menduga siapa?"
Ulam Sari agak kaget.
"Aku tidak dapat menduga siapapun. Tetapi gelagatnya keadaan ini tidak baik. Sikap Sultan Agung terhadap orang asing yang disebut Kumpeni itu jelas, benci setengah mati. Maka mungkin hal ini didalangi oleh seseorang pembesar Kerajaan Mataram sendiri, yang sudah main mata dengan Kumpeni.Ahh, kalau dugaanku benar, sungguh celaka! "
Sementara itu Adipati Mandurorejo telah mempersilahkan empat orang tokoh utama itu pindah tempat duduk pada kursi, di mana di atas meja telah berjajar cangkir dari emas. Seorang perwira yang bertugas sebagai penerima tamu segera maju dan mempersilahkan Ajata Satru dan yang lain. Sesudah mereka itu duduk, masih terdapat delapan kursi yang masih kosong.
Adipati Mandurorejo segera berkata lagi dengan
suaranya yang tetap nyaring,
'Para saudara sekalian, sekarang kalian dipersilahkan mempertunjukkan kesaktian masing-masing secara bebas dan merdeka. Bagi mereka yang merasa diri kuat, silahkan duduk di sebelah barat, untuk memperoleh sebuah cangkir emas. Akan tetapi jika merasa kurang kuat, silahkan saudara duduk di sebelah timur, untuk memperoleh cangkir perak. Apa bila kursi-kursi itu sudah terisi semua, akan tetapi kalian ada yang merasa kurang puas, dan berani menantang, Silahkan kalian menentukan sendiri dengan ilmu kepandaian dan kesaktian. Yang kalah harap segera mengundurkan diri dan tidak perlu mendendam dalam hati. Adapun yang menang silahkan duduk di kursi yang telah ditentukan. Pertandingan ini baru dianggap selesai, apa bila tidak seorang pun yang maju dan menantang. Nah, sesudah saya memberi penjelasan, bagaimanakah menurut pendapat kalian ?"
Pertanyaan ini segera disambut oleh suara setuju dari beberapa orang yang hadir. Terutama para jago muda yang memang masih memiliki darah panas. Di lain pihak tidak sedikit pula yang merasa tidak setuju. Sebab cara demikian berarti membuka kesempatan kepada orang orang ini untuk berkelahi dan saling bunuh. Akibatnya mereka akan terpecah-belah dan saling mendendam. Namun sekalipun hati tidak setuju, tidak seorang pun berani membuka mulut. Termasuk Ulam Sari dan Damayanti yang sesungguhnya tidak setuju.
Adapun Pangeran Kajoran sendiri, duduk di kursi kehormatan. Wajahnya berseri-seri gembira.
Ia duduk dengan dikawal oleh pengawal-pengawal sakti mandraguna. Malah ketika Ulam Sari melirik ke arah tempat duduk pangeran itu, Yoga Swara tokoh Gagak Rimang itu, telah berada di dekat sang pangeran. Sekarang Ulam Sari baru tahu, bahwa kehadiran Yoga Swara di Mataram ini bertugas khusus untuk melindungi keselamatan Pangeran Kajoran. Diam diam Ulam Sari kagum bahwa ternyata persiapan Pangeran Kajoran sedemikian rapinya. Memang tidak mengherankan bahwa Pangeran Kajoran memerlukan perlindungan yang kuat. Sebab yang dihadapi sekarang ini adalah para tokoh sakti. Walaupun Pangeran Kajoran sendiri seorang sakti mandraguna, perlindungan pengawal masih tetap diperlukan.
Ketika Ulam Sari mencoba menebarkan pandang matanya keluar pendapa, ternyata di atas genteng pada bangunan lain, terdapat banyak sekali pengawal dengan senjata terhunus. Melihat itu Ulam Sari percaya, bahwa sekitar pendapa ini dijaga secara ketat pula oleh para pengawal yang berbaris pendam (artinya, secara sembunyi atau rahasia ).
"Hemm, apapun yang akan terjadi di sini, bagiku tidak perduli," katanya dalam hati.
"Bagiku yang penting adalah Sungsang. Sungguh dugaanku tidak meleset manusia busuk itu menyelamatkan diri dan berusaha berlindung di sini. Hemm, awas! Apabila Sungsang berani maju untuk memperebutkan salah satu cangkir, akupun akan maju menantang dia. Huh, hatiku baru merasa puas dan lega sesudah dapat membunuh manusia busuk itu.
Pendeknya aku akan maju pada bagian akhir, menunggu 'setelah mereka saling hantam dan payah."
Tetapi benarkah pikiran Ulam Sari ini, hanya merupakan pikiran gadis itu sendiri?
Tentu saja keliru!
Semua orang mempunyai perhitungan seperti itu. Ingin maju belakangan setelah orang payah berkelahi. Dengan begitu berarti akan dapat menarik keuntungan.
Beberapa kali Adipati Mandurorejo mempersilahkan mereka yang hadir untuk maju dan duduk di kursi. Namun belum juga ada orang yang memberanikan diri maju memperebutkan cangkir-cangkir yang sudah disediakan itu.
Tetapi di samping orang orang itu memperhitungkan untung dan ruginya apa bila maju lebih dahulu, juga mereka tidak akan berani sembarangan menginginkan cangkir emas itu. Sebab apa bila kalah di samping merugikan diri sendiri dan mungkin nyawanya melayang. hal itu akan membawa-bawa nama baik perguruan pula. Sekali jatuh di mata masyarakat, sulit untuk dapat mengembalikan kepercayaan orang. Namun di samping itu tidak sedikit pula yang berpendapat, apa bila hanya memperebutkan cangkir perak itu, yang berarti pula merupakan jago kelas dua, menganggap bahwa hal itu berarti akan menurunkan derajat perguruannya. Maka dari pada harus puas memperoleh cangkir perak, lebih baik mengadu untung dengan memperebutkan cangkir emas.
Karena sudah berkali-kali tak juga ada seorang pun yang bangkit dari kursinya, menduduki kursi
yang telah disediakan, Adipati Mandurorejo segera tertawa dingin. Ia seorang adipati tua yang sudah berpengalaman. Maka ia mengenal watak para orang gagah yang hadir sekarang ini. Ia segera berkata nyaring bernada mengejek untuk memanaskan hati dan membangkitkan kemarahan mereka,
"Hemm. sungguh sayang sekali. Mengapa saudara-saudara begitu sungkan? Apakah sesungguhnya kalian takut? Jika memang takut, apakah guna kalian hadir di sini? Toh lebih baik pulang saja! Ataukah saudara-saudara memang lebih suka memilih maju paling belakang, sesudah semua orang merasa lelah dan capai? Hemm, jika dugaan saya ini benar, apakah kalian tidak malu?"
Kata-kata yang merendahkan dan mengejek ini, tentu saja kuasa membangkitkan penasaran dan rasa malu. Hampir berbareng empat orang sudah bangkit dari kursi, melangkah ke arah kursi yang kosong. Empat orang yang maju lalu menduduki kursi itu, rata-rata sudah berusia kurang lebih setengah abad. Bentuk tubuhnya macam-macam. Akan tetapi yang jelas sikap mereka gagah dan angker. Salah seorang di antara mereka itu, begitu duduk di kursi, segera terdengar suara "krek-krek krek".
"Hai Jalu Raga!" teriak Ki Jagur, tokoh dari Nusakambangan.
"Kita masih menghadapi banyak jago-jago sakti mandraguna. maka belum tentu kita ini dapat mempertahankan cangkir emas. Mengingat itu, maka jangan engkau sembrono dan merusakkan kursi itu!"
Jalu Raga yang tubuhnya gemuk pendek itu hanya menyeringai. Tetapi sekarang kakinya tidak bergerak lagi, sehingga kursi itu tidak bersuara lagi. Bukan tiada maksud Jalu Raga berbuat seperti itu. Ia ingin meruntuhkan semangat orang agar tidak ditantang orang. Perlunya dapat memiliki cangkir emas itu tanpa kesulitan.
Melihat munculnya Jalu Raga yang memberanikan diri duduk pada kursi kehormatan itu, diam diam Ulam Sari heran. Sungguh begitu berani orang itu.
Apakah memang mencari mampus?
Dengan dirinya, Jalu Raga tidak pernah bisa menang. Apakah memang Jalu Raga sekarang ini mempunyai tiang andalan yang akan bisa menjamin keselamatannya?
Katanya dalam hati,
"Hemm, aku ingin melihat. Apa sebabnya Jalu Raga berbuat nekat macam ini?"
Ia menebarkan pandang matanya ke arah orang orang yang hadir. Kemudian iapun memperhatikan dari arah mana tadi Jalu Raga muncul dan maju. Tiba-tiba gadis ini tersenyum. Katanya dalam hati,
"Hemm, dia datang bersama Pitrang dan Wanengboyo. Tetapi Wanengboyo dan Pitrang apakah bisa diandalkan bantuannya? Hemm, tidak tahu malu!"
Adipati Mandurorejo tampak berbisik bisik dengan seorang pembantunya. Kemudian ia berteriak sambil menunjuk kepada si gemuk,
"Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa tuan ini adalah Jalu Raga, seorang tokoh dari Rawa Lakbok."
Kemudian ia menunjuk kepada orang yang tadi mencela Jalu Raga, lalu dua orang yang lain.
"Yang itu adalah Ki Jagur, seorang tokoh dari Nusakambangan. Kemudian itu, adalah Wiropati, ketua Perguruan Lodaya. Dan itu, adalah Putut Sido Lamong, tokoh Bumiayu."
"Aha!" kata kakek yang duduk semeja dengan Ulam Sari.
"Putut Sido Lamong juga menghendaki cangkir emas? Dia berjuluk Durjana Tangan Sewu. Orang yang berbahaya!"
Ulam Sari tersenyum mendengar julukan atau gelar itu. Durjana Tangan Sewu, 'ialah Pencuri Bertangan Seribu ini berarti bahwa Putut Sido Lamong itu, seorang maling sakti yang tangannya ampuh. Mungkin sekali saking cepatnya tangan orang itu apa bila bergerak untuk mencuri milik orang lain. Bagi Ulam Sari, di antara empat orang tokoh yang sudah duduk pada kursi itu, yang berharga adalah hanya Wiropati, ketua Perguruan Lodaya. Sebab perguruan ini mempunyai ilmu pukulan yang ampuh sekali, disebut llmu Pukulan Sapta Kanin artinya tujuh luka. Orang yang terkena pukulannya akan menderita luka dalam di tujuh tempat. Ulam Sari mengetahui seluk-beluk Perguruan Lodaya ini, berdasar keterangan Ki Ageng Lumbungkerep, atau kakek Damayanti.
Mungkin para pembaca yang telah membaca permulaan cerita ini, yang berjudul "Jaka Pekik" masih ingat, bahwa Perguruan Lodaya ini pernah ditolong oleh Jaka Pekik atau Pangeran Pekik. Oleh petunjuknya, para tokoh Lodaya yang semula salah melatih dalam Ilmu Sapta Kanin itu menjadi terbuka mata hatinya. sehingga dapat melatih secara benar. Mungkin sekali kehadiran Wiropati sekarang ini ada hubungan pula dengan jasa Jaka Pekik yang sekarang telah menjadi suami Ratu Wandansari. Hingga memerlukan hadir pada pertemuan ini.
Sesudah empat orang itu duduk di kursi, maju lagi tiga orang tokoh yang tubuhnya tegap tegap. Sepasang mata tiap orang bersinar sinar tajam, membuktikan sampai di manakah ketinggian ilmu orang-orang ini.
Sekarang dari duabelas kursi itu, tinggal sebuah kursi saja yang masih kosong. Adipati Mandurorejo berteriak lagi,
"Aha. sekarang tinggal sebuah. Siapa yang akan maju dan ingin memiliki?"
Belum juga lenyap suara Adipati Mandurorejo, terdengar suara penyahutan,
"Aku yang ingin memiliki. Aku Si Setan Ciu!"
Kemudian berjalanlah seorang kakek yang tinggi kurus, wajahnya merah dengan langkah sempoyongan, seperti tingkah seorang mabuk ciu (arak). Memang kakek ini seorang setan ciu. Seorang yang gemar sekali minum ciu atau arak. Tangan kakek itu yang kiri memegang guci berisi ciu, sedang tangan kanan memegang tempurung kelapa sawit yang biasa dipergunakan minum ciu (arak) itu. Begitu tiba di tengah ruangan ia melangkah dua putaran dengan tubuh sempoyongan, mirip benar dengan tingkah seorang mabuk. Mendadak ia terjengkang ke belakang dan...... cap! Pantat orang itu secara tepat sekali telah duduk pada kursi yang masih kosong.
"Bagus!' seru beberapa orang yang hadir, mungkin saking kagum melihat keringanan tubuh Si Setan Ciu itu.
Adipati Mandurorejo segera memperkenalkan kakek ini kepada hadirin, dengan wajah berseri seri. Katanya lagi,
"Sekarang kursi telah penuh. Siapakah diantara kalian yang tidak puas dan ingin mencoba merebut kursi itu ?"
Belum juga lenyap suara Adipati Mandurorejo, telah bangkit seorang laki laki usia pertengahan sambil berteriak nyaring,
"Saya yang rendah bernama Kuda Sari! Saya maju untuk minta pengajaran dari yang terhormat Durjana Tangan Sewu!"
Ulam Sari memalingkan muka kepada kakek yang tadi disebut "kera tua" oleh Sela Kencana tadi. Entah tahu atau tidak, si "kera tua" ini telah menyentuh lengan pemuda yang duduk di sampingnya sambil berkata,.
"Anak, orang yang bernama Kuda Sari itu bertempat tinggal di Brebes. Aku pernah mendengar bahwa Putut Sido Lamong pernah merampas barang antaran yang dilindungi Kuda Sari. Dia dendam sedalam lautan kepada Durjana Tangan Sewu itu. Maka aku menduga bahwa majunya sekarang ini bukan untuk merebut cangkir emas. tetapi sekedar membalas dendam."
Mendengar kata-kata orang ini, diam-diam Ulam Sari meringis. Sebab dirinya sendiri datang ke tempat ini, tiada lain tujuan kecuali untuk membalas sakit hati kepada Sungsang, ia tidak mempunyai kehendak lain kecuali mencari ke mana Sungsang menyembunyikan diri. Bagi dirinya, tidur takkan bisa lelap dan makan takkan bisa merasa enak, sebelum berhasil membunuh orang busuk itu.
Begitu mendengar ucapan Kuda Sari, maka Durjana Tangan Sewu Putut Sido Lamong segera
terkekeh dan menegur,
'Aihh, tuan besar Kuda Sari. Selamat bertemu di sini. Ahh, bagaimana dengan perusahaanmu? Aha, aku percaya perusahaanmu memperoleh kemajuan pesat."
Mendengar Luapan yang nadanya mengejek dan menyindir secara halus ini, tentu saja darah Kuda Sari meluap. Dahulu akibat perbuatan pencuri ini, dirinya menderita ribuan ringgit untuk mengganti harga barang yang dirampas Putut sido Lamong. Akibatnya hasil yang dikumpulkan secara hemat puluhan tahun lamanya ludes dalam waktu singkat. Ia sekeluarga harus hidup menderita. Sebab usahanya sebagai pengantar barang antaran menjadi mundur. sebab banyak orang menjadi kurang percaya. Khawatir kalau barang yang diserahkan untuk dilindungi dirampok orang lagi.
Merasakan derita akibat perbuatan Putut Sido Lamong itu, dan sekarang diejek seperti itu, mendadak saja Kuda Sari menjadi kalap. Tanpa membuka mulut ia sudah menerjang ke arah Putut Sido Lamong. Dalam waktu singkat dua orang ini sudah berkelahi mati matian. Kuda Sari bertenaga besar sehingga sambaran anginnya kuat dan pukulannya berbahaya. Akan tetapi Putut Sido Lamong dapat bergerak gesit sekali.
Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi Iblis Perang Gaib Serial Dewi Ular Karya Tara Zagita Lost And Found Karya Andyanstefi

Cari Blog Ini