Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 17

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 17


seru Kebo Kuning.
Akan tetapi ucapan itu dipotong oleh Damayanti,
"Kebo Kuning! Orang yang bernama Sela Kencana itu bagaimanapun adalah seorang sakti mandraguna. Jangan engkau memaksa diri melawan dia, engkau tidak mungkin menang."
Pemuda ini terdiam dan menundukkan muka. Ia memang tidak dapat membantah benarnya ucapan mbakyu seperguruannya ini. Bukan saja Sela Kencana seorang sakti mandraguna. Tetapi senjata rahasia jarumnya itu, amat berbahaya. Sambarannya tidak tampak dilihat. Hingga ayahnya tadi, telah binasa tanpa dapat membela diri sedikitpun. Maka walaupun hatinya merasa penasaran sekali kepada Sela Kencana yang telah menyebabkan ibunya mati menggantung diri, namun ia tak dapat berbuat apa-apa.
Dengan gerakan yang cepat, tak lama kemudian tibalah mereka pada perbukitan yang agak gundul. Pada puncak bukit itu hanya ditumbuhi oleh rumput-rumput yang gersang. Karena rumput rumput itu kekurangan air akibat masa kemarau yang panjang. Dan ketika empat orang ini mencapai puncak bukit itu, ternyata dugaan ibu Damayanti benar. Sela Kencana sedang berkelahi melawan seorang kakek bertubuh kurus dengan wajah tertutup oleh secarik kain hitam.
"Ihh......!"
seru Titiek Sariningsih tertahan.
'Ada apa?"'tanya ibu Damayanti.
"Hi-hi-hik,"
tiba-tiba Titiek Sariningsih tertawa sebelum memberikan jawabannya.
"Baru aku tahu sekarang, bahwa orang berkedok yang mengacau di gedung Pangeran Kajoran kemarin, bukan lain ayah sendiri."
"Untung kita segera datang!' desis Damayanti.
"Ternyata Sela Kencana bukan seorang diri."
Semula baik Titiek Sariningsih maupun Kebo Kuning heran mendengar ucapan Damayanti. Akan tetapi setelah menyelidik, dua orang muda ini segera dapat melihat, bahwa orang yang dimaksud terlindung di balik rumpun pohon bambu. Mereka tiga orang, dan bukan lain adalah orang-orang beracun Tali Wangke, Arga Suta dan Nyi Durgagini.
"Kamu jangan sembrono menghadapi tiga orang beracun itu,"
pesan ibu Damayanti.
"Mereka amat berbahaya. justeru racunnya amat jahat. Maka apa bila nanti sampai terjadi perkelahian dengan tiga orang beracun itu, engkau Titiek Sariningsih dan Kebo Kuning harus menjauhkan diri dari gelanggang."
Titiek Sariningsih dan Kebo Kuning mengangguk tanda mengerti. Dan dua orang muda ini memang sadar betapa bahayanya tiga orang itu. Ketika tiga orang itu hadir di tengah pertemuan yang diselenggarakan oleh Pangeran Kajoran, mereka telah melihat bagaimanakah sepak terjang orang-orang beracun itu. Amat berbahayalah bagi mereka yang tidak mempunyai pengetahuan tentang racun.
Perkelahian seorang lawan seorang yang terjadi antara Damarjati dengan Sela Kencana itu berlangsung amat sengit. Mereka sama-sama bertangan kosong, akan tetapi bahayanya tidak kalah dengan perkelahian yang menggunakan senjata. Sambaran pukulan mereka dahsyat sekali melanda daerah sekitarnya. Malah di antara pohon pohon kecil yang tumbuh di sekitar tempat pertempuran, telah bosah-basih berantakan.
Akan tetapi walaupun tidak bersenjata, Sela Kencana masih menyimpan senjata rahasia jarum pada terumpahnya. Maka disamping harus menghadapi serangan-serangan Sela Kencana yang dahayat dan bertenaga, sesungguhnya Damarjati harus Waspada pula terhadap sambaran senjata rahasia jarum yang dilepaskan secara tidak terduga. Gerakannya tidak tampak dan tahu-tahu jarum sudah menyambar.
Namun sesungguhnya saja, sebabnya Damayanti sekeluarga pergi meninggalkan Gunung Wilis ini, tujuan yang utama bukan untuk menghadapi Sela
Kencana saja. Memang ada beberapa sebab dan persoalan yang harus dihadapi dan diselesaikan sekaligus. Pertama, mereka perlu membayangi dan membantu usaha Kebo Kuning alias Satrya Utama ini untuk membalas sakit hati kepada ayah kandungnya dan kepada Sela Kencana. Yang ke dua, berusaha menggagalkan usaha Pangeran Kajoran untuk mengadu domba antara orang orang sakti, Sebab dengan pengadudombaan ini, akan membuat orang orang saling bunuh dan bermusuhan. Sesungguhnya Damayanti sekeluarga tahu juga maksud Pangeran Kajoran itu. ialah untuk dapat mengetahui mana mana orang sakti yang tunduk dan sedia menyerahkan jiwa raganya guna pembangunan Mataram, dan mana-mana pula orang sakti yang membandel dan mementingkan kebutuhan sendiri. Akan tetapi walaupun demikian, jalan yang ditempuh dengan mengadu domba, dengan perkelahian ini, bisa menimbulkan akibat akibat luas yang tidak baik. Dan itulah sebabnya keluarga ini menentang dan tidak setuju. Adapun yang ke tiga, keluarga ini sudah menduga bahwa Tali Wangke dan murid-muridnya yang jahat itu tentu datang pula ke Mataram. Mereka adalah ahli-ahli racun yang jahat di samping ganas. Maka Damayanti sekeluarga merasa khawatir kalau Tali Wangke dan murid muridnya itu melakukan penjagalan dengan racun. Yang akibatnya di samping akan timbul banyak korban dalam pertemuan itu, juga dapat membahayakan pula Pangeran Kajoran sekeluarga, dan juga orang-orang lain yang tidak berdosa.
Agaknya sudah menjadi kehendak Tuhan Yang
Maha Agung. Bahwa keluarga Damayanti hanya akan muncul dalam pergaulan masyarakat, di saat saat bahaya mengancam dunia. Dan agaknya sudah ditakdirkan Tuhan pula, bahwa keluarga ini merupakan juru selamat bagi ribuan manusia yang terancam oleh malapetaka. Kiranya para pembaca yang budiman belum lupa, bahwa dalam buku yang berjudul "Jaka Pekik"
dan "Ratu Wandansari"
yang mengawali cerita "Perawan Lola"
ini, telah menceritakan secara gamblang. Dahulu, Damayanti muncul pertama kali dalam pergaulan masyarakat, namanya tidak dikenal. Orang hanya mengenal dengan nama "gadis baju kuning". Sepak-terjangnya mengagumkan, di samping menimbulkan giris dan miris bagi mereka-mereka yang sengaja melakukan perbuatan-perbuatan jahat di dunia ini. Akan tetapi sebaliknya kemunculannya disambut dengan gembira oleh orang-orang yang mengabdikan diri kepada perbuatan-perbuatan baik dan mulia.
Sebab dengan munculnya Damayanti waktu itu, bukan saja dapat membongkar rahasia kejahatan yang dilakukan oleh Cinde Amoh. Yang dengan akal licik dan tipu muslihatnya telah berhasil menguasai Perguruan Kendeng. Dan sebagai akibat terbongkarnya kejahatan Cinde Amoh yang menyamar dengan nama Kasim dan berhasil menyelundup ke dalam Perguruan Bligo, yang kemudian akan mengadakan perebutan kekuasaan pula, akhirnya dapat terbongkar pula. Hingga Perguruan Bligo selamat dari bencana. Di samping Damayanti dapat menggagalkan usaha-usaha jahat Cinde Amoh,
juga berhasil menggagalkan usaha Rara Inten yang bertujuan kurang baik.
Dan sekarang, usaha Damayanti sekeluarga sudah hampir mendekati selesai. Sekarang ini empat orang jahat sudah berkumpul. Sela Kencana telah terlibat dalam perkelahian sengit dengan Damarjati. Melihat ini, Damayanti menjadi tidak sabar lagi. Kedok penyamarannya sudah dibuka, kemudian disimpan di balik bajunya. Tubuhnya yang semula dibongkokkan, sekarang tegak kembali. Dan dengan demikian, kalau beberapa saat tadi Damayanti masih merupakan seorang nenek bongkok dan berwajah berkerut-kerut, sekarang telah menjelma sebagai seorang gadis cantik jelita. Yang akan membuat setiap mata laki-laki terpesona jadinya.
Damayanti tersenyum, mengamati ibunya sambil tertawa.
"Ibu! Mengapa engkau belum juga membuka kedok penyamaranmu? Hi-hi-hik, bukankah sekarang sudah tiba waktunya kita harus menyelesaikan tiga orang jahat dan beracun itu?"
Ibunya tertawa pula. Kemudian, tangan kanan bergerak mengusap pada wajah. Melihat apa yang dilakukan oleh Nyai Damarjati ini, Titiek Sariningslh yang berdiri di sampingnya menjadi kagum. Ternyata ibu Damayanti bukan mengenakan kedok penyamaran. Melainkan hanya menggunakan alat alat rias, sehingga kuasa merobah wajahnya yang aseli. Dan sekarang,
setelah wajah yang semula bopeng itu hilang, maka wajah perempuan ini kembali cantik seperti semula. Dan walaupun usia ibu Damayanti sudah sekitar limapuluh tahun. namun
wajah itu masih halus dan tidak berkerut sedikitpun. Sisa-sisa dari penyamarannya sebagai nenek, tinggal rambut kepalanya yang masih tampak putih.
"Titiek dan engkau Kebo Kuning,"
kata ibu Damayanti kemudian.
"Berhadapan dengan tiga iblis itu tidak boleh sembrono. Sebab mereka merupakan ahli-ahli racun yang ganas dan berbahaya. Guna menjaga segala sesuatu yang tidak kita harapkan, makanlah obat ini masing-masing sebutir."
Ibu Damayanti segera memberi kepada dua orang muda itu dua butir obat kering. Masing -masing sebutir. Setelah dua orang muda itu langsung menelan obat kering pemberiannya itu, ibu Damayanti berkata lagi,
"Akan tetapi kekuatan obat itu hanya untuk seperempat hari saja. Kalau dalam waktu itu aku dan Damayanti belum berhasil mengalahkan iblis-iblis itu, hendaknya kamu mengulang dengan makan lagi sebutir. Nih, simpanlah masing-masing empat butir. Jangan lupa, kamu harus mengulang pada waktunya yang tepat."
Dua orang muda itu menerima pemberian persediaan obat itu. Lalu masing-masing menyimpan di balik baju.
"Nah sekarang, lekas kamu menyingkir di tempat agak jauh!"
kata ibu Damayanti lagi.
"Apapun yang terjadi, janganlah kamu mencoba untuk mendekat ke tempat perkelahian. Udara dalam perkelahian nanti akan berubah beracun. Orang yang berani mendekati, lebih dahulu harus mencari cadangan nyawa."
"Murid mengerti, ibu."
sahut Kebo Kuning dan
Titiek Sariningsih hampir berbareng.
Dan kemudian dua orang muda ini menuju ke tempat yang agak jauh. Akan tetapi kalau Damayanti maupun ibunya telah kembali pada wajah yang aseli, sebaliknya Titiek Sariningsih masih tetap mengenakan kedok penutup mukanya yang buruk.
Demikianlah, sesudah Kebo Kuning dan Titiek Sariningsih menempatkan diri di tempat yang cukup jauh, Damayanti dan ibunya segera melangkah menuju ke tempat Tali Waugke dan murid-muridnya
menempatkan diri.
Sesungguhnya, kehadiran mereka ini semenjak tadi telah diketahui oleh Tali Wangke maupun murid-muridnya. Namun karena tiga orang ini merasa tidak kenal kepada empat orang yang baru muncul itu, maka mereka tidak memperhatikan. Mereka lebih tertarik kepada perkelahian yang terjadi antara Damarjati dengan Sela Kencana. Dan dalam hati mereka, diam diam sudah memutuskan untuk membantu Sela Kencana, apa bila orang ini sampai terdesak lawan.
"Hai Tali Wangke! Apa kerjamu di situ?"
teriak Damayanti yang sudah menempatkan diri di tempat terbuka. Berdampingan dengan ibunya.
Tali Wangke dan muridnya memalingkan muka dengan malas. Dalam hati mereka mencaci, siapakah yang berani mengganggu keasyikan mereka menonton perkelahian yang menarik ini?
Akan tetapi setelah mereka melihat, mereka menjadi kaget dan wajah mereka berobah. Timbul pula rasa heran dalam hati mereka.
Mengapa penghuni Wilis ini berada pula di sini?
Namun setelah melihat bahwa yang muncul itu hanya Damayanti dan ibunya, sedang Damarjati tidak tampak, guru dan murid ini agak merasa lega. Sebab walaupun ibu dan anak itu merupakan dua orang sakti mandraguna, tetapi mereka hanya perempuan.
Apa yang harus ditakutkan?
Tampaknya aneh, tetapi tidak aneh!
Mereka tidak mengenal, bahwa kakek yang sedang terlibat dalam perkelahian sengit dengan Sela Kencana itu, sesungguhnya Damarjati.
Apa sebabnya?
Soalnya Damarjati bukan hanya sekedar mengenakan kedok kain. Tetapi juga merobah warna muka, pakaian dan suaranya. Hingga Tali Wangke maupun muridnya, sama sekali tidak sadar akan kehadiran Damarjati.
"Hemm,"
dengus Tali Wangke dingin.
"Engkau berani mengganggu keasyikan kami?"
Damayanti cepat menjawab,
"Mengapa tidak? Dosamu sudah setinggi gunung. Terlalu lama dibiarkan hidup, engkau bersama muridmu hanya akan menimbulkan malapetaka bagi umat manusia yang tak bersalah."
'Heh-heh-heh, sombongnya !"
ejek Tali Wangke.
"Bukan aku yang tidak boleh hidup terlalu lama. Akan tetapi kamu ibu dan anak."
Sambil berkata ini, Tali Wangke telah melepaskan empat butir senjata rahasia. Cara melepaskannya sedemikian menakjubkan, karena tidak disambitkan dan hanya disentil dengan jari tengah. Empat butir kelereng besi yang beracun itu, segera menyambar cepat sekali ke arah ibu dan anak ini. Akan tetapi serangan yang tiba-tiba itu hanya disambut oleh suara ketawa Damayanti. Tiba-tiba melesatlah sinar kuning yang panjang dari tangan kanan. Dan ternyata sinar yang panjang dan kuning itu adalah selendang sutera, senjata lemas tetapi banyak ditakuti lawan. Sekali bergerak empat butir kelereng besi yang dilepaskan oleh Tali Wangke telah tergulung. Dan sekali menyentak, empat butir kelereng beracun itu telah berbalik arah menyerang ke arah pemiliknya.
Walaupun baik Tali Wangke maupun muridnya takkan menderita apa-apa oleh racun yang dilumurkan pada kelereng besi itu, namun mereka tidak berani gegabah menyambut. Sebab kelereng besi itu menyambar dahsyat sekali. Maka yang dilakukan oleh mereka ini, hanya menghindar ke samping.
Tetapi mereka adalah guru dan murid yang tidak malu melancarkan serangan-serangan curang. Mereka bukan hanya sekedar menghindar saja. Akan tetapi berbareng itu, guru dan murid ini telah melepaskan senjata-senjata rahasia belasan buah banyaknya, dan aneka macam pula bentuknya.
"Manusia curang !" bentak ibu Damayanti, dan berbareng itu telah meluncur belasan buah senjata rahasia guna membentur dan menghancurkan senjata rahasia lawan.
Damayanti tidak ketinggalan pula. Disamping ia menggerakkan selendang suteranya untuk menggulung senjata rahasia lawan itu, iapun menggunakan tangan kirinya dan menyambut senjata rahasia lawan itu.
"Tar-tar-tar......!"
senjata rahasia Damayanti berledakan di udara ketika berbenturan dengan senjata rahasia lawan.
Senjata rahasia itu memang semacam petasan. Akan tetapi di dalam petasan telah diisikan pula semacam racun ringan, yang apa bila meracuni udara akan menimbulkan akibat rongga hidung orang akan menjadi geli. Dan dengan demikian, orang akan tak dapat lagi untuk menahan, ingin berbangkis terus menerus. Walaupun racun itu hanya menimbulkan akibat kepada orang untuk berbangkis, tetapi di dalam setiap perkelahian, berbangkis ini bisa menimbulkan akibat yang amat buruk. Akan menyebabkan gerakan orang tertunda atau terlambat. Yang kemudian akan merugikan.
Sengaja pada kesempatan ini Damayanti melepaskan senjata rahasia semacam itu. Senjata rahasia yang sudah dipersiapkan lama, guna menghadapi Tali Wangke dan murid-muridnya yang beracun. Sebab apa bila lengah sedikit saja, atau Tali Wangke sempat menggunakan racun-racunnya yang amat berbahaya, bisa menimbulkan akibat yang lebih luas lagi. Udara di sekitar daerah ini akan menjadi kotor. Dan kemudian akan bisa menimbulkan korban kepada penduduk desa yang tidak berdosa.
Namun di samping untuk dapat mendahului
Tali wangke dan murid muridnya, Damayanti mempunyai maksud yang lebih jauh. Ia mengerti bahwa Sela Kencana seorang licik. Dan walaupun tampaknya dalam melawan ayahnya hanya bertangan kosong, namun Sela Kencana menyimpan senjata rahasia jarum dalam terompahnya. Untuk mencegah ayahnya celaka berhadapan dengan Sela Kencana itu, maka diam-diam ia membantu dengan sambitan senjata rahasia itu,
Memang pendirian Damayanti lebih tegas apa bila dibanding dengan ayah bundanya. Kalau ayah bundanya selalu berpegang teguh akan kejujuran dan sifat-sifat ksatria dalam menghadapi lawan, Damayanti tidak. Kejujuran dan sifat-sifat ksatria memang menjadi dasar bagi setiap orang yang selalu mendekatkan diri kepada perbuatan yang mulia. Dan untuk menundukkan dan mengalahkan lawan, pantang untuk melakukan perbuatan curang. Akan tetapi sekalipun demikian Damayanti masih pilih-pilih. Apa bila sedang berhadapan dengan manusia-manusia yang tidak licik dan banyak tipu muslihatnya, Damayantipun pantang menggunakan akal licik. Sebaliknya apa bila berhadapan orang orang jahat seperti Sela Kencana dan yang lain ini, yang setiap saat sanggup menggunakan akal keji, dalam bertindak ia tidak tanggung-tanggung.Damayanti sadar bahwa apa bila kalah dahulu bertindak, dapat menderita rugi. Dan kalau sudah terlanjur, orang hanya dapat menyesal dan getun.
Damayanti tidak ingin menyesal dan getun. Dan iapun tidak mau menderita rugi. Ia amat ingin
menjaga agar manusia-manusia jahat ini tidak sempat mendahului dengan racun yang berbahaya. Maka dalam dua gebrakan saja, Damayanti sudah menggunakan senjata rahasia berisi racun ringan ini.
Dan dalam melepaskan senjata rahasia inipun, Damayanti sengaja melepaskan dalam jumlah agak banyak. Di samping untuk membentur senjata rahasia lawan, iapun melepaskan kearah Sela Kencana yang sedang berkelahi sengit dengan ayahnya.
Sebagai seorang tokoh sakti, Sela Kencana tidak pernah lengah menghadapi segala serangan orang. Ketika merasakan sambaran angin ke arah punggungnya, Sela Kencana hanya membalikkan tangan untuk memukul ke belakang. Dua buah senjata rahasia runtuh ke tanah dan meledak. Sedang dua buah yang lain meluncur agak jauh dan meledak pula setelah terbentur oleh tanah.
Sela Kencana tidak sempat untuk mengurusi siapa yang sudah melepas senjata rahasia dan dapat meledak itu. Karena dirinya sedang ditekan oleh serangan serangan Damarjati, yang makin lama menjadi semakin hebat. Dalam usahanya untuk segera dapat mengalahkan lawan ini, sudah belasan jumlahnya senjata rahasia berujud jarum yang dilepaskan. Akan tetapi sayang bahwa semua itu luput
Tetapi tiba-tiba sela Kencana merasakan, bahwa rongga hidungnya terasa geli. Ia sudah berusaha menyalurkan hawa sakti untuk dapat mengusir rasa geli itu, di samping mencegah agar tidak berbangkis. Akan tetapi ternyata usahanya itu sia sia belaka. Tiba-tiba ia berbangkis. Sekali berbangkis, hidungnya terasa ingin berbangkis lagi. Dan gangguan bangkis ini, bagaimanapun mempengaruhi pula gerak tata kelahinya. Untung juga ia seorang tokoh jarang tandingan. Walaupun berbangkisnya ini mengakibatkan menderita rugi, namun ia dapat bertahan oleh bantuan jarumnya.
Tali Wangke dan dua orang muridnyapun berbangkis-bangkis. Justeru di saat guru dan murid ini belum sempat untuk melawan pengaruh itu dengan obat yang tersedia, Damayanti dan ibunya telah menerjang maju. Damayanti menggunakan senjata selendang. Ibunya bersenjata pedang. Damayanti langsung melihat Arga Suta dan Nyi Durgagini. Adapun ibunya berhadapan langsung dengan Tali Wangke yang bersenjata tongkat. Tetapi walaupun tampaknya hanya sebatang tongkat yang tumpul, tongkat itu amat berbahaya. Bukan saja berat, tetapi tongkat itu dilumuri racun.
Serangan ibu dan anak ini, menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan bagi guru dan murid itu. Sebab pengaruh racun tadi, menyebabkan rongga hidung mereka geli dan ingin berbangkis. Gangguan ini tentu saja membuat mereka harus bekerja lebih keras. Benturan tongkat Tali Wangke dengan pedang ibu Damayanti segera terdengar berdencingan berturut-turut. Akan tetapi oleh pengaruh hidung yang selalu bersin, menyebabkan tongkat Tali Wangke selalu terpental setiap berbenturan dengan Pedang lawan. Dan hanya berkat keuletannya saja, sambaran pedang lawan masih dapat dihindari.
Arga Suta dan Durgagini juga terus menerus berbangkis. Arga Suta bersenjata sabit panjang beracun, sedang Durgagini bersenjata belati panjang. Akan tetapi dua macam senjata itu tidak pernah berhasil menyentuh ujung baju Damayanti. Senjata itu selalu terpental oleh sambaran selendang Damayanti yang dapat bergerak seperti ular hidup. Dalam waktu singkat, sekalipun mereka mengeroyok, terpaksa harus di bawah angin. Karena gerakan mereka selalu diganggu oleh hidung yang geli dan terus menerus berbangkis. ,
Sementara itu Sela Kencana menjadi kaget dan gelagapan, ketika hidung geli
dan terus-menerus berbangkis. Pertahanannya menjadi agak kendor dan serangan balasannya selalu tidak berarti. Untuk menutup kelemahannya ini, terpaksa Sela Kencana harus lebih banyak melepaskan jarum dari alat rahasianya. Namun sayang sekali, sambaran jarum itu selalu luput dan berhasil dihindari Damarjati.
Melihat akibat yang harus diderita oleh empat orang lawan itu, sekarang Titiek Sariningsih dan Kebo Kuning baru sadar. Bahwa senjata yang dilepaskan oleh Damayanti dan dapat meledak itu, mengandung racun yang dapat menyebabkan orang terus-menerus berbangkis. Akan tetapi karena mereka berdua telah menelan obat pemunah pemberian Damayanti, maka tidak menderita akibat seperti empat orang itu.
Dua orang muda ini tidak saling bicara, sekalipun mereka dalam jarak yang berdekatan. Tidak tahu mengapa sebabnya. Apakah mereka malu karena mereka pernah saling serobot ketika itu, ataukah karena mereka dalam keadaan tegang melihat perkelahian yang amat sengit itu. Tetapi yang jelas sepasang mata masing-masing tidak berkedip, mengamati ke arah mereka yang sedang berkelahi. Angin menderu deru melanda sekitar gelanggang, dan dencing senjata yang berbenturan terdengar berturut turut.
Sela Kencana melancarkan serangan berantai dan bertenaga penuh ke arah lawan. Di samping itu, senjata rahasia jarum menyambar Damarjati seperti gerimis. Baik serangan pukulan itu, maupun serangan jarum dari alat rahasia, adalah sama-sama berbahayanya. Maka Damarjati tidak berani sembrono, dan sibuk pula dalam usahanya menghindari sambaran jarum itu. Sebab walaupun jarum tersebut tidak mengandung racun namun kalau mengenakan sasaran secara tepat, bisa mengakibatkan kelumpuhan.
Di saat Damarjati sibuk menyelamatkan diri dari serangan ini, tiba-tiba terdengar lengking Sela Kencana yang nyaring. Dan menggunakan kesempatan di saat lawan meruntuhkan serangan jarumnya, tubuh Sela Kencana sudah berkelebat untuk melarikan diri. Sela Kencana merasa tidak tahan lagi, setelah diserang oleh bersin yang terus-menerus. Ia bukan seorang tolol. Ia sadar bahwa serangan bersin ini bukan secara kebetulan. Dan jalan yang
paling selamat lebih baik melarikan diri sebelum terlambat.
Kalau yang berhadapan dengan Sela Kencana ini bukan Damarjati, melihat lawan melarikan diri tentu mengejar.
Tetapi Damarjati tidak!
ia hanya berdiri sambil mengamati kepergian Sela Kencana dan menghela napas berulang ulang. Ia merasa malu untuk mengejar, dan menyalahkan diri sendiri. mengapa tidak mampu mengalahkan Sela Kencana.
Akan tetapi pendapat Damarjati ini berbeda dengan Kebo Kuning. Melihat Sela Kencana melarikan diri dan gurunya tidak mau mengejar ini, ia penasaran. Pemuda ini melengking nyaring, mengejar Sela Kencana sambil berteriak,
"Jangan lari!"
"Hai, jangan!"
teriak Damarjati yang berusaha mencegah.
Tetapi sudah terlambat. Menyusul terdengar teriakan nyaring dari mulut Kebo Kuning, tubuhnya terhuyung huyung ke belakang lalu roboh. Peristiwa tidak terduga-duga ini menyebabkan Damarjati dan Titiek Sariningsih kaget. Kemudian mereka berlarian menghampiri Kebo Kuning.
Apa yang terjadi memang di luar dugaan pemuda ini. Ketika jaraknya tinggal dua tombak lagi,tiba tiba Sela Kencana membalikkan tubuh lalu melesatlah belasan jarum dari alat rahasia. Kebo Kuning sudah memutarkan pedangnya untuk melindungi diri.
Namun masih ada juga sebatang jarum yang lolos
dan menghunjam bawah tulang rusuk. Masih untung bahwa Kebo Kuning tidak menderita cukup parah. Akan tetapi dengan lukanya itu memerlukan istirahat pula sekalipun telah diobati oleh Damarjati.
"Sayang bangsat itu lolos....."
desis pemuda ini.
Desis yang setengah meratap, tetapi juga setengah menyesalkan gurunya yang membiarkan Sela Kencana lolos.
"Tidak perlu engkau sesalkan,"
hibur Damarjati.
"Orang yang bersalah, akan datang pula saatnya memperoleh hukumannya,"
Titiek Sariningsih tidak ikut membuka mulut. Gadis ini mengerti bahwa watak pemuda ini agak tinggi hati. Kalau dirinya ikut bicara bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan.
Ketika itu perkelahian antara tiga orang beracun melawan Damayanti dan ibunya, masih berlangsung cukup sengit. Tiga orang itu selalu berbangkis tiada hentinya, karena tidak memperoleh kesempatan untuk mengambil obat. Melihat itu Damarjati hanya menonton, sebab sudah tahu bahwa isteri dan puterinya di atas angin.
"Cuh-cuh-cuh.....!"
tiga kali ludah Tali Wangke menyembur dari mulut, menyerang ibu Damayanti.
Serangan ini tidak terduga duga dan membuat perempuan itu kaget. Untung juga selalu waspada dan tidak menjadi gugup. Dengan gerakan yang cukup gesit, semburan ludah itu tidak berhasil
mengenai tubuhnya maupun pakaiannya. Bagaimanapun semburan ludah menyebabkan perempuan ini jijik, di samping menimbulkan kemarahan. Dan malah, ludah itu tidak saja menyebabkan jijik, akan tetapi ludah dari ahli racun itu tentu juga amat beracun, melebihi ludah ular berbisa. Apa bila sampai mengenakan tubuh orang, akan menjadi keracunan.
Kalau ibu Damayanti jijik terhadap ludah itu, sebaliknya dengan serangan licik ini Tali Wangke memperoleh kesempatan yang amat bagus. Di samping ia dapat mengambil obat untuk melawan bersin, iapun memperoleh kesempatan untuk memunahkan tekanan. Hingga ia sekarang memperoleh kesempatan untuk membalas.
Obat yang ditelan oleh Tali Wangke itu merupakan obat mustajab anti racun. Dalam waktu singkat saja, ia sudah terbebas dari keinginan untuk berbangkis. Semangatnya menyala kembali, dan ia dapat melawan lebih mantap. Tongkatnya yang beracun dan berbahaya itu menyambar-nyambar dahsyat. Malah pengalamannya tadi, yang menggunakan semburan ludah membuat dirinya dapat bernapas, sekarang ia amat gembira. Serangan ludah itu selalu diulang apa bila ia menghadapi tekanan lawan. Dan ibu Damayanti yang sangat jijik tentu saja tidak ingin pakaiannya kotor, atau bagian tubuhnya terkena percikan ludah.
"Dar.....!"
ledakan itu walaupun tidak keras kuasa menyebabkan Damarjati dan Titek Sariningsih kaget. Sebab setelah terjadi ledakan, gelanggang perkelahian tadi menjadi gelap tertutup oleh asap hitam yang tebal.
Damarjati adalah seorang ksatria gagah perkasa yang selalu berpegang teguh kepada jiwa ksatria, maka pantang untuk melangkahkan kaki ke dalam gelanggang, sekalipun ia sadar, ledakan tadi terjadi oleh perbuatan Tali Wangke. Walaupun gelisah ia tetap di tempatnya berdiri. Hanya sepasang matanya saja yang mengamati ke gelanggang tidak berkedip.
Sementara itu di gelanggang, selendang sutera warna kuning senjata Damayanti, menyambar-nyambar seperti ular hidup untuk menyapu asap hitam yang tebal itu. Berkat kerja keras, tak lama kemudian asap tadi berhasil diusir. Akan tetapi sekarang tiga orang beracun tadi sudah tidak tampak batang hidungnya lagi. Agaknya menggunakan tabir asap tadi, guru dan murid itu telah melarikan diri.
Masih untung bahwa sejak sebelum bertanding dengan tiga orang itu, Damayanti dan ibunya sudah menelan sebutir obat pemanah segala racun. Kalau tidak, orang yang diserang dengan asap hitam itu, orang akan menderita akibatnya. Sebab asap hitam yang tebal itu mengandung racun yang amat berbahaya dan dapat mematikan.
Damayanti membantingkan kakinya, agaknya gadis ini menjadi gemas dan penasaran sekali, Tali Wangke dan muridnya berhasil lolos. Melihat keadaan anaknya itu. Damarjati segera menghampiri
dan menghibur,
"Sudahlah, mengapa harus kausesalkan? Kau sudah berusaha untuk membereskan orang-orang beracun itu. Akan tetapi kalau toh belum berhasil, tidak perlu engkau masygul. Percayalah bahwa yang baik akan memperoleh perlindungan Tuhan. Sebaliknya mereka yang batil, pada saatnya nanti akan datang hukuman Tuhan."
"Tetapi ayah,"
desis Damayanti.
"Dengan kegagalan ini berarti perjalanan kita ini tidak memberi hasil apa-apa."
"Heh-heh-heh."
ayahnya terkekeh.
"Mengapa sebabnya engkau berkata demikian?".
"Buktinya kita tidak dapat meringkus orang orang jahat itu. Orang yang amat berbahaya bagi kesejahteraan umat manusia."
"Bukannya tidak memberi hasil apa apa. Tetapi
yang benar, kita baru berhasil sebagian. Walaupun demikian, sepatutnya engkau merasa puas, Damayanti. Sebab dengan kepergian kita ke Mataram ini, sedikit banyak dapat mencegah perpecahan yang berlarut-larut akibat pertandingan yang diselenggarakan Pangeran Kajoran itu."
Damayanti menghela napas pendek. Lalu gadis ini mengamati Kebo Kuning yang agak pucat wajahnya. Ia menjadi heran, kemudian bertanya,
"Mengapa wajahmu pucat?"
"Dia terkena jarum Sela Kencana,"
sahut ayahnya.
'Ahhh, dia juga lolos?"
Damayanti tampak heran hampir tidak percaya. '
Dan ayahnya hanya mengangguk.
"Kasihan engkau, Kebo Kuning,"
desis Damayanti.
Kebo Kuning hanya menundukkan muka. Pemuda ini memang tampak amat masygul sekali, usahanya menghukum Sela Kencana gagal. Dan melihat muridnya yang tampak masygul ini, Damarjati merasa iba juga.
Akan tetapi apa harus dikata?
Ia tidak dapat mengejar kepada lawan yang sudah berusaha melarikan diri. Sebab menurut pendirian Damarjati, lawan yang sudah melarikan diri itu berarti mengakui kekalahan.
Melihat keadaan Kebo Kuning ini, walaupun hatinya timbul rasa yang kasihan, Titiek Sariningsih tertawa. Ia merasa memperoleh kesempatan untuk membalas. Membalas keangkuhan dan sikap pemuda ini pada beberapa waktu yang lalu.
"Apa yang engkau tertawakan?"
tegur Kebo Kuning yang merasa diejek.
"Aku tertawa sendiri, hi-hi-hik, Mengapa engkau merasa ?"
ejek gadis ini.
"Hemm, engkau tentu mentertawakan aku!"
Kebo Kuning geram.
"Kalau merasa, mengapa engkau masih bertanya ".
"Sudahlah,"
cegah ibu Damayanti.
"Mengapa harus bertengkar?"
'Tetapi dia mengejek murid,"
protes Kebo Kuning.
"Murid merasa, dia mentertawakan murid karena kegagalan ini."
"Huh, engkau ngawur saja!"
bantah Titiek Sariningsih.
"Lalu, engkau mentertawakan apa?"
tanya Damayanti.
"Aku mentertawakan orang yang cengeng, dan bisanya hanya masygul dan menyesal!"
sahutnya.
"Semuanya takkan dapat diselesaikan dengan masygul dan rasa sesal. Tetapi harus berusaha dengan kemampuan yang ada. Sekarang belum berhasil. Tetapi dengan bekerja keras, kemudian hari akan berhasil."
"Sudahlah jangan kamu berselisih."
Damarjati akhirnya mencegah.
"Sekarang pekerjaan di sini, bisa dikatakan telah selesai. Dan marilah kita sekarang pulang."
"Dan kau Titiek. ke manakah tujuanmu sekarang?"
tanya Damayanti.
Untuk sejenak gadis ini tidak dapat membuka mulut untuk menjawab. Ia memang belum tahu tujuan selanjutnya. Kedatangannya ke Mataram ini, bukan lain dalam usahanya mengubar Sungsang. Manusia itu sudah besar dosanya terhadap ibu kandung maupun orang tua angkatnya. Akan tetapi Sungsang sekarang telah mati. Walaupun tidak sesuai dengan cita-citanya dan mati di tangan orang lain, namun sekarang hutang-piutang itu telah lunas.
"Ke mana aku harus pergi?"
tanya hatinya kepada diri sendiri.
Ia memang bingung saat ini. Semula kedatangannya di Mataram ini, ia berharap
dapat bertemu juga dengan Sindu. Namun ternyata
Sindu tidak muncul dalam pertemuan di rumah Pangeran Kajoran. Tetapi sekarang gadis ini menjadi ingat. Tidak mengherankan apa bila Sindu tidak muncul dalam pertemuan itu. Sindu bekas seorang pengawal Mataram. Kemunculannya akan menarik perhatian, dan mungkin pula menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan.
"Agaknya engkau memang tidak mempunyai tujuan, Titiek,"
akhirnya ibu Damayanti yang menolong kesulitan gadis ini.
"Kalau demikian halnya, sebaiknya untuk sementara engkau ikut kami saja pulang ke Wilis. Sekarang engkau sudah dewasa anakku, sebagai seorang gadis, dan cantik pula, kurang patut apa bila engkau hanya pergi keluyuran seorang diri."
Agak merah pipi Titiek Sariningsih mendengar ini. Memang tidak pantas seorang gadis keluyuran seorang diri. Yang akibatnya bisa menimbulkan dugaan-dugaan-yang kurang patut. Dan sebelum Titiek Sariningsih dapat memutuskan ikut atau tidak, Damayanti sudah memegang lengannya, kemudian ajaknya,
"Mari! Engkau harus ikut kami ke Wilis."
Dan Titiek Sariningsih menurut saja dituntun dan diajak berlarian oleh Damayanti.
Dalam waktu singkat mereka telah terpisah jauh dengan Damarjati dan yang lain. Dan ketika memalingkan muka ayah bundanya belum juga tampak, akhirnya Damayanti berkata,
"sambil menunggu ayah dan ibu, mari kita duduk di bawah pohon
itu. Aku ingin bicara dengan engkau, Titiek."
"Bicara apa?"
Titiek Sariningsih merasa kaget mengamati Damayanti penuh selidiki
"Ada masalah penting yang akan aku bicarakan dengan engkau,
"
sahut Damayanti sambil menarik gadis ini, dan kemudian mereka duduk berdampingan di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah.
"Katakan, apa yang kausebut penting itu ?"
desak Titiek Sariningsih.
"Titiek, engkau sekarang telah dewasa:"
Damayanti memulai.
"Sudah adakah pilihan dalam hatimu untuk seorang laki-laki?"
Titiek Sariningsih membelalakkan sepasang matanya untuk sejenak. Pertanyaan ini di luar dugaannya sama sekali. Kemudian bibir gadis ini membentuk senyum sekulum. Disusul oleh suara ketawanya yang cekikikan. Kemudian katanya,
"Hi-hihik, hanya pertanyaan seperti itukah yang engkau anggap amat penting itu?"
Damayanti mendelik. Kemudian hardiknya,
"Jangan engkau anggap sepele pertanyaanku ini, Titiek. Engkau sudah dewasa. Dan sudah pantasnya pula, seorang gadis mempunyai pilihan untuk calon teman hidup. Apakah engkau kira, engkau akan hidup sendirian selama hidup? Apakah engkau tidak memikirkan keturunan yang amat dicitakan oleh setiap manusia? Titiek, engkau sudah aku anggap sebagai adik kandungku sendiri. Engkau tak boleh malu-malu di depanku. Jika sudah mempunyai pilihan katakan terus terang, demikian pula kalau memang belum."
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih masih menyambut ucapan Damayanti itu dengan ketawanya yang cekikikan. Kemudian lanjutnya.
"Engkau bilang aku sudah dewasa. Sekarang perkenankan aku bertanya pada engkau. Berapakah usia mbakyu sekarang ini?"
"Aku? Usiaku sudah lebih duapuluh lima tahun."
"Bukankah usia yang lebih banyak dibanding aku itu, berarti engkau lebih dewasa dibanding aku?"
"Hush! Tentu saja. Aku sudah lebih dahulu dewasa dibanding engkau, Titiek."
"Hi-hi-hik,"
Titiek Sariningsih kembali tertawa.
"Jika demikian, mengapa engkau yang sudah lebih dari dewasa, engkau sendiri malah belum kawin?"
Pertanyaan Titiek Sariningsih ini tidak terduga duga. Menyebabkan Damayanti terpukau untuk beberapa saat lamanya. Melihat itu, Titiek Sarimingsih makin keras tertawa, setengah mengejek kepada Damayanti.
Akan tetapi beberapa saat kemudian, sesudah Damayanti dapat menguasai perasaannya, ia menjawab,
"Titiek, kedudukanmu dan kedudukanku berlainan."
"Ihh. mengapa berlainan. Bukankah engkau Wanita dan akupun Wanita ?'
"Kau benar. Aku dan engkau memang sama-sama wanita. Namun demikian kedudukannya berlainan. Titiek, aku sekarang sudah tidak pernah berpikir lagi untuk kawin."
"Ih. mengapa?"
Titiek Sariningsih kaget.
"Jika engkau sendiri tidak berpikir untuk kawin, mengapa sebaliknya engkau malah menganjurkan padaku ?"
"Hemm, engkau tak tahu,"
desis Damayanti dan tiba-tiba saja gadis ini tampak sedih.
Melihat tiba-tiba Damayanti tampak menjadi sedih ini. Titiek Sariningsih yang cerdik segera dapat menebak sebagian. Ia menduga, bahwa agaknya Damayanti pernah menjadi korban asmara. Dan karena merasa amat kecewa dan putus asa, maka kemudian Damayanti memutuskan untuk tidak kawin.
"Apakah engkau pernah putus cinta?"
tanyanya tiba-tiba.
Damayanti mengamati Titiek Sariningsih untuk sejenak. Kemudian ia mengangguk.
"Benar! Dugaanmu tepat sekali, Titiek,"
sahut Damayanti kemudian.
"Aku pernah dikecewakan oleh seorang pemuda. Aku tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi, dan tidak pula ingin kawin."
"Ahh, kalau begitu akupun tidak ingin terlibat dengan persoalan itu. Dan biarlah selama hidup akupun tidak kawin."
"Jangan. Tidak boleh!. Engkau tidak boleh mengikuti jejakku."
"Mengapa ?"
tanya Titiek Sariningsih sambil mengamati Damayanti.
"Aku tidak ingin menderita akibat putus cinta seperti engkau."
Mendadak saja Damayanti tertawa. Wajah yang sedih itu, dalam waktu singkat telah lenyap, dan sekarang'wajah itu kembali berseri.
'Nasib setiap manusia berlain-lainan, Titiek. Jangan lagi engkau bukan saudara kandungku, nasibmu tentu akan berlainan. Seumpama saja saudara sekandung, nasib masing masing tidak akan sama. Aku tahu, bahwa nasibmu lebih baik dibanding dengan aku."
"Ih. engkau senerti ahli nujum saja!" sindir Titiek Sariningsih.
"Apakah engkau benar benar telah dapat meramalkan nasibku ?"
"Tentu. Aku tahu dan bisa meramal nasibmu kemudian hari."
"Aku tak percaya!"
"'Tak percaya ?"
kata Damayanti.
"Aku tak percaya! Engkau takkan dapat meramalkan nasibku kemudian hari."
Titiek Sariningsih bernafsu, dan ia menentang pandang Damayanti;
"Engkau boleh tidak percaya. Akan tetapi dengar, aku akan meramalkan nasibmu, Titiek! Tidak lama lagi engkau akan dimulai dan juga jatuh cinta kerada seorang pemuda, ialah seorang pemuda yang telah engkau kenal."


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Ha-ha-ha."
Titiek Sariningsih ketawa bekakakan mendengar ramalan Damayanti ini. Kemudian ajaknya.
"Engkau seperti nenek bawel saja, mbakyu. Akupun dapat pula meramal seperti engkau, dan tentu tepat. Sebab seorang Wanita hanya bisa jatuh cinta kepada pria. Sebaliknya pria hanya dapat jatuh cinta dengan seorang wanita. Hi hi-hik, engkau ahli nujum yang tidak lucu."
Damayanti juga tersenyum. Namun kemudian katanya,
"Ramalanku belum selesai, engkau telah tergesa mencela dan tak percaya. Coba dengarkanlah ramalanku ini. Engkau akan dicinta dan mencintai seorang pemuda yang sudah
engkau kenal. Perkenalanmu lewat peristiwa-peristiwa yang aneh. Diam-diam engkau mencela dan mencari cacad maupun cela pemuda itu! Akan tetapi Perasaan dan hatimu berlainan. Walaupun ada perasaan yang tidak suka, tetapi ada pula perasaan yang kagum. Kau..."
"Stop, stop! Jangan kauteruskan ramalanmu!"
hardik Titiek Sariningsih tiba-tiba.
Sebab gadis ini segera dapat menduga siapakah pemuda yang dimaksud oleh Damayanti. Pemuda itu, tentu Kebo Kuning alias Satrya Utama.
"Engkau jangan ngacau, dan jangan ngawur!"
' Akan tetapi Damayanti malah tertawa. Kemudian ejeknya,
"Apa? Aku ngawur? Jangan engkau membantah ramalanku ini sekarang. Lebih dahulu.. engkau buktikan tentang benar atau tidaknya ramalanku itu."
"Tidak. Engkau ngawur! Engkau ngacau! Huh. siapakah yang tertarik kepada pemuda sombong, pemuda tinggi hati itu?."
"Tetapi toh tampan dan juga sakti mandraguna?"
potong Damayanti sambil mencubit dagu Titiek Sariningsih, kemudian melompat dan lari.
"Aih, aku harus membalas !"
teriak Titiek Sariningsih sambil mengejar, dan ia merasa takkan puas sebelum dapat membalas mencubit.
Akibatnya dua orang gadis ini segera berlarian cepat sekali, seperti sedang berlomba. Dua-duanya sekalipun perempuan, merupakan jago lari. Maka mereka berlarian seperti terbang, dan dalam waktu singkat telah meninggalkan tempat itu. Gerakan Titiek Sariningsih amat gesit. dan ringan. Dahulu pernah berlomba lari dengan Rara Inten dan menang. Tetapi sekarang ini, ia mengerakkan kepandaiannya lari untuk dapat mengejar Damayanti. sudah cukup jauh belum juga berhasil. Gerakan Titiek Sariningaih gesit dan ringan. Tetapi Damayanti lebih gesit dan ringan lagi.
"Awas kau !"
teriak Titiek Sariningsih.
"Apanya yang awas?"
ejek Damayanti tanpa mengurangi larinya.
"Aku akan membalas mencubit dan minta bunganya pula."
"Tetapi aku tak mau."
"Mengapa tak mau? Engkau sudah memulai. Aku harus membalas."
"Tetapi, bukankah Kebo Kuning seorang pemuda yang gagah dan tampan? Pula tidak tercela akan kesaktiannya. Aku percaya, apa bila engkau dan dia dapat hidup sebagai suami isteri. kelak kemudian
hari didunia ini akan muncul sepasang suami isteri sakti mandraguna, yang bakal menjadi buah bibir setiap orang."
"Huh-huh, tidak. Tidakkkk...! Engkau jangan mengacau!"
"Aku tidak mengacau, Titiek. Tetapi aku amat berharap."
"Tidak boleh engkau berharap begitu. Aku takkan kawin selama hidup, seperti jalan hidup yang engkau tempuh. Hati..... hu-hu-huuhu......"
Tiba-tiba saja Titiek Sariningsih menghentikan larinya, kemudian menjatuhkan pantatnya di atas rumput, lalu gadis ini terisak isak menangis. Damayanti kaget. Ia cepat membalikkan tubuh kemudian menghampiri.
"Titiek, mengapa engkau?"
Tetapi Titiek Sariningsih sesenggukan menangis, dan tidak menjawab pertanyaan itu. Timbul rasa iba dalam hati Damayanti, disamping agak merasa heran.
Mengapa gadis ini menjadi sedih dan menangis?
Benarkah Titiek Sariningsih tidak tertarik kepada Kebo Kuning?
Dan kalau Titiek Sariningsih mencela pemuda itu. lalu pemuda seperti apakah yang menjadi pilihan gadis ini?
"Titiek, mengapa engkau menangis ?"
tanya Damayanti lagi.
"Engkau.... huuhuhuuu.... engkau keterlaluan...."
Damayanti menjadi iba dan agak menyesal. Ia tidak sengaja membuat gadis ini menangis seperti ini. Ia tadi memang sengaja mengaduk hati Titiek Sariningsih, dan sengaja mengajak bicara tentang Kebo Kuning, yang maksudnya untuk dapat mempengaruhi hati gadis ini. Akan tetapi ia tidak menginginkan Titiek Sariningsih menangis seperti ini. Dan sungguh di luar dugaannya pula, bahwa Titiek SariningSih tidak tertarik kepada Kebo Kuning.
'Sudahlah, Titiek, jangan engkau menangis. Jika engkau memang tidak suka, tidak mengapa. Sudahlah, aku takkan membicarakan dia lagi."
Dalam usahanya untuk menghibur agar gadis ini tidak menjadi sedih dan menangis, Damayanti memeluk. Tetapi tiba-tiba Damayanti kaget dan memekik tertahan.
"Ihhh.....!"
Pada kesempatan ini Titiek Sariningsih teringat perbuatan Damayanti tadi, yang mencubit dagunya. Maka di saat Damayanti lengah, Titiek Sariningsih sudah membalas. Bukan hanya mencubit dagu, tetapi masih juga mencubit paha.
"Hi-hi-hik, aku dapat membalas sekarang...."
ejek Titiek Sariningsih, yang tiba-tiba saja tertawa.
Damayanti tidak marah dan ia malah ikut tertawa. Namun tiba tiba dua orang gadis ini menjadi kaget dan ketawa mereka berhenti. Mereka mendengar suara orang tertawa. Suara ketawa laki laki yang terkekeh-kekeh. Mendengar ini mereka saling pandang. Agaknya mereka saling bertanya. Tetapi hampir berbareng mereka menggelengkan kepala. Saat sekarang ini berada di dalam hutan.
Siapakah laki-laki yang sengaja menirukan tertawa itu?
Untung sekali bahwa mereka dua orang gadis perkasa. Masing-masing percaya akan diri sendiri.
Sama sekali mereka tidak menjadi takut. Mereka berdiam diri dan menunggu. Tetapi aneh, yang ditunggu tidak cepat muncul.
Damayanti dan Titiek Sariningsih kembali saling pandang, dan saling bertanya. Tetapi lagi-lagi hampir: berbareng menggeleng. Jelas bahwa dua orang gadis ini sama-sama tidak mengerti dan tidak dapat menduga, siapakah laki laki yang tadi tertawa terkekeh, akan tetapi sekarang tidak terdengar lagi.
"Heran,"
desis Damayanti.
"Siapakah yang tertawa tadi?"
. "Akupun heran,
"
desis Titiek Sariningsih.
"Mengapa setelah kita berhenti tertawa, diapun tidak tertawa lagi? jangan-jangan......"
'Apa maksudmu ? '
"Seorang gila yang tersesat masuk ke dalam hutan. Hingga kitapun dianggap seperti dia....."
Kata-kata Titiek Sariningsih dihentikan sebelum selesai. Tiba-tiba gadis ini menangkap suara ketawa terkekeh tadi, beralih di tempat agak jauh. Lalu, sayup-sayup dua gadis ini mendengar suara benturan senjata yang berdencingan.
"Ahhh.. dia sudah berkelahi dengan orang. Mungkin, dia tadi tertawa untuk memancing perhatian orang. Siapakah mereka ?"
"Mbakyu. mari kita lihat!"
Lalu dua orang gadis ini sudah saling melompat menuju ke asal suara senjata yang sedang beradu dan berdencingan itu. Tidak sulit mereka mencari. Karena makin menjadi dekat, suara senjata yang berdencingan itu makin menjadi jelas.
Tak lama kemudian, tibalah mereka pada suatu tempat. Walaupun bukan merupakan tanah lapang, akan tetapi cukup luas untuk gelanggang perkelahian. Tempat itu rindang, karena dilindungi oleh pohon pohon tinggi.
"Ahhh..... mereka....."
desis Titiek Sariningsih, setelah melihat siapakah yang sedang berkelahi.
"Siapakah mereka?"
tanyag Damayanti.
Tetapi tiba-tiba.
"Ahhh..... bukankah orang yang duduk sambil bersandar pohon itu, Jalu Raga yang dikalahkan oleh kakek Bima dan Kunting dari Perguruan Bligo?"
"Benar,"
sahut Titiek Sariningsih.
"Dan dua orang teman Jalu Raga yang sekarang berkelahi itu, adalah .Pitrang dan Wanengboyo. Pihak lawannya jelas, orang-orang Perguruan Sumbing. Itu dia, kakek Bima dan Kunting berdiri acuh tak acuh di sana."
"Tetapi orang Perguruan Sumbing itu banyak,"
Damayanti berdesis.
"Apakah mereka yang berjumlah banyak, bermaksud menekan lawan yang jumlahnya kecil?"
"Mbakyu, mereka sedang berusaha menghukum
orang yang bersalah,"
sabut Titiek Sariningsih.
"Maka orang oraug Sumbing Itu tidak bisa disalah!"
"Apakah salah mereka itu?"
"Bukankah mbakyu sendiri melihat peristiwa yang terjadi di rumah Pangeran Kajoran itu? Bima dan Kunting merampas golok emas dari tangan Jalu Raga. Memang Jalu Raga telah mencuri golok pusaka Perguruan Sumbing itu. Malah sayapun pernah diminta oleh tiga orang murid Sumbing untuk membantu menangkap pencuri itu. Karena sekarang Jalu Raga telah berhadapan dengan yang berhak mengadili, saya terbebas dari tugas itu."
"Tetapi Titiek, sekarang Jalu Raga menderita luka berat dan berarti sudah terhukum. Tidak pantas apa bila orang-orang Sumbing itu menekan sedemikian rupa."
'Mbakyu, mengapa demikian?"
Titiek Sariningsih menjadi heran dan kurang mengerti maksud Damayanti.
"Titiek, orang orang Sumbing membanggakan diri dan menepuk dada sebagai perguruan yang lurus bersih. Dengan pengakuannya itu berarti, merekapun tahu bagaimanakah Sikap ksatria yang perwira. Lawan yang sudah terluka dan tidak dapat melawan tidak boleh ditekan. Kalau toh masih penasaran harus memberi kesempatan lawan itu sembuh lebih dahulu dan ditentukan hari dan tempat untuk bertanding. Kalau pihak yang lebih kuat menekan kepada pihak yang lemah. dan mengambil
kesempatan di saat orang terluka, bagaimanapun sikap itu adalah sikap pengecut."
"Tetapi Jalu Raga seorang pencuri, mbakyu. Pencuri golok pusaka. lambang kehormatan bagi perguruannya. Mereka tak dapat dipersalahkan apa bila merasa belum puas, sebelum dapat menebus hinaan itu."
"Hemm, orang dapat berbuat sesuka hati, apa bila aku tidak melihat, Titiek. Akan tetapi jika aku sempat melihat, aku takkan dapat berdiam diri."
"Mbakyu!"
Titiek Sariningsih nampak kaget.
"Kalau demikian, apakah mbakyu sengaja akan melindungi orang berdosa?"
"Hemm, engkau jangan salah duga, Titiek. .Jangan menuduh aku melindungi orang berdosa atau bersalah."
"Kalau tidak sengaja melindungi, mengapa campur tangan ?'
Titiek Sariningsih menjadi heran.
'Titiek, dalam hal ini aku tidak ingin bicara siapa benar dan siapa salah. Siapa yang berdoa dan siapa yang berusaha menghukum. Akan tetapi aku bicara dari sudut jiwa ksatria. Jiwa yang perwira. Jalu Raga merupakan orang yang berkepentingan, dan katakanlah orang berdosa. Tetapi dia menderita luka berat dan tidak bisa melawan lagi. Orang yang menderita seperti Jalu Raga tidak boleh diganggu. Kalau toh orang Sumbing mau menghukum. harus menunggu setelah Jalu Raga sembuh dan dapat melawan."
"Ahh, mbakyu. Dengan pendirianmu ini berarti engkau memberi kesempatan orang yang berdosa
Itu menyembunyikan diri untuk dapat menghindari hukuman!"
bantah Titiek Sariningsih.
"Dunia ini amat luas. Sekali orang yang licik dan curang seperti Jalu Raga memperoleh kesempatan bersembunyi, orang akan sulit bisa mencari."
"Titiek, jangan engkau memandang persoalan ini dari perasaan dan pendapat pribadimu!"
nasihat Damayanti.
"Tetapi pandanglah dari sudut keperwiraan dan jiwa ksatria. Bukankah engkaupun tahu, bahwa orang yang berkelahi itu berusaha memperoleh kemenangan. Akan tetapi walaupun menang, kalau bertentangan dengan keperwiraan dan jiwa ksatria, orang itu akan dicela orang. Semua itu sudah menjadi tradisi, menjadi pengertian dan kemudian tata kesopanan dalam pergaulan kita ini. Pengertian bukanlah peraturan. Memang orangpun dapat juga melanggar. Akan tetapi bukankah pelanggaran itu sesungguhnya tidak patut dan bertentangan dengan tata kesopanan pergaulan?"
Akhirnya Titiek Sariningsih mengangguk. Ia dapat menerima alasan Damayanti. Apa yang akan dilakukan Damayanti bukan berarti membela salah satu pihak. Tetapi Damayanti hanya ingin mencegah perbuatan sewenang-wenang, menggunakan dalih menghukum orang bersalah. Perguruan Sumbing bukan alat kekuasaan pemerintah Mataram. Karena bukan alat kekuasaan raja dan negara, maka harus memperhatikan norma-norma keperwiraan dan jiwa ksatria. Katanya kemudian,
"Aku mengerti maksudmu sekarang, mbakyu! Engkau ingin mencegah kesewenangan dan penindasan pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Dan engkau ingin pula mencegah, orang sewenang wenang kepada lawan yang tidak berdaya. Akan tetapi maafkan aku. Kepada dua belah pihak aku sudah kenal. Tak enak hatiku apa bila aku ikut muncul. Lebih amanlah kiranya apa bila aku bersembunyi saja."
"Hi hi-hik, sangkamu seorang diri aku tak sanggup mencegah mereka ?"
jawab Damayanti.
"Lihat saja apa yang akan aku lakukan."
' Setelah berkata demikian, Damayanti
bersiul nyaring. Belum lenyap suara siulannya, tubuh gadis ini berkelebat seperti kilat menyambar, didahului oleh selendang sutera kuning yang berobah seperti ular hidup. Orang-orang yang sedang berkelahi berteriak kaget karena tahu-tahu, senjatanya sudah lepas dan terbang di udara. Tak lama kemudian terdengar suara berkerontangan berturut-turut, senjata itu berjatuhan di atas batu di tepi gelanggang perkelahian. '
"Jangan berkelahi,"
kata Damayanti halus.
Untuk sejenak mereka terbelalak. Tetapi di samping itu, Wanengboyo dan Pitrang yang tadi menghadapi keroyokan menjadi lega. Dan sebaliknya, pihak murid -murid Perguruan Sumbing menjadi marah.
Siapakah gadis ini yang lancang mencampuri urusan perguruannya?
Namun sebelum murid-murid Sumbing ini sempat menegur, terdengar teriakan geram dari mulut Bima yang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu. Tahu tahu kakek ini sudah berhadapan dengan
Damayanti, dan membentak,
"Hai bocah! Siapakah
engkau ini berani lancang mencampuri urusan kami?"
"Aku lupa kepada namaku sendiri. Tetapi engkau dapat pula menyebut aku Si Baju Kuning."
"Ahhh..!' terdengar seruan tertahan dari mulut beberapa orang Sumbing.
Sebaliknya Wanengboyo wajahnya berubah pucat. Wanengboyo diam diam berdebar dan takut. Dahulu ketika Si Baju Kuning ini menyerbu ke Kendeng, dirinya tentu sudah tak bernyawa lagi apabila tidak sempat lolos.
Apakah gadis ini datang sengaja untuk menangkap dan menghukum dirinya?
"Selamat bertemu kembali, anak!" kata kakek Kunting yang bertubuh kerdil itu sambil melangkah maju.
"Aku masih ingat akan sepak terjangmu yang terpuji, ketika di Gunung Bligo. Sebab engkau bertindak tepat, guna mencegah Rara Inten yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi sekarang ini, mengapa sepak terjangmu bertentangan dengan apa yang sudah engkau lakukan beberapa tahun yang lalu ?"
"Apa maksudmu ?"
tanya Damayanti dengan bibir menyungging Senyum.
Bima yang tidak sabaran mendahului berkata,
"Engkau jahat! Engkau lancang! Kami sedang berusaha menangkap dan menghukum orang yang berdosa kepada perguruan kami. Mengapa engkau lancang campur tangan?"
"Aku tidak ingin bicara tentang siapa yang salah dan siapa pula yang benar."
sahut Damayanti.
"Aku hanya akan bicara dari naluri. Yang tidak
dapat membiarkan orang berbuat sewenang-Wenang dan menindas pihak lain."
"Hai! "
teriak Bima sambil berjingkrak.
"Jangan engkau bicara sembarangan! Siapakah yang sewenang-wenang dan menindas orang lain? Huh-huh. dia itu telah berdosa kepada perguruan kami. Dia sudah menghina pusaka perguruan kami, dan dicurinya. Sekarang kami melaksanakan hukuman terhadap pencuri yang berdosa itu."
"Hi-hi-hik, salah kalian sendiri mengapa tidak pandai menyimpan pusaka perguruan itu, sehingga dapat dicuri orang?"
' "Kurang ajar. Setan alas!"
Bima berjingkrak saking marahnya mendengar kata kata gadis ini.
"Pencuri itu curang sekali, menggunakan kesempatan di saat kami para pemimpin Sumbing sedang menutup diri....."
"Tidak perlu engkau banyak dalih!"
tukas Damayanti.
"Orang yang bersalah memang sepantasnya pula mendapat hukuman. Akan tetapi aku tidak setuju dengan cara yang kalian tempuh."
"Apa? Engkau setuju dan tidak bukanlah urusan kami. Pendeknya, kami hanya tahu, bahwa pencuri itu harus kami tangkap untuk memperoleh pengadilan di Sumbing!"
teriak Bima lagi.
"Silahkan engkau mau menangkap?"
mengadili orang,"
sahut Damayanti.
"Tetagi adilkah bila kalian mau menangkap orang yang tidak
berdaya dan tidak dapat melawan lagi? Apakah kalian tidak malu ditertawakan orang, dianggap menggunakan kesempatan dan menekan orang yang tak berdaya? Sudilah kalian mempertimbangkan dari nurani dan jiwa ksatria. Adakah patut menekan kepada saudara Jalu Raga yang sudah menderita luka berat?"
Untuk sejenak Bima dan Kunting termangu mendengar ucapan Damayanti ini. Dalam hati dua orang kakek pemimpin Perguruan Sumbing ini tidak dapat membantah benarnya alasan gadis ini. Orang yang tidak berdaya, walaupun salah memang tidak sepantasnya untuk ditekan. Seorang yang berpegang teguh kepada keperwiraan dan jiwa ksatria harus memberi kesempatan kepada orang itu sampai sembuh dan kekuatannya pulih kembali. Baru kemudian ditentukan waktu untuk menyelesaikan urusan ini. Akan tetapi dua orang kakek ini merasa ragu.
Dapatkah orang yang curang seperti Jalu Raga ini, janjinya dapat dipercaya?
Siapa tahu janji itu hanya palsu dan di saat yang sudah ditentukan berusaha menyembunyikan diri?
"Anak, aku tahu maksudmu,
"
kata Kunting dengan nada yang sabar.
"Akan tetapi sebaliknya engkau harus mengerti perasaan kami. Hinaan Jalu Raga takkan dapat tercuci bersih, sebelum ditentukan mana yang unggul. Bagaimanakah kalau orang seperti Jalu Raga yang tak malu bertindak curang itu, ingkar akan janji?"
"Kakang!"
teriak Bima yang tidak sabar lagi.
"Mengapa engkau layani igauan bocah ini! pendeknya kita sekarang ini mau menghukum orang bersalah. Tidak perduli ada orang membela penjahat itu."
Bima mendelik marah. Kemudian,
"Hai bocah! Apakah maksudmu yang sebenarnya? Apakah engkau ingin berusaha menekan kami, menggunakan nama besarmu ketika di Pondok Bligo waktu itu? Huh, kami tidak dapat engkau gertak. Kami mempunyai kebebasan sendiri untuk bertindak dan menghukum manusia yang berarti menghina Perguruan Sumbing."
"Paman, aku harap agar engkau tidak salah mengerti. Bukan maksudku untuk menekan kalian. Dan bukan pula maksudku untuk membatasi kebebasan kalian. Tetapi aku minta pengertian kalian bahwa orang yang kalian anggap bersalah dan mau kalian hukum itu, sekarang ini dalam keadaan luka berat. Apakah kalian tidak malu ditertawakan orang? Apakah kalian tidak malu kalau dituduh berusaha menekan orang yang tidak berdaya ? Nah, inilah sesungguhnya yang menjadi pokok dan sebabnya aku terpaksa mencampuri urusan ini. Aku bermaksud baik. Aku berusaha mencegah agar nama Perguruan Sumbing tidak jatuh di mata banyak orang."
"Sudahlah, jangan banyak mulut!"
bentak Bima yang memang tidak sabaran.
"Urusan ini tidak bisa dibicarakan hanya dengan mulut. Dan apa bila engkau membandel, hemm, terpaksa aku takkan sungkan-sungkan lagi. Terpaksa aku yang sudah tua pikun ini harus melayani seorang muda."
Damayanti tersenyum. Kemudian,
"Jadi, paman menantang aku dengan kekerasan? Hi-hi hik, engkau seorang tua tetapi mengapa tidak sabaran semacam bayi? Mari, paman ingin mengajak menyelesaikan urusan ini dengan cara apa ?"
Sebelum Bima sempat menjawab, Danardono tidak kuasa menahan sabarnya lagi. Pemuda ini adalah murid langsung dari Bima. Tentu saja takkan dapat berdiam diri gurunya dihina orang muda. Teriak pemuda ini,
"Guru! Berikan dia pada murid."
'Mundur!"
bentak Bima yang tidak senang.
Bentakan Bima ini memang ada sebabnya. Hanya sekali bergerak aaja, gadis baju kuning ini, tadi telah berhasil beberapa batang senjata terbang.
Manakah mungkin Danardono sanggup menghadapi?
Walaupun Danardono harus mengeroyok bersama Danang dan Nuryantipun, kiranya belum juga mampu menandingi perempuan ini. Maka Bima telah memutuskan bahwa untuk mengusir gadis ini, tidak bisa diserahkan kepada para murid.
Sementara itu Wanengboyo dan Pitrang amat gembira dengan hadirnya gadis baju kuning yang ternyata membelanya ini. Bagaimanapun mereka tadi menderita kesulitan, oleh pengeroyokan orang orang Sumbing. Di samping mereka harus melawan keroyokan, merekapun berusaha untuk melindungi Jalu Raga yang sedang menderita luka berat. Harapan Wanengboyo maupun Pitrang tadi sudah amat tipis untuk dapat lolos dari bahaya. Akan tetapi walaupun mereka merasa gembira oleh munculnya perempuan yang membela ini, diam diam merekapun heran di samping khawatir.
Benarkah gadis ini berusaha melindungi keselamatan mereka dari ancaman bahaya?
"Hai bocah !"
teriak Bima.
"Berterus teranglah engkau. Beranikah engkau menghadapi aku dan kakang Kunting?"
Damayanti ketawa cekikikan. Kemudian jawabnya mengejek,
"Hi-hi-hik, ternyata engkau seorang kakek yang tidak berani berhadapan secara ksatria. Engkau suka main keroyok seperti anak kecil."
"Kurang ajar kau!"
Bima membentak keras sekali saking marahnya.
"Hati-hatilah engkau membuka mulut di depanku .Siapa yang mau main keroyok ?"
"Hi-hi-hik, baru Saja engkau tadi menantang aku dengan keroyokan. Engkau berusaha mungkir? Hi-hi-hik, tidak tahu malu."
"Hai bocah!"
teriak Bima lagi.
"Engkau jangan membuka mulut seenak sendiri. Kami adalah kakak beradik. Selama hidup kami tidak pernah berpisah dan selama hidup
pula kami selalu menghadapi setiap lawan secara bersama-sama. Kami menghadapi seorang juga maju berdua. Dan sebaliknya menghadapi lawan berjumlah banyakpun, kami cukup berdua. Huh-huh, jika engkau memang takut, majulah engkau bersama-sama dengan bangsat bangsat itu."
Sambil berkata ini, tangan Bima menunjuk ke arah Wanengboyo dan Pitrang, yang berdiri tidak jauh dari tempat Jalu Raga duduk.
"Hi-hi-hik, siapa yang takut menghadapi kalian?"
sahut Damayanti.
"Majulah kalian berdua, jika memang harus demikian. Dan kalau perlu, silahkan engkau memerintahkan para murid untuk ikut mengeroyok."
Bima berjingkrak saking marah. Teriaknya,
"Jahanam! Menghadapi kami berdua saja belum tentu mampu, engkau sudah sombong. Mari lekaslah engkau bersiap. Engkau menggunakan senjata apa?"
Damayanti tertawa. Kemudian,
"Aku cukup menggunakan selendang ini."
"Apa?"
Bima terbelalak.
"Kami akan menggunakan golok. Dan kau hanya menggunakan selendang seperti itu? Engkau jangan sembrono, bocah! Golok kami amat tajam."
"Sekalipun tajam, kalau aku berani menghadapi dengan selendang, mengapa?"
"Kakang!"
teriak Bima sambil memandang ke arah kakek kecil dan kerdil ,Kunting, yang sejak tadi hanya berdiam diri.
"Bocah ini terlalu sombong, liar dan menghina. Jika tidak kita hajar, lagak bocah ini akan makin menjadi."
Kunting hanya mendengus, tetapi tangannya sudah bergerak dan menghunus golok. Dua orang kakek ini masing-masing telah memegang sebatang
golok. Dua orang kakek ini sebenarnya merupakan saudara kandung. Tetapi entah mengapa sebabnya, yang tua sebagai seorang kerdil, sedang yang muda sebagai raksasa dan tinggi besar. Hingga keadaannya benar-benar jauh berbeda. Di samping bentuk tubuh merekapun aneh, sepak terjangnyapun aneh. Mereka tidak pernah berkelahi sendirian. Berhadapan dengan seorang lawan maupun belasan orang akan sama saja. Mereka selalu maju bersama-sama.
Hal itu sesungguhnya memang ada sebabnya. Dua orang kakek ini semenjak mudanya, belajar dan melatih diri selalu bersama-sama. Dengan pengalamannya yang puluhan tahun, kemudian ilmu golok yang mereka latih itu, mendarah daging dalam tubuh. Seakan mereka mempunyai perasaan yang berhubungan satu sama lain. Kalau yang seorang menyerang, maka yang seorang akan bertahan. Dan dengan demikian, pertahanan maupun penyerangan mereka sangat berbahaya bagi lawan.
Dalam buku "Jaka Pekik"
yang mendahului Buku Perawan Lola ini,sudah pernah diceritakan bagaimanakah dua orang kakek ini ketika berkelahi menghadapi Jaka Pekik (Pangeran Pekik) .Setiap mereka menyerang selalu didahului dengan teriakan untuk menyebutkan nama bagian ilmu golok yang harus dipergunakan. Jelas kiranya bahwa teriakan itu untuk memberitahukan kepada saudaranya, apa yang harus dilakukan.
Dalam menghadapi Damayanti sekarang inipun, peristiwa semacam itu berulang. Begitu mulai bergebrak, Bima berteriak.
"Nyurung prahu!"
Dua batang golok menyambar berbareng ke arah Damayanti, masing-masing membacok. Bima membacok bagian tubuh atas, sebaliknya Kunting membacok bagian tubuh bawah. Dengan gesit Damayanti telah menghindar sambil menggerakkan selendang untuk melecut ke lengan lawan. Tetapi tiba tiba Bima berteriak lagi,
"Perahu nggoling!"
Sambaran selendang Damayanti mengenakan angin. Dan gerakan golok dua orang kakek itu sekarang nampak aneh. Golok itu sekarang gerakannya oleng menerjang ke depan seperti gerakan perahu di atas air yang miring.
"Hi-hi-hik,"
Damayanti tertawa melihat cara mereka menyerang sambil menyebutkan nama bagian ilmu golok. Selama hidup baru sekarang ini sajalah ia berhadapan dengan lawan yang aneh. Bukan saja aneh nama-nama bagian dari ilmu itu, tetapi gerak geriknya juga aneh. Tetapi justeru Damayanti merasa geli dan tertawa ini, hampir saja gadis ini menderita rugi. Gerakan Kunting yang lebih gesit dan tidak terduga, hampir saja dapat membabat ujung selendang.
"Perahu nrajang ombak (Perahu Menerjang Gelombang)!"
Makin lama gerak-gerik dua orang kakek ini, maupun nama-nama bagian yang disebutkan menjadi makin cepat. Terjangannya bertenaga dan angin Yang dahsyat menyambar. Namun dengan gerakannya yang gesit dan tangkas. setiap sambaran dua batang golok itu tidak pernah berhasil menyentuh ujung selendang maupun tubuh Damayanti.
Menghadapi perlawanan dua orang kakek ini yang aneh, tiba-tiba saja timbul kegembiraan Damayanti, dan iapun sekarang ikut -ikut berteriak. Tetapi dalam meneriakkan bagian-bagian ilmu ini, ia sengaja menyebut seenak sendiri yang tidak lain hanya merupakan lelucon.
"Awas, bidadari menari. Disusul bidadari tertawa. Dan disusul lagi dengan bidadari menyisir rambut!"
Akan tetapi walaupun dalam menyebutkan gerakan-gerakan ini semacam lelucon, namun gerak selendangnya serasi dengan apa yang disebutkan. Selendangnya berkelebat cepat sekali dan menyambar-nyambar bagai ular hidup. Menggeliat, menyabat dan mematuk ke bagan tubuh dua orang kakek itu yang lemah. Perkelahian itu makin lama menjadi semakin sengit. Gerakan Damayanti gesit dan berkelebat ke sana ke mari.
Bima melawan sambil terus berteriak menyebut bagian-bagian ilmu golok yang harus dipergunakan. Tetapi sebaliknya Damayantipun terus berteriak pula menyebutkan nama-nama ilmu yang ia pergunakan untuk menyerang.
Tetapi bagaimanapun, makin lama berkelahi dua orang kakek ini menjadi kagum. Perempuan ini walaupun masih muda, gerakannya cepat sekali dan sambaran selendangnyapun berbahaya.
Diam-diam kakek ini mengeluh, mengapa hanya menghadapi seorang perempuan muda saja, tak lekas mampu merobohkan?
"Perahu membentur karang!"
baru saja Bima selesai berteriak, maka gerakan golok dua orang kakek ini berubah.
Dua batang golok itu meluncur ke depan bersama-sama untuk menyerang Damayanti.
Damayanti tahu bahwa serangan yang tampaknya sederhana ini, gerak perubahannya sangat berbahaya. Ia tidak berani sembrono, melompat ke samping sambil menggentakkan ujung selendangnya dan berteriak,
"Bidadari menempeleng."
Benar saja, ujung selendang itu bergerak seperti kilat menyambar kepala dua kakek itu. Sedikit saja terlambat, kepala tentu terhajar oleh ujung selendang. Walaupun ujung selendang itu tak kuasa menyebabkan luka, namun tentu akan membuat kepala pusing tujuh keliling.
Titiek Sariningsih yang menonton dari tempatnya bersembunyi, ketawa cekikikan saking geli. Akan tetapi karena tak ingin persembunyiannya diketahui orang, maka ketawanya itu ditahan. Dalam pada itu, iapun menjadi semakin kagum karena gerak gerik Damayanti itu jauh lebih cepat dibanding dengan beberapa tahun yang lalu.
Setelah beberapa saat lagi terjadi perkelahian, tiba-tiba terdengar teriakan Damayanti,
"Awas! Bidadari merampas golok!"
Mendengar ini dua orang kakek itu sudah berusaha mempererat pegangannya dalam usahanya mempertahankan senjatanya. Dalam pada itu merekapun menggunakan tangan kiri untuk membantu menyerang dan bertahan. Akan tetapi walaupun mereka sudah berusaha sedemikian rupa, tahu-tahu mereka berteriak tertahan. Mereka sampai tidak mengerti mengapa tahu-tahu golok telah lepas. Dan mereka juga merasa heran, cara bagaimanakah gadis itu sudah merampas golok. Yang jelas mereka sekarang telah kehilangan golok. Mereka berdiri dengan mulut melongo dan wajah pucat.
"Hi-hi-hik, bagaimana ?"
tanya Damayanti.
Sulit dibayangkan betapa dua orang kakek ini perasaannya. Macam-macam perasaan campur aduk dalam dada. Kagum, heran, penasaran dan malu memenuhi dada mereka. Siapa yang tidak menjadi malu, justeru sekarang ini para murid Perguruan Sumbing hadir dan menyaksikan.
Mengapa mereka mengeroyok, tak juga mampu mengalahkan?
Kunting menundukkan kepala dan menghela napas. Kemudian,
"Mari kita pulang!"
Ia telah mendahului melangkah. Bima berteriak,
"Tunggu!"
Tetapi Kunting tetap melangkah dan seperti tidak perduli. Mau tidak mau Bima harus melangkah mengikuti, demikian puia para murid Sumbing. Namun sebelum mereka melangkah pergi meninggalkan tempat ini,mereka mendelik ke arah Damayanti, menunjukkan perasaan penasaran dan kebencian mereka.
"Tunggu!"
teriak Damayanti.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ambil kembali golokmu!"
Damayanti melemparkan golok yang tadi berhasil ia rampas. Dalam melemparkan ini, Damayanti menggunakan tenaga yang diperhitungkan. Golok itu menyambar ke arah Bima dan Kunting. Hingga beberapa orang Sumbing yang melihatnya berteriak tertahan saking kaget dan cemas. Sebab Bima maupun Kunting tetap melangkah sambil menundukkan kepala, patah semangat dan seperti tidak perduli akan sambaran golok itu.
Namun setelah hampir menyentuh tubuh dua orang kakek itu, ternyata golok tersebut menyeleweng arahnya, lalu jatuh berdencingan di tanah. Tetapi Bima dan Kunting tetap tidak perduli, tidak mau mengambil dan juga tidak memerintahkan orang Sumbing supaya mengambil.
Melihat sikap orang-orang Sumbing seperti itu, Damayanti menghela napas. Ia tadi bermaksud, apa bila sudah dapat berhasil menundukkan dua orang kakek ini, kemudian mau bicara guna menentukan waktu dan cara pelaksanaan hukuman yang harus dijatuhkan atas diri Jalu Raga. Akan tetapi karena sikap Bima dan Kunting seperti itu, timbullah perasaan tidak senang dalam hati Damayanti Kemudian katanya singkat,
"Pergilah kalian. Tetapi kalian harus merobah cara hidup, dan jauhilah orang orang Sumbing, agar kalian tidak berhadapan dengan kesulitan."
Karena merasa ditolong dan diselamatkan jiwanya, maka Wanengboyo dan Pitrang cepat cepat
membungkuk memberi hormat kepada Damayanti. Lalu kata Wanengboyo,
"Terima kasih atas kebaikan dan segala pertolongan nona. Budi ini takkan dapat kami balas sekalipun kami harus mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi, kami mohon perkenan nona agar sudi memberitahukan nama dan tempat tinggal nona."
Damayanti tidak menjawab sepatahpun. Tubuhnya berkelebat dan kemudian lenyap di balik gerumbul pohon. Titiek Sariningslh segera memburu sambil bertanya,
"Mbakyu! Aku melihat orangorang Sumbing tadi penasaran."
"Hem biarlah,
"
sahut Damayanti masih tetap melangkah dan lari.
"Yang terjadi tidak seperti yang aku harapkan. Maksudku, setelah aku berhasil mengalahkan dua orang kakek tadi akan segera berunding, untuk menetapkan waktu kapan Jalu Raga harus mempertanggungjawabkan kesalahannya kepada Perguruan Sumbing. Akan tetapi karena sikap mereka sendiri yang memuakkan, maka biarlah Jalu Raga bebas."
Sesungguhnya timbul juga rasa penyesalan Titiek Sariningsih. Kalau Damayanti tidak usil, kiranya Jalu Raga yang bersalah sudah bisa di tangkap orang Sumbing. Namun demikian Titiek Sariningsih tidak mengutarakan perasaannya itu, dan hanya berlarian berdampingan dengan Damayanti .
Tetapi ketika itu hari telah sore. Matahari sudah rendah di bagian barat dan sinarnya sudah lemah dan merah.
"Mbakyu, apakah kita tidak menginap di jalan?"
tanya Titiek Sariningsih.
"Lebih baik kita meneruskan perjalanan sekalipun malam,"
sahut Damayanti.
'Dan lebih cepat tiba kembali di rumah, akan lebih baik."
"Mbakyu, sesungguhnya timbul hasratku untuk mencari kakek Sindu bersama kau. Agar kemudian aku dapat mengajak kakek yang baik hati itu, bertemu dengan engkau sekeluarga."
"Maksudmu memang baik, Titiek, akan tetapi mengapa harus bersama aku? Kiranya lebih baik apa bila kemudian hari saja, apa bila engkau sempat bertemu dengan dia, kau ajaklah kakekmu itu ke Wilis."
Singkatnya pada menjelang tengah malam yang dingin, dua orang gadis ini sudah tiba di desa Lumbungkerep. Ternyata Damarjati, isterinya dan Kebo Kuning telah lebih dahulu tiba. Mereka sedang menghadap kepada kakek Damayanti dan berbicara asyik sekali. Akan tetapi ketika dua gadis ini datang dan masuk, pembicaraan itu terputus dan mereka hanya tertawa. Yang tidak tertawa hanya Kebo Kuning seorang diri, dan pemuda ini malah menundukkan kepalanya.
Apa yang tadi mereka bicarakan?
Ternyata yang mereka bicarakan senada dengan apa yang telah dibicarakan Damayanti dengan Titiek Sariningsih. Baik Ki Ageng Lumbungkerep, Damarjati maupun isterinya saling setuju untuk mempertemukan Kebo Kuning dengan Titiek Sariningsih sebagai jodoh. Sebab menurut pendapat dan pandangan mereka, antara Kebo Kuning dengan Titiek Sariningsih memang sebanding. Bukan saja dua orang bocah itu sama-sama yatim-piatu, akan tetapi juga merupakan dua orang muda perkasa jarang tandingan. Apa bila antara Kebo Kuning dengan Titiek Sariningsih bisa hidup sebagai suami isteri, kemudian hari akan menjelma sepasang suami isteri
yang gagah perkasa membela keadilan bagi umat manusia.
Ah, para pembaca yang budiman, mengapa harus berkepanjangan dalam bercerita?
Perlu diberitakan, bahwa pada akhirnya baik Titiek Sariningsih maupun Kebo Kuning saling setuju untuk dijodohkan sebagai suami isteri, walaupun sebelumnya masing-masing menolak dan saling mencela.
Perkawinan berlangsung di desa Lumbungkerep ini juga, dan yang bertindak sebagai orang tuanya adalah Damarjati dan isterinya. Dalam perkawinan itu, sempat pula hadir Sindu, Rara Inten dan beberapa orang tokoh sakti dari beberapa perguruan yang sudah kenal dengan Titiek Sariningsih, Kebo Kuning maupun keluarga Damayanti.
Nah, sampai di sini saja perjumpaan antara pengarang dengan para pembaca yang tercinta, yang budiman dan terhormat. Cerita ini telah berakhir, dan kemudian pengarang berharap agar dapat berJumpa lagi dalam cerita yang baru, berjudul "Heboh di Mataram". Dalam cerita baru berjudul "Heboh di Mataram"
ini, para pembaca yang budiman masih akan berjumpa dengan nama Titiek Sariningsih maupun Kebo Kuning alias Satrya Utama, Pangeran Pekik, Ratu Wandansari,'Pangeran Kajoran maupun beberapa orang tokoh yang lain.
Tamat
Solo,akhir februari 1975
*******
Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini.
Mohon maaf bila ada kesalahan kata/tulis/eja dalam cerita ini.
Terima kasih
Team Kolektor Ebook
Wanita Baik Untuk Pria Beruntung Karya Rama Pendekar Rajawali Sakti 25 Bangkitnya Pandan Wangi Hex Hall Karya Rachel Hawkins

Cari Blog Ini