Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 4

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 4


sudah berlutut. Melihat itu, Surengpati cepat bisa menduga bahwa kakek ini guru mereka, yang memberi pertolongan di saat dirinya dalam bahaya.
"Anak muda, segeralah engkau pergi dari tempat ini!" Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu halus, akan tetapi nadanya memerintah.
Surengpati tak mau banyak mulut lagi, setelah memberi hormat dan terima kasihnya sudah terhuyung pergi. Surengpati menderita luka parah. Namun menguatkan hati dan mengerahkan sisa-sisa tenaganya agar dapat pergi dengan cepat. Akan tetapi walaupun ia menderita luka parah dan kesakitan hebat, tidak urung dalam hati Surengpati timbul rasa heran dan pertanyaan.
Mengapa sebabnya kakek itu tidak adil?
Mengapa tanpa mau mengurus persoalannya, menghukum muridnya yang bersalah, sudah mengusir dirinya supaya pergi?
Bijaksanakah sikap guru semacam itu?
Surengpati tidak tahu bahwa memang begitulah Watak guru Pitrang dan yang lain. Kakek ini seorang guru yang amat kasih dan memanjakan murid-muridnya. Maka salah atau benar, muridnya akan dilindungi dan dibela. Itulah sebabnya kakek itu tidak mau menanyakan urusannya sudah mengusir supaya dirinya pergi.
Surengpati meninggalkan Gunung Semeru dengan menderita hebat. Dan karena amat memaksa diri, pada akhirnya ia pingsan di dalam hutan. Dan akhirnya setelah melalui penderitaan yang hebat, Surengpati berhasil mencapai Pulau Sempu. Di saat Surengpati merawat lukanYa. setelah berhasil mendarat kembali di pulau itu, secara tak sengaja datanglah empat orang bekas perajurit Pasuruan. Kemudian di antara mereka mengangkat sebagai saudara, dan terkenal dengan nama Lima Harimau Sempu.
Nama Lima Harimau Sempu itu belum lama muncul dan dikenal orang. Kira-kira baru tiga tahun yang lalu. Begitu muncul Lima Harimau Sempu ini menyerbu ke Perguruan Semeru dan mencari Pitrang. Akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Pitrang, melainkan bertemu dengan Wongso Dipo, Kamilah. Wiro Sukro, Wigati, Wanengboyo dan Kirtaji. Enam orang ini secara kebetulan berkumpul di tempat itu, bukan lain sedang merintis persahabatan, antara Gerombolan Kendeng dengan Perguruan Semeru. Akan tetapi yang memprakarsai hal ini sesungguhnya Kirtaji sendiri. Kirtaji yang cerdik dan licin sadar kedudukannya dalam bahaya, jika tidak mencari perlindungan. Namun tentu saja Kirtaji tidak mengemukakan keadaan ini terus terang, melainkan ia menggunakan dalih perjuangan melawan Mataram. Kirtaji memang tahu kelemahan Wongso Dipo dan saudara-saudaranya. Apa bila diajak bicara tentang melawan Mataram, tentu menyambut baik. Karena Wongso Dipo dan perguruannya amat benci kepada Mataram.
Perintisan kerja sama ini, kemudian dipercepat dengan peristiwa yang menyusul. Ialah terjadinya ikatan perkawinan antara Ratu Wandansari dengan Pangeran Pekik Adipati Surabaya. Maka seperti telah diceritakan dalam buku "Kisah Si' Pedang Buntung". terjalinlah persekutuan untuk menghadang rombongan pengantin Ratu Wandansari yang boyong ke Surabaya.
Surengpati tidak lupa kepada Kamilah yang dahulu menyiksa dirinya. Meledaklah kemarahan dan sakit hatinya. Tidak bertemu dengan Pitrang, ia berkeinginan menghajar Kamilah, membalas kekalahannya dahulu. Jadilah Surengpati berkelahi melawan Kamilah. Gunopati berkelahi melawan Wongso Dipo. Adapun Wiropati berkelahi melawan Wiro Sukro, sedang Wigati berkelahi melawan Sunupati. Sedang Darmopati yang kerdil itu, berkelahi melawan Wanengboyo.
Namun kemudian ternyata, kalau lima orang bersaudara itu melawan seorang demi seorang, belum mampu menghadapi tokoh-tokoh sakti itu. Dengan menderita luka akhirnya Lima Harimau Sempu itu terpaksa melarikan diri dan kembali ke Pulau Sempu. Kekalahannya ini membuat mereka prihatin dan penasaran, Mereka kemudian tekun dan saling bantu melatih diri, di samping pula mempelajari persoalan bisa atau racun. Mereka jarang sekali meninggalkan Pulau Sempu, apa bila keadaan tidak terlalu memaksa. Dan berkat kemauan mereka yang keras, pada akhirnya mereka merupakan orang-orang yang pandai dalam persoalan bisa atau racun. Di samping mereka merupakan orang-orang yang pandai tentang bisa atau racun, merekapun kemudian sadar bahwa tenaga gabungan mereka amat diperlukan setiap berhadapan dengan musuh. Maka setelah mereka muncul kembali di tengah masyarakat, dalam waktu singkat nama Lima Harimau Sempu kembali menjadi terkenal.
Begitu muncul mereka kembali menyerbu ke Semeru. Akan tetapi sayang sekali, mereka tak dapat bertemu dengan Wongso Dipo dan yang lain. Sebab di saat mereka muncul kembali itu, di laut sebelah utara Tuban sedang terjadi pertempuran hebat antara pasukan gabungan Gagak Rimang, Surabaya dan Mataram, melawan persekutuan Rara Inten, Kendeng, Semeru dan beberapa tokoh lain di samping pula Perguruan Tuban.
Lima Harimau Sempu ini kecewa tak dapat bertemu dengan orang yang dicari. Untung bahwa walaupun amat mendendam kepada Kamilah, Wongso Dipo, Pitrang dan yang lain, namun mereka tidak mau melakukan pengrusakan di Semeru. Mereka hanya meninggalkan pesan kepada anak murid Semeru, bahwa setengah tahun kemudian, Lima Harimau Sempu akan datang ke Semeru, dan supaya Wongso Dipo bersiap-siap menyambut kedatangannya.
Sambil menunggu waktu yang setengah tahun itu, Lima Harimau Sempu ini menggunakan kesempatan mencari nama besar. Akan tetapi sepak terjang mereka sulit diduga dan aneh. Sehingga orang sulit menyebut, dari golongan manakah Lima Harimau Sempu itu. Sebab kadang-kadang mereka menghancurleburkan Sarang perampok, membela rakyat kecil dari tindakan yang sewenang-wenang atau perbuatan baik yang lain. Akan tetapi pada suatu ketika, merekapun memusuhi tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat sebagai seorang baik. Akibat dari tindakan mereka yang hanya menurutkan selera dan kemauan sendiri itu mereka banyak musuh. Namun selama ini mereka yang berusaha memusuhi Lima Harimau Sempu selalu kalah dan tewas. Hal ini membuat orang berhati hati dan tidak berani terang-terangan memusuhi,
Sesuai dengan janjinya, datanglah kembali Lima Harimau Sempu ini ke Semeru, tepat dengan batas waktu yang telah dijanjikan. Akan tetapi lagi-lagi kedatangan mereka ke sarang musuh itu tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Sebab ketua Perguruan Semeru yang baru, yang menggantikan kedudukan Wongso Dipo setelah meninggal, hanya dapat menerangkan bahwa mereka itu sudah meninggal. Pada mulanya mereka tidak percaya akan keterangan ini. Akan tetapi setelah oleh ketua Perguruan Semeru sendiri mereka dibawa datang ke kuburan, Lima Harimau Sempu itu tinggal dapat berdiri mematung. Mereka tinggal dapat bertemu dengan batu nisan.
Pada mulanya si kerdil Darmopati menganjurkan kepada saudara -saudaranya, kalau memang orang-orang yang dicari sudah mati, apakah salahnya sekarang mengobrak abrik kuburan itu, dan menghancurkan Perguruan Semeru pula?
Akan tetapi anjuran ini ditentang keras oleh Gunopati dan Surengpati sendiri. Orang yang telah mati sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan perbuatannya ketika masih hidup. Demikian pula para anak murid Semeru yang tidak ikut berdosa. Sungguh merupakan perbuatan tidak patut kalau harus melakukan pembunuhan terhadap mereka. Biang keladi timbulnya permusuhan dan dendam itu, bukan lain akibat perbuatan Pitrang. Maka tindakan yang paling tepat, harus mencari orang itu.
Akan tetapi sungguh mereka menyesal dan kecewa. Mereka tidak berhasil memperoleh keterangan di mana Pitrang menyembunyikan diri. Mereka telah menjelajah banyak kota dan desa. Tetapi Pitrang tetap lenyap.
Dua orang kakek tokoh Belambangan yang terpaksa bertiarap dalam semak itu, gelisah bukan main ketika Lima Harimau Sempu itu masih tetap duduk di atas batu. Celakanya lagi. ternyata tempat di mana mereka menyembunyikan diri itu, berdekatan dengan liang semut api. Semut yang merasa diganggu itu keluar dari liang dan mengamuk. Semut semut itu merayap dan menggigit apa saja. Tidak perduli bagian tubuh yang keras maupun yang lunak. Padahal semut api jika menggigit membuat kulit tubuh menjadi gatal dan panas.
Mendadak Menak Kunjono berjengit dan hampir saja tak kuasa menahan teriakannya. Sebab tiba tiba ia merasakan kesakitan yang hebat pada ujung senjata yang sudah dibawa sejak lahir. Untung sekali kakek ini cepat sadar. Dengan hati hati dan amat perlahan, tangan yang kanan segera dijulurkan ke bawah. Ke tempat di mana semut itu kurang ajar menggigit bagian tubuh yang amat perasa itu. Akan tetapi karena semut api itu gigitannya beracun, maka sekalipun semutnya sendiri telah dipijat remuk, namun tempat bekas gigitan itu masih terasa panas di samping gatal.
Ketika itu Surengpati berkata,
"Pitrang memang pengecut tak tahu malu! Entah ke mana saja bangsat itu bersembunyi. Tetapi, huh, sekali waktu aku dapat menemukan dia, akan aku remukkan kepalanya."
Kaget juga Menak Kunjono dan Aras Pepet mendengar itu. Dua orang kakek ini tidak tahu sebabnya Pitrang bermusuhan dengan Lima Harimau Sempu ini. Akan tetapi dua orang kakek ini mengkhawatirkan keselamatan adik perguruan Wongso Dipo itu.
Akan tetapi kenyataannya mereka sudah lama pula tidak mendengar khabar beritanya Pitrang itu. Entah masih hidup ataukah sudah mati. Namun kalau ternyata Pitrang masih hidup, mereka berjanji dalam hati akan memperingatkan sahabatnya itu agar berhati-hati. Sebab Lima Harimau Sempu itu memang tidak dapat diremehkan.
"Kalau begitu, jadinya kita masih meneruskan usaha itu?' tiba-tiba si kerdil bertanya.
"Hai Darmopati!" bentak Wiropati.
"Engkau ini saudara termuda yang cerewet."
Teguran itu membuat si kerdil mendelik lagi dan marah pula.
"Apakah aku tidak mempunyai hak untuk bicara? Apakah orang yang dianggap termuda, harus selalu dijadikan orang yang kalahan terus-?"
"Ha-ha-ha-ha."
Sunupati yang sejak tadi tidak bicara, sekarang ketawa bekakakan.
"Kalian ini seakan kucing dengan tikus. Tiap hari kerjamu hanya melulu bertengkar tak ada habisnya. Apa sajakah yang membuat kalian tidak bisa rukun?"
surengpati tidak membuka mulut. Tetapi sepasang matanya menatap tajam kepada si kerdil Darmopati dan Wiropati bergantian. Dua orang yang semula saling mendelik itu, sekarang saling menundukkan muka tidak berani bertatap pandang dengan Surengpati. Wibawa Surengpati sebagai saudara tertua memang kuat. Membuat semua adiknya selalu tunduk dan taat.
Gunopati sebagai orang paling cerdik di antara mereka berkata perlahan,
"Adi Wiropati dan adi Darmopati. Apakah kalian ini sudah ingin meniru apa yang diperbuat oleh buah kluwak? Ketika masih muda, kluwak itu rukun dan bergandengan pada sebatang tangkai dan ranting pohon. Akan tetapi begitu bertambah umur, kluwak menjadi berpisah-pisah tidak mau rukun lagi. Hemm, apa yang terjadi pada buah kluwak tidak patut kita tiru."
"Adi Gunopati. dapatkah engkau menduga persoalan yang membuat dua orang adik kita berubah seperti ini?" tanya Surengpati.
"Hemm, kalau mereka tidak mungkir, tentu saja aku tahu akan sebabnya. Sungguh memalukan jika soal sekecil itu terus berlarut. Jika tidak ingat akan kasih sayangku kepada dua orang adik, apakah aku masih bisa sabar menahan tanganku?"
Wiropati dan Darmopati semakin tunduk kepalanya. Mereka amat menghormati Gunopati. Sebab di samping orang terpandai di antara mereka, Gunopati dikenal oleh saudara-saudaranya sebagai orang yang paling jujur.
Diam-diam dua orang ini memang sudah mengaku akan kesalahannya. Lebih-lebih persoalan
di antara mereka itu amat sepele.
Apakah persoalan itu?
Bukan lain persoalan pantat dan perut. Masing-masing tak ada yang mau mengalah, dan masing masing membela pendiriannya sendiri.
Pantat dan perut siapa?
Karena mereka itu laki-laki, maka yang dibicarakan tentu saja adalah pantat dan perut perempuan. Wiropati berpendapat, bahwa wanita yang cantik dan menarik itu, kalau perutnya kecil akan tetapi pantatnya besar. Itu merupakan pilihan yang tepat bagi seorang laki laki, untuk dijadikan isteri. Tetapi sebaliknya, si kerdil Darmopati berpendapat lebih menarik kalau wanita itu perutnya besar akan tetapi pantatnya lebih kecilan.
Persoalan yang hanya sepele ini ternyata dikembangkan dan berlarut-larut, menjadi semacam perang dingin. Dan permulaan itu kemudian dijadikan dasar pendapat mereka selalu berselisih kalau mengemukakan sesuatu pendapat.
Tibatiba Wiropati mengangkat kepala, memandang ke arah Surengpati dan Gunopati bergantian. Lalu katanya,
"Kakang, berilah aku maaf.....!"
Dan si kerdil Darmopati itupun kemudian tak mau ketinggalan.
"Sayapun mohon maaf! Ya. saya telah sadar kakang Surengpati dan kakang Gunopati', tidak akan mengulang lagi. Demikian pula kepada kakang Wiropati. berilah aku maaf!"
"Ya, aku terima permintaan maafmu, adi Darmopati," sahut Wiropati.
Surengpati dan Gunopati terkekeh senang. Kata Gunopati kemudian,
" Nah, begitulah seharusnya. Pendeknya kita ini merupakan Pandawa Lima. Yang tak mungkin dapat diretakkan kerukunannya oleh
apa saja. Pendeknya, seorang hidup bahagia yang lainpun hidup bahagia. Tampaknya kita lima orang, tetapi hanyalah satu."
Yang lain menganggukkan kepala tanda setuju. Untuk sejenak mereka tidak membuka mulut, entah apa saja yang sedang mereka pikirkan.
Menak Kunjono dan Aras Pepet sesungguhnya menderita sekali harus bertiarap di tempat yang penuh semut api itu. Namun untuk keluar mereka tidak berani. Akan celakalah mereka, kalau harus menghadapi keroyokan lima orang itu.
Di samping mereka tidak kerasan bertiarap di semak ini, merekapun gelisah juga. Gelisah kalau akhirnya lima orang itu mengetahui kehadiran mereka di tempat ini.
Bukankah hal ini bisa menimbulkan salah tafsir?
Mereka bisa dituduh mencuri dengar pembicaraan orang. Padahal yang terjadi sebenarnya, mereka lebih dahulu di tempat ini.
Kemudian terdengar Surengpati membuka mulut,
"Adikku semua. Tentu saja aku gembira apa bila kalian semua satu pendapat dan satu hati dengan aku. Pendeknya aku sudah bertekad bahwa demi keluarga, anak dan isteriku, takkan puas sebelum aku berhasil membunuh bedebah busuk iu. Sekalipun Pitrang bersembunyi di mulut naga dan menyelam di dasar samudera, akan aku cari sampai ketemu!. Adik-adikku, cita citaku ini tentu saja menuntut pengorbanan kalian. Yang terpaksa harus berpisah dengan keluarga yang kalian tinggalkan di rumah. Sebab akan lebih banyak Waktu yang harus kita pergunakan berkelana dan menyelidik di manakah Pitrang menyembunyikan diri."
"Aku tunduk pada putusanmu, kakang," sahut Wiropati, Sunupati dan Darmopati hampr berbareng.
Yang tidak menyahut hanyalah Gunopati seorang. Ia mengerutkan alisnya, tampak sedang berpikir.
Karena tidak mendengar suara penyahutan Gunopati, maka Surengpati memalingkan mukanya. Sebab Gunopati duduk dl belakangnya.
"Adi Gunopati. Bagaimanakah pendapatmu? Sudah tepatkah pendirianku ini?"
Sebelum menjawab Gunopati menghela napas pendek. Kemudian jawabnya,
"Tentu saja kalau hal itu sudah menjadi tekad dan keputusanmu, tidak seorangpun dl antara kita ini dapat membantah. Tetapi kalau kakang setuju, balehkah aku memberikan pendapatku?"
'Katakanlah !" '
"Kakang. dunia ini amat luas. Tidaklah mungkin kita dapat menjelajah daerah demi daerah secara teliti. Sehingga hal ini tentu saja memungkinkan kepada Pitrang untuk selalu berpindah-pindah tempat. Semua itu dilakukan guna menghindari kita. Mengapa? Tidak aneh tentunya hal ini bisa terjadi. Sebab Pitrang tentu sudah mendengar ancaman kakang Surengpati, berasal dari pemberitahuan orang."
Gunopati berhenti sejenak. Kemudian,
"Mencari seseorang di dunia yang luas ini tentu saja sulit sekali. Lebih-lebh dia sudah kehilangan orang andalannya. Saudara saudara seperguruannya yang
semula dapat diminta bantuannya, semua sudah mampus. Jelas dia tidak mungkin berani menghadapi kita seorang diri. Kalau soal ini terus berlarut larut hingga membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya, apakah tidak berarti bahwa harapan kita itu akan sia-sia belaka? Merupakan harapan yang kosong. ibarat menunggu mengambangnya batu hitam di sungai. Hemm, lebih celaka lagi kita sendiri ini tak tahu sampai kapan dapat hidup di dunia ini. Betapa kita ini akan mati penasaran, kalau sampai nyawa direnggut maut, belum juga dapat bertemu dengan musuh besar itu?" .
Tertarik juga Surengpati mendengar alasan Gunopati ini. Tanyanya,
"Lalu, bagaimanakah pendapatmu ?! "
Yang lain berdiam diri, namun diam diam tertarik juga. Berdebar mereka menunggu hasll pikiran saudara yang terpandai itu.
'Kakang. jika engkau setuju dan sependapat,tiada jalan lain yang lebih tepat dan singkat, apa bila kita menyebarkan tantangan kepada Pitrang. Kalau orang itu masih memiliki jiwa ksatria, tentu dia akan sanggup memenuhi tantangan kita."
"Kalau sekarang saja dia sudah ketakutan setengah mati, manakah mungkin bangsat itu berani memenuhi tantangan kita '!"
Surengpati kurang yakin.
"Tentu saja dia takkan berani muncul, tanpa kita gunakan cara. Maka yang tepat dalam tantangan kita itu, kita sertakan syarat, jika Pitrang tidak berani muncul seorang diri, kita beri kesempatan dia mengajak sahabat-sahabatnya yang terpercaya
untuk membantu. Oleh kesempatan yang kita berikan itu, aku percaya dia akan berani muncul. Sebab dia merasa mempunyai kekuatan."
"Tetapi apakah itu tidak berbahaya bagi kita, kalau dia sampai muncul dengan jumlah berlipat ganda dari kita? Manakah mungkin kita sanggup melawan dan mengatasinya, kalau harus melawan musuh puluhan orang banyaknya?"
"Ha-ha-ha, apakah kita tidak mempunyai sahabat pula, kakang?" sahut Sunupati sambil tertawa.
"Kalau dia bisa minta bantuan kepada orang, mengapa kita tidak bisa? Kakang, tidak sedikit jumlahnya orang yang mengakui akan kekuatan kita setiap bergabung. Maka tentu saja dalam pertandingan itu, kita menuntut. tetap berlakunya tenaga gabungan kita ini. Hemm, apa lagi yang kita takutkan kalau kita telah bergabung? Kita tidak perlu takut dikeroyok oleh sepuluh orang."
"Heh-heh-heh, engkau benar. Terima kasih, adi, jalan ini memang merupakan jalan terbaik untuk cita-cita itu. Sambil menunggu waktu yang telah kita tetapkan, kita bisa mengaso dirumah sambil memperdalam ilmu. Di samping itu kitapun akan dapat menghubungi sahabat-sahabat yang bisa kita mintai bantuannya. Bagus, sebab apa bila kita harus berkelana terus, kitalah yang akan rugi."
"Jika kakang telah setuju, silahkan kakang sekarang menentukan tempat dan waktu tantangan itu".
"Tetapi bagaimanakah kalau kita beri kesempatan dia datang dengan pembantu, namun tidak juga mau muncul?"
"Kalau dia tidak juga muncul, membuktikan bahwa dia telah takluk kepada kita. Dan dengan begitu, nama kakang Surengpati akan sudah tercuci bersih. Hemm, nama apa lagi yang akan diberikan kepada orang yang tidak berani menerima tantangan musuh itu?"
"Benar, engkau benar. Sekarang tentang Waktu dan tempat aku serahkan pula padamu. Pilihlah!"
"Baiklah jika engkau menyerahkan soal ini padaku. Akan aku pilih tempat yang menguntungkan kita, berkelahi di atas geladag perahu yang sempit. Perahu itu mengapung diatas laut. Laut antara Pulau Sempu dengan Pulau Jawa. Kakang, mengapa kita harus memilih tempat di atas perahu dan dilaut? Kita telah terlatih.,sehingga akan memperoleh beberapa macam keuntungan. Kita pandai berkelahi di atas geladag dan pandai pula berenang di laut. Tetapi mereka? Hi-ha., begitu perahu oleng sedikit saja, akan gelagapan. Lebih lagi kalau sampai terlempar ke laut, mereka akan mampus."
"Bagus!" sambut mereka hampir berbareng.
Mereka setuju sekali dengan siasat yang telah ditentukan oleh Gunopati ini. Sebab pihak mereka akan memperoleh bantuan gerakan perahu di saat untuk berkelahi, di samping laut itu sendiri. Berkelahi di atas geladag perahu yang sempit, jauh bedanya dengan berkelahi di daratan.
'Ya aku setuju. Lalu, kapankah?" desak Surengpati.
"Setengah tahun lagi."
"Ahhh, mengapa begitu lama? Bagaimanakah kalau tiga bulan lagi?"
"Kakang, aku mempunyai alasan mengapa harus setengah tahun lagi. Setengah tahun lagi, akan tepat dengan bulan Sura. Waktu itu musim penghujan, banyak kabut, cuaca buruk dan gelombang laut besar. Gelombang laut, kabut, cuaca dan hujan merupakan bantuan yang besar sekali bagi kita."
'Ha-ha-ha, engkau memang cerdik sekali. Baiklah! Kita tentukan sekarang bulan Sura. Akan tetapi tanggal berapa?"
"Kakang, akan aku pilih waktu malam saja, di saat bulan purnama atau tanggal limabelas."
"Ah, mengapa pada saat terang bulan-kakang?" tanya Suropati tiba-tiba.
"Tak ada halangan sekalipun terang bulan. Namun karena musim penghujan,tipis kemungkinannya bulan muncul. Malah mungkin turun hujan lebat. Akan tetapi yang terpenting dari semua itu, apakah kalian lupa bahwa di saat itu gelombang besar dan laut pasang?"
"Bagus, pilihanmu tepat sekali!" puji Surengpati gembira sekali.
"Dan sekarang, umumkanlah tantangan itu!"
"Baik. Akan segera aku rancang tantangan itu."
Berdebar Menak Kunjono dan Aras Pepet mendengar semua itu. Diam-diam dua orang kakek ini mengakui akan kecerdikan mereka. Memang, orang berkelahi di dalam perahu lebih sulit dibanding dengan di daratan. Mereka sendiri pernah
mengalami. Ketika bertempur melawan pasukan gabungan Mataram, Surabaya dan Gagak Rimang.
Di saat itu, tiba tiba saja terdapat seekor semut api yang kurang ajar. Semut itu merembet lewat kaki masuk dalam celana Aras Pepet. Dan sungguh kurang ajar sekali bahwa bagian tubuh yang digigitnya memilih bagian yang paling perasa. Ialah bagian tubuh seperti yang tadi dialami oleh Menak Kunjono. Kalau tadi Menak Kunjono kuasa menahan sakit digigit semut api, sebaliknya Aras Pepet yang belum sembuh dari luka dalamnya yang parah, menjadi kaget dan lupa. Mendadak saja kakek ini berteriak,
"Aduhh.....!"
Teriakan itu mengejutkan Lima Harimau Sempu. Mendadak mereka berlompatan dari batu tempat mereka duduk. Yang lebih kaget lagi adalah Menak Kunjono. Wajahnya menjadi pucat.
"Hai. siapa bersembunyi di situ?" bentak Wiropati menggeledek.
"Mengapa engkau berteriak?" tegur, Menak Kunjono lirih, sambil terpaksa harus bangkit dan berdiri.
" Kakang, oh..... aku tak kuat menahan nyeri digigit semut api pada ujung..... senjataku....." sahut Aras Pepet setengah mengeluh, lalu kakek ini memaksa diri untuk berdiri, berdampingan dengan Menak Kunjono. .
" Hemm, kita dalam bahaya. Engkau sedang terluka, dan aku sendiri belum pulih tenagaku. Ahh, apakah kita harus mampus di sini, terbunuh oleh
Lima Harimau Sempu itu"?? desis Menak Kunjono, akan tetapi nadanya mengeluh.
"Hai, apakah maksudmu mencuri dengar pembicaraan kami?" bentak Surengpati sambil mendelik.
Sepasang matanya menyala. Akan tetapi sekali pandang saja Surengpati gembira. Ia tahu bahwa dua orang kakek itu tidak sehat. Kalau tidak sedang menderita sakit, tentunya menderita luka.
"Kami lebih dulu di tempat ini dibanding dengan kalian," sahut Menak Kunjoro sabar.
'Kami kakak beradik sedang menderita sakit dan tadi beristirahat dalam semak itu. Tiba-tiba kalian datang, kemudian duduk di batu itu. Maka kami terpaksa terus berada di tengah semak itu, tidak berani bersuara. Sebab kami takut mengganggu kalian."
"Heh-heh-heh! "
Si kerdil Darmopati terkekeh.
"Enak saja kau bicara. Kau bilang tidak berani mengganggu. Akan tetapi mengapa kau berteriak ? " '
"Ahhh..... saya kaget karena digigit semut ." dalam gentarnya Aras Pepet menjawab sejujurnya.
Tetapi jawaban itu dianggap oleh mereka tidak masuk akal.
Manakah mungkin orang hanya digigit semut saja berteriak?
Maka bentak Wiropati,
"Huh. omong kosong! Apakah engkau hanya bocah cilik, begitu digigit semut saja sudah berteriak ? "
Kiranya tak mengherankan jika Wiropati tidak percaya keterangan Aras Pepet. Sebab kemungkinan besar Wiropati memang belum pernah merasakan ujung seniatanya digigit semut. lebih lebih semut
api. Akan tetapi kalau Wiropati pernah merasakan, mungkin ia tidak akan bicara semacam itu. Sebab sebagai akibat gigitan tersebut, rasanya nyeri, panas dan kemudian meradang.
Celakanya Aras Pepet kurang sabaran. Sekalipun sadar berhadapan dergan lawan yang tidak seimbang. kakek ini nekat. Bentaknya,
"Kurang ajar kau! Orang yang tak mengalami, mana mungkin bisa merasakan? Jika engkau tidak percaya akan rasanya digigit semut api, silahkan engkau memasang semut api pada ujung senjatamu, kemudian suruh menggigit!"
Meledak ketawa mereka mendengar jawaban itu. Sebab-mereka merasa geli. Akan tetapi Surengpati tidak ingin meneruskan perbantahan masalah itu.
"Hemm, tahukah kalian, hukuman apakah yang harus kalian derita atas kesalahan kalian mencuri dengar pembicaraan orang lain?" desis Surengpati.
"Tidak perlu kami rahasiakan. Kamilah yang terkenal dengan julukan Lima Harimau Sempu. Jawablah sejujurnya, siapakah kalian ini?"
Kalau saat ini mereka dalam keadaan segar bugar, tentu dua orang kakek Belambangan ini akan segera naik darah dibentak orang. Namun sekarang sikap mereka adalah lain. Sebab terjadinya bentrokan akan merugikan diri sendiri. Maka sahut Menak Kunjono sabar,
"Kami sudah mengenal nama besar tuan-tuan, yang terkenal sebagai lima saudara sakti mandraguna .Maka terimalah hormat dan penghargaan kami, dua orang kakek hina dari Belambangan. Aku sendiri bernama Menak Kunjono. Adapun adikku ini bernama Aras Pepet. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan kalian."
Agak kaget juga Lima Harimau Sempu ini, mendengar disebutnya nama itu. Sebab nama Menak Kunjono dan Aras Pepet, selama berkelana ini banyak kali mereka dengar. Sesungguhnya timbul rasa tidak senang dalam hati mereka, mendengar orang menyanjung nama orang lain sebagai tokoh sakti mandraguna. Dan terpikir pula agar memperoleh kesempatan bertanding melawan dua orang kakek Balambangan itu. Sekarang tanpa disengaja mereka berhadapan dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet. Maka kesempatan ini amat baik sekali untuk dapat menambah ketenaran nama.
Betapa akan menjadi geger kalau Lima Harimau Sempu berhasil membunuh Menak Kunjono dan Aras Pepet. Tentu orang akan menjadi lebih hormat dan takut lagi. Sekalipun sesungguhnya, terbunuh matinya Menak Kunjono dan Aras Pepet, dalam keadaan sedang menderita sakit.
Apakah salahnya orang menggunakan setiap kesempatan baik?
Berpikir demikian, Gunopati yang cerdik telah membentak,
"Bagus, heh-heh-heh! Kami telah lama mendengar nama besar kalian. Dan kami telah lama pula ingin mencoba sampai di manakah ketangguhan dua orang tokoh Belambangan itu. Kami ingin membuktikan, benarkah kabar itu sesuai dengan kenyataan? Hemm, secara kebetulan kami sekarang sudah berhadapan dengan kalian. Maka berilah kami kesempatan untuk mencoba coba."
Tantangan yang terang terangan ini tentu saja
amat menyakitkan hati dua orang kakek ini.
Akan tetapi karena sadar akan keadaannya, maka kalau tantangan ini diterima, manakah mungkin mampu melawan lima orang ini?
Untung sekali bahwa Menak Kunjono cukup cerdik. Ia memperhitungkan, sekalipun tenaganya tinggal separoh, namun apa bila melawan seorang demi seorang kemungkinan besar masih dapat mempertahankan nama baiknya. Namun begitu, apa bila bisa dicegah lebih baik menghindarkan diri dari bahaya mengancam ini. Sebab keadaan Aras Pepet sekarang ini, tidak mungkin dapat berkelahi.
"Hemm, saudara. Dalam keadaan sekarang ini, kami sedang menderita sakit. Apakah kalian tidak mempunyai malu lagi, main paksa kepada orang sakit ?" sahut Menak Kunjono sambil menekan perasaannya.
"Oleh sebab itu, hemm, tantangan saudara kami terima dengan senang hati. Akan tetapi bukan sekarang, dan pilihlah waktu lain dan tentukanlah pula tempatnya. Kami bukan pengecut! Kami akan datang memenuhi tantanganmu."
"Heh heh-heh, tidak perlu banyak alasan segala macam sakit. Terus terang saja akuilah, kamu takut kepada kami, huh," ejek si kerdil Darmopati.
"Jika kamu memang takut kepada kami, tentu saja kami tidak memaksa. Sebab orang yang takut beratti menyerah dan takluk. Hemm, kamu tentu mengerti bagaimanakah sikap orang yang sudah takluk itu? Orang yang takluk harus mau berlutut dan mohon ampun. Jika kamu berdua telah berlutut sambil menyembah tujuh kali, kamu akan kami biarkan pergi tanpa diganggu."
Wajah Menak Kunjono dan Aras Pepet yang semula pucat itu, mendadak berubah merah padam saking marahnya. Tentu saja mereka menjadi marah, Sebab berlutut dan menyembah tujuh kali itu, merupakan hinaan yang tidak tanggung- tanggung. Bagi orang gagah yang telah biasa berhadapan dengan maut, kehormatan sama harganya dengan nyawa. Orang gagah tidak takut mati, akan tetapi pantang dihina. Maka sekalipun keadaannya sekarang ini tidak menguntungkan dirinya, ia menjadi marah juga. .
"Hemm, engkau mau main paksa?" desis Menak Kunjono.
"Kalau demikian, aku terima tantanganmu dengan syarat. Biarlah adikku ini menjadi penonton. Sekarang pilihlah salah seorang dari kalian untuk maju melawan aku. Dalam pertandingan secara ksatria, sungguh memalukan apa bila orang menebalkan muka mengandalkan jumlah dan main keroyok." .
Sindiran Menak Kunjano ini cukup tajam. Membuat lima orang bersaudara itu mendelik marah. Akan tetapi sekalipun marah, mereka sadar akan kekuatan masing-masing. Jika harus menerima tantangan itu, pihak mereka sendiri yang bakal menderita rugi.
"Heh-heh-heh,"
Gunopati terkekeh.
"Kami adalah Lima Harimau Sempu. Kami adalah Pandawa Lima yang sudah bersepakat bersama hidup dan bersama mati. Sekalipun tampaknya kami berjumlah lima orang, akan tetapi hanya satu. Maka setiap orang yang berani menghadapi kami, tentu
saja kami maju bersama. Huh. kalianpun dua orang. Kami memberi kesempatan, kalianpun boleh maju bersama. Bukankah ini adil?"
Diam-diam Menak Kunjono mengeluh. Aras Pepet belum sembuh lukanya. Kalau memaksa diri bertempur, sama artinya membunuh diri.
Adapun dirinya, jika harus melawan lima orang ini.
manakah mampu?
Maka Menak Kunjono ragu-ragu dan tak lekas menjawab .
Orang yang menanam biasa memetik buah hasil tanamannya sendiri, sesuai dengan "dunia ini yang nyakramanggilingan" (dunia berputar).
Tadi pagi, Menak Kunjono dan Aras Pepet sudah main paksa dan sewenang-wenang terhadap Wiro Sukro. Mengakibatkan Wiro Sukro harus menderita dan terluka parah.
Apakah anehnya kalau sekarang Menak Kunjono dan Aras Pepet menghadapi keadaan yang sama dengan apa yang telah mereka
perbuat sendiri?
Mereka sekarang berhadapan dengan orang yang main paksa.
Akan tetapi apakah Menak Kunjono dan Aras Pepet mau merasa dan mengakui kesalahan dari perbuatannya?
Tidak!
Mereka tidak mau sadar
dan mawas diri, mengapa sekarang menghadapi paksaan orang lain.
Itulah sifat manusia!
Pandai mencari kesalahan orang lain, akan tetapi kesalahan sendiri yang bertumpuk tidak nampak. Kenyataan demikian ini memang merata di dunia ini. Banyak jumlahnya manusia yang sependapat dan sepikiran dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet.
Untuk mengerti memang tidak gampang. Mengerti takkan dapat datang sendirinya tetapi memerlukan waktu untuk belajar dan menyelidiki. Menyelami arti hidup dan meresapkannya dalam kalbu. Yang kemudian membuka tabir tentang apa yang disebut kesadaran akan hidup ini. Yang banyak dikenal dan diucapkan orang dengan istilah "mati sajroning urip".
Sungguh keliru apa bila makna dari istilah itu diterima secara utuh dan secara lahiriah tanpa mau mendalami dan meresapkan arti yang sesungguhnya.
Sebab manakah mungkin orang yang hidup bisa mati?
Mati sajroning urip" (mati dalam hidup) menuntut untuk menganggap dirinya yang masih hidup ini seperti mati. Yang mati adalah "rasa"nya. Mematikan rasa, 'membutuhkan kesadaran hidup. Dan orang yang sadar akan hidupnya tentu menerima secara wajar .Merasa diri ada Yang Memberi Hidup yang menentukan manusia hidup tidak lepas dari takdir. Kalau demikian halnya, orang yang sadar akan hidupnya, orang yang mati sajroning urip, jiwa ini akan dijauhkan dengan perbuatan menyeleweng. Nafsu dapat dikuasai, ialah nafsu-nafsu yang merusak. Nafsu yang merugikan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Yang ada tinggallah nafsu yang memberi dorongan hidup dan berkarya. Berkarya bagi kepentingan keluarga, bangsa dan negara.
Nafsu-nafsu yang berhasil di kuasai, dijinakkan, yang dapat mematikan rasa, artinya rasa hidupnya ini semuanya ditujukan kepada semua hal yang baik, itulah sarana dapat mati sajroning urip atau mati dalam hidup.
Karena Menak Kunjono maupun Aras Pepet tidak segera menjawab, maka Darmopati yang kerdil
dan tidak sabaran itu sudah membentak,
"Cepat bersiaplah kalian menghadapi kami. Atau memang engkau sudah takluk dan sanggup berlutut dan menyembah tujuh kali kepada kami? Dan selanjutnya kalianpun harus mengabarkan kepada orang bahwa mulai saat sekarang. kalian sudah menjadi orang taklukan kami!"
Hinaan yang tak semena mena ini, membuat Aras Pepet yang menderita luka itu menggigil tubuhnya. Adapun Menak Kunjono sudah membentak marah,
"Bagus. kalian mengagulkan nama dan jumlah lebih banyak untuk main paksa kepada orang. Huh, kami sudah siap. Jika kamu ingin mampus, majulah ! "
Daiam membentak ini, diam-diam Menak-Kunjono sudah menyalurkan Aji Panggendaman lewat suara bentakannya. Maka hentakan itu menjadi berpengaruh sekali, membuat Lima Harimau Sempu itu kaget. Lalu tubuh mereka tampak menggigil. Akan tetapi keadaan seperti itu hanya sesaat saja berlangsung. Keadaan lima orang itu telah pulih kembali.
Sekalipun semula Menak Kunjono telah dapat menduga, tetapi tidak urung tokoh Belambangan ini kaget sendiri Ternyata Aji Panggendaman yang biasa ia banggakan itu sekarang pengaruhnya jauh sekali berkurang, sebagai akibat tenaga saktinya yang tinggal separoh diberikan kepada adik seperguruannya. Dan sebaliknya sekalipun Aras Pepet telah memperoleh bantuan tenaga sakti cukup banyak, kakek ini takkan dapat berbuat banyak. Sebab dalam tubuhnya masih terluka parah.
Tetapi sekalipun keadaannya amat menderita, Aras Pepetpun setia kepada kakak seperguruannya. Ia takkan dapat berdiam diri sebagai penonton, dan menegakan kakak seperguruannya menghadapi keroyokan itu.
"Kakang! Mari kita bergabung. Mungkin bantuanku masih ada artinya pula bagi engkau. "
'Pepet!" bentak kakaknya
"Apakah engkau sudah ingin mampus? Mundurlah! Biar aku seorang diri yang maju melayani mereka. Aku mampus-tak mengapa, asal saja engkau masih hidup. Gunakan setiap kesempatan untuk melarikan diri cari selamat. Kemudian hari engkau masih akan memperoleh kesempatan membalaskan sakit hati ini."
Aras Pepet sadar bentakan kakak seperguruannya itu. Pikiran kakak seperguruannya memang tepat. Kalau salah seorang dari mereka masih hidup akan berarti kemudian hari masih ada kesempatan membalas sakit hati. Untuk itu, dengan bertatih ia segera mundur. Ia melihat gelagat. Untuk kemudian ia akan menyelinap pergi guna menyelamatkan diri.
Ketika itu Gunopati yang tinggi besar sudah menggeram lalu memutarkan senjata rantai baja dengan ujung bola baja berduri itu berdesing desing, dan menerbitkan angin putaran yang amat kuat. Gerakan dan geraman Gunopati ini merupakan aba aba bagi saudara-saudaranya untuk segera menerjang maju dan mengeroyok. Maka kemudian dengan senjata masing-masing, lima orang itu sudah mengeroyok Menak Kunjono dari lima penjuru.
Menak Kunjono menggeram saking marahnya. Kemudian secepat kilat tangan yang kanan telah bergerak mencabut senjata yang amat ia andalkan. Senjata tongkat hitam .Pada ujung yang satu berujung seperti tomhak dan ujung yang lain bentuknya seperti golok pendek. Dengan senjata tongkat macam ini, ia telah puluhan tahun malang melintang di dunia, dan banyak kali merobohkan lawan. Maka dalam menghadapi keroyokan ini, ia membela diri dan melawan dengan senjata itu.
"Trang-trang. . .. . . .! " lengan Menak Kunjono tergetar keras sekali, dan hampir saja senjata itu runtuh dari tangan oleh sambaran bola baja berduri pada ujung rantai senjata Gunopati. Menak Kunjono terhuyung mundur, sebaliknya Gunopati terbelalak kaget. Lengannya tergetar hebat sekali, dan membuat pula tubuhnya terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang. '
Akan tetapi di saat Menak Kunjono terhuyung mundur ini, Surengpati telah menyambut dengan senjata trisulanya yang langsung menyambar leher. Adapun Sunupati dengan senjata sabitnya yang besar dan menyeramkan itu, telah menyerampang kaki. Kalau dalam keadaan biasa, serangan ini tidak akan membuat dirinya kesulitan. Ia akan sanggup mengadu keras lawan keras dengan dua orang lawan itu. Akan tetapi disaat tenaganya tinggal separoh seperti sekarang ini, berbahayalah apa bila dirinya berbuat nekat. Maka yang dilakukan ia menangkis sambaran sabit yang menyerampang kakinya.
"Trang..... suut..... wut.....!"
Sambaran trisula Surengpati luput, karena setelah menangkis sabit yang menyerampang kaki, Menak Kunjono segera menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Menggunakan kesempatan ini si kerdil Darmopati sudah menikam dengan ujung busurnya yang tajam bagai tombak. Akan tetapi tikaman itu luput.
Melihat itu Aras Pepet pucat dan kaget. Lalu sambil menahan sakit ia sudah melompat untuk melarikan diri. Maksudnya sesuai dengan petunjuk kakak seperguruannya, ia harus pergi menyelamatkan diri. Akan tetapi sungguh celaka. Karena terlalu memaksa diri dan tidak mengingat luka dalam yang dideritanya, ia lari dengan limbung. Sebab begitu bergerak. dalam dadanya terasa sesak dan kepalanya pening.
Celakanya lagi, perbuatan Aras Pepet ini diketahui oleh si kerdil Darmopati. Si kerdil ini melengking nyaring lalu tubuhnya membal ke atas. Kemudian si kerdil ini sudah berloncatan seperti katak tetapi cepat sekali. Gerakannya sungguh aneh akan tetapi tidak kalah cepatnya dengan orang yang berlarian.
Menak Kunjono kaget dan khiwatir sekali. Kakek ini tahu, bahwa adik seperguruannya itu tak dapat berkelahi lagi. Sekalipun hanya melawan si kerdil seorang diri, tidak mungkin mampu. Apa lagi kemudian, Sunupati yang bersenjata sabit besar itupun telah berlarian pula mengejar untuk membantu Darmopati. Sadar akan bahaya yang mengancam adik seperguruannya itu, tiba-tiba Menak Kunjono menjadi marah.
Semangatnya bangkit!
Pendeknya, sekalipun adiknya dan dirinya sendiri harus mati oleh keganasan lima orang lawan ini, ia takkan memberikan nyawanya secara murah. Sedikitnya harus dapat membunuh salah seorang.Apa lagi sekarang yang mengeroyok dirinya tinggal tiga orang. Kesempatan sebaik ini, harus dapat dipergunakan secepatnya.
"Hemm, bangsat busuk yang sewenang wenang. Mampuslah!" tiba-tiba sambil membentak ini, tongkat hitam Menak Kunjono itu telah bergerak cepat sekali.
Tongkat yang pada kedua ujungnya terdapat semacam golok pendek dan tombak itu, menyambar nyambar berbahaya.
"Trang-trang.... tring-plak..... plak...... aduh ........!"
Sambaran ujung senjata yang tajam itu ditangkis oleh rantai baja Gunopati dan trisula Surengpati, hingga senjatanya menyeleweng terpental.
Sambaran sepasang golok senjata Wiropati dapat ia sentil dengan jari tengah tangan kiri hingga menyeleweng. Gerakan tangan kiri itu diteruskan dan secara tepat berhasil memukul pundak kiri Wiropati. Orang ini kaget, terhuyung mundur sambil berteriak. Akan tetapi justeru di saat itu, tangan kiri Surengpatipun berhasil menghajar lambung Menak Kunjono. Pukulan Surengpati inipun keras sekali,membuat Menak Kunjono mengaduh kesakitan. Untung sekali bahwa Menak Kunjono masih tetap waspada, sehingga Sambaran dua bola baja berduri dapat ia hindari dengan merendahkan tubuh. Dua bola berduri itu menyambar di atas tubuhnya menerbitkan angin dahsyat.
Akan tetapi surengpati dan wiropatipun sudah melancarkan serangan yang berbahaya pula. Walaupun lengan kiri Wiropati masih setengah lumpuh oleh pukulan Menak Kunjono tadi. Serangan ini memaksa kepada Menak Kunjono untuk berjuang keras dari desakan lawan.
Dalam pada itu Aras Pepet yang tadi berusaha melarikan diri dengan limbung, belum jauh sudah roboh tidak sadarkan diri. Ketika itu Darmopati yang kerdil justeru sudah dapat mengejar. Si kerdil ini sudah menyeringai gembira, melihat calon korbannya roboh tak berkutik.
Busur yang ujungnya tajam ini sudah diusap usapnya. Sebentar lagi ujung busur yang tajam dan beracun itu, akan sudah menikam dan mengantarkan nyawa Aras Pepet. Disaat ia sedang menyeringai dan siap akan menikam ini, mendadak ia mendengar langkah orang. Si kerdil membalikkan tubuh, dan ketika melihat Sunupati ia berkata,
"Kakang, mengapa engkau menyusul? Aku sendiripun sudah cukup untuk menamatkan riwayat kakek busuk ini."
(Bersambung Jilid 5)
*******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 5
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 5
*****
SELESAI berkata, si kerdil sudah mengayunkan busurnya untuk menikam dada Aras Pepet. Akan tetapi tiba-tiba,
" Plakk.. aduhh.....!" si kerdil memekik nyaring dan, pucat.
Sebab mendadak lengannya lumpuh, dan busur kesayangannya itu sudah terlempar jauh.
Namun setelah dapat melihat orang yang menangkis senjatanya, si kerdil ini berkedip-kedip dan mulutnya melongo.
Seakan-akan si kerdil ini keheranan menyaksikan munculnya seerang perempuan yang cantik jelita seperti bidadari ngejawantah. Perempuan jelita ini memegang sebatang cambuk hitam agak panjang. Dan kiranya cambuk itulah ,yang tadi sudah menangkis dan membuat busurnya terlempar jauh.
Sunupati yang ketika itu sudah tiba di situ, terbelalak kagum pula melihat wajah perempuan yang jelita itu. Wajah seorang perempuan berusia kurang dari tigapuluh tahun, akan tetapi tampak sekali akan kematangan tubuhnya.
Jeritan mengaduh dari si kerdil itu, mengejutkan saudara-saudaranya yang ketika itu sedang berusaha mendesak Menak Kunjono. Mereka menarik senjata masing-masing, kemudian perhatian mereka tertuju ke arah Darmopati dan Sunupati. Peristiwa tidak terduga ini, tentu saja menguntungkan Menak Kunjono. Tadi ia sudah terdesak hebat sekali, sekalipun sudah berusaha mengerahkan seluruh kepandaiannya. Sekarang kakek ini memperoleh kesempatan bernapas. Dan iapun kemudian mengarahkan perhatian ke arah lawannya memandang.
"Huaduhh.... engkau datang menolong aku ?" teriak Menak Kunjono gembira, setelah tahu siapakah yang menarik perhatian Lima Harimau Sempu itu. Ternyata yang muncul tidak terduga-duga itu adalah seorang perempuan sahabatnya, bernama Rara Inten.
Menggunakan kesempatan di saat lawan menghentikan serangan itu, Menak Kunjono telah melompat untuk mendekati Rara Inten. Tetapi Wiropati dan Surengpati berusaha menahan dan menghadang mereka.
"Trang-trang.......!" benturan terdengar nyaring sekali.
Akan tetapi karena Menak Kunjono sekarang ini tidak seperti biasanya, tenaganya hanya tinggal separoh, maka tubuh kakek ini terhuyung huyung dan lengannya kesemutan. Namun demikian, usahanya mendekati Rara Inten berhasil. Dua orang ini kemudian berdiri melindungi Aras Pepet yang menggeletak pingsan.
"Anak Inten, selamat bertemu," sapa Menak Kunjono dengan wajah berseri.
"Ya, selamat bertemu," sahut Rara Inten dengan nada dingin saja.
Perempuan cantik ini memandang Menak Kunjono sekilas. Kemudian dengan sepasang mata yang bersinar-sinar Rara Inten menatap Lima Harimau Sempu itu seorang demi seorang.
"Hemm, paman Kunjono. Apakah adikmu ini pingsan dan terluka parah akibat perkelahiannya dengan mereka?"
"Bukan,"
Menak Kunjono menggeleng,


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sebelum bertempur dengan mereka, sesungguhnya Aras Pepet sudah terluka parah."
"Dan mengapa hanya menghadapi tikus-tikus mecam ini, kau tak dapat mengatasi?"
Ucapan Rara Inten ini begitu ketus dan congkak. Namun demikian Menak Kunjono terpaksa bersikap manis, justeru bantuan Rara Inten ini amat ia perlukan. Kakek ini di samping mengakui keunggulan dan kesaktian Rara Inten, juga percaya bahwa Rara Inten tentu dapat menundukkan lima orang musuh itu.
"Hemm"
Menak Kunjono menghela napas.
"Tenagaku tinggal separoh. akibat aku pergunakan untuk menyelamatkan Pepet. Dan sesungguhnya, aku tak ingin berselisih. Akan tetapi mereka main paksa."
"Huh, engkau memalukan sekali!"
Rara Inten mencemoohkan.
"Kalau begitu, berikan mereka padaku. Uruslah adikmu yang pingsan itu."
Kalau saja Menak Kunjono tidak amat terpaksa dan membutuhkan bantuan Rara Inten, manakah tokoh Belambangan ini sedia direndahkan macam ini?
Tetapi karena saat ini dirinya memang tidak berdaya menghadapi lawan, maka ia tunduk perintan Rara Inten, lalu mundur dan merawat Aras Pepet yang pingsan. Aras Pepet dipondong dibawa ke bawah pohon rindang.
Lima Harimau Sempu itu telah siap siaga untuk mengeroyok. Senjata Darmopati yang tadi terlempar telah diambil, dan orang kerdil ini wajahnya merah padam tampak amat marah sekali.
Lima Harimau Sempu ini sebenarnya bukanlah terdiri dari laki-laki mata keranjang. Namun melihat kecantikan Rara Inten yang begitu menyolok dengan sepasang mata seperti bintang kejora, bibir yang merah merekah dan, alis yang lentik, diam diam mereka ini terpesona dan kagum.Lebih-lebih Surengpati, yang setelah ditinggalkan oleh isterinya, belum kawin lagi. Jantungnya berdenyut -denyut, dan betapa bahagia hatinya apa bila dirinya dapat memperoleh isteri secantik ini.
Akan tetapi sekalipun begitu. Surengpati dan Saudara saudaranya sadar, bahwa wanita cantik ini amat berbahaya. Dari ucapannya yang begitu meremehkan kepada Menak Kunjono, sedang tokoh Belambangan itu mengalah jelas bahwa tingkat perempuan yang muda dan cantik ini agaknya lebih tinggi lagi dibanding Menak Kunjono.
"Hemm, kamu siapa berani main paksa dan sewenang Wenang? hardik Rara Inten dengan nada yang dingin.
"Apakah kamu memang ingin mengandalkan jumlah dan main keroyok kepada orang? '
Diamh diam lima orang ini bergidik mendengar nada ucapan perempuan cantik sedingin itu. Akan tetapi di samping itu, mereka menjadi tersinggung
pula disebut main keroyok. Walaupun kenyataannya benar namun hal ini memang sulit dihindari. Sebab tenaga gabungan mereka itu, justeru letak dari kekuatan mereka
"Kami adalah Lima Harimau Sempu yang terkenal. Apakah engkau sengaja membunuh diri berani mencampuri Urusan ini ?" sahut Gunopati dengan nada yang tidak kalah dinginnya.
"Hi-hi-hik, lima ekor tikus Pulau Sempu,berani jual lagak. didepanku? Huh apakah engkau tidak membuka mata dan telinga bahwa aku bernama Rara Inten ?"
Apa bila perempuan ini membanggakan namanya, memang tidak mengherankan. Kenyataannya memang nama Rara Inten menjadi terkenal setelah terjadinya peristiwa pertandingan kesaktian di Pondok Bligo beberapa tahun yang lalu. Rara Inten bisa dikatakan keluar sebagai "pemenang" sekalipun kemenangannya itu berkat Pangeran Pekik yang mengalah dan tidak bertanding sungguh sungguh. Di samping nama Rara Inten terkenal sebagai pemenang dalam pertandingan kesaktian di pondok Bligo, perempuan inipun terkenal sebagai seorang bekas ketua Perguruan Tuban yang sakti mandraguna. Adapun sebabnya Rara Inten menanjak cepat ilmu kesaktiannya, bukan lain adalah berkat hasil dari tipu muslibat dan kecurangannya. Ia berhasil, mencuri pedang pusaka Jati Ngarang dan Jati Sari yang diperebutkan orang dari tangan Jaka Pekik (Pangeran Pekik). Dan dari hasil itu, Rara inten lalu memperoleh catatan ilmu kesaktian bernama Sakti Mandraguna. (Silahkan membaca Ratu Wandansari dan Kisah Si Pedang Buntung).
Nama Rara Inten yang amat terkenal itu, sudah tentu pernah didengar pula oleh Lima Harimau Sempu ini. Akan tetapi sekarang, setelah berhadapan dan melihat bahwa perempuan yang terkenal itu masih amat muda, mereka menjadi raguragu.
Benarkah khabar yang pernah mereka dengar itu?
Apakah khabar itu sesuai dengan khabar yang tersiar luas itu?
Karena Rara Inten masih begitu muda maka inginlah mereka mencoba kebenarannya
Si kerdil Darmopati yang berangasan cepat membentak,
"Huh. Siapa yang takut kepada orang macam......"
"Tar......! Aduhhh......!" belum juga selesai orang kerdil ini membuka mulut, sudah memekik nyaring dan berjingkrakan.
Entah bagaimana cara Rara Inten bergerak. Tahu-tahu pantat Darmopati telah terhajar oleh ujung cambuk. Ia merasa kesakitan, karena pantat itu menjadi pedih dan sakit.
Masih untung bagi si kerdil ini, bahwa sambaran ujung cambuk itu hanyalah merupakan sambaran cambuk yang biasa. Rara Inten belum menyalurkan tenaga saktinya ke ujung cambuk. Hingga si kerdil hanya menderita kesakitan saja. Kalau saat itu Rara Inten sudah menghajar dilambari tenaga sakti, tentu pantat si kerdil tersebut sedikitnya tentu terluka dan berdarah.
"Hihi-hik,"
Rara Inten ketawa mengejek.
"Bagaimanakah rasanya ujung cambukku? Enakkah '
"Apa? Huh!"
Darmopati mendelik.
"Enak pantatmu !"
Mendengar ucapan si kerdil yang mempunyai banyak arti itu, Rara Inten mendelik marah. Cambuknya segera meledak-ledak di udara.
"Tar-tar tar-tar......!"
Lima Harimau Sempu itupun segera menyebar diri, dan senjata masing masing sudah siap di tangan. Melihat bahwa lawan hanya bersenjata cambuk yang kecil dan hitam, mereka agak meremehkan. Maka secara teratur dan kerja sama yang rapi, mereka sudah bergerak memulai serangan berbahaya.
Akan tetapi sungguh gegabah apa bila mereka meremehkan cambuk hitam senjata Rara Inten yang tampaknya kecil itu. Sebab cambuk senjata Rara Inten itu bukanlah cambuk biasa. Cambuk tersebut terbuat dari otot banteng yang dipilin kuat-kuat. Maka cambuk itu menjadi keras dan ulet, senjata belum tentu mempan. Cambuk Rara Inten meledak ledak di udara, menerbitkan angin pusaran yang amat kuat dan berbahaya. Cambuk yang hanya sebatang itu, di tangan Rara Inten berubah seperti beberapa batang. Cambuk adalah benda mati. Namun di tangan Rara Inten, cambuk yang hitam itu Seakan berubah menjadi beberapa ekor ular hitam yang amat berbisa. Lawan yang sedikit lengah akan terpatuk dan tergigit, nyawa bisa melayang.
Diantara Lima Harimau Sempu itu, yang bertenaga kuat adalah Gunopati dan Sunupati. Maka
dalam kerja sama mengeroyok ini, dua orang
itulah yang bertugas untuk membendung maupun menangkis sambaran senjata lawan. Surengpati dan
Wiropati merupakan dua orang yang menyerang, justeru gerakan senjata dua orang ini cepat sekali dan arah serangannya cukup aneh dan sulit diduga. Adapun Darmopati yang bertubuh kerdil, yang tingginya hanya separoh dari tinggi tubuh Rara Inten itu, tugasnya melakukan pengacauan. Tubuhnya kecil, akan tetapi gerakannya amat cepat dan
tubuhnya ringan. Maka untuk menyelundup ke sana ke mari tidak sulit. Dan lebih dari itu, sebenarnya senjata si kerdil ini paling berbahaya. Sebab apa bila tombak itu sudah dirubah menjadi busur, si kerdil ini akan dapat menyerang lawan dalam jarak jauh.
Tentang bahaya dari senjata lima orang ini, memang tidak terbantah. Sebab senjata mereka itu semua dilumuri dengan racun yang berbahaya. Maka jangankan dapat melukai tubuh lawan, baru bersentuhanpun sudah dapat orang dalam bahaya.
"Trang-trang.. aihhh...!" benturan cambuk Rara Inten dengan senjata Gunopati dan Sunupati, terdengar amat nyaring. Akibat benturan itu dua bola baja berduri pada ujung lantai Gunopati terpental dan orang ini meringis merasakan lengannya seperti lumpuh. Sunupatipun kaget sekali. Sepasang goloknya yang besar itu, begitu terbentur oleh ujung cambuk terpental dan hampir saja lepas dari tangan. Akan tetapi di saat Rara Inten berhasil mementalkan senjata Gunopati dan Sunupati itu, Rara Inten memekik nyaring saking kaget. Sebab tiba-tiba Darmopati yang kerdil itu
sudah melompat seperti katak, kemudian sambil menggerakkan senjatanya menerobos di bawah selakangnya. Untung sekali bahwa Rara Inten dapat bergerak gesit sekali. Tubuhnya melenting ke atas cukup tinggi. Ia berjungkir-balik dua kali di udara, sambil mengebutkan lengan kiri. Sebab tahu-tahu, si kerdil Darmopati sudah merubah senjatanya menjadi busur, dan melepaskan beberapa batang anak panah beracun menghujani tubuhnya.
Lima Harimau Sempu itu kaget berbareng kagum, melihat ketangkasan perempuan itu. Biasanya, serangan Darmopati dengan anak panah itu, sulit dihindari lawan. Akan tetapi sekarang ini keadaannya lain. Anak panah itu semuanya runtuh di tanah, oleh kebutan tangan kiri Rara Inten.
Tetapi,mereka berlima di bawah, dan lawan masih terapung di udara. Mereka gembira justeru kedudukan mereka lebih baik. Mereka dari bawah akan dapat menyerang secara leluasa, apa pula jumlah mereka lima orang. Kalau toh salah satu dari senjata mereka tertangkis, yang lain masih dapat menolong. Maka Gunopati yang memiliki senjata terpanjang di antara mereka sudah bersiap diri untuk menyerang. Adapun Darmopati sudah pula bersiap diri dengan beberapa batang anak panah di atas busur. Sekali busur itu dipentang, beberapa batang anak panah akan terlepas dan menyebar ke arah bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Menak Kunjono yang ketika itu sudah berhasil menyadarkan Aras Pepet, dan dua orang kakek itu sekarang berdiri berdampingan, diam diam menjadi khawatir pula melihat itu. Kedudukan Rara Inten di udara ini memang lemah dibanding dengan lawan. Maka kakek ini merasa menyesal, mengapa Rara Inten gegabah berani melenting di udara.
Akan tetapi Rara Inten sendiri tidak menjadi cemas dan gugup. Ketika tubuhnya meluncur turun, cambuknya bergerak mendahului tubuhnya menyerang dahsyat ke arah bawah. Adapun tangan kirinya juga membantu melancarkan serangan dengan pukulan jarak jauh.
"Tar-tar..." plak.., trang... siut wuttt..!" sambaran cambuk dari atas diterima oleh dua bola baja berduri milik Gunopati.
Di saat itu Darmopati telah melepaskan anak panah yang beracun. Sedang saudaranya yang lain sudah melancarkan serangan berbahaya dari bawah.
Namun yang terjadi sungguh membuat Menak Kunjang terbelalak berbareng khawatir dan kagum. Bola baja senjata Gunopati terpental keras sekali dan membuat orang itu terhuyung huyung. Sambaran anak panah yang beracun dari busur Darmopati ternyata dengan amat gampangnya telah dapat ditangkap oleh tangan kiri Rara Inten. Seakan anak panah itu memang satu arah ingin menembus telapak tangan yang lembut dan halus serta jari-jari tangan yang runcing halus itu
"Hai Inten. Anak panah itu beracun !" teriak Menak Kunjono saking khawatir.
Kalau Rara Inten sampai roboh di tangan orang-orang itu, bukankah Dirinya dan Aras Pepet dalam bahaya?
Rara Inten hanya tersenyum tetapi tidak menjawab.
Apakah yang perlu ditakutkan sekalipun anak panah itu beracun?
Memang di luar tahu Menak Kunjono bahwa Rara Inten ini kebal terhadap segala macam racun, setelah ia berhasil melatih ilmu sakti dari dalam pedang Jati Sari. Seperti telah diceritakan dalam buku "Ratu Wandansari", karena tergesa melatih diri, Rara Inten telah salah latih. Ia keliru memilih ilmu yang sesat, karena ilmu yang sesama lebih gampang dipelajari. Ilmu tersebut ada dua macam. Ilmu cambuk bernama Samber Nyawa, adapun ilmu tangan kosong bernama Cakar Setan. Sehingga akibat melatih diri ilmu yang sesat itu, maka Rara Inten menjadi kebal akan racun, dan malah tangan perempuan cantik itu sendiri beracun. Kuku kukunya yang runcing tajam itu, apa bila berhasil mencengkeram orang, maka si korban akan segera menderita keracunan hebat.
Melihat bahwa perempuan itu berani, menangkap anak panahnya, Darmopati bersorak gembira. Begitu panah yang beracun itu menyentuh kulit, perempuan itu akan segera menjerit nyaring, kemudian roboh. Diam-diam segera timbullah niatnya yang kurang baik. Setelah Rara Inten menjerit dan
roboh, ia akan minta kepada Gunopati supaya menerima tubuh perempuan itu. Ia akan segera menolak bekerjanya racun berbahaya itu, supaya perempuan ini tidak jadi tewas.
Bukankah akan
sayang kalau perempuan secantik itu harus mati?
Dirinya bersama saudara-saudaranya adalah laki laki.
Apakah tidak lebih tepat, apabila mereka berlima mempermainkan perempuan cantik ini lebih dahulu sebelum disirnakan?
"Siut...... wut..., tar tar...!"
Tetapi apa yang terjadi kemudian, lima orang ini menjadi kaget sekali dan dengan gugup sudah menyebar diri. Darmopati yang agak sembrono, tidak sempat untuk menghindarkan diri, dan terpaksa harus menggunakan busurnya untuk menangkis. Namun celakanya, salah sebatang anak panahnya sendiri itu masih ada yang berhasil menyelonong dan menembus tangkisannya.
"Auhhh !"
Darmopati berjingkrakan, karena betisnya sudah termakan oleh anak panahnya sendiri.
Senjata makan tuan!
Apa yang terjadi memang tidak terduga-duga. Ternyata Rara Inten yang diharapkan akan roboh keracunan ttu, malah menggunakan anak panah Darmopati untuk menyerang ke bawah. Gerakan tangan kiri yang melepaskan anak panah itu, dibarengi pula dengan sambaran cambuknya.
Sambil meringis kesakitan dan berjingkrakan seperti kera makan cabe, Darmopati, telah duduk di atas batu. Lalu ia mencabut anak panahnya sendiri yang menancap pada betis. Mulutnya meringis, air matanya bercucuran dan peluhnya membanjir. Sungguh sakit sekali hampir tidak tertahankan begitu anak panah itu ditarik dari daging betis. Sebab ujung anak panah itu dibikin dari baja yang tajam sekali, dan pada ujungnya terdapat bagian yang tajam dan melengkung. Maka begitu menancap pada daging. kalau anak panah itu akan tercabut, ujung yang tajam dan melengkung itu merobek daging di dekatnya.
Berkat tekadnya dan sanggup menderita kesakitan itu, akhirnya berhasil pula Darmopati mencabut anak panah itu. Lalu secepatnya ia mengambil obat pemunah racun dan obat luka. Setelah ia balut menggunakan robekan kainnya sendiri, si kerdil ini mengangkat kepalanya. Tiba-tiba ia terbelalak kaget. Ternyata sekarang empat orang saudaranya itu telah terlibat dalam perkelahian lagi dengan Rara Inten. Cambuk perempuan itu meledak-ledak dan menyambar dahsyat. Saudara-saudaranya sudah bekerja keras, namun belum juga berhasil mengatasi, malah tampak terdesak.
Tiba-tiba si kerdil ini marah. Ia terluka oleh perbuatan perempuan itu. Maka sekarang ia harus membalas. Si kerdil melengking nyaring, kemudian melompat, lalu menggunakan kegesitannya bergerak, dan tubuhnya yang pendek kecil itu sudah mulai mengacau perhatian dan pertahanan Rara Inten. Pertempuran satu lawan lima itu sekarang berlangsung lebih dahsyat. Sebab Rara Inten sekarang sudah amat marah, setelah tadi diserang dengan anak panah yang beracun.
Tetapi diam-diam masing-masing pihak heran.
Rara Inten yang merasa dirinya sekarang sudah jauh maju dengan ilmu cambuknya Samber Nyawa, mengapa kesulitan menghadapi keroyokan lima orang ini?!
Sebaliknya Lima Harimau Sempu juga heran, karena selama ini mereka hampir tidak
memperoleh tanding.
Mengapa berhadapan dengan perempuan saja, sudah cukup lama tak juga dapat mengalahkan?
Menak Kunjono dan Aras Pepet berdiri menonton dengan tegang dan berdebar. Diam-diam dua orang kakek ini kagum. Ternyata apa yang sudah mereka dengar bukanlah kabar kosong. Lima Harimau Sempu itu, apa bila maju berbareng dan mengeroyok, bukanlah lawan sembarangan.
Kalau Rara Inten saja cukup lama belum mampu mengalahkan lima orang itu, manakah mungkin dirinya dapat mengalahkan?
Ia menjadi serba salah. Kalau melihat bahwa Rara Inten harus memeras tenaga seperti itu, tidaklah patut apa bila dirinya hanya berdiri dan menonton. Seharusnya dirinya sekarang maju dan membantu kesulitan Rara Inten. Akan tetapi sebaliknya Rara Inten adalah seorang perempuan yang wataknya angkuh dan tinggi hati. Perempuan itu bisa tersinggung dan marah, kalau dirinya membantu tanpa diminta. Terpaksa Menak Kunjono hanya menonton saja dengan hatinya yang berdebar.
Diam-diam Rara Inten sendiri memang menjadi heran dan penasaran. Kerja sama lima orang lawan ini memang sangat baik. Sambaran cambuknya selalu tertahan oleh benteng senjata lawan. Sedang balasan serangan lawanpun amat berbahaya.
Akan tetapi Rara Inten adalah seorang wanita perkasa yang sudah memperoleh ilmu kesaktian warisan Ki Ageng Selokaton, mertua Ronggo Lawe Tuban. Makin lama cambuk itu menjadi makin berbahaya. Gerakan cambuknya aneh dan tidak
terduga. Dan dalam marahnya, di samping ia mengerahkan kepandaiannya, perempuan inipun sudah menggerakkan tangan kiri berujut cengkeraman. cengkeraman maut. Cengkeraman dari Ilmu Cakar Setan ini, bahayanya tidak kalah dengan senjata pedang. Sebab kuku-kuku jarinya yang runcing itu, di samping tajam juga mengandung racun hebat. Dahulu, di saat ia belum mahir menggunakan Helmu Cakar Setan itu, Rara Inten telah berhasil melukai Ratu Wandansari dengan gampang. Dan berkat llmu Cakar Setan itupun, di Pondok Bligo ia dapat menguasai medan pertandingan ilmu kesaktian.
Demikianlah, tangan kanan bersenjata cambuk yang dapat menjangkau lawan dalam jarak agak jauh, sedang tangan kiri menggunakan cengkeraman maut. Bantuan tangan kiri ini ibarat seekor harimau betina tumbuh sayap.
Lima orang itupun makin memperbaiki kerja sama mereka dalam usaha mengalahkan Rara Inten. Rantai baja Gunopati dan sepasang golok Wiropati mengambil inisiatip untuk mendesak. Tombak trisula Surengpati dan sabit Sunupati bergantian menyerang dari belakang dan samping. Adapun Darmopati, sekalipun betisnya sudah terluka, namun gerakannya masih tetap gesit berlorcatan. Kerja Darmopati memang bagus sekali. Sesuai dengan tubuhnya yang kerdil itu, sering membuat cengkeraman maupun tendangan Rara Inten luput. Malah terkadang pula busur yang merangkap sebagai tombak itu, menyelonong tanpa terduga, hampir mengenai tubuhnya.
Tetapi Rara Inten juga bukan seorang wanita tolol. Ia sengaja memberi kesempatan kepada Darmopati
menyelonong masuk untuk mengacau, sambil menikamkan tombaknya. Akan tetapi secepat kilat tangan kiri Rara Inten sudah mencengkeram tombak pendek itu, disusul tendangannya yang keras. Tangan kanan menghalau sambaran rantai baja Gunopati dan sambaran senjata Surengpati. Kemudian untuk menghindari sambaran sabit Sunupati, Rara Inten sudah menggunakan tangkai cambuknya untuk menangkis. Mendadak sepasang golok Wiropati menyambar.
"Trang-trang-plak..... buk.... aduhhh..!"
Wiropati terhuyung mundur ke belakang sambil menyelewengkan sepasang goloknya, untuk menolong adik angkatnya. Sebab secara tidak terduga sama sekali, tubuh Darmopati sudah terlempar ke arahnya.
Tendangan Rara Inten amat kuat. Tubuh yang kecil itu terlempar cukup jauh. Tubuh si kerdil jatuh kantab di tanah, tidak bergerak lagi. Ternyata tendangan Rara Inten yang mengenakan dada Darmopati, telah membuat si kerdil ini pingsan dan terluka dalam cukup parah.
Empat orang saudaranya menjadi marah sekali atas derita Darmopati. Sambil menggeram keras Gunopati dan Wiropati telah menerjang maju. Sementara itu dari belakang Surengpati dan Sunupati menyerang secara ganas pula.
"Trang-trang--siuttt... wuttt...... tring...!" dengan gampang senjata senjata lawan itu dapat dihalau oleh cambuk Rara Inten. Malah apa bila
tidak cepat menghindar dan ditolong oleh yang lain, mungkin Wiropati sudah roboh pula menyusul Darmopati.
Tiba-tiba terdengar lengking nyaring dari mulut Surengpati. Menyusul Sunupati dan Surengpati sendiri telah menggerakkan tangan kiri menyambit. Sinar sinar putih yang kecil menyambar ke arah Rara Inten. Akan tetapi dengan tersenyum dingin, Rara Inten telah membentengi tubuhnya dengan putaran cambuk.
Ternyata bahwa lengking nyaring Surengpati itu merupakan aba-aba bagi saudara-saudaranya untuk mengundurkan diri. Buktinya setelah Surengpati melengking, Gunopati melompat menyambar tubuh Darmopati. Di saat Rara Inten menangkis sambaran senjata rahasia jarum yang disambitkan oleh Surengpati dan Sunupati, maka Lima Harimau Sempu itu sudah melarikan diri.
Biasanya Rara Inten akan mengejar kepada lawan. Akan tetapi sekarang ini keadaannya lain. Perempuan itu hanya tersenyum dingin saja, sambil mengamati lawan yang lari lintang pukang. Memang ada sebabnya Rara Inten tidak seperti biasanya. Ia bukan perempuan tolol. Ia sadar bahwa lawannya cukup berbahaya. Ia telah menguras kepandaiannya, namun ternyata tidak dapat mengalahkan lawan secara memuaskan. Kalau dirinya sekarang mengejar, bisa terjadi dirinya malah celaka.
Rara Inten menyimpan cambuknya melingkar di pinggang, lalu membalikkan tubuh, menatap Menak Kuniono dan Aras Pepet. Akan tetapi mulut
perempuan ini tidak bicara. Untung sekali bahwa dua orang kakek ini pernah berkumpul dengan Rara Inten, sehingga tahu akan watak dan tabiatnya .Menak Kunjono dan Aras Pepet cepat membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Anak Inten, aku si tua Menak Kunjono berhutang budi. Tentu saja kelak kemudian hari, aku si tua akan berusaha membalasnya. Ahhh, anak Inten, ternyata belum dua tahun kita berpisah, engkau makin bertambah hebat."
Bukan tanpa maksud Menak Kunjono mengucapkan katakata ini. Ia tahu bahwa Rara Inten seorang yang suka memperoleh pujian dan dihargakan begitu tinggi. Maka apakah salahnya ia setengah menjilat, justeru sekarang tiada orang lain yang hadir.
Aras Pepetpun tahu akan Watak dan tabiat Rara Inten. Maka kakek inipun mengucapkan terima kasihnya.
"Anak Intdan. oh, engkau sudah menyelamatkan nyawaku. Dan berarti aku si tua Aras Pepet, telah berhutang nyawa padamu. Akan tetapi tiada lain aku hanya dapat mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga."
Sebelum Rara Inten sempat membuka mulut, Menak Kunjono berkata lagi,
"0, ya... apakah engkau sudah mendengar khabar yang amat penting artinya bagi kau?"
Rara Inten menatap tajam kepada Menak Kunjono. Bibirnya tersenyum dingin. Kemudian sahutnya,
"Katakan saja, apa yang kau maksudkan itu?"
"Kami dalam perjalanan pulang. setelah mengadakan penyelidikan ke Mataram," kata Menak
Kunjono.
"Disana aku memperoleh keterangan, bahwa Sultan Agung sudah mengutus orang ke Surabaya. Maksudnya Sultan Agung mau memukul Giri. Dan untuk tugas ini. Pangeran Pekiklah yang memperoleh kepercayaan."
Disebutnya nama Pangeran Pekik itu, membuat jantung Rara Inten berdenyut keras. Di dunia ini justeru hanya laki-laki itulah yang amat dicintanya. Akan tetapi karena Pangeran Pekik malah memilih Ratu Wandansari, maka dari rasa cinta itu, berbaliklah menjadi benci. Oleh kebenciannya itu, maka selama ini yang terpikir dan dicitakan, bukan lain ingin dapat mengalahkan Pangeran Pekik. Dan kalau perlu, akan membunuh lakilaki yang membuat hatinya merana itu. itulah sebabnya setelah gagal dalam penghadangan di laut Tuban, Rara Inten tekun sekali melatih diri.
Dendam kesumat yang menghuni dalam dadanya ini, membuat dirinya selalu tertarik setiap ada orang membicarakan Pangeran Pekik. Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang angkuh dan tinggi hati, maka perempuan ini seakan kurang perhatian. Ia mendengus dingin, kemudian katanya.
"Hemm, Pekik? Apa maksudmu yang sesungguhnya bicara soal Pekik denganku ?"
"Maksudku jelas! Aku tahu bahwa engkau benci kepada Pangeran Pekik. Bukankah ini merupakan kesempatan yang amat bagus? Kalau Pangeran Pekik benar memimpin pasukan menyerbu Giri. apakah engkau tidak tertarik untuk berdiri sebagai lawan dan membela Sunan Giri ?"
"Hemm, aku mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak. Mengapa engkau ingin mempengaruhi aku ?"
"Bukan sekali-kali aku ingin mempengaruhi kebebasanmu, anak Inten. Aku hanya ingin mengatakan, apakah bakal terjadinya pertempuran antara Surabaya dengan Giri itu akan engkau lewatkan tanpa berbuat sesuatu? Apakah engkau tidak ingin menggunakan kesempatan itu untuk membuktikan keunggulanmu terhadap Pangeran Pekik ?"
Menak Kunjono berhenti dan mencari kesan. Lalu terusnya,
"Di samping itu anak Inten, setiap orang menghargai dan menghormati engkau sebagai pejuang yang anti kepada Mataram. Apakah engkau akan berpangku tangan dan membiarkan Mataram sewenang-wenang menindas Kangjeng Sunan Giri?"
"Hem, dan kau sendiri?" balas Rara Inten dengan dingin.
"Aku? Terus terang aku adalah hamba sahaya Belambangan. Sampai saat ini yang belum berhasil ditundukkan oleh Mataram tinggal Giri dari Belambangan. Tentu saja aku dan adikku akan menggabungkan diri pula ke Giri, guna menghadapi Surabaya."
Aras Pepet ikut pula mempengaruhi,
"Kesempatan yang baik memang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Anak Inten, aku bertaruh bahwa engkau akan memperoleh kesempatan membunuh Pangeran Pekik itu. kalau membantu Giri.Dan huh, orang orang Gagak Rimang itu. apa bila kita tidak menunjukkan gigi tentu akan menjadi congkak.
Maka merekapun harus kita hancurkan pula sampai sakcindile abang."
Rara Inten berdiam diri. Entah apa Saja yang sedang dipikir perempuan ini. Akan tetapi alis perempuan itu nampak berkerut.
Menak Kunjono berkata lagi,
"Akan terasa sayang sekali apa bila kesaktianmu yang tiada tanding itu hanya engkau simpan tanpa sesuatu perbuatan. Dahulu anak Inten keluar sebagai pemenang pertama di Pondok Bligo. Bagaimanakah orang bisa ingat kepada peristiwa itu, kalau anak Inten bersikap masa bodoh? Relakah sebutan "orang tersakti di dunia" itu, direbut orang lain? Hemm, aku sendiripun tidak akan rela jika sampai terjadi seperti itu. Engkaulah perempuan perkasa dan tersakti di dunia ini."
Sebelum Rara Inten sempat membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara ketawa perempuan nyaring terkekeh-kekeh.
Mereka menjadi kaget!
Secepat kilat Rara Inten telah melompat, lalu berlarian ke arah suara ketawa tadi terdengar. Perempuan ini penasaran sekali, mendengar suara ketawa perempuan yang terkekeh itu. Sebab Rara Inten merasa, bahwa suara ketawa tadi ditujukan kepada dirinya. Seakan mengejek dan merendahkan dirinya.
Siapakah yang mau menerima begitu saja dihina orang?
Dua orang kakek itupun segera bergerak ke arah Rara Inten pergi.
Mereka merasa belum puas. sebab belum memperoleh jawaban pasti dari Rara Inten, sediakah perempuan itu membantu dan memperkuat pertahanan Giri?
Rara Inten telah berlarian cepat menerobos hutan. Akan tetapi perempuan ini merasa heran berbareng penasaran. Ia sudah merasa bahwa gerakannya cukup cepat.
Tetapi mengapa tidak juga menemukan orang yang ketawa tadi?
Saking marah dan penasaran, Rara Inten berteriak,
"Hai perempuan yang tertawa. Jika engkau bukan pengecut, jangan engkau bersembunyi!"
Tetapi tak ada jawaban yang terdengar. Rara Inten mengulang sekali lagi lebih keras dan lebih nyaring. Namun tak juga terdengar jawaban, hanya suaranya sendiri yang memantul dan menggema memenuhi hutan itu. Setelah lama menunggu orang yang ditantang itu tak juga muncul, akhirnya dengan bersungut-sungut Rara Inten ngeloyor pergi.
Sambil melangkah ini, mengianglah apa yang dikatakan oleh Menak Kunjono tadi, tentang rencana peryerbuan Surabaya ke keraton Sunan Giri. Peristiwa itu cukup menarik perhatiannya juga. Sebab penyerbuan itu tentu akan dipimpin sendiri oleh Pangeran Pekik.Betapa akan lapang rasa dadanya, kalau pada kesempatan itu dirinya bisa mengalahkan Pangeran Pekik.
Tanpa terasa Rara Inten melangkah terus ke timur. Matahari telah amat rendah di bagian barat, dan sinarnya sudah tak kuasa lagi menembus rimbun daun. Keadaan hutan Sudah menjadi remang-remang, apa bila meneruskan perjalanan kurang menguntungkan. Maka kemudian dengan loncatannya yang ringan sekali, ia telah meloncat ke atas dahan pohon. Dari pada repot-repot mencari tempat mengaso. lebih menguntungkan tidur di atas dahan pohon.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pagi harinya kemudian Rara Inten meneruskan perjalanan ke timur. Akan tetapi ia tak tahu ke mana harus menuju. Perjalanannya sekarang ini hanyalah menurutkan langkah kaki.
Sebab ia masih merasa ragu ragu, apakah langsung menuju ke Giri dan membantu Sunan Giri, ataukah membiarkan keraton Giri runtuh oleh penyerbuan Surabaya.
Matahari sudah sepenggalah tingginya. Namun karena hutan itu amat rimbun, maka sinar matahari itu tidak begitu terasa panas. Karena perjalanan perempuan ini cukup cepat, tanpa terasa kakinya telah mulai menginjak perbukitan Lamongan. Baru terasalah sekarang, bahwa sejak kemarin sore belum makan. Perutnya terasa amat lapar dan menuntut isi. Ia memperhatikan sekeliling. Pada rumpun semak yang tidak begitu tinggi tampaklah rumput itu bergerak-gerak. Membuktikan bahwa pada rumpun semak itu terdapat binatang yang bergerak. Rara Inten berdiri memandang penuh perhatian. Akan tetapi diam-diam tangan kiri mempersiapkan sebutir batu, sedang tangan kanan sudah meraba tangkai cambuk.
Tidak lama Rara Inten menunggu. Tiba-tiba muncullah dua ekor kelinci sedang berkejaran. Agaknya kelinci itu betina dan jantan, sedang bercanda memadu kasih, tidak sadar sama sekali bahwa bahaya menghadang di depan mata.
"Wutt......tak......!" tiba-tiba kelinci jantan yang sedang mengejar betinanya itu roboh dengan kepala pecah, akibat sambitan batu yang di lepaskan Rara Inten. Si betina agaknya terkejut sekali, mencicit keras dan menyelundup masuk kembali ke dalam semak.
"Hemm, engkau membuat aku iri," desis Rara Inten sambil melangkah menghampiri kelinci jantan yang telah pecah kepalanya itu.
Tak heran kalau Rara Inten mengucapkan kata kata itu. Dirinya merasa hidup menderita, akibat patah cinta. Perempuan ini memang begitu setia kepada cintanya yang pertama. Maka sekalipun dirinya Cantik jelita. dan banyak pula pria yang tergila-gila, tidak seorangpun pria yang diberi kesempatan untuk mengisi hatinya.
Dengan bibir tersenyum Rara Inten segera menguliti kelinci tersebut. Dagingnya yang putih itu segera dilumuri dengan bumbu yang selalu siap dibawa ke manapun pergi. Baru sesudah itu, ia mengumpulkan kayu-kayu kering untuk membikin api unggun. Tidak lama kemudian asap sudah mengepul dan menyebarlah bau yang sedap daging ini dibakar. Lalu dengan lahapnya Rara Inten mulai mengisi perutnya.
Rara Inten baru meneruskan perjalanan setelah perutnya kenyang. Ia masih juga terus melangkah ke arah timur. Mendadak perempuan ini kaget dan menghentikan langkahnya. Ia memasang telinga dan alisnya yang lentik itu berkerut. Lalu terdengarlah desisnya;
"Hemm, orang berkelahi!" '
Ia tidak tahu siapa yang sedang berkelahi, dan tidak ingin pula mencampuri. Akan tetapi sambaran
angin yang amat kuat dan sekali-sekali diseling
oleh dencing nyaring senjata yang beradu, membuat perempuan ini amat tertarik. Timbullah keinginannya untuk menyaksikan, siapakah orang yang sedang bertempur itu, dan mengapa sambaran anginnya begitu kuat.
Tidak usah terlalu lama Rara Inten menerobos hutan itu. Tibalah ia pada bagian hutan yang agak terbuka, dan di tempat itu tampaklah tiga orang laki-laki sedang berkelahi. Agak kaget perempuan ini, ketika mengenal salah seorang dari mereka yang sedang berkelahi itu. Seorang kakek bertubuh kerdil dengan rambut riap-riapan. Kakek itu membela diri dengan senjata rantai baja, dan pada ujungnya terdapat dua buah bola baja. Siapa lagi si kakek kerdil yang riap-riapan itu kalau bukan sahabatnya tokoh dari Rawa Lakbok, yang bernama Jalu Raga?
Kakek yang rambutnya riap-riapan bernama. Jalu Raga ini, sekarang sedang membela diri mati-matian, akibat menghadapi dua orang kakek tua renta, kira-kira berusia delapanpuluh tahun, yang berkelahi mengeroyok. Rara Inten memicingkan sepasang matanya.Rasanya ia pernah mengenal pasangan kakek yang aneh ini, justeru yang seorang bertubuh jangkung dan yang seorang tubuhnya kerdil pula, yang tingginya hampir sama dengan Jalu Raga. Pasangan kakek yang aneh dan tua renta ini bersenjata golok. Sambaran goloknya menerbitkan angin yang dahsyat. sedang kerja samanya amat mantap. Sebagai seorang yang telah
berhasil meyakinkan ilmu kesaktian tingkat tinggi, tentu saja Rara Inten segera dapat menduga, bahwa Jalu Raga tak urung bakal celaka di tanga pengeroyoknya, kalau keadaan tetap seperti sekarang.
"Ahhh, Bima dan Kunting, dua orang tokoh Perguruan Sumbing," desisnya kemudian, setela ia kembali ingat.
Tepat sekali dugaan Rara Inten, bahwa dua orang kakek tua renta itu adalah tokoh tua Perguruan Sumbing. Perkenalan antara Rara Inten dngan Bima dan Kunting itu telah terjadi belasan tahun yang lalu. Ialah di saat beberapa perguruan menyerbu ke sarang Gagak Rimang, di Gunung Arjuna. Ketika itu, Rara Inten sebagai murid Perguruan Tuban dalam satu barisan dengan Perguruan Sumbing dan yang lain, menghadapi Gagak Rimang. Akan tetapi bagaimanapun pula, timbullah rasa heran dalam hati Rara Inten.
Mengapa Bima dan Kunting yang telah belasan tahun lamanya tidak pernah muncul itu, sekarang meninggalkan Sumbing dan malah berkelahi melawan Jalu Raga?
Dalam pada itu ketika Rara Inten mengalihkan pandang matanya ke pinggir gelanggang perkelahian, segera tampak oleh perempuan ini, tiga orang muda yang berdiri dan menonton. Dua orang adalah pemuda dan yang seorang gadis. Rara Inten belum kenal dengan tiga orang muda itu. Namun dengan melihat sikap tiga orang muda itu yang tenang. kiranya tiga orang muda itu murid-murid Sumbing.
Tiga orang muda itu memang benar murid Perguruan Sumbing. Mereka itu adalah Danardono, Danang dan Nuryanti. Seperti diketahui, tiga orang muda ini pernah bersama ke Tuban, setelah ditolong oleh Titiek Sariningsih. Akan tetapi ketika tiba-tiba seperti orang gila Titiek Sariningsih pergi dari rumah kakeknya, maka tiga orang muda inipun meninggalkan Tuban untuk mencari jejak Titiek Sariningsih. Ternyata dalam kepergian mereka itu, bukan bertemu dengan Titiek Sariningsih, malah bertemu dengan guru mereka, kakek Bima dan Kunting.
Kepergian Bima dan Kunting dari Sumbing sekarang ini mempunyai tujuan yang sama pula dengan Danang, Danardono dan Nuryanti. Dua orang tokoh tua Perguruan Sumbing ini merasa penasaran sekali, bahwa telah berbulan bulan lamanya tiga orang muridnya yang diperintahkan menangkap penjahat dan merebut kembali Golok Emas pusaka Perguruan Sumbing, tiada khabar dan beritanya. Khawatir kalau para murid Sumbing yang ditugaskan itu gagal menghadapi pencuri pusaka Sumbing itu, maka Bima dan Kunting meninggalkan Sumbing dan muncul kembali didunia masyarakat. Bukan melulu Bima dan Kunting saja yang meninggalkan Sumbing untuk menangkap pencuri golok pusaka itu. Namun ada pula beberapa tokoh tingkat tinggi Sumbing, yang turun gunung pula.
Dalam perjalanan ini, secara tak sengaja Bima dan Kunting bertemu dengan tiga orang muridnya.
Dua orang kakek ini menjadi marah-marah, memperoleh laporan muridnya itu, yang belum dapat mencari jejak si pencuri golok pusaka Perguruan Sumbing. Maka kemudian, Bima dan Kunting meneruskan perjalanannya bersama tiga orang muridnya itu, untuk mencari jejak si penjahat.
Pagi tadi, ketika mereka sedang menerobos hutan pada perbukitan Lamongan ini, tiba-tiba Bima melihat seseorang kerdil sedang duduk di bawah pohon rindang, sambil menggerogoti daging paha. Entah paha apa, akan tetapi melihat ukuran paha itu, kiranya paha kambing. Perhatian Bima amat tertarik, ketika melihat orang kerdil itu pada punggungnya, yang bergantung pada leher dan ditutup oleh baju, tampak menonjol hulu sebatang golok. Hulu golok itu bentuknya seperti kepala burung. warnanya kuning seperti emas. Melihat itu sudah tentu Bima terkesiap, Sebab golok pusaka Perguruan Sumbing, hulunya berbentuk kepala burung pula seperti hulu golok orang itu.
Bima menyentuh lengan Kunting. Bisiknya,
"Kakang.... golok pusaka kita."
Ketika Kunting melihat hulu berbentuk kepala burung pada punggung orang itu, segera pula mengenal bahwa itulah golok yang mereka cari, dan dicuri oleh penjahat.
Karena mereka sama pendapat, kemudian dua orang kakek ini sudah menghampiri orang itu dan bertanya, dari manakah dia memiliki golok itu?
Jalu Raga tidak segera menjawab, akan tetapi menyelesaikan menggerogoti daging paha itu. Begitu daging paha sudah masuk
keperut, mendadak saja Jalu Raga ketawa bekakakan. Tetapi ia tidak menjawab, malah menyambitkan tulang paha itu ke arah Kunting. Untung Kunting cukup waspada, ia menghindari sambitan itu dengan melompat ke samping.
Jalu Raga sudah berdiri. Ia menepuk nepuk perutnya yang terasa kenyang untuk sejenak, lalu ia menjawab sambil terkekeh,
"Heh-heh-heh, mengapa engkau menjadi ribut melihat aku memiliki golok ini? Sudahlah, kamu jangan mengganggu aku. Begitu perutku kenyang, mataku ngantuk!"
Jawaban Jalu Raga ini tentu saja membuat dua orang kakek itu marah. Bima membentak,
"Setan alas! Engkaulah kiranya pencuri yang sudah berani lancang mengganggu Sumbing. Huh-huh, kenalkanlah namamu sebelum kau mampus dalam tangan kami."
"Heh-heh heh, manakah ada pencuri yang mau memperkenalkan nama? Huh, aku memang pencuri yang kaumaksud itu. Sekarang, engkau bisa apa terhadap aku?"
"Bangsat! Jahanam! Engkau akan mampus dalam tanganku!" bentak Bima sambil mencak-mencak.
"Dahulu engkau curang, menggunakan kesempatan para pimpinan Sumbing mengasingkan diri. Sekarang, hemm, aku ingin melihat engkau bisa apa menghadapi kami?"
"Hehheh heh, orang gagah macam apakah kamu ini ?" ejek Jalu Raga.
Ia sudah menduga dua orang kakek ini akan mengeroyok dirinya. untuk membuat lawan malu, ia sengaja
mengejek.
"Aku hanya seorang diri. Mengapa kamu akan mengeroyok ?"
"Huh, jangan engkau mengumbar mulut sembarangan! bentak Kunting.
"Kami adalah Bima dan Kunting. Selama hidup kami tidak pernah menghadapi lawan sendirian. Kami selalu maju berbareng, karena sekalipun kami dua orang akan tetapi jiwanya hanya, satu. Jika kau takut menghadapi kami berdua, undanglah sahabatmu untuk menghadapi kami."
"Bagus, aku akan pergi mengundang kawan kawanku!"
Jalu Raga melompat. Tetapi ia terpaksa berhenti, karena ternyata Kunting sudah menghadang di depannya dan membentak,
"Mau lari ke mana, kau?'
"Aku akan mengundang sahabat seperti anjuranmu."
"Serahkan dahulu golok pusaka kami."
"Heh heh-heh, enak saja kau bicara. Golok Emas ini baru lepas dari tanganku, berbareng dengan terbangnya nyawaku."
"Sebentar lagi nyawamu akan terbang!" bentak Bima sambil menerjang ke depan dan menghantam pundak Jalu Raga.
Begitulah sebabnya Jalu Raga berkelahi melawan keroyokan Bima dan Kunting. Dalam usaha membela diri ini. Jalu Raga sudah mengerahkan kepandaiannya. Namun ternyata, makin lama Jalu Raga semakin tidak kuasa melayani kerja sama yang amat baik antara Bima dan Kunting ini. Diam diam Jalu Raga menjadi khawatir sekali. maka
sambil melawan ini, tokoh Lakbok itu selalu melirik ke kanan dan ke kiri untuk mencari kesempatan melarikan diri. Namun telah cukup lama kesempatan yang dinantikan itu tak kunjung datang. Kakek jangkung dan kerdil ini seakan sudah tahu gelagat, bahwa dirinya akan mencari kesempatan untuk melarikan diri,
Rara Inten melihat perkelahian mati-matian itu dari tempat yang terlindung. Ia merasa raguragu, karena sudah kenal dengan Bima dan Kunting, akan tetapi juga pernah bersekutu dengan Jalu Raga. Tetapi sebaliknya kalau dirinya berdiam diri dan tidak mau membantu kesulitan Jalu Raga, tentu tidak lama lagi sahabatnya itu akan roboh di tangan-dua orang kakek itu.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Rara Inten masih berdiri di tempat sembunyinya sambil mengamati perkelahian yang seru itu.
Kalau dirinya yang harus melawan Bima dan Kunting itu, apakah sulitnya?
Ilmu golok Perguruan Sumbing hampir mirip dengan ilmu pedang Perguruan Tuban. Perubahannya hanya sedikit saja, sehingga sedikit banyak ia sudah bisa menduga ke mana arah serangan orang.
Begitu memperhatikan gerak ilmu golok Bima dan Kunting, tiba-tiba saja pipi perempuan ini menjadi merah dan jantungnya berdebaran. Sebab ia segera teringat peristiwa yang telah terjadi belasan tahun yang lalu. Peristiwa yang terjadi ketika Jaka Pekik (Pangeran Pekik) yang berpihak kepada Gagak Rimang. sedang menghadapi keroyokan Bima, Kunting, wongso Dipo dan Kamilah .Dalam perkelahian ketika itu, Jaka Pekik terdesak hebat. Rara Inten menjadi amat khawatir sekali justeru sudah terlanjur mencintai pemuda itu. Karena mengkhawatirkan keselamatan Jaka Pekik, maka ketika itu ia sengaja bicara keras dengan gurunya (Anjani almarhumah) dengan makSud untuk memberi petunjuk kepada Jaka Pekik dalam menghadapi ilmu golok Sumbing dan ilmu pedang Semeru. Teriaknya ketika itu,
"Ibu! Menurut pendapat saya walaupun jurus-jurusnya sangat aneka warna, akan tetapi inti sari dari ilmu golok adalah menurut mata angin, yang diikuti olen unsur positip dan negatip. Karena itu kalau tidak salah, meskipun serangan keempat tokoh itu hebat luar biasa, tetapi yang paling berbahaya adalah tindakannya."
Ketika itu Anjani menjawab dengan gembira,
"Benar. Engkau tidak salah. Hemm... aku gembira sekali bahwa engkau sudah bisa menangkap inti sari dari ilmu tata kelahi para orang tua itu."
"Ah ya," sahut Rara Inten seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.
"ibu pernah memberi petunjuk kepadaku, bahwa kedudukan yang dimulai dari timur laut ke kiri sampai selatan adalah merupakan gerakan yang menurutkan aliran. Sedang kedudukan yang dimulai dari barat daya ke kiri sampai utara, adalah merupakan gerakan melawan. Benar... ah, benar.... apa yang sudah ibu pelajarkan kepadaku! Nyatalah kedudukan ilmu pedang Semeru itu meliputi kedudukan dari timur laut
sampai di selatan. Sedang kedudukan dari barat daya sampai utara, merupakan kedudukan dari ilmu golok Sumbing. Ibu... bukankah benar begitu?" (baca "Jaka Pekik")
Ternyata ketika itu Jaka Pekik dapat menangkap maksud teriakannya.
Jaka Pekik yang semula terdesak hebat dari sedikit dapat menguasai gelanggang, lalu berbalik dapat mendesak dan mengalahkan empat orang tokoh sakti itu. Betapa gembira hatinya ketika Jaka Pekik yang menang akan tetapi sekarang, setelah tahu bahwa Jaka Pekik tidak membalas cnta kasihnya, tanpa sesadarnya ia sudah membantingkan kakinya gemas.
"Huh, bangsat Pekik! ' desisnya.
"Engkau lakilaki yang tidak kenal budi. Dahulu, Aku sudah menyelamatkan nyawamu. Tetapi sekarang, engkau membalas kebaikanku dengan sikap macam ini...?"
Rara Inten mengamati perkelahian yang masih berlangsung sengit, akan tetapi tidak seimbang. Sebab Jalu Raga makin terdesak hebat dan sulit untuk bernapas. Rara Inten mengerutkan alis. Kemudian gumamnya,
"Huh, sekarang aku harus menentukan pilihanku. Aku harus berpihak kepada Jalu Raga dan menolong. Dan sesudah menyelamatkan Jalu Raga, secepatnya aku harus menghadap Kanjeng Sunan Giri. Aku harus berpihak dan membela Giri, menghadapi Pekik. Orang yang tak pandai membalas budi itu, harus aku hajar sampai mampus."
Tak heran kalau pendapat Rara Inten macam ini. Dan inilah gambaran manusia yang tidak dapat mawas diri. Ia menuduh orang lain jahat, orang lain tak dapat membalas budi, sebaliknya ia menganggap dirinyalah orang yang paling baik. Kebanyakan manusia memang seperti Rara Inten ini kalau berpendapat dan berpikir. Tepat sekali petuah para pandai, bahwa menyalahkan diri sendiri sukar, tetapi menyalahkan orang lain amat gampang. Semua orang minta dianggap sebagai manusia baik. Tidak seorangpun yang mau disebut orang jahat. Dan kalau toh melakukan kejahatan. orang itu akan selalu berusaha menutupinya. Dan kalau perlu tidak segan-segan untuk memfitnah orang lain. Menjerumuskan orang yang tidak berdosa, ke dalam lumpur kedosaan.
Dan celakanya pula, di saat cerita ini terjadi, Pulau Jawa masih selalu terjadi peperangan. Sultan Agung selalu mengerahkan pasukan untuk menindas pihak yang tidak mau tunduk. Maka orang orang yang pandai memfitnah memperoleh pasaran baik. Orang yang ingin mengumbar nafsu memperoleh kesempatan, menggunakan kedudukan dan kekuasaannya. Lebih-lebih bagi manusia-manusia yang beruang, dengan sogok dan suap bisa menghitamputihkan orang lain. Dan celakanya pula, banyak pemimpin dan penguasa yang doyan sogok dan suap untuk dapat menumpuk harta benda dan kekayaan. Akibatnya yang sesungguhnya bersalah dan berdosa bisa hidup merdeka dan ongkang-ongkang kaki, orang yang tidak bersalah malah celaka.
Rara Inten tak pandai mawas diri. Kebijaksanaan dan kebaikan Jaka Pekik jauh lebih banyak di
banding kebaikan yang pernah diberikan Rara Inten. Namun ia bisa menuduh Jaka Pekik (Pangeran Pekik) orang yang tak pandai membalas budi.
Kapankah dunia ini terdapat "kedamaian" dan "ketenteraman" selama manusia-manusia masih saling berlomba melakukan perbuatan demi pribadi, tidak perduli merugikan ribuan manusia lain?
Mendadak terdengarlah bentakan Rara Inten yang nyaring, dan tubuhnya sudah berkelebat cepat memasuki gelanggang.
"Manusia hina tak tahu malu. main keroyok dan sewenang-wenang. Manusia macam kamu ini pantasnya dihajar mampus!"
'Trang-trang plak .. !"
"Bangsat! Siapakah kau ini?" teriak Bima sambil menyabatkan goloknya,
"Hayo, bukalah kedokmu ...... aihhh ..."
Bima terpaksa melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kirinya, guna mencengkeram ujung cambuk Rara Inten yang secara tiba-tiba telah menyelonong ke arah dada.
'Hi-hik. tiada yang dapat melarang aku mengenakan kedok," ejek Rara Inten.
Memang untuk dapat menyembunyikan wajahnya dari Bima dan Kunting, supaya tidak dapat mengenal, Rara Inten sudah memperoleh akal menutup mukanya dengan saputangan.Hingga yang tampak tinggal sepasang mata yang jeli di bawah naungan alis lentik.
Masuknya Rara Inten dan membantunya, membuat Jalu Raga dapat bernapas lega. Sekarang dirinya terbebas dari keroyokan. dan ia menghadapi
lawan yang sama kerdilnya dengan dirinya. Rantai bajanya menyambar dahsyat ke depan, sambil berteriak,
"NOna, terima kasih atas bantuanmu. Walaupun aku belum kenal dengan nona, namun aku si tua. berjanji akan selalu mengingat kebaikanmu ini."
"Hiv hik, tak usah banyak mulut, sobat. Robohkan lawanmu itu!" '
Agak terbelalak Jalu Raga mendengar ucapan ini yang begitu lancang dan kurang ajar.
Adakah patut sikap orang muda seperti ini terhadap orang yang lebih tua?
Akan tetapi sekalipun hatinya tidak senang, Jalu Raga tidak membuka mulut. Yang penting sekarang merobohkan lawan. Soal lain, bisa diselesaikan nanti. Tetapi pendeknya ia takkan sudi direndahkan orang muda.
Ketika itu, Danang, Danardono dan Nuryanti gelisah sekali melihat munculnya perempuan yang berkedok dan bersenjata cambuk itu. Sebab begitu perempuan tersebut membela lawan, guru mereka segera berbalik terdesak. Lebih-lebih guru mereka yang jangkung, yang bernama Bima, tampak agak kesulitan dalam menghalau sambaran cambuk itu. Mereka menjadi amat khawatir sekali, tetapi sebaliknya untuk maju membantu mereka juga tidak berani. Mereka merasa sendiri bahwa tingkat mereka masih jauh di bawah para lawan itu. Kalau mereka memberanikan diri maju, tidak urung hanya akan menambah jumlah korban. Berdiam diri salah, majupun salah. Mereka seperti cacing kepanasan, gelisah dan tubuh mereka menggigil. Kemudian mereka menjadi berjingkgak kaget sekali, ketika mendengar teriakan Bima yang mengaduh kesakitan.
"Plak...,.. aduhhh...... bangsat!"
Bima terpaksa membabatkan goloknya untuk membalas, sambil tangan kirinya menggosok-gosok pantat. Ia tadi sudah merasa penjagaan dirinya amat rapat. Namun tahu-tahu ujung cambuk perempuan itu telah menghajar pantatnya sehingga pantatnya terasa pedih, sakit dan senut-senut. Lebih lagi ketika merasakan jarinya basah. Kakek ini sudah mencaci, karena pantatnya sekarang bocor darah.. . .
"Hi-hi-hik," ketawa Rara Inten yang mengejek.
"Kalau aku tidak kasihan padamu, apakah engkau masih bernyawa?"
Bima menggeram saking marahnya. Kemudian cacinya,
"Bangsat, jahanam, setan alas, babi, kunyuk...... mengapa kau curang memukul pantatku? Huh, hatihati! Aku akan membalas membelek pantatmu yang besar..... aduhhh....."
Sebelum selesai Bima mengucapkan kata-katanya, kakek ini Sudah memekik lagi. Entah cara bagaimana Rara Inten bergerak, tahu-tahu ujung cambuk itu sudah menyambar dan memukul pantatnya lagi. Kalau tadi pantat kiri yang terluka, sekarang gilirannya pantat yang kanan. Rasanya nyeri bukan main, panas, ngilu dan cekot-cekot ditambah senut-senut.
""Hi-hik, jika mulutmu tidak aturan, nanti mulutmu yang akan mendapat giliran terpukul cambukku ini."
Wajah Bina merah padam. Sungguh ia gemas sekali, mengapa perempuan muda ini pandai sekali menghindari sambaran goloknya. Seakan telah tahu lebih dahulu arah goloknya yang menyambar. Hingga sambaran goloknya selalu luput, sebaliknya secara tepat cambuk perempuan itu menghajar tubuhnya.
Di luar tahu Bima, bahwa Rara Inten sedikit banyak telah mengetahui rahasia ilmu golok Perguruan Sumbing. Maka kalau perlu, menghadapi dengan tangan kosongpun tidak akan kesulitan. Tetapi ia memang tidak ingin mencelakakan tokoh Sumbing ini, sebab tidak mempunyai alasan untuk memusuhi. Kalau ia tidak bersenjata, ilmu tangan kosongnya yang bernama Cakar Setan itu juSteru amat berbahaya. Kakek Bima ini bisa keracunan tergores kuku jarinya.
Kalau saja mulut Bima tidak terlalu lancang bicara tentang "pantat", tentu Rara Inten sudah merasa puas melukai Bima pada satu tempat saja. Bagi seorang gadis suci seperti Rara Inten ini tentu akan tersinggung dan marah kalau ada orang berani menyebut bagian tubuhnya yang dianggap rahasia. Sebaliknya kalau Bima hanya mencaci maki, kiranya Rara Inten masih dapat bersabar, karena caci maki itu merupakan luapan rasa penasaran kakek jangkung ini.
Hajaran ujung cambuk yang melukai dua belah Pantatnya itu, menimbulkan rasa sakit bukan main. Di samping itu, pantat yang sakit ini membuat pula gerakan kakinya terpengaruh.
Hajaran itu cukup membuat Bima marah, tetapi juga tidak berani membuka mulut lagi. Sambaran cambuk lawan cepat tidak terduga. Timbullah kekhawatirannya kalau ancaman perempuan itu benar benar terjadi.
Apakah tidak berabe kalau mulutnya sampai bocor, dan sakit dipergunakan untuk makan?
Bima terus memainkan ilmu golok perguruannya, dan memilih jurus-jurus yang paling ampuh.Akan tetapi celakanya keampuhan ilmu goloknya itu seperti tidak berarti lagi menghadapi Rara Inten. Pertandingan antara Bima dengan Rara Inten kini, ibarat seekor tikus menghadapi kucing.
Berbeda dengan dua orang kerdil itu. Baik Jalu Raga maupun Kunting amat bernafsu untuk dapat mengalahkan lawan. Senjata rantai Jalu Raga amat dahsyat menyambar, seakan-akan berubah menjadi dua ekor naga sedang marah. Sebaliknya golok Kuntingpun tidak dapat diremehkan.
Akan tetapi bagaimanapun, kalau perkelahian ini terus berlangsung, tidak urung pihak Bima dan Kunting yang akan kalah. Sebab walaupun Rara Inten dikeroyok oleh Bima dan Kunting belum tentu kalah, mengingat bahwa Rara Inten telah mengetahui inti sari ilmu golok Sumbing.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar seruan Nuryanti yang kaget,
" Ihhhh...... ! "
Disusul Rara Inten meloncat menghindari sambaran angin yang kuat sekali ke arah punggungnya. Bima memperoleh kesempatan untuk bernapas dari desakan cambuk Rara Inten yang memang dahsyat .Akan tetapi untuk sejenak kakek ini berdiri terpaku dan terbelalak, melihat munculnya seekor harimau yang dapat berdiri seperti manusia.
Harimau itu begitu membela Bima, sekarang sudah menerjang ke arah Rara Inten dengan tangan kosong!
Sambaran angin tamparan dan pukulannya hebat sekali, membuat Rara Inten yang bersenjata cambuk terpaksa meloncat ke sana ke mari untuk menghindari.
Tetapi tiba-tiba kakek Bima ini terkekeh.
"Heh-heh-heh, bikin kaget saja engkau, sobat... Ternyata engkau seorang manusia pula yang berlindung dalam kulit macan."
Setelah terkekeh dan mengucapkan kata-kata itu, Bima sudah menerjang ke arah Jalu Raga untuk membantu kakak seperguruannya. Dan begitu Bima menerjang mengeroyok, dalam waktu singkat saja Jalu Raga terdesak lagi.
Sesungguhnya Jalu Raga sudah amat payah. Desakan dan keroyokan dua orang kakek ini membuat Jaiu Raga gugup.
"Trang,..." aihhh...."
Benturan golok Bima hampir saja membuat senjatanya lepas dari tangan. Di saat kaget oleh benturan ini, tiba-tiba golok Kunting sudah menyambar ke arah lehernya. Untuk membela diri terpaksa Jalu Raga menjatuhkan diri lalu bergulingan di tanah. Tetapi mendadak Jalu Raga heran dan kaget, mendengar seruan Kunting tertahan, dan tubuh si kerdil itu sudah terhuyung ke belakang. Ternyata secara tidak terduga, harimau yang tadi menyerang Rara Inten itu, sekarang berbalik membela Jalu Raga dan membuat kunting terhuyung.
Melihat sepak terjang harimau yang aneh ini, Bima berteriak,
"Hai sobat yang bersembunyi di balik kulit macan. Mengapa kau ini? ingin membela kami, atau malah mau mengeroyok?"
Ketika itu Rara Inten menjadi amat penasaran sekali dapat didesak oleh si harimau. Keangkuhan dan keganasannya kumat kembali. Mendadak ia sudah melengking nyaring sambil meloncat, disusul gerakan cambuknya untuk menghajar Bima. Kali ini ia tidak main-main lagi. Sambaran cambuknya apa bila berhasil mengenai tubuh lawan, tentu lawan akan roboh dan terluka.
"Cap......! Aihhh...!"
Rara Inten berseru tertahan dan wajahnya pucat. Tidak terduga sama sekali, ujung cambuk yang sudah menyerang ke arah kepala Bima itu, tahu-tahu sudah tertangkap oleh tangan harimau. Ia mengerahkan tenaga untuk membetot, tetapi tidak bergeming sama sekali. Di saat itu, Bima menggunakan kesempatan. Ia sudah meloncat dan menyabatkan goloknya.
"Plak... aihhh.. . ."
Bima berteriak kaget. Sebab tiba-tiba ujung cambuk Rara Inten telah memukul batang goloknya. Golok terpental menyeleweng. dan kakek ini merasakan lengannya kesemutan.
"Trang. .:.. !" senjata rantai baja Jalu Raga yang sudah menyambar ke arah kepala Kunting mendadak terpental. Jalu Raga sendiri terhuyung kaget dan lengannya seperti lumpuh. Hampir saja senjatanya lepas dari tangan.
Apa yang terjadi?
Sebab tiba-tiba harimau itu sudah melesat seperti bisa terbang menyentil senjata Jalu Raga dengan jari tangannya.
Empat orang ini menjadi heran, melihat tingkah laku harimau yang terkadang membela dan menyerang itu. Akan tetapi Rara Inten yang cerdik cepat dapat menduga, bahwa harimau ini memang sengaja memamerkan kepandaiannya sehingga mereka berempat dimusuhi dan diajak bertanding. Ia menjadi penasaran.
Kalau mengeroyok empat orang, masakah tidak dapat mengalahkan manusia yang bersembunyi di balik kulit harimau itu?
"Hemm. manusia sombong!" bentak Rara Inten.
"Kau menantang kami? Bagus! Paman Bima. paman Kunting dan Jalu Raga. Mari kita bergabung dan menghajar manusia kurang ajar ini!"
Tanpa menunggu yang lain. Rara Inten yang sudah penasaran menerjang maju dengan cambuk hitamnya.
"Tar-tar siut.... wut...."
Sambaran cambuk itu dibantu dengan pukulan dan cengkeraman tangan kiri. Yang lainpun sudah terpengaruh, kemudian menerjang pula mengeroyok si harimau.
Si harimau tidak membuka mulut. Dan dengan gesitnya dan tetap bertangan kosong telah melayani sambaran senjata empat orang lawannya.
Kiranya para pembaca sudah dapat menduga. siapakah orang yang bersembunyi di balik kulit harimau inii yang bukan lain adalah Sindu. Sepak terjang Sindu sekarang memang disebut aneh, setelah ia mulai kembali di dunia ramai, dan sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti peninggalan Empu Supo.
Aneh bagi orang yang belum dapat menyadari hidupnya. Akan tetapi bagi Sindu sendiri yang sudah menyadari hidupnya apa yang dilakukan sesuai dengan bisikan Jiwanya yang penuh kesadaran. Pandangan Sindu sekarang telah bebas dari segala ikatan. Tidak membenci, tidak mempunyai musuh, tetapi ingin mencintai setiap manusia setulusnya dan bukan untuk keuntungan pribadi.
Namun di saat mengeroyok Sindu ini, tiba-tiba saja Bima dan Kunting mengalihkan sasarannya. Mereka hanya sebentar saja menyerang kepada Sindu, lalu beralih menyerang kepada Jalu Raga, karena dua orang ini berkeinginan sangat untuk segera dapat merampas kembali Golok Emas, pusaka Perguruan Sumbing.
Sindu agak kaget melihat perubahan itu. Untung bahwa Sindu tidak lengah. Seperti kilat menyambar cepatnya, jari tangan Sindu telah menyentil golok Bima dan Kunting. Golok terpental menyeleweng, membuat dua orang kakek ini kaget dan terhuyung ke belakang. Kesempatan baik ini tak disia-siakan oleh Jalu Raga. Ia melompat panjang. lalu melarikan diri secepat terbang. Bima dan Kunting kaget dan cemas. Mereka melompat untuk mengejar, tetapi terhalang oleh gerakan Sindu yang lebih cepat. Dengan golok masing-masing, Bima dan Kunting sudah menyerang Sindu. Golok Bima bergerak ke kiri, sedang golok Kunting ke arah kanan. Tiba-tiba dua batang golok itu meliuk berlawanan arah, menyambar ke tubuh Sindu. Di saat itu, cambuk Rara Inten telah meledak-ledak di atas kepala Sindu, kemudian menukik turun untuk menghajar pundak.
Hati Yang Memilih Karya Unknown Detektif Stop - Panik Di Sirkus Sarani Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut

Cari Blog Ini