Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 5

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 5


Serangan bersama itu amat berbahaya. Sebab
dilancarkan oleh tiga orang tokoh sakti sekaligus. Untuk menolong diri memang tidak gampang. Mendadak terdengar lengking nyaring sekali dari mulut Sindu, yang berada di leher harimau. Bukan lengking biasa, tetapi lengking dari Aji Gelap Ngampar. Pengaruhnya hebat sekali, membuat tiga orang Pengeroyoknya terhuyung mundur, tubuh menggigil dan jantung seperti diremas-remas. Mereka kaget sekali dan cepat melawan pengaruh aneh itu dengan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh.
Yang menderita adalah Danang. Danardono dan Nuryanti. Tiga orang murid Sumbing ini mendadak jatuh terduduk, karena jantung mereka seperti mau meloncat dan kepala berdenyutan pening sekali.
Ketika Bima, Kunting dan Rara Inten telah berhasil melawan pengaruh aneh itu, mereka terbelalak kaget. Sebab orang yang bersembunyi di dalam kulit harimau tadi telah tidak nampak batang hidungnya lagi.
Kegagalannya menangkap pencuri golok pusaka yang tadi sudah hampir dapat mereka kalahkan membuat kakek Bima dan Kunting marah sekali. Semua yang terjadi adalah gara gara dari perempuan berkedok ini. Maka sekarang segala kemarahan mereka, ditujukan kepada Rara Inten.
"Bangsat perempuan yang lancang!" bentak Bima lantang.
"Akibat kelancanganmu, engkau telah menggagalkan usaha kami untuk menangkap pencuri golok pusaka perguruan kami Huh. janganlah engkau bersembunyi di belakang kedok. kenalkan namamu, dan engkau adalah musuh dari Perguruan Sumbing."
Kaget juga Rara Inten mendengar itu.
Ia menjadi sadar, kalau begitu Jalu Raga telah mencuri golok pusaka Perguruan Sumbing?
Memang tidak enak apa bila dirinya harus bermusuhan dengan Perguruan Sumbing, yang mempunyai banyak murid dan tokoh sakti itu!
Sekalipun dirinya sakti mandraguna, hidupnya takkan dapat tenteram lagi akibatnya.
Tentu saja Rara Inten bukanlah perempuan bodoh. Ia makin tidak berani memperkenalkan nama dan wajahnya. Di samping itu, kalau orang lain yang melakukan perbuatan macam ini, tentu akan mengakui kelancangannya dan minta maaf. Akan tetapi Rara Inten tidak. Perempuan ini malah menjadi tersinggung. Hal ini telah sesuai dengan wataknya yang angkuh, tinggi hati dan merasa benar sendiri, ia mempunyai alasan sendiri mengapa tadi ia mencampuri urusan itu. Sahutnya dingin,
"Hemm, siapa yang mau perduli tentang pencurian dalam perguruanmu? Itu adalah urusanmu sendiri dan salahmu sendiri pula mempunyai benda sampai bisa dicuri orang. Aku tadi bertindak dan membela dia, karena dia salah seorang sahabatku. dan aku melihat terjadinya peristiwa yang memalukan, dan tidak adil."
"Apa yang memalukan dan tidak adil?" bentak Kunting sambil mendelik.
"Hihi-hik, engkau masih bertanya?" ejek Rara Inten dingin.
"Kamu orang-orang tua, mengapa tidak malu mengeroyok?"
"Kurang ajar engkau!"
Bima geram.
"Kami bernama Bima dan Kunting. Selama hidup kami tidak pernah terpisah, ibarat dua tubuh satu nyawa. Maka sejak dahulu, kami selalu berdua apa bila berhadapan dengan musuh. Mengapa engkau menuduh kami mengeroyok? Huh, engkau orang muda yang lancang mulut, Apakah sangkamu kami takut menghadapi engkau ?"
"Hi-hi-hik, apakah sangkamu jika kamu mengeroyok aku, kamu dapat menang? Kalau tidak percaya boleh kita coba. Apa bila dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kamu, hemm, aku akan berlutut di depanmu sambil menyembah seratus kali !" '
"Bangsat muda yang sombong! Kau berani bermulut besar di depan kami? Huh, aku ingin melihat sampai di mana kesanggupanmu melawan kami!"
Hampir berbareng Bima dan Kunting telah menerjang maju membabatkan goloknya. Golok si jangkung menyambar ke leher, adapun golok si kerdil menyambar ke kaki dari arah yang berlawanan. Dua batang golok ini akan segera berubah arah kalau sambarannya luput. Kemudian disusul dengan serangan tangan kiri maupun tendangan
kaki.
Rara Inten menghadapi dua orang kakek ini dengan tenang dan bibir menyungging senyum. Ia
tahu benar bahwa golok Bima menyerang menurutkan aliran waktu, artinya akan selalu bergerak ke arah kanan. Adapun golok Kunting akan bergerak berlawanan arah. Rara Inten sudah melompat mundur kemudian menggerakkan cambuknya meledak dua kali di udara.
"Tar-tar..." siut-wut.. cring trang.....!"
Bima dan Kunting terpaksa berlompatan mundur dengan wajah agak pucat, guna menghindarkan
diri dari sambaran cambuk hitam itu. Dua orang kakek ini terkejut sekali, mengapa golok mereka sampai dapat berbenturan sendiri, seakan cambuk itu menerbitkan kekuatan mujijat yang sulit dilawan. ,
Akan tetapi mereka adalah tokoh tua Perguruan Sumbing. Mereka mempunyai harga diri, yang takkan sudi dihina orang muda. Maka sambil menggeram keras, dua orang kakek ini menerjang maju lagi. Golok mereka berputaran dan berdesing menerbitkan angin yang cukup dahsyat. Akan tetapi Rara Inten tersenyum mengejek. Ia mengerti, bahwa putaran golok tersebut merupakan tabir guna melakukan serangan mendadak. Golok Bima yang selalu berputar ke kanan akan menyambar bagian atas kemudian membabat turun dan menyerang bagian tengah. Adapun gerakan golok Kunting bergerak ke kiri membabat kaki diikuti gerakan membabat ke atas. Dengan begitu lawan yang kurang waspada, tubuhnya akan menjadi terbelah empat.
Rara Inten melompat pendek menghindarkan sambaran golok Kunting, sedang tangan kiri cepat luar biasa sudah menangkis batang golok. Secepat
kilat cambuknya bergerak memukul batang golok Kunting yang menyambar ke atas, dibarengi cengkeraman tangan kiri ke arah pergelangan tangan Bima. Dua orang kakek itu terpaksa menarik kembali senjata masing-masing, akan tetapi mendadak dua orang kakek itu memekik kaget dan pucat. Sebab tahu-tahu golok mereka telah lepas dan lengan mereka seperti lumpuh. Untung sekali Rara Inten memang tidak bermaksud mencelakakan Bima dan Kunting. Setelah golok dua orang kakek itu runtuh ke tanah, Rara Inten melompat mundur sambil menyimpan cambuknya. Perempuan ini ketawa terkekeh mengejek.
"Heh-hehheh, bagaimanakah sekarang? Apakah kamu masih bernyawa lagi, jika aku mau menurunkan tangan maut?"
Gemetar tubuh dua orang kakek ini saking marah dan penasaran. Mereka tidak kuasa membuka mulut, hanya sepasang mata mereka mendelik tak berkedip.
"Hi-hi-hik, sekarang sudah selesai urusanku. Selamat tinggal. . . . . . "
" Tunggu. . . ..!" teriak Bima tiba tiba.
"Apa lagi?"
"Buka kedokmu dan perkenalkan namamu. Agar kelak kemudian hari, kami bisa mengadakan perhitungan."
"Adi!" bentak Kunting tiba-tiba.
"Tidak perlu banyak mulut. Kalah 'ya kalah? Mari kita pergi! "
Bima amat setia dan patuh kepada kakak seperguruannya ini. Ia tidak membuka mulut lagi, lalu mengikuti langkah kakaknya yang meninggalkan tempat itu. Rara Inten terkekeh, sesaat kemudian berkelebat pergi.
"Guru !" teriak Nuryanti sambil mengejar guru mereka, diikuti oleh Danang dan Danardono.
Bima mengibaskan tangannya. Bentaknya,
" Sudahlah, jangan kamu mengganggu kami!"
Tiga orang murid itu melompat dan menghadang, kemudian berlutut di depan dua orang kakek itu. Kata Danang,
"Guru, murid mohon petunjuk..."
"Sudahlah!" bentak Bima memotong kata-kata muridnya yang belum selesai.
"Kami mau pulang ke Sumbing. Kamu mau ikut boleh ikut, tidak mau boleh pergi dengan bebas!"
Tiga orang murid ini mengerti, bahwa guru mereka sedang sedih dan penasaran, akibat kekalahannya melawan perempuan berkedok tadi. Saking malu, maka dua orang guru mereka ini. tidak lagi berminat untuk melanjutkan usaha mencari dan menangkap pencuri golok pusaka itu.
Di antara tiga orang murid ini, Nuryantilah yang paling disayang dan dikasihi guru mereka. Untuk meredakan penasaran gurunya itu, Nuryanti cepat berkata,
" Guru pernah memberi nasihat kepada murid, bahwa orang yang berkelahi hanya mempunyai dua kemungkinan saja, kalau tidak kalah tentu menang. Kalau demikian halnya, guru, mengapa terjadinya peristiwa yang tadi, guru tampak masygul dan tidak senang? Guru, kita mempunyai tugas penting untuk menemukan kembali golok pusaka perguruan. Bagaimanakah jadinya dengan kami, apa bila guru tidak sedia memberi petunjuk yang murid perlukan itu.? "
Mendengar ucapan muridnya yang perempuan ini, tiba-tiba Kunting terkekeh. Ia mengibaskan tangannya, membuat tiga orang murid yang masih berlutut itu terangkat bangkit. Lalu sambil menepuk-nepuk pundak Nuryanti, kakek ini berkata,
"Anakku, engkau benar! Ya, maafkan gurumu yang gelap pikir setelah menghadapi kegagalan tadi. Hemm, apa harus dikata justeru memang sudah kehendak dunia harus begini jadinya? Benar, kau benar.orang yang berkelahi kalau tidak menang tentu kalah. Ha-ha-ha ha, petunjukku yang perlu kamu perhatikan, sekarang kamu meneruskan tugas untuk menangkap pencuri itu hidup atau mati dan merebut kembali golok pusaka. Nama baik perguruan lebih berharga daripada nyawa. Hemm, aku akan gembira sekali bahwa murid-muridku sedia mengorbankan nyawa dalam usaha membela nama baik perguruan." .
Kunting berhenti. Sesaat kemudian terusnya,
"Kita telah tahu orang yang mencuri itu. Aku akan pulang ke Sumbing untuk berunding dengan ketua, tindakan apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi pencuri yang bernama Jalu Raga itu."
Kunting berhenti lagi dan menghela napas pendek. Lalu terusnya,
"Anakku, tetapi kamu harus berhati-hati menghadapi pencuri itu. Jelas bahwa kamu bertiga takkan mampu menghadapi mereka. Maka janganlah kamu mengorbankan nyawa yang sia'sia."
"Murid mengerti,"
Sahut mereka hampir berbareng.
"Nah, sekarang kami akan pulang. Laksanakan tugasmu sebaik baiknya."
Sesudah itu, Bima dan Kunting melangkah pergi. Tiga orang murid itu memberikan hormatnya, kemudian mereka menghela napas.
"Kakang,"
Nuryanti memulai,
"sungguh sayang sekali bahwa sejak kita berpisah, tidak lagi dapat bertemu adik Titiek Sariningsih. Kalau saja dia ada, aku percaya pencuri itu sudah bisa ditangkap."
"Ya, aku menjadi khawatir tentang dia," sahut Danang yang diam-diam mencintai gadis perkasa nu.
"Ahh, kasihan juga dia, yang telah lama merindukan ayah bundanya, namun ternyata ayah bundanya sudah tiada lagi. Kalau dia terlalu terpukul oleh peristiwa itu .."
"Mengapa?"
Nuryanti bertanya, ketika melihat wajah kakaknya berubah pucat.
"Hemm. aku khawatir kalau pukulan itu membuat dia... putus harapan dan membunuh diri......"
"Ihhh, tidak mungkin!" bantah Nuryanti cepat.
"Dia telah terdidik oleh gurunya yang sakti. Aku percaya dia takkan sempit pikiran seperti itu. Hemm, sebaiknya kita pergi sambil berusaha mencari dia. Aku percaya bahwa dia akan dapat membantu kita."
Kemudian tiga orang murid Sumbing ini melangkah pergi. Namun bicara memang gampang. Pelaksanaannya yang sulit. Hal ini sama gampangnya dengan mencela orang. Akan tetapi yang bisa mencela itu belum tentu dapat berbuat lebih baik dan menghasilkan sesuatu yang lebih berguna bagi
masyarakat, bangsa dan negara. Sebab orang yang mencela belum tentu diikuti oleh sikap dan iktikad baik. Biasanya orang mencela didorong oleh rasa iri hati dan nafsu keinginan untuk pribadi. Gampangnya memang begitu. Tetapi orang yang pandai mencela dan iri hati ini membuktikan jiwanya kerdil.
Jiwa kintel!
Manusia yang sadar akan hidupnya akan menjauhkan diri dari sikap seperti itu. Dalam jiwanya dipenuhi oleh tanggung jawab. Tidak kenal iri hati dan akan berbuat sesuatu yang menguntungkan masyarakat, tanpa prasangka apapun. Sesuatu karya dan hasil perbuatan, yang berhak menilai adalah orang lain.
*****
Pandang mata kita sekarang, kita alihkan ke Surabaya. Pangeran Pekik bersama isterinya, Ratu Wandansari, menerima kedatangan utusan Mataram itu dengan senang hati. Suami isteri itu duduk berdampingan. Ratu Wandansari memangku puterinya yang mungil, baru berusia beberapa bulan.
Suami isteri itu sungguh merupakan pasangan yang setimpal. Pangeran Pekik sekarang makin tampak tampan setelah menghentikan kesukaannya yang berkelana. Adapun Ratu Wandansari juga semakin nampak jelita. Dahulu ketika Ratu Wandansari masih suka berkelana pula, sering sekali tidak sempat untuk menghias diri. Sekarang puteri ini, yang mempunyai banyak hamba sahaya, mempunyai kesempatan yang luas sekali untuk menghias diri dan mengenakan pakaian yang indah-indah. Maka suami istri ini, merupakan pasangan yang amat rukun dan saling mengerti. Lebih-lebih sekarang setelah Ratu Wandansari sudah menjadi seorang ibu. Tidak mengherankan kalau kerukunan Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari ini, menjadi teladan para kawula.
Menjadi contoh!
Kenyataannya memang di samping sebagai seorang puteri yang jelita, Ratu Wandansari seorang yang cerdik dan setia. Itulah sebabnya maka setiap persoalan, Pangeran Pekik selalu minta pendapat isterinya. Dan menghadapi perintah Ingkang Sinuhun Sultan Agung inipun, ia segera memberikan surat itu kepada isterinya. Oleh Ratu Wandansari surat itu dibaca dengan teliti. Sejenak kemudian, sambil mengembalikan surat itu kepada Pangeran Pekik, ia berkata,
"Paman Mandurorejo, paman Uposonto dan paman Hesti Wiro. Sekarang bagi kalian bersama pasukan, beristirahatlah dahulu. Berilah kesempatan untuk merundingkan masalah ini barang dua hari. Kemudian, kalian boleh kembali ke Mataram sambil membawa surat balasan kangmas Pekik."
"Ya, memang sebaiknya kalian lekas istirahat, agar keletihan selama perjalanan pulih kembali. Untuk itu, telah disediakan tempat bagi kalian bersama pasukan," sambung Pangeran Pekik.
"Tiada lain hamba hanya mengucapkan terima kasih, gusti," sahut Adipati Mandurorejo yang mewakili, semua rombongannya.
"Tetapi, eh," tiba tiba Ratu Waudansari berkata lagi,
"apakah selama dalam perjalanan tiada seuatu yang mengganggu kalian ?"
"Ada!" mendadak terdengar seruan yang nyaring dari deretan rombongan yang duduk di belakang.
Adipati Mandurorejo, Adipati Uposonto dan Hesti Wiro memalingkan muka dengan alis berkerut.
Siapakah orang di belakang yang berani membuka mulut itu?
Namun tiga orang tokoh Mataram ini tak jadi marah, ketika melihat bahwa yang berseru tadi .
Pangeran Pekik dan Ratu Wandansaripun merasa heran mendengar seruan itu. Suami isteri ini mengamati ke arah Reksogati.
"Aihh.....! Kau. kau paman Reksogati....?"
Ratu Wandansari tergagap saking hampir tak percaya akan pandang matanya sendiri.
'kau paman Rersogati.. Majulah ke mari . ..."
Sambil memondong puterinya, Ratu Wandansari bangkit berdiri. Demikian pula Pangeran Pekik.
Atas perintah Ratu Wandansari itu, Reksogati sudah maju. Kakek Reksogati maju menggunakan lutut. Baik Pangeram Pekik maupun Ratu Wandansari terbelalak menyaksikan keadaan tokoh pengawal Mataram yang sudah banyak jasanya itu.
"Aihh......"
Ratu Wandansari maju selangkah sambil berseru tertahan.
"Mengapa kau Reksogati....mengapa lenganmu buntung pula?"
Pangeran pekik yang terkenal sebagai seorang satria berhati emas itu mengerutkan alis, hatinya trenyuh melihat orang yang sudah cacad buntung itu. Katanya perlahan,
" Hemm, siapakah yang sudah menyiksamu seperti ini?"
Bagaimanapun, Reksogati merasa malu sekali kalau memberi keterangan, bahwa yang membuntungi adalah murid adik seperguruannya sendiri. Sebab pengakuan itu, menurut perasaan kakek ini, akan menurutkan derajat dan martabatnya.
"Seorang perempuan muda..." sahut Reksogati.
"Aihh..... . perempuan muda? Apakah...... apakah Rara Inten ?"
Kalau Ratu Wandansari cepat menduga bahwa yang melakukan perbuatan ini Rara Inten memang masuk akal. Sebab Ratu Wandansari beranggapan, bahwa hanya Rara Inten sajalah mungkin yang sanggup mengalahkan Reksogati dan sanggup membuntungi orang ini. Ratu Wandansari sudah cukup kenal akan tabiat Rara Inten yang memang ganas.
"Bukan gusti......."
"Ahhhh...... adakah perempuan muda lain yang lebih tinggi kepandaiannya dengan Rara Inten?"
Ratu Wandansari menjadi heran.
"Apakah perempuan itu bajunya kuning?" tanya Pangeran Pekik.
Kalau Pangeran Pekik menduga demikian, memang ada alasannya pula.
Ia segera teringat Peristiwa beberapa tahun yang lalu di Pondok Bligo. Ketika itu ayah angkatnya, juga gurunya, yang bernama Kreti Windu, telah diancam keselamatannya oleh Rara Inten. Ketika itu dirinya sendiri merasa tak sanggup untuk menyelamatkan ayahnya dari ancaman maut. Tiba-tiba muncullah seorang gadis baju kuning, dengan gerakannya yang gesit tak terduga, berhasil menyelamatkan nyawa ayahnya (bacalah Ratu Wandansari).
"Bukan gusti......" sahut Reksogati.
"Aihh, kalau bukan dia, lalu siapa?" Pangeran Pekik heran.
"Hamba... hamba tidak tahu..." sahut Reksogati tidak lancar.
Mendadak terdengar suara ketawa Hesti Wiro yang terkekeh, disusul sindirannya,
"Heh-heh heh, mengapa kau berani berdusta di depan Gusti Pangeran Pekik dan Gusti Kangjeng Ratu?"
"Ahh...... kau...... mengapa ikut campur......? desis Reksogati kurang Senang dan menjadi malu.
"Hi-hi-hik, mengapa engkau menyembunyikan sesuatu terhadap aku?"
Ratu Wandansari tertawa, akan tetapi kata-katanya mengandung teguran.
Sebagai akibat kelancangan Hesti Wiro ini, terpaksa kakek ini tak lagi dapat membohong. Dengan terpaksa memberi keterangan sejujurnya. Bahwa dirinya kalah melawan seorang gadis, murid adik seperguruan sendiri, yang bernama Sindu.
""Apa?" suami isteri itu terbelalak kaget, hampir tidak percaya.
"Aneh!" desis Pangeran Pekik.
"Mengapa bisa terjadi, murid adik seperguruan sendiri bisa mengalahkan paman?"
Ratu Wandansari yang cerdik itupun merasa heran pula. Sebab biasanya seorang adik seperguruan, takkan mungkin menang melawan kakak seperguruan. Lebih-lebih muridnya, yang merupakan kemenakannya, sungguh sulit dipercaya.
Karena keterangannya dianggap aneh itu, maka dengan terpaksa Reksogati menceritakan apa yang sudah agak lama terjadi. Seperti di dalam buku "Kisah Si Pedang" Buntung" telah diceritakan, bahwa Reksogati dan Sawungrana berusaha menangkap Sindu secara paksa, karena dianggap telah mengkhianati tugas kewajibannya. Namun ternyata, ketika mereka bertempur, mereka dikalahkan. Akibat kegagalan mereka itu, membuat mereka malu kembali ke Mataram.
Pangeran Pekik maupun Ratu Wandansari mengangguk-angguk. Suami isteri ini diam-diam merasa heran. Kira-kira dua tahun yang lalu, Sindu muncul di Mataram, menghadap kepada mereka. Tetapi waktu itu Sindu tidak bicara tentang itu. Malah kemudian Sindu tidak mau ketinggalan, ikut memperkuat pasukan Mataram dan Surabaya, untuk melindungi keselamatan mereka boyong ke Surabaya.
"Hemm, masih muda sudah ganas, sampai hati membuntungi uwa perguruannya sendiri!" desis
Pangeran Pekik tidak senang .
Kemudian Adipati Surabaya ini maju memeriksa luka lengan Reksogati yang belum sembuh. Sebagai seorang ahli dalam bidang ketabiban, tentu saja ia pandai sekali mengobati orang. Ia mengangguk-angguk, bahwa pertolongan pertama yang di berikan sudah benar. Obat yang dibubuhkan merupakan obat yang manjur untuk menghentikan keluarnya darah dan mencegah bengkak. Akan tetapi obat ini, untuk penyembuhan masih kurang tepat. Untuk itu, ia cepat menulis resep untuk membuat obat yang manjur, agar luka Reksogati cepat sembuh. Resep itu diberikan kepada seorang hamba Surabaya
"Cari dan belilah ramuan obat yang sudah aku tulis ini. Tumbuk halus, kemudian campur dengan air matang supaya menjadi cairan kental. Setelah siap, langsung berikan kepada paman Reksogati ini."
Hamba itu mengiakan. Setelah memberikan sembahnya, segera pergi. Reksogati gembira. Ia memang sudah mendengar pula akan kepintaran Pangeran Pekik mengobati segala macam penyakit.
Ratu Wandansari mengulum senyum. Bukan saja terhadap pemberian resep untuk pembikinan obat luka, tetapi juga tentang ucapannya tadi yang mengatakan "masih muda sudah ganas".
Suaminya ini, sejak dulu sulit dicela sepak terjangnya. Yang gampang melupakan kesalahan orang. sabar, mengalah dan memberi maaf. Belum pernah suaminya membunuh orang secara sengaja. Biasanya orang yang semula memusuhi, akan menjadi tunduk dan menjadi sahabat. Ia belum lupa akan peristiwa di Gunung Arjuna, di mana Pangeran Pekik (Jaka Pekik) dikeroyok oleh beberapa tokoh sakti. Namun akhirnya para tokoh itu kemudian menjadi sahabat-sahabatnya yang setia (baca Jaka Pekik oleh pengarang yang sama).
"Reksogati , biarlah paman istirahat di Surabaya sampai sembuh," kata Ratu Wandansari.
"Suamiku adalah tabib yang termasyhur... .."
"Ihhh....." seru Pangeran Pekik tertahan, kemudian sambil tersenyum ia berkata.
"Diajeng, aku menjadi malu." '
"Hi-hik, mengapa malu? Siapa yang dapat membantah kemasyhuran nama kangmas sebagai tabib?" bantah Ratu Wandansari.
"Kelak setelah sembuh, kembalimu ke Mataram akan aku sertakan sepucuk surat untuk kangmas Sultan Agung."
"Terima kasih, gusti," sahut Reksogati . Diam-diam kakek ini gembira. Dia dapat menduga tentang maksud Ratu Wandansari menyertakan surat itu. Besar harapan dia, bahwa Ratu Wandansari akan memintakan hadiah atas jasa-jasanya selama ini.
Dugaan kakek ini memang benar. Ratu Wandansari yang merasa kasihan kepada Reksogati yang sudah menjadi cacad, akan mohon kepada Sultan Agung, supaya dia dibebaskan dari tugas dengan hormat. Dan sebagai balas jasa kepada orang ini, akan dimintakan pula hadiah tanah dan harta benda, guna bekal hidup di hari tua mereka.
Mereka semua telah diijinkan untuk bubaran dan menuju tempat istirahat yang telah disediakan. Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari segera Pula masuk ke dalam rumah besar. Seorang hamba segera diutus untuk memanggil Madu Bala, Yoga Swara dan Patih Surabaya, Tiga orang tokoh itu akan diajak membicarakan perintah Sultan Agung.
Tak lama kemudian Yoga Swara, Madu Bala dan Patih Surabaya sudah datang menghadap hampir bersamaan. Mereka diterima suami isteri ini dengan wajah berseri dan bibir tersenyum.
"Aku ingin bicara dengan kalian sehubungan dengan datangnya utusan kangmas Sultan Agung," kata Ratu Wandansari mendahului suaminya:
"Ada .. surat . ihh, ngacau saja......"
Pangeran Pekik heran dan memalingkan mukanya,
"Ada apa? Siapa yang ngacau ?"
"Hi-hik!"
Ratu Wandansari ketawa.
"Puterimu inilah yang ngacau. Ibunya sedang akan bicara penting. dia malah bikin basah kainku.."' "
Pangeran Pekik tertawa. Demikian pula tiga orang tokoh itu, tak kuasa menahan rasa geli. Ratu Wandansari segera memanggil salah seorang hamba. Puterinya diberikan, agar pembicaraan ini tidak terganggu. Puteri ini, kelak kemudian hari setelah dewasa, kawin dengan putera Sultan Agung yang telah diangkat sebagai putera mahkota.
Setelah Sultan Agung wafat, putera mahkota ini menggantikan tahta kerajaan dengan gelar Sunan Amangkurat I.
'Mari, aku lanjutkan kataku," Ratu Wandansari melanjutkan,
"kangmas Pekik telah menerima surat dari kangmas Sultan Agung. Isinya, memerintahkan kepada kangmas Pekik agar selekasnya menggempur Giri. Bagaimanakah menurut pendapat kalian ?"
Tiga orang ini tidak cepat menjawab. Mereka sedang berpikir. Akan tetapi, tiba-tiba Madu Bala membuka mulut,
"Gusti Kanjeng Ratu, sejak dahulu merupakan puteri cerdik. Hamba bertiga ini takkan mungkin menang melawan kecerdikan paduka. Maka kiranya lebih patut, apa bila paduka sajalah yang memutuskan dan merintahkan."
'Guru, ah, mengapa kau bicara begitu? Aku lebih suka kalian memberikan pendapatmu."
Semenjak masih perawan, sampai juga sekarang, Ratu Wandansari tidak merubah panggilannya kepada Madu Bala, dengan panggilan "guru". Hal itu mempunyai sejarah sendiri pula, sebab ketika Madu Bala mengabdi di Mataram, ia diangkat sebagai guru Ratu Wandansari.
Namun ternyata pendapat Madu Bala ini disokong oleh yang lain. Kata Yoga Swara,
"Hamba setuju pendapat Madu Bala, gusti."
( Bersambung jilid 6 )
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 6
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
P E R A W A N L 0 L A
Lanjutan Kisah Si Pedang Buntung
Karya: Widi Widayat
Jilid 6
******
"DAN hambapun berpendapat sama," kata Patih Surabaya.
Ratu Wandansari menghela napas pendek. Ia memalingkan muka, memandang suaminya. Agaknya Pangeran Pekik dapat menduga maksud Ratu Wandansari. Katanya,
"Bicaralah."
"Baiklah, aku akan bicara," kata Ratu Wandansari.
"Keputusan kangmas sultan untuk segera memukul Giri ini memang tepat. Sunan Giri yang memiliki kedudukan turun-menurun sejak Raden Paku, yang mempunyai hubungan erat dengan syah dan tidaknya seorang raja, secepatnya perlu ditangani. Semenjak eyang Panembahan Senopati, kemudian rama Panembahan Anyakrawati, dan diganti oleh kangmas Sultan Agung, ternyata Sunan Giri masih tetap pada pendiriannya, tidak mau mengakui Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram dianggap tidak syah dan tidak berhak. Sebab Mataram bukanlah keturunan Raja Demak, Dan padahal, Sunan Giri berpegang teguh kepada keturunan."
Ratu Wandausari berhenti sejenak. Lalu terusnya,
"Kukuhnya pendirian Sunan giri itu
mungkin bisa berubah dengan sikap lunak. Tetapi harus menggunakan kekerasan. Mengapa harus menggunakan kekerasan? Agar Sunan Giri terbuka mata hatinya bahwa Mataram benar-benar merupakan kerajaan yang kuat. Kalau Mataram tidak diakui syah sebagai kerajaan yang mempunyai kekuasaan penuh atas bekas wilayah Kerajaan Pajang dan Demak, lalu apakah ada kerajaan lain yang kuat seperti Mataram ?"
"Tidak ada......!" sahut tiga orang ini hampir berbareng.
"Nah, karena itulah kangmas Sultan Agung menjadi masygul. Apa saja maksud Sunan Giri? Maka terpikir untuk menggunakan kekerasan."
Akan tetapi agaknya Pangeran Pekik yang tidak senang dengan segala hal yang berbau kekerasan, ia cepat berkata,
"Diajeng. bolehkah aku memberi pendapat?"
"Ihhh..mengapa kangmas minta ijin padaku? Kangmaslah orangnya sebagai Adipati Surabaya. Mengapa ragu-ragu memberi pendapat?"
"Kalau boleh dan diajeng setuju, aku memilih jalan lunak."
"Maksud kangmas? "
"Biarlah seorang atau dua orang utusan Surabaya pergi ke Giri, membawa surat. Kita minta agar Sunan Giri mau merubah pendiriannya kepada Mataram. Siapa tahu, kalau Sunan Giri setuju?"
"Tetapi kalau tetap membandel?"
"Ya harus......"
" Menggunakan kekerasan! " potong Ratu wandansari sambil tersenyum.
"Nah, akhirnya kembali juga dengan kekuatan perajurit. Ya, apa maksud kangmas memang baik. Kita tunjukkan sikap baik kita. Kalau Sunan Giri kukuh pada pendiriannya tak ada jalan lain. Bagaimanakah menurut pendapat kalian?"
Tiga orang ini juga setuju dengan jalan itu.
"Biarlah hamba datang ke sana sebagai utusan."
Madu Bala cepat-cepat mengajukan diri.
"Hambapun sedia,"
Yoga Swarapun tak mau ketinggalan.
"Apa bila diperkenankan, hamba mohon sebagai utusan paduka itu."
Patih Surabaya menyediakan diri juga, justeru merasa lebih wajib.
"Terima kasih akan kesediaan kalian," kata Pangeran Pekik
"Tetapi diajeng, bagaimanakah menurut pendapatmu?"
"Jika aku diperbolehkan memberi pendapat. . "
"Ihh..... kau membalas!" potong Pangeran Pekik sambil tertawa.
Dan mereka yang hadir semua tertawa. Masih sambil tersenyum-senyum. kemudian Ratu Wandansari meneruskan,
"Begini menurut pendapatku. Paman patih lebih tepat di Surabaya, bersiap diri dan siaga. Dan sebagai utusan, lebih tepat apa bila paman Yoga Swara bersama guru."
"Bagus, he-he-he-heh-heh," saking gembira Madu Bala bersorak.
Tokoh Gagak Rimang ini memang telah rindu kepada dunia bebas.Rindu untuk
melakukan sesuatu tugas, lebih-lebih berkelahi. Selama tak ada tugas, ia merasa jemu dan kaku otot-ototnya. Paling-paling dirinya hanya berhadapan dengan para perajurit yang digemblengnya, dan kedudukan para perajurit itu tak lebih hanyalah murid-muridnya.
"Akan tetapi guru," kata Ratu Wandansari lagi.
"Aku harapkan kesadaranmu dalam melakukan tugas ini. Di sana, aku harapkan engkau dapat bersikap sabar, jangan sampai bisa dipancing oleh nafsu dan kemarahan. Sebab kehadiranmu ke sana, membawa tugas penting yang amat menentukan."
"Heh-heh-heh, mengapa paduka khawatir? Hamba bertugas tidak seorang diri, gusti. Tetapi bersama Yoga Swara. Dia akan dapat memperingatkan hamba di kala diperlukan," sahut Madu Bala.
"Akan tetapi sebaliknya, gusti, kalau hamba diejek dan dihina, mungkinkah hamba dapat berdiam diri? Madu Bala bisa memaklumi. Tetapi apakah hamba harus membiarkan Surabaya dan Gagak Rimang direndahkan orang?"
"Hemm, merasa diejek, dihina, direndahkan dan sebagainya itu, sesungguhnya tidak perlu. Sebab semua itu hanyalah merupakan permainan dari pikiran ini."
Pangeran Pekik memberikan nasihatnya.
" Kalau tidak dipikir dan dirasakan, apa yang di sebut hinaan dan sebagainya itu takkan ada lagi."
"Idih, jika orang kangmas suruh harus selalu sabar seperti kangmas, manakah mungkin?" Kata Ratu Wandansari.
" Orang sudah mengenal kangmas sebagai seorang budiman dan berhati emas. Jika semua orang bisa. bertabiat seperti kangmas
mana mungkin ada lagi yang disebut berhati emas dan tidak?"
"Ahhh, tetapi kalau orang mau berusaha, setidaknya akan dapat mengurangi, diajeng."
Pangeran Pekik memberikan nasihatnya.
"Namun usaha itu akan gagal apa bila tidak dilandasi oleh kemauan."
Yoga Swara tidak ingin junjungannya melenceng kepada pembicaraan lain. Katanya,
"Gusti, hamba akan lebih senang apa bila dapat berangkat secepatnya."
Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari saling pandang, kemudian tersenyum .Sahut Ratu Wandansari,
"Hemm, baiklah! Esok pagi engkau berdua berangkat. Perlunya aku dapat merancang surat itu, untuk Sunan Giri."
Yoga Swara dan Madu Bala mengundurkan diri. Dalam perjalanan menuju ketempat pondokan mereka ini, tanya Madu Bala,
"Bagaimanakah dengan hasil kunjunganmu ke Kemuning?"
"Hemm, menyenangkan juga, sekalipun hal itu mengingatkan halhal yang kurang menyenangkan,"
Yoga Swara menjawab sambil menghela napas pendek.
"Ehh, jawabanmu membuat orang harus banyak berpikir. Apakah maksudmu menyenangkan tetapi juga kurang menyenangkan ?"
"Ah ya, soalnya engkau kurang mengetahui latar belakang kelahiran anakku Pangastuti, yang sekarang menjadi isteri jaka Lambang itu," sahut Yoga Swara sambil menghela napas lagi.
Memang
begitu teringat peristiwa yang sudah lama berlalu. Yoga Swara menjadi menyesal juga.
"Dahulu, begitu engkau menghilang tak karuan, lalu disusul menghilangnya kakang Kreti Windu dari markas kita di Gunung Arjuna. membuat hatiku selalu tidak tenteram."
Yoga Swara mulai menerangkan.
'Hal itu mempunyai hubungan yang erat pula dengan kakang Dewa Srani yang memisahkan diri. Hingga keselamatan Gagak Rimang terancam. Bukan saja oleh tingkah kakang Dewa Srani, tetapi juga menghadapi musuh dari beberapa perguruan yang salah faham terhadap kita."
Oleh Yoga Swara kemudian diceritakan peristiwa yang sudah puluhan tahun yang lalu. Ialah ketika dirinya bertemu dengan dua orang murid Perguruan Tuban. Yang seorang bernama Subinem, sedang yang seorang bernama Endang Bratajaya. Murid Tuban yang bernama Subinem itu wajahnya jelek. Sebaliknya Endang Bratajaya cantik dan menggiurkan. Yoga Swara menyatakan secara jujur, menjadi jatuh cinta kepada Endang Bratajaya. Gadis itu kemudian ia tawan. Dan di saat Endang Bratajaya dalam tawanannya ini, dengan segala jalan dan usaha berhasil memperisteri secara tidak syah. Namun kemudian Endang Bratajaya berhasil melarikan diri. Yoga Swara sudah berusaha mencarinya, tetapi tak pernah bertemu lagi.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baru kemudian aku dengar dan ketahui,bahwa gadis murid Tuban yang bernama Endang Bratajaya itu, merupakan tunangan Jaka Lambang, Salah seorang murid Perguruan Kemuning."
Yoga Swara meneruskan ceritanya, tetapi ucapannya lirih penuh rasa penyesalan.
"Ahhh.. ini aneh! Isterimu, tunangan Jaka Lambang," kata Madu Bala
"Tetapi mengapa kemudian puterimu menjadi isteri Jaka Lambang?"
"Inilah sebabnya aku tadi berkata, 'Mengingatkan hal-hal yang kurang menyenangkan'. Agar engkau tidak penasaran, biarlah aku ceritakan seluruhnya. Begini, ternyata di luar tahuku, akibat perbuatanku terhadap Endang Bratajaya, membuat Endang Bratajaya hamil. Karena takut kepada gurunya, Endang Bratajaya kemudian menyembunyikan diri. Dan di tempat persembunyiannya itu, lahirlah puteriku bernama Pangastuti itu, tanpa kehadiran ayahnya. Ahhh, aku menyesal sekali. Aku merasa berdosa sekali kepada Endang Bratajaya yang sudah mendahului aku." .
"Ihh.. pantas, selama ini kau sendirian saja. Jadinya. isterimu sudah meninggal dan kau tidak kawin lagi?"
"Ya, meninggal secara menyedihkan. Isteriku telah mati di tangan gurunya sendiri."
"Aih... Anjani itukah yang sudah membunuhnya ?"
"Benar! Semua itu akibat kesetiaan isteriku, yang menolak tuntutan Anjani."
"Anjani menuntut apa?"
"Menuntut kepada isteriku, agar membunuh aku!"
"Ahhh, isteri yang setia. Isteri yang terpuji.Walaupun engkau mengambil Endang Bratajaya sebagai isteri paksaan, namun ternyata istrinya begitu setia. Dia lebih suka menebus dengan nyawanya sendiri,. dari pada harus berkhianat kepada suaminya."
"Tetapi aku agak menyesal juga akan terjadinya peristiwa itu"
Yoga Swara menghela napas paujang.
"Kalau dahulu Endang Bratajaya pura pura sedia melaksanakan tugas itu, namun hal itu hanya sebagai siasat untuk dapat bertemu dengan aku. tentunya lebih baik lagi. Apa bila isteriku sudah dalam perlindunganku, Anjani dapat berbuat apa? Hemm....."
"Ya, sesungguhnya menyedihkan juga mengapa isterimu tidak bersiasat seperti itu."
"Ya. Di saat terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Anjani itu, diketahui oleh paduka raja. ' "
"Ohh, Pangeran Pekik?"
"Ya. Waktu itu beliau masih kecil. Anakku diselamatkan oleh beliau. Dilindungi keselamatannya, dengan pertaruhan nyawa sendiri. Kemudian secara tak sengaja, di saat beliau bersama Pangastuti terancam keselamatannya oleh Wongso Dipo dan isterinya, aku melihat dan bisa menyelamatkan dari keganasan suami isteri itu. Sejak itulah aku hidup bersama anakku, Pangastuti, di markas kita di Arjuna. Hemm, sesungguhnya sejak dahulu aku mengharapkan agar antara Pangastuti dengan Pangeran Pekik dapat terikat perkawinan......."
Yoga Swara berhenti dan menghela napas lagi.
"Namun ternyata apa yang aku harapkan tak terwujud, Agaknya memang sudah begini takdir yang
harus aku terima. Waktu itu Jaka Lambang bekas tunangan isteriku, menderita luka parah sekali oleh penganiayaan musuh gelap. Aku menjadi iba hati dan tak tega, ketika melihat Pangastuti yang memang memiliki Wajah yang mirip dengan ibunya itu, dianggap oleh Jaka Lambang sebagai Endang Bratakaya. Sebagai penebus rasa sesal dari semua perbuatanku yang sudah lalu, yang membuat Endang Bratajaya menderita, dan membuat Jaka Lambang yang kehilangan tunangannya seperti patah hati, maka aku membiarkan Pangastuti dianggap oleh Jaka lambang sebagai Endang Bratajaya. Lalu akan ikhlaskan pula, selama Jaka Lambang menderita, Pangastuti melayani segala kebutuhannya."
"Akan tetapi, ahh.."
Yoga Swara menghela napas lagi.
"Terjadilah peristiwa yang tidak terduga duga. Kemudian antara Pangastuti dan Jaka Lambang saling setuju untuk mengikat diri dalam perkawinan."
'Ahhh.. tetapi itu malah bagus, berarti engkau menebus semua kesalahanmu. Dan anakmu pantas pula dipuji. Sedia mengamankan diri demi ibu dan ayahnya."
"Ya! Tetapi sekarang aku bahagia juga, setelah aku memperoleh cucu dua orang.Malah gurunya, Wisnu Murti, begitu kasih kepada dua orang cucuku itu. Demikian pula saudara-saudara seperguruan Jaka Lambang sikapnya seperti kepada anak sendiri. Kepada aku, Wisnu Murti sudah memberitahukan pula, bahwa atas persetujuannya dan persetujuan semua murid, Jaka Lambanglah kemudian yang akan dipercaya menduduki ketua Perguan Kemuning."
"Bagus, heh-heh-heh! Perguruan yang namanya terkenal itu akan tetap menjadi sahabat baik Gagak Rimang maupun Surabaya."
"Hanya ada sesuatu yang membuat aku gelisah."
"Soal apa?"
"Sesungguhnya baik anakku, maupun menantuku, amat mengharapkan agar aku supaya menggunakan sisa hidupku yang sudah tua ini di Kemuning. Akan tetapi, hem, entah mengapa hatiku ini, mengapa tak dapat berpisah dengan Pangeran Pekik."
"Ya. Aku sendiri juga heran. Seharusnya aku sendiri inipun telah tua. Perlu istirahat. Akan tetapi hatiku ini merasa tak dapat berpisah dengan beliau."
Agar para pembaca yang tercinta dapat mengetahui riwayat hidup Yoga Swara ini lebih jelas silahkan baca buku "Jaka Pekik" dan buku "Ratu Wandansari " oleh pengarang yang sama.
"Kalau begitu, Wisnu Murti sampai sekarang masih hidup? Ah, tentunya sekarang sudah semakin menjadi tua."
"Ya!" sahut Yoga Swara.
"Sudah amat tua sekali. Sekarang kewajibannya sebagai ketua Perguruan Kemuning sudah diwakili oleh Jaka Lambang. Maka apa yang dilakukan Wisnu Murti tiap harinya bukan lain hanya menimang nimang cucuku itu. Sungguh terharu dan bahagia sekali hatiku. kalau melihat dia menimang begitu kasih kepada
cucuku. Cucu seorang tokoh Gagak Rimang. yang disebut orang sebagai tokoh sesat."
"Heh-heh heh."
Madu Bala terkekeh.
"Di dunia ini memang banyak manusia yang matanya terbuka, akan tetapi tidak bedanya dengan orang buta."
"Apakah maksudmu?"
"Hehheh heh. coba engkau pikir. Orang-orang seperti Anjani, Wongso Dipo dan beberapa orang yang lain. menganggap dirinya sebagai orang-orang bersih. Kemudian kepada orang-orang Gagak Rimang, menganggap golongan sesat. Heh-hehheh, padahal tiap tindakan dan perbuatan orang orang yang mengaku sebagai golongan bersih itu malah tidak baik dan tidak bersih. Sebaliknya orang-orang Gagak Rimang, aku ingin memperoleh pembuktian, manakah perbuatannya yang jahat dan tidak baik? Huh, apakah baik dan buruk, bersih dan sesat itu sudah merupakan sebutan abadi? Apakah bukan didasarkan kepada tindak dan perbuatan? Kalau demikian, sungguh celakalah manusia-manusia yang sudah terlanjur sebagai orang jahat. Dia disebut penjahat. Maka anak dan keturunannya akan disebut penjahat pula. Sebaliknya sungguh enak orang orang yang mempunyai sebutan tokoh dan berkedudukan tinggi. Anak dan keturunannya semua akan menjadi tokoh dan berkedudukan tinggi pula. Heh-heh-heh, tidak lucu kalau begitu!"
"Ya. Engkau benar. Baik dan buruknya manusia bukanlah ditentukan oleh kedudukan maupun sebutan yang diperoleh. Akan tetapi tergantung kepada bagaimanakah perbuatan manusia itu sendiri."
Esok paginya, dua orang tokoh Gagak Rimang ini sambil membawa surat Adipati Surabaya, telah berangkat menuju Giri. Surat yang ditulis oleh Ratu Wandansari itu tertutup. Maka baik Yoga Swara maupun Madu Bala tidak mengetahui isinya.
Antara Surabaya dengan Giri tidak begitu jauh letaknya. Mereka menuju ke utara, tanpa menggunakan kendaraan. Mereka telah terlatih untuk bergerak cepat. Maka sebelum tengah hari, mereka sudah datang melapor kepada perajurit penjaga pintu gerbang keraton Giri.
"Siapa kamu?"" bentak perajurit penjaga itu dengan sikapnya yang galak.
"Aku datang ke mari sebagai utusan Gusti Adipati Surabaya!" sahut Madu Bala dengan sikapnya yang angkuh.
"Laporkan kepada perwiramu.. "
"Huh. orang Surabaya!" desis penjaga itu dengan sikap yang tidak senang. Namun kemudian salah seorang perajurit penjaga sudah masuk ke dalam untuk lapor kepada atasannya.
Mendengar desis perajurit itu yang merendahkan Surabaya, Madu Bala sudah mendelik marah. Kakek ini tersinggung, dan ingin sekali menampar mulut yang lancang itu. Untung di samping Madu Bala terdapat Yoga Swara yang dapat berpikir lebih panjang. Katanya.
"Jangan engkau terpancing oleh kemarahan. Biarkan orang mengejek dan merendahkan. Yang penting, orang Surabaya tidak serendah yang mereka duga."
Sebabnya Yoga Swara mengucapkan demikian, diaamping ingin menyabarkan kakek yang masih suka berangasan itu, juga ada alasan lain. Kiranya pandangan mereka yang beranggapan begitu, adalah sehubungan dengan jatuhnya Surabaya, kemudian disusul oleh perkawinan antara Pangeran Pekik dengan Ratu Wandansari. Dengan kedudukan Pangeran Pekik sebagai ipar Sultan Agung. tentu saja Pangeran Pekik sekarang dianggap musuh oleh Sunan Giri. Dan karena Pangeran Pekik Adipati Surabaya, maka semua orang Surabayapun sekarang merupakan musuh orang-orang Giri.
Setiap kerja sama, Setiap persahabatan terjadi antara manusia ini, apabila titik beratnya berusaha mencari keuntungan pribadi, tentu gampang sekali terjadinya perpecahan. Karena terjadinya kerja sama dan persahabatan itu bukan berdasar kasih dari jiwanya yang murni. Kawan akan berubah menjadi lawan, di saat kawan itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Maka tidak mengherankan pula, Giri menganggap Surabaya sebagai musuh.Sekalipun pada saat saat sebelumnya, oleh para pejuang yang menentang Mataram.Sunan Giri diangkat sebagai penasihat para pejuang itu.
Tak lama kemudian muncullah seorang perwira Giri. Akan tetapi ternyata sikap perwira ini jauh berlainan dengan sikap perajurit penjaga pintu gerbang. Ketika Madu Bala dan Yoga Swara memberi hormat, perwira itupun memberikan hormatnya, Lalu perwira itu bertanya dengan halus,
"Apakah keperluan saudara?"
"Saya datang sebagai utusan Gusti Adipati Surabaya untuk menghaturkan surat kepada Ingkang
Sinuhun Sunan Giri," sahut Yoga Swara dengan halus pula.
"Oh, marilah ikut kami ke dalam," ajak perwira itu.
Kemudian bersama perwira tersebut Yoga Swara dan Madu Bala masuk ke dalam lewat pintu gerbang. Baik Yoga Swara maupun Madu Bala diam diam kagum juga menyaksikan keindahan keraton Giri ini. Walaupun keraton ini berdiri di atas sebuah bukit, namun keraton itu bentuknya indah sekali. Baik tiang, pintu, dinding kayu dan perabot rumah tersebut, diukir ukir rumit sekali, merupakan hasil seni yang adiluhung.
Antara Yoga Swara dengan Madu Bala mempunyai perbedaan dalam memandang ukir-ukiran itu. Yoga Swara sebagai salah seorang yang tahu akan seni, caranya menilai bukan dari soal keindahan melulu. Sebaliknya Madu Bala yang kurang perhatian terhadap masalah seni, ia hanya dapat mengatakan bahwa ukir ukiran itu indah dan nampak hidup.
Tempat di mana mereka harus menunggu ini dinamakan bangsal untuk para tamu. Setelah mempersilahkan Yoga Swara dan Madu Bala duduk, perwira itu pergi lagi entah ke mana. Mereka ditinggalkan di tempat itu, tanpa seorangpun yang datang menemuinya.
Madu Bala yang kurang sabaran sudah menggerutu,
" Hemm, apa saja maksudnya kita disuruh duduk di tempat ini?"
"Mestinya kita disuruh menunggu," sahut Yoga Swara.
"Akan tetapi mengapa begitu lama?"
Madu Bala tampak tidak senang.
"Ini namanya tuan rumah kurang menghargai tamu. Kalau dibandingkan, bukankah antara Surabaya dengan Giri, wilayah kekuasaannya lebih luas Surabaya? Namun sikap Gusti Pangeran Pekik maupun Gusti Ratu Wandansari tidak secongkak tuan rumah Giri. Beliau berdua selalu menerima para tamu secara terbuka dan ramah, tanpa harus berliku-liku macam ini."
"Ahh, mengapa engkau ini? Tentu saja setiap orang mempunyai sikap dan cara masing masing dalam menerima tamu. Kala sedang bertugas. Apapun yang kita alami, harus kita terima dengan senang hati."
"Huh, tetapi aku tidak puas. Kedudukan kita bukan sembarangan baik dalam Gagak Rimang maupun Kadipaten Surabaya. Mengapa tidak memperoleh penghargaan sewajarnya?"
"Sudahlah, jangan engkau berpikir yang tidak tidak. Pendeknya di rumah orang, kita harus pandai menyesuaikan diri."
Akan tetapi Madu Bala masih tetap mengomel. Yoga Swara berdiam diri dan membiarkan Madu Bala memuaskan hatinya.
Beberapa lama kemudian, barulah perwira perajurit tadi datang. Sekarang tidak sendirian, melainkan datang bersama seorang laki-laki tua berpakaian indah, dan mengenakan jubah putih. Dua orang ini segera bangkit dan memberikan hormatnya. Sebab mereka mengira. bahwa inilah Sunan Giri.
Namun ternyata dugaan mereka salah, yang datang ini bukan Sunan Giri, hanyalah seorang hamba, yang mempunyai tugas urusan tamu. Setelah itu perwira perajurit tadi memberikan hormatnya, kemudian pergi.
"Kisanak utusan dari Kadipaten Surabaya?" tanya laki-laki berjubah itu.
"Ya. Kami utusan Gusti Pangeran Pekik." sahut Yoga Swara.
" Saya sendiri bernama Yoga Swara, adapun teman saya ini bernama Madu Bala."
Laki-laki tua berjubah putih itu untuk sesaat terbelalak, ketika mendengar nama dua orang utusan itu. Tentu saja ia terbelalak, karena sudah cukup mengenal nama dua orang tokoh Gagak Rimang ini yang sekarang merupakan hamba sahaya Surabaya.
"Namaku Abdul Ali." katanya kemudian.
"Dan saya amat beruntung dapat berkenalan dengan kisanak berdua, yang mempunyai nama amat harum."
"Ahh, kami hanya-orang biasa saja."
Yoga Swara berusaha untuk menghindarkan diri dari sanjung puji itu.
"Adipati Surabaya memberi pesan apa kepada kalian ? "
"Saya membawa surat untuk Gusti Ingkang Sinuhun Sunan Giri. Itulah sebabnya kami ingin menghadap."
"Aih. kalau begitu, biarlah kalian saya antar kepada Gusti patih."
"Mengapa tak langsung kepada Sinuhun Giri?"
Madu Bala yang tak puas menjadi agak kasar ucapannya.
Abdul Ali melirik sebentar. Namun jawabnya kemudian,
"Semua itu tergantung kepada gusti patih. Saya tidak tahu."
Yoga Swara tak ingin berpanjang mulut, ia mendahului bangkit, katanya,
"Baiklah, dan sudilah kisanak mengantar kami ke sana."
Madu Bala terpaksa bangkit pula sekalipun hatinya tidak senang. Mereka dibawa menuju ke sebuah rumah gedung yang cukup luas, lewat jalan yang tak begitu lebar, dengan didasari oleh batu. Pada kiri dan kanan jalan yang sempit ini, tumbuh beraneka macam tanaman bunga yang pendek dan warna-warni. Namun mereka tak sempat menikmati keindahannya, karena hati mereka sangat ingin segera dapat menyampaikan surat itu.
Ketika mereka masuk ke dalam rumah gedung berdinding kayu dan beratap kayu pula itu, Yoga Swara dan Madu Bala dipersilahkan duduk dan menunggu diruang tengah. duduk pada tikar pandan. Kemudian Abdul Ali pergi, dengan alasan untuk melapor. '
Cukup lama mereka menunggu di tempat ini. Membuat Madu Bala tambah penasaran dan mengomel tak karuan. Yoga Swara menghela napas, dan diam-diam mencela sikap kawannya ini, mengapa tambah usia belum juga dapat sabar.
Setelah lama mereka menunggu dengan gelisah, baru muncullah Abdul Ali. Laki-laki tua ini setelah duduk memberitahukan kepada mereka, bahwa mereka disuruh menunggu barang sebentar.
Yoga Swara yang wataknya sabar dan teliti memaklumi. Sebaliknya Madu Bala mukanya berubah menjadi keruh, mulutnya cemberut dan tidak membuka mulut. Melihat itu diam-diam Yoga Swara menjadi khawatir, kalau Madu Bala membuat onar di tempat ini. Kalau sampai terjadi demikian, akan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan.
Untung sekali bahwa patih Giri itu segera muncul. ia seorang laki-laki yang sudah cukup usia. Baik kumis, jenggot maupun alisnya sudah berubah menjadi putih. Namun tubuhnya masih nampak kuat, sedang sepasang matanya tampak bersinar sinar berwibawa, ia mengenakan sorban pada kepalanya, lehernya dililit dengan semacam selendang dan mengenakan jubah putih pula dari kain sutera, dihias dengan benang emas.
Patih Giri itu langsung duduk di atas kursi berukir indah. Kursi itu bukan terbuat dari kayu jati, melainkan kayu sanakeling. Melihat itu makin tambah mendongkol hati Madu Bala.
Dirinya duduk di bawah, di atas tikar, mengapa tuan rumah malah duduk di atas kursi?
Sungguh merupakan sikap yang tidak sopan.
Abdul Ali segera melaporkan tentang datangnya dua orang tamu utusan Pangeran Pekik. Mendengar itu tanpa membuka mulut, patih Giri ini hanya mengangguk-angguk. Dari sikap ini, tampak bahwa patih Giri tersebut memandang rendah kepada utusan.
Saking tak kuasa menahan mendongkol dan penasarannya, Madu Bala sudah berkata, dan suaranya cukup lantang,
"Hamba berdua yang rendah ini
datang ke sini sebagai utusan Gusti Pangeran Pekik, untuk menghaturkan surat. Teman hamba ini Bernama Yoga Swara. sedang hamba sendiri yang hina ini, bernama Madu Bala."
"Ohh.. kalian ini yang bernama Madu Bala dan Yoga Swara? Dua orang tokoh Gagak Rimang itu ?" patih Giri tersebut nampak kaget.
"Ya. Hamba berdualah orang itu!" sahut Madu Bala cepat.
Entah mengapa sebabnya.
Apakah patih Giri ini memandang dari kedudukan Madu Bala dan Yoga Swara sebagai raja-raja muda Gagak Rimang, ataukah memandang dari keharuman nama dua orang ini. Yang jelas. patih Giri ini bangkit dari kursinya. Dengan ramah, katanya,
"Ohh, maaf! Kalau begitu, janganlah kalian duduk di bawah. Mari, kita duduk di atas kursi."
Yoga Swara yang merasa tidak enak hati, cepat menjawab,
"Terima kasih, hamba berdua lebih enak duduk di tikar ini."
"Ahh, mengapa begitu? Baiklah, kita bersama sama duduk di atas tikar saja."
Patih Giri itu kemudian ikut duduk di atas tikar pandan.
"Tahukah kalian akan maksud surat itu?" tanyanya kemudian.
Yoga Swara menggeleng.
"Hamba tidak tahu. Hamba hanya memperoleh perintah langsung dari Gusti Pangeran Pekik, agar menghaturkan surat ini untuk ingkang Sinuhun Sunan Giri."
"Ahhh, sayang," patih Giri itu menghela napas.
"Saya tadi telah mendapat perintah baik saya maupun yang lain, hari ini tidak diperkenankan menghadap beliau.'
"Mengapa?"
Madu Bala mendesak.
"Saya tak tahu alasannya. Dan tentu saja saya tunduk dan patuh kepada perintah itu. Maka apa bila kisanak setuju, biarlah surat itu saya terima. Esok pagi, saya akan menghadap dan menghaturkan surat itu."
Jawaban itu tentu saja membuat Madu Bala tidak puas. Kemudian bertanya,
"Lalu, bagaimanakah hamba dapat memberi laporan setelah kembali ke Surabaya?"
"Kiranya kalian dapat melaporkan, bahwa di saat kedatangan kalian. paduka ingkang Sinuhun Sunan Giri sedang tidak menerima tamu. Untuk itu, sebentar hari akan segera datang ke Surabaya utusan yang memberi jawaban surat itu."
Tentu saja mereka tak mungkin bisa memaksa.
"Maka apa boleh buat, setelah menyerahkan surat itu, mereka cepat minta diri.
Namun begitu tiba di luar Madu Bala tak lagi dapat menahan mulutnya.
"Kurang ajar. Setan alas! Apakah kita ini yang mempunyai kedudukan cukup tinggi dalam Gagak Rimang, masih belum berharga di mata Sunan Giri?"
"Hemm, sabarkan hatimu. Kita hanya utusan. Kita tak dapat berbuat lain kecuali segera pulang ke Surabaya dan melapor."
"Jahanam! Huh, .aku menjadi curiga akan sikap Sunan Giri."
"Mengapa?"
Yoga Swara heran.
"Tentu ada apa-apanya di balik penolakan itu. Sudahlah, sekarang begini saja. Pulanglah engkau ke Surabaya. Dan aku akan menyusul."
Yoga Swara yang sudah mengenal watak Madu Bala. cepat mencegah,
"Jangan engkau menurutkan amarahmu. Lupakah engkau pesan Gusti Pangeran Pekik dan Gusti Kangjeng Ratu Wandansari, bahwa kita tidak diperkenankan melakukan perbuatan apapun yang bisa memancing kemarahan Sunan Giri ?"
"Heh-heh-heh,"
Madu Bala ketawa.
"Aku tidak akan melakukan sesuatu yang kaumaksud itu. Percayalah, tidak! Aku hanya ingin menyelidiki dan mengetahui, apakah alasan Sunan Giri bersikap seperti itu."
"Kau .. akan menyelundup ke dalam?"
"Sudahlah, pendeknya engkau pulang. Segala sesuatu menjadi tanggung jawabku apa yang aku lakukan. Aku boleh dibunuh, boleh dihukum gantung, kalau apa yang aku lakukan ini dianggap melakukan pelanggaran. Akan tetapi jelas maksud itu bukan, lain untuk membela kepentingan Surabaya'"
Yoga Swara hanya dapat menghela napas. Ia tahu watak Madu Bala yang keras kepala. Kalau sudah memutuskan sesuatu, yang sesuai dengan kehendak hatinya, tak mungkin bisa dirubah lagi. Maka Yoga Swara terpaksa mengalah. Ia langsung pulang Sendiri ke Surabaya
Madu Bala menjadi gembira, ia sudah memutuskan, bahwa malam ini akan mengadakan penyelidikan ke dalam keraton Giri.
Ia merasa curiga!
Ia menduga bahwa penolakan Sunan Giri baik kepada tamu maupun hamba sahayanya, tentu mengandung rahasia.
Sedang sibuk dengan siapakah Sunan Giri?
Mungkinkah sikap Sunan Giri yang tetap tidak mau tunduk kepada Mataram itu, karena memang mempunyai kekuatan yang tak terduga?
Guna menghabiskan waktu siang ini, Madu Bala tak mau berdiam diri. Ia menjelajah dan menyelidiki, guna mengetahui keadaan. Pengetahuan tentang daerah ini akan besar sekali manfaatnya, apa bila sampai terjadi pecah perang antara Surabaya dengan Giri. Oleh hasil penyelidikannya, kemudian akan dapat mengetahui, di mana bagian yang tidak terjaga, dan di mana pula yang sulit untuk diserbu.
Namun ia sadar. Kalau dirinya tetap mengenakan pakaian yang dipakainya sekarang, bisa menimbulkan kecurigaan orang. Memang pakaian Madu Bala bukan dari kain yang serba mahal. Tetapi guna menyesuaikan kedudukannya yang cukup tinggi di Surabaya dan memiliki pangkat tumenggung pula, terpaksa pakaian sehari-harinya cukup patut. Dengan demikian, pakaian yang dikenakan itu bukanlah pakaian kawula biasa sehari -harinya. Untuk kawula biasa terlalu mahal. Oleh sebab itu guna menghindarkan kecurigaan orang, ia pergi ke pasar. Ia membeli pakaian sederhana, pakaian dari kain yang kasar, seperti yang biasa dipakai oleh para petani maupun kawula cilik. Ia gembira setelah dapat membeli pakaian sederhana itu. Kemudian ia mencari tempat guna tukar pakaian. Pakaian dari Surabaya, segera dibungkus bersama persediaan pakaian yang lain!
Guna melengkapi aksinya ini, ia kembali menggunakan cara seperti dahulu telah ia gunakan selama mengabdi di Mataram. Ia pura-pura pincang (rimpang), berjalan terpaksa ditopang dengan tongkat, di samping pura-pura gagu pula. Seperti pernah diceritakan dalam buku "Ratu Wandansari",bahwa sesungguhnya Madu Bala itu seorang laki laki tampan. Ketampanan Madu Bala ketika mudanya seimbang dengan ketampanan Yoga Swara. Akan tetapi guna keamanannya dalam menyelundup dan mengabdi ke Mataram, ia tak segan segan merusak wajahnya sendiri, sehingga wajahnya berubah banyak terdapat bekas luka. Sekarang dengan kaki rimpang dan ditopang ' tongkat, mengenakan pakaian sederhana. gagu pula, Madu Bala dapat leluasa mengadakan penyelidikan. Sebab orang menduga bahwa kakek ini seorang kakek petani dari pelosok, yang sedang mengunjungi kota.
Diam diam Madu Bala menjadi kagum berbareng memuji, setelah ia mengelilingi bukit dimana 'keraton Giri dibangun. Ternyata keraton itu dikelilingi oleh benteng pertahanan alam, dari pohon hidup yang rapat. Disamping itu ia melihat pula bahwa di dalam benteng pohon hidup tersebut
tampak bertumpuk-tumpuk batu besar maupun kecil, di samping balok balok kayu yang besar. Sebagai seorang yang telah kenyang makan asam
garam peperangan dan Siasat pertahanan, ia cukup tahu akan arti semua itu. Batu dan balok kayu itu merupakan senjata pertahanan yang cukup baik, untuk menyerang lawan dari atas.
Setelah meneliti lebih cermat lagi, di samping semua itu, tak jauh dari benteng pohon hidup itu, baik di bagian luar maupun bagian dalam, dibuat jagang (selokan lebar dan berair) yang di beberapa bagian ditutup sedemikian rupa. Sehingga bagi orang ,yang tidak teliti, akan celaka terperosok masuk ke jagang tadi.
Di samping semua itu, iapun melihat pula bahwa di beberapa tempat, tampak semacam gua-gua buatan. Pada pintu gua, di tempat terlindung. tampak beberapa orang perajurit bersenjata berjaga. Melihat adanya penjagaan ini, tentu saja ia dapat menduga, gua itu bukanlah gua perlindungan biasa. Akan tetapi gua itu tentu merupakan jalan rahasia di bawah tanah.
Madu Bala menggeleng gelengkan kepalanya melihat semua itu. Penyerbuan tidaklah gampang, sekalipun menggunakan pasukan yang cukup kuat. Sebab lawan yang menyerbu harus mendaki bukit itu. Sebelum lawan dapat berbuat sesuatu, pasukan Giri dari atas bukit dengan mudah dapat menyerang lawan. Bisa menggunakan batu, balok kayu maupun yang lain. Paling-paling lawan yang menyerbu hanya bisa membalas dengan bidikan anak panah. Akan tetapi anak panah itupun belum tentu bisa mengenakan sasarannya, karena pasukan Giri dapat berlindung.
Setelah cukup lama meneliti dan menyelidik, iapun menjadi agak bingung.
Bagaimana mungkin dirinya dapat masuk ke dalam keraton, kalau keraton Giri dilindungi serapat itu?
Ia menyelidik lagi lebih teliti, guna memungkinkan dirinya pada malam nanti dapat menyelundup ke dalam keraton.
Tetapi Madu Bala tak juga dapat menemukan jalan yang mudah, kecuali lewat pintu gerbang. Sebaliknya dengan lewat pintu gerbang itu, dirinya harus berhadapan dengan perajurit yang berjaga.
"Hemm. apa boleh buat!" gumamnya.
"Madu Bala bukanlah seorang penakut. Aku harus nekat masuk lewat pintu gerbang."
Setelah memperoleh kebulatan tekad seperti itu, dengan hati lega Madu Bala pergi. Ia pergi ke pinggir laut. Matanya memandang lepas ke laut yang membiru tanpa tepi. Akan tetapi justeru duduk di tepi laut ini, terbukalah kesadarannya, bahwa kalau sampai terjadi Sunan Giri membangkang, disamping pasukan lewat darat harus ada pula pasukan lewat laut. Perahu-perahu angkatan laut itu kccuali bisa dipergunakan sebagai perlindungan dan persediaan makanan. juga meriamnya bisa dipergunakan mengacaubalaukan lawan di mana perlu.
Walaupun lambat, waktu terus bergerak secara teratur. Matahari bergeser ke arah barat. Makin lama menjadi semakin rendah, lalu masuk ke peraduannya. Akan tetapi ia tak berani gegabah masuk ke dalam keraton Giri masih sore hari,akan menunggu sedikit malam.
Demikianlah, ketika sudah agak malam, Madu Bala meninggalkan pesisir itu untuk kembali menuju keraton Giri. Namun belum jauh melangkah, tiba-tiba saja Madu Bala berdiri terheran heran menyaksikan mahluk yang sedang melangkah ke arah tempatnya berdiri itu. Ia adalah seorang kakek, telah kenyang pengalaman-pengalaman pahit
maupun yang menyenangkan. Dan telah banyak pula mengalami segala sesuatu yang terdapat di dunia ini. Akan tetapi walaupun dirinya telah kaya pengalaman, namun baru malam ini sajalah ia menghadapi sesuatu yang mengherankan, hampir tak Percaya akan pandang matanya sendiri.
Seekor harimau tutul, dapat melangkah menggunakan dua kaki belakang, seperti manusia melangkah.
Mana bisa jadi?
Akan tetapi walaupun ia tak percaya, harimau itu melangkah secara tetap menuju ke arah dirinya sekarang berdiri. Ketika jaraknya tinggal kira-kira tujuh langkah lagi. harimau tersebut mendadak berhenti melangkah. Dan anehnya lagi, harimau tersebut bukannya mendekam seperti harimau yang lain, tetapi tetap berdiri seperti dirinya.
'Harimau tutul! Apakah maksudmu datang padaku? Aku bukan seorang pemburu, dan tidak suka pula daging harimau. Hayo pergilah dan jangan mengganggu aku!" kata Madu Bala, sedang sepasang matanya tidak berkedip, memandang harimau aneh itu. .
Harimau itu hanya berdiri tak bergerak dan tidak pula menjawab. Tiba-tiba Madu Bala terkekeh, lalu menggaruk-garuk kepalanya sendiri yang tidak gatal.
Ia mentertawakan diri sendiri. mengapa dirinya berubah seperti orang tolol?
Yang dihadapi hanyalah seekor harimau.
Mengapa diajak bicara seperti manusia?
Harimau ini tak perlu diajak bicara. Ia membungkuk, memungut sebutir batu kecil. Sambil mengamangkan batu itu, ia masih perlu untuk bicara,
"Harimau, lekaslah pergi. Jika tidak, kusambit mampus"
Akan tetapi celakanya harimau itu tetap berdiri di tempatnya. dan bergerakpun tidak. Hal ini membuat Madu Bala penasaran.
"Siuutt....." sebutir batu di tangan kanan telah disambitkan.
Batu itu melesat seperti tatit,di samping bertenaga kuat. Jangan lagi hanya seekor harimau. walaupun manusia, belum tentu dapat menghindarkan sambitan dalam jarak dekat ini.
Namun apa yang terjadi, membuat Madu Bala makin terbelalak. Harimau itu tidak nampak bergerak, sekalipun ia melihat secara pasti batu yang disambitkan mengenai secara tepat.
Mungkinkah harimau ini kebal oleh sambitannya?
'Heh-heh-heh!"
Madu Bala terkekeh. Akan tetapi dari nada suara ketawanya ini, bukanlah ketawa sewajarnya. Ketawanya itu mengandung nada yang geram dan penasaran.
"Bagus, agaknya engkau sengaja menggoda aku. Huh, ingin kulihat, apakah engkau sanggup menerima pukulanku jarak jauh?"
Begitu bicara Madu Bala sudah menggerakkan lengan kanan ke depan, menampar. Sambaran angin
yang cukup dahsyat sudah menyambar ke arah tubuh harimau. Akan tetapi, lagi-lagi Madu Bala terbelalak heran. Tamparannya tadi bukanlah tamparan biasa. Tetapi merupakan tamparan yang ampuhnya bukan main. Jangan lagi hanya seekor harimau, manusia yang tingkat kesaktiannya masih rendah, kiranya tak kuasa bertahan lagi, muntah darah dan terluka hebat.
Melihat kegagalan tamparannya itu, Madu Bala yang memang tidak sabaran itu menjadi lebih penasaran. Tiba-tiba saja ia mendorong menggunakan dua belah tangannya. Angin yang ke luar dari dorongan itu lebih dahsyat. Namun, lagi-lagi kekuatan dorongannya seperti lenyap tanpa bekas, entah ke mana. Harimau itu tetap saja berdiri di tempatnya, seakan sebuah arca harimau dari baja. Pada mulanya, ia memang hanya mau mengusir saja. supaya tidak mengganggu maksudnya menyelundup masuk ke dalam keraton Giri. Akan tetapi karena harimau ini membandel, malah pengaruh tenaga tamparan dan dorongannya lenyap tanpa bekas, hal ini memancing kemarahan Madu Bala yang memang mempunyai watak suka ugal-ugalan dan berangasan. '
"Kurang ajar! Agaknya engkau memang sengaja menantang aku, huh, rasakan ini!"
Sambil bicara ia sudah melompat maju, menerjang dengan dua tangannya. Tangan kirinya bergerak lebih dulu dengan jari melengkung seperti mencengkeram ke arah pundak. Namun tahu-tahu cengkeraman itu sudah berubah, menjadi tinju yang
menyambar dada. Tangan kanan tidak ketinggalan. Menyusuli serangan dengan cengkeraman ke arah lambung. Serangan Madu Bala yang terkenal sakti mandraguna ini, tentu saja di samping cepat sekali, juga amat berbahaya. Sedikit saja lawan lengah, dalam satu gebrakan tentu telah tewas.
Akan tetapi lagi-lagi Madu Bala terbelalak keheranan. Entah bagaimana caranya harimau itu bergerak. Namun yang jelas semua pukulannya hanya mengenakan angin.
Dasar Madu Bala seorang yang amat gemar berkelahi, apa pula jika dirinya berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Ia menjadi gembira sekali, karena lawan makin berat, akan memaksa dirinya supaya mengerahkan semua kekuatan dan kepandaiannya. Ia seperti lupa, bahwa yang dihadapinya sekarang ini hanya seekor harimau. Akan tetapi ia sudah terkekeh dan membentak,
"Heh-beh-heh, aku telah amat lama tak pernah berkelahi. Ototku kaku dan rasa badanku pegal sekali. Mari, mari kita berkelahi, harimau!"
Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Madu Bala sudah menerjang maju lagi. Kali ini ia tidak sungkan-sungkan lagi. Ia telah menerjang kepada harimau yang aneh, yang dapat berdiri dengan dua kaki Seperti manusia ini, dan ketika di terjang juga tidak melompat seperti harimau, akan tetapi melompat tidak bedanya manusia. Sekarang begitu kedua tangannya bergerak. Madu Bala sudah menyerang hebat sekali. Sambaran tangannya
menerbitkan angin pukulan yang dahsyat. Sedang gerak tangannyapun cepat luar biasa .
Madu Bala apa bila sudah tergugah kemarahannya, sudah tidak perduli akan keselamatan lawan lagi. Ia tidak main -main, bahkan serangannya sekarang ini, baru angin pukulannya saja sudah kuasa membunuh manusia berkepandaian lumayan. Dapat merobohkan pohon yang tidak begitu besar, merontokkan daun pohon yang tumbuh sekitarnya, dan dapat mematahkan dahan pohon pula. Maka dalam arena perkelahian sekarang ini, menderu derulah angin pukulan Madu Bala, dan daun-daun pohon pada rontok berikut ranting atau dahannya yang kecil.
Kalau saja yang dihadapinya sekarang ini harimau benar-benar, walaupun telah dilatih oleh seorang sakti seperti dewa, kiranya takkan kuat bertahan lama. Akan tetapi harimau yang dihadapi Madu Bala sekarang ini bukanlah harimau benar benar. Yang tampak sebagai harimau, hanyalah kepala yang sudah dikeringkan dan belulangnya melulu. Tetapi didalam belulang harimau ini, adalah seorang sakti mandraguna bernama Sindu. Kecuali Sindu telah berhaSil meyakinkan ilmu tingkat tinggi warisan Ki Ageng Purwoto Sidik. iapun secara tak sengaja memperoleh ilmu kesaktian yang tak ada taranya, dari Empu Supodriyo.
Berkat ilmu tingkat tinggi peninggalan Ki Ageng Purwoto Sdik maupun Empu Supodriyo ini, Sindu sekarang menjadi manusia baru. Menjadi manusia sakti mandraguna yang sulit diukur sampai di mana
tingginya. Keadaan Sindu sekarang ini, hampir mirip apa yang dialami oleh Jaka Pekik (Pangeran Pekik) di waktu muda. Dahulu, di mana Jaka Pekik berhasil mempelajari warisan ilmu Sunan Kalijogo yang bernama "Sabdajati Ngesti Rahayu" dan warisan Sunan Kudus yang bernama "Bajra Sayuta", menjadi seorang yang mengetahui kunci rahasia dari ilmu-ilmu sakti di dunia ini. Sehingga di saat lawan baru bergerak, sudah dapat menduga ke mana serangan orang (bacalah " Jaka Pekik").
Sekarang inipun dalam tubuh Sindu, seperti tumbuh indera tambahan yang membuat Sindu sudah dapat menduga ke mana arah serangan Madu Bala, begitu lawan bergerak. Akibatnya walaupun gerak serangan Madu Bala cepat luar biasa,'semua serangan dapat dihindari oleh Sindu secara tepat. Adapun angin serangan yang menyambar nyambar dahsyat itu, bagi Sindu sekarang tidak memberi pengaruh apa-apa.
Setelah lebih limabelas jurus serangannya yang bertubi-tubi tidak pernah dapat menyentuh tubuh harimau itu, dan anehnya harimau itu tidak menggeram, tidak mencakar maupun membalas serangannya, Madu Bala menjadi heran. Sungguh aneh harimau ini.
Di samping gerakannya cepat luar biasa, mengapa tidak membalas serangannya?
Madu Bala bukanlah seorang tokoh sakti yang bodoh. Malah bisa disebut sebagai seorang tokoh sakti yang cukup cerdik.
Akan tetapi sekarang ia tak habis mengerti,mengapa ada seekor harimau begitu jinak tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi?
Adakah seekor harimau sebagai binatang buas, tidak mau menggunakan kukunya yang tajam dan taringnya yang runcing itu?
Berhadapan dengan keanehan dari harimau yang dihadapinya ini, tentu saja sebagai seorang cerdik, menjadi curiga!
Bagaimanapun pandainya harimau menggunakan dua kaki belakang untuk berdiri seperti manusia, namun sekali waktu harimau itu akan menggunakan kaki bagian depan untuk menopang tubuhnya. Dan bagaimanapun terlatihnya seekor harimau, namun pembawaan sebagai binatang berkaki empat, di saat bergerak menghindari sambaran pnkulannya, akan melompat-lompat mengunakan empat kakinya itu. Akan tetapi harimau ini tidak begitu. Harimau ini, baik ketika menghindar maupun melompat, tetap menggunakan dua kaki dan berdiri pula seperti manusia.
Mendadak saja otaknya yang cerdik segera bisa menduganya. Kiranya harimau ini bukanlah harimau biasa. Tetapi ada seorang sakti yang membungkus tubuhnya, menggunakan kulit harimau. Apa bila tidak teliti, membuat orang takkan tahu keadaan yang sesungguhnya.
Sekalipun demikian, ia masih merasa ragu akan dugaannya itu. Untuk meyakinkan dugaannya ini, sambi terus melancarkan -serangannya yang bertubi-tubi dan berbahaya. ia mencoba untuk meneliti ke arah kepala harimau.
Malam ini tiada bulan di angkasa. Tetapi karena udara cerah, di angkasa bertebaran bintang dan tempat inipun merupakan tempat terbuka, maka keadaan tidak begitu gelap. Matanya yang sudah terlatih, akan dapat melihat dengan nyata dalam jarak yang cukup dekat.
Begitu meneliti sambil menyerang terus, tiba tiba saja Madu Bala melompat ke belakang sambil ketawa bergelak gelak.
"Ha-ha-ha-ha, engkau dapat menipu orang lain, akan tetapi tak mungkin dapat menipu aku. Hayo. janganlah bersembunyi di balik kulit harimau. Mari kita berhadapan secara terus terang, dan perkenalkan pula namamu sebelum mampus dalam tanganku!"
Tetapi Sindu yang bersembunyi di balik kulit harimau itu hanya berdiri tegak tidak menjawab.
Diam-diam Sindu heran, mengapa Madu Bala ini cepat bisa menduga setepat itu?
Jika di hari siang, memang tidak mengherankan. Sebab baik tangannya maupun kakinya, tidak seluruhnya tertutup oleh kulit harimau.
Akan tetapi di malam tanpa bulan seperti malam ini, mengapa Madu Bala sudah bisa mengetahui dalam waktu tak lama?
Sesungguhnya gampang saja alasan Madu Bala. Tokoh Gagak Rimang ini melihat bahwa mata harimau itu, jauh bedanya dengan mata harimau yang benar. Mata harimau, di waktu malam akan berkilauan. Akan tetapi mata harimau ini pudar, tidak bercahaya seperti harimau yang biasa.
Di samping itu, mengapa sebabnya lidah yang menjulur ke luar dari mulut yang terbuka itu kaku, tidak bergerak gerak?
Dan mengapa pula mulut itu tidak pernah bergerak?
Tiga keanehan ini masih ditambah lagi dengan gerakan kepala harimau itu yang kaku. Seakan lehernya tidak bisa ditekuk lagi.
Madu Bala menjadi semakin yakin, ketika lawan ini hanya berdiri tegak tidak bergerak maupun menjawab. Akan tetapi di samping itu, sesuai dengan wataknya, Madu Bala menjadi tambah marah dan merasa direndahkan. Tokoh Gagak Rimang ini menggeram keras. Bentaknya menggeledek,
"Hemm, engkau berani menghina Madu Bala, salah seorang tokoh Gagak Rimang? Bagus! Aku ingin melihat, sanggupkah engkau melawan tongkatku!'
Selesai mengucapkan kata-katanya, dalam tangan kanan Madu Bala sudah tergenggam tongkat baja hitam. Tongkat yang selama ini diandalkan oleh Madu Bala, dan tongkat ini pula telah banyak jasanya merobohkan tokoh sakti.
Kalau orang yang bersembunyi dalam kulit harimau ini sanggup menghadapi serangan-serangannya dengan tangan kosong, mungkinkah bisa melawan tongkatnya ?.
Dalam pada itu timbul maksudnya memperkenalkan nama dan kedudukannya dalam Gagak Rimang, untuk mempengaruhi lawan pula.
Ia ingin melihat, lawannya kaget dan segera minta maaf. ataukah tetap keras kepala?
Jika lawan memang keras kepala, kiranya tidak salah apa bila dirinya terpaksa membunuh lawan yang kurang ajar ini.
Tetapi ternyata dugaan Madu Bala salah lagi. Lawannya tidak terpengaruh, tidak menjadi gentar dan tidak pula membuka mulut.
"Huh, baik. Aku ingin memaksamu agar mau bicara!"
"Siut ...wutt... aihh!!"
Tongkat Madu Bala berubah menjadi hidup begitu bergerak dan memulai serangannya. Angin menderu-deru dan tongkat hitam itupun menyambar dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba Madu Bala menjadi kaget sendiri, dan diluar kehendaknya sudah berseru tertahan, sambil melompat mundur. Memang apa yang terjadi sungguh di luar perhitungan dan tampak aneh. Sambaran tongkatnya begitu cepat, rapat sekali, dan sulitlah lawan untuk bisa lolos.
Akan tetapi, mengapa hampir saja pergelangan tangannya dapat dicengkeram oleh lawan?
Saking heran dan kaget inilah membuat Madu Bala tak kuasa menahan mulutnya, sambil melompat mundur.
Namun peristiwa ini bukannya membuat Madu Bala turun semangat. Kemarahan dan penasarannya makin memenuhi dada. Dirinya sendiri merasa, bahwa berkat kebaikan hati dan bimbingan Pangeran Pekik, kesaktiannya makin menanjak tinggi. Ia menjadi malu kalau hanya berhadapan dengan seorang yang menyembunyikan diri dalam kulit harimau saja sampai mengaku kalah.
Mendadak saja ia merubah cara berkelahinya. Ia sekarang mencoba menggunakan Ilmu Bajra Sayuta dengan senjata tongkat. Walaupun sampai saat sekarang Madu Bala baru berhasil meyakinkan ilmu tersebut pada tataran yang ke empat, namun llmu Bajra Sayuta itu merupakan ilmu rahasia Gagak Rimang. Ilmu rahasia ajaran Sunan Kudus,
maksudnya diperuntukkan secara khusus kemuridnya terkasih, Raden Harya Penangsang.
Maka kalau tadi sambaran tongkatnya cepat sekali. sekarang menjadi lain. Sambaran tongkat itu tidak begitu cepat. Namun angin yang keluar dari tiap gerakannya, bertambah lebih dahsyat. Baru angin sambarannya saja sudah sulit dilawan orang. Lebih-lebih apa bila tongkat itu sampai berhasil memukul tubuh lawan, tentu akan membuat lawan tewas, dan sedikitnya terluka parah.
Sindu kaget berbareng heran melihat perubahan Madu Bala. Ia tidak berani sembrono dan berlompatan menghindar secara hati hati. Namun sambaran angin yang dahsyat itu. sulit untuk ditembus begitu saja. Membuat Sindu terdesak mundur. Sekalipun demikian, dalam mundur ini Sindu memperhatikan dan meneliti gerakan-gerakan tongkat Madu Bala. Ia takkan berani gegabah, sebelum dapat mempelajari dan mengetahui rahasia ilmu dari lawan.
Melihat lawan dapat didesak mundur oleh sambaran tongkatnya ini, Madu Bala gembira sekali. Ia menjadi semakin mantap di samping yakin. bahwa ilmu Bajra Sayuta ini pada akhirnya akan dapat mengalahkan lawan. Diam diam ia sudah bercita-cita, apa bila bisa merobohkan lawan ini. tak lupa ia akan membuka kulit harimau itu untuk mengenal siapakah lawan yang alot ini.
"Heh heh-heh! Jangan lari !" ejek Madu Bala sambil terkekeh.
"Jika engkau tetap tidak mau mengaku. tongkatku ini terpaksa harus memaksamu!"
Namun Sindu tidak juga menjawab.Ia terus berlompatan menghindarkan diri,di samping sekali kali menggerakkan tangannya mendorong. Oleh dorongan tangannya, Sindu dapat menahan sambaran tongkat Madu Bala, sehingga tak pernah dapat menyentuh.
Berkat ketelitiannya, dan berkat pengaruh dua macam ilmu sakti yang sudah "lebur" manunggal dalam tubuhnya, akhirnya dapat pula Sindu mengetahui rahasia dan ilmu yang sekarang dipergunakan lawan. Ternyata gerakan tongkat Madu Bala sekarang ini, terbagi dalam dua macam gerakan pokok. Gerakan itu membentuk bulat telor (lonjong) dan bulat penuh. Ternyata bahwa yang bulat telor itu kosong, ialah merupakan gerakan pancingan, sedang gerakan yang benan benar isi adalah yang bulat penuh. Tetapi sekalipun ia sudah mulai mengetahui rahasia dari ilmu lawan. Ia belum juga mau membalas serangan Madu Bala. Ia masih terus berloncatan mundur dan kadang pula melankan diri. Tampaknya Sindu seperti tak kuasa bertahan, sehingga Madu Bala semakin mantap dan terus mendesak. Maka dalam usahanya agar segera dapat mengalahkan lawan, Madu Bala makin berusaha keras. Untuk menambah semangatnya, ia membentak bentak' lantang mengimbangi gerakan tongkatnya. Pendeknya Madu Bala takkan puas sebelum dapat mengalahkan dan merobohkan lawan yang membuat hatinya amat penasaran.
Saking gembira merasa dapat memaksa lawan mundur dan terdesak Madu Bala menjadi tidak
sadar bahwa dirinya sudah terpancing menjauhi keraton Giri. Di samping itu tanpa terasa pula, Waktu sudah cukup panjang yang mereka pergunakan untuk berkelahi. Keadaan sekarang sudah dini hari, dan Madu Bala yang baru berhasil meyakinkan llmu Bajra Sayuta sampai tataran ke empat, terpaksa sudah mengulang sampai Tiga kali.
"Pengecut! Jahanam busuk! Jika engkau memang sakti mandraguna, jangan lari dan main mundur. Huh, inilah Madu Bala, salah seorang kepercayaan Gusti Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Aku ingin melihat, apakah kepalamu lebih keras dari pada tongkatku ini?" .
Sesungguhnya diam-diam Sindu geli. Ia bukan terdesak dalam arti kata sebenarnya. Ia mundur memang ada maksud maksud baik, yang sesungguhnya menguntungkan Madu Bala sendiri. Sindu memancing Madu Bala menjauhi keraton Giri, bukan lain karena Sindu merasa pernah mengabdi kepada Ratu Wandansari. Maka timbullah perasaannya yang tidak tega, apa bila membiarkan Madu Bala menyelundup masuk ke dalam keraton itu dan harus berhadapan dengan lawan berat. Ia cukup kenal akan watak Madu Bala yang suka ugal ugalan, sembrono dan berangasan. Maka orang seperti Madu Bala ini, tentu lebih suka tewas dalam perkelahian dari pada menggunakan otak untuk mencari siasat mencari selamat. Apa bila sampai terjadi demikian, Sindu menjadi khawatir kalau bekas junjungannya. Ratu Wandansari, menjadi amat menyesal kalau Madu Bala celaka di keraton Giri.
Dalam pada itu, Sindupun belum lupa akan peristiwa yang sudah agak lama berlalu, ketika berperang di atas laut melawan gabungan Semeru, Tuban, Kendeng yang dibantu oleh beberapa orang tokoh sakti yang lain. Ketika itu antara Madu Bala dan Rara Inten, berakhir dalam keadaan sama sama menderita rugi. tiada yang kalah dan tiada pula yang menang. Madu Bala dan Rara Inten sama sama menderita luka. Kalau sekarang Madu Bala sampai nekat berani menyelundup masuk dalam keraton Giri, mungkin sekali Madu Bala tak dapat ke luar lagi masih dalam keadaan bernyawa.
Mengapa?
Sindu tahu benar bahwa dalam keraton Giri sedang berkumpul beberapa orang tokoh sakti, yang sengaja datang untuk membantu Sunan Giri untuk meneruskan perjuangan melawan Mataram. Tokoh tokoh itu antara lain Rara Inten, Jalu Raga, Wanengboyo dan Pitrang seorang tokoh Semeru yang dicari dan dimusuhi oleh Lima Harimau Sempu. Di samping empat orang itu, musuh terdapat dua orang tokoh dari Pulau Bali dan seorang tokoh dan Madura. Tokoh dari Bali itu kakak beradik seperguruan, bernama Nyoman Kadis dan Wayan Regel.
Kakak beradik ini merupakan jago muda yang amat mahir berkelahi dengan senjata tombak pendek. Sedang tokoh dari Madura, bernama Abdul Malik yang mahir sekali menggunakan senjata golok.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di antara tujuh orang itu, Pitrang merupakan seorang tokoh yang telah lama berdiam di Giri ini. Adapun enam tokoh yang lain, secara berturut-turut datang pada tadi pagi. Kedatangan mereka di sambut Sunan Giri dengan senang hati. Dan itu pula sesungguhnya, mengapa Sunan Giri tidak mau bertemu dengan siapapun. Sebab Sunan Giri sedang sibuk menerima tamu tersebut.
Mengingat akan banyaknya tokoh sakti dalam keraton Giri itu, belum terhitung Sunan Giri sendiri dan para hamba sahayanya, maka merupakan tindakan yang begitu berani dan gegabah, jika Madu Bala sampai berani lancang masuk.
Begitulah sebabnya, Sindu memancing Madu bala menjauhi keraton Giri. Setelah Sindu memperhitungkan jarak keraton Giri, yang tak mungkin dapat ditempuh lagi oleh Madu Bala dalam waktu singkat, Sindu tidak mau mundur lagi. Di saat tongkat Madu Bala menyambar ke arah kepalanya. Sindu menekuk tubuhnya sambil menggeser kaki ke samping. Berbareng itu dengan gerakan tak terduga, ujung tongkat Madu Bala telah tertangkap kuat sekali.
Madu Bala kaget dan berusaha membetot tongkatnya.
Tetapi celaka!
Sekalipun ia telah mengerahkan tenaganya. ujung tongkat itu tak bisa lepas dari tangan harimau. Dalam pada itu. kaki harimau tersebut seperti tumbuh akar ke dalam tanah. Walaupun ia berkeras menarik senjatanya, usahanya tetap sia-sia.
Sindu membiarkan Madu Bala menguras seluruh kekuatannya guna menarik senjatanya. Kalau Madu Bala terkuras tenaganya, makin lebih baik lagi. Madu Bala harus berusaha memulihkan tenaganya, sehingga tiada kesempatan lagi untuk kembali ke Giri. Kalau toh nekat kembali ke Giri, kedatangannya di Giri sudah terlambat, sebab pagi sudah tiba.
Dalam penasarannya Madu Bala terus berusaha merebut senjatanya. Napasnya memburu, dadanya sesak, dan peluh membanjir membasahi tubuh. ,.
Diam diam Madu Bala kaget!
Dirinya sekarang sudah jauh bedanya apa bila dibanding dengan tiga empat tahun yang lalu. Di saat dirinya masih mengabdi di Mataram. Lebih lebih setelah dirinya memperoleh gemblengan Pangeran Pekik dan memperoleh pelajaran Ilmu Bajra Sayuta. Bukan saja dalam hal ilmu sakti dirinya sudah menanjak maju, tetapi tenaganyapun jauh menjadi kuat.
Namun mengapa sekarang ini dirinya tidak berdaya melawan seorang yang berlindung di dalam kulit ha.rimau?
Bukan saja dalam hal tenaga, tetapi semenjak berkelahi tadi, dirinya seperti Seekor tikus melawan kucing.
Dalam heran dan penasarannya ini, Madu Bala masih terus mengerahkan tenaganya untuk merebut kembali senjatanya .Akan tetapi celakanya usahanya tidak memperoleh hasil. Cengkeraman lawan itu, seakan merupakan cengkeraman raksasa yang bertenaga amat kuat. Sedikitpun lawan tidak tampak kendor cengkeramannya, dan sedikitpun tidak bergeming.
"Ahhh.....!" tiba tiba Madu Bala berteriak kaget.
Tubuhnya terhuyung-huyuug ke belakang dan wajahnya pucat, Secara tidak terduga sama sekali, dirinya seperti didorong oleh kekuatan dahsyat. Dan dirinya tentu sudah roboh menderita luka cukup parah; apabila dirinya tak cepat-cepat menggunakan tenaga sakti dari Ilmu Bajra Sayuta. Hingga tenaga tarikannya sendiri yang berbalik menjadi tenaga dorong yang berbahaya itu, tidak membuat Madu Bala celaka.
Akan tetapi sekalipun demikian. Madu Bala menjadi pucat. Sebab sekalipun ia dapat melawan pengaruh dorongan itu. agar tidak membuat dirinya celaka. namun masih kuasa pula membuat dadanya sesak sekali dan pandang matanya gelap. Untuk menghilangkan semua perasaan itu, tiada jalan lain kecuali harus duduk bersila dan mengatur pernafasan.
Melihat Madu Bala sudah duduk berdiam diri dan mengatur pernapasannya itu, Sindu menjadi lega. Ia mengamati Madu Bala sebentar.Lalu ia menghela napas pendek. Katanya dalam hati, "Hdmm. maafkan aku, Madu Bala. Terpaksa aku harus membuat engkau sedikit menderita, Akan tetapi aku bermaksud baik. Aku ingin menyelamatkan nyawamu dari bahaya. Dan semua ini, bukan lain mengingat kebaikan Gusti Ratu Wandansari terhadap diriku, dan demi persahabatanku dengan engkau. Mudah-mudahan dengan pengalamanmu kali ini engkau menjadi sadar, tidak terlalu membanggakan diri sebagai seorang sakti mandraguna. Tidak lagi menganggap dirimu tanpa tanding. dan pengalamanmu ini jadikanlah pelajaran. Selamat tinggal sahabatku."
Tak lama kemudian, tanpa suara Sindu Sudah melompat pergi. Dalam Waktu singkat sudah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi, entah pergi ke mana,
Sesungguhnya setelah Sindu muncul kembali dalam masyarakat, watak dan tabiat maupun perbuatan Sind-u sudah menjadi lain. Ia tidak lagi mau campur tangan lagi kepada urusan Kerajaan Mataram maupun hal-hal lain yang bersangkut paut dengan apa yang disebut kekerasan dan pertentangan. Ia lebih suka hidup bebas. Bebas dalam arti sesungguhnya akan tetapi tidak semau gue dan ngaji pupung (menggunakan kesempatan baik untuk kepentingan pribadi). ia malah tidak mau melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Dan yang dicita-citakan sekarang, kalau bisa dirinya ingin membuat orang lain senang. Rasa kasihnya kepada sesama hidupnya sekarang sudah mendarah daging dalam jiwa.
Ketika itu fajar telah tiba Madu Bala agak kaget ketika membuka matanya, di ufuk timur sudah merah membara. Tak lama lagi pagi akan tiba. Madu Bala bangkit dan bernapas dalam dalam. Dadanya sudah tidak Sesak lagi, di samping kekuatannya telah pulih seperti sedia kala. Untuk beberapa saat Madu Bala berdiri mematung.. Akan tetapi benaknya dipenuhi oleh raaa keheranan.
Siapakah tokoh sakti yang berlindung dalam kulit harimau, dan membuat dirinya tidak berdaya semalam?
Mungkinkah tokoh sakti tadi malam berpihak kepada Sunan Giri?
Kalau benar berpihak kepada Sunan Giri, sungguh akan menjadi laWan yang amat berat. Namun pendapatnya ini hanya sesaat saja lalu dibantah sendiri. Sebab apa bila benar tokoh itu memihak Sunan Giri, tentu dirinya telah tak bernyawa lagi dalam tangan tokoh itu. Maka ia kemudian
berpikir, bahwa agaknya ada apa-apanya, dirinya telah diusir oleh tokoh sakti itu meninggalkan Giri.
Akan tetapi bagaimanapun pula, rasa penasaran dan kemendongkolannya itu tak juga lekas mau diusir dari lubuk hatinya. Kemudian Madu Bala melangkah pergi menuju Surabaya dengan macam macam perasaan mengaduk dalam dadanya. Tentu saja setelah tiba di Surabaya, ia takkan mau membuka persoalan ini kepada Siapapun. Bagaimanapun ia akan merasa malu sekali, justeru pengalamannya di Giri merupakan pengalaman yang baru sama sekali dan amat tidak enak.
******
Esok pagi itu, patih Giri menghadap ke dalam keraton untuk melaporkan datangnya utusan dari Surabaya itu, di samping menyampaikan surat Pangeran Pekik. Ia diperkenankan masuk ke dalam keraton. Di mana pada pagi itu Sunan Giri bersama tamu tamunya sedang duduk setelah makan pagi. Di antara mereka yang hadir, hanya Rara Inten seorang saja yang perempuan. Perempuan ini duduk berdampingan dan diapit oleh Nyoman Kadis dan Wayan Regel. Agaknya sekalipun belum lama mereka kenal, hubungan antara Rara Inten dengan dua orang pemuda Bali itu sudah begitu akrab. Usia mereka memang sebaya dengan Rara Inten, di samping dua duanya memang bertubuh gagah dan berwajah tampan.
Sesungguhnya Rara Inten memang seorang wanita yang angkuh jika berhadapan dengan laki-laki. lebih lebih yang masih berusia muda. Akan tetapi entah mengapa sebabnya, Rara Inten agak tertarik kepada dua orang pemuda Bali ini. Soalnya dua orang pemuda ini sikapnya begitu sopan, dan begitu memperhatikan. Tentu saja sebagai seorang wanita angkuh, oleh sikap dua orang muda ini menjadi tertarik juga .Sebab seorang wanita yang angkuh tentu mengharapkan dimanjakan dan dipuja puja oleh pria.
Patih Giri itu tak kaget melihat Sunan Giri duduk bersama mereka. Sebab kehadiran para tamu yang bermaksud membantu itu, sepengetahuannya pula.
Ketika menampakkan diri, Sunan Giri segera melambaikan tangannya. Patih Giri itu setelah memberi hormat dengan sembahnya, lalu masuk ke dalam pendapa dengan berjalan menggunakan lutut (laku dodok).
"Surat apakah itu? Dan dari siapa?" tanya Sunan Giri penuh perhatian.
" Hamba menerima surat ini kemarin, dari dua orang utusan Kadipaten Surabaya. Tentang maksudnya, hamba tidak tahu."
"Buka, dan bacalah yang keras, agar semua tamu kita ikut mendengar dan tahu! "
Atas perintah itu, patih Giri segera pula melaksanakan. Dibukanya sampul surat itu, lalu dibaca agak keras. Akan tetapi surat tersebut menggunakan Bahasa Jawa Krama. Dan kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira demikian:
Kepada
Yth. Paduka Ingkang Sinuhun Susuhunan Giri di Keraton Giri .
Dengan hormat,
Kami Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Sesuai dengan perintah Paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung, Raja Mataram. raja agung, raja yang bijaksana dan sakti mandraguna.
Pembacaan patih Giri itu terhenti. karena Sunan Giri mendehem. Disusul oleh kata Rara Inten yang nadanya mencemoohkan,
"Huh, sombongnya!"
"Teruskan!" perintah Sunan Giri.
Ketahuilah bahwa semua bupati dan adipati yang semula memberontak, sekarang telah berhasil ditundukkan dan kembali mengabdi kepada Mataram. Dengan begitu. wilayah yang dahulu dikuasai oleh Pajang, hampir seluruhnva telah bernaung di bawah kekuasaan Mataram, dan mengakui pula kedaulatannya
Akan tetapi sikap Paduka Ingkang Sinuhun Sultan Agung terhadap Giri. berlainan dalam menghadapi, mengingat kenyataan sejarah yang berlaku semenjak Kerajaan Demak. Mataram yang jaya takkan berniat memusuhi Giri, dengan syarat apa bila Sunan Giri bersedia mengakui kedaulatan Mataram .
Lagi lagi Sunan Giri mendehem. Dan sekarang giliran Wayan Regel yang mendengus dingin,
"Huh! Enak saja bicara. Giri takkan takut menghadapi Mataram!"
"Benar!" sambut Nyoman Kadis tak mau ketinggalan.
'Pendeknya Giri takkan sudi mengakui kerajaan yang tidak syah, itu. Huh!"
"Ha-ha-ha-ha, siluman Pekik terlalu lancang!"
Jalu Raga ikut mengucapkan kata-katanya yang bernada geram.
Patih Giri mengamati Sunan Giri .Ketika Sunan Giri mengangguk, maka patih Giri meneruskan pembacaannya,
Pengertian baik seperti itu amat kami harapkan. Agar antara Surabaya dengan Giri tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun sebaliknya, apa bila Giri tetap berpendirian tidak bersedia mengakui kedaulatan Mataram, maafkan kami, Surabaya terpaksa akan menggempur Giri dengan semua kekuatan yang ada.
Agar Paduka Ingkang Sinuhun Susuhunan Giri dapat mempertimbangkan hal-hal di atas, maka kami memberi waktu tujuh hari. terhitung dari diterimanya surat kami ini. Apabila ternyata paduka tidak memberi khabar apapun ke Surabaya, dengan terpaksa dan rasa menyesal, Surabaya akan mengerahkan seluruh kekuatan menggempur Giri. Untuk itu. kami harapkan agar Giri bersiap-siaga menghadapi penyerbuan kami.
Adipati Surabaya.
Pangeran Pekik.
"Kurang ajar! Bedebah busuk!" tiba-tiba wanengboyo mendesis geram.
'Kapanpun Giri dalam keadaan Siap-siaga. Huh, agaknya iblis Pekik memang sudah bosan hidup!"
Kalau Wanengboyo menjadi amat geram mendengar isi surat tersebut, tidaklah mengherankan. Ia masih teringat pengalamannya dua tahun yang lalu, ketika dirinya ikut serta menghadang rombongan perahu Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik yang boyong ke Surabaya. Kalau nasibnya tidak baik, tentu dirinya sekarang sudah tinggal nama. Ketika itu dirinya sedang berkelahi melawan Adipati Uposonto. Tiba-tiba terdengarlah letusan bedil dalam jarak yang dekat. Akibat tidak menduga, maka Wanengboyo terluka pada lengan kiri. Sedang di samping itu, saking kagetnya dirinya tercebur ke dalam laut. Namun terceburnya ke laut ini malah menolong dirinya dari maut. Sebab kalau terus melawan, dengan terluka lengan kirinya, gerakan dan caranya berkelahi akan terpengaruh.
Pada mulanya Wanengboyo gelagapan pula begitu tercebur ke dalam laut. Untung sekali, dirinya dapat tertolong oleh sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh anak buah Kendeng. Dirinya dibawa menepi dan diselamatkan. Kesempatan ini menguntungkan Wanengboyo. sehingga memperoleh waktu, untuk merawat dan mengobati lukanya yang terasa amat perih. Sambil beristirahat ini, Wanengboyo mengamati keadaan. Kemudian perhatiannya amat tertarik, ketika melihat Rara Inten sedang berkelahi seru melawan Madu Bala. Semula ia berharap
agar Rara Inten dapat merobohkan Madu Bala. Namun kemudian ternyata harapannya tak terujud. Baik Madu Bala maupun Rara Inten kemudian tercebur ke dalam laut.
Makin lama nampak bahwa pihaknya mulai terdesak dan kocar-kacir. Tentu saja Wanengboyo tidak ingin mengorbankan nyawa sia sia. Karena harapannya tipis pihaknya dapat memperoleh kemenangan, maka terpikir oleh Wanengboyo untuk pergi saja.
Itulah sebabnya Wanengboyo yang sudah diduga orang tewas. sekarang muncul dan menyediakan tenaganya membantu Giri.
Para tokoh yang hadir itu semua marah. Semua geram dan semua penasaran. Tidak mengherankan kalau mereka kemudian mencaci-maki Pangeran Pekik. Yang oleh mereka dituduh sebagai manusia pengecut dan hina. Karena tergila-gila kepada Ratu Wandansari, maka sekarang tidak malu menjadi alat Mataram.
Sudah tentu tuduhan mereka ini ngawur belaka. Tuduhan yang tidak jujur, dan merupakan alasan yang dicari-cari. Di waktu terjadi penyerbuan Mataram ke Surabaya, maka Pangeran Pekik. para tokoh Gagak Rimang dan Surabaya, diperkuat oleh pasukan gabungan Surabaya dan Gagak Rimang, bertahan dengan gigih. Akibat perlawanan gigih, maka Surabaya sukar ditundukkan oleh Mataram. Baru kemudian Surabaya terpaksa tunduk kepada Mataram. setelah terjadi malapetaka yang menimpa penduduk Surabaya akibat dilanda air Sungai
Mas yang semula dibendung oleh pasukan mataram.
Untuk beberapa lama Sunan Giri membiarkan mereka ribut sendiri mencaci-maki. Setelah diperkirakan semua orang puas, berkatalah Sunan Giri,
'Terima kasih atas pembelaan kalian terhadap Giri. Hemm. memang sejak dahulu Giri bertekad akan melawan Mataram sampai titik darah penghabisan."
Sunan Giri berhenti sejenak. Lalu terusnya.
"Aku adalah keturunan syah dari eyang Sunan Giri, Raden Paku! Semenjak Kerajaan Demak berdiri, Sunan Girilah yang memperoleh kepercayaan para Waliyullah, mengesyahkan seseorang raja. Maka setiap orang yang tidak tunduk kepada keputusanku, itulah sesungguhnya orang yang tak tahu malu."
Sunan Giri mendehem Lalu terusnya,
"Mataram berdiri secara tidak ayah dan curang. Sebab Ki Pemanahan maupun Sutawijaya (Panembahan Senopati), bukanlah ketururan Raja Demak dan bukanlah orang yang mempunyai hak dan mewarisi kerajaan setelah Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, meninggal. Namun toh Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati itu, merebut kekuasaan atas hak Pangeran Pangiri sebagai keturunan satu-satunya yang syah dari Raja Demak. Ya, itulah alasanku mengapa dalam keadaan bagaimanapun, aku takkan sedia mengesyahkan dan mengakui kedaulatan Mataram. Sebab jelas Mataram tidak berhak menjadi raja dan kerajaan. Sebaliknya kalau keturunan Pangeran Pangiri yang memperoleh kesempatan menjadi raja, tentu aku akan cepat-cepat mengakui dan mengesyahkan."
"Bagus!" puji Abdul Malik yang sejak tadi berdiam diri.
"Hamba hargai sikap paduka yang tegas seperti ini. Perkenankanlah hamba maju paling depan apa bila Surabaya berani mengganggu Giri. Hamba ingin membuktikan sendiri, apakah Pangeran Pekik yang disohorkan orang sakti mandraguna itu, bukan hanya khabar bohong ?"
"Saya juga akan maju di depan menghancurkan orang Surabaya dan Gagak Rimang!" sambut Rara Inten dengan geram.
"Hamba tak ketinggalan !" sambut pula Wayan Regel.
"Hamba datang dari tempat jauh. Hamba datang dari Bali. tiada lain hanyalah ingin berjuang menentang Mataram yang serakah."
"Pendeknya hamba semua ini sedia berkorban untuk kejayaan Giri dan paduka ingkang sinuhun." kata Nyoman Kadis yang tak mau ketinggalan.
"Dan hamba percaya bahwa pada akhirnya, Mataram akan hancur oleh kekuatan Giri."
Sunan Giri mengangguk angguk sambil tersenyum, hatinya gembira sekali memperoleh dukungan mereka itu. Setelah menghela napas pendek, katanya.
"Terima kasih akan pengertian baik kalian terhadap Giri. Sayapun percaya bahwa Tuhan beserta kita. Mataram yang tidak mempunyai hak apapun, akhirnya akan memperoleh hukuman Tuhan."
Patih Giri yang sejak tadi berdiam diri, berkata,
"Gusti. perkenananlah hamba untuk membalas surat Pangeran Pekik itu, serta mohon petunjuk-petunjuk paduka."
"Menurut pendapat hamba surat itu tidak perlu dibalas," sahut Pitrang tiba tiba.
"Surabaya telah memberi waktu tujuh hari. Maka apa bila Giri tidak memberi balasan. berarti Giri telah siap sedia menghadapi Surabaya."
"Benar!" sambut Jalu Raga.
"Surat itu tidak perlu dibalas, dan mulai saat sekarang Giri mempersiapkan diri."
Walaupun di antara yang hadir hanya Rara Inten seorang yang perempuan. ia tak mau kalah semangat dengan yang lain. Katanya,
"Apa bila paduka ingkang sinuhun memberi perkenan, berilah hamba sepasukan perajurit yang terpilih. Hamba akan memimpin perajurit itu, untuk menyambut pasukan Surabaya di tapal batas. Dan apa bila diperkenankan, hamba malah akan langsung ke Surabaya dan menghancurkan Kadipaten Surabaya."
"Hamba sedia membantu gerakan itu!"
Nyoman Kadis cepat-cepat menawarkan diri.
Wayan Regel tidak mau ketinggalan. Iapun segera berkata,
"Gusti, hambapun mohon agar diperkenankan membantu. diajeng Rara Inten memukul Surabaya."
Rara Inten mengulum senyum dipanggil diajeng oleh Wayan Regel. Sebenarnya Rara Inten tahu bahwa usianya lebih tua dibanding dengan Wayan Regel maupun Nyoman Kadis. Namun demikian, Rara Inten tentu saja lebih senang dianggap lebih muda, dibanding dianggap lebih tua. Entah hal yang demikian ini hanya khusus bagi diri Rara Inten,
ataukah banyak pula perempuan yang berpendirian seperti Rara Inten. Yang tentu saja menjadi suka dan gembira sekali apa bila dianggap muda. Sebab Walaupun tidak dianggap mudapun, mengurangi jumlah umur itu merupakan sesuatu yang menyenangkan. Rara Inten tidak mau tua, sekalipun jumlah usia makin bertambah.
Di samping Rara Inten senang dianggap lebih muda, diam-diam ia tahu benar bahwa di antara dua orang sahabat barunya ini terdapat persaingan. Dua orang pemuda dari Bali ini saling bersaing dalam usahanya untuk selalu bisa berdekatan dengan dirinya.
Akan tetapi apa maksud mereka yang ingin selalu berdekatan itu karena tertarik dan jatuh cinta, ataukah ada maksud lain?
Namun bagi Rara Inten, hal ini amat menggembirakan. Ia memang suka sekali apa bila lakilaki "bertekuk lutut" di depan kakinya, menjadi penurut, seperti yang pernah terjadi atas diri Iskandar. Hingga kemudian sedia berkhianat terhadap perguruannya sendiri, dan sampai hati pula membunuh paman perguruannya yang bernama Fajar Prana. (baca Ratu Wandansari oleh pengarang yang sama ).
Sunan Giri mengamati mereka bergantian sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian.
"Sulit sekali aku lukiskan betapa rasa bahagia dan kegembiraanku saat sekarang, atas kesediaan kalian yang berjuang untuk Giri, Akan tetapi maafkan, menurut pendapatku. lebih baik kita berkumpul di Giri dan bertahan, dibanding dengan melakukan gerakan menyambut mereka. Hemm, bukannya aku kurang percaya akan kemampuan kalian. Bukan begitu! Tetapi mengingat akan keadaan Giri."
Sunan Giri berhenti, mengamati mereka beberapa saat lamanya, seakan mencari kesan. Lalu terusnya,
"Harap kalian ketahui, bahwa sejak eyang Raden Paku atau eyang Sunan Giri pertama, kemudian diganti oleh eyang Sunan Giri ke dua, dan seterusnya sampai aku memperoleh kepercayaan menduduki tahta Giri, selama itu Giri tidak pernah bermusuhan dengan pihak manapun, dan tidak pernah pula perang. Sebaliknya. juga tidak pernah ada pihak yang memusuhi maupun menyerang Giri. Nah, oleh kenyataan yang demkian itu, maka Giri tidak memiliki pasukan yang kuat. Jumlahnya terbatas. Sebab dianggap kurang perlu memiliki pasukan kuat dan berjumlah banyak."
Sunan Giri berhenti lagi. Beberapa saat kemudian barulah ia meneruskan,
"Oleh kenyataan yang ada pada Giri ini, maka apa bila kalian bermaksud mengerahkan sebagian pasukan ke tapal batas atau ke Surabaya, dengan demikian akan mengurangi jumlah pasukan yang sudah kecil itu. Ahh, janganlah kalian salah faham. Bukannya kami tidak percaya akan kemampuan kalian menghadapi Surabaya dan Gagak Rimang, berikut Mataram. Tidak sama sekali! Akan tetapi bagaimanapun, menurut pendapat saya, kiranya kita akan lebih kuat apa bila bersatu dan bertahan.Pertahanan yang kokoh, memungkinkan perlawanan yang lebih tepat. Dan Surabaya takkan berhasil menerobos benteng Giri."
Mendengar itu Rara Inten, Wayan Regel dan Nyoman Kadis saling pandang beberapa saat. Sesungguhnya mereka kurang puas akan pendapat Sunan Giri ini. Akan tetapi mengingat bahwa keterangan Sunan Giri itu benar, bahwa pasukan Giri dalam jumlah kecil, maka mereka tidak berani mendesak.
Sedang yang lain juga berdiam diri. Diam diam mereka tidak berani mengabaikan kekuatan Surabaya sekarang ini. Pasukannya amat banyak lebih lebih memperoleh bantuan penuh dari Gagak Rimang. Pasukan Surabaya dan Gagak Rimang sudah terlatih dalam perang. Mereka telah cukup pengalaman menghadapi lawan. Sebaliknya pasukan Giri yang tidak pernah berperang itu walaupun perajurit-perajurit yang berani dan melawan gigih. apa bila berhadapan dengan lawan lebih banyak mungkin turun semangatnya.
Di saat mereka tiada yang berkata kata ini, tiba-tiba terdengar suara lengking halus, jelas suara perempuan,
"Gusti Ingkang Sinuhun Sunan Giri. Hamba ingin menghadap paduka, akan tetapi ditolak oleh penjaga pintu gerbang. Padahal hamba datang ke mari, ingin menyumbangkan tenaga hamba bagi Giri."
Mendengar itu semua kaget dan saling pandang beberapa saat lamanya. Mereka yang hadir ini semua merupakan tokoh-tokoh sakti. Namun diam diam mereka kagum mendengar suara halus melengking tetapi terdengar jelas itu. sebab mereka tahu bahwa orang yang bersuara itu dari tempat
yang cukup jauh. Dan kalau orang itu ditahan di depan pintu gerbang, kiranya orang itu di sana. Baik Sunan Giri maupun yang lain, tahu benar bahwa orang Itu bukan orang sembarangan. Kiranya seorang tokoh sakti mandraguna.
Dan kalau benar orang itu datang dan akan memperkuat Giri, bukankah itu sungguh kebetulan?
Giri sekarang ini menghadapi gempuran Surabaya yang jelas kuat. Makin banyak tokoh sakti yang membantu, berarti lebin bisa dipercaya pula, Giri akan sanggup bertahan melawan Surabaya.
"Bagaimanakah menurut pendapat kalian?" tanya Sunan Giri, minta pertimbangan.
"Gusti, apa bila benar bermaksud baik. kiranya akan menguntungkan paduka apa bila kita sambut dengan tangan terbuka," jawab patih Giri.
'Benar! Hambapun setuju! Makin banyak tokoh sakti yang membantu Giri, tentu saja Surabaya takkan dapat berbuat apa-apa."
Abdul Malik memberikan pendapatnya.
"Akan tetapi, hamba berpendapat lain!" kata Rara Inten tiba-tiba.
"Dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, hamba mohon agar paduka ingkang Sinuhun lebih berhati-hati. Gusti, siapa tahu bahwa dia orang suruhan lawan yang bertugas memata matai kita? "
Mendengar itu Sunan Giri dan yang lain tampak ragu. Memang tidak bisa disangkal hal itu bisa terjadi. Lebih-lebih hubungan Pangeran Pekik dan Gagak Rimang amat luas. Demikian pula sahabatnya amat banyak.
Akan tetapi sesungguhnya, pernyataan Rara Inten itu tidak jujur. Yang terpikir dalam hati bukanlah kekhawatirannya tentang mata-mata musuh, melainkan ia takut apa bila kedudukannya sebagai pembantu Giri sekarang ini. disaingi oleh perempuan lain. Ia menginginkan dirinya sekarang ini menjadi Wanita satu-satunya. Dan selalu menjadi perhatian kawan-kawan seperjuangannya. Menjadi tumpuan harapan cita-cita, yang diperebutkan oleh tiap Iaki-laki. Ia justeru senang sekali apa bila laki-laki bertekuk lutut di depan kakinya, menangis, meratap dan merayu mengemis cinta.
"Kalau demikian, bagaimanakah baiknya?' tanya Sunan Giri. .
Cinta Sepanjang Amazon Karya Mira W Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk

Cari Blog Ini