Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 2
Namun, sekalipun tampaknya dengan mudah Subinem meruntuhkan semua pisau terbang itu, perempuan yang berjuluk Dewi Racun ini kaget.
Sambaran pisau terbang itu justeru cepat luar biasa, dan semua mengarah ke bagian tubuh yang berbahaya. Hanya dengan pengerahan kepandaian saja, Subinem dapat menyelamatkan diri menangkis runtuh senjata rahasia tersebut. Inipun Subinem masih kaget setengah mati. Sebab walaupun ia dapat menangkis runtuh, namun lengannya terasa tergetar hebat sekali dan telapak tangannya terasa panas. Ini membuktikan bahwa tenaga sambitan Salindri hebat sekali.
Salindri menjadi kaget ketika sambaran tujuh
batang pisaunya dapat ditangkis oleh Subinem dan runtuh ke atas tanah. Ia masih ingat, bahwa nenek Ratih dahulu sebagai seorang ahli pelempar senjata rahasia. Dan setiap lemparannya tak pernah bisa dihindari orang.
Mengapa sekarang lemparannya dapat ditangkis oleh Subinem?
Apakah yang terjadi?
Apakah memang dirinya kurang pandai, ataukah Subinem terlalu sakti?
Akan tetapi Salindri tidak mempunyai kesempatan berpikir lebih panjang. Sebab Subinem dengan senjata pedang di tangan kanan, dan seekor ular sebesar ibu jari kaki pada tangan kiri sudah menerjang maju membalas serangannya. Dalam pada itu Subinempun telah bercuit-cuit aneh memberi aba-aba pada belasan ekor ular piaraannya. Atas aba-aba dari Subinem ini, ular-ular itupun sudah bergerak, ikut membantu dengan mengurung ruang gerak Salindri.
Seperti diketahui, bahwa di samping Salindri seorang gadis (gadis tua, karena usianya lebih tua dibanding dengan Pangeran Pekik) yang sakti mandraguna, iapun merupakan seorang perempuan yang sudah terganggu jiwanya. Seorang perempuan yang tidak waras lagi, atau setengah gila. Di saat kesadarannya datang ia merupakan seorang waras yang dapat berpikir dan bertindak seperti orang waras. Akan tetapi di saat jiwanya kembali terganggu, ia akan menjadi seorang gila. Dan apa bila gilanya datang, maka wataknya kumat kembali. Ia akan sanggup melakukan kekejaman, karena ia kehilangan kesadarannya.
Seperti pernah diceritakan dalam JAKA PEKIK,
sebabnya Salindri menjadi terganggu jiwanya , adalah akibat kekejaman yang dilakukan oleh Rara Inten di Pulau Bawean. Dalam usahanya menutupi perbuatannya mencuri pedang pusaka Jati Sari dan Jati Ngarang, Rara Inten memfitnah Ratu Wandansari, yang dituduh mencuri pedang pusaka itu di samping menyiksa Salindri.
Sebagai seorang perempuan, tentu saja seperti perempuan yang lain, Salindri akan selalu sayang kepada wajahnya yang cantik. Maka dengan rusaknya wajah dan malah kehilangan sehelai daun telinganya pula, jiwa Salindri menjadi terganggu. Gangguan pada jiwanya ini kemudian ditambah lagi, oleh kenangannya kepada seorang bocah yang amat dicintainya, yang disebut dengan nama Pekik kecil.
Karena sudah menjadi seorang yang setengah gila ini, maka Saiindri tidak mengenal lagi akan takut. Ia malah menjadi penasaran sekali, melihat Subinem menyerang dengan pedang pada tangan kanan, dan ular hidup pada tangan kiri. Ejeknya,
"Hi-hi-hik, bagus! Engkau bisa menakuti orang dengan ular itu. Akan tetapi terhadap aku, semua ularmu ini tiada gunanya.." .
Tentu saja Salindri tidak menjadi takut kepada semua ular itu, sekalipun berbisa. Sebagai seorang ahli racun pula, ia sudah kebal akan segala macam racun.!
Maka gadis ini tidak begitu memperdulikan serbuan ular tersebut, karena sekalipun menggigit, tubuhnya sudah kebal. Maka yang diperhatikan oleh Salindri, hanyalah sambaran pedang itu, Karena pedang itu bagaimanapun berbahaya sekali.
"Trang-trang......!' terjadi benturan dua batang pedang yang nyaring.
Benturan itu membuat Subinem terhuyung mundur tiga langkah ke belakang dengan mulut menyeringai menahan rasa pedih pada telapak tangannya yang seperti dibakar, di samping pula lengannya tergetar hebat. Adapun Salindri hanya terhuyung dua langkah ke belakang. Gadis inipun merasakan telapak tangannya panas dan lengannya tergetar. Jelas bahwa dalam hal tenaga sakti Salindri lebih menang sedikit. ,
Akan tetapi di saat ia terhuyung mundur ini, beberapa ekor ular sudah menghadangnya. Dua ekor ular sebesar lengan manusia dan panjang tubuhnya itu, hampir berbareng menyambar. Seekor menggigit kaki kiri, dan seekor menggigit kaki kanan. Gigitan ular itu sekalipun tidak menimbulkan akibat apa-apa, namun Salindri menjadi marah, lebih lagi Subinem menggunakan kesempatan untuk kembali menerjang maju dan menyerang secara ganas.
"Trang plak...... cap-cap......!"
Salindri terpaksa mengerahkan tenaga untuk menangkis sambaran pedang Subinem yang ganas itu, karena dua kakinya terasa berat digigit oleh dua ekor ular yang besar itu. Akan tetapi walaupun gadis ini dikeroyok oleh beberapa ekor ular, ia tidak begitu merasa repot. Setelah berhasil mementalkan pedang Subinem, ia meneruskan gerakan pedangnya itu untuk menebas dua ekor ular yang menggigit kakinya. Tubuh ular itu putus sebatas leher. Akan tetapi kepala ular tersebut masih menggantung pada kaki, karena mengatupkan mulutnya. Di saat itu, ular di tangan kiri Subinem menyambar ke arah dadanya. Namun ia tidak gentar, menggunakan tangan kirinya memukul sehingga kepala ular itu pecah..
'Hiyeh-hiyeh-hiyeh....... engkau akan segera mampus oleh racun ular itu!" ejek Subinem sambil terkekeh.
Namun Salindri tidak perduli. Ia sekarang membalas dengan serangan pedangnya cepat sekali, tanpa memperdulikan kakinya yang masih digantungi kepala ular. Sekarang Salindri marah dan penasaran sekali. Maka sambil mengelebatkan pedangnya secepat tatit itu, iapun mempersiapkan beberapa batang pisau untuk menyerang.
Begitu ular yang dipergunakan sebagai senjata di tangan kiri telah mati oleh pukulan Salindri, perempuan jelek wajahnya ini sudah mengganti dengan ular lain.
Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang seru sekali. Adapun ular-ular yang semula mengeroyok Salindri, sekarang seperti tidak perduli lagi, menyerbu ke arah bangkai kawannya sendiri dan berpesta pora daging kawannya.
Titiek Sariningsih yang bersembunyi di atas pohon merasa ngeri dan memejamkan matanya, melihat kaki Salindri digantungi oleh kepala ular, dan darah merah masih menetes netes. Diam-diam gadis ini khawatir sekali kalau Salindri celaka oleh bisa ular itu.
Sesungguhnya, kepala ular yang menggantung pada kakinya itu. sedikit banyak mengganggu pula
gerakannya. Akan tetapi Salindri tidak mempunyai kesempatan untuk melepaskan kepala ular itu dari kakinya. Sebab bukan saja Subinem menyerang secara ganas, sesungguhnya Salindripun ingin lekas dapat mengakhiri hidup perempuan ini dalam waktu Singkat.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, baik Salindri maupun Subinem memang memperoleh kemajuan dalam ilmunya. Karena masing-masing selalu tekun berlatih dan memperdalam ilmu yang dimiliki. Subinem di samping makin dapat menjiwai ilmu pedang perguruannya juga tenaga saktinya jauh maju. Akan tetapi sekalipun demikian, karena di samping kesibukannya melatih diri juga belajar soal-soal racun, maka tentu saja tidak sedikit waktu yang terbuang untuk itu. Sebab setiap ia memperhatikan soal racun, ia harus mengesampingkan latihannya tentang ilmu pedang.
Berbeda dengan Salindri. Setelah ia menjadi seorang gadis yang setengah gila, ia tidak memikirkan segala macam soal lain. Tidak perduli akan segala, dan yang terpikir hanyalah memperkuat diri dengan menekuni ilmu pedang ajaran nenek Ratih yang memang terkenal hebat itu, Di samping mematangkan ilmu pedangnya, iapun tekun sekali dalam melatih tenaga sakti. Hingga dalam waktu tidak lama, Salindri memperoleh kemajuan pesat sekali. Kalau dahulu tentang tingkat ilmu silat di bawah Subinem, sekarang keadaannya sudah berbalik. Dalam ilmu, ia sudah di atas tingkat Subinem.
Akibatnya setelah puluhan jurus berlalu, keunggulan salindri semakin tampak. Subinem mulai
bermain mundur dan terdesak. Pedang Salindri berkelebat cepat sekali dan setiap sambaran pedangnya amat berbahaya. Subinem menjadi repot dalam usahanya mempertahankan diri dan membalas menyerang.
Apa yang terjadi sekarang ini semuanya di luar kehendak Subinem.
Perhitungannya meleset!
Semula, setiap berhadapan dengan lawan yang berani mengganggu tempat tinggalrya ini, ular yang dipergunakan sebagai senjata maupun mengurung dan membantu dengan sambaran ekor dan gigitanrya, pengaruhnya amat besar sekali terhadap lawan. Karena sekalipun sakti lawan akan takut kepada bisa ular. Akan tetapi ternyata Salindri tidak takut kepada ular. Perempuan ini seorang yang kebal akan bisa maupun racun. Sehingga sekalipun telah mendapat gigitan dari dua ekor ular, perempuan ini tidak apa apa. Ular yang dijadikan senjatapun, kurang berarti berhadapan dengan Salindri. Dan akibatnya dalam usahanya membela diri, ia terdesak mundur.
Titiek Sariningsih yang menonton dari atas dahan, hatinya berdebar hebat. Namun ia juga menjadi kagum bahwa Salindri tidak menderita oleh akibat gigitan dua ekor ular berbisa itu.
Yang menjadi pertanyaan dalam hati gadis ini, mengapa Salindri dapat melatih diri sehingga tubuhnya kebal akan racun dan bisa jahat?
Adapun tentang ilmu kepandaian Salindri dan kepandaiannya memainkan pedang, bagi gadis ini tidak merupakan hal yang perlu dibuat kagum. Sebab sekalipun cepat gerakan Salindri dan sekalipun dalam ilmu pedang itu banyak pula tipu-tipu yang berbahaya. namun bagi
Titiek Sariningsih masih lambat. Hingga kalau dirinya yang menghadapi, ia sudah bisa menduga lebih dahulu ke mana gerakan pedang orang.
Tentang ilmu pedang yang di pergunakan Subinempun tampaknya cepat dan indah. Dari sambaran pedangnya Titiek Sariningsih tahu bahwa ilmu pedang itu menggunakan tenaga lemas, tenaga yang sifatnya dingin, sesuai dengan keadaan wanita yang menggunakannya. Kalau dirinya yang harus menghadapi, tidaklah sulit untuk merobohkannya.
Salindri sendiri makin lama menjadi semakin mantap gerakan pedangnya. ia tidak mau memberi kesempatan kepada lawan untuk bernapas. Ia selalu mendesak, sehingga Subinem makin repot dalam usahanya melawan dan mempertahankan diri. Subinem terus bergerak mundur. Dan tampaknya, tidak lama lagi Subinem akan-segera roboh di tangan gadis cantik yang wajahnya sudah menjadi rusak ini. '
Salindripun menjadi gembira sekali, setelah berhasil mendesak lawan sedenaikian rupa. Iapun merasa pasti pula, dalam waktu tak lama lagi, Subinem akan dapat ia robohkan. Ejeknya sambil terkekeh nyaring,
"Heh heh-heh, hari ini ajalmu tiba. Hi-hi-hik, sebelum engkau mampus oleh pedangku. sebaiknya engkau mohon ampun dulu kepada guru dan orang tuamu, serta kepada para korban yang telah mampus oleh kecuranganmu!"
Wajah Subinem yang sudah jelek itu menjadi semakin tampak jelek, karena wajah itu merah padam saking penasaran..
Tetapi sekalipun demikian manusia iblis ini masih berusaha menenangkan diri.
Ia masih terus menggunakan pedang pada tangan kanan menghalau dan menangkis sambaran pedang lawan, sedang ular hidup pada tangan kiri terus menyambar-nyambar menyerang lawan.
"Trang-Trang plak.......!" dua kali terjadi benturan pedang, disusul oleh suara sesuatu benda yang pecah. Ternyata, di saat pedang mereka berbenturan, Salindri menggunakan tangan kiri memukul kepala ular yang menyambar ke arah mukanya.
"Hi-hi-hik, engkau menyerah atau tidak?' ejek Salindri sambil terkekeh.
Subinem tidak menyahut. Hanya pedangnya berusaha terus bertahan, dan setiap memperoleh kesempatan membalas menyerang.
Makin dapat mendesak, rasa gembira dan kepastian dapat merobohkan lawan, memenuhi dada gadis ini. Padahal, berhadapan dengan lawan yang seimbang, rasa gembira itu bisa menyebabkan kurang pengamatan diri dan sembrono. Orang menjadi lupa, lawan dapat melakukan perbuatan curang dan penuh tipu. Demikian pula Salindri sekarang ini. Ia lupa bahwa berhadapan dengan seorang iblis. Seorang yang ganas dan tak segan segan berbuat apapun guna memperoleh kemenangan.
"Mampuslah!"
Salindri berteriak nyaring sambil mengunci Subinem, sehingga sulitlah Subinem menyelamatkan diri. Baru setelah dengan susah payah. dan menggulingkan diri, perempuan jelek ini dapat menghindari sambaran pedang Salindri yang dahsyat.
Akan tetapi belum juga lenyap suara teriakan
Salindri tadi, menyusul Salindri berteriak nyaring oleh rasa kaget.
'Aihhh... blung...!'
"Heh-heh-heh, hiyeh-hiyeh-hiyeh..... kau sendiri yang mampus!"
Titiek Sariningsih yang menonton dari atas pohon, kaget sekali dan mendadak hatinya berdebar tegang. Namun demikian. gadis remaja ini sudah melengking nyaring sambil meniup turun dari pohon.
'lblis keparat! Engkau manusia curang yang terkutuk... !" '
Gerakan Titiek Sariningsih amat ringan sekali, bagai burung garuda meniup turun dan marah. Belum juga kakinya menginjak bumi. pedang pusaka Si Buntung telah menyambar dahsyat. Hingga Subinem yang kaget sekali, terpaksa bergulingan menghindarkan diri sambil mencaci maki,
"Bangsat hina! Keparat busuk! Jangan engkau bermain curang. ! "
Oleh caci maki Subinem itu, Titiek Sariningsih terpaksa menghentikan serangannya yang dahsyat dan sulit dihindari oleh Subinem. Sebab gadis ini menjadi malu kalau dirinya dituduh curang. Sambli berdiri ini. Titiek Sariningsih mengamati tempat di mana Salindri tadi berteriak, kemudian lenyap. Ternyata lubang jebakan rahasia, yang telah membuat Salindri celaka itu, sekarang sudah menganga tanpa penutup lagi. Ia sudah menggerakkan kakinya untuk mendekati lubang itu. Tetapi gerak kakinya segera ditahan. ketika mendengar bisikan halus dalam telinganya,
"Titiek, jangan
kau gegabah. Tempat itu penuh oleh jebakan
jebakan maut. Dan kalau engkau berani mendekati lubang itu, engkau akan terperosok ke dalam dan mampus. Sebab di sekitar lubang itu, tanahnya takkan kuat menahan berat tubuhmu. Perempuan yang Sudah masuk dalam jebakan itu,tak mungkin tertolong lagi. .jiwanya sudah melayang, karena di samping lubang itu amat dalam, juga penuh senjata yang beracun. Dan sekarang, engkaupun harus berhati-hati.Hindarkan diri dari bagian yang tumbuh rumput. Sebab di bawah rumput itulah jebakan maut dibuat iblis itu. Guna mempersingkat waktu, gunakan llmu Gelap Ngampar! Ular-ular yang berbahaya dan perempuan iblis itu, takkan tahan terhadap bentakan bentakanmu!"
Terharu dan amat berterima kasih sekali Titiek Saruingsih, atas bisikan gurunya lewat Aji Pameltng itu. Entah bersembunyi dl mana Sindu. Namun jelas sekali bahwa Sindu berada di sekitar tempat ini.
Jelas, sekalipun gurunya itu tak mau bertemu muka dengan dirinya, namun kasih sayang Sindu itu belum lenyap. Masih seperti dahulu sebelum berpisah. Petunjuk-petunjuk Sindu itu amat berharga bagi dirinya sekarang, yang berhadapan dengan seorang iblis.
Tanpa bantuan Sindu, kiranya dirinya mengalami nasib seperti Salindri. Terperosok masuk ke dalam lubang jebakan maut.
Merasa dirinya diam-diam dilindungi oleh Sindu ini, hatinya semakin menjadi mantap. Dirinya sekarang ini justeru menunaikan tugas suci. Menunaikan tugas menyelamatkan ribuan nyawa manusia, oleh ancaman air sungai yang beracun itu. Apa bila dirinya sekarang dapat mengalahkan wanita ini, air sungai itu akan kembali tak beracun seperti semula, dan mempunyai kegunaan bagi manusia sekitar sungai itu.
Mendelik sepasang mata Subinem saking marahnya. Peluh membasahi sekujur tubuh, dan napasnya kempas-kempis. Rambutnya yang riap-riapan menjadi semakin mawut-mawut dan kotor seperti pakaiannya. Sebab sambaran pedang Titiek Sariningsih yang menyerang dirinya tadi benar-benar amat berbahaya. Kalau tadi serangan mendadak itu diteruskan, tentu nyawanya telah melayang. Entah oleh pedang gadis itu atau terperosok masuk ke dalam jebakan maut yang ia bikin sendiri. Sebab dalam usaha menyelamatkan diri, sulit untuk memilih tempat, mana ada jebakannya dan mana yang tidak.
Tetapi di samping rasa marah memenuhi dada, Subinem juga senang bahwa caci makinya menolong kesulitannya. Sebagai seorang yang cerdik dan licin, tahulah ia bahwa gadis muda yang dihadapi ini, merupakan seorang yang selalu bertahan dalam sifat kegagahan dan perwira. Maka untuk memperoleh kemenangan, ia Sudah tahu apa yang harus dilakukan.
"Hiye hi hiyeh-hiyeh!"
Subinem meringkik seperti kuda liar.
" Sungguh menyenangkan sekali, hari ini muncul dua orang perempuan. Yang seorang tadi wajahnya rusak dan sekarang telah mampus. Sebaliknya, engkau, huwaduh, masih muda dan cantik. Keadaannya seperti bumi dengan langit. Ada hubungan apakah engkau dengan perempuan sundal bernama Salindri tadi ?"
Titiek Sariningsih mengamati Subinem dengan pandang mata penuh kewaspadaan. Sahutnya dingin,
"Hemm, aku tidak mempunyai hubungan apapun dengan dia. Malah kenalpun aku belum. Akan tetapi huh, walaupun tidak saling kenal dan tidak mempunyai hubungan apa-apa antara dia dengan aku mempunyai satu tujuan. Engkau adalah manusia busuk sebusuk-busuknya di dunia ini. Engkau manusia kejam yang tidak kenal kemanusiaan lagi. Maka hari ini juga, aku harus melenyapkan engkau dari atas bumi."
"Uah-ha-ha-ha, hiyeh-hiyeh-hiyeh. Engkau kelewat sombong. Masih semuda ini engkau berani melawan aku? Jangan engkau mimpi bisa melawan Dewi Racun, anak muda! Oleh karena itu, aku nasihatkan padamu. Lebih baik engkau berbaik dan menyerah padaku, untuk aku angkat sebagai muridku. Sayang sekali, apa bila engkau semuda ini harus mampus dalam tangan Dewi Racun."
"Gila!" bentak Titiek Sariningsih.
"Siapakah yang sudi menjadi murid perempuan iblis macam kau ini? Manusia tak berjantung, dan tak segan segan meracuni air sungai yang banyak dibutuhkan orang. Huh, mengapa engkau sampai hati berbuat sekejam itu?"
"Hiyeh-hiyeh-hiyeh, engkau bertanya soal itu? Hemm, baiklah aku terangkan agar engkau tidak mati penasaran. Hi-hi-hik, tak lama lagi engkau akan segera mampus dan terkubur di tempat ini. Maka tak ada salahnya aku. memberi keterangan. Hai anak muda, tahukah siapa aku ini?"
" tidak."
Titiek Saliningsih menggeleng karena memang tidak kenal kepada orang perempuan bernama Subinem itu.
"Hi-hihik, pantas engkau berani kurang ajar di depanku. Ternyata engkau belum kenal siapakah aku .Hem, dengar yang jelas, agar engkau tahu mengapa sebabnya aku meracuni air sungai yang bersumber di tempat ini. Julukanku adalah Dewi Ricuh. Dan sebelum aku menghuni di sini, aku adalah ketua Perguruan Tuban......"
" Aihh . . . . . . ! " seru Titiek Sariningsih tertahan, karena heran.
"Hi-hi-hik, mengapa engkau, anak muda? Engkau kaget dan takut setelah tahu bahwa aku bekas ketua Perguruan Tuban yang namanya amat harum itu? " ejek Subinem yang menjadi gembira.
" Mengapa bekas ketua Perguruan Tuban engkau menjadi begini? Dan apa sebabnya pula engkau meninggalkan Perguruan Tuban?"
Sebagai seorang gadis yang merasa dilahirkan di Tuban, tentu saja Titiek Sariningsih timbul rasa yang tidak rela, bahwa bekas ketua Perguruan Tuban harus hidup di tempat terasing seperti ini, dan tentunya menderita pula. Seharusnya, sebagai bekas seorang pemimpin Perguruan Tuban yang namanya harum itu, harus memperoleh kedudukan layak.
Melihat bahwa anak muda ini mulai tertarik akan ceritanya, Subinem amat gembira. Ia akan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya, memerintahkan ular jahatnya untuk menyerang bocah ini, di saat tidak bersiaga. Dengan demikian, ia akan berhasil mempertahankan keangkeran tempat
tinggalnya ini, dan kemudian akan membuat orang menjadi takut mengganggu ketenangannya.
"Hem, sebenarnya aku tak ingin mengungkap peristiwa yang sudah lama berlalu. Huh, kenangan yang membuat hati penasaran, tetapi hari ini agak berkurang juga rasa penasaran ini, dengan terbunuhnya mampus perempuan yang bernama Salindri tadi. Dia itulah salah seorang dari sejumlah orang yang melakukan pemberontakan dalam Perguruan Tuban Sebagai akibat keroyokan banyak orang berilmu tinggi membuat aku tak berdaya dan terpaksa meninggalkan Tuhan dengan hati penasaran. Sejak itulah aku hidup mengembara. Namun ternyata, hidupku sengsara dan terlunta-lunta. Aku menjadi benci! Benci kepada semua orang. Nah, itulah alasanku bertempat tinggal di tempat ini, kemudian meracuni air sungai. Semua ini sebagai pembalasanku kepada banyak manusia yang membuat aku menderita. Huh, biarlah mereka memetik hasil tanaman mereka!"
Sebagai seorang yang belum tahu siapa orang yang bernama Subinem dan menamakan diri sebagai Dewi Racun ini, tentu saja Titiek Sariningsih mudah sekali terpengaruh.. Gadis ini menjadi bimabang dan ragu. Kalau perempuan ini benar bekas ketua Perguruan Tuban, dan sekarang hidupnya menderita tentu saja Titiek Sariningsih merasa sayang. Dan kalau benar perempuan ini terusir dari Perguruan Tuban oleh pengkhianatan, maka timbullah niatnya untuk membantu perempuan ini, agar kembali menjadi ketua Perguruan Tuban.
Akan tetapi sebelum Titiek Sariningsih sempat membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh nyaring menusuk telinga. Lalu disusul oleh ucapan orang, dan terdengar amat jelas,
"Hehheh-heh. Subinem! Engkau manusia yang tidak tahu malu! Penipu, dan bermulut busuk; Siapa yang bisa percaya manusia macam engkau dipilih orang sebagai ketua Perguruan Tuban?"
Telinga Subinem terasa sakit seperti ditusuk tusuk jarum. Insyaflah ia, bahwa Orang yang mengucapkan kata-katanya tetapi tidak tampak ini, tentu orang sakti mandraguna. Tetapi tentu saja ia tidak mau turun harga dirinya.
"Kurang ajar! Siapakah engkau ini, berani membuka mulut tetapi bersembunyi seperti bekicot? Melihat sikapmu yang tak tahu malu ini, jelas bahWa engkau seorang pengecut busuk!"
"Jahanam kau!" bentak Titiek Sariningsih marah.
"Hai perempuan busuk, hati-hatilah engkau membuka mulut! Engkau berani memaki guruku "
Kaget sekali Subinem mendengar bentakan gadis muda ini. Kalau ucapan bocah ini benar. keadaannya sekarang benar-benar amat berbahaya. Tadi ia sudah merasakan sendiri, bahwa sambaran dan serangan pedang gadis ini amat berbahaya.. Kalau di belakang gadis ini masih ada gurunya, berarti ia berhadapan dengan lawan amat berat.
Sementara itu Sindu yang tidak menampakkan diri meneruskan kata-katanya,
"Heh -heh-heh, Sejak dulu sampai sekarang sikap dan watakmu tidak berubah. Engkau manusia busuk yang paling busuk di dunia ini, dari murid pengkhianat
Perguruan Tuban. Engkau sendiri yang berkhianat, dan oleh pengkhianatanmu engkau memperoleh kesempatan sebagai ketua Perguruan Tuban Maka jika engkau kemudian terusir dari rumah perguruan itu, adalah sudah seharusnya. Engkau memetik buah tanamanmu sendiri. Mengapa engkau harus menyesal dan menuduh orang lain memberontak? Huh, tidak tahu malu! Dosamu sudah bertumpuk, dan membunuh ribuan manusia tidak berdosa-. Maka hari ini, engkau akan memperoleh hukuman setimpal dari muridku !" .
Subinem membanting-bantingkan kakinya ke tanah saking penasaran. Wajahnya berubah lebih jelek lagi, dan sepasang matanya liar menatap Titiek Sariningsih.
'Bagus, heh-heh-heh! Aku ingin melihat apakah kamu guru dan murid, mempunyai harga melawan aku yang terkenal berjuluk Dewi Racun!" '
Tiba-tiba terdengarlah suara Subinem yang mendesis-desis, mirip dengan desis ular. Mendengar suara itu, belasan ular yang tadi berdiam diri di sekitar Subinem, dan hanya kadang-kadang mengangkat kepala dan menjulurkan lidahnya, sudah bergerak dan mengurung Titiek Sariningsih. Agak jijik juga Titiek Sariningsih melihat ular-ular itu. Namun ia menekan perasaan, sebab ia merasa bahwa hari ini dirinya menunaikan tugas suci menolong nyawa ribuan manusia. Untung sekali bahwa sambil berlompatan di atas dahan pohon tadi, ia sempat memetik sejumlah buah gayam muda. Untuk menolong diri menghadapi binatang-binatang yang berbisa dan menjijikan ini, buah gayam yang muda itu bisa dipergunakan menolong diri.
Ia membentak nyaring, dan tiba-tiba buah gayam muda pada tangan kiri menyebar ketika lengan kiri itu bergerak.
'Tak-tak tak......!"
Sekali sambit tujuh buah gayam lepas dari tangan, dan mengenai sasarannya secara tepat sekali. Tujuh ekor ular yang baru bergerak itu, tiba-tiba berkelojotan karena kepalanya pecah.
Peristiwa ini membuat Subinem kaget dan tambah marah. Perempuan ini membentak kepada ular ular piaraannya yang akan berebut bangkai kawannya sendiri.Sesudah itu kembali mulutnya mendesis lebih keras. Ternyata desis ini semacam perintah untuk menyerbu lawan. Sebab tiba-tiba sisa ular piaraan itu mengalihkan sasaran, menyerbu kearah Titiek Sariningsih. Hampir berbareng dengan bergeraknya binatang-binatang itu, Subinempun sudah melesat maju, menyerang dengan pedangnya.
'Tak-tak-tak... cress...! Aihhh......!" Terdengar pekik Subinem yang nyaring saking kaget, ketika tangan kanan terasa ringan. Ternyata pedangnya itu sekarang sudah patah tinggal separuh, begitu bertemu dengan pedang lawan.
Kesempatan di saat Subinem kaget ini, Titiek Sariningsih menggerakkan tangan kiri menyambit setiap kepala ular. Sambitannya hebat sekali, dan setiap buah gayam itu lepas dari tangan, membuat kepala ular yang dijadikan sasaran pecah dan mati.
Dalam waktu beberapa detik saja, belasan ekor ular yang galak dan berbisa itu sudah malang melintang dengan kepala pecah semua.
Untuk beberapa saat Subinem berdiri bagai patung. Sungguh tidak pernah ia duga, pedangnya akan patah sekali terbentur. Jelas bahwa pedang lawan yang muda itu, sebangsa pedang pusaka yang tajam luar biasa. Mendadak pedang yang tinggal separuh itu ia sambitkan ke arah Titiek Sariningsih.
"Wut.... takk......!" sambaran dari sambitan Subinem itu cukup Cepat.Akan tetapi Titiek Sariningsih dapat bergerak lebih cepat lagi. Gadis ini hanya menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Dan potongan pedang itu menyambar lewat sisi tubuhnya, kemudian terus meluncur menghantam sebuah batu yang berada di belakang Titiek Sariningsih.
Mulut Titiek Sariningsih yang sudah terbuka mau mengejek menjadi urung, malah gadis itu terbelalak kaget. Di saat Titiek Sariningsih terbelalak kaget memandang ke arah batu yang pecah oleh sambitan Subinem itu, maka Subinem tidak menyia-nyiakan kesempatan sebaik ini. Ia menyambar dua ekor ular warna hijau dan hitam. Yang dua duanya merupakan ular yang bisanya amat jahat sekali. Kemudian menyerang ke arah Titiek Sariningsih.
Untung sekali bahwa seluruh bagian tubuh gadis ini sudah terlatih, sehingga setiap saat dalam keadaan siap menghadapi bahaya. Mendengar sambaran angin serangan,gadis ini sudah melenting
tinggi di udara. Kemudian menggunakan tangan kiri yang siap dengan buah gayam itu membalas dengan sambitan. Tiga buah gayam menyambar ke bawah dengan kecepatan luar biasa. Subinem kaget dan berusaha menyelamatkan diri dan dua ekor ularnya, sambil melompat ke samping. Namun sungguh sayang sekali,bahwa sambaran buah gayam itu di samping cepat seperti tatit, juga sulit di duga arah sasarannya.
"Tak-tak-tak! Aduhhh......!" tiga buah gayam itu ternyata masih dapat mengenakan tubuh dua ekor ular yang dipergunakan sebagai senjata, dan yang sebuah lagi malah mengenakan pahanya. Sesudah mengaduh nyaring, perempuan ini mendeprok tak dapat bangkit lagi. Ternyata walaupun hanya buah gayam, akibatnya amat hebat sekali. Buah gayam yang mengenakan paha itu membuat tulang paha Subinem remuk dan sakitnya bukan main. Membuat Subinem tidak kuasa bangkit berdiri lagi, karena tak kuasa menahan sakit.
Perempuan iblis ini mengamati kearah batu yang tadi tersambit dengan wajah penuh harapan. Sebab begitu batu pecah, di bawah bekas batu tersebut, segera terbuka lubang yang menganga. Dari dalam lubang itu, sudah terdengar suara mendesis yang cukup keras, Dan suara itulah yang tadi membuat Titiek Sariningsih kaget lalu diserang oleh Subinem.
Sambitan dengan pedang yang telah patah tadi memang ada maksud rangkap. Syukur sekali kalau sambitannya dapat membuat lawan itu roboh. Akan
tetapi kalau lawan dapat menghindari, pedang yang tinggal separuh itu akan meluncur terus dan menghantam batu yang berada di belakang Titiek Sariningsih. Batu sebesar anak kerbau itu, bukanlah batu gunung biasa. Akan tetapi merupakan batu yang mengandung rahasia. Sebab begitu batu itu pecah oleh sambitannya, di bawah batu itu segera terdapat lubang yang terbuka. Dan di dalam lubang di bawah batu ini, tersimpan belasan ekor ular yang amat berbahaya. Suara yang mendesis keras itu, adalah desis dari belasan ekor ular yang mendesis bersama-sama, sebagai pernyataan gembira dari semua ular yang tersimpan di lubang itu. Cukup lama belasan ekor ular itu terkurung di dalam lubang di bawah batu. Semacam tawanan yang celaka, karena tidak bebas bergerak dan menderita kelaparan.
Belasan ekor ular yang kelaparan ini tentu saja menjadi buas dan berbahaya, lebih-lebih ular-ular itu adalah ular yang amat berbisa dan jahat sekali. Ialah sejenis ular bandotan. Tubuhnya hanya pendek saja, yang tua dan terpanjang hanya setengah meter dan paling besar hanya sebesar ibu jari kaki. Tubuhnya yang pendek membuat ular itu lebih suka melenting seperti terbang. Cepat sekali dan setiap kali dapat menggigit manusia atau binatang, yang tergigit dalam waktu singkat akan tewas. Lebih-lebih kalau ular ini dalam jumlah banyak dan kelaparan. Akan menjadi lawan yang sangat berbahaya.
Titiek Sariningsih merasa ngeri melihat munculnya ular-ular yang warnanya hitam dari dalam lubang, dan tidak merayap seperti ular yang lain. Sedang Subiaem yang tak bisa berdiri karena pahanya remuk, duduk dilindungi oleh beberapa ekor ular besar, dan dari mulutnya terdengar suara mendesis-desis nyaring.
Di saat Titiek Sariningsih diliputi rasa ngeri ini, terdengar bisikan dalam telinganya,
"Titiek, apakah engkau ingin mampus berdiri seperti itu ? Sambaran ular bandotan itu tak terduga duga. dan setiap menggigit, yang digigit akan mati! Cepat gunakan Ilmu Tangan Kosong Cleset Taun. Bergeraklah seperti gasing. Cepat!"
Bisikan itu menyadarkan Titiek Sariningsih. Secepatnya ia menyarungkan kembali pedang pusakanya, lalu menggunakan Ilmu Tangan Kosong Cleret Taun. Ia berdiri di atas sebelah kaki, kemudian tubuhnya berputar bagai gasing. Sedang dua belah tangannya bergerak gerak cepat menampar dan mendorong, sehingga muncullah angin pukulan yang sangat dahsyat.
Hampir berbareng dengan bergeraknya tubuh Titiek Sariningsih itu, beberapa sinar hitam melesat ke arah Titiek Sariningsih. Itulah lentingan dan loncatan ular bandotan tersebut, yang tanpa takut menyerang lawan, memenuhi perintah Subinem.
Kalau saja Titiek Siriningsih seorang diri datang di tempat ini, walaupun tingkatnya Jauh lebih tinggi dibanding Subinem. sulit ke luar dari tempat ini masih bernyawa. Hal itu bukan lain karena Subinem mempunyai pembantu-pembantu berbahaya. Walaupun tampaknya ia hanya seorang saja, namun barisan ularnya sangat berbahaya bagi lawan yang berani mengganggu. Dalam saat itu kalau gadis ini tidak memperoleh bisikan Sindu lewat Aji Pameling, dirinya akan terlambat bergerak, Sebab gadis ini tentu akan membela diri dengan pedangnya. Walaupun dengan pedang itu Titiek Sariningisih akan bisa membendung serangan ular itu, dan tentu akan mati oleh pedangnya, namun akan bisa menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Kalau di antara darah itu ada yang memercik dan mengenai kulit tubuhnya, darah itu cukup berbahaya. Ular bandotan itu bisanya amat jahat dan darahnyapun berbisa sekali. Sekalipun hanya sepercik darah akan membuat orang keracunan juga.
Berbeda dengan digunakannya Ilmu Tangan Kosong Cleret Taun ini. .Angin yang kuat dari tamparan dan dorongannya akan nembuat setiap ular yang berani menyerang, tentu terlempar dan mati. Dengan demikian takkan ada sepercik darahpun yang akan bisa mengenai tubuhnya.
Subinem yang mendeprok di atas tanah itu, terbelalak kagum melihat gerakan si gadis yang cepat sekali seperti gasing. Walaupun dirinya sekarang ini sudah meningkat jauh ilmu kesaktiannya. makin lama 'menjadi pening juga melihat gerakan yang amat cepat itu. Tubuh gadis itu lenyap, dan yang tampak hanyalah seperti benda yang berputar cepat sekali, dan dari benda itu menyambar angin pukulan yang hebat sekali. Tetapi di samping kagum perempuan ini menjadi amat marah. Dirinya
akan terancam keselamatannya, kalau ular-ular yang menjadi perajuritnya itu semuanya mati. Maka perempuan ini menghentikan aba abanya, tetapi telah terlambat. Semua ular bandotan yang disimpan dalam lubang itu sudah habis menyerang dan mati. Tiba-tiba Subinem mengambil dua buah benda dari dalam sakunya, yang langsung disambitkan ke arah Titiek Sariningsih. Benda itu tidak berhasil menyentuh tubuh Titiek Sariningsih, tertahan oleh hawa pukulan yang ke luar dari tangan gadis itu.
Akan tetapi benda itu jadinya meledak.
"Dar...... dar...!" benda yang meledak itu mengepulkan asap hitam yang cukup tebal.
Disusul oleh suara ketawa Subinem yang terkekeh dan mengejek,
"Hehaheh-heh, mampuslah engkau sekarang!"
Begitu benda yang dilempar oleh Subinem meledak, Titiek Sariningsih kaget dan sudah berusaha untuk menahan napas. Namun telah terlambat .Asap hitam itu justeru mengandung racun yang amat jahat. Orang yang menghirup asap hitam itu akan segera pingsan dan keracunan. Maka begitu hidungnya kemasukan asap hitam. Titiek Sariningsih merasakan kepalanya pening dan pandang matanya gelap. Ia terhuyung kemudian roboh tak sadarkan diri.
Di saat Titiek Sariningsih roboh ini, beberapa ekor ular berbisa piaraan Subinem cepat menyerbu.
Celaka!
Tak urung gadis muda ini akan tewas secara mengenaskan sekali oleh gigitan-gigitan Ular yang berbisa itu,
Untung sekali bahwa di saat yang amat berbahaya, berkelebatlah bayangan Sindu yang masih mengenakan kulit macan tutul. Dari mulut Sindu terdengar lengkingan nyaring sekali, dan membuat ular-ular yang menyerbu itu terkejut dan berhenti. Subinem sendiri yang ketika itu mendeprok di atas tanah jantungnya serasa mau copot!
Tubuhnya gemetar sehingga tak kuasa bergerak sedikitpun. Di saat Subinem dan binatang berbisa piaraannya itu tak dapat bergerak sesaat Sindu sudah menyambar Titiek Sariningsih menggunakan tangan kiri, lalu dikempit di bawah ketiaknya. Kemudian seperti tatit menyambar, tahu-tahu Subinem telah dapat disambar tak berkutik. Dan sesaat kemudian tanpa berdaya sedikitpun, Subinem telah ditawan dan dibawa pergi oleh Sindu. Setiba disuatu tanah lapang yang tidak begitu luas. Subinem dilemparkan ke tanah dan terbanting keras. Saking tak kuat menahan rasa sakit pada paha yang remuk tulangnya, Subinem menjerit keras sekali, dan berguling guling seperti cacing kepanasan.
Sindu tidak perduli. Ia meletakkan Titiek Sariningsih yang pingsan itu perlahan-lahan di atas rumput, yang terlindung oleh sebatang pohon kecil tetapi berdaun rindang. Begitu melihat wajah muridnya yang terkasih sudah mulai berubah agak menghitam, kakek sakti ini timbul rasa khawatirnya. Kalau tidak cepat tertolong, niscaya murid tunggalnya ini akan tewas oleh racun. Maka setelah berusaha mencegah menjalarnya pengaruh racun itu, dengan memasukkan sebutir obat kering ke dalam mulut Titiek Sariningsih. kakek Sindu
membalikkan tubuh dan menatap Subinem dengan tajam. Bentaknya menggeledek,
"Lekas berikan obat pemunah racun itu !"
Akan tetapi Subinem tidak menyahut dan tidak lekas memberikan obat pemunah yang diminta itu, tetapi meneruskan sesambatnya melolong-lolong seperti anjing kena gebug!
Sindu tidak sabar lagi ia segera menangkap Subinem dan mengancam,
"lekas berikan obat pemunah racun itu. Jika tidak, engkau tentu kubunuh!"
Di tengah kesakitan hebat ini, Subinem terkekeh dan mengejek,
"Hah -heh-heh, man bunuh lekas bunuh. Siapa takut pada ancamannu? Biarlah bocah liar itu menjadi temanku mati !'?
Gelisah bukan main Sindu, mendengar jawaban Subinem yang membandel dan malah menantang ini. Untung sekali bahwa Sindu bukanlah seorang tolol. Dia bukanlah seorang kakek yang mudah digertak orang. Sedikit banyak ia sudah mengenal watak Subinem yang licik dan kejam. Berhadapan dengan perempuan semacam ini, tiada perlunya bersopan santun lagi. Maka dengan kecepatan luar biasa, Sindu telah menggeledah simpanan macam macam racun dan obat pemunahnya. Kemudian ia mengancam dengan benda bundar yang bisa meledak, yang tadi dilemparkan kepada Titiek Sariningsih.
"Subinem! Jika engkau membandel, huh, engkau harus mampus oleh racun jahatmu ini!"
Subinem terbelalak dan pucat wajahnya oleh ancaman ini. Ia sadar, bahwa orang yang terkena oleh racun yang tersimpan dalam benda bundar
ini akan mati mengenaskan. Sebab tubuhnya akan menjadi melepuh lebih dahulu sebelum maut merenggut, dan akan tersiksa setengah mati. Tentu saja ia tidak menghendaki dirinya sendiri menjadi korban dari racunnya sendiri yang jahat itu. Maka dengan gugup ia berkata,
"Aduhh... jangan! Bunuhlah aku, tetapi jangan kaugunakan itu!"
"Lekas jawab, manakah obat pemunah pengaruh racun ini?" hardik Sindu.
"Ambillah kantung yang warnanya hijau. Dengan obat bubuk pada kantung hijau itu, orang yang terkena racun akan tertolong."
"Hemm, akan aku coba! Engkau akan aku racuni dengan benda ini, kemudian engkau akan aku sembuhkan dengan obat pemunah dalam kantung warna hijau. Nah, siaplah engkau, akan aku serang dengan racunmu sendiri."
"Ohhh.. aduhh.. tunggu! Jangan ......!"
Sindu tersenyum. Ia memang sudah menduga bahwa Subinem tidak memberi keterangan sejujurnya. Oleh sebab itu ia tak segera mau percaya dan mengancam akan mencoba kebenaran keterangan Subinem itu.
"Mengapa jangan ?" ejeknya.
"Ahh, bukan kantung warna hijau. Ahh.... ternyata engkau cerdik dan tak dapat aku tipu. Kantung pemunah yang sesungguhnya, tersimpan dalam kantung sutera kuning."
Gembira Sindu mendengar itu. Ia sekarang percaya bahwa keterangan Subinem kali ini tidak
menipu. Diambillah kemudian sebungkus kecil obat bubuk dari kantung warna kuning itu. Kemudian disedu dengan air, lalu diminumkan kepada Titiek Sariningsih. Ternyata obat pemunah racun itu mustajab sekali. Dalam waktu tidak lama, wajah Titiek SariningSih yang semula agak hitam itu, berangsur kembali kepada keadaannya yang semula. Sekalipun demikian, Titiek SariningSih belum sadar dari pingsannya.
Sindu menghela napas lega.Ia menatap kepada Subinem, kemudian katanya,
"Hai Subinem! Aku tak tahu berapa ribu orang yang telah melayang jiwanya oleh perbuatanmu yang terkutuk. Seharusnya, tidak terlalu mahal apa bila hari ini aku membunuhmu. Akan tetapi, hemm, engkau sudah menunjukkan sedikit kebaikanmu, sehingga bocah yang keracunan ini selamat. Maka tak tega aku harus mengakhiri hidupmu dengan pembunuhan."
Sindu berhenti sesaat. Lalu meneruskan,
"Namun, hemm, akan amat berbahayalah engkau ini apa bila aku biarkan berbuat sesuka hatimu dengan racun-racun yang amat jahat itu. Demi keselamatan banyak manusia, dan demi kesejahteraan manusia di dunia ini, engkau harus memperoleh hukuman yang setimpal. Sekarang, engkau harus hidup Sebagai manusia cacat tanpa guna lagi."
"Aduhh.... ampunnn......jangann......!" ratap Subinem yang ketakutan sambil berusaha untuk menghindar.
Akan tetapi manakah mungkin Subinem dapat menghindarkan diri?
Dalam keadaan sehatpun subinem bukan lawan Sindu. Apa pula sekarang
tulang kaki perempuan ini remuk. Maka yang terdengar kemudian hanya suara,
"Krekk..... aduhh.! Krakk.. aduhh ....!"
Dua kali tangan Sindu bergerak mematahkan tulang pundak Subinem, dua kali pula teriakan kesakitan keluar dari mulut Subinem, mirip dengan lolongan hantu. Akibatnya adalah menyedihkan. Walaupun masih hidup, namun sekarang Subinem merupakan seorang cacat yang tidak berguna lagi, dan semua ilmu kesaktiannya musnah. Wajah perempuan itu pucat bagai kertas. Dua lengannya terjulur ke bawah tak dapat digerakkan lagi. Tulang pundaknya telah remuk, dan tak mungkin bisa dipulihkan lagi. Subinem sekarang bukan saja dua lengannya tidak dapat digerakkan, namun sebelah kakinya yang sudah remuk tulang pahanya, juga tidak dapat berfungsi sebagaimana biasanya. Jelasnya, sekalipun masih hidup, Subinem sekarang takkan dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
Sesungguhnya Sindu merasa tak tega juga harus berbuat seperti itu kepada Subinem. Akan tetapi kalau manusia iblis macam ini dibiarkan hidup tidak cacat, tentu akan menimbulkan bahaya terhadap manusia. Oleh karena itu, tanpa bicara lagi Sindu segera menyambar Titiek Sariningsih yang masih pingsan, dibawa pergi.
Subinem tak dapat berbuat apa-apa. Namun kalau di depan Sindu tadi perempuan ini kuasa menahan sakit dan rasa penasarannya, sekarang perempuan ini menangis dan mencaci maki kalang kabut. Ia sadar bahwa sekalipun dirinya sekarang
masih hidup, namun sudah merupakan manusia cacat yang tak berguna. Hidup sebagai manusia cacat, tidak urung dirinya bakal dihina oleh setiap orang. Ingat akan masa depannya yang gelap ini, tiba-tiba saja timbullah keputusasaannya. Dari pada hidup tak berguna dan dihina orang, lebih baik sekarang saja mati. Maka dengan mengeraskan hati dan menekan perasaannya, perempuan ini segera menggigit lidahnya sendiri. Begitu lidah tergigit putus, perempuan ini segera roboh dan darah merah ke luar dari mulutnya.
Subinem menggeletak tak bernyawa di atas tanah, di tengah hutan pada perbukitan Kendeng. Tidak ada seorangpun yang datang dan meratapi. Tidak ada seorangpun yang datang untuk merawat jenazahnya. Mayatnya terkapar di tengah hutan, tiada bedanya bangkai seekor binatang. Hukuman Tuhan telah berlaku kepada salah seorang manusia yang melupakan Tuhannya. Subinem harus memetik buah tanamannya sendiri. Harus mati tanpa ada seorangpun datang dan mengurus jenazahnya.
Semua manusia yang hidup di dunia ini akan mati.
Adakah manusia yang ingin, kelak kemudian hari, di saat nyawa meninggalkan raganya mengalami nasib seperti Subinem ini?
Tidak seorangpun yang mau datang merawat jenazahnya?
Manusia yang tidak ingin mati semacam Subinem ini, jauh sebelumnya harus sudah mengumpulkan bekal. Semasa masih hidup, tidak hanya mengumbar nafsu dalam segala bentuk. Baik nafsu mengumpulkan kekayaan dengan jalan tak wajar, melakukan kesewenangan dan yang lain. Sebab manusia yang menanam pada akhirnya akan memetik buahnya .
Menanam padi takkan tumbuh dan berbuah rumput.
Kalau demikian halnya, mengapa di saat Tuhan maSih memberi kesempatan hidup, tidak melakukan perbuatan baik?
Yang ikhlas tanpa mengharapkan pamrih untuk keuntungan pribadi?
Banyak jalan yang dapat ditempuh tiap manusia. Dan semua orang bisa, apa bila benar-benar mau menyadari dan mau melakukannya.
Yah, biarlah Subinem sekarang memetik buah tanamannya sendiri. Biarlah Subinem menerima hukuman Tuhan yang berlaku atas dirinya.
Mari kita ikuti ke mana kepergian Sindu menyelamatkan Titiek Sariningsih?
Ternyata bahwa gerakan Sindu cepat bukan main, seakan bisa terbang. Semua itu bukan lain adalah hasil yang diperoleh dari ketekunannya melatih diri dalam Gua Rengel. Gua tempat Supodriyo atau Empu Supo bertapa, di jaman Majapahit. Seperti diceritakan dalam Kisah Si Pedang Buntung, secara tak sengaja Sindu masuk ke dalam gua ini. Dalam waktu yang hanya kurang lebih satu tahun, Sindu telah berhasil menguasai semua ilmu warisan Empu Supo. Dan Sindu sekanang telah menjadi seorang manusia yang sulit diukur lagi kesaktiannya. '
Begitu keluar dari Gua Rengel ini, teringatlah Sindu akan murid tunggalnya yang amat disayang, Titiek Saniningsih. Untuk itu ia mengesampingkan tugas untuk menyerahkan keris Sengkelat kepada raja yang berhak menerima, dan lebih penting untuk segera mencari jejak Titiek Sariningsih. Ia berkelana dan menjelajah desa hutan dan perbukitan.
Namun telah berbulan-bulan lamanya berusaha, belum juga ia berhasil bertemu dengan murid yang terkasih itu. Akan tetapi Sindu tidak mengenal putus asa. Ia terus berkelana, dengan harapan pada suatu waktu akan dapat bertemu dengan muridnya itu.
Tetapi berkat menekuni kitab Warisan Empu Supo itu, sekarang pandangan dan sikap hidup Sindu sudah menjadi lain. Pikiran dan hatinya sekarang telah tenang, seperti tenangnya telaga yang airnya amat dalam. Ia telah dapat menerima hidupnya ini secara wajar. apa adanya. Ia telah terbebas dari rasa benci, iri hati dan kekerasan. Dalam sanubarinya sekarang yang ada tinggallah kasih yang tulus.
Pada suatu hari, bertemulah ia dengan seorang pemburu yang berhasil membunuh seekor harimau tutul yang cukup besar. Akan tetapi pemburu itu menjadi kesulitan dan mengeluh, karena tak kuat membawa hasil buruannya itu seorang diri. Melihat kesulitan pemburu itu, tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk memanfaatkan kulit harimau tersebut. Ia kemudian berunding dengan pemburu tersebut, ingin membeli harimau itu. Ia tidak menghendaki dagingnya, dan ia hanya membutuhkan kepala dan kulit yang utuh. Pemburu itu gembira sekali. Dia tak menghendaki uang pembelian dari Sindu. Dia sedia menyerahkan apa yang diminta Srndu, asal saja sedia membantu menggotong harimau itu pulang ke rumah. Sindupun tidak menolak, dan Sindu berhasil memiliki kulit harimau berikut kepalanya itu. Oleh Sindu kepala harimau tutul itu segera diramu dengan obat. Sehingga kepala
harimau tersebut tidak membusuk. Dan itulah sebabnya, Sindu muncul dan bertemu dengan Titiek Sariningiih, berlindung di dalam, kulit harimau. Hingga pada mulanya Titiek Sariningsih tidak mengenal dirinya.
Sekarang Titiek Sariningsih dilarikan secepat terbang oleh Sindu. Beberapa lama kemudian, tibalah pada sebuah gubug kecil di tengah hutan. Titiek Sariningsih dibaringkan di atas balai balai beralas rumput kering. Sedang Sindu segera sibuk untuk menyadarkan Titiek Sariningsih.
Ketika Titiek Sariningsih membuka matanya pertama kali, menjadi kaget mendapatkan dirinya berada dalam sebuah gubug. Hari sudah hampir senja, sehingga dalam gubug yang sempit itu agak gelap. Ia meloncat dari pembaringan. Akan tetapi ia segera terhuyung, karena kepalanya terasa agak pening. Ia duduk pada tepi balai-balai itu, sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya.
"Ahh, aku tadi berhadapan dengan Subinem. Dia melemparkan benda dan meledak. Asap hitam mengepul, dan membuat kepalaku pening. Ahh, kiranya aku tak sadarkan diri," desis gadis ini.
"Tetapi mengapa aku sekarang berada dalam gubug ini?"
Namun sesaat kemudian bibir Titiek Sariningsih tersenyum. Ia segera ingat akan semuanya, bahwa di saat ia berhadapan dengan perempuan iblis itu,diam-diam kakek Sindu melindungi dan membantunya. Kalau sekarang dirinya tiba-tiba berada dalam gubuk ini. kiranya Semua itu hasil perbuatan gurunya sendiri. Teringat akan gurunya, Titiek Sariningsih bangkit lalu melangkah menuju pintu gubug. Ia menjenguk ke luar. Di luar gubugpun sudah agak gelap, sinar matahari tak kuasa menembus rimbun daun hutan. Ia tidak melihat gurunya maupun orang lain. Di atas dahan pohon, burung berkicau riuh mendekati sarang masing masing. Agaknya burung-burung itu gembira dapat pulang kembali ke sarangnya. Maka pengalamannya sehari mencari makan tadi, dituturkan kepada anak-anaknya yang belum dapat meninggalkan sarang. Anak burung itu gembira, justeru perut sudah lapar. Lalu saling berebut untuk bisa memperoleh makanan dari mulut si jantan dan si betina.
"Guru! Kakek Sindu! Di manakah engkau?" teriak Titiek Sariningsih, dalam usahanya memanggil gurunya.
Ia menunggu cukup lama, akan tetapi tidak terdengar jawaban yang ia harapkan. Ia menghela napas pendek. Ia sadar akan perubahan gurunya yang aneh. Gurunya yang bersembunyi di dalam kulit harimau itu, saat sekarang belum sedia bertemu muka dengan dirinya. Ia tak dapat memaksa dan harus menerima apa saja perlakuan gurunya itu.
Akan tetapi sekalipun begitu, hati gadis ini dipenuhi pertanyaan, apa sajakah maksud gurunya berbuat seaneh itu?
Tiba-tiba terdengarlah suara berkeruyuk dalam perutnya. Suara berkeruyuk itu merupakan tanda perutnya lapar. Barulah ia teringat, perutnya baru
diisi tadi pagi. ketika tiba-tiba di bawah pohon
telah terdapat bungkusan besar berisi nasi dan lauknya. Ia merasa masih menyimpan sisa makanan itu dalam buntalan pakaiannya. Maka buntalan pakaian tersebut segera ia buka, lalu mulutnya tersenyum ketika mendapatkan nasi itu masih baik. Sambil duduk di atas balai-balai dalam gubug kecil ini, Titiek Sariningsih memulai makan. Sambal yang pedas itu membuat ia dapat makan lebih nikmat. Nasi itu semua habis masuk perut. Dan setelah didorong oleh air minum, rasa tubuhnya segar dan hilanglah rasa lelah maupun penatnya.
Berbareng dengan masuknya matahari ke peraduannya, hutan ini menjadi amat gelap. Namun ia terpaksa membiarkan ruangan gubug yang kecil ini menjadi gelap. Sebab ia tidak memiliki alat untuk membuat penerangan. Maka kemudian gadis ini merebahkan diri di atas balai-balai dalam keadaan gelap.
Titiek Sariningsih tidak tahu sudah berapa lama ia merebahkan diri berusaha tidur. Namun ketika ia sudah mulai akan tertidur, tiba-tiba telinganya yang peka itu mendengar suara langkah orang. Ia kaget dan bangkit, memperhatikan suara itu. Telinganya yang sudah amat terlatih segera bisa tahu ada dua orang mendekati gubug. Kemudian terdengarlah suara orang,
"Ahh, kakang... aku sudah amat letih sekali. Hutan ini gelap, ke mana kita bisa mencari tempat mengaso?"
"Hemm, jangan engkau merengek terus, isteriku,aku menjadi sedih jadinya."
"Huh, siapa yang merengek? Engkau sendiri yang berjanji akan membawa aku pulang. Tetapi mengapa selalu berkelana dalam hutan dan bukit macam ini?" .
"Rumahku amat jauh, dan kita baru bertemu sepekan lamanya. Tentu saja perjalanan kita ini memerlukan waktu berminggu-minggu, isteriku."
Titiek Sariningsih kaget mendengar pembicaraan orang itu. Dua orang itu laki-laki dan perempuan. Dan dari pembicaraan mereka itu pula, dua orang ini termasuk pengantin baru. Sebab yang laki-laki tadi menyebutkan, baru bertemu sepekan lamanya. Kalau sekarang pengantin baru itu menuju ke gubug di mana ia tidur, mereka akan segera menempati gubug ini untuk mengaso. Timbullah rasa kasihan kepada pengantin baru tersebut, dan terpikir oleh gadis ini untuk mengalah. Bagi dirinya yang telah biasa tidur di udara terbuka maupun di atas dahan, tidaklah mengapa. Akan tetapi pengantin baru itu, kasihan apa bila gubug ini harus ia pertahankan. Berpikir demikian Titiek Sariningsih cepat bangkit, kemudian dengan gerakannya yang amat cepat telah ke luar dari gubug itu. Sejenak ia menyembunyikan diri di balik batang pohon.
Timbul keinginan tahunya, seperti apakah pengantin baru yang sedang berusaha mencari tempat meneduh di dalam hutan ini?
Langkah kaki dua orang itu, makin lama semakin terdengar jelas. Namun gadis ini mengerutkan alisnya ketika menangkap langkah orang itu. Sebab yang seorang langkahnya agak berat. sedang
yang seorang amat ringan-sekali, membuktikan seorang sakti mandraguna.
Ia belum tahu, yang manakah orang yang melangkah ringan itu, laki-laki atau yang perempuan?
Tak lama kemudian muncullah orang yang ia tunggu itu, tak jauh dari gubug. Lalu terdengarlah suara laki-laki,
"Huwaduh isteriku, akhirnya kita mendapatkan tempat berteduh. Tuh lihat, ada sebuah gubug kecil. Gubug itu tentu milik seorang pemburu. Hemm, mari kita cepat ke sana dan mengaso."
"Tapi, bagaimanakah kalau gubug yang kecil itu dihuni pemiliknya sendiri? Tentunya dia lebih memberatkan dirinya sendiri, dibanding orang lain."
"Huh, mengapa engkau repot? Kalau pemburu itu bandel dan tidak mau menyerahkan untuk kita pakai istirahat, akan aku rebut dengan kekerasan. Orang yang pelit dan tidak mau menolong orang dalam kesulitan, harus dihajar adat."
Mendengar itu Titiek Sariningsih kaget dan tidak senang. Dari caranya bicara, Titiek Sariningsih segera dapat menduga, tentu si laki-laki itu bukanlah orang baik-baik. Sebab orang baik dan memiliki kemanusiaan, tidak akan tega berbuat sekehendak hati guna memenuhi kebutuhan sendiri. Kalau toh si pemilik gubug tidak bersedia memberikan pinjam gubugnya, mereka harus mencari yang lain dan tidak asal main paksa.
Terdengar kata yang perempuan, nadanya menyambut ucapan yang laki -laki,
"Bagus, hi-hihik, memang orang yang pelit sepantasnya pula engkau
hajar. Lebih-lebih gubug seperti itu, apaSih bagusnya sehingga tidak mau meminjamkan barang semalam ?"
"Heh-heh-heh, engkau selalu menyenangkan hatiku saja, isteriku. Engkau cantik sekali. ..."
Begitu menutup kata-katanya yang terakhir, 'tiba tiba lengan laki-laki itu sudah melingkar ke leher. Lalu mengecup bibir perempuan itu hingga menimbulkan suara.
"Ihh kau nakal kakang hi-hik," perempuan itu seperti kaget dan mencela, namun ditutup oleh ketawanya yang cekikikan.
"Apakah engkau tak kuat menunggu setelah kita memperoleh tempat berteduh?"
"Salahmu sendiri, mengapa engkau cantik dan semuda ini......"
Lalu sekali lagi, laki-laki itu mengecup bibir perempuan itu.
Titiek Sariningsih menahan napas dan memalingkan mukanya saking malu menyakSikan tingkah mereka seperti itu.
Diam-diam gadis ini mencaci maki, mengapa dua orang itu tidak kenal malu, berciuman di depan matanya?
Untung Titiek Sariningsih segera ingat, bahwa hutan ini gelap sekali dan dirinya sekarang ini berlindung di belakang pohon. Tentunya dua orang laki-laki dan perempuan itu sama sekali tidak menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan diketahui orang.
Setelah dua orang itu jaraknya tidak jauh lagi, Titiek Sariningsih segera tahu, bahwa yang memiliki langkah ringan itu adalah yang laki-laki. Sekalipun hutan itu gelap sekali, pandang mata Titiek Sariningsih dapat memperkirakan usia pasangan pengantin itu. Ternyata si laki-laki berusia'kirakira limapuluh lima tahun, karena rambutnya sudah putih, demikian pula kumisnya yang tidak terpelihara. Namun sekalipun telah tua, laki-laki itu tubuhnya masih tampak kuat, di samping ukuran tubuhnya tinggi kurus. Wanita itu tingginya hanya sebatas pundak, tetapi wanita itu jelas masih begitu muda. Kira-kira usianya belum tigapuluh tahun, wajahnya cukup lumayan, dan bentuk tubuhnya masih nampak padat berisi.
Ketika pengantin itu telah tiba di depan pintu gubug yang terbuka, Titiek Sariningsih makin dapat melihat lebih jelas lagi. Merupakan pasangan yang tidak seimbang. Seakan seorang ayah dan anak gadisnya. Diam diam gadis yang masih hijau ini merasa heran.
Mengapa di dunia ini sering terjadi sesuatu yang aneh?
Mengapa sering kali terjadi, seorang wanita muda lebih suka menjadi isteri seorang kakek, dan sebaliknya sering pula terjadi, seorang laki-laki muda lebih suka kawin dengan seorang wanita yang sepantasnya menjadi ibunya.
Apakah pasangan yang demikian bisa dikatakan harmonis dan di dalam jiwa masing-masing terdapat kasih sayang yang murni?
Titiek Sariningsih yang masih muda dan hijau, tentu saja tidak tahu' mengapa bisa terjadi begitu. Namun menurut perasaannya, perasaan seorang yang belum luas pengalaman hidupnya, sulit dipercaya bahwa kasih sayangnya itu murni.
Tentu ada sesuatu persoalan yang menyebabkan pasangan itu bisa terjadi. Mungkin si wanita membutuhkan perlindungan. Baik perlindungan jiwa maupun terpikat oleh harta benda dan jabatan yang tinggi. Perlindungan jiwa karena merasa terancam keselamatannya, dan ingin memperoleh kesenangan dari kekayaan dan jabatan yang tinggi. Dengan demikian, cinta itu tidak murni, akan tetapi terpengaruh oleh pamrih lain.
"Hai, siapa di dalam?" 'teriak laki-laki itu dari luar pintu.
Setelah menunggu lama tiada jawaban, yang perempuan berkata,
"Gubug ini tentu kosong, kakang, dengan demikian kakang tidak perlu menggunakan kekerasan mengusir penghuninya."
"Hemm, biarlah aku periksa lebih dulu!" kata yang laki-laki.
Kemudian terdengar suara crak crak-crak, dan menyalalah api penerangan dari biji-bijian yang ditusuk dengan kayu sebesar lidi. Sekalipun tidak begitu besar nyala api dari biji bijian itu, namun dapat dijadikan penerangan dalam gubug. Setelah benar dalam gubug itu kosong, ia ke luar dan memberitahukan kepada yang perempuan,
" Benar, di dalam kosong. Mari kita cepat masuk dan mengaso."
Oleh penerangan dari biji-bijian yang menyala itu, Titiek Sariningsih dapat melihat lebih jelas lagi. Ternyata dugaannya benar. Laki-laki itu telah tua, sedang si perempuan masih amat muda. Wajahnya cukup lumayan, akan tetapi pucat dan sinar matanya suram, agaknya dirundung malang.
Si perempuan tidak segera masuk ke dalam. akan tetapi berkata,
"Tetapi engkau harus benar-benar memegang janjimu."
"Janji apa?"
"Ah, engkau sudah lupa akan janji dan kesanggupanmu memperhatikan nasibku?"
"Heh-heh-heh, oh itu! Engkau tidak perlu khawatir, isteriku! Jangan lagi hanya seorang Sungsang. Walaupun sepuluh Sungsang, aku tidak takut! Hemm, begitu berjumpa, dia akan segera kubunuh mampus.Huh, bocah itu takkan dapat berbuat apa-apa terhadap engkau, selama engkau di sampingku."
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Engkau sudah pernah kenal dengan dia?" tanya si perempuan. .
Laki-laki itu mengangguk.
"Ya! Aku tahu, dia murid Patrajaya yang sudah mampus sampyuh dengan adik seperguruannya sendiri, yang bernama Gupala. Ha-ha-ha, dapat berbuat apakah bocah yang bernama Sungsang itu kalau berhadapan dengan Wiro Sukro ?"
Tanpa membantah lagi, perempuan itu menurut saja ketika dibimbing masuk ke dalam gubug. Api penerangan segera padam, disusul suara si perempuan yang menjerit kecil, tetapi segera disusul oleh suara cekikikan, dan terdengar begitu manja.
Tak enak hati Titiek Sariningsih terlalu lama bersembunyi di tempat itu. Maka dengan langkah yang hati-hati, gadis ini segera meninggalkan gubug tersebut. Setelah diperkirakan cukup jauh,
gadis ini melesat ke dahan pohon memanjat agak tinggi, dan tidak lama kemudian merebahkan diri di atas dahan.
Akan tetapi walaupun jarak dengan gubug begitu jauh, benak gadis ini masih terpengaruh oleh nama Sungsang yang diucapkan oleh Wiro Sukro tadi.
Apa yang terjadi dengan Sungsang, pemuda jahat itu?
Dan apa pula hubungan perempuan tersebut dengan Sungsang?
Akan tetapi mengingat bahwa Sungsang begitu jahat, ia segera menduga, mungkin sekali perempuan itu salah seorang korban kebiadaban Sungsang. Ia yang menjadi amat benci kepada Sungsang, sedia menjadi isteri seorang laki-laki yang pantasnya menjadi ayahnya, asal saja laki-laki itu dapat membalaskan sakit hatinya, membunuh Sungsang.
Dari pengalaman yang ia saksikan tadi, langkah Wiro Sukro sedemikian ringan, jelas memang bukan orang sembarangan. Agaknya laki-laki itu tidak hanya membual dan membujuk perempuan itu. Kiranya tidak akan kalah apa bila berkelahi dengan Sungsang.
"Hemm, kalau saja aku tahu Sungsang demikian jahatnya, tentu tidak segampang itu aku melepaskannya! desis Titiek Sariningsih sambil tiduran di atas dahan.
Dugaan Titiek Sariningsih memang tidak salah. Wiro Sukro ini memang merupakan seorang sakti. Dia seorang sakti berasal dari desa Karangpandan, yang letaknya di kaki Gunung Lawu. Dalam pengembaraannya. ia berkenalan dengan seorang wanita bernama Wigati. adik seperguruan Wiro Dipo,
ketua Perguruan Semeru. Antara Wiro Sukro dengan Wigati, akhirnya saling-cinta dan kawin. Dalam waktu belasan tahun lamanya, Wiro Sukro dan Wigati namanya amat terkenal di sekitar Semeru. Tidak terhitung jumlahnya, lawan yang roboh di tangan suami isteri ini. Akan tetapi sudah satu setengah tahun lamanya, Wiro Sukro menjadi seorang duda. Isterinya telah meninggal sebagai akibat membunuh diri di dalam tawanan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Wigati membunuh diri bersama-sama dengan Wongso Dipo dan isterinya yang bernama Kamilah. Semula wiro Sukropun dibujuk oleh isterinya supaya membunuh diri. Akan tetapi Wiro Sukro menolak.
Apakah sebabnya ketua Perguruan Semeru yang bernama Wongso Dipo itu, isterinya dan Wigati nekat membunuh diri dalam tawanan di Surabaya?
Dan apa pula sebabnya mereka ditawan?
Semua itu adalah gara-gara kesalahan ketua Perguruan Semeru itu sendiri. Wongso Dipo bersama isteri, Wigati bersama Wiro Sukro dan beberapa tokoh yang lain, termasuk Rara Inten bekas ketua Perguruan Tuban, menyelenggarakan persekutuan untuk menghadang rombongan boyong Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik dari Mataram. Rombongan boyong bagi pengantin agung itu, lewat laut. Maka oleh persekutuan tersebut dihadang dan maksudnya akan dihancurkan. Adapun sebabnya persekutuan itu berusaha menghancurkan perahu pengantin yang sedang boyong ke Surabaya bukan lain karena mereka tidak setuju dengan terjalinnya perkawinan antara Pangeran Pekik
Adipati Surabaya, dengan adik Raja Mataram yang bernama Ratu Wandansari, Alasan tidak setuju itu, karena dengan terjalinnya hubungan keluarga antara Surabaya dengan Kerajaan Mataram, berarti perlawanan para pejuang yang menentang Mataram patah.
Seperti diketahui, bahwa sejak Kerajaan Mataram lahir dan yang menjadi raja adalah Panembahan Senopati, Pulau Jawa wilayah timur tidak mau tunduk kepada Mataram. Para penguasa, dan tokoh tokoh sakti di wilayah timur ini, sependapat dengan pendapat dan penilaian Sunan Giri (keturunan Sunan Giri Raden Paku, pimpinan tertinggi para wali) yang masih mempunyai kekuasaan mengesyahkan raja-raja di Jawa, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku semenjak Kerajaan Demak berdiri. Selama wilayah timur mengangkat senjata melawan Mataram ini, Adipati Surabaya memperoleh kepercayaan sebagai pemimpin wilayah timur. Itulah sebabnya, maka pada tahun 1615 dengan kekuatan besar, menyerbu ke Mataram. Sayang sekali bahwa pasukan wilayah timur ini kekurangan persediaan ransum makanan. Maka belum juga pasukan itu sampai di Ibu Kota Mataram, telah terpukul dan dikalahkan oleh pasukan Mataram. Malah Bupati Japan gugur dalam perang itu.
Berpegangan kepada pendapat bahwa Kerajaan Mataram tidak syah, maka mereka secara gigih terus melawan Mataram. Mereka menghadang rombongan pengantin yang menggunakan perahu itu, di lautan sebelah utara Tuban. Sayang sekali bahwa rencana mereka itu sudah bocor sebelumnya
hingga mataram dan Surabaya sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Akibatnya penghadangan itu gagal setelah terjadi pertempuran di laut yang menimbulkan banyak korban. Tokoh-tokoh lain seperti Rara Inten, Jalu Raga dan beberapa orang lagi, maSih dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi Wongso Dipo, Kamilah (isteri Wongso Dipo), Wirogati dan Wiro Sukro tertangkap hidup-hidup, lalu ditawan di Surabaya.
Wongso Dipo telah menjadi seorang cacat, kehilangan kaki kiri. Sedang Kamilah menjadi orang cacat pula, karena lengan kanannya telah buntung. Hal ini membuat suami isteri pemimpin Perguruan Semeru itu penasaran di samping amat malu. Lebih lebih Wongso Dipo adalah seorang yang wataknya tinggi hati. Dengan hilangnya sebelah kaki menjadi cacat buntung ini, ia merasa bahwa dirinya terhina dan tidak berharga lagi. Lebih lagi, ia juga merasa malu sekali kalau harus diperiksa tentang persekutuan yang melakukan penghadangan itu. Dari pada kemudian hari harus hidup sebagai orang buntung dan tidak berharga lagi, maka ia mengajak isterinya dan adik seperguruannya yang bernama Wigati itu, untuk membunuh diri saja. Menurut pendapatnya, mati membunuh diri lebih berharga 'dari pada hidup menjadi buah tertawaan orang, karena gagal-cita-citanya. Baik isterinya maupun Wigati setuju dengan keputusan Wongso Dipo ini. Akan tetapi ketika Wigati berusaha membujuk suaminya yang bernama wiro Sukra, usahanya gagal. Wiro Sukro justeru mempunyai pendapat dan pandangan yang lain. Membunuh diri dalam tawanan baginya malah terhina dan tidak mempunyai harga. Sebab dengan demikian, berarti takut akan akibat perbuatan yang telah dilakukan. Maka apapun jadinya, ia memilih terus hidup. Siapa tahu kelak kemudian hari setelah dirinya dibebaskan, akan dapat menyusun kekuatan dan meneruskan perjuangannya melawan Mataram.
Jadilah Wongso Dipo, Kamilah dan Wigati membunuh diri. Akan tetapi Wiro Sukro tetap pada pendiriannya, tidak mau mati membunuh diri. Terjadinya peristiwa pembunuhan diri yang dilakukan oleh tiga orang tersebut, menggemparkan Surabaya. Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari turun tangan sendiri, untuk menangani soal tersebut. Jenazah tiga orang tokoh Perguruan Semeru itu kemudian dirawat sebagaimana mestinya, malah diadakan penghormatan yang cukup pantas pula, kemudian dikirim oleh pasukan Surabaya yang dipimpin oleh Madu Bala, ke rumah Perguruan Semeru.
Dengan terjadinya peristiwa itu pula, maka Pangeran Pekik yang memang mempunyai hati emas (budiman) itu, kemudian membebaskan Wiro Sukro.
Meninggalnya isteri terkasih yang bernama Wigati itu, sesungguhnya merupakan pukulan batin yang hebat bagi Wiro Sukro. Telah puluhan tahun lamanya, ia hidup dengan rukun dan saling mengerti. Telah berkali-kali mereka berdua berhadapan debgan bahaya maut, namun berkat kerja sama mereka, selalu dapat diatasi. Sekarang isteri terkasih itu telah pergi, dan sungguh sayang pula bahwa selama itu belum juga memperoleh keturunan seorangpun.
Setelah dibebaskan dari tawanan dan meninggalkan Surabaya, terpikirlah oleh Wiro Sukro untuk pulang ke tempat asal dan tumpah darahnya, ialah desa Karangpandan. Sekarang dirinya sudah berumur lebih limapuluh tahun. Ia sudah merasa tua dan merasa bosan pula untuk berkelana terus dan banyak kali berkelahi. Timbullah niatnya untuk kembali ke rumah,kemudian hidup sebagai petani sambil membantu dan melindungi penduduk desa dari ancaman bahaya perbuatan orang jahat.
Akan tetapi ketika teringat bahwa dirinya sekarang sudah tua, isterinya sudah meninggal dan tidak mempunyai anak seorangpun, hatinya kembali masygul. Kalau saja dirinya mempunyai keturunan, hidupnya akan masih merasa terhibur. Ia akan hidup sebagai petani sambil mendidik anak itu agar menjadi seorang ksatria gagah perkasa, yang berguna bagi masyarakat. '
Kawin lagi?
Adakah perempuan muda yang sedia menjadi isterinya, justeru dirinya sekarang hampir menjadi kakek kakek?
Kalau harus kawin lagi dengan perempuan yang sudah berumur, bagi dirinya tak ada artinya lagi.
Mungkinkah perempuan yang sudah berumur,sanggup memberi keturunan?
Dahulu antara dirinya dengan Wigati, merupakan seorang jejaka dan seorang gadis. Namun puluhan tahun lamanya mereka menjadi suami isteri, anak yang diharapkan itu tidak pernah kunjung lahir. Dahulu memang tidak begitu terasa ketika Wigati masih hidup.
Akan tetapi sekarang? '
Oleh kemasygulannya ini, kemudian Wiro Sukro membanting pantatnya di atas rerumputan. di bawah pohon rindang dalam sebuah hutan. Ia menundukkan kepalanya seakan sedang tafakur, dan dalam hati mohon petunjuk Tuhan. Dalam keadaan seperti sedang bersamadi ini, alat pendengarannya menjadi amat peka. Menjadi lebih tajam dibanding dengan keadaannya yang biasa. Tiba tiba Wiro Sukro kaget dan mengangkat kepalanya. Saynp-sayup ia mendengar suara orang menangis. Dan suara itu, agaknya suara tangis perempuan. Ia menjadi heran dan curiga.
Hutan pada perbukitan Kendeng ini amat sepi, mungkinkah seorang perempuan biasa berani masuk ke hutan yang penuh bahaya?
Tetapi kalau bukan seorang perempuan biasa, mengapa di tengah hutan belantara seperti ini menangis seperti itu?
Adakah sebab-sebabnya yang membuat perempuan itu merasa menderita?
Entah mengapa sebabnya, setelah ia menyaksikan dergan mata kepala sendiri, isterinya membunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding penjara, jantungnya seperti diremas-remas setiap mendengar suara perempuan menangis. Ia cepat meloncat bangkit, lalu dengan gerakan yang cepat dan ringan menuju ke asal suara tangis yang ia dengar. Tak lama kemudian tibalah ia ke tempat tujuannya. Ia melihat seorang perempuan yang duduk di tepi jurang sambil menangis sedih. Perempuan itu belum berusia tua. Kemungkinan besar masih tigapuluh tahun kurang. Masih tampak padat berisi dan bentuk tubuhnya mirip sekali dengan isterinya yang sudah mati,
Wigati!
Menyaksikan seorang perempuan yang menangis dan seorang diri pula di dalam hutan belantara ini, mendadak saja jantungnya berdegup keras. Entah apa saja sebabnya, timbul harapan dalam hatinya. betapa bahagia hatinya apa bila bisa memperoleh perempuan ini sebagai pengganti isterinya yang sudah meninggal. Rambut perempuan itu nampak kusut di samping morat-marit tertiup oleh angin pegunungan. Pakaian perempuan itu sudah tidak utuh lagi, cabik di sana sini di samping kotor. Tubuhnya agak menjadi kurus, matanya cekung, agaknya sudah agak lama perempuan ini hidup menderita. Dengan gerakan yang amat hatihati, wiro Sukro mendekati, ia ingin dapat melihat lebih dekat lagi.Dan melihat gelagatnya, siapa tahu kalau perempuan ini akan berbuat nekat melempar diri ke jurang membunuh diri?
Kalau dirinya sekarang jaraknya dekat, setiap saat ia akan dapat mencegah perbuatan nekat itu. Perempuan itu seperti tidak sadar didekati seseorang yang belum ia kenal. Ia tenggelam dalam tangis dan, kesedihannya.
Siapakah perempuan yang masih muda ini?
Sesungguhnya dia memang bukan perempuan sembarangan. Dia seorang murid wanita Perguruan Tuban. Ilmu yang dimiliki telah cukup tinggi, sekalipun belum bbisa disebut wanita sakti. Namun kalau hanya melawan dengan penjahat biasa'saja, ia akan dapat melindungi keselamatannya. Perempuan ini bernama Ratmi.
Mengapa sebabnya sebagai murid Tuban ia sekarang di dalam hutan yang jauh dengan Tuban?
Dan mengapa pula sekarang menangis sedih seperti ini dan nampaknya telah siap untuk membunuh diri?
Lebih kurang satu setengah tahun yang lalu, ada dua orang murid perempuan Perguruan Tuban yang hilang dicullk oleh seorang pemuda jahat, bernama Sungsang. Yang-seorang bernama Sukarni, sedang yang seorang adalah perempuan ini.
Penculikkan itu secara tidak sengaja diketahui oleh Sindu. Murid Tuban yang bernama Sukarni
dapat ditolong dan diselamatkan oleh Sindu. Akan tetapi karena waktu itu gadis Ratmi telah roboh oleh rayuan Sungsang, sehingga Ratmi yang tergilagila kepada Sungsang, memilih mengikuti Sungsang. Kemudian Ratmi dan Sungsang hidup sebagai suami isteri tidak syah, bertempat tinggal dalam sebuah goa yang terletak di lereng Gunung Kelud. Di tempat ini, Sungsang menekuni ilmu peninggalan gurunya, setelah merasa dirinya masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan tokoh tokoh sakti yang lain. Dia bersikeras untuk dapat melampaui tingkat yang lain. Dia ingin menjadi seorang sakti tanpa tandmeg. Selama Sungsang menggembleng diri ini, Ratmi yang bertindak sebagai isterinya, melayani kebutuhan Sungsang. Perempuan ini sudah merasa bahagia hidupnya di samping Sungsang sekalipun selama itu tak pernah "suami"nya itu mau memberi petunjuk ilmu kesaktian. Ratmi bertekad untuk menjadi isteri yang setia dan sudah merasa cukup apa bila Sungsang masih tetap mencintai dirinya.
( Bersambung jilid ke 3)
*******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 3
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 3.
*****
AKAN tetapi manakah mungkin harapan Ratmi itu bisa terujut?
Sungsang adalah seorang laki-laki yang moralnya bejat. Seorang laki-laki yang hanya mengumbar nafsu berahinya, tanpa perduli lagi kepada norma norma hukum. Di saat masih membutuhkan, Sungsang tampaknya dapat memberikan kasih sayangnya,.sekalipnn kasih sayang itu hanya palsu belaka. Akan tetapi setelah bosan, ia tak perduli lagi kepada wanita yang manapun. Demikian pula Ratmi ini.Di saat Sungsang sibuk melatih diri dan membutuhkan pelayanan Ratmi, tampaknya Sungsang memberikan kasih sayangnya. Namun setelah lebih kurang setahun lamanya Sungsang melatih diri dan hidup sebagai suami isteri dengan Ratmi, mulai timbul kembali wataknya yang aseli. Sungsang tak kuat lagi harus berdiam dalam gua ini, sekalipun kemajuan dalam ilmu kesaktian yang diperoleh belum meyakinkan. Secara diam-diam Sungsang pergi meninggalkan Ratmi, untuk mencari wanita lain yang dapat memenuhi seleranya .Sesungguhnya masih beruntung bagi Ratmi, yang hanya ditinggal pergi begitu saja. Biasanya perempuan yang sudah tidak disukai lagi akan menemui ajalnya di tangan pemuda jahat ini.
Hal ini bisa terjadi, karena Sungsang merasa tidak tega harus membunuh kepada Ratmi, yang telah lama melayaninya dengan penuh cinta kasih.
Akibat Sungsang yang meninggalkannya itu, Ratmi menjadi amat sedih. Dari sedih, kemudian timbullah dendam dan sakit hatinya. Ingin sekali ia mencari dan membunuh "suami" yang berkhianat itu. Maka iapun kemudian meninggalkan gua di pinggang Gunung Kelud yang telah lama dijadikan rumahnya itu. ia pergi untuk mencari " suami " khianat itu dan membunuhnya. Namun telah berbulan-bulan lamanya berusaha, belum juga ia bertemu. Kemudian Ratmi malah menjadi ingat akan keadaannya.
Manakah mungkin dirinya dapat membunuh Sungsang yang tingkat ilmunya malah jauh di atas dirinya itu?
Lalu timbullah keinginannya untuk mencari seorang guru sakti mandraguna, agar tingkat ilmunya meningkat lebih tinggi. Akan tetapi berbulan-bulan ia berusaha, maksudnya ini juga tidak terkabul.
Pulang kembali ke Tuban?
Tidak!
Di samping ia amat malu, tentu rumah Perguruan Tuban telah tidak mengakui dirinya lagi sebagai murid. Saking sedih dan masygulnya ini kemudian, Ratmi duduk di pinggir jurang sambil menangis sekarang ini. Lalu timbullah tekadnya yang kurang baik. Dari pada hidup sengsara, lebih baik membunuh diri saja, melempar diri dalam jurang ini.
Sama sekali tidak disadari, bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan dirinya. Maka ia terus tenggelam dalam tangisnya. Ia masih ingin hidup namun apa daya tidak mampu membalas
dendamnya. Karena itu setelah merasa puas menangis, ia bangkit lalu siap siaga meloncat ke jurang. Gumamnya,
"Selamat tinggal ibu dan ayah, adik dan saudara-saudaraku semua. Hari ini, aku Ratmi, mampus di dalam jurang ini."
Selesai mengucapkan kata-kata ini, Ratmi sudah melompat sambil memejamkan mata. 'Tetapi,
"Wutt.... aihhhh.......!," dari mulut Ratmi terdengar jerit tertahan.
Ratmi merasa luncuran tubuhnya tertahan tibatiba, dan ia merasa pula pinggangnya dipeluk oleh lengan yang amat kuat, dan sesaat kemudian dirinya telah kembali ke atas jurang lagi. Ratmi berdiri terbelalak, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua, Tubuhnya tinggi kurus, rambut pada kepalanya sudah banyak yang putih, demikian pula alisnya yang tebal itu.
Wiro Sukro menatap wajah Ratmi dengan bibir tersenyum. Laki-laki ini jantungnya berdebar lebih keras lagi, setelah ia tadi dapat memeluk pinggang perempuan ini. Ternyata setelah pada jarak yang amat dekat, perempuan ini cukup manis dan menarik sekali. Yang tidak kalah manisnya dengan Wigati, yang sudah tidak ada lagi. Sebagai seorang duda yang merasa hidup kesepian, Wiro Sukro segera tertarik kepada perempuan muda ini. Maka dengan halus. ia bertanya,
"Apa sebabnya engkau melempar diri ke dalam jurang?"
Tetapi Ratmi yang merasa dihalangi maksudnya menjadi marah Bentaknya,
"Perduli apa dengan aku? Mengapa sebabnva engkau lancang mencampuri urusanku yang mau membunuh diri?"
"Aihh... engkau masih muda, mengapa mempunyai niat seperti itu? Mari kita duduk dan ceritakan apa yang terjadi atas dirimu. Siapa tahu, kalau aku dapat menolong atau mengurangi beban kesedihanmu?" sambil bicara ini, tak urung jantung Wiro Sukro berdegup lebih keras, melihat dada perempuan ini yang membusung.
"Huh, enak saja kau bicara. Engkau ini siapa, begitu gagah menyombongkan diri mau menolong aku? Huh, aku ingin melihat apakah engkau benar-beuar gagah seperti ucapanmu ?"
"Wutt... hai, mengapa engkau menyerang aku, heh-heh-heh, luput,.."
Mengapa Ratmi sudah menyerang Wiro Sukra tanpa terduga duga. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian cukup, maka tentu saja tak gampang percaya akan ucapan orang. Ia sadar, bahwa persoalan dirinya sekarang ini tidak dapat dibuat main-main. Ia tahu benar bahwa Sungsang adalah seorang laki-laki sakti mandraguna. Itulah sebabnya ia sudah menyerang laki-laki yang belum ia kenal ini secara tiba-tiba. Akan tetapi betapa kaget perempuan ini, ketika serangannya yang mendadak tadi hanya mengenakan angin. Laki-laki itu malah ketawa terkekeh dan mengejek.
Diam diam Ratmi penasaran tetapi juga gembira. Kalau laki-laki ini seorang sakti mandraguna, sungguh amat kebetulan. Telah lama ia berusaha untuk memperoleh seorang guru yang sakti mandraguna, Agar di bawah bimbingan guru sakti itu, dirinya dapat membalas dendam kepada Sungsang.
"Wut-wut......"
Ratmi telah menerjang lagi dengan serangan berantai. Dua tangannya bergerak cepat menyerang berturut turut tidak terduga. Ia telah memilih jurus yang paling diandalkan dari ilmu Perguruan Tuban. Akan tetapi Ratmi menjadi terbelalak heran dan celingukan. Karena tiba-tiba orang yang diserang itu sudah lenyap.
Mungkinkah laki-laki itu dapat menghilang?
Di saat ia keheranan ini, mendadak Ratmi memekik tertahan sambil membalikkan tubuh, lalu dengan kecepatan kilat sudah menendang dengan kaki kiri. Namun perempuan ini kembali terbelalak heran. Sebab di belakangnya tidak ada apa-apa.
Ia heran!
Ia tadi merasa tengkuknya ditiup dengan mulut. Tetapi begitu membalikkan tubuh, ternyata di belakangnya kosong. Di saat ia masih heran ini mendadak ia merasakan sentuhan pada pundaknya. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menghantam dengan tangan kanan. Akan tetapi heran, lagi-lagi laki-laki itu sudah lenyap.
Ia sudah dapat menduga, bahwa lawan menggunakan kecepatannya bergerak sehingga tak dapat diikuti oleh pandang matanya. Maka sebelum lawan menyentuh, ia sudah membalikkan tubuh. Tetapi di belakangnya kosong. Ia cepat membalikkan tubuh lagi, lagi lagi di belakangnya tak ada orang.
Diam-diam Ratmi menjadi gembira. Kalau orang dapat bergerak secepat ini, tentu laki-laki ini sakti mandraguna. Mungkin malah lebih tinggi tingkatnya dibanding dengan Sungsang. Akan tetapi sekalipun begitu ia tidak cepat percaya dan menyerah. Teriaknya,
"Kurang ajar! Jika engkau memang jantan perwira, janganlah engkau main kucing-kucingan macam ini. Hayo lawanlah aku dengan kepandaianmu!"
Wiro Sukro terkekeh.
"Heh-heh-heh, sudah jelas ilmu kepandaianmu jauh di bawahku, engkau masih membandel dan berani menantang? Mari aku lihat sampai di manakah kemampuanmu!"
Ratmi sudah mencabut pedangnya dan menyerang dengan cepat penuh bahaya. Wiro Sukro melayani dengan tangan kosong tanpa kesulitan dapat mematahkan setiap serangan orang. Akan tetapi diam-diam Wiro Sukra heran. Jelas bahwa ilmu pedang yang dipergunakan perempuan ini adalah ilmu pedang Perguruan Tuban.
Tetapi mengapa sebabnya seorang murid Tuban berada di tempat ini dan malah akan membunuh diri?
"Heh-hehheh, ternyata engkau seorang murid Perguruan Tuban."
Kaget juga Ratmi, laki-laki ini dalam waktu singkat sudah mengetahui asal usulnya. Akan tetapi di samping itu ia juga gembira, kalau lawan ini dengan cepat telah mengetahui asal usulnya, membuktikan bahwa orang ini bukan orang sembarangan.
Siapa tahu kalau sedia diangkat menjadi gurunya?
Dia menyerang terus dengan gencar. Akan tetapi ibarat ia menyerang bayangan. Pedangnya tak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan
"Lepas!" begitu Wiro Sukro berteriak lepas, benar juga pedang Ratmi tak dapat dipertahankan lagi. Pedang itu dengan gampang telah berhasil dirampas oleh Wiro Sukro.
Ratmi berdiri terbelalak. Kemudian bibirnya agak gemetar dan bertanya,
"Siapa... siapakah sesungguhnya.... engkau ini? Aku.. aku memang seorang murid Tuban......"
"Ha-ha-ha, nih, terimalah kembali pedangmu. Dan tentang aku, entah engkau pernah mendengar atau belum, namaku Wiro Sukro."
"Oh.... kau. kau paman Wiro Sukro yang namanya amat terkenal itu?!
'Heh-heh heh, engkau tidak salah."
Tiba-tiba Ratmi menjatuhkan diri berlutut, lalu katanya menggeletar
"Paman... maaf kan kelancanganku. Tetapi...... Tetapi aku memang sedang gelap pikir. Kembali ke Tuban maju, tidak kembali hari depanku amar gelap. Maka jika paman memang ingin menolong aku, janganlah tanggung tanggung. Ijinkanlah aku mengangkat engkau sebagai guru .."
"Aihh.... manakah mungkin? Betapa perguruanmu akan marah padaku jika mendengar ini. Tapi. marilah anak. bangkitlah! Sebaiknya kita bicara sambil duduk yang enak. Ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi. Siapa tahu aku bisa menolongmu?"
Ratmi menurut, bangkit, kemudian dua orang ini duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Ratmi segera menceritakan apa yang terjadi atas dirinya. Namun sudah barang tentu ia merasa malu terus terang. Ia menceritakan bahwa dirinya diculik seorang pemuda bernama Sungsang. Kemudian secara paksa dinodai kehormatannya, dan di tempat ini dirinya ditinggalkan. Ia melawan dan ingin membunuh Sungsang, akan tetapi tidak mampu. Saking sedih, maka dari pada menanggung malu, memilih untuk membunuh diri
Wiro Sukro mengerutkan alisnya mendengar cerita ini. Dahulu, ketika dirinya bersama beberapa tokoh lain, di saat berunding di dalam rumah Perguruan Tuban, terjadi penculikan dua orang gadis murid Perguruan Tuban.
Mungkinkah sesudah peristiwa satu setengah tahun yang lalu itu. kembali Sungsang melakukan penculikan lagi?
Akan tetapi Wiro Sukro merasa tak enak untuk bertanya, juga ia tidak bertanya kapan penculikan atas diri perempuan ini terjadi. Mungkin soal ini ada pula sebabnya. Ialah karena keadaan dirinya sebagai seorang duda dan hidup kesepian.
Siapa tahu kalau perempuan ini kemudian sedia diminta menjadi pengganti Wigati yang sudah meninggal?
Dan siapa tahu pula dengan memperisterikan perempuan ini, kelak kemudian hari dirinya bisa memperoleh keturunan?
Ternyata harapan Wiro Sukro ini tak hanya bertepuk sebelah tangan. Ratmi yang merasa hari depannya gelap ini menurut ketika diangkat sebagai isteri, dan bukannya murid, setelah Wiro Sukro berjanji akan membalaskan sakit hatinya kepada Sungsang.
Ratmi Sedia menjadi isteri Wiro Sukro, ada beberapa hal yang menyebabkan. Pertama. ia merasa bahwa dirinya sudah bukan gadis lagi. Ia bisa disebut pula sebagai seorang janda, sekalipun belum pernah kawin secara syah. Dan ia merasa dirinya sudah tidak berharga lagi. Yang ke dua, ia memang amat benci dan mendendam kepada Sungsang. Maka ia membutuhkan seseorang yang dapat menolong kesulitannya. Dan yang ke tiga, sekalipun Wiro Sukro sudah tua, dan bisa disebut seperti ayahnya akan tetapi Wiro Sukro seorang sakti. Ia berharap di bawah bimbingan suaminya, akan memperoleh kemajuan dalam ilmu kesaktian. Sedang yang ke empat, dalam kedudukannya sebagai isteri Wiro Sukro yang namanya amat terkenal, akan membawa kedudukannya lehih tinggi di mata masyarakat .Takkan ada orang yang berani sembarangan terhadap dirinya.
Sebaliknya dengan kesediaan Ratmi menjadi isterinya, tak bisa dilukiskan betapa gembira wiro Sukro. Sebab Ratmi masih amat muda. Maka ia amat mengharapkan dengan memiliki isteri yang masih muda ini, cita-citanya memperoleh keturunan akan bisa terkabul. Betapa tenteram dan bahagia hidupnya di hari tuanya, kalau dirinya mempunyai keturunan yang namanya harum dalam masyarakat.
itulah sebabnya mengapa Wiro Sukro dan Ratmi malam itu berkeliaran dalam hutan dan berusaha memperoleh tempat berteduh. Pengantin yang baru sepekan lamanya ini, sedang menuju desa Karangpandan, tempat asal Wiro Sukro. Sesungguhnya kalau wiro Sukro menghendaki, perjalanan ke desa Karangpandan itu bisa disingkat dalam waktu
dua atau tiga hari saja dengan mengendarai kuda. Akan tetapi Wiro Sukro memang tidak menghendaki cepat tiba di Karangpandan.Ia ingin berbulan madu sambil bercengkerama menikmati keindahan alam hutan maupun perbukitan. Agar hati mereka menjadi lebih dekat lagi sehingga isterinya yang masih muda itu, tidak berubah pendirian dan pandangannya.
Untung sekali bagi dua insan itu, bahwa yang lebih dahulu menghuni gubug ini Titiek Sariningsih. Yang sekalipun masih berusia muda, akan tetapi pandangannya sudah cukup jauh, Sehingga walaupun dirinya sendiri membutuhkan tempat untuk mengaso, ia sedia mengalah, lalu dirinya sendiri terpaksa harus tidur di atas dahan pohon. Kalau saja orang lain, hal itu belum tentu terjadi. Sebab orang bisa bersikeras dan merasa terhina, kalau harus menyerahkan gubug itu.
Ketika pagi mendatang, Titiek 'Sariningsih merasa malas untuk segera turun dari dahan yang ia pergunakan tidur semalam. Dahan pohon itu begitu tinggi, dan terlindung daun rimbun. Hingga dari tempat ini ia dapat melihat tempat yang cukup jauh sebaliknya orang takkan dapat melihat ke arah dirinya, karena terhalang oleh rimbunnya daun. Di samping ia masih ingin beristirahat, iapun merasa tak enak hati kalau dirinya diketahui oleh dua insan yang berbulan madu dalam gubug-kecil itu. Sebab walaupun dirinya tidak bermaksud mengintip dan memata-matai mereka, namun bisa jadi orang salah sangka dan menuduh yang tidak tidak.
Apa salahnya kalau ia baru turun dari atas pohon setelah Sepasang merpati yang dapat disebut pengantin baru itu meninggalkan gubug dan meneruskan perjalanan.
Akan tetapi ketika matahari sudah agak tinggi di angkasa, pintu gubug itu masih tertutup, dan dua orang itu belum juga nampak ke luar, diam diam gadis ini menjadi mendongkol.
Mengapa dua orang itu begitu malas?
Masih jugakah mereka tidur sekalipun matahari telah tinggi?
Ia menjadi tidak telaten lagi harus menunggu dua orang itu meninggalkan gubug. ia sudah ingin sekali mencari sumber air untuk mandi, dan di samping itupun ia ingin mencari binatang buruan guna bersantap pagi. Namun belum juga ia menggerakkan kaki untuk melayang turun dari dahan itu. pandang matanya yang awas menangkap munculnya dua orang lakilaki di tempat yang masih agak jauh. Dari jauh tampak bahwa dua orang laki-laki yang muncul itu, adalah dua orang kakek, kira-kira berusia enampuluh tahun. Diam diam Titiek sariningsih berdebar. Dari cara mereka bergerak, yang amat ringan seperti tidak menapak bumi, jelas bahwa dua orang kakek itu berilmu tinggi.
Timbul pertanyaan dalam hati gadis ini, apa sajakah maksud dua orang kakek itu berkeliaran di hutan ini?
Adakah hubungannya dengan dua orang yang baru saja kawin itu?
Ataukah, dua orang kakek itu hanya kebetulan saja lewat di perbukitan ini?
Akan tetapi semua pertanyaan itu tidak dapat ia jawab sendiri. Ia terus nongkrong Pada dahan pohon tersebut sambil menunggu apa yang bakal terjadi.
Namun bagaimanapun juga, hati gadis ini menjadi berdebar ketika dua orang kakek itu makin dekat, dan tampaknya malah menuju ke gubug tempat pengantin itu mengaso. Ia mendengar salah seorang dari mereka berkata,
' Uah-hemm, aku tidak kuasa melawan kantuk lagi, kakang. Kebetulan sekali, di sini terdapat sebuah gubug. Hemm, kakang, kali ini engkau harus mau mengerti dan mengijinkan aku tidur dan mengaso."
"Hemm, engkau ini seperti anak kecil saja, Pepet!" sahut yang seorang dengan nada yang mencela.
"Baru tidak tidur dua malam saja engkau sudah mengeluh. Adi, engkau harus mau mengerti, bahwa perjalanan kita kali ini diburu oleh waktu. Kita harus dapat mengejar utusan Mataram itu sebelum tiba di Surabaya."
"Hemm, perduli apa dengan utusan Mataram itu, kakang. Bukankah urusan itu tiada hubungan sama sekali dengan kita?" '
"Hush,. apakah engkau sudah berubah menjadi tolol? Lupakah engkau bahwa waktu sekarang ini yang belum dapat ditundukkan dan dijajah oleh Mataram,tinggal Belambangan dan Giri Kalau benar apa yang sudah kita dengar di Mataram, bahwa Sultan Agung sudah memerintahkan kepada Pangeran Pekik untuk memukul Sunan Giri, tentu saja Belambangan tidak boleh tinggal diam. Secepatnya kita harus lapor kepada kangjeng adipati agar beliau mengirimkan bala bantuan pasukan Belambangan, guna memperkuat pertahanan Giri. "
"Uah-hemm..." orang yang agaknya lebih muda menguap lagi. Agaknya benar-benar sudah amat mengantuk, dan hampir tidak dapat menahan keinginannya untuk tidur. Lalu terdengar ia menggerutu,
"Susah...... susah..... lalu bagaimana jadinya, dan apa yang akan engkau lakukan, kalau kita sudah terlambat, utusan Sultan Agung itu sudah tiba di Surabaya? Kalau sampai terjadi begitu, bukankah kita yang memeras tenaga melakukan pengejaran ini, tanpa guna lagi? Sebab kalau aku dan kau nekat masuk ke Surabaya, ibarat kita masuk dalam kandang harimau."
"Heh heh-heh," agaknya yang tua menjadi geli mendengar kawannya menggerutu seperti itu.
"Agaknya engkau menjadi kapok sesudah peristiwa di Tuban dan ketika kita bertempur di laut waktu itu? Hemm, jika engkau sudah menjadi seorang pengecut, sebaiknya engkau pulang saja ke Belambangan. Di sana engkau jangan lagi mengenakan ikat kepala dan celana, tetapi pakailah kain panjang berikut penutup dada, dan jadilah engkau perempuan."
"Kakang!" agaknya orang itu tersinggung dan penasaran dianggap sebagai perempuan.
"Janganlah engkau keterlaluan menghina adikmu sendiri. Siapakah yang takut kepada segala macam manusia Surabaya? Pendeknya aku rela mengorbankan nyawaku ini demi Belambangan. Akan tetapi, bukankah segala sesuatu kita harus memperhitungkan untung dan ruginya? Kalau sampai terjadi kita memaksa diri menyelundup ke Surabaya, apakah Belambangan tidak menjadi rugi kalau kita mati konyol?"
"Ha-haa, bagus Sekali jika engkau masih bisa marah aku sebut pengecut. Kalau begitu mari kita percepat perjalanan. Lebih cepat lebih baik!"
"Huh-huh, tetapi aku menjadi penasaran kepada gubug itu. Huh, gara-gara gubug itu mulutku menguap dan ingin tidur. Padahal selama dalam perjalanan, engkau tahu aku tidak pernah merasa kantuk dan ingin tidur. Huh, akan aku robohkan saja gubug itu dengan doronganku. Heh-heh-heh, sekaligus aku ingin mencoba kemajuanku."
Yang seorang terkekeh geli mendengar itu. Celanya,
"Adi, apakah engkau sudah linglung? Anak kecilpun takkan kesulitan mendorong roboh gubug itu. Heh heh-heh, sudahlah! Jangan engkau selewengan dengan soal yang kurang perlu."
"Ha-ha-ha, agaknya kaki ini engkau sendiri yang linglung. kakang!" ejeknya.
"Tentu saja aku akan mendorong gubug itu, tanpa menyentuhnya, seperti aku mendorong pohon ini."
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, orang itu sudah menggerakkan tangan kanannya, mendorong ke arah sebatang pohon sebesar pohon pinang. Angin yang cukup dahsyat segera menyambar dari telapak tangan. Lalu, "krakk", pohon itu patah dan tumbang. Suaranya gemerasak, membuat burung burung yang tadi bertengger di atas dahan kaget dan beterbangan ketakutan. Sedang kakek itu yang merasa bangga, ketawa bekakakan.
Melihat tingkah kakek itu Titiek Sariningsih tersenyum.
Bagi gadis ini, apakah hebatnya dapat mendorong patah pohon seperti itu?
Lebih-lebih kakek itu begitu dekat dengan pohon. Maka
sekalipun tenaga kakek itu cukup mengagumkan, belum patut dibuat bangga dalam pandangan orang orang sakti mandraguna. Dan sekalipun dirinya masih muda, kiranya iapun dapat melakukan dorongan seperti itu.
Akan tetapi suara ketawa dan gemerasak robohnya pohon itu, membuat Wiro Sukro dan Ratmi yang masih di dalam gubug kaget. Untung sekali bahwa mereka sudah selesai berpakaian, dan sudah bersiap-siap untuk meninggalkan gubug ini meneruskan perjalanan. Wiro Sukro cepat melompat dan membuka pintu. Adapun Ratmi menyusul di belakang. Begitu mereka tiba di luar gubug, tiba-tiba saja Wiro Sukro berteriak nyaring ketika melihat dua orang kakek itu,
"Hai saudara Menak Kunjono dan Aras Pepet! Apa saja kerjamu di hutan ini? "
Dua orang kakek itu yang ternyata bernama Menak Kunjono dan Aras pepet, memalingkan mukanya. Begitu melihat Wiro Sukro, mereka tertawa. Kakek yang muda, yang bernama Aras Pepet menjawab,
"Ha--ha-ha,-engkau di sini saudara wiro Sukro. Tetapi Aihh....si.-siapa dia itu, dan manakah isterimu Wigati?"
Dua orang kakek yang bernama Menak Kunjono dan Aras Pepet itu adalah kakak beradik seperguruan. Mereka adalah dua orang sakti yang bertempat tinggal di Belambangan. Sekarang ini, baru saja mereka pulang dari Mataram menunaikan tugas sebagai penyelidik Kadipaten Belambangan. Oleh kecerdikan dan kepandaian mereka, akhirnya mereka dapat mengetahui rencana Mataram yang akan
menghancurkan Giri (terletak disebelah utara Gresik.) untuk rencana itu, Sultan Agung telah mempercayakan kepada Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Mendengar itu mereka segera pulang dengan maksud melapor kepada Adipati Belambangan. Dan kalau mungkin, Belambangan harus membantu Giri.
Kenyataan yang ada memang hanya tinggal Belambangan dan Giri saja, yang masih belum berhasil ditundukkan oleh Sultan Agung.
Mengingat bahwa Belambangan tidak sudi tunduk kepada Mataram ini, maka ketika terjadi penghadangan rombongan pengantin baru.Ratu Wandansari dengan Pangeran Pekik, dua orang kakek ini membantu gerakan tersebut. Akan tetapi sayang sekali mereka harus mengakui keunggulan Mataram yang memiliki peralatan lebih lengkap dan tokoh tokoh sakti. Dan karena tidak ingin mati konyol, maka mereka melarikan diri.
Sekarang secara tidak sengaja, dua orang kakek ini bertemu dengan Wiro Sukro. Selama lebih kurang satu setengah tahun, sejak usaha menghancurkan rombongan pengantin boyong itu gagal, baru sekarang ini dua orang kakek tersebut bertemu muka kembali dengan Wiro Sukro. Maka tak mengherankan begitu bertemu, Aras Pepet sudah bertanya tentang Wigati. Sebab dua orang kakek ini memang belum mendengar peristiwa perbuatan nekat Wongso Dipo, Kamilah dan Wigati yang membunuh diri dalam tawanan Surabaya.
Mendengar pertanyaan Aras Pepet itu, tiba-tiba wajah Wiro Sukra membayangkan kesedihan. Sebab wajah Wigati yang sudah mendampingi dirinya puluhan tahun lamanya, segera terbayang kembali dalam benaknya. Wiro Sukro menghela napas sedih, kemudian jawabnya,
"Ahhh...... karena engkau berdua ketika itu melarikan diri dari gelanggang pertempuran, maka tidak mendengar kami berempat ditawan di Surabaya." Yang dimaksud kami berempat itu adalah Wongso Dipo, isterinya yang bernama Kamilah, Wigati dan dirinya sendiri. Dua orang kakek itu kaget. Tetapi juga merasa malu, disindir terang-terangan melarikan diri dari gelanggang pertempuran.
'Marilah kita duduk yang enak dan akan aku ceritakan apa yang telah terjadi," ajak Wiro Sukro.
Dua orang kakek itupun setuju lalu mereka duduk di depan gubug itu. Sedang Ratmi tampak kurang senang, dan juga tidak tenang. Ia merasa tidak senang karena kehadiran dua orang kakek ini, perjalanannya pulang ke Karangpandan terganggu. Dan tidak tenang. karena dua orang kakek ini mengingatkan Wiro Sukro kepada isterinya yang pertama. Tentu saja ia menjadi khawatir kalau orang yang diharapkan menjadi pembela dan pelindungnya ini berubah pikiran. Kalau Ratmi agak gelisah, lebih-lebih Titiek Sariningsih yang bersembunyi di atas pohon. Gadis ini menjadi gelisah sekali karena perutnya sudah keroncongan. Akan tetapi gadis ini menjadi merasa serba salah. Kalau dirinya sekarang nekat turun dari pohon, bisa jadi dirinya dituduh mencuri dengar pembicaraan orang. Dan hal itu bisa memancing kesalahpahaman dan perselisihan. Maka terpaksalah Titiek Sariningsih harus menyabarkan diri, sambil menunggu perkembangan yang terjadi. Akan tetapi bagaimanapun pula gadis ini memasang telinganya untuk ikut mendengar penuturan Wiro Sukro. Peristiwa itu bagi dirinya menarik sekali, dan bisa menambah pengetahuannya tentang keadaan.
Wiro Sukro dengan lancar segera menceritakan apa yang terjadi. Sejak dirinya bersama isterinya roboh, kemudian disusul robohnya Wongso Dipo yang buntung kaki kirinya dan robohnya Kamilah yang buntung lengan kanannya. Di mana seterusnya mereka ditawan di Surabaya. Di dalam tawanan ini, kemudian Wongso Dipo, Kamilah dan Wigati membunuh diri. Akan tetapi dirinya tidak.
Kaget dua orang kakek Belambangan ini mendengar cerita itu, lalu sambil menghela napas Menak Kunjono berkata,
"Hemm. aku sesalkan saudara Wongso Dipo yang terlalu kukuh pada kedudukannya sebagai ketua Perguruan Semeru, kemudian membunuh diri. Sayang. sayang, pandangan mereka kurang jauh, Keputusasaan mereka berarti merugikan kita sendiri, sebab kita harus kehilangan tiga orang tokoh yang bisa diandalkan tenaganya."
"Lebih -Iebih saat sekarang ini," tambah Aras Pepet.
"Junjungan dan penasihat kita Kanjeng Sunan Giri terancam keselamatannya."
" Apa ? "
Wiro Sukro kaget
"Apa maksudmu ?"
"Heh-heh-heh, ternyata engkau tidak kenal keadaan, begitu isterimu mati membunuh diri dan memperoleh ganti yang muda!"
Menak Kunjono terkekeh sambil menyindir, membuat Wiro Sukro mesasa malu .Sedang wajah Ratmi sebentar pucat
dan sebentar merah. Perempuan ini malu di samping penasaran.
Tentang tua dan muda apa salahnya?
Mengapa urusan pribadi diganggu gugat?
Akan tetapi rasa penasarannya ini ditahan dalam hati, agar tidak membuat suaminya tidak senang. Menak Kunjono senang dapat membalas sindiran Wiro Sukro. Sesudah ketawa terkekeh beberapa saat lamanya, ia berkata lagi,
"Secara kebetulan kami dapat bertemu dengan engkau. Maka engkau harus tahu, bahwa keadaan menjadi lebih gawat. Junjungan dan penasihat kita Kangjeng Sunan Giri terancam bahaya oleh penyerbuan Mataram"... '
"Apa?"
Wiro Sukro kaget dan terbelalak.
"Kangjeng Sunan Giri terancam ?"
"Heh-heh-heh,"
Aras Pepet terkekeh.
"Engkau seperti tidur di waktu siang. Relakah engkau, Sultan Agung yang serakah itu menginjak-injak kedaulatan wilayah timur yang sejak lama selalu kita bela?"
Bangkit semangat wiro Sukro mendengar itu, sebab ia merasa malu kalau dituduh sebagai seoorang yang lari dari kewajiban. Sahutnya mantab,
"Huh, tentu saja aku tidak rela. Sultan Agung tak boleh melakukan perbuatan sewenang-wenang, lebih lebih terhadap junjungan kita Kangjeng Sunan Gin."
Mendengar itu, Ratmi menjadi cemas kalau suaminya ini mengurungkan niatnya pulang ke Karangpandan. Sebab kalau sampai terjadi demikian, akan buyarlah harapannya memperoleh perlindungan hidupnya. Perang adalah menyabung nyawa. Ia menjadi khawatir kalau suaminya sampai tewas di medan
perang.
Adakah seorang isteri, dan terhitung masih pengantin baru pula, sedia melepaskan suaminya menyabung nyawa?
Bagi Ratmi, hanya kepentingan dirinya sendiri yang harus didahulukan. Tentang perjuangan melawan Mataram dan sebagainya, bagi dirinya tidaklah butuh. Lebih lebih jika diingat. bahwa satu demi satu baik bupati maupun adipati yang semula melawan Mataram, telah berhaSil dipatahkan. ia menjadi tipis harapan kalau Giri dapat bertahan melawan Mataram. Terdorong oleh kepentingan diri ini, Ratmi tak kuasa menahan mulutnya lagi. Katanya,
"Kakang, lupakah engkau akan tujuan kita semula pulang ke Karangpandan? Dan lupa pulakah akan cita-citamu memperoleh keturunan? Engkau telah tua! Apa jadinya kalau tiada penyambung keturunan seorangpun?"
Wiro Sukro menjadi kaget mendengar ucapan Ratmi itu. Sudah sejak lama ia justeru mengharapkan hadirnya seorang atau dua orang anak sebegai penyambung sejarah hidupnya. Anak adalah amat penting kedudukannya bagi sejarah pribadinya. Tanpa keturunan seorangpun, akan lenyaplah nama Wiro Sukro yang telah dibina puluhan tahun lamanya. Akan tetapi di balik itu, berjuang melawan Mataram juga merupakan cita -cita yang tak dapat disisihkan. Ia merasa malu kalau dirinya dituduh sebagai seorang pengecut yang lari dari kewajiban.
Akibatnya Wiro Sukro menjadi serba salah!
Jalan mana yang harus ditempuh sekarang ini?
Sebelum Wiro Sukro sempat menentukan pilihannya. Aras Pepet sudah terkekeh mentertawakan.
"Heh-heh-heh, ternyata benar apa yang tadi dikatakan kakang Kunjono. Begitu memperoleh ganti yang muda, engkau banyak berubah! Puluhan tahun lamanya hidup di samping Wigati. menyabung nyawa dan berhadapan dengan bahaya, engkau tidak pernah berpikir tentang keturunan. Akan tetapi sekarang, engkau bicara tentang itu. Ha-haha, bukankah ini menggelikan? Lupakah engkau bahwa keturunan itu hanya di tangan Yang Maha Kuasa? Orang dapat bercita, tetapi kalau Yang Maha Tinggi tidak menghendaki, cita cita punya anak itu tinggal cita-cita. Sebaliknya, sekalipun tanpa mempunyai seorang anak, namanya seorang pahlawan akan dikenang orang sepanjang masa. Namanya akan dihormati dan dipuja-puja setiap orang."
Menak Kunjono cepat menambahkan,
"Saudara Wiro Sukro! Apa yang dikatakan adi Pepet sedikitpun tidak salah! Seorang pejuang yang gigih bukan saja akan dihargai oleh rakyatnya, tetapi juga akan memperoleh penghargaan musuh. Contoh yang dekat adalah isterimu sendiri bersama saudara Wongso Dipo dan isterinya. Jenazah mereka memperoleh penghargaan amat tinggi dari Adipati Surabaya. Apakah engkau tidak malu kepada isterimu sendiri, yang sudah mendahului kita berjuang sampai akhir hayatnya?" .
Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah The Rocker That Hold Me Karya Terry Anne
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama