Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 6

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 6


Para tokoh itu tidak bergerak memberikan pendapatnya.
Di saat itu terdengar lagi suara lengkingan halus dan jelas, dari luar pintu gerbang,
"Gusti Ingkang Sinuhun Sunan Giri. Apakah paduka tidak mendengar teriakan hamba yang ingin menghadap dan membantu Giri menghadapi Surabaya?"
Mereka saling pandang. Kecurigaan mereka menjadi makin tebal ketika orang yang bermaksud membantu Giri itu, telah mengetahui keadaan dengan jelas. Padahal surat Pangeran Pekik baru saja diterima.
Mengapa orang luar sudah mengetahui seluk beluk itu?
Kiranya tidak mungkin kalau orang itu bukan mata-mata musuh.
"Sebaiknya paduka ingkang sinuhun menerima kedatangan Orang itu di pendapa agung saja," kata
Rara Inten yang sudah menemukan akal.
"Sedang hamba semua ini, menyamar sebagai pelayan dan pengawal. Dengan demikian, apa bila dia benar matamata, dapat berbuat apakah dia di depan hamba semua ini?"
Sunan Giri mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Siasat dan akal Rara Inten itu dirasa justeru lebih tepat dan lebih tertib.
"Bagus sekali pendapatmu, anak Inten. Baiklah. aku akan menemui orang itu di pendapa agung. Sekarang bersiaplah kalian menyamar sebagai pengawal dan pelayan. Dan engkau patih, perintahkan kepada Abdul Ali agar menerima kedatangan tamu itu baik-baik! Sesudah itu, bersama engkau, bawalah dia menghadap aku di pendapa agung."
Patih Giri memberikan sembahnya dan menyanggupkan diri. Dan sesudah minta diri, patih Giri itu bergegas pergi ke bagian depan.
Di depan pintu gerbang keraton Giri itu, sedang terjadi ketegangan. Perajurit Giri yang berjaga di pintu gerbang keraton itu tunduk kepada perintah, yang tidak gampang-gampang memberi ijin orang masuk untuk bertemu Sunan Giri. Maka dengan senjata terhunus, mereka sudah mengurung, mengancam dan siap untuk mengeroyok.
Sebaliknya orang yang ingin memaksa masuk dan bertemu dengan Sunan Giri itu berdiri dengan tenang. Namun wajah perempuan ini amat menyeramkan. Wajah yang jelek bukan main, seperti wajah setan atau iblis. Sepasang mata perempuan ini amat tajam. Bibir tebal yang tertutup rapat itu, tiada senyum sedikitpun yang menyungging. Hidungnya terlalu besar, dan sepasang alis yang menaungi mata itu terlalu tebal seperti alis laki-laki. Pendeknya, wajah perempuan ini jelek sekali dan menyeramkan. Wajah perempuan yang sama sekali tidak mempunyai daya tarik dan selera bagi lakilaki, karena hampir seluruh muka itu penuh titik titik hitam bekas penyakit.
Akan tetapi walaupun wajah perempuan ini tidak menarik sama sekali, terlalu jelek dan menyeramkan, namun apa bila perhatian orang dialihkan ke bagian leher ke bawah, pendapatnya akan menjadi lain. Leher itu bentuknya baik sekali, merupakan leher yang jenjang, berkulit kuning dan halus. Dadanya membusung, tanda kewanitaannya begitu menonjol, bentuk tubuhnya ramping padat dan berisi, dan jari jari tangannya berkulit kuning halus, runcing menarik.
Melihat keadaan ini. orang cepat bisa menduga, bahwa agaknya perempuan ini menjadi jelek wajahnya oleh sesuatu penyakit. Buktinya kulit maupun bentuk tubuhnya menarik sekali, dan kiranya sebelum wajah perempuan ini menjadi jelek, dia merupakan seorang wanita cantik jelita dan menggiurkan.
Mungkinkah berubahnya wajah menjadi jelek itu, karena perempuan ini dulu sebagai wanita yang angkuh dan terlalu membanggakan kecantikannya?
Yang banyak kali membuat lakilaki terhina oleh ucapan maupun tingkah lakunya?
Sebagai akibat dari keangkuhannya, tingkah laku dan ucapannya yang terlalu menghina itu. membuat ada sebagian
laki laki sampai sakit hati?
Yang akibatnya mencelakakan perempuan ini, sehingga wajahnya berubah menjadi jelek dan menyeramkan seperti itu.
Entahlah apa yang terjadi Sesungguhnya, orang tidak bisa menduga-duga. Yang jelas perempuan ini jelek sekali dan tidak menarik selera laki-laki,
Perempuan jelek ini,setelah menebarkan pandang matanya ke sekitarnya, mengamati mereka yang mengurung, mendengus dingin.
"Hemm, apa kerja kalian di sini? Hi-hi-hik, akan mengeroyok aku? Walaupun kalian berjumlah banyak, mana mungkin kalian dapat menahan aku masuk dan menghadap Sunan Giri? Hayo, sebelum aku menjadi marah dan menghajar kalian semua. Cepat laporlah ke dalam dan katakan aku mau menghadap."
"Huh, perempuan jelek yang lancang mulut!" bentak salah seorang perwira perajurit dengan mendelik.
"Sangkamu dengan gertak dapat membuat kami takut? Kami semua ini adalah petugas yang melaksanakan perintah atasan kami. Jika engkau keras kepala, mau menerobos masuk dengan paksa, kami terpaksa turun tangan. Bagi perajurit, mati dalam tugas bukanlah apa-apa. Perajurit yang mati dalam tugas berarti pahlawan yang akan dihargai oleh mangsa."
"Hi-hi-hik, Siapa bilang kamu akan mati sebagai pahlawan? Jika kamu mati dalam tanganku berarti kamu mati konyol, tahu? Maka sebelum aku marah, sekali lagi aku nasihatkan, lekaslah, melapor ke dalam jangan membuat aku marah"
"Bedebah busuk yang keras kepala!' bentakan nenggeledek ini keluar dari mulut seorang perwira yang berewok, wajahnya menyeramkan.
"Kurang ajar !" lengking perempuan jelek ini
yang menjadi marah..
"Sekali lagi engkau berani membuka mulut sembarangan, akan aku hancurkan kepalamu!"
Perwira berewok itu manakah menjadi takut oleh ancaman itu?
ia malah menjadi marah, justeru sekarang ini dirinya di depan ratusan anak buahnya. Tentu saja ia menjadi malu kalau disangka
oleh anak buahnya takut menghadapi perempuan jelek ini. Maka dengan langkah lebar ia sudah maju mendekati,
untuk melayani perempuan jelek yang sikapnya menantang itu.
( Bersambung Jilid 7 )
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 7
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
(Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 7
******
AKAN TETAPI tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari dalam pintu gerbang,
"Hai perajurit, mundur semua! Jangan kamu bersikap kurang ajar terhadap tamu paduka ingkang Sinuhun. Hayo beri jalan, dan hormati penuh disiplin!"
Teriakan itu membuat perwira berewok maupun yang lain kaget. Mereka melihat kedalam . Begitu melihat Abdul Ali, para perwira itu memberikan hormatnya, dan para perajurit cepat cepat mundur. Petugas penerima tamu yang bernama Abdul Ali ini kaget, hatinya terasa seram, ketika menyaksikan wajah perempuan yang jelek bukan main. Wajah yang penuh bintik bintik hitam seperti bekas terserang penyakit cacar. Namun demikian ia melangkah maju memenuhi tugasnya. Di depan perempuan itu, ia membungkuk memberikan hormatnya. Perempuan jelek inipun membalas hormat orang. Lalu terdengar pertanyaannya yang nadanya angkuh dan dingin:
"Hemm, apakah saudara datang menyambut aku?.
"Ya!" sahut Abdul Ali tetap bersikap hormat.
"Saya ini petugas penerima tamu. Saya melaksanakan perintah gusti patih, untuk menyongsong e h.... ngga,,bagaimanakah saya harus memanggil? Nona.. ataukah nyonya.......?
"Hem...aku masih seorang gadis. Tetapi kalau perlu. Boleh pula di panggil nyonya."
"ohh... ehh, ya, Saya mendapat perintah untuk menyongsong nyonya..... eh, nona, masuk ke dalam."
" Apakah Paduka Ingkang Sinuhun Sunan Giri bersedia menerima kedatanganku ?"
"Nyonya. eh, nona, saya hanya melaksanakan perintah gusti patih."
Perempuan jelek ini cekikikan geli, mendengar sebutan terhadap dirinya dirangkap, nyonya juga nona.
"Jika panggil aku, salah satu saja. Boleh pilih, menyebut nona atau nyonya hi-hi-hik."
Abdul Ali membelalakkan matanya sejenak. Diam diam orang tua ini menjadi khawatir dan menduga-duga.
Mungkinkah perempan yang wajahnya sudah jelek menyeramkan ini, masih ditambah pula tidak waras lagi?
Kalau benar demikian, ia harus secepatnya menyelesaikan tugasnya. Berhadapan dengan orang tidak waras terlalu lama hanya akan menyulitkan dirinya sendiri.
"Kalau begitu, eh..... lebih baik aku panggil nona saja... Tetapi, siapakah nama nona...,.?'
"Aku? Hi hik hik namaku Ulam Sari."
"Ulam Sari?"
"Ya, Mengapa?"
"Ehh..... tidak apa-apa....."
Tetapi Sekalipun mulutnya mengucapkan kata-kata itu, hatinya makin menjadi berdebaran. Makin kuat dugaannya bahwa perempuan ini benar-benar tidak waras. Sebab namanya saja begitu aneh.
Semua perwira dan perajurit itu tidak ada yan membuka mulut, sekalipun diam-diam mereka geli .
Abdul Ali segera mengajak perempuan jelek yang bernama Ulam Sari ini, masuk lewat pintu gerbang. Ia diiringkan langsung menghadap kepada patih Giri.
Patih Giri inipun terkesiap begitu berhadapan dengan Ulam Sari.
Benarkah perempuan wajah jelek ini, yang tadi lengking suaranya bisa didengar dari dalam keraton?
Menduga bahwa perempuan ini seorang sakti mandraguna. maka dengan tersenyum dan sikap yang menghormat, patih Giri mempersilahkan duduk pada kursi di depannya.
"Selamat datang, nyonya.."
"Lebih baik panggil saya nona, atau namaku, Ulam Sami " potong Ulam Sari cepat-cepat
Patih Giri membelalakkan matanya sejenak. Sulit juga untuk menaksir usia perempuan yang jelek dan hitam ini. Kalau melihat wajahnya, wajah yang penuh bintik hitam dan berkerut-kerut, perempuan ini sudah berumur lebih duapuluh tahun. Akan-tetapi kalau memperhatikan leher ke bawah,melihat dada yang membusung, kulit jari tangan yang masih halus, kiranya masih muda.
"Baiklah. Jika begitu, lebih baik jika aku panggil anak Ulam Sari."
"Terima kasih, gusti," sahut Ulam Sari.
"Hamba datang dari tempat yang amat jauh. Dan hamba
seorang perempuan yang belum mengenal tata krama dalam keraton. Maka, sudilah gusti memberi ampun, jika hamba ini kurang mengerti tata santun."
"Tidak apalah anak, paduka ingkang sinuhun telah memerintahkan padaku untuk menyambut, kemudian mengiringkanmu masuk ke dalam."
"Terima kasih, gusti."
"Anak berasal dari mana ?"
"Hamba berasal dari desa Klutuk, wilayah Belambangan."
"Aihh, Belambangan? Kalau begitu, apakah engkau ini salah seorang murid tokoh sakti Belambangan yang bernama Menak Kunjono atau Aras Pepet?"
"Ahh, tentu saja hamba telah mengenal dua orang tokoh sakti Belambangan itu. Tetapi sungguh menyesal sekali, manakah hamba memperoleh kesempatan menjadi murid beliau? Hamba seorang bodoh, dan hanya mendapat pendidikan dari orang tua sendiri."
Tentu saja patih Giri ini tak gampang mau percaya, bahwa perempuan jelek bernama Ulam Sari ini seorang perempuan bodoh. Lengkingannya yang halus dan dapat didengar dari dalam keraton, membuktikan bahwa perempuan muda ini bukanlah perempuan sembarangan. Tentu seorang tokoh sakti, dan murid tokoh sakti pula.
"Anak, jauh jauh kau datang ke mari. Apakah maksudmu yang sebenarnya? "
"Maksud hamba tak lain ingin membantu Giri menghadapi bahaya dan Surabaya."
Ulam Sari menjawab dengan mantap.
"Gusti. maksud hamba
ini didorong oleh kesadaran, bahwa sekarang ini, yang belum berhasil ditundukkan oleh Mataram. tinggal Belambangan dan Giri saja. Mengingat kenyataan itu. dan sebagai kawula Belambangan. maka timbul maksud hamba untuk berjuang melawan Mataram, membantu Giri"
Patih Giri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi diam-diam orang tua ini menjadi makin curiga dan hati hati.
"Baiklah anak. dan terima kasih atas perhatian anak terhadap Giri. Memang merupakan kewajiban setiap orang yang sadar akan keserakahan Mataram, harus melawan sampai titik darah penghabisan."
"Gusti benar. Lebih-lebih jika diingat, bahwa Raja Mataram itu, tidak mempunyai hak menjadi raja. Mataram bukan keturunan Demak. Dan Mataram berdiri, atas pengkhianatan dan pemberontakkannya yang berhasil terhadap Pajang. Bukankah begitu?"
Patih Giri ini mengerutkan alisnya mendengar itu.
Diam-diam dalam hatinya bertanya, perempuan ini memang kenal akan sejarah, ataukah memang ada yang menyuruh berkata seperti itu?
Kecurigaannya bahwa perempuan ini mata-mata musuh makin menjadi tebal. Untuk menghindarkan tanggung jawab yang lebih besar, kiranya lebih tepat apa bila perempuan ini secepatnya dibawa menghadap Sunan Giri.
Memperoleh pikiran demikian, patih Giri berkata,
"Terima kasih, anak, bahwa engkau memiliki kesadaran yang begitu tinggi terhadap Giri. Baiklah! mari ikutlah aku menghadap ingkang sinuhun!"
"Terima kasih," sahut Ulam Sari yang segera bangkit pula mengikuti patih Giri.
Dua orang ini segera melangkah perlahan melewati jalan yang halus, yang menghubungkan dengan pendapa agung.
Jalan ini dihias dengan tanaman bunga-bunga Mandakaki, yang bunganya putih dan merah. Pohon bunga yang tingginya lebih tiga meter ini, membuat jalan kecil ini menjadi sejuk. '
Tak lama kemudian, mereka membelok ke suatu gang yang agak luas, dibatasi oleh dinding rumah. Tiba-tiba,
"Brukkk . . ., .! "
Seorang laki-laki jangkung, dari sebuah gang telah menabrak Ulam Sari keras sekali. Ulam Sari terhuyung ke belakang selangkah, tetapi orang jangkung itu terhuyung ke belakang beberapa langkah. Baru berhenti, ketika punggungnya menabrak tonggak batu dipinggir gang.
"Kurang ajar kau! Apakah matamu sudah buta?" bentak patih Giri sambil mendelik.
"Gusti, ampunilah hamba," sahut laki-laki itu sambil memberikan sembahnya, kemudian melompat dan kembali lewat gang yang tadi sudah dilewati.
"Anak, maafkan dia tadi, yang lari tidak hati hati," 'kata patih Giri.
Namun diam-diam, patih Giri ini terkejut. Tubrukan tadi begitu keras, dan merupakan tubrukan yang disengaja. Namun ternyata tamu ini hanya terhuyung selangkah saja ke belakang, sedang yang menabrak malah seperti layang-layang putus. Padahal patih Giri tahu, bahwa yang sengaja menabrak tadi bukan orang sembarangan. Orang itu adalah Pitrang, yang tentu saja telah ditugaskan untuk mencobanya.
Ulam Sari yang belum merasa kenal dengan Pitrang bersungut sungut dan mengomel perlahan,
"Sungguh kurang ajar. Orang berlarian Seperti tanpa mata, menubruk, orang seenak perutnya sendiri."
"Ya, tetapi sudilah anak memberi maaf" patih Giri membujuk.
"Mungkin karena ia tergesa tadi, anak."
Mereka meneruskan perjalanan menuju pendapa agung. Di mana Sunan Giri telah siap sedia menerima kedatangan Ulam sari. Mereka tidak bicara. Benak masing masing digoda oleh peristiwa yang baru terjadi. Patih Giri kagum melihat tubrukan Pitrang yang keras tetapi malah membuat Pitrang terpental sendiri.Masih begitu muda, tenaga saktinya demikian hebat. Tentu saja akan menguntungkan Giri apabila Perempuan ini benar-benar membela Giri. Namun kecurigaannya bahwa Ulam Sari ini seorang mata-mata musuh masih amat tebal.
Sebab, Mengapa
Ulam Sari sudah tahu apa bila Giri diancam oleh Surabaya?
Sebaliknya Ulam Sari diam-diam menjadi tidak senang atas terjadinya peristiwa yang baru terjadi. Kiranya apa yang terjadi bukan hanya secara kebetulan, tetapi memang disengaja. Tubrukan tadi
amat keras dan bertenaga kuat sekali. Untung bahwa perempuan ini tidak pernah lengah. Begitu melihat sikap para perajurit penjaga pintu gerbang
yang tidak memberi kesempatan masuk, perempuan ini sudah curiga.
Perjalanan selanjutnya menuju pendapa agung tiada gangguan lagi. Pendapa agung itu begitu luas dan tiang maupun penglarinya terukir-ukir amat indahnya. Sunan Giri telah duduk diatas kursi kebesaran, terbuat dari kayu yang terukir-ukir indah sekali, beralas kulit kambing domba. Di belakang Sunan Giri, duduk bersila tiga orang laki laki. Mereka ini Abdul Malik, Wanengboyo dan Jalu Raga. Tiga orang tokoh ini menyamar sebagai pengawal, untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan.
Diam-diam baik Sunan Giri dan tiga tokoh itu kaget, begitu melihat perempuan wajah jelek sekali bersama patih Giri menuju pendapa.
Mungkinkah perempuan ini yang tadi mengirimkan suaranya?
Wanengboyo dan Jalu Raga yang sudah luas pengalaman itu, diam-diam menduga-duga, siapakah perempuan ini?
Apa bila diteliti, jelas bahwa perempuan wajah jelek ini masih amat muda.
Tetapi mengapa sudah dapat mengirimkan suaranya sedemikian jelas dan terdengar dari dalam keraton?
Selama mereka berkelana dan menghadapi banyak tokoh sakti, mereka hanya mengenal beberapa nama perempuan sakti yang masih muda usia. Yang menonjol di antara perempuan muda. hanyalah Rara Inten, Ratu Wandansari, dan Gadis Berbaju Kuning yang tidak dikenal namanya. Akan tetapi tiga orang wanita ini, semua wajahnya cantik jelita. Tidak sejelek orang ini.
Mungkinkah wajah yang jelek ini bukan wajah aselinya, ataukah memang muncul seorang tokoh perempuan muda sakti mandraguna yang wajahnya jelek bukan main?
Menduga demikian, diam-diam mereka telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan.
"Gusti, sudilah paduka berhati-hati. Hamba belum pernah mengenal perempuan yang wajahnya jelek seperti ini," bisik Jalu_Raga dari belakang Sunan Giri.
Sunan Giri mengerti akan peringatan Jalu Raga. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi tidak menjawab.
Ketika itu, patih Giri dan Ulam Sari sudah mulai masuk dalam pendapa agung, mendekati tempat Sunan Giri duduk dengan langkah menggunakan lutut. Sunan Giri mengamati wajah jelek itu tak berkedip. Namun lengan yang kanan sudah terangkat dan melambaikan tangan itu, memberi tanda supaya langsung mendekat.
Patih Giri dan Ulam Sari telah duduk di atas lantai beralas permadani dengan bersila penuh hormat. Kemudian patih Giri berkata,
"Gusti, nona Ulam Sari datang dari Belambangan, mohon menghadap kepada paduka."
"Ahhh, kau bernama Ulam Sari dan berasal dari Balambangan?" tanya Sunan Giri.
Ulam Sari memberikan sembahnya. jawabnya penuh hormat;
"Gusti benar. Hamba datang dari Belambangan dan bernama Ulam Sari.."
"Benarkah engkau datang ke mari dan akan membantu Giri?"
"Ya, gusti. Memang hamba sengaja datang dari jauh untuk membantu Giri menghadapi Surabaya."
"Mengapa engkau tahu?"
Sunan Giri mengangkat alisnya. curiga.
Agaknya Ulam Saripun merasa dicurigai oleh tuan rumah. Jawabnya perlahan,
"Gusti, ada sebabnya hamba menjadi tahu bahwa Giri terancam oleh Surabaya."
Diceritakan oleh Ulam Sari bahwa dalam perjalanannya sekarang ini, secara tidak sengaja, telah mendengar pembicaraan Merak Kunjono dan Aras Pepet. Dimana dua orang tokoh Belambangan itu membicarakan tentang telah dikirimnya utusan dari Mataram ke Surabaya. Pangeran Pekik mendapat kepercayaan Raja Mataram yang kalau perlu harus segera menghancurkan Giri.
"Demikianlah gusti, sebabnya hamba tahu akan ancaman itu," kata Ulam sari menutup penuturannya .
Akan tetapi penuturan Ulam Sari itu bukannya membuat Sunan Giri dan yang lain lega, malah menjadi makin curiga. Dalam menghadapi ancaman Surabaya ini, tentu saja tidak gampang-gampang percaya keterangan orang. Lebih lebih, Ulam Sari merupakan seorang asing, yang belum pernah dikenalnya.
Namun kecurigaan ini ditutup rapat-rapat. Tanya Sunan Giri.
"Mengapa sebabnya engkau datang
ke mari dan akan membantu Giri? Apakah engkau sudah merasa pasti bahwa Giri takkan kuasa melawan Surabaya?'
Terbelalak sebentar mata perempuan jelek ini, mendengar pertanyaan itu. Tentu saja ia tak dapat mengetahui hal-hal yang belum pernah teriadi. Lebih lebih ia tidak mengetahui kekuatan Giri yang sesungguhnya.
"Gusti! ampunilah hamba," sahut Ulam Sari.
"Bukannya hamba bermaksud bahwa Giri takkan kuasa menghadapi Surabaya. Akan tetapi terdorong eleh rasa kesadaran bahwa sekarang. tinggal Giri dan Belambangan saja yang belum berhasil dijangkau oleh tangan serakah Mataram. Mengingat keadaan itu, gusti, sebagai salah seorang hamba Belambangan, wajib untuk mencurahkan tenaga dan segenap perhatian agar dapat menghalau Surabaya."
'Hemm, terima kasih atas kesadaranmu," kata Sunan Giri.
"Namun tentu saja engkaupun menyadari, bahwa antara aku dan engkau belum pernah kenal. Maka tentu saja engkaupun tahu, mengapa sebabnya aku menanyakan banyak hal kepadamu. Semua itu.bukan lain untuk mencegah hal-hal yang tidak aku harapkan."
"Ya, hamba sadar, gusti. Dan sudah sepantasnya pula, paduka tak gampang percaya kepada orang. Sekalipun demikian, gusti! hamba sedia bersumpah di depan paduka, bahwa hamba yang menghadap paduka, dilambari cita cita ingin membela Giri dan Belambangan. Hamba akan melawan
Mataram sampai akhir hayat hamba, untuk menuntut balas."
"Aih...... menuntut balas karena apa?"
"Hamba telah yatim piatu. Orang tua hamba gugur dalam perang membela Kabupaten Pasuruan. Itulah sebabnya, hamba akan menuntut balas kepada Mataram, Hamba takkan dapat mencapai maksud hati itu, tanpa berjuang membantu Giri."
Tergerak hari Sunan Giri, mendengar bahwa perempuan muda ini sudah yatim piatu 'sebagai korban perang. Tetapi Sunan Giri masih bertanya lagi,
"Ulam Sari, mengapa engkau memilih Giri, dan tidak mencurahkan perhatian kepada Belambangan ?"
"Gusti, mengingat bahwa Belambangan terlalu jauh dengan Mataram, dan Belambangan mempunyai benteng alam yang kuat tak mudah ditembus, maka hamba percaya bahwa Mataram takkan berani menyerbu Belambangan dalam waktu singkat. Sebaliknya hati hamba yang panas dan ingin segera berhasil membalas sakit hati itu, tak dapat disabarkan lagi."
Jalu Raga, Wanengboyo dan Abdul Malik yang duduk di belakang Sunan Giri saling sentuh penuh arti. Diam-diam tiga orang ini tidak senang mendengar ucapan-ucapan Ulam Sari, yang dianggap begitu sombong.
Apa saja yang diandalkan perempuan ini sehingga merasa yakin tenaganya berguna bagi Giri menghadapi Surabaya?
Di saat itu muncullah seorang wanita cantik dan muda, mengenakan pakaian yang mirip sekali
dengan pelayan keraton Giri. Perempuan muda ini membawa penampan kecil, dan dalam penampan itu tampak sebuah tempat kapur sirih terbuat dari emas. Di belakangnya mengikuti dua orang muda yang mengenakan pakaian pelayan keraton pula. Dua pemuda itu membawa penampan pula, berisi hidangan minuman dan makanan ringan. Sekilas pandang tiga orang ini memang seperti para pelayan keraton Giri. Akan tetapi kalau diperhatikan langkahnya yang ringan tak bersuara, baru ketahuan bahwa tiga orang ini bukanlah pelayan yang biasa.
Kenyataannya memang demikian. Perempuan muda dan cantik itu adalah Rara Inten. Sedang dua orang pemuda di belakangnya adalah Nyoman Kadis dan Wayan Regel. Seperti telah direncanakan semula, mereka memang menyamar sebagai pelayan keraton Giri.
Begitu melihat pelayan perempuan membawa tempat kapur sirih, Sunan Giri melambaikan tangan kanan, memberi isyarat agar pelayan itu langsung mendekat. Ulam Sari memalingkan muka ke arah pelayan itu. Tiba-tiba saja mata Ulam Sari mengamati Rara Inten tak berkedip. Tidak ada yang tahu mengapa sebabnya, namun jelas pandang mata itu mengandung sesuatu yang sulit diduga orang.
"Silahkan engkau makan sirih dahulu, Ulam Sari," kata Sunan Giri halus.
Sesungguhnya Ulam Sari tidak biasa makan sirih sekalipun ia perempuan. Akan tetapi perempuan ini tertarik sekali perhatiannya kepada pelayan perempuan yang membawa penampan dan tempat
kapur sirih ini. Maka sambil mengangguk,ia menjawab,
"Terimakasih gusti, atas sambutan paduka yang menyenangkan ini"
Akan tetapi ketika tangan Ulam Sari sudah terulur untuk mengambil tempat kapur sirih di atas penampan ini, mendadak tempat kapur sirih itu melesat ke atas seperti mempunyai nyawa, membal cukup tinggi hampir menyentuh penglari pendapa.
"Ihhh....!" perempuan jelek yang bernama Ulam Sari ini tampak kaget,kemudian ia menengadah ke atas melihat tempat kapur sirih itu yang tiba tiba melesat ke atas.
"Eh apakah tempat kapur sirih ini mempunyai nyawa?' gumamnya sambil berkedip-kedip seperti keheranan.
Rara Inten yang menyamar sebagai pelayan itu, tersenyum mengejek. Ia memang memperoleh tugas untuk mencoba dan menguji.
Benarkah perempuan yang menawarkan Tenaga untuk membantu Giri ini, bisa diandalkan kepiawaiannya dan bukan hanya karena berlagak sombong saja?
"Hemm, engkau takkan dapat mengambil tempat kapur sirih " kata, Rara Inten dalam hati.
Diam-diam perempuan ini segera menyusuli tenaga lontarannya dengan dorongan yang terarah. Ia menghendaki agar tempat kapur sirih itu melayang ke arah Jalu Raga. Dengan demkian, tentu perempuan ini akan menjadi malu, lalu tidak berani lancang mulut lagi di depan Sunan Giri.
Akan tetapi apa yang terjadi kemudian, diluar dugaan Rara Inten dan semua orang yang menyaksikan. Ulam Sari hanya melambaikan tangannya ke arah tempat kapur sirih itu sambil memanggil,
" Hai tempat kapur sirih, jka engkau benar bernyawa, sekarang juga, datanglah engkau padaku."
Yang terjadi kemudian cukup aneh dan mengherankan. Tempat kapur sirih itu seperti mendengar perintah Ulam Sari sudah meluncur turun. Namun mendadak tempat kapur sirih itu seperti tertahan oleh sesuatu dan berputaran. Sejenak kemudian meluncur turun perlahan, kemudian berhenti di udara seperti tergantung. Namun yang terjadi seterusnya, tempat kapur sirih itu sekalipun perlahan, meluncur terus ke arah Ulam Sari.
' Hi hi hik, akhirnya engkau datang juga padaku tempat kapur sirih," gumam Ulam Sari sambil cekikikan.
Semua orang yang menyaksikan terbelalak kagum, dan diam diam mereka menjadi kaget. Sebab semua orang tahu apa yang terjadi dalam Waktu singkat tadi.
Rara Inten lebih lagi. Ia tidak hanya kaget, tetapi juga penasaran. Ia tadi sudah mengirimkan tenaga dorongannya yang kemudian dilanjutkan agar tempat kapur sirih itu melayang ke arah Jalu Raga. Maksudnya dengan perbuatan ini, Ulam Sari akan menderita malu dan tidak berani sombong lagi.
Namun yang terjadi tak dapat terulang lagi. Rara inten tinggal kecewa dan menyesal, justeru bukan perempuan jelek itu yang menderita malu,
malah dirinya sendiri yang harus menderita. kalau saja tidak takut kepada Sunan Giri, dan harus menurutkan hati sendiri yang panas, kiranya Rara Inten sudah menerjang maju untuk menguji perempuan jelek itu dengan pukulan dan senjata. Maka yang bisa dilakukan sekarang, Rara Inten harus menyabarkan diri dan mundur.
Bagi Abdul Malik yang belum lama kenal dengan Rara Inten, tentu saja peristiwa itu, tidak begitu mengejutkan. Akan tetapi bagi Wanengboyo dan Jalu Raga, apa yang baru terjadi benar-benar membuat dua orang ini kaget berbareng heran. Tentang ketinggian ilmu dan kepandaian Rara Inten, baik Wanengboyo maupun Jalu Raga mengakui, takkan mampu menandingi.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan. mengapa perempuan jelek ini agaknya malah lebih tinggi tingkatnya dibanding Rara Inten?
Melihat kegagalan Rara Inten itu, Wayan Regel dan Nyoman Kadis menjadi amat penasaran. Wayan Regel yang membawa minuman itu cepat-cepat maju menghampiri Ulam Sari. Begitu tiba di depan Ulam Sari. ia berkata halus,
"Silahkan minum, nona."
Tangan kanan memegang cangkir dan tangan kiri menuangkan air jeruk panas dari cerek perak. Asap yang tipis dari air jeruk panas itu membubung ke atas. Akan tetapi sungguh mengherankan, bahwa asap tipis itu tidak mau buyar dan menghilang. Asap tipis dari air panas itu, berkumpul menjadi satu yang lalu membentuk bola. Sungguh merupakan pertunjukan yang amat menarik.
"Aihh, bagus," puji Ulam Sari sambil cepat cepat menerima cangkir itu.
Diam-diam Wayan Regel sudah merasa pasti, bahwa perempuan jelek ini takkan mungkin dapat menerima cangkir itu, dalam keadaan asap tipis masih dapat dikendalikan. Maka begitu melepaskan tangannya, Wayan Regel telah tersenyum mengejek merendahkan Ulam Sari.
Akan tetapi mendadak saja senyum mengejek pada bibir Wayan Regel itu menghilang dan Wajahnya menjadi pucat. Mata pemuda ini terbelalak, seakan tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
Begitu cangkir tersebut beralih ke tangan Ulam Sari, air yang semula panas itu, tiba-tiba saja sudah membeku seperti es. Perempuan jelek itu menatap kepada Wayan Regel sambil menegur,
"Ihh, saudara, aku tidak suka minum es. Aku lebih suka minum air panas."
Sambil berkata. Ulam Sari segera mengembalikan cangkir itu. Tetapi, begitu cangkir kembali di atas penampan, es itu sudah mencair kembali dan mengepulkan uap tipis. Ternyata usaha mempermalukan dan menguji Ulam Sari, mengalami kegagalan lagi. Wayan Regel malah menderita malu, seperti yang sudah diderita oleh Rara Inten.
Namun Nyoman Kadis takkan mau percaya sebelum mencoba. Ia segera maju menghampiri Ulam Sari sambil berkata,
"Silahkan nona mencicipi hidangan ini."
Nyoman Kadis menyodorkan penampan yang dibawanya. Di atas penampan itu terdapat sebuah
piring, dan didalamnya berisi kacang goreng. Akan tetapi ketika jari tangan Ulam Sari sudah hampir menyentuh penampan, tiba-tiba saja terjadi lagi keanehan. Kacang goreng yang tidak bernyawa itu, tiba-tiba saling berloncatan ke atas.
"Uahh.. bagus, kacang bisa berloncatan," seru Ulam Sari sambil mengamati kacang goreng yang melesat ke atas itu, sehingga piring itu sekarang kosong sama sekali.
Ulam Sari kemudian membuka dua telapak tangannya diberikan di depan dada seperti orang sedang berdoa. Mendadak saja, kacang yang berloncatan tadi seperti saling berebut meloncat ke arah telapak tangan Ulam Sari. Dalam waktu singkat saja, semua kacang goreng itu memenuhi dua telapak tangannya.
"ah...... mana mungkin aku dapat makan kaCang sebanyak ini? '
Baru saja kata-kata itu selesai diucapkan, keanehan terjadi lagi. Tahu-tahu kacang itu seperti berebut meloncat kembali ke dalam piring. Akan tetapi di antara kacang goreng itu, agaknya memang ada yang nakal. Kacang itu tak mau kembali ke piring. Yang dua biji meloncat langsung ke lubang hidung Nyoman Kadis.
"A.... cing aaa...... cing......!" tanpa bisa dicegah lagi Nyoman Kadis sudah bersin, untuk mengusir biji kacang yang masuk dalam lubang hidungnya.
Melihat itu Sunan Giri menjadi khawatir, kalau ujian yang menemui kegagalan ini, menimbulkan aktbat yang tidak diharapkan. Ia sudah mengangkat tangannya. Katanya halus,
"Anak Ulam Sari, maafkan apa yang baru terjadi, sehingga membuat engkau repot."
"Tidak mengapa gusti. dan hamba malah kagum dibuatnya," sahut Ulam Sari sambil berusaha tersenyum.
Akan tetapi karena bibirnya tebal, senyuman itu tidak menarik dan malah lebih menyeramkan.
"Ternyata di Giri banyak terjadi keanehan, yang tak mungkin bisa hamba temukan di tempat lain."
"Ya, ya, sudahlah."
Sunan Giri yang tidak ingin memperpanjang pembicaraan sudah berusaha mencegah.
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu membela Giri. Akan tetapi anak, kalau benar engkau bertekad akan membantu Giri, apakah kiranya engkau sedia diuji oleh pengawalku?"
"Diuji tentang apa, gusti?"
"Tentang olah krida yuda. Bukankah apa yang bakal kita hadapi, akan berperang melawan musuh?"
"Ihh.... apakah hamba paduka suruh berkelahi? Bagaimanakah kalau ada salah seorang yang terluka?"
"Tentu saja perlu diatur sebaik baiknya, agar tidak ada salah seorang yang menderita. Sebab perkelahian ini hanya ujian, maka cukup dalam beberapa gebrakan saja."
"Kalau kehendak gusti demikian, hamba sedia. Lalu bagaimanakah caranya mengatur?"
"Apa bila salah seorang telah roboh atau terpukul. itu pertanda kalah."
"Hamba setuju!"
Jalu Raga yang diam-diam penasaran, telah memberanikan diri menguji yang pertamakali. Katanya,
"Gusti, perkenankanlah hamba yang menguji pertama kali."
'Baiklah! Tetapi ingat, hanya ujian. Masing masing harus pandai membatasi diri."
"Apakah harus di pendapa ini?" tanya Ulam
Sari.
"Sebaiknya di halaman depan pendapa."
Sunan Giri telah bangkit dari tempat duduknya, diikuti oleh Abdul Malik, Jalu Raga dan Wanengboyo. Adapun patih Giri bersama Ulam Sari mengiringkan di belakang. Setiba di halaman depan, Jalu Raga telah melompat lalu berdiri tegal dengan kokoh. Ulam Sari mendengus dingin, lalu melangkah, kemudian berdiri di depan Jalu Raga dengan Sikap seenaknya saja.
"Engkau akan menguji aku dengan apa?" tanya Ulam Sari.
"Hemm. cukup dengan dua tanganku ini " sahut Jalu Raga dingin.
"Silahkan !"
"Jaga seranganku!"
Begitu memperingatkan, Jalu Raga telah melompat dan menerjang ke depan. Gerakannya cukup gesit. Sambaran anginnya kuat sekali, disusul oleh cengkeraman jari tangan yang membentuk seperti cakar garuda. Ia justru telah mempunyai nama harum sejak lama. Maka apa bila cengkeraman itu berhasil bagian tubuh lawan yang .tercengkeram tentu akan remuk hancur.
Sunan Giri yang menonton, agak terkesiap dan khawatir sekali, ketika melihat Ulam Sari hanya berdiam diri, dan masih berdiri seenaknya.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah bocah perempuan ini sengaja membunuh diri di tangan Jalu Raga?
Bagaimanapun, setelah menyaksikan kepandaiannya dalam menggagalkan percobaan yang dilakukan Rara Inten, Nyoman Kadis dan Wayan Regel, Raja Giri ini menjadi tertarik. Bantuan Ulam Sari ini, apa bila sampai terjadi peperangan, akan besar sekali artinya bagi Giri.
"Ihh...... luput... !"
Sunan Giri terbelalak kagum dan hampir tidak percaya kepada yang baru terjadi. Ternyata, sekalipun tampaknya tidak siap siaga, serangan dan cengkeraman Jalu Raga gagal. Yang tampak Ulam Sari hanya miringkan tubuhnya. Namun ternyata Jalu Raga terhuyung-huyung ke depan dan hampir saja terjerembab.
Kegagalan ini membuat Jalu Raga malu sekali. Wajahnya berubah agak merah. Dadanya berkembang kempis, pertanda marah dan penasaran. Ia menggeram seperti harimau, dan tiba tiba saja tubuhnya yang pendek itu sudah kembali melesat ke depan. Dua tangannya bergerak cepat sekali saling susul. Ssmbaran anginnya dahsyat sekali, sehingga sebelum cengkeraman dan pukulan datang, sambaran anginnya sudah menyerang lebih dahulu.
Abdul Malik dan Wanengboyo yang telah tahu kesaktian Jalu Raga, merasa pasti bahwa sekali ini, perempuan jelek itu akan roboh dengan menderita luka berat. Mereka cukup maklum akan watak Jalu Raga. Jika sudah bangkit kemarahannya akan
menjadi lupa segalanya. Sekalipun tadi Sunan Giri telah mengatur tata tertib ujian ini, bisa jadi Jalu Raga akan melanggar.
"Hekk..... blukk......!"
Semua yang menonton terbelalak. Sungguh aneh yang terjadi. Ternyata bukan Ulam Sari yang roboh di tanah, malah Jalu Raga sendiri yang roboh dan meringis. Sebab tidak terduga sama sekali, pantatnya terbanting keras dan membentur batu yang menonjol di pinggir tempat ujian.
Apa yang terjadi memang di luar dugaan semua orang. Ketika Jalu Raga menggunakan dua tangannya memukul dan mencengkeram, .,Ulam Sari bersikap tenang sekali. Di saat sambaran tangan kiri Jalu Raga hampir berhasil mencengkeram dadanya, dan tangan kanan hampir memukul pundaknya, Ulam Sari mendahului menggerakkan dua tangan seperti kilat cepatnya. Gerakan tangan itu di barengi dengan gerakan kaki kanan yang menendang ke arah perut Jalu Raga.
Dalam usahanya menyelamatkan diri, Jalu Raga menghindarkan cengkeraman Ulam Sari ke arah pergelangan tangannya. Dan secepat kilat ia telah menarik tangannya itu guna memukul kaki lawan. Tetapi sungguh di luar dugaan Jalu Raga. Ternyata gerakan kaki Ulam Sari tidak terduga cepatnya. Tiada jalan lain lagi kecuali ia menangkis dengan perutnya, sehingga terdengarlah suara hekk..... dan Jalu Raga jatuh kantap, pantatnya menumbuk batu dan sakit sekali.
Dengan jatuhnya Jalu Raga ini sesuai dengan
perjanjian, telah dianggap kalah. Maka sunan Giri segera memerintahkan untuk mundur. Perintah ini tak mungkin bisa dibantah, sekalipun hatinya amat penasaran dan sakit. Sebab bagaimanapun, ia belum merasa puas. Kekalahan yang dialami sekarang ini bukan karena dirinya tidak mampu melawan perempuan jelek ini. Akan tetapi hanya kurang hatihati, ia tadi terpancing oleh Siasat lawan, sehingga perutnya' tertendang.
Sunan Giri sudah hampir memerintahkan Abdul Malik untuk menguji Ulam Sari. Akan tetapi belum juga terucapkan, tiba tiba terdengar teriakan Rara Inten,
"Gusti, perkenankanlah hamba yang menggantikan sebagai penguji."
Belum juga lenyap suara teriakan Rara Inten, perempuan ini telah berdiri di gelanggang, menghadapi Ulam Sari. Melihat kelancangan Rara Inten ini, sesungguhnya Sunan Giri kurang senang. Namun begitu, ia terpaksa menekan perasaan dan menyabarkan diri. Ia terpaksa mengangguk. katanya,
" Baiklah! Engkau boleh menguji tetapi harus ingat bahwa apa yang kaulakukan hanya sekedar penguji. Salah seorang sudah bisa dianggap kalah, apabila terpukul atau jatuh."
"Hamba akan melaksanakan perintah Paduka, gusti," sahut Rara Inten sambil memberikan sembahnya.
Kemudian perempuan cantik ini sudah membalikkan tubuh menghadapi Ulam Sari. Sepasang mata Rara Inten menyala. Bibirnya yang merah merekah itu membentuk senyum, akan tetapi senyum mengejek dan kuasa membuat orang yang melihat bergidik.
Untung sekali bahwa ketika itu Rara Inten berdiri membelakangi Sunan Giri. Hingga Sunan Giri tidak dapat menyaksikan sikap Rara Inten sekarang ini. Kalau saja tahu, kiranya Sunan Giri akan mencegah dan menolak Rara Inten bertindak sebagai penguji.
Memang setelah ia menderita malu di depan Sunan Giri tadi, yang kalah bertanding mengadu tenaga sakti, diam-diam Rara Inten penasaran dan mendendam. Timbullah hasratnya untuk menebus kekalahannya pada kesempatan lain. Ia takkan puas sebelum berhasil membuat malu Ulam Sari. Sungguh kebetulan ia menyaksikan Jalu Raga dalam dua gebrakan telah dikalahkan oleh Ulam Sari. Maka ia memperoleh kesempatan untuk melaksanakan maksud hatinya.
Tidak mengherankan apa bila Rara Inten menjadi penasaran dan sakit hati. Ia adalah seorang yang berwatak tinggi hati. Yang angkuh dan tidak senang apa bila ada wanita lain yang dapat melampaui tingkat kepandaiannya. Lebih-lebih setelah ia merasa berhasil meyakinkan ilmu sakti warisan Ki Ageng Selokaton. Ia membanggakan ilmu tangan kosong bernama Cakar Setan.
"Hai perempuan jelek!" hardik Rara Inten.
"Janganlah engkau menjadi bangga dan merasa diri tanpa tanding, setelah engkau berhasil mengalahkan Jalu Raga!"
"Hi-hihik...,. ! "
Ulam Sari yang jelek wajahnya itu, tiba-tiba cekikikan. Kemudian terdengar Jawabannya yang dingin,
"Aku memang perempuan
jelek. Hi-hi-hik, bukan hanya engkau seorang yang menyebut aku jelek. Orang lainpun begitu juga, memandang aku dengan muak. Hi-hik, apakah salahnya orang berwajah jelek? Dan apakah kebaikannya perempuan berwajah cantik tetapi hatinya penuh bulu? Hai Rara Inten! Engkau menantang aku berkelahi dengan apa?"
Betapa kaget Rara Inten, sulit dilukiskan mendengar perempuan jelek ini sudah mengenal namanya. Akan tetapi rasa kagetnya itu hanya sebentar saja, karena segera ingat bahwa namanya memang sudah amat terkenal. Tidak mengherankan, apa bila banyak orang sudah mengenalnya. sebaliknya dirinya sulit untuk dapat mengenal setiap orang. Oleh karena itu Rara Inten mendengus dingin. Jawabnya,
"Hai perempuan jelek ! Engkau boleh memilih menghadapi aku. Dengan tangan kosong, ataukah dengan senjata?"
Sunan Giri kaget dan cepat berteriak.
"Hai Rara Inten! Perkelahian ini hanyalah ujian, dan tidak boleh menggunakan senjata. Siapa yang terpukul atau roboh di tanah, dia itulah yang dianggap kalah." .
Sebelum Rara Inten sempat menjawab, Ulam Sari sudah mendahului,
"Gusti ingkang Sinuhun, ampunilah hamba yang hina ini. Perkenankanlah kali ini, hamba melayani Rara Inten sampai puas. Baik dengan senjata maupun tangan kosong."
"Mengapa begitu?"
Sunan Giri kaget.
"Gusti, apabila kehendak Rara Inten, bekas ketua Perguruan Tuban ini. yang ingin menguji
hamba sampai puas paduka cegah, hamba khawatir apa bila kemudian hari menimbulkan hal-hal yang tidak hamba harapkan. Padahal baik hamba, Rara Inten, maupun yang lain,berkumpul di sini hanya dengan satu tujuan yang mulia. Sedia mengorbankan nyawa yang hanya selembar ini, berjuang melawan Mataram sampai titik darah pengahabisan."
Ulam Sari berhenti, kemudian menatap Rara Inten. Sejenak kemudian, Ulam Sari berkata lagi, tetapi sekarang ditujukan kepada Rara Inten,
"Hai Rara Inten, aku tahu, jika aku memilih melawan engkau dengan tangan kosong, engkau tentu akan mengandalkan kepada ilmu tangan kosongmu, yang bernama Cakar Setan dan beracun itu. Sebaliknya apa bila aku memilih berkelahi menggunakan senijata, aku tahu bahwa engkau akan menggunakan cambuk kerbau yang kaubanggakan itu! Hi-hihi-hik, benar tidak?"
Mendengar kata kata sindiran Ulam Sari ini. orang-orang yang sudah mengenal Rara Inten menjadi kaget bukan main.
Perempuan ini, mengapa pengetahuannya sudah begitu luas?
Bukan saja telah tahu nama Rara Inten sebelum Rara Inten sendiri memperkenalkan nama. Sekarang ternyata, perempuan jelek inipun sudah mengetahui dengan jelas baik senjata maupun ilmu tangan kosong yang diandalkan Rara Inten. .
Kalau orang orang yang sudah mengenal kaget, lebih lagi Rara Inten. Perempuan jelita ini mendelik marah. Rara Inten berusaha untuk mengenal,
siapakah perempuan jelek ini?
Melihat sepasang mata Rara Inten yang mendelik marah itu Ulam Sari cekikikan lagi.
"Hihihik, engkau kaget Rara Inten, bahwa aku tahu tentang senjata cambuk kerbaumu dan ilmu Tangan Kosong Cakar Setan itu? Hi-hi-hik, mengapa engkau kaget? Bukankah baik ilmu tangan kosongmu yang beracun maupun ilmu cambuk kerbaumu, banyak ditakuti orang? Hemm, Rara Inten! Sayang sekali aku bukan seperti orang yang lain. Belum mencoba sudah ketakutan setengah mati. Sekarang sungguh kebetulan sekali. Aku bakal kau uji. Dengan demikian aku bukannya mendengar, tetapi mengalami. Hayo Rara Inten, engkau boleh pilih sendiri. Engkau akan menguji aku dengan tangan kosong ataukah dengan cambuk penggembala itu? '
"Setan! Mampuslah!" lengking Rara Inten sambil menerjang maju, menggerakkan dua tangannya.
Jari-jari tangannya mengembang setengah melengkung. Begitu menerjang maju dua tangan itu bergerak amat cepat menyambar nyambar untuk mencengkeram dan menusuk bagian tubuh lawan yang lemah. Ilmu Tangan Kosong Cakar Setan ini. bukan saja gerakannya amat cepat, tetapi juga angin yang keluar dari telapak tangan itu dahsyat sekali, dan mengandung racun yang jahat pula,
"Ihhh.... hebat.. aii...... luput...!" seru Ulam Sari sambil menghindarkan diri.
Tetapi seruan itu jelas, mengandung ejekan sedemikian rupa, Justeru sambaran cengkeraman jarijari tangan Rara Inten yang cepat bukan main itu, tidak berhasil menyentuh ujung baju Ulam Sari.
Tentu saja Rara Inten yang wataknya tinggi hati dan angkuh ini, dadanya menjadi seperti meledak setelah semua serangannya gagal. Saking marah dan penasaran, gerak serangannya tidak tanggung-tanggung lagi. Pendeknya ia tidak perdull lagi akan tujuan perkelahian ini, yang hanya merupakan ujian.Sambaran cengkeramannya sekarang menjadi lebih cepat ke arah bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dalam marahnya. Rara Inten menjadi cepat lupa akan tugasnya. Lupa bahwa Sunan Giri telah membatasi, bahwa perkelahian yang berlangsung sekarang ini, bukanlah perkelahian yang sesungguhnya. Apa bila salah seorang telah terpukul atau terjatuh, sudah dianggap sebagai pihak yang kalah.
Jalu Raga, Wanengboyo, Pitrang dan Abdul Malik menjadi agak khawatir menonton perkelahian ini. Sebaliknya Nyoman Kadis dan Wayan Regel mengangguk-anggukkan kepalanya dan diam diam memuji, akan kecepatan gerak Rara Inten yang cantik jelita itu. Nyatalah bahwa Rara Inten memang seorang perempuan perkasa. Dan kalau mereka yang menghadapi dan diuji seorang demi seorang, belum tentu mereka sanggup bertahan dalam waktu lama.
Melihat sambaran angin yang dahsyat, gerak tangan Rara Inten yang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian tubuh Ulam Sari yang mematikan itu, baik Sunan Giri maupun patih Giri menjadi amat khawatir sekali. Entah mengapa sebabnya, setelah mengetahui gerak-gerik Ulam Sari yang
selalu menunjukkan kebesaran jiwanya, dan Juga memiliki ilmu kepandaian yang begitu tinggi, mereka menjadi tertarik dan merasa sayang.
Kalau dalam dua gebrakan saja telah berhasil mengalahkan Jalu Raga. bukankah orang semacam Ulam Sari ini amat dibutuhkan oleh Giri saat sekarang?
Dengan demikian akan dapat diandalkan dalam menghadapi para tokoh Gagak Rimang maupun Surabaya.
"Hai, hai, Rara Inten! Ini bukan perkelahian Sungguh-sungguh! Ingat. engkau hanya menguji calon kawan seperjuanganmu!" teriak Sunan Giri yang amat khawatir, dan berusaha untuk mencegah akibat yang tidak diharapkan.
"Sudah, sudah, hentikan perkelahian ini."
Akan tetapi manakah mungkin Rara Inten mundur oleh teriakan Sunan Giri ini?
Ia memang seorang perempuan, dan sebagai perempuan tentu saja perasaannya halus seperti wanita yang lain. Namun demikian apa bila ia sudah penasaran dan marah, ia menjadi lupa segalanya. Ia dapat berubah menjadi seorang yang ganas, tidak lagi merasa iba dan kasihan kepada lawan.
"Hi-hi-bik, gerakanmu amat cepat, Rara Inten. Tapi... hihik-sayang.."... kau ngawur dan luput lagi!" seru Ulam Sari sambil meloncat ke sana ke mari, dan kadang pula berusaha untuk mencengkeram lengan Rara Inten.
Rara Inten melengking dan gerakannya tambah cepat lagi. Cengkeraman-cengkeraman jari tangan yang mengandung racun jahat itu. sekarang menaadi lebih dahsyat. Sambaran anginnya semakin lebih hebat. Namun anehnya, Ulam Sari tanpa kesulitan menyelamatkan diri dan menghindar.
"Hai Rara Inten! Hentikan ujian ini !" teriak Sunan Giri lagi, yang makin menjadi khawatir.
Namun Rara Inten seperti tuli, dan terus menyerang bertubi tubi dengan tipu yang mematikan. Pendeknya Rara Inten belum merasa puas, sebelum dapat merobohkan lawan yang dianggap terlalu memandang enteng dirinya itu.
"Hi-hi-hik, agaknya engkau sekarang sudah, menjadi tuli, Rara Inten." seru Ulam Sari lagi yang mengejek. Kemudian sambil melompat ke samping, ia berkata dan ditujukan kepada Sunan Giri.
"Gusti. harap paduka tidak khawatir! Ilmu Cakar Setannya tentu takkan dapat mengalahkan hamba."
Ucapan Ulam Sari ini tampaknya begitu tekebur dan sombong. Namun kenyataannya memang demikian. Sejak Rara Inten membuka serangannya yang pertama kali, Ulam Sari hanya selalu menghindar dan kadang kadang menangkis. Namun sama sekali belum pernah melakukan serangan balasan. Entah apa saja maksud Ulam Sari yang bgrwajah jelek ini.
Ucapan ini tentu saja makin memancing kemarahan Rara Inten yang sudah marah.Ia makin tidak tanggung tanggung lagi dalam serangannya. Ia tidak perduli lagi Sunan Giri marah. Yang penting, asal hatinya menjadi puas dapat mengalahkan atau membunuh Ulam Sari yang merendahkan dirinya
Akan tetapi sambil menyerang dengan dahsyat ini, diam-diam Rara Inten heran dan kaget. llmu Tangan Kosong Cakar Setan yang diyakinkan bertahun-tahun ini, merupakan ilmu tinggi yang banyak diperebutkan orang! Dan semenjak ia berhasil melatih Ilmu Tangan Kosong Cakar Setan ini, setiap lawan dapat ia tundukkan dengan mudah.
Akan tetapi mengapa sekarang, berhadapan dengan wanita wajah jelek ini, dirinya seperti tidak berdaya sama sekali?
Sungguh ia tidak habis mengerti.
Apakah perempuan jelek ini sudah tahu akan kunci dan rahasia llmu Tangan Kosong Cakar Setan?
"Hi-hi-hik, kerahkan seluruh kepandaianmu, Rara Inten! Karena engkau sebagai penguji, aku mengalah. Aku takkan membalas, dan hanya menghindarkan seranganmu!"
Rara Inten hanya menggeram sambil terus melancarkan serangannya. Akan tetapi sayang sekali lagi-lagi serangannya tak pernah berhasil. Ia seperti menghadapi bayangan setan. Sebelum serangannya tiba, yang diserang telah menghindarkan diri secara tepat.
'Hemm, bagus! Aku ingin melihat, apakah engkau sanggup melayani cambukku?"
Dalam penasaran dan malunya, Rara Inten tak ingat apa-apa lagi. Secepat kilat tangannya bergerak ke arah pinggang. Tahu-tahu sebatang cambuk hitam yang agak panjang telah terpegang oleh tangan kanan.
"Tar-tar tar....!" ledakan cambuk itu memekakkan telinga, dan langsung menyambar ke arah kepala dada dan leher Ulam Sari.
"Hai, hai!" teriak Sunan Giri yang menjadi pucat dan khawatir sekali.
"Hentikan ujian ini. Hentikan! Mundur. Hayo lekas mundur, dan jangan kaugunakan senjata itu!"
"Tar-tar-tar-tar......!"
Rara Inten tidak membuka mulut menjawab. Dan sebagai jawabannya, telah diwakili oleh ledakan cambuknya yang empat kali berturut-turut.
"Gusti, jangan paduka khawatir!" teriak Ulam Sari yang berusaha menghibur dan menenangkan hati Sunan Giri.
"Hamba sanggup menghadapi cambuk kerbaunya ini!"
Setelah berteriak begitu, ia terkekeh dan mengejek,
"Heh-heh-heh, Rara Inten! Beberapa tahun yang lalu, di Pondok Bligo, engkau merajai gelanggang perkelahian dengan cambukmu ini. Sekarang, aku ingin sekali mencoba. Benarkah engkau bekas penggembala kerbau, sehingga pandai sekali menggunakan cambuk ?"
Ucapan ini tentu saja membuat Rara Inten tak kuasa menahan ledakan kemarahannya. Masih terbayang jelas dalam benaknya, bahwa ketika di Pondok Bligo, dirinya dapat merajai gelanggang pertandingan dengan cambuknya. Banyak tokoh sakti yang tak sanggup lagi bertanding melawan dirinya.
Apakah sekarang hanya menghadapi seorang perempuan jelek seperti Ulam Sari ini, dirinya tak berhasil mengalahkan?
"Tar-tar-tar......!" cambuknya meledak dahsyat. Sambaran anginnya tajam sekali, mengancam
bagian tubuh lawan yang berbahaya. Akan tetapi sungguh Rara Inten heran dan terbelalak. Tanpa kesulitan, Ulam Sari telah berhasil menghindarkan diri, sehingga sambaran cambuknya hanya mengenakan angin kosong.
"Siut-wutt... tar-tar-tar tar.!"
Cambuk Rara Inten meledak-ledak di udara memekakkan telinga. Orang-orang yang menyaksikan berdebaran dan khawatir sekali kalau Ulam Sari harus menderita oleh cambuk Rara Inten itu, yang gerakannya cepat luar biasa. Nampaknya gelanggang perkelahian sekarang ini,yang tampak hanyalah gulungan cambuk yang tak pernah putus . Dan tampaknya pula Ulam sari telah terkurung ketat sekali oleh lingkaran cambuk hitam Rara Inten, yang tidak mungkin bisa lolos lagi. Maka Sunan Giri sudah gelisah sekali, lalu berteriak lagi,
'Hai Rara Inten! Hentikan ujian ini! Hentikan sambaran cambukmu! Sudah, sudah! Jangan kalian berkelahi."
Akan tetapi teriakan Sunan Giri ini tenggelam, tertindih oleh suara sambaran cambuk yang menderu deru dengan dahsyatnya. Rara Inten terus berusaha mendesak Ulam Sari, menggunakan 'jurus jurus dari Ilmu Cambuk Sambar Nyawa.
Ya, baru namanya saja sudah sambar nyawa. Berarti cambuk itu merupakan tangan maut yarg akan selalu merenggut lawan. Sambarannya dahsyat sekali di samping kecepatannya sulit diukur. Ketika Rara Inten melatih diri meyakinkan llmu Cambuk Sambar Nyawa ini, ia gunakan air hujan sebagai ujian. Saking cepatnya sambaran cambuknya itu, air hujan yang turun dengan derasnya tidak berhasil menembus benteng cambuk. Sebab disamping cepat, sambaran anginnya sendiri dahsyat bukan main.
Di tengah deru angin sambaran cambuk hitam senjata Rara Inten ini, tiba-tiba terdengar suara halus tetapi amat jelas,
"Hai, Rara Inten! Engkau ini sesungguhnya ingin menguji, ataukah ingin berkelahi? Ingat, kita sama-sama berjuang membantu Giri. Kita harus rukun dan saling membahu. Maka marilah kita akhiri saja perkelahian kita yang tak ada artinya ini."
Hampir berbareng dengan kata-kata Ulam Sari selesai diucapkan tiba-tiba terdengarlah teriakan Rara Inten yang kaget.Perempuan ini melompat mundur dengan wajah pucat. lengan kanan terkulai lumpuh mendadak, dan hampir aaja cambuk dalam genggaman jari tangannya itu, tak kuasa lagi dipertahankan.
"Engkau hebat Rara Inten. aku kewalahan menghadapi sambaran cambukmu. Ya, aku mengaku kalah dan mengucapkan terima kasih atas kebaikanmu. yang sedia mengampuni jiwaku ini."
Rara Inten terbelalak mendengar ucapan Ulam Sari. Jelas bahwa terhentinya perkelahian ini, bukanlah dirinya yang menghentikan sambaran cambuknya. Melainkan lengan kanannya seperti lumpuh, oleh serangan Ulam Sari yang tidak terdugaduga, dan membuat Rara Inten heran berbareng kagum. Perempuan wajah jelek ini bukannya menjadi sombong dan bangga atas kemenangannya, malah mengaku kalah. Hal ini sungguh diluar
dugaan Rara Inten. Sekarang menjadi jelas, bahwa Ulam Sari sengaja mengucapkan kata-kata itu, dalam usahanya untuk menolong dirinya dari derita malu. Dan sebaliknya perempuan jelek itu malah sedia mengorbankan diri, dari pihak yang menang menjadi pihak yang kalah. Maka Rara Inten menjadi terharu dibuatnya. Semua rasa marah, penasaran, benci, dan rasa permusuhannya tiba tiba saja tersapu bersih dari dalam dadanya. Rara Inten melemparkan cambuknya, kemudian maju, lalu berpelukan dengan Ulam Sari cukup lama.
"Maafkan aku, yang gampang marah," bisik Rara Inten penuh penyesalan.
"Tidak apa mbakyu, dan betapa gembira hatiku apa bila mulai saat sekarang ini,di antara kita menjadi sahabat yang paling akrab!" sahut Ulam Sari berbisik pula.
Kalau semula Rara Inten muak melihat Wajah yang jelek dan penuh bintik-bintik hitam itu, sekarang tidak. Perempuan cantik yang biasanya angkuh dan gampang marah ini, telah mencium pipi Ulam Sari. Dan cium itu, merupakan pembuktian dari persahabatan antara mereka yang mulai terjalin.
Orang yang tinggi hati dan angkuh seperti Rara Inten ini, tentu akan mendendam dan benci setengah mati, apa bila orang tidak mau bersikap mengalah. dan apa bila orang lain tidak pandai mengambil hati, dan menempatkannya di tempat yang terhormat. Dalam usaha membela kehormatan diri, ia akan sanggup untuk mempertaruhkan nyawa sendiri.
Kalau saja Ulam Sari tadi begitu merasa menang kemudian mengejek dan mencemoohkan, tentu Rara Inten akan menerjang lagi ke arah Ulam Sari, dan takkan mau berhenti sebelum salah seorang nyawanya melayang.
Melihat antara Ulam Sari dan Rara Inten sudah saling peluk seperti itu, baik Sunan Giri maupun patih Giri menjadi amat gembira. Setelah melihat betapa keperkasaan Ulam Sari dalam melawan Jalu Raga, kemudian menghadapi Rara Inten hanya dengan bertangan kosong. Raja Giri ini menjadi tertarik dan suka. Bantuan perempuan-perempuan seperti Rara Inten dan Ulam Sari ini tentu saja akan menguntungkan Giri dalam menghadapi Surabaya.
Jalu Raga, Abdul Malik dan Wanengboyo mengamati dua orang perempuan itu dengan hati yang bertanya-tanya. Sebagai orang-orang yang sudah luas pengalaman dan termasuk tokoh-tokoh sakti, tahu belaka bahwa berakhirnya perkelahian tadi, Rara Intenlah pada pihak yang menderita kekalahan.
Namun anehnya, mengapa Ulam Sari malah mengaku sebagai pihak yang kalah?
Mereka menduga-duga apakah sebabnya, namun mereka sulit memperoleh jawaban soal itu.
Tanggapan tiga orang ini, tentu saja berbeda dengan tanggapan Wayan Regel dan Nyoman Kadis. Dua orang pemuda ini merasa pasti, bahwa yang keluar sebagai pemenang adalah Rara Inten. Itulah sebabnya Ulam Sari tanpa rasa malu sudah mengakui kekalahannya, dan minta maaf.
""Anak Inten dan anak Ulam Sari, aku gembira sekali bahwa di akhir perkelahian kalian menjadi amat rukun. Anak, ke marilah! Mari sekarang kita sambut dengan gembira kehadiran anak Ulam Sari di tengah kita!" kata Sunan Giri dengan wajah berseri.
Lalu ia memalingkan mukanya ke arah patih Giri. Terusnya,
"Perintahkanlah kepada Abdul Ali. Hari ini kita selenggarakan sekedar pesta kegembiraan! "
"Sandika, gusti," sahut patih Giri sambil memberikan sembahnya.
Lalu patih Giri ini mengundurkan diri, untuk memberi perintah kepada Abdul Ali.
Sesungguhnya, yang menjadi biang keladi semua peristiwa ini, bukan lain Rara Inten. Sebab Rara Intenlah semula yang, memberi saran, agar berhatihati dalam menerima Ulam Sari, dan dicurigai sebagai mata mata musuh. Maka setelah antara Ulam Sari dengan Rarb Itnten terjalin persahabatan, semuanya menjadi beres.
Pesta yang diselenggarakan itu amat sederhana. Akan tetapi pesta itu penuh kegembiraan dan suasana yang menyenangkan.Dan mereka baru bubaran menuju ke tempat masing-masing yang telah ditunjuk, ketika waktu sudah menjelang Asar, karena Sunan Giri akan menunaikan sholat Ashar,
Akan tetapi Rara Inten dan Ulam Sari tidak langsung menuju pondok yang telah disediakan. Dua orang perempuan ini yang wajahnya seperti bumi dan langit ini, melangkah berdampingan. Yang satu cantik jelita sedang yang lain jelek bukan main seperti wajah iblis, Dan karena berjalan berdampingan dengan seorang perempuan yang wajahnya jelek bukan main ini, wajah Rara Inten yang cantik jelita itu semakin menjadi tampak lebih ayu dan menggairahkan laki-laki yang memandang.
Mereka kemudian duduk berdampingan di atas sebuah batu sebesar kerbau, yang dinaungi oleh pohon rindang.
"Adik Ulam Sari, mengapa sebabnya engkau mengetahui nama llmu Tangan Kosong Cakar Setan dan ilmu cambukku yang bernama Samber Nyawa?" tanya Rara Inten sambil mengamati wajah yang jelek itu. '
"Hi-hi-hik, mengapa engkau heran, mbakyu? " sahut Ulam Sari sambil tertawa.
"Siapakah yang belum mendengar peristiwa di Pondok Bligo, dan mbakyu telah berhasil menundukkan para tokoh sakti? Mbakyu, terus terang waktu itu aku tidak ikut menyaksikan, sebab aku masih kecil. Namun begitu, dari cerita orang orang tua, apa yang terjadi dahulu amat menggemparkan."
"Berapakah usiamu sekarang?"
"Lebih kurang baru tujuhbelas tahun"?
"Ahhh .... .! Engkau masih terlalu muda, akan tetapi engkau seorang gadis perkasa, dan pilih tanding. Siapakah gurumu?"
"Ahhh, aku tidak mempunyai guru, mbakyu. Sejak kecil aku dipelihara oleh kakek, sesudah ayah bundaku meninggal. Dan dari kakek itulah aku memperoleh pendidikan."
"Tetapi.... mengapa sebabnya engkau paham akan rahasia-rahasia llmu Tangan Kosong Cakar Setan maupun Ilmu Cambuk Samber Nyawa?"
"Ahhh, mbakyu, sama sekali di luar dugaanku, bahwa apa yang aku pelajari dari kakek semenjak kecil, memiliki persamaan dengan ilmumu, mbakyu."
" Ihhh . . . . . . ! "
Rara Inten berseru tertahan, dan diam diam menjadi curiga. Ia mengamati Ulam Sari penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak dapat menuduh kepada Ulam Sari ini, bahwa si gadis jelek adalah penyamaran dari Gadis Baju Kuning yang dahulu sudah mengalahkan dirinya di Pondok Bligo. Sebab si Gadis Baju Kuning. usianya sebaya dengan dirinya. Padahal Ulam Sari ini, jelas masih amat muda.
"Siapakah kakekmu itu?" tanya Rara Inten yang berusaha memancing.
"Kakekku bernama Kebo Landoh!"
"Di mana tempat tinggal kakekmu?"
'Aihhh... agaknya engkau menjadi pelupa mbakyu. Bukankah kepada Ingkang Sinuhun Sunan Giri. aku sudah memberitahukan bahwa aku berasal dari desa Klutuk wilayah Belambangan."
Rara Inten mengangguk-angguk. Kecurigaannya terhadap Ulam Sari menghilang lagi.Ia hanya menduga, bahwa kakek yang bernama Kebo Landoh itu, kakek sakti yang tidak pernah muncul di dunia ramai. Sehingga namanya tidak terkenal, dan dirinya belum pula memperoleh kesempatan untuk berkenalan,
Untuk sejenak mereka berdiam diri. Angin sejuk bertiup dan menyapu rambut mereka yang agak kusut.
"Adik Ulam Sari, diam-diam aku menjadi heran kepadamu," kata Rara Inten.
"Apa yang kauherankan?"
"Mengapa wajahmu menjadi jelek seperti ini. eh, maaf..... aku tidak bermaksud menghina dan merendahkanmu ....."
"Tak apa. Hi-hi-hik, kalau wajahku memang jelek, mengapa orang tidak boleh menyebut jelek?"
"Ya. Tetapi antara kulit pada wajahmu, bertentangan dengan kulit leher maupun lenganmu. Agaknya..."
'Memang ada sebabnya, mbakyu, hemm.."
Ulam Sari menghela napas pendek. Agaknya gadis ini menyesal juga, mengapa wajahnya menjadi jelek bukan main seperti wajah iblis.
"Begini mbakyu, dengarlah penuturanku. Dahulu, ketika aku dilahirkan, dan sampai pada usia duabelas tahun, setiap orang bilang bahwa kemudian hari aku tentu menjadi seorang wanita cantik. Orang tuaku maupun aku sendiri merasa bangga sekali mbakyu. bukankah lumrah bagi wanita, selalu bangga akan kecantikan yang dimiliki? Dan kiranya engkau kendiri mbakyu... tentunya bangga pula akan kecantikanmu."
"ihh..... kau jangan menggoda aku," kata Rara Inten. tetapi diam-diam iapun menjadi senang.
"Begitulah mbakyu, akupun berharap agar kemudian hari aku menjadi seorang wanita cantik, dan banyak menarik perhatian orang. Akan tetapi, berilmu.... agaknya takdir memang tidak menghendaki aku menjadi seorang wanita cantik."
Ulam Sari berhenti, dan setelah menghela napas pendek, ia baru meneruskan,
"Lebih kurang lima tahun yang lalu, terjadilah malapetaka yang menimpa diriku ini. Aku menyertai kakekku pergi ke dalam hutan, untuk mencari daun dan akar obat. Ketika di lereng Gunung Merapi, aku ditinggalkan oleh kakek menuruni jurang yang dalam, untuk mengambil semacam jamur obat, yang amat dibutuhkan kakek. Aku dipesan oleh kakek, harus tetap di tempat, dan dilarang pergi ke manapun."
Ulam Sari berhenti, dan lagi-lagi menghela napas. Agaknya gadis ini penuh penyesalan, mengapa dirinya harus menderita. Sambil menekuk-nekuk jari tangannya yang runcing dan berkulit halus kuning itu, Ulam Sari meneruskan,
"Mbakyu, tentu saja aku patuh akan pesan kakek itu. Aku tidak berani pergi, dan menunggu kakekku yang menuruni jurang amat dalam. Kakek menuruni jurang semenjak belum tengah hari, dan aku menunggu dengan tekun. Akan tetapi ahh, sungguh sayang sekali. Hari telah menjadi sore, kakek belum juga muncul dari dalam jurang. Tenggorokanku terasa haus sekali, namun aku tahankan, justeru kakek telah pesan agar aku tetap di tempat."
"Mbakyu, orang yang menderita haus akan merasa tersiksa sekali, sebelum memperoleh air untuk minum. Setelah aku tunggu lama sekali kakek belum juga muncul, dan matahari makin menjadi rendah di barat. akhirnya aku tak kuasa lagi menahan seleraku untuk minum. Maka dengan hati yang agak ragu dan takut kepada kakek. aku melangkah pergi untuk mencari sumber air yang aku butuhkan itu. Entah sudah berapa jauh aku melangkah mencari sumber air. Tetapi yang aku harapkan tdak kunjung tiba, tidak aku temukan sumber air itu. Kemudian ketika aku lewat di bawah pohon yang amat rindang, aku kaget ketika tibatiba, aku merasa diserang oleh asap tipis, yang baunya anyir......."
"Ihh...... semburan ular.. ...!" seru Rara Inten terkejut.
"Mbakyu benar!" sahut Ulam Sari.
"Ketika itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi, dan entah sudah berapa lama aku pingsan. Tahu-tahu, ketika aku membuka mata pertama kali, aku merasakan jari tangan kakek memijit-mijit, sedang mukaku terasa panas sekali, di samping gatal. Saking tak kuasa menahan rasa panas dan gatal itu, aku mengangkat tangan untuk menggaruk. Tetapi ahh, ternyata lenganku telah diikat oleh kakek......"
"Ihhh, mengapa?"
Rara Inten kaget.
"Ikatan itu, untuk mencegah agar aku tidak menggaruk mukaku yang gatal. Hemm, ketika Itu aku hanya dapat menangis dan merintih. Adapun kakek berusaha menghibur sambil berusaha mengobati. Aku tanyakan kepada kakek mengapa mukaku terasa panas dan gatal. Semula kakek tak mau menerangkan, dan hanya menghibur. Rasa panas dan gatal itu berlangsung lebih kurang sepekan lamanya, kemudian tidak terasa lagi. Namun aku menjadi kaget ketika aku meraba pipi, dahi, dagu, hidung dan yang lain terasa kasar. tidak seperti
semula. Dan ohh, mbakyu, ketika itu aku tak kuasa menahan rasa sedihku. Aku menangis sejadinya, menyesalkan malapetaka yang sudah menimpa diriku. Yang kuasa merubah wajahku ini, dari seorang gadis yang cantik menjadi jelek bukan main."
Ulam Sari berhenti sejenak menelan ludah. Lalu terusnya,
"Akibat perubahan itu, untuk beberapa bulan lamanya aku tidak pernah meninggalkan rumah. Aku malu...... ya malu sekali, atas perubahan wajahku yang amat buruk itu. Dan hanya ketelatenan dan berkat nasihat-nasihat kakek saja, pada akhirnya aku lupa lagi akan derita itu. Kata kakek, bahwa wajah yang buruk bukan berarti hina atau jelek. Yang penting apa bila aku selalu berbuat baik, yang menguntungkan orang banyak, tentu orang akan memuji-mujinya."
"Jadi, kalau begitu, perubahan wajahmu sebagai akibat semburan ular berbisa?"
"Ya! Semburan ,ular yang berbisa itu, kiranya bukan hanya membuat mukaku berubah jelek seperti ini, kalau kakek tidak cepat mengetahui dan menolong."
"Apa yang terjadi?"
"Menurut keterangan kakek. ular itu Setelah menyembur aku dengan uap berbisa dan membuat aku pingsan, telah berusaha turun dari pohon, Ular itu sudah hampir mematuk leherku, untung kakek bisa menolong. Ular tersebut bisa dibunuh mati, dan aku akhirnya tertolong dan dibawa pulang."
"Ahhh..,,... kasihan sekali, engkau....... adik Ulam Sari......" kata Rara Inten yang menjadi terharu, mendengar penuturan itu,
"Semuanya sudah terjadi mbakyu, dan aku sekarang sudah terbiasa dengan wajahku yang jelek ini."
"Lalu, kehadiranmu di Giri ini, atas kehendakmu sendiri, ataukah atas anjuran kakekmu?"
"Atas anjuran kakekku. Kakek bilang, bahwa aku harus memperluas pengalaman, di samping harus berjuang menentang Mataram, seperti para tokoh sakti yang lain. Kakek memerintahkan aku langsung ke mari. Sebab kakek telah mengkhawatirkan, bahwa pada akhirnya. Mataram akan mengalihkan perhatian ke Giri. Hemm, ternyata dugaan kakek itu benar. Dalam perjalananku menuju ke mari, secara kebetulan aku mendengar pembicaraan paman Menak Kunjono dan paman Aras Pepet, dengan seorang yang belum aku kenal. Dalam pembicaraan itu, aku mendengar jelas bahwa Mataram sudah mengirim utusan ke Surabaya. Pangeran Pekik ditugaskan oleh Sultan Agung, untuk menaklukkan Giri."
"Hemm,"
Rara Inten menghela napas pendek
"Sesungguhnya, yang menyebabkan aku di sini dan membantu Giri, atas anjuran Aras Pepet dan Menak Kunjono itu."
"Ihhh... jadi mbakyu sudah kenal mereka ?"
Ulam Sari terbelalak"
"Ya! Aku kenal mereka sejak lama."
"Ahh, kalau begitu, mbakyu telah luas pengalaman. Cobalah mbakyu, ceritakanlah pengalaman pengalamanmu selama ini."
"Ahh, apakah yang dapat aku ceritakan? Biasa, orang seperti kita ini, kerjanya hanyalah berkelahi dan berkelahi !" sahut Rara Inten, nampak perempuan ini tidak suka menceritakan pengalaman dan perjalanan hidupnya.
Tidaklah mengherankan apa bila Rara Inten tidak suka menceritakan perjalanan hidupnya itu. Sebab apa bila dikenang, perjalanan hidupnya itu hanya membuat dirinya sedih dan menyesal. Lebih lebih kegagalan cinta kasihnya dengan Pangeran Pekik.
Untuk beberapa jenak mereka kembali berdiam diri. Matahari semakin rendah di barat. Dan angin pegunungan terus bertiup tak pernah henti.
"Adik Ulam Sari, tadi pagi aku mohon kepada ingkang Sinuhun, tetapi ditolak,"
"Tentang apa ?"
"Tadi pagi, aku dan yang lain diajak membicarakan tentang surat Pangeran Pekik, yang mengancam Giri. Hemm, mendengar maksud surat itu aku menjadi penasaran. Lalu aku mohon ijin, agar diperkenankan membawa sepasukan perajurit, menggempur Surabaya. Sekarang terpikir olehku untuk sejenak mengajak engkau. Maukah kiranya engkau menemani aku pergi ke Surabaya?"
"Untuk menggempur Surabaya? Hanya kita berdua?"
Ulam Sari terbelalak.
"Hi hi hik," baru sekarang Rara Inten tertawa,
"tentu saja tidak! Sebab manakah mungkin kita hanya berdua, dapat menggempur Surabaya yang memiliki sejumlah tokoh sakti itu? Hemm, maksudku begini. Kita pergi ke sana untuk meninjau keadaan. Dan kalau perlu, aku ingin mengetahui persiapan-persiapan yang dilakukan di sana. Adikku, dengan mengetahui keadaan lawan, bukankah itu amat penting artinya bagi kita maupun Giri?"
"Bagus, aku setuju !" sahut Ulam Sari gembira.
"Aku sendiri belum pernah pergi ke Surabaya. Timbul hasratku untuk mengetahui, dan kalau perlu membuat sedikit kekacauan. Tetapi eh......"
"Ada apa?"
Rara Inten curiga.
"Apakah engkau akan pergi ke Surabaya dalam keadaan seperti ini?'
'Hi-hi-hik,.aku kausuruh bagaimana?"
"Mbakyu, engkau cantik jelita. Wajah cantik perempuan, biasanya mendatangkan akibat akibat yang tidak terduga-duga. Maka jika engkau setuju, aku usul begini. Menyamarlah engkau sebagai laki laki."
"Dan kau sendiri? Juga menyamar menjadi laki-laki?"
"Ihh...... kalau aku tentu saja tidak perlu. Manakah ada laki -laki yang tertarik kepada wajahku yang menyeramkan ini? Biarlah aku tetap sebagai perempuan. Kemudian antara aku dan engkau, akan menjadi pasangan yang aneh."
"Ihh, mengapa aneh?"
"Coba saja kaupikir, mbakyu. Engkau cantik jelita. Jika engkau menyamar menjadi pria, tentu
engkau akan menjelma sebagai seorang pemuda tampan sekali. Seorang pria berwajah tampan, pergi bersama dengan seorang perempuan jelek bukan main. Apakah ini bukan pasangan yang aneh?"
"Hi-hi-hik. engkau ada-ada saja, adikku., tetapi baiklah. Aku setuju dengan pendapatmu. Nanti malam kita pergi diam -diam. Tetapi untuk keperluan pakaian laki-laki, marilah kita pergi dulu ke pasar untuk membeli."
Ulam Sari cekikikan senang sekali. Kemudian dua orang perempuan ini melangkah pergi menuju ke pasar.
Ketika malam tiba, dua bayangan yang gesit telah bergerak cepat sekali meninggalkan Giri. Saking cepatnya mereka bergerak seperti dua bayangan hantu yang saling berkejaran.
Tanpa berjanji lebih dahulu, mereka seperti berlomba. Mereka berlari cepat. Tidak kalah cepatnya dengan larinya kuda binal yang sedang marah. Mereka tidak membuka mulut, sekalipun berdampingan.
Diam-diam Rara Inten heran berbareng kagum, menyaksikan kecepatan Ulam Sari lari sekarang ini. Ternyata walaupun dirinya sudah mengerahkan kepandaiannya lari, Ulam Sari sanggup mengimbangi, sehingga tetap berjajar. Dalam hal kepandaiannya berkelahi, jelas Ulam Sari masih di atas dirinya. Dan sekarang, dalam hai laripun Ulam Sari tidak di bawah kepandaiannya. Kalau gadis yang baru berusia belasan tahun telah berhasil mencapai tingkat setinggi ini, betapa sulit diukur orang yang menjadi gurunya.
Keadaan ini membuat Rara Inten sadar, bahwa di dunia ini orang tak dapat membanggakan diri merasa pandai. Buktinya, dirinya telah berlatih secara tekun, tidak kenal lelah bertahun-tahun, begitu muncul, menghadapi seorang gadis muda saja tidak mampu. Maka diam-diam Rara Inten berjanji kepada dirinya sendiri, apa bila masih berumur panjang, setelah selesai membantu Giri, ia akan kembali tekun melatih diri.
Kalau Rara Inten diam-diam heran berbareng kagum, Ulam Sari sendiri senang sekali.
Betapa tidak?
Rara Inten terkenal sebagai seorang wanita sakti mandraguna. Namun ternyata sekarang dirinya dapat bergerak sama cepatnya dengan perempuan cantik ini.
Jarak antara Giri dengan Surabaya tidak begitu jauh padahal mereka bergerak cepat sekali melebihi lari kuda. Belum tengah malam mereka telah masuk kota Surabaya. Kota itu sudah tampak sepi. Namun juga masih ada orang yang belum tidur, asyik duduk bergerombol di pinggir jalan atau berjalan jalan. Makin dekat dengan rumah kadipaten, di mana Pangeran Pekik dan Ratu Wandansari tinggal, suasana masih ramai. Tampak beberapa kelompok perajurit secara bergiliran,meronda di luar pagar rumah kadipaten. Di pintu gerbang, dijaga oleh beberapa orang perajurit bersenjata tombak telanjang. Penjagaan begitu ketat dan kuatnya.
"Kakang Indra....!"
"Ihhh .... engkau panggil siapa ?"
"Hihi-hik,"
Ulam Sari cekikikan lirih.
"Apakah engkau lupa bahwa saat sekarang ini. engkau seorang pria? Itulah sebabnya aku memanggilmu kakang Indra, dan bukan mbakyu Inten."
"Hi-hi-hik....."
Rara Intenpun cekikikan geli. Ia menjadi lupa kalau saat ini menyamar sebagai lakilaki, yang Wajahnya tampan bertubuh kecil.
"Engkau benar, adikku, hampir saja aku lupa akan keadaanku saat sekarang."
Ulam Saripun masih cekikikan geli. Kemudian katanya perlahan,
"Kakang, bagaimanakah pendapatmu kalau malam ini kita mencoba untuk masuk ke dalam ?" .
"Hemm, berbahaya!"
Rara Inten yang menyamar sebagai pria dan bernama Indra itu menggelengkan kepalanya.
"Sebaiknya kita tidak usah mencoba coba menyelundup masuk ke dalam. Bukan saja iblis Pekik dan isterinya merupakan pasangan sakti mandraguna. Tetapi tokoh tokoh Gagak Rimang juga tidak dapat diabaikan bahayanya. Apakah engkau belum pernah mendengar nama Yoga Swara dan Madu Bala?"
"Aku sudah mendengarnya, tetapi belum memperoleh kesempatan mengenal dan mencobanya, mbakyu."
"Hemm, akupun benci sekali kepada tokoh siluman Gagak Rimang yang bernama Madu Bala itu. Huh, kalau saja aku memperoleh kesempatan berhadapan lagi, aku harus membunuhnya."
"Ihhh, mengapa sebabnya engkau sedemikian membenci dia ?"
"Ahhh, agak panjang kalau aku tuturkan kisah ini. Tetapi hem, baiklah kita mencari tempat yang aman."
Dua orang itu kemudian menyelinap ke tempat gelap dan cukup jauh dari keramaian. Mereka kemudian duduk berdampingan di atas rumput. Setelah menghela napas agak dalam, Rara Inten berkata,
"Adi Ulam Sari, hemm, tokoh Gagak Rimang yang namanya Madu Bala itu sudah berhutang nyawa padaku. Hutang nyawa bayar nyawa. Maka sebelum aku berhasil membunuh Madu Bala, aku takkan dapat hidup tenteram. Aku selalu dibayangi oleh arwah guruku."
"Ihhh......!" seru Ulam Sari tertahan.
"Apakah gurumu...... telah tewas di tangan orang bernama Madu Bala itu?"
'Hemm, manakah mungkin Madu Bala mampu mengalahkan guruku? Tidak! Guruku tidak tewas dalam perkelahian melawan tokoh siluman itu. Akan tetapi, bangsat Madu Bala itulah yang menjadi biang keladi guruku nekat membunuh diri."
"Ihhh.. membunuh diri?"
Ulam Sari kaget.
Rara Inten mengangguk sambil menghela napas dalam.
"Peristiwa itu sudah lama berlalu. Namun peristiwa menyedihkan itu, takkan mungkin terhapus dari lubuk hatiku sebelum berhasil membunuh Madu Bala."
Kemudian diceritakan oleh Rara Inten, tentang terjadinya peristiwa yang hebat di mana banyak tokoh sakti berhasil ditawan di Mataram. Di antara para tokoh sakti yang tertawan itu, termasuk
Anjani, guru Rara Inten, yang menduduki jabatan ketua Perguruan Tuban. Memang Anjani bisa disebut tewas membunuh diri. Nenek yang berwatak keras itu menjadi amat malu sekali, oleh olok olok Madu Bala yang keterlaluan. Di depan banyak orang, Madu Bala memfitnah gurunya. Dikatakan bahwa Anjani ketika muda, merupakan gendak Madu Bala. Sebagai akibat hubungan gelapnya itu, kemudian lahirlah Rara Inten. (Untuk lebih jelas tentang peristiwa ini, silahkan membaca buku Ratu Wandansari oleh pengarang dan penerbit yang sama)
"Ihhh.... !"
Ulam Sari kaget.
"Terlalu orang itu. Menuduh dan memfitnah orang seenak udelnya sendiri."
'Itulah sebabnya aku dendam dan membencinya!
Rara Inten tampak geram.
"Dan aku takkan dapat hidup tenang, sebelum dapat menghajar dan membunuh manusia busuk yang mulutnya juga busuk itu. Guruku, selama hidup dan sampai meninggal, masih tetap perawan suci. Dan aku..... ah, aku seorang yatim piatu ......"
'Ihh..!" lagi-lagi Ulam Sari berseru kaget.
"Engkau yatim piatu juga seperti aku? Mbakyu.... kau berasal dari mana ?"
'Hemm," lagi-lagi Rara Inten menghela napas setengah mengeluh.
Dalam benaknya, tiba-tiba saja terbayanglah peristiwa yang sudah amat lama berlalu. Di saat dirinya masih kecil dan dilarikan oleh salah seorang hamba yang setia. Lalu terbayang pula di depan matanya pertemuan dan perkenalannya yang pertama kali dengan Jaka Pekik (Pangeran Pekik). Waktu itu, Jaka Pekik bersama kakek gurunya sedang melakukan perjalanan. Dan atas pertolongan kakek guru Jaka Pekik itulah, dirinya dan hamba setia dari Ponorogo selamat dari ancaman maut. Terbayang kemudian di saat Jaka Pekik tak dapat bergerak, menderita sakit hebat hanya terlentang di atas pembaringan. Jaka Pekik tak mau makan. Dan dirinyalah yang menghibur, kemudian menyuapkan bubur ke dalam mulut Jaka Pekik. Namun sekarang pemuda yang dicintai itu, telah kawin dengan orang lain. Dirinya menderita. (Silahkan baca buku "Jaka Pekik" oleh pengarang dan penerbit yang sama)
"Adik Ulam Sari, aku berasal dari Ponorogo. Aku cucu Bupati Ponorogo "
"Ahhh..... kalau begitu, engkau seorang bangsawan. Kau kau masih raden ajeng.."
"Hemm....."
Rara Inten hanya menghela napas.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, aku harus memanggil engkau. raden ajeng....."
"Ahhh, kau. kau jangan begitu, adik Ulam Sari. Janganlah engkau mengungkit-ungkit asal usul diriku dan keluargaku. Aku ..... aku menjadi sedih......"
"Ahh, sudahlah mbakyu, janganlah engkau menjadi sedih. Aku dan engkau merupakan orang senasib. .Aku sendiri yatim piatu...... dan engkaupun begini juga. Sudahlah mbakyu, tak perlu engkau teruskan kisah menyedihkan ini. Mari, kita sekarang meneruskan maksud dan tujuan kita datang ke Surabaya ini."
Rara Inten setuju. Dua orang perempuan ini kemudian bangkit dan melangkah, untuk mendekati rumah Kadipaten Surabaya lagi. Akan tetapi belum jauh mereka melangkah, tiba-tiba mereka segera mendengar bentakan nyaring. Disusul oleh meniupnya bayangan orang yang meniup turun dari dahan sebatang pohon rindang. Ternyata empat orang lakilaki saling susul telah berdiri tegak di depan Rara Inten dan Ulam Sari. Empat orang bertubuh tegap dan gagah.
"Siapa kamu, malam begini berkeliaran di tempat ini?" bentak salah seorang dengan suara parau.
Ulam Sari mendahului menjawab dengan lantang,
"Huh, bukan urusanmu! Kami berdua sedang menghirup udara malam yang segar."
"Heh-heh-heh," tiba tiba salah seorang dari empat orang itu ketawa terkekeh.
"Mengapa kau tertawa ?" hardik Ulam Sari.
"Heh-heh-heh, agaknya dunia ini mau kiamat !" kata orang itu.
"Apakah sudah tidak ada lagi wanita di dunia ini, sehingga wewe gombel saja dibawa menikmati udara malam? Heh-heh-heh, lucu..... lucu.....!"
Kata-kata kawannya itu, memancing gelak ketawa yang lain. Salah seorang masih sambil tertawa, menyambung,
"Ha-ha-ha-ha....... engkau benar. Agaknya dunia ini memang sudah mau kiamat. Seorang pemuda tampan malah memilih wewe gombel..."
"Kurang ajar! Tutup muiutmu !" bentak Ulam Sari marah sekali, dirinya dihina sebagai wewe gombel. Sebagai seorang yang wajahnya memang jelek bukan main, ia memang merasa dirinya tidak berharga di mata laki-laki. Akan tetapi sekalipun wajahnya jelek, tentu saja tidak mau dihina dan diejek orang.
"Huh, wajahku memang jelek seperti wewe gombel dan iblis. Akan tetapi kalau kakang Indra memang cinta padaku, siapa yang bisa melarang?"
Kata-kata Ulam Sari ini, malah memancing gelak ketawa empat orang itu. Mereka geli bukan main, sehingga perut mereka keras, seperti sedang menonton badut di atas panggung.
Rara Inten yang menyamar sebagai laki laki dan bernama indra itu, tak kuasa lagi menahan ledakan kemarahannya. lalu bentaknya lantang.
"Jangan kalian membuka mulut sembarangan di depanku. Huh, wewe gombel atau bukan, jika aku sudah cinta kepada dia siapa yang melarang? Bangsat busuk kamu! Lekas enyah atau tidak?"
Tentu saja empat orang ini tidak gampang digertak orang. Mereka bukannya takut, malah ketawa bergelak-gelak. Mereka ini adalah perajurit-perajurit Surabaya yang sedang meronda. Perajurit-perajurit gagah berani yang tak pernah takut berhadapan dengan bahaya. Bentakan itu memancing kemarahan mereka.
'Bangsat busuk!" bentak salah seorang menggeledek.
"Apakah matamu sudah buta dan tidak mengenal kami lagi? Huh, kami masih bersikap sabar terhadap dua orang muda yang sedang memadu kasih. Kamu telah melanggar larangan gusti adipati, malam-malam berkeliaran dl tempat ini. Hayo, sekarang menyerahlah kamu untuk kami bawa ke kadipaten."
Untuk sejenak Ulam Sari dan Rara Inten saling pandang. Diam-diam dalam hati dua orang ini terpikir untuk menurut saja ditangkap. Tetapi nanti setelah berada di dalam kadipaten, mereka dapat memberontak ,dan mengamuk.
Akan tetapi pikiran itu tidak disetujui oleh Rara Inten yang sudah luas pengalaman. Ia menggelengkan kepalanya. Lalu, kembali mendelik ke arah empat orang itu, dan membentak,
"Jahanam! Cobalah kalau bisa menangkap kami!"
Tantangan itu tentu saja memancing gelak ketawa mereka lagi. Bentak salah seorang menggeledek,
"Ha-haha.kamu berani menantang kami? Bagus. Setelah kamu berhasil kami tangkap, heh-heh-heh, timbullah hasrat kami untuk menghukummu dengan cara kami sendiri. Aku ingin melihat pertunjukan yang menarik. Bagaimanakah keadaan wewe gombel ini, jika tanpa pakaian....."
"Plak-plak!..... aduhhh.....!"
Perajurit yang belum selesai mengucapkan katakatanya itu, sudah terhuyung-huyung ke belakang. Akhirnya jatuh terduduk sambil menggunakan dua telapak tangannya untuk mendekap mulut. Ternyata dari mulut orang itu telah menyembur darah merah berikut tiga biji giginya yang tanggal. Sebagai akibat tamparan Ulam Sari yang cukup keras.
Gerakan Ulam Sari yang menampar mulut lakilaki itu memang cepat tidak terduga. Akibatnya
laki-laki itu tidak sempat menghindarkan diri. Sulit digambarkan bagaimanakah cara Ulam Sari bergerak menampar, kemudian melompat kembali ke tempatnya berdiri semula. Sebab begitu menampar, di saat orang itu berteriak mengaduh dan terhuyung-huyung, Ulam Sari telah berdiri lagi di samping Rara Inten.
Peristiwa itu amat mengejutkan yang lain. Mereka terbelalak dan hampir tidak percaya akan apa yang terjadi. Namun demikian, peristiwa ini memancing kemarahan mereka.
"Sring-sring.....!" mendadak saja tiga orang perajurit itu sudah menghunus senjata masing masing.
Yang giginya tanggal dan mulutnya pecah berdarahpun, sekarang sudah meloncat berdiri sambil menahan sakit. Iapun sudah mencabut senjatanya.
' Bangsat! Kamu sudah bosan hidup, berani melawan kami?" bentak salah seorang.
Ulam Sari terkekeh.
"Heh-heh-heh, apakah kamu belum kapok mengganggu kami?"
Akan tetapi baik Rara Inten maupun Ulam Sari masih berdiri dengan tangan kosong. Ancaman tiga batang pedang dan sebatang golok itu sama sekali tidak membuat dua orang gadis ini gentar dan takut.
"Serbu!" salah seorang di antara mereka telah memberikan aba-aba.
Dua orang langsung menyerbu ke arah Rara Inten, sedang orang yang mulutnya pecah oleh tamparan Ulam Sari tadi, bersama seorang kawannya menerjang kepada Ulam Sari.
"Siut-wutt......"
"Hi-hik, luput....!" ejek Ulam Sari sambil menghindar.
Sebatang golok dan sebatang pedang, menyambar angin kosong.
Betapa marah dua orang ini, sulit digambarkan. Sambil membentak nyaring, mereka sudah menerjang hebat sekali. Akan tetapi, hanya meliuk ke kanan dan ke kiri sambaran senjata itu luput lagi. Gerakan dua orang perajurit ini terlalu lambat bagi Ulam Sari. Hingga gerakannya menghindar selalu tepat. Kegembiraan Ulam Sari timbul. Ia mempermainkan lawannya, tanpa membalas.
Apa yang dilakukan Rara Inten berbeda lagi. Rara Inten tidak telaten untuk bermain-main dengan dua orang lawannya. Begitu dua batang pedang menyambar, Raga Inten tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Baru setelah dua ujung pedang itu hampir menyentuh dada dan pundaknya, jari tangannya bergerak cepat seperti tatit.
"Tring-tring... Auuwww......! "
Dua orang perajurit itu berteriak kaget. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Lengan mereka lumpuh mendadak, sedang pedang mereka telah terbang. Meskipun demikian mereka tidak mau menyerah mentah-mentah. Mereka segera menerjang maju menggunakan keris yang dipegang tangan kiri, sambil melengking nyaring.
Mendengar lengking perajurit itu, Rara Inten menjadi marah. Keris yang menyambar ke arah leher dihindari dengan miringkan tubuh, sedang keris yang seorang ditendang dengan kaki kanan.
Kemudian siku kiri menyodok dada disusul lagi dengan tendangan keras. Akibatnya dua orang perajurit itu roboh tanpa sambat lagi.
"Ulam Sari! Bahaya!" teriak Rara Inten sambil menendang dua tubuh perajurit itu, sehingga terpental cukup jauh.
Sekalipun belum berpengalaman. Ulam Sari mengerti pula arti dari pada lengkingan nyaring tadi. Jelas lengkingan itu merupakan pertanda minta bantuan. Sadar akan bahaya, Ulam Sari tidak mau main-main lagi. Menyusul terdengar suara teriakan dua perajurit itu, lalu roboh tak berkutik. Namun sekalipun demikian, terdapat perbedaan antara akibat yang diderita oleh perajurit yang menghadapi Rara Inten dengan Ulam Sari. Sebab perajurit yang menghadapi Rara Inten tidak berkutik untuk selamanya, sebaliknya dua perajurit yang menghadapi Ulam Sari hanyalah pingsan untuk sementara.
Rara Inten dan Ulam Sari telah berjongkok di atas sebuah dahan pohon yang cukup tinggi, ketika terjadi hiruk-pikuk. Belasan orang perajurit yang membawa obor kayu telah tiba di tempat itu. Mereka kaget dan terbelalak, ketika melihat empat sosok tubuh menggeletak tak bergerak di atas tanah. Lalu dengan cekatan mereka memberi pertolongan kepada yang pingsan. Adapun yang dua orang tidak perlu diberi pertolongan karena nyawanya sudah melayang. Sementara beberapa orang memberi pertolongan kepada yang pingsan. yang lain segera mengurung tempat itu dengan senjata terhunus. Tidak lama kemudian, yang pingsan telah siuman
"Ah...ahh, tadi ada seorang pemuda tampan dan perempuan yang wajahnya jelek bukan main, berkeliaran di tempat ini. Ketika akan kami tangkap, malah melawan. Akibatnya saya roboh," kata orang itu, menjawab pertanyaan si penolong.
"Hanya dua orang, kalian tak mampu menangkapnya?" tanya salah seorang keheranan.
"Ahh, mereka hebat bukan main, seperti bukan manusia. Kami empat orang tidak berdaya menghadapi mereka."
"Hehheh-heh, memalukan sekali!" desis perwira berewok penasaran.
"Hem, di mana tikus tikus itu sekarang? Biarlah aku...... aduhh....!"
Belum juga selesai perwira itu sesumbar telah mengaduh-aduh kesakitan dan berjingkrakan tak karuan.Para prajurit bawahannya terbelalak heran dan saling berebut untuk bertanya.
"Bangsat! Jahanam! Mengapa daun yang melayang bisa menancap ke pipiku ?" caci maki perwira itu, sambil mencabut daun yang menancap pada pipinya.
Akan tetapi perwrra Itu segera meringis kesakitan, dan sibuk mengusap darah merah yang mengalir dari pipinya yang terluka. Ternyata sekalipun hanya daun melayang, menancapnya pada pipi agak dalam. Perwira itu kesakitan juga.
Rara Inten dan Ulam Sari yang berjongkok di atas dahan, menahan ketawanya, sehingga perut menjadi keras. Daun tadi bukanlah melayang oleh tiupan angin, Akan tetapi sengaja dilemparkan oleh Ulam Sari. Gadis wajah jelek itu menjadi tidak
senang ketika mendengar perwira berewok membuka mulut seenak perutnya sendiri. yang sesumbar dan sombong.
Melihat perwira berewok itu terluka pipinya oleh sambaran daun yang melayang jatuh, orang yang baru siuman dari pingsan tadi terbelalak. Katanya,
"Ah, celaka......! Kiranya benar perempuan tadi wewe gombel ..."
"Huh, siapa mau percaya?" bentak perwira berewok yang kesakitan.
Akan tetapi sekalipun berkata begitu, tak urung hatinya menjadi gentar dan khawatir. Ia bukanlah seorang bodoh. Sebagai' seorang perwira, tentu saja ia segera bisa menduga,tentu sehelai daun yang menancap pada pipinya tadi bukanlah secara kebetulan.Ia menduga, daun itu dilemparkan seorang sakti. Sebab daun itu bukanlah daun kering. Malah pada daun itu masih terdapat getah, berarti baru saja dipetik orang.
Menduga demikian, perwira berewok itu segera memerintahkan para perajurit supaya menggotong dua orang prajurit yang tewas, dibawa ke rumah penjagaan di dekat pintu gerbang.
"Hi-hik.. mereka menjadi ketakutan setengah mati!" kata Ulam Sari sambil cekikikan.
Gadis yang wajahnya buruk ini, agaknya menjadi senang dapat mempermainkan orang.
"Tetapi agak sayang, engkau tadi menyerang dia dengan daun," sahut Rara Inten.
"Kalau saja tidak engkau serang. mungkin kita biga gembira lagi dapat mempermainkan mereka."
"Kalau begitu, marilah kita masuk ke rumah kadipaten dan mengacau !" ajak Ulam Siri.
"Hemm, tak usah! Percayalah bahwa dalam
waktu singkat, akan segera datang tokoh-tokoh Surabaya. Untuk itu, engkau harus berhati-hati."
"Hi-hik, jangan khawatir cah ayu...... suamimu
takkan membunuh diri...... nihh, sakit ah...... cubitanmu......,."
"Kau menggoda orang saja......"
Dua orang ini, kemudian saling cekikikan tertawa.Namun, mereka tak juga turun dari dahan pohon.
(Bersambung jilid ke 8)
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 8
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
(Lanjutan " Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat
Jilid: 8
********
SESUNGGUHNYA, dugaan Rara Inten itu memang tepat. Setelah para perajurit Surabaya itu kembali ke tempat penjagaan, segera terjadilah pembicaraan yang ramai membicarakan peristiwa yang baru terjadi. Perajurit yang tadi pingsan, kepada kawan-kawannya berpendapat bahwa laki-laki tampan dan perempuan jelek tadi bukanlah manusia. Sebab apa bila manusia, tidaklah mungkin terjadi seorang laki-laki yang muda dan tampan, sudi kawin dengan seorang perempuan jelek bukan main. Di samping pasangan itu aneh, juga kepandaiannya menakjubkan. Mereka mengeroyok, tetapi hanya dalam satu gebrakan saja sudah keok.
Sebaliknya perwira berewok yang terluka pipinya oleh daun yang melayang, merasa malu untuk bercerita. Ia lebih suka langsung melaporkan hal tersebut kepada atasannya.Sebagai seorang yang telah berpengalaman, ia menduga bahwa pasangan yang aneh itu tentu tokoh sakti yang sengaja menyelundup untuk mengacau. Dugaan itu dihubungkan dengan surat Pangeran Pekik terhadap Sunan Giri.
Waktu itu, Madu Bala dan Hesti Wiro sedang duduk mencari angin di bawah pohon. Hesti Wiro sesuai dengan perintah Sultan Agung, memang menetap di Surabaya untuk membantu. Bagi dua orang ini, merupakan sahabat lama, akan tetapi mempunyai perjalanan hidup yang membuat pernah berdiri sebagai musuh. Sebab seperti sudah diceritakan dalam buku Ratu Wandansari, waktu itu Madu Bala mengabdi kepada Mataram. Namun setelah yang menjabat sebagai Raja Gagak Rimang Pangeran Pekik, Madu Bala kembali lagi ke kandang,. justeru dirinya salah seorang tokoh Gagak Rimang. Di saat Pangeran Pekik belum tunduk kepada Mataram, kedudukan dua orang ini sebagai musuh. Akan tetapi sekarang kedudukan mereka kembali sebagai sahabat, setelah kedudukan Pangeran Pekik sebagai suami Ratu Wandansari. Itulah sebabnya maka sahabat lama ini, begitu asyik bicara di bawah pohon.
Namun perhatian Madu Bala segera tertarik, ketika ia melihat langkah perwira berewok yang bergegas. Tegurnya,
"Hai, Jaladri! Nampaknya engkau tergesa-gesa. Apa yang terjadi?"
Perwira berewok yang bernama Jaladri itu cepat-cepat membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Sesudah itu dengan membungkuk bungkuk, ia menghampiri. Lalu ia duduk di atas tanah pada jarak kira-kira tiga meter, karena Madu Bala dan Hesti Wiro juga duduk ngelesot di atas tanah.
"Sesungguhnya ada hal yang akan saya laporkan kepada bendara Tumenggung Danudirjo."
"Hal apakah itu ?" desak Madu Bala yang cerdik.
"Ada dua orang yang mencurigakan, entah dari pihak mana,"
Jaladri menerangkan.
"Saya sendiri memang belum berhadapan muka. Akan tetapi dua orang perajurit telah tewas. dan dua orang perajurit lagi roboh pingsan. Katanya mereka berhadapan dengan seorang pemuda tampan, dan seorang perempuan jelek ...... "
"Di manakah orang itu?" potong Madu Bala yang tak sabar lagi.
"Mereka di luar tembok kadipaten. di bagian barat... ahhh...'..."
Jaladri berseru kaget dan melongo. Mendadak saja Madu Bala dan Hesti Wiro sudah melompat, bayangan mereka berkelebat, dalam waktu singkat telah lenyap. Diam-diam Jaladri bangga bahwa Surabaya memiliki beberapa tokoh sakti mandraguna. Sekalipun demikian Jaladri .segera bangkit langsung menuju ke tempat Tumenggung Danudirjo berada, sebab malam ini Tumenggung Danudirjolah sebagai atasannya.
Tumenggung 'Danudirjo kaget pula mendengar laporan itu. Katanya agak gugup.
"Jaladri! Siapkan pasukan yang cukup kuat. Bagilah dua pasukan yang malam ini tugas jaga. Separuh tetap
menjaga rumah kadipaten, dan separoh harus cepat menyusul ke sana bersama aku !"
"Akan segera saya laksanakan!"
Jaladri menyanggupkan diri.
Tak lama kemudian pasukan yang jumlahnya lebih empatpuluh orang, telah bergerak menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Jaladri. Akan tetapi Tumenggung Danudirjo menjadi heran, ketika tiba di tempat tersebut, keadaan sepi saja.
'Jaladri! Benar di tempat inikah engkau diserang orang dengan daun pohon?" tanya Tumenggung Danudirjo ragu-ragu.
"Tetapi tempat ini sepi saja, baik orang itu maupun kakang Madu Bala tidak ada. Apakah engkau tidak keliru?"
"Tidak! Memang di sinilah peristiwa itu terjadi,"
Jaladri menjawab dengan nada pasti.
"Apakah tidak mungkin musuh itu melarikan diri, karena tak kuasa melawan paman Madu Bala dan paman Hesti Wiro?"
Tumenggung Danudirjo mengangguk-angguk.
"Ya, mungkin mereka telah lari ketakutan. Akan tetapi sekalipun begitu, kamu semua jangan sembrono. Malam ini kamu harus berhati-hati, dan perondaan harus dilakukan terus-menerus. Hemm. keadaan cukup genting. Siapa tahu mereka memang sengaja memusuhi Surabaya ?"
"Tetapi orang yang berani mengacau di sini, apakah sengaja mau membunuh diri?"
Jaladri yang merasa bahwa Surabaya mempunyai beberapa orang sakti, setengah menepuk dada dan membanggakan diri.
"Hush! Seorang perajurit tak benar menepuk dada dan membanggakan kekuatan. Sikap begitu akan membuat orang lengah. tahu?" bentak Tumenggung Danudirjo.
Jaladt'i menundukkan muka, tidak berani membuka mulut, sekalipun dalam hatinya menggerutu.
Atas perintah Tumenggung Danudirjo, kemudian pasukan ini kembali ke rumah kadipaten. Namun untuk menjaga keamanan, malam ini tidak seorangpun diijinkan tidur. Perondaan di luar benteng terus dilakukan, di samping pula di beberapa tempat ditempatkan penyelidik.
Tidak mengherankan apa bila Tumenggung Danudirjo dan pasukannya tidak bertemu dengan seorangpun, di tempat yang ditunjuk. Rara Inten adalah seorang yang cerdik. Ketika ia melihat dua bayangan orang yang berkelebat cepat ke arah persembunyiannya, ia berbisik kepada Ulam Sari agar berhati-hati. Dari gerakan mereka yang cepat dan gesit, jelas bahwa dua orang yang datang ini bukan sembarangan.
"Apakah mbakyu takut ?" tanya Ulam Sari.
'Huh, siapa takut?" jawab Rara Inten kurang senang.
"Tetapi di dekat sarang lawan. jika ingin selamat harus hati-hati. Apa bila kita gegabah. kita akan berhadapan dengan banyak lawan dan dikeroyok."
"Hi-hik. kalau begitu apakah kita pancing saja mereka ke tempat jauh?" '
"Bagus, engkau cerdik sekali, adik Ulam Sari."
Rara Inten memuji.
"Mari, mereka kita ajak balap lari!"
"Hi-hik. bagus! Mari main kucing-kucingan!"
Dia mengucapkan kata katanya ini, sengaja Ulam Sari berteriak sambil melompat turun dari
dahan pohon. Kemudian langsung menghampiri Madu Bala dan Hesti Wiro, yang ketika itu sedang menyelidik dengan hati hati.
Tentu saja teriakan Ulam Sari itu membuat Madu Bala dan Hesti Wiro gembira. Sebaliknya, Rara Inten berseru tertahan menyaksikan kesembronoan Ulam Sari yang menuju ke arah mereka. Iapun segera pula melayang turun dari dahan pohon. Ia menunjukkan diri kepada-lawan, kemudian teriaknya,
" Jika kamu jantan sejati; kejarlah aku ! "
" Siapa takut?" sahut Madu Bala yang berangasan. sambil melompat untuk mengejar Rara Inten.
Akan tetapi Madu Bala segera melompat ke samping sambil berteriak tertahan,
"Aihhh..... kurang ajar...!"
"Hi-hi-hik, kau kaget?" ejek Ulam Sari sambil melompat ke arah Rara Inten yang telah lari memancing.
Madu Bala menyumpah-nyumpah sambil mengerahkan kepandaiannya lari, mengejar Hesti Wiro yang sudah lebih dulu mengejar lawan. Madu Bala yang berangasan ini, gerakannya tadi terpaksa tertunda, akibat kenakalan Ulam Sari. Ternyata di saat gadis ini menyongsong Hesti Wiro dan Madu Bala, telah melemparkan tali yang kecil ke arah Madu Bala. Lemparan Ulam Sari tepat sekali, sehingga Madu Bala kaget ketika lehernya seperti tercekik. Baru setelah ia berhasil memutuskan tali yang hampir mencekik lehernya, Madu Bala dapat mengejar.
Diam -diam baik Madu Bala maupun Hesti Wiro
heran berbareng kagum. Mereka merupakan orang
orang tua jago lari.
Akan tetapi mengapa mereka tidak berhasil mengejar dua orang muda itu?
Walaupun mereka telah mengerahkan tenaga dan kepandaian, jaraknya tetap saja.
Dalam hati mereka bertanya, dari mana dan siapakah dua orang muda yang berani mengacau Surabaya ini?
Dan akibatnya pula dua orang tokoh tua ini menjadi amat penasaran. Betapa malu hati mereka apa bila sampai gagal menangkap pengacau itu. Maka walaupun mereka tahu telah dipancing menjauhi rumah kadipaten, baik Madu Bala maupun Hesti Wiro tidak takut.
Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi laut yang jauh dari Surabaya. Rara Inten dan Ulum Sari telah menunggu, ketika Madu Bala dan Hesti Wiro masih berlarian.
"Hemm, kebetulan sekali!" desis Rara Inten geram.
"Apanya yang kebetulan?" tanya Ulam Sari.
"Orang yang wajahnya jelek itu adalah musuhku bebuyutan, Madu Bala. Berikan dia padaku, dan untuk engkau, lawanlah yang seorang!"
Melihat sinar mata Rara Inten yang menyinarkan nafsu membunuh itu, diam-diam Ulam Sari kaget.
"Mbakyu! Apakah malam ini engkau akan melakukan pembunuhan ? "
"Hemm, manusia busuk itu harus kubunuh mampus!"
Rara Inten geram sekali.
"Dia itulah yang memfitnah aku dan guruku Anjani di depan banyak orang. Dan saking malu, guruku setengah membunuh diri."
"Ihh. engkau dilanda oleh dendam mbakyu?"
'Hemm, memang hidupku ini dipenuhi oleh dendam yang membara. Agaknya memang telah takdirku harus begitu."
Ulam Sari sekalipun usianya masih muda, telah dapat berpikir jauh. Ia mengerti, orang yang mendendam tidak mungkin bisa dibujuk. Maka akhirnya gadis ini mengangguk setuju.
' Baiklah jika begitu. Biarlah aku melawan kakek yang kurus itu."
Gembira sekali Rara Inten kali ini. Sejak masuk ke Surabaya, ia sudah bercita-cita agar dapat bertemu dan berhadapan dengan Madu Bala, musuh bebuyutan itu. Dahulu, ketika berhadapan di atas geladag perahu, antara dirinya dengan Madu Bala sama-sama menderita luka. Akan tetapi sekarang ini, ia merasa pasti akan dapat mengalahkan Madu Bala dan membunuhnya. Selama dirinya belum berhasil membunuh mati Madu Bala, dirinya masih akan selalu dihantui arwah gurunya yang penasaran.
Tidak lama kemudian Madu Bala dan Hesti Wiro tiba di tempat itu hampir berbareng. Dua orang tua ini mendelik marah. Kemudian bentak Madu Bala keras,
' Hai bocah-bocah kurang ajar! Kamu berani mempermainkan kami? Huh, jangan salahkan aku, jika kamu harus mampus malam ini tanpa ada yang mengubur mayatmu!"
"Hemm!, Madu Bala yang sombong dan besar mulut!" sindir Rara Inten dingin.
Mata Madu Bala terbelalak kaget, dan mengamati pemuda itu penuh perhatian. Bentaknya,
"Huh, siapakah engkau anak muda yang lancang mulut?"
"Hi-hik agaknya matamu telah buta!" ejek Rara Inten sambil melepaskan ikat kepalanya dan secepat kilat ikat kepala itu dikebutkan ke depan ke arah Madu Bala. ikat kepala yang terbuat dari selembar kain satu meter persegi itu, menyambar ke depan menerbitkan angin dahsyat. Dan sekalipun hanya selembar kain tetapi bahayanya tak kalah dengan senjata pedang.
"Haitt.....!"
Madu Bala melompat kaget menghindari sambaran ikat kepala yang menjulur panjang itu. Namun kakek wajah jelek ini kemudian ketawa bekakakan setelah mengenal Rara Inten, yang tadi menyamar sebagai pemuda.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Ada ular mencari gebug. Heh-hehheh, tetapi kalau saja aku masih muda. sayang pula jika menggebug perawan secantik engkau ini. Hanya saja sayang, engkau perawan cantik yang sial. Usiamu makin menjadi tua, tetapi belum juga ada laki-laki yang meminangmu..."
"Tar tar...... Siutt... wuut' ikat kepala dalam tangan Rara Inten itu, mendadak saja meledak dua kali, menyambar ke arah Madu Bala.
Agaknya Rara Inten menjadi marah sekali, mendengar ucapan Madu Bala yang menghina itu. Akan tetapi karena ikat kepala itu kurang menguntungkan apa bila dijadikan senjata, maka ikat kepala tersebut dibuang dan telah diganti dengan cambuk pusakanya.
"Tar--tar-tar.......! Haittt" cambuk itu meledak tiga kali dan menyambar ke arah Madu Bala.
Kakek itu kaget dan melompat jauh. Kemudian
pada tangan kanan Madu Balapun, sekarang telah siap senjata tongkat berkait, senjata andalannya.
Akan tetapi apa yang tadi diucapkan itu, Madu Bala memang sengaja untuk memancing kemarahan orang. Ternyata pancingannya berhasil, maka kakek yang suka ugal-ugalan ini sekarang berusaha menambah orang makin marah.
"Hai, Hesti Wiro! Tahukah engkau akan sejarah hidupku?" teriaknya sambil menghindarkan diri dari sambaran cambuk.
Ketika itu Hesti Wiro memang belum mulai berkelahi dengan Ulam Sari. Maka kakek ini tertarik dan bertanya,
"Bagaimanakah Sejarah hidupmu sesungguhnya, aku memang belum banyak tahu. Yang aku tahu tentang engkau serba sedikit saja, ketika engkau mengabdi ke Mataram, dan menyamar sebagai seorang gagu."
"Heh-heh-heh, sengaja aku menyamar sebagai orang gagu, agar orang tidak tahu jalan hidupku. Hai, Hesti Wiro! Tahukah engkau,,bahwa gadis ini anakku sendiri ?"
"Aihh, aku tak percaya!"
Pendekar Naga Putih 04 Partai Rimbah Hitam Pulang Karya Leila S. Chudori Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini