Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 7
Hesti Wiro kaget dan heran.
"Kau tak percaya, bocah ini lahir dari hubungan gelap antara aku dengan Anjani...!"
"Tar-tar tar-tar..!"
Kata-kata Madu Bala ini terputus oleh sambaran cambuk Rara Inten yang amat dahsyat. Dan membuat Madu Bala harus sibuk dalam usahanya menghindarkan diri. Rara Inten sudah marah bukan
main. Sebab lagi-lagi kakek wajah jelek ini memfitnah dirinya, dan memfitnah gurunya yang sudah tiada.
Mengapa orang yang sudah meninggal cukup lama, masih juga diburuk-burukkan dan difitnah?
Maka dalam marahnya ini, timbul tekadnya, bahwa kali ini antara dirinya dengan Madu Bala harus mengadu jiwa, dan entah siapa yang harus mampus malam ini.
Ulam Sari yang masih berdiri itupun menjadi tidak senang mendengar ucapan Madu Bala. Sebab Rara Inten tadi, baru saja mengemukakan tentang fitnah itu. Ternyata sekarang. kakek wajah jelek ini mengulang fitnahnya lagi. Sekalipun ia tidak tahu akan persoalan ini, Ulam Sari menjadi tidak senang.
Mengapa seorang kakek, membuka mulut sembarangan di depan orang?
Dan kalau toh soal itu benar. mengapa pula harus dibeber di depan orang setiap kesempatan?
Kalau toh Rara Inten merupakan anaknya di luar nikah, seharusnya Madu Bala sendiri sebagai ayah harus merasa malu.
Mengapa sebagai ayah tidak bertanggung jawab?
Sebagai seorang perempuan pula, Ulam Sari merasa terhina dan marah. Maka diam-diam timbul pula keinginannya untuk menghajar kakek lancang mulut ini.
Dalam marahnya, Hesti Wirolah yang menjadi sasarannya. Ulam Sari melengking nyaring, dan tiba -tiba sudah menyerang Hesti Wiro.
'Heiitttt... !"
Hesti Wiro memekik sambil melompat untuk menutupi rasa kagetnya. Sama sekali tak pernah diduganya, secepat itu gerak tangan
gadis Wajah jelek ini. Hampir saja dirinya menderita rugi, kalau lambat sedikit gerakannya.
"Hi-hik, engkau kaget?" ejek Ulam Sari yang memang wataknya riang itu.
"Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran, jangan suka merendahkan orang muda."
"Huh. orang muda yang sombong.." dengus Hesti Wiro tersinggung.
Bagaimanapun dirinya termasuk pengawal rahasia Mataram yang tinggi kedudukannya. Maka kakek ini menjadi marah, atas sikap gadis wajah jelek ini.
"Hai-si jelek! Katakan dahulu sebelum mampus di tangan Hesti Wiro."
"Aihh..... agaknya engkau pengawal rahasia Mataram yang disohorkan orang sakti mandraguna itu? Hemm, tidak tahunya hanya macam ini saja orangnya? ' ejek Ulam Sari tanpa mau memperkenalkan namanya.
"Kurang ajar kau! Sebelum engkau mampus, mintalah pamit dahulu kepada ayah bundamu!" bentak Hesti Wiro sambil melancarkan serangan tangan kosongnya.
Angin yang dahsyat menyambar mendahului datangnya pukulan. Akan tetapi, untuk kedua kalinya kakek ini terbelalak kaget berbareng heran. Gerakan gadis wajah jelek ini cepat bukan main, sehingga serangannya hanya mengenakan tempat kosong.
"Bukan aku yang mampus, tetapi engkaulah, kakek kurus. Maka sebelum tiba ajalmu, pamitlah dahulu engkau kepada isteri dan cucu-cucumu. Hihik, sungguh kasihan engkau kakek, engkau harus mampus di tangan orang yang pantasnya menjadi cucumu sendiri."
"Hiaaatttt.....!"
Hesti Wiro tidak menjawab tetapi kembali melancarkan. serangannya.
Gerakan tangan Hesti Wiro yang tidak terduga cepatnya itu, membentuk cengkeraman ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Seakan dua tangan itu mendadak saja berubah menjadi belasan tangan yang sama bahayanya, menyambar nyambar tanpa ampun lagi.
"Aihhh.....!" akan tetapi tiba-tiba Hesti Wiro memekik tertahan saking heran. Entah bagaimana caranya gadis itu bergerak. tiba-tiba ia merasa telah diserang dari arah belakang. Sebagai seorang yang telah banyak kali berkelahi melawan musuh berat, kakek ini sadar bahwa lawannya yang masih muda ini, dapat bergerak ringan sekali seperti kapas.
Tetapi di luar tahu Hestiwiro, bahwa sesungguhnya Ulam Sari kagum juga akan kecepatan gerak tangan dan tenaga serangan yang terkandung dalam serangan itu. Sebab serangan tersebut mengandung kekuatan hebat sekali seperti pusaran, yang sulit untuk ditembus. Dan Ulam Sari baru dapat melepaskan diri dari pusaran tenaga itu, setelah Ulam Sari melenting tinggi di udara dan menggunakan kesempatan menyerang dari belakang.
Hesti Wiro marah bukan main. Tahu-tahu di tangan kakek itu, telah terpegang sepasang senjata tombak trisula pendek. Ia membalikkan tubuh sambl menyerang.
'Mampuslah !" teriaknya nyaring.
Tetapi serangan tak terduga itu lagi-lagi tak berhasil mengenai sasarannya. Sekalipun begitu. Ulam Sari tidak berani sembrono lagi. Begitu lawan
telah menggunakan senjata, iapun segera menggunakan senjatanya. Selembar ikat pinggang yang cukup panjang.
Melihat itu Hesti Wiro mengerutkan alis dan heran.
Mengapa bocah kemarin sore ini, melawan kakek bangkotan hanya bersenjata ikat pinggang?
Bagaimanapun kakek ini merasa malu apa bila dituduh sebagai seorang tua yang mencari menang sendiri. Hardiknya,
"Hai bocah! Jangan engkau main-main. Ambillah senjatamu!" '
"Hi-hi-hik."
Ulam Sari yang suka tertawa itu cekikikan.
"Aku bukan menghina engkau, kakek yang baik. Akan tetapi senjataku memang ikat pinggang ini saja!"
'Hemm. aku sudah memperingatkan engkau. Jangan salahkan aku jika tombak trisulaku ini melubangi tubuhmu!" "
"Tetapi sebaliknya janganlah kakek penasaran, kalau ikat pinggangku ini nanti membuat tubuhmu babak-belur. Hi-hik....."
' Siutt.. wuttt....!"
Hesti Wiro menjadi marah dan telah menyerang dengan sepasang tombak trisula pendek itu. Sambaran senjata itu cepat dan bertenaga kuat. Angin sambarannya saja kuasa membuat kulit tubuh terasa nyeri, Akan tetapi dengan gesit dan cepat tanpa kesulitan, Ulam Sari menghindari sambaran senjata kakek itu. Dan menyusul kemudian terdengarlah suara,
"Plak.....! Plak..!"
Hesti Wiro kaget dan terbelalak. Mimpipun tidak bahwa sepasang senjata trisulanya terpental menyeleweng, begitu ditangkis oleh ikat pinggang yang lemas itu.
"Haitt.....!" kakek ini kaget sambil menangkis dengan senjatanya, ketika tahu-tahu ujung ikat pinggang itu seperti hidup, menyambar ke arah kepalanya.
Sadarlah Hesti Wiro, bahwa perempuan berwajah jelek ini bukanlah bocah sembarangan. Tetapi bocah setan yang berbahaya. Sadar bahwa lawannya yang muda ini bocah luar biasa, ia tidak raguragu lagi dalam melancarkan serangan-serangannya. Sepasang tombak trisulanya itu, sekarang dengan gencar menghujani serangan di samping menangkis sambaran ikat pinggang.
Dua orang kakek dan dua orang gadis ini, sekarang telah terlibat dalam perkelahian sengit yang mendebarkan jantung. Mereka justeru berkelahi di tepi laut yang sepi, jauh dari manusia lain. Maka apa bila mereka mendapat luka maupun mati terbunuh, kiranya tidak akan ada orang yang merawat.
Bagaimanapun perkelahian antara Hesti Wiro melawan Ulam Sari, masih kalah seru apa bila dibanding dengan perkelahian antara Madu Bala dengan Rara Inten .Dua orang ini justeru musuh lama, dan merupakan musuh bebuyutan pula. Maka sambaran senjata masing masing selalu berusaha membunuh. Tongkat Madu Bala yang mempunyai kaitan tajam pada ujungnya itu, menyambar dahsyat. Sebaliknya cambuk Rara Intenpun meledak ledak dan menyambar nyambar seperti ular hidup.
Rara Inten penuh semangat menghujani serangan kepada Madu Bala. Perempuan ini penuh keyakinan, bahwa malam ini akan dapat merobohkan Madu Bala. Sebab apa bila dibandingkan dengan keadaannya setahun yang lalu, Rara Inten 'merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan pesat. Di luar tahu Rara Inten, bahwa selama ini Madu Bala memperoleh kemajuan berkat bimbingan Pangeran Pekik. Maka di saat berkelahi ini, Madu Balapun merasa, yakin akan dapat merobohkan Rara Inten.
"Tar-tar...... siut siut..... plak-plak 'Sambaran tongkat dan cambuk bertemu di udara. Dua duanya tampak terhuyung mundur. Namun sesaat kemudian mereka telah saling labrak lagi lebih dahsyat. Mereka tidak menghiraukan lengan tergetar dan isi dada terguncang. Dendam yang membara dalam dada, membuat mereka lupa bahaya.
Berkali-kali dua senjata itu bertemu dan berbenturan. Dan berkali-kali pula mereka terpental mundur, kemudian bertempur lagi amat hebat.
"Heitt..... hiaaattt.... !" terdengar seruan tertahan dari mulut Madu Bala, tetapi segera disusul oleh bentakannya dan senjata tongkat itu menyambar dahsyat.
"Tar-tar-tar.....!" ujung cambuk Rara Inten meledak-ledak di udara,
Perempuan ini marah dan penasaran bukan main. Ilmu Cambuk Samber Nyawa, belum juga berhasil mencabut nyawa Madu Bala.
Dua orang itu rasa marahnya makin tambah. setelah puluhan jurus bertempur, kedudukannya masih juga seimbang. Diam-diam Madu Bala mengakui, kalau saja dirinya tidak memperoleh gemblengan Pangeran Pekik, kiranya malam ini takkan
mampu melawan perempuan ini. Pantas saja waktu itu, Rara Inten dengan senjata cambuknya dapat merajai gelanggang pertandingan di Pondok Bligo.
Pengalamannya yang puluhan tahun lamanya, pengetahdannya tentang macam-macam ilmu, seakan iiada gunanya sama sekali berhadapan dengan ilmu cambuk Rara Inten. Bukan saja gerak ilmu cambuk itu cepat bukan main, tetapi juga arah sasarannya tidak terduga sama sekali. Kalau saja dirinya tidak luas pengalaman, kiranya telah berkali-kali dirinya terhajar oleh ujung cambuk itu.
Namun bukanlah Madu Bala kalau cepat kewalahan menghadapi sambaran cambuk Rara Inten ini. Senjata tongkatnya itu seakan berubah menjadi hidup. Pengetahuannya mengenai ilmu tata kelahi dari beberapa perguruan, malam ini benar-benar memberi keuntungan kepada kakek ini. Sehingga sering kali Rara Inten hampir tertipu. Untung senjata Rara Inten lebih panjang, hingga dapat menolong diri tanpa kesulitan
Malam telah larut!
Angin laut berhembus kuat tak pernah henti, menyebarkan hawa yang dingin. Namun empat orang yang sedang berkelahi ini sama sekali tidak merasa dingin, malah peluh yang membasahi tubuhpun seperti air panas, sepanas hati masing-masing yang belum berhasil merobohkan lawan. Kedudukan Rara Inten dan Madu Bala sulit diduga siapakah yang akan menang. Berbeda dengan keadaan Ulam Sari dan Hesti Wiro. Makin lama makin nampak bahwa kedudukan gadis wajah jelek itu dapat mengatasi kakek itu. Berkali-kali sepasang tombak trisula Hesti Wiro yang menyambar terpental membalik, terpukul oleh ujung ikat pinggang Ulam Sari.
"Plak-plak-plak..... aihhh..!"
Hesti Wiro berseru kaget sambil terhuyung mundur, dadanya tampak kembang kempis. sedang pundak kiri terasa sakit bukan main. Untung juga pukulan ujung ikat pinggang itu meleset, sehingga sekalipun terasa sakit tetapi tidak menyebabkan cidera
Kalau tidak mengalami sendiri, kiranya kakek ini sulit percaya. Sepasang tombak trisulanya tadi, begitu tertangkis oleh ujung ikat pinggang terpental hebat. Belum juga bilang rasa kagetnya, pundak kirinya telah terpukul oleh ujung ikat pinggang yang lain. Sambaran ujung cambuk itu sama sekali tidak terduga, sehingga Hesti wiro tak sempat menghindarkan diri.
Namun sungguh mengherankan. Dan kakek ini hampir tidak percaya kepada apa yang dialami sendiri.
Mengapa sebabnya perawan wajah jelek itu, tidak meneruskan serangannya di saat ia tadi kaget?
Tetapi bagaimanapun apa yang baru dialami tadi, membuat kakek ini marah!
Bocah yang menghadapi dirinya sekarang ini ibarat cucunya.
Mungkinkah dirinya harus kalah melawan bocah ini?
Maka sambil menggeram keras sekali, kakek ini kembali melancarkan serangan-serangannya yang dahsyat. Sepasang tombak trisula yang tajam itu, saking cepatnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Seluruh penjuru telah dikuasai sinar senjata yang tajam itu, dan tidak memberi kesempatan kepada Ulam Sari untuk menyelamatkan diri.
Nampaknya memang benar gadis itu terkurung oleh sinar senjata dan sambaran angin yang berputar. Hesti Wiro gembira. dan ia percaya penuh bahwa gadis itu takkan kuasa lagi membela diri.
Akan tetapi ternyata melesetlah dugaan Hesti Wiro. Sebab bocah berwajah jelek yang tampaknya telah tak kuasa melepaskan diri dari jangkauan sinar senjatanya itu, tidak hanya berdiam diri. Ikat pinggang yang dipegang di tengah itu, dua ujungnya seperti hidup. Gerakannya nampak cepat tetapi indah seperti orang yangt menari namun kuasa menahan setiap sambaran senjata Hesti Wiro. Hingga sepasang tombak trisula itu, setiap menyambar akan segera terpental dan menyeleweng.
Di saat itu terdengar suara Madu Bala yang menggeram. Lalu terdengar bentakannya menggeledek,
" Mampus kau! "
Belum juga lenyap suara bentakan Madu Bala. terdengar pula bentakan Rara Inten,
"Kaulah yang mampus!"
"Tar-plak..... trang-pukk.....!" dua orang yang semula berkelahi cepat dan sengit itu, sekarang terhuyung mundur.
Muka Madu Bala yang jelek itu sekarang makin tampak menyeramkan oleh noda darah. Madu Bala telah menderita luka yang cukup merugikan. Sebab mata kirinya telah pecah oleh sambaran cambuk Rara Inten. Hingga kalau kemudian hari mata itu dapat disembuhkan lagi kiranya Madu Bala menderita buta sebelah matanya .
Tetapi sebaliknya Rara Intenpun menderita rugi yang tidak ringan. Tongkat Madu Bala yang
mempunyai ujung kaitan tajam berhasil mematahkan tulang pundak Rara Inten yang kanan. Hingga lengan perempuan ini sekarang terkulai ke bawah dan darah merah mengucur membasahi baju. Lengan kanan Rara Inten yang luka itu sekarang tak dapat dipergunakan berkelahi lagi, sehingga cambuknya beralih ketangan kiri,
Apa yang baru saja terjadi, bukan lain oleh kenekatan Madu Bala. Setelah berkelahi cukup lama, Madu Bala menerobos masuk ke dalam jangakauan sambaran cambuk Rara Inten. Usaha Madu Bala yang nekat ini, memang di luar dugaan Rara Inten. Sehingga berhasil melukai Rara Inten. Akan tetapi ternyata hasilnya ini, 'harus ditebus dengan mahal. Sambaran ujung cambuk Rara Inten yang tak terduga duga telah memecahkan mata kirinya.
Madu Bala menggeram keras Sekali saking sakit dan marahnya. Lalu tanpa menghiraukan mukanya yang berlepotan darah, kakek ini telah menerjang maju lagi dengan senjatanya.
"Mampus kau..! Mampus kau..." .
Terjangan Madu Bala yang seperti harimau terluka ini, memang cukup merepotkan Rara Inten. Apa pula sekarang ia harus membela diri dan menyerang menggunakan tangan kiri, dan pundak yang terluka itupun terasa sakit untuk bergerak.
Untuk membela diri, Rara Inten terpaksa menggunakan kegesitannya bergerak. Tangan kirinya yang memegang cambuk karena kurang biasa gerakannya kaku sehingga dapat dihalau oleh Madu Bala dengan gampang. Akibatnya pula gadis ini sekarang harus membela diri sambil mundur.
Walaupun dirinya sendiri sibuk melayani Hesti Wiro, namun Ulam Sari sempat pula melirik dan melihat kesulitan Rara Inten. Sebagai teman seperjuangan membela Giri, tentu saja Ulam Sari takkan membiarkan Rara Inten roboh di tangan Madu Bala. Dan lebih lagi kakek wajah jelek itu telah membuat hatinya sakit. Maka apapun yang terjadi, ia harus dapat membela dan menyelamatkan Rara Inten.
Begitu memperoleh pikiran, secepatnya dilaksanakan. Gerakan ikat pinggang itu tiba-tiba berubah.
"Plak-plak-tar......! siut..plak.. buk. ! Tar..tar. ...! "
Hesti Wiro terpaksa harus melompat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung ikat pinggang Ulam Sari, setelah sepasang senjatanya terpental oleh pukulan ujung ikat pinggang bocah itu. Akan tetapi justeru mundurnya kakek ini, menimbulkan akibat yang tidak terduga. Madu Bala yang tinggal dapat melihat dengan sebelah mata ini, perhatiannya tercurah ke arah Rara Inten yang terdesak. Ia sampai kurang waspada oleh sambaran ujung ikat pinggang Ulam Sari dari arah kiri.
Sebagai seorang tua yang mempunyai pendengaran tajam sekali, Madu Bala memang merasa adanya sambaran angin dari sebelah kiri. Namun kakek yang suka sembrono ini menganggap bahwa gadis wajah jelek itu tidak berbahaya. Sambaran ujung ikat pinggang itu, ia tangkis dengan tangan kiri sedang tongkat pada tangan kanan masih terus mendesak Rara Inten.
Tetapi justeru kesembronoannya ini yang menyebabkan ia celaka. Ujung ikat pinggang Ulam Sari itu seperti hidup. Begitu tertangkis tidak terpental, melainkan malah melibat pergelangan tangan kirinya. Di saat Madu Bala kaget, ujung ikat pinggang yang lain telah memukul punggung secara telak. Dan di saat tubuh Madu Bala terhuyung, ujung cambuk Rara Inten telah menyambut dua kali berturut turut menyambar kepala. Masih untung kakek ini dapat menangkis dengan tongkatnya. Akan tetapi secara tak terduga, ujung ikat pinggang Ulam Sari, telah memukul pundaknya dari belakang.
Untung di saat itu Hesti Wiro dengan menggeram keras telah menerjang ke arah Ulam Sari. Hingga gadis wajah jelek ini terpaksa melepaskan tangan kiri Madu Bala, menyambut lawan lama. Lalu Hesti Wiro dan Ulam Sari telah berkelahi lagi dengan sengit.
Bantuan Ulam Sari yang hanya singkat itu, ternyata membuat Madu Bala banyak menderita rugi. Tulang pundaknya yang kanan patah oleh pukulan ujung ikat pinggang Ulam Sari. Hingga tangan kanan tak lagi dapat dipergunakan berkelahi, dan kakek ini menggunakan tangan kiri menggantikan kedudukan tangan kanan. Maka perkelahian antara Rara Inten dan Madu Bala itu, sekarang menjadi berimbang lagi. Sebab dua-duanya sekarang harus berkelahi menggunakan tangan kiri.
Ternyata Ulam Sari yang wajahnya jelek bukan main ini, seperti gadis setan saja sepak terjangnya.
Begitu melihat Rara Inten menderita patah tulang pada pundak yang kanan. Ulam Sari membalas pula mematahkan lengan kanan Madu Bala Dan sekarang gadis ini kembali berhadapan dengan Hesti Wiro. Ikat pinggang gadis itu menyambar nyambar dahsyat. Berkali-kali sepasang tombak trisula Hesti Wiro terpental menyeleweng oleh sambaran ikat pinggang itu. Membuat Hesti Wiro penasaran dan heran bukan main.
Mengapa tenaganya yang telah ia latih puluhan tahun lamanya itu, tidak kuasa berhadapan dengan tenaga seorang bocah yang belum berumur duapuluh tahun?
Di luar tahu Hesti Wiro, bahwa sekarang ini ia berhadapan dengan ilmu meminjam tenaga. Makin keras Hesti Wiro menyerang dan mengerahkan tenaganya. makin kuatlah tenaga yang membalik ke arah dirinya sendiri. Akibatnya walaupun dalam hal tenaga Ulam Sari tidak mampu menandingi Hesti Wiro, akan tetapi dengan ilmu meminjam tenaga ini Ulam Sari dapat memukul balik tenaga lawan.
Sesungguhnya Hesti Wiro ini beruntung pula, berhadapan dengan Ulam Sari.Sekalipun seorang gadis berusia muda, akan tetapi ia begitu patuh kepada pesan kakeknya dan juga gurunya.Bahwa apapun alasannya, membunuh sesama manusia tidaklah baik. Maka setiap sasaran serangan gadis ini, selalu menghindarkan bagian tubuh yang mematikan. Kalau saja ia berhadapan dengan Rara Inten, nyawanya tentu terancam oleh bahaya.
Tetapi justeru kepatuhan Ulam Sari akan pesan
kakeknya yang tidak boleh membunuh itu, membuat Ulam Sari tidak lekas dapat menundukkan lawan. Padahal gerak serangan Hesti Wiro selalu berusaha untuk merobohkan dan membunuhnya.
"Tar-tar-plak........!" ujung ikat pinggang Ulam Sari meledak ledak di atas kepala Hesti Wiro.
Di saat Hesti Wiro sibuk menghindar dan menangkis sambaran ujung ikat pinggang itu. tiba-tiba "plak" dan kakek ini meringis kesakitan, Punggungnya telah terpukul ujung ikat pinggang. Walaupun punggung itu tidak terluka. tetapi pukulan ujung ikat pinggang itu menimbulkan rasa nyeri dan panas. Maka dengan menggeram keras kakek ini menerjang maju. Sayang senjatanya kalah panjang. sehingga sepasang senjata itu terpukul menyeleweng oleh ujung ikat pinggang. Bagaimanapun kakek itu menjadi sibuk.
"Plak-buk-cus..... auhgg.......!'
Suara keluhan itu mengejutkan Ulam Sari dan Hesti Wiro. Tanpa berjanji, masing masing telah melompat mundur. Ketika mereka melihat ke arah Madu Bala dan Rara Inten, tibatiba saja wajah dua orang ini pucat dan kaget. Ternyata Rara Inten maupun Madu Bala telah menggeletak tidak bergerak. Agaknya dua orang lawan itu telah menderita luka berat, atau malah sudah mati.
Mendadak saja Ulam Sari melengking nyaring dan menyerang Hesti Wiro. Gadis wajah jelek ini, kiranya menjadi marah sekali melihat Rara Inten roboh tak bergerak dan khawatir kalau sudah mati.
Hesti Wiro kaget atas serangan mendadak itu.
Ia telah berusaha membela diri menangkis dengan sepasang tombak trisulanya, dengan gerakan memutar untuk dapat melihat ujung ikat pinggang gadis itu. Maksudnya dengan ketajaman tombak bermata tiga itu, akan dapat memutuskan ikat pinggang lawan. Tetapi sayang sekali, Hesti Wiro kalah cerdik dengan Ulam Sari. Tahu-tahu ujung ikat pinggang yang lain telah menyambar ke bawah melilit kaki, Dan sebelum kakek ini sempat memberatkan tubuh, kakek ini telah berteriak kaget dan roboh.
Kesempatan ini tidak disia siakan oleh Ulam Sari untuk melompat ke arah Rara Inten. Lalu dengan tangkas, Rara Inten telah dipondong dan dibawa lari.
Hesti Wiro meringis kesakitan karena pantatnya sakit. Akan tetapi ketika teringat kepada Madu Bala yang sudah mengeletak, kakek ini lupa akan sakitnya sendiri, melompat dan kemudian menyambar Madu Bala dibawa lari. Kakek ini sadar bahwa Madu Bala menderita luka amat berat. Untuk itu secepatnya ia harus sampai di rumah kadipaten Surabaya, dan mohon pertolongan kepada Pangeran Pekik. Setiap orang telah tahu benar bahwa Pangeran Pekik bukan saja seorang sakti mandraguna. Akan tetapi juga seorang ahli pengobatan yang termasyhur, amat pandai.
Fajar telah tiba ketika Hesti Wiro masuk ke pintu gerbang rumah kadipaten. Kedatangan Hesti Wiro yang memondong Madu Bala itu, tentu saja mengejutkan semua perajurit yang berjaga. Namun demikian mereka hanya melihat dengan heran dan
kaget. Tidak seorangpun berani bertanya maupun menegur.
Sungguh kebetulan bahwa ketika itu Yoga Swara telah bangun. Kakek ini seperti biasa setiap pagi. Begitu bangun tidur, ia selalu berjalan-jalan menghirup udara pagi hari. Kakek ini menjadi kaget ketika melihat datangnya Hesti Wiro sambil memondong seseorang. Maka Yoga Swara menghampiri, dan dengan gugup bertanya,
"Siapa yang kaupondong itu?' '
"Aihh.. .. cepat..... cepat laporkan kepada gusti pangeran. Ohh..... Madu Bala..... dia membutuhkan pertolongan beliau ,...." sahut Hesti Wiro gugup sambil terus berlarian menuju pendapa.
Betapa kaget Yoga Swara tak dapat dilukiskan.
Ada apa dengan Madu Bala?
Dan dari mana pula sepagi ini Hesti Wiro pergi?
Yoga Swara cepat melompat dari menerobos masuk kebelakang. Waktu itu Pangeran Pekik justeru telah bangun sambil memondong puterinya, ia menjadi kaget melihat Yoga Swara menghampiri dan bergegas.
"Ada apakah sepagi ini?" tegur Pangeran Pekik
"Gusti ohh gusti, Madu Bala menderita luka berat... . mohon pertolongan....." sahut Yoga Swara gugup.
"Aihh..... Madu Bala?"
Pangeran Pekik kaget sekali, dan cepat masuk ke dalam, memberikan puterinya kepada pengasuh. Lalu pangeran ini bergegas menuju pendapa. Setiba di pendapa, Madu Bala telah dibaringkan di atas lantai, dan Hesti Wiro maupun Yoga Swara sibuk membersihkan darah Yang berlepotan pada muka dan lehernya.
"Ahh... mata kirinya pecah ." desis Pangeran Pekik dengan hati terharu. Bagaimanapun orang tua ini, besar sekali jasanya terhadap dirinya. Tentu saja Pangeran Pekik menjadi kaget dan khawatir sekali. Mata yang pecah itu diperiksanya. Tetapi Pangeran Pekik menggelengkan kepalanya. Pertanda bahwa, mata Madu Bala tidak mungkin dipulihkan lagi.
Akan tetapi ketika Pangeran Pekik mulai memeriksa dengan teliti pada pundak dan tengkuknya, pangeran ini berjingkrak kaget. Pundak Madu Bala remuk oleh pukulan benda lemas. Dan bisa diduga oleh ujung cambuk. Akan tetapi kalau luka di tengkuknya itu. Dia belum dapat menduga sebabnya.
"Haii.. apakah Madu Bala berkelahi dengan Rara Inten...?" seru Pangeran Pekik tertahan sambil mengamati Hesti Wtro.
Yoga Swara terkejut. Dan Hesti Wtro mengiakan.
'Benar, gusti."
Tetapi bagaimanapun Hesti Wiro heran.
Apakah sebabnya Pangeran Pekik ini begitu melihat lukanya, telah dapat menentukan lawan Madu Bala?
Pangeran Pekik menghela napas panjang. Ia menggeleng gelengkan kepalanya, dan mendadak saja dari pelupuk matanya menitik air mata berlinangan. Melihat itu Hesti Wiro dan Yoga Swara kaget. Akan tetapi dua orang ini tidak berani bertanya dan hanya menunggu perkembangan.
Di saat itu, tiba-tiba terdengar suara langkah orang yang ringan. Kemudian terdengarlah seruan
yang halus dan kaget,
"Aih.. kangmas! Ada apakah guru? Ohh. . dia..... dia terluka....?!"
Pangeran Pekik tidak membuka mulut. Tetapi air matanya terus mengalir deras membasahi pipi. Melihat itu, sebagai seorang Wanita yang cerdik. segera bisa menduga keadaan Madu Bala. Jelas bahwa suaminya tidak sanggup lagi menyelamatkan nyawa gurunya. Kalau suaminya saja yang terkenal sebagai seorang tabib amat pandai tak sanggup menolong apalagi yang lain. Maka puteri ini tidak membuka mulut lagi, dan mendekati suaminya. . .
Sebagai seorang isteri yang sudah cukup kenal akan watak suaminya. yang halus dan yang perasa ia membiarkan suaminya menangis seperti itu. Lebih lebih ia tahu bahwa di antara tokoh Gagak Rimang, kakek wajah jelek bernama Madu Bala ini merupakan orang terdekat setelah Yoga Swara. Maka Ratu Wandansari tahu belaka, betapa sedih hati suaminya ini.
Ketika itu jari tangan Pangeran Pekik sedang memijat nadi pergelangan tangan Madu Bala. Wajah pangeran ini pucat sambil menahan isak. Sebaliknya wajah Madu Bala yang jelek itu, makin lama menjadi agak kehitaman dan napasnya tinggal satu-satu. Mata yang kanan terpejam, adapun mata kiri yang pecah tampak mengerikan.
"Ihhh.....!" tiba-tiba terdengar seruan tertahan dari mulut Ratu Wandansari.
"Kangmas. nihh, tengkuk guru..... ahh, apakah dia berkelahi dengan Rara Inten? Aihh, kejam benar dia. Sudah merusakkan matanya masih juga sanggup membunuh dengan cengkeraman iblis itu......"
Pangeran Pekik yang amat sedih tidak membuka mulut, hanya menganggukkan kepalanya. Ksatria berhati emas ini membiarkan air matanya terus mengalir, lalu memejamkan mata dan duduk bersila. Jari yang semula menekan urat nadi itu sekarang dilepaskan. kemudian telapak tangan kiri ditempelkan pada dada, sedang telapak tangan yang kanan ditempelkan pada punggung. Diam-diam Pangeran Pekik telah menyalurkan hawa saktinya, guna berusaha menyelamatkan nyawa Madu Bala.
Adapun Ratu Wandansari berdiam diri pula dan menghela napas panjang berkali kali. Sedang Hesti Wiro maupun Yoga Swara berdiam diri pnla. akan tetapi hati dua orang kakek ini terasa tegang bukan main. Sekalipun begitu, diam-diam dua kakek ini heran, mengapa begitu melihat luka pada tengkuk Madu Bala, sudah dapat menduga secara tepat tentang lawan Madu Bala.
Memang tidak aneh kalau Ratu Wandansari dapat menduga tepat sekali, begitu melihat luka pada tengkuk Madu Bala. Luka cengkeraman dari lima kuku jari yang tajam dan beracun. Sebab dahulu dirinya pernah mengalami menderita keracunan oleh cengkeraman kuku jari tangan Rara Inten. Kalau saja dirinya tidak memperoleh pertolongan Pangeran Pekik yang ahli dalam bidang pengobatan, kiranya dirinya tidak akan dapat tertolong lagi jiwanya. Ternyata peristiwa yang telah lama berlalu itu sekarang terulang lagi. Dan sekarang giliran Madu Bala yang harus menderita oleh cengkeraman Rara Inten (baca "Jaka Pekik" oleh pengarang yang sama).
Dalam keadaan yang tenang ini, Pangeran Pekik dapat menyalurkan tenaga secara lancar. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara "augh", dan dari mulut Madu Bala ke luar darah kental yang hitam. Mata yang tinggal sebelah kanan itu terbuka sebentar. Bibir Madu Bala yang menghitam itu bergerak-gerak, akan tetapi tidak terdengar suraranya. Namun sebentar kemudian mata itu tertutup lagi untuk selama lamanya, berbareng dengan melayangnya nyawa entah ke mana.
"Sayang.... aku tak dapat menyelamatkan nyawanya." desis Pangeran Pekik, kemudian ia tersedu-sedu menangis.
Melihat itu, betapa rasa trenyuh dan sedih Ratu Wandansari. Bagaimanapun Madu Bala sudah besar sekali jasanya, baik kepada dirinya maupun suaminya.
Namun apa harus dikata kalau Yang Maha Tinggi telah menghendaki?
Manusia hidup karena Dia, dan kalau Dia telah memanggil kembali. siapakah dapat menghindar?
Akan tetapi Ratu Wandansari mengeraskan hati, agar tidak meruntuhkan air mata seperti suaminya. Walaupun ia merasa kehilangan namun Ratu Wandansari berusaha menekan perasaannya.
Yoga Swara juga berdiam diri, dan hanya menghela napas berkali-kali. Tetapi Hesti Wiro yang merasa bertanggung jawab atas kematian Madu Bala ini, dalam hati menyesal bukan main.
Kalau saja tadi tidak mengejar dua orang perempuan muda itu, kiranya Madu Bala tidak akan menjadi korban.
"Paman Madu Bala,. ohh, aku amat menyesal sekali tidak kuasa menyelamatkan nyawamu,"
Pangeran Pekik mengeluh di tengah-tengah sedu.
"Aku belum dapat membalas jasa jasamu, ternyata engkau telah mendahului......."
'Kangmas....... sudahlah," hibur Ratu Wandansari.
"Apa harus dikata kalau Tuhan menghendaki lain? Hanya yang membuat aku heran dan tak mengerti, mengapa sebabnya guru berkelahi dengan Rara Inten?"
"Gusti, ampunilah hamba" kata Hesti Wiro.
"Tadi malam hamba dan Madu Bala memperoleh laporan tentang hadirnya dua orang mencurigakan, dan telah membunuh dua orang perajurit. Maka hamba dan Madu Bala kemudian meninjau ke tempat itu."
Lalu diceritakan oleh Hesti Wiro apa yang terjadi. Semua diceritakan tanpa tedeng aling-aling. juga tentang dirinya yang tidak berdaya menghadapi seorang perempuan muda berwajah jelek. Namun demikian kiranya Madu Bala belum tentu kalah, apa bila gadis wajah jelek itu tidak membantu.
Mendengar laporan Hesti Wiro ini, baik Ratu Wandansari, Pangeran Pekik maupun Yoga Swara heran.
Siapakah gadis berwajah jelek yang agaknya malah lebih sakti dibanding dengan Rara Inten itu?
Pada mulanya Ratu Wandansari maupun Pangeran Pekik menduga bahwa gadis wajah jelek itu
bukan lain salindri. Akan tetapi ketika Hesti Wiro menyatakan bahwa gadis wajah je1ek itu masih amat muda, maka suami isteri ini tak dapat menduga, siapakah gadis itu.
Tiba tiba Ratu Wandansari teringat kepada gadis muda murid Sindu, yang berhasil mengalahkan Reksogati dan Sawungrana.
"Mungkinkah gadis itu murid Sindu ?" desis Ratu Wandansari sambil berpikir.
Namun kemudian pendapatnya itu dibantah sendiri.
"Ahhh, tetapi menurut laporan Reksogati, gadis murid Sindu itu wajahnya cantik. Kalau begitu, siapa dia.......?"
"Gusti, walaupun hamba hanya sempat bertemu satu kali, kiranya hamba masih dapat mengenalnya," kata Hesti Wiro.
"Dia terang bukan murid Sindu, sekalipun merupakan gadis sakti mandraguna. Namun hambapun tak dapat menduga dari manakah asal usul gadis jeiek itu! "
"Hemmm..." terdengar Pangeran Pekik mengeluh,
"..... aku menyesal sekali mengapa sebabnya Rara Inten masih Juga tetap mengganas macam itu. Apakah salah paman Madu Bala? Dan apa pula salah Gagak Rimang, sehingga dia tetap saja memusuhinya?"
Begitu membicarakan Rara Inten, mendadak saja Ratu Wandansari teringat akan pengalamannya waktu dulu. Oleh kecurangan Rara Inten, dirinya yang tidak bersalah telah dituduh oleh Pangeran Pekik mencuri sepasang pedang pusaka, Jati Ngarang dan Jati Sari. Dan oleh hasil tipu muslihat
Inten pula, menyebabkan ayah angkat suaminya yang bernama Kreti Windu itu, harus menderita sebagai tawanan di Pondok Bligo. Teringat akan semua itu, timbul lagi rasa bencinya kepada perempuan itu. Sindirnya,
"Hemm, salah siapa? Perempuan itu menjadi manja dan ganas....."
Pangeran Pekik mengangkat mukanya menatap isterinya sejenak. Ia menghela napas pendek. justeru apa yang diucapkan isterinya itu tidak terbantah. Diam-diam Pangeran Pekik menyesali dirinya sendiri, mengapa dirinya tidak bisa tega hati kepada Rara Inten. Untuk mencegah agar pembicaraan tentang Rara Inten ini tidak berlarut-larut, ia mengamati Yoga Swara dan Hesti Wiro. Katanya perlahan,
"Aku minta bantuan kalian, maklumatkan kepada sekalian rakyat Surabaya, bahwa kita berkabung selama tiga hari. Rawatlah jenazah paman Madu Bala baik baik, dan siang nanti kita kebumikan dengan upacara kebesaran."
"Baik gusti, akan hamba laksanakan," sahut Yoga Swara dan Hesti Wiro hampir berbareng.
Biarlah Surabaya berkabung dan sibuk menyelenggarakan penguburan jenazah Madu Bala yang terbunuh mati oleh Rara Inten. Lebih tepat kiranya sekarang kita ikuti kepergian Ulam Sari yang memondong Rara Inten. Perempuan ini berlarian cepat sekali dengan hati yang tegang dan gelisah. Dan ketika pagi mendatang, Ulam Sari telah membawa Rara Inten yang pingsan ke dalam sebuah hutan. Gadis wajah jelek ini menundukkan muka memandang ke wajah Rara Inten. Ketika melihat wajah Rara Inten yang pucat dan berlepotan darah, Ulam Sari menghela napas panjang dengan hati penuh sesal.
Ketika tiba di suatu tempat yang rimbun dan tak jauh dari sumber air yang bening. dengan hati hati sekali Ulam Sari membaringkan Rara Inten di atas rumput. Gadis ini mulai meneliti dan memeriksa Rara Inten yang pingsan. Sekilas senyum dari bibir yang membeku itu membuat wajah Ulam Sari tambah jelek. Kemudian terdengarlah katanya yang perlahan,
"Ahhh. untung sekali jiwamu tidak terancam sekalipun engkau menderita luka berat. Tetapi bagaimanapun. engkan membutuhkan waktu untuk istirahat, mbakyu."
Ulam Sari kemudian melangkah menuju sumber air. Ia memetik selembar daun lumbu, dipergunakan sebagai tempat air. Ulam Sari menuang sedikit air ke daun pohon yang lain. Sebutir obat kering warna kuning dipijat hancur, dan setelah itu membuka mulut Rara Inten sambil meminumkan air campur obat tadi. Ulam Sari tampak puas setelah obat itu masuk ke dalam perut Rara Inten. Oleh pengaruh obat yang diminumkan itu, ia percaya akan membantu dan mempercepat kesembuhan luka dalam yang diderita.
Dengan cekatan, Ulam Sari segera menggunakan air tersebut untuk membersihkan muka Rara Inten yang berlepotan darah. Baru kemudian ia mulai memperhatikan luka pada pundak.
Dan gembira sekali hati gadis ini, setelah memeriksa pundak itu. Tulang pundak itu hanya patah saja. sehingga apa bila disambung kembali akan pulih. Ulam Sari bukan seorang ahli pengobatan namun sedikit banyak ia tahu cara memberi pertolongan. Maka setelah tulang pundak yang patah itu disambung kembali seperti semula, ia mengorbankan kain penutup dadanya sendiri untuk membalut pundak Rara Inten.
Setelah semua selesai dikerjakan, Ulam Sari belum memperoleh kesempatan untuk mengaso. Ia melupakan keletihannya sendiri, kemudian menempelkan telapak tangan kanan ke punggung Rara Inten sambil duduk bersila dan memejamkan mata. Gadis yang masih amat muda ini. sekarang berusaha menyalurkan tenaganya sendiri ke dalam tubuh Rara Inten, agar derita Rara inten banyak berkurang. Ulam Sari baru menghentikan bantuan tenaga itu, setelah terdengar suara mengeluh dari mulut Rara Inten.
"Aduhhh......!"
Rara Inten mengeluh tertahan, ketika ia membuka mata dan berusaha bangkit.
"Mbakyu, istirahatlah dahulu," bujuk Ulam Sari.
"Syukur sekali lukamu tidak begitu parah, dan tulang pundakmu telah kusambung."
"Aihhh, adikku engkau baik sekali," kata Rara Inten lirih.
"Tanpa pertolonganmu, manakah aku masih bernyawa lagi?" .
"Sudahlah mbakyu, jangan engkau banyak pikir. Sekarang cobalah engkau mengobati lukamu sendiri."
Rara Inten seperti disadarkan. Dengan hati hati perempuan ini bangkit. lalu duduk bersila dan memejamkan mata, mengatur pernapasan. Rara Inten menjadi gembira, ketika tidak terjadi perubahan dalam tubuhnya, dan hawa sakti dalam tubuh dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh tanpa kesulitan.
Walaupun tenaganya berkurang akibat diperbantukan kepada Rara Inten,namun Ulam Sari masih tetap dapat bergerak gesit dan lincah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi gadis ini tidak berani pergi jauh meninggalkan Rara Inten. Sayang sekali di sekitar itu tidak nampak seekorpun binatang hutan. Dan celakanya pula, tidak terdapat pula pohon yang buahnya enak dimakan. Untuk mengurangi rasa laparnya. gadis ini hanya mengisi perut dengan air dingin. Dan sesudah itu, ia kembali ke tempat Rara Inten, duduk berdiam diri dan menunggu.
Ulam Sari mengamati Rara Inten penuh perhatian. Ketika melihat wajah Rara Inten berangsur pulih seperti sedia kala, hatinya amat gembira.
Hari telah agak siang ketika Rara Inten bergerak dan membuka mata. Bibir perempuan ini tersenyum manis. Katanya,
"Adik Ulam Sari, engkau baik sekali."
"Ahh, engkau selalu memuji saja, mbakyu," tangkis Ulam Sari.
"Bukankah semua yang aku lakukan ini sudah wajar? Kita meninggalkan Giri bersama-sama, dan ibarat engkau sebagai kaki kanan dan aku sebagai kaki kiri. Kalau dua belah
kaki itu tidak bekerja sama, manakah mungkin dapat melangkah dengan baik ?"
"Tetapi tanpa pertolonganmu, mungkin sekali aku sudah mampus di tangan bangsat wajah buruk itu. Hemm, aku salah duga. Ternyata bangsat wajah buruk itu semakin tambah maju dan berbahaya.
Namun Ulam Sari masih juga berusaha menangkis. Sahutnya,
"Tetapi apa yang aku lakukan tidak bermaksud membantumu. Kakek itu mulutnya amat busuk, suka memfitnah orang. Maka tanganku menjadi gatal dan ingin menghajarnya. '
Rara Inten tersenyum, ia bukan seorang bodoh. Mendengar ucapan Ulam Sari ini, ia mengerti bahwa kiranya Ulam Sari seorang gadis yang tidak suka dipuji Sanjung dan selalu berusaha menyembunyikan jasa dan bantuannya. Padahal ia menyadari, tanpa campur tangan Ulam Sari mungkin sekali dirinya roboh di tangan Madu Bala. Tetapi justeru sikap Ulam Sari yang berusaha menyembunyikan pertolongannya, membuat perempuan yang angkuh dan tinggi hati ini menjadi malu dan tunduk. Lalu timbullah kehendak hatinya, untuk dapat mengikat persahabatan dengan Ulam Sari seterusnya.
"Mbakyu, bagaimanakah keadaanmu ?" tanya Ulam Sari.
"Tenagaku telah pulih sekalipun belum seluruhnya. Ada apa?"
"Hi-hik, apakah engkau tidak memikir untuk kembali k Giri? Kita pergi diam-diam. Timbullah
kekhawatiranku, apa bila ingkang sinuhun menduga yang tidak-tidak. Maka selekasnya kita pulang, adalah lebih baik."
"Marilah kita pulang," sahut Rara Inten sambil tersenyum dan bangkit.
"Tetapi perjalanan kita pulang ini, tentu menjadi lambat."
" Lambat dan cepat bukanlah soal, mbakyu, yang penting secepatnya kita harus sudah kembali ke Giri."
"Hi-hik,"
Rara Inten tertawa.
"Manakah mungkin aku dapat bergerak cepat seperti biasanya? Dan apa lagi, eh, perutku amat lapar."
Begitu Rara Inten mengeluh perutnya lapar, mendadak saja perut Ulam Sari terasa lapar pula dan menagih isi.
"Hi-hik, kalau begitu marilah kita mencari pengisi perut dulu. Akupun telah lapar sejak pagi tadi."
Sambil melangkah perlahan dan menyelidiki mencari binatang buruan ini, mereka tidak bicara sepatahpun. Perhatian mereka terpusat kepada binatang buruan dan merasakan perut yang melilit lilit minta isi.
Berkat kewaspadaan dan ketekunan dua orang perempuan ini, pada akhirnya berhasillah mereka membidik dua ekor ayam hutan, yang di saat itu sedang bertengger berdampingan di atas batu. Mereka gembira. Kemudian dengan 'cekatan mereka bekerja. Rara Inten mengerjakan ayam tersebut, dan Ulam Sari mengumpulkan kayu kering.
Betapa perut terasa makin menjadi lapar, ketika daging ayam yang sedang mereka bakar itu menyebarkan bau yang gurih.
"Ahhh, perutku makin sakit dan melilit-lilit," kata Ulam Sari.
'Tetapi tunggulah setelah daging matang benar." sahut Rara Inten menasihatkan.
"Sebab daging yang belum matang, bisa mengakibatkan perut sakit. Apa salahnya engkau sabar sedikit, justeru tak lama lagi daging ini akan matang juga ?"
"Hi-hik, engkau benar, mbakyu. Kita harus belajar sabar menghadapi segala sesuatu. Sebab hanya orang yang sabar sajalah akan dapat berpikir jauh, dan tak akan menyesal kemudian hari. Bukankah sesal tiada guna?"
Begitu daging itu matang, panaspun sudah mereka gerogoti. Ulam Sari yang merasa amat lapar, perhatiannya sekarang tercurah kepada daging itu. Akan tetapi Rara Inten tidak telaten berdiam diri. Katanya,
"Adikku, bukankah engkau pernah menyatakan, bahwa engkau seorang piatu ?"
"Benar. Memang aku anak piatu, tiada ayah, tiada bunda dan tiada saudara."
"Engkau dan aku bernasib sama. Ahhh, sama sama perawan lola, bertemu di perantauan. Hemmm, kalau saja......"
"Apakah maksudmu? Katakanlah dan jangan engkau ragu-ragu."
Desak Ulam Sari.
"Adikku, andaikata antara aku dan engkau ini, yang sama-sama sebagai perawan lola, sejak sekarang diikat dengan mengangkat saudara, setujukah engkau ?"
Terbelalak sesaat Ulam Sari mendengar itu. Dalam hal kepandaian ilmu tata kelahi, Rara Inten memang tidak bisa dicela. Dan mengikat persaudaraan dengan Rara Inten, sama artinya mempunyai seorang pembantu yang cukup bisa diandalkan. Akan tetapi ada sedikit persoalan yang membuat gadis wajah jelek ini agak ragu-ragu. Ialah tentang watak Rara Inten yang angkuh, tinggi hati dan kejam. Watak yang demikian ini bertentangan dengan wataknya sendiri. Sesuai dengan pesan kakek dan gurunya, manusia yang hidup di dunia ini haruslah ramah, rendah hati dan kasih kepada sesama hidup. Dengan alasan apapun juga, membunuh sesama manusia adalah tidak baik.
Apakah wataknya ini bisa cocok dengan watak Rara Inten?
Melihat keraguan Ulam Sari itu, Rara Inten cepat menambahkan,
"Adikku, tidak apalah kiranya jika engkau tidak setuju."
"Aihhh, jangan engkau cepat keliru sangka, mbakyu," sahut Ulam Sari cepat.
"Bukannya aku menolak uluran tangan dan ajakanmu yang bagus ini. Aku malah amat berterima kasih, bahwa seorang gadis lola seperti aku ini, dan lebih-lebih wajahnya jelek seperti iblis kesiangan, namun ada pula orang yang kasihan. Lebih lagi engkau seorang wanita jelita. Aku khawatir, apakah engkau tidak malu mempunyai adik macam aku ini?"
Pintar juga jawaban Ulam Sari. Mungkin jawabannya ini terpengaruh akan watak yang rendah hati. Hingga walaupun sesungguhnya dirinya sendiri yang ragu-ragu, sekarang berbalik.
"Aihh, adikku, jangan engkau berkata begitu. Pendeknya gembira hatiku, apa bila engkau sedia menjadi adik angkatku."
"Ya, ajakanmu aku sambut dengan gembira. Tetapi....."
"Tetapi apa .....?"
"Sebagai saudara, dalam segala tindak dan langkah, satu dan yang lain harus saling setuju. Walaupun saudara tua, kalau salah harus sedia diperingatkan oleh yang muda."
"Hi hik, tentu saja. Sebab orang yang lebih tuapun ada kalanya salah."
"Baiklah, mari kita mengangkat saudara."
Antara dua orang gadis yang wajahnya jauh berlainan itu, yang seorang cantik jelita bagai bidadari dan yang seorang seperti iblis kesiangan, sekarang saling berjanji dan mengangkat sebagai saudara. Tetapi perbedaan yang bagai bumi dan langit itu tidak saja tentang wajah, melainkan juga tentang watak pribadinya. Rara Inten merupakan seorang wanita yang angkuh, tinggi hati dan kalau perlu dapat berbuat ganas seperti iblis. Watak yang sesungguhnya bertentangan dengan wajahnya yang ayu. Sebaliknya, walaupun Ulam Sari memiliki wajah yang jelek bukan main, gadis ini wataknya begitu halus mencintai sesama hidup dan malah tak sanggup untuk membunuh lawan sekalipun.
Mungkinkah perbedaan watak yang demikian yang amatlah bertentangan ini, dapat terjalin tali persaudaraan yang tulus?
Entahlah!
Tidak seorangpun bisa tahu.
Baru saja kakak dan adik angkat ini selesai berjanji, muncullah Nyoman Kadis dan Wayan Regel. Akan tetapi dua orang pemuda yang biasanya berpakaian rapi dan selalu bersih itu, hari ini keadaannya lain. Pakaian mereka robek di sana sini, di samping kotor. Ditambah lagi bagian wajah merekapun tampak matang biru dan membengkak. Mata kiri Wayan Regel nampak biru membengkak, sedang bibir Nyoman Kadis nampak pecah dan darah kering masih menghiasinya.
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha, bagus! Kita bertemu dengan dia. Mari urusan ini kita selesaikan!" kata Wayan Regel dengan nada, ucapannya yang gembira.
"Huh, mari kita selesaikan!" sahut Nyoman Kadis dengan nada yang sengit.
"Tetapi jangan engkau menyesal, apa bila nanti akulah yang menang."
Rara Inten dan Ulam Sari mengamati dua orang pemuda itu dengan pandang mata heran, di samping agak curiga mendengar ucapan mereka tadi.
Mengapakah sebabnya wajah mereka matang biru, pakaian robek dan kotor seperti orang habis berkelahi?
"Hi-hi-hik,"
Ulam Sari tak kuasa menahan ketawanya saking geli menyaksikan keadaan mereka itu.
"Mengapa sebabnya kalian seperti itu? Apakah kalian habis dihajar orang?"
Wayan Regel dan Nyoman Kadis mendelik marah mendengar itu. Bukan saja gadis jelek itu mentertawakan, tetapi juga begitu menghina ucapannya. Kalau saja yang mentertawakan dan menghina itu seorang gadis cantik jelita, kiranya dua orang pemuda ini takkan marah. Lebih-lebih kalau yang tertawa dan menyindir itu Rara Inten, akan mereka terima dengan senang hati.
"Jahanam kau! Gadis berwajah seperti iblis berani menghina aku?!" bentak Nyoman Kadis mendelik.
Pemuda ini kemudian meludah seperti orang yang muak. Lalu terusnya,
"Huh, siapa yang sudi kepada wajahmu yang seperti iblis itu ?"
"Kurang ajar kau Nyoman Kadis.Berani engkau menghina adikku?" bentak Rara Intan sambil mendelik dan berkacak pinggang.
Kaget bukan main pemuda ini mendengar bentakan Rara Inten itu. Nyoman Kadis wajahnya berubah pucat. Kemudian katanya setengah beriba,
"Ihhh..... diajeng Rara Inten. Aku bukan.. ..."
"Ya, aku tahu! Bukankah kata katamu tadi kaualamatkan kepada adik Ulam Sari?" potong Rara Inten lantang.
"Siapa yang berani menghina adik Ulam Sari, sama artinya menghina Rara Inten. Tahu?"
Wajah Nyoman Kadis tambah pucat lagi mendengar ucapan Rara Inten itu. Sungguh tidak pernah mimpi bahwa ucapannya tadi yang ditujukan
pada Ulam Sari membuat Rara Inten marah.
Padahal di saat sekarang, dirinya sedang berusaha memenangkan perlombaan melawan Wayan Regel, untuk dapat merebut hati perempuan ini. Akibatnya Nyoman Kadis tidak kuasa membuka mulut lagi, hanya matanya saja yang memandang tidak senang kepada Ulam Sari.
Ulam Sari tersenyum-senyum mengejek dan senang, melihat Nyoman Kadis menjadi seperti kera kedinginan.
Wayan Regel menjadi gembira sekali mendengar dampratan Rara Inten kepada Nyoman Kadis itu. Seorang yang tertarik perhatiannya, tentu saja takkan sampai hati mendamprat seperti itu.
Kalau demikian, bukankah Rara Inten perhatiannya tertuju kepada dirinya?
Dan apa bila demikian, jelas dalam perlombaan menarik perhatian kepada gadis cantik yang perkasa itu, dirinya yang memperoleh kemenangan.
Katanya kemudian dengan nada yang gembira,
"Bagus, heh-heh-heh! Orang macam engkau, manakah mungkin memperoleh perhatian dari adik Rara Inten?"
"Tutup mulutmu. Jahanam kau!" bentak Nyoman Kadis dengan mata mendelik.
"Jika mulutmu sembarangan bicara, huh, engkau tentu aku pukul lagi biar mampus!"
"Ha-ha-ha, apakah hanya engkau sendiri yang dapat memukul?" ejek Wayan Regel sambil ketawa bekakakan.
"Ingin bukti? Hem. mari kita coba!"
Tantangan Wayan Regel itu disambut dengan terjangan Nyoman Kadis sambil melancarkan pukulannya. Pemuda ini yang amat penasaran memperoleh dampratan dari Rara Inten, menumpahkan kemarahannya kepada Wayan Regel.
"Plak-plak...,..!" dan dua orang pemuda itu terhuyung huyung ke belakang dengan kaget dan wajah lebih pucat. Ternyata di depan mereka sekarang telah berdiri Ulam Sari sambil tersenyum senyum. Akan tetapi karena wajah itu jelek, maka sekalipun tersenyum, tidak juga tambah manis dan menarik.
"Apakah sebabnya kalian saling pukul?" tanya Ulam Sari.
"Bukan urusanmu!" bentak Nyoman Kadis yang menjadi benci kepada gadis jelek ini, justeru dirinya tadi telah didamprat oleh Rara Inten, gara gara gadis ini.
"Adikku, jangan kaucampuri dia. Biarkan meteka saling pukul sampai mampus, toh bukan urusan kita!" teriak Rara Inten.
"Marilah kita pergi saja, dan selekasnya pulang ke Giri."
"Hihik, mari kita pergi, mbakyu.." sahut Ulam Sari sambil melompat menghampiri Rara Inten.
Tetapi sekalipun gadis ini melompat ke arah Rara Inten, sebenarnya hatinya merasa kurang tega membiarkan dua orang pemuda itu saling pukul dan berkelahi. Berbeda dengan Rara Inten. Gadis
cantik ini masih juga marah, mendengar ucapan Nyoman Kadis yang tadi begitu menghina adik angkatnya. Maka kalau Ulam Sari melangkah dengan ragu, sebaliknya Rara Inten melangkah dengan mantap.
Melihat kepergian Rara Inten itu, dua orang muda ini tak jadi berkelahi dan menjadi serba salah. Mereka sejak tadi berselisih dan berkelahi, justeru ingin sekali memenangkan perlombaan.
Siapakah sesungguhnya di antara mereka yang dipilih oleh Rara Inten.
Kalau sekarang gadis itu pergi, lalu apakah gunanya berkelahi dan saling berebut?
Sadar akan hal ini, Wayan Regel berteriak,
"Adik Rara Inten. Tunggu!"'
Sesungguhnya Rara Inten tidak sudi menggubris kepada dua orang pemuda itu. Akan tetapi Ulam Sari merasa tak tega dan membujuk,
"Mbakyu, mari kita dengarkan apa maksud mereka yang sebenarnya ?"
"Baiklah," sahut Rara Inten, sekalipun hatinya tidak senang.
Lalu sambil membalikkan tubuh, gadis ini bertanya dengan nada angkuh dan tidak menyenangkan,
'Haii, apa sajakah maksudmu menghentikan aku?!"
"Adik Rara Inten, dengarlah," kata Wayan Regel sambil melangkah mendekati.
Adapun Nyoman Kadis tak mau ketinggalan, segera pula melangkah cepat untuk menghampiri Rara Inten.
"Ya, aku mendengar. Apa yang akan kau biarakan?" bentak Rara Inten.
Bentakan itu membuat dua orang pemuda ini ragu -ragu dan takut. Untuk beberapa saat lamanya dua orang pemuda ini menundukkan muka sambil menghela napas. Tetapi Rara Inten yang tak sabar lagi sudah mendesak dengan ucapannya yang lantang,
"Lekas katakan. Apa maksudmu?"
"Eeh...... anu...... ehh......" saking ragu. ragu dan takut, Nyoman Kadis yang berusaha mendahului menjawab tak juga dapat mengucapkan kata-katanya secara jelas.
'Mengapa ah-eh seperti orang gagu?" bentak Rara Inten angkuh.
Dan Wayan Regel yang dapat menenteramkan hatinya, dapat menyusun kasa katanya lebih jelas.
"Adik Inten, eh, dengarlah......"
"Sejak tadi aku sudah mendengar. Mengapa diulang-ulang?" hardik Rara Inten.
"Anu, eh, dengarlah ....." sahut Wayan Regel.
"Karena semalam adik Inten tidak tampak, dan ketika pagi mendatang belum juga muncul, maka kami meninggalkan Giri dan berusaha menyusul. Sebab kami telah menduga bahwa adik Inten pergi ke Surabaya bersama Ulam Sari. Tetapi ehh..... dalam perjalanan itu kami berselisih...."
"Hemm," dengus Rara Inten dingin,
"berselisih atau tidak, itu urusanmu sendiri. Mengapa kaubicarakan dengan aku?"
"Tetapi eh..... itu mempunyai hubungan..... dengan adik Inten..,.." sahut Nyoman Kadis tetap tidak lancar.
"Apa? Menpunyai hubungan dengan aku! Hubungan tentang apa?"
Rara Inten mendelik.
"Jangan sembarangan engkau membuka mulut. Huh!"
"Dengarlah dulu..... ahh, jangan cepat marah ..!" pinta Nyoman Kadis dengan hatinya yang berdebar.
"Begini adik Inten..... eh, terus terang saja. eh. sesungguhnya antara aku dan dia sejak ketemu dan berkenalan dengan adik.... eh, antara aku dan dia..... eh..... terjadi semacam persaingan..... eh..... dalam usaha mendekati eh....."
Rara Inten menjadi marah dan hampir saja mendamprat Nyoman Kadis. Akan tetapi Ulam Sari cepat-cepat menyentuh lengan Rara Inten sambil berbisik,
"Sabarlah, mbakyu, dengarkan dahulu apa kata mereka."
Rara Inten terpaksa menyabarkan diri. Kemudian katanya,
"Teruskan! "
Nyoman Kadis berusaha menenangkan debaran jantungnya, Kemudian katanya,
"Adik Inten, ehh . terus terang saja. ehh .. baik aku maupun dia..... eh...... sudah sama-sama jatuh cintu....."
"Ihh..! "
Rara Inten berseru kaget juga, sekalipun hal ini telah diketahuinya sejak lama, oleh sikap dua orang pemuda itu terhadap dirinya.
"Maafkan aku.. adik Inten....."
Wayan Regel membuka mulut pula, dalam usahanya untuk memperoleh perhatian.
"Karena masing-masing jatuh cinta..... maka tadi pagi dalam perjalanan , ... kami berselisih. Akibatnya kami saling berhantam, sehingga masing-masing babak-belur dan pakaian robek-robek. Tetapi..... antara kami tidak seorangpun sedia mengalah. Ahhh, adik Inten ...aku telah berterus terang..;.. maka sekarang juga aku mohon..... hendaknya adik Inten dapat memberi keputusan.."
Mendengar itu, mendadak saja Rara Inten cekikikan seperti orang yang geli. Membuat Ulam Sari kaget berbareng khawatir. ia telah cukup tahu akan Watak dan tabiat Rara Inten, yang dapat bertindak ganas. Maka bisiknya,
' Mbakyu, engkau harus dapat menyabarkan dirimu'
"Jangan khawatir,adikku. aku telah mempunyai rencana baik untuk mereka," sahut Rara Inten lirih pula.
Kemudian ia meneruskan kata-katanya. itu dengan lantang dan menghardik,
"Lekas terangkan apa maksudmu! "
Mendengar itu Wayan Regel makin berani. Sahutnya,
"Adik Inten, antara kami saling berebut untuk memperoleh balasan..... cinta kasih dari engkau. Maka pilihlah..... siapa di antara kami yang kausetujui . .,"
" Hihik .. . . . enak saja kau bicara," ejek Rara Inten.
"Rara Inten bukanlah gadis semurah yang kausangka. Huh, orang yang mencintai Rara Inten harus sedia menebus dengan mahal."
"Apakah ujud dari tebusan itu?" sahut nyoman Kadis cepat.
"Lekas katakan dan aku akan menebusnya."
Wayan Regel yang tidak mau kalah harga di depan Rara Inten cepat berkata,
"Huh, enak saja kau bicara. Apakah sangkamu yang dapat' melaksanakan tebusan itu hanya engkau sendiri?"
"Hemm, sudahlah, jangan kau saling bertengkar!" bentak Rara Inten lantang.
"Dengar baik-baik tebusan yang harus kamu lakukan bersama itu. Tetapi tebusan ini, memerlukan keberanian dan kepandaian. Maka sekaligus untuk mengukur sampai di manakah keperkasaan seorang laki laki terhadap cinta kasihnya. Hemm, aku Rara Inten yang membela Giri dengan pertaruhan nyawa. Maka hanya seorang laki-laki yang dapat membunuh musuh sebanyak banyaknya di saat pecah perang antara Surabaya dan Giri sajalah, lakilaki yang berhak memperoleh cinta kasih Raia Inten."
"Ihhh......!" seru Ulam Sari tertahan.
Akan tetapi agaknya Nyoman Kadis dan Wayan Regel tidak mendengar seruan Ulam Sari itu. Dua orang pemuda ini malah Seperti berlomba dalam menjawab dan menyanggupkan diri..
"Terima kasih, adik Inten, aku Wayan Reget akan berusaha untuk dapat membunuh musuh sebanyak-banyaknya di medan perang!" sahut Wayan Regel dengan mantap.
"Aku Nyoman Kadis, tentu akan dapat membunuh musuh sebanyak banyaknya, adik Inten," sahut Nvoman Kadis dengan nadanya yang sungguhsungguh.
"Tetapi, bagaimanakah cara pelaksanaannya? Apakah yang dijadikan bukti banyak dan sedikitnya musuh yang telah bisa dibunuh? Apakah setiap musuh yang dapat aku bunuh harus aku penggal kepalanya untuk pembuktian itu?"
"Ihhh ....!" seru Ulam Sari tertahan.
Gadis ini tentu saja tidak setuju kalau hal itu sampai terjadi. Sebab pemenggalan kepala terhadap musuh yang telah dikalahkan itu, merupakan kekejaman dan keganasan yang terkutuk.
"Hi-hi-hik, engkau jangan khawatir, adikku," kata Rara Inten diiring ketawanya yang cekikikan.
"Aku takkan memerintahkan macam itu."
"Tetapi kalau tidak memenggal kepala musuh, lalu apakah yang harus aku jadikan bukti telah membunuh lawan dalam jumlah banyak ?"
Nyoman Kadis menjadi ragu-ragu dan menatap Rara Inten.
'Hemm, tanpa pembuktian macam itupun orang takkan dapat menipu aku," sahut Rara Inten.
"Pendeknya aku akan mengawasi sepak terjang kalian secara langsung. Aku akan selalu dapat mengetahui, siapa di antara kalian yang pemberani, jantan, perkasa dan yang pantas memenangkan perlombaan ini."
"Terima kasih, adik Inten, aku akan berusaha memperoleh kemenangan," kata Wayan Regel.
Nyoman Kadis tidak ingin kalah suara. Iapun cepat berkata,
"Adik Inten, terima kasih atas perhatianmu. Dan akulah orangnya yang bakal memperoleh kemenangan itu."
Wayan Regel mendelik marah. Akan tetapi Nyoman Kadispun tidak takut dan mendelik pula. melihat itu Rara Inten cepat menyindir.
"Hemm, apakah kamu menjadi manusia tolol, saling berselisih di antara kamu sendiri? Hayo. simpan tenaga dan berusahalah memperoleh kemajuan sebelum pecah perang, dan jangan kamu berkelahi lagi."
Dua orang pemuda itu meringis dan tidak berani membantah. Kemudian tanpa berkata lagi, Rara Inten telah menggandeng lengan Ulam Sari diajak pergi meninggalkan dua orang muda itu.
Pengaruh janji Rara Inten itu. ternyata amat hebat. Wayan Regel dan Nyoman Kadis telah melupakan perselisihan yang membuat wajah mereka matang biru dan babak-belur. Kemudian dua orang pemuda inipun pergi.
Akan tetapi diam diam Ulam Sari tidak percaya akan janji Rara Inten terhadap dua orang muda itu. Tanya gadis jelek ini sambil melangkah,
"Mbakyu! Benarkah engkau mencintai pemuda itu, dan karena sulit memilih. lalu menggunakan cara tersebut sebagai sarana?"
"Hihi-hik,"
Rara Inten tertawa.
"Pemuda pemuda macam itu, manakah ada harganya sebagai kekasih Rara Inten?"
"Aku sudah menduga, mbakyu. Bahwa agaknya engkau hanya mempermainkan mereka yang tolol itu."
"Ih, aku bukan mempermainkan mereka."
"Kalau tidak mempermainkan, mengapa mbakyu berjanji macam itu?"
"Adikku, aku adalah pembela Ingkang Sinuhun Giri dalam menghadapi Surabaya. Maka di balik apa yang aku janjikan itu sesungguhnya, untuk kepentingan Giri."
"Mbakyu. Tetapi apakah mbakyu telah memperhitungkan akibat dari sayembara yang mbakyu adakan itu?"
"Akibat apakah maksudmu ?"
"Dengan sayembara itu. sama artinya mbakyu berusaha membunuh mereka."
'Ihh..... mengapa akan membunuh? '
"Mbakyu, karena berlomba memperoleh hasil sebanyak banyaknya, tentu mereka akan berperang dengan nekat. Sebab yang terpikir oleh mereka bukan lain hanyalah ingin membunuh musuh sebanyak banyaknya. Mbakyu, orang yang sedang berhadapan dengan musuh terpengaruh oleh janji macam itu, akan menjadi sembrono dan kurang hati hati."
"Hi-hi-hik, perduli apa dengan mereka? Toh bukan sanak dan keluargaku, maka mampuspun aku tidak merasa kehilangan. Akan tetapi adikku, bukankah dengan sayembara itu, Giri akan memperoleh keuntungan banyak? Sebab baik Nyoman Kadis maupun Wayan Regel akan berperang penuh semangat. Langsung dan tidak langsung, akan berarti aku telah mencurahkan perhatianku kepada Giri."
"Apakah tidak berarti engkau sengaja membunuh mereka ?"
"Hemm, perduli apa! Salah siapa berani mencintai aku tanpa mawas diri? Huh, pemuda macam itu, pantasnya hanya aku jadikan alas jongkok di waktu berak!"
"Idihhh hi hi hik ......"
"Mengapa engkau tertawa?"
"Tentu saja! Betapa senangnya mereka itu, apa bila engkau beri kesempatan sebagai alas jongkok di waktu engkau berak ..... hi-hi-hik.."
Rara Inten sadar lalu mencubit lengan Ulam Sari sambil tertawa pula. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling cubit. Kemudian mereka duduk di atas rumput dan meneruskan bicara.
"Jadi kalau begitu, sayembara itu hanyalah mbakyu jadikan alasan untuk menolak mereka secara halus?"
'Engkau benar, adikku."
"Aihh, mengapa mbakyu tidak berterus terang saja menolak mereka?"
"Aku tak ingin Giri kehilangan dua orang pembantu. Adikku, bukankah apa bila aku menolak mereka, maka mereka akan menjadi malu bertemu lagi dengan aku? Dengan begitu mereka tentu memilih meninggalkan Giri."
Ulam Sari menghela napas pendek. Ia tidak setuju dengan cara Rara Inten ini. Sebab bagaimanapun berarti mempermainkan dua orang pemuda itu. Jelas bahwa baik Wayan Regel maupun Nyoman Kadis itu tentu bermakna sekuat tenaga dalam usahanya memperoleh kemenangan dalam sayembara itu. Mereka harus bertaruh nyawa dalam perang. Akan tetapi apa yang diharapkan tidak akan pernah ada. Tanpa disadari oleh mereka, bahwa sesungguhnya mereka ibarat "si pungguk merindukan bulan".
Di dunia ini terdapat banyak macam peristiwa seperti yang terjadi atas diri Wayan Regel dan Nyoman Kadis ini. Mereka tidak sadar dipermainkan orang. Mereka tidak sadar bahwa mereka itu tolol, ibarat mengharapkan timbulnya batu gunung di atas permukaan air. Apa saja yang disebut mabuk adalah tidak baik.
Mabuk adalah tidak sadar!
Dan orang yang tidak sadar sebagai akibat mabuk, salah-salah akan memperoleh sesuatu yang merugikan diri sendiri.
Tujuh hari telah berlalu. Waktu yang telah ditetapkan oleh Pangeran Pekik telah berakhir. Akan tetapi tak juga datang surat jawaban Sunan Giri. Kenyataan ini membuktikan bahwa Giri tetap tidak mau tunduk kepada Mataram. Dan bagaimanapun pula hal ini membuat Pangeran Pekik gelisah juga. Bukan karena takut berhadapan dengan lawan dan berperang, tetapi terdorong oleh wataknya yang welas asih, tidak senang bermusuhan, dan tidak menghendaki pula tangannya berlumuran dengan darah manusia. Oleh sebab itu semula Pangeran Pekik mengharapkan pengertian baik dari Sunan Giri. Agar penguasa Giri itu lebih suka menempuh jalan damai.
"Tujuh hari telah lewat, dan batas yang aku berikan kepada Giri telah berlalu," kata Pangeran Pekik setengah mengeluh di depan Yoga Swara, Hesti Wiro dan Ratu Wandansari.
"Sesungguhnya aku tidak menghendaki terjadinya peperangan. Oleh sebab itu, dapatkah kiranya paman Yoga Swara dan Hesti Wiro memberi jalan yang lebih baik ?"
Dua orang tua itu tidak segera dapat memberikan jawabannya. Mereka telah kenal akan watak dan maksud Pangeran Pekik. Yang dalam hatinya tidak menghendaki terjadinya peperangan. Maka dua orang tua ini hanyalah mengamati Ratu Wandansari. Tetapi sekalipun tidak membuka mulut, jelas mereka mengharapkan pikiran puteri yang terkenal cerdik ini.
Ratu Wandansari tersenyum manis. Katanya kemudian,
"Kangmas. bolehkah aku memberikan pendapatku ?"
"Mengapa tidak? Berikan pendapatmu, agar aku dapat mempertimbangkan dan dapat menentukan langkah tanpa keraguan lagi."
"Kangmas, hampir semua orang mengenal akan watak kangmas yang budiman. Seorang ksatria berhati emas. Watak yang mirip dengan cerita wayang, Prabu Yudistiro. Ya, pengaruh watak kangmas ini membuat kangmas ragu ragu menghadapi kenyataan. Giri tidak mau perduli akan surat yang telah kita kirimkan itu."
Ratu Wandansari berhenti dan mengamati suaminya sejenak. Kemudian terusnya,
"Tetapi kangmas, apakah sikap yang ragu-ragu ini tidak memberikan alasan kepada orang untuk menuduh, bahwa kita semua ini hanyalah pengecut yang bermulut besar?"
Pangeran Pekik mengangkat muka menatap isterinya sejenak. Jawabnya halus sekalipun agak kaget,
"Diajeng, ah, mengapa begitu ?"
"Tentu saja, kangmas! Apakah kangmas lupa kepada isi surat yang telah kangmas kirimkan keGiri? Bukankah kangmas telah memberi waktu kepada Sunan Giri hanya tujuh hari saja? Apabila sampai terjadi kangmas raguragu dalam menghadapi sikap Sunan Giri, apa lagi jabatan yang diberikan orang kepada kita kalau bukan pengecut? Kita sendiri yang telah menentukan batas waktu, dan apa bila Giri tidak tunduk, kita akan mengerahkan pasukan ke sana. Maka betapa memalukan apa bila Surabaya mengurungkan itu."
'Hemm,"
Pangeran Pekik menghela napas berat,
"bagaimanapun aku tidak menghendaki pecahnya perang, diajeng. Sebab terjadinya perang banya akan membuat para kawula menderita. Bukan saja mereka akan mengorbankan sanak saudara, tetapi juga harta benda. Apakah akibat yang demikian itu tidak membuat aku sedih? Itulah sebabnya lebih baik bagiku menghindari peperangan."
"Kangmas menghendaki demikian, tetapi kalau pihak lain tidak sedia, apakah yang akan kita lakukan kalau tidak menunjukkan kekuatan? Dan lagi kangmas, apa yang akan terjadi kalau sikap kangmas yang penuh ragu ini, sampai didengar kangmas Sultan Agung?"
"Hemm," lagi-lagi Pangeran Pekik menghela napas.
Terasa berat juga rasa hati pangeran ini, menghadapi kenyataan membandelnya Giri.
"Gusti." kata Hesti Wiro,
"perkenankanlah hamba ikut mempertimbangkan masalah ini."
"Katakanlah," sahut Pangeran Pekik.
"Aku memang ingin sekali memperoleh petunjuk dan nasihat dalam persoalan ini."
"Gusti, menurut pendapat hamba. Surabaya akan menderita rugi kalau paduka bersikap lemah dan mengalah. Lebih lagi, gusti telah memperoleh kepercayaan dari Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung. Batas waktu telah gusti tetapkan. Maka tiada tindakan yang lebih tepat lagi kecuali Surabaya memaksa Giri dengan kekerasan."
"Gusti, hambapun sependapat dengan gusti kangjeng ratu dan saudara Hesti Wiro," sahut Yoga Swara.
"Gusti. paduka memikul tanggung jawab yang tak dapat diingkari lagi. Gusti, hamba menjadi khawatir apa bila Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung menjadi salah paham akan sikap gusti yang ragu-ragu ini. Gusti, hamba memang mengerti kandungan hati paduka. Tugas adalah tugas! Tugas takkan dapat gusti campur adukkan dengan pendirian pribadi. Betapapun hamba sendiri juga tidak menghendaki pecahnya perang. Tetapi apa harus dikata kalau keadaan menghendaki demikian? Agaknya memang telah digariskan Tuhan, bahwa Surabaya dengan Giri pada akhirnya harus berselisih jalan."
Pangeran Pekik menghela napas lagi. Ia tak segera membuka mulut dan hatinya belum juga tega membiarkan nyawa manusia yang tak terhitung jumlahnya harus melayang di medan perang.
"Kangmas," kata Ratu Wandansari yang agaknya menjadi tidak sabar.
"Apa yang telah dikatakan paman Yoga Swara maupun Hesti Wiro tidak dapat dipungkiri. Dan kita sepatutnyalah apa bila mengimbangi sikap Giri yang membandel."
Namun ternyata Pangeran Pekik belum membuka mulut dan hanya menghela napas berat. Tampak sekali bahwa sedang terjadi pertentangan dalam batin Adipati Surabaya ini, antara tugas dan pribadi.
Hesti Wiro dan Yoga. Swara berkali-kali memandang ke arah Ratu Wandansari.Agaknya dua orang tokoh ini sedang minta perhatian kepadanya, agar Ratu Wandansari dapat mengatasi keraguan ini.
Di saat Pangeran Pekik diliputi oieh keraguan, dan dua orang tokoh tua ini mengharapkan pengaruh Ratu Wandansari, tiba-tiba terdengarlah suara ketawa Ratu Wandansari,
"Hi -hi -hik.."
Pangeran Pekik kaget dan mengamati isterinya. Yoga Swara dan Hesti Wiro juga memandang ke arah puteri itu.
'Hi--hik, aku tahu sebabnya kangmas ragu ragu menghadapi Giri."
"Engkau tahu? Terangkanlah!"
"Engkau tidak marah dan malu?"
"Mengapa harus marah dan malu? Diajeng, cepat katakanlah apa alasanmu."
"Kangmas, bukankah engkau ragu-ragu menghadapi Giri, karena di sana terdapat seorang perempuan bernama Rara Inten?"
Terjingkat Pangeran Pekik mendengar itu. Sahutnya cepat,
"Bukan! Tidak! Bukan itu soalnya."
"Lalu, apakah sebabnya?" pancing Ratu Wandansari.
"Aku tadi telah mengatakan, Aku tidak menginginkan terjadinya bunuh-membunuh di antara manusia di dunia ini."
"Kangmas, pendirianmu ini adalah bagus, tetapi hanyalah bagi manusia yang mempunyai kedudukan sebagai pendeta-pendeta, para ulama dan para brahmana. Sebaliknya bagi seorang pemimpin, yang mempunyai tanggung jawab terhadap keselamatan negara, pendirian ini tidak tepat. Sebab akan celakalah para kawula dalam negara itu, dan betapa ringkihnya negara itu pula. Maka kangmas, seorang pemimpin harus berpendirian tegas. Kepentingan pribadi harus disisihkan demi kepentingan negaranya."
Terasa berat hati Pangeran Pekik mendengar kata-kata istrinya ini untuk begitu Saja menerimanya. Sebab Jatidiri piibadinya memang tidak menghendaki terjadinya peperangan. Bagaimanapun perang hanya akan menimbulkan korban dan kerusakan-kerusakan yang sulit dibayangkan sebelumnya. Akan tetapi sebaliknya apa bila mengingat akan kedudukannya sebagai seorang pemimpin.
Memang pendiriannya ini, ia sendiri mengakui tidaklah tepat. Berarti merupakan seorang pemimpin yang lemah dan kurang tanggung jawab. Diam-diam timbul rasa kemenyesalannya pula,mengapa dirinya ini dilahirkan oleh Adipati Surabaya. Kemudian di luar cita-cita dan kehendaknya, dirinya harus menggantikan kedudukan ayahnya, sebagai Adipati Surabaya. Kalau saja dirinya tetap seperti dahulu, sebagai seorang pemuda anak angkat Wijaya dan anak angkat Kreti Windu, dirinya akan tetap bisa bergerak bebas dan dapat mempertahankan pendiriannya yang tidak suka bunuh. membunuh itu.
( Bersambung Jilid 9 )
*****
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 9
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
Perawan Lola
Lanjutan "Kisah Si Pedang Buntung"
Karya: Widi Widayat
Jilid : 9
******
SEKARANG dirinya dituntut oleh kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Sekarang dirinya dituntut untuk mempertahankan kesentausaan Mataram. Maka apa yang telah diucapkan oleh Ratu Wandansari tidak terbantah lagi. Ia harus mengerahkan kekuatan dan memimpin sendiri pasukan Surabaya untuk memukul Giri.
"Ya, aku adalah seorang pemimpin yang berkewajiban mempertahankan kedaulatan Mataram dari rong-rongan siapapun juga," katanya kemudian dengan menghela napas pula.
"Ya, diajeng, aku memang tak dapat mungkir dan menghindarkan diri dari kewajiban yang dipikulkan pada pundakku sekarang ini."
Untuk sejenak Pangeran Pekik berhenti. Lalu terusnya,
" Paman Yoga Swara dan paman Hesti Wiro. Perang antara Surabaya dengan Giri tak mungkin dihindarkan lagi sebagai akibat kebandelan Sunan Giri. Esok pagi aku akan memimpin sendiri pasukan Surabaya menggempur Giri. Untuk itu, segera persiapkanlah pasukan yang cukup kuat. Tetapi kalian jangan lupa! Penjagaan untuk kadipatenpun amat penting juga artinya."
"Sendika gusti," sahut Yoga Swara dan Hesti Wiro hampir berbareng.
Ratu Wandansari tersenyum senang mendengar keputusan suaminya itu. Ia tadinya begitu khawatir mendengar pendirian Pangeran Pekik. Bagi dia pribadi, pendirian suaminya itu memang tidak tercela. Akan tetapi bagi seorang pemimpin, pendiriannya itu berarti lemah. Maka katanya kemudian,
"Kangmas, keadaan Giri mirip dengan Pondok Bligo. Pengalaman dan kegagalan pasukan Mataram ketika menyerang Bligo, hendaknya kangmas pergunakan sebagai contoh!"
Pangeran Pekik menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Terima kasih diajeng, dan semoga aku tidak mengalami kegagalan,"
Setelah Hesti Wiro dan Yoga Swara mengundurkan diri, suami isteri ini bangkit dari tempat duduknya, masuk kembali ke dalam rumah. Dalam urusan menyerbu ke Giri ini, Ratu Wandansari amat percaya akan kesaktian suaminya. Tetapi suaminya adalah seorang yang terlalu jujur. Seorang yang tidak mau kenal kepada siasat perang melawan musuh. Itulah sebabnya Ratu Wandansari perlu mengingatkan kembali akan kegagalan penyerbuan Mataram di Pondok Bligo. Di dalam perang campuh orang tidak dapat mengandalkan kesaktian pribadi. Lebih-lebih bagi seorang pemimpin perajurit, seorang panglima perang. Kepandaian panglima perang itu bersiasat lebih menentukan kemenangan, dibanding mengandalkan kekuatan perajurit. Sebab tidak mustahil pasukan
yang lebih besar kekuatannya harus menderita kekalahan hanya melawan musuh yang kekuatannya lebih kecil.
Esok pagi kemudian bergeraklah pasukan Surabaya yang besar jumlahnya menuju Giri. Pasukan itu dipimpin langsung oleh Pangeran Pekik sebagai panglima perangnya. Sedang sebagai para senopati adalah Yoga Swara, Hesti Wiro. Indrajid dan Celeng Kemaduh. Sejak dari Surabaya telah direncanakan bagaimanakah cara menyerang Giri yang terletak di atas bukit itu. Pasukan Surabaya harus mengepung secara ketat, sehingga pasukan Giri dalam keadaan terkurung. Dengan demikian berarti pasukan Giri tak memperoleh kesempatan ke luar dari tempat, Apa bila persediaan makan pasukan Giri itu telah habis, tentu Giri akan takluk tanpa pertumpahan darah. Siasat ini mirip pula dengan siasat pasukan Mataram pada waktu mengepung kota Surabaya. Hingga ketika itu pasukan Surabaya tak dapat berkutik sedikitpun.
Akan tetapi di saat masih jauh pasukan Surabaya itu menuju Giri, telah diketahui mata-mata yang bertugas. Soal ini secepatnya dilaporkan kepada Sunan Giri. Kemudian beberapa tokoh yang membantu Giri itu menasihatkan kepada Sunan Giri agar secepatnya meninggalkan Giri bersama keluarga. Perlunya apa bila Giri sampai tidak dapat dipertahankan lagi, Sunan Giri dan keluarga selamat dari bahaya. Tetapi Sunan Giri tidak sedia meninggalkan keraton Giri. Ia tidak mau menjadi pengecut meninggalkan tanggung jawab sebagai soarang
pemimpin, dan membiarkan kawula Giri menyabung nyawa di medan perang. Pendeknya Sunan Giri akan memimpin sendiri pasukan Giri yang mempertahankan keraton.
Berhubung tekad Sunan Giri ini tidak lagi dapat diubah, maka para tokoh sakti yang membantu Giri itu menentukan langkah. Ternyata pendapat mereka sepaham. Apa bila semua orang hanya mempertahankan diri, dan membiarkan lawan mengurung, perlawanannya takkan bebas dan menderita kesulitan. Maka kemudian diputuskan agar Rara Inten, Ulam Sari. Abdul Malik dan Pitrang disertai perajurit yang tidak begitu besar jumlahnya, meninggalkan Giri.
Tugas mereka jelas!
Mereka harus mengacau lawan dari belakang. Dengan siasat ini, akan membuat lawan bingung di samping kaget. Musuh akan mengira bahwa pasukan Giri berjumlah jauh lebih besar,
Demikianlah, pasukan Surabaya bergerak maju terus dengan gampang, tanpa perlawanan sedikitpun. Pasukan Surabaya yang besar jumlahnya itu langsung mengepung bukit Giri secara ketat. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit, tidaklah gampang pasukan Surabaya itu bergerak maju. Bukit itu di samping dilindungi oleh benteng kuat terdiri dari pohon-pohon hidup, juga benteng dari batu yang begitu tinggi. Sedang di bagian luar dari benteng tersebut. dipisahkan dengan jagang (selokan yang dalam dan lebar. dan biasanya berisi air).
Namun jagang di Giri ini kering. Sekalipun begitu tak gampang orang melewatinya. karena di samping dalam
Juga lebar sehingga tak mungkin orang dapat melompatinya.
Tetapi pasukan Surabaya yang telah berpengalaman dalam perang itu. tak gampang menyerah oleh keadaan. Pasukan di bawah pimpinan Senopati Indrajid mencoba menerobos pertahanan musuh dengan mempersiapkan jembatan darurat dari bambu. Dengan jembatan bambu ini, pasukan ini percaya akan berhasil menyeberangi jagang. Guna melindungi pasukan yang akan melintas. telah disiapkan sepasukan bersenjata anak panah.
Jembatan bambu itu dalam Waktu singkat telah selesai dibuat. Kemudian dengan perlindungan pasukan pemanah yang terkenal mahir. petugas pemasang jembatan ini mengusung jembatan tersebut ke tepi jagang, yang dilengkapi dengan perisai terbikin dari rotan.
Dugaan Indrajit ternyata benar. Begitu petugas ini mendekati tepi jagang segeralah terjadi hujan anak panah dari dalam benteng pertahanan Giri. Namun petugas tersebut bergerak maju tanpa takut. Oleh perlindungan perisai rotan, anak panah lawan mental kemudian runtuh di atas tanah. Pasukan anak panah yang telah dipersiapkan segera membalas. Namun anak panah yang mereka lepaskan itu banyak yang tidak sampai ke pertahanan lawan, ada pula yang mental tertangkis dan ada pula yang dapat masuk ke pertahanan lawan tetapi tentang hasilnya tidak dapat diketahui.
Balasan serangan tersebut ternyata berpengaruh juga. Pasukan Giri penjaga benteng itu kemudian
ngumpet dan tidak menyerang lagi. Tentu saja hal ini membuat Indrajid dan pasukannya gembira. Mereka percaya, bahwa dalam waktu singkat akan segera berhasil menyeberangi jagang yang dalam dan lebar itu.
Tiadanya gangguan dari lawan, pasukan ini berhasil memasang jembatan darurat dari bambu itu dalam waktu Singkat. Mereka gembira, lalu saling berebut mereka berusaha mendahului yang lain.
Indrajid berteriak,
"Hai berhenti! Tunggu perintah!"
Namun pasukannya yang penuh semangat itu, seperti tidak mendengar peringatan sang pemimpin. Mereka tetap saling berebut melewati jembatan bambu tersebut. Hingga mereka kurang waspada akan siasat lawan. Di saat mereka belum berhasil mencapai ujung jembatan, mendadak sekali muncullah pasukan lawan bersenjata anak panah yang muncul dari parit. Hujan anak panah segera terjadi. Dan karena hujan anak panah itu datang secara mendadak, membuat pasukan yang saling berebut itu kebingungan. Dalam usaha mereka menyelamatkan diri, mereka mendesak mundur. Tetapi jembatan tersebut sempit, mengakibatkan saling desak tak karuan. Di antara mereka ada yang terpelanting dan menjerit ngeri, disusul tubuhnya yang remuk terbanting ke dasar jagang yang terbuat dari batu tajam. Namun juga tidak sedikit pula di antara mereka yang menjerit ngeri, akibat terpanggang anak panah lawan. Yang kemudian disusul oleh jeritan panjang, menjelang maut merenggut nyawanya di dasar jagang.
Indrajid marah bukan main. Ia berteriak-teriak memerintah pasukan itu lekas mundur. Namun perintah ini justeru makin membuat pasukan itu gugup saking takut. Dan akibatnya malah makin banyaklah mereka yang terlempar ke bawah, baik terdesak oleh yang lain maupun terpanggang oleh anak panah lawan. Sayang juga bahwa pasukan anak panah yang melindungi mereka itu. kesulitan dalam membidik, karena lawan itu berlindung di balik gerumbul pohon. Akibatnya, serangan balasan itu kurang berarti dan hanya menghambur-hamburkan anak panah saja.
Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merah padam wajah Indrajid saking marah dan penasaran. Ia ingin marah dan mengamuk.
Akan tetapi kepada siapa?
"Gila! Gila....!" teriaknya lantang sambil membanting-bantingkan kakinya.
"Kalian sudah kuperintahkan berhenti dan menunggu perintah, Namun kalian tuli tidak mendengar perintahku. Huh. akibatnya.... akibatnya begini! Apakah kalian senang kawan kita banyak yang menjadi korban?"
Indrajid menebarkan pandang matanya yang merah ke arah para anak buahnya yang menunduk ketakutan. Kemudian lanjutnya masih tetap marah,
"Jangan kalian sembarangan bergerak menyeberang. Sekarang, biarkan jembatan itu tetap melintang di sana. Yang penting jagalah jembatan itu agar tidak dirusak oleh lawan. Hemm, malam nanti kita bergerak secara rahasia. Kita menyerbu masuk dan kita obrak-abrik sarang musuh!"
pasukan yang ketakutan itu tidak satupun membuka mulut. Mereka menundukkan kepala, sehingga suasana di tempat itu hening.
"Hai perajurit! Apakah kalian semua tuli?" bentak Indrajid sambil melotot.
"Tidak.,....!" sahut mereka serentak.
"Kalau tidak tuli mengapa kalian tidak menjawab?"
"Kami siap sedia melaksanakan perintah tuan !"
Indrajid mengangguk-angguk kepalanya, sekalipun hatinya masih marah. Diam-diam ia amat menyesal sekali, sebelum perang campuh sudah harus mengorbankan lebih duapuluh orang perajurit yang tewas, dan jenazah mereka tak dapat diambil. Ia merasa malu kepada Pangeran Pekik. Juga kepada para senapati yang lain. Itulah sebabnya Indrajid telah memutuskan bahwa malam nanti ia harus dapat membalas dan menebus nyawa anak buahnya, dengan membunuh musuh sebanyak banyaknya.
Malam tiba!
Dan sungguh amat menggembirakan, bahwa jembatan darurat itu masih tetap melintang di atas jagang, tidak diganggu oleh musuh. Diam-diam ia telah memastikan, bahwa malam nanti ia dan pasukannya akan dapat membalas dan menghajar musuh. Kemudian ia memerintahkan pembantunya, agar memilih empatpuluh orang perajurit yang terpercaya. Empatpuluh orang itu akan dipimpinnya sendiri, mendahului menyerbu sebagai pasukan pelopor. Adapun perajurit yang lain diperintahkan menyusul setelah pasukan pelopor itu berhasil masuk ke dalam.
Demikianlah. setelah semua persiapan selesai, Indrajid memberikan pesan-pesannya yang perlu diperhatikan oleh setiap anggauta pasukan. Kemudian dengan diam diam, pasukan kecil di bawah pimpinan Indrajid ini mendekati jembatan bambu. Akan tetapi Indrajid cukup waspada. Ia tidak cepat-cepat memerintahkan pasukannya menyeberang. Senopati ini menyelidik cukup lama dan hati-hati. Setelah jelas tiada sesuatu yang mencurigakan, barulah Indrajid melambaikan tangannya agar pasukan itu menyeberangi jembatan seorang demi seorang. Gerakan mereka cukup tertib. Yang menyeberang terdahulu cepat cepat menyelinap dan bersembunyi di seberang jembatan.Baru kemudian seorang yang lain menyusul, dan yang terakhir Indrajid sendiri. Tetapi pasukan terpilih yang kecil jumlahnya ini, tidak cepat bergerak lebih dalam. Mereka hanya dalam keadaan siap siaga, dan menunggu sisa pasukan yang menyusul menyeberang. Sesuai dengan rencana Indrajid, pasukan di bawah pimpinannya itu harus terbagi menjadi dua. Separoh di bawah pimpinannya sendiri langsung menyerbu ke dalam benteng pertahanan lawan. Sedang separoh yang lain, di bawah pimpinan Kalintung menjaga jembatan darurat sambil memberi perlindungan apa bila diperlukan.
Malam gelap dan sepi!
Benteng pertahanan lawan dalam jarak yang amat dekat. Sebagai seorang pemimpin yang telah terlatih, sekalipun malam gelap. Indrajid dapat menangkap bayangan-bayangan
orang yang bergerak di dalam Benteng bambu berduri. Tidak seorangpun anggauta pasukan itu yang membuka mulut. Suasana menegangkan, justeru sewaktu-waktu perang campuh akan terjadi.
Indrajid hampir memberikan aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu ke dalam benteng, ketika tiba-tiba ia terkejut mendengar keributan yang terjadi, pada pasukannya yang tertinggal di seberang di bawah pimpinan Kalintung.
'Celaka!" seru Indrajid tertahan sambil melompat ke arah jembatan darurat. Akan tetapi ketika Ia mau menyeberang jembatan itu, menyusul seruannya.
"Ahhh.. ...!"
Indrajid kaget setengah mati ketika jembatan darurat dari bambu itu tahu tahu sudah patah patah dan runtuh ke dasar jagang tanpa dtketabui sebab-sebabnya. Akibatnya, dirinya dan semua pasukan di bawah pimpinannya terkurung di dalam sarang lawan. Mereka tidak dapat membantu anggauta pasukan yang ribut di seberang.
Di saat pasukan Indrajit kebingungan tak dapat menyeberang kembali ini, tiba tiba terdengarlah sorak dari dalam benteng bambu berduri. Disusul oleh hujan anak panah, bandil dan lemparan lemparan batu!
Celaka sekali!
Pasukan Indrajid ini menjadi kacau dan bingung. Mereka berlarian ke sana ke mari dalam usaha mereka menghindari hujan anak panah, bandil (batu kerikil) dan batubatu besar, untung Indrajid tidak menjadi gugup.Cepat-cepat ia memerintahkan pasukannya untuk berlindung di belakang pohon dan batu. Akan tetapi karena terlambat, maka terdapat belasan anggauta pasukan yang menderita luka ringan dan berat. Malah terdapat pula yang putus nyawa terpanggang oleh anak panah, atau menderita kepala pecah oleh lemparan batu dari dalam benteng.
Kalau pasukan di bawah pimpinan Indrajid belum campuh perang telah belasan orang yang menderita luka dan mati, maka pasukan yang berada di seberang dan dipimpin oleh Kalintung itu, mengalami kerugian pula. Pasukan itu kocar-kacir sekalipun hanya melawan pasukan yang jumlahnya kecil. Di antara teriakan-teriakan kesakitan itu, terdengarlah suara yang meledak-ledak. Suara lecutan cambuk, akan tetapi menimbulkan akibat yang hebat bagi mereka yang terpukul ujung cambuk.
Indrajid gelisah bukan main menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga ini. Ia sendiri bersama pasukan yang dipimpinnya telah terjebak oleh lawan, tidak dapat keluar lagi. Di pihak lain, pasukan yang belum menyeberang sekarang kocar kacir oleh amukan musuh pula. Semua ini benar benar di luar dugaannya. Nyatalah bahwa dirinya telah terjebak oleh siasat lawan.
Demikianlah yang terjadi. Indrajid bersama pasukannya memang terjebak oleh kepandaian Rara Inten. Sesungguhnya apa yang terjadi sekarang ini, merupakan buah pikiran Pitrang. Sebab bagi Rara Inten sendiri, sesungguhnya merasa tidak telaten harus menggunakan Siasat menjebak lawan. Ia sanggup berhadapan seorang lawan seorang melawan Indrajid. Perempuan cantik yang bernama Rara Inten
ini hatinya menjadi besar setelah berhasil membunuh Madu Bala, jagoan sakti Gagak Rimang. Untung sekali bahwa Pitrang berhasil membujuk Rara Inten yang tinggi hati dan angkuh itu. Hingga kemudian diaturlah siasat yang cukup tertib. Pitrang melepaskan anak panah disertai sepucuk surat yang memberitahukan kepada pemimpin pasukan dalam benteng, agar membiarkan jembatan darurat musuh itu tetap melintang di atas jagang. Pitrang memberitahukan pula, ia bertanggung jawab atas semua rencana ini.Maksudnya bukan lain guna menjebak musuh yang berani melewati jembatan itu. Nyatalah bahwa rencana Pitrang ini semuanya berhasil dengan baik. Pasukan yang dipimpin oleh Indrajid telah terjebak. Kemudian Pitrang dan Rara Inten bersama pasukan yang tidak seberapa jumlahnya menyerbu kepada sisa pasukan yang belum menyeberang jembatan. Di saat menyerbu ini, Rara Inten yang memperoleh tugas menghancurkan jembatan darurat itu, tanpa kesulitan telah berhasil meruntuhkannya dengan sambaran ujung cambuk. Pitrang dan Rara Inten mengamuk dengan hebat. Kalintung yang kaget dan penasaran dengan goloknya yang besar menyerbu maju. Begitu berhadapan dengan Pitrang terjadilah perkelahian yang sengit seorang lawan seorang. Pitrang yang bersenjata pedang dan berkelahi dengan llmu Pedang Perguruan Semeru itu, gerakannya cepat tangkas dan rapat pertahanannya. Mereka berkelahi dengan sengit. Melihat Pitrang tidak segera dapat
mengalahkan Kalintung itu. Rara Inten tidak telaten. Ia segera melompat sambil menyambarkan Ujung cambuknya.
"Tar-tar.... plak crot., aughh. ....!"
Kalintung yang berusaha menangkis dengan goloknya itu, tak kuasa mempertahankan senjatanya oleh sambaran cambuk Rara Inten. Akibatnya goloknya yang besar itu terbang. Di saat ia kaget, pedang Pitrang menyambar dari samping. Ujung pedang menembus pinggang secara tepat, dan berbareng dengan dicabutnya pedang itu, Kalintung mengeluh kemudian roboh tewas,
Melihat tewasnya sang pemimpin itu, pasukannya kaget dan ketakutan.Akibatnya pasukan itu lari berserabutan dalam usahanya menyelamatkan diri.
Kalau pasukan itu mengalami nasib sial, pasukan yang terjebak dan dipimpin Indrajidpun nasibnya tidak menyenangkan pula. Pasukan ini maju sulit, mundurpun tidak mungkin. Mereka tidak berhadapan dalam jarak dekat dengan lawan, akan tetapi serangan dari lawan bertubi-tubi, dan mereka sulit membalas. Kedudukan mereka di tempat yang lebih rendah dibanding dengan kedudukan lawan. Musuh dapat melemparkan batu-batu besar dan potongan-potongan kayu ke arah mereka. Akan tetapi sebaliknya mereka tidak mungkin dapat melontarkan batu dan potongan kayu itu ke tempat yang lebih tinggi. Benar-benar Indrajid merasa tidak berdaya memimpin pasukan seperti ini, terjepit di antara jagang yang dalam dan serangan lawan dari dalam benteng.
Dalam keadaan sulit ini. tiba-tiba saja Indrajid menjadi nekat. Ia tidak menghendaki mati konyol tanpa membalas. Apapun yang akan teriadi,ia lebih suka mati secara hormat.
Mati sebagai perajurit!
Perintahnya kemudian,
"Hai perajurit! Kamu jangan mati konyol! Hayo kita serbu sampai titik darah penghabisan!"
Sambil menutup perintahnya ini. Indrajid telah melompat maju mendahului menerjang ke arah benteng pertahanan lawan. Menggunakan pedangnya Indrajid membabat ranting dan duri bambu. Tidak memperdulikan lagi kaki maupun lengannya tergores duri dan berdarah. dan tidak perduli pula pakaiannya menjadi robek-robek. Ia berusaha menerobos masuk kedalam benteng bambu berduri itu.
Sikap dan kejantanan Indrajid ini membangkitkan semangat anak buahnya. Pasukan Gagak Rimang justeru telah terlatih menghadapi bahaya dan derita. Mereka telah ditempa oleh semangat yang menyala demi membela kebenaran. Dan mati didalam perang akan tercatat dalam sejarah dengan tinta emas. Maka tanpa kenal takut mereka bersorak dan menyerbu.
Hujan anak panah, lemparan batu dan potongan kayu dari dalam benteng terus berlangsung. Di antara mereka sudah ada yang roboh tewas atau terluka. Namun demikian pasukan itu pantang mundur.
Mereka tidak takut mati!
Menghadapi keadaan yang sulit seperti sekarang ini, memang tiada jalan lain lagi kecuali mengamuk sampai mati. Indrajid memelopori penyerbuan yang mati-matian ini. Dan berkat tekad dan semangat Indrajid yang menyala nyala, dibantu oleh pasukan yang tidak takut mati akhirnya berhasil juga mereka membobol benteng rumpun bambu berduri itu. Sekalipun demikian pasukan ini harus menebus dengan korban pula. Belasan orang terluka dan mati, sedang Indrajid sendiri menderita luka ringan di beberapa bagian tubuhnya.
Bobolnya benteng hidup itu, membuat pasukan Giri kaget dan ribut. Mereka menghujani batu dan kayu kayu, di samping anak panah. Beberapa orang terguling roboh tertimpa oleh batu batu dan balok kayu. Namun keadaan ini tidak menurunkan semangat mereka, berindap dan merangkak maju terus.
Bobolnya benteng hidup yang terdiri dari rumpun bambu berduri itu. membuat Rara Inten dan Pitrang yang sedang mengamuk diseberang menjadi kaget. Namun demikian mereka tidak khawatir justeru di dalam benteng masih terdapat Wayan Regel, Nyoman Kadis. Wanengboyo dan beberapa orang tokoh yang lain. Kawan-kawannya itu tentu akan sanggup menindas dan menghancurkan pasukan yang kecil saja itu.
Dugaan Rara Inten dan Pitrang ini memang beralasan. Sebab di samping benteng itu terjaga kuat sekali. juga kedudukan Giri yang berada di bagian atas menguntungkan. Mereka dapat menyerang dengan batu dan balok kayu. Sebaliknya lawan tidak
dapat membalas menyerang, dan harus mendaki lereng.
Beberapa orang anggauta pasukan Indrajit itu telah roboh lagi, terluka atau tewas. Membuat Indrajid makin marah dan penasaran. Dengan tekad yang menyala nyala kemudian Indrajid mendahului bergerak meninggalkan pasukannya. Seorang diri Ia bergerak cepat mendekati lawan. Setiap pedangnya berkelebat, musuh yang dijumpai segera memekik nyaring kemudian roboh tak berkutik lagi.
Beberapa orang dari pasukan indrajid itupun kemudian timbul akalnya. Mereka melepaskan panah api. Mereka melepaskan secara mgawur. Namun sekalipun hanya ngawur, panah-panah berapi itu tidak berhamburan sia-sia. Di antara panah api secara tepat menemukan sasaran, yaitu rumah beratap ilalang di dalam benteng. Dan akibatnya, terjadilah kebakaran.Tiupan angin yang cukup santar membuat api cepat berkobar. Sebaliknya panah panah api yang tidak menimpa atap rumah, terdapat pula yang melukai perajurit Giri, sehingga perajurit itu pakaiannya terbakar dan berteriak minta tolong.
Ternyata akal melepaskan anak panah berapi itu berhasil dan menolong. Perajurit Giri di dalam benteng menjadi ribut di samping harus mempertahankan benteng terpaksa pula berusaha memadamkan api yang berkobar. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Indrajid dan pasukannya untuk menerobos lebih dalam .
Api yang berkobar dalam benteng itu, bukan saja membuat kaget pihak Giri, tapi juga membuat kaget Pangeran Pekik dan pasukan Surabaya. Sebagai panglima tentu saja ia harus dapat mengetahui segala yang terjadi. Maka secara diam diam dan sendirian pula, Pangeran Pekik telah meninggalkan pondok meninjau keadaan. Dan kalau perlu sebagai panglima, dirinya harus memberi contoh kepada pasukannya. Akan tetapi, begitu Pangeran Pekik tiba di tempat Indrajid dan pasukannya berkubu,matanya terbelalak di samping kaget.
Betapa tidak?
Ia melihat puluhan mayat pasukan Gagak Rimang bergelimpangan menjadi mayat. Di antara para perajurit itu, tidak sedikit yang tewas dengan kepala pecah terpukul oleh benda tumpul. Namun sebaliknya di antara korban yang terdiri dari anggauta pasukan Gagak Rimang itupun, tidak sedikit pula jumlahnya pasukan Giri yang menjadi korban.
Diam-diam Pangeran Pekik ngeri dan menghela napas dalam. Sesungguhnya ia tidak menghendaki terjadinya pembunuhan dan penjagalan antara manusia macam ini. Ia benci kepada perang dan saling membunuh. Akan tetapi celakanya, dalam kedudukannya sebagai Adipati Surabaya. ia dipaksa oleh keadaan. Ia harus bertindak sebagai panglima, memimpin pasukan menggempur Giri.
"Ahhh. mengapa harus terjadi saling bunuh macam ini?" gumamnya, sambil menghela, napas lagi.
Namun perhatian Pangeran Pekik segera beralih, jantungnya berdesir hebat sambil melompat dengan ringan. Tak jauh dari tempat korban bergelimpangan ini, tampak bayangan orang yang saling berkelebat dan berkelahi. Geraman marah dan pekik kesakitan terdengar di sana sini. Akan tetapi dari gema suara yang terdengar itu, yang paling membuat Pangeran Pekik kaget dan tertarik perhatiannya. adalah suara ledakan cambuk yang terdengar begitu nyaring, mengatasi semua keributan.
"Ahh... Rara Inten ?" desisnya.
Akan tetapi Pangeran Pekik menjadi ragu-ragu menyaksikan semua ini,
Apakah yang telah terjadi sesungguhnya?
Kalau melihat banyaknya korban yang jatuh di pihak Gagak Rimang, jelas bahwa Indrajid dan pasukannya menderita kerusakan hebat.
Tetapi mengapa bisa terjadi, dalam benteng lawan terjadi kekacauan?
"Tar-tar-tar....... !" '
Ledakan cambuk yang nyaring itu menyadarkan Pangeran Pekik, kemudian dengan gerakan ringan ia meneruskan berloncatan menuju tempat perkelahian.
"Aihhh......."
Pangeran Pekik agak kaget sambil mengebutkan telapak tangannya. Membuat tiga batang anak panah yang menyambar ke arah dirinya runtuh,
Di saat itu. Pangeran Pekik justeru melihat seorang anggauta Gagak Rimang yang telah mandi darah, akan tetapi masih didesak hebat sekali oleh lawannya.
Pangeran Pekik menjadi tak tega. Perajurit itu kalau ia biarkan,jelas akan segera roboh dan tewas. Secepat kilat ia melompat. Tangan yang
kanan bergerak perlahan. Tahu-tahu pedang perajurit Giri itu telah terjepit di antara jari tengah dan telunjuk. Dan sebelum perajurit itu sadar, pedang telah beralih ke tangan Pangeran Pekik yang cepat dibuang jauh.
Tanpa perduli kepada perajurit Giri yang kaget akibat senjatanya direbut. Pangeran Pekik telah bergerak dengan ringan. Dua tangannya bergerak bergantian ke kiri maupun ke kanan. Akan tetapi Pangeran Pekik tidak sampai hati untuk melukai maupun membunuh. Maka yang dilakukan tidak lain hanyalah merebut senjata perajurit lawan. Dalam waktu singkat tidak terhitung jumlahnya senjata perajurit Giri yang lepas dari tangan, kemudian dengan amat gampangnya dipatahkan oleh Pangeran Pekik. Keadaan ini membuat perajurit Giri kaget dan ribut, sebaliknya pasukan Gagak Rimang yang semula terdesak hebat itu, sekarang timbul kembali semangatnya dan mengamuk. Mereka bersorak riuh, dan dari mulut mereka terdengar seruan-seruan,
"Hidup gusti pangeran!"
"Hidup Surabaya. Hancurkan Giri !"
Seruan-seruan yang riuh-rendah itu kemudian diseling oleh suara ledakan cambuk yang nyaring dan pekik kesakitan.
"Inten.......!" seru Pangeran Pekik tertahan, ketika ia benar berhadapan dengan Rara Inten.
"Hem.... Pekik.... kau datang dan mengacau..!" sahut Rara Inten dingin di samping ketus.
Tetapi seperti tidak mendengar ucapan Rara Inten, Pangeran Pekik bertanya,
"Inten...... apakah sebabnya engkau di sini?"
"Hemm. sebelum aku menjawab, engkau harus menjawab dahulu pertanyaanku. Huh, apakah sebabnya engkau di tempat ini dan apa pula kerjamu ?"
Tetapi sekalipun nada ucapan Rara Inten itu ketus dan dingin, Pangeran Pekik menjawab dengan halus,
"Inten. jika aku di tempat ini adalah wajar, sesuai dengan kedudukanku sebagai panglima pasukan Surabaya. Sebagai seorang panglima yang bertanggung jawab atas keselamatan perajuritnya, tentu saja aku takkan dapat membiarkan engkau mengganas seperti ini"
"Hemm. engkau terlalu sombong. Jika engkau menyebut dirimu sebagai panglima pasukan Surabaya, apakah Inten tidak dapat menyebut dirinya sebagai panglima pasukan Giri? Dua orang panglima perang telah saling berhadapan. Engkau mau berkata apa lagi?"
'Inten....... ahhh."
Pangeran Pekik yang kaget menjadi gelagapan. Entah mengapa sebabnya, hatinya merasa tidak tega apa bila harus bertindak keras kepada perempuan ini.
'Hemm. engkau takut berhadapan dengan aku ?" ejek Rara Inten.
Kata kata ini sesungguhnya terlalu menghina bagi seorang panglima. Tetapi Pangeran Pekik masih tetap bersikap tenang. Ia menghela napas pendek, kemudian terdengar jawabannya yang masih sabar.
"Inten! Apakah sebabnya engkau bersikap
seperti ini! Yang Selalu berusaha bermusuhan dengan aku? Inten....,.. ahh, engkau telah membuat hatiku sedih bukan main sebagai akibat perbuatanmu......"
"'Yang mana?" potong Rara Inten.
"Pembunuhan yang kaulakukan atas diri Madu Bala. Mengapa engkau setega itu?"
"Hi-hik, mengapa aku tidak tega? Orang-orang Gagak Rimang semuanya busuk dan jahat. Untuk apa tidak dibunuh mampus? Huh, engkaupun sebagai Raja Gagak Rimang, malam ini harus mampus pula dalam tanganku!"
"Jahanam! Jangan engkau membuka mulut sembarangan ! "
Teriakan yang lantang itu membuat semua orang kaget. Lalu tanpa berjanji lebih dahulu, dua pasukan yang semula bertempur itu, sekarang berhenti tiba tiba. Mereka membentuk barisan masing masing. Pasukan Giri berdiri di belakang Rara Inten. sedang pasukan Gagak Rimang berdiri di belakang Pangeran Pekik,
Rara Inten mendelik dan memandang penuh perhatian ke arah suara teriakan yang tadi terdengar. Kemudian perempuan ini mendengus dingin ketika melihat bahwa orang yang berteriak dan muncul itu Yoga Swara.
"Hemm, iblis pemerkosa wanita! Mampuslah! "
"Tar-tar-tar..,... plak...!"
Berbareng dengan ucapannya, cambuk Rara Inten telah bergerak menyambar ke arah Yoga
Swara yang baru saja berdiri tegak. Untung sekali Yoga Swara selalu siap siaga. Dua kali sambaran cambuk tidak kesulitan ia hindari. Tetapi sambaran yang terakhir terpaksa ia menggunakan tangannya untuk menangkis. Ujung cambuk itu terpental membalik. Akan tetapi tidak urung Yoga Swara kaget sendiri dan terhuyung mundur. Sebab lengannya dirasakan agak kesemutan. Hal ini diam-diam membuat Yoga Swara kagum berbareng heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa dalam waktu singkat, Rara Inten telah memperoleh kemajuan cukup pesat. Kalau dirinya selama ini tidak memperoleh tambahan ilmu dari Pangeran Pekik di samping tekun berlatih, mungkin sekali dirinya sudah celaka dalam segebrakan dengan Rara Inten. Perajurit dua belah pihak yang semula bertempur dengan sengit itu, tanpa berjanji mereka lalu berhenti bertempur,menjadi tegang menyaksikan semua itu. Sekarang sementara pemimpin dua belah pihak berhadapan. Maka apa bila benar terjadi perkelahian tentu seru dan menegangkan. Pangeran Pekik menjadi tidak senang mendengar ucapan Rara Inten yang mengungkat peristiwa puluhan tahun yang lalu. Lebih-lebih Pangeran Pekik justeru seorang yang lebih banyak tahu tentang persoalan itu. Dan ia pernah mendengar pula cetusan hati Yoga Swara yang menyesalkan perbuatannya sendiri itu. Hingga kemudian Yoga Swara mengikhlaskan puteri tunggalnya, kawin dengan Jaka Lambang. Padahal semula Jaka Lambang adalah tunangan Endang Bratajaya atau ibu dari anak
satu-satunya itu. (Tentang soal ini, agar para pembaca dapat mengetahui dengan sejelasnya, saya persilahkan membaca buku Jaka Pekik oleh pengarang dan penerbit yang sama.)
"Inten ! " bentak Pangeran Pekik tidak senang.
"Jangan engkau mengangkat peristiwa lama! "
"Hi-hi-hik, gampang saja kau bicara!" ejek Rara Inten.
"Tetapi bagi aku, peristiwa itu sangat penting. Sebab Endang Bratajaya adalah salah seorang murid Perguruan Tuban, seperti diriku. Huh. orang yang berani mencemarkan nama baik Perguruan Tuban harus mampus!"
"Tar-tar. . . . .! " begitu menutup kata-katanya.
Rara Inten sudah menggerakkan kembali cambuknya dan menyambar ke arah Yoga Swara. Akan tetapi dengan gesit Pangeran Pekik telah menangkis sambaran cambuk tersebut dengan tangannya. Hingga ujung cambuk itu memental ke belakang.
" Kurang ajar! Engkau sengaja memusuhi aku?" bentak Rara Inten sambil mendelik marah.
Yoga Swara menjadi tersinggung dan marah. Katanya dingin,
"Huh, apakah sangkamu aku takut berhadapan dengan engkau?"
"Bagus, mari kita lihat siapa yang lebih unggul."
"Tahan! " teriak Pangeran Pekik sambil melompat dan berdiri di antara mereka. Lagi lagi ia berdiri sambil menghadapi Rara Inten.
"Apakah maksudmu?" hardik Rara Inten.
"Sabarlah dahulu. Inten. Dan jawablah dahulu pertanyaanku," kata Pangeran Pekik dengan nada yang tetap sabar.
"Hmm....." dengus Rara Inten dingin.
"Inten, mengapa engkau selalu berdiri berseberangan dengan aku?"
"Huh, aku memang selalu berusaha memusuhimu. Engkau musuhku bebuyutan !"
"Ahhh mengapa begitu pendirianmu? Lupakah engkau akan persahabatan yang telah lama kita jalin? Dan lupakah engkau akan sumpah dan janjimu sendiri ketika di depan kakek guruku Wisnu Murti, di saat engkau menyerahkan Perguruan Tuban ke tanganku?" kata Pangeran Pekik dengan nadanya yang tetap sabar.
"Huh, persetan dengan semua itu! Engkau sendiri yang telah memulai, mengapa engkau masih bertanya ?"
"Apa salahku?" "
"Sudahlah, tidak perlu banyak mulut. Pendeknya aku musuhmu. Huh, janganlah engkau menjadi seorang pengecut. Apakah engkau tidak malu?"
Kalau orang lain, mungkin sekali akan menjadi tersinggung dan marah atas sikap Rara Inten yang terlalu menghina macam ini. Akan tetapi Pangeran Pekik tidak marah dan tersinggung. Adipati Surabaya ini masih tetap bersikap sabar dan bibirnya menyungging senyum. Memang banyak pertimbangan di dalam dada Adipati Surabaya ini, setiap berhadapan dengan Rara Inten. Ia selalu berusaha menyadarkan Rara Inten dari segala tindak dan perbuatan yang kurang baik.
Meraba Matahari Karya S H. Mintarja Lebih Dari Sekedar Lo Apsen Karya Dante Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama