Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 8

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 8


"Hemm, engkau boleh menyebut aku seorang pengecut dan tidak tahu malu. Tetapi jika engkau
mengerti perasaanku, engkau tentu berkata lain. Hemm, Inten! Aku ingin bertanya pula padamu, apakah pembunuhan yang terjadi atas Madu Bala beberapa hari yang lalu itu, sehubungan dengan sikapmu yang bermusuhan denganku?"
Atas sikap Pangeran Pekik yang tetap tidak terbakar oleh ucapannya yang menghina dan merendahkan ini, membuat Rara Inten reda kemarahannya. Dan mendadak saja dalam dada perempuan ini timbul kesadaran. Bagaimanapun, dirinya telah banyak berhutang budi kepada Pangeran Pekik. Dan bagaimanapun, selama ini sikap Pangeran Pekik selalu baik dan mengalah kepada dirinya. Hal ini terbukti dengan pengampunan atas dirinya, sekalipun bersalah menimbulkan peristiwa-peristiwa besar dan menghadapkan Pangeran Pekik kepada kesulitan (Untuk jelasnya' harap baca cerita Ratu Wandansari dan Kisah Si Pedang Buntung).
Akan tetapi sayang sekali bahwa kesadarannya yang datang itu hanya sebentar saja, kemudian terdesak oleh persoalan patah hati. Sepasang mata Rara Inten kembali menyala, lalu terdengar bentaknya lagi,
"Pekik! Engkau menghadapi aku sekarang dengan maksud apa? Jika engkau ingin banyak bicara, tempat ini bukanlah tempat untuk bicara. Di medan perang sekarang ini, Giri berhadapan dengan Surabaya. Jika engkau panglima pasukan Surabaya, akupun salah seorang pemimpin pasukan Giri. Aku dan engkau adalah musuh. Huh, engkau boleh mengerahkan kepandaianmu, siapa takut?"
Rara Inten berhenti sebentar, dan matanya tetap menyala. Terusnya kemudian,
"Tapi, untuk membuat engkau lega baiklah aku jawab pertanyaanmu. Aku sengaja membunuh bangsat Madu Bala ada dua persoalan pokok. Yang pertama, lupakah engkau bahwa bangsat tua itu, beberapa tahun yang lalu di Karta telah mengumbar mulut sembarangan dan memfitnah nama baik guru maupun pribadiku? Nah, untuk dosanya yang telah melakukan fitnah atas diriku dan guruku itulah, maka hukuman yang paling tepat hanyalah harus kubunuh mati. Dengan terbunuhnya bangsat itu, berarti arwah guruku di sana berkuranglah penasarannya. Huh. engkau ingin mendengar alasanku yang ke dua? Bagus, alasan yang ke dua mempunyai hubungan langsung dengan engkau. Aku sengaja membunuh bangsat itu, sebagai tantanganku terhadap engkau!"
Pangeran Pekik tak juga marah mendengar ucapan Rara Inten yang menghina ini. Tetapi sebaliknya Yoga Swara tak kuasa menahan kemarahannya, sekalipun kakek ini termasuk seorang yang cukup sabar.
"Hai perempuan ganas!" bentak Yoga Swara.
"Gusti adipati telah banyak mengalah padamu, namun ternyata engkau tidak tahu diri. Huh, siapakah yang takut melawanmu? Huh, Yoga Swara sanggup menandingimu sampai salah seorang roboh mampus!"
"Tahan!" kata Pangeran Pekik, mendahului Rara Inten.
Kemudian sambil memalingkan mukanya ke arah Yoga Swara, terusnya,
"Paman Swara, urusan Rara Inten serahkan padaku. Dan secepatnya engkau harus menolong paman Indrajit! yang terjebak oleh musuh."
Yoga Swara terbelalak kaget mendengar itu.
Tanyanya gugup,
"Indrajid terjebak?' '
"Hi-hi-hik, siapakah bisa menolong dia ?" ejek Rara Inten mendahului jawaban Pangeran Pekik.
"Semua yang terjebak masuk dalam benteng, takkan seorangpun dapat tertolong."
Pangeran Pekik juga sadar akan bahaya yang mengancam Indrajid dan pasukannya yang telah terjebak. Akan tetapi bagaimanapun sebagai seorang panglima, ia takkan dapat berpangku tangan. Adapun Yoga Swara begitu mendengar Indrajid terjebak dalam sarang lawan, menjadi gugup. Katanya,
"Gusti, hamba akan segera berangkat."
"Jangan seorang diri!"
Pangeran Pekik memperingatkan. '
Yoga Swara hanya mengiakan, dan tubuh kakek itu dalam Waktu singkat telah lenyap dari pemandangan semua orang. Setelah Yoga Swara pergi, sekarang tinggal Pangeran Pekik dan Rara Inten berhadapan. Dan di belakang mereka, pasukan dua belah pihak berdiri dalam keadaan siaga, dengan hati tegang. Akan tetapi diam-diam sisa pasukan Gagak Rimang ini mencela sikap Pangeran Pekik yang dianggapnya lemah.
"Hai, Pekik! Engkau ingin berkelahi melawan aku dengan senjata apa?" bentak Rara Inten dengan nada yang tetap ketus dan menghina.
"Hemm, Inten, mengapa engkau memaksa padaku untuk berkelahi ?" sahut Pangeran Pekik
yang tetap Sabar. Entah apa sebabnya. yang jelas ia merasa tidak tega terhadap Rara Inten, sekalipun sekarang ini berkedudukan sebagai musuh. Maka ia bermaksud agar gadis ini dapat diusir pergi tanpa melalui perkelahian.
"Hi-hik. tidak tahu malu! Jika engkau memang tidak berani melawan aku, katakan saja terus terang!" ejek Rara Inten yang semakin menghina.
"Kemudian bawalah pasukanmu kembali ke Surabaya, dan jangan berusaha mengganggu Giri lagi."
Sesabar sabarnya manusia memang masih ada batasnya. Ucapan Rara Inten yang terakhir ini benar-benar merendahkan dan amat menghina.
Siapakah yang kuasa lagi menahan sabar?
Pangeran Pekik sadar bahwa sekarang ini dirinya sebagai panglima pasukan Surabaya. Apa bila terus-menerus mengalah, pandangan mata semua pasukan terhadap dirinya akan berubah tidak menghormat lagi. Lebih lagi sekarang ini, pasukan yang berdiri di belakangnya adalah pasukan Gagak Rimang. Padahal sampai pada detik sekarang dirinya masih tetap merupakan pemimpin Gagak Rimang.
Apakah mereka itu tidak menjadi kecewa dan menganggap dirinya terlalu lemah?
"Inten!" sahut Pangeran Pekik dengan nadanya sudah berubah, menjadi agak keras.
'Aku sudah berusaha menghindarkan perselisihan dengan engkau, namun sikapmu dan ucapanmu makin tidak menyedapkan. Jika engkau mengajak aku berkelahi, sekarang aku sudah siap. Mau apa lagi?"
"Bagus, hi-hi-hik!"
Rara Inten tertawa nyaring sambil memutar mutarkan cambuknya di depan dada.
"Ambillah senjatamu, dan lawanlah cambukku ini." '
"Inten. Sejak aku muda sampai sekarang, aku tidak pernah bersenjata," sahut Pangeran Pekik dengan halus.
"Maka maafkanlah, aku akan melawan cambukmu itu dengan dua belah tanganku ini."
Menyala sepasang mata Rara Inten mendengar jawaban itu. Sebab jawaban tersebut begitu menghina di saat sekarang. Telah berkali-kali ilmu cambuknya teruji berhadapan dengan lawan berat, dan selalu berakhir dengan memperoleh kemenangan.
Mengapa sekarang Pangeran Pekik akan melawan dirinya dengan tangan kosong?
Tentu saja Sikap Pangeran Pekik ini dianggapnya amat sombong dan merendahkan. Tidak sabar lagi, Rara Inten melompat ke depan, menyambarkan ujung cambuknya sambil membentak keras.
"Tar-rar.....! Mampuslah engkau laki-laki sombong!"
Ledakan cambuk itu terdengar nyaring sekali di waktu malam. Ledakan cambuk yang berpengaruh, memekakkan telinga dan sambaran anginnya begitu dahsyat. Pasukan Gagak Rimang yang semula berdiri di belakang Pangeran Pekik menjadi gentar. Tanpa diperintah mereka segera berlarian mundur dengan tergesa, khawatir terkena lecutan cambuk yang berbahaya itu. Di pihak lain, pasukan Giri menjadi gembira melihat Rara Inten sudah mulai menerjang dengan cambuknya. Mereka tadi
telah menyaksikan sendiri betapa hebatnya cambuk hitam di tangan Rara Inten. Telah tidak terhitung jumlahnya manusia yang roboh tak bernyawa. setiap cambuk perempuan cantik ini menyambar. Saking percaya dan merasa pasti pemimpinnya akan memperoleh kemenangan,tiba tiba saja mereka bersorak dan mengejek,
"Hura, bunuhlah dia!"
"Nona, jangan beri hati. Pecahkan kepala Panglima Surabaya itu!"
"Horee...... horee..'.. bunuhlah semua musuh !"
Akan tetapi sorakan yang riuh dan semula berusaha membakar semangat Rara Inten agar makin banyak melakukan pembunuhan itu, tak lama kemudian sirap, kemudian pasukan Giri itu kaget dan melongo keheranan. Hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri.
Kemudian timbul pertanyaan dalam hati mereka, mungkinkah Rara Inten dalam menerjang Pangeran Pekik hanya main main ?
Cambuk Rara Inten memang meledak-ledak dahsyat dan kecepatannya menyambar sulit dilukiskan dan diikuti pandangan mata. Akan tetapi sungguh mengherankan, bahwa sambaran ujung cambuk, itu selalu mengenakan tempat kosong, sekalipun tampaknya Pangeran Pekik seenaknya saja bergerak menghindarkan diri. Gerakannya begitu lambat, dan setiap tangan Pangeran Pekik bergerak menangkis, ujung cambuk itu tentu terpental membalik serta hampir mencambuk tubuh Rara Inten sendiri.
Pasukan Giri menonton perkelahian itu dengan mulut melongo, tetapi merasa tegang di samping gemas.
Mengapa tidak?
Mereka seperti menonton seorang yang sedang main sulap. Pangeran Pekik hanya bergerak malas dan seenaknya.
Tetapi mengapa sebabnya Rara Inten yang mereka puji sebagai wanita perkasa itu, seperti tidak berdaya berhadapan dengan lawan tanpa senjata?
Tetapi sebenarnya Rara Inten sendiri lebih gemas lagi menghadapi Pangeran Pekik sekarang ini. Sambaran cambuknya sulit dilukiskan cepatnya. tetapi mengapa sama sekali tidak berdaya?
"Inten, jangan engkau memaksa diri. Aku anjurkan agar engkau tidak mencampuri urusan Surabaya dengan Giri," kata Pangeran Pekik perlahan dengan maksud agar para perajurit itu tidak mendengar, tetapi dapat didengar oleh Rara Inten dengan jelas.
"Bagaimanapun aku tidak dapat bermusuhan dengan engkau."
" Mampuslah! Tar -tar tar -tar.......!" sebagai jawaban Rara Inten malah membentak nyaring sambil menerjang lebih hebat. Perempuan yang wataknya angkuh ini menjadi malu dan terhina, walaupun sesungguhnya Pangeran Pekik bermaksud baik. Ia mengerahkan kepandaiannya, sambaran cambuknya makin menjadi cepat berkelebatan mengurung Pangeran Pekik. di samping menyebarkan angin yang kuat dan tajam.
Akan tetapi semuanya sia-sia belaka, dan hanya membuat dirinya sendiri payah dan mandi keringat.
Baru setelah dadanya terasa sesak dan tersengal-sengal, Rara Inten sadar akan keadaan. Sadar bahwa ia terburu nafsu, menyerang Pangeran Pekik tanpa dipikir.
Manakah ia mampu mengalahkan Pangeran Pekik apabila mengandalkan ilmu cambuk warisan Ki Ageng Selo Katon?
Catatan tentang ilmu tersebut sekarang di tangan Pangeran Pekik. Dan tentu saja Pangeran Pekik lebih memahami akan ilmu yang ia andalkan itu. Akibatnya, sekalipun ia telah menggunakan bagian-bagian yang rahasia, Pangeran Pekik selalu dapat menghindari secara tepat.
Sadar akan kekeliruannya, Rara Inten memekik nyaring sambil merubah caranya berkelahi. Cambuknya kembali meledak-ledak di udara. menggunakan ilmu ciptaannya sendiri yang disebut llmu Pecut Kilat. Ilmu cambuk tersebut dasarnya menggunakan llmu Pedang Perguruan Tuban, akan tetapi kemudian dirubah dan dicampur dengan ilmu ilmu perguruan lain yang diketahuinya. Hanya sayang, sesungguhnya ilmu cambuk yang bernama Pecut Kilat itu masih setengah mentah. Dan apa bila tidak dalam keadaan terpojok, ia takkan menggunakannya.
" Tar tar tar.......!"
Pangeran Pekik yang telah menguasai bermacam-macam ilmu tata kelahi tingkat tinggi itu, agak heran begitu menyaksikan perubahan gerak cambuk Rara Inten. Dari sambaran anginnya, jelas menggunakan dasar tenaga lemas. Akan tetapi dari sifatnya yang lemas mengandung kekerasan dan
berbahaya. Sedang sambaran ujung cambuk itu sendiri malah lebih ganas, justeru sasarannya banyak sekali ke arah bagian bagian tubuh yang mematikan.
Diam-diam, Pangeran Pekik bertanya, dari manakah Rara Inten memperoleh ilmu cambuk seganas ini?
Ilmu Cambuk Samber Nyawa justeru sudah ganas tetapi ilmu ini lebih ganas lagi.
" Inten, mengapa engkau tersesat sedalam ini?" katanya perlahan dengan maksud supaya tidak didengar para pergam itu.
"Tar-tar-tar!"
Cambuk Rara Inten meledak tiga kali menyambar ke arah mata Pangeran Pekik. Akan tetapi hanya dengan sentuhan jari tangan, ujung cambuk itu terpukul membalik ke arah Rara Inten.
Tetapi sekalipun sambaran ujung cambuknya tidak pernah memberi hasil, cambuk Rara Inten terus meledak-ledak memekakkan telinga. Lebih lebih setelah mendengar ucapan Pangeran Pekik yang mengatakan dirinya semakin tersesat. Ia tersinggung disamping penasaran.
Apakah maksud dari ucapan yang menghina itu?
Perkelahian antara Pangeran Pekik dan Rara Inten itu telah berlangsung cukup lama. Akan tetapi selama itu, serangan yang bertubi tubi datang dari pihak Rara Inten, sedang Pangeran Pekik sama sekali tidak membalas.
Tentu saja para perajurit yang melihatnya, dapat melihat pula keganjilan ini,
Kapankah perkelahian ini sampai pada akhirnya, kalau Pangeran Pekik tak juga mau membalas menyerang dan berusaha
merobohkan lawan?
Tentu saja para perajurit Gagak Rimang itu menjadi tidak puas atas sikap Pangeran Pekik. Lebih-lebih apa bila diingat, bahwa sebagian besar korban yang jatuh, bukan lain oleh keganasan perempuan itu.
Tiba tiba saja terdengarlah teriakan serak dari seorang perajurit Gagak Rimang,
"Aduhh...... pundakku sakit bukan main. Tapi...... mengapa sebabnya paduka raja tidak mau menghajar perempuan itu?"
Pangeran Pekik kaget dan memalingkan mukanya ke arah orang yang berteriak itu. Ternyata, orang yang berteriak itu menggeletak miring di atas tanah. Dan di dekatnya dua orang temannya berjongkok, sibuk berusaha mengobati lukanya.
"Takkk.....!"
Pangeran Pekik berjengit kaget dan meringis, ketika ujung cambuk Rara Inten menyambar dan memukul pundaknya. Untung sekali bahwa sekujur tubuhnya telah dilindungi tenaga sakti yang dapat bekerja sendiri setiap serangan dari luar datang. Maka walaupun pukulan tersebut mengenakan pundaknya secara tepat, pukulan tersebut tidak berakibat apa apa. Akan tetapi saking kerasnya pukulan itu, kulit pundaknya terasa pedas juga.
Tetapi justeru pukulan yang mengenakan pundaknya dan teriakan dari salah seorang perajurit Yang terluka itu, kuasa menyadarkan Pangeran Pekik. Ia menjadi malu di samping ingat akan kedudukanuya sebagai panglima. Telah puluhan Jumlahnya perajurit yang tewas dan terluka oleh
Rara lnten. Maka betapa penasaran arwah para perajurit yang telah gugur itu apa bila dirinya sekarang terlalu banyak pertimbangan dalam melawan Rara Inten.
"Tar-tar.....siut..... cap... .! Aihhh....!"
Rara Inten berteriak kaget dan mengerahkan tenaganya untuk menarik cambuknya. Namun sungguh sayang ujung cambuk itu seperti berakar di telapak tangan Pangeran Pekik.
Begitu sadar akan kedudukannya sebagai panglima, ketika ujung cambuk Rara Inten kembali menyambar, ia tidak menghindar lagi dan menangkap ujung cambuk itu. Seharusnya begitu berhasil menangkap ujung cambuk itu, ia harus menarik sekuatnya dan menggentak. Namun celakanya rasa tidak tega kembali memenuhi dada. Hingga ia tidak berusaha merebut senjata Rara Inten dan hanya menahannya saja.
"Lepas! " teriak Rara Inten sambil mengerahkan tenaganya.
Akan tetapi tarikannya tak berhasil, dan saking memaksakan tenaganya membuat dada perempuan ini sesak dan tersengal sengal.
"Inten! Aku akan segera melepaskan cambukmu ini, apa bila engkau sedia berjanji !" kata Pangeran Pekik dengan suara perlahan.
"Cerewet!" bentak Rara Inten sambil kembali mengerahkan tenaganya.
Namun celakanya cambuk itu tak juga lepas dari tangan lawan. Hampir menangis Rara Inten menghadapi kenyataan di luar dugaannya ini. Ternyata ketinggian ilmu yang ia banggakan selama ini sama sekali tidak berdaya menghadapi Pangeran Pekik.
Di saat itu. terdengarlah pekik ngeri dari pasukan Gagak Rimang, tiga kali berturut-turut. Kemudian terdengar seruan orang,
'Serangan anak panah gelap!"
"Sing-sing-sing......!" baru saja teriakan orang itu diucapkan, terdengar lagi teriakan ngeri, dan terjadi lagi tiga orang roboh terpanggang anak panah. Pasukan Gagak Rimang menjadi ribut. Kemudian sambil berteriak riuh, mereka sudah menyerbu ke arah perajurit Giri.
Peristiwa tidak terduga ini membuat Pangeran Pekik kaget. Untuk mencegah kehancuran pasukan Gagak Rimang anak buah Indrajid tidak ada jalan lain lagi kecuali harus merampas cambuk Rara Inten itu. Dengan demikian, Rara Inten yang malu dan penasaran tentu akan segera lari meninggalkan medan perang ini.
"Lepas! " teriak Pangeran Pekik sambil menggentak.
Menyusul terdengar teriakan Rara Inten yang kaget. Kemudian dengan sedu yang naik ke kerongkongan, tubuh Rara Inten berkelebat lenyap.
"Inten! Cambukmu!" teriak Pangeran Pekik sambil melompat pula mengejar.
Ternyata pangeran ini masih juga tidak tega, setelah berhasil merampas senjata lawan. Kemudian dengan pengerahan tenaga yang diperhitungkan. cambuk hitam itu meluncur cepat sekali menyusul Rara Inten, lalu jatuh tepat di depan perempuan itu. Tangannya menyambar senjatanya itu, namun tanpa berpaling Rara Inten lenyap di tempat gelap.
Lega hati Pangeran Pekik berhasil mengusir Rara Inten. Kemudian ia kembali ke tempat dua pasukan yang sedang bertempur, dan berteriak,
"Jangan bunuh! Jangan bunuh!"
Akan tetapi pasukan Gagak Rimang yang sudah menderita banyak kurban itu seperti kalap. Mereka mengamuk tidak kenal takut. Hingga dalam waktu singkat puluhan orang telah roboh menjagi korban.
Melihat itu Pangeran Pekik tidak senang. Teriaknya lagi,
"Hai pasukan Gagak Rtmang! Dengar perintahku, jangan kamu main bunuh!"
Teriakannya sekali ini dilambari oleh tenaga sakti. Hingga teriakan itu mempunyai perbawa yang tidak terbantah. Untuk sejenak pasukan itu ragu dan bingung. Namun ketika melihat Pangeran Pekik dengan gampangnya merobohkan beberapa orang lawan tanpa luka, pasukan Gagak Rimang ini gembira dan hilang keraguannya. Semangat mereka kembali menyala, bersorak riuh, dan membuat lawan kuncup nyalinya. Kemudian saking giris melihat sepak terjang Pangeran Pekik, pasukan Giri itu bubar dan melarikan diri.
Tidak lama kemudian tempat itu sudah tidak lagi terdengar dencing senjata dan sorak riuh. Pertempuran telah berhenti.Akan tetapi korban yang jatuh sudah terlanjur banyak, dan bumi disiram oleh darah manusia. Pasukan Gagak Rimang sibuk mengurus mereka yang terluka maupun yang tewas, tidak membedakan lawan maupun kawan,
sesuai dengan perintah Pangeran Pekik. Malam itu juga mereka yang tewas dikuburkan dalam beberapa lubang besar, sedang mereka yang terluka dibawa ke tempat aman.
Pangeran Pekik menghela napas berulang-ulang menyaksikan banyaknya korban jatuh. Walaupun ia telah berusaha menempatkan dirinya sebagai seorang panglima perang, namun jiwanya tetap saja memberontak tak dapat menerima kenyataan itu. Wataknya yang welas asih, merasa sedih melihat banyak manusia tewas dalam pertempuran.
Di saat Pangeran Pekik sedang berjalan hilir mudik di luar kemah sambil memikirkan akibat akibat dari setiap peperangan, tiba tiba ia kaget. Yoga Swara muncul dengan wajah pucat dan langkah limbung.
'Hai.. mengapa engkau...?" tegurnya agak gugup sambil melompat dan memeluk Yoga Swara.
"Ahhh.. gusti... hamba." dalam gugupnya Yoga swara yang biasanya tenang itu, tidak dapat memberi jawaban baik.
"Mari kita duduk dulu," kata Pangeran Pekik sambil membimbing Yoga Swara, diajak duduk.
Tetapi tiba-tiba ia kaget, memandang lengan Yoga Swara dan bertanya, "Paman, kau.... lenganmu kenapa........ ?"
Tanpa menunggu jawaban, lengan Yoga Swara yang tergantung itu segera disambarnya dan sebagai seorang yang ahli dalam bidang ketabiban, Pangeran Pekik segera mengerti apa yang terjadi. Nyatalah bahwa lengan Yoga Swara terluka, Tulang pundaknya lepas akibat pukulan benda lemas.
Diam-diam Pangeran Pekik heran sekali, siapakah lawan Yoga Swara dan berhasil melukai dengan benda lemas itu?
Padahal Yoga Swara adalah tokoh Gagak Rimang yang terpandai saat sekarang. Dan selama di Surabaya pula. memperoleh tambahan gemblengan dari dirinya.
Tetapi mengapa malam ini bisa dilukai oleh orang?
Mungkinkah Rara Inten?
Bukan, bantahnya dalam hati. Tulang pundak Yoga Swara bukanlah terlepas oleh sambaran ujung cambuk. Akan tetapi oleh benda yang lebih lemas lagi.
"Hamba terluka oleh seseorang," jawab Yoga Swara perlahan sambil menahan sakit, di saat Pangeran Pekik sedang menyambung kembali tulang pundak yang lepas..
"Hamba tidak berdaya menghadapi dia. Ahhh..... sungguh memalukan......"
"Paman, ceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi.' Dan laporkan pula bagaimanakah usahamu menolong paman Indrajid. Ehh.. mana paman Indrajid.....?"
Pangeran Pekik menebarkan pandang matanya ke sekeliling berusaha mencari Indrajid. Akan tetapi Indrajid tidak nampak, membuat jantung Pangeran Pekik berdebaran.
Sekalipun tidak mempunyai hubungan darah dan hubungan famili, namun Indrajid dalam hati Pangeran Pekik tidak bedanya dengan paman sendiri. Seperti pembaca ketahui, bahwa Indrajid adalah saudara Sita Resmi. isteri Wijaya yang menjadi guru sekaligus orang tua angkat Pangeran Pekik. Akan tetapi oleh terjadinya kericuhan yang ditimbulkan oleh Sita Resmi, membuat Wijaya ( murid
Perguruan Kemuning) membunuh diri di depan gurunya sendiri. Dan karena sedih. maka Sita Resmi mengikuti jejak suaminya, membunuh diri pula (bacalah Jaka Pekik oleh pengarang dan penerbit yang sama).
"Gusti ahhh, hamba tidak tahu......" sahut Yoga Swara dengan nada sedih.
"Jadi... kau tak dapat membantu paman Indrajid yang terjebak lawan ?"
Pangeran Pekik berjingkat kaget.
Yoga Swara mengangguk sedih. Kemudian Tokoh Gagak Rimang ini menghela napas panjang.
Mendapat jawaban ini, Pangeran Pekik menjadi sangat khawatir. Katanya agak gugup,
"Kalau begitu, biarlah aku pergi dan menolong!"
Pangeran Pekik telah bangkit berdiri. Tetapi cepat cepat Yoga Swara memegang lengan Junjungannya itu, sambil membujuk;
"Gusti...... ahh, jangan! Amat berbahaya!"
"Aku tak takut menghadapi ancaman bahaya apapun untuk menolong, paman !"
"Tidak! Jangan! Gusti adalah panglima. Gusti pemegang pimpinan pasukan Surabaya dan Gagak Rimang. Apakah yang akan terjadi atas pasukan itu, kalau gusti....."
Maksudnya Yoga Swara akan mengucapkan. "kalau gusti celaka". Akan tetapi ia tak sanggup mengucapkannya, hanya pandang matanya saja yang sayu dan mohon pengertian. Atas cegahan Yoga Swara ini, Pangeran Pekik mengerti dan menghela
napas dalam. Dirinya saat sekarang ini tidak boleh hanya menurutkan kehendak hati sendiri. Dirinya sekarang harus dapat membedakan antara urusan pribadi dengan tugas yang sedang dipikul. Maka pada akhirnya pangeran ini kembali duduk sekalipun hatinya gelisah bukan main, mengkhawatirkan keselamatan Indrajid.
Kemudian sambil mengamati Yoga Swara, dia bertanya,
"Ceritakanlah semua yang terjadi, paman."
Yoga Swara kembali menghela napas. Lalu ia mulai ceritanya. "Gusti, ahh..... hamba merasa malu sekali...-." '
Apa yang terjadi memang di luar dugaan Yoga Swara. Begitu memperoleh perintah supaya pergi memberi pertolongan kepada Indrajid, tokoh Gagak Rimang ini segera bergerak cepat. Akan tetapi belum begitu jauh ia bergerak, tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring.
" Berhenti ! "
Yoga Swarapun menghentikan langkah larinya. Di depannya telah berdiri menghadang Seorang perempuan muda. Yoga Swara mengamati dengan hati yang heran. Tanyanya,
"Apakah maksudmu menghentikan aku?" .
Perempuan muda yang bukan lain adaiah Ulam Sari itu, ketawa cekikikan mendengar pertanyaan Yoga Swara.
"Hi-hi-hik, tentu saja aku menghentikan engkau, orang tua. Sebab aku ,ingin mencegah engkau mengorbankan diri dalam benteng Giri." .
Kaget Yoga Swara mendengar itu.
Mengapa bocah ini tahu akan maksud kepergiannya?
Dan mengapa pula seakan bocah itu mengancam seperti
itu? Dirinya bukanlah seorang penakut. Sudah berkali-kali dalam bertugas dia berhadapan dengan bahaya. Maka bentaknya tidak senang,
"Hai bocah! Jangan engkau mencampuri urusanku. Hayo lekaslah pulang ke rumah. jangan keluyuran di waktu malam begini!"
Makin cekikikan Ulam Sari mendengar itu
"Hi-hi-hik, engkau seorang kakek yang bawel Yoga Swara. Apakah sangkamu seorang perempuan tidak mempunyai kewajiban melawan ancaman musuh? Huh, pendeknya engkau mau mendengar nasihatku atau tidak? Tetapi aku menasihatkan padamu, jangan engkau nekat masuk dalam benteng. Engkau tentu celaka, dan tidak mungkin dapat lolos dari maut."
"Bocah yang besar mulut! '! bentak Y'oga Swara menggeledek.
Namun diam-diam kakek ini merasa heran, dari manakah bocah ini tahu tentang namanya?
"Hemm, jika engkau membandel, jangan salahkan aku jika harus menggebug engkau. Hayo lekas katakan dahulu siapakah namamu?"
"Tidak pernah aku rahasiakan namaku. Dengarkan baik-baik, namaku Ulam Sari! " "sahut Ulam Sari dengan nada yang ketus.
' Akan tetapi apa bila engkau membandel. tidak mau mendengar nasihatku. janganlah engkau menyesal jika engkau akan digebug oleh cucumu sendiri."
Bukan main mendongkol Yoga Swarap mendeagar kata-kata Ulam Sari yang bernada merendahkan itu. Bagaimanapun dirinya adalah seorang tokoh ternama dalam Gagak Rimang.
Mengapa
malam ini direndahkan sedemikian rupa oleh seorang bocah perempuan berwajah jelek?
Akan tetapi sebagai seorang tokoh yang berkedudukan tinggi, tentu saja ia merasa tidak enak hati ,dan malu apa bila harus menghadapi seorang bocah.
"Hemm, bocah! Apakah maksudmu sebenarnya ?" '
"Maksudku, hi-hi --hik! Maksudku adalah baik. Aku berusaha mencegah agar engkau tidak celaka dan berhadapan dengan maut. Akan tetapi jika engkau membandel,terpaksa pula aku harus bertindak keras untuk mengusirmu."
Tita-tiba saja Yoga Swara terkekeh mendengar ucapan Ulam Sari yang demikian sombong itu.
"Heh-heh-heh, bocah yang lancang dan besar mulut. Engkau dapat berbuat apa di depanku?"
"Tentu saja aku dapat menghajarmu babak belur!" sahut Ulam Sari merendahkan.
Bukan main marahnya Yoga Swara atas ejekan ini. Hingga Yoga Swara menjadi lupa akan kedudukannya sebagai seorang tua. Sambil membentak nyaring, ia telah menerjang maju sambil mengebutkan telapak tangan kanan dan kiri saling susul. Bagaimanapun Yoga Swara memang merasa tidak tega menghadapi bocah ini. Hingga serangannya ini hanya sekedar untuk membuat orang takut, dengan tamparan ringan saja.
"Plak! Plak!"
Yogi Swara terhuyung mundur dan kaget sekali.Sungguh di luar dugaannya bahwa tangkisan bocah ini kuat sekali, kuasa membuat dirinya terhuyung mundur.
"Bagus!" serunya kemudian.
"Agaknya engkau memang bocah berisi, sehingga engkau sombong dan besar kepala."
"Hi-hik, aku besar kepala? Mana kepalaku yang besar itu! Kepalaku malah lebih kecil jika dibanding dengan kepalamu. Kalau begitu. bukankah engkau sendiri malah yang bisa' disebut besar kepala itu?"
Ejekan Ulam Sari ini membuat perut Yoga Swara semakin panas dan mual, Bukan main bocah ini. Di samping berisi. mulutnya juga begitu tajam dan pandai bicara. Kalau harus berbantahan terus, salah-salah dirinya ,tergelincir. Maka untuk mencegah hal tersebut, Yoga Swara sudah melompat maju lagi sambil menggerakkan dua tangannya.
"Bocah, terimalah pukulanku!"
"Aih....... luput......!"
Yoga Swara kaget dan mengerutkan alis, menyaksikan kecepatan gerak bocah berwajah jelek ini.
Bukan main!
Sekalipun serangannya yang pertama sebagai percobaan ini bukanlah serangan berbahaya, namun sesungguhnya tidak gampang orang menghindarkan diri. Sebab serangan tersebut mengandung pula hawa sakti, di samping cukup cepat. Atas kenyataan di luar dugaan ini. membuat Yoga Swara sadar. Bahwa bocah wajah jelek yang nampaknya masih amat muda ini, bukanlah bocah sembarangan. Dan tiba-tiba saja teringatlah ia akan cerita Hesti Wiro, yang merasa mati kutu ketika berhadapan dengan gadis wajah jelek teman Rara Inten.
Mungkinkah bocah ini yang dimaksud oleh Hesti Wiro?
Namun begitu masih ada keraguan dalam dada Yoga Swara. Hardiknya,
"Hai bocah! Apakah hubunganmu dengan Rara Inten?"
"Dia bukan sanak dan bukan kadang," sahut Ulam Sari cepat.
"Akan tetapi kalau dia mati, aku akan merasa kehilangan. Hai orang tua, tahukah engkau bahwa Rara Inten itu kakak angkatku?"
"Hem, jika begitu, engkau ikut bertanggung jawab atas pembunuhan Madu Bala!"
"Hi-hik, engkau akan membalaskan sakit hati Madu Bala yang lancang mulut itu? Hai orang tua, aku harapkan engkau dapat berpikir dengan otak dingin dan adil. Madu Bala telah mengumbar mulut seenak udelnya sendiri, memfitnah mbakyu Rara Inten. Apakah engkau tidak tahu bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan? Nah, karena kakek wajah jelek itu menodai nama baik mbakyu angkatku, maka sudah pantas apa bila dia mampus!"
"Kurang ajar!"
Yoga Swara menjadi marah mendengar jawaban ini.
Bagaimanapun Madu Bala adalah salah seorang tokoh Gagak Rimang. Dan hubungan di antara pemimpin Gagak Rimang tidak bedanya dengan saudara kandung.
"Hi-hik, siapa yang kurang ajar?" ejek Ulam
Sari.
"Huh, malam ini engkau harus mampus dalam tanganku, sebagai tebusan kelancanganmu!" bentak Yoga Swara sambil mengepal tinjunya.
"Hi-hik. aku masih suka hidup. Dan sepantasnya, engkau yang sudah berusia tua, harus mendahului aku yang muda pergi ke alam baqa."
"Jaga seranganku!"
Begitu membentak Yoga Swara telah melancarkan pukulannya lagi. Sekarang ini pukulan yang dilancarkan oleh Yoga Swara bukan main-main. Di samping cepat juga mengandung tenaga sakti cukup kuat. Jangan lagi manusia, sekalipun pohon sebesar paha orang dewasa, akan segera tumbang tersambar oleh hawa pukulannya saja. Ulam Sari merasakan sambaran angin pukulan yang amat kuat sekali. Dan diam-diam ia dapat mengukur, bahwa kakek yang dihadapi ini masih lebih tinggi tingkatnya jika dibandingkan dengan Hesti Wiro. Sadar akan keadaan ini Ulam Sari tidak berani sembrono. Ia menggunakan kegesitannya bergerak sehingga sambaran pukulan Yoga Swara selalu jatuh ke tempat kosong.
"Hemm.." dengus Yoga Swara saking heran melihat kecepatan gerak gadis wajah jelek itu.
Seakan lawannya itu bisa terbang saja sehingga beberapa kali Yoga Swara terbelalak, karena tahu tahu gadis wajah jelek itu telah lenyap.
Diam-diam kakek ini bertanya dalam hati, murid siapakah gadis wajah jelek ini?
Jika ditilik dari gerakan yang gesit, mantap dan tenang,membuktikan bahwa bocah ini tidak di bawah Rara Inten.
Bagaimanapun Yoga Swara adalah tokoh Gagak Rimang yang tertinggi kepandaiannya. Dikocok dan dipermainkan sedemikian rupa oleh Ulam Sari. kaKek ini menjadi penasaran. Kalau tak mau merobah caranya berkelahi, kiranya takkan berhasil menundukkan lawan dalam waktu singkat. Maka kakek ini segera menggunakan akal membagi tenaganya. Tangan kiri menggunakan tenaga sakti dari llmu Bajra Sayuta guna mengikat gerakan lawan, tangan kanan melancarkan serangan dengan tenaga penuh.
Seperti diketahui, ilmu rahasia milik Gagak Rimang yang bernama Bajra Sayuta itu. merupakan ilmu kesaktian yang hebat sekali. Dahulu, di saat Pangeran Pekik secara tidak sengaja dapat mempelajari ilmu tersebut di dalam gua rahasia Gagak Rimang dan belum mahir saja, secara ajaib ia telah berhasil mengalahkan semua tokoh sakti dari beberapa perguruan, yang sengaja mengeroyok dan menindas Gagak Rimang (baca cerita Jaka Pekik).
Hanya sayang, tingkat Ilmu Bajra Sayuta yang berhasil dikuasai oleh Yoga Swara sekarang, masih dalam keadaan terbatas. Ia selalu gagal apa bila berlatih ilmu tersebut pada tataran yang ke tujuh. Karena begitu melatih diri, kepalanya segera terasa berdenyutan seperti mau pecah, pusing tujuh keliling, sedang napasnyapun sesak sekali, membuat dadanya seperti mau pecah. Karena ia selalu gagal dalam melatih diri, maka sampai sekarang Yoga Swara baru dapat menguasai ilmu tersebut dalam enam bagian saja. Akan tetapi walaupun baru enam bagian. jika dibanding dengan yang lain, tingkat yoga Swara paling tinggi.
Untuk mengatasi gerakan Ulam Sari yang gesit seperti dapat terbang. Yoga Swara menggunakan
Ilmu Bajra sayuta tataran ke empat. Justeru tataran yang ke empat ini yang mempunyai pengaruh mujijat, bisa mengikat tenaga lawan.
Ulam Sari terkesiap ketika berusaha menghindari serangan Yoga Swara, merasa seperti ditahan oleh tenaga kuat yang tidak nampak.
"Wutt..... plakk.....!"
Mau tak mau Ulam Sari harus menggunakan tangannya untuk menangkis serangan lawan. Dua-duanya terhuyung-mundur dan kaget. Kekagetan Ulam Sari adalah karena dirasakan tenaga lawan kuat sekali, namun demikian tidak mengakibatkan apa-apa. Sebaliknya Yoga Swara kaget, karena pukulannya seperti lenyap tanpa bekas, tenggelam dalam samodera luas. Sadarlah Yoga Swara, sekalipun bocah, gadis wajah jelek 'ini benar-benar sakti mandraguna.
Memang untung sekali Ulam Sari telah dibekali oleh gurunya dengan tenaga lemas. Hingga serangan Yoga Swara tidak menimbulkan akibat apa-apa, hanya membuat lengannya Sedikit kesemutan. Namun begitu ia tak sudi mengulang beradu tangan lagi.
"Siut...... wutt .... aihh....!"
Yoga Swara berseru tertahan sambil melompat menghindarkan diri. Sedikit saja terlambat gerakannya, tentu senjata gadis itu. telah menghajar tubuhnya. Diam -diam Yoga Swara kagum akan caranya gadis itu menyerang. Entah bagaimana cara Ulam Sari mempersiapkan senjata ikat pinggangnya dan diteruskan pula dengan serangannya yang berbahaya. Yang jelas begitu cepat tidak terduga, sehingga Yoga Swara sendiri kaget.
Kakek inipun kemudian mercabut senjatanya pula, sekalipun ada perasaan sedikit ragu, bahwa melawan bocah saja harus menggunakan pedangnya.
"Plakk.......!"
Pedang Yoga swara menyeleweng ketika beradu dengan ujung ikat pinggang. Dan masih ditambah lagi kakek ini secepatnya harus mengangkat tangan kiri untuk mencengkeram ujung ikat pinggang lain, yang mengancam kepalanya.
Sikap Ulam Sari sungguh-sungguh, setelah ia memegang senjata ikat pinggangnya. Ujung ikat pinggang itu kadang kala meledak seperti suara cambuk, seakan dua ujung ikat pinggang tersebut mendadak hidup. Sebaliknya pedang Yoga Swara yang hanya sebatang itu, begitu bergerak seperti berubah menjadi banyak. Yoga Swara seperti dikurung oleh benteng baja, sehingga ujung cambuk Ulam Sari sulit untuk menerobos.
Yoga Swara memang merupakan jago pedang tanpa tanding dalam Gagak Rimang. Satu-satunya orang yang hampir bisa mengimbangi, hanyalah Madu Bala. Akan tetapi semenjak Madu Bala mengabdi kepada Mataram, kemudian sekarang telah tewas di tangan Rara Inten, Madu Bala telah berganti senjata dengan tongkat berkait.
Diam-diam Ulam Sari kagum juga menyaksikan gerakan pedang Yoga Swara yang demikian kuat dan cepat itu. Sebab di samping cepat, gerakannya juga begitu aneh. Sekalipun Ulam Sari sendiri merupakan jago pedang,tidak gampang mencari kelemahan dan kekurangannya.
Dua lawan yang ibarat kakek dan cucunya itu, makin lama berkelahi makin sengit sekali. Tubuh
dua Orang itu berkelebatan cepat sekali, sehingga tinggal semacam gulungan asap yang berpindah pindah. Angin senjata bersiutan dan berkali kali pula terdengar dencing pedang Yoga Swarb Yang terpental oleh pukulan ujung ikat pinggang Ulam Sari. Ujung ikat pinggang gadis ini seakan mempunyai mata. Hingga ke manapun pedang Yoga Swara menyambar, selalu bertemu dengan ujung ikat pinggang yang membentur menyeleweng.
Tentu saja di samping penasaran, Yoga Swara menjadi kagum bukan main. MaSih semuda ini ilmunya begitu tinggi. Kemudian hari, gadis ini tentu akan menjelma sebagai seorang perempuan perkasa. Tiba-tiba saja timbullah rasa sayangnya, kalau dalam perkelahian ini, dirinya membuat gadis itu celaka.
Bukankah akan sayang apa bila bibit yang bagus ini, tidak memperoleh kesempatan untuk berkembang?
Berpikir demikian, mendadak saja Yoga Swara menangkis sambaran ujung ikat pinggang itu sambil melompat mundur dan berteriak,
"Tahan!"
Ulam Saripun menghentikan sambaran ikat pinggangnya.Ia berdiri tegak, dan yang mengherankan, napas gadis itu biasa saja tidak memburu.
'Apa maksudmu? Apakah engkau sedia mengalah dan mengurungkan maksudmu? Memang bagus sekali apa bila engkau mau mendengar peringatanku. Sebab apa bila engkau nekat menerjang masuk, engkau takkan dapat kembali masih bernyawa."
"Huh, engkau merendahkan aku ?" hardik Yoga Swara
'Aku menghentikan perkelahian ini, justru aku merasa sayang padamu..,..."
"Mengapa sayang? Hi-hi-hik. Wajahku jelek seperti iblis..."
Agak merah juga wajah Yoga Swara mendengar itu. Akan tetapi Yoga Swara menahan kemengkalan hatinya. Katanya,
"bocah, hati hatilah engkau bicara."
"Hi-hi-hik, engkau tersinggung, orang tua?" goda Ulam Sari.
"Hemm, bocah! Ketahuilah bahwa orang yang Bernama Yoga Swara, bukanlah seorang yang suka menindas orang muda. Melihat bakat dan kepandaianmu, aku menjadi sayang apa bila engkau celaka oleh tanganku. Siapa tahu kelak kemudian hari engkau berguna bagi masyarakat untuk membela kebenaran?"
"Terima kasih atas perhatianmu. Lalu, bagaimana sekarang?"
"Kita hentikan perkelahian ini. .Sekarang menyingkirlah engkau, dan jangan menghalangi aku untuk menolong saudaraku."
" Kalau aku tak mau?"
"Apa? Engkau nekat. melawan aku?"
Yoga Swara terbelalak.
"Hemm, engkau tidak adil, orang tua. Aku justeru bermaksud baik, menahanmu agar engkau tidak ikut menjadi korban. Tetapi mengapa engkau nekat saja?"
Watak Ulam Sari memang cukup aneh dan sulit diduga. Kedudukannya sekarang ini membela Giri. Namun ternyata walaupun kedudukan Yoga Swara sebagai musuh, ia merasa tidak tega, kalau sampai tewas menjadi korban. Entah mengapa sebabnya
tetapi kemungkinan besar sikap Ulam Sari ini. sehubungan dengan sikap Yoga Swara sendiri yang begitu halus dan begitu memperhatikan sehingga Ulam Sari tertarik. Kalau saja sikap Yoga Swara begitu kasar seperti sikap Madu Bala, tentu saja sikap Ulam Sari menjadi lain.
"Bocah!" hardik Yoga Swara.
" Aku bermaksud baik, tetapi engkau membandel. Awas pedang! "
Sambil berteriak.Yoga Swara kembali menerjang dengan pedangnya.
"Tring-tring.....! '
Yoga Swara kaget. Secepatnya kakek ini melempar ke samping. Gerakan pedangnya tadi cepat tidak terduga. Tidak gampang orang menangkis maupun menghindari. Sebab gerakan pedangnya, tadi merupakan jurus terpilih dari ilmu pedangnya yang dirahasiakan, bernama Memberi Tulang Minta Hati. Namun ternyata, secara tepat ujung ikat pinggang itu dapat menangkis dan membuat pedangnya menyeleweng. Dan kalau saja ia tadi tidak secepatnya melompat ke samping, mungkin sekali tubuhnya malah terhajar oleh senjata gadis itu.
Sementara itu, telinga Yoga Swara masih menangkap'suara yang hiruk-pikuk di dalam benteng pertahanan Giri. Mendengar itu, ia menjadi tidak sabar lagi terlalu lama melayani gadis jelek ini sehingga Indrajid yang akan ditolongnya celaka di tangan lawan. Sambil membentak nyaring kakek ini kembali menerjang dengan serangan berantai. Namun lagi-lagi pedangnya tertangkis oleh ujung ikat pinggang Ulam Sari.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perkelahian seperti kakek dan cucu ini kembali menjadi sengit. Dua senjata yang berlainan itu kembali berkelebat. Dan beberapa kali terdengar pula suara plak-plak dan cring-cring, beradunya senjata.
Diam-diam Yoga Swara mengeluh juga dalam hati. Sepanjang hidupnya, banyak kali ia berhadapan dengan lawan berat. Akan tetapi baru kali ini sajalah ia menghadapi kesulitan, hanya berhadapan dengan seorang muda.
Sungguh memalukan sekali!
Kenyataan yang dihadapi ini bagaimanapun membuat Yoga Swara penasaran sekali. Ia takkan dapat mengatasi lawan bila tidak mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Tiba-tiba bentaknya.
"Bocah. aku sudah berusaha mengalah, tetapi engkau tetap bandel! Huh, Jangan salahkan aku kali ini menghajarmu!"
Dan tiba-tiba saja gerak pedang Yoga Swara berubah. Sekarang gerakannya tidak secepat tadi. Perubahan itu membuat gerak pedang tersebut dapat diikuti oleh pandangan mata. Namun sungguh berbahaya kalau orang berani merendahkan gerakan pedang Yoga Swara yang lambat ini. Sebab setiap gerakan dan sambaran pedangnya, sekarang mengandung tenaga sakti tingkat tinggi. Jangankan tergores oleh mata pedang, baru sambaran angin pedangnya saja,bisa mengakibatkan lawan celaka.
Akan tetapi sekalipun usianya masih muda, Ulam Sari telah memperoleh gemblengan kakeknya yang sakti. Ia telah memperoleh bekal ilmu tingkat
tinggi. Maka melihat perubahan gerak pedang lawan, gadis ini tidak menjadi gentar maupun bingung. Ujung ikat pibggangnya seperti ular hidup, menyambar-nyambar menerbitkan angin bersiutan.
"Plak-plak.....!"
Dua-duanya terhuyung mundur ketika terjadi benturan ujung ikat pinggang dengan pedang. Yoga Swara kaget bukan main, merasakan tenaga serangannya membalik, membuat dadanya agak sesak. Hampir Yoga Swara tidak percaya kepada perasaannya Sendiri.
Mungkinkah gadis semuda itu, sanggup menolak balik tenaga saktinya yang tersalur ke ujung pedang?
Sambil menggeram penasaran Yoga Swara kembali menerjang.
"Plak-plak... cring-cring. plok.. aduhh... trang ...!"
Di luar dugaan. Begitu Yoga Swara menerjang kembali, Ulam Sari tidak berusaha menghindarkan diri, tetapi malah menyambut terjangan pedang itu dengan ujung ikat pinggang. Benturan senjata segera terjadi. Akan tetapi segera terdengar suara mengaduh dari mulut Yoga Swara, disusul oleh pedangnya yang terpental jatuh ke tanah. Wajah Yoga Swara berubah menjadi pucat pasi seperti kapas. Lengan yang kanan tergantung, tidak lagi dapat digerakkan.
Ternyata kali ini Yoga Swara menderita rugi. Sambaran ujung ikat pinggang yang tidak terduga dan keras, mengakibatkan sambungan tulang pundak lepas dan sakitnya bukan main. Hingga lengannya tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya.
Akan tetapi di samping kaget. Yoga Swara menjadi heran.
Mengapa sebabnya lawan tidak meneruskan serangannya?
Kalau saja gadis itu meneruskan serangannya di saat dirinya kaget. mungkin sekali dirinya akan menderita lebih parah, dan salah-salah nyawanya malah melayang.
Gadis yang wajahnya jelek ini memang wataknya aneh. Begitu serangannya berhasil ia malah melompat mundur. Lalu dengan gerakannya yang seperti kilat, tahu-tahu ikat pinggang tersebut telah lenyap tersimpan di dalam baju.
"Maafkan aku! Terpaksa aku membuat engkau menderita, agar engkau tidak mengorbankan nyaWa sia-sia."
Terbelalak Yoga Swara mendengar ucapan Ulam Sari. Di dalam perang, setiap orang berusaha mengalahkan dan membunuh lawan. Semua itu dilakukan guna kemenangan pada pihaknya.
Tetapi mengapakah sebabnya Ulam Sari bersikap lain?
Gadis itu bukannya menjadi bangga oleh kemenangannya. malah minta maaf.
Adakah peristiwa seaneh ini?
Namun sebagai seorang tokoh tersakti dalam Gagak Rimang, Yoga Swara menjadi amat malu sekali, keok di tangan lawan yang masih amat muda. Maka tanpa bicara sepatah pun, Yoga Swara telah melompat pergi.
Itulah yang terjadi dengan Yoga Swara. Dan mendengar penuturan ini, Pangeran Pekik menghela napas dalam di samping heran.
Siapakah gadis berwajan jelek yang sanggup mengalahkan Yoga Swara?
Dan di samping itu iapun kagum akan watak dan tabiat gadis itu yang hampir mirip dengan wataknya. Sekalipun terhadap lawan, tidak sanggup untuk membunuh.
"Paman Swara," kata Pangeran Pekik.
"Engkau mengatakan bahwa gadis wajah jelek itu mengaku sebagai adik angkat Inten. Hemm, silahkan engkau istirahat. Timbullah keinginanku untuk bertemu dengan Rara Inten, dan menanyakan tentang gadis itu."
Begitu selesai berkata, Pangeran Pekik telah melompat. Yoga Swara yang ingin mencegah tidak sempat lagi. Akhirnya Yoga Swara hanya dapat menghela napas berat. Diam-diam ia khawatir juga kalau Pangeran Pekik sampai nekat menerjang masuk ke dalam benteng lawan.
Apa yang akan terjadi dengan pasukan Surabaya, kalau panglima perangnya celaka di tangan lawan?
Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa. Lengan kanannya terluka. Namun masih besar harapannya, apa bila mengingat bahwa Pangeran Pekik seorang sakti mandraguna, yang sulit diukur ketinggian Ilmunya.
Pangeran Pekik terus bergerak cepat seorang diri. Sebagai seorang pemimpin berhati emas, bagaimanapun ia tidak akan tega kepada Indrajid yang terperangkap masuk di dalam benteng.
"Aku harus menolong dan menyelamatkan paman Indrajid." desisnya sambil tetap bergerak cepat.
Namun ketika tiba di tepi jagang, Pangeran Pekik berhenti dan meragu. Jagang itu lebar dan tidak mungkin dapat ia lompati. Ia mengamati ke seberang sambil memperhatikan. Akan tetapi benteng itu sekarang sudah kembali sepi, tidak terdengar suara orang berkelahi. Hati Pangeran Pekik jadi berdebar.
Mungkinkah Indrajid telah tewas atau ditawan orang?
Sesungguhnya, kalau toh Pangeran Pekik tidak terhalang oleh jagang, ia datang terlambat. indrajid dan pasukannya yang kecil itu, benar menimbulkan akibat yang cukup parah bagi lawan. Setelah berhasil masuk dalam benteng, Indrajid mengamuk sejadinya tanpa kenal takut. Beberapa orang perajurit Giri yang menyambut dan mengeroyok, ibarat semut melawan api. Dalam waktu singkat semuanya telah roboh dan pedang Indrajid berwarna merah. Tiba-tiba muncullah dua orang muda, yang segera mengeroyok Indrajid. Dua orang muda ini adalah Nyoman Kadis dan Wayan Regel. Mereka berkelahi cukup lama. Akan tetapi karena Indrajid telah payah di samping sejak semula telah menderita banyak luka, pada akhirnya Indrajid harus roboh tewas. Adapun Nyoman Kadis dan Wayan Regel tidak luput pula dari derita. Nyoman Kadis menderita luka parah pada beberapa bagian tubuhnya, di samping harus kehilangan sebelah lengan. Adapun Wayan Regel, roboh pingsan karena kaki kanan terputus sebatas paha.
Namun derita Wayan Regel yang harus kehilangan sebelah kakinya itu, bukan lain atas kecerobohannya sendiri. Begitu melihat Indrajid roboh hampir berbareng dengan Nyoman Kadis, pemuda ini mengira kalau Indrajid telah mati. Ia mendekati,menyiapkan pedangnya untuk memancung leher Indrajid. Akan tetapi sebelum ia sempat menggerakkan pedangnya, Wayan Regel telah menjerit nyaring, kemudian roboh terguling di atas tanah. Sebelah kakinya telah putus oleh bacokan pedang Indrajid yang menggunakan sisa tenaganya yang terakhir. Setelah Indrajid dapat menyabat putus kaki lawan, Indrajid menghembuskan napas penghabisan.
Indrajid bersama pasukannya yang telah terjebak masuk ke dalam benteng ludes tewas. Namun mereka tidak tewas secara sia-sia. sebab pasukan Giri Juga menderita kerusakan hebat, terluka atau mati. Malah sebagai akibat serangan anak panah berapi telah berhasil membakar beberapa bangunan di dalam benteng.
Untuk beberapa saat lamanya Pangeran Pekik hanya berdiri bagai patung, di tepi jagang itu. Jagang ini demikian lebar, sehingga tanpa sayap tidaklah mungkin dirinya bisa melewatinya.
Apakah yang harus dilakukan?
Di saat Pangeran Pekik diliputi oleh keraguan ini, tiba-tiba terdengarlah suara bisikan halus yang menyelundup masuk dalam telinganya,
"Gusti, paduka adalah seorang panglima pasukan. Maka hamba mohon agar gusti tidak memaksa diri masuk ke sarang singa. Apa yang terjadi kalau gusti celaka? Gusti, hamba memang percaya bahwa tak gampang orang mencelakakan gusti. Tetapi apakah artinya gusti pangeran berpayah-payah masuk ke sarang lawan. kalau orang yang akan paduka tolong itu sudah tak ada lagi ?"
Bisikan halus itu terdengar begitu jelas. Pangeran Pekik kaget dan cepat melompat ke arah datangnya suara. Sebab ia mengerti, bahwa bisikan halus tadi tentu lewat Aji Pameling. Berarti seorang tokoh sakti sudi memperhatikan dirinya.
Tetapi Sekalipun begitu, tidak urung jantungnya berdebar juga, teringat kepada ucapan tadi bahwa Indrajid telah tak ada lagi.
Kalau begitu. paman angkatnya itu sudah tewas?
Ahh, ia mengeluh dalam hati.
Mengapa penyerbuan ini dalam waktu singkat sudah harus mengorbankan nyawa seorang senopati?
Inginlah ia bertemu dengan tokoh sakti yang telah memperingatkan dirinya lewat Aji Pameling itu.
Dan apa sajakah maksud tokoh sakti itu, yang memperingatkan dirinya, akan tetapi tak mau berhadapan muka?
Tampak kemudian didepan berkelebatlah bayangan orang yang kecil serta gesit. Pangeran Pekik mempercepat larinya, untuk mengejar. Pangeran Pekik termasuk jago lari jarang tandingan. Tentu tidak akan kesulitan mengejar orang itu. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian, membuat Pangeran Pekik terbelalak dan kaget. Jangankan dirinya dapat mengejar. Mendekati jarak saja sulit. Orang itu gerakannya cepat bukan main, seakan bisa terbang.
Tanpa terasa dalam berkejaran ini telah cukup jauh meninggalkan Giri. Lalu sambil mengejar itu, berteriaklah Pangeran Pekik,
"Hai. paman yang sakti mandraguna. Tunggulah aku barang sebentar, sebab aku ingin bcara dengan engkau."
Terdengarlah kemudian suara jawaban dari orang itu. tanpa menghentikan gerakannya . Bedanya, orang itu tidak berteriak, melainkan berbisik halus seperti tadi,
"'Gusti, sudilah paduka kembali kepada pasukan. Tak baik gusti menurutkan hati hanya menghendaki bertemu dan bicara dengan hamba. Apakah yang terjadi apabila anggauta pasukan paduka. merasa kehilangan? Gusti. percayalah bahwa hamba tidak bermaksud jahat. Kelak kemudian hari apa bila keadaan mengijinkan, tentu hamba akan dapat bertemu muka dengan gusti." ,
Mendengar jawaban itu, Pangeran Pekik menghentikan gerakannya. Ia justeru seorang yang amat jujur. Mendengar janji tersebut dalam hatinya segera saja percaya bahwa tokoh sakti tersebut tidak akan menipu dirinya.
Ketika itu malam telah mendekati fajar. Bintang pagi telah muncul agak tinggi di timur, dan memancarkan cahayanya yang gemilang.Khawatir kalau orang ribut mencari dirinya,maka secepatnya Pangeran Pekik menuju kembali ke pasukannya.
Ketika itu Yoga Swara masih belum tidur. Agaknya orang tua ini gelisah saja. sehingga tak dapat memicingkan mata sebelum junjungannya datang. Maka begitu melihat Pangeran Pekik tiba, bibir orang tua ini tersenyum. Katanya,
"Syukur gusti telah tiba kembali tak kurang suatu apa. Terus terang hamba gelisah saja semalaman "
Pangeran Pekik tersenyum.
"Terima kasih. paman, engkau begitu memperhatikan aku. Tetapi. hemm.... sayang sekali bahwa paman Indrajid tak bisa tertolong....,."
"Tewas?"
Yoga Swara kaget juga sekalipun sejak semula telah menduga.
"Apakah gusti telah berhasil menerobos masuk ke sarang lawan?"
Pangeran Pekik menggeleng. Kemudian menghela napas pendek. Sahutnya,
"Hemm...... semalam terjadi peristiwa yang mengherankan. Setelah paman sendiri dikalahkan oleh seorang gadis wajah jelek, akupun bertemu dengan seorang tokoh sakti yang aneh. sampai aku telah mengerahkan kepandaianku lari tak juga aku berhasil menyusul. Dari orang aneh itulah. aku memperoleh khabar yang menyedihkan, bahwa paman Indrajid telah tewas. ahhh......"
(Bersambung Jilid 10)
******
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 10
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
(Lanjutan "KiSah Si Pedang Buntung" )
Karya : Widi Widayat
Jilid : 10
******
PANGERAN PEKIK menundukkan kepalanya, tampak amat sedih. Yoga Swara menghela napas berkali-kali, akan tetapi tidak membuka mulut. Tetapi diam-diam Yoga Swara menjadi sedih juga, menghadapi kenyataan pahit ini. Menghadapi kenyataan bahwa Gagak Rimang makin lama semakin suram, ditinggalkan oleh beberapa orang tokohnya. Nama-nama Lawa Ijo, Kebo Jalu, Indrajid, Dewa Srani, Jala Tunda, dan Madu Bala, sekarang tinggal nama saja. manusianya sendiri telah tiada. Dalam tokoh Gagak Rimang sekarang tinggal sedikit saja.
Apakah mungkin nama Gagak-Rimang sebagai penerus perjuangan Raden Haryo Penangsang, akan hancur lebur?
(Untuk mengetahui hal-ihwal Gagak Rimang ini, silahkan baca cerita Jaka Pekik, Ratu Wandansari dan Kisah Si Pedang Buntung, oleh pengarang dan penerbit yang sama.)
Untung sekali bahwa Yoga Swara tidak tenggelam dalam perasaannya. Ia sadar bahwa apa yang telah tiada, tak dapat disesalkan. Kemudian terdengarlah kata Pangeran Pekik yang nadanya meratap,
"Paman Swara, lalu apakah yang harus aku lakukan sekarang ini?"
"Gusti, ampunilah hamba apa bila jawaban hamba ini tidak berkenan di hati paduka," sahut Yoga Swara hati.hati.
"Sudilah paduka mendengar pendapat hamba, bahwa di medan perang, lebih lagi kedudukan gusti sebagai panglima, semua tindakan harus tegas."
"Apakah maksudmu?" .
"Di medan perang hanya dua macam soal saja yang terjadi. Membunuh atau dibunuh. Menang atau kalah. Untuk memperoleh kemenangan, tiada jalan lain kecuali mengalahkan musuh. Dan mengalahkan musuh, mau tidak mau harus melakukan pembunuhan."
Yoga Swara berhenti sambil mencari kesan. Pangeran Pekik belum membuka mulut, dan Adipati Surabaya ini hanya menghela napas pendek berulang-ulang. Agaknya dalam dadanya terjadi pertandingan. Dan agaknya terasa berat juga bagi pangeran ini kalau dirinya harus melakukan pembunuhan. Selama hidup ia belum pernah membunuh seseorang walau musuh yang jahat sekalipun. Sejak sebelum menggantikan kedudukan ayahnya sebagai adipati, yang setiap hari selalu berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi, ia selalu mengalahkan lawan tanpa membunuh.
Mungkinkah dirinya sekarang harus merobah kebiasaan hidupnya ini, dengan membunuh sesama manusia?
"Gusti," kata Yoga Swara lagi,
"hamba mengerti bahwa terasa amat berat bagi paduka untuk merobah kebiasaan itu. Gusti pangeran terkenal
sebagai seorang yang berhati emas. Pendekar budiman, yang selalu menundukkan lawan dengan kebaikan. Tetapi, gusti, kedudukan paduka sekarang adalah berlainan dengan dahulu. Paduka saat Sekarang ini memperoleh kepercayaan dari Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung. Gusti merupakan wakil Negara Mataram. Gusti merupakan alat kekuasaan negara yang berkewajiban menegakkan kekuasaan dari kawula yang berusaha merongrong kewibawaan Matatam. Manakah mungkin paduka dapat menunaikan tugas ini sebaik-baiknya, tanpa bertindak keras terhadap lawan?"
"Hemmm, paman," sahut Pangeran Pekik sambil menghela napas pendek
"Ya. aku mengerti akan alasan yang sudah engkau kemukakan. Dan aku mengerti pula apa yang harus aku lakukan terhadap musuh. Hemm, baiklah, aku akan merobah kebiasaanku dengan cara begini saja. Bagiku pantang membunuh sesama manusia. Tetapi untuk mengalahkan lawan, aku akan berusaha merobohkan lawan dengan menghindarkan pembunuhan."
"Maksud paduka, bagaimanakah?"
"Pendeknya aku hindarkan pembunuhan."
"Yah, apa bila telah menjadi kehendak paduka, hamba takkan dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi dengan sikap gusti ini, membuat hamba lebih mantap lagi."
Pangeran Pekik tersenyum. Antara dua orang ini, terus bicara dan berunding sampai pagi tiba. Masih pagi benar para senopati pasukan Surabaya telah memerintahkan pasukannya bersiap diri. Dan
pada bagian yang semula ditempati oleh Indrajit dan pasukannya. sekarang telah diganti oleh pasukan lain, dipimpin oleh seorang tokoh Gagak Rimang bernama Celeng Kemaduh.
Akan tetapi pengalaman pahit yang menimpa Indrajid dan pasukannya mereka jadikan guru dan pelajaran. Mereka tidak berani sembarangan menyerbu. Lebih lagi kedudukan pasukan Surabaya kurang menguntungkan apa bila harus menggunakan siasat perang campuh. Sebab dengan gampang pasukan Giri akan menghujani batu-batu maupun balok kayu.
Pasukan Surabaya kesulitan mendekati benteng pertahanan Giri. Sebab benteng yang berada di atas perbukitan tersebut, dikelilingi oleh jurang buatan (jagang) yang lebar dan dalam. Mereka tidak dapat melintasi, dan menyerang dengan anak panahpun akan sia-sia belaka. Sebab lawan tidak tampak. Akhirnya Hesti Wiro yang tidak sabar lagi segera memerintahkan supaya menembak dengan meriam. Pasukan meriam segera bersiap diri. Laras meriam dibersihkan. Sesudah itu, bubuk mesiu dan peluru dimasukkan lewat laras meriam. Dipadatkan dengan hati-hati. Setelah semuanya siap, sumbu mesiu dipasang. Moncong diarahkan ke benteng lawan. Petugas membawa obor kayu guna menyulut sumbu mesiu.
"Sesss...sess... bumm...!"
Meriam meletus dan peluru tampak melesat ke arah benteng laWan. Peluru yang melesat itu tidak begitu cepat, sehingga tampak dipandang mata. Akibatnya orang
orang yang melihat, cepat-cepat dapat menghindarkan diri, sebelum peluru itu jatuh dari udara.
Para pembaca, kenyataan yang terjadi memang demikian. Peristiwa ini justeru terjadi di tahun 1626. Jarak tembak meriam belum cukup jauh, dan peluru yang diletupkan oleh moncong meriampun tidak cepat, sehingga tampak dipandang mata. Maka sebelum peluru jatuh. orang dapat menyelamatkan diri lebih dahulu. Meriam tersebut untuk bisa ditembakkan harus disulut dengan obor, pada bagian sumbu mesiu. Apa bila sekali menembak, orang harus menunggu laras dingin kembali. baru kemudian dibersihkan. Dengan demikian membutuhkan waktu. Apa bila laras belum dingin dipergunakan menembak, laras akan pecah dan tidak dapat dipergunakan lagi. Maka walaupun meriam termasuk senjata ampuh di waktu itu, demikian pula senjata api, namun tidak selincah busur dan anak panah yang setiap saat dapat dilepaskan.
Demikianlah. peluru meriam yang dilepaskan dari pasukan Hesti Wiro. jatuh di dalam benteng pertahanan. Akan tetapi sayang peluru tersebut jatuh di tempat yang lapang.Sehingga hanya menimbulkan lubang dan tidak menimbulkan kerugian apa-apa.
Tembakan meriam tersebut, kemudian dibalas oleh pasukan Giri dari dalam benteng, menggunakan alat pelempar batu. Inilah yang disebut bandil, yang hanya menggunakan alat sederhana, ialah tali. Batu-batu yang dilepas dengan bandil, dapat mencapai jarak yang cukup jauh, lebih jauh dibanding dengan jarak lemparan tangan biasa maupun jarak
tembak anak panah. Lebih lagi kalau bandil tersebut dilepaskan oleh seorang berkepandaian tinggi, dengan dilambari, tenaga sakti. Jarak tembaknya akan lebih jauh lagi.
Hujan batu itu menimbulkan kegemparan dalam pasukan Hesti Wiro. Mereka terpaksa ribut berlindung atau lari menghindar. Akibatnya, saking gugup terjadilah saling tabrak. Di saat jatuh terguling ini, apa bila nasib memang sial, jatuhlah batu sebesar kepalan tangan menimpa kepala. Akibatnya bukan saja benjol, tetapi bisa menyebabkan bocor.
Hujan batu itu kemudian disusul pula oleh hujan anak panah. Terjadinya keributan ini, bagaimanapun menyebabkan beberapa orang menderita luka. Hesti Wiro sebagai senopati menjadi penasaran bukan main. Ia memerintahkan menembak lagi dengan meriam. Di samping itu, memerintahkan pula supaya melepaskan anak panah. Peluru meriam berdentum lagi jatuh ke dalam benteng pertahanan lawan. Akan tetapi anak panah yang dilepaskan, merupakan senjata yang terbuang siasia. Sebab anak panah itu berjatuhan di luar benteng dan tidak mengakibatkan apa apa.Kedudukan pasukan lawan yang berada di bagian atas, memperoleh bantuan alam sehingga banyak memperoleh keuntungan.
Hesti Wiro ingin sekali menghujani meriam ke arah benteng lawan. Akan tetapi kehendaknya ini terhalang oleh jumlah meriam yang hanya sebuah, di samping itu juga oleh terbatasnya persediaan bubuk mesin dan peluru.
Bukan saja pasukan Hesti Wiro yang memperoleh kesulitan. tidak dapat mendekati benteng lawan. tetapi juga pasukan yang lain. Merekapun mencoba seperti yang dilakukan oleh Hesti Wiro. Menggumakan meriam untuk membuat semangat lawan menurun. Akan tetapi sungguh sayang, bahwa semua peluru meriam yang jatuh ke dalam benteng hanya menimbulkan lubang-lubang saja.
Dalam menyusun pertahanan, Giri memang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Di samping pertahanan itu dipisahkan oleh jagang yang tak mungkin bisa dilewati tanpa jembatan, diperhitungkan pula kekuatan jarak tembak meriam. Maka di tempat yang mungkin bisa dicapai oleh meriam, di kosongkan dari bangunan maupun perajurit. Akibatnya hujan peluru meriam tersebut hanya disambut oleh sorak ejekan dari pasukan Giri. Sama sekali mereka tidak takut, malah dari tempat yang tinggi, mereka dapat membalas dengan anak panah maupun bandil.
Berbareng dengan silamnya matahari di bagian barat, pasukan Surabaya terpaksa bergerak mundur untuk mengaso, Pasukan ini baru akan bergerak lagi, kalau matahari esok pagi muncul di persada bumi.
Malam ini Pangeran Pekik mengumpulkan para senopati, diajak berunding. Ia minta pendapat para senopati, apa yang harus dilakukan esok pagi. Hesti Wiro yang penasaran oleh peristiwa siang tadi mengusulkan agar diadakan penyerbuan secara serentak dengan mempersiapkan jembatan darurat
lebih dahulu. Untuk maksud ini sebagai pelindung adalah meriam yang dimiliki. Dengan penyerbuan secara serentak, Hesti Wiro merasa pasti akan berhasil mengalahkan Giri.
Namun usul ini tidak disetujui oleh Yoga Swara yang selalu berpikir cermat. Penyerbuan macam itu akan menimbulkan korban banyak perajurit, dan belum tentu berhasil mengalahkan lawan. Kedudukan lawan menguntungkan, dan diingatkan pula tentang penyerbuan yang gagal ketika Mataram menyerbu Pondok Bligo. Betapa menyedihkan apa bila terjadi pasukan Surabaya akan banyak menjadi korban, oleh kerutukan batu -batu besar maupun balok kayu dari atas. Maka menurut pendapat Yoga Swara, siasat yang paling baik apa bila pasukan Surabaya mengurung rapat tanpa menyerbu. Giri takkan kuasa bertahan lama dan apa bila persediaan makanan telah habis tentu menyerah.
Akan tetapi sebaliknya apa bila menggunakan siasat seperti ini, pasukan Surabaya sendiri yang kekurangan syarat.
Bagaimanakah mungkin pasukan Surabaya bisa bertahan apa bila persediaan makanan yang dibawa dalam jumlah terbatas?
Di saat mereka sedang berunding ini. tiba-tiba terdengarlah suara gaduh teriakan nyaring dan benturan senjata. Mereka kaget dan cepat-cepat melompat ke luar. Disana, pada pasukan Celeng Kemaduh tampak api berkobar. Dan dalam pada itu masih tampak pula panah-panah berapi yang melesat di udara.
Melihat keadaan itu, tahulah mereka bahwa musuh menyerang dari kejauhan dan menggunakan panah api.
Tetapi mengapa terdengar suara beradunya senjata?
Pangeran Pekik bergerak mendahului untuk memberi pertolongan.
Namun demikian, diam-diam dalam hatinya bertanya, mengapa pasukan pada bagian itu harus selalu menderita?
Kemarin malam pasukan itu hampir tumpas dan Indrajid sebagai senopati tewas.
Mengapa sekarang setelah Celeng Kemaduh menggantikan kedudukan Indrajid mengalami penyerbuan lawan pula?
Dan mungkinkah penyerbuan ini juga dilakukan dan dipimpin oleh Rara Inten?
Namun ketika Pangeran Pekik tiba di tempat itu, pertempuran telah berhenti. Pangeran Pekik menghela napas ketika melihat puluhan orang menggeletak, merintih dan mengerang karena luka. Dan sementara itu beberapa puluh orang yang lain masih ribut dalam usahanya memadamkan api.
Tak lama kemudian datang menyusul Celeng Kemnduh, Yoga Swara dam Hesti Wiro. Setelah meneliti keadaan, kemudian mereka dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya pasukan musuh menggunakan siasat bagai siluman. Lebih dahulu mereka melepaskan anak panah berapi. Setelah kubu pertahanan yang terdiri dari bangunan darurat itu terbakar, Sekelompok pasukan terpilih menyerbu. Pasukan Celeng Kemaduh yang dalam keadaan tidak Siap itu menjadi geger dan ribut. Akibatnya di antara pasukan Celeng Kemaduh itu saling gempur sendiri, karena tidak mengenal kawan.
Mereka yang terluka dan tewas kemudian dikumpulkan Sebanyak duapuluh empat orang tewas
dan lebih tigapuluh orang menderita luka ringan maupun berat. Pangeran Pekik menyesal bukan main. Kuat dugaannya bahwa lagi-lagi Rara Inten datang mengacau.
Hesti Wiro yang menjadi amat penasaran berkata,
"Gusti, berikan ijin kepada hamba beserta pasukan, untuk menyerbu malam ini juga."
"Jangan! Engkau jangan menjadi korban seperti paman Indrajid!" cegah, Pangeran Pekik.
"Hamba tidak takut mati!' sahut Hesti Wiro mantap.
Tumenggung Danudirjo menyambung cepat,
"Dan hambapun tidak takut mati. Hamba ingin menyertai menyerbu malam ini juga."
Beberapa orang perwira Surabaya dan kepala kepala pasukan Gagak Rimang menyambut penuh semangat, menyatakan diri tidak takut mati. Akan tetapi Pangeran Pekik menggelengkan kepalanya, tidak setuju.
"Gusti, mereka takkan menduga kalau malam begini hamba menyerbu,"
Hesti Wiro mendesak.
"Pertahanan mereka ringkih, dan perlawanan merekapun takkan berarti."
"Aku mengerti," sahut Pangeran Pekik,
"namun kita harus berhati-hati. Kita telah menderita banyak korban. Janganlah kita menambah jumlah janda dan anak yatim. Sebab agaknya di samping Rara Inten, masih terdapat pula tokoh-tokoh sakti yang membantu Giri tidak terang-terangan."
Tanpa tedeng aling-aling segera diceritakan apa yang dialami Yoga Swara dan yang dialaminya
sendiri semalam. Yoga Swara tidak mampu me nandingi seorang gadis berwajah jelek.
Baru sampai di sini penuturan Pangeran Pekik, Hesti Wiro berjingkrak kaget.
Bukankah gadis wajah jelek itu adalah gadis yang pernah dihadapinya, dan dirinya tak mampu mendesak pula?
Kalau Yoga Swava tak mampu dan dikalahkan, ini berarti ketika melawan dirinya tidak sepenuh hati. Sebab bagaimanapun juga Hesti Wiro mengakui. bahwa ilmu kepandaiannya masih setingkat di bawah Yoga Swara.
"Ahhh.... gadis wajah' jelek."? gumamnya.
"Ya, gadis wajah jelek,akan tetapi jelas ilmu kepandaiannya masih di atas Rara Inten!" kata Pangeran Pekik.
"Belum lagi terhitung tokoh aneh yang aku kejar semalam. Aku tak perlu malu mengatakan bahwa berlomba lari saja tidak mampu menandingi, apa lagi jika berkelahi. Hemm..."
Penuturan Pangeran Pekik ini, membuat mereka yang mendengar harus berpikir seribu kali, kemudan kendorlah semangat mereka untuk menyerbu ke sarang lawan. Kalau Pangeran Pekik yang kesaktiannya sulit diukur merasa tidak mampu, lebih lebih mereka.
Manakah mungkin sanggup melawan?
Sesungguhnya sikap Pangeran Pekik ini tidak benar dalam kedudukannya sebagai panglima. Seharusnya ia berusaha membangkitkan semangat anak buahnya. Namun ternyata apa yang dilakukan sekarang ini, malah memadamkan semangat anak buahnya.
Akan tetapi apa harus dikata justera Pangeran Pekik wataknya Welas asih dan apa harus dikata kalau Pangeran Pekik memang tidak pandai menggunakan akal mengalahkan lawan?
"Sebaiknya kita mundur dahulu saja, pulang ke Surabaya."
"Ahhh.....!" terdengar seruan kaget dari mereka.
"Mengapa harus mundur?" tanya Yoga Swara keheranan.
"Kita tidak kalah, gusti, apakah tindakan ini tidak memalukan?"
"Ampunilah hamba, gusti, terpaksa hamba menyatakan tidak setuju kalau kita mundur," kata Hesti Wiro.
"Di samping hal ini amat memalukan, tentu Giri beranggapan bahwa pasukan Surabaya hanya, terdiri dari orang-orang yang takut mati. Apapun yang terjadi kita harus menyerbu dan menggempur Giri."
Tumenggung Danudirjo tak mau ketinggalan memberikan sarannya.
'Gusti. pasukan Surabaya berjumlah amat besar Hamba percaya, kalau siasat dirobah akan berhasil menghancurkan lawan."
Tetapi Pangeran Pekik menggeleng, kemudian katanya perlahan,
"Terimakasih atas berkobarnya semangat kalian menegakkan wibawa Surabaya dan Mataram. Akan tetapi, aku mempunyai pendirian lain. Kita mundur bukan berarti menyerah kalah dan membiarkan Giri menentang Mataram. Tetapi kita mundur untuk menang."
Pangeran Pekik berhenti sambil menatap mereka. Dan orang-orang ini tidak seorang pun membuka mulut. Mereka menunggu apakah maksud junjungan mereka.
"Tentunya kalian mengakui tentang kecerdikan
diajeng Ratu Wandansari."
Pangeran Pekik meneruskan.
"Menghadapi tokoh sakti yang membantu Giri secara sembunyi, dan menghadapi siasat pasukan Giri yang bersembunyi di dalam benteng pertahanan, kiranya hanya diajeng Ratu Wandansari sajalah yang akan dapat mengatasi."
"Aihh... benar!" seru Yoga Swara sambil menampar pahanya sendiri.
"Gusti kangjeng ratu amat cerdik, dan terkenal sebagai Srikandi Mataaram. Di samping cerdik, semangat pasukan akan jauh lebih bersemangat."
"Mengapa ?" tanya Hesti Wiro.
Yoga Swara terkekeh.
"Heh-heh-heh, tentu saja! Sebab semua orang, termasuk engkau dan aku, akan menjadi malu apa bila, kurang semangat."
Yang lain mengangguk-angguk. Dari pendapat Pangeran Pekik memang tidak terbantah. Merekapun timbul kepercayaan, bahwa hanya Ratu Wandansari sajalah yang kuasa mengatasi kesulitan menyerbu Giri ini. '
"Tetapi apakah tidak sebaiknya gusti tetap bertahan di sini, kemudian mengirim utusan saja ke Surabaya?" kata Hesti Wiro.
"Dengan cara ini, berarti tidak memberi kesempatan kepada Giri untuk menyusun kekuatan."
'Saya kira malah sebaliknya." sahut Yoga Swara.
"Mengapa?"
Hesti Wiro terbelalak heran.
"Kalau pasukan Surabaya semuanya mundur kembali, akan timbul pendapat bahwa Surabaya tak sanggup menghadapi Giri. Dengan demikian mereka beranggapan memperoleh kemenangan. Orang
yang merasa menang akan terlalu dekat dengan rasa gembira. Dan kegembiraan ini akan menimbulkan lengah. Nah, apa bila mereka lengah, berarti kita yang akan memetik keuntungan."
"Ahh, aku berpendapat lain,"
Hesti Wiro membantah.
"Dengan mundurnya pasukan Surabaya, berarti memberi kesempatan kepada Giri memperkuat benteng pertabanan. menyusun diri dan memperbanyak simpanan makanan. Kemudian apa bila kita kembali ke mari, kita akan berhadapan dengan pasukan yang lebih kuat."
"Ya, aku tidak dapat menyalahkan kalian berpendapat demikian," kata Pangeran Pekik.
"Namun, maafkan aku, Hesti Wiro! aku lebih condong menarik mundur semua pasukan Surabaya. Kita tidak perlu terlalu jauh memikirkan apa yang akan diperbuat Giri. Dan dengan tindakan ini pula, kita kan memberi kesempatan kepada mereka agar dapat bertemu dengan keluarga. Kemudian apa bila mereka kembali ke medan perang, akan berangkat dengan semangat baru."
'Gusti benar. Gusti sungguh bijaksana!" dukung Yoga Swara.
"Hamba setuju dengan pendapat gusti. Dengan memberi kesempatan kepada pasukan bertemu dengan keluarga, semangat mereka akan berlipat ganda."
"Belum tentu," bantah Hesti Wiro.
"Begitu memperoleh kesempatan bertemu dengan keluarga, kemungkinan membuat semangat mereka bertempur turun. Sebab mereka akan terkenang kebahagiaan mereka bertemu keluarga. Hingga membuat mereka
enggan menyabung nyawa dalam pertempuran."
"Tidak!"
Yoga Swara tak mau mengalah.
"Menurut pendapatku, justeru setelah bertemu dengan keluarga itu. semangat mereka akan bertambah. Dan karena terkenang kepada keluarga itu, membuat mereka akan lebih baik mati dalam berhadapan dengan musuh. Mereka akan berusaha untuk tetap hidup dan menang."
"Sudahlah, janganlah kalian berbantah," cegah Pangeran Pekik dengan halus.
"Kalian tak ada yang salah, dan semuanya benar karena mempunyai alasan masing-masing. Akan tetapi yang jelas, aku merasa tak sanggup menghadapi musuh seperti ini. Maka menurut pendapatku, tak ada jalan lain kecuali kita mundur dahulu ke Surabaya. Kemudian semuanya akan aku serahkan pada kebijaksanaan diajeng Wandansari. Kalau aku toh dipersalahkan sebagai seorang panglima kurang tegas, akan aku terima dengan senang hati. Dan kalau toh langkahku ini oleh ingkang sinuhun dipersalahkan pula, biarlah aku sendiri yang menerima akibatnya, dan takkan menyesal menerima hukumannya."
Mendengar ucapan Pangeran Pekik yang sungguh-sungguh, dan merupakan keputusan itu, tidak seorangpun berani membantah lagi. Mereka merupakan orang bawahan. Segala keputusan justeru ditangan panglima. Mau tak mau, mereka harus tunduk.
Malam itu juga Pangeran Pekik memerintahkan
supaya seluruh pasukan bersiap-siap untuk kemudian bergerak mundur. Akan tetapi gerakan mundur ini perlu diatur sebaik-baiknya. Walaupun mundur, namun jangan sampai diketahui oleh lawan. Untuk itu, maka pengaturannya diserahkan kepada Hesti Wiro dan Yoga Swara. Pasukan bergerak mundur sedikit demi sedikit.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan timbul dan mengganggu, Pangeran Pekik seorang diri bergerak dan mengamati keadaan. Diam-diam memang timbul kecurigaan, apa bila lawan mengacau penarikan mundur pasukan ini.
Menjelang pagi, semua pasukan telah dapat ditarik mundur secara diam diam. Dan untung sekali, selama persiapan mundur ini tidak timbul gangguan dari lawan. Sehingga Giri tidak sadar, bahwa semalam musuh telah mengundurkan diri.
Baru keesokan pagi kemudian, terjadilah kegemparan. Beberapa orang yang bertugas di atas panggung untuk mengamati gerak-gerik pasukan musuh, tergopoh lapor kepada atasan masing-masing. Bahwa pasukan Surabaya telah meninggalkan tempat pertahanannya. Pasukan telah bersih, tidak meninggalkan bekas.
Laporan tersebut pada mulanya kurang dipercaya. Malah setelah memperoleh laporan itu, Sunan Giri sendiri memerlukan memanjat panggung untuk menyaksikan sendiri keadaan. Nyatalah kemudian laporan tersebut benar. Di sekitar kaki bukit itu tidak lagi tampak pasukan Surabaya. Jelas bahwa laporan yang telah diterima adalah benar.
Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Rara Inten, Ulam Sari dan sementara pasukan Giri yang semula bertugas sebagai pasukan siluman, telah kembali. Di antara pasukan memang ada pula yang gugur. Dan karena gugur mereka itu membela Giri, di samping berjasa besar dapat mengusir lawan. maka keluarga mereka memperoleh hadiah berharga, di samping memperoleh puji sanjung.
Lebih lebih Rara Inten dan Ulam Sari, merupakan dua orang perempuan yang dianggap besar sekali jasanya, oleh Sunan Giri dipuji-puji dan memperoleh tempat yang terhormat. Dua orang perempuan ini dalam waktu singkat namanya terkenal di seluruh Giri.
Mundurnya pasukan surabaya ini amat menggembirakan Sunan Giri maupun seluruh rakyat. Sebagai pernyataan gembira itu, kemudian oleh Sunan Giri diperintahkan, agar-rakyat menyambut penuh kegembiraan. Malah Sunan Giripun mengeluarkan beaya khusus guna menyelenggarakan pesta selama tiga hari tiga malam.
Giri diliputi oleh suasana kegembiraan. Macam macam tontonan dipertunjukkan disamping disana sini diselenggarakan pesta-pesta. Hal ini dimaksudkan oleh Sunan Giri sebagai penghibur bagi rakyat Giri, yang baru saja bebas dari ancaman bahaya.
Namun demikian Ulam Sari dan Rara Inten tidak lengah. Dua orang gadis ini melupakan lelah dan penat, menerobos gelap malam keliling daerah untuk menjaga segala kemungkinan. Siapa tahu bahwa mundurnya pasukan Surabaya itu hanya siasat dan tipu muslihat saja. Agar Giri lengah, kemudian kembali menyerbu dengan mendadak.
Sambil melangkah bersama ini, tanya Ulam Sari,
"Mbakyu, bagaimanakah perasaanmu sekarang ini, dengan gugurnya Nyoman Kadis dan Wayan Regel?"
'Hi-hi-hik, hatiku terasa lega dan dadaku lapang," sahut Rara Inten sambil cekikikan.
"Ihh, mengapa begitu?"
"Mengapa tidak? Dua orang itu tingkah lakunya amat menyebalkan. Hatiku menjadi muak di samping benci."
"Tetapi, mbakyu, salahkah Wanita secantik engkau ini, dicintai oleh pemuda? Beda dengan aku yang buruk. Tak heran kalau pemuda memandang aku dengan rasa muak."
"Ahh, jangan kau berkata begitu!" hibur Rara Inten, yang agaknya merasa bahwa Ulam Sari amat masygul karena wajahnya jelek.
"Kalau saja aku ini laki-laki, aku tentu mencintai perempuan seperti engkau ini."
"Hi-hi-hik, sayang sekali engkau bukan lakilaki. Tapi, ehh, bolehkah aku bertanya, berapa usia mbakyu sekarang ini? "
Rara Inten menggelengkan kepalanya.
"Aku tak ingat lagi berapa usiaku. Tetapi kiranya duapuluh lima lebih."
"Mengapa tak juga mbakyu berpikir untuk kawin?"
"Hemm ... ."
Rara Inten menghela napas.
"Aku lebih suka hidup sendirian.....!"
Namun sebenarnya jawaban Rara Inten ini, merupakan jawaban yang tidak jujur. Kalau saja tldak patah hati, karena cintanya kepada Pangeran Pekik tidak memperoleh tanggapan, tentunya ia takkan menjawab seperti itu.
Tetapi jawaban Rara Inten itu, telah menyebabkan Ulam Sari menghela napas juga. Kalau seorang gadis seperti Rara Inten saja memilih hidup sendirian, apakah salahnya kalau dirinya yang mempunyai wajah buruk, hidup tanpa kawin ?
Sebab ia merasa, takkan mungkin ada pria yang tertarik kepada keburukan wajahnya.
"Mbakyu......"
Tetapi ucapan Ulam Sari ini tertunda, karena dua orang perempuan itu nampak kaget. Untuk sejenak saling pandang, dan sesaat kemudian dua orang gadis ini telah melompat dan lari ke sebelah kanan.
Tak salah lagi. Mereka mendengar suara pekik nyaring perempuan. Pekik perempuan dalam bahaya, dan minta pertolongan. Maka mereka berlarian cepat sekali seperti berlomba. Gelap malam dan rimbunnya hutan tidak menjadi penghalang bagi dua orang gadis perkasa ini. Mereka berlarian cepat sekali tak kenal takut terantuk tonggak atau pakaian robek tersangkut duri. Sebab teriakan perempuan itu jelas memerlukan pertolongan secepatnya. Di malam begini, tentu teriakan minta tolong tadi dari seorang perempuan yang diculik orang.
Tetapi setelah beberapa lama mereka berlarian, mereka menghentikan langkah, berhenti dan saling
pandang beberpa saat. Mereka merasa keheranan.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukup cepat mereka berlarian, tetapi mengapa tak juga dapat menyusul?
Mungkinkah si perculik perempuan itu dapat bergerak amat cepat sekali, sehingga mereka tertinggal
jauh?
Ataukah penculik perempuan itu bersembunyi pada suatu tempat, sehingga mereka bergerak terlalu cepat dan terlalu jauh ?
" Heran! Apakah aku tadi salah dengar?" desis Rara Inten sambil menebarkan pandang matanya ke tempat sekeliling.
"Tidak! Akupun mendengar Suara teriakan perempuan itu, mbakyu!" sahut 'Ulam Sari.
"Jelas, perempuan itu amat ketakutan. Dan jelas pula bahwa perempuan tadi mengharapkan pertolongan."
"Akan tetapi sungguh mengherankan. Mengapa mendadak lenyap? "
"Mungkin sekali penculik perempuan itu bersembunyi, ketika kita mengejar. Dan mungkin pula, perempuan itu tidak kuasa lagi berteriak. Hemm, mbakyu! Aku takkan dapat membiarkan orang berbuat sewenang wenang terhadap perempuan."
"Tentu saja! Akupun begitu pula. Akan tetapi kita tak tahu. kemana perempuan itu dibawa bersembunyi. Dan malampun gelap. Kita memperoleh kesulitan dalam melakukan penyelidikan."
"Habis, akan kita biarkankah perempuan yang diancam bahaya tadi, mbakyu?"
"Tentu saja tidak! Hatiku amat penasaran apa bila tak berhasil menolong sesama manusia yang memerlukan pertolongan. Hemm. marilah kita sekarang membagi tugas. Biarlah aku menyelidiki ke selatan, dan engkau menyelidiklah ke barat, Setuju?"
"Baik! "
Setelah menjawab, Ulam Sari telah melompat ke barat, dan dalam waktu singkat telah hilang di gelap malam. Diam-diam Rara Inten menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah adik angkatnya itu. Kemudian Rara Intenpun menyelinap ke selatan, untuk menyelidik. Belum juga Rara Inten jauh bergerak,mendadak didengarnya suara jeritan minta tolong .
"Tolonggg...... heb..."
Hanya sekali saja. suara jerit itu terdengar. Kemudian lenyap, karena mulut itu mendadak tersumbat.
Hati Rara Inten berdebar dan tegang. Jelas suara tadi amat dekat. Maka pandang matanya dipertajam, dan telinga dipasang lebar-lebar
"Kroaaaakkk... Wut.... bukk.....!"
Rara Inten melompat ke samping sambil mengumpat caci dalam hati. Agaknya orang yang di cari itu tahu ia cari, maka telah menyambit dengan batu. Setelah menyambit, orang tersebut telah melompat kemudian melarikan diri.
Rara Inten cepat melompat pula untuk mengejar. Diam diam ia telah mempersiapkan cambuknya. Apa bila ia dapat mengejar orang tersebut, akan menyerampang kaki supaya roboh terjerembab. Jelas tampak olehnya, orang yang dikejar itu bertubuh kecil. Perempuan yang diculiknya itu ditempatkan di atas pundak kiri. Sehingga kepala dan tangan tergantung di belakang punggung. Rara Inten mengerahkan kepandaiannya lari. Akan tetapi sungguh heran dan hatinya penasaran. Ia tak juga dapat mengurangi jarak sekalipun orang itu membawa beban.
Kemudian ketika ditempat yang rimbun, mendadak orang yang dikejar itu hilang.
Di balik gerumbul pohon ia berhenti dan meneliti ke manakah agaknya orang tadi melarikan diri?
Di tempat itu terdapat jalan setapak yang bercabang. Akan tetapi karena malam hanya disinari oleh cahaya bintang, maka ia memperoleh kesulitan untuk menentukan ke mana orang tadi melarikan diri.
Di saat ia masih berdiri untuk menentukan arah ini, tiba-tiba terasa serangkum angin menyambar dari samping.
Secepat kilat ia melompat menghindarkan diri.
"Wuttt...... plok.....!"
Sebuah benda yang menyambar, membentur pohon di dekatnya Nyatalah bahwa orang yang ia kejar itu kembali menyambit. Maka dengan kemarahan yang hampir tak tertahankan, ia meledakkan cambuknya ke udara tiga kali.
"Tar tar-tar..."
Ledakan cambuk yang disaluri tenaga kuat itu, terdengar nyaring di tengah malam. Dan ledakan tersebut membuat binatang hutan yang berada di dekatnya kaget, berserabutan melarikan diri.
Belum juga lenyap suara ledakan cambuk itu, terdengarlah suara orang ketawa terkekeh-kekeh.
"Hehheh.heh beb......"
Secepatnya Rara Inten membalikkan tubuh.
"Jahanam.....!" desisnya sambil melompat ke arah suara ketawa datang.
"Heh-heh-heh..,...!"
Dada Rara Inten seperti meledak dibuatnya. Sebagai seorang yang telah luas pengalaman, tentu saja ia segera merasa bahwa malam ini dirinya dipermainkan brang. Nyatalah bahwa orang tersebut tahu, bahwa dirinya mengejar.
Akan tetapi yang membuat ia penasaran, mengapakah orang itu tidak berusaha menyembunyikan diri, sebaliknya malah menunggunya?
Jelas sekali bahwa orang itu memancing dirinya.
Akan tetapi manakah Rara Inten kenal takut?
Sekalipun perempuan, ia telah cukup pengalaman menghadapi bahaya maut. Lebih-lebih sekarang, ia bermaksud menolong perempuan yang diancam oleh bahaya. Maka walaupun penculik itu lari ke ujung dunia akan ia kejar terus.
Kembali Rara Inten dan orang itu berkejaran. Sekarang mereka berada di atas tanah yang hanya ditumbuhi oleh pohon -pohon kecil, hingga bisa disebut sebagai tempat lapang. Maka Rara Inten dapat melihat jelas sekali orang yang sedang dikejarnya. Langkah orang itu pendek pendek, tetapi amat cepat.
Tak lama kemudian, hutan yang diterobos itu merupakan perbukitan. Jalan yang harus dilalui menjadi sulit, di samping naik turun dan berbatu. Namun Rara Inten yang penasaran tak pernah
berhenti mengejar. Makin lama, perempuan ini malah lebih bersemangat. Akan tetapi ketika tiba di daerah yang rimbun oleh pohon, lagi-lagi Rara Inten kehilangan jejak.
Tanpa terasa, telah dini hari. Udara terasa dingin, akan tetapi rasa tubuh Rara Inten gerah. Hatinya panas karena mengejar lebih setengah malam, tak juga dapat menangkap maupun menolong perempuan itu.
Mungkinkah yang ia kejar malam ini bukan manusia?
Tetapi dugaan itu secepatnya ia bantah sendiri. Kalau bukan manusia, manakah laki-laki itu kakinya menapak bumi seperti dirinya?
Karena kehilangan jejak, ia menyelidik sekitarnya sambil mengaso. Untuk memeriksa keadaan sekitarnya, adakalanya pula ia meloncat ke atas dahan pohon. Lalu memanjat cukup tinggi.
Namun hatinya jadi bertanya-tanya, mengapa daerah sekitarnya yang tampak hanya daun melulu ?
Pada suatu ketika ia melihat gerumbul pohon yang pendek bergerak-gerak. Akan tetapi ketika ia perhatikan. ternyata yang muncul dari dalam gerumbul pohon itu, sepasang babi hutan.
Malah yang membuat ia tambah sebal, mengapa begitu ke luar dari gerumbul pohon, yang seekor dan di belakang malah lalu minta gendong?
Rara Inten cepat-cepat membuang muka ke arah lain. Tentu saja wajahnya terasa panas dan malu melihat tingkah babi hutan itu. Kemudian perhatiannya tertarik kepada semak ilalang yang bergerak perlahan. Ia mengamati penuh perhatian, dan tahu di situlah orang itu bersembunyi. Namun ternyata dugaannya keliru lagi. Sebab sesaat kemudian, ia mendengar suara harimau yang mengaum.
Sesungguhnya yang penasaran bukan hanya Rara Inten seorang. Sebab Ulam Sari mengalami hal yang hampir sama. Ia melihat pula secara jelas, bahwa orang yang dikejar itu seorang lakilaki, tubuhnya kecil. Sambil melarikan diri perempuan yang diculiknya itu ditempatkan di atas pundak. Kepala dan tangan perempuan itu tergantung di belakang punggung.
Ulam Sari mengerahkan kepandaiannya lari. Namun sungguh aneh, ia tak juga dapat merobah jarak. Ia tak dapat mendekati orang tersebut , sehingga kalau ingin menyambit dengan batu, tidak mungkin dapat mencapai sasarannya.
"Jahanam! Berhenti!" teriak Ulam Sari yang penasaran.
Dan orang yang dikejar itu tanpa berhenti dan tanpa berpaling menyambut dengan ketawanya yang terkekeh,
' Heh -heh heh heh......"
Setelah berkejaran beberapa lama, mendadak orang itu menghilang. Ulam Sari harus menyelidik sekitarnya. Akan tetapi yang dicari tak juga bisa diketemukan. Kemudian ketika gadis ini putus asa dan ingin menghentikan pengejarannya, tahu-tahu didengarnya suara orang ketawa terkekeh di tempat yang amat dekat. Ketika ia melompat ke arah suara ketawa itu, dilihatnya orang itu sudah lari lagi.
Tanpa terasa malam telah larut. Dalam suatu daerah yang berbukit dan berbatu, Ulam Sari kehilangan jejak lagi. Mulutnya telah beberapa kali menguap dan kantuk datang. Lalu timbullah niatnya untuk mengaso, duduk di atas batu sambil memulihkan tenaganya.
Tetapi sungguh menyebalkan..Di saat ia lenggat-lenggut mengantuk itu, terasa serangkum angin menyambar dari belakang. Dengan gesitnya Ulam Sari telah melenting dan sekaligus membalikkan tubuh. Sambitan orang luput, lalu terdengarlah suara yang memuji,
"Heh-heh-heh, bagus! Di saat mengantukpun, inderamu bekerja begitu baik."
"Jangan lari!" teriaknya sambil melompat dan mengejar.
Tetapi orang tersebut hanya menyambut dengan suara ketawanya terkekeh, dan terjadi lagi, mereka berkejaran.
Ulam Sari amat penasaran sekali. Ia mengerahkan kepandaiannya lari. Dan dalam hal kecepatan larinya, ia patut merasa bangga. Rara Intenpun tak sanggup mengatasi kecepatannya.
Akan tetapi malam ini, mengapa mati kutu?
Mengapa orang yang dikejar itu gerakannya cepat sekali dan seperti dapat terbang?
Diam-diam Ulam Sari kagum. Mengapakah orang yang membawa beban itu, dapat bergerak secepat itu, sehingga usahanya mendekati gagal ?
Ulam Sari telah meninggalkan Giri jauh sekali. Akan tetapi Ulam Sari tak juga mau menghentikan usahanya. Dan gadis ini bertekad takkan mau menghentikan pengejarannya, sebelum dapat mencoba ketinggian ilmu orang tersebut.
Ketika itu bintang pagi telah memancarkan cahaya yang gemilang di utuk timur. Tetapi antara orang tersebut dengan Ulam Sari masih terus berkejaran. Kadang menerobos hutan, kadang naik dan turun perbukitan, dan kadang pula berkejaran di tengah ladang singkong.
Mendadak Ulam Sari melihat, bahwa orang yang dikejar itu jatuh terguling di tanah. Gadis itu gembira sehingga tanpa terasa telah berseru,
'Mampus kau!"
Ia mempercepat gerakannya. Akan tetapi ketika jarak itu tinggal beberapa langkah lagi, orang tersebut telah melompat dan lari cepat lagi sambil ketawa terkekeh kekeh. Betapa marah Ulam Sari sulit dilukiskan. Gadis ini tambah marah dan penasaran lagi, justeru merasa diejek dan dipermainkan. Maka sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya lari, ia telah mengejar lagi.
Mendadak ia melihat dari semak ilalang yang cukup tinggi, muncul kepala seekor harimau tutul. Akan tetapi Ulam Sari tidak takut sedikitpun. Bentaknya,
"Hai, harimau, jika engkau menganggu aku, kau harus mampus!"
Ulam Sari telah menerjang dengan pukulan telapak tangannya. Angin yang kuat segera menyambar ke arah harimau itu.
"Ihhh!" terdengar suara kaget dari harimau tersebut, kemudian melenting ke samping.
Dan sebentar saja harimau tersebut telah berdiri seperti manusia biasa. Dari leher harimau itu, terdengar suara yang menegur,
"Hai, Titiek! Apa maksudmu menyerang aku ?"
'Hi hi-hik, ternyata engkau manusia yang bersembunyi di dalam kulit harimau!" kata Ulam Sari sambil cekikikan.
"Minggir, jangan mengganggu urusanku!"
Sambil mengucapkan kata-kata yang terakhir ini, Ulam Sari telah menerjang lagi dengan pukulan tangan kosong. Kecil saja lengan gadis berwajah buruk ini. Akan tetapi angin yang menyambar cukup dahsyat. Namun orang yang menyembunyikan diri di balik kulit harimau tersebut tidak takut.
Bergerakpun tidak!
Pukulan Ulam Sari itu diterima oleh tangan kiri.
"Plakk!" ,
"Ihhhh......!"
Dua telapak tangan itu mendadak melekat satu sama lain, sehingga tanpa terasa Ulam Sari berseru tertahan.
"Lepas!" teriak Ulam Sari sambil memukulkan tangan kiri.
"Titiek! Jangan engkau sembrono! Apakah engkau sudah tidak mengenal aku lagi?" kata orang tersebut, dan suara itu terdengar dari leher harimau.
"Namaku bukan Titiek. Dan aku tidak kenal dengan engkau!" sambil menjawab ini, Ulam Sari telah melompat untuk pergi.
Tetapi tiba-tiba Ulam Sari berseru kaget,
'Ihhhh .. !"
orang yang bersembunyi dalam kulit harimau tersebut hanya menggerakkan tangan kiri. Namun sungguh menakjubkan, tubuh Ulam Sari yang sudah melompat itu tertahan, lalu kembali lagi berdiri di tempat yang semula.
Sekarang dua orang itu saling berhadapan. Ulam Sari yang merasa diganggu amat marah. Bentaknya,
"Minggir! Engkau jangan mengganggu urusanku. Atau, engkau memang sudah bosan hidup?"
Mendadak terdengarlah suara terkekeh dari leher harimau itu. Agaknya orang yang bersembunyi didalam kulit harimau itu geli. Maka terkekeh kekeh.
"Heh-heh-heh, Titiek Sariningsih. Sangkamu, engkau dapat mengelabui kakekmu, Sindu, seperti kepada orang lain? Heh-heh-beh, orang lain mudah saja engkau tipu dengan kedok mukamu yang seperti iblis itu. Akan tetapi aku Sindu. kakekmu. Manakah mungkin dapat engkau tipu ?"
Baru saja orang yang bersembunyi dalam kulit harimau tersebut menutup kata-katanya, Ulam Sari telah menubruk dan memeluk orang itu. Kemudian, setelah mengusap mukanya, tiba-tiba saja wajah yang semula tampak buruk dan menyeramkan itu, telah berubah menjadi cantik luar biasa. Seorang gadis muda yang sulit dicela kecantikannya. Begitu kedok muka yang buruk itu telah dilepas, maka gadis cantik yang sesungguhnya bernama Titiek Sariningsih ini telah menangis terisak-isak di dada harimau itu.
Di mana, sebenarnya bukan orang lain yang bersembunyi dalam kulit harimau itu. karena dia adalah Sindu!
"Kek engkau sendirilah yang membuat aku menyamar dengan wajah buruk ini," kata Titiek Sariningsih di tengah tangisnya.
"Aku? Mengapa?" tanya Sindu.
"Karena engkau bersembunyi dalam kulit harimau. Dan kakek juga tak sedia bertemu dengan aku. sekalipun aku telah minta dan mengejarmu Kakek, engkaulah yang nakal....."
"Heh-heh-heh."
Sindu terkekeh, kemudian Sindu membuka bagian leher harimau tersebut dan muncullah wajah Sindu yang asli, yang masih tetap tertawa-tawa. Katanya kemudian,
"Titiek, sudahlah, engkau tak perlu mengungkat-ungkat peristiwa yang telah lalu. Sekarang engkau telah memeluk kakekmu. Senang hatimu, bukan?"
Dengan matanya yang masih basah Titiek Sariningsih yang semula mengaku bernama Ulam Sari itu, mengangkat mukanya dan menatap wajah Sindu. Diam-diam Titiek Sariningsih kaget berbareng kagum. Ternyata kakek dan gurunya itu, sekarang malah tampak lebih muda dan sepasang matanya bercahaya, tetapi membuat hati sejuk.
Tiba-tiba saja tangis Titiek Sariningsih berhenti Lalu kembali timbul kemanjaannya. Ia tertawa cekikikan. katanya,
"Tentu saja aku senang sekali kek, dapat bertemu lagi dengan engkau. Kek, kemanakah saja engkau selama ini ?"
"Hemm, akan terlalu panjang kalau kakekmu harus bercerita." jawab Sindu dengan nada yang sabar
"Sekarang yang penting. tahukah engkau akan maksudku memancing engkau meninggalkan Giri?"
"Ih....."
Titiek Sariningsih kaget, lalu melepaskan pelukannya. Gadis ini menatap Wajah Sindu dengan sepasang mata yang curiga. Katanya kemudian,
"Jadi engkaukah, kek. yang tadi aku kejar bersama mbakyu Rara Inten? Hemm, pantas gerakannya cepat sekali, hingga baik aku maupun mbakyu Inten tak sanggup mendekati. Akan tetapi, kek, mengapa engkau sekarang berubah?"
"Apanyakah yang berobah?"
"Kakek sekarang menjadi penculik perempuan!"
"lhhh......!" giliran Sindu yang sekarang kaget.
Kemudian kakek ini bertanya,
"Kapankah engkau mengenal aku sebagai penculik perempuan ?"
"Kakek mau mungkir?!" bentak Titiek Sariningsih tiba-tiba sambil meloncat berdiri. Dua belah tangan gadis ini sekarang bertolak pinggang. Dan sikapnya seperti sedang berhadapan dengan musuh.
"Aku dan mbakyu Inten tadi' mengejarmu, bukan lain mendengar suara teriakan perempuan minta tolong."
Mendengar ucapan Titiek Sariningsih ini, lagi lagi Sindu terkekeh. Titiek Sariningsih tidak senang, kemudian membentak lagi,
"Jangan tertawa. Jika engkau benar sebagai penculik perempuan, huh, semenjak sekarang aku bukan cucumu lagi. Aku tak sudi mempunyai kakek yang begitu."
"Heh-hehheh, engkau jangan gampang menuduh, Titiek," sahut Sindu kemudian dengan nada yang tetap halus.
"Engkau keliru sangka, dan salah alamat menuduhku. Titiek, sabar dulu dan dengarkan keteranganku. Duduklah!"
"TaK sudi aku duduk, sebelum aku tahu, engkau bersalah atau tidak!" bantah Titiek Sariningsih dengan sikapnya yang ketus.
"Heh-heh-heh,"
Sindu tertawa lagi. Kemudian katanya,
'Yang benar. memang telah terjadi usaha penculikan itu, Titiek. Akan tetapi bukan aku dan akulah yang lebih dahulu dapat menolong dan menyelamatkan perempuan itu, sebelum engkau dan Inten datang ......" '
"Tetapi mengapa engkau lari sambil membawa perempuan itu ?" potongnya tiba -tiba.
"Heh-heh-heh, tentu saja! apakah perempuan yang aku tolong dan aku selamatkan itu, harus aku biarkan begitu saja di dalam hutan?"
"Ohhh......!" seru Titiek Sariningsih perlahan
"Lalu mau kakek bawa ke mana?"
"Akan aku kembalikan kepada keluarganya. Akan tetapi sebelum aku kembalikan kepada keluarganya, perlu aku pergunakan memancing engkau dan Inten meninggalkan Giri."
"Ihh, mengapa kek?" tanya Titiek Sariningsih.
"Aku justeru sedang berjuang membela Giri, mempertahankan penyerbuan Surabaya."
"Untuk apa engkau membantu Giri?"
"Akan membalas sakit hati ayahku yang gugur di medan perang melawan Mataram."
"Ahh, mengapa begitu pendirianmu, Titiek?"
Sindu agak kaget.
"Apakah engkau lupa bahwa ayahmu gugur di medan perang sebagai pihak yang bermusuhan dengan Mataram? Titiek, perang adalah perang. Perang yang menggiriskan hati. dan
terkutuk. Sesama manusia saling bunuh, dan nyawa tak berharga. Apakah engkau sudah ingkar akan sumpahmu di depan makam guru kita?"
"Tidak!"
Titiek Sariningsih menggeleng.
"Sekalipun perang, aku tidak pernah membunuh orang. Aku mengalahkan musuh tanpa lewat pembunuhan. Dan aku gembira dapat mengalahkan musuh."
"Dan engkau melupakan kewajiban yang lebih penting, mencari pembunuh ibumu?"
Berjingkrak kaget Titiek Sariningsih mendengar itu. Tiba-tiba saja gadis ini telah menubruk kembali kepada Sindu. Untuk sejenak menyembunyikan Wajahnya di dada kakek itu. Lalu katanya,
"Kek, aku hampir lupa kepada hal itu. Maafkan aku, kek, dan sekarang berilah aku keterangan, siapakah orang yang telah membunuh ibuku itu? Hem, tentu engkau tahu. Engkau tahu! Katakanlah kek, siapa dia?"
"Marilah kita duduk, Titiek, jangan tergesa," ajak Sindu sambil membimbing Titiek Sariningsih diajak duduk di atas batu yang tak jauh dari tempat itu.
Setelah duduk berkatalah Sindu,
"Itulah sebabnya aku memancing engkau meninggalkan Giri. Pertama, aku mencegah engkau melibatkan diri dalam peperangan antara Giri dengan Surabaya. Yang ke dua ...,"
"Kek, tunggu......" potong Titiek Sariningsih.
"Engkau tadi bilang memancing aku dan mbakyu Inten. Bagaimanakah mungkin, justeru aku ke arah barat dan dia ke selatan?"
"Heh-heh-heh, tentunya engkau heran, bukan?"
"tentu saja!"
"Hem. sesungguhnya bukan hal yang perlu engkau buat heran.Sebab aku telah memiliki Aji Pangganda (Penciuman ). . . . . ."
"Ahhh, untuk apakah kegunaannya?"
"Dengan aji tersebut, apa bila telah diterapkan, takkan sulit lagi untuk mencari seseorang. Orang akan seperti dibimbing oleh sesuatu daya mujijat yang' tidak nampak, oleh indera yang ke enam. Hingga walaupun orang yang aku cari itu dalam jarak jauh, dengan gampang aku mencarinya."
"Ahhh, hebat! Kek, kau harus mengajarkan padaku," pinta Titiek Sariningsih dengan sikapnya yang manja.
Lalu tangan kiri gadis itu telah menarik baju bagian, dada Sindu. Ulangnya,
"Kek, kau harus mengajarkan aji tersebut padaku. Ya kek, tentunya engkau tidak pelit, bukan?"
Oleh sikap Titiek Sariningsih yang manja itu, membuat Sindu terkekeh-kekeh. Teringatlah kakek ini kepada peristiwa-peristiwa yang telah dilalui. Di saat ia menolong gadis ini. kemudian hidup bersama lebih tiga tahun lamanya. Sindu mengangguk, kemudian jawabnya,
' Tentu saja, cucuku yang manis. Kakek takkan pelit. Tetapi sekarang belum waktunya engkau memikirkan soal ini. Untuk sementara engkau harus berpisah lagi dengan aku. Dan untuk keamanan dalam perjalananmu, kiranya baik pula kedok penutup mukamu yang seperti iblis itu engkau pergunakan."
Sindu berhenti dan menatap wajah gadis itu penuh perhatian. Sejenak kemudian terusnya,
"Titiek, seperti tadi telah aku katakan bahwa yang pertama,
aku ingin mencegah engkau melibatkan diri dalam peperangan antara Giri dengan Surabaya. Sebab apabila engkau melibatkan diri dalam pertentangan dan peperangan tersebut, pada akhirnya engkau hanya akan bertemu dengan rasa kecewa seperti apa yang telah aku alami sendiri. Yang ke dua, sudah waktunya bagimu sekarang, untuk memikirkan mencari siapakah orang yang telah membunuh ibumu, dan memperkosa. . . . . . . . "
Tiba-tiba Sindu menghentikan kara-katanya sendiri yang belum selesai, dan kaget. Tanpa terasa, ia telah membuka rahasia tentang perkosaan yang terjadi atas diri ibu Titiek Sariningsih.
"Apa....! Kek....kau tadi bilang apa?"
Titiek Sariningsih terbelalak dan tiba-tiba saja tubuh gadis itu menggigil.
"Kakek bilang. ibuku diperkosa.. .. . kemudian dibunuh.....?'
Diam-diam Sindu menyesal, tanpa disengaja, telah membocorkan peristiwa itu. Menyesal, justeru berita itu akan mengejutkan Titiek Sariningsih. Dan akibatnya pula, Titiek Sariningsih akan dipengaruhi oleh rasa dendam kesumat. yang dapat mempengaruhi pandangan dan pendapat gadis ini. Akan tetapi, ahh, semuanya telah terjadi.Ia takkan dapat menelan kembali ucapan yang telah lepas dari mulut. Maka apa yang terjadi kemudian. ia serahkan sepenuhnya ke tangan Tuhan.
Apa harus dikata kalau Tuhan memang menghendaki, bahwa Titiek Sariningsih harus mengetahui sejelasnya tentang keadaan ibunya kala itu?
Sindu menghela napas pendek, kemudian mengangguk.
"Benar....!"
"Aihhh.....!"
Titiek Sariningsih tiba-tiba melompat akan tetapi karena tubuhnya menggigil hampir saja ia jatuh. Saat sekarang ini, Titiek Sariningsih memang marah bukan main, di samping ingin pula menangis mendengar nasib ibunya yang menyedihkan itu. Namun walaupun muda, ia telah memperoleh gemblengan baik oleh Sindu sendiri, maupun oleh Ki Ageng Lumbungkerep. Maka dalam keadaan seperti itu, ia masih berusaha menekan perasaan dan menahan gejolak hatinya, guna mendengar keterangan dari Sindu.
"Ceritakan... kek. lekas ceritakan......!" kata Titiek Sariningsih dengan nada yang menggeletar, tetapi jari-jari tangan yang kanan telah merabaraba hulu pedang lemas yang tersembunyi dalam pinggangnya.
Melihat itu, diam-diam Sindu menjadi amat khawatir. Khawatir kalau Titiek Sariningsih menjadi lupa diri. Khawatir kalau Titiek Sariningsih sampai melakukan kekejaman yang tidak diharapkan. Katanya kemudian,
"Titiek, aku berharap, agar engkau selalu ingat akan pesan guru kita. Si Buntung itu, tidak boleh mencium darah manusia."
Mendengar peringatan Sindu ini, agak redalah kemarahan Titiek Sariningsih. Lalu jawabnya,
"Kek, aku akan tetap patuh kepada pesan terakhir guru, Ki Ageng Purwoto Sidik. Tapi lekas kauceritakan apa yang telah terjadi dengan ibuku......"
"Duduklah, Titiek, akan aku ceritakan semuanya," kata Sindu halus setengah membujuk.
"Akan tetapi. Titiek, ingatkah engkau akan kewajiban murid terhadap guru?"
Titiek Sariningsih segera duduk kembali. Ia menghela napas pendek. Lalu jawabnya sungguh sungguh,
"Tentu saja aku ingat, kek, mengapa tidak? Engkau kakekku dan juga guruku. Tentu saja sebagai seorang murid, aku harus selalu patuh padamu."
"Terima kasih, cucuku, maka aku percaya pula engkau akan selaku patuh kepada gurumu. Kalau toh engkau tidak patuh padaku, akan tetapi engkau harus patuh kepada guru kita, Ki Ageng kebo Kanigara atau Ki Ageng Purwoto Sidik."
"Ya, tentu saja," sahut Titiek Sariningsih.
"Pertama yang harus engkau ingat, dalam keadaan bagaimanapun engkau harus pandai menekan perasaan dan gejolak kemarahanmu. Agar engkau dapat selalu mematuhi pesan guru kita, bahwa kita dilarang melakukan pembunuhan terhadap sesama manusia. Nah, Titiek, dalam engkau menghadapi peristiwa inipun. engkau harus pandai menekan perasaan itu. Kalau kemudian hari engkau bertemu dengan pembunuh ibumu, jangan kaugunakan kekejaman dan pembunuhan."
"Ya," sahut Titiek Sariningsih pendek.
Namun sesungguhnya terasa berat juga hatinya, untuk tidak melakukan pembalasan terhadap pembunuh ibunya. Maka ucapan dan batin gadis ini, sesungguhnya bertentangan.
Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis

Cari Blog Ini