Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 16

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 16


Apa yang terjadi?
Ternyata pada pinggangnya sudah terluka oleh sebatang jarum, dan mengeluarkan darah. Untung sekali jarum itu tidak beracun dan hanya menyebabkan luka saja.
Dengan dua kali Sungsang memukul mundur lawan akibat terluka oleh jarum ini, membuat semua orang tambah tercengang dan tak mengerti. Mereka tidak melihat Sungsang melepaskan jarum itu, dan tidak pula mendengar sambaran jarum tersebut. Jadi mungkin sekali, menurut dugaan orang-orang itu, jarum tersebut berasal dari lain orang yang diam-diam sudah membantu.
Tetapi bagaimana mungkin orang berani main curang di bawah pengamatan ratusan pasang mata, dalam ruangan yang tidak begitu luas dan diterangi oleh lampu lampu terang benderang?
Apa bila orang berani main curang dan membantu, tentu akan gampang diketahui orang. Namun yang jelas dua kali jarum menancap pada bagian tubuh orang, Sungsang tidak tampak melepaskan jarum-jarum itu. Hal ini menimbulkan rasa aneh, karena tidak seorang pun melihat orang melepaskan senjata rahasia itu.
Akibatnya semua orang hanya dapat bertanya tanya, lalu dari manakah jarum itu menyambar?
Peristiwa aneh dan meragukan ini, membuat semua orang penasaran dan marah.Tetapi setiap orang yang maju dan menantang selalu berakhir dengan kekalahan. Hal ini membuat suasana gempar dan tegang. Pendapa itu penuh oleh suara berisik yang merasa heran dan penasaran. Tidak terkecuali Titiek Sariningsih sendiri. Ia seorang gadis yang cerdik. Sepasang matanya tajam dan mengamati perkelahian tidak berkedip. Ia tidak melihat tangan Sungsang bergerak melepaskan jarum itu.
Namun mengapa orang bisa terluka oleh jarum?
Ia merasa dihadapkan dengan teka-teki yang sulit ditebak. Maka yang bisa dilakukan hanya memalingkan muka ke arah Damayanti. Ia merasa percaya bahwa Damayanti dapat memecahkan teka-teki ini. Tetapi sungguh ia menjadi menyesal ketika melihat gadis itu hanya menggelengkan kepalanya. Jadi jelas, Damayanti sendiri tidak tahu bagaimana cara orang melepaskan jarum itu.
Dengan terjadinya peristiwa yang tidak terduga, dan Sungsang dapat melepaskan jarum tanpa diketahui orang gerakannya ini, diam diam membuat Titiek Sariningsih ragu-ragu.
Mungkinkah dirinya bisa menang melawan Sungsang yang sekarang lain dari yang lain itu?
Seakan Sungsang sudah menggunakan ilmu sihir. Hingga orang sulit menduga-duga.
"Hemm."
Damayanti menghela napas. Kemudian gadis ini bicara agak keras,
"Kiranya orang yang sanggup melawan dia itu, hanya seorang yang mengenakan pakaian tidak dapat ditembus oleh jarum."
Di saat ia mengucapkan kata-kata ini, Damayanti tidak mempunyai sesuatu maksud untuk menganjurkan orang harus melawan dengan pakaian anti senjata. Tetapi agaknya kata-kata Damayanti itu didengar oleh salah seorang perwira pengawal, yang diam-diam merasa penasaran pula oleh kemenangan Sungsang yang penuh teka teki itu. Tiba tiba saja perwira itu sudah memerintahkan orang sebawahannya, supaya mengambil pakaian perang. Tak lama kemudian orang yang diperintah mengambil pakaian perang itu sudah kembali. Pakaian perang yang tahan senjata itu segera dipakai, lalu
ia maju ke gelanggang dan menantang kepada Sungsang.
Siapakah perwira ini?
Dialah seorang gagah yang bernama Wiromanggolo. Dia seorang perwira yang sudah banyak jasanya dalam setiap peperangan, dan langsung di bawah kekuasaan Pangeran Kajoran. Sekarang perwira ini telah berdiri di tengah gelanggang dengan sikap yang angker, dan pada tangan yang kanan sudah siap sebatang kapak yang cukup besar. Majunya perwira ini membuat semua hadirin gembira. Mereka'bersorak dan bertepuk tangan. Malah Pangeran Kajoran sendiri agaknya menjadi gembira pula, bahwa diantara perwiranya ingin merebut hadiah cangkir emas dari raja. Untuk menambah semangat perwira itu, Pangeran Kajoran memerlukan bangkit dari kursi, menuang arak pada cangkir: lalu dihadiahkan kepada Wiromanggolo.
Setelah dua orang ini mulai bergebrak, angin yang kuat menyambar-nyambar sekitarnya. Dan setiap kali senjata berbenturan, maka suara benturan itu seolah olah menggetarkan seluruh pendapa. Karena senjata dua orang itu sama sama merupakan senjata berat. Oleh akibat sambaran angin yang kuat itupun, membuat lampu penerangan pada pendapa in tertiup angin seperti mau padam.
Akan tetapi dengan memakai pakaian perang yang berlapis baja itu maka Wiromanggolo tidak dapat bergerak gesit, karena pakaian itu berat. Namun sebaliknya walaupun sungsang dapat bergerak gesit. orang ini merasa jerih juga karena Jelas bahwa perwira ini bertenaga luar biasa kuatnya. Di saat mereka berkelahi ini, beberapa orang pengawal sakti mandraguna mengelilingi Pangeran Kajoran untuk menjaga keselamatan junjungan ini. Sebab siapa tahu, kalau jarum yang dilepaskan oleh Sungsang, sampai mengenakan pangeran ini?,
Demikianlah, dalam Waktu singkat dua orang ini sudah berkelahi sengit sekali. Senjata-senjata yang berat itu menyambar dengan dahsyat. Setelah berkelahi lebih duapuluh jurus lamanya, tiba tiba Sungsang menyabet dengan tongkatnya ke arah kepala Wiromanggolo. Perwira ini menundukkan kepalanya, sambil membalas menghantam kaki lawan. Akan tetapi mendadak terdengar suara "tak", disusul oleh seruan tertahan dari beberapa orang yang duduk dekat dengan gelanggang perkelahian. Dan di lain saat dua orang yang tadi berkelahi sengit itu sudah saling melompat mundur.
Apa yang sudah terjadi?
Ternyata di atas lantai itu menggeletak sebutir bola merah yang terbikin dari benang. Pada bola merah ini sekarang sudah menancap sebatang jarum yang warnanya putih.
Dari manakah bola merah dari benang itu?
Bukan lain adalah perhiasan topi Witomanggolo. Agaknya Sungsang telah melepaskan jarum di saat Wiromanggolo menyerampang kakinya, sehingga jarum itu secara tepat telah dapat meruntuhkan perhiasan pada topi itu.
Melihat runtuhnya bola merah pada topi Wiromanggolo itu, rasa kagum semua orang yang menyaksikan makin menjadi besar. Sebab bola merah
itu, terpasang pada topi perang dengan ikatan Kawat yang halus. Dengan kepandaian Sungsang yang dapat memutuskan kawat sebagai pengikat bola merah itu, sekalipun dilakukan dari jarak yang cukup dekat, benar benar merupakan suatu keistimewaan yang sulit ditiru orang.
Wiromanggolo mengerti, bahwa dirinya tidak mungkin dapat melawan Sungsang. Maka setelah memungut bola merah dari benang itu. ia membungkuk ke arah Sungsang memberi hormat. Katanya merendah,
"Terima kasih atas belas kasihan saudara."
Sungsangpun membalas hormat itu. Sahutnya,
"Aku yang rendah Bukanlah tandingan tuan yang setimpal, karena tuan lebih tinggi dari tingkat saya. Bagaimanapun di dalam medan perang, kepandaian melepas senjata rahasia tiada gunanya. Maka apa bila saya harus menghadapi tuan dengan berkuda, kiranya dalam beberapa gebrakan saja saya sudah terjungkal dari kuda."
Mendengar ucapan yang demikian sopan dan halus ini, dan tidak menjadi sombong setelah berhasil mengalahkan Wiromanggolo yang mengenakan pakaian perang, Pangeran Kajoran merasa senang. Maka pangeran ini memuji muji dengan wajah yang berseri. Dan tentu saja pujian sang pangeran ini membuat Sungsang makin berbesar hati.
Sesudah Wiromanggolo mengundurkan diri dan di saat orang sedang ramai membicarakan peristiwa perkelahian yang baru saja selesai, tiba-tiba salah seorang dari yang hadir bangkit dan berteriak nyaring,
"Tuan Sangsang Buwono! Aku sungguh kagum akan kepandaianmu melepaskan senjata rahasia. Oleh sebab kagum dan tertarik, maka perkenankanlah saya sekarang yang minta pengajaran tuan."
Orang yang berteriak dan menantang itu, mukanya bopeng dan bukan lain adalah Patra Bangsa. Seperti pembaca ketahui, dialah yang tadi melepas senjata rahasia ketika Sampur Cinde sedang mau menghirup arak. Akan tetapi kemudian senjata rahasianya itu menjadi beracun oleh perbuatan Tali Wangke. Setelah memperoleh obat, ibu jari dan telunjuk Patra Bangsa sekarang sudah sembuh.
Seperti pula sudah disinggung di depan, bahwa keluarga Patra Bangsa ini sejak lama terkenal sebagai ahli melepas senjata rahasia. Oleh keahliannya itu, maka keluarga Patra Bangsa mempunyai tujuh macam senjata rahasia. Akan tetapi semua senjata rahasia itu tidak satupun yang beracun. Adapun macamnya adalah: panah tangan, kayu sanakeling yang bentuknya mirip biji salak, pisau belati, golok terbang, paku, biji asam atau kelungsu dan batu kerikil. Semua itu merupakan senjata rahasia biasa saja. Akan tetapi yang istimewa adalah cara mereka melepaskan senjata rahasia itu.
Setiap anggauta keluarga memang sudah terlatih benar-benar dalam menggunakan tujuh macam senjata rahasia ini. Maka sekali sambit setiap anggauta keluarga dapat melepaskan bermacam-macam senjata rahasia. Di samping itu mereka juga dapat melepaskan senjata rahasia di tengah udara. Artinya
senjata rahasia itu dapat saling membentur dan menyambar musuh dari berbagai jurusan.
Apa bila menghadapi lawan di lapangan terbuka, musuh masih dapat melompat ke sana dan ke mari menghindarkan diri. Akan tetapi kalau berada di dalam gelanggang kecil dan tertutup seperti sekarang ini, sambaran tujuh macam senjata itu sulit untuk dapat dielakkan lagi.
Atas tantangan Patra Bangsa ini, Sungsang yang sudah mabuk oleh kemenangan menyambut dengan gembira. Jawabnya,
"Aku menyambut gembira sekali apa bila saudara sudi menantang aku yang rendah, dengan bertanding dalam ilmu melepas senjata rahasia. Akan tetapi dalam ruangan yang sempit seperti ini, aku menjadi khawatir kalau di antara senjata rahasia yang-kita lepaskan itu sampai nyasar dan mengenakan para pembesar."
Adipati Mandurorejo tertawa. Katanya,
"Engkau boleh berbuat sesukamu melepas senjata rahasia, dan tidak perlu khawatir lagi. Apakah engkau kita para pengawal yang hadir di sini hanyalah gentong kosong yang pandainya hanya menerima gaji?"
"Maaf! Maafkan hamba." kata Sungsang' dengan tersipu malu
Patra Bangsa segera membuka jubahnya. Kemudian tampaklah pakaian dalam yang serba hitam dan ringkas. Ternyata pakaian itu luar biasa anehnya. Sebab baik baju maupun celana, hampir penuh dengan saku yang menggembung. Pertanda saku itu berisi benda. Mudah diduga isinya, karena Patra Bang seorang ahli menyambitkan senjata
rahasia, maka saku itu tentu penuh oleh senjata rahasia yang tujuh macam. Patra Bangsa berdiam di desa Suluk, yang letaknya tidak jauh dengan, Kali Oya. ia seorang yang suka sekali berkecimpung dalam air kali. Maka ketika ia mengambil senjatanya, senjata itupun aneh. Senjata itu ujudnya seperti gayung tetapi terbuat dari baja. Hingga mulut gayung itu tajam sekali, tidak bedanya dengan mata golok. Senjata gayung air ini bukanlah ciptaan Patra Bangsa sendiri. Melainkan sebagai senjata keturunan. Senjata yang diciptakan oleh kakek moyang Patra Bangsa, yang selalu dipakai oleh keturunan-keturunannya kemudian. Karena senjatanya itu aneh, maka ilmu tata kelahi keluarga ini juga aneh. Disesuaikan dengan bentuk dari senjata. Ilmu yang digunakan mirip dengan ilmu golok karena gayung itulah yang dapat melukai lawan berkelahi. Tetapi di samping mulut gayung itu dipergunakan sebagai mata senjata, mulut gayung itupun mempunyai kegunaan yang lain. Sebab bisa dipergunakan menangkap senjata lawan maupun senjata rahasia lawan. Apa bila orang menyambitkan senjata rahasia, maka mulut gayung itulah yang menerima senjata lawan. Kemudian oleh mulut itu pula ia dapat membalas serangan lawan.
(Bersambung jilid 18)
*****
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 19
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
Karya: Widi Widayat
Jilid 19
**** MELIHAT bentuk senjata Patra Bangsa yang
aneh itu, banyak di antara mereka yang hadir belum pernah mengenalnya, maka Sungsang
sudah tertawa. Katanya;
"Ahh, saudara menambah pengalaman saya."
Akan tetapi Titiek Sariningsih bukan tertarik kepada senjata gayung itu. Gadis ini hanya tertarik kepada pakaian Patra Bangsa ,yang banyak sakunya itu. Namun demikian gadisi ini Bukan senang melihat itu. Melainkan merasa sebal. Orang toh dapat menyimpan senjata rahasia itu dalam kantong, dan tidak perlu membuat saku pada pakaian. Apakah dengan pakaian ini tidak berarti bahwa sesungguhnya keluarga Patra Bangsa ini, termasuk keluarga yang sombong dan congkak?
Sebab dengan saku saku itu, berarti memamerkan kepada orang lain.
Namun Patra Bangsa tidak perduli dengan pendapat dan pandangan orang. Begitu berada di gelanggang dan berhadapan dengan Sungsang, sudah menyerang dengan senjatanya.masing masing menyambar-nyambar .Namun demikian dalam gebrakan pertama ini belum seorang pun melepaskan senjata rahasia.
Setelah berkelahi belasan jurus lamanya barulah Patra Bangsa beraksi dengan senjata rahasia.
"AWas pisau!" '
Peringatan dari mulut Patra Bangsa ini, menunjukkan bahwa ia memang seorang yang jujur. Dengan demikian memberi kesempatan kepada lawan untuk siap siaga. Atas serangan ini, Sungsang berkelit.
" Awas, panah tangan!" teriak Patra Bangsa lagi, untuk memperingatkan.
"Menyusul batu!"
Dua macam senjata menyambar hampir berbareng. Namun untung Sungsang awas sekali, tanpa kesulitan sudah dapat menyelamatkan diri.
"Biji salak menyerang pundak kiri! Golok terbang menyerang lutut !" teriak Patra Bangsa lagi memberi peringatan.
Dan oleh peringatan Patra Bangsa sebelum melepaskan senjata rahasia ini, maka siang-siang Sungsang sudah dapat menjaga diri dan berkelit.
Walaupun Titiek Sariningsih merasa sebal dengan saku-saku senjata rahasia yang memenuhi celana dan baju, diam-diam sekarang gadis ini merasa kagum. Walaupun agak congkak. tetapi orang ini jujur dan baik hati. Sebelum menyerang sudah memperingatkan lawan lebih dahulu. Ternyata bukan Titiek Sariningsih seorang. Yang hadirpun banyak yang mengangguk-angguk dan memuji sikap jujur Patra Bangsa.
Akan tetapi makin lama. teriakan Patra Bangsa itu makin cepat dan saling susul sesuai dengan senjata rahasia yang mulai beterbangan lepas dari tangan. Bukan melulu makin cepat, tetapi jumlahnyapun makin lama menjadi semakin banyak. Setelah sambaran senjata rahasia itu seperti jatuhnya air hujan, banyak kali teriakannya sudah tidak cocok dengan sambaran senjatanya. Buktinya Patra Bangsa memperingatkan supaya awas dan menjaga mata kiri. Namun "nyatanya senjata rahasia itu menyambar ke arah dada.
Oleh serangan senjata rahasia yang seperti hujan ini, makin lama Sungsang menjadi bingung juga dan kerepotan. Apa pula setelah teriakan orang itu tidak cocok dengan sambaran senjatanya. Memang ada kalanya peringatan itu sesuai dengan sasaran yang diincar. Akan tetapi yang cocok dengan peringatan itu hanya satu lawan tujuh. Maka walaupun Sungsang berilmu tinggi dan sudah terlatih mendengarkan senjata rahasia, tidak urung merasa gentar juga.
"Senjata rahasia keluarga Patra Bangsa itu memang amat hebat," puji kera tua Sugriwo.
"Berteriak sambil menyambitkan senjata rahasia ini, membuktikan bahwa dia harus berlatih belasan tahun lamanya."
"Tetapi dia licik," cela pemuda yang duduk di dekatnya.
"Teriakannya yang tidak cocok dengan sasarannya itu membuktikan, bahwa dia sengaja membuat lawan bingung. Apakah cara seperti itu bisa dipuji?" '
Kalau Sugriwo dengan kemenakannya lebih tertarik kepada senjata rahasia yang dilepaskan oleh Patra Bangsa, sebaliknya Damayanti lain. Yang ia perhatikan adalah Sungsang.
Mengapa diserang seperti hujan itu, Sungsang belum juga membalas dengan serangan senjata rahasia?
Karena heran ia
sudah menggumam,
"Hem, mengapa Sangsang Buwono belum melepaskan senjata jarumnya? Kalau dia tidak segera membalas serangan itu, kiranya dia akan kalah oleh Patra Bangsa."
"Huh, mungkin sekali orang itu sedang mengatur siasatnya yang keji!" sambut Titiek Sariningsih yang benci.
"Dan agaknya pula jarum persediaannya tidak berjumlah banyak, maka perlu menghemat. Dia baru akan melepaskan jarum sesudah memperoleh kesempatan baik, sehingga tidak gagal lagi. Bukankah sejak tadi, dia cukup hanya menggunakan sebatang jarum untuk mengalahkan lawan?"
Setelah senjata rahasia dari Patra Bangsa menyambar-nyambar seperti hujan, maka mereka yang duduknya dekat dengan gelanggang harus awas dan waspada. Sebab sedikit saja lengah, senjata rahasia itu menyambar dan mengenakan tubuhnya.
Demikian pula para pengawal sekarang menjadi sibuk. Mereka harus dalam keadaan siaga untuk melindungi keselamatan Pangeran Kajoran. Walaupun sesungguhnya, Pangeran Kajoran sendiri seorang tokoh sakti. Di samping mereka harus melindungi dari sambaran senjata rahasia Patra Bangsa itu, merekapun harus waspada menyelidik sekitarnya.
Sebab siapa tahu apa bila keadaan ini. dipergunakan oleh orang yang sengaja mengacau?
Makin lama teriakan Patra Bangsa itu makin Cepat sekali berbareng dengan sambaran senjata rahasia. Sedang Sungsang selalu repot dalam usahanya menyelamatkan diri.
"Huh. menyebalkan!" gerutu Damayanti tibatiba.
"Titiek, aku ingin main-main dengan orang itu!"
"Dengan apa?"
Titiek Sariningsih heran.
"Engkaukan tahu sendiri!"
"Belati menyambar pundak kanan!" teriak Patra Bangsa.
Dan teriakan ini disambut oleh teriakan Damayanti, suaranya dibikin besar mirip dengan suara Patra Bangsa,
"Onde-onde menyambar mulutmu!"
Hampir berbareng dengan teriakannya itu, Damayanti sudah menyambitkan benda bulat sebesar kelereng. Dan mendengar teriakan ini, mereka yang mendengar tak kuasa menahan ketawanya, merasa geli. Dalam perjamuan ini tidak dihidangkan onde onde.
Lalu dari manakah orang itu memperoleh onde-onde?
Akan tetapi Patra Bangsa adalah seorang ahli dalam bidang senjata rahasia. Walaupun dalam keadaan sibuk, sambaran senjata rahasia itu tidak terlepas dari pandang matanya. Begitu senjata rahasia menyambar, ia segera menggunakan gayungnya untuk menangkap senjata rahasia itu.
"Tar!" suara ledakan terdengar.
Patra Bangsa melompat saking kaget. demikian pula orang yang hadir. Dan sesudah terjadi ledakan itu, maka bau belerang segera menyambar memenuhi ruangan.
Sekarang orang baru sadar, bahwa ledakan tadi bukanlah ledakan senjata api. Tetapi hanyalah ledakan dari petasan. Maka kalau tadi orang terkejut, sekarang mereka menjadi gembira dan bersorak.
Mereka bukan menjadi marah, sebab orang menduga bahwa yang melemparkan petasan itu untuk main-main saja.
Tetapi bagaimanapun Patra Bangsa marah diserang dengan petasan ini, dan merasa terhina juga. Akan tetapi karena saat Sekarang ini ia sedang memusatkan perhatian untuk menjaga datangnya serangan balasan dengan jarum, maka Patra Bangsa tidak berani memecah perhatian. Malah kemudian timbullah dugaan Patra Bangsa, bahwa orang yang melemparkan petasan itu tentu salah seorang teman Sungsang Buwono.
Namun sekalipun ia tidak berani memecah perhatian, mulutnya sudah mencaci saking gemas,
"Binatang busuk! Siapa berani melempar petasan padaku ? Jika berani jangan bersembunyi, dan hadapilah aku secara jantan!"
Atas caci-maki Patra Bangsa ini, Damayanti bangkit berdiri sambil ketawa cekikikan. Mata semua orang terbelalak ketika mengetahui, bahwa pelempar petasan itu seorang nenek yang tubuhnya bongkok, sedang wajahnyapun buruk. Setelah ketawa cekikikan sebentar, nenek ini mengambil lagi sebuah petasan, disulutkan ke api dan dilemparkan ke arah Patra Bangsa lagi.
"Nih, terimalah lemper untuk pengisi perutmu!"
Petasan yang sumbunya sudah terbakar itu segera menyambar ke arah leher Patra Bangsa. Orang orang yang menyaksikan peristiwa ini tidak seorang pun penasaran, malah pada tertawa dan bersorak sorak.
Akan tetapi kali ini Patra Bangsa tidak mau lagi menangkap dengan gayungnya.
Untuk apa menangkap petasan itu?
Maka untuk menghalau petasan yang dilemparkan orang, ia sudah melepaskan biji salak dari kayu sanakeling. Ketika benda ini membentur dengan petasan, maka petasan itu meledak diudara.
Untuk ketiga kalinya Damayanti melemparkan petasan lagi sambil berteriak,
"Awasi Paku terbang menghantam batok kepalamu !'!
Tetapi lagi-lagi Patra Bangsa menyambut sambitan petasan itu dengan senjata rahasia, sehingga petasan itu meledak di udara.
Adipati Mandurorejo yang memimpin pertandingan inipun geli. Namun demikian ia tidak dapat membiarkan orang mengacau sesuka hati. Maka masih sambil tertawa, ia sudah membentak nyaring.
"Hai! Jangan engkau mengganggu orang yang sedang bertanding!"
Ternyata petasan tadi meledak tepat di atas meja. di mana cangkir cangkir emas itu berada. Khawatir kalau cangkir-cangkir itu menjadi rusak, maka Adipati Mandurorejo segera menugaskan dua orang untuk mengawal keselamatannya.
Damayanti kembali duduk di kursinya sambil masih ketawa cekikikan geli. Titiek Sariningsih merasa heran atas tingkah Damayanti ini dan merasa kurang senang pula.Sungsang adalah musuh besarnya.
Tetapi mengapa Damayanti sekarang ini, malah membantu Sungsang dari serangan senjata rahasia Patra Bangsa ?
Karena merasa heran dan tidak mengerti, gadis ini tidak kuasa menahan mulutnya. Tanyanya,
"Mbakyu Apakah maksudmu yang sebenarnya? Bukankah engkaupun tahu bahwa Sungsang itu musuh besarku?"
Damayanti masih sambil tertawa, menjawab.
"Engkau tak tahu, tak heran engkau mencela apa yang aku lakukan. Akan tetapi nanti engkaupun akan tahu sendiri kegunaan dari petasan yang aku lemparkan tadi."
"Jelaskan sekarang,"
Titiek Sariningsih mendesak.
"Tanpa penjelasanpun engkau akan tahu setelah tiba waktunya."
Sementara itu, karena merasa dipermainkan dan menjadi buah tertawaan orang, Patra Bangsa menjadi gusar dan malu. Untuk mengembalikan kehormatannya di mata orang banyak ini, tak ada jalan lain kecuali harus dapat merobohkan lawan secepatnya. Maka dalam menyambitkan senjata rahasia itu, kali ini semakin menjadi cepat seperti hujan. serangan senjata rahasia yang tak kunjung berhenti ini, bagaimanapun membuat Sungsang makin menjadi repot.
Mendadak Sungsang menarik sesuatu dari hulu tongkat. Dan melihat ini Patra Bangsa melompat mundur, karena menduga Sungsang tentu melepaskan senjata jarumnya. Akan tetapi ternyata dugaan Patra Bangsa itu keliru!
Sungsang tidak melepaskan jarum, melainkan sedang menarik benda yang disembunyikan pada hulu tongkat. Ketika tongkat baja itu dikibaskan, ternyata benda tersebut
berkembang serupa dengan payung. Inilah sebuah perisai yang lemas dan tipis, entah terbuat dari bahan apa. Sekarang dengan tongkat dan perisai itu, kerepotan Sungsang berkurang dalam menghalau hujan senjata rahasia. Dan hebatnya pula, perisai yang lemas dan tipis itu tidak mempan oleh senjata rahasia yang menerjang datang.
Melihat bahwa dalam tongkat Sungsang terdapat semacam perisai yang tipis dan lemas. Titiek Sariningsih yang menjadi musuh besarnya sadar dan mengerti bahwa tongkat baja itu, diperlengkapi dengan alat rahasia. Jadi kiranya jelas bahwa jarum jarum itu disimpan pula dalam tongkat. Sekali alatnya dipijat, jarum itu akan segera menyambar musuh tanpa disadari orang yang diserang. Memperoleh pikiran demikian, gadis ini merasa dapat menjawab teka-teki yang sejak tadi memenuhi rongga benaknya.
"Hemm. manusia busuk!" cacinya dalam hati.
"Kiranya engkau tak merasa aman apa bila tidak menggunakan akal curang! Hem, sesudah aku tahu rahasianya, sangkamu apakah aku takut?"
Setelah sekarang bersenjata tongkat dan perisai, maka Sungsang mengganti siasat perlawanannya sambil mundur. Akan tetapi mundurnya ini bukan sembarang mundur. Mundurnya menuju ke meja yang di atasnya tersedia cangkir emas. Yang terjadi kemudian sungguh aneh dan membuat orang keheranan. Secara tiba tiba orang mendengar suara teriakan Patra Bangsa yang kesakitan. Sebaliknya Sungsang ketawa bekakakan gembira sekali.
Ternyata Patra Bangsa sekarang telah terluka pada bagian kempungannya. Untuk menahan rasa sakit, Patra Bangsa memegang kempungan yang terluka. Namun demikian orang ini terhuyung beberapa langkah, lalu jatuh terduduk di atas lantai. Sementara itu dengan wajah yang berseri, Sungsang sudah melangkah kembali ke kursinya.
Dua orang pengawal segera maju untuk menolong Patra Bangsa. Dan sambil menahan sakit, Patra Bangsa sudah mencabut jarum yang menancap pada kempungannya itu. Kalau hanya menancap pada daging saja, Patra Bangsa takkan menderita seperti itu. Tetapi jarum itu menancap tepat pada urat darah yang penting, sehingga sekalipun hanya terluka oleh jarum, Patra Bangsa menderita luka yang tidak enteng. Hanya dengan dipapah oleh dua pengawal itu saja, Patra Bangsa dapat meninggalkan gelanggang dan menderita kekalahan.
Mendadak terdengar suara Sela Kencana yang nadanya dingin dan mengejek,
"Huh, orang yang berani melukai orang secara gelap, adalah pengecut tidak tahu malu!"
Sungsang memalingkan muka ke arah Sela Kencana. Tanyanya,
"Akukah yang tuan maksudkan itu?"
"Aku mengatakan, bahwa seorang yang menggunakan senjata rahasia secara gelap adalah pengecut tidak tahu malu!"
jawab Sela Kencana.
"Sebab laki laki gagah hanya sedia bertindak terang-terangan."
Tiba-tiba saja Sungsang bangkit dari kursinya. Bentak Sungsang,
"Apakah yang sudah aku lakukan tidak terang-terangan? Bukankah engkaupun mendengar pula bahwa pertandingan tadi, memilih cara
menggunakan senjata rahasia. Apakah masih kurang jelas ?"
Sela Kencana terbakar kemarahannya. Katanya kaku,
"Kalau begitu apakah tuan Sangsang Buwono ingin mencoba aku ?"
"Nama tuan Sela Kencana menggetarkan jagad. Manakah aku berani kurang ajar?"
sahut Sungsang.
"Tetapi, apakah saudara Patra Bangsa itu masih sahabat tuan ?"
"Walaupun bukan sahabat erat, tetapi antara aku dengan keluarganya mempunyai hubungan cukup erat!"
"Kalau demikian, biarlah aku menyerahkan jiwaku yang rendah ini untuk melayani tuan,
"
kata Sungsang menjadi marah.
"Dan untuk cara pertandingannya, saya serahkan kepada kehendak tuan."
Namun sebelum dua orang itu terlanjur bergebrak, Adipati Mandurorejo sudah melerai. Kemudian sambil menghampiri Sela Kencana, ia berkata,
"Hari ini saudara Sela Kencana bertindak sebagai wasit pertandingan. Maka tentu saja tiada hak untuk bertanding. Tetapi jika saudara merasa kaku dan ingin melemaskan otot, beberapa hari lagi saudara dapat hadir di rumahku. Aku akan menyelenggarakan pertemuan dengan beberapa orang sababat."
"Terima kasih atas perhatian gusti kepada hamba,"
sahut Sela Kencana.
Kemudian ia memalingkan muka ke arah Sungsang dan mendelik. Nyatalah bahwa orang ini masih marah. Dan sesudah itu ia mengangkat kursi ydng tadi diduduki, dipindahkan
ke bagian lain. Dengan demikian jelas, bahwa orang ini tidak mau lagi duduk berdekatan dengan Sungsang.
Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara sorak beberapa orang yang memuji dan kagum. Orang-orang yang tidak mengerti sebabnya, pada berdiri untuk dapat melihat. Setelah tahu, merekapun ikut Bertepuk tangan memuji.
Apa yang terjadi?
Pada bekas kursi di mana tadi diduduki oleh Sela Kencana, sekarang tampak adanya empat buah lobang. Kiranya di saat mau mengangkat kursi tadi, dalam marahnya Sela Kencana telah menekan lebih dahulu. Dengan terdapatnya bekas kaki kursi itu, tentu saja semua orang tahu bahwa Sela Kencana telah memamerkan ketinggian tenaga dalam.
Sungsang tertawa dingin. Katanya dengan nada mengejek,
'Ya, ketinggian ilmu tuan Sela Kencana memang sulit diukur sampai di mana tingginya. Walaupun aku harus berlatih duapuluh tahun lagi. kiranya aku takkan mampu menjajarinya. Akan tetapi bagaimanapun didunia ini yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Maka bagi orang-orang sakti, apa yang sudah dipamerkan itu, bukanlah hal yang luar biasa."
. "Benar,"
sahut Sela Kencana,
"di mata para sakti kepandaian seperti itu memang tidak ada harganya. Hemm, tetapi tidak apa. Bagiku asal sudah dapat menang melawan tuan Sangsang Buwono, aku sudah merasa puaa sekali !"
"Sudahlah. jangan kalian terus bercekcok!"
teriak Adipati Mandurorejo dalam usahanya melerai.
"Sekarang fajar sudah tiba. Sampai sekarang kursi belum juga penuh dan masih terdapat sisanya. Apa bila malam ini semua cangkir emas sudah ada pemiliknya, maka besok pagi pertemuan ini kita tunda untuk mengaso. Kemudian malam hari kita lanjutkan, untuk menentukan siapa-siapa yang berhak atas cangkir perak."
Adipati Mandurorejo berhenti sejenak sambil melayangkan pandang matanya ke sekeliling. Kemudian ia berteriak lagi,
"Siapa lagi yang masih ingin menantang saudara Sangsang Buwono? Jika memang tak ada lagi, maka saudara Sangsang Buwono berhak memiliki sebuah cangkir emas."
"Tahan!" tiba-tiba terdengar teriakan orang.
"Aku ingin mencoba kepandaian tuan Sangsang Buwono!"
' Belum juga lenyap suara teriakan itu, muncullah seorang perempuan wajah buruk menuju gelanggang. Terdengar beberapa orang bersuara heran. Akan tetapi Adipati Mandurorejo sudah berteriak,
"Inilah nona Pita Sari, ketua Perguruan Karimun Jawa!"
Mendengar pengumuman Adipati Mandurorejo ini, Titiek Sariningsih melengak sendiri.
Siapakah yang sudah mendaftarkan namanya dengah nama Pita Sari, dan kedudukannya sebagai ketua Perguruan Karimun Jawa?
Akan tetapi karena iapun menyadari bahwa orang yang berhak hadir dan bertanding di tempat ini hanya seorang ketua perguruan. maka Titiek Sariningsih tidak membantah.
Hanya saja dalam hatinya menduga duga, mungkinkah Damayanti yang sudah mendaftarkan namanya pada Adipati Mandurorejo?
Sungsang mengamati Titiek Sariningsih penuh perhatian, di samping curiga. Ia masih ingat kepada gadis wajah buruk, tetapi ternyata merupakan penyamaran Titiek Sariningsih, yang sudah menyebabkan dirinya melarikan diri dari Jepara.Akan tetapi setelah mengamati, Sungsang menjadi lega. Sebab walaupun wajah perempuan ini sama buruknya dengan gadis yang menghancurkan rumah tangganya, namun warna rambut gadis ini berbeda.
Gadis ini rambutnya berwarna merah!
Tentunya bukan Titiek Sariningsih.
"Aihh, nona ingin melawan aku? Terus terang saja aku tidak pernah berkelahi dengan perempuan,"
Sungsang berkata.
"Akan tetapi karena di tempat ini pertandingan menentukan kedudukan, maka walaupun terpaksa aku akan melayani juga. Lalu senjata apakah yang akan nona gunakan melawan aku?"
"Sulit dikatakan,"
sahut Titiek Sariningsih.
"Namun katakan dahulu, senjata apakah yang kaupergunakan waktu membinasakan keluarga Rejo Semi di Jepara ?"
Mendengar sini, Sungsang kaget setengah mati seperti disambar halilintar. Sambil memegang tongkatnya erat-erat, ia hanya dapat mengucapkan,
"Kau
kau......"
Dan sebelum Sungsang dapat meneruskan ucapannya, seperti kilat cepatnya Titiek Siriningsih sudah melesat ke arah Sampur Cinde. Gerakan tangan gadis ini laksana gerakan tangan pencopet. Tahu-tahu golok pusaka Sumpur Cinde sudah berhasil diambil. Dan di lain saat, sebelum pemiliknya sadar, Titiek Sariningsih sudah menggunakan golok pusaka itu untuk membacok tongkat Sungsang.
"Trang.....! Trang..! Trang.....!"
sebelum Sungsang sadar apa yang terjadi, tongkatnya sudah terpotong menjadi empat.
Sekarang baru sadarlah Sungsang, bahwa dirinya berhadapan dengan Titiek Sariningsih, gadis yang amat ditakuti. Dalam kagetnya Sungsang sudah melompat mundur beberapa meter jauhnya.
Mendadak terdengar suara pengumuman dari Adipati Mandurorejo.
"Seorang ketua perguruan gabungan dari lima perguruan datang!"
Ulam Sari alias Titiek Sariningsih kaget. Sebab gadis ini segera menduga, tentu yang disebut sebagai ketua lima perguruan itu, adalah Kebo Kuning yang sejak tadi memang ia harapkan. Maka ia memalingkan mukanya ke pintu masuk. Dan ternyata dugaannya benar. Seorang laki-laki muda berbaju kuning tengah masuk ke pendapa ini dengan langkah yang gagah.
Akan tetapi di saat perhatiannya tertuju kepada Kebo Kuning ini, mendadak Titiek Sariningsih merasa bahwa punggungnya sakit bukan main, pada dua tempat. Ia berusaha bertahan, akan tetapi tubuhnya bergoyang goyang dan kemudian roboh di lantai.
"Tahan!"
bentak Kebo Kuning sambil melompat kemudian melindungi tubuh Titiek Sariningsih yang tiba-tiba roboh. Di saat itu seorang nenek bongkok sudah melompat dan menolong kepada Titiek Sariningsih.
Damayanti
yang menyamar sebagai nenek bongkok cepat memberi pertolongan, mencabut dua batang jarum yang menancap tepat pada urat darah di punggung. Tetapi ketika itu Kebo Kuning menghampiri sambil berbisik.
"Jarum itu tidak beracun, kau tak perlu khawatir."
"Kau...... kau..."
Titiek Sariningsih tergagap dan kaget.
"Sudahlah, maafkan aku..."
Karena Titiek Sariningsih sudah roboh sebelum mulai bertanding melawan Sungsang, maka Adipati Mandurorejo segera berteriak,
"Siapa lagi yang mau maju dan menantang saudara Sungsang Buwono?"
Ia mengulang tiga kali, tetapi tiada orang yang berteriak dan maju menantang. Maka akhirnya Adipati Mandurorejo memberi laporan kepada Pangeran Kajoran. Dan Pangeran ini kemudian setuju untuk menutup pertandingan ini justeru sudah pagi hari.
Adipati Maudurorejo segera mempersilahkan kepada orang-orang yang berhak atas cangkir emas itu, untuk menyimpannya. Dan merekapun tanpa sungkan-sungkan lagi sudah menyambar cangkir emas yang tersedia pada meja di depannya. Akan tetapi di saat mereka mengangkat cangkir itu, mereka kaget!
Ternyata cangkir-cangkir itu panas sekali seperti memegang bara api. Saking tak kuasa lagi bertahan atas panasnya cangkir tersebut, tibatiba saja terdengar suara "trang-trang-trang"
yang berturut-turut, dan semua cangkir emas itu terbanting di lantai. Akibatnya pula, semua cangkir tu sudah menjadi rusak.
mendengar suara ini semua orang kaget dan memalingkan muka ke arah mereka yang mempunyai hak cangkir emas. Kemudian merekapun melihat bahwa jari tangan mereka yang tadi memegang cangkir itu, sekarang sudah bengkak. Dan dalam usahanya mengurangi rasa sakit dan panas, mereka mengusap usapkan ke pakaian masing masing. Akan tetapi Hesti Wiro yang merasa hampir tak tahan merasakan panas pada jari tangannya. sudah memasukkan jari tangan itu ke dalam mulut. Dan akibatnya, Hesti Wiro berteriak kesakitan sambil lidahnya dikeluarkan dari mulut.
Semua orang merasa heran dengan terjadinya peristiwa ini.
Akibat apakah semua cangkir emas itu berobah menjadi panas seperti bara api?
Malah Titiek Sariningsih yang sekarang sudah dapat duduk kembali tak habis rasa herannya.
"Mbakyu, mengapa mereka kepanasan?"
tanyanya kepada Damayanti.
"Apakah cangkir-cangkir itu diberi racun oleh Tali Wangke?' '
"Hi-hi-hik, bukan dia,"
sahut Damayanti sambil cekikikan.
"Tetapi aku!"


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau?"
Titiek Sariningsih terbelalak kaget dan tak percaya.
"Ya, akulah yang melakukan"
sahut Damayanti.
"Panasnya cangkir-cangkir itu adalah akibat meledaknya petasan yang tadi aku lemparkan. Justeru dalam petasan itu terdapat racun yang hebat sekali, dan dapat membuat logam panas."
"Hhh..... kalau begitu, engkaupun seorang ahli racun?"
"Semua ilmu tidak satupun yang jelek. Ilmu semuanya baik, dan manusia sendiri itulah yang busuk. Orang mengerti segala macam racun asal tidak dipergunakan mencelakakan manusia lain itu namanya berguna. Justeru dengan ilmu yang dimiliki itu, kemudian dapat memberi pertolongan kepada orang yang keracunan. Jadi ilmu tentang racun itu sebenarnya merupakan ilmu yang baik pula, dan baik buruknya tentang racun ditentukan oleh tingkah laku manusia itu sendiri."
Titiek Sariningsih mengangguk-angguk. Ia sudah pernah mendengar cerita tentang catatan ilmu peninggalan Rangga Lawe, yang sekarang berada dalam tangan Adipati Surabaya. Dalam catatan itu disamping membicarakan Ilmu tata kelahi yang lurus bersih, juga terdapat pula tentang ilmu tata kelahi yang sesat dan jahat. Demikian pula tentang macam-macam racun. Itulah sebabnya seperti yang sudah diceritakan dalam buku "Kisah Si Pedang Buntung"
maupun "Ratu Wandansari", Rara Inten menguasai ilmu yang berbau sesat.
Sesudah memberi keterangan ini, tiba-tiba Titiek Sariningsih heran ketika melihat Damayanti merokok. Nenek buruk dan bongkok itu mengisap tembakau menggunakan pipa dan asapnya mengepul terus-menerus. Setiap kali tembakau itu habis segera diisi lagi yang baru .Tangan kanan nenek itu memegang pipa, sedang tangan kiri diam-diam sudah mempersiapkan empat butir obat kering. yang lalu diserahkan kepada Kebo Kuning dan Titiek Sariningsih masing-masing dua butir.
"Lekas telan!"
perintahnya sambii berbisik.
Tanpa pikir panjang, dua orang muda ini segera pula menelan obat itu.
Gerak gerik dan apa yang sedang dilakukan oleh nenek bongkok wajah buruk, yang sesungguhnya penyamaran dari seorang gadis cantik jelita ini, tidak diketahui oleh seorang pun. Sebab perhatian semua orang terpusat dan tertuju kepada peristiwa rusaknya cangkir cangkir emas yang tadi diperebutkan dengan berkelahi dan kalau perlu dengan pertaruhan nyawa. Dengan demikian, apa yang telah terjadi sehari Semalam itu, seperti muspra (tak berguna sama sekali) .
Di saat semua orang masih kebingungan dan tak tahu apa yang harus diperbuat setelah rusaknya cangkir-cangkir emas ini, tiba-tiba menyelonong masuklah Kebo Kuning ke tengah ruangan. Dan tiba tiba pula pemuda ini sudah menuding kepada Sela Kencana sambil membentak angker,
"Hai Sela Kencana! Benar-benar besar nyalimu, engkau berani melakukan pengacauan dan tipu busuk dalam pendapa ini. Hayo, jangan engkau mungkir. Engkau telah sengaja meremukkan cangkir-cangkir emas hadiah Gusti Ingkang Sinuhun Sultan Agung! Engkau datang kemari secara sengaja dikirimkan oleh para pemberontak, untuk mengacau dan menggagalkan pertemuan penting ini. Hu-huh, perbuatanmu yang pengecut ini, tidak dapat dimaafkan oleh Gusti Ingkang Sinuhun Sultan Agung maupun Gusti Pangeran Kajoran!"
Dalam mengucapkan tuduhannya ini, suara Kebo Kuning nyaring dan tegas. Hingga suara itu dapat ditangkap oleh setiap orang yang hadir di
pendapa ini dengan terang. Pangeran Kajoran kaget dan segera memerintahkan kepada Yoga Swara dan Adipati Mandurorejo untuk memimpin para pengawal, mengurung Sela Kencana.
Mimpipun tidak pernah, apa bila dirinya secara tiba-tiba dituduh orang sebagai seorang pengacau dan pemberontak ini. Walaupun ia seorang tua yang sudah kenyang makan asam garam pergaulan. tak urung wajahnya menjadi pucat. Namun demikian ia masih dapat membentak Kebo Kuning dengan bentakannya yang keras,
"Bocah bangsat! Engkau jangan menuduh sembarangan dan mengacau!"
Kebo Kuning ketawa dingin.
"Ha-ha-ha, benarkah aku seorang pendusta besar ? Kalau aku seorang pendusta, manakah aku dipercaya oleh lima perguruan menjadi ketua? Kalau demikian, apakah Perguruan Wanasalam yang terkenal dan mendapat kepercayaan diundang oleh Gusti Pangeran Kajoran itu, merupakan perguruan para pendusta? Tak perlu perguruan lain aku sebut. Kiranya Perguruan Wanasalam dapat dijadikan sebagai jaminan."
Adipati Mandurorejo yang sudah menerima pembuktian bahwa Kebo Kuning memang ketua dari lima perguruan, tentu saja berpihak kepada Kebo Kuning.
"Benar! Walaupun usianya masih amat muda, tetapi saudara Kebo Kuning memperoleh kepercayaan dari lima perguruan. Maka ucapan saudara Sela Kencana tidak pada tempatnya!"
"Tangkap dia!"
tiba-tiba Pangeran Kajoran memerintahkan menangkap Sela Kencana.
Sebab Pangeran Kajoran tentu saja lebih percaya kepada Adipati Mandurorejo dari yang lain.
Adipati Mandurorejo dan beberapa orang pengawal sudah bergerak maju untuk menangkap. Tetapi Sela Kencana mengerahkan tenaga dalamnya, mendorong mereka sambil berteriak,
"Tahan! Hamba mohon kepada gusti pangeran, agar diperkenankan hamba mendapat keterangan dari bocah itu lebih lengkap. Apa bila bocah itu dapat memberikan bukti-bukti kuat dan tidak dapat hamba bantah lagi, maka hamba sedia menyerah dan takkan menyesal menerima hukuman gusti. Akan tetapi sebaliknya apa bila hamba ini harus dihukum oleh tuduhan yang hanya membuta-tuli dan fitnah, walaupun hamba mati, arwah hamba masih akan tetap penasaran!"
Mendengar pembelaan Sela Kencana ini, Pangeran Kajoran tersadar dari kekeliruannya. Ia tadi terburu nafsu, sebelum memeriksa lebih jelas sudah memerintahkan untuk menangkap. Maka ia sekarang merobah keputusannya dan berkata,
"Mundurlah dahulu kalian. Aku ingin mendengar lebih jelas lagi!"
' Para pengawal itupun semua mundur, tetapi tetap saja mengurung Sela Kencana. Memperoleh kesempatan ini, Sela Kencana berbesar hati. Ia mendelik ke arah Kebo Kuning. Lalu bentaknya,
"Aku belum pernah kenal dengan engkau. Akan tetapi mengapa engkau sudah menuduh aku secara serampangan? Huh-huh, sebelum kita bicara, perkenalkanlah dahulu namamu!"
"Tanpa kauminta, Gusti Adipati Mandurorejo jadi sudah berkali-kali menyebut namaku."
sahut Kebo Kuning dengan bibir tetap menyungging senyum.
"Dan benar apa katamu, bahwa kau tidak mengenal aku, sebaliknya akupun tidak mengenal kau. Namun karena engkau adalah utusan pemberontak Belambangan untuk mengacau pertemuan penting ini maka aku tidak dapat berdiam diri untuk pura-pura tidak tahu. Hayo, jangan _engkau plintat plintut dan mungkir!"
Mendengar ini Titiek Sariningaih merasa heran sekali. Ia melirik ke arah Danayanti akan tetapi Damayanti memandang ke tempat lain.
Apa sajakah maksud pemuda ini?
Bukankah yang sesungguhnya, malah Kebo Kuning itu sendiri yang tidak senang kepada pertemuan ini dan berusaha mengacau bersama Damayanti?
Tetapi mengapa sebabnya pemuda ini sekarang sudah menuduh Sela Kencana mengacau?
Saking ingin tahu. Titiek Sariningsih menyentuh kepada Damayanti sambil berbisik,
"Mbakyu, mengapa dia itu?"
' "Memang ada persoalannya," sahut Damayanti.
"Bukan tempatnya aku memberitahukan tentang dia dan persoalannya sekarang ini."
Jawaban ini membuat ia tidak puas. Namun ia tidak berani mendesak, justeru pembicaraannya akan bisa didengar oleh orang lain. Mau tidak mau ia harus menyabarkan diri, dan mengikuti apa yang sedang dibicarakan oleh Kebo Kuning dengan Sela Kencana.
"Engkau memang sengaja datang ke mari untuk melakukan pengacauan!"
teriak Kebo Kuning lantang.
"Engkau adalah seorang yang memperoleh
kepercayaan penuh dari pemberontak Belambangan..."
Saking tak kuasa menahan rasa marahnya, Sela Kencana sudah berteriak memotong kata-kata Kebo Kuning yang belum selesai,
"Jangan mengucapkan kata kata sembarangan! Manakah buktinya?'
Kebo Kuning berpaling kepada Adipati Mandurorejo. Kemudian katanya,
"Gusti adipati, hamba tahu tentang adanya sepucuk surat yang dapat dijadikan pembuktian kedosaan orang ini. Gusti, untuk pembuktian masalah ini kiranya hamba perlu mohon sesuatu kepada gusti."
"Apakah yang kauminta?"
"Mungkinkah gusti menyimpan surat Sela Kencana? Jika menyimpan nanti dapat dicocokkan dengan surat pembuktian ini!"
kata Kebo Kuning dengan nadanya yang yakin.
"Ada! Ada!"
jawab Adipati Mandurorejo.
Kemudian ia bicara dengan Pangeran Kajoran beberapa jenak. Tak lama kemudian seorang petugas segera mencari di ruangan lain. Tak lama petugas itu sudah kembali ke pendapa sambil membawa setumpuk surat surat. Lalu diambillah surat dari Sela Kencana yang ditujukan kepada Adipati Mandurorejo, tentang kesediaannya hadir memenuhi undangan pertemuan sekarang ini.
Namun ancaman Kebo Kuning yang akan mencocokkan suratnya itu, tenang-tenang saja tampaknya. Soalnya, ia memang benar-benar bersih. Ia tidak merasa mempunyai hubungan apapun dengan Belambangan. Apabila pemuda ini memberi surat
sebagai pembuktian itu, tentu surat palsu yang tidak mungkin cocok dengan tulisannya.
Di saat ia menunggu dengan wajah yang tetap tenang ini, mendadak terdengar teriakan Kebo Kuning,
"Hai Sela Kencana! Hayo lekas keluarkan, surat apakah yang kausembunyikan di dalam kopiahmu ?"
Sela Kencana kaget seperti disengat oleh kalajengking.
"Apa?"
Kemudian ia meraba-raba kopiah di atas kepalanya.
'Kopiahku?"
Kopiah itu segera dilepaskan dari kepala. Ia meneliti kopiah itu dengan jantung berdebar dan mata tak berkedip. Namun ternyata pada kopiahnya tidak terdapat sesuatu seperti yang dituduhkan oleh Kebo Kuning. Katanya,
"Tak ada apa-apa!"
Lalu dengan hati mantap ia sudah menyerahkan kopiahnya itu kepada Adipati Maudurorejo. Adipati inipun segera meneliti kopiah itu, dan tidak memperoleh sesuatu sebagai pembuktian tuduhan itu. Ia mengamati kepada Kebo Kuning dan berkata,
"Tak ada apa-apa."
"Silahkan gusti membuka jahitannya,"
kata Kebo Kuning dengan tenang.
Mendengar penjelasan Kebo Kuning ini, tanpa ragu lagi Adipati Mandurorejo segera menggunakan pisau untuk membuka jahitan kopiah Sela Kencana itu. Setelah jahitannya di buka ternyata didalamnya memang terdapat selembar kertas yang dilipat rapi. '
"Aha..."
inilah.....!"
seru Adipati Mandurorejo gembira.
Mendadak saja paras wajah Sela Kencana berobah menjadi pucat lesi seperti tidak berdarah. Ujarnya terputus-putus,
"Itu itu....."
Sela Kencana sudah bergerak mendekati Adipati Mandurorejo. Akan tetapi dengan gesit Yoga Swara menghadang di depannya, sehingga Sela Kencana tak dapat berbuat sesuatu.
Dengan dikurung oleh pengawal untuk menghalangi percobaan Sela Kencana merampas surat itu, Adipati Mandurorejo membaca,
"Hamba yang rendah bernama Sela Kencana, ingin mempersembahkan surat ini kepada Gusti Adipati Belambangan. Guna kepentingan gusti adipati, hamba berjanji akan menunaikan tugas sebaik-baiknya guna membalas budi kebaikan gusti adipati terhadap hamba. Maka pada pertemuan yang akan diselenggarakan oleh Pangeran Kajoran itu, hamba akan melakukan tugas ini. Akan tetapi mengingat pentingnya pertemuan itu, maka hambapun percaya bahwa pada pertemuan itu tentu diadakan penjagaan yang amat keras. Apa bila hamba gagal menunaikan tugas, hamba tentu mengorbankan nyawa di Mataram. Gusti, waktu hamba sudah berada di kota raja, secara kebetulan hamba sudah mengetahui.........."
Sampai di sini Adipati Mandurorejo tidak meneruskan membaca surat itu. Malah kemudian surat tersebut diserahkan kepada Pangeran Kajoran. Kemudian Pangeran Kajoran meneruskan membaca surat itu tanpa bersuara.
".......tentang semua rahasianya. Maka apa bila hamba dapat berhadapan dengan gusti adipati atau utusan gusti, hamba akan menceritakan semua ini
sejelas jelasnya! Ah!
Memang hampir tiba saatnva Belambangan harus menggempur Mataram Dan apa bila berhasil, tentu saja hambapun merasa gembira sekali."
Dengan tangan yang agak gemetaran saking marah, Pangeran Kajoran mencocokkan gaya tulisan Sela Kencana dengan gaya tulisan pada surat yang baru saja dibaca. Ternyata semuanya serba cocok. Baik gaya tulisan maupun gaya bahasanya. Hingga tidak bisa disangsikan lagi, bahwa surat yang ditujukan kepada Adipati Belambangan ini, benar-benar surat Sela Kencana.
Suasana dalam pendapa itu sunyi senyap. Bagi mereka yang diam-diam tidak senang kepada Raja Mataram, tentu saja sudah bersiap diri untuk bertindak dan melindungi keselamatan Sela Kencana. Sebaliknya bagi mereka yang memang sudah mengabdi dan setia kepada Sultan Agung, mereka menjadi marah dan penasaran. Ingin sekali mereka dapat menghajar pengkhianat ini.
Tetapi sebaliknya, saat itu tubuh Sela Kencana menggigil saking marah oleh tuduhan pemuda ini yang hebat.Sebagai seorang tokoh yang cukup cerdik, ia sadar dan mengerti, bahwa dirinya sekarang ini sedang dijadikan bulan bulanan oleh pemuda berbaju kuning ini. Surat itu bukan suratnya. Hanya mengapa bisa terjadi, bersembunyi di dalam kopiahnya? Ah... kemudian teringatlah ia bahwa kopiah itu, untuk beberapa saat lenyap dari kamar penginapannya. Semula kurang terpikir dengan hilangnya kopiah itu, justeru dapat membeli lagi dan
harganyapun murah. Namun sebelum ia pergi untuk
membeli kopiah baru. ketika dirinya selesai mandi, kopiah itu telah kembali di tempatnya semula. Waktu itu, ia hanya menganggap bahwa sudah ada orang yang sengaja mengajak bergurau dengan dirinya. Dan orang yang berani bergurau itu, menurut anggapannya tentu sahabatnya sendiri yang ingin mengisi waktu senggang. Namun ternyata sekarang, bahwa hilangnya kopiah untuk sementara itu, adalah hasil kerja bocah ini.
Akan tetapi walaupun dirinya sadar telah dipermainkan dan dituduh seperti itu, ia kalah bukti dan tidak dapat berbuat apa apa.
Diam-diam ia menyesal mengapa begitu sembrono dan kurang berpikir. Mengapa ia tidak menyelidik kepada kopiahnya yang pernah hilang. Mengapa ia tidak membuang saja kopiah itu, kemudian membeli yang baru.
Mengapa...
Mengapa.
Ah, semuanya ini tidak perlu disesalkan justeru sudah terlanjur 'dan tidak bisa menolong kesulitannya. Ia tidak akan dapat membela diri dengan mengemukakan kopiahnya pernah bilang, justeru dirinya sudah kalah bukti '
Ia dalam keadaan ketakutan setengah mati, namun otaknya tidak mati dan masih dapat bekerja. Sebagai seorang yang cukup cerdik segera terpikir oleh tokoh ini, bahwa satu satunya jalan untuk memulihkan kepercayaan dan dapat membela diri, apa bila dirinya dapat mengetahui asal usul bocah ini. Memperoleh pikiran demikian, Sela Kencana segera mengamati wajah Kebo Kuning penuh selidik dan penuh perhatian. Setelah beberapa lama ia mengamati wajah pemuda
itu,ia
terkenang kepada seseorang. Dan ia merasa seperti sudah mengenal wajah ini. Tetapi kapan dan di mana, ia sudah tidak ingat lagi.
Dan dalam pada itu timbullah pertanyaan dalam hatinya, apakah kesalahannya kepada bocah atau keluarga bocah ini ?
"Kau...
kau......i"
seru Sela Kencana tiba tiba.
"Apakah engkau bukan anak Karsih ?"
Kebo Kuning tertawa dingin.
"Hemm, akhirnya engkau masih mengenal aku juga'!"
"Gusti pangeran !"
teriak Sela Kencana tiba tiba, setelah dapat mengenal asal -usul Kebo Kuning.
"Dengar keterangan hamba, gusti, bahwa bocah ini adalah musuh besar hamba. Maka bocah ini telah mengatur tipu muslihat untuk mencelakakan hamba. Gusti, hendaknya gusti tidak gampang percaya kepada keterangan busuk bocah ini."
"Hemm,"
Kebo Kuning mendengus dingin,
"engkau mengaku aku sebagai musuh besarmu? Jadi ingatkah engkau akan peristiwa menyedihkan terjadi pada belasan tahun yang lalu? Waktu itu seorang wanita muda yang menderita sengsara telah datang ke rumahmu, karena tertarik kepada penuturan orang bahwa engkau seorang hartawan yang baik hati. Namun ternyata bahwa yang baik dari luar dan dapat dipandang mata itu, banyak kali tidak cocok dengan yang terkandung dalam hati. Dan ternyata bahwa apa yang dikenal engkau sebagai seorang hartawan baik budi itu, ternyata hanyalah kedok saja, sebagai penutup hatimu yang jahat dan buas bagai binatang jalang."
Kebo Kuning berhenti dan mengamati Sela Kencana dengan sepasang matanya yang menyinarkan api kemarahan. Sejenak kemudian terusnya,
"Nyatalah bahwa kesediaanmu menerima wanita muda yang sengsara itu, adalah untuk menutupi niatmu yang jahat. Karena ibuku cantik, timbullah kehendakmu yang tidak baik. Karena engkau berselera, kemudian engkau mencoba membujuk dengan rayuanmu yang palsu. Namun karena ibuku tidak sedia menyerah, maka kaugunakan kekerasan untuk melanggar kehormatan ibuku. Akibatnya ibuku yang malu memillh mati menggantung diri !Apakah aku hanya menuduh engkau membabibuta tanpa bukti nyata?"
Mendengar ucapan bocah ini Sela Kencana terpaku dan merasa serba salah. Kalau di depan banyak orang ini ia mengaku terus terang akan perbuatannya yang sudah lalu, berarti hancurlah nama baiknya.
Hancurlah martabatnya, yang dikenal orang sebagai seorang hartawan balk buni, suka menolong sesama manusia dan ringan tangan serta ringan hati, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Akan tetapi celakanya saat sekarang ini dirinya berhadapan dengan keadaan antara mati dan hidup. Dirinya berhadapan dengan algojo-algojo Mataram. Maka dirinya tak dapat bersikap diam saja.
Dan tentu saja kalau disuruh memilih, ia milih untuk tetap hidup. Akan tetapi kalau memilih hidup, ia harus mencari daya. Sebagai seorang yang cukup cerdik otaknya segera bekerja. Ia memperhitungkan, kalau dirinya tidak mengaku, dirinya bakal berhadapan dengan tuduhan yang berat sudah main mata dengan Belambangan. Namun sebaliknya apa bila ia mengaku, berarti dirinya terbebas dari tuduhan main mata dengan Belambangan. Dengan demikian kepercayaan Pangeran Kajoran terhadap dirinya akan bisa dipulihkan kembali. Dirinya tidak dituduh lagi sebagai orang yang ingin memberontak kepada Mataram. Sebab terbukti sekarang bahwa tuduhan berat terhadap dirinya itu, dilontarkan oleh seseorang yang bermusuhan dengan dirinya. Dan berarti pula bahwa tuduhan itu palsu belaka, tuduhan fitnah dalam usahanya mencelakakan dirinya.
Tetapi pengakuannya itu, berarti martabatnya sebagai seorang hartawan baik budi dan sosiawan akan hancur di mata orang. Namun segera timbul pertimbangannya, bahwa apa bila dirinya masih bisa hidup lebih lama lagi, tentang hancurnya martabat itu tidak perlu dipikir lebih dahulu.
Setelah terjadinya peristiwa ini, bukankah dirinya dapat pindah tempat tinggal ke tempat jauh?
Ke tempat di mana orang belum mengenal dirinya. Dirinya seorang yang kaya raya. Apa bila di tempat yang baru dapat berbuat baik kepada orang sekitarnya, orang akan percaya bahwa dirinya seorang yang baik hati.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya ini kemudian ia membuka mulut.
"Ya, aku tidak dapat membantah benarnya tuduhanmu itu, yang sudah mencemarkan kehormatan ibumu yang bernama Karsih itu!"
Semua orang yang mendengar kaget. Keadaan dalam pendapa itu menjadi ribut dan berisik. Semua orang ingin mengutarakan pendapatnya sendiri-sendiri. Sebagai orang yang selama ini mengenal
sela kencana seorang hartawan baik hati sekarang berbaliklah anggapannya, dan mengerti bahwa Sela Kencana seorang yang jahat dan menggunakan harta benda untuk membeli nama dan martabat. Macam-macam pendapat mereka yang hadir saat ini.
Dan bagi Titiek Sariningsih, mendengar pengakuan Sela Kencana ini, menghela napas panjang. Kiranya soal inilah yang membuat dirinya tadi bertanya-tanya, oleh sikap Kebo Kuning yang aneh itu. Jadi Kebo Kuning mempunyai rahasia pribadi, tidak bedanya dengan dirinya sendiri. Kebo Kuning seorang muda yang sejak kecil hidup sengsara karena ditinggal ibunya yang membunuh diri, demikian pula dirinya telah kehilangan ibu tercinta karena dibunuh oleh Sungsang.
Sesudah suara orang yang berisik itu reda, Kebo Kuning berkata lagi,
"Hai Sela Kencana! Sesungguhnya betapa inginku mencabut nyawa anjingmu ini, guna membalaskan sakit hati ibuku. Hemm, sayang sedikit bahwa dalam hal ilmu berkelahi, aku bukanlah tandingmu yang setimpal. Aku tidak bisa mengalahkan engkau!"
Kebo Kuning berhenti lagi. Sesaat kemudian terusnya,
"Tetapi, engkau tentu tahu, bahwa Tuhan itu Maha Pemurah 'dan Pengasih. Kepada setiap hamba-Nya yang benar-benar mau berusaha, Tuhan akan menunjukkan jalan. Huh, setelah beberapa malam lamanya aku berpayah-payah mengintip dalam kamarmu, akhirnya sampailah pada harapanku selama ini. Aku menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, tentang pertemuanmu dengan dua orang utusan Belambangan yang bernama Menak Kunjono dan Aras Pepet. Banyak yang kau bicarakan dengan dua orang utusan Belambangan itu, hingga akan panjang sekali apa bila aku harus menceritakan di sini. Kemudian hai Sela Kencana! Bukankah seorang tua kurus yang tadi masuk ke mari dengan wajah ditutup oleh kain itu, dan mengacau di sini, adalah 'seorang kepercayaan Belambangan yang sengaja mengacau dan kerja sama dengan engkau? Dia bekerja di luar dan engkau bekerja dari dalam. Engkau seorang sakti mandraguna, dan ketika terjadi peristiwa tadi, jarak antara engkau dengan dia dekat sekali. Akan tetapi mengapa engkau tadi tidak bertindak! dan membiarkan pengacau itu pergi?"
' Titiek Sariningsih heran sekali.
Bukankah orang yang mengenakan kedok kain tadi, adalah ayah Damayanti?
Ketika ia memalingkan mukanya ke arah Damayanti, ternyata Damayanti tidak tampak marah.
Lalu apakah permainan yang tersembunyi antara Damayanti, Kebo Kuning dan orang-orang Gunung Wilis ini?
Sela Kencana yang merasa terpojok oleh hujan ucapan Kebo Kuning ini tergugu. Kemudian jawabnya gugup,
"Itu...... itu......"
Kebo Kuning tidak memberi kesempatan orang membela diri.
"Itu, itu apa? Jangan engkau menyangkal. Sebab menyangkalpun tiada guna! Jelas engkau sudah bekerja sama dengan orang orang Belambangan."
Dada Sela Kencana seperti mau meledak saking marah dan penasaran. Otaknya yang cukup cerdik itu sekarang seperti mati kutu tidak dapat bekerja lagi. Pengaruh orang -orang yang memenuhi pendapa ini, pengaruh Pangeran Kajoran dengan jagojagonya dan pengaruh kata-kata Kebo Kuning membuat ia mati kutu. Katanya terputus-putus,
"Kau...... kau...... Dusta! Tadi engkau tidak ada di sini..... bagaimana engkau bisa tahu?"
Akan tetapi Kebo Kuning tidak melayani Sela Kencana. Sekarang perhatian Kebo Kuning beralih kepada Sungsang. Dari kepala sampai kaki penuh perhatian. Pemuda ini menghela napas dan diam diam batinnya menangis.
Mengapa?
Sebab sesungguhnya Sungsang dan yang sekarang sudah berganti nama Sangsang Buwono itu, sebenarnya saja adalah ayah Kebo Kuning sendiri. Akan tetapi seorang ayah yang sudah membuat ibunya sengsara, sehingga akhirnya ibunya menggantung diri setelah berada dalam rumah Sela Kencana. Akan tetapi dosa ayahnya ini memang tidak mungkin bisa diampuni. Maka ayah durhaka ini harus mati, dan mati terbunuh oleh tangannya sendiri. Ia takkan merasa puas apa bila ayahnya ini mati di tangan orang lain. Dan itulah sebabnya ia Selalu menggagalkan apa bila orang yang akan membunuh ayahnya ini. Dan apa yang dialami dan terjadi atas diri Titiek Sariningsih yang harus mengalami kegagalan di Jepara itu, bukan lain merupakan hasil pekerjaan Kebo Kuning ini. Karena pemuda ini tidak rela ayahnya dibunuh orang lain.
Namun hubungan batin antara seorang anak dan seorang ayah memang aneh. Kalau tidak sedang berhadapan, Kebo Kuning memang benci setengah mati dan sudah bersumpah akan membunuh ayah durhaka ini. Akan tetapi setelah berhadapan, mendadak saja timbullah perasaannya yang tidak sampai hati, ia merasa tidak tega harus membunuh ayah sendiri itu, sekalipun ayah ini dosanya sulit diukur lagi. Karena merasa tidak tega ini, membuat Kebo Kuning ragu ragu.
Sikap Kebo Kuning ini tidak pernah lepas dari perhatian dan pengamatan Sela Kencana. Ketika melihat pemuda itu ragu ragu. otaknya yang cukup licin segera dapat lagi bekerja. Berkelebat dalam benaknya sekarang, ia memperoleh suatu cara guna mengatasi kesulitan dan dalam usahanya menyelamatkan diri. Tiba-tiba ia sudah berteriak nyaring,
"Hai, Sangsang Buwono! Huh-huh, sekarang aku menjadi jelas persoalannya. Huh, aku tahu bahwa semua yang terjadi itu adalah hasil kerja dan jerih payahmu, manusia biadab yang tidak tahu malu! Engkau minta bantuanku supaya engkau dapat merebut salah sebuah cangkir emas. Tetapi sungguh jahat engkau. Di luar tahuku engkau sudah menyuruh anakmu itu untuk memfitnah aku!"
Sungsang alias Sangsang Buwono ini berjingkrak saking kagetnya. Ia mengamati Sela Kencana. Kemudian dengan suaranya yang agak menggeletar, terdengar katanya.
"Anakku! Dia. dia anakku....?"
"Ha-ha-ha-ha."
Sela Kencana sekarang mulai bisa tertawa dan dapat memperoleh kepercayaan akan dirinya lagi.
"Engkau tidak usah berpura-pura, hai Sangsang Buwono. Pemuda ini bukan lain adalah anak Karsih, isteri yang kausia-siakan itu !"
Sepasang mata Sungsang terbelalak menatap wajah Kebo Kuning. Setelah mengamati penuh perhatian, sekarang tahulah ia bahwa antara Kebo Kuning dengan Karsih memang mirip sekali.
Agar pembaca dapat membayangkan kembali peristiwa yang sudah terjadi belasan tahun yang lalu, dan untuk dapat mengetahui latar belakang semua peristiwa ini, kiranya lebih tepat apa bila diceritakan dahulu peristiwa itu.
Kira-kira duapuluh tahun yang lalu. Sungsang masih hidup di Kota Raja Mataram bersama gurunya. Patra Jaya. Kedudukan Patra Jaya di Mataram cukup tinggi. Merupakan pengawal kepercayaan Ratu Wandansari, bersama Gupala, Madu Bala, Hesti Wiro dan beberapa tokoh sakti yang lain.
Oleh pengaruh kedudukan Patra Jaya yang tinggi itu, menyebabkan Sungsang dapat bergerak lebih bebas. Di samping itu oleh pengaruh kesukaan Patra Jaya tentang perempuan, maka murid tunggal inipun menjadi seorang laki-laki yang suka berburu perempuan cantik. Pada suatu ketika, baik Patra Jaya maupun Sungsang memboyong seorang gadis cantik dari suatu desa di wilayah Banyumas. Gadis gadis ini dipaksa oleh Patra Jaya dan oleh Sungsang menjadi isterinya. Akan tetapi karena merasa tak tahan, gadis yang dipaksa menjadi isteri Patra Jaya, pada suatu hari memilih untuk membunuh diri. Sebaliknya gadis Karsih yang menjadi isteri Sungsang menerima nasib yang buruk itu, dan melayani Sungsang sebagai isterinya.
Namun kemudian setelah Karsih hamil, lunturlah gairah dan cinta Sungsang terhadap Karsih. Kemudian Karsih diusir pergi. Perempuan muda yang perutnya sudah membesar berisi calon manusia ini. tanpa daya segera pergi mehinggalkan Mataram. Akan tetapi karena malu, Karsih tidak berani kembali pulang ke desa asalnya. Dengan perutnya yang besar itu, ia mengembara tak tentu tujuan.
Makin lama perut Karsih makin membesar karena hamil tua, dan hidupnya makin menjadi sengsara. Akhirnya pada suatu hari bertemulah Karsih dengan seorang wanita tua baik hati. Nenek itu merasa kasihan melihat Karsih, lalu diajak pulang dan diambil sebagai anak angkat. Sebab nenek itu seorang wanita yang hidup tanpa suami dan anak, dan hanya seorang diri.
Demikianlah, di rumah nenek ini pada saatnya, Karsih melahirkan bayi laki laki anak Sungsang. Oleh Karsih, anak ini diberi nama Satriya Utama. Memang ada maksudnya memberi nama seperti itu. Agar kelak sesudah besar, anaknya itu menjadi seorang manusia baik seperti namanya, sebagai satria utama.
Pada dasarnya wajah Karsih memang cantik, maka banyak menarik perhatian laki laki. Dan walaupun telah mempunyai anak seorang dan sebagai janda pula, banyak laki-laki tertarik dan ingin memperisteri Karsih. Akan tetapi dengan berbagai dalih dan alasan Karsih selalu menolak lamaran orang itu .Sebabnya bukan lain karena Karsih telah kapok dengan apa yang sudah dialami. Ia khawatir apa bila bersuami lagi dirinya akan diperlakukan
seenak sendiri oleh laki-laki, seperti ketika menjadi isteri Sungsang. Dirinya hanya melulu menjadi alat pemuas nafsu lakilaki. Maka Karsih tidak ingin kembali merasakan derita hidup seperti yang pernah dialami. Itulah sebabnya dengan segala dalih ia menolak setiap lamaran, dan Karsih memilih hidup sebagai janda.
Akan tetapi laki-laki yang ditolak oleh Karsih tu, ada pula yang marah. Lalu timbullah kenekatannya untuk mengancam keselamatan Karsih maupun nenek janda itu apa bila tetap saja menolak. Karsih diberi waktu satu minggu untuk memikirkan dan meninjau kembali penolakannya itu. Apabila tetap membandel, tahu sendiri, demikian ancaman itu.
Ancaman ini barang tentu membuat nenek janda itu ketakutan setengah mati. Ia membujuk kepada Karsih agar menerima saja lamaran itu. Sebagai wanita muda, apa bila hidup menjanda memang kurang menguntungkan. Orang dapat melemparkan tuduhan yang tidak-tidak dan segala macam tuduhan yang buruk. Namun Karsih tetap pada pendiriannya, ia tidak sedia menerima kehadiran laki-laki yang manapun, sebelum hatinya sedia menerima kehadiran laki-laki. Namun karena takut kepada ancaman itu, maka pada suatu malam ia pergi meninggalkan rumah itu tanpa pamit kepada janda tua itu. Ia mengerti bahwa kepergiannya tanpa pamit ini, berarti dirinya dituduh sebagai seorang yang tidak mengenal budi kebaikan orang. Tetapi apa bila, ia harus minta diri. tidak
urung nenek janda itu melarang, karena sudah dianggap sebagai anak sendiri.
Maka bersama anaknya yang masih kecil, Karsih kemudian pergi tanpa tujuan. Yang penting asal dirinya dapat menghindarkan diri dari ancaman itu. Setelah menderita sengsara berbulan bulan lamanya, pada suatu hari Karsih datang ke rumah Sela Kencana. Kedatangannya yang minta berlindung di rumah ini, diterima pleh Sela Kencana dengan wajah dan'kata-kata manis. Jadilah Karsih berlindung di rumah Sela Kencana sebagai pembantu rumah tangga.
Selama di rumah ini, sikap Sela Kencana selalu manis. Malah walaupun Satriya Utama hanya anak seorang pembantu rumah tangga, suka pula Sela Kencana memeluk maupun mendukung sambil memuji-muji. Tentu saja sikap tuannya yang manis baik kepada dirinya maupun kepada anaknya itu, membuat Karsih merasa bersyukur. Bahwa setelah menderita, dirinya memperoleh tempat bernaung dalam rumah seorang hartawan yang mulia.
Di luar tahu Karsih, bahwa hartawan kaya raya yang bernama Sela Kencana ini, sebenarnya seorang jahat. Sikapnya yang manis, yang tampaknya baik budi itu, sesungguhnya guna menutupi watak buayanya. Sikapnya baik terhadap Karsih maupun anaknya yang manis itu, bukan lain karena tertarik akan kecantikan Karsih. Maka timbullah niat hartawan Sela Kencana ini untuk menurutkan nafsu berahinya yang sesat.
Pada suatu malam, Sela Kencana mengetuk kamar Karsih dengan pura-pura untuk menanyakan
keadaan Satriya Utama itu. apakah sudah tidur dan tidak rewel. Karsih membuka pintu kamar dan mempersilahkan Sela Kencana masuk, agar majikannya itu melihat sendiri bahwa anaknya tidur pulas dan tidak rewel. Adapun sebabnya Karsih membuka pintu kamar dan mempersilahkan Sela Kencana masuk ini. bukan lain untuk menghormati majikannya yang berkenan memperhatikan anaknya yang harus ikut hidup sengsara itu. Dan merasa bahwa dirinya hanya seorang budak, anaknya mendapat perhatian sedemikian rupa dari sang majikan ini merupakan keuntungan yang sulit dicari.
Tetapi sungguh celaka!
Sikap Karsih yang demikian menghormat kepada majikan ini diterima secara salah oleh Sela Kencana. Menurut jalan pikiran majikan jahat ini, agaknya Karsih yang muda dan cantik itu memang memberi kesempatan kepada dirinya untuk melakukan perbuatan yang menyeleweng. Maka dengan tersenyum-senyum Sela Kencana masuk ke dalam kamar. Dan begitu masuk, Sela Kencana sudah menutup pintu kamar rapat rapat.
'Jangan tuan tutup pintu itu,"
cegah Karsih dengan wajah khawatir.
Tetapi dengan tersenyum Sela Kencana menjawab,
"Tak apa. Siapakah yang kautakutkan? Malam ini memang sengaja aku berkunjung ke mari, Karsih."
Tanpa memberi kesempatan lagi, tiba-tiba saja Sela Kencana sudah memeluk kemudian menciumi. Karsih kaget setengah mati dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Sela Kencana. Hampir saja
ia menjerit, akan tetapi segera teringat apa bila ia menjerit malah bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan. Dirinya malah bisa dituduh yang tidak-tidak oleh nyonya Sela Kencana. Maka ia hanya berusaha melawan sambil menangis. Akan tetapi Sela Kencana sudah menjadi buas. Setelah membujuk tiada hasil, dan Karsih tetap saja menolak, maka akhirnya Sela Kencana mengancam.
'Huh, jika engkau tetap keras kepala, tahu sendiri. Aku akan melaporkan kepada yang berwajib bahwa sebagai pembantu rumah tangga, engkau telah mencuri harta benda simpananku. Apa bila aku melaporkan begini, tentu yang berwajib percaya. Dengan kekuatan uang yang kuberikan kepada mereka, tanpa pemeriksaan teliti lagi engkau akan segera dijebloskan dalam penjara. Hemm, tahukah engkau bagaimanakah seorang muda dan cantik yang dijebloskan dalam penjara sebagai seorang pencuri? Di sana engkau akan dianggap bukan sebagai manusia lagi. Huh, engkau akan menjadi barang permainan oleh beberapa orang lakilaki yang berkuasa. Engkau akan menjadi alat pemuas nafsu mereka semua."
Mendengar ancaman ini Karsih pucat dan lemas. Ancaman seperti itu memang bukan mustahil. Sebab terjadi di jaman yang tidak aman. Terjadi di saat negara Mataram sedang berusaha menumpas para bupati dan adipati yang sengaja memberontak kepada Mataram. Dalam keadaan seperti itu, Sultan Agung tidak memperoleh kesempatan mengawasi kepada mereka yang dipercaya menguasai daerah-daerah. Sehingga raja tidak tahu bagaimanakah penguasa di daerah itu memerintah menurut selera masing-masing, dalam usahanya untuk mengumpulkan kekayaan bagi pribadi.
Perbuatan menyeleweng seperti ini bukan melulu dilakukan oleh para penguasa di daerah. Sebab bawahannya yang melihat sepak terjang penguasa itu, segera ikut-ikutan pula untuk mencari kesempatan guna memadatkan kantong sendiri, dengan segala cara.
Mereka main peras.
Mereka main hakim sendiri tak ingat lagi kepada hukum yang berlaku. Dan tentang permainan suap adalah merajalela tidak terkendali lagi. Penguasa yang jujur malah celaka. Punggawa yang tak mau ikut-ikutan main peras dan mererima suap malah dibenci dan dicelakakan oleh yang lain. Akan tetapi para kawula tidak dapat berbuat apa-apa karena takut akan akibatnya, apa bila sampai berani melaporkan para penguasa dan punggawa Mataram yang berbuat jahat seperti itu. Dan karena perbuatan jahat yang merugikan kawula dan negara ini tidak segera diatasi, maka berakibat pula masalah ini berlarut larut. Dan kemudian seperti menjadi kebiasaan. Para penguasa dan para punggawa terus-menerus main peras dan selalu menerima suap untuk melakukan sesuatu.
Di samping hai-hal seperti itu, Karsih yang pernah hidup sebagai isteri Sungsang dan pernah berdiam dikota raja, tahu belaka tentang akibat bagi seseorang yang masuk dalam kamar tahanan atau penjara. Kalau seorang laki-laki, di samping harus dirangket dan disiksa,harus pula mengerjakan pekerjaan berat. Sebaliknya apa bila pesakitan itu
perempuan. lebih-lebih muda dan berwajah cantik, akan diperlakukan sebagai bukan manusia lagi. Dalam hukuman itu akan menderita sengsara lahir dan batin. Sebab hanya menjadi benda hidup yang dipermainkan oleh para penguasa dan ponggawa untuk pemuas nafsu. Dan bergidiklah Karsih apa bila dirinya harus menderita seperti itu. Karena ketakutan setengah mati akan ancaman ini, akhirnya Karsih menyerah walaupun terus menerus menangis sedih.
Pagi harinya semua orang yang menghuni rumah itu merasa heran, ketika Karsih tidak nampak melakukan pekerjaan seperti biasa. Dan anaknya tidak tampak pula. Salah seorang pembantu rumah tangga segera menjenguk kamar Karsih. Tetapi ternyata kamar itu sudah kosong. Hal ini kemudian segera dilaporkan kepada Sela Kencana. Mendengar ini, Sela Kencana agak kaget dan mengerti akan sebabnya. Namun sebagai seorang yang jahat, ia malah segera menuduh bahwa Karsih lari sambil mencuri barang miliknya.
"Apa? Karsih minggat?"
Sela Kencana purapura kaget.
"Ahh, tentu perempuan busuk itu melarikan diri setelah mencuri harta kekayaanku. Lekas kejar dan cari. Kalau dapat tertangkap, seret secara paksa dan bawa pulang ke mari. Aku akan memberi hukuman dahulu sebelum aku serahkan kepada yang berwajib."
Dan para tukang pukul pembantu Sela Kencana segera pula pergi melaksanakan tugas. Akan tetapi Walaupun dicari ke mana saja Karsih tak dapat diketemukan.
Mengapa?
Yang terjadi, setelah Sela Kencana meninggalkan kamarnya, Karsih menangis sedih sekali dan meratapi nasibnya yang buruk. Saking marah, penasaran dan malu atas perlakuan Sela Kencana itu, malam itu juga Karsih meninggalkan rumah itu sambil mendukung anaknya.
Akan tetapi sesudah meninggalkan rumah itu, kemudian timbullah kebingunganya, ke mana harus pergi?
Ia menjadi khawatir apa bila Sela Kencana memfitnah dirinya dengan tuduhan palsu telah mencuri harta bendanya. Dan saking bingung ini, tiba-tiba saja timbullah keputusannya yang pendek. Ia menggunakan ikat pinggang untuk menggantung diri pada pohon di pinggir sungai, dan anaknya ditidurkan di atas pasir.
Ketika itu secara kebetulan seorang laki-laki tinggi kurus lewat di tempat itu. Laki laki yang ternyata adalah Damarjati atau ayah Damayanti ini kaget sekali ketika menemukan Karsih telah kaku dan bergantungan pada dahan, dan seorang anak berusia sekitar empat tahun tidur pulas di atas pasir. Damarjati menjadi iba. Jenazah Karsih diturunkan, kemudian dikubur. Anaknya segera ditolong dan dibawa pulang berikut pula bungkusan pakaian yang terletak di dekat Satriya Utama tidur. Setelah tiba di rumah baru diketahui bahwa dalam bungkusan pakaian itu terdapat surat yang tulisannya jelek sekali. Mungkin surat itu ditulis secara tergesa, di samping air mata selalu mengalir tiada hentinya. Dalam surat itu diceritakan tentang sebabnya menggantung diri sampai mati di pohon itu bukan lain akibat perbuatan Sela Kencana yang terkutuk. Di samping itu juga diceritakan tentang
ayah satria Utama yang bernama Sungsang dan berdiam di kora raja. Semenjak dirinya masih hamil telah diusir dan disia siakan oleh suaminya itu, sehingga Satriya Utama lahir dalam perantauan.
Demikianlah latar belakang singkat tentang asal usul Kebo Kuning yang ternyata namanya sebenarnya Satriya Utama. Di tangan Damarjati bocah ini digembleng dalam bidang ilmu kesaktian,membaca dan menulis maupun pengetahuan yang lain. Ketika bocah ini mengerti mempunyai dua orang musuh besar, ia makin rajin belajar dan berlatih. Dan akhirnya walaupun masih muda, ia sudah memiliki ilmu tata kelahi yang amat tinggi.
Di Jepara secara sembunyi ia menggagalkan usaha Titiek Sariningsih membunuh Sungsang. Sebabnya bukan lain, Kebo Kuning tidak membiarkan orang lain membunuh ayahnya ini. Ia merasa tidak puas apa bila tidak membunuh dengan tangan sendiri, untuk membalaskan sakit hati ibunya. Tetapi sebelum membunuh mati ayahnya sendiri ini, sebagai anaknya ia ingin memberikan baktinya lebih dahulu, dengan menolong ayah itu di saat berhadapan dengan bahaya. Dan itulah sebabnya Sungsang dapat menyelamatkan diri dari ancaman Titiek Sariningsih.
Dalam usahanya untuk membalas sakit hati kepada Sela Kencana ini, sesungguhnya tidak sulit untuk membunuh di rumahnya, menggunakan racun. Akan tetapi Kebo Kuning beranggapan bahwa terlalu enak apa bila manusia jahat yang berkedok kebaikan itu mati begitu saja. Sela Kencana harus dapat ia telanjangi kebusukannya di depan banyak
orang. Agar orang menjadi sadar dan tahu, bahwa sesungguhnya Sela Kencana bukan seorang mulia seperti dugaan orang. Akan tetapi sesungguhnya seorang manusia busuk, penjahat besar yang selalu berlindung kepada sikap dan perbuatan baik. Sela Kencana dapat mengumpulkan kekayaan yang bertumpuk-tumpuk itu, tidak lain dengan jalan sebagai perampok dan maling, dan setiap melakukan kejahatannya selalu mengenakan kedok penutup muka. Maka apa bila Kebo Kuning dapat membongkar tindak dan langkah Sela Kencana yang busuk,hatinya merasa lega sebelum membunuh mati orang itu. Berkat kecerdikannya, berkat usahanya yang tak kenal putua asa, semua rencana pemuda ini dapat berjalan baik sekali. Biarpun sekarang ini Sela Kencana tambah sepuluh mulut, orang jahat itu tidak dapat membantah benarnya tuduhan itu .Setelah berhasil menelanjangi kebusukan Sela Kencana di depan ratusan tokoh sakti ini, kemudian ia berniat akan membuat Sungsang mati kutu pula. Tetapi ikatan batin sebagai ayah dan anak itu, kemudian membuat Kebo Kuning ragu-ragu. Katakata yang sudah lama disiapkan untuk menyemprot Sungsang, tiba tiba saja sekarang berantakan dan sulit diucapkan. Padahal waktu ini, keadaan Sela Kencana pada kedudukan yang sulit sekali. Ibarat ia seorang yang hampir tenggelam dalam arus sungai. Di saat orang hampir mati tenggelam seperti ini. apapun yang dapat dijadikan sarana menyelamatkan diri akan dipegangnya, tidak mungkin lepas lagi .Maka begitu memeroleh kesempatan, kegarangan Sela Kencana bangun kembali. Sambil menuding kepada Sungsang, ia berteriak,
"Hai Sangsang Buwono! Lekas jawab pertanyaanku. Dia ini anakmu atau bukan?"
Tetapi Sungsang masih mengamati Kebo Kuning tidak berkedip. Seluruh perhatiannya sekarang ini, seperti tertumpah kepada pemuda baju kuning yang mengaku sebagai anaknya ini, yang lahir dari Karsih.
"Gusti pangeran !"
teriak Sela Kencana lagi.
"Jelas sekali bahwa ayah dan anak ini sudah mengatur tipu untuk mencelakakan hamba."
"Apakah perlunya aku mencelakakan kau?"
bantah Sungsang dengan mendelik ke arah Sela Kencana.
Dan tanpa disadari Sela Kencana telah memberi pengakuan lagi.
"Karena perbuatanku, menyebabkan isterimu mati.."
Sungsang ketawa dingin.
"Huh-huh....."
Kemudian katanya,
"Siapa bilang perempuan itu isteriku? Aku maui perempuan kuambil. Kalau tidak suka aku lempar.."
Kata-kata Sungsang ini mendadak terputus dan tubuh Sungsang menggigil. Sebab disaat itu ia melihat Kebo Kuning menatap kepada dirinya tidak berkedip, dan mata pemuda itu memancarkan api.
"Huh, baiklah!"
kata Sela Kencana kemudian.
"Keadaan sudah berobah sedemikian rupa. Maka tidak perlu lagi aku melindungi engkau. Tetapi sekarang jawablah pertanyaanku. Siapakah yang telah melepaskan jarum sehingga banyak menjatuhkan korban, aku ataukah engkau ? Hayo. jika
engkau memang mampu melepaskan jarum jarum itu, lekas cobalah! Hayo, sambitlah aku dengan jarum."
Pengakuan yang tidak terduga-duga dari mulut Sela Kencana ini menimbulkan kegemparan baru. Seluruh pendapa ini berisik dan ribut. Baru mereka sekarang sadar bahwa jarum yang dapat membuat lawan Sungsang kalah itu, bukan lain hasil perbuatan Sela Kencana.
Pantas saja sejak tadi mereka semua ini heran, bagaimanakah cara Sungsang melepaskan jarum itu?
Akan tetapi sekarang semuanya sudah menjadi jelas. Ternyata pelepas jarum itu bukan Sungsang melainkan Sela Kencana.
Hanya saja mengapa Sela Kencana bisa melepaskan jarum itu, tanpa diketahui orang?
Padahal Sela Kencana duduk pada kursi ditengah ruangan. Setiap gerakannya akan selalu diketahui orang.
Dalam pada itu diam diam Titiek Sariningsih berpikir. Tadi secara tiba-tiba punggungnya sudah dimakan oleh dua batang jarum. Sejak menderita luka pada punggung oleh jarum itu, gadis ini sudah memperoleh pegangan bahwa sesungguhnya pelepas jarum itu bukan oleh Sungsang. Sebabnya ia dapat menduga seperti itu, karena tadi ia berhadapan dengan Sungsang.
Bagaimanakah mungkin Sungsang, dapat melepaskan jarum dan dapat mengenakan . punggungnya?
Akibat ia tadi tidak mengetahui bahwa yang melakukan itu Sela Kencana maka ia tadi sudah menuduh Kebo Kuning. Dan celakanya pula, Kebo Kuning tadi seperti mengaku sebagai pelepas jarum dan menyatakan minta maaf.
Pengakuan Sela Kencana ini memberi pembuktian bahwa berhasilnya Sungsang melayani banyak lawan yang menantang, bukan lain adalah perlindungan Sela Kencana yang diam-diam melepaskan jarum. Dan sebabnya sampai bisa terjadi demikian, memang antara Sungsang dengan Sela Kencana sejak sebelum hadir di tempat ini telah bersekutu. Semula Sela Kencana memang tidak sedia' mengabulkan permintaan Sungsang ini. Akan tetapi setelah Sungsang sedia memberikan hadiah uang dan harta benda dalam jumlah besar, maka Sela Kencana segera menyanggupkan diri. Sebab bagaimanapun sebagai seorang yang berlagak sebagai hartawan dan baik hati, setiap saat ia selalu membutuhkan uang dalam jumlah banyak. Kalau dirinya sekarang harus merampok lagi seperti belasan tahun yang lalu, ia khawatir kalau sampai kepergok dengan orang yang sudah dikenal.
Perjanjian itu menyebutkan bahwa di saat Sungsang mempertahankan kedudukannya sebagai seorang yang berhak atas cangkir emas, secara diam diam Sela Kencana harus membantu dengan melepaskan jarum. Akan tetapi khusus kepada seorang gadis wajah jelek bernama Ulam Sari, ia minta kepada Sela Kencana supaya membinasakan. Sebab gadis itu amat berbahaya, justeru hadirnya dalam pertemuan itu tidak lain hanya untuk mengacau. Sungsang sengaja menutupi rahasianya bahwa ia ketakutan setengah mati kepada gadis itu. Maka Sungsang menggunakan Sela Kencana agar dapat membunuhnya.
Sebenarnya ketika berangkat dari rumahnya
Sela Kencana tidak pernah berpikir untuk melakukan permainan curang dalam pertemuan penting itu. Akan tetapi setelah ia menerima uang muka sebagai upah atas bantuan yang akan diberikan, maka kemudian timbullah akal Sela Kencana untuk dapat membantu Sungsang secara diam-diam. Akan tetapi apa bila dalam menolong ini' harus menggunakan tangan untuk melepaskan jarum itu, perbuatannya ini dalam waktu singkat akan sudah dapat diketahui orang, Sela Kencana berpikir beberapa saat lamanya. Sebagai hasil dari kecerdikan Otaknya, kemudian timbullah akalnya untuk dapat melepaskan jarum tanpa diketahui orang. Di saat hadir dalam pertemuan itu, ia akan mengenakan terumpah (macam sandal). Dan terumpah ini banyak pula dipakai oleh para pembesar negeri dan pangeran. Tetapi terumpah itu bukan melulu sebagai alas kaki, Pada terumpah itu telah dipasang alat yang dapat melepaskan jarum, tanpa bisa diketahui orang. Alat itu dipasang pada bagian tumit yang sudah diberi lubang. Di saat untuk berjalan kaki pada bagian tumit itu diangkat. Sebab apa' bila tumit itu menekan, alat pada tumit itu akan bekerja tanpa suara lalu melepaskan jarum. Dan ternyata dari hasil kecerdikan otaknya itu menghasilkan gilang gemilang. Walaupun di hadapan ratusan tokoh ia dapat leluasa membidikkan jarum jarumnya secara tepat pada sasaran. Khusus kepada Titiek Sariningsih, ia tadi membidikkan dua batang jarum sekaligus, dengan maksud untuk membunuhnya.
Sungguh sayang sekali bidikannya meleset, sehingga Titiek Sarinmgsih tertolong jiwanya. Inilah merupakan
bukti bahwa hanya Tuhan saja yang berkuasa melahirkan dan memanggil manusia. Walaupun orang sudah merencanakan membunuh, tetapi apa bila takdir belum sampai orang itu akan lolos juga dari maut.
Sebaliknya peribahasa telah mengatakan, siapa yang menanam bakal memetik buahnya. Baik Sungsang maupun Sela Kencana telah menanam benih yang tidak baik. Pada akhirnya manusia ini akan memetik buah dari tanamannya yang tidak baik itu pula. Buktinya mimpipun tidak, bahwa dalam pertemuan penting itu akan muncul anak dari perempuan bernama Karsih, yang sekarang telah menjadi pemuda gagah dan datang untuk menuntut balas. Hanya dalam waktu singkat, nama harumnya sebagai manusia berbudi sebagai, hartawan yang banyak amalnya, sekarang harcur. Nama Sela Kencana sekarang sudah ternoda di depan banyak orang.
Akan tetapi walaupun ternoda bagi Sela Kencana masih banyak menguntungkan apa bila dibanding dengan tuduhan, sudah bersekutu dengan Belambangan. Terbukanya rahasa sebagai seorang jahat yang berkedok kebaikan, paling-paling hanya menyebabkan dirinya sekarang tidak memperoleh kepercayaan orang lagi. Namun demikian, ia masih dapat mempertahankan hidupnya. Sebaliknya kalau dirinya dituduh bersekutu dengan Belambangan dirinya tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi. Dirinya akan berhadapan dengan algojo Mataram, dan memperoleh hukuman mati.
Maka hati Sela Kencana sekarang tidak bingung lagi, dan ia
dapat menghadapi peristiwa ini dengan hati yang mantap
Namun sebaliknya Sungsangpun bukan seorang tolol. Iapun seorang yang cerdik dan banyak pula akalnya. Setelah persoalan yang dihadapi dapat diketahui dengan terang, mengertilah ia akan akal Sela Kencana. Maka teriaknya lantang,
"Jahanam! Nyata bahwa engkau memang manusia busuk! Sesudah orang tahu akan rahasia persekutuanmu dengan Belambangan, engkau sekarang mencoba mencari kambing hitam, mengaku sudah membantu aku dalam pertandingan. Huh. engkau jangan memfitnah orang. Sungsang Buwono bukanlah seorang pengkhianat negara seperti engkau. Mana mungkin aku dapat kaubeli...... auuhh......"
Kata-kata Sungsang terputus dan berteriak mengaduh kesakitan, kemudian Sungsang sudah roboh di lantai.
Apa yang terjadi?
Dalam marahnya menghadapi persoalan gawat yang sedang dihadapi sekarang ini, timbullah keputusannya untuk membungkam mulut Sungsang selama-lamanya dengan jalan membunuh. Akan tetapi kalau membunuh Sungsang dengan jalan berkelahi, tentu akan memerlukan waktu, dan salah-salah dirinya malah menghadapi keroyokan para pengawal yang memenuhi pendapa ini. Maka timbullah keputusannya untuk membunuh saja dengan jarum yang tersedia pada tumitnya. Memperoleh keputusan demikian, tumitnya segera menginjak alat pelepas jarum itu, dan sekaligus empat buah.
Sekalipun semula Kebo Kuning sudah memutuskan membunuh ayahnya sendiri yang membuat ibunya sengsara dan mau menggantung diri, sekarang pemuda Ini kaget selengah mati melihat ayahnya roboh di lantai. Mendadak saja pemuda ini sudah melompat dan berteriak.
"Ayah....!"
Secepat kilat pemuda ini menyambar tubuh Sungsang, mengangkat dan meraba dadanya. Dan betapa kaget pemuda ini setelah memperoleh kenyataan, bahwa jantung ayahnya sudah berhenti bekerja. Ayahnya sudah menghembuskan napas penghabisan, akibat secara tepat bidikan Sela Kencana dengan jarum itu mengenakan jantung. Walaupun Kebo Kuning alias Satriya Utama ini sudah digembleng lahir dan batin oleh derita dan kesengsaraan maupun oleh gurunya, tidak urung Kebo Kuning tidak kuasa menahan mengalirnya air mata. Pemuda ini sedih sekali, mengapa harus berhadapan dengan ayahnya yang sudah tidak bernyawa.
Ya, ikatan batin antara ayah dan anak memang tidak dapat dipikir dengan nalar ini. Betapapun benci dan ingin membalas dendam, hati Kebo Kuning hancur juga begitu berhadapan. Dalam rongga dadanya timbul perasaan yang tidak tega. Dan batinnya menjerit pula, bahwa walaupun buruk tabiat dan perbuatannya, akan tetapi Sungsang tetap saja sebagai ayahnya, ia tidak dapat menghindar lagi, bahwa dirinya tak mungkin dapat lahir di dunia ini tanpa Sungsang sebagai ayahnya. Maka terasa hancur pula hati Kebo Kuning, setelah sekarang Sungsang menghembuskan napas penghabisan.
Apa yang terjadi, menggemparkan keadaan dalam pendapa yang luas ini. Segera terdengarlah suara yang ribut dari ratusan mulut manusia itu. Di antara mereka ada pula yang sudah mencaci-maki dan tidak puas atas sikap Sela Kencana yang membunuh orang secara curang itu. Tetapi tidak.sedikit pula orang yang merasa ragu-ragu, sulit untuk memihak kepada yang mana.
Di saat semua orang ribut membicarakan apa yang baru terjadi, Pangeran Kajoran yang luas pengalaman mempunyai pikiran lain. Katanya dalam hati,
"Baik Sela Kencana maupun pemuda itu, tentu banyak mempunyai teman perjuangan. Dua orang ini merupakan orang-orang yang berbahaya. Mereka harus ditangkap dan dihukum."
Memperoleh keputusan demikian, ia'segera berteriak dan memerintahkan agar semua pintu ditutup, dan tidak seorangpun boleh keluar dari pendapa.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Damayanti dan Titiek Sariningsih sadar bahwa keadaan amat berbahaya. Maka dua gadis ini sudah melompat dan mendekati Kebo Kuning.
"Kebo Kuning,"
bisik Titiek Sariningsih.
"Kita tidak boleh terlambat. Selekasnya kita harus melarikan diri!"
Kalau Titiek Sariningsih berkata demikian. sebaliknya nenek bongkok dan buruk penyamaran dari Damayanti ini, sudah sibuk menghisap pipa lalu mengepulkan asap tembakaunya ke seluruh penjuru.
"Jangan ribut!"
teriak Adipati Mandurorejo yang ingin menguasai keadaan lagi.
"Sudilah tuan tuan duduk kembali dengan tenang!"
Titiek Sariningsih sesungguhnya merasa heran sekali, melihat perbuatan Damayanti yang masih sibuk dengan pipa tembakau itu. Di saat gadis ini masih bertanya tanya dalam hati untuk menduga maksud nenek bongkok itu, mendadak terdengar suara yang saling susul.
"Aduh perutku sakit !"
"Aduhh celaka...
mengapa perutku!"
Saling susul orang-orang itu memegang perutnya dan meringis kesakitan. Titiek SariningSih maupun Kebo Kuning keheranan. Akan tetapi dua orang muda ini memang seorang yang cerdik. Ketika melihat nenek bongkok itupun ikut mengaduh perutnya sakit, maka Kebo Kuning dan Titiek Sariningsih sudah ikut berteriak kesakitan sambil memegang perut dan berjingkrakan.
Orang yang dikenal dengan nama Tali Wangke itupun tidak terluput dari serangan sakit pada perutnya, yang seperti diremas-remas. Akan tetapi ia seorang ahli racun. Ia segera dapat menduga bahwa seseorang sudah menyebarkan racun, sehingga semua orang yang hadir di pendapa ini perutnya kesakitan. Kemudian Tali Wangke mengambil seikat rumput dari sakunya, lalu dibakar. Maksud Tali Wangke dengan rumput yang dibakar ini, ia akan memunahkan akibat racun yang menyerang perut itu.
Akan tetapi secepat kilat nenek bongkok itu sudah berteriak nyaring,
"Celaka! Tabib Tali Wangke melepaskan racun. Lihat! Dia membakar rumput beracun!"
Teriakan ini cepat disambung oleh Titiek Sariningsih, yang sudah dapat menduga apa yang terjadi, bahwa semua yang menderita sakit perut ini bukan lain akibat kepulan asap tembakan dari Damayanti. Sebabnya Damayanti, Kebo Kuning dan dirinya sendiri tidak menderita akibat dari racun tembakau itu, karena lebih dahulu sudah menelan obat pemunahnya.
"Lekas tangkap dia!"
teriak Titiek Sariningsih.
"Tali Wangke berusaha meracuni Gusti Pangeran Kajoran!"
' Dalam keadaan perut sakit ini, tentu saja semua orang menjadi bingung dan tidak tahu dari manakah racun yang membuat perut sakit itu berasal. Para pengawalpun tidak mengerti akan sebabnya. Maka mendengar teriakan bahwa Tali Wangke membakar rumput untuk meracun Pangeran Kajoran, mereka ini segera saja terpengaruh. Walaupun perut sakit mereka adalah pengawal yang sedang bertugas menjaga keselamatan Pangeran Kajoran. Maka tanpa perduli akan perut yang sakit, senjata telah dihunus dan di lain saat sudah menghujani serangan kepada tabib Tali Wangke.
Untung sekali Tali Wangke bukan sembarang orang pula. Dalam bahaya tidak lekas menjadi bingung. Sekali membungkuk ia sudah mengangkat sebuah meja dan digunakan sebagai perisai.
"Tak.... prak...... krak.....!"
Semua senjata itu telah mengenakan meja.
"Hai, tahan!"
teriak Tali Wangke.
"Janganlah kamu menuduh orang secara ngawur dan membuta tuli. Yang benar ada orang yang sudah menaruh racun pada arak dan air teh."
Sesungguhnya di antara yang hadir dalam pertemuan ini, tidak sedikit pula yang mencurigai kejujuran Pangeran Kajoran.
Siapa tahu kalau maksudnya mengundang para tokoh dan ketua perguruan ini, memang bermaksud untuk membasmi dengan racun?
Maka akibatnya begitu mendengar teriakan Tali Wangke ini, orang secara mudah sudah terpengaruh. Orang menjadi ketakutan, khawatir kalau tidak dapat pulang dan bertemu dengan keluarga lagi, akibat harus mati di tempat ini. Tentu saja mereka tidak sadar sama sekali, bahwa Pangeran Kajoran sendiri maupun Adipati Mandurorejo dan yang lain, tidak pula terluput dari serangan sakit perut yang datangnya secara aneh dan tiba-tiba. .
"Lekas lari! Pangeran Kajoran meracuni kita....."
"Hayo, yang masih ingin hidup harus lari......"
"Lekas, jangan terlambat! Lari...... lari...."
Gaduhlah dalam waktu singkat, dalam pendapa ini. Hampir semua orang berteriak dengan ketakutan dan khawatir. Sebab mereka semua masih ingin dapat hidup lebih lama lagi. Sambil berteriak dan ribut ini, mereka sudah berlompatan dan berlomba untuk secepatnya mendobrak pintu;
Geger!
Ribut!
Gaduh!
Suara kedobrakan dan dering cangkir dan piring pecah terdengar di sanasini, akibat ditabrak begitu saja oleh orang yang ingin menyelamatkan diri. Pendeknya mereka kebingungan tidak karuan. Orang berlomba untuk dapat lebih dahulu keluar dari gedung ini.
Tetapi sebaliknya Kebo Kuning sekarang malah
berkelahi sengit sekali dengan Sela Kencana. Namun sebenarnya Sela Kencana sudah gelisah setengah mati dan ingin secepatnya melarikan diri. Sebaliknya Kebo Kuning yang sudah makan obat pemunah itu, tidak terserang oleh sakit perut. ia sekarang sedang berusaha menuntut balas sakit hati ibu dan ayahnya, yang dua-duanya binasa di tangan Sela Kencana.
Sela Kencana yang perutnya sakit itu, melawan dengan gelisah. Namun demikian Kebo Kuning yang berilmu tinggi itu, masih juga merasa jerih menghadapi Sela Kencana. Justeru laki-laki ini dapat melepaskan jarumnya secara aneh. Memang, dalam pengakuannya tadi Sela Kencana tidak menyebutkan di mana ia menyimpan jarum itu, dan bagaimana pula caranya melepaskan. Tentu saja di saat berkelahi ini, Kebo Kuningpun harus sibuk menjaga diri agar jarum yang berbahaya itu, tidak sampai dapat menembus kulitnya.
Sementara itu Pangeran Kajoran yang tak tahan oleh serangan sakit perut ini, sudah meninggalkan pendapa dengan perlindungan Yoga Swara dan beberapa orang pengawal pilihan. Setelah tiba di tempat aman, ia segera memanggil tabib pribadinya agar selekasnya mengobati perutnya yang sakit.
Kita tengok orang orang yang berusaha melarikan diri, karena khawatir dicelakakan oleh Pangeran Kajoran. Mereka menyerbu dan mendobrak pintu. Tetapi mereka sudah kalah dahulu dengan kecepatan para pengawal bertindak. Pintu-pintu sudah ditutup rapat, dijaga oleh pengawal bersenjata lengkap. Dan karena para pengawal itu tidak
mau membuka pintu, maka semua orang menjadi marah. Dalam keadaan kalut dan ketakutan seperti ini, sudah tidak terpikir lagi tentang tuduhan akan memberontak. Para pengawal yang berusaha mempertahankan pintu sudah diterjang. Dan terjadilah pertempuran yang kacau dan sungguh mendebarkan, karena mereka merasa dihadapkan pada keadaan hidup dan mati!
Dalam keadaan yang geger dan kalut tidak karuan ini, Titiek Sariningsih tidak sabar lagi dan sudah membantu Kebo Kuning untuk merobohkan Sela Kencana. Sebaliknya nenek buruk dan bongkok Damayanti tidak mau terjun dan membantu.
Mengapa?
Pertama ia ingin memberi kesempatan kepada adik seperguruannya itu agar dengan tangannya sendiri dapat membunuh musuh besarnya. Dan alasan yang ke dua. dirinya seorang sakti mandraguna. Seorang diripun sanggup merobohkan Sela Kencana itu. Maka apa bila Kebo Kuning sudah tidak sanggup lagi mengalahkan Sela Kencana dan minta bantuannya, ia baru mau melakukan apa bila Kebo Kuning mundur.
Adapun Hesti Wiro, setelah menyaksikan semua peristiwa yang terjadi, segera mempunyai pendapat bahwa semua ini adalah Sela Kencana yang menjadi gara-gara. Teriaknya kemudian,
"Huh, semua ini bukan lain adalah hasil pekerjaan kepala rampok Sela Kencana! Menjadi kewajiban kita untuk membekuk dahulu penjahat ini !"
Setelah berteriak, Hesti Wiro sudah melompat dan ikut menggempur Sela Kencana.
"Awas, sambutlah jarumku!"
teriak Sela Kencana, yang tidak gentar sedikitpun menghadapi pengeroyoknya.
Mereka semua tahu bahwa Sela Kencana dapat melepaskan jarum tanpa diketahui caranya bergerak. Mendengar ini mereka sudah melompat mundur untuk menghindari sambaran jarum itu. Tidak tahunya bahwa teriakan itu hanyalah tipu muslihat saja. Ketika tiga lawannya melompat mundur, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sela Kencana untuk menjejakkan kaki,, lalu melompat lewat jendela .
Kebo Kuning dan Titiek Sariningsih menguber.
Akan tetapi dua orang muda ini sudah disambut dengan hujan jarum. Terpaksa gerakan mereka tertunda untuk menghalau semua jarum itu. Dan kesempatan ini digunakan sebaik baiknya oleh Sela Kencana untuk kabur.
Di lain saat terdengar suara teriakan kesakitan dari empat orang pengawal yang berusaha menghalangi Sela Kencana. Ternyata mereka itu roboh oleh sambaran jarum. Melihat ini nenek bongkok itu sudah berteriak kepada para pengawal,
"Hei! Mengapa tidak kaukejar? Dia itulah penjahat yang sudah meracuni Gusti Pangeran Kajoran!"
Teriakan ini tentu saja membuat semua pengawal kaget. Wajah mereka menjadi pucat. Kalau benar Pangeran Kajoran Sampai celaka, mereka semua takkan terluput dari hukuman.
Di saat semua orang kaget menggunakan kesempatan ini Damayanti segera menarik tangan
Kebo Kuning dan Titiek Sariningsih. Bisiknya,
"Marilah kita pergi!"
Dua orang muda inipun tidak membantah. Akan tetapi sebelum melangkah pergi dari pendapa yang banyak menimbulkan korban tewas dan terluka itu, Kebo Kuning masih memalingkan mukanya untuk melihat Sungsang, ayahnya sendiri. Bagaimanapun, terasa agak sedih juga pemuda ini, menyaksikan kebinasaan ayahnya sendiri di depan orang banyak dan ia tidak dapat merawat sebagai seorang ayah. Katanya dalam hati,
"Ayah, maafkan anakmu yang tidak berbakti. Ayah, engkau sendiri yang menyebabkan semua gara-gara ini..: Kalau engkau tidak menyia-nyiakan ibu di saat hamil tua, dan membuat ibuku sengsara, tentu aku akan mengasihi engkau sebagai ayah. Tetapi hemm... bagaimanapun engkau tetap ayahku........"
Sesudah itu, sambil msnghela napas berat ia melangkah bersama Titiek Sariningsih dan Damayanti.
Sebaliknya, betapa menyesal hati Titiek Sarihingsih. setelah tahu bahwa musuh besarnya dan bernama Sungsang itu, adalah ayah Kebo Kuning. Walaupun benar Sungsang telah binasa dan telah memetik buah yang ditanam sendiri, namun kebinasaan Sungsang bukan oleh tangannya. Akan tetapi di samping penyesalannya, timbul pula perasaannya yang iba kepada pemuda gagah Kebo Kuning ini, di samping pula kagum. Kekaguman gadis ini tak lain, bahwa bagimanapun buruknya sang ayah, namun Kebo Kuning tetap mau mengakui. Dan betapa bencinya kepada sang ayah namun pemuda
itu masih tetap menghargai dan menghormati sebagai Syah. Sikap Kebo Kuning ini pantas menjadi contoh. Bahwa bagaimanapun buruknya sang ayah masih tetap sebagai ayahnya. Dan bagaimanapun, berarti juga bahwa Kebo Kuning ini seorang anak yang berbakti kepada ayahnya.
Bukankah di dunia ini banyak kali terjadi, seorang anak yang lupa kepada orang tuanya setelah mempunyai kedudukan tinggi?
Atau juga mempunyai seorang isteri yang berkedudukan tinggi?
Sebabnya bukan lain adalah rasa malu. Bahwa orang tuanya adalah seorang yang tidak lebih hanya seorang rakyat jelata. Yang
hidup sebagai seorang petani di desa atau di gunung.
(Bersambung Jilid 20)
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 20
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat
Jilid 20
*****
AKAN TETAPI perjalanan untuk keluar dari gedung ini, tidak mudah bagi tiga orang muda itu. Mereka dicegat oleh beberapa orang pengawal bersenjata. Terpaksa mereka harus menggunakan kepandaian maaing-masing untuk merobohkan pengawal yang berusaha menghalangi.
Ketika mereka berhasil keluar dari gedung Pangeran Kajoran yang dilindungi oleh pagar tembok yang tinggi ini, ternyata matahari sudah mulai bergeser ke arah barat. Namun demikian sinarnya gemilang dan tiga orang muda ini terpaksa harus bergerak cepat. Sebab di saat itu mereka telah melihat banyaknya perajurit yang bergerak ke rumah Pangeran Kajoran ini, untuk memadamkan terjadinya kerusuhan. Belum jauh mereka meninggalkan rumah Pangeran Kajoran, mereka telah dihadang oleh seorang nenek yang wajahnya bopeng dan bongkok pula.
Titiek Sariningsih kaget setengah mati. Ia mengira bahwa sekarang ini mereka dihadang oleh seorang nenek sakti mandraguna. Akan tetapi sebaliknya Damayanti yang masih juga mengenakan kedok penutup muka sebagai nenek buruk rupa itu sudah melompat kemudian memeluk nenek itu sambil berseru,
"Ibu......!"
Mendengar seruan Damayanti yang menyebut nenek bopeng itu "ibu", barulah Titiek Sariningsih dan Kebo Kuning sadar, bahwa nenek wajah bopeng itu sebenarnya ibu Damayanti yang menyamar. Maka dua orang muda ini segera memberikan hormatnya.
"Sudah, bangunlah!"
kata nenek bopeng itu.
"Masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan. Mari, kita susul ayahmu di luar kota."
Dengan melangkah paling depan nenek bopeng yang ternyata ibu Damayanti ini, menjadi penunjuk jalan. Mereka bergerak cepat lewat jalan jalan kecil yang berliku-liku. Setiap penduduk kampung yang melihat berkelebatnya bayangan yang cepat itu, merasa kaget. Akan tetapi bagaimanapun tidak merasa heran. Sebab mereka udah tahu bahwa di kota raja ini, sekarang sedang berkumpul ratusan orang tokoh sakti. Tentunya mereka ini merupakan sebagian dari mereka yang sedang berkumpul ini.
Tak lama kemudian mereka sudah agak jauh meninggalkan kota Karta. Mereka mulai menginjakkan kaki pada perbukitan yang tak jauh dari desa Wonokromo. Tiba-tiba wajah Kebo Kuning berobah, sambil mempertajam pendengaran telinganya;
"Ada suara orang sedang bertempur."
desisnya.
"Ya, mungkin sekali gurumu yang sedang berkelahi!"
sahut ibu Damayanti.
"ha.."
Kebo Kuning kaget.
"Berkelahi dengan siapa?"
"Mungkin sedang berkelahi melawan musuh besarmu, Sela Kencana."
"Ahh, bangsat itu....."
Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun

Cari Blog Ini