Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 15

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 15


Dalam pertandingan sekarang ini Kuda Sari seperti kurang perduli kepada pukulan-pukulan lawan yang sudah mengenai tubuhnya. Seakan ia seorang berkulit tembaga dan bertulang besi sehingga pukulan orang tidak terasa. Mendadak Kuda Sari membentak keras,ia menghantam sepenuh tenaga ke dada lawan. Sayang. Putut Sido Lamong
gerakannya gesit sekali, sehingga pukulan itu luput. Malah kemudian kaki pencuri ini yang gerakannya cepat tidak terduga telah berhasil mengenakan lutut.
Akibatnya Kuda Sari roboh terguling .Namun setelah bergulingan beberapa saat, Kuda Sari telah dapat bangun lagi seperti tidak merasakan apa-apa.
Setelah berkelahi cukup lama, belasan pukulan Putut Sido Lamong telah bersarang di tubuh Kuda Sari. Beberapa saat lagi, ketika kewaspadaannya berkurang, tinju Putut Sdo Lamong mengenakan secara tepat sekali ke hidung Kuda Sari. Akibatnya si kuda ini hidungnya mengeluarkan darah dan bercucuran membasahi kumis dari mulutnya.
"Hai kuda binal!" kata Putut sido Lamong dengan sikap yang sombong dan-ucapan yang mengejek.
"Aku toh hanya merebut barang yang kau hantarkan. Tentu saja kesalahan itu tidak seberat kalau aku merebut isterimu atau membunuh ayahmu. Mengapa engkau menjadi kalap macam ini? Sudahlah, kita akhiri saja, perkelahian ini."
Tetapi Kuda Sari yang sudah kalap tetap saja nekat dan menerjang seperti kerbau gila. Namun dengan gerakannya yang ringan dan gesit Putut Sido Lamong selalu berhasil menghindari semua serangan lawan yang kalap. Akibatnya perkelahian antara dua orang ini tidak menarik. Seakan-akan seekor kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus. Jelas dapat dilihat bahwa sesungguhnya Putut Sido Lamong lebih tinggi kepandaiannya dibanding dengan lawan. Tak lama kemudian kaki Putut Sido Lamong memperoleh makanan empuk , Kempungan Kuda Sari dapat ditendang. Tetapi sungguh mengherankan. Kuda Sari tidak juga mau menyerah dan mengakui kekalahannya, tetap juga menerjang. Tangan kiri memegang kempungan yang terluka, tangan kanan dan kedua kaki bekerja. Tinju tangan kanan Kuda Sari menyambar amat mendadak dan tidak terduga-duga. Akibatnya,
"Buk!" dada Putut Sido Lamong terkena tinju secara telak sekali.
Mengapa bisa terjadi?
Soalnya sederhana saja. Begitu berhasil menendang kampungan orang, dan melihat tubuh lawan bergoyang-goyang hampir roboh, Pencuri Bertangan Seribu ini sudah gembira. Oleh rasa gembiranya ini, ia menjadi lengah. Akibatnya dadanya kena tinju Kuda Sari, menyebabkan beberapa tulang dadanya patah. Tubuh Putut Sido Lamong bergoyang-goyang, dan sesaat kemudian
"huak....." pencuri ini muntah darah segar.
Putut Sido Lamong mengerti, bahwa Kuda Sari amat dendam dan sakit hati kepada dirinya. Ia menjadi khawatir kalau Kuda Sari masih nekat dan menyerang lagi, maka ia meringis sambil melangkah mundur. Katanya gugup,
"Kamu. kau menang.. .!"
Namun walaupun Kuda Sari menderita luka berat pula, orang yang dendam sedalam lautan ini tak mau mengerti. Ia sudah melompat dan mengubar. Untung sekali Sela Kencana sudah mencegah dan berteriak,
"Kuda Sari! Engkau sudah menang, mengapa engkau mau mengubar orang? Duduklah di sini!"
Cegahan Sela Kercana ini membuat Kuda Sari tidak berani membantah lagi. Ia memberi hormat.
jawabnya,
"Saya yang rendah tidak berani menghendaki cangkir emas !"
Dengan tubuh yang melangkah sempoyongan, Kuda Sari telah menuju ke tempat duduknya semula.
Di antara mereka yang hadir, banyak pula kenal kepada perampok jahat itu. Maka melihat robohnya perampok ini. mereka menjadi senang. Diam diam mereka malah mengharapkan agar penjahat ini mati terbunuh saja.
Dalam keadaan terluka berat ini, tentu saja Putut Sido Lamong tidak berani meninggalkan gedung ini. Soalnya ia menyadari, bahwa dirinya banyak dimusuhi orang sebagai akibat perbuatannya. Dalam keadaan terluka berat seperti sekarang ini, begitu ke luar dirinya akan segera dikeroyok orang untuk membalas sakit hati. Oleh sebab itu sambil menulikan telinga dan menebalkan muka, ia membiarkan banyak orang mengejek dan menyindir. Kemudian ia duduk pada sebuah kursi di pinggir yang kosong sambil mengobati lukanya.
Diam-diam Ulam Sari memuji kecerdikan Kuda Sari. Dengan siasat dan akalnya, dia dapat mengalahkan orang yang lebih tinggi kepandaiannya
Sebagai akibatnya sekarang ada sebuah kursi yang kosong. Maka terdengar suara Sela Kencana,
"Ternyata saudara Kuda Sari 'tidak menghendaki cangkir emas. Sekarang, siapakah yang ingin mencoba, silahkan maju dan duduk."
Belum juga lenyap suara undangan Sela Kencana melesatlah tubuh dua orang dari selatan dan
utara. Jarak mereka memang hampir sama. Maka siapa yang lebih dulu dapat duduk, itulah berarti dapat bergerak lebih gesit. Celakanya agaknya kegesitan mereka ini berimbang, hampir berbareng dapat duduk pada kursi bersama-sama, sehingga pundak mereka berbenturan. Akibatnya dua-duanya terjengkang. Justeru di saat itu tampak berkelebat bayangan orang yang melompat tinggi dan bagai seekor burung, tubuhnya melayang ke bawah dan pantatnya sudah dapat duduk pada kursi.
Tanpa terasa beberapa orang bertepuk tangan. Ini membuktikan sampai di mana ketinggian ilmu orang ini, dalam hal meringankan tubuh. Tetapi sebaliknya Damayanti tersenyum senang. Gumamnya,
"Bagus, sudah datang!"
"Siapakah dia?" tanya Ulam Sari heran sambil memalingkan muka, mengamati Damayanti.
"Hemm, pada saatnya engkau akan tahu sendiri nanti," sahut Damayanti sambil tersenyum.
"Lihatlah, dia menutupi wajahnya dengan secarik kain hitam,"
"Apakah dia memang tidak ingin dikenal orang?"
Ulam Sari menjadi heran.
Damayanti mengangguk.
"Kau sudah kenal, mbakyu?"
Ulam Sari bertanya heran.
Damayanti mengangguk lagi.
"Diapun sama dengan aku, mempunyai banyak urusan di tempat ini."
"Ahh, aku menjadi bingung, mbakyu, mengapa engkau sekarang suka berteka-teki?"
Ulam Sari yang kurang mengerti agak mendongkol,
"Habis, Kalau memang aku harus main tekateki, disuruh bagaimana? Hi-hi-hik. Mengapa sekarang engkau berubah menjadi orang yang tidak sabaran?"
Ulam Sari mengerti. Sekalipun didesak, Damayanti takkan sedia menerangkan. Maka ia tidak mendesak, lalu kembali mengamati laki-laki kurus yang menutup wajahnya dengan secarik kain hitam itu.
Ketika itu, dua orang laki-laki yang tadi terjengkang dan kaget, sekarang sudah memegang senjata masing-masing, dan menyerang dari kiri dan kanan. Tetapi tanpa bergerak dari kursinya, orang aneh itu sudah membentak,
"Bocah edan! Di jalan aku toh sudah memperingatkanpadamu supaya tidak datang ke mari. Tetapi mengapa kamu tetap membandel dan datang juga ke mari?"
Melihat itu, tentu saja semua mata segera tertuju kepada orang aneh itu.
Dalam hati semua bertanya-tanya, mengapa orang itu datang dan menutup wajahnya dengan secarik kain hitam?
Secarik kain itu menutup pada mata. Hanya di mana mata itu supaya dapat melihat, telah dilubangi. Di samping mata ditutup dengan secarik kain hitam, orang itupun masih tetap saja menghisap pipa tembakaunya. Di atas bibirnya tampak kumis yang tebal akan tetapi warna rambut kumis itu aneh. Warna kumis itu merah.
Adakah kumis manusia warnanya merah?
Mungkinkah ini iblis yang menyamar seperti manusia?
Di samping kumisnya yang aneh, cara berkelahi orang itupun aneh pula. Dengan sembarangan saja orang
itu menggerakkan kaki dan tangannya. Namun anehnya semua serangan dua orang itu dapat dihalau. Dan walaupun nampaknya setiap sambaran kaki dan tangan itu tidak bertenaga, namun setiap kali menyambar membuat dua orang lawan yang menyerang itu terhuyung mundur kemudian terguling di lantai.
"Bocah tak tahu diri. Bocah yang goblog!" bentak orang aneh yang matanya ditutup secarik kain itu.
"Kalau aku tidak ingat kepada mendiang gurumu, Nyai Anjani, tentu aku tak mau mengurus kebandelanmu ini. Huh, Nyai Anjani adalah guru yang patut dihormati. Tetapi aku tidak nyana engkau berdua adalah manusia-manusia tamak. Hayo,kamu mau segera pulang atau tidak?"
"Huh, guruku tentu tidak punya sahabat busuk seperti kau !" bentak salah seorang dari mereka itu.
"Anak setan!" caci orang aneh itu.
"Nyai Anjani sendiri, semasa hidupnya tidak berani sembarangan membuka mulut dl depanku. Kau tahu?"
Mendadak terdengarlah suara "plok !" dan telinga 'orang itu sudah disambar oleh tamparan yang cukup keras. Yang seorang segera menubruk dari kanan. Orang aneh itu telah mengangkat kaki kanan dan secara jitu mengenakan mukanya.
"Huh, sesudah gurumu tiada. aku berhak mewakili menghajar kamu bangsa tikus!"
Menyaksikan pertunjukan yang lucu ini, semua orang tertawa geli. Tetapi dua orang lakilaki itu benar-benar bandel dan keras kepala. Walaupun menghadapi orang yang jauh lebih sakti mereka tetap saja nekat melawan.
"Bocah kurang ajar !" bentak orang aneh itu Iagi.
"Lekas pergi apa tidak? Hanya untuk memperebutkan cangkir saja, mengapa harus saling bunuh?"
Mendengar ucapan orang aneh ini, semua orang kaget tidak terkira. Ulam Sari mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hati penuh rasa kagum dan hormat kepada orang aneh itu,
Melihat orang aneh itu seenaknya sendiri, Adipati Mandurorejo menjadi tidak sabar lagi. Teriaknya nyaring.
"Hai, orang tua! Apakah kau mau mengacau di sini? Jika kau tak lekas minggat, jangan salahkan aku memerintah para pengawal menangkapmu!"
Orang aneh yang memakai kain hitam penutup mata itu, memang sudah berusia setengah abad. Tubuhnya kurus tetapi gerak,kaki dan tangannya cepat seperti kilat, dan masih pula nampak gagah.
Orang aneh itu tertawa. jawabnya tenang,
"Aku sedang menghajar cucu cucuku sendiri, dan tidak bersangkut-paut dengan engkau. Mengapa engkau menjadi repot?'
Sehabis berkata tangan orang aneh ini berkelebat bersama pipa tembakaunya. Hampir berbareng dua batang senjata orang bandel itu telah jatuh di lantai .Berdering nyaring. Sesudah menyelipkan kemhbali pipa tembakaunya di pinggang. tangan kanan sudah menyambar telinga kiri,tangan kiri telah menyambar telinga Kanan yang seorang lagi. Orang aneh itu bangkit dari tempat duduknya melangkah sambil tetap menjewei telinga dua orang itu, yang tidak berkutik sama sekali. Tentu saja pertunjukan ini membuat orang kagum berbareng heran.
Dengan meringis dua orang itu terus melangkah tidak dapat melawan sama sekali. Melihat itu, Ulam Sari tambah kagum dan hormat.
Siapakah sesungguhnya orang ini?
"Mbakyu," kata Ulam Sari.
"Aku percaya bahwa engkau sudah kenal dengan dia. Terangkanlah siapa dia itu, dan mengapa-menyebut nyebut Nyai Anjani? Bukankah Nyai Anjani itu dahulu ketua Perguruan Tuban, dan meninggal di Mataram ini juga?"
"Hemm, agaknya engkau pernah mendengar cerita dari kakekmu Sindu," sahut Damayanti.
"Memang benar Anjani dahulu meninggal di Mataram ini, karena meloncat turun dari rumah tingkat, dan tak mau menerima pertolongan Jaka Pekik. Ketahuilah bahwa agaknya dua orang laki-laki yang bandel itu, tentunya murid-murid Tuban. Dan dia tidak menghendaki dua orang itu hadir, maka disuruhnya pergi. Orang itu memang mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Perguruan Tuban. Maka, perlu pula mengurusi murid-murid Tuban yang dianggap bertindak kurang pada tempatnya."
"Ahhh..... aku tahu sekarang. Bukankah dia itu tadi......" katakata Ulam Sari ini terputus karena jari tangan Damayanti memijat paha. Yang jelas, memberi peringatan agar tidak menyebut nama orang aneh itu tadi.
Ulam Sari tidak berani nekat, dan tidak jadi pula menyebut nama Damarjati, ayah Damayanti!
Dugaannya ini dihubungkan dengan keterangan Damayanti sendiri ketika itu, bahwa Damayanti pernah menghajar Rara Inten di Pondok Bligo. Hal itu dilakukan karena perbuatan Rara Inten itu menodai nama baik Perguruan Tuban. Antara Damayanti sekeluarga dengan Perguruan Tuban memang mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan menurut urutan tingkat, Damayanti berkedudukan setingkat dengan Nyai Anjani. Itulah sebabnya Damarjati tadi menyebut menghajar cucu cucunya sendiri. Diam-diam hati Ulam Sari berdebar. Kalau sekarang Damayanti sekeluarga sampai meninggalkan Wilis, kemudian datang ke Mataram, agaknya memang ada urusan penting sekali yang perlu diselesaikan. Jelas bahwa Damayanti sekeluarga tidak menyetujui diselenggarakannya pertemuan macam ini. Dan diam-diam gadis ini memang tidak setuju dengan cara pertemuan yang dilaksanakan seperti ini. Caranya yang tidak disetujui oleh Ulam Sari, dan bukan tujuan dari pertemuan sekarang ini. Tentang tujuan dari pertemuan ini memang luhur. Memang amat baik, sebab tujuannya mempersatukan tenaga untuk mengusir Kumpeni Belanda.
Tetapi mengapa pertemuan ini harus didahului dengan pertandingan yang dapat membawa akibat maut?
Dengan cara seperti ini, walaupun tujuannya amat luhur, berarti akan memecah belah persatuan dan kekuatan. Dan akibatnya pula, apa yang dicitakan itu berantakan takkan dapat terujud.
Yang membuat Ulam Sari heran dan merasa tidak tahu, benarkah Sultan Agung menghendaki adanya pertandingan kesaktian yang dapat membawa akibat maut ini?
Ataukah di luar tahu Sultan Agung, ada orang
yang sengaja membonceng dan tanpa disadari, Pangeran Kajoran telah termakan tipu muslihat orang yang diam-diam membantu Kumpeni Belanda?
Demikianlah, dengan dugaan-dugaan macam ini, mata dan hati Ulam Sari jadi terbuka. Bahwa tanpa tersadarnya dan tanpa dikehendaki, dirinya yang masih muda ini harus ikut pula mencegah terjadinya perpecahan.
Dan tentang riwayat Nyai Anjani maupun sepak terjang Rara Inten yang telah disebut-sebut di atas, untuk jelasnya silahkan para pembaca mengikuti cerita yang terdahulu, yang berjudul "Jaka Pekik", "Ratu Wandansari" dan "Kisah Si Pedang Buntung".
Sela Kencana diam-diam kagum juga akan sepak terjang orang aneh tadi. Katanya nyaring,
"Hemm, dalam dunia ini memang tidak terhitung jumlahnya manusia sakti yang hidup mengasingkan diri. Karena orang tadi tidak mau bergaul dengan kita, tidak perlu diurus lagi. Dan sekarang, siapakah di antara kalian yang ingin mengisi kekosongan kursi ini?"
"Aku!" terdengar suara teriakan yang nadanya kecil seperti wanita.
"Aku!" suara lain menyambut, tetapi suara teriakannya berbalikan. Kalau yang tadi kecil seperti wanita, sekarang suara itu menggelegar dan agak parau.
Belum juga lenyap suara teriakan itu, muncullah dari selatan dan utara, dua orang kakek. Tetapi yang menarik perhatian, bentuk tubuh dua orang kakek itu berbalikan. Kalau yang dari utara
seorang kakek kerdil, tubuhnya pendek kecil, sebaliknya yang muncul dari selatan seorang kakek tinggi besar bagaikan raksasa. Beberapa orang muda yang belum mengenal dua orang kakek ini tidak kuasa menahan gelaknya. Tetapi bagi angkatan tua,tidak berani sembarangan mentertawakan.
Melihat munculnya dua orang kakek ini, Adipati Mandurorejo yang sudah mengenal, segera berteriak,
"Bagus! Ternyata dua orang angkatan tua Perguruan Sumbing hadir juga. Perlu kalian ketahui, bahwa yang muncul dari utara ini adalah, kakek Kunting. Dan yang muncul dari selatan, kakek Bimo !"
Mendengar disebutnya nama itu, orang-orang muda yang tadi tertawa jadi terkejut. Mereka segera menundukkan kepala tidak berani bercuit lagi. Bagaimanapun nama Bima dan Kunting dari Perguruan Sumbing, cukup terkenal dan harum.
Akan tetapi kursi yang kosong hanya sebuah saja.
Mengapa dua orang kakek Perguruan Sumbing ini maju berbareng?
Karena itu Adipati Mandurorejo berkata lagi,
"Aihh, tetapi kursi yang kosong hanya sebuah saja. Mengapa kalian maju berbareng?"
Namun dua orang kakek itu terus saja melangkah ke tengah ruangan. Wajah mereka tampak tenang saja, dan langkahnya tanpa ragu-ragu. Namun ternyata dugaan semua orang keliru. Dua orang kakek ini tidak langsung duduk pada kursi yang kosong, melainkan malah menuju ke depan Jalu Raga yang sejak tadi duduk di kursi dan
merasa sudah aman, bakal memperoleh sebuah cangkir emas, di samping dirinya bakal memperoleh gelar "tokoh utama".
Jalu Raga kaget.
Sepasang matanya terbelalak mengamati dua orang kakek yang berdiri didepannya. Bentaknya,
"Hai! Apakah maksudmu?"
"Hemm," dengus Bimo sambil mendelik.
"Kembalikan golok emas itu! Huh, engkau pencuri tidak tahu malu!"
Mendengar jawaban Bimo ini semua orang kaget.
Jadi, Jalu Raga telah mencuri golok emas dari Perguruan Sumbing?
Bagi orang-orang angkatan tua tahu belaka bahwa golok emas yang disebut oleh kakek Bimo tadi, adalah golok pusaka Perguruan Sumbing. Golok yang menjadi lambang kejayaan perguruan. Pencurian golok pusaka itu, tentu saja oleh Perguruan Sumbing dianggap sebagai penghinaan.
Mendengar disebutnya golok emas oleh kakek Bimo itu, Ulam Sari terkejut dan baru ingat apa yang pernah dikemukakan oleh Nuryanti, Danang dan Danardono waktu itu. Tiga orang murid Perguruan Sumbing itu, pernah minta bantuannya agar dapat merebut kembali golok pusaka itu.
Diam-diam Ulam Sari menjadi menyesal, mengapa selama ini hal itu terlupa?
Dan mengapa pula selama bersama sama membantu Giri, ia tidak pernah melihat golok emas itu?
Sungguh tertib sekali Jalu Raga yang mencuri golok emas itu. Hingga ia tidak pernah menyangka sama sekali, pencuri golok itu pernah satu tempat dengan dirinya. Kalau saja tahu tentu ketika di Giri ia sudah membekuk Jalu Raga.
Tentu saja Jalu Raga tak mau menerima tuduhan itu dan membalas,
"Bangsat tak tahu malu! Kamu jangan menuduh orang secara sembarangan. Hayo, kamu mundur apa tidak ?"
"Hemm, engkau pantas dihajar!" sambil berkata begitu, kakek Bima yang tinggi besar itu sudah menerjang dan memukul.
Tentu saja Jalu Raga tak mau dipukul orang. Ia melompat dari kursi untuk menghindar. Lentingan Jalu Raga ini cukup tinggi, sehingga lewat di atas kepala Bimo. Namun di saat itu sebuah benda yang bulat menyambar cepat sekali, sehingga tidak terlihat orang.
"Tak!"
Sambaran benda itu tepat mengenakan tengkuk, sehingga tanpa dapat berteriak tubuh Jalu Raga telah meluncur ke bawah dalam keadaan pingsan.
"Bruk!" tubuh yang gendut gemuk itu terbanting di lantai.
Adapun benda yang tadi menyambar tengkuk Jalu Raga terpental, kemudian menyambar Sela Kencana. Akan tetapi Sela Kencana cukup waspada. Benda itu segera ditangkap dengan tangan kanan. Ketika diamati, tokoh hartawan ini menjadi keheranan. Sebutir biji salak. Diam-diam ia bertanya, siapakah yang mempunyai senjata rahasia berujud biji salak ini?
Ia memalingkan muka dan menduga-duga dari manakah benda ini menyambar. Namun karena arah asal biji salak itu dari meja "si kera tua" Sugriwo, ia tidak memperpanjang urusan. Lebih-lebih ketika ia tidak mendengar orang berteriak membicarakan senjata rahasia biji salak ini, maka timbul dugaannya bahwa tidak seorang pun sempat melihat menyambarnya benda itu.
Tetapi sesungguhnya, kelirulah dugaan Sela Kencana ini. Sebenarnya baik Hesti Wiro, Ajata Satru dan beberapa orang sakti yang lain, melihat juga menyambarnya benda itu. Akan tetapi karena Jalu Raga dikenal sebagai seorang jahat yang tak bedanya dengan Putut Sido Lamong, maka robohnya Jalu Raga itu malah membuat mereka senang.
Damayanti menyentuh Lengan, Ulam Sari dan menegur,
"Titiek! Mengapa engkau menyambit dia?"
"Aku sudah berjanji untuk membantu mengembalikan golok emas itu kepada pemiliknya!"
Ulam Sari menyahut.
"Aku khawatir kalau kakek itu gagal, maka aku menolong!"
"Hemm, tetapi perbuatanmu amat berbahaya kalau diketahui orang."
"Tetapi aku berani menerima akibatnya!" sahut Ulam Sari yang sudah merasa terlanjur berbuat. Sementara itu dengan kecepatan kilat kakek Kunting yang tubuhnya kerdil itu, sudah meraba punggung Jalu Raga. Sekali bergerak tangan kakek kerdil itu telah berhasil memegang hulu sebatang golok yang bersarung indah. Golok itu hanya pendek. Maka disembunyikan di belakang punggung, di dalam baju hampir tidak nampak dari luar.
Begitu Kunting sudah berhasil mengambil golok itu, melesatlah dua bayangan orang. Yang seorang segera menerjang ke arah Bimo, dan seorang lagi menerjang ke arah Kunting.
"Ahh" seru Ulam Sari lirih.
Ternyata yang menerjang itu Wanengboyo dan Pitrang. Akan tetapi terjangan itu dengan gampang bisa dihindari oleh Bimo dan Kunting. Tetapi untung sekali, bahwa Bimo maupun Kunting sudah merasa puas berhasil mengambil kembali golok pusaka. Mereka tidak mau berkelahi dengan Wanengboyo maupun Pitrang, lalu mundur.
Wanengboyo dan Pitrang yang sudah mengangkat saudara dengan Jalu Raga itu penasaran dan ingin terus menerjang. Akan tetapi Hesti Wiro sudah membentak
"Manusia tak tahu diri! Mundur!"
Tangan Hesti Wiro bergerak. Sekali sambar telah mencengkeram dada Wanengboyo. kemudian dilontarkan ke arah Pitrang. Sekali sambar Hesti Wiro dapat melemparkan Wanengboyo itu, keadaan menjadi gempar. Orang pada memuji kesebatan tangan Hesti Wiro.
Pitrang tidak ingin saudara angkatnya celaka!
Ia menyambut tubuh Wanengboyo. Tetapi kemudian dua orang itu roboh terguling di lantai. Ternyata lemparan Hesti Wiro yang bertenaga dahsyat itu tidak kuasa ditahan oleh Pitrang. Hancur nyali dua orang ini maka dengan wajah sebentar merah sebentar pucat, dua orang ini segera mundur sambil menggotong Jalu Raga.
Dengan robohnya Jalu Raga, sekarang kursi yang kosong ada dua buah. Adipati Mandurorejo segera berteriak lagi, mempersilahkan kepada orang yang ingin memperoleh cangkir emas, supaya duduk pada kursi yang masih tersedia.
Makin lama keadaan makin tegang. Perkelahian
sengit antara jago jago satu tidak dapat dihindarkan lagi, justeru setiap orang memang bernafsu untuk memperoleh cangkir cangkir emas yang dapat membawa keharuman nama itu. Namun demikian mereka tidak berani berlaku sembroro. Sebab setiap orang sadar bahwa jago-jago yang turun ke gelanggang makin lama menjadi makin kuat dan sakti mandraguna. Dan orang yang semula sudah bersiap dri untuk terjun, terpaksa berpikir lagi sebelum mendapat malu. Sebab sekali terjun ke gelanggang dan kalah, nama akan hancur.
Di saat itu. tiba-tiba melesat seorang kakek gemuk. Ia melangkah mantap menuju ke kursi yang kosong. Begitu tiba di depan kursi, kakek itu sudah menjatuhkan diri untuk duduk di atas kursi. Namun sungguh aneh, sekonyong konyong saja semua tamu yang memenuhi pendapa itu ketawa lirih, malah Ulam Sari dan Damayanti cekikikan saking merasa geli. Tentu saja kakek itu menjadi heran dan bertanya tanya.
Mengapa begitu dirinya duduk, segera pula orang tertawa riuh seperti itu?
"Hai!" teriaknya penasaran.
"Mengapa aku maju dan duduk, kamu semua tertawa seperti melihat seorang badut? Huh, aku bukan badut. tahu?"
Tetapi sekalipun ia berteriak penasaran, suara ketawa itu tak juga reda, malah makin menjadi riuh.
Kakek itu makin menjadi mendongkol dan uring uringan. Teriaknya lebih keras,
"Jahanam! Setan alas! Sinting! Gila! Mulut bau! Tertawalah terus, huh, apakah sangkamu aku ini pelawak yang ingin menghibur kamu? '
Tetapi walaupun kakek gemuk ini mencaci-maki tidak karuan dan matanya melotot mengamati depan, kanan dan kiri, orang yang pada tertawa itu tak juga berkurang. Melihat semua orang terpingkal pingkal, malah ada pula yang terkentut-kentut sehingga suaranya de-rodott..... kakek ini menjadi serba salah. Ia mau marah dan mengamuk.
Tetapi siapakah yang harus dimarahi dan diamuk itu?
Akhirnya kakek ini hanya dapat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. dengan hati yang amat mendongkol.
"Hai kakek bau !" teriak salah seorang.
"Coba tengoklah belakangmu !"
Karena kaget dan heran, kakek ini sudah melompat bangkit dari kursinya dan membalikkan tubuh. Apa yang dilihat, ternyata di situ sudah ada seorang pemuda yang duduk. Mulut pemuda ini peringas-peringis, sepasang matanya berkedip-kedip, dan dua belah tangannya bergerak menuding-nuding.
"Bocah celaka !" bentak kakek ini marah sekali.
"Kau berani mengganggu aku?"
Kakek gemuk itu bernama Caraka Wasesa, seorang tokoh dari Parangtritis, laut kidul. Tentu saja kakek ini menjadi amat marah karena merasa terhina oleh tingkah laku pemuda ugal-ugalan ini. Yang membuat kakek ini heran, mengapa ia tidak mendengar sambaran angin, bocah ugal ugalan itu dapat menduduki kursi lebih dahulu?
Celakanya, setiap orang yang hadir di pendapa ini berhak memperebutkan kursi. Bagi yang merasa tidak puas boleh pula menantang berkelahi. Dan Caraka Wasesa juga mengerti hal ini. Ia tidak berhak melarang pemuda ugal-ugalan ini duduk di kursi. Akan tetapi mengapa justeru pemuda ini memilih kursi yang sudah akan diduduki?
Mengapa bukan kursi lain justeru masih ada pula yang kosong?
Kalau demikian jelas sekali bahwa pemuda ugal-ugalan ini memang sengaja menghina dan menentang dirinya. Untuk menebus malu dan mempertahankan harga diri tidak ada jalan lain kecuali harus menghajar pemuda ini: Sebab apa bila ia beralih ke kursi yang lain, dirinya akan menjadi buah tertawaan orang.
Akan tetapi celakanya pemuda ugal-ugalan itu tidak membuka mulut, dan hanya menggoyang goyangkan tangannya. Agaknya pemuda ini seorang pemuda gagap. Nyatanya pemuda ini tidak menjawab, melainkan hanya menunjuk kepada cangkir cangkir yang diletakkan di atas meja.
"Jadi, engkau juga menghendaki cangkir itu?" tanya Caraka Wasesa.
( Bersambung jilid 18 )
*****
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 18
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
(Lanjutan " Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 18
*****
PEMUDA ugal-ugalan dan gagu itu mengangguk. _
"Yang lain masih ada kursi kosong. Mengapa engkau tak mau duduk ditempat lain?"
Si pemuda ugal-ugalan itu menggerak-gerakkan tangannya seperti memukul badan dan kepalanya. Dengan begitu, seperti memberitahukan bahwa dirinya takut dihajar orang kalau duduk di kursi lain.
"Huh. Jika engkau memang takut dihajar orang, mengapa engkau memberanikan diri duduk di kursi yang sudah aku duduki?" bentak Caraka Wasesa yang sudah penasaran.
Tetapi si pemuda ugal-ugalan ini segera membuat gerakan, menuding Caraka Wasesa, lalu menepuk dadanya sendiri. Seakan memberitahukan apa bila melawan Caraka Wasesa, ia tidak takut.
Menyaksikan tingkah laku pemuda itu, semua orang menjadi makin keras perutnya, geli sekali. Ketawa kembali riuh, malah ada pula yang bertepuk tangan seperti sedang menyaksikan panggung komidi.
Sulit dilukiskan betapa marah kakek gemuk yang bernama Caraka Wasesa ini, terang terangan ditantang oleh pemuda ugal-ugalan ini.
Akan tetapi
kakek ini mengerti juga, bahwa sekalipun muda, lawan ini bukan orang sembarangan. Ia tahu sendiri, betapa ringan gerakan bocah ini, sehingga tanpa mendengar sambaran angin, sudah dapat mendahului duduk di kursinya.
Tiba-tiba pemuda itu membentangkan sebuah kipas yang diambil dari dalam bajunya. Dan kalau pada mulanya pemuda ini pura-pura gagu, sekarang bicara,
"Hai Caraka Wasesa! Apakah engkau tak tahu bahwa pada kipasku ini, terdapat leluhurmu ?"
"Huh, jangan gila!" bentak Caraka Wasesa.
"Siapa sudi percaya obrolanmu?" .
"Kau tak percaya? Lihat baik -baik!" sambil berkata, pemuda ugal-ugalan ini sudah menunjukkan gambar katak di kipas itu.
Orang yang sempat ikut melihat gambar katak itu, menjadi makin riuh tertawa.Tetapi di samping itu juga mengerti, bahwa pemuda ini bermain api di depan Caraka Wasesa.
" Bangsat! Engkau menganggap aku sebagai katak bangkotan?" bentak Caraka Wasesa.
"Engkau sudah bosan hidup?"
"Ha ha ha, apakah katak itu buruk ?" ejek pemuda itu.
"Cobalah engkau tanyakan. kepada orang-orang yang suka makan katak hijau itu. Mereka akan menjawab bahwa daging katak itu lezat."
Caraka Wasesa tak lagi dapat menahan sabar.Seperti kilat cepatnya, tangan kanan sudah menyambar punggung pemuda. Karena serangan itu memang tiba-tiba sekali dan tidak terduga, maka cengkeramannya itu berhasil. Begitu berhasil mencengkeram pemuda itu segera dibanting ke lantai.
Semua orang menjadi kaget dan menahan napas. Mendadak saja suara ketawa berhenti. Sebab mereka mengira bahwa pemuda ugal-ugalan itu akan segera remuk terbanting di lantai, atau setidaknya akan menderita luka berat. Namun apa yang terjadi kemudian memang di luar dugaan semua orang. Begitu tubuh itu terbanting, ternyata tubuh itu bisa membal seperti sebuah bola karet, begitu tubuh menyentuh lantai Kemudian dengan gerakan yang indah, pemuda itu sudah berdiri dengan kokoh sambil tertawa.
"Ha ha ha, engkau tak bisa merobohkan aku ".
"Hemm, mau kubanting sekali lagi? tanya Caraka Wasesa.
"Boleh " jawabnya sambil menghampiri Caraka Wasesa dan mengulurkan dua tangannya untuk mencengkeram dada kakek itu.
Melihat itu tentu saja semua orang kaget dan tak mengerti.
Apakah pemuda itu memang sudah gila dan bosan hidup?
Jika tidak, mengapa ia bersikap seperti itu?
Secepat kilat Caraka Wasesa telah menangkap dan mencengkeram pundak si pemuda ugal-ugalan itu. Tetapi si pemuda ugal-ugalan itupun telah menubruk lalu memeluk Caraka Wasesa.Di luar dugaan, dua kaki pemuda itu sudah menendang dua lutut. Caraka Wasesa kaget setengah mati, dan tak tercegah lagi lututnya lemas dan jatuh ke lantai. Begitu berhasil merobohkan Caraka Wasesa di lantai, mendadak pemuda itu sudah melompat ringan sekali ,seperti dapat terbang. Dalam Waktu singkat pemuda itu telah lenyap entah bersembunyi di mana membuat orang heran.
Sebab pendapa itu terang benderang, akan tetapi mengapa pemuda ugal ugalan itu seperti dapat menghilang?
"Bangsat! Jahanam ! Setan alas!" caci-maki Caraka Wasesa sambil bangkit.
Tetapi begitu melihat pemuda itu tak nampak lagi di depannya, kakek ini meringis dan merasa malu sekali. Ia membatalkan merebut cangkir dan mencari tempat duduk agak menyendiri dengan hati yang tak karuan rasanya. Malu bercampur marah. Tetapi sekalipun begitu, apa harus disesalkan, justeru dirinya memang tak mampu melawan pemuda ugal-ugaian itu.
Dan diam-diam heran pula mengapa pemuda itu sekarang lenyap, dan tidak jadi duduk di kursi?
Peristiwa ini membuat dirinya tak mengerti.Namun sesudah agak tenang perasaannya, tiba tiba saja ia berbalik berterima kasih kepada pemuda ugal ugalan itu, sebab apa bila dirinya nekat duduk di kursi dan berhadapan dengan orang lain, bukankah nyawanya sudah melayang di tangan orang?
Beberapa kursi kosong.
Tetapi belum juga ada orang yang maju dan menduduki.
Orang menjadi bertanya-tanya, kalau begitu terus, kapan bisa rampung pertemuan ini?
Di saat banyak orang sedang bertanya-tanya ini, tiba-tiba muncullah seorang laki-laki kurus semampai tubuhnya seperti perempuan, wajahnya tampan dan gerak geriknya halus diikuti oleh empat orang laki-laki bertubuh gagah dan tegap. Laki laki itu usianya kira-kira empatpuluh lima tahun. Pakaiannya mentereng sekali dari bahan sutera yang mahal, dan mengenakan jubah sutera yang warnanya menyolok ialah merah muda.
Melihat munculnya tokoh yang terlambat datang ini, orang orang sama memperhatikan. Dan si kera tua yang duduk di dekat Ulam Sari sudah berkata,
"Nah, ini dia! Wajahnya tampan, gerak geriknya halus dan murah senyum, tetapi sesungguhnya penjahat besar!"
"Siapakah dia, paman?" tiba-tiba Ulam Sari bertanya.
"Dia seorang bajak laut .Tetapi dia seorang yang licin penuh tipu muslihat. Itulah sebabnya dia mendirikan semacam perguruan, bernama Anda Langit."
"Uahh, namanya begitu mentereng. Anda Langit! Kalau begitu, dia menganggap perguruannya paling hebat di dunia ini sehingga ketinggian ilmunya menjulang ke langit.?"
"Hemm, mungkin sekali. Tetapi itu menurut pendapat dia sendiri. Hem, Engkau belum mendengar nama gelarnya. Kalau tahu, engkau bisa iri."
'Namanya siapa?" desak Ulam Sari.
"Orang tidak mengenal siapa namanya. Tetapi dia menggunakan nama Sampur Cinde."
"Bukan main !" seru Ulam Sari tertahan.
Bagi para pembaca cerita "Jaka Pekik", kiranya masih ingat tentang perguruan "Anda Langit". Perguruan ini ikut pula menyerbu markas besar Gagak Rimang di Gunung Arjuna.
Begitu masuk, Sampor Cinde memberi hormat kepada Pangeran Kajoran,yang dibalas dengan anggukan. Sementara itu Sela Kencana segera bangkit dari kursinya dan menyambut dengan hangat. Tokoh ini menepuk-nepuk pundak Sampur Cinde sambil berkata,
"Ahh, adi! Syukur, engkau segera
muncul. Tahukah engkau bahwa sejak tadi aku selalu memikirkan engkau, mengapa belum juga datang? Ehem, sebab aku jadi khawatir apa bila engkau sampai tidak kebagian cangkir emas."
Sehabis berkata dengan sikap ramah ini, Sela Kencana sudah ketawa terbahak-bahak, gembira sekali.
Sampur Cindepun tertawa. Kemudian jawabnya,
"Ahh, manakah mungkin aku dapat menandingi kakang Sela Kencana? Tetapi kalau memperoleh bantuan dan perlindunganmu, aku percaya akan bisa pulang sambil membawa cangkir perak saja sudah gembira."
Mendengar ucapan mereka ini, beberapa orang menjadi mendongkol sekali. Sebab dari kata-kata mereka itu jelas, tidak memandang sebelah mata kepada yang lain. Mereka merasa pasti akan dapat mengambil Sebuah cangkir emas, dan mereka merasa pasti pula tanpa memperoleh tanding di tempat ini.
Walaupun kehadirannya sekarang ini tidak ingin memperebutkan cangkir cangkir itu, Ulam Sari mendongkol juga dan hatinya panas. Hampir ia bangkit dari kursinya untuk maju ke gelanggang, guna menantang Sampur Cinde. Untung agaknya Damayanti selalu waspada, sehingga sudah menyentuhnya.
Sementara itu Sampur Cinde tidak segera duduk di kursi yang memperoleh hak cangkir emas itu, malah duduk di kursi luar gelanggang. Belum lama Sampur Cinde duduk pada kursi itu, tiba-tiba melompatlah Ki Jagur dari kursi dan menghampiri
laki-iaki tampan itu. Katanya lantang,
"Sampur Cinde! Aku Ki Jagur dari Nusakambangan minta pengajaranmu !"
Semua orang heran dan terkejut. Pantasnya orang yang duduk di luar gelanggang yang menantang.
Akan tetapi mengapa sekarang ini, Ki Jagur yang sudah duduk pada kursi yang mempunyai hak sebuah cangkir itu, malah menantang orang?
Sampur Cinde tersenyum sambil menjawab,


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, perlu apa buru-buru?"
Dari jawabannya ini jelas bahwa bukannya Sampur Cinde tidak menghendaki sebuah cangkir. Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang licik dan licin, ia berusaha mencari kesempatan orang sudah menjadi payah. Dengan demikian, terang-terangan Sampur Cinde ingin memperoleh kesempatan baik.
"Tetapi menurut pendapatku, lebih cepat kita bertanding adalah lebih baik!" sahut Ki Jagur.
"Sekarang mumpung aku masih bertenaga penuh, maka aku mohon pengajaranmu.Apakah engkau sengaja menunggu aku sudah loyo?"
Jawaban Ki Jagur ini memancing sorak dan tepuk tangan sejumlah orang, yang diam-diam sudah muak kepada tokoh itu. Namun di samping mereka bersorak dan tepuk tangan, merekapun sudah menduga bahwa di antara dua orang ini memang sudah mempunyai bibit permusuhan, sehingga bertemu di sinipun, rasa itu dibawanya.
Karena merasa malu apa bila menolak, terpaksa ia harus melayani tantangan Ki Jagur itu. Ia tertawa, kemudian berkata ditujukan kepada Sela Kencana,
"Kakang, menyesal sekali aku sekarang harus
maju dan memamerkan kebodohanku di depan gusti pangeran."
"Aku percaya engkau akan memperoleh kemenangan, adi, mengapa repot?" sahut Sela Kencana sambil tertawa pula.
"Sebagai saudara tua, aku memberikan restuku."
Mendengar ucapan Sela Kencana ini, Ki Jagur memalingkan muka ke arah tokoh itu sambil mendelik dan menghardik,
"Hai Sela Kencana! Gusti Pangeran Kajoran telah menganggap engkau sebagai salah seorang dari tokoh utama, dan kedudukanmu sebagai wasit. Tetapi mengapa engkau bicara seperti itu? Bicaramu seperti bukan wasit, tetapi terang-tarangan engkau memihak salah seorang!"
Mendapat semprotan yang terang-terangan ini, wajah Sela Kencana berubah merah karena malu. Tokoh ini memaksakan diri tertawa. Jawabnya,
"Hemm, engkau sudah menuduh seenak udelmu sendiri. Apakah engkau bisa menunjuk bagian mana dari kata-kataku yang berpihak? Hayo, berilah aku petunjuk."
"Huh, sebelum aku mulai berkelahi dengan Sampur Cinde, nyata-nyata sebagai wasit engkau sudah bertindak kurang adil!" bentak Ki Jagur.
"Apakah orang-orang yang hadir di tempat ini kauanggap saja sebagai orang-orang yang tuli? Terang-terangan engkau mengatakan bahwa Sampur Cinde akan menang melawan aku. Apakah ucapanmu ini bukan memihak? Kemudian engkau memberi restu pula. Apakah itu adil?"
Semprotan ini membuat Sela Kencana malu dan marah bukan main. Tentu saja sebagai seorang tokoh yang amat terkenal dan dihormati orang, Sela Kencana takkan mau menderita malu di depan banyak orang. Namun sebaliknya kalau sekarang ia harus marah dan kemudian menghajar orang ini, tentu dirinya malah dicela orang banyak. Ia menjadi serba salah, tetapi bagaimanapun kata kata yang pedas dari mulut Ki Jagur itu, membuat telinganya merah, ia terpaksa harus menahan hati. Ia bukan seorang tolol. Ia harus dapat menahan hati dan kesabarannya. Oleh sebab itu, tiba tiba saja mulutnya tersenyum, kemudian berkata,
"Oh, jadi ucapanku itukah yang membuat engkau tidak senang, dan menuduh aku memihak? Baiklah, Ki Jagur. Sekarang akupun mendoakan engkau supaya memperoleh kemenangan. dan akupun percaya bahwa engkau memang akan menang!"
Di saat itu Sampur Cinde tampak melirik ke arah Sela Kencana penuh arti. Sinar mata orang itu nampaknya mengucapkan kata-kata. Akan tetapi tentu saja tidak seorang pun tahu arti dari lirikan Sampur Cinde itu, kecuali Sampur Cinde sendiri dengan Sela Kencana.
"Hayolah! Tantanganmu aku layani !" teriak Sampur Cinde kemudian.
Sambil berkata. Sampur Cinde sudah melangkah maju ke gelanggang perlahan-lahan, tanpa membawa senjata maupun melepaskan jubahnya yang indah dan menyolok warnanya itu. Tentu saja sikap orang ini membuat Ki Jagur tidak puas dan marah. Bentaknya,
"Hai Sampur Cinde! Apakah engkau sengaja menghina aku. dan akan melawan aku dengan tangan kosong?"
sesungguhnya di samping seorang yang selalu hati-hati, Sampur Cindc juga licik dan licin. Ia tadi sudah percaya penuh bahwa dalam beberapa gebrakan saja akan sudah dapat merobohkan orang. Apa bila ia dapat merobohkan orang tanpa senjata akan berarti namanya menanjak tinggi dan harum. Akan tetapi sekarang setelah memperhatikan, bahwa sekalipun usia Ki Jagur sudah tua, namun kakek ini masih nampak kekar dan sehat. Kenyataan ini membuat Sampur Cinde menjadi ragu-ragu dan khawatir juga. Kalau dirinya yang roboh di tangan Ki Jagur, bukankah dirinya malah akan menderita malu dan Perguruan Anda Langit akan hancur di mata orang?
"Ki Jagur terkenal sebagai seorang nelayan sakti mandraguna!" katanya sambil tersenyum.
"Walaupun aku bersenjata juga, belum tentu aku dapat menandingi kesaktianmu. Oleh sebab itu, saya mohon kemurahan hatimu, agar engkau sudi mengalah sedikit padaku."
Sesudah mengucapkan kata-katanya ini, Sampur Cinde segera memalingkan muka ke arah pengikutnya, yang bukan lain adalah murid-murid dan pembantu terpercaya. Begitu tangan melambai, murid itu sudah datang menghampiri sambil memberikan sebatang pedang.
"Hayolah kita mulai !" tantangnya kemudian sambil mengebaskan tangan kirinya.
Memang di antara Ki Jagur dengan Sampur Cinde ini, sebelumnya sudah terjadi ketegangan. Hal itu terjadi karena beberapa waktu yang lalu
ketika para nelayan Nusakambangan menangkap ikan, semua hasil ikan itu telah dirampas dan di bajak oleh anak buah Sampur Cinde. Mendapat laporan ini betapa marah Ki Jagur sulit dilukiskan. Akan tetapi walaupun marah, Ki Jagur tidak berani sembrono datang ke sarang bajak laut itu di Brebes. Sebab salah-salah ibarat mengantarkan nyawa dalam sarang bajak laut yang banyak dipasang perangkap dan jebakan. Syukur sekarang ini memperoleh kesempatan baik untuk menyelesaikan urusan itu, Maka Ki Jagur sudah menantang Sampur Cinde.
Sesungguhnya mendongkol sekali hati Ki Jagur, melihat lawannya yang sudah menerima pedang dari muridnya itu, tidak juga menghunus pedangnya. Namun karena saat sekarang ini merupakan saat yang baik dan terbuka untuk menyelesaikan peristiwa yang sudah tertunda beberapa waktu lamanya, Ki Jagur tidak perduli lagi. Dengan sebat kakek ini telah menggerakkan bandringannya. Dan karena dalam menggerakkan bandringan ini dilambari hawa sakti dalam tubuh, maka rantai bandringan itu sekarang berdiri tegak.
"Bagus!" puji beberapa orang, melihat bandringan tersebut berdiri tegak, sambil pula bertepuk tangan.
Ki Jagur seperti tidak mendengar pujian dan tepuk tangan itu. Di saat bandringan kiri masih berdiri tegak seperti itu, bandringan tangan kanan sudah menyambar ke dada Sampur Cinde. Namun ketika jarak bola bandringan itu tinggal terpisah sedikit saja dengan dada lawan, mendadak bandringan itu berhenti. Malah sekarang berganti bandringan di tangan kanan yang bergerak ke arah pinggang. Dari permainan senjata bandringan yang dapat tegak lurus, kemudian dapat berhenti Sesuai dengan kehendaknya itu, jelas sampai di manakah ketinggian hawa sakti kakek ini. Karena hanya oleh pengaruh tenaga sakti itu saja, senjata seperti itu dapat dikemudikan sesuka hati. Di samping itu ternyata sekarang, bahwa serangan bandringan yang pertama tadi hanyalah merupakan serangan gertakan saja. Serangan yang benar-benar, pada serangan yang ke dua.
Mau tak mau serangan ini membuat Sampur Cinde kaget juga!
Sambil menggeser kaki, ia mengangkat pedang yang masih di dalam sarung untuk menangkis. Dan tentu saja tangkisan pedang berikut sarung ini. menambah penasaran dan mendongkol Ki Jagur. Sebab dengan perbuatan ini, terang terangan Sampur Cinde berusaha menghina dirinya didepan ratusan tokoh sakti. Maka sambil mengerahkan hawa sakti dalam tubuh, kakek Nusakambangan ini telah memutarkan sepasang bandringan itu dan menyerang lawan seperti angin puyuh. Sepasang bandringan itu sekarang menyambar-nyambar tak pernah berhenti. Yang satu gerakannya cepat sekali, dan yang satu gerakannya perlahan. Yang satu merupakan serangan benar benar, dan yang satu merupakan serangan gertakan saja. Yang cepat gerakannya belum tentu benar-benar "berisi", sebaliknya yang perlahan belum tentu benar-benar "kosong". Dengan demikian kosong bisa berisi, dan yang berisi bisa pula menjadi kosong. Permainan sepasang senjata bandringan seperti ini, merupakan
bukti bahwa Ki Jagur bukan seorang tokoh sembarangan. Gerakan sepasang senjata itu benar-benar membuktikan, bahwa setiap gerakannya merupakan perujudan dari kematangan ilmunya. Semua ini berkat ketekunannya berlatih diri puluhan tahun lamanya.
Akan tetapi hebatnya Sampur Cinde masih terus saja melayani serangan hebat itu dengan pedang yang masih bersarung. Gerakan pedang tokoh Brebes ini cepat dan mantap, ini juga merupakan bukti bahwa nama besar Sampur Cinde dan Perguruan Anda Langit bukanlah kosong saja.
Di samping memang seorang yang memiliki ilmu pedang terkenal, Sampur Cinde juga seorang cerdik dan licin. Maka setelah berkelahi puluhan jurus lamanya sambil terus memperhatikan gerakan lawan, Sampur Cinde telah mulai berhasil memahami ilmu bandringan lawan disamping kelemahan kelemahannya. Dan mendadak secara tidak terduga duga, pedang yang masih bersarung itu menyambar seperti kilat cepatnya, menikam lutut lawan.
Serangan tidak terduga ini membuat kakek itu kaget juga. Buru-buru kakek ini menarik kaki kirinya ke belakang. Akan tetapi Sampur Cinde segera merobah gerakan itu dengan membabat paha.
Dari cara menyerang ini, membuktikan bahwa sesungguhnya Sampur Cinde menguasai beberapa macam ilmu tata kelahi menggunakan senjata. Tikamannya ke lutut tadi jelas tidak menggunakan ilmu pedang, melainkan diambil dari ilmu tongkat.Sebaliknya sekarang, sambaran ke paha itu juga bukan menggunakan "ilmu pedang. melainkan menggunakan ilmu penggada. Maka apa bila Ki Jagur lambat gerakannya dan sembrono, paha itu bisa patah oleh sambaran yang melintang ini.
Serangan yang gayanya berubah-robah ini, telah berhasil membuat Ki Jagur kebingungan. Dan dalam bingungnya, ternyata kakek Nusakambangan ini menjadi nekat. Dengan menarik bandringannya, bandringan di tangan kiri menyambar ke atas. Disusul dengan gerakan tangan kiri yang mendorong, bandringan tersebut seperti kilat cepatnya menyambar ke arah alis Sampur Cinde.
Orang-orang yang hadir di tempat itu, dan telah menguasai ilmu yang tinggi, tentu saja segera dapat menduga apakah maksud Ki Jagur yang sesungguhnya dengan serangan itu. Malah Damayanti yang masih menyamar sebagai nenek-nenek itu menggumam,
"Hemm, mengapa menjadi kalap seperti itu?"
"Benar! Mengapa menjadi nekat?" sahut Titiek Sariningsih.
Memang apa yang dilakukan oleh KiJagur itu merupakan pukulan nekat Yang tujuannya untuk celaka bersama-sama.
Sampur Cinde yang sedikitpun tidak menduga atas serangan kalap ini, menjadi kaget!
Sarung pedangnya telah menyambar dekat sekali dengan Ki Jagur. Namun sebaliknya bola bandringan Ki Jagurpun sudah hampir menyambar Sampur Cinde, ke arah alis. Kalau sampai sabatan Sampur Cinde itu mengenakan paha Ki Jagur, tak ampun lagi kaki itu akan segera menjadi lumpuh dan menderita cacad. Namun sebaliknya dirinya sendiri akan binasa
oleh hantaman bola bandringan dari Ki Jagur. Untung juga bahwa Sampur Cinde memang seorang sakti mandraguna di samping banyak akalnya pula. Pada saat yang amat berbahaya itu, ia masih keburu menyampok rantai bandringan tersebut denga sarung pedang. Dengan demikian kedudukan Sampur Cinde berobah. Dari menyerang, dirinya sekarang membela diri.
Oleh tangkisan Sampur Cinde itu, Ki Jagur telah menggentakkan bandringannya. Akibatnya rantai bandringan itu segera melibat sarung pedan lawan. Berbareng ini Ki Jagur sudah menggerakkan bandringan di tangan kanan untuk menghantam lawan.
Semua yang hadir mengamati dengan menahan napas saking tegang.Dengan senjatanya yang sudah terlibat itu, jika Sampur Cinde ingin menyelamatkan jiwanya, mau tidak mau harus melepaskan pedangnya dan melompat mundur. Padahal, seorang tokoh sakti yang banyak kali berhadapan dengan bahaya, senjata merupakan suatu benda yang amat berharga tidak bedanya dengan nyawa sendiri. Maka sudah tentu Sampur Cinde takkan membiarkan senjatanya dapat direbut oleh lawan.
Di saat yang amat menegangkan, bandringan sudah hampir menghantam Sampur Cinde itu mendadak sinar hijau yang panjang menyambar berbareng dengan terdengarnya suara "crat".
Apa yang terjadi?
Ternyata batang pedang Sampur Cinde telah dicabut ke luar dari sarungnya. Sekali menyambar pedang Sampur Cinde telah berhasil melukai pergelangan tangan Ki Jagur.
Tetapi sesungguhnya yang terjadi tadi, di luar kesadaran Sampur Cinde sendiri. Ketika pedang berikut sarungnya terlibat oleh rantai bandnngan, ia tadi sesungguhnya sudah bingung. Dalam keadaan yang demikian, Sampur Cinde telah menarik pedang itu kuat kuat. Akibat sarung pedang dilibat oleh rantai bandringan lawan, maka sarung pedang itu seperti dipegang oleh tangan. Maka ketika Sampur Cinde menarik kuat-kuat, pedang itu terhunus. Tentu saja Sampur Cinde tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik yang tidak terduga-duga ini. Sekali pedang menyambar, telah berhasil melukai pergelangan tangan kanan lawan.
Sampur Cinde maju dua langkah dan tinju tangan kirinya telah menghantam dada Ki Jagur. Begitu terpukul, dada Ki Jagur sesak dan bandringannya sudah runtuh ke lantai. Dengan hasilnya ini, Sampur Cinde tertawa bekakakan sambil menyarungkan kembali pedangnya. Kemudian katanya dengan nada yang mengejek,
"Terima kasih saudara telah mau mengalah!"
Bagaimanapun Sampur cinde mengakui bahwa kemenangannya tadi secara kebetulan. Kalau dalam melawan tadi ia menggunakan pedang terhunus, begitu terlibat oleh rantai bandringan sulit untuk menghindarkan diri lagi dari bahaya.
Setelah berkata dan tertawa, Sampur Cinde segera melangkah meninggalkan gelanggang, dan kembali duduk di atas kursi. Namun ia tidak kembali duduk pada kursi yang tadi diduduki, malah sekarang duduk pada kursi di samping Sela Kencana yang kosong. Dengan demikian jelas sekali, bahwa
Sampur Cindepun menghendaki cangkir emas. Seperti tidak perduli kepada orang lain, dan tidak perduli pula kepada Ki Jagur yang telah berhasil dikalahkan, ia berbicara dengan Sela Kencana sambil tertawa-tawa. Hal ini sungguh merupakan sikap yang keterlaluan. Mestinya, ia perlu memberi pertolongan kepada Ki Jagur yang berhasil dirobohkan. Dan dengan demikian' benar-benar merupakan pertandingan persabatan, menjauhkan diri dari dendam dan permusuhan.
Sikap Sampur Cinde ini, membuat banyak orang tidak senang dan marah. Akan tetapi mereka tidak berani gegabah, sebab mereka segan kepada tokoh terkenal Sela Kencana. Namun tidak semua orang terpaksa menahan hati. Di antara mereka itu, muncullah seorang laki-laki tinggi besar yang memegang sebatang tongkat baja dan panjang. Laki-laki itu langsung melangkah dan menghampiri Sampur Cinde sambil mendamprat.
"Hai Sampur Cinde!" teriaknya.
"Mengapa engkau begitu kejam terhadap Ki Jagur?'
Sampur Cinde mengangkat kepala dan mengamati orang tinggi besar itu. Kemudian ia malah membalas bertanya,
"Tuan siapakah?" '
"Aku Jaran Penolih dari Cirebon!" sahutnya.
"Hayo, sekarang engkau mau menolong saudara ini dari kelumpuhan ataukah tidak ?"
Karena dalam mengucapkan kata-kata itu didorong oleh rasa penasaran dan amarah meluap luap maka suara itu keras sekali dan seolah-olah menggetarkan seluruh ruangan pendapa.
Yang mendengar nama Jaran Penolih itu, banyak diantara mereka yang heran. Nama Jaran Penolih memang cukup terkenal di bagian barat Pulau Jawa ini.
Akan tetapi mengapa orang itu ternyata seorang kasar dan sembrono?
Sebaliknya dengan duduk seenaknya, Sampur Cinde melirik. Iapun sudah cukup mengenal nama Jaran Penolih ini. Namun demikian ia pura pura tidak mengenal nama itu. Malah kemudian Sampur Cinde ini mengucapkan kata-kata yang cukup membuat telinga merah.
"Siapa? Jaran Ngelih? Ha-ha-ha, kalau memang lapar, makanlah rumput di luar!"
Jaran Ngelih, artinya kuda yang kelaparan. Itulah sebabnya Sampur Cinde menganjurkan supaya makan rumput.
"Hai Sampur Cinde! Jangan engkau mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh terhadap sesama manusia!" teriak Jaran Penolih yang dadanya hampir meledak rasanya.
"Demikian pula engkau tidak boleh menghina saudara Jagur seperti ini."
"Apakah engkau sahabat Ki Jagur?" tanya Sampur Cinde seperti tidak perduli.
"Bukan!" jawabnya.
"Malah kenalpun aku belum. Akan tetapi karena sikapmu di tempat ini, keterlaluan, maka sudah tentu aku merasa tak tega menyaksikan Ki Jagur yang menggeletak tidak berkutik dan menderita lumpuh.
"Sungguh celaka.
Aku seorang bodoh!" sahut Sampur Cinde.
"Aku bisa membuat orang menderita lumpuh, akan tetapi aku tidak dapat memulihkannya kembali."
"Aku tidak percaya. Aku tidak percaya! Hayo, jangan engkau berpura-pura!" teriak Jaran Penolih tambah penasaran.
"Lekas engkau pulihkan!"
Di antara yang hadir dan diam-diam berpihak kepada Sampur Cinde, tersenyum-senyum mendengar perbantahan Sampur Cinde dengan Jaran Penoleh ini. Sebab mereka tahu belaka bahwa saat sekarang ini Sampur Cinde sengaja mempermainkan orang dan membuat lelucon. Malah Pangeran Kajoran sendiri yang sejak tadi selalu mengikuti semua kejadian dengan wajah sungguh-sungguh, sekarang pangeran ini tertawa-tawa. Agaknya merasa geli juga, mandengar permainan Sampur Cinde ini.
Mendengar Pangeran Kajoran ikut tertawa oleh leluconnya ini, Sampur Cinde menjadi gembira dan bangga. Kemudian ia menambah leluconnya ini dengan berkata,
"Saudara, jika engkau memang berkeras, sekarang begini saja! Tolong engkau sekarang yang melakukan, dan tendanglah lututnya. Dengan tendanganmu itu, aku percaya bahwa Ki Jagur akan pulih tenaganya dan dapat bangkit berdiri."
"Benarkah itu ?" desak Jaran Penolih yang tertarik.
Ia memang benar benar tidak tega kepada Ki Jagur. Maka ia ingin sekali dapat menolong.
"Memang begitulah cara yang pernah diajarkan guru padaku. Tetapi terus terang aku sendiri belum pernah mencobanya."
Jaran Penolih yang anak sembrono itu, tanpa pikir panjang telah menghampiri Ki Jagur dan menendang lututnya.
"Tak!"
Tetapi sebagai akibat tendangan itu, Ki Jagur tak juga dapat pulih kelumpuhannya, malah tubuh kakek itu terguling. Melihat ini tentu saja Jaran Penolih menjadi kaget dan sadar pula, bahwa dirinya telah dipermainkan oleh Sampur Cinde.
Peristiwa yang baru saja terjadi ini membuat Pangeran Kajoran makin geli tertawa. Demikian pula para hamba sahayanya, ketawa terkekeh-kekeh tampak senang sekali dan perutnya menjadi keras. Melihat lelucon yang tidak lucu dan menghina sesama orang ini, banyak di antara tokoh yang hadir merasa tidak senang. Mereka banyak yang ingin menegur kepada Sampur Cinde. Akan tetapi karena melihat bahwa Pangeran Kajoran dan orang-orangnya malah tertawa senang, maka mereka terpaksa menahan hati. '
Di saat suara ketawa masih terdengar riuh di sana-sini itu, mendadak terdengarlah suara,
"tring!"
Ternyata tiga buah cangkir telah melayang terbang. Benturan cangkir satu sama lain itu cukup keras, membuat cangkir itu semuanya pecah dan pecahannya jatuh ke bawah.
Orang-orang kaget. Semua mata berusaha mencari-cari siapakah yang sudah melemparkan cangkir dan menjadi pecah itu. Kemudian pandang mata mereka beralih mengamati ke arah pecahan cangkir yang berguguran ke lantai.
Justeru di saat itu tampaklah Ki Jagur bangun berdiri, dan malah jari-jari tangannya masih memegang cangkir yang tadi memukul bagian tubuhnya. Ia memasukkan cangkir itu ke dalam saku,
sambil mengamati ke arah sampur Cinde dengan mata yang menyala. Sesaat kemudian terdengarlah kata orang ini,
"Siapakah sahabat yang telah menolong aku secara diam diam? Atas pertolongan yang sangat berharga ini aku Ki Jagur takkan melupakan selama hidup."
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Ki Jagur melangkah ke luar meninggalkan pendapa.
Sekarang semua orang baru menjadi sadar apa yang terjadi. Agaknya orang yang tadi melemparkan cangkir ke udara itu, dengan maksud untuk menyimpangkan perhatian orang. Lalu secara diam,diam telah melemparkan cangkir yang lain guna menolong Ki Jagur yang menderita kelumpuhan.
Bagi orang yang lain, tentu saja sulit untuk dapat mengenal siapakah yang sudah melemparkan cangkir-cangkir itu. Akan tetapi Sela Kencana adalah lain. Dirinya seorang sakti yang luas pengalaman di samping cerdik. Ia berdiri dari kursinya, kemudian melangkah perlahan menuju dan menghamptri meja Titiek Sariningsih. Tangan kanan terulur, lalu menjabat telapak tangan Titiek Sari ningsih yang masih menyamar sebagai gadis wajah buruk. '
"Nona," katanya,
"engkau masih muda sekali dan aku belum pernah kenal dengan kau. Bolehkah kiranya aku ingin mengenal namamu dan gelaranmu yang terhormat? Sebagai seorang tua, terus terang aku kagum akan kepandaianmu menyambit."
Diam-diam Titiek Sariningsih alias Ulam Sari
ini terkejut. Tadi ia menurunkan tangan dan menolong Ki Jagur, bukan lain karena merasa tidak tega kakek itu dipermainkan orang. Mimpipun tidak bahwa apa yang telah dilakukan, tidak luput dari pengamatan Sela Kencana yang memiliki sepasang mata awas sekali.
Karena tak ingin menarik perhatian orang, maka gadis ini cepat menjawab,
"Aku yang rendah bernama Ulam Sari. Aku hanya seorang gadis gunung yang tidak berharga, suatu keluarga yang berdiam di Merapi. Ucapan tuan yang menyebut nyebut tentang menyambit itu, tentu saja membuat saya merasa heran. Apakah maksud tuan ?"
Sela Kencana ketawa bekakakan.
"Ha-ha-ha-ha! Jangan merendahkan diri macam ini, nona, engkau dapat menyembunyikan diri dari yang lain, tetapi tidak berlaku untuk aku. Jika bukan engkau yang sudah melakukan tadi, mengapa pada meja ini cangkirnya berkurang empat buah?"
Ucapan Sela Kencana ini, sekarang menyadarkan Ulam Sari. Dan sekarang baru ia tahu, bahwa sebenarnya orang tua ini tidak melihat gerakan tangannya. Sebabnya dapat menduga secara tepat, bukan lain berdasar jumlah cangkir di atas meja yang berkurang. Karena Ulam Sari tidak mau mengaku, maka Sela Kencana memalingkan muka ke arah Sugriwo sambil bertanya,
"Kera tua! Jika bukan nona ini yang telah menolong Ki Jagur, kemungkinan hanya engkaulah yang dapat melakukan. Aihh, aku menjadi kagum akan kepandaianmu menyambit"
Sugriwo yang segan kepada Sela Kencana ini tentu saja buru -buru menyahut dan menolak,
"Ahh, tuan jangan sembrono. Bukan aku, sungguh bukan aku!"
Sela Kencana memang sudah mengenal pula akan tingkat kepandaian kera tua ini. Maka iapun sesungguhnya sudah tahu, bahwa Sugriwo tak mungkin dapat melakukannya, ia tersenyum, kemudian perhatiannya beralih kembali ke Titiek Sariningsih. Katanya kemudian,
"Nona, aku merasa beruntung sekali hari ini dapat berkenalan. Maka untuk kehormatan ini ingin sekali aku mengajak engkau meneguk sedikit air teh."
Dituangkannya air teh ke dalam dua cangkir. Yang sebuah diberikan kepada Ulam Sari, sedang cangkir yang lain untuk dirinya-sendiri. Sesudah itu, cangkir yang dipegangnya disentuhkan ke cangkir yang dipegang oleh Ulam Sari.
"Tring!" ternyata cangkir di tangan Ulam Sari telah pecah dan air teh itu membasahi bajunya.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Dalam usahanya untuk menjajaki ketinggian ilmu gadis ini, Sela Kencana telah menyalurkan hawa sakti ke lengannya. Tetapi celakanya Titiek Sariningsih alias Ulam Sari ini seorang gadis cerdik. Ia tidak melawan keras dengan keras dan akibatnya cangkir yang dipegangnya pecah.
"Maafkan aku!" katanya dengan hati heran dan bingung.
Kemudian buru-buru kembali ke kursinya.
Sementara itu di gelanggang, Sampur Cinde telah berkelahi dengan Jaran Penolih. Tetapi sekarang lain dengan tadi Orang yang bernama Sampur Cinde ini. sekarang begitu terjun ke gelanggang telah mencabut pedangnya. Jaran Penolih yang merasa dihina dan dipermainkan oleh Sampur Cinde seperti meledak dadanya. Maka tongkat yang berat itu menyambar nyambar seperti badai ke arah lawan. Ternyata sekalipun tubuhnya tinggi besar, tokoh Cirebon ini dapat bergerak gesit sekali di samping lincah.
Pertempuran kali ini berbeda dengan tadi. Mereka yang menonton berdebar tegang. Dan terbuka mata mereka sekarang ini, setelah mengetahui bagaimana Jaran Penolih berkelahi. Ternyata ia memang seorang tokoh ahli tongkat, gerakannya di samping cepat juga mantap, Dan ternyata pula nama harum dari tokoh Cirebon ini memang bukan hanya nama kosong saja.
Tetapi sayang pula bahwa ketua Perguruan Anda Langit yang bernama Sampur Cinde ini bukan lawan yang empuk. Sampur Cinde juga terkenal dengan ilmu pedangnya, di samping memiliki kecepatan bergerak yang lebih cepat dibanding lawan. Maka setelah puluhan jurus berlangsung, dari sedikit Sampur Cinde telah berhasil mengatasi lawan, sehingga Jaran Penolih sekarang terdesak. Akan tetapi walaupun demikian, bukan pekerjaan mudah bagi Sampur Cinde untuk dapat mengalahkan lawan dalam waktu singkat.
Di saat perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya ini, mendadak tangan kiri Sampur Cinde telah meraba pinggang.Ternyata tangan orang
itu sekarang telah memegang sebatang golok pendek yang ujudnya hitam legam.
Tiba-tiba tongkat Jaran Penolih menyambar dahsyat ke arah Sampur Cinde. Untuk memunahkan serangan ini Sampur Cinde mengibas dengan pedangnya, sehingga mau tidak mau Jaran Penoleh harus merobah serangan tongkatnya. Tongkat itu sekarang menyodok disertai tenaga yang kuat sekali. Orang yang tersodok tak ampun lagi aka segera roboh dan tanpa nyawa lagi.
Namun Sampur Cinde tidak bergerak dan berkelit. Di saat tongkat itu menyambar dengan tenaga kuat dan dekat sekali dengan tubuhnya, tangan kiri Sampur Cinde yang memegang golok pendek itu bergerak.
"Trang!"
Jaran Penoleh berseru kaget ketika merasa tongkatnya menjadi ringan. Ternyata tongkat baja yang besar dan berat itu sekarang telah terpotong menjadi dua. Di saat Jaran Penolih kaget ini, secepat kilat pedang Sampur Cinde telah mendesak dan menyambar ke lawan. Tak ampun lagi, pedang itu sekarang telah menggores pergelangan tangan Jaran Penoleh, sehingga urat urat penting itu terputus
Jaran Penoleh berteriak keras sekali, sehingga tanpa sesadarnya ia sudah melemparkan senjata yang tinggal separoh itu. Dengan putusnya urat-urat lengan ini, berarti pula lengan yang sebelah itu menjadi cacad dan tidak dapat lagi dapat digerakkan. Padahal ilmu tongkat yang sudah dilatih selama puluhan tahun lamanya itu, harus dipergunakan dengan sepasang tangan. Dengan cacadnya sebelah lengan itu akan berarti pula selama hidup takkan dapat
lagi menggunakan ilmu tongkat yang dilatih puluhan tahun lamanya dengan tekun itu. Kalau toh ia dapat berkelahi, tentu saja harus berganti senjata yang dapat digerakkan dengan sebelah tangan.
Namun saat sekarang ini dirinya berada ditangan ratusan tokoh sakti. Rusaknya senjata andalan dan lumpuhnya sebelah lengan itu, merupakan pukulan hebat bagi dirinya. Sekarang ia menjadi sadar babwa nama yang telah dipupuk bertahun tahun itu, hancur berantakan pada hari ini. Sulit dibayangkan betapa sedih Jaran Penolih saat sekarang ini.
Bukankah dengan peristiwa hari ini, dirinya akan selalu dicemoohkan orang saja? .
Bagaimanapun Jaran Penoleh adalah laki laki yang wataknya polos. Mendadak saja timbullah pendapatnya, bahwa hidupnya sekarang ini sudah tidak berguna lagi.
Apakah untungnya masih tetap hidup kalau sudah tiada gunanya lagi?
Mendadak saja ia menggunakan tangan kiri yang belum terluka untuk memungut potongan tongkat baja yang menggeletak di lantai.
"Prak !" ternyata dengan potongan tongkat itu. Jaran Penolih telah memukul kepalanya sendiri sehingga pecah. Tokoh Cirebon ini harus mengakhiri hidupnya di Ibu Kota Mataram dan disaksikan oleh ratusan pasang mata tokoh-tokoh sakti.
Peristiwa yang tidak terduga duga ini membuat semua orang kaget dan serentak mereka berdiri seperti memberikan penghormatan. Tadi ketika Jaran Penolih membungkukkan tubuh dan memungut potongan tongkat itu, semua orang menduga bahwa
Jaran Penolih akan memulai lagi berkelahi dengan Sampur Cinde. Ternyata tongkat itu untuk memukul kepalanya sendiri. Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua orang di samping terharu.
Karena jenazah itu menjadi pandangan yang tidak menyedapkan apa bila terlalu lama di tengah gelanggang, maka Pangeran Kajoran segera memerintahkan para hamba untuk secepatnya menyingkirkan jenazah itu.
Akan tetapi bagaimanapun peristiwa Jaran Penolih membunuh diri di tempat ini, membuat orang penasaran dan marah. Kalau saja Jaran Penolih harus melayang jiwanya di tangan lawan di saat berkelahi, hal itu takkan membuat orang marah dan menyesal. Tetapi apa yang terjadi sekarang ini justeru lain. Sebabnya Jaran Penolih sampai membunuh diri, bukan lain adalah akibat kekejaman Sampur Cinde. Apa yang telah dilakukan oleh Sampur Cinde dengan memutuskan urat urat pergelangan tangan Jaran Penolih itu, merupakan perbuatan yang tidak terpuji.
Apa sajakah maksudnya dengan membuat orang menderita cacad seperti itu?
Kalau toh memang tidak menghendaki Jaran Penolih hidup, toh dengan gampang bisa membunuhnya.
Mengapa harus melakukan siksaan di luar perikemanusiaan seperti itu?
Ini membuktikan sampai di manakah kekejaman dan keganasan Sampur Cinde.
Mendadak dari sudut pendapa terdengar orang berteriak,
'Hai Sampur Cinde! Sesudah engkau berhasil mematahkan tongkat lawan, berarti engkau sudah memperoleh _kemenangan! Mengapa engkau masih tega memutuskan urat-urat pergelangan tangan orang?"
Orang yang berteriak itu, seorang laki-laki bertubuh kekar dan usianya sekitar limapuluh tahun. Sepasang mata orang itu menyala, pertanda amat marah.
Oleh teguran itu, Sampur Cinde menjawab seenaknya saja,
"Hemm, senjata tidak mempunyai mata, sahabat. Katakanlah, apa bila ilmu kepandaianku kurang tinggi, bukankah aku sendiri akan binasa oleh tongkatnya ?"
Orang itu mendengus dingin.
"Huh, kalau demikian engkau ingin mengatakan, bahwa engkau seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan ?"
"Aihh, bukan begitu maksudku," sahut Sampur Cinde.
"Kalau saudara merasa tidak senang atas kemenanganku ini, aku bersedia melayani saudara di gelanggang!"
"Hamm, siapa takut?" jawab orang itu.
Tanpa memperkenalkan diri lebih dahulu, orang itu sudah menyerang kepada Sampur Cinde dengan sengit. Tetapi dengan tenang pula Sampur Cinde melayani serangan itu, menggunakan sebatang pedang dan golok pendek yang ternyata merupakan golok pusaka itu. Setelah puluhan jurus berlangsung, tiba-tiba terdengarlah suara
"trang!" ternyata senjata orang itu putus oleh sambaran golok pendek, disusul dadanya terluka oleh goresan pedang. Dan setelah senjatanya patah dan dadanya terluka ini, orang tersebut mundur dari gelanggang menundukkan muka.
Setelah itu berturut-turut beberapa orang yang merasa marah dan penasaran atas Sikap Sampur Cinde telah menantang. Maksud orang orang itu bukanlah ingin merebut sebuah cangkir. Akan tetapi melulu hanya menghajar manusia yang dianggap terlalu kejam itu. Akan tetapi celakanya manusia kejam ini memiliki golok pusaka yang tajam sekali. Setiap senjata berbenturan akan segera menjadi patah. Membuat orang orang merasa tidak sanggup menghadapi golok yang tajam itu.
Namun ternyata bukan semua orang menjadi jerih oleh ketajaman golok pusaka Sampur Cinde itu. Dari arah timur terdengar suara teriakan nyaring,
"Hai Sampur Cindel, Huh, engkau memperoleh kemenangan berturut turut bukan lain hanya berlindung kepada ketajaman golokmu. Jika engkau memang seorang yang berilmu tinggi, hayo lawanlah aku dengan tangan kosong!"
Namun, Sampur Cinde adalah seorang tokoh yang cerdik dan selalu berhati-hati. Ia tidak bisa dibakar oleh kata-kata orang itu, ia malah terkekeh kemudian menjawab,
"Heh-heh-heh, golok ini merupakan golok keturunan dalam perguruan kami. Dan golok ini pula yang menjadi tanda kekuasaan dalam perguruan kami. Kalau aku sebagai seorang ketua perguruan tidak menggunakan senjata ini, lalu senjata apakah yang harus aku gunakan? Dan dengan demikiam bukankah berarti aku ini sebagai seorang ketua yang malah melanggar ketentuan dalam perguruanku sendiri?"
Demikianlah, ketua Perguruan Anda Langit ini tetap saja menggunakan pedang ditangan kanan
dan golok pusaka itu di tangan kiri. Dan makin diejek orang, Sampur Cinde makin ganas. Orang yang menantang tadi dalam waktu tak lama senjatanya telah terpapas putus, kemudian orangnya sendiri menderita luka berat. Secara beruntun belasan orang lagi sudah roboh di tangan Sampur Cinde. Dan dengan demikian, Sampur Cinde merupakan orang yang paling banyak merobohkan orang di gelanggang ini, karena banyak ditantang orang. Akibatnya pula setelah kurang lebih duapuluh orang roboh dengan luka berat di tangan Sampur Cinde, tidak ada lagi orang yang berani maju dan menantang.Mereka bukan takut oleh ketinggian ilmu Sampur Cinde. Melainkan oleh senjata pusaka yang tajam itu .
Karena cukup lama tidak ada lagi orang yang maju ke gelanggang dan menantang, maka Sela Kencana gembira sekali dan ketawa bekakakan.
'Ha-ha-ha-ha, adi Sampur Cinde. Hari ini engkau telah berhasil mengalahkan banyak orang. Dan dengan kemenanganmu ini berarti pula mengangkat lebih tinggi lagi kedudukan Perguruan Anda Langit. Mari, mari, sekarang aku memberi ucapan selamat padamu dengan secangkir arak."
Memang pada setiap meja terdapat pula hidangan arak. Bagi mereka yang suka kepada minuman keras itu, tanpa sungkan-sungkan lagi telah banyak minum. Akan tetapi tidak sedikit pula yang tidak mau menyentuh kepada minuman keras itu. Maka dalam usahanya menyatakan rasa gembira ini, Sela Kencana menuang arak untuk Sampur Cinde.
Ulam Sari melirik ke arah Damayanti. Gadis yang memiliki sebatang pedang lemas, pedang pusaka bernama Si Buntung ini sanggup mengalahkan golok pusaka Sampur Cinde itu. Akan tetapi ternyata Damayanti menggelengkan kepalanya. Sebenarnya saja Damayanti merasa marah sekali oleh tingkah laku Sampur Cinde itu. Namun sebaliknya ia seorang gadis yang Sikapnya selalu berhati-hati dan hanya bertindak setelah dipertimbangkan secara masak. Ada beberapa pertimbangan yang melarang Titiek Sariningsih maju ke gelanggang. Yang pertama, kalau Ulam Sari maju akan berarti membuka kedok sendiri, bahwa sekalipun usianya muda, ternyata seorang gadis perkasa. Dan dengan demikian dugaan Sela Kencana tadi tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa telah menolong Ki Jagur. Yang ke dua, ia memang sedang menunggu munculnya orang. Kalau Ulam Sari sampai turun ke gelanggang bisa menyebabkan rencananya kacau.
Sementara itu dengan wajah berseri-seri dan bangga, Sampur Cinde telah menerima cangkir berisi arak yang diangsurkan oleh Sela Kencana. Hari ini ia memang amat gembira dan merasa bangga sekali, telah berhasil mengalahkan beberapa orang. Dan dengan peristiwa ini,tidak salah apa yang dikatakan Sela Kencana, berarti mengangkat nama Perguruan Anda Langit ke tempat lebih tinggi lagi.
Di saat cangkir berisi arak itu sudah terangkat dan di saat tepi cangkir itu menempel ke bibir Sampur Cinde. tiba-tiba terdengarlah suara serr.... dan sebuah benda kecil menyambar ke arah dirinya.
Sampur Cinde mendengar pula sambaran senjata rahasia itu, akan tetapi sikapnya tetap tak acuh. Dan bibir cangkir itu sudah menempel ke bibir untuk segera meneguk isinya. Pada detik senjata rahasia sudah hampir menyentuh cangkir itu, seperti kilat cepatnya jari tangannya sudah menyentil senjata rahasia itu. Hingga senjata rahasia itu terpental dan menyambar ke pintu luar.
"Bagus!" tanpa terasa beberapa orang sudah berseru memuji.
Apa yang terjadi benar-benar mengagumkan. Sebab matanya tidak memandang ke arah senjata rahasia, dan hanya menggunakan ketajaman telinganya, secara tepat telah dapat menyentil senjata rahasia yang disambitkan orang.
Tetapi secara tak terduga, dari luar pintu datang seorang yang mau masuk kedalam pendapa. Senjata rahasia yang disentil oleh Sampur Cinde itu sudah hampir menyambar dada. Untung sekali orang yang mau masuk itu Waspada. Ia mengangkat lengan dan menyentil pula dengan jari tangannya, sehingga senjata rahasia itu terlempar kembali.
"Hei! Beginikah caranya menyambut salah seorang tamu?" teriak orang itu tampak penasaran.
Suara itu nyaring sekali, hingga mengejutkan semua orang yang hadir didalam pendapa. Tetapi di samping mereka terkejut oleh suara bentakan nyaring, juga kaget ketika melihat benda itu telah melesat kembali ke dalam menyambar ke arah Sampur Cinde. Dari kenyataan ini sudah merupakan bukti, bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dibanding dengan Sampur Cinde.
Dalam kagetnya Sampur Cinde tidak berani sembrono untuk menyambut senjata rahasia itu. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa ia miringkan tubuh ke kanan.
Sungguh celaka.
Di belakang Sampur Cinde terdapat seorang pengawal Pangeran Kajoran. Pengawal yang tidak menduga sama sekali akan disambar oleh senjata rahasia itu, tdak sempat lagi untuk menghindar. Buru-buru ia mengangkat tangan dengan maksud untuk menangkap senjata rahasia itu.
'Takk!,Aughh..!"
Semua orang yang menyaksikan kaget sekali mendengar teriakan kesakitan dari pengawal itu. Ternyata pergelangan tangan pengawal itu telah patah dalam usahanya menangkap senjata rahasia.
Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang terkesiap. Senjata rahasia itu hanya sebutir isi salak.
Namun mengapa sudah berhasil mematahkan pergelangan tangan seorang pengawal, yang tentu saja bukan seorang lemah?
Oleh peristiwa ini semua orang sudah dapat menduga bahwa orang yang baru masuk itu, seorang sakti mandraguna. Maka semua mata sekarang telah tertuju ke pintu masuk. Orang itu tubuhnya jangkung tinggi kurus. Pada pundaknya nampak bergantung kantung obat-obatan. Dia mengenakan jubah panjang warna merah, akan tetapi warna itu sudah luntur. Kakinya kotor oleh lumpur. menandakan bahwa dia banyak melakukan perjalanan pada jalan yang becek. Dengan demikian orang segera dapat menduga, bahwa sekalipun tabib orang ini merupakan tabib kelas rendah
keluar kampung masuk kampung.
Benarkah pendapat ini?
Belum dapat dijadikan sebagai ukuran tentang tinggi rendahnya keudukan, apa bila hanya berdasarkan keluar dan masuk kampung.
Tinggi rendahnya seorang tabib bukan karena keluar dan masuknya tabib itu dalam kampung. Tetapi tinggi rendahnya kedudukan seorang tabib adalah tentang kemampuannya mengobati seseorang. Juga tentang watak dan tabiatnya. Walaupun pandai mengobati akan tetapi kalau hatinya jahat, bagaimanapun tabib itu adalah tabib rendah. Sebaliknya kalau dia seorang tabib yang pandai, berhati baik dan suka keluar kampung masuk kampung, ini membuktikan bahwa tabib itu seorang sosiawan. Seorang yang mengabdikan kemampuannya untuk orang banyak. Yang menjadi pokok pengabdiannya bukanlah uang. Tetapi merasa gembira dan senang sekali, apa bila telah berhasil menyelamatkan orang yang menderita karena sakit. .
Demikianlah, orang-orang memandang kepada laki laki jangkung yang masuk itu, sebagai seorang tabib kampungan. Akan tetapi sekalipun demikian, orang itu mempunyai keistimewaan. Sepasang mata laki-laki itu besar dan tajam, seperti dapat menembus dan menjenguk isi dada orang lain. Dia beralis tebal dan hidungnya besar. Tidak terkecuali mulut dan daun telinganya. Dengan memandang orang ini sekali lihat orang takkan dapat melupakan lagi, justeru dia mempunyai perbedaan dengan orang lain. Dia berusia kira-kira limapuluh tahun. Di belakangnya mengikuti dua orang, entah kedudukannya sebagai murid ataukah pelayannya.
Ketika melihat orang itu, Titiek Sariningsih tidak terpengaruh apa-apa, karena belum kenal sama sekali kepada tiga orang itu. Tetapi sebaliknya, Damayanti yang masih menyamar sebagai nenek-nenek itu, pandang matanya tak berkedip dan jantungnya terasa tegang. Memang orang inilah yang dikhawatirkan oleh Damayanti sejak duduk dalam ruangan ini. Sebab kehadiran mereka bisa menimbulkan korban-korban yang tidak diharapkan. Mereka yang tak bersalah, bisa menjadi korban keganasan dan kejahatannya. Mereka itu bernama Arga Suta, Tali Wangke dan Durgagini.
Damayanti berbisik kepada Titiek Sariningsih,
"Titiek, tiga orang yang baru datang ini pula yang mendorong aku hadir di sini."
Titiek Sariningsih heran dan kemudian bertanya,
"Siapakah mereka itu?"
"Mereka itu adalah orang-orang yang amat berbahaya, merupakan ahli racun," sahut Damayanti.
"Sesungguhnya baik aku maupun ayah tidak senang diselenggarakan pertemuan macam ini. Kalau ada orang yang datang mengacau, sebenarnya kami merasa senang. Akan tetapi kalau orang-orang baik harus menjadi korban keganasan orang jahat, tentu saja kami takkan dapat berpeluk tangan,"
"Apakah mereka itu merupakan guru dan murid?"
"Benar. Orang jangkung yang di depan itulah gurunya, dan dia pulalah yang bernama Tali Wangke. Baru namanya saja, kiranya orang sudah bisa menduga sepak terjang dan watak tabiatnya. Tali artinya adalah pengikat, sedang Wangke artinya bangkai bagi binatang dan jenazah bagi manusia.
Setiap orang yang berurusan dan bermusuhan dengan mereka. akan menjadi jenazah yang diikat. Dan jenazah yang diikat, bukan lain adalah pocongan atau jenazah yang sudah dibungkus oleh kafan."
"Aiih., mengapa bisa begitu, mbakyu?"
Titiek Sariningsih bergidik dan ngeri.
"Karena Tali Wangke adalah seorang ganas ahli racun. Orang yang tidak waspada tentu menjadi korban oleh racunnya yang amat jahat."
Di saat Damayanti dan Titiek Sariningsih sedang bisik-bisik ini, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan kesakitan yang menyayat hati, dari mulut seorang pengawal yang pergelangannya patah tadi. Pengawal itu bergulingan di lantai sambil memegang lengannya yang patah pergelangan tangannya. Terjadinya peristiwa ini, tentu saja semua orang menjadi heran.
Mengapa seorang pengawal hanya terluka dan patah pergelangan tangannya saja, sudah kesakitan dan bergulingan di lantai seperti itu?
Padahal seorang pengawal tentu seorang jago pilihan, seorang yang berkepandaian cukup tinggi.
Mana bisa jadi hanya terluka seperti, itu sudah berteriak-teriak tidak karuan?
Namun setelah banyak orang memperhatikan ke arah tangan pengawal yang patah pergelangan tangannya itu, mereka menjadi kaget dan hilang rasa heran. Sebab pada pergelangan tangan yang patah itu sekarang warnanya berubah menjadi hitam. Dari kenyataan ini orang segera bisa menduga, bahwa berobahnya pergelangan tangan menjadi hitam ini. sebagai akibat terkena oleh senjata rahasia yang beracun.
Tetapi seorang pengawal yang berteriak-teriak dan gulung koming seperti itu, membuat malu atasannya. Maka atasannya segera membentak keras, supaya pengawal itu segera pergi meninggalkan pendapa.
"Baik, baik," jawab pengawal itu dengan pucat dan ketakutan.
Pengawal itu berusaha bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya segera terhuyung dan kemudian roboh kembali di lantai dalam keadaan pingsan.
Melihat roboh dan pingsannya pengawal itu, Adipati Mandurorejo kaget. Ia segera menyambar sendok dan garpu dari atas meja. Kemudian sendok dan garpu itu dipergunakan untuk menjepit dan memungut isi salak yang menyebabkan pergelangan tangan pengawal itu patah tulang ternyata senjata rahasia itu bukan isi salak yang sebenarnya. Tetapi senjata rahasia terbikin dari kayu sanakeling, sehingga warna senjata rahasia itu hitam. Di samping senjata rahasia itu warnanya hitam, juga senjata rahasia itu dibikin menyerupai biji salak.
Sebagai seorang yang sudah luas pengetahuan dan pengalamannya, Adipati Mandurorejo segera tahu, siapakah pemilik dari senjata rahasia isi salak ini. Bukan lain adalah milik tokoh terkenal dari desa Siluk, yang bernama Patra Bangsa. Paras wajah Adipati Mandurorejo berobah. Kemudian ia berteriak nyaring,
"Saudara Patra Bangsa dari Siluk! Ternyata makin tambah usia, engkau makin maju pesat dalam ilmu sambit. Aihh, sungguh hebat racun yang kautaburkan pada senjata rahasiamu!"
Baru saja Adipati mandurorejo selesai berteriak, dari salah satu meja telah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, wajahnya bopeng. Lalu terdengar suara laki-Iaki ini yang menggelegar,
"Gusti Adipati Mandurorejo! Hamba mohon agar gusti tidak gampang menyemprot orang yang tak bersalah. Senjata rahasia itu hamba akui, memang milik hamba. Tetapi kalau menggunakan racun pada senjata rahasia, manakah mungkin? Hamba tadi menyambitkan senjata rahasia itu bukan lain untuk menghancurkan cangkir yang sedang dipegang oleh manusia sombong dan ganas! Gusti, walaupun wajah hamba buruk akan tetapi hati hamba tidak seburuk orang sangka. Sejak dahulu kala sampai sekarang, keluarga hamba selalu memilih jalan lurus. Maka apa bila hamba sampai berani menaruh racun pada senjata rahasia itu, berarti hamba sudah melanggar pantangan leluhur hamba. Manakah hamba berani melanggar larangan leluhur?"
Mendengar jawaban ini Adipati Mandurorejo tidak berani meneruskan tuduhannya. Ia memang mengerti bahwa Patra Bangsa seorang jujur sekalipun tabiatnya kasar. Malah leluhur Patra Bangsa terkenal juga sebagai keluarga yang setia kepada Kerajaan Mataram, sejak Panembahan Senopati masih hidup dan memegang kekuasaan di Mataram, sebagai raja yang pertama.
Adipati Mandurorejo tahu juga bahwa'keluarga Patra Bangsa ini memiliki lima macam senjata rahasia. Akan tetapi tidak satupun yang dibubuhi racun. Di antara lima macam senjata rahasia ini, yang paling terkenal adalah senjata rahasia yang mirip dengan biji salak
ini terbuat dari kayu sanakeling. Sebab walaupun hanya kayu, tetapi mempunyai berat yang menguntungkan bagi senjata rahasia.
Dan karena tidak mempunyai alasan untuk menuduh Patra Bangsa membubuhkan racun pada senjata rahasia itu, maka Adipati Mandurorejo menjadi heran. Katanya,
'Sungguh mengherankan. Mengapa senjata rahasia ini bisa beracun?" .
Patra Bangsa sendiri merasa tidak enak. Teriaknya,
"Cobalah hamba memeriksa!"
Orang bopeng inipun segera melangkah cepat menuju tengah ruangan. Senjata rahasia itu segera dipungut dan diteliti. Wajahnya berobah kemudian berkata,
"Aihh, benar ini memang senjata rahasia hamba. Tetapi.... mengapa beracun? Aih.. aduhhh......" .
Mendadak saja wajah Patra Bangsa berobah pucat. Senjata rahasia itu dilepaskan jatuh ke lantai. Kemudian ia mengibaskan tangan kanan berkali-kali, sambil meringis kesakitan. Sebab begitu memungut senjata rahasia, jari telunjuk dan ibu jari tangannya menjadi panas sekali seperti memegang bara api. Saking panas dan tidak tertahankan lagi, ia segera mengangkat tangan dengan maksud untuk menghisap jari telunjuk dan ibu jari tangan itu.
"Jangan kaulakukan!" teriak Adipati Mandurarejo sambil memukul lengan Patra Bangsa.
Ternyata sekarang bahwa ibu jari dan telunjuk Patra Bangsa telah bengkak dan warnanya berobah hitam seperti hangus. Tubuh yang tinggi besar itu sekarang gemetaran, sedang peluh sebesar biji jagung bercucuran di sekujur tubuh.
Di saat orang kebingungan melihat Patra Bangsa kesakitan, orang jangkung yang baru masuk itu sudah berpaling ke belakang, ke arah dua orang yang mengiringkan. Katanya nyaring,
"Obatilah mereka!" '
Laki-laki wajah pucat yang berada di belakangnya mengangguk. Kemudian ia mengambil semacam obat encer yang dibasahkan pada ibu jari dan telunjuk Patra Bangsa. Demikian pula pengawal yang menderita patah pergelangan tangannya segera diobati pula. Setelah memperoleh obat ini, Patra Bangsa tidak meringis kesakitan dan gemetaran lagi. Demikian pula pengawal tadi, sudah sadar dari pingsannya. Melihat semuanya ini, sudah tentu semua orang menjadi sadar, bahwa kiranya orang jangkung inilah yang sudah membubuhkan racun pada senjata rahasia itu.
Bagaimanakah orang jangkung ini dapat menaruhkan racun pada senjata rahasia yang disentil membalik?
Kiranya pada kuku jari tangan orang itu telah tersimpan semacam racun yang jahat. Hingga di saat menyentil, racun sudah menempel pada senjata rahasia itu.
Akan tetapi bagaimanapun menyentil sambil meracuni senjata rahasia yang menyambar itu , sudah merupakan suatu kepandaian yang hebat sekali. Kiranya perbuatan itu sudah memerlukan latihan yang bertahun tahun. Maka semua orang menjadi terperanjat dan khawatir sekali!
Apa bila
orang ini maju ke gelanggang dan bertanding, akan banyaklah orang yang celaka dalam tangannya.
Dalam pada itu Adipati Mandurorejo sudah menghampiri si jangkung dan bertanya,
"Bolehkah aku bertanya tentang nama dan tempat tinggal tuan yang mulia?"
Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum saja. Adalah Arga Suta yang membuka mulut memberikan jawabannya,
"Saya yang rendah bernama Arga Suta. Ini isteri saya, bernama Durgagini. Dan ini guru kami, bernama Tali Wangke. Saking terkenalnya sebagai seorang tabib yang pandai, orang memberikan julukan kepada guru-kami, Tabib Yamadipati!"
Yamadipati, dalam cerita wayang dikenal sebagai dewa pencabut nyawa. Dengan julukan yang menyeramkan ini, tentu orang segera tahu bagaimanakah sepak terjang tabib ini. Kalau hatinya sedang suka, memang sedia mengobati orang yang minta pertolongannya. Dan obat yang diberikan memang mustajab. Akan tetapi sebaliknya apa bila ia sedang tidak suka, maka ia tidak memberikan obat yang sebenarnya, malah memberi semacam racun yang sedang diselidiki. Dan dengan demikian, orang yang sesungguhnya minta diberi obat itu malah dijadikan semacam kelinci percobaan. Orang yang dijadikan semacam kelinci percobaan tentu saja akan menderita sekali. Sebab di kala penyakitnya sudah hampir sembuh, segera diberi racun. Ketika orang menderita, diberi obat yang sesungguhnya. Namun kemudian orang itu diracun lagi. Banyak kali terjadi orang yang dijadikan kelinci percobaan ini harus menemui ajalnya.
Dan barang tentu orang terperanjat mendengar nama Tabib Yamadipati itu. Tabib ini memang terkenal sebagai ahli racun. Yang tidak kaget hanyalah Damayanti, justeru sudah mengenal lebih dahulu.
Sebagai seorang yang luas pergaulan dan pengalamannya, Adipati Mandurorejo sudah mendengar pula nama tabib ini. Maka ia tersenyum, katanya,
"Aihh, sungguh beruntung tuan sudi datang. hadir dalam pertemuan ini. Silahkan duduk."
Tali Wangke tersenyum.
Kemudian terdengar orang ini bertanya,
"Dan tuan siapakah ?"
Sambil berkata ini, Tali Wangke sudah mengulurkan tangannya. Agaknya tabib ini bermaksud untuk menjabat tangan Adipati Mandurorejo. Tentu saja Adipati Mandurorejo tidak berani berjabatan dengan tangan beracun itu. Ia mundur kemudian membungkuk sambil menjawab,
"Aku bernama Mandurorejo. Adapun jabatanku di Mataram, sebagai adipati."
Karena Adipati Mandurorejo tidak berani diajak berjabatan tangan ini, Tabib Yamadipati ketawa terkekeh. Kemudian tabib ini membungkuk dan lalu memberikan sembahnya ditujukan kepada Pangeran Kajoran. Katanya nyaring,


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hamba seorang dari gunung, datang ke mari menghadap gusti pangeran."
Pangeran Kajoran justeru seorang bangsawan yang luas pengalamannya pula. Banyak tokoh sakti
dari jauh yang bersahabat dengan pangeran ini. Maka melihat bahwa tabib ini seorang sakti dan berbahaya, ia mengangguk angguk sambil menjawab,
"Selamat datang tuan, dan silahkan duduk."
Tiga orang itu kemudian duduk di satu meja yang kosong. Anehnya setelah mereka duduk, maka orang-orang yang duduk bertetangga meja segera menyingkir dan pindah ke meja lain. Agaknya orang orang itu menjadi khawatir keracunan. apa bila duduk begitu dekat dengan mereka. Untuk menjaga keselamatan ini, maka lebih baik mereka menyingkir saja.
Tak lama kemudian datanglah seorang perwira. Namun perwira ini tidak berani datang mendekat. Dia berdiri kira-kira tiga langkah dari meja mereka. Kemudian perwira ini memberikan penjelasan tentang pertandingan yang diselenggarakan di tempat ini di samping peraturan-peraturan yang berlaku. Tetapi setelah selesai memberi penjelasan, secepatnya perwira itu pergi meninggalkan mereka.
"Aihh, mengapa tampaknya tuan takut padaku ?" tanya Tali Wangke.
"Aku si orang tua memang suka menggunakan racun. Namun begitu akupun pandai pula mengobati orang. Aihh, mengapa wajah tuan tampak sinar yang warnanya hijau? Itu sudah merupakan pertanda bahwa sesungguhnya tuan menderita sakit. Sekalipun aku belum memeriksa keadaanmu, tetapi aku sudah dapat memastikan bahwa dalam perutmu terdapat beberapa ekor kelabang. Penyakit tuan itu apa bila tidak lekas lekas diobati, dalam waktu satu minggu saja tuan akan tidak dapat lagi menyaksikan indahnya dunia
ini. Aihh, apakah tuan memang sudah siap untuk pulang ke alam baka?"
Perwira itu menjadi kaget tak terkira. Waktu satu minggu hanya singkat saja.
Benarkah keterangan orang ini?
Namun demikian ia merasa tak percaya-. Jawabnya,
"Mana mungkin dapat terjadi seperti keterangan tuan itu?"
Tetapi Tali Wangke seperti tidak mendengar kata-kata perwira itu. Malah kemudian ia bertanya,
"Apakah belakangan ini tuan bercekcok dan berkelahi?"
Padahal sudah lumrah bagi seorang perwira pengawal, yang tugasnya melindungi keluarga raja, tentang bercekcok dan berkelahi adalah merupakan tugasnya sehari-hari, jadi tentang bercekcok maupun berkelahi, bukan merupakan hal yang aneh. Akan tetapi karena terpengaruh oleh ucapan Tali Wangke itu, maka perwira ini sudah menjawab tidak lancar,
"Be...... bener......! Mungkinkah bangsat busuk itu yang sudah meracuni aku dengan kelabang......?"
Di antara mereka yang hadir, tentu saja tidak tahu siapakah yang disebut bangsat busuk itu. Akan tetapi Titiek Sariningsih tentu saja tahu, bahwa yang dimaksud adalah si Kebo Kuning, pemuda yang pernah mencuri bungkusannya itu.
Adapun Tali Wangke segera memasukkan jari tangannya ke dalam saku baju. Ia mengeluarkan butiran obat dua biji. warnanya hijau, sambil berkata,
"Jika tuan percaya kepada keteranganku, makanlah dua butir obat ini!"
Pengaruh ucapan bahwa dalam perutnya terdapat kelabang hidup itu. mendadak saja ia merasakan perutnya sakit dan ada perasaan bahwa di dalam perut ada benda-benda yang bergerak. Karena takut bahwa dalam perutnya memang terdapat beberapa ekor kelabang hidup, maka tanpa pikir panjang lagi, ia sudah menerima pemberian dua butir obat itu yang langsung dimasukkan ke dalam mulut. '
Belum lama obat itu masuk dalam perut, perwira ini merasakan perutnya mual seperti mau muntah. Tabib Yamadipati bangkit dari kursinya, menghampiri perwira itu sambil mengurut-urut dada perwira itu. Katanya,
"Muntahkan semua, dan jangan kautahan!"
Ternyata perwira itu benar muntah-muntah. Kemudian sepasang mata perwira ini terbelalak, wajahnya pucat dan hampir pingsan, ketika melihat sesuatu yang bergerak di dalam benda cair yang baru saja dimuntahkan.
Binatang kecil yang bergerak gerak itu kepalanya merah, tubuhnya panjang dan hitam sedang kakinya banyak sekali, apa lagi kalau bukan kelabang?
Saking merasa ngeri melihat adanya kelabang dalam muntahannya tadi, si perwira buru-buru memberikan hormatnya lalu pergi.
Beberapa orang pelayan segera maju dan membersihkan benda yang tadi dimuntahkan perwira Itu. Tetapi dengan terjadinya peristiwa ini, hampir semua orang merasa kagum dan memuji akan kesaktian tabib itu.
Sekali pandang sudah dapat menduga isi perut orang, siapa yang dapat melakukan kalau bukan seorang tabib sakti?
Titiek Sariningsih juga merasa heran. Ia melirik kepada Damayanti dan gadis ini tersenyum sambil berbisik,
"Titiek, jangan lagi kelabang! Binatang itu hanya kecil saja, gampang sekali melakukannya. Walaupun harus mengeluarkan ular dari perutmu. akupun bisa."
Mendengar ini Titiek Sariningsih heran dan mendesak,
"Bagaimana bisa jadi ?"
'Hem, di saat aku memberikan obat yang aku katakan amat mustajab itu, aku sudah dapat mempersiapkan seekor ular dalam lengan bajuku!" sahut Damayanti.
"Kemudian di saat aku membantu engkau supaya dapat muntah dan mengurut dadamu, ular itu saya keluarkan dari lengan baju. Masa tak bisa?"
Mendengar jawaban ini Titiek Sariningsih cekikikan.
"Aihh, engkau pintar, mbakyu."
"Hemm, coba saja dia tidak diperbolehkan mengurut dada orang. Mana mungkin dalam muntahan itu terdapat kelabang?" kata Damayanti.
"Maka jangan gampang percaya kepada hal hal yang mustahil, dan sudah disebut oleh seseorang yang mengaku sebagai tabib ampuh. Pil yang diberikan tadi memang membuat orang mual dan ingin muntah. Jadi terang orang itu memang dibuat muntah."
Damayanti berhenti, kemudian terusnya,
"Ada pula orang yang menggunakan cara lebih tertib lagi. Dia menggunakan sebutir telor ayam. Mengapa memakai telur ayam? Karena si tabib itu memberi
keterangan kepada keluarga si sakit, bahwa orang yang menderita sakit ini akibat tenung orang. Dalam perut si sakit terdapat beberapa potong paku, jarum dan ijuk. Kalau benda-benda tersebut tidak segera dikeluarkan dari perut, bisa mengakibatkan kematiannya. Kemudian tabib itupun memberi keterangan. bahwa tenung ini diberikan oleh si anu. ialah seseorang yang tidak disuka oleh si tabib. Nah, karena termakan oleh keterangan si tabib ini, keluarga si sakit percaya. Sebutir telor diberikan. Kemudian orang ini minta supaya semua orang ke luar dari kamar. Sebab ia sedang minta bantuan orang halus untuk menyembuhkan si sakit. Akan tetapi kesempatan di mana orang-orang itu keluar, si tabib sudah menukar telur itu dengan telor yang sudah dibawa dari rumah."
Damayanti berhenti, dan sesaat kemudian lanjutnya,
" Si tabib segera mempersilahkan semua orang supaya masuk kembali. Di depan orang orang itu, ia menunjukkan telor ayam yang warnanya sama dengan apa yang diberikan oleh keluarga si sakit tadi. Dan di depan orang-orang ini, si tabib segera beraksi. Telor itu diputar-putarkan di atas perut maupun beberapa bagian tubuh penderita. Sesudah beberapa saat lamanya dilakukan, telor itu diminta supaya dipecah oleh keluarga si sakit. Dan tentu saja ketika dipecah, telor tadi berisi paku, jarum dan ijuk."
"Hi-hi-hik."
Titiek Sariningsih cekikikan dan merasa geli.
"Maka jika engkau menghadapi seseorang yang mengaku tabib dan dukun tenung, sebelum memberikan telor yang diminta itu, dan yang biasanya selalu menentukan warna dari telor yang dibutuhkan, sesuai dengan warna kulit telor yang sudah disediakan dalam sakunya. Berilah tanda lebih dahulu telor tersebut, tetapi yang tidak menyolok agar tidak terlihat oleh si tabib. Aku berani bertaruh bahwa telor yang dikatakan berisi jarum, paku dan ijuk karena tenung itu, tentu telor ayam yang lain. Ialah telor yang sudah disiapkan oleh si tabib dari rumah."
"Ya, memang tidak sedikit orang yang percaya akan kepandaian tabib semacam itu. Dan tidak disadari, bahwa mereka telah ditipu. Dan akibatnya pula, orang yang tak bersalah dan dituduh main tenung itu, menjadi korban. Aihh, sayang sekali mereka tidak sadar telah ditipu mentah-mentah oleh orang yang mengaku sebagai tabib ampuh itu!" kata Titiek Sariningsih.
"Tetapi mbakyu, kepandaian orang itu jelas amat tinggi. Namun demikian, apakah perlunya masih main sulap macam itu?"
"Kau benar! Memang orang harus hati-hati menghadapi mereka yang main-main dengan racun jahat," sahut Damayanti.
Sementara itu, setelah main sulap Tali Wangke segera ketawa terbahak-bahak. Sesudah puas tertawa. orang ini bicara seperti ditujukan kepada diri sendiri,
"Ha-ha-ha, selama ini aku tidak pernah mendirikan perguruan apapun. Aku hanya dikenal sebagai tabib yang pandai mengobati orang. Namun karena sekarang ini yang masuk dalam hitungan berdasarkan perguruan. maka hari ini juga
saya membentuk sebuah perguruan dengan nama Setra Gandamayu. Dengan perguruan terbaru ini, apa bila aku berhasil merebut sebuah cangkir perak saja. sudah merupakan keuntungan yang besar bagiku, bagi perguruanku maupun untuk para muridku."
Mulut mengucapkan cangkir perak, akan tetapi kakinya melangkah menuju kursi yang mempunyai hak cangkir emas. Ia duduk di samping Sampur Cinde. Dengan kenyataan ini jelas, bahwa tujuannya bukan mencari cangkir perak, akan tetapi cangkir emas.
Akan tetapi dengan perbuatannya yang tadi sudah meracuni orang, kemudian dapat mengeluarkan tiga ekor kelabang dari perut orang, menyebabkan orang menjadi segan untuk menantang tabib ini.
Tanpa terasa matahari sudah tenggelam di barat gunung dan malam sudah agak lama menggantikan. Di antara mereka sudah banyak yang mengantuk di samping lelah. Namun semua orang masih memaksa diri mengikuti pertemuan dan pertandingan ini sampai pada akhirnya.
Setelah tabib itu duduk pada kursi yang berhak memperoleh cangkir emas, maka kursi itu sudah hampir penuh diduduki orang. Tiba-tiba tampak berkelebat masuk seorang tinggi kurus bersenjata tongkat panjang. Lalu terdengar perwira petugas berteriak,
"Tuan-tuan sekalian, inilah tuan Sungsang Buwono, ketua Perguruan Jepara yang amat masyhur namanya."
Damayanti menyiku Titiek Sariningsih perlahan. Dan sepasang mata gadis yang tertutup oleh kedok
ini. tiba-tiba saja menyala. Memang orang yang mengaku dengan nama Sangsang Buwono inilah yang mendorong dirinya hadir dalam pertemuan ini. Tentu saja gadis ini menjadi girang bukan main. Katanya dalam hati,
"Hemm, akhirnya terkabul juga apa yang aku harapkan selama ini. Arwah ibuku kiranya akan menjadi puas, apa bila aku berhasil membunuh manusia busuk ini!"
Ternyata Sungsang langsung duduk pada kursi yang masih kosong. Begitu duduk dengan sikap yang sombong orang ini sudah menantang.
"Saya memang datang terlambat dalam pertemuan penting ini. Namun demikian saya takkan menolak kepada tuan-tuan yang ingin menantang padaku!"
Mendengar ucapan yang sombong dan angkuh ini, Titiek Sariningsih mencibirkan bibirnya. Namun demikian ia masih menahan sabar menunggu kesempatan yang lebih baik.
Tantangan Sungsang itu sudah memancing majunya tiga orang penantang secara berturut-turut. Akan tetapi tiga orang penantang itu dapat dirobohkan oleh Sungsang tanpa kesulitan. Atas kemenangannya yang tiga kali berturut-turut ini membuat Sungsang girang bukan buatan. Wajahnya berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat. Namun ternyata masih ada pula seorang penantang yang maju. Orang ini bersenjata golok.
Tak lama kemudian mereka sudah terlibat dalam perkelahian yang seru. Namun setelah beberapa jurus mereka berkelahi, Titiek Sanningsih sudah dapat menduga siapakah yang bakal memperoleh
kemenangan. Terbukti bahwa sekarang Sungsang memperoleh tanding seorang sakti mandraguna. Dan pada akhirnya Sungsang akan roboh di tangan orang ini.
Ternyata dugaan Titiek Sariningsih ini tidak salah sedikitpun. Setelah lewat beberapa jurus lagi, Sungsang sudah terdesak. Sambil melengking nyaring, Sungsang bergerak -cepat dalam usahanya menghindar dari serangan orang. Namun usahanya selalu gagal saja, dan ia tetap saja terdesak. Untung sekali bahwa orang itu agaknya tidak mempunyai maksud untuk membunuh Sungsang. Agaknya ia mempunyai maksud agar Sungsang mau mengaku kalah tanpa terluka. Beberapa kali orang bersenjata golok ini mempunyai kesempatan bagus untuk membinasakan lawan. Akan tetapi orang itu tak juga mau menggunakan. Sebal juga Titiek Sariningsih melihat tingkah orang bersenjata golok itu. Jika dia bersikap mengalah kepada orang seperti Sungsang ini, tidak urung diri sendirilah yang akan celaka.
Akan tetapi diam-diam Titiek Sariningsih merasa heran kepada Sungsang yang berganti-ganti senjata itu.
Apakah sebabnya?
Dahulu ketika dirinya dikalahkan oleh Sungsang, dia menggunakan senjata cambuk.
Mengapa sekarang ganti tongkat?
Sebagai seorang gadis yang cerdik, tentu saja Titiek Sariningsih segera menduga duga akan terjadinya perobahan ini. Ia tidak percaya kalau perubahan senjata ini tiada maksud tersembunyi. Hanya saja sampai sekarang ia belum dapat menduganya. Akan tetapi ia percaya, bahwa pada saatnya nanti ia akan dapat mengetahui rahasianya.
Sementara itu Sungsang yang merasa terdesak sudah berganti dengan siasat berkelahinya. Dia main mundur, namun tetap saja tidak mau mengalah. Mendadak saja Sungsang menggunakan tongkatnya untuk menyapu. Sambaran tongkat ini segera dihindari oleh lawan dengan gerakan menunduk. Akibatnya tongkat itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi baru saja orang itu akan membalas dengan goloknya, tiba-tiba terdengar ia berteriak,
"Aduh!"
Dan orang itu bergulingan di lantai. Namun demikian secepatnya orang ini sudah melompat bangun. Akan tetapi barusaja kali kanan menginjak lantai, orang itu sudah kembali roboh. Jelas bahwa kaki kanan orang itu lemas tak bisa dipergunakan untuk berdiri.
"Manusia tak kenal malu !" teriaknya penasaran.
"Mengapa engkau menggunakan senjata. rahasia ?"
Tetapi Sungsang menyambut dengan ketawanya yang bekakakan.
"Ha-ha ha, dalam peraturan pertandingan tiada larangan orang menggunakan senjata rahasia. Maka sesudah berkelahi dalam gelanggang, orang bisa saja menggunakan senjata rahasia untuk mengalahkan lawan!"
Orang yang bersenjata golok itu segera membungkuk sambil menyingsingkan celananya. Kemudian orang itu melihat bahwa pada sambungan antara tulang paha dan tulang betis telah menancap sebatang jarum. Akibat menancapnya jarum
pada persendian ini, menyebabkan kaki menjadi lemas dan tidak dapat digerakkan.
Tetapi diam-diam semua orang yang menyaksikan merasa heran. Pada saat orang itu terluka, Sungsang justeru dalam keadaan repot sekali dan tentu saja tidak dapat menggunakan senjata rahasia. Merekapun tidak melihat Sungsang tadi mengayunkan tangan untuk menyambitkan jarum itu.
Lalu dengan cara apa melakukan dan menyambitkan jarum itu. yang secara tepat mengenakan persendian penting itu?
Akan tetapi karena merasa kalah dan sudah dirobohkan orang, tanpa rewel lagi orang bersenjata golok itu sudah mundur teratur. Namun masih ada orang lain lagi yang maju dan menantang Sungsang. Orang ini bersenjata cambuk baja. Setelah berhadapan, orang itu segera menyerang dahsyat sekali. Serangan yang saling susul itu, makin lama menjadi semakin hebat. Agaknya orang ini tahu bahwa sebenarnya lawan yang baru saja kalah tadi, mestinya menang melawan Sungsang. Dengan demikian jelas bahwa yang perlu dijaga hanyalah agar jarum sebagai senjata rahasia itu tidak sempat melukai. Itulah sebabnya orang ini menyerang dengan hebat. Maksudnya agar Sungsang tidak memperoleh kesempatan menggunakan senjata rahasia jarum itu.
Namun di saat orang ini menyerang dengan hebat sekali, tibatiba orang ini berteriak kesakitan dan melompat mundur.
Mawar Merah Roses Are Red Karya James Patterson Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia Gento Guyon 13 Dedel Duel

Cari Blog Ini